JURNAL SUBJEKTIVE WELL-BEING PADA LANSIA PENGHUNI PANTI JOMPO
mengevaluasi dirinya secara positif bahwa dirinya dapat mengendalikan aspek-aspek penting dalam hidupnya.
Sarvatra Wari erlangga
Kata kunci: Subjective Well-being, Lansia, Panti Jompo PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ABSTRAK Subjective well-being penting bagi lansia karena dengan seseorang memiliki penilaian yang lebih tinggi tentang kebahagiaan dan kepuasan hidup maka mereka cenderung bersikap lebih bahagia dan lebih puas, tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran subjective well-being dan faktor faktor yang menyebabkan subjective wellbeing pada lansia penghuni panti jompo. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang di tekankan pada penelitian studi kasus, subjek dalam penelitian ini adalah lanjut usia yang berusia 60-70 tahun yang berjenis kelamin laki-laki, yaitu penghuni panti jompo, dan dalam pengumpulan data peneliti menggunakan metode wawancara dan observasi. Subjective well-being pada lansia penghuni panti jompo adalah kepuasaan subjek dalam berkarir dengan prestasi yang didapat. Dalam kehidupan sehari-hari subjek tidak memilih-milih dalam berteman dan teman subjek selalu ada ketika subjek membutuhkannya, subjek tergolong orang yang sabar dan subjek tidak memikirkan siapa yang berbuat salah terhadap dirinya. Subjek rajin dalam beribadah, subjek juga tidak gegabah ketika menghadapi masalah. Dalam penelitian ini peneliti menyimpulkan: bahwa orang yang lebih optimis akan masa depannya merasa lebih bahagia dan puas atas hidupnya, dan
Saat individu tidak dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapinya maka akan timbul emosi yang tidak menyenangkan dalam dirinya. Keadaan ini dapat menyebabkan individu yang bersangkutan merasa tidak puas dan tidak bahagia di dalam kehidupannya. Menurut Diener, Suh, dan Oishi (1997) pengalaman internal yang dialami oleh individu tersebut digambarkan sebagai subjective well-being (SWB). Subjective well-being ini merupakan suatu bentuk evaluasi mengenai kehidupan individu yang bersangkutan. Bentuk evaluasi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu: penilaian secara kognitif, seperti kepuasan hidup, dan respon emosional terhadap kejadian, seperti merasakan emosi yang positif (Diener,2002). Subjective wellbeing ini diukur berdasarkan pada perspektif individu yang bersangkutan melalui tiga komponen yang saling berhubungan yaitu kepuasan hidup secara global dan kepuasan dalam domain yang penting dalam hidup, misalnya cinta, perkawinan, persahabatan, dan lain-lain. Komponen selanjutnya adalah afeksi positif dan afeksi negatif yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan ( Diener, 1997). Kemunduran fungsi tubuh dan berkurangnya peran di masyarakat bagi lansia dapat membuat emosi yang labil, mudah tersinggung, gampang merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan dan tidak berguna. Lansia dengan problem tersebut menjadi rentan terhadap gangguan psikiatrik seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan)
atau kecanduan obat (Akhmadi, 2006). Ketidakmampuan keluarga lansia dalam mengatasi masalah – masalah yang dihadapai para lansia, dapat menyebabkan para lansia dititipkan panti jompo. Adapun Menurut Santrock (2002) panti jompo merupakan lembaga perawatan atau rumah perawatan yang dikhususkan untuk orangorang dewasa lanjut. Disana tersedia berbagai macam layanan yang dibutuhkan oleh para orang-orang lanjut usia dan tersedia juga fasilitas kesehatan. Para lansia yang berada dipanti jompo cenderung akan berkurangnya waktu bertemu dan berkumpul dengan keluarganya. Berkurangnya waktu untuk bertemu dengan keluarga menyebabkan para lansia yang berada di panti jompo akan merasa tidak mendapatkan kebahagiaan dari keluarganya. Ada beberapa masalah yang biasa dialami oleh lansia diantaranya adalah kesepian, keterasingan dari lingkungan, ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lansia yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal tersebut dapat mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat, harapan, ketenangan pikiran dan kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup, hubungan yang bersahabat dan bahkan menghilangkan keinginan menikmati kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada perubahan sosial antara lain terjadinya penurunan aktivitas, peran dan partisipasi sosial (Partini, 2002). Perasaan tersebut muncul dikarenakan rendahnya tingkat subjective well-being pada diri lansia tersebut sehingga membuat lansia memandang rendah hidup nya dan menganggap peristiwa yang terjadi sebagai hal yang tidak menyenangkan sehingga timbul emosi yang tidak menyenangkan seperti kecemasan, deperesi dan kemarahan (Myers & Diener, 1995).
Subjective well-being penting bagi lansia karena dengan seseorang memiliki penilaian yang lebih tinggi tentang kebahagiaan dan kepuasan hidup maka mereka cenderung bersikap lebih bahagia dan lebih puas (Muba, 2009) Dengan adanya perasaan puas dan bahagia lansia maka dapat membantu lansia dalam mengatasi masalah-masalah yang sedang dialami oleh lansia tersebut. Namun jika lansia penghuni panti jompo memiliki subjective well-being yang baik maka dapat membuat lansia menikmati kehidupan nya didalam panti jompo, karena individu yang memiliki subjective wellbeing yang tinggi pada umumnya memiliki sejumlah kualitas hidup yang mengagumkan (Diener, 2000), karena individu ini akan lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melihat: 1. Bagaimana gambaran subjective wellbeing pada lansia penghuni panti jompo? 2. Mengapa subjective well-being dialami oleh lansia penghuni panti jompo? C. Tujuan Penelitian Tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran subjective well-being pada lansia penghuni panti jompo dan untuk mengkaji faktor faktor yang menyebabkan subjective wellbeing pada lansia penghuni panti jompo. D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang Psikologi Perkembangan, Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial, dengan menggali lebih dalam lagi mengenai gambaran perasaan subjective wellbeing terutama pada lansia penghuni panti jompo. Selain itu juga dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut yaitu bagi yang ingin meneliti mengenai subjective well-being dan lansia penghuni panti jompo. 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini secara umum diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan terhadap lansia yang bersangkutan, bagi keluarga agar dapat mengetahui pentingnya perasaan sejahtera terhadap lansia, terhadap petugas lansia agar dapat memberikan bantuan yang dapat meningkatkan perasaan sejahtera terhadap lansia penghuni panti jompo, bagi masyarakat agar masyarakat menyadari bahwa perannya sangatlah penting dalam meningkatkan kesejahteraan para penghuni panti jompo dan bagi pembaca dapat mengetahui gambaran dan factor-faktor yang menyebabkan kesejahteraan penghuni panti. TINJAUAN PUSTAKA A. Subjective Well-being 1. Pengertian Subjective Well-being Definisi dari subjective wellbeing menurut Diener dan Lucas (1999), adalah evaluasi seseorang tentang hidup
mereka, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidupnya serta evaluasi afektif dari mood dan emosiemosi. Komponen-komponen dari SWB dibagi menjadi komponen kognitif dan komponen afektif. Sedangkan menurut Muba (2009) seseorang yang memiliki penilaian yang lebih tinggi tentang kebahagiaan dan kepuasan hidup cenderung bersikap lebih bahagia dan lebih puas. Maka dapat disimpulkan bahwa subjective well-being adalah perasaan bahagia yang tercipta dari evaluasi hidup seseorang yang terdiri dari perasaan kepuasaan hidup, kebahagiaan, pengalaman menyenangkan dan rendahnya tingkat mood negatif yang cenderung dapat membuat seseorang bersikap lebih bahagia dan lebih puas didalam hidup nya. 2. Komponen Subjective Well-Being Menurut Diener (dalam Muba, 2009) subjective well-being diukur berdasarkan pada prespektif individu yang bersangkutan, melalui 3 komponen yang saling berhubungan antara lain : a. Kepuasan Hidup Kepuasan hidup adalah kondisi subyektif dari keadaan pribadi seseorang sehubungan rasa senang atau tidak senang sebagai akibat dari adanya dorongan atau kebutuhan yang ada dari dalam dirinya dan dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan (Caplin, 1999). Seorang individu yang dapat menerima diri dan lingkungan secara positif akan merasa puas dengan hidupnya (Hurlock, 2000). b. Afeksi Positif Seseorang dapat dikatakan memiliki Subyective Well-Being yang tinggi jika mereka sering kali merasakan emosi yang positif (Diener dan
Larsen, 1984) memiliki prediktor: penuh perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif c. Afeksi Negatif Seseorang dapat dikatakan memiliki Subyective Well-Being yang tinggi jika mereka jarang sekali mengalami emosi yang negatif (Diener dan Larsen, 1984) memiliki prediktor: sedih, bermusuhan, mudah marahmarah, takut, malu, bersalah, dan gelisah 3. Prediktor Subjective Well-Being Menurut Wang Muba (2009) ada 8 prediktor didalam Subyective WellBeing antara lain: a. Harga Diri Campbell (1981) menemukan bahwa harga diri merupakan prediktor yang paling penting untuk kesejahteraan subjektif. Harga diri yang tinggi membuat seseorang memiliki beberapa kelebihan termasuk pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Hal itu merupakan pedoman yang berharga dalam hubungan interpersonal dan merupakan hasil alamiah dari pertumbuhan seseorang yang sehat (Ryan & Deci, 2000). b. Rasa Tentang Pengendalian Yang Bisa Diterima Perasaan untuk memiliki pengendalian personal dapat diartikan sebagai kepercayaan bahwa seseorang memiliki beberapa tolak ukur pengendalian atas kejadiankejadian dalam hidup yang penting bagi dirinya. Sebagai tambahan, tanpa adanya rasa ini, hidup akan dipenuhi oleh kejadian-kejadian yang kacau balau, dimana sebagian besar orang akan menjadi tertekan karenanya. Kebutuhan akan pengendalian yang dapat diterima
mungkin menjadi kebutuhan sejak dini (Ryan & Deci, 2000).
c. Sifat Terbuka Beberapa studi bahkan melaporkan korelasi 0,80 antara sifat ekstrovert dan kebahagiaan yang dinilai oleh diri sendiri (Fujita, 1991). Sifat ekstrovert juga telah dipergunakan untuk memprediksi tingkat kebahagiaan sampai tiga puluh tahun setelah tes awal dilakukan (Costa & McCrae, 1986). Sementara variabel ini secara konsisten dihubungkan dengan kesejahteraan subjektif, tidak berarti bahwa seseorang dengan sifat introvert selalu merasakan depresi dan bosan. d. Optimisme Pada umumnya, orang yang lebih optimis tentang masa depannya dilaporkan merasa lebih bahagia dan puas atas hidupnya (Diener et al., 1999). Sebagai keterangan mengenai variabel-variabel lain yang telah dibahas, hal ini membuat semuanya menjadi masuk akal. Orang yang mengevaluasi dirinya secara positif beranggapan bahwa dia dapat mengendalikan aspek-aspek penting dalam hidupnya dan orang yang berhasil dalam berinteraksi tampaknya akan memandang masa depan dengan penuh harapan dan ekspektasi positif. e. Hubungan Yang Positif Hubungan yang positif antara kesejahteraan subjektif yang tinggi dan kepuasan terhadap keluarga serta teman adalah salah satu dari sedikit hubungan yang ditemukan secara universal dalam berbagai studi lintas budaya mengenai kesejahteraan (Diener, Oishi & Lucas, 2003). f. Kontak Sosial
Seseorang mungkin bertanya-tanya apakah orang lebih suka bersamasama dengan orang lain ketika mereka merasa bahagia atau ketika mereka merasa sedih. Salah satu studi bertanya kepada orang dalam situasi apa mereka memilih untuk berada sendirian atau bersama orang lain (Middlebrook, 1980) dan menemukan bahwa kebanyakan orang lebih ingin bersama orang lain ketika mereka merasa bahagia. Karena kontak sosial yang positif tampaknya juga dapat meningkatkan kesejahteraan, hubungan antara kesejahteraan subjektif dan hubungan sosial yang positif dapat bersifat timbal balik. g. Pemahaman Tentang Arti Dan Tujuan Sejumlah studi telah menemukan bahwa orang-orang dengan iman terhadap agama yang lebih kuat, yang lebih memandang penting agama dalam hidupnya dan yang lebih sering mengikuti ibadah keagamaan dilaporkan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Tentu saja, salah satu alasan dari penemuan ini adalah karena agama memberikan arti pada tiap individu. Jelaslah bahwa agama juga dapat menghilangkan kecemasan yang ada dan rasa takut akan kematian. Meskipun demikian, perhatikan bahwa pemahaman tentang arti dan tujuan hidup tidak harus selalu dikaitkan dengan kepercayaan yang religius (McGregor & Little, 1998; Compton, 2000). h. Penyelesaian Konflik Dalam Diri Para peneliti telah menemukan bahwa semakin sedikit kepingan diri atau integrasi yang lebih baik dan kesesuaian antara berbagai aspek
dalam satu pribadi, maka semakin tinggi kesejahteraan subjektif seseorang (Donahue, Robins, Roberts & John, 1993). Maka dari itu, integrasi personal mungkin menjadi deskripsi yang lebih baik tentang apa yang dimaksud oleh prediktor kesejahteraan subjektif ini. B. Lanjut Usia (Lansia) 1. Pengertian Lanjut Usia (Lansia) Menurut Levinson (dalam Monks, 2002) dalam fase perkembangan usia lanjut itu berada dalam fase masa dewasa akhir berusia antara 60 tahun keatas. dalam arti tumbuh, bertambah besar, mengalami diferensiasi yaitu sebagai proses perubahan yang dinamis pada masa dewasa berjalan bersama dengan keadaan menjadi tua. Thomae (dalam Monks, 2002) berpendapat bahwa proses menjadi tua merupakan suatu struktur perubahan yang mengandung berbagai macam dimensi, yaitu: a. Proses biokemis dan fisiologis yang oleh Burger disebut sebagai proses penuaan yang primer, dalam daerah batas psikofisiologis; b. Proses fisiologis atau timbulnya penyakit-penyakit; c. Perubahan fungsional-psikologis; d. Perubahan kepribadian dalam arti sempit; e. Penstrukturan kembali dalam hal sosial psikologis yang berhubungan dengan bertambahnya usia; f. Perubahan yang berhubungan dengan kenyataan bahwa orang tidak hanya mengalami keadaan menjadi tua, melainkan bahwa seseorang juga mengambil sikap terhadap keadaan. Birren dan Schroots (dalam Monks, 2002) membedakan tiga proses sentral pada masa dewasa lanjut, yaitu :
a. Penuaan sebagai proses biologis (senescing); b. Menjadi senior dalam masyarakat atau penuaan sosial (eldering); c. Penuaan psikologis subjektif (geronting). Berdasarkan pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun (di negara berkembang) atau 65 tahun (di negara maju) yang telah mengalami proses menjadi tua dan karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosial. 2. Karakteristik Lanjut Usia a. Karakteristik fisik Papalia, Olds dan Feldman (2004) mengatakan bahwa pada masa lanjut usia, individu memiliki perubahan fisik, baik yang dapat terlihat maupun yang kurang dapat terlihat. Perubahan-perubahan fisik yang dapat terlihat tersebut antara lain kulit yang mengeriput dan kurang elastis serta rambut yang memutih, tubuh lansia juga terlihat lebih pendek karena tulang yang membungkuk dan menipis. Sedangkan perubahan fisik yang kurang dapat terlihat antara lain: 1) Penurunan berat otak yang semakin bertambah akibat hilangnya neuron dalam otak yang akhirnya menyebabkan penurunan koordinasi fisik maupun kognitif sehingga kemampuan merespon juga menurun. 2) Munculnya masalah pada alatalat indera, antara lain berupa kesulitan dalam mempersepsikan kedalaman atau warna ataupun kesulitan dalam membaca,
menjahit, dansebagainya. Kurang nya kemampuan mendengar suara dengan nada tinggi. Penurunan pada indera pengecap dan penciuman yang menyebabkan lansia kurang dapat menikmati makanan. Serta penurunan kekuatan dan keseimbangan sehingga sudah kurang mampu untuk melakukan aktivitas yang memerlukan tenaga besar dalam waktu yang lama. 3) Pada dasarnya kemampuan fungsi seksual dapat dijaga dengan aktivitas seksual yang konsisten selama bertahun-tahun. Hanya saja waktu yang diperlukan lebih lama pada lansia laki-laki untuk ereksi atau ejakulasi, sedang pada lansia perempuan, tanda-tanda rangsangan seksual akan menjadi kurang kuat dibanding sebelumnya. 4) Selain itu, lansia juga memiliki kecenderungan untuk mengalami dementia atau penurunan fungsi kognitif dan tingkah laku yang disebabkan karena perubahan fisiologis yang terjadi sejalan pertambahan usia. Salah satu jenis dementia yang biasanya dialami lansia adalah penyakit alzeimer (penurunan fungsi kognitif dan hilangnya kontrol terhadap fungsi tubuh akibat kelainan pada otak). Selain itu, lansia juga memiliki kecenderungan Parkinson dengan gejala tremor, kekakuan, pergerakan yang lambat dan postur yang tidak stabil akibat kelainan neurologis. b. Karakteristik Psikososial
Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2004) pada fungsi psikososial, lansia mengalami perubahan pada gaya hidup, hal ini dikarenakan pensiun dan waktu luang, pada hubungan sosial, serta pada hubungan konsensual, yaitu pernikahan, menjanda, ataupun hidup sendiri, individu pada masa lansia yang sebelumnya bekerja maka juga akan mengalami kehilangan identitas pada masa pensiunnya. Menurut Newman & Newman (2006), latihan fisik menjadi fokus dalam aktivitas waktu luang pada sejumlah lansia karena bermanfaat untuk kesehatan, kepercayaan diri dan semangat hidup. Aktivitas waktu luang pada lansia juga bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan akan persahabatan, kebutuhan untuk mengalami hal baru dan berbeda, untuk melepaskan diri dari tekanan dalam berhubungan dengan orang lain, untuk menemukan ketenangan dan keamanan, dan menemukan kesempatan memperoleh stimulasi intelektual, ekspresi diri, dan pelayanan (Tiensley et al. dalam Newman & Newman, 2006). Patterson (dalam Newman & Newman, 2006) mengatakan bahwa janda atau duda lansia yang terlibat dalam aktivitas luang memiliki tingkat stress yang lebih rendah dibanding mereka yang tidak, namun bukan berarti dengan begitu mereka tidak berduka, dan karena aktivitas sosial yang mereka lakukanlah yang membantu mereka merasa tidak terisolasi dan memberi mereka perasaan akan nilai sosial yang berlanjut. Salah satu tema penting pada
masa lansia adalah pada pengaturan tempat tinggal. Pada umumnya, lansia akan tinggal bersama anak dan cucunya atau tinggal di suatu institusi. Di negara berkembang, para lansia baik pria maupun wanita biasanya tinggal dengan anakanaknya dan cucu-cucunya (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Sedangkan menurut McFall & Miller (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2004) lansia yang memiliki resiko tinggi untuk tinggal di institusi adalah mereka yang hidup sendiri, yang tidak mengambil bagian dalam aktivitas sosial, yang memiliki keterbatasan kesehatan dan kemampuan, serta mereka yang memiliki keluarga yang terbebani dengan kehadiran mereka. Penelitian menunjukkan bahwa lansia biasanya melewatkan kesempatan untuk meningkatkan kontak sosial dan lebih puas dengan jaringan sosial yang lebih kecil (Papalia, Olds & Feldman, 2004) sehingga bagi lansia, hubungan personal menjadi hal yang penting, bahkan lebih dari sebelumnya, walaupun dalam hubungan sosial, umumnya kehidupan lansia diperkaya dengan kehadiran teman lama dan keluarga. Perubahan psikososial lain yang terjadi pada masa lansia adalah kehilangan pasangan. Umumnya, pria akan menikah lagi ketika kehilangan pasangan dibandingkan dengan wanita (Papalia, Olds & Feldman, 2004). Oleh karena itu, saat ini tidak heran apabila lebih banyak ditemukan lansia wanita yang hidup sendiri dan menjanda. C. Panti Jompo
1. Pengertian Panti Jompo Panti Jompo adalah tempat tinggal yang dirancang khusus untuk orang lanjut usia, yang di dalamnya disediakan semua fasilitas lengkap yang dibutuhkan orang lanjut usia (Hurlock, 1996). Menurut Santrock (2002) panti jompo merupakan lembaga perawatan atau rumah perawatan yang dikhususkan untuk orang-orang dewasa lanjut. Disana tersedia berbagai macam kebutuhan yang dibutuhkan oleh para orang-orang lanjut usia dan tersedia juga fasilitas kesehatan. Panti Jompo swasta didefinisikan sebagai usaha yang menyediakan akomodasi, perawatan, layanan makanan dan manajemen kesehatan bagi satu atau lebih orang lanjut usia (Nusantara, 2009). Panti Jompo merupakan unit pelaksanaan teknis yang memberikan pelayanan sosial bagi lanjut usia, yaitu berupa pemberian penampungan, jaminan hidup seperti makanan dan pakaian, pemeliharaan kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta agama, sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir batin (DEPSOS RI, 2003). 2. Keuntungan dan Kerugian Tinggal di Panti Jompo a. Keuntungan Menurut Hurlock (1996) Ada beberapa keuntungan yang akan didapat para lansia bila tinggal di Panti Jompo adalah sebagai berikut : 1) Perawatan dan perbaikan wisma dan perlengkapannya dikerjakan oleh lembaga; 2) Semua makanan mudah didapat dengan biaya yang memadai; 3) Perabotan dibuat untuk rekreasi dan hiburan;
4) Terdapat kemungkinan untuk berhubungan dengan teman seusia yang mempunyai minat dan kemampuan yang sama; 5) Kesempatan yang besar untuk dapat diterima secara temporer oleh teman seusia daripada dengan orang yang lebih muda; 6) Menghilangkan kesepian karena orang-orang di situ dapat dijadikan teman; 7) Perayaan hari libur bagi mereka yang tidak mempunyai keluarga tersedia di sini; 8) Ada kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi di masa lalu kesempatan semacam ini tidak mungkin terjadi dalam kelompok orangorang muda. b. Kerugian Selain mendapat beberapa keuntungan terdapat pula beberapa kerugian bila tinggal di Panti Jompo, diantaranya adalah : 1) Biaya hidup yang lebih mahal daripada tinggal di Rumah sendiri 2) Seperti halnya makanan di semua lembaga, biasanya kurang menarik daripada masakan rumah sendiri 3) Pilihan makanan terbatas dan seringkali diulang-ulang 4) Berhubungan dekat dan menetap dengan beberapa orang yang mungkin tidak menyenangkan 5) Letaknya seringkali jauh dari tempat pertokoan, hiburan dan organisasi masyarakat 6) Tempat tinggalnya cenderung lebih kecil daripada rumah yang dulu.
D. Subjective Well Being Pada Lansia Penghuni Panti Jompo Didalam panti jompo terkadang lansia mengalami beberapa masalah yang menyebabkan lansia merasa tidak betah didalam panti jompo masalah tersebut diantaranya adalah kesepian, keterasingan dari lingkungan, ketidakberdayaan, ketergantungan, kurang percaya diri, keterlantaran terutama bagi lansia yang miskin serta kurangnya dukungan dari anggota keluarga. Hal tersebut dapat mengakibatkan depresi yang dapat menghilangkan kebahagiaan, hasrat, harapan, ketenangan pikiran dan kemampuan untuk merasakan ketenangan hidup, hubungan yang bersahabat dan bahkan menghilangkan keinginan menikmati kehidupan sehari-hari. Sedangkan pada perubahan sosial antara lain terjadinya penurunan aktivitas, peran dan partisipasi sosial (Partini, 2002). Namun jika lansia penghuni panti jompo memiliki subjective well-being maka dapat membuat lansia menikmati kehidupan nya didalam panti jompo, karena individu yang memiliki subjective well-being yang tinggi pada umumnya memiliki sejumlah kualitas hidup yang mengagumkan (Diener, 2000), karena individu ini akan lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan lebih baik. Seseorang yang memiliki subjective well-being yang baik maka dia akan dengan mudah beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Dia akan cenderung lebih menikmati hidup karena dia menjalaninya dengan rasa bahagia tanpa tertekan dan selalu berfikir positif. Selain itu dia juga akan mdah berbaur dengan orang-orang disekitarnya sehingga dia akan merasa nyaman untuk tinggal dimana saja termasuk didalam panti jompo.
METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Metode studi kasus dalam penelitian ini untuk mengetahui gambaran subjective well- being pada lansia penghuni panti jompo. Dengan menggunakan metode studi kasus ini, peneliti berharap akan memperoleh suatu pemahaman subjective well- being pada lansia penghuni panti jompo. Punch (dalam Poerwandari, 2005) mengatakan bahwa studi kasus adalah fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context), meski batas – batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas. Dimana kasus itu dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau bahkan suatu bangsa. Kasus dapat pula berupa keputusan, kebijakan, proses, atau suatu peristiwa khusus tertentu. Stake (dalam Basuki, 2006) menjelaskan bahwa nama studi kasus ditekankan oleh beberapa peneliti karena memfokuskan tentang apa yang dapat dipelajari secara khusus pada kasus tunggal. Penekanan studi kasus adalah memaksimalkan pemahaman tentang kasus yang dipelajari dan bukan untuk mendapatkan generalisasi. B. Subjek Penelitian Subyek penelitian ini adalah seorang lansia (lanjut usia). Jumlah subjek dalam penelitian ini berjumlah satu orang subjek dan satu orang significant other. C. Tahap-tahap Penelitian Tahap persiapan dan pelaksanaan yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi beberapa tahap, antara lain: 1. Tahap Persiapan Penelitian
Langkah awal yang dilakukan oleh peneliti adalah membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan teoriteori yang relevan dengan masalah penelitian ini. Pedoman wawancara ini berisi pertanyaan-pertanyaan mendasar yang nantinya dapat berkembang dalam wawancara. Pedoman wawancara yang telah disusun, sebelum digunakan dalam wawancara dikonsultasikan terlebih dahulu dengan yang lebih ahli atau significant other yang dalam hal ini adalah dosen pembimbing, peneliti melihat perbaikan terhadap pedoman wawancara dan mempersiapkan diri untuk melakukan wawancara. Karena peneliti telah mendapatkan subjek, selanjutnya peneliti membuat kesepakatan dengan subjek dan mengatur waktu serta tempat pertemuan selanjutnya untuk melakukan wawancara berdasarkan pedoman yang telah dibuat. Peneliti juga perlu mempersiapkan tape recorder yang akan digunakan untuk merekam jalannya wawancara agar semua informasi akurat tidak ada yang terlupakan. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan beberapa prosedur yang meliputi: a. Peneliti menentukan siapa subjek yang ingin diteliti, Peneliti menghubungi subjek dengan maksud untuk memperkenalkan diri, kemudian peneliti menanyakan kepada subjek mengenai waktu, tanggal sdan tempat diadakannya pertemuan, sehingga subjek dapat menyesuaikan dan memilih jadwal yang tidak mengganggu kesibukan subjek, Peneliti menemui subjek dan memperkenalkan diri secara langsung, Peneliti kemudian membuat janji untuk pertemuan berikutnya dengan subjek, Sebelum pertemuan kedua, peneliti menghubungi subjek kembali untuk memastikan pertemuan yang telah
direncanakan, Pertemuan kedua peneliti mulai melakukan wawancara dan observasi yang digunakan untuk pengumpulan data, Setelah observasi dan wawancara dilakukan, peneliti menulis dan memeriksa kembali hasil penelitian. D. Teknik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. 1. Metode Wawancara Menurut Banister dkk (dalam Poerwandari, 1998) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Kartono (dalam Basuki, 2006) mendefinisikan wawancara sebagai suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, merupakan tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap – hadapan secara fisik. Menurut Walgito (1991) ada beberapa macam jenis wawancara, yaitu wawancara bebas (free interview), wawancara terpimpin (guided interview), dan wawancara bebas – terpimpin. 1) Wawancara bebas Merupakan bentuk wawancara dimana orang yang diwawancarai diberi kebebasan dalam mengemukakan pendapat, dalam berbicara. Situasinya merupakan situasi yang bebas. 2) Wawancara terarah Wawancara yang dituntun atau diarahkan oleh peneliti atau pewawancara. Peneliti membacakan pertanyaan – pertanyaan yang pada umumnya sudah disiapkan dalam bentuk tertulis, sehingga seakan – akan merupakan bentuk kuesioner yang dibacakan. Karena itu
situasinya merupakan situasi yang kurang bebas, kurang alami dan jalannya wawancara agak kaku.
3) Wawancara bebas – terpimpin Merupakan kombinasi dari wawancara bebas dan wawancara terpimpin. Dalam wawancara ini kebebasan juga diberikan, dalam arti yang diwawancarai dapat memberikan jawaban dalam situasi bebas, tapi peneliti juga mengendalikan, peneliti memberikan arah dari wawancara. Dalam penelitian ini akan digunakan tipe wawancara bebas-terpimpin. Wawancara bebas-terpimpin kebebasan juga diberikan, dalam arti yang diwawancarai dapat memberikan jawaban dalam situasi bebas, tapi peneliti juga mengendalikan, peneliti memberikan arah dari wawancara. 2. Metode Observasi Menurut Kartono (dalam Heru Basuki, 2006) pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: “studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala – gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan”. Tujuan observasi mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas – aktivitas yang berlangsung, orang – orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut (Poerwandari, 1998). Observasi juga bertujuan untuk mengerti ciri – ciri dan luasnya signifikansi dari inter relasinya elemen – elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba kompleks dalam pola – pola kulturil tertentu (Kartono dalam Basuki, 2006). Dalam observasi dikenal ada beberapa macam atau jenis observasi, yaitu (Walgito, 1991):
1) Observasi partisipasi Merupakan observasi yang observer atau peneliti ikut ambil bagian dalam situasi atau keadaan yang akan diobservasinya, observer ikut sebagai pemain tidak hanya sebagai penonton. Dalam observasi jenis ini, observer atau peneliti dapat mengungkap hal – hal yang cukup mendalam, karena peneliti atau observer sudah tidak menimbulkan kecurigaan bagi yang diobservasinya. 2) Observasi non-partisipasi Observasi jenis ini merupakan kebalikan dari observasi jenis partisipasi. Dalam observasi ini observer atau peneliti tidak ikut ambil bagian secara langsung dalam situasi yang ditelitinya. Peneliti tidak sebagai pemain, tetapi sebagai penonton. Pada observasi jenis ini pada umumnya observer atau peneliti tidak dapat mengungkap hal – hal yang mendalam seperti yang dapat terjadi pada observasi partisipasi. Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode observasi non partisipasi. Dalam observasi ini observer atau peneliti tidak ikut ambil bagian secara langsung dalam situasi yang ditelitinya. Peneliti tidak sebagai pemain, tetapi sebagai penonton. E. Alat Pengumpul Data Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini berupa pedoman wawancara, pedoman observasi, alat perekam dan alat tulis. 1. Pedoman Wawancara Berupa kertas yang berisikan beberapa garis besar tentang pertanyaan yang akan diajukan kepada subyek, agar tidak meluasnya pembahasan dan menyebar kepada hal-hal yang tidak relevan sehingga
wawancara tidak lagi sesuai dengan tujuan penelitian. 2. Pedoman Observasi Alat pencatatan yang digunakan peneliti dalam observasi ialah sebuah daftar berisi jenis – jenis gejala yang akan diamati. Hal ini dimaksudkan agar observer lebih mudah dalam melakukan observasi. 3. Alat Perekam dan Kaset Alat perekam digunakan untuk merekam informasi saat wawancara berlangsung. Alat perekam digunakan dalam upaya mengatasi keterbatasan peneliti dalam mengingat dan mencatat informasi yang diperoleh saat wawancara. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan sepengetahuan dan persetujuan dari subjek. 4. Alat Tulis Alat tulis yang digunakan adalah buku tulis, pensil, pulpen, dan penghapus. Dengan tujuan untuk mencatat semua data dan informasi dalam penelitian F. Keakuratan Penelitian Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) triangulasi dapat dibedakan menjadi empat bagian yaitu: 1. Triangulasi data, yakni menggunakan berbagai sumber data seperti hasil wawancara, atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda dengan melakukan perbandingan antara data subjek I dan subjek II. 2. Triangulasi penelitian, yakni adanya pengamat diluar peneliti yang turut memeriksa hasil pengumpulan data. Dalam penelitian ini dosen pembimbing bertindak sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data. 3. Triangulasi teori, yakni digunakannya berbagai teori untuk
memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat penelitian. 4. Triangulasi metodologis, yakni dipakainya beberapa metode yang berbeda untuk meneliti suatu hal yang sama. Seperti metode wawancara dan metode observasi, Dalam penelitian ini peneliti menggunakan keempat triangulasi dikarenakan peneliti melakukan seluruh trianggulasi yang ada. G. Teknik Analisa Data Proses analisis dapat melibatkan konsep – konsep yang muncul dari jawaban atau kata – kata responden sendiri maupun konsep – konsep yang dikembangkan atau dipilih peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Kata – kata kunci dapat diambil dari istilah yang dipakai oleh responden sendiri, yang oleh peneliti dianggap benar – benar tepat dan dapat mewakili fenomena yang dijelaskan (Poerwandari, 1998) Menurut Poerwandari (1998) tahapan analisis data meliputi : 1. Organisasi Data Pengolahan dan analisis data sesungguhnya dimulai dengan mengorganisasikan data (Poerwandari, 1998). Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik dan dapat mendokumentasikan analisis yang diberikan. 2. Koding dan Analisis Langkah selanjutnya adalah melakukan koding dan analisis. Koding dimaksudkan untuk memberi kode – kode pada materi yang diperoleh agar memudahkan dalam proses pengorganisasian dan mensistematisasi data
secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 1998)
3. Analisa Tematik Setelah peneliti melakukan penyusunan koding, peneliti akan melakukan langkah berikutnya yaitu analisis tematik. Menurut Boyatzis (dalam Poerwandari, 1998) analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah – olah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Setelah peneliti menemukan pola (seeing), peneliti akan mengklasifikasikan atau men ‘encode’ pola tersebut (seeing as) dengan label, definisi atau deskripsi. Tujuan utama dari analisis ini adalah untuk memberi atau membuat makna terhadap materi – materi yang secara awam terlihat tidak saling terkait. Dalam menganalisa data pada penelitian ini, peneliti melakukan langkah – langkah sebagai berikut: a. Mengumpulkan data mentah (catatan dan rekaman hasil wawancara dan observasi). b. Merubah hasil wawancara dan observasi ke dalam bentuk transkrip kata demi kata. c. Membaca kembali transkrip dengan teliti dan mengidentifikasi tema – tema yang muncul. d. Memberikan kode – kode pada transkrip berdasarkan tema - tema yang muncul. e. Mencari hubungan di antara tema – tema tersebut; f. Menulis laporan berdasarkan hubungan yang terdapat di dalam tema – tema tersebut. g. Kemudian menarik kesimpulan pada setiap data, disesuaikan dengan karakteristik dan banyaknya data yang
telah didapat dari proses wawancara dan observasi.
HASIL DAN ANALISIS Pembahasan Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan dengan subjek dan significant other telah didapat data dan disimpulkan bahwa subjek memang mendapatkan dukungan dari keluarga. Oleh karena itu berdasarkan analisis di atas dapat dibuat pembahasan mengenai subjective well-being pada lansia penghuni panti jompo. 1. Gambaran subjective well-being pada lansia penghuni panti jompo a. Kepuasan hidup Kepuasan hidup yang didapat subjek berupa kepuasaan dalam berkarir dengan prestasi yang didapat dalam pekerjaannya yaitu ketika subjek memenangkan sebuah tender yang lumayan besar, subjek diberikan kepercayaan pada perusahaan tempat subjek berkerja. dan dapat mengantarkan semua anak – anak mendapatkan kerjaan yang bagus, dan memiliki keluarga. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan significant other tentang kepuasan hidupnya, yaitu adalah saat subjek membicarakan prestasi kerjanya yaitu mampu memenangi tender, dan subjek merasa bangga karena dapat menolong teman-temanya serta berusaha untuk memberika yang terbaik kepada teman-temanya, Selain itu subjek juga berusaha untuk berguna didalam panti dan menolong
teman pantinya yang sedang membutuhkan pertolongan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (2000) tentang kepuasan hidup merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalaman yang disertai dengan tingkat kegembiraan. Kepuasan hidup timbul dari pemenuhan kebutuhan atau harapan dan merupakan penyebab atau sarana untuk menikmati. b. Afeksi positif Afeksi positif pada subjek cukup tinggi karena subjek sering kali merasakan emosi yang positif, memiliki banyak teman dan berusaha untuk berguna oleh orang lain, semangat dalam menjalankan hidup seperti tidak mudah berburuk sangka, dan menjaga hubungan baik dengan orang lain, tidak mengecewakan orang lain dan berusaha tidak menyakiti orang lain, kuat dan aktif dalam menjalankan hidupnya, pernyataan ini sesuai dengan apa yang dikatakan significant other, Menurut significant other, subjek termasuk orang yang sangat perhatian, jarang marah, dan pemaaf, itu dilihat dari apabila ada temannya yang sakit, subjek suka menjenguk dan memberi dukungan moril, agar cepat sembuh, subjek juga banyak teman-temannya di dalam panti, karena suka negur, dan cepat akrab dengan orang di sekitar panti. Hal ini sesuai dengan pendapat Diener dan Larsen (1984) bahwa afeksi positif Seseorang dapat dikatakan memiliki Subyective WellBeing yang tinggi jika mereka sering kali merasakan emosi yang positif seperti penuh perhatian, tertarik, waspada, bersemangat, antusias,
terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif. c. Afeksi negatif Afeksi negatif pada subjek tidak terlalu muncul dan dapat diatasi oleh subjek, walau dapat diatasi namun subjek tetap merasa wajar untuk merasakan sedih, pada saat subjek kehilangan istrinya, dan subjek merasa gelisah ketika subjek tidak dapat menyelesaikan pekerjaanya sehingga mengecewakan orang lain, namun subjek mengatasinya dengan cara mengerjakan pekerjaannya dengan serius dan secepat mungkin untuk menyelesaikannya. Dan sesuai dengan significant other karena menurut significant other, subjek jarang terlihat murung atau sedih, bermusuhan, mudah marah, takut, malu, merasa bersalah dan gelisah. Jadi hal ini sesuai dengan pendapat Diener dan Larsen (1984) bahwa Seseorang dapat dikatakan memiliki Subyective Well-Being yang tinggi jika mereka jarang sekali mengalami emosi yang negatif, seperti sedih, bermusuhan, mudah marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah. 2. Subjective well-being dialami oleh lansia penghuni panti jompo a. Optimisme Subjek termasuk orang yang terbuka, sebab di waktu subjek ada masalah subjek sering berbagi cerita dengan teman-temannya, di samping itu subjek sangat optimis dengan kehidupannya, subjek merasa tidak ada hal yang tidak mungkin, selama kita masih tetap mau untuk mencoba sesuatu walaupun subjek pernah gagal dan subjek selalu berfikir bahwa segala masalah pasti ada jalan keluarnya, pernyataan ini sama dengan significant other,bahwa
subjek adalah orang yang semangat dan jarang mengeluh, sebab bila subjek sedang mengerjakan sesuatu seperti membersihkan kamarnya, pekerjaannya langsung di tuntaskan, tidak ditinggalkan. Jadi hal ini sesuai dengan pendapat Diener (1999) Pada umumnya, orang yang lebih optimis tentang masa depannya dilaporkan merasa lebih bahagia dan puas atas hidupnya, dan mengevaluasi dirinya secara positif beranggapan bahwa dia dapat mengendalikan aspek-aspek penting dalam hidupnya, dan orang yang berhasil dalam berinteraksi tampaknya akan memandang masa depan dengan penuh harapan. b. Kontak sosial Tinggal di dalam panti jompo menurut subjek juga banyak hal-hal yang menarik dan membuat saya betah, seperti ketika subjek mengalami kesulitan, banyak teman subjek yang tinggal di panti jompo untuk menolong nya karena subjek juga banyak bergaul di dalam lingkungan sosialnya. Subjek juga tidak memilih-milih dalam berteman dan subjek juga suka dengan suasana yang ramai dan teman subjek selalu ada ketika subjek membutuhkannya, hal ini sesuai dengan significant other menurut significant other subjek termasuk orang yang penyabar, bila ada masalah subjek tidak terlalu panik dalam menyelesaikan masalahnya. Didalam panti jompo subjek tidak ada masalah dengan teman-temannya, seperti permusuhan sesama penghuni panti jompo, hal ini sesuai dengan pendapat Middlebrook (1980) bahwa pada umumnya bahwa kebanyakan orang lebih ingin bersama orang lain ketika mereka merasa bahagia. Karena kontak sosial yang positif
tampaknya juga dapat meningkatkan kesejahteraan, hubungan antara kesejahteraan subjektif dan hubungan sosial yang positif dapat bersifat timbal balik.
c. Pemahaman tentang arti dan tujuan Subjek termasuk orang yang sabar, karena subjek sadar dirinya sudah tua, sehingga subjek tidak terlalu memikirkan siapa saja yang berbuat salah dengan dirinya,. Selain itu subjek rajin beribadah dan subjek selalu berusaha agar shalatnya tidak tertinggal, subjek selalu bersabar ketika subjek menghadapi masalah dan memaafkan kesalahan orang lain. Pernyataan ini sesuai dengan significant other karena juga bercerita tentang keimanan subjek yang kuat, buktinya dilihat dari ibadahnya yang tidak pernah di tinggalnya, malah subjek suka mengajak temannya untuk beribadah bareng, katanya bila selesai beribadah akan merasa tenang Hal ini sesuai dengan pendapat McGregor & Little (1998) dan Compton (2000) bahwa agama memberikan arti pada tiap individu. Jelaslah bahwa agama juga dapat menghilangkan kecemasan yang ada dan rasa takut akan kematian. Meskipun demikian, perhatikan bahwa pemahaman tentang arti dan tujuan hidup tidak harus selalu dikaitkan dengan kepercayaan yang religius. d. Harga diri Subjek merasa bangga dengan hidupnya dikarenakan subjek dapat menolong teman-temanya, subjek pun telah dapat membesarkan anak-anaknya hingga menjadi
dewasa dan dapat menghidupi dirinya sendiri berserta keluarganya. Pernyataan ini sesuai dengan significant other yang bercerita bahwa subjek suka membantu teman-teman di panti jompo dan keberhasilan subjek dalam membesarkan anak-anak nya. Hal ini sesuai dengan pendapat Campbell (1981), harga diri yang tinggi membuat seseorang memiliki beberapa kelebihan termasuk pemahaman mengenai arti dan nilai hidup, maka jelaslah bahwa harga diri merupakan prediktor kesejahteraan subjektif dan juga pedoman penting terhadap hubungan inter personal. e. Sifat Terbuka Subjek adalah seorang yang terbuka, setiap mengalami masalah subjek seringkali bercerita dengan penghuni yang lain, selain itu subjek sangat suka membuka pembicaraan dan subjek tidak segan untuk menegur orang lain walaupun subjek tidak mengenal orang tersebut. Pernyataan ini sesuai dengan significant other yang bercerita bahwa subjek adalah seorang yang terbuka yang tidak segan untuk menceritakan masalah yang sedang dia hadapi terhadap orang lain dan subjek merupakan orang yang mudah bergaul dan memiliki banyak teman. Hal ini sesuai dengan pendapat Costa & McCrae (1986), bahwa sifat terbuka dipergunakan untuk memprediksi tingkat kebahagiaan. f. Rasa tentang pengendalian yang bisa diterima Subjek adalah seorang yang sabar dikarenakan subjek suka memaafkan kesalahan orang lain dan subjek tidakpernah memikirkan kesalahan orang lain karena subjek
sadar kalau dirinyapun tidak luput dari kesalahan. Pernyataan ini sesuai dengan significant other yang bercerita bahwa subjek adalah sorang yang pemaaf dan jarang sekali terlihat marah. Hal ini sesuai dengan pendapat Ryan & Deci (2000) Perasaan untuk memiliki pengendalian personal dapat diartikan sebagai kepercayaan bahwa seseorang memiliki beberapa tolak ukur pengendalian atas kejadiankejadian dalam hidup yang penting bagi dirinya. g. Hubungan yang positif Subjek memiliki hubungan baik dengan orang lain, subjek berusaha untuk berguna dengan orang lain dan subjek berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain. Pernyataan ini sesuai dengan significant other yang bercerita bahwa subjek tidak memiliki masalah dengan penghuni lainya dan hubungan subjek dengan keluarganya baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Diener, Oishi & Lucas, (2003) Hubungan yang positif antara kesejahteraan subjektif yang tinggi dan kepuasan terhadap keluarga serta teman adalah salah satu dari sedikit hubungan yang ditemukan secara universal dalam berbagai studi lintas budaya mengenai kesejahteraan. PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang di dapat dari penelitian ini: 1. Gambaran subjective well-being pada lansia penghuni panti jompo Gambaran subjective well-being pada lansia penghuni panti jompo adalah kepuasaan hidup seperti terlihat pada subjek dalam berkarir dengan prestasi
yang didapat dalam pekerjaannya yaitu ketika subjek memenangkan sebuah tender yang lumayan besar, subjek diberikan kepercayaan pada perusahaan tempat subjek berkerja. dan subjek dapat mengantarkan semua anak – anaknya mendapatkan kerjaan yang bagus, dan telah memiliki keluarga. Selain itu afeksi positif pada subjek cukup tinggi karena subjek sering kali merasakan emosi yang positif, subjek cukup siaga contohnya seperti: memiliki banyak teman dan berusaha untuk berguna oleh orang lain, semangat dalam menjalankan hidup seperti: tidak mudah berburuk sangka, dan menjaga hubungan baik dengan orang lain, tidak mengecewakan orang lain, dan berusaha tidak menyakiti orang lain. Sedangkan Afeksi negatif pada subjek tidak terlalu muncul dan dapat diatasi oleh subjek, walau dapat diatasi namun subjek tetap merasa wajar untuk merasakan sedih, pada saat subjek kehilangan istrinya, dan subjek merasa gelisah ketika subjek tidak dapat menyelesaikan pekerjaanya sehingga mengecewakan orang lain, namun subjek mengatasinya dengan cara mengerjakan pekerjaannya dengan serius dan secepat mungkin untuk menyelesaikannya. 2. Mengapa subjective well-being yang tinggi dialami oleh lansia penghuni panti jompo Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa Subjective well-being dialami oleh lansia penghuni panti jompo terdiri dari delapan prediktor Subjective wellbeing namun yang jelas ada tujuh prediktor yang keluar yaitu Optimisme, subjek sangat optimis dengan kehidupannya, subjek merasa tidak ada hal yang tidak mungkin, selama kita masih tetap mau untuk mencoba sesuatu, walaupun subjek pernah gagal dan subjek selalu berfikir bahwa segala
masalah pasti ada jalan keluarnya. Subjek juga memiliki sifat terbuka, jika subjek memiliki masalah begitu juga sebaliknya subjek selalu bercerita dengan teman-temanya. Hal ini dibuktikan dengan teman subjek selalu ada ketika subjek membutuhkanya begitu juga sebaliknya. Selain itu, subjek tidak memilih-milih dalam berteman dan juga banyak bergaul didalam lingkungan sosialnya serta menyukai suasana yang ramai. Subjek termasuk orang yang sabar, karena subjek sadar dirinya sudah tua, sehingga subjek tidak terlalu memikirkan siapa saja yang berbuat salah dengan dirinya,. Selain itu subjek rajin beribadah dan subjek selalu berusaha agar shalatnya tidak tertinggal, subjek selalu bersabar ketika subjek menghadapi masalah dan memaafkan kesalahan orang lain. B. Saran 1. Saran untuk Subjek Dalam penelitian ini peneliti ingin memberikan saran kepada subjek agar subjek tetap optimis, selalu terbuka dengan penghuni lain, mempertahankan perasaan bangga terhadap hidupnya, berteman baik dengan penghuni lainya, rajin beribadah dan sabar dalam menjalani hidupnya didalam panti jompo. 2. Saran untuk keluarga Bagi keluarga diharapkan memperhatikan subjek, sebisa mungkin meluangkan waktu untuk mengunjungi subjek, dan selalu memotivasi agar subjek bisa menikmati hidup, sehingga tidak terlalu memikirkan anak cucunya. 3. Saran untuk panti jompo Saran untuk panti jompo terkait, untuk selalu meningkatkan pelayanan kesehatannya, dan petugas panti agar dapat lebih berbaur dengan penghuni panti jompo, sehingga dapat
memunculkan suasana kekeluargaan didalam panti jompo tersebut. 4. Saran untuk penelitian berikutnya Untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan subjek lansia wanita, lansia yang tinggal di rumah anakanaknya, ataupun lansia yang hidup sendirian. DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi. (2002). Psikologi sosial. Jakarta: Rieneka Cipta Brickman. Alky.
(2009). Subjective well-being. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2 009/11/subjective-well-being/ Akses 24 September 2010
Arbiyah, N., Imelda, F. N., & Oriza. I. D. (2007). Hubungan bersukur dan subjective well being pada penduduk miskin. Fakultas kesehatan masyarakat Universitas Indonesia. Basuki, Heru. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta: Penerbit Universitas Gunadarma. DEPSOS RI. (2003). Rencana aksi nasional untuk kesejahteraan lanjut usia. Jakarta : Departemen Sosial Republik Indonesia. Diener, E.,& Larsen, R. J. (1984). Temporal stability and cross-situatuonal consistency of cognitive, afective, and behavioral responses. Journal of Personality and social psychology. Vol I, 43-102 Diener, E.,& Lucas, R. E. (1999). Subjective well-being : three decades of progress1967 to 1997. Psychological Bulletin. Vol II, 35-44
Diener. (1999). Subjective well-being : three decades of progress. Journal of Personality and social psychology. Vol III, 25-39 Diener, E. (2000). The optimum level of well-being : can people be too happy. Department of Psychology University of Virginia Fitryan & Novriyadi. (2010). Merajut hari tua di panti werdha http://www.tnol.co.id/id/spiritualpsychology/5866-merajut-hari-tuadi-panti-werdha.html. Akses 16 Maret 2011. Hurlock, E. B. (1993). Perkembangan anak (6th ed). Terj. Tjandra M. M. Jakarta: Erlangga Ihromi, T.O. (1999). Bunga rampai sosiologi keluarga. Jakarta : Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, L. J. (2005). Metodologi penelitian kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muba, W. (2009). Predictors of subjective wellbeing. Journal of positive psychological Assessment. Vol I, 2435 Murjanta, H.S. (1998). Masalah lansia nasional: Pensiun tidak harus di usia 56 tahun www.sinarharapan.co.id/berita/0406/ 24/nas09.html -26k -SH/stevani elizabeth. Diakses 20 Juli 2008. Papalia, D.E., Olds, S.W.,& Feldman, R.D. (2004). Human development (8th
ed). Boston, USA : McGraw - Hill Companies.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam peneliatian psikologi. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia. Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. LPSP 3: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Peorwandari, E. K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia. Santrock, W. J. (2002). Life span development, (5th ed). Jilid 1, terj. Damanik. Jakarta: Erlangga. Taylor.
(1999). Panti jompo. www.amalmulia.com/2007/11/06/pa nti-jompo/ - 18k. Akses 20 Juli 2008
Walgito, B. (1991). Psikologi Yogyakarta: Andi Offset.
sosial.
Wibowo, S. (2009). Sehat di usia lanjut. http://www.rajawana.com/artikel/kes ehatan/ 326- permasalahan-lanjutusialansia.htmlhttp://www.kapanlagi.co m/h/0000118501.html Akses 13 Juli 2010