BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat dipisahkan dari apa yang dinamakan komunikasi. Kita tidak dapat hidup tanpa komunikasi, dari bangun tidur sampai akan tidur semua orang memerlukan komunikasi. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan yang disampaikan agar orang lain mengetahui maksud yang kita inginkan. Di dalamnya memerlukan unsur adanya pemberi informasi, pesan yang akan disampaikan, penerima informasi, media yang digunakan, dan respon atau feedback yang diharapkan. Seperti yang dijelaskan berikut oleh Hargie dan Dixon dikutip dari Arianto (2013 : 2) dikatakan bahwa : Communication is central to our everyday functioning and can be the very essence of the human condition. As so aptly put by Hybels and Weaver (1998, Without the capacity for sophisticated channels for sharing our knowledge, both within and between generations, our advanced civilization would not exist. Manusia memerlukan komunikasi untuk berinteraksi dan membangun relasi atau hubungan dengan orang lain. Sehingga tanpa komunikasi, manusia tidak akan diakui keberadaannya dan mungkin tidak dapat hidup di dunia ini. Karena komunikasi melibatkan hubungan antar manusia yang memiliki persamaan pemahaman. Sama halnya dalam dunia kesehatan, komunikasi sangat diperlukan oleh profesi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada pasien dan masyarakat yang membutuhkan. Profesi dokter merupakan profesi yang menuntut keahlian yang tidak semua orang dapat mempelajarinya dengan mudah, pertanggungjawaban kemanusiaan moril dan akherat menjadi tujuan akhir dari sisi mulia dokter. Tetapi untuk saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan medis dan pengabdian profesi dokter di masyarakat. Pada umumnya
1
2
ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien terhadap pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh para dokter, atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang didapatkan oleh pasien. Padahal dari sisi lain, dokter merasa sudah melakukan pengobatan secara optimal sesuai dengan keilmuan yang telah dimilikinya. Adanya perbedaan persepsi ini dikarenakan harapan pasien yang sangat besar untuk sembuh dari penyakitnya, tetapi yang mereka dapatkan tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Hal inilah yang sering menyebabkan adanya kesalahpahaman yang terjadi antara dokter dengan pasien sehingga menimbulkan sengketa medis. Seperti yang disampaikan oleh dr. Khie Chen, salah satu anggota Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), dalam Dianne Berry (Arianto, 2013 : 5) yang mengemukakan bahwa: Sengketa medis lebih sering disebabkan kesenjangan persepsi antara dokter dan pasien yang merasa kurang puas dengan proses atau hasil pengobatan yang dilakukan, hal ini terjadi karena adanya ekspektasi yang berlebihan dari pasien terhadap dokter, adanya perbedaan bahasa, makna pesan dokter dengan pasien, dan atau ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi yang empatik . Adanya dua contoh kasus yang merebak di media nasional dan menjadi sorotan masyarakat yang timbul karena perbedaan persepsi maupun ketidaksiapan dokter untuk menjalin komunikasi yang empatik. Kasus pertama adalah Prita yang terkena kasus hukum karena mengeluhkan sikap dokter dan rumah sakit yang tidak menghargai haknya sebagai pasien. Pritha dalam hal ini sebagai pasien merasa dibohongi oleh dokter dan RS Internasional Omni pada saat periksa dan dirawat di rumah sakit tersebut. Keinginannya sebagai pasien untuk memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional tidak dia dapatkan. Dalam tulisan Iskandarjet tentang Kronologi Kasus Prita Mulyasari (Kompasiana, 3 Juni 2009 diakses pada tanggal 15 November 2014) dikatakan bahwa Pritha merasa kecewa karena dokter menyalahkan bagian laboratorium karena adanya revisi hasil trombosit yang membuatnya tidak seharusnya dirawat di rumah sakit.
3
Terlihat dari kasus Pritha bahwa Dokter menganggap bahwa apa yang dilakukan sudah sesuai dengan standar operasional yang berlaku yaitu dengan menginformasikan bahwa telah terjadi kekeliruan hasil pemeriksaan, tetapi pada sisi Pritha, hal ini sangat mengecewakannya karena dari hasil yang keliru tersebut menyebabkan penyakitnya tidak sembuh justru berakibat pada keluhan yang semakin berat. Tidak adanya niat baik dari dokter maupun rumah sakit untuk merespon apa yang dikeluhkan oleh Pritha, sehingga yang dia lakukan akhirnya melalui media online menulis keluhan atas pelayanan diberikan pihak rumah sakit sampai akhirnya menjadi berita fenomenal di Indonesia. Kasus kedua, dokter Ayu dan kawan-kawan keluarga pasien karena profesi mulianya tersebut. Kasus ini terjadi karena dokter merasa sudah melakukan prosedur yang benar sesuai dengan standar medis kedokteran, tetapi menurut keluarga pasien merasa bahwa ketiadaan informasi dari dokter tentang bagaimana dan tindakan apa yang sudah dilakukan, sehingga pembiaran terhadap kondisi pasien yang menurut keluarga pasien menjadi penyebab pasien meninggal. Keluarga Julia Fransiska Maketey menggugat dr. Ayu dan kawankawan ke pengadilan negeri, karena diduga terjadi pembiaran pasien selama delapan jam tanpa tindakan apapun sehingga menyebabkan pasien Julia meninggal dunia. Dan hasil persidangan di tingkat kasasi memutuskan ketiga dokter itu divonis 10 bulan penjara Vonis ini tidak akan terjadi apabila dr. Ayu dan kawan-kawan melakukan komunikasi kepada keluarga pasien dengan memberikan informasi tentang kondisi pasien yang sebenarnya dan tindakan apa yang telah dilakukan, karena sesuai standar prosedur operasional rumah sakit, proses edukasi kepada pasien dan keluarganya wajib dilakukan sebelum tindakan diberikan. Hal inilah yang menyebabkan keluhan muncul dan gugatan dilakukan karena timbulnya persepsi keluarga pasien mengenai dugaan malpraktek. Dokter dan pasien memiliki perspektif sangat berbeda pada faktorfaktor yang mereka pandang sebagai hal paling mendasar dalam komunikasi dokter-pasien. Sebagai mana dipaparkan dalam suatu hasil penelitian sederhana yang dilakukan oleh Paling dalam Berry (2007 : 43) dengan meminta para
4
dokter dan pasien untuk mengungkapkan pandangan mereka tentang dokter yang baik, dan hasilnya adalah : was the most important quality of a good doctor, whereas the patients said that important aspect. This latter aspect was rated as being least important by the doctors. Dikatakan di sini bahwa p yang dalam hal ini pemeriksaan medis dengan menggunakan hasil pemeriksaan penunjang yang mendukung pelayanan seperti laboratorium dan radiologi
adalah kualitas paling penting dari seorang dokter yang baik.
Sedangkan pasien mengatakan
dalah aspek yang
paling penting, dimana dokter menjadi pendengar yang baiklah sangat diharapkan pasien, agar dokter dapat mengerti keluhan yang disampaikan oleh pasien, sehingga dengan mendengarkan pasien, maka dokter akan dapat memberikan pengobatan yang terbaik kepada pasien. Di samping perbedaan persepsi dalam komunikasi dokter dengan pasien, faktor ketidaksiapan dokter dalam menjalin komunikasi yang empatik juga disebabkan karena keterbatasan waktu dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Asdawati (2014 : 3-5) yang mengatakan bahwa 67% dari 200 responden atau sebanyak 134 responden menghabiskan waktu selama 6
10 menit ketika berkonsultasi atau menjalani
pengobatan. Padahal lama waktu yang ideal digunakan dalam layanan konsultasi dan pengobatan oleh dokter terhadap pasien seharusnya berkisar 20 menit. Hal ini terjadi karena jumlah pasien yang relatif banyak sedangkan dokter yang melayani di setiap poliklinik hanya satu orang. Selain itu, dokter yang melayani sering datang terlambat sehingga akan semakin mengurangi ketersediaan waktu melayani pasien. Pasien rumah sakit adalah konsumen. Secara umum pasien dilindungi dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam pasal 4 yang menyebutkan bahwa ada hak-hak konsumen antara lain bahwa diantaranya pasien mempunyai : Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak untuk
5
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Perlindungan hak pasien juga tercantum dalam Bagian Keempat Hak Pasien pasal 32 Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu diantaranya adalah bahwa setiap pasien berhak untuk memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; informasi tentang hak dan kewajiban pasien; memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
memperoleh
layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit; mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya; mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan pasien berhak untuk mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan kalau merujuk Konsil Kedokteran Indonesia (2006 : 20) disampaikan bahwa kewajiban Dokter/ Dokter Gigi dalam memberikan pelayanan kepada pasien diantaranya adalah : memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, dan melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas mampu melakukannya.
6
Tetapi selama ini yang terjadi, dalam hubungan dokter dan pasien terdapat hambatan komunikasi yang menyebabkan kegagalan komunikasi dan menimbulkan ketidakpuasan dari salah satu pihak. Menurut Assauri dikutip dari Nova (2010 : 14) dikatakan bahwa : ada umumnya pasien yang merasa tidak puas akan mengajukan komplain pada pihak rumah sakit. Komplain yang tidak segera ditangani akan mengakibatkan menurunnya kepuasan pasien terhadap kapabilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit tersebut. Konsumen umumnya mengharapkan produk berupa barang atau jasa yang dikonsumsi dapat diterima dan dinikmatinya dengan pelayanan yang baik atau memuaskan Buruknya pola komunikasi para dokter diakui oleh Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng Muhammad Faqih dalam tulisan Rosmha tentang Kasus dr. Ayu, Cermin Buruknya Pola Komunikasi Dokter (Kompas.com, 27 November 2013 diakses pada tgl. 27 Agustus 2014), yang mengatakan bahwa :
okter Indonesia memang
kebanyakan pasif dan kurang mengkomunikasikan penyakit serta pengobatan yang harus dijalani pasien. Pasien juga mayoritas tidak aktif bertanya terkait kondisi dan pengobatan yang dijalani . Ketergantungan pasien dengan pengobatan yang diberikan oleh dokter, dan anggapan bahwa dokter dapat menyembuhkan penyakitnya. Pasien cenderung mengikuti apa saja kata dokter dan minum obat yang telah diresepkan dokter tanpa harus banyak bertanya, dan ada sebagian dokter terkadang juga kurang suka apabila pasien terlalu banyak bertanya. Merujuk pada teori equity dari Hatfield dkk (Berger, 2014:478) didasarkan pada asumsi bahwa: ndividu termotivasi untuk memaksimalkan timbal balik yang diterima dan meminimalkan biaya tetapi individu juga memahami bahwa terdapat norma dan aturan tertentu yang mengatur hubungan sosial. Akibatnya, orang merasa sangat puas ketika meyakini bahwa hasil yang diterima setiap pasangan dari sebuah hubungan telah sesuai dengan pemberian mereka pada hubungan . Dalam hal ini dokter dan pasien seharusnya dapat memaksimalkan hubungan timbal balik dengan melakukan komunikasi dua arah yang saling menguntungkan satu sama lain, tentunya dengan tetap memegang prinsip etis
7
yang sudah ditentukan. Kebanyakan hubungan dokter dan pasien terjadi karena komunikasi cenderung satu arah. Menurut Thamrin dalam tulisannya tentang Pola Komunikasi Ideal Dokter-Pasien (rustam-okan.blogspot.com, 2009 yang diakses pada tanggal 27 Agustus 2014), mengatakan bahwa ketidakseimbangan komunikasi bisa juga terjadi karena dokter memiliki keterbatasan waktu untuk bertemu atau pertemuan yang tidak efektif karena yang terjadi adalah komunikasi satu arah. Yang sering terjadi adalah dokter merasa pasien sudah memahami apa yang dijelaskannya, padahal mereka belum tentu mengerti apa yang disampaikan dokter dan cenderung pasif untuk menanyakan lebih lanjut. Inilah yang disebut dengan komunikasi satu arah yang kebanyakan dilakukan dokter. Masyarakat dalam hal ini awam tentang istilah medis dan pengetahuan mengenai penyakitnya, dan adanya anggapan bahwa dokter akan menolongnya untuk sembuh dan memberikan pengobatan yang terbaik. Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta merupakan rumah sakit swasta tipe B, menjadi rujukan bagi jejaring pelayanan di bawahnya, juga masyarakat Surakarta dan sekitarnya. Memiliki 105 dokter umum/ gigi/ spesialis yang profesional serta menjadi mitra rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada pasien yang berobat jalan dan menjalani rawat inap.
TABEL 1.1 JUMLAH DOKTER RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA NO
DOKTER
1
Dokter Umum
2
Dokter Gigi
3
Dokter Spesialis
JUMLAH
KONTRAK KERJA Fulltimer / Tetap Mitra Fulltimer / Tetap Fulltimer / Tetap Mitra
JUMLAH 10 8 3 17 67 105
(Sumber : Data PPSDM RS PKU, 2013)
8
Kepercayaan masyarakat kepada Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta semakin meningkat dalam setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kunjungan rawat jalan dan tingkat hunian (BOR) rumah sakit yang menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta semakin tinggi, sehingga dibutuhkan peningkatan kualitas pelayanan baik dalam hal sarana prasarana dan sumber daya insani yang mendukungnya.
TABEL 1.2 JUMLAH KUNJUNGAN RAWAT JALAN TAHUN 2012-2013 RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA JUMLAH KUNJUNGAN 2012
2013
59.977
73.600
(PROSENTASE) % 23%
(Sumber : Data Rekam Medis RS PKU, 2014)
TABEL 1.3 PERBANDINGAN BOR PASIEN TAHUN 2012-2013 RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
90.00 80.00 70.00 60.00 50.00
72.69 67.49
77.51
83.14
75.64 73.27 74.50 70.21 72.46 73.41 67.80 66.89 64.00 61.36 58.62 61.59 60.26 60.62 56.83 56.38 58.53 56.11 54.66 50.13
40.00 30.00 20.00 10.00
2013 2012 MIN
0.00
(Sumber : Data Rekam Medis RS PKU, 2014)
9
Tidak dipungkiri bahwa meningkatnya jumlah pasien dipengaruhi juga oleh kualitas dokter yang menjalankan profesinya secara profesional sesuai dengan keahliannya. Dampak dari kondisi ini selain tingginya BOR juga dibarengi dengan banyaknya keluhan pasien yang masuk, termasuk keluhan tentang pelayanan dokter. Berikut adalah tabel prosentase kepuasan pasien terhadap pelayanan Dokter di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta yang dirangkum pada Tahun 2013 sebagai berikut : TABEL 1.4 KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN DOKTER RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA RAWAT JALAN %
RAWAT INAP %
82,33%
87,33%
82,00%
86,00%
Dokter datang tepat waktu / Waktu visite
74,33%
75,67%
Rata-rata kepuasan
79,5%
83%
PELAYANAN DOKTER Keramahan dokter dalam melayani (komunikasi non verbal) Komunikasi dokter (komunikasi verbal)
(Sumber : Data Humas RS PKU, 2013)
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari hasil survey Humas Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta terhadap 100 pasien rawat jalan dan 100 pasien rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta, rata-rata kepuasan pasien terhadap pelayanan dokter masih dibawah target kendali mutu pelayanan rumah sakit yang ditetapkan >90%. Untuk tahun 2013 kepuasan pasien untuk pelayanan dokter di rawat jalan rata-rata sebesar 79,5%, sedangkan untuk rawat inap sebesar 83%. Prosentase ketidakpuasan pasien sebesar 17% - 20,5%
sebagian besar
disebabkan karena komunikasi dokter pada saat melayani secara verbal dalam menjelaskan perkembangan penyakit pasien belum sesuai dengan harapan pasien, juga secara non verbal dari segi penampilan dan raut wajah yang tidak mendukung pelayanan, tidak tersedianya waktu yang cukup untuk konsultasi, dokter tidak ramah dan terburu-buru saat memeriksa pasien, jam praktek dokter atau waktu kunjung dokter saat pasien rawat inap yang tidak tepat waktu.
10
Salah satu komunikasi non verbal yang menjadi faktor kepuasan pasien adalah dari segi penampilan dokter. Kesan pasien terhadap dokter merupakan faktor penting dalam konsultasi klinis, terutama dalam hal penampilan fisik. Hal ini dibutuhkan untuk lebih mendekatkan hubungan pasien dengan dokter dari segi kepercayaan dan kepatuhan. Pakaian dokter memainkan peran besar dalam mempromosikan kepercayaan dan keyakinan pada pasien. Menurut Seon Chang (2011: 766) dalam penelitiannya dikatakan bahwa penampilan dokter yang dalam hal ini merupakan komunikasi non verbal juga mempengaruhi hubungan dokter-pasien. Establishing a good patient doctor relationship is important for the treatment of patients, and the doc the patients. However, wearing a white coat, compared to other kinds of attire, would be recommended to appear more competent and trustworthy . Simbol seorang dokter yang identik dengan baju putih dan stetoskopnya merupakan penamaan obyek yang dalam hal ini dokter tanpa harus mengatakan bahwa saya seorang dokter . Berbaju putih membawa stetoskop dan berada di area praktek dokter maupun di rumah sakit merupakan citra dokter yang disajikan kepada pasien, berbeda dengan obyek perawat, petugas laboratorium, petugas kebersihan, maupun petugas non medis rumah sakit lainnya. Dengan berpakaian seperti itu akan menimbulkan penampilan dokter yang lebih kompeten dan dapat dipercaya pasien. Selain faktor penampilan, yang menjadi keluhan pasien di RS PKU Muhammadiyah Surakarta adalah tidak tersedianya waktu yang cukup untuk konsultasi, dokter tidak ramah dan terburu-buru saat memeriksa pasien. Ada beberapa dokter kadang
pelit berkomunikasi dan kurang peka terhadap
keluhan pasien, pasien datang hanya ditanya keluhannya apa, diberi resep dan diminta kontrol apabila masih merasakan keluhan pada sakitnya tersebut, tanpa ada basa basi, senyuman, bahkan ada yang tidak memandang pasien yang diperiksanya, dan kelihatan terburu-buru saat memeriksa. Dalam hal ini sebenarnya pasien mempunyai hak untuk didengarkan keluhannya dan mendapatkan informasi tentang penyakitnya, Dalam teori
11
manajemen identitas yang dikembangkan oleh Tadasu Todd Imahori dan William R. Cupach (Little John, 2011 : 242) menunjukkan bagaimana identitas ditetapkan, dipelihara, dan diubah dalam hubungan. Pada saat dokter bertemu pasien pertama kali yang dilakukan adalah bagaimana dokter mencoba melakukan komunikasi untuk mendapatkan respon pasien sehingga terjadi hubungan baik, dan untuk selanjutnya hubungan dipelihara untuk keuntungan kedua belah pihak. Sebagai contoh hubungan dokter dengan pasien kronis atau pasien yang memerlukan pengobatan jangka panjang, dimana dokter seharusnya melakukan proses pembekuan identitas dimana dokter melakukan proses dukungan dengan melakukan pendekatan personal untuk memotivasi pasien agar tidak bosan berobat ke rumah sakit, dokter seharusnya melakukan strategi untuk membuat bagaimana pasien
perangkap
pola asuhan
yang diterapkannya agar terjadi hubungan interpersonal yang lebih mendalam antara dokter dengan pasien sehingga menimbulkan ketergantungan positif. Pada kenyataannya, kebanyakan dokter dalam menjalankan perannya selaku komunikator atau penyampai pesan beranggapan bahwa pasien butuh dokter, bukan sebaliknya. Sehingga pola komunikasi yang dilakukan dan manajemen relationshipnya kadang diabaikan. Perlu dilakukannya proses renegosiasi dokter dengan pasien untuk dapat memahami satu sama lain antara dokter dengan pasien bahwa ada keterikatan yang saling menyesuaikan, seperti Dan tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang dijalaninya juga sangat tergantung dari bagaimana dokter memperlakukan pasien. Kepatuhan pasien bisa dikelola oleh dokter apabila dokter mampu memelihara hubungannya dengan memahami harapan yang diinginkan pasien, karena pasien mempunyai harapan besar apabila bertemu dokter untuk mendapatkan informasi tentang penyakit pasien yang benar dan lengkap. Harapan inilah yang akan menentukan kelanjutan hubungan dokter dan pasien. Dalam teori pelanggaran harapan dari Burgoon dan rekan-rekannya (Griffin, 2012:91), dikatakan bahwa dalam hal ini pasien memiliki harapan tentang perilaku dokter berdasarkan norma-norma sosial serta pengalaman pasien
12
sebelumnya dengan dokter dan situasi di mana perilaku tersebut terjadi . Harapan ini dapat melibatkan hampir semua perilaku verbal maupun nonverbal , termasuk, misalnya , kontak mata , jarak , dan sudut tubuh .Pada saat harapan terpenuhi , perilaku dokter dinilai positif , dan ketika hal ini dilanggar , perilaku dokter dinilai negatif. Pelanggaran dapat membuat pasien merasa tidak nyaman, dan perhatian ditarik ke perilaku yang seharusnya tidak diketahui. Ketika harapan pasien terpenuhi, mereka tidak melihat perilaku, tetapi ketika mereka dilanggar, mereka menjadi terganggu oleh perilaku. Gangguan ini dapat menarik perhatian pasien dan menuntunnya untuk mulai mengevaluasi perilaku dokter tersebut. Dari penelitian yang dilakukan oleh Kliems et all (2011: 269) dikatakan bahwa kepuasan pasien terhadap karakter komunikasi dokter diperkuat oleh ketrampilan interpersonal seperti : empati, keterpusatan pasien (patient centered) dan pendekatan holistik. Dan tentunya karakter komunikasi dokter yang positif sangat tergantung pada ketersediaan waktu yang diberikan kepada pasien. Sebagai komunikan, peran dokter dalam hal ini lebih banyak mendengar dengan ketrampilan interpersonal yang dimilikinya. Mendengarkan apa yang ingin disampaikan pasien menurut Loxterkamp (2013:575) menunjukkan rasa hormat dan perhatiannya terhadap pasien, karena dokter dengan sengaja melibatkan saraf pendengarannya serta membutuhkan kontak mata, penafsiran bahasa tubuh, dan posisi diri diantara kedua mata pasien yang menatapnya. Selain mendengarkan dengan sengaja, dokter berupaya untuk fokus pada keluhan pasien dan berempati atau merasakan apa yang dirasakan pasien. Menurut Arumsari (2013: 4) dikatakan bahwa : ikap empati dokter sangat diperlukan untuk mengungkap keterbukaan pasien terhadap dokter. Dengan bersikap empati, dokter mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan pasien untuk masa mendatang . Berempati sangat diperlukan oleh seorang dokter untuk lebih memahami pasiennya terutama untuk mengetahui penyakitnya dan kondisi psikologis pasien yang diakibatkan karena situasi dan penyakit yang
13
dideritanya terutama pasien yang tidak kunjung sembuh. Bagaimana dokter mendengar akan membantu pasien dari segi emosional pasien untuk lebih terbuka dan secara psikologis akan memulihkan semangatnya untuk berobat. Dengan berempati, dokter akan lebih mampu menyesuaikan komunikasinya dengan pasien baik secara verbal maupun non verbal dapat terkelola dengan baik. Fenomena yang dipaparkan di atas menarik Peneliti untuk melihat bagaimana dokter mampu menempatkan posisinya sebagai komunikator sekaligus sebagai komunikan yang persuasif dengan menggunakan komunikasi interpersonal empati, dimana kondisi ini baru sebagian dimiliki oleh dokterdokter di RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Bukan tanpa alasan, terutama untuk dokter yang memiliki jam terbang tinggi dengan banyak pasien, harus berkunjung dan melakukan perawatan pasien di rumah sakit lainnya, hal ini merupakan kelemahan yang selama ini terjadi di RS PKU Muhammadiyah Surakarta dan menimbulkan keluhan pasien. Bagaimana para dokter tersebut dengan keterbatasannya baik secara waktu maupun fisik harus melakukan dua hal penting yaitu pada pengobatan dan kondisi psikologis pasien. Ada sisi menarik dari kondisi ini, bahwa keterbatasan kualitas dan kuantitas waktu yang dipergunakan oleh sebagian dokter tersebut,
tidak
membuat pasien berpindah kepada dokter lain atau bahkan pindah ke rumah sakit lain, tetapi pasien tetap memilihnya. Pasien rela menunggu berjam-jam untuk bertemu dokter tersebut dan merasakan sesuatu yang berbeda dari segi emosional maupun psikologisnya apabila sudah bertemu dokter tersebut. Tetapi di sisi lain, ada beberapa dokter yang dari segi waktunya sangat cukup untuk bertemu pasien tetapi tidak banyak pasien yang tertarik untuk melanjutkan terapinya dengan dokter tersebut dan bahkan di kunjungan berikutnya minta pindah ke dokter lain yang sama-sama praktek di RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Hal ini biasanya terjadi karena pasien merasakan ada jarak atau gap yang sengaja dibuat dokter dalam berkomunikasi dengan pasien, seperti : menggunakan istilah-istilah medis yang sulit untuk dipahami oleh pasien, menggurui pasien dengan menempatkan pasien sebagai tersangka
14
yang harus disalahkan, merasa bahwa dokterlah yang pintar dan pasien bodoh, serta ada juga yang memarahi pasien karena terlambat berobat. Yang muncul kemudian adalah rasa ketakutan pasien untuk bertemu dokter. Peneliti berkeinginan dalam penelitian ini ingin melihat seperti apakah konsep manajemen relationship dokter di RS PKU Muhammadiyah Surakarta dalam berkomunikasi dengan pasien, bagaimana peran dokter
sebagai
komunikator dan sebagai komunikan dalam mengelola hubungannya dengan pasien. Karena kita tahu bahwa hak pasien untuk mendapatkan informasi merupakan kewajiban dokter. Apabila kewajiban ini tidak dijalankan dengan baik, maka pasien mempunyai hak untuk mengajukan keluhan yang akan merugikan dokter khususnya, rumah sakit dan pada akhirnya merugikan seluruh stakeholder yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi sebaliknya, apabila kewajiban dokter dapat dijalankan dengan baik, maka secara langsung pasien akan merasa puas dan bilamana harus melakukan kunjungan ulang, maka pasien akan kembali ke dokter tersebut dan secara tidak langsung word of mouth kepada orang-orang di sekitar pasien akan positif, sehingga pada akhirnya akan terjadi peningkatan kunjungan pasien ke rumah sakit. Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus, dimana peneliti memberikan gambaran yang detil dan mendalam tentang manajemen relationship dokter dalam berkomunikasi dengan pasien, bagaimana dokter membangun dan memelihara hubungan dengan pasien baik sebagai komunikator maupun sebagai komunikan di RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Peneliti membatasi penelitian pada manajemen relationship dokter dalam berkomunikasi dengan pasien rawat jalan yang berkunjung dan berobat di RS PKU Muhammadiyah Surakarta, dikarenakan frekuensi maupun jumlah pasien rawat jalan yang bertemu dengan dokter lebih tinggi dibandingkan dengan pasien rawat inap. Dan komunikasi yang dilakukan dokter dalam waktu yang singkat, dengan hitungan menit akan menentukan sikap apakah pasien akan melakukan kunjungan berikutnya ataukah tidak, beralih ke dokter lain ataukah tidak, atau bahkan akan kapok tidak akan melakukan kunjungan ke
15
rumah sakit karena komunikasi dokter menurut pasien tidak memuaskan dari segi kognitif, afektif, maupun konatif. Diharapkan dari kajian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk perbaikan manajemen rumah sakit di masa datang agar dokter di RS PKU Muhammadiyah Surakarta mampu membangun dan
memelihara
hubungannya
dalam
berkomunikasi
dengan
pasien,
mempunyai komitmen tinggi mengutamakan hak pasien untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisinya, dan dokter menjalankan kewajiban profesi sesuai Undang-Undang yang berlaku serta untuk meningkatkan kualitas layanan
paripurna Rumah Sakit
PKU
Muhammadiyah Surakarta yang pada akhirnya akan menciptakan citra rumah sakit yang positif serta berimbas pada peningkatan pendapatan rumah sakit.
B. RUMUSAN MASALAH Permasalahan mendasar yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya proses terbentuknya pesan sampai dengan penyampaian serta interpretasi yang mungkin terjadi pada saat dokter berkomunikasi dengan pasien di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta, serta bagaimana dokter membangun, memelihara, dan mempertahankan hubungan komunikasi dengan pasiennya. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu : Secara umum ingin melihat bagaimanakah manajemen relationship dokter dalam
membangun,
memelihara,
dan
mempertahankan
hubungan
komunikasi dengan pasien di RS PKU Muhammadiyah Surakarta Secara khusus : 1. Bagaimana pemahaman dokter tentang komunikasi dokter dan pasien 2. Bagaimana
manajemen
relationship
dokter
dalam
membangun,
memelihara, dan mempertahankan hubungan komunikasi dengan pasien 3. Ketika dokter berperan sebagai komunikator, bagaimana manajemen relationship dokter dalam berkomunikasi dengan pasien
16
4. Dan bagaimana dokter dalam manajemen relationshipnya dengan pasien, pada saat berperan sebagai komunikan
C. TUJUAN PENELITIAN Untuk mendeskripsikan dan menganalisis : 1. Pemahaman dokter tentang komunikasi dokter dan pasien 2. Manajemen relationship dokter RS PKU Muhammadiyah Surakarta dalam berkomunikasi kepada pasien. 3. Bagaimana peran dokter sebagai komunikator maupun sebagai komunikan dalam
membangun,
memelihara,
dan
mempertahankan
hubungan
komunikasi dengan pasien.
D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Praktis a. Dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan oleh pihak manajemen rumah sakit dalam pengelolaan komunikasi antara dokter dengan pasien, serta untuk meningkatkan komitmen dan senantiasa menjunjung tinggi hak pasien terutama dalam berkomunikasi dengan dokter yang merawat pasien b. Dapat digunakan oleh para dokter untuk pengembangan identitas diri ketika berkomunikasi dengan pasien, mempunyai komitmen tinggi mengutamakan hak pasien dalam memberikan informasi yang jelas dan terbuka kepada pasien, menjalankan kewajiban profesi sesuai UU yang berlaku serta untuk meningkatkan kualitas layanan Rumah Sakit. c. Pasien lebih memahami bahwa hak dan kewajiban pasien dalam mendapatkan informasi sangat mendukung dalam proses pengelolaan komunikasi dengan dokter. 2. Manfaat Teoritis a. Menambah dan mengembangkan teoritis keilmuan yang berkaitan dengan konsep manajemen identitas terutama tentang komunikasi
17
interpersonal, dan pengembangan teori terkait dengan relationship tentang bagaimana identitas ditetapkan, dipelihara dan diubah dalam hubungan. b. Sebagai dasar dan rujukan untuk penelitian lebih lanjut bagi peneliti lainnya.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Astuti, Endang K. 2009. Perjanjian terapeutik dalam upaya pelayanan medis di Rumah Sakit, Bandung: Citra Aditya Bakti 2. Berger, Charles R, Michael E Roloff, David RR-Ewoldsen. 2014. Handbook Ilmu Komunikasi. Bandung :Nusa Media 3. Berry, Dianne. 2007. Health Communication : Theory and Practice. New York. Open University Pers 4. Effendy, OU. 2001. Dinamika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 5. Effendy, OU. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 6. Griffin, EM. 2012. A First Look At Communication Theory. New York : Mc Graw Hill Companies, Inc 7. Hapsari, Yauminnisa. 2006. Analisis Persepsi Pasien tentang Poliklinik Umum Terhadap Keputusan Pemanfaatan Ulangnya di RS Panti Wilasa Citarum Semarang. Tesis. Semarang : Universitas Diponegoro 8. Irawan. Handi. 2002. 10 Prinsip Kepuasan Pelanggan. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo 9. Jahi, A. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga. Jakarta : Gramedia. 10. Kincaid dan Schramm, W. 1978. Asas-asas Komunikasi Antar Manusia. (terjemahan, Agus Setiadi). Jakarta : LP3ES. 11. Konsil Kedokteran Indonesia. 2006. Komunikasi Efektif Dokter-Pasien. Jakarta 12. Kusbaryanto, dr. 2009. Komunikasi Dokter dan Pasien. Yogyakarta : MISC 13. Liliweri, Alo. 2009. Komunikasi Kesehatan. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 14. Littlejohn, Stephen.W and Karen A. Foss. 2011. Theories of Human Communication. US America : Waveland Press, Inc 15. Nova, RF. 2010. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap Pada Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. Skripsi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret
19
16. Nurhayati. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi Efektivitas Komunikasi di dalam Sekolah Lapang Padi. Tesis. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 17. Presiden Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Indonesia No. 8 tentang Perlindungan Konsumen. 18. Presiden Republik Indonesia. 2009. Indonesia No. 44 tentang Rumah Sakit.
Republik
Undang-Undang Republik
19. Prodjosaputro, S. 1978. Komunikasi : Arti dan Peranannya dalam kepemimpinan. Denpasar : CV. Sumber Mas. 20. Rangkuti, Freddy.2003. Measuring Customer Satisfaction. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama 21. Robbins, S.P. 1986. Komunikasi Efektif. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya. 22. Setiadi. Nugroho J. 2008. Perilaku Konsumen. Jakarta: Kencana. 23. Supranto. 2001. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan. Jakarta: Rineka Cipta. 24. Tubbs SL. dan Moss, S. 2000. Human Communication, Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta : Remaja Rosdakarya. 25. Widjaja. 2000. Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta : Balai Pustaka 26. Wursanto, I. 1987. Etika Komunikasi Kantor. Yogyakarta : Kanisius.
SUMBER LAIN 1. Klinis.wordpress.com. 2007. Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Rumah Sakit. Artikel Psikologi Klinis Perkembangan dan Sosial. Diakses pada tanggal 11 Januari 2014 Pk. 00.21 2. Kompas.com. Rusyad, Irsyal.dr. 2013. Dokter, Sentuhan Anda Itu Menyembuhkan !. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2014 Pk. 23.28 3. rustam-okan.blogspot.com. Thamrin, MF. 2009. Pola Komunikasi Ideal Dokter - Pasien. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2014 Pk. 23.28 4. Kompas.com. Widiyani, Rosmha. 2013. Kasus dr. Ayu, Cermin Buruknya Pola Komunikasi Dokter. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2014 Pk. 23.28
20
JURNAL 1. Arianto, 2013. Komunikasi Kesehatan (Komunikasi Antara Dokter dan Pasien). Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.3 No.02. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2014 Pk. 23.31 2. Arumsari, Nugraheni, Yulius Slamet dan Eko Setyanto. 2013. Proses Komunikasi Dokter-Pasien dalam Pelaksanaan HIV Voluntary Counseling and Testing (VCT) di RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal Kajian Komunikasi dan Media Massa Vol. 1 No.1 (Hal. 1-8). http//jurnal.pasca,uns.ac.id. Diakses tanggal 10 September 2014 Pk. 22.09 3. Asdawati, A. Indahwaty Sidin, Irwandy Kapalawi. 2014. Gambaran Kepuasan Pasien dalam Pelaksanaan Komunikasi Efektif Dokter di RSUD Makasar. Artikel. http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/10568. Diakses pada tanggal 10 September 2014 PK. 22.00 4. Desjarlais-deKlerk, Kristen and Jean E Wallace. 2013. Instrumental and Socioemotional Communication in Doctor-patient interaction in Urban and Rural Clinics. Research Article. Canada : BMC Health Service Research 13:261. Diakses pada tanggal 10 September 2014 Pk. 22.24 5. Kliem, Harald, Diplpsych and Claudia M. Witt. 2011. The Good Doctor : Qualitative Study of German Homeopathic Physician. The Journal of Alternative and Complementary Medicine. Volume 17 Number 3 pp.265270. Diakses pada tanggal 19 September 2014 Pk. 22.54 6. Muchlis, M dan Aryo D. 2013, Pengaruh Kepercayaan, Kepuasan Pelanggan dan Komitmen Hubungan terhadap Citra Rumah Sakit di Kota Blitar. Jurnal Aplikasi Manajemen, Volume 11, Nomer 3. Hal. 470. Diakses pada tanggal 27 Mei 2014 Pk. 22.10 7. Seon Chang, Dong, Hyeyeon Lee, Hyejung Lee, Hi-Joon Park and Younbyoung Chae. 2011. What to Wear When Practicing Oriental The Journal of Alternative and Complementary Medicine.Volume 17 Number 8 pp. 763767. Diakses pada tanggal 19 September 2014 Pk. 22.23 8. White, Sarah.J, Maria H Stubb, Kevin P Dew, Lindsay M.Macdonald, Antony C Dowell, and Rod Gardner. 2013. Understanding Communication Between Surgeon and Patient in Outpatient Consultations. ANZ Journal of Surgery (Royal Australasian College of Surgeons) 307311. Diakses tanggal 19 September 2014 Pk. 23.13
21
Dikatakan oleh dr. Irsyal Rusad, Sp.PD (Kompas.com, 23 September 2013) bahwa sentuhan, memegang, meraba (palpasi), mengetuk(perkusi) yang dilakukan oleh seorang dokter tidak hanya membantu menegakkan diagnosa penyakit pasien, tetapi juga mempunyai pengaruh besar terhadap kesembuhan pasien. Sentuhan yang dilakukan dengan hati, akan menumbuhkan perubahan mood pasien. Pasien akan menjadi lebih tenang, damai, dan hubungan kepecayaan antara pasien dan dokter juga semakin baik.