7
BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1.
Tinjauan Teortitis
2.1.1.
Definisi UMKM
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (selanjutnya disingkat UMKM), definisi UMKM adalah sebagai berikut: 1.
Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memiliki hasil penjualan tahunan Rp 300.000.000,00 dan memiliki kekayaan bersih (tidak termasuk tanah/bangunan) paling banyak Rp 50.000.000,00.
2.
Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki,dikuasai atau menjadi anak bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki hasil penjualan tahunan anatara Rp 300.000.000,00 sampai dengan Rp 2.500.000.000,00 dan memiliki kekayaan bersih antara Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp 500.000.000,00.
3.
Usaha menengah adaah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi anak bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memiliki hasil penjualan tahunan antara Rp
4.
2.500.000.000,00 sampai dengan Rp 5.000.000.000,00 dan memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 500.000.000,00.
2.1.2.
Pengertian Pajak
Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 1 angka 1yaitu: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara baik sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Definisi pajakyang dikemukakan menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH (dalam Suandy, 2007: 10), yaitu: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum, dengan penjelasan sebagai berikut: dapat dipaksakan artinya bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbal-balik tertentu seperti halnya retribusi.” Definisi pajak yang dikemukanan oleh S.I. Djajadiningrat (dalam Resmi, 2013: 1), yaitu: “Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman,menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung,untuk memelihara kesejahteraan secara umum.”
31
Dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa cirri-ciri yang melekat pada pengertian pajak (dalam Suandy, 2007: 11), yaitu: 1.
Pajak peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah.
2.
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya, sehingga dapat dipaksakan.
3.
Dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4.
Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
5.
Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment atau investasi publik.
6.
Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pemerintah.
7.
Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung. Terdapat dua fungsi pajak,yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan
fungsi regulerend (pengatur). Fungsi pertama yaitu pajak sebagai sumber keuangan negara, ini berarti pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya mencari uang sebanyakbanyaknnya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan maupun pembaruan seiring pada berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak 31
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan lain-lain. Fungsi yang kedua yaitu pajak mempunyai fungsi regulerend atau mengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai funsi pengatur adalah: 1.
Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah suatu barang maka tarif pajak yang dikenakan semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidka berlomba-lomba untuk mengonsumsi barang mewah seingga berguna untuk mengurangi gaya hidup mewah.
2.
Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan. Hal ini dimaksudkan supaya pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi dalam pembayaran pajak yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan.
3.
Tarif pajak ekspor sebesar 0%. Hal ini dimaksudkan supaya para pengusaha terdorong untuk mengekspor hasil produksinya ke pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa negara.
4.
Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang industri tertentu seperti industri semen, industri baja, industri kertas, dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan supaya terdapat penekanan produksi terhadap industri-industri tersebut karena
31
dapat mengganggu lingkungan atau polusi sehingga dapat membahayakan kesehatan. 5.
Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi di Indonesia.
6.
Diberlakukannya tax holiday. Hal ini dimaksudkan untuk menarik investor asing supaya menanamkan modalnya di Indonesia.
2.1.3. Kewajiban dan Hak Wajib Pajak Kewajiban perpajakan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam hal perpajakannya, baik Wajib Pajak orang pribadi maupun badan. Setiap Wajib Pajak mempunyai kewajiban perpajakan yang berbeda, karena terdapat kriteria-kriteria tertentu untuk tiap golongan Wajib Pajak termasuk untuk Wajib Pajak pelaku UMKM. Kewajiban Wajib Pajak secara umum menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (dalam Resmi, 2013: 22-23) adalah sebagai berikut: 1.
Mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak, apabila telah memenuhi syarat subjektif maupun syarat objektif.
2.
Melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. 31
3.
Mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, serta menandatangani dan menyampaikannya ke Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak.
4.
Menyampaikan
Surat
Pemberitahuan
dalam
bahasa
Indonesia
dengan
menggunakan satuan mata uang selain rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. 5.
Membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
6.
Menyelenggarakan pembukuan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan, dan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
7.
Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek pajak yang terutang pajak; memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau memberikan keterangan lain yang diperlukan apabila diperiksa. 31
Hak-hak Wajib Pajak secara umum menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (dalam Resmi, 2013: 23-24) adalah sebagai berikut: 1.
Melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa.
2.
Mengajukan surat keberatan dan banding Wajib Pajak dengan kriteria tertentu.
3.
Memperpanjang jangka waktu penyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan tertulis atau dengan cara lain kepada Direktorat Jenderal Pajak.
4.
Membetulkan
Surat
Pemberitahuan
yang
telah
disampaikan
dengan
menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktorat Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. 5.
Mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
6.
Mengajukan permohonan keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu: a.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b.
Surat Ketetapan Kurang Pajak Bayar Tambahan;
c.
Surat Ketetapan Pajak Nihil;
d.
Surat Ketetepan Pajak Lebih Bayar; dan
e.
Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
7.
Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan. 31
8.
Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
9.
Memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bungan atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak dalam hal Wajib Pajak menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih bayar dan dilakukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunya UU No. 28 Tahun 2007. Menurut Mutiah et al (2011: 5-6) kewajiban-kewajiban Wajib Pajak UMKM
adalah sebagai berikut: 1.
Mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
2.
Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.
3.
Mengisi dengan benar SPT dan melaporkannya dalam batas waktu yang telah ditentukan.
4.
Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan
5.
Melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sedangkan, hak-hak Wajib Pajak UMKM menurut Mardiasmo (dalam Mutiah et al, 2011: 6) adalah sebagai berikut:
1. Mengajukan surat keberatan dan surat banding. 2.
Menerima tanda bukti pemasukan SPT
31
3.
Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan.
4.
Mengajukan permohonan penundaan pemasukan SPT.
5.
Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak.
6.
Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak.
7.
Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
8.
Mengajukan
permohonan
penghapusan
dan
pengurangan
sanksi,
serta
pembetulan surat ketetapan pajak yang salah. 9.
Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.
10. Apabila Wajib Pajak dipotong oleh pemberi kerja, Wajib Pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pemotong pajak, mengajukan surat keberatan dan permohonan pajak. 11. Hak mendapatkan pelayanan perpajakan gratis. 12. Hak kerahasian bagi wajib pajak. 13. Hak mendapatkan insentif perpajakan. 2.1.4. 1.
Dasar Hukum Pajak untuk UMKM
UU PPh Pasal 4 ayat (2) huruf e Induk dari dasar hukum pajak untuk pelaku UMKM yaitu berdasarkan Undang-
Undang Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat UU PPh) pasal 4 ayat (2) huruf e yang berbunyi atas penghasilan tertentu lainnya dapat dikenai PPh yang bersifat final yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah (Budi, 2013: 22-23).
31
Secara umum penghasilan tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya sebagaimana yang terdapat pada penjelasan Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat, besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain: a.
Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;
b.
Kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
c.
Berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak;
d.
Pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
e.
Memerhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.
2.
UU PPh Pasal 17 ayat (7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas
penghasilan tertentu yang pajaknya bersifat final, dimana tarif pajak tersebut tidak boleh melebihi tarif pajak tertinggi PPh Orang Pribadi yaitu sebesar 30%. Penentuan didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan perluasan partisipasi dalam pembayaran pajak (Budi, 2013: 23). 3.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Peraturan Pemerintah (selanjutnya disingkat PP) yang mengatur ketentuan Pajak
Penghasilan (PPh) diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 46 31
Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh WajibPajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, merupakan kebijakan pemerintah yang mengatur mengenai pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, yang berlaku efektif sejak tanggal diberlakukannya yaitu tanggal 1 Juli 2013. Pajak ini biasa disebut Pajak UMKM di kalangan masyarakat luas. Memang dalam PP tersebut tidak tersirat bahwa peraturan pajak ini khusus untuk pengenaan pajak atas hasil produksi dari para pelaku UMKM. Namun, batasan peredaran bruto atau omzet yang dikenai pajak tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 sehingga secara tidak langsung menyinggung para pelaku UMKM. Kebijakan pemerintah dengan pemberlakuan PP ini didasari dengan maksud untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan, mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi, mengedukasi masyarakat untuk transparansi, memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, berlakunya PP ini didasari dengan tujuan untuk kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat, serta terciptanya kodisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan. 2.1.5. Objek Pajak dan Pengecualian Objek Pajak Objek pajak yang termasuk ke dalam objek PPh berdasarkan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 ini adalah penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dengan peredaran bruto atau omzet yang tidak melebihi Rp 31
4.800.000.000,00 dalam satu tahun pajak. Usaha yang dimaksud meliputi usaha dagang, industri, dan jasa, seperti toko/kios/los kelontong, pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, warung/rumah makan, salon, dan usaha lainnya.Peredaran bruto merupakan jumlah peredaran bruto semua gerai, counter, outlet atau sejenisnya baik dari pusat maupun cabangnya. Pajak yang terutang dan harus dibayar atau disetor adalah sebesar 1% dari jumlah keseluruhan peredaran bruto serta bersifat final. Sedangkan objek pajak yang dikecualikan dari pengenaan PPh berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah sebagai berikut: 1.
Penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, yaitu: a.
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b.
pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron,
bintang
iklan,
sutradara,
kru
film,
foto
peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari; c.
olahragawan;
d.
penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e.
pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f.
agen iklan;
g.
pengawas atau pengelola proyek;
h.
perantara;
i.
petugas penjaja barang dagangan
j.
agen asuransi; dan
31
model,
k.
distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
2.
Penghasilan dari usaha yang dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2), seperti sewa kos, sewa rumah, jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan), PPh usaha migas, dan lain sebagainya.
3.
Penghasilan yang diterima atau dipeoleh dari luar negeri. Walaupun Wajib Pajak telah sesuai dengan kriteria untuk dikenai Pajak UMKM
sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013, namun bagi Wajib Pajak yang memiliki penghasilan dari usaha yang dikenai penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yaitu Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 15 UU PPh, tidak dikenakan Pajak UMKM. Hal ini sesuai yang terdapat padaPeraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari
Usaha
yang
Diterima
atau
Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentupasal 3 ayat (2) huruf c. Contoh penghasilan dari usaha yang dikenakan PPh Final sesuai UU PPh Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 15, yaitu: 1.
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi (perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan);
2.
Penghasilan dari usaha jasa sewa tanah dan/atau bangunan (kos, rumah, dan lainlain); 31
3.
Penghasilan dari usaha jasa pelayaran dan penerbangan luar negeri; dan
4.
Penghasilan dari usaha jasa pelayaran dalam negeri.
2.1.6. Subjek Pajak dan Pengecualian Subjek Pajak Subjek pajak yang termasuk dalam pengenaan PPh berdasarkan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah sebagai berikut: 1.
Orang pribadi.
2.
Badan, tidak termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto atau omzet yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 dalam satu tahun pajak. Tahun pajak yang dimaksud adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender, kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. Sedangkan subjek pajak yang dikecualikan dalam pengenaan PPh berdasarkan
ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah sebagai berikut: 1.
Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang menggunakan sarana yang dapat dibongkar pasang dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum, seperti pedagang keliling, pedagang asongan, warung tenda di area kaki lima, dan sejenisnya.
2.
Badan yang belum beroperasional secara komersial atau yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaaran bruto atau omzet melebihi Rp 4.800.000.000,00.
2.1.7. Cara Penentuan Peredaran Bruto dan Skema On-Off
31
Ada beberapa cara dalam menentukan peredaran bruto Wajib Pajak yang termasuk ke dalam pengenaan pajak PP Nomor 46 Tahun 2013, yaitu: 1.
Bagi Wajib Pajak yang sudah terdaftar sebelum Tahun Pajak 2013, maka penentuan peredaran bruto berdasarkan peredaran bruto yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012. Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012, maka dianggap peredaran brutonya tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 dalam 1 (satu) tahun kalender.
2.
Bagi Wajib Pajak yang sudah terdaftar pada Tahun 2013 tetapi sebelum tanggal 1 Juli 2013, maka penentuan peredaran brutonya berdasarkan jumlah peredaran bruto bulanannya yang disetahunkan.
3.
Bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar setelah tanggal 1 Juli 2013, maka penentuan peredaran brutonya berdasarkan peredaran bruto pada bulan pertamanya yang disetahunkan. Selanjutnya, yang menjadi penentu apakah Wajib Pajak termasuk ke dalam
skema pajak UMKM menggunakan tarif sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 atau menggunakan skema umum menggunakan tarif PPh Pasal 17 UU PPh adalah bessaran peredaran bruto atau omzet setiap tahunnya. Jadi apabila dalam suatu bagian bulan atau Tahun Pajak tersebut omzet Wajib Pajak sudah melebihi batasan pengenaan pajak UMKM yaitu Rp 4.800.000.000,00 dalam satu Tahun Pajak, maka pada Tahun Pajak berikutnya Wajib Pajak akan berubah cara pemenuhan kewajiban perpajakannya menjadi skema umum. Demikian juga sebaliknya, apabila pada suatu bulan atau Tahun Pajak tersebut omzet Wajib Pajak tidak melebihi batasan pengenaan 31
pajak UMKM yaitu Rp 4.800.000.000,00 dalam satu Tahun Pajak, maka pada Tahun Pajak berikutnya Wajib Pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya menjadi skema umum. Untuk lebih jelasnya, ilustrasi Skema On-Off (Budi: 2013, 29) dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1 Skema On-Off 2.1.8. Tarif Pajak dan Kompensasi Kerugian Sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu pasal 3 ayat (1), tarif pajak UMKM adalah tarif tunggal sebesar 1%. Tarif ini dikenakan dari peredaran bruto atau omzet setiap bulannya dan bersifat final. Apabila Wajib Pajak UMKM memiliki cabang
31
usaha, maka perhitungan pajak UMKM ini dilakukan pada setiap masing-masing cabang tempat dilakukannya kegiatan usaha. Contoh kasus penerapan tarif tunggal 1% sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 dapat diilustrasikan sebagai berikut. Contoh kasus 2.1 : PT. Sukses Selalu telah memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang dikenai PPh yang bersifat final sesuai PP No. 46 Tahun 2013, yaitu pada SPT Tahunan Badan Tahun Pajak 2012 omzet yang dilaporkan kurag dari Rp4.800.000.000,00. Pada bulan Agustus 2013 mendapat penghasilan bruto dari usaha penjualan sebesar Rp40.000.000,00. Pajak UMKM yang terutang untuk bulan Agustus 2013 dihitung sebagai berikut: Pajak UMKM = 1% X Rp40.000.000,00 = Rp400.000,00 Apabila PT. Sukses Selalu juga memliki 10 cabang usaha, dengan masing-masing omzet di setiap cabangnya Rp70.000.000,00, maka di setiap cabang PT. Sukses Selalu dikenakan pajak UMKM sebesar 1% X Rp70.000.000,00 atau sebesar Rp700.000,00. Sedangkan untuk kompensasi kerugian, pada prinsipnya apabila Wajib Pajak dikenai pajak final 1% atau Pajak UMKM maka tidak mempunyai hak untuk melakukan kompensasi kerugian atas kegiatan usahanya. Namun, bagi Wajib Pajak yang selain memiliki penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak UMKM juga memiliki penghasilan yang tidak dikenai Pajak UMKM, misalnya memiliki pekerjaan 31
bebas seperti akuntan atau pengacara, dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak UMKM tersebut dengan ketentuan sebagai berikut ini: 1.
Kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
2.
Tahun dikenai Pajak UMKM tetap menjadi bagian dari periode 5 (lima) tahun tersebut;
3.
Kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak UMKM tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya. Contoh kasus penerapan kompensasi kerugian sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013
dapat diilustrasikan sebagai berikut. Contoh kasus 2.2 : Wajib Pajak PT. Mujur Makmur mempunyai pembukuan dan mengalami kerugian atas kegiatan usahanya pada Tahun Pajak 2010. Berdasarkan ketentuan dalam UU PPh, kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan pada Tahun Pajak 2011 sampai dengan Tahun Pajak 2015. Apabila pada Tahun Pajak 2014, peredaran bruto PT. Mujur Makmur ternyata kurang dari Rp4.800.000.000,00, maka PT. Mujur Makmur harus melaksanakan kewajiban perpajakannya mengacu pada PP No.46 Tahun 2013 atau dikenai Pajak UMKM. Sehingga, pada Tahun Pajak 2014 tersebut, PT. Mujur Makmur tidak dapat melakukan kompensasi atas kerugian kegiatan usahanya pada Tahun Pajak 2010 yang lalu, dan apabila ternyata pada Tahun Pajak 2014 PT. Mujur Makmur masih 31
mengalami kerugian, maka juga tidak dapat melakukan kompensasi kerugiannya pada Tahun Pajak 2015. 2.1.9.
Kredit Pajak Luar Negeri
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan (PPh) yang terutang berdasarkan ketentuan UU PPh dan aturan pelaksanannya atau PPh yang menggunakan skema umum. Contoh kasus penerapan kredit pajak luar negeri sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 dapat diilustrasikan sebagai berikut. Contoh kasus 2.3 : CV. Agung menjalankan usaha butik pakaian, memiliki butik pakaian di kota Sabah Malaysia dan di Bangkok Thailand. CV. Agung telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009 di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) ABC. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing butik tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut: Peredaran bruto di Sabah Malaysia
= Rp 2.000.000.000,00
Peredaran bruto di Bangkok Thailand
= Rp 6.000.000.000,00
Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan Pajak UMKM adalah jumlah peredaran bruto butik di Sabah Malaysia saja, yaitu sebesar Rp2.000.000.000,00. Penghasilan yang diterima dari butik di Bangkok Thailand, tidak dapat diperhitungkan dalam menghitung batasan peredaran bruto untuk dapat dikenai Pajak
31
UMKM.Atas penghasilan di Bangkok Thailand, CV. Agung dipotong PPh oleh pemerintah setempat dan diberikan bukti potongnya. Dalam laporan tahunan SPT PPh Badan Tahun Pajak 2013, CV. Agung dapat mengkreditkan PPh yang telah dipotong atau dibayar di Bangkok Thailand sesuai mekanisme pengkreditan pajak luar negeri Pasal 24 UU PPh. 2.1.10. Pemotongan/Pemungutan PPh oleh Pihak Lain Apabila Wajib Pajak dikenaik Pajak Final 1%, tetapi ada penghasilan atas usahanya yang wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan oleh pihak lainyang bersifat tidak final, maka atas pemotongan/pemungutan tersebut dapat dibebaskan. Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh oleh pihak lain diberikan melalui Surat Keterangan Bebas (SKB) yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berdasarkan surat permohonan surat permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Mengenai permohonan SKB ini diatur dalam PER-32/PJ/2013 tentang Tata Cara Pembebasan dari Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
2.1.11. Permohonan Surat Keterangan Bebas 31
Bila Wajib Pajak (WP) telah memenuhi syarat sebagai WP yang termasuk ke dalam kategori Peredaran Bruto Tertentu, maka WP tersebut dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan/pemungutan PPh yaitu atas PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 22 atas impor, dan PPh Pasal 23. 1.
Persyaratan Permohonan Surat Keterangan Bebas Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan pajak tersebut, WP mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar dan tempat menyampaikan kewajiban Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Syarat yang harus dipenuhi WP adalah: a.
Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak diajukan permohonan, untuk WP yang telah terdaftar pada Tahun Pajak sebelum Tahun Pajak diajukan Surat Keterangan Bebas (SKB). Misalnya, untuk pengajuan SKB pada tahun 2014, WP harus sudah menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2013.
b.
Menyerahkan
Surat
Pernyataan
dengan
dibubuhi
meterai
yang
ditandatangani WP atau kuasa WP yang telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan, yang menyatakan bahwa peredaran bruto usaha yang diterima atau diperoleh termasuk dalam kriteria untuk dikenai PPh bersifat final disertai lampiran jumlah peredaran bruto setiap bulan sampai dengan bulan sebelum diajukan SKB, untuk WP yang terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat diajukannya SKB. 31
c. Menyerahkan dokumen-dokumen pendukung transaksi seperti Surat Perintah Kerja (SPK), Surat Pemegang Lelang dari Instansi Pemerintah, atau dokumen pendukung sejenis lainnya dari transaksi yang dilakukan. d. Ditandatangani oleh WP atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan WP harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus yang memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 UU KUP. 2.
Penerbitan SKB Atas permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang diajukan WP, selanjutnya KPP melakukan penelitian menyangkut persyaratan formal dan materiil sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Dari penelitian yang dilakukan KPP akan menghasilkan keputusan berupa menerima atau menolak.
2.2.
Penelitian Terdahulu Sebagai bahan referensi dan rujukan terhadap analisis hasil penelitian ini, maka
diperlukan penelitian terdahulu yaitu penelitian menurut Mutiah et all (2011) yang berjudul “Interpretasi Pajak dan Implikasinya Menurut Prespektif Wajib Pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Sebuah Studi Interpretif)”. Dengan menggunakan pedekatan fenomenologi, penelitian tersebut diharapkan untuk mengetahui seberapa dalam penafsiran atau penginterpretasian Wajib Pajak UMKM terhadap pajak. Dengan demikian akan diketahui tingkat pemahaman Wajib Pajak terhadap perpajakan dan kinerja dari aparat pajak dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak.
31
Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa informan yang diwawancarai peneliti menginterpretasikan pajak hampir sudah mengena terhadap substansi dari pajak itu sendiri meliputi (suatu kewajiban, digunakan untuk pengeluaran umum dan didasarkan pada undang-undang).Hal ini mengindikasikan bahwa, informan cukup paham terhadap substansi pajak. Namun terhadap implikasi dari adanya pajak bagi UMKM menunjukkan bahwa dengan adanya pajak maka akan memberikan dampak atau implikasi yang cenderung mengarah pada suatu kerepotan, informan merasa banyak yang harus dikerjakan terkait adanya pajak yang dikenakan. Berdasarkan masalah-masalah yang ada pada penelitian sebelumnya, maka penulis tertarik untuk mengetahui seberapa dalam pemahaman dan kesadaran Wajib Pajak UMKM terhadap penerapan PP Nomor 46 Tahun 2013 yang berlaku efektif mulai tanggal 1 Juli 2013, sehingga dapat diketahui kepatuhan pajak Wajib Pajak UMKM dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013.
31
2.3. Rerangka Pemikiran Berikut ini merupakan gambar dari rerangka pemikiran dalam penelitian ini: Kepatuhan Pajak dengan Pendekatan Kesadaran dan Keadilan (Studi Pada Wajib Pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Surabaya) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
Prinsip Kesadaran
Prinsip Keadilan
Kepatuhan Pajak
Pengumpulan Data: 1. Survey pendahuluan 2. Wawancara kepada informan yaitu Wajib Pajak UMKM
Analisis Data: 1. Meneliti pernyataan yang relevan dengan penelitian 2. Menjelaskan secara naratif hasil penelitian 3. Memberikan kesimpulan hasil penelitian Gambar 2 Rerangka Pemikiran 31