ASEAN dan Dialog People-to-People M AKMUR K ELIAT Abstract This article intends to explore three things. First we will explore three framework of thinking that can be used to explain why the people (community) factor has become increasingly important in international relations. Second, we will explore the challenges that are faced by ASEAN to increace people-to-people cooperation based on the previous frameworks. Third, we will try to reflect on the previous sections to try to identify the strategies that can be implemented by Indonesia in order to increase people-to-people contact within the ASEAN framework.
PENDAHULUAN Asumsi dasar dari topik ini adalah bahwa selama masyarakat belum diikutsertakan secara aktif dalam proses ASEAN, maka upaya untuk memperkokoh hubungan antarmasyarakat di ASEAN sebagai fondasi kerjasama kawasan akan berjalan lambat, atau tidak efektif sama sekali. Terkait dengan topik dan asumsi dasar semacam ini, tulisan berikut bertujuan untuk menguraikan tiga hal. Pertama, tiga alur berpikir yang dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa faktor the people (masyarakat) telah menjadi semakin penting dalam hubungan internasional. Kedua, tantangan-tantangan yang dihadapi ASEAN untuk meningkatkan kerjasama people-to-people itu berdasarkan tiga alur berpikir yang telah dipaparkan. Ketiga, merupakan catatan-catatan refleksi terhadap uraian sebelumnya dengan tujuan untuk mengidentifikasi strategi-strategi yang dapat dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan people to people contact itu dalam kerangka ASEAN.
CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003
KANTIAN, KONSTRUKTIVIS, DAN GLOBALISASI Jika dilihat dari perkembangan diskusi dan debat yang terjadi di sekitar lingkaran komunitas akademis, setidaknya terdapat t i g a k e r a n g k a b e r p i k i r ya n g d a p a t digunakan untuk melihat mengapa faktor the people menjadi penting dalam hubungan internasional. Kerangka pikir pertama adalah dengan merujuk pada tradisi berpikir awal yang tumbuh dalam studi ilmu hubungan internasional, khususnya dari mazhab British School of International Studies. Tradisi berpikir dari mazhab ini umumnya melahirkan tiga kelompok pemikiran yang berbeda yang masingmasing dikenal dengan nama kelompok pemikir Machiavellian, Grotian dan Kantian1. Dari tiga pengelompokan ini, pandangan yang menekankan pada pentingnya faktor the people dalam hubungan internasional s e b e n a r n ya b e r a n g k a t d a r i t r a d i s i pemikiran Kantian. Argumen semacam ini dikemukakan karena salah satu perbedaan utama antara pemikiran Kantian dengan dua kelompok pemikir lainnya terletak pada cara pandang untuk memahami hakikat hubungan internasional. Pada intinya kelompok pemikir Kantian menolak 1
ASEAN dan Dialog People-to-People
pandangan Machiavellian yang mengatakan bahwa hubungan internasional adalah tentang konflik antarnegara. Kelompok Kantian juga m e n o l a k p a n d a n g a n G r o t i a n ya n g mengatakan bahwa hubungan internasional sebagai suatu campuran dari konflik dan kerjasama antarnegara. Bagi Kantian, pemahaman hubungan internasional seharusnya tidak dilihat dari sudut pandang hubungan antarnegara, tetapi pada tataran yang lebih dalam, yaitu pada interaksi antarmanusia dengan tujuan moralnya adalah untuk menciptakan persaudaraan. Ini tidak berati bahwa negara sebagai unit analisis dipandang tidak penting tetapi dikonsepsikan sebagai institusi yang menyuarakan interaksi antarmanusia itu sendiri dengan tujuan untuk menciptakan persaudaraan. Dari pandangan semacam ini, terdapat dua implikasi praktis yang mungkin layak untuk digarisbawahi, khususnya dalam konteks pelaksanaan diplomasi. Pertama, kelompok pemikir Kantian umumnya menyatakan bahwa diplomasi dilakukan untuk mengurangi dan bukan untuk meningkatkan ketegangan. Adalah wa j a r j i k a k e m u d i a n k e l o m p o k i n i menentang digunakannya diplomacy by strength dan gun boat diplomacy. Kedua, kelompok ini juga menyatakan bahwa diplomasi terbuka (open diplomacy) merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan atas dasar keharusan moralnya yaitu memperkuat rasa persaudaraan sesama umat manusia. Yang dimaksud dengan diplomasi terbuka bagi kelompok Kantian adalah bahwa diplomasi sebaiknya tidak dilaksanakan dengan diam-diam (quiet diplomacy) tetapi 2
MAKMUR KELIAT
menyediakan ruang yang luas bagi publik untuk memberikan masukan (public view). Untuk tujuan tersebut, penyebarluasan i n f o r m a s i k e p a d a m a s ya r a k a t l u a s (publicity) dipandang menjadi syarat yang sangat penting untuk melaksanakan diplomasi terbuka itu. Argumentasi ini secara normatif bertolak dari pandangan bahwa seluruh kesepakatan yang menyangkut hak-hak azasi orang lain kemungkinan besar akan bertentangan dengan hukum dan hak-hak azasi itu sendiri jika prinsip publisitas diabaikan. Karena itu pula, kelompok yang menganut p a n d a n g a n K a n t i a n b i a s a n ya a k a n b e r p a n d a n g a n b a h wa s e t i a p wa r g a memiliki hak untuk mengetahui kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan oleh pemerintah atas nama mereka. Selain itu, setiap warga juga memiliki hak untuk t e r l i b a t d a l a m p r o s e s t e r w u j u d n ya kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan pemerintah terhadap pemerintah lain. K e r a n g k a p i k i r k e d u a ya n g d a p a t digunakan adalah dengan merujuk pada lahirnya tradisi pemikiran baru dalam studi hubungan internasional yang dikenal dengan nama perspektif konstruktivis (constructivism). Perspektif ini, yang mulai semakin populer pada tahun 1990-an, berbeda dengan tradisi pemikiran konvensional yang ada. Seperti yang diungkapkan oleh Kubalkova, Onuv, dan Kowert,2 perspektif ini bertolak dari asumsi bahwa gagasan tidak pernah netral atau sesuatu yang given tetapi dibentuk oleh masyarakat (socially constructed). Akibatnya, gagasan ataupun teori selalu dibentuk untuk kepentingan pihak tertentu dan untuk tujuan tertentu. Bertolak dari sudut pandang semacam ini, faktor the people itu lalu menjadi sangat penting untuk membuat suatu gagasan atau teori itu CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003
ASEAN dan Dialog People-to-People
menjadi berakar. Manusia, menurut perspektif ini, selalu melihat realitas atau melihat dunia melalui l e n s a - l e n s a ya n g s e c a r a a r t i f i s i a l dilekatkan pada matanya yang bahkan dirinya sendiri mungkin tidak pernah tahu bahwa ia sebagai individu memiliki lensalensa itu. Untuk menegaskan betapa lensalensa artifisal itu sangat besar pengaruhnya, Kubalkova dan kawankawan membuat analogi sebagai berikut. Pa r a a k a d e m i s i ya n g b e r t o l a k d a r i pemikiran liberal (baca: Grotian) misalnya, selalu melihat cara-cara bagaimana untuk menghilangkan api dari hutan. Di lain sisi, para akademisi yang berangkat dari tradisi realis selalu menganggap api itu selalu ada dalam hutan dan lebih memusatkan perhatian pada upaya mengendalikan dampaknya. Di lain sisi, kelompok strukturalis radikal tidak akan menyalahkan t h e p e o p l e j i k a t e r j a d i pengrusakan hutan karena tindakan pengrusakan itu dianggap wajar sebagai akibat posisi ekonomi the people itu dalam perekonomian dunia telah membuat mereka tidak memiliki pilihan lain. Implikasi praktis dari pemahaman semacam ini dalam hubungan internasional adalah bahwa persoalan nilai, normanorma, dan identitas yang dapat dianalogikan dengan lensa-lensa itu menjadi sama pentingnya dengan persoalan material power. Bagi para konstruktivis, seperti misalnya John Gerrad Ruggie 3, mengapa suatu organisasi atau rejim, baik pada tataran internasional ataupun regional, dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya bukanlah sematamata disebabkan oleh kekuatan material belaka yang melekat pada anggota dan organisasi regional itu tetapi juga karena CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003
MAKMUR KELIAT
tujuan dari dibentuknya organisasi itu telah mengakar dan diterima oleh masyarakatnya sebagai tujuan yang sahih atau legitimate. Dalam rumusan lain, dapat juga dikatakan bahwa identitas organisasi telah menjadi embedded dalam masyarakatnya sehingga norma-norma yang menciptakan kepatuhan terhadap organisasi telah juga menjadi norma-norma sosial. Secara demikian, kalau suatu organisasi terpisah dari masyarakatnya atau menjadi organisasi yang elitis, maka organisasi itu diperkirakan akan sulit untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Karena itu pula, kebutuhan untuk kelangsungan hidup (needs for survival) bagi setiap organisasi sebaiknya tidak sematamata dipahami dari ketersediaan perangkat fisik dan keuangan tetapi bagaimana mengupayakan agar identitas organisasi regional, baik tujuan maupun kegiatan yang dilakukannya, menjadi bagian dari identitas sosial. K e r a n g k a p i k i r k e t i g a ya n g d a p a t digunakan adalah dengan merujuk pada proses globalisasi yang tengah berlangsung. Proses globalisasi, yang sebagian diakibatkan oleh kemajuan teknologi komunikasi yang sangat cepat dan juga sebagian lagi oleh tindakan-tindakan liberalisasi yang semakin menghilangkan hambatan-hambatan untuk melakukan investasi dan perdagangan, telah melahirkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan baik dalam pemaknaan terhadap wilayah, isu, dan pelaku. Dari sudut wilayah, proses globalisasi telah mengakibatkan pemaknaan tentang apa yang dimaksud wilayah menjadi sangat longgar karena peristiwa-peristiwa lokal, nasional, regional, dan global dapat 3
ASEAN dan Dialog People-to-People
menjadi tumpang tindih. Sebagai misal, lahirnya istilah-istilah baru seperti intermestic dan glocalization menunjukkan kecenderungan tersebut. Dari sudut isu, kecenderungan yang sama juga terjadi. Menyebut contoh misalnya, isu lingkungan dan ekonomi dapat dipandang menjadi isu keamanan karena lahirnya terminologiterminologi baru seperti environment security dan economic security. 4 Demikian juga halnya, isu politik dan ekonomi menjadi berbaku dengan lahirnya kajiankajian international political economy. Dari segi pelaku, proses globalisasi yang tengah berlangsung telah menghadirkan pula berbagai organisasi non-pemerintah (NGO) dengan jaringan globalnya yang sangat majemuk dan pertemuannya yang bersifat lintas nasional. 5 Organisasi-organisasi ini umumnya bergerak untuk menangani ruang yang diabaikan oleh negara dan pasar dengan mengatasnamakan kegiatannya untuk kepentingan masyarakat luas dan sebagian besar juga sangat bersikap skeptis terhadap tindakan liberalisasi baik yang dilakukan pada tataran regional maupun multilateral. 6 Satu dampak yang sangat jelas yang d i b a wa s e r t a o l e h k e c e n d e r u n g a n kecenderungan semacam ini adalah bahwa negara ketika menjalankan peran dan kegiatannya mendapatkan tantangan yang amat besar. Dari sudut wilayah misalnya, gagasan tentang kedaulatan teritorial yang selalu diklaim negara sebagai bagian dari otoritas mutlaknya tidak lagi dapat digunakan dengan sesuka hati ketika m e m p e r l a k u k a n wa r g a n ya . H a l i n i misalnya tampak dengan munculnya gagasan tentang kedaulatan individual. Dari sudut isu, negara juga dihadapkan dengan persoalan untuk selalu harus menggunakan ragangan (framework) yang 4
MAKMUR KELIAT
holistik dan bukan hanya menggunakan ragangan tertentu saja. Akhirnya, dari segi pelaku, negara kini tidak lagi satu-satunya aktor yang dapat dijadikan sandaran oleh the people untuk menyuarakan kepentingannya. Gagasan tentang economic benefits dari liberalisasi yang dipromosikan oleh para pembuat kebijakan negara kini ditantang dan dihadapkan dengan isu social welfare dan social justice yang disuarakan oleh NGOs atas nama the people.
ASEAN DAN THE PEOPLE Dengan menggunakan alur berpikir yang diuraikan di atas, setidaknya terdapat tiga pertanyaan besar yang kini terletak di hadapan ASEAN berkaitan dengan upayanya untuk meningkatkan interaksi people-to-people di kawasan Asia Tenggara. Pertama, dari sudut pandang pemikiran Kantian, apakah ASEAN dapat menerima p a n d a n g a n t e n t a n g p e r l u n ya o p e n diplomacy? Kedua, dari sudut pandang konstruktivis, apakah identitas ASEAN sebagai organisasi regional sudah menjadi indentitas sosial sehingga tidak dipersepsikan oleh masyarakatnya sebagai organisasi yang elitis? Ketiga, dari sudut pandang globalisasi, usaha-usaha apakah yang telah dilakukan ASEAN untuk membangun hubungan dengan kalangan NGOs di Asia Tenggara yang dalam aktivitasnya mengatasanamakan the people itu? Terkait dengan pertanyaan pertama, terdapat dua hambatan utama bagi ASEAN untuk melaksanakan diplomasi terbuka (open diplomacy). Tantangan pertama muncul dari sistem politik yang sangat beragam di antara negara-negara anggota
CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003
ASEAN dan Dialog People-to-People
ASEAN. Untuk negara-negara seperti Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja, serta Brunei dan dalam derajat tertentu juga muncul di Malaysia dan Singapura, terdapat hambatan politik domestik yang kemungkinan besar akan menyulitkan bagi ASEAN untuk mempromosikan diplomasi terbuka. Hal ini disebabkan kehadiran proses dan wacana politik yang demokratis merupakan prasyarat bagi dilaksanakannya diplomasi terbuka. Karena itu, bagi negaranegara yang disebutkan di atas, istilah diplomasi terbuka kemungkinan besar akan dipandang sebagai isu yang sangat sensitif karena dapat menyentuh dan berdampak pada perubahan proses politik pada tataran domestik. Hal ini jugalah yang menjadi sebab mengapa ASEAN barangkali lebih menyukai gaya quiet diplomacy dan menolak gaya megaphone diplomacy7 yang umumnya memang dipakai oleh kalangan NGOs yang telah tersosialisasi untuk melakukan kegiatannya melalui agenda advokasi dan kampanye. Hambatan kedua berasal dari prinsip konsensus dan non-interference yang dianut dalam kerangka proses ASEAN. Dalam kadar tertentu prinsip ini memang dapat menguatkan kohesivitas ASEAN sebagai organisasi regional. Namun, pada sisi lain, prinsip-prinsip seperti itu dapat pula menyulitkan bagi pelaksanaan diplomasi terbuka. Jika dilaksanakan sesuai dengan terminologi yang lazim dikenal, maka diplomasi terbuka akan dapat mengakibatkan kesukaran yang semakin besar untuk mencapai konsensus. Dalam rumusan yang agak berbeda, kita dapat menyatakan bahwa diplomasi terbuka akan ditentang karena akan membuat pengambilan keputusan di dalam ASEAN semakin terjebak pada time-consuming process. Selain itu, penciptaan ruang bagi CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003
MAKMUR KELIAT
keterlibatan publik (public engagement) atau berbagai aktor di luar negara baik dalam tataran sebelum maupun dalam proses pengambilan keputusan hampir pasti membutuhkan kesabaran yang luar biasa dan sikap untuk tidak mudah tersinggung. Dengan kata lain, jika diplomasi terbuka memang ingin dilakukan maka mungkin akan dapat berdampak pada perubahan terhadap prinsip konsensus dan noninterference yang selama ini dipegang dengan teguh oleh ASEAN. Dalam kaitannya dengan pertanyaan kedua, tantangan yang dihadapi oleh ASEAN tampaknya juga tidak kalah besarnya. Banyak contoh yang dapat digunakan untuk melihat betapa identitas ASEAN itu masih terbatas hanya pada tataran elit. Sebagai misal, ASEAN belum menciptakan mekanisme untuk penyelesaian masalah pekerja migran dan masih bersandar pada pendekatan bilateral daripada mekanisme regional. Contoh lainnya lagi adalah masih tingginya sentimen identitas nasional diantara masyarakat di ASEAN. Aksi kerusuhan yang dilakukan oleh masyarakat Kamboja pada beberapa bulan lalu terhadap kedutaan Thailand menyampaikan pesan betapa sentimen itu masih cukup kuat. Kesan bahwa ASEAN memang bukan bertujuan untuk unity of the people seperti yang digagas oleh Jean Monet dalam kasus kerjasama regional di Uni Eropa hampir tidak dapat dibantah. Walau barangkali organisasi regional ASEAN tidak diarahkan pada upaya untuk menciptakan unity of the people di Asia Tenggara namun terdapat satu keharusan bagi negara-negara anggotanya untuk meningkatkan hubungan antara the people itu. Interdependensi ekonomi yang semakin 5
ASEAN dan Dialog People-to-People
meningkat di kawasan Asia Tenggara, seperti yang dibuktikan oleh krisis yang terjadi pada 1998, setidaknya menyampaikan dua pesan. Pesan pertama adalah bahwa yang paling terkena dampak dari proses tersebut adalah the people namun organisasi regional ini hampir dapat dikatakan tidak memiliki kapasitas institusional dan kolektif untuk mengatasinya. Pesan kedua adalah bahwa minimnya kapasitas kolektif organisasi regional ASEAN itu pada gilirannya mengakibatkan adanya kecenderungan para pembuat kebijakan nasional untuk bersandar pada pemikiran realisme politik atas dasar kepentingan nasional jangka pendek, yang pada gilirannya dapat membawa dampak negatif terhadap kepentingan the people di negara anggota lainnya. Kasus pengusiran tenaga kerja migran Indonesia dari Malaysia dalam derajat tertentu merefleksikan cara pandang kepentingan nasional jangka pendek tersebut dari pembuat kebijakan di Kualalumpur. Dalam kaitan ini perlu pula digarisbawahi fakta bahwa disparitas ekonomi antarnegara anggota dapat juga memberikan insentif untuk terjadinya peningkatan lalulintas manusia dan tenaga kerja yang semakin tinggi dari negara anggota yang berpendapatan rendah ke negara anggota yang berpendapatan lebih tinggi. Pengabaian ASEAN untuk menangani isu-isu lintaswilayah semacam ini akan berdampak pada persepsi bahwa ASEAN hanya merupakan lembaga tempat para birokrat dan bukan untuk menangani isu-isu yang menyangkut kepentingan the people itu 8 . Karenanya, suatu harmonisasi kebijakan nasional yang menyangkut berbagai isu dan kepentingan the people antarnegara anggota dengan tujuan untuk 6
MAKMUR KELIAT
menciptakan norma pada tingkat regional adalah suatu kebutuhan yang mendesak untuk segera dilakukan di masa depan jika identitas ASEAN ingin mengakar dalam identitas sosialnya. Terkait dengan pertanyaan ketiga, kita barangkali perlu lebih dulu mencatat bahwa pertumbuhan organisasi-organisasi nonpemerintah tidak berjalan sama di negaranegara anggota ASEAN. Meski demikian, beberapa studi yang telah dilakukan mungkin dapat digunakan untuk mendapatkan beberapa gambaran atau peta yang lebih jelas tentang NGOs di Asia Tenggara. Pertama, dari segi jumlah maupun jaringan, studi yang dilakukan Yamamoto dan kawan-kawan 9 memang menunjukkan bahwa NGOs itu baik pada tingkat lokal, nasional, dan regional telah meningkat baik di kawasan Asia Tenggara maupun Asia Pasifik. Salah satu alasan dari kehadiran mereka dan jaringan kerjasama yang dilakukan tampaknya didasari oleh pemikiran bahwa interaksi ekonomi bukan merupakan landasan yang cukup untuk menciptakan sense of community tetapi bahkan dapat menjadi sumber perpecahan. Terlebih lagi, isu-isu yang muncul sebagai akibat proses globalisasi bersifat kompleks yang mengakibatkan tidak ada satupun negara dapat dipandang mampu menanganinya secara individual. Karena pertimbangan semacam ini, proses kerjasama regional sebaiknya harus disertai dengan jenjang interaksi yang majemuk di antara NGOs (multiple layers of nongovernmental interactions). Kedua, jika ditarik pada tataran global, terdapat perbedaan antara NGOs di negara maju dengan di negara berkembang. Studi yang dilakukan oleh Helmut Anheir dan kawan-kawan menujukkan bahwa jika CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003
ASEAN dan Dialog People-to-People
diukur secara jumlah maka NGOs yang memiliki jaringan internasional sebenarnya lebih terpusat di negara maju daripada negara berkembang. Tampaknya hal ini terkait dengan sumber pendanaan kegiatan NGOs yang kebanyakan memang berasal dari negara-negara maju. Namun studi ini juga menyebutkan sumber pendanaan tidak hanya berasal dari NGOs yang berpusat di negara maju tetapi juga dapat bersumber dari negara dan lembagalembaga pendanaan multilateral10. Hasil studi ini menyampaikan pesan yang sangat jelas bahwa terdapat ruang yang masih terbuka lebar untuk menciptakan hubungan kerjasama antara NGOs dengan negara dan lembaga-lembaga pendanaan m u l t i l a t e r a l ya n g m e wa k i l i n e g a r a . Sebaiknya hubungan antara NGOs dan negara memang tidak selalu harus dipahami dari hubungan yang konfliktual tetapi dapat juga dalam hubungan kerjasama yang bermuara pada positivesum-game. Atas dasar pertimbangan itu pula, mengintensifkan mekanisme dialog antara negara dan NGOs (state-society dialogue) merupakan suatu langkah yang perlu untuk dilembagakan, baik pada tingkat lokal maupun nasional, tentang berbagai isu yang menyangkut kepentingan the people. Jika ini dapat dilakukan secara melembaga, maka proses semacam itu dapat ditransformasikan pada tingkat regional, mulai dari pertemuan pejabat senior, tingkat menteri dan bahkan kemungkinan misalnya untuk melakukan parallel summit 11. Satu manfaat praktis dari proses semacam ini adalah untuk memudahkan ASEAN dalam berhubungan dengan negara-negara maju. Ia dapat digunakan sebagai argumentasi untuk membantah kritikan bahwa beberapa negara anggotanya kurang CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003
MAKMUR KELIAT
memperhatikan isu-isu yang menjadi kepedulian negara maju itu. Namun, sekali lagi, perlu pula ditambahkan bahwa proses semacam itu tidaklah mudah untuk dilakukan. Tantangan pertama, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kemungkinan besar akan datang dari negara-negara anggota yang tidak memiliki sistem politik yang demokratis. Tantangan semacam ini kemungkinan semakin besar, jika prinsip musyawarah mufakat tetap diterjemahkan sebagai penolakan untuk melakukan public engagement dalam proses ASEAN.
CATATAN AKHIR Dari uraian ringkas di atas, setidaknya ada tiga pokok pikiran yang ingin penulis sampaikan untuk melihat relevansi dari hubungan people-to-people bagi masa depan ASEAN. Pertama, ASEAN tampaknya perlu untuk meredefenisikan gaya diplomasinya, setidaknya jangan sampai quiet diplomacy diartikan sebagai penolakan terhadap kebutuhan untuk melakukan public engagement dalam proses ASEAN. Kedua, ASEAN tampaknya perlu untuk menyadari bahwa upaya-upaya untuk menciptakan sense of community di wilayahnya tidak akan dapat dilakukan jika hanya bersandar pada agenda-agenda besar liberalisasi, baik dalam konteks proses pendalaman maupun dalam konteks perluasan, dan jika hanya memahami isu-isu keamanan hanya dari sudut pandang konvensional. Isu-isu sosial yang menyangkut social welfare dan human security perlu pula untuk dijadikan agenda yang mendapatkan perhatian yang sama besarnya. Ketiga, ASEAN tampaknya perlu untuk menyadari bahwa peluang untuk melibatkan masyarakat dapat dimulai dengan melembagakan mekanisme statesociety dialogue dalam setiap negara anggota 7
ASEAN dan Dialog People-to-People
dan kemudian diangkat pada tataran regional. Dalam kaitan dengan tiga pokok pikiran di atas, tampaknya perlu pula untuk dikemukakan bahwa sesungguhnya jika kita menginginkan peningkatan hubungan antara people-to-pople di kawasan Asia Tenggara maka gagasan tentang batas-batas teritorial sebaiknya tidak semata-mata dipahami dalam pengertian boundary, garisgaris yang memisahkan masyarakat yang hidup di dalamnya. Barangkali, sudah tiba saatnya pula bagi kita untuk memahami batas-batas yang dibuat oleh negara itu dalam pengertian frontier, yaitu zona yang memberikan kemungkinan bagi manusia yang hidup di dalamnya untuk melakukan penjelajahan di luar batas-batas yang telah ditentukan oleh negara itu.12 Adalah suatu fakta sosial bahwa bagi warga yang hidup di wilayah perbatasan, batas-batas teritorial negara itu hanya bermakna artifisial bagi mereka 13. Sebenarnya jika kita mencermati dinamika regional yang terjadi di Asia Tenggara, maka faktor yang sangat dinamis di kawasan ini sebenarnya terletak pada pasar dan masyarakatnya. Ini tidak berarti mengecilkan peran negara dalam keseluruhan dinamika tersebut. Namun haruslah dicatat fakta bahwa kecuali untuk Timor Timur, maka dalam tiga dasawarsa terakhir tidak terdapat pertambahan aktor negara di kawasan ini. Sebaliknya, pasar di kawasan ini menjadi sangat dinamis dengan proses liberalisasi yang terus berjalan. Demikian juga halnya dengan faktor masyarakatnya. Perubahan demografis telah melahirkan generasi baru dengan harapan-harapan baru dan dengan memori-memori kolektif yang kemungkinan besar berbeda dari generasi pendahulu mereka. Namun jika kita hanya 8
MAKMUR KELIAT
memperhatikan dan mengakomodasikan kepentingan dan dinamika pasar tanpa memperhatikan betapa pentingnya untuk mengakomodasikan civil society yang menjadi sumber bagi inspirasi moral dan nilai kehidupan maka ASEAN mungkin hanya akan hadir secara fisik tanpa roh dari masyarakatnya. Barangkali memang tidak semua harus diserahkan pada pasar karena terdapat hal-hal yang kita anggap sebagai nilai yang hakiki dari kehidupan. Dalam konteks ini pertanyaan yang diajukan oleh Anthony Giddens barangkali layak untuk direnungkan: can we live in a world where nothing is sacred? 14
DAFTAR PUSTAKA Anheir, Helmut et. al. (eds.). Global Civil Society 2001. Oxford: Oxford University Press, 2001. Axline, W. Andrew. The Political Economy of Regional Cooperation: Comparative Case Studies. London: Farleigh Dickinson University Press, 1994. Buzan, Barry, Ole Weaver, dan Jaap de Wilde. Security: A New Framework of Analysis. London: Lynne Riener Publishers, 1998. Direktori Peace Building Indonesia (Indonesian Peace Building Directory). Yogyakarta: Cordaid dan CRS, January 2003. Evans, Great et.al.. Where China Meets Southeast Asia, Social and Cultural Changes in the Border Regions. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000. Giddens, Anthony. Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives. London: CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003
ASEAN dan Dialog People-to-People
Profile Books, 1999. Mender, Jerry dan Edward Goldsmith (eds.). The Case Against the Global Economy and for A Turn Toward the Local. San Fransisco: Siera Club Books, 1996. Palan, Ronen (ed.). Global Political Economy. London: Routledge, 2000. Ruggie, John Gerard. Constructing the World Politiy: Essays on International Institutionalization. London: Routledge, 1998. Smouts, Marie-Claude (ed.). The New International Relations: Theory and Practice. L o n d o n : H u r t s & C o m p a n y, 1 9 9 8 . Vendulka, Kubalkova, Nicholas Onuf, dan Paul Kowert. International Relations in A Constructed World. 1998. Wight, Martin. International Theory: The T h re e Tr a d i t i o n s . L o n d o n : L e i c e s t e r University Press, 1991. Yamamoto, Tadashi (ed.). Emerging Civil Society in the Asia Pacific Community. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1995.
CATATAN BELAKANG 1. Lihat uraian yang dikemukakan oleh Martin Wight, dalam International Theory: The Three Traditions, ( L o n d o n : L e i c e s t e r U n i ve r s i t y P r e s s , 1 9 9 1 ) . 2. Lebih jauh lihat, Kubalkova, Vendulka, Nicholas Onuf, Paul Kowert, International Relations in A Constructed World (1998). 3. Lihat, John Gerard Ruggie, Constructing the World Politiy: Essays on International Institutionalization, (London: Routledge, 1998). 4. Lihat, Barry Buzan, Ole Weaver, dan Jaap de Wilde, Security: A New Framework of Analysis, (London: Lynne
CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003
MAKMUR KELIAT Riener Publishers, 1998). 5. Mengenai konsep jaringan lintasnasional ini lihat uraian, Ariel Colonomos, Transnational Networks: Old Games, New Rules, dalam Marie-Claude Smouts (ed.), The New International Relations: Theory and Practice (London: Hurts&Company, 1998). 6. Lihat misalnya Jerry Mender dan Edward Goldsmith (eds.), The Case Against the Global Economy and for A Turn Toward the Local, (San Fransisco: Siera Club Books, 1996). 7. Lihat misalnya makalah Rodolfo C. Severino, mantan Sekjen ASEAN pada pertemuan Tingkat Tinggi Keempat antara PBB dan Organisasi Regional tentang Cooperation for Peace-Building, United Nations, New York, 6-7 February 2001. Antara lain ia mengungkapkan In its approach to common goals and to issues that could lead to conflict, ASEAN places a premium on dialogue and consultation in place of posturing and confrontation. It prefers quiet discussions and eschews megaphone diplomacy and feel-good diplomacy. 8.Lihat misalnya kritikan yang dikemukakan seorang pengamat ASEAN, Puspa Thambipillai, Continuity and Change in ASEAN: The Politics of Regional Cooperation in South East Asia, dalam W. Andrew Axline, The Political Economy of Regional Cooperation: Comparative Case Studies, (London: Farleigh Dickinson University Press, 1994). Ia antara lain mengatakan Most policies have their origins in working groups and senior officials meeting before they are brought up to the ministerial level and formally accepted. This partly satisfies the need for the numereous committes and meetings that have become characteristics of ASEAN regionalism. One direct consequence is the informality and familiarity of the p a r t i c i p a n t s w i t h e a c h o t h e r. T h e c o m m i t t e s recommendations are forwarded to the ministers; similarly the ministers proposals are debated and disseminated at the committte levels for feedback and information. Meeting also take place in various ASEAN destinations, depending on which member country is the host to a particular committee for a particular time. This has caused a boom in intra-ASEAN intergovernmental travel and tourism, merely to cater the ASEAN bureaucrats. (penekanan dari penulis). 9. Lihat, Tadashi Yamamoto (ed.), Emerging Civil Society in the Asia Pacific Community, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1995). Sementara itu studi yang dilakukan oleh Asian Regional Resource Center, menunjukkan bahwa ribuan organisasi-organisasi nonpemerintah yang beroperasi di Asia Tenggara dapat dibagi dalam 12 sektor yaitu organisasi untuk memperhatikan anak-anak dan pemuda,
9
ASEAN dan Dialog People-to-People konsumsi, hukum demokrasi, penedidikan pembangunan, lingkungan, kemananan pangan, kesehatan, HAM dan pendidikan HAM, kelompok minoritas dan indigeneous, tanah dan pertania, serikat buruh, dan wanita/jender. Lihat, A Directory of Southeast Asia, Selected Organizations Related to Sectoral Training and Capacity Building, (Bangkok: Asian Regional Resoures Center for Human Rights Education, 2001). 10. Lebih jauh lihat Helmut Anheir et. al. (eds.), Global Civil Society 2001, (Oxford: Oxford University Press, 2001). Studi yang dilakukan oleh Cordaid dan CRS tentang peta organisasi-organisasi nonpemerintah yang mempromosikan keadilan dan perdamaian di Indonesia juga menunjukkan bahwa tidak benar anggapan bahwa sumber dana organisasi-organisasi itu di Indonesia semata-mata berasal dari donor di negara maju. Dari 380 tanggapan yang diberikan, 66 organisasi sepenuhnya mendanai organisasinya sendiri, 141 mendanai sebagian, 61 didanai sepenuhnya donor internasional dan 109 memiliki beberapa sumber dari donor internasional dan 9 yang menerima dana dari pemerintah. Walau harus pula dicatat bahwa kebutuhan dana merupakan salah satu masalah penting dalam pelaksanaan kegiatan. Lihat, Direktori Peace Building Indonesia (Indonesian Peace Building Directory) (Yogyakarta: Cordaid dan CRS, January 2003). 11. ASEAN sendiri kini tampaknya telah membuka diri untuk berhubungan dengan NGO di Asia Tenggara karena kini terdapat sejumlah organisasi atas nama NGO yang telah berafliasi dengan ASEAN. Demikian juga halnya, telah pernah dilaksanakan dua kali pertemuan ASEANS People Assembly, yang pertama diadakan di Batam pada tahun 2000 dan di Bali pada tahun 2002 yang diorganisir oleh CSIS Jakarta dibawah payung ASEAN-ISIS network. Langkah-langkah ini tentu saja perlu disambut dengan positif. Namun harus pula dicatat bahwa pertemuanpertemuan semacam ini bukan tanpa masalah. Ada satu isu yang perlu diperhatikan yaitu keterwakilan. Yang ingin disampaikan oleh penulis adalah bahwa sebaiknya pertemuan-pertemuan itu tidak mengklaim telah mewakili seluruh konstituen mengingat begitu beragamnya organisasi yang membawa nama th e people itu. Hal ini untuk menghindarkan adanya kesan terjadinya proses kooptasi yang dilakukan organisasi regional ASEAN terhadap gerakan civil society di Asia Tenggara. Kekhawatiran semacam ini bukanlah tidaklah beralasan. Sebagian dari kalangan NGO berpandangan bahwa hubungan antara negara dengan NGO akan lebih produktif berada pada tingkat lokal. Hal ini disebabkan kelompok atau 10
MAKMUR KELIAT pemimpin-pemimpin pada tataran nasional yang berada di luar negara memiliki hubungan dekat dengan pejabat pemerintah. Lihat, Mark Ritchie, Cross Border Organizing, dalam Jerry Mender & Edward Goldsmith (eds), The Case Against The Global Economy and for A Turn Toward The Local, (San Fransisco: Siera Club Books, 1996). 12. Konsep ini sebenarnya dipinjam dari pemikiran para geographers dan juga mulai dipakai secara luas untuk memberikan pengabsahan bahwa kebutuhan untuk melakukan studi lintas disiplin, misalnya dalam kajian ekonomi politik global. Lihat misalnya Ronen Palan (ed.), Global Political Economy, (London: Routledge, 2000). 13. Dalam konteks Asia Tenggara, penyebab utama mengapa menjadi artifisal muncul dari fakta bahwa batas-batas politik itu tidak seiring dengan batasbatas kultural dan sosial. Hal ini misalnya sangat dalam wilayah perbatasan antarnegara di Asia Tenggara. Lihat misalnya studi yang dilakukan oleh Great Evans dkk, Where China Meets Southeast Asia, Social and Cultural Changes in the Border Regions, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2000). 14. Lihat Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives, (London: Profile Books, 1999).
CIVIC Vol.1 No.2 Agustus 2003