ARTIKEL Judul Tradisi Mepasah di Setra Wayah Desa Trunyan, Kintamani, Bangli dan Pemanfaatannya Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Peminatan di SMA Berbasis Kurikulum 2013
Oleh I Wayan Dedi Pranata 1014021019
JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2014
Tradisi
Mepasah
di
Setra
Wayah
Desa
Trunyan,
Kintamani,
Bangli
dan
Pemanfaatannya Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Peminatan di SMA Berbasis Kurikulum 2013 Oleh I Wayan Dedi Pranata, Dra, Desak Made Oka Purnawati, M.Hum 1, Drs. I Gusti Made Aryana, M. Hum 2 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja Email :
[email protected],
[email protected] @Undiksha.ac.id ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Latar Belakang dilaksanakannya tradisi mepasah di Setra Wayah Desa Trunyan, Kintamani, Bangli ; (2) Pelaksanaan tradisi mepasah di Setra Wayah Desa Trunyan, Kintamani, Bangli ; (3) Potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran Sejarah dari tradisi mepasah di Setra Wayah Desa Trunyan, Kintamani, Bangli. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yaitu : (1) Penentuan lokasi ; (2) Teknik penentuan informan ; (3) Metode pengumpulan data (observasi, wawancara, dan studi dokumen) ; (4) Teknik Penjamin Keaslian data (triangulasi data, triangulasi metode) ; (5) Teknik analisis data ; (6) Metode penulisan. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Latar belakang masyarakat Desa Trunyan melaksanakan tradisi mepasah dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu faktor historis, faktor keyakinan atau kepercayaan, faktor upacara ritual. (2) Proses pelaksanaan tradisi mepasah yaitu upacara mepasah dilaksanakan pada dua tempat yakni di areal rumah pemilik jenasah ( rumah duka ) dan di Setra Wayah, pelaksanaan tradisi mepasah menggunakan peralatan atau sarana penunjang kegiatan di antaranya yaitu : Bakti angkeb nasi ( sesajen), ambuh (karmas), boreh (lulur), pemebek (daun lemo yang dibakar), sigsig (tapal gigi), kelatkat (anyaman bambu), lante (pembalut jenasah), ancak saji ( anyaman bambu untuk melindungi jenasah dari binatang), sundin (lampu), buki (lampu pengantar jenasah), rerebu (pandan dipotong kecil – kecil yang dipercaya mampu mengusir roh jahat), tradisi mepasah melibatkan tiga kelompok atau Manggalaning Yadnya yaitu : Sang Sadaka, yaitu pendeta, Sang Widya, Tukang Banten, Sang Yajamana, umat yang menyelenggarakan upacara ; (3) Aspek-aspek yang terdapat pada Tradisi Mepasah di Desa Trunyan yang bisa dikembangkan menjadi sumber belajar sejarah yaitu aspek bentuk fisik bangunan (patung Ratu Sakti Pancaring Jagat), aspek sejarah ( historis), aspek gotong royong dan kebersamaan. Kata Kunci : Tradisi, Mepasah, Setra Wayah, Sumber Belajar Sejarah.
Mepasah Tradition in Setra Wayah Trunyan Village, Kintamani, Bangli and Utilization as a Source of Learning History Specialization in Based Curriculum 2013 of Senior High School by I Wayan Dedi Pranata, Dra,Desak Made Oka Purnawati, M. Hum1, Drs. I Gusti Made Aryana, M.Hum2 History Education Department Student, Ganesha University of Education, Singaraja Email:
[email protected],
[email protected] @undiksha.ac.id
ABSTRACT This study aimed to determine (1) The background of the implementation of mepasah tradition in Setra Wayah Trunyan Village, Kintamani, Bangli; (2) The implementation of mepasah tradition in Setra Wayah Trunyan Village, Kintamani, Bangli; (3) The potential that can be used as a source of learning history from mepasah tradition in Setra Wayah Trunyan Village, Kintamani, Bangli. This study used a descriptive qualitative approach, namely: (1) location determination technique; (2) the determining of informant technique; (3) data collection techniques (observation, interviews and study of documents); (4) the guarantor of data authenticity techniques (data triangulation, method triangulation); (5) data analysis technique; (6) writing technique. The results showed that (1) Background of the Trunyan villagers implement mepasah tradition can be seen from several factors: historical factors, belief or faith factors, ritual factors. (2) the process of implementation Mepasah tradition that is Mepasah ceremony held at two places namely in the area of home owner's body (the funeral home) and at Setra Wayah, implementation of mepasah tradition is using equipment or facilities to support activities such as: bakti angkeb nasi (offerings),ambuh (shampooing), boreh (scrubs), pemebek (lemo leaves were burned), sigsig (toothpaste), kelatkat (woven bamboo), lante (pads bodies), ancak saji (woven bamboo to protect the bodies from animals), sundih (lamp),buki (bodies conductor lamp), rerebu (pandan leaves cut into small pieces which is believed to ward off evil spirits), mepasah tradition involves three groups or Manggalaning Yadnya: Sang sadaka, the pastor, Sang Widya, Tukang Banten, Sang Yajamana, the people who organize ceremony; (3) The aspects contained in Mepasah Tradition in Trunyan village could be developed into a source of learning the history of that aspect of the physical form of the building (the statue of Ratu Sakti Pancaring Jagat), aspects of history (historical), aspects of cooperation and togetherness. Keywords: Tradition, mepasah, sources of learning
Kebudayaan masyarakat Bali yang diwariskan dari zaman pra-sejarah sampai sekarang sangat dipengaruhi oleh keyakinan, seperti kepercayaan terhadap suatu benda yang dianggap memiliki roh atau jiwa (animisme), kepercayaan terhadap benda yang memiliki kekuatan gaib (dinamisme) sehingga berkembangnya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya. Salah satu bentuk kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Bali yaitu adanya tradisi-tradisi yang masih dipertahankan sampai saat kini (Suasthawa,1999:27). Salah satu Desa Tradisional di Bali yaitu Desa Trunyan , yang memiliki tradisi penguburan. Tradisi penguburan yang terdapat di Desa Trunyan ini berbeda dengan tradisi penguburan pada masyarakat Bali pada umumnya. Tradisi tersebut yaitu tradisi mepasah dengan meletakkan jennazah di atas tanah tanpa dikuburkan. Umumnya, di daerah Bali, orang yang meninggal dikubur atau dibakar (ngaben). Namun, sangat berbeda halnya dengan penerus darah keturunan Bali Aga di Desa Trunyan. Orang yang meninggal bukan dimakamkan atau dibakar, melainkan dibiarkan sampai membusuk di permukaan tanah dangkal berbentuk cekungan panjang. Tradisi unik di Desa Trunyan ini
dilakukan
masyarakat setempat sejak dulu sampai sekarang, yakni meletakan jenazah di atas tanah tanpa di kuburkan yang disebut mepasah di Sema Wayah. Tradisi unik ini sangat dikenal oleh masyarakat lokal dan wisatawan mancanegara sehingga menjadi daya tarik pariwisata. Posisi jenazah berjejer bersanding dengan yang lainnya, lengkap dengan pembungkus kain sebagai pelindung tubuh di waktu prosesi. Di tempat ini ada tiga lokasi yang digunakan sebagai tempat penguburan yaitu Sema Nguda, Sema Wayah, dan Sema Bantas. Apabila salah seorang warga Trunyan meninggal secara wajar, mayatnya akan ditutupi kain putih, diupacarai, kemudian diletakkan tanpa dikubur di bawah pohon besar bernama Taru Menyan, di sebuah lokasi bernama Sema Wayah. Namun, apabila penyebab kematiannya tidak wajar, seperti karena kecelakaan, bunuh
diri, atau dibunuh orang, mayatnya akan diletakan di lokasi yang bernama Sema Bantas. Sedangkan untuk mengubur bayi dan anak kecil, atau warga yang sudah dewasa tetapi belum menikah, akan diletakan di Sema Muda. Dengan berbagai keunikan itulah, terlebih lagi di tengah-tengah derasnya gempuran modernisasi dan globalisasi sebagai penyebab pergeseran maupun pengikisan nilai dan sikap budaya masyarakat, tradisi ini ternyata mampu bertahan sampai sekarang. Hal tersebut terjadi karena kehidupan masyarakat di Desa Trunyan masih berpegang teguh pada tradisi kuno yang berciri sosial religius, sehingga dalam kesempatan ini penulis tertarik untuk meneliti lebih lamjut mengenai Tradisi mepasah di Desa Trunyan, Kintamani, Bangli. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikannya adalah dengan memasukan tradisi mepasah di Desa Trunyan, Kintamani, Bangli ini sebagai sumber pembelajaran sejarah di sekolah khususnya sumber pembelajaran sejarah kebudayaan di SMA. Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran sejarah kebudayaan di SMA masih belum menganal materi tentang tradisi- tradisi lokal dalam materi pembelajaran. Pembelajaran sejarah yang lebih ditekankan pada materi yakni cara masyarakat dalam mewariskan hasil masa lalunya melalui keluarga dan melaui masyarakat yang mana dalam buku sejarah SMA kelas X (Sejarah Kajian Kehidupan Masyarakat) dalam kajian materinya masih belum menyelipkan tentang tradisi lokal dalam isi materinya yang dapat memberikan kontribusi terhadap pembelajaran sejarah ( Badrika, 2006 : 28). Berdasarkan hal tersebut menarik untuk dikaji penelitian yang berjudul “Tradisi Mepasah di Setra Wayah Desa Trunyan, Kintamani, Bangli dan Pemanfaatannya Sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah Peminatan di SMA Berbasis Kurikulum 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Untuk mengetahui latar belakang dilaksanakannya tradisi mepasah di Setra Wayah Desa Trunyan, Kintamani, Bangli. (2) Untuk mengetahui pelaksanaan tradisi mepasah di Setra Wayah
Desa Trunyan, Kintamani, Bangli. (3) Untuk mengetahui potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran sejarah dari tradisi mepasah di Setra Wayah Desa Trunyan, Kintamani, Bangli. Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini menyangkut latar belakang munculnya pelestarian tradisi ( sistem keyakinan atau kepercayaan, sistem riual), pelaksanaan sistem tradisi ( peralatan ritual, waktu/tempat ritual, peserta upacara/ kelompok Agama), tinjauan tentang sumber pembelajaran (pengertian sumber pembelajaran, jenis-jenis sumber pembelajaran, fungsi sumber pembelajaran).
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Adapun langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan antara lain sebagai berikut : (1) penentuan lokasi penelitian, lokasi penelitian yang di tuju yaitu di Desa Trunyan Kintamani, Bangli : (2) Metode penentuan informan, informan dalam penelitian ini adalah I Nyoman Parsa (65 tahun). Selaku mantan kepala Desa Trunyan, pemangku dan para pengunjung, : (3) metode pengumpulan data (observasi, wawancara, kajian dokumen) : (4) metode penjamin keaslian data ( triangulasi data, triangulasi metode) : (5) Metode analisis data, dan (6) Metode penulisan. HASIL DAN PEMBAHASAN Latarbelakang Dilaksanakannya Tradisi Mepasah Di Setra Wayah Kintamani, Bangli.
Desa Trunyan,
Tradisi mepasah merupakan peruwjudan sywkur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tradisi Mepasah yang dilaksanakan di Desa Trunyan, Kintamani Bangli merupakan uapcara yadnya yang didasari oleh rasa bakti umat Hindu di Trunyan untuk memohon anugrah kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Pelaksanaan upacara ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh rasa bakti dan cinta kasih masyarakat Desa Trunyan kepada leluhurnya yang telah meninggalkan bermacam-macam kebudayaan terutama pelestarian lingkungan hidup serta menjaga keharmonisan kehidupan manusia melalui upacara Mepasah (Manusa Yadnya). Adapun Latar belakang masyarakat Desa Trunyan melakukan tradisi mepasah dapat dilihat dari beberapa : (1) Faktor Historis Kemunculan tradisi Mepasah berawal dari bau harum yang berasal dari desa Trunyan yang tercium sampai ke puri (keraton) Dalem Solo. Bau harum yang luar biasa ini telah menarik minat emapat orang anak Dalem Solo untuk bersama-sama pergi mencari sumbernya. Dari empat anak Dalem Solo itu, tiga yang lebih tua usianya adalah laki-laki, sedangkan yang termuda adalah seorang wanita. Dalam pengembaraan tersebut, akhirnya mereka tiba di pulau Bali. Setelah tiba di antara batas pulau Bali sebelah timur, yaitu di antara Desa-Desa culik-Karangasem, dan tepi, yang terletak di perbatasan Kabupaten karangasem dan Buleleng, keempat anak dapat mencium bau itu lebih keras. Bau harum ini makin tajam sewaktu tiba di Daerah Btur, setiba di kaki selatan gunung Batur, anak Dalem Solo yang perempuan berkeputusan untuk berdiam di tempat itu, yaitu di tempat pura Batur sekarang. Gelar putri tersebut setelah menjadi dewi adalah Ratu Ayu Mas Maketeg. Ketiga saudara laki-lakinya melanjutkan perjalanan menyusur pinggir danau Batur, dan ketika tiba di suatu tempat yang datar di sebelah baratnya danau, terdengar oleh mereka suara burung. Maka sejak itu tempat itu bernama Kedisa,burung dalam bahasa Bali adalah kedis. Waktu mendengar suara itu, karena girangnya, putra Dalem Solo berteriak. Hal ini membuat kakaknya yang tertua kurang senang, sehingga menginginkan supaya adiknya untuk selanjutnya tinggal di tempat itu, dan tida lagi ikut pengembaraan mereka.
Setelah meninggalkan adik mereka, kedua putra Dalem Solo yang selebihnya, terus menyusuri tepi Danau Batur sebelah timur, dan tiba di suatu dataran lain dimana mereka menemukan dua orang wanita, yang satu sedang mencari kutu di atas kepala yang lain. Karena amat gembira melihat manusia, putra Dalem Solo yang ke dua lalu menyapa ke dua wanita tersebut. Perbuatan adiknya ini menimbulkan ketidaksenangan pada hati kakaknya. Segera adiknya diperintahkan agar tidak lagi mengikutinya dalam usaha mencari sumber bau harum, melainkan tinggal untuk selanjutnya di tempat itu saja. Si adik menolak dengan keras, sehingga membuat kakaknya naik pitam dan menyepak adiknya keras-keras, sehingga adik ini jatuh melingkih (terlungkup). Dalam keadaan ini, ia ditinggalkan oleh kakaknya, dan kemudian menjadi kepala Daerah di sana. Sampai kini di daerah itu masih terdapat sebuah patung Betara dari batu, yang berada dalam sikap melingkuh. dari kata melingkuh ini kemudian Desa tersebut mendapat nama Abang Dukuh, karena menurut etimologi rakyat, Dukuh berasal dari kata melingkuh, dan di sebut abang, karena desa itu merupakan bagian dari desa Abang.
Setelah meninggalkan adik-adiknya di desa-desa tersebut, putra sulung Dalem Solo melanjutkan perjalanannya ke utara sambil kembali menyusuri pinggir Danau Batur yang curam di sebelah timur. Akhirnya ia tiba di suatu dataran lagi, dimana di temukan seorang dewi yang teramat mnggiurkan hati mudanya. Dewi itu sedan berada seorang diri di bawah pohon Taru Menyan, sumber dari bau harum yang dicarinya itu. Perasaan birahi mudanya segera bangkit, dan di luar kekuasaannya lagi Sang Dewi segera disanggamainya. Setelah selesai, si pemuda petulang ini, pergi menghadap kakak Sang Dewi untuk melamar adiknya. Permohonannya dikabulkan dengan syarat ia harus dijadikan pancer (Pasak) dari jagat (Dunia) mereka, yaitu dalam arti menjadi pemimpin Desa Trunyan. Syarat ini sudah tentu disanggupi putra Dalem Solo, dan pengesahan perkawinan terjadilah. Putra Dalem Solo
ini, kemudian bergelar Ratu Sakti Pancering Jagat. Dan Dewi tersebut bergelar Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar. Ia adalah Dewi Danu (Danau), karena bersama putra pertamanya hasil perkawinan dengan Ratu Sakti Pancering Jagat, yang bernama Ratu Gede Dalem Dasar, mereka menguasai Danau Batur. Penduduk Trunyan dari kasta Bnjar Jaba adalah keturunan mereka. Setelah perkawinan ini, tempat yang mereka diami berangsur-angsur berkembang menjadi suatu kerajaan kecil dengan Ratu Sakti Pancering Jagat sebagai Rajanya. Kemudian karena kawatir kerajaan mereka ini akan diserbu orang luar yang terpesona oleh bau harum yang dikeluarkan pohon Menyan, maka Ratu Sakti Pancering Jgat memerintah untuk menghilangkan bau harus tersebut. Caranya adalah dengan jalan tidak lagi memperkenankan Jenazah-Jenazah orang Trunyan dikebumikan,melainkan dibiarkan membusuk di bawah udara terbuka. Itulah sebabnya, mengapa sejak itu desa Trunyan tidak lagi mengeluarkan bau harum yang mempesonakan, tetapi sebaliknya jenazah-jenazah penduduk yang di biarkan membusuk di udara terbuka tidak mengeluarkan bau busuk. (2) Faktor Keyakinan atau kepercayaan, pelaksanaan upacara keagamaan khususnya dalam upacara mepasah yang didukung dengan sarana upakara/sesajen/banten. Sesajen tersebut meyakinkan bahwa tradisi mepasah memiliki suatu nilai religius yang diyakini oleh masyarakat di DesaTrunyan. Selain itu hubungan tradisi mepasah juga erat dengan konsep Tri Hita Karana yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan (alam), antara manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Sehingga masyarakat di Desa Trunyan melakukan tradisi mepasah disebabkan oleh adanya suatu kepercayaan. Tradisi mepasah yang dilaksanakan merupakan wujud nyata dari aktivitas-aktivitas keagamaan yang terealisasi lewat pelaksanaan yadnya atau korban suci yang dilakukan dengan tulus ikhlas yang didalamnya terdiri dari sarana upakara/banten/sesajen yang lebih banyak berbentuk material : (3) Faktor Upacara Ritual, Secara historis masyarakat Desa Trunyan memaknai suatu upacara sebagai bentuk sebuah
Yadnya, dimana Yadnya merupakan wujud dari rasa terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) dengan bentuk persembahan dan pengorbanan yang tulus iklas yang timbul dari hati yang suci dengan maksud yang mulia dan luhur. Begitu halnya masyarakat Desa Trunyan dengan melaksanakan ritual Mepasah dan juga merupakan bentuk penghormatan kepada nenek moyang, dalam upacara ritual ini diharapkan jenazah benarbenar dalam keadaan yang sudah di tentukan dalam proses mepasah, pada saat meninggal tidak memikiki cacat pisik atau meninggal karena di bunuh. Ritual mempunyai fungsi dan peranan tersendiri bagi masyarakat yang bersangkutan.
Pelaksanaan tradisi mepasah di Setra Wayah Desa Trunyan, Kintamani, Bangli.
Tradisi Mepasah dilaksanakan oleh masyarakat Trunyan terkecuali bagi kaum Wanita yang tidak diperbolehkan mengikuti pelaksanaan Tradisi Mepasah. Untuk menghormati Tradisi warisan leluhur yang sampai saat ini di sakralkan maka masyarakat Desa Trunyan selalu melakukan Tradisi Mepasah ketika salah satu dari mereka yang meninggal secara wajar dan masuk dalam ketentuan Tradisi mepasah. Masyarakat Desa Trunyan dalam melaksanakan tradisi mepasah ada beberapa peralatan atau sarana penunjang kegiatan diantaranya yaitu: Bakti angkeb Nasi (sesajen), pembuatan sarana dalam pembersihan jenazah Ambuh (kramas) menggunakan santan dari kelapa, boreh (lulur) terbuat dari kinis dan lengkuas, Pemebek (daun lemo yang dibakar), Sigsig (tapal gigi) terbuat dari batu bata merah, kelatkat (anyaman bambu) digunakan sebagai alas untuk jenazah yang akan di pasah, lante digunakan sebagai pembalut jenazah setelah dimandikan, Ancak saji (anyaman bambu yang digunakan sebagai pelindung dari serangan binatang atau pagar jenazah ketika sudah di pasah di setra wayah), Sundin (lampu yang dioercaya mampu mencarikan jalan bagi roh jenazah yang akan di pasah), Buki (lampu yang dipercaya mampu mengantarkan roh jenazah
yang di pasah), Rerebu (pandan dipotong kecil-kecil yang dipercaya mampu mengusir roh jahat, setelah selesai mempersiapkan sarana tersebut Berikutnya masyarakat Desa Trunyan memilih tempat di Setra Wayah. Didalam pelaksanaan Tradisi Mepasah di Desa Trunyan Wanita tidak diperbolehkan untuk mengikuti proses penaruhan jenazah atau tradisi mepasah. Hal ini dikarenakan apabila wanita masuk ke areal kuburan diyakini akan terjadi musibah setelahnya. Upacara Mepasah ini dipinpin oleh Prajuru Adat Desa Trunyan karena Desa Trunyan merupakan desa kuno yang masih menjadikan prajuru Adat sebagai Peminpin berbagai upacara Adat di Desa Trunyan. Upacara Mepasah adalah suatu upacara yang ada di Desa Pakraman Trunyan, upacara ini dilaksanakan pada dua tempat yakni di areal rumah yang memiliki jenasah (rumah duka ) yang akan diupacarai mepasah, merupakan tempat yang digunakan dalam mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam proses mepasah. Semua tahap persiapan dilakukan di rumah duka, Berikutnya masyarakat Desa Trunyan memilih tempat di Setra Wayah.
Potensi sebagai sumber pembelajaran Sejarah di SMA dari tradisi mepasah di Setra Wayah Desa Trunyan, Kintamani, Bangli.
. Keberadaan Tradisi Mepasah di Desa Trunyan tentunya dapat dipakai sebagai alternatif bagi guru untuk mengajarkan materi pembelajaran sejarah yang lebih kreatif, efektif dan konseptual. Untuk itu diperlukan penggalian terhadap aspek-aspek yang terdapat di dalam Tradisi mepasah yang bisa dikembangkan menjadi sumber sejarah. Aspek-aspek yang terdapat pada Tradisi Mepasah di Desa Trunyan yang bisa dikembangkan menjadi sumber belajar Sejarah antara lain : (1) Aspek bentuk Fisik Bangunan (Patung Ratu Sakti pancaring Jagat), Di Desa Trunyan pada masa ini masih terdapat sebuah
patung batu raksasa, peninggalan jaman megalitik, yang oleh penduduk setempat dianggap sebagai patung Dewa tertinggi mereka, yaitu Ratu Sakti Pancering Jagat. Jadi, jika melihat dari bentuk fisik Patung Ratu Sakti Pancering Jagat, peninggalan ini tentu saja bisa dipakai oleh guru ataupun tenaga pendidik sebagai sumber belajar sejarah. Hal tersebut sesuai dengan silabus yang terdapat pada SMA kelas satu, dengan Kompetensi Inti (KI) yaitu mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa pra aksara dan masa aksara. (2) Aspek Sejarah (Historis), Aspek sejarah dalam Tradisi Mepasah penting dalam kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Selain Tradisi, Mepasah di wilayah Desa Trunyan juga masih banyak lagi ditemukan peninggalan-peninggalan bercorak megalitik seperti arca dan batu-batu bercorak megalitik yang sekarang dipuja dan di sebuat Ratu Sakti Pancaring Jagat. Aspek sejarah pada Tradisi Mepasah di Desa Trunyan inilah yang bisa dikembangkan oleh guru untuk dijadikan sumber belajar bagi peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan silabus yang terdapat pada SMA kelas satu, dengan Kompetensi Inti (KI) yaitu mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa pra aksara dan masa aksara. Dalam mempelajari tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa pra aksara tentu saja tidak akan cukup hanya dengan mengenalkan peninggalan-peninggalan yang dihasilkan pada masa pra aksara : (3) Aspek Gotong Royong dan Kebersamaan, Selain aspek bentuk fisik patung Ratu Sakti Pancaring Jagat dan sejarah, juga terdapat aspek gotong royong dan kebersamaan yang terdapat di dalam Tadisi Mepasah di Desa Trunyan yang bisa dikembangkan menjadi sumber belajar sejarah. Tradisi Mepasah memang tidak bisa dilepaskan dari semangat gotong royong dan kebersamaan. Dalam pelaksanaan Tradisi Mepasah tentu saja sifat gotong royong dan kebersamaan merupakan dasar utama dalam pelaksanaan Tradisi Mepasah ini. Sifat gotong royong dan kebersamaan itu dapat dilihat dari adanya usaha membawa jenazah ke Setra Wayah menggunakan prahu secara bersama - sama di dalam pelaksanaan proses Tradisi Mepasah.
Sifat gotong royong dan kebersamaan merupakan nilai-nilai yang bisa ditanamkan oleh guru kepada siswa dalam setiap kompetensi Inti (KI) mata pelajaran sejarah. Hal tersebut dapat dilihat dari silabus yang terdapat pada SMA kelas satu, dengan kompetensi Inti (KI) yaitu mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa pra aksara dan masa aksara. Dalam masyarakat pra aksara sifat gotong royong dan kebersamaan merupakan faktor utama masyarakat prasejarah dalam mempertahankan hidupnya, baik itu dalam berburu secara bersama-sama, membuat bangunan-bangunan penyembahan nenek moyang, ataupun membangun lahan pemukiman dan membuka lahan perkebunan. Selain itu juga dapat dilihat dari silabus yang terdapat pada SMA kelas dua, dengan Kompetensi Inti (KI) yaitu menganalisis perkembangan pengaruh barat dan perubahan ekonomi, demografi dan kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia pada masa kolonial. : (4) Aspek Religius (Religi), Makna religi dari Tradsi Mepasah di Desa Trunyan tidak bisa terlepas dari unsurunsur antropologi religi tersebut diatas, yaitu (a) emosi keagamaan (getaran jiwa) muncul karena masyarakat di Desa Trunyan meyakini bahwa Tradisi Mepasah merupakan realisasi rasa terima kasih masyarakat Desa Trunyan ke hadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya, sebagai sumber kehidupan khususnya bagi manusia. (b) sistem kepercayaan, yaitu masyarakat meyakini bahwa dalam pelaksanaan Tradisi Mepasah memberikan jalan kemudahan bagi roh Jenazah untuk mencapai surga. (c) sistem ritus, yaitu masyarakat melakukan upacara Mepasah, yang dilakukan di Setra Wayah.
SIMPULAN Bertolak dari paparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa: Tradisi Mepasah yang dilaksanakan di Desa Trunyan, Kintamani Bangli merupakan upacara yadnya yang didasari oleh rasa bakti umat Hindu di Trunyan untuk memohon anugrah kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Pelaksanaan upacara ini pada dasarnya
dilatarbelakangi oleh rasa bakti dan cinta kasih masyarakat Desa Trunyan kepada leluhurnya yang telah meninggalkan bermacam-macam kebudayaan terutama pelestarian lingkungan hidup serta menjaga keharmonisan kehidupan manusia melalui upacara yadnya. Secara historis, tradisi ini berawal dari bau harum yang berasal dari desa Trunyan yang tercium sampai ke puri (keraton) Dalem Solo. Upacara Mepasah ini dilaksanakan pada dua tempat yakni di areal rumah yang memiliki jenasah (rumah duka ) yang akan diupacarai mepasah, merupakan tempat yang digunakan dalam mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam proses mepasah. Adapun sarana prasarana yang di butuhkan dalam tradisi Mepasahdan
sebagai berikut :
Bakti angkeb Nasi (sesajen), Ambuh (kramas) untuk jenazah, Boreh (lulur) digunakan untuk memngoleskan boreh ke seluruh tubuh jenazah sebelum di pasah, Pemebek (daun lemo yang dibakar), Sigsig (tapal gigi) terbuat dari batu bata merah, Kelatkat (anyaman bambu) digunakan sebagai alas untuk jenazah yang akan di pasah, Lante digunakan sebagai pembalut jenazah setelah dimandikan, Ancak saji
(pagar jenazah ketika sudah di pasah), Sundin
(lampu yang dioercaya mampu mencarikan jalan bagi roh), Buki (lampu yang dipercaya mampu mengantarkan roh jenazah yang di pasah), Rerebu (pandan dipotong kecil-kecil yang dipercaya mampu mengusir roh jahat, setelah selesai melakukan ritual mepasah. Aspek-aspek yang terdapat pada Tradisi Mepasah di Desa Trunyan yang bisa dikembangkan menjadi sumber belajar Sejarah antara lain : Aspek bentuk Fisik Bangunan, Aspek Gotong Royong dan Kebersamaan, Aspek Relegius. Tradisi Mepasah di Desa Trunyan memiliki peranan yang sangat besar dalam setiap segi kehidupan masyarakatnya. Peranan tersebut tidak hanya dalam kaitannya dengan kegiatan religi mamsyarakatnya, akan tetapi juga berperan dalam aspek hukum dan seni.
DAFTAR RUJUKAN Kartodirjo.1992.PendekatanIlmuSosialDalamPendekatanSejarah. Jakarta: PT. GramediaPustaka Usaha. Karwono. 2007. Pemanfaatan Sumber Belajar dalam Upaya Peningkatan Kualitas dan Hasil Pembelajaran. Pendidikan FKIP Universitas Muhamadiyah Keesing, Roger. M . 1992. Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jilid 2 (R. G. Soekadijo Alih Bahasa). Jakarta: Erlangga. Koentjaraningrat. 1985. Asas-asas ritus Upacara dan Religi dalam Ritus Peralihan di Indonesia.jakarta: balai Pustaka Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II. Jakarta: PT Rineka Cipta. Lestari.2011. TradisiMakering-keringan di PuraGedePemayun, Banyuning, Buleleng, Bali. Skripsi (tidak diterbitkan) Singaraja: Undiksha. Maryati, 2009. Pembelajaran “Kontekstual dan Penerapan dalam Pembelajaran Sejarah” dalam candra Sangkala Edisi Khusus Purnabakti. Moleong, Lexy. 1990. Metodologi penelitian kualitatif. Bndung: PT Remaja Rosdakarya Nasution. S B. 1998. Metodologi Penelitian Nturalistik-Kuantitatif. Bandung Tarsito. Rasminiati, I Dewa Ayu Eka. 2012.Tradisi Matabuh Anda pada Upacara Ngusaba Kepitu. Skripsi (tidak diterbitkan) Singaraja: Undiksha. Sanjaya, Wina. 2006. Atrategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sanjaya, Wina. 2006. StrategiPembelajaranBerorientasiStandar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Soeleman, Et. 1988. Suatu Telaah Manusia Religi. Pendidikan. Depdikbud. Dirjen Dikti. Proyeksi Pengembangan Lembaga. Suasthawa, DarmaYuda Made. 1999. Kebudayaan Bali Pra-Hindu, Masa Hindu dam Panca Hindu. Denpasar : CV KayumasAgung. Sudono, Anggani. 2000. Sumber Belajar dan Alat Permainan (Untuk Pendidikan Anak Usia Dini). Jakarta: PT. Grasindo