ia es do n
DIKLAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
In
PEMBENTUKAN JAKSA (PPPJ)
n
R ep
ub
lik
TAHUN 2016
Ke
ja
ks
aa
MODUL
Ar
si
p
Ba
da n
D
ik l
at
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA JAKARTA 2016
p
si
Ar da n
Ba ik l
D at n
aa
ks
ja
Ke
lik
ub
R ep
In
do n
es
ia
p
si
Ar da n
Ba ik l
D at n
aa
ks
ja
Ke
lik
ub
R ep
In
do n
es
ia
p
si
Ar da n
Ba ik l
D at n
aa
ks
ja
Ke
lik
ub
R ep
In
do n
es
ia
ia es do n
DAFTAR ISI
In
Halaman
lik
KATA SAMBUTAN KAPUSDIKLAT KEJAKSAAN RI ..................................................... i
ub
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iii PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 I. Latar Belakang............................................................................................... 1 II. Permasalahan ................................................................................................. 2 III. Maksud dan Tujuan ....................................................................................... 2 IV. Metode ........................................................................................................... 3
BAB II
HUKUM PIDANA ................................................................................................. A. Perbuatan Pidana/ Strafbaar Feit/ Delict ....................................................... B. Perbuatan Pidana/ Tindak Pidana .................................................................. C. Unsur Dan Elemen Perbuatan Pidana (Strafbaarfeit) .................................... D. Yurisprudensi ................................................................................................ E. Pembuat .........................................................................................................
BAB III
NULLA POENA - POENA - STRAF – HUKUMAN ........................................... 2 A. Jenis-Jenis Pidana .......................................................................................... 2
BAB IV
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA ........................................................................... 2 A. Apa Itu Asas-Asas Hukum Pidana ................................................................ 2 B. Hukum Pidana ............................................................................................... 2 C. Apa-Apa Saja Asas Hukum Pidana Yang Berlaku ........................................ D. Asas-Asas Yang Berkaitan Dengan Penghapusan Pidana ............................. E. Asas-Asas Yang Berlaku Pada Pembarengan(Sameloop) .............................
p
Ba
da n
D
ik l
at
Ke
ja
ks
aa
n
R ep
BAB I
ALASAN PENGURANGAN HUKUMAN....................................................................... Percobaan Dalam Common Law (Attempt) .................................................. A. B. Tujuan Dasar Pembenaran Pemidanaan ........................................................
BAB VI
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS)........................................................... 4
BABVII
TEMPUS DAN LOCUS DELICTI .................................................................................... 5
BABVIII
DELIK-DELIK KORPORASI ........................................................................................... 5
BAB IX
GUGURNYA HAK PENUNTUTAN DAN HAK PEMIDANAAN ................................. 5
BAB X
STUDI KASUA BERKAITAN DENGA ASAS HUKUM PIDANA ...............................
Ar
si
BAB V
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
L
ia es do n
KESIMPULAN ..................................................................................................................
BAB XII
PENUTUP ..........................................................................................................................
In
BAB XI
Ar
si
p
Ba
da n
D
ik l
at
Ke
ja
ks
aa
n
R ep
ub
lik
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................
LL
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n In
BAB I PENDAHULUAN
lik
I. Latar Belakang
ub
Kejaksaaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibidang penuntutan perkara pidana dilingkungan peradilan umum. Dalam rangkaian
R ep
melaksanakan tugas dibidang penuntutan ini, Kejaksaan diberi wewenang untuk melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
n
keputusan lepas bersyarat.
aa
Diluar tugas penuntutan, Kejaksaan memiliki sejumlah tugas dan wewenang lain baik yang
ks
diatur dalam Undang-undang Kejaksaan dan peraturan perundang-undangan lain. Selain itu
ja
berdasarkan berdasarkan Undang-undan, Kejaksaan dapat diberi pula tugas dan wewenang
Ke
lainselain yang sudah dimiliki sekarang.
Melakukan penuntutan sesungguhnya merupakan perbuatan menerapkan hukum secara
at
concreto, karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada.
ik l
Ketentuan hukum pidana yang diterapkan ini terdapat baik di dalam Kitab Undang-undang Hukum
D
Pidana, maupun tersebar di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
da n
Jaksa Penuntut Umum baru akan dapat melaksanakan tugas penuntutan dengan baik dan sempurna apabila memiliki pengetahuan hukum pidana baik materiil maupun formal.
Ba
Asas-asas hukum pidana baik itu asas-asas umum maupun asas-asas yang menyimpang dari asasasas hukum pidana, terdapat baik pada hukum pidana materiil (substantial Criminal Law), maupun
si
p
dalam hukum pidana formil (Law of Criminal Procedure). Hukum pidana materiil yang memuat ketentuan tentang larangan dan perintah atau
Ar
keharusan serta sanksi hukum bagi yang melanggar, sifatnya abstrak, melalui hukum pidana formil, yakni dengan melakukan kegiatan penyidikan, penuntutan penyidangan, penjatuhan pidanadan pelaksanaan keputusan, menjadi hukum pidana dalam suasana kongkrit. Oleh karena itu hukum materiil biasa juga disebut pidana in abstracto, sedang hukum pidana formal disebut hukum pidana in concreto. Asas-asas hukum pidana baik itu asas hukum pidana materiil maupun hukum pidana formal merupakan latar belakang dari peraturan hukum pidana yang kongkrit, bersifat umum dan abstrak sekali. Pada umumnya asas hukum pidana tersebut dituangkan dalam peraturan hukum pidana kongkrit, yaitu dimasukan kedalam pasal-pasal dari undang-undang hukum pidana asas $VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
nulum delictum nulum poena sine previa lege poenali. Yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.
In
Sedangkan asas-asas penerapannya hanya secara tidak langsung.
Asas-asas hukum pidana baik asas-asas dari hukum pidana materiil maupun asas-asas
lik
hukum pidana formil, seharusnya dikuasai dengan baik oleh aparat hukum, sehingga penerapan
ub
peraturan-peraturan hukum kongkrit akan lebih baik karena asas-asas hukum pada hakekatnya
R ep
merupakan cita-cita yang hendak kita raih. II. Permasalahan
aa
n
1. Berdasarkan pengalaman menunjukan bahwa kegagalan yang terjadi pada penanganan suatu perkara, khususnya dalam tahap pra-penuntutan maupun tahap penuntutan, yakni pelimpahan
ks
perkara ke pengadilan, persidangan , penyampaian Requisitoir, serta replik dan tahap-tahap
ja
selanjutnya disebabkan karena pengetahuan hukum pidananya kurang memadai, terutama
Ke
sekali pengetahuan tentang asas-asas hukum pidana. Atas dasar hal tersebut maka pemahaman materi asas-asas hukum pidana perlu diintensifkan.
at
2. Dengan kita memasuki era globalisasi maka Jaksa Penuntut Umum (JPU) dituntut untuk juga
ik l
memahami asas-asas hukum pidana yang berlaku di negara lain, khususnya dari negara dengan
D
latar belakang hukum anglo amerika, karena dimasa mendatang kontak dengan justisiable
da n
yang berasal dari hukum lain akan makin sering terjadi.
Ba
III. Maksud Dan Tujuan Para peserta pendidikan dan pelatihan di Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI
si
p
pada umumnya adalah Sarjana Hukum, yang dengan sendirinya telah memiliki pengetahuan
Ar
hukum yang memadai, apalagi persyaratan akademis yakni Indeks Prestasi Komulatif (IPK) seorang calon pegawai Kejaksaan Cukup tinggi. Namun demikian , dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan di Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, diharapkan pengetahuan teoritis
dari Perguruan Tinggi yang masih bersifat umum dapat dikaitkan dan diarahkan sesuai dengan tugas dan wewenang Kejaksaan. Asas-asas hukum pidana telah diajarkan di Perguruan Tinggi, namun untuk penerapannya dalam praktek sebagai Penegak Hukum, Khususnya sebagai Penuntut Umum, pengetahuan tentang asas-asas hukum ini perlu diperdalam dengan lebih menjurus kepada pembicaraan kasus-kasus, sehingga kelak peserta pendidikan dan pelatihan tidak akan menemui banyak kesulitan dalam menggunakan asas-asas hukum tersebut.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n In
IV. Metode
lik
1. Metode yang digunakan adalah metode fungsional yang berorientasi pada problema, dalam
ub
arti penyajian asas-asas hukum sebagai pelajaran hendaknya dikaitkan dengan fungsi asas-asas
R ep
hukum tersebut dan bagaimana penerapannya dalam suatu kasus yang terjadi dalam masyarakat.
2. Dengan menggunakan metode fungsional pada pemberian pelajaran pembandingan asas-asas
Ar
si
p
Ba
da n
D
ik l
at
Ke
ja
ks
efektifitasnya asas-asas hukum tersebut.
aa
n
hukum, sifatnya tidak saja pembandingan deskriptif, tetapi terutama pada fungsi dan
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB II
In
HUKUM PIDANA Hukum Pidana terbagi atas :
lik
A. Hukum pidana dalam arti obyektif (ius poenale) meliputi :
ub
- Perintah dan larangan yang harus ditaati oleh semua orang dimana pelanggaran atasnya
R ep
(norma) dikaitkan dengan sanksi berupa pidana oleh pembuat undang-undang. - Peraturan yang mengatur tentang bagaimana atau dengan sarana apa pelanggaran atas norma (perintah dan larangan) tersebut ditindak.
aa
n
- Peraturan tentang lingkup berlakunya norma tersebut baik mengenai lingkup waktu maupun ruang.
ks
Ius Poenale oleh karenanya dibagi :
ja
1. Hukum Pidana Materiil - materile strafrecht – Substantive Criiminal Law yang mengatur
Ke
tentang : Apa
Perbuatan apa saja yang dapat dipidana –disebut perbuatan pidana
at
(Strafbaarfeit=delik).
D
da n
Kapan
Siapa yang dapat dipidana –dapat dipertanggungjawabkan- pelaku
ik l
Siapa
Bagaimana
perbuatan pidana – pleger perpetrator. Tempus Delicti. Pemidanaannya.
Ba
Ancaman pidana dalam hukum pidana materiil bersifat abstrak. Hukum Pidana Materiil
dihimpun dalam kodifikasi yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan dalam
si
p
berbagai peraturan perundang-undangan lainnya (diluar KUHP).
Ar
2. Hukum Pidana Formil – Strafprocesrecht- Procedural Criminal Law. - Mengatur cara-cara pelaksanaan hukum pidana materiil. - Oleh karena itu hukum pidana formil disebut sebagai Hukum Acara Pidana –yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)- yang bersifat kongkrit. - Hukum Acara Pidana dikodifikasi dalam KUHAP. - Pengaturan hukum acara diluar KUHAP mengakibatkan sejumlah perbuatan pidana dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana khusus/ tindak pidana khusus.
B. Hukum Pidana dalam arti subyektif (Ius puniendi) Hak Subyektif dari penguasa/ negara untuk memidana, meliputi :
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
- Hak untuk memberi ancaman pidana.
In
- Hak untuk menjatuhkan pidana. - Hak untuk melaksanakan pidana.
lik
Ius Puniendi ini terdapat baik pada pemerintah pusat dengan undang-undang maupun
ub
pemerintah daerah dengan peraturan daerah.
R ep
Pasal 71 ayat (2) UU No. 22 tahun 1999 – PERDA dapat memuat ancaman kurungan paling lama 6 bulan dan denda sebanyak Rp. 5 juta. Catatan
: Wewenang pembuat perundang-undangan di daerah, tidak boleh membuat
aa
n
perundang-undangan yang bertentangan dengan ketentuan 8 bab dari buku I KUHP,
ks
sesuai dengan ketentuan pasal 103 KUHP.
ja
PERBUATAN PIDANA/ STRAFBAAR FEIT/ DELICT
Ke
x Hukum pidana materiil mengatur/ menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang atau yang diperintahkan (diharuskan) yang dapat dipidana apabila tidak dilakukan atau dilanggar.
ik l
Delict.
at
x Perbuatan demikian disebut perbuatan pidana/ tindak pidana/ peristiwa pidana -Strafbaarfeit-
D
x Perbuatan pidana tertentu oleh Undang-undang diberi kualifikasi.
da n
a. Kejahatan – didalam KUHP diatur dalam buku ke-II, diluar KUHP ditentukan oleh perundang-undangan itu sendiri. Ada beberapa kejahatan dalm KUHP yang disebut
Ba
kejahatan ringan yang tidak dikenal dalam KHUP Belanda.
Ar
si
p
Ada 9 kejahatan ringan dalam KUHP : 1. Penganiayaan binatang ringan (pasal 382). 2. Penghinaan ringan (pasal 315). 3. Penganiayaan ringan (pasal 352). 4. Pencurian ringan (pasal 364). 5. Penggelapan ringan (pasal 373) 6. Penipuan ringan (pasal 379) 7. Penadahan ringan (pasal 482). Kejahatan ringan tersebut dalam pasal 384 tidak diberi kualifikasi, namun merupakan bentuk ringan dari pasal 383 (penipuan). Pada penadahan, pasal 407 adalah bentuk ringan dari pasal 406.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
- Sebelum KUHP 1918, kejahatan ringan tersebut digolongkan pelanggaran.
In
- Adanya lembaga kejahatan ringan ada kaitannya dengan kompetensi lembaga peradilan pada saat itu yaitu, adanya RVJ dan Residensgerecht untuk golongan Eropa dan Landrad
lik
dengan magistraadgerecht untuk golongan non-Eropa.
ub
- KUHAP membedakan tindak pidana ringan (pasal 205 dan 206) yang diberikan dengan
R ep
Acara Pemeriksaan Cepat- bukan atas kejahatan ringan dan biasa seperti KUHP. b. Pelanggaran
Didalam KUHP diatur dalam buku ke-III, di luar KUHP ditentukan oleh perundang-
aa
n
undangan yang bersangkutan.
Menurut M.v.T kejahatan adalah rechtdelict karena bertentangan dengan perasaan hukum
ks
manusia sedangkan pelanggaran adalah Wetsdelict karena ditentukan oleh undang-undang.
ja
Kegunaan praktis pembedaan kejahatan dan pelanggaran :
Ke
1. Pada kejahatan unsur sengaja/ lalai harus dibuktikan . Catatan : ada pelanggaran yang berunsur sengaja/ lalai.
at
Contoh : pasal 490 sub.1.
ik l
2. Percobaan dan Pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana.
D
3. Masa kadaluwarsa baik penuntutan maupun eksekusi pada pelanggaran lebih singkat
da n
(kecuali kejahatan percetakan).
4. Pasal 59 KUHP hanya mengenai pelanggaran (penghukuman terhadap pengurus
Ba
koperasi).
Ar
si
p
5. Pasal 82 KUHP, pembayaran denda maksimum hanya pada pelanggaran dengan ancaman denda saja atas ijin pejabat berwewenang (Afkoop). 6. Pada pelanggaran dengan concursus realis berlaku kumulasi stelsel murni. Catatan : bandingkan ! a. Mala in Se atau Ordinary Crimes, Acts Wrong in Themselves. b. Mala Prohhibita –act thats crimes because they are prohibited by law. Pembagian lain menurut common law: a. Felonies –Serious Offence b. Misdemeanor –Less Seriuos Offence.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Catatan :
In
1. Lembaga Afkoop ini sama dengan lembaga schikking yang merupakan wewenang Bea Cukai berdasarkan pasal 29 Rechten Ordonantie yaitu, penyelesaian diluar pengadilan
lik
oleh pejabat Bea Cukai terhadap pelanggaran.
ub
2. Schikking dihapus dengan adanya Undang-undang Drt No. 7 tahun 1955 (tindak pidana
R ep
ekonomi), namun dihidupkan kembali melalui lembaga Afkoop dengan KEPJA No. KEP.089/ D.A/ 10/ 1967 tanggal 13 Oktober 1967 tentang Delegasi Wewenang Jaksa Agung kepada Menteri Keuangan. KEPJA ini dicabut dengan KEPJA No. 065/ JA/ 6/
aa
n
85 tanggal 26 Juni 1985. Dengan adanya Undang-undang No.10 tahun 1995 tentang Pabean –maka masalah ini tidak relevan lagi.
ks
3. Afkoop ini mirip dengan Plea Bargaining pada sistem Anglo American yaitu suatu
ja
kesepakatan bersama antara Penuntut Umum dengan Tersangka untuk mendapat
Ke
hukuman yang lebih ringan tanpa proses pengadilan. 4. Afkoop mirip juga dengan lembaga Transactie di Belanda. Bedanya adalah pada
at
transactie tidak terikat pada denda maksimum dan tidak hanya pada perbuatan pidana
D
ik l
dengan ancaman denda saja, tetapi juga pada ancaman denda bersama kurungan.
da n
PERBUATAN PIDANA/ TINDAK PIDANA Perbuatan pidana diatur didalam Hukum Pidana Materiil. Istilah Strafbaarfeit diterjemahkan :
Ba
x Prof. Mulyatno sebagai Perbuatan Pidana. x Prof. Zainal Abidin, Farid, Mr. MR Utrecht sebagai Peristiwa Pidana.
Ar
si
p
x Istilah Formal adalah Tindak Pidana (di dalam KUHP dan per-UU lainnya).
Ada dua aliran :
1. Aliran Klasik/ Monisme (simmons Dkk) Prof. Simmons : Perbuatan Pidana (Strafbaarfeit) adalah suatu perbuatan yang diancam pidana, bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (V.o.S 1950 hal. 29) -terlihat semua unsur ditumpuk menjadi satu. Pertanyaan : Bagaimana bila seseorang gila membunuh orang atas suruhan orang lain. Dilihat dari sudut pandang monisme adalah bukan delik yang terjadi, karena salah satu unsur yaitu dilakukan oleh orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (toereken vatbaar persoon) tidak ada. $VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
2. Aliran Dualisme/ Modern dibedakan :
In
a. Perbuatan/ Feit - Memenuhi rumusan delict.
R ep
b. Pembuat (dader)
ub
- Tak ada alasan pembenar (rechtvaar digings grond).
lik
- Melawan hukum (wederechtelijk).
- Kesalahan dalam arti luas yaitu meliputi Dolus atau Culpa. - Dapat dipertanggungjawabkan (toerekenvatbaar).
aa
n
- Tak ada alasan pemaaf (schuld uit sluitings grond). - Pembedaan antara unsur Perbuatan dan unsur Pembuat bukanlah suatu pemisahan tetapi
ks
sekedar sistematisasi berpikir. Untuk pemidanaan, maka kedua unsur itu harus ada –
ja
aliran ini disebut juga monodualisme. Peletak dasar aliran ini adalah Herman Kantoro
Ke
Wic (1933).
at
UNSUR DAN ELEMEN PERBUATAN PIDANA (STRAFBAARFEIT)
ik l
Van Bammelen membedakan –bestanddeel (unsur) dengan elemen dari perbuatan pidana.
D
Unsur adalah apa yang ada dalam rumusan delik. Elemen adalah syarat untuk dapatdipidananya
da n
orang yang terdapat diluar rumusan delik. Elemen ini terlihat pada :
Ba
1. Ketentuan umum KUHP, yaitu : - Pelaku dapat dipertanggungjawabkan (Toereken Vatbaarheid van de dader).
si
p
- Perbuatan dapat dipertanggungkan kepada pelaku (Toereken Baarheid van het feit).
Ar
2. Asas-asas hukum umum (Algemene Rechtbeginsel). - Ada kesalahan (schuld) pada pelaku –perbuatan harus tercela (Verwijtbaarheid van het feit). 3. Melawan hukum (materiil) Catatan : melawan hukum kalau terdapat didalam rumusan delik -adalah unsur delik- disebut melawan hukum khusus (facet).
Unsur Utama Delik (strafbaarfeit) A. Perbuatan : - Comissionis/ berbuat.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
- Omissionis/ membiarkan.
In
Atas dasar pembedaan tersebut perbuatan pidana dibedakan atas :
1. Delicta Comissionis : pelanggaran suatu larangandapat berupa delik formil yaitu delik
lik
pengancaman pidana tertuju pada perbuatan (pasal 160, 209, 242 dan 362 KUHP),
ub
maupun delik materiil, yaitu delik dengan akibat yang dipisahkan dari perbuatan (pasal
R ep
338 KUHP). 2. Delicta Omissionis :
- Yang murni -pelanggaran suatu perintah- selalu merupakan Delik Formil (pasal 164,
aa
n
224, 522, 531 KHUP).
- Yang tidak murni (delicta Comisionis Perommisionen).
ja
Melawan Hukum (Wederechtelijk)
ks
- Dapat dilakukan dengan berbuat maupun dengan pembiaran (pasal 338, 194 KUHP).
Ke
Sifat melawan hukum ada pada semua perbuatan pidana. Kalau dimuat dalam rumusan delik disebut unsur. Dibedakan :
at
1. Melawan Hukum Formil.
ik l
2. Melawan Hukum Materiil.
D
3. Melawan Hukum Umum.
da n
4. Melawan Hukum Khusus.
Ad.1. Melawan Hukum Formil
Ba
Apabila seseorang telah melakukan perbuatan(Comissionis atau Omissionis) yang
memenuhi rumusan delik (peraturan kongkrit), maka ia melakukan perbuatan melawan hukum
si
p
formil. Apabila dalam rumusan delik tercantum sifat melawan hukumnya misalnya pasal 160
Ar
KUHP (penghasutan terhadap penguasa umum), 209 KHUP (sumpah palsu), 362 KUHP (pencurian) dsb, maka melawan hukum tersebut merupakan Unsur (Bestanddeel) -disebut melawan hukum khusus (facet)- dari delik. Konsekuensi dimuatnya Melawan Hukum didalam rumusan delik : 1. Harus dimuat dalam dakwaan. 2. Harus dibuktikan di persidangan. 3. Jika unsur melawan hukum tidak dapat dibuktikan, maka terdakwa dibebaskan (Vrijspraak).
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Catatan :
In
Melawan Hukum Formil didasarkan pada asas legalitas yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP.
lik
Ad.2. Melawan Hukum Materiil
ub
Dikatakan Melawan Hukum Materiil apabila suatu perbuatan selain memenuhi unsur delik
R ep
(melawan hukum formil) juga harus tercela oleh masyarakat, atau melanggar norma lain yang berlaku dalam masyarakat. Melawan Hukum Materiil tidak disebut dalam rumusan delik sehingga merupakan Elemen dari delik. 1. Tidak perlu didakwakan.
ks
2. Tidak perlu dibuktikan dipersidangan.
aa
n
Konsekuensi :
ja
3. Apabila dalam persidangan tidak terbukti adanya Melawan Hukum Materiil maka putusan
Ke
lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Alle Rechtvervogling). Catatan :
at
- Dalam hukum perdata dikenal istilah Onrechtmatige daad (pasal 1365 BW). Subekti
ik l
menterjemahkannya sebagai Perbuatan Melanggar Hukum.
D
- Onrechtmatige Daad ini semula ditafsir secara sempit (formil) sebagai Onwetmatige
da n
Daad (melanggar Undang-undang) dengan dua unsur : a. Perbuatan melanggar hak subyektif orang lain.
Ar
si
p
Ba
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku – hal ini terlihat pada kasus Zutphen Juffrow HR dalam arrest 10 Juni 1910. HR dalam arrest 31 Januari 1919 dalam kasus Cohen VS Lindenbaum menambah : c. Bertentangan dengan tata kesopanan (Goede Zeden). d. Bertentangan dengan kecermatan (Zongvuldigtheid) yang berlaku dalam masyarakat menyangkut orang dan barang. Onrechtmatige Daad disini sifatnya luas (materiil). Arrest HR dalam kasus Cohen vs Lindenbaum ini yang telah mendorong perkembangan pengertian Materiele Wederechtelijkheid, baik melalui doktrin maupun yurisprudensi. Adanya persamaan tersebut menimbulkan istilah Delik Pidana (Strafrechtelijkfeit) dan delik perdata
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
(burgerlijkefeit). Dalam perundang-undangan kta, pengertin Melawan Hukum (MH)
In
sering dirumuskan dengan kata-kata lain, contoh :
- tanpa ijin (pasal 496 –membakar barang tidak bergerak milik sendiri).
lik
- Melampaui Wewenang (pasal 430 -Pegawai Negeri menyita surat, dsb).
R ep
ub
- Tanpa Hak (pasal 303 -perjudian, dsb). YURISPRUDENSI A. Hoge Raad (HR)
aa
n
VEEARTS ARREST, HR tanggal 20 Pebruari 1933 Dokter hewan yang mencampur hewan sakit dengan yang sehat yang melanggar Undang-undang Hewan (Veewet) 1920. Dalam
ks
kasus ini ada Melawan Hukum Formil (memenuhi rumusan delik), tetapi tidak ada Melawan
Ke
B. MARI (Mahkamah Agung RI)
ja
Hukum Materiil, karena secara ilmiah dapat dibenarkan. 1. Kasus Machrus Effendi tanggl 8 Januari 1966 No. K/ Kr/ 1965 –melanggar pasal 372
at
KUHP jo Undang-undang No. 24 Prp. 1960 (UU anti Korupsi). Melawan Hukum Formil,
ik l
namun MA melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (Onstlag Van Alle
D
Rechtvervolging) karena tidak melawan hukum materiil :
da n
a. Kepentingan umum terlayani. b. Terdakwa tidak mendapat keuntungan.
Ba
c. Negara tidak dirugikan.
Ar
si
p
2. Kasus Insinyur Moch. Otjo Danaatmaja, MARI tanggal 30 Maret 1977 No. 81/ K/ Kr/ 1973. Melanggar pasal 415 KUHP dan pasal 372 KUHP jo. UU No. 24 Prp. 1960 – putusan lepas dari segala tuntutan hukum karena perbuatan tidak melawan hukum materiil. Catatan : a. Seorang hanya dapat dipidana jika perbuatannya melawan hukum formil (asas legalitas) dan melawan hukum materiil. Inilah yang disebut melawan hukum umum. Melawan hukum materiil berada diluar rumusan delik, karena merupakan elemen delik (V. Bemmelen), oleh karenanya melawan hukum ada pada setiap delik, walaupun tidak disebut dalam rumusan delik.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
b. Perbuatan hukum yang tidak melawan hukum materiil walaupun melawan hukum
In
formil, putusannya adalah lepas dari segala tuntutan hukum (Onstlag Van Alle Rechtvervolging), bukan bebas (Vrijspraak).
lik
c. Peran melawan hukum disini adalah peran negatif.
ub
Terdakwa dilepaskan dari tuntutan hukum apabila tidak ada melawan hukum
R ep
(materiil). Peran negatif juga berarti bahwa seseorang tidak dapat dipidana hanya karena melawan hukum materiil, karena asas legalitas.
d. Jika melawan hukum terdapat dalam rumusan delik (contoh pasal1 ayat 1a UU No. 3
aa
n
tahun 1971), maka melawan hukum adalah unsur (bestand deel) atau hukum khusus/ facet sehingga :
ks
- Harus dimuat dalam dakwaan.
ja
- Harus dibuktikan dipersidangan.
Ke
- Jika tidak terbukti putusan adalah bebas (Vrijspraak) e. Sebagai unsur, maka melawan hukum disini sifatnya formil bertentangan dengan
at
perundang-undangan (hukum tertulis) tetapi dapat juga bersifat materiil yaitu
ik l
perbuatan tercela, bertentangan dengan kepatutan yang berlaku didalam masyarakat.
D
Lihat penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
da n
Tindak Pidana Korupsi.
Ba
o MA RI tangal 29 Desember 1983 No. 275 K/ Pid/ 1983. Kasus Korupsi atas nama RS Natalegawa – pasal 1 ayat 1 sub A – melawan hukum adalah unsur. Terdakwa dijatuhi pidana oleh MA dengan alasan melawan hukum harus
si
p
diukur dari asas-asas hukum tidak tertulis maupun asas-asas yang bersifat
Ar
umum menurut kepatutan dalam masyarakat. Peran melawan hukummateriil disini adalah peran positif/ mengakibatkan penjatuhan pidana.
PEMBUAT 1. Kesalahan (schuld) : a. Dolus b. Culpa 2. Pertanggungjawaban (Toerekening Vatbaareheid) Pendapat DUALISME disingkat sebagai berikut : (kantor Wic/ Mulyanto)
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es
do n
Tat/ perbuatan
In
Tat Bestand Maszigkeit/
R ep
(perbuatan pidana)
ub
1. Strafbare handelung
lik
memenuhi rumusan delik
Fehlen
Von
Recht
Vertigungsgrunden
aa
n
(tidak
alasan
pembenar
ks
Strafvorausstezungen
ada
Ke
ja
Syarat pemidanaan
Schuld (salah)
(pembuat) Strafauschlieszungsgrunde (tidak
ada
alasan
pemaaf)
da n
D
ik l
at
2. Handelende
Hubungan antara keduanya baik hubungan sebagai hubungan paralel (Paralel Verhatenis =
Ba
berdampingan) maupun hubungan timbal balikdimana yang satu menjadi syarat bagi yang lain (Bendingungs Verhaltenis = secara timbal balik).
si
p
Disini terdapat :
Ar
a. Strafbaarfeit van heit feit dapat dipidananya perbuatan yang sifatnya melawan hukum. b. Strafbaarfeit van de dader yang mengandung unsur kesalahan.
Bagi Monisme, keduanya adalah unsur delik, yaitu : Tersebut (a) -Unsur Obyektif (objective bestanddeel) yaitu perbuatan dengan keadaan yang menyertainya dimana perbuatan itu dilakukan. Tersebut (b) -Unsur Subyektif yaitu unsur sikap batin dari si pembuat yaitu kesalahan dalam arti luas : - Sengaja (dolus) - Lalai (culpa). $VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Adagium : Actus on facit reum nisi mens sit rea (An act does not make a man guilty of crime,
In
unles his mind is guilty.
Penganut monisme memandang actus reus dan mens rea sebagai suatu kesatuan dan
lik
merupakan unsur hakiki dari suatu delik.
ub
Penganut dualisme memandang actus reus hanya merupakan unsur perbuatan dan mens rea
R ep
sebagai sikap batin, termasuk pertanggungjawaban pembuat adalah unsur pembuat. Mens rea atau sikap batin pembuat yang oleh penganut monisme dipandang sebagai unsur suyektif dari delik adalah sikap batin. Belanda .
ks
Definisi strafbaarfeit oleh Simmons :
aa
n
Penganut monisme antara lain Simmons dan Van Hamel merupakan otoritas hukum pidana di
ja
- Suatu perbuatan yang dapat dipidana (Een Strafbaar Gestelde Handeling).
Ke
- Bersifat melawan hukum (Onrechtmatige). - Yang berkaitan dengan kesalahan (Met Schuld In Verband).
ik l
Persoon).
at
- Yang dilakukan oleh orang yang dapat di pertanggungjawabkan (Een Toereken Vat Baar
D
Actus Reus dan Mens Rea ditempatkan menjadi satu pengertian yaitu Strafbaarfeit. Jadi,
da n
seluruhnya adalah unsur dan masing-masing merupakan syarat pemidanaan seseorang yang
Ba
melakukannya.
Sebagai perbandingan :
Ar
si
p
Menurut Jerome Hall menyebut syarat-syarat pemidanaan/ Criminal Behavior : 1. Legality
Legally Proscribed.
2. Actus Reus
Human Conduct.
3. Causative
Causation (hubungan sebab akibat atau pebuatandengan kerugian/
harm yang ditimbulkan). 4. Of Given Harm
(Harm) –kerusakan atas nilai yang dilindungi hukum seperti : orang,
benda, nama baik. 5. Which Conduct Coincides (Concurence)
Keterkaitan niat (intention) dengan
perbuatan (act).
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Blame worthy frame of mind.
7. Puninshment
yang dapat dipidana (which is subject to punishment).
In
6. Mens Rea
1. Dapat dipertanggungjawabkan (toekerening vatbaarheid).
ub
2. Kesalahan dalam arti luas :
lik
Pembuat Mens Rea :
R ep
- Sengaja (dolus). - Lalai (culpa). Ad.a. Sengaja (dolus)
aa
n
o Tidak ada definisi sengaja dalam KUHP. Alasan Mv.t adalah bahwa KUHP bukanlah buku pelajaran.
ks
o Pada sengaja, kehendak pelaku tertuju pada akibat (berbeda dengan lalai, akibat tidak
ja
dikehendaki oleh pelaku). Berbuat dengan sengaja –Mv.t adalah berbuat dengan
Ke
kehendakdan dengan pengetahuan (Willens En Wetens Handelen). Singkatnya : Mau untuk berbuat, apa akibatnya, dan tahu apa yang diperbuat. Tahu
ik l
Catatan :
at
bukanlah tahu secara mutlak, cukup apabila dimengerti (Begijpen).
D
- Teori kehendak (wills theory)
hakekat dari sengaja adalah berkehendak.
da n
- teori perkiraan (voor stelling theorie)
akibat dari suatu perbuatan(gerakan otot)
Ba
tidak mungkin diketahui –hanya diperkirakan saja.
Gradasi Sengaja :
Ar
si
p
1. Sengaja dengan niat (als oogmerk). A hendak membunuh B, A menembak B. Sengaja disini adalah dalam bentuk paling murni.
2. Sengaja dengan kesadaran pasti ( zekerheid bewustzijn) A hendak membunuh B yang berada ditengah-tengah kerumunan orang banyak dengan melempar granat. Kematian B adalah sengaja dengan niat. Kematian orang lain bersama B adalah suatu akibat pasti. 3. Sengaja dengan sadar akan kemungkinan akibat (bij mogelijkheid bewustzijn) Dolus bersyarat Dolus Evantualis.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Pengendara motor dengan kecepatan tinggi mengendara motor ditengah-tengah
In
kerumunan anak-anak. Apabila ada yang mati/ cidera. 1. Dengan sengaja (contoh : pasat 1 ayat (1)a UU. No 3/ 1971).
lik
Sengaja dalam Undang-undang :
ub
2. Mengetahui bahwa (als wetende dat- pasal 227 dan 230 KUHP).
R ep
3. Mempunyai pengetahuan (kennis dregende- pasal 164, 165, 464 sub.3 KUHP). 4. Dalam hal dia tahu (waar van hij weet- pasal 282 KUHP).
5. Dengan niat untuk (met het oogmerk om- pasal 263, 362, 378 KUHP).
aa
n
6. Dengan tipuan mengurangi (bedriegelijk ver korting- pasal 397 KUHP). Selain itu dengan sengaja tergambar dalam kata kerja.
ks
Contoh :
ja
- Dengan paksaan atau ancaman paksaan menghindarkan (pasal 173 KUHP)
Ke
- Memaksa masuk (pasal 167 KUHP). - Melawan (pasal 212 KUHP).
at
- Menganiaya (pasal 351 KUHP).
ik l
Dengan demikian Undang-undang kadang menekankan pada salah satu komponen saja
D
seperti : mengetahui, dengan maksud penekanan pada tujuan, yaitu tujuan pebuatan dilakukan
da n
dengan mengetahui.
Ba
Arti menempatkan kata “sengaja” dalam Undang-undang :
Ar
si
p
- Semua dibelakang kata “sengaja” tunduk pada pengertian sengaja. (contoh : pasal 330 KUHP). - Pengecualian apabila Undang-undang mengatakan (contoh : pasal 187 butir 1,2 dan 3 KUHP).
Catatan : Perbuatan sengaja (atau lalai) dapat disimpulkan dari : a. alat yang digunakan, misal : badik. b. Sasaran perbuatan, misal : dada. Error In Persona A hendak membunuh B, yang terbunuh C, yang disangka B. Yang diisyaratkan pasal 338 KUHP adalah menghilangkan nyawa orang, tidak penting siapa yang mati.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Aberratio Ictus (salah sasaran)
In
A hendak membunuh B, yang tertembak C. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi :
pembunuhan dengan sengaja dengan keadaran memungkinkan akibat.
lik
1. Terhadap C
ub
Terhadap B Percobaan pembunuhan dengan sengaja sebagai niat.
R ep
2. Apabila C jauh dari B yang adalah sasaran tembak, maka : - Terhadap C
bukannya sengaja tetapi lalai.
- Terhadap B
percobaan pembunuhan.
aa
n
Berencana (Voorbedachte rade) – disebut juga Dolus Premediatus. M.v.T –terdapat saat untuk menimbang dengan tenang dan mantap. Rencana lebih dulu –mendahului perbuatan
ks
sengaja.
ja
Catatan :
Ke
Dolus maupun Culpa adalah tidak berwarna (Kleurlos), artinya : bahwa pelaku tindak pidana tidak pelu tahu perbuatannya melawan hukum. Adalah asas berupa fiksi hukum bahwa semua
ik l
Ad.b. Lalai (culpa)
at
orang mengetahui Undang-undang sejak di undangkan.
D
- Sama halnya dengan Dolus, Undang-undang juga tidak membuat definisi tentang
da n
Culpa.
Ba
- J.E Johnkers menyebut 3 elemen Culpa :
Ar
si
p
a. Dapat diduga (voorziendbaarheid). b. Dapat dihindari (vermijdbaarheid). c. Melawan Hukum (wederrechtlijkheid).
Pada “sengaja” , kehendak pelaku tertuju pada akibat. Pada “lalai” tidak tertuju pada akibat. - Remmelink : Ciri kelalaian (yang disadari) adalah lebih baik tidak berbuat daripada berbuat, dengan akibat yang dikehendaki disertai akibat lain yang sama sekali tidak dikehendaki. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa Culpa adalah Aulid terhadap Dolus. Jadi, berbeda secara prinsipil. - Van Bammelen : Culpa adalah minus dari Dolus. Perbedaannya adalah gradual. - KUHP menggambarkan beberapa istilah untuk Culpa : $VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
a. Karena salahnya –pasal 359-360, 188 KUHP.
In
b. Ketidak hati-hatian (onachtzianheid) –pasal 231, 232 KUHP.
c. Seharusnya dapat menduga (redelijkkerwijs moet vermoeden) –pasal 278, 288
lik
KUHP.
ub
d. Dapat diduga (om te vermoeden)
R ep
e. KUHP menggambarkan beberapa istilah untuk Culpa.
Dalam undang-undang penempatan delik Culpa sering berbarengan dengan delik sengaja, sebagai delik ancaman hukumannya ringan, berhadapan dengan delik Dolus dengan
aa
n
ancaman hukuman berat.
Contoh : pasal 188 dengan 187, pasal 354 dengan pasal 338 KUHP.
ks
Ada delik yang tidak mungkin dilakukan secara Culpa, seperti delik asusila.
ja
Ada delik Dolus yang tidak ada mitra Culpa-nya, karena dianggap tidak perlu oleh
Ke
perasaan hukum masyarakat –pemidanaan adalah Ultimum Remedium. Ada pula pasal tertentu dalam KUHP dibawah Dolus dan Culpa ditempatkan bersama
at
dalam satu pasal dengan ancaman hukuman yang sama.
ik l
Pasal 292, 293 KUHP (tahu atau patut dapat menduga).
D
Pasal 418 – pasal 419 KUHP (tahu atau patut dapat mengharapkan).
da n
Hal demikian disebut Pro Parte Dolus Pro Parte Culpa.
Ba
Van Hammel – ada 2 jenis Culpa :
Ar
si
p
1. Karena kurang dapat memperkirakan. 2. Kurang berhati-hati.
Vos – ada elemen Culpa : 1. Dapat memperkirakan akibat oleh si pembuat (voorziendbaarheid). Merupakan syarat subyektif – a.l tingkat kecerdasannya, tenaganya. 2. Ketidak hati-hatian (onvoorzichtigheid) Merupakan syarat obyektif –terlihat dari tindakannya yang berdampak subyektif. –a.l apakah dia seorang ahli atau awam. Culpa ada apabila kedua elemen tersebut ada. Dapat diperkirakannya akibat saja belum menghasilkan Culpa. Contoh (vos halaman. 162) :
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Seorang dokter yang dengan terampil : melakukan operasi yang berbahaya dapat
In
memperkirakan terjadinya kematian, tidak melakukan Culpa. Dibutuhkan lagi adanya ketidak hati-hatian, menurut ukuran obyektif.
lik
Syarat berhati-hati terbagi dua :
ub
- Pelaku melakukan perbuatan menurut ukuran ketelitian yang normal. -Membersihkan
R ep
baju yang bernoda dengan bensin dekat api.
- Pelaku telah bertindak sangat hati-hati, namun akibat tetap terjadi. Contoh : seorang ahli/ amatir yang mengerjakan kembang api tetap bersalah.
Ar
si
p
Ba
da n
D
ik l
at
Ke
ja
ks
aa
n
*Catatan : pada butir 2 ini, unsur Culpa dan unsur melawan hukum bertemu.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB III
In
NULLA POENA - POENA - STRAF – HUKUMAN
lik
Apa itu Hukuman ? perlu dibedakan antara hukuman/ straf dengan tindakan/ maatregel.
ub
Hukuman/ pidana adalah derita yang ditimpakan kepada pelaku tindak pidana
R ep
Sasaran pemidanaan adalah derita (leed), setidak-tidaknya sasaran antara disamping sasaran akhir yaitu memperbaiki pelaku.
Pada tindakan makna derita bukanlah tujuan. Tujuan tindakan adalah perlindungan dan
aa
n
sifatnya sosial. A.l. tersebut pasal 24 UU No. 3/ 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu terhadap anak nakal, yaitu terhadap anak nakal dapat dijatuhkan tindakan :
ks
a. Mengembalikan kepada orangtua, wali atau orangtua asuh.
Ke
latihan kerja ,atau
ja
b. Menyerahkan kepada Depsos untuk melakukan pendidikan dan pembinaan (Dik-Bin),
Bin, Lat Kerja.
at
c. Menyerahkan kepada Depsos atau ORSOS kemasyarakatan yang bergerak dibidang Dik,
ik l
Catatan : Undang-undang No. 3/ 1997 –anak nakal :
D
a. Anak yang melakukan Tindak Pidana.
da n
b. Anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi anak menurut perundang-undangan/ peraturan hukum lainya. Anak nakal : 8 – 18 tahun/ atau belum pernah kawin.
Ba
Mengapa pidana dijatuhkan ? 1. Teori Absolut/ pembalasan
Ar
si
p
Hakekat pidana adalah pembalasan terhadap kesalahan yang : a. Bersifat subyektif –pembalasan terhadap kesalahan pelaku. b. Bersifat obyektif –pembalasan atas akibat yang ditimbulkan kedunia luar. Latar belakang pemikiran teori ini adalah : KANT : Pidana adalah tuntutan etik walaupun masyarakat akan musnah besok, hari ini pembunuh harus dihukum mati.
2. Teori Relatif Tujuan pemidanaan adalah prevensi terhadap kejahatan. Hakekat pemidanaan : menimbulkan rasa takut, perbaikan dan penghancuran. Teori Prevensi sebagai “tujuan” terbagi :
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
a. Prevensi Umum (generale preventie)
In
Pemidanaan adalah untuk mencegah semua orang untuk melakukan kejahatan. Hasil teori ini adalah pemidanaan yang kejam, pelaksanaannya di depan orang banyak.
lik
Von Veirbach mengembangkan teori Psychologische Zwang –ancaman pidana yang
ub
tinggi dapat menjadi dorongan psikologis/ kontra motif terhadap nafsu berbuat kejahatan.
R ep
b. Prevensi Khusus
Tujuan pidana adalah pencegahan terhadap pelaku untuk tidak berbuat lagi. 3. Teori Gabungan (veremigings teorie)
aa
n
Merupakan kombinasi dari teori pembalasan dan teori relatif. Terdapat tiga variasi :
ks
a. Tujuan adalah pembalasan dengan pembatasan yaitu pulihnya tata tertib hukum.
ja
b. Tujuannya adalah perlindungan masyarakat dengan pembatasan tidak melampaui derita
Ke
sepantasnya.
at
c. Tujuannya adalah pembalasan sekaligus melindungi masyarakat.
ik l
JENIS-JENIS PIDANA
D
Pasal 10 KUHP menyebut jenis pidana menurut urut beratnya sebagai berikut :
da n
a. Pidana Pokok
1. Pidana Mati.
Ba
2. Pidana Penjara. 3. Pidana Kurungan.
Ar
si
p
4. Pidana Tutupan (UU No. 2 tahun 1946). 5. Pidana Denda.
b. Pidana Tambahan 1. Pencabutan bebetapa hak tertentu. 2. Perampasan barang tertentu. 3. Pengumuman keputusan hakim. Catatan : 1. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada anak nakal (pasal 23) selain tersebut diatas kecuali pidana mati dan tutupaan, ditambah pidana pengawasan.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
2. Pidana tambahan bagi anak nakal berupa :
In
- Perampasan barang. - Pembayaran ganti rugi. 1. Pidana Mati
R ep
Di Belanda sejak tahun 1820 pidana mati telah dihapus.
ub
lik
Ad. a. Pidana Pokok :
- Dalam KUHP ada sejumlah tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati : 1. Kejahatan terhadap keamanan negara (pasal 104, 111 ayat (2), 124 ayat (3) jo pasal
aa
n
129 KUHP).
2. Kejahatan melanggar martabat presiden (pasal 140 ayat (3) KUHP).
ks
3. Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP).
ja
4. Pencurian dengan kekerasan dengan berserikat/ bersama-sama ( pasal 365 KUHP).
Ke
5. Pembajakan (pasal 444 KUHP). - Diluar KUHP
at
1. Tindak pidana narkotika (UU No. 22 /1997 pasal 80 ayat (1)a, ayat (2)a, ayat (3)a,
ik l
pasal 81 ayat (3)a, pasal 82 ayat (1)a, ayat (2)a, ayat (3)a.
D
2. Tindak pidana psikotopika ( UU No. 5/ 1997 pasal59 ayat (2)).
da n
3. Tindak pidana korupsi (pasal 2 ayat (2)). Catatan :
Ar
si
p
Ba
1. Pelaksanaan pidana mati ditunda : a. Terpidana gila, sesudah putusan sampai terpidana sembuh, b. Terpidana hamil sampai 40 hari setelah melahirkan ( pasal 7 UU No. 2/1964 PNPS). c. Sampai mendapat fiat Presiden (pasal 2 yat (3) UU No. 40/1950 tentang Grasi) 2. Pelaksanaan pidana mati dengan jalan ditembak sampai mati oleh regu tembak Brimob dibawah perintah Jaksa Tinggi/ Jaksa.
2. Pidana Penjara Pidana penjara tertinggi adalah seumur hidup. KUHP menentukan pidana maksimum umum selama 15 tahun, namun untuk kejahatan dengan ancaman mati/ penjara seumur hidup atau karena terdapat concursus/ residive dapat menjadi 20 tahun.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Penjara minimun menurut KUHP adalah 1 (satu) hari.
In
Hukuman minimun khusus terdapat pada : 1. UU No. 22/1997 tentang Narkotika.
ub
- Pasal 78 ayat (2) – 2 tahun.
lik
a. Yang didahulukan dengan permufakatan jahat :
R ep
- Pasal 80 ayat (2) – 4 tahun. - Pasal 81 ayat (2) – 2 tahun. - Pasal 82 ayat (2) – 4 tahun. - Pasal 78 ayat (3) – 3 tahun.
ks
- Pasal 80 ayat (3) – 4 tahun.
aa
n
b. Yang dilakukan secara terorganisasi :
ja
- Pasal 81 ayat (3) – 4 tahun.
Ke
- Pasal 82 ayat (3) – 4 tahun.
2. UU No. 5/ 1997 tentang Psikotropika – pasal 59 ayat (1) – 4 tahun.
at
3. UU No. 20/ 2001 jo UU No. 31/ 1999 tentang T.P Korupsi. Ada 10 tindak pidana yang
ik l
diberi pidana minimum 1 s/d 4 tahun.
D
4. UU No. 15/ 2002 tentang T.P Pencucian uang – pasal 3 ayat (1) – 5 tahun.
da n
3. Pidana Kurungan
Pidana kurungan maksimum umum (1 tahun) dan minimum (1 hari).
Ba
Dapat dijatuhkan kurungan 1 tahun 4 bulan dalam hal :
Ar
si
p
a. Samenloop. b. Residive. c. Pegawai negeri yang melakukan tindak pidana melanggar kewajiban khusus jabatannya.
Ada pula maksimum khusus yang terdapat pada pasal tertentu. Pidana kurungan diancamkan pada kejahatan Culpa dan pelanggaran. Perbedaan pidana kurungan dengan pidana penjara : a. Terpidana penjara dapat dipindahkan kepenjara lain diluar wilayah tempat ia dijatuhkan pidana. Pada terpidana tidak dapat, kecuali atas kehendak terpidana sendiri. b. Terpidana kurungan hanya diberi pekerjaan ringan – pasal 19 (2) KUHP.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
c. Terpidana kurungan dapat memperbaiki nasibnya yang disebut PISTOLE – pasal 23
In
KUHP.
Pidana kurungan pengganti atau subsidair adalah suatu bentuk khusus dari pidana kurungan
lik
sebagai pengganti pidana denda dalam hal terpidana tidak mampu/ tidak mau membayar,
ub
diganti dengan pidana kurungan (pengganti) yang disebut dalam vonis. Kurungan pengganti
R ep
juga atas barang rampasan yang tidak disita, jika barang tidak diserahkan dan harganya sebagai pengganti tidak dibayar.kurungan pengganti minimum 1 hari dan maksimum 6 bulan dan dalam hal concursus/ residive dapat menjadi 6 bulan.
aa
n
Jika terdapat komulasi pidana penjara dan kurungan maka pidana penjara dijalani dahulu kemudian baru disusul pidana kurungan.
ks
4. Pidana Denda
ja
Pidana denda senantiasa dijatuhkan dengan pidana kurungan pengganti.
Ke
Pidana denda dalam beberapa perundang-undangan dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan pidana penjara atau secara kumulatif alternatif :
at
a. Kumulatif – pasal 6 UU TPK : dipidana dengan pidana paling singkat 3 tahun dan
ik l
paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150 juta dan paling banyak
D
Rp. 750 juta (penyuapan aktif dan pasif) terhadap Hakim maupun Advokat. Lihat juga
da n
pasal. 8, pasal 9, pasal 10, pasal 12, pasal 12 b ayat (2). Catatan :
Ar
si
p
Ba
Hal serupa terdapat : a. Pada UU Narkotika b. Pada UU Psikotropika. c. Pada UU Pencucian Uang. d. Pada UU T.P Ekonomi. - Pidana yang dijatuhkan/ dituntut harus pidana penjara dan denda. - Pidana penjara yang dijatuhkan tidak boleh lebih rendah dari 3 tahun dan pidana denda dari tidak boleh lebih rendah dari Rp. 150 juta b. Kumulatif Alternatif – pasal 5 UU TPK- dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun atau pidana denda dstnya. Lihat juga pasal 7, pasal 11 UUTPK.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Catatan : hal serupa terdapat pada pasal 64, pasal 65 UU Psikotropika dan pada
In
UU T.P Ekonomi. 5. Pidana Tutupan.
lik
UU No. 20/ 1946 menambahkan pidana tutupan terhadap orang yang melakukan kejahatan
ub
yang diancam dengan hukuman penjara karena didorong oleh maksud yang patut dihormati.
R ep
Pidana tutupan dilaksanakan dirumah tertutup (PP No. 8/ 1998).
Pidana Bersyarat : sejak tahun 1927 pidana bersyarat adalah pidana yang dijatuhkan namun tidak perlu dijalankan apabila selama dalam waktu percobaan tertentu, terpidana tidak
aa
n
melakukan tindak pidana atau melanggar syarat khusus yang ditentukan hakim. 1. Hanya terhadap pemidanaan penjara yang tidak melebihi 1 tahun.
ks
2. Dapat juga dijatuhkanpada pidana kurungan kecuali kurungan pengganti.
ja
3. Dapat juga dijatuhkan terhadap denda jika ternyata pidana denda ataupun perampasan
Ke
barang menimbulkan keberatan yang sangat bagi terpidana. 4. Tidak dapat dijatuhkan terhadap perkara peng.. negara.
at
5. Syarat-syarat :
ik l
a. Syarat umum
D
Tindak boleh melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
da n
Catatan :
Ar
si
p
Ba
Masa Percobaan : - Untuk T.P pelanggaran –pasal 492, 504, 505 dan 536 KUHP selama-lamanya 3 tahun. - Untuk pelanggaran yang lainselama 2 tahun.
b. Syarat Khusus Menyangkut semua perilaku terpidana yang tidak mengurangi kebebasan beragama dan politik, pengawasan dilakukan oleh Jaksa.
Pelepasan Bersyarat Terpidana yang telah menjalani 2/3 dari pidananya dan juga paling sedikit 9 bulan dapat dilepas dengan :
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Syarat Umum - Tidak melakukan tindak pidana/ tidak berkelakuan jelek (pasal 15a).
lik
Syarat Khusus
In
- Dalam tempo percobaan (lebih dari 1 tahun dari sisa masa pidana).
ub
Sama dengan pemidanaan bersyarat yaitu :
R ep
- Pengawasan dilakukan oleh Jaksa.
- Pelepasan dicabut apabila terpidana melanggar syarat/ perjanjian.
- Masa sisa pemidananaan harus dijalani tanpa harus memperhatikan masa pelepasan.
aa
n
Ad. b Pidana Tambahan :
Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama dengan pidana pokok dengan beberapa
ks
pengecualian.
ja
Pidana tambahan bersifat fakultatif –tidak wajib dijatuhkan.
Ke
Kadangkala UU menetapkan pidana tambahan Imperatif –pasal 250 bis merampas mata uang palsu –pasal 261 dan pasal 275 KUHP.
at
Jangka waktu pencabutan hak lebih lama dari masa pidana.
ik l
a. Pencabutan Hak-hak tertentu
D
o Tidak bleh dilakukan pencabutan atas semua hak (mati perdata).
da n
o Hak tertentu yang dicabut dirinci dalam pasal 35 KUHP :
Ba
1. Hak untuk memangku jabatan/ jabatan tertentu. –melanggar pidana tambahan, ini diancam dengan pasal 227 KUHP.
Ar
si
p
2. Hak pilih/ dipilih dalam PEMILU. 3. Hak untuk menjadi TNI. 4. Hak menjadi penasehat/ wali/ wali pengawas, pengampu, currator, atau orang lain selain anaknya sendiri. 5. Hak sebagai kuasa bapak (vaderlijkemacht) pengampu dan currator atas anaknya sendiri. 6. Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu (bepaalde beroepen) Catatan : pencabutan atas hak memangku jabatan tertentu, tidak dapat dilakukan oleh Hakim. Jika hal itu ditentukan undang-undang. (contoh : Ketua dan Anggota Mahkamah Agung).
b. Perampasan Barang Tertentu
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
c. Perampasan barang-barang tertentu diatur secara umum dalam pasal 39 dan 40 KUHP,
In
disamping perampasan khusus dalam pasal-pasal tertentu. Contoh : pasal 205 ayat (3) untuk delik Culpa.
Ar
si
p
Ba
da n
D
ik l
at
Ke
ja
ks
aa
n
R ep
ub
lik
Pasal 502 ayat (2), pasal 549 ayat (2)
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB IV
In
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
lik
A. Apa itu Asas-asas Hukum Pidana
ub
Asas hukum (rechtbeginsel) adalah pikiran dasar yang sifatnya umum dan melatar belakangi
R ep
kaidah hukum (rechtnorm) yang terdapat dalam hukum kongkrit (rechtregels).
KAIDAH KONGKRIT
Ke
ja
ks
aa
n
ASAS
Catatan :
at
- Pasal 362 KUHP (pencurian), 372 KUHP (penggelapan), 378 (penipuan)
D
- Kaidanya
ik l
peraturan kongkrit = norma + sanksi. jangan mencuri, jangan menggelapkan, jangan menipu.
da n
Kaidah hukumnya = ketentuan tentang perilaku manusia dalam masyarakat, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.
Ba
- Asasnya adalah = hak milik orang harus dihormati.
Ar
si
p
Asas hukum ini kadang-kadang dijadikan ketentuan kongkrit seperti pada pasal 1 KUHP, Asas : “NULLUM DELICTUM NULLA POENA SINE PREVIA LEGE POENALE” Asas huku tidak terdapat didalam UU
“GEEN STRAF ZONDER SCHULD” =
Tidak ada hukuman tanpa kesalahan. B. Hukum Pidana Hukum pidana terbagi atas : 1. Hukum pidana obyektif (ius poenale = semua peraturan) : 1.1. Hukum pidana materiil (subtantive criminal law). Mengatur kapan, siapa dan bagaimana hukum termuat dalam KUHP dan lain-lain. 1.2. Hukum pidana formal/ acara (procedural criminal law).
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Mengatur bagaimana hukum pidana materiil ditegakkan, termuat dalam KUHP dan
In
UU lainya. Catatan :
lik
1. Adanya hukum acara dalam UU lain yang menyimpang dari ketentuan KUHAP
ub
menjadikan peraturan pidana dalam UU tersebut sebagai ketentuan khusus.
R ep
2. Wewenang Penyidikan Pidum : penyidik POLRI + PNS.
3. Wewenang Penyidikan Pidsus : Kejaksaan (contoh : TP Korupsi). 2. Hukum pidana subyektif ((ius puniendi)
aa
n
Hak negara (penguasa) untuk menghukum (mengancam hukuman, menjatuhkan hukuman
ks
dan melaksanakan hukuman).
Asas Legalitas (tanpa Undang-undang tidak ada hukuman)
Ke
1.
ja
APA-APA SAJA ASAS HUKUM PIDANA YANG BERLAKU Terdapat dalam rumusan pasal 1 ayat (1) KUHP dan dirumuskan oleh Anslem Von Veurbach NULLA POENA SINE PREVIA LEGE POENALE”,
ik l
diartikan :
at
sebagai “NULLUM DELICTUM
D
- Nulla Poena Sine Lege : Tiada pidana tanpa Undang-undang.
da n
- Nulla Poena Sine Crimine : Tiada pidana tanpa perbuatan pidana. - Nullum Crimen Sine Poena Legali : Tiada perbuatan pidana Tanpa Undang-undang pidana
Ba
yang terlebih dahulu ada.
Ar
si
p
o Fungsi Asas Legalitas 1. Melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan pemerintah. 2. Instrumental : Penguasa di beri kuasa memidana dalam batas ketentuan Undangundang. Fungsi Instrumentalia di Jerman, Australia, Spanyol, Italia
pemerintah
wajib menggunakan wewenang memidana. Sedangkan di Belanda, Indonesia, Perancis, Belgia dan beberapa negara lainnya pemerintah berwewenang tetapi tidak wajib memidana. Kelemahannya : Sering fungsi perlindungan dikorbankan untuk fungsi Instrumental.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Sub Asas Legalitas/ Aspek-aspek
In
1. Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasarkan Undang-undang (formal). 2. Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu Undang-undang terhadap perbuatan yang
lik
tidak diatur oleh Undang-udang tersebut)
ub
3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (peraturan tidak tertulis)
R ep
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex certa) 5. Tidak boleh berlaku surut (retroaktif).
6. Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
aa
n
7. Penuntutan hanya dengan cara yang ditentukan Undang-undang. Pengecualian Asas Legalitas
ks
Pasal 1 ayat (2) KUHP memungkinkan Undang-undang berlaku surut apabila hal tersebut Asas Kesalahan :
Ke
2.
ja
menguntungkan pelaku.
Adagium : “ACTUS NON FACIT REUM NISI MENS SIT REA” (an act does not make a man
at
guilty of crime unless his mind be also guilty).
D
undang.
ik l
a. Actus Reus (criminal act)
da n
b. Mens Rea
Yang memenuhi rumusan delik dalam Undang-
Unsur batin pembuat – yaitu sengaja, lalai.
o Jadi suatu perbuatan (actus reus) walaupun sudah memenuhi rumusan undang-undang
Ba
tidak dapat dipidana kalau tidak ada kesalahan (mens rea). Asas kesalahan ini sangat fundamental sifatnya dalam hukum pidana.
si
p
3. Asas-asas Yang Menyangkut Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Pidana
Ar
Indonesia. Ada 2 asas pokok : 1. Asas Teritorialitas (pasal 2 KUHP) 1.1. Perluasan dari asas teritorialitas (pasal 3 KUHP) : Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar wilayah Indonesia. 2.2.Asas eks Teritorial (pasal 9 KUHP) Berlakunya pasal 2 , 5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Catatan :
In
Alat pelayaran pengertiannya lebih luas dari kapal. Kapal = Spesies dari alat pelayaran.
lik
Diluar Indonesia = dilaut bebas dan di laut wilayah negara lain.
R ep
a. Kepala negara asing dan anggota keluarganya.
ub
Asas-asas Extra Teritoriality/ Kkebalan dan Hak Istimewa (Immunty Previlege). b. Pejabat-pejabat perwakilan negara asing dan keluarganya.
c. Pejabat-pejabat pemerintahan negara asing yang berstatus diplomatik yang dalam
aa
n
perjalanan melalui negara-negara lain atau menuju negara lain. d. Satuan angkatan bersenjata yang terpimpin.
ks
e. Pejabat-pejabat badan internasional.
ja
f. Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer/ ABK diatas kapal maupun diluar
Ke
kapal.
2. a. Asas-asas Personalitas/ Nasionalis Aktif
at
o Pasal 5 KUHP –hukum pidana Indonesia mengikuti warga negara Indonesia. Hukum
ik l
pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia diluar Indonesia yag melakukan
D
pidana tertentu (kejahatan terhadap keamanan negara, martabat kepala negara,
da n
penghasutan, dll).
b. Asas Nasionalis Pasif (perlindungan Kepentingan Nasional).
Ba
o Pasal 7 KUHP –pejabat Indonesia yang melakukan kejahatan jabatan diluar negeri. o Pasal 8 KUHP – Nakhoda kapal Indonesia diluar kapal.
Ar
si
p
c.
Asas Universalitas o Pasal 4 KUHP – Kejahatan uang palsu, kejahatan perompakan. o Dalam hal ini kepentingan universal dilindungi.
ASAS-ASAS YANG BERKAITAN DENGAN PENGHAPUSAN PIDANA A. Alasan Penghapusan Pidana 1. Alsan penghapus pidana umum (general defenses) – Dibuku I KUHP juga berlaku terhadap aturan pidana diluar KUHP (pasal 103). 2. Alasan penghapus pidana khusus yang terdapat dalam rumusan delik yang bersangkutan (pasal 164, pasal 65 ayat (2), pasal 310 ayat (3) KUHP). $VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
B. 1. Diatur dalam Undang-undang
In
1.1 Tidak mampu bertanggungjawab (pasal 44 KUHP)
a. Perkembangan akal yang tidak sempurna (gebrekkige ontwikkeling der verstandelijke Contoh : idiot, imbisil tuli-bisu sejak lahir.
R ep
b. Sakit + akal/ ingatan (ziekelijke storing/ insanity)
ub
lik
vermogens)
Contoh : gila, mania, histeris).
Pertanyaan : bagaimana dengan mabuk/ Intoxication?
aa
n
Mabuk patologi dapat digolongkan dengan mabuk biasa/ tidak, namun ada kemungkinan hilangnya Dolus atau Culpa.
ja
Hakim yang menetapkan.
ks
Catatan : kedua hal tersebut bukanlah istilah medis, tetapi merupakan istilah yuridis.
1. Asas Subsidair
Ke
1.2 a. Pembelaan Darurat/ Noordweer/ Self Defense (pasal 49 ayat (1) ), ada 3 asas :
ik l
: lari).
at
Noodweer baru dapat diterima apabila tidak ada jalan lain yang bisa dipakai (contoh
D
2. Asas Proporsional.
da n
Kepentingan yang dilindungi harus seimbang dengankepentingan yang dikorbankan (contoh : pencuri hingga ditembak).
Ba
3. Asas Culpa In Causa.
Ar
si
p
Penyerangan terjadi karena perbuatan sendiri.
Dari 3 asas tersebut diatas terlihat ada 3 syarat suatu penyerangan : a. Mendadak (ogenblikelijk). b. Langsung mengancam (onmiddelijk dreigend/ immediate danger). c. Melawan hukum (wederrechtelijk). d. Tertuju kehormatan susila (eerbaarheid), nyawa (lijf), barang (goed). b. Ekses Pembelaan Darurat/ Noodweer Exces (pasal 42 ayat (2) KUHP), Syarat-syarat : 1. Ada penyerangan mendadak terhadap tubuh, kehormatan, susila dan barang. 2. Melawan hukum. 3. Pembelaan tidak seimbang (exces). 4. Disebabkan sangat terguncangnya hati (hevige gemoedsbewing).
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
1.3 Daya Paksa/ Overmacht Durres/ Coercion (pasal 48 KUHP), ada 3 bentuk :
In
1. Absolut (vis absoluta). 2. Relatif (vis compulsiva)
lik
3. Keadaan darurat (noodtoestand-necessity) terbagi atas 3 bagian :
ub
a. Tabrakan kepentingan antara dua kepentingan hukum (rechtbelang >< Contoh : satu papan dua orang dilaut.
R ep
rechtbelang).
b. Tabrakan kepentingan hukum dengan kewajiban hukum (rechtbelang ><
aa
n
rechtplicht).
c. Tabrakan kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (rechtplicht >< rechtplicht)
ks
Contoh : menghadap dua Pengadilan Negeri pada saat yang sama.
ja
Catatan : ketiga asas dalam pembelaan darurat diatas, berlaku juga disini (daya paksa).
Ke
1.4 Pelaksanaan Ketentuan Perundang-undang/ Wettelijk Voorschrift (pasal 50 KUHP). x Tidak terbatas pada Undang-undang saja tetapi semua ketentuan Perundang-undangan.
at
x Harus dalam batas-batas kewajaran.
ik l
x Harus sesuai dengan tujuan umum yang hendak dicapai Perundang-undangan.
D
1.5 Perintah Jabatan/ Ambtelijk Bevel/ Superiors Order (pasal 51 KUHP), Syarat-syarat :
da n
1. Ada perintah.
2. Pejabat berwenang
Ba
3. Dalam hubungan hukum publik (publik rechtelijk verhounding).
Ar
si
p
Pertanyaan : Bagaimana apabila pejabat yang tidak berwenang yang mengeluarkan perintah? Ada 2 syarat : 1. Subyektif : pelaku harus dengan itikad baik beranggapan pejabat tersebut bewenang. 2. Obyektif : Pelaksanaan perintah berada dalam lingkup tugasnya. (contoh : seorang Polisi diperintahkan untuk menganiaya tahanan tidak termasuk dalam lingkup tugasnya).
B. 2. Diatur Diluar Undang-undang a. Izin : Berlaku terbatas. (contoh : tinju). b. AVAS (Afwezigheid Van Alle Schuld). c. Tidak ada sifat melawan hukum materiil. $VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
C. Penghapusan Pidana
In
Dapat dikelompokan :
a. Alasan Pembenar (recht vaar digings grond) : Perbuatan dibenarkan dan unsur delik tidak (schulduitsluitings grond/ verontschuldings grond) : Dimana unsur
ub
b. Alasan Pemaaf
lik
terbukti maka dibebaskan (vrijspraak).
R ep
kesalahan tidak terbukti maka lepas dari tuntuan hukum (ontslag van alle rechtvervolging) dan orangnya dimaafkan.
Alasan Penghapus Pidana (Umum) Dalam Undang-Undang .
Tidak mampu bertanggungjawab (psl. 44)
ks
Pembelaan Darurat (psl. 49 ayat (1)
Daya paksa/ Overmacht/ Force Majeur (psl. 48)
ja
Keadaan darurat (Nood Toestand)
PEMAAF
aa
n
PEMBENAR
Ekses Pembelaan Darurat/ Noodweer Ekses (psl.49
(psl.50)
ayat(2))
at
Ke
Menjalankan Perundang-undang
Menjalankan Perintah jabatan yang tidak sah (psl. 51 ayat (2)
D
ik l
Menjalankan perintah jabatan (psl.51)
da n
ASAS-ASAS YANG BERLAKU PADA PEMBARENGAN (SAMENLOOP) A.Perbedaan Antara Pembarengan (samenloop), Penyertaan (deelneming) dan Residif Pada
Ba
Perbuatan Pidana :
peraturan tanpa diselingi putusan Hakim.
si
p
a. Pada pembarengan terdapat satu pelaku dengan perbuatan yang melanggar beberapa
Ar
b. Pada Penyertaan (deelneming) terdapat beberapa pelaku yang melakukan satu perbuatan pidana. c. Pada residif terdapat satu pelaku yang melakukan beberapa perbuatan pidana, namun diantara setiap perbuatan pidana dipisahkan oleh putusan Hakim.
B.Pembagian Pembarengan a. Concursus Idealis (Eendaadsche Samenloop) : Seorang pelaku dengan satu perbuatan telah melanggar beberapa ketentuan pidana (psl.63 ayat (1) KUHP). b. Concursus Realis (Meerdaadsche Samenloop) : Seorang pelaku melakukan beberapa perbuatan tanpa diselingi putusan Hakim.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
c. Perbuatan Yang Diteruskan (Voorgezette handeling) : adalah beberap perbuatan yang
In
berdiri sendiri-sendiri namun satu sama lain berkaitan sehingga harus dilihat sebagai
lik
perbuatan berlanjut (psl. 64 KUHP).
ub
Concursus Idealis
R ep
x Penggunaan istilah –“Feit” dalam pasal 63 KUHP yang seringkali diterjemahkan sebagai Perbuatan sangat penting dalam kaitannya dengan pasal 76 yang juga menggunakan istilah “Feit”. Pasal 76
n
jika suatu perbuatan (feit) termasuk.. dst.
aa
x Pasal 63
orang tidak boleh ditutntut sekali lagi atas perbuatan (feit)... dst.
ks
x Disebut Ideele sameloop –karena dengan satu feit, beberapa peraturan Undang-undang pidana
ja
dilanggar. Satu feit – beberapa kejahatan.
ik l
M.v.T Memberi contoh :
at
mata rohani terlihat jamak.
Ke
x Dikatakan Concursus Idealis (C.I) adalah jika dengan mata jasmani terlihat satu, tetapi dengan
Perkosaan dimuka umum, terlihat hanya satu perbuatan, feit melahirkan dua pelanggaran
D
pidana(pasal 285 dan pasal 281 KUHP).
da n
Perkembangan penafsiran feit Semula Yurisprudensi dan teori berpendapat : feit = perbuatan materiil baik pada pasal 63 maupun
Ba
pasal 76
Van Bammelen
Kata feit diartikan sebagai perbuatan (handeling) karena terpengaruh kata
si
p
perbuatan (handeling) pada pasal 65.
Ar
Akibat pandangan ini banyak timbul ketidakpuasan (contoh : HR 21 Nopember 1887). Kasus I Pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas dengan sepeda yang tidak berpening pajak telah dipidana karena pelanggaran lalu lintas. Ketika diajukan perkara pelanggaran pajak telah dinyatakan lepas dari tuntutan hukum karena Ne Bis In Idem (pasal 76). Kasus II
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Seorang pengendara mobil yang menabrak orang sehingga mati, dijatuhi putusan bebas ketika
In
diajukan untuk pelanggaran lalu lintas. – terkena ketentuan pasal 76 Ne Bis In Idem (HR 26 Mei
lik
1930).
ub
Pandangan Baru
R ep
Van Bammelen menggunakan 3 kriteria untuk menyatakan ada satu atau beberapa feit : 1. Jika suatu perbuatan (handeling) io ipso(dengan sendirinya) menimblkan dua delik. 2. Apabila dalam suatu delik merupakan suatu Conditio Sine Quo Non bagi delik yang lain.
aa
n
3. Apabila delik yang satu menutupi delik yang lain.
x Perkosaan pasal 285 KUHP dimuka umum merupakan Conditio Gua Non bagi merusak
ks
kesopanan dimuka umum.
ja
x Seorang yang sudah kawin yang melakukan pasal 287 io ipso melanggar pasal 284 KUHP.
Ke
x Penipuan dengan wissel palsu io ipso melanggar pasal 263 ayat (2) KUHP. Semua ini merupakan concursus idealis, dasarnya masih tetap feit sebagai Lihamelijk Daad.
at
Beberapa Pendapat Lain
ik l
Perkembangan Yurisprudensi
D
H.R. 15 Pebruari 1932
da n
Pengemudi yang dalam keadaan mabuk mengendarai mobil tanpa lampu melakukan concursus realis (C.R).
Ba
Dasar pertimbangan : - Pada feit yang satu, letakpermasalahannya terletak pada orangnya.
Ar
si
p
- Pada feit yang lain pada orangnya. Keduanya merupakan feit yang berdiri sendiri. Kebersamaan waktu kejadian bukanlah yang hakiki. H.R. 8 Pebruari 1932 Tabrakan yang mengakibatkan seorang mati, dan seorang lagi luka berat adalah concusus realis buka concursus idealis. Feit disini dilihat dari kacamata hukum pidana. H.R. 2 Juni 1936 Dengan sengaja membakar yang mengakibatkan bahaya umum bagi barang dan menyebabkan luka berat adalah concursus realis melanggar pasal 187 butir 1 dan pasal 187 butir 2.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Sejak itu dikembangkan ajaran aspek untuk menentukan ada satu atau lebih perbuatan. –apakah
In
ada satu atau lebih aspek kepidanaan yang dapat terlihat pada suatu perbuatan.
Hubungan concursus idealis dengan ne bis in idem antara pasal 63 dengan pasal 76 ada kaitan
lik
yang erat. Keduanya menggunakan kata feit
ub
Feit pada pasal 63 dengan feit pada pasal 76 jika pengertiannya berbeda akan menimbulkan
R ep
kejanggalan.
o Apabila 2 delik dilakukan yang dianggap concursus idealis, maka tidak mungkin diadili secara terpisah, karena bertentangan dengan pasal 76 (Ne Bis In Idem).
aa
n
o Apabila kedua delik dipandang sebagai concursus realis (C.R), maka tidak dilarang pasal 76.
ks
Spesialitas Logis
ja
Pasal 63 ayat (2) adalah menyangkut spesialitas yang terdiri atas :
Ke
a. Spesialitas Logis b. Konsumsi
ik l
a.d. a. Spesialitas Logis
at
c. Spesialitas Sistematis
D
disini berhadapan delik-delik dasar yang memuat semua unsur delik dengan delik lain,
da n
mempunyai semua unsur yang ada pada delik dasar ditambah unsur khusus atau ada unsur yang digantikan.
Ba
Contoh : pasal 363 ayat (1) Pencurian hewan merupakan spesialitas logis dari pencurian dari pasal 362. Yang
si
p
menjadikan pasal 363 sebagai ketentuan khusus adalah unsur hewan sebagai unsur barang pada
Ar
pasal 362. Disini pasal 363 digunakan. Ancaman pidana pada pasal 363 tersebut lebih berat. Pasal 340 terhadap pasal 338 pada spesialitas logis. –ketentuan dasar harus mundur sebagai ketentuan umum. Ada spesialitas logis dengan pidana yang lebih berat. (contoh: psl. 341 dengan psl. 338 KUHP). Unsur tambahannya adalah karena takut. Ancaman pidana pasal 341 adalah 7 tahun, sedangkan pasal 338 adalah 15 tahun. Ada pula spesialitas logis dengan masing-masing mempunyai unsur khusus (contoh : pasal 287 dengan pasal 296). –yang satu merupakan kekhususan terhadap yang lain.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Kekhususan pasal 287terhadap pasal 294 ialah perbuatan cabul khusus –bersetubuh diluar
In
perkawinan- dan dibawah umur 15 tahun. Sebaliknya pasal 294 mempunyai kekhususan terhadap pasal 287, yaitu perempuan dibawah umur yanga adalah Anaknya atau anak tirinya, dst.
lik
Spesialitas logis bukanlah concursus idealis (C.I).
ub
a.d. b. Konsumsi
R ep
Disini bukan hubungan logis antara 2 ketentuan, tetapi hubungan nilai dan 2 norma. Abortus yang selesai mealnggar pasal 348 tetapi sekaligus memenuhi unsur pasal 299, namun karena sifatnya dapat dipidananya dan sifat berbahayanya maka pasal 299 telah diserap
aa
n
(dikonsumsi) oleh pasal 348 yang berlaku (Van Hattum). o Pasal 187 mengkonsumsi pasal 406. konsumsi. a.d. c. Spesialitas Sistematis
Ke
o Pasal 363 terhadap pasal 167.
ja
ks
o Pasal 344 terhadap pasal 348 merupakan spesialitas logis, bukan concursus idealis, tetapi
at
x Terdapat Spesialis Sistematis apabila suatu feit diatur dalam dua perundang-undangan yang
D
KUHP.
ik l
berbeda, dimana yang satu adalah Undang-undang pidana khusus dan yang lain terdapat dalam
da n
x Apa yang diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) sesungguhnya sebagian besar telah diatur dalam KUHP. Undang-undang PTPK adalah
Ba
Undang-undang khusus.
Residif
Ar
si
p
x Terdapat persamaan antara residive dengan pembarengan, khususnya concursus reails (C.R). x Pada lembaga baik concursus realis maupun concursus idealis maupun pembarengan terdapat sejumlah perbuatan yang merpuakan sejumlah tindak pidana. x Keduanya (khususnya C.R) merupakan alasan pemberatan pidana. x Beda antara keduanya ialah bahwa C.R tindak pidana yang dilakukan tidak diselingi oleh suatu putusan Hakim, sedang pada residif antara dua tindak pidana yang dilakukan selalu selalu oleh putusan Hakim. x Perlu diingat bahwa kadang-kadang ada sejumlah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pelaku yang diadili secara terpisah. Hal ini tetap merupakan C.R bukan residif.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Terdapat Dua Jenis Residif :
In
a. Residif umum yang diatur dalam pasal 486 yang mensyaratkan pengulangan terjadi pada kejahatan yang sama atau sejenis
lik
- Ancaman pidana dinaikan dengan 1/3 dari ancaman pidana yang ada.
ub
- Hanya terhadap pidana penjara.
R ep
- Batas waktu lima tahun sejak pidana terhadap pelaku dijatuhkan, dijalani seluruhnya atau sebagian, atau dihapus, atau hak eksekusi pidana sebelumnya belum lewat. - Ada tiga kelompok :
aa
n
1. Kejahatan terhadap kekayaan (vermogens misdrijven). 3. Kejahatan penghinaan.
ks
2. Kejahatan terhadap jiwa dan kesehatan.
ja
b. Residif Khusus yang disebut secara khusus dalam pasal-pasal tertentu : pasal 137, pasal 144, pasal 157, pasal 163, pasal 321.
Ke
1. Kejahatan
Semua dikaitkan dengan pelaksanaan jabatan.
ik l
Concursus Realis
pasal 489, pasal 492, pasal 495, dsb.
at
2. Pelanggaran
D
Concursus Realis diatur dalam pasal 65, pasal 6 dan pasal 70 KUHP. Concursus Realis
da n
terjadi karena adanya beberapa feit (perbuatan) yang masing-masing berdiri sendiri dan masingmasing menghasilkan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh satu orang tanpa diselingi oleh
Ba
putusan Hakim.
Yurisprudensi harus dibaca, bukan sebagai perbuatan materiil.
si
p
x Pasal 65 menggunakan istilah handeling (perbuatan) yang sesuai dengan perkembangan
Ar
x Dengan perkembangan pengertian feit, maka lingkupan C.R makin menjadi luas dan lingkup C.I makin menjadi sempit. x Dengan perkembangan penafsiran feit, terutama untuk perbuatan pidana yang dilakukan dengan satu perbuatan materiil, makin sulit membedakan C.I dengan C.R. x Dari keempat stelsel pemidanaan yang berlaku pada pembarengan yaitu : a. Kumulasi Tiap-tiap perbuatan pidana dipidana tanpa pengurangan (cumulure = penjumlahan). b. Absorbsi Hanya pidana tertinggi yang dikenakan
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
c. Kumulasi yang diperlunak
In
Tiap pidana dijatuhkan dan dijumlahkan, namun jumlahnya tidak boleh lebih dari hukuman tertinggi ditambah sepertiga
lik
d. Absorbsi yang dipertajam
ub
Maka C.R dengan ancaman hukuman sejenis, stelsel pemidanaannya adalah absorbsi
R ep
yang dipertajam (d) –pasal 65 KUHP.
x Pada C.R dengan ancaman hukuman tidak sejenis maka stelsel pemidanaannya adalah kumulasi yang diperlunak (pasal 66 KUHP).
aa
n
x Pada C.R dengan gabungan kejahatan dan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelangggaran, maka pidanadijatuhkan pada tiap-tiap pelanggaran (pasal 70 KUHP).
ks
Terhadap pelanggaran berlaku stelsel kumulasi murni (a) , khusus pasal 302 ayat (1), pasal
ja
352, pasal 364, pasal 373 dan pasal 482 dianggap pelanggaran dengan pembatasan pidana
Ke
8 bulan penjara.
x Pada penjatuhan pidana untuk C.R maka pidana yang telah dijatuhkan sebelumnya harus
ik l
x Syarat-syarat :
at
turut diperhitungkan dengan menggunakan stelsel pemidanaan yang sesuai.
D
- Ada satu keputusan Niat.
da n
- Perbuatan/ feiten haruslah sama atau sejenis (gelijksoortig). - Jarak waktu antara perbuatan-perbuatan tersebut tidak terlalu lama.
Ba
Apabila pelaku dengan perilakunya memenuhi dari satu ketentuan pidana dimana ketentuan
pidana yang satu merupakan khusus, maka hanya ada satu ketentuan pidana yang diterapkan yaitu
si
p
yang bersifat khusus, asas tersebut ialah :
Ar
1. Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali (pasal 63 ayat (2) KUHP) a. Terdapat Spesialis Logis –bila suatu ketentuan pidana memiliki semua unsur ketentuan pidana yang ada ditambah unsur khusus. b. Spesialitas Sistematis – yaitu peraturan pidana yang memuat ketentuan khusus yang berbeda dengan ketentuan pidana yang ada. 2. Asas Lex Postepiori Derogat Legi Priori Apabila terdapat dua peraturan Perundang-undangan yang setingkat mengatur hal yang sama maka peraturan terakhir yang berlaku. 3. Asas Ne Bis In Idem
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Asas Ne Bis In Idem mempunyai dua sisi. Sisi pribadi (persoonlijke) dan sisi obyek (zakelijk)
In
sebagaimana diatur dalam pasal 76 KUHP.
a. Asas ini hanya dapat dipergunakan terhadap orang yang sama (sisi persoonlijke).
lik
b. Asas inin juga hanya berlaku terhadap feit yang sama yang telah memperoleh kekuatan
ub
hukum yang pasti (sisi obyektif).
R ep
Pertanyaan : Apakah yang dimaksud dengan keputusan yang telah memperoleh kekuatan hukum pasti (inkracht) ?
o Keputusan-keputusan Hakim yang menyangkut pokok perkara antara lain :
aa
n
a. Pemidanaan (veroordeling).
b. Pelepasan dari tuntutan hukum (ontslag van alle rechtvervolging).
ks
c. Pembebasan (vrijsprak)
ja
Terhadap ketiga putusan ini apabila telah memperoleh kekuatan huum pasti, maka berlaku asas
Ke
Ne Bis In Idem.
o Keputusan Hakim yang tidak menyangkut pokok perkara :
at
1. Pembatalan dakwaan Jaksa.
ik l
2. Dakwaan tidak dapat diteerima (niet ontvanklijk verklaren).
D
3. Menyatakan tidak berwenang (onbevoegd verklaren).
da n
Terhadap putusan diatas dapat diajukan lagi tanpa melanggar asas Ne Bis In Idem. Asas Accesoiritas
Ba
Berlaku pada penyertaan (deelneming/ concursus plurium ad unum delictum). – bahwa
penyertaan baru dapat dipidana apabila perbuatan dimana penyertaan dilakukan benar-benar
si
p
dilaksanakan, termasuk percobaannya. Pada pembarengan ada satu pelaku dengan beberapa
Ar
perbuatan pidana, maka pada penyertaan ada satu perbuatan dengan beberapa orang pelaku. Dibedakan : 1. Concursus Necessarius (noodzakelijk deelneming) dimana perbuatan pidana hanya dapat terjadi bila ada kerjasama orang lain. 2. Concursus fakultativus Dibedakan : 1. Penyertaan sebelum perbuatan pidana (ante delictum) a. Menyuruh melakukan (doen plegen). b. Membujuk (uitloken). $VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
c. Membantu untuk melakukan (medeplichtigheid tot het delict)
In
2. Penyertaan pada waktu perbuatan pidana (tempore delicti). a. Turut melakukan (mede plegen).
lik
b. Membantu pada waktu perbuatan pidana dilakukan.
ub
Contoh :
R ep
a. Menyuruh melakukan Syarat :
1. Satu pelaku (doen pleger)melakukan delik melalui perantara orang lain (manus
aa
n
domina).
2. Pelaku sesungguhnya (manus mnistra) tidak dapat dihukum, karena ketiadaan unsur
ks
kesalahan atau unsur pertanggungjawaban tidak ia miliki.
ja
b. Membujuk
Ke
o Membujuk adalah pengambil prakarsa dan yang menimbulkan niat untuk melakukan delik.
at
o Pada pembujukan baik pembujuk maupun terbujuk dapat dipidana.
ik l
o Pada pembujuk alat/ sarana ditentukan secara limitatif yaitu
pemberian
D
janji, menyalah gunakan kekuasaan atau martabat, paksaan atau pemberian kesempatan
da n
sarana atau keterangan.
x Congruensi antara maksud pembujuk dengan apa yang dilakukan oleh pelaku :
Ba
- Bagaimana kalau terbujuk melakukan
lebih dari apa yang dibujukan atau
Ar
si
p
menyimpang.
- Bagaimana kalau yang dilakukan terbujuk kurang dari apa yang dibujukan? - Bagaimana kalau akibat yang ditimbulkan
melebihi apa yang dikehendakioleh
terbujuk sendiri (pasal 164 KUHP). Pembujukan Gagal Sesuai asas accesoiritas, maka apabila terbujuk tidak melaksanakan delik dari pembujuk, pembujuk tidak dapat dihukum. KUHP menjadikan Pembujuk yang gagal sebagai delik tersendiri (pasal 164 KUHP). Agen Provokatur o Dari segi hukum pidana mteriil, apakah ada sifat melawan hukum materiil pada agen provokatur tersebut?
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
o Dari segi hukum pidana formil, apakah ada barang bukti yang diperoleh agen provokatur
In
Syah? Yurisprudensi Belanda mengatakan tidak, sepanjang pelaku sendiri kurang
x Para pelaku harus mempunyai kesengajaan yang sama.
ub
c. Turut Melakukan
lik
mempunyai niat yang sama (H.R. 19 Maret 1981).
R ep
x Para pelaku atau salah satu pelaku mungkin saja tidak memenuhi semua unsur delik. x Bentuk-bentuk turut melakukan :
1. Apabila tiap-tiap pelaku memenuhi semua unsur-unsur delik. Tiap-tiap pelaku disini
aa
n
adalah pembuat (dader).
2. Masing-masing pelaku secara sendiri-sendiri tidak memenuhi semua unsur delik.
ja
x Syarat Turut melakukan :
ks
3. Salah satu pelaku saja yang memenuhi semua unsur delik.
Ke
1. Harus ada rencana bersama. Jadi, ada kesengajaan bersama. 2. Pelaksanaan bersama.
ik l
at
x Turut Melakukan pada delik Culpa : o Pada delik sengaja selalu ada dua kesengajaan :
D
- Membuat rencana.
da n
- Melaksanakan perbuatan.
o Pada delik Culpa hanya ada satu kesengajaan yaitu sengaja dan bekerjasama.
Ba
x Turut Melakukan pada delik kualitas
Ar
si
p
Delik kualitas adalah delik dimana pelakunya mempunyai kualitas tertentu sebagai pegawai negeri. *Membantu (medeplichtig) : 1. sebelum delik dilakukan 2. pada waktu delik dilakukan.
x Sarana perbantuan ditentukan secara limitatif, yakni sengaja memberi kesempata, peralatan atau keterangan. Niat sudah ada pembuat untuk melakukan delik, apabila niat itu ditimbulkan oleh yang memberi kesempatan, alat atau keterangan, maka yang terjadi adalah pembujukan.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB V
In
ALASAN PENGURANGAN HUKUMAN
lik
Ada 3 bentuk :
ub
1. Percobaan (poging).
R ep
2. Pembantuan (medeplichtigheid).
3. Belum dewasa menurut hukum pidana (straf rechttelijke minderjarigheid). x Percobaan (poging).
aa
n
Perbuatan sudah dilakukan, hasil yang dikehendaki tidak ada. Syarat-syarat :
ja
2. Ada permulaan pelaksanaan.
ks
1. Ada niat (voornemen).
Ke
3. Perbuatan pidana tidak selesai bukan atas kemauan sendiri. 4. Niat adalah sama dengan sengaja.
at
Ad. 2. Permulaan Pelaksanaan
D
berbahaya.
ik l
a. Ajaran subyektif = permulaan pelaksanaan niat, yaitu bertolak dari sikap batin yang
da n
b. Ajaran Obyektif = permulaan pelaksanaan kejahatan bertolak dari berbahayanya perbuatan yang telah terlaksana terhadap kepentingan hukum.
Ba
c. Ajaran Obyektif diperlunak = perbuatan telah telah dilaksanakan dan perbuatan jelas terlihat
Ar
si
p
bahwa pelaku sanggup melaksanakan niatnya.
*Perbedaan kedua ajaran adalah pada apa yang dimaksud dengan Perbuatan Persiapan. Perbuatan persiapan pada ajaran obyektif sudah merupakan perbuatan pelaksanaan pada ajaran subyektif.
Ad. 3.Delik tidak selesai bukan atas kemauan sendiri Terdapat rumusan yang negatif (negatif non surtprobanda) yang menimbulkan kesulitan pada pembuktian. o Macam-macam Percobaan - Percobaan selesai (volttooide poging = delit mangue) –perbuatan sudah selesai akibatnya tidak muncul.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
- Percobaan tidak selesai (geschorste poging) –perbuatan sudah tercegah sebelum
In
dilaksanakan. - Percobaan tidak mampu (on deugdelijk poging).
lik
a. Absolut
ub
1. Sarana/ alat – membunuh orang dengan racun yang ternyata gula.
R ep
2. Sasaran – membunuh orang yang ternyata sudah mati. b. Relatif
1. Sarana/ alat – membunuuh orang dengan racun yang dosisnya terlalu kecil.
aa
n
2. Sasaran – membunuh orang yang ternyata sudah mati Perlu dijelaskan dengan contoh kongkrit dengan menerapkan teori obyektif dan teori
ks
subyektif.
ja
Mangel Am Tatbestand dan Delik Putatif
Ke
- Pada Mangel Am Tatbestand tidak terdapat salah satu unsur esensial dari rumusan delik mencuri barang yang ternyata barangnya sendiri.
at
- Pada Delik Putatif apa yang dilakukan, yag disangka oleh pelaku merupakan perbuatan
D
x Perbantuan.
ik l
pidana ternyata bukan.
da n
Telah diterangkan dalam kaitan dengan penyertaan, terbagi atas : a. Sebelum perbuatan pidana dilakukan.
Ba
b. Pada waktu perbuatan pidana dilakukan.
x Belum Dewasa
si
p
Alasan pengurangan hukuman ini adalah merupakan alasan pengurangan yang sesungguhnya
Ar
dan diatur dalam bab tentang penghapusan, pengurangan dalam pembantuan hukum.
Percobaan Dalam Common Law (Attempt) x ATTEMPT menurut Common Law dikualifikasikan sebagai Misdemeanor. x Dengan Criminal Attempt act 1981 diciptakan sesuatu statuory offence law : intent to commit an offence, a person does an act wich a more than merely prepatory. x Hubungan sebab-akibat –apakah sebab dari suatu akibat pada perbuatan pidana? Ada 3 Teori : 1. Teori Conditio Sine Qua Non (aequi Valenti) – setiap faktor, setiap syarat adalah sebab dan semuanya bernilaisama. $VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
2. Teori Individualisme – faktor atau syarat mana yang paling berpengaruh dalam
In
menimbulkan akibat.
3. Teori Generalisasi (ante Factum) – apakah syarat/ faktor yang ada secara abseracto dapat
lik
menimbulkan akibat. Suatu faktor/ syarat baru dapat menjadi sebab apabila faktor tersebut
ub
adequat (seimbang) untuk menimbulkan akibat. Sebab adalah syarat yang rasional untuk
R ep
menimbulkan akibat. Tujuan Dasar Pembenaran Pemidanaan
aa
n
Ada 3 teori tentang Tujuan dan Pembenaran yang dijatuhkannya pidana : 1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan. Dikatakan absolut karena pemidanaannya tidak
ks
mempunyai tujuan.
ja
2. Pemidanaan hanyalah pembalasan atas terjadinya kejahatan.
Ke
3. Teori relatif. Pemidanaan mempunyai tujuan : a. Prevensi Umum yaitu untuk membuat agar masyarakat jera dan tidak meniru.
at
b. Prevensi Khusus yaitu agar tidak akan lagi melakukan perbuatan pidana serupa.
ik l
Pemidanaan adalah pendidikan bagi pelaku.
D
c. Pengamanan –masyarakat menjadi aman selama pelaku ditahan.
da n
4. Teori Gabungan –pidana pada dasarnya adalah pembalasan, namun selalu disertai tujuan
Ar
si
p
Ba
bagi kebaikan masyarakat
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB VI
In
HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (KAUSALITAS)
lik
Dalam hal undang-undang berbicara tentang mengakibatkan (veroorzaken) atau
ub
akibat, maka disitu kita perhadapkan pada masalah sebab-akibat (kausalitas) pada delik-delik
R ep
materiil dimana pemidanaan dijatuhkan pada perbuatan yang mempunyai akibat. Maka masalah kausalitas selalu ada karena akibat merupakan unsur delik (bestandeel). Pada delik formil yaitu pemidanaan tertuju pada perbuatan seperti pasal 362, 150, 209, 210 dan 242 KUHP), maka
aa
n
kausalitas tidak menjadi masalah.
Disamping delik materiil terdapat pula delik dengan berkualifikasi karena adanya akibat seperti
ks
pasal :351 ayat (2) dan ayat (3), pasal 187 ayat (2) dan ayat (3), dimana kausalitas menjadi macula.
ja
Ada beberapa teori kausalitas yang dikenal :
Ke
1. Teori Van Biiri yang disebut teori Condition Sine Qua Non (semua syarat adalah sebab-syarat
at
mutlak).
ik l
Semua syarat/ faktor yang membawa akibat adalah sebab(causa) dan mempunyai nilai yang sama (equivalent). Syarat-syarattertentu yang dapat dihilangkan tidak merupakan sebab. Teori
D
ini disebut juga teori Aequivalentie atau Bedingungs Theorie, karena bedingung (syarat) adalah
da n
sama dengan causa (sebab). Van Hameli
teori ini logis, namun harus disertai dengan teori kesalahan yang baik. Harus
Ba
dibuktikan sikap batin berpua sengaja atau lalai.
2. Teori Individualitas Birk Meijer
Ar
si
p
Adalah sebagai reaksi terhadap teori aequivalentie. Dari rangkaian syarat/ faktor yang ada dicari syarat yang paling berpengaruh terhadap terjadinya akibat yang bersangkutan.
3. Teori Generalisasi Yang menjadi sebab adalah faktor yang menurut pengalaman manusia pada umumnya dapat menimbulkan akibat yang terjadi. 4. Teori Adequat Merupakan pengembangan dari teori Generalisasi, sehingga disebut juga teori Subyektif Adequat. Causa dari suatu akibat adalah hanya satu dari antara rangkaian faktor, yaitu yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh pelaku. Oleh karena itu disebut Subjektive Prognose. $VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n In
Kritik terhadap teori ini oleh Van Bammelen :
Dengan teori ini kita sudah beralih ke teori kesalahan, bukan lagi bicara tentang kausalitas.
lik
Teori ini kemudian diperbaiki oleh Riimelin :
ub
Sebab adalah faktor obyektif yang diperkirakan dari rangkaian faktor-faktor sebagai sebab menurut
R ep
perhitungan manusia normal.
Terlihat V. Kries melihatnya secara ex ante (pada sebelum perbuatan dilakukan) dan Riimelin melihatnya secara ex post (sesudah perbuatan) disebut Nachtragliche Prognose (nachtragliche =
aa
n
sesudah). Teori V. Kriesdan Riimelin bersama bersama dengan teori dari Treager yang menggunakan ukuran manusia terpandai (de verstandigste) disebut teori Adequatie.
ks
Untuk membedakan teori V. Kries dengan teori Riimelin dikemukakan kasus sebagai berikut :
ja
Seorang suami karena marah melemparkan sebuah pantoffel ke kepala istrinya.
Ke
Yang terkena lemparan adalah bagian kepala yang sangat tipis (eirschedel). Karena kepalanya pecah istrinya meninggal dunia
rechtbank
(pengadilan
tingkat
pertama)
–bukan
at
penganiayaan yang menyebabkan kematian. Sebaliknya Gerechlithof berpendapat ada hubungan
ik l
kausal.
D
Rechtbank mengikuti V.Kries sedangkan Hof mengikuti Riimelin, dimana menurut V. Kries yang
da n
harus menjadi pertimbangan adalah pengetahuan dari si pembuat. Sebaliknya Riimelin
harus
dipertimbangkan
keadaan,
seperti
tipisnya
tengkorak.
Ba
Yurisprudensi menggunakan teori V. Kries. Kausalitas pada Delik Omisionis
si
p
a. Delik Omisionis murni
Ar
Pada delik omisionis murni
pasal 164, 165, 224, 522, 523, 529 dan 531 KUHP. tidak ada masalah dengan kausalitas.
b. Delik Omisionis tidak murni ( commissionis per omissionem commissa). Kesulitan timbul apabila orang berpendapat bahwa pengertian sebab didasarkan pada pakaar ilmu alam dengan ungkapan terkenal ex nihilo nihil pascitur –dari suatu yang tidak ada tidak mungkin diwujudkan sesuatu yang ada- jadi dari perbuatan negatif nalaten tidak mungkin timbul suatu akibat. Dengan menggunakan teori adequat makin jelas dapat terjadi suatu akibat yang kausanya adalah tidak berbuat – yang seharusnya wajib ia perbuat. Jadi disini harus dikaitkan
hal tidak berbuat dengan kesalahan dan melawan hukum.
Contoh Kasus :
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
1. H.R 5 Maret 1952
In
Seorang tukang perapian (kachelsmid) yang memindahkan perapian (haard) dari balkon ke dalam kamar tidur atas permintaan Ny. H tanpa menghubungkannya ke cerobong asap,
lik
telah menyebabkan Tn. H keracunan asap dan mati. Si tukang dipersalahkan sebagai
ub
penyebab kematian, karena tidak memberitahukan kepada Ny. H tentang bahaya arang
R ep
monooxyde. 2. H.R 11 Mei 1941
Seorang ibu membiarkan suaminya membunuh cucunya, dianggap sebagai membantu
Ar
si
p
Ba
da n
D
ik l
at
Ke
ja
ks
aa
n
pembunuhan.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB VII
In
TEMPUS DAN LOCUS DELICTI
lik
KUHP tidak mengatur tentang Tempus dan Locus Delicti. Permasalahnnya diserahkan pada
ub
Yurisprudensi dan Doktrin. Penentuan Locus dan Tempus Delicti sangat penting, sehingga merupakan syarat batal bagi suatu dakwaan yang tidak mencantumkannya. (pasal 143 ayat (2)b
R ep
dan ayat (3)). A.Locus Delicti a. Yuridiksi Perundang-undangan.
ks
b. Kompetensi Relatif dari Pengadilan.
aa
n
x Makna penentuan Locus Delicti :
x Ada tiga teori :
ja
1. Perbuatan materiil = tempat perbuatan fisik dilakukan.
Ke
2. Alat = tempat perbuatan pidana adalah dimana alat yang digunakan membawa hasil. 3. Akibat langsung dan konstitutif
at
x Dalam praktek ketiga teori dipakai bersama-sama. Dengan kemungkinan terdapat
D
B. Tempus Delicti
ik l
kemungkinan Locus Delicti Jamak.
da n
x Makna praktis :
1. Terjadi perubahan Perundang-undangan (psl. 1 ayat (2) KUHP).
Ba
2. Pelaku dibawah umur (psl.45, 46, 47 KUHP). 3. Lewat waktu (psl. 79 ayat (1) KUHP).
p
Tempus Delicti penting artinya dalam hal :
Ar
si
1. Berlakunya asas Legalitas –larangan retro aktif dan perubahan Perundang-undang (pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)).
2. Bagi delik-delik yang unsur pembuat atau korban merupakan syarat- pasal 45 unsur pembuatbelum 16 tahun. Pasal 287 unsur korban belum 17 tahun dan pasal-pasal lainnya seperti : 287, 288, 290, 294, 300 dan 301 KUHP). 3. Tempo lewat waktu (verjarings termijn). 4. Pasal 396 dan 397 menyangkut kapailitan. 5. Menentukan adanya residif. 6. Apakah pencurian diwaktu siang atau malam.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Ada 4 teori untuk penetuan Locus dan Tempus Delicti :
In
1. Teori perbuatan jasmania/ perbuatan materiil –tempus/ locus delicti adlah waktu dan tempat perbuatan materiil dari delik.
tempus dan locus delicti adalah tempat dan waktu alat bekerja.
lik
2. Teori alat/ instrumen
ub
3. Teori akibat locus dan tempus delicti adalah tempat dan waktu akibat muncul yaitu :
R ep
a. Akibat konstitutif –yaitu delik selesai. b. Akibat langsung (on middelijk gewolg).
4. Teori locus dan tempus delicti jamak (meer voudige tempus en locus delicti).
aa
n
H.R dalam Arrest 24 Juni 1935
Berpegang pada teori perbuatan jasmaniah tentang kasus penipuan dimana perbuatan tipu daya
ks
dilakukan untuk menipu publik atau persaingan curang.
ja
H.R 6 April 1915
Ke
Seorang dari seberang perbatasan menarik seekor kuda dari negeri Belanda adalah Belanda.
locus delicti nya
at
Locus Delicti dan kegunaannya :
ik l
Pada Ommisi murni masih dipermasalahkan antara tempat maupun waktu dimana
D
dan kapan perbuatan harus dilakukan, dan tempat dimana pembuat berada, dimana dia harus
da n
melakukan perbuatan dan dapat melakukannya. Contoh : seseorang di Jakarta Selatan dipanggil menghadap sebagai saksi ke Pengadilan Jakarta
Ba
Barat yang tidak dipenuhinya. Pendapat pertama tempusnya di Jakarta Barat.
si
p
Pendapat kedua tempusnya di Jakarta Selatan atau ditempat lain dimana dia berada pada waktu dia
Ar
harus menghadap. Jelas teori alat tidak dapat dipakai disini. V.Hamel mempertahankan Locus Delicti Jamak maupun Tempus Delicti Jamak menggunakan teori yang sama.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB VIII
In
DELIK-DELIK KORPORASI
lik
Von Savigny :
ub
Societas Universitas Delinquere Non Protest (badan-badan hukum tidak dapat dipidana). Adagium ini ada karena pengaruh hukum Romawi.
R ep
Korporasi sebagai subyek hukum dibidang hukum perdata telah lama diakui disamping manusia. Dibidang hukum pidana merupakan suatu hal yang masih baru.
n
Perkembangan pemahaman korporasi sebagai subyek hukum pidana terhambat oleh rumusan delik
aa
itu sendiriyang selalu berbunyi “barang siapa” (hij die). Terdapat beberapa pasal seperti pasal :
ks
169, 398, 399 dimana seharusnya korporasinya yang dijatuhi pidana, namun hal itu dielakkan dengan menjatuhkan pidana terhadap individu dalam bentuk penyertaan.
ja
Juga dalam pasal 59 KUHP berdasar pada pemikiran bahwa korporasi tidak dapat dipidana.
Ke
Doktrin Mens Rea adlah penghambat utama untuk menjadikan koporasi sebagai subyek hukum pidana, karena hukum pidana kita mengisyaratkan adanya kesalahan, sehingga disebut hukum
at
pidana kesalahan (schuld strafrecht). Yang merupakan bagian dai Mens Rea, maka dengan
ik l
sendirinya tidak dapat diterapkan pada korporasi yang tidak mungkin mempunyai Mens Rea. Hal
D
ini jelas terlihat dari asas geen straf zonder schuld dinegara-negara civil law.
da n
Liability of Corporation in Criminal Case sudah lama di terapkan di inggris (L.H Lieigh 1944) yang diikuti pula di USA, Kanada,Australia dll.
Ba
Selain itu doktrin ultra vires (suatu korporasi bertindak melampaui apa yang dicantumkan dalam AD) yang juga merupakan penghambat menurut Leigh telah diatasi.
p
Di Indonesia yang mengikuti Belanda, korporasi dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana.
si
Untuk tindak pidana hukum tetap berpegang bahwa hukum pidana Indonesia adalah Schuld
Ar
Strafrecht, sehingga korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana. Mvt suatu delik hanya dapat dilakukan oleh perorangan ( naturlijke persoon). Hal ini berbeda dengan tindak pidana khusus dimana dengan jelas korporasi dapat dituntut seperti yang terlihat pada : 1. UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika. Pasal 70 : - Korporasi dijatuhi pidana denda dua kali untuk denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut. - Dapat dicabut izin usaha.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
es
ia - Pasal 79 ayat (4)
do n
2. UU No. 22/ 1997 tentang Narkotika. : korporasi dapat dijatuhi pidana denda.
Pasal 20 : denda maksimum. - Pasal 5 ayat (1) : denda maksimun + 1/3 dan
n
- pasal 5 ayat (2) : Pencabutan ijin.
R ep
4. UU No. 15/ 2002 tentang tindak pidana pencucian uang
ub
3. UU No. 31/ 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
lik
- Pasal 81 ayat (4), pasal 83 ayat (4).
In
- Pasal 80 ayat (4) : korporasi dapat dijatuhi pidana denda.
aa
- Pasal 4 : Penjatuhan pidana dapat dijatuhkan terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus
ks
yang mempunyai kedudukan fungsional, maupun terhadap korporasi. Di Belanda telah terjadi peerubahan pasal 51 WSR :
ja
1. Perbuatan pidana dapat oelh perorangan dan oleh badan hukum.
Ke
2. Apabila perbuatan pidana dilakukan oleh badan hukum, tuntutan pidana dapat dilakukan dan a. Badan hukum.
at
pidana serta tindakan yang tersedia dalam Undang-undang dapat dijatuhkan kepada :
ik l
b. Terhadap mereka yang memerintahkan perbuatan, mereka yang memimpin melakukan
D
perbuatan pidana tersebut.
da n
c. Terhadap tersebut pada a dan b. Dalam perkembangan di Belanda delik korporasi dimulai dari Yurisprudensi dan Doktrin.
Ba
Pompc menyebutnya geestelijk dader (pelaku rohani). Roling menyebutnya pelaku fungsional. Perkembangan tentang korporasi sebagai pelaku fungsional banyak mempengaruhi pengertian
p
menyuruh melakukan (doen plegen).
si
Perkembangan selanjutnya ialah dengan lahirnya Undang-undang TPE yang juga ditiru oleh
Ar
Indonesia dengan UU No. 7 drt 1955. Dalam pasal 15 dikatakan bahwa tindak pidana dapat dilakukan oleh dana atas nama badan hukum, tuntutan pidana dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap badan hukum. Hal ini kemudian di Indonesia dijumpai pula dalam tindak pidana khusus lainya serpti tersebut diatas. Di Indonesia belum sampai pada ketegasan seperti perubahan pasal 51 (psl 59 Ind), sehingga dapat berlaku secara umum sesuai ketentuan pasal 103 KUHP.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB IX
In
GUGURNYA HAK PENUNTUTAN DAN HAK PEMIDANAAN
lik
Melakukan penuntutan dan pemidanaan atau suatu perbuatan pidana adalah suatu kewajiban
ub
penguasa.
R ep
x Pembatasan pertama atas kewajiban ini adalah asas opportunitas yang diberikan kepada Jaksa Agung sesuai pasal 35 UU No. 16/ 2004 yang disebut wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. 1. Yang bersifat menunda (opschortende).
aa
n
x Disamping itu ada dasar lain untuk tidak dilakukan kewajiban menuntut :
ks
2. Yang bersifat menghapus (ontbindende).
ja
Ad. 1. Ada yang bersifat menunda (opschortende).
Ke
Hak menuntut baru ada setelah dipenuhinya syarat tertentu. Hal ini terlihat pada delik aduan (klacht delict). Yaitu delik-delik tertentu yang oleh Undang-undang ditentukan penuntutannya
at
tergantung pada kehendak yang dirugikan/ yang berkepentingan. Undang-undang beranggapan
ik l
bahwa kepentingan probadi yang dirugikan adalah lebih besar dari pada kepentingan umum
D
yang harus dilindungi.
da n
a. Delik aduan absolut yaitu delik-delik yang dalam segala hal di syaratkan adanya pengaduan. Delik aduan absolut adalah :
Ba
- Delik-delik penghinaan , kecuali penghinaan terhadap pejabat yang sedang
Ar
si
p
menjalankan tugas –pasal 139 jo pasal 316 KUHP.
- Berzina –pasal 284 KUHP. - Bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya, yang belum berumur 15 tahun – pasal 287 KUHP. - Berbuat cabul dengan seseorang berkelakuan baik yang masih dibawah umur, dengan pemberian hadiah atau janji – pasal 293 KUHP. - Membuka atau membocorkan rahasia – pasal 322 KUHP.
b. Delik aduan relatif yaitu delik-delik yang dalam keadaan tertentu saja adalah delik aduan yaitu: - Pencurian dalam keluarga – sedarah dalam garis lurus atau menyimpang derajat kedua atau semenda – pasal 367 ayat (2) KUHP.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Catatan : pencurian antara suami/ istri termasuk yag pisah meja dan ranjang tidak dapat - Juga pemerasan, penggelapan dalam keluarga adalah delik aduan.
lik
Yang berhak Mengajukan Pengaduan :
In
dituntut.
R ep
yang sah apabila ia belum dewasa/ belum cukup 16 tahun.
ub
a. Ditentukan dalam pasal 72 KUHP yaitu : orang yang menjadi korban kejahatan atau wakilnya b. Ditentukan dalam pasal-pasal Undang-undang yang bersangkutan. Contoh : pasal 284 KUHP – suami/ istri.
aa
n
Pasal 332 KUHP – perempuan itu sendiri atau suaminya. Waktu pengajuan atau penarikan aduan (pasal 72 KUHP) :
ja
bersangkutan berada di Indonesia.
ks
- 6 (enam) bulan setelah yang bersangkutan mengetahui ada terjadi kejahatan dan yang
Ke
- 9 (sembilan) bulan apabila yang bersangkutan berada di luar negeri. - Yang berhak mengadu berhak pula menarik kembali pengaduan dalam tempo 3 (tiga) bulan
at
setelah pengaduan diajukan.
ik l
Ada dua hal yang bersifat menghapus (ontbindende).
D
Hak menuntut hapus sama sekali jika :
da n
A. Kadaluwarsa.
B. Meninggalnya tersangka.
Ba
C. Amnesti dan Abolisi. D. Ne Bis In Idem atau Nemo Debet Bis Vexari (gewijsde).
si
p
Ad. 1. Kadaluwarsa. (L.W penuntutan)
Ar
- Pasal 78 KUHP mengatur tentang tenggang waktu gugurnya hak penuntutan. Tenggang waktu tersebut ditentukan sesuai berat ringannya suatu delik. - Lembaga L.W diadakan atas dasar pemikiran bahwa jika sudah berlakunya waktu tertentu, maka pemidanaan hilang manfaatnya. - Selain itu juga menimbulkan kesulitan dalam pembuktian, karena alat-alat bukti yang dibutuhkan mungkin sudah hilang atau musnah. Yang patut disimak oleh JPU (juga Hakim) bahwa :
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
a. Kadaluwarsa dapat terhenti (stuiting) oelh adanya perbuatan penuntutan. Tenggang waktu
In
kadaluwarsa yang dihitung sejak waktu delik hapus dan dimulai tenggang waktu kadaluwarsa baru –pasal 80 KUHP.
lik
b. Kadaluwarsa dapat tertunda (schorsing) oleh adanya sengketa prae yudisial (prae judiciele
ub
geschil) –pasal 81 KUHP.
R ep
Tenggang waktu lama tetap dihitung, hanya terjadi penundaan selama berlangsung sengketa pra yudisial. Catatan :
aa
n
Perlu pengertian yang jelas apa itu perbuatan penuntutan, ada beberapa pendapat : 1. Saat perkara dilimpahkan ke Pengadilan pasal 1 butir (7) (penuntutan dalam arti
ks
sempit).
ja
2. Saat Penuntut Umum menerima berkas perkara dalam melakukan Pra-penuntutan (arti
Ke
luas).
3. Saat menyampaikan tuntutan (arti sempit).
at
*selain kadaluwarsa penuntutan terdapat pula kadaluwarsa eksekusi yang diatur dalam
ik l
pasal 84 KUHP.
D
c. Tersangka meninggal (terdakwa?)
da n
Pasal 77 menggunakan istilah het recht van straf vordering vervalt (hak menuntut gugur), bukan het recht van vervolging. Jadi baik dalam tahap Dik, Tut, maupun tahap persidangan
Ba
kewenangan straf vordering hilang, jadi berlaku baik bagi tersangka maupun terdakwa.
Jadi hak eksekusi gugur dengan matinya terpidana –pasal 83 KUHP.
Ar
si
p
d. Amnesti dan Abolisi Amnesti dan Abolisi adalah lembaga yang tidak diatur dalam KUHAP/ KUHP, tetapi dalam UUD. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 : Presiden memberikan Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR menurut penjelasan UUD 1945. Pemberian amnesti dan abolisi oleh Presiden dalam kedudukan sebagai Kepala Negara (perubahan tahun 1999). Menurut Undang-undang drt No. 11/ 1954 UU darurat tentang Amnesti dan Abolisi. - Amnesti : Semua akibat hukum pidana dihapus terhadap orang-orang tertentu yang melakukan tindak pidana tertentu.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
- Abolisi : Penuntutan ditiadakan, HIR mengaturnya dalam pasal 366 (RBG pasal 680).
In
e. Ne Bis In Idem (telah diuraikan).
Catatan : pasal 76 KUHP menggunakan istilah feit yang banyak kali diterjemahkan dengan
lik
istilah perbuatan. Hendaknya jangan diartkan sebagai perbuatan material (lichamelijke
Ar
si
p
Ba
da n
D
ik l
at
Ke
ja
ks
aa
n
R ep
ub
daad material handeling).
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB X
In
STUDI KASUS BERKAITAN DENGAN ASAS HUKUM PIDANA
lik
Kasus I Penerapan :
ub
Pasal 44 KUHP : Ganguan akal.
R ep
Pasal 53 KUHP : Percobaan. Pasal 65 KUHP : Pembarengan. Kasus Posisi :
aa
n
NGAKAN PUTU KARYA (Serma Pol) yang bertugas di POLDA NUSRA telah menembak dengan pistol, masing-masing :
ks
1. Ni Wayan Umiasih.
Ke
3. Ni Made Rajin.
ja
2. Ni Wayan Werni.Ni Nyoman Purniati. 4. Yusuf Perdata (anggota POLRI).
at
Tersebut 1,2 dan 3 mati seketika, tersebut 4 luka berat dan tersebut 5 tembakan meleset.
ik l
Dakwaan I –pasal 338 KUHP yaitu pembunuhan terhadap tersebut 1,2 dan 3.
D
Dakwaan II –percobaan pembunuhan terhadap tersebut 4 dan 5.
da n
Perbuatan tersebut adalah pembarengan (cocursus realis) ex. pasal 65 KUHP. Terdakwa melakukannya dalam keadaan amuk/ terganggu pikiran (ziekelijk storing der
Ba
vesrtandelijke vermogens) sesuai pasal 44 KUHP.
Putusan MARI : melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
si
p
Kasus II penerapan :
Ar
Pasal 3 KUHP : diatas alat pelayaran Indonesia. Pasal 55 KUHP : penyertaan. Pasal 65 KUHP : pembarengan.
Kasus Posisi : Raden Lani, Hakim Bin Maskur, Sulaiman Bin Selamat, penumpang Kapal Motor Bintang Selatan III, ketika dalam pelayaran dari Riau ke Kalimantan telah memasukan obat tidur kedalam minuman ABK sehingga seluruh ABK tertidur.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
Para ABK lalu ditikam lalu dibuang ke laut . setelah mengambil uang dll, KM Bintang
In
Selatan tersebut dibakar sampai tenggelam, sedangkan ketiga pelaku terjun ke laut dengan menggunakan pelampung.
lik
Raden Lani dkk ditangkap dan diadili di Tanjung Pinang dengan dakwaan :
ub
- Dakwaan I : pasal 365 jo pasal 55 KUHP. - Dakwaan III : pasal 410 jo pasa 55 KUHP. Kasus III : Kasus PIMPRO Depnaker SULUT :
aa
n
Kasus Posisi :
R ep
- Dakwaan II : pasal 334 jo pasal 55 KUHP.
Ka Kanwil Depnaker SULUT , An. Senduk telah membujuk Elia uselo Sosroloka sebagai
ks
Pimpro Peningkatan Latihan Non Institusional BLK Kanwil Depnaker Sulawesi Utara
Ke
Sebagai rekanan adalah :
ja
untuk tahun anggaran 1985/ 1986.
- PT Tunas Tiga Yang dikelola oleh Fany Lengkong.
at
- C.V Gomina yang dipimpin oleh Hanny Palar.
ik l
Berdasarkan surat perjanjian dibuat : PT Tunas Tiga akan memasok barang-barang dan jasa
D
untuk proyek non institusional senilai :
da n
Rp. 166. 205.900,- (seratus enam puluh enam juta dua ratus lima ribu sembilan ratus rupiah) dan CV Gomina senilai Rp. 111.990.000 (seratus sebelas juta sembilan ratus sembilan
Ba
puluh sembilan ribu rupiah).
Ar
si
p
Kedua rekanan tersebut berkewajiban mengantar bahan/ barang latihan ke lokasi tiap KanDepnaker di seluruh Sulawesi Utara yaitu : Gorontalo, Manado, Minahasa, Bolaang, Mongondouw, Bitung, dan Sangihe Talaud.
Ternyata kedua rekanan tersebut tidak pernah menyerahkan bahan/ barang alat-alat latihan tersebut, tetapi uang sebesar Rp. 166. 205.900,- (seratus enam puluh enam juta dua ratus lima ribu sembilan ratus rupiah) dan Rp. 111.990.000 (seratus sebelas juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah) sesuai dengan perintah Ka Kanwil Depnaker Suluttelah dibagikan 18% untuk rekanan, 19% untuk KA Kanwil, 55% untuk KanDepnaker Se-Sulut, dan 10% untuk Pimpro.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es
do n
Untuk itu telah sesuai dengan perintah KA Kanwil Depnaker Sulut, Pimpro telah
In
menandatangani BAPB dan BAPP dengan keterangan bahwa barang telah diterima dalam keadaan baik dan lengkap dengan disertai semua syarat formal sesuai ketentuan.
lik
Setelah dana dicairkan dan dibagi-bagi sesuai ketentuan diatas, PT Tunas Tiga dan CV
ub
Gomina telah memberikan hadiah kepada Elia Suselo Sosroloka sebagai Pimpro masing-
R ep
masing sebesar Rp. 4.900.000,- (empat juta sembilan ratus ribu rupiah) dan 2.700.000 (dua juta tujuh ratus ribu rupiah). Ketentuan yang menyangkut asas-asas :
aa
n
1. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP bagi Pimpro bersama rekanan sebagai yang bersama melakukan (medepleger).
ja
3. Pasal 64 bagi Pimpro.
ks
2. Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP bagi Ka Kanwil sebagaipenganjur (uitloker).
Ke
4. Pasal 51 ayat (2) bagi Pimpro sebagai perintah jabatan. Kesimpulan
at
Dengan engetahui Asas-asas Hukum Pidana diharapkan agar para peserta Diklat dapat
Ar
si
p
Ba
da n
D
ik l
memanfaatkannya dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari di wilayah hukum masing-masing
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB XI
In
KESIMPULAN
Penguasaan asas-asas hukum pidana merupakan syarat conditio sine qua non bagi setiap pejabat
lik
dibidang hukum, terutama para Jaksa, khususnya Jaksa Penuntut Umum yang sampai sekarang
ub
masih merupakan kendala dalam penyelesaian perkara-perkara pidana.
R ep
Untuk dapat menerapkan suatu peraturan pidana secara baik dan benar, sehingga tercapai apa yang menjadi tujuan hukum yaitu adanya kepastian hukum dan keadilan, maka setiap Jaksa terutama Jaksa Penuntut Umum mutlak harus mengetahui asas-asas hukum pidana baik yang
aa
n
tertulis maupun yang tidak tertulis.
Pengetahuan teori-teori hukum yang berkaitan dengan asas-asas hukum pidana, perlu diikuti
ks
secara seksama, untuk dapat menerapkan secara baik dan benar asas-asas hukum yang berlaku.
ja
Untuk dapat menguasai dengan baik asas-asas hukum pidana yang berlaku, maka selalu harus
Ke
disertai dengan pembicaraan kasus-kasus kongkrit, terutama kasus yang telah menjadi Yurisprudensi.
at
Pengetahuan perbandingan hukum walaupun hanya secara garis besar sudah harus mulai
ik l
diajarkan, dalam menghadapi kasus-kasus dimana justisiabel berasal dari keluarga hukum lain,
Ar
si
p
Ba
da n
D
terutama keluarga hukum common law.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n
BAB XII
In
PENUTUP
Demikian modul ini disajikan, dengan harapan apabila secara konsisten diajarkan, akan
Ar
si
p
Ba
da n
D
ik l
at
Ke
ja
ks
aa
n
R ep
ub
lik
menghasilkan output yaang tidak akan mengecewakan, yaitu para Jaksa yang siap pakai.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
ia es do n In
DAFTAR PUSTAKA
1. HUKUM PIDANA I, Prof. Dr.A. Zainal Abidin Farid, SH., Sinar Grafika, Jakarta 1995.
lik
2. HUKUM PIDANA, Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. N. Keijzer, Mr.E.PH. Sitorius,
ub
Liberty, Yogyakarta 1995.
R ep
3. ONSSTRAFRECHT, Mr. J.M.Van Bammelen. H.D. Tjeenk Willink BV Groningen 1975. 4. INLEIDENG TOT DE STRAFRECHTSDOGMATIEK, Prof. Mr. W.H.A Jonkers, Tjeenk Willink – Zwolle, 1984.
aa
n
5. HUKUM PIDANA, Prof. Dr. D. Schaffmeister dkk. Edicon penterjemah, Prof. Dr. J.E Sahetapy,SH.MA. Konsorsium Ilmu Hukum Des. PBK.
ks
6. HAND EN LEERBOEK VANHET NEDERLANDSI STRAFRECHT, Prof. Mr. W.F.C.
ja
Van Hattum.
Ke
7. HUKUM PIDANA KUMPULAN KULIAH, Prof. Satochid Kertanegara,SH.
Ar
si
p
Ba
da n
D
ik l
at
8. AZAZ-AZAZ HUKUM PIDANA, Prof. Moeljatno,SH. Bhineka Cipta Jakarta, 1993.
$VDV$VDV+XNXP3LGDQD
p
si
Ar da n
Ba ik l
D at n
aa
ks
ja
Ke
lik
ub
R ep
In
do n
es
ia
ASAS HUKUM PIDANA
da n
Ba
Sine Previaelege Poenale
- Asas Prah Positif
ik l
D at
4. Teologis.
3. Sistimatis.
2. Historis.
1. Gramatika
Penafsiran Yang Boleh :
Ekstensif
Restriktif
4. Penafsiran Analogi tidak boleh.
3. Pemidanaan hanya berdasar Undang-undang.
2. Non Retroaktif.
n
aa
ks
lik
ub
R ep
Tidak ada Delik yang tidak dituntut
2. Fungsi Instrumental
Pembatasan : Asas Oportunitas
In
do n
1. Fungsi Melindungi Tindak Pidana Tanpa UU
ja
Ke
1. Rumusan Undang-undang Harus jelas (lex certa).
Nula Poena
- Lahir dari pengertian hukuman
- Tanpa pengecualian
Nulum Delictum
LEGALITAS
p
si
- Tiada pidana tanpa kesalahan
KESALAHAN
Lampiran I
Ar
es
ia
Tidak dapat betanggung jawab (insanity) Psl. 44
Pembuat
ALASAN
at
3.
2.
1.
Tidak melapor adanya persekongkolan pihak-pihak karena hubungan keluarga (psl.66). Menyembunyikan, menolong, meloloskan buron. (psl.221). Menista/ menista dengan surat untuk kepentingan umum
ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA KHUSUS
ik l
D Umum
lik
hukum
ub
R ep
Perintah Jabatan Syah (superior orders)
Perbuatan
TIDAK TERTULIS 1. Tidak melawan materiil 2. ijin
n
aa Keadaan darurat (noodtoesta nd necessety) Psl.48
Pembelaa n darurat (self defence noodweer) Psl. 49 :1
Alasan Pembenar (justification) tertulis
ks
ja
Ke
PENGHAPUSAN PIDANA
da n
Ba
Melampaui batas pembelaan darurat (noodweer exes/ excessive self defence). Psl.49
Alasan Pemaaf
p
si
TIDAK TERTULIS TANPA SALAH 1. Salah tentang fakta. 2. Salah tentang orang. 3. Salah tentang kemampuan bertindak.
Daya Paksa Duressoverm Acht Psl. 48
rechtvwevolging
Ontslag Van Alle
tuntutan hukum.
Lepas Dari segala
Lampiran II
Ar
In
do n
es
Printah PerUuan (wetterlijk voorschrift statute order) psl. 50
Bebas (vrijpraak)
ia
P
TP
X
TP
X
P
= Tindak Pidana.
P
2. P = Pelaku. 3. a. Pertentangan. b. Pembarengan c. Residif
X
1. TP
Keterangan :
P
P
A. P E N Y E R T A A N
Lampiran III
da n
Ba
D
TP
X
X
X
TP
at
TP
P
ik l
n
aa TP T
ks
ja
Ke
In
T
TP
lik
ub
Vonis
R ep
P
X
TP
Pelakunya jamak tindak pidananya tunggal (bisa jamak). Pelakunya tunggal (bisa juga jamak) tindak pidananya jamak. Pelakunya tunggal tindak pidananya jamak diselingi vonis.
X
TP
X
TP
B. P E M B A R E N G A N
T
TP
do n
C. P E M B A R E N G A N + R E S I D I F
PENYERTAAN, PEMBARENGAN, RESIDIF DALAM GAMBARAN
p
si
Ar
es
ia
N
A
A
T
R
E
Y
N
E
P
Lampiran IV
POST DELICTUM
KHUSUS
DELICTUM
TEMPORE
DELICTUM
ANTE
p
si
Ar
ik l
D
at
Ke n
aa
Delict Mandiri –tidak disebut penyertaan 1. Penadahan –pasal 480, 481, 482. 2. Menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan –pasal 221
1. Permufakatan Jahat –pasal 88, 164 2. Turut Perkumpulan Yang Dilarang –pasal 169 3. Berzina –pasal 284
Pembantuan/ Medeplichtigheid (pasal 56 (1) - Hanya Perbuatan Pemudahan.
Bersama/ Turut Melakukan/ Medeplegen - Bersama Melakukan –semua unsur delik terpenuhi. - Turut Melakukan –tidak semua unsur terpenuhi. - Melakukan Perbuatan Pelaksanaan.
ks
ja
Pembantuan/ Medeplichttigheid (pasal. 56 ayat (2) - Perbuatan Pemudahan. - Bukan Inspirator. - Tanggungjawab Sebatas Pembantuan.
Pembujukan/ Uitloken (pasal 55 ayat(1) 2) Pembujuk : Pembuat Intelektual. - Menimbulkan Inspirasi, tidak melakukan sendiri. - Tanggujawab sebatas bujukan.
da n
Ba
Penyuruhan/ Doen Plegen (pasal 55 ayat (1) a. Penyuruh Tidak Berbuat (Manus Domina) b. Pembuat Tidak Dapat Dipidana. - Daya Paksa. - Tidak Dapat Bertanggungjawab.
In
do n
es
Memberi Kesempatan Sarana Keterangan.
Pemberian-pemberian Janji. Penyalahgunaan Kekuasaan. Kekerasan/ Ancaman. Tipu Daya, Kesempatan. Sarana/Keterangan.
lik
ub
R ep
SARANA : -
-
SARANA : -
-
ia
ik l
D
n
R ep
pidana tertinggi + 1/3.
Hanya satu pidana yang dikenakan :
Stelsel absorbsi dipertajam.
diterapkan
-
-
In
do n Kurungan tertinggi 1 tahun 4 bulan.
dijumlahkan (psl. 70).
Stelsel komulasi murni pidana
c. Pelanggaran.
P.Pengganti.
Denda disesuaikan dengan kurungan
lik
Peraturan dengan pidana tertinggi yang
x
-
Dikenakan hanya satu pidana.
x
ub
Tiap pidana dikenakan pidana terlama +
-
Stelsel Absorbsi (peleburan).
x
1/3.
Stelsel komulasi terbatas
b. Kejahatan dengan pidana pokok tidak sejenis :
-
-
aa
a. Kejahatan dengan pidana pokok sejenis.
-
dikenakan
ks
ja
- Stelsel absorbsi hanya satu pidana
Stelsel Pemidanaan
c. Atas dasar satu keputusan niat.
Stelsel Pemidanaan
mandiri.
x Tiap perbuatan merupakan delik yang
x Ada beberapa perbuatan
(concursus realis) –pasal 65 KUHP.
3. PERBARENGAN PERBUATAN
STELSEL PEMIDANAAN
lain.
Akibat yang satu adalah syarat akibat yang
perbuatan yang menyatu dan tak terpisah.
x Perbuatan bukanlah perbuatan materiil –
ayat (2).
Ke
b. Jarak waktu yang relatif singkat.
at
a. Yang sejenis.
Beberapa Perbuatan :
KUHP.
(voorgezette handeling) –pasal 64
2. PERBUATAN BERLANJUT
Specialis derogat lex generalis) –pasal 63
x Peraturan khusus yang diberlakukan (ex.
Pidana / beberapa akibat.
x Satu perbuatan melanggar beberapa Per-UU
(Concursus Idealis) –pasal 63 KUHP.
da n
Ba
P E R B A R E N G A N (C O N C U R S U S)
p
si
1. PERATURAN YANG DILANGGAR
Lampiran V
Ar
es
ia
da n
Permulaan Perbuatan Tidak Selesai Diluar Kehendak Pelaku
at n
aa
KeM.v.T ja ks
b. Teori Obyektif = Pelaksanaan Kejahatan Membahayakan Kepentingan Hukum
ik l
D a. Teori Subyektif = pelaksanaan niat/ kehendak
SYARAT PERCO BAAN
Ba
Adanya Permulaan Pelaksanaan? (Beginer Uitvoering)
Niat Pelaku Nyata Dolus Veoorrnemen)
p
si
Pidana Tambahan sama dengan delik selesai 1. Percobaan pelanggaran tidak dipidana (psl. 54). 2. Perluasan arti delik –SATHOCHID = bukan delik. 3. Pidana dikurangi 1/3 dari yang diancam. 4. Pidana mati menjadi 15 tahun penjara. 5. Unsur percobaan harus dimuat dalam dakwaan Jika tidak terbukti maka harus dibebaskan.
CATATAN :
N
A
A
B
O
C
R
E
P
Lampiran VI
Ar
lik
ub
R ep
In
do n
es
ia
Catatan : 1. V. Hamel –subyektif . 2. Simone – obyektif. 3. Hoge Raad – obyektif. (Contoh : kasus pembakaran rumah.)
Perbuatan Pelaksanaan (Uitvoerings Handeling) Sudah dapat dipidana
Perbuatan Persiapan (Voor bereiding Handeling) Belum dapat dipidana
x
x
at ks
ja
ALAT
n
aa
-
-
do n
es
ia
Melakukan perbuatan yang disangka perbuatan Pidana tetapi Bukan. Tidak dipidana
In
PERCOBAAN DALAM BUKU (psl 163 bis. KUHP) Pembujukan gagal
lik
DELIK PUTATIF
ub
R ep
TUJUAN OBYEK
RELATIF Hasil Tidak Dicapai Karena Keadaan Tertentu
Ke
PERCOBAAN SELESAI (DELICT MANQUE) Semua perbuatan telah dilakukan namun hasilnya nihil
1. a. Tidak Mampu Mutlak catatan : Teori Subyektif Percobaan tidak mampu mutlak tetap dapat dipidana/ sikap batin yang jahat. Teori Obyektif Percobaan tidak mampu mutlak tidak dipidana/ tidak menimbulkan bahaya bagi tertib umum. b. Tidak Mampu Relatif Teori Subyektif dan Obyektif – Dapat Dipidana. 2. Pelaku psl. 63 bis tetap dipidana walaupun pembuat tidak dipidana
TUJUAN OBYEK
Perbuatan pelaksanaan telah dilakukan namun delik-delik tidak mungkin terwujud. Tidak dipidana.
MANGEL AM TATBESTAND
ALAT
ik l
D
PERCOBAAN TAK MAMPU (ONDEUGDELIJKE)
da n
Ba PERCOBAAN/ POGING PSL. 53 KUHP
PERCOBAAN TERTUNDA (GESCHORST) Perbuatan menyelesaikan delik tidak selesai/ dicegah
p
si
ABSOLUT Mutlak Tidak Mungkin Membawa Hasil
PERCOBAAN BERKUALIFIKASI (GEQUALIFICEERD) Pecobaan yang menghasilkan delik lain
Lampiran VII
Ar