Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 29 - 35
Aplikasi Teknik Diagnosis Schistosomiasis Berbasis Molekuler Mollecular Based Technique Application for Schistosomiasis Diagnosis Anis Nurwidayati* Balai Litbang P2B2 Donggala, Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Jl. Masitudju No.58 Labuan Panimba, Labuan, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia
INFO ARTIKEL Article History: Received: 7 Apr. 2015 Revised: 6 Jun. 2015 Accepted: 19 Jun 2015 Keywords: Schistosomiasis, DNA, PCR, LAMP, Snails
Kata Kunci: Schistosomiasis, DNA, PCR, LAMP, Keong
ABSTRACT/ABSTRAK Schistosomiasis ranks second only to malaria in a public health problem in the world. Schistosomiasis in Indonesia is endemic in Central Sulawesi, which is in Lindu, Napu and Bada Highland. The disease is caused by trematodes worm, Schistosoma spp and requires freshwater snails as the intermediate host. The World Health Organization (WHO) recommends schistosomiasis research focus is the development and evaluation of new strategies and tools for disease control. This paper aims to describe several molecular techniques to detect schistosomiasis in human or intermediate snails. This paper arranged by compiled based search journals and scientific articles related molecular techniques for detecting schistosomiasis using PCR and LAMP. Molecular based techniques for schistosomiasis diagnostic have been developed in several countries, such as pcr and lamp. Several studies have compared the techniques of schistosomiasis diagnosis in human by polymerase chain reaction (PCR) with the technique of loopmediated isothermal amplification (LAMP). Several studies show the results of pcr and lamp applications to detect dna schistosoma on snails. Based on the results of various studies, it is known applications, advantages and disadvantages of each - each technique.
Schistosomiasis menempati urutan kedua setelah malaria dalam masalah kesehatan masyarakat di dunia. Schistosomiasis di Indonesia ditemukan endemis di Sulawesi Tengah, yaitu di Dataran Tinggi Lindu, Napu dan Bada. Penyakit ini disebabkan oleh cacing Trematoda, Schistosoma spp dan membutuhkan keong air tawar sebagai hospes perantaranya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan fokus penelitian schistosomiasis adalah pengembangan dan evaluasi strategi dan alat baru untuk pengendalian penyakit. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa teknik molekuler untuk mendeteksi schistosomiasis baik pada manusia maupun keong perantaranya. Tulisan disusun berdasarkan penelusuran jurnal dan artikel ilmiah terkait teknik molekuler PCR dan LAMP untuk mendeteksi schistosomiasis. Teknik diagnosis schistosomiasis berdasarkan molekuler telah banyak dikembangkan di beberapa negara, diantaranya adalah PCR dan LAMP. Beberapa penelitian membandingkan teknik diagnosis schistosomiasis dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan teknik Loop-Mediated Isothermal Amplification (LAMP). Beberapa studi menunjukkan hasil dari aplikasi teknik PCR dan LAMP untuk mendeteksi DNA Schistosoma pada keong. Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian tersebut, dapat diketahui aplikasi, kelebihan dan kekurangan dari masing – masing teknik. © 2015 Jurnal Vektor Penyakit. All rights reserved
*Alamat Korespondensi : email :
[email protected]
29
Aplikasi Teknik Diagnosis Schistosomiasis............ (Anis Nurwidayati)
PENDAHULUAN Schistosomiasis yang juga disebut bilharziasis menempati urutan kedua setelah malaria dalam masalah kesehatan masyarakat di dunia.1 Schistosomiasis endemis di 74 negara berkembang terutama di daerah pedesaan. Saat ini diperkirakan terdapat 650 juta orang tinggal di daerah endemis. Schistosomiasis di Asia ditemukan di Asia Timur (China dan Jepang) dan di Asia Tenggara (Philipina, Indonesia, Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja). Schistosomiasis di Asia disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum yang hidup di vena porta hepatika, sehingga penyakit ini dapat menyebabkan pembesaran limfa maupun hepar penderitanya.2 Schistosomiasis atau penyakit demam keong di Indonesia diketahui terdapat di Dataran Tinggi Lindu, Dataran Tinggi Napu dan Bada, Sulawesi Tengah. Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Muller dan Tesch (1937). Hospes perantara schistosomiasis ditemukan tahun 1971 dan diidentifikasi sebagai Oncomelania hupensis lindoensis. Proporsi kasus schistosomiasis di Lindu tahun 2008 – 2012 yaitu 1,4%, 2,32%, 3,21%, 2,67%, 0,76%. Proporsi kasus schistosomiasis di Napu tahun 2008 – 2012 yaitu 2,44%, 3,8%, 4,78%, 2,15%, 1,44%.3 Fluktuasi kasus terjadi karena banyaknya faktor dalam penularan schistosomiasis, di antaranya adalah adanya hospes perantara schistosomiasis yaitu keong O.h lindoensis. Infection rate pada keong tahun 2012 adalah sebesar 1,2%. Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan fokus penelitian schistosomiasis adalah pengembangan dan evaluasi strategi dan alat baru untuk pengendalian penyakit. Teknik diagnosis schistosomiasis berdasarkan molekuler telah banyak dikembangkan di beberapa negara. Teknik yang sudah cukup dikenal adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dikembangkan sekitar ahun 1985. Teknik ini menggunakan beberapa tingkatan suhu dan dengan bantuan enzim Taq Polymerase untuk mengamplifikasi / memperbanyak DNA (Deoxy ribose nucleic acid). Deteksi urutan DNA spesifik menggunakan PCR menunjukkan hasil yang bagus dalam diagnosis patogen berbagai penyakit infeksi. 30
Pe n e l i t i a n Ab a t h e t a l t a h u n 2 0 0 6 menunjukkan bahwa PCR cukup sensitif dan spesifik mendeteksi S.mansoni, dan dapat juga diaplikasikan untuk mendeteksi infeksi pada keong, memantau lokasi penularan serta infeksi pada manusia.4 Teknik molekuler lain yang mulai berkembang sekitar tahun 2000 adalah LoopMediated Isothermal Amplification (LAMP). Berbeda dengan PCR konvensional yang menggunakan beberapa tingkatan suhu, LAMP menggunakan suhu tertentu (60-65ºC) yang konstan untuk amplifikasi DNA. LAMP dapat digunakan sebagai alternatif untuk mendeteksi penyakit tertentu. LAMP dapat dikombinasikan dengan tahap reverse transcription sehingga memungkinkan untuk 5 mendeteksi RNA (Ribose Nucleic Acid). Beberapa penelitian membandingkan teknik diagnosis schistosomiasis dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) konvensional dengan teknik Loop-Mediated Isothermal Amplification (LAMP). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat diketahui kelebihan dan kekurangan dari masing – masing teknik. Perkembangan cacing Schistosoma dalam tubuh keong dipengaruhi oleh jumlah parasit dan genetik keong perantaranya, sehingga pengendalian keong berbasis genetik memiliki peran yang penting dalam pengendalian schistosomiasis. Pengendalian keong berbasis genetik bertujuan untuk mengubah strain keong yang rentan infeksi menjadi strain yang resisten terhadap infeksi Schistosomiasis. Pengendalian keong diketahui merupakan salah satu upaya paling efektif dan cepat dalam mengurangi penularan schistosomiasis. Penelitian Lotfy tahun 2005 menggunakan PCR dalam mendeteksi keong Biomphalaria glabrata di Mesir. Hasilnya menunjukkan bahwa spesies keong tersebut tidak ditemukan di Mesir. Adapaun keong yang ditemukan adalah Biomphalaria alexandrina, dan diketahui tidak 6,7 terjadi persilangan dengan B.glabrata. Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan aplikasi teknik molekuler PCR dan LAMP untuk mendeteksi schistosomiasis, baik pada manusia maupun keong perantaranya yang telah diteliti di beberapa negara. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 29 - 35
masukan bagi perkembangan penelitian schistosomiasis di Indonesia. METODE M e to d e p e n u l i s a n i n i m e n g g u n a ka n penelusuran literatur dengan menelaah artikel dan jurnal ilmiah terkait penelitian diagnosis schistosomiasis berbasis molekuler, terutama PCR dan LAMP. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian Teknik LAMP Loop-Mediated Isothermal Amplification (LAMP) adalah teknik aplifikasi asam nukleat isotermal menggunakan suhu konstan dan tidak memerlukan mesin thermo cycler. Pada teknik ini sekuen target diampplifikasi / diperbanyak pada suhu konstan antara 60 – 65°C. Teknik ini menggunakan dua atau tiga pasang primer dan enzim polimerase yang memiliki fungsi pemindahan untai DNA sebagai tambahan fungsi replikasi. Teknik LAMP khas dengan empat primer yang berbeda digunakan untuk mengidentifikasi enam area berbeda pada gen target, sehingga meningkatkan spesifisitasnya. Sepasang p r i m e r ya n g d i s e b u t “ l o o p p r i m e r ” ditambahkan untuk meningkatkan kecepatan reaksi. Lama waktu proses LAMP adalah sekitar 30 menit sampai 1 jam. Penambahan primer tersebut juga dapat meningkatkan jumlah DNA yang diamplifikasi lebih tinggi daripada amplifikasi dengan PCR.8 Deteksi produk amplifikasi teknik LAMP dapat ditentukan dengan fotometri atau turbiditas karena adanya peningkatan jumlah endapan magnesium pyrophosphate sebagai produk sampingan LAMP.9,10 Hal tersebut memudahkan pembacaan hasil dengan mata langsung, khususnya untuk reaksi dengan volume besar. Penambahan reagen pewarna / dye seperti SYBR green dapat memunculkan perubahan warna pada larutan sampel, sehingga memudahkan pembacaan hasil tanpa membutuhkan alat yang mahal. Molekul reagen pewarna akan berinterkalasi / secara langsung menempel pada DNA, sehingga dapat dikorelasikan dengan jumlah copy DNA 11 yang dihasilkan.
Kelebihan Teknik LAMP. LAMP adalah teknik amplifikasi DNA yang relatif baru dan cukup sederhana, mudah dibaca dan lebih hemat biaya, sehingga teknik ini memiliki banyak kelebihan. Proses LAMP memakan waktu yang relatif lebih singkat dibanding PCR, yaitu sekitar 1 jam.8 LAMP dapat digunakan sebagai alat untuk survei skrining di lapangan atau di fasilitas kesehatan di lapangan, karena LAMP lebih bagus digunakan untuk diagnosis. LAMP menggunakan suhu yang konstan yang tidak memerlukan mesin thermo cycler, tetapi bisa dilakukan dengan waterbath atau heating block sehingga bisa lebih murah. LAMP dapat juga mendeteksi secara real time seperti PCR kuantitatif. Hasil amplifikasi LAMP lebih efisien dan sensitif, serta mudah dibaca dengan adanya perubahan warna yang ditimbulkan oleh reagen pewarna SYBR 12 Green I. Beberapa studi menunjukkan LAMP berhasil mendeteksi patogen pada sampel yang diproses secara sederhana, seperti sampel darah yang dipanaskan atau material biologis lain.13 Keterbatasan Teknik LAMP Teknik LAMP disebutkan kurang sensitif daripada PCR untuk sampel yang kompleks, karena perbedaan enzim polimerase yang digunakan (pada LAMP digunakan Bst DNA polymerase, dan Taq polymerase pada PCR). Hal tersebut menyebabkan LAMP tidak dapat digunakan untuk aplikasi molekuler yang kompleks, seperti cloning, pembuatan rekombinan, dan aplikasi lain yang dapat 12 dilakukan dengan PCR. LAMP menggunakan 4 atau 6 pasang primer untuk mendeteksi 6 atau 8 target sekuen gen, menyebabkan penyusunan primer menjadi cukup rumit.12,14 Penelitian Diagnosis Schistosomiasis Menggunakan LAMP Pe n e l i t i a n Wa n g e t a l t a h u n 2 0 1 1 membandingkan aplikasi teknik PCR dan LAMP dalam mendiagnosis schistosomiasis. Pada penelitian tersebut digunakan gen target yang sama, yaitu SjR2 (301 bp). Hasil penelitian menunjukkan kemampuan yang berbeda dari setiap teknik untuk mendeteksi plasmid rekombinan SjR2. LAMP dapat mendeteksi plasmid pada konsentrasi 10-4 ng, sedangkan PCR dapat mendeteksi plasmid
31
Aplikasi Teknik Diagnosis Schistosomiasis............ (Anis Nurwidayati)
dengan konsentrasi lebih tinggi, yaitu 10-2 ng. Dengan demikian, LAMP lebih sensitif dalam mendeteksi patogen, sehingga lebih sesuai digunakan untuk skrining awal schistosomiasis, atau pada daerah dengan tingkat endemisitas yang rendah. Akan tetapi, LAMP kurang sesuai untuk mendeteksi parasit schistosomiasis setelah program pengobatan, karena sensitivitasnya terlalu tinggi, yaitu semua sampel serum terdeteksi positif meskipun tidak terdapat telur cacing Schistosoma lagi.15 Penelitian untuk mendeteksi infeksi S.japonicum pada keong Oncomelania hupensis menggunakan PCR dan LAMP juga telah dilakukan. Penelitian menggunakan gen 28S rDNA S.japonicum (405 bp) sebagai target amplifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua teknik tersebut dapat mendeteksi gen 28S rDNA dari satu ekor mirasidium. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa PCR dapat mendeteksi keberadaan S.japonicum tahap serkaria bahkan pada sporocyst awal pada keong yang diambil dari daerah endemis. Penggunaan PCR dalam skala besar di lapangan kurang praktis dan lebih mahal karena perlu mesin thermal cycler. Teknik LAMP digunakan untuk mendeteksi infeksi S.japonicum pada keong dari lapangan. Hasilnya menunjukkan bahwa LAMP dapat mendeteksi gen 28S rDNA S.japonicum pada keong yang terinfeksi.16 Pengertian teknik PCR Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan teknik amplifikasi DNA dengan target gen tertentu. PCR menggunakan suhu yang bertingkat dan bantuan enzim Taq polymerase untuk mengamplifikasi DNA. Proses PCR menggunakan satu pasang primer untuk amplifikasi DNA target. PCR meliputi lima tahap dengan suhu dan waktu yang berbeda – beda. Tahap pertama adalah predenaturasi, atau pemisahan rantai DNA awal dengan enzim Taq polymerase pada suhu 94°C. Tahap selanjutnya adalah denaturasi pada suhu 94°C dengan waktu yang lebih lama. Selanjutnya adalah tahap yang cukup kritis, menentukan berhasil tidaknya PCR, yaitu annealing. Annealing adalah tahap penempelan primer pada gen target. Annealing sangat tergantung pada suhu yang
32
optimum (55-60°C, dan komposisi primer), apabila suhu terlalu tinggi, primer tidak dapat menempel pada gen target, jika suhu terlalu rendah maka primer akan menempel pada gen bukan target. Tahap selanjutnya adalah elongasi, yaitu perpanjangan rantai DNA yang berlangsung pada suhu 72°C. Tahap kelima adalah extention yaitu pemanjangan total DNA, berlangsung pada suhu 72°C dengan waktu yang lebih lama dari tahap elongasi. Produk PCR tidak dapat dilihat secara langsung, melainkan harus dipisahkan dengan alat elektroforesis. Penambahan reagen pewarna seperti EtBR atau SYBR Green akan membantu visualisasi gen target dengan sinar UV dengan panjang gelombang 254 atau 360 nm.17 Kelebihan teknik PCR PCR digunakan secara luas untuk diagnosis berbasis molekuler, misalnya deteksi virus, bakteri, protozoa, dan cacing parasit. PCR juga dapat digunakan sebagai alternatif gold standard apabila parasit yang hidup tidak ditemukan dalam tubuh.12 DNA hospes dan parasit memiliki urutan yang berbeda, sehingga PCR dapat mendeteksi keberadaan parasit dalam tubuh secara spesifik. PCR dapat mendeteksi DNA parasit dalam sampel yang berjumlah sedikit. PCR dapat membedakan spesies parasit tunggal dengan adanya primer spesifik untuk DNA target. Primer yang digunakan di PCR relatif lebih sederhana dibandingkan dengan LAMP, karena hanya satu pasang primer forward dan reverse untuk menempel pada gen target.17 Kekurangan teknik PCR Pemeriksaan dengan PCR memiliki kekurangan diantaranya adalah proses PCR harus diawali dengan preparasi sampel yang cukup rumit dan reagen yang mahal. Proses PCR memerlukan mesin pengatur suhu (thermal cycler) dan waktu relatif lebih lama dari LAMP, yaitu sekitar 3 – 4 jam untuk 35 siklus. Hasil PCR tidak dapat dilihat secara langsung, harus diproses lagi dengan elektroforesis dan dilihat dengan alat gel documentation. Pemeriksaan dengan PCR tidak dapat membedakan apakah parasit 12,17 dalam tubuh masih hidup atau sudah mati.
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 29 - 35
Penelitian menggunakan PCR dalam mendeteksi schistosomiasis Driscoll tahun 2005 melakukan penelitian menggunakan PCR untuk mendeteksi serkaria S.japonicum, dengan gen target SjR2 retrotransposon. Penelitian tersebut berhasil mendeteksi satu ekor serkaria S.japonicum dari keong O.hupensis dengan PCR. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan bahwa PCR dapat digunakan untuk mendeteksi serkaria pada sampel air dari daerah endemis schistosomiasis. Dengan demikian, teknik ini d a p a t d i g u n a ka n u n t u k m e n d u ku n g penentuan risiko lingkungan, dan mengidentifikasi tingkat risiko individu. 18,19 Penelitian untuk mengidentifikasi spesies keong dan mendeteksi infeksi schistosomiasis pada keong perantara sudah banyak dilakukan di beberapa negara. PCR digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies keong Biomphalaria dari wilayah Amazon yang sulit dibedakan secara morfologi. Hasil PCR menunjukkan adanya lima spesies keong yang berbeda yaitu B. straminea, B. peregrina, 20 B. kuhniana, B. intermedia dan B. amazonia. Penelitian oleh Chen et al. Tahun 2006 dalam Hamed (2010) menunjukkan bahwa PCR sensitif dan spesifik dalam mendeteksi infeksi S.japonicum pada O.hupensis dengan gen 18S-rRNA S.japonicum (469 bp) sebagai gen target. Pemeriksaan PCR menunjukkan pita DNA gen 18S-rRNA S.japonicum pada pemeriksaan keong O.hupensis yang 21 terinfeksi. Penelitian di Brazil juga menunjukkan PCR dapat mendeteksi infeksi S.mansoni pada keong Biomphalaria menggunakan primer spesifik untuk gen target Internal Transcribed Spacer 2 (ITS2) rDNA S.mansoni. 22 Berdasarkan beberapa penelitian yang menggunakan PCR terhadap keong perantara schistosomiasis, terlihat adanya variasi genetik antara keong yang suseptibel dan resisten terhadap infeksi schistosomiasis.23 Delapan gen diekspresikan secara berbeda pada keong suseptibel dan resisten. Gen tersebut diketahui berperan dalam proses sitotoksik dalam melawan parasit. Pada strain keong yang resisten, gen – gen penyandi protein yang terlibat dalam sistem pengaturan tubuh seperti ferritin, serrin-protease
diekspresikan lebih tinggi dibandingkan strain yang suseptibel. 2 4 Para peneliti menyatakan bahwa keberadaan nitrogen oxide (NO) dan hidrogen peroksidase (H2O2) dalam tubuh keong B. glabrata berperan dalam hemocyte-mediated toxicity melawan S. mansoni.25 KESIMPULAN Teknik molekuler untuk mendeteksi schistosomiasis pada manusia dan keong dengan PCR dan LAMP memiliki kelebihan dan kekurangan masing – masing. Pemilihan teknik dapat didasarkan pada tujuan yang akan dicapai, ketersediaan alat, dan alokasi anggaran. SARAN Perlu dilakukan penelitian dan pengembangan terkait teknik molekuler untuk diagnosis schistosomiasis yang dapat diaplikasikan di Indonesia. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Mitra Bestari dan reviewer Jurnal Vektor Penyakit a t a s s a ra n ya n g m e m b a n g u n u n t u k penyempurnaan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3.
4.
5.
WHO. Schistosomiasis Fact Sheet. (2010). http://www.who.int; disitasi 11 Oktober 2010; 20.00. Pinardi, Hadidjaja, Schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (1985) hal: 12-12. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah. Prevalensi Schistosomiasis di Sulawesi Tengah. (2012). Abath, F.G., A.L. Gomes, F.L. Melo, C.S. Barbosa and R.P. Werkhuser. Molecular Approaches for the detection of Schistosoma mansoni: Possible applications in the detection of snail infection, monitoring of transmission sites, and diagnosis of human infection. Mem. Inst. Oswaldo Cruz. 2006 (101): 145-148. diakses pada: 20 Maret 2015. Notomi T, Okayama H, Masubuchi, Yonekawa T, Watanabe K, Amino N, Hase T. Loop-
33
Aplikasi Teknik Diagnosis Schistosomiasis............ (Anis Nurwidayati)
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
34
Mediated Isothermal amplification of DNA. Nucleic Acids Res. 2000. 28 (12): E63. doi:10.1093/nar/28.12.e63.PMC 102748. PMID 10871386. diakses pada: 20 Maret 2015. Da Silva D, S. Sobral-Hamaguchi, R.G.M. Spada, A.Z. Abdel Hamid and N.R.B. Zuim et al., Biomphalaria tenagophila: Genetic variability between intermediate snail hosts susceptible and resistant to Schistosoma mansoni infection. Parasite. 2004 (11): 35-42. diakses pada: 20 Maret 2015. Lotfy, W.M., R.J. DeJong, B.S. Black and E.S. Loker. Spesific identification of Egyptian Biomphalaria species and possible hybrids using the polymerase chain reaction r and mitochondrbased on nuclear and mitochondrial loci. Mol. Cell Prob. 2005 (19): 21-25. diakses pada: 20 Maret 2015. Nagamine K, Hase T, Notomi T. Accelerated reaction by loop-mediated isothermal amplification using loop primers. Mol. Cell Probes. 2002. 16 (3): 223-229. doi: 10.1006/mcpr.2002.0415. PMID 12144774. diakses pada: 20 Maret 2015. Mori Y, Nagamine K, Tomita N, Notomi T. Detection of loop-mediated isothermal amplification reaction by turbidity derived from magnesium pyrophosphate formation. Biochem. Biphys. Res. Commun. 2001. 289 (1): 150-154. doi:10.1006/bbrc.2001.5921. PMID 11708792. diakses pada: 20 Maret 2015. Mori Y, Kitao M, Tomita N, Notomi T. Real-time turbidimetry of LAMP reaction for quantifying template DNA. J. Biochem. Biophys. Methods. 2 0 0 4 . 5 9 ( 2 ) : 1 4 5 - 1 5 7 . doi:10.1016/j.jbbm.2003.12.005. PMID 15163526. diakses pada: 20 Maret 2015. Tomita N, Mori Y, Kanda H, Notomi T. Loopmediated isothemal amplification (LAMP) of gene sequences and simple visual detection of products. Nat. Protoc. 2008. 3 (5): 877-882. doi:10.1038/nprot.2008.57. PMID 18451795. diakses pada: 20 Maret 2015. Parida M, Santosh S, Dash P.K, Rao P.V.L, Morita K. Loop mediated isothermal amplification (LAMP): a new generation of innovative gene amplification technique; perspectives in clinical diagnosis of infectious diseases. Rev. Med. Virol. 2008; 18: 407-421. w w w. i n t e r s c i e n c e . w i l e y. c o m . doi:10.1002/rmv.593 diakses pada: 20 Maret 2015. Curtis KA, Rudolph DL, Owen SM. Rapid detection of HIV-1 by reverse-transcription,
14.
15.
16.
17. 18.
19.
20.
21.
22.
loop-mediated isothermal amplification (RTLAMP). J. Virol. Methods. 2008. 151 (2): 264270.doi: 10.1016.j.jviromet.2008.04.011. PMID 18524393. diakses pada: 20 Maret 2015. Torres C, Vitalis E A, Baker BR, Gardner SN, et al. LAVA: an open-source approach to designing LAMP (loop-mediated isothermal amplification) DNA signatures. 2011. BMC Bioinformatics. 2011. 12: 240. doi:10.1186/1471-2105-12-240. PMC 3213686. PMID 21679460. Wang C, Chen L, Yin X, Hua W, Hou M, et al. Application of DNA-based diagnosis in detection of schistosomal DNA in early infection and after drug treatment. Parasites & Ve c t o r s . 2 0 1 1 , 4 : 1 6 4 . www.parasitesandvectors.com/content/4/1 /164-173. doi: 10.1186/1756-3305-4-164. diakses pada: 20 Maret 2015. Kumagai T, Shimogawara R.F, Ohmae H, Wang T.P, et al. Detection of early and sigle infection of Schistosoma japonicum in the intermediate host snail, Oncomelania hupensis, by PCR and Loop-mediated isothermal amplification (LAMP) Assay. Am.J.Trop.Med.Hyg. 2010. 83(3): 542-548. doi: 10.4269/ajtmh.2010.100016. diakses pada: 20 Maret 2015. Sudjadi. Bioteknologi Kesehatan. Kanisius. Yogyakarta. 2008: 131-135. Driscoll J, Kyle J.L, and Remais J. Development a novel assay capable of detecting a single Schistosoma japonicum cercaria recovered from Oncomelania hupensis. Parsitology. 2005. 1 3 1 : 4 9 7 - 5 0 0 . d o i : 10.1017/S0031182005007961. diakses pada: 19 Maret 2015. Worrell C, Xiao N, Vidal J.E, Chen L, et al,. Field Detection of Schistosoma japonicum cercariae in environmental water samples by quantitative PCR. Applied and Environmental Microbiology.2011. 11: 2192-2195. http: aem.asm.org. doi: 10.1128/AEM/01561-10. diakses pada: 19 Maret 2015. Velasquez, L.E, R.L. Caldeira, V. Estrada and O.S Carvalho. Morphological and polymerase chain reaction-restriction fragment lenght polymorphism characterization of Biomphalaria kuhniana and Biomphalaia amazonia from Colombia. Mem. Inst. Oswaldo Cruz. 2002. 97: 997-1004. diakses pada: 19 Maret 2015. Hamed, M.A. Strategic Control of Intermediate Host. Asian J. Epidemiol. 2010. 3 (3): 123-140. Diakses pada: 19 Maret 2015. Janotti-Passos, L.K., K.G Magalhaes, O.S.
Jurnal Vektor Penyakit, Vol. 9 No. 1, 2015 : 29 - 35 Carvalho and T.H Vidigal. Multiplex PCR for both identification of Brazilian Biomphalaria species (Gastropoda: Planorbidae) and diagnosis of infection by Schistosoma mansoni (Trematoda: Schistosomatidae). J. Parasitol. 2006. 85: 253-258. diakses pada: 19 Maret 2015. 23. Abdel-Hamid, Z.A., S.M. Rawi and A.F Arafa. Identification of genetic marker associated with the resistance to Schistosoma mansoni: Possible application in the detection of snail infection, monitoring of transmission sites, and diagnosis of human infection. Mem. Inst. Oswaldo Cruz. 2006. 101: 145-148. diakses pada: 19 Maret 2015.
24. Lockyer A.E., J. Sprinks, L.R. Noble, D. Rollinson and C.S. Jones. Identification of genes involved in interactions between Biomphalaria glabrata and Schistosoma mansoni by suppression subtractive hybridization. Mol. Biochem. Parasitol. 2007. 151: 18-27. diakses pada: 19 Maret 2015. 25. Hahn, U.K., R.C. Bender, J.K. Brooks and C.J. Bayne. Involvement of nitric oxide in killing of S ch i s to s o m a m a n s o n i s p o ro c ys t s by hemocytes from resistant Biomphalaria glabrata. J. Parasitol. 2001. 87: 778-785. diakses pada: 19 Maret 2015.
35