APLIKASI SINBIOTIK PADA UDANG VANAME Litopenaeus vannamei: RESISTENSI TERHADAP INFECTIOUS MYONECROSIS VIRUS DAN PERFORMA PERTUMBUHAN
WIDA LESMANAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aplikasi Sinbiotik pada Udang Vaname Litopenaeus vanammei: Resistensi terhadap Infectious Myonecrosis Virus dan Performa Pertumbuhan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Wida Lesmanawati NIM C151100141
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN
WIDA LESMANAWATI. Aplikasi Sinbiotik pada Udang Vaname Litopenaeus vanammei: Resistensi terhadap Infectious Myonecrosis Virus dan Performa Pertumbuhan. Dibimbing oleh WIDANARNI dan SUKENDA.
Wabah Infectious Myonecrosis (IMN) telah menyerang budidaya udang vaname di Indonesia dan menyebabkan kematian sampai dengan 70%. Banyak penelitian membuktikan keberhasilan probiotik dalam meningkatkan resistensi udang atau ikan terhadap penyakit dengan cara menekan patogen, meningkatkan imunitas atau memperbaiki kualitas air. Aplikasi prebiotik pada hewan akuatik juga telah menunjukkan berbagai keuntungan. Akan tetapi, kombinasi probiotik dengan prebiotik (sinbiotik) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan bila diaplikasikan secara terpisah. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi sinbiotik dari bakteri SKT-b dan oligosakarida hasil ekstraksi dari ubi jalar, untuk meningkatkan resistensi terhadap infeksi penyakit IMN serta performa pertumbuhan udang vaname. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-September 2012, bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dan Program Diploma, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini meliputi kegiatan persiapan prebiotik (preparasi ubi jalar, ekstraksi dan análisis oligosakarida), persiapan bakteri probiotik (pertumbuhan bakteri SKT-b), uji in vitro dan uji in vivo. Pada uji in vitro dilakukan pengujian kombinasi prebiotik (0, 1, 2 dan 3%) dengan probiotik (107, 108, 109, 1010 cfu ml-1) yang menghasilkan pertumbuhan bakteri probiotik paling baik. Pada uji in vivo, udang vaname diberi pakan yang telah ditambah probiotik (1010 cfu g pakan-1) dengan berbagai dosis prebiotik (0, 1, 2, dan 3%) melalui pakan selama 30 hari. Pengukuran parameter untuk pengujian performa pertumbuhan dilakukan pada akhir perlakuan, meliputi laju pertumbuhan spesifik, efisiensi pakan, retensi nutrien (protein dan lemak) dan aktivitas enzim pencernaan (protease dan amilase). Sedangkan pada pengujian resistensi terhadap IMN, udang perlakuan diinfeksi dengan virus IMN (IMNV) melalui injeksi dan pengamatan dilakukan selama 10 hari. Parameter yang diamati meliputi sintasan, gejala klinis, serta parameter imun berupa total hemosit (THC) dan aktivitas phenoloxidase (PO). Ekstrak etanol ubi jalar yang digunakan dalam penelitian ini mengandung tiga jenis oligosakarida yaitu maltoheptaosa, sukrosa dan rafinosa, dengan konsentrasi total oligosakarida mencapai 64,86%. Bakteri SKT-b berada di puncak pertumbuhannya pada jam ke 16 sebesar 5,9x1010 cfu ml-1. Hasil uji in vitro menunjukkan bahwa penambahan prebiotik ke media kultur dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri SKT-b yang berkorelasi positif dengan peningkatan dosis prebiotik dan peningkatan konsentrasi inokulan. Kombinasi prebiotik dan probiotik yang optimal didapatkan dari penambahan prebiotik 3% dan inokulan bakteri SKTb konsentrasi 1010 cfu ml-1. Pada uji in vivo, pemberian pakan perlakuan sinbiotik (Pro+Pre) selama 30 hari mampu meningkatkan sintasan udang dan menurunkan tingkat infeksi IMNV seiring dengan peningkatan dosis prebiotik. Hal ini dikarenakan meningkatnya imunitas udang yang diberi perlakuan sinbiotik.
Perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% mampu meningkatkan nilai total hemosit udang vaname sampai dengan 2 kali total hemosit udang Kontrol pada awal pengamatan. Penurunan jumlah THC setelah infeksi IMNV pada kedua perlakuan tersebut mengindikasikan reaksi cepat terhadap infeksi yang diberikan. Infeksi IMNV menyebabkan peningkatan aktivitas PO pada semua perlakuan sampai akhir pengamatan. Peningkatan aktivitas PO tertinggi terjadi pada perlakuan Pro+Pre 3%. Pemberian pakan sinbotik tidak mempengaruhi laju pertumbuhan, akan tetapi mampu meningkatkan efisiensi pakan udang yang diberi perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3%. Hal ini dikarenakan meningkatnya nilai aktivitas enzim protease dan amilase dibandingkan Kontrol, sehingga diduga meningkatkan kecernaan pakan. Nilai retensi protein dan lemak udang pada perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% juga lebih tinggi dibandingkan Kontrol, mengindikasikan penyerapan nutrien yang lebih baik. Secara umum, perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% menunjukkan respon yang lebih baik terhadap peningkatan resistensi pada infeksi IMNV dan performa pertumbuhan udang vaname. Kata kunci: Infectious Myonecrosis Virus, Litopenaeus vannamei, performa pertumbuhan, respons imunitas, sinbiotik.
SUMMARY WIDA LESMANAWATI. Synbiotic Application for Pacific White Shrimp Litopenaeus vannamei: Resistance to Infectious Myonecrosis Virus and Growth Performance. Supervised by WIDANARNI and SUKENDA. Outbreaks of Infectious Myonecrosis (IMN) attack white shrimp farming in Indonesia and caused death up to 70%. Many studies have shown efficacy of probiotics in improving the resistance of shrimp or fish against disease by suppressing pathogens, while enhancing immunity and or improving water quality. Application prebiotics also has shown a variety of benefits to the aquatic animal. However, the combination of probiotics with prebiotics (synbiotics) showed better results than when it is applied separately. This study aimed to evaluate the potential of synbiotics from SKT-b bacteria and oligosaccharides-extracted from sweet potatoes, in increasing both white shrimp resistance to IMN and their growth performance. The experiment was conducted in Mei-September 2012, held at the Fish Health Laboratory, Faculty of Fisheries and Marine Sciences and the Diploma Programme, Bogor Agricultural University. This study includes the preparation of a prebiotic (sweet potato-extrac preparation and analyzes of oligosaccharides), preparation of probiotic bacteria (SKT-b bacteria growth), in vitro and in vivo tests. In vitro study tested the combination of prebiotics dose 0, 1, 2 and 3% and probiotics 107, 108, 109, 1010 cfu ml-1, that result the best growth of probiotic bacteria. In in vivo test, the white shrimp was given a feed in which probiotics (10 10 cfu g feed-1) with various doses of prebiotics (0, 1, 2, and 3%) added, for 30 days. Measurement parameters to test the growth performance is conducted at the end of treatment, including specific growth rate, feed efficiency, retention of nutrients (protein and lipid) and the activity of digestive enzymes (protease and amylase). On challenge their resistance to IMN, shrimp was infected with IMN virus (IMNV) through injection and was observed for 10 days. Parameters observation includes survival, clinical symptoms, and immune parameters (total hemocyte [THC] and phenoloxidase [PO] activities). The ethanol extract of sweet potato used in this study contains three types of oligosaccharide-which are maltoheptaosa, sucrose, and raffinose-with the total concentration of oligosaccharides that reached 64,86%. SKT-b bacteria reached its optimal growth after 16 hours which was 5,9 x1010 cfu ml-1. The results of in vitro assays showed that the addition of prebiotic in culture medium can increase the growth of SKT-b bacteria which was positively correlated with the escalation of the dose of prebiotics and the concentrations of inoculants. The most optimal combination of prebiotics and probiotics was obtained from the addition of 3% of prebiotics and 1010 cfu ml-1 of SKT-b bacteria inoculant. In in vivo tests, the synbiotic feeding treatment (Pro+Pre) for 30 days increased shrimp survival and lowered its infection rates to IMNV, along with the increasing doses of prebiotics. This is because the increased of shrimp’s immunity after the synbiotics treatment was given. Pro+Pre 2% and Pro+Pre 3% treatment can increase THC of white shrimp to two times greater than THC of the shrimp control in the beginning of the observation. The decrease the amount of THC in both treatments after infection IMNV indicates a rapid reaction to the infection. IMNV infection caused the increase of PO activities in the shrimp in all treatments until the end of the
observation. The highest PO activity itself occurred in Pro+Pre 3% treatment. The giving of synbiotic feed does not affect the growth rate. However, it can improve the food efficiency of shrimp with Pro+Pre 2% and Pro+Pre 3% treatment. This is caused by the increase of protease and amylase enzyme activities compared to the controls, which is believed can increase the digestibility of the feed. The retention value of protein and lipid in the shrimp with Pro+Pre 2% and Pro+Pre 3% treatment is also higher than the control, which indicates the better nutrient absorption. In general, Pro+Pre 2% and Pro+Pre 3% treatment showed a better response to both the increase of the resistance to IMNV infection and the growth performance of white shrimp. Keywords: growth performance, immune response, Infectious Myonecrosis Virus, Litopenaeus vannamei, synbiotic.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
APLIKASI SINBIOTIK PADA UDANG VANAME Litopenaeus vannamei: RESISTENSI TERHADAP INFECTIOUS MYONECROSIS VIRUS DAN PERFORMA PERTUMBUHAN
WIDA LEMANAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Mia Setiawati, MSi
Judul Tesis : Aplikasi Sinbiotik pada Udang Vaname Litopenaeus vanammei: Resistensi terhadap Infectious Myonecrosis Virus dan Performa Pertumbuhan Nama : Wida Lesmanawati NIM : C151100141
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Widanarni, MSi Ketua
Dr Ir Sukenda, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Enang Harris, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 28 Januari 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini berjudul Aplikasi Sinbiotik pada Udang Vaname Litopenaeus vanammei: Resistensi terhadap Infectious Myonecrosis Virus dan Performa Pertumbuhan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Widanarni dan Bapak Dr Sukenda selaku pembimbing, Ibu Dr Mia Setiawati selaku penguji, Bapak Dr Kukuh Nirmala dan Bapak Prof Dr Enang Harris, atas bimbingan dan saran yang diberikan. Penghargaan turut penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Zairin Junior dan Bapak Ir Irzal Effendi, MSi selaku Pimpinan Program Diploma Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami, anak-anak, bapak, ibu, adik-kakak tercinta serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Penulis sampaikan pula terima kasih dan penghargaan kepada teknisi laboratorium, teman-teman mahasiswa Program Studi Ilmu Akuakultur IPB khususnya angkatan 2010, teman-teman di Program Diploma IPB khususnya PK. IKN, serta semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Penulis menyadari hasil penelitian dalam karya ilmiah ini bukanlah sebuah kebenaran mutlak karena sangat mungkin berubah seiring berkembangnya ilmu pengetahuan.
Bogor, Maret 2013 Wida Lesmanawati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Hipotesis 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik 2.2 Sistem Imunitas Krustasea 2.3 Infectious Myonecrosis (IMN) 2.4 Ubi Jalar (Ipomoea batatas) 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metode 3.2.1 Preparasi, Ekstraksi, dan Analisis Oligosakarida 3.2.2 Pertumbuhan Bakteri Probiotik SKT-b 3.2.3 Uji Kombinasi Sinbiotik Optimal 3.2.4 Uji In Vivo 3.3 Prosedur Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Oligosakarida dalam Ubi Jalar dan Pakan Komersil 4.2 Pertumbuhan Bakteri Probiotik SKT-b 4.3 Kombinasi Sinbiotik Optimal 4.4 Uji In Vivo 4.4.1 Populasi Bakteri Usus Udang 4.4.2 Resistensi Udang Vaname terhadap Infeksi IMNV 4.4.3 Performa Pertumbuhan 4.4.4 Kualitas Air Media Pemeliharaan 5 SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
xiii xv xvii
1
1 3 3 3 3 4 5 7 9 11 11 11 12 13 13 19 20 20 21 22 22 24 29 32 33 34 39 52
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5
6 7
8
Klasifikasi karbohidrat Fungsi berbagai tipe sel hemosit pada sistem imunitas krustasea Karakteristik sifat biokimia dan fisiologis bakteri probiotik SKT-b Pengelompokan tingkat infeksi IMNV terhadap udang vaname berdasarkan gejala klinis yang muncul Perhitungan parameter pengujian performa pertumbuhan: penambahan bobot tubuh (∆ Biomasa), jumlah konsumsi pakan (JKP), laju pertumbuhan (SGR), efisiensi pakan (EP), retensi nutrien (protein dan lemak), aktivitas enzim (AE) (protease dan amilase) Jenis dan konsentrasi oligosakarida hasil ekstraksi dari tepung kukus ubi jalar dan pakan udang komersil dengan metode HPLC Penambahan bobot tubuh (∆ biomasa), jumlah konsumsi pakan (JKP), laju pertumbuhan (SGR), efisiensi pakan (EP), retensi nutrien dan sintasan udang vaname yang diberi empat jenis pakan perlakuan (rerata±simpangan baku, n=40) selama 30 hari Kisaran kualitas air media pemeliharaan udang vaname selama 30 hari pemberian pakan perlakuan
5 7 13 16
18 20
31 32
DAFTAR GAMBAR
1 Mekanisme pertahanan tubuh nonspesifik pada krustasea 2 Klasifikasi sel hemosit: a) hialin, b) semigranular, c) granular 3 Mekanisme pertahanan seluler: a) fagositosis, b) enkapsulasi, c) pembentukan nodul 4 Gejala klinis udang vaname yang terinfeksi IMNV 5 Bentuk ikosahedral dari IMNV: a) transmisi elektron mikrograf, fraksi gradien calsium chloride, diwarnai dengan phosphotungstic acid 2%, garis menunjukkan 100 nm, b) Rekonstruksi 3-dimensi virion IMNV dengan resolusi 8.0-Å 6 Varietas ubi jalar yang banyak diminati di North Carolina Sweet Potato Commission 7 Ubi jalar (Ipomoea batatas) berumbi putih yang digunakan sebagai sumber oligosakarida: a) mentah, b) setelah dikukus, diiris tipis dan dikeringkan, c) tepung, d) larutan stok ekstrak ubi jalar 8 Koloni bakteri probiotik SKT-b yang dikultur di media TCBS agar 9 Gejala klinis udang yang terinfeksi IMNV. Angka menunjukkan tingkat infeksi ringan (1), sedang (2), berat (3), dan sangat berat (4) 10 Kurva pertumbuhan bakteri SKT-b yang dikultur di media SWC cair dan dihitung dengan metode total plate count `11 Nilai absorbansi biakan perlakuan kombinasi bakteri SKT-b konsentrasi 107, 108, 109 dan 1010 cfu ml-1 dengan prebiotik dosis 0% (kontrol) ( ), 1% ( ), 2% ( ) dan 3% ( ) 12 Populasi bakteri dalam usus udang vaname (x107 cfu g usus-1) pada sebelum (awal) dan setelah 30 hari pemberian pakan perlakuan (n=5) 13 Sintasan udang vaname berbagai perlakuan pakan pada hari ke 10 setelah infeksi IMNV (n=15) 14 Tingkat infeksi udang vaname berbagai perlakuan sinbiotik pada hari ke 10 setelah infeksi IMNV (n=15). Simbol menunjukkan tingkat infeksi: mati ( ), sangat berat ( ), berat ( ), sedang ( ), ringan ( ) 15 Total hemosit udang vaname perlakuan: Kontrol (-) ( ), Kontrol (+) ( ), Pro+Pre 1% ( ), Pro+Pre 2% ( ), Pro+Pre 3% ( ) pada hari ke 0 sebelum infeksi, hari ke 5 dan ke 10 setelah infeksi IMNV (n=3) 16 Aktivitas PO udang vaname perlakuan: Kontrol (-) ( ), Kontrol (+) ( ), Pro+Pre 1% ( ), Pro+Pre 2% ( ), Pro+Pre 3% ( ) pada hari ke 0 sebelum infeksi, hari ke 5 dan ke 10 setelah infeksi IMNV (n=3) 17 Aktifitas enzim pencernaan (protease dan amilase) udang vaname (n=5) setelah 30 hari pemberian pakan perlakuan: Kontrol ( ), Pro+Pre 1% ( ), Pro+Pre 2% ( ), Pro+Pre 3% ( )
6 6 7 8
9 10
11 12 16 21
22 23 25
26
27
28
31
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Metode total plate count Pembuatan media bakteri Sistem resirkulasi pada wadah perlakuan Ekstraksi IMNV dari tubuh udang yang terinfeksi Tahapan dan waktu kegiatan penelitian pada uji in vivo Perhitungan total hemosit dengan menggunakan hemasitometer Prosedur analisis proksimat Prosedur analisis enzim Hasil analisis proksimat udang vaname dan pakan perlakuan Hasil analisis oligosakarida ekstrak ubi jalar dan pakan udang dengan HPLC 11 Hasil perhitungan pertumbuhan bakteri SKT-b 12 Hasil pengamatan tingkat infeksi IMNV pada udang vaname 13 Hasil pengukuran kualitas air pemeliharaan udang selama perlakuan
40 41 42 43 43 44 44 47 48 48 50 50 51
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Udang vaname (Litopenaeus vannamei) mulai diintroduksi ke Indonesia tahun 1999 hasil impor dari Taiwan dan Hawai. Budidaya udang ini menyebar cepat ke berbagai daerah di Indonesia. Sampai akhir tahun 2007, udang vaname telah dibudidayakan sekurangnya di 17 provinsi di Indonesia (Taukhid dan Nur’aini 2008). Komoditas ini telah menggantikan udang windu yang mengalami kegagalan akibat penyakit White Spot Syndrom (WSS). Teknik pengembangbiakan udang vaname lebih mudah daripada udang windu. Selama kegiatan pembesaran, udang ini dikenal sebagai hewan yang kuat, memiliki laju pertumbuhan yang seragam dan kebutuhan protein pakan lebih rendah (25-35%) dibandingkan udang windu (Weidner dan Rosenberry 1992). Dalam perkembangannya, budidaya udang vaname di Indonesia juga tidak lepas dari berbagai wabah penyakit yang menyerang, terutama oleh infeksi virus. Penyakit viral penting yang telah dilaporkan pada budidaya udang vaname yaitu WSS, Taura Syndrom (TS), Infectious Hypodermal and Hematopoietic Necrosis (IHHN), dan Infectious Myonecrosis (IMN). Wabah IMN pertama kali menyerang budidaya udang vaname di Situbondo pada pertengahan tahun 2006 (Taukhid dan Nura’ini 2008). Wabah tersebut kemudian menyebar cepat ke berbagai daerah di Indonesia dan telah menyebabkan kematian kumulatif udang vaname hingga 70%. Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan yang efektif untuk penyakit viral. Penggunaan kemoteurapeutik termasuk antibiotik telah menimbulkan berbagai dampak negatif terutama munculnya bakteri resisten yang beresiko terhadap kesehatan manusia. Keluarnya pembatasan penggunaan antibiotik pada kegiatan akuakultur di banyak negara dan tingginya kesadaran konsumen akan keamanan pangan telah mendorong meningkatnya penelitian untuk mencari bahan alternatif yang alami dan aman. Selain vaksin, suplemen pakan termasuk probiotik dan prebiotik, mendapat perhatian yang tinggi (Genc et al. 2007). Penelitian mengenai penanggulangan penyakit IMN belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian mengenai IMN terbatas pada purifikasi dan karaktrisasi agen penyakit (Poulos et al. 2006); metode deteksi dan status penyebaran penyakit (Poulos dan Lightner 2006; Andrade et al. 2007; Senapin et al. 2007; Taukhid dan Nur’aini 2008), immune assessment (Costa et al. 2009), serta gejala klinis dan mortalitas (Lightner et al. 2004; Tang et al. 2005). Selama ini upaya penanggulangan wabah IMN dilakukan dengan cara menghindari masuknya agen penyakit melalui biosekuriti, penggunaan benih specific pathogen free (SPF), mengurangi kepadatan, monitoring penyakit dan manajemen budidaya yang baik. Probiotik banyak menarik perhatian untuk tujuan penelitian maupun komersial dan saat ini umum digunakan sebagai makanan kesehatan hingga terapeutik, propilaktik, dan suplemen pertumbuhan (Nayak 2010). Beberapa tahun belakangan, semakin banyak penelitian yang membuktikan keberhasilan probiotik dalam meningkatkan resistensi udang dan ikan terhadap penyakit dengan cara menekan patogen, meningkatkan imunitas atau memperbaiki kualitas air (Verschuere et al. 2000). Aplikasi probiotik telah menjadi bagian dari praktik
2 kegiatan akuakultur. Strategi tersebut memberikan manfaat dalam mengatasi efek samping penggunaan antibiotik dan obat-obatan kimia lainnya serta meningkatkan produksi melalui perbaikan pertumbuhan dan resistensi terhadap penyakit. Selain itu, probiotik tertentu dapat berperan sebagai water additive yang memegang peran penting dalam dekomposisi bahan organik, menurunkan kadar amonia, nitrit dan H2S. Dalam akuakultur, jenis probiotik yang dievaluasi untuk digunakan jauh lebih luas dibandingkan dengan hewan darat. Beberapa probiotik baik sebagai monospesies maupun multispesies telah tersedia secara komersial untuk kegiatan akuakultur (Nayak 2010). Keberhasilan probiotik telah menjadi dasar bagi konsep lain seperti prebiotik dan sinbiotik (Nayak 2010). Berbagai penelitian telah menunjukkan keuntungan aplikasi probiotik dan prebiotik pada hewan akuatik (Merrifield et al. 2010; Nayak 2010; Ringo et al. 2010). Namun pada umumnya, aplikasi penggunaan probiotik dan prebiotik ini diteliti secara terpisah, sebaliknya sinbiotik belum banyak dipelajari. Berdasarkan beberapa penelitian, pemberian sinbiotik pada hewan akuatik menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan bila diaplikasikan secara terpisah (Li et al. 2009; Rodriguez-Estrada et al. 2009; Zhang et al. 2010). Penelitian ini mengevaluasi efek sinergis dari bakteri probiotik SKT-b dan oligosakarida hasil ekstraksi dari ubi jalar, dalam meningkatkan resistensi terhadap penyakit IMN dan performa pertumbuhan udang vaname. Bakteri SKT-b yang berhasil diisolasi dari pakan udang Skeletonema, secara in vitro maupun in vivo, telah terbukti berperan sebagai probiotik. Hasil analisis sekuen sebagian gen 16SrRNA menunjukkan bahwa bakteri tersebut termasuk spesies Vibrio alginolyticus dengan indek kemiripan 88% (Widanarni et al. 2003). Bakteri SKT-b mampu menekan populasi bakteri V. harveyi, meningkatkan sintasan larva udang windu yang terinfeksi vibriosis, dan mampu menstimulasi sistem imunitas udang vaname (Widanarni et al. 2003; Widanarni et al. 2008; Syahailatua 2009). Oligosakarida tidak dapat dicerna (non-digestible oligosaccharides) diketahui berperan sebagai prebiotik. Sumber oligosakarida berasal dari biji-bijian, kacang-kacangan, umbi-umbian dan hasil tanaman lainnya. Haryati dan Supriyati (2010) membandingkan beberapa jenis prebiotik yaitu oligosakarida dari ubi jalar dan bungkil kedelai serta prebiotik komersial (mannanoligosaccharide, inulin, dan fructooligosaccharide) untuk meningkatkan efisiensi pakan ayam pedaging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak ubi jalar 0,2% mampu memberikan nilai FCR yang paling baik, sedangkan penambahan jenis prebiotik lainnya belum memberikan hasil yang memuaskan. Oligosakarida dalam ubi jalar juga dapat bersinergi dengan bakteri probiotik NP5 memberikan hasil yang lebih baik terhadap pertumbuhan ikan nila dibandingkan dengan perlakuan prebiotik dan probiotik saja (Putra 2010). Pemberian ekstrak oligosakarida dari ubi jalar diharapkan dapat menunjang pertumbuhan bakteri SKT-b, sehingga kombinasi yang seimbang antara probiotik dengan prebiotik ini dapat meningkatkan resistensi terhadap penyakit IMN serta performa pertumbuhan udang vaname.
3 1.2 Perumusan Masalah Penyakit IMN telah menyebabkan kematian udang vaname sampai dengan 70%. Probiotik dapat menjadi alternatif untuk pencegahan penyakit IMN karena dianggap mampu meningkatkan sintasan dan imunitas inangnya, disamping memperbaiki pertumbuhannya. Aplikasi probiotik yang ditunjang dengan prebiotik (sinbiotik) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan bila diaplikasikan secara terpisah. Pemberian sinbiotik dari bakteri SKT-b dan oligosakarida diharapkan dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi penyakit IMN serta performa pertumbuhan udang vaname.
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi sinbiotik dari bakteri SKT-b dan oligosakarida untuk meningkatkan resistensi terhadap infeksi penyakit IMN serta performa pertumbuhan udang vaname.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian dapat dijadikan salah satu alternatif pemecahan masalah dalam penanggulangan penyakit IMN serta peningkatan produktifitas udang vaname.
1.5 Hipotesis Pemberian sinbiotik dari bakteri SKT-b dan oligosakarida melalui pakan dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi penyakit IMN dan performa pertumbuhan udang vaname.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang ketika diberikan dalam jumlah cukup dapat memberikan manfaat kesehatan pada inang (FAO/WHO 2001). Menurut Lisal (2005), kriteria dalam pemilihan probiotik yaitu sebaiknya merupakan mikroflora normal usus, bersifat nonpatogenik dan nontoksik bagi inang, toleran terhadap asam lambung dan garam empedu, mampu menempel dan berkoloniasi dalam usus, bersifat antagonistik terhadap patogen, memiliki pengaruh yang menguntungkan bagi inang, dan memiliki jumlah serta viabilitas yang tinggi. Dalam akuakultur, jenis probiotik yang dievaluasi dan digunakan lebih luas dibandingkan hewan terestrial, baik dalam bentuk monospesies maupun multispesies. Jenis-jenis probiotik tersebut memiliki mekanisme aksi yang berbeda diantaranya mampu meningkatkan efisiensi pakan dan bobot tubuh, memberi proteksi dalam melawan patogen melalui kompetisi ruang, produksi asam organik (asam formik, asam asetat dan asam laktat), produksi hidrogen peroksida dan beberapa bahan lainnya seperti antibiotik, bakteriosin, siderophores, lisozim serta memodulasi respons fisiologis dan imunologis ikan. Beberapa genus bakteri yang telah diteliti sebagai probiotik yaitu Bacillus, Lactobacillus, Lactococcus, Aeromonas, Shewanella, Vibrio, Carnobacterium, dan Clostridium (Nayak 2010). Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dapat dicerna yang bermanfaat untuk menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri tertentu (bakteri menguntungkan) di dalam usus. Studi mengenai prebiotik pada hewan akuatik berkaitan dengan efek terhadap pertumbuhan, konversi pakan, mikrobiota usus, resistensi terhadap patogen dan parameter imunitas. Prebiotik umumnya merupakan karbohidrat yang tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan inang. Karbohidrat dikelompokkan berdasarkan berat molekul atau tingkat polimerasinya (jumlah unit monosakarida), menjadi monosakarida, oligosakarida dan polisakarida (Tabel 1). Oligosakarida tidak dapat dicerna (non-digestible oligosaccharide) memiliki konfigurasi atom C dalam unit monosakarida yang membuat ikatan glikosidiknya tidak dapat dicerna oleh aktivitas hidrolisis dari enzim pencernaan manusia atau hewan. Prebiotik yang umum digunakan di akuakutur sampai sekarang meliputi inulin, fructooligosaccarides (FOS), short-cain fructooligosaccharides (scFOS), mannanoligosaccharides (MOS), galactooligosaccharides (GOS), xylooligosaccharides (XOS), arabinoxylooligosaccharides (AXOS), isomaltooligosaccharides (IMO) dan GroBiotic –A (Ringo et al. 2010). Sinbiotik merupakan kombinasi yang seimbang dari probiotik dan prebiotik. Aplikasi sinbiotik memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pemberian probiotik dan prebiotik secara terpisah. Efek sinergis dari Bacillus OJ dan IMO mampu meningkatkan populasi mikrobial, respons imunitas dan resistensi terhadap penyakit pada L. vanammei, lebih baik dibandingkan dengan aplikasi terpisah dari Bacillus OJ dan IMO (Li et al. 2009). Hasil serupa juga dilaporkan oleh RodriguezEstrada et al. (2009) yang menyebutkan bahwa aplikasi Enterococcus faecalis dan MOS pada ikan salmon mampu meningkatkan respons imun dan sintasan ikan terhadap infeksi V. (L.) anguillarum.
5
Tabel 1 Klasifikasi karbohidrat (Subandiyono dan Hastuti 2009) No.
Kelompok
1
Monosakarida (1 unit glukosa)
Jenis a. Triosa (C3H6O3) b. Tetrosa (C4H8O4) c. Pentosa (C5H10O5)
Gliseraldehida; Dihidroksiaseton Eritrosa Rribosa; Arabinosa; Xilosa; Xilulosa Glukosa; Galaktosa; Mannosa; Fruktosa Sukrosa; Laktosa; Maltosa; Selobiosa Rafinosa Stasilosa Verbaskosa 1. Pentosan (Araban; Xilan) 2. Heksosan (Glukan [Starch, Dekstrin, Glikogen, Selulosa]; Fruktan [Inulin, Levan]; Galaktan; Manan) Pektin; Hemiselulosa; Gum; Mucilage; Mukopolisakarida
2
Oligosakarida (2-10 unit glukosa)
3
Polisakarida ( >10 unit glukosa)
d. Heksosa (C6H12O6) a. Disakarida (C12H22O11) b. Trisakarida (C18H32O16) c. Tetrasakarida (C24H42O16) d. Pentasakarida (C30H52O26) a. Homo-polisakarida (glukosa dengan jenis yang sama)
Persenyawaan
b. Hetero-polisakarida (glukosa dengan jenis yang berbeda) a. Khitin
khusus
b. Lignin
4
Contoh
2.2 Sistem Imunitas Krustasea Mekanisme pertahanan tubuh krustasea kurang berkembang dibandingkan ikan bersirip (finfish) dan vertebrata lainnya. Krustasea tidak memiliki memori adaptif dan hanya bergantung pada sistem pertahanan nonspesifik (Roch 1999). Sistem pertahanan tersebut meliputi pertahanan seluler berupa aktivitas sel-sel hemosit (fagositosis, enkapsulasi, dan pembentukkan nodul), serta pertahanan humoral berupa aktivasi dan pelepasan molekul-molekul penting yang tersimpan dalam hemosit (protein antikoagulan, aglutinin, enzim phenoloxidase [PO], peptida antimikrobial, protease inhibitor, dan sebagainya) (Jiravanichpaisal et al. 2006; Holmblad dan Soderhall 1999). Mekanisme pertahanan tubuh krustasea dijelaskan pada Gambar 1 (Smith et al. 2003). Berdasarkan keberadaan granular pada sitoplasma, terdapat tiga tipe hemosit pada krustasea yaitu sel hialin (nongranular), semi granular dan sel granular (Gambar 2). Fungsi dari masing-masing hemosit seperti pada Tabel 2 (Soderhall dan Cerenius 1992). Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan sel yang paling umum dengan cara menelan dan menghancurkan patogen dan partikel asing yang masuk ke dalam tubuh. Penghancuran material yang difagosit melibatkan produksi intraseluler berupa radikal bebas. Selama proses kontak dan pengenalan dengan patogen, enzim inang seperti NADPH-oksidase menjadi aktif yang ditandai dengan meningkatnya konsumsi oksigen dan menghasilkan radikal bebas diantaranya anion superoksida (O2-) dan hidrogen peroksida (H2O2) (Munoz et al. 2000; Rodriguez dan Le Moullac 2000). Radikal bebas ini dapat langsung membunuh organisme yang menyerang, berkombinasi dengan senyawa-senyawa nitrogen (nitric oxide) atau bersinergi dengan lisozim (Roch 1999). Enkapsulasi dan pembentukan nodul
6
merupakan kumpulan hemosit yang saling bekerja sama untuk menangani partikel asing. Enkapsulasi terjadi bila inang diserang oleh partikel yang berukuran besar, sedangkan nodul terbentuk bila inang diserang oleh partikel kecil dalam jumlah banyak (Gambar 3) (Soderhall dan Cerenius 1992).
β-1,3-glucan Peptidoglican Live bacteria Bacterial antigen
β-1,3-glucan binding protein (βGBP)
Semi granular
Granular
hyaline
Degranulation
Phagocytosis
Inactive serine proteinase (proppA) Prophenoloxidase (proPO)
Antibacterial peptides
Active serine proteinase (ppA)
Peroxinectin
Degranulation Phenoloxidase (PO)
Phenolic compounds
Quinones
Melanin
Cell adhesion Release of reactive O2 Opsonization Encapsulation
Gambar 1 Mekanisme pertahanan tubuh nonspesifik pada krustasea
a
Gambar 2
b
c
Klasifikasi sel hemosit: a) hialin, b) semigranular, c) granular (Giulianini et al. 2007)
7
Tabel 2 Fungsi berbagai tipe sel hemosit pada sistem imunitas krustasea Fungsi Tipe hemosit Hialin Semigranular Granular
Fagositosis
Enkapsulasi
Sitotoksisitas
Ya Terbatas Tidak
Tidak Ya Sangat terbatas
-* Ya Ya
Sistem aktivasi ProPO Tidak Ya Ya
*Belum ada informasi
a
b
c
Gambar 3 Mekanisme pertahanan seluler: a) fagositosis, b) enkapsulasi, c) pembentukan nodul
Sistem prophenoloxidase (proPO) merupakan bagian yang dominan dari mekanisme pertahanan tubuh krustasea, disimpan dan diproduksi oleh sel semigranular dan granular yang diaktifkan oleh kehadiran sejumlah kecil mikroba. Komponen awal dari sistem proPO adalah PO yang ketika aktif akan mengoksidasi senyawa fenol menjadi kuinolon dan secara spontan membentuk melanin sebagai produk akhir. Melanin beserta produk antaranya merupakan senyawa yang sangat reaktif yang berperan diantaranya dalam inaktivasi dan mencegah penyebaran partikel asing dalam tubuh melalui penghambatan produk ekstraseluler mikroorganisme (proteinase dan khitinase). Sistem proPO berpengaruh terhadap tingkah laku sel, perbanyakan dan atau aktivasi molekul-molekul penting yang fungsional serta netralisasi agen penginfeksi (Smith et al. 2003).
2.3 Infectious Myonecrosis (IMN) Wabah IMN pertama kali teridentifikasi pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vanammei) di timur laut Brazil pada tahun 2004 dan ditemukan di Indonesia pada awal tahun 2006. Hasil analisis subsekuen membuktikan bahwa virus IMN (IMNV) yang menginfeksi udang vaname di Indonesia memiliki kemiripan sekuen asam nukleat 99,6% dengan IMNV yang menginfeksi di Brazil (Senapin et al. 2007). IMNV menginfeksi postlarva, juvenil dan subadult pada pembesaran udang vaname. Mewabahnya penyakit ini diduga berkaitan dengan stress fisik dan lingkungan seperti salinitas dan suhu ekstrim, penanganan udang,
8
serta penggunaan pakan kualitas rendah. Infeksi IMNV memperlihatkan gejala nekrosis dari mulai ringan sampai berat terutama di bagian abdomen dan ekor yang dapat berkembang menjadi kemerahan (Gambar 4) (Lightner et al. 2004).
a
b
Gambar 4 Gejala klinis udang vaname yang terinfeksi IMNV: a) Lightner et al. 2004, b) Poulos et al. 2006
Hasil histopatologi, udang yang terinfeksi IMNV memperlihatkan lesi di otot skeletal meliputi multifocal necrosis, kongesi hemosit, inflamasi fibrosis, fagositosis dan munculnya badan inklusi sitoplasmik. Hasil in situ hybridisation (ISH) pada L. vannamei menunjukkan bahwa otot skeletal merupakan organ target utama dari infeksi IMNV. Hal ini yang menyebabkan penyakit IMN bersifat kronis dan kematian terjadi secara perlahan. Selain otot skeletal, IMNV juga ditemukan di organ limfoid, usus bagian belakang, insang serta sel fagositik dalam hepatopankreas dan hati. L vanammei merupakan inang utama dari IMNV, meskipun mampu menginfeksi L. stylirostris dan Penaeus monodon, namun tidak menyebabkan kematian sampai dengan empat minggu pengamatan setelah infeksi (Tang et al. 2005). Berdasarkan analisis imunologi, perubahan parameter imunologis yang signifikan hanya terjadi pada udang di tahap akhir infeksi IMNV, ketika pemulihan diri tidak dimungkinkan lagi. Infeksi IMNV menyebabkan peningkatan apoptosis pada hemosit (8 kali), titer aglutinasi (16 kali), produksi anion superoksida dari hemosit (50%), dan aktivitas antimikrobial dari hemolimph (21 kali melawan Micrococcus luteus). Infeksi IMNV juga menyebabkan penurunan total hemosit (30%) dan persentase granulosit sirkular (7%) (Costa et al. 2009). Agen penyebab penyakit IMN adalah virus berbentuk ikosahedral dengan diameter 40 nm, memiliki genom tunggal, double-stranded (dsRNA) dengan panjang molekul 7560 bp (Gambar 5). Hasil analisis filogenetik IMNV berdasarkan RDA-dependent dari gen RNA polimerase (RdRp), IMNV memiliki kemiripan dengan virus Giardia lamblia, yang merupakan anggota dari family Totiviridae. Berdasarkan hal ini, IMNV mungkin merupakan anggota unik dari Totiviridae atau mungkin merepresentasikan family virus dsRNA baru yang menginfeksi inang invertebrata (Poulos et al. 2006).
9
a
b
Gambar 5 Bentuk ikosahedral dari IMNV: a) transmisi elektron mikrograf, fraksi gradien calsium chloride, diwarnai dengan phosphotungstic acid 2%, garis menunjukkan 100 nm (Poulos et al. 2006), b) Rekonstruksi 3dimensi virion IMNV dengan resolusi 8.0-Å (Tang et al. 2008)
2.4 Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Ubi jalar merupakan tanaman asli dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Tanaman ini mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara beriklim tropis, pada abad ke 16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia terutama Filipina, Jepang dan Indonesia. Data tahun 2009 menunjukkan produksi ubi jalar Indonesia menempati urutan ke 4 setelah China, Uganda dan Nigeria. Ubi jalar termasuk dalam ordo Solanaceae, family Convolvulaceae, genus Ipomoea dan spesies Ipomoea batatas serta memiliki nama binomial Ipomoea batatas (L) Lam. Tanaman ini memiliki warna kulit yang bervariasi antara kuning, oranye, merah, coklat, ungu dan abu-abu kecoklatan. Warna daging juga bervariasi mulai dari abu-abu kecoklatan, putih, merah, merah muda, ungu, kuning, sampai oranye, tergantung jenis dan banyaknya pigmen yang terdapat di dalamnya. Varietas umbi warna putih dan kuning pucat memiliki rasa manis dan kadar air lebih rendah dibandingkan dengan varietas berwarna merah, merah muda dan oranye (Wikipedia 2012). Menurut North Carolina Sweet Potato Commission (2013), terdapat ratusan varietas ubi jalar (Gambar 6), kebanyakan di produksi dalam jumlah kecil serta hanya dijual oleh petani lokal. Secara umum, ubi jalar mengandung karbohidrat yang tinggi (20,1%), terdiri dari pati (12,7%), gula (4,2%), dan serat (3,0%). Ubi jalar juga mengandung protein (1,6%) dan lemak (0,1%) yang rendah (Wikipedia 2012). Komposisi kimia ubi jalar bervariasi tergantung pada waktu panen, varietas dan proses pengolahan. Kandungan gula yang terdapat pada ubi jalar varietas sukuh terdiri dari fruktosa, glukosa, sukrosa, maltose dan maltotriosa (Marlis 2008). Roxas et al. (1985) menyebutkan bahwa ubi jalar varietas Kinabakab, Tinipay, BNAS 51 dan G113-2b hanya tediri dari monosakarida dan sukrosa. Pengukusan dapat meningkatkan konsentrasi gula dalam ubi jalar dibandingkan dengan kondisi mentahnya. Hal ini disebabkan oleh pemecahan struktur pati karena pengaruh panas dan air, menjadi molekul glukosa yang lebih sederhana (Marlis 2008).
10
Gambar 6 Varietas ubi jalar yang banyak diminati di North Carolina Sweet Potato Commission
11
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama 16 minggu, pada bulan Mei–September 2012. Bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) dan Program Diploma, Institut Pertanian Bogor (IPB).
3.2 Metode 3.2.1 Preparasi, Ekstraksi, dan Analisis Oligosakarida Ubi jalar (Ipomoea batatas) berumbi putih didapatkan dari penjual ubi di pasar Ciampea. Proses preparasi dan ekstraksi dimulai dengan mengukus ubi selama 30 menit, kemudian diiris tipis-tipis, dikeringkan dalam oven suhu 50 oC selama dua hari (sampai kering), dan selanjutnya ditepungkan menggunakan blender. Tepung kukus ubi jalar diekstraksi dalam etanol 70% dengan perbandingan 1:10 dan digoyang dalam shaker (kecepatan 120 rpm suhu 30 oC) selama 15 jam (Muchtadi 1989). Setelah disaring, filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator vakum pada suhu 40 oC, kemudian dikeringkan dengan freeze dryer untuk memisahkan filtrat dari pelarutnya. Sebanyak 50 gram ekstrak diencerkan dengan 100 ml akuades hingga didapatkan larutan stok 50% (Gambar 7).
a
b
c
d
Gambar 7 Ubi jalar (Ipomoea batatas) berumbi putih yang digunakan sebagai sumber oligosakarida: a) mentah, b) setelah dikukus, diiris tipis dan dikeringkan, c) tepung, d) larutan stok ekstrak ubi jalar
12 Ekstrak oligosakarida hasil freeze dry kemudian dianalisis menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC), untuk mengetahui jenis dan konsentrasi oligosakarida yang terkandung dalam ekstrak. Analisis oligosakarida dengan HPLC menggunakan kolom Aminex HPX-87H pada suhu 35 oC dengan refractive indeks detector, laju alir 1 ml menit-1, fase gerak H2SO4 0,008N dan volume injeksi 20 µl. Analisis HPLC dilakukan di Balai Bioteknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Serpong. 3.2.2 Pertumbuhan Bakteri Probiotik SKT-b Bakteri SKT-b yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Kesehatan Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB. Bakteri SKT-b memiliki ciri koloni berbentuk bulat, elevasi cembung, tepian rata, berwarna kuning pada media Thiosulfate Citrate Bilesalt Sucrose (TCBS) agar dan agak berlendir (Gambar 8). Karakteristik fisiologis dan biokimia bakteri SKT-b disajikan pada Tabel 3 (Widanarni et al. 2003). Bakteri SKT-b dikultur pada media Seawater Complete (SWC) cair dan diinkubasi dalam waterbath shaker (kecepatan 140 rpm, suhu 29 oC) selama 22 jam. Setiap dua jam, kultur bakteri diambil sebanyak 1 ml dan kemudian dihitung konsentrasinya dengan metode total plate count (TPC) pada media TCBS agar (Cappuccino dan Sherman 2008) (Lampiran 1). Selanjutnya dibuat kurva pertumbuhan bakteri SKT-b terhadap waktu. Pembuatan media bakteri dijelaskan pada Lampiran 2.
Gambar 8 Koloni bakteri probiotik SKT-b yang dikultur di media TCBS agar
13 Tabel 3 Karakteristik sifat biokimia dan fisiologis bakteri probiotik SKT-b Parameter Gram Bentuk sel Motilitas Protease Amilase Kitinase Sumber karbon: Glukosa Sukrosa Laktosa
Keterangan Negatif Batang pendek + + + + + -
3.2.3 Uji Kombinasi Sinbiotik Optimal Pengujian kombinasi prebiotik-probiotik (sinbiotik) yang optimal dilakukan secara in vitro. Pengujian ini mencari kombinasi prebiotik-probiotik yang memperlihatkan kecepatan pertumbuhan bakteri probiotik paling baik. Biakan cair bakteri SKT-b konsentrasi 107, 108, 109, dan 1010 cfu ml-1, masing-masing sebanyak 1 ml ditumbuhkan dalam 9 ml air laut steril yang telah dicampur dengan prebiotik konsentrasi 0, 1, 2 dan 3% v/v. Sterilisasi prebiotik dilakukan dengan filtrasi mess size 0,20 µm. Biakan bakteri selanjutnya diinkubasi dalam waterbath shaker (kecepatan 140 rpm, suhu 29 oC) selama 12 jam. Pertumbuhan bakteri SKT-b diketahui dengan mengukur nilai absorbansi biakan setiap perlakuan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. 3.2.4 Uji In Vivo 3.2.4.1 Preparasi Probiotik Bakteri probiotik yang akan diberikan ke udang, sehari sebelumnya dikultur di media SWC cair dan diinkubasi dalam waterbath shaker (kecepatan 140 rpm, suhu 29 oC) selama 16 jam. Pelet bakteri dipisahkan dengan supernatan menggunakan sentrifus kecepatan 10.000 rpm selama lima menit. Pelet bakteri dicampurkan ke pakan sebanyak 1010 cfu g pakan-1. 3.2.4.2 Preparasi Pakan Bakteri SKT-b dan prebiotik sesuai dosis perlakuan ditambahkan ke pakan komersil menggunakan pengikat berupa gelatin sebanyak 3% dari bobot pakan. Pakan untuk udang kontrol juga ditambahkan gelatin 3% tanpa sinbiotik. Pelet dikeringanginkan selama 30 menit dan segera diberikan ke udang sebanyak satu kali setiap hari selama 30 hari. Pembuatan pakan perlakuan dilakukan setiap hari untuk menjaga kesegaran bahan.
14 3.2.4.3 Persiapan Wadah dan Media Wadah perlakuan berupa akuarium kaca berukuran 60x30x40 cm3. Sebelum digunakan, wadah didesinfeksi dengan klorin 100 ppm selama satu jam. Wadah dibilas air sampai bersih dan dijemur di bawah sinar matahari untuk menghilangkan residu klorin. Akuarium kemudian ditutup dengan plastik hitam untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk. Masing-masing akuarium dilengkapi dengan shelter (pipa paralon ½ inci) dan “anco” (tutup toples plastik diameter 18 cm). Air yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Pantai Ancol. Air laut ditampung dalam tandon dan didesinfeksi dengan klorin 30 ppm. Residu klorin dihilangkan dengan menambahkan Na-Thiosulfat 15 ppm (setengah dosis klorin). Setiap akuarium perlakuan diisi air laut setinggi 30 cm (54 liter). Akuarium dengan perlakuan yang sama digabung dalam satu sistem resirkulasi untuk mempertahankan kualitas air media pemeliharaan udang (Lampiran 3). 3.2.4.4 Kondisi Hewan Uji Udang vaname diperoleh dari PT. Global Gen Indonesia, Labuan, Banten. Sebelum digunakan, udang vaname (PL 41; bobot rataan 0,6 g) diadaptasikan selama dua minggu dalam wadah fiber volume 1 ton. Udang diberi pakan sekenyangnya sebanyak lima kali sehari pada pukul 06.00, 10.00, 14.00, 18.00 dan 22.00 WIB. Setelah proses adaptasi, udang uji (PL 55; bobot rataan 1,9 g) kemudian dipindahkan ke dalam akuarium perlakuan sebanyak 40 ekor per akuarium. Udang diberi pakan perlakuan selama 30 hari dengan metode dan frekuensi pemberian pakan yang sama seperti saat adaptasi. Selain dengan menggunakan sistem resirkulasi, kualitas air media dipertahankan dengan aerasi terus menerus dan penyifonan setiap dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Penyifonan juga dilakukan untuk mengambil sisa pakan untuk pengukuran parameter jumlah konsumsi pakan. Uji in vivo dikelompokkan menjadi dua yaitu uji resistensi udang vaname terhadap infeksi IMNV dan uji performa pertumbuhan. Setelah pemberian pakan perlakuan selama 30 hari, dilakukan analisis dan perhitungan parameter pertumbuhan untuk uji performa pertumbuhan serta pengukuran populasi bakteri usus. Setelah itu, sebanyak 18 ekor udang tiap akuarium dipelihara kembali untuk dilakukan uji resistensi terhadap IMNV. Infeksi IMNV dilakukan dengan menginjeksikan hasil ekstraksi tubuh udang yang positif terinfeksi berdasarkan pengamatan gejala klinis dan hasil analisis PCR. Sampel udang yang positif terinfeksi IMNV didapatkan dari Balai Pengembangan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo, Jawa Timur dan diekstrak berdasarkan Escobedo et al. (2006) (Lampiran 4). Udang yang diinfeksi IMNV pada masing-masing akuarium, sebanyak 15 ekor digunakan untuk pengukuran parameter sintasan dan gejala klinis serta 3 ekor untuk pengukuran parameter imunitas. Selama waktu pengamatan, udang diberi pakan kontrol dengan metode dan frekuensi yang sama seperti saat perlakuan. Resirkulasi air, aerasi dan penyifonan tetap dilakukan untuk mempertahankan kualitas air.
15 3.2.4.5 Pengujian Resistensi Udang Vaname terhadap Infeksi IMNV Uji ini dilakukan untuk mengevaluasi kinerja sinbiotik dalam meningkatkan resistensi udang vaname yang diinfeksi IMNV. Pengujian terdiri dari lima perlakuan dengan tiga ulangan, sebagai berikut: Kontrol (-) : Udang vaname diberi pakan komersil dan diinjeksi PBS. Kontrol (+) : Udang vaname diberi pakan komersil dan diinfeksi IMNV. Pro+Pre 1% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 1% serta diinfeksi IMNV. Pro+Pre 2% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 2% serta diinfeksi IMNV. Pro+Pre 3% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 3% serta diinfeksi IMNV. Udang diberi pakan perlakuan setiap hari selama 30 hari. Infeksi IMNV dilakukan melalui injeksi sebanyak 0,1 ml per ekor udang. Pengamatan dilakukan selama 10 hari setelah infeksi. Parameter yang diamati meliputi sintasan (SR) dan gejala klinis yang diukur pada akhir pengamatan, serta parameter imunitas (total hemosit dan aktivitas phenoloxidase) pada awal (hari ke 0 sebelum infeksi), tengah dan akhir pengamatan (hari ke 5 dan ke 10 setelah infeksi). Tahapan dan waktu kegiatan uji resistensi udang vaname terhadap IMNV dijelaskan pada Lampiran 5.
a. Pengambilan Sampel Hemolimph Hemolimph diambil dari ventral sinus pada pangkal kaki renang pertama dengan menggunakan syringe 1 ml yang telah dibilas dan diisi antikoagulan sebanyak 200 µl. Hemolimph yang terkumpul kemudian dimasukkan ke dalam eppendorf 2 ml dan dicatat volumenya sebagai faktor pengencer pada perhitungan nilai total hemosit dan aktivitas phenoloxidase. Untuk mengawetkan sampel hemolimph selama pengukuran parameter imunitas, sampel disimpan di dalam cool box yang telah diisi dengan batu es.
b. Sintasan (SR) Sintasan udang dihitung dengan menggunakan rumus berikut: SR = (Nt / No) x 100 % Keterangan : Nt : Jumlah udang yang hidup pada akhir pengamatan (ekor) No : Jumlah udang pada awal pengamatan (ekor)
c. Gejala Klinis Gejala klinis yang timbul pada udang dapat menunjukkan tingkat infeksi dari IMNV tersebut. Data gejala klinis yang dihasilkan berupa kualitatif (deskriptif) dan kemudian dibuat semi kuantitatif dengan cara skoring.
16 Pengelompokan gejala klinis ditentukan berdasarkan Hasan (2011) dengan sedikit modifikasi (Tabel 4 dan Gambar 9)
Tabel 4 Level 1 2 3 4
Pengelompokan tingkat infeksi IMNV terhadap udang vaname berdasarkan gejala klinis yang muncul Gejala Klinis Tingkat Infeksi Ringan Terinfeksi tanpa gejala klinis Sedikit warna putih lebam di dalam jaringan di Sedang beberapa segmen abdomen Sebagian besar jaringan abdomen berwarna Berat putih lebam Bagian abdomen dari arah ekor berwarna merah Sangat berat (jaringan mati)
1
2
3
4
Gambar 9 Gejala klinis udang yang terinfeksi IMNV. Angka menunjukkan tingkat infeksi ringan (1), sedang (2), berat (3), dan sangat berat (4)
d. Total Hemosit Pengukuran total hemosit (THC) dilakukan berdasarkan metode Blaxhall dan Daishley (1973). Hemolimph sebanyak 0,1 ml yang sudah ditambahkan antikoagulan, dihitung dengan menggunakan hemasitometer pada mikroskop perbesaran 400 kali. Perhitungan nilai THC dijelaskan di Lampiran 6.
17 e. Aktivitas Phenoloxidase (PO) Pengukuran PO dilakukan berdasarkan Liu dan Chen (2004). Aktivitas PO diukur berdasarkan formasi dopachrome yang dihasilkan oleh L-DOPA. Hemolimph yang sudah dicampur dengan antikoagulan sebanyak 1 ml disentrifus (1.500 rpm; suhu 4 oC) selama 10 menit. Supernatan dibuang dan pelet disuspensikan kembali secara perlahan ke dalam 1 ml larutan cacodylatecitrate buffer, selanjutnya disentrifus kembali. Pelet diambil dan disuspensikan dalam 200 μl cacodylate-citrate buffer. Suspensi sel sebanyak 100 μl diinkubasi dengan 50 μl trypsin (1 mg ml-1 cacodylate-citrate buffer) selama 10 menit pada suhu 25-26 oC. Selanjutnya ditambahkan 50 μl L-DOPA (3 mg ml-1 cacodylatecitrate buffer) setelah 5 menit, dan ditambahkan 800 μl cacodylate-citrate buffer. Densitas optikal (optical density) diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Larutan standar mengandung 100 μl suspensi hemosit, 50 μl cacodylate-citrate buffer (pengganti tripsin) dan 50 μl L-DOPA yang digunakan untuk mengukur background aktivitas PO pada semua larutan uji. Aktivitas PO dihitung berdasarkan rumus berikut: 𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑃𝑂 =
(𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝐴𝑏𝑠𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜) 𝑥 1000 𝑛𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑃𝑂 𝑥
µ𝑙 ℎ𝑒𝑚𝑜𝑙𝑖𝑚𝑝ℎ µ𝑙 ℎ𝑒𝑚𝑎𝑜𝑙𝑖𝑚𝑝ℎ+µ𝑙 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑘𝑜𝑎𝑔𝑢𝑙𝑎𝑛
3.2.4.6 Pengujian Performa Pertumbuhan Penelitian ini dilakukan untuk menguji kinerja sinbiotik dengan berbagai dosis oligosakarida terhadap performa pertumbuhan udang vaname. Pengujian terdiri dari empat perlakuan dengan tiga ulangan sebagai berikut: Kontrol : Udang vaname diberi pakan komersil. Pro+Pre 1% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 1%. Pro+Pre 2% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 2%. Pro+Pre 3% : Udang vaname diberi pakan komersil dengan penambahan probiotik dan prebiotik 3%. Udang diberi pakan perlakuan setiap hari selama 30 hari. Parameter yang diukur berupa penambahan bobot tubuh, jumlah konsumsi pakan, laju pertumbuhan spesifik, efisiensi pakan, retensi nutrien (protein dan lemak) serta aktivitas enzim pencernaan (protease dan amilase). Parameter uji dihitung dengan menggunakan rumus seperti pada Tabel 5. Tahapan dan waktu kegiatan uji performa pertumbuhan dijelaskan pada Lampiran 5. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Nutrisi, FPIK IPB dan analisis enzim di Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Antar Universitas (PAU) IPB. Prosedur analisis proksimat dan enzim dijelaskan di Lampiran 7 dan 8, serta hasil proksimat tubuh udang dan pakan perlakuan di Lampiran 9.
18 Tabel 5 Perhitungan parameter pengujian performa pertumbuhan: penambahan bobot tubuh (∆ Biomasa), jumlah konsumsi pakan (JKP), laju pertumbuhan (SGR), efisiensi pakan (EP), retensi nutrien (protein dan lemak), aktivitas enzim (AE) (protease dan amilase) Parameter
Rumus perhitungan
Pustaka
∆ Biomasa (g)
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 − 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑏𝑖𝑜𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑤𝑎𝑙
-
JKP (g)
bobot pakan yang diberikan – bobot sisa pakan
-
SGR (% hari-1)
[(𝑊𝑓 /𝑊𝑖 )1/𝑡 − 1] × 100
Huisman 1987
EP (%)
𝑝𝑒𝑛𝑎𝑚𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑢𝑑𝑎𝑛𝑔 (𝑔) 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑢𝑚𝑠𝑖 𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 (𝑔)
Takeuchi 1988
Retensi nutrien (%)
[(𝐹 − 𝐼)⁄𝑃 ] × 100%
Takeuchi 1988
AE (unit menit-1 ml-1)
[
𝑂𝐷 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 − 𝑂𝐷 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 ] 𝑥 𝑃 𝑥 𝑇 −1 𝑂𝐷 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 − 𝑂𝐷 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜
Bergmeyer dan Grassi 1983; Bernfeld 1955
Keterangan tabel: Wf = Bobot udang akhir Wi = Bobot udang awal t = Periode pemeliharaan F = Jumlah nutrien tubuh pada akhir pemeliharaan (g) I = Jumlah nutrien tubuh pada awal pemeliharaan (g) P = Jumlah nutrien pakan yang dikonsumsi (g) OD = Persen absorbansi P = Pengenceran T = Waktu (menit) 3.2.4.7 Populasi Bakteri Usus Udang Pengukuran populasi bakteri usus udang dilakukan pada sebelum (awal) dan setelah 30 hari pemberian pakan perlakuan. Sampel udang untuk pengukuran populasi usus awal diambil dari wadah stok sebanyak lima ekor, sesaat sebelum udang dipindahkan ke akuarium perlakuan. Sedangkan sampel udang untuk pengukuran populasi usus setelah perlakuan diambil dari masing-masing akuarium sebanyak satu ekor dan digabungkan antar perlakuan yang sama. Pengambilan sampel udang dilakukan secara acak. Sampel udang yang telah diambil kemudian didesinfeksi dengan mencelupkan udang ke alkohol 70% untuk mengurangi kemungkinan kontaminasi pada usus. Usus udang perlakuan yang sama digabungkan dan dimasukkan ke dalam eppendorf yang sebelumnya telah diberi larutan PBS 500 µl. Sebelum dan sesudah diisi usus, eppendorf ditimbang untuk mengetahui bobot usus. Selanjutnya usus digerus sampai homogen dan kemudian
19 dihitung konsentrasi total bakterinya dengan metode total plate count pada media SWC agar. 3.2.4.8 Kualitas Air Media Pemeliharaan Pengukuran kualitas air media pemeliharaan udang dilakukan tiga kali selama masa pemberian pakan perlakuan yaitu pada awal, tengah dan akhir perlakuan. Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu ( oC), salinitas (o/oo), oksigen terlarut (DO) (mg l-1), TAN (mg l-1), dan pH. Pengukuran suhu, salinitas, DO dan pH dilakukan dengan menggunakan alat berupa termometer, refraktometer, DOmeter dan pHmeter. Pengukuran nilai TAN dilakukan di Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN) IPB.
3.3 Prosedur Analisis Data Uji resistensi udang vaname terhadap infeksi IMNV terdiri dari lima perlakuan dengan tiga ulangan, sedangkan uji performa pertumbuhan terdiri dari empat perlakuan dengan tiga ulangan. Kedua percobaan tersebut menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor. Analisis data dilakukan dengan dua metode yaitu analisis ragam (analysis of variance/ANOVA) pada selang kepercayaan 95% (α=0,05) dan analisis deskriptif. ANOVA digunakan untuk analisis data sintasan, gejala klinis, total hemosit, aktivitas PO, dan data parameter pertumbuhan. Apabila terdapat perbedaan antar perlakuan maka analisis dilanjutkan dengan uji Tukey menggunakan software IBM SPPS Statistics version 19. Sedangkan analisis desktiptif digunakan untuk data kandungan oligosakarida, pertumbuhan bakteri SKT-b, kombinasi sinbiotik optimal, populasi bakteri usus, aktivitas enzim dan data kualitas air.
20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kandungan Oligosakarida dalam Ubi Jalar dan Pakan Komersil Ubi jalar memiliki kandungan karbohidrat tinggi (± 20%), termasuk tanaman yang mudah dibudidayakan, produksi melimpah dan harganya yang relatif murah sehingga sangat potensial untuk dikembangkan. Ubi jalar diketahui memberikan manfaat bagi kesehatan karena mengandung oligosakarida tidak dapat dicerna (nondigestible oligosaccharides [NDOs]) yang berfungsi sebagai prebiotik, diantaranya rafinosa dan sukrosa (Marlis 2008; Putra 2010; Haryati dan Supriyati 2010). Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi oligosakarida dalam ekstrak etanol dari tepung kukus ubi jalar sebesar 64,86%. Sukrosa merupakan jenis oligosakarida dengan persentase konsentrasi tertinggi (52,86%) diikuti rafinosa dan maltoheptaosa masing-masing 8,14% dan 3,86%. Kontras dengan komposisi oligosakarida pada ubi jalar, pakan udang komersial didominasi oleh maltoheptaosa sebesar 3,07% (Tabel 6 dan Lampiran 10). Kandungan sukrosa dalam pakan udang sangat kecil serta tidak terdeteksi adanya rafinosa, sehingga perlu ditambahkan oligosakarida dari sumber lain sebagai prebiotik. Pengkayaan pakan dengan NDOs terbukti memperbaiki mikroekologi usus termasuk meningkatkan populasi bakeri, profil biokimia dan efek fisiologis (Mussatto dan Mancilha 2007).
Tabel 6 Jenis dan konsentrasi oligosakarida hasil ekstraksi dari tepung kukus ubi jalar dan pakan udang komersil dengan metode HPLC Jenis oligosakarida Maltoheptaosa Rafinosa Sukrosa Total oligosakarida
Konsentrasi oligosakarida hasil ekstraksi (%) Ubi jalar Pakan udang komersil 3,86 3,07 8,14 -* 52,86 0,91 64,86 3,98
* tidak terdeteksi
4.2 Pertumbuhan Bakteri Probiotik SKT-b Bakteri yang ditumbuhkan di media akan mengalami empat fase pertumbuhan yaitu fase lamban, eksponensial, stasioner dan fase kematian. Biakan dengan inokulan berasal dari biakan bakteri segar umumnya tidak mengalami fase lamban, sehingga fase eksponensial terjadi mulai jam ke 0. Puncak pertumbuhan bakteri SKT-b terjadi pada jam ke 16 dan masuk fase kematian pada jam ke 18. Fase stasioner bakteri SKT-b diduga berada pada selang jam ke 16-18 (Gambar 10). Konsentasi bakteri SKT-b pada puncak pertumbuhannya mencapai 5,9x1010 cfu ml-1 (Lampiran 11).
Konsentrasi sel bakteri SKT-b (log cfu ml-1)
21
12
11
10.77
10 9
8.50
8 7
6
5.68
5 0
2
4
6
8
10 12 Jam ke
14
16
18
20
22
Gambar 10 Kurva pertumbuhan bakteri SKT-b yang dikultur di media SWC cair dan dihitung dengan metode total plate count
4.3 Kombinasi Sinbiotik Optimal Oligosakarida yang berasal dari ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan oleh bakteri probiotik SKT-b untuk menunjang pertumbuhan bakteri tersebut secara in vitro. Penambahan oligosakarida ke media kultur meningkatkan pertumbuhan bakteri SKT-b, yang berkorelasi positif terhadap peningkatan dosis prebiotik tersebut, pada semua perlakuan konsentrasi bakteri. Jumlah inokulan yang ditambahkan ke media kultur juga menentukan konsentrasi akhir dari biakan bakteri yang dikultur. Pengurangan jumlah inokulan bakteri SKT-b menyebabkan penurunan konsentrasi akhir biakan pada semua perlakuan dosis prebiotik. Kombinasi prebiotik dan probiotik yang optimal didapatkan pada penambahan prebiotik 3% dan inokulan bakteri SKT-b konsentrasi 1010 cfu ml-1 (Gambar 11). Li et al. (2009) menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara efek dosis probiotik dan prebiotik terhadap efisiensinya. Oligosakarida dalam jumlah tertentu bersifat antinutrisi. Pemberian karbohidrat yang berasal dari bungkil kedelai (kandungan total karbohidrat terlarut 12-15%), dengan kandungan oligosakarida utama yaitu sukrosa (6-7%), rafinosa (1-2%) dan stakiosa (5-6%), menurunkan konsumsi pakan pada hybrid striped bass dan rainbow trout, serta menurunkan kecernaan pakan pada trout (Francis et al. 2001). Selain itu, dosis prebiotik yang diaplikasikan dalam kegiatan budidaya berkolerasi positif dengan biaya produksi. Oleh karena itu perlu dievaluasi efek dosis prebiotik tersebut secara in vivo. Diharapkan diperoleh dosis prebiotik terkecil yang memberikan dampak tidak berbeda dengan dosis yang lebih tinggi terhadap penanggulangan infeksi IMNV maupun performa pertumbuhan udang vaname.
22
0.6
Absorbansi (µm)
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 10^10
10^9
10^8
10^7
Konsentrasi inokulan bakteri SKT-b (cfu ml-1)
Gambar 11
Nilai absorbansi biakan perlakuan kombinasi bakteri SKT-b konsentrasi 107, 108, 109 dan 1010 cfu ml-1 dengan prebiotik dosis 0% (kontrol) ( ), 1% ( ), 2% ( ) dan 3% ( )
4.4 Uji In Vivo 4.4.1 Populasi Bakteri Usus Udang Secara in vivo, pemberian oligosakarida selama 30 hari terbukti meningkatkan populasi bakteri di dalam usus udang vaname. Peningkatan yang signifikan ditunjukkan oleh udang yang diberi perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% masing-masing sebesar 2,03 x 108 dan 1,25 x 108 cfu g usus-1 atau mencapai 10,9 dan 6,7 kali lebih tinggi dibandingkan Kontrol (Gambar 12). Rafinosa diketahui mampu meningkatkan jumlah mikroflora spesifik dalam usus (Mathious et al. 2006; Haryati dan Supriyati 2010). Namun efek dari peningkatan populasi mikroflora terhadap inang karena pemberian ekstrak oligosakarida dari ubi jalar, perlu dipelajari lebih lanjut. Mekanisme kerja dari berbagai jenis prebiotik tidak selalu sama. Beberapa prebiotik menyebabkan peningkatan mikroflora spesifik asli usus pencernaan yang menyebabkan menurunnya bakteri patogen di usus melalui kompetisi langsung terhadap nutrien atau binding site dengan memproduksi blocking factors. Beberapa prebiotik bekerja dengan cara menurunkan pH usus karena dihasilkannya short-cain fatty acid (SCFA), yang mengakibatkan persentase bakteri menguntungkan meningkat dan menurunkan persentase bakteri merugikan. Mannanoligosaccharides (MOS) sebagai prebiotik mempunyai mekanisme berbeda yang secara selektif tidak menyebabkan peningkatan populasi bakteri
23 menguntungkan, tetapi melalui kemampuannya yang dapat melekat pada lektin spesifik manosa dari patogen Gram negatif tipe 1 fimbriae seperti Salmonella dan E. coli yang kemudian akan dikeluarkan dari saluran pencernaan. Mekanisme MOS sebagai antiinfeksi pada fimbriae E. coli dan Salmonella dilakukan dengan berperan sebagai reseptor analog untuk fimbriae tipe 1 guna mencegah proses kolonisasi bakteri (Haryati 2011).
Populasi bakteri usus
25.00 20.31
20.00 15.00
12.52
10.00 5.00
3.59
3.36 1.86
0.00 Awal
Kontrol
Pro+Pre 1%
Pro+Pre 2%
Pro+Pre 1%
Perlakuan
Gambar 12 Populasi bakteri dalam usus udang vaname (x107 cfu g usus-1) pada sebelum (awal) dan setelah 30 hari pemberian pakan perlakuan (n=5)
Pada penelitian ini tidak diberikan penanda pada bakteri probiotik yang diberikan, sehingga tidak diketahui dominansi bakteri SKT-b di dalam usus udang vaname. Perhitungan populasi total bakteri di usus dilakukan sebagai pendekatan. Selain itu juga tidak dilakukan perhitungan keragaman bakteri di usus, sehingga tidak diketahui bagaimana pengaruh perbedaan dosis prebiotik, hasil ekstraksi dari ubi jalar, terhadap keragaman bakteri dalam usus udang. Keragaman bakteri dalam usus hewan akuatik sangat tergantung pada habitat dan sistem pencernannya. Bakteri yang masuk melalui air dan makanan akan mempengaruhi mikroflora dalam usus, sehingga kompleksitas bakteri dalam usus hewan akuatik dapat berubah-ubah selama hidupnya (Austin 2006). Kolonisasi bakteri patogen, yang umumnya banyak terdapat di perairan budidaya intensif maupun semiintensif, dalam usus sangat tidak diharapkan sehingga penggunaan prebiotik dan probiotik sangat dianjurkan untuk memanipulasi mikroflora usus yang menguntungkan terhadap inang. Keragaman mikroflora dalam usus udang vaname telah diamati oleh Li et al. (2007), U-taynapun et al. (2007) dan Pangastuti et al. (2010) dengan metode yang berbeda. Li et al. (2007) mengamati keragaman bakteri usus L. vannamei yang dipelihara di laboratorium menggunakan 16S rDNA clone library. Populasi usus udang didominasi oleh kelompok Firmicutes (75,4%) dan sisanya dari kelompok
24 Gamma-proteobacteria (24,6%) yang teridentifikasi sebagai Shewanella sp., Pantoea sp., Aranicola sp., Pseudomonas sp. and Vibrio sp. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar bakteri yang berasosiasi dengan usus udang adalah bakteri yang tidak dapat dikultur dan merupakan spesies baru. U-taynapun et al. (2007) menggunakan teknik Fluorescent in situ hybridization (FISH) untuk menganalisis keragaman udang vaname yang dikultur di tambak tanah. Eubacteria merupakan kelompok yang paling dominan mencapai 80%, terdiri dari low G+C gram positive bacteria (LGC) group, CFB group, High G+C gram positive bacteria (HGC) group, serta α, β, γ-Proteobacteria group. Kelompok bakteri dengan persentase paling besar adalah γ-Proteobacteria (Vibrio spp., Pseudomonas spp., dan kelompok lainnya) serta LGC (Bacillales, lactic acid bacteria, Streptococcaceae, Enterococcus spp., dan kelompok lainnya). Sedangkan Pangastuti et al. (2010) menggunakan Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP) untuk menganalisis larva udang vaname dan menemukan 9 phylotypes yang mempunyai kelimpahan tinggi yaitu Bacteroidetes (36 bp dan 529 bp), Pseudomonas (37 bp), Vibrio (149 bp dan 152 bp), α-protobacteria ( 213 bp dan 215 bp), serta 2 phylotypes (58 bp dan 357 bp) yang belum ada di Ribosomal Database Project. Hood dan Meyers (1974) mengisolasi bakteri dari saluran usus udang putih (P. setiferus) dan air yang berasal dari perairan payau di Barataria Bay, Louisiana. Hasil isolasi di media menunjukkan bahwa bakeri dalam saluran pencernaan terdiri dari genus yang lebih terbatas namun dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan bakteri di lingkungan airnya. Terbatasnya tipe genus ini menggambarkan kemampuan bakteri tertentu untuk bertahan melewati saluran pencernaan udang dan hidup dalam lingkungan mikro usus udang. Spesies bakteri yang berhasil diisolasi dari usus meliputi Pseudomonas, Vibrio dan Beneckea. Berbeda dengan genus bakteri hasil isolasi dari air yang terdiri dari Bacillus, Pseudomonas, Flavobacterium, Chromobacterium, Micrococcus, Aeromonas, Alginomonas, Vibrio dan genus lainnya. Biomasa mikroba dalam saluran pencernaan lebih tinggi mencapai 2,9 x 107 cfu g-1 dibandingkan dengan di perairan sebesar 1,5 x 105 cfu ml-1. Bakteri hasil isolasi dari usus tersebut memiliki karakteristik aktif memperoduksi enzim protease, amilase, lipase, dan khitinase; tumbuh pada pH rendah (5); dan waktu generasi pendek (30 menit) pada suhu relatif rendah (22 oC). 4.4.2 Resistensi Udang Vaname terhadap Infeksi IMNV 4.4.2.1 Sintasan dan Gejala Klinis Infeksi IMNV melalui injeksi menyebabkan penurunan nilai sintasan udang vaname paling rendah pada Kontrol (+) sebesar 17,78% dibandingkan dengan Kontrol (-) sebesar 93,33% pada hari ke 10 setelah infeksi. Pemberian sinbiotik dapat meningkatkan sintasan udang vaname yang terinfeksi IMNV paling tinggi pada perlakuan Pro+Pre 3% mencapai 2,9 kali lebih besar dibandingkan Kontrol (+) (Gambar 13). Widanarni et al. (2008) menyebutkan bahwa aplikasi bakteri probiotik SKT-b mampu meningkatkan kelangsungan hidup larva udang windu yang diinfeksi V. harveyi melalui perendaman sebesar 83,33 % dibandingkan kontrol sebesar 41,67%. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa pemberian
25 bakteri SKT-b mampu meningkatkan sintasan hidup udang vaname yang diinfeksi V. harveyi sebesar 91,1% dibandingkan kontrol 46,7%. Peningkatan sintasan ini dimungkinkan karena terjadinya peningkatan beberapa parameter respons imunitas berupa nilai total hemosit, aktivitas fagositosis dan aktivitas phenoloxidase (PO) (Syahailatua 2009).
100
c
90 80
Sintasan (%)
70
b
60 50
b
93.33
40
a
30
a 42.22
20 10
17.78
51.11
26.67
0 Kontrol (-)
Kontrol (+)
Pro+Pre 1%
Pro+Pre 2%
Pro+Pre 3%
Perlakuan
Gambar 13 Sintasan udang vaname berbagai perlakuan pakan pada hari ke 10 setelah infeksi IMNV (n=15). Angka pada kolom merupakan nilai rataan dan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (Tukey; α=0,05)
Udang vaname yang masih hidup hari ke 10 setelah infeksi pada perlakuan yang sama memperlihatkan gejala klinis yang berbeda-beda. Gejala klinis yang muncul menunjukkan tingkat infeksi IMNV terhadap udang uji. Infeksi IMNV dimulai dengan munculnya gejala klinis berupa lesi (nekrosis) keputih-putihan di otot bagian belakang. Nekrosis di otot pada stadia awal infeksi dapat sembuh yang ditandai dengan perubahan nekrosis dari coagulative ke liquefactive dan disertai dengan infiltrasi hemosit serta fibrosis. Pada tahap lanjut dari infeksi IMNV, nekrosis kemudian meluas ke seluruh bagian otot abdomen, yang menyebabkan warna otot menjadi putih (tidak transparan) dan kemudian berlanjut ke perubahan warna otot menjadi kemerahan. Pada tahap ini, udang tidak dapat pulih dan berujung pada kematian (Lightner et al. 2004; Tang et al. 2005; Costa et al. 2009). Berdasarkan hasil pengamatan gejala klinis pada hari ke 10 setelah infeksi, Kontrol (+) memperlihatkan tingkat infeksi paling berat yang diiringi dengan tingkat kematian yang tinggi. Pada perlakuan Sinbiotik masih ditemukan udang dengan tingkat infeksi ringan. Persentase udang dengan tingkat infeksi ringan dan sedang semakin tinggi seiring peningkatan dosis prebiotik. Udang perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% menunjukkan tingkat infeksi lebih ringan dan berbeda nyata dengan kontrol (+) (Gambar 14 dan Lampiran 12). Hal ini menandakan peningkatan imunitas pada udang yang diberi perlakuan sinbiotik, yang menyebabkan
26 penurunan tingkat infeksi dari INMV. Pengamatan gejala klinis hanya dilakukan pada hari ke 10 setelah infeksi, sehingga tidak diketahui apakah udang yang diamati sedang dalam tahap penyembuhan ataukah akan menuju ke stadia yang lebih lanjut. Perlakuan Kontrol (-) pada penelitian ini menunjukkan infeksi dari IMNV sampai tingkat sedang. Diduga udang yang digunakan telah membawa virus IMN namun dalam jumlah yang sangat kecil sehingga tidak terdeteksi dengan PCR. Dugaan lain, udang tertular selama pemeliharaan setelah infeksi IMNV melalui air dan peralatan.
100%
c
a
ab
ab
b
7
90% 80%
27
58
Tingkat infeksi
70% 60%
82
49
73
50% 20
40% 30%
67
20
2
7
20
4
20% 10% 0% Kontrol (-)
7 7 4
13 7 2
13 2
9
Kontrol (+)
Pro+Pre 1%
Pro+Pre 2%
Pro+Pre 3%
Perlakuan
Gambar 14 Tingkat infeksi udang vaname berbagai perlakuan sinbiotik pada hari ke 10 setelah infeksi IMNV (n=15). Simbol menunjukkan tingkat infeksi: mati ( ), sangat berat ( ), berat ( ), sedang ( ), ringan ( ). Angka pada kolom merupakan nilai rataan dan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (Tukey; α=0,05) 4.4.2.2 Total Hemosit (Total Haemocyte Count [THC]) dan Aktivitas Phenoloxidase (PO) Mekanisme pertahanan pada krustasea kurang berkembang dibandingkan dengan ikan dan vertebrata lainnya, dan hanya bergantung pada mekanisme pertahanan non spesifik. Hemosit memainkan peranan penting pada pertahanan tubuh krustasea yaitu dapat menghilangkan partikel asing yang masuk ke tubuh udang melalui fagositosis, enkapsulasi dan pembentukan nodul, serta produksi komponen-komponen humoral yang disimpan dalam granula hemosit diantaranya protein antikoagulan, aglutinin, enzim PO, peptida antimikrobial, dan inhibitor protease (Jiravanichpaisal et al. 2006). Pemberian sinbiotik pada perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% selama 30 hari mampu meningkatkan nilai THC udang vaname sampai dengan dua kali nilai THC udang Kontrol pada awal pengamatan. Jumlah hemosit yang tinggi dalam darah udang ini sangat menguntungkan dalam mekanisme pertahanan tubuh ketika udang terinfeksi IMNV, sehingga dapat
27 meminimalisir kerusakan akibat infeksi (menurunkan tingkat infeksi) dan meningkatkan sintasan. Selama periode pengamatan parameter imunitas, nilai THC udang perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% memperlihatkan pola yang berbeda dengan perlakuan lainnya. Setelah infeksi IMNV, nilai THC udang perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3%, terus mengalami penurunan sampai dengan akhir pengamatan (hari ke 10). Sebaliknya nilai THC perlakuan Pro+pre 1% dan Kontrol (+) menunjukkan peningkatan pada hari ke lima dan menurun kembali di akhir pengamatan (Gambar 15). Penurunan nilai THC udang perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% mengindikasikan reaksi cepat terhadap infeksi yang diberikan. Penurunan jumlah hemosit ini merupakan efek dari berjalannya mekanisme pertahanan tubuh seperti infiltrasi hemosit pada jaringan yang terinfeksi, kematian sel hemosit akibat apoptosis (Costa et al. 2009), aktivitas fagositosis, enkapsulasi, pembentukan nodul, serta terjadinya proses degranulasi untuk aktivasi sistem prophenoloxidase (proPO) dan mekanisme pertahanan tubuh lainnya (Smith et al. 2003).
Total hemosit (x106 ml-1)
12.00
a
10.00
a
a a
a a
8.00
a
6.00 4.00
a
a
a
a 6.4
2.00
6.5
8.5
a
a
6.4
4.6 3.0
3.0
3.1
a
a
4.3
4.3 3.2
2.2
3.1
2.7
3.3
0.00 0
5
10
Waktu pengambilan sampel (hari ke)
Gambar 15 Total hemosit udang vaname perlakuan: Kontrol (-) ( ), Kontrol (+)( ), Pro+Pre 1% ( ), Pro+Pre 2% ( ), Pro+Pre 3% ( ) pada hari ke-nol sebelum infeksi, hari ke 5 dan ke 10 setelah infeksi IMNV (n=3). Angka pada kolom merupakan nilai rataan dan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (Tukey; α=0,05)
Tingginya proses degranulasi dapat dilihat dari meningkatnya aktivitas PO. Aktivitas PO digunakan untuk mengukur aktivasi sistem proPO. Parameter imunitas ini adalah bagian dominan pada sistem pertahanan krustasea yang berperan dalam perilaku sel, pelepasan dan atau aktivasi molekul-molekul fungsional penting serta netralisasi agen penginfeksi (Smith et al. 2003). Infeksi IMNV menyebabkan peningkatan aktivitas PO udang vaname sampai akhir pengamatan. Peningkatan aktivitas PO juga terjadi pada P. vannamei yang diinfeksi Taura Syndrome Virus (Song et al. 2003). Peningkatan aktivitas PO di hari ke lima
28 setelah infeksi pada udang yang diberi perlakuan sinbiotik lebih tinggi dibandingkan dengan Kontrol (+) (Gambar 16). Aktivitas PO tertinggi terjadi pada perlakuan Pro+Pre 3% sebesar 0,61 PO 100µl-1 (hari ke 10 pengamatan). Pola peningkatan aktivitas PO yang tajam pada udang perlakuan sinbiotik, sudah terjadi pada hari ke 5 dan semakin meningkat pada pengamatan hari ke 10. Sebaliknya pada udang perlakuan Kontrol (+) pola peningkatan tajam baru mulai terjadi setelah hari ke lima, menandakan respons imunitas yang lebih lambat. Respons imunitas yang lambat akan merugikan karena dapat memberikan kesempatan pada virus untuk memperbanyak diri dan menimbulkan kerusakan parah pada udang sehingga tidak memungkinkan lagi untuk memulihkan diri, yang akan berujung pada kematian udang.
1.00 a
0.90 a
Aktivitas PO 100 ɥl-1
0.80
a
0.70 0.60 0.50 0.40
0.30
a a
a
a
a a
0.20
0.10
a a
a
a
0.28 0.26 0.22 0.22 0.24
a
0.29
a 0.38 0.36
0.61 0.50 0.48 0.51
0.46 0.25
0.18
0.00 0
5
10
Waktu pengambilan sampel (hari ke)
Gambar 16
Aktivitas PO udang vaname perlakuan: Kontrol (-) ( ), Kontrol (+)( ), Pro+Pre 1% ( ), Pro+Pre 2% ( ), Pro+Pre 3% ( ) pada hari ke 0 sebelum infeksi, hari ke 5 dan ke 10 setelah infeksi IMNV (n=3). Angka pada kolom merupakan nilai rataan dan huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (Tukey; α=0,05)
Hasil pengukuran parameter imunitas menunjukkan bahwa nilai THC dan aktivitas PO udang uji sangat bervariasi, bahkan pada udang dengan perlakuan dan ulangan yang sama. Hal ini dikarenakan setiap individu udang berada pada tingkat infeksi yang berbeda-beda (ditunjukkan dengan beragamnya gejala klinis yang muncul), sehingga menyebabkan perbedaan nilai parameter imunitasnya. Nilai dari parameter imunitas sangat tergantung pada kondisi fisiologis individu (Maggioni et al. 2004; Le Moullac et al. 1997) atau perubahan lingkungan (Le Moullac dan Haffner 2000). Keragaman nilai THC dan aktivitas PO individu udang ini menyebabkan standar deviasi antar perlakuan sangat tinggi sehingga hasil analisis statistik menunjukkan tidak berbeda nyata walaupun secara nominal memperlihatkan perbedaan yang sangat signifikan. Nilai parameter imunitas yang
29 bervariasi ini juga dilaporkan oleh Costa et al. (2009) setelah menganalisis imunitas udang vaname di salah satu tambak di utara timur Brazil yang secara alami terinfeksi IMNV, menunjukkan nilai standar deviasi yang tinggi antar perlakuannya. Mekanisme probiotik dalam merangsang respons imunitas di usus pada ikan dan udang belum banyak dipelajari, sebaliknya interaksi antara nonkomensal dan probiotik dengan sistem imunitas usus telah terdokumentasi dengan baik pada hewan tingkat lebih tinggi (Nayak 2010). Pada mamalia, probiotik (bagian atau komponennya) dapat secara langsung meningkatkan imunitas dengan cara melewati sel epitel usus dan berinteraksi langsung dengan limfosit yang kemudian mengaktivasi respons imunitas (imunostimulasi). Secara tidak langsung, melalui kontak antara probiotik dengan sel epitel usus (gut associated lymphoid tissue [GALT]) yang akan mengakifkan sitokin sehingga memungkinkan terjadinya komunikasi antar sel untuk mengaktifkan respons imunitas (imunoregulator). Pemberian probiotik mempengaruhi fungsi limfosit (proliferasi, sekresi sitokin, dan sitotoksisitas seluler), pertahanan nonspesifik (fagositosis, produksi radikal oksidatif, sekresi enzim lisosom), fungsi sitosidal alami dari makrofaga dan sel-sel pembunuh, serta respons antibodi (total level antibodi dan respons spesifik antigen) (Gill dan Cross 2002). Menurut Nayak (2010), berdasarkan sedikit penelitian yang terkait dengan sistem imunitas di usus, menunjukkan bahwa dalam usus ikan ditemukan banyak menyebar sel limfoid, makrofaga, granulosit dan IgM yang merupakan komponen imunitas. Pada ikan mas, segmen usus kedua sangat kuat menyerap antigen dan kemudian diproses oleh makrofaga intraepithelial. Probiotik mampu menstimulasi piscine gut immune system yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel Ig+ dan granulosit asidofilik (AGs). Probiotik juga dapat mengarah pada peningkatan jumlah sel-T pada GALT di ikan. Penelitian lain menunjukkan adanya peningkatan gut mucosal lysozyme oleh C. maltaromaticum dan C. divergens serta aktivitas fagositik dari mucosal leucocyte oleh probiotik kelompok bakteri asam laktat seperti L. lasctis ssp. lactis, L. mesenteroides dan L. sakei pada ikan seperti O. mykiss. 4.4.3 Performa Pertumbuhan Laju pertumbuhan spesifik udang vaname setelah pemberian pakan sinbiotik selama 30 hari menunjukkan tidak ada perbedaan antar perlakuan dengan kisaran 5,51-5,87% hari-1. Walaupun demikian, efisiensi pakan udang uji semakin meningkat seiring penambahan dosis prebiotik. Efisiensi pakan udang perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% lebih tinggi dan berbeda dibandingkan Kontrol. Pada jumlah konsumsi pakan yang relatif sama, penambahan bobot udang perlakuan Pro+Pre 3% lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya (Tabel 7). Peningkatan efisiensi pakan ini dikarenakan meningkatnya aktivitas enzim-enzim pencernaan (amilase dan protease) sehingga memperbaki kecernaan pakan. Pemberian sinbiotik meningkatkan aktivitas enzim protease dan amilase udang dibandingkan dengan Kontrol (Gambar 17). Peningkatan aktivitas enzim paling tinggi terjadi pada udang perlakuan Pro+Pre 3% sebesar 1,85 unit protease menit-1 ml-1 dan 7,19 unit amilase menit-1 ml-1. Nilai aktivitas enzim tersebut masing-masing mencapai 1,7 kali lebih tinggi dibandingkan Kontrol. Protein merupakan komponen utama dalam pakan krustasea, oleh karena itu enzim protease memegang peran penting dalam proses hidrolisis dan asimilasi (Muhlia-Almazan dan Garcia-Carreno 2003). Pemberian
30 bakteri SKT-b melalui pakan pada udang vaname diduga berperan besar dalam peningkatan aktivitas enzim pencernaannya. Hasil uji karakterisasi sifat fisiologi dan biokimia menunjukkan bahwa bakteri probiotik SKT-b bersifat protease + dan amilase + (Tabel 3) (Widanarni et al. 2003). Nilai retensi nutrien udang, baik retensi protein maupun lemak, setelah diberi perlakuan pakan selama 30 hari memperlihatkan perbedaan antar perlakuan (Tabel 7). Retensi protein paling tinggi dicapai oleh udang pada perlakuan Pro+Pre 2% sebesar 46,18%. Hasil perhitungan retensi lemak menunjukkan perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% lebih tinggi dibandingkan Kontrol. Retensi lemak tertinggi dicapai oleh udang perlakuan Pro+Pre 3% sebesar 17,49%. Tingginya nilai retensi protein dan lemak udang vaname pada kedua perlakuan tersebut mengindikasikan penyerapan nutrien yang baik. Beberapa penelitian menemukan bahwa pemberian pakan prebiotik mampu meningkatkan panjang mikrofili usus (Yilmaz et al. 2007; Salze et al. 2008; Zhou et al. 2010). Panjang mikrofili usus berkorelasi positif dengan penyerapan nutrien sehingga memperbaiki performa pertumbuhan dan pemanfaatan pakan. Secara umum, performa pertumbuhan udang mengalami perbaikan setelah diberi pakan perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% selama 30 hari. Studi mengenai efek pemberian sinbiotik terhadap pertumbuhan pada hewan akuatik masih sangat terbatas. Rodriguez-Estrada et al. (2009) menyebutkan performa pertumbuhan (pertambahan bobot, SGR dan FCR) ikan salmon meningkat dibandingkan kontrol pada perlakuan pemberian sinbiotik (Enterococcus faecalis dan mannanoligosaccharide [MOS]) dan pemberian prebiotik (MOS), tetapi tidak pada perlakuan pemberian probiotik (E. faecalis). Penelitian mengenai efek probiotik dan prebiotik secara terpisah terhadap pertumbuhan berbagai jenis hewan akuatik telah banyak dilakukan dengan hasil yang beragam. Beberapa faktor yang mempengaruhi keragaman tersebut diantaranya dipengaruhi oleh jenis, dosis, dan lama pemberian bahan serta hewan uji (spesies, umur, kepadatan) (Helland et al. 2008). Pemberian pakan perlakuan selama 30 hari pada penelitian ini diduga belum optimal untuk melihat efektifitas perlakuan sinbiotik terhadap performa pertumbuhan, terutama laju pertumbuhan udang (SGR). Pemberian probiotik komersial dosis 20 g kg pakan-1 selama tujuh minggu pada hybrid striped bass secara signifikan meningkatkan efisiensi pakan tetapi tidak pertumbuhannya (Li dan Gatlin 2004). Helland et al. (2008) mengevaluasi efek pemberian berbagai jenis prebiotik (MOS, fructooligosaccharide [FOS] dan galactooligosaccharide [GOS]) pada kelompok ikan salmon (bobot rata-rata 200 g). Pengukuran performa pertumbuhan dilakukan setiap bulan selama empat bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa performa pertumbuhan tidak berbeda antar perlakuan pada setiap bulannya, tetapi secara keseluruhan selama empat bulan menunjukkan hasil yang signifikan. Merrifield et al. (2010) menyebutkan bahwa lama waktu pemberian pakan probiotik pada berbagai penelitian yang telah dilakukan paling cepat enam hari dan paling lama lima bulan. Kepadatan udang sebesar 0,74 ekor l-1 (40 ekor dalam 54 liter; PL 55), diduga turut mempengaruhi laju pertumbuhan udang. Pada udang yang bersifat kanibal, kepadatan tinggi juga sangat menentukan nilai sintasan. Tabel 7 menunjukkan nilai sintasan udang pada semua perlakuan relatif rendah yaitu berkisar antara 67–74%. Perlakuan Kontrol menunjukkan nilai sintasan paling kecil dibandingkan perlakuan
31 pakan yang lain. Meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, sintasan udang yang diberi pakan perlakuan Sinbiotik lebih tinggi dibandingkan dengan Kontrol. Tabel 7 Penambahan bobot tubuh (∆ biomasa), jumlah konsumsi pakan (JKP), laju pertumbuhan (SGR), efisiensi pakan (EP), retensi nutrien dan sintasan udang vaname yang diberi empat jenis pakan perlakuan (rerata±simpangan baku, n=40) selama 30 hari. Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata (Tukey; α=0,05) Parameter
Kontrol
Pro+Pre 1%
Pro+Pre 2%
Pro+Pre 3%
Biomasa awal (g) Biomasa akhir (g) ∆ Biomasa (g) JKP (g) SGR (% hari-1) EP (%) Retensi protein (%) Retensi lemak (%) Sintasan (%)
26,67±1,15 140,51±1,39 113,85±1,02a 121,16±1,14a 5,51±0,12a 93,97±0,77a 42,55±0,41b 13,07±0,10b 67,50±6,61a
23,33±3,21 135,93±2,66 112,60±0,98a 119,46±2,04a 5,87±0,39a 94,28±1,88a 37,80±0,66a 11,76±0,32a 70,83±6,29a
25,33±1,53 139,77±1,66 114,44±0,43a 116,80±1,88a 5,67±0,16a 98,00±1,82b 46,18±0,94c 15,00±0,27c 74,17±12,58a
26,67±1,53 146,21±0,45 119,54±1,90b 119,44±2,25a 5,65±0,21a 100,09±0,80b 43,91±1,18b 17,49±0,45d 71,67±2,89a
8.00
7.19
7.00
Unit menit-1 ml-1
6.00 4.86
5.00
4.16
4.47
4.00 3.00 2.00
1.85 1.10 1.19 1.28
1.00 0.00 Protease
Amilase Enzim Pencernaan
Gambar 17 Aktifitas enzim pencernaan (protease dan amilase) udang vaname (n=5) setelah 30 hari pemberian pakan perlakuan: Kontrol ( ), Pro+Pre 1% ( ), Pro+Pre 2% ( ), Pro+Pre 3% ( )
32 4.4.4 Kualitas Air Media Pemeliharaan Kisaran kualitas air media pemeliharaan udang selama percobaan berlangsung (30 hari pemberian pakan perlakuan) disajikan pada Tabel 8 dan Lampiran 13. Pada semua perlakuan, salinitas media terus mengalami peningkatan selama masa pemeliharaan udang mencapai 35o/oo, sebaliknya oksigen terlarut terus mengalami penurunan mencapai nilai terendah 3,5 mg l-1. Hal ini berbeda dengan parameter suhu dan pH yang relatif stabil pada kisaran 28–29 oC dan 7,0-7,9 serta nilai TAN di bawah 0,14 mg l-1. Pada umumnya kualitas air media pemeliharaan udang pada semua perlakuan berada pada kisaran standar nilai menurut SNI 0127246-2006, kecuali salinitas dan pH pada akhir perlakuan. Salinitas media pemeliharaan sebesar 35o/oo berada di atas kisaran nilai yang dianjurkan. Meskipun demikian, udang vaname mampu hidup pada kisaran salinitas yang luas yaitu 050o/oo. Udang ini dapat tumbuh optimal dan normal pada salinitas di atas 40o/oo, namun dengan didukung parameter kualitas air yang lain seperti kandungan bahan organik (TOM) < 150 ppm, suhu 28-32 oC, fluktuasi pH < 0,4 dan oksigen terlarut lebih dari 3,5 mg l-1 (Adiwidjaya 2008). Nilai pH yang terlalu rendah dapat menyebabkan stress, pelunakan cangkang dan menurunkan sintasan. Selain itu, penurunan pH menyebabkan meningkatnya toksisitas nitrit dan hidrogen sulfida (H2S). Sebaliknya, peningkatan nilai pH akan meningkatkan persentase amonia tidak terionisasi (NH3) yang merupakan bentuk toksik dari amonia. Pada pH 6,45 tidak menyebabkan kematian Penaeus monodon, namun menurunkan pertumbuhan hingga 40%. Kematian P. Monodon terjadi pada pH di bawah 6,0 (Chien 1992). Hirono (1992) melaporkan bahwa kisaran nilai pH pada budidaya L. vannamei di Amerika Tengah 7,0-8,0; Ekuador 7,0-8,5; Polinesia 7,0-8,0; dan United States 8,09,0; dengan kisaran salinitas di Amerika Tengah 5-25 o/oo, Ekuador 0-25 o/oo, Polinesia 8-35 o/oo, dan United States < 40. Nilai salinitas 35 o/oo dan pH 7,0 pada media pemeliharaan udang di akhir perlakuan, diduga tidak mempengaruhi sintasan maupun pertumbuhan udang uji. Tabel 8 Kisaran kualitas air media pemeliharaan udang vaname selama 30 hari pemberian pakan perlakuan Parameter Suhu (oC) Salinitas (o/oo) DO (mg l-1) TAN (mg l-1) pH
Kontrol 28 - 29 32 - 35 3,5 – 7,5 < 0,14 7 - 7,9
Perlakuan Pro+Pre Pro+Pre 1% 2% 29 28 – 28,5 32 - 35 31 - 34 3,9 – 7,9 4 – 7,2 < 0,14 < 0,14 7 - 7,8 7 - 7,9
Pro+Pre 3% 28,5 - 29 32 - 35 3,5 – 7,5 < 0,14 7 - 7,8
SNI 012-72462006 28,5 – 31,5 15 – 25 > 3,5 < 0,01 7,5 – 8,5
33
5 SIMPULAN
Oligosakarida hasil ekstraksi ubi jalar (Ipomoea batatas) berumbi putih dapat berperan sebagai prebiotik yang menunjang pertumbuhan bakteri probiotik SKT-b dan meningkatkan populasi bakteri di usus udang vaname (Litopenaeus vannamei). Berdasarkan hasil uji in vitro, kombinasi prebiotik dan probiotik yang optimal didapatkan pada dosis prebiotik 3% dan probiotik SKT-b 1010 cfu ml-1 yang menunjukkan pertumbuhan bakteri probiotik paling tinggi. Aplikasi pemberian sinbiotik mampu meningkatkan resistensi udang vaname terhadap infeksi IMNV dan memperbaiki performa pertumbuhannya. Peningkatan resistensi ini ditandai dengan meningkatnya sintasan udang dan menurunnya tingkat infeksi dari IMNV. Perbaikan performa pertumbuhan terlihat dari meningkatnya beberapa parameter pertumbuhan seperti penambahan bobot tubuh, efisiensi pakan, aktivitas enzim pencernaan, serta retensi protein dan lemak tubuh udang uji. Secara umum, perlakuan Pro+Pre 2% dan Pro+Pre 3% menunjukkan respons yang lebih baik terhadap peningkatan resistensi dan performa pertumbuhan udang vaname dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
34
DAFTAR PUSTAKA
Adiwidjaya D, Supito, Sumantri I. 2008. Penerapan teknologi budidaya udang vaname L. vannamei semiintensif pada lokasi tambak salinitas tinggi. Media Budidaya Air Payau Perekayasaan 7. Andrade TPD, Srisuvan T, Tang KFJ, Lightner DV. 2007. Real time reverse transcription polymerase chain reaction assay using Taqman probe for detection and quantification of infectious myonecrosis virus (IMNV). Aquaculture 264: 2-15. Austin B. 2006. The bacterial microflora of fish, revised. Sci World J 6: 931–945. Bergmeyer HU, Grassi. 1983. Methods of Enzymatic Analysis. Vol ke-2. Weinheim: Verlag Chemie. Bernfeld P. 1955. Methods in Enzymology. New York: Academic Pr. Blaxhall, Daishley KW. 1973. Routine haematological methods for use with fish blood. J Fish Biol 5: 577-581. Cappuccino JG, Sherman N. 2008. Microbiology: A Laboratory Manual. USA: Pearson Benjamin Cummings. Chien YH. 1992. Water quality requirements and management for marine shrimp culture. Di dalam: Wyban J, editor. Proceedings of the Special Session on Shrimp Farming; Baton Rouge, LA. USA: World Aquaculture Society. hlm 144-156. Costa AM, Buglione CC, Bezerra FL, Martins PCC, Barracco MA. 2009. Immune assessement of farm-reared Penaeus vannamei shrimp naturally infected by IMNV in NE Brazil. Aquaculture 291: 141-146. Escobedo CM, Bonilla, Audoorn L, Wille M, Alday V, Sanz, Sorgeloos P, Pensaert MB, Nauwynck HJ. 2006. Standardized white spot syndrome virus (WSSV) inoculation procedures for intramuscular or oral routes. Dis Aquat Org 68: 181-188. [FAO/WHO] Food and Agriculture Organization of The United Nations dan World Health Organization. 2001. Health and nutritional properties of probiotics in food including powder milk with live lactic acid bacteria [internet]. [diacu 2012 Agustus 15]. Tersedia dari: http://www.who.int/foodsafety/ publications/fs_management/en/probiotics.pdf. Francis G, Harinder P, Makkar S, Becker K. 2001. Antinutritional factors present in plant-derived alternate fish feed ingredients and their effects in fish. Aquaculture 199: 197–227. Genc MA, Aktas M, Genc E, Yilmaz E. 2007. Effects of dietary mannan oligosaccharide on growth, body composition and hepatopancreas histology of Penaeus semisulcatus (de Haan 1844). Aquac Nut 13: 156-161. Gill HS, Cross ML. 2002. Probiotics and immune function. Di dalam: Calder PC, Field CJ, Gill HS, editor. Nutrition and Immune Function. UK: CABI Publishing.
35 Giulianini PG, Bierti M, Lorenzon S, Battistella S, Ferrero EA. 2007. Ultrastructural and functional characterization of circulating hemocytes from the freshwater crayfish Astacus leptodactylus: Cell types and their role after in vivo artificial non-self challenge. Micron 38: 49-57. Haryati T, Supriyati. 2010. Pemanfaatan senyawa oligosakarida dari bungkil kedelai dan ubi jalar pada ransum ayam pedaging. JITV 15 (4): 253-260. Haryati T. 2011. Probiotik dan prebiotik sebagai pakan imbuhan nonruminansia. Wartazoa 21 (3). Hasan A. 2011. Ko-infeksi infectious myonecrosis virus (IMNV) dan Vibrio harveyi pada udang vaname (Litopenaeus vannamei) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Helland BG, Helland SJ, Gatlin DM. 2008. The effect of dietary supplementation with mannanoligosaccharide, fructooligosaccharide or galactooligosaccharide on the growth and feed utilization of Atlantic salmon (Salmo salar). Aquaculture 283: 163-167. Hirono Y. 1992. Current practices of water quality management in shrimp farming and their limitations. Di dalam: Wyban J, editor. Proceedings of the Special Session on Shrimp Farming; Baton Rouge, LA. USA: World Aquaculture Society. hlm 157-165. Holmblad T, Soderhall K. 1999. Cell adhesion molecules and antioxidative enzymes in a crustaceans, possible role in immunity. Aquaculture 172: 111123. Hood MA, Meyers SP. 1974. Microbial aspects of penaeid shrimp digestion. Proceedings of the 27th Annual Session; Miami Beach, FL. USA: Gulf and Caribbean Fisheries Institute. hlm 81-91. Huisman EA. 1987. Principles of Fish Production. Waganigen: Departemen of Fish Culture and Fisheries, Waganigen. Jiravanichpaisal P, Lee BL, Soderhall K. 2006. Cell-mediated immunity in arthropods: hematopoiesis, coagulation, melanization and opsonization. Immunobiology 211: 213-236. Le Moullac G, Haffner P. 2000. Environmental factors affecting immune responses in crustacea. Aquaculture 191: 121–131. Le Moullac G, Le Groumellec M, Ansquer D, Frosissard S, Levy P. 1997. Haematological and phenoloxidase activity changes in the shrimp Penaeus stylirostris in relation with the moult cycle: protection against vibriosis. Fish Shellfish Immunol 7: 227–234. Li J, Beiping T, Kangsen M. 2009. Dietary probiotic Bacillus OJ and isomaltooligosaccharides influence the intestine microbial populations, immune responses and resistance to white spot syndrome virus in shrimp (Litopenaeus vannamei). Aquaculture 291: 35–40. Li K, Zheng TL, Tian Y, Yuan JJ. 2007. Bacterial community structure in intestine of the white shrimp, Litopenaeus vannamei [abstrak]. Wei Sheng Wu Xue Bao 47 (4): 649-653. Li P, Gatlin DM. 2004. Dietary brewers yeast and the prebiotic GroBiotickTM AE influence growth performance, immune responses and resistance of hybrid
36 striped bass (Morone chrysops x M. saxatilis) to Streptococcus iniae infection. Aquaculture 231: 445-456. Lightner DV, Pantoja CR, Poulos BT, Tang KFJ, Redman RM, Andrade TP, Bonami JR. 2004. Infectious myonecrosis: new disease in Pacific white shrimp. Glob Aquac Advocate 7: 85. Lisal JS. 2005. Konsep probiotik dan prebiotik untuk modulasi mikrobiota usus besar. Medic Nusant 26: Oktober-Desember. Liu CH, Chen JC. 2004. Effect of ammonia on the immune response of white shrimp Litopenaeus vannamei and its susceptibility to Vibrio alginolyticus. Fish Shellfish Immunol 16: 321-334. Maggioni DS, Andreatta ER, Hermes EM, Barracco MA. 2004. Evaluation of some hemato-immunological parameters in female shrimp Litopenaeus vannamei submitted to unilateral eyestalk ablation in association with a diet supplemented with superdoses of ascorbic acid as a form of immunostimulation. Aquaculture 241: 501–515. Marlis A. 2008. Isolasi oligosakarida ubi jalar (Ipomoea batatas L) dan pengaruh pengolahan terhadap potensi prebiotiknya [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mathious, Getesoupe, Hervi M, Metailler R, Ollevier. 2006. Effect of dietary inulin and oligosaccharides as prebiotics for weaning turbot, Psetta maxima (Linnaeu, C. 1758). Aquac Int 14 (3): 219-229. Merrifield DL, Dimitroglou A, Foey A, Davies SJ, Baker RTM, Bogwald J, Castex M, Ringo E. 2010. The current status and future focus of probiotic applications for salmonids. Aquaculture 302: 1-18. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Depdikbud, Dirjen Dikti-PAU. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Muhlia-Almazan A, Garcia-Carreno FL. 2003. Digestion physiology and proteolytic enzymes of crustacean species of the Mexican Pacific Ocean. Di dalam: Hendrickx ME, editor. Contributions to the Study of East Pacific Crustacean 2. Instituto de Ciencias del Mar y Limnologia, UNAM. Munoz M, Cedeno R, Rodriguez J, van der Knaap WPW, Mialhe E, Bachere E. 2000. Measurement of reactive oxygen intermediate production in haemocytes of the penaeid shrimp, Penaeus vannamei. Aquaculture 191: 89107. Mussatto SI, Mancilha IM. 2007. Non-digestible oligosaccharides: a review. Carbohydr Polym 68: 587–597. Nayak SK. 2010. Probiotics and immunity: a fish perspective. Fish Shellfish Immunol 29: 2-14. North Carolina Sweet Potato Commission. 2013. Sweet potato varieties [internet]. [diacu 2013 Februari 10]. Tersedia dari: http://www.ncsweetpotatoes.com/ sweet-potatoes-101/sweet-potato-varieties. Pangastuti A, Suwanto A, Lestari Y, Suhartono MT. 2010. Bacterial communities associated with white shrimp (Litopenaeus vannamei) larvae at early developmental stages. Biodiversitas 11 (2): 65-68.
37 Poulos BT, Lightner DV. 2006. Detection of infectious myonecrosis virus (IMNV) of penaeid shrimp by reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RTPCR). Dis Aquat Org 73: 69-72. Poulos BT, Tang KFJ, Pantoja CR, Bonami JR, Lightner DV. 2006. Purification and characterization of infectious myonecrosis virus of penaeid shrimp. Gener Virol 87: 987-996. Putra AN. 2010. Kajian probiotik, prebiotik dan sinbiotik untuk meningkatkan kinerja pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ringo E, Olsen RE, Gifstad TO, Dalmo RA, Amlund H, Hemre GI, Bakke AM. 2010. Prebiotics in aquaculture: a review. Aquac Nut 16: 117-136. Roch P. 1999. Defense mechanisms and disease prevention in farmed marine invertebrates. Aquaculture 172: 125-145. Rodriguez J, Le Moullac G. 2000. State of the art of immunological tools and health control of penaeid shrimp. Aquaculture 191: 109-119. Rodriguez-Estrada U, Satoh S, Haga Y, Fushimi H, Sweetman J. 2009. Effect of single and combined supplementation of Enterococcus faecalis, mannan oligosaccharide and polyhydrobutyric acid on growth performance and immune response of rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Aquac sci 57: 609617. Roxas MJT, Fukuba H, Mendoza EMT. 1985. Short report: the absence of oligosaccharides in storage roots of sweet potato (Ipomoea batatas L.). Philipp J Crop Sci 10 (3): 161-163. Salze G, Mclean E, Schwarz MH, Craig SR. 2008. Dietary mannan oligosaccharide enhances salinity tolerance and gut development of larval cobia. Aquaculture 274: 148-152. Senapin S, Phewsaiya K, Briggs M, Flegel TW. 2007. Outbreaks of infectious myonecrosis virus (IMNV) in Indonesia confirmed by genome sequencing and use of an alternative RT-PCR detection method. Aquaculture 266: 32-38. Smith VJ, Brown JH, Hauton C. 2003. Immunostimulation in crustaceans: does it really protect against infection?. Fish Shellfish immunol 15: 71-90. Soderhall K, Cerenius L. 1992. Crustacean immunity. Annual Ref Fish Dis: 3-23. Song YL, Yu CI, Lien TW, Huang CC, Lin MN. 2003. Haemolymph parameters of Pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei) infected with taura syndrome virus. Fish Shellfish Immunol 14: 317-331. Subandiyono, Hastuti S. 2009. Nutrisi Ikan. Semarang: Universitas Diponegoro. Syahailatua DY. 2009. Seleksi bakteri probiotik sebagai stimulator sistem imun pada udang vaname Litopenaeus vannamei [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Takeuchi. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutrients. Di dalam: Watanabe, editor. Fish Nutrition and Mariculture; Kanagawa International Fisheries Training. Japan: Japan International Cooperation Agency (JICA). Tang KFJ, Ochoa WF, Sinkovits RS, Poulos BT, Ghabrial SA, Lightner DV, Baker TS, Nibert ML. 2008. Infectious myonecrosis virus has a totivirus-like, 120-
38 subunit capsid, but with fiber complexes at the fivefold axes. PNAS 45 (105): 17527-17531. Tang KFJ. Pantoja CR, Poulos BT, Redman RM, Lightner DV. 2005. In situ hybridization demonstrates that Litopenaeus vanammei, L. stylirostris and Penaeus monodon are susceptible to experimental infection with infectious myonecrosis virus (IMNV). Dis aquat Org 63: 261-265. Taukhid, Nura’ini YL. 2008. Infectious myonecrosis virus (IMNV) in Pasific white shrimp, Litopenaeus vannamei in Indonesia. Indones Aquac 3 (2): 139146. U-taynapun K, Viriyapongsutee B, Intrasungkha N, Supamattaya K. 2007. Bacterial community from gut of white shrimp, Penaeus vannamei, cultured in earthen ponds. Songklanakarin J Sci Technol 2: 247-259. Verschuere L, Rombaut G, Sorgeloos P, Verstraete W. 2000. Probiotic bacteria as biological control agents in Aquaculture. Microbiol Molec Biol 64: 655-671. Weidner D, Rosenberry B. 1992. World shrimp farming. Di dalam: Wyban J, editor. Proceeding of the special season on shrimp farming; Baton Rouge, LA. USA: World Aquaculture Society. Widanarni, Sukenda, Setiawati M. 2008. Bakteri probiotik dalam budidaya udang: seleksi, mekanisme aksi, karakterisasi dan aplikasinya sebagai agen biokontrol. J Ilmu Pertan Indones 13 (2): 80-89. Widanarni, Suwanto A, Sukenda, Lay BW. 2003. Potency of Vibrio isolates for biocontrol of vibriosis in tiger shrimp (Penaeus monodon) larvae. Biotropia 20: 11-23. Wikipedia. 2012. Sweet potato [internet]. [diacu 2012 Agustus 15]. Tersedia dari: http://En.wikipedia.org/wiki/Sweet_potato. Yilmaz E, Genc MA, Genc E. 2007. Effects of dietary mannan oligosaccharides on growth, body composition, intestine and liver histology of rainbow trout Oncorhyncus mykiss. Aquaculture 59: 182-188. Zhang Q, Ma H, Mai K, Zhang W, Liufu Z, Xu W. 2010. Interaction of dietary Bacillus subtilis and fructooligosaccharide on growth performance, nonspecific immunity of sea cucumber, Apostichopus japonicas. Fish Shellfish Immunol 29: 204-211. Zhou Q, Buentello JA, Gatlin DM. 2010. Effects of dietary prebiotics on growth performance, immune response and intestinal morphology of red drum (Sciaenops ocellatus). Aquaculture 309: 253-257.
LAMPIRAN
40 Lampiran 1 Metode total plate count
0,1 ml
0,1 ml
0,1 ml
@ 0,9 ml PBS 1:10 Biakan bakteri
1:100
1:1000 1:10000
0,05 ml Setiap pengenceran bakteri disebar dalam media (duplo) Media agar
Inkubasi selama 18 jam dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh (30-300 koloni)
Konsentrasi bakteri = jumlah koloni x (volume inokulan)-1 x pengenceran-1
41 Lampiran 2 Pembuatan media bakteri Seawater Complete (SWC) Media SWC merupakan media umum untuk menumbuhkan bakteri air laut. Komposisi bahan untuk membuat media SWC cair yaitu bacto peptone 5 g, yeast extract 1 g, glycerol 3 ml, air laut 750 ml dan akuades 250 ml. Media SWC agar dibuat dengan komposisi yang sama ditambah bacto agar sebanyak 15-20 g. Media SWC dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan tersebut, selanjutnya dipanaskan di atas hot plate sampai homogen (hampir mendidih) sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Media SWC disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu o 121 C dan tekanan 1 atm selama 15-20 menit. Setelah hangat kuku, media SWC agar dituangkan ke dalam cawan petri (± 15 ml) secara aseptik dan dibiarkan sampai membeku.
Thiosulfate Citrate Bilesalt Sucrose (TCBS) Agar Media TCBS merupakan media selektif untuk menumbuhkan bakteri Vibrio. Media TCBS agar dibuat dengan melarutkan bubuk media TCBS sebayak 98 g ke dalam 1.000 ml akuades yang telah disterilkan. Larutan tersebut selanjutnya dipanaskan di atas hot plate sampai homogen (hampir mendidih) sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Setelah hangat kuku, media TCBS dituangkan ke dalam cawan petri (± 15 ml) secara aseptik dan dibiarkan sampai membeku.
Phosfat Buffer Saline (PBS) Media PBS dibuat dengan mencampurkan NaCl 0,8 g; KH2PO4 0,2 g; NaHPO4.2H2O 1,5 g; KCl 0,2 g dan akuades 1.000 ml. Media dipanaskan di atas hot plate sampai larut sempurna sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. o Media SWC disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121 C dan tekanan 1 atm selama 15-20 menit.
42 Lampiran 3 Sistem resirkulasi pada wadah perlakuan
1 1 1
2
a 11 3
10
9 4
8 7 6
b
a. b.
Keterangan gambar : Akuarium perlakuan Sistem resirkulasi air (satu perlakuan dengan tiga ulangan)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Shelter Anco Pipa saluran air hasil treatment Ember filter (pasir + karang + busa) Pompa air Bioball Wadah treatment air Talang saluran air kotor Outlet air Akuarium Inlet air
5
43 Lampiran 4 Ekstraksi IMNV dari tubuh udang yang terinfeksi Udang yang positif terinfeksi IMNV dibersihkan dan diambil bagian dagingnya. Daging udang dicacah sampai halus kemudian ditambahkan larutan PBS dengan perbandingan 1:10 w/v dan disentrifuse dengan kecepatan 6.500 rpm pada suhu 4 oC selama 20 menit. Supernatan diambil dan disentrifuse kembali dengan kecepatan 13.000 rpm pada suhu 4 oC selama 20 menit. Selanjutnya supernatan disaring dengan filter mess size 0,45 µm. Ekstrak virus hasil filtrasi kemudian disimpan pada suhu -70 oC sampai dengan digunakan.
Lampiran 5 Tahapan dan waktu kegiatan penelitian pada uji in vivo Uji resistensi udang vaname terhadap IMNV Kegiatan
Hari ke -15
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Hari ke 10 15 20
25
30
Persiapan dan adaptasi udang Pemberian sinbiotik Injeksi IMNV Pengamatan sintasan Pengamatan gejala klinis Pengukuran parameter imunitas
Uji performa pertumbuhan. Kegiatan Persiapan dan adaptasi udang Pemberian sinbiotik Penimbangan bobot udang Pengukuran jumlah konsumsi pakan Analisis proksimat Analisis enzim
-15
0
5
44 Lampiran 6 Perhitungan total hemosit dengan menggunakan hemasitometer
1mm mm
Perhitungan sel hemosit pada 25 kotak besar
1 mm
Contoh perhitungan: Jumlah sel hemosit terhitung Volume hemasitometer Pengenceran hemolimph
= 100 sel (dalam 25 kotak besar) = 1 x 1 x 0,1 mm3 = 1 x 10-4 ml = 5 kali
Total hemosit = jumlah sel terhitung x (volume hemasitometer)-1 x pengenceran = 100 x (1 x 10-4)-1 x 5 = 5 x 106 sel ml-1
Lampiran 7 Prosedur analisis proksimat Analisis kadar air Cawan dipanaskan di dalam oven pada suhu 110 oC selama 1 jam kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit sebelum ditimbang (X 1). Sampel ditimbang sebanyak 2-3 g (A) kemudian dimasukkan ke dalam cawan dan dipanaskan di dalam oven pada suhu 110 oC selama 4 jam. Cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit sebelum ditimbang kembali (X 2). Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus berikut: 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 =
(𝑋1 + 𝐴) − 𝑋2 × 100% 𝐴
45 Analisis kadar abu Cawan dipanaskan di dalam oven pada suhu 110 oC selama 1 jam kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit sebelum ditimbang (X 1). Sampel ditimbang sebanyak 2-3 g (A) kemudian dimasukkan ke dalam cawan dan dipanaskan di dalam tanur pada suhu 600 oC sampai bahan menjadi abu. Setelah suhu cawan turun sampai suhu 100-200oC, cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit sebelum ditimbang kembali (X 2). Kadar abu dihitung dengan menggunakan rumus berikut: 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 =
(𝑋2 − 𝑋1 ) × 100% 𝐴
Analisis kadar protein (metode Kjehdall) Pada tahap oksidasi, sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam labu Kjehdall, kemudian ditambahkan 3 g katalis K2SO4+CuSO4.5H2O (9:1) dan 10 ml H2SO4 pekat. Labu dipanaskan pada suhu 400oC (±1 jam) sampai larutan dalam labu berwarna hijau bening. Selanjutnya larutan didinginkan selama ±30 menit dan ditambahkan 25 air destilasi. Setelah itu larutan dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan akuades sampai volume larutan tersebut mencapai 100 ml (A). Pada tahap destilasi, H2SO4 0,05 N sebanyak 10 ml dituang ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 2 tetes indikator methylred (B). Selanjutnya, 10 ml NaOH 30% ditambahkan pada larutan A sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu Kjehdall. Kemudian dilakukan destruksi selama 10 menit mulai saat tetesan pertama pada larutan B. Pada tahap titrasi, hasil destruksi dititrasi dengan NaOH 0,05 N. Blanko dibuat dengan melakukan prosedur yang sama tanpa penambahan sampel. Kadar protein dihitung menggunakan rumus berikut: 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = Ket: Vb Vs A * **
0,0007∗ × (𝑉𝑏 − 𝑉𝑠 ) × 6,25∗∗ × 20 × 100% 𝐴
= Volume titran NaOH 0,05 N untuk blanko (ml) = Volume titran NaOH 0,05 N untuk sampel (ml) = Bobot sampel (g) = Setiap ml titran NaOH (0,05 N) ekivalen dengan 0,0007 g N = Faktor nitrogen
Analisis lipid (metode Folch) Sampel sebanyak 2 g (A) ditambahkan 40 ml larutan kloroform:metanol (2:1). Senjutnya, dihomogenkan selama 5 menit dengan sentrifuse pada 5.000 rpm dan disaring menggunakan vacuum pump. Hasil penyaringan dipindahkan ke dalam labu pemisah yang sebelumnya telah diisi dengan larutan MgCl 2.6H2O sebanyak
46 0,2 kali volume larutan kloroform-metanol yang digunakan. Selanjutnya, larutan kembali disaring dan dibilas dengan menggunakan 10 ml larutan kloroformmetanol. Setelah disaring larutan di dalam labu pemisah ditutup dan diaduk hingga merata selama 1 menit dan didiamkan selama 1 malam hingga terpisah menjadi 2 lapisan. Lapisan bagian bawah diambil dan ditampung dengan labu lain yang telah diketahui bobotnya (C). Selanjutnya larutan dalam labu tersebut diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator hingga larutan dalam labu menguap semua, kemudian labu tersebut ditimbang kembali (B). Kadar lemak dihitung dengan menggunakan rumus berikut: 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑙𝑖𝑝𝑖𝑑 =
(𝐶 − 𝐵 ) × 100% 𝐴
Analisis serat kasar Kertas saring dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110 oC, setelah itu didinginkan dalam deksikator sebelum ditimbang (X1). Sampel A sebanyak 0,5 g ditambahkan 50 ml H2SO4 0,3 N dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml untuk dipanaskan selama 30 menit. Selanjutnya, 25 ml NaOH 1,5 N ditambahkan dan dipanaskan kembali selama 30 menit. Larutan dan bahan yang telah dipanaskan kemudian disaring dalam corong Buchner yang dihubungkan dengan vacuum pump untuk mempercepat proses penyaringan. Larutan dan bahan yang tertinggal dalam corong dibilas secara berturut-turut menggunakan 50 ml air panas; 50 ml H2SO4 0,3 N; 50 ml air panas dan 25 ml aseton. Kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam cawan porselin lalu dikeringkan selama 1 jam dan kemudian didinginkan dalam deksikator sebelum ditimbang (X2). Selanjutnya kertas saring dan isinya tersebut dipanaskan dalam tanur pada suhu 600oC hingga berwarna putih, kemudian didinginkan dalam deksikator dan ditimbang (X3). Kadar serat kasar dihitung dengan menggunakan rumus berikut: 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑠𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑎𝑠𝑎𝑟 =
(𝑋2 − 𝑋1 − 𝑋3 ) × 100% 𝐴
47 Lampiran 8 Prosedur analisis enzim Aktivitas enzim amylase (Bergmeyer dan Grassi 1983) Blanko Perlakuan (ml) Buffer borat (0,01 M; pH 8,0) 1,0 Substrat kasein (20 mmol;, pH 8,0) 1,0 Enzim dalam CaCl2 (2 mM) Tirosin standar Aaquades 0,2 o Inkubasi pada 37 C tepat, 10 menit TCA (0,1 M) 2,0 CaCl2 (2 mM) Enzim dalam CaCl2 (2 mM) 0,2 o Inkubasi pada 37 C tepat, 10 menit Sentrifusi 4.000 rpm selama 10 menit Filtrat 1,5 Na2CO3 (0,4 M) 5,0 Pereaksi folin (1:2) 1,0 o Diamkan selama 20 menit pada 7 C Ukur absorbansi pada 578 nm
Standar (ml) 1,0 1,0 0,2 -
Sampel (ml) 1,0 1,0 0,2 -
2,0 0,2
2,0 0,2 -
1,5 5,0 1,0
1,5 5,0 1,0
Blanko (ml) 0,1 0,1
Standar (ml) 0,1
Sampel (ml) 0,1 0,1
2,0
2,0
2,0
Aktivitas enzim amylase (Bernfeld 1955) Perlakuan Enzim Larutan pati Inkubasi 20 oC, 3 menit Pereaksi DNS
Ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit Ukur absorbansi pada 550 nm
48 Lampiran 9 Hasil analisis proksimat udang vaname dan pakan perlakuan Komposisi biokimia tubuh udang vaname (n=5) sebelum (awal) dan setelah pemberian empat jenis pakan perlakuan selama 30 hari Parameter analisis Kadar abu Protein Lemak Serat kasar BETN
Awal 14,38 56,32 6,97 6,61 15,71
Komposisi tubuh udang perlakuan* Kontrol Pro+Pre 1% Pro+Pre 2% 13,27 13,55 12,18 61,78 58,19 62,34 5,62 5,31 5,89 4,94 3,93 3,41 14,39 19,02 16,19
Pro+Pre 3% 11,67 64,13 6,92 4,22 13,06
*dalam persen bobot kering
Komposisi pakan udang perlakuan Parameter analisis Kadar abu Protein Lemak Serat kasar BETN
Komposisi pakan perlakuan* Pro+Pre 1% Pro+Pre 2% Pro+Pre 3% 10,82 10,76 10,74 39,03 37,89 38,78 14,97 14,41 14,34 3,31 2,61 2,43 30,74 31,49 30,82
Kontrol 10,73 39,42 15,35 3,23 31,34
*dalam persen bobot kering
Lampiran 10 Hasil analisis oligosakarida pada ekstrak ubi jalar dan pakan udang dengan HPLC Ekstrak ubi jalar (50%)* Name Migration Time
Area
Height
PPM
Percentage
Maltoheptaosa
3.925
48.759
4.776
19.311
1,93
Raffinosa Sukrosa
4.246 4.635 5.464 5.991
94.006 668.159 32.775 7.971
7.907 57.490 2.952 701
40.723 264.331
4,07 26,43
*Pengenceran 100 kali
49
Pakan komersil* Name Maltoheptaosa Sukrosa
*Pengenceran 2 kali
Migration Time 3.953 4.646 5.121 5.420 6.117
Area
Height
PPM
3.879.672 1.155.931 156.865 187.711 99.637
339.306 120.275 14.816 19.338 6.033
30.730 9.146
Percentage 3,07 0,90
50 Lampiran 11 Hasil perhitungan pertumbuhan bakteri SKT-b Konsentrasi bakteri SKT-b Cfu ml-1 Log cfu ml-1 4,80 x 105 5,68 6 3,70 x 10 6,57 6 6,92 x 10 6,84 8 8,90 x 10 8,95 9 1,77 x 10 9,25 9 4,90 x 10 9,69 9 8,03 x 10 9,90 10 1,12 x 10 10,05 10 5,90 x 10 10,77 2,80 x 1010 10,45 10 1,77 x 10 10,25 8 3,13 x 10 8,50
Jam ke 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Lampiran 12 Hasil pengamatan tingkat infeksi IMNV pada udang vaname
Perlakuan Kontrol (-)
Kontrol (+)
Pro+Pre 1%
Pro+Pre 2%
Pro+Pre 3%
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Ringan 13 10 7 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 2
Tingkat infeksi (ekor) Sedang Berat Sangat berat 1 0 0 4 0 0 7 0 0 1 0 1 0 2 1 1 1 1 1 1 1 3 1 0 1 3 0 0 0 7 2 1 2 4 2 0 6 0 2 1 1 3 2 0 4
Mati 1 1 1 13 12 12 11 11 11 8 9 9 6 9 7
51 Lampiran 13 Hasil pengukuran kualitas air pemeliharaan udang selama perlakuan
Parameter
o
Suhu ( C)
Salinitas (o/oo) Oksigen terlarut (mg/l) Amonia (mg/l)
pH
Waktu pengukuran Awal Pertengahan Akhir Awal Pertengahan Akhir Awal Pertengahan Akhir Awal Pertengahan Akhir Awal Pertengahan Akhir
Kontrol (-) 29,0 29,0 28,5 31,0 32,0 35,0 6,6 6,5 3,9 < 0,1 < 0,1 < 0,1 8,0 7,5 7,0
Kontrol (+) 28,5 29,0 28,0 32,0 35,0 35,0 7,5 6,4 3,5 < 0,1 < 0,1 < 0,1 7,9 7,5 7,0
Perlakuan Pro+Pre Pro+Pre 1% 2% 29,0 28,5 29,0 28,0 29,0 28,0 32,0 31,0 35,0 34,0 35,0 32,0 7,9 7,2 6,1 6,4 3,9 4,0 < 0,1 < 0,1 < 0,1 < 0,1 < 0,1 < 0,1 7,8 7,9 7,4 7,5 7,0 7,0
Pro+Pre 3% 28,5 29,0 29,0 32,0 35,0 35,0 7,5 6,1 3,5 < 0,1 < 0,1 < 0,1 7,8 7,4 7,0
52
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 24 Februari 1984 sebagai anak ke dua dari lima bersaudara oleh pasangan Suwarno Prajadinata dan Euis Irayani. Penulis menikah dengan Firnas Nadirman dan telah dikarunia dua orang anak, Reina Almira Firnas dan Najib Aqil Firnas. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Ciamis tahun 2001. Pada Tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) dan memilih Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pendidikan sarjana penulis selasaikan tahun 2006. Pada tahun 2010, penulis mendapatkan kesempatan untuk menempuh pendidikan magister ke Sekolah Pascasarjana IPB, program studi Ilmu Akuakultur. Bantuan dana untuk pendidikan magister diperoleh dari Program Diploma IPB. Setelah lulus pendidikan sarjana, di tahun yang sama, penulis diterima sebagai staf Research and Development di Tambak Pinang Gading. Mulai tahun 2007 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar di Program Diploma IPB, pada Program Keahlian Teknologi Produksi dan Manajemen Perikanan Budidaya. Bidang ilmu yang diampu meliputi mikrobiologi, penyakit dan kesehatan ikan serta lingkungan akuatik. Penulis juga terlibat dalam kegiatan konseling (sebagai konselor) untuk mahasiswa Program Diploma.