PERAN NUKLEOTIDA SEBAGAI IMUNOSTIMULAN TERHADAP RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)
HENKY MANOPPO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2011
Henky Manoppo NRP C161060071
ii
PERAN NUKLEOTIDA SEBAGAI IMUNOSTIMULAN TERHADAP RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)
HENKY MANOPPO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
ABSTRACT HENKY MANOPPO. Role of Nucleotides as Immunostimulant on Non Specific Immune Response and Resistance of Whiteleg Shrimp (Litopenaeus vannamei). Supervised by SUKENDA, DANIEL DJOKOSETIYANTO, M. FATUCHRI SUKADI and ENANG HARRIS Whiteleg shrimp (Litopenaeus vannamei) culture in Indonesia began in 2000 to partly replace the tiger prawn (Penaeus monodon) that was seriously affected by disease. However, losses due to disease still remain an important concern till now. Therefore, a series of experiments was conducted to evaluate the efficacy of nucleotides in enhancing nonspecific immune response, resistance and growth of whiteleg shrimp. In experiment 1, juveniles were fed commercial pellet previously supplemented with nucleotides at A:0, B:100, C:200, D:300, E:400, F:500 mg.kg-1 pellet, each with three replication. At the end of feeding, shrimp was challenged intramuscularly with 0.1 mlVibrio harveyi solution 1x106 cfu.shrimp-1. Mean total haemocyte count (THC) of shrimp in treatment D (300 mg nucleotides) increased up to 76% higher than control. PO activity in treatment D (300 mg nucleotides) was also significantly different (p=0.005) compared to control. Fourteen days post-challenge, shrimp in treatment E (400 mg nucleotides) had higher resistance to V. harveyi infection (p=0.005). In treatment E, shrimp growth was significantly higher (p=0.001) than control as well as other treatments.Experiment 2 evaluated the effect of administration time of nucleotides on the nonspecific immune response and growth of shrimp. Shrimps were fed pellet supplemented with nucleotides at 400 mg.kg-1 diet. Research result showed that oral administration of nucleotides for four weeks successively significantly enhanced nonspecific immune response and shrimp growth. Experiment 3 evaluated the effect of β–glucan on total haemocyte, PO activity, resistance and growth of shrimp as comparison to nucleotides. THC of shrimp fed nucleotides diet increased up to 87% higher than control. PO activity also increased significantly (p=0.01). Supplementation of β–glucan could increase THC and PO activity, but the increase was not different compared to control. Administration of nucleotides and β–glucan for four consecutive weeks significantly increased resistance of shrimp to disease (p<0.01) where the highest resistance was observed on shrimp fed nucleotides diet. Growth of shrimp fed nucleotide-diet was significantly different compared to control (p<0.01), as well as to β–glucan diet. Experiment 4 was conducted to apply nucleotidesupplemented diet directly in brackishwater pond. Survival rate of shrimp fed nucleotide diet was higher (83.24%) than shrimp fed basal diet (81.71%) but statistically not different.Growth of shrimps fed nucleotide diet was significantly different (p<0.01) compared to shrimp fed basal diet. After 4 weeks of feeding, final weight of shrimp fed nucleotide diet was 11.98±1.08 g and weight gain was 7.48±1.08 g or 35.75% and 68.85% heavier than shrimp fed basal diet and shrimp raised in pond, respectively. As conclusion, application of nucleotides at 400 mg.kg-1 diet for 4 weeks in shrimp culture was potential to promote nonspecific immune response, resistance and growth of shrimp. Keywords: Litopenaeus vannamei, nucleotides, PO activity, resistance, THC
iii
RINGKASAN HENKY MANOPPO. Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Dibimbing oleh SUKENDA, DANIEL DJOKOSETIYANTO, M. FATUCHRI SUKADI dan ENANG HARRIS Udang vaname (Litopenaeus vannamei) pertama kali diimpor ke Indonesia pada tahun 2000 untuk mengganti udang windu (Penaeus monodon) yang banyak terserang penyakit terutama bakteri dan virus. Namun dalam perjalanan usaha ini, kerugian-kerugian akibat serangan penyakit terus saja berlanjut.Sejumlah metoda telah diterapkan dalam upaya mengontrol penyakit seperti penggunaan antibiotik/bahan kimia, vaksin, probiotik, SPR, dan sistim produksi biosekuriti. Belakangan ini, penggunaan imunostimulan semakin mendapat perhatian untuk dikembangkan dalam kontrol penyakit. Nukleotida merupakan imunostimulan yang menawarkan alternatif bagi penggunaan antibiotik atau bahan-bahan kimia sebab bahan ini tidak meninggalkan residu dalam tubuh ikan serta tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, serangkaian penelitian telah dikerjakan untuk mengevaluasi potensi aplikasi nukleotida dalam meningkatkan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname. Penelitian pertama mengevaluasi pengaruh dosis nukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO, resistensi dan pertumbuhan udang vaname. Udang dipelihara dalam akuarium dan diberi pakan yang telah ditambahkan nukleotida dengan dosis 0, 100, 200, 300, 400, dan 500 mg.kg-1 pakan, masing-masing dengan 3 ulangan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa setelah diberikan selama 4 minggu, penambahan nukleotida dalam pakan berpengaruh nyata terhadap peningkatan respon imun udang (p<0.01). Total haemocyte count (THC) tertinggi teramati pada udang yang diberi suplementasi nukleotida 300 mg.kg-1 pakan, kemudian 400 mg.kg-1 yang masing-masing mencapai 76% dan 73% lebih tinggi dari udang kontrol. Peningkatan ini dapat terjadi karena nukleotida merupakan nutrien semi esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel, termasuk sel-sel imun. Pada kedua perlakuan ini, aktivitas PO juga mencapai nilai tertinggi yakni >0.35 yang berarti memiliki aktivitas tinggi. Bagaimana kerja nukleotida dalam meningkatkan aktivitas PO belum diketahui dan perlu diteliti secara lebih detil.Diduga, nukleotida yang ditambahkan dalam pakan selain digunakan sebagai nutrien untuk proses-proses biosintesa, juga akan berfungsi dalam cellular signals. Dalam penelitian ini terlihat bahwa udang yang memiliki THC yang tinggi memiliki aktivitas PO yang tinggi pula. Kondisi ini terjadi karena hemosit berperan dalam produksi dan pelepasan proPO ke dalam hemolim. Dalam keadaan normal, jumlah hemosit yang tinggi akan diikuti pula oleh aktivitas PO yang tinggi. Empat belas hari setelah uji tantang, resistensi udang yang diberi pakan dengan penambahan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (p=0.005), namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan udang yang diberi nukleotida 300 mg.kg-1 pakan. Status kesehatan yang tinggi (THC dan aktivitas PO) mungkin mendukung tercapainya resistensi yang tinggi. iv
Sekalipun demikian, mekanisme imun mana yang paling penting bagi resistensi penyakit belum dapat ditetapkan. Pertumbuhan udang yang diberi nukleotida 400 mg.kg-1 pakan berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol maupun dengan perlakuan lainnya (p=0.001). Udang dengan berat awal 6 g dapat tumbuh mencapai berat 11.05±0.40 g dengan perolehan 5.05±0.40 g atau mencapai 50.75% lebih berat dari perolehan berat udang kontrol. Penambahan nukleotida dalam pakan akan meningkatkan napsu makan udang sehingga efisiensi dan pengambilan pakan meningkat. Hal ini terjadi karena beberapa nukleotida seperti IMP, AMP dan guanine merupakan perangsang napsu makan ikan. Dalam penelitian ini juga teramati bahwa pada dosis yang lebih tinggi (500 mg.kg-1 pakan), penambahan nukleotida tidak akan memacu pertumbuhan tetapi sebaliknya menekan pertumbuhan. Penelitian kedua mengevaluasi pengaruh protokol pemberian nukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO dan pertumbuhan udang vaname. Udang diberi pakan dengan penambahan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida dan 7 hari pakan standar secara bergantian selama 49 hari. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suplementasi nukleotida dengan protokol pemberian yang ditetapkan tidak berpengaruh terhadap peningkatan parameter imun maupun pertumbuhan udang vaname. Hal ini mungkin terjadi karena: 1) lama waktu pemberian nukleotida dalam percobaan ini mungkin belum cukup untuk dapat menghasilkan peningkatan respon imun dan pertumbuhan udang, 2) udang mungkin membutuhkan suplementasi nukleotida secara kontinyu untuk meningkatkan respon imun dan pertumbuhannya. Hal ini terlihat pada hasil penelitian pertama dimana pemberian nukleotida secara berlanjut selama 4 minggu mampu meningkatkan respon imun, resistensi dan pertumbuhan udang vaname. Penelitian ketiga mengevaluasi pengaruh suplementasi β–glukanterhadap total haemocyte count, aktivitas PO, resistensi dan pertumbuhan udang vaname sebagai pembanding terhadap suplementasi nukleotida. Udang diberi pakan dengan penambahan β–glukan dan nukleotida.Setelah 4 minggu pemberian pakan, THC udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida secara signifikan meningkat mencapai 87% lebih tinggi dari udang kontrol(p=0.02). Penambahan β–glukan juga dapat meningkatkan THC, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas PO juga meningkat secara sangat nyata (p=0.01) dibandingkan dengan udang yang diberi pakan standar. Aktivitas PO udang yang diberi suplementasi β–glukan juga meningkat namun dibandingkan dengan kontrol namun peningkatan yang terjadi tidak berbeda nyata. Dalam penelitian ini, nilai aktivitas PO udang, baik yang diberi suplementasi nukleotida maupun β–glukan mencapai >0.35, yang berarti memiliki aktivitas tinggi sedangkan udang yang hanya diberi pakan standar memiliki aktivitas PO normal (0.20–035).Penambahan nukleotida dan β–glukan secara nyata (p=0.003) meningkatkan resistensi udang terhadap infeksi vibrio namun secara statistik, resistensi pada kedua perlakuan ini tidak berbeda nyata. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian pertama dimana udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida 400 mg.kg-1 dan diuji tantang dengan bakteri vibrio memiliki resistensi yang tinggi. THC dan nilai aktivitas PO tertinggi yang dicapai pada udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida menghasilkan resistensi v
yang tertinggi pula. Pertumbuhan udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida juga berbeda nyata (p<0.01) dibandingkan dengan kontrol. Udang dengan berat rata-rata 5.39±0.56g dapat tumbuh mencapai 10.12±0.57g dengan perolehan berat 4.73±0.57g atau mencapai 65.38% lebih berat dari udang kontrol. Hasil ini dapat mengkonfirmasi hasil penelitian pertama dimana perolehan berat udang yang diberi suplementasi nukleotida mencapai 50.74% lebih berat dari kontrol. Penambahan β–glukan juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan udang vaname, namun bagaimana mekanisme kerja bahan ini dalam meningkatkan pertumbuhan belum diketahui dengan jelas. Penelitian keempat bersifat demonstratif dengan maksud untuk mengaplikasikan nukleotida secara langsung dalam manajemen kesehatan budidaya udang vaname di tambak. Udang dipelihara selama 4 minggu dalam dua rangkaian 3-hapa yang ditempatkan dalam tambak dimana usaha pemeliharaan sedang berlangsung. Pada rangkaian Hapa I, udang diberi pakan bersuplemen nukleotida 400 mg.kg-1 pakan sedangkan pada rangkaian Hapa II diberi pakan standar. Masing-masing hapa berukuran 2x1x1m dengan padat tebar 175 ekor/hapa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sintasan udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida mencapai 83.24±9.42%, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan sintasan udang yang diberi pakan standar (81.71±3.56%). Kematian udang selama masa pemeliharaan terjadi disebabkan oleh adanya kanibalisme terhadap udang molting dan penyakit myo (Infectious Myonecrosis Virus, IMNV). Selama masa percobaan berlangsung tidak terjadi wabah myo sehingga sulit untuk menjelaskan pengaruh nukleotida terhadap resistensi udang percobaan. Pemberian pakan dengan suplementasi nukleotida secara nyata meningkatkan pertumbuhan udang.Setelah 4 minggu pemeliharaan, udang dengan berat awal 4.5 g/ekor dapat tumbuh mencapai berat akhir 11.98±1.08 g jika diberi pakan dengan suplementasi nukleotida dan 10.01±1.36 g jika hanya diberi pakan standar. Udang yang dipelihara dalam tambak pada umur yang sama memiliki berat akhir rata-rata 8.93±0.21 g. Perolehan berat udang yang diberi suplementasi nukleotida mencapai 7.48±1.08 g atau 35.75% lebih besar dari perolehan berat udang kontrol (5.51±1.36 g) dan 68,85% lebih tinggi dari perolehan berat udang yang dipelihara di tambak (4.43±0.21 g). Perolehan berat harian rata-rata udang yang diberi pakan dengan suplementasi nukleotida mencapai 0.277±0.039 g dengan food conversion ratio (FCR) 1.35. Pada udang yang diberi pakan standar, perolehan berat harian rata-rata sebesar 0.204±0.049 g dengan FCR 2.01. Sebagai kesimpulan, penambahan nukleotida pada dosis 400 mg.kg-1 pakan sangat potensial meningkatkan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname. Kata kunci: aktivitas PO, Litopenaeus vannamei, nukleotida, resistensi, THC
vi
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vii
PERAN NUKLEOTIDA SEBAGAI IMUNOSTIMULAN TERHADAP RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSIUDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)
HENKY MANOPPO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Budidaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
viii
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. drh. Retno Damayanti S, MS Dr. Ir. Nur Bambang PU, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. drh.Angela Mariana Lusiastuti, MSi Dr. Sri Nuryati, SPi, MSi
ix
Judul Disertasi
Nama NRP
: Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) : Henky Manoppo : C161060071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Sukenda, M.Sc Ketua
Prof.Dr.Ir.Daniel Djokosetiyanto,DEA Anggota
Prof.Dr.Ir. M.Fatuchri Sukadi, M.S Anggota
Prof.Dr.Ir. Enang Harris, M.S Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Prof.Dr.Ir. Enang Harris, M.S
Tanggal Ujian:16 Februari 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa karena atas kasih dan limpahan karunia-Nya sehingga penyusunan laporan Disertasi dengan judul “Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)” dapat diselesaikan. Laporan disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi mahasiswa untuk menyelesaikan studi Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dengan tersusunnya laporan ini, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sukenda, MSc sebagai ketua komisi pembimbing,Bapak Prof. Dr.Ir. Daniel Djokosetiyanto, DEA, Bapak Prof.Dr.M.Fatuchri Sukadi, MS dan Bapak Prof.Dr.Ir. Enang Harris,MS masingmasing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan arahan mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai pada penulisan laporan ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga terkasih, istri dan anak-anak atas segala dukungan dan doanya. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Ranta, Bapak Aris, Ibu Esti, Ibu Rosa, dan Bapak Atna yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.Disadari bahwa mungkin masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Oleh karena itu kritik dan saran perbaikan demi penyempurnaan laporan ini sangat diharapkan penulis. Semoga karya ilmiahini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Bogor, Februari 2011
Penulis,
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manado sebagai anak ke empat dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1991, penulis diterima untuk melanjutkan ke program master di Department of Biological Science, Study Program of Aquaculture, Faculty of Science, Simon Frazer University, Canada dan lulus pada akhir tahun 1994. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Canadian Indonesian Development Agency (CIDA) Project. Tahun 2006 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staff pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado sejak tahun 1984. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah parasit dan penyakit ikan. Karya ilmiah berjudul “Nukleotida meningkatkan respon imun dan performa pertumbuhan udang vaname, Litopenaeus vannamei”, disajikan pada Konferensi Internasional Akuakultur yang diselenggarakan oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia di Jogyakarta pada bulan Oktober 2009. Artikel tersebut telah diterbitkan pada jurnal Aquacultura Indonesiana. Artikel berjudul “Peningkatan respon imun nonspesifik, resistensi, dan pertumbuhan udang vaname (Litopenaeus vannamei) melalui pemberian pakan dengan suplementasi nukleotida”disajikan pada Simposium Nasional Bioteknologi Budidaya pada bulan Oktober 2010 di Bogor dan akan diterbitkan pada jurnal Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Artikel lain dengan judul “Nonspecific immune response and resistance of Litopenaeus vannamei fed nucleotides, β-glucan, and protagen diets” sudah diterima dan akan diterbitkan pada Indonesian Aquaculture Journal (IAJ), PRPB RI Jakarta. Karya-karya tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
……………………………………………
xv
DAFTAR GAMBAR
……………………………………………
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
……………………………………………
xvii
PENDAHULUAN
……………………………………………
1
……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. ……………………………………………. …………………………………………….
1 3 4 5 6 6 6
Latar Belakang Pendekatan Masalah Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Kebaharuan TINJAUAN PUSTAKA
……………………………………………. 7
JUDUL 1 RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSI …….. UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) YANG DIBERI PAKAN BERSUPLEMENNUKLEOTIDA Abstrak ……………………………………………. Abstract ……………………………………………. Pendahuluan ……………………………………………. Bahan dan Metode ……………………………………………. Hasil dan Pembahasan …………………………………………… Kesimpulan …………………………………………….
19
JUDUL 2 RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN PERTUMBUHAN … UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)YANG DIBERI PAKAN YANG DITAMBAHKAN NUKLEOTIDA DENGAN LAMA PEMBERIAN BERBEDA Abstrak …………………………………………….. Abstract …………………………………………….. Pendahuluan ……………………………………………. Bahan dan Metode ……………………………………………. Hasil dan Pembahasan …………………………………………… Kesimpulan …………………………………………….
36
JUDUL 3 KOMPARASI RESPON IMUN NONSPESIFIK, ………….. RESISTENSI DANPERTUMBUHAN UDANGVANAME (Litopenaeus vannamei) YANG DIBERI β-GLUKAN DAN NUKLEOTIDA Abstrak ……………………………………………. Abstract ……………………………………………. Pendahuluan …………………………………………….
46
19 19 20 22 27 35
36 36 37 38 42 45
46 46 47
xiii
Bahan dan Metode ……………………………………………. 49 Hasil dan Pembahasan …………………………………………… 54 Kesimpulan ……………………………………………. 62 JUDUL 4 APLIKASI NUKLEOTIDA DALAM BUDIDAYA ………. INTENSIF UDANG VANAME(Litopenaeus vannamei) DI TAMBAK Abstrak ……………………………………………. Abstract ……………………………………………. Pendahuluan ……………………………………………. Bahan dan Metode ……………………………………………. Hasil dan Pembahasan …………………………………………… Kesimpulan ……………………………………………. PEMBAHASAN UMUM
63
63 63 64 66 71 76
……………………………………………
77KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………. 86 DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………
87
LAMPIRAN
……………………………………………
94
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1 THC rata-rata L.vannameiyang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu……………………… 2 Aktivitas PO L. vannamei yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu………………………. 3 Resistensi L. vannamei yang diberi pakan yang ditambahkannukleotida dengan dosis berbeda dan diuji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi….. 4 Pertumbuhan L. vannamei yang diberi pakan yang ditambahkannukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu………………………. 5 Protokol administrasi pakan dengan dan tanpa suplementasi nukleotidapadaudang vaname………………………………………………………. 6 THC, aktivitas PO dan perolehan berat udang vaname setelah diberipakan yang ditambahkan nukleotida dengan lama pemberian berbeda…... 7 THC, aktivitas PO dan perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4x7 hari berturut-turut…….. 8 Pertumbuhan L. vannamei setelah diberi β-glukan dan nukleotida selama 4 minggu………………………………………………………………….. 9 Sintasan dan efisiensi pakan udang vaname yang diberi pakan yangditambahkan nukleotida selama 4 minggu………………………………... 10 Performa pertumbuhan udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I,Hapa II, dan Tambak……………………………………………………
28 29 31 33
39
43
45 61 72
74
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Skema pendekatan masalah…………………………………………… Morfologi Litopenaeusvannamei……………………………………… Siklus hidup Litopenaeus vannamei…………………………………… Proses pagositosis……………………………………………………… Sintasan kumulatif udang vanameyang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4 minggu dan diuji tantang dengan Vibrio harveyi THC rata-rata L. vannamei setelahdiberiβ–glukan dan nukleotida selama 4 minggu………………………………………………………... Aktivitas PO L.vannamei setelahdiberi β–glukandan nukleotida selama 4 minggu……………………………………………………… Sintasan kumulatif udang vaname setelah diberi β–glukan dannukleotidadan diuji-tantang dengan Vibrio harveyi ………………… SintasanL.vannamei setelah diberi β–glukan dan nukleotidadan dan diuji-tantang dengan bakteri V. Harveyi…………………………… Tata letak hapa percobaan dalam tambak udang vaname……………… Posisi dasar hapa 10-30 cm di atas dasar tambak………………………. Penghitungan dan penebaran udang dalam hapa percobaan…………… Pemberian pakan pada udang percobaan………………………………. Berat akhir udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II, dan Tambak…………………………………………………………………... Perolehan berat udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II dan Tambak……………………………………………………………… Perolehan berat harian rata-rata (ADG) udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II dan Tambak ……………………………………..
5 8 11 14 31
55 57 59 60 68 68 69 70 75 76 76
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Total haemocyte count udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu … 2 Deskriptif THC udang vaname setelah diberi pakan yangditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu… 3 Analisis Ragam THC udang vaname setelah diberi pakan yangditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu…. 4 Uji Duncan untuk THC udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu … 5 Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang …………... ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu 6 Deskriptif Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yangditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu…. 7 Analisis Ragam Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dosis berbeda selama 4 minggu …... 8 Uji Duncan aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu…. 9 Kelangsungan hidup kumulatif (%) udang vaname 14 hari setelah uji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi…………………………. 10 Deskriptif tingkat resistensi (%) udang vaname 14 hari setelah uji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi…………………………….. 11 Analisis Ragam tingkat resistensi udang vaname 14 hari setelah uji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi…………………………….. 12 Uji Duncan untuk resistensi udang vaname 14 hari setelah uji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi…………………………….. 13 Berat akhir dan perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu ………………………………………………………… 14 Deskriptif perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dosis berbeda selama 4 minggu …... 15 Analisis Ragam perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama
95 96
97
97 99
100
101 101 103 103 104 104
105 106
xvii
4 minggu ………………………………………………………… 16 Uji Duncan untuk perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu …………………………………………………………... 17 THC, aktivitas PO, berat akhir (Wt) dan perolehan berat (WG) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen nukleotida dengan lama pemberian berbeda ………………………………………… 18 THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 19 Deskriptif THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu …………………………………………………………... 20 Analisis Ragam THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu …………………………………………………………... 21 Uji Duncan untuk THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu …………………………………………………………... 22 Kelangungan hidup kumulatif (%) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida dan diuji tantang dengan Vibrio harveyi …………………………………………….. 23 Pertumbuhan udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………………………….. 24 Deskriptif berat akhir (g) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 25 Deskriptif perolehan berat (g) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 26 Analisis Ragam berat akhir (g) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 27 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ... 28 Uji Duncan untuk berat akhir udang vanameyang diberi pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 29 Uji Duncan Perolehan berat (g) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 30 Berat akhir (g) udang vaname setelah 2 minggu dipelihara dalam Hapa I dan Hapa II ………………………………………………... 31 Berat akhir (g) udang vaname setelah 4 minggu dipelihara dalam Hapa I dan Hapa II ……………………………………………….. 32 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname setelah 2 minggu dipelihara dalam Hapa I dan Hapa II …………………….
106
107
108
109
109
110
110
111 112 113 113 114 114 114 114 116 116 117
xviii
33 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname setelah 4 minggu dipelihara dalam Hapa I dan Hapa II …………………….. 34 Perolehan berat harian (g) udang vaname setelah 4 minggu dipelihara dalam Hapa Idan Hapa II ………………………………
117 117
xix
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai suatu aktivitas industri, budidaya udang mulai berkembang sejak awal tahun 1970-an dengan spesies budidaya utama adalah udang penaeid (Bachere 2000). Menjelang pertengahan tahun 1970-an, produksi budidaya udang dunia mulai meningkat dengan cepat dan mencapai 22600 ton pada tahun 1975 (Briggs et al. 2004). Pada satu dekade berikutnya, produksi mencapai 200000 ton dimana 75% dari total produksi tersebut berasal dari Asia Tenggara dan Asia Timur. Pada tahun 1988, produksi meningkat secara cepat melebihi 560000 ton terutama sebagai hasil peningkatan produksi dari Cina, Taiwan, Ecuador, Indonesia, Thailand, dan Filipina (Rosenberry 2001). Dalam perkembangan budidaya udang, masalah kegagalan produksi pertama terjadi di Taiwan pada tahun 1987–1989 disebabkan terjadinya degradasi lingkungan serta meningkatnya wabah penyakit infeksius terutama bakteri dan virus. Produksi udang windu (Penaeus monodon)Taiwan menurun drastis dari 78500 ton menjadi 16600 ton (Briggs et al. 2004). Masalah kegagalan produksi kedua terjadi di Cina sebagai akibat munculnya penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada tahun 1992.Produksi menurun dari 207000 ton pada tahun 1992 menjadi 64000 ton pada tahun 1993-1994.Masalah yang sama juga terjadi di Thailand, Filipina, dan Indonesia yang disebabkan oleh penyakit Yellow Head Virus (YHV) dan WSSV pada awal 1990-an. Untuk meningkatkan produksi budidaya udang maka pada tahun 2000 Indonesia mengintroduksi udang vaname (Litopenaeusvannamei) sebagai pengganti udang winduyang terserang WSSV (DKP 2007). Selanjutnya pada 11 Juni 2005, Presiden Republik Indonesia mencanangkan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan secara nasional. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain revitalisasi tambak intensif dengan udang vaname pada lahan tambak seluas 7000 ha dengan rata-rata produksi 30 ton/ha/tahun, revitalisasi tambak tradisional dengan udang vaname pada lahan tambak seluas 140000 ha dengan produksi antara 600-1500 kg/ha/tahun, impor induk udang
2
vaname bebas patogen (Specific Pathogen Free), domestikasi udang vaname menjadi induk yang bebas penyakit dan tahan penyakit (Specific Pathogen Resistance) sehingga mengurangi ketergantungan dari impor, melakukan revitalisasi teknik pembenihan udang skala rumah tangga (backyard hatchery), penerapan sertifikasi perbenihan dan pembudidayaan udang, pengembangan laboratorium lingkungan dan penyakit, penyediaan sarana dan prasarana budidaya, dan membantu penguatan permodalan bagi pembudidaya udang. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, total produksi budidaya udang nasional Indonesia yang tercatat tahun 2005 sebesar 295000 ton (DKP 2007). Tahun 2008, produksi udang meningkat mencapai 410000 ton namun pada tahun 2009, produksi menurun menjadi 350000 ton atau turun sekitar 14.6%. Tahun 2010 produksi berkisar 352000 ton atau turun dari target semula 400300 ton. Volume ekspor berkisar 144410 ton atau turun 4.36% dengan nilai ekspor 1.03 miliar dollar AS. Menurunnya produksi disebabkan olehadanya serangan penyakit terutama Infectious Myonecrosis Virus (IMNV). Agar program peningkatan produksi udang dapat berkesinambungan, baik secara ekologi maupun ekonomi, maka kontrol penyakit harus menjadi prioritas utama. Beberapa metoda yang telah diterapkan dalam mengontrol penyakit antara lain penggunaan antibiotik atau bahan kimia, vaksin, probiotik, penggunaan SPF/SPR, dan biosekuriti.
Penggunaan antibiotik merupakan metoda kontrol
penyakit yang telah lama dan paling banyak diterapkan dalam aktivitas budidaya. Namun demikian, telah ditemukan bahwa pemberian antibiotik dalam tambak telah mengakibatkan munculnya patogen yang tahan terhadap antibiotik (antibiotic-resistant pathogen). Selain itu, pemberian antibiotik dalam tambak membutuhkan sejumlah besar bahan yang mahal dan dapat terakumulasi dalam tubuh ikan/udang atau lingkungan budidaya dan membahayakan kesehatan konsumen.
Vaksin
telah
digunakan
memperlihatkan hasil positif.
pada
beberapa
spesies
ikan
dan
Pada udang, penggunaan vaksin (formalin-
inactivated WSSV, recombinant protein WSSV) telah mulai diteliti dan memperlihatkan hasil yang menjanjikan meskipun udang tidak memiliki sistem imun spesifik (Namikoshi et al. 2004; Witteveldt et al. 2003). Namun demikian,
3
vaksin sangat mahal dan proteksi yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga tidak efektif melawan beberapa patogen secara simultan. Penggunaan udang SPR dan sistem biosekuriti yang diterapkan beberapa tahun terakhir ini secara signifikan mampu meningkatkan kelangsungan hidup dan produksi. Dalam jangka panjang, kedua metoda inipun nampaknya belum mampu mencegah munculnya wabah penyakit yang terjadi secara berulang (Moss et al. 2006). Dengan adanya mutasi virus, maka udang yang awalnya resisten terhadap patogen tertentu menjadi rentan terhadap virus baru. Lebih lanjut, kini terdapat bukti bahwa udang SPR ternyata memiliki pertumbuhan yang lebih kecil dib&ingkan dengan udang bukan SPR (Henryon et al. 2002; Parenrengi 2010). Saat ini, penggunaan imunostimulan semakin mendapat perhatian untuk dikembangkan sebagaimetoda kontrol penyakit dalam budidaya udang. Banyak bukti telah memperlihatkan bahwa imunostimulan yang ditambahkan dalam pakan dapat meningkatkan resistensi ikan dan udang terhadap infeksi penyakit melalui peningkatan respon imun nonspesifik (Pais et al. 2008; Welker et al. 2007). Udang tidak memiliki respon imun spesifik dan sepenuhnya tergantung pada respon imun nonspesifik. Nukleotida merupakan imunostimulan yang sudah diketahui dapat meningkatkan respon imun nonspesifik ikan (Burrels et al. 2001). Pada udang, belum banyak penelitian tentang penggunaan nukleotida sebagai imunostimulan.Nukleotida dapat menawarkan alternatif bagi penggunaan antibiotik atau bahan-bahan kimia sebab bahan ini tidak meninggalkan residu dalam tubuh ikan serta tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, penelitian terhadap penggunaan nukleotida dalam upaya mengontrol penyakit dalam aktivitas budidaya udang dirasa sangat diperlukan. Pendekatan Masalah Nukleotida merupakan nutrient semi esensial yang mulai mendapat perhatian serius untuk dikembangkan penggunaannya dalam budidaya ikan dan krustase dalam beberapa tahun terakhir ini. Meskipun penelitian tentang penggunaan nukleotida masih berada pada tahap awal, laporan-laporan penelitian pada ikan menunjukkan bahwa selain terlibat dalam palatabilitas pakan dan
4
biosintesa asam amino non esensial, eksogenous nukleotida dapat meningkatkan imunitas dan resistensi ikan terhadap infeksi virus, bakteri dan parasit. Selain itu, pemberian nukleotida juga dapat meningkatkan efikasi vaksinasi yang ditunjukkan oleh peningkatan titer antibodi setelah ikan divaksinasi (Burrells et al. 2001); meningkatkan oxidative radical neutrofil darah dan sintasan ikan; meningkatkan aktivitasfagositosis, respiratory burst, serum komplemen dan aktivitas lisosim serta menurunkan infeksi A. hydrophilapada ikan mas. Pemberian nukleotida juga dapat memperbaiki pertumbuhan pada fase perkembangan awal, meningkatkan kualitas larva, serta meningkatkan toleransi terhadap stres. Pada krustase, pemberian nukleotida dapat meningkatkan pertumbuhan udang vaname (Li et al. 2007). Sebaliknya, defisiensi nukleotida dapat merusak fungsi hati, usus, dan fungsi imun (Li & Galtin 2006). Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa penambahan nukleotida dalam pakan dapat meningkatkan imunitas dan resistensi ikan terhadap sejumlah patogen yang berbeda. Namun demikian, penelitian-penelitian menyangkut sumber dan tipe nukleotida yang tepat, dosis, dan lama waktu pemberian, masih sangat terbatas. Pada udang, laporan-laporan penelitian tentang penggunaan nukleotida masih sangat terbatas. Sehubungan dengan itu, serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengkaji peranan nukleotida dalam meningkatkan respon imun nonspesifik dan resistensi udang vaname.
Skema pendekatan masalah
disajikan pada Gambar 1. Perumusan Masalah Eksogenous nukleotida sangat penting untuk digunakan dalam kontrol penyakit karena selain dapat memperbaiki pertumbuhan, pemberian nukleotida dapat meningkatkan imunitas dan resistensi udang yang dibudidayakan. Namun demikian, informasi menyangkut tipe nukleotida yang tepat, dosis, serta lama waktu pemberian yang menghasilkan respon optimal pada udang vaname masih belum jelas.
5
Nukleotida (+)
(-)
Pertumbuhan
Respon selular
Respon imun nonspesifik
Udang
(+) Resistensi
Produksi
Respon humoral
(-)
Toleransi stress (-)
(+)
Gambar 1. Skema pendekatan masalah
Tujuan Penelitian 1. Mengevaluasi pengaruh penambahan nukleotida dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO, resistensi udang vaname terhadap infeksi Vibrio harveyidan pertumbuhan. 2. Mengevaluasi pengaruh protokol pemberian nukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO dan pertumbuhan udang vaname. 3. Mengevaluasi pengaruh suplementasi β-glukan dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO,resistensi dan pertumbuhan udang vanamesebagai pembanding terhadap nukleotida. 4. Mengevaluasi pengaruh pemberian nukleotida terhadap resistensi dan performa pertumbuhan udang vaname yang dipelihara di tambak.
6
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan aplikasi yang penting bagi manajemen kesehatan dalam industri budidaya udang vaname di Indonesia.
Hipotesis •
Pemberian nukleotida sebagai imunostimulan dalam pakan sangat potensial meningkatkan respon imun nonspesifik dan resistensi udang vaname.
•
Respon imun nonspesifik udang vaname dipengaruhi oleh dosis dan lama waktu pemberian imunostimulan nukleotida. Kebaharuan Kebaharuan dari penelitian ini adalah pemanfaatan nukleotida sebagai
sumber alternatif imunostimulan dan peranannya dalam sistem imun nonspesifik udang yaitu meningkatkan jumlahhemosit, aktivitas phenoloxidase (PO) dan resistensi terhadap infeksi patogen. Nukleotida juga berperan memacu pertumbuhan. Dengan demikian maka aplikasi nukleotida dalam pakan udang diharapkan mampu mengatasi atau meminimalisir permasalahan penyakit dan menunjang peningkatan produksi budidaya udang vaname.
7
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Litopenaeus vannamei (Boone 1931) Udang vaname termasuk krustase dalam ordo dekapoda dimana di dalamnya juga termasuk udang, lobster dan kepiting. Klasifikasi udang vaname adalah sebagai berikut (Wyban & Sweeney 1991): Phylum
:Anthropoda
Subphylum
: Krustase
Class
: Malacostraca
Subclass
: Eumalacostraca
Superorder
: Eucarida
Order
: Decapoda
Suborder
: Dendrobranchiata
Super Family : Penaeidea Family
: Penaeidae
Genus
: Litopenaeus
Spesies
: L. vannamei
Nama umum udang vaname adalah Pasific white shrimp, West Coast white shrimp, Camaron blanco, Langostino.
Nama FAO adalah whiteleg shrimp,
Crevette pattes blanches, Camaron patiblanco (Elovaara 2001; Rosenberri 2006). Ciri-ciri udang vanameadalah rostrum bergigi, biasanya 2-4 (kadangkadang 5-8) pada bagian ventral yang cukup panjang dan pada udang muda melebihi
panjang
antennular
peduncle
(Gambar
2).Karapaks
memiliki
pronounced antenal dan hepatic spines. Pada udang jantan dewasa, petasma symmetrical, semi-open, dan tidak tertutup. Spermatofora sangat kompleks yang terdiri atas masa sperma yang dibungkus oleh suatu pembungkusyang mengandung berbagai struktur perlekatan (anterior wing, lateral flap, caudal flange, dorsal plate) maupun bahan-bahan adhesif dan glutinous. Udang betina dewasa memiliki open thelycumdan sternit ridges, yang merupakan pembeda utama udang vaname betina (Elovaara 2001).
8
Gambar 2 Morfologi Litopenaeus vannamei (Sumber: Wyban & Sweeney 1991) Udang vaname memiliki 6 fase nauplii, 3 fase protozoea dan 3 fase mysis dalam siklus hidupnya. Fase larva (panjang karapaks 1,95 – 2,73 mm) dapat dikenal melalui kurangnya spine pada sternit ke 7, dan panjang rostrum relatif terhadap panjang mata termasuk tangkai mata.Ciri morfologi yang paling dapat dikenal adalah perkembangan supraorbital spine pada fase zoea ke 2 dan ke 3. Tubuh berwarna putih transparan sehingga lebih umum dikenal sebagai “white shrimp”. Tubuh sering berwarna kebiruan karena lebih dominannya kromatofor biru. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm. Udang vaname dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan pada eksternal genitalnya. Distribusi Udang vaname tersebar di bagian timur pantai Pasifik Amerika Tengah dan Selatan dari Mexico sampai Peru(Elovaara 2001; Rosenberry 2006), dimana daerah-daerah tersebut memiliki temperatur di atas 20oC sepanjang tahun (Wyban
9
& Sweeney 1991). Karena spesies ini relatif mudah dibudidayakan, maka udang ini telah tersebar keseluruh dunia. Habitat Di alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada kedalaman dari garis pantai sampai sekitar 72 m. Hewan ini juga telah ditemukan menempati daerah mangrove yang masih belum terganggu. Udang ini nampaknya dapat beradaptasi dengan perubahan temperatur dan tekanan di alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang vanamedapat beradaptasi dengan baik pada level salinitas yang sangat rendah sehingga menjadikan udang ini sebagai udang yang paling banyak dibudidayakan di kolam air tawar (salinitas sangat rendah dimana udang ini dapat beradaptasi (Elovaara 2001). Molting dan Pertumbuhan Pertumbuhan udang vaname, seperti halnya arthropoda lainnya, tergantung pada dua faktor yaitu frekuensi molting (waktu antara molting) dan pertumbuhan yaitu berapa besar pertumbuhan pada setiap molting baru (Wyban & Sweeney 1991).
Karena tubuh udang ditutupi oleh karapaks yang keras, maka untuk
tumbuh, karapaks yang lama harus dilepas dan diganti dengan yang baru dan lebih besar. Saat molting, terjadi pemisahan kulit antara karapaks dan intercalary sclerite, dimana sepalotoraks dan appendic anterior dikeluarkan. Karapaks baru pada awalnya lunak, tetapi akan mengeras kembali pada laju yang proporsional terhadap ukuran udang. Molting merupakan fungsi dari ukuran udang, jika udang tumbuh maka waktu antar molting meningkat. Pada fase larva, molting terjadi setiap 30-40 jam pada temperatur 28°C. Juvenil udang ukuran 1–5 gram akan molting setiap 4-6 hari, tetapi udang berukuran 15 gram akan molting setiap 2 minggu. Kondisi lingkungan dan faktor nutrisi juga mempengaruhi frekuensi molting.
Pada temperatur yang lebih tinggi, frekuensi molting meningkat.
Selama molting, absorpsi oksigen menjadi kurang efisien dan udang yang mati selama molting biasanya disebabkan olehkekurangan oksigen.Sesaat setelah
10
molting, karapaks masih lunak dan udang menjadi rentan terhadap predasi dari sesamanya. Udang yang baru molting dengan kulit yang masih lunak sering membenamkan diri dalam endapan detritus yang lunak. Reproduksi dan Siklus Hidup Karapaks udang vanameberwarna transparan sehingga memungkinkan untuk mengamati warna perkembangan ovari. Pada betina, gonad pertama-tama berwarna keputih-putihan, selanjutnya berkembang menjadi coklat emas atau coklat kebiru-biruan pada saat akan memijah (Rosenberry 2006). Udang jantan menyimpan spermatophora pada betina berkulit keras. Tingkah laku kawin dimulai pada sore hari dimana hal ini berkaitan dengan ketersediaan intensitas cahaya. Proses pemijahan dimulai dengan lompatan secara tiba-tiba dan udang betina aktif berenang. Seluruh proses pemijahan berakhir selama sekitar satu menit. Jumlah telur yang dapat dilepaskan seekor induk betina bervariasi menurut ukuran individu. Udang berukuran 30–45 gr dapat melepaskan 100000–250000 butir telur. Ukuran diameter telur sekitar 0.22 mm. Udang betina memiliki open thelycum dan inilah yang membedakannya dengan dengan udang penaeid lainnya (Elovaara 2001). Udang jantan melekatkan spermatophora berjeli (berisi sperma) pada open thelycum pada saat kawin. Perkawinan terjadi pada saat udang betina berada pada fase intermolt pada saat ovari telah mencapai kematangan.
Pelepasan telur terjadi pada malam hari
beberapa jam setelah perkawinan, biasanya kurang dari tiga jam. Proses pelepasan telur berlangsung selama 1-3 menit dimana selama proses pelepasan telur, induk betina melindungi telur yang baru dilepaskan. Hal ini memungkinkan sperma untuk membuahi telur sebanyak mungkin. Segera setelah semua bahan genetik dari jantan maupun betina bersatu maka pembuahanpun selesai. Telur akan menetas menjadi nauplii dalam waktu sekitar 16-17 jam setelah pembuahan. Jika diamati di bawah mikroskop,nauplii secara fisik nampak seperti laba-laba air. Selama beberapa hari nauplii makan dari makanan cadangan dari telur sampai nauplii bermetamorfosa menjadi zoeae sebagai tahap larva yang kedua. Zoaea makan mikroalga selama 3-5 hari sebelum berkembang menjadi
11
mysis. Pada fase mysis, larva sudah mulai nampak seperti bentuk udang dewasa. Selain mikro algae, mysis memakan diatom dan zooplankton, terutama di alam. Fase mysis berlangsung selama 4 hari sampai mysis bermetamorfosa kembali menjadi postlarva. Post larva telah berbentuk seperti udang dewasa, memakan zooplankton, detritus dan berbagai formula makanan buatan jika dipelihara dalam hatchery. Di alam, udang dewasa mencapai matang gonad, kawin dan bertelur di laut terbuka sampai pada kedalaman sekitar 70 m pada temperatur 26-28oC dan salinitas sekitar 35 ppt. Setelah menetas, larva berkembang di perairan lepas pantai ini dan setelah mencapai post larva, udang bermigrasi ke perairan pantai dan menetap di dasar estuari yang dangkal. Setelah beberapa bulan di daerah estuari, udang dewasa kembali bermigrasi ke perairan laut terbuka dimana selanjutnya terjadi kematangan gonad, perkawinan, dan pemijahan (Gambar 3).
mysis
postlarva
Zoea
juvenil
nauplius Udang muda
Telur dibuahi dewasa
Gambar 3Siklus hidup Litopenaeus vannamei (Sumber: diadaptasikan dari Braak 2002)
12
Makanan dan Kebiasaan Makan Di alam, udang penaeid bersifat karnivor yang memangsa krustase kecil, ampipoda, polikaeta. Namun dalam tambak, udang ini makan makanan tambahan atau detritus. Udang vanamebersifat nokturnal. Udang muda tetap membenamkan diri dalam substrat selama siang hari dan tidak makan atau tidak mencari makanan. Tingkah laku makan ini dapat diubah dengan pemberian pakan ke dalam tambak. Hasil penelitian di Ocean Institute Honolulu menunjukkan bahwa udang yang diberi pakan beberapa kali sehari tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan udang yang hanya diberi pakan sekali dalam satu hari (Wyban & Sweeney 1991). Respon Imun Krustase Krustase tidak memiliki respon imune spesifik (adaptive) dan nampak bergantung pada berbagai respon imun nonspesifik (innate). Meskipun dianggap tidak begitu memuaskan, respon imun nonspesifik mampu dengan cepat dan efisien mengenal dan menghancurkan material asing, termasuk patogen (VargasAlbores & Yepiz-Plascencia 2000;Witteveldt et al. 2003).
Respon imun
nonspesifik terdiri atas respon selular dan respon humoral. Respon Selular Hemositkrustase, dan invertebrata lain, memainkan peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh terhadap patogen seperti virus, bakteri, fungi, protozoa, dan metazoa (Johansson et al. 2000; Sindermann 1990; Rodriquez & Le Moullac 2000). Pertama, hemosit mengeluarkan partikel asing dalam hemocoel melalui fagositosis, enkapsulasi dan aggregasi nodular. Kedua, hemosit berperan dalam penyembuhan luka melalui cellular clumpingserta membawa dan melepaskan prophenoloxidase system (proPO).
Hemosit juga berperan dalam sintesa dan
pelepasan molekul penting hemolim seperti α 2 -macroglubulin (α 2 M), agglutinin, danpeptidaantibakteri(Rodriquez & Le Moullac 2000). Klasifikasi tipe hemositkrustase terutama didasarkan pada keberadaan granula sitoplasma, yaitu sel hyalin, semigranular, dan granular (Johansson et al. 2000; Le Moullac & Haffner 2000). Sel hyalin merupakan tipe sel yang paling
13
kecil dengan ratio nukleus sitoplasma tinggi dan tanpa atau hanya sedikit granula sitoplasma; sel granular merupakan tipe sel paling besar dengan nukleus yang lebih kecil dan terbungkus dengan granula; sel semi granular merupakan tipe sel diantara hyalin dan granular. Masing-masing tipe sel aktif dalam reaksi kekebalan tubuh, sebagai contoh, sel hyalin terlibat dalam fagositosis, sel semigranular aktif dalam enkapsulasi, sel granular aktif dalam penyimpanan dan pelepasan proPO system dan sitotoksisiti. Jumlah hemosit dapat sangat bervariasi berdasarkan spesies, respon terhadap infeksi, stres lingkungan, aktivitas endokrin selama siklus molting (Johansson et al. 2000), seks, fase perkembangan, status reproduksi dan nutrisi (Song et al. 2003). Pada kuruma shrimp (Marsupenaeus japonicus), total hemocyte count (THC) sebanyak 1.7x107 sel ml-1, pada L. stylirostris 1.84x107 sel ml-1, P. monodon berkisar 2.10x107 sel ml-1 (flow cytometry) sampai 2.33x107 sel.ml-1 (hemacytometer). Hasil penelitian Song et al. (2003) menunjukkan bahwa setelah
3-5 hari
diinfeksi dengan Taura Syndrome Virus (TSV),
THC L.
vannamei berukuran 10-20 g mengalami penurunan sebesar 70%
menjadi
7
0.345x10 sel ml
-1
7
-1
dibandingkan dengan kontrol 1.64x10 sel.ml ,
dengan
mortalitas mencapai 80%. Dalam kondisi hypoxia, THC L. styloristris turun menjadi rendah serta udang menjadi lebih sensitif terhadap infeksi V. aglinolyticus. Differential hemosit count (DHC) juga berubah (sel granular, semi granular, dan hyalin) dengan perubahan besar terjadi pada sel hyalindan semigranular (Le Moulac et al. 1998). Pada M. japonicus dan L. stylirostris, jumlah hemosit terbesar ditemukan pada fase postmoult dan terendah pada fase intermoult. Sel granular tertinggi dilepaskan pada fase postmoult pada L. stylirostris dan S. ingentis sedangkan sel hyalinmencapai puncak selama proses ganti kulit pada S. ingentis dan M. japonicus. Adanya sel hyalin yang tinggi selama proses ganti kulit nampaknya penting sebab mereka mengawali koagulasi dan mungkin terlibat dalam pembentukan kulit.
Konsentrasi sel granular yang tinggi dalam hemolimL.
stylirostris selama fase intermoult berhubungan dengan aktivitasphenoloxidase (PO) yang tinggi dan resistensi terhadap vibriosis (Le Moullac et al. 1997)
14
Fagositosis merupakan reaksi yang paling umum dalam pertahanan selular udang. Proses fagositosis dimulai dengan perlekatan (attachment) dan penelanan (ingestion) partikel mikroba ke dalam sel fagosit. membentuk
vacuola
pencernaan
(digestive
Sel fagosit kemudian
vacuola)
yang
disebut
fagosom(Rodriquez & Le Moullac 2000). Lisosom(granula dalam sitoplasma fagosit)
kemudian
menyatu
dengan
fagosom
membentuk
fagolisosom.
Mikroorganisme selanjutnya dihancurkan dan debris mikroba dikeluarkan dari dalam sel melalui proses egestion (Gambar 4). Pemusnahan partikel mikroba yang difagosit melibatkan pelepasan enzim ke dalam fagosom dan produksi ROI (reactive oxygen intermediate) yang kini disebut respiratory burst (Rodriquez & Le Moullac 2000; Sindermann 1990).
Gambar 4 Proses fagositosis (Sumber:http://www.cliffsnotes.com/WileyCDA/CliffsReviewTopic/P hagocytosis.topicArticleId-8524)
Hemosit berfungsi dalam enkapsulasi. Hal ini terjadi pada organisme yang memiliki tubuh terlalu besar untuk fagositosis. Pada saat hemosit mengelilingi tubuh benda asing yang besar, bagian sel terluar dari hemosit tetap berbentuk oval atau bulat sedangkan bagian tengah sel menjadi datardan pada fase berikutnya dilisis membentuk kapsul tebal berwarna coklat dan keras. Kapsul
15
tersebut tidak diserap kembali dan tetap sebagai tanda enkapsulasi meskipun sudah tidak ada hemosit yang dikenal disitu. Hemosit juga berfungsi dalam formasi melanin pada fase akhir penyembuhan atau perbaikan luka. Enzim yang terlibat dalam formasi melanin adalah phenoloxidase (PO) dan telah ditemukan terdapat dalam hemolim dan kulit arthropoda (Sritunyalucksana & Söderhäll 2000). Respon Humoral Proses imun pertama pada krustase adalah pengenalan mikroorganisme penyerang yang dimediasi oleh hemosit dan plasma protein (Bachere 2000). Beberapa tipe modulator protein telah diketahui dapat mengenal komponen dinding sel mikroorganisme seperti β-1,3-glucan-binding protein (BGBP), lipopolysaccharide-binding protein (LPS-BP), hemosit receptor yang mengikat plasmatic glucan-binding protein (PGBP) setelah PGBP bereaksi dengan β-1,3glukan;
peptidoglycan
recognition
protein
yang
mampu
mengaktifkan
phenoloxidase. Enzim phenoloxidase (PO) terdapat dalam hemolim sebagai inactive proenzyme yang disebut proPO.
Transformasi proPO menjadi PO melibatkan
beberapa reaksi dikenal sebagai proPO activating system (sistem aktivasi proPO). Sistem ini terutama diaktifkan oleh beta glukan, dinding sel bakteri dan LPS. Sistem aktivasi proPO dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem imun yang mungkin bertanggung jawab terhadap proses pengenalan benda asing dalam sistem pertahanan krustase dan insekta. Sistem proPO dapat digunakan sebagai marker kesehatan udang dan lingkungan karena perubahan sistemproPO berkorelasi dengan tahap infeksi dan variasi lingkungan. Enzim phenoloxidase (PO) bertanggung jawab terhadap proses melanisasi pada artropoda (Rodriquez & Le Moullac 2000).
Enzim ini mengkatalis
hidroksilasi monophenol dan oksidasi phenol menjadi quinones yang diperlukan untuk proses melanisasi sebagai respon terhadap penyerang asing dan selama proses penyembuhan (Sritunyalucksana & Söderhäll 2000; Vargas-Albores & Yepiz-Plascencia 2000). Quinone selanjutnya diubah melalui suatu reaksi non-
16
enzymatic menjadi melanin dan sering dideposit pada benda yang dienkapsulasi, dalam nodulhemosit, dan pada daerah kulit yang terinfeksi jamur.
Produksi
reactive oxygen species seperti superoxide anion dan hydroxyl radical selama pembentukan quonoid juga memainkan peranan penting sebagai antimikroba. Reaksi biologi seperti fagositosis, enkapsulasi dan nodulasi juga diaktifkan. Vaksinasi mungkin dapat meningkatkan aktivitashemosit, fagositosis dan aktivitas opsonin.
Pada invertebrata yang tidak memiliki antibodi, lektin
berfungsi sebagai molekul pengenal (recognition molecules) untuk aktivitas pertahanan seperti agregasi dan opsonisasi (Wittevelt et al. 2003). Lektin merupakan suatu set protein yang secara spesifik mengikat pada molekul gula termasuk glikoprotein dan glikolipid. Hasil uji coba Namikoshi et al. (2004) menunjukkan bahwa penggunaan formalin-inactivatedWSSV vaksin dapat meningkatkan resistensi P. japonicus terhadap WSSV sepuluh hari setelah divaksinasi dengan metoda vaksinasi intramuskular. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wittevelt et al. (2003) juga memperlihatkan bahwa penggunaan WSSV subunit vaksin dapat meningkatkan resistensi udang windu terhadap WSSV meskipun udang tidak memiliki respon imun spesifik. Imunostimulan Sejumlah substan biologi dan sintetik telah ditemukan dapat meningkatkan sistemimun nonspesifik ikan. Bahan tersebut dapat meningkatkan resistensi ikan dan udang terhadap infeksi sejumlah patogen secara simultan(Kumari et al. 2003; Raa et al. 1992). Oleh karena itu maka imunostimulan sangat penting untuk digunakan dalam kontrol penyakit karena menawarkan suatu alternatif terhadap penggunaan antibiotik yang saat ini banyak digunakan dalam budidaya ikan dan krustase (Cook et al. 2003; Yin et al. 2006), serta tanpa efek samping (Yin et al. 2006). Secara sederhana, imunostimulan merupakan suatu substan yang merangsang atau meningkatkan sistem imun dengan berinteraksi secara langsung dengan sel-sel yang mengaktifkan sistem imun (Gannam & Schrok 2001). Mekanisme kerja imunostimulan dalam merangsang sistem imun tubuh adalah
17
dengan cara meningkatkan aktivitas sel-sel fagosit(Yin et al. 2006). Jadi imunostimulan meningkatkan resistensi ikan atau udang terhadap patogensecara simultan dengan cara merangsang respon imun nonspesifik (Gannam & Schrok 2001). Imunostimulan dapat berupa bakteri dan produk bakteri, yeast, kompleks karbohidrat, faktor nutrisi, ekstrak hewan, ektrak tumbuhan, dan obat-obatan sintetik (Cook et al. 2003; Sakai 1999; Sealey & Gatlin 2001). Nukleotida merupakan nutrien semi esensial bagi ikan dan krustase. Nukleotida memiliki peranan penting dalam fisiologi dan biokimia seperti penandaan (encoding) dan penerusan informasi genetik, memediasi energi metabolisme dan cell signalling serta sebagai komponen koensim, allosteric effectors, dan cellular agonist (Li & Galtin 2006). Nukleotida terdiri atas basa purin atau pirimidin,ribosa atau 2’-deoksiribosa dan satu atau lebih grup fosfat. Basa purin yang utama terdiri atas adenin, guanin, hiposantin dan santin. Nukleosida purinmengandung ribosa atau 2-deoksiribosa yang berikatan dengan cicin purin melalui ikatan glikosidik (glycosidic bond) pada N-9. Nukleotida merupakan fosfat ester dari nukleosida. Basa pirimidinyang utama terdiri atas urasil, timin, dan sitosin. Urasil dan sitosin merupakan komponen pirimidin utama dari RNA.Nukleosida pirimidin atau nukleotida mengandungribosa atau 2’deoksiribosayang berikatan dengan pirimidin melalui ikatan glikosidik pada N-1. Fosfat esterdari nukleosida pirimidin adalah UMP, CMP, dan TMP (Devlin 2002; Li & Galtin 2006).Secara alami nukleotida terdapat dalam semua makanan yang berasal dari hewan dan tumbuhan dalam bentuk nukleotida bebas dan asam nukleat. Purin dan pirimidin disintesa dari de novo pathway atau diperoleh dari salvage pathway.Purin disintesa dalam sitosol sel mamalia dari glycine, aspartate, glutamine, turunan tetrahydrofolate dan CO 2 dengan input energi yang besar. Pirimidin disintesa dari aspartate, glutamine, dan CO 2 dalam sitosol dan mitokondria sel mamalia. Jalur sintesa ini mungkin juga terjadi pada ikan. Kebutuhan nukleotida untuk fungsi fiosiologi hewan dapat dipenuhi dari sintesa de novo. Namun demikian, suplai nukleotida dari sintesa tersebut tidak cukup untuk menjalankan fungsi fisiologi secara optimal terutama pada
18
sistemimun pada saat berada dalam kondisi stres (Li et al. 2004). akuakultur,
stres
akibat
penanganan
(handling),
penyortiran
Dalam
(grading),
pengangkutan, kepadatan tinggi, penyakit, dan kualitas air yang kurang baik merupakan masalah yang umum terjadi dan karenanya penambahan nukleotida dalam pakan mungkin diperlukan (Burrells et al. 200; Li et al. 2004). Hasil-hasil penelitian pada manusia dan hewan ternak memperlihatkan bahwa penambahan nukleotida dalam pakan dapat meningkatkan cell-mediated immunity(CMI), proliferasi limfosit, interleukin-2, dan meningkatkan resistensi terhadap infeksi bakteri (Li et al. 2004). Sebaliknya, hewan yang diberi pakan yang tidak mengandung nukleotida menderita gangguan pada fungsi imun selular dan humoral seperti penurunan aktivitasNK-cell dan makrofag, produksi sitokin rendah, penurunan produksi antibodi, dan suseptibilitas terhadap infeksi meningkat (Field et al.
2002).
Penambahan nukleotida dalam pakan dapat
memperbaiki kondisi tersebut. Pada bayi yang diberi susu ibu atau makanan yang ditambahkan nukleotida memiliki aktivitasNK-cell dan produksi IL-2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang diberi makanan tanpa suplementasi nukleotida. Makanan anak-anak yang tersedia saat ini umumnya telah ditambahkan nukleotida. Bagaimana mekanisme nukleotida dalam meningkatkan fungsi imun belum diketahui dan perlu diteliti lebih lanjut. Perhatian terhadap suplementasi nukleotida sebagai imunostimulan pada pakan ikan mulai meningkat sejak adanya laporan Burrels et al. (2001) yang memperlihatkan bahwa pakan yang ditambahkan nukleotida dapat meningkatkan resistensi ikan terhadap infeksi virus, bakteri dan parasit. Nukleotida dapat juga meningkatkan pertumbuhan serta meningkatkan toleransi ikan terhadap stres. Pada udang, nukleotida merupakan nutrient kunci (key nutrient) bagi sistem imun udang dan pemberian nukleotida seperti yeast atau ekstrak yeast dapat meningkatkan resistensi dan pertumbuhan udang.
19
JUDUL 1 RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) YANG DIBERI PAKAN BERSUPLEMEN NUKLEOTIDA Abstrak Efikasi nukleotida yang ditambahkan dalam pakan untuk meningkatkan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname(Litopenaeus vannamei) telah diteliti. Juvenil udang berukuran rata-rata 6.0±0.5 g diberi pakan pelet komersial yang sebelumnya telah ditambahkan nukleotida dengan 6 dosis berbeda yakni A: 0, B:100, C:200, D:300, E:400, dan F:500 mg.kg-1 pelet masingmasing dengan tiga ulangan. Udang diberi pakan 3 kali per hari selama 4 minggu berturut-turut dengan tingkat pemberian 3%/bb/hari.Pada akhir periode pemberian pakan, udang diuji tantang melalui injeksi intramuskular dengan Vibrio harveyi 0.1x106 cfu.udang-1. Nukleotida yang ditambahkan dalam pakan memperlihatkan pengaruh signifikan pada udang setelah diberikan selama empat minggu. Jumlah total hemosit(THC) udang pada perlakuan D (300 mg nukleotida) meningkat 76% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas PO udang pada perlakuan D (300 mg nukleotida) juga berbeda nyata (p=0.005) dibandingkan dengan kontrol namun tidak berbeda dibandingkan dengan perlakuan E (400 mg nukleotida) dan F (500 mg nukleotida). Resistensi yang diukur berdasarkan sintasan rata-rata (83.33±7.21%) pada perlakuan E(400 mg nukleotida) empat belas hari setelah uji tantang berbeda nyata (p=0.005) dibandingkan dengan kontrol, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan D (300 mg nukleotida).Pertumbuhan udang yang diamati sampai akhir periode pemberian pakan pada perlakuan E (400 mg nukleotida) berbeda nyata (p=0.001) dibandingkan dengan kontrol maupun dengan perlakuan lainnya. Sebagai kesimpulan, penambahan nukleotida pada dosis300 mg.kg-1 pelet selama 4 minggu dapat meningkatkan jumlah hemosit dan aktivitas PO, sedangkan resistensi dan pertumbuhan terbaik dicapai pada dosis 400 mg.kg-1 pakan. Kata kunci: Aktivitas PO, Litopenaeus vannamei, nukleotida, resistensi, total hemocyte count TOPIC 1 NONSPECIFIC IMMUNE RESPONSE AND RESISTANCE OF WHITELEG SHRIMP (Litopenaeus vannamei) FED NUCLEOTIDE- SUPPLEMENTED DIET Abstract The efficacy of nucleotides diet in enhancing nonspecific immune response, disease resistance and growth of Litopenaeus vannamei was investigated. Shrimp juveniles (mean weight 6.0±0.5 g) were fed commercial pellet previously supplemented with nucleotides with six different doses (A:0, B:100, C:200, D:300, E:400, F:500 mg.kg-1 pellet), each with three replication. Shrimps were fed three times a day for four consecutive weeks at a feeding rate of 3%/bw.day-1. At the end of feeding, each shrimp was challenged intramuscularly
20
with 0.1 mlVibrio harveyi solution containing 1x106 cfu. Nucleotides diet showed significant effect on shrimp after four weeks of feeding. Mean THC per ml of hemolymph in treatment D(300 mg nucleotides) increased up to 76% higher than control. PO activity of shrimp in treatment D (300 mg nucleotides) was also significantly different (p=0.005) compared to control shrimp, but not different as compared to those of treatments E (400 mg nucleotides) and F (500 mg nucleotides). Resistancemeasured as survival rate (83.33±7.21%) of shrimp in treatment E (400 mg nucleotides) fourteen days post-challenge with V. harveyi was significantly different (p=0.005) from that of control, but not different compared to treatment D (300 mg nucleotides). Shrimp growth observed in treatment E (400 mg nucleotides) was significantly higher (p=0.001) than those of other treatments. As conclusion, oral administration of nucleotides at 300 mg.kg-1 pellet for four weeks enhanced total hemocyte count dan PO activity while the highest disease resistance and growth were obtained at 400 mg.kg-1 diet. Keywords: resistance, Litopenaeus vannamei, nucleotides, total hemocyte count, PO activity
PENDAHULUAN Budidaya udang mulai berkembang dengan pesat di Indonesia sejak tahun 1980 setelah pemerintah mengeluarkan larangan terhadap pengoperasian alat tangkap trawler di beberapa daerah di Indonesia, sekaligus mencanangkan Program Budidaya Udang Nasional. Namun sejak awal tahun 1990, budidaya udang menghadapi kegagalan produksi akibat munculnya serangan penyakit terutama virus (MBV) dan vibriosis.
Kondisi ini lebih diperburuk lagi dengan
mewabahnya WSSV di Indonesia sejak tahun 1992/1993. Sejak ditemukan pada tahun 1992, WSSV telah menyebabkan masalah penyakit yang serius dan telah menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi industri budidaya udang dengan mortalitas kumulatif mencapai 100% (Wang et al. 1999; Witteveldt et al. 2003). Masalah ini terjadi bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara produsen lain seperti di Thailand dan Filipina. Pada tahun 2006, penyakit virus yang baru, infectious myonecrosis virus (IMNV), terdeteksi menyerang budidaya udang vaname di Indonesia (Taukhid dan Nuraini 2008). Sejumlah pendekatan telah diterapkan dalam upaya mengatasi masalah penyakit. Belakangan ini, berbagai bahan kimia, polisakarida, ekstrak tumbuhan dan beberapa nutrien semakin mendapat perhatian untuk digunakan dalam pakan
21
sebagai imunostimulan (Misra et al. 2006;Pais et al. 2008). Nukleotida merupakan nutrient semi esensial yang mulai mendapat perhatian serius untuk dikembangkan penggunaannya sebagai imunostimulan dalam budidaya ikan dan krustase dalam beberapa tahun terakhir ini. Nukleotida memiliki fungsi penting dalam fisiologi dan biokimia seperti penandaan (encoding) dan penerusan informasi genetik, memediasi energi metabolisme dan cell signalling maupun sebagai koensim, allosteric effectors, dan cellular agonist (Galtin& Li 2007). Evaluasi terhadap penggunaan nukleotida sebagai suplemen pakan ikan telah mulai dilakukan sejak awal tahun 1970-an. Penelitian-penelitian pada saat itu terutama bertujuan untuk mengevaluasi kemungkinan penggunaan nukleotida sebagai atraktan pakan (Li & Galtin 2006). Pada hewan ternak, nukleotida sudah lama dimanfaatkan sebagai atraktan pakan. Beberapa produk nukleotida komersil untuk ternak telah tersedia di pasaran dengan merek dagang ascogen dan optimun (Chemoforma, Switzerland). Beberapa laporan penelitian yang sudah ada menunjukkan bahwa selain terlibat dalam palatabilitas pakan dan biosintesa asam amino non esensial, eksogenous nukleotida dapat meningkatkan respon imun dan resistensi ikan terhadap sejumlah patogen secara simultan (Burrels et al. 2001).
Selain itu,
pemberian nukleotida juga dapat meningkatkan efikasi vaksinasi, meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan kualitas larva, serta meningkatkan toleransi terhadap stres. Hasil pengamatan Leonardi et al. (2003) menunjukkan bahwa pemberian nukleotida (optimun) pada atlantik salmon menurunkan level serum cortisol dan menghasilkan peningkatan resistensi terhadap penyakit. Pada udang, laporan-laporan penelitian tentang penggunaan nukleotida masih belum tersedia, atau jika ada, masih sangat terbatas. Disisi lain, nukleotida sangat aman digunakan dalam kontrol penyakit sebab bahan ini selain tidak meninggalkan residu dalam tubuh, juga tidak mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Penelitian tentang penggunaan nukleotida dalam budidaya udang juga dirasa sangat diperlukan untuk menyediakan solusi praktis guna mengurangi resiko terjadinya serangan penyakit infeksius maupun kerusakan lingkungan perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penambahan
22
nukleotida dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO, resistensi terhadap infeksi Vibrio harveyidan pertumbuhan udang vaname.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Maret 2009. Hewan Uji Hewan uji adalah juvenil udang vaname yang diperoleh dari fasilitas pembesaran udang vaname di areal pertambakan Bakauheni, Lampung Selatan.Udang yang dikumpulkan dimasukkan dalam kotak styrofoam yang dilengkapi aerator baterei kemudian diangkut ke Laboratorium Kesehatan Ikan Institut Pertanian Bogor menggunakan mobil. Nukleotida Nukleotida yang digunakan adalah nukleotida murni (Sigma-Aldrich) yang terdiri atas adenosine monophosphate (AMP), guanosine monophosphate (GMP), cytidine monophosphate (CMP), uridinemonophosphate (UMP), dan inosinemonophosphate (IMP). Persiapan Pakan Uji Sebelum dicampurkan ke dalam pakan, kelima jenis nukleotida dalam jumlah yang sama (1:1:1:1:1) dicampur terlebih dahulu secara merata. Selanjutnya campuran nukleotida ditimbang sesuai dosis yang dibutuhkan (perlakuan), dilarutkan dalam sedikit air, dan dicampurkan ke dalam pakan komersilsecara merata. Pakan kemudian dikering-anginkan dalam temperatur ruang. Setelah kering, putih telur (sebagai coater) dicampurkan secara merata ke dalam campuran pakan-nukleotida, dan dikering-anginkan kembali. Pelet selanjutnya dimasukkan dalam kantong plastik kemudian disimpan dalam lemari pendingin sampai saat akan digunakan. Pakan pelet komersil yang digunakan
23
memiliki komposisi: protein 38%, lemak 6%, serat kasar 3%, abu 13% dan kadar air 11%. Sebelum pakan yang telah ditambahkan nukleotida ini digunakan dalam percobaan maka dilakukan uji ketahanan dalam air (water stability).
Uji ini
dilakukan dengan cara memasukkan 5 g pakan ke dalam sebuah kotak berukuran 10x10x10 cm. Rangka kotak terbuat dari kawat sedangkan dindingnya berupa kain saring berdiameter 0.5 mm. Pakan yang telah ditambahkan nukleotida dimasukkan ke dalam kotak, kemudian kotak dimasukkan dalam akuarium dalam posisi menggantung dekat dasar. Akuarium berisi 50 l air, diberi aerasi dan menggunakan resirkulasi air sehingga kotak akan bergerak-gerak mengikuti gerakan air. Kondisi ini dibuat sama seperti pada akuarium percobaan. Setelah 3 jam, kotak dikeluarkan, pakan sisa dikeringkan pada 60oC selama 4 jam, kemudian ditimbang. Water stability(Ketahanan dalam air) merupakan ratio antara berat kering pakan sisa setelah direndam dalam air dalam waktu tertentu dan berat kering pakan sebelum direndam di kali 100%. Water stability yang diperoleh adalah 77.4% (3096 g/4 g x 100). Rancangan Percobaan Penelitian dikerjakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dimana masing-masing perlakuan memiliki 3 ulangan. Penempatan perlakuan ke dalam unit-unit percobaan dilakukan secara acak. Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut: A:
Nukleotida 0 mg.kg-1 pakan (pakan standar)
B:
Nukleotida 100 mg.kg-1 pakan
C:
Nukleotida 200 mg.kg-1 pakan
D:
Nukleotida 300 mg.kg-1 pakan
E:
Nukleotida 400 mg.kg-1 pakan
F:
Nukleotida 500 mg.kg-1 pakan
24
Prosedur Penelitian dan Pengambilan Data Juvenil udang vaname sebanyak 270 ekor dipelihara selama dua minggu dalam bak fiberglas berkapasitas 1000 l yang dilengkapi dengan aerator untuk proses aklimatisasi. Selama periode aklimatisasi, udang diberi pakan standar sebanyak 3%/bb/hari dan diberikan tiga kali sehari yakni pada pukul 09.00, 13.00, dan 17.00. Kualitas air dipertahankan stabil dan penggantian air dilakukan setiap 3-4 hari sekali. Selanjutnya udang (berat rata-rata 6.0±0.5 g) didistribusikan ke dalam 18 unit akuarium percobaan masing-masing berukuran 60x30x30 cm. Setiap akuarium berisi 50 l air dengan 15 ekor udang, dilengkapi dengan aerasi dengan airlift system serta menggunakan sistem resirkulasi air.
Kualitas air media
pemeliharaan adalah temperatur air 28-29oC, Salinitas 24-26 ppt, Oksigen 4.5– 4.7 mg/L, pH 7.4-7.5. Pakan perlakuan diberikan selama 4 minggu berturut-turut dengan tingkat pemberian 3%/bb/hari dan frekuensi pemberian 3 kali sehari yakni pukul 09.00, 13.00, dan 17.00. Selama masa percobaan, kualitas air dimonitor setiap hari untuk menjamin agar kondisi lingkungan tetap stabil. Kotoran dan sisa pakan yang terakumulasi dalam akuarium dikeluarkan melalui penyiponan. Pengambilan sampel hemolim untuk pengukuran parameter imunitas udang dilakukan seminggu sekali sampai akhir periode pemberian nukleotida. Pengambilan hemolim dikerjakan berdasarkan prosedur Liu & Chen(2004). Secara singkat, sekitar 0.1 mlhemolim diambil dari ventral sinus pada pangkal ruas tubuh pertama dengan menggunakan alat suntik 1-ml setelah sebelumnya dimasukkan 0.1 ml antikoagulan(30 mM trisodium citrate, 0.34 M sodium chloride, 10 mM EDTA, pH 7.5). Selanjutnya tambahkan antikoagulan sehingga perbandingan hemolim : antikoagulan menjadi 1 : 9. Parameter Imun Parameter imun udang yang diukur terdiri atas total hemocyte count (THC, sel.mL-1), dan aktivitas phenoloxidase (PO). imun sebagai berikut:
Prosedur pengukuran parameter
25
Penghitungan THC Sebanyak 50 µlcampuran hemolim-antikoagulan dimasukkan dalam neutral buffered formalin (10%) selama 30 menit. Selanjutnya, THC dihitung dengan menggunakan hemasitometer di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x. AktivitasPhenoloxidase (PO) Aktivitas PO hemosit diukur berdasarkan formasi dopachrome yang dihasilkan oleh L-DOPA.
Pengukuran aktivitas PO dikerjakan berdasarkan
prosedur yang dikemukakan oleh Liu & Chen
(2004). Pertama-tama, 1 ml
campuran hemolim-antikoagulan disentrifuse pada 700 g selama 20 menit pada temperatur 4oC. Supernatan dikeluarkan dan pelet disuspensikan kembali secara perlahan-lahan ke dalam larutan cacodylate-citrate buffer (0.01 M sodium cacodylate, 0.45 M sodium chloride, 0.10 M trisodium citrate, pH 7) dan disentrifuse kembali. Pelet kemudian diambil dan disuspensikan dalam 200 µl cacodylate buffer (0.01 M sodium cacodylate, 0.45 M sodium chloride, 0.01 M calsium chloride, 0.26 M magnesium chloride, pH 7). Aliquot sebanyak 100 µl diinkubasi dengan 50 µl tripsin (1 mg.ml-1 cacodylate buffer) sebagai aktivator selama 10 menit pada temperatur 25-26oC. Selanjutnya tambahkan 50 µl L-DOPA (3 mg.ml-1 cacodylate buffer), setelah 5 menit, tambahkan 800 µl cacodylate buffer.Densitas optikal (OD) 490 nm diukur dengan menggunakan Spectrophotometer. Larutan standar mengandung 100 µl suspensi hemosit, 50 µl cacodylate buffer (pengganti tripsin), dan 50 µl L-DOPA digunakan untuk mengukur background aktivitas PO pada semua larutan uji. Densitas optikal (OD) dari aktivitas PO padasemua kondisi uji dinyatakan sebagai formasi dopachrome dalam 50 µl hemolim. Resistensi Uji-tantang dilakukan pada akhir periode pemberian pakan perlakuan. Sebelum dilakukan uji-tantang, aerator dan resirkulasi air dimatikan terlebih
26
dahulu selama kurang lebih 30 menit, kemudian semua udang (8 ekor/akuarium) diuji tantang melalui injeksi intramuskular 0.1 ml larutan bakteri Vibrio harveyi 1x106cfu.udang-1 pada bagian punggung ruas badan ke 3. Setelah disuntik, udang dimasukkan kembali ke dalam akuarium. Selama periode uji-tantang, resirkulasi air dimatikan. Udang diberi pakan standar 3%/bb/hari dan diberikan tiga kali sehari yakni pukul 09.00, 13.00, dan 17.00. Kualitas air dimonitor agar berada dalam kondisi stabil, kotoran dan sisa pakan dikeluarkan melalui penyiponan, dan air yang terbuang diganti dengan air yang baru. Udang mati dikeluarkan setiap hari dan jaringan udang diambil untuk isolasi bakteri guna mengkonfirmasi bahwa penyebab kematian adalah V. harveyi. Pengamatan mortalitas dilakukan setiap hari selama 14 hari setelah uji tantang. Parameter yang diukur untuk penentuan resistensi udang adalah tingkat sintasan (SR) yang dicapai sampai pada akhir periode pengamatan. Tingkat sintasan dihitung dengan formula berikut: SR (%) = Nt/No x 100 Dimana:
SR = Sintasan Nt = jumlah udang hidup pada waktu t No = jumlah udang hidup waktu tebar
Pertumbuhan Pertumbuhan udang diukur setiap dua minggu sekali yakni pada hari ke 14 dan 28.Pertumbuhan udang dinyatakan sebagai selisih antara berat udang yang diukur pada akhir percobaan dengan berat udang pada awal percobaan: G = Wt – Wo dimana:
G= pertumbuhan (g) Wt = berat udang pada waktu t (g); Wo = berat udang pada awal percobaan (g) Analisis Data
Data hasil pengukuran dinyatakan dalam nilai rata-rata±Sdv. Evaluasi perbedaan respon imun udang (THC,aktivitasPO), resistensi dan pertumbuhan akibat pemberian perlakuan nukleotida dilakukan melalui analisis ragam. Apabila
27
terdapat perbedaan antar nilai-rata-rata perlakuan maka analisis data dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan dengan menggunakan program SPSS 17 untuk windows. Namun apabila tidak terdapat perbedaan pengaruh antar perlakuan maka analisis hanya dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan angka mutlak.
HASIL DAN PEMBAHASAN Total Hemocyte Count Hemosit memainkan peranan penting dalam sistem imun krustase. Hemosit berperan dalam fagositosis, enkapsulasi, degranulasi dan agregasi nodular terhadap patogen atau partikel asing, serta produksi dan pelepasan proPO(Sahoo et al. 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nukleotida yang ditambahkan ke dalam pakan dapat meningkatkan THC udang vaname setelah diberikan selama 4 minggu. THC udang setelah diberi pakan dengan suplementasi nukleotida dapat dilihat pada Tabel 1 (Lampiran 1 dan 2). Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada nilai THC rata-rata setelah udang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 1 minggu, 2 minggu dan 3 minggu. Setelah diberikan selama 4 minggu, penambahan nukleotida dalam pakan udang secara nyata (p=0.005) meningkatkan THC (Lampiran 3). THC rata-rata yang diukur pada perlakuan C (200 mg nukleotida), D (300 mg nukleotida), E (400 mg nukleotida), dan F (500 mg nukleotida) pada minggu ke 4 berbeda nyata (p=0.005) jika dibandingkan dengan THC pada perlakuan A (0 mg nukleotida) dan perlakuan B (100 mg nukleotida), namun antar perlakuan C, D, E, dan F, THC tidak berbeda nyata(Lampiran 4). Pada perlakuan D (300 mg nukleotida) dan E (400 mg nukleotida), THC mencapai 76% (2.137±0.252 sel/ml) dan 73% (2.109±0.553sel/ml) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (1.216±0.158sel/ml).Temuan ini sama seperti yang dilaporkan oleh Hill et al. (2006) dimana juvenil udang windu yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida komersil (ekstrak yeast, Vannagen 0.2%) selama 6 minggu memiliki THC 100% yang lebih tinggi dibandingkan dengan udang yang diberi pakan tanpa
28
penambahan nukleotida dan pada udang yang lebih besar, THC mencapai 30% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Belum diketahui dengan jelas
bagaimana kerja nukleotida dalam meningkatkan THC pada udang. Menurut Barnes (2006), nukleotida merupakan nutrien semi esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel. Sajeevan et al. (2006) juga menyatakan bahwa nukleotida yang ditambahkan dalam pakandapat mengoptimalkan fungsi pembelahan sel termasuk sel-sel imum.Hal yang sama diduga terjadi pada udang vaname dimana nukleotida yang ditambahkan dalam pakan akan digunakan untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel-sel hemosit.Nukleotida akan diurai oleh nukleotidaseuntuk melepaskan molekul fosfat dan menghasilkan nukleosida. Nukleosida
selanjutnya
diurai
oleh
nukleosidase
atau
nucleoside
phosphorylaseuntuk melepaskan molekul gula dan menghasilkan basa purin dan pirimidin. Nukleosida dan basa nitrogen akan diserap oleh usus untuk selanjutnya di sintesa kembali membentuk nukleotida yang dibutuhkan untuk replikasi DNA dan sintesa RNA dalam pembelahan sel (Devlin, 2002). Tabel 1 THC rata-rata L.vannameiyang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu Perlakuan
THC (x 107 sel.mL-1)
A
Hari-7 0.421±0.097a
Hari-14 0.560±0,183a
Hari-21 1.160±0.195a
Hari-28 1.216±0.158a
B
0.422±0.075a
0.888±0.752a
1.199±0.168a
1.497±0.132a
C
0.427±0.251a
0.927±0.200a
1.648±0.160a
2.026±0.069b
D
0.435±0.018a
1.138±0.718a
1.715±0.358a
2.137±0.252b
E
0.481±0.126a
1.105±0.485a
1.704±0.466a
2.109±0.553b
F
0.489±0.459a
1.088±0.267a
1.526±0.695a
2.020±0.120b
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (p=0.005)
Aktivitas PO Phenoloxidase (PO) merupakan suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap proses melanisasi pada krustase sebagai respon terhadap penyerang asing (Vargas-Albores & Yepiz-Plascencia 2000; Sritunyalucksana & Söderhäll 2000;
29
Rodriquez & Le Moullac 2000). Enzim PO mengkatalis hidroksilasi monophenol dan oksidasi phenol menjadi quinones. Quinone selanjutnya diubah melalui suatu reaksi non-enzymatic menjadi melanin dan sering dideposit pada benda yang dienkapsulasi, dalam nodulhemosit, dan pada daerah kulit yang terinfeksi jamur. Dalam proses melanisasi yaitu selama pembentukan quonoid terjadi produksi reactive oxygen spesies seperti superoxide anion dan hydroxyl radical yang memainkan peranan penting sebagai antimikroba. Reaksi fagositosis, enkapsulasi dan nodulasi juga diaktifkan. Pengaruh pemberian nukleotida terhadap aktivitas PO cenderung sama seperti pengaruhnya terhadap THC udang. Nilai aktivitas PO udang setelah diberi suplementasi nukleotida selama 4 minggu disajikan pada Tabel 2 (Lampiran 5 dan 6). Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa pemberian pakan dengan suplementasi nukleotida selama 1, 2 dan 3 minggu tidak berpengaruh terhadap aktivitas PO udang. Penambahan nukleotida dalam pakan memperlihatkan pengaruh sangat nyata (p=0.005)terhadap aktivitas PO setelah diberikan selama 4 minggu (Lampiran 7). Tabel 2 Aktivitas PO L.vannamei yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu Perlakuan
Hari-7
Hari-14
Hari-21
Hari-28
A
0.172±0,045a
0.197±0.022a
0.219±0.040a
0.236±0.008a
B
0.178±0,020a
0.199±0.037a
0.222±0.031a
0.242±0.019a
C
0.196±0,060a
0.234±0.043a
0.273±0.081a
0.283±0.036ab
D
0.209±0,085a
0.270±0.021a
0.335±0.055a
0.423±0.082c
E
0.188±0,011a
0.244±0.003a
0.296±0.029a
0.364±0.086bc
F
0.184±0,068a
0.243±0.198a
0.287±0.101a
0.358±0.031bc
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (p=0.005)
Nilai aktivitas PO udang yang diberi pakan dengan penambahan nukleotida 300 mg.kg-1 pakan (perlakuan D) berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan perlakuan E (400 mg nukleotida) dan F (500 mg nukleotida). Aktivitas PO udang pada perlakuan E dan F juga berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol (Lampiran 8).
30
Nilai aktivitas PO tertinggi teramati pada perlakuan D (300 mg nukleotida), kemudian E (400 mg nukleotida) dan F (500 mg nukleotida). Menurut Gullian et al. (2004), nilai aktivitas PO sebesar 0.350–0.500 dikategorikan memiliki aktivitas tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwapemberianoral nukleotida 300-400 mg.kg-1 pakan dapat meningkatkan aktivitas PO.
Aktivitas PO yang tinggi
berkaitan dengan jumlah total hemosityang tinggi (Tabel 1). Sebab, hemosit udang berfungsi dalam produksi dan pelepasan PO ke dalam hemolim dalam bentuk inactive pro-enzyme yang disebut proPO.
Dalam keadaan normal,
semakin banyak jumlah hemosit semakin tinggi pula produksi proPO. Bagaimana mekanisme eksogenous nukleotida dalam merangsang atau meningkatkan fungsi imun belum diketahui. Berdasarkan hasil-hasil penelitian pada hewan, nukleotida berfungsi dalam berbagai proses selular yakni sebagai sumber energi kimia (ATP) dan berfungsi dalam cellular communication (Field et al. 2002).
Li & Galtin (2006) juga menyatakan bahwa nukleotida yang
ditambahkan dalam pakan ikan selain digunakan sebagai nutrien untuk prosesproses biosintesa, juga akan terlibat dalam cell signaling pathway.Proses yang sama diduga terjadi pula pada krustase. Pada krustase, proPO berfungsi dalam sistem pengenalan benda asing dan melanisasi (Morales et al. 2007; Sritunyalucksana &Söderhäll 2000). Resistensi Mortalitas udang mulai terlihat pada 24 jam setelah udang diuji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi. Kematian terus berlanjut hingga hari ke empat (96 jam) terutama pada perlakuan A (0 mg nukleotida), B (200 mg nukleotida), dan F (500 mg nukleotida). Pada semua perlakuan, kematian udang tidak lagi terjadi pada hari ke lima (120 jam) dan seterusnya sampai akhir pengamatan pada hari ke 14 setelah uji-tantang. Sintasan kumulatif udang setelah diuji-tantang dengan V.harveyi dapat dilihat pada Gambar 5 (Lampiran 9)
31
Sintasan Kumulatif (%)
100 90 80 70 60 50 A B C D E F
40 30 20 10 0 0
1
2
3
4
5
6
10
14
Hari setelah uji tantang Gambar 5 Sintasan kumulatif udang vanameyang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4 minggu dan diuji tantang dengan Vibrio harveyi Resistensi udang diukur berdasarkan tingkat sintasan yang dicapai sampai pada akhir pengamatan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata sintasan (p=0.005) yang dicapai sampai akhir periode pengamatan (Lampiran 11).Sintasan udang pada perlakuan E (400 mg nukelotida)mencapai 83.33%±7.21. Angka ini berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan D (300 mg nukleotida) yakni sebesar 66.66±7.21% (Lampiran 12).
Tingkat
sintasanudang pada perlakuan D (300 mg nukleotida) juga berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Tabel 3(Lampiran 10) memperlihatkan resistensi udang vaname setelah diuji-tantang dengan bakteri V. harveyi. Tabel 3Resistensi L.vannameiyang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda dan diuji-tantang dengan V. harveyi Perlakuan Sintasan (%) A 41.66±7.21a B 50.00±12.5ab C 62.50±12.5b D 66.66±7.21bc E 83.33±7.21c F 62.50±12.5b Superskrip berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p=0.005)
32
Beberapa imunostimulan seperti β-glukan, LPS dan peptidoglikan telah diketahui dapat meningkatkan resistensi udang terhadap bakteri dan virus (Chang et al. 2003; Sahoo et al. 2008; Song et al. 2003; Sung et al. 2001; Takahashi et al. 2000). Sebaliknya, laporan tentang pengaruh eksogenous nukleotida terhadap resistensi udang masih sangat terbatas. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa suplementasi nukleotida pada dosis 300 dan 400 mg.kg-1pakan (perlakuan D dan E) dapat meningkatkan jumlah hemosit dan aktivitas PO. Meningkatnya kedua parameter imun ini selanjutnya akan menghasilkan peningkatan resistensi udang setelah diuji tantang dengan bakteri patogen.Pada ikan, beberapa laporan penelitian memperlihatkan bahwa suplementasi nukleotida dalam pakan pelet dapat meningkatkan resistensi ikan terhadap berbagai patogen. Hasil penelitian Li et al. (2004a) menunjukkan bahwa setelah diberi pakan nukleotida selama 6-7 minggu dan diuji-tantang dengan Streptococcus iniae, produksi oxidative radical neutrofil darah hybrid striped bass (7.1–9.1 g) meningkat dan sintasan ikan yang diberi pakan nukleotida (80%) lebih tinggi dib&ingkan dengan ikan yang diberi pakan tanpa suplemen nukleotida (60%). Sakai et al. (2001) melaporkan pemberian nukleotida yang diisolasi dari RNA yeast sebanyak 15 mg/ikan selama 3 hari pada Cyprinus carpio100 g meningkatkan aktivitasfagositosis, respiratory burst, serum complement dan aktivitas lisozyme serta meningkatkan resistensi terhadap infeksi A. hydrophila. Dalam pengamatan yang dilakukan oleh Burrells et al. (2001), rainbow trout yang berukuran 53-55 g dan diberi pakan nukleotida dengan suplementasi nukleotida komersil (Optimûn, 2 g/kg pakan) selama 2 minggu memiliki mortalitas 35.7% sedangkan ikan yang diberi pakan tanpa suplementasi nukleotida mengalami mortalitas 48% setelah 53 hari diperhadapkan dengan ikan yang sebelumnya telah disuntik dengan ISAV (Infectious Salmon Anaemia Virus). Burgents et al. (2004) juga melaporkan bahwa resistensi udang vaname terhadap infeksi buatan Vibriosp meningkat jika udang diberi pakan mengandung Saccharomyces cerevisiae. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa penambahan nukleotida dalam pakan udang dapat meningkatkan resistensi udang vaname terhadap patogen dan berpotensi untuk diterapkan dalam manajemen kesehatan budidaya udang. Dalam
33
penelitian ini, data sintasan udang setelah uji tantang digunakan sebagai ukuran resistensi penyakit. Sebab, metodologi untuk secara komprehensif menetapkan imunitas dan resistensi ikan masih terbatas sehingga biomarker tentang resistensi masih sulit ditentukan (Li & Galtin 2006). Pertumbuhan Data pertumbuhan udang setelah diberi pakan bersuplemen nukleotida dengan dosis berbeda disajikan pada Tabel4 (Lampiran 13 dan 14). Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada nilai rata-rata pertumbuhan udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 2 minggu pertama. Setelah 4 minggu pemberian, nukleotida secara nyata (p=0.001) mempengaruhi pertumbuhan udang (Lampiran 15). Pertumbuhan rata-rata udang pada perlakuan E (400 mg nukleotida)berbeda nyata jika dibandingkan dengan pertumbuhan udang kontrol, maupun dengan pertumbuhan udang pada semua perlakuan uji lainnya (Lampiran 16). Tabel 4 Pertumbuhan L.vannamei yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosisberbeda selama 4 minggu Perlakuan Berat Awal (g) A
6.0±0.5
Berat Akhir (g)
Perolehan Berat (g)
Hari-14
Hari-28
Hari-14
Hari-28
7.36±0.86a
9.35±0.38a
1.36±0.86
3.35±0.37
a
ab
B
6.0±0.5
7.55±0.56
9.43±0.58
1.55±0.56
3.43±0.57
C
6.0±0.5
7.86±0.07ab
9.67±0.12ab
1.86±0.07
3.67±0.12
D
6.0±0.5
8.21±0.67ab
10.26±0.54b
2.21±0.66
4.26±0.55
E
6.0±0.5
8.65±0.17b
11.05±0.40c
2.65±0.17
5.05±0.40
F
6.0±0.5
8.25±0.68ab
9.03±0.34a
2.25±0.67
3.03±0.33
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.01) Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang yang diberi nukleotida 400 -1
mg.kg pellet (perlakuan E) memiliki berat akhir yang lebih besar (11.05g±0.40 g) jika dibandingkan dengan berat akhir yang dicapai pada semua perlakuan lainnya (Tabel 4). Perolehan berat udang mencapai 5.05 g atau 50.75% lebih tinggi dari perolehan berat udang kontrol (3.35 g).
Hasil yang
sama juga
34
dilaporkan oleh Li et al. (2007) dimana penambahan campuran nukleotida murni 0.04% atau 400 mg.kg-1 pakan dan diberikan selama 5 minggu secara signifikan meningkatkan berat akhir udang vaname dibandingkan dengan udang yang diberi pakan tanpa suplementasi nukleotida. Lin et at. (2009) juga menemukan bahwa ikan kerapu (Epinephelus malabaricus) yang diberi pakan dengan penambahan nukleotida murni selama 8 minggu memiliki perolehan berat yang lebih besar dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan tanpa suplementasi nukleotida. Selanjutnya, Burrells et al. (2001) melaporkan bahwa pertumbuhan ikan salmon meningkat setelah 8 minggu diberi pakan yang ditambahkan nukleotida komersil (Optimun) pada dosis 2 g.kg-1 pakan. Menurut Burrells et al. (2001), nukleotida yang ditambahkan dalam pakan akan meningkatkan napsu makan ikan sehingga pengambilan pakan meningkat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rumsey et al. (1992) ditemukan bahwa penambahan guanine 1.85% dalam pakan secara nyata meningkatkan napsu makan ikan rainbow trout sehingga meningkatkan pengambilan pakan setelah diberikan selama 12 minggu. Pada ikan grouper, pemberian adenosine monophosphate (AMP) dapat meningkatkan pertumbuhan dan respon imun lebih baik dibandingkan dengan nukleotida lainnya (Lin et al. 2009). Kubitza et al. (1997) juga melaporkan bahwa pemberian nukleotida pada ikan largemouth bass meningkatkan pengambilan pakan sebesar 46% lebih banyak dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan tanpa suplementasi nukleotida. Suplementasi inosine monophosphate (IMP) dalam pakan akan meningkatkan pengambilan pakan ikan sebesar 23% lebih banyak dibandingkan dengan ikan kontrol. Jadi dapatlah diduga bahwa nukleotida yang ditambahkan dalam pakan akan meningkatkan napsu makan udang sehingga meningkatkan pengambilan pakan yang selanjutnya menghasilkan peningkatan pertumbuhan udang. Namun demikian, hasil-hasil penelitian pada ikan memperlihatkan bahwa pengaruh nukleotida terhadap respon makan ikan berbeda-beda menurut spesis ikan (spesies specific). Hal yang sama mungkin terjadi pada udang dan oleh karena itu maka jenis nukleotida mana yang potensial meningkatkan napsu makan udang masih perlu diteliti.
35
Pada udang yang diberi nukleotida 500 mg.kg-1 pelet (perlakuan F), pertumbuhan meningkat sampai pada minggu ke 2. Selanjutnya pertumbuhan nampak menurun pada akhir minggu ke 4 dan bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan udang kontrol (tanpa nukleotida).
Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Adamek et al. (1996) diacu dalam Galtin & Li (2007) menunjukkan bahwa pemberian nukleotida komersil (ascogen) 5 g/kg pakan (setara 750 mg nukleotida) menekan pertumbuhan rainbouw trout dan goldfish setelah 37 hari pemberian, sedangkan pemberian 0.62 g (setara 93 mg nukleotida) dan 2.5 g ascogen/kg pakan (setara 375 mg nukleotida) meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan rainbouw trout. Dalam laporan penelitian oleh Li et al. (2004), hybrid striped bass yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida (ascogen) selama 8 minggu mengalami peningkatan respon imun nonspesifik dan pertumbuhan namun jika diberi selama 16 minggu tidak terjadi peningkatan. Rumsey et al. (1992) melaporkan bahwa suplementasi 4.1% ekstrak RNA bakteri dalam pakan tidak menekan pertumbuhan rainbow trout namun penambahan 10% ekstrak RNA bakteri sebaliknya akan menekan pertumbuhan. Menurunnya pertumbuhan berkaitan dengan meningkatnya serum urea yang berasal dari metabolisme nukleotida. Jadi, dosis dan lama waktu pemberian perlu dipertimbangkan dalam aplikasi nukleotida sebab dosis yang berlebihan dan diberikan dalam waktu berkepanjangan mungkin tidak akan mendorong pertumbuhan tetapi justru akan menekan pertumbuhan. Menurut Li & Galtin (2006), penambahan nukleotida yang seimbang dalam pakan dapat memacu pertumbuhan dan pemanfaatan pakan ikan.
KESIMPULAN Penambahan nukleotida dengan dosis 300 mg.kg-1 pakan menghasilkan peningkatan jumlah hemosit dan aktivitas PO tertinggi sedangkan resistensi dan pertumbuhan udang terbaik dicapai pada dosis 400 mg.kg-1 pakan.
36
JUDUL 2 RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN PERTUMBUHAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)YANG DIBERI PAKAN YANG DITAMBAHKAN NUKLEOTIDA DENGAN LAMA PEMBERIAN BERBEDA Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh protokol pemberian pakan yang ditambahkannukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO dan pertumbuhan udang vaname. Juvenil dipelihara dalam 5 akuarium kaca berkapasitas 120 l dengan kepadatan 25 ekor/akuarium. Pelet udang ditambahkan nukleotida sebanyak 400 mg.kg-1 pakan dan diberikan 3 kali/hari dengan tingkat pemberian 3%/bb/hari. Pakan yang ditambahkan nukleotida dan pakan standar diberikan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida 7 hari pakan standar secara bergantian selama 49 hari. THC, aktivitas PO, dan pertumbuhan diukur pada akhir periode percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberianoral nukleotida dengan interval pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida dan 7 hari pakan standartidak berpengaruh terhadap THC, aktivitas PO, dan pertumbuhan udang. Namun apabila diberikan selama 4 minggusecara berlanjut, penambahan nukleotida pada pakan secara nyata meningkatkan respon imun nonspesifik dan pertumbuhan udang vaname. Kata kunci: aktivitas PO, Litopenaeus vannamei, nukleotida, total hemocyte count
TOPIC 2NONSPECIFIC IMMUNE RESPONSE AND GROWTH OFSHRIMP (Litopenaeusvannamei)FED NUCLEOTIDESUPPLEMENTED DIET AT DIFFERENT FEEDING TIME Abstract This study evaluated the effects of feeding protocol of nucleotidesupplemented dieton total hemocytes, PO activityand growth of whiteleg shrimp. Shrimp juveniles were reared in five 120-l glass aquaria at the density of 25 juveniles each. Shrimp pellet was supplemented with nucleotides mixture at 400 mg.kg-1 diet. Shrimps were fed three time a day at 3%/bw/d. Feeding protocol was 7 days nucleotides diet – 7 days basal diet alterably for 49 days. Total hemocyte count, PO activity, and growth were measured at the end of experiment.Research result showed that oral administration of nucleotidesat seven days interval did not affect THC, PO activity, and growth of shrimp. But if the feed was administered successively for four weeks, supplementation of nucleotides would significantly enhance the nonspecific immune response and shrimpgrowth. Keywords: Litopenaeus vannamei, nucleotides, PO activity, total hemocyte count
37
PENDAHULUAN Produksi usaha budidaya udang secara langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan dan resistensi udang yang dipelihara. Namun demikian, penyakit terutama yang disebabkan oleh virus telah menyebabkan banyak usaha yang mengalami kerugian ekonomi yang cukup besar. Oleh karena itu, kontrol penyakit perlu mendapat perhatian serius agar usaha dapat berkesinambungan. Nukleotida merupakan imunostimulan yang potensial untuk diaplikasikan dalam mengontrol penyakit pada ikan dan udang. Beberapa penelitian pada ikan telah membuktikan bahwa pemberian oral nukleotida dapat meningkatkan respon imun dan resistensi, toleransi terhadap stres serta pertumbuhan ikan (Li & Galtin 2006). Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya telah ditemukan bahwa suplementasi nukleotida dalam pakan dapat meningkatkan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname. Dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam aplikasi imunostimulan dalam budidaya adalah dosis dan lama waktu pemberian. Pemberian nukleotida dalam jumlah yang tepat dapat meningkatkan imunitas dan pertumbuhan udang yang dipelihara, sebaliknya dosis berlebihan akan menekan pertumbuhan dan bersifat imunosupresor bagi hewan yang dipelihara (Sakai 1999). Lama waktu pemberian sangat penting untuk menghasilkan respon imunitas optimal sebab pemberian imunostimulan yang berkepanjangan dapat menekan resistensi ikan terhadap penyakit dan pertumbuhan (Li & Galtin 2006). Sebagai contoh, rainbow trout yang diberi peptidoglikan selama 56 hari tidak memperlihatkan proteksi terhadap V. anguillarium, tetapi ikan yang diberi 28 hari memperlihatkan
peningkatan
proteksi.
Bagaimana
pengaruh
pemberian
imunostimulan yang berkepanjangan terhadap penurunan respon imun atau pertumbuhan belum diketahui (Misra at al. 2006; Sakai 1999). Oleh karena itu, lama waktu pemberian yang efektif perlu diteliti untuk masing-masing imunostimulan.
38
Sampai saat ini, belum ada hasil penelitian yang menetapkan lama waktu atau protokol pemberian nukleotida pada udang maupun ikan. Beberapa penelitian pada ikan menggunakan lama waktu adminitrasi nukleotida yang berbeda-beda. Ramadhan et al. (1994) memberikan nukleotida komersil (ascogen) selama 120 hari pada hybrid tilapia, Burrel et al. (2001) memberikan nukleotida (optimun) selama 3 minggu pada atlantik salmon, Sakai et at. (2001) memberikan yeast RNA selama 3 hari pada Cyprinus carpio, Li et at. (2007) memberikan campuran nukleotida murni selama 5 minggu pada udang vaname,dan Leonardi et al. (2003) memberikan optimun selama 120 hari pada rainbow trout. Pada penelitian yang telah dikerjakan pada tahap sebelumnya, didapatkan bahwa aplikasi nukleotida pada level 400 mg.kg-1 pakan mampu meningkatkan total hemosit, aktivitas PO, resistensi, dan pertumbuhan udang vaname. Berapa lama faktor-faktor ini dapat ditingkatkan oleh penambahan nukleotida tanpa menimbulkan resiko yang berbahaya pada udang seperti menekan respon imun dan pertumbuhan belum diketahui, atau bagaimana protokol pemberian yang efektif yang dapat mengoptimalkan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan belum diketahui. Dengan menggunakan dosis yang ditetapkan terbaik pada penelitian tahap sebelumnya, maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengevaluasi pengaruh protokol pemberian nukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO dan pertumbuhan udang vaname.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada 23 April–2 Juli 2009. Hewan Uji Hewan uji adalah juvenil udang vaname yang diambil dari fasilitas pembesaran udang vaname di areal pertambakan Bakauheni Lampung Selatan.
39
Udang dimasukkan dalam kotak styrofoam yang dilengkapi aerator baterei kemudian diangkut ke laboratorium Kesehatan Ikan IPB menggunakan mobil. Nukleotida Nukleotida yang digunakan adalah nukleotida murni (Sigma-Aldrich) yang terdiri atas adenosine monophosphate (AMP), guanosine monophosphate (GMP), cytidine monophosphate (CMP), uridine monophosphate (UMP), dan inosine monophosphate (IMP). Rancangan Percobaan Eksperimen ini bersifat eksploratif guna mendapatkan protokol pemberian imunostimulan nukleotida yang tepat dalam mengoptimalkan respon imun nonspesifik dan pertumbuhanudang vaname. Hewan uji dipelihara dalam 5 buah akuarium kaca yang masing-masing berukuran 60x50x40 cm dengan kapasitas 120 liter air. Udang dalam akuarium Aq1 diberi pakan standar sedangkan udang dalam akuarium Aq2, Aq3, Aq4, dan Aq5 masing-masing diberi pakan yang ditambahkan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan namun jadual waktu pemberian yang berbeda. Protokol pemberian nukleotida disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Protokol pemberian pakan dengan dan tanpa suplementasi nukleotida pada udang vaname Waktu pemberian (minggu)
Wadah Percobaan
1
2
3
4
5
6
7
Aq1
PS
PS
PS
PS
PS
PS
PS
Aq.2
NT
PS
PS
PS
PS
PS
PS
Aq.3
NT
PS
NT
PS
PS
PS
PS
Aq4
NT
PS
NT
PS
NT
PS
PS
Aq5
NT
PS
NT
PS
NT
PS
NT
Ket: NT: pakan dengan suplementasi nukleotida; PS: pakan standar Prosedur Penelitian dan Pengambilan Data Sebanyak 125 ekor juvenil udang vaname dipelihara dalam bak fiberglas (kapasitas 1 ton) untuk proses penyesuaian kondisi lingkungan. Bak aklimatisasi
40
ini dilengkapi dengan aerator serta menggunakan resirkulasi air. Selama periode aklimatisasi, udang diberi pakan standar sebanyak 3% bb/hari yang diberikan tiga kali sehari yakni pada pukul 09.00, 13.00, dan 17.00.
Pada akhir periode
aklimatisasi, udang (rata-rata 9.41±0.43 g) dipindahkan ke dalam akuarium Aq1, Aq2, Aq3, Aq4, dan Aq5, masing-masing sebanyak 25 ekor. Setiap akuarium berisi 100 l air dan dilengkapi dengan aerator menggunakan airlift system serta menggunakan resirkulasi air. Udang dalam akuarium Aq1 diberi pakan standar tanpa suplementasi nukleotida dari awal sampai akhir masa percobaan yaitu 49 hari. Udang dalam akuarium Aq2 diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 7 hari, kemudian pakan diganti dengan pakan standar sampai akhir masa percobaan.
Pada
akuarium Aq3, udang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 7 hari, kemudian diganti dengan pakan standar selama 7 hari berikutnya, dan diberi lagi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 7 hari (pakan bernukleotida 2x7 hari), setelah itu udang diberi pakan standar sampai akhir periode percobaan. Pada akuarium Aq4, udang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 7 hari, kemudian 7 hari standar, 7 hari pakan nukleotida, 7 hari pakan standar, 7 hari berikutnya pakan nukleotida (pakan bernukleotida 3x7 hari) dan selanjutnya diberi pakan standar sampai akhir periode percobaan. Udang dalam akuarium Aq5diberi pakan yang ditambahkan nukleotida sebanyak 4 x 7 hari dengan protokol pemberian yang sama seperti pada akuarium Aq3 dan Aq4. Tingkat pemberian pakan adalah 3%/bb/hari dengan frekuensi pemberian tiga kali per hari yakni pada pukul 09.00, 13.00, dan 17.00. Penggantian air dilakukan setiap 3-4 hari sekali tergantung pada kondisi air sedangkan sisa pakan atau kotoran udang yang terakumulasi dalam akuarium dikeluarkan setiap hari melalui penyiponan. Sampel hemolim untuk pengukuran parameter imun diambil dari 2 ekor udang dari setiap unit percobaan dengan prosedur yang sama seperti pada eksperimen tahap pertama. Sekitar 0.1 mlhemolim diambil dari ventral sinus pada pangkal ruas tubuh pertama dengan menggunakan alat suntik 1-mL setelah sebelumnya dimasukkan 0.1 ml antikoagulan(30 mM trisodium citrate, 0.34 M sodium chloride, 10 mM EDTA, pH 7.5). Selanjutnya tambahkan antikoagulan
41
sehingga perb&ingan hemolim : antikoagulan menjadi 1 : 9.
Pengukuran
parameter imun dikerjakan pada akhir periode percobaan yakni hari ke 49. Sebelum udang dikorbankan terlebih dahulu dilakukan penimbangan berat udang. Parameter Imun Paramater yang diukur terdiri atas parameter imun (total hemocyte count dan aktivitas PO) serta pertumbuhan udang.
Prosedur pengukuran parameter
imun adalah sama seperti yang dikerjakan pada penelitian tahap pertama sebagai berikut: Penghitungan THC Sebanyak 50 µlcampuran hemolim-antikoagulan dimasukkan dalam neutral buffered formalin (10%) selama 30 menit. Selanjutnya, THC dihitung dengan menggunakan hemasitometer di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x. AktivitasPhenoloxidase (PO) Aktivitas PO hemosit diukur berdasarkan formasi dopachrome yang dihasilkan oleh L-DOPA.
Pengukuran aktivitas PO dikerjakan berdasarkan
prosedur yang dikemukakan oleh Liu & Chen (2004).
Pertama-tama, 1 ml
campuran hemolim-antikoagulan disentrifuse pada 700 g selama 20 menit pada 4oC. Supernatan dikeluarkan dan pelet disuspensikan kembali secara perlahanlahan ke dalam 1 ml larutan cacodylate-citrate buffer (0.01 M sodium cacodylate, 0.45 M sodium chloride, 0.10 M trisodium citrate, pH 7) dan disentrifuse kembali. Pelet kemudian diambil dan disuspensikan dalam 200 µl cacodylate buffer (0.01 M sodium cacodylate, 0.45 M sodium chloride, 0.01 M calsium chloride, 0.26 M magnesium chloride, pH 7). Selanjutnya, aliquot sebanyak 100 µl diinkubasi dengan 50 µl tripsin (1 mg.ml-1 cacodylate buffer) sebagai aktivator selama 10 menit pada temperatur 25o-26oC. Selanjutnya ditambahkan 50 µl L-DOPA (3 mg.ml-1 cacodylate buffer), setelah 5 menit, ditambahkan 800 µl cacodylate buffer.Densitas
optikal
Spectrophotometer.
(OD)
490
nm
diukur
dengan
menggunakan
42
Larutan standar mengandung 100 µl suspensi hemosit, 50 µl cacodylate buffer (pengganti tripsin), dan 50 µl L-DOPA digunakan untuk mengukur blankoaktivitas PO pada semua larutan uji. Densitas optikal (OD) dari aktivitas POpadasemua kondisi uji dinyatakan sebagai formasi dopachrome dalam 50 µl hemolim. Pertumbuhan Pertumbuhan udang diukur pada akhir percobaan yaitu pada hari ke 49. Pertumbuhan dihitung dengan formula sebagai berikut: G = Wt – Wo dimana:
G = pertumbuhan (g) Wt = berat udang pada waktu t (g); Wo = berat udang pada awal percobaan (g)
Analisis Data Data setiap parameter imun dan pertumbuhan udang dinyatakan dalam nilai rata-rata±Sdv. Evaluasi terhadap hubungan antara lama waktu pemberian pakan yang ditambahkan nukleotida dengan masing-masing parameter imun maupun pertumbuhan dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan angka mutlak.
HASIL DAN PEMBAHASAN Total HemocyteCount Total hemocyte count (THC) udang yang diukur pada akhir periode percobaan(hari ke 49) disajikan pada Tabel 6(Lampiran 17). Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa sampai akhir periode percobaan, nukleotida (400 mg.kg-1 pakan) yang ditambahkan dalam pakan yang diberikan dengan protokol 7 hari pakan bernukleotida dan 7 hari pakan standar secara bergantian selama 49 hari tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan THC.
43
Tabel 6 THC, aktivitas PO dan perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan lama pemberian berbeda Wadah Lama Pemberian Percobaan Nukleotida
Parameter* THC (x107 sel/mL)
PO
WG (g)
Aq1
-
1.798±0.047
0.308±0.075
6.26±1.14
Aq2
1x7 hari
1.782±0.047
0.318±0.162
6.23±1.01
Aq3
2x7 hari
1.990±0.224
0.423±0.037
7.24±0.57
Aq4
3x7 hari
1.906±0.082
0.379±0.009
8.01±1.07
Aq5
4x7 hari
2.065±0.117
0.433±0.021
7.51±0.39
*Diukur pada akhir periode percobaan (hari ke 49) Data di atas memperlihatkan bahwa udang yang diberi pakan standar (Aq1) dan udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 1x7 hari (Aq2) memiliki hemosit yang hampir sama jumlahnya.
Data di atas juga
memperlihatkan bahwa udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan lama waktu pemberian 2x7 hari (Aq3), 3x7 hari (Aq4) dan 4x7 hari (Aq5) yang diberikan secara bergantian dengan pakan standar dengan interval 7 hari memiliki jumlah hemosit yang hampir sama. Dib&ingkan dengan udang yang diberi pakan standar (Aq1), THC udang pada Aq3, Aq4 dan Aq5 hanya sedikit meningkat yakni sekitar 6-14.8%. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pakan yang ditambahkan nukleotida apabila diberikan secara bergantian dengan pakan standar dengan interval 7 hari tidak dapat menunjang peningkatan jumlah hemosit udang vaname. Aktivitas PO Aktivitas PO hemolim udang juga tidak dipengaruhi oleh lama waktu pemberian nukleotida berdasarkan protokol yang diuji-cobakan. Nilaiaktivitas PO udang yang diukur pada akhir periode percobaan (hari ke 49) dapat dilihat pada Tabel 6 (Lampiran 17). Sebagaimana dengan THC, aktivitas PO udang pada Aq1 dan Aq2 memiliki nilai hampir sama.Nilai aktivitas PO udang pada Aq3, Aq4, dan Aq5 juga hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan protokol 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida – 7 hari pakan standar secara bergantian sampai 49 hari tidak efektif meningkatkan aktivitas PO udang.
44
Pertumbuhan Pemberian pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida dan 7 hari pakan standarsecara bergantian tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan udang vaname. Tabel 6 memperlihatkan bahwa udang pada Aq1 dan Aq2 memiliki perolehan berat yang sama (Lampiran 17). Udang pada Aq3 (suplementasi nukleotida 2x7 hari), Aq4 (suplementasi nukleotida 3x7 hari) dan Aq5 (suplementasi nukleotida 4x7 hari) juga memiliki perolehan berat yang tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 7.24 g, 8.01 g, dan 7.51 g. Perolehan berat ini hanya mencapai 15-27% lebih berat dari perolehan berat udang yang tidak diberi suplementasi nukleotida (Aq1). Belum ada laporan penelitian tentang protokol pemberian yang ditambahkan nukleotida pada udang maupun ikan. Beberapa penelitian pada ikan menggunakan waktu pemberian yang bervariasi mulai dari 3 hari sampai 120 hari dan diberikan setiap hari secara berturut-turut. Sebagai contoh, Li et al. (2004a) melaporkan bahwa hybrid striped bass yang diberi pakan dengan penambahan nukleotida (ascogen) selama 8 minggu mengalami peningkatan respon imun nonspesifik namun jika diberi selama 16 minggu tidak terjadi peningkatan. Misra et al. (2006) juga melaporkan bahwa pemberian imunostimulan (glukan) selama 42 hari dapat meningkatkan imun respon, pertumbuhan dan resistensi juvenil Labeo rohita, dan sesudahnya mulai terjadi penurunan. Dalam penelitian ini jelas terlihat bahwa penambahan nukleotida pada dosis 400 mg.kg-1 pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida dan 7 hari pakan standar secara bergantian selama 49 hari tidak berpengaruh positif terhadap peningkatan respon imun nonspesifik dan pertumbuhan udang vaname. Hal ini mungkin terjadi karena pertama, lama waktu pemberian nukleotida dalam penelitian ini masih kurang sehingga nukleotida yang ditambahkan dalam pakan belum mampu memperlihatkan respon terhadap imunitas dan pertumbuhan udang. Sebagai contoh, Itami et al. (1998) melaporkan bahwa pemberian oral peptidoglikan dengan interval pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan peptidoglikan dan 7 hari pakan standar selama 95 hari dapat meningkatkan respon imun, resistensi dan pertumbuhan udang (Penaeus
45
japonicus).
Kedua, udang vaname mungkin membutuhkan suplai nukleotida
secara kontinyu untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan respon imun dan pertumbuhannya. Dengan kata lain, suplementasi nukleotida dalam pakan harus diberikan secara berlanjut untuk jangka waktu tertentu agar dapat meningkatkan respon imun dan pertumbuhan udang. Pada
penelitian
yang telah
dikerjakan
pada
tahap sebelumnya,
penambahan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan dipemberiankan secara oral selama 4x7 hari (28 hari) secara berturut-turut. Hasil penelitian yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7THC, aktivitas PO dan perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4x7 hari berturut-turut Parameter*
Perlakuan Pakan Standar Nukleotida
THC (x 107 sel/mL) 1.216±0.158
PO 0.236±0.008
WG (g) 3.35±0.37
2.109±0.553
0.364±0.086
5.05±0.40
*Diukur pada akhir periode percobaan (hari ke 28) Hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa setelah 4 minggu (4x7 hari) pemberian pakanyang ditambahkan nukleotida, THC udang meningkat sebesar 73% lebih tinggi dari udang yang hanya diberi pakan standar. Aktivitas PO udang yang diberi pakan dengan penambahan nukleotida juga meningkat. Perolehan berat udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida meningkat sebesar 50.7% lebih berat dari udang yang hanya diberi pakan standartanpa suplementasi nukleotida. Ini berarti bahwa udang vaname mungkin membutuhkan ketersediaan eksogenous nukleotida secara kontinyu untuk mempertahankan dan meningkatkan respon imun nonspesifik dan pertumbuhan.
KESIMPULAN Untuk dapat meningkatkan jumlah total hemosit, aktivitas phenoloxidase dan pertumbuhan udang vaname maka penambahan nukleotida dalam pakan dengan dosis 400 mg.kg-1 pakan perlu diberikan selama 4 minggu secara terus menerus.
46
JUDUL 3 KOMPARASI RESPON IMUN NONSPESIFIK,RESISTENSI DAN PERTUMBUHAN UDANG VANAME(Litopenaeus vannamei) YANG DIBERI β-GLUKAN DAN NUKLEOTIDA Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh suplementasi β-glukan dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO,resistensi dan pertumbuhan udang vaname sebagai pembanding terhadap suplementasi nukleotida. Juvenil udang dengan berat rata-rata 5.35±0.56 g dipelihara dalam akuarium kaca dengan kepadatan 15 ekor/akuarium. Udang diberi pakan perlakuan 3 kali/hari selama empat minggu berturut-turut dengan tingkat pemberian 3%/bb/hari. Pada akhir periode pemberian pakan perlakuan, udang diuji-tantang dengan 0.1 ml larutan bakteri V. harveyi mengandung 1x106 cfu. Total hemocyte count (THC) udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida berbeda nyata (p=0.02) dibandingkan dengan kontrol. THC meningkat mencapai 87% lebih tinggi dari kontrol. Aktivitas PO juga meningkat secara nyata pada udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida (p=0.01). Penambahan β-glukan juga dapat meningkatkan THC dan aktivitas PO, namun dibandingkan dengan kontrol (pakan standar), peningkatan yang terjadi tidak berbeda nyata. Secara keseluruhan, aktivitas PO udang setelah diberi nukleotida dan β-glukan dikategorikan tinggi yakni >0.35. Pemberian nukleotida dan β-glukan selama 4 minggu berturut-turut secara nyata meningkatkan resistensi udang (p<0.01) dimana resistensi tertinggi teramati pada udang yang diberi pakan dengan penambahan nukleotida. Pertumbuhan udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida berbeda nyata (p<0.01) baik dibandingkan dengan kontrol (pakan standar) maupun dengan β-glukan. Sebagai kesimpulan, penambahan nukleotida dalam pakan memberi pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan dibandingkan dengan penambahanβ–glukan. Kata kunci: aktivitas PO, β–glukan, Litopenaeus vannamei, nukleotida, resistensi, total hemocyte count.
TOPIC 3 COMPARISON OF NONSPECIFIC IMMUNERESPONSE, RERISTANCEAND GROWTH OF SHRIMP (Litopenaeus vannamei) FED DIETSUPPLEMENTED WITH β-GLUCANAND NUCLEOTIDES Abstract The objective of this research was to evaluate the the effect of supplementation ofβ–glucan on total hemocyte count (THC), PO activity, resistance and growth of whiteleg shrimp as comparison to nucleotides supplementation. Shrimp juveniles with an average weight of 5.39±0.56 g were reared in glass aquaria at a density of 15 shrimps/aquarium. Shrimps were fed three times a day for four weeks at a feeding rate of 3%/bw/day. At the end of feeding, each shrimp was intramuscularlyinjected with 0.1 mlVibrio
47
harveyisolution containing 1x106 cfu. THC of shrimp fed nucleotidesdiet was significantly different as compared to that of control shrimp (p=0.02). THC increased up to 87% higher than control shrimp. PO activity also increased significantly in shrimp fed nucleotidesdiet (p=0.01). Supplementation of β– glucan could also increase THC and PO activity, but compared to control (basal diet), the increase was not significantly different. On the whole, PO activity of shrimp fed nucleotidesandβ–glucan diets was high (>0.35). Oral administration of nucleotidesandβ–glucan for four consecutive weeks significantly increased resistance of shrimp to pathogen (p<0.01) where the highest resistance was observed on shrimp fed nucleotides diet. Growth of shrimp fed nucleotidesdiet was significantly different compared to shrimp fed basal diet (p<0.01), as well as to shrimp fed β–glucan diet. As conclusion, supplementation of nucleotides into shrimp pellet enhanced nonspecific immune response, resistance,and growth performance better than supplementation of β–glucan. Keywords:Litopenaeus vannamei, β–glucan, nucleotides, total hemocyte count, PO activity, resistance
PENDAHULUAN Imunostimulan merupakan substan yang dapat meningkatkan sistem pertahanan
tubuh
terhadap
infeksi
sejumlah
patogen
secara
simultan.
Imunostimulan dapat digunakan sebagai propilaktik (prophylactic treatment) untuk antisipasi terhadap wabah penyakit endemik yang tidak diharapkan, dan sebagai supresive treatment terhadap patogen latent atau subletal (Nikl et al. 1993).
Tidak seperti vaksin, imunostimulan secara simultan meningkatkan
resistensi ikan atau udang terhadap agen penyakit infeksius dengan cara merangsang respon imun nonspesifik (Gannam & Schrok 2001). Sumber imunostimulan bagi akuakultur dapat diproduksi secara kimia atau biologi.
Bahan-bahan
imunostimulatori
tersebut
dapat
dikelompokkan
berdasarkan fungsi maupun sumbernya dan terdiri atas beragam kelompok yakni berupa bakteri dan produk bakteri, yeast, kompleks karbohidrat, faktor nutrisi, ekstrak hewan, ekstrak tumbuhan, dan obat-obatan sintetik (Cook et al. 2003: Sakai 1999; Sealey & Galtin 2001).
Produk biologi lebih banyak digunakan
dalam penelitian maupun studi pemberian pakan yang ada. Sumber biologi sebagian besar imunostimulan meliputi mycelia fungi atau yeast, beberapa preparasi bakteri dan tumbuh-tumbuhan (Nikl et al. 1993: Raa et al. 1992; Sakai 1999; Sealey & Galtin 2001). Gannam & Schrok (2001) juga mengemukakan
48
bahwa imunostimulan yang paling umum digunakan dalam akuakultur adalah nonvirulent mikroorganisme atau produk samping mereka. Bahan-bahannya dapat berupa sel organisme itu sendiri, atau preparasi dinding sel mengandung molekul β-1,3 dan β-1,6 glukan yang merangsang respon imun nonspesifik. Penelitian-penelitian perikanan banyak menggunakan β-glukan karena glukan terjadi secara alami dan tidak menimbulkan masalah residu pada ikan maupun pada kualitas air. Produk glukan yang paling umum digunakan adalah Saccaharomyces cerevisiae (baker’s yeast) dan preparasi fungi Schizophyllum commune dan Selerotium glukanicum (Sakai 1999). Hasil penelitian Lopez et al. (2003) menunjukkan bahwa penggunaan 2 g β-glukan per kg pakan dapat meningkatkan respon imun juvenil udang vaname.Chang et al. (2003a) merekomendasikan penggunaan 2 g β-glukan per kg pakan selama 24 hari untuk udang windu, sedangkan Itami et al. (1998) merekomendasikan 2 g β-glukan per kg pakan untuk P. japonicus. Penelitian ini menggunakan nukleotida sebagai imunostimulan untuk mengontrol penyakit dalam budidaya udang vaname.
Nukleotida baru mulai
mendapat perhatian serius untuk dikembangkan penggunaannya dalam budidaya pada tahun 2001. Publikasi ilmiah tentang penggunaan nukleotida pada ikan memperlihatkan bahwa bahan ini dapat meningkatkan respon imun dan resistensi ikan terhadap sejumlah patogen. Pada udang, laporan-laporan penelitian tentang penggunaan nukleotida masih sangat terbatas. Pada penelitian tahap pertama telah ditemukan bahwa pemberian oral nukleotida pada dosis 400 mg.kg-1 pakan dan diberikan selama 4 minggu mampu meningkatkan respon imun nonspesifik, resistensi, dan pertumbuhan udang vaname. Sebelum temuan ini diaplikasikan dalam usaha budidaya, perlu dilakukan studi perbandingan dengan beberapa jenis imunostimulan yang sudah terbukti memberikan hasil yang baik dan sudah baku digunakan dalam industri budidaya udang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penambahanβ-glukan dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO, resistensi dan pertumbuhan udang vaname sebagai pembanding terhadap nukleotida.
49
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dikerjakan di laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada 5 Desember 2009 sampai 5 Februari 2010. Hewan Uji Hewan uji adalah juvenil udang vaname berukuran awal rata-rata 5 g/ekor yang diperoleh dari fasilitas pembesaraan udang Bakauheni di Lampung Selatan. Udang yang diambil dimasukkan dalam kotak styrofoam yang dilengkapi dengan aerator baterei, kemudian diangkut melalui jalan darat ke Laboratorium Kesehatan Ikan Institut Pertanian Bogor. Bahan Uji Bahan uji sebagai perlakuan yang digunakan adalah nukleotida murni (Sigma-Aldrich), β-glukan dan Pakan Standar udang.
Nukleotida terdiri atas
adenosine monophosphate (AMP), guanosine monophosphate (GMP), cytidine monophosphate
(CMP),
uridine
monophosphate
(UMP),
dan
inosine
monophosphate (IMP). Kelima jenis nukleotida tersebut dalam jumlah yang sama dicampur terlebih dahulu secara merata kemudian ditimbang sesuai dosis yang dibutuhkan. Dosis nukleotida yang digunakan adalah 400 mg.kg-1pakan(sesuai hasil terbaik pada penelitian tahap pertama).β–glukan merupakan imunostimulan yang telah banyak digunakan baik untuk ikan maupun udang dimana dosis terbaik untuk meningkatkan respon imun krustase adalah 2 g.kg-1 pakan (Lopez et al. 2003). Dalam penelitian ini, β–glukan diekstrak dari yeast Saccharomyces cereviciaemenggunakan metoda asam-basa (Alkaline-Acid Method). Pakan standar (komersil) yang telah umum dipakai dalam aktivitas budidaya udang vaname di Indonesia digunakan sebagai pakan kontrol.
50
Prosedur ekstraksi β–glukan(Alkaline-acid method)sebagai berikut: •
Sebanyak 0.45 kg yeast kering dimasukkan ke dalam 3.5 ltr 0.75 M sodium hydroxide, dicampur merata kemudian dididihkan, selanjutnya dibiarkan mengendap semalam
•
Supernatan yang berwarna coklat kehitaman dibuang (proses ini dilakukan sebanyak 2 kali)
•
Sebanyak 3.5 lt 2.45 M asam chlorida (HCl) ditambahkan ke dalam endapan, dimasak sampai mendidih, dibiarkan mengendap semalam, supernatan kemudian dibuang
•
Sebanyak
3.5 lt 1.75 M asam chlorida ditambahkan ke dalam endapan,
didihkan, dibiarkan mengendap semalam, supernatan kemudian dibuang •
Sebanyak 3.5 lt 0.94 M asam chlorida ditambahkan ke dalam endapan, didihkan, dibiarkan mengendap semalam, supernatan kemudian dibuang
•
Endapan kemudian dicuci dengan memasukkan endapan dalam 2 lt distilled water, didihkan, biarkan mengendap (proses pencuciandilakukan 10x)
•
1.5 lt ethanol ditambahkan ke dalam endapan, didihkan, kemudian dibiarkan mengendap (proses ini dilakukan 3x)
•
Endapan kemudian dicuci dengan menambahkan 2 lt distilled water, didihkan, dan dibiarkan mengendap (proses pencucian ini dilakukan 3x)
•
Larutan kemudian disaring dengan kain saring halus
•
Glukan selanjutnya dikeringkan secara freeze lyophilize process
Persiapan Pakan Nukleotida dan β–glukan ditimbang sesuai dosis yang dibutuhkan, dicampurkan ke dalam pakan standar dengan cara melarutkannya terlebih dahulu dalam sedikit air, kemudian dikering-anginkan dalam temperatur ruang. Setelah kering, putih telur (sebagai coater) dicampur ke dalam pakan dan dikeringanginkan kembali. Putih telur juga dicampurkan ke dalam pakan standardengan dengan cara yang sama. Pelet yang sudah kering selanjutnya dimasukkan dalam kantong plastik dan disimpan dalam lemari pendingin digunakan.
sampai saat akan
51
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dimana masing-masing perlakuan memiliki tiga ulangan. Penempatan perlakuan ke dalam unit percobaan dilakukan secara acak. Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut: Ps: pakan standar (tanpa imunostimulan) Bg: pakan ditambah β–glukan2 g.kg-1 pakan Nk: pakan ditambah Nukleotida 0.4 g.kg-1 pakan Prosedur Penelitian dan Pengambilan Data Juvenil udang vaname sebanyak 500 ekor diambil dari Lampung dan dipelihara selama 2 minggu dalam 2 bak fiberglas (kapasitas 1000 l) untuk proses aklimatisasi. Selama proses aklimatisasi, udang pada kedua bak tersebut diberi pakan standar dengan tingkat pemberian 3%/bb/hari dan diberikan tiga kali sehari yakni pukul 09.00, 13.00, dan 17.00.
Kualitas air dipertahankan stabil dan
penggantian air dilakukan setiap 3-4 hari sekali tergantung pada kondisi air yang ada. Udang selanjutnya dipindahkan ke dalam 9 wadah percobaan berupa akuarium kaca (60x30x30cm) yang dilengkapi dengan aerator dengan airlift system, serta menggunakan resirkulasi air. Ke dalam setiap unit akuarium yang berisi 50 l air dimasukkan 15 ekor udang. Ditempat terpisah, dipelihara udang dalam 3 buah akuarium (15 ekor/akuarium) untuk digunakan sebagai cadangan apabila terjadi kematian akibat kanibalisme pada udang uji. Udang dalam ke tiga akuarium tersebut masing-masing diberi pakan perlakuan Ps, Bg, dan Nk. Pakan perlakuan diberikan dengan tingkat pemberian 3%/bb/hari dan diberikan tiga kali sehari yakni pada pukul 09.00, 13.00, dan 17.00.Selama masa percobaan, parameter kualitas air dimonitor setiap hari untuk menjamin agar parameter lingkungan tetap berada dalam kondisi stabil. Kotoran dan sisa pakan yang terakumulasi dalam akuarium dikeluarkan melalui penyiponan. Penggantian air juga dilakukan setiap 3-4 hari sekali tergantung pada kondisi air yang ada.
52
Pengambilan sampel hemolim untuk keperluan pengukuran parameter imun udang dilakukan pada akhir periode pemberian perlakuan (minggu ke 4). Sampel hemolim diambil dari 3 ekor udang per unit akuarium dari masing-masing perlakuan. Pengambilan sampel hemolim dikerjakan berdasarkan prosedur yang dikemukakan oleh Liu & Chen(2004). Secara singkat, sekitar 0.1 ml hemolim diambil dari ventral sinus pada pangkal ruas tubuh pertama dengan menggunakan alat suntik 1-ml setelah sebelumnya dimasukkan 0.9 ml antikoagulan (30 mM trisodium citrate, 0.34 M sodium chloride, 10 mM EDTA, pH 7.55, osmolality 780 mOsm/kg). Parameter Imun Parameter imunitas udang yang diukur terdiri atas total hemocyte count (THC), dan AktivitasPO. Prosedur penghitungan parameter imun adalah sebagai berikut: Total Hemocyte Count Sebanyak 50 µlcampuran hemolim-antikoagulan dimasukkan dalam neutral buffered formalin (10%) selama 30 menit. Selanjutnya, THC dihitung dengan menggunakan hemasitometer di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 40x. Aktivitas Phenoloxidase(PO) Aktivitas PO hemosit diukur berdasarkan formasi dopachrome yang dihasilkan oleh L-DOPA. Pengukuran aktivitas PO dikerjakan berdasarkan prosedur yang dikemukakan oleh Liu & Chen(2004).
Pertama-tama, 1 ml
campuran hemolim-antikoagulan disentrifuse pada 700gselama 20 menitpada 4oC.Supernatan dikeluarkan dan pelet disuspensikan kembalisecara perlahanlahan ke dalam 1 ml larutan cacodylate-citrate buffer (0.01 M sodium cacodylate, 0.45 M sodium chloride, 0.10 M trisodium citrate, pH 7) dan disentrifuse kembali. Pelet kemudian diambil dan disuspensikan dalam 200 µl cacodylate buffer (0.01 M sodium cacodylate, 0.45 M sodium chloride, 0.01 M calsium chloride, 0.26 M magnesium chloride, pH 7).
53
Aliquot sebanyak 100 µl diinkubasi dengan 50 µl tripsin (1 mg.ml-1 cacodylate buffer) sebagai aktivator selama 10 menit pada temperatur 25-26oC. Selanjutnya tambahkan 50 µl L-DOPA (3 mg.ml-1 cacodylate buffer), setelah 5 menit, tambahkan 800 µl cacodylate buffer.Densitas optikal (OD) 490 nm diukur dengan menggunakan Spectrophotometer. Larutan standar mengandung 100 µl suspensi hemosit, 50 µl cacodylate buffer (pengganti tripsin), dan 50 µl L-DOPA digunakan untuk mengukur background aktivitas PO pada semua larutan uji. Densitas optikal (OD) dari aktivitas PO pada semua kondisi uji dinyatakan sebagai formasi dopachrome dalam 50 µl hemolim. Resistensi Setelah 4 minggu pemberian pakan perlakuan, udang (8 ekor/akuarium) diuji-tantang dengan bakteri V. harveyi. Sebelum dilakukan uji-tantang, aerator dimatikan terlebih dahulu selama 30 menit, kemudian udang diuji-tantang melalui injeksi intramuskular 0.1 ml larutan bakteri V. harveyi mengandung 1x106 cfu pada
bagian punggung ruas tubuh ke tiga.
Selanjutnya udang dimasukkan
kembali ke dalam akuarium. Selama periode uji-tantang, udang diberi pakan standar 3%/bb/hari dengan frekuensi pemberian tiga kali sehari yakni pukul 09.00, 13.00, dan 17.00. Kualitas air dimonitor agar berada dalam kondisi stabil dan penggantian air dilakukan setiap 3-4 hari sekali tergantung pada kondisi air. Udang mati dikeluarkan setiap hari guna mengkonfirmasi bahwa penyebab kematian adalah V. harveyi. Pengamatan terhadap mortalitas dilakukan setiap hari selama 14 hari setelah uji-tantang. Resistensi udang diukur berdasarkan tingkat sintasan yang dicapai sampai pada akhir periode pengamatan. SR (%) = Nt/No x 100 Dimana:
SR = sintasan Nt = jumlah udang hidup pada waktu t (ekor) No = jumlah udang hidup waktu tebar (ekor)
54
Pertumbuhan Pertumbuhan udang diukur setiap dua minggu sekali yakni pada hari ke 14 dan 28. Pertumbuhan dinyatakan sebagai selisih antara berat udang yang diukur pada akhir percobaan dengan berat udang pada awal percobaan: G = Wt – Wo dimana:
G= pertumbuhan (g) Wt = berat udang pada waktu t (g) Wo = berat udang pada awal percobaan (g) Analisis Data
Data hasil pengamatan dinyatakan dalam nilai rata-rata±Sdv. Evaluasi perbedaan respon imunitas udang (THC, aktivitas PO), resistensi dan pertumbuhan akibat adanya perlakuan dilakukan melalui analisis ragam (Anova). Apabila terdapat perbedaan pengaruh antar perlakuan maka analisis dilanjutkan dengan Uji Duncan menggunakan program SPSS 17 untuk windows. Namun apabila tidak terdapat perbedaan pengaruh antar perlakuan, maka analisis dilanjutkan secara deskriptif dengan menggunakan angka mutlak.
HASIL DAN PEMBAHASAN Total Hemocyte Count Suplementasi nukleotida dalam pakan dapat meningkatkan jumlah hemosit udang. Gambar 6 memperlihatkan pengaruh penambahan nukleotida dan β– glukan dalam pakan terhadap total hemosit udang vaname setelah diberikan selama 4 minggu (Lampiran 18 dan 19). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa THC udang yang diberi pakan dengan suplementasi nukleotida berbeda nyata dibandingkan dengan THC udang yang diberi pakan standar maupun yang diberi pakan dengan suplementasi β–glukan(p=0.02).Penambahan β–glukan dalam pakan juga dapat meningkatkan THC, namun jika dibandingkan dengan kontrol (pakan standar), peningkatan tersebut tidak berbeda nyata (Lampiran 20, 21).
55
THC (x 107 sel/ml) 2,500
2,090 0.438b 2,000
1.422 0.175a
1,500
1.119 0.270a 1,000 0,500 0,000
Pakan Standar β–glukan
Nukleotida
Gambar 6 THC rata-rata L. vannameisetelahdiberiβ–glukan dan nukleotida selama 4 minggu. Nilai rata-rata dengan superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (p=0.02) Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila udang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan selama 4 minggu berturut-turut, maka THC dapat meningkat mencapai 87% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (Gambar 6).
Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya dimana THC meningkat sekitar 76% lebih tinggi dari kontrol (Manoppo dkk. 2009). Peningkatan THC terjadi karena nukleotida yang ditambahkan dalam pakan akan digunakan sebagai nutrient untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel termasuk sel-sel hemosit. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukaan oleh Barnes (2006) bahwa nukleotida merupakan nutrien semi esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel. Selanjutnya Sajeevan et al. (2006)juga menyatakan bahwa nukleotida yang ditambahkan dalam pakan udang dapat mengoptimalkan fungsi pembelahan sel termasuk sel-sel imun. Meskipun penambahan β–glukan dalam pakan dapat meningkatkan THC sekitar 27% lebih tinggi dari udang kontrol, namun secara statistik, peningkatan tersebut tidak berbeda nyata. Hasil ini berbeda dengan hasil-hasil penelitian yang telah dikerjakan beberapa peneliti sebelumnya. Lopez et al. (2003) melaporkan
56
bahwa penggunaan 2 g β-glukan per kg pakan secara nyata meningkatkan THC juvenil udang vaname. Sahoo et al. (2008) juga melaporkan bahwa pemberian oral β-glukan 1.5 g/kg pakan selama 7 hari secara nyata meningkatkan THC, aktivitas PO dan resistensi M. rosenbergii terhadap infeksi A. hydrophila. β-glukan bekerja dengan cara mengikat pada molekul reseptor yang terdapat pada permukaan sel-sel fagosit (Raa 2000). Pada saat reseptor diikat oleh β-glukan, sel fagosit menjadi lebih aktif dalam melakukan fagositosis terhadap partikel asing atau bakteri. Pada saat yang bersamaan mereka mengeluarkan molekul-molekul signal (sitokin) yang merangsang pembentukan sel-sel hemosit yang baru. Dalam penelitian ini, β-glukanyang digunakan diekstrak dari yeast S.cerevisiae menggunakan metoda sam basa. Perbedaan efek imunostimulasi βglukan mungkin terjadi karena beberapa sebab yaitu sumber yang berbeda, prosedur isolasi, jumlah dan panjang rantai samping β-1,3 dan β-1,6 (Russo & Yanong 2006). Treatmen fisik selama proses ekstraksi dapat juga mempengaruhi molekul β-1,3 dan 1,6 yang terdapat pada bagian inti dinding sel yeast dan selanjutnya mempengaruhi efikasi β-glukan (Gannam & Schrock 2001). AktivitasPO Penambahan nukleotida dan β-glukan dalam pakan juga mampu meningkatkan aktivitas PO udang vaname.
Pengaruh ke dua bahan uji ini
terhadap peningkatan aktivitas PO cenderung sama seperti pengaruhnya terhadap peningkatan THC udang. Aktivitas PO udang yang diberi pakan dengan penambahan nukleotida dan β–glukan dalam pakan ditunjukkan pada Gambar 7 (Lampiran 18 dan 19). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa aktivitas PO udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4 minggu berbeda nyata (p=0.01) jika dibandingkan dengan kontrol maupun dengan udang yang diberi pakan dengan suplementasi β–glukan. Penambahan β–glukan dalam pakan dapat meningkatkan aktivitas PO namun secara statistik tidak berbeda nyata dibandingkan dengan udang yang diberi pakan standar (Lampiran 21).
57
Aktivitas PO 0,700
0.633 0.163b
0,600 0,500 0,400 0,300
0.376 0.052a 0.304 0.028a
0,200 0,100 0,000
Pakan Standar β–glukan
Nukleotida
Gambar 7Aktivitas PO L.vannameisetelahdiberi β–glukandan nukleotida selama 4 minggu. Nilai rata-rata dengan superskrip berbeda menunjukkan berbeda sangat nyata (p=0.01) Peningkatan aktivitas PO tertinggi teramati pada udang yang diberi imunostimulan nukleotida.
Bagaimana proses peningkatan ini terjadi belum
diketahui dengan jelas. Nukleotida yang ditambahkan dalam pakan akan terlibat dalam berbagai proses selular seperti komunikasi antar seldan sebagai sumber energi dalam proses-proses biosintesa (Field et al. 2002; Li & Galtin 2006).Peningkatan kemampuan komunikasi antar sel akan meningkatkan produksi dan pelepasan proPO oleh sel hemosit yang selanjutnya meningkatkan aktivitas PO. Chang et al. (2003a) melaporkan bahwa pemberian oral β-glukan selama 20 hari dapat meningkatkan aktivitas PO udang windu. β-glukan juga dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas PO serta fagositosis udang vaname (Lopez et al. 2003) dan Macrobrachium rosenbergii (Sahoo et al. 2008). Lipopolisakarida (LPS) atau peptidoglikan juga telah dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas PO hemositudang windu(Sritunyalucksana & Soderhall, 2000) dan Penaeus japonicus (Takahashi et al. 2000). Dalam penelitian ini, nilai aktivitas POudang yang diberi pakan β-glukan selama 4 minggu meningkat sedikit lebih tinggi dari kontrol. Hal ini berkaitan dengan banyaknyahemosit yang bersirkulasi dalam tubuh udang sebagaimana
58
terlihat pada Gambar 6. PO terdapat dalam hemolim dalam bentuk inactive proenzyme yang disebut proPO (Vargas-Albores dan Yepiz-Plascencia 2000).proPO diproduksi dan dilepaskan ke dalam hemolim oleh hemosit terutama sel granular dan semi granular. Dalam keadaan normal, semakin tinggi jumlah hemosit, semakin tinggi pula produksi dan pelepasan proPO sehingga aktivitas PO juga akan semakin tinggi, dan sebaliknya. β–glukan dan bahan-bahan lain seperti LPS dapat meningkatkan aktivitas PO setelah β–glukan atau LPS bereaksi dengan β-glucan binding protein (BGBP) atau LPS binding protein (Li et al. 2008; Vargas-Albores & Yepiz-Plascencia 2000). Setelah berikatan maka proPO akan diaktifkan menjadi enzim PO yang selanjutnya menjalankan fungsinya dalam proses melanisasi. Lopez et al. (2003) menyatakan bahwa β-glukan yang ditambahkan dalam pakan dapat meningkatkan cell activating factors dalam hemosit, jadi meningkatkan aktivitas PO dan fagositosis udang. Secara keseluruhan, aktivitas PO udang yang diberi imunostimulan nukleotida dan β–glukan dikategorikan tinggi yakni >0.35 (Gullian et al. 2004) sedangkan aktivitas PO pada udang yang hanya diberi pakan standar tanpa imunostimulan adalah normal (0.2–0.35). Resistensi Resistensi udang diukur berdasarkan tingkat sintasan yang dicapai setelah udang diuji-tantang dengan bakteri Vibrio harheyi1x106 cfu/udang. Dalam pengamatan, mortalitas udang pada semua perlakuan terjadi satu hari setelah udang diinjeksi dengan bakteri vibrio. Kematian udang terus berlanjut sampai hari ke empat dan selanjutnya tidak lagi terjadi kematian sampai akhir pengamatan. Sintasan kumulatif udang setelah diberiβ–Glukan dan nukleotida ditunjukkan pada Gambar 8 (Lampiran 22).
59
100
Sintasan Kumulatif (%)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
1
2
3
4
5
6
10
14
Hari setelah uji tantang Pakan Standar
β-glucan
Nukleotida
Gambar 8Sintasan kumulatif udang vaname setelah diberi β–glukandan nukleotidadan diuji-tantang dengan Vibrio harveyi Pemberian imunostimulan berpengaruh positif terhadap resistensi udang vaname (Lampiran 20). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 14 hari setelah diuji tantang, resistensi yang diukur berdasarkan tingkat sintasan pada udang yang diberi nukleotida, maupun β–glukan berbeda nyata (p=0.003) jika dibandingkan dengan udang kontrol (Lampiran 21). Sintasan tertinggi teramati pada udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida.
Tingkat sintasan udang vaname
setelah diberi suplementasi nukleotida dan β–glukan dapat dilihat pada Gambar 9 (Lampiran 18 dan 19). Sampai saat ini, belum ada laporan yang tersedia tentang pengaruh nukleotida terhadap resistensi udang terhadap infeksi patogen. Pada ikan,Burrells et al. (2001) melaporkan bahwa setelah diuji-tantang dengan Vibrio anguillarum, rainbow trout yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida memiliki mortalitas kumulatif 31% sedangkan ikan yang diberi β–glukan dan pakan standar memiliki mortalitas 43% dan 49%. Leonardi et al. (2003) juga melaporkan bahwa rainbow trout yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 60 hari tetap hidup setelah diuji-tantang dengan infectious pancreatic necrosis (IPN) virus sedangkan ikan yang diberi pakan standar semuanya mati setelah disuntik dengan
60
virus ini. Sakai et al. (2001) juga melaporkan bahwa resistensi Cyprinus carpio terhadap infeksi A. hydrophila meningkat setelah ikan diberi pakan yang ditambahkan nukleotida yang diisolasi dari yeast RNA selama 3 hari. Resistensi yang tinggi dicapai sebagai hasil peningkatan aktivitas fagositosis, respiratory burst, serum komplemen dan aktivitas lisosim.
Sintasan (%) 100 90 79,17±7,22b 80 70,83±7,22b 70 60 a 50 45,83±7,22 40 30 20 10 0 Pakan Standar β–glukan
Nukleotida
Gambar 9SintasanL.vannamei setelah diberi β–glukandan nukleotidadan dan diuji-tantang dengan bakteri V. harveyi.Nilai rata-rata dengan superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (p=0.003) β-glukan sudah diketahui dapat meningkatkan respon imun nonspesifik dan resistensi ikan dan udang. Hasil penelitian Chang et al. (2003b) memperlihatkan bahwa pemberian oral β-glukan selama 20 hari secara efektif meningkatkan sistem imun udang windu, yang menghasilkan peningkatan sintasan melawan infeksi WSSV.
Itami et al. (1998) melaporkan bahwa
pemberian oral β-glukan0.2 mg/kg berat tubuh per hari selama 7 hari yang berasal dari Bifidobacterium thermophilum meningkatkan resistensi Metapenaeus japonicus terhadap infeksi vibrio dan WSSV. Chang et al. (2003a) melaporkan bahwa suplementasi 2 g β-glukan per kg pakan selama 40 hari meningkatkan sintasanudang windu. Song et al. (2003) juga melaporkan bahwa penambahan glukan dalam pakan dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang windu terhadap infeksi WSSV. Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa β-
61
glukanyang ditambahkan dalam pakan dapat meningkatkan resistensi postlarvae udang windu terhadap vibriosis (Sung et al. 2001). Menurut Burgents et al. (2004), resistensi udang vaname terhadap infeksi buatan Vibriomeningkat apabila udang
diberi
pakan
mengandung
Saccharomyces
β-glukan
cerevisiae.
meningkatkan respon imun udang dengan cara meningkatkan aktivitas sel-sel fagosit untuk menjalankan proses fagositosis.(Yin et al. 2006). Pertumbuhan Pertumbuhan udang diukur setiap 2 minggu sekali. Pertumbuhan udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dan β–glukan disajikan pada Tabel 8 (Lampiran 23, 24 dan 25).Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian imunostimulan uji selama 14 hari tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan udang (p>0.05) (Lampiran 26 dan 27). Pertumbuhan udang yang diberi nukleotida sedikit lebih tinggi dibanding dengan udang yang diberi β– glukan dan pakan standar. Setelah 28 hari pemberian, pertumbuhan udang yang diberi suplementasi nukleotida berbeda nyata jika dibandingkan dengan pertumbuhan udang kontrol (p<0.01), maupun dengan udang yang diberi suplementasi β–glukan (Lampiran 28, 29). Tabel 8PertumbuhanL. vannamei setelah diberi β–glukan dan nukleotida selama 4 minggu Perlakuan
Berat Awal (g)
Berat Akhir (g) 14 hari
Perolehan Berat (g)
28 hari
14 hari
28 hari
Pakan Standar
5.39±0.56 7.37±0.36a
8.25±0.71a
1.98±0.36a 2.86±0.71a
β–glukan
5.39±0.56 7.21±0.53a
9.13±0.45b
1.82±0.53a 3.74±0.45b
Nukleotida
5.39±0.56 7.71±0.81a
10.12±0.57c
2.32±0.81a 4.73±0.57c
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0.01) Perolehan berat udang yang diberi nukleotida mencapai rata-rata 4.73 g atau 65.38% lebih berat dari perolehan berat udang yang diberi pakan standar (Tabel 8). Hasil ini sama seperti yang teramati pada penelitian terdahulu dimana perolehan berat udang mencapai 5.05 g atau 50.74% lebih berat dari kontrol setelah 4 minggu diberi nukleotida dengan dosis 400 mg.kg-1 pakan.
62
Burrells et al. (2001) menyatakan bahwa nukleotida yang ditambahkan dalam pakan akan meningkatkan napsu makan ikan. Hal ini akan meningkatkan pengambilan pakan sehingga menghasilkan peningkatan pertumbuhan. Li et al. (2007) juga menyatakan bahwa peningkatkan pertumbuhan pada udang yang diberi nukleotida merupakan hasil peningkatan efisiensi dan pengambilan pakan udang.
Adenosindan inosinsudah diketahui sangat efektif merangsang napsu
makan krustase laut seperti lobster. Jadi penambahan nukleotida dalam pakan akan
meningkatkan
pengambilan
pakan
udang
sehingga
diberi
β–glukan
menghasilkan
peningkatan pertumbuhan. Pertumbuhan
udang
yang
dibandingkan dengan pertumbuhan udang kontrol. menyatakan bahwa
juga
berbeda
nyata
Lopez et al. (2003)
β–glukan yang ditambahkan dalam pakan meningkatkan
pertumbuhan udang vaname.
Namun demikian bagaimana bahan ini bekerja
meningkatkan pertumbuhan belum diketahui.
β–glukanmungkin diurai dalam
proses pencernaan oleh glukanase untuk menghasilkan energi sehingga memungkinkan lebih banyak protein digunakan untuk pertumbuhan. Dalam hal ini, β–glukan dapat hilang selama proses pencernaan sehingga mempengaruhi ketersediaannya sebagai imunostimulan, bukan sebagai sumber energi. Namun kehilangan ini tidak penting sebab sistem imun udang dapat bereaksi dengan β– glukan dalam jumlah yang sangat kecil/sedikit. Pada Metapenaeus japonicus, pertumbuhan udang meningkat setelah pemberian oral β-glukan0.2 mg/kg berat tubuh per hari selama 7 hari yang berasal dari Bifidobacterium thermophilum (Itami et al. 1998).
KESIMPULAN Dibandingkan dengan β-glukan, penambahan nukleotida dengan dosis 400 mg.kg-1 pakan memberi pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan jumlah hemosit,aktivitas PO, resistensi, dan pertumbuhan udang vaname.
63
JUDUL 4 APLIKASI NUKLEOTIDA DALAM BUDIDAYA INTENSIF UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) DI TAMBAK Abstrak Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh pemberian oral nukleotida terhadap resistensi dan performa pertumbuhan udang vaname yang dipelihara di tambak. Enam buah hapa berukuran masing-masing 2x1x1 m dibagi atas dua kelompok (Hapa I dan Hapa II) dan ditempatkan dalam tambak. Juvenil udang (rata-rata 4.5 g) ditangkap dari tambak setempat dan dipindahkan ke dalam hapa dengan kepadatan 175 ekor/hapa. Udang dalam kelompok Hapa I diberi pakan dengan suplementasi nukleotida 400 mg.kg-1 pakan sedangkan udang pada kelompok Hapa II diberi pakan standar tanpa suplementasi nukleotida. Pakan diberikan 3 kali/hari selama empat minggu dengan tingkat pemberian 4%/bb/hari. Penimbangan berat udang dilakukan dua minggu sekali. Pada akhir pemberian pakan, jumlah total udang hidup pada setiap unit hapa dihitung. Sintasan rata-rata udang pada Hapa I cukup tinggi (83.24%) meskipun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan sintasan udang pada Hapa II (81.71%). Setelah dua minggu pemberian pakan, pertumbuhan udang pada Hapa I berbeda nyata dibandingkan dengan udang pada Hapa II (p<0,01). Perbedaan nyata ini terus berlanjut hingga minggu ke empat pemberian pakan. Berat akhir udang pada Hapa I mencapai 11.98±1.08 g dengan perolehan berat 7.48±1.08 g atau 35.75% dan 68.85% lebih berat dibandingkan dengan udang yang pada Hapa II maupun di tambak. Jadi aplikasi nukleotida dengan dosis 400 mg.kg-1 pakan yang diberikan selama empat minggu dalam usaha budidaya udang vaname di tambak dapat meningkatkan resistensi dan performa pertumbuhan udang. Kata kunci: Litopenaeus vannamei, nukleotida, pertumbuhan, resistensi TOPIC 4 APPLICATION OF NUCLEOTIDES IN INTENSIVE WHITELEG SHRIMP (Litopenaeus vannamei)CULTURE IN BRACKISHWATER POND Abstract A research had been conducted to evaluate the effect of oral administration of nucleotides on resistance and growth performance of whiteleg shrimp raised in brackishwater pond.Six ‘hapa’ measuring 2x1x1m each were divided into two groups (Hapa I and Hapa II)and positioned in a pond. Juveniles, mean weight 4.5 g, were caught from the pond and moved into hapa at a density of 175 juveniles/hapa. Shrimps in Hapa Iwere fed nucleotides diet (400 mg.kg-1) three times a day at 4% bw.day-1 for 4 weeks while shrimps in Hapa IIwere fed basal diet without supplementation of nucleotides. Sample of shrimp was weighed every two weeks. At the end of feeding trial, total number of shrimp was counted. Survival rate of shrimp fed nucleotides diet was high (83.24%) but not different as compared to shrimp fed basal diet (81.71%). After two weeks of feeding, growth of shrimps fed nucleotides diet was significantly different (p<0.01)
64
compared to shrimp fed basal diet. This significantly different continued till 4 weeks of feeding. After 4 weeks of feeding, final weight of shrimp fed nucleotides diet was 11.98±1.08 g and weight gain was 7.48±1.08 g or 35.75% and 68.85% heavier than shrimp fed basal diet and shrimp raised in pond, respectively. Thus, application of nucleotide at 400 g.kg-1 diet for 4 weeks in whiteleg shrimp culture could induce resistance and shrimp growth. Keywords: Litopenaeus vannamei, nucleotides,resistance, growth
PENDAHULUAN Budidaya udang telah mendapat perhatian dunia sebab secara nyata berkontribusi dalam perkembangan ekonomi banyak negara. Sekalipun demikian, banyak negara-negara produsen dihadapkan dengan masalah munculnya penyakit secara berulang yang mempengaruhi spesis yang dipelihara, dan karenanya menekan kesinambungan akuakultur. Perkembangan penyakit bukan hanya disebabkan oleh adanya intensifikasi produksi tetapi juga oleh kerusakan lingkungan, polusi, dan ketidak-seimbangan nutrisi (Bachere 2003). Dalam dua dekade terakhir, banyak petani atau industri budidaya udang yang mengalami kerugian ekonomi yang signifikan terutama disebabkan oleh penyakit virus (Moss et al. 2006). Udang vaname pertama kali di impor ke Indonesia pada tahun 2000 untuk mengganti udang windu yang terserang WSSV (DKP 2007). Pada akhir 2007, udang ini telah dibudidayakan di lebih dari 17 provinsi di Indonesia (Taukhid & Nur’aini 2008). Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan udang vaname adalah penyakit terutama yang disebabkan oleh virus. WSSV dan TSV merupakan penyakit yang paling banyak mengakibatkan kerugian pada industri budidaya udang vaname di Amerika maupun Asia, termasuk di Indonesia (Lightner 2003). Sementara kedua virus ini belum teratasi, kini muncul infectious myonecrosis virus (IMNV) sebagai penyakit baru. IMNV pertama kali ditemukan pada tahun 2004 di Brazil, dan pada tahun 2006 virus ini telah terdeteksi di Indonesia (Taukhid & Nur’aini 2008).
Saat ini, IMNV telah menginfeksi
budidaya udang vaname di Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara dan Sumatera. IMNV menyerang udang terutama pada juvenil dan udang muda dengan
65
inangutama adalah udang vaname. Penyakit ini berkembang secara perlahanlahan dengan mortalitas kumulatif mencapai 40-70% (Lightner 2009a). Dalam manajemen kesehatan budidaya udang, strategi pencegahan penyakit dapat dilakukan melalui berbagai cara seperti penggunaan bahan-bahan kimia dan antibiotik, vaksinasi, bakteri probiotik, SPF dan SPR, biosekurity, dan imunostimulan. Penggunaan antibiotik telah banyak mendapat perhatian karena dampak negatif yang ditimbulkannya seperti akumulasi residu dalam jaringan ikan dan munculnya patogen kebal antibiotik. Vaksinasi meskipun sangat efektif namun membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang mahal serta proteksi yang dihasilkan bersifat spesifik (Cook et al. 2003).
Probiotik berguna dalam
mengontrol
dengan
infeksi
mikroba
melalui
kompetisi
mikroorganisme
berbahaya/patogen, produksi bahan-bahan penghambat atau melalui stimulasi sistem imun udang yang dibudidayakan (Bachere 2003).
Udang SPR hanya
resisten terhadap patogen tertentu dan dengan adanya mutasi genetik, udang SPR yang awalnya resisten menjadi suseptibel terhadap patogen yang baru. Resistensi udang terhadap patogen juga berbeda-beda berdasarkan siklus hidup udang. Meskipun strategi biosekuriti seperti pengurangan pergantian air, penyaringan, pengeringan kolam, penapisan postlarva untuk membatasi masuknya patogen dalam lingkungan budidaya, dan bahkan dikombinasikan dengan udang SPR secara nyata meningkatkan produksi, namun penyakit terus saja terjadi dalam usaha budidaya (Moss et al. 2006). Penggunaan nutrisi yang seimbang kini sedang diteliti untuk meningkatkan respon terhadap stres dan infeksi patogen misalnya suplementasi UFA, sterol dan vitamin dalam pakan. Pendekatan lain adalah penggunaan imunostimulan dalam mencegah penyakit infeksius. Nukleotida sebagai imunostimulan menawarkan suatu keuntungan lebih dibandingkan dengan imunostimulan lain. Sebab selain meningkatkan respon imun, nukleotida juga dapat meningkatkan resistensi, toleransi terhadap stres, serta pertumbuhan udang yang dibudidayakan. Berdasarkan hasil penelitian di laboratorium yang dilakukan pada tahap sebelumnya, pemberian nukleotida selama empat minggu pada level 400 mg.kg-1 pakan sangat potensial meningkatkan respon imun, resistensi, dan pertumbuhan udang vaname. Sebelum
66
diaplikasikan langsung dalam aktivitas budidaya udang di tambak, maka perlu dilakukan uji lapang. Sebab, hasil pengamatan yang diperoleh dalam kondisi yang sangat terkontrol di laboratorium tak dapat menjamin hasil yang sama jika diterapkan dalam kondisi budidaya yang kurang terkontrol. Penelitian ini merupakan suatu percobaan demonstratif dengan maksud untuk mengaplikasikan secara langsung temuan yang telah diperoleh pada tahap penelitian yang dikerjakan sebelumnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi pengaruh pemberian oral nukleotida terhadap resistensi dan performa pertumbuhan udang vaname yang dipelihara di tambak, dan membandingkan hasil yang diperoleh dengan hasil-hasil yang sudah ada atau umum dicapai dalam praktek budidaya udang vaname.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian untuk mengevaluasi aplikasi nukleotida dalam pakan udang vaname dilaksanakan di areal tambak intensif udang vaname di Bakauheni, Lampung Selatan.Penelitian dilaksanakan selama satu bulan yakni dari tanggal 21 April – 21 Mei 2010. Wadah Percobaan Wadah percobaan yang digunakan adalah jaring hapa berukuran 2x1x1 m3 sebanyak 6 buah. Hapa ditempatkan dalam petakan tambak pembesaran yang memiliki luas 3800 m2yang sebelumnyatelah ditebar benur PL 12. Hewan Uji Hewan uji adalah juvenil udang vanameberukuran berat rata-rata 4.5 g/ekor yang diambil dari petakan tambak dimana percobaan ini dilaksanakan. Nukleotida Nukleotida yang digunakan terdiri dari adenosine monophosphate (AMP), guanosine monophosphate (GMP), cytidine monophosphate (CMP), uridine
67
monophosphate (UMP), dan inosine monophosphate (IMP). Dalam penelitian ini, dosis nukleotida yang digunakan adalah 400 mg.kg-1 pakan yang diberikan selama 4 minggu. Hal ini ditetapkan berdasarkan hasil yang ditemukan pada penelitian yang telah dikerjakan sebelumnya. Prosedur pencampuran nukleotida ke dalam pakan adalah sama seperti pada prosedur sebagaimana dijelaskan pada penelitian I. Pakan yang sudah dicampur nukleotida dikering-anginkan, kemudian dicampurkan dengan putih telur sebagai coater, dikering-anginkan kembali dan selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin dan siap diberikan pada udang. Pakan standar udang (Luxindo) yang digunakan memiliki komposisi nutrisi seperti tercantum dalam kemasan pakan sebagai berikut:Protein 28%, Lemak 5%, Serat Kasar 4%, Abu15%, dan Kadar Air 11%. Rancangan Percobaan Sebanyak 6 buah hapa percobaan ditempatkan dalam tambak pada jarak kurang lebih 2 m dari tepi pematang dengan menggunakan tiang pancang. Dalam penempatannya, keenam hapa tersebut dibagi menjadi dua kelompok yakni Hapa I dan Hapa II masing-masing dengan tiga unit yang dipasang secara berangkai (Gambar 10).Bagian hapa yang berada dalam air adalah 75 cm (volume air 1500 l) sedangkan sisanya 25 cm berada di atas permukaan air tambak.
Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah agar udang tidak meloncat keluar hapa terutama saat diberi pakan. Jarak antara kelompok Hapa I dan II sekitar 2 m sedangkan jarak antara dasar hapa dengan dasar tambak bervariasi dari 10 sampai 30 cm tergantung pada kemiringan dasar tambak (Gambar 11).
68
Hapa II Hapa I
Gambar 10 Tata letak hapa percobaan dalam tambak udang vaname
Gambar 11 Posisi dasar hapa 10-30 cm di atas dasar tambak
Udang dalam rangkaian kelompok Hapa I diberi pakan yang ditambahkan nukleotida sedangkan udang dalam rangkaian Hapa II diberi pakan standar (tanpa nukleotida) sebagai pembanding terhadap pakan yang ditambahkan nukleotida. Setiap unit hapa dilengkapi dengan sebuah jaring anco berukuran 80x80x10 cm sebagai tempat pemberian pakan.
69
Pada samping kanan Hapa II pada jarak sekitar 20 m, terdapat sebuah kincir air.
Arus air yang tercipta akibat pengoperasian kincir akan mengalir
menuju rangkaian Hapa II, kemudian ke rangkaian Hapa I sehingga dengan demikian maka udang dalam rangkaian Hapa II akan terhindar dari pengaruh nukleotida yang diberikan pada udang dalam rangkaian Hapa I. Prosedur Percobaan dan Pengambilan Data Sebelum pelaksanaan percobaan, benur udang vaname (PL-12) telah ditebar terlebih dahulu dalam petak tambak yang digunakan sebagai tempat uji coba dengan padat tebar 70 ekor/m2. Selama masa pemeliharaan, benur diberi pakan 5 kali sehari yakni pada pukul 06.00, 10.00, 14.00. 18.00 dan 22.00. Dalam hal ini, manajemen pemberian pakan dan manajemen pembesaran udang dijalankan petugas sesuai manajemen pembesaran udang setempat. Tambak dilengkapi dengan 6 buah kincir air. Setelah udang mencapai berat rata-rata 4,5 g (umur 41 hari setelah ditebar), udang ditangkap dengan menggunakan jala lempar, dimasukkan dalam ember plastik, dihitung, dan selanjutnya dipindahkan ke dalam hapa dengan kepadatan 200 ekor per hapa (Gambar 12).Selama 2 hari pertama (proses adaptasi), terjadi kematian sebanyak rata-rata 20 ekor per hapa akibat stres yang dipicu oleh kegiatan penangkapan dan penghitungan udang.
Gambar 12 Penghitungan dan penebaran udang dalam hapa percobaan
70
Udang dalam rangkaian Hapa I selanjutnya diberi pakan dengan penambahan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan selama 4 minggu dengan tingkat pemberian 4%/bb/hari dan diberikan 3 kali sehari yakni pada pukul 09.00, 13.00, dan 17.00. Udang dalam rangkaian Hapa II diberi pakan standar dengan tingkat dan waktu pemberian yang sama. Pakan diberikan dengan menggunakan anco (lihat Gambar 13). Pakan diberikan dengan cara menyebarkannya terlebih dahulu ke dalam anco kemudian anco ditenggalamkan secara perlahan-lahan sampai ke dasar jaring hapa.
Kualitas air selama masa percobaan berlangsung adalah
temperatur 28-32oC, salinitas 19-20 ppt dan pH 7.4-7.5.
Gambar 13 Pemberian pakan pada udang percobaan Variabel Terukur Dikaitkan dengan manajemen kesehatan, maka variabel yang diperlukan untuk mendeterminasi kesehatan udang adalah resistensi yang diukur berdasarkan tingkat sintasan dan performa pertumbuhan (perolehan berat dan pertumbuhan harian rata-rata). Pertumbuhan udang diukur setiap 2 minggu sekali sedangkan sintasan dihitung pada akhir pemberian pakan perlakuan. Pertumbuhan dan sintasan hidup udang dihitung berdasarkan formula sebagai berikut:
dimana:
SR = Nt/No x 100 SR = Sintasan (%) Nt = jumlah udang hidup pada waktu t (ekor) No = jumlah udang hidup waktu tebar (ekor)
71
dimana:
dimana:
G = Wt – Wo G = perolehan berat(g) Wt = berat udang pada akhir percobaan (g) Wo = berat udang pada awal percobaan (g) ADG = (ABW t – ABWo ) / T ADG = perolehan berat harian rata-rata (g) ABWt = berat udang pada akhir percobaan (g) ABWo = berat udang pada awal percobaan (g) T =periode pengukuran akhir dan awal (hari) Analisis Data
Evaluasi pengaruh pemberian oral nukleotida terhadap resistensi dan performa pertumbuhan udang vaname dikerjakan melalui analisis ragam. Secara deskriptif, hasil yang dicapai juga dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian atau uji coba maupun dengan hasil-hasil nyata yang dicapai dalam aktivitas usaha budidaya udang vaname.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sintasan Jumlah udang yang dipelihara dalam masing-masing hapa sebanyak 200 ekor dengan berat rata-rata 4.5 g/ekor. Pada hari pertama setelah ditebar, terjadi kematian sebanyak rata-rata 14 ekor/hapa dan pada hari ke dua sebanyak 6 ekor/hapa. Kematian ini dipicu oleh stress yang terjadi saat dilakukan penangkapan dengan jaring lempar dan penghitungan jumlah udang sebelum dimasukkan ke dalam hapa. Selama periode pengamatan, juga terjadi kehilangan sebanyak rata-rata 5 ekor/hapa (udang loncat keluar hapa) terutama pada saat pemberian pakan. Dengan demikian maka jumlah udang yang dipakai sebagai dasar penghitungan sintasan adalah 175 ekor per hapa (kepadatan 87.5 ekor/m2). Tingkat sintasan udang yang dihitung pada akhir periode percobaan disajikan dalam Tabel 9.
72
Tabel 9Sintasan dan efisiensi pakan udang vaname yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4 minggu Wadah Percobaan
No
Wo
Nt
Wt
WG
SR (%)
Jlh Pakan
FCR
Hapa I (pakan bernukleotida): 1
175
787.5
164
1972.92
1185.42
93.71
1290
1.09
2
175
787.5
141
1677.90
890.40
80.57
1290
1.45
3
175
787.5
132
1584.00
796.50
75.43
1290
1.62
787.5
146
1744.94
957.44
83.24±9.42
1290
1.35±0.27
Rata-tata
Hapa II (pakan standar): 1
175
787.5
138
1439.34
651.84
78.86
1290
1.98
2
175
787.5
150
1420.50
633.00
85.71
1290
2.04
3
175
787.5
141
1428.33
640.83
80.57
1290
2.01
787.5
143
1429.39
641.89
81.71±3.56
1290
2.01±0.03
Rata-rata
No = jumlah udang waktu tebar (ekor); Nt = jumlah udang hidup pada akhir percobaan (ekor); Wo= berat udang waktu tebar (g); Wt =berat udang pada akhir percobaan (g); WG= perolehan berat; SR= sintasan; FCR= food convertion ratio: jumlah pakan dikonsumsi (g) / perolehan berat (g) Data yang diperoleh menunjukkan bahwa baik udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida (Hapa I) maupun udang yang diberi pakan tanpa tambahan nukleotida (Hapa II) keduanya memiliki tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Secara statistik, tingkat kelangsungan hidup antar kedua perlakuan ini tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil yang sama ditemukan pada penelitian tahap sebelumnya yang dilakukan di laboratorium dimana sintasan udang yang diberi pakan bersuplementasi nukleotida mencapai 83.33% setelah diuji tantang dengan bakteri V. harveyi dan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Pada penelitian tahap ke empat ini, sintasan udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida mencapai 83.24% dan udang yang diberi pakan tanpa nukleotida sebesar 81.71%. Dalam pengamatan, kematian udang selama masa percobaan terjadi karena dua sebab yakni kanibalisme terutama pada saat udang molting dan penyakit myo. Selama beberapa tahun terakhir ini, penyakit myo merupakan masalah utama yang
73
dihadapi dalam budidaya udang vaname di areal pertambakan Bakauheni dimana penelitian ini dikerjakan. Menurut Lightner (2009b), myo terutama menyerang juvenil dan udang muda dimana perkembangan infeksinya berlangsung secara lambat dengan mortalitas kumulatif 40-70%.
Wabah myo mungkin terjadi menyusul adanya
stres yang dipicu oleh perubahan salinitas dan temperatur air secara mendadak, penangkapan dengan jaring lempar, dan pemberian pakan. Pada tahap akut, udang yang terinfeksi myo ditandai dengan adanya area nekrosis pada jaringan otot di bawah kulitterutama pada bagian punggung ruas-ruas tubuh dan tail fan, berwarna putih pucat, terpusat atau melebar (Lightner 2009a). Warna putih pucat tersebut pada beberapa udang dapat berubah menjadi merah seperti warna kulit udang mati atau dimasak. Gejala ini dapat muncul secara tiba-tiba setelah terjadi stres. Udang yang terinfeksi parah menjadi moribunddengan mortalitas yang tinggi dan kematian dapat berlangsung selama beberapa hari. Transmisi IMNV terjadi dari udang ke udang melalui kanibalisme, melalui air dan mungkin melalui transmisi vertikal.
Selama masa percobaan, udang dipelihara dalam hapa
sehingga transmisi horizontal IMNV dengan individu luar menjadi terbatas. Selain itu, kondisi dan kualitas air selama masa percobaan tetap stabil (temperatur 28-32oC, salinitas 19-20 ppt, pH 7.4-7.5). Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa sintasan udang pada kedua perlakuan cukup tinggi. Performa Pertumbuhan Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pemberian oral nukleotida pada level 400 mg.kg-1 pakan dalam budidaya udang di tambak dapat memacu pertumbuhan udang.
Data hasil pengukuran pertumbuhan udang disajikan pada Tabel 10
(Lampiran 30, 31). Setelah diberikan selama 2 minggu, pertumbuhan udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida berbeda nyata (p=0.001) jika dibandingkan dengan pertumbuhan udang yang diberi pakan tanpa suplementasi nukleotida(Lampiran 32). Berat akhir rata-rata udang dalam kelompok Hapa I setelah diberi tambahan nukleotida selama 2 minggu mencapai 7.92 g dengan perolehan berat sebesar 3.42 g. Angka ini mencapai 34.65% lebih berat dari perolehan berat udang dalam kelompok Hapa II yang hanya diberi pakan
74
standar(2.54 g),
atau 65.22% lebih berat dari perolehan berat udang yang
dipelihara di tambak (2.07 g).Perbedaan nyata tersebut terus berlangsung hingga akhir periode pemberian nukleotida yakni 4 minggu (p<0.01) (Lampiran 33). Tabel 10 Performa pertumbuhan udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II, dan Tambak Wadah Percobaan Wo Wt Hapa I: Minggu-2 (n=30) 4.50 7.92±0.91 Minggu-4 (n=45) 4.50 11.98±1.08 Hapa II: Minggu-2 (n=24) 4.50 7.04±0.17 Minggu-4 (n=45) 4.50 10.01±1.36 Tambak: Minggu-2 (n=3) 4.50 6.57±0.40 Minggu-4 (n=3) 4.50 8.93±0.21 Wo : berat rata-rata udang waktu tebar(g) Wt : berat rata-rata udang waktu t (g) G : perolehan berat (g) ADG: perolehan berat harian rata-rata (g)
G
ADG
3.42±0.91 7.48±1.08
0.243±0.066 0.277±0.039
2.54±0.13 5.51±1.36
0.180±0.059 0.204±0.049
2.07±0.40 4.43±0.21
0.147±0.028 0.163±0.007
Setelah diberikan selama 4 minggu, berat akhir rata-rata udang dalam kelompok Hapa I yang diberi pakan dengan suplementasi nukleotida mencapai 11.98 g dengan perolehan berat rata-rata mencapai 7.48 g atau 35.75% lebih besar dari perolehan berat udang yang tidak diberi nukleotida. Jika dib&ingkan dengan pertumbuhan udang di tambak maka angka ini mencapai 68,85% lebih besar. Jelas terlihat bahwa pemberian nukleotida sampai dengan 4 minggu secara berlanjut mampu memacu pertumbuhan udang. Hal ini juga terlihat pada nilai pertumbuhan harian rata-rata (ADG). ADG udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida (Hapa I) selama 2 minggu sebesar 0.243±0.066 g namun jika diberi selama 4 minggu, ADG meningkat menjadi 0.277±0.039 g.Data perolehan berat harian setelah 4 minggu masa percobaan dapat dilihat pada Lampiran 34.Perbandingan berat akhir, perolehan berat dan pertumbuhan harian rata-rata udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II setelah empat minggu diberi pakan yang ditambahkan nukleotida ditunjukkan dalam Gambar 14, 15, dan 16.
75
Laporan-laporan tentang penggunaan nukleotida dalam budidaya udang di tambak belum tersedia, atau jika ada, masih bersifat tertutup sebagai patent perusahaan produk nukleotida komersil. Pada penelitian di laboratorium yang telah dilakukan sebelumnya, juvenil udang dengan berat rata-rata 6.0±0.5 g dapat tumbuh mencapai berat 11.05±0.40 g dengan perolehan berat 5.05±0.40 g setelah diberi pakan dengan suplementasi nukleotida 400 mg.kg-1 pakan selama empat minggu (Manoppo dkk. 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Li et al. (2007) di laboratorium percobaan juga menunjukkan bahwa juvenil udang vaname berukuran rata-rata 0.84 g/ekor dapat tumbuh mencapai 10.96 g/ekor setelah setelah 5 minggu diberi pakan dengan suplementasi nukleotida 0.04% (400 mg.kgpakan).
14
11,98
12
Berat akhir (g)
1
10
7,92
8 6
10,01 8,93 7,04 6,57
4,5
Hapa I
4
Hapa II
2
Tambak
0 41 hari
55 hari
67 hari
Umur setelah ditebar Gambar 14 Berat akhir udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II, dan Tambak
Perolehan Berat (g)
76
8 7 6 5 4 3 2 1 0
7,48 5,51 4,43 3,42 2,54
Hapa I Hapa II Tambak
2,07
55 hari
67 hari Umur setelah ditebar
Gambar 15Perolehan berat udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I,
Hapa II dan Tambak
0,277
0,3
ADG (g)
0,25 0,2 0,15
0,243 0,204
0,180 0,147
0,163 Hapa I
0,1
Hapa II
0,05
Tambak
0 55 hari
67 hari
Umur setelah ditebar Gambar 16 Perolehan berat harian rata-rata(ADG) udang vaname yang
dipelihara dalam Hapa I, Hapa II dan Tambak
KESIMPULAN Dalam usaha budidaya udang di tambak, aplikasi nukleotida dengan dosis 400 mg.kg-1 pakan yang diberikan selama empat minggu dapat meningkatkan resistensi dan performa pertumbuhan udang.
77
PEMBAHASAN UMUM Budidaya udang vaname mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia untuk dikembangkan. Udang ini diimpor ke Indonesia pada tahun 2000 dengan alasan untuk mengganti udang windu yang telah banyak terserang penyakit. Namun dalam perjalanan usaha ini yakni sejak tahun 2000 sampai sekarang, banyak petani udang menderita kerugian ekonomi yang cukup besar karena munculnya serangan penyakit terutama yang disebabkan oleh virus dan bakteri. WSSV telah menghancurkan banyak usaha budidaya sejak tahun 1992/1993, dan sejak tahun 2006, Infectious Myonecrosis Virus (IMNV) telah ditemukan menginfeksi banyak usaha budidaya di Indonesia. Kedua penyakit virus ini belum dapat diatasi sampai sekarang. Beberapa strategi pencegahan penyakit yang telah diaplikasikan dalam budidaya udang meliputi penggunaan bakteri probiotik, SPR/SPF (specific pathogen resistance/specific pathogen free), dan biosekuriti.
Banyak laporan
telah membuktikan bahwa meskipun metoda-metoda ini mampu meningkatkan produksi namun penyakit terus terjadi secara berulang.
Hal ini disebabkan
suseptibilitas udang terhadap patogen berbeda-beda berdasarkan fase hidup, serta adanya mutasi genetik patogen dalam lingkungan budidaya. Sampai saat ini, antibiotik merupakan metoda yang paling banyak digunakan untuk pencegahan dan pengobatan, namun bahan ini telah diketahui dapat menyebabkan munculnya patogen kebal antibiotik (antibiotic-resistance pathogen) serta berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Peningkatan respon imun nonspesifik melalui penggunaan imunostimulan mungkin merupakan metoda yang paling efektif untuk mencegah terjadinya serangan penyakitpada udang yang dipelihara. Beberapa jenis imunostimulan telah terbukti dapat meningkatkan respon imun nonspesifik dan resistensi udang seperti beta glukan, lipopolisakarida, dan peptidoglikan. Nukleotida merupakan imunostimulan yang baru mulai diteliti penggunaannya bagi ikan. Pada udang, serangkaian penelitian telah dikerjakan untuk mengevaluasi peranan nukleotida sebagai imunostimulan dalam meningkatkan respon nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname.
78
Penelitian pertama mengevaluasi pengaruh dosis nukleotida dalam pakan terhadap respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian oral nukleotida memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan total hemocyte count (THC) dan aktivitas PO udang setelah diberikan selama 4 minggu berturut-turut (p<0.01). THC tertinggi teramati pada udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida 300 mg.kg-1 pakan, kemudian 400 mg.kg-1 yang masing-masing mencapai 76% dan 73% lebih tinggi dari udang kontrol. Hal yang sama juga teramati pada nilai aktivitas PO dengan nilai >0.35 yang berati memiliki aktivitas tinggi (Gullian et al. 2004). Namun demikian, antara udang yang diberi pakan dengan suplementasi nukleotida 300 mg.kg-1 dan 400 mg.kg-1, kedua paramater imun ini tidak berbeda nyata. Nukleotida yang ditambahkan dalam pakan dapat meningkatkan hemosit udang sebab nukleotida merupakan nutrien semi esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel, termasuk sel-sel imun (Barnes 2006; Sajeevan et al. 2006).
Nukleotida juga meningkatkan aktivitas PO udang,namun
bagaimana proses peningkatan ini terjadi masih belum diketahui dan perlu diteliti secara lebih detil.Menurut Li & Galtin (2006), nukleotida yang ditambahkan dalam pakan selain digunakan sebagai nutrien untuk proses-proses biosintesa, juga akan berfungsi dalam cell signaling. Dalam penelitian ini terlihat bahwa udang yang memiliki THC yang tinggi (perlakuan D dan E) juga memiliki aktivitas PO yang tinggi. Kondisi ini terjadi karena hemosit berperan dalam produksi dan pelepasan proPO ke dalam hemolim (Sahoo et al. 2008; Morales et al. 2007). Dalam keadaan normal, jumlah hemosit yang tinggi akan diikuti pula oleh aktivitas PO yang tinggi. Nukleotida juga dapat meningkatkan resistensi udang vaname terhadap infeksi bakteri Vibrio. Setelah diuji-tantang dengan larutan bakteri Vibrio harveyi 1x106 cfu.udang-1, udang yang diberi pakan dengan penambahan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan selama 4 minggu memiliki tingkat resistensi (diukur berdasarkan tingkat sintasan) tertinggi yakni 83.33±7.21%.Status kesehatan yang tinggi (THC dan aktivitas PO) mungkin mendukung tercapainya resistensi yang tinggi.
79
Sekalipun demikian, mekanisme imun mana yang paling penting bagi resistensi penyakit belum dapat ditetapkan. Menurut Rodrique & Le Moullac (2000), sampai saat ini belum ada model percobaan infeksi yang dapat memperlihatkan korelasi antara parameter-parameter imun dengan resistensi penyakit. Oleh karena, data sintasan udang yang dicapai setelah diuji-tantang dengan patogen dipakai sebagai ukuran resistensi udang terhadap penyakit. Pemberian nukleotida selama 4 minggu berturut-turut dapat meningkatkan pertumbuhan udang vaname.
Pertumbuhan udang yang diberi pakan yang
ditambahkan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan berbeda nyata jika dibandingkan dengan udang kontrol maupun dengan perlakuan lainnya. Setelah 4 minggu pemberian pakan yang ditambahkan nukleotida, udang dengan berat awal 6 g dapat tumbuh mencapai berat 11.05±0.40 g dengan perolehan 5.05±0.40 g atau mencapai 50.75% lebih besar dari perolehan berat udang kontrol. Penambahan nukleotida dalam pakan akan meningkatkan napsu makan udang sehingga efisiensi dan pengambilan pakan meningkat. Hal ini terjadi karena beberapa nukleotida seperti IMP, AMP dan guanine merupakan feed enhancer yang dapat meningkatkan napsu makan udang. Dalam penelitian ini juga teramati bahwa pada dosis yang lebih tinggi (500 mg.kg-1 pakan), penambahan nukleotida tidak akan memacu pertumbuhan tetapi sebaliknya menekan pertumbuhan. Dapatlah disimpulkan bahwa penambahan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan dan diberikan selama 4 minggu secara berlanjut dapat meningkatkan respon imun nonspesifik,
resistensi
serta
pertumbuhan
udang
vaname.
Hasil
ini
mengindikasikan bahwa penggunaan nukleotida sangat penting bagi manajemen kesehatan dalam budidaya udang. Penelitian kedua mencoba menetapkan lama waktu (protokol) pemberian pakan yang ditambahkan nukleotida yang dapat mengoptimalkan respon imun dan pertumbuhan udang vaname. Udang diberi pakan dengan penambahan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida dan 7 hari pakan standar secara bergantian selama 49 hari. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa pemberian pakan yang ditambahkan nukleotida dengan protokol yang ditetapkan tidak berpengaruh terhadap peningkatan
80
parameter imun maupun pertumbuhan udang vaname. Hal ini mungkin terjadi karena: 1) lama waktu pemberian nukleotida dalam percobaan ini mungkin belum cukup untuk dapat menghasilkan peningkatan imunitas dan pertumbuhan udang. Oleh karena itu maka penelitian dengan interval pemberian yang sama namun dengan waktu yang lebih panjang mungkin perlu dilakukan untuk mendapatkan protokol pemberian nukleotida yang efektif meningkatkan respon imun, resistensi, dan pertumbuhan udang vaname; 2)udang mungkin membutuhkan suplementasi nukleotida secara kontinyu untuk meningkatkan imunitas dan pertumbuhannya. Halini terlihat pada hasil penelitian pertama dimana pemberian nukleotida secara berlanjut selama 4 minggu mampu meningkatkan respon imun, resistensi dan pertumbuhan udang vaname. Penelitian ketiga membandingkan pengaruh suplementasiβ–glukandan nukleotida dalam pakan terhadap respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname. THC meningkat secara signifikan pada udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4 minggu. THC udang yang diberi pakan yang ditambahkannukleotida meningkat mencapai 87% lebih banyak dari udang kontrol.
Penambahan β–glukan juga dapat meningkatkan THC
meskipun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol. Meningkatnya THC udang akibat pemberian oral nukleotida dan β–glukan juga diikuti oleh meningkatnya aktivitas PO. Secara nyata, peningkatan aktivitas PO teramati pada udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida sedangkan pada udang yang diberi pakan dengan suplementasi β–glukan, aktivitas PO udang meskipun meningkat namun jika dibandingkan dengan kontrol, nilai peningkatan yang terjadi tidak berbeda nyata. Dalam penelitian ini, nilai aktivitas PO udang, baik yang diberi suplementasi nukleotida maupun β–glukan mencapai nilai >0.35, yang berarti memiliki aktivitas tinggi (high activity) sedangkan udang yang hanya diberi pakan standar memiliki aktivitas PO normal (0.20–0.35). Beberapa laporan penelitian telah memperlihatkan bahwa pemberian oral β-glukan secara nyata meningkatkan respon imun nonspesifikbeberapa spesies udang seperti L. vannamei, P. monodon, Penaeus japonicus, dan M. rosenbergii. β-glukan yang ditambahkan dalam pakan akan mengikat molekul reseptor yang
81
terdapat pada permukaan sel-sel fagosit sehingga sel fagosit menjadi lebih aktif dalam melakukan fagositosis terhadap patogen atau partikel asing. Sel-sel fagosit selanjutnya mengeluarkan molekul-molekul signal (sitokin) yang merangsang pembentukan sel-sel hemosit yang baru. Dalam penelitian ini, β–glukan yang diberikan secara oral tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan THC dan aktivitas PO udang vaname. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi efikasi β–glukan antara lain perbedaan sumber bahan yang digunakan, penanganan serta metoda ekstraksi yang digunakan. β–glukan yang digunakan dalam penelitian ini diekstrak dari yeast S. cereviciae dengan metoda asam-basa (alkaline-acid method). Pemberian oral β–glukan dan nukleotida secara nyata meningkatkan resistensi udang vaname terhadap infeksi vibrio. Dibandingkan dengan β-glukan, udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida memiliki sintasanlebih tinggi (79.17±7.22%) setelah diuji-tantang dengan bakteri Vibrio harveyi1 x 106 cfu-1.udang. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian tahap pertama dimana udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan selama 4
minggu
dan
diinfeksi
dengan
bakteri
vibrio
memiliki
tingkat
sintasan83.33±7.21%. Pada beberapa spesies ikan, penambahan nukleotida dalam pakan sudah terbukti mampu meningkatkan respon imun nonspesifik yang menghasilkan peningkatan resistensi terhadap penyakit. Dalam penelitian tahap ketiga ini, jelas terlihat bahwa THC dan nilai aktivitas PO tertinggi yang dicapai pada udang yang diberi pakan dengan suplementasi nukleotida menghasilkan resistensi yang tertinggi pula. β-glukan meningkatkan resistensi dengan cara meningkatkan aktivitasfagositosis dari sel-sel fagosit serta meningkatkan aktivitas PO untuk menjalankan proses melanisasi. Pemberian oral β–glukan maupun nukleotida juga dapat meningkatkan pertumbuhan udang vanamedimanapertumbuhan yang lebih baik teramati pada udang yang diberi tambahan nukleotida. Setelah 4 minggu pemberian, udang dengan berat rata-rata 5.39±0.56g dapat tumbuh mencapai 10.12±0.57g dengan perolehan berat4.73±0.57g atau mencapai 65.38% lebih besar dari perolehan berat udang kontrol. Hasil ini dapat mengkonfirmasi hasil penelitian tahap pertama
82
dimana perolehan berat udang yang diberi suplementasi nukleotida selama 4 minggu mencapai 50.74% lebih besar dari kontrol. Peningkatan pertumbuhan terjadi karena nukleotida yang ditambahkan dalam pakan dapat meningkatkan napsu makan udang sehingga efisiensi dan pengambilan pakan meningkat. Penambahan β–glukan juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan udang vaname.
Beberapa laporan penelitian telah menunjukkan bahwa β–
glukandapat meningkatkan pertumbuhan beberapa spesies udang seperti Metapenaeus japonicus dan Litopenaeus vannamei, namun bagaimana mekanisme kerja bahan ini dalam meningkatkan pertumbuhan belum diketahui dengan jelas. Penelitian
keempat
bersifat
demonstratif
dengan
maksud
untuk
mengaplikasikan nukleotida secara langsung dalam manajemen kesehatan budidaya udang vaname.
Udang dalam penelitian ini dipelihara dalam dua
rangkaian 3-hapa yang diletakkan dalam tambak dimana usaha pemeliharaan sedang berlangsung. Pada rangkaian Hapa I, udang diberi suplementasi nukleotida dalam pakan sedangkan pada rangkaian Hapa II, udang diberi pakan standar tanpa suplementasi nukleotida. Masing-masing hapa berukuran 2x1x1m dengan padat tebar 175 ekor/hapa. Sintasan antara udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dan pakan standar tidak berbeda nyata, masing-masing sebesar 83.24±9.42% dan 81.71±3.56%. Kematian udang selama masa pemeliharaan terjadi disebabkan oleh adanya kanibalisme terhadap udang molting dan penyakit myo (Infectious Myonecrosis Virus, IMNV) namun jumlahnya tidak banyak. Myo merupakan penyakit baru yang dihadapi dalam budidaya udang di areal pertambakan Bakauheni dimana uji lapang ini dilaksanakan. Virus ini umumnya menyerang juvenil dan udang muda dimana perkembangan infeksinya berlangsung secara lambat (Lightner 2009b).
Wabah myo tidak terjadi selama masa percobaan
berlangsung sehingga sulit untuk menjelaskan pengaruh nukleotida terhadap sintasan udang percobaan. Pertumbuhan udang meningkat secara nyata setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida 400 mg.kg-1 pakan selama 2 minggudan peningkatan
83
pertumbuhan terus berlanjut sampai minggu ke 4 pemberian pakan. Setelah 4 minggu pemeliharaan, udang dengan berat awal 4.5 g/ekor dapat tumbuh mencapai berat akhir 11.98±1.08 g jika diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dan 10.01±1.36 g jika hanya diberi pakan standar. Udang yang dipelihara dalam tambak pada umur yang sama memiliki berat akhir rata-rata 8.93±0.21 g. Pada penelitian tahap pertama, pemberian nukleotida 400 mg.kg-1 pakan baru memperlihatkan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan setelah diberikan selama 4 minggu.Dalam penelitian lapang ini, ditemukan bahwa pemberian nukleotida dengan dosis yang sama sudah memperlihatkan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan udang setelah 2 minggu pemberian.
Hal ini mungkin
dipengaruhi oleh kondisi dan kualitas air tambak yang lebih baik dan segar, massa air yang lebih besar serta tersedianya ruang gerak yang lebih luas bagi udang. Faktor stresor eksternal juga sangat mempengaruhi pertumbuhan udang seperti penyiponan dan penggantian air, dan pemberian pakan. Perolehan berat udang yang diberi pakan dengan suplementasi nukleotida mencapai 7.48±1.08 g atau 35.75% lebih besar dari perolehan berat udang kontrol (5.51±1.36 g) dan 68.85% lebih besar dari perolehan berat udang yang dipelihara di tambak (4.43±0.21 g).
Pertumbuhan harian rata-rata udang yang diberi
suplementasi nukleotida mencapai 0.277±0.039 g dengan ratio konversi pakan (FCR) sebesar 1.35. Pada udang yang diberi pakan standar, pertumbuhan harian rata-rata sebesar 0.204±0.049 g dengan FCR 2.01. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa nukleotida sangat potensial untuk diaplikasikan dalam manajemen kesehatan budidaya udang vaname. demikian,
harga
nukleotida
perlu
dipertimbangkan
sebab
harga
Namun akan
mempengaruhi biaya dan keuntungan produksi. Dalam penelitian ini, nukleotida yang digunakan adalah nukleotida murni (Sigma-Aldricht) dengan harga yang cukup mahal sehingga tidak memungkinkan untuk diaplikasikan secara langsung dalam usaha budidaya udang.
Oleh karena itu, penggunaan sumber bahan
alternatif yang lebih murah, mudah diperoleh dan mudah dicerna oleh udang perlu diteliti. Kebanyakan laporan penelitian tentang suplementasi nukleotida pada ikan menggunakan produk nukleotida komersil berupa ekstrak yeast seperti ascogen
84
dan optimun (Chemoforma Co., Switzerland) yang diperuntukkan bagi hewan ternak. Saat ini telah tersedia pula vannagen untuk pakan udang dan ikan. Bahan substitusi yang potensial digunakan adalah sel hidup bakers’ yeast atau ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) dan produk samping dari industri ragi roti. Ragi roti mengandung berbagai bahan imunomudulator seperti asam nukleat, mannan, β–glukan yang dapat meningkatkan respon imun beberapa spesies ikan (Abdel-Tawwab et al. 2008;Li & Galtin 2003, 2004). Pada ikan, hasil penelitian Li & Galtin (2003) menunjukkan bahwa penambahan 1% ragi roti dalam pakan selama 16 minggu dapat meningkatkan pertumbuhan hybrid striped bass. Respon imun nonspesifik seperti serum lisosim dan produksi superoxide anion juga meningkat
yang
menghasilkan
peningkatan
resistensi
terhadap
infeksi
Streptococcus iniae. Pada ikan nila (Oreochromis niloticus L), Abdel-Tawwab et al. (2008) melaporkan bahwa penambahan 1 g ragi roti per kg pakan selama 12 minggu dapat meningkatkan performa pertumbuhan dan pengambilan pakan serta meningkatkan respon imun nonspesifik dan resistensi ikan terhadap infeksi Aeromonas hydrophila. Ragi roti yang ditambahkan dalam pakan akan meningkatkan napsu makan ikan sehingga meningkatkan pengambilan pakan dan karenanya meningkatkan pertumbuhan ikan. Selanjutnya Wache’ et al.(2006) melaporkan bahwa penambahan ragi hidup akan meningkatkan kecernaan pakan dan protein sehingga menghasilkan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang lebih baik. Sakai et a.l(2001) melaporkan bahwa pada ikan nila, nukleotida yang diekstrak dari bakers’ yeast dan ditambahkan dalam pakan dapat meningkatkan fagositosis, oxidative radical sel fagositik ginjal, dan lisosim serta meningkatkan resistensi ikan terhadap infeksi A. hydrophila. Pada udang vaname, Scholz et al. (1999) melaporkan bahwa kelangsungan hidup udang yang diberi pakan yang ditambahkan 1% yeast S. cereviciaeatau1% yeast P.rhodozyma
lebih tinggi
dibandingkan dengan udang yang diberi pakan dengan suplementasi β-glukan maupun dengan pakan kontrol. Dua puluh tujuh jam setelah diuji-tantangsecara imersi dengan V. harveyi, udang yang diberi S.cerevisiae dan P. rhodozyma secara efektif mampu membersihkan bakteri dari hemolim dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan udang kontrol (tidak diuji tantang). Pertumbuhan udang yang diberi S.cerevisiaejuga meningkat dibandingkan dengan kontrol, namun
85
tidak berbeda jika dibandingkan dengan udang yang diberi pakan mengandung yeast P. rhodozyma. Burgents et al. (2004) juga melaporkan bahwa penambahan produk fermentasi S.cereviciaesebanyak 1% dan diberikan selama 3 minggu meningkatkan resistensi udang vaname setelah diuji tantang dengan V. harveyi.Produk samping (yeast-by product) dari industri ragi roti dapat juga digunakan sebagai suplemen pakan dan telah diketahui memberi pengaruh positif terhadap respon imun nonspesifik dan pertumbuhanbeberapa spesis ikan (OliviaTeles & Goncalves 2001).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
86
1. Penambahan nukleotida dengan dosis 300 mg.kg-1 pakan menghasilkan peningkatan jumlah hemosit dan aktivitas PO tertinggi sedangkan resistensi dan pertumbuhan udang terbaik dicapai pada dosis 400 mg.kg-1 2. Untuk dapat meningkatkan jumlah total hemosit, aktivitas phenoloxidase dan pertumbuhan udang vaname maka penambahan nukleotida dalam pakan dengan dosis 400 mg.kg-1 pakan perlu diberikan selama 4 minggu secara terus menerus 3. Dibandingkan dengan β-glukan, penambahan nukleotida dalam pakan memberi pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan jumlah hemosit, aktivitas PO, resistensi, dan pertumbuhan udang vaname 4. Dalam usaha budidaya udang di tambak, aplikasi nukleotida dengan dosis 400 mg.kg-1 pakan yang diberikan selama empat minggu dapat meningkatkan resistensi dan performa pertumbuhan udang Saran 1. Eksplorasi bahan sebagai sumber nukleotida yang tepat, mudah diperoleh dan murah perlu dilakukan untuk aplikasi nukleotida dalam manajemen kesehatan budidaya udang vaname 2. Untuk mendapatkan protokol pemberian nukleotida yang efektif yang dapat mengoptimalkanpeningkatkan respon imun, resistensi, dan pertumbuhan udang vaname maka penelitian dengan interval 7 hari pemberianpakan yang ditambahkan nukleotida dan 7 hari pemberian pakan standar perlu dilakukan dengan waktu pengamatan yang lebih panjang
DAFTAR PUSTAKA Abdel-Tawwab M, Abdel-Rahman AM, Ismael NEM. 2008. Evaluation of commercial live bakers’ yeast, Saccharomyces cereviciae as a growth and
87
immunity promoter for fry Nile Tilapia, Oreachromis niloticus (L) challenged in situ with Aeromonas hydrophila. Aquac 280: 185-189 Bachere E. 2003. Anti-infectious immune effectors in marine invertebrate: potential tools for disease control in larviculture. Aquac 227: 427-438 Bachere E. 2000. Shrimp immunity and disease control. Aquac 191: 3-11 Barnes A. 2006. Dietary nucleotides: Essentialnutrients for shrimp growth andimmunity?Centre for Marine Studies,University of Queensland. Briggs M, Smith SF, Subasinghe R, Phillips M. 2004. Introductions and movement of Penaeus vannamei andPenaeusstylirostris in Asia and the Pacific. Food Agriculture and Organization of The United Nations, Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok. Burgents JE, Burnett KG, Burnet LE. 2004. Disease resistance of Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei, following dietary administration of a yeast culture food supplement. Aquac 231: 1-8 Burrells C, Williams PD, Fomo PF. 2001. Dietary nucleotide: a novel upplement in fish feeds. 1 Effects on resistance to disease in salmonids. Aquac 199: 159-169 Chang CF, Chen HY, Su MS, Liao IC. 2003a. Immunomodulation by dietary β1,3-glucan in the brooders of the black tiger shrimp Penaeus monodon. Fish Shellfish Immunol 10: 505-514 Chang CF, Su MS, Chen HY, Liao IC. 2003b. Dietary β-1,3-glucan effectively improve immunity andresistance of Penaeus monodon challenged with white spot syndrome virus. Fish Shellfish Immunol 15: 297-310 Cook
MT, Hayball PJ, Hutchinson W, Nowak BF, Hayball JD. 2003. Administration of a commercial immunostimulant preparation, EcoActiva as a feed supplement enhances macrophage respiratory burst and the growth rate of snaper (Pagrus auratus, Sparidae (Bloch & Schneider) in winter. Fish Shellfish Immunol 14: 333-345
Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007. Revitalisasi budidaya udang. Devlin TM. 2002. Textbook of Biochemistry. Wiley-Liss, New York. Elovaara AK. 2001. Shrimp farming manual: practical technology for intensive shrimp production. Caribean Press, LTD, USA. Field CJ, Johnson IR, Schley PD. 2002. Nutrients and their role in host resistance and infection. J Leu Biol 71: 16-32
88
Galtin III DM, Li P. 2007. Nucleotide.Departement of Wildlife and Faculty of Nutrition, Texas A&M University System, College Station USA Gannam AL, Schrock RM. 2001. Immunostimulant in fish diet diacu dalam Nutrition and Fish Health. Food Products Press, New York. P:235-260 Gullian M, Thompson F, Rodrigues L. 2004. Selection of probiotic bacteria and study of their immunostimulatory effect in L. vannamei. Aquac 233:1-14 Henryon M, Jokumen A, Berg P, Lund I, Pedersen PB, Olesen NJ, Slierendrecht WJ. 2002. Genetic variation for growth rate, feed conversion efficiency, and disease resistance exist within a farmed population of rainbow trout. Aquac 209: 59-76 Hill J, Smullen R, Ancieta D, Barnes AC. 2006. Highly purified nucleotide supplements improve growth performance and health status of penaeid shrimp. World Aquac Soc: Meeting Abstract p: 758-759 Itami T, Asano M, Tokushige K, Kubono K, Nakagawa A, Takeno N, Nishimura H, Maeda M, Kondo M, Takahashi Y. 1998. Enhancement of disease resistance of kuruma shrimp, Penaeus japonicus, after oral administration of peptidoglycan derived from Bifidobacterium thermophilum. Aquac 164: 277-288 Johansson MW, Keyser P, Sritunyalucksana K, Soderhall K. 2000. Crustacean hemocytesand haemotopoiesis. Aquac 191: 45-52 Kubitza F, Lovshin LL, Lovell RT. 1997. Identification of enhancer for lagemouth bass Micropterus salmonides. Aquac 148: 191-200 Kumari J, Swain T, Sahoo PK. 2003. Dietary bovine lactoferrin changes in immunity level and disease resistance in Asian catfish Clarias batrachus. Vet Immunol Immunopat 94: 1-9 Le Moullac G, Haffner P. 2000. Environmental factors affecting immune responses in cructacea. Aquac 19: 121-131 Le Moulac G, Le Groumellec M, Ansquer D, Froissard S, Levy P. 1997. Haematological and phenoloxidase activity changes in the shrimp Penaeus stylirostris in relation with the moult cycle: protection against vibriosis. Fish Shellfish Immunol. 7: 227-234 Le Moulac G, Soyez C, Soulnier D, Ansquer D, Avarre JC, Levy P. 1998. Effect of hypoxic stress on the immune response and the resistance to vibriosis of the shrimp Penaeus stylirostris. Fish Shellfish Imunol 8: 621-629
89
Leonardi M, Sadino AM, Klempau A. 2003. Effect of a nucleotide enriched diet on the immune system, plasma cortisol levels and resistance to infectious pancreatic necrosis (IPN) in juvenile rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Fish Pathol. 23:52-59 Li CH, Yeh ST, Chen JC. 2008. The immune response of white shrimp Litopenaeus vannamei following Vibrio alginolyticus injection. Fish and Shellfish Immunol 25: 853-860 Li P, Galtin III DM. 2006. Nucleotide nutrition in fish: Current knowledge andfuture application. Aquac 251: 141-152 Li P, Lawrence AI, Castille FL, Galtin III DM. 2007. Preliminary evaluation of a purified nucleotide mixture as a dietary supplement for Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei (Boone). Aquac Res 38: 887-890 Li P, Lewis DH, Galtin III DM. 2004. Dietary oligonucleotide from yeast RNA influence immune responses and resistance of hybrid striped bass (Morone chrysops x M. saxatilis) to Streptococcus iniae infection. Fish Shellfish Immunol. 16:561-569 Li P, Galtin III DM. 2003. Evaluation of brewers’ yeast (Saccharomyces cerevisiae) as a feed supplement for hybrid striped bass (Marone chrysops x M. saxatillis). Aquac 219: 681-692 Lightner DV. 2003. Exclusion of specific pathogen for disease prevention in a penaeid shrimp biosecurity program. W Aquac Soc pp. 81-116 Lightner DV. 2009a. Disease of crustacean; viral disease-infectious myonecrosis. Aquatic Animal Science. http://library.enaca.org/Health/Field Lightner DV. 2009b. Infectious myonecrosis. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic Animals.www.oie.int Lin YH, Wang H, Shiau SY. 2009. Dietary nucleotide supplementation enhance growth and immune response of grouper, Epinephelus malabaricus. Aquac Nut 15: 117-122 Liu CH, Chen JC. 2004. Effect of ammonia on the immune response of white shrimp Litopenaeus vannameiand its susceptibility to Vibrio alginolyticus. Fish Shellfish Immunol 16: 321-334 Lopez N, Cuzon G, Gaxiola G, Taboada G, Valenzuela M, Pascual C, Sanches A, Rosas C. 2003. Physiological, nutritional, and immnunological role of dietary β-glucanand ascorcic acid 2-monophosphate in Litopenaeus vannamei juveniles. Aquac 224: 223-243
90
Manoppo H, Sukenda, Djokosetiyanto D, Sukadi F, Harris E. 2009. Nukleotida meningkatkan respon imun dan performa pertumbuhan udang vaname, Litopenaeus vannamei. Aquac Indones 10: 85-92 Misra CK, Das BK, Mukherjee SC, Pattnaik P. 2006. Effect of long-term administration of dietary β-glucan on immunity, growth andresistance of Labeo rohita fingerlings. Aquac 255: 82-92 Morales RP, Alejo VM, Perera E, Ruiz ZP, Jimenes EA. 2007. Phenoloxidase activity in the hemolymph of spiny lobster Panulirus argus. Fish Shellfish Immunol 23: 1187-1195 Moss SM, arce SM, Moss DR, Otoshi CA. 2006. Disease prevention strategies for penaeid shrimp culture. The Oceanic Institute, Hawaii USA Namikoshi A, Wu JL, Yamashita T, Nishizawa T, Nishioka T, Arimoto M, Muroga K. 2004. Vaccination trials with Penaeus japonicus to induce resistance to white spot syndrome virus. Aquac 229: 25-35 Nikl
L, Evelyn TPE, Albright LJ. 1993. Trial with orally & immersionadministered β-glucan as an immunoprophylactic against Aeromonas salmonocida. Dis Aquat Organism 17: 191-196
Nurjana M. 2010. Program peningkatan produksi perikanan tahun 2010-2014 dalam rangka feed the world. Disampaikan pada Seminar Nasional Fed The World, Jakarta Convention Center, 28 Januari 2010. Dirjen Perikanan Budidaya, KKP RI. Olivia-Teles A, Goncalves P. 2001. Particial replacement of fishmeal by brewers yeast Saccharomyces cerevisiae, in diets for sea bass Dicentrachus labrax juveniles. Aquac 202: 269-278 Pais R, Khushiramani R, Karunasagar I, Karunasagar I. 2008. Effect of immunostimulants on hemolymph haemagglutinins of tiger shrimp Penaeus monodon. Aquac Res 38: 1339-1345 Parenrengi A. 2010. Peningkatan resistensi udang windu Penaeus monodon terhadap penyakit white spot syndrome virus melalui transfer gen Penaeus monodon antiviral [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Raa J. 2000. The use of immune-stimulant in fish and shellfish feeds. University of Thomse, Norway. Biotech ASA, Norway. p: 47-57 Raa J, Roestad G, Engstad R, Robertson R. 1992. The use of immunostimulant to increase resistance of aquatic organism to microbial infection diacu dalam
91
Sharriff M, Subangsih RP, Arthur JR. 1992. Disease in Asian Aquaculture I Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila Philipines. Ramadan A, Afifi NA, Mustafa M, Samy AM. 1994. The effects of ascogen on the immune response of tilapia fish to Aeromonas hydrophila vaccine. Fish Shellfish Immunol. 5: 159-165 Rumsey GL, Winfree RA, Hughes SG. 1992. Nutritional value of dietary nucleic acid andpurin bases to rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). Aquac 108: 97-110 Rengpipat S, Rukpratanporn S, Piyatiratitivorakul S, Menasaveta P. 2000. Immunity enhancement in black tiger shrimp (Penaeus monodon) by a probiont bacterium (Bacillus S11). Aquac 191: 271-288 Rodriguez L, Le Moullac G. 2000. State of the art of immunological tools and health control of penaeid shrimp. Aquaculture 191: 109-119 Rosenberry B. 1991. World shrimp farming. Aquaculture Digest, San Diego, USA. Rosenberry B. 2001. World shrimp farming. Shrimp News International, San Diego. Rosenberry B. 2006. Anatomy of a shrimp. Shrimp News International, San Diego. Russo R, Yanong PE. 2006. Dieratry Beta-Glukanand nucleotides enhance resistance of Red-Tail Shark (Epalzeorrhynchos bicolor, fam, Cyprinidae) to Streptococcus iniae infection. J Aqua Soc 37: 298-306 Sahoo PK, Das A, Mohanty S, Mohanty BK, Pilai BR, Mohanty J. 2008. Dietary β-1,3 glucan improve the immunity and disease resistance of freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii challenged with Aeromonas hydrophyla. Aquac Res 39: 1574-1578 Sajeevan TP, Philip R, Singh ISB. 2006. Immunostimulatory effect of a marine yeast Candida sake S165 in Fenneropenaeus indicus. Aquac 257: 150-155 Sakai M. 1999. Current research status of fish immunostimulants. Aquac 172: 63-92 Sakai M, Taniguchi K, Mamoto K, Ogawa H, Tabata M. 2001. Immunostimulant effects of nucleotide isolated from yeast RNA on carp, Cyprinus carpio L. J Fish Dis 24: 433-438
92
Scholz U, diaz GG, Ricque D, Suares LEC, , Vargas-Albores F, Latchford J. 1999. Enhancement of vibriosis resistance in juvenile Litopenaeus vannamei by supplementation of diets with different yeasts product. Aquac 176: 271283 Sealey WM, Galtin III DM. 2001. Overview of nutritional strategies affecting the health of marine fish diacu dalam Nutrition and Fish Health. Food Products Press, New York. pp: 103-112 Sindermann CJ. 1990. Principal disease of marine fish and shellfish Vol II. Academic Press, Inc., San Diego, California. Soderhall K, Cerenius L. 1992. Crustacean Immunity. Annual. Rev. of Fish Diseases. p: 3-23 Song YL, Yu CI, Lien TW, Huang CC, Lin MN. 2003. Hemolymph parameters of Pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei) infected with Taura Syndrome Virus. Fish Shellfish Immunol14: 317-331 Sritunyalucksana K, Söderhäll K. 2000. The proPO and clotting system in crustacean. Aquac 191: 53-69 Sung HH, Hsu SF, Chen CH, Ting YY, Chao WL. 2001. Relationships between disease outbreak in cultured tiger shrimp (Penaeus monodon) and the composition on Vibrio communities in pond water and shrimp hepatopancreas during cultivation. Aquac 192: 101-110 Takahashi Y, Kondo M, Itami T, Honda T, Inagawa H, Nishizawa T, Soma GI, Yokomizo Y. 2000. Enhancement of disease resistance against penaeid acute viraemia and induction of virus-inactivating activity in hemolymph of kuruma shrimp, Penaeus japonicus, by oral administration of Pantoea agglomerans lipopolysaccharide. Fish Shellfish Immunol 10: 555-558 Taukhid, Nuraini YL. 2008. Infectious Myonecrosis Virus (IMNV) in Pacific White Shrimp (Litopenaeus vannamei) in Indonesia. Fish Health Research Laboratory, Research Institute for Freshwater Aquaculture, Indonesia. Braak Kvan de. 2002. Haemocytic defense in black tiger shrimp (Penaeusmonodon). Wageningen Institute of Animal Science, The Netherl&s Vargas-Albores F, Yepiz-Plascencia G. 2000. Beta glucan binding protein and its role in shrimp immune response. Aquac 191: 13-21
93
Wang Q, White BL, Redman RM, Lightner DV. 1999. Per os challenge of Litopenaeus vannamei postlarvae andFarfantepenaeus duodarum juvenils with six geographic isolates of WSSV. Aquac 170: 179-194 Welker TL, Lim C, Aksoy MY, Shelby R, Klesius PH. 2007. Immune response and resistance to stress andEdwarsiella ictaluri challenge in channel catfish, Ictalurus punctatus, fed diet containing commercial whole-cell yeast or yeast subcomponents. J World Aquac Soc Vol. 38 No. 1:24-31 Witteveldt J, Vlak JM, van Hulten MCW. 2003. Protection of Penaeus monodon against white spot syndrome virus using a WSSV subunit vaccine. Fish Shellfish Immunol. Wyban JA, Sweeney JN. 1991. Intensive shrimp production technology. The Ocean Institute Honolulu, Hawai. Yin G, Jeney G, Racs T, Xu P, Jun X, Jeney Z. 2006. Effect of two Chinese herbs (Astragalus radixand Scutellaria radix) on nonspecific immune system of tilapia, Oreochromis niloticus. Aquac 253:39-47
94
LAMPIRAN
Lampiran 1 THC udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu Perlakuan
THC (x 107 sel.mL-1)
95
A:
B:
C:
D:
E:
F:
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Hari-7 0.533 0.375 0.355 0.350 0.500 0.416 0.400 0.450 0.430 0.415 0.440 0.450 0.549 0.560 0.335 0.275 0.175 1.016
Hari-14 0.549 0.749 0.383 0.350 1.748 0.566 1.116 0.949 0.716 1.965 0.666 0.783 1.665 0.833 0.816 0.783 1.199 1.282
Hari-21 1.082 1.016 1.382 1.349 1.016 1.232 1.715 1.765 1.465 2.081 1.365 1.698 2.165 1.232 1.715 2.314 1.265 0.999
Hari-28 1.399 1.116 1.132 1.648 1.399 1.445 2.048 1.948 2.081 2.248 2.314 1.848 2.031 2.697 1.598 1.881 2.098 2.081
Lampiran 2 Deskriptif THC udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu
96
Waktu Pengukuran Hari-7
Hari-14
Hari-21
Hari-28
Perlakuan
N
Rata-rata
Std. Deviasi
A B C D E F Total A B C D E F Total A B C D E F Total A B C D E F Total
3 3 3 3 3 3 18 3 3 3 3 3 3 18 3 3 3 3 3 3 18 3 3 3 3 3 3 18
0.42100 0.42200 0.42667 0.43500 0.48133 0.48867 0.44578 0.56033 0.88800 0.92700 1.13800 1.10467 1.08800 0.95100 1.16000 1.19900 1.64833 1.71467 1.70400 1.52600 1.49200 1.21567 1.49733 2.02567 2.13667 2.10867 2.02000 1.83400
0.097509 0.075180 0.025166 0.018028 0.126848 0.459413 0.171641 0.183263 0.752572 0.200905 0.718588 0.485337 0.267378 0.462156 0.195069 0.168935 0.160728 0.358291 0.466597 0.695268 0.405288 0.158973 0.132493 0.069256 0.252161 0.553601 0.120677 0.424727
Lampiran 3 Analisis Ragam THC udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu
97
Sumber Keragaman Hari-7
Hari-14
Hari-21
Hari-28
JK
db
KT
Antar Perlakuan
0.014
5
0.003
Dalam Perlakuan
0.487
12
0.041
Total
0.501
17
Antar Perlakuan
0.704
5
0.141
Dalam Perlakuan
2.927
12
0.244
Total
3.631
17
Antar Perlakuan
0.949
5
0.190
Dalam Perlakuan
1.844
12
0.154
Total
2.792
17
Antar Perlakuan
2.202
5
0.440
Dalam Perlakuan
0.864
12
0.072
Total
3.067
17
F
Sig.
0.071
0.996
0.577
0.717
1.235
0.352
6.114
0.005
Lampiran 4 Uji Duncan untuk THC udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu Hari-7 α= 0.05
Perlakuan
N
1
A
3
0.42100
B
3
0.42200
C
3
0.42667
D
3
0.43500
E
3
0.48133
F
3
0.48867
Hari-14
98
α= 0.05
Perlakuan
N
A
3
0.56033
B
3
0.88800
C
3
0.92700
F
3
1.08800
E
3
1.10467
D
3
1.13800
1
Hari-21 α= 0.05 Perlakuan
N
1
A
3
1.16000
B
3
1.19900
F
3
1.52600
C
3
1.64833
E
3
1.70400
D
3
1.71467
Hari-28 α= 0.05 Perlakuan
N
1
2
A
3
1.21567
B
3
1.49733
F
3
2.02000
C
3
2.02567
E
3
2.10867
D
3
2.13667
Lampiran 5 Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu
99
Perlakuan A: 1 2 3 B: 1 2 3 C: 1 2 3 D: 1 2 3 E: 1 2 3 F: 1 2 3
Hari-7 0.155 0.224 0.138 0.196 0.156 0.181 0.263 0.145 0.180 0.245 0.271 0.112 0.193 0.175 0.197 0.153 0.137 0.263
Aktivitas PO Hari-14 Hari-21 0.211 0.174 0.171 0.234 0.209 0.250 0.172 0.229 0.183 0.188 0.242 0.249 0.187 0.273 0.273 0.355 0.242 0.192 0.273 0.271 0.247 0.364 0.290 0.370 0.244 0.268 0.247 0.327 0.241 0.292 0.113 0.171 0.472 0.358 0.144 0.333
Hari-28 0.238 0.243 0.227 0.250 0.257 0.220 0.319 0.285 0.246 0.436 0.499 0.335 0.326 0.302 0.463 0.370 0.382 0.323
Lampiran 6 Deskriptif Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu
100
Hari-7
Hari-14
Hari-21
Hari-28
Perlakuan
N
Rata-rata
Std. Deviasi
A
3
0.17233
0.045545
B
3
0.17767
0.020207
C
3
0.19600
0.060605
D
3
0.20933
0.085290
E
3
0.18833
0.011719
F
3
0.18433
0.068595
Total
18
0.18800
0.048020
A
3
0.19700
0.022539
B
3
0.19900
0.037643
C
3
0.23400
0.043555
D
3
0.27000
0.021656
E
3
0.24400
0.003000
F
3
0.24300
0.198925
Total
18
0.23117
0.076624
A
3
0.21933
0.040067
B
3
0.22200
0.031097
C
3
0.27333
0.081501
D
3
0.33500
0.055507
E
3
0.29567
0.029670
F
3
0.28733
0.101520
Total
18
0.27211
0.067338
A
3
0.23600
0.008185
B
3
0.24233
0.019655
C
3
0.28333
0.036529
D
3
0.42333
0.082730
E
3
0.36367
0.086858
F
3
0.35833
0.031182
Total
18
0.31783
0.083902
Lampiran 7 Analisis Ragam Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu
101
Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
Sig.
Antar Perlakuan
0.003
5
0.001
0.174
0.967
Dalam Perlakuan
0.037
12
0.003
Total
0.039
17
Hari-14 Antar Perlakuan
0.012
5
0.002
0.330
0.885
Dalam Perlakuan
0.088
12
0.007
Total
0.100
17
Hari-21 Antar Perlakuan
0.030
5
0.006
1.539
0.250
Dalam Perlakuan
0.047
12
0.004
Total
0.077
17
Hari-28 Antar Perlakuan
0.085
5
0.017
5.974
0.005
Dalam Perlakuan
0.034
12
0.003
Total
0.120
17
Hari-7
Lampiran 8 Uji Duncan aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu Hari-7
Perlakuan
α= 0.05 N
1
A
3
0.17233
B
3
0.17767
F
3
0.18433
E
3
0.18833
C
3
0.19600
D
3
0.20933
Hari-14
102
α= 0.05
Perlakuan
N
1
A
3
0.19700
B
3
0.19900
C
3
0.23400
F
3
0.24300
E
3
0.24400
D
3
0.27000
Hari-21 α= 0.05
Perlakuan
N
1
A
3
0.21933
B
3
0.22200
C
3
0.27333
F
3
0.28733
E
3
0.29567
D
3
0.33500
Hari-28 Perlakuan
α= 0.05 N
1
2
3
A
3
0.23600
B
3
0.24233
C
3
0.28333
F
3
0.35833
0.35833
E
3
0.36367
0.36367
D
3
0.28333
0.42333
Lampiran 9 Sintasan kumulatif (%) udang vaname 14 hari setelah uji tantang
103
dengan bakteri Vibrio harveyi Perlakuan A: 1 2 3 B: 1 2 3 C: 1 2 3 D: 1 2 3 E: 1 2 3 F: 1 2 3
1 62.5 62.5 50 75 75 50 75 75 62.5 75 75 75 100 100 87.5 75 87.5 87.5
Hari setelah uji tantang 3 4 5 50 37.5 37.5 50 50 50 37.5 37.5 37.5 75 62.5 62.5 37.5 37.5 37.5 50 50 50 75 75 75 62.5 62.5 62.5 50 50 50 62.5 62.5 62.5 75 75 75 62.5 62.5 62.5 87.5 87.5 87.5 87.5 87.5 87.5 87.5 75 75 62.5 62.5 62.5 62.5 50 50 75 75 75
2 50 50 37.5 75 50 50 75 75 50 62.5 75 62.5 87.5 87.5 87.5 62.5 75 87.5
6 37.5 50 37.5 62.5 37.5 50 75 62.5 50 62.5 75 62.5 87.5 87.5 75 62.5 50 75
10 37.5 50 37.5 62,5 37.5 50 75 62.5 50 62.5 75 62.5 87.5 87.5 75 62.5 50 75
14 37.5 50 37.5 62.5 37.5 50 75 62.5 50 62.5 75 62.5 87.5 87.5 75 62.5 50 75
Lampiran 10 Deskriptif tingkat resistensi (%) udang vaname 14 hari setelah uji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi Perlakuan
N
Rata-rata
Std. Deviasi
A
3
41.6667
7.21688
B
3
50.0000
12.50000
C
3
62.5000
12.50000
D
3
66.6667
7.21688
E
3
83.3333
7.21688
F
3
62.5000
12.50000
Total
18
61.1111
15.97844
Lampiran 11 Analisis Ragam resistensi udang vaname 14 hari setelah uji
104
tantang dengan bakteri Vibrio harveyi Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
Sig.
5.933
0.005
Antar Perlakuan
3090.278
5
618.056
Dalam Perlakuan
1250.000
12
104.167
Total
4340.278
17
Lampiran 12 Uji Duncan resistensi udang vaname 14 hari setelah uji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi α= 0.05
Perlakuan
N
A
3
41.6667
B
3
50.0000
C
3
62.5000
F
3
62.5000
D
3
66.6667 66.6667
E
3
83.3333
1
2
3
50.0000
Lampiran 13 Berat akhir dan perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan
105
yang ditambahkan nukleotida dosis berbeda selama 4 minggu Perlakuan
Berat Akhir (g)
Perolehan Berat (g)
Hari-14
Hari-28
Hari-14
Hari-28
A: 1
6.36
9.63
0.36
3.63
2
7.95
9.49
1.95
3.49
3
7.76
8.92
1.76
2.92
B: 1
7.00
9.77
1.00
3.77
2
7.54
9.75
1.54
3.75
3
8.12
8.76
2.12
2.76
C: 1
7.79
9.74
1.79
3.74
2
7.85
9.53
1.85
3.53
3
7.93
9.74
1.93
3.74
D: 1
8.83
10.23
2.83
4.23
2
7.50
10.83
1.50
4.83
3
8.30
9.73
2.30
3.73
E: 1
8.51
11.10
2.51
5.10
2
8.59
10.63
2.59
4.63
3
8.84
11.43
2.84
5.43
1
8.63
8.74
5.43
2.74
2
7.47
8.94
1.47
2.94
3
8.66
9.40
2.66
3.40
F:
Lampiran 14 Deskriptif perolehan berat (g) udang vaname setelah diberi pakan
106
yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu
Hari-14
Hari-28
Perlakuan
N
Rata-rata
Std. Deviasi
A
3
1.3567
0.86835
B
3
1.5533
0.56012
C
3
1.8567
0.07024
D
3
2.2100
0.66955
E
3
2.6467
0.17214
F
3
2.2533
0.67855
Total
18
1.9794
0.66402
A
3
3.3467
0.37608
B
3
3.4267
0.57744
C
3
3.6700
0.12124
D
3
4.2633
0.55076
E
3
5.0533
0.40204
F
3
3.0267
0.33843
Total
18
3.7978
0.78118
Lampiran 15 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dosis berbeda selama 4 minggu Sumber Keragaman
JK
db
3.474
5
0.695 2.073
Dalam Perlakuan
4.022
12
0.335
Total
7.496
17
Hari-28 Antar Perlakuan
8.236
5
1.647 9.245
Dalam Perlakuan
2.138
12
0.178
Total
10.374
17
Hari-14 Antar Perlakuan
KT
F
Sig. 0.140
0.001
107
Lampiran 16 Uji Duncan untuk perolehan berat (g) udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dosis berbeda selama 4 minggu Hari-14 Perlakuan A B C D F E
α= 0.05 N
1
2
3 3 3 3 3 3
1.3567 1.5533 1.8567 2.2100 2.2533
1.5533 1.8567 2.2100 2.2533 2.6467
Hari-28 Perlakuan F A B C D E
α= 0.05 N
1
3 3 3 3 3 3
3.0267 3.3467 3.4267 3.6700
2
3
3.6700 4.2633 5.0533
Lampiran 17 THC, aktivitas PO, berat akhir dan perolehan berat udang vaname
108
yang diberi pakan bersuplemen nukleotida dengan lama pemberian berbeda Wadah Pemeliharaan Aq1
Aq2
Aq3
Aq4
Aq5
THC (x 107 sel/mL) 1.7649
PO
Wt (g)
WG (g)
0.361
15.57
6.16
1.8315
0.254
15.77
6.36
1.8148
0.432
16.36
6.95
1.7482
0.203
14.92
5.51
2.1478
0.396
16.25
6.84
1.8315
0.449
17.05
7.64
1.9647
0.385
18.18
8.77
1.8481
0.372
16.67
7.26
1.9813
0.418
16.64
7.23
2.1478
0.448
17.19
7.78
Data diukur pada akhir periode percobaan (hari ke 49)
Lampiran 18 THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan
109
bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu PO
Sintasan (%)
1
THC (x 107 sel/mL) 0.8125
0.295
37.50
2
1.3200
0.281
50.00
3
1.2250
0.336
50.00
1
1.3600
0.432
75.00
2
1.2870
0.330
62.50
3
1.6200
0.366
75.00
1
1.6665
0.567
75.00
2
2.0625
0.513
87.50
3
2.5410
0.818
75.00
Perlakuan PS:
BG:
Nk:
PS: pakan standar, BG: beta glukan, Nk: Nukleotida Lampiran 19 Deskriptif THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu
THC
Aktivitas PO
Resistensi
Perlakuan
N
Rata-rata
Std. Deviasi
Pakan Standar
3
1.119167
0.2697954
Beta Glukan
3
1.422333
0.1750324
Nukleotida
3
2.090000
0.4378981
Total
9
1.543833
0.5087445
Pakan Standar
3
0.30400
0,028583
Beta Glukan
3
0.37600
0,051730
Nukleotida
3
0.63267
0,162759
Total
9
0.43756
0,172862
Pakan Standar
3
45.8333
7.21688
Beta Glukan
3
70.8333
7.21688
Nukleotida
3
79.1667
7.21688
Total
9
65.2778
16.27135
110
Lampiran 20 Analisis Ragam THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
Sig.
Antar Perlakuan
1.480
2
0,740
7.522
0.023
Dalam Perlakuan
0.590
6
0,098
Total
2.071
8
Antar Perlakuan
0.179
2
0,090
8.959
0.016
Dalam Perlakuan
0.060
6
0,010
Total
0,239
8
Resistensi Antar Perlakuan
1805.556
2
902.778 17.333
0.003
Dalam Perlakuan
312.500
6
52.083
Total
2118.056
8
THC
PO
Lampiran 21 Uji Duncan untuk THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu THC Perlakuan
α= 0.05 N
1
2
Pakan Standar
3
1.119167
Beta Glukan
3
1.422333
Nukleotida
3
2.0900
Aktivitas_PO Perlakuan
α= 0.05 N
1
Pakan Standar
3
0.30400
Beta Glukan
3
0.37600
Nukleotida
3
2
0.63267
111
Resistensi Perlakuan
α= 0.05 N
1
2
Pakan Standar
3
45.8333
Beta Glukan
3
70.8333
Nukleotida
3
79.1667
Lampiran 22 Sintasan kumulatif (%) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida dan diuji tantang dengan Vibrio harveyi Perlakuan
Hari setelah uji tantang 1
2
3
4
5
6
10
14
75
62.5
50
37.5
37.5
37.5
37.5
37.5
2
87.5
75
62.5
50
50
50
50
50
3
75
62.5
50
50
50
50
50
50
BG: 1
87.5
87,5
75
75
75
75
75
75
2
87.5
75
75
62.5
62.5
62.5
62.5
62.5
3
75
75
75
75
75
75
75
75
Nk: 1
87.5
75
75
75
75
75
75
75
2
100
87.5
87.5
87.5
87.5
87.5
87.5
87.5
3
87.5
87.5
75
75
75
75
75
75
PS: 1
112
Lampiran 23 Pertumbuhan udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu Berat Akhir (g) Perolehan Berat (g) Hari-14 Hari-28 Hari-14 Hari-28 PS1 7.37 8.03 1.98 2.64 7.50 8.00 2.11 2.61 7.25 8.72 1.86 3.33 PS2 7.45 8.44 2.06 3.05 7.01 9.35 1.62 3.96 8.13 9.13 2.74 3.74 PS3 6.85 7.78 1.46 2.39 7.36 7.35 1.97 1.96 7.41 7.46 2.02 2.07 BG1 7.42 9.73 2.03 4.34 7.15 9.09 1.76 3.70 7.29 9.02 1.90 3.63 BG2 6.21 9.34 0.82 3.95 7.64 8.40 2.25 3.01 7.60 9.25 2.21 3.86 BG3 6.63 9.64 1.24 4.25 7.06 8.53 1.67 3.14 7.92 9.15 2.53 3.76 Nk1 7.94 9.87 2.55 4.48 7.08 9.70 1.69 4.31 7.21 10.98 1.82 5.59 Nk2 7.50 10.81 2.11 5.42 8.51 9.16 3.12 3.77 6.63 10.14 1.24 4.75 Nk3 8.47 9.73 3.08 4.34 7.03 10.33 1.64 4.94 8.99 10.32 3.60 4.93 PS: pakan standar; BG: beta glukan; Nk: nukleotida Perlakuan
113
Lampiran 24 Deskriptif berat akhir (g) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu
Hari-14
Hari-28
Perlakuan
N
Pakan Standar
9
7.3700
0.35655
Beta Glukan
9
7.2133
0.53080
Nukleotida
9
7.7067
0.80844
Total
27
7.4300
0.60902
Pakan Standar
9
8.2511
0.70775
Beta Glukan
9
9.1278
0.44519
Nukleotida
9
10.1156
0.57147
Total
27
9.1648
0.95810
Rata-rata
Std. Deviasi
Lampiran 25 Deskriptif perolehan berat (g) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu
Hari-14
Hari-28
Perlakuan
N
Rata-rata
Std. Deviasi
Pakan Standar
9
1.9800
0.35655
Beta Glukan
9
1.8233
0.53080
Nukleotida
9
2.3167
0.80844
Total
27
2.0400
0.60902
Pakan Standar
9
2.8611
0.70775
Beta Glukan
9
3.7378
0.44519
Nukleotida
9
4.7256
0.57147
Total
27
3.7748
0.95810
114
Lampiran 26 Analisis Ragam berat akhir (g) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu Sumber Keragaman Hari-14
Hari-28
JK
db
KT
F
Sig.
Antar Perlakuan
1.144
2
0.572
1.615
0.220
Dalam Perlakuan
8.500
24
0.354
Total
9.643
26
Antar Perlakuan
15.661
2
7.831
22.904
0.000
Dalam Perlakuan
8.205
24
0.342
Total
23.867
26
Lampiran 27 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
Sig.
1.144
2
0.572
1.615
0.220
Dalam Perlakuan
8.500
24
0.354
Total
9.643
26
15.661
2
7.831
22.904
0.000
Dalam Perlakuan
8.205
24
0.342
Total
23.867
26
Hari-14 Antar Perlakuan
Hari-28 Antar Perlakuan
Lampiran 28 Uji Duncan untuk berat akhir (g) udang vanameyang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu Hari-14 α= 0.05 Perlakuan
N
1
Beta Glukan
9
7.2133
Pakan Standar
9
7.3700
Nukleotida
9
7.7067
115
Hari-28 α= 0.05 Perlakuan
N
1
Pakan Standar
9
8.2511
Beta Glukan
9
Nukleotida
9
2
3
9.1278 10.1156
Lampiran 29 Uji Duncan perolehan berat (g) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu Hari-14 Perlakuan
α= 0,05
N
Beta Glukan Pakan Standar Nukleotida
1
9 9 9
1.8233 1.9800 2.3167
Hari-28
Perlakuan
N
Pakan Standar
9
Beta Glukan
9
Nukleotida
9
α= 0.05 1
2
3
2.8611 3.7378 4.7256
116
Lampiran 30 Data berat akhir (g) udang vaname setelah 2 minggu dipelihara dalam Hapa I dan Hapa II Hapa I 2 8.00 7.50 6.50 8.50 7.50 8.00 7.50 7.50 7.00 7.50
1 9.00 9.00 6.50 8.50 7.00 7.50 8.00 9.00 9.00 7.00
3 9.50 7.50 8.50 6.50 6.50 8.50 9.50 8.00 8.00 9.00
1 6.50 6.00 8.00 7.00 5.50 9.00 7.50 7.50
Hapa II 2 5.50 7.00 7.50 7.50 6.50 7.50 6.00 7.00
3 7.00 7.50 7.50 7.50 8.00 6.50 7.50 6.00
Lampiran 31 Data berat akhir (g) udang vaname setelah 4 minggu dipelihara dalam Hapa I dan Hapa II Hapa I
Hapa II
1
2
3
1
2
3
13.00
11.50
13.00
11.50
9.00
10.50
12.50
12.00
12.00
12.50
7.50
8.50
9.50
14.50
11.50
10.50
8.00
9.50
11.50
12.00
12.50
9,.0
1.,00
9.50
11.00
12.50
11.00
11.00
9.00
8.50
13.00
11.00
14.00
11.50
9.50
13.50
14.50
12.00
11.50
10.50
9.00
10.00
11.50
12.00
12.00
11.00
10.50
9.00
12.50
12.00
13.00
10.00
7.50
10.50
13.00
12.50
12.50
10.00
9.50
11.00
13.00
11.50
11.00
11.00
9.50
10.50
10.50
12.00
10.50
7.00
10.50
12.00
11.50
12.00
11.00
10.00
11.50
11.50
12.50
11.00
11.00
9.50
9.50
8.50
11.00
10.00
13.50
11.00
9.50
9.00
117
Lampiran 32 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname setelah 2 minggu dipelihara dalam Hapa I dan Hapa II Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
Sig.
Antar Perlakuan
10.208
1
10.208
13.107
0.001
Dalam Perlakuan
40.500
52
0.779
Total
50.708
53
Lampiran 33 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname setelah 4 minggu dipelihara dalam Hapa I, dan Hapa II Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
Sig.
Antar Perlakuan
87.025
1
87.025
57.701
0.000
Dalam Perlakuan
132.722
88
1.508
Total
219.747
89
Lampiran 34 Perolehan berat harian (g) udang vaname setelah 4 minggu dipelihara dalam Hapa I dan Hapa II Hapa I
Hapa II
1
2
3
1
2
3
0.31
0.26
0.31
0.26
0.17
0.22
0.30
0.28
0.28
0.30
0.11
0.15
0.19
0.37
0.26
0.22
0.13
0.19
0.26
0.28
0.30
0.19
0.28
0.19
0.24
0.30
0.24
0.24
0.17
0.15
0.31
0.24
0.35
0.26
0.19
0.33
0.37
0.28
0.26
0.22
0.17
0.20
0.26
0.28
0.28
0.24
0.22
0.17
0.30
0.28
0.31
0.20
0.11
0.22
0.31
0.30
0.30
0.20
0.19
0.24