PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei
REZQI VELYAN SURYA KUSUMA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei adalah benar merupakan karya sendiri dan belum digunakan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Juni 2009
REZQI VELYAN SURYA KUSUMA C 14104044
RINGKASAN REZQI VELYAN SURYA KUSUMA. Pengaruh Tiga Cara Pengolahan Tanah Tambak Terhadap Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus vannamei. Dibimbing oleh ENANG HARRIS dan TATAG BUDIARDI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pengolahan tanah tambak yang efektif dalam memperbaiki kualitas tanah tambak yang mendukung kehidupan udang vaname melalui kajian pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian pendahuluan dilakukan di Tambak Pandu Karawang, Kabupaten Karawang, Jawa Barat sedangkan penelitian lanjutan bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Sistem dan Teknologi, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian terdiri dari 3 perlakuan cara pengolahan tanah tambak yaitu, pengangkatan lapisan lumpur, pembakaran sekam, dan pencucian dengan air tawar. Udang vaname yang digunakan berumur 40 hari dengan bobot awal 5,68±0,46 gram dan panjang awal 9,76±0,21 cm. Pemeliharaan udang vaname berlangsung selama 30 hari, Padat penebaran udang vaname pada penelitian ini adalah 3 ekor/10 liter. Pemberian pakan berdasarkan FR yang telah ditentukan dan dilakukan pergantian air sebesar 30% per 3 hari. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 5 kali sehari (pukul 06.00, 10.00, 14.00, 18.00 dan 22.00) WIB. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang terdiri dari 3 perlakuan dan 5 ulangan. Parameter yang digunakan dalam mengevaluasi percobaan adalah total sulfur, NH3, tingkat kelangsungan hidup, biomassa, laju pertumbuhan bobot harian, laju pertumbuhan panjang harian, efisiensi pakan, frekuensi molting, serta kualitas air yang meliputi pH, suhu, dan kadar oksigen terlarut. Analisis data menggunakan Analisis of Variance (ANOVA) dan uji lanjut BNJ (Beda Nyata Jujur). Dari hasil penelitian disimpulkan, bahwa pengolahan tanah tambak dengan cara membakar sekam di atas permukaan tanah cenderung menghasilkan nilai amoniak terlarut paling kecil (p<0,05) selama 30 hari masa pemeliharaan dibanding dengan dua cara pengolahan tanah lainnya. Demikian juga terhadap kadar total sulfur hingga 20 hari masa pemeliharaan (p<0,05). Kadar total sufur pada ketiga cara pengolahan tanah tambak cenderung naik setelah 30 hari masa pemeliharaan. Ketiga cara pengolahan tanah tambak memberikan frekuensi molting yang sama yaitu 10 hari sekali. Cara pengolahan tanah dengan bakar sekam menghasilkan tingkat kelangsungan hidup, biomassa (p<0,05) yang tertinggi sampai 30 hari pemeliharaan, sedangkan laju pertumbuhan bobot harian (p<0,05) dan efisiensi pakan (p<0,05) yang lebih baik daripada cara pengolahan tanah tambak dengan pengangkatan lapisan lumpur dan pencucian air tawar sampai 20 hari pemeliharaan.
PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei
REZQI VELYAN SURYA KUSUMA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul
: Pengaruh Tiga Cara Pengolahan Tanah Tambak Terhadap Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus vannamei
Nama
: REZQI VELYAN SURYA KUSUMA
Nomor Pokok : C14104044
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Enang Harris NIP. 194908211975031001
Dr. Tatag Budiardi NIP. 196310021997021001
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Indra Jaya NIP. 196104101986011002
Tanggal Lulus : ……………….
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pati, 19 Septemser 1986, adalah anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Sri Udi Puspa Yuda dan Ibu Sumarsih. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 2 Kayen pada tahun 1998. Pada tahun 2001 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di SLTPN 1 Kayen dan menyelesaikan pendidikan di SMUN 2 Pati pada tahun 2004. Tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi ke Intitut Pertanian Bogor di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah, Penulis pernah mengikuti organisasi HIMAKUA sebagai anggota 2006/2007, dan wakil ketua Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati (IKMP) tahun 2005/2006 Untuk memperdalam wawasan di bidang budidaya perairan, penulis menjalani Praktek Kerja Lapang di PT. Tirta Mutiara Makmur dengan komoditas udang vaname dan UD. Sumber Kerapu Sejati, Situbondo, Jawa Timur dengan komoditas kerapu macan pada bulan Juli-Agustus 2007. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang perikanan penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul ”Pengaruh Tiga Cara Pengolahan
Tanah
Tambak
Litopenaeus vannamei”.
terhadap
Pertumbuhan
Udang
Vaname
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillaahirabbil’aalamin, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas karunia-Nya Skripsi yang berjudul ”Pengaruh Tiga Cara Pengolahan Tanah Tambak terhadap Pertumbuhan Udang Vaname Litopenaeus vannamei” ini dapat diselesaikan. Penulisan Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang setulustulusnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Enang Harris selaku Pembimbing I dan Bapak Dr. Tatag Budiardi selaku Pembimbing II yang telah membimbing dan memberikan segenap ide, pemikiran, arahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Odang Carman selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama studi. 3. Bapak Dr. Eddy Supriyono selaku Dosen Penguji Tamu yang telah memberikan banyak masukan dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Sri Udi Puspa Yuda dan Ibu Sumarsih, Danu Kusuma, Bayu Kusuma, Vennandho Kusuma, dan Dhindha Kusuma serta keluarga yang senantiasa memberikan do’a, dukungan, semangat dan kasih sayang. 5. Bapak Dr. Sulaeman Martasuganda dan keluarga atas perhatian dan dukungan moral 6. Seluruh staf BDP atas bantuan yang diberikan. 7. Rekan-rekan BDP 41 dan Pondok Angsa kru, atas dukungan, bantuan dan kerja sama Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan juga bagi semua pihak yang memerlukan informasi yang berhubungan dengan tulisan ini. Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bogor, Juli 2009
Rezqi Velyan Surya Kusuma
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI..................................................................................................
i
DAFTAR TABEL...........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
v
I. PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2 Tujuan ...............................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
3
2.1 Biologi Udang Vaname......................................................................
3
2.2 Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan............................................
3
2.3 Tanah Tambak ..................................................................................
5
2.4 Sulfur .................................................................................................
5
2.4.1
Sulfat.....................................................................................
6
2.4.2
Hidrogen Sulfida (H2S)..........................................................
6
2.5 Arang Sekam.....................................................................................
7
2.5.1
Sekam Padi...........................................................................
7
2.5.2
Pembuatan Arang Sekam.....................................................
8
2.6 Pencucian Tanah Tambak Menggunakan Air Tawar ........................
8
2.7 Kapur.................................................................................................
9
2.8 Kualitas Air ........................................................................................
9
III. BAHAN DAN METODE .............................................................................
11
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................
11
3.2 Alat dan Bahan ..................................................................................
11
3.3 Rancangan Percobaan......................................................................
11
3.4 Prosedur Percobaan .........................................................................
12
3.4.1
Percobaan Pendahuluan ......................................................
12
3.4.2
Percobaan Lanjutan..............................................................
14
3.5 Pengumpulan dan Pengolahan Data ................................................
15
3.6 Analisis Data .....................................................................................
17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
18
4.1 Hasil ..................................................................................................
18
4.1.1
Indikasi Keberadaan Hidrogen Sulfida (H2S) ........................
i
18
4.1.2
Frekuensi Pencucian Menggunakan Air Tawar ....................
18
4.1.3
Total Sulfur............................................................................
19
4.1.4
Amoniak (NH3) ......................................................................
20
4.1.5
Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) .......................................
20
4.1.6
Biomassa ..............................................................................
21
4.1.7
Laju Pertumbuhan Bobot Harian...........................................
21
4.1.8
Laju Pertumbuhan Panjang Harian.......................................
22
4.1.9
Efisiensi Pakan .....................................................................
23
4.1.10 Frekuensi Molting..................................................................
23
4.1.11 Kualitas Air............................................................................
24
4.2 Pembahasan .....................................................................................
25
V. KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
34
5.1 Kesimpulan........................................................................................
34
5.2 Saran.................................................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
35
LAMPIRAN ...................................................................................................
37
ii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Komposisi kimiawi sekam........................................................................
8
2 Komposisi kimia arang sekam.................................................................
8
3 Jenis kapur yang dapat digunakan di tambak .........................................
9
4 Indikasi keberadaan hidrogen sulfida (H2S) dan warna tanah.................
18
5 Frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan berbagai frekuensi pengadukan ..............................................................
19
6 Konsentrasi total sulfur selama penelitian ...............................................
19
7 Konsentrasi amoniak (NH3) selama penelitian .......................................
20
8 Tingkat kelangsungan hidup (SR) selama penelitian ..............................
21
9 Biomassa udang vaname selama penelitian ..........................................
21
10 Laju pertumbuhan bobot harian selama penelitian..................................
22
11 Laju pertumbuhan panjang harian selama penelitian..............................
23
12 Efisiensi pakan selama penelitian ...........................................................
23
13 Jumlah molting udang vaname selama penelitian...................................
24
14 Kisaran kualitas air selama penelitian .....................................................
24
15 Interval molting dan penambahan bobot udang vaname ........................
33
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Bobot rata-rata udang vaname selama penelitian......................................
21
2 Panjang rata-rata udang vaname selama penelitian ..................................
22
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Panjang dan bobot awal udang vaname.................................................
38
2 Hasil pengukuran panjang dan bobot .....................................................
39
3 Kualitas air ..............................................................................................
42
4 Hubungan tingkat pertumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan tanah jemur ..............................................
43
5 Hubungan tingkat pertumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan bakar sekam.............................................
44
6 Hubungan tingkat pertumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan cuci air tawar ............................................
45
7 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap konsentrasi total sulfur........................................................................................................
46
8 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap konsentrasi amoniak ...................................................................................................
47
9 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap biomassa .........................
49
10 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap laju pertumbuhan bobot harian.............................................................................................
50
11 Analisis ragam terhadap laju pertumbuhan panjang harian ....................
51
12 Analisis ragam dan uji lanjut Tukey terhadap efisiensi pakan .................
52
v
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Udang merupakan komoditas ekspor terbesar hasil perikanan. Volume ekspor udang Indonesia pada tahun 2007 sebesar 154.717 ton dengan nilai ekspor sebesar $ 1,022 milyar. Selanjutnya Ditjen Perikanan Budidaya mencanangkan program percepatan peningkatan produksi perikanan budidaya untuk ekspor dengan menargetkan produksi udang pada tahun 2009 sebesar 540.000 ton (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2009a). Namun terdapat salah satu kendala dalam usaha peningkatan produksi yaitu semakin menurunnya kualitas sumberdaya lingkungan perairan (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2009b). Lumpur hitam pada dasar tambak bekas budidaya merupakan salah satu parameter dari menurunnya kualitas lingkungan. Lumpur hitam ini dapat menyebabkan timbulnya bau busuk (hidrogen sulfida) (Manalo, 1978) dan gas beracun seperti amoniak (Haliman dan Adijaya, 2004). Persiapan tambak merupakan salah satu faktor penting untuk menjaga kondisi lingkungan tambak untuk menjamin kelayakan hidup udang. Persiapan tambak yang sering dilakukan oleh petambak ialah mengolah tanah tambak dengan cara menjemur, mengangkat lapisan lumpur dan pemberian kapur (CaCO3). Akan tetapi, cara pengolahan tanah tambak tersebut dinilai kurang maksimal dalam mengurangi konsentrasi hidrogen sulfida dan amoniak. Oleh karena itu, diperlukan cara pengolahan tanah tambak lain yang lebih maksimal dalam mengurangi konsentrasi hidrogen sulfida dan amoniak. Pada percobaan ini dikaji cara pengolahan tanah tambak dengan pengangkatan lapisan lumpur yang selanjutnya disertai pembakaran sekam dan pengangkatan lapisan lumpur yang selanjutnya disertai pencucian air tawar. Pada percobaan pendahuluan dilakukan pengujian dengan metode HCl dan Zn asetat terhadap tanah dari beberapa cara pengolahan tanah tambak. Pada percobaan ini didapatkan hasil bahwa dengan cara pengangkatan lapisan lumpur yang selanjutnya disertai pembakaran sekam di atas tanah merupakan cara yang mampu menghilangkan hidrogen sulfida paling maksimal. Pada percobaan pendahuluan dengan metode pengangkatan lapisan lumpur yang selanjutnya disertai pencucian air tawar didapatkan hasil bahwa pengurangan konsentrasi H2S secara maksimal terdapat pada pergantian air ke tiga dan masing-masing dua kali pengadukan. Percobaan lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui cara pengolahan tanah tambak yang efektif dalam memperbaiki
2
kualitas tanah tambak yang mendukung kehidupan udang vaname melalui kajian pertumbuhan dan kelangsungan hidup.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan cara pengolahan tanah tambak yang paling efektif diantara cara pengolahan tanah dengan penjemuran tanah, pembakaran sekam, dan pencucian air tawar dalam memperbaiki kualitas tanah tambak yang mendukung kehidupan udang vaname melalui kajian pertumbuhan dan kelangsungan hidup.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Udang Vaname Udang vaname adalah salah satu spesies udang yang potensial untuk dikembangkan secara komersial. Pada tahun 2008 rata-rata produksi udang mencapai 11,6 % dari seluruh hasil budidaya (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2009a). Menurut Boone (1931), udang vaname mempunyai klasifikasi dan tata nama sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Subfilum
: Crustacea
Kelas
: Malacostraca
Subkelas
: Eumalacostraca
Superordo
: Eucarida
Ordo
: Decapoda
Subordo
: Dendrobrachiata
Famili
: Penaeidae
Genus
: Litopenaeus
Species
: Litopenaeus vannamei
Menurut Haliman dan Adijaya (2004), secara morfologi udang vaname memiliki tubuh yang dibentuk oleh dua cabang (biramous) yaitu exopodite dan endopodite. Udang vaname memiliki tubuh yang berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksosekeleton secara periodik/molting. 2.2 Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Udang vaname merupakan varietas udang yang memiliki sejumlah keunggulan, antara lain lebih resisten atau tahan terhadap penyakit dan kualitas lingkungan yang rendah, padat tebar cukup tinggi, dan waktu pemeliharaan lebih pendek yakni sekitar 90-100 hari per siklus. Pada umumnya, budidaya vaname di tambak menggunakan teknologi intensif dengan padat tebar yang tinggi mencapai
100-300
ekor/m2.
Resistensi
terhadap
penyakit
dan
kualitas
lingkungan hidup yang rendah terkait dengan kelangsungan hidup udang (Arifin et al., 2005).
4
Kelangsungan hidup suatu populasi ikan merupakan nilai persentase jumlah ikan yang hidup dalam suatu wadah selama masa pemeliharaan tertentu (Effendie, 1997). Kelangsungan hidup akan menentukan produksi ikan yang akan didapat dan berhubungan dengan ukuran ikan yang dipelihara. Kelangsungan hidup udang bergantung antara lain pada lingkungan hidup udang meliputi tanah dan air tempat (habitat) hidup udang. Kelayakan hidup udang ditentukan oleh derajat keasaman (pH), kadar garam (salinitas), kandungan oksigen terlarut, kandungan amoniak, H2S, kecerahan air, kandungan plankton, dan lain-lain (Hudi dan Shahab, 2005). Selain mempengaruhi kelangsungan hidup, kualitas lingkungan juga dapat mempengaruhi pertumbuhan. Menurut Effendie (1997), pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran, baik bobot maupun panjang dalam suatu periode waktu tertentu. Hal yang membedakan dekapoda dengan organisme lain dalam proses pertumbuhan adalah adanya proses molting. Ada 2 hal terpenting dalam proses molting yaitu; 1. Melunaknnya lapisan kutikula yang lama yang terlepas dari epidermisnya 2. Pertumbuhan kutikula baru yang menggantikan kutikula lama dan diawali dengan
pembentukan
lapisan
tipis
dan elastis
yang
memungkinkan
pemanjangan tubuh sebagai tanda pertumbuhan (Wickins dan Lee, 2002). Genus Penaeid, termasuk udang vaname mengalami pergantian kulit atau molting secara periodik untuk tumbuh. Proses molting berlangsung dalam 5 tahap yang bersifat kompleks, yaitu fase intermolt akhir, fase pre-molt, fase molt, fase post-molt, fase intermolt (Wickins dan Lee, 2002). Menurut Haliman dan Adijaya (2004), waktu yang dibutuhkan untuk melakukan molting bergantung pada jenis dan umur udang. Nafsu makan udang mulai menurun pada 1-2 hari sebelum molting dan aktivitas makannya berhenti total sesaat akan molting. Persiapan yang dilakukan udang sebelum molting yaitu menyimpan cadangan makanan berupa lemak di dalam kelenjar pencernaan (hepatopankreas). Molting pada udang ditandai dengan seringnya udang muncul ke permukaan air sambil meloncat-loncat. Gerakan ini bertujuan untuk membantu melonggarkan kulit luar udang dari tubuhnya. Gerakan tersebut merupakan salah satu cara mempertahankan diri karena cairan molting yang dihasilkan dapat merangsang udang lain untuk mendekat dan memangsa (kanibalisme). Pada saat molting berlangsung, otot perut melentur, kepala membengkak, dan kulit
5
luar bagian perut melunak. Dengan sekali hentakan, kulit luar udang dapat terlepas (Haliman dan Adijaya, 2004). 2.3 Tanah Tambak Tanah yang digunakan untuk tambak udang sebaiknya jenis tanah liat berpasir untuk menghindari kebocoran air (Haliman dan Adijaya, 2004). Kondisi dasar tambak dapat berubah setiap waktu yang dipengaruhi oleh akumulasi residu bahan organik yang semakin meningkat seperti, ganggang yang mati, feses dan residu makanan yang menyebabkan tingginya konsumsi oksigen dan kurangnya tingkat pertumbuhan (Boyd, 1995 dalam Avnimelech et al., 2003). Menurut Avnimelech et al. (2003), di kolam dengan kontruksi dasar tanah akan terjadi sedimentasi dari plankton dan residu makanan yang akan menyebabkan kondisi dasar tanah memburuk karena terjadi perubahan bahan di dasar tanah. Akumulasi yang berlebihan dari residu bahan organik akan menyebabkan perkembangan lingkungan anaerob, penurunan perkembangan biota, peningkatan kebutuhan oksigen, penghambatan pertumbuhan biota dan pembusukan dasar kolam. Residu bahan organik dan nutrien yang ada di dalam kolam cenderung terakumulasi di dalam tanah sehingga beberapa bahan dapat hilang dari dalam air. Kondisi substrat merupakan faktor kritis untuk udang jika dibandingkan dengan budidaya ikan lainnya sebab udang hidup di dasar perairan (Boyd, 1989; Chien, 1989 dalam Ritvo et al., 1996). Pembentukan kondisi anaerob juga dipengaruhi oleh faktor produksi dan tingkat intensifikasi budidaya (Avnimelech et al., 2003). 2.4 Sulfur Sulfur adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang S dan nomor atom 16. Bentuk sulfur adalah non-metal yang tak berasa, tak berbau dan multivalent. Sulfur dalam bentuk aslinya merupakan sebuah zat padat kristalin kuning. Di alam belerang atau sulfur ini dapat ditemukan sebagai unsur murni atau sebagai mineral-mineral sulfit dan sulfat (http://id.wikipedia.org. 2008). Sulfur (S) berada dalam bentuk organik dan anorganik. Sulfur anorganik terutama terdapat dalam bentuk sulfat (SO42-), yang merupakan bentuk sulfur utama di perairan dan tanah (Rao, 1992 dalam Effendi, 2003). Di perairan, sulfur berikatan dengan ion hidrogen dan oksigen. Hasil akhir dari oksidasi sulfur
6
adalah sulfat (SO42-), sedangkan hasil akhir dari reduksi sulfat adalah H2S (Madigan et al., 1996). Beberapa bentuk sulfur di perairan adalah sulfida (S2), hidrogen sulfida (H2S), ferro sulfida (FeS), sulfur dioksida (SO2), sulfit (SO32), dan sulfat (SO42-) (Effendi, 2003). 2.4.1 Sulfat Ion sulfat yang bersifat larut dan merupakan bentuk oksidasi utama sulfur adalah salah satu anion utama di perairan (Effendi, 2003). Sulfat yang berikatan dengan hidrogen membentuk asam sulfat dan sulfat yang berikatan dengan logam alkali merupakan bentuk sulfur yang paling banyak ditemukan di danau dan sungai (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003). Pada umumnya bentuk sulfur di air permukaan adalah sulfat (SO42-) (Boyd, 1988). Pada perairan alami yang mendapat cukup aerasi biasanya tidak ditemukan adanya H2S karena telah teroksidasi menjadi sulfat (Effendi, 2003). Sulfat merupakan sulfur yang paling banyak dioksidasi, dan menjadi salah satu anion utama dalam air laut (Madigan et al., 1996). Kadar sulfat pada perairan tawar alami berkisar antara 2-80 mg/liter (Effendi, 2003). 2.4.2 Hidrogen Sulfida (H2S) Hidrogen sulfida (H2S) merupakan gas yang tidak berwarna, toksik dengan bau yang sangat busuk. Menurut Wyk dan Scarpa (1999), H2S terjadi karena dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob. Reduksi anion sulfat menjadi hidrogen sulfida dalam proses dekomposisi bahan organik (persamaan 1.1 dan 1.2) menimbulkan bau yang kurang sedap dan meningkatkan korosivitas logam. SO42- + bahan organik S2- + 2H+
bakteri
S2- + H2O + CO2
(1.1)
anaerob
H2S
(1.2)
Sumber utama H2S adalah dekomposisi bahan organik oleh bakteri heterotrof tanah (Desulfovibrio spp) dalam kondisi anaerob. Bakteri heterotrof juga dapat mereduksi sulfit (SO32-), tiosulfat (S2O32-), dan hiposulfat (S2O42-) serta unsur sulfur menjadi hidrogen sulfida (H2S) (Effendi, 2003). Mikroorganisme tersebut melakukan respirasi secara anaerob dengan mengunakan sulfat (SO42-) sebagai elektron aseptor pengganti oksigen (Hanggono, 2005).
7
Pada kondisi aerob, hidrogen sulfida akan dioksidasi oleh bakteri Thiobacillus menjadi sulfat. Beberapa bakteri, misalnya Chlorobactriaceae dan Thiorhordaceae dapat mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi sulfur. Perubahan hidrogen sulfida menjadi sulfur juga dapat terjadi dalam proses sintesis karbohidrat. Dalam reaksi tersebut (persamaan 1.3), hidrogen sulfida digunakan sebagai sumber hidrogen donor untuk membentuk kembali unsur sulfur, sebagai hasil samping dari sintesis karbohidrat (Effendi, 2003). Cahaya
CO2 + 2H2S
(CH2O) + H2O + 2S
(1.3)
Karbohidrat
Toksisitas H2S akan meningkat seiring dengan penurunan kadar oksigen terlarut. Selain itu, H2S juga berdisosiasi ke dalam suatu kesetimbangan campuran dari HS- dan H+, proporsinya ditentukan oleh pH, suhu, dan salinitas. Kadar sulfida total kurang dari 0,002 mg/liter dianggap tidak membahayakan kelangsungan hidup organisme akuatik (Wyk dan Scarpa, 1999). Hidrogen sulfida sangat beracun bagi udang vaname meskipun pada konsentrasi rendah ± 0,05 mg/liter (Hanggono, 2005). 2.5 Arang Sekam 2.5.1 Sekam Padi Salah satu bentuk limbah pertanian adalah
sekam yang merupakan
buangan pengolahan padi. Sekam padi merupakan lapisan keras yang membungkus kariopsis butir gabah, terdiri atas dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan gabah, sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Dari proses penggilingan gabah akan dihasilkan 16,3-28% sekam (Nugraha dan Setyawati, 2001). Sekam dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti bahan baku industri, pakan ternak, dan energi (Nugraha dan Setyawati, 2001). Ditinjau dari komposisi kimiawinya, sekam mengandung beberapa unsur penting seperti terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
8
Tabel 1. Komposisi kimiawi sekam Komponen Kadar air Protein kasar Lemak Serat kasar Abu Karbohidrat kasar
Kandungan (%) 9,02 3,03 1,18 35,68 17,71 33,71
Sumber : Suharno (1979) dalam Nugraha dan Setyawati (2001)
2.5.2 Pembuatan Arang Sekam Pembuatan arang sekam dimaksudkan untuk memperbaiki sifat fisik sekam agar lebih mudah ditangani dan dimanfaatkan lebih lanjut. Salah satu kelemahan sekam bila digunakan langsung sebagai sumber energi panas adalah menimbulkan asap dan warna bahan berubah sehingga menurunkan kualitas bahan di samping menimbulkan polusi udara (Nugraha dan Setyawati, 2001). Tabel 2. Komposisi kimia arang sekam Komponen Karbon (zat arang) Hidrogen Oksigen Silika (SiO2)
Kandungan (%) 1,33 1,54 33,64 16,98
Sumber : DTC-IPB dalam Nugraha dan Setyawati (2001)
Pembuatan arang sekam dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah pembakaran dengan sistem cerobong asap. Cerobong mempunyai diameter 10 cm, tinggi 1 m dan di sepanjang silinder dibuat lubang. Pada bagian bawah cerobong dibuat rumah cerobong berbentuk segi empat. Pembuatan arang sekam dilakukan dengan cara meletakkan bara api di lantai kemudian ditutup dengan sekam (Nugraha dan Setyawati, 2001). 2.6 Pencucian Tanah Tambak Menggunakan Air Tawar Prinsip dari pencucian tanah tambak dengan menggunakan air tawar ini hampir sama dengan prinsip pergantian air di kolam. Penggunaan air tawar ini bertujuan untuk melarutkan kandungan H2S yang konsentrasinya sangat tinggi yang terdapat pada tanah tambak pascapanen. Air tawar digunakan sebagai media pencucian karena air tawar mempunyai kandungan sulfur yang sangat kecil (5 mg/liter) jika dibandingkan dengan air laut yang kandungan sulfurnya sangat tinggi hingga 900 mg/liter (Boyd, 1990).
9
2.7 Kapur Kapur yang digunakan di tambak (Tabel 3) berfungsi untuk meningkatkan kesadahan dan alkalinitas air membentuk sistem penyangga (buffer) yang kuat, meningkatkan pH, desinfektan, mempercepat dekomposisi bahan organik, mengendapkan besi, menambah ketersediaan unsur P, dan merangsang pertumbuhan plankton serta benthos (Chanratchakool, 1995). Bentuk kapur yang paling tepat digunakan pada air payau atau salin (air laut) adalah kapur bakar CaO atau kapur hidrat Ca(OH)2, karena kalsium karbonat CaCO3 kurang larut dalam air laut. Tabel 3. Jenis kapur yang dapat digunakan di tambak Kadar Ca2+
No
Jenis kapur
Formula
1
Kalsium karbonat atau kapur kalsit atau kapur pertanian (Kaptan)
CaCO3
40%
2
Kapur Oksida atau quicklime atau kapur bakar
CaO
71 %
3
Kapur Hidrat atau slaked lime atau kalsium hidroksida
Ca(OH)2
54 %
4
Kapur Dolomit
CaMg(CO3)2
Tidak ada info
Sumber : Chanratchakool, 1995
2.8 Kualitas air Air sebagai media tempat hidup organisme perairan perlu dijaga kualitas maupun kuantitasnya karena mempengaruhi kehidupan organisme tersebut. Kualitas air meliputi fisika dan kimia perairan, diantaranya adalah amoniak, suhu, pH, dan oksigen terlarut (DO) yang semuanya berkaitan dengan hasil produksi ikan. Lingkungan yang buruk atau perubahan secara tiba-tiba memicu ikan mengalami stres sehingga mudah terserang penyakit parasiter dan non-parasiter, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya kematian. Amoniak (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Toksisitas amoniak terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar DO, serta peningkatan pH dan suhu. Persentase amoniak bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan. Pada pH ≤ 7, sebagian besar amoniak akan mengalami ionisasi. Sebaliknya, pada pH > 7, amoniak tak terionisasi yang bersifat toksik terdapat dalam jumlah lebih banyak (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Amoniak sangat beracun bagi udang vaname meskipun pada konsentrasi rendah ± 0,1 mg/liter (Wyk dan Scarpa, 1999).
10
Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi oksigen terlarut dan laju konsumsi hewan air. Peningkatan suhu perairan sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat (Boyd, 1982). Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air (Effendi, 2003). Suhu optimal untuk pertumbuhan udang antara 26-32°C (Haliman dan Adijaya, 2004). Derajat keasaman (pH) merupakan gambaran konsentrasi ion hidrogen (Boyd, 1982). Nilai pH merupakan parameter lingkungan yang bersifat mengontrol laju metabolisme melalui pengendaliannya terhadap aktifitas enzim, kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan ikan adalah 6,5-9,0 (Boyd, 1982). Udang vaname sensitif terhadap perubahan pH dan hidup optimum udang vaname pada nilai pH sekitar 7-8,3 (Wyk dan Scarpa, 1999). Oksigen yang terdapat dalam air laut terdiri dari dua bentuk senyawa yaitu terikat dengan unsur lain seperti NO3-, NO2-, PO43-, H2O, CO2, dan CO32maupun sebagai molekul bebas (O2). Di tambak, oksigen terlarut merupakan faktor pembatas. Oksigen dibutuhkan udang untuk respirasi, proses fisiologi ketika sel mengoksidasi karbohidrat dan melepas energi yang dibutuhkan untuk metabolisme nutrient dari pakan. Konsentrasi oksigen terlarut optimum untuk hidup udang vaname 5-9 mg/liter (Wyk dan Scarpa, 1999).
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2008 sampai dengan Februari 2009. Penelitian pendahuluan dilakukan di Tambak Pandu Karawang, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, sedangkan penelitian lanjutan bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Sistem dan Teknologi, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Dalam percobaan pendahuluan, alat yang digunakan adalah gelas ukur, tabung reaksi, pipet, pengaduk, timbangan digital, korek api, cerobong, dan loyang penjemuran, sedangkan untuk percobaan lanjutan, alat yang digunakan adalah bak fiber berukuran (200x100x50) cm3, 15 akuarium berukuran (30x25x25) cm3, blower, termometer, salinometer, pemanas air (water heater), pipa paralon, selang aerasi, batu aerasi, pompa air, jangka sorong, timbangan digital, saringan, DO-meter, pH-meter, spektrofotometer dan bak tandon berdiameter 150 cm dengan tinggi 100 cm. Bahan yang digunakan dalam percobaan pendahuluan adalah air tawar, sekam, kapur CaCO3, HCl 6 N, NaOH 6 N, Zn Asetat 2 N, kertas saring, dan pewarna baju, sedangkan untuk percobaan lanjutan, bahan yang digunakan adalah udang vaname dengan bobot rata-rata 5,68±0,46 gram dan panjang ratarata 9,76±0,21 cm, tanah tambak, kapur CaCO3, air laut, dan air tawar 3.3 Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan masing-masing menggunakan lima ulangan, yaitu : tanah tambak bekas budidaya dijemur matahari selama 2 hingga 3 minggu kemudian lapisan lumpur yang sudah kering diangkat. Setelah lumpur diangkat, tanah dibawahnya diberi perlakuan sebagai berikut : 1) Perlakuan A : dikapur CaCO3 2) Perlakuan B : dibakar sekam diatas permukaan tanah dan dikapur CaCO3 3) Perlakuan C : dicuci dengan air tawar, dijemur, dan dikapur CaCO3
12
Selanjutnya akuarium diisi air, diisi udang, dan tiap 3 hari sekali diganti air sebanyak 30%. Model percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Yij = μ + σi + εij (Steel dan Torrie, 1982) Keterangan : Yij = Data hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ
= Nilai tengah dari pengamatan
σi
= Pengaruh aditif dari perlakuan ke-i
εij
= Pengaruh galat hasil percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
3.4 Prosedur Percobaan 3.4.1
Percobaan Pendahuluan
3.4.1.1 Prosedur Indikasi Keberadaan Hidrogen Sulfida (H2S) Indikasi keberadaan hidrogen sulfida (H2S) dapat dilakukan dengan beberapa metode pengukuran. Pada percobaan ini, metode yang digunakan yaitu metode uji HCl dan metode uji NaOH dan Zn Asetat. Metode uji HCl dilakukan dengan cara mengambil tanah sampel dari tambak dengan masingmasing diberi air dan diaduk dengan menggunakan pengaduk sampai merata. Setelah diaduk sampai merata, masing-masing larutan yang terbentuk dari masing-masing perlakuan diberi 10 tetes HCl 6 N dan dilakukan uji bau. Metode uji NaOH dan Zn Asetat dilakukan dengan cara mengambil 100 ml supernatan dari larutan yang terbentuk dari hasil pengadukan masing-masing perlakuan. Kemudian, sampel diberi 10 tetes HCl 6 N dan ditutup dengan menggunakan kertas saring yang sudah diberi pewarna baju dengan warna merah atau hijau yang sebelumnya sudah dioleskan NaOH 6 N sebanyak 10 tetes, 3 tetes Zn asetat 6 N. Selanjutnya, dilakukan penimbangan terhadap kertas saring yang terdapat endapan putih dikurangi dengan bobot kertas saring sebelum pengujian. 3.4.1.2 Prosedur Penentuan Bobot Tanah Penentuan bobot tanah ini digunakan sebagai estimasi bobot tanah di tambak yang mempengaruhi kualitas air di atasnya. Di tambak, kedalaman lapisan tanah terluar yang mampu mempengaruhi kualitas air yaitu 10-15 cm
13
(Boyd, 1989) sedangkan ketinggian air rata-rata di tambak adalah 0,76-1,00 meter (Boyd, 1989). Apabila dihitung per satu meter persegi maka akan didapatkan perhitungan sebagai berikut: (1x1x0.1) m3 tanah : (1x1x1) m3 air 0.1 m3 tanah : 1 m3 air 0.1 x (1000000 cc/m3) tanah : 1 x (1000000cc/m3) air 0.1 cc tanah : 1 cc air 1 cc tanah : 10 cc air
(2.1)
Prosedur yang dilakukan yaitu dengan menimbang bobot tanah dengan menggunakan timbangan digital, kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur yang sudah terisi air. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap kenaikan tinggi air di gelas ukur dan dilakukan perhitungan bobot jenis tanah menggunakan rumus sebagai berikut:
Bobot jenis tanah (g/cc) =
Bobot tanah (g) Kenaikan tinggi air (cc)
(2.2)
Setelah mendapatkan hasil bobot jenis tanah dari penghitungan dengan rumus pada persamaan (2.2), untuk selanjutnya bobot jenis tanah dimasukkan ke dalam penghitungan bobot tanah yang akan digunakan dalam penelitian dengan persamaan (2.1). Atas dasar itu maka untuk setiap akuarium diperlukan tanah sebanyak 2 kg. 3.4.1.3 Prosedur Pembakaran Tanah dengan Sekam
Pembakaran tanah dengan sekam dilakukan dengan cara menimbang tanah sebanyak 2 kg yang selanjutnya akan digunakan sebagai media yang akan dibakar. Pada penelitian ini, sekam yang digunakan yaitu dengan perbandingan 4 ton/Ha. Dengan luasan akuarium yang berukuran (30x25) cm2 maka sekam yang dibutuhkan yaitu 30 gram/akuarium. Pembakaran dilakukan dengan cara meletakkan tanah yang sudah ditimbang sebagai alas kemudian dibakar menggunakan sekam. Sekam secara perlahan akan terbakar menjadi arang setelah 8 sampai 12 jam pembakaran. Setelah sekam sudah menjadi arang, dilakukan pengambilan tanah. Tanah tersebutlah yang akan digunakan dalam penelitian.
14
3.4.1.4 Prosedur Pencucian Tanah Tambak Menggunakan Air Tawar
Prosedur pencucian tanah dengan air tawar ini diawali dengan menimbang tanah yang akan digunakan sebagai media yang akan dicuci. Tanah dimasukkan ke dalam ember, kemudian diisi dengan perbandingan antara tanah dan air yang telah ditentukan pada persamaan (2.1). Tanah yang bercampur air di dalam ember kemudian diaduk dengan pengaduk sampai merata dan dipindahkan ke dalam akuarium. Berdasarkan penelitian pendahuluan, hasil terbaik pencucian tanah dengan air tawar yaitu dengan dua kali pengadukan dan tiga kali pergantian air. Maka, tanah yang sudah dipindahkan ke dalam akuarium didiamkan hingga terbentuk supernatan. Apabila sudah terbentuk supernatan, tanah diaduk lagi hinga merata kemudian didiamkan lagi sampai terbentuk supernatan lagi. Langkah berikutnya, supernatan yang terbentuk dari pengadukan yang ke-dua dibuang dan diganti dengan air yang baru dengan volume yang sama pada pengisian air yang pertama. Langkah tersebut diulangi sampai tiga kali pencucian air tawar. Tanah yang dicuci akan mengalami pengembangan dan sulit disaring dengan saringan untuk mengambil tanah hasil pencucian, maka dilakukan proses penjemuran. Proses penjemuran ini dilakukan dengan cara menyiapkan loyang berbentuk persegi panjang berukuran (100x50x10) cm3 yang dilapisi dengan plastik, lalu tanah hasil pencucian dituang ke dalam loyang tersebut. Setelah loyang terisi dengan tanah hasil pencucian, loyang dijemur di bawah terik matahari sampai kering. Penjemuran tanah ini membutuhkan waktu 12 sampai 14 hari hingga tanah benar-benar kering. 3.4.2
Percobaan Lanjutan
Prosedur pemeliharaan di laboratorium dilakukan dengan menyiapkan bak fiber berukuran (200x100x50) cm3 yang sudah dibersihkan, kemudian diisi dengan 15 akuarium berukuran (30x25x25) cm3 yang sudah terisi dengan tanah sesuai dengan masing-masing perlakuan. Langkah selanjutnya, masing-masing akuarium diisi dengan 10 liter air laut yang bersalinitas 30 ppt. Masing-masing akuarium diberi aerasi dan ditutup dengan kain kasa. Bak fiber diisi dengan air tawar dengan ketinggian air 10 cm. Pompa udara (air lift pump) dipasang pada salah satu sudut dari bak fiber untuk mengalirkan air sehingga air dapat terus berputar. Setelah sirkulasi air dipastikan
15
berputar dengan tepat, kemudian pemanas air (water heater) dipasang pada kedua sisi berlawanan pada bak fiber. Kedua pemanas air diatur pada suhu 30°C. Selanjutnya, udang vaname dimasukkan ke dalam masing-masing akuarium dengan kepadatan 3 ekor/10 liter yang sebelumnya sudah ditimbang bobot dan panjangnya. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 5 kali (pukul 06.00, 10.00, 14.00, 18.00 dan 22.00 WIB) sesuai dengan tingkat pemberian pakan (feeding rate) yang telah ditentukan yaitu 5% biomassa untuk hari ke-0 sampai ke-10 hari pemeliharaan, 4% biomassa untuk hari ke-10 sampai hari ke-20 pemeliharaan serta 3% biomassa untuk hari ke-20 sampai hari ke-30 pemeliharaan. Pemeliharaan udang vaname ini berlangsung selama 30 hari, dan setiap 10 hari sekali dilakukan pengamatan pertumbuhan dan kualitas air. Pengamatan pertumbuhan dilakukan pada 100 % populasi udang. Pengamatan ini dilakukan dengan menimbang bobot udang, mengukur panjang total udang, menghitung kematian udang setiap hari dan menghitung udang yang molting setiap hari. Pengamatan fisika-kimia air meliputi parameter H2S, amoniak, suhu, pH, dan oksigen terlarut (DO). 3.5 Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengumpulan data meliputi: hasil pengukuran bobot dan panjang udang setiap 10 hari, kematian udang setiap hari, molting udang setiap hari, serta pengukuran kualitas air setiap 10 hari dengan parameter amoniak, total sulfur, suhu, pH, dan oksigen terlarut. Parameter fisika-kimia air ini diukur menggunakan metode dan alat sebagai berikut: 1) Metoda Phenate untuk mengukur amoniak (Hariyadi et al., 1992) 2) Metoda spektofotometri untuk mengukur total sulfur ( Hidayat, 1978) 3) Termometer untuk mengukur suhu, 4) pH-meter untuk mengukur pH,dan 5) DO-meter untuk mengukur oksigen terlarut. Pengolahan data terhadap hasil pengamatan pertumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
16
1) Tingkat Kelangsungan Hidup (SR)
Data kematian udang digunakan untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup (SR) dengan menggunakan rumus: Nt
SR =
x100% No Keterangan : SR = Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt
= Jumlah ikan hidup pada saat t (ekor)
No = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor) 2) Biomassa
Pada penelitian ini perhitungan biomassa menggunakan rumus: W = Nt × w t Keterangan: W = Biomassa (gram)
Nt
= Jumlah ikan hidup pada saat t (ekor)
wt
= Bobot rata-rata ikan pada saat t (gram/ekor)
3) Laju Pertumbuhan Bobot Harian
Bobot udang diukur dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.01 gram. Laju pertumbuhan bobot harian (α) dihitung menggunakan rumus dari Zonneveld et al. (1991): wt α =( t − 1 ) × 100% wo Keterangan: α = Laju pertumbuhan bobot harian (%)
wt
= Bobot rata-rata ikan pada saat t (gram/ekor)
wo = Bobot rata-rata ikan pada saat awal (gram/ekor) t
= Lama pemeliharaan (hari)
4) Laju Pertumbuhan Panjang Harian
Panjang udang diukur dengan pengambilan contoh sebanyak 3 ekor/akuarium menggunakan jangka sorong. Laju pertumbuhan panjang harian (α) dihitung menggunakan rumus dari Zonneveld et al. (1991): Lt α =( t − 1 ) × 100% Lo Keterangan: α = Laju pertumbuhan panjang harian (%)
Lt
= Panjang rata-rata ikan pada saat t (cm/ekor)
Lo
= Panjang rata-rata ikan pada saat awal (cm/ekor)
t
= Lama pemeliharaan (hari)
17
5) Efisiensi Pakan
Pada penelitian ini perhitungan efisiensi pakan menggunakan rumus menurut Zonneveld et al. (1991):
⎛ (Wt + Wd ) − Wo ⎞ ⎟ × 100% F ⎝ ⎠
EP = ⎜
Keterangan : EP = Efisiensi pakan (%) Wt = Biomassa ikan akhir (gram) Wo = Biomassa ikan awal (gram) Wd = Biomassa ikan mati (gram) F = Jumlah pakan yang diberikan (gram) 6) Frekuensi Molting
Frekuensi molting bertujuan untuk mengetahui periode molting udang per satuan waktu. Penghitungan frekuensi molting ini dilakukan dengan cara mengamati banyaknya udang yang molting per satuan waktu. 3.6 Analisis Data
Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi dan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan uji F pada selang kepercayaan 95 %. Apabila berpengaruh nyata (P<0,05), untuk melihat perbedaan antar perlakuan akan diuji lanjut dengan menggunakan BNJ (Beda Nyata Jujur) pada selang kepercayaan 95%. Analisis data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS ver.15. Analisis deskripsi kuantitatif, digunakan untuk tingkat kelangsungan hidup dan menentukan kelayakan media pemeliharaan bagi kehidupan udang vaname selama penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil 4.1.1 Indikasi Keberadaan Hidrogen Sulfida (H2S) Pada Tabel 4 disajikan data keberadaan H2S beserta warna tanah yang ditimbulkan oleh masing-masing perlakuan. Perlakuan pengangkatan lumpur yang disertai dengan pembakaran sekam mempunyai hasil yang terbaik daripada perlakuan lainnya. Hal ini terlihat dari keberadaan H2S hasil uji HCl yang paling rendah yang disertai dengan warna tanah yang coklat. Tabel 4. Indikasi keberadaan hidrogen sulfida (H2S) dan warna tanah No
Perlakuan
Warna tanah
1 2 3 4 5
Penjemuran lumpur Pembakaran sekam diatas lumpur jemur Pemberian kapur CaCO3 lumpur jemur Pengangkatan lumpur Pengangkatan lumpur dan pembakaran sekam
Hitam Hitam kecoklatan Hitam keputihan Coklat Coklat
H2S * Hasil Uji HCl +++ +++ +++ ++ +
*Keterangan : tidak bau (-), sedikit bau (+), bau (++), sangat bau (+++)
4.1.2 Frekuensi Pencucian Tanah Menggunakan Air Tawar Pada Tabel 5, disajikan data frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan berbagai frekuensi pengadukan yang berbeda. Pada frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi pengadukan satu kali terdapat
kecenderungan
peningkatan
konsentrasi
H2S
seiring
dengan
meningkatnya frekuensi pencucian. Oleh karena itu dilakukan percobaan berikutnya yaitu frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi pengadukan dua kali, empat kali dan enam kali. Frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi pengadukan dua kali dengan frekuensi pencucian tiga kali mempunyai hasil yang sama dengan pencucian tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi pengadukan empat kali dengan frekuensi pencucian tiga kali dan pencucian tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi pengadukan enam kali dengan frekuensi pencucian tiga kali. Berdasarkan hal tersebut, frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan frekuensi pengadukan dua kali dengan frekuensi pencucian tiga kali digunakan pada percobaan lanjutan karena dinilai paling efisien.
19
Tabel 5. Frekuensi pencucian tanah menggunakan air tawar dengan berbagai frekuensi pengadukan Frekuensi pencucian 1
Frekuensi Pengadukan 1
H2S Hasil Uji HCl* +
H2S Hasil Uji NaOH dan Zn Asetat Endapan putih
2 3 4 5
1 1 1 1
+ ++ ++ +++
Endapan putih Endapan putih tebal Endapan putih tebal Endapan putih pekat
1 2 3 4
2 2 2 2
+ + -
Endapan putih Endapan putih Endapan putih transparan Endapan putih transparan
1 2 3 4
4 4 4 4
+ + -
Endapan putih Endapan putih Endapan putih transparan Endapan putih transparan
1
6
+
Endapan putih
2 3 4
6 6 6
+ -
Endapan putih Endapan putih transparan Endapan putih transparan
*Keterangan:
tidak bau (-), sedikit bau (+), bau (++), sangat bau (+++)
4.1.3 Total Sulfur Pada Tabel 6 disajikan data konsentrasi total sulfur pada setiap perlakuan dari hari ke-0 sampai hari ke-30. Terdapat kecenderungan penurunan total sulfur dari hari ke-0 hingga hari ke-10 dan kecenderungan peningkatan kadar total sulfur dari hari ke-10 hingga hari ke-30. Tabel 6. Konsentrasi total sulfur selama penelitian Hari
Konsentrasi total sulfur dalam (mg/liter) pada perlakuan Tanah Jemur
Bakar Sekam
Cuci Air Tawar
0
3,65-6,33
2,97-4,75
2,49-4,58
10
2,21-5,12b
0,59-1,44a
0,47-1,73a
20
3,50-5,80b
1,07-2,42a
1,13-2,42a
30
5,69-8,23
3,44-6,47
5,50-5,69
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan analisis statistik, total sulfur pada awal penelitian (hari ke-0) dan akhir penelitian (hari ke-30) tidak menunjukkan pengaruh yang nyata antar perlakuan (p>0,05) (Lampiran 7a dan 7d). Namun pada hari ke-10 dan hari ke-20 terjadi perbedaan nyata (p<0,05) yaitu total sulfur pada tanah jemur lebih tinggi
20
daripada perlakuan bakar sekam dan perlakuan cuci air tawar (Lampiran 7b dan 7c). 4.1.4 Amoniak (NH3) Pada Tabel 7 disajikan data konsentrasi NH3 pada setiap perlakuan dari hari ke-0 sampai hari ke-30. Kecenderungan peningkatan kadar NH3 terjadi dari hari ke-0 hingga hari ke-30. Tabel 7. Konsentrasi amoniak (NH3) selama penelitian Hari
Konsentrasi amoniak (NH3) dalam (mg/liter) pada perlakuan Tanah Jemur
Bakar Sekam a
0 10 20 30
0,0126-0,0290 0,0330-0,0889b 0,0537-0,0952b 0,0732-0,0937b
Cuci Air Tawar a
0,0036-0,0074 0,0053-0,0336a 0,0085-0,0447a 0,0216-0,0376a
0,0459-0,0831b 0,0225-0,0756b 0,0327-0,0788b 0,0400-0,0803b
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan analisis statistik, dapat dilihat bahwa pada awal penelitian (hari ke-0) konsentrasi NH3 pada perlakuan cuci air tawar lebih tinggi dari pada perlakuan tanah jemur dan bakar sekam (p<0,05) (Lampiran 8a). Hari ke-10 hingga hari ke-30, perlakuan tanah jemur dan perlakuan cuci air tawar mempunyai nilai konsentrasi amoniak lebih tinggi daripada perlakuan bakar sekam (p<0,05) (Lampiran 8b, 8c, dan 8d). 4.1.5 Tingkat Kelangsungan Hidup (SR) Berdasarkan jumlah individu yang hidup selama masa pemeliharaan, dilakukan perhitungan terhadap tingkat kelangsungan hidup udang vaname pada masing-masing perlakuan (Lampiran 4, 5, dan 6). Tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh pada semua perlakuan berkisar antara 60±54,77% hingga 100±0,00 % (Tabel 8). Sampai dengan hari ke-10 belum terjadi kematian udang dari semua perlakuan. Kematian baru terjadi setelah hari ke-10 yaitu pada perlakuan tanah jemur sehingga nilai tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan tanah jemur menjadi 80±44,72% pada hari ke-20. Kematian juga terjadi setelah hari ke-20, yaitu pada perlakuan tanah jemur dan perlakuan cuci air tawar yang masing-masing SR-nya menjadi 60±54,77% dan 66,67±47,14%. Namun, pada perlakuan bakar sekam tidak terjadi kematian hingga akhir masa pemeliharaan sehingga SR-nya sebesar 100 ±0,00%.
21
Tabel 8. Tingkat kelangsungan hidup (SR) selama penelitian Hari
Tingkat kelangsungan hidup (SR) dalam (%) pada perlakuan Tanah Jemur
Bakar Sekam
Cuci Air Tawar
10
100,00±0,00
100,00±0,00
100,00±0,00
20 30
80,00±44,72 60,00±54,77
100,00±0,00 100,00±0,00
100,00±0,00 66,67±47,14
4.1.6 Biomassa Berdasarkan jumlah individu yang hidup dan bobot rata-rata udang selama masa pemeliharaan, dilakukan perhitungan terhadap biomassa (gram) udang vaname pada masing-masing perlakuan (Lampiran 2). Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa biomassa akhir tertinggi (p<0,05) diperoleh perlakuan bakar sekam sebesar 150,65 gram sedangkan biomassa terendah didapat oleh perlakuan tanah jemur sebesar 88,25 gram (Lampiran 9). Tabel 9. Biomassa udang vaname selama penelitian Hari
Biomassa udang vaname dalam (gram) pada perlakuan Tanah Jemur
Bakar Sekam
Cuci Air Tawar
0
85,2
85,2
85,2
10
103,13
104,09
107,10
20
100,73
130,02
127,16
30
a
88,25
b
150,65
99,08ab
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
4.1.7 Laju Pertumbuhan Bobot Harian Berdasarkan hasil penelitian (Lampiran 1 dan 2), bobot rata-rata udang mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bobot rata-rata udang vaname selama pemeliharaan
22
Hasil pengamatan pertumbuhan bobot harian selama masa pemeliharaan (Tabel 10), bernilai antara 1,92±0,32% sampai 2,27±0,69% pada hari ke-10, sedangkan pada hari ke-20 bernilai antara 1,77±0,20% hingga 2,25±0,21%, dan hari ke-30 bernilai antara 1,36±0,22% hingga 1,61±0,17%. Bobot akhir yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 9,81±0,60 gram sampai 10,04±0,55 gram (Gambar 1). Berdasarkan hasil analisis ragam, diketahui bahwa perlakuan bakar sekam memberikan laju pertumbuhan bobot harian tertinggi pada hari ke20 (Lampiran 10b). Pada hari ke-10 dan hari ke-30, perlakuan tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian (p>0,05) (Lampiran 10a dan 10c). Tabel 10. Laju pertumbuhan bobot harian selama penelitian Hari
Laju pertumbuhan bobot harian dalam (%) pada perlakuan Tanah Jemur Bakar Sekam Cuci Air Tawar
10 20 30
1,92±0,32 1,93±0,26ab 1,61±0,17
2,02±0,20 2,25±0,21a 1,49±0,25
2,27±0,69 1,77±0,20b 1,36±0,22
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
4.1.8
Laju Pertumbuhan Panjang Harian Berdasarkan hasil penelitian (Lampiran 1 dan 2), panjang rata-rata udang
mengalami peningkatan seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Panjang rata-rata udang vaname selama pemeliharaan Hasil
pengamatan
pertumbuhan
panjang
harian
selama
masa
pemeliharaan berlangsung, bernilai antara 0,31±0,22% sampai 0,37±0,19% pada hari ke-10, hari ke-20 bernilai antara 0,34±0,11% hingga 0,37±0,11%, dan hari ke-30 bernilai antara 0,42±0,10% hingga 0,53±0,06% (Tabel 11). Panjang akhir
23
yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 10,89±0,50 cm sampai 11,18±0,46 cm (Gambar 2). Sampai hari ke-30, diketahui bahwa perlakuan tanah tambak tidak memberikan pengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan panjang harian (p>0,05) (Lampiran 11a, 11b, dan 11c). Tabel 11. Laju pertumbuhan panjang harian selama penelitian Hari
Laju pertumbuhan panjang harian dalam (%) pada perlakuan Tanah Jemur
Bakar Sekam
Cuci Air Tawar
10
0,36±0,17
0,31±0,22
0,37±0,19
20 30
0,36±0,08 0,43±0,08
0,34±0,11 0,42±0,10
0,37±0,11 0,53±0,06
4.1.9
Efisiensi Pakan Berdasarkan jumlah pakan yang dikonsumsi udang vaname selama masa
pemeliharaan, nilai efisiensi pakan yang didapat pada setiap perlakuan berkisar antara 42,14±7,65% sampai 50,76±16,81% pada hari ke-10, hari ke-20 bernilai antara 47,89±5,94% hingga 62,26±6,54%, dan hari ke-30 bernilai antara 48,10±8,13% hingga 57,76±6,56% (Tabel 12). Berdasarkan analisis statistik, diketahui bahwa perlakuan bakar sekam memberikan efisiensi pakan tertinggi pada hari ke-20 (Lampiran 12b). Pada hari ke-10 dan hari ke-30, perlakuan tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap efisiensi pakan (p>0,05) (Lampiran 12a dan 12c). Tabel 12. Efisiensi pakan selama penelitian Hari 10 20 30
Efisiensi pakan dalam (%) pada perlakuan Tanah jemur
Bakar sekam
Cuci air tawar
42,14±7,65
44,39±4,74
50,76±16,81
ab
52,58±7,53 57,76±6,56
a
62,26±6,54 53,06±9,53
47,89±5,94b 48,10±8,13
Keterangan : Huruf superscript di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05)
4.1.10 Frekuensi Molting Berdasarkan hasil pencatatan data udang yang molting setiap hari selama masa pemeliharaan 30 hari diperoleh frekuensi molting (Tabel 13). Udang vaname pada perlakuan tanah jemur mengalami molting sebanyak 19 kali, sedangkan perlakuan bakar sekam dan perlakuan cuci air tawar masingmasing sebanyak 26 kali. Namun, siklus molting udang vaname pada ketiga perlakuan relatif bersamaan yaitu tiap 10 hari sekali.
24
Tabel 13. Jumlah molting udang vaname selama penelitian Perlakuan
Ulangan
Jumlah molting udang vaname pada hari ke2
1
4
6
8
3
1
16
18
20
22
24
26
28
1
30
5
1
2
2
3
1 2
2
1 1
1
1 2 1
5 Jumlah
1
1
2
2 1
1 2
1
3
2
4
1
Jumlah
1
2 1
1
1
0
0
1
2
1
1
1 1
2
1 1
2
3
1
1
1
1
4
3
2
3
3
0 1
0
1
1
1
2 1
0
2
19
3 1
1 1
26
2
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
1
2 1
1
1 1
2
1
1
1 1
1
1 1
1
1 1
5
1
1 1 1
3 4
1
1 1
Jumlah
Cuci Air Tawar
14
1
4
Bakar Sekam
12
1
2 Tanah Jemur
10
Total Molting
2
0
3
1 0
1
1 0
4
2
26
4.1.11 Kualitas Air Nilai parameter kualitas air pada masing-masing perlakuan selama masa pemeliharaan berlangsung tercantum dalam Tabel 14, sedangkan data terinci terdapat dalam Lampiran 3. Tabel 14. Kisaran kualitas air selama penelitian Parameter
Hari
Kisaran kualitas air pada perlakuan Tanah Jemur
Bakar Sekam
Cuci Air Tawar
DO (mg/liter)
0 10 20 30
5,1-6,0 5,2-6,1 5,2-5,8 6,2-6,6
5,5-6,0 5,2-5,3 5,6-5,8 5,5-6,3
5,2-5,6 5,8-6,3 5,6-6,0 5,2-5,8
Suhu (°C)
0 10 20 30
28,2-28,3 28,8-29,1 28,2-28,4 28,3-28,8
28,1-28,5 28,6-29,0 28,0-28,4 28,3-28,6
28,0-28,1 28,5-28,9 28,1-28,5 28,1-28,3
0
7,5-7,8
7,4-7,6
7,8-7,9
10 20 30
7,7-7,9 7,8-7,9 8,2-8,4
7,3-7,5 7,7-7,8 8,0-8,2
7,4-7,9 7,8-8,1 8,2-8,4
pH
25
4.2 Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi total sulfur di dalam air pemeliharaan cenderung menurun dari hari ke-0 hingga hari ke-10 dan cenderung meningkat setelah hari ke-10 hingga hari ke-30 (Tabel 6). Kecenderungan penurunan kadar total sulfur dari hari ke-0 hingga hari ke-10 pada masing-masing perlakuan ini disebabkan oleh adanya proses pengeringan tanah tambak dengan penjemuran sinar matahari pada setiap perlakuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hanggono (2005) bahwa pengeringan tanah dasar tambak secara periodik akan meningkatkan proses oksidasi sulfida dalam tanah serta meningkatkan dekomposisi bahan organik. Sulfur dalam tanah merupakan akibat dari akumulasi sulfur di air sehingga konsentrasi total sulfur air dapat berkurang. Hal ini terjadi karena tanah masih dalam keadaan aerob dan akumulasi bahan organik masih sedikit sehingga sulfur di air terakumulasi di tanah pada batas tertentu dan hal ini yang menyebabkan kandungan sulfur dapat hilang dari air. Hal ini sesuai dengan pernyataan Avnimelech et al. (2003), bahwa residu bahan organik dan nutrien yang ada di dalam kolam cenderung terakumulasi di dalam tanah sampai taraf tertentu sehingga beberapa bahan dapat hilang dari dalam air. Peningkatan konsentrasi total sulfur setelah hari ke-10 hingga hari ke-30 pada ketiga perlakuan karena adanya akumulasi sulfur di tanah yang sudah melebihi ambang batas kemampuan tanah. Adanya pergantian air sebanyak 30% tiap 3 hari sekali akan menyebabkan terjadinya akumulasi sulfur di tanah secara terus-menerus. Boyd (1988) menyatakan bahwa di daerah perairan dengan salinitas yang rendah, konsentrasi sulfat berada pada selang 1-5 mg/liter sebagai S dan konsentrasi ini akan meningkat dengan meningkatnya salinitas. Selain itu sudah terbentuknya bahan organik di dalam media pemeliharaan juga diduga sebagai penyebab peningkatan kadar total sulfur. Hal ini terjadi karena bahan organik yang berasal dari residu pakan yang mengandung sulfur. Menurut Lender (1992) dalam Nurbani (1998), sulfur dalam pakan terdapat pada asam amino ber-S (methionin dan sistein). Meskipun konsentrasi total sulfur di air selama pemeliharaan meningkat diduga sulfur yang terdeteksi dalam bentuk sulfat dan sangat sedikit dalam bentuk H2S. Ini dikarenakan selama masa pemeliharaan, oksigen terlarut dalam air sebesar 5,2-5,3 hingga 6,2-6,6 mg/liter sehingga mampu menjaga kondisi air pemeliharaan dalam keadaan aerob. Menurut Wyk dan Scarpa (1999), H2S
26
terjadi karena dekomposisi bahan organik dalam keadaan anaerob. Namun, nilai pH dan suhu juga berperan penting dalam proses pembentukan H2S. Bentuk sulfida di alam tergantung pada pH (Madigan et al., 1996). Proporsi antara HSdan H2S akan berubah seiring dengan perubahan suhu dan pH (Boyd, 1988). pH dan suhu pada media pemeliharaan yang masing-masing berkisar antara 28,028,1°C hingga 28,8-29,1°C dan 7,3-7,5 hingga 8,2-8,4 juga diduga sebagai penyebab tidak terbentuknya H2S dan meskipun terbentuk H2S, jumlahnya sangat kecil. Pada pH yang tinggi, bentuk dominan adalah sulfida (S2), pada pH netral S- yang mendominasi dan pH < 6, H2S yang mendominasi (Madigan et al., 1996). Hidrogen sulfida kebanyakan terdapat pada pH rendah (Boyd, 1988). Hidrogen sulfida yang tidak terionisasi bersifat racun pada ikan, namun ion hasil dissosiasi ini tidak selalu toksik karena hidrogen sulfida mungkin berada pada zona aman di perairan (Boyd, 1988). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kadar amoniak di dalam air semakin meningkat seiring dengan waktu pemeliharaan (Tabel 7). Meskipun kadar amoniak cenderung meningkat, konsentrasi amoniak masih dalam toleransi kehidupan udang vaname. Konsentrasi amoniak selama penelitian cenderung rendah karena adanya pergantian air sebanyak 30% tiap 3 hari sekali, dan adanya penerapan aerasi diharapkan dapat membantu terciptanya suasana aerob di dalam air sehingga terjadi proses oksidasi amoniak menjadi nitrat. Persentase amoniak bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan (Boyd, 1989). Meningkatnya pH dan suhu pada media pemeliharaan yang masing-masing berkisar antara 28,0-28,1°C hingga 28,829,1°C dan 7,3-7,5 hingga 8,2-8,4 akan menyebabkan meningkatnya kadar amoniak dalam air pemeliharaan. Pada pH ≤ 7, sebagian besar amoniak akan mengalami ionisasi, sehingga yang banyak berada dalam perairan adalah dalam bentuk ion amonium (NH4+). Amonium dalam perairan tidak bersifat racun bagi ikan. Sebaliknya, pada pH > 7 maka amoniak tak terionisasi yang bersifat toksik terdapat dalam jumlah lebih banyak (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Parameter kualitas air lainnya yaitu suhu, pH, dan DO selama penelitian masih dalam kisaran yang baik bagi kehidupan organisme. Suhu air selama penelitian berkisar antara 28,0-28,1°C hingga 28,8-29,1°C masih dalam batas kisaran suhu optimum udang vaname untuk hidup. Suhu optimal untuk pertumbuhan udang antara 26°C - 32°C (Haliman dan Adijaya, 2004). Fluktuasi
27
suhu yang terjadi tidak membahayakan bagi kelangsungan hidup ikan karena menurut Stickney (1979), secara umum fluktuasi suhu yang membahayakan ikan adalah 5°C dalam waktu 1 jam. Hal ini tidak terjadi selama penelitian berlangsung. Kandungan H2S menurun dengan meningkatnya pH dan suhu (Boyd, 1988). Proporsi antara HS- dan H2S akan berubah seiring dengan perubahan suhu dan pH (Boyd, 1988). Persentase amoniak bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan (Boyd, 1989). Nilai pH media pemeliharaan pada ketiga perlakuan berkisar antara 7,3-7,5 hingga 8,2-8,4 sehingga masih dalam batas kisaran suhu optimum udang vaname untuk hidup. Sebagian besar biota akuatik termasuk udang vaname, sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,3 (Wyk dan Scarpa, 1999). Persentase amoniak bebas meningkat dengan meningkatnya nilai pH dan suhu perairan (Boyd, 1989). Akan tetapi persentase H2S akan meningkat dengan menurunnya pH. Pada pH yang tinggi, bentuk dominan adalah sulfida (S2- ), pada pH netral S- yang mendominasi dan pH < 6, H2S yang mendominasi (Madigan et al., 1996). Fluktuasi nilai pH pada media air pemeliharaan selama penelitian tidak berbahaya bagi kelangsungan hidup udang vaname. Konsentrasi DO dalam media air pemeliharaan semua perlakuan berkisar antara 5,2-5,3 hingga 6,2-6,6 mg/liter masih dalam batas kisaran DO optimum udang vaname untuk hidup. Konsentrasi oksigen terlarut optimum untuk hidup udang vaname 5 - 9 ppm (Wyk dan Scarpa, 1999). Toksisitas H2S akan menurun seiring dengan peningkatan kadar oksigen terlarut (Effendi, 2003). Dari pembahasan kualitas air (suhu, pH, dan DO) dapat disimpulkan bahwa selama penelitian, kualitas air tersebut masih layak untuk kehidupan udang vaname. Hasil yang diperoleh selama masa pemeliharaan menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup berkisar antara 60±54,77% hingga 100±0,00%. Kematian udang vaname selama masa pemeliharaan terjadi pada perlakuan tanah jemur dan perlakuan cuci air tawar. Tingkat kelangsungan hidup yang didapat hingga masa pemeliharaan hari ke-10 yaitu 100% pada ketiga perlakuan. Hal ini diduga karena udang sudah dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan. Udang sudah mampu beradaptasi dengan baik pada masa pemeliharaan 10 hari karena udang sudah diaklimatisasi dengan baik pada saat penebaran berlangsung. Hal ini terjadi karena udang sudah diadaptasikan selama 3 hari pada perlakuan sebelum diberi pakan. Meskipun kadar amoniak
28
dan total sulfur sudah dalam berada pada konsentrasi yang cukup tinggi, udang masih dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pada hari ke-10 sampai hari ke-20 masa pemeliharaan, tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan bakar sekam dan perlakuan cuci air tawar masih 100%, namun pada perlakuan tanah jemur tingkat kelangsungan hidup sudah mengalami penurunan yaitu dengan adanya kematian sebanyak satu ekor pada ulangan satu pada hari ke-13 dan dua ekor pada hari ke-15. Konsentrasi amoniak yang meningkat secara signifikan, berkisar 0,0330-0,0889 mg/liter 0,0537-0,0952 mg/liter dan konsentrasi total sulfur berkisar 2,21-5,12 mg/liter 3,50-5,80 mg/liter diduga sebagai penyebab terjadinya kematian udang. Udang pada perlakuan tanah jemur ulangan satu mengalami tekanan lingkungan akibat secara terus menerus terpapar oleh peningkatan konsentrasi amoniak dan total sulfur sehingga tidak mampu bertoleransi lagi yang akhirnya menyebabkan udang menjadi lemah dan akhirnya mati. Pada perlakuan bakar sekam dan perlakuan cuci air tawar tidak terdapat adanya kematian. Konsentrasi amoniak meningkat pada perlakuan bakar sekam dan perlakuan cuci air tawar masing-masing berkisar antara 0,0053-0,0336 mg/liter sampai 0,0085-0,0447 mg/liter dan 0,0225-0,0756 mg/liter sampai 0,0327-0,0788 mg/liter. Tidak terjadinya mortalitas selama 20 hari disebabkan oleh masih kecilnya peningkatan kadar amoniak dan total sulfur. Peningkatan kadar amoniak dan total sulfur terjadi secara perlahan tidak berlangsung secara signifikan sehingga udang masih mampu untuk bertoleransi. Pada hari ke-20 sampai hari ke-30 masa pemeliharaan, tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan bakar sekam masih 100%, perlakuan cuci air tawar sebesar 66,67±47,14%, dan perlakuan tanah jemur sebesar 60,00±54,77%. Mortalitas terjadi pada perlakuan tanah jemur ulangan tiga pada hari ke-24 sebanyak dua ekor dan pada hari ke-27 sebanyak satu ekor. Perlakuan cuci air tawar, mortalitas terjadi pada hari ke-22 sebanyak dua ekor pada ulangan dua, dan sebanyak satu ekor pada ulangan empat. Hari ke-25 dan hari ke-26 masa pemeliharaan, terjadi juga kematian pada perlakuan cuci air tawar ulangan empat masing-masing sebanyak satu ekor. Kematian udang diduga karena konsentrasi amoniak yang semakin meningkat, sebesar 0,0537-0,0952 mg/liter hingga 0,0732-0,0937 mg/liter dan konsentrasi total sulfur sebesar 3,50-5,80 mg/liter hingga 5,69-8,23 mg/liter pada perlakuan tanah jemur serta konsentrasi amoniak sebesar 0,0327-0,0788 mg/liter
29
hingga 0,0400-0,0803 mg/liter dan konsentrasi total sulfur sebesar 1,13-2,42 mg/liter hingga 5,50-5,69 mg/liter pada perlakuan cuci air tawar. Udang mengalami tekanan lingkungan dan tidak mampu bertoleransi dengan tingginya konsentrasi amoniak dan total sulfur secara terus menerus yang kadarnya semakin meningkat mendekati nilai toksik sehingga udang mati. McCarty dalam Effendi (2003) mengemukakan bahwa, kadar NH3 pada perairan sebaiknya tidak melebihi 0,1 mg/liter, karena bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amoniak bebas yang terlalu tinggi karena dapat menggangu proses pengikatan oksigen oleh darah dan pada akhirnya dapat mengakibatkan sufokasi (Effendi, 2003). Semakin besar konsentrasi total sulfur maka semakin besar juga potensi untuk mereduksi sulfur dalam bentuk H2S. Apabila H2S dalam perairan dalam jumlah yang tinggi maka akan sangat berbahaya untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Hidrogen sulfida sangat beracun bagi udang vaname meskipun pada konsentrasi rendah + 0,05 mg/liter (Hanggono, 2005). Menurut Hariyadi et al. (1992), keberadaan H2S sebesar 0,025-0,25 µg/liter dalam air bersih sudah menimbulkan bau telur busuk. Chamberlain (1988) dalam Nurbani (1998) menyatakan bahwa H2S yang dapat dideteksi dalam jumlah apapun dianggap merusak terhadap produksi budidaya air. Keberadaan H2S ini sangat berbahaya karena dapat meenghambat oksigen yang akan masuk ke tubuh. H2S masuk ke dalam lapisan epithelium insang dan menghalangi kemampuan sel untuk transportasi oksigen. Akibatnya oksigen tidak dapat masuk ke dalam darah, udang menjadi lemah karena kekurangan oksigen (hypoxia) dan selanjutnya dapat mengakibatkan kematian. Selain tingkat kelangsungan hidup, dilakukan juga penghitungan biomassa udang selama 30 hari. Biomassa akhir udang tertinggi sebesar 150,65 gram terjadi pada perlakuan bakar sekam. Pada perlakuan tanah jemur mempunyai nilai biomassa yang paling kecil yaitu sebesar 88,25 gram. Hal ini terjadi karena udang pada perlakuan bakar sekam mempunyai tingkat kelangsungan hidup sebesar 100±0,00% dan bobot rata-rata akhir yang paling tinggi yaitu 10,04 gram/ekor sedangkan pada perlakuan tanah jemur mempunyai tingkat kelangsungan hidup dan bobot rata-rata akhir yang paling rendah yang masing-masing sebesar 60,00±54,77% dan 9,81±0,60 gram/ekor.
30
Laju pertumbuhan bobot harian pada hari ke-0 sampai hari ke-10 masa pemeliharaan, pada masing-masing perlakuan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) (Lampiran 10a). Laju pertumbuhan bobot harian pada hari ke-0 sampai hari ke10 sebesar 1,92±0,32% pada perlakuan tanah jemur, 2,02±0,20% pada perlakuan bakar sekam, serta 2,27±0,69% pada perlakuan cuci air tawar. Hal ini disebabkan karena udang pada setiap perlakuan sudah mampu beradaptasi dengan baik pada lingkungannya masing-masing sehingga udang dapat mengoptimalkan pakan yang diberikan untuk pertumbuhan bobotnya. Hadie et al. (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan terjadi pada makhluk hidup apabila jumlah makanan yang dimakan melebihi kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya. Pertumbuhan akan terjadi jika jumlah energi dari pakan yang dikonsumsi ikan lebih besar daripada yang dibutuhkan ikan untuk pemeliharaan tubuh harian. Pemanfaatan energi untuk pertumbuhan akan terjadi apabila energi untuk pemeliharaan, aktifitas fisik dan pengaturan suhu tubuh telah terpenuhi. Pertumbuhan ikan terjadi apabila ada perubahan dalam bobot tubuh ikan atau terdapat sejumlah hasil metabolisme yang disimpan dalam tubuh (anabolisme) (Nurbani, 1998). Laju pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, Effendie (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal yaitu berhubungan dengan keadaan ikan itu sendiri, seperti genetik dan keadaan fisiologi (kesehatan dan kematangan gonad) dan oleh faktor eksternal yaitu lingkungan tempat ikan hidup, seperti sifat kimia air, kimia tanah, suhu air, sisa metabolisme, ketersediaan oksigen dan ketersediaan pakan. Kualitas air yang masih baik membuat udang pada masing-masing perlakuan tersebut dapat mengoptimalkan pakan untuk pertumbuhan bobotnya. Pada hari ke-10 sampai hari ke-20 masa pemeliharaan, perlakuan bakar sekam berbeda nyata dengan perlakuan cuci air tawar (p<0,05), namun tidak berbeda nyata perlakuan tanah jemur terhadap laju pertumbuhan bobot harian (p>0,05) (Lampiran 10b). Laju pertumbuhan bobot harian pada hari ke-10 sampai hari ke-20 sebesar 1,93±0,26% pada perlakuan tanah jemur, 2,25±0,21% pada perlakuan bakar sekam, serta 1,77±0,20% pada perlakuan cuci air tawar. Tingginya laju pertumbuhan bobot harian pada perlakuan bakar sekam terjadi karena udang pada perlakuan bakar sekam lebih mengoptimalkan pakan yang diberikan untuk pertumbuhan bobotnya daripada kedua perlakuan lainnya. Hal ini
31
terjadi karena masih baiknya kualitas air pada perlakuan bakar sekam daripada kedua perlakuan yang lain. Daya serap oksigen oleh darah akan berjalan dengan lancar sehingga energi dari metabolisme pakan yang dimakan udang digunakan untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan. Pada hari ke-20 sampai hari ke-30, laju pertumbuhan bobot harian udang cenderung mengalami penurunan. Meskipun demikian, pada masing-masing perlakuan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) (Lampiran 10c). Penurunan laju pertumbuhan bobot ini diduga udang mengalami tekanan lingkungan dan direspon oleh udang dengan melakukan molting. Udang akan mengalami stres akibat dari peningkatan kadar amoniak, peningkatan kadar total sulfur, dan peningkatan pH. Salah satu faktor yang mempengaruhi molting adalah stres. Penyebab stres pada udang apabila terjadi perubahan lingkungan (suhu, kepadatan, salinitas, pH, polusi, penyakit, tekanan air, arus air, DO, dan ketersediaan makanan),
penanganan
(handling)
(pemindahan
ikan
dengan
serok,
transportasi), serta penangkapan (capture) (pukat, gill net) (Fingerman et al., 1997 dalam Aziz, 2008). Udang yang stres dan sering melakukan molting akan berdampak pada pertumbuhan yang tidak sempurna. Hal ini menyebabkan udang mengalihkan pertumbuhan bobotnya menjadi pertumbuhan panjang. Dapat dilihat pada laju pertumbuhan panjang harian pada hari ke-20 hingga ke30 yang mengalami peningkatan. Meskipun masih dalam kondisi optimal, kualitas air yang semakin memburuk pada media pemeliharaan (Tabel 14), apabila terpapar dalam waktu lama juga akan mengakibatkan udang tidak mampu memaksimalkan energi yang didapatnya
untuk
pertumbuhan
melainkan
untuk
memenuhi
kebutuhan
mempertahankan hidupnya. Penurunan kualitas air yang ditandai dengan peningkatan kadar amoniak, membuat daya serap oksigen oleh darah menurun sehingga metabolisme udang juga menurun. Laju pertumbuhan panjang harian selama masa pemeliharaan, pada masing-masing perlakuan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) (Lampiran 11a, 11b dan 11c). Laju pertumbuhan panjang harian pada hari ke-0 sampai hari ke-10 sebesar 0,31±0,22% sampai 0,37±0,19%, laju pertumbuhan panjang harian pada hari ke-10 sampai hari ke-20 sebesar 0,34±0,11% hingga 0,37±0,11%, dan laju pertumbuhan panjang harian pada hari ke-20 sampai hari ke-30 sebesar 0,42±0,10% hingga 0,53±0,06%.
32
Nilai laju pertumbuhan panjang harian meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Akan tetapi, pada hari ke-30 laju pertumbuhan panjang ini lebih dominan daripada laju pertumbuhan bobot pada hari ke-30. Hal ini diduga udang mengalami stres dan direspon oleh udang dengan melakukan molting. Udang stres akibat dari peningkatan kadar amoniak, peningkatan kadar total sulfur, dan peningkatan pH. Energi udang digunakan untuk mengadaptasikan diri dengan lingkungan yang semakin memburuk, sehingga udang meresponnya dengan molting akibat dari adanya tekanan dari lingkungan. Hal ini sesuai dengan Fingerman et al., 1997 dalam Aziz, 2008 bahwab penyebab stres pada udang apabila terjadi perubahan lingkungan (suhu, kepadatan, salinitas, pH, polusi, penyakit, tekanan air, arus air, DO, dan ketersediaan makanan), penanganan (handling) (pemindahan ikan dengan serok, transportasi), serta penangkapan (capture) (pukat, gill net). Efisiensi pakan sangat dipengaruhi oleh nafsu makan udang dan jumlah pakan yang dimakan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hanya pada hari ke-20 perlakuan bakar sekam bernilai lebih tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan cuci air tawar (p<0,05) namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah jemur terhadap efisiensi pakan (p>0,05) (Lampiran 12b). Hal ini menyebabkan pertumbuhan bobot pada perlakuan bakar sekam meningkat seiring dengan meningkatnya efisiensi pakan. Kualitas air yang masih baik pada perlakuan bakar sekam, mendukung pertumbuhan udang untuk mengoptimalkan energi yang didapatkan dari pakan untuk
pertumbuhan.
Udang
pada
perlakuan
bakar
sekam
tidak
perlu
menghabiskan energi untuk beradaptasi lagi dengan lingkungan, sehingga udang pada perlakuan bakar sekam lebih dominan untuk pertumbuhan. Pada kedua perlakuan lainnya, udang mengoptimalkan energinya untuk bertahan hidup dengan melakukan molting sebagai akibat dari kualitas air yang semakin memburuk yang menjadi stresor lingkungan. Akibatnya, pada kedua perlakuan ini udang yang diperoleh cenderung kurus dan panjang. Secara alami udang vaname mengalami pergantian kulit atau molting secara periodik untuk tumbuh jika kondisi lingkungan dan nutrisi mencukupi. Pertumbuhan bergantung pada efisiensi penggunaan energi, yaitu rasio antara energi untuk tumbuh dan metabolisme termasuk energi yang dipergunakan untuk adaptasi (Aziz, 2008). Molting sering terjadi pada perlakuan bakar sekam dan perlakuan cuci air tawar dengan total molting sebanyak 26. Dari Tabel 13, dapat
33
diketahui bahwa siklus molting udang vaname semua perlakuan relatif bersamaan yaitu tiap 10 hari sekali. Chanratcakool (1995) dalam Haliman dan Adijaya (2004) menyatakan bahwa udang vaname dengan bobot 6-9 gram interval moltingnya terjadi setiap 8-9 hari seperti yang tertera pada Tabel 15 yang menyatakan interval molting dan penambahan bobot udang vaname. Tabel 15. Interval molting dan penambahan bobot udang vaname Bobot (gram) 2-5
Interval molting (hari) 7–8
6-9 10 - 15 16 - 22 23 - 40
8–9 9 – 12 12 – 13 14 – 16
Sumber : Chanratcakool, 1995 dalam Haliman dan Adijaya, 2004
Fingerman et al. (1997) dalam Aziz (2008) menyatakan bahwa frekuensi molting pada udang dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti stresor, suhu, fotoperiod, nutrisi, dan faktor internal yaitu produksi moult accelerating hormon (MAH) berupa hormon ekdisis dan moult inhibiting hormon (MIH).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Pengolahan tanah tambak dengan cara membakar sekam di atas
permukaan tanah cenderung menghasilkan nilai amoniak terlarut paling kecil (p<0,05) selama 30 hari masa pemeliharaan dibanding dengan dua cara pengolahan tanah lainnya. Demikian juga terhadap kadar total sulfur hingga 20 hari masa pemeliharaan (p<0,05). Kadar total sufur pada ketiga cara pengolahan tanah tambak cenderung naik setelah 30 hari masa pemeliharaan. Ketiga cara pengolahan tanah tambak memberikan frekuensi molting yang sama yaitu 10 hari sekali. Cara pengolahan tanah dengan bakar sekam menghasilkan tingkat kelangsungan hidup, biomassa (p<0,05) yang tertinggi sampai 30 hari pemeliharaan, sedangkan laju pertumbuhan bobot harian (p<0,05) dan efisiensi pakan (p<0,05) yang lebih baik daripada cara pengolahan tanah tambak dengan pengangkatan lapisan lumpur dan pencucian air tawar sampai 20 hari pemeliharaan.
5.2
Saran Berdasarkan penelitian ini, pengolahan tanah tambak yang disarankan
untuk budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei adalah pengolahan tanah tambak bakar sekam. Selain itu juga disarankan penelitian lebih lanjut tentang pengolahan tanah tambak dengan pembakaran sekam yang berdosis sekam berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin Z, Andrat K, Subiyanto. 2005. Teknik Produksi Udang Vaname Litopenaeus vannamei Secara Sederhana. Jepara: BBPBAP Jepara, Departemen Kelautan dan Perikanan. Avnimelech Y, Ritvo G, Kochva M. 2003. Evaluating the active redox and organic fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture, 233: 283-292. Aziz. 2008. Perangsangan molting pascalarva lobster air tawar jenis capit merah (Cherax quadricarinatus, Von Martens) dengan perlakuan suhu. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Boone. 1931. Litopenaeus vannamei. http://www.itis.gov (12 Agustus 2008). Boyd CE. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. New York: Elsevier Scientific Publising Company. _______. 1988. Water Quality in Warmwater Fish. Alabama: Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University. _______. 1989. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming. Alabama: Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University. _______. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama: Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University. Chanratchakool. 1995. Health Management in Shrimp Ponds. Bangkok: Department of Fisheries, Kasetsart University Campus. Aquatic Animal Health Research Institute. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2009a. Kinerja Pembangunan dan Tantangan ke Depan Perikanan Budidaya. Temu Koordinasi Pemantapan Pelaksanaan Pembangunan Perikanan Budidaya. Bogor. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Direktur Produksi. 2009b. Kinerja 2008 dan Rencana 2009 Perikanan Budidaya. Bahan Diskusi Satgas Perikanan Budidaya. Bogor. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Hadie W, Sumantadinata K, Carman O, Hadie LE. 2002. Pendugaan jarak genetik populasi udang galah Macrobrachium rosenbergii dari sungai Musi, sungai Kapuas, sungai Citanduy, dengan truss morphometric untuk mendukung program pemuliaan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 8 (2): 1-5.
36
Haliman RW, Adijaya DS. 2004. Udang Vannamei. Jakarta: Panebar Swadaya. Hanggono B. 2005. Parameter Kualitas Air Dalam Akuakultur. BBAP Situbondo. Direktoral Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Hariyadi S, Suryadiputra INN, Widigdo B. 1992. Limnologi. Bogor: Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Hidayat A. 1978. Methods of Soil Chemical Analysis. Bogor: Japan International Coorporation Agency (JICA) in the Frame Work of the Indonesia-Japan. Joint Food Crop Research Program. Hudi L, Shahab A. 2005. Optimasi Produktifitas Budidaya Udang Vaname Litopenaeus vannamei dengan Menggunakan Metode Respon Surface dan Non Linier Programming. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. http://id.wikipedia.org/wiki/Belerang (16 juni 2008) Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 1996. Brock Biology of Microorganisms. USA: Pearson US Import and Phipes. Manalo RG. 1978. Manual on Pond Culture of Penaid Shrimp. Manila: ASEAN National Coordinating Agency of The Philippines. Nugraha S, Setiawati J. 2001. Peluang Agribisnis Arang Sekam. Jakarta: Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Nurbani Y. 1998. Evaluasi beberapa pakan komersial berdasarkan pertumbuhan, retensi nutrien, dan limbah yang dihasilkan pada pemeliharaan ikan mas Cyprinus carpio. Skripsi. Bogor: Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Ritvo G, Samocha TM, Lawrence AL, Neill WH. 1996. Growth of Penaeus vannamei on soils from various Texas shrimp farms, under laboratory conditions. Aquaculture, 163: 101-110. Steel RGD, Torrie JH. 1982. Principle and Procedures of Statistics a Biometrical Aproach. 2nd edition. Florida: CRC Press. Wickins J, Lee DOC. 2002. Crustacean Farming Ranching and Culture. 2nd edition. London: Blackweel Science. Wyk PV, Scarpa J. 1999. Water Quality Requirements and Management. Florida: Harbor Branch Oceanographic Institution. Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1. Panjang dan bobot awal udang vaname Panjang (Cm) Bobot (gram) 9,90 6,12 9,90 5,97 9,90 5,95 9,70 5,05 9,60 5,66 9,70 5,73 9,60 5,02 9,70 5,68 9,60 5,36 9,50 4,73 9,90 5,10 9,90 5,83 9,80 5,80 10,00 6,42 9,70 5,50 9,90 5,72 9,90 5,76 9,70 5,82 10,40 6,48 9,60 5,86 9,40 4,91 9,50 6,26 9,50 5,27 10,10 5,92 9,60 5,14 5,39 9,80 9,50 5,82 9,80 5,95 9,80 6,36 rataan 9,76 5,68 SD 0,21 0,46
39
Lampiran 2. Hari Ke-10 Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Ulangan 4
Ulangan 5
Rataan SD Biomassa
Hasil pengukuran panjang dan bobot Perlakuan 1 Panjang (Cm) Bobot (gr) 9,90 6,58 9,90 6,31 10,20 7,04 10,20 6,83 9,90 6,43 9,90 7,16 10,20 6,87 9,80 6,41 10,40 7,52 10,00 6,76 10,10 6,85 10,00 6,72 10,50 7,62 10,30 6,95 10,40 7,08 10,11 6,88 0,22 0,38 103,13
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Ulangan 4
Ulangan 5
Rataan SD Biomassa
Perlakuan 2 Panjang (Cm) Bobot (gr) 9,9 6,82 9,5 6,48 10,2 7,46 9,4 6,57 10,4 6,98 9,7 6,64 10,1 6,75 10,4 7,53 9,8 6,84 10,2 6,95 9,9 6,76 10,6 7,51 10,5 7,16 10,3 6,86 10,2 6,78 10,07 6,94 0,36 0,33 104,09
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Ulangan 4
Ulangan 5
Rataan SD Biomassa
Perlakuan 3 Panjang (Cm) Bobot (gr) 10,10 6,89 10,20 7,62 10,00 6,58 10,30 7,16 10,10 6,73 10,20 6,65 10,40 6,98 10,60 8,48 10,20 7,13 10,10 6,78 10,00 6,67 9,50 6,42 10,40 8,72 10,30 6,63 9,60 7,66 10,13 7,14 0,29 0,69 107,10
39
40
Lanjutan Hari Ke-20
Perlakuan 1 Panjang (Cm) Bobot (gr)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Ulangan 4
Ulangan 5
Rataan SD Biomassa
Ulangan 1
10,50 10,20 10,30 10,50 10,20 10,70 10,40 10,50 10,30 10,80 10,70 10,70 10,48 0,21
8,41 7,38 8,02 8,36 7,92 9,25 8,21 8,47 8,06 9,05 8,68 8,92 8,39 0,53 100,73
Ulangan 2
Ulangan 3
Ulangan 4
Ulangan 5
Rataan SD Biomassa
Perlakuan 2 Panjang (Cm) Bobot (gr) 10,20 8,03 9,80 7,74 10,80 9,58 9,60 7,83 10,90 9,36 10,00 8,20 10,50 8,55 10,90 9,82 10,10 8,82 10,50 8,66 10,20 8,56 11,00 9,31 11,00 8,94 10,70 8,44 10,50 8,18 10,45 8,70 0,45 0,64 130,02
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Ulangan 4
Ulangan 5
Rataan SD Biomassa
Perlakuan 3 Panjang (Cm) Bobot (gr) 10,60 7,91 10,70 9,03 10,20 7,85 10,70 8,58 10,50 8,16 10,50 8,38 10,70 8,43 11,30 10,14 10,50 8,26 10,40 8,05 10,40 7,87 9,80 7,71 10,80 10,58 10,70 7,94 9,90 8,27 10,51 8,48 0,36 0,84 127,16
40
41
Lanjutan Hari Ke-30
Perlakuan 1 Panjang (Cm) Bobot (gr)
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 1
10,9 10,6 10,8
9,47 9,28 9,39
Ulangan 3
Ulangan 4
Ulangan 5
Rataan SD Biomassa
Ulangan 2
Ulangan 3
10,9 10,9 10,6 11,4 11,2 11,3 10,95 0,29
9,78 9,56 9,13 10,38 10,83 10,43 9,81 0,60 88,25
Ulangan 4
Ulangan 5
Rataan SD Biomassa
Perlakuan 2 Panjang (Cm) Bobot (gr) 10,6 9,69 10,3 9,59 11,6 11,09 10,1 9,32 11,6 10,55 10,4 9,22 10,8 10,02 11,3 10,74 10,4 10,18 10,9 9,75 10,5 9,81 11,5 10,51 11,4 10,48 11,1 10,23 10,9 9,47 10,89 10,04 0,50 0,55 150,65
Ulangan 1
Ulangan 2
Ulangan 3
Perlakuan 3 Panjang (Cm) Bobot (gr) 11,2 8,97 11,3 10,57 10,5 8,78 11,2 9,35
11,4 11,8 11,1
9,72 12,55 9,11
11,6 11,4 10,3 11,18 0,46
11,43 9,67 8,93 9,91 1,24 99,08
Ulangan 4
Ulangan 5
Rataan SD Biomassa
41
42
Lampiran 3. Kualitas air Hari ke-0 Perlakuan DO SUHU P1U1 5,59 28,3 P1U2 5,57 28,3 P1U3 5,09 28,2 P1U4 5,73 28,2 P1U5 5,97 28,3 P2U1 5,95 28,1 P2U2 5,79 28,2 P2U3 5,67 28,1 P2U4 5,53 28,2 P2U5 5,50 28,5 P3U1 5,41 28 P3U2 5,31 28,1 P3U3 5,58 28,1 P3U4 5,51 28 P3U5 5,24 28,1
PH 7,6 7,5 7,6 7,8 7,8 7,6 7,5 7,5 7,4 7,5 7,8 7,8 7,8 7,8 7,8
Perlakuan P1U1 P1U2 P1U3 P1U4 P1U5 P2U1 P2U2 P2U3 P2U4 P2U5 P3U1 P3U2 P3U3 P3U4 P3U5
Hari ke-10 DO SUHU 5,20 28,80 6,10 28,80 5,30 29,10 5,80 28,90 5,80 28,90 5,20 29,00 5,20 28,70 5,20 28,60 5,30 28,80 5,30 28,90 6,30 28,50 6,20 28,60 6,30 28,50 6,00 28,80 5,80 28,90
PH 7,7 7,9 7,8 7,8 7,7 7,3 7,4 7,3 7,5 7,4 7,8 7,9 7,8 7,7 7,4
Perlakuan P1U1 P1U2 P1U3 P1U4 P1U5 P2U1 P2U2 P2U3 P2U4 P2U5 P3U1 P3U2 P3U3 P3U4 P3U5
Hari ke-20 DO SUHU
PH
5,80 5,20 5,60 5,80 5,60 5,80 5,80 5,70 5,60 6,00 5,80 5,80 5,60 5,80
7,9 7,9 7,8 7,9 7,7 7,8 7,8 7,8 7,7 8,0 7,8 8,1 8,0 8,0
28,30 28,20 28,30 28,40 28,00 28,10 28,10 28,20 28,40 28,10 28,20 28,40 28,30 28,50
Perlakuan P1U1 P1U2 P1U3 P1U4 P1U5 P2U1 P2U2 P2U3 P2U4 P2U5 P3U1 P3U2 P3U3 P3U4 P3U5
Hari ke-30 DO SUHU
PH
6,61
28,8
8,2
6,13 6,21 6,3 6,13 5,47 5,77 5,73 5,79
28,3 28,4 28,6 28,5 28,3 28,5 28,3 28,2
8,3 8,4 8,2 8,2 8,0 8,0 8,1 8,5
5,45
28,1
8,4
5,14
28,3
8,2
42 42
43
Lampiran 4. Hubungan tingkat petumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan tanah jemur Perlakuan
Ulangan
1
2
Tanah Jemur
3
Hari 0
Amoniak (mg/l) 0,0239
Total S (mg/l) 3,6525
SR (%) 100
10
0,0418
4,0085
100
20
0
30
0
5
SGR Panjang (%)
EP (%)
1,58
0,24
33,96
0
0,0193
3,2627
100
10
0,0482
4,6695
100
1,83
0,24
39,72
20
0,0658
3,5000
100
1,55
0,29
41,50
30
0,0732
5,6864
100
1,68
0,40
60,62
0
0,0126
4,8644
100
10
0,0820
5,1186
100
2,01
0,38
44,18
20
0,0952
5,7966
100
2,07
0,35
56,85
30
4
Parameter SGR Bobot (%)
0
0
0,0290
5,3559
100
10
0,0889
2,5085
100
1,78
0,28
38,66
20
0,0537
4,6525
100
1,98
0,32
54,23
30
0,0928
6,0678
100
1,41
0,37
50,26
0
0,0207
6,3305
100
10
0,0330
2,2119
100
2,42
0,64
54,17
20
0,0742
5,2203
100
2,10
0,48
57,74
30
0,0937
8,2288
100
1,73
0,52
62,41
44
Lampiran 5. Hubungan tingkat petumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan bakar sekam Perlakuan
Ulangan
1
2
Bakar sekam
3
4
5
0
Amoniak (mg/l) 0,0049
Total S (mg/l) 4,4237
Parameter SR SGR (%) Bobot (%) 100
10
0,0053
1,0254
100
20
0,0085
1,8644
30
0,0376
5,7034
0
0,0074
4,7458
100
10
0,0009
1,4237
20
0,0040
30
0,0376
0
Hari
SGR Panjang (%)
EP (%)
1,99
0,11
43,71
100
2,02
0,25
55,27
100
1,82
0,54
66,01
100
1,71
0,07
37,02
2,2288
100
2,32
0,20
64,39
3,4407
100
1,37
0,51
48,58
0,0036
2,9746
100
10
0,0173
1,4407
100
2,17
0,34
47,94
20
0,0287
2,4153
100
2,56
0,37
71,85
30
0,0258
6,4661
100
1,30
0,31
45,97
0
0,0072
4,4322
100
10
0,0270
0,5932
100
2,22
0,47
49,12
20
0,0342
1,2458
100
2,26
0,40
62,56
30
0,0216
5,3475
100
1,26
0,37
44,48
0
0,0300
3,5000
100
10
0,0336
0,8136
100
2,01
0,57
44,18
20
0,0447
1,0678
100
2,08
0,48
57,21
30
0,0253
3,6780
100
1,68
0,37
60,25
45
Lampiran 6. Perlakuan
Hubungan tingkat petumbuhan dengan konsentrasi total sulfur dan amoniak pada perlakuan cuci air tawar Ulangan
1
2
0
Amoniak (mg/l) 0,0570
Total S (mg/l) 4,5763
Parameter SR SGR (%) Bobot (%) 100
10
0,0693
0,4746
100
20
0,0575
1,1271
30
0,0803
5,5000
0
0,0083
2,4915
100
10
0,0721
0,6271
20
0,0735
1,2373
Hari
30
Cuci air Tawar
3
4
EP (%)
2,16
0,34
47,59
100
1,63
0,37
43,86
100
1,34
0,47
47,47
100
1,89
0,44
41,13
100
2,03
0,40
55,74
33,33
0
0,0831
4,2627
100
10
0,0325
1,1017
100
2,86
0,64
65,22
20
0,0438
1,4153
100
1,74
0,52
46,92
30
0,0782
5,6525
100
1,58
0,54
56,53
0
0,0705
4,3644
100
10
0,0756
1,7288
100
1,39
0,11
29,73
20
0,0788
2,4237
100
1,90
0,22
51,87
30
5
SGR Panjang (%)
0
0
0,0459
3,1102
100
10
0,0225
0,8559
100
3,05
0,34
70,15
20
0,0327
1,3390
100
1,53
0,35
41,07
30
0,0400
5,6949
100
1,15
0,59
40,31
46
Lampiran 7. Analisa ragam dan uji lanjut Tukey terhadap konsentrasi total sulfur selama penelitian a. Hari Ke-0 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
2,322129656
2
1,161064828
1,179042
0,340807
3,885294
Galat
11,81703533
12
0,984752945
Total
14,13916499
14
JK
db
b. Hari Ke-10 Sumber Keragaman
KT
F hit
Nilai P
F tab
17,7168
0,000262
3,885294
Perlakuan
24,2344154
2
12,1172077
Galat
8,207268026
12
0,683939002
Total
32,44168342
14 Hasil uji lanjut Tukey
Jenis variabel: Total Sulfur 10 Tukey HSD (I) Perlakuan Tanah jemur Bakar sekam
Selang kepercayaan 95%
(J) Perlakuan
Perbedaan rata-rata(I-J)
Kesalahan baku
P
Bakar sekam
2,6440800(*)
0,5230354
0,001
Batas atas
Batas bawah
1,248693
4,039467 4,141167
Cuci air tawar
2,7457800(*)
0,5230354
0,001
1,350393
Tanah jemur
-2,6440800(*)
0,5230354
0,001
-4,039467
-1,248693
Cuci air tawar
0,1017000
0,5230354
0,979
-1,293687
1,497087
-2,7457800(*) -0,1017000
0,5230354 0,5230354
0,001 0,979
-4,141167 -1,497087
-1,350393 1,293687
Tanah jemur Bakar sekam *. Perbedaan nyata pada level 0,05 Cuci air tawar
c. Hari Ke-20 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
28,62063344
2
14,31031672
29,26422
3,94E-05
3,982298
Galat
5,379043378
11
0,489003943
Total
33,99967682
13 Hasil uji lanjut Tukey
Jenis variabel: Total Sulfur 20 Tukey HSD (I) Perlakuan Tanah jemur Bakar sekam Cuci air tawar
(J) Perlakuan
Perbedaan rata-rata(I-J)
Kesalahan baku
P 0,000
Selang kepercayaan 95% Batas atas Batas bawah 1,760978 4,294882
Bakar sekam
3,0279300(*)
0,4690924
Cuci air tawar
3,2838700(*)
0,4690924
0,000
2,016918
4,550822
Tanah jemur
-3,0279300(*)
0,4690924
0,000
-4,294882
-1,760978
Cuci air tawar
0,2559400
0,4422646
0,834
-0,938553
1,450433
Tanah jemur
-3,2838700(*)
0,4690924
0,000
-4,550822
-2,016918
-0,2559400
0,4422646
0,834
-1,450433
0,938553
Bakar sekam *. Perbedaan nyata pada level 0,05
d. Hari Ke-30 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
5,64023835
2
2,820119175
2,108825
0,183827
4,45897
1,33729412
Galat
10,69835296
8
Total
16,33859131
10
47
Lampiran 8. Analisa ragam dan uji lanjut Tukey terhadap konsentrasi amoniak a. Hari Ke-0 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,004861263
2
0,002430632
7,473704
0,007798
3,885294
0,000325225
Galat
0,003902694
12
Total
0,008763957
14 Hasil uji lanjut Tukey
Jenis variabel: NH3_0 Tukey HSD
Bakar sekam
0,0104800
0,0114051
0,639
Selang kepercayaan 95% Batas atas Batas bawah -0,019947 0,040907
Cuci air tawar
-,0318600(*)
0,0114051
0,040
-0,062287
Tanah jemur
-0,0104800
0,0114051
0,639
-0,040907
0,019947
Cuci air tawar
-,0423400(*)
0,0114051
0,008
-0,072767
-0,011913
Tanah jemur Bakar sekam *. Perbedaan nyata pada level 0,05
,0318600(*) ,0423400(*)
0,0114051 0,0114051
0,040 0,008
0,001433 0,011913
0,062287 0,072767
(I) perlakuan Tanah jemur Bakar sekam
(J) perlakuan
Perbedaan rata-rata(I-J)
Kesalahan baku
P
Cuci air tawar
-0,001433
b. Hari Ke-10 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,005318738
2
0,002659369
5,531767
0,01984
3,885294
0,000480745
Galat
0,005768939
12
Total
0,011087677
14 Hasil uji lanjut Tukey
Jenis variabel: NH3_10 Tukey HSD (I) perlakuan Tanah jemur Bakar sekam Cuci air tawar
Selang kepercayaan 95%
(J) perlakuan
Perbedaan rata-rata(I-J)
Kesalahan baku
P
Batas atas
Batas bawah
Bakar sekam
,0419600(*)
0,0138622
0,026
0,004978
0,078942
Cuci air tawar
0,0043800
0,0138622
0,947
-0,032602
0,041362
Tanah jemur
-,0419600(*)
0,0138622
0,026
-0,078942
-0,004978
Cuci air tawar
-,0375800(*)
0,0138622
0,046
-0,074562
-0,000598
Tanah jemur
-0,0043800
0,0138622
0,947
-0,041362
0,032602
Bakar sekam
,0375800(*)
0,0138622
0,046
0,000598
0,074562
*. Perbedaan nyata pada level 0,05
c. Hari Ke-20 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,005615559
2
0,002807779
8,534417
0,005787
3,982298
0,000328995
Galat
0,003618944
11
Total
0,009234502
13
48
Hasil uji lanjut Tukey Jenis variabel: NH3_20 Tukey HSD (J) perlakuan
Perbedaan rata-rata(I-J)
Kesalahan baku
P
Bakar sekam
,0482050(*)
0,0121747
Cuci air tawar
0,0149650
Tanah jemur
-,0482050(*)
Cuci air tawar
Tanah jemur Bakar sekam *. Perbedaan nyata pada level 0,05
(I) perlakuan Tanah jemur Bakar sekam Cuci air tawar
Selang kepercayaan 95% Batas atas
Batas bawah
0,006
0,015323
0,081087
0,0121747
0,461
-0,017917
0,047847
0,0121747
0,006
-0,081087
-0,015323
-,0332400(*)
0,0114784
0,036
-0,064241
-0,002239
-0,0149650 ,0332400(*)
0,0121747 0,0114784
0,461 0,036
-0,047847 0,002239
0,017917 0,064241
d. Hari Ke-30 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,006589264
2
0,003294632
17,3002
0,001244
4,45897
0,000190439
Galat
0,001523511
8
Total
0,008112775
10 Hasil uji lanjut Tukey
Jenis variabel: NH3_30 Tukey HSD (I) perlakuan Tanah jemur Bakar sekam Cuci air tawar
Selang kepercayaan 95% Batas atas Batas bawah
(J) perlakuan
Perbedaan rata-rata(I-J)
Kesalahan baku
P
Bakar sekam
,0569729(*)
0,0100781
0,001
0,028175
0,085770
Cuci air tawar
0,0204217
0,0112676
0,226
-0,011775
0,052618
Tanah jemur
-,0569729(*)
0,0100781
0,001
-0,085770
-0,028175 -0,007754
Cuci air tawar
-,0365512(*)
0,0100781
0,016
-0,065349
Tanah jemur
-0,0204217
0,0112676
0,226
-0,052618
0,011775
Bakar sekam
,0365512(*)
0,0100781
0,016
0,007754
0,065349
*. Perbedaan nyata pada level 0,05
49
Lampiran 9. Analisa ragam dan uji lanjut Tukey terhadap biomassa a. Hari Ke-10 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,897122
2
0,448561
0,887158
0,441897
4,102821
0,505616
Galat
5,056155
10
Total
5,953277
12
Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
1,637275
2
0,818637
0,617024
0,557216
3,982298
1,326752
b. Hari Ke-20
Galat
14,59428
11
Total
16,23155
13
c. Hari Ke-30 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
6,2019
2
3,10095
7,886846
0,028421
5,786135
0,39318
Galat
1,9659
5
Total
8,1678
7 Hasil uji lanjut Tukey
Jenis variabel: Biomassa_30 Tukey HSD (I) perlakuan
(J) perlakuan
Perbedaan rata-rata(I-J)
Kesalahan baku
P 0,059
Selang kepercayaan 95% Batas atas Batas bawah -3,7340 0,0840
Bakar sekam
-1,82500(*)
0,62216
Cuci air tawar
-0,87000
0,74363
0,511
-3,1517
1,4117
Tanah jemur
1,82500(*)
0,62216
0,059
-0,0840
3,7340
Cuci air tawar
0,95500
0,62216
0,341
-0,9540
2,8640
Tanah jemur Bakar sekam *. Perbedaan nyata pada level 0,05
0,87000 -0,95500
0,74363 0,62216
0,511 0,341
-1,4117 -2,8640
3,1517 0,9540
Tanah jemur Bakar sekam Cuci air tawar
50
Lampiran 10. Analisa ragam dan uji lanjut Tukey terhadap laju pertumbuhan bobot harian a. Hari Ke-10 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,314928419
2
0,157464209
0,772018
0,483725
3,885294
0,203964431
Galat
2,447573169
12
Total
2,762501588
14
b. Hari Ke-20 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,595707628
2
0,297853814
6,028707
0,017069
3,982298
0,04940592
Galat
0,54346512
11
Total
1,139172748
13 Hasil uji lanjut Tukey
Jenis variabel: SGR_20 Tukey HSD (I) Perlakuan Tanah jemur Bakar sekam
Selang kepercayaan 95%
(J) Perlakuan
Perbedaan rata-rata(I-J)
Kesalahan baku
P
Bakar sekam
-0,32300
0,14873
0,121
Batas atas
Batas bawah
-0,7247
0,0787
Cuci air tawar
0,15900
0,14873
0,551
-0,2427
0,5607
Tanah jemur
0,32300
0,14873
0,121
-0,0787
0,7247
Cuci air tawar
,48200(*)
0,14022
0,014
0,1033
0,8607
Tanah jemur Cuci air tawar Bakar sekam *. Perbedaan nyata pada level 0,05
-0,15900 -,48200(*)
0,14873 0,14022
0,551 0,014
-0,5607 -0,8607
0,2427 -0,1033
c. Hari Ke-30 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,097052867
2
0,048526433
0,970191
0,419515
4,45897
0,050017424
Galat
0,400139389
8
Total
0,497192256
10
51
Lampiran 11. Analisa ragam terhadap laju pertumbuhan panjang harian a. Hari Ke-10 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,00937
2
0,004685
0,124903938
0,883714156
3,885294
0,037508
Galat
0,450096
12
Total
0,459465
14
b. Hari Ke-20 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,002564013
2
0,001282006
0,121225
0,887001
3,982298
0,01057539
Galat
0,116329292
11
Total
0,118893305
13
c. Hari Ke-30 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F hit
Nilai P
F tab
Perlakuan
0,025849
2
0,012925
1,7539
0,233556
4,45897
0,007369
Galat
0,058952
8
Total
0,084802
10
52
Lampiran 12. Analisa ragam dan uji lanjut Tukey terhadap efisiensi pakan a. Hari Ke-10 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
Nilai P
F tab
Perlakuan
200,0788915
2
100,0394458
0,825704
0,461342
3,885294
121,1565113
Galat
1453,878136
12
Total
1653,957028
14
JK
db
b. Hari Ke-20 Sumber Keragaman
KT
F
Nilai P
F tab
6,084703
0,01662
3,982298
Perlakuan
533,6236151
2
266,8118076
Galat
482,3456077
11
43,8496007
Total
1015,969223
13 Hasil uji lanjut Tukey
Jenis variabel: EP_20 Tukey HSD (I) Perlakuan Tanah jemur Bakar sekam Cuci air tawar
Selang kepercayaan 95% Batas atas Batas bawah -21,6749 2,3229
(J) Perlakuan
Perbedaan rata-rata(I-J)
Kesalahan baku
P
Bakar sekam
-9,67600
4,44264
0,119
Cuci air tawar
4,68800
4,44264
0,560
-7,3109
16,6869
Tanah jemur
9,67600
4,44264
0,119
-2,3229
21,6749
Cuci air tawar
14,36400(*)
4,18856
0,014
3,0513
25,6767
Tanah jemur
-4,68800
4,44264
0,560
-16,6869
7,3109
Bakar sekam
-14,36400(*)
4,18856
0,014
-25,6767
-3,0513
*. Perbedaan nyata pada level 0,05
c. Hari Ke-30 Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
Nilai P
F tab
Perlakuan
140,0263013
2
70,01315066
0,963055
0,421933
4,45897
72,69901546
Galat
581,5921237
8
Total
721,618425
10