PEMBERIAN MENIRAN Phyllanthus niruri UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI IMNV (INFECTIOUS MYONECROSIS VIRUS) PADA UDANG VANAME Litopenaeus vannamei
ISNI RAHMATIKA SARI
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
1
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:
PEMBERIAN MENIRAN Phyllanthus niruri UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI IMNV (INFECTIOUS MYONECROSIS VIRUS) PADA UDANG VANAME Litopenaeus vannamei adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2010
Isni Rahmatika Sari C14062124
2
ABSTRAK ISNI RAHMATIKA SARI Pemberian Meniran Phyllanthus niruri Untuk Pencegahan Infeksi IMNV (Infectious Myonecrosis Virus) pada Udang Vaname Litopenaeus vannamei. Dibimbing oleh Dr. Sukenda dan Dr. Sri Nuryati. IMNV (Infectious Myonecrosis Virus) merupakan virus yang menyerang udang vaname pada beberapa tahun terakhir. Saat ini, belum diperoleh cara maupun obat untuk mengendalikan virus IMNV. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh immunostimulan ekstrak meniran 20 mg/kg pada udang yang diinfeksi IMNV. Infeksi IMNV pada udang uji dilakukan melalui pemberian pakan berupa daging udang yang terinfeksi IMNV selama 3 hari sebanyak 50% dari biomassa. Berdasarkan hasil yang diperoleh, infeksi IMNV memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup. Pada udang yang diinfeksi IMNV tanpa pemberian meniran tingkat kelangsungan hidup sebesar 66,67%, sedangkan tingkat kelangsungan hidup udang yang diinfeksi IMNV dengan pemberian meniran sebesar 86,67%. Untuk udang yang tidak diinfeksi IMNV, tingkat kelangsungan hidup sebesar 93,33%. Gejala klinis IMNV secara umum yaitu adanya otot putih pada ruas tubuh. Pada perlakuan yang diinfeksi IMNV dan diberi ekstrak meniran gejala klinis terlihat pada hari keenam setelah infeksi. Sedangkan pada perlakuan yang diinfeksi IMNV tanpa diberi ekstrak meniran, gejala klinis muncul pada hari ketiga setelah diinfeksi. Hasil analisa histopatologi menunjukkan infeksi IMNV mengakibatkan jaringan otot dan hepatopankreas mengalami kerusakan. Kata kunci: udang vaname, IMNV, meniran
3
ABSTRACT ISNI RAHMATIKA SARI Phyllanthus niruri for Infection Control IMNV (Myonecrosis Infectious Virus) on Vanname Shrimp Litopenaeus vannamei. Supervised by Dr. Sukenda and Dr. Sri Nuryati. IMNV (Myonecrosis Infectious Virus) is a virus that attacks shrimp vaname in recent years. Currently, treatment and drug has not been obtained to control the virus IMNV. This research done to determine the effect immunostimulan meniran extract 20 mg / kg in infected shrimp IMNV. IMNV infection in shrimp feeding trials carried out through a IMNV infected shrimp meat for 3 days by 50% from biomass. Based on the results obtained, IMNV infection gives a significantly different effect on survival rate. In the infected shrimp IMNV without giving meniran survival rate of 66.67%, while the survival rate of shrimp that were infected with the provision meniran IMNV of 86.67%. For the shrimp that are not infected IMNV, the survival rate of 93.33%. IMNV clinical signs in general is white necrotic areas in striated (skeletal) muscles. In the treatment of clinical signs seen meniran on day 6 after infection. While on treatment without being infected IMNV meniran extracts, clinical signs first appeared on day 3 after infection. Keyword: vanname shrimp, IMNV, meniran
4
PEMBERIAN MENIRAN Phyllanthus niruri UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI IMNV (INFECTIOUS MYONECROSIS VIRUS) PADA UDANG VANAME Litopenaeus vannamei
ISNI RAHMATIKA SARI
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi & Manajemen Perikanan Budidaya Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 5
Judul Skripsi
: Pemberian Meniran Phyllanthus niruri Untuk Pencegahan Infeksi IMNV (Infectious Myonecrosis Virus) pada Udang Vaname Litopenaeus vannamei
Nama Mahasiswa
: Isni Rahmatika Sari
Nomor Pokok
: C14062124
Disetujui
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. NIP. 19671013 199302 1 001
Dr. Sri Nuryati, S.Pi., M.Si. NIP. 19710606 199512 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Ir. Odang Carman, M.Sc. NIP. 19591222 198601 1 001
Tanggal Lulus:
6
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian dilakasanakan mulai bulan Juni hingga September 2010 di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, dengan judul “Pemberian Meniran Phyllanthus niruri untuk Pencegahan Infeksi IMNV (Infectious Myonecrosis Virus) pada Udang Vaname Litopenaeus vannamei”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sukenda selaku Pembimbing I sekaligus pembimbing akademik atas bimbingan dan masukan selama masa studi hingga penyusunan skripsi, Dr. Sri Nuryati selaku Pembimbing II atas bimbingan dan arahan selama penyusunan skripsi serta Dr. Dinar Tri Soelistyowati. Di samping itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada ibunda Ii Syarifah dan ayahanda M. Hasanudin Rusmana serta teteh Dina Ratih Sari yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang yang tak terbatas. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Pak Uus (PT. KTU), Pak Ranta, Kang Adna, Pak Mar, Mba Yuli, Kang Asep, Kang Adi, dan Kang Abe atas bantuan yang telah diberikan. Tak lupa juga kepada Ide, Tya, Sulis, Fany, Khae, Rona, Nobon, Faruq, Andin, Budi, Ewa, Marmo, Puguh, Citra, Cici, Ka Yeni, Mba Win, Ka Anwar, teman-teman LKI, teman-teman BDP 42, 43, dan 44 atas segala bantuan, kerjasama dan persahabatan yang diberikan.
Bogor, Desember 2010
Isni Rahmatika Sari
7
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor 12 September 1988 dari ibunda Ii Syarifah dan bapak M. Hasanudin Rusmana. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah TK Kuncup Harapan (19931994), SDN Bantarjati V Bogor (1994-2000), SLTPN 5 Bogor (2000-2003), dan SMAN 3 Bogor (2003-2006). Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan memilih mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah melaksanakan magang di Tambak Pinang Gading, Bakauheni, Lampung. Penulis juga pernah melakukan praktek kerja lapangan di PT. Kelola Benih Unggul (KBU), Situbondo dan BBAP Situbondo dengan komoditas Ikan Kerapu Bebek. Selain itu penulis juga pernah aktif sebagai staf divisi PSDM Himakua 2007/2008 dan bendahara Himakua 2008/2009, asisten mata kuliah Manajemen Kesehatan Akuakultur 2009/2010, Penyakit Organisme Akuatik 2010/2011, dan Teknologi Produksi Plankton, Bentos, dan Alga 2009/2010. Tugas akhir di perguruan tinggi diselesaikan penyusun dengan menulis skripsi yang berjudul “PEMBERIAN MENIRAN Phyllanthus
niruri
UNTUK
PENCEGAHAN
(INFECTIOUS MYONECROSIS VIRUS) PADA
INFEKSI
IMNV
UDANG VANAME
Litopenaeus vannamei”.
8
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ x DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………...
xii
I.
PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
II.
BAHAN DAN METODE……………………………………………. 2.1 Metode Penelitian………………………………………………… 2.1.1 Pemeliharaan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)…..… 2.1.2 Persiapan Udang Terinfeksi IMNV……………………….... 2.1.3 Pembuatan Pakan Mengandung Ekstrak Meniran………….. 2.1.4 Persiapan dan Perlakuan Udang Uji………………………… 2.2 Parameter yang Diamati…………………………………………... 2.2.1 Tingkat Kelangsungan Hidup……………………………….. 2.2.2 Laju Pertumbuhan Harian…………………………………… 2.2.3 Gejala Klinis………………………………………………… 2.2.4 Respon Nafsu Makan………………………………………... 2.2.5 Kualitas Air………………………………………………….. 2.2.6 Analisa Histopatologi……………………………………….. 2.2.7 Analisa Data………………………………………………….
3 3 3 3 4 4 6 6 6 6 6 7 7 8
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………… 3.1 Hasil………………………………………………………………. 3.1.1 Tingkat Kelangsungan Hidup……………………………….. 3.1.2 Laju Pertumbuhan Harian…………………………………… 3.1.3 Gejala Klinis………………………………………………… 3.1.4 Respon Nafsu Makan……………………………………….. 3.1.5 Hasil Histopatologi …………………………………………. 3.1.6 Kualitas Air ………………………………………………… 3.2 Pembahasan……………………………………………………….
9 9 9 10 11 13 15 16 17
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………. 22 4.1 Kesimpulan……………………………………………………….. 22 4.2 Saran……………………………………………………………… 22
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 23 LAMPIRAN…………………………………………………………………
26
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perlakuan udang uji...……………………………………………………..
4
2
Gejala klinis IMNV pada udang uji.........…..…………………………….
12
3
Respons nafsu makan……………………………………………............
14
4
Kualitas air selama perlakuan………………………..…………………..
16
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Skema tahapan penelitian……………………………………………...
5
2
Akumulasi jumlah udang yang hidup....................................................
9
3
Laju pertumbuhan harian udang vaname (Litopenaeus vannamei)……………………………………………………………….
10
4
Gejala klinis IMNV mulai terbentuk otot putih pada ruas ke-6………...
11
5
Otot putih terbentuk pada semua ruas tubuh (dari ruas pertama hingga keenam)………………………………………………………………….
11
Udang vaname yang diinjeksi oleh IMNV (atas), udang vaname normal (bawah) (Poulos et al, 2006)……………………………….....................
11
Histologi otot (bar: 50 µm) dan hepatopankreas (bar: 20 µm) udang normal.......................................................................................................
15
8
Histopatologi udang uji perlakuan meniran................................................
15
9
Histopatologi udang uji perlakuan kontrol positif .....................................
6
7
16
xi
DAFTAR LAMPIRAN
2
Halaman Proses Pembuatan Ekstrak Meniran dan Pencampuran dengan Pakan……………………………………………………………………. 27 Proses Pembuatan Preparat Histologi Jaringan Udang Vaname………... 28
3
Analisa Statistik Parameter Tingkat Kelangsungan Hidup Udang Uji….
4
Analisa Statistik Parameter Laju Pertumbuhan Harian Udang Uji……... 32
1
31
xii
I.
PENDAHULUAN
Akuakultur mengalami perkembangan yang sangat pesat sebagai sektor produksi bahan pangan di dunia. Menurut Scarfe et al (2006), proporsi yang tinggi (lebih dari 90%) dari produksi akuakultur dihasilkan di negara berkembang. Jika dibandingkan dengan sistem pertanian terestial, dimana produksi yang dihasilkan terbatas baik spesies hewan maupun tumbuhan. Sedangkan sektor akuakultur menghasilkan lebih dari 230 spesies berbeda. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memacu produksi perikanan budidaya hingga 2014 sebesar 16,89 juta ton atau meningkat 353% dibandingkan dengan produksi 2009 sebesar 4,78 juta ton. Selain itu, KKP menetapkan sembilan komoditas perikanan untuk dijadikan produk unggulan pembangunan peningkatan produksi perikanan budidaya pada 2010. Sembilan komoditas tersebut ialah kerapu, rumput laut, lele, bandeng, patin, udang, nila, kerang mutiara, dan ikan hias tertentu (KKP, 2010a). Udang termasuk dalam 9 komoditas unggulan yang dikembangkan oleh KKP. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010b) menargetkan produksi udang meningkat 74,75%, dari 400.000 ton pada tahun 2009 menjadi 699.000 ton pada periode 2010-2014. Peningkatan produksi udang akan diarahkan pada dua jenis, yaitu udang vaname dan udang windu. Namun saat ini terdapat kendala yang dihadapi oleh para petambak udang di Indonesia, yaitu adanya serangan penyakit IMNV (Infectious Myonecrosis Virus). Hal ini merugikan para petambak karena terjadinya kematian massal pada udang yang dibudidayakan sehingga menyebabkan penurunan produksi sebesar 40% hingga 50% dan kerugian materiil yang besar. Menurut Ismail (2010), dari 700-an hektar luas tambak udang milik perseorangan di Lampung, produksi normal pada tahun 2007 mencapai 14.000 ton. Dengan adanya serangan virus, membuat produksi udang vaname perseorangan Lampung pada tahun 2008 dan 2009 menurun menjadi 10.300 ton. IMNV merupakan virus yang menyerang udang vaname pada beberapa tahun terakhir. IMNV atau yang lebih dikenal sebagai virus myo, pertama kali ditemukan di Brazil pada tahun 2003 dan masuk ke Indonesia pada tahun 2006.
1
Di Indonesia kasus IMNV pertama kali ditemukan di Situbondo, Jawa Timur. Menurut Tang et al. (2005), gejala klinis yang umum terjadi ialah rusaknya jaringan dan adanya warna putih pada otot skeletal, dan mengakibatkan udang yang terinfeksi menjadi lemah. Coelho et al. (2009) menyatakan bahwa infeksi IMNV menimbulkan tingkat mortalitas di atas 60% pada tambak udang dan dapat menyerang udang stadia post-larva (PL), juvenil, dan dewasa. Saat ini, belum diperoleh cara maupun obat untuk mengendalikan virus ini. Berbagai bahan alami (obat herbal) diketahui memiliki efek antiviral yang digunakan dalam pengobatan infeksi viral baik di manusia maupun hewan terestrial, misalnya bawang putih, daun jambu biji, dan meniran. Di samping itu, obat herbal tersebut mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem imun pada ikan. Marlinah (2003) menyatakan bahwa pemberian ekstrak meniran 20 mg/kg pakan menghasilkan kelangsungan hidup 70 % pada benih udang yang terinfeksi virus white spot (WSSV). Meniran yang dipakai pada penelitian ini ditujukan sebagai immunostimulan untuk mengendalikan infeksi IMNV. Sidik dan Subarnas (1993) menyatakan bahwa meniran mengandung senyawa kimia golongan corin, flavonoid, alkaloid triterpenoid dan senyawa kimia lain. Senyawa kimia yang termasuk dalam golongan corin yaitu filantin dan hipofilantin memiliki efek anti hepatotoksik, antiinfeksi dan antivirus. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat kelangsungan hidup, gejala klinis, respons nafsu makan, serta histopatologi jaringan otot dan hepatopankreas antara udang yang diinfeksi IMNV dengan pemberian pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan dan tanpa diberi ekstrak meniran 20 mg/kg pakan.
2
II. BAHAN DAN METODE 2.1
Metode Penelitian
2.1.1 Pemeliharaan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Udang vaname yang digunakan pada penelitian ini berasal dari PT. Komindo Trading Utama (KTU), Anyer, Banten. Sebelum digunakan untuk penelitian, udang PL 10 SPF (spesific pathogen free) dipelihara terlebih dahulu selama 25 hari sehingga ukurannya mencapai PL 35 dengan bobot rata-rata sebesar 0,48 gr. Udang dipelihara dalam akuarium berukuran 60x30x30 cm, yang sebelumnya telah dicuci dan didesinfeksi menggunakan kaporit 100 ppm. Media pemeliharaan udang ialah air laut yang berasal dari Ancol dengan salinitas berkisar antara 28 hingga 30 ppt. Selama pemeliharaan, udang diberi pakan lima kali sehari secara at satitation, yaitu pada pukul 07.00, 11.00, 15.00, 19.00, dan 23.00 WIB. Untuk menjaga kualitas air wadah pemeliharaan, setiap hari dilakukan penyiponan air sebanyak 50% hingga 70%. Setiap peralatan yang sudah digunakan, dicuci dan didesinfeksi terlebih dahulu menggunakan PK, untuk mencegah adanya penyakit.
2.1.2 Persiapan Udang Terinfeksi IMNV Perlakuan infeksi IMNV pada udang dilakukan melalui oral, yaitu dengan memberikan pakan berupa daging udang yang sudah terinfeksi IMNV kepada udang uji. Udang yang terinfeksi IMNV diperoleh dari tambak Pinang Gading, Bakauheni, Lampung. Udang tersebut dibungkus plastik
kemudian disimpan
dalam freezer pada suhu sebesar -200C. Saat akan digunakan untuk perlakuan, udang dikeluarkan dari freezer dan ditimbang sesuai dengan kebutuhan. Sebelum ditimbang udang dibersihkan dari karapas, kepala, dan ekor, sehingga diperoleh daging udang secara utuh. Jumlah udang yang diberikan sebanyak 50% dari biomassa. Udang yang sudah ditimbang kemudian dicacah menjadi bagian-bagian kecil, selanjutnya dapat diberikan pada udang uji.
3
2.1.3 Pembuatan Pakan Mengandung Ekstrak Meniran Meniran yang digunakan ialah spesies Phyllantus niruri, berasal dari Balitro, Cimanggu, Bogor. Ekstrak meniran dibuat dari bagian daun yang dikeringkan kemudian dihaluskan, sehingga dapat dicampurkan dengan pakan. Pencampuran pakan dengan ekstrak meniran dilakukan dengan mencampurkan terlebih dahulu putih telur dan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan, banyaknya putih telur yang digunakan yaitu sebesar 2,5% dari jumlah pakan. Setelah itu, pakan dimasukkan lalu diaduk dengan campuran meniran dan putih telur. Pakan yang sudah tercampur rata kemudian dikeringkan. Pakan yang mengandung ekstrak meniran ini disimpan didalam kotak plastik dan disimpan pada freezer. Proses pembuatan ekstrak meniran dan pencampuran dengan pakan dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.1.4 Persiapan dan Perlakuan Udang Uji Udang yang telah dipelihara selama 25 hari, siap digunakan untuk perlakuan. Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan dengan tiga ulangan, perlakuan udang uji dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perlakuan udang uji Perlakuan Ulangan
A Mortalitas
1
10 ekor
2
10 ekor
3
10 ekor
B
Histopatologi
Mortalitas
C
Histopatologi
10 ekor 20 ekor
10 ekor 10 ekor
Mortalitas
Histopatologi
10 ekor 20 ekor
10 ekor
20 ekor
10 ekor
Keterangan : Perlakuan A: Udang yang tidak diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol negatif) Perlakuan B: Udang yang diinfeksi oleh IMNV dan diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (meniran) Perlakuan C: Udang diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol positif)
4
Sebelum udang ditebar di akuarium berukuran 25x25x30 cm, dilakukan pencucian akuarium dengan detergen. Kemudian dilakukan desinfeksi wadah dengan kaporit 100 ppm yang diisi oleh air tawar dan didiamkan selama 24 jam. Selain itu, dilakukan pula pemasangan instalasi aerasi pada setiap akuarium. Setelah 24 jam, air dibuang dan dibilas dengan air bersih agar sisa-sisa kaporit yang menempel pada dinding akuarium terbuang. Kemudian akuarium diisi air laut yang sudah didesinfeksi menggunakan kaporit 30 ppm. Setiap akuarium diisi air laut sebanyak 10 liter dan ditebar udang masing-masing 10 ekor untuk pengamatan mortalitas dan patologi makro, serta 20 ekor/akuarium untuk pengambilan sampel histopatologi. Udang uji yang ditebar, ditimbang bobotnya menggunakan timbangan digital pada awal dan akhir perlakuan. Kualitas air dipertahankan sesuai dengan kehidupan udang dan dilakukan pergantian air 30% dari volume total setiap hari sebelum pemberian pakan. Perlakuan udang uji dilakukan selama 32 hari, dengan pengamatan setiap 8 hari sekali. Kontrol positif diinfeksi IMNV selama 3 hari melalui pemberian pakan daging udang terinfeksi, sebanyak 50% dari biomassa. Pada hari ke-1 setelah infeksi dan seterusnya, udang uji diberi pakan seperti biasa. Sedangkan kontrol negatif tidak diberi perlakuan khusus, udang uji hanya diperlihara sampai akhir pengamatan. Lalu untuk perlakuan meniran, udang uji diberi pakan meniran selama 7 hari. Kemudian selama 3 hari, udang uji diberi pakan daging udang terinfeksi IMNV. Setelah itu, dilakukan pengamatan untuk semua perlakuan hingga hari ke-29 pascainfeksi. Sebelum Uji Tantang Kontrol Negatif
32 h
Setelah Uji Tantang (hari ke-1 hingga 29)
32 h
Meniran
3h Kontrol positif
Gambar 1. Skema tahapan penelitian Keterangan
: = pemberian pakan daging udang terinfeksi IMNV (3 hari) = pemberian pakan meniran 20 mg/kg (7 hari)
=
= pengamatan setelah uji tantang hingga hari ke-29 pascainfeksi = pemeliharaan sebelum uji tantang
5
2.2
Parameter yang Diamati
2.2.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup udang uji diketahui dari jumlah udang pada akhir perlakuan dibagi dengan jumlah udang awal (Effendi, 2004), yang dirumuskan sebagai berikut:
Keterangan: SR = tingkat kelangsungan hidup (survival rate) (%) Nt = jumlah udang akhir (ekor) No = jumlah udang awal (ekor)
2.2.2 Laju Pertumbuhan Harian Laju Pertumbuhan Harian (LPH) dapat diketahui dengan menggunakan rumus (Huissman, 1987) :
Keterangan :
= laju pertumbuhan harian (%)
Wt
= bobot rata-rata ikan pada waktu t (g)
Wo
= bobot rata-rata ikan pada waktu awal (g)
t
= waktu pemeliharaan (hari)
2.2.3 Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis dilakukan setiap hari, dengan melihat adanya perubahan maupun kelainan pada anatomi makro udang. Gejala klinis secara umum yang diamati ialah terbentuknya otot berwarna putih pada bagian ruas tubuh udang yang diamati secara langsung selama 29 hari. Pengamatan gejala klinis dilakukan dengan pemberian scoring, yaitu – (tidak ada gejala klinis), + (adanya otot putih pada ruas ke-5 dan ke-6), ++ (adanya otot putih pada ruas ke-3 dan ke-4), dan +++ (adanya otot putih pada seluruh ruas tubuh).
6
2.2.4 Respon Nafsu Makan Respon nafsu makan udang diamati secara deksriptif dengan melihat banyaknya pakan yang dimakan tiap akuarium. Respon nafsu makan terkait dengan banyaknya daging udang terinfeksi IMNV maupun ekstrak meniran yang dikonsumsi. Pengamatan nafsu makan dilakukan setiap hari selama 32 hari, dengan memberikan skoring dari – (respon makan tidak ada), + (respon makan sangat sedikit), ++ (respon makan sedikit), +++ (respon makan baik), dan ++++ (respon makan sangat baik).
2.2.5 Kualitas Air Kualitas air media pemeliharaan sangat penting untuk diamati, karena dapat mempengaruhi kondisi udang. Pengukuran kualitas air dilakukan pada awal pemeliharaan dan pada saat penelitian untuk setiap perlakuan. Parameter kualitas air yang diamati diantaranya; suhu, salinitas, pH, DO, dan TAN. Pengukuran suhu dilakukan langsung pada akuarium, dengan menggunakan termometer yang ditempelkan pada bagian sisi dinding akuarium, Kemudian pengukuran parameter salinitas, pH, dan DO, dilakukan di Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakulatas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Alat-alat yang digunakan untuk mengukur salinitas, pH, dan DO masing-masing ialah salinometer, pHmeter, dan DOmeter. Sedangkan pengukuran nilai TAN dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakulatas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sebelum nilai TAN air pemeliharaan diukur, dilakukan terlebih dahulu titrasi karena air yang akan diuji merupakan air laut. Setelah itu, dapat dilakukan pengukuran nilai TAN pada setiap perlakuan.
2.2.6 Analisa Histopatologi Jaringan udang yang dianalisa histopatologi ialah bagian hepatopankreas dan jaringan otot. Pengambilan sampel untuk analisa histopatologi dilakukan setiap 8 hari, yaitu pada hari ke-0, 8, 16, 24, dan hari ke-32. Proses pembuatan preparat jaringan di antaranya: fiksasi, pembungkusan, dehidrasi, penjernihan (clearing), impregnasi, embedding, pemotongan, pewarnaan hematoxylin dan
7
eosin (H&E), mounting, dan dokumentasi. Proses pembuatan preparat histopatologi selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2.
2.2.7 Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ialah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS 16.0.
8
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3. 1 Hasil 3.1.1 Akumulasi Jumlah Udang yang Hidup Kelangsungan hidup udang dapat dilihat dari akumulasi jumlah udang yang hidup setelah diinfeksi IMNV. Akumulasi jumlah udang yang hidup ditampilkan
Jumlah udang (ekor)
pada Gambar 2 di bawah ini: 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
A B C
5
13
21
29
Hari ke- Pascainfeksi Keterangan: Perlakuan A= Udang yang tidak diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol negatif), B= Udang yang diinfeksi oleh IMNV dan diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (meniran), dan Perlakuan C= Udang diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol positif)
Gambar 2. Akumulasi jumlah udang yang hidup. Gambar 2, menunjukan akumulasi jumlah udang yang hidup pascainfeksi IMNV. Berdasarkan grafik tersebut, hingga hari ke-5 pascainfeksi telah terjadi kematian pada setiap perlakuan. Kematian tertinggi hingga hari ke-5 terjadi pada perlakuan C (kontrol positif). Sedangkan kematian pada A (kontrol negatif) lebih tinggi dibandingkan perlakuan meniran. Perlakuan kontrol positif terus mengalami kematian hingga hari ke-29 pascainfeksi, ditandai dengan jumlah udang yang semakin menurun. Sedangkan pada kontrol negatif dari hari ke-13 hingga hari ke-29 sudah tidak terjadi kematian. Lalu pada perlakuan meniran, hingga hari ke-13 telah terjadi kematian namun pada pengamatan hari ke-21 dan ke-29 kematian sudah tidak terjadi. Hal ini ditandai dengan garis mendatar yang terbentuk pada hari ke-21 hingga ke-29, yang menunjukkan bahwa jumlah udang yang hidup tetap (konstan). 9
3. 1.2 Laju Pertumbuhan Harian Pertumbuhan udang dapat dipengaruhi oleh adanya infeksi akibat penyakit viral. Laju pertumbuhan harian diperoleh dari perhitungan bobot tubuh udang uji pada awal dan akhir perlakuan. Adanya infeksi IMNV mengakibatkan laju pertumbuhan harian menurun, hal ini dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini:
Laju Pertumbuhan Harian (%)
6,00
5,00 4,00 3,00
b
2,00
a
a
B
C
1,00 0,00 A
Perlakuan Keterangan: Perlakuan A= Udang yang tidak diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol negatif), B= Udang yang diinfeksi oleh IMNV dan diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (meniran), dan Perlakuan C= Udang diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol positif)
Gambar 3. Laju pertumbuhan harian udang vaname (Litopenaeus vannamei). Laju pertumbuhan harian dengan nilai tertinggi terjadi pada udang uji perlakuan A (kontrol negatif). Laju pertumbuhan pada perlakuan kontrol negatif sebesar 5,98%. Kemudian laju pertumbuhan terendah terjadi pada perlakuan C (kontrol positif), dengan nilai 4,99%. Udang uji pada perlakuan kontrol positif diinfeksi oleh IMNV, sehingga kondisi udang tidak sehat berdampak pada laju pertumbuhan yang rendah. Perlakuan B (meniran) memiliki laju pertumbuhan harian sebesar 5,22%, lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan C yang tanpa diberi meniran 20 mg/kg pakan. Berdasarkan analisa statistik P<0,05 (Lampiran 4), infeksi IMNV memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan harian udang uji. Laju pertumbuhan harian pada perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan B dan C. Sedangkan laju pertumbuhan perlakuan B tidak berbeda nyata dengan perlakuan C.
10
3. 1.3 Gejala Klinis Udang Uji Udang uji yang diinfeksi oleh IMNV menunjukkan gejala klinis yang dapat dilihat secara makroanatomi. Gejala klinis IMNV secara umum pada udang uji ditunjukkan dengan adanya otot putih yang terbentuk pada ruas-ruas tubuh. Otot putih ini terjadi akibat adanya nekrosis pada jaringan otot. Gejala klinis yang ditunjukkan dengan adanya otot putih dapat dilihat pada Gambar 4,5, dan Gambar 6 di bawah ini:
Gambar 4. Gejala klinis IMNV mulai terbentuk otot putih pada ruas ke-6
a
Keterangan: (a) Otot putih merupakan gejala klinis yang secara umum terlihat akibat adanya infeksi IMNV
Gambar 5. Otot putih terbentuk pada semua ruas tubuh, dari ruas pertama hingga keenam.
Gambar 6. Udang vanname yang diinjeksi oleh IMNV (atas), udang vaname normal (bawah) (Poulos et al, 2006)
11
Gejala klinis udang uji mulai diamati pada hari pertama pasca infeksi, pengamatan dilakukan setiap hari selama 29 hari. Gejala klinis secara umum yang terlihat yaitu adanya otot putih pada ruas-ruas tubuh. Hasil pengamatan gejala klinis IMNV pada udang uji ditampilkan pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Gejala Klinis IMNV pada udang uji Hari kePascainfeksi
A
1
-
-
-
2
-
-
-
3
-
-
+
4
-
-
+
5
-
-
+
6
-
+
+
7
-
+
+
8
-
+
+
Perlakuan B
C
9
-
+
+
10
-
+
+
11
-
+
++
12
-
+
++
13
-
+
++
14
-
+
++
15
-
+
++
16
-
+
++
17
-
++
++
18
-
++
++
19
-
++
++
20
-
++
++
21
-
++
++
22
-
++
++
23
-
++
+++
24
-
+++
+++
25
-
+++
+++
26
-
+++
+++
27
-
+++
+++
28
-
+++
+++
29 +++ +++ Keterangan: Perlakuan A= Udang yang tidak diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol negatif), B= Udang yang diinfeksi oleh IMNV dan diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (meniran), dan Perlakuan C= Udang diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol positif)
++ + +++
= tidak ada gejala klinis = adanya otot putih hingga ruas ke-3 dan ke-4 = adanya otot putih pada ruas ke-5 dan ke-6 = adanya otot putih pada seluruh ruas tubuh
12
Berdasarkan Tabel 2, gejala klinis IMNV secara umum pertama kali muncul pada perlakuan C saat 3 hari setelah udang uji diinfeksi oleh IMNV. Gejala klinis ditandai dengan adanya warna putih pada otot, yang dimulai dari otot pada ruas keenam. Sedangkan pada perlakuan B, gejala klinis pertama kali muncul saat hari keenam pasca udang diinfeksi. Pada perlakuan A atau kontrol negatif tidak ada gejala klinis IMNV dari awal hingga akhir pengamatan. Adanya otot putih pada udang yang diinfeksi IMNV dimulai dari ruas (segmen) tubuh terakhir yang berkembang hingga ruas pertama tubuh. Pada perlakuan B, perkembangan otot putih yang menyerang otot pada ruas ke-5 dan 6 terjadi mulai hari keenam pascainfeksi. Lalu otot putih berkembang menyerang ruas ke-3 dan 4 mulai hari ke-17 hingga hari ke-23 pascainfeksi. Otot putih menyerang seluruh ruas tubuh terjadi mulai hari ke-24. Pada perlakuan C, perkembangan otot putih yang menyerang otot pada ruas tubuh ke-5 dan 6 terjadi mulai hari ketiga pascainfeksi. Lalu otot putih berkembang menyerang ruas tubuh ke-3 dan 4 mulai hari ke-11 pascainfeksi. Otot putih menyerang seluruh tubuh terjadi mulai hari ke-23 pascainfeksi. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa perkembangan gejala klinis akibat infeksi IMNV, pada perlakuan B lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan C yang tanpa diberi ekstrak meniran 20 mg/kg pakan.
3. 1.4 Respons Nafsu Makan Respon makan diamati untuk melihat pengaruh infeksi IMNV terhadap nafsu makan udang pasca diinfeksi. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh adanya infeksi IMNV terhadap respons nafsu makan. Pada udang yang diinfeksi oleh suatu patogen, respons makan yang ditunjukkan kurang baik karena udang sedang dalam keadaan tidak sehat. Sehingga respons makan yang ditunjukkan dapat berbeda dengan udang yang dalam keadaan sehat. Respons nafsu makan udang uji secara umum dapat dilihat pada Tabel 3.
13
Tabel 3. Respons Nafsu Makan Hari kePascainfeksi
A
1
++++
++
++
2
++++
+++
++
3
++++
+++
+++
4
++++
+++
+++
5
+++
++
+++
6
++++
+++
+++
7
++++
+++
+++
8
++++
+++
+++
9
++++
+++
+++
10
++++
+++
+++
11
++++
+++
+++
12
++++
+++
+++
13
+++
+++
+++
14
+++
+++
+++
15
+++
+++
++++
16
+++
+++
++++
17
++++
+++
+++
18
++++
+++
++++
19
++++
+++
++++
20
++++
+++
+++
21
++++
++++
+++
22
++++
++++
+++
23
++++
++++
+++
24
++++
++++
+++
25
++++
++++
+++
26
++++
++++
++++
27
++++
++++
++++
28
++++
++++
++++
29
+++
++++
++++
Nafsu Makan B
C
Keterangan: Perlakuan A= Udang yang tidak diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol negatif), B= Udang yang diinfeksi oleh IMNV dan diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (meniran), dan Perlakuan C= Udang diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol positif)
= respon makan tidak ada + = respon makan sangat sedikit ++ = respon makan sedikit +++ = respon makan baik ++++ = respon makan sangat baik
Berdasarkan Tabel 3, respons nafsu makan pada udang perlakuan A secara umum cenderung stabil dan memiliki respons yang sangat baik. Sedangkan pada perlakuan B dan C, pascainfeksi respons nafsu makan sedikit. Namun pada
14
perlakuan B, hari ke-2 pascainfeksi respons nafsu makan menjadi baik dan cenderung stabil hingga akhir perlakuan. Pada perlakuan C, respons nafsu makan hari ke-1 dan 2 pascainfeksi sedikit dan mulai hari ke-3 pascainfeksi respons nafsu makan menjadi baik.
3. 1.5 Hasil Histopatologi Infeksi IMNV tidak hanya mengakibatkan mortalitas, namun terjadi pula kerusakan jaringan pada organ yang terserang. Sehingga dilakukan pengamatan secara mikro dengan analisa histopatologi. Gejala klinis yang terlihat secara makroanatomi ditunjukkan dengan adanya otot putih yang terjadi akibat nekrosis. Pada pengamatan histopatologi dilihat kerusakan jaringan pada organ otot dan hepatopankreas, ditampilkan pada Gambar 7, 8, dan Gambar 9 berikut ini:
A
B Gambar 7. Histologi otot (A) (bar: 50 µm) dan hepatopankreas (B) (bar: 20 µm) udang normal
A
B
Keterangan: (A) Histopatologi otot, gambar lingkaran menunjukkan adanya nekrosis pada otot, adanya infiltrasi hemosit. (bar: 50 µm). (B) Histopatologi Hepatopankreas. Terjadi nekrosis (gambar lingkaran). (bar: 20 µm)
Gambar 8. Histopatologi udang uji perlakuan meniran.
15
B
A
(A) Histopatologi otot, gambar lingkaran menunjukkan adanya nekrosis pada otot, infiltrasi hemosit. (bar: 50 µm). (B) Histopatologi Hepatopankreas. Terjadi nekrosis (gambar lingkaran) dan adanya badan inklusi (tanda panah) (bar: 20 µm)
Gambar 9. Histopatologi udang uji perlakuan kontrol positif Hasil analisa histopatologi menunjukkan terjadinya kerusakan pada jaringan otot dan hepatopankreas. Pada jaringan otot terjadi degenerasi, nekrosis, dan adanya infiltrasi infiltrasi hemosit. Sedangkan pada jaringan hepatopankreas, terdapat badan inklusi dan terjadinya nekrosis. Hasil analisa histopatologi antara perlakuan meniran dan kontrol positif tidak berbeda nyata, hal ini dilihat dari kerusakan yang terjadi.
3. 1.6 Kualitas Air Selama Perlakuan Tabel 4. Kualitas Air Selama Perlakuan Parameter
Perlakuan A
B
C
Suhu (0C)
28-30
28-30
28-30
pH
7,63
7,56
7,82
Salinitas (ppt)
30,5
30,5
30,5
DO (ppm)
6,40
6,47
5,43
TAN
0,016
0,032
0,025
Keterangan: Perlakuan A= Udang yang tidak diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol negatif), B= Udang yang diinfeksi oleh IMNV dan diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (meniran), dan Perlakuan C= Udang diinfeksi oleh IMNV dan tidak diberi pakan ekstrak meniran 20 mg/kg pakan (kontrol positif)
Berdasarkan Tabel 4, secara umum nilai kualitas air pada penelitian sesuai dengan kebutuhan hidup udang vanname. Parameter suhu pada setiap perlakuan memiliki kisaran nilai yang sama yaitu 28-30 0C. Kemudian nilai pH berada pada 16
kisaran 7-8. Salinitas pada setiap perlakuan memiliki nilai yang sama sebesar 30,5 ppt. Nilai DO pada perlakuan C terendah dibandingkan perlakuan lainnya, yaitu 5,43 ppm. Sedangkan nilai DO pada perlakuan A dan B ialah 6,40 ppm dan 6,47 ppm. Selanjutnya nilai TAN untuk perlakuan A, B, dan C, masing-masing ialah 0,016, 0,032, dan 0,025.
3. 2 Pembahasan Tingkat kelangsungan hidup udang uji menunjukkan bahwa infeksi IMNV atau virus myo dapat mengakibatkan mortalitas pada udang vanname. Berdasarkan Gambar 2, mortalitas sudah terjadi sejak 5 hari pascainfeksi dengan kematian yang berlangsung secara bertahap hingga akhir pengamatan. Mortalitas tertinggi terjadi pada perlakuan C (kontrol positif), dengan tingkat kelangsungan hidup terendah sebesar 66,67%. Nilai mortalitas yang diperoleh sesuai dengan data yang diperoleh oleh OIE (Office International des Epizooties; World Organisation for Animal Health). Menurut OIE (2009), mortalitas dari IMNV berkisar antara 40% hingga 70% yang menyerang Penaeus vannamei. Tingkat kelangsungan hidup pada udang yang diinfeksi IMNV (kontrol positif) berbeda nyata terhadap perlakuan yang tidak diinfeksi IMNV (kontrol negatif). Berdasarkan hasil penelitian ini, mortalitas mulai terjadi pada 3 hari setelah udang uji diinfeksi oleh IMNV. Sedangkan menurut Coelho et al. (2009), kematian udang yang diuji tantang IMNV terjadi pada hari 2 hari setelah infeksi IMNV. Metode infeksi IMNV yang digunakan pada penelitian ini mendekati metode yang dilakukan oleh Coelho et al. (2009), yaitu infeksi IMNV dilakukan melalui pemberian pakan berupa daging yang terinfeksi IMNV dengan lama pemberian selama 3 hari. Namun terdapat perbedaan pada dosis atau banyaknya daging udang yang diberikan. Pada penelitian, daging udang yang diberikan sebanyak 50% dari biomassa. Sedangkan Coelho et al. (2009), memberikan daging udang terinfeksi IMNV sebanyak 3,5% dari bobot tubuh. Udang yang terinfeksi virus IMNV sebagai sumber infeksi telah disimpan dalam freezer -200C selama 3 minggu. Dari hasil yang diperoleh, virus tersebut terbukti infektif dan
17
menyebabkan udang yang memakan daging udang yang mengandung virus IMNV menjadi sakit. Pada perlakuan A (kontrol negatif), udang uji tidak diinfeksi oleh IMNV. Namun terjadi mortalitas yang menyebabkan tingkat kelangsungan hidup udang uji sebesar 93,33%. Kematian pada perlakuan kontrol negatif ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya lingkungan, nutrisi, maupun terjadinya kanibalisme. Pada saat molting, udang berada dalam kondisi yang lemah dan rentan terjadi kanibalisme. Berdasarkan uji statistik (Lampiran 3), tingkat kelangsungan hidup perlakuan A berbeda nyata dengan perlakuan C. Hal ini dapat dilihat dari jumlah udang uji pada akhir pengamatan yang jumlahnya berada di atas 90% dari awal pengamatan. Perlakuan B (meniran) memiliki nilai kelangsungan hidup sebesar 86,67%. Tingkat kelangsungan hidup udang uji pada perlakuan B tidak berbeda nyata dengan perlakuan A maupun C. Meskipun demikian, jumlah udang uji yang hidup hingga akhir pengamatan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan C yang tidak dilakukan pemberian pakan meniran. Pada perlakuan ini udang uji diberi pakan meniran 20 mg/kg selama 7 hari, setelah itu dilakukan infeksi IMNV melalui pakan berupa daging udang terinfeksi IMNV selama 3 hari. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, meniran yang diberikan melalui pakan dapat menekan infeksi IMNV sehingga mengurangi kematian pada udang vanname. Belum diperoleh cara efektif untuk mencegah penyakit akibat virus, sehingga
dibutuhkan
cara
strategis
untuk
mencegah
dan
mengkontrol
perkembangan virus (Costa et al., 2009). Meniran yang diberikan melalui pakan ditujukan sebagai immunostimulan untuk mencegah infeksi IMNV pada udang vanname. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bricnell et al. (2005), bahwa tepung meniran diduga berfungsi sebagai immunostimulan, yaitu suatu senyawa alami yang memodulasi sistem kekebalan tubuh dengan meningkatkan resistensi inang terhadap penyakit yang dalam keadaan sebagian besar disebabkan oleh patogen. Ellis (1988) menyatakan, immunostimulan adalah suatu materi biologis dan zat sintesis yang dapat meningkatkan pertahanan non-spesifik serta merangsang organ pembentuk antibodi dalam tubuh untuk bekerja secara maksimal.
18
Immnunostimulan juga merupakan suatu substansi yang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan perlawanan terhadap infeksi sejumlah patogen secara stimulan terutama oleh sistem fagositik. Laju pertumbuhan harian ditunjukkan dengan penambahan bobot pada udang uji di akhir pengamatan. Berdasarkan Gambar 4, laju pertumbuhan harian udang uji pada perlakuan C (kontrol positif) memiliki nilai terendah yaitu 4,99%. Sedangkan pada perlakuan A dan B, masing-masing nilai laju pertumbuhannya sebesar 5,98% dan 5,22%. Nilai laju pertumbuhan yang rendah pada perlakuan C, diduga terjadi akibat adanya infeksi IMNV yang menyebabkan pertumbuhan menjadi terhambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hepher et al. (1981), bahwa pertumbuhan ikan bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis ikan, sifat genetis, dan kemampuan memanfaatkan pakan, ketahanan terhadap penyakit serta lingkungan seperti kualitas air, pakan dan ruang gerak atau padat penebaran. Respons makan udang uji pada perlakuan C (Tabel 3), dapat dikatakan baik karena udang uji memakan pakan pellet maupun pakan berupa daging yang terinfeksi IMNV dengan respons cukup baik. Jumlah pakan yang dikonsumsi diperkirakan cukup banyak, tetapi jumlah yang dikonversi menjadi daging sedikit. Andrade et al. (2008), menyatakan selain mengakibatkan kematian, IMNV juga dapat meningkatkan FCR udang vanname. Pada perlakuan A, laju pertumbuhan mencapai nilai tertinggi dan memiliki nilai yang berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan B dan C. Udang uji pada perlakuan A tidak diinfeksi oleh IMNV, sehingga kondisi udang dalam keadaan sehat dan dapat tumbuh secara optimal. Respon makan udang uji pada perlakuan A menunjukkan kondisi yang stabil antara baik hingga sangat baik. Faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan udang meliputi temperatur air, pergantian air, ketersediaan makanan, kepadatan tebar, konsentrasi oksigen, dan salinitas (Yu dan Leung, 2010). Laju pertumbuhan pada perlakuan B tidak berbeda nyata dengan C. Hal ini diduga karena pada kedua perlakuan dilakukan infeksi IMNV, sehingga pertumbuhan udang menjadi terhambat. Respons makan yang baik ditunjukkan oleh udang uji pada perlakuan B terhadap pakan meniran 20 mg/kg. Namun saat
19
pemberian infeksi IMNV lewat pakan berupa daging udang yang sudah terinfeksi IMNV, respons makan udang uji sedikit menurun menjadi sedikit. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor penyebab tingkat mortalitas pada perlakuan B lebih rendah dibandingkan perlakuan C. Gejala klinis diamati untuk mengetahui perkembangan infeksi IMNV yang menyerang setiap perlakuan. Berdasarkan Tabel 2, gejala klinis pada perlakuan C muncul pertama kali pada hari ke-6 atau 3 hari setelah infeksi. Gejala klinis ditunjukkan dengan terbentuknya otot putih pada ruas-ruas tubuh. Menurut Senapin et al. (2007), ciri-ciri umum udang yang terinfeksi IMNV meliputi nekrosis pada otot, terutama pada segmen abdominal dan ekor, timbulnya perubahan warna pada otot menjadi putih hingga warna seperti udang rebus. Perkembangan infeksi dan mortalitas IMNV terjadi secara bertahap, berbeda dengan infeksi WSSV (White Spot Syndrome Virus). Seperti pernyataan Perez et al. (2005), WSSV ditemukan pada karapas dari udang vanname yang dapat menyebabkan kematian massal mulai 30 hingga 40 hari setelah penebaran. Pengamatan gejala klinis pada perlakuan A, tidak ditemukan ciri-ciri udang terinfeksi IMNV hingga akhir pengamatan. Sedangkan pada perlakuan B, ditemukan adanya gejala klinis pada hari ke-13 atau 6 hari setelah infeksi. Perkembangan IMNV pada perlakuan B lebih lambat dibandingkan perlakuan C. Hal ini diduga akibat pemberian pakan meniran 20 mg/kg selama 7 hari pada udang uji, yang memberikan pengaruh positif untuk menghambat infeksi IMNV pada udang vanname. Balasubramanian et al. (2007) menyatakan, penelitian mengenai bahan antiviral yang menggunakan ekstrak tumbuhan sudah dimulai sejak tahun 1950. Kandungan herbal bahan tersebut sudah teruji dan memberikan hasil yang baik dalam mengontrol penyakit akibat virus dan bakteri pada udang maupun ikan. Kualitas air mempengaruhi perkembangan serangan penyakit pada ikan maupun udang. Karena dalam budidaya ada 3 komponen yang saling berkaitan, yaitu ikan, lingkungan, dan patogen. Berdasarkan Tabel 4, nilai parameter kualitas air pada penelitian sesuai dengan kebutuhan udang vanname. Parameter suhu pada penelitian berkisar antara 28-30 0C. Nilai ini sesuai dengan Wyban et al. (1995) dalam Palafox et al. (1997), yang menyatakan bahwa temperatur optimal untuk
20
pertumbuhan udang yang berukuran kurang dari 5 gram ialah 300C. Pada suhu yang optimum ikan tumbuh lebih cepat, memiliki efisiensi pakan yang lebih baik, dan relatif lebih tahan dari serangan penyakit (Masser et al., 1999). Nilai DO, pH, salinitas, dan TAN yang diperoleh pada penelitian sesuai dengan standar kualitas air yang baik bagi budidaya udang menurut Whetstone et al. (2002). Berdasarkan hasil analisa histopatologi, udang yang diuji dengan IMNV menunjukkan adanya kelainan. Histopatologi otot dan hepatopankreas udang uji menunjukkan adanya perubahan dibandingkan dengan histologi otot udang normal. Hal ini terlihat dengan terjadinya degenerasi, nekrosis dan adanya infiltrasi hemosit pada jaringan otot. Menurut Takashima et al. (1995), nekrosis ialah keadaan dimana sel dan jaringan mengalami penurunan aktivitas dan akhirnya mati. Sel yang mengalami nekrosis terlihat hancur dan akan hilang atau mati. Sedangkan pada histopatologi hepatopankreas terdapat badan inklusi dan terjadi nekrosis.
21
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Pemberian ekstrak meniran sebesar 20 mg/kg pakan dapat meningkatkan kelangsungan hidup udang yang diinfeksi dengan IMNV (Infectious Myonecrosis Virus) dari 66,67% menjadi 86,67%. Berdasarkan penelitian ini, infeksi IMNV secara oral menyebabkan kematian secara bertahap. Infeksi IMNV ditunjukkan dengan gejala klinis adanya otot putih pada ruas tubuh. Selain itu, berdasarkan analisa histopatologinfeksi infeksi IMNV menyebabkan terjadinya kerusakan pada jaringan otot (nekrosis) dan hepatopankreas baik pada perlakuan yang diberi ekstrak meniran maupun yang tidak diberi ekstrak meniran. 4.2 Saran Pada penelitian selanjutnya dapat digunakan dosis meniran yang berbeda untuk memperoleh hasil yang efektif dalam pengendalian infeksi IMNV pada udang vanname.
22
DAFTAR PUSTAKA Andrade, T.P.D., Redman, R.M., Lightner, D.V., 2008. Evaluation of the reservation of shrimp samples with Davidson’s AFA fixative for infectious myonecrosis virus (IMNV) in situ hybridization. Aquaculture 278 (2008) 179–183. Balasubramanian, G., Kumar S.R., Hameed, A.S.S., 2007. Screening the antiviral activity of Indian medicinal plants against white spot syndrome virus in shrimp. Aquaculture 263, 15–1. Bricknell, I., Dalmo, R.A., 2005. The Use of immunostimulants in fish larval. Aquaculture 19, 457-472. Coelho, M.G.L., Silva, A.C.G., Nova, C.M.V.V., Neto, J.M.O., Lima, A.C.N., Feijo, R.G., Apolinario, D.F., Maggioni, R., Gesteira, T.C.V., 2009. Susceptibility of the wild southern brown shrimp (Farfantepenaeus subtilis) to infectious hypodermal and hematopoietic necrosis (IHHN) and infectious myonecrosis (IMN). Aquaculture 294, 1–4. Costa, A.M., Buglione, C.C., Bezerra, F.L., Martins, P.C.C., Barrac, M.A., 2009. Immune assessment of farm-reared Penaeus vannamei shrimp naturally infected by IMNV in NE Brazil. Aquaculture 291, 141–146. Effendi I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya: Jakarta Ellis, A.E., 1988. General Principle of Fish Vaccination. Academic Press, London Hepher B, Pruginin Y. 1981. Commercial Fish Farming with Special Reference to Fish Culture in Israel. New York.: John Willey and Sons. Huissman, EA., 1987. Principle of Fish Production. Departement of Fish Culture and Fisheries. Wageningen Agricultural University, The Netherlands. Ismail, 2010. Perairan dan virus sebabkan penurunan produksi udang. www.lipi.go.id [30 Agustus 2010]. KKP, 2010a. Sembilan komoditas Unggulan. www.dkp.go.id [30 Januari 2010a]. KKP, 2010b. Target produksi udang Indonesia
www.dkp.go.id [28 Juli 2010].
Marlinah. 2003. Pengaruh penambahan ekstrak meniran dalam pakan buatan terhadap kelangsungan hidup benih udang windu (Penaeus monodon Fabr.) yang Diinfeksi Virus White Spot. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran. Bandung.
23
Masser, M.P., James, R., Thomas, M.L., 1999. Recirculating Aquaculture Tank Production Systems, Management of Recirculating Systems. Southern Regional Aquaculture Center. No. 452. OIE (Office International des Epizooties; World Organisation for Animal Health), 2009. Infectious Myonecrosis. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic Animals, 96-104. Palafox, J.P., Palacios, C.A.M., Ross, L.G., The effects of salinity and temperature on the growth and survival rates of juvenile white shrimp, Penaeus vannamei, Boone, 193 1. Aquaculture 157, 107-115 Perez, F., Volckaert, F.A.M., Calderon, J., 2005. Pathogenicity of white spot syndrome virus on postlarvae and juveniles of Penaeus (Litopenaeus vannamei). Aquaculture 250, 586– 591 Poulos, B.T., Tang, K.F.J., Pantoja, C.R., Bonami, J.R., Lightner, D.V., 2006. Purification and characterization of infectious myonecrosis virus of penaeid shrimp. Journal of General Virology 87, 987–996 Scarfee, A.D., Lee, C.S., O’bryen, P.J., 2006. Biosecurity in aquaculture: International agreements and instruments, their compliance, prospects, and challenges for developing countries, in: Subasinghe, R.P., BondadReantaso, M.G., Aquaculture Biosecurity. Blackwell Publishing, Iowa, pp. 10-16 Senapin, S., Phewsaiya, K., Briggs, M., Flegel, T.W., 2007. Outbreaks of infectious myonecrosis virus (IMNV) in Indonesia confirmed by genome sequencing and use of an alternative RT-PCR detection method. Aquaculture 266, 32–38 Sidik, Subarnas, 1993. Phyllanthus niruri L.; Kimia, Farmakologi dan Penggunaannya Dalam Obat Tradisional. Prosiding Seminar Meniran dan Kedawung . Surabaya, 13-14 Agustus 1993 Takashima, F., Hibiya, T., 1995. An Atlas of Fish Histology: Second Edition. Kodansha Ltd. Tokyo Tang, K.F., Pantoja, C.R., Poulos, B.T., Redman, R.M., Lightner, D.V., 2005. In situ hybridization demonstrates that Litopenaeus vannamei, L. stylirostris and Penaeus monodon are susceptible to experimental infection with infectious myonecrosis virus (IMNV). Dis. Aquat. Org. 63, 261–265. Whetstone, J.M., Treece, G.D., Browdy, C.L., Stokes, A.D., 2002. Opportunities and Constraints in Marine Shrimp Farming. Southern Regional Aquaculture Center. No. 2600
24
Yu, R., Leung, P., 2010. A Bayesian hierarchical model for modeling white shrimp (Litopenaeus vannamei) growth in a commercial shrimp farm. Aquaculture 306, 205–210
25
26
Lampiran 1. Proses Pembuatan Ekstrak Meniran dan Pencampuran dengan Pakan Meniran (Phyllanthus niruri) Balitro, Cimanggu, Bogor
Dicuci dengan air mengalir, daun dipisahkan dari batang-batangnya
Dikeringkan udara selama 1-2 hari (tanpa terkena sinar matahari langsung)
Diblender, lalu disaring hingga menjadi bubuk meniran yang halus dan siap untuk digunakan
Ekstrak meniran 20 mg/kg pakan + 2% putih telur
Diaduk hingga tercampur rata
Pellet udang
Disimpan dalam freezer dan pakan siap untuk digunakan
27
Lampiran 2. Proses Pembuatan Preparat Histologi Jaringan Udang Vaname Proses pembuatan jaringan histologi terdiri dari beberapa tahap, yaitu fiksasi, dehidrasi, penjernihan (clearing), impregnasi, embedding, pemotongan, pewarnaan hematoxylin dan eosin (H&E), mounting, dan dokumentasi. a) Fiksasi Jaringan udang diambil dan direndam dengan larutan Davidson, dengan perbandingan antara volume lauran 10 kali dari volume jaringan yang difiksasi. Proses perendaman dengan larutan Davidson dilakukan selama 24-72 jam. Kemudian larutan Davidson dibuang dan diganti dengan alkohol 70%. Selain itu, dilakukan pembungkusan jaringan menggunakan kain kasa. b) Dehidrasi Proses dehidrasi dilakukan secara bertahap, yaitu:
Alkohol 80%
selama 2 jam
Alkohol 90%
selama 2 jam
Alkohol 95%
selama 2 jam
Alkohol 95%
selama 2 jam
Alkohol 100%
selama 12 jam (semalam)
c) Penjernihan (clearing)
Alkohol 100%
Alkohol-xylol(1:1) selama 30 menit
Xylol I
selama 30 menit
Xylol II
selama 30 menit
Xylol III
selama 30 menit
selama 60 menit
d) Impregnasi Impregnasi dilakukan di dalam oven pada suhu 600C, dengan tahapan sebagai berikut:
Parafin I
selama 45 menit
Parafin II
selama 45 menit
Parafin III selama 45 menit
28
Lanjutan Lampiran 2.
e) Embedding Sebelum jaringan diblok menggunakan parafin (embedding), disiapkan terlebih dahulu kotak berukuran 2x2x2 cm yang terbuat dari kertas karton. Kotak ini digunakan sebagai wadah untuk pemblokan jaringan. Kemudian jaringan diletakkan didalam wadah tersebut, dengan sisi jaringan yang akan dipotong menghadap ke dasar permukaan wadah. Parafin cair dituangkan ke dalam kotak yang sudah berisi jaringan, hingga jaringan terendam lalu didiamkan selama 24 jam. f) Pemotongan Sebelum dipotong, blok diiris tipis terlebih dahulu agar hasil pemotongan mengandung sedikit parafin. Jaringan dipotong menggunakan mikrotom hingga menjadi lembaran jaringan yang tipis. Kemudian lembaran jaringan ditempelkan pada gelas objek, proses ini dilakukan di penangas air dengan suhu 600C. Setelah itu, jaringan dikeringkan di suhu ruang selama 24 jam. g) Pewarnaan H&E Proses pewarnaan menggunakan hematoxylin dan eosin dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
Xylol I
selama 5 menit
Xylol II
selama 5 menit
Alkohol 100%
selama 2 menit
Alkohol 100%
selama 2 menit
Alkohol 95%
selama 2 menit
Alkohol 90%
selama 2 menit
Alkohol 80%
selama 2 menit
Alkohol 70%
selama 2 menit
Alkohol 50%
selama 2 menit
Akuades
selama 2 menit
Hematoxylin
selama 5 menit
Eosin
selama 3 menit
Alkohol 50%
selama 2 menit
29
Lanjutan Lampiran 2.
Alkohol 70%
selama 2 menit
Alkohol 80%
selama 2 menit
Alkohol 90%
selama 2 menit
Alkohol 95%
selama 2 menit
Alkohol 100%
selama 2 menit
Xylol III
selama 2 menit
Xylol II
selama 2 menit
Xylol I
selama 2 menit
h) Mounting Setelah dikeluarkan dari xylol, preparat langsung ditetesi enthellan sebanyak 1 tetes. Kemudian ditutup menggunakan cover glass, diusahakan tidak terdapat gelembung udara. Selanjutnya preparat dikeringkan udara selama 24 jam agar cover glass dapat merekat sempurna. i) Dokumentasi Preparat yang sudah selesai, dapat diamati dan difoto sebagai dokumentasi.
30
Lampiran 3. Analisa Statistik Parameter Tingkat Kelangsungan Hidup Udang Uji Hasil Uji Anova Single Factor Sumber Jumlah db Keragaman Kuadrat Interaksi 9651,268267 1 Within 386,3712667 4 Total
10037,63953
Kuadrat F hitung P F tabel Tengah 9651,268 99,91704 0,000563 7,708647 96,59282
5
Hasil Uji Lanjut Duncan SR Subset for alpha = 0.05 perlakuan Duncan
a
N
1
2
3
3
66.6667
2
3
86.6667
1
3
Sig.
86.6667 93.3333
.078
.506
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
31
Lampiran 4. Analisa Statistik Parameter Laju Pertumbuhan Harian Udang Uji Hasil Uji Anova Single Factor Sumber Keragaman Interaksi Within
Jumlah Kuadrat 17,30601667 2,536866667
Total
19,84288333
db
Kuadrat F hitung P F tabel Tengah 1 17,30602 27,28723 0,006411 7,708647 4 0,634217 5
Hasil Uji Lanjut Duncan LPH Subset for alpha = 0.05 perlakuan Duncana
N
1
2
3
3
4.9900
2
3
5.2167
1
3
Sig.
5.9767 .395
1.000
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
32