TULISAN UTAMA
MEMBERDA MEMBERDAYAKAN AKAN KREASI PENGETAHU PENGETAHUAN AN DALAM ORGANISASI Kadjatmiko & Haedar Akib
Kadjatmiko, Mahasiswa Pro-
gram Doktor Ilmu Administrasi Publik FISIP Universitas Indonesia Haedar Akib, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Administrasi Publik FISIP Universitas Indonesia
Sejak awal tahun 1990-an, manajemen pengetahuan menjadi isu yang mengemuka. Berbagai kalangan memahami kreasi pengetahuan sebagai keunggulan daya saing perusahaan di masa kini dengan memfokuskan pada kinerja para “pekerja” pengetahuan dan menumbuhkan lingkungan belajar yang dapat memenuhi tuntutan ekonomi informasi pasca-era industri
10
Robert Reich , selaku komentator politik menyarankan, bahwa pengetahuan dan belajar bagi individu dalam organisasi sangat penting artinya, baik oleh manajer maupun pekerja. Lebih jauh Reich mengajukan dua pertanyaan retoris. Pertama, ide baik apakah yang utama untuk membangun suatu bisnis yang dapat bertahan? Jawabannya adalah, bangun budaya yang menghargai belajar . Kedua, apakah bermaksud membangun karir yang mengarahkan anda pada tanggung jawab baru? Jawabannya adalah, p e r t a h a n k a n kehausan untuk belajar, dan bergabung dalam organisasi yang memberi peluang bagi anda untuk belajar secara terus menerus (von Krogh: 2000: 3). Meskipun amat mudah mengatakan bahwa, “bangun budaya menghargai belajar”, atau berdiskusi tentang ekonomi berbasis pengetahuan, seperti lazimnya, namun proses pelibatan manusia-kreativitas, percakapan, pertimbangan, mengajar dan belajar – sukar dikuantifikasi. Berdasar pada pengetahuan mengenai organisasi yang memperjuangkan isu tersebut, diyakini bahwa konsepsi manajemen pengetahuan masih terbatas. Hal ini terjadi karena legitimasi kepentingan kreasi pengetahuan pada sejumlah organisasi semakin menurun, sampai terjadi penekanan berlebihan pada teknologi informasi atau instrumen pengukuran lainnya. Bahkan dalam kenyataannya, terminologi manajemen senantiasa menyiratkan pengendalian proses yang mungkin secara inheren tidak dapat dikendalikan atau, minimal dibatasi dengan arahan yang berlebihan. Karena itu, menurut perspektif Von Krogh, at.al. (2000: 4), manajer perlu memberdayakan kreasi pengetahuan bukan mengendalikannya. Memberdayakan pengetahuan secara sederhana diartikan sebagai keseluruhan aktivitas organisasi yang secara positif mempengaruhi kreasi pengetahuan, sehingga tulisan ini perlu diarahkan untuk menjelaskan tantangan yang dihadapi, pemberdaya (enabler) dan strategi yang digunakan, serta implikasi pemberdayaan kreasi pengetahuan dalam organisasi.
USAHAWAN NO. 05 TH XXX JUNI 2001
Dalam buku yang judul lengkapnya E n a bling Knowledge Creation - “Memberdayakan Kreasi Pengetahuan” - yang ditulis oleh Von Krogh, at.al. (2000), dijelaskan secara mendalam keterbatasan teori-teori manajemen pengetahuan saat ini, dengan mendiskusikan pendekatan-pendekatan praktis mengenai hal-hal yang tak berwujud, yang berkembang secara konstan dan alam pengetahuan manusia. Dalam buku itu sekaligus diidentifikasi lima pemberdaya - (1) menanamkan visi pengetahuan, (2) memanajemeni percakapan, (3) memobilisasi para aktivis pengetahuan, (4) mengembangkan konteks yang tepat, dan (5) mengglobalkan pengetahuan lokal – yang dirangkai dalam cerita menarik tentang kasus perusahaan Siemens, Skandia, Shiseido, Sony, Phonak, Adtranz, General Electric dan perusahaan lainnya. Dalam menjelaskan konsep konsep tersebut, von Krogh, at.al. (2000: 5) mengakui bahwa, peran krusial strategis dalam memfasilitasi kerangka kerja yang dibuat sangat terkait dengan analog “pasir dalam mesin” rintangan individual dan organisasional - dalam kreasi pengetahuan. Selain itu, ditekankan pentingnya microcommunity of knowledge, atau kelompok-kelompok kecil dalam organisasi yang mau saling berbagi bukan saja pengetahuan yang dimiliki, melainkan pula nilai-nilai yang dianut dan tujuan umum yang diharapkan. Berdasarkan uraian di atas diasumsikan bahwa, keberhasilan kreasi pengetahuan pada akhirnya akan tergantung pada bagaimana anggota organisasi tertentu dan anggota organisasi lain dapat menghubungkan pengetahuannya melalui langkah-langkah proses yang berbeda. Tulisan ini dibagi ke dalam beberapa subbahasan penting yang sekaligus merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Subbahasan inti yang dimaksud, secara sistimatis, adalah: rintangan individual dan organisasional bagi kreasi pengetahuan; lima pemberdaya yang digunakan; strategi dan kreasi pengetahuan; keterkaitan antara pemberdayaan dan kreasi pengetahuan; serta implikasi pember-
dayaan kreasi pengetahuan dalam organisasi. Namun, sebelum disajikan pembahasan inti yang dimaksud, terlebih dahulu dikemukakan beberapa definisi dan konsep yang terkait dengan materi pembahasan tulisan ini. Definisi Organisasi
Pengetahuan
Dalam
Para ilmuwan kognitif sepakat bahwa, pengetahuan mencakup struktur kognitif yang mewakili kenyataan. Sementara itu, para manajer mungkin saja mengasosiasikan pengetahuan sebagai kondisi dan “kecakapan teknik”. Pengertian pengetahuan sering kali tergantung pada orang yang melihat dan memberi makna konsep tertentu sesuai caranya menggunakan (Wittgenstein dalam von Krogh, 2000: 7). Minimal ada empat karateristik pengetahuan yang teramati dalam organisasi, Pertama, pengetahuan merupakan keyakinan yang diakui kebenarannya. Individu
Upaya pembelajaran
membenarkan keyakinan-keyakinannya berdasar pada pengamatan yang dilakukan terhadap dunia. Pengamatannya didasarkan pada sudut pandangan tertentu, sensibilitas dan pengalaman individual. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan konstruksi realitas . Kreasi pengetahuan bukan sekedar kompilasi fakta-fakta, melainkan sebagai proses tertentu yang dialami manusia sehingga tidak mudah direduksi atau direplikasi. Kedua, pengetahuan mencakup apa yang “tersurat” (eksplisit) dan yang “tersirat” (tacit). Pengetahuan tersurat tentu saja dapat dituliskan pada kertas, dinyatakan dalam kalimat, atau dilukiskan dalam gambar. Sedangkan, pengetahuan tersirat dapat berupa keahlian gerakan tubuh, persepsi individu, pengalaman psikis, perilaku tertentu yang senantiasa dikerjakan (rules of thumb) dan intuisi. Ketiga, kreasi pengetahuan yang efektif tergantung pada konteks tertentu yang diberdayakan . Memberdayakan konteks berarti membagi ruang yang mempercepat terciptanya hubungan timbal-balik di antara komponennya. Sesuai gagasan orang Jepang tentang kata “ba” (tempat), konteks organisasi dimaksud meliputi physical, virtual dan mental, atau ketiganya (von Krogh, at.al., 2000: 7), atau mencakup empat lapis (layer), mulai dari lapis sederhana yang disebut immediate context, kemudian meningkat ke lapis yang lebih kompleks, yaitu spesific context dan general context, hingga meta context (Hinds, at.al. dalam Morse, 1992: 34). Jadi, yang amat
penting dipahami adalah, semua pengetahuan tergantung pada konteksnya. Definisi konteks ini dikaitkan dengan dua penekanan sebelumnya, yakni: (1) pengetahuan itu dinamis, relasional dan berdasarkan tindakan manusia; dan (2) pengetahuan itu lebih tergantung pada situasi dan orang yang terlibat dari pada kebenaran absolut atau fakta fisikal. Karena itu hal yang penting dipahami adalah semua pengetahuan tergantung pada konteksnya. Keempat, kreasi pengetahuan organisasi mencakup lima langkah penting . Langkah yang dimaksud adalah: (1) saling berbagi pengetahuan tersirat, (2) menciptakan konsep, (3) mendukung ketepatan konsep, (4) membuat prototipe, dan (5) pengetahuan lintasi-jenjang. Pekerja Baru Pengetahuan: Aktivis, Ahli dan Epistemolog
Sejumlah perusahaan besar saat ini mempekerjakan pegawai atau pekerja pengetahuan (knowledge officer– insinyur professional, ilmuwan, dokter, penulis , desainer software dan pemikir kreatif lainnya - dan mengembangkan fungsifungsi staf bagi manajemen pengetahuan. Pegawai pengetahuan ini sering dianggap sebagai corporate intellectual, yaitu kelompok orang yang memiliki kekuasaan dalam hal-ihwal pengetahuan. Toffler (1990) dan Druker (1994) juga mengakui bahwa, pengetahu-an merupakan sumber kekuasaan yang dimiliki oleh sedikit orang, termasuk yang dimiliki oleh corporate intellectual saat ini. Selain sebutan pekerja pengetahuan , aktivis pengetahuan dianggap sebagai a thought-maker oleh Helmut Volkmann (1996) atau disebut a merchant of foresight (von Krogh, 2000) yakni eksekutif yang tidak hanya aktif mengawasi setiap laporan empat bulanan, melainkan pula aktif menyampaikan visi ke depannya bagi pekerja pengetahuan lainnya. Sedangkan manajer selaku pekerja individual dianggap sebagai ahli pemelihara, psikolog atau futurolog. Orang yang disebut ini sama dengan corporate epistemologists - eksekutif yang perhatian utamanya pada teori pengetahuan dan berbagai sebutan lainnya bagi para aktivis pengetahuan.
USAHAWAN NO. 06 TH XXX JUNI 2001
11
Komunitas Pengetahuan
Kecil
(Pekerja)
Seperti telah dikemukakan bahwa “microcommunity of knowledge” adalah kelompok kecil dalam suatu organisasi yang mau saling berbagi, bukan saja pengetahuan yang dimiliki, melainkan pula nilai-nilai yang dianut dan tujuan umum yang diharapkan. Kelompok tersebut dicirikan oleh interaksi yang dilakukan secara tatap-muka dan secara gradual ada keinginan di antara anggotanya mengetahui kepribadian, bidang yang menjadi minat, agenda kegiatan yang mungkin dilakukan, serta relevansi corak perilaku yang dapat diterima atau ditolak oleh kelompoknya (Wenger, 1998). Kelompok itu nampaknya dapat dibentuk dari luar oleh kepala departemen, manajer R dan D, atau insinyur yang bertanggungjawab atas pengembangan produk. Pada kasus ini, penugasan kelompok, keanggotaan, manfaat keanggotaan dan kekhususannya didasarkan atas inisiatif orang lain dalam perusahaan, serta beroperasi dalam bentuk tim. Namun, komunitas kecil pekerja pengetahuan juga dapat membentuk cara kerja yang terorganisir di mana anggota yang tergabung di dalamnya berasal dari berbagai kegiatan usaha, seperti areal fungsional, departemen, bahkan dimungkinkan pula konsumen, suplair, atau parter lainnya. Menurut Krogh (2000: 12), kualitas utama pekerja pengetahuan terlihat dalam sifat kemanusiaannya (humanness) . Karena manusia maka ada pekerja pengetahuan. Dengan kata lain, tugas pengetahuan adalah menjelaskan kondisi manusia, bukan karena diistimewakan. Rintangan Dalam Kreasi Pengetahuan
Pertanyaannya yang perlu dijawab adalah, mengapa masih banyak rintangan yang muncul dalam pemberdayaan kreasi pengetahuan dalam organisasi. Dan seperti dikemukakan di atas, kreasi pengetahuan merupakan proses yang krusial dalam organisasi, karena sebagian orang tidak begitu menyetujui teknik-teknik manajemen tradisional. Individu-individu mungkin saja agak segan atau tidak dapat menerima pelajaran, pemahaman, ide atau hasil
12
pengamatan baru. Sementara itu organisasi justru merupakan arena yang menantang bagi kreasi pengetahuan baru. Karena itu, secara mendasar, ada dua tipe tantangan yang dihadapi, yakni tantangan individual dan organisasional. Berdasar pada dua tantangan itu, dengan segala derivasinya, Andreas Rihs dalam von Krogh, et.al. (2000: 19) menyatakan bahwa “manajemen sering kali diharapkan bertindak ala psikolog.” Rintangan Individual Pengetahuan
bagi
Kreasi
Kreasi pengetahuan pada level individu mencakup kemampuan untuk mengatasi situasi, peristiwa, informasi dan konteks baru. Jadi, eksekutif yang bermaksud menyatukan manajemen pengetahuan dalam memperbarui segala perencanaan bisnisnya sering kali berpandangan sangat optimis mengenai seberapa baik orang dapat menangani pengalaman baru yang dialami. (Program kita) ialah menjadikan keseluruhan organisasi melakukan proses pembaruan cara melakukan berbagai hal dengan cara baru untuk menggantikan cara lama. Pembaruan ini bisa sukses jika ada kemampuan untuk menggembleng seluruh tenaga kerja untuk menciptakan hal baru di masa depan. Penggemblengan diarahkan untuk mengungkap kapabilitas potensial yang dimiliki orang untuk mempertahankan perkembangannya yang utama tanpa menambah biaya (Matthews, 1997: 130). Pertanyaan yang perlu dijawab ialah, mengapa begitu sukar bagi individu untuk menerima atau menyatukan pengetahuan yang baru? Penulis yakin bahwa, minimal ada dua tantangan individual – membatasi akomodasi dan perlakuan bagi image diri sendiri – yang dapat menyebabkan munculnya maksud baik manajemen. Pertama, memahami kembali definisi awal pengetahuan sebagai justifikasi keyakinan pada kebenaran. Umat manusia secara konstan menjustifikasi kepercayaannya pada kebenaran pengalaman hidupnya (Varela, Thomson dan Rosch, 1992). Dengan memakai terminologi psikolog, Jean Piaget (1960), dapat dipahami bahwa individu melaku-
USAHAWAN NO. 05 TH XXX JUNI 2001
kan seleksi input dengan panca-inderanya melalui dua proses kembar, yakni asimilasi dan akomodasi. Otak manusia “sangat membutuhkan” input dari lingkungan, dan melalui proses asimilasi maka individu menyatukan data yang diterimanya dalam bentuk pengalaman. Dengan kata lain, individu melakukan pengideraan dan membandingkan realitas dunianya melalui asimilasi. Sementara itu, akomodasi adalah proses di mana orang memberi makna terhadap pesan-pesan baru yang diterima dan membedakan pesan tersebut dengan pesan yang diketahui sebelumnya. Dalam proses ini, ketika proses akomodasi input begitu menantang pikiran maka ketika itu pula pengetahuan baru dihasilkan (von Krogh, 2000: 20). Secara normal, individu menjustifikasi kepercayaan yang dibangun melalui rangkaian peristiwa yang dialami, namun pada situasi baru dan berbeda secara radikal maka proses justifikasi dipatahkan (Goldman, 1992). Lebih mencekam proses akomodasi yang dilakukan orang maka lebih stres dan cemas perasaaanya (Harvey and Brown, 1992). Pengetahuan baru juga dapat mendorong orang memahami dirinya sendiri (self-image) . Menurut Polanyi (1958), dalam proses akomodasi, orang harus melakukan perubahan dalam dirinya sendiri – perubahan yang nyata. Secara mendalam, apa yang diketahui – seberapa jauh mempengaruhi perilakunya – sering kali merupakan akar indentitas pribadi dan karena pengetahuan yang dimiliki sejalan dengan image diri sendiri maka orang sering kali menolak sesuatu yang baru. Buktinya ialah, ketika eksekutif dalam perusahaan memperkenalkan visi kreasi pengetahuan baru untuk masa depan organisasi, ketika itu pula akan muncul berbagai rintangan (von Krogh, 2000: 21). Rintangan Organisasional: Problem Paradigma Perusahaan
Pada sejumlah organisasi, ada empat rintangan yang diakui dalam tataran kelompok: (1) tuntutan bagi legitimasi bahasa, (2) pengalaman masa lalu organisasi, (3) prosedur, dan (4) paradigma perusahaan. Seperti halnya rintangan pengetahuan individual,
rintangan-rintangan organisasional sering kali muncul karena tendensi sifat bawaan manusia. Selain itu, rintangan akan mencekam akibat sikap manajerial yang salah mengenai pengetahuan, khususnya yang terjadi dalam kaitannya dengan keterbatasan prosedur dan penerimaan paradigma organisasi. Pertama, bahasa merupakan kunci bagi pelajaran refleksi individu. Untuk memenuhi harapan orang yang akan berbagi pengetahuan, termasuk pengetahuan “tersirat” (tacit) yang akan diperjelas, dapat dilakukan dengan bahasa yang umum dipahami oleh anggota komunitas dan lebih luas oleh perusahaan. Pada titik tertentu, sejumlah pengetahuan pribadi hanya dapat diekspresikan dengan menggunakan kata-kata yang mungkin tidak dimengerti oleh anggota organisasi yang lain. Pengetahuan dan keunikan perlu dikaitkan satu-sama lain, dan artikulasi pengetahuan baru memerlukan proses yang menunjukkan kemampuan orang melihat keunikan sesuatu, mulai dari yang berbeda secara jelas (mencolok) sampai pada yang berbeda secara samar-samar (von Krogh dan Roos, 1995a). Maksudnya ialah, jika tidak mampu menunjukkan perbedaan yang samar-samar maka pengetahuan baru akan terbuang. Sebaliknya, jika terlalu menekankan pada perbedaan yang samar-samar (tipis) maka isu-isu besar akan terabaikan. Rintangan kedua adalah, semua organisasi memiliki berbagai macam sejarah (dan pengalaman). Ini melembagakan pola pemahaman ingatan atau akal sehat organisasi mengenai bagaimana sesuatu bekerja sehingga memberi kemungkinkan bagi individu untuk menata perilakunya. Menurut Kreps (1989), sejarah membantu orang memahami dirinya di hadapan orang lain dan memahami sistem nilai organisasi di mana bergabung. Sejarah dianggap sebagai rintangan bagi upaya kreasi pengetahuan baru, karena membatasi individu-individu untuk mengekspresikan gagasannya yang baru. Biasanya sejarah itu negatif, seperti sejarah kegagalan perusahaan, kegagalan kampanye pemasaran, kegagalan dalam menerapkan teknologi.
Sejarah organisasi dan mitos perusahaan dapat mempolarisasikan pengetahuan baru dan perhatian langsung ke mana saja. Sejarah mungkin mem perjelas perbedaan pengetahuan baru dan pengetahuan yang dipahami sebelumnya, sehingga menyebabkan pengetahuan baru itu berkurang legitimasinya. Rintangan pengetahuan ketiga mencakup prosedur yang digunakan, yaitu manajemen pengetahuan yang dianalogikan sebagai “pedang bermata dua”. Pada satu sisi, prosedur yang digunakan mewakili pengalaman dan solusi yang tepat bagi tugas-tugas yang kompleks, serta koordinasi solusi berbagai pekerjaan dalam organisasi. Pada sisi lain, dengan mengarahkan komunikasi, merumuskan langkahlangkah perencanaan dan menetapkan pengukuran kinerja bagi pengendalian tugas dalam organisasi maka justru akan bertentangan dengan pembenaran kepercayaan publik. Barnes (1988) mencatat bahwa, jarang pekerja yang terdorong untuk mengatasi prosedur yang tidak efektif karena mengetahui bahwa semakin taat mengikuti, semakin berkurang kemungkinannya mengalami konsekuensi negatif dari sistem itu – misalnya reputasinya buruk, memperoleh insentif uang lebih sedikit, dan mengaburkan karirnya. Rintangan organisasional utama yang terakhir bagi kreasi pengetahuan dan sangat mendasar serta meliputi rintangan lainnya adalah paradima perusahaan. Strategi, visi dan misi, serta nilai-nilai inti perusahaan sebenarnya merupakan paradigma atau “pandangan dunia” (world view). Paradigma beruratberakar dalam organisasi; mendefinisikan tema-tema yang dibicirakan dalam pertemuan manajemen, bahasa yang digunakan, inti cerita yang dibicarakan, dan rutinitas yang diikuti. Paradigma juga mempengaruhi jenis-jenis data dan informasi yang yang dicari dan bagaimana data dan informasi tersebut diinterpretasikan oleh pekerja (seperti informasi pesaing, survai pelanggan, atau suplair yang dipelajari). Paradigma disosialisasikan kepada anggota baru organisasi agar pemikirannya terarah seperti pemikiran yang
dikembangkan dalam organisasinya. Untuk melihat koherensi hal itu, ada sejumlah organisasi yang mempersyaratkan perlunya saling berbagi pemahaman tujuan, nilai dan norma di antara anggotanya, sehingga jelas kekuatan paradigma yang dianut dalam mendukung atau menghalangi kreasi pengetahuan yang dilakukan. Apa Yang Keliru Dalam Manajemen Pengetahuan?
Inisiatif pihak manajemen pengetahuan populer saat ini meyakini bahwa banyak perusahaan secara konstruktif mengalamatkan rintangan pada kreasi pengetahuan. Begitu pula, lebih mudah baginya berbicara mengenai hal-ihwal pengetahuan dari pada “melakukan apa yang dikatakan.” Semua konsep manajemen pengetahuan terkait dengan sejumlah rintangan tersembunyi yang dihadapi. Pertama, manajemen pengetahuan mengandalkan pada berbagai informasi yang mudah dideteksi atau dikuantifikasi. Informasi disederhanakan sehingga dapat dideteksi dan dimanipulasi dalam perusahaan (berupa dokumen, kebijakan, database, dan prosedur). Tujuan akhir manajemen pengetahuan ialah menyerahkan informasi kepada orang yang tepat, dengan cara dan teknologi yang tepat. Isu penting dalam hal di atas terkait dengan kategorisasi, bukan pada relevansi. Pada sejumlah pendekatan manajemen pengetahuan, informasi dan pengetahuan dianggap sama. Atas dasar itu, manajemen pengetahuan secara samar ditafsirkan sebagai manajemen informasi sederhana. Tradisi penelitian ahli kognitif turut mengacaukan perbedaan antara informasi dan pengetahuan. Sejak awal tahun 1950-an, ahli terkenal seperti Warren McCulloch, Herbert Simon dan Marvin Minsky mengembang kan model formal kognitif manusia yang menyerupai mesin pengolah informasi. Bagi penganut aliran kognitif, pengetahuan itu kelihatan, dapat dikode dan disimpan, serta mudah dipindahkan kepada pihak lain. Banyak inisiatif manajemen pengetahuan didasarkan pada asumsi tersebut, namun gagal membedakan antara informasi dan pengetahuan. Informasi
USAHAWAN NO. 06 TH XXX JUNI 2001
13
Meningkatkan mutu berkesinambungan
adalah data yang disimpan dalam konteks dan dikaitkan dengan bagian data yang lain. Seperti dinyatakan oleh Gregory Bateson bahwa informasi adalah pembedaan yang membuat perbedaan (von Krogh, 2000: 27). Contoh:, individu yang memahami perbedaan informasi ketika sedang membaca dokumen baru dan membandingkannya dengan dokumen yang lama. Informasi adalah pengertian dan pengertian membentuk basis pengetahuan. Pengetahuan selangkah lebih maju karena mencakup keyakinan kelompok atau individu dan sangat melekat dalam tindakan. Kepercayaan, komitmen dan tindakan, tidak dapat diambil dan diwakilkan dengan cara yang sama dengan informasi. Singkatnya, investasi dalam bidang teknologi informasi semata tidak serta merta menyebabkan pengetahuan mampu mengembangkan perusahaan. Rintangan kedua adalah, manajemen pengetahuan lebih mencurahkan perhatiannya pada manufaktur alat-alat. Dari berbagai pendekatan manajemen pengetahuan yang menjadi focus perhatian von Krogh, et.al. (2000: 27), kebanyakan terobsesi dengan alat-alat dan perkakas. Inisiatif manajemen pengetahuan diarahkan untuk memperoleh hasil usaha, di mana alatnya
14
secara normal dibuat sejelas dan seumum mungkin. Sejumlah alat itu kemudian digunakan untuk mengidentifikasi pengetahuan yang lahir dari anggota, suatu unit atau seluruh organisasi. Sekali diidentifikasi maka alat lain digunakan untuk mengakses dampak bisnis pengetahuan tersebut. Contoh: sistem“yellow pages”, yang mampu mengidentifikasi keahlian pekerja yang relevan. Namun hasilnya adalah pekerja merasakan bahwa sistem tersebut begitu menghambat dan tidak menggambarkan apa yang diketahuinya, bahkan komitmen dan minatnya terhadap organisasi secara gradual menjadi surut. Rintangan ketiga adalah, manajemen pengetahuan sangat tergantung pada pegawai pengetahuan. J i k a perusahaan memaklumkan inisiatif manajemen pengetahuan, pegawai pengetahuan – yang biasanya eksekutif rangking atas – diberikan tanggung jawab yang lebih besar, padahal eksekutif itu memiliki banyak pekerjaan, seperti merumuskan visi perusahaan, mengembangkan sistem manajemen pengetahuan, merealisasikan flatform teknologi informasi untuk membangun suatu “jaringan pengetahuan” dan mengembangkan nilai modal intelektual perusahaan. Di sini, konsepsi peranan
USAHAWAN NO. 05 TH XXX JUNI 2001
pegawai pengetahuan dapat menghasilkan informasi yang berguna, namun terbatas. Pertama, pengetahuan secara umum diciptakan dekat dengan pasar. Pada posisi staf, pegawai pengetahuan menemui kesulitan untuk membentuk kreasi pengetahuan yang terjadi dalam sejumlah operasi bisnis. Jadi, perlu dipahami bahwa pengetahuan semestinya tidak dipikirkan sebagai “aset” dalam pengertian klasik, subyek bagi birokrasi administrasi dan terpisah dari fungsi staf yang lain. Kreasi pengetahuan merupakan proses dinamis yang dapat melibatkan beratus-ratus orang dalam organ-isasi, namun tetap merupakan bagian dari tanggung jawab manajemen umum. Masalah lain terkait dengan peran pegawai pengetahuan adalah menyangkut alokasi sumber daya dan keputusan mengenai pengetahuan apa yang penting bagi perusahaan. Hal ini penting dipahami karena eksekutif yang posisinya sebagai pegawai pengetahuan tidak banyak mengetahui operasi bisnis sehari-hari dan tidak mengetahui secara mendetail seluk-beluk persoalan dari berbagai bagian dalam perusahaan. Jadi, menurut von Krogh, at.al. (2000: 30), alokasi sumber daya bagi kreasi pengetahuan merupakan tanggung jawab manajer lini yang lebih dekat dengan sumber daya organisasi. Kreasi pengetahuan semestinya tidak dibatas-batasi, mencakup multi-disiplin, multi-fungsi dan melibatkan anggota organisasi yang memiliki pengalaman yang berbeda. Kreasi pengetahuan juga melewati batas-batas organisasi sampai pada suplair, pelanggan, termasuk para pesaing. Mengatasi Rintangan: Tiga Premis Premis 1: Pengetahuan
menjustifikasi kebenaran keyakinan, individu dan sosial, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Pengetahuan terkait erat dengan emosi, aspirasi, harapan dan keinginan manusia. Gagasan buku Enabling Knowledge Creation misalnya lebih berdasar pada perspektif konstruksionis dari pada logika mesin aliran kognitif. Karena itu, biolog seperti Maturana dan Varela (1987) mendukung bahwa, kognisi merupakan tindakan kreatif dalam memahami dunia.
Premis 2: Pengetahuan tergantung pada perspektif setiap orang (Anda). Meskipun ada upaya membuat alat-alat pengukuran yang umum untuk digunakan pada berbagai situasi, namun pengetahuan dapat diskalakan (von Krogh dan Ross, 1995a). Pengetahuan tergantung pada perspektif individu dan konteksnya. Penggunaan skala ke atas dan ke bawah merupakan cara efektif untuk memahami fenomena secara lebih baik dan perubahan perspektif merupakan fungsi alamiah kognisi manusia. P r e m i s 3 : Kreasi pengetahuan merupakan kecakapan, bukan ilmu pengetahuan. Para aktivis pengetahuan dan komunitas kecil saling berbagi keterampilan mengenai kreasi pengetahuan dan anggota organisasi yang terlibat meyakini bahwa visi, struktur dan proses pengetahuan memungkinkan terjadinya kreasi pengetahuan. Rintangan-rintangan akan muncul karena: kurangnya pemahaman satu sama lain, tidak ada kompromi, ketidakjelasan bahasa yang umum dipahami oleh anggota organisasi, mitos perusahaan, sejarah kegagalan dan prosedur yang kaku. Atas dasar itu, pengalaman manajemen pengetahuan Phonak menarik diketengahkan. Phonak: Mematahkan Pengetahuan
Batas-Batas
Sebagai salah satu perusahaan yang telah sukses dalam bisnis internasional, Phonak melakukan beberapa terobosan, antara lain yaitu: • Menghargai orang: Membuka rintangan indvidual dan organisasional. Ini dilakukan dengan membuka rintangan pengetahuan dan batas budaya melalui interaksi langsung dan kebijakan keterbukaan. Cara yang dikembangkan ini terutama berdasar pada tiga faktor, yaitu: (1) Membentuk “masyarakat tanpa kelas” secara interdispliner. Dengan cara ini, hirarki tidak lagi menjadi isu utama karena focus perhatiannya pada produk yang dibuat. (2) Ketegasan personal. Rolf Schweizer menyatakan, kita memiliki orang dari tiga puluh dua negara, namun tidak pernah mentolelir bias politik (teritorial-
•
nya netral secara politik). Untuk hal yang serupa, Christian Berg juga menyatakan, kita melakukan sesuatu, jadi ketika terjadi suatu kesalahan maka itu merupakan kesalahan kita (von Krogh, 2000: 35). Percakapan yang dilakukan secara kooperatif dalam perusahaan ditunjukkan oleh Andy Rihs bahwa: Hal penting bagi arahan manajemen adalah setiap orang tidak merasa sempurna. Karena itu, prinsip yang dinomorsatukan di Phonak ialah meyakini bahwa kita tidak sempurna, namun kita dapat mencoba melakukan yang lebih baik dan apa yang dapat kita lakukan harus berhasil secara baik. (3) Keterlibatan penuh. Menurut Rihs (von Krogh, 2000: 36), karyawan adalah aset kita (organisasi) yang terpenting. Kita tidak membiarkan kehilangan aset terpenting ini. Kita senantiasa memanfaatkan pengetahuan setiap pekerja. Setiap orang memahami pentingnya tugas yang dilakukan untuk kita dan secara pribadi bertanggungjawab atas tugas yang lebih besar. Secara rerata, karyawan Phonak relatif muda usianya dan menduduki posisinya atas dasar kesesuaian bukan senioritas. Di sini, tidak ada hirarki secara tradisional, karena orang yang tepat diberi tanggung jawab yang tepat. Arsitektur yang mematahkan sekat. The “Phonak House” secara visual merepresentasikan bahwa perusahaan mematahkan batas budaya. Visualisasi dalam ruangan segi empatnya menunjukkan tiga gudang tradisional yang masih didekorasi dengan gambar timbul sebagai impresi kerajinan tangan banyak pekerja. Hal itu merupakan simbol bagaimana kekuatan Phonak dicapai dengan mengkombinasikan pengetahuan dan keahlian para pekerjanya. Galeri cermin yang menghubungkan bangunan lama dan baru hasil desain staf perusahaan Phonak sekaligus mengekspersi-
kan nilai kedekatan orang. Desain transparan, terang dan kontras memberi inspirasi lingkungan kerja. Karena itu, arsitektur turut memberi motivasi setiap orang untuk bertemu, berinteraksi dan berkomunikasi. Pemberdaya Pengetahuan
Dalam
Kreasi
Menurut von Krogh, at.al. (2000) ada lima pemberdaya (enabler) - yang sekaligus dapat dianggap sebagai pendekatan - dalam kreasi pengetahuan. Pertama, menanamkan visi pengetahuan . Visi yang dimaksud di sini bukan sekedar pandangan masa depan mengenai apa yang akan dilakukan, melainkan pula menyangkut keyakinan mengenai apa yang dibutuhkan pada saat sekarang. Visi pengetahuan diformulasi untuk memberi kejelasaan kepada perencana mengenai tiga domain yang berkaitan dengan peta mental (mental map) organisasi, yaitu: (1) Dunia di mana (anggota) organisasi hidup. Bagian dari visi ini mudah diidentifikasi, karena menspesifikasi beragam disiplin, teknologi, dan bidang keahian tertentu. (2) Dunia di mana akan hidup dan, (3) Pengetahuan yang dicari untuk dikembangkan. Kriteria yang digunakan untuk mengakses kualitas visi pengetahuan ada tujuh, yaitu komitmen terhadap sasaran yang akan dicapai, generativitas, gaya spesifik, terfokus pada restrukturisasi sistem pengetahuan baru, terfokus pada restrukturisasi sistem tugas baru, nilai (manfaat) komunikasi eksternal, komitmen bagi penajaman persaingan. Kedua, memanajemeni percakapan, dengan penekanan pada perlunya dibangun suasana dialogis dalam organisasi. Ini dilakukan dengan maksud agar ada konfirmasi dan kreasi pengetahuan. Karena itu, perlu dipahami empat prinsip pengarah dalam memanajemeni percakapan yang memungkinkan kreasi pengetahuan, yaitu: mendorong partisipasi aktif, menata etika percakapan, mengedit percakapan secara tepat, mengembangkan bahasa inovasi. Percakapan ini sangat berperan penting dalam kelima langkah kreasi pengetahuan – saling berbagi pengetahuan tersirat, menciptakan konsep-konsep, menjustifikasi konsep, membangun prototype
USAHAWAN NO. 06 TH XXX JUNI 2001
15
dan pengetahuan lintas jenjang – dalam organisasi (tabel 2). Ketiga , memobilisasi aktivis pengetahuan. Aktivis pengetahuan yang dimaksud dapat dianggap sebagai katalisator kreasi pengetahuan, koordinator inisiatif kreasi pengetahuan, dan merchants of foresight – atau ketiganya. Mobilisasi aktivis pengetahuan ini dilakukan dengan memberikan diskresi dan tanggung jawab yang sesuai dengan tugas yang diemban. Dengan kata lain, memberdayakan potensi pengetahuan tersirat dan tersurat yang dimiliki. Keempat, menciptakan konteks yang tepat. Konteks organisasi yang dimaksud di sini selain sifatnya fisikal, virtual dan mental, juga meliputi keempat lapisannya, yakni: immediate, spesicif, general dan meta (context) menurut Hinds, at.al. dalam Morse (1992: 34). Jadi, menciptakan konteks yang tepat dan sesuai sangat penting artinya karena membawa dampak pada bagaimana konteks itu dijustifikasi pada level organisasi dan bagaimana pengetahuan baru ini ditularkan ke seluruh bagian, unit dan level organisasi (von Krogh, 2000: 176).
Kelima, mengglobalkan pengetahuan lokal. Pendekatan ini sangat terkait erat dengan upaya diseminasi pengetahuan lintas jenjang organisasi. Maksudnya ialah untuk mematahkan batas fisikal, kultural, organisasional, dan rintangan manajerial yang sering kali menghambat efektivitas transfer pengetahuan pada perusahaan multinasional. Tiga fase yang diintrodusir oleh von Krogh, at.al. (2000: 209) dalam memindahkan pengetahuan adalah: triggering, packaging/dispatching dan recreating . Karena itu, tujuan akhirnya perlu diarahkan untuk memperluas kapasitas aksi sosial, kompotensi dan kinerja tugas yang berhasil. Strategi dan Kreasi Pengetahuan
Bagi para manajer, pentingnya pengetahuan dalam organisasi – dan semua gerakan manajemen pengetahuan - didasarkan pada apa yang dapat diperbuat dengan pengetahuan itu secara praktis dalam setting bisnis. Kekuatan pengetahuan tersirat atau keunggulan daya saing jangka panjang tidak begitu baik jika kreasi pengetahuan tidak menjadi bagian dari kerangka kerja
TABEL 1. KERANGKA KERJA STRATEGI PENGETAHUAN STRATEGI Bertahan
Keungulan Daya Saing
Ÿ Laba saat ini Ÿ Tdk diterapkan oleh para pesaing Ÿ Bagi yang mencoba tdk dpt mereplikasi profit awal
Sumber Keunggulannya
Peran Pengetahuan
Ÿ Ÿ Ÿ
Hasil
mereplikasi keungungan awal
Ÿ Kekuatan skala ekonomi Ÿ Kekuatan skop ekonomi Ÿ Kekuatan diferensiasi produk dan atau layanan
Ÿ Pengetahuan baru untuk
Ÿ
Ÿ Pengetahuan baru dapat di-
disubstitusi Secara eksklusif dimiliki atau milik publik Kemampuan mentransfer
proses/produk transfer
Ÿ Transfer pengetahuan Ÿ Perbaikan terus-menerus
Ÿ Kreasi pengetahuan Ÿ Inovasi radikal
Ÿ Keuntungannya lebih besar dari
Ÿ Keuntugan masa depan lebih
pada keuntungan rerata industri pesaingnya
Sumber : van Krogh (2000 : 72)
16
Ÿ Laba di masa depan Ÿ Tdk diterapkan oleh pesaing Ÿ Bagi yang mencoba tdk dpat
Ÿ Bernilai, sukar ditiru dan
Ÿ Pentingnya Proses Pengetahuan
Skala ekonomi Skop ekonomi Diferensiasi produk dan atau layanan
Pengembangan
USAHAWAN NO. 05 TH XXX JUNI 2001
besar dari pada keuntungan rerata industri pesaingnya.
strategisnya. Singkatnya, kreasi pengetahuan baru – dan barangkali yang terpenting, menggunakan pengetahuan yang ada dalam organisasi – menjadi elemen inti strategi bisnis. Dengan menggunakan kerangka strategis baru, potensi kreasi pengetahuan dibagi ke dalam dua strategi dasar, yaitu: “strategi bertahan” (survival strategy), di mana perusahaan memfokuskan pada pengetahuan yang dapat melanggengkan tingkat keberhasilan dan kinerjanya saat ini; dan “strategi pengembangan” (advancement strategy) yang lebih menekankan pada keberhasilan dan perbaikan kinerja perusahaan di masa depan. Meskipun pengetahuan diakui sebagai kebenaran (yang tidak dapat disangkal) dalam bisnis yang menghasilkan keuntungan daya saing, namun tidak semua pengetahuan memiliki nilai strategis. Karena itu, sangat penting bagi manajer untuk menggunakan kerangka kerja untuk mengakses peranan pengetahuan dalam kaitannya dengan strategi secara teoritis dan praktis. Strategi Bertahan Pengembangan
dan
Strategi
Von Krogh, Roos dan Slocum (1994) menyatakan bahwa, pada dasarnya ada dua jenis strategi yaitu strategi survival dan strategi advancement organisasi. Stretegi bertahan dapat menjamin kemampulabaan perusahaan saat ini. Strategi ini menekankan pada kekuatan dan minimalisasi kelemahan basis sumber daya dan pengetahuan perusahaan; Tujuannya menurut Andrews (1971) ialah untuk memperoleh keuntungan dari peluang-peluang bisnis yang ada dan menetralisir hambatan dalam lingkungannya. Sementara itu, strategi pengembangan menjamin kemampulabaan perusahaan di masa depan. Menurut Levenhagen, Porac dan Thomas (1993), serta Hamel dan Prahalad (1994), strategi pengembangan ini mencirikan munculnya industri, seperti teknologi informasi, layanan finansial dan telekomunikasi, di mana peran pelaku serta kekuatan tawar dan posisi pasar produk terkait dengan keadaan transisi yang berkelanjutan.
Tabel 2. Memberdayakan Pengetahuan: Jaringan 5 x 5
Menyelaraskan Strategi Bertahan dan Strategi Pengembangan
Alasan mengapa individu selaku manajer lebih memikirkan bisnisnya agar bertahan dari pada memikirkan pengembangannya, sebagian sifatnya rasional, namun sebagian pula didasarkan pada rasa takut, gelisah dan tantangan dalam dirinya sendiri. Sejumlah manajer kemudian memfokuskan pikirannya pada kebutuhan sekarang dan tidak memikirkan masa depannya dalam jangka pendek. Sementara ada pula manajer yang tidak berkesempatan untuk menyusun strategi pengembangan meskipun dipahami sepenuhnya bahwa strategi itu penting. Ini dilakukan karena menganggap bahwa dampak negatif dari penekanan pada strategi bertahan itu tidak akan muncul sampai akhirnya meninggalkan perusahaan. Ada pula manajer yang justru berpikir terlalu realistis dengan pemahaman bahwa memikirkan masa depan, mengembangkan strategi pengembangan dan mengkreasi pengetahuan baru, sangat sarat dengan resiko. Pada lingkungan yang stabil, tentu saja, perusahaan dapat berkembang dengan strategi bertahan. Jika pengetahuan unik masih dijadikan sumber keunggulan daya saing, masih sukar ditiru atau disubstitusi, maka pengetahuan itu mendukung perusahaan untuk tetap menghasilkan barangbarang dan jasa yang unik, menetapkan posisi geografis, menekan biaya manufaktur, memperoleh hasil yang banyak dari pemasaran dan sebagainya. Namun, manakala lingkungan perusahaan berubah atau ketika perusahaan itu sendiri ada dalam lingkungan yang menuntut perrubahan maka keasyikan dengan strategi bertahan akan membahayakan masa depannya (March, 1991). Manajemen strategis menekankan pembahasannya pada perumusan dan implementasi strategi yang pada gilirannya menentukan areal di mana perusahaan melakukan bisnis dan cara apa yang perlu dilakukan agar sukses dalam bersaing di daerah tersebut. Mengingat orientasi perumusan strategi pada alokasi sumber daya adalah untuk mempertahankan keunggulan daya saing
Langkah-langkah Kreasi Pengetahuan Pemberdaya Pengetahuan Menanamkan visi Memanajemeni percakapan Memobilisasi aktivis Menciptakan konteks Mengglobalkan penget lokal
Berbagi Pengetahuan Tersirat
√√
√
Menciptakan
Justifikasi
Membangun
Konsep
Konsep
Prototipe
Pengetahuan Lintas Jenjang
√
√√
√
√√
√√
√√
√√
√√
√
√
√
√√
√
√√
√
√√ √√
Sumber: von Krogh, at.al., (2000: 9).
sekarang dan mengembangkan daya saing baru, maka pada tahap perumusan strategi ini perlu ada keseimbangan antara strategi pengembangan dan strategi bertahan. Pada situasi ini, ada sejumlah manajer yang mulai dengan strategi bertahan dan melakukan pengembangan pada level personal. Ada pula tim manajemen yang justru menghabiskan sebagian waktunya dalam pengembangan tim, dengan mematahkan batas pembahasan di mana anggota tim mengemukakan gagasan modern mengenai bagaimana industri atau lingkungan persaingan harus dikembangkan. Selain itu, ada pula tim manajemen yang menata formulasi strateginya untuk bertahan atau melakukan pengembangan, sembari menetapkan strateginya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Selama dilakukan pembahasan oleh tim manajemen, sejumlah pertanyaan berikut dapat membantu menyeimbangkan secara tepat antara strategi bertahan dan strategi pengembangan dalam perusahaan. Strategi Bertahan
(1) Apa yang dibutuhkan untuk merubah strategi bertahan supaya tingkat keuntungan dapat dipertahankan dan ditingkatkan? (2) Siapa saja pesaing saat ini dan di kemudian hari yang memulai menerapkan strategi bertahan seperti yang dikembangkan?
(3) Apa yang menjadi sumber keunggulan daya saing, dan apa saja yang diperlukan supaya keunggulan daya saing dapat dipertahankan lebih lama? (4) Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mempertahankan nilai dan keunikan pengetahuan yang dimiliki, serta mengamankan dari kemungkinan imitasi dan substitusi oleh pesaing? (5) Upaya apa yang perlu dilakukan supaya pengetahuan unik dan umum itu ditransfer ke dalam produk, pasar, bisnis dan unit organisasi secara lebih efektif dari pada pesaing? Strategi
Pengembangan
(1) Bagaimana wujud strategi pengembangan yang dibuat sekiranya mengharapkan supaya keuntungan di masa depan tetap terjamin. (2) Siapa saja pesaing yang mungkin akan menerapkan strategi pengembangan seperti yang dikembangkan? (3) Apa yang dapat dijadikan sebagai sumber keunggulan di masa depan, dan bagaimana yang dilakukan untuk mempertahankannya? (4) Bagaimana cara menciptakan pengetahuan baru yang menjadi sumber keunggulan daya saing berkelanjutan? Beberapa aturan main perlu dipahami dalam menjawab pertanyaan di atas. Pertama , dalam menata strategi pengembangan, tim manajemen perlu
USAHAWAN NO. 06 TH XXX JUNI 2001
17
menyelami proses “memimpikan” pengetahuan masa depan, bukan hanya bisnis masa depannya. Pada kasus perusahaan Intel misalnya, para analis industri menyatakan bahwa permasalahan yang dialaminya – sehingga harga rerata produknya pada tahun 1995 menurun dari 66 menjadi 57 dollar terletak pada kurangnya pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki untuk membangun relasi yang kuat dan positif dengan konsumen; dan melakukan kampanye pemasaran baru namun tidak dipersiapkan menangani komplain konsumen, khususnya dalam masalah hubungan publik yang utama. Kedua , diakui bahwa tidak ada kewenangan alamiah di masa depan. Jadi, ketika merumuskan kebutuhan pengetahuan masa depan perusahaan harus mendengarkan banyak suara. Hal ini penting karena perspektif yang luas mengenai potensi perubahan dapat meningkatkan keyakinan akan tindakan yang mungkin dilakukan oleh tim manajemen. Karena itu pula, jangan merasa ragu untuk memperluas tim manajemen anda dengan melibatkan partisipan junior yang memiliki gagasangagasan modern. Ketiga , formulasi strategi pengembangan memerlukan skala. Mulanya tim manajemen diharapkan menceritakan kategori pengetahuan yang luas agar dapat digeneralisir perspektif yang lebih lengkap mengenai strategi pengembangan yang mungkin dibuat. Kategori yang lebih luas itu pada gilirannya dapat menuntun tambahan perbedaan yang dibuat. Keempat, dan mungkin yang terpenting adalah, percakapan strategis selain merupakan aset bagi perusahaan juga merepresentasekan buaian masa depan dalam arti sesungguhnya. Karena itu, catatan hasil percakapan dipelihara dan mengalokasikan waktu untuk men-cermati secara menyeluruh percakapan itu. Keterkaitan antara Memberdayakan dan Kreasi Pengetahuan
Dua bentuk keterkaitan erat antara kreasi pengetahuan dan pemberdayaan pengetahuan dapat dilihat pada tabel jaringan lima kali lima. Pertama, kelima pemberdaya itu mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pengetahuan lintas-
18
jenjang. Pemberdaya tersebut membantu meningkatkan diseminasi informasi ke seluruh organisasi dan membuka rintangan komunikasi. Kedua , pemberdaya sangat terkait erat dengan hubungan timbal-balik yang terjadi dan melihara organisasi sehingga sangat mempengaruhi kelima langkah kreasi pengetahuan. Hubungan timbal balik yang baik mengeliminasi rasa kurang percaya dan rasa takut di antara kedua pihak, sekaligus mengurangi rintangan individual dan organisasional. Sedangkan percakapan yang efektif dapat meningkatkan kreativitas; menstimulasi pembagian pengetahuan tersirat, mengkreasi konsep dan mejustifikasinya; selain itu sangat mendasar bagi penguatan prototipe; dan memperlancar arus pengetahuan ke seluruh jenjang organisasi yang beragam. Implikasi Pemberdayaan Pengetahuan
Kreasi
Pemberdayaan kreasi pengetahuan dalam organisasi pada dasarnya mereaktualisasi dan meneguhkan ungkapan yang menyatakan, “bahwa keberadaan manusia dalam organisasi bukan hanya sebagai bilangan melainkan harus diperhitungkan.” Indikator penting yang mendasari perlunya memperhitungkan manusia (orang) dimaksud adalah pengetahuan yang dimiliki untuk disumbangkan bagi kemajuan organisasi, baik pengetahuan “tersirat” (tacit) maupun “tersurat” (explicit) menurut Nonaka dan Takeuchi (1995: ix). Bagi organisasi yang sukes menata strategi yang dipilih – bertahan atau pengembangan – nampak nya senantiasa mangakomodasi perlunya memberikan diskresi bagi para aktivis pengetahuan dalam melakukan kreasi pengetahuan. Selain itu, mereaktualisasi lima pemberdaya (enabler) yang diperkenalkan oleh von Krogh, at.al. (2000: viii), sebagai alternatif dalam mendukung kreasi pengetahuan organisasi secara konsisten dan sistimatis. Pada situasi organisasi di mana sumber daya manusianya dianggap “bermutu” - karena berlatar pendidikan formal yang tinggi - bukan tidak mungkin masih akan mengalami kegagalan dalam persaingan dan memberikan pelayanan kepada kliennya (pelanggan, nasabah, publik) karena pemberdayaan kreasi
USAHAWAN NO. 05 TH XXX JUNI 2001
pengetahuan di dalamnya mandek. Dengan kata lain, organisasi itu juga bermutu namun berkonotasi lain, atau “bermuka tua” karena tidak memberdayakan kreasi pengetahuan SDM-nya secara sistimatis dan konsisten. Kehidupan kanak-kanak adalah khayalan, Kehidupan remaja adalah mimpi, kehidupan setengah baya dalam organisasi adalah (melihat) kenyataan hasil kreasi pengetahuan, Kehidupan manula adalah kenangan . Jadi, nasehat bagi kita adalah jangan merasa diri tua dan bertanya-tanya lah selalu atas dasar khayalan dan mimpi untuk menemukan kenyataan, berupa hasil kreasi pengetahuan, dalam organisasi di mana kita hidup karena begitu berhenti berkreasi maka ketika itu organisasi kita dianggap tua atau “bermutu!!.”. U
REFERENSI
Andrews, K. 1971. The Concept of Corporate Strategy , Company Brochure, No 1. Barnes, B. 1988. The Nature of Power , Polity Press Cambridge Mass. Goldman, A. 1992. Liaisons: Philosophy Meets Cognitive Science , MIT Press, Cambridge, Mass. Harvey, D.F. and D.R. Brown. 1992. An Experimental Approach to Organizational Development , Prentice-Hall Englewood Cliffs. Kreps, G. 1989. Stories as Repositories of Organizational Intelligence . In Communication Year Book 13. Sage Publications Newbury Park, California. Lyles, M, at.al. 1998. The Making of High Knowledge Acquires , paper at INFORMS – College on Organization Science Conference, Seattle Wachinton. Matthews, P. 1997. Aqua Universitas . Journal of Knowledge Management 1, no, 2: 105-113. Morse, Jaice M. (editor). 1992, Qualitative Healt Research , Sage Publications Ltd. Newbury Park New York.. Nonaka, Ikujiro and Takeuchi Hirotaka. 1995. The Knowledge Creating Company , Oxford University Press, Inc. 200 Madison Avenue New York. Von Krogh, G, J. Ross, and K. Slocum. 1994. An Essay on Corporate Epistemology , Strategic Management Journal 15: 53-57, Special Issue. Von Krogh, Georg., J Ross. 1995a. Organizational Epistemology , Macmillan London. Von Krogh, Georg, at.al. 2000. Enabling Knowledge Creation . Oxford University Press Inc, 200 Madison Avenue New York. Wenger, E. 1998. Communities of Practice: Learning, Meaning and Identity , Cambridge University Press.