ANTI PUPUS Note: This story is written in Indonesia language. I will gladly translate it into English language if there are foreign readers who are going to read this story.
oOo ‘Tap-tap-tap’ Aku berlari menapaki setiap anak tangga di kampus yang memiliki empat tingkat. Aku terengah-engah menelan setiap anak tangga dari lantai satu menuju lantai tiga. Bukan karena aku kekurangan stamina, tetapi karena aku belum sarapan pagi ini. Sekilas kupandangi arloji perak kesayanganku, waktu menunjukkan pukul delapan lebih lima-belas menit. Sontak keringat dingin membanjiri keningku. “Astaghfirullah, aku telat.” gumamku resah. Aku jarang datang terlambat di setiap perkuliahan. Namun entah mengapa hari ini aku datang terlambat. Mungkin karena tadi malam aku harus pulang ke rumahku yang berjarak lumayan jauh dari kampus hanya untuk mengambil berkas-berkas penting. Berkas-berkas yang kugunakan untuk mengikuti program beasiswa yang diadakan oleh salah satu perusahaan besar di negeri ini. Pengumuman beasiswa sangatlah mendadak dengan deadline yang sempit, hanya dua hari. Mau tidak mau, aku harus memenuhi seluruh persyaratan hanya dalam dua hari saja. Apalagi, waktu sehari telah kuhabiskan untuk memperbanyak formulir beasiswa, mengurus strip gaji ayahku yang telah pensiun, dan juga untuk memenuhi beberapa persyaratan lainnya yang dapat kuselesaikan saat itu juga. Dan sekarang, hanya tersisa waktu sehari saja. Impossible? Tentu saja tidak. Aku harus tetap memenuhi seluruh persyaratan itu. Bukan hanya untuk mendapatkan biaya kuliah, tapi juga untuk meringankan beban orangtuaku. Walaupun persyaratan-persyaratan itu tidaklah sederhana. Aku harus tetap optimis. Dan sekarang hanya tinggal satu persyaratan saja yang belum kupenuhi, yaitu menyertakan fotocopy kartu tanda mahasiswa-KTM. Namun, KTM-ku hilang entah di mana. Maka sekali lagi, aku harus mengurus KTM demi meraih beasiswa. Dengan napas tak beraturan, lemas, dan lesu, aku akhirnya tiba di kelas yang telah di jadwalkan. Dan sekali lagi aku merasakan keanehan yang membuatku kesal. “Mengapa tidak ada seorangpun di sini?” geramku dalam hati. Aku hanya bisa mengelus-elus dada saja. Mencoba untuk tetap tenang. Tiba-tiba terdengar suara pria memanggil namaku.
“Deriz, kenapa kamu terburu-buru? Ada apa?” Aku menoleh ke arah suara itu berasal. Terlihat sosok pria jangkung dan ceking. Kulitnya sawo setengah matang. Model rambutnya mirip dengan tokoh Pak Oga yang sering muncul di layar televisi akhir-akhir ini. Senyum simpul selalu terpajang di wajahnya. Ia bernama Erwan. “Hey Erwan, kok tidak ada siapa-siapa di sini? Bukannya seharusnya ada kelas Mikrokontroler ya?” ujarku heran. Aku masih memendam sedikit rasa kesal di hatiku. Aku mengorbankan waktu sarapanku yang berharga hanya untuk sebuah perkuliahan semu. “Hahaha, apa kamu tidak mengecek handphone-mu? Tadi shubuh Vinda sudah memberitahu lewat pesan singkat ke semua teman kita kalau perkuliahan di batalkan. Dosennya berhalangan hadir, jadi di ganti minggu depan.” jelas Erwan panjang dan lebar. Aku hanya bisa melongo saja. Aku tak sadar kalau hari ini aku tidak mengutak-atik handphone sama sekali. Maklum saja, aku harus cepat-cepat berbenah diri sebelum shubuh menjelang. Dan setelah melakukan sholat shubuh, aku langsung melakukan perjalanan panjang menuju kampus. Aku sama sekali tidak sadar kalau ada pesan penting di perangkat kecil itu. “Ya sudahlah. Omong-omong, kamu mau kemana Wan? Tasmu besar banget.” ujarku penasaran. Aku melihat beberapa temanku bermunculan di belakang Erwan. Mereka terlihat membawa map berwarna merah. “Kayak tasmu nggak besar aja. Aku mau ke ruangan Kepala jurusan. Mau naruh berkas beasiswa. Tuh teman-teman kita lainnya juga mau nyerahin. Kamu nggak ikut beasiswa?” “Ikut dong. Hanya tinggal satu persyaratan saja yang belum aku penuhi, KTM-ku hilang. Kamu duluan saja ke ruangan Kepala Jurusan.” aku tersenyum sedikit memaksa. Dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku ingin mereka menungguku dan mengumpulkan berkas bersama-sama. Tapi aku tidak mau merepotkan teman-temanku. “Ya sudah. Good luck ya. aku duluan.”
“Oke.” Balasku singkat. Aku langsung menuruni tangga secepat kilat. Aku menyadari bahwa sedari tadi perutku meronta hebat menagih pasokan gizi. Aku langsung menuju ke kantin kampus yang berada di sebelah gedung di mana aku berada sekarang. Setibanya aku di kantin, aku langsung menyambar makanan yang tersedia secara prasmanan. Aku membeli satu porsi soto dengan remasan krupuk udang yang tidak sedikit. Aku melahap habis tanpa menyisakan sedikitpun, hanya tersisa satu mangkuk dan sendok. Aku menutup santapan pagi itu dengan segelas es teh. “Alhamdulillah.” ucap syukur terdalamku saat perutku tak meronta lagi. Setelah istirahat sejenak, aku langsung bergegas menuju parkiran kampus untuk mengunjungi Bank tempat aku membuat KTM. Aku menyadari bahwa hari ini hanya ada satu perkuliahan saja yang batal tanpa aku sempat menyadarinya. Dan aku harus menggunakan waktu luangku untuk mendapatkan KTM baru. *** “Selamat datang, ada yang bisa saya bantu pak?” ucap security Bank itu berupaya untuk terlihat ramah. “Pak, saya mau mengurus Kartu Tanda Mahasiswa yang hilang,” “Oh, KTM ya dik. Itu ngurusnya butuh waktu dua minggu dik. Silahkan ambil nomor antri.” ‘Deg!’ Oh tidak, ternyata harus menunggu selama itu. Aku langsung berkeringat dingin untuk yang kesekian kalinya. Tak kusangka ternyata harapanku untuk mendapatkan beasiswa mulai pupus hanya karena KTM. Tapi aku tak akan menyerah begitu saja, aku harus bertanya ke Kepala Jurusan mengenai hal ini. Mungkin saja ada keringanan, semoga saja. Aku mengambil jalan memutar untuk kembali ke kampus. Waktu menunjukkan pukul sebelas. Hari pun mulai terik. Setelah memarkirkan sepeda motor, aku langsung berlari kecil menuju lantai tiga. Kali ini aku tidak kewalahan menapaki setiap anak tangga yang ada. ‘Tok-tok-tok’
Setelah mengetuk pintu, aku membuka perlahan pintu ruangan itu. Tampak pria berumur membolak-balik dokumen yang menumpuk di mejanya. Ia melirikku sebentar, lalu kembali membolak-balik dokumen itu. “Ada apa mas?” “Ehm. Begini pak Rofiq. Saya ingin mengurus beasiswa, tapi Kartu Tanda Mahasiswa saya hilang. Saya sudah bertanya ke bank, tapi ternyata harus menunggu selama dua minggu untuk mendapatkan kartu itu. Saya memohon untuk mendapatkan keringanan untuk syarat yang satu itu, Pak?” aku memasang muka melas agar hati beliau luluh. “Kamu ini ceroboh sekali. Persyaratan itu sudah mutlak dari perusahaan yang mengadakan program beasiswa. Sudah tidak bisa di ganggu gugat. Kamu ikut saja program beasiswa semester depan.” Aku semakin berkeringat dingin mendengar ucapan beliau yang super pedas. Setelah mengucapkan kalimat terima-kasih, aku tak lantas putus asa. Aku langsung memikirkan berbagai cara untuk mengikuti beasiswa tersebut. Dan satu-satunya cara hanyalah menemukan KTMku yang hilang. Aku memutar seluruh memori yang terekam semenjak beberapa bulan yang lalu. Aku gelisah karena tak mengingat sedikitpun mengenai hilangnya KTM itu. Aku bersimpuh di kursi kelas yang kosong. Tak terasa, tiba-tiba adzan Dhuhur menggema melewati dinding kelas dan gendang telingaku. Aku langsung saja bergegas menuju mushola yang berada di lantai satu. Mengambil air wudhu dan langsung ikut jama’ah sholat. Aku berusaha tak memikirkan seluruh masalah yang sedang kuhadapi. Aku harus fokus kepadaNYA saja. Setelah tuntas menunaikan kewajiban, aku melanjutkan untuk memutar seluruh rekaman memori di dalam kepalaku. Aku memikirkan seluruh kejadian yang menimpaku selama ini. “Hey Der,” Aku terkagetkan oleh panggilan itu, seraya menoleh ke sumber suara. “Ada apa Din?” balasku yang tak bisa menyembunyikan kegusaran karena resah memikirkan KTM yang hilang. Sosok pria di hadapanku bernama Didin.
“Aku nemu KTM-mu di meja kelas beberapa hari yang lalu setelah kuliah sore selesai. Kamu menggunakannya sebagai penggaris, kamu lupa ya?” “Apa?! Alhamdulillah. Terima-kasih banyak Din!” Aku langsung mengambil KTM dari Didin seraya bergegas untuk mem-fotocopy KTM-ku. Aku tahu bahwa harapan untuk meraih beasiswa belumlah pupus. TAMAT