HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANGTUA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PASCA OPERASI KATARAK PADA ANAK USIA 0-14 TAHUN DI POLIKLINIK PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG TAHUN 2011 Andri Rusbayanti*, Ridwan Setiawan**, Asep Aep Indarna**
ABSTRAK Di Negara berkembang, prevalensi kebutaan anak adalah 1,5 per 1000 anak. Salah satu jenis penyakit mata yang sering dialami adalah katarak. Jumlah kunjungan pasien operasi katarak di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung selama periode Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2009 terus meningkat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap orang tua dengan kepatuhan berobat pasca operasi katarak pada anak usia 0-14 tahun di poliklinik pusat mata nasional rumah sakit mata cicendo bandung pada tahun 2011. Jenis penelitian yang digunakan adalah korelasi dengan pendekatan cross sectional. Adapun populasinya seluruh orang tua yang mengantar anaknya berobat pasca operasi katarak di poliklinik anak Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung. Teknik sampling menggunakan accidental sampling dengan jumlah sampel sebanyak 72 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan analisa yang digunakan univariat menggunakan persentase dan analisa bivariat dengan chi-square. Hasil penelitian menunjukkan lebih dari setengahnya (54,2%) pengetahuan orang tua tentang pengobatan pasca operasi katarak adalah kurang, lebih dari setengahnya (51,4%) orang tua mempunyai sikap unfavorable dan lebih dari setengahnya (56,9%) tidak patuh terhadap pengobatan pasca operasi katarak. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan pengetahuan orang tua terhadap kepatuhan berobat pasca operasi katarak (p-value : 0,00 < α : 0,05) dan terdapat hubungan sikap orang tua terhadap kepatuhan berobat pasca operasi katarak pada anak usia 0-14 tahun di poliklinik Rumah Sakit Mata Cicendo BandungTahun 2011(p-value : 0,00 < α : 0,05). Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan kepada petugas kesehatan khususnya perawat untuk mempertahankan dan lebih meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pengobatan pasca bedah katarak de ngan melakukan penyuluhan yang berkesinambungan dan konseling. Kata kunci: Pengetahuan, sikap dan kepatuhan pengobatan, katarak ABSTRACT In developing countries, the prevalence of blindness is 1.5 children per 1000 children. One type of eye disease that is often experienced by cataract. The number of patient visits cataract surgery at the Hospital Eye Cicendo Bandung during the period of 2008 until the year 2009 continued to increase. The purpose of this study to determine the relationship of knowledge and attitudes of parents with post-cataract surgery treatment adherence in children aged 0-14 years in the national eye center clinic eye hospital Cicendo Bandung in 2011. This type of study is a correlation with cross sectional approach. The entire population of parents who take their children for treatment of postoperative cataract in children polyclinic Cicendo Eye Hospital, Bandung. Sampling technique using accidental sampling with a sample size of 72 people. Data collection techniques using a questionnaire used by univariate analysis using percentages and bivariate analysis with chi-square. The res ults showed more than half (54.2%) knowledge of parents about the treatment of post-cataract surgery is less, more than half (51.4%) parents have unfavorable attitudes and more than half (56.9%) did not adhere to postoperative treatment of cataract. Statistical test results show there is a relationship of knowledge of parents of post-cataract surgery treatment adherence (p-value: 0.00 <α: 0.05) and there is a relationship parents’ attitudes towards treatment adherence after cataract surgery in children aged 0-14 years in polyclinic Eye Hospital Bandung Cicendo Year 2011 (p-value: 0.00 <α: 0.05). Based on the results of these studies suggested to health workers especially nurses to maintain and further enhance public knowledge about the importance of post-surgical treatment of cataract by performing continuous counseling and counseling. Key words: Knowledge, attitudes and adherence to treatment, cataract * Andri Rusbayanti, RS Mata Cicendo Bandung, email :
[email protected] ** Ridwan Setiawan, Politeknik Kesehatan Bandung, email :
[email protected] *** Asep Aep Indarna, Stikes Bhakti Kencana Bandung, email :
[email protected].
84
Andri Rusbayanti, Hubungan Pengetahuan dan Sikap....
PENDAHULUAN Kebutaan pada anak-anak masih menjadi masalah utama di dunia dan diperkirakan sekitar 1.4 juta anak-anak dibawah usia 15 tahun hidup dalam kebutaan, selain itu lebih 12 juta mengalami gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi, yang seharusnya dapat dengan mudah terdiagnosa dan dapat dicegah, namun setiap tahunnya masih muncul kasus baru kebutaan pada anak yang jumlahnya sekitar setengah juta kasus. Hal ini tentunya berdampak buruk terhadap perkembangan dan pendidikan pada anak. Masalah ini terutama dialami oleh Negara-negara berkembang, dimana angka harapan hidup pada penderita anak-anak tersebut sangat menurun. Masalah kebutaan pada anak juga menjadi tantangan bagi Negara-negara maju, karena dengan adanya ilmu pegetahuan dan teknik mutakhir akan membuka peluang baru dalam pencegahan kebutaan (Gilbert C &Foster, 2003 : 86, 261). Kebutaan anak memiliki angka prevalensi kecil, tetapi dampak yang ditimbulkan sangat besar pada kehidupan dan masa depan anak itu sendiri. Anak yang buta dan bertahan hidup akan menderita akibat kebutaannya dalam jangka waktu cukup lama dengan segala konsekuensi emosional, social, dan ekonomis baik untuk anak maupun keluarganya. Di negara berkembang, prevalensi kebutaan anak adalah 1,5 per 1000 anak, Angka kebutaan pada anak yang disebabkan karena katarak juga bervareasi di tiap negara, yakni sekitar 10% hingga 30%, dengan angka rata-rata sekitar 14% anak di dunia, atau sekitar 190.000 anak di dunia mengalami kebutaan yang disebabkan karena katarak. Di Indonesia prevalensi kebutaan yang disebabkan oleh katarak pada anak belum terdapat data yang pasti. Dan berdasarkan perhitungan ekonomi yang berkaitan dengan blind years, penatalaksanaan terhadap kebutaan dapat dicegah pada seorang anak memiliki nilai efektivitas yang sama terhadap penatalaksanaan kebutaan 10 orang dewasa (Shamanna, 2004 ;17-21) Salah satu jenis penyakit mata yang sering dialami adalah katarak. Katarak adalah suatu keadaan dimana terdapat gangguan pada lensa mata berupa hilangnya kejernihan lensa yang mengakibatkan lensa tidak transparan, sehingga pupil akan berwarna putih atau abu abu. Katarak merupakan penyebab kebutaan anak yang bermakna di semua Negara. Diperkirakan hampir dari setengah anak anak buta dapat diobati dan memerlukan perhatian khusus. Bila penanganan katarak ditunda, timbul keadaan lain yang cukup sulit yaitu ambliopia (Sidharta 2009:202). Karenanya penanganan katarak pada anak tidak terbatas sampai dilakukannnya pengangkatan lensa (operasi katarak) saja, tetapi diperlukan penanganan lanjutan, yaitu penilaian status refraksi secara teratur untuk meminimalisir terjadinya ambliopia. Katarak pada anak yang disebut katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti terutama akibat penanganan yang kurang tepat. Katarak pada anak biasa terjadi unilateral dan bilateral (Sidharta 2009:202). Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung adalah Rumah Sakit rujukan mata Nasional kelas A pendidikan dan se-
85
bagai Rumah Sakit Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum milik Departemen Kesehatan. Pada saat ini telah memiliki Poliklinik Anak unit Subspesialistik Pediatrik opthalmologi sebagai sarana fasilitas dalam memberikan pelayanan kesehatan mata pada anak yang mengalami gangguan penglihatan. Rumah Sakit Mata Cicendo juga telah melakukan berbagai upaya dalam penanggulangan kelainan mata katarak pada anak dengan melakukan pelatihan tenaga kesehatan di puskesmas dan kader kader posyandu dalam penjaringan katarak pada anak. Jumlah kunjungan pasien katarak di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung selama periode Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2009 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 jumlah pasian katarak anak sebanyak 867 orang sedangkan pada tahun 2009 menjadi 894 orang dan pada tahun 2010 menjadi 933 orang. Melihat tingginya angka kejadian katarak, maka perlu upaya semua pihak yang serius dalam mengatasi permasalahan ini. Dan pengendalian buta pada anak-anak saat ini menjadi salah satu prioritas utama program World Health Organization (WHO) pada VISION 2020 – The Right to Sight di Indonesia. Program ini merupakan inisiatif global untuk menanggulangi gangguan penglihatan dan kebutaan yang sebenarnya dapat dicegah/direhabilitasi. Ini berarti pemberian hak bagi setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan penglihatan optimal (DepKes RI, 2004). Terdapat berbagai organisasi non pemerintah, yakni salah satunya adalah Sight Savers yang meyakini bahwa pencegahan kebutaan pada anak-anak menjadi prioritas utama, yakni diperkirakan 500.000 kasus baru tiap tahunnya yang menyebabkan kebutaan, dengan perhitung an kasar yaitu diperkirakan satu anak menjadi buta dalam setiap menitnya; katarak pada anak tanpa intervensi dini maka dapat menyebabkan kebutaan yang permanen; kebutaan pada anak dapat dicegah bila orangtua dan komunitas peduli dan memiliki pengetahuan yang tepat tentang penyebab-penyebab kebutaan pada anak (Gilbert, 2003:86). Penanganan gangguan mata katarak salah satunya adalah dengan melakukan operasi katarak. Berdasarkan data diatas selama 3 (tiga) tahun menunjukan adanya peningkatan dari tahun ke tahun khususnya katarak pada anak, sehingga apabila penanganan tidak dilakukan tindakan operasi akan mengakibatkan gangguan tajam penglihatan. Jumlah pasien operasi katarak di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung selama periode Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2009 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 jumlah pasien katarak anak sebanyak 208 orang sedangkan pada tahun 2009 menjadi 264 orang dan pada tahun 2010 menjadi 299 orang. Penyulit (komplikasi) pascabedah katarak setelah pasien diperbolehkan pulang kerumah, baik untuk matanya sendiri dan untuk keadaan umumnya sekarang dapat dikendalikan sebagai hasil dari kepatuhan orangtua itu sendiri terhadap perawatan yang mereka lakukan sesuai dengan anjuran dokter, perawat atau rumah sakit (Sidharta Ilyas, 2009). Kunjungan yang sering dilakukan adalah di unit rawat jalan yang memerlukan minimal 4 kali kunjungan selama 6
86
Bhakti Kencana Medika, Volume 1, No. 3 Juli 2011, hal 84 - 88
minggu pertama setelah keluar dari rumah sakit untuk meyakinkan bahwa mata yang telah dioperasi telah tenang tanpa komplikasi lagi, misalnya uveitis anterioar, glaucoma afakik, atau ablation retina afakik (RS Mata Cicendo, 2002). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan kepada 10 pasien pascaoperasi katarak pada pasien anak diperoleh data 7 pasien (70%) tidak patuh dalam pengobatan pascaoperasi dan hanya 3 pasien (30%) yang patuh terhadap pengobatan. Banyak faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan. Menurut Lowrence Green (Dalam Notoatmodjo,2003) bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor yaitu: Faktor predisposisi yang terwujud dalam pengetahuan, sikap dan keyakinan, faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas dan sarana, serta faktor pendorong yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan.
HASIL PENELITIAN Hasil statistik dengan chi-square menunjukan nilai p-value = 0,000 < 0,05 maka disimpulkan bahwa Ho ditolak yang berati ada hubungan sikap orangtua dengan kepatuhan berobat pascaoperasi katarak pada anak di poliklinik Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
METODE PENELITIAN
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Sikap Orangtua tentang Pengobatan Pascaoperasi Katarak pada Anak Usia 0-14 tahun di Poliklinik Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung tahun 2011
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah korelasi dengan tehnik pengambilan data dilakukan melalui pendekatan cross sectional. Faktor predisposisi a. Pengetahuan orang tua tentang katarak pada anak meliputi : pengertian, penyebab dan gejala, serta fisiologi gejala. b. Sikap orang tua tentang berobat pasca operasi katarak pada anak meliputi : kognitif, afektif, konatif. Faktor pendukung - Lingkungan fisik - Fasilitas/sarana Faktor pendorong - Pelayanan Kesehatan - Petugas kesehatan
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Orangtua tentang Pengobatan Pascaoperasi Katarak pada Anak Usia 0-14 tahun di Poliklinik Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung tahun 2011 No 1 2 3
Pengetahuan Cukup Baik Kurang Total
No 1 2
F
% 10 23 39 72
Sikap Favourable Unfavourable Total
13,9 31,9 54,2 100
F
% 35 37 72
48,6 51,4 100
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Orangtua tentang Pengobatan Pascaoperasi Katarak pada Anak Usia 0-14 tahun di Poliklinik Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung tahun 2011
Kepatuhan berobat pascaoperasi katarak pada anak
Patuh
Tidak Patuh
Variabel dependen (Y) dalam penelitian ini adalah kepatuhan orangtua pasien anak melakukan pengobatan pascaoperasi katarak, sedang-kan variabel independen (X) dalam penelitian adalah pengetahuan dan sikap orangtua mengenai pengobatan pascaoperasi katarak pada anak. Populasi adalah semua orang-tua yang mengantar anaknya berobat pascaoperasi katarak ke poliklinik Anak Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung pada tahun 2010 berjumlah 264 orang. Besaran sampel tersebut adalah sebagai berikut: 264 n= 1 + 264 (0,12 )
n = 72,5 orang dibulatkan menjadi 72 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik accidental sampling.
No 1 2
Pengetahuan Patuh Tidak Patuh Total
F
% 31 41 72
43,1 56,9 100
Tabel 4 Hubungan Pengetahuan Orangtua dengan Kepatuhan Berobat Pascaoperasi Katarak pada Anak Usia 0-14 tahun di Poliklinik Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung tahun 2011 Kepatuhan
Pengetahuan Baik Cukup Kurang
Total
Patuh
Tdk Patuh
9 (90%)
1 (10%)
19 (82,6%)
4 (17,4%)
3 (7,7%)
36 (92,3%) 39 (100%)
Pvalue
C
10 (100%) 23 (100%) 0,00
0.614
Tabel 5 Hubungan Sikap Orangtua dengan Kepatuhan Berobat Pascaoperasi Katarak pada Anak Usia 0-14 tahun di Poliklinik Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung tahun 2011 Sikap
Kepatuhan
Total
Patuh
Tdk Patuh
Favourable
25 (71,4%)
10 (28,6%)
35 (100%)
Unfavourable
6 (16,2%)
31 (83,8%)
37 (100%)
Total
31 (43,1%)
41 (63,9,3%)
72 (100%)
Pvalue
C
0,00
0.614
Andri Rusbayanti, Hubungan Pengetahuan dan Sikap....
PEMBAHASAN Kunjungan yang sering dilakukan adalah di unit rawat jalan yang memerlukan minimal 4 kali kunjungan selama 6 minggu pertama setelah keluar dari rumah sakit untuk meyakinkan bahwa mata yang telah dioperasi telah tenang tanpa komplikasi lagi, misalnya uveitis anterioar, glaucoma afakik, atau ablation retina afakik.(RS Mata Cicendo, 2002). Kurangnya patuh terhadap pengobatan pascaoperasi akan berdampak pada kesembuhan pasien katarak. Menurut Lawrencen green, menyatakan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan atau perilaku seseorang. Dari pengalaman terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Kurangnya pengetahuan tentang upaya penyakit katarak akan berakibat baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap upaya kejadian ulang katarak. Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan. (Notoatmodjo, 2003). Kurangnya pengetahuan tentang dampak, pengobatan dan pencegahan mengakibatkan kurangnya menyikapinya terhadap pengobatan pascaoperasi katarak. Hal ini sesuai dengan penelitian Roggers (1974) dalam urutan perilaku setelah orang tersebut mengetahui dan menyadari maka seseorang akan interest atau mulai tertarik terhadap stimulus untuk memahami pengobatan pascaoperasi katarak. Menurut Skiner (1983) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku adalah respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Berdasarkan batasan tersebut Perilaku dari Skinner tersebut maka perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Untuk mengatasi tingkat pengetahuan yang masih kurang perlu adanya pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masayarakat, kelompok atau individu. Dengan adanya pesan tersebut maka diharapkan masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang baik. Pengetahuan tersebut akhirnya diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku. Dengan kata lain adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat membawa akibat terhadap perubahan perilaku sasaran (Notoatmodjo, 2003). Pendidikan kesehatan ini dapat dilakukan dengan penyuluhan oleh petugas kesehatan kepada masyarakat.
87
Selain pendidikan kesehatan juga perlu adanya promosi kesehatan yang tidak mengubah perilaku saja, tetapi juga perubahan lingkungan yang memfasilitasi perubahan perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003) diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengetahuan, pengalaman pribadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan atau lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu, (Azwar, 2003). Tingginya sikap yang unfavorable pada penelitian ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor banyaknya pengetahuan responden yang masih kurang. Hal ini selaras dengan hasil penelitian yeng menunjukan sebagian besar pengetahuan orangtua tentang pengobatan pascaoperasi katarak pada anak usia 0-14 tahun di poliklinik Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung berpengetahuan kurang baik. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologi menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum menjadi suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2003). Walaupun ada yang menyatakan bahwa sikap menunjukan hubungan yang sistematis yang langsung antara sikap dengan perilaku nyata dikarenakan sikap tidaklah merupakan determinan satu-satunya bagi perilaku (Azwar, 2005), akan tetapi sikap merupakan res pon seseorang yang akan mendorong menjadi sebuah perilaku. Newcomb, salah seorang ahli psikologi menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengaharapkan obyek tertentu, sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari membenci tidak menyukai obyek tertentu (Purwanto, 2000). SIMPULAN DAN SARAN Terdapat hubungan pengetahuan orangtua dengan kepatuhan berobat serta terdapatnya hubungan sikap orangtua dengan kepatuhan berobat pascaoperasi katarak pada anak usia 0-14 tahun di poliklinik Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung Tahun 2011. Untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap orangtua terhadap kepatuhan berobat pascaoperasi katarak, diharapkan petugas kesehatan khususnya perawat bisa mempertahankan dan lebih meningkatkan pengetahuan bagi masyarakat tentang pentingnya pengobat an pascabedah katarak serta mempunyai sikap yang mendukung terhadap pengobatan pascaoperasi katarak serta menyusun dan menetapkan standar operasional penyuluhan pada pasien pascaoperasi katarak tentang pentingnya pengobatan pascaoperasi katarak.
Bhakti Kencana Medika, Volume 1, No. 3 Juli 2011, hal 84 - 88
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. (2009). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bagian Pengelola dan Penyusunan Data Rumah Sakit Mata Cicendo(.2009-2010). Laporan Tahunan Kelainan Katarak Anak. Bandung. RS.Mata Cicendo. Buku Panduan Penulisan Dan Penyusunan Skripsi, 2010. Bandung: Bhakti Kencana. Departemen Kesehatan RI. 2004. Modul Pelatihan Pengelolaan Program Kesehatan Indera Penglihatan dalam rangka Penguatan Pencegahan Kebutaan. Jakarta. Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat. Gilbert C, Foster A. Chilhood Blindness in the Context of VISION 2020- The Right to Sight. Bulletin of The World Health Organization, (2003: 86-261). Hastono. P. Sutanto,2007. Analisa Data Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. John P. Shock,. The Epidemiology of Eye Deases. 2003: 260-262. Kaplan, H.I:B.J.Saddock.(1997). Sinopsis Psikiatri.Jakarta: Binarupa Aksara. Notoatmodjo, (2003). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. ------- (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
88 Pedoman Rumah Sakit. (2002). Standar Prosedur Tetap Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung. -------(2009). Profil Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung. Purwanto, Ngalim (2000). Ilmu Pendidikan Teori dan Praktis. Bandung: Rosda. Shamanna BR,Childhood Cataract: Magnitude, Management, Economics and Impact. Community Eye Health Article, 2004, Volume 17 No. 50. Sidharta. (2009). Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Pustaka FKUI. Sight Savers Internasional. Chilhood Blindness. Tersedia dari: http://www.who.int/mediacentre/facthseets/ fs28/2/en/. Diperoleh tanggal 22 Februari 2010. Smet, Bart (2004).Psikologi Kesehatan Jakarta:PT Gramedia Widia Sarana Indonesia. Sugiyono. (2001). Metode Penelitian Administrasi. Bandung:Alfabeta. -------(2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:Alfabeta. Vaughan DC. 2000. Opthalmology Umum. Jakarta: Widya Medika. Widodo, (2004). Panduan Keluarga Memilih dan Menggunakan Obat, Yogyakarta:Kreasi Wacana.