ANDI KRISHNA
KELAS MASA DEPAN
KELAS MASA DEPAN Oleh: Andi Krishna Copyright © 2011 by Andi Krishna
Penerbit
(
[email protected])
Cover Design by Sarwan Arifin
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Ucapan Terimakasih:
Rasa terima kasih saya berikan kepada istri saya tercinta, Ayunda, atas semua dukungan dan pengertianya selama mengerjakan cerita ini Kepada kedua anak saya, Daffa dan Biel, semua kegiatan bersama mereka membuat selesainya penulisan novel ini menjadi lebih lama, namun lebih bermakna. You both are my inspiration. Teman-teman kerja saya, Adit, Beni dan Iqbal yang sudah banyak sekali memberikan masukan terhadap isi cerita. Adik saya, Ricky, orang pertama yang menyebutkan cerita ini layak untuk diterbitkan, serta pihak-pihak lain yang sulit disebutkan satu per satu.
3
BAB 1 SEBUAH KISAH ”Terima kasih atas waktunya Pak Bariq. Sebagai Kepala Sekolah Pak Bariq bisa dikatakan sangat sukses, sudah beberapa penghargaan yang sekolah terima di bawah kepemimpinan Bapak. Nah, bisa diceritakan sedikit rahasianya?” Tanya seorang murid yang tidak lain adalah seorang reporter majalah sekolah. Dia bertanya dengan sikap santai namun tetap dalam koridor kesopanan. Tangannya memegang sebuah buku catatan kecil. Di atas meja tergeletak sebuah alat perekam dalam posisi menyala. Ini tidak lain adalah sebuah wawancara untuk sebuah artikel majalah sekolah. Di hadapan murid tadi duduk seorang bapak berusia tidak kurang dari 45 Tahun, sebuah usia yang cukup muda mengingat posisi sebagai kepala sekolah saat ini. Rambutnya sudah banyak yang memutih, termasuk beberapa bagian di kumis dan jenggotnya, namun pancaran matanya masih menunjukan semangat yang demikian menyala. ”Kisah yah?” Ucapnya dalam satu helaan nafas. Sekolah yang dipimpinnya memang mengalami peningkatan prestasi yang sigfikan. Beberapa metode yang mereka terapkan bisa dikatakan revolusioner bagi dunia pendidikan saat itu. Mendobrak patronpatron kegiatan belajar mengajar yang umum dilakukan. Namun hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. ”Tunggu biar bapak ingat-ingat...” Ujarnya perlahan dengan suaranya yang berat dan penuh wibawa. Sang reporter mengangguk sambil menunggu. ”Ah, kisah ini dimulai saat bapak masih seusia kamu.” Lanjutnya lagi sambil tersenyum.
4
”Seusia saya?” Murid tadi kaget, namun segera menguasai diri, ”Maksudnya, sampai sejauh itu kisahnya?” Tanyanya dengan kalimat yang lebih formal. Pak Bariq tertawa, ”Ya, semua perjalan ini dimulai saat itu, bapak punya cerita yang sangat inspiratif. Ini tentang bagaimana hidup bapak bisa berubah hingga akhirnya bisa menempuh perjalanan sampai di sini. Kamu punya waktu mendengarkan?” Tanyanya lagi. ”Dengan senang hati pak.” Jawab murid tadi dengan mata berbinar.
5
BAB 2 DAFFA ARGYA FAZIL “Kamu maju!” Sebuah perintah melayang lewat nada suara yang dingin, tenang, namun penuh ketegasan sekaligus intimidasi. Daffa agak tertegun ketika telunjuk sang pemberi perintah seakan mengarah padanya. “Saya pak?” Tanya Daffa ragu-ragu. ”Iya, kamu Daffa.” Konfirmasi itu sontak membuat jantungnya berdebar, kenapa justru saat seperti ini dia harus ditunjuk. “Ayo Bapak mau lihat, kamu coba kerjakan soal ini, sekalian jadi contoh buat yang lain!” Ujar Pak Sarwan di depan kelas. Pak Sarwan adalah seorang guru matematika di SMU Bina Harapan, tempat Daffa bersekolah. Dengan jenggot tipisnya yang khas serta logat Jawanya yang kental, beliau terkenal ‘galak’ di kalangan para murid. Marah, membentak, menghukum, adalah tindakan yang biasa dilakukannya. Sesungguhnya bukan hanya Pak Sarwan, sebagian besar guru di sekolah ini rata-rata sangat tegas terhadap para murid, mungkin hal tersebut ada kaitannya dengan ambisi besar sekolah untuk menjadi SMU favorit. ‘Mati gue’ Pikir Daffa dalam hati, nafasnya bagaikan tercekat di tenggorokan. Soal yang dimaksud Pak Sarwan adalah soal persamaan matematika yang telah dia tulis di papan tulis. “Baik Pak” Jawab Daffa sambil bangkit dari duduk. Sangat perlahan, seakan dia tidak mau bangkit dari sana. Ekspresi panik yang terlihat diwajahnya ditangkap dengan jelas oleh temanteman sekelas yang lain. Hal ini membuat mereka agak bingung, Ada apa? Daffa termasuk salah satu siswa yang pandai di kelas, mengerjakan soal itu seharusnya bukanlah sebuah masalah.
6
Ya, mungkin dalam kondisi normal hal itu bukan masalah, tapi siapapun tidak dapat menghindari ketika nasib buruk membuat semua yang kelihatannya normal menjadi berantakan. Tadi malam Daffa mengalami sakit perut yang hebat. Jangankan untuk belajar, dia bahkan tidak dapat untuk sekedar bangun dari tempat tidur. Akhirnya perintah Pak Sarwan minggu lalu untuk mempelajari contoh soal yang ada di buku tidak dapat dijalankannhya, dia bahkan tidak ingat. Pola belajar seperti itu sering Pak Sarwan lakukan untuk membantu dia mengejar pelajaran yang belum diajarkan sehingga pada akhirnya mampu mencapai silabus yang ditetapkan sekolah. Dan hari ini, dia ingin menguji tugas yang minggu lalu telah diberikan pada muridnya itu. Daffa kini telah berdiri di depan kelas menghadap papan tulis, berusaha mengerti soal yang ada disana. Dia membuat beberapa coretan namun yang mampu dilakukannya adalah hanya menulis ulang soal tersebut di bawahnya. Dia benar-benar tidak mengerti, blank! Dahinya mulai berkeringat, keringat dingin, kondisi yang biasanya muncul ketika seseorang sedang dalam keadaan takut atau panik, kurang lebih seperti yang sedang Daffa alami saat ini. Suasana kelas menjadi hening - sangat hening. Respon temantemannya campur aduk antara prihatin, takut, simpati dan geli melihat tingkah Daffa di depan. Namun tidak ada satu orangpun yang melakukan sesuatu, mereka khawatir salah melakukan gerakan malah akan menjadi ‘korban’ berikutnya. Pak Sarwan yang sejak tadi duduk di meja guru dan serius membaca akhirnya mengalihkan pandangannya ke papan tulis. Sontak dia terkejut karena Daffa masih belum mengerjakan soal yang dimaksud. “Mana jawabannya?!” Tanyanya dengan suaranya yang berat. Kepalanya sedikit menunduk untuk melihat dari bagian atas
7
kaca matanya. Pandangannya terasa sangat mengintimidasi. Daffa tidak memberikan reaksi. ”Kenapa kamu? Tidak bisa?” Tanyanya lagi setelah mendapati Daffa hanya diam. “Tidak pak” Jawab Daffa jujur dengan seulas senyum malu. Tidak ada pilihan lain buat dia selain mengakuinya. “Sudah kamu pelajari belum? Ini kan soal sederhana, sudah ada contohnya.” Tanya Pak Sarwan lagi sambil menunjuk halaman buku yang sejak tadi dipegangnya. ”Bapak sudah perintahkan untuk dipelajari kan?” Kali ini dia bertanya kepada yang lain, lebih merupakan penegasan ketimbang sebuah konfiirmasi. Pertanyaan ini bahkan tidak perlu ditanggapi. Daffa merasakan udara ruangan kelas semakin panas, entah karena terik matahari dari luar atau memang karena suasana hati Daffa yang sedang tidak menentu. “Belum pak, tadi malem saya sakit.” Kali ini Daffa berusaha menjelaskan, suaranya sedikit gemetar karena tegang dan malu. Dia hanya sekali melirik ekspresi wajah Pak Sarwan, kemudian menjatuhkan kembali pandangannya ke papan tulis. Namun momen sekilas itu cukup untuk mengetahui betapa dinginnya ekspresi sang guru. Diantara kerut-kerutan di wajah yang seakan mewakili seluruh pengalaman hidup gurunya tersebut. “Alasan aja kamu.” Semprot Pak Sarwan. Seisi kelas sadar, inilah saatnya sang Guru marah. “Makanya kalian itu harus belajar supaya siap, supaya pintar” Dia berbicara kepada murid yang lain dan membiarkan Daffa di depan. Daffa mengamati Pak Sarwan berjalan mengitari kelas yang membuat suasana semakin tidak nyaman, bukan hanya bagi Daffa, namun juga bagi yang lain. Sebagian besar dari murid di kelas menundukan kepalanya.
8
“Gimana kamu ini Daffa? Mulai malas kamu ya? Kamu pikir main-main perintah saya?” Pak Sarwan balik memarahi Daffa. Dia terdengar lebih kecewa ketimbang marah karena sesungguhnya dia berharap Daffa bisa mengerjakan soal tadi sekaligus menjadi contoh untuk yang lain. Ini akan sangat membantu pola belajar yang dia kembangkan. Pemilihan Daffa juga sudah dia pertimbangkan, dia termasuk murid terpandai di kelas. Perasaan Daffa sendiri campur aduk antara kesal, malu dan bingung, belum lagi pusingnya karena kurang tidur semalam belum sepenuhnya hilang. Apakah kondisinya tadi malam bukan sebuah alasan yang bisa diterima? Itu memang kondisi yang sebenarnya terjadi. “Yang lain? Ada yang bisa membantu?” Pertanyaan Pak Sarwan ini sontak membuat jantung yang lain berdebar. Seisi kelas masih terdiam, sebagian besar dari mereka meletakan pandangannya pada buku pelajaran di atas meja, berusaha sekeras mungkin untuk tidak menarik perhatian Pak Sarwan. Sebisa mungkin bukan menjadi murid yang ditunjuk. “Aggy?! Kamu kerjakan ke depan!” Perintahnya pada Aggy akhirnya. Penunjukan Aggy adalah hal yang wajar, dia juga termasuk anak yang pandai, bahkan termasuk cewek yang terpandai di kelas. Pak Sarwan tentu menganggap Aggy akan mampu untuk mengerjakan soal ini, sekaligus memberikan hukuman kepada Daffa dengan membiarkannya tetap berdiri di depan hingga pelajaran selesai. Dalam bahasa lain, Pak Sarwan ingin mempermalukan Daffa sekaligus menjadi shock theraphy buat yang lain. Pesannya jelas, jangan main-main dengan pelajaran saya! Dari posisinya berdiri, Daffa dapat melihat Aggy terdiam sesaat setelah perintah tadi datang, raut mukanya tampak berpikir keras. Tidak lama kemudian dia berdiri perlahan dari mejanya menuju ke depan.
9
Setelah mengambil spidol, Aggy melirik sebentar kepada Daffa, kemudian mulai fokus ke soal di papan tulis tersebut. Setelah beberapa saat Aggy masih belum mengerjakan apapun, dia masih hanya memandangi soal dengan tatapan kosong. Kosong dan tampak bingung. “Kenapa Aggy?” Pak Sarwan ekspresinya tidak kalah bingung.
memecah
keheningan,
“Tidak bisa pak.” Jawab Aggy perlahan sambil menggeleng. Seisi kelas kembali terkejut, bahkan Daffa memandang Aggy dengan tatapan tidak percaya. Sekilas dilihatnya Aggy tersenyum padanya. Tersenyum? Ah, benarkah penglihatannya barusan? “Kamu ga bisa juga?! Ga belajar juga kamu?!” Suara Pak Sarwan kembali meninggi, emosinya kembali meluap ke permukaan. Sedetik kemudian dia membuka kacamatanya, menutup buku dan membantingnya ke meja. “Wah-wah, payah kelas ini, payah kalian semua, yang pinter aja ga bisa ngerjain apa lagi yang lain. Habis jam belajar buat drama kaya begini.” Lanjutnya sambil geleng-geleng kepala. ”Perintah saya untuk kalian pelajari soal dulu itu supaya kita bisa menghemat waktu di kelas, supaya pelajaran tidak ketinggalan, ini malah buang-buang waktu.” Amarahnya masih tumpah mengalir lewat setiap kalimat yang dia ucapkan, ”Saya tidak mau tahu, minggu depan kita ulangan!” Tegasnya. “Kalian berdua duduk!” perintahnya pada Daffa dan Aggy dengan gerakan dagu. “Belajar lagi, jangan malas!” Bentaknya saat mereka lewat di depannya. Untung saja, pikir Daffa sesaat, paling tidak dia tidak harus berdiri di depan hingga akhir pelajaran. Daffa tidak dapat konsentrasi di sisa waktu pelajaran, pikirannya masih tersita oleh kejadian tadi, kejadian yang tidak pernah 10
diharapkannya. Bukan hanya karena dia dimarahi di depan kelas, namun juga karena kenyataan bahwa Aggy tidak mampu mengerjakan soal tadi. Hal ini mengganggu pikirannya. Ada apa dengan Aggy? Dan apa arti senyumnya tadi? Benarkah tadi dia tersenyum? Pelajaran matematika hari itu benar-benar tidak masuk ke otaknya. Akhirnya jam pelajaran yang terasa sangat panjang itu selesai. Bunyi bel pulang terdengar di seantero sekolah, pelajaran tadi adalah jam pelajaran terakhir. Akhirnya! pikir Daffa dalam hati. Para murid segera merapihkan tas dan berhamburan pulang. Teman-teman Daffa masih membahas kejadian tadi sambil berjalan keluar sekolah. “Sabar kawan, sabar…” ujar Beni, salah satu teman sekelasnya sambil menepuk-nepuk pundak Daffa, sontak hal ini diikuti tawa dari teman-teman yang lain. Daffa dan kawan-kawan adalah siswa SMU kelas satu, sambil menuju gerbang sekolah, mereka berjalan bergerombol melewati kelas demi kelas di SMU Bina Harapan. “Kalau kita sih enggak apa-apa, kalo lo kan pinter, kenapa ga bisa sih?” lanjutnya sambil merangkul pundak Daffa dengan tangannya. “Gue ga belajar semalem.” Daffa terlihat enggan menanggapi, dia hanya menjawab tanpa sedikitpun menoleh. “Tapi kan lo pinter Fa?” Beni berkoar lagi. “Tetep aja ini kan masalah udah mempelajari atau belum, siapapun juga ga akan bisa ngerjain kalau belum belajar.” Daffa sedikit kesal dengan kesan bahwa anak pintar harus selalu bisa. Tidak ada anak pintar, yang ada adalah mereka yang mau belajar, dan tadi malam, dia tidak belajar, titik.
11
“Sejarah nih, Daffa dimarahin depan kelas, hahahaha….” Timpal yang lain. Daffa tidak tertarik menanggapi karena perasaannya masih kesal sekaligus malu. “Woi, jangan murung gitu dong.” Ujar Adit kali ini, “Lo baru sekali ngerasain sih, kalo gue udah beberapa kali, paling enggak lo tau lah rasanya dimarahin di depan kelas.” “Iya, sekali-kali ngambil jatahnya kita yang goblok-goblok ini, hahaha…” Mau tidak mau, kalimat teman-temannya tadi membuat Daffa tersenyum. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti, tepat di depan perpustakaan. “Eh, kalian duluan yah, gue ke perpus dulu.” Ujarnya sambil langsung masuk ke perpustakaan, meninggalkan temantemannya yang tertegun bingung. ***************** SMU Bina Harapan memliki ruangan perpustakaan yang luas, hampir seluas dua kali ukuran kelas yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Di tengah-tengah ruangan terdapat ruang membaca, terdiri dari meja dengan sekat-sekat yang memberikan kenyamanan dalam membaca. Di sekeliling ruangan terdapat rak-rak buku yang memanjang hingga dinding. Tidak seperti perpustakaan yang umumnya berdebu atau kurang terawat, Perpustakaan ini sangat bersih dan nyaman. Tentu saja hal ini diiringi dengan peraturan yang ketat, tidak boleh berisik, tidak boleh membawa makanan, tidak boleh telat mengembalikan buku pinjaman, dan lain sebagainya. Daffa melangkah perlahan ke arah meja petugas untuk menemui seseorang. Tadi, saat melintas di depan perpustakaan dengan teman-temannya, Daffa sekilas melihat Aggy ada di dalam. Dia langsung mengambil keputusan untuk menghampirinya. Ada yang ingin dia bicarakan. Lebih tepatnya, ada yang ingin dia tanyakan.
12