Anam Rufisa
Catatan Anak Kelinci
Penerbit Ana Monica Rufisa
Catatan Anak Kelinci Oleh: Anam Rufisa Copyright © 2010 by Anam Rufisa
Penerbit Ana Monica Rufisa
Website: http://anamrufisa.tumblr.com/ Email:
[email protected]
Desain Sampul: Ana Monica Rufisa
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
1 | Antara Perut dan Hati
“SELAMAT
PAGI,
saudara-saudaraku
yang
bermanfaat,” aku tersenyum menyambut pagi yang mulai agak siang. Aku heran, mengapa pagi ini orangorang lebih tergesa-gesa dari biasanya? Dan aku masih dengan baju dasterku. Sebagai orang yang terlambat bangun, aku seperti melewati banyak waktu
yang
terbuang.
Mengapa
kita
tidak
memperlambat segalanya sedikit saja dan menikmati hidup? Seperti aku di pagi yang agak siang ini. Sebetulnya aku bangun pukul 04.00 pagi, beribadah, lalu setelah itu si setan bantal berhasil membujukku untuk tidur lagi. Sampai tadi aku melihat matahari sudah mulai meninggi, aku berinisiatif untuk membuat minuman yang bisa menyembuhkanku dari pengaruh setan bantal. Ini akibat tugas makalahku yang akhirnya mengurangi jatah jam tidurku semalam. Aku harap hari ini libur. Dan aku bisa melanjutkan tidurku lagi… Dasar otak bantal! 3
Apakah ini yang mereka sebut hidup? Tergesagesa setiap pagi? Seandainya mereka tahu bagaimana rasanya ketika anak angin membelai wajah saat mata terpejam sambil merenungkan ini dan itu. Seperti yang aku lakukakan sekarang. Merenung adalah sifatku. Namun, aku bukan pemalas, aku hanya melakukan ini jika perlu dan ada waktu. Hanya saja masalahnya adalah hidup memang seperti ini. Kebutuhan yang tak terbatas memberi kita sedikit waktu untuk sekadar merenung dan bertanya: Siapa kita? Robotkah? Atau kelincikah? Sudahkah kita menjadi manusia seutuhnya? Aku menguap, lalu menghabiskan teh manis hangatku yang tinggal seperempat gelas. Akhirnya aku mendapat kabar buruk kalau hari ini tidak libur. Baiklah, renungan pagi ini aku cukupkan saja. Sudah waktunya berurusan dengan sesuatu yang mereka sebut “cikal bakal masa depan”, apa lagi kalau bukan kuliah!
4
Beberapa kali aku bertanya-tanya bagaimana teman-temanku
menilaiku.
Apakah
mereka
menganggapku seorang yang percaya diri? Seorang yang hanya banyak membicarakan teori? Seorang yang sangat berarti? Ataukah hanya manusia yang tak tahu diri? Sayangnya, tak ada cara yang lebih objektif untuk mendapatkan jawabannya. Aku membuka pintu kelas. Lalu mendengar teman-temanku berkata padaku, “Hari ini kita gak jadi presentasi, dosennya gak masuk!” APA?????!!!! Air muka kecewa juga terlihat di muka teman-temanku yang sudah datang jauh-jauh dari rumah ke kampus. Kalau tahu begini, mereka tidak perlu pergi pagi-pagi dan berjejalan di dalam bus! Dengan wajah menyerupai pas foto KTP, semua mahasiswa pulang. Pulang tanpa membawa satu catatan pun, kecuali sepatu kotor (karena pagi ini jalanan begitu becek, bekas hujan semalam). Inikah hasil dari begadang semalaman? Hati sebelah kananku berkata aku harus memanfaatkan 5
waktu
untuk
tidak
pulang
dan
pergi
ke
perpustakaan. Tapi hati sebelah kiriku membujukku untuk pulang ke kosan dan melanjutkan tidur. Siapa yang menang? Ternyata yang menang adalah perut. Aku mengajak kedua temanku makan siang, walaupun masih belum siang! Waktu tidak bisa menahan perut manusia yang lapar. Jika kau bimbang pada hatimu, maka coba kau tanyakan pada perutmu! Itulah filosofiku hari ini. Dan jangan ditiru!
6
2 | satu pertanyaan, satu alasan...
Tiga
tahun
yang
lalu.
Ketika
aku
sulit
menetapkan hati untuk menentukan satu pilihan. Sebuah pilihan yang berat aku rasa. Pilihan yang akan menjadi penentu di hari depan. Pilihan yang akan menjadi kendaraan untuk mewujudkan impian. Tapi apakah kalian tahu? Saat aku berhasil mengalahkan
bimbang
hingga
akhirnya
aku
menentukan satu pilihan, saat itu pula aku hilang harapan… “Mama
gak
setuju
kalo
kamu
ngambil
jurnalistik… Kamu kan perempuan, jangan kerja yang berat-berat. Jadi guru aja ya,” Aku masih ingat percakapan yang begitu dalam antara aku dan ibuku. Demi masa depan katanya. Memangnya masa depan jurnalis itu seburuk apa sih? Sifat labilku masih sangat mendominasi pada saat itu. Dua malam aku tak bicara banyak di rumah. Hanya shalat, makan, mandi, mengangkat telepon,
7
belajar, belajar, dan belajar. Tiap hari pergi ke tempat bimbel. Di rumah pun aku terpaksa mengakrabkan diri dengan soal-soal latihan, ini semua aku lakukan agar aku bisa masuk ke perguruan tinggi negeri. Tapi entah kenapa semangat belajarku waktu itu terasa mengambang. Ya, karena aku masih belum tahu, mau kuarahkan ke mana ikhtiarku ini? “Aku gak mau jadi guru…” kataku sambil lalu. Aku mengambil handuk, di situ ada mama yang sedang memasak untuk makan malam. Mama purapura tak mendengar. “Pa, aku gak mau jadi guru…” aku mencoba mencari sekutu. Aku berharap dapat dukungan, tapi… “Guru
itu
mulia…
Turutin
aja
apa
kata
mamamu…” ternyata ayahku setali tiga uang, sama saja. Yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa, memohon petunjuk-Nya. Suatu hari, papaku menjemputku seperti biasa di tempat bimbel. Ia tersenyum sambil memberikan
8
helm.
Ia
berbisik,
“Mama
masak
sop
iga
kesukaanmu… Ada cumi goreng tepung juga…” Aku diam saja. Aku masih ngambek. Tapi aku tak kuasa menahan haru. Di belakang punggung papa, air mataku jatuh tanpa diperintah. Aku rapatkan kaca helmku. Aku genggam erat jaket papaku. Aku menangis dalam diam. Isakanku tersamarkan oleh suara bising jalan. Papa, pilihan ini terlalu berat... Masih terekam jelas, ketika Ujian Nasional hari pertama, aku termasuk salah satu anak yang dengan sombongnya menolak tawaran kunci jawaban dari teman. Ketika anak-anak lain berkumpul di WC sekolah sambil kasak-kusuk membagikan kunci jawaban,
aku
dan
teman-temanku
memilih
membentuk lingkaran dan berdoa. Hanya Tuhan kekuatanku. Hanya Tuhan penolongku. Ujian dimulai. Enam puluh menit kemudian, dengan langkah yang pasti, aku mengumpulkan lembar jawaban dan keluar dengan perasaan lega. Aku pulang dengan membawa senyum percaya diri.
9
Aku kaget, di depan gerbang sekolah papa sudah menunggu dengan motornya. Seumur-umur, papa tidak pernah menjemputku ke sekolah. “Kok Papa jemput? Tumben deh…” kataku sambil menyambut helm yang disodorkannya. “Supaya kamu selamat sampai rumah, besok kan masih ada ujian lagi…” itu katanya. Dan setibanya di rumah, kalian tahu? Mamaku telah menyiapkan teh hangat untukku, yang ketika itu memang sedang turun hujan (aku dan papa kehujanan). Ya Allah, aku tidak pernah sebahagia ini. Aku sadar. Orang yang selama ini menyokongku habis-habisan adalah mama dan papa. Tapi kenapa aku tidak mau menuruti pilihan yang mereka pilihkan untukku? Menjadi guru? Ya, aku rasa ini bukan suatu masalah. Akhirnya aku memantapkan hati untuk menjadi guru, aku memilih jurusan Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia di Universitas Islam Negeri. Lalu, ketika menginjak tahun ketiga, aku tak percaya, mamaku ternyata masih meragukan pilihanku. 10