[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 1
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Catatan Seorang Anak Penulis:
Suwito Hendraningrat Pudiono, M.Psi. Psikolog Website http://www.PsikologiAnak.co.id
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 2
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Perhatian • •
• •
Ebook ini adalah ebook GRATIS yang bisa didapatkan dengan subscribe di mailing list www.PsikologiAnak.co.id dan www.PsikoAnak.com Jika Anda merasa mendapatkan ebook ini bukan dari sumber diatas, ada baiknya Anda subscribe gratis di website tersebut, karena Anda pasti akan mendapatkan banyak tips yang berguna dari sana. Dilarang mengubah sebagian atau keseluruhan isi ebook ini untuk kepentingan apapun. Ebook ini boleh diberikan gratis kepada orang lain, selama tidak ada materi yang diubah.
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 3
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Daftar Isi Judul…………………………………………………………..……………………………………………………………………………………………1 Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………………………………………………………4 Awal dari Sebuah Catatan ………………………………………………………………………………………………………..………….…5 Catatan 1: Tentang Harta Warisan…………………………………………………………………………………………..………………7 Catatan 2: Tentang Perjalanan Hidup ………………………………………………………………………………………..…………10 Catatan 3: Tentang Hidup adalah Pilihan…………………………………………………………………………………..…..………12 Catatan 4: Tentang Kisah Para Pemimpi………………………………………………………………………………….….…………17 Catatan 5: Tentang Kebahagiaan…………………………………………………………………………………………………..………25 Catatan Penutup……………………………………………………………………………………………………………………………………31
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 4
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Awal dari Sebuah Catatan Dear pembaca yang terkasih, Keindahan hidup, seperti yang saya pahami dari kacamata saya, bukanlah terletak di kekayaan materi yang dimiliki, bukan pula dari kekuasaan yang tinggi untuk mengatur hidup orang lain, bukan pula dari kekuatan fisik yang hebat, melainkan dari kemampuan untuk mencinta dan dicinta. Cinta itulah awal mula kehidupan kita sebagai manusia dan cinta pulalah yang membuat hidup kita ada artinya. Tanpa cinta, mungkin akan banyak di antara kita yang lebih baik mati daripada hidup tanpa arti. Catatan seorang Anak adalah kisah pembuka dari Buku Anakku Hidupku, dimana dalam catatan ini, anda akan mendapatkan sharing dari kacamata seorang anak cacat fisik dalam memahami arti cinta, hidup dan keyakinan yang diajarkan serta ditanamkan oleh orang tua yang penuh kasih kepada anak tersebut, yaitu diri saya sendiri. Catatan hidup saya ini merupakan catatan Cinta yang dianugerahkan Tuhan kepada saya melalui orang tua saya, terutama almarhum ibu saya yang terkasih, dan untuk mengabadikan Cinta beliaulah, saya membagikan kisah hidup saya untuk menjadi bahan pembelajaran hidup bersama bagi kita semua, baik sebagai orang tua, sebagai anak, maupun sebagai individu bebas. Anda akan membaca catatan ini dalam bentuk tema‐tema yang terpisah sesuai dengan tema utama pada setiap catatan dan ditulis dalam bentuk sharing di peristiwa‐peristiwa khusus berdasarkan tanggal penulisan. Sebagai seorang anak yang terlahir dengan cacat fisik (skoliolis), selama bertahun‐tahun lamanya, saya berjuang untuk mampu menerima diri saya apa adanya, untuk mampu menerima kenyataan seperti apa yang sudah digariskan kepada saya. Namun, hal itu tidak semudah seperti membalikkan sebuah tangan, walaupun memang saya dikaruniai banyak kelebihan lain, di samping keterbatasan saya. Saya bersyukur, di saat‐saat krisis identitas yang paling hebat dalam hidup saya, Tuhan telah sejak awal menganugerahkan malaikat pelindung yang sangat mengasihi saya, yaitu ayah dan ibu, sehingga saya mampu menemukan arti dari keberadaan diri saya bagi dunia di sekitar saya. Dan kasih itulah, yang menuntun jalan hidup saya hingga hari ini ketika saya mampu berdiri tegak sebagai pemuda mandiri yang memiliki harga diri sebagai pribadi yang bebas. Saya tidak mampu membayangkan, kehidupan semacam apa yang akan saya jalani, bila Tuhan tidak pernah menganugerahkan malaikat pelindung seperti kedua orang tua saya? Oleh sebab itu, Catatan seorang Anak, saya persembahkan special bagi kita semua, apapun status anda dalam keluarga, yang ingin bersama‐sama belajar mengenai cinta, hidup, dan keyakinan dalam keluarga bahagia kita semua. Selamat membaca
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 5
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Cinta itu anugerah, maka berbahagialah Sebab kita sengsara, bila tak punya cinta (dikutip dari lirik Arti Kehidupan, Doel Sumbang)
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 6
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Catatan 1: Tentang Harta Warisan Halo rekan‐rekan sekalian! Bagaimana kabarnya hari ini? Saya yakin, setiap kali saya menanyakan hal ini, jawaban satu‐satunya yang muncul dari benak anda adalah "Wow! It's a very good day indeed!" Bagaimana tidak? Setiap pagi kita selalu disambut dengan terpaan sinar mentari pagi yang menghangatkan jiwa kita, disambut juga dengan kelembutan angin surgawi yang menggiringi setiap ayunan langkah kita dengan pasti, disambut juga dengan nafas kehidupan yang senantiasa memberi kita harapan untuk menggapai impian, dan yang tak kalah pentingnya, disambut juga dengan senyuman indah orang ‐orang terkasih yang senantiasa mewarnai kehidupan kita, membuat kita merasa yakin bahwa hidup kita berarti, hidup kita indah. Tak terasa, kita sudah memasuki masa libur lebaran yang cukup panjang, hari‐hari di mana kita bisa berkumpul dan menghabiskan waktu bersama dengan orang‐orang terkasih setelah melalui hari‐hari yang penuh perjuangan. Ah, betapa cepat waktu berlalu. Selalu, setiap kali ada pertemuan, ada perpisahan, dan tidak ada yang bisa kita lakukan, selain menyimpan pertemuan itu sebagai harta yang abadi di hati kita. Entah bagaimana dengan rekan‐rekan, namun, bagi saya pribadi, libur lebaran kali ini memberikan kenangan yang tak terlupakan dalam hidup saya sekaligus juga menyedihkan bila saya kenang lagi sekarang. Setahun yang lalu, tepatnya 1 minggu menjelang libur lebaran, saya bersama almarhum ibu saya pergi berjalan‐jalan. Sebenarnya saya ingin menghabiskan hari minggu beristirahat untuk memulihkan tenaga saya yang terkuras pada hari‐hari biasa, dan ayah sempat cemas bila saya terlalu menguras tenaga. Namun hari itu, ada sesuatu yang membuat saya tidak bisa menolak keinginan ibu untuk makan di Mirota sambil mengunjungi bibi di pasar DTC dan lucunya, ibu sambil berbisik meminta saya mengatakan pada ayah, kalo saya yang mengajak ibu pergi agar nanti ibu tidak dimarahi ayah. Singkat kata, kamipun melakukan perjalanan shopping kami, yang pada waktu itu, tidak saya sadari, bahwa perjalanan itu akan menjadi yang terakhir karena keesokan malamnya, sepulang saya dari kuliah, ayah memberitahu saya sebuah kabar yang sangat mengejutkan, bahwa dari hasil CT Scan yang telah dilakukan beberapa hari sebelumnya, dokter menyimpulkan kanker ibu telah menyebar ke otak dan paru‐paru. Seketika itu, saya tidak tahu apa yang sebenarnya saya rasakan. Ayah meminta saya untuk tidak mengatakan hal ini pada ibu dan menyuruh saya menenangkan ibu bahwa dokter mengatakan tidak apa‐apa, ibu hanya stress saja. Namun, melihat ayah saya sendiri yang juga hampir menangis, dan melihat ibu yang berbaring di sofa sambil terus memegangi kepalanya, saya sadar, saya pun juga harus menegarkan diri.
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 7
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Rekan‐rekan sekalian, pergumulan saya sepanjang hidup adalah menemukan jejak Tuhan dalam hidup saya. Semenjak operasi yang hampir menghentikan jantung saya untuk selama‐lamanya dan tidak terwujudnya mujizat yang saya harapkan, saya telah memutuskan berhenti berharap pada‐Nya. Namun, malam itu, saya melewatkan hampir sepanjang malam untuk bergumul lagi, memohon lagi, dan berharap lagi. Saya teringat keyakinan Laden dan Laleh Bijani (kembar dempet kepala dari Pakistan yang meninggal saat operasi pemisahan kepala yang kontroversial di Singapura) yang mengatakan, “If God wants us to live the rest of our lives, as two separate individual beings, then we will.” Saya malu, karena saya tidak memiliki keberanian dan keyakinan sebesar itu. Rekan‐rekan sekalian, seringkali dalam perjalanan hidup saya, ada banyak hal yang sulit saya temukan jawabannya. Saya yakin, kita semua pasti merasakan hal yang sama. Ada kalanya saya merasa sudah tidak memiliki tenaga lagi, ada kalanya saya merasa perjalanan saya sia‐sia. Namun, orang tua saya selalu menggandeng tangan saya untuk tetap berjuang, berjuang, dan berjuang, apapun kelak hasilnya dan bila ternyata hasilnya tidak sesuai harapan, tentu tidak ada yang perlu disesalkan karena kita sudah berusaha yang terbaik. Penyesalan hanya terjadi pada orang yang tidak memahami hidupnya sendiri. Masih terngiang jelas kata‐kata ibu dulu, ”Mama gak pernah menyesal punya anak kamu. Bagi mama, kamu membanggakan. Pokoknya, anak mama gak boleh kalah sebelum berjuang.” Saya belum pernah tahu rasanya jadi orang tua. Tentu rekan‐rekan yang sudah berkeluarga sudah pernah merasakan menjadi anak dan kemudian menjadi orang tua. Namun saya sebagai anak, sangat paham rasanya menjadi anak. Orang tua saya selalu mendukung saya untuk tumbuh menjadi pria mandiri dan mampu menggapai impian. Ketika saya melontarkan keinginan saya untuk mencari pekerjaan sambil meneruskan S2, ayah langsung berkata, “ gak apa, papa mama dukung. Kalau anak punya cita‐cita, pasti didukung. Papa mama gak isa ngasi warisan terlalu banyak. Ya, Cuma pendidikan, warisan yang bisa papa mama kasih. Jadi kamu gak usah mikir biaya, itu kewajiban papa mama.” Ah, saya dulu berdoa semoga Tuhan memberikan kesempatan kepada saya untuk menunjukkan janji saya kepada ibu pada hari wisuda nanti, namun ternyata, Tuhan berkata lain. Hari terakhir sebelum ibu koma dan akhirnya meninggal, saya berdiri di samping ibu, yang pada waktu itu bernafas sudah harus dengan tabung oksigen dan mulutnya pun dipasang penyedot liur, tanpa sadar saya memanggil, “Mommy, mommy.” Seketika itu, ibu membuka mata dan kemudian tersenyum, senyum yang tercantik yang pernah saya lihat. Aneh, melihat kecantikan ibu yang tak pudar oleh waktu dan penderitaan, semangat hidup ibu yang tak pernah padam hingga akhir hayat, cinta ibu yang menguatkan, saya merasa mendapatkan kekuatan untuk tidak menangis lagi. Saya belajar bila menangis maupun tertawa sama‐sama tidak mengubah keadaan, untuk apa menangis? Bukankah tertawa akan lebih mencerahkan hati daripada menangis? Rekan‐rekan sekalian, andai suatu saat kelak ada orang yang bertanya kepada saya, ”Suwito, apa saja sih peninggalan orang tuamu? Harta apa dari orang tuamu yang kamu anggap paling berharga? Uang? Rumah? Jabatan? Gelar pendidikan? Nama baik? Atau apa?”
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 8
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Well, bagi saya pribadi, jawabannya hanya satu,”Cinta”. Cintalah harta benda yang paling berharga yang diwariskan orang tua saya kepada anak‐anaknya. Cinta‐ lah yang membuat orang tua saya tidak pernah putus asa untuk mengusahakan yang terbaik dalam memenuhi pendidikan anak‐anaknya, cinta‐lah yang membuat orang tua saya tidak pernah menyerah untuk mempertahankan nama baik agar kelak anak‐anaknya tidak dikenal sebagai anak dari keturunan “sampah”, cinta‐lah yang membuat orang tua saya tidak pernah berhenti berusaha untuk menabung agar anak‐anaknya tidak sampai ikut menanggung hutang yang tidak perlu, cinta‐lah yang membuat orang tua saya tidak pernah berhenti memastikan anak‐anaknya dapat berdiri dengan tegap sebagai orang‐orang yang berguna, cinta‐lah yang membuat orang tua saya menangis ketika anaknya menangis, tertawa ketika anak‐anaknya tertawa, cinta‐lah yang membuat ibu saya selalu mencium pipi saya setiap pagi berangkat kerja dan setiap malam pulang kuliah, meskipun sering saya pulang dalam keadaan belum mandi sejak pagi, dan cinta‐lah yang membuat orang tua saya tidak pernah menyesal dikaruniai anak‐anak seperti kami.” Itulah mujizat Tuhan yang baru saya sadari. Well, rekan‐rekan sekalian, entah anda sebagai orang tua atau sebagai anak ataupun sebagai individu bebas, bila kelak ada orang yang bertanya, “Apa harta yang paling berharga dalam hidupmu?” Apakah jawaban anda? So, let’s be a little candle in the dark Surabaya, 22 Oktober 2006 Suwito Hendraningrat Pudiono
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 9
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Catatan 2: Tentang Perjalanan Hidup Halo rekan‐rekan sekalian! Bagaimana kabarnya hari ini? Saya yakin, menjelang pergantian tahun, selalu tumbuh keyakinan baru yang pasti dalam diri kita, bahwa apapun yang terjadi, apapun yang kita hadapi, tak satupun yang akan pernah dapat meruntuhkan semangat kita untuk membuat hidup kita menjadi berarti, seberapa beratnya pun beban yang kita pikul. Tak terasa, kita sudah mendekati akhir perjalanan kita di tahun 2006, dan kitapun akan segera memasuki babak baru dari perjalanan kita menapaki tahun 2007. Sekilas bila saya merenungkan kembali, betapa masa yang berlalu takkan pernah kembali dan suka duka yang kita rasakan kemarin, kini tinggal kenangan abadi yang telah mengubah hidup kita hari ini dan hari esok. Apakah kita pernah menyesali masa lalu ataukah kita mensyukuri kita pernah melalui masa‐masa tersebut? Selama 27 tahun, perjalanan hidup saya mengalami pasang surut. Ada saat‐saat di mana saya menulis kisah hidup saya dengan tinta kebahagiaan yang sampai sekarang membuat saya tersenyum setiap kali kisah itu saya kenang kembali. Dan ada saat‐saat di mana saya menulis kisah hidup saya dengan tinta kepedihan dan keputus asaan yang sampai sekarang membuat saya selalu ingin belajar, mengambil pilihan hidup dengan lebih bijak dan tanpa penyesalan sesuai dengan berkat Tuhan. Saya yakin, bagi rekan‐rekan yang mengenal saya, tidak ada satupun di antara rekan‐rekan yang mungkin pernah menyangka, bahwa di masa‐masa pergumulan batin saya, saya pernah menjadi klien salah satu Psikolog terkenal di Surabaya karena depresi akut di masa‐masa remaja saya (mungkin itu juga salah satu motivasi saya memutuskan kuliah di Psikologi). Gugatan saya akan kebesaran dan kebenaran Tuhan selalu menjadi pertanyaan yang paling saya tuntut jawabannya dan seringkali saya merasa tidak memiliki kekuatan untuk menuntut lagi. Dr. Arthur Yau (salah satu ahli bedah tulang punggung terbaik di Asia ) mengatakan bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki tulang saya, karena sudah terlambat. Dia yakin kalau operasi pertama langsung ditanganinya, persentase kesuksesannya cukup besar karena dia menemukan teknologi yang lebih baru. Namun, kini, resikonya terlalu besar. Ia menjamin keselamatan jiwa saya, namun sama sekali tidak menjamin kalau saya lumpuh total. Saya sangat kecewa, sangat menyesal, sangat marah, dan sangat sedih. Sepanjang saya di Hongkong waktu itu, tidak ada yang bisa membuat saya tertawa meskipun almarhum ibu saya sudah berusaha melakukan apapun juga untuk menyenangkan saya, sampai akhirnya ibu tidak tahan dan menangis saat kami di Ocean Park . Sekarang, bila saya mengenang kembali masa‐masa itu, betapa saya bersyukur pernah melalui masa‐ masa itu bersama dengan kekuatan cinta yang senantiasa melindungi dan menguatkan hati saya.
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 10
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Mungkin, bila saya tidak pernah mengalami masa‐masa itu, kisah hidup yang akan saya bagikan, mungkin sekali berbeda, entah lebih baik atau justru lebih buruk. Namun apapun itu, pada kenyataannya, inilah kisah hidup yang harus saya jalani. Saya selalu yakin, bahwa “Manusia berusaha, Tuhan menentukan”. Namun, bagaimana kita tahu, apa yang menjadi kemauan Tuhan, bila kita tidak pernah memilih jalan kita, tidak pernah memimpikan kebahagiaan kita, tidak pernah memperjuangkan impian kita, tidak pernah benar‐benar mensyukuri segala berkat yang telah menjadi anugerah kita, dan tidak pernah benar‐benar meyakini iman kita akan kasih anugerah Tuhan tanpa penyesalan? Sebelum kita harus menutup kisah hidup kita masing‐masing untuk selama‐lamanya kelak, hanya ada dua pilihan yang bisa kita pilih: “Menjadi manusia yang lebih baik dari hari ke hari ataukah menjadi pecundang, dan tetap pecundang?” Akhir kata rekan‐rekan sekalian: Hidup adalah sebuah perjalanan Dengan impian sebagai cahayanya Kita tidak memiliki pilihan lain Selain memilih satu jalan Dengan harapan akan menemukan jalan kita Siapa yang pernah tahu apa yang sedang menanti di depan kita Bila tanpa keyakinan sebagai kekuatan kita? So, let’s be a little candle in the dark Surabaya, 30 Desember 2006 Suwito Hendraningrat Pudiono By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 11
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Catatan 3: Tentang Hidup adalah Pilihan Halo rekan‐rekan sekalian. Bagaimana kabarnya hari ini? Saya yakin menjelang Valentine yang penuh nuansa kasih, tidak sedikit di antara kita yang menantikan tibanya hari istimewa tersebut, bersama‐sama dengan orang‐orang terkasih kita. Mungkin rekan‐rekan ada yang pernah dan sering bertanya‐tanya, setiap bangun tidur hingga mau tidur lagi, hidup macam apa yang sudah kita lalui hingga kita merasa layak untuk bangun lagi keesokan harinya? Apakah kasih yang kita rayakan di Hari Valentine hanya sekedar perayaan sesaat saja sambil buang‐buang uang atau adakah makna istimewa yang membuat kita merasa berharga untuk tetap hidup dan merayakannya dari tahun ke tahun hingga akhir kehidupan kelak? Mungkin ada yang tidak pernah peduli dan berpikir, "Untuk apa mikirin? Toh nasi masih enak, have fun ajalah", mungkin ada yang berpikir, "Ah, serahkanlah semua pada Yang Maha Kuasa, kita hanyalah umat ciptaan.", atau, mungkin ada yang berpikir, "Aku sendiri gak tau, untuk apa hidup selama ini, apa gunanya semua ini?" Apapun itu, saya yakin, pasti kita semua pernah terbersit, untuk menanyakan apa makna hidup kita? Beberapa waktu lalu, secara tidak sengaja, saya bertemu dengan seorang kawan lama. Kami berbincang cukup lama sambil bernostalgia masa lalu dan menceritakan masa‐masa yang telah kami lalui hingga saat ini. Saya cukup terkejut mendengar pengalaman kawan saya tersebut, dari sosok yang menurut saya serba beruntung (taraf ekonomi keluarga tidak dalam kondisi kekurangan, intelegensi lebih dari cukup untuk mampu bersaing dengan orang lain, dan yang terpenting, fisik sama sekali tidak mengecewakan, yang bagi saya, saya jauuuuuuh sekali untuk bisa dibandingkan dengan kawan saya tersebut). Namun, entah mengapa, tersirat dari percakapan kami, kawan saya itu merasa hidupnya penuh kesialan, sudah 2 kali keluar dari tempat rehabilitasi narkoba, melarikan diri dari Korea dan Jepang karena dikejar utang judi, dan sekarang di Surabaya, ia tidak tahu mau melakukan apa kecuali nganggur di rumah. Yang lebih aneh lagi, dia sempat‐sempatnya berkata, "Kamu enak, wit, hidupmu penuh keberuntungan. Aku sial terus." Saya‐pun bingung dan jadi bertanya‐tanya, apakah hidup memang merupakan masalah ditakdirkan beruntung dan sial, ataukah hidup itu pilihan?
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 12
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Oleh sebab itu, hari ini saya ingin membagikan pengalaman yang saya alami, dan mungkin ada di antara rekan‐rekan yang juga pernah mengalami, perjuangan‐perjuangan pencarian makna dan tujuan hidup, entah dalam bentuk apa, sehingga mungkin masing‐masing di antara kita, yang cenderung melihat "rumput tetangga lebih hijau", akan mampu merenungkan, apakah memang Tuhan itu yang tidak adil karena membuat kita tidak beruntung, ataukah kita yang memilih untuk hidup dalam kesengsaraan? Semasa kecil, saya sudah terbiasa membagi 3 jenis manusia ketika melihat saya. Jenis pertama adalah orang yang meremehkan saya, memandang saya sebagai orang yang aneh karena tulang punggung saya yang bengkok/ skoliosis, dan melihat saya sebagai anak laki yang tidak menarik untuk dilihat, meskipun tidak semua ditunjukkan dengan kata‐kata langsung. Julukan Biting, Penceng, dikeplaki sama teman‐teman, sudah menjadi makanan saya sehari‐hari waktu itu, sehingga kalau sekarang ada orang yang mengatai‐ngatai saya, sudah tidak memiliki dampak yang berarti lagi bagi saya. Jenis kedua adalah orang yang memandang saya tidak mampu untuk melakukan sesuatu yang berguna seperti layaknya orang lain, oleh karena kecacatan fisik saya, tentu menghambat saya (mungkin dalam pendapat mereka, cacat fisik berarti juga cacat otaknya). Oleh karena itu, saya dianggap sebagai pribadi yang patut dikasihani, yang tidak bisa apa‐apa dan sebagainya. Jenis ketiga adalah orang‐orang terkasih saya yang senantiasa mendukung dan meyakinkan, bahwa saya sama berharganya seperti orang lain dan bahwa saya adalah pribadi yang paling berharga bagi mereka dan bahwa meskipun saya cacat, namun, banyak kelebihan yang bisa saya banggakan. Salah satu dari sedikit orang‐orang itu adalah ayah dan almarhum ibu saya. Perjalanan hidup saya menunjukkan betapa sulitnya untuk memenuhi harapan dan dukungan dari orang‐orang terkasih saya dan seringkali saya merasa putus asa karena saya terlalu fokus pada jenis pertama dan jenis kedua. Saya ingat salah satu peristiwa yang cukup berkesan hingga sekarang. Waktu saya SMP, guru olah raga mengadakan pertandingan basket untuk satu kelas. Guru saya membagi kelas ke dalam kelompok pria dan kelompok wanita. Kelompok pria harus membagi ke dalam 2 grup untuk bertanding satu sama lain, begitu juga kelompok wanita. Ia menghimbau agar kapten yang terpilih memainkan seluruh anggota baik pemain inti maupun cadangan agar semua bisa merasakan. Kebetulan kapten kelompok saya adalah salah seorang teman (yang waktu itu saya anggap teman baik karena sering saya contekin kalau ulangan). Namun aneh, hingga menit terakhir, sayalah satu‐satunya siswa laki‐laki yang belum mendapat kesempatan bermain dan karena saya melihat mereka semua sedang seru‐serunya, jadi saya tidak berkata apa‐apa selain juga ikut‐ikutan bersorak. Hingga peluit terakhir dibunyikan, teman saya (kapten kelompok saya) bilang ke saya dengan bahasa yang sangat jelas dan sangat dalam maknanya bagi saya, "Sorry ya, soale kita butuh menang."
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 13
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Dan meskipun pada kenyataannya kelompok saya kalah, namun tetap tidak mengubah keyakinan mereka bahwa andaikan saya ikut bermain, saya akan menjadi penyebab kekalahan kelompok. Alhasil, saya‐pun menjadi satu‐satunya cowok yang bermain bersama kelompok wanita. Apakah saya sakit hati, kecewa, marah, malu, dan putus asa? Bisa anda tebak, saya merasakan itu semua. Perkembangan emosi saya masih terlalu jauh untuk menerima kenyataan semacam itu dengan bijak dan reflektif. Saya kemudian bertekad untuk membuktikan, bahwa saya boleh cacat fisik, namun, saya akan berusaha keras agar tidak sampai cacat otak, apalagi cacat moral, seberapa sulitnya pun itu dilakukan. Masa‐masa remaja saya ternyata adalah masa yang paling berat yang pernah saya lalui. Ketika operasi yang saya jalani jauh dari yang namanya berhasil, bahkan saya hampir meninggal karena jantung saya berhenti berdetak hampir 1 jam, saya menangis dan sangat menyesal, kenapa tidak sekalian saja jantung saya berhenti selama‐lamanya di atas meja operasi padahal sudah sangat nyaris sekali daripada dihidupkan kembali hanya untuk menghadapi kenyataan semacam ini? Kenapa dokter tidak nekat saja meskipun resikonya sangat fatal karena minimal, saya ada chance meskipun cuma sekian persen saja? Kemana saja Tuhan ketika saya sangat membutuhkan dan merindukan‐Nya? Sebelum operasi, saya berdoa dan mengharapkan mujizat dari Tuhan, supaya ketika saya membuka mata dan kemudian melihat ke cermin, saya akan melihat sosok anak laki‐laki yang baru, yang gagah, dan tidak bisa diremehkan lagi seperti dulu, namun, apa daya, mujizat itu tidak pernah ada. Selama bertahun‐tahun, saya berusaha meyakinkan diri saya bahwa Tuhan adalah Maha Sempurna pasti memiliki rencana, bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan ciptaan‐Nya berjalan sendirian, bahwa Tuhan pasti akan menunjukkan mujizat‐Nya pada suatu hari kelak. Namun, selama bertahun‐tahun pula, jauh di dalam lubuk hati saya, saya sadar, saya semakin menjauh dari segala sesuatu yang berkaitan dengan‐Nya. Rekan‐rekan sekalian, saya memiliki segudang alasan untuk mengasihani diri saya sendiri, segudang alasan untuk meminta belas kasihan orang lain dan menuntut orang untuk melindungi saya, segudang alasan untuk melarikan diri ke hal‐hal bodoh semacam narkoba dan sebangsanya, yang konon katanya, bisa membuat hati melayang ke surga sejenak (namun, tetap saja tidak mengubah realitas apapun), segudang alasan untuk mencari kambing hitam atas segala tindakan bodoh yang saya lakukan sendiri, segudang alasan untuk merusak diri dan bahkan bunuh diri, segudang alasan untuk menghujat dunia beserta segala isinya, dan segudang alasan pula untuk menyerah dan berhenti berjuang. Saya bersyukur, sampai sejauh ini, seberapa sulitnya‐pun jalan yang harus saya tempuh, masih ada segudang alasan lain, yang senantiasa menguatkan tekad saya untuk tidak mencacatkan otak saya, apalagi moral saya, demi mereka yang mencintai saya dan saya cintai. Saya ingat salah satu peristiwa yang mengubah hidup saya. 3 tahun lalu (sekitar November 2004), orang tua saya menerima kabar dari dekan saya bahwa tugas akhir skripsi saya terpilih sebagai satu dari beberapa skripsi terbaik (kalau tidak salah ingat, total sekitar 7 termasuk skripsi saya) untuk diikutkan By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 14
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id dalam lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional, kategori Psikologi Sosial. Orang tua saya begitu senangnya sampai ketika saya pulang, almarhum ibu saya langsung menyambut saya sambil tertawa dan menangis. Saya jelaskan bahwa ini belum apa‐apa dan bukan apa‐apa, belum tentu juga saya menang karena saingan saya banyak yang jauh lebih bagus dibandingkan saya dan jujur saja, saya memang pesimis kalau saya bisa bersaing. Meskipun memang pada akhirnya, saya tidak masuk jajaran yang menerima penghargaan, namun, bukan masalah menang‐kalah yang penting, melainkan, sikap ayah dan ibu saya waktu itu yang sangat menggugah saya, " Gak apa, yang penting nyoba. Masalah menang‐kalah, itu urusan belakang, asal kita tetap berusaha yang terbaik. Bagi papa mama, sekarang ini kamu sudah menang." Aneh, betapapun keras usaha saya untuk menyangkal Tuhan, betapapun kasarnya makian‐makian yang dulu pernah saya lontarkan kepada‐Nya, betapapun dalam kekecewaan dan kebencian saya pada‐Nya, namun, Tuhan tidak pernah berhenti menunjukkan kasih‐Nya yang besar, melalui orang‐orang terkasih saya. Dan selama bertahun‐tahun, saya telah membutakan diri saya atas anugerah yang indah ini. Satu penyesalan saya hingga hari ini adalah sepanjang hidup ibu, belum pernah saya mengucap syukur telah merasakan kasih yang begitu luar biasa, sekalipun saya berkali‐kali membuat ibu menangis. Selalu ibu yang tidak pernah menyesal, memiliki anak yang jauh dari sempurna, seperti saya. Rekan‐rekan sekalian… Saya belajar bahwa hidup adalah pilihan, sedangkan beruntung atau sial hanyalah akibat dari kita memilih. Tidak ada hubungannya dengan takdir Tuhan. Bahwa fisik saya cacat, itu takdir, namun, Tuhan memberi saya banyak pilihan yang dapat saya pilih untuk membuat cacat fisik saya tidak menghalangi saya untuk hidup secara utuh sebagai ciptaan‐Nya yang agung. Apapun cara yang kita lakukan untuk menjalani hidup, itu adalah pilihan kita. Kita tidak memilih, itupun tetap merupakan pilihan untuk tidak memilih. Tidak ada orang yang bisa mengekang pilihan itu. Orang hanya bisa mendorong kita untuk melakukan pilihan, tapi apa yang kita pilih nanti, itu tetap pilihan kita. Kekuatan terbesar sekaligus kelemahan terbesar kita adalah kebebasan untuk memilih. Yang membedakan apakah itu kekuatan ataukah kelemahan adalah seberapa besar keyakinan kita untuk melakukan pilihan itu tanpa penyesalan di kemudian hari? Setiap hari, hanya ada dua pilihan yang bisa kita lakukan, apakah kita memilih untuk menjadikan hari ini menjadi hari baik ataukah kita akan memilih untuk menjadikan hari ini hari yang suram? Bila ada di antara kita yang saat ini sedang merasa hidupnya hampa, tidak tahu ke mana tujuan yang ingin diraih, mari kita sama‐sama melihat ke sekeliling kita, dan lihatlah orang‐orang terkasih yang senantiasa memberikan pilihan kepada kita untuk tetap berjuang. Apapun itu, di manapun itu, siapapun itu, kapanpun itu, saya yakin tidak ada pilihan yang lebih baik, selain memilih untuk menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu karena tidak ada orang yang gagal karena takdir, yang ada adalah orang yang mentakdirkan kegagalannya. By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 15
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Akhir kata rekan‐rekan sekalian: Kita boleh jadi tidak tahu, apa yang terjadi besok Kita boleh jadi tidak mengerti, apa yang diinginkan takdir Tetapi kapanpun kita merasa dunia terlalu kejam Biarlah Tuhan Allah kita yang memimpin jalan kita Melalui ”Cinta” yang kita pelihara Hingga akhir nanti So, let’s be a little candle in the dark Surabaya, 12 Februari 2007 Suwito Hendraningrat Pudiono
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 16
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Catatan 4: Tentang Kisah Para Pemimpi Halo rekan‐rekan sekalian, apa kabar semuanya? Tak terasa sekarang sudah menginjak bulan Juli 2007, sudah setengah tahun kita lewati setelah merayakan tahun baru di awal tahun dulu. Seperti apakah perjalanan hidup kita selama ini? Saya yakin apapun keadaan kita di hari kemarin, hari ini kita pasti lebih siap menyongsong harapan baru dalam menulis kisah hidup kita menuju 6 bulan sebelum tahun baru 2008. Namun, di tengah kesibukan yang pasti menyita banyak tenaga dan pikiran, tentu kita tidak lupa untuk melaksanakan tugas yang teramat penting dalam hidup, yaitu mengisi lembaran hidup kita masing‐ masing yang masih kosong sesuai dengan keinginan kita tentunya. Kisah seperti apakah yang akan kita tulis dalam lembaran hidup kita hari ini? Kisah sebagai ”Pemenang” atau kisah sebagai ”Pecundang”? Saya yakin, pasti kita semua memiliki keinginan yang sama, yaitu menulis kisah sebagai ”Pemenang”. Namun sebenarnya, seperti apa seorang ”Pemenang” itu? Kisah yang dilandasi atas asas permusuhan, kebencian, kedengkian, keegoisan, kemunafikan, kebodohan dan penyesalan atau....................... Kisah yang penuh kasih tanpa penyesalan? Selama beberapa tahun, saya mempelajari kehidupan sebagai seorang HRD di sebuah perusahaan swasta, ada banyak kisah menarik yang saya temukan dalam kehidupan manusia dewasa yang sebenarnya sehat secara jasmani, namun, belum tentu semuanya memiliki kekuatan rohani yang cukup matang untuk tersenyum penuh kasih tanpa penyesalan. Ada kisah yang tidak berdaya melepaskan diri dari hobi dugem dan main cewek meskipun utang kredit menggunung, anak istri terlantar, dan seringkali menyesali diri dalam kegiatan ibadah (herannya, tetap saja diteruskan). Ada kisah yang suka menuntut ini dan itu, meskipun sebenarnya sedikit yang bisa ia sumbangkan bagi perusahaan (masih untung belum dipecat). Ada kisah yang gemar menguliti kesalahan orang lain, meskipun sebenarnya kinerjanya sendiri masih amat jauh dari sempurna. Ada kisah politikus kantor amatiran yang licin nan ambisius, meskipun sebenarnya, cukup menggelikan untuk ditanggapi secara serius (mengutip Gus Dur, persis anak TK), dan berbagai kisah menarik lainnya yang terlalu panjang bila saya sebutkan satu persatu.
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 17
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Di luar kantor, ada berita artis yang cerai dan jadi bahan pembicaraan media masa, ada seorang pendiri klub sepakbola yang anak mantan Gubernur (dulu pasti kaya raya dan penuh keberuntungan), sekarang jatuh miskin dan buta karena narkoba sampai menyesal‐pun sudah tidak ada gunanya, ada para koruptor dan narkoba yang gagah, berfisik normal dan berintelegensi tinggi, tapi menjadi pesakitan dan terpaksa bertobat (semoga tidak diulangi lagi meskipun ada kesempatan), ada calon jaksa anak pejabat yang tertangkap basah membawa narkoba dan ternyata memang pecandu berat (padahal pasti kaya, tidak perlu pusing mikir masa depan, dan usianya masih 25 tahun!!), ada seorang ayah yang memperkosa dua putri kandungnya sendiri, ada pengusaha gagal yang stress kemudian bunuh diri, ada perampok yang menjarah rumah korban sekaligus memperkosa anak korban, ada suami yang menyiram wajah istrinya dengan air panas, berbagai perselingkuhan, pengkhianatan dan berbagai kisah tragis lainnya yang seringkali memunculkan keyakinan bahwa ”Sekarang ini Jaman Sudah Edan.” Benarkah ”Ke‐Edan‐an” ini merupakan takdir Tuhan menjelang ”Akhir Jaman” seperti yang diserukan oleh kaum religius, ataukah sebenarnya ”Ke‐Edan‐an” ini merupakan pilihan manusia sendiri? Kita semua pasti ”Mati”, itu adalah fakta yang sangat logis dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga, baik oleh kaum religius maupun kaum ilmuwan. Namun, sebelum mati, kehidupan semacam apa yang ingin kita jalani hingga kita tidak perlu menangis menyesali diri sebelum mati? Dalam suatu diskusi di mailing list, seorang sahabat mengutip adegan yang ia tonton dari serial Heroes di Star Movies. Dikisahkan ada seorang tokoh bernama Linderman bertanya kepada temannya, ”Bila kamu dihadapkan pada pilihan antara hidup yang membahagiakan atau hidup yang bermakna, mana yang kamu pilih?” Teman Linderman itu langsung menjawab, ”Dua‐duanya.” Namun, Linderman balik menjawab, ”Tidak bisa, kamu mesti memilih salah satu karena dua hal itu punya rute yang berbeda. Kalau kamu memilih hidup yang membahagiakan maka yang perlu kamu lakukan adalah menikmati apa yang kamu miliki. Kalau kamu memilih hidup yang bermakna, maka kamu perlu terus bergumul dengan masa lalu dan terobsesi pada masa depan.” Sayang sekali ini hanya film sehingga cukup sulit bagi saya untuk belajar langsung dari tokoh yang bernama Linderman mengenai pemahamannya itu, namun bila saya mencoba mengambil sudut pandang pengetahuan saya, tentu pertanyaan tokoh itu sangat sulit untuk dijawab karena sudah pasti orang bahagia karena ia sadar hidupnya bermakna, sama halnya orang hidupnya bermakna, bila ia bahagia. Maka, mana yang lebih baik, bermakna atau bahagia? Ataukah bisa kedua‐duanya? Seperti apakah itu bermakna dan seperti apakah itu bahagia? By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 18
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Sebelum kita terburu‐buru menjawab, ijinkan saya berbagi kepada anda semua, pembelajaran hidup yang selama ini telah saya tulis dalam lembaran‐lembaran hidup saya hingga hari ini. Sejak usia 6 tahun, saya terpaksa belajar, bahwa diri saya agak berbeda dengan teman‐teman seusia sebaya saya. Dimulai dari penyakit jantung bocor yang membuat saya sering lemah, hingga akhirnya dari foto rontgen untuk jantung, ikut pula terdiagnosa bahwa ada yang salah dengan tulang belakang saya. Dokter menemukan bahwa saya menderita skoliosis. Kondisi ini akan mengakibatkan pertumbuhan tulang punggung saya tidak normal karena yang seharusnya tulangnya merenggang dengan bebas ke atas dan bawah, jadi melenceng ke samping, mengakibatkan seluruh organ tubuh saya, mulai dari paru‐ paru, jantung, dan sebagainya, terdesak. Untuk meminimalkan resiko, saya harus mengenakan pakaian besi setiap hari (kecuali mandi dan olahraga, terutama saat berenang) untuk memaksa pergerakan tulang saya tetap berjalan sesuai jalur. Saat‐saat mandi dan berenang adalah kebebasan yang melegakan saya dari siksaan. Berat, menyakitkan, dan yang pasti, aneh, maka dasar anak‐anak, hanya bertahan sekitar satu tahun, kemudian saya tidak mau mengenakan lagi, karena rasa sakit dan terutama, malu, dan orang tua saya merasa kasihan sehingga tidak memaksa saya. Jujur saja, sekarang bila saya menoleh kembali, saya sangat menyesal. Hal ini ternyata semakin parah, karena ternyata pertumbuhan tulang saya termasuk bagus bila dalam kondisi normal, karena sejak kelas 1 SD, saya ikut klub renang dan almarhum ibu saya rajin memaksa saya mengkonsumsi multi vitamin untuk pertumbuhan (tinggi saya sekarang 146 cm, dengan perkiraan andaikan tulang saya normal, maka bisa bertambah kurang lebih 20 ‐ 25 cm). Pertumbuhan yang seharusnya merupakan anugerah yang bisa dibanggakan, justru merupakan kutukan bagi saya, karena membuat derajat kebengkokan tulang saya semakin parah dan memang, saya termasuk kategori penderita skoliosis berat. Namun, di antara semua itu, yang paling berat bagi saya adalah, saya dipandang berbeda dan tidak jarang diperlakukan berbeda oleh orang lain, kecuali orang tua saya dan beberapa malaikat yang menyentuh hidup saya. Hal ini menumbuhkan pembelajaran hidup saya yang pertama yaitu Masa Depan Ditentukan Oleh Pilihan Kita Sendiri Hari Ini Dan Penyesalan Yang Datang Kelak Hanyalah Sebuah Kesia‐siaan Yang Membuang Waktu. Saya ingat, sebagai anak‐anak, sering saya ingin memuaskan rasa ingin tahu saya yang kadang kurang berkenan, namun hal yang menyakitkan adalah bila saya melakukan kesalahan seperti yang pada umumnya dilakukan anak‐anak usia sebaya, maka tidak jarang keluar komentar, ”kamu itu sudah penceng, masih macem‐macem, dsb.” Tidak jarang orang belum apa‐apa sudah meremehkan kondisi By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 19
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id fisik saya. Berani ngeplak/ menggertak saya, padahal saya tidak ngapa‐ngapain, tapi tidak berani dengan orang lain yang sama‐sama berbadan besar. Saya ingat betul, pernah saya pulang ke rumah sambil menangis setelah tangan saya disulut rokok oleh beberapa pemuda di jalan. Sebenarnya bukan disulut rokoknya yang menyakitkan saya, tapi teriakan mereka ”Penceng nangisan, Penceng nangisan!” itu yang benar‐benar menyakitkan saya. Dulu, pelarian saya adalah berfantasi, menjadi pendekar Super Sakti (saya suka mengikuti Kho Ping Hoo, terutama pendekar Super Sakti Suma Han, yang dijuluki super sakti setelah kehilangan salah satu kaki dan menciptakan jurus Gerak Bintang), dan kemudian orang‐orang itu adalah tokoh antagonis yang selalu saya kalahkan, setiap kali bertarung sampai mereka bergelimangan darah memohon‐mohon ampun. Namun, seiring dengan pertumbuhan usia saya, saya sadar, itu hanyalah sebuah fantasi. Dan saya harus belajar, bahwa fantasi dengan kenyataan, sangat jauh berbeda, apalagi ketika operasi yang merupakan harapan saya satu‐satunya akan mujizat, ternyata tidak berhasil. Hal ini menumbuhkan pembelajaran hidup saya yang kedua, yaitu Kecuali Mati, Tidak Ada Yang Bisa Kita Lakukan Untuk Mengubah Kenyataan. Jadi Apapun Itu, Hadapi Kenyataan. Memang beberapa orang kemudian mengatakan bahwa saya masih harus bersyukur karena tangan, kaki, terutama otak saya, masih berfungsi dengan normal, berbeda dengan orang‐orang yang tidak punya tangan, tidak punya kaki, lahir idiot dan sebagainya. Seorang teman bahkan pernah berkata, ”Tapi kamu enak, wito. Meski kayak gini, orang tuamu gak kekurangan, sayang sama kamu, kamu isa naik setir bunder, dan kamu dianugerahi otak yang encer. Lha ketimbang aku ini, wis naikanku cuman setir lurus, kemampuan ya cuman gini‐gini aja.” (catatan: setir bunder = mobil, setir lurus = sepeda motor). Tanpa bermaksud melecehkan ketulusan teman saya dalam memberi semangat pada saya, namun, ada beberapa hal dilupakan teman saya, bahwa yang punya uang itu orang tua saya, bukan saya sehingga tentu bila orang tua saya tiada, kepada siapa saya bisa bersandar kalau bukan kepada diri sendiri (dan Tuhan tentunya). Bahwa kekurangan uang sangat memungkinkan ditingkatkan selama seseorang memiliki kemauan bekerja keras dan sadar kemampuan diri dalam pengelolaan keuangannya, kemampuan/ skill sangat bisa dilatih/ ditingkatkan selama seseorang memiliki keyakinan serta semangat untuk terus belajar dan
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 20
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id berjuang, namun, cacat fisik tidak selamanya dapat disembuhkan oleh kemajuan teknologi kedokteran meskipun punya uang puluhan milyar dolar Amerika maupun kepandaian sejenius Bill Gates. Bahwa praktik di lapangan menunjukkan, tidak selamanya sikap masyarakat bersahabat terhadap penyandang cacat untuk dianggap layak memberi kontribusi bagi mereka, terlepas dari rasa kasihan (setidaknya itu pengamatan saya di Indonesia sampai saat ini) sehingga bila saya tidak mengandalkan otak saya, berapa banyak kesempatan yang terbuka bagi saya, kecuali mungkin, berdiri di pinggir jalan dengan bertelanjang dada mempertontonkan cacat fisik saya sambil mengharapkan belas kasihan dari pengguna jalan yang tergerak hatinya? Bahwa untuk dipandang bisa berhasil di tengah masyarakat, sampai sekarang, masih jauh lebih banyak orang yang sudah berfisik sempurna tapi mampu mengoptimalkan potensi intelegensinya serta memiliki semangat pantang mundur untuk terus belajar dan berjuang (contohnya, david beckam, tukul arwana, robby djohan, rini suwandi, steve jobs, bill gates dsb). Kegagalan dari kebanyakan mereka yang berfisik sempurna dan seharusnya tidak ada masalah dengan intelegensinya hanyalah diakibatkan satu hal, yaitu Mental (semangat) yang hanya orang itu dan Tuhan yang tahu, bagaimana cara mengatasinya. Realitas ini menumbuhkan satu keyakinan, impian serta pembelajaran hidup yang ketiga pada saya, yaitu Tidak Ada Orang Yang Paling Bertanggung Jawab Akan Sukses Gagalnya Kita, Kecuali Diri Sendiri Dan Mental Adalah Kunci Utama Dalam Meraih Impian. Memang harus saya akui, setiap orang memiliki perjuangan hidup masing‐masing. Seorang putra mantan presiden yang gagah perkasa, kaya raya, tidak sedang mengalami cacat mental maupun cacat otak saja, juga tidak lepas dari pergumulan hidup, karena kalau tidak, tentu ia tidak akan terlibat dalam banyak masalah. Saya yakin, kita semua pasti memiliki perjuangan‐perjuangan hidup yang sama dengan saya, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Namun lepas dari itu semua, pertanyaan yang seringkali muncul dan selalu saya gugat adalah, ”Mengapa.... dan Andaikan saja......?" Seringkali gugatan saya menghentikan langkah saya untuk maju. Setahun lalu, ketika malaikat yang paling saya cintai meninggal di saat saya masih belum menemukan jawaban atas gugatan saya, saya benar‐benar kehilangan keyakinan, impian dan segala kekuatan yang selama ini menopang saya untuk tetap berdiri tegak. By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 21
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id ”Tanpa Penyesalan Apapun Resikonya”, itulah prinsip yang selama ini selalu saya tanamkan di benak saya. Namun, saat saya melihat ibu berbaring dengan cantiknya di ruang jenazah, untuk pertama kalinya, saya tidak dapat menahan tangisan saya setelah bertahun‐tahun lamanya saya bertekad untuk tidak akan pernah menangis lagi. Saya menangis, bukan karena ibu meninggal karena hidup dan mati adalah hukum alam dan cepat atau lambat, setiap manusia pasti mati. Namun, saya menangis, karena sepanjang hidup saya, saya menggugat Tuhan atas pertanyaan yang sebenarnya jawabannya ada di depan mata saya. Saya menangis karena saya belum memenuhi janji saya dan saya menangis, karena saya belum pernah sekalipun memberitahu ibu bahwa saya mencintainya, bahwa saya sangat bersyukur menjadi anaknya. Selalu ibu yang tidak pernah berhenti memberitahu saya, bahwa ibu tidak pernah menyesal memiliki anak seperti saya. Banyak hal yang terjadi selama setahun ini, berbagai pergumulan datang silih berganti. Pernah saya menghabiskan sepanjang Minggu siang sendirian, duduk di depan tempat penyimpanan abu ibu di Adi Jasa. Hanya ada satu pertanyaan yang berkecamuk di benak saya, ”Apakah saya telah gagal dan mengecewakan ibu?” Namun, ketika saya membuka kembali lembaran‐lembaran hidup yang selama ini telah saya lalui, saya menemukan kebahagiaan ibu ketika saya wisuda S1 dan kegigihan ibu untuk selalu bangun paling pagi dan tidur paling malam demi mempersiapkan sarapan saya sebelum saya berangkat kerja hingga menunggu saya pulang dari kuliah, saya menemukan kasih ayah yang selalu menahan kantuk demi menunggu saya pulang kuliah agar saya tidak perlu repot‐repot membuka pintu garasi sendiri, meskipun sebenarnya saya membawa kunci sendiri dan seringkali saya pulang setelah jam 11 malam. Dan saya menemukan kasih Tuhan yang sejati yang senantiasa mengiringi langkah saya melalui kasih malaikat‐ malaikat di sekeliling saya. Saya bersyukur, Tuhan tidak henti‐hentinya memberi saya kesempatan untuk belajar tersenyum di tengah rasa sakit, meskipun sebenarnya, saya juga tidak henti‐hentinya, menjauh dari‐Nya. Entah, andaikan suatu saat Tuhan memberi saya kesempatan untuk menghapus lembaran‐lembaran hidup yang telah saya tulis dengan berbagai gugatan, apakah layak lembaran‐lembaran itu saya hapus dari hidup saya? Karena lembaran‐lembaran tersebut telah memberikan saya pembelajaran hidup yang keempat sekaligus jawaban yang selama ini saya gugat dari Tuhan, yaitu Dalam Kasih Dan Impian, Hidup Seseorang Tidak Pernah Tanpa Arti. By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 22
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Saat ini, menjelang usia saya yang ke‐ 28, masih ada bertumpuk‐tumpuk lembaran kosong yang menanti kisah saya. Saya berharap jumlahnya masih ada 38 rim lembaran kosong yang dapat saya tulis setiap hari hingga 19.000 hari ke depan (sekitar 52 tahun lagi). Namun, seperti kata pepatah, ”Manusia berusaha, Tuhan menentukan.”, tentu saya tidak dapat menolak, andaikan ternyata hanya tinggal tersisa beberapa lembar saja. Maka kembali ke pertanyaan, ”Mana yang akan dipilih, hidup yang bermakna atau hidup yang membahagiakan? Atau bisa kedua‐duanya? Seperti apa itu hidup yang bermakna? Seperti apa itu hidup yang membahagiakan?” Jujur saja, saya masih belum tahu jawabannya dan saya bertekad akan mencari tahu hingga lembaran terakhir nanti. Bahkan sampai hari ini, saya masih belum paham, kenapa Tuhan masih memberi saya kesempatan hidup ketika pada waktu operasi 15 tahun lalu, jantung saya sebenarnya sudah sempat berhenti berdetak selama 1 jam? Kenapa Tuhan tidak membiarkan saja saya tidur untuk selama‐lamanya saat itu daripada pusing memikirkan saya yang selalu berontak? Namun, masih terekam dengan jelas, hari terakhir sebelum ibu koma dan akhirnya meninggal. Saya berdiri di samping ibu, melihat mata ibu tertutup sambil berkerut kesakitan dengan tabung oksigen di mulut dan alat penyedot liur. Tanpa sadar, saya memanggil, ”Mommy, mommy.” Seketika itu, ibu membuka mata dan tersenyum, senyum tercantik yang pernah saya lihat dari malaikat yang paling saya cintai. Ibu telah menulis lembaran hidup terakhir yang dimilikinya, dengan sebuah ”Senyuman”, senyum di tengah rasa sakit yang memberikan kekuatan baru bahwa baik tertawa maupun menangis adalah sebuah pilihan dan hanya ”KASIH” satu‐satunya kekuatan yang menumbuhkan keberanian untuk tertawa di tengah rasa sakit. Ibu telah mewariskan sebuah kisah yang abadi di lembaran hidupnya yang terakhir, memberikan saya pembelajaran hidup yang kelima sekaligus tekad dalam menulis kisah hidup saya mulai hari ini, yaitu Tidak Ada Impian Yang Lebih Baik Selain Impian Untuk Menjadi Manusia Yang Terbaik Yang Bisa Dilakukan Sesuai Dengan Berkat Tuhan, Tanpa Penyesalan. Bagi saya pribadi, berapapun lembaran hidup saya yang tersisa, kapanpun jantung saya dihentikan lagi untuk yang kedua kalinya (mungkin terakhir kalinya), saya berharap, di lembar terakhir nanti, saya akan memiliki keberanian untuk menulis kisah terakhir saya dengan sebuah senyuman, ”Hidupku Sudah Utuh.”
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 23
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Apakah menurut Anda, impian semacam itu hanyalah sebuah mimpi bodoh? Well, bukankah kita semua adalah.........para pemimpi? Bodoh atau tidaknya, tentu tolok ukurnya sangat logis dan praktis, yaitu apakah kita menangisi kebodohan masa lalu kita atau justru................kita mensyukuri kita pernah menjadi pemimpi yang bodoh. Akhir kata rekan‐rekan sekalian, ijinkan saya mengutip salah satu tulisan indah dari lembar kehidupan seorang penyanyi asal Jawa Barat bernama Doel Sumbang: Rintangan pasti datang menghadang Cobaan pasti datang menghujam Namun yakinlah bahwa cinta itu kan membuatmu Mengerti akan....arti kehidupan (dikutip dari lirik ”Arti Kehidupan”) So, rekan‐rekan sekalian, apapun Anda, siapapun Anda, terutama bagi Anda yang tidak cacat fisik, tidak cacat mental, tidak cacat otak dan yang pasti, yakin terhadap keagungan Tuhan, setiap hari hanya ada satu pertanyaan yang ingin saya ajukan pada Anda: Kisah hidup seperti apakah yang akan Anda tulis hari ini? Sebagai Pemenang atau sebagai Pecundang? So, let’s be a little candle in the dark Surabaya, 24 Januari 2008 Suwito Hendraningrat Pudiono, M.Psi. Psikolog
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 24
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Catatan 5: Tentang Kebahagiaan Kebahagiaan bukanlah petualangan di luar diri Kebahagiaan adalah PERJALANAN di dalam diri (Suwito HP, 2010) Kisah Pembuka Seorang muda dihantui oleh kerinduan hati akan Kebenaran. Maka ia meninggalkan keluarganya, kawan‐kawannya dan berangkat untuk mencari Kebenaran itu. Ia mengembara di banyak negeri, berlayar menyeberang banyak lautan, mendaki banyak gunung dan dalam semuanya itu, ia mengalami banyak penderitaan dan kesengsaraan. Pada suatu hari ia bangun dan menyadari bahwa usianya sudah tujuh puluh lima tahun dan belum juga menemukan Kebenaran yang selama ini ia cari. Maka dengan sedih hati, ia memutuskan untuk menghentikan usahanya dan kembali ke rumah. Karena ia sudah tua, ia membutuhkan berbulan‐bulan untuk kembali ke kampung halamannya. Sesampai di rumah, ia membuka pintu rumahnya……….dan di sana, ia menemukan Kebenaran yang selama bertahun‐tahun dengan sabar menunggunya. Pertanyaan
: Apakah pengembaraannya membantu dia untuk menemukan Kebenaran?
Jawab
: Tidak, namun pengembaraan itu menyiapkan dia untuk mengenalnya.
(dikutip dari ”Doa Sang Katak 2”, hal. 255; Anthony de Mello) Sekilas sharing Beberapa waktu lalu, seorang sahabat mengajukan pertanyaan kepada saya, ”Untuk apa ya, kita hidup ini?” Pertanyaan itu sangat sederhana sekali sebenarnya, cuman terdiri dari 6 kata saja. Singkat, jelas, dan padat. Namun, untuk menjawabnya, mungkin, harus membutuhkan proses perenungan yang sangat panjang, yang dalam sejarah kehidupan manusia sampai hari ini, belum ada yang mampu memberikan jawaban dengan pasti. Gak tau berapa ratus milyar lembar kehidupan yang telah ditulis selama ribuan tahun ini untuk mencari jawaban dari pertanyaan itu. Ada yang ditulis dengan gelimangan darah dan airmata yang dicabut secara By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 25
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id paksa. Ada yang ditulis dengan kepasrahan, ada yang ditulis dengan kesederhanaan, ada yang ditulis dengan idealisme dan mati dengan idealismenya, ada yang ditulis dengan kemunafikan dan mati dalam penyesalannya, ada yang sepanjang hidupnya ditulis dengan menghancurkan hidup orang dan akhirnya dinistakan oleh sejarah bahkan jauh setelah kematiannya, dan masih sangat banyak lagi ending‐ending tulisan hidup yang lainnya. Namun, mungkin di antara ratusan milyar lembar kehidupan itu, tidak banyak orang ”hidup” yang beruntung, mampu menemukan jawaban yang ia cari‐cari sepanjang hidupnya, hingga waktu sudah tiba untuk mengakhiri hidupnya. Saya jadi teringat, betapa menghebohkannya ramalan kiamat 21 Desember 2012, yang sebagian besar didasarkan pada ramalan kuno suku bangsa Maya. Kalau saya ke Uranus, ada berbagai buku yang membahas hal itu, baik yang membenarkan maupun yang menyanggah. Dua‐duanya benar, dua‐duanya salah. Memang koq sama‐sama yakin kiamatnya bukan besok? Tapi kalau dipikir‐pikir, yang dihebohkan itu sebenarnya apa toh? Saya sampai bingung sendiri, lah wong, juga 5 menit lagi gempa bumi, terus tergencet dan mati, juga gak ada yang bisa menghindar. Anything can happen anytime anywhere, siap atau tidak siap, suka atau tidak. Bukankah batas antara kehidupan dan kematian sangat tipis sekali, setipis tarikan nafas kita setiap detiknya? Dan bukankah itu sudah berarti kiamat? Lantas, kalo begitu, apa yang membuat berita kematian seringkali menjadi berita yang paling mengerikan dalam hidup ini, tidak peduli siapapun orangnya? Minggu lalu, saat saya mengunjungi almarhum ibu saya di tempat penitipan abu, ada begitu banyak pembelajaran hidup yang tampak nyata di sana. Ada seorang ibu tua beserta keluarga besarnya, berdoa sambil menangis di lemari penyimpanan abu anaknya yang tampak masih sangat muda di foto, menjadi satu tempat dengan almarhum suaminya. Ada begitu banyak pernak‐pernik yang indah (yang kelihatannya mahal) dan satu kitab suci di tengah‐tengah guci abu mereka. Tampak sangat terawat dan indah. Kemudian, ada seorang pemuda berkacamata yang datang sendirian, membawa sebuah tape recorder, dan menyetel lagu‐lagu rohani di tempat abu ibunya yang sangat sederhana, volumenya sayup‐sayup diletakkan di samping guci abu ibunya, menunggu hingga beberapa lagu selesai sambil merokok sendirian. Meskipun lemari penyimpanan abu tampak sangat sederhana, namun, bagi saya pribadi, sangat mahal sekali harga cinta kasih pemuda tersebut kepada almarhum ibunya. Selain itu, ada pula, remaja‐remaja yang sudah gak sabar untuk cepat‐cepat pulang, meskipun prosesinya belum selesai (mungkin karena mereka gak seberapa kenal dengan almarhum yang dikunjungi orang tuanya), dan ada masih banyak lagi, kisah‐kisah yang saya pelajari selama kunjungan saya ke tempat istirahat ibu. Namun, pelajaran terpenting yang menginspirasi saya untuk sharing melalui tulisan ini, adalah beberapa lemari penyimpanan abu yang berpenghuni, namun ada tempelan ”Harap menghubungi pihak kantor.” By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 26
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Usut punya usut, menurut salah satu pegawai yang saya tanya, ternyata pengumuman‐pengumuman itu sudah beberapa lama ditempel karena belum perpanjangan uang sewa dan belum ada satupun yang datang untuk mengurusnya. Setelah saya amati lagi, ternyata beberapa lemari yang ada tempelannya itu memiliki kesamaan (meskipun tidak semuanya), yaitu tempatnya sangat sederhana, hanya ada 1 guci abu, tanpa identitas, tanpa foto. Kontras sekali dengan yang lain. Meskipun sebenarnya hal itu bukan urusan saya sama sekali karena saya tidak paham dan tidak kenal dengan kondisi keluarga/ relasi lain almarhum maupun almarhum itu sendiri seperti apa. Namun, saya jadi tersadarkan, bahwa suatu hari nanti, suka atau tidak suka, cepat atau lambat, mau tidak mau, giliran saya akan tiba untuk harus berakhir entah di peti mati, entah di guci abu, entah di laut, ataupun entah bersamaan dengan kiamat dunia, dan hanya tinggal nama (kalau ada yang ingat), foto (kalau ada yang menyimpan), hari ulang tahun (kalau ada yang merayakan), tempat peristirahatan terakhir (kalau ada yang mengunjungi), dan berbagai identitas/ atribut yang saat ini sudah melekat maupun akan melekat pada diri pribadi saya di hari‐hari yang akan datang. Dan pada akhirnya, pertanyaan teman saya, terngiang kembali di ingatan saya: ”Untuk apa ya, kita hidup ini?” Di film”14 Blades” (pemeran utama: Donny Yen), pada saat ia dikejar‐kejar oleh pemerintahan Dinasti Ming yang telah dengan setia ia bela sejak kecil, karena pengkhianatan seorang bawahannya, seorang teman yang membantunya selama pelarian, bertanya padanya, ”Apa sebenarnya yang kamu perjuangkan sekarang ini?” Ia menjawab, ”Harga diri.” Ia bermaksud bunuh diri, setelah berhasil membunuh sang pengkhianat dan membalas dendam kematian ke‐2 bawahannya yang setia. Di film lain,”Little Big Soldier” (pemeran utama: Jacky Chen), pada saat ia menawan calon raja negara Wei setelah sukses berpura‐pura mati dan menjadi satu‐satunya yang hidup, selain raja Wei tersebut, dalam peperangan dahsyat antar kedua belah pihak, calon raja Wei itu berkata, ”Kamu orang pengecut seperti ini bisa menjadi tentara. Tidak heran, negara Liang sangat lemah. Lantas, apa rencanamu setelah membawaku kehadapan rajamu?” Ia menjawab: ”Aku sudah berjanji pada ayahku, bahwa harus ada yang meneruskan nama keluarga. Kedua kakakku sudah tewas, tinggal aku sendirian sekarang. Jadi aku HARUS hidup demi kelanjutan nama keluargaku. Kamu adalah hadiahku untuk mendapatkan kemerdekaan dan tanah pertanian yang luas.” Akhir kisahnya sendiri, memang tragis dari sisi nilai kemanusiaan dan hidup. Bahkan seorang tentara yang terbiasa hidup dengan kematian, tidak luput dari yang namanya ”Pencarian” Rekan‐rekan sekalian, saya sangat yakin sekali, bahwa meskipun kita hidup dengan cara dan jalan kita masing‐masing yang berbeda satu sama lain, dengan karakter kita masing‐masing dan keyakinan kita
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 27
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id masing‐masing, namun, ada satu hal yang membuat kita semua sebenarnya sama saja, sebagai manusia biasa, yaitu: Lahir karena TAKDIR, Hidup dengan PILIHAN, dan kemudian Meninggal demi sebuah TUJUAN Pada akhirnya, kita semua berdoa untuk mendapatkan KEBAHAGIAAN sebagai hadiah utama Namun, saya mulai memahami, bahwa pertanyaan yang terpenting sebenarnya bukanlah ”Untuk apa kita hidup?” ataupun mungkin, ”Kapan kita mati?” Pertanyaan yang terpenting justru adalah: ”Apa yang telah kita perbuat sampai sejauh ini, yang membuat hidup kita layak sebagai manusia yang berbahagia?” Ada orang miskin materi dapat meninggal dengan senyuman yang cerah. Namun, tidak sedikit pula di antara mereka, yang meninggal dengan kesengsaraan. Sementara ada orang kaya materi dapat meninggal dengan senyuman yang cerah. Namun, tidak sedikit pula di antara mereka, yang meninggal dengan kehampaan. Saya jadi teringat ekspresi wajah almarhum ibu saya sebelum penutupan peti mati. Wajahnya tampak begitu cantik dengan sebuah senyuman yang sangat menawan, sehingga membuat orang lain yang kebetulan hadir, sulit membedakan apakah sedang tidur bermimpi indah ataukah meninggal dengan bahagia. Dulu, ada seorang rohaniwan memberikan wejangan ketika saya sedang menghadiri siraman rohaninya: ”Kebahagiaan itu terpancar dari senyuman. Bila senyumanmu membuat orang lain bahagia, maka pada saat itu, kamu sudah mengenal Kebahagiaan.” Siapa sangka bahwa setelah bertahun‐tahun lamanya berlalu, wejangan itu akhirnya baru mampu saya pahami dengan cara yang sangat tak terduga seperti itu. Harus saya akui, cara Tuhan memang seringkali membuat saya bingung kalau mau berkata, ”Gak Masuk Akal”, karena, ternyata kejadiannya koq ya, memang seperti itu. Setiap orang, siapapun itu, hidup dengan cara dan pilihannya masing‐masing, demi sebuah ”Pencarian” kebahagiaan. Ada yang membunuhi orang‐orang agar bahagia. Ada yang merusak dunia agar bahagia. Ada yang menolong orang banyak agar bahagia. Ada yang membangun pengetahuan dunia agar bahagia. Ada yang mengumpulkan harta agar bahagia. Ada yang mengabdi di keagamaan agar bahagia. Ada yang menghabiskan hidupnya dengan idealisme agar bahagia. Ada yang jegal‐jegalan dalam berkorupsi agar bahagia. Ada yang bermunafik ria sepanjang hidupnya agar bahagia, ada yang selalu berusaha menguasai orang lain agar bahagia, dst dst dst. By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 28
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Benarkah jalan yang kita pilih, telah membawa ”Kebahagiaan Sejati” pada diri kita? Dari semua cara dan pilihan mencari bahagia tersebut, pada akhirnya, ”Kebahagiaan Sejati” hanya pernah dapat ditemukan di dalam diri sendiri. Karena kebahagiaan bukanlah petualangan di luar diri. Kebahagiaan adalah Perjalanan di dalam diri sendiri, dengan tanpa penyesalan. Saya akhirnya belajar bahwa untuk ”Menerangi sebuah kegelapan, kita harus menjadi cahayanya terlebih dulu.” Lahir karena TAKDIR, Hidup dengan PILIHAN, dan kemudian Meninggal demi sebuah TUJUAN Well, seperti lagu sangat inspiratif yang dinyanyikan oleh Mariah Carey, “Hero” There's a hero if you look inside your heart You don't have to be afraid of what you are. There's an answer if you reach into your soul And the sorrow that you know will melt away Reff: And then a hero comes along with the strength to carry on and you cast your fears aside and you know you can survive. So, when you feel like hope is gone look inside you and be strong and you'll finally see the truth that a hero lies in you. It's a long road when you face the world alone, No one reaches out a hand for you to hold. You can find love if you search within yourself and the emptiness you felt will disappear. Back to Reff
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 29
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Oh, ohhh, Lord knows dreams are hard to follow, But don't let anyone tear them away. Hold on, there will be tomorrow, In time you'll find the way Back to Reff So, rekan‐rekan sekalian..... Let’s be the Little Candles in the Dark, with no regrets Terinspirasi oleh: Tempat penitipan abu Surabaya, 29 Maret 2010 Suwito Hendraningrat Pudiono, M.Psi. Psikolog
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 30
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
CATATAN PENUTUP Saya ingin menutup Catatan seorang Anak, dengan puisi berjudul “Home” yang saya tulis terinsipirasi dari kenangan akan kasih almarhum ibu saya, yang sepanjang hidup beliau, saya belum berkesempatan untuk mengucapkan kata‐kata ini. Home Oeek…oeek…oeek… And so it started the days of my life When I came to this world Frightened and cold It wasn’t long then I felt The warmth so tenderly and pure Encouraging me not to cry For I could be sure I had a new home To keep me safe from hunger and loneliness Till I could be strong enough Not to cry anymore
Ah…what a dream life could be As days passed me by In the blink of the eyes Some of my days made me smile Some of my days made me cry I was losing my faith That I could grow to be someone I used to doubt it If I was born to be someone
But, it wasn’t long then I felt The love so dearly and sincere Encouraging me not to cry For I could be sure I still had a home To keep me safe from ups and downs Till I could be strong enough To be just the way I am By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 31
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id Ah…what a memory life can give As one has come, one has gone We say hello to say goodbye What gift could be more precious… Than the love of a dearest mother?
If only I could take another kiss, To strengthen me when I fear If only I could take another hug, To warm me when I’m cold If only I could take another cheer, To cherish me when I fall If only I could take another grip, To soothe me when I regret
Ah…my Lord… I’d make her sure I’d cry no more For she lives forever in my heart To make me stand strong and proud As a better man (I love you, Mommy!) As inspired by: My beloved Mommy (2 December 1951 – 8 February 2006)
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 32
[CATATAN SEORANG ANAK] www.PsikologiAnak.co.id
Sekian sharing dari saya, dan jika Anda merasa ebook ini berguna bagi orang lain, silakan berikan ebook ini ke teman‐teman Anda. Dan jika Anda belum subscribe di mailing list kami, silakan subscribe gratis di www.PsikologiAnak.co.id, ada banyak tips tentang psikologi anak dan contoh kasus di sana. Semoga ebook ini berguna bagi kehidupan Anda
Suwito Hendraningrat Pudiono, M.Psi. Psikolog
By Suwito Pudiono, M.Psi. Psikolog
Page 33