Imam Bachtiar
Catatan Perjalanan Haji Seorang Dosen
Untuk dibaca di kalangan sendiri. Juli 2005 Imam Bachtiar (2005)
1
Sekilas tentang penulis Imam Bachtiar, lahir di Jombang tanggal 17 Pebruari 1963. Ia menyelesaikan pendidikan SD, SMP dan SMA (SMPP) di wilayah Kabupaten Jombang. Ia menyelesaikan pendidikan tinggi di Jurusan Pendidikan Biologi, FPMIPA, IKIP Surabaya (1981-1986), dan di Marine Biology Department, James Cook University of North Queensland, Australia (1992-1994). Sebagai orang yang lahir dan tumbuh besar di kampung Mojoanyar, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, ia termasuk orang yang miskin dalam pengalaman pendidikan Agama Islam. Ia tidak pernah mendapatkan pendidikan di pondok pesantren, walaupun ayahnya seorang guru agama di SD/SMP. Kesukaannya membaca bukubuku agama telah banyak memperkaya pengetahuannya dalam Agama Islam. Sejak tahun 1988, Imam Bachtiar, menjadi dosen tetap di Program studi Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Mataram. Ia dikenal sebagai peneliti terumbu karang, atau ahli kelautan, baik di Propinsi Nusa Tenggara Barat maupun di tingkat nasional. Di tingkat internasional, ia menjadi anggota International Society for Reef Studies (ISRS) dan terdaftar sebagai kontributor dari beberapa buku yang diterbitkan oleh UNEP (United Nations Environment Programme). Sebelum melakukan perjalanan ibadah haji ke Saudi Arabia, ia sudah pernah melawat ke beberapa negara, termasuk Australia, Amerika Serikat, Canada, Thailand, Vietnam, Singapore dan Malaysia. Buku Catatan Perjalanan ini merupakan buku pertama yang ditulisnya, yang berkaitan dengan masalah Agama Islam. Sebelumnya, ia telah menulis sekitar 25 paper (makalah) yang diterbitkan di jurnal ilmiah lokal, nasional dan internasional atau di buku-buku, yang semuanya berkaitan dengan masalah kelautan dan perikanan. Pengalaman spiritual ketika melaksanakan ibadah haji membuatnya ingin menulis buku ini untuk keluarga, kerabat dan sahabat. Bersama istrinya, Ani Mariani, ia dikaruniai dua orang anak perempuan yaitu Jasmine Chanifah Uzdah Bachtiar (10 tahun), dan Naila Taslimah Bachtiar (8 tahun). Keluarga Imam Bachtiar tinggal di Kota Mataram. Alamat email:
[email protected].
2
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Pengantar Penulis Alhamdulillah, catatan perjalanan haji ini akhirnya bisa terselesaikan pada tahun 2005. Penulis memang ingin segera menuntaskan catatan perjalanan ini secepatnya. Tetapi kesibukan sehari-hari penulis sebagai dosen dan konsultan suatu proyek perikanan, membuat pikiran penulis lebih banyak tersita ke kedua kegiatan pendukung utama ekonomi keluarga tersebut. Ketika mau berangkat haji, ada keinginan untuk mencatat tanggal, waktu dan lokasi kejadian sedetail mungkin. Tetapi, begitu kita mendarat di tanah suci, saya menjadi berubah pendirian sehingga membuat catatan yang kurang detail. Dalam catatan waktu, misalnya, saya bulatkan saja ke 15 atau 30 menit. Nikmatnya beribadah selama perjalanan membuat penulisan catatan haji ini hanya merupakan sambilan kecil yang tidak lagi penting. Tetapi begitu kembali di Indonesia, catatan perjalanan terasa menjadi penting kembali, sehingga bagaimanapun harus dituangkan ke atas kertas. Catatan perjalanan haji kami ini bukan dimaksudkan sebagai pedoman dalam menunaikan ibadah haji. Catatan kecil ini dimaksudkan untuk kenang-kenangan bagi keluarga kami agar bisa dibaca oleh anak cucu nanti. Walaupun demikian, catatan yang bersifat pribadi ini mungkin juga bisa bermanfaat bagi calon jamaah haji untuk melihat potret salah satu dari jutaan perjalanan haji seorang muslim dari Indonesia. Semua catatan haji ini dituturkan dalam gaya penuturan antar kawan. Gaya penuturan ini digunakan sebagai cara untuk mengurangi kebosanan dalam melihat acara rutin ibadah di masjid dari hari ke hari. Kata ’saya’ merupakan kata yang paling sering digunakan sebagai cara komunikasi antara penulis dengan kawan pembacanya. Kata ’kami’ biasanya mengacu kepada penulis dan istrinya, karena sebagian besar ibadah selama perjalanan ini dilakukan bersama dengan istri. Walaupun demikian, masih sulit untuk menghindari cerita rutin yang membosankan tersebut. Judul kecil sebagai topik utama hari itu dimunculkan setelah tanggal kejadian, sebagai cara lain untuk menghindari kebosanan pembaca. Tak lupa juga penulis ingin secara khusus mengucapkan terima-kasih kepada istri, Ani Mariani, yang telah menemani penulis sepanjang perjalanan ini dan orang pertama yang memberikan saran perbaikan dari naskah catatan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat. Imam Bachtiar Imam Bachtiar (2005)
3
Daftar Isi
Bab I
Sekilas Tentang Penulis Pengantar Penulis Daftar Isi
2 3 4
Bab I. Pendahuluan
5
Bab II. Perjalanan di Madinah al Munawarah
8
Masuk asrama haji 11; Penerbangan menuju Medinah 13, Antrian mandi dimulai, demikian juga tangisan sholat 17; Sholat di Raudah 19; Menangis di Masjid Quba’ 20; Makam Baqi’, kuburan tanpa nama 23; Bahasa Arab sama dengan Bahasa Indonesia 25; Ditolak masuk masjid karena bawa kamera 27; Mesin pembersih halaman masjid 29; Sholat Arbain sudah lengkap 30. Bab III. Perjalanan di Mekah, Arafah dan Mina
35
87
Ziarah keliling Jedah 88; Pesawat akhirnya berangkat juga 90. Dibuang Sayang
4
P
erjalanan haji bukanlah perjalanan biasa ke luar negeri, sebagaimana yang diduga oleh sebagian orang yang belum pernah mengerjakannya. Perasaan yang ‘tidak biasa’ sudah terasa ketika kita membayar biaya perjalanan haji ke bank yang ditunjuk pemerintah. Perasaan istimewa ini tidak pernah penulis bayangkan sebelumnya. Sungguh menjadi tamu Allah dalam perjalanan haji merupakan sesuatu yang sangat istimewa. Keistimewaan itu hanya bisa dirasakan oleh calon jamaah haji, karena terlalu sulit untuk dideskripsikan dalam lisan maupun tulisan. Tidak heran orang yang telah membayar biaya perjalanan haji kemudian menjadi cengeng karena mudah keluar air matanya. Tetesan air mata yang keluar adalah air mata syukur, air mata bahagia, telah terpilih menjadi tamu Allah untuk musim haji sebentar lagi. Apalagi ketika mulai belajar menghafalkan talbiyah. Timbul rasa syukur yang sangat besar yang menyelimuti jiwa, seolah sudah tidak terkendali lagi. Perjalanan haji juga sangat istimewa, karena di sinilah seorang hamba Allah biasanya bisa menyaksikan kehadiranNya dengan hatinya. Kehadiran Allah sering terjadi dari pengalaman-pengalaman spiritual yang banyak diceritakan orang. Banyak pengalaman spiritual yang ‘irasional’, yang biasanya selalu menjadi ingatan orang yang sudah berhaji. Ada kalanya juga terjadi pengalaman spiritual yang ‘rasional’ dalam berhaji. Pengalaman-pengalaman spiritual tersebut merupakan aset spiritual yang sangat banyak manfaatnya setelah pulang ke tanah air. Orang yang sudah berhaji bisa lebih mudah mendekatkan hatinya dalam sholat, dengan mengenang pengalaman ketika masih sholat di depan Ka’bah.
Jangan terlalu rasional 38; Tawaf kedua, istri saya suka memegang Ka’’bah 41; Pria dan wanita mesti sholat di tempat terpisah 43; Mencicipi makanan pedagang asongan 44, Sholat sunat di Hijir Ismail 47; Mencari kambing di pasar, takut melihat calo 48; Orang sholat sambil menangis keras 50; Sholat dan tawaf di lantai dua 51; Anakanak ranking satu 53; Berfoto di depan Pintu KAA 54; Sholat Ashar di depan Ka’bah 56; Tawaf di lantai tiga 57; Mengukur jalan ke Mina 59; Ruku’ di punggung wanita 61; Sholat Jum’at kepanasan 62; Sholat di ruang bawah tanah 63; Melihat cahaya Ka’bah 64; Lebih baik menulis daripada marah dan gelisah 67; Sholat Subuh di Masjid Namirah 69; Sulit tidur di tenda modern 72; Tawaf ifadah, hampir terkena dam karena terlambat mabit 74; Melempar jumrah di lantai atas, ibadah haji sudah selesai 79; Hujan besar itu badai 81; Tawaf terpisah dengan istri 83; Tawaf wada 84; Bab IV. Perjalanan Pulang ke Tanah Air
Pendahuluan
92
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Sebelum dan selama perjalanan haji ini kami selalu berdo’a untuk bisa mendapatkan pengalaman spiritual yang istimewa, yang bisa kami ingat selamanya. Sudah banyak cerita-cerita ’luar biasa’ dari orang-orang yang pernah melakukan perjalanan spiritual ini, yang tidak bosanbosannya kita dengarkan walaupun berulang-kali. Tetapi, buku ini tidak banyak menceritakan hal tersebut, karena penulis tidak mengalami kejadian yang irasional sebagaimana yang banyak diceritakan orang. Walaupun demikian, Alhamdulillah, pengalaman spritual yang extraordinary akhirnya juga kami dapatkan, seperti yang banyak didapatkan oleh para jamaah haji yang lain. Maha Suci Allah yang tidak pernah mengecewakan tamu undanganNya. Insya Allah, setiap jamaah yang telah ikhlas datang ke tanah suci untuk menjadi tamuNya akan pulang membawa oleh-oleh yang tidak akan hilang sepanjang hidup. Imam Bachtiar (2005)
5
Kegiatan sehari-hari dari seorang jamaah haji merupakan kegiatan rutin yang terus berulang selama perjalanan. Kegiatan itu meliputi sholat fardlu dan ibadah tambahan lainnya. Walaupun demikian, karena semua kegiatan rutin tersebut dilaksanakan di tempat yang sangat khusus, tanah suci, maka calon jamaah haji perlu mengetahuinya. Pengetahuan tentang kegiatan rutin tersebut bisa mempermudah calon jamaah haji untuk mempersiapkan bekal makanan, pakaian, dan ilmu sebelum berangkat. Dengan bekal yang lebih baik, hasil yang diperoleh juga bisa diharapkan semakin baik. Dengan memahami gambaran yang lebih lengkap tentang kegiatan seharihari seorang jamaah haji, calon jamaah bisa lebih kritis untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama atau menutupi kekurangan yang ada dalam pengalaman penulis di buku ini. Dengan membaca buku ini, kami berharap pembaca (calon jamaah haji) seolah-olah sudah pernah melakukan perjalanan haji sebelumnya. Catatan perjalanan ini dibagi menjadi dua bab utama, yaitu Perjalanan di Madinah al Munawarah dan Perjalanan di Mekah dan Arafah. Pemisahan kedua perjalanan tersebut dimaksudkan untuk
memungkinkan pembaca bisa memahami kondisi masing-masing kota yang berbeda. Tambahan beberapa data tentang kedua kota dimaksudkan untuk melengkapi gambaran latar belakang kegiatan rutin ynag dilakukan di kora-kota suci tersebut. Semua data yang tersaji tersebut, sebagian tentu akan berubah dengan bergesernya waktu. Di samping perubahan fasilitas haji yang terus bertambah lengkap setiap tahun, bergesernya iklim pada setiap musim haji juga akan menyebabkan latar belakang kegiatan rutin tidak lagi sama dengan yang akan ditemui oleh calon jamaah. Perjalanan haji yang tercatat dalam buku ini adalah perjalanan yang terjadi di bulan Desember 2004 hingga Januari 2005. Ketika itu Semenanjung Arabia tengah berada pada musim dingin. Hal ini akan sangat berbeda jika perjalanan haji dilakukan pada musim panas (JuniAgustus). Perbedaan gelombang pemberangkatan juga memberi peluang terjadinya beberapa perbedaan pengalaman. Pengalaman yang tertulis di sini merupakan potret salah satu pengalaman jamaah Gelombang Pertama, yang datang ke Madinah lebih dauhulu sebelum ke Mekah. Jamaah yang masuk ke dalam Gelombang Kedua, konon mempunyai pengalaman cuaca yang sudah berbeda. Terutama cuaca Kota Madinah yang suhunya sudah lebih ramah lagi, tidak terlalu dingin. Di dalam catatan ini, susana perjalanan dari rumah menuju Asrama Haji hingga ke Madinah digabungkan menjadi satu bab. Perjalanan dari rumah bukanlah sesuatu yang penting, tetapi terasa sangat sayang untuk dilewatkan. Karena perjalanan dari rumah ini sangat pendek, jadi kalau digabungkan dengan perjalanan di Madinah juga masih bisa mengimbangi perjalanan yang lebih panjang di Mekah.
Penulis dan Pak Edy Achmad (kiri) sedang menunggu istri kami di halaman Masjid Nabawi. Janji bertemu lebih mudah dilakukan di dekat
6
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Imam Bachtiar (2005)
7
Bab II Perjalanan di Madinah al Munawarah
M
adinah al Munawarah adalah sebuah kota yang relatif subur di antara padang pasir yang tandus. Di sekitar kota banyak kebun kurma atau buah-buahan yang lain. Tanah di Madinah dan sekitarya ada yang menyebutnya sebagai tanah kelas satu. Kota yang dulunya bernama Yatsrib ini merupakan kota yang penduduknya ramah dan santun. Pengaruh Islam nampak membekas sangat dalam di kota ini. Dari kota kecil inilah Islam telah berkembang ke segala penjuru dunia. Pada peta, kota Madinah terletak di sebelah tengah Jazirah Arab. Karena itu ketika musim dingin, Madinah mendapat angin dari gurun-gurun yang telah dingin sehingga suhu udara di sini bisa sangat dingin. Pelembab kulit dan bibir sangat diperlukan dalam cuaca seperti ini.Tetapi sebaliknya pada musim panas bisa sangat panas, karena angin yang datang telah mendapat tambahan pemanasan di gurun-gurun yang gersang. Membeli pelembab kulit dan bibir di Madinah lebih baik daripada membawanya dari Indonesia, karena yang dijual di sini sudah disesuaikan dengan kondisi iklim lokal. Teman yang tidak menggunakan pelembab sudah menderita kesakitan karena pecah-pecah di kulit kaki dan telapak kaki pada hari ketiga. Kota Madinah menjadi sangat istimewa karena adanya Masjid Nabawi. Sholat di Masjid Nabawi lebih utama 1000 kali dibandingkan sholat di tempat lain, selain Masjidil Haram. Di dalam masjid terdapat makam Rasulullah dan para sahabatnya : Abubakar, Umar dan Ali. Sedangkan Usman, makamnya ada di sebelah masjid di Pemakaman Umum Baqi. Masjid Nabawi adalah masjid kedua yang didirikan pada zaman Nabi SAW, yang kini telah banyak mengalami renovasi menjadi masjid yang paling besar, paling indah dan modern. Pada awalnya masjid ini mempunyai luas 1.050 m2. Sejak Oktober 1985, Masjid Nabawi diperluas menjadi 98.000 m2, yang dapat menampung 167.000 jamaah, ditambah lantai atas beratap langit (sky roof) seluas 67.000 m2 yang dapat menampung 90.000 jamaah. Halaman masjid sangat luas dan selalu dibersihkan setiap hari. Jalan-jalan yang mengelilingi masjid juga selalu bersih walaupun tidak dikeramik seperti halaman masjid. Jika halaman tersebut dipenuhi oleh jamaah, maka
8
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Imam Bachtiar (2005)
9
Penulis sedang kedinginan di halaman Masjid Nabawi, walaupun matahari sudah lewat sejengkal.
sebanyak 1.000.000 orang bisa sholat berjamaah di Masjid Nabawi. Halaman masjid yang sekarang merupakan Kota Madinah di Jaman Rasulullah. Di sebelah barat, 7 km dari masjid, terdapat sebuah bangunan sentral AC raksasa untuk mendinginkan masjid di atas tanah seluas 70.000 m2. Udara dingin mengalir melalui pilar-pilar modern masjid yang berjumlah 2.104 buah. Pilar-pilar di dalam masjid Nabi ini sangat indah, dengan arsitektur lengkungan yang sangat menawan. Kami merasa sangat bangga mempunyai masjid seindah ini. Bagi saya, keindahan Masjid Nabawi serasa di dalam istana raja. Di samping keindahan yang luar biasa, ada sebuah ciri khas Masjid Nabawi yaitu adanya kubah berwarna hijau (green dome) di antara 10 menara yang menjulang ke langit. Di bawah kubah hijau itulah terdapat makam Rasulullah dan tiga sahabatnya. Di sebelah kanan makam terdapat Taman Raudah, sebuah bidang seluas 22x15 m2, yang diapit oleh 16 pilar kuno dengan ornamen yang khas. Raudah juga mempunyai karpet dengan warna yang berbeda dari karpet lainnya, sehingga kita dengan mudah mengetahui sudah masuk di Raudah atau masih di luarnya. Menurut riwayat, Raudah merupakan salah satu tempat yang paling makbul untuk berdo’a. Perempuan mempunyai jadwal khusus untuk bisa pergi ke Raudah, pukul 07:00-10:00 pagi hari dan 13:00-15:00 siang hari. Di luar jadwal perempuan tersebut, Raudah dipenuhi oleh jamaah laki-laki.
perbelanjaan (superstores), dan jalan mobil untuk parkir di bawah halaman masjid.
Tanggal 21-12-2004. Masuk asrama haji. Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 07:30 pagi hari. Anak pertama, Jasmine, sudah berangkat ke sekolah di SDN 44 Ampenan. Sedangkan anak kedua, Naila, ikut mengantar kami berdua ke Kantor Walikota, tempat para jamaah haji dikumpulkan. Ketidak-hadiran Jasmine mengantar kepergian kami bisa membuat perpisahan kami dengan keluarga lebih mudah. Setelah bersalam-salaman dengan para tetangga dan kerabat yang hadir di rumah, dengan diiringi oleh suara adzan dari Syamsuddin, kami berangkat menuju ke Kantor Walikota. Di dalam mobil ada Naila, Ibu Sri Utami (Jombang), Bapak Anwar (Singaraja), dan Syamsuddin (Singaraja) yang mengemudikan mobil kami. Ada dua kendaraan lain, yaitu milik Paklik Agus dan Pak Suhardi Andung, yang mengantar kami sampai ke Lapangan Umum Mataram. Ketika kami sampai di Lapangan Umum, sudah banyak sekali mobil parkir di sana. Sekali lagi kami berpamitan dengan kerabat dan tetangga yang mengantar sampai di Lapangan Umum. Entah yang ke berapa kali airmata kami mengalir lagi. Dalam perjalanan dari tempat parkir hingga ke pintu gerbang Kantor Walikota, banyak masyarakat pengantar jamaah yang ingin bersalaman dengan kami, para calon jamaah haji. Disamping muncul rasa haru, juga ada perasaan lucu karena kayaknya kami ini selebritis saja. Subhanallah, sungguh besar karunia yang diberikan kepada para tamu Allah.
Perpisahan dengan keluarga merupakan saat-saat yang mengharukan bagi jamaah haji.
Di sebelah kanan (barat) masjid banyak terdapat hotel-hotel besar. Beberapa hotel yang mudah dilihat dari halaman sebelah barat masjid adalah Taiba Residential Suite, Dar al Taqwa, dan Inter Continental. Hotel-hotel besar ini arsitektur bangunannya sangat selaras dengan bangunan masjid. Di bagian bawah hotel (basement) terdapat pusat 10
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Imam Bachtiar (2005)
11
Di halaman Kantor Walikota, sudah banyak jamaah menunggu acara. Dari pukul 08:00 hingga lebih dari pukul 10:00 kami hanya mengobrol bersama teman para jamaah haji sambil membaca buku kumpulan do’a yang diberikan oleh Departemen Agama. Ketika kami menunggu acara pelepasan oleh Walikota Mataram, kami bertemu dengan beberapa kenalan yang mengantar keluarga mareka. Sebagian pengantar bisa masuk ke tempat tunggu jamaah karena kenal dengan petugas atau orang dalam. Pak Suhardi Andung datang mengunjungi kami untuk sekali lagi mengucapkan selamat menunaikan ibadah haji. Airmata saya sudah biasa mengalir otomatis. Saya lihat Pak Suihardi juga tidak tahan melihat air mata saya. Walaupun disembunyikan dengan kacamata hitam, saya bisa melihat bahwa beliau juga meneteskan air mata. Urusan haji memang membuat saya menjadi semakin cengeng setiap hari. Setelah acara Pelepasan Jamaah Haji Kota Mataram oleh Pak Wali selesai, kami pergi ke Asrama Haji dengan bis yang telah disediakan. Karena hanya ada 4 bis untuk sekitar 450 jamaah, kami yang ada di Rombongan 4 menunggu agak lama. Kami masuk Asrama Haji sekitar pukul 11:30. Ada acara pengarahan sebentar di aula, kemudian kami diantar masuk ke kamar. Di asrama kami dipisah antara gedung untuk pria dan gedung untuk wanita. Sebelum sholat Dzuhur di kompleks asrama, kami masih sempat makan jatah snack makanan ringan. Sholat jamaah di masjid asrama sudah mulai terdengar keluhan-keluhan. Karena imam sholat kurang komunikatif, makmumnya banyak yang tidak tahu kalau sholatnya akan dijamak-qosor. Setelah makan siang sekitar jam 13:30 ada gosip bahwa jamaah tidak boleh membawa kamera. Saya sangat terkejut. Rasanya tidak masuk akal mengapa jamaah haji tidak boleh bawa kamera. Pak Edy Achmad, teman satu regu: Regu 15, sudah menanyakan ke petugas sekuriti dari kepolisian dan jawabannya memang tidak boleh. Kamera yang saya bawa memang khusus saya beli untuk keperluan ibadah haji. Jika tidak boleh dibawa, selain tidak rasional juga sangat merugikan saya. Karena itu saya minta kepada Ketua Rombongan, Pak Nasir, untuk menanyakannya kepada petugas yang kompeten. Ternyata Pak Nasir juga mendapatkan jawaban yang sama, tidak boleh. Karena sangat gelisah, saya tidak bisa tidur siang walaupun terasa ngantuk sekali. Dalam suasana hujan gerimis dan jalanan becek saya dan Pak Edy pergi ke petugas di aula. Jawaban petugas haji dari Depag : “... yang paling tahu adalah petugas dari Saudi Airlines”. Kamipun masuk ke ruangan khusus Saudi Airlines. Sayangnya kami tidak mendapat jawaban yang diinginkan karena semua staff sedang menghadiri pertemuan di gedung yang lain. 12
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Pukul 16:00 kami disuruh bersiap-siap di aula untuk menghadiri acara pelepasan jamaah haji oleh Gubernur NTB. Sebelum acara dimulai, kami semua sudah membawa tas jinjing masing-masing. Kami menggerutu juga, kenapa harus membawa tas kalau jadwal pelepasannya masih jam 20:00. Ternyata acaranya molor lama sekali. Sambil menunggu kedatangan Gubernur, saya menyelinap masuk ke ruangan Saudi Airlines untuk menanyakan masalah larangan membawa kamera. Mareka terkejut juga mendengar adanya larangan itu, tetapi mareka juga tidak berani menjawab langsung. Setelah seorang staff telepon ke Jakarta baru ada kepastian bahwa kamera boleh dibawa. Yang tidak boleh dibawa adalah HP yang berkamera. Alhamdulillah, kamera saya aman. Kejadian ini menunjukkan bahwa jangan mudah percaya dengan informasi yang disampaikan oleh siapapun termasuk Ketua Rombongan, jika terasa aneh. Jika informasinya meragukan sebaiknya pergi sendiri mencari sumbernya secara langsung. Setelah acara pelepasan jamaah oleh Gubernur, ada beberapa pengumuman resmi dari panitia. Diantara pengumuman itu adalah larangan membawa HP yang berkamera. Larangan seperti ini memang pernah terjadi di Singapura. Jadi bagi saya hal ini masuk akal saja, walaupun banyak teman yang sulit mempercayai adanya larangan tersebut. Penerbangan ke Surabaya menggunakan maskapai penerbangan Lion Air dengan pesawat tuanya Boeing MD-82. Rombongan 4 dijadwalkan berangkat dengan penerbangan yang kedua ke Surabaya, pukul 20:23. Tetapi kami menunggu jemputan bis hingga pukul 21:00 di asrama. Di dalam penerbangan dengan pesawat Lion ini, sudah mulai ada godaan buat jamaah pria. Pramugari Lion Air yang semuanya masih sangat muda memamerkan perutnya ketika memeragakan penggunaaan seatbelt dan safety regulation lainnya. Kami memang harus selalu mengingat bahwa perjalanan ini adalah perjalanan ibadah ritual sehingga harus selalu berupaya membersihkan niat. Kami tiba di Juanda pukul 21:15 WIB. Kami mendapatkan sekotak nasi yang “tidak menarik”. Kami sholat Maghrib-Isya jamak-qosor di Ruang Tunggu khusus jamaah haji di Bandara Juanda. Di ruang tunggu yang khusus ini kita bisa sholat, mandi ataupun tidur sambil menunggu jadwal penerbangan ke Saudi. Tanggal 22-12-2004. Penerbangan menuju Madinah Hari ini adalah hari yang panjang buat kami yang sedang pergi ke arah barat bola bumi. Panjang hari yang normal adalah 24 jam. Tetapi karena Imam Bachtiar (2005)
13
kami pergi ke lokasi yang mempunyai perbedaan waktu 5 jam, jadi panjang hari ini bertambah 5 jam menjadi 29 jam. Karena itu, hari ini catatan saya agak panjang dari hari yang lainnya. Pukul 01:00 dinihari jamaah Kloter 06 SUB, yang semuanya jamaah Kota Mataram, dibangunkan oleh panitia. Kami berjalan menuju bis bandara berdasarkan rombongan. Namanya para jamaah mempunyai latar belakang yang sangat bervariasi, banyak jamaah yang dipanggil masuk bis tetapi masih tetap duduk santai-santai saja. Hal ini membuat jamaah lain yang menunggu giliran bis jadi jengkel dan harus bersabar lebih banyak. Kami di Rombongan 4 masuk ke pesawat sekitar pukul 01:45. Pesawat take-off sekitar pukul 02:20. Pesawat Boeing 737-368 Saudi Airlines tampak anggun karena lebih besar dari pesawat lain di Bandara Juanda. Tetapi kalau boleh jujur, penerbangan di pesawat ini sangat kurang fasilitasnya dibandingkan dengan penerbangan internasional yang pernah saya naiki sebelumnya, seperti Singapore Airlines, Qantas atau Cathay Pacific, bahkan masih kurang dibandingkan dengan Garuda Airlines. Tidak satupun ada fasilitas hiburan di dalam pesawat. Semestinya kesempatan ini digunakan panitia untuk memutar video tentang manasik haji atau pengenalan budaya Arab.
menggunakan toilet di pesawat, bahkan orang yang berpendidikan tinggi sekalipun. Mareka tidak tahu cara menggunakan tissue untuk cebok dan tidak tahu kemana harus membuang tissue tersebut. Saya kira pemerintah telah gagal mengajarkan kebersihan dalam mansik haji mareka. Kami mendarat di Madinah sekitar pukul 11:00 siang waktu setempat. Begitu mendarat di Bandara Madinah suasana terasa menjadi lain. Ada perasaan haru yang sangat dalam, bahwa kami menjadi tamu Allah di Tanah Suci. Begitu keluar dari tangga pesawat kami langsung sujud syukur, mensyukuri nikmat Allah yang telah memberikan kenikmatan perjalanan haji ini. Antrian jamaah di pemeriksaan paspor jangan dibayangkan sama dengan bepergian ke luar negeri biasa. Karena jamaah sebagian besar tidak
Sujud syukur jamaah ketika baru mendarat di bandara Madinah.
Kami terbang selama sembilan jam menuju Madinah. Makanan di pesawat terasa nikmat, tetapi menunya hanya satu macam saja. Pramugari yang melayani kami sebagian kecil saja yang berdarah Arab, sebagian besar orang Indonesia. Pramugari dari Indonesia tampak lebih cantik daripada pramugari dari Arab. Pak Lalu Mustamin sempat saya foto bersama dengan seorang pramugari Indonesia. Di dalam pesawat ini saya banyak keluyuran. Perjalanan yang lama dan tidak adanya hiburan membuat saya perlu berkeliling cari teman yang menarik untuk diajak ngobrol. Pertama saya naik ke lantai dua untuk melihat penumpang lain di sana. Ada seorang pramugara Arab menyapa dalam bahasa Inggris. Wah kebetulan ini teman ngobrol yang menarik karena saya perlu tahu beberapa adat kebiasaan Arab dari mulut Arab sendiri. Ketika asyik ngobrol ada seorang pramugari dari Indonesia yang juga turut mengobrol bersama kami sehingga pembicaraan menjadi semakin menarik. Setelah lebih satu jam ngobrol, kami mulai kehabisan bahan. Akhirnya saya pamit untuk turun ke kabin bawah. Saya pergi ke bagian depan pesawat, yang biasanya Kelas Bisnis. Di sana saya ketemu dengan Pak Lalu Wardi dan Pak Lalu Mariyun (hakim yang pernah menangani kasus mantan presiden Suharto) yang juga sedang kehabisan bahan obrolan. Kehadiran saya bisa memperpanjang acara ngobrol mareka. Masalah yang memprihatinkan di dalam pesawat Saudi Airlines adalah penggunaan toilet. Banyak penumpang (jamaah) yang tidak tahu cara 14
Catatan perjalanan haji seorang dosen
tahu cara antri yang benar jadi cara antrian mareka terasa aneh bagi saya. Tampaknya semua orang tidak sabar untuk segera diperiksa paspornya dan masuk ke dalam bis. Pemeriksaan paspor dan visa haji memang banyak berbeda dengan bepergian biasa. Tetapi asal semua tuntunan yang diberikan petugas diikuti, semua berjalan dengan mudah. Setelah melewati pemeriksaan imigrasi, kami mencari sendiri koper kami yang sudah diatur berbaris dan membawanya keluar bandara melewati pemeriksaan petugas. Tampaknya tidak satupun dari koper jamaah yang dibuka untuk diperiksa petugas, walaupun di dalam buku tuntunan perjalanan haji disebutkan hal itu bisa terjadi. Semua berjalan lancar dan cepat. Di luar bandara, bis sudah menunggu dengan koper-koper kami ditaruh di atas bis. Saya teringat mobil ’engkel’ jurusan MataramPancor, di Lombok. Imam Bachtiar (2005)
15
Kami pikir bahwa bis akan diatur berdasarkan rombongan masing-masing. Tetapi ternyata tidak demikian. Kita begitu keluar dari bandara dengan koper, seorang buruh langsung ambil koper yang kita bawa dan mengajak kita jalan ke tempat bis. Ada rasa khawatir jangan-jangan kita naik bis yang salah atau koper kita nanti salah arah. Tetapi sebagaimana yang dipesankan sebelumnya bahwa semua koper tidak akan ada masalah. Dalam perjalanan ke penginapan, kami melihat kota Madinah tampak seperti kota yang tandus, gersang. Tampak beberapa pohon kurma di sekitar jalan, tetapi bukit-bukit di sekitar kota tampak telanjang tanpa tanaman. Dari dalam bis, dari jauh saya melihat ada bendera merah putih di atas bangunan tinggi yang tampak seperti hotel. Mudahmudahan itu tempat kami menginap. Tetapi belakangan akhirnya saya sadari bahwa hotel itu untuk jamaah haji Indonesia yang lain. Sedangkan jamaah Kloter 06 SUB mendapat penginapan tua berlantai empat. Hari pertama di Madinah kami mendapat kesan pekerjaan panitia yang kurang beres. Sebagian jamaah haji, termasuk Regu 15 dimana kami di dalamnya, salah memasuki hotel. Pertama kami mendengar dari panitia bahwa Rombongan 4 SUB 06 masuk ke hotel ini. Ternyata hotel untuk kami ada di sebelahnya. Kami masuk hotel yang benar setelah pukul 13:00. Sebuah hotel tua bernama Dar el Bari. Padahal kami sudah tiba di lokasi itu sejak jam 11:00. Setelah mandi dan Sholat Dzuhur di hotel, kami menunggu jatah makan siang. Tetapi sayangnya tidak juga datang. Karena perut sangat lapar, saya makan roti yang bisa ditemukan di sekitar hotel. Sholat Arba’in (40 waktu) dimulai dengan Sholat Ashar hari ini. Perjalanan dari hotel ke Masjid Nabawi sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. Dengan dua kali menyeberang jalan sampailah kami di samping kanan masjid yang kiblatnya ke arah selatan. Adzan dari Masjid Nabawi juga terdengar jelas dari penginapan. Saya dengan istri pergi untuk sholat Ashar jam 15:00, bersama dengan pasangan keluarga Edy Achmad dan Syahri. Perempuan dan laki-laki terpisah tempatnya. Di dalam masjid, kami bertiga mencari tempat di belakang tenda-tenda yang bisa membuka tutup. Kami ingin mengenal situasi masjid dan posisi raudah. Di bawah tenda-tenda tersebut kami melihat beberapa jamaah KBIH Darul Falah dari tipe dan warna hasduk yang mareka pakai. Begitu sekat pintu putih dibuka, orang-orang berhamburan lari ke arah dalam sekat-sekat tersebut, termasuk jamaah Darul Falah. Pak Suparman masuk, tetapi saya takut berebutan. Akirnya saya dan Pak Edy melakukan Sholat Ashar di belakang sekat-sekat yang telah ditutup kembali.
16
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Sebelum kembali ke hotel, kami menemukan sebuah wartel di dekat masjid. Beberapa teman yang menelpon ke tanah air, ternyata dicurangi oleh orang Arab penunggu wartel. Ketika di dalam boks telepon mareka melihat angkanya SR 15, tetapi ketika membayar mareka dikenai SR 30. Mau memprotes tidak bisa berbahasa Arab. Ini pelajaran pertama yang tidak menyenangkan di Madinah. Pulang dari masjid (Sholat Ashar) kami mendapati jatah makan siang. Karena sudah kelaparan, makan siang hari ini sangat nikmat rasanya. Setelah makan siang, kami kembali ke Masjid Nabawi jam 17:00. Kali ini kami masuk lewat Pintu 1, terus ke arah makam Rasulullah. Saya dan Pak Syahri mendapat tempat persis di depan Raudah. Pak Edy tidak bisa ikut karena harus berwudlu lagi begitu kami memasuki Pintu 1. Kami mendapat shaf sholat di dekat Makam rasulullah. Saya melihat Pak Syahri menangis berat ketika berdo’a habis Sholat Maghrib, sedangkan saya masih belum bisa menikmati suasana yang membuat menangis. Kami bertahan di dekat Imam tersebut sampai Sholat Isya’. Di luar masjid, udara sudah terasa sangat dingin. Tanggal 23-12-2004. Antri mandi dimulai, demikian juga tangisan sholat. Kami memulai kegiatan hari ini sangat awal. Pukul 01:00 kami sudah bangun dan langsung antri mandi. Ada dua kamar mandi yang digunakan oleh tiga kamar. Setiap kamar berisi 5-8 orang. Hotel tempat kami menginap sudah sangat tua usianya dilihat dari model bangunan dan lift. Hanya ada satu lift dengan kapasitas 4 orang untuk sebuah bangunan berlantai 4. Setiap lantai ada 5 kamar tidur dan sebuah dapur. Tidak ada papan nama hotel. Nama Hotel Dar el Bari saya dapatkan dari tulisan tangan yang sudah kusam di sebuah papan pengumuman, di lobi yang berukuran sangat sempit. Kami berangkat ke masjid sekitar pukul 03:00. Semua pintu masjid masih terkunci. Saya dengan Pak Edy ikut antri di depan Pintu 1. Pada pagi itu, sudah banyak orang yang berdiri di depan pintu. Pintu-pintu masjid yang lain juga dipenuhi orang-orang yang mengincar Raudah. Pintu 1, merupakan pintu yang terdekat dengan Raudah. Menurut orang-orang yang kami temui di depan pintu, masjid akan dibuka jam 04:30. Karena masih terlalu lama menunggu, saya dan Pak Edy pergi ke tempat lain yang ada permadaninya untuk Sholat Tahajut. Di beberapa tempat disediakan permadani di luar masjid untuk orang-orang yang mau sholat malam. Saya bisa sholat dengan sangat khusyuk. Ketika berdo’a, airmata saya tidak bisa terbendung lagi. Inilah pertama kalinya saya bisa minta ampun kepada Allah hingga menangis tersedu-sedu. Imam Bachtiar (2005)
17
Begitu pintu dibuka semua orang berlari berebut tempat di Raudah. Pintu 1 kayaknya pintu terakhir yang dibuka oleh pengurus masjid, karena jaraknya ke Raudah paling dekat. Dengan perbedaan waktu membuka pintu, saya pikir semua orang dari pintu mana saja bepeluang masuk ke Raudah. Kami masuk dari antrian di tengah, sehingga tidak bisa masuk ke Raudah. Kami mendapat tempat di sebelah kanan Raudah. Saya masih mengamati dan mempelajari tanda-tanda batas tiang yang memisahkan Raudah dengan lainnya. Kalau hanya dari membaca buku, masih sulit mendapatkan gambaran batas-batas Raudah. Tetapi dengan mengamati langsung, kita bisa tahu sudah di dalam Raudah atau belum. Yang jelas pola ukiran di tiangnya berbeda dan permadaninya juga jelas berbeda. Menunggu Sholat Subuh terasa lama sekali. Kami sudah sholat sunat berkalikali sampai terdengar suara adzan pertama. Adzan kedua baru terdengar lagi sekitar jam 05:25. Sedangkan Sholat Subuh dimulai setelah pukul 06:05. Setelah Sholat Subuh kami mengikuti arus orang menuju RauSuatu pagi di depan Masjid Nabawi. dah. Ya, pagi ini kami bisa berjalan melewati Raudah. Tetapi karena banyaknya orang ber-desak-desakan kami tidak bisa berhenti sama sekali. Saya berdo’a sambil ber-jalan berdesakan di Raudah. Keluar dari masjid kami jalan-jalan ke arah Makam Baqi’, melihat peda-gang souvenir yang semuanya pandai berbahasa Indonesia. Saya mengambil beberapa foto, termasuk foto jamaah dari Turki yang bergerombol berdo’a bersama. Setelah sarapan dan mandi pagi, saya mengantuk sekali. Tidur sangat lelap, setelah dua hari kurang tidur. Pukul 10:00 bangun, dan 11:30 pergi ke masjid lagi untuk Sholat Dhuhur. Lagi-lagi jarak antara Adzan dengan sholat sekitar 40 menit. Ini kebiasaan Masjid Nabawi yang harus kami ikuti. Habis sholat saya dan istri makan siang di hotel. Kemudian kami pergi ke “Wartel Taiba” untuk menelepon ke Mataram. Pukul 15:00 kami kembali ke masjid lagi untuk Sholat Ashar. Saya masuk lewat Pintu Umar bin Khattab, dan mendapat shaf di bagian belakang. Ketika pulang lewat pintu yang sama. Ternyata sandal saya di rak hilang. Di luar masjid banyak orang-orang duduk-duduk 18
Catatan perjalanan haji seorang dosen
menghangatkan badan sambil menikmati indahnya suasana sore. Sayapun mencari tempat untuk duduk sendirian di luar masjid. Memang terasa indah suasana sore di halaman Masjid Nabawi setelah Ashar. Masjid yang sangat anggun, di belakangnya langit yang biru, suhu udara yang kering dan hangat. Sungguh sangat menyenangkan. Tempat wudhu dan toilet di halaman masjid sangat bersih. Saya merasa sangat bangga dengan kebersihan orang Islam di Madinah. Ketika mau masuk kembali ke masjid untuk Sholat Maghrib, tas paspor saya diperiksa oleh askar (keamanan) masjid. Untung saya tidak membawa kamera di dalam tas. Jika kamera saya masukkan ke saku belakang celana pendek, akan lolos dari pemeriksaan askar, karena mareka tidak pernah menyentuh pantat orang lain. Saya sudah membuktikannya beberapa kali, walaupun saya tidak pernah berniat untuk memotret di dalam masjid yang memang dilarang. Malam ini saya Sholat Maghrib dan Isya di tengah-tengah jamaah Turki. Tanggal 24-12-2004. Sholat di Raudah. Pagi ini terasa sangat dingin. Pada hari-hari sebelumnya saya memakai baju rangkap empat: singlet, kaos T-shirt, baju koko, dan jaket. Pagi ini saya mengganti baju koko dengan ’baju dinas safari’ (baju seragam haji potongan safari lengan panjang, warna coklat). Sedangkan di bagian bawah, selain memakai celana panjang, saya juga menambah memakai celana pendek selutut. Saya juga memakai kaos kaki dan kaos tangan. Di luar dinginnya memang mengesankan, membuat saya teringat dengan suasana di Ottawa, Canada, pada musim gugur. Dinginnya Madinah memang jauh di luar perkiraan saya. Kami berangkat pukul 04:10, Masjid Nabawi sudah terbuka ketika kami tiba. Setelah merasa capek sholat sunat, saya membaca Al-Qur’an yang banyak tersedia di dalam masjid. Kalau sudah merasa capek duduk, berarti kita perlu sholat sunat lagi. Begitulah rutinitas kami di masjid. Kalau kaki sudah mulai kaku atau mau semutan, artinya sudah waktunya untuk sholat sunat lagi. Selesai Sholat Subuh saya dan istri pergi ke restoran Pakistan. Kami sarapan pagi dengan martabak (roti Pakistan yang lembek berminyak) dan kare daging. Orang di restoran ini juga pandai berbahasa Indonesia. Dengan uang SR 6 (Saudi Riyal), kami bisa makan dengan nikmat sekali. Saya memang sudah lama merindukan makan kare India. Tetapi karena yang ada dari tetangganya, Pakistan, kerinduan itu bisa terobati, citarasanyapun tidak banyak berbeda. Saya pergi Sholat Jum’at dengan Pak Edy Achmad. Kami mendapat tempat duduk di belakang Raudah. Setelah sholat selesai, kami melihat orangImam Bachtiar (2005)
19
orang yang duduk di Raudah disuruh pergi oleh askar. Pak Edy mengajak saya mendekat Raudah. Begitu jamaah laki-laki mulai mengosongkan Raudah, kami masuk ke dalam Raudah dan sholat sunat dua rakaat serta berdo’a di sana. Alhamdulillah, akhirnya kami berhasil juga sholat dan berdo’a di Raudah, salah satu tempat yang paling makbul untuk berdo’a. Karena waktunya sangat sempit, semuanya harus dikerjakan dengan tergesa-gesa. Setelah semua jamaah laki-laki keluar Raudah, sekat-sekat warna putih ditutup, dan masuklah giliran jamaah wanita menggunakan fasilitas Raudah. Sore ini kami bersama keluarga Pak Edy dan Pak Syahri merencanakan pergi ke Makam Baqi’ bersama-sama selepas Sholat Ashar. Kami berenam berangkat bersama-sama ke masjid. Kami pria bertiga sholat di sebelah kanan tempat bertenda. Setelah selesai sholat kami bertiga menuju ke pintu pagar ke Makam Baqi’. Terasa lama menunggu tiga nyonya kami di sana. Setelah kami berenam berkumpul langsung menuju ke tangga naik ke pintu makam. Ternyata kami dilarang masuk oleh askar penjaga. Kami belum tahu kenapa dilarang. Setelah mengamati suasana yang ada ternyata wanita (mareka panggil Siti Rahmah) dilarang masuk ke makam. Akhirnya diputuskan wanita menunggu, sedangkan kami pria bertiga akan masuk ziarah ke makam. Ketika kami akan masuk terjadi dorong-dorongan yang keras sekali sehingga askar langsung menutup pintu dan semuanya tidak boleh masuk lagi sore itu.
Allah, tetapi sayangnya kedua orang-tua kandung saya belum bisa merasakan kenikmatan yang sudah dirasakan oleh anaknya sekarang ini. Saya berjanji akan menyisihkan 25% dari rejeki ekstra (di luar gaji) untuk tabungan umrah atau haji kedua orang-tua saya. Pulang dari masjid saya membeli susu laban dan roti. Saya ingin menikmati minum susu segar yang gurih dan nikmat seperti susu-susu sapi di negaranegara maju. Tetapi ternyata susu laban yang saya beli rasanya ternyata sama sekali berbeda dengan harapan. Baru saya sadari bahwa susu laban bukanlah susu segar. Susu laban merupakan produk antara susu dengan yoghurt, jadi wajar kalau rasanya agak kecut dan terksturnya lebih kental dari susu segar. Sebelum pukul 07:00 kami berangkat dengan bis tua pergi menuju Jabal Uhud. Tiba di lereng gunung yang bersejarah itu sekitar pukul 07:30. Kami bertemu dengan Pak Asmuni (FKIP-Psikologi). Beliau sempat membantu memotret kami berdua. Di Jabal Uhud, terlihat beda pelayanan jamaah yang ikut KBIH dan yang non-KBIH. Jamaah KBIH Ponpes Darul Falah mendapat penjelasan sejarah yang rinci dari TGH Mustiadi. Tetapi jamaah yang non-KBIH seperti saya, dikeluarkan begitu saja dari bis. Kami tidak tahu apa yang bisa dilihat. Bahkan kami tidak tahu berapa
Saya Sholat Maghrib dan Isya terpisah dengan Pak Edy dan Pak Syahri, karena harus pergi ke tempat berwudlu. Di antara kedua sholat tersebut saya berkenalan dengan seorang pensiunan guru agama dari Thailand selatan. Dia tinggal di propinsi yang langsung berbatasan dengan Malaysia. Karenanya, Bapak Achmad Abdullah fasih berbahasa Melayu. Bahkan beliau memuji buku karangan Ustad Hasan dari Bandung dan Ustad A. Hassan dari Bangil. Jamaah haji dari Thailand sekitar 40 000 orang tahun ini. Saya kebetulan pernah dua kali ke Thailand, jadi obrolan kami bisa nyambung dengan baik sekali. Besok kita mau pergi ziarah bersama rombongan ke daerah di sekitar Madinah. Malam ini kami berdiskusi tentang tempat-tempat ziarah yang akan kami kunjungi besok agar ziarah kami lebih bermakna. Tanggal 25-12-2004. Menangis di Masjid Quba’. Kami pergi ke masjid untuk Sholat Subuh pukul 04:00. Kayaknya itu jam yang paling enak untuk ke Masjid Nabawi. Tidak terlalu awal, tetapi juga masih sempat ibadah Sholat Tahajut dan membaca Al Qur’an di dalam masjid. Lagi-lagi saya menangis berat ketika sholat malam tersebut. Saya sangat bersyukur bisa menikmati sholat malam di masjid yang diberkahi 20
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Berfoto di tempat parkir Masjid Quba, masjid pertama yang dibangun Rasulullah, dengan tangannya sendiri. Imam Bachtiar (2005)
21
lama kami diberi waktu untuk berkeliaran di gunung tempat makamnya Hamzah ini. Di sini banyak penjual kurma, rumput fatima, hati onta, dan buah-buahan. Kami hanya membeli hati onta untuk obat asmanya Naila. Ziarah kedua, kami pergi ke Masjid Qiblatain. Di masjid yang dulunya mempunyai dua kiblat ini, kami disunatkan sholat sunat dua rakaat. Tetapi karena masjidnya sangat sejuk dan sholatnya terasa nikmat sekali, sebagian besar jamaah sholat lebih dari dua rakaat. Ketika kami kembali ke bis, ada seorang jamaah yang belum muncul, Pak Sahnun. Semua yang di bis menggerutu. Saya termasuk yang kesal, karena tidak ingin kehilangan sholat Arba’in (40 waktu terus menerus di Masjid Nabawi) gara-gara menunggu seorang jamaah yang tersesat. Sebelum ziarah ke Masjid Quba’, kami berhenti sebentar di Pasar Kurma. Beberapa penjualnya ternyata orang dari Lombok Tengah. Pasar ini terletak di sebelah kebun kurma. Tetapi karena tidak sedang musim kurma berbuah, jadi kami belum melihat bagaimana buah kurma menempel di batangnya. Di pasar ini kami pertama kali bisa mencicipi buah kurma yang segar. Ziarah ketiga adalah kunjungan ke Masjid Quba’. Masjid ini merupakan masjid pertama yang dibangun Nabi Muhammad SAW. Melihat sejarah masjid ini, konon nabi dengan tangannya sendiri mengambil batu dan menyusunnya untuk bangunan masjid. Tentu saja dibantu para sahabatnya. Tetapi seorang Nabi menjadi tukang batu adalah sesuatu yang mengharukan. Betapa sangat mulianya akhlak beliau. Saya sholat sunat tahiyatul masjid dua rakaat sambil menangis di masjid yang sangat sejuk ini. Di depan Masjid Quba’ banyak ditumbuhi pohon kurma yang sedang berbuah. Ini saat pertama kali kami melihat buah kurma di pohonnya dengan jelas. Setelah keluar dari masjid kami ke tempat parkir bis. Karena di dalam bis masih sepi, kami khawatir kalau ada yang tersesat tidak tahu tempat bis. Di halaman parkir memang sudah penuh sesak, sehingga bis belum parkir rapi ketika kami turun. Saya dan beberapa orang yang sudah di dekat bis berpencar mencari kawan lainnya, dengan janji kembali ke bis dalam 10 menit. Tetapi ternyata saya yang paling belakangan kembali ke bis. Konon banyak yang mengomel atas keterlambatan saya. Tetapi saya tidak pernah menyesalinya, karena merasa tidak terlambat dari 10 menit dan tidak bersalah. Kami kembali ke Hotel Dar el Bari pukul 11:40. Alhamdulillah, masih bisa meneruskan Sholat Arba’in. Setelah Sholat Dzuhur, makan siang, kemudian saya langsung tidur. Bangun pukul 15:00, saya mandi dan kembali lagi ke masjid untuk Sholat Ashar. 22
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Tetapi di pintu masjid sudah banyak jamaah yang sedang sholat sunat. Karena merasa tidak kebagian tempat sholat di dalam, saya putuskan untuk sholat di halaman masjid. Di halaman masjid ada dua macam lantai. Lantai yang berwarna putih adalah lantai yang anti panas. Ketika cuaca dingin, lantai ini menjadi dingin sekali. Tidak mungkin saya bisa tahan dengan dinginnya lantai tanpa alas. Sedangkan saya memang tidak pernah membawa alas sholat, karena di dalam masjid sudah ada permadani. Jadi saya pilih lantai yang berwarna cokelat atau abu-abu. Pada saat itulah saya berniat untuk membeli sorban setelah Sholat Ashar. Sorban pertama saya harganya SR 5 (Rp 12.500,-). Hidung saya sudah mulai buntu hari ini. Setelah mempunyai sebuah sorban, saya pergi ke apotik mau membeli inhaler. Tetapi mareka tidak menjualnya, walaupun dua apotik sudah saya datangi. Karena itu saya kembali ke hotel minta obat kepada dokter di lantai pertama. Di sini juga tidak tersedia inhaler, saya mendapat obat suplemen vitamin. Ketika kembali lagi ke masjid, saya mencoba mendekati Raudah. Tetapi di sini sangat penuh sesak oleh jamaah. Saya akhirnya mundur mencari tempat di belakang yang masih kosong untuk Sholat Maghrib. Selesai sholat Maghrib, sambil menungu Sholat Isya saya membaca Al qur’an. Tetapi baru membaca satu halaman sudah terasa tidak nyaman karena badan agak demam. Mau tidur-tiduran tetapi merasa tidak enak karena banyak orang. Badan saya terasa lemah karena flu. Akhirnya saya mencoba melupakan sakit dan berkenalan dengan orang-orang Turki. Mareka sangat senang kalau saya sebut pemain sepakbola mareka Hakan Syukur, atau pemegang rekor angkat besi Naeem Sulaemanoglu. Tanggal 26-12-2004. Makam Baqi’, kuburan tanpa nama. Semalam flu saya jelek sekali. Benar-benar saya menjadi si Pendekar Hidung Buntu, julukan Pak Karnan untuk teman yang suka buntu hidungnya. Untung Pak Edy menawarkan koyo yang biasa dipakainya untuk menghangatkan otot. Koyo penghangat otot tersebut saya potongpotong dan ditempelkan di dekat rongga-rongga sinus di sekitar hidung. Alhamdulillah, koyo tersebut sangat membantu meringankan beban berat saya. Saya pikir dokter jamaah haji tidak bisa membayangkan betapa repot dan sakitnya orang yang pilek di udara sedingin Madinah. Hidung bisa sama sakali buntu. Walaupun demikian, saya masih bisa Sholat Subuh di Masjid Nabawi untuk melengkapi arba’in yang tinggal beberapa hari lagi. Pagi ini saya pergi pukul 05:00, lebih siang dari biasanya, sehingga tidak sempat Sholat Tahajut.
Imam Bachtiar (2005)
23
Setelah selesai Sholat Subuh saya bersama Pak Edy berziarah ke Makam Baqi’, sebuah pemakaman umum yang penuh sejarah. Disinilah para syuhada, istri dan sahabat Nabi banyak dimakamkan. Tetapi kita sulit membedakan mana makam orang terkenal atau yang biasa, karena semuanya sama. Nisan hanya dari batu kali (vulkanik), tidak ada nama atau tanda-tanda lainnya.
Tetapi Pak Edy dengan lincahnya ’menyeret’ saya ke tengah jamaah yang sangat padat hingga ke Raudah. Saking padatnya jamaah di Raudah, kami hanya mampu berdiri sekedarnya karena tidak ada ruang untuk menempatkan posisi kaki kami secara sempurna. Tidak ada harapan lagi kami bisa sholat di sini. Kami putuskan untuk berdo’a sambil berdiri agak miring-miring.
Kembali ke hotel, saya mengajak istri untuk mencari sarapan di luar. Kami akhirnya masuk ke sebuah restoran Pakistan. Kami ingin makan kare kambing dengan martabak Pakistan. Ternyata yang kami dapatkan adalah sup kikil kambing. Kami minta ganti kare kambing kepada pelayan, pelayan yang kedua juga menggantinya dengan masakan yang sama, kikil kambing. Kamipun makan kikil tersebut dengan perasaan agak kecewa. Kare daging akan jauh lebih menarik daripada sup kikil kambing.
Antara Sholat Maghrib dan Sholat Isya’, kami pergi ke lantai bawah hotel di sebelah barat masjid, Hotel Taiba International. Ternyata ada dua basement (lantai bawah tanah) yang penuh dengan pertokoan. Di sini juga terdapat kios penjual makanan dan kopi. Banyak barang yang menarik di sini. Kayaknya kami akan kembali dengan membawa uang dan istri.
Kami mampir ke wartel sebelum kembali ke Hotel Dar el Bari. Tetapi kami tidak bisa bicara dengan anak-anak, karena mareka sedang di rumah tetangga, keluarga Pak Suhardi Andung. Saat ini di Mataram sekitar pukul 11:00, karena Madinah dengan Mataram berbeda waktu lima jam. Kamipun kembali ke hotel, mencuci pakaian dan tidur pagi. Tidur di pagi hari telah menjadi acara rutin kami sejak tinggal di Madinah. Biasanya antara pukul 08:00-11:00.
Malam ini saya sangat bersyukur bahwa pilek saya sudah jauh lebih baik. Hanya tinggal batuk-batuk kecil saja. Tanggal 27-12-2004. Bahasa Arab sama dengan Bahasa Indonesia. Saya agak terlambat datang ke masjid untuk Sholat Subuh, sekitar pukul 05:00. Jadi sudah terlambat untuk Sholat Tahajud. Sambil menunggu
Saya agak terlambat ke masjid untuk Sholat Dzuhur. Karenanya saya sholat sendirian di masjid, tidak bergabung dengan teman sekamar yang lain. Sorenya, saya pergi Sholat Ashar bersama Pak Edy. Kami memilih lokasi sholat yang belum pernah kami tempati. Kami mencari tempat yang atapnya bisa bergeser. Akhirnya kami memang bisa sholat di tempat yang kami cari. Kayaknya ada tiga tempat di ruangan sholat laki-laki yang bisa bergeser atapnya. Pergeseran atap terjadi sebelum adzan Ashar. Pergeserannya menarik walaupun teknologinya sendiri tidak tampak terlalu canggih. Setelah Sholat Ashar kami berdua pergi ke depan makam Nabi beserta tiga sahabatnya Abu Bakar, Umar dan Ali. Kami ingin mengunjungi makam Nabi sesering mungkin sebelum waktu kami di Madinah habis. Kami sulit masuk Raudah melalui jalur depan, lewat Babussalam (Pintu 1, kiri). Kamipun keluar masjid lagi lewat Babul Baqi’ (berhadapan dengan Babussalam), dan kembali masuk masjid lagi lewat Babul Nisa’. Dengan perlahan kami melewati pundak-pundak jamaah yang duduk berdesakan di belakang makam Siti Fatimah menuju Raudah. Jamaah di sini sangat padat. Kami bahkan kesulitan untuk menempatkan kaki kami dalam melangkah menuju ke arah Raudah. Tetapi kemauan keras Pak Edy sangat membantu. Saya sebenarnya sudah menyerah untuk berjuang lebih lanjut. 24
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Masjid Nabawi dilihat dari Makam Baqi’ menjelang matahari terbit. Di bawah kubah hijau terdapat makam Nabi.
Imam Bachtiar (2005)
25
Cuaca yang semakin terasa dingin membuat saya berinisiatif membeli sebuah celana panjang knock-down yang bisa dipakai sebagai celana pendek. Saya membelinya di gang sempit seharga SR 10. Sholat Ashar di masjid juga sendirian. Berangkatnya bersama istri, dan kami berpisah di depan masjid. Selesai sholat saya pulang ke hotel karena ada pertemuan Rombongan 04 untuk membicarakan tentang persiapan ke Mekah. Diskusi yang mestinya membahas hanya persiapan ke Mekah berkembang melebar kepada diskusi masalah fikih haji, jamaah haji ifrad dianjurkan merubah ke haji tamatu’. Karena tidak jelas kapan selesai, saya berangkat ke masjid lagi sebelum pertemuan berakhir. Adzan Maghrib sudah berkumandang sebelum kaki saya masuk ke dalam masjid. Ini berarti agak sulit masuk ke dalam masjid. Tetapi saya masih bisa berdesakan di depan pintu untuk masuk masjid. Setelah di dalam, ternyata jamaah sholat tidak sepadat di depan pintu. Lebih mudah menemukan tempat sholat di dalam daripada ketika masuk masjid. Saya sholat di antara jamaah Turki. Jamaah Turki sangat mudah dikenali dengan seragam mareka yang khas dan sama untuk seluruh jamaah dari negara tersebut. Pakaian warna abu-abu dengan jahitan khas safari dan tanda bendera negara di saku. Di bawah hotel-hotel di sekitar masjid terdapat superstore yang menjual makanan dan aneka ragam souvenir.
waktu Sholat Subuh yang lama sekali (30-40 menit), saya mengisinya dengan sholat sunat mutlak. Selesai Sholat Subuh saya langsung pulang sambil melihat pedagang asongan di sekitar jalan. Saya merasa seperti di Indonesia. Banyak sekali jamaah dari Indonesia yang keluar dari masjid bersama saya, sehingga saya hanya mendengar orang berbicara dengan Bahasa Indonesia atau bahasa daerah mareka. Pedagang asongan dan pedagang di toko, yang sebagian besar orang Arab, juga menggunakan Bahasa Indonesia dalam menawarkan dagangan mareka. “Sepuluh riyal, sepuluh riyal” . “Ini murah. Hanya tiga riyal”. “Nasi, telur satu riyal”. Ternyata Bahasa Arab sama dengan Bahasa Indonesia, minimal ketika dipakai menawarkan barang asongan. Saya beli sorban yang kedua seharga SR 10. Sangat menarik bahwa Kota Madinah pada musim haji seolah menjadi kotanya orang Indonesia. Jika kita menghitung jumlah jamaah Indonesia dan Malaysia yang berbelanja di Madinah, memang sangat salah kalau pedagang Arab di sini tidak bisa berbahasa Indonesia. Siang ini saya ke masjid sendiri untuk Sholat Dzuhur. Selesai sholat saya mencari istri tetapi tidak ketemu, yang ternyata sudah pulang duluan. 26
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Setelah Sholat Maghrib saya duduk mengamati anak-anak Arab yang sedang belajar membaca Al-Qur’an. Kayaknya lebih tepat mareka sedang belajar menghafal Al Qur’an. Usia mareka sekitar 6-12 tahun. Ustad pembimbingnya tampak berusia sekitar 30-40 tahun. Saya menikmati cara mareka belajar sambil menulis catatan singkat ini. Tanggal 28-12-2004. Ditolak masuk ke masjid, karena bawa kamera. Pagi ini kami berangkat ke masjid pukul 04:00. Pintu masjid sudah dibuka. Hasil diskusi tentang haji dengan teman-teman sekamar tadi malam ternyata membuat sholat saya lebih nikmat. Saya bisa Sholat Tahajut dan sunat mutlak dengan nyaman. Kalau kaki terasa pegal karena terlalu lama duduk berdzikir, berarti sudah waktunya berdiri dan sholat sunat lagi. Selesai Sholat Subuh saya mengajak istri untuk membeli roti Pakistan (mirip masalla) untuk sarapan pagi, seharga satu riyal. Sup untuk bumbu roti tersebut juga seharga seriyal. Dengan dua riyal kami berdua sudah bisa makan pagi dengan kenyang. Ketika istri sedang mencuci pakaian, saya mengantar Pak Lalu Mustamin pergi mencari tempat penukaran uang. Dia memang banyak berbelanja di Madinah. Apalagi dia juga harus sering menjenguk kakaknya yang Imam Bachtiar (2005)
27
sakit di kloter campuran Mataram-Lombok Barat. Uang Rp 800 ribu mendapat uang Saudi SR 256. Sebelum Sholat Dzuhur, kami pergi ke sebuah superstore di basement (ruang bawah tanah) Hotel Taiba International yang terletak persis di sebelah masjid. Ada souvenir cantik berupa piringan keramik dengan lukisan emas produksi Jepang. Tetapi penawaran istri saya belum berhasil. Penjual hanya bisa menurunkan harganya SR 35 menjadi SR 30, sedang istri saya masih menawar SR 20. Penjual di sini memang sangat bervariasi cara penawarannya. Ada yang ditawar <50% dari harga semula bisa diberikan oleh penjualnya, tetapi ada juga yang ditawar 75% dari harga jual tetapi tidak diberikan. Kamipun akhirnya menyerah pada harga yang diberikan pedagang muda berusia belasan tahun ini. Ketika mau masuk masjid lewat Pintu Badar, askar menemukan kamera di dalam tas paspor. Saya dilarang masuk ke masjid. Sebenarnya saya tidak ingin memotret di dalam masjid karena memang dilarang. Saya ingin memotret banyaknya jamaah di masjid yang cantik ini. Ketika selesai sholat, hamburan jamaah keluar dari masjid merupakan pemandangan yang sangat fotogenik. Karena tidak boleh sholat di dalam masjid, saya pergi ke Toilet 10 yang merupakan toilet terdekat dari Pintu Badar. Di sini saya pindahkan
kamera dari tas ke saku belakang celana. Kemudian saya kembali ke masjid melalui Pintu King Fahd. Askar Arab biasanya hanya memeriksa isi tas. Kayaknya mareka tidak pernah memeriksa bagian pantat kita karena ditabukan dalam budaya mareka. Akhirnya saya bisa masuk masjid dengan membawa kamera di saku belakang. Setelah di dalam masjid, kamera saya pindahkan ke saku samping agar tidak mengganggu sholat. Di dalam Masjid Nabawi banyak sekali kamera CCTV pemantau jamaah. Rasanya dimanapun kita duduk, kita tidak bisa terlepas dari pengawasan kamera. Masjid ini memang masjid yang paling indah, paling modern, paling mewah, dan paling lengkap pengamanannya. Saya merasa sangat bangga umat Islam mempunyai masjid seperti Masjid Nabawi ini. Setelah Sholat Ashar, saya keluar ke halaman masjid dan duduk di lantai sendirian. Saya menyukai pemandangan di sini. Puluhan ribu jamaah bersilaturrahim dalam satu bahasa spiritual, Sholat Arbain. Saya ingin mempunyai foto bersama orang-orang Afganistan yang berjenggot putih dan panjang. Wajah mareka yang unik dan kesan keras seperti pejuang Mujahidin tampaknya sangat menarik dipampang di depan mahasiswa saya. Mungkin nanti ketika di Arafah. Tanggal 29-12-2004. Mesin pembersih halaman masjid. Setelah selesai Sholat Subuh, sambil berjalan pagi kami membeli 5 kg kurma di sebelah masjid. Rencananya, sebagian untuk dimakan selama perjalanan di Mekah, sisanya mungkin nanti dibawa pulang. Konon kurma Madinah lebih enak daripada kurma Mekah. Kurma yang kami beli memang sangat enak, lembut tetapi tidak lembek. Kami jadi menyesal hanya membeli 5 kg. Kamipun kembali lagi ke toko yang sama untuk membeli 5 kg lagi, setelah Sholat Dzuhur. Sebenarnya saya tidak mau kembali membeli kurma ke toko yang sama. Tadi pagi saya sempat tersinggung berat dengan cara penjual bercanda tentang istri saya. Tetapi karena istri saya tidak tertarik membeli kurma jenis lain di tempat yang lain, dengan berat hati saya kembali ke toko yang sama. Syukurlah, penjualnya sudah berganti orang. Amarah saya menjadi hilang.
Sore hari, duduk di halaman masjid bersama jamaah Bangladesh.
28
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Sore hari ini suhu udara 15 derajad. Sangat nyaman untuk duduk sendirian di halaman masjid, setelah Sholat Ashar. Saya mulai suka mengamati perilaku jamaah haji di halaman masjid. Saya mencatat jumlah jamaah wanita berpakaian hitam dan bercadar semakin banyak saja di luar masjid. Kalau di dalam masjid saya tidak bisa mengetahuinya karena jamaah pria dan wanita dipisahkan penyekat yang tinggi. Halaman Masjid Nabawi secara rutin dibersihkan dengan sejumlah mesin pembersih yang menyapu dan mengepel sekaligus. Mesin-mesin besar Imam Bachtiar (2005)
29
mirip sebuah mesin tumbuk atau kendaraan golf, selalu meraung-raung membuka jalan dari jamaah yang sedang duduk atau berdiri di lokasi yang akan dibersihkan. Di sisi barat, dimana saya biasa menikmati pemandangan sore, ada sekitar 5 buah mesin pembersih tersebut. Pembersihan biasanya dilakukan satu jam sebelum waktu sholat fardu. Sebelum Maghrib, pukul 16:50 saya melihat sebuah rombongan besar jamaah berpakaian serba hitam memasuki masjid. Dilihat dari wajahnya yang putih bersih, saya menduga mareka dari Iran. Jamaah yang tadi berjalan-jalan di mall juga sudah mulai kembali lagi ke masjid. Maka, sayapun harus segera ke toilet untuk berwudhu. Kalau tidak segera berwudhu, maka antrian akan sangat panjang. Kalau antriannya panjang, bisa jadi saya harus sholat di halaman masjid yang sangat dingin untuk Sholat Maghrib dan Isya. Ada puluhan bangunan toilet di sekitar masjid. Semua toilet berada di basement, di bawah halaman masjid. Basement tersebut terdiri dari tiga tingkat, dengan ratusan tempat wudhu atau buang air di setiap tingkatnya. Biasanya tingkat paling bawah yang paling sepi. Di sekitar toilet tersebut, terdapat tempat parkir mobil bawah tanah. Setiap toilet ada nomornya, sehingga mudah untuk dijadikan tanda tempat pertemuan setelah selesai sholat. Saya biasanya janji bertemu dengan teman di dekat toilet nomor 9 atau 10.
Tanggal 30-12-2005. Sholat Arbain sudah lengkap. Hari ini kami akan pergi ke Mekah. Kami sholat Subuh sebagaimana biasa. Hanya saja setelah Subuh kami mempersiapkan koper agar siap angkut sebelum Dzuhur. Sholat Dzuhur kali ini terasa spesial karena ini sholat yang ke-80 kali di Masjid Nabawi. Lengkaplah kami selesaikan Sholat Arbain di Masjid Nabawi, Masjid kedua yang diberkati Allah setelah Masjidil Haram. Saya sholat bersama Pak Edy di belakang Raudah. Dengan melihat makam Rasul, sholawat kami kepada Rasul terasa lebih nyambung. Alhamdulillah. Pulang dari masjid kami langsung memakai pakaian ihram. Sebelumnya kami mandi untuk berihram. Sebenarnya wajib ihramnya nanti di Bier Ali. Tetapi agar lebih mudah urusan di Bier Ali, hampir semua jamaah haji memakai pakian ihram di Madinah, sebelum naik kendaraan. Jarak Bier Ali dari Madinah sekitar 20 km, dari Bier Ali ke Mekah sekitar 450 km. Kami berangkat menuju Bier Ali sekitar pukul 14:30. Bis yang kami naiki agak lama berangkat dari depan hotel karena banyaknya bis yang mau ke Mekah. Apalagi tidak semua sopirnya terampil memutar bis di halaman sempit. Di dalam bis kami mulai bertalbiyah. Ternyata orang-orang yang kami aggap mampu memimpin talbiyah tidak bisa mengucapkan talbiyah dengan benar. Bahkan sopir bis kami tidak tahan dengan talbiyah yang salah baca. Si sopirpun memberikan contoh talbiyah yang benar. Tetapi tetap saja pemimpin talbiyah yang kita tunjuk tidak mampu mengucapkan talbiyah dengan benar walaupun hal itu sebenarnya tidak sulit. Tiga kali orang mengantikan jadi pemimpin talbiyah, tiga kali pula kita salah tunjuk. Kesalahan mareka adalah tidak mau bertalbiyah sambil membaca buku, sehingga salah baca. Sebelum tiba di Bier Ali, kami berhenti sekitar 30 menit di check point. Di sini sopir membawa semua paspor kita ke kantor pemeriksaan. Di sinilah dilaksanakannya seleksi oleh pemerintah Saudi, bahwa orang non-muslim tidak boleh memasuki tanah suci.
Ani berfoto di depan salah satu pintu utama Masjid Nabawi di siang hari.
30
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Kami tiba di Bier Ali pukul 16:00. Di Masjid Zulhulayfah ini kami melaksanakan sholat sunat tahiyatul masjid, Sholat Ashar diqosor, terus disambung sholat sunat ihram. Masjid Zulhulayfah lumayan besar, sehingga mudah menemukan tempat wudlu ataupun tempat untuk sholat. Di depan masjid banyak orang berjualan kain ihram, sabuk ihram, dan perlengkapan haji lainnya. Di Bier Ali kami berhenti sekitar 40 menit. Imam Bachtiar (2005)
31
Perjalanan dari Bier Ali ke Mekah, 450 km, merupakan perjalanan yang mengesankan. Jalan raya yang mulus memanjang di antara bukit-bukit berbatu. Tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya, kita tidak melalui kawasan padang pasir yang luas. Mungkin pembuatan jalan aspal hotmix tidak bisa dilakukan di padang pasir, sehingga kita tidak bisa ‘menikmati’
pemberhentian yang rutin bagi bis jamaah haji Indonesia. Di sinilah sebagian jamaah bisa buang air ke toilet, atau sholat jamak Maghrib dan Isya’. Sayangnya, toilet di rumah makan ini sangat jorok. Air tergenang di dalam kamar kecil karena tersumbat sampah. Masalah sampah yang dibuang sembarangan memang merupakan masalah rutin yang saya temui di dalam perjalanan haji ini. Banyaknya jamaah yang tidak tahu atau tidak mau membuang sampah pada tempatnya telah banyak menyusahkan jamaah lain seperti saya. Akhirnya saya cari tempat gelap di belakang rumah makan untuk membuang air kecil. Setelah sekitar 40 menit beristirahat, kamipun berangkat lagi dengan bis yang sama. Di sepanjang jalan kami terus bertalbiyah. Badan memang terasa capek, tetapi kenikmatan bertalbiyah sangat menarik. Kadang kita bertalbiyah tanpa suara, karena kalau suara dikeluarkan akan terdengar seperti tangisan. Maha Pemurah Allah yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga kepada kami di tanah suci ini. Kalau mengingat perjalanan ini, kami masih suka mengeluarkan air mata. Menjadi tamu Allah adalah kenikmatan yang tiada bandingannya.
Di depan masjid di Zulhulayfah atau Bier Ali. Semua sudah berihram dan siap memasuki tanah suci.
bagaimana susahnya Nabi Muhammad ketika pergi untuk merebut kembali kota Mekah. Di dalam perjalanan yang panjang dan memakai pakaian ihram ini, kami bisa mengucapkan talbiyah dengan lebih khusuk. Kadang-kadang air mata tidak terbendung lagi ketika bertalbiyah. Segala kemuliaan dan kerajaan hanya milik Allah, dan sungguh sebuah karunia yang luar biasa kami di dalam bis ini bisa menjadi tamu Allah.
Kami tiba di Mekah sekitar pukul 23:00. Bis kami berhenti di depan Hotel al Jazeera yang tampak berkelas. Hotel al Jazeera akan menjadi tempat tinggal kami, Maktab 14, selama di Mekah. Dalam keadaan letih di perjalanan bis, kami mengurus koper untuk dibawa ke kamar masingmasing. Urusan yang tidak saya sukai ini memakan waktu sekitar 90 menit. Kami mendapat kamar nomor 802. Di dalam kamar yang berisi lima orang ini dihuni oleh Pak Mastur (Ketua Regu 15), Keluarga Pak Edy Achmad (Edy dan Eny), dan keluarga saya (Imam dan Ani). Ada sebuah kamar mandi di depan kamar yang harus digunakan bersama dengan kamar nomor 801 yang pintunya berhadapan dengan pintu kamar 802. Di kamar 801 tersebut terdapat Pak Nasir dan nyonya, Pak Nanang dan nyonya (Ibu Maryam), serta Pak Mustamin. Kamar mandinya tampak bagus berdinding keramik putih dengan sebuah shower di atas bath-tub, sebuah toilet duduk, dan sebuah sink (wastafel) untuk mencuci tangan. Sebuah pemanas air yang tampak masih baru ada di sudut kanan. Di depan kamar mandi juga ada sebuah sink dan meja dapur. Di sebelah kanan kamar kami, nomor 803, ditempati oleh keluarga Pak Syahri, keluarga Pak Suparman dan Bu Baiyah.
Kami singgah di sebuah rumah makan di Takrit, pada pukul 20:00. Sebelum keluar dari bis kami mendapat bagian nasi kotak. Sayangnya nasi kotak tersebut sebagian isinya sudah basi. Di rumah makan ini kami bertemu dengan jamaah Indonesia yang lain, dan sebagian jamaah haji negara lain. Kayaknya rumah makan ini merupakan 32
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Imam Bachtiar (2005)
33
Bab III Perjalanan di Mekah, Arafah dan Mina
K
ota Mekah merupakan kota yang sarat dengan sejarah keagamaan. Di sinilah Nabi Adam dan Siti Hawa hidup bersama. Di sini pula Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan keluarganya pernah tinggal hingga wafat. Karena itu, bagi yang memahami sejarah panjang kota tertua ini, memasuki Kota Mekah terasa memasuki lembaranlembaran sejarah yang sudah berdebu.
Salah satu sudut keindahan Masjid Nabawi. Siapapun sulit untuk melupakannya.
Di dalam peta, Kota Mekah terdapat di bagian selatan Jazirah Arab. Karena itu, kiblat di Masjid Nabawi mengarah ke selatan. Jarak Mekah ke Madinah adalah 498 km, dan ke Jedah 74 km. Sejak tahun 623, orang non muslim dilarang memasuki Kota Mekah. Tanah Suci Mekah didefiniskan dengan perbatasan dari Masjidil Haram 7 km ke arah utara, 13 km ke arah selatan, serta 25 km ke arah barat dan ke arah timur. Kota Mekah yang modern ini menjadi sangat teramat istimewa karena adanya Ka’bah di Masjidil Haram. Sebagai kiblat semua muslim yang sedang sholat, bisa melihat Ka’bah adalah melihat mimpi sangat indah yang menjadi kenyataan. Masjidil Haram terletak di lembah paling bawah dari Tanah Suci Mekah. Ka’bah sendiri terletak di bagian paling bawah dari masjid. Jadi bisa dipahami jika terjadi hujan yang sangat lebat, air akan dengan cepat menggenangi sekeliling Ka’bah kalau tidak ada sistem irigasi yang bagus. Bangunan Masjidil Haram dan Ka’bah pernah rusak berat akibat banjir besar pada tahun 1039 H. Masjidil Haram merupakan masjid yang paling tua. Bangunan arsitektur masjid memberi kesan antik, penuh kharisma, dan keramat. Sangat berbeda dengan Masjid Nabawi yang cantik, anggun dan ramah. Karena Ka’bah sebagai kiblat sholat terletak di tengah masjid, maka susunan shaf sholat di sini sangat istimewa, berbentuk melingkar. Sejak tahun 1982 perluasan Masjidil Haram terus berkembang sehingga menjadi mempunyai kapasitas 1.000.000 jamaah. Pada musim haji, masjid yang sangat besar ini sangat penuh sesak hingga jamaah sholat tersebar ke jalan-jalan di sekitarnya. Keistimewaan berkah sholat di masjid ini 100.000 kali lebih utama daripada sholat di tempat lain. Di dalam Masjidil Haram terdapat sumur zam-zam, yang airnya membawa berkah Allah. Tetapi kita sekarang tidak bisa melihat sumur tersebut karena
34
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Imam Bachtiar (2005)
35
sudah ditutupi oleh bangunan masjid. Tetapi air zam-zam bisa diakses di semua tempat di dalam masjid. Baik di Lantai pertama hingga ketiga (sky roof), air zam-zam mudah didapatkan. Jamaah sholat menggunakan air zam-zam untuk menghilangkan haus, dan juga untuk berwudlu. Air zamzam memang the best drinking water in the world, seperti tertulis dalam botol kemasannya. Di sekeliling Ka’bah merupakan jalur jamaah Tawaf, di sini saya sebut Lantai bawah. Tawaf dimulai dan diakhiri pada tanda garis warna coklat tua di lantai, yang lurus dengan Rukun Hajar Aswad. Tanda garis ini kadang tidak begitu jelas ketika jamaah sedang sangat ramai. Kita bisa menggunakan tanda lampu hijau di Lantai pertama untuk mencari permulaan hitungan Tawaf. Jalur Tawaf juga terdapat di Lantai kedua dan ketiga. Di kedua lantai atas ini, permulaan Tawaf juga diberi tanda lampu hijau, dan garis lantai yang lebih kecil dibandingkan dengan di Lantai bawah. Orang-orang yang cacat dan berkursi roda mempunyai jalur Tawaf yang khusus di Lantai kedua dan ketiga. Di sebelah utara masjid terdapat bentuk yang berbeda dari yang lain, yang merupakan bangunan jalur Sa’i. Jalur jamaah Sa’i bisa didapatkan
di Lantai pertama hingga ketiga. Tetapi kayaknya lebih nikmat Sa’i di Lantai pertama, dimana kaki kita bisa langsung menyentuh bebatuan di bukit Safa dan Marwah. Bentuk-bentuk bangunan yang berbeda seperti Jalur Sa’i, atau lampulampu hijau tanda garis permulaan Tawaf, seharusnya merupakan tandatanda (land-mark) yang diperhatikan oleh jamaah agar tidak tersesat. Jika jamaah haji mempunyai maktab ke arah Aziziyah atau Ma’la, maka mareka harus melalui jalur Sa’i ini. Di dalam masjid terdapat banyak rak untuk menyimpan sandal atau sepatu. Semua rak mempunyai nomor yang tampak jelas dari jarak 10 meter. Nomor rak sandal ini juga bisa dijadikan tempat pertemuan antara suami istri setelah waktu sholat. Jamaah pria dan wanita seharusnya tidak sholat di dalam kelompok jamaah yang sama. Walaupun demikian, banyak kita melihat pasangan pria wanita sholat berdampingan. Hal ini bisa membuat jamaah pria lain sholat di belakang wanita. Askar masjid selalu berupaya untuk memisahkan antara jamaah pria dan wanita. Tetapi sebagian orang tidak mengindahkan ketentuan ini, tetap saja ada pasangan pria dan wanita yang sholat berdampingan. Kekhawatiran tersesat di dalam masjid biasanya menjadi alasan mareka untuk tidak mau sholat berpisah. Di sekitar masjid banyak terdapat hotel berbintang. Beberapa nama hotel yang tampak jelas adalah Darut Tauhid, Hilton, Sofitel Plaza. Agak jauh dari masjid ada Hotel Sheraton. Hotel-hotel ini juga bisa dijadikan landmark untuk menemukan jalan kembali ke maktab kita. Demikian juga Pasar Seng yang sangat terkenal. Rangkaian kegiatan ibadah haji dilaksanakan di Mekah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Ketiga lokasi ibadah haji tersebut terletak di sebelah timur kota Mekah. Dari Mekah ke arah Timur melewati kawasan Aziziyah kita sampai di Mina, 7 km dari Mekah. Ada sebuah buku yang menyebutkan bahwa Muzdalifah terletak di antara Mina dan Mekah, tetapi dalam perjalanan haji terasa Muzdalifah terletak di antara Arafah dan Mina. Dari Mina ke Arafah berjarak 14 km. Tetapi dalam sebuah buku haji disebutkan pula jarak Mekah ke Arafah 25 km. Perbedaan angka-angka jarak tersebut tidak perlu dirisaukan karena sebenarnya kita hanya berjalan kaki atau naik kendaraan, bukan mengukur panjang jalan.
Salah satu sudut kota Mekah, di kawasan Ma’la. Bukit-bukit yang tandus dipenuhi dengan penginapan haji dan pemukiman penduduk.
36
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Imam Bachtiar (2005)
37
Tanggal 31-12-2004. Jangan terlalu rasional. Setelah masuk kamar hotel, nomor 802, kami beristirahat hingga 01:30. Rencananya kami akan ke Masjidil Haram ketika adzan Subuh, biar dapat beristirahat cukup. Tetapi karena tidak juga bisa tidur karena ingin segera ke masjid, jadinya kami bersiap-siap ke masjid pada pukul 01:30. Dengan berjalan kami ke Masjidil Haram pada dini hari, melewati pasar seng. Pertama kali melihat masjid, saya berfikir koq tidak seperti yang tampak di gambar kalender. Ternyata arah kami melihat masjid di pagi itu memang bukan dari arah depan, melainkan dari arah samping kiri (Pasar Seng). Karena istri saya masih menstruasi, saya titipkan istri kepada orang-orang Indonesia di halaman masjid. Kayaknya mareka juga para wanita yang sedang menunggu jamaah lainnya. Kami masuk masjid melalui pintu Babussalam (Assalam Gate), sesuai dengan sunnah nabi. Di sebelahnya ada Assalam Bridge, yang mungkin bisa mengecohkan jamaah kalau tidak cermat membaca. Pintu Babussalam memotong jalur orang Sa’i dari Sofa ke Marwah dan sebaliknya, sedangkan Assalam Bridge melewati jembatan di atas jalur Sai. Begitu melihat Ka’bah saya merasa ada yang aneh. Mengapa getaran di hati saya terasa kecil? Mengapa saya tidak mengalami guncangan emosional yang membuat saya menangis? Memang muncul rasa syukur bisa melihatnya, tetapi tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Yang kemudian muncul dalam pikiran saya, ternyata ukuran Ka’bah lebih kecil dari yang saya duga. Kami kemudian langsung turun ke Lantai bawah mendekati Ka’bah untuk melaksanakan Tawaf Umrah (Qudum). Karena lokasi start Tawaf (garis Hajar Aswad) ada di sebelah kiri, maka teman-teman yang lain kembali naikke Lantai satu dan terus belok kanan menuju tempat start, untuk menghindari berjalan melawan arus jamaah Tawaf. Saya yang melihat tidak banyak jamaah di jalur Tawaf, langsung saja belok kiri di jalur yang tidak terlalu ramai dengan berjalan menentang arus. Karena saya start sendirian, terpisah dari kelompok, maka selama Tawaf saya tidak bertemu dengan jamaah yang satu rombongan. Tawaf pertama saya ini kurang mengesankan, tidak ada emosi spiritual yang keluar, tidak bisa larut dalam pusaran energi Ka’bah. Saya melihat banyak faktor yang membuat Tawaf pertama ini kurang berbobot. Pertama, kayaknya saya terlalu rasional dan kurang emosional. Temanteman dosen sebuah institut di Bandung juga menceritakan pengalaman yang sama. Kedua, kondisi badan yang kelelahan tidak istirahat selama perjalanan Madinah-Mekah. Saya tidak bisa tidur ketika di dalam bis sehingga menambah buruk kondisi fisik saya. Ketiga, perut saya agak 38
Catatan perjalanan haji seorang dosen
kembung ketika Tawaf. Karena lokasi toilet tempat wudlu yang ada di peta lumayan jauh (di bawah Pasar Seng), maka saya putuskan untuk menahan kentut sebisa mungkin. Setelah selesai Tawaf, saya masih sendirian minum air zam-zam, berdo’a di arah Multazam, sholat sunat di belakang Maqam Ibrahim, dan berdo’a lagi. Kemudian saya naik ke atas bukit Sofa dan mulai dengan membaca do’a awal Sai. Ketika perjalanan Sa’i memasuki empat hitungan terdengar Adzan Subuh. Sa’i saya hentikan dan saya pergi ke toilet. Ternyata perut saya memang perlu dikurangi isinya. Saya agak terkejut, toilet di Mekah terasa kurang bersih karena saya membandingkannya dengan di Masjid Nabawi, Madinah. Selesai berwudlu saya pergi ke tempat istri menunggu dan menawarkan apakah dia mau pulang duluan setelah Subuh, karena saya harus menyelesaikan Sa’i. Tetapi istri memilih untuk menunggu saya di tempat yang sama. Selesai Sholat Subuh, saya langsung pergi ke Sa’i dan mengulangi dengan hitungan pertama, yang semestinya saya mulai hitungan keempat (karena kurang yakin). Ibadah Sa’i setelah Subuh ini terasa sangat nikmat. Berkali-kali saya menangis terbayang bagaimana paniknya Siti Hajar mencari air, atau bagaimana tegarnya Nabi Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya berdua di tanah berbatu yang tandus ini. Saya juga menangis teringat bagaimana orang-tua telah membesarkan saya dengan kasih sayangnya. Saya menangis lebih banyak ketika mendo’akan kedua anak saya agar menjadi orang yang sholihah. Sebenarnya, badan saya rasanya lelah sekali setelah Tawaf dan Sa’i empat hitungan sebelum Subuh. Saya berpikir akan melaksanakan Sa’i pelan-pelan dengan istirahat sekali atau dua kali di antaranya. Tetapi karena emosi spiritual saya bisa keluar, Sa’i yang menempuh jarak sekitar 450 meter tujuh kali tersebut terasa ringan dan nikmat saja. Selesai Sa’i saya minta tolong seorang dari Pakistan untuk memotong rambut saya, sebagai tanda tahalul awal. Kemudian saya dan istri minum air zam-zam lagi dan pulang ke Hotel al Jazeera sambil mencari sarapan pagi. Ternyata tidak menemukan penjual nasi di jalan. Jadinya pagi ini kami sarapan dengan kurma dan biji almon. Badan yang sangat lelah membawa saya ke tidur pagi yang sangat nyenyak. Pukul 10:30 saya terbangun dan langsung bersiap untuk Sholat Dzuhur di Masjidil Haram. Walaupun di depan hotel ada Masjid Jin, tetapi rasanya sangat sayang kalau tidak pergi ke masjid yang namanya banyak disebut di Al-Qur’an tersebut. Setelah sholat kami pulang ke hotel, makan siang, dan tidur lagi.
Imam Bachtiar (2005)
39
Ketika mau Sholat Ashar ke Masjidil haram, semua badan terasa sangat lelah. Saya akhirnya terpaksa Sholat Ashar di Masjid Jin, sekitar 20 meter dari hotel. Ternyata banyak jamaah lain dari Mataram yang juga sholat di sini. Selesai sholat, kami nonton televisi 16 inchi yang ada di kamar. Semua channel sayangnya hanya berbahasa Arab, sehingga tidak ada yang saya pahami. Saya melihat ada berita yang menyebut tsunami, Aceh, Indonesia, Srilangka. Tetapi karena disebut dengan Bahasa Arab, jadi saya belum memahami apa yang sebenarnya terjadi. Hanya penasaran yang muncul. Hari ini saya masih bisa Sholat Maghrib dan Isya’ di Masjidil Haram. Karena istri masih menstruasi dan tidak ada teman menunggu di luar, saya putuskan sholat di halaman masjid sambil menemani istri. Di sekitar kami banyak jamaah yang umumnya dari India, Bangladesh atau Pakistan. Cara mareka berpakaian dan berbicara sulit dibedakan. Ketika menonton televisi lagi, saya semakin penasaran. Ada apa sebenarnya yang terjadi di Indonesia. Apakah tsunami yang ada di berita itu terjadi di masa lalu ataukah di masa sekarang. Semua
pertanyaan itu membuat saya jadi terus penasaran. Besok saya mau membeli koran. Tanggal 01-01-2005. Tawaf kedua (sunat), istri saya suka memegang Ka’bah. Hari ini merupakan malam tahun baru, tetapi di Mekah tidak ada tandatanda adanya perayaan tahun baru Masehi. Alhamdulillah, siklus menstruasi istri saya sudah selesai pagi ini. Kami berdua berangkat ke masjid pukul 03:30, masuk melewati Babussalam dan langsung mendekati Ka’bah. Baru pagi ini saya merasakan getaran energi Ka’bah. Saya menangis karena sangat bersyukur menjadi tamu Allah di bulan yang suci ini. Ketika Tawaf, saya juga banyak menangis karena mengingat dosadosa yang telah saya perbuat selama ini. Saya juga menangis karena mensyukuri bisa memenuhi undangan Allah untuk pergi haji ini. Ketika tawaf istri saya mendekat lagi ke Ka’bah untuk menyentuh dan mengusap dindingnya. Saya ikut-ikutan sekedar ingin merasakan seperti apa sih menyentuh batu dinding Ka’bah. Tetapi ketika dia ingin mengusap Ka’bah di setiap putaran, maka saya mencegahnya karena khawatir hati kita dibelokkan ke arah syirik oleh syetan. Karena istri saya ada di depan dan pundaknya saya pegangi, maka saya bisa dengan mudah mengarahkan jalur Tawaf jika diperlukan. Setelah selesai tawaf, kami teruskan jalan mengikuti arus sambil bergerak ke kiri menuju Hijir Ismail. Dengan sedikit berjuang berdesakan kami bisa mencapai ujung pintu masuk sebelah kanan Hijir Ismail. Di dalam hijir sudah banyak orang sholat sunat. Kami tinggal menunggu giliran untuk masuk ke dalamnya. Tetapi kami dihentikan oleh askar. Semua jamaah di dalam hijir juga disuruh keluar oleh askar. Ternyata tidak lama kemudian ada segerombolan orang-orang Arab masuk ke dalam hijir membawa jenasah. Ada tiga jenasah yang lewat di depan kami. Juga terlihat seorang askar membawa mikrofon untuk sholatnya Imam masjid.
Ani di jalan menuju masjid. Di belakang tampak Pintu King Abdul Aziz (KAA).
40
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Kami memutuskan untuk duduk i’tikaf di depan Hijir Ismail, menunggu waktu Sholat Subuh. Tetapi askar berteriak-teriak melarang kami sholat di situ. “Tarik, tarik, hajah tarik!” Ternyata wanita tidak boleh sholat di sekitar Ka’bah, karena itu artinya ada jamaah wanita di depan jamaah lelaki. Kamipun lalu mundur mencari tempat sholat. Saya lepas istri sholat bersama jamaah wanita lain, sedangkan saya di dekatnya. Kami Sholat Subuh di lantai satu bagian atas. Selesai Sholat Subuh saya mengantar istri untuk melaksanakan Sa’i. Saya sendiri sudah Sa’i kemarin, sehingga hari ini hanya bertugas Imam Bachtiar (2005)
41
menemani dan membimbing istri. Walaupun saya sendiri tidak Sai, tetapi tetap perjalanan menemani Sa’i menimbulkan rasa haru yang dalam pada saya. Selesai Sa’i saya pinjam gunting seorang dari India, saya potong rambut istri dan juga rambut tiga jamaah India. Karena kami berdua sudah selesai melakukan ibadah Umrah, kami ingin merayakannya dengan sarapan yang istimewa di Warung Mang Udin. Kami sarapan dengan masakan Indonesia dan di kelilingi oleh orang-orang Indonesia, dengan harga SR 18. dalam perjalanan pulang ke hotel, kami melihat sudah banyak pedagang makanan asongan dari Indonesia. Karena sudah kenyang sekali dan mulai terasa lelah, kami langsung tidur begitu tiba di hotel. Pukul 11:30 kami pergi kembali ke Masjidil Haram untuk Sholat Dzuhur. Kami mendapat tempat sholat di tempatnya orang Sa’i di lantai dua. Kipas anginnya banyak sekali, sehingga terasa kebanyakan untuk musim dingin saat ini. Selesai Dzuhur, kami berjalan-jelan ke depan Pintu King Abdul Aziz (King Abdul Aziz Gate=KAAG), kemudian ke King Fahd Gate (KFG). Dari depan kedua pintu inilah biasanya gambar Masjidil Haram diambil (difoto). Dari sini memang Masjidil Haram tampak sangat anggun dan kharismatis. Kami kemudian mengikuti tanda di awah sebuah hotel yang tidak tampak namanya (ternyata itu Hotel Hilton) “Bin Dawood Superstore”. Kami masuk ke dalam membeli beberapa roti untuk makan siang, Kellog corn-flakes dan sebuah koran berbahasa Inggris “Arab News”. Sambil makan siang di depan KAAG, saya membaca berita tentang tsunami di Aceh. Saya menangis membaca bahwa korban tewas dinyatakan pemerintah sebanyak 80 ribu orang, sedangkan diperkirakan Menteri Kesehatan sekitar 200 ribu orang. Masya Allah, ini bencana alam terbesar di Indonesia sepanjang hidup saya. Kami kembali lagi ke dalam masjid, setelah menaruh tas belanjaan di dekat Babbussalam. Saya Sholat Ashar di Lantai bawah dekat Ka’bah, sedangkan istri sholat bersama jamaah wanita lain di lantai atas. Kami janji bertemu di tempat sepatu nomor 43. Sambil menunggu Sholat Ashar di lantai bawah, saya membacakan do’a untuk teman-teman yang titip kepada saya agar suatu saat diundang Allah untuk datang ke depan Ka’bah, dalam catatan saya hampir 60 orang. Memang di sini tempat paling nikmat untuk sholat karena berada di lantai yang sama dengan Ka’bah. Tetapi karena beratapkan langit, jadi panas matahari musim dingin terasa tidak nyaman di kepala. Setelah Sholat Ashar, kami pulang ke hotel membawa belanjaan. Sore ini kami pergi ke lantai 13 melihat-lihat fasilitas tempat jemuran untuk jadwal mencuci pakaian besok. Di sini banyak tali jemuran yang sudah 42
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Hotel-hotel yang ada di sekeliling Masjidil Haram bisa digunakan sebagai ‘land-mark’ untuk mencari jalan ke penginapan (hotel).
dipasang, jadi tidak perlu memasang tali jemuran sendiri. Apalagi tidak ada lagi tempat tersisa untuk memasang tali jemuran baru. Kami melakukan Sholat Maghrib dan Isya di Lantai tiga Masjidil Haram. Kami memilih lantai ini untuk mencari pengalaman saja. Di tempat sholat paling atas, yang beratap langit ini, angin malam terasa sangat dingin. Keramik lantai tempat sholat juga sangat dingin. Kalau saja kami tidak membawa sajadah, bisa diperkirakan kaki saya tidak akan sanggup menahan dinginnya Lantai tiga. Pada hari ini, ketika masih di Hotel Hilton saya sempat masuk ke suatu bank yang menerima pembayaran dam. Harga dam seorang jamaah haji sebesar SR 450. Padahal ada teman serombongan (Pak Suparman) yang bisa menawarkan SR 200, melalui seorang kenalannya yang bermukim di Mekah. Tanggal 02-01-2005. Pria dan wanita mesti sholat di tempat terpisah. Kami pergi ke Masjidil Haram pukul 04:00. Di jalan menuju ke masjid tampak semakin ramai, bahkan sudah sangat ramai dengan jamaah haji. Sampai di masjid, terlihat banyak sekali jamaah sudah duduk Imam Bachtiar (2005)
43
menunggu sholat di halaman masjid. Ketika kami masuk ke dalam masjid, jamaah yang sedang tawaf sudah jauh lebih ramai daripada kemarin. Seperti biasanya, kami mencari tempat yang bisa memudahkan kami sholat terpisah dan mudah bertemu lagi sesudahnya. Saya ingin mengikuti sunnah (aturan) yang sudah ditulis di buku petunjuk haji yang diterbitkan pemerintah Saudi, bahwa jamaah pria tidak boleh sholat bercampur dengan jamaah wanita, atau di belakangnya, kecuali dalam keadaan terpaksa. Banyak jamaah haji yang tidak mengindahkan sunnah ini. Mareka hanya melihat para jamaah lain sholat bersama di dekat pasangannya, dan mareka beranggapan hal itu boleh dilakukan di Masjidil Haram. Karena itulah, askar masjid selalu mencoba menegakkan sunnah dengan mengingatkan jamaah wanita yang duduk di dalam kelompok jamaah pria. Hal ini terjadi pada setiap waktu sholat fardlu. Pukul 04:40 terdengar suara adzan pertama. Kami Sholat Tahajut, dan sholat sunat fajar lainnya, sebelum Sholat Subuh. Pagi ini kami sarapan corn-flakes produksi Kellog, mengingatkan kami pada masa-masa di Australia. Sekarang kami sudah mulai mengerti tentang berita yang disiarkan di televisi. Ada pertandingan sepakbola amal untuk korban tsunami, ada konser musik amal untuk tsunami dan sebagainya. Akhirnya saya tertidur dengan televisi masih on. Ketika sedang tertidur lelap. Istri membangunkan saya untuk mengajak membayar dam ke ’keluarganya’ Pak Suparman. Saya sebenarnya ingin membayar dam melalui bank, walaupun agak mahal tetapi lebih mantap di hati saya. Tetapi karena istri merengek-rengek terus dan mengganggu tidur saya, saya setujui dia membayar dam melalui Pak Suparman. Saya lanjutkan tidur lagi. Saya ke masjid lagi pukul 12:00 untuk Sholat Dzuhur. Kali ini saya pergi sendirian karena istri sedang sakit. Memang banyak orang yang sakit radang tenggorokan yang membuat badan demam, yang biasanya dilanjutkan dengan batuk pilek. Habis sholat saya kembali lagi ke hotel. Sorenya, kondisi badan istri sudah membaik setelah berobat ke dokter kloter. Kami berangkat ke masjid pukul 15:00. Rencananya kami akan tinggal di masjid hingga Isya’. Tetapi karena kondisi badan istri ternyata semakin parah, maka kami putuskan pulang kembali ke hotel setelah Sholat Ashar. Saya Sholat Maghrib dan Isya’ di hotel, berjamaah dengan istri. Tanggal 03-01-2005. Mencicipi makanan pedagang asongan. Pagi ini kami ke masjid sebagaimana biasa. Jamaah haji semakin padat saja. Jalan pulang melewati Pasar Seng semakin padat dan tidak teratur. Setiap selesai sholat fardlu banyak sekali jamaah dengan arus 44
Catatan perjalanan haji seorang dosen
meninggalkan masjid menuju penginapan. Tetapi biasanya ada saja jamaah lain yang baru datang (biasanya jamaah haji Indonesia) berjalan ke arah menuju masjid. Di sinilah terjadi tabrakan arus jamaah. Anehnya jamaah haji yang baru datang seolah menganggap ini sebagai hal yang biasa saja. Seharusnya mareka menunggu sekitar 30 menit biar jalur ke masjid lewat Pasar Seng sudah agak sepi. Saya sering merasa kasihan dengan jamaah yang tua-tua diajak rombongannya menentang arus jamaah yang meninggalkan masjid. Kami keluar dari kawasan masjid lewat jalur yang lain untuk menghindari Pasar Seng. Kami sempat membeli nasi dari pedagang asongan di jalan. Sebungkus nasi, sekor ikan laut goreng, dan sebungkus oseng-oseng pare, masing-masing harganya satu riyal (SR 1). Harga satu riyal, merupakan harga termurah dari semua transaksi pembelian di luar toko swalayan. Tidak ada barang yang harganya kurang dari seriyal. Susu segar (fresh) yang 1000 ml, harganya SR 3. Pagi ini kami dengan jamaah satu regu (minus Pak Mastur) pergi jalanjalan ke Jabal Thur, Mina, Arafah, Muzdalifah, dan Jabal Nur. Kami pergi mulai pukul 08:30 ingga 12:10, ditemani oleh keluarganya Pak Suparman yang akan mengurus pembayaran dam (penyembelihan kurban kambing) kami. Jabal Nur merupakan tempat yang sangat sederhana tetapi mempunyai sejarah yang mengesankan, karena di sinilah dulu Nabi Muhammad SAW sering berkhalwat. Saya membayangkan bahwa dari atas Jabal Nur Nabi bisa melihat Kota Mekah yang kala itu penuh maksiat di malam hari. Di Arafah yang masih sepi kami sempat berfoto sambil menunggang unta. Setiap pasangan terkena SR 20 untuk membayar pemilik unta. Hanya pasangan keluarga Pak Edy yang tidak berani naik onta. Sebelum ke hotel kami diajak pergi ke pasar hewan. Ada seorang negro berseragam kaos warna merah meminta kopiah hitam saya dengan bahasa isyarat. Ia tampak senang sekali, ketika saya berikan kopiah Indonesia tersebut sebagai tanda-mata. Di pasar hewan, saya kira kita akan membeli kambing, ternyata hanya melihat-lihat saja. Penipuan dalam pembayaran dam sudah menjadi rahasia umum di kalangan jamaah haji Indonesia. Karena itu, setelah kembali ke hotel saya membicarakan hal ini langsung dengan keluarganya Pak Suparman tersebut. Saya tegaskan bahwa saya ingin menyaksikan penyembelihan hewan dam dan penyerahannya kepada panitia. Saya menolak usulan beliau bahwa penyembelihan dam akan dilakukan ketika kita sedang mabit di Mina, walaupun hal itu lebih afdol menurut sunnah. Bahkan beliau mengatakan bahwa penyembelihan dam harus menunggu rombongannya TGH Muchlis dari Kediri (Lombok Barat). Akhirnya keinginan saya bisa disepakati bahwa kami akan menyaksikan penyembelihan hewan dam, sebelum kita wukuf. Imam Bachtiar (2005)
45
Kami siang ini Sholat Dzuhur di Masjid Jin. Setelah sholat kami ingin mencoba masakan Indonesia yang ada di lantai dua hotel kami. Di sini ada restoran Indonesia yang harganya murah meriah. Dengan uang SR5 perorang, kami sudah bisa makan siang dengan kenyang dan nikmat sekali. Pengelola restoran berasal dari Jawa Barat, demikian juga tukang masak dan penjualnya. Sore hari, pukul 15:00, saya berangkat ke Masjidil Haram sendirian. Ani masih kecapekan karena jalan keliling tadi pagi. Karena itu, ia memilih tinggal di hotel bersama beberapa jamaah Rombongan 4 yang lain. Sebagian jamaah memang jarang ke Masjidil Haram. Mareka lebih suka sibuk memasak dan sholat di Masjid Jin.
satu yang beratap langit). Kami bahkan kesulitan untuk menuju tempat start-nya orang Tawaf, lurus dengan Rukun Hajar Aswad. Rencana tawaf sunat akhirnya kami batalkan. Kami Sholat Isya’ di Lantai pertama, lantai satu bagian atas, di jalur orang keluar masuk. Istri saya lupa membawa sajadah, sehingga dia sharing sajadah dengan jamaah dari Turki. Ketika pulang ke hotel, kami memilih jalur yang menghindari kepadatan pasar seng. Di depan sebuah hotel yang disewa jamaah Malaysia, kami membeli nasi goreng dari pedagang asongan yang kayaknya orang Malaysia. Sebungkus berharga seriyal juga, padahal nasi goreng tersebut sudah ada dicampuri ikan teri dan telur. Nasi gorengnya enak sekali. Syukur tadi kami membeli tiga bungkus, sehingga porsi saya bisa tuntas terpenuhi. Tanggal 04-01-2005. Sholat sunat di Hijir Ismail. Pagi ini kami bertekad untuk tawaf sunat. Kalau di Lantai bawah terlalu banyak jamaah yang Tawaf, kami akan melakukannya di Lantai dua. Kami berangkat ke masjid pukul 04:40. Selesai Sholat Subuh kami langsung menuju jalur Tawaf. Seperti yang diduga, jamaah Tawaf luar biasa banyaknya. Tetapi rencana Tawaf di Lantai dua juga kurang menarik, jalur Tawaf terlihat sangat panjang. Kami akhirnya memutuskan untuk terjun saja ke samudera jamaah Tawaf di Lantai bawah.
Padang Arafah dengan latar belakang Jabal Rahmah. Banyak peziarah naik ke gunung (jabal) tempat pertemuan Adam dan Hawa.
Di sekitar Ka’bah tampak agak sepi, saya ingin sekali Tawaf. Tetapi karena mengingat Ani yang sendirian di hotel, saya akhirnya tidak jadi melaksanakan tawaf sunat. Pulang dari masjid saya bertemu dengan Pak Edy di jalan. Pukul 17:15 saya dan istri pergi ke masjid untuk Sholat Maghrib. Kondisi istri sudah baik kembali. Kami masuk masjid lewat lantai dua di depan Soitel Hotel, jadi masuk langsung ke tempat Sa’i. Selesai sholat kami berencana mau tawaf sunat. Tetapi ketika sampai di Lantai pertama (bagian atas), jamaah Tawaf tampak sangat padat di Lantai bawah (Lantai 46
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Memang sangat sulit ketika kami mau masuk ke garis start. Begitu kami bisa masuk ke samudera jamaah Tawaf, perlahan-lahan kami bisa mendekati Ka’bah dan melaksanakan Tawaf pada lingkaran kecil. Lagilagi istri saya suka memegang atau mengusap dinding Ka’bah. Hal ini bisa dilakukan setelah kita melewati Hijir Ismail, sebelum Rukun Yamani. Sisi ini biasanya merupakan sisi yang paling longgar dalam bertawaf. Sisi yang paling padat adalah antara Rukun Yamani dengan Rukun Hajar Aswad. Di sisi inilah beban Tawaf terasa berat. Dalam samudera jamaah tawaf yang sangat padat, kita harus mempertahankan diri dari dorongan rombongan yang memotong arus atau yang melawan arus. Saya pikir ini keuntungan bagi jamaah yang tidak Tawaf dalam rombongan. Kami bisa lebih mudah menghindar atau mengikuti saja arus yang terlalu kuat. Saya menggunakan ilmu oseanografi saya dalam memahami arus jamaah Tawaf yang ada di sekitar kami. Walaupun demikian, selesai Tawaf hari ini badan saya terasa baru mendapat pijitan yang terlalu keras, sakit semua. Pada Tawaf pagi ini, setelah putaran ketujuh kami memotong arus mendekati Hijir Ismail. Rasanya persis kita berenang memotong arus sungai. Sambil terhanyut arus kita menyeberang. Alhamdulillah, kali ini kami berhasil masuk ke dalamnya dan sholat sunat dua rakaat. Sholat saya di Hijir Ismail, sayangnya, tidak bisa tenang karena banyak dorongan dari jamaah lain dan khawatir kepala terinjak jamaah yang sangat padat. Imam Bachtiar (2005)
47
Walaupun istri menjaga dari satu sisi, desakan jamaah dari sisi lain bisa saja menginjak kepala saya. Kami bertemu dengan Pak Ismail dan istrinya (Bu Ita) di dalam Hijir Ismail. Bu Ita adalah teman istri saya di SMPN 7 Ampenan. Kami pagi ini sarapan dengan nasi pecel. Karena pagi tadi banyak tenaga keluar, saya masih nambah lagi dengan sarapan kedua Kellog cornflakes. Setelah sarapan, saya ingin pergi ke makam Ma’la untuk melihat lebih dekat pemakaman di Arab. Siapa tahu saya bisa menemukan makam Paklik Akasah di sini. Tetapi karena istri menjadwalkan cuci pakaian, jadi saya batalkan recana berkunjung ke makam. Hotel al Jazeera, tempat kami menginap, memang berbatasan langsung dengan makam Ma’la. Dari jendela kamar kami bisa melihat makam Ma’la yang sangat luas. Seperti di makam Baqi’, hanya tanda batu yang ada di atas makam. Di salah sebagian blok, ada lubang-lubang kubur yang masih kosong. Lubang-lubang dibuat dengan sangat rapi dan teratur menunggu jenasah yang datang. Konon satu lubang bisa diisi lebih dari satu orang. Jumlah batu yang ada di atas lubang juga katanya menandakan berapa orang yang masuk di dalam lubang tersebut. Tidak tampak orang berziarah ke makam. Yang ada beberapa jamaah ikut menghadiri pemakaman kerabatnya. Di makam Ma’la yang terletak di seberang jalan ada makam Siti Khatijah, tetapi kami tidak pernah ke sana hingga perjalanan haji selesai. Tanggal 05-01-2005. Mencari kambing di pasar, tetapi takut melihat calo. Jamaah sholat di Masjidil Haram terus semakin padat. Kami Sholat Subuh di tempat Sa’i, lantai dua. Di tempat ini mempunyai kelebihan karena jamaah pria dan wanita dipisahkan oleh jalur Sa’i khusus orang cacat (di atas kursi roda). Jamaah wanita di sebelah kiri, sedang jamaah pria di sebelah kanan. Dengan lokasi yang tidak terlalu luas saya bisa dengan mudah bertemu dengan istri setelah usai sholat. Tetapi semakin dekat waktu haji, semakin banyak jamaah wanita yang menyelinap di antara jamaah pria. Percampuran ini sebenarnya juga dilarang di dalam Masjidil Haram. Para Askar pria dan wanita selalu berusaha untuk memisahkan jamaah pria dan wanita. Tetapi karena kemauan dari jamaah pria yang khawatir dengan keselamatan muhrimnya sering mengabaikan teguran atau larangan para Askar. Saya selalu berupaya untuk tidak sholat di shaf yang sama dengan istri. Pukul 09:00 kami, Regu 15 Kloter 6, pergi dengan sebuah angkot ke pasar hewan untuk mencari kambing buat dam. Haji tamatu’ diwajibkan 48
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Suasana sebuah pasar hewan di Mekah. Banyak kambing yang ‘tidak layak’ dijadikan kurban untuk membayar dam haji tamatu’.
membayar dam berupa menyembelih seekor kambing. Sewa kendaraan angkot Toyota Hi-Ace tersebut dari Al-Jazeera ke pasar hewan SR 100. Baru saja kami masuk kawasan pasar, tampak banyak orang-orang berkulit hitam berbaju seragam warna merah menghadang kami. Mareka adalah calo-calo penjualan kambing. Calo-calo ini ternyata sangat liar. Mareka berusaha memaksakan penawaran dagangannya dengan berteriak. Tidak ada senyuman sama sekali. Kami yang ada di dalam kendaraan mulai merasa tidak nyaman. Di dekat pos polisi, sopir kami mengeluhkan para calo yang sangat liar dan tidak sopan. Sopir kami berperawakan kecil, sebesar pelawak Doyok. Tetapi keberaniannya patut dipuji. Polisi Arab yang ada di pasar ternyata tidak mampu mengendalikan para calo yang berebutan ingin membuka pintu mobil. Ketika kendaraan berjalan sebagian calo melompat naik di belakang mobil. Sopir kami marah dan menjalankan mobil secara zigzag berharap para calo di belakang terjatuh. Memang ada yang jatuh satu, tetapi masih ada tiga yang nempel. Tidak berhenti disitu, sopir kami menjalankan kendaraan kencang kemudian di rem mendadak. Memang banyak calo yang atuh, tetapi kami di dalam mobil semakin cemas. Apalagi ada seorang calo yang berhasil masuk ke mobil. Para istri kami berteriak-teriak ketakutan. Kami akhirnya memutuskan untuk kembali pulang. Kami keluar dari pasar tanpa sempat turun dari Imam Bachtiar (2005)
49
kendaraan. Suatu pengalaman yang pahit, tetapi manis untuk dikenang. Saya pikir ini petualangan yang menarik untuk dicatat. Sopir kami ternyata belum menyerah. Kami diantar pergi ke pasar hewan yang kedua. Di sini suasananya sangat berbeda. Calo-calo yang berseragam sama dengan di pasar sebelumnya tidak mengejar kendaraan kami. Mareka hanya bergerombol ketika kami melihat-lihat kambing yang mau dibeli. Setelah berputar-putar di pasar yang bau kambing sekitar satu jam, teman-teman menyerahkan kepada saya untuk memilih kambing yang akan dibeli dengan harga SR 250. Harga ini jauh lebih murah dengan yang ditetapkan di bank, yaitu SR 450. Tetapi saya pikir lebih baik bayar di bank karena akan dibelikan kambing yang lebih besar. Harga kambing di pasar bervariasi dari SR 200 hingga SR 600. Jika memutuskan untuk membayar dam di luar bank, maka kita harus turun tangan sendiri membeli kambing. Di pasar ini, banyak sekali kambing yang cacat, sakit-sakitan atau terlalu kurus. Jika kita tidak turun ke pasar sendiri, bisa jadi kita dibelikan kambing yang sebenarnya tidak layak untuk dipersembahkan sebagai dam. Di dekat pasar hewan sudah ada tempat penyembelihan kambing dan penyaluran daging kambing. Biaya penyaluran dan penyembelihan SR 25. Para calo yang menyembelih kambing. Mareka mendapat upah uang dan sebagian daging kambing. Yang jelas kami sangat bersyukur bahwa kami telah bisa membayar dam hari ini. Siang ini kami Sholat Dzuhur di Masjid Jin, karena sudah terlambat ke Masjidil Haram. Kami juga kelelahan, karena kami tidak tidur pagi hari ini, salah satu jadwal tidur yang sangat penting dalam perjalanan haji saya. Setelah cukup tidur siang, kami berdua Sholat Ashar hingga Isya di Masjidil Haram. Usai Sholat Ashar kami pergi melewati pintu King Abdul Aziz berjalan-jalan di lantai bawah (ground-floor) Hotel Hilton. Setelah berputar-putar kami membeli nasi kuning dan ayam panggang di sebuah kantin Pakistan. Makanan seharga SR 7 sudah cukup untuk makan siang kami berdua. Ketika pulang kami mencoba membeli makanan di restoran hotel. Baik tukang masak dan penjualnya ternyata orang Indonesia, dari Sunda. Jadi masakanya asli masakan Indonesia. Di Restoran Murah Meriah yang terletak di lantai kedua ini harga makanan relatif murah. Sepiring nasi antara satu atau dua SR, tergantung berapa banyak kita mengisi piring nasi plastik. Lauk tempe, tahu, ikan kembung, atau daging biasanya harganya SR 2. sayur asem atau lodeh harganya juga SR 2.
Pagi ini kami Sholat Subuh di tempat jalur Sa’i, Lantai kedua. Di sini kipas anginnya memang terlalu keras karena jumlahnya banyak. Tetapi lokasi inilah yang biasanya masih kosong ketika tempat sholat di Lantai pertama dan kedua penuh. Keuntungan sholat di sini, kita bisa sholat secara terpisah antara pria dan wanita. Jamaah pria membuat shaf di sebelah kanan, sedangkan jamaah wanita di sebelah kiri jalur Sa’i. Setelah sholat kita bisa dengan cepat menemukan istri kita karena lokasi yang tidak terlalu luas. Saya mendapat tempat sholat di sebelah orang Afrika. Ketika Sholat Subuh dimulai, orang Afrika di sebelah kiri saya mulai menangis. Semakin lama tangisanya tidak terkendali lagi. Tangisannya terasa tidak biasa, terlalu keras untuk orang yang sudah dewasa. Getaran badannya yang terguncang-guncang bisa saya rasakan, walaupun saya sedang sholat. Sholat saya jadi agak terganggu. Setelah selesai sholat, semua orang memandangi si Afrika, tetapi tangisannya sudah berhenti begitu sholat selesai. Saya masih bertanya-tanya bagaimana seorang bisa sholat dengan badan yang terguncang-guncang karena menangis. Pengalaman rohani apakah gerangan yang sedang ia rasakan? Rencananya kami mau Tawaf setelah Subuh pagi ini. Tetapi karena saya merasa sangat mengantuk, jadi rencana tersebut kami batalkan. Kejadian sebaliknya terjadi di siang hari. Saya ingin sekali Tawaf setelah Dzuhur. Tetapi karena istri saya sangat ragu-ragu untuk melakukannya, maka kami tidak jadi Tawaf hari ini. Kurang tidur memang membuat badan kami terasa tidak stabil. 07-01-05, Sholat dan Tawaf di Lantai 2. Pagi ini, kami turun dengan lift hotel sekitar pukul 04:30. Di dalam lift bertemu dengan Pak Asmuni besama istri. Pak Asmuni berpakaian ihram karena akan melaksanakan umrah sunat setelah sholat Subuh. Kami Sholat Subuh di Lantai pertama, melalui Pintu Al-Fatah. Ketika Sholat Jum’at, kami kesulitan mencari tempat sholat di Lantai pertama. Tempat kosong yang tersisa hanya di jalur orang lewat, di depan pintu masuk. Ketika saya baru duduk, askar datang dan mengusir saya. “Tarik ... haj ...tarik”, katanya. Kata “tarik” merupakan kata yang paling sering terdengar di dalam masjid. Saya pindah ke tempat lain, ternyata juga mengalami hal yang sama. Setelah empat kali saya pindah tempat, baru saya menemukan tempat yang tidak diusir askar. Tetapi karena tempat itu tadinya merupakan jalur lewat jamaah, maka jamaah yang lewat terus mengalir walaupun tempat itu kini telah dipenuhi jamaah termasuk saya.
Tanggal 06-01-2005. Orang sholat sambil menangis keras. 50
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Imam Bachtiar (2005)
51
Di lokasi seperti ini, kita tidak bisa menikmati Masjidil Haram dengan menatap Ka’bah. Yang bisa kita ’nikmati’ dorongan jamaah yang membuat duduk kita menjadi cepat lelah. Mau sholat sunat tidak bisa karena jamaah yang lewat mengalir terus. Mareka lewat tepat di sebelah kanan saya. Ada orang Afrika, orang Cina, orang Turki, orang Persia dan orang Indonesia. Hampir saja saya kejatuhan wanita besar ketika ada seorang nenek dari Turki yang hampir kehilangan keseimbangan ketika mengangkat kaki mau melewati jamaah yang sedang duduk. Sholat Jum’at kali ini tidak seperti yang saya harapkan. Ketika bertemu istri usai Sholat Jum’at, katanya ia sholat di Lantai kedua dan masih agak longgar. Pengalaman ini menarik untuk dicoba lagi nanti untuk Sholat Ashar. Kami bahkan merencanakan untuk sekalian Tawaf setelah Sholat Ashar. Sebelum pulang ke hotel, kami menelepon anakanak untuk tidak perlu khawatir tentang ranking mareka. Karena besok adalah hari penerimaan raport, kami takut anak-anak stress karena tidak mendapat ranking pertama seperti biasanya. Kami memang jadi Sholat Ashar di Lantai kedua. Hari ini, Lantai kedua masih agak longgar. Kita bisa membuat shaf dengan rapi, tanpa
berdesak-desakan. Jika kita sholat agak di depan, di belakang jalur Tawaf orang cacat (berkursi roda), maka kita juga bisa melihat langsung ke Ka’bah. Setelah sholat kami lanjutkan dengan Tawaf. Tawaf di Lantai kedua merupakan pengalaman yang berbeda dari Tawaf di Lantai bawah. Jaraknya memang lebih panjang dalam setiap putaran. Tetapi waktu tempuh yang diperlukan tidak banyak berbeda. Jika Tawaf di Lantai bawah kami menempuhnya sekitar 45 menit. Di Lantai kedua kami bisa menyelesaikan Tawaf dengan 55 menit. Kecepatan jalan Tawaf di Lantai kedua memang jauh berbeda dengan di Lantai bawah. Kekurangnyamanan Tawaf di sini adalah banyaknya pilar yang harus dihindari. Kadang kita menghindari pilar dengan bergerak ke kanan, kadang dengan bergerak ke kiri. Jika kita melakukan Tawaf sambil memandang Ka’bah dari Lantai kedua, maka kenikmatannya juga masih sebanding dengan kenikmatan di Lantai bawah. Kenyamanan yang ditawarkan Lantai kedua membuat kami betah berlamalama di sini. Hari ini, kami Sholat Ashar hingga Isya’ di Lantai kedua. Kenyamanannya tidak bisa ditemukan di Lantai pertama, ketika jamaah di Lantai pertama sudah mulai berdesak-desakan. 08-01-05, Anak-anak ranking Satu Pagi hari, acara rutin seperti biasa. Tidak ada yang saya catat kegiatan seputar Sholat Subuh. Saya sarapan pagi dengan kue Pakistan lagi. Menu sarapan ini memang terasa sangat cocok buat saya. Selembar kue yang harganya SR 1, dengan kuahnya SR 1, sudah sangat kenyang untuk sarapan pagi sendiri. Bahkan jika istri saya mau bergabungpun, kue ini masih mampu mengenyangkan perut saya. Apalagi tidak ada kolesterol dalam menu ini. Karena di antara rombongan, hanya saya yang bisa menikmati kue Pakistan itu, ibu-ibu biasa mengomentari keanehan saya tersebut.
Air zam-zam di halaman Masjidil Haram sudah didinginkan secara elektrik. Bisa untuk minum ataupun wudlu.
52
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Setelah Sholat Dluhur, kami mencoba menggunakan telepon kartu “Assalam” seharga SR 10. Sebelum telepon tersambung dikatakan bahwa waktu bicara yang tersedia 25 menit. Tetapi kami hanya menggunakan bicara hanya 7 menit. Hanya Naila (anak kedua) dan Mardiana (pembantu rumah tangga) yang ada di rumah. Alhamdulillah, kedua anak kami, Jasmine dan Naila, masih bisa mendapat ranking pertama sebagaimana yang mareka inginkan. Naila bilang “Yah, Bu Guru tidak jujur. Katanya akan mendapat hadiah satu setengah juta, tetapi ternyata dua puluh lima ribu”. Saya yakin anak kedua saya yang salah menerima informasi. Berita ini sangat melegakan kami karena anak-anak sedang bergembira. Kami mencoba telepon Mas Mulyadi dengan kartu yang sama, ternyata tidak bisa. Kayaknya kartu SR 10 ini hanya untuk sekali pakai. Kami Imam Bachtiar (2005)
53
kemudian pegi ke wartel untuk menelepon Mas Mul dan Bulik Aliyah. Sayangnya, kami tidak ketemu dengan keduanya. Setelah Sholat Maghrib, saya berbincang-bincang dengan orang-orang Indonesia di sekitar tempat duduk saya, sambil menungu Sholat Isya’. Kami bertemu dengan jamaah Kloter 1 dan Kloter 7, embarkasi Jakarta. Melihat jenggot saya yang jarang dimiliki orang Indonesia, mareka menyangka saya ini seorang ustadz. Saya kira jalan masih terlalu panjang untuk bisa mejadi seorang ustadz. Saya bahkan tidak yakin apa masih ada cukup tersisa umur untuk belajar agama sehingga berilmu selayaknya seorang ustadz. Ketika kaki sudah terasa pegal, kami minta ijin untuk sholat sunat. Pukul 20:05 kami bertemu dengan gurunya Naila di dalam lift hotel, Pak Lalu Supardi, karena beliau sekloter dengan kami. Kami mengucapkan terimakasih karena Naila masih dianggap layak menduduki raking pertama. Kata Pak Lalu “Naila memang layak mendapatkan itu, karena disamping nilainya paling baik, dia juga selalu bisa menyelesaikan soal-soal yang diberikan lebih dulu daripada teman-temannya”. 09-01-05, Berfoto di depan Pintu KAA. Kami berangkat ke masjid pukul 04:00. Masih banyak tempat sholat yang kosong. Kami masih sempat Sholat Tahajut, Sholat Hajat, dan Sholat Witir sebelum adzan Subuh. Dalam kondisi demikian, sholat terasa sangat nikmat. Pulang dari masjid, kami bertemu dengan Pak Lalu Supardi, gurunya Naila. Belau bercerita kalau pergi haji sendirian karena istrinya belum siap berangkat haji. Kami merasa sangat sayang sekali kalau ada orang yang menunda pergi haji karena alasan belum siap mental. Memang banyak tuntutan istimewa di masyarakat Lombok bagi orang-orang yang sudah berhaji. Tetapi saya tidak merasa berkewajiban memenuhi tuntutan yang tidak disunahkan oleh Rasulullah, sehingga bukan menjadi beban. Pagi ini kami berdua sarapan dengan Kellog corn-flakes. Ini mengingatkan kami ketika masih berada di Australia. Sarapan cara Australia ini memang paling praktis jika perut kita tidak wajib menerima nasi. Menu Kellog corn-flakes yang saya makan di Arab berbeda dengan yang biasanya di Australia. Di sini, corn-flakes dicampur dengan kurma dan pisang. Sedangkan di Australia hanya dicampur dengan pisang. Ketika sarapan kami teringat anak-anak di rumah, karena menu sarapan ini adalah kesukaan mareka. Sholat Dzuhur kami pilih di Lantai kedua. Setelah sholat kami lanjutkan dengan Tawaf sunat. Kalau bisa Tawaf sehari sekali, kayaknya akan 54
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Mengambil foto di sekitar Masjidil Haram memang diijinkan, tetapi perlu waspada karena sebagian muslim ekstrim bisa melarang anda jika tidak ada askar. Di belakang adalah Pintu KAA.
merupakan ibadah rutin yang menyenangkan. Ada kenikmatan spiritual, dan ada pula kebugaran jasmani. Kali ini Tawaf kami lebih lama karena jamaah Tawaf semakin banyak sehingga jalannya sering macet. Adanya kursi roda yang didorong di jalur biasa juga menghambat laju perjalanan orang Tawaf. Istri saya malah sempat ditabrak kursi roda yang menyebabkan kakinya kesakitan. Ketika berangkat Sholat Ashar, saya membawa kamera. Kami ingin mempunyai beberapa foto di sekitar Masjidil Haram. Memotret bagian dalam masjid memang dilarang, tetapi di luar masjid tidak ada tulisan larangannya. Karena itu kami sengaja untuk Sholat Ashar, Maghrib dan Isya’ di halaman masjid. Kami memotret Masjidil Haram dari arah Hotel Hilton sehingga tampak pintu utama, Pintu King Abdul Azis (KAA). Di sebelah kanannya kadangkadang tampak juga di foto adalah Pintu King Fahd. Ketika kami mengambil beberapa gambar dengan kamera digital, ada tiga orang Indonesia yang bergantian memperingati kami kalau memotret di sini dilarang. Katanya, pernah ada temannya yang kameranya dirampas orang berjeggot karena Imam Bachtiar (2005)
55
diharamkan. Setelah ada tiga orang mengingatkan kami, saya menjadi takut juga kalau kamera ini dirampas oleh orang-orang yang ekstrim. Sayapun pergi ke pos polisi di seberang jalan. Ketika saya tanyakan dalam Bahasa Inggris apakah boleh memotret masjid dari halaman, mareka bisa menjawab “No problem”. Jawaban ini melegakan saya. Tetapi saya tidak berani memotret di tempat yang jauh dari polisi. Saya khawatir jika ada rombongan orang ekstrim yang merampas kamera tanpa bisa meminta bantuan polisi. Alhamdulillah, sekarang kami sudah punya beberapa gambar dengan background Masjidil Haram. Selesai memotret kami pergi ke pasar di belakang Hotel Hilton. Kondisi pasar di sini hampir sama dengan pasar seng. Yang dijual sebagian besar adalah barang-barang souvenir dan pakaian Arab (haji). Harganyapun kurang lebih sama. Tanggal 10-01-05, Sholat Dzuhur dan Ashar di depan Ka’bah Kami berangkat ke masjid pukul 04:00. Kami lewat Babussalam dan langsung menuju Lantai kedua dan Tawaf di sana. Jalur Tawaf di Lantai kedua memang panjang, tetapi lebih sepi dibandingkan di Lantai bawah. Pagi ini orang yang Tawaf di Lantai kedua juga sudah banyak sekali. Apalagi jalur Tawaf, yang banyak berkelok-kelok karena pilar masjid, menjadi semakin sempit karena tertutup oleh jamaah yang mau Sholat Subuh. Ketika pada putaran ke-enam, jalur Tawaf sudah macet walaupun adzan Subuh masih setengah jam lagi. Kami keluar dari jalur Tawaf dan mulai mencari tempat untuk sholat. Ternyata sudah sangat sulit mendapatkan tempat sholat. Jamaah sudah penuh sesak. Saya selalu enggan memaksakan diri masuk ke dalam shaf yang sudah padat. Akhirnya saya mendapat tempat sholat di jalur Tawaf orang-orang cacat (berkursi roda), terpisah dari istri yang entah kemana. Untung jalur ini tidak ada penggunanya sebelum Subuh. Enaknya sholat di jalur ini, kita bisa melihat langsung Ka’bah dari atas. Setelah Sholat Subuh, saya mencari istri yang terpisah sebelum sholat. Saya berdiri merapat di salah satu pilar untuk mencari istri. Semua jamaah Tawaf yang lewat di sekitar pilar bisa saya amati, sehingga berpeluang besar bisa ketemu istri. Ternyata strategi saya benar, dengan cepat saya bertemu istri dan kami melanjutkan Tawaf satu putaran lagi. Biasanya saya sholat di Lantai pertama, karena lebih mudah untuk membuat janji ketemu istri setelah sholat. Kami juga biasanya mencari lokasi yang bisa melihat Ka’bah secara langsung. Istri saya mendapat tempat yang bagus di depan tangga Assalam Bridge. Tetapi siang ini, saya tidak mendapat tempat yang demikian. Semua tempat yang biasa 56
Catatan perjalanan haji seorang dosen
saya gunakan sudah dipenuhi jamaah. Saya mencoba mencari tempat yang bagus tetapi selalu diusir oleh askar karena dianggap mengganggu jalannya orang lalu-lalang. Akhirnya saya putuskan untuk turun ke Lantai bawah yang terlihat banyak longgar. Lantai bawah adalah tempat di sekeliling Ka’bah. Di bagian lingkaran dalam merupakan jalur Tawaf, sedangkan di bagian luarnya bisa untuk tempat i’tikaf jika jumlah jamaah Tawaf tidak terlalu besar. Saya duduk i’tikaf di lingkaran luar Lantai bawah ini. Di sekeliling saya banyak orangorang tua dari Pakistan atau Afganistan. Saya menunggu Sholat Dzuhur dalam kepanasan sekitar satu jam. Selama itu, i’tikaf saya menjadi terganggu oleh teriknya matahari. Akhirnya sorbanpun saya buat sebagai kerudung kepala. Saya berkali-kali melihat jam tangan berharap sholat segera dimulai. Saya merasa heran, bagaimana jamaah di sekitar saya yang usianya banyak di atas 60 tahunan tahan dengan panas yang demikian. Mareka mengingatkan saya pada ayah saya di Jombang. Saya berdo’a semoga ayah sempat ke sini sebelum meninggalkan dunia ini. Ketika saya mengambil air zam-zam, saya ambikan juga untuk seorang tua di sebelah saya, yang kayaknya dari Pakistan. Sayangnya, waktu Sholat Ashar kejadian yang sama terulang lagi. Saya menunggu sekitar satu jam dalam kepanasan. Awalnya saya pikir matahari sore tidak sepanas tadi siang, ternyata kepala saya masih terasa kepanasan tersengat matahari sore. I’tikaf saya lagi-lagi terganggu karena sengatan panas di kepala. Tetapi ketika saya bisa bertahan, ternyata ketidak-nyamanan bisa membuat istighfar kita lebih khusyu’. Sholat di lokasi Lantai bawah memang sangat nikmat, karena ketika kita sujud kita merasa benar-benar bersujud di hadapan Allah. Tetapi menunggu terlalu lama di tempat panas merupakan suatu perjuangan yang berat, terutama bagi orang yang belum terbiasa dengan sengatan panas matahari Jazirah Arab. 11-01-05, Tawaf di Lantai Tiga Kami berangkat ke masjid pukul 04:05 agar bisa Sholat Tahajut dan Witir, sebelum Sholat Subuh. Setelah Sholat Subuh, kami naik ke Lantai ketiga untuk mencoba pengalaman Tawaf di sana. Lantai ketiga merupakan lantai tempat sholat yang beratap langit (sky roof). Lantainya dilapisi keramik yang tahan panas sehingga selalu terasa dingin. Jika kita naik eskalator dari dekat Marwah, maka setelah di Lantai ketiga tinggal berjalan ke arah kiri menuju ke atasnya bukit Sofa dan tempat start Tawaf ada di dekat sana. Di pagi ini, lantai putih itu terasa sangat dingin. Kami melihat sebagian jamaah bahkan mengenakan sepatu sleeper atau kaos kaki. Saya Imam Bachtiar (2005)
57
Kami terlambat lagi ketika pergi ke masjid untuk Sholat Ashar. Walapun kami sudah sampai di masjid 30 menit sebelum adzan, halaman masjid sudah penuh dengan jamaah. Akhirnya kami sholat di halaman, di depan Pintu Ma’la. Karena kami ingin mendapat tempat sholat yang nyaman, maka kami pergi ke Lantai kedua ketika jamaah sedang turun setelah Sholat Ashar. Karena itu tempat sholat masih longgar dan kami memutuskan untuk Sholat Maghrib dan Isya’ di sini. Di Lantai kedua ini baru kami bisa sholat dengan kenyamanan dan kenikmatan. Kita memang harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Ketika menunggu Sholat Isya’, saya berkenalan dengan seorang jamaah dari Perancis. 12-01-05, Mengukur jalan ke Mina
Terowongan di atas terdapat di sebelah timur Masjidil Haram, merupakan jalan penghubung ke kawasan Aziziyah dan Mina.
bersyukur membawa kaos-kaki tipis, walaupun masih terasa sangat dingin. Angin yang berhembus kencang pagi ini melengkapi suasana yang sudah sangat dingin. Karena kedinginan, semua jamaah yang Tawaf berjalan dengan kecepatan tinggi. Di sini juga tidak ada pilar-pilar yang menghalangi jalan, sehingga kita bisa melakukan Tawaf dengan kecepatan yang paling tinggi sekalipun. Tawaf di Lantai ketiga lebih luas jalannya. Walaupun jamaah yang Tawaf di sini lebih banyak daripada di Lantai kedua, tetapi masih terasa sangat longgar. Tidak ada kemacetan di jalan selain di dekat garis start. Macetnya perjalanan Tawaf di dekat garis start karena semua jamaah diwajibkan isti’lam, sehingga kita berjalan perlahan sambil mencari garis start yang berwarna coklat. Kami bisa menyelesaikan Tawaf dalam waktu 56 menit. Ketika kami mau pergi ke masjid untuk Sholat Dzuhur, di dalam lift kami bertemu sepasang jamaah asal Madura. Ketika keluar pintu hotel, jamaah pria bersama kami menuju masjid, meninggalkan istrinya yang belok ke kiri entah kemana. Ketika kami tanyakan, mengapa istrinya tidak ikut ke masjid. Dia juga meyesalkan sikap istrinya yang lebih suka berbelanja daripada sholat ke masjid. Siang ini kami mandapat tempat sholat di dekat eskalator, karena kami terlambat berangkat ke masjid, sekitar pukul 12:00. Setelah Sholat Dzuhur, kami sempat menelpon Mas Mulyadi (Mataram) dan Zakia (Surabaya). 58
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Pagi ini kami pergi ke masjid seperti biasa. Setelah selesai Sholat Subuh kami pergi ke arah terowongan menuju Aziziyah. Terowongan tersebut berjarak sekitar 400 meter dari Pintu Babussalam. Dalam suasana pagi yang masih agak gelap kami berdua pergi mengikuti jamaah haji yang bermaktab di kawasan Aziziyah. Ada dua terowongan di sini. Terowongan yang di sebelah kanan merupakan jalan menuju Aziziyah, sedangkan yang di sebelah kiri jalan ke Masjidil Haram. Pengaturan penggunaan terowongan satu arah sangat penting untuk menghindari tabrakan antar jamaah. Di depan terowongan merupakan terminal bis-bis yang mengangkut jamaah secara gratis karena sudah diatur oleh panitia haji. Bis-bis yang datang selalu dipenuhi orang, sehingga kami berdua memutuskan untuk pergi berjalan kaki saja. Kami berjalan masuk ke dalam terowongan yang ada di sebelah kanan. Terowongan ini mempunyai lebar sekitar 10 meter, sehingga cukup luas untuk dilewati bis jamaah ke Aziziyah dengan dua buah trotoar di sebelah kiri dan kanan bahu jalan. Bisa dibayangkan, ketika belum ada terowongan ini jamaah haji harus memutar jauh sekali untuk menuju Mina. Atau ketika jaman Nabi, mungkin orang harus mendaki bukit yang tinggi di dekat Masjidil Haram agar bisa mencapai Mina. Berjalan di dalam terowongan merupakan pengalaman tersendiri. Di dalam terowongan terdengar suara kipas penyedot udara (exhaust fan) yang seperti suara jet, sehingga bising dan tidak bisa mengobrol dengan nyaman sambil berjalan. Kipas penyedot tersebut sangat kuat, sehingga udara di dalam terowongan selalu bersih. Walaupun ada beberapa kendaraan bis yang lewat, bau asap knalpot tidak tercium sama sekali. Imam Bachtiar (2005)
59
Kami melanjutkan berjalan kaki mengikuti jalan yang lebar dari terowongan tersebut. Karena jalan dari kedua terowongan menyatu, maka lebar jalan sekarang sekitar 20 meter. Inilah jalan menuju ke Mina, sehingga tidak mudah untuk tersesat. Di jalan yang sangat lebar ini hanya ada dua pertigaan. Pertigaan pertama merupakan jalan keluar kendaraan ke arah kanan, naik ke atas. Di pertigaan kedua, jalanan agak datar dengan tanda yang jelas “To Mina” ke arah kanan. Setelah melewati pertigaan pertama, sekitar satu kilometer sebelum pertigaan kedua, ada tanda tulisan “Pedestrian Only” artinya hanya untuk pejalan kaki, kendaraan dilarang menggunakan jalan ini. Setelah tanda tersebut, jalan lebar ini diberi atap dengan kerangka baja sehingga terhindar dari panas dan hujan. Di sebelah kiri kanan jalan ada water dispenser yang pagi itu belum ada airnya.
Papan besar di belakang kami adalah tanda batas antara Mina dan Aziziyah. Di depan kami lokasi Jumrah Aqobah. Pekerja bangunan dari Bangladesh banyak kami jumpai di Mekah dan Madinah.
Terowongan menuju Aziziyah sepanjang sekitar 1,4 kilometer ini juga terbagi dalam dua potong. Antara kedua potongan tersebut terdapat beberapa petugas dengan mobil emergensinya. Di dalam setiap terowongan ada beberapa tempat dengan tulisan “Emergency exit”. Dalam keadaan darurat kalau jamaah terlalu penuh, maka pintu darurat ini bisa menjamin keselamatan jamaah yang menggunakan terowongan ini. Standar keselamatan di Saudi memang sekelas dengan negara-negara maju yang lain. Begitu kami melewati potongan terowongan yang kedua, tampak pemandangan yang sama sekali berbeda. Di sini banyak hotel megah berdiri yang sebagian besar dihuni maktab Indonesia, dilihat dari bendera merah putih di depan hotel. Sekitar 200 meter dari ujung terowongan merupakan terminas bis jamaah haji. Di sebelah kanan terminal ada taman yang hijau dan indah. Di sinilah banyak pedagang makanan asongan masakan Indonesia. Dari Indonesia untuk Indonesia. Menu makanan jauh lebih lengkap dibandingkan pedagang asong makanan di tempat lain. Di sini kita bisa menemukan sayur lodeh, empek-empek, peyek, bubur ayam, bubur kacang hijau, kolak pisang, kue nagasari, kue kucur dan sebagainya. Kami sarapan pagi di sini dengan makan bubur kacang hijau dan beberapa nagasari. 60
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Ketika kami belok kanan di pertigaan kedua, kami bisa melihat samarsamar Jumrah Aqabah seperti yang ada di peta. Jumrah tersebut berjarak sekitar sekilometer dari pertigaan ini. Di sebelah kiri dan kanan jalan yang khusus untuk ’pedestrian’ ini, terdapat jalan raya untuk kendaraan umum. Di kawasan ini ada beberapa kios makanan dan tukang cukur yang belum beroperasi. Tulisan kios tukang cukur memakai Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Di sini juga ada toilet umum. Semua fasilitas sudah lengkap tersedia untuk jamaah. Jumrah Aqabah terletak tepat di perbatasan Mina-Aziziyah. Hanya beberapa ratus meter dari tanda batas warna hijau. Tanda batas ini perlu dikenali karena ketika mabit di Mina, kita harus di dalam batas wilayah Mina sebelum adzan Maghrib. Jika tidak masuk Mina, mabit kita tidak syah dan wajib membayar dam seekor kambing. Jumrah tersebut terletak di dua lantai, lantai pertama yang mirip di bawah jalan tol dan lantai kedua yang mirip di atas jalan tol. Pada awal tahun 2005 ini, semua jumrah sudah banyak direnovasi sehingga bentuknya berubah dari tugu persegi empat menjadi tembok (bentuk balok tipis). Perubahan bentuk ini sangat mempermudah jamaah untuk melempar batu kerikil mengenai jumrah. Ketika kami di Mina tadi pagi, kawasan Jumrah Aqabah masih disegel oleh garis polisi. Kami tidak boleh masuk ke bawah maupun atas tol. Setelah mengambil beberapa foto, kami kembali lagi dengan berjalan kaki hingga Aziziyah. Dari Aziziyah kami kembali ke Mekah dengan naik bis jamaah haji. Dalam perjalanan ini kami bertemu banyak jamaah dari Turki, Pakistan, Cina, dan Malaysia yang mempunyai maksud sama dengan kami. Mencoba mengukur jarak Mina ke Mekah yang kalau berjalan kaki sekitar satu setengah jam. Imam Bachtiar (2005)
61
13-01-05, Ruku’ di punggung wanita. Gangguan sholat di Masjidil Haram memang bisa bermacam-macam. Kalau yang mengganggu itu orang dari Indonesia, kedongkolan saya bisa berlipat. Hari ini saya mengalami kejadian itu, yang membuat saya malas membuat catatan. Sekarang jumlah jamaah di masjid memang luar biasa banyaknya. Kami sudah semakin sulit untuk bisa sholat di lokasi favorit. Baik Lantai pertama maupun kedua sudah dipenuhi oleh jamaah. Bahkan kami menjadi terbiasa melakukan sholat dengan berjejal-jejalan. Malam ini, kami mendapat tempat Sholat Maghrib, di depan pintu Sa’i Lantai kedua. Ani dan saya mendapat tempat terpisah seperti biasa. Setelah holat Maghrib kami tidak berani bergerak meninggalkan tempat sholat, khawatir tidak kebagian tempat lagi. Tetapi karena saya ingin kentut, maka sayapun keluar dan membuang gas di tempat yang sepi di pinggir jalan. Setelah bertayamum saya mencari shaf lagi di tempat yang sama. Sayapun masih bisa mendapatkan shaf di pinggir jalan di depan Pintu Sa’i. Memasuki waktu Isya’. Jalan di sekitar masjid sudah menjadi tempat sholat. Ketika qomat Sholat Isya’ dikumandangkan, datang empat orang wanita Indonesia yang mencari shaf sholat. Karena tidak bisa mendapatkan shaf di tempat lain, mareka membuat shaf di depan (tempat sujud) saya. Jadi saya hanya kebagian ruang sholat setengah saja. Sebelum bertakbiratul ihram, saya dengan mendongkol menyuruh mareka pergi. Tetapi mareka tetap berusaha cuek dan mulai bertakbir untuk sholat di depan saya. Sayapun menyerah dan berusaha untuk ikhlas menikmati yang ada. Sayapun bertakbir dan melanjutkan sholat dengan ruku’ di punggung wanita. Ketika sujud, masalah muncul lagi dan saya terpaksa sujud di antara kaki-kaki wanita Indonesia itu. Kita memang harus sabar dan ikhlas menerima apa saja yang disuguhkan Allah di Masjidil haram ini. Tetapi benarkah hal seperti ini memang harus kita tolerir? 14-01-05, Sholat Jum’at kepanasan Tidak ada yang saya catat hari ini. Tetapi saya ingat bahwa Hari Jum’at ini adalah sholat Jum’at kedua di Mekah. Lima hari menjelang Wukuf, merupakan suasana yang semakin penuh dan sesak di Masjidil Haram. Kami berangkat Sholat Jum’at jam 11:00. Tetapi di dalam masjid sudah penuh dengan jamaah. Kami masuk memotong jalur Sa’i di Lantai pertama. Di sini jamaah yang sedang Sa’i sangat padat. Di sekitar eskalator juga sudah dipenuhi orang. Karena sebagian besar jamaah wanita, saya minta Ani untuk bergabung mencari tempat di sekitar mareka. Saya naik eskalator ke Lantai kedua. Di sekitar eskalator juga 62
Catatan perjalanan haji seorang dosen
sudah dipenuhi jamaah. Dengan perasaan menyesal datang terlambat, saya pergi ke halaman masjid. Matahari sedang terik, saya mencari lokasi yang teduh di sekitar orang-orang India. Tetapi matahari yang terus bergerak, bergerak pula terik panasnya ke tempat kami. Saya pasang sorban di kepala agar terasa lebih dingin. Tetapi lama kelamaan saya tidak tahan dengan sengatan panas matahari. Syapun berpindah mencari tempat lain yang lebih baik. Seharusnya saya menghitung kemana arah matahari bergerak dan mencari lokasi yang teduh. Saya lihat tempat yang tadinya terkena panas, ternyata sekarang sudah teduh dan tidak akan terkena panas lagi. Saya benar-benar salah perhitungan. Setelah berjalan kesana kemari kayaknya tidak ada lagi tempat teduh untuk Sholat Jum’at. Sedangkan jamaah terus berdatangan. Akhirnya saya putuskan untuk itsiqomah di sebelah kiri seorang jamaah negro, karena suara Adzan sudah terdengar. Saya tetap memasang sorban di atas kepala untuk mengurangi panas matahari. Baru saya sadari bahwa di sebelah kiri saya ternyata seorang gadis cantik bercadar hitam. Khotbah Jum’at hari ini tentang materi haji. Sayang sekali saya tidak banyak mengerti. Seharusnya kita memang mempersiapkan kemampuan memahami Bahasa Arab agar ibadah haji kita lebih nikmat dan mengesankan. Selesai sholat saya langsung mencari istri di sekitar eskalator Lantai pertama. Sebelum beranjak saya sempat melihat gadis bercadar hitam tersingkap kainnya sehingga tampak betisnya yang putih dan berbulu lebat. Tanggal 15-01-05. Sholat di ruang bawah tanah. Jamaah haji yang datang ke Mekah setiap hari semakin membuat Masjidil Haram terasa tidak muat. Kalau kita datang ke masjid satu jam sebelum adzan, kita tidak mungkin lagi bisa mendapatkan tempat di dalam masjid tanpa mengganggu orang lain. Pagi ini kami sudah terlambat berangkat ke masjid, sehingga kami sudah siap nantinya akan Sholat Subuh di halaman. Beruntung kami bertemu dengan Pak Muchtadi, Kepala SMUK 5 Mataram, jamaah KBIH Darul Falah. Pak Muchtadi, yang anaknya teman sekelas anak kedua kami, menanyakan apakah kami sudah pernah mencoba sholat di basement . Karena kami belum pernah mengalaminya, kami tertarik untuk mengikuti beliau mencari jalan ke basement. Di halaman masjid, jamaah sudah penuh. Kalau kami tidak pergi bersama dengan Pak Muchtadi, kami akan memutuskan sholat di halaman yang dekat dengan jalan. Tetapi kami mengikuti beliau saja. Lewat halaman di Imam Bachtiar (2005)
63
samping kiri jalur Sa’i, depan Pintu Al Fatah, kami masuk ke dalam semacam terowongan bertanda “To Haram”. Kami melewati askar penjaga untuk pemeriksaan kamera. Setelah melewati terowongan sejauh sekitar 20 meter, kami tiba di ruangan basement. Ternyata di sini ruangannya masih longgar. Padahal di halaman sudah penuh sesak. Ini pengalaman pertama kami sholat di ruang bawah tanah. Selesai sholat kami keluar melalui pintu yang berlawanan, ke arah depan. Ternyata lorong pintu tersebut menghubungkan basement dengan Lantai pertama. Jika kita ingin Tawaf setelah sholat, maka kita tinggal mencari lokasi garis start dan turun ke Lantai bawah untuk berbaur dalam lautan manusia yang sedang memuji Tuhannya. Karena sholat di basement ini sangat menarik, terutama ketika jamaah sholat sudah sangat penuh, maka kami sholat di tempat yang sama pada waktu Maghrib dan Isya’. Kekurangan sholat di sini adalah kita tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung dan udaranya yang kurang segar. Udara yang hangat di sini akan lebih cocok digunakan ketika suhu terlalu dingin untuk sholat di halaman. Tanggal 17-01-05. Melihat cahaya Ka’bah Pagi ini, jamaah sholat sudah penuh sesak. Di halaman masjid sulit mencari ruang sholat yang nyaman. Kami mendapat tempat Sholat Subuh di basement lagi, seperti kemarin. Sholat di sini lebih baik daripada sholat di halaman. Selain shafnya bisa teratur dan nyaman, setelah selesai sholat kita bisa langsung naik ke depan sekitar 15 meter ke Lantai pertama, sehingga kalau mau melakukan Tawaf tinggal mencari tempat start.
memilih memaksa orang lain menerima kita di dalam shaf sholatnya yang sudah padat. Selesai sholat Ashar, banyak jamaah keluar masjid. Mareka biasanya pergi berbelanja di pertokoan sekitar Masjidil Haram, atau hanya dudukduduk di luar menikmati suasana sore yang indah. Tetapi kami ingin mendapatkan tempat sholat yang nyaman, bisa melihat langsung Ka’bah. Istri saya mendapat tempat di Lantai pertama, sedangkan saya bisa mendapat shaf di Lantai bawah, di dekat Ka’bah. Di sebelah saya ada orang Nigeria dan Tunisia. Sambil menunggu waktu Sholat Maghrib, seperti biasa, saya melakukan sholat sunat mutlak. Ini cara i’tikaf yang paling nikmat. Sholat sunat 10 rakaat, istirahat, sholat lagi 10 rakaat, istirahat, dan berulang terus sekuatnya. Bilangan 10 rakaat saya ambil karena sholat di masjid ini pahalanya 100 ribu kali, jadi sholat sunat 10 rakaat setara dengan sholat sunat sejuta rakaat di Indonesia. Begitulah cara berpikir saya yang sederhana. Dalam menunggu satu sholat fardhu, kadang saya bisa sholat setara 5 juta rakaat. Wow, sungguh ini nikmat yang tak terhingga. Sungguh Maha Pemurah Allah yang telah mengundang kami datang kemari. Pada waktu istirahat dari sholat sunat, saya gunakan untuk berdzikir atau diselingi ngobrol dengan teman di sebelah kiri dan kanan, atau memandangi Ka’bah. Orang yang memandangi Ka’bah
Sebelum kembali ke hotel, kami mencari roti Pakistan untuk sarapan. Pagi ini istri saya pergi belanja souvenir dengan Baiyah. Saya merasa senang, karena salah satu godaan berat dalam perjalanan ini adalah mengikuti istri berbelanja. Pekerjaan yang sering terpaksa saya lakukan ini, semakin lama menjadi ganjalan yang muncul secara emosional. Hal inilah yang tidak saya inginkan. Batuk dan pilek masih merupakan sahabat dekat. Jadi pagi ini saya memutuskan untuk lebih banyak beristirahat sambil menonton Australia Open. Sorenya kami Sholat Ashar di halaman masjid. Ini karena di dalam masjid sudah penuh dengan jamaah. Sebenarnya bisa saja kami masuk masjid dan memaksakan menyelinap di antara para jamaah sholat. Banyak sekali jamaah yang melakukan hal seperti itu. Tetapi suara hati saya tidak menyukai cara demikian. Kalau kita masih bisa sholat tanpa mengganggu kenyamanan orang lain, mengapa kita harus 64
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Bersujud di depan Ka’bah merupakan salah satu kenikmatan yang tak terlupakan dari prosesi ibadah haji.
Imam Bachtiar (2005)
65
juga termasuk orang yang mendapat berkah di Masjidil Haram, selain orang yang Tawaf dan sholat.
Tanggal 18-01-05. Lebih baik menulis daripada marah dan gelisah.
Sore ini, ada pengalaman yang istimewa. Pada saat istirahat dan sedang memandangi Ka’bah, terjadi sesuatu yang paling menggetarkan dalam hidup saya. Saya melihat seberkas cahaya putih dari arah Hajar Aswad yang membuat pandangan saya terikat kuat ke sana. Saya menjadi tidak lagi menyadari kehadiran semua orang yang ada di sekeliling saya. Pikiran saya sepenuhnya terikat dan terfokus ke Ka’bah dan muncul perasaan nikmat yang luar biasa. Hati saya seolah menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah melalui cahaya dari Ka’bah tersebut.
Besok sudah akan datang waktu wukuf. Hari ini kami melakukan persiapan terakhir sebelum pergi ke Arafah. Jamaah haji sudah sangat padat sekali di Masjidil Haram. Kami datang ke masjid pukul 04:00. Tetapi kami tidak bisa mendapat tempat di dalam masjid. Kami Sholat Subuh di halaman sebelah timur masjid, ke arah terowongan ke Aziziyah. Di halaman masjid juga penuh dengan jamaah haji yang tidak tinggal di hotel. Mareka banyak yang tidur di halaman masjid di atas tikar yang mareka bawa. Dari cara bicaranya, sebagian besar mareka tampaknya berasal dari kawasan Pakistan, Afganistan, India dan Bangladesh. Sebagian dari mareka juga berasal dari benua Afrika dilihat dari warna kulitnya yang hitam.
Perasaan nikmat itu semakin besar dan meningkat terus, hingga pada suatu titik yang saya merasa tidak tahan untuk mendapat kenikmatan yang lebih besar lagi. Air mata penuh nikmat sudah mengalir sejak melihat cahaya yang mengikat jiwa tersebut. Tangisan saya sudah semakin tidak terkendali lagi. Karena sudah tidak kuat lagi dengan karunia nikmat yang ditunjukkan Allah, saya setengah berseru mengatakan berulang-kali:” Ya Allah, saya tidak sanggup lagi menerima kenikmatan ini. Saya tidak sanggup lagi menyaksikan kebesaranMu. Saya tidak sanggup lagi melihat keagunganMu”. Setelah beberapa saat, kenikmatan orgasme spiritual tersebut mulai menurun dan saya kembali sadar seperti semula. Ini adalah satu-satunya pengalaman spiritual yang irasional yang terjadi pada saya selama haji. Mungkin inilah yang terjadi pada seorang Afrika yang menangis keras sepanjang Sholat Subuh di tempat Sa’i. Beberapa saat setelah saya kembali sadar dengan keadaan sekitar, teman duduk dari Tunisia memberikan kurma. Biasanya memang ada saja orang membagikan kurma pada waktu i’tikaf di masjid. Setelah makan kurma kita bisa minum air zam-zam yang banyak tersedia di dalam masjid. Sore ini memang sore yang penuh nikmat. Kira-kira 10 menit sebelum Adzan Maghrib, teman Nigeria menunjukkan asap tebal yang tampak dari Lantai bawah masjid. Tampaknya ada kebakaran di sebuah hotel di arah ke Mina. Ada juga sebuah helikopter yang berputar-putar di sekitar lokasi munculnya asap. Setelah Sholat Isya, kami lewat maktabnya jamaah Malaysia untuk mencari nasi goreng. Nasi goreng spesial yang hanya satu riyal sangat menggoda untuk tidak dilewatkan begitu saja. Ikan teri yang dicampur di dalam nasi goreng memberikan rasa Indonesia yang membuat saya merasa di rumah. Dengan dua bungkus nasi goreng, perut saya merasa sangat tenang untuk diajak tidur.
66
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Pada waktu pulang ke hotel, kami mampir ke apotik membeli antibotik dan roti (masalla) Pakistan untuk sarapan. Antibiotik di dokter kloter sudah habis, karena itu kami harus membeli sendiri ke apotik. Bahkan, sebelum jamaah padat seperti ini kami hanya diberi antibiotik separuh dosis (5 tablet) jika kami sakit radang tenggorokan. Urusan sakit radang tenggorokan, batuk dan pilek memang menjadi urusan yang sangat biasa karena terjadi pada hampir semua jamaah haji. Seharusnya pemerintah mempunyai antisipasi yang lebih baik untuk “penyakit haji” tersebut. Semua jamaah disarankan Sholat Dzuhur dan Ashar dijamak-qoshor di dalam hotel. Itulah yang memang kami laksanakan. Kami sholat berjamaah dengan berpakaian ihram. Kami dijadwalkan berangkat dengan bus pukul 13:00. Tetapi karena bis yang akan dinaiki masih digunakan oleh kloter lain, maka kami kembali lagi ke kamar. Panitia haji seharusnya bisa memperhitungkan kapan masing-masing kloter mulai diberangkatkan. Tetapi nampaknya memang setiap tahun, pelaksanaan haji Indonesia menjadi pengalaman pertama bagi panitianya sehingga tidak ada perbaikan dari pelaksanaan tahun sebelumnya. Saya melihat bukan latihan kesabaran saja yang dituntut untuk bisa menghadapi masalah-masalah ketidakmampuan panitia, tetapi kemampuan untuk melihat semua peristiwa sebagai putih dan putih, bukan sebagai hitam dan putih. Saya pikir inilah yang menjadi salah satu latihan dalam perjalanan haji, setiap peristiwa harus dipandang sebagai putih dan putih, karena semuanya sudah merupakan ketentuan dari Allah. Dengan melihat semua kejadian sebagai putih dan putih orang bisa menjadi sabar dan ikhlas. Sebagian teman-teman heran, mengapa saya tidak ikut gelisah dan marah dengan keterlambatan bis yang hampir 6 (enam) jam. Malah saya menggunakannya untuk menulis catatan ini dan membaca buku. Saya merasa sayang, mareka tidak bisa Imam Bachtiar (2005)
67
menikmati waktu luang yang diberikan Tuhan dengan terlambatnya bis ini. Bahkan saya sempat kembali ke kamar dan tidur lagi. Kami pergi ke Arafah sekitar pukul 15:40. Setelah naik bis, kami masih menunggu bis yang lain yang belum datang. Datangnya bis ketiga ternyata sangat lama juga. Di Mina kami melihat banyak jamaah haji yang tiduran di jalan atau di bawah tol. Mareka tampaknya merupakan jamaah yang tidak ikut rombongan pemerintah. Jalanan ke Arafah sudah sangat ramai. Jalanan agak macet di dalam kota di sekitar Masjidil Haram. Begitu keluar dari terowongan perjalanan sangat lancar. Kami bertalbiyah terus di dalam bis. Talbiyah kali ini lebih mengharukan daripada talbiyah dari Bier Ali yang lalu. Sungguh menjadi tamu Allah di tanah suci ini merupakan nikmat yang tidak terkira. Akhirnya kami baru tiba di Arafah sekitar pukul 17:10. Di Arafah, Kloter 06 SUB mendapat tempat yang di pinggir jalan. Agak ke dalam terdapat tenda Kloter dari Surakarta dan Medan (Aceh). Di sini juga terjadi ketidak-beresan panitia. Tenda kami sebelumnya memang diplotkan untuk Kloter 06 SUB, dan di dalam rapat sudah ditegaskan oleh muasasah untuk tidak boleh dirubah lagi. Tetapi ketika kami mau masuk tenda, ternyata tenda jatah kami ditandai oleh kloter lain. Dengan sedih dan berat hati kami memaksakan diri untuk tidak menghiraukan tanda kloter lain di tenda kami. Kami tetap masuk tenda
yang menjadi jatah kami, walaupun ketua rombongan dan ketua kloter harus bertengkar dengan ketua kloter lain. Setelah berbagi tenda kami beristirahat sejenak sebelum mempersiapkan diri untuk sholat. Kami Sholat Maghrib dan Isya’ di dalam tenda secara berjamaah. Tetapi saya merasa aneh, ketika imam sholat tidak menjamak kedua waktu sholat tersebut. Di hotel kita disuruh menjamak-qoshor Sholat Dzuhur dan Ashar, tetapi di tenda kita disarankan tidak menjamak Sholat Maghrib dan Isya’. Saya merasa ada yang tidak benar, dan saya sholat Isya’ sendiri dijamak-qoshor dengan Sholat Maghrib. Pembagian makan malam menyisakan ganjalan di dalam hati saya, karena kurang dua kotak nasi. Bagaimana mungkin panitia haji Indonesia yang sudah lebih 20 tahun menyelenggarakan acara yang sama tidak mampu membagi nasi? Malam ini terasa sangat dingin. Kami dalam pakaian ihram, tidur di tanah beralaskan permadani yang tipis (hambal), di dalam tenda yang banyak lubang anginnya. Umumnya jamaah tidak bisa tidur nyenyak. Situasi kurang tidur ini banyak menurunkan kondisi fisik kami. Tanggal 19-01-2005. Sholat Subuh di Masjid Namirah. Saya nyaris tidak bisa tidur malam ini. Setelah jam 02:00 sudah tidak bisa tidur lagi. Banyak jamaah yang terlihat juga mengalami hal yang kurang lebih sama. Selesai Sholat Tahajud, malam hari terasa lebih dingin dan semakin sulit tidur. Setelah capek berdzikir saya ngobrol dengan Pak Basirun, yang tidur di sebelah saya. Pukul 04:00 saya dan Pak Basirun pergi ke Masjid Namirah, tempat Nabi Sholat Subuh sebelum wukuf. Kami berjalan berdua mengikuti petunjuk yang ada di dalam peta. Di dalam perjalanan kami melihat banyak jamaah yang tidak masuk rombongan pemerintah tidur di pinggir jalan, atau di taman, di dalam sleeping bag (kantung untuk tidur) mareka. Jamaah yang membawa mobil sendiri juga tidur di dalam sleeping bag di dekat mobil mareka. Kami juga bertemu dengan sekitar sepuluh orang Filipina yang mencari lokasi tenda jamaah Filipina. Sayangnya saya tidak bisa membantu mareka. Setelah berjalan sekitar 30 menit kami sampai di Masjid Namirah yang tampak megah. Masjid ini terdapat di perbatasan antara Mina dan Arafah.
Jamaah haji dari Maktab 14 sedang menunggu bis menuju Arafah. Jalanan di Mekah sudah mulai macet.
68
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Di depan masjid sudah banyak sekali jamaah yang antri di depan pintu yang masih tertutup. Kami sempat berbincang-bincang dengan jamaah dari Mesir yang datang bersama seluruh keluarganya dengan mobil. Jamaah dari Turki juga tampak banyak memadati halaman masjid. Ketika saya mau mencari toilet untuk buang air kecil, saya pergi ke pos informasi di seberang jalan. Askar yang bertugas di situ ternyata tidak Imam Bachtiar (2005)
69
juga bisa berbahasa Inggris, hanya berbahasa Arab. Setelah lama menjelaskan dengan bahasa ‘tarsan’ akhirnya saya tahu jika toilet itu hanya sepuluh meter dari pos, hanya saja antriannya sangat panjang. Toilet memang menjadi bagian dari masalah jamaah haji. Saya dan Pak Basirun sholat di tempat yang terpisah. Masjid Namirah yang megah ternyata di dalamnya kurang bersih. Bahkan saya melihat sebagian jamaah dan askar berseragam tentara yang masuk ke dalam masjid dengan bersepatu. Hal inilah yang membuat masjid menjadi kurang bersih. Selesai sholat kami langsung pulang ke tenda Maktab 14. Dalam perjalanan kami bisa mendapatkan toilet yang kosong, tidak ada antrian. Kamipun bisa menggunakan toilet tanpa mendengar gedoran di pintu. Sarapan pagi ini juga menyisakan masalah yang sama, ada jamaah yang tidak kebagian nasi catering. Kinerja panitia haji kita memang tidak menarik untuk dibicarakan. Setelah sarapan kami berfoto di sekitar tenda dan beristirahat. Tetapi suara helikopter yang banyak berputar di atas, membuat suara bising yang mengganggu. Khutbah wukuf dimulai pukul 12:00. Khotbahnya sangat menarik. Saya sangat terharu mendengar khotbah wukuf dan menangis. Sayangnya khotbah tersebut terasa terlalu pendek. Pukul 12:20 jamaah sudah mau mulai Sholat Dzuhur yang akan dijamak Taqdim dengan Ashar. Tetapi karena belum masuk waktu, saya mengusulkan untuk menunda sholat barang sepuluh menit. Tetapi usulan saya tidak bisa disetujui. Karena merasa kurang yakin dengan cara yang ditempuh imam, saya keluar tenda. Ternyata TGH Mustiadi, Ponpes Darul Falah, juga keluar tenda yang diiukuti oleh jamaah KBIH-nya. Mareka pergi ke tenda mareka sendiri. Sayapun mengikuti jamaah Darul Falah dan Sholat Dzuhur-Ashar dijamak-qoshor. Kami berangkulan dan bertangis-tangisan setelah selesai sholat dan dzikir. Setelah kembali ke tenda, saya melanjutkan berdzikir dan berdo’a sendiri. Pada waktu wukuf ini, Allah membanggakan para jamaah haji di hadapan para malaikatnya. Karena itu kita banyak berdo’a dan berdzikir. “Ya Allah, masukkanlah aku ke dalam golongan jamaah yang Engkau banggakan di hadapan para malaikatMu pada hari ini”. Ketika wukuf, kita memang mudah untuk merasa begitu dekat dan ‘berkomunikasi’ dengan Allah. Ketika merasa capek, saya mencoba untuk beristirahat dengan tidurtiduran. Wukuf di Arafah memang melelahkan, terutama karena kurang tidur malam sebelumnya. Toiletpun antriannya panjang, sehingga saya tidak mandi selama di Arafah. Kami Sholat Maghrib dan Isya dijamak-qoshor di Arafah. Kami segera makan malam karena bis ke Arafah akan segera tiba sekitar pukul 19:00. 70
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Pagi hari sebelum wukuf, kami menyempatkan diri berfoto di depan tenda kami di Arafah.
Ternyata jadwal bis kali inipun molor seperti biasanya. Sayangnya ketika saya sedang ke toilet, bisnya datang dan rombongan saya masuk semua ke bis. Ketika saya kembali dari toilet, tidak ada orang lagi di dalam tenda, termasuk istri saya. Setelah panggil-panggil istri di sekitar tenda dan tidak ada jawaban, saya putuskan untuk masuk ke salah satu bis Maktab 14 dengan asumsi istri saya sudah pergi bersama rombongan. Tiba di Muzdalifah sekitar pukul 21:00. Saya langsung mencari istri satusatunya, tetapi semua teman yang ditanya bilang tidak di dalam bis mareka. Pikiran saya mulai resah, saya berdo’a semoga istri saya ikut bis yang belakangan datang. Setelah menunggu sekitar lima bis yang datang dari Maktab 14, saya lihat istri saya turun dari bis sedang menangis. Alhamdulilah, kami akhirnya bersatu kembali. Jika ada pasangan atau teman yang tertinggal, paling aman adalah tetap bersama rombongan. Karena pasangan atau teman yang hilang akan mencari rombongan. Di terminal Muzdalifah yang luas saya menemukan plastik alas duduk. Langsung saya taruh tas dan rebahan (leyeh-leyeh Jawa, begelak-gelak Sasak) di situ. Saya harus menghemat tenaga karena tidur saya kurang satu jam sejak kemarin. Walaupun di terminal ini tidak bisa tidur, tetapi Imam Bachtiar (2005)
71
Tanggal 20-01-2005. Sulit tidur di tenda modern. Tiba di Mina dalam suasana ngantuk sekali, sekitar 04:30. Kami langsung menuju tenda modern yang telah disiapkan untuk masing-masing kloter. Kami mendapat tenda di Sektor 5/97, di sebelah kiri masjid. Saya Sholat Subuh di masjid bersama dengan Pak Syahri. Setelah kembali ke tenda langsung saya mau tidur. Sebagian teman mengajak melempar Jumrah Aqabah, karena di televisi Maktab 14 yang memonitor situasi pelemparan jumrah menunjukkan kondisi yang sepi. Tetapi rasa mengantuk yang berat dengan kondisi fisik saya yang melemah membuat saya memutuskan untuk melempar sore hari, sesuai dengan jadwal yang ditetapkan pemerintah. Tenda yang modern dan ber-AC di Mina tidak bisa membuat tidur saya nyenyak. Banyaknya orang yang berlalu lalang di dekat tenda, dan ramainya orang memperbincangkan pelemparan jumrah membuat tidur saya masih juga terganggu. Ketika makan siang, badan saya masih terasa lemah sekali karena kurang tidur. Mengambil kerikil di Muzdalifah. Di udara yang dingin dan angin yang kencang, sebaiknya jamaah tidur-tiduran (begelak-gelak, Sasak; leyehleyeh, Jawa) untuk menghemat tenaga.
posisi berbaring dan mata terpejam bisa memulihkan tenaga yang semakin lemah. Di sebelah kami, ternyata ada Pak Afifuddin (mantan dosen FKIP) yang membawa istri dan dua anaknya. Dari terminal Muzdalifah kita bisa melihat tanah Arab yang bertaburan cahaya lampu. Dari Muzdalifah hingga Mina tampak lampu jalan dan perkemahan yang gemerlap. Posisi terminal yang miring ke arah Mina membuat pemandangan langka tersebut menarik untuk dinikmati. Di terminal ini, banyak angin berhembus membawa dingin. Debu juga bertebaran yang bisa terlihat dari pembiasan cahaya oleh partikel yang terekam di kamera. Jika kita kurang istirahat, akan mudah sekali kena penyakit. Apalagi ternyata mabit di sini berlangsung sangat lama, lebih dari 6 jam. Kami berangkat ke Mina pukul 04:00. Antri masuk ke dalam bis juga merupakan perjuangan tersendiri. Setelah kita dipanggil untuk berdiri antri menunggu bis selama sekitar 2 jam, kita harus berebut lagi untuk masuk ke dalam bis. Ada seorang jamaah yang meninggal setelah berebut naik bis dan duduk di dalamnya. Almarhum meninggal sebelum bis berangkat. Kami sendiri tidak bisa masuk ke bis tersebut, dan terpaksa mengambil bis yang setelahnya.
Setelah Sholat Ashar, kami berombongan pergi ke Jumrah Aqabah. Di sepanjang jalan kami melihat banyak rombongan jamaah melakukan hal yang sama. Karena itu semakin mendekati jumrah, jamaah semakin padat. Rombongan kami kadang mengikuti dan bergabung dengan rombongan jamaah Iran, agar kami terhindar dari benturan dengan rombongan lain. Dalam perjalanan ke jumrah ini saya bertemu dengan Pak Mahrus, dosen Biologi FKIP Unram, rekan saya seprofesi. Badan saya yang masih lemah terasa berkeringat dingin. Apalagi mengingat banyak peristiwa yang memakan korban jiwa pada hari pelemparan pertama di masa lalu. Dengan banyak berdo’a agar diberi kekuatan akhirnya kami sampai juga ke lokasi jumrah. Kami memilih melempar di lantai bawah, karena di lantai atas tampak dari jauh sangat padat. Jumrah Aqabah merupakan jumrah yang ketiga kalau berjalan dari Mina. Alhamdulillah, pelemparan jumrah bisa kami laksanakan dengan selamat. Semua terharu dan menangis ketika membaca do’a habis melempar jumrah. Kami langsung bercukur sebagai tahalul akhir. Kami sempat juga mengambil beberapa foto kenang-kenangan. Termasuk di antaranya foto Pak Lalu Suparta, guru anak kedua saya di SDN 44 Ampenan. Saya bercukur gundul di sebuah kedai cukur, termasuk menggunduli jenggot dan kumis saya. Pak Nanang dari Bappeda Lombok Barat juga menggunduli rambutnya sehingga mirip sekali dengan bintang cilik Bobo Ho di film mandarin. Dalam perjalanan pulang, rombongan kami terpecah-pecah. Semua orang berjalan sesuai dengan kebutuhan dan kecepatan masing-masing. Dalam
72
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Imam Bachtiar (2005)
73
mencari angkutan ke Mekah berdiri di tengah jalan menawar angkutan yang lewat. Pada awalnya angkutan yang saya temui memberi tarif yang sangat mahal, SR 30 per orang. Setelah sekitar 5-7 kendaraan kami tawar, kami mendapat tarif SR 15 per orang. Kami tiba di Masjidl Haram pukul 04:30. Teman-teman langsung melaksanakan Tawaf. Sedangkan saya dan istri, yang terpisah karena ke toilet, beristirahat dulu untuk Sholat Tahajut, Hajat dan Witir. Kami berdua baru melaksanakan Tawaf Ifadah setelah Sholat Subuh. Tawaf Ifadah membawa kenikmatan tersendiri dibandingkan Tawaf sunat yang pernah kami lakukan. Karena padatnya jamaah yang melaksanakan Tawaf setelah Subuh, Tawaf kali ini berjalan sangat lambat dan berat. Kami harus bergoyang ke kiri dan kanan terdorong oleh gerakan manusia entah dimana. Selesai Tawaf Ifadah, kami minum air zam-zam yang terasa nikmat sekali. Badan yang terhimpit lautan jamaah selama sekitar 90 menit masih terasa pegal. Tetapi perjalanan Sa’i harus dibereskan pagi ini juga, agar semua rukun haji bisa diselesaikan.
Saya menggundul rambut ketika tahalul awal. Latar belakang adalah kios-kios pemotongan (penggundulan) rambut di Mina.
kondisi badan yang lemah saya baru menyadari bahwa saya hanya berjalan dengan istri, terpisah dari pasangan Pak Nasir dan Pak Nanang yang bersama kami ketika menggundul rambut. Ketika kami bertanya kepada askar, malah kami tersesat ke perkemahan India dan Pakistan. Setelah bertanya pada beberapa orang jamaah di jalan sambil mempelajari peta, kami bisa kembali ke tenda setelah pukul 19:00. Saya segera makan malam, mandi, sholat dan tidur. Sebelum tidur kami merencanakan untuk pergi ke Mekah besok dini hari agar bisa melaksanakan sisa rukun haji, yaitu Tawaf Ifadah dan Sa’i. Saya tidur dengan nyaman sekali, tetapi sayangnya harus bangun lagi pukul 02:00. 21-01-05. Tawaf Ifadah, hampir terkena dam karena terlambat mabit. Saya bangun jam 02:00. Setelah makan roti-roti sisa dan minum teh, kami berangkat mencari angkutan kota yang akan ke Mekah. Rombongan kami terdiri dari 10 orang (5 pasangan), yaitu keluarga saya sendiri, Keluarga Syahri, Keluarga Edy Achmad, Keluarga Meidiawarman dan Keluarga Basirun. Saya yang sebagai juru bicara 74
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Kamipun menuju bukit Sofa yang sudah penuh sesak. Dengan susah payah dan membuang energi yang besar kami bisa menginjak batu dan berdoa menghadap Ka’bah mengawali proses perjalanan Sa’i. Perjalanan Sa’i masih tetap mengharukan walaupun jalur Sa’i sangat padat. Perjuangan Sa’i terasa berat ketika berbelok di Bukit Sofa. Di sini semua orang berdesakan, jamaah yang baru masuk yang semakin banyak, dan jamaah yang berdo’a sebelum berputar lagi ke arah Marwah. Istri saya sempat hampir terlepas dari pegangan. Karena saya harus berjalan mundur untuk mempertahankan pegangan kami, kaki saya kena tendang dan terinjak jamaah lain. Suasana itu sangat menakutkan, jikalau saja saya terjatuh tentu tidak bisa menghindari injakan kaki jamaah lain ke badan saya. Sambil berjalan pincang kami teruskan perjalanan Sa’i. Alhamdulillah, akhirnya ibadah Sa’i sudah bisa kami selesaikan hari ini. Dengan badan yang pegal-pegal kami mencari penjual makanan untuk sarapan sambil merayakan kemenangan kami menyelesaikan rukun haji. Tetapi tidak ada restoran buka, tidak ada pedagang makanan asongan. Kami berdua akhirnya maka nasi pemberian Pak Mediawarman di hotel. Sampai di kamar, istrinya Pak Edy (Bu Enny) membawa berita duka, ayahnya telah meninggal dunia di Praya, Lombok Tengah. Sebenarnya almarhum sudah mendaftarkan diri menjadi calon jamaah haji musim depan. Tetapi ternyata Allah mempunyai rencana yang lain. Semoga almarhum diterima di sisiNya dan diampuni semua dosanya. Imam Bachtiar (2005)
75
Kami berangkat untuk sholat Jum’at di Masjidil Haram sekitar jam 11:00. Kami tidak mendapat tempat di dalam masjid lagi. Istri saya bisa mendapat tempat di dekat eskalator, sedangkan saya setelah berputar mencari tempat di dalam, terpaksa harus keluar dan duduk di halaman. Ternyata tempat duduk saya di halaman yang tadinya teduh menjadi panas karena matahari sudah bergeser. Setelah pindah kesana ke sini akhirnya saya duduk di tempat yang panas juga di jalan. Saya bertemu istri setelah sholat selesai, di depan tempat Sa’i. Kami makan siang dengan nasi sedekah yang ada di lantai bawah hotel. Setelah itu kami beristirahat tidur-tiduran di kamar Hotel al Jazeera sambil menunggu waktu Ashar. Kami Sholat Ashar di halaman Masjidil Haram biar cepat berkemas memulai perjalanan ke Mina untuk melempar jumrah. Hari ini ada tiga jumrah yang harus dilempar yaitu Ulla, Wustha dan Akabah. Perjalanan ke Mina merupakan perjalanan yang panjang. Jarak Mekah ke Mina sekitar 5-7 km. Istri Pak Basirun (Syamiah) mempunyai kaki yang berjalan agak pincang, sehingga rombongan kami berjalan lambat sekali. Banyaknya jamaah yang memadati jalan dan kadang melawan arus juga membuat perjalanan kami terhambat. Perjalanan yang sebelumnya kita targetkan 90 menit, ternyata kita masih jauh dari Mina. Banyaknya jamaah di jalan juga sangat menghambat perjalanan kami. Padahal, kami harus sudah berada di dalam wilayah Mina sebelum Maghrib (18:05). Karena itu, sebagian rombongan disuruh berjalan duluan, sedangkan Pak Basirun dan Bu Syamiah berjalan di belakang dikawal Pak Edy dan saya. Ketika Mina sudah 20 meter di depan mata, jamaah di jalan sudah sangat padat. Jika kita terlambat masuk Mina kena denda (dam) seekor kambing. Sayapun pamit memisahkan diri dari rombongan dan saya langsung memegang tangan istri untuk berjuang menembus batas Mina di tengah padatnya jamaah. Akhirnya kami bisa memasuki kawasan Mina pukul 17:40. Kami berdua menunggu anggota rombongan lainnya, tetapi hanya bisa menemukan Pak Medi dan istrinya. Jadi kami berempat menjadi rombongan kecil yang akan berjuang di tengah lautan manusia untuk melempar jumrah. Lautan manusia memang sangat padat pada senja itu. Banyak jamaah yang telah melempar kemudian tidak pergi kembali ke tenda. Mareka menunggu waktu melempar yang terakhir nanti tengah malam. Sayangnya mareka menunggu waktu itu di jalan-jalan sekitar jumrah. Hal ini mempersulit jamaah yang baru datang mau melempar jumrah seperti kami. Perjalanan hari ini yang panjang sejak dini hari juga menambah stess. Saya memang merasa telah stress secara fisik, 76
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Melempar jumrah di lantai bawah. Jumrah yang direnovasi akhir tahun 2004 berbentuk seperti tembok, sehingga lebih mudah dilempar.
sekarang merasakan stress mental melihat lautan jamaah sedang berebut melempar jumrah. Sirine ambulance terus menerus berbunyi memekakkan telinga. Dengan kondisi fisik seperti ini saya merasa tidak sanggup melindungi istri, jika terjadi benturan dengan jamaah lain. Kami berempat istirahat beberapa kali sebelum pergi menuju jumrah. Bahkan saya sempat melihat buku untuk mengetahui sebesar apa dendanya jika tidak melempar jumrah. Ternyata dendanya sangat ringan. Tetapi kami akan mencoba dulu untuk berikhtiar melempar ketiga jumrah secara langsung, biar ibadah kami lebih afdal. Setelah berjalan dengan segala macam hambatan, kami akhirnya bisa melempar jumrah dengan mudah. Ternyata lautan manusia hanya padat di jalanjalan sekitar jumrah. Sedangkan di sekeliling jumrah, jumlah jamaah tidak banyak. Kami bisa melempar ketiga jumrah dari jarak sangat dekat, 30 cm dari bibir lubang jumrah. Alhamdulillah, Tuhan selalu memberi kemudahan bagi kami. Selesai melempar jumrah saya lihat jam pukul 19:05. Kami langsung mengayunkan langkah pulang menuju tenda di Mina. Tetapi lautan manusia yang sangat padat membuat kami tidak tahu arah jalan ke tenda perkemahan Indonesia. Kami melihat ada bendera jamaah dari Imam Bachtiar (2005)
77
Aceh, kamipun langsung bergabung dengan rombongan mareka. Setelah kami ikuti ternyata rombongan ini berputar-putar saja kehilangan arah. Kami berempat akhirnya memutuskan keluar dari rombongan yang sama bingungnya ini. Pak Meidi sempat mencoba bertanya kepada dua askar yang berpakaian tentara. Sebelum menjawab kedua askar minta rokok Indonesia. Ternyata jawaban mareka hanya bilang tidak tahu lokasi perkemahan Indonesia. Syukur, ada seorang petugas Malaysia di dekat tentara. Petugas haji Malaysia inilah yang menunjukkan arah jalan ke perkemahan kepada kami. Setelah berjalan beberapa lama, saya merasa lelah sekali dan minta beristirahat di dekat mulut terowongan. Di balik terowongan itulah tempat perkemahan jamaah Indonesia. Kami baru sampai ke perkemahan Maktab 14 pada pukul 20:30. Badan terasa letih sekali dengan perut yang kelaparan. Pak Basirun ternyata belum kembali ke tenda. Mareka berpisah dengan Pak Edy sekitar pukul 19:00 di dekat jumrah. Semua menjadi resah, khawatir Pak Basirun dan istrinya bisa menjadi salah satu korban kecelakaan di jumrah pada
hari itu. Apalagi Ketua Kloter juga percaya pada berita, bahwa ada 80 jamaah Indonesia yang meninggal kecelakaan di pelemparan jumrah. Setelah berdiskusi panjang lebar tentang bagaimana membantu menemukan Pak Bairun dan istrinya, kami sepakat untuk membaca AlFatihah untuk keduanya. Pak Mastur yang menjadi pemimpin bacaan AlFatihah. Begitu kami selesai membacakan Al-fatihah yang ketiga untuk teman yang hilang tersebut, mareka berdua muncul dari pintu tenda. Kami semua terkejut dengan ’kebetulan’ yang menyenangkan ini. Setelah masuk ke dalam tenda, Bu Syamiah langsung mengeluh kecapekan dan terus tidak sadarkan diri. Dokter kloter yang kami pangil segera bisa menyadarkan beliau. Hari ini memang penuh kenikmatan dan kejutan. Walaupun saya sangat kelelahan tetapi saya bisa tidur dengan tersenyum bahagia. Alhamdulillah. Tanggal 22-01-05. Melempar jumrah di lantai atas, ibadah haji sudah selesai. Kami ingin mengambil nafar awal, artinya malam hari yang baru lewat adalah hari mabit terakhir kami. Hari ini kami akan kembali ke Mekah bersama rombongan bis setelah pukul sebelas. Kewajiban haji kami tinggal satu, yaitu melempar tiga jumrah seperti tadi malam. Kami bangun sekitar pukul 03:00. Kamar mandi sedang sepi, jadi saya bisa mandi dan buang air dengan nyaman. Sayang, kamar mandinya semakin kotor saja. Kami berangkat ke lokasi jumrah sebelum Subuh. Kami mendengar Adzan Subuh setelah melewati terowongan. Kami langsung menepi bergabung dengan jamaah haji lain yang sholat berjamaah di tepi jalan. Jamaah Sholat Subuh yang saya ikui berasal dari Kloter Jawa Barat. Selesai sholat, kami langsung meneruskan perjalanan menuju jumrah yang sekitar 15 menit lagi. Kami mencoba ke lantai atas, karena ingin mendapatkan pengalaman yang lain. Tengah. Alhamdulillah, di lantai atas masih sepi sehingga kami bisa dengan mudah menempelkan badan ke bibir lubang jumrah. Ketika kami mulai melempar jumrah pertama, Jumrah Ula’, suara petir bergemuruh di kejauhan. Tetesan air hujan juga turun sebagai awal gerimis. Kami bertiga (Ani, Baiyah dan saya) terpisah dari teman yang lain (Pak Syahri dan Pak Edy). Pak Syahri dan istrinya langsung pergi berjalan kaki ke Mekah sehabis melempar jumrah.
Bersama istri di Mina. Pergi haji bersama keluarga bisa memberikan kebahagiaan ganda dibandingkan pergi sendiri.
78
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Setelah selesai melempar ketiga jumrah, kami sujud syukur di sebelah barat Jumrah Akabah. Kami bertiga juga sempat membuat beberapa foto, setelah ijin kepada tentara penjaga. Petir semakin sering muncul, Imam Bachtiar (2005)
79
kami lalu bergegas berjalan kembali ke tenda. Di tengah jalan berkalikali gerimis atau hujan yang datang dan pergi. Langit memang tampak berat dengan mendung yang tebal.
Pagi terakhir di Mina, setelah melempar jumrah yang merupakan prosesi ibadah haji kami yang terakhir. Latar belakang adalah Jumrah Akabah.
Setelah pulang kembali ke tenda, kami sarapan dengan perasaan yang sangat nyaman. Seluruh rukun dan wajib haji telah kami laksanakan dengan lengkap dan Insya Allah sempurna. Sungguh Allah telah memudahkan perjalanan haji kami. Pak Nasir dan kawan-kawan lainnya baru berangkat melempar jumrah pada pukul 08:30, ketika kami sedang sarapan pagi. Teman-teman kelompoknya Pak Nasir memang berniat nafar sani, sehingga mareka akan mabit di Mina semalam lagi. Pukul 10:30 ternyata bis sudah siap di depan Maktab 14. Kami bergegas untuk berebutan naik bis kembali ke Hotel al Jazeera. Di sepanjang jalan tampak hujan gerimis datang dan pergi. Kami kepikiran dengan cucian yang dijemur di Lantai 13 sejak kemarin siang. Begitu kembali ke kamar, saya dan istri langsung ke atas mengambil cucian yang tentunya sudah basah lagi. Di atas hotel, angin bertiup sangat kencang. Banyak cucian yang berterbangan. Jauh lebih kencang dari hari-hari sebelumnya. Di dalam kamar yang tertutup rapat karena ber-AC, suara deru angin masih terdengar mengerikan. Dari jendela kami bisa melihat gelapnya langit di luar. Bahkan lampu-lampu jalan sudah menyala seolah malam hari telah tiba, padahal saat itu belum Dzuhur. Kami mau Sholat Dzuhur di Masjid Jin, tetapi hujan turun dengan deras. Jadi kami sholat bersama di Lantai 8, di depan kamar hotel. Karena kelelahan yang sangat dan merasakan nikmatnya selesai semua rukun dan wajib haji, saya tertidur sangat pulas. Pukul 15:00 saya berkemas mau Sholat Ashar di Masjidil Haram. Istri dan kawan-kawan yang lain masih tertidur pulas. Ketika sampai ke lantai bawah, saya keheranan banyaknya orang yang berteduh di lobi hotel. Hujan deras belum terhenti. Di luar hotel, terlihat banyak jamaah haji yang berjalan kedinginan diguyur hujan. Tampaknya mareka baru kembali dari Mina membawa barang-barang bawaan haji. Lantai di Masjid Jin rata dengan air yang mengalir di jalanan. Jalan di depan hotel yang miring ke arah Masjidil Haram bisa terendam air hingga hampir 40 cm. Bagaimana ya dengan Ka’bah yang terletak di lembah paling bawah di Kota Mekah? Melihat banjir yang tampak tidak biasa, saya kembali naik ke kamar untuk mengambil payung dan kamera. Saya sempat memotret suasana banjir beberapa kali, sebelum kembali lagi ke atas untuk Sholat Ashar. Sampai Maghrib, hujan masih turun walaupun sudah berkurang. Masjid
80
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Jin tidak bisa digunakan untuk sholat. Kami melakukan Sholat Maghrib dan Isya’ di hotel. Tidur ketika hujan deras terasa lebih nikmat. Kamipun tertidur pulas sekitar pukul 21:00. Tetapi pukul 01:00, saya mendengar suara ketokan pintu yang keras. Ternyata suaranya Pak Mastur minta dibukakan pintu. Setelah masuk kamar Pak Mastur bercerita, bahwa tadi sore jam 17:00 Pak Nasir dan kawan-kawan yang lain membatalkan niat nafar sani mare-ka, sehingga tidak mabit semalam lagi di Mina. Pemba-talan nafar sani memang dian-jurkan oleh Panitia Haji Indonesia kare-na besarnya badai yang menerpa Mina. Cerita mareka yang batal nafar sani, tenda modern yang kokoh di Minapun bisa roboh. Bis dan kenda-raan lain banyak yang tidak bisa jalan, bahkan hanyut oleh genangan air hujan yang luar biasa besarnya. Bayangkan saja, perjalanan naik bis dari Mina ke Mekah yang pada siang hari tadi hanya 40 menit, malam ini mareka harus menempuhnya selama 480 menit (8 jam). Tanggal 23-01-2005. Hujan besar itu badai.
Imam Bachtiar (2005)
81
Pukul 03:30 kami pergi ke masjid untuk Sholat Subuh. Karena saya sakit perut, rencana tawaf sebelum Subuh dibatalkan. Sambil menunggu waktu Subuh, kami hanya Sholat Tahajud dan sholat sunat mutlak. Selesai Subuh kami langsung pulang ke hotel, tidur pagi dan sarapan. Pukul 10:00 kami, keluarga Pak Edy dan keluarga Pak Syahri akan umrah sunat bersama-sama. Kami mencari angkutan umum di depan hotel. Mareka meminta bayaran terlalu mahal. Ongkos ke Masjid Tan’im, yang biasanya SR2 per orang, ditawarkan SR 10. Tidak puas dengan harga tersebut kami pergi menyusuri jalan ke arah Masjidil Haram. Di sepanjang jalan kami sambil mencoba mencari kendaraan. Tetapi tidak ada yang mau mengantar ke Tan’im. Di terminal dekat Masjidil Haram juga tidak ada kendaraan yang mau mengantar kami, termasuk taksi. Semua kendaraan di sini hanya mau mengangkut penumpang ke Madinah atau Jedah. Bahkan saya mengacungkan selembar uang SR 50 sambil berteriakteriak “Tan’im...Tan’im”. Tidak ada sopir yang tertarik. Akhirnya rencana umrah sunat kami batalkan.
Suasana Mekah sedang banjir, tahun 2005. Gambar diambil dari depan Hotel al Jazeera.
Mendengar cerita yang menghebohkan tersebut, kami jadi tidak bisa tidur. Teringat keluarga di rumah. Biasanya berita di tanah air lebih menghebohkan daripada yang kami lihat di sini. Agar keluarga tidak kepikiran tentang nasib kami, pukul 01:30 kami berdua keluar ke wartel. Di luar jalan sangat becek, banyak lumpur terbawa hujan masih tertinggal di jalan. Di tangga penyeberangan jalan dekat Masjid Jin tampak sekitar lima wanita tua, dari Turki, yang tidur di sana bersama barang-barang bawaan mareka. Sebagian jamaah haji tidak mempunyai tempat menginap, karena tidak ikut rombongan haji resmi pemerintah, termasuk para wanita ini. Tetapi harus diakui bahwa ketahanan wanita-wanita tua dari Turki, yang wajahnya bertato ini, memang sangat mengagumkan. Pengunjung wartel lumayan ramai, banyak orang mengantri. Setelah 15 menit mengantri, istri menelepon anak-anak, tetapi Naila masih tidur sehingga Ani hanya bisa berbicara dengan Jesi. Saya juga sempat berbicara dengan Ibu (kandung) saya yang menunggui anak-anak di rumah. Pak Edy dan istrinya (Bu Enny) juga pergi ke wartel setelah kami kembali. Saya menawarkan kepada istri untuk pergi ke Masjidil Haram. Dalam suasana seperti saat ini mestinya Masjidil Haram sepi sehingga kita bisa mencium Hajar Aswad. Tetapi istri saya, yang biasanya sangat ingin mencium Hajar Aswad tetapi saya larang karena khawatir terjadi kecelakaan, takut pergi ke sana pada malam ini. 82
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Selesai Sholat Dhuhur, kami pergi lewat pintu King Fahd menuju Hotel Hilton untuk melihat-lihat souvenir yang mungkin menarik. Di lantai dua banyak orang menjual sajadah dan perhiasan. Kami juga ke Bin Dawood superstore di lantai pertama untuk membeli roti buat makan siang. Kami mencoba menikmati suasana di Mekah sebanyak mungkin karena beberapa hari lagi kami akan segera pulang. Setelah Sholat Ashar, kami kembali pulang. Warna aspal jalan yang hitam sudah berubah menjadi kecoklatan karena tertutup lumpur yang telah kering. Banyaknya sisa lumpur di jalan menyebabkan banyak debu yang membuat istri saya tidak tahan. Kami Sholat Maghrib dan Isya di Masjid Jin. Tanggal 24 dan 25 Januari 2005. Tawaf terpisah dengan istri. Saya tidak mempunyai catatan khusus pada dua hari ini. Yang tercatat bahwa kami Tawaf di Lantai ketiga setelah Sholat Subuh. Dalam dua hari ini, kami melakukan Tawaf sendiri-sendiri. Sebelumnya kami melakukan Tawaf dengan berpegangan tangan jika di Lantai tiga dan Lantai dua, atau bahu Ani saya pegangi jika Tawaf di Lantai bawah (pertama). Sekarang, kami mencoba Tawaf sendiri-sendiri untuk meningkatkan kualitas kekhusyukan Tawaf. Berdasarkan pengalaman kami, Tawaf terpisah dari pasangan membuat hati kita bisa 90% terbenam dalam pusaran energi Ka’bah. Jika Tawaf sambil berpegangan, kadang kami membicarakan ramainya orang yang sedang tawaf atau mengomentari pemandangan-pemandangan yang mengharukan.
Imam Bachtiar (2005)
83
Agar lebih aman melepas istri Tawaf sendirian, kami memilih Lantai tiga. Di tempat Tawaf tertinggi ini, jalur Tawaf memang lebih panjang daripada Lantai bawah. Tetapi jika diukur dengan waktu putaran sampai selesai, tidak banyak berbeda dengan di Lantai bawah (pertama). Kami biasanya menyelesaikan Tawaf di Lantai tiga antara 55-70 menit. Pada waktu banyak orang Tawaf seperti hari ini, Tawaf di Lantai tiga merupakan alternatif yang menarik. Pertama, kita hanya berdesakan di tempat menjelang garis Rukun Hajar Aswad. Di Lantai bawah, hari ini orang Tawaf sangat padat. Orang berdesakan dari Rukun Yamani hingga Rukun Iraqi (setelah melewati Hijir Ismail). Tawaf dalam situasi seperti ini, kita biasanya terombang-ambing oleh gerakan rombongan besar. Tidak jarang pula, kita terjepit keras yang membuat dada terasa sesak. Kedua, saya bisa melepas istri dengan aman, sehingga Tawaf bisa menjadi lebih khusyuk. Di Lantai tiga, kita mudah membuat janji bertemu setelah Tawaf. Biasanya kami janji bertemu di tempat menyimpan sadal. Tetapi kami selalu bertemu lebih awal secara tidak sengaja. Setelah sholat sunat di belakang Maqam Ibrahim, biasanya kami bertemu kembali. Setelah Sholat Subuh atau Ashar, istri saya sekarang banyak berbelanja souvenir. Saya termasuk suami yang tidak sabar mengantar istri berbelanja yang berputar-putar untuk mendapatkan perbedaan harga yang tidak berarti bagi laki-laki. Saya kira ini sebabnya saya tidak banyak membuat catatan selama dua hari ini, karena mood saya sedang jelek akibat urusan berbelanja souvenir ini. Tanggal 26-01-05. Tawaf Wada Hari ini merupakan hari terakhir kami di Mekah. Kami harus melakukan Tawaf Wada (perpisahan). Panitia Haji menyarankan untuk melakukan Tawaf Wada sebelum Dhuhur. Bis jemputan akan datang setelah Ashar. Kami pergi ke masjid sekitar pukul 05:00. Kami mencoba mendapatkan tempat sedekat mungkin dengan Ka’bah, tetapi sudah terlambat untuk bisa ke Lantai pertama. Akhirnya kami sholat di ruang bawah tanah (basement). Di ruangan ini, biasanya masih tersedia tempat walaupun di halaman masjid sudah penuh. Kayaknya tidak banyak jamaah yang mengetahui tempat ini. Karena itu, di ruangan bawah tanah ini kita bisa sholat dengan shaf yang teratur dan tidak berdesakan. Tetapi karena di sini tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung, sholat di ruang bawah tanah merupakan pilihan terakhir. Selesai Sholat Subuh kami pergi ke Lantai tiga untuk Tawaf Wada’. Seperti hari-hari sebelumnya saya dan istri melakukan Tawaf secara terpisah. Kami melakukan Tawaf sambil banyak menangis. Ini hari 84
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Suasana halaman depan Pintu King Abdul Azis setelah prosesi ibadah haji selesai. Tampak jumlah jamaah di halaman sudah tinggal sedikit.
terakhir kami di sini. Ya Allah berikanlah kemudahan kami untuk bisa kembali lagi ke masjid yang mulia ini. Setelah selesai Tawaf Wada’ ini istri saya mendapatkan pengalaman rohani seperti yang saya alami tanggal 17 Januari 2005. Dia melihat seberkas cahaya putih yang memancar dari Hajar Aswad datang ke arahnya membawa kenikmatan rohani yang tak terhingga. Alhamdulillah. Kami Sholat Dzuhur dan Ashar di Masjid Jin. Setelah Tawaf wada’, kami sudah terlarang kembali lagi ke Masjidil Haram. Suasana hati kami masih sedih dan haru, walaupun seharusnya kami bergembira karena segera kembali berjumpa keluarga. Bis yang membawa kami ke Jedah berangkat meninggalkan Mekah tepat ketika Adzan Maghrib baru berkumandang, pukul 06:06. Setelah sekitar 2 jam perjalanan, sopir bis berkata kalau dia tersesat dan tidak tahu jalan menuju Madinatul Hujaj, asrama haji di Jedah. Setelah berputar-putar tanpa arah yang jelas, saya akhirnya mencoba turun untuk membantu. Ada tiga tahapan yang harus kami lalui untuk bisa mendapatkan jalan ke Madinatul Hujaj. Pertama, kami akan menelpon ke muasasah Maktab 14, Imam Bachtiar (2005)
85
tetapi siapa yang akan berbicara sehingga memahami jalan ke Madinatul Hujaj. Rencana pertama ini saya batalkan. Kedua, bis berhenti dan kita bertanya kepada orang di jalan. Kita biarkan sopir yang bisa berbahasa Arab berkomunikasi dengan orang yang kita duga mengetahui jalan ke sana. Pilihan inipun ternyata tidak bisa menghasilkan harapan. Saya tidak tahu persis apa yang terjadi, karena tidak memahami Bahasa Arab. Ketiga, saya sendiri yang turun dan bertanya kepada orang di jalan. Karena saya hanya mampu berbahasa Inggris, jadi saya harus pilih kira-kira orang yang memahami Bahasa Inggris. Setelah dua kali saya turun menanyakan arah ke Madinatul Hujaj, akhirnya kami bisa kembali ke jalan raya yang menuju ke sana. Di jalan raya ini, kami melihat ada bis rombongan dari Jepara yang kemudian kami ikuti terus hingga ke asrama haji Madinatul Hujaj. Kawasan ini juga dikenal dengan sebutan Aziziyah. Alhamdulillah, kami sampai juga ke Madinatul Hujaj pukul 09:40.
Bab IV
Di sini banyak bis yang mengantri untuk dilayani. Di depan antrian bis ada tanda Garuda Airways yang besar. Hal ini membuat saya bertanyatanya, apakah kita telah sampai di tempat yang benar? Apakah penumpang Saudi Airline juga di sini tempat asramanya? Ketika saya ingin mendapatkan jawaban itu dari petugas keamanan atau tentara yang berjaga di sini, semuanya tidak ada yang mengerti Bahasa Inggris dan bahasa tubuh saya. Kami baru mendapatkan pelayanan kamar dan nasi kotak makan malam pukul 10:30.
Setelah perjalanan haji selesai, kami berharap bisa segera bertemu keluarga. Banyak cerita dan pengalaman yang ingin kami bagi dengan keluarga, kerabat dan sahabat. Sehingga setiap penundaan perjalanan akan merupakan waktu yang berlalu sangat lambat dan menjengkelkan. Saya sebenarnya sudah mempersiapkan mental untuk menghadapi penundaan perjalanan, sebagaimana dinasehatkan dalam ceramah manasik haji. Tetapi melihat bahwa keterlambatan itu sebenarnya mudah untuk diantisipasi dan diperbaiki, perasaan menyalahkan panitia haji tidak bisa saya hindari.
Madinatul Hujaj merupakan bangunan bekas bandara, sehingga sangat besar. Jamaah haji Indonesia mendapat beberapa gedung bekas kantor bandara yang dikelola oleh Pemerintah Indonesia. Kami tidur di satu ruangan besar yang berisi sekitar 16 tempat tidur bertingkat. Saya tidur di atas, sedangkan istri saya di bawah. Toilet di gedung ini sangat banyak dan sangat bersih. Madinatul Hujaj merupakan tempat transit yang menyenangkan. Makananpun di sini terasa sangat nikmat. Mungkin karena masih ada euforia tuntasnya ibadah haji di dalam hati kami. Semua tampak indah, semua tampak menyenangkan. Alhamdulillah.
86
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Perjalanan Pulang ke Tanah Air Perjalanan pulang ke tanah air semestinya merupakan perjalanan yang menyenangkan. Perjalanan haji yang telah banyak menguras tenaga jamaah secara habis-habisan memang telah terbayar dengan kebahagiaan spiritual. Kenikmatan spiritual setelah menyelesaikan ibadah haji akan semakin indah jika perjalanan ini bisa dilaksanakan dengan baik. Tetapi sayangnya semua itu hanya sebatas harapan dan keinginan. Kenyataannya perjalanan pulang merupakan perjalanan yang kurang menyenangka.
Tulisan di bab ini sangat singkat untuk sekedar memberikan gambaran dimana letak kesulitan dan hambatan dalam perjalanan pulang. Sebagai orang yang baru berhaji, di dalam hati kita sudah tertanam perasaan menjadi muslim yang berbeda. Kita telah berjanji untuk menjadi muslim yang lebih baik dari sebelumnya. Perjalanan pulang bisa merupakan ujian pertama akan janji-janji kita kepada Allah di Arafah atau di depan Ka’bah untuk menjadi muslim yang lebih baik. Kadangkala hal seperti ini membingungkan perasaan saya. Haruskah saya merespon pelayanan haji yang mengecewakan tanpa protes, ataukah saya harus memperjuangkan hak pelayanan yang telah dijanjikan? Haruskah saya tetap bersikap diam sebagai tanda bersabar hati, jika merasa didzolimi oleh seseorang? Dalam perjalanan SurabayaMataram, misalnya, kita merasa sudah mencarter pesawat. Tetapi ternyata perjalanan kita seolah dinomor-duakan oleh panitia dan perusahaan penerbangan.
Imam Bachtiar (2005)
87
Tanggal 27-01-2005. Ziarah keliling Jedah. Di dalam kompleks Madinatul Hujaj tersedia paket tour keliling kota Jedah. Paket wisata ziarah ini sangat populer di kalangan jamaah haji. Di sini, kesalahan informasi seperti di Asrama Haji Mataram terjadi kembali. Salah seorang Ketua kami mengatakan bahwa tiket ikut ziarah keliling Kota Jedah sebesar SR 30 per orang, padahal ketika saya menanyakan ke bagian informasi tadi malam, petugas mengatakan harga tiketnya SR 10 per orang. Ternyata sang Ketua kami mendapatkan informasi harga tiket dari tukang sapu yang kebetulan berasal dari Lombok. Pukul 08:00 kami bersama teman-teman pasangan keluarga Pak Edy, Pak Syahri, Pak Suparman (Fakultas Ekonomi) mendapat satu bis bersama rombongan dari Bogor dan Jakarta. Kota Jedah sangat indah. Kesan kota padang pasir yang gersang ditepis oleh Kota jedah dengan penampilan taman-taman hijau dan air mancur di banyak sudut kota. Laut Merah merupakan tujuan yang populer bagi jamaah haji dari Indonesia. Ternyata ketika kami tiba di sana, pantai di Jedah yang menghadap Laut Merah terasa seperti sebuah pantai di Indonesia. Semua pengujung di pantai ini adalah jamaah Indonesia.
Kota Jedah merupakan kota yang cantik dan bersih. Kegersangan Saudi Arabia tidak terasa di kota ini. Banyak dijumpai taman yang hijau dengan bunga-bunga indah.
88
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Pantai di Jedah ini seakan milik Indonesia karena tidak ada jamaah lain yang mengunjunginya selain jamaah haji Indonesia. Laut di latar belakang adalah Laut Merah.
Penjual makanan yang ada juga berasal dari Indonesia. Tidak terlihat seorangpun dari negara lain yang sedang berpesiar di pantai yang kami kunjungi. Pantainya berbatu dengan pandangan lepas ke lautan yang biru. Yang membedakan dengan Indonesia adalah kebersihan laut, demikian juga kebersihan pantainya. Tujuan ziarah lain yang menarik adalah Makam Siti Hawa. Sayangnya bis kami tidak berhenti di makam tersebut. Kata si sopir, kami tidak bisa masuk ke dalam makam. Jadinya kami hanya dianjurkan membaca Surat Al Fatihah untuk wanita pertama di dunia tersebut. Sebenarnya, apa artinya ziarah ke Makam Siti Hawa kalau hanya sekedar lewat di depan makam. Inilah Jedah. Ada yang menarik di dalam kamar di Madinatul Hujaj. Selama sehari penuh banyak teman yang kebingungan untuk membawa barang yang kelebihan. Umumnya mareka membawa kelebihan air zam-zam. Walaupun sudah disiapkan air zam-zam oleh-oleh dari panitia haji, dan tambahan sebotol besar oleh-oleh dari King Fahd, sebagian besar jamaah masih merasa kekurangan. Imam Bachtiar (2005)
89
Sekitar 10 jam, teman-teman yang merasa bermasalah dengan barang bawaan air tersebut membicarakan strategi agar bisa lolos dari pemeriksaan petugas di bandara King Abdul Aziz (KAA). Ada yang mencoba menyembunyikan air di bekas botol minuman kemasan 600 ml dan memasukkannya dalam rompi. Ada yang mengikat botol air di bawah jaketnya. Seribu satu cara mareka gunakan dan praktekan selama seharian. Bahkan dua jam sebelum berangkat, mareka masih saja berdiskusi masalah ini. Saya pikir kalau kita diberi jatah air zam-zam masing-masing jamaah 20 liter, akan tetap saja ada yang merasa kekurangan. Kami Sholat Dzuhur dan Ashar di masjid yang ada di kompleks Madinatul Hujaj. Masjidnya lumayan luas, tetapi sebagian jamaah lebih memilih sholat berjamaah di dalam kamar. Setelah Sholat Ashar, ada ceramah dari kiai terkenal Aa Gym. Jamaah masjid menjadi sangat penuh. Saya mendapat shaf Sholat Ashar di belakang imam, sehingga dekat dengan Aa Gym. Selesai berceramah Aa Gym diserbu jamaah, terutama ibu-ibu. Istri saya dan Bu Maryam termasuk yang mengejar kesempatan bersalaman dengan Aa Gym. Dua pesan AA Gym yang bisa saya ingat: seorang yang sudah berhaji harus lebih baik ibadahnya, dan lebih baik lisannya. Pukul 21:00 jamaah Kloter 06 SUB kami sudah siap ke bandara. Setelah menunggu antrian kendaraan selama satu jam, kamipun berangkat dengan bis yang telah diatur per rombongan. Pemeriksaan di bandara yang dimulai pukul 11:00 baru bisa selesai setelah pukul 12:45. Tanggal 28-01-2005, Pesawatpun akhirnya berangkat juga Kondisi di Bandara KAA tidak sebaik yang kita bayangkan dari luar bandara. Tampaknya ruang tunggu ini merupakan bangunan lama yang akan direnovasi. Rasanya aneh, bandara ini sangat indah dilihat dari luar dan tampak baru. Tetapi begitu kita melewati pemeriksaan imigrasi, kita memasuki gedung tua yang tidak terawat. Toilet yang tidak standar internasional, dan air yang menetes dari lantai atas membuat sebagian kami menggeleng-gelengkan kepala. Mengapa Arab Saudi yang kaya raya membiarkan ‘wajahnya’ tidak menarik di depan tamu hajinya? Pukul 04:00 panggilan boarding untuk Kloter 06 SUB sudah dikumandangkan. Kamipun masuk ke pesawat dengan senang hati. Tetapi sekarang tidak berlaku nomor duduk lagi, siapa yang masuk duluan boleh memilih tempat duduk sesuka hati mareka. Ini mengecewakan regu kami, karena kami semestinya mendapat tempat duduk di pinggir jendela harus ikhlas menduduki tempat di bagian tengah.
90
Catatan perjalanan haji seorang dosen
Jadwal boarding ini sebenarnya sudah terlambat dua jam. Tetapi setelah kami semua masuk pesawat, ternyata pesawat tidak juga berangkat. Padahal semua jamaah sudah tidak sabar untuk segera terbang menemui keluarga yang menunggu di rumah. Ternyata konon koper jamaah haji baru dimasukkan ke dalam pesawat. Jadi pemberangkatan ke tanah air tertunda dua jam lagi. Jadinya pesawat take off sekitar pukul 06:00 pagi. Semalaman kami di bandara tanpa tidur. Perjalanan pulang di pesawat tidak seperti ketika berangkat. Sebagian besar jamaah sudah kelelahan. Kami hanya ingat tidur, makan dan ke toilet. Tidak ada yang berjalan-jalan keliling lagi. Pada penerbangan pulang ini diputarkan video manasik haji. “Masya Allah, ini sudah terlambat sekali Bung”, itu yang ingin saya katakan kepada awak pesawat. Tetapi saya memilih diam karena tidak mempunyai kalimat yang manis untuk didengar orang. Setelah terbang 8 jam kami tiba di Bandara Juanda, Surabaya, sekitar pukul 23:00. Di ruang tunggu Surabaya ada pengumuman bahwa pesawat Lion Air yang akan membawa kami ke Mataram belum ada, karena sedang diterbangkan entah kemana. Kamipun mencoba untuk menunggu dengan ikhlas. Kami baru sampai di Bandara Selaparang pukul 02:00 pagi (29 Januari 2005). Dengan bis seluruh jamaah pergi ke Asrama Haji. Di Asrama Haji sudah menunggu kedua anak kami, Bapak (AnwarSingaraja), Ibu (Sri Utami-Jombang), dan Paklik Agus Ramdani. Ada upacara penyambutan kecil di Asrama Haji, yang diselenggarakan oleh panitia. Tetapi upacara ini hampir tidak terasa karena semua jamaah sibuk berkomunikasi dengan kerabat yang menjemputnya. Acara yang sia-sia ini berlangsung lebih dari 30 menit. Kalau saja ada jalan keluar dari ruangan itu, saya lebih suka melompat jendela dan pergi menemui keluarga di luar. Kami singgah di Masjid al-Achwan Maghfurullah, Griya Pagutan Indah, untuk sholat sunat dan sujud syukur, sebelum masuk ke rumah. Di rumah sudah ada Bulik Aliyah yang siap dengan nasi rawon. Alhamdulillah, kami semua akhirnya kembali ke rumah dengan selamat. Kalau mengingat banyaknya kemudahan dalam perjalanan ini yang telah diberikan oleh Allah Yang Maha Pemurah, kami masih sering terharu ingin menangis. Maha Suci Allah.
Imam Bachtiar (2005)
91
Dibuang sayang Setiap muslim selalu mengatakan ingin menunaikan ibadah haji. Tetapi hanya sedikit dari mareka yang mempunyai rencana riil untuk memenuhi undangan Allah yang disampaikan melalui Nabi Ibrahim tersebut. Jika seorang muslim ditanya tentang apa yang sudah dan akan dilakukan untuk bisa menunaikan ibadah haji, biasanya mareka menjawab belum ada. Hal seperti di atas juga pernah penulis alami. Suatu siang penulis mengantar ayah mertua mengunjungi seorang saudara. Dalam perjalanan beliau bertanya: “Apakah nak Imam ingin pergi haji?”. Pertanyaan yang saya anggap iseng tersebut juga saya jawab sekenanya saja, “ Ya tentu saja Pak. Setiap muslim ingin pergi haji di suatu saat nanti”. Beliau kemudian bercerita tentang banyak pengalaman yang tidak rasional berhubungan dengan ibadah haji. Beliau bercerita pula tentang pesan Mbah Haji (kakek, ayah dari mertua) almarhum kepada beliau, “Anwar, kalau kau ingin berhaji kau harus menabung khusus untuk keperluan itu. Insya Allah, nanti uang tabunganmu akan memanggil teman-temannya sehingga kau mempunyai bekal yang cukup untuk berhaji”. Mertua saya telah membuktikan kebenaran pesan Mbah Haji tersebut. Banyak sahabat dekat beliau yang juga membuktikannya. Kini giliran kami berdua, anak beliau, membuktikan pesan Mbah Haji yang tidak masuk akal. Tetapi pesan tersebut akan sangat masuk akal jika dikaitkan dengan salah satu firman Allah, bahwa jika kita berjalan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka Allah akan berlari mendekati kita. Sesungguhnya Allah sangat dekat dengan kita, dan selalu menepati janjiNya. Sebagian besar biaya perjalanan haji kami berasal dari honor saya sebagai konsultan di Proyek Co-Fish, sebuah proyek di bidang perikanan tangkap. Kontrak saya awalnya hanya tiga bulan, yang kemudian diperpanjang enam bulan beberapa kali, dan kemudian diperpanjang setahun, hingga total kontrak sekitar 4,5 tahun. Sebagian dari honor bulanan ditabung di rekening khusus untuk haji, sebagian besar lainnya disimpan di tabungan umum yang kami gunakan untuk memperbaiki kendaraan dan rumah. Alhamdulillah semuanya bisa berjalan dengan sangat baik. Sebelum berangkat haji, penulis telah membaca sedikitnya 8 (delapan) buku yang berkaitan dengan manasik haji. Salah satu buku yang dibacanya berulangkali adalah “Buku Pintar Haji dan Umrah” karangan Iwan Gayo (2003). Penulis juga sempat dua kali mengikuti pengajian khusus tentang manasik haji yang dilaksanakan oleh jamaah Regu 15 (dimana kami bergabung di dalamnya). Pengajian yang dibimbing oleh Ustad H. Busaini sebenarnya berlangsung sekitar enam kali di rumah Pak Edy Achmad. Tetapi karena kesibukan saya di proyek, kami hanya sempat mengikutinya dua kali.
92
Catatan perjalanan haji seorang dosen