Analisis Variabel Kriteria Optimum Currency Area dan Volatilitas Nilai Tukar di ASEAN-5 Randa Silvano Bangun, Lana Soelistianingsih Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan pembentukan mata uang tunggal di ASEAN-5 dengan meneliti hubungan antara volatilitas nilai tukar dengan variabel optimum currency area (OCA) menggunakan Dollar Singapura sebagai mata uang acuan. Penelitian ini menggunakan metode Error Correction Model (ECM) dengan periode penelitian pada tahun 1975-2010. Hasil analisis penelitian ini didasari oeh variabel kriteria OCA membuktikan Dollar Singapura bukan merupakan mata uang acuan yang ideal untuk ASEAN-5, dengan Thailand dan Malaysia merupakan negara yang paling mendekati untuk membentuk mata uang tunggal dengan Singapura. Sedangkan Indonesia dan Filipina belum siap.
Optimum Currency Area Criteria and Volatility in ASEAN-5 Abstract The purpose of this research is to analyze the feasibility to form a currency union in ASEAN-5 through the investigation of how well the optimum currency area (OCA) criteria variabels could explain the exchange rate volatility by using Singapore Dollar as an anchor currency. This research uses Error Correction Model (ECM) Method with 1975-2010 research period. Based on OCA criteria, this study results show that Singapore Dollar is not suitable as anchor currency and not all ASEAN-5 countries such as Indonesia and Philipines could form currency union. Keywords: ASEAN-5; Currency Union; Exchange Rate Volatility; Error Correction Model; Optimum Currency Area
Pendahuluan ASEAN merupakan sebuah organisasi geo-politik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, dimana organisasi tersebut ditujukan untuk bergerak pada tiga pilar utama yaitu keamanan, sosio-kultural, dan integrasi ekonomi. Berdasarkan data dari Sekretartiat ASEAN, ASEAN pada tahun 2011 telah mencapai jumlah populasi secara keseluruhan sebanyak 604 juta penduduk, akumulasi PDB sebesar $2.178 triliun, dan tingkat pertumbuhan ekonomi 7.8% (2010) dan 4.7% (2011) pada saat perekonomian dunia sedang mengalami resesi, hal ini menunjukkan bahwa ASEAN merupakan kawasan yang sedang berkembang pesat dan tidak terkena dampak yang signifikan oleh shock ataupun krisis yang terjadi di luar kawasan tersebut.
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
Pertumbuhan ekonomi yang positif yang terjadi di ASEAN dibandingkan pertumbuhan perekonomian dunia sebesar 5.1% pada tahun 2010 dan 3.7% pada tahun 2011 membuat ASEAN sebagai salah satu tujuan utama investasi, terlihat dari meningkatnya aliran masuk modal asing yang meningkat dari 92 miliar US Dollar menjadi 114 miliar US Dollar pada tahun 2011. Pertumbuhan ekonomi tersebut juga mendorong interaksi perdagangan dalam region ASEAN sendiri meningkat. Ini dapat dilihat dari peningkatan intra-ASEAN trade dimana pada tahun 1990 sebesar 19.7%(ekspor) dan 15.4%(impor) menjadi 25.2%(ekspor) dan 24.5%(impor) pada tahun 2005. Menurut Plummer (2006), terjadinya intra-ASEAN trade merupakan dorongan dari pasar (market-driven), dimana ASEAN berbeda dengan Uni Eropa yang mengalami peningkatan intra-regional trade akibat dorongan dari kebijakan (policy-driven). Oleh karena itu, dengan adanya implementasi kebijakan yang mendorong terjadinya intra-regional trade dalam ASEAN, maka besaran perdagangan dalam regional niscaya juga akan mengalami peningkatan. Ini sesuai dengan teori Optimum Currency Area, dimana semakin tinggi tingkat perdagangan intra-regional maka semakin besar juga keuntungan yang akan dirasakan dari pembentukan Optimum Currency Area. Falianty (2005) mengatakan bahwa pembentukan currency union merupakan langkah terakhir dalam
kebijakan
untuk
mencapai
integrasi
ekonomi
regional.
Dengan
telah
diimplementasikannya kebijakan yang mengarah pada integrasi ekonomi di ASEAN melalui AEC maka ASEAN dapat meningkatkan integrasi ekonomi yang sudah ada melalui Optimum Currency Area (OCA). OCA yang dimaksud disini adalah kondisi dimana suatu area atau region menggunakan mata uang yang sama ataupun menganut sistem moneter yang sama. Kondisi ini berarti negara-negara yang tergabung dalam OCA tidak dapat memengaruhi exchange rate sebagai alat ataupun kebijakan moneter untuk mempertahankan keseimbangan perekonomian dari asymmetric shock, dengan kata lain dapat dikatakan negara-negara tersebut tidak lagi memiliki independensi moneter. Meskipun tidak memiliki independensi moneter, menurut Rose (2000) negara yang menggunakan mata uang yang sama akan berdagang tiga kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak, maka jika ASEAN dapat dan sesuai dengan kriteria OCA untuk membentuk currency union maka dapat mendorong tumbuhnya perekonomian. Kebijakan integrasi moneter tentu memiliki keuntungan dan juga kerugian. Keuntungan yang dapat dirasakan diantaranya adalah hilangnya exchange rate risk antar negara-negara yang tergabung didalamnya sehingga menurunkan transaction cost. Kedua adalah semakin transparan dan luas akses terhadap pasar uang, dimana meningkatkan akses terhadap pembiayaan dari eksternal. Ketiga adalah meningkatkan daya tahan negara tersebut terhadap manipulasi mata uang oleh negara-negara lain diluar currency union tersebut. Tetapi disisi lain dengan
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
diimplementasikannya currency union, maka juga ada cost-nya. Kerugian dari diterapkannya penyatuan mata uang tersebut diantara lain adalah biaya pertukaran mata uang menjadi mata uang bersama, dimana besarannya bervariasi dan sudah merupakan gabungan dari administrative cost, legal cost, psychological cost, dan biaya lainnya. Selain itu melalui penerapan integrasi moneter berarti negara yang tergabung didalamnya akan kehilangan hak dalam menentukan moneter policy untuk kepentingan negara itu sendiri, dimana fungsi pengambil kebijakan moneter akan diambil alih oleh Bank Sentral gabungan. Yang ketiga adalah kerugian akibat dari adanya eksternalitas negatif. Dimana ketika ada salah satu negara yang mengalami defisit anggaran yang tidak dapat terkontrol maka dapat berdampak terhadap negara lainnya Isu mengenai integrasi tidak dapat terlepas dari usaha untuk mencapai stabilitas nilai tukar, dimana untuk mencapai stabilitas makroekonomi maka stabilitas nilai tukar memiliki peran yang vital. Dalam teori ekonomi, ketidakstabilan nilai tukar dapat memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan tidak tercapainya keseimbangan jangka panjang. Kondisi tersebut dapat berdampak terhadap ketidakstabilan harga relatif dan mengakibatkan meningkatnya biaya penyesuaian dan tidak tercapainya alokasi yang efisien dalam pasar domestik (Kemme & Teng, 2000). Oleh karena itu dapat dikatakan usaha untuk meningkatkan stabilitas nilai tukar diharapkan mendorong terciptanya lingkungan bisnis yang lebih kondusif sehingga dapat meningkatkan potensi pertumbuhan ekonomi. Grafik 1. Fluktuasi Nilai Tukar ASEAN-5 Periode 1996-2010
Sumber : IFS(2013)
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
Pentingnya stabilitas nilai tukar di ASEAN menjadi isu yang cukup vital untuk dapat mendorong potensi pertumbuhan ekonomi. Tetapi dengan kondisi perekonomian dan finansial yang berbeda antar negara membuat volatilitas nilai tukar yang dimiliki kelima negara tersebut juga berbeda-beda. Hal ini dapat terlihat dari grafik 1. dimana hampir semua negara nilai tukarnya cukup bergejolak. Dengan Dollar Singapura sebagai mata uang yang paling stabil, penelitian ini mencoba menganalisis hubungan nilai tukar bilateral antara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina dengan Dollar Singapura untuk dapat menjelaskan volatilitas nilai tukar negara-negara tersebut sehingga dapat mengetahui feasibilitas dalam pembentukan mata uang tunggal di ASEAN.
Tinjauan Teoritis Mundell (1961) merupakan salah satu pionir dalam membahas sistem mata uang bukan berdasarkan batas negara, tetapi berdasarkan area geografis yang memiliki mobilitas faktor produksi yang tinggi. Argumen yang dikemukakan oleh Mundell adalah “pemilihan sistem nilai tukar antara fixed dan flexible seharusnya tidak independen dari karakteristik negara ataupun daerah” (Tower & Willett, 1976). Sebagai salah satu penggagas ide tersebut, Mundell percaya bahwa OCA akan memberikan keuntungan terhadap negara dalam region tersebut, tetapi secara politik tidak feasible diterapkan. Didasari oleh penelitian Mundell (1961) sebagai pionir dari teori Optimum Currency Area, Andrew K. Rose (2001) mencoba untuk meneliti perilaku negara yang telah bergabung dalam monetary union. Secara lebih spesifik, tujuan utama dari penelitian tersebut adalah untuk melihat apakah dampak dari bergabungnya dalam monetary union memberikan hasil yang diharapkan, sesuai dengan teori optimum currency area yang dikemukakan oleh Mundell (1961). Kemudian, apakah institusi politik dan negara yang mendirikan dan memutuskan untuk bergabung dalam currency union telah terintegrasi secara ekonomi layaknya sebuah kawasan regional. Menurut Rose (2001) dan beberapa studi lainnya menunjukkan bahwa jarak perbatasan antar negara mengurangi integrasi ekonomi. Dimana perdagangan internal negara tersebut jauh lebih besar dibandingkan perdagangan international. Harga juga relative lebih stabil dalam negara tersebut dibandingkan antar negara. Hipotesa yang dikemukakan oleh Rose adalah bahwa beberapa “efek jarak perbatasan” merupakan hasil volatilitas nilai tukar, atau secara umum dapat dikatakan merupakan konsekuensi dari perbedaan mata uang.
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
Kerangka teori dari Mundell menyatakan bahwa keuntungan dari currency union adalah proporsional dengan ukuran transaksi internasional. Dengan menggunakan data perdagangan internasional, Rose menemukan bahwa negara yang tergabung dalam currency union memiliki perekonomian yang lebih terbuka dan terspesialisasi dibanding negara yang tidak tergabung dalam currency union. Dengan menggunakan teori gravitasi dalam perdagangan, Rose menemukan bahwa perdagangan antar negara yang tergabung dalam currency union akan lebih tinggi dibandingkan dengan negara yang menggunakan mata uang sendiri, dimana volume perdagangan antar negara yang tergabung dalam currency union bisa mencapai tiga kali lipat dibandingkan negara dengan menggunakan mata uang sendiri. Selain itu, Rose juga meneliti tingkat nilai tukar riil dan penyimpangan terhadap purchasing power parity. Rose menemukan bahwa volatilitas nilai tukar riil yang dialami anggota currency union lebih rendah daripada negara yang menggunakan mata uangnya sendiri. Selain itu, skilus bisnis scara sistematis lebih terkorelasi antara anggota currency union dibanding antar negara dengan mata uang sendiri. Melalui itu Rose menyimpulkan bahwa negara-negara anggota currency union lebih terintegrasi secara ekonomi dibandingkan negara-negara yang menggunakan mata uang sendiri. Secara keseluruhan penelitian ini menyimpulkan bahwa anggota currency union cenderung lebih banyak terlibat dalam perdagangan, volatilitas nilai tukar yang lebih kecil, dan siklus bisnis yang lebih sinkron dibandingkan negara yang mengadopsi mata uang sendiri. Walaupun negara anggota currency union lebih terintegrasi, tingkat/derajat integrasi masih jauh dibawah satuan standar intranasional wilayah satu negara. Berbeda dengan Rose, Barry Eichengreen dan Tamim Bayoumi (1998) mencoba untuk melihat apakah variabel dari teori optimum currency area (OCA) dapat membantu menjelaskan pattern dari variabilitas nilai tukar dan intervensi antar negara. Dimana intervensi dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana teori OCA mendorong untuk menghargai nilai tukar yang stabil terutama untuk negara dengan perekonomian kecil dan hubungan perdagangan yang luas. Menurut Eichengreen dan Bayoumi, pemilihan rezim nilai tukar suatu negara dipengaruhi oleh asymmetric disturbances, hubungan perdagangan, tingkat kegunaan uang dalam transaksi domestik, dan mobilitas tenaga kerja. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada periode 1960an memiliki variabilitas nilai tukar yang kecil berkisar 10% dan terus bertambah pada periode 1970an hingga periode 1980an memiliki variabilitas paling besar diantara ketiga periode tersebut. Hal ini sejalan dengan sejarah yang terjadi, dimana pada tahun 1960an kebanyakan negara tersebut mengikuti Bretton Wood System dan tidak memiliki kebebasan dalam menentukan sistem nilai tukar, sedangkan untuk
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
periode 1970an dapat dikategorikan sebagai periode transisi hingga pada periode 1980an negara-negara tersebut sudah benar-benar memiliki independensi moneter. Penelitian Eichengreen dan Bayoumi (1998) juga menemukan bahwa asymmetric shock signifikan dan berkorelasi positif terhadap variabilitas dari exchange market pressure. Dimana dari hasil regressi yang dikemukakan bahwa ada tendensi untuk koefisien dari variabel tersebut untuk bertumbuh dari waktu ke waktu. Eichengreen dan Bayoumi (1998) meyakini bahwa hal tersebut merupakan cerminan dari meningkatnya tendensi dari nilai tukar untuk merespons asymmetric shock seiring semakin terbukanya perekonomian. Secara keseluruhan Eichengreen dan Bayoumi (1998) menyimpulkan bahwa asymmetric shock meningkatkan volatilitas nilai tukar melalui intensifikasi exchange market pressure, sedangkan kecilnya ukuran perekonomian dan hubungan perdagangan menurunkan volatilitas melalui intervensi. Dimana faktor yang menurut teori OCA dikatakan sebagai biaya dari pembentukan currency union cenderung menciptakan exchange market pressure dan faktor yang diperkirakan sebagai keuntungan dari stabilitas nilai tukar mendorong adanya intervensi. Dalam penelitian ini, Eichengreen dan Bayoumi (1998) menyimpulkan bahwa negara dengan variabilitas nilai tukar yang lebih tinggi cenderung memiliki asymmetric yang lebih besar melalui meningkatnya exchange market pressure. Sedangkan ukuran perekonomian yang kecil dan kebergantungan hubungan perdagangan mengurangi variabilitas nilai tukar melalui intervensi. Penelitian menggunakan metode serupa dengan Eichengren dan Bayoumi (1998) juga digunakan oleh Tajul Ariffin Masron dan Zulkornain Yusop (2006). Masron dan Yusop melihat bahwa berdasarkan indikator makroekonomi ASEAN memiliki potensi untuk meningkatkan integrasi melalui peningkatan koordinasi makroekonomi, dan mengurangi volatilitas makorekonomi secara khusus nilai tukar. Tujuan dari penelitian ini adalah bagaimana variabel optimum currency area (OCA) dapat menjelaskan volatilitas dalam region ASEAN jika Dollar Singapura sebagai mata uang yang paling stabil digunakan sebagai anchor currency. Secara keseluruhan hasil penemuan Masron dan Yusop (2006) mendukung bahwa peningkatan integrasi perekonomian dapat secara signifikan mendorong stabilitas perekonomian
suatu
negara danvariable optimum currency area memegang peranan penting dan signifikan dalam menjelaskan volatilitas nilai tukar bilateral antar Negara ASEAN-5. Tetapi meskipun memiliki peranan yang signifikan hasil penelitian ini menyatakan bahwa varians nilai tukar yang terjadi tidak sepenuhnya hanya disebabkan oleh variable optimum currency area. Selain itu penelitian ini menemukan volatilitas nilai tukar memiliki dampak negatif terhadap PDB dan perdagangan bilateral. Penelitian ini menyarankan bahwa meningkatkan perhatian dalam sector finansial
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
dapat membantu meningkatkan pemahaman untuk menentukan pemilihan rezim nilai tukar yang paling tepat. Secara keseluruhan, berdasarkan teori OCA, ada tiga kriteria utama yang menentukan untuk melakukan integrasi moneter. Ketiga kriteria utama tersebut adalah intensitas perdagangan antar negara dalam region tersebut, ukuran perekonomian negara tersebut, dan juga kemiripan shock yang terjadi terhadap negara-negara tersebut (Ling, 2001). Sedangkan menurut McKinnon (1963), tingkat keterbukaan perekonomian yang tinggi merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan OCA, ini dikarenakan semakin terbuka sebuah perekonomian maka relatif semakin stabil perekonomian tersebut. Dimana stabilitas, terutama rendahnya volatilitas nilai tukar merupakan hal yang sangat penting dalam proses implementasi OCA.
Metodologi Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat kelayakan pembentukan OCA di ASEAN-5 melalui investigasi terhadap hubungan antara volatilitas nilai tukar dengan variabel kriteria OCA seperti asymmetric shock dan interaksi ukuran perekonomian. Model empiris yang digunakan adalah sebagai berikut :
ERV = b0 + b1OCAt + b2 DUMMYt + et1 Dimana ERV (Exchange Rate Volatility) adalah volatilitas nilai tukar nominal dan OCA (Optimum Currency Area) adalah variabel yang menjadi kriteria dalam pembentukan OCA. Sehingga jika kita mensubstitusikan proxy dari OCA, maka model empirisnya akan menjadi :
ERV = b0 + b11 ASt + b12 ln ITt + b13 ln SIZEt + b2 DUMMYt + et2 (4.7) Dimana : ERVt
= Exchange Rate Volatility
lnITt
= Intra-regional Trade
ASt
= Asymmetric Shock
lnSIZEt
= Economic Size
DUMMY
= Dummy Economic Crisis
Untuk dapat menginvestigasi hubungan antara volatilitas nilai tukar (ERV) dan variabel kriteria OCA, seperti intra-trade (IT), asymmetric shock (AS), dan economic size (SIZE) dan juga variabel dummy krisis ekonomi (DUMMY) maka diperlukan perhitungan serta indeks kuantitatif untuk dapat melakukan analisis melalui variabel-variabel tersebut. Penjabarannya secara lebih rinci adalah :
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
1. Volatilitas Nilai Tukar (ERV) : ERV merupakan Standar deviasi dari data tahunan nilai tukar nominal Rupiah Indonesia (IDR), Ringgit Malaysia (RM), Thailand Baht (THB), dan Filipina Peso (PHP) terhadap Dollar Singapura (SGD), dimana rumus dari perhitungan tersebut adalah moving average dari first difference nilai tukar nominal dengan order sebanyak tiga (m = 3), seperti yang dijabarkan dibawah ini :
éæ 1 ö m ù ERVt = êç ÷ å( ERt-1-i - ERt-i )ú ëè m ø i=1 û Penggunaan rumus untuk mendapatkan nilai dari volatilitas nilai tukar tersebut merupakan adopsi dari Masron dan Yusop (2006). Dengan demikian maka semakin besar nilai dari ERV maka semakin besar volatilitas nilai tukar mata uang tersebut. 2. Asymmetric Shock (AS) : AS adalah standar deviasi dari selisih absolut pertumbuhan ekonomi negara k dengan negara j pada tahun tersebut. Dimana penghitungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
éæ 1 ö m ù dif dif ASt = êç ÷ å(Growtht-1-i - Growtht-1 )úû ëè m ø i=1 dimana penghitungan untuk growthdif adalah sebagai berikut : 2 growth = éê( growthk,t - growth j,t ) ùú ë û dif t
1/2
Hasil perhitungan tersebut diharapkan dapat menggambarkan dampak dari distorsi terhadap kedua negara tersebut, dimana semakin besar selisihnya maka semakin tidak sama dampak shock yang dirasakan oleh kedua negara tersebut. Oleh karena itu diharapkan memiliki hubungan positif dengan ERV. 3. Intra-Trade (IT) : IT menunjukkan besaran perdagangan intra-regional yang dilakukan oleh negara tersebut terhadap total perdagangan yang dilakukan. Perhitungan terhadap variabel IT dapat dijabarkan sebagai berikut :
Dimana TRADE adalah besaran perdagangan bilateral antara Singapura dengan negara koresponden dan GDP adalah besaran PDB negara koresponden. Sesuai dengan teori OCA yang telah dikemukakan, maka diyakini bahwa semakin besar persentase perdagangan intra-regional maka semakin stabil nilai tukar negara tersebut dengan negara yang tergabung dalam region tersebut. Digunakan dalam bentuk log dan diharapkan memiliki hubungan negatif dengan ERV
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
4. Economic Size (SIZE) : SIZE menunjukkan besaran interaksi antara PDB Singapura dengan keempat negara koresponden lainnya. Dimana menurut Devereux dan Lane (2003) variabel ini diharapkan dapat menjadi proxy dari karakteristik country-specific, dimana diyakini semakin besar ukuran perekonomian suatu negara maka semakin besar kemampuan negara tersebut untuk toleransi terhadap volatilitas nilai tukar. Digunakan dalam bentuk log dan diharapkan variabel tersebut memiliki hubungan positif dengan ERV. Perhitungan terhadap variabel tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
Dimana GDPj adalah besaran PDB dari negara koresponden dan GDPk adalah besaran PDB dari Singapura sebagai negara acuan. 5. Dummy Krisis Ekonomi (DUMMY) :
Variabel ini diharapkan dapat menjelaskan
hubungan antara terjadinya krisis ekonomi terhadap volatilitas nilai tukar antar kedua negara tersebut. Tahun yang dipilih dalam penelitian ini yang dianggap terjadinya krisis ekonomi adalah tahun 1998, 1999, 2000 dan tahun 2008,2009,2010. Pemilihan selama tiga tahun per periode krisis diakibatkan oleh metode perhitungan variabel ERV yang mengikutsertakan data tiga tahun dalam penentuan volatilitas nilai tukar pada periode tersebut. Untuk pemilihan tahun 1998 dianggap sebagai krisis karena merupakan tahun terjadinya krisis moneter di Asia dan mengakibatkan perubahan struktural dalam sistem ekonomi negara-negara di Asia Tenggara dan untuk pemilihan tahun 2008 juga merupakan terjadinya krisis Subprime Mortgage di Amerika yang juga berdampak pada perubahan kondisi perekonomian Asia Tenggara secara signifikan. Banyak seri, bahkan yang tidak satsioner, pada saat dilakukan analisis secara terpisah akan menampakan hubungan equilibrium jangka panjang jika tergabung secara linier. Maka dari itu kedua seri tersebut dapat disebut terkointegrasi. Dengan kata lain kointegrasi adalah pendekatan statistik yang menguji keberadaan hubungan ekuilibrium jangka panjang antar variabel non-stasioner yang terintegrasi pada derajat yang sama. Selain melihat pentingnya keberadaan ekuilibirum dalam jangka panjang, juga penting untuk menganalisis hubungan jangka pendek dinamis antar variabel dalam studi ini. Untuk dapat melihat hubungan jangka pendek dinamis tersebut maka metode yang digunakan adalah Error Correction Model (ECM). Sedangkan untuk hubungan jangka panjang antara volatilitas nilai tukar dan variabel OCA diuji dengan menggunakan prosedur kointegrasi. Empat tipe nilai tukar yang dipilih adalah Dollar Singapura dengan Rupiah Indonesia, Ringgit Malaysia, Baht Thailand, dan
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
Peso Filipina. Periode penelitian yang digunakan adalah pada tahun 1975-2010 dengan sumber data berasal dari International Financial Statistics (IFS), World Development Index (WDI), dan UNCOMMTRADE.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Untuk dapat menghindari spurious regression maka diperlukan uji stasioneritas data. Pengujian stasioneritas setiap variabel tersebut dilakukan pada tingkat level dan first difference dengan menggunakan metode Augmented Dickey-Fuller Test (ADF). Hasil pengujian tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Uji Stasioneritas Menggunakan ADF
Dari hasil pengujian stasioneritas terbukti tidak semua variabel stasioneritas pada tingkat level tetapi pada tingkat first difference semua variabel telah stasioner. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tidak seluruh variabel stasioner pada tingkat level atau memiliki unit roots. Tetapi pada level first difference seluruh variabel telah stasioner. Untuk uji kointegrasi keempat persamaan, studi ini menggunakan Johansen Cointegration Test. Hasil dari pengujian tersebtu adalah sebagai berikut:
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
Tabel 2. Hasil Uji Kointegrasi Johansen
Berdasarkan hasil uji kointegrasi Johansen diatas maka dapat dilihat nilai trace statistic lebih besar dibandingkan critical value tingkat 5% yang menunjukkan adanya kointegrasi antar variabel untuk keempat persamaan tersebut. Dimana Singapura-Indonesia dan SingapuraMalaysia menunjukkan adanya hubungan kointegrasi sebanyak dua. Sedangkan SingapuraFilipina dan Singapura-Thailand menunjukkan satu vektor yang terkointegrasi. Dengan terkointegrasinya keempat persamaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada spurious regression. Oleh karena itu hasil estimasi koefisien persamaan jangka panjang dapat diartikan sesuai dengan koefisien yang tertera. Dimana hasil estimasi koefisien jangka panjang tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Estimasi Koefisien Jangka Panjang Persamaan
ASS(X)
Sin-Indo P > ItI
2.418824 0.105*
Sin-Mas P > ItI
0.5464129 0.397
Sin-Tha P > ItI
1.148098 0.035**
Sin-Phi P > ItI
1.340005 0.153*
Keterangan:
(*)
ITS(X) 0.0081749 0.860 0.0835627 0.000*** 0.0773175 0.000*** 0.0735344 0.004***
SIZES(X)
DUMMY
R-Squared
Prob > F
0.0191097 0.047**
-0.1223854 0.056*
0.4011
0.0207
0.0119829 0.000***
-0.0348799 0.001***
0.5225
0.0000
0.0216391 0.000***
-0.0295375 0.015**
0.4503
0.0000
0.0523309 0.001***
-0.0059827 0.702
0.3233
0.0139
: Signifikan pada α = 10%
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
(**)
: Signifikan pada α = 5%
(***) : Signifikan pada α = 1% Dengan terkointegrasinya keempat persamaan tersebut, maka melalui Error Correction Model (ECM) dapat diketahui kecepatan penyesuaian dalam jangka pendek untuk menuju keseimbangan jangka panjang melalui besaran Error Correction Term (ECT). Dimana model ECM tersebut dapat terbukti valid jika variabel-variabel yang terkointegrasi tersebut memiliki Error Correction Term (ECT) yang signifikan secara statistik dan bernilai negatif. Hasil estimasi koefisien persamaan jangka pendek adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Estimasi Koefisien Jangka Pendek Variabel d.ASS(X) P > ItI d.ITS(X) P > ItI d.SIZES(X) P > ItI DUMMY P > ItI LagresidS(X) P > ItI R-Squared Prob > F Keterangan: (*) (**)
Sin-Indo Sin-Mas Sin-Tha Sin-Phi -0.27054 -0.0550241 0.8155906 1.016853 0.800 0.817 0.004*** 0.048** 0.0035344 -0.1046656 -0.0211004 -0.0199505 0.938 0.001*** 0.460 0.512 0.1122525 0.0154639 0.025755 0.1123618 0.020** 0.246 0.163 0.006*** -0.1919997 -0.0503308 -0.0293123 -0.0251025 0.000*** 0.000*** 0.008*** 0.207 -0.4587835 -0.4469235 -0.5369392 -0.3404803 0.003*** 0.003*** 0.001*** 0.008*** 0.6678 0.6928 0.4561 0.4456 0.0000 0.0000 : Signifikan pada α = 10%
0.0024
0.0030
: Signifikan pada α = 5%
(***) : Signifikan pada α = 1%
Berdasarkan hasil uji estimasi baik jangka panjang maupun jangka pendek pada Indonesia bahwa perdagangan intra-regional tidak dapat menjelaskan ataupun mempengaruhi volatilitas nilai tukar antara Indonesia dengan Singapura. Terlihat sesuai dengan grafik dibawah, Thailand dan Filipina yang memiliki Perdagangan per PDB pada tahun 1975 lebih rendah dibandingkan Indonesia memiliki tingkat perdagangan per PDB yang lebih tinggi pasca krisis 1998.
Hal
ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak mengalami peningkatan integrasi, terutama dengan Singapura. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Indonesia berdasarkan kriteria perdagangan intra-regional lebih tidak layak untuk membentuk OCA dibandingkan Thailand dan Filipina.
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
Grafik 2. Rasio Perdagangan (Impor+Ekspor) Dengan Singapura Terhadap PDB 0,12 0,1 0,08 Indonesia
0,06
Thailand
0,04
Filipina
0,02 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009
0
Sumber : IFS (2011) dan WDI (2010) Sedangkan untuk variabel OCA Asymmetric Shock menunjukkan nilai yang besar, yang menandakan bahwa dampak shock yang terjadi diantara Indonesia dengan Singapura belum symmetris. Hal ini dapat terlihat dari pergerakan pertumbuhan ekonomi kedua negara dalam grafik 5.06 berikut, dimana pola pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh Singapura berbeda dengan Indonesia, dimana koefisien korelasi yang dimiliki adalah sebesar 0.5539. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa asymmetric shock antara Indonesia dengan Singapura lebih besar dibandingkan Malaysia, Filipina dan Thailand. Hal ini berarti berdasarkan kriteria asymmetric shock Indonesia belum layak dibandingkan Malaysia, Filipina, dan Thailand dalam pembentukan OCA.
Grafik 3. Pertumbuhan PDB Singapura dan Indonesia (% YoY)
Sumber : IFS (2011) Oleh karena itu Indonesia perlu meningkatkan perdagangan intra-regional yang masih rendah dan juga mengejar ketertinggalan ekonomi dibandingkan Singapura agar memiliki shock
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
yang simetris untuk meningkatkan integrasi dan konvergensi sehingga feasibilitas untuk tergabung ataupun membentuk currency union di ASEAN dapat tercapai. Untuk hasil uji estimasi baik jangka panjang maupun jangka pendek Singapura – Malaysia menunjukkan bahwa Malaysia memiliki feasibilitas dan kondisi yang lebih optimum untuk membentuk persatuan mata uang dengan Singapura. Hal ini ditunjukkan dari signifikannya perdagangan intra-regional terhadap volatilitas nilai tukar antara Singapura dengan Malaysia dan juga memiliki dampak yang paling besar dibandingkan variabel kriteria OCA lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan intra-regional Malaysia telah mencapai kondisi yang dapat mendorong nilai tukar yang stabil sehingga dapat dikatakan memenuhi asumsi tersebut. Sedangkan untuk variabel Asymmetric shock memang menunjukkan tidak signifikan tetapi dengan nilai koefisien yang kecil. Hal ini disebabkan oleh struktur ekonomi yang semakin mirip dan shock yang semakin simetris membuat volatilitas nilai tukar tidak dipengaruhi oleh selisih pertumbuhan ekonomi kedua negara tersebut. Untuk variabel SIZE juga menunjukkan hasil yang signifikan dan memiliki dampak yang kecil terhadap volatilitas. Hal ini berarti ukuran perekonomian Malaysia telah mencapai ukuran yang mampu untuk toleransi terhadap terjadinya volatilitas nilai tukar. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Malaysia layak untuk membentuk OCA bersama dengan Singapura. Berdasarkan hasil uji estimasi jangka panjang dan jangka pendek, maka persamaan Singapura – Thailand juga menunjukkan hasil yang mendukung untuk pembentukan OCA meskipun indikasi yang didapatkan tidak sekuat Malaysia. Berdasarkan variabel kriteria OCA dalam Asymmetric shock maka terbukti kriteria tersebut terpenuhi dimana variabel AS signifikan dalam mempengaruhi volatilitas nilai tukar dan juga memiliki koefisien ataupun dampak yang tidak terlalu besar. Hal ini menunjukkan Asymmetric shock diantara Thailand dan Singapura tidak terlalu besar dan sesuai dengan kriteria OCA yang mengharuskan shock yang simetris. Selain itu variabel kriteria perdagangan intra-regional juga menunjukkan tingkatan yang cukup meskipun lebih kecil dibandingkan Malaysia. Dimana pedagangan intra-regional signifikan dalam hubungan dengan volatilitas nilai tukar, yang berarti peningkatan pada perdagangan intra-regional telah berhasil mendorong untuk peningkatan stabilitas nilai tukar diantara kedua negara tersebut. Untuk variabel SIZEST juga menunjukkan hasil yang signifikan tetapi tidak menghasilkan koefisien yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa Thailand sejalan dengan teori OCA untuk variabel SIZEST tersebut, dan koefisien yang tidak terlalu besar menandakan ukuran perekonomian Thailand cukup besar untuk menoleransi volatilitas nilai tukar.
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
Untuk hasil uji estimasi pada persamaan Singapura-Filipina, dapat disimpulkan bahwa Filipina belum siap untuk menerapkan OCA. Berdasarkan variabel kriteria OCA Asymmetric shock terbukti signifikan tetapi memiliki nilai koefisien absolut yang lebih besar dibandingkan Malaysia dan Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa shock yang dialami oleh Filipina lebih tidak simetris dibandingkan Thailand dan Malaysia. Dimana ketika terjadi Asymmetric shock atau perbedaan pertumbuhan ekonomi antara Singapura dengan Filipina menghasilkan dampak yang lebih besar pada volatilitas nilai tukar. Untuk kriteria perdagangan intra-regional terlihat hasil estimasi signifikan dalam mempengaruhi volatilitas nilai tukar dan memiliki koefisien yang cukup besar. Hal ini menandakan bahwa tingkat perdagangan intra-regional Filipina sudah mendorong untuk volatilitas nilai tukar yang lebih rendah dan stabil. Sedangkan untuk variabel interaksi ukuran perekonomian terbukti signifikan hubungannya dengan volatilitas nilai tukar. Tetapi untuk variabel ini memiliki nilai koefisien absolut yang lebih besar dibandingkan negaranegara lainnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan ukuran perekonomian Filipina lebih tidak mampu untuk menyerap dampak shock.
Miliar Dollar
Grafik 4. Produk Domestik Bruto ASEAN-5 Tahun 1972-2010 (Konstan US$ Tahun 2000) 300 250 200
Indonesia Malaysia
150
Philippines 100
Singapore
50
Thailand
1971 1974 1977 1980 1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004 2007 2010
0
Sumber : WDI (2010) Hal ini sesuai dengan perbandingan ukuran perekonomian antara keempat negara dalam grafik diatas, dimana ukuran perekonomian Filipina paling kecil dibandingkan negara lainnya. Ukuran perekonomian yang jauh lebih kecil ini menandakan bahwa Filipina dalam menghadapi volatilitas nilai tukar dampaknya lebih besar dibandingkan negara lainnya sehingga Filipina masih perlu mengejar ketertinggalannya untuk dapat membentuk OCA. Secara keseluruhan penelitian ini menyimpulkan bahwa negara yang lebih layak untuk membentuk OCA adalah Singapura-Malaysia dan Singapura-Thailand. Dimana berdasarkan
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
variabel kriteria OCA menunjukkan lebih mendekati untuk terpenuhinya kriteria-kriteria tersebut. Sedangkan untuk Singapura-Indonesia dan Singapura-Filipina masih belum cukup terintegrasi untuk dapat membentuk OCA. Dimana untuk Indonesia masih memiliki struktur produksi yang jauh berbeda sehingga mengakibatkan Indonesia memiliki Asymmetric shock yang berbeda dengan Singapura sehingga tidak memungkinkan untuk pembentukan OCA. Sedangkan untuk Filipina meskipun menunjukkan pemenuhan kriteria perdagangan intraregional, tetapi masih kurang layak untuk kriteria lainnya. Dimana Filipina belum memiliki ukuran perekonomian yang cukup besar dan juga masih mengalami shock yang tidak simetris. Hasil penelitian ini juga didukung oleh beberapa penelitian lainnya, diantara lain Falianty (2005), Masron dan Yusop (2006), dan Mittal (2004). Dimana disimpulkan bahwa ASEAN-5 belumlah siap untuk menerapkan OCA, tetapi memiliki potensi yang besar kedepannya untuk pembentukan OCA. Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Singapura-Malaysia dan Singapura-Thailand merupakan kombinasi negara yang paling siap dalam pembentukan OCA.
Kesimpulan Berdasarkan pengolahan data dan analisis hasil penelitian model volatilitas nilai tukar bilateral pada Singapura-Indonesia, Singapura-Malaysia, Singapura-Thailand, dan Singapura-Filipina dalam jangka panjang dan jangka pendek pada periode tahun 1975-2010 didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan hasil uji estimasi baik pada jangka panjang ataupun jangka pendek pada Singapura-Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat membentuk Optimum Currency Area (OCA) dengan Singapura. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya kriteria OCA dalam perdagangan intra-regional dan Asymmetric shock. Hal ini didorong oleh struktur produksi yang berbeda sehingga tidak memiliki shock yang simmetris dan juga masih rendahnya rasio perdagangan intra-regional dibandingkan dengan PDB dan tidak ada peningkatan persentase perdagangan terhadap PDB yang signifikan dibandingkan negara lainnya. 2. Berdasarkan hasil uji estimasi untuk persamaan Singapura-Malaysia menunjukkan bahwa Malaysia paling layak dibanding negara lainnya dan merupakan negara yang paling mendekati untuk membentuk OCA dengan Singapura. Dimana Malaysia memiliki tingkat perdagangan intra-regional yang paling tinggi dan juga shock simmetris yang paling menyerupai Singapura. Untuk variabel interaksi ukuran perekonomian juga menunjukkan
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
koefisien yang kecil, dimana ini dapat diartikan Ukuran perekonomian Malaysia juga telah cukup besar untuk menahan atau toleransi terhadap terjadinya volatilitas nilai tukar. Hal ini mendukung untuk Malaysia dapat membentuk OCA dengan Singapura. 3. Persamaan Singapura-Thailand menunjukkan bahwa Thailand layak untuk membentuk OCA dengan Singapura. Hal ini didorong oleh signifikannya hubungan volatilitas nilai tukar Thailand-Singapura dengan variabel-variabel OCA dari Thailand. Dimana Thailand memiliki shock symmetry yang mirip dengan Singapura dan memiliki tingkat perdagangan intraregional yang cukup untuk menjaga stabilitas nilai tukar sesuai kriteria OCA meskipun tidak sebaik Malaysia. 4. Berdasarkan hasil estimasi pada persamaan Singapura-Filipina maka dapat disimpulkan Filipina belum layak untuk membentuk OCA dengan Singapura. Hal ini didorong oleh perbedaan struktur produksi dan ukuran perekonomian yang lebih kecil dengan Singapura meskipun tingkat perdagangan intra-regional sudah menunjukkan tingkat yang layak. 5. Singapura dapat dikatakan layak sebagai anchor currency untuk Malaysia dan Thailand tetapi tidak untuk Indonesia dan Filipina. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Dollar Singapura bukan merupakan anchor currency yang cocok untuk pembentukan currency union diantara Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Indonesia.
Saran Berdasarkan hasil estimasi, keterbatasan, dan kesimpulan yang didapatkan, maka berikut adalah beberapa saran yang didapatkan dari penelitian ini : 1. Penggunaan variabel kriteria OCA lainnya seperti labor mobility, tingkat pembangunan finansial, kemiripan tingkat inflasi, dan mobilitas faktor produksi diperlukan dalam studi lanjutan untuk dapat menghasilkan estimasi yang lebih akurat dan komprehensif untuk mengetahui kelayakan pembentukan OCA 2. Diperlukan studi lebih lanjut dengan menggunakan mata uang lainnya yang memiliki potensi untuk menjadi anchor currency, sehingga dapat menghasilkan hasil estimasi kelayakan pembentukan OCA yang lebih akurat. 3. Dalam studi lanjutan disarankan meningkatkan lingkup penelitian dengan melibatkan negara-negara yang memiliki hubungan perdagangan yang kuat dengan ASEAN-5 seperti China, Jepang ataupun Korea Selatan.
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Ariccia, D. G. (1999). Exchange Rate Fluctuations and Trade Flows: Evidence From The European Union. IMF Staff Papers, 46, 315-334. Blanchard, Olivier & Quah, Danny. (1989). The Dynamic Effects of Aggregate and Supply Disturbances. American Economic Review, 79, 655-73. Devereux, M. B., & Lane, P. R. (2001). Understanding Bilateral Exchange Rate Volatility. CEPR Discussion Paper. Eichengreen, B., & Mauro, P. (2000). On regional monetary arrangements for ASEAN. CEPR Discussion Paper, 2411. Falianty, Telisa A. (2005). Feasibility Of Forming Currency Union In ASEAN-5 Countries. Research Laboratory of Economics-University of Indonesia. Ferdous, F. B. (2011). Pattern and Determinants of Export Diversification in East Asian Economies. IPEDR.vol 5. Frankel, J., & Rose, Andrew K. (2002). An Estimate of The Effect of Common Currency on Trade and Income. The Quarterly Journal of Economics. Gujarati, D. N. & Porter, D. C. (2009). Basic Econometrics (5th ed.). Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc. IMF. (2011). International Financial Statistics. Jakarta: Bank Indonesia. Krugman, P. R., & Obstfeld, M. (2009). International Economics Theory & Policy (8th ed.). Boston: Pearson Education Madhur, Srinivasa. (2002). Costs and Benefits Of A Common Currency For ASEAN. ERD Working Paper Series. No. 12. Mankiw, N. G. (2009). Macroeconomics (7th ed.). New York: Worth Publishers Masron, T. Ariffin & Yusop, Zulkornain. (2006). Optimum Currency Area Criteria and Volatility in ASEAN. Asian Academy of Management Journal of Accounting and Finance, Vol. 2, No. 2, 1-17 McKinnon, Ronald I. (2002). Optimum Currency Areas and The European Experience. The Economics of Transition, 10 (2). Mittal, Rashi. (2004). ASEAN Monetary Union – A Possibility ? : A Comparison of ASEAN Economic Indicators With That Of Euro Zone. Public Policy Department, Stanford University Press. Mundell, R., (1964). A theory of optimum currency areas. Papers and Proceedings of the American Economic Association, 51, 657-664. Mundell, R., (2003). Prospects for an Asian Currency Area. Journal of Asian Economics
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
14 ,2003, 1-10 Nachrowi, D. N., & Usman, H. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta. Pomfret, Richard. (2003). Currency Union in East Asia: Lessons From Europe. Asia Pacific Journal Of Economics & Business, Vol. 7 No. 1 Plummer, Michael G. (2006). The ASEAN Economic Community and The European Experience. ADB Working Paper Series on Regional Economic Integration. No.1 Prati, Alessandro, & Schinasi, Garry J. (1999). Financial Stability in European Economic and Monetary Union. Princeton Studies in International Finance. No. 86 Rose, Andrew K. (2000). One money, One market: the effect of common currencies on trade. Economic Policy, Vol. 30, 9-45. Rose, Andrew K. (2001). Common Currency Area in Practice. Sadeh, Tal. & Verdun, Amy. (2009). Explaining Europe’s Monetary Union: A Survey of The Literature. International Studies Review. 11, 277-301. Saxena, Sweta Chaman. (2005). Can South Asia Adopt a Common Currency. Journal of Economics. Statacorp. (2009). Stata Time-Series Reference Manual: Release 11. Statistical Software. Collage Station, TX: StataCorp LP.
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013
Analisis variabel..., Randa Silvano Bangun, FE UI, 2013