ANALISIS SPASIAL KABUPATEN BOGOR DALAM KAITANNYA DENGAN KETERTINGGALAN WILAYAH
AHMAD DANY SUNANDAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Spasial Kabupaten Bogor Dalam Kaitannya Dengan Ketertinggalan Wilayah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2006 Ahmad Dany Sunandar NIM A253040124
ABSTRAK AHMAD DANY SUNANDAR. Analisis Spasial Kabupaten Bogor Dalam Kaitannya Dengan Ketertinggalan Wilayah. Dibimbing oleh Komarsa Gandasasmita dan Atang Sutandi. Adanya berbagai variasi dalam suatu wilayah, baik dalam hal sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya buatan menyebabkan adanya perbedaan perkembangan wilayah. Pada tahap yang lebih lanjut, perbedaan yang semakin besar menyebabkan terjadinya disparitas antar wilayah. Penelitian ini mencoba untuk melihat disparitas wilayah di Kabupaten Bogor, khususnya untuk wilayah barat yang relatif tertinggal dibanding wilayah tengah dan timur, untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya disparitas tersebut. Untuk itu maka dilakukan analisa tipologi wilayah dengan analisa skalogram dan analisa multivariabel. Analisis Spasial dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mendapatkan data-data spasial dari berbagai peta. Unit sampel yang diambil adalah desa yang ada di seluruh Kabupaten Bogor. Hasil analisa skalogram menunjukkan bahwa di wilayah barat, hanya ada satu desa dari 24 desa yang masuk dalam hirarki I yang ada di Kecamatan Leuwiliang sedangkan di wilayah tengah ada 16 desa dan di wilayah timur ada 7 desa. Hasil analisa klaster juga menunjukkan kecenderungan yang sama dimana klaster 1 yang merupakan klaster dari wilayah yang lebih maju. Sebagian besar dari wilayah ini berada di bagian tengah-utara terus ke arah timur. Dari hasil analisa skalogram dan klaster juga menunjukkan bahwa sebagian besar desa di Kabupaten Bogor masuk pada hirarki III dan klaster 2 yang menunjukkan bahwa pemerataan terjadi pada tingkat bawah. Hasil analisa diskriminan untuk pengelompokkan berdasarkan analisa skalogram menunjukkan bahwa ada lima variabel yang membedakan desa-desa pada hirarki I dengan desa-desa pada hirarki di bawahnya, yaitu luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25%, persen kawasan hutan, rasio guru SMA terhadap murid, luas wilayah dengan kelerengan diatas 25% dan rasio guru SD terhadap murid. Sedangkan untuk pengelompokkan berdasarkan hasil clustering, ada tujuh variabel yang membedakan klaster 1 dengan klaster lainnya, yaitu sarana komunikasi, jarak terhadap ibukota kecamatan, jumlah SMP, jarak terhadap ibukota Jakarta, persen keluarga pertanian, jumlah sarana lembaga keuangan, dan kepadatan penduduk. Hasil analisa korelasi kanonikal menunjukkan bahwa tingkat perkembangan desa yang lebih tinggi dipengaruhi oleh tujuh variabel, yaitu persen keluarga pertanian, tingkat kepadatan penduduk, jumlah sarana lembaga keuangan, jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi, rasio guru SD terhadap murid, rasio guru SMA terhadap murid, dan jarak terhadap ibukota kecamatan.
ANALISIS SPASIAL KABUPATEN BOGOR DALAM KAITANNYA DENGAN KETERTINGGALAN WILAYAH
AHMAD DANY SUNANDAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
:
Nama NIM Program Studi
: : :
Analisis Spasial Kabupaten Bogor Dalam Kaitannya Dengan Ketertinggalan Wilayah Ahmad Dany Sunandar A 253040124 Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Tanggal Ujian : 13 Desember 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2005 ini adalah disparitas wilayah, dengan judul Analisis Spasial Kabupaten Bogor dalam Kaitannya dengan Ketertinggalan Wilayah. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc dan Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si selaku komisi pembimbing. 2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah yang telah banyak memberikan saran, beserta segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Perencanaan Wilayah. 3. Dr. Ir. Sudarmo, MSi, selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan tesis ini. 4. Pimpinan dan Staf Pemda Kabupaten Bogor yang telah banyak memberikan bantuan data. 5. Pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis. 6. Pimpinan dan staf Badan Litbang Kehutanan Departemen, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi. 7. Teman-teman seperjuangan di PWL Angkatan 2004, atas semua dukungan dan perhatiannya. 8. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Akhirnya, terima kasih yang setinggi-tingginya atas dukungan, doa dan kasih sayang dari isteri dan anak-anak serta mamah, papah dan adikadik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2006 Ahmad Dany Sunandar
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 27 Februari 1973 sebagai anak pertama dari pasangan Achmad Djuaeni dan Nengsih. Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri I Bogor dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Pengolahan Hasil Hutan, Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan dan menamatkan pendidikan pada tahun 1996. Sejak tahun 1998, penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar sebagai staf peneliti. Pada tahun 2004, penulis memperoleh beasiswa program 13 bulan dari Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan Perencanaan, Bappenas untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB dan penulis memilih Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Saat ini penulis telah menikah dengan Hj. Eti Setiawati dan dikaruniai dua orang putra yaitu Ahmad Imam Syamil dan Zaki Abdurrahman.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ x PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... 1 Identifikasi dan Perumusan Masalah .................................................... 5 Tujuan dan Manfaat ............................................................................ 7 TINJAUAN PUSTAKA Ilmu Pembangunan Wilayah ................................................................. 9 Pembangunan Wilayah........................................................................ 12 Analisis Spasial ................................................................................... 15 Sistem Informasi Geografis................................................................. 17 Indikator-indikator Pembangunan ..................................................... 15 Beberapa Hasil Penelitian ...................................................................19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 23 Pengumpulan Data .............................................................................. 23 Parameter Yang Digunakan ............................................................... 23 Analisa Data 1. Analisa Hiraki Wilayah .................................. .......................... 27 2. Analisa Spasial. ......................................................................... 29 3. Analisis Komponen Utama ....................................... ............... 30 4. Cluster Analysis . ...................................................................... 31 5. Discriminant Analysis . ............................................................. 33 6. Analisis regresi berganda . ........................................................ 34 7. Canonical correlation . .............................................................. 35 Kerangka Pendekatan Masalah ........................................................... GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Bogor ..................................................... 38 Pengembangan Wilayah ..................................................................... 40 Strategi Pemanfaatan Ruang ............................................................... 47 Penggunaan Lahan .............................................................................. 48 Kondisi Fisik Wilayah ........................................................................ 50 HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Desa IDT .........................................................................53 Hasil Analisis Skalogram ............ ...................................................... 50 Keterkaitan Antar Variabel ................................................................. 63 Hasil Analisis Komponen Utama.... .................................................. 68 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkembangan Desa . ... 72
vi
Halaman
Tipologi Desa-desa di Kabupaten Bogor . .......................................... 77 Hasil Analisis Diskriminan ................................................................. 81 Hasil Analisa Korelasi Kanonik ......................................................... 85 Arahan Pengembangan Desa-desa di Kabupaten Bogor ................ . 89 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .. ....................................................................................... 92 Saran ................................................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 94 LAMPIRAN .............................................................................................. 98
vii
DAFTAR TABEL
No.
Teks
Halaman
1.
Parameter-parameter yang diukur ....................................................... 24
2.
Nilai selang hirarki ............................................................................. 29
3.
Jenis data, analisa dan output berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh............................................................................ 37
4.
Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2003 ........................................................ 39
5.
Ikhtisar keterkaitan ruang wilayah Kabupaten Bogor dengan Wilayah sekitarnya ................................................................. 43
6
Pola penggunaan lahan di Kabupaten Bogor ......................................49
7.
Luas wilayah pada setiap tingkat kelerengan ..................................... 50
8
Ketinggian dan jumlah desa ............................................................... 51
9
Jenis tanah yang ada di Kabupaten Bogor ......................................... 51
10
Persen penggunaan lahan berdasarkan wilayah pemerintahan ......... 60
11
Eigenvalue komponen-komponen utama ......................................... 69
12
Factor Loading dari hasil Factor Analysis ………………………. . 70
13
Komponen utama yang mempengaruhi IPD . ..................................... 73
14
Hasil dugaan klasifikasi kelompok berdasarkan klaster dan hirarki... 81
15
Koefisien hasil standardisasi untuk pembeda antara grup/kelompok. 83
16
Tes Chi-square untuk masing-masing fungsi kanonik (FC). .............. 83
17
Koefisien hasil standardisasi untuk pembeda antara grup/kelompok. 84
18
Tes Chi-square untuk masing-masing fungsi kanonik (FC). .............. 84
19
Pembobotan kanonik pada masing-masing fungsi kanonik (FC) . ..... 87
20
Karakteristik tipologi wilayah desa-desa di Kabupaten Bogor …. .... 88
viii
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
Halaman
1
Peta penyebaran desa dengan densitas jalan yang rendah ................. . 7
2
Empat pilar pembangunan wilayah..................................................... 10
3
Enam pilar pembangunan wilayah ..................................................... 10
4
Peta penyebaran desa IDT menurut wilayah pemerintahan ................55
5
Penyebaran desa berhirarki I menurut kecamatan ...............................58
6
Peta overlay densitas jalan dengan desa berhirarki III ........................62
7
Peta hasil overlay wilayah hirarki I dengan densitas jalan ................. 63
8
Peta penyebaran desa berhirarki II menurut wilayah pemerintahan ...64
9
Hasil clustering variabel-variabel yang diukur ................................... 77
10
Pola penyebaran setiap klaster ............................................................80
11
Hasil overlay desa-desa berhirarki III dengan desa-desa pada klaster 3 .............................................................................................. 86
ix
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Teks
Halaman
1
Kelas densitas jalan ............................................................................... 99
2
Kelas kepadatan penduduk . ............................................................... 100
3
Variabel-variabel yang digunakan dalam analisa skalogram . ........... 101
4
Variabel-variabel yang digunakan dalam analisa klaster . ................. 102
5
Variabel-variabel yang digunakan dalam analisa PCA/FA . .............. 103
6
Hasil skalogram . ................................................................................ 104
7
Hasil analisa korelasi sederhana antar variabel . ................................ 114
8
Hasil analisa regresi berganda . .......................................................... 116
9
Hasil analisa klaster . .......................................................................... 117
10 Desa-desa hasil overlay klaster 3 dengan hirarki III . ........................ 127
x
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan adalah suatu proses untuk meningkatkan taraf kehidupan manusia melalui berbagai proses dan interaksi baik antara manusia maupun antara manusia dengan lingkungannya. Todaro (2000) menyatakan bahwa pembangunan merupakan suatu proses multi dimensional yang melibatkan proses sosial, ekonomi dan institusional, mencakup usaha-usaha untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Lebih luas sasaran pembangunan mencakup tiga hal penting, yaitu: 1. Meningkatkan persediaan dan memperluas distribusi bahan-bahan pokok seperti sandang, pangan, perumahan, kesehatan, dan perlindungan. 2. Meningkatkan taraf hidup termasuk menambah penghasilan, penyediaan lapangan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan perhatian yang lebih besar terhadap nilainilai budaya dan manusiawi. 3. Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu dengan cara membebaskan masyarakat dari sikap kebodohan dan ketergantungan. Dalam melaksanakan pembangunan, ada tiga tujuan yang harus dicapai oleh pemerintah yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan.
Ketiga tujuan
tersebut mempunyai saling keterkaitan yang erat yang menentukan keberhasilan dari pembangunan itu sendiri.
Pertumbuhan lebih sering menjadi tujuan dalam
pembangunan seperti halnya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama ini. Hal ini berakibat buruk terhadap pengurasan berbagai sumberdaya yang ada baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia ataupun sumberdaya sosial. Lebih jauh lagi karena tujuan kedua, pemerataan, tidak menjadi prioritas selama ini maka terjadi disparitas yang sangat tinggi antara pusat (Jakarta dan Jawa) dibandingkan daerahdaerah lain di Indonesia. Bentuk-bentuk pengurasan sumberdaya yang terjadi selama ini juga merupakan cerminan dari bentuk tujuan pembangunan sesaat (jangka pendek) yang jelas mengabaikan keberlanjutan.
2
Menurut Anwar (2005), beberapa hal yang menyebabkan terjadinya disparitas adalah 1) Perbedaan karakteristik limpahan sumberdaya alam (resource endowment); 2) Perbedaan demografi; 3) Perbedaan kemampuan sumberdaya manusia (human capital); 4) Perbedaan potensi lokasi; 5) Perbedaan dari aspek aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan; dan 6) Perbedaan dari aspek potensi pasar. Dikarenakan berbagai faktor di atas maka dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu: 1) Wilayah maju; 2) Wilayah sedang berkembang; 3) Wilayah belum berkembang;dan 4) Wilayah tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan, dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu juga dicirikan oleh tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang juga tinggi serta struktur ekonomi yang secara relatif didominasi oleh sektor industri dan jasa.
Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh
pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah, baik secara absolut maupun secara relatif namun memiliki potensi sumberdaya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah dengan tingkat pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal, yaitu: 1) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun potensi lokasi sehingga secara alamiah sulit berkembang dan mengalami pertumbuhan; b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumberdaya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya tetapi tidak dapat berkembang karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, tidak
3
memiliki infrastruktur yang lengkap, dan tingkat aksesibilitas yang rendah (Anwar, 2005). Sebagai salah satu daerah yang berbatasan langsung dengan Ibukota Jakarta, Kabupaten Bogor mempunyai peran yang penting dalam mendukung pembangunan, khususnya di wilayah Jabotabek.
Sebagian dari wilayah Kabupaten Bogor dapat
dikatakan sebagai suatu hinterland bagi wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan seperti Jakarta, Kota Bogor, Cibinong, atau Depok. Wilayah ialah suatu unit geografis yang tidak terikat oleh batas-batas administratif. Wilayah tertinggal adalah wilayah yang memiliki fungsi tertentu yang kondisinya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan wilayah lainnya, baik pada aspek sumberdaya alam, struktur fisik, lahan, ekologi dan ekosistem, maupun aspek manusianya. Wilayah tertinggal dapat berupa gabungan beberapa desa, atau gabungan beberapa kecamatan dalam suatu kabupaten yang memiliki ketertinggalan berdasarkan beberapa indikator, antara lain jarak dari pusat desa/kecamatan ke pusat kabupaten, total panjang jalan desa/kecamatan, persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap sumber air bersih (didefinisikan sebagai persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air ledeng atau memiliki sumber mata air terlindungi tetapi berjarak lebih dari 10 km), persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas kesehatan (didefinisikan sebagai persentase penduduk yang tinggal berjarak 5 km atau lebih untuk menjangkau fasilitas kesehatan) (BAPPENAS, 2005). Kabupaten Bogor sendiri terbagi menjadi tiga wilayah pertumbuhan, yaitu wilayah barat, tengah, dan timur yang masing-masing wilayah mempunyai kecenderungan serta tingkat pertumbuhan yang berbeda.
Adanya
perbedaan
ini
tentunya disebabkan oleh berbagai faktor yang berkaitan satu dengan yang lainnya baik dari segi geofisik, faktor spasial, faktor sosial budaya serta faktor-faktor lainnya. Akan tetapi faktor apa yang sesungguhnya menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam perkembangan wilayah di Kabupaten Bogor ini, khususnya wilayah barat, merupakan satu pertanyaan yang menarik untuk dikaji.
4
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor, wilayah Bogor Barat sebagai bagian dari Kabupaten Bogor mempunyai tiga fungsi utama, yaitu: 1) penyangga bagi kota Jakarta, berupa pengembangan perkotaan sebagai bagian dari sistem metropolitan Jabotabek, 2) konservasi, berkenaan dengan posisi geografisnya di bagian hulu dalam tata air untuk Jabotabek, 3) perkembangan pertanian, khususnya hortikultura. Secara alami, perkembangan suatu daerah ditentukan antara lain oleh karakter dari sumberdaya alam yang dimiliki oleh daerah tersebut. Daerah yang memiliki sumberdaya alam yang kaya dan melimpah relatif akan lebih maju dibanding daerah yang miskin akan sumberdaya, khususnya pada awal perkembangannya. Demikian juga wilayah yang secara alamiah berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan umumnya terletak di suatu wilayah yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam yang melimpah atau tingkat interaksi yang tinggi dengan wilayah lain di sekitarnya. Salah satu indikator dalam perkembangan daerah adalah tingkat interaksi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Daerah-daerah yang lebih berkembang pada dasarnya mempunyai tingkat interaksi yang lebih tinggi dibanding daerah lain yang belum berkembang. Interaksi ini sendiri terjadi karena adanya faktor aksesibilitas daerah itu ke daerah lain. Kemudahan akses ini menjadi faktor yang cukup penting dalam mendukung perkembangan suatu wilayah. Wilayah dengan akses yang lebih baik akan menyebabkan tingkat interaksi yang tinggi dengan daerah lain sehingga menjadi lebih cepat berkembang.
Faktor lain yang mendorong perkembangan
wilayah adalah lokasinya, terutama terhadap pusat ekonomi atau pemerintahan. Lokasi
yang
berdekatan
dengan
pusat
umumnya
akan
lebih
terpacu
perkembangannya, dan umumnya akan sangat terpegaruh oleh pusat dibanding daerah-daerah yang relatif lebih jauh dan akan lebih berkembang menjadi hinterland yang menyangga daerah pusat. Perbedaan perkembangan ini pada gilirannya akan membentuk suatu hirarki atau struktur wilayah dimana daerah yang lebih maju kemudian akan berkembang menjadi pusat, baik pusat perekonomian maupun pusat pemerintahan. Wilayah yang
5
sumberdaya alamnya kurang mendukung akan relatif kurang berkembang dan cenderung menjadi wilayah hinterland. Keadaan ini dapat menjadi suatu push factor terutama bagi sumberdaya manusia untuk bekerja ke wilayah yang lebih berkembang dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya sehingga berakibat pada semakin sulitnya bagi daerah seperti ini untuk berkembang karena kekurangan sumberdaya manusia. Hal ini terlihat secara nyata dimana perkembangan Kabupaten Bogor juga mengikuti kaidah tersebut. Daerah-daerah yang mempunyai akses langsung ke pusat (baik ke Jakarta ataupun Bandung sebagai ibukota propinsi) akan mempunyai perkembangan yang relatif lebih baik dibanding di wilayah barat yang tidak memiliki akses langsung terhadap kedua pusat tersebut. Selain itu, dari sisi lokasi, jarak yang relatif dekat dari wilayah tengah dan timur terhadap pusat juga menjadikan daerah ini lebih cepat perkembangannya. Berdasarkan
pada
permasalahan
di
atas
maka
dalam
perencanaan
pengembangan suatu wilayah, harus didasari dari evaluasi sumberdaya alam agar dalam pemanfaatannya dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Selain itu, penting juga untuk memperhatikan sumberdaya lain yang ada di suatu daerah, baik manusia, sosial maupun buatan yang ada. Identifikasi dan Perumusan Masalah Wilayah barat dari Kabupaten Bogor, secara historis merupakan daerah-daerah yang lebih banyak mengandalkan pada sektor-sektor yang berbasiskan pada sumberdaya alam seperti pertanian dan perkebunan. Sedangkan sektor-sektor lain seperti industri atau pariwisata belum begitu berkembang, walaupun sebenarnya daerah ini dilalui oleh jalan propinsi yang cukup baik kondisinya. Lain halnya dengan wilayah timur yang perkembangannya telah lebih maju dimana tidak hanya mengandalkan pada sektor-sektor yang berbasiskan sumberdaya alam tetapi juga pada sektor industri dan jasa. Hal ini dapat terlihat dari berbagai kelompok industri yang terkonsentrasi di wilayah tengah dan timur bagian utara, yaitu di Kecamatan Cileungsi sebanyak 100 unit (21.78%), Kecamatan Gunung Putri 103 unit (21.78), Kecamatan Citeureup 58 unit (12.26%) dan Kecamatan Cibinong 67 unit (14.16%).
6
Adanya perbedaan ini tentu akan berdampak terhadap kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat serta dampaknya dari proses pembangunan itu sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat maupun sumberdaya alam yang ada.
Pada daerah-daerah di wilayah barat, sumberdaya
alamnya belum banyak tersentuh oleh pembangunan, kecuali di daerah-daerah pertambangan jenis galian C serta adanya pertambangan emas di Gunung Pongkor. Akan tetapi pada umumnya pertambangan emas ini merupakan enclave tersendiri di lingkungan tersebut. Dalam
hal
aksesibilitas,
walaupun
telah
ada
jalan
propinsi
yang
menghubungkan Kabupaten Bogor ke Kabupaten Banten di sebelah barat akan tetapi dalam hal densitas jalan (panjang jalan per luas wilayah), pada umumnya di wilayah barat ini relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 1 yang menunjukkan penyebaran wilayah yang mempunyai densitas jalan yang relatif rendah (kurang dari 2.254 m per km2). Adanya disparitas wilayah akan menyebabkan dampak terhadap ketersediaan lapangan kerja.
Wilayah yang lebih maju tentunya akan menyediakan lapangan
pekerjaan yang jauh lebih banyak dan beragam dan hal ini akan menjadi magnet (pull factor) yang akan menarik tenaga kerja dari berbagai wilayah yang ada di sekitarnya. Hal ini tentunya mengakibatkan ketimpangan dalam penyebaran tenaga kerja dimana daerah yang maju akan mengalami kelebihan penawaran tenaga kerja sedangkan daerah-daerah yang belum maju menjadi kekurangan suplai tenaga kerja. Berdasarkan beberapa uraian di atas maka perlu untuk merumuskan permasalahan mengenai wilayah pembangunan Kabupaten Bogor serta perlu dilakukan pengujian terhadap variabel-variabel sumberdaya fisik, sosial dan ekonomi maupun aspek spasial wilayahnya sehingga dapat diperoleh faktor dominan yang mempengaruhi disparitas antar wilayah di Kabupaten Bogor.
7
680000
700000
720000
740000
660000
680000
700000
720000
740000
9240000
9240000
9260000
9260000
9280000
9280000
9300000
9300000
9320000
9320000
660000
Keterangan : Batas wilayah pemerintahan Desa dengan densitas jalan rendah di wilayah barat
Peta Penyebaran Desa Dengan Densitas Jalan Yang Rendah 7
0
Desa dengan densitas jalan rendah di wilayah tengah Desa dengan densitas jalan rendah di wilayah timur
Program Studi Perencanaan Wilay ah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006
7
14 Km
N W
E S
Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor
Gambar 1 Peta Penyebaran Desa dengan Densitas Jalan yang Rendah (kurang dari 2.254 m per km2)
8
Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Membuat tipologi wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan data-data spasial dan data sosial ekonomi wilayah 2. Mengetahui keterkaitan dan perbedaan antar variabel-variabel/indikator-indikator pembangunan. 3. Mencari variabel-variabel penentu utama yang menyebabkan terjadinya disparitas pewilayahan di Kabupaten Bogor 4. Mengetahui kontribusi variabel-variabel tersebut terhadap ketertinggalan wilayah tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan bagi arah pembangunan di Kabupeten Bogor dimana dengan diketahuinya faktor-faktor utama penghambat perkembangan wilayah maka alternatif-alternatif solusi yang akan diberikan pada daerah-daerah tertinggal tersebut menjadi tepat sasaran
TINJAUAN PUSTAKA
Ilmu Pembangunan Wilayah Ilmu pembangunan wilayah merupakan ilmu yang relatif baru.
Ilmu ini
dikembangkan pada awal dasawarsa 1950an, tetapi baru pada dasawarsa 1970an ilmu ini berkembang dengan pesat. Ilmu ini muncul karena ketidakpuasan pakar ilmu sosial ekonomi terhadap rendahnya tingkat perhatian dan analisis ekonomi berdimensi spasial. Ilmu pembangunan wilayah merupakan wahana lintas disiplin yang mencakup berbagai teori dan ilmu terapan yaitu geografi, ekonomi, sosiologi, matematika, statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu lingkungan, dan sebagainya. Hal ini dapat dimengerti karena pembangunan itu sendiri merupakan fenomena multifaset yang memerlukan berbagai usaha manusia dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sesuai dengan pandangan pendiri ilmu wilayah, Walter Isard, bahwa pengetahuan pada berbagai ilmu adalah menyatu dan saling berkaitan. Menurut Misra (1977 dalam Budiharsono 2001), ilmu pembangunan wilayah merupakan disiplin ilmu yang ditopang oleh empat pilar (tetraploid diciplines) yaitu geografi, ekonomi, perencanaan kota, dan teori lokasi. Pada Gambar 2 disajikan skema ilmu pembangunan wilayah sebagai tetraploid disciplines. Namun pendapat Misra mengenai ilmu pembangunan wilayah ini terlalu sederhana karena tidak memasukkan aspek biogeofisik yang merupakan dasar dari teori geografi dan teori lokasi serta aspek sosial budaya dan lingkungan yang berperan dalam pembangunan wilayah tetapi belum ada keterwakilannya dalam keempat disiplin ilmu tersebut. Oleh karena itu, ilmu pembangunan wilayah setidaknya perlu ditopang oleh enam pilar analisis, seperti yang tampak pada gambar 2 (Budiharsono 2001).
10
Geografi
Ekonomi
Ilmu Pembangunan Wilayah
Teori Lokasi
Perencanaan Kota
Gambar 2 Empat Pilar Pembangunan Wilayah
Analisis Sosial Budaya
Analisis Biogeofisik
Analisis Kelembagaan
Ilmu Pembangunan Wilayah
Analisis Ekonomi
Analisis Lingkungan
Analisis Lokasi
Gambar 3 Enam Pilar Pembangunan Wilayah
11
Umumnya dapat kita katakan bahwa secara internal kemandirian sebuah kota akan sangat tergantung dari tiga faktor kunci yaitu permodalan, infrastruktur dan sumber daya manusia. Asumsi kita ialah bahwa bila pengelola kota berhasil mengelola faktor-faktor internal tersebut di atas, maka mereka akan dapat mengembangkan “kemandirian” kota tersebut. Sedangkan “kemandirian” itu sendiri adalah persyaratan untuk terbentuknya kota yang mempunyai ciri lokal yang kuat (Santoso 2003). Mengenai yang pertama yaitu permodalan maka dapat dikatakan bahwa pergerakan modal akan sedikit terpengaruh oleh otonomi daerah, yaitu hanya terkait dengan proses perizinan yang mungkin bisa lebih lancar. Tapi bisa saja hal ini menjadi bumerang, karena pejabat kota melihat ini sebagai kesempatan meningkatkan PAD atau lahan basah untuk KKN dan bisa menjadi momok bagi para calon investor. Faktor kunci kedua adalah infrastruktur, di mana kita harus membagi menjadi dua kelompok, yaitu yang masih dikelola secara sentral seperti kereta api, listrik, dan telepon, serta yang menjadi tanggung jawab pemerintah kota seperti jalan kota, saluran, air bersih, pengelolaan limbah dan sampah, dan seterusnya. Yang terberat dari ketiga faktor kunci adalah faktor sumberdaya manusia (SDM). Seperti kita tahu tingkat penghasilan masyarakat kita sangat tergantung dari produktivitas kota. Kota dengan “externalities” yang rendah akan meningkatkan kemampuan badan usaha untuk membayar imbalan jasa yang lebih tinggi. Sebaliknya kota dengan kondisi “high-cost economy” akan mendorong para pengusaha untuk menurunkan penghasilan karyawannya dalam rangka menjaga kemampuannya berkompetisi dengan pesaing mereka. Karena itu kota-kota yang mempunyai externalities tinggi akan cenderung kehilangan SDM yang berkualitas karena mereka akan beremigrasi ke luar kota. Walaupun tingkat penghasilan bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi seseorang untuk meninggalkan sebuah kota, tetapi statistik menunjukkan bahwa jumlah SDM berkualitas secara prosentual lebih tinggi di kota-kota dengan tingkat kehidupan yang lebih baik (Santoso 2004).
12
Pembangunan Wilayah Pembangunan atau pengembangan, dalam arti development, bukanlah suatu kondisi atau keadaan yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusianya, dalam hal ini penduduk setempat. Sebaliknya, pengembangan itu adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang mereka miliki guna meningkatkan kualitas hidupnya dan juga kualitas hidup orang lain (Zen 2001). Pembangunan pada hakikatnya adalah pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki untuk maksud dan tujuan tertentu. Ketersediaan sumberdaya sangat terbatas sehingga diperlukan strategi pengelolaan yang tepat bagi pelestarian lingkungan hidup agar kemampuan serasi dan seimbang untuk mendukung keberlanjutan kehidupan manusia. Memajukan kesejahteraan generasi sekarang melalui pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan kebijakan terpadu dan menyeluruh tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Strategi pengelolaan yang dimaksud yaitu upaya sadar, terencana, dan terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan,
pengawasan,
pengendalian,
pemulihan,
dan
pengembangan
sumberdaya secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup. Kesadaran bahwa setiap kegiatan selalu berdampak terhadap lingkungan hidup merupakan pemikiran awal yang penting untuk memaksa manusia berpikir lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana wujud dampak tersebut, sehingga sedini mungkin dilakukan langkah penanggulangan dampak negatif dan mengembangkan dampak positif. Penataan ruang merupakan satu proses pembangunan yang perlu mempertimbangkan aspekaspek keberlanjutan. Dalam menyusun suatu rencana tata ruang yang baik, nilai-nilai ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup menjadi bagian yang tidak terpisahkan (BKTRN 2001). Dalam kenyataannya, seringkali pembangunan ini lebih banyak menekankan pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan kurang memperhatikan aspek-aspek spasial. Hal ini tercermin dari adanya berbagai kelemahan antara lain kesenjangan antar wilayah dan kemiskinan. Kelemahan ini yang menjadi penyebab hambatan terhadap gerakan maupun aliran penduduk, barang dan jasa, keuntungan dan kerugian di
13
dalamnya.
Seluruh sumberdaya ekonomi dan non ekonomi menjadi terdistorsi
alirannya sehingga divergensi menjadi semakin parah.
Akibatnya, hasil
pembangunan menjadi mudah didikotomikan antar wilayah, sektor, kelompok masyarakat maupun pelaku ekonomi (Nugroho dan Dahuri 2004). Sedangkan pengertian wilayah adalah suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi (Nugroho dan Dahuri 2004). Definisi lain menyebutkan bahwa wilayah adalah unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional (Rustiadi et al. 2004).
Dalam menganalisis wilayah secara umum dikenal tiga tipe (Blair 1991
dalam Nugroho dan Dahuri 2004). Pertama, wilayah fungsional, yang dicirikan oleh adanya derajat integrasi antara komponen-komponen di dalamnya yang berinteraksi ke dalam wilayah alih-alih berinteraksi ke wilayah luar. Kedua, wilayah homogen yang dicirikan oleh adanya kemiripan relatif dalam wilayah yang dapat dilihat dari aspek sumberdaya alam, sosial dan ekonomi. Ketiga, wilayah administratif. Wilayah ini dibentuk untuk kepentingan pengelolaan atau organisasi oleh pemerintah maupun pihak-pihak lain. Dalam memandang suatu wilayah, minimal ada tiga komponen wilayah yang perlu diperhatikan, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan teknologi, selanjutnya disebut tiga pilar pengembangan wilayah.
Pengembangan wilayah
merupakan interaksi antara tiga pilar pengembangan wilayah (Nachrowi dan Suhandojo 2004) Lebih lanjut, Triutomo (2001) menyebutkan bahwa tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan.
Di sisi ekonomis,
pengembangan wilayah adalah upaya memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana dan pelayanan logistik dan sebagainya.
Di sisi lain, secara ekologis
pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat campur tangan manusia terhadap lingkungan.
14
Untuk pengembangan wilayah, diperlukan perencanaan yang tidak hanya mempertimbangkan aspek fisik wilayah semata, akan tetapi juga harus mampu memasukkan unsur-unsur sosial, budaya, ekonomi dan politik ke dalamnya. Secara luas, perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri 2004). Perencanaan pembangunan wilayah sendiri mempunyai tiga pilar penting (Hoover and Giarratani 1985). Pertama, keunggulan komparatif (imperfect factor mobility). Pilar ini berhubungan dengan kondisi spesifik suatu wilayah yang sulit untuk dipindahkan ke wilayah lain. Kedua, aglomerasi (imperfect divisibility) yang merupakan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi sebagai akibat pemusatan ekonomi secara spasial. Ketiga, biaya transport (imperfect mobility of goods and services). Satu pendekatan pembangunan yang dikenal dengan nama pendekatan wilayah menekankan pada penanganan langsung penduduk atau masyarakat yang berada di wilayah-wilayah terisolasi dan di dalam wilayah-wilayah miskin atau terisolasi ini pada gilirannya akan dicari dan dikenali kelompok-kelompok sasaran penduduk termiskin. Dengan demikian, pendekatan wilayah berorientasi pada pemerataan dan keadilan, dan bertujuan menutup jurang kesenjangan ekonomi dan sosial, baik antar kelompok dalam masyarakat maupun antar daerah (Mubyarto 2000). Dalam kaitannya dengan pembangunan perdesaan, selama 32 tahun sejarah pembangunan Orde Baru, telah terjadi persaingan antara orientasi pertumbuhan dan pemerataan yang mewujud dalam bentuk perebutan prioritas antara pembangunan sektor industri dengan pertanian, atau antara sektor ekonomi modern di perkotaan dengan ekonomi rakyat tradisional di perdesaan. Kesulitan lain yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah adanya keterkaitan yang sangat erat antara
15
pembangunan perdesaan dengan keharusan pemberdayaan masyarakat pendukungnya (Mubyarto 2000). Analisa Spasial Menurut Rustiadi et al. (2004), pengertian analisa spasial dipahami secara berbeda antara ilmuwan berlatar belakang geografi dengan ilmuwan berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi). Perbedaan keduanya bersumber dari perbedaan dalam dua hal, pertama perbedaan pengertian kata spasial atau ruang itu sendiri dan kedua perbedaan fokus kajiannya.
Dari pandangan geografi, pengertian spasial adalah
pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat. Definisi suatu “tempat” atau lokasi secara geografis sangat jelas, tegas dan lebih terukur karena setiap lokasi di atas permukaan bumi dalam ilmu geografi dapat diukur secara kuantitatif. Fokus kajian para ahli geografi dalam analisa spasial tertuju pada cara mendeskripsikan fakta, dengan kata lain lebih memfokuskan pada aspek “apa” dan “bagaimana” yang terjadi di atas permukaan bumi dan bahkan “dimana”. Domain kajian ilmu geografi lebih banyak menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial, oleh karenanya ilustrasi-ilustrasi spasial dengan “peta” yang memiliki akurasi informasi spasial didalamnya sangat penting. Analisis mengenai pola-pola spasial (pemusatan, penyebaran, kompleksitas spasial, dll) kecenderungan spasial, bentuk-bentuk dan struktur interaksi spasial secara deskriptif menjadi kajian-kajian yang banyak mendapat perhatian dari ahli geografi. Semuanya dikaji tanpa harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya. Dalam kerangka konsep geografis, analisis spasial telah lama dikembangkan oleh para ahli geografi untuk memenuhi kebutuhan untuk memodelkan dan menganalisis data spasial. Bailey (1995 dalam Rustiadi et al. 2004) mendefinisikan analisis spasial sebagai upaya memanipulasi data spasial ke dalam bentuk-bentuk dan mengekstrak pengertian-pengertian tambahan sebagai hasilnya. Analisis data spasial berbeda dengan spatial summarization of data.
Spatial summarization of data
dilakukan untuk menciptakan fungsi dasar pengambilan informasi spasial secara
16
selektif di suatu areal dengan pendekatan komputasi, tabulasi atau pemetaan dari berbagai statistik informasi yang dimaksudkan. Analisis spasial lebih terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Lebih lanjut, Haining (1995 dalam Rustiadi et al. 2004) mendefinisikan sebagai sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyekobyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya. Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah : 1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat. 2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi. 3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadiankejadian di dalam ruang geografis. Berdasarkan atas aplikasinya, menurut Fischer et al. (1996 dalam Rustiadi et al. 2004), model spasial digunakan untuk tiga tujuan, yaitu : 1. peramalan dan penyusunan skenario 2. analisis dampak terhadap kebijakan 3. penyusunan kebijakan dan disain
17
Pada data spasial atau data yang memiliki referensi geografis, visualisasi digunakan
untuk
membuktikan
hipotesis-hipotesis
mengenai
pola
atau
pengelompokkan di dalam ruang geografis serta mengenai peranan lokasi terhadap aktivitas manusia serta sistem lingkungan (Mac Eachren 1995 dalam Rustiadi et al. 2004). Disamping perkembangan metode-metode analisis spasial, peranan Sistem Informasi Geografis (SIG) didalam visualisasi data spasial akhir-akhir ini semakin signifikan. Menurut Getis (1995 dalam Rustiadi et al. 2004), tujuan utama SIG adalah pengelolaan data spasial. SIG mengintegrasikan berbagai aspek pengelolaan data spasial seperti pengolahan database, algoritma grafis, interpolasi, zonasi (zoning) dan network analysis. Namun banyak ahli geografi dan analisis spasial mengklaim bahwa yang selama ini disebut analisis spasial dan permodelan dengan SIG seringkali ternyata tidak lebih dari proses-proses manipulasi data seperti overlay polygon, buffering, dan sebagainya yang pada dasarnya “tidak cukup pantas” menggunakan terminologi analisis. Analisis spasial berkembang seiring dengan perkembangan geografi kuantitatif dan ilmu wilayah (regional science) pada awal 1960an. Perkembangannya diawali dengan digunakannya prosedur-prosedur dan teknik-teknik kuantitatif (terutama statistik) untuk menganalisa pola-pola sebaran titik, garis, dan area pada peta atau data yang disertai koordinat ruang dua atau tiga dimensi. Pada perkembangannya, penekanan dilakukan pada indigenous features dari ruang geografis pada prosesproses pilihan spasial (spatial choices) dan implikasinya secara spatio-temporal. Analisis spasial tidak hanya mencakup statistika spasial. Terdapat dua kajian studi yang bisa dibedakan:
Analisis statistik data spasial: kajian-kajian untuk menemukan metode-metode dan kerangka analisis guna memodelkan efek spasial dan proses spasial
Permodelan spasial: permodelan deterministic atau stokastik untuk memodelkan kebijakan lingkungan, lokasi-lokasi, interaksi spasial, pilihan spasial dan ekonomi regional.
18
Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) mempunyai peran yang penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, berbagai macam informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisa dan dikaitkan dengan letaknya di muka bumi (proyeksinya). Pengertian SIG ini sendiri telah diuraikan oleh banyak ahli dan mempunyai arti yang relatif sama. Aronoff (1989 dalam Dulbahri 2003) menyebutkan bahwa SIG adalah sistem informasi yang mendasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukkan, mengelola (memberi dan mengambil kembali), memanipulasi dan menganalisis data dan memberi uraian. Sedangkan menurut Barus dan Wiradisastra (2000), SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Berdasarkan berbagai pengertian SIG, tercermin adanya pemrosesan data keruangan dalam bentuk pemrosesan data numerik. Pemrosesan yang mendasarkan pada kerja mesin, dalam hal ini komputer yang mempunyai persyaratan tertentu. Data sebagai masukan harus numerik, artinya data masukan apapun bentuknya harus diubah menjadi angka digital, data lain adalah data atribut (Dulbahri 2003). Komponen utama SIG terbagi dalam empat kelompok yaitu perangkat keras, penrangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai.
Porsi masing-masing
komponen tersebut berbeda dari satu sistem ke sistem lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG tersebut (Barus dan Wiradisastra 2000). Indikator-indikator Pembangunan Indikator
merupakan
ukuran
kuantitatif
dan
atau
kualitatif
yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik
19
dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (Rustiadi et al. 2004). Dalam pembangunan, keberlanjutan merupakan salah satu asas yang sangat penting karena prinsip pembangunan adalah menjamin ketersediaan kebutuhan hidup manusia di waktu sekarang maupun yang akan datang. Penerapan pembangunan berkelanjutan yang kompleks dapat disederhanakan dengan penggunaan sejumlah indikator yang tepat. Ketepatan indikator yang dipilih menentukan pada penilaian akhir karena indikator bersifat spesifik untuk masing-masing kondisi. Pemilihan banyaknya indikator pun perlu diperhitungkan karena jika terlalu banyak tidak saja akan memakan biaya dan waktu yang banyak, tetapi juga dapat mengaburkan fokus yang ingin dicapai. Sebaliknya bila terlalu sedikit, dirasakan adanya kelemahan, bahkan kekeliruan dalam menerjemahkan keadaan. Karena itu penetapan sekumpulan indikator yang tepat untuk menggambarkan pembangunan berkelanjutan menjadi satu tugas yang sulit. Indikator diterapkannya konsep pembangunan berkelanjutan dalam penataan ruang dapat dibagi sesuai dengan tiga aspek yang ingin dicapainya, yaitu ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan hidup dengan beberapa contoh sebagai berikut: )
Indikator Ekonomi: PDB/PDRB, pendapatan perkapita, volume ekspor-impor, dan lain-lain secara stabil serta kemajuan sektor kegiatan ekonomi yang telah ada sekaligus tumbuhnya sektor kegiatan baru yang mendukung perekonomian nasional.
)
Indikator Sosial Budaya: kualitas sumberdaya manusia, angka harapan hidup, intensitas kegiatan budaya; tingkat kebergantungan penduduk (desa-kota, nonproduktif-produktif, jumlah pengangguran, dan lainlain).
)
Indikator Lingkungan Hidup: standardisasi kualitas air, udara, tanah; perubahan suhu udara, tingkat permukaan air tanah, intrusi air laut, frekuensi bencana, dan lain-lain.
20
Beberapa Hasil Penelitian Menurut Dugo (2003), tipologi wlayah dari Kabupaten Bogor bagian barat terdiri
dari
tiga
klaster
yaitu
Ciampea
(mencakup
Kecamatan
Ciampea,
Cibungbulang, Pamijahan, Leuwiliang dengan Ciampea sebagai pusat klaster), Jasinga (mencakup Kecamatan Jasinga, Cigudeg, Sukajaya dan Nanggung dengan Jasinga sebagai pusat klaster) serta Parung Panjang (mencakup Kecamatan Parung Panjang, Tenjo dan Rumpin dengan Parung Panjang sebagai pusat klaster). Untuk klaster Ciampea dicirikan oleh: 1. Tingginya aktivitas-aktivitas perekonomian yang dicerminkan oleh PDRB sektor listrik-gas-air,
bangunan-konstruksi,
perdagangan,
angkutan-komunikasi.
Wilayah pembangunan satu ini memiliki akumulasi PDRB yang paling tinggi di sektor pertanian, dimana sektor pertanian khususnya tanaman pangan lebih cocok dan potensial untuk dikembangkan (tercermin dari produktivitas padi sawah, ubi jalar yang tinggi). Sementara sektor industri kecil dan jasa-jasa bersifat sebagai sektor penunjang, mengingat upaya dalam mengatasi permasalahan alokasi tenaga kerja dengan berkembangnya pusat-pusat pemukiman serta dampak daya tarik kota Bogor dan pengembangan Kampus IPB Darmaga. 2. Tinginya tingkat inflasi yang terkait dengan sektor listri-gas-air, bangunankonstruksi, perdagangan, angkutan-komunikasi. 3. Tingginya jumlah sarana dan prasarana yang terkait dengan sarana pendidikan (SD, SLTP, SLTA), sarana kesehatan, sarana transportasi dengan ketersediaan sarana pendidikan SLTA, sarana kesehatan berupa dokter praktek umum dan spesialis yang lebih khas bila dibandingkan dengan tipologi wilayah pembangunan lain. Karakteristik tipologi wilayah pembangunan dua sebagai klaster Jasinga dicirikan oleh: 1. Tingginya aktivitas-aktivitas perekonomian yang dicerminkan oleh PDRB sektor pertambangan dan penggalian dan aktivitas lainnya di sektor kehutanan rakyat,
21
terutama pada Kecamatan Nanggung, Sukajaya, Cigudeg yang tercermin dari fenomena-fenomena pemusatan penggunaan lahan hutan pada kecamatan tersebut. Ditinjau dari sektor pertanian yang penyebarannya relatif merata, tipologi wilayah pembangunan dua ini lebih cocok dan potensial untuk tanaman keras dan tanaman tahunan dimana tanaman semusim (ladang jagung, kacang kedelai) dapat dikembangkan sebagai tanaman sekunder. 2. Tingginya tingkat inflasi yang terkait dengan sektor pertambangan dan penggalian, keuangan-sewa-jasa-perusahaan. 3. Tingkat ketersediaan sarana pendidikan SD, SLTP, SLTA yang relatif cukup terutama pada Kecamatan Jasinga dan Cigudeg, tingginya ketersediaan sarana transportasi angkutan desa pada Kecamatan Nanggung, Cigudeg dan angkutan kota pada Kecamatan Jasinga serta tingginya ketersediaan sarana kesehatan berupa tenaga medis terutama pada Kecamatan Cigudeg. Karakteristik tipologi wilayah pembangunan tiga sebagai klaster Parung Panjang dicirikan oleh: 1. Tingginya aktivitas-aktivitas perekonomian yang dicirikan oleh PDRB sektor industri dan jasa-jasa. Ditinjau dari sektor pertanian yang penyebarannya relatif merata, tipologi wilayah pembangunan tiga ini lebih cocok dan potensial untuk dikembangkan sebagai pusat produksi peternakan ayam skala besar dan sentra produksi buah-buahan seperti durian, rambutan, pisang, mangga (RTRW Bogor Barat Kabupaten Bogor 2001-20011) serta pusat perkebunan terutama pada Kecamatan Rumpin. Tanaman pangan berupa ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau yang bersifat local spesific sebagai tanaman sekunder. Sedangkan sektor penunjang berupa pertambangan dan galian pasir, kaolin dan trass. 2. Tingginya tingkat inflasi yang terkait dengan sektor industri dan jasa-jasa. 3. Tingkat ketersediaan sarana pendidikan SLTP yang relatif tinggi, SD dan SLTA yang relatif rendah serta sarana kesehatan berupa tenaga medis dan pos Keluarga
22
Berencana yang relatif tinggi terutama pada Kecamatan Parung Panjang sebagai pusat klaster. Jika
dikaitkan
dengan
karakteristik
fisik
wilayah,
tipologi
wilayah
pembangunan satu mayoritas memiliki jenis tanah Latosol maupun asosiasi Latosol dan Regosol dengan bahan induk abu/pasir dan tuf volkan intermedier.
Untuk
tipologi wilayah pembangunan dua mayoritas memiliki jenis tanah Latosol maupun aosiasi Latosol dan Podsolik Merah Kuning dengan bahan induk berupa batuan volkan masam yang lebih dominan.
Untuk tipologi wilayah pembangunan tiga
keberadaan jenis tanah aluvial relatif cukup luas di bagian barat laut Kecamatan Tenjo dan adanya aliran sungai menunjang ketersediaan air bagi budidaya padi sawah. Untuk di Kecamatan Rumpin, berkembangnya sektor/aktivitas penunjang berupa pertanian tanaman pangan ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau dan perkebunan lebih disebabkan oleh keberadaan jenis tanah Latosol berbahan induk tuf volkan intermedier dan jenis tanah Aluvial dengan fisiografi dataran yang cocok bagi budidaya ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau serta kedua jenis tanah yang berbahan induk mulai dari intermedier sehingga basis ini juga relatif cocok bagi budidaya perkebunan berupa perkebunan kakao (Dugo 2003). Dalam kaitannya dengan lokasi-lokasi agroindustri, menurut Zulfah (2004), sebagian besar berlokasi di sebelah timur dan tengah Kabupaten Bogor yang mempunyai aksesibilitas dan infrastruktur yang lebih berkembang seperti akses jalan tol, jalan raya dan lebih dekat dengan lokasi pasar. Demikian pula dengan pola spasial tenaga kerja yang cenderung memusat di bagian wilayah tengah dan ini merupakan lokasi dengan jumlah industri terbesar. Wilayah ini merupakan wilayah yang memiliki aksesibilitas distribusi dan infrastruktur yang lebih mudah serta pusat aktivitas perekonomian dan konsentrasi penduduk yang lebih tinggi.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, mencakup semua kecamatan dan desa yang ada yaitu 35 kecamatan dan 425 desa. Penelitian dilakukan mulai bulan Juni 2005 hingga Desember 2005. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini data dikumpulkan dari berbagai sumber antara lain BPS Kabupaten Bogor, Bakosurtanal dan instansi lain yang terkait. Data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari data sosial ekonomi yang berasal dari pengolahan data Potensi Desa (Podes) tahun 2003 serta Kecamatan Dalam Angka tahun 2003 serta data yang berkaitan dengan kondisi fisik wilayah seperti data topografi, ketinggian, atau jenis tanah.. Data lain yang juga digunakan adalah petapeta, seperti peta administratif, peta jaringan jalan, peta jaringan sungai, peta kawasan hutan, peta landuse, peta kelas kemampuan lahan dan lain-lain.
Unit contoh yang
digunakan dalam penelitian ini adalah desa. Parameter Yang Digunakan Untuk mengetahui ketertinggalan suatu wilayah, terlebih dahulu harus ditentukan indikator-indikator pembangunan yang menjadi ukuran dari keberhasilan pembangunan atau ketertinggalan suatu wilayah.
Indikator yang paling umum
digunakan adalah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Akan tetapi karena data PDRB untuk tingkat kecamatan di Kabupaten Bogor belum tersedia, maka dilakukan pendekatan dengan berbagai indikator lain, antara lain: )
Jumlah penduduk per km2
)
Jumlah tempat pelayanan kesehatan per 1000 penduduk
)
Jumlah sarana pendidikan (SD, SMP, SMA) per 1000 penduduk
24
)
Proporsi penduduk usia sekolah
)
Proporsi penduduk usia produktif (15 – 55 tahun)
)
Jumlah lembaga keuangan per 1000 penduduk
)
Rasio jalan aspal per luas wilayah
)
Jumlah kendaraan bermotor (roda dua dan empat) per 1000 penduduk
)
Pendapatan asli daerah (PAD) per kapita
)
Jumlah sarana perbelanjaan per 1000 penduduk
)
Jumlah sarana komunikasi per 1000 penduduk
)
Jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi
)
Jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi
Untuk selengkapnya, parameter-parameter yang diukur adalah seperti yang tertera pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1 Parameter-parameter yang diukur No 1
Bidang Pola Penganggaran Pembangunan
2 3
Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba Sarana Perekonomian (Pasar dan Perbelanjaan)
4 5 6 7 8
Variabel PAD
Sarana Perekonomian (Lembaga Keuangan)
Jumlah Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan & Minuman Jumlah Toko/Warung/Kios Bank Umum Bank Perkreditan Rakyat Koperasi Unit Desa (KUD) Koperasi Non-KUD
Parameter PAD per kapita Jumlah Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba per 1.000 penduduk Jumlah Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan & Minuman per 1.000 penduduk Jumlah Toko/Warung/ Kios per 1.000 penduduk Jumlah Bank umum per 1.000 penduduk Jumlah Bank Perkreditan Rakyat per 1.000 penduduk Jumlah Koperasi Unit Desa (KUD) per 1.000 penduduk Jumlah Koperasi Non-KUD per 1.000 penduduk
Sumber PODES 2003
PODES 2003
PODES 2003
25
Tabel 1 Lanjutan No 9
Bidang
10
Wisata Alam Non Bahari Wisata Budaya
11 12
Variabel Wisata Alam Bahari
Sarana Pariwisata
Wisata Lainnya
13
Gedung Bioskop
14
Hotel/Penginapan
15 16
Wartel/kiospon/warp ostel/warparpostel Warung internet
17
Telepon umum
18
Sarana Komunikasi dan Informasi
Rumah Tangga yang Memiliki TV
19
Rumah Tangga yang Berlangganan telepon
20 21
Jumlah Keluarga yang Menggunakan Listrik PLN (KK) Jumlah Dokter
22
Jumlah Bidan
23
Jumlah Dukun Bayi
24
Jumlah Unit Rumah Sakit Pemerintah
25 26 27 28
Sarana dan Tenaga Kesehatan
Jumlah Unit Puskesmas Jumlah Unit Puskesmas Pembantu Jumlah Unit Posyandu Jumlah Praktek Dokter
Parameter Wisata Alam Bahari per 1.000 penduduk Wisata Alam Non Bahari per 1.000 penduduk Wisata Budaya per 1.000 penduduk Wisata Lainnya per 1.000 penduduk Gedung Bioskop per 1.000 penduduk Hotel/Penginapan per 1.000 penduduk Wartel/kiospon/warpostel/war parpostel per 1 000 penduduk Warung internet per 1 000 penduduk Telepon umum per 1 000 penduduk Rumah Tangga yang Memiliki TV per 1.000 penduduk Rumah Tangga yang Berlangganan telepon per 1.000 penduduk Jumlah Keluarga yang Menggunakan Listrik PLN (KK) per 1.000 penduduk Jumlah Dokter per 1.000 penduduk Jumlah Bidan per 1.000 penduduk Jumlah Dukun Bayi per 1.000 penduduk Jumlah Unit Rumah Sakit Pemerintah per 1.000 penduduk Jumlah Unit Puskesmas per 1.000 penduduk Jumlah Unit Puskesmas Pembantu per 1.000 penduduk Jumlah Unit Posyandu per 1.000 penduduk Jumlah Praktek Dokter per 1.000 penduduk
Sumber
PODES 2003
PODES 2003
PODES 2003
26
Tabel 1 Lanjutan No 29 30
Bidang Sarana dan Tenaga Kesehatan
31 32 33 34 35
Pendidikan
36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Sarana Peribadatan
48 49 50
Tata Ruang dan Lingkungan
51 52 53 54 55
Transportasi
Variabel Jumlah Unit Poliknik Jumlah Unit Apotik dan Toko obat
Parameter Jumlah Unit Poliknik per 1.000 penduduk Jumlah Unit Apotik dan Toko Obat per 1.000 penduduk
Jumlah SD/Madrasah Jumlah SMP/Madrasah Jumlah SMA/Madrasah Rasio siswa SD terhadap sekolah Rasio siswa SMP terhadap sekolah Rasio siswa SMA terhadap sekolah Rasio guru SD terhadap murid Rasio guru SMP terhadap murid Rasio guru SMA terhadap murid Masjid Surau/langgar Gereja kristen Gereja katolik Pura Vihara Klenteng Kepadatan Penduduk Rasio Angkatan kerja Rasio keluarga pertanian Rasio keluarga pra sejahtera Rasio rumah permanen Roda 2 Roda 4 Panjang jalan aspal Panjang jalan aspal
Jumlah SD/Madrasah per 1.000
Sumber PODES 2003
penduduk Jumlah SMP/Madrasah per 1.000
penduduk Jumlah SMA/Madrasah per 1.000
penduduk Rasio siswa SD terhadap sekolah Rasio siswa SMP terhadap sekolah Rasio siswa SMA terhadap sekolah
Kecamatan Dalam Angka 2003
Rasio guru SD terhadap murid Rasio guru SMP terhadap murid Rasio guru SMA terhadap murid Masjid per 1.000 penduduk Surau/langgar per 1.000 penduduk Gereja kristen per 1.000 penduduk Gereja katolik per 1.000 penduduk Pura per 1.000 penduduk Vihara per 1.000 penduduk Klenteng per 1.000 penduduk Kepadatan Penduduk per km2 Jumlah Angkatan kerja per jumlah penduduk Rasio keluarga pertanian per jumlah penduduk Rasio keluarga pra sejahtera per jumlah penduduk Rasio rumah permanen per jumlah rumah Jumlah Roda 2 per 1.000 penduduk Roda 4 per 1.000 penduduk Panjang jalan aspal per luas wilayah Panjang jalan aspal per luas wilayah
PODES 2003
PODES 2003
PODES 2003
27
Tabel 1 Lanjutan No 56
Bidang
Variabel
Parameter
59
Jarak terhadap ibukota kecamatan Jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi Jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat Jarak sentroid desa
60
Jarak sentroid desa
61
Densitas Jalan
62
Persen lereng rendah
57 58 Aksesibilitas
63
Faktor Fisik (Kelerengan)
64
Persen lereng tinggi
65 66 67 68
Faktor Fisik (Status kawasan hutan) Faktor Fisik (Sungai)
70 71
Persen lereng sedang
Kawasan hutan lindung Kawasan hutan lain Bukan kawasan hutan Densitas sungai Angkatan kerja
Kependudukan
Keluarga pertanian
Jarak terhadap ibukota kecamatan Jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi
Sumber
Podes 2003
Jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat Jarak sentroid desa terhadap sentroid Kota Bogor Jarak sentroid desa terhadap sentroid Ibukota Jakarta Densitas jalan per luas wilayah Persen luas lahan dengan lereng 0 – 8% terhadap luas wilayah Persen luas lahan dengan lereng 8 – 25% terhadap luas wilayah Persen luas lahan dengan lereng > 25% terhadap luas wilayah Luas kawasan hutan lindung per luas wilayah Luas kawasan hutan lain per luas wilayah Luas bukan kawasan hutan per luas wilayah Densitas sungai per luas wilayah Proporsi angkatan kerja per jumlah penduduk Proporsi keluarga pertanian per jumlah keluarga (KK)
Peta Topografi 1999
Peta Topografi 1999
Pemda Kab. Bogor 2003
PODES 2003
Analisa Data Analisa Hirarki Wilayah Analisa dilakukan dengan metode skalogram untuk membuktikan adanya hirarki di wilayah Kabupaten Bogor, khususnya dalam hal sarana infrastruktur. Data yang digunakan adalah data dari Potensi Desa Tahun 2003 dan data dari
28
Kecamatan Dalam Angka (KCDA) Tahun 2003. Parameter yang diukur meliputi bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, perekonomian dan aksesibilitas. Urutan kegiatan pada analisis data dengan metode skalogram antara lain (Saefulhakim 2004): 1. Melakukan pemilihan terhadap data PODES 2003 dan KCDA 2003 sehingga hanya tinggal data yang bersifat kuantitatif 2. Melakukan seleksi terhadap data-data kuantitatif tersebut sehingga hanya yang relevan saja yang digunakan. 3. Melakukan rasionalisasi data 4. Melakukan seleksi terhadap data-data hasil rasionalisasi hingga diperoleh 38 variabel untuk analisa skalogram yang mencirikan tingkat perkembangan desa di Kabupaten Bogor. 5. Melakukan standardisasi data terhadap 38 variabel tersebut dengan menggunakan rumus (Statsoft 2004) yang dimodifikasi: Zij =
Yij – minimum Yj St. Dev
dimana: Zij
= nilai baku untuk desa ke-i dan jenis sarana ke-j
Yij
= jumlah sarana untuk desa ke-i dan jenis sarana ke-j
minimum Yj
= nilai minimum untuk jenis sarana ke-j
St.Dev
= nilai standar deviasi
6. Menentukan indeks perkembangan desa (IPD) dan kelas hirarkinya untuk kemudian diplotkan pada peta. Dari data yang diukur dibagi ke dalam dua kelompok yaitu yang bisa langsung dibuat indeks (data jenis dan jumlah sarana) dan yang harus diinverskan terlebih dahulu (data aksesibilitas atau jarak dari ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten yang membawahi dan jarak dari ibukota kabupaten lain yang terdekat).
29
Setelah proses pembakuan kemudian dilakukan penjumlahan nilai baku tersebut untuk setiap desa. Untuk melihat struktur wilayah dilakukan sortasi data dimana wilayah yang mempunyai nilai yang paling besar diletakkan di barisan atas dan fasilitas yang paling banyak berada di kolom paling kiri. Pada penelitian ini, IPD dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu hirarki I (tinggi), hirarki II (sedang), dan hirarki III (rendah). Penentuannya didasarkan pada nilai standar deviasi (St Dev) IPD dan nilai median. Nilai yang didapat untuk selang hirarki dan digunakan untuk menentukan kelas hirarki dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Nilai Selang Hirarki No 1 2 3
Hirarki I II III
Nilai Selang (X) X > [median + (2*St Dev IPD)] median < X < (2* St Dev) X < median
Tingkat Hirarki Tinggi Sedang Rendah
∗ Analisa Spasial Adanya pewilayahan pembangunan di Kabupaten Bogor dimaksudkan untuk memfokuskan proses pembangunan di masing-masing wilayah.
Akan
tetapi hal ini menjadi kendala tersendiri mengingat lokasi dan medannya yang relatif berbeda antara satu dengan yang lainnya sehingga diperlukan kebijakan pembangunan yang bersifat spesifik untuk setiap wilayah tersebut.
Agar
kebijakan tersebut lebih terarah, maka perlu informasi yang mudah diperoleh dan tepat.
Untuk itu maka salah satu solusinya adalah dengan mengembangkan
sistem informasi geografis untuk wilayah bersangkutan. Analisa spasial berguna untuk memperoleh data dan informasi yang akurat mengenai suatu wilayah.
Selain itu juga dapat memetakan permasalahan-
permasalahan yang ada untuk dianalisa secara spasial sehingga keterkaitan antar wilayah dapat dianalisa dengan lebih mudah dan akurat. Sebagai dasar pemetaan, maka peta dasar yang digunakan adalah peta administratif (skala 1: 25.000) yang
30
diperoleh dari pemerintah daerah Kabupaten Bogor yang juga akan digunakan sebagai peta master. Analisa spasial yang digunakan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada analisa melalui sisitem informasi geografis berdasarkan data-data peta yang ada seperti peta jaringan jalan, peta sungai, peta status kawasan hutan, peta kelerengan dan peta administrasi dan yang berkaitan dengan hiraki wilayah dan selain itu juga digunakan untuk mengetahui jarak dari masing-masing unit contoh terhadap pusat (pusat kegiatan ekonomi yaitu Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi dan Bogor sebagai kota yang berada di tengah-tengah kebupaten Bogor). Untuk melakukan tipologi wilayah di Kabupaten Bogor, dilakukan analisa gerombol (clutering) dari data-data atribut yang diekstrak dari peta yaitu meliputi kepadatan penduduk, densitas jalan, densitas sungai, kelerengan, jarak lurus setiap pusat (centroid) desa terhadap Jakarta dan Kota Bogor dan hutan (status hutan). Sebelum dilakukan clustering, data-data tersebut lebih dahulu distandardisasi (standardized) selanjutnya dilakukan analisa gerombol. Hasil dari analisa ini adalah berupa tipologi wilayah berdasarkan data spasial yang ada dan akan ditampilkan sebagai data-data spasial berupa peta-peta. Software yang digunakan untuk melakukan analisa ini adalah ArcView GIS ver. 3.2. Analisis Komponen Utama Dalam analisis ini, data yang digunakan adalah data dari PODES 2003 kuantitatif yang melalui proses rasionalisasi dan terdiri dari 71 variabel seperti yang tercantum pada Tabel 1. Variabel-variabel tersebut adalah variabel yang dapat mencirikan tipologi wilayah desa-desa di Kabupaten Bogor. Analisis komponen utama ini dilakukan beberapa kali hingga diperoleh nilai PC Score terbaik, yaitu: PC Score g\dengan nilai akar ciri (eigenvalues) diatas 70%; jumlah faktor-faktor baru yang diperoleh pada tabel factor loading dibawah
31
sepuluh; dan korelasi antar variabel-variabel asal dengan faktor-faktor baru pada factor loading dapat diinterpretasikan secara logis. Adapun maksud dari analisis komponen utama ini adalah untuk mengelompokkan variabel-variabel menjadi beberapa kelompok. Ada dua tujuan dasar dari PCA dan FA, yakni: (1) Ortogonalisasi Variabel: mentransformasikan suatu struktur data dengan variabel-variabel yang saling berkorelasi menjadi struktur data baru dengan variabel-variabel baru (yang disebut sebagai Komponen Utama atau Faktor) yang tidak saling berkorelasi. (2) Penyederhanaan Variabel: banyaknya variabel baru yang dihasilkan, jauh lebih sedikit dari pada variabel asalnya, tapi total kandungan informasinya (total ragamnya) relatif tidak berubah. (Saefulhakim, 2004). y Cluster Analysis (Analisis Gerombol) Teknik pewilayahan merupakan salah satu teknik untuk membatasi wilayah berdasarkan kemiripan karakteristik tertentu dari suatu hamparan wilayah.
Teknik ini dapat mengadopsi konsep wilayah yang telah
berkembang, seperti konsep wilayah nodal atau konsep wilayah homogen. Secara umum, teknik pewilayahan ini mengadopsi konsep klasifikasi sebagaimana diadopsi oleh ilmu taksonomi. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya konsep klasifikasi ini adalah mengelompokkan berbagai unit pengamatan (spesies hewan, tanaman, tanah, atau wilayah) berdasarkan kemiripan/ kedekatan karakteristiknya. Teknik klasifikasi wilayah yang akan digunakan menggunakan bantuan teknik analisis multivariabel dengan Analisis Gerombol.
Secara umum
terdapat dua metode penggerombolan dalam analisis gerombol ini yaitu: (1) metode berhirarki (hierarchical clustering method) dan (2) metode tak berhirarki (non hierarchical clustering method).
32
Metode berhirarki dilakukan jika jumlah gerombol yang akan ditentukan sudah diketahui. Misalnya orde pembangunan wilayah yang secara umum diketahui berjumlah lima, yaitu: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah, atau tiga yaitu: tinggi, sedang, dan rendah. Pengklasifikasian selanjutnya akan dilakukan berdasarkan jumlah yang kita inginkan tersebut. Unit-unit analisis yang dikelompokkan akan bergerombol sesuai dengan kedekatan/ kemiripan karakteristiknya masing-masing. Sedangkan metode tidak berhirarki dilakukan jika jumlah gerombol belum diketahui. Penggerombolan selanjutnya dilakukan terhadap seluruh unit berdasarkan seluruh karakteristik yang diamati. Selanjutnya berdasarkan kenampakan hasil penggerombolan ditentukan pemotongan seberapa banyak gerombol yang akan digunakan. Sebelum melakukan penggabungan data perlu dihitung terlebih dahulu jarak antara dua data atau jarak antara dua gerombol data dengan ciri yang serupa. Untuk dapat dilakukan penggerombolan diperlukan suatu skala pengukuran yang sama.
Jika skala data tidak sama maka data perlu
ditransformasikan dalam suatu bentuk skor tertentu yang disebut jarak baku. Dalam analisis gerombol dikenal terdapat beberapa ukuran jarak antara lain : jarak mahalanobis, jarak eucledian, jarak kuadrat eucledian, jarak manhattan (city-block), jarak chebycev, power distance, dan percent disagreement. Ukuran jarak yang sering digunakan adalah jarak eucledian (Eucledian distance). Persamaan penghitungan jarak eucledian antara dua titik atau dua gerombol adalah:
⎧ ∑p ( X i− Y ⎨ ⎩ i =1
j
)⎬ 2⎫
⎭
1/2
= D
dimana: Xi
= pusat data dari gerombol X
Yi
= pusat data dari gerombol Y
33
Nilai D merupakan jarak antara titik data/gerombol X dan Y. Makin kecil nilai D makin besar kemiripan data X dan Y. Dalam analisis gerombol ini tidak dilakukan ortogonalisasi variabel akan tetapi dilakukan standardisasi data mentah yang ada sebelum dilakukan penggerombolan. Hal ini pengaruh multikolinearitas sangat kecil sehingga dapat diabaikan apabila data sudah distandardisasi (Johnson & Wichern 1998). 3. Discriminant Analysis Analisis diskrimanan merupakan salah satu analisis multivariabel untuk menentukan variabel mana yang membedakan secara nyata kelompokkelompok yang telah ada secara alami. Dengan kata lain analisis diskriminan digunakan untuk menentukan variabel yang mana yang merupakan penduga terbaik dari pembagian kelompok-kelompok yang ada. Penentuan dalam analisis diskriminan ini dapat dinyatakan berbalikan dengan metode penentuan dalam analisis gerombol (cluster analysis). Jika analisis gerombol (khususnya gerombol unit) menentukan gerombol dari ciriciri yang diduga mirip, maka analisis diskriminan ini menentukan dengan kelompok yang sudah tentu yang terbentuk secara alamiah ingin ditentukan variabel yang mana yang sebenarnya secara nyata membedakan kelompokkelompok tersebut. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis diskriminan ini antara lain: 1. Data contoh merupakan data multivariabel yang menyebar normal. Walaupun demikian, jika syarat penyebaran normal ini tidak dipenuhi, perbedaan hasil pengujian tidak ‘fatal’. Artinya hasil pengujian masih layak untuk dipercaya. 2. Matriks ragam (variances) atau peragam (covariances) variabel antar kelompok bersifat homogen.
Jika terdapat deviasi kecil masih bisa
diterima. Oleh karena itu, akan lebih baik jika sebelum menggunakan
34
hasil pengujian terlebih dahulu dilihat lagi nilai korelasi dan ragam variabel dalam setiap kelompoknya. 3. Tidak terdapat korelasi antara nilai tengah variabel antar kelompok dengan nilai ragam atau standar deviasinya. 4. Variabel yang digunakan tidak bersifat ”redundant”. Jika kondisi ini tidak terpenuhi maka matrik tersebut disebut singular, yaitu matrik yang tidak mempunyai determinan.
Matriks yang singular tersebut tidak dapat
diinverskan. 5. Nilai toleransi seharusnya tidak mendekati 0.
Di dalam analisis
diskriminan akan dilakukan pengujian terhadap kondisi redundant yang diharapkan tidak terjadi yang disebut dengan pengujian nilai toleransi. Nilai toleransi ini dihitung dengan persaman 1 - R2 .
Jika kondisi
redundat terjadi, maka nilai toleransi akan mendekati 0. Fungsi yang terbentuk sebenarnya mirip dengan fungsi regresi. Dalam hal ini variabel bebas (Y) adalah resultan skor klasifikasi. Sedangkan variabel tak bebasnya (X) adalah variabel-variabel yang digunakan sebagai penduga. Skor = a + b1X1 + b2X2 + bmXm Variabel dengan nilai koefisien regresi terbesar merupakan variabel yang mempunyai peranan terbesar dalam membedakan kelompok-kelompok yang ada. Hasil pengolahan statistik ini akan menghasilkan tipologi wilayah yang kemudian dibuat peta tipologi wilayah yang akan dioverlay dengan data-data fisik wilayah untuk kemudian dilakukan analisis deskripsi. 4. Analisis Regrasi Berganda (Multiple Regression) Analisis ini merupakan analisis regresi dimana beberapa variabel dependent (y1, y2,...,yp) diukur dan diregresikan terhadap variabel
35
independent (x1,...,xk)
Model umum untuk analisis regresi berganda ini
adalah (Srivastava, 2002): y = ε1x1 + . . . + εkxk + e dimana y adalah respon atau variabel dependen yang nilainya tergantung dari k variabel independen x1,...,xk.
Diasumsikan bahwa nilai variabel bebas
diketahui dan nilai ε1,..., εk belum diketahui yang dinamakan parameter regresi. Untuk menghasilkan model yang dapat digunakan sebagai penduga yang baik maka beberapa asumsi yang harus dipenuhi adalah : a. E(e) = 0 b. E(e2) = σ2 c. Tidak ada korelasi antar variabel sehingga Kov (yi,yj) = kov(ei,ej) = 0, i ≠ j Analisis regresi berganda dilakukan untuk merumuskan model pendugaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan desa.
Data yang diperlukan dalam analisis ini adalah data IPD sebagai
variabel tujuan dan PC Score sebagai variabel penjelas dengan metode Forward Stepwise.. 5. Canonical correlation Suatu korelasi kanonikal adalah korelasi dari dua set variabel, satu merupakan variabel bebas dan yang lain adalah variabel dependent.
Dalam
analisa korelasi kanonik ini ada beberapa asumsi yang harus diperhatikan. Pertama adalah distribusi sampel. Tes signifikansi dari korelasi kanonik didasarkan pada asumsi bahwa distribusi dari variabel pada populasi menyebar normal.
Kedua, ukuran sampel, dimana semakin besar ukuran
sampel maka hasil dari analisa korelasi kanonik akan semakin sempurna. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa untuk interpretasi yang baik, jumlah sampel hendaknya 20 kali jumlah variabelnya.
Ketiga adalah pencilan.
Pencilan ini mempunyai pengaruh terhadap besarnya koefisien korelasi kanonik. Untuk itu hendaknya pencilan ini dapat diketahui sebelumnya.
36
Keempat adalah matriks harus mempunyai invers atau bukan matriks singular (Statsoft 2005). Selain itu, pengukuran dilakukan pada unit sampling yang sama (Rencher 1996).
Tabel 2 Jenis data, analisa dan output berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh No 1
Tujuan Melakukan tipologi wilayah Kabupaten Bogor berdasarkan datadata spasial wilayah
2
Mengetahui keterkaitan dan perbedaan antar variabel-variabel/ indikator-indikator pembangunan Mencari variabelvariabel penentu utama yang menyebabkan terjadinya disparitas wilayah di Kabupaten Bogor Kontribusi variabelvariabel tersebut terhadap ketertinggalan wilayah tersebut
3
4
Jenis Data Peta kelas lereng, peta landuse, peta jaringan jalan, peta status hutan, peta sungai. Data diambil dari Peta Topografi Tahun 1999 dan Pemda Kabupaten Bogor Tahun 2003. Data Potensi Desa Kab. Bogor Tahun 2003 dan Kecamatan Dalam Angka 2003
Analisa Output Clustering terhadap data Tipologi Wilayah atribut berdasarkan data-data spasial (data atribut)
- Factor Analysis - Regrasi Berganda
Hubungan antar variabel/indikator pembangunan
Data Potensi Desa Kab. Bogor Tahun 2003 dan Kecamatan Dalam Angka 2003
Discriminant Analysis Canonical Correlation
Variabel penentu utama yang menyebabkan disparitas wilayah
Data Potensi Desa Kab. Bogor Tahun 2003 dan Kecamatan Dalam Angka 2003
Discriminant Analysis Canonical Correlation
Besarnya kontribusi variabel penentu utama terhadap disparitas wilayah
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Keadaan Umum Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor merupakan wilayah dari Propinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Propinsi Banten dan bagian dari wilayah Jabotabek.
Secara
geografis, Kabupaten Bogor terletak pada 6º18’10” – 6º47’10” lintang selatan dan 106º23’45” – 107º13’30” bujur timur. Ibukota kabupaten terletak di Cibinong. Luas wilayah berdasarkan data terakhir adalah 298.027 hektar.
Adapun batas-batas
wilayah ini adalah DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi dan Kota Depok di sebelah utara, Kabupaten Karawang, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Purwakarta di sebelah timur, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur di sebelah selatan, Kabupaten Lebak di sebelah barat serta Kota Bogor yang berada di tengahnya. Kabupaten Bogor terdiri dari 35 kecamatan dengan 425 desa dan kelurahan, 3.286 RW, 12.535 RT dan 804.455 rumah tangga. Dari jumlah desa tersebut, dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu desa kota dan desa perdesaan yang masing-masing berjumlah 200 dan 225 desa.
Desa kota mempunyai dua pola
kawasan, yaitu yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang sekitar dan yang tidak berkaitan dengan pemanfaatan ruang sekitar (cenderung bersifat penduduk komuter) sedang desa perdesaan mempunyai empat pola kawasan yaitu pemukiman sekitar sawah beririgasi teknis, pemukiman sekitar hutan, pemukiman sekitar perkebunan besar dan pemukiman sekitar kebun campuran, tegalan atau sawah tidak beririgasi teknis. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor hingga akhir tahun 2003 tercatat sebanyak 3.340.151 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.695.001 jiwa dan perempuan sebanyak 1.645.150 jiwa dan kepadatan penduduk rata-rata sebanyak 1.427 jiwa per km2. Tingkat kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor sangat bervariasi dari yang relatif rendah yaitu Kecamatan Cariu (329 jiwa per km2) hingga yang sangat relatif tinggi yaitu Kecamatan Ciomas (6.515 jiwa per km2).
39 Tabel 4
Kode
010 020 030 040 050 060 070 071 080 090 100 110 120 130 140 150 160 170 180 181 190 200 210 220 230 231 240 241 250 260 270 271 280 290 300
Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk per kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2003 Kecamatan
Nanggung Leuwiliang Pamijahan Cibungbulang Ciampea Dramaga Ciomas Tamansari Cijeruk Caringin Ciawi Cisarua Megamendung Sukaraja Babakan Madang Sukamakmur Cariu Jonggol Cileungsi Klapanunggal Gunung Putri Citeureup Cibinong Bojonggede Kemang Rancabungur Parung Ciseeng Gunung Sindur Rumpin Cigudeg Sukajaya Jasinga Tenjo Parungpanjang Kabupaten Bogor
Sumber : BPS 2004 dan hasil olahan
Jumlah Penduduk (Jiwa) 72.859 144.727 113 008 106 520 154 593 75 185 99 660 66 743 127 280 95 438 66 677 93 661 78 211 124 185 124 197 65 384 91 673 91 140 139 607 61 093 126 665 119 730 162 195 195 828 69 713 41 820 69 713 80 492 66 266 97 973 103 911 50 505 93 318 55 467 83 527 3 408 810
Luas wilayah (km2) 180.25 110.01 83.74 45.77 70.38 28.24 15.30 44.55 53.14 53.40 64.33 85.91 59.88 42.63 87.85 164.39 278.25 154.11 81.81 67.38 75.90 61.60 42.74 56.71 29.40 16.09 25.91 43.95 48.88 126.75 187.92 132.71 187.69 93.87 78.84 2 980.27
Kepadatan (Jiwa/km2) 404 1 316 1 349 2 327 2 197 2 662 6 515 1 498 2 395 1 787 1 037 1 090 1 306 2 913 1 414 398 329 591 1 707 907 1 669 1 944 3 795 3 453 2 371 2 600 2 691 1 831 1 356 773 553 381 497 591 1 059 1 144
40 Berdasarkan data jumlah penduduk di atas, jika dikelompokkan ke dalam tiga wilayah, yaitu barat, tengah dan timur maka kepadatan penduduk rata-ratanya secara berturut-turut adalah sebagai berikut 1.041 jiw/km2, 2.370 jiw/km2, 934 jiw/km2. Terlihat bahwa konsentrasi penduduk berada di wilayah tengah sebesar 2.28 kali dari kepadatan di wilayah barat dan 2.54 kali di wilayah timur. Tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah tengah ini selain karena adanya pusat pemerintahan yang berlokasi di Kecamatan Cibinong juga karena faktor spasial yang cenderung lebih dekat dengan Kota Bogor dengan aksesibilitas yang lebih baik dan keadaan dimana Kota Bogor ini juga merupakan titik awal dari pintu masuk menuju Jakarta melalui Terminal Bis di Baranang Siang ataupun Stasiun Kereta Api Bogor.
Pengembangan Wilayah Dalam
rangka
menurunkan
tingkat
disparitas
antar
wilayah,
maka
pengembangan wilayah Kabupaten Bogor dibagi dalam tiga wilayah pembangunan yang merupakan dasar penyusunan agenda pembangunan dan rencana strategis setiap bidang dan program pembangunan. Maksud dan tujuan perwilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan perkembangan ekonomi wilayah, pola interaksi internal dan eksternal yang didukung oleh jaringan infrastruktur pelayanan baik lokal maupun regional serta kebijakan pengembangan dan penyebaran penduduk secara seimbang sesuai dengan daya dukung lingkungan, maka wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga Wilayah Pembangunan, yaitu: 1.
Wilayah Pembangunan Barat yang meliputi sebelas kecamatan, yaitu Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg, Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Cibungbulang, Ciampea, Pamijahan, dan Kecamatan Rumpin, dengan luas wilayah sekitar 128.750 Ha.
2.
Wilayah Pembangunan Tengah yang meliputi delapan belas kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur,
41 Bojonggede, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas, dan kecamatan Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha. •
Pusat pertumbuhan utama adalah Kota Cibinong, Parung dan Babakan Madang.
•
Pusat pertumbuhan sekunder adalah Kota Ciawi dan Citeureup.
•
Pusat pertumbuhan tersier adalah Kota Kemang, Cijeruk, Caringin, Cisarua, Bojonggede, Gunung Sindur, Megamendung, Dramaga, dan Kecamatan Ciomas.
•
Pusat pertumbuhan lainnya adalah Ciseeng, Sukaraja, Rancabungur, dan Kota Tamansari. Pusat-pusat pertumbuhan ini merupakan simpul-simpul jasa distribusi barang dan jasa serta pendorong pengembangan wilayah.
3.
Wilayah Pembangunan Timur yang meliputi enam kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cileungsi, Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, dan Kecamatan Cariu. •
Pusat pertumbuhan utama adalah Kota Cileungsi dan Jonggol.
•
Pusat pertumbuhan sekunder adalah Kota Gunung Putri, sedangkan pusat pengembangan tersier adalah Kota Cariu, Sukamakmur, dan Kota Klapanunggal.
y
Wilayah Pembangunan Timur diharapkan dapat berfungsi sebagai daerah pengembangan industri, permukiman, pariwisata, pertanian, dan pelestarian sumberdaya air.
•
Pusat-pusat pertumbuhan ini merupakan simpul-simpul kegiatan pertanian, industri, pertambangan, dan pariwisata (agro wisata).
Dalam arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Barat, arahan yang diberikan terhadap Kabupaten Bogor berkenaan dengan hal-hal pokok sebagai berikut : a. Kawasan Lindung Untuk Kabupaten Bogor dikemukakan arahan berupa terdapatnya bentuk-bentuk kawasan lindung, yaitu:
42 h Kawasan hutan lindung h Kawasan Cagar Alam h Kawasan Taman Wisata Alam h Kawasan Taman Nasional h Kawasan Cagar Budaya h Kawasan Rawan Bencana b. Kawasan Budidaya Untuk Kabupaten Bogor dikemukakan arahan untuk kawasan budidaya adalah berupa kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu. Arahan untuk kawasan perdesaan itu sendiri meliputi: h Kawasan pertanian lahan basah h Kawasan pertanian lahan kering h Kawasan tanaman tahunan/perkebunan h Kawasan hutan produksi h Kawasan Pertambangan dan galian h Kawasan pariwisata h Kawasan permukiman pedesaan Sedangkan arahan untuk Kawasan perkotaan adalah berupa : h Kawasan industri h Kawasan pengembangan perkotaan h Kawasan permukiman perkotaan c. Pengembangan sistem Prasarana Wilayah Pengembangan ini mencakup pengembangan fungsi jalan raya baik jalan arteri primer, jalan kolektor primer I – III, peningkatan fungsi jalan tol dan
43 pengembangan terminal serta pengembangan energi listrik yaitu PLTP Gunung Salak. Dalam hubungannya dengan pengembangan kawasan Jabotabek, ada tiga fungsi utama dari wilayah Kabupaten Bogor, yaitu : 1. Penyangga bagi DKI Jakarta, berupa pengembangan pemukiman perkotaan sebagai bagian dalam sistem metropolitan Jabotabek. 2. Konservasi, berkenaan dengan posisi geografisnya di bagian hulu dalam tata air untuk wilayah metropolitan Jabotabek 3. Pengembangan pertanian khususnya hortikultura, sehubungan dengan perkembangan dan keunggulan yang telah ada, yang selanjutnya makin dipacu. Tabel 5 Ikhtisar Keterkaitan Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Dengan Wilayah Sekitarnya Wilayah Sekitar
Keterkaitan Ruang
Aksesibilitas
Fungsi Pengembangan
• Pemukiman perkotaan • Pertanian lahan basah/ sawah • Pertanian lahan kering
• Jalan raya: − Jalan tol − Arteri − Kolektor − Lokal • Jalan kereta api
• Perkotaan • Industri/ jasa • Core metropolitan Jabotabek
• Kawasan lindung • Pertanian lahan kering • Pertanaian lahan basah
• Jalan lokal dari Cariu ke pangkalan
• Industri • Perkotaan (Non Contiguous) di Kab. Karawang
Fisik Dasar
Pemanfaatan Ruang
• Bagian hilir wilayah Bogor • Hamparan Datar • Batas fisik sebagian kecil anak-anak sungai
• Punggung kompleks Gunung Sanggabuana • Sungai Ciomas (anak-anak sungai Cibeet) dan Sungai Cibeet)
Utara : • • • •
Kab. Tangerang DKI Jakarta Kab. Bekasi Kota Depok
Timur : • Kab. Karawang • Kab. Purwakarta • Kab. Cianjur
44 Tabel 5 Lanjutan Wilayah Sekitar
Keterkaitan Ruang
Fisik Dasar
Pemanfaatan Ruang
Aksesibilitas
Fungsi Pengembangan
Selatan : • Kab. Cianjur • Kab. Sukabumi
• Kompleks Gunung Gede/ Pangrango, Salak, Halimun
• Kawasan lindung • Pertanian lembah sungai (tepian Sungai Cibeet)
• Jalan arteri dan KA ke Sukabumi • Jalan kolektor ke Cianjur (kawasan Puncak) • Jalan kolektor Cileungsi – Cianjur • Nanggung – Malasari – Taman Nasional Gunung Halimun (Wilayah Bogor) – Kebun Nirmala (wilayah Taman Nasional) – Cipentung – Parung Kuda
• Pariwisata • Kawasan lindung • Pertanian
• Kawasan lindung • Hutan produksi • Perkebunan/ pertanian lahan kering • Pertanian lahan basah (di hilir)
• Jalan kolektor Bogor – Rangkas bitung
• Kawasan lindung • Pertanian (perkebunan lahan basah) • Hutan Produksi • Perkotaan baru (Maja)
y Sungai Cibeet
Barat : • Kab. Lebak
• Kompleks Gunung Halimun • Sungai Cidurian
45 Tabel 5 Lanjutan Wilayah Sekitar
Keterkaitan Ruang
Pemanfaatan Ruang
Fisik Dasar
Aksesibilitas
Fungsi Pengembangan
Tengah • Kota Bogor
• Hamparan datar • Jalan tol Jagorawi
• Permukiman perkotaan
• Segala arah dan intensif
• Permukiman perkotaan dan pelayanan • Fungsi dominan sebagai pusat pelayanan
Sumber : RTRW Kabupaten Bogor, 2001
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, tujuan pengembangan wilayah Kabupaten Bogor akan meliputi hal-hal sebagai berikut: •
Memantapkan fungsi lindung yang terletak di dalam wilayah Kabupaten Bogor, terutama berkenaan dengan hutan lindung dan sempadan sungai maupun kawasan resapan (recharge area).
•
Mengoptimalkan pemanfaatan ruang wilayah, sesuai dengan potensi atau daya dukung sehingga bentuk-bentuk kegiatan yang memanfaatkan ruang akan sesuai/seimbang dengan daya dukung ruang tersebut.
•
Mengembangkan bagian-bagian wilayah baru dengan pola pemanfaatan ruang terutama berupa perkebunan dan pertanian lahan basah serta kemungkinan kegiatan lainnya yang sesuai dengan daya dukung ruang tersebut.
•
Mengembangkan prasarana wilayah, terutama jaringan jalan guna merangsang pengembangan kawasan-kawasan baru, terutama di bagian hilir dan sekaligus menghubungkannya berkembang.
dengan
bagian-bagian
wilayah
yang
relatif
lebih
Bentuk prasarana wilayah lainnya adalah jaringan irigasi atau
46 saluran yang akan mendukung upaya intensifikai pertanian sawah dan membuka kawasan baru di bagian hilir, baik untuk sawah maupun perikanan. •
Mengembangkan serta meningkatkan peranan dan fungsi kota-kota atau pusatpusat yang ada guna dapat memberikan pelayanan seoptimal mungkin terhadap wilayah pelayanannya. Untuk mendukung hal tersebut, dikembangkan fasilitasfasilitas pelayanan (sosial, ekonomi, pemerintahan) dan prasarana permukiman yang dibutuhkan (air minum, drainase, pembuangan air limbah, persampahan, telekomunikasi dan lain-lainnya).
•
Mengembangkan kawasan-kawasan prioritas yang memerlukan penanganan segera yang dimulai dengan penataan ruang secara lebih rinci, terutama untuk kawasan-kawasan yang tumbuh cepat (seperti kawasan perkotaan dan kawasan kegiatan perekonomian/produksi, kawasan penunjang sektor ekonomi, kawasan tertinggal dan kawasan kritis). Arahan pengembangan struktur tata ruang Kabupaten Bogor dengan demikian
adalah: •
Merangsang perkembangan ke arah bagian timur dan barat dengan pengembangan jaringan prasarana transportasi (dalam hal ini jalan raya) yang akan menghubungkan simpul-simpul atau pusat-pusat di bagian wilayah tengah (dalam hal ini sumbu wilayah/koridor perkembangan yang ada sekarang dengan sumbusumbu wilayah di bagian Timur dan Barat).
•
Memanfaatkan perkembangan di bagian wilayah tengah dengan pemantapan fungsi kota-kota yang menjadi pusat pelayanan dan pengintensifan produksi.
•
Membatasi perkembangan di bagian wilayah hulu karena itu tidak dikembangkan simpul atau pusat pelayanan. Bagian wilayah ini dilayani oleh simpul-simpul atau pusat di bagian wilayah Tengah. Atas dasar arahan tersebut dan penyebarannya secara spasial, maka kota-kota
yang akan menjadi simpul atau pusat berkaitan dengan pengembangan jaringan transportasi (jalan raya) secara internal adalah:
47 o Cibinong o Citeureup o Cileungsi o Jonggol o Cariu o Dramaga o Leuwiliang o Jasinga o Tenjo Strategi Pemanfaatan Ruang Dengan dasar pola pemanfaatan ruang yang ada, karakteristik fisik geografis serta tujuan dan kebijaksanaan pengembangan wilayah, maka konsep arahan fungsi dan pemanfaatan ruang dibagi menjadi empat klasifikasi. Bagian wilayah sebelah selatan, dengan dominasi fungsi lindung, secara konseptual merupakan kompleks ekologi hulu yang berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur. Dalam bagian wilayah ini masih dimungkinkan adanya fungsi budidaya namun dibatasi agar dominasi fungsi lindung dapat dipertahankan dan dimantapkan. Pengembangan prasarana wilayah, yaitu jalan raya relatif lebih terbatas dan diharapkan dapat langsung berfungsi ganda baik secara internal maupun eksternal.
Hal ini dimaksudkan agar tidak merangsang
perkembangan (fungsi budidaya) ke bagian wilayah ini. Bagian wilayah dengan peningkatan pengembangan atau intensifikasi relatif merupakan sumbu wilayah utama dan cabang yang terletak terutama pada kompleks ekologi hulu sampai hilir di bagian tengah. Bagian wilayah ini merupakan yang paling maju dewasa ini dengan berbagai variasi kegiatan dan fungsi. Oleh karena itu pengembangan di masa yang akan datang sifatnya adalah peningkatan secara umum
48 bersifat intensifikasi. Pada bagian wilayah ini terletak sebagin besar pusat-pusat atau kota-kota yang akan memberikan pelayanan kepada wilayah secara keseluruhan serta mendukung langsung kegiatan produksi utama wilayah, yaitu perkebunan dan pertanian tanaman pangan.
Dengan demikian, peningkatan pengembangan atau
intensifikasi tersebut terutama ditujukan kepada kegiatan perkotaan, produksi perkebunan dan pertanian tanaman pangan. Pengembangan prasarana diarahkan pada pengembangan prasarana perkotaan dan prasarana wilayah, berupa jaringan jalan, lebih banyak bersifat peningkatan dan untuk pelayanan lokal, yaitu dari pusat-pusat produksi ke simpul-simpul atau kota terdekat. Dengan kata lain, pengembangan prasarana wilayah lebih bersifat mendukung dalam upaya peningkatan. Bagian wilayah dengan pengembangan baru atau ekstensifikasi, relatif terletak pada kompleks ekologi tengah dan hilir di luar sumbu wilayah utama. Pengembangan pola bagian wilayah ini sifatnya adalah ekstensifikasi dari kegiatan pada sumbu wilayah, terutama kegiatan perkebunan (karet, teh dan kelapa) dan pertanian tanaman pangan (sawah) dan palawija serta hortikultura.
Ada dua
prasarana utama yang harus dikembangkan, yaitu jaringan jalan dan irigasi (saluran). Pengembangan jaringan jalan, yang melintasi bagian wilayah ini dan menghubungkan sumbu wilayah utama dengan bagian wilayah timur dan Barat yang diharapkan berfungsi merangsang perkembangan kegiatan di bagian wilayah ini. Sementara pengembangan
jaringan
irigasi
(saluran)
dimaksudkan
untuk
mendukung
pengembangan kegiatan produksi perkebunan dan pertanian tanaman pangan. Pada masa datang, dalam jangka panjang pada bagian wilayah ini diharapkan muncul simpul pelayanan baru yang akan mengarah menjadi kota-kota. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan secara keseluruhan di Kabupaten Bogor dapat dibagi menjadi 9 kelas yang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
49 Tabel 6 Pola penggunaan lahan di Kabupaten Bogor No
Penggunaan Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sungai/Danau Belukar/semak Hutan Kebun/perkebunan Pemukiman Rumput/tanah kosong Sawah Irigasi Sawah tadah hujan Tegalan/ladang Total Luas
Luas (Ha) Berdasarkan Wilayah Pembangunan Barat Tengah Timur 4 017 508 847 25 018 4 723 13 430 23 465 9 785 7 837 27 234 17 214 16 588 8 623 18 564 7 100 1 365 2 282 3 594 8 375 7 196 14 527 21 937 4 840 10 976 9 756 20 939 7 284 129 790 86 051 82 183
Sumber : Peta Landuse, Hasil Olahan.
Dari sembilan pola penggunaan lahan tersebut, terlihat bahwa penggunaan lahan terbesar adalah lahan kering, yaitu kebun/perkebunan seluas 61 036 hektar (20.48%), belukar/semak seluas 43 171 hektar (19.28%), tegalan/ladang seluas 37 979 hektar (12.74%) dan sawah tadah hujan seluas 37 753 hektar (12.67%) yang tersebar dari barat hingga ke timur. Untuk pemukiman, dari luas 34 281 hektar, lebih banyak terkonsentrasi di wilayah pembangunan tengah (54% dari total luas pemukiman). Dalam hal kemampuan lahannya, wilayah pertanian di Kabupaten Bogor dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok berikut: y
Lahan kelas I, yaitu lahan-lahan yang mempunyai potensi pengembangan pertanian secara sangat intensif seluas 10,9%.
y
Lahan kelas II, yaitu lahan-lahan yang mempunyai potensi untuk pengembangan pertanian secara intensif seluas 19,6%.
y
Lahan kelas III, yaitu lahan-lahan yang berpotensi untuk pengembangan pertanian dengan intensitas terbatas, seluas 20,1%.
y
Lahan kelas IV dan V, yaitu lahan-lahan yang tidak layak untuk pengembangan pertanian dan lebih diarahkan untuk tujuan konservasi atau dihutankan seluas 21,31%.
50 Kondisi Fisik Wilayah Kabupaten Bogor mempunyai bentuk wilayah yang sangat beragam, mulai dari daerah pegunungan di bagian selatan yang menjadi sumber mata air bagi daerah di bawahnya hingga daerah yang relatif datar di bagian utara. Sebagian besar wilayah di Kabupaten Bogor termasuk pada kelerengan antara 0-8% (meliputi 421 desa), sedangkan yang termasuk pada kelerengan antara 8-25% meliputi 167 desa dan kelerengan lebih dari 25% meliputi 69 desa. Luasan masing-masing kelas lereng ini tersaji pada tabel berikut: Tabel 7 Luas wilayah pada setiap tingkat kelerengan No
Kelas Lereng
1 0 - 8% 2 8 - 25% 3 > 25% Jumlah
Luas (Ha) Berdasarkan Wilayah Pembangunan Barat Tengah Timur 91 504 59 062 53 068 28 003 18 629 24 251 10 283 8 360 4 864 129 790 86 051 82 183
Sumber : Peta Topografi, Hasil Olahan
Selain kelas lereng, pengaruh topografi juga berdampak pada adanya perbedaan ketinggian. Bagian selatan relatif lebih tinggi dibanding bagian utara, dengan kisaran ketinggian antara 0 meter hingga lebih dari 2.000 m di atas permukaan laut. Bagian yang lebih rendah umumnya berada di sebelah utara dan berangsur-angsur meninggi ke bagian selatan. Adapun jumlah desa yang tercakup pada masing-masing kelas ketinggian adalah sebagai berikut: Tabel 8 Ketinggian dan jumlah desa No 1 2 3 4 5 6 7
Kelas Ketinggian 0-50 51-75 76-100 101-500 501-1000 1001-2000 2001-lebih
Sumber : Hasil olahan, 2005.
Jumlah Desa 18 88 168 299 180 26 3
51 Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar desa di Kabupaten Bogor terletak pada ketinggian antara 100 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Desa-desa yang berada di ketinggian lebih dari 1.000 meter terletak di sebelah selatan yang berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur. Untuk jenis tanah, berdasarkan data yang diperoleh, di Kabupaten Bogor terdapat 14 jenis tanah (berdasarkan klasifikasi dari Pusat Penelitian Tanah). Untuk selengkapnya dapat dilihat dari tabel berikut ini. Tabel 9 Jenis tanah yang ada di Kabupaten Bogor No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11
12 13 14 15 16 17
Jenis Tanah Alluvial Andosol Assosiasi andosol dan regosol Assosiasi latosol coklat dan latosol coklat kekuningan Assosiasi latosol coklat dan latosol coklat kemerahan Assosiasi latosol coklat dan regosol Assosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan Assosiasi podsolik kuning dan hidromorf kelabu Grumosol Kompleks latosol merah kekuningan dan latosol coklat kemerahan dan litosol Kompleks podsolik merah kekuningan dan podsolik merah kekuningan Latosol Latosol coklat Podzolik kuning Podzolik merah Podzolik merah kekuningan Regosol
Luasan (ha) 8 994 3 253 3 031
Sumber : Pemda Kabupaten Bogor, 2004 dan Hasil Olahan, 2005.
Persentase 3.02 1.09 1.02
9 491
3.18
28 903
9.70
15 581
5.23
62 829
21.08
3 562 15 774
1.20 5.29
44 848
15.05
12 501 12 528 26 720 11 929 9 564 21 301 7 218
4.19 4.20 8.97 4.00 3.21 7.15 2.42
52 Jenis tanah yang dominan berdasarkan tabel di atas adalah jenis asosiasi latosol merah dan latosol coklat kemerahan yang meliputi areal seluas 62.829 hektar (21.08%), sedangkan jenis tanah asosiasi andosol dan regosol adalah yang paling sempit luas cakupannya, hanya meliputi areal seluas 3 031.35 hektar (1.02%).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebaran Desa IDT Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda Kabupaten Bogor, terdapat 80 desa yang tergolong pada desa tertinggal berdasarkan kriteria indeks desa tertinggal (IDT) dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Jika dilihat berdasarkan
wilayah pembangunannya, di Kabupaten Bogor wilayah barat terdapat 36 desa tertinggal, di wilayah tengah terdapat 31 desa dan 13 desa lainnya berada di wilayah timur seperti yang terlihat dalam Gambar 4. Hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria dari BPS, wilayah barat relatif lebih tertinggal dibandingkan di wilayah tengah dan timur. Ketertinggalan wilayah barat tersebut disebabkan karena rendahnya nilai wilayah ini dari beberapa variabel penilaian yang digunakan, antara lain jalan utama desa, lapangan usaha mayoritas penduduk, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, sarana komunikasi, kepadatan penduduk per km2, persentase rumah tangga listrik, persentase rumah tangga yang mempunyai TV, persentase rumahtangga pertanian, persentase rumahtangga yang memiliki kendaraan bermotor serta aksesibilitas baik terhadap puskesmas, pasar permanen maupun pertokoan. Jika dikaitkan dengan densitas jalan yang ada, desa-desa ini berada di wilayah yang memiliki densitas jalan yang rendah (0.64%) dan berada pada bentuk lahan (landform) yang datar, terutama di wilayah barat tengah, hingga bergelombang dan berbukit. Berdasarkan data penggunaan lahan di Kabupaten Bogor seperti yang terdapat pada Tabel 5, terlihat bahwa sebagian besar penggunaan lahan di wilayah barat masih tertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan, dengan kepadatan penduduk rata-rata yang relatif rendah (< 500 per km2) di beberapa kecamatan. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyaknya desa yang masuk dalam katagori IDT di wilayah barat. Selain itu, ketersediaan berbagai sarana dan fasilitas pelayanan umum yang relatif rendah, seperti sarana pendidikan (rata-rata jumlah SMA 0.35 per desa), fasilitas tenaga dan sarana kesehatan, juga sangat mempengaruhi masuknya desa-desa di wilayah barat menjadi desa IDT.
54
Selain dari variabel di atas, adanya hutan baik di wilayah barat terutama hutan lindung yang ada di wilayah barat bagian selatan serta di wilayah timur diduga turut menyebabkan wilayah ini menjadi tertinggal. Adanya kawasan hutan di suatu wilayah tentu memberikan beberapa konsekuensi, yaitu pertama, wilayah ini tentunya mempunyai kepadatan penduduk yang relatif lebih rendah dibanding wilayah lainnya sehingga relatif tidak memerlukan sarana dan prasarana yang banyak. Kedua, sebagai kawasan hutan, aksesibilitas yang tersedia relatif lebih terbatas. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kawasan hutan dari kerusakan yang disebabkan oleh perambahan. Dengan rendahnya aksesibilitas maka tingkat interaksi masyarakat yang ada di wilayah tersebut juga relatif lebih terbatas sehingga perkembangan wilayah tersebut relatif lebih lambat dibanding daerah yang tingkat interaksinya lebih tinggi. Ketiga, kawasan hutan umumnya lebih ditujukan sebagai kawasan konservasi, terutama di daerah-daerah yang mempunyai tingkat kelerengan yang tinggi sehingga upaya budidaya masyarakat di daerah tersebut menjadi lebih terbatas. Hasil Analisis Skalogram Hasil analisis skalogram akan menentukan struktur pusat pelayanan menurut hirarki wilayah. Penentuan hirarki didasarkan atas tingkat perkembangan dan kapasitas pelayanan yang dapat disediakan oleh suatu wilayah.
Tingkat
hirarki ini penting dalam penentuan kapasitas suatu wilayah, apakah suatu wilayah merupakan pusat/inti atau hinterland. Perkembangan pembangunan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya akan berdampak pada adanya struktur hirarki pada wilayahwilayah tersebut yang dicerminkan dari adanya pusat-pusat pelayanan di suatu wilayah. Wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk yang relatif tinggi dan yang relatif lebih maju akan membutuhkan berbagai sarana dan prasarana serta pelayanan sosial ekonomi yang lebih dari wilayah dengan kepadatan penduduk yang lebih rendah dan yang relatif belum maju. Contohnya dalam hal prasarana pendidik dan kesehatan serta sarana dan prasarana transportasi.
55
680000
700000
720000
740000
9240000
9240000
9260000
9260000
9280000
9280000
9300000
9300000
9320000
9320000
660000
660000
740000
Keterangan : Batas Kecamatan Batas Wilayah Pemerintahan
Peta Penyebaran Desa IDT Berdasarkan Wilayah Pemerintahan 7
0
7
14 Km
Desa-desa IDT di Wilayah Barat N
Desa-desa IDT di Wilayah Tengah Desa-desa IDT di Wilayah Timur
W
E S
Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006
Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor
Gambar 4 Peta penyebaran desa IDT menurut wilayah pembangunan
56
Tingkat perkembangan desa-desa di Kabupaten Bogor ditentukan dengan metode skalogram yang dimodifikasi dan dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD). Semakin tinggi nilai IPD, umumnya akan semakin tinggi pula kapasitas pelayanan suatu desa dan tingkat perkembangannya. Dari hasil perhitungan skalogram, diperoleh kisaran nilai IPD antara 2.30 hingga 177.78 yang selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Nilai IPD tertinggi 177.78 diperoleh oleh Desa Pabuaran di Kecamatan Cibinong dan nilai IPD terendahl diperoleh oleh Desa Tangkil di Citerureup. Berdasarkan hasil perhitungan analisis skalogram untuk menentukan hirarki wilayah menurut jumlah dan jenis fasilitas pelayanan atau infrastruktur, diperoleh hasil kelompok sebagai berikut : a. Wilayah yang termasuk pada hirarki I merupakan desa-desa yang mempunyai tingkat perkembangan yang paling tinggi dengan jumlah sebanyak 24 desa (5.65% dari seluruh desa di Kabupaten Bogor) yang tercakup dalam 12 kecamatan, yaitu Cibinong (tujuh desa), Megamendung (satu desa), Bojonggede (dua desa), Cileungsi (dua desa), Citeureup (tiga desa), Gunung Putri (tiga desa), Jonggol, Dramaga, Leuwiliang, Sukaraja, Parung, Cariu masing-masing satu desa. Desa-desa dalam tingkat hirarki ini mempunyai nilai IPD antara 64.40 – 177.78. Desa-desa ini umumnya mempunyai tingkat ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan umum yang lebih tinggi dan lebih memadai dibandingkan desa-desa dengan hirarki yang lebih rendah. Adapun sarana dan prasarana yang lebih terutama dalam hal sarana pendidikan, sarana kesehatan (termasuk tenaga kesehatan) dan aksesibilitas terhadap pusat pemerintahan. Ciri-ciri lain yang menonjol dari wilayah desadesa hirarki I ini adalah mempunyai landform yang relatif datar dan merupakan daerah urban dengan kepadatan penduduk yang relatif tinggi serta tidak lagi mengandalkan pada sektor pertanian. b. Wilayah yang termasuk pada hirarki II yang merupakan wilayah desa-desa dengan tingkat perkembangan yang sedang dengan jumlah 188 desa (44.24% dari selueuh desa di Kabupaten Bogor) yang tercakup dalam 34 kecamatan, yaitu Babakan Madang (empat desa), Bojonggede (sebelas desa), Caringin (enam desa), Cariu (satu desa), Ciampea (sebelas desa), Ciawi (sembilan
57
desa), Cibinong (lima desa), Cibungbulang (satu desa), Cigudeg (empat desa), Cijeruk (enam desa), Cileungsi (enam desa), Ciomas (enam desa). Cisarua (sembilan desa), Ciseeng (enam desa), Citeureup (delapan desa), Dramaga (empat desa), Gunung Puteri (enam desa), Gunung Sindur (lima desa), Jasinga (dua desa), Jonggol (empat desa), Kemang (delapan desa), Klapanunggal (empat desa), Leuwiliang (sepuluh desa), Megamendung (empat desa), Nanggung (dua desa), Pamijahan (tujuh desa), Parung (lima desa), Parung Panjang (lima desa), Rancabunngur (tiga desa), Rumpin (sembilan desa), Sukamakmur (dua desa), Sukaraja (tujuh desa), Taman Sari (empat desa), dan Tenjo (empat desa).
Desa-desa yang termasuk dalam tingkat hirarki ini
mempunyai IPD antara 24.67 – 60.24. Ciri-ciri dari wilayah desa-desa ini adalah mempunyai ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan yang relatif lebih rendah dari hirarki I, berada di dekat desa-desa yang berhirarki I, dan masih mengandalkan pada sektor pertanian. c. Wilayah yang termasuk pada hirarki III merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan yang paling rendah dengan jumlah sebanyak 213 desa (50.12% dari seluruh desa di Kabupaten Bogor) yang tercakup dalam 34 kecamatan yaitu Babakan Madang (lima desa), Bojonggede (tiga desa), Caringin (enam desa), Cariu (18 desa), Ciampea (delapan desa), Ciawi (empat desa), Cibungbulang (14 desa), Cigudeg (sebelas desa), Cijeruk (12 desa), Cileungsi (empat desa), Ciomas (lima desa). Cisarua (satu desa), Ciseeng (empat desa), Citeureup (tiga desa), Dramaga (lima desa), Gunung Puteri (satu desa), Gunung Sindur (lima desa), Jasinga (15 desa), Jonggol (delapan desa), Kemang (satu desa), Klapanunggal (lima desa), Leuwiliang (delapan desa), Megamendung (enam desa), Nanggung (delapan desa), Pamijahan (delapan desa), Parung (tiga desa), Parung Panjang (enam desa), Rancabunngur (tiga desa), Rumpin (empat desa), Sukajaya (tujuh desa), Sukamakmur (delapan desa), Sukaraja (lima desa), Taman Sari (empat desa), dan Tenjo (tiga desa). Desa-desa yang termasuk pada tingkat hirarki ini mempunyai IPD antara 2.30 – 24.64.
Adapun ciri-ciri yang menonjol dari desa-desa ini adalah
ketersediaan sarana yang relatif kurang dibandingkan desa-desa pada hirarki yang lebih tinggi, mempunyai akses terhadap pusat yang jauh lebih sulit,
58
berada pada daerah dengan tingkat kelerengan yang lebih tinggi dan berada dekat dengan kawasan hutan. 680000
700000
720000
740000
9300000
9300000
660000
Tenjo Parungpanjang Gunung Sindur
Parung Rumpin Ciseeng Cibinong Klapanunggal Cigudeg Bojonggede Kemang Citeureup
Jonggol 9280000
9280000
Jasinga
Gunung Putri Cileungsi
Dramaga Sukaraja Cibungbulang Babakan Madang Leuwiliang Ciomas Sukamakmur Ciampea
Cariu
Tamansari Pamijahan Cijeruk
Megamendung Caringin Ciawi
Cisarua
9240000
9240000
Nanggung
9260000
9260000
Sukajaya
660000
680000
Keterangan :
700000
Kec. Dramaga
Batas Kecamatan
Kec. Gunung Putri
Kec. Bojonggede
Kec. Jonggol
Kec. Cariu
Kec. Leuwiliang
Kec. Cibinong
Kec. Megamendung
Kec. Cileungsi
Kec. Parung
Kec. Citeureup
Kec. Sukaraja
Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006
720000
740000
Peta Penyebaran Desa Berhirarki I Menurut Kecamatan 7
0
7
14 Km
N W
E S
Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor
Gambar 5 Penyebaran Desa Berhirarki I Menurut Kecamatan
59
Berdasarkan hasil pengelompokkan di atas terlihat bahwa sebagian besar (50.12%) desa-desa yang ada di Kabupaten Bogor berada di hirarki III dan 44.24% berada di hirarki II. Hanya 5.65% yang berada di Hirarki I. Hal ini menunjukkan struktur hirarki yang jelas di Kabupaten Bogor dan penyebaran fasilitas yang ada cenderung memusat di pusat-pusat pertumbuhan yang ada di sekitar Kecamatan Cibinong, yang masuk pada wilayah tengah dari Kabupaten Bogor terus ke arah timur (menuju Kecamatan Cileungsi dan Gunung Putri) sedangkan di daerah-daerah lain ketersediaan fasilitas ini relatif masih kurang. Jika dilihat sebaran dari hirarki I maka terlihat bahwa pusat hirarki terletak di tengah utara, yaitu di Kecamatan Cibinong. Hal ini dapat dimengerti karena Cibinong merupakan ibukota dari Kabupaten Bogor dimana sebagai pusat pemerintahan biasanya diikuti dengan berkumpulnya berbagai fasilitas dan pelayanan sosial.
Lokasi yang terletak pada poros Bogor-Jakarta juga turut
mempercepat perkembangan wilayah ini.
Selain itu, wilayah timur laut
Kabupaten Bogor juga merupakan lokasi industri yang menandakan wilayah ini mempunyai infrastruktur yang relatif lebih baik daripada wilayah-wilayah lainnya. Selain itu, adanya aksesibilitas jalan yang baik, dengan adanya jalan tol, juga sangat menunjang perkembangan wilayah ini. Untuk wilayah Kabupaten Bogor bagian barat, daerah yang mempunyai hirarki I hanya terdapat di Kecamatan Leuwiliang. Hal ini menunjukkan bahwa Kecamatan Leuwiliang merupakan pusat pelayanan bagi wilayah barat Kabupaten Bogor dan sudah lebih berkembang dibandingkan daerah-daerah lain di wilayah ini sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya belum berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan dari faktor lokasi yang relatif lebih dekat dengan pusat pertumbuhan seperti Kota Bogor dan mempunyai aksesibilitas yang lebih baik dibanding wilayah lain dimana Kecamatan Leuwiliang ini dilalui oleh jalur lalulintas dari arah Bogor menuju Kabupaten Pandeglang.
Hal ini selain
menunjukkan masih kurangnya penyediaan sarana pelayanan sosial secara umum di Kabupaten Bogor bagian barat juga menunjukkan adanya disparitas perkembangan wilayah dimana wilayah tengah dan timur dari Kabupaten Bogor mempunyai perkembangan yang lebih baik dibandingkan wilayah barat. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan lahan yang ada seperti pada Tabel 10 berikut.
60
Tabel 10 Persen penggunaan lahan berdasarkan wilayah pembangunan
Jenis Penggunaan Lahan Belukar Hutan Tegalan/Ladang Sawah Pemukiman Kebun/Perkebunan Rumput/Tanah Terbuka Luas Wilayah (hektar) Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)
Persen (%) Berdasarkan Wilayah Pembangunan Barat Tengah Timur 3.09 0.59 1.03 19.28 5.49 16.34 18.08 11.37 9.54 20.98 20.00 20.18 6.64 21.57 8.64 1.05 2.65 4.37 6.45 8.36 17.68 129 790 86 051 82 183 1 041
2 370
934
Sumber : Peta Landuse, diolah kembali.
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa wilayah terbangun di Kabupaten Bogor bagian tengah relatif lebih besar dibandingkan daerah lain dan di wilayah barat, tingginya persentasi belukar memperlihatkan masih banyaknya lahan-lahan yang belum termanfaatkan dengan optimal. Selain itu adanya kawasan lindung di sebelah barat daya dan tengah yang merupakan hutan lindung menyebabkan kawasan tersebut relatif menjadi lebih sulit untuk dikembangkan. Pada wilayah tengah, persen wilayah terbangun yang ditunjukkan dari persentasi penggunaan lahan untuk pemukiman menunjukkan bahwa wilayah tersebut relatif lebih berkembang karena untuk membangun suatu kawasan pemukiman tentu membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai baik berupa sarana jalan, jaringan listrik, telepon ataupun air bersih serta mempunyai aksesibilitas yang baik terhadap sarana-sarana pelayanan sosial seperti sarana pendidikan, kesehatan ataupun pemerintahan. Perkembangan wilayah ini juga ditunjang oleh adanya jalur transportasi utama antara Bogor – Jakarta baik melalui kendaraan maupun kereta api yang menyebabkan pesatnya pertumbuhan kawasan perumahan di wilayah ini. Dari Tabel 10 di atas juga terlihat bahwa walaupun wilayah tengah mempunyai persentase penggunaan lahan untuk pemukiman yang paling tinggi tetapi juga mempunyai persentase penggunaan lahan untuk tegalan/ladang serta
61
kebun/perkebunan yang juga relatif tinggi. Kedua jenis penggunaan lahan ini terutama berada di sebelah barat daya dan timur dari wilayah ini. Untuk wilayah Kabupaten Bogor bagian Timur, daerah yang mempunyai hirarki I terdapat di beberapa kecamatan, yaitu Cariu, Jonggol, Cileungsi dan Gunung Putri. Ini menunjukkan bahwa di wilayah timur, perkembangan wilayah sudah lebih maju dengan infrastruktur yang lebih baik. Hal ini ditunjang dengan arahan pengembangan industri yang cenderung lebih mengarah ke wilayah timur. Selain itu, adanya jalur alternatif dari Jakarta menuju Bandung melalui Jonggol dan Cariu menjadikan daerah ini mempunyai tingkat interaksi yang relatif lebih tinggi. Jika dilihat dari Gambar 1, sebagian besar dari Kabupaten Bogor wilayah barat ini mempunyai tingkat densitas jalan yang rendah.
Hal ini membawa
dampak yang kurang baik dalam perkembangan wilayah karena aksesibilitas ini sangat penting untuk adanya interaksi antara satu wilayah dengan wilayah lain. Jika aksesibilitas masih relatif rendah maka interaksi wilayah akan relatif rendah sehingga perkembangan wilayah tersebut akan cenderung lebih lambat dibandingkan dengan wilayah yang mempunyai interaksi antar wilayah yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil ovelay peta densitas jalan dengan wilayah berhirarki III seperti pada Gambar 6, terlihat bahwa rendahnya aksesibilitas yang ditunjukkan oleh tingkat densitas jalan yang rendah ternyata sangat berpengaruh terhadap penyediaan infrastruktur wilayah.
Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa
sebagian besar desa-desa yang berada pada hirarki III (135 desa atau 63.4%) berada di wilayah dengan densitas jalan yang rendah (kurang dari 22.54 meter per hektar) dan 66 desa (31%) berada pada wilayah dengan densitas jalan sedang (antara 22.54 – 47.04 meter per hektar). Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengembangkan suatu wilayah, ketersediaan prasarana transportasi mempunyai peranan yang penting. Lain halnya dengan desa-desa yang berhirarki I dimana hanya (37.5%) saja dari dari desa-desa tersebut yang berada pada densitas jalan yang tinggi, seperti yang terlihat pada Gambar 7. Hal ini diduga bahwa perkembangan daerah-
62
daerah tersebut lebih didukung oleh faktor lokasinya terhadap pusat-pusat pertumbuhan atau pada simpul-simpul pertumbuhan. 680000
700000
720000
740000
660000
680000
700000
720000
740000
9240000
9240000
9260000
9260000
9280000
9280000
9300000
9300000
9320000
9320000
660000
Keterangan : Desa-desa berhirarki III
Peta Overlay Desa Berhirarki III Dengan Densitas Jalan 7
0
7
14 Km
Densitas Jalan Rendah N
Densitas jalan sedang W
E S
Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006
Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor
Gambar 6 Peta Overlay Densitas Jalan dengan Desa berhirarki III
63
Secara lokasi, letak kecamatan yang mempunyai desa-desa yang berhirarki I memang sesuai dengan pusat-pusat pertumbuhan di masing-masing wilayah pembangunan, yaitu Leuwiliang di wilayah barat, Cibinong di wilayah tengah dan Cileungsi di wilayah timur. 680000
700000
720000
740000
9300000
9300000
9320000
9320000
660000
Tenjo Parungpanjang Gunung Sindur
Gunung Putri Cileungsi
Parung
Rumpin Ciseeng
Jonggol
Cibinong Klapanunggal Bojonggede Kemang Citeureup
Cigudeg
Dramaga Cibungbulang Leuwiliang Ciomas Ciampea
9280000
9280000
Jasinga
Sukaraja Babakan Madang Sukamakmur
Cariu
Tamansari Pamijahan Cijeruk
Megamendung Caringin Ciawi
Cisarua
9240000
9240000
Nanggung
9260000
9260000
Sukajaya
660000
680000
700000
Keterangan : Batas Kecamatan
720000
740000
Peta Overlay Desa Berhirarki I Dengan Densitas Jalan 7
0
7
14 Km
Densitas Jalan Tinggi Desa-desa Berhirarki I
N W
E S
Program Studi Perencanaan W ilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006
Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor
Gambar 7 Peta Hasil Overlay Wilayah Hirarki I dengan Densitas Jalan
Desa-desa yang berhirarki II, sebanyak 110 desa (58,5%) berada di wilayah tengah, 55 desa (29.3%) berada di wilayah barat dan 23 desa (12.2%)
64
berada di wilayah timur.
Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran fasilitas
pelayanan sosial di wilayah tengah sudah jauh lebih merata sedangkan di wilayah lainnya relatif masih kurang baik.
Penyebaran desa-desa berhirarki II dapat
680000
700000
720000
740000
660000
680000
700000
720000
740000
9240000
9240000
9260000
9260000
9280000
9280000
9300000
9300000
660000
9320000
9320000
dilihat pada Gambar 8.
Keterangan : Batas Wilayah Pemerintahan
Peta Penyebaran Desa Berhirarki II Menurut Wilayah Pemerintahan 7
0
7
14 Km
Desa-desa Berhirarki II di Wilayah Barat N
Desa- desa Berhirarki II di Wilayah Tengah Desa-desa Berhirarki II di Wilayah Timur
W
E S
Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006
Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor
Gambar 8 Peta Penyebaran Desa Berhiraraki II menurut Wilayah pembangunan
65
Penyebaran desa-desa berhirarki II yang lebih banyak di wilayah tengah menunjukkan bahwa secara umum, fasilitas pelayanan yang ada di wilayah ini sudah lebih merata. Ini disebabkan adanya kemudahan akses terhadap pusat-pusat pertumbuhan baik terhadap Jakarta melalui jalan tol, jalan nasional maupun jalan kereta maupun terhadap Kota Bogor. Keadaan ini telah menyebabkan banyak daerah di wilayah ini menjadi satelit, baik bagi Jakarta, Kota Bogor maupun Cibinong sendiri. Keterkaitan Antar Variabel Untuk mengetahui keterkaitan antar variabel maka dilakukan analisa korelasi antar variabel. Hasil analisa korelasi ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan hasil analisa korelasi, variabel Keluarga Pertanian (KP) paling banyak berkorelasi dengan variabel lainnya.
Variabel ini berkorelasi
positif dengan variabel Jumlah SD, Jumlah Masjid, Jarak ke Jakarta, Jarak ke Bogor, Hutan dan Lereng 8-25%. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah keluarga pertanian semakin banyak pula jumlah masjid yang ada. Keluarga pertanian cenderung berada di wilayah-wilayah rural yang relatif lebih jauh dari pusat kota (Jakarta dan Bogor) atau di sekitar hutan dan berada di wilayah dengan tingkat kelerengan 8 – 25%. Variabel ini berkorelasi negatif dengan Tingkat Kepadatan Penduduk, PAD per Kapita, Sarana Perbelanjaan, Lembaga Keuangan, Sarana Komunikasi, Sarana Kesehatan, Sarana Pendidikan (jumlah SMP, SMA, jumlah siswa SD, SMP dan SMA, jumlah guru SD, SMP dan SMA), Sarana transportasi (roda dua, roda empat dan densitas jalan), jarak terhadap ibukota kecamatan yang membahawi, jarak terhadap ibukota Kabupaten yang membawahi dan jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat, kawasan bukan hutan dan wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8%. Hasil ini menunjukkan bahwa keluarga pertanian cenderung berada di wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif rendah, mempunyai PAD per kapita yang relatif rendah, mempunyai sarana perbelanjaan, sarana komunikasi dan lembaga keuangan yang lebih sedikit, jumlah sarana pendidikan menengah yang lebih sedikit, sarana transportasi yang lebih terbatas dan tingkat densitas jalan yang rendah.
66
Variabel
kepadatan
penduduk
berkorelasi
positif
dengan
sarana
perbelanjaan, lembaga keuangan, sarana komunikasi, jumlah SMA, jumlah siswa SMA, jumlah guru SMA dan SMA, jumlah masjid, jumlah sarana dan prasarana transportasi (roda dua, roda empat dan densitas jalan), kawasan bukan hutan, wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8% dan densitas sungai.
Hasil ini
menunjukkan bahwa semakin padat suatu wilayah akan membutuhkan sarana atau fasilitas pelayanan sosial yang semakin banyak, baik sarana perbelanjaan, lembaga keuangan maupun sarana komunikasi, sarana pendidikan tingkat menengah, sarana ibadah, sarana dan prasarana trnasportasi, berada di areal yang relatif datar dan mempunyai sungai yang mengalir di kawasan tersebut. Variabel ini mempunyai korelasi negatif dengan variabel jumlah SD, jarak ke Bogor, luas hutan lindung dan hutan lainnya, wilayah dengan tingkat kelerengan 8 – 25% dan diatas 25%.
Hasil ini menunjukkan bahwa pada wilayah dengan tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi maka akan semakin rendah jumlah sekolah dasar, semakin jauh jaraknya dari pusat (Bogor), semakin sedikit jumlah hutan yang ada dan bentuk wilayahnya akan relatif semakin datar. Variabel angkatan kerja kerja berkorelasi positif dengan variabel tenaga kesehatan, jumlah siswa SD dan luas hutan. Variabel PAD per kapita berkorelasi positif dengan variabel sarana komunikasi, densitas jalan dan luas hutan lindung serta berkorelasi negatif dengan variabel wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8%. Variabel Sarana Perbelanjaan mempunyai korelasi positif dengan variabel lembaga keuangan, sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan (jumlah SMP, SMA, jumlah siswa SD, SMA, jumlah guru SD, SMA), sarana transportasi, jarak ke ibukota kabupaten yang membawahi, luas kawasan bukan hutan dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 – 8%. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan sarana perbelanjaan sangat terkait dengan adanya lembaga keuangan dan juga sarana komunikasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana transportasi, jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi dan bentuk wilayah yang relatif datar. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta, jarak ke Bogor dan kelerengan 8 – 25%.
67
Variabel sarana komunikasi berkorelasi positif dengan variabel sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana transportasi, jarak terhadap ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten yang membawahi, luas kawasan bukan hutan, wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8 % dan densitas sungai.
Hasil ini
menunjukkan bahwa sarana komunikasi merupakan cerminan ketersediaan sarana pelayanan sosial di suatu wilayah.
Semakin tinggi ketersediaan sarana
komunikasi akan seiring dengan semakin banyaknya ketersediaan sarana kesehatan, pendidikan dan transportasi. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jumlah SD, jarak ke jakarta, jarak ke bogor, luas hutan, persen luas wilayah dengan kelerengan 25% atau lebih dan persen luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25%. Variabel tenaga kesehatan berkorelasi positif dengan sarana kesehatan, sarana pendidikan, jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi dan jarak ke Jakarta. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan tenaga kesehatan sangat terkait dengan keberadaan sarana kesehatan, sarana pendidikan dan relatif dekat dengan ibukota kecamatan dan lebih terkonsentrasi di wilayah yang lebih dekat dengan Jakarta. Variabel sarana kesehatan berkorelasi positif dengan variabel jumlah SMP, jumlah siswa SD dan SMP, jumlah guru SD dan SMP dan berkorelasi negatif dengan jumlah masjid. Variabel jumlah SD berkorelasi positif dengan jumlah SMP, jumlah siswa SD, jumlah guru SD, jarak ke Jakarta, jarak ke Bogor, luasan hutan lindung atau hutan lain, persen luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25%.
Variabel ini
berkorelasi negatif dengan densitas jalan dan bukan kawasan hutan. Variabel jumlah SMP berkorelasi positif dengan jumlah SMA, jumlah siswa SD, SMP dan SMA, jumlah guru SD, SMP dan SMA, jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 – 8%. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta, luas kawasan hutan lindung dan persen luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25%. Variabel jumlah SMA berkorelasi positif dengan variabel jumlah siswa SD dan SMA, jumlah guru SD, SMP dan SMA, sarana transportasi roda dua, jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi, kawasan bukan hutan dan persen
68
luas wilayah dengan kelerengan 0 – 8%. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta, luas kawasan hutan dan persen luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25%. Variabel roda dua berkorelasi positif dengan variabel jumlah kendaraan roda empat, jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi, kawasan bukan hutan dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 – 8%.
Variabel ini
berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta, jarak ke Bogor, kawasan hutan, persen luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25% dan densitas sungai. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah kendaraan roda dua lebih banyak berada dekat dengan ibukota kecamatan dan di daerah bukan hutan yang relatif datar. Variabel kendaraan roda empat berkorelasi positif dengan variabel jarak terhadap ibukota kecamatan yang membawahi dan jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi dan densitas jalan. Variabel ini berkorelasi negatif dengan variabel jarak ke Jakarta dan jarak ke Bogor. Hasil ini menunjukkan bahwa ketersediaan prasarana transportasi sangat menentukan keberadaan kendaraan roda empat dan cenderung terkonsentrasi di ibukota kecamatan atau kabupaten. Hasil Analisa Komponen Utama Dalam melakukan analisis komponen utama (PCA), dilakukan beberapa kali analisis untuk menghasilkan nilai akar ciri (eigenvalues) yang baik. Dalam penelitian ini, setelah dilakukan beberapa kali analisa, maka untuk menghasilkan nilai akar ciri yang baik jumlah variabel yang ada dikurangi (dengan penggabungan beberapa variabel) sehingga dari 71 variabel direduksi menjadi 27 variabel (selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5). Hasil analisis komponen utama terhadap 27 variabel awal ini menghasilkan komponen utama sebanyak sepuluh faktor yang sudah saling ortogonal. Melalui analisis ini, variabel asal dikelompokkan ke dalam faktor-faktor baru berdasarkan nilai factor loading-nya. Nilai kumulatif eigenvalue atau akar ciri dari faktor baru yang dihasilkan adalah 70.09% seperti yang tertera pada tabel di bawah, yang artinya nilai total keragaman yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang baru adalah 70,09%. Nilai ini sudah memenuhi syarat proporsi keragaman yang dapat dijelaskan.
69
Tabel 12 memperlihatkan nilai factor loading dari variabel asal terhadap komponen-komponen utamanya. Nilai factor loading dianggap sebagai peubah penciri komponen utamanya adalah pada nilai lebih dari 70% sehingga apabila suatu variabel asal memiliki nilai factor loading lebih dari 70% maka variabel itu termasuk ke dalam faktor tersebut. Tabel 11 Eigenvalue komponen-komponen utama Eigenvalue
Faktor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5.116133 2.980967 2.08284 1.882338 1.432006 1.306886 1.24334 1.084358 1.008992 1.006349
% Total variance 18.94864 11.04062 7.71422 6.97162 5.30372 4.84032 4.60496 4.01614 3.73701 3.72722
Cumulative Eigenvalue 5.11613 8.0971 10.17994 12.06228 13.49428 14.80117 16.04451 17.12887 18.13786 19.14421
Cumulative % 18.94864 29.98926 37.70348 44.6751 49.97883 54.81915 59.42411 63.44025 67.17726 70.90448
Berdasarkan hasil analisa komponen utama, masing-masing faktor yang diperoleh adalah sebagai berikut : Faktor 1 terdiri dari empat variabel asal, yaitu luas kawasan hutan, persen luas wilayah dengan kelerengan 25% atau lebih, persen luas wilayah dengan kelerengan 8 – 25% dan persen luas wilayah dengan kelerengan 0 – 8%. Faktor 1 ini dapat dikategorikan sebagai faktor tingkat kelerengan rendah. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 1 adalah sebesar 18.95%. Faktor 2 terdiri dari lima variabel asal, yaitu jumlah SMP, jumlah SMA, jumlah siswa SMP, jumlah guru SMP dan jumlah guru SMA. Berdasarkan hasil analisa, faktor 2 dapat dikategorikan sebagai penciri fasilitas pendidikan tingkat menengah. Nilai keragaman yang dapat dijelaskan oleh faktor 2 adalah sebesar 11.04% Faktor 3 terdiri dari dua variabel asal, yaitu kepadatan penduduk dan jarak dari Kota Bogor. Faktor 3 ini dapat dikategorikan sebagai daerah dengan kepadatan yang tinggi dan berlokasi yang relatif lebih jauh dari Kota Bogor. Korelasi kependudukan yang positif dan jarak dari kota Bogor
70
yang negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi kependudukannya maka akan semakin mendekati Kota Bogor. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 2 adalah sebesar 7.71%. Tabel 12 Factor Loading dari hasil Factor Analysis Variabel KP Kpdtn Angker PADK Kom Tkes SD SMP SMA SSD SSMP SSMA GSD GSMP GSMA R2 R4 jrk2 jrk3 Denjl jjkt jbgr hl htn lrg25 lrg8 lrg0 Expl.Var Prp.Totl
1 -0.06 0.25 -0.06 -0.08 0.08 -0.03 -0.08 0.07 0.07 0.01 0.02 0.10 0.09 0.04 0.10 0.06 0.00 0.05 0.09 0.07 -0.36 -0.12 -0.05 -0.78 -0.77 -0.76 0.91
2 -0.16 0.06 0.01 0.01 0.24 0.07 0.03 0.71 0.72 0.05 0.80 0.67 0.20 0.80 0.77 0.01 0.06 0.05 -0.02 0.00 -0.10 -0.01 -0.07 -0.03 0.00 -0.15 0.12
3 -0.57 0.76 -0.13 0.12 0.55 0.06 -0.60 0.06 -0.01 -0.12 0.16 -0.08 0.00 0.17 -0.09 0.15 0.11 0.20 0.05 0.23 0.07 -0.71 -0.14 -0.19 0.01 -0.20 0.16
4 -0.41 0.02 0.03 0.07 0.44 0.21 0.29 0.16 -0.05 0.87 0.13 0.03 0.85 0.17 0.09 0.07 0.00 0.09 -0.03 -0.01 -0.21 0.15 -0.05 -0.07 0.06 -0.10 0.06
2.91 0.11
3.53 0.13
2.46 0.09
2.17 0.08
Faktor 5 6 0.21 -0.21 -0.18 0.07 -0.13 0.06 -0.01 -0.04 -0.14 0.17 0.06 0.02 0.03 0.12 0.09 0.12 -0.14 0.06 0.00 -0.04 0.07 -0.12 -0.17 0.05 -0.04 0.05 0.08 -0.08 -0.20 0.11 -0.85 -0.02 0.06 -0.82 -0.10 0.79 0.04 0.81 0.00 0.01 0.16 -0.23 0.01 -0.14 -0.04 0.01 0.03 -0.07 -0.03 -0.04 0.06 -0.04 -0.04 0.04 1.66 0.06
1.52 0.06
7 -0.11 0.03 -0.15 0.25 0.02 -0.77 -0.01 0.21 0.16 -0.16 -0.11 -0.26 -0.02 -0.04 -0.19 0.04 0.03 0.03 -0.02 0.11 -0.42 0.13 -0.22 0.01 0.13 -0.18 0.10
8 -0.06 0.01 -0.01 0.68 0.06 0.02 0.15 0.05 0.01 -0.04 -0.02 -0.11 0.00 -0.01 -0.10 -0.03 0.06 -0.09 0.04 0.07 0.32 0.02 0.72 -0.14 -0.03 0.22 -0.17
9 0.02 -0.13 0.77 0.25 -0.06 0.20 -0.16 0.12 -0.19 0.10 0.21 -0.36 -0.02 0.26 -0.25 0.12 0.00 0.06 -0.01 0.03 -0.26 0.06 -0.17 0.07 0.02 0.00 0.00
10 0.21 0.05 -0.03 -0.22 -0.12 0.08 0.31 0.29 0.06 0.01 -0.02 -0.32 0.05 0.02 -0.27 0.04 -0.05 -0.06 0.05 -0.74 0.28 0.05 0.09 0.16 0.16 -0.18 0.09
1.22 0.05
1.25 0.05
1.22 0.05
1.21 0.04
Sumber : Hasil Analisa
Faktor 4 terdiri dari dua variabel asal, yaitu jumlah siswa SD dan rasio guru SD terhadap murid. Faktor 4 dapat dikategorikan sebagai penciri pendidikan tingkat dasar.
Korelasi yang positif menunjukkan bahwa semakin
banyak murid SD yang bersekolah akan meningkatkan rasio jumlah guru terhadap murid. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 4 adalah sebesar 6.97%.
71
Faktor 5 terdiri dari dua variabel asal, yaitu jumlah kendaraan roda dua dan roda empat. Faktor 5 dikategorikan sebagai penciri dari ketersediaan sarana transportasi. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 5 adalah sebesar 5.30%. Faktor 6 terdiri dari dua variabel asal, yaitu invers jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi dan invers jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat Korelasi antara komponen utama dengan variabel asal menunjukkan nilai yang positif. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 6 adalah sebesar 4.84%. Faktor 7 terdiri dari satu variabel asal, yaitu rasio tenaga kesehatan per jumlah penduduk.
Variabel tenaga kesehatan ini merupakan gabungan dari
jumlah dokter, bidan dan dukun bayi. Faktor 7 ini dikategorikan sebagai penciri tenaga kesehatan. Korelasi yang positif menunjukkan bahwa wilayah yang lebih maju cenderung akan memiliki tenaga kesehatan yang lebih banyak. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 7 adalah sebesar 4.60%. Faktor 8 terdiri dari satu variabel asal, yaitu luas hutan lindung per luas desa. Faktor 7 ini dikategorikan sebagai penciri ketersediaan kawasan lindung. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 8 adalah sebesar 4.02%. Faktor 9 terdiri dari satu variabel asal, yaitu rasio angkatan kerja terhadap jumlah penduduk. Faktor 9 ini dikategorikan sebagai penciri penduduk di usia produktif. Korelasi yang positif menunjukkan bahwa wilayah yang lebih maju cenderung akan mempunyai jumlah angkatan kerja yang lebih tinggi. Nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 9 adalah sebesar 3.74%. Faktor 10 terdiri dari satu variabel asal, yaitu rasio panjang jalan terhadap luas wilayah. Faktor 10 ini dikategorikan sebagai penciri aksesibilitas. Korelasinya menunjukkan nilai yang negatif dan nilai keragaman data yang dapat dijelaskan oleh faktor 10 adalah sebesar 3.73%.
72
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Perkembangan Desa
Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
tingkat
perkembangan desa yang dicirikan oleh Indeks Perkembangan Desa (IPD) maka dilakukan analisis regresi berganda metode Forward Stepwise yang diawali dengan analisis komponen utama (PCA). Hasil PCA berupa nilai-nilai pada tabel faktor skor inilah yang selanjutnya digunakan untuk analisis regresi berganda. Analisis regresi berganda bertujuan untuk menentukan model persamaan yang menjelaskan hubungan antara IPD sebagai variabel tujuan (dependent variable)
dengan
faktor-faktor
yang
(diduga)
mempengaruhi
perkembangan sebagai variabel penjelas (independent variable).
tingkat Variabel-
variabel penduganya adalah variabel-variabel baru hasil PCA atau faktor, yaitu : 1)
landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8% (F1)
2)
fasilitas pendidikan tingkat menengah (F2)
3)
kepadatan penduduk dan aksesibilitas (F3)
4)
pendidikan tingkat dasar (F4)
5)
sarana transportasi (F5)
6)
invers jarak terhadap pusat (F6)
7)
tenaga kesehatan (F7)
8)
hutan lindung (F8)
9)
tenaga kerja (F9)
10) aksesibilitas (F10) Hasil analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise menunjukkan bahwa dari sepuluh variabel penduga, hanya tujuh variabel saja yang berpengaruh nyata terhadap variabel tujuan/respon (IPD) pada taraf nyata α sebesar 0.1. Variabel-variabel tersebut adalah F1, F2, F3, F4, F5, F6, F7, F8 dan F10 (Tabel 11). Variabel-variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap respon karena mempunyai nilai p-level yang lebih kecil dari taraf nyata α. Sedangkan variabel F9 tidak berpengaruh nyata karena mempunyai nilai p-level yang lebih besar dari taraf nyata α. Hasil selengkapnya dari analisa regresi berganda ini disajikan pada Lampiran 8.
73
Tabel 13 Komponen Utama yang Mempengaruhi IPD Variabel Intercept F1= landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8% F2 = sarana pendidikan tingkat menengah F3 = kepadatan penduduk dan aksesibilitas F4 = pendidikan tingkat dasar F5 = sarana transportasi F6 = invers jarak terhadap pusat F7 = tenaga kesehatan F8 = hutan lindung F10 = aksesibilitas
Koefisien 29.20
p-level
2.55 7.02 6.51 5.35 5.17 4.30 2.09 - 1.14 - 1.19
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.061 0.051
Sumber : Hasil Analisis
Nilai R2 (R-square) dari persamaan tersebut adalah 0.5424 yang artinya bahwa model persamaan tersebut mampu menjelaskan keragaman data sebesar 54.24%. Persamaan yang dihasilkan dari analisis regresi berganda dengan metode Forward Stepwise (dengan nilai α = 0,1) adalah sebagai berikut : Y = 29.20 + 2.55F1 + 7.02F2 + 6.51F3 + 5.35F4 + 5.17F5 + 4.30F6 + 2.09F7 – 1.14F8 – 1.19F10 dimana :
Y
= Indeks Perkembangan Desa (IPD)
F1
= landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8%
F2
= Fasilitas pendidikan tingkat menengah
F3
= Kepadatan penduduk dan aksesibilitas
F4
= Pendidikan tingkat dasar
F5
= Sarana transportasi
F6
= Invers jarak terhadap pusat
F7
= Tenaga kesehatan
F8
= Hutan lindung
F10 = Aksesibilitas
Berdasarkan hasil analisis di atas terlihat bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap indeks perkembangan desa adalah pendidikan tingkat menengah, diikuti oleh kependudukan, pendidikan tingkat dasar dan yang paling kecil pengaruhnya adalah tenaga kesehatan.
74
Besarnya pengaruh variabel-variabel penduga terhadap respon dapat diinterpretasikan berdasarkan koefisisen regresi yang dimilikinya.
Model
persamaan hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa nilai koefisien F1, F2, F3, F4, F5, F6, F7, F8, dan F10 merupakan faktor-faktor yang diduga besar dalam mempengaruhi IPD.
Dalam hal ini, faktor-faktor yang mempengaruhi
respon secara searah (positif) adalah faktor F1, F2, F3, F4, F5, F6, dan F7 yang berarti peningkatan nilai IPD dipengaruhi oleh peningkatan nilai F1, F2, F3, F4, F5, F6, dan/atau F7; dan sebaliknya.
Sedangkan untuk faktor F8 dan F10
mempunyai koefisien yang berlawanan arah (negatif) yang berarti bahwa peningkatan nilai IPD dipengaruhi oleh semakin kecilnya nilai F8 dan F10. ∗ Landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8% (F1) Variabel Landuse dan luas wilayah dengan tingkat kelerengan 0 – 8% mempengaruhi IPD secara searah karena memiliki nilai koefisien positif. Hal ini mengindikasikan bahwa desa-desa yang lebih berkembang berada pada tingkat kelerengan yang rendah (daerah yang datar). Desa-desa yang mempunyai tingkat kelerengan yang rendah akan lebih mudah dalam penyediaan berbagai fasilitas sarana dan prasarana, baik prasarana transportasi maupun penyediaan area untuk produksi, tempat tinggal serta berbagai sarana lainnya sehingga akan lebih mudah berkembang. ∗ Fasilitas pendidikan tingkat menengah (F2) Variabel fasilitas pendidikan tingkat menengah mempunyai korelasi positif yang berarti bahwa peningkatan nilai IPD searah dengan peningkatan ketersediaan saran pendidikan tingkat menengah (SMP dan SMA atau sederajat) baik dalam bangunannya maupun tenaga pengajarnya.
Variabel ini juga
mempunyai nilai koefisien yang paling besar yang berarti mempunyai pengaruh yang paling besar dalam meningkatkan nilai IPD. Hal ini berarti bahwa desa-desa yang lebih berkembang mempunyai ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan tingkat menengah yang lebih baik atau dengan kata lain, desa-desa yang lebih berkembang mempunyai kualitas sumberdaya manusia yang lebih baik yang ditunjang oleh ketersediaan sarana dan sarana pendidikan untuk tingkat menengah yang memadai.
75
∗ Kepadatan penduduk dan aksesibilitas (F3) Variabel kepadatan penduduk dan aksesibilitas mempunyai nilai koefisien yang positif yang berarti bahwa desa-desa dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi akan mempunyai indeks perkembangan yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk lebih banyak terkonsentrasi di daerah yang lebih berkembang (pusat) daripada di daerah hinterland. Adanya korelasi positif antara variabel kependudukan dengan IPD dapat disebabkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan untuk penduduk yang lebih baik di pusat serta aksesibilitas terhadap pusat yang kurang baik dari wilayah hinterland sehingga penduduk merasa lebih baik untuk tinggal di pusat dibandingkan di daerah hinterland. ∗ Pendidikan Tingkat Dasar (F4) Variabel pendidikan tingkat dasar mempunyai nilai koefisien yang positif. Hal ini berarti bahwa desa-desa dengan tingkat perkembangan yang tinggi mempunyai sarana dan prasrana pendidikan tingkat dasar yang lebih baik. Perkembangan suatu wilayah yang baik akan sangat memperhatikan juga sarana pendidikan tingkat dasar karena disadari bahwa semakin baik pendidikan di tingkat dasar akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan selanjutnya dan pada akhirnya akan mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. ∗ Sarana Transportasi (F5) Variabel sarana transportasi mempunyai nilai koefisien yang positif yang berarti bahwa desa-desa yang mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi akan mempunyai sarana transportasi yang lebih memadai, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Akan tetapi hasil ini berlawanan dengan hasil factor loading dan merupakan satu anomali yang dapat disebabkan faktor yang belum dapat dijelaskan. Keberadaan sarana transportasi memang sangat mendukung dalam perkembangan suatu wilayah karena fungsinya dalam mendukung interaksi antar wilayah. Semakin tinggi tingkat perkembangan suatu wilayah maka kebutuhan akan sarana transportasi untuk interaksi dengan wilayah lain juga akan semakin tinggi.
76
∗ Invers Jarak Terhadap Pusat (F6) Variabel invers jarak terhadap pusat mempunyai nilai koefisien yang positif yang artinya bahwa desa-desa dengan tingkat perkembangan yang tinggi berada lebih dekat kepada inti/pusat pemerintahan. Hal ini jelas terlihat dari penyebaran desa-desa yang berhirarki I yang memang terletak lebih dekat kepada pusat pemerintahan (dalam hal ini ibukota kabupaten). Kondisi tersebut juga menandakan bahwa secara spasial, kedekatan terhadap pusat ternyata membawa pengaruh yang besar dalam mendukung perkembangan suatu desa, disamping perlu juga didukung oleh berbagai sarana dan prasarana lainnya. ∗ Tenaga Kesehatan (F7) Variabel tenaga kesehatan mempunyai nilai koefisien yang positif yang artinya bahwa desa-desa dengan tingkat perkembangan yang tinggi mempunyai ketersediaan tenaga kesehatan (mencakup dokter, bidan dan tenga kesehatan lainnya). Tingkat perkembangan desa yang tinggi dicirikan oleh kebutuhan masyarakat akan berbagai sarana dan fasilitas pelayanan, termasuk pelayanan kesehatan. Semakin tinggi tingkat perkembangan suatu desa maka akan semakin meningkat pula kebutuhan akan pelayanan kesehatan, karena itu maka tenaga kesehatan lebih banyak dijumpai di wilayah yang mempunyai tingkat perkembangan yang lebih tinggi. ∗
Hutan Lindung (F8) Variabel hutan lindung mempunyai nilai koefisien yang negatif. Hal ini
berarti bahwa desa-desa yang mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi cenderung tidak mempunyai areal hutan lindung atau berada di areal hutan lindung.. Keberadaan suatu kawasan lindung (termasuk hutan lindung) di suatu wilayah akan berdampak pada keterbatasan dalam mengembangakan wilayah tersebut karena pada dasarnya kawasan lindung memang merupakan kawasan dengan fungsi konservasi bukan kawasan untuk budidaya.
Karena itu maka
perkembangan wilayah dengan persentase areal kawasan lindung yang tinggi
77
memang akan berakibat pada tingkat perkembangan wilayah yang lebih rendah dibandingkan wilayah lain yang tidak mempunyai kawasan lindung. ∗
Aksesibilitas (F10) Variabel aksesibilitas mempunyai nilai koefisien yang negatif. Hal ini
berarti bahwa semakin tinggi tingkat aksesibilitas (dalam hal ini densitas jalan) akan menurunkan nilai indeks pembangunan desa. Hal ini disebabkan oleh nilai yang digunakan dalam faktor aksesibilitas ini merupakan nilai rasio panjang jalan terhadap luas wilayah. Tingkat aksesibilitas suatu wilayah merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan wilayah dan merupakan salah satu penciri tingkat perkembangan wilayah. Wilayah dengan aksesibilitas yang baik akan mempunyai beberapa kelebihan, yaitu lebih mudah dalam melakukan interaksi dengan wilayah lain yang ada di sekitarnya maupun di dalam wilayah itu sendiri, lebih mudah dalam melakukan pembangunan berbagai fasilitas pelayanan serta
dapat
mendorong timbulnya berbagai aktivitas ekonomi lainnya melalui distribusi barang dan jasa yang lebih baik.
Tipologi Desa-desa di Kabupaten Bogor
Untuk menentukan tipologi desa-desa yang ada di Kabupaten Bogor, dilakukan dengan melakukan analisis gerombol (clustering analysis) terhadap seluruh desa di Kabupaten Bogor.
Tipologi wilayah ini bertujuan untuk
menggabungkan beberapa unit wilayah ke dalam kelas yang sama berdasarkan persamaan karakteristiknya. Teknik analisis yang digunakan dalam menentukan tipologi wilayah dimulai dengan melakukan standardisasi data (dari 35 variabel) lalu dilakukan analisis gerombol dengan membagi desa-desa di Kabupaten Bogor menjadi tiga gerombol (cluster) dan terakhir dilakukan analisis diskriminan. Hasil analisis gerombol selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari hasil penggerombolan terhadap variabel-variabel yang diukur, dapat dilihat pola perbedaan karakteristik antara tiga kelompok desa yang terlihat pada
78
Gambar 10 yang merupakan grafik nilai tengah dari setiap variabel untuk masingmasing kelompok desa. Klaster satu merupakan wilayah yang relatif maju yang dicirikan oleh mempunyai persen keluarga pertanian yang rendah dan tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi, keberadaan sarana perbelanjaan, sarana komunikasi serta tenaga kesehatan dan sarana kesehatan yang tinggi. Tingkat pendidikan penduduknya juga relatif tinggi dengan ketersediaan sarana dan tenaga pendidikan yang paling banyak. Dengan aksesibilitas yang baik, sarana transportasi juga relatif lebih banyak tersedia. Klaster ini merupakan daerah-daerah yang relatif dekat dengan pusat-pusat pemerintahan dan lebih dekat dengan Jakarta ataupun Kota Bogor. Klaster ini merupakan wilayah dimana lahan-lahan pertanian yang relatif telah banyak mengalami perubahan fungsi lahan menjadi penggunaan lain, terutama untuk menyediakan lahan pemukiman. Bentuk lahannya relatif datar dan bukan merupakan kawasan hutan. Jumlah desa yang termasuk pada klaster ini sebanyak 86 desa.
Plot of Means for Each Cluster 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 -2.5 PADK
Tkes
SMA
GSD
R2
jrk3
jbgr
lrg25
Variables
Gambar 9 Hasil clustering variabel-variabel yang diukur
Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3
79
Klaster dua merupakan wilayah yang relatif masih berkembang yang dicirikan oleh persentase keluarga pertanian yang masih tinggi, tingkat kepadatan penduduk yang sudah mulai tinggi akan tetapi cenderung tidak pada usia produktif (<15 atau >55 tahun), potensi desa cenderung rendah yang ditunjukkan oleh PAD per kapita yang rendah. Klaster ini cenderung merupakan wilayah sub urban yang relatif tidak terlalu jauh dari pusat-pusat pemerintahan, memiliki aksesibilitas yang sedang dan memiliki bentuk lahan yang relatif datar hingga bergelombang. Tingkat pendidikan penduduk masih relatif rendah, terutama rasio siswa SD yang bersekolah yang paling rendah. Jumlah desa yang termasuk dalam klaster ini sebanyak 239 desa. Klaster tiga merupakan wilayah yang paling tertinggal yang dicirikan oleh keberadaan keluarga pertanian yang paling tinggi, tingkat kepadatan penduduk yang paling rendah, ketersediaan sarana perbelanjaan, sarana komunikasi dan lembaga-lembaga keuangan yang masih kurang. Fasilitas pendidikan juga masih relatif rendah, terutama ketersediaan guru pengajar yang paling rendah. Wilayah ini adalah yang berada paling jauh dari Jakarta dan Kota Bogor dengan bentuk lahan yang didominasi oleh perbukitan dan berada di sekitar kawasan hutan atau hutan lindung. Jumlah desa yang termasuk dalam klaster ini sebanyak 100 desa. Jika dilihat dari pola penyebaran klaster-klaster tersebut, klaster satu sebagian besar berada di sekitar tengah utara yang termasuk Kecamatan Cibinong, Bojonggede dan Gunung Putri. Ketiga kecamatan ini memang merupakan pusat pertumbuhan dan memang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi (Cibinong dan Bojonggede). Sebagian lainnya, yaitu sebanyak 14 desa berada di bagian tengah selatan yang merupakan poros Bogor Bandung melalui Puncak atau Sukabumi. Daerah ini merupakan daerah tujuan wisata utama bagi warga Bogor dan Jakarta sehingga mempunyai ketersediaan sarana dan prasarana yang relatif cukup, baik aksesibilitas maupun sarana lainnya. Klaster tiga cenderung berada di wilayah selatan dan terbentang dari Barat hingga ke timur. Daerah ini memang mempunyai bentuk lahan yang mempunyai luas lahan dengan tingkat kelerengan tinggi yang relatif tinggi dan merupakan kawasan hutan atau kawasan lindung.
Sedangkan klaster dua cenderung
menyebar dan merata di setiap wilayah pembangunan.
680000
700000
720000
740000
660000
680000
700000
720000
740000
9240000
9240000
9260000
9260000
9280000
9280000
9300000
9300000
660000
9320000
9320000
80
Keterangan:
Peta Penyebaran Setiap Klaster
Klaster 1 (W ilayah Paling Maju)
7
0
7
14 Km
Klaster 2 (W ilayah Sedang Berkembang) Klaster 3 (W ilayah Tertinggal)
N W
E S
Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006
Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor
Gambar 10 Pola penyebaran setiap klaster
81
Hasil Analisis Diskriminan
Analisis fungsi diskriminan merupakan analisis lanjutan setelah dilakukan pengelompokkan. Analisis ini berfungsi untuk memilih faktor-faktor yang paling mencirikan tipologi wilayah yang didapat dari hasil analisis kelompok atau dengan kata lain, faktor-faktor mana saja yang menjadi penciri atau yang paling berpengaruh terhadap masing-masing tipologi tersebut. Dalam analisis fungsi diskriminan ini, data yang digunakan adalah data dari variabel asalnya akan tetapi untuk menjaga agar matriks yang terbentuk tidak menjadi ill-condition, maka dilakukan pengurangan variabel menjadi hanya 32 variabel.
Sedangkan yang menjadi dasar pengelompokkan tidak hanya hasil
analisis gerombol tapi juga hasil dari analisis skalogram. Hal ini untuk melihat perbedaan
dasar
pengelompokkan
yang
dilakukan
oleh
kedua
metode
pengelompokkan tersebut.
Tabel. 14 Hasil Dugaan Klasifikasi Kelompok Berdasarkan Klaster dan Hirarki Klaster 1 2 3 Total
% Ketepatan Hasil Klasifikasi 90.698 99.163 95.000 96.471
Hirarki I II III Total Sumber : Hasil Analisa
75.000 64.894 85.446 75.765
G_1:1 p=.20235 78 1 0 79 G_1:1 p=.05647 18 10 0 28
G_2:2 p=.56235 7 237 5 249 G_2:2 p=.44235 6 122 31 159
G_3:3 p=.23529 1 1 95 97 G_3:3 p=.50118 0 56 182 238
Hasil di atas memperlihatkan bahwa ketepatan pengelompokan yang dilakukan pada analisis klaster mencapai 96.47%. Ketidaktepatan yang paling banyak terjadi justru pada klaster 1. Hal ini mungkin disebabkan karena secara fisik, ada daerah-daerah yang mirip dengan klaster 1 akan tetapi secara fasilitas belum mencerminkan sebagai klaster 1. Demikian juga untuk klaster 3, ada delapan desa yang sebenarnya bisa masuk ke dalam klaster 2, akan tetapi mungkin secara fisik lebih mirip dengan klaster 3.
82
Untuk pengelompokkan berdasarkan hasil analisis skalogram, ketepatan pengelompokkan adalah 75.76% dimana ketidaktepatan paling banyak terjadi pada hirarki II. Dalam hal ini, ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu turun ke hirarki III atau malah naik ke hirarki I. Jika turun ke hirarki III, hal ini mungkin disebabkan karena adanya pengaruh dari faktor fisik yang lebih mirip dengan hirarki III. Jika sebaliknya, secara kuantitas, ketersediaan sarana dan fasilitas pelayanan lebih mirip dengan hirarki I. Dari Tabel 11 di atas juga terlihat bahwa antara metode analisis klaster dengan analisis skalogram terdapat perbedaan yang mencolok dalam melakukan penglompokkan desa-desa di Kabupaten Bogor. Analisis klaster menghasilkan anggota kelompok yang lebih banyak di klaster dua (sedang), tetapi analisis skalogram lebih banyak menghasilkan anggota di hirarki III (rendah). Hal ini dapat dimaklumi karena pada analisa klaster, yang menjadi dasar dalam melakukan pengelompokkan adalah perbedaan nilai tengah dari masing-masing variabel pada setiap desa sedangkan pada analisis skalogram, pengelompokkan dilakukan dengan membagi nilai indeks perkembangan desa berdasarkan nilai median dan standar deviasinya. Untuk jumlah grup/kelompok yang lebih dari tiga, analisis fungsi diskriminan juga dapat menduga fungsi diskriminan untuk membedakan antara grup/kelompok petama dengan kombinasi grup/kelompok kedua dan ketiga. Hal ini dilakukan dengan analisis kanonikal yang akan menghasilkan fungsi diskriminan yang jumlahnya sama dengan jumlah grup/kelompok dikurangi satu.. Untuk pembagian kelompok berdasarkan hasil clustering, hasil selengkapnya dari analisis ini dapat dilihat pada Lampiran 12, sedangkan untuk pembagian kelompok berdasarkan hasil skalogram, hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13.
83
Tabel 15 Koefisien Hasil Standardisasi untuk Pembeda Antar Grup/Kelompok Klaster lrg8 Htn GSMA Kom lrg25 jrk1 GSMP KP hl GSD SMA jjkt Denjl Skes jrk2 Lkeu PADK Kpdtn Jbgr Tkes Sgi R2 SSMA SSD jrk3 SD Angker Eigenvalue Cum.Prop
Akar 1
Akar 2
-0.675 -0.506 0.350 0.144 -0.367 0.110 0.104 -0.141 -0.197 0.327 0.175 -0.161 0.052 0.003 0.043 0.165 -0.159 0.086 -0.025 0.039 -0.132 -0.101 -0.171 -0.132 -0.027 -0.037 -0.033 4.985 0.727
0.449 0.353 0.446 0.218 0.164 0.260 0.283 -0.207 0.210 0.115 0.162 -0.154 0.239 0.192 0.283 0.148 -0.031 0.325 0.170 0.119 -0.087 -0.100 -0.043 0.008 -0.123 0.111 0.089 1.877 1.000
Keterangan : dicetak tebal adalah variabel yang menjadi pembeda nyata Tabel 16 Tes Chi-Square untuk masing-masing akar
0 1
Eigenvalue 4.985 1.877
Canonical R 0.913 0.808
Wilks' Lambda 0.058 0.348
Chi-Sqr. 1164.004 432.176
df
p-level 54 26
0 0
Berdasarkan fungsi diskriminan seperti yang terlihat pada Tabel 15 di atas, variabel yang membedakan pengelompokkan berdasarkan klaster adalah rasio luas wilayah dengan lereng 8 – 25%, kawasan hutan, rasio guru SMA terhadap murid, rasio luas wilayah dengan lereng >25% dan rasio guru SD terhadap murid. Fungsi diskriminan ini ditandai oleh koefisien yang negatif untuk variabel rasio luas wilayah dengan lereng 8 – 25%, kawasan hutan, dan rasio luas wilayah
84
dengan lereng >25% sedangkan untuk variabel rasio guru SMA terhadap murid dan rasio guru SD terhadap murid bertanda positif. Hal ini berarti bahwa semakin luas wilayah dengan lereng 8 – 25%, semakin luas kawasan hutan dan semakin luas wilayah dengan lereng > 25% serta semakin rendah rasio guru SMA terhadap murid dan rasio guru SD terhadap murid maka akan semakin tidak mirip desadesa yang ada dengan desa-desa pada klaster satu. Tabel 17 Koefisien Hasil Standardisasi untuk Pembeda Antar Grup/Kelompok Hirarki Kom jrk1 SMP Jjkt KP Lkeu PADK SMA Jbgr R4 jrk3 jrk2 SSMA Kpdtn lrg8 Angker GSD Sarbelj Eigenval Cum.Prop
Root 1 0.344 0.311 0.232 -0.398 -0.232 0.235 -0.170 0.133 0.021 0.093 -0.024 0.110 0.147 0.256 0.196 0.104 0.116 0.109 1.295 0.862
Root 2 0.215 0.311 -0.380 0.001 0.239 -0.081 -0.300 -0.410 0.489 0.303 -0.417 0.328 0.267 0.262 0.191 -0.103 -0.018 -0.020 0.207 1.000
Keterangan : dicetak tebal adalah variabel yang menjadi pembeda nyata Tabel 18 Tes Chi-Square untuk masing-masing akar
0 1
Eigenvalue 1.295 0.207
Canonicl R 0.751 0.414
Wilks' Lambda 0.361 0.828
Chi-Sqr. 421.487 77.936
df
p-level 36 17
0 0
Berdasarkan fungsi diskriminan seperti yang terlihat pada Tabel 17 di atas, variabel yang membedakan pengelompokkan berdasarkan hirarki adalah sarana komunikasi, jarak terhadap ibukota kecamatan, jumlah SMP, jarak ke Jakarta, persen keluarga pertanian, jumlah lembaga keuangan dan kepadatan penduduk. Fungsi diskriminan ini ditandai dengan nilai koefisien yang negatif untuk variabel jarak ke Jakarta dan persen keluarga pertanian dan nilai koefisien yang
85
positif untuk variabel sarana komunikasi, jarak terhadap ibukota kecamatan, jumlah SMP, jumlah lembaga keuangan, dan kepadatan penduduk Hal ini berarti bahwa semakin jauh jaraknya ke Jakarta dan semakin tinggi persen keluarga pertanian serta semakin sedikit sarana komunikasi, semakin jauh jaraknya terhadap ibukota kecamatan, semakin sedikit jumlah SMP, lembaga keuangan dan semakin rendah kedatan penduduknya akan semakin sedikit kemiripannya desadesa yang ada dengan desa-desa pada hirarki I. Jika dilakukan overlay antara hasil skalogram dengan hasil clustering seperti yang terlihat pada Gambar 11 maka akan didapatkan bahwa seluruh desa yang berada pada hirarki I juga berada pada klaster 1. Hal ini berarti bahwa desadesa berhirarki I memang merupakan desa-desa yang paling maju dengan karakteristik fisik yang juga mendukung perkembangan wilayahnya, seperti terletak pada daerah dengan tingkat kelerengan yang rendah sampai sedang (0 – 25%) dan pada kawaasan bukan hutan atau relatif jauh dari kawasan hutan. Sedangkan overlay antara desa-desa berhiraki III dengan klaster 3 diperoleh 70 desa yang benar-benar merupakan desa yang tertinggal (34 desa di barat, 15 desa di tengah dan 21 desa di timur). Desa-desa ini selain yang paling minim sarana dan fasilitas pelayanan sosialnya juga mempunyai karakter fisik yang kurang mendukung untuk perkembangan wilayah, seperti rasio daerah dengan tingkat kelerengan tinggi yang lebih besar atau juga berada di kawasan hutan atau di sekitar kawasan hutan. Adapun nama-nama desa tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10.
Hasil Analisis Korelasi Kanonikal
Korelasi kanonik digunakan untuk mengukur hubungan antara satu set variabel tujuan/respon yang dapat menduga perbedaan antara desa-desa yang lebih berkembang dengan set variabel yang menjadi variabel penjelasnya.
Dalam
analisis ini, yang menjadi set variabel tujuan adalah pendapatan asli daerah per kapita, sarana komunikasi, densitas jalan, rumahtangga yang berlangganan listrik PLN, rasio rumah permanen, rumahtangga yang memiliki televisi, rasio keluarga
86
sejahtera dan indeks perkembangan desa.
Sedangkan variabel penjelasnya
berjumlah 31 variabel. 680000
700000
720000
740000
660000
680000
700000
720000
740000
9240000
9240000
9260000
9260000
9280000
9280000
9300000
9300000
9320000
9320000
660000
Peta Overlay Desa Berhirarki III dengan Desa pada Klaster 3
Keterangan : Batas Wilaah Pemerintahan
7
0
7
14 Km
Desa-desa di Wilayah Barat Desa-desa di Wilayah Tengah
N
Desa-desa di Wilayah Timur W
E S
Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB 2006
Sumber : - Peta Topografi skala 1 : 25.000 - Pemda Kabupaten Bogor
Gambar 11 Hasil overlay desa-desa berhirarki III dengan desa-desa pada klaster 3
87
Berdasarkan hasil analisa korelasi kanonik, terlihat bahwa antara set variabel tujuan dengan set variabel penjelas mempunyai koefisien korelasi yang cukup tinggi (nilai R = 0.85323) dan sangat signifikan (p-level = 0.00001). Sedangkan dari fungsi kanonik yang terbentuk (selengkapnya pada Tabel 16), terlihat bahwa tingkat perkembangan desa yang lebih tinggi dipengaruhi oleh setidaknya tujuh variabel, yaitu persen keluarga pertanian, tingkat kepadatan penduduk, sarana lembaga keuangan, jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi, rasio guru SD terhadap murid, rasio guru SMA terhadap murid, dan jarak terhadap ibukota kecamatan. Tabel 19 Pembobot kanonik pada masing-masing fungsi kanonik (FC)
Set Variabel Tujuan PADK Kom Denjl rpln ruper rtv kesej Indeks Set Variabel Penjelas KP Kpdtn Angker Sarbelj Lkeu Tkes Skes SD SMP SMA SSD SSMP SSMA GSD GSMP GSMA Mas R2 R4 jrk1 jrk2
FC I R = 0.853 p = 0.000
FC II R = 0.603 p = 0.000
FC III R = 0.528 p = 0.000
0.137 0.841 0.229 0.470 0.429 0.566 0.400 0.888
0.045 0.324 -0.004 0.339 0.478 0.333 -0.263 -0.392
-0.115 -0.395 0.282 0.297 0.346 0.617 0.029 0.048
-0.808 0.659 0.041 0.341 0.513 0.025 0.277 -0.300 0.368 0.379 0.235 0.343 0.353 0.414 0.388 0.405 -0.095 0.346 0.344 0.403 0.452
-0.078 0.069 -0.007 0.060 -0.065 0.178 0.112 -0.278 -0.184 -0.212 -0.009 -0.136 -0.268 0.011 -0.156 -0.290 0.370 -0.176 -0.063 -0.370 0.079
0.043 0.348 0.079 0.046 -0.242 -0.191 -0.259 -0.321 -0.070 0.015 -0.427 -0.195 -0.165 -0.263 -0.143 -0.111 0.265 0.290 0.100 -0.096 0.066
88
Tabel 19 Lanjutan FC I R = 0.853 p = 0.000
FC II R = 0.603 p = 0.000
Set Variabel Penjelas jrk3 0.179 -0.081 Jjkt -0.338 0.428 Jbgr -0.372 -0.464 Hl -0.119 -0.058 Htn -0.310 -0.057 Bhtn 0.355 0.120 lrg25 -0.132 -0.060 lrg8 -0.348 -0.115 lrg0 0.336 0.117 Sgi 0.048 0.399 Ketarangan : Dicetak tebal adalah yang paling berpengaruh
FC III R = 0.528 p = 0.000 0.150 -0.108 -0.514 -0.118 -0.107 0.069 -0.126 -0.195 0.208 -0.019
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dalam menentukan tipologi wilayah desa-desa di Kabupaten Bogor, diperoleh
karakteristik tipologi tiap
wilayah seperti yang tercantum dalam Tabel 20 di bawah ini. Tabel 20 Karakteristik Tipologi Wilayah Desa-desa di Kabupaten Bogor Tipologi Wilayah Tipologi ∗ Wilayah I
∗
∗
Tipologi ∗ Wilayah II
Karakteristik Jika dilihat dari sumberdaya alam dan fisik lahannya, wilayah ini termasuk datar, dengan aktivitas budidaya padi yang cenderung rendah, sedangkan aktivitas budidaya tanaman semusim dan perkebunan cenderung sedang. Rasio luas hutan paling rendah. Perubahan penggunaan telah banyak terjadi untuk mendukung perluasan pemukiman. Aktivitas ekonominya telah mulai bergeser ke sektor non pertanian. Jika dilihat dari sumberdaya buatan, rasio infrastruktur dasar penunjang pendidikan (SD, SMP dan SMA), sarana dan tenaga kesehatan, perekonomian (perbankan dan sarana belanja) dan prasarana transportasi (densitas jalan) yang paling tinggi. Ketersediaan sarana transportasi juga yang paling tinggi dibandingkan desadesa di klaster lain. Jika dilihat dari sumberdaya manusia, tingkat pendidikan paling tinggi yang ditandai dengan rasio siswa per 1000 penduduk yang paling tinggi. Kepadatan penduduk per km2 juga paling tinggi. Rasio keluarga yang berusaha di bidang pertanian paling rendah yang berarti telah banyak keluarga yang mengandalkan hidupnya di luar bidang pertanian, seperti di bidang industri dan jasa. Jika dilihat dari sumberdaya alam dan fisik lahannya, wilayah ini termasuk yang agak bergelombang, dengan aktivitas budidaya padi yang lebih tinggi, sedangkan aktivitas budidaya tanaman semusim dan perkebunan cenderung tinggi. Rasio luas hutan sedang.
Kesimpulan Wilayah terbangun dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan infrstruktur serta sumberdaya manusia yang baik. Telah banyak terjadi perubahan penggunaan lahan dan mata pencaharian penduduk cenderung beralih ke sektor industri dan jasa.
Wilayah pertanian tanaman pangan dengan tingkat kepadatan sedang dan sumberdaya manusia sedang.
89
Tabel 20 Lanjutan Tipologi Wilayah Tipologi ∗ Wilayah II
∗
Tipologi ∗ Wilayah III
∗
∗
Karakteristik
Kesimpulan
Jika dilihat dari sumberdaya buatan, rasio infrastruktur dasar penunjang pendidikan (SD, SMP, SMA), raso sarana perekonomian, dan rasio sarana komunikasi cenderung sedang. Tetapi untuk rasio sarana dan tenaga kesehatan dan pendapatan asli desa per kapita adalah yang paling rendah. Rasio sarana dan prasarana transportasi juga sedang. Jika dilihat dari sumberdaya manusia, rasio siswa SD adalah yang paling rendah tetapi untuk rasio siswa SMP dan SMA adalah sedang. Kepadatan penduduk dan persen keluarga pertanian cenderung sedang Jika dilihat dari sumberdaya alam dan fisk lahan, wilayah ini termasuk wilayah yang paling bergelombang yang ditandai dengan tingginya rasio luas lahan dengan tingkat kelerengan tinggi. Aktivitas ekonominya mengandalkan pada pertanian tanaman padi tadah hujan dan perkebunan atau kehutanan. Wilayah ini lebih berfungsi sebagai wilayah konservasi bagi wilayahwilayah lain di sekitarnya. Jika dilihat dari sumberdaya buatan, rasio infrastruktur dasar penunjang pendidikan (SD, SMP, SMA), rasio sarana dan prasarana transportasi, rasio sarana komunikasi, dan rasio sarana perekonomian paling rendah. Jika dilihat dari sumberdaya manusia, tingkat kepadatan penduduk adalah paling rendah. Persen keluarga pertanian paling tinggi, rasio siswa per 1000 penduduk cenderung paling rendah.
Wilayah dengan fungsi utama konservasi tanah dan air dengan kepadatan penduduk paling rendah. Kapsitas infrastruktur yang rendah dengan mata pencaharian utama perkebunan.
Arahan Pengembangan Desa-desa di Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah metropolitan Jakarta. Sebagai wilayah yang berbatasan langsung, tentunya ada pengaruh dari wilayah metropolitan ini terhadap perkembangan pembangunan desa-desa di Kabupaten Bogor. Areal yang cukup luas menyebabkan adanya variasi baik dalam hal fisik lahan maupun sosial ekonomi yang cukup besar antara desa-desa di Kabupaten Bogor. Dalam merencanakan pembangunan suatu wilayah, terlebih dahulu harus disusun kebijakan dasar pembangunan yang bertujuan untuk memberi gambaran tentang pola perkembangan yang akan ditempuh.
Untuk itu maka perlu
mengetahui potensi daerah, kondisi sosial ekonomi, infrastruktur, permasalahan dan berbagai faktor lain yang mempengaruhi.
90
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan, untuk desa-desa tertinggal yang ada di Kabupaten Bogor hasil ovelay seperti pada Gambar 11, secara umum merupakan kawasan konservasi yang terbentang mulai dari barat hingga ke timur di selatan Kabupaten Bogor . Hal ini menjadikan wilayah tersebut menjadi sangat terbatas untuk dikembangkan. Akan tetapi jika memang akan dikembangkan sebaiknya dilakukan dengan budidaya tanaman kehutanan/perkayuan atau tanaman buah-buahan pada zona-zona pemanfaatan yang telah ditentukan. Ini dilakukan sebagai upaya untuk tidak merubah secara drastis fungsi kawasan terebut dan sebagai upaya untuk mencegah terjadinya bencana yang mungkin timbul akibat adanya perubahan fungsi kawasan.
Salah satunya adalah Desa
Bojong Murni di Kecamatan Ciawi yang mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi (6.400 jiwa/km2) dengan persen luas wilayah yang bekelerengan lebih dari 25% seluas 42,3%, dapat menjadi potensi bencana jika tidak dilakukan penataan ruang yang mengakomodasikan kondisi yang seperti itu. Pada daerah-daerah yang seperti ini, pengembangan wilayah harus dilakukan dengan hati-hati. Untuk wilayah barat dan timur, banyak lahan yang dapat dikembangkan dengan merubah penggunaan lahan dari belukar menjadi penggunaan lain seperti areal pertanian tanaman pangan atau perkebunan yang ditanami dengan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi.
Kondisi fisiknya yang sebagian besar bergelombang,
menjadikan wilayah ini kurang cocok untuk pengembangan areal pertanian lahan basah (sawah) walaupun mempunyai potensi sumber air (sungai) yang memadai. Selain dari sumberdaya alamnya, untuk mendukung upaya pengembangan wilayah/desa juga perlu peningkatan kualitas sumberdaya manusia, antara lain dengan meningkatkan jumlah sarana dan prasarana pendidikan, baik berupa bangunan sekolah maupun tenaga pengajarnya, serta sarana dan prasarana kesehatan.
Partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan juga perlu
ditingkatkan agar rasio jumlah siswa yang bersekolah juga semakin meningkat. Demikian juga dengan infrastruktur, khususnya rasio jaringan jalan yang masih rendah perlu ditingkatkan untuk mempertinggi interaksi antara desa-desa yang tertinggal dengan desa-desa yang lebih maju. Hal ini bertujuan agar ada aliran keuntungan dari desa-desa yang berhirarki lebih tingi ke desa sekitarnya yang berhirarki lebih rendah.
91
Hasil analisa skalogram menunjukkan bahwa desa-desa dengan hirarki tinggi (hirarki I) umumnya memiliki kapasitas pelayanan yang lebih baik yang ditandai oleh ketersediaan fasilitas pelayanan umum yang lebih tinggi dan mempunyai tingkat perkembangan yang lebih maju. Untuk itu maka desa-desa yang berhirarki tinggi ini dapat dijadikan sebagai pusat/inti kawasan dengan desadesa yang berhirarki lebih rendah menjadi hinterlandnya. Selain itu, dengan ketersediaan fasilitas pelayanan yang baik ditambah dengan sumberdaya menusia yang baik, wilayah desa-desa berhirarki I ini dapat dikembangkan menjadi wilayah industri dan jasa, khususnya industri dan jasa yang berkaitan sektor pertanian agar tidak terlepas dari wilayah hinterlandnya.
Simpulan dan Saran
Simpulan Secara umum, Kabupaten Bogor bagian barat relatif masih belum berkembang yang dicirikan dengan hanya satu kecamatan yang mempunyai desa pada hiraki I dari 24 desa yang berhirarki I di Kabupaten Bogor, berdasarkan analisa skalogram. Secara keseluruhan, jumlah desa berhirarki III adalah 213 desa, desa berhirarki II 188 desa dan desa berhirarki I 24 desa, dengan kisaran nilai Indeks Pembangunan Desa (IPD) antara 2.30 – 177.78.
Hal ini juga
diperkuat dengan hasil klastering yang dilakukan terhadap variabel-variabel ekonomi dan fisik yang memperlihatkan bahwa pada umumnya Kabupaten Bogor bagian barat mempunyai tingkat perkembangan yang masih rendah dibanding wilayah timur dan tengah. Dilihat dari keterkaitan antar variabel maka variabel keluarga pertanian paling banyak berkorelasi dengan variabel lainnya, diikuti oleh variabel kepadatan penduduk, baik secara searah (koefisien positif) maupun berlawanan arah (koefisien negatif). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum di Kabupaten Bogor, sektor pertanian masih dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Faktor yang paling mempengaruhi tingkat perkembangan desa yang ditandai oleh nilai IPD berdasarkan hasil PCA dan analisis regresi berganda adalah pendidikan tingkat menengah, diikuti oleh kependudukan, pendidikan tingkat dasar dan yang paling kecil pengaruhnya adalah tenaga kesehatan, berdasarkan koefisisen regresi yang dimilikinya. Hasil analisa klaster diperoleh tiga tipologi dengan jumlah desa untuk klaster 1, 2, dan 3 masing-masing adalah 86, 239 dan 100 desa.
Variabel yang
paling membedakan antar klaster 1 dengan klaster lainnya adalah persen keluarga pertanian, sarana perekonomian (sarana belanja dan lembaga keuangan), sarana pendidikan, densitas jalan dan jarak terhadap pusat (ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten).
Berdasarkan analisis fungsi diskriminan, variabel yang
membedakan pengelompokkan berdasarkan klaster adalah rasio daerah dengan lereng 8 – 25%, kawasan hutan, rasio guru SMA terhadap murid,rasio daerah
93
dengan lereng >25% dan rasio guru SD terhadap murid.
Sedangkan untuk
pengelompokkan berdasarkan hirarki, variabel yang paling membedakan pengelompokkan adalah sarana komunikasi, jarak terhadap ibukota kecamatan, jumlah SMP, jarak ke Jakarta, persen keluarga pertanian, jumlah lembaga keuangan dan kepadatan penduduk. Analisis korelasi kanonik menghasilkan variabel yang paling berpengaruh dalam perkembangan desa. Tingkat perkembangan desa yang lebih tinggi dipengaruhi oleh setidaknya tujuh variabel, yaitu persen keluarga pertanian, tingkat kepadatan penduduk, sarana lembaga keuangan, jarak terhadap ibukota kabupaten yang membawahi, rasio guru SD terhadap murid, rasio guru SMA terhadap murid, dan jarak terhadap ibukota kecamatan.
Saran Untuk memperkecil disparitas pembangunan yang ada, perlu upaya-upaya pembangunan berbagai sarana dan prasarana, terutama dalam hal aksesibilitas di wilayah barat serta peningkatan mutu pendidikan baik berupa sarana ruang belajar, ketersediaan guru maupun kesempatan mengikuti pendidikan bagi penduduk usia sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Tinjauan Kritis.P4Wpress. Bogor. [BAPPENAS]. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2005. Penentuan Wilayah Tertinggal. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, BAPPENAS. www.kawasan.or.id. [17 Mei 2005]. Barus, B dan Wiradisastra, US. 2000. Sistem Informasi Geografis Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. [BKTRN]. Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional 2001. Panduan Penataan Ruang dan Pengembangan Kawasan. Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. Jakarta. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Babakan Madang Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Bojonggede Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Caringin Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Cariu Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciampea Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciawi Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Cibinong Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004.
95
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Cibungbulang Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Cigudeg Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Cijeruk Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Cileungsi Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciomas Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Cisarua Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Ciseeng Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Citeureup Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Dramaga Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Gunung Putri Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Gunung Sindur Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Jasinga Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004.
96
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Kemang Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Klapanunggal Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Leuwiliang Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Megamendung Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Nanggung Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Pamijahan Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Parung Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Parungpanjang Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Ranca Bungur Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Rumpin Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Sukajaya Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Sukamakmur Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004.
97
[BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Sukaraja Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Taman Sari Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kecamatan Tenjo Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. [BPS]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor Dalam Angka 2003. Bogor: Kerjasama BAPEDA Kabupaten Bogor dengan BPS Kabupaten Bogor; 2004. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Dugo, TH. 2003. Analisis Keterkaitan Struktur Potensi, Permasalahan Pembangunan dan Upaya Pengembangan Wilayah Kabupaten Bogor Bagian Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Dulbahri. 2003. Sistem Informasi Geografis. Pelatihan Sistem Informasi Geografis Tingkat Operator, Staf UPT Direktur Jenderal RLPS. Hoover, EM. and Giarratani, F. 1985. An Introduction to Regional Economics. www.rri.wvu.edu/WebBook/Giarratani/chapterone.htm. [16 Okt 2005] Johnson, RA. & Witchern DW. 1998. Applied Multivariate Statistical Analysis. 4th edition. Prentice Hall . New Jersey. Mubyarto. 2000. Pengembangan Wilayah, Pembangunan Perdesan, dan Otonomi Daerah dalam Suhandojo, Sri Hardoyo Mukti, Tukiyat. 2000. Pengembangan Wilayah Perdesaan dan Kawasan Tertentu: Sebuah Kajian Eksploratif. Direktorat Kebijaksanaan Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, BPPT. Nachrowi, D. dan Suhandojo. 2001. Analisis Sumberdaya Manusia, Otonomi Daerah dan Pengembangan Wilayah dalam Alkadri, Muchdie dan Suhandojo. 2001. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Direktorat Kebijaksanaan Teknologi untuk Pengembangan Wilayah. BPPT. Jakarta. Nugroho, I. dan Dahuri, R. 2004. Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Pustaka LP3ES. Jakarta.
98
Rencher, AC. 1996. Methods of Multivariate Analysis. A Wiley-Interscience Publication John Wiley & Sons, INC. New York Rustiadi, E., Saefulhakim, S., dan Panuju, DR. 2004. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Santoso, J. 2004. Konsep Pengembangan Dan Penataan Ruang Wilayah Kota Bercirikan Lokal. www.bktrn.org. [22 Feb 2005] Saefulhakim, S. 2004. Permodelan. Modul Analisis Kuantitatif Sosial Ekonomi Wilayah. Bogor. PS Perencanaan Wilayah IPB. Srivastava, MS. 2002. Methods of Multivariate Statistics. John Wiley & Sons, Inc. New York. Statsoft. 2005. Canonical Correlation. www.statsoft.com. [16 Okt 2005]. Tarigan, R. 2004. Perencanaan Pembangunan Wilayah. PT Bumi Aksara. Jakarta. Todaro, MP. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Alih Bahasa Drs. Hari Munandar, MS. Penerbit Erlangga. Jakarta. Triutomo, S. 2001. Pengembangan Wilayah Melalui Pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu dalam Alkadri, Muchdie dan Suhandojo. 2001. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Direktorat Kebijaksanaan Teknologi untuk Pengembangan Wilayah. BPPT. Jakarta. Zen, MT. 2001. Falsafah Dasar Pengembangan Wilayah : Memberdayakan Manusia dalam Alkadri, Muchdie dan Suhandojo. 2001. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Direktorat Kebijaksanaan Teknologi untuk Pengembangan Wilayah. BPPT. Jakarta. Zulfah, A. 2004. Optimasi Struktur Keterkaitan Antara Pola Spasial Agroindustri Dengan Penggunaan Lahan (Studi Kasus Kabupaten Bogor dan Kota Depok) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
99
Lampiran 1 Kelas densitas jalan
Perhitungan kelas densitas jalan dilakukan dengan menghitung median dan standar deviasi dari setiap desa. Dari hasil perhitungan, diperoleh median 22.54 yang menjadi batas bawah tingkat densitas jalan. Standar deviasi diperoleh nilai 48.99. Pengkelasan densitas jalan dilakukan dengan rumus : sedang = median + (standar deviasi x 0.5) tinggi = median + standar deviasi Hasil selengkapnya disajikan pada tabel berikut : No
Tingkat Densitas Jalan
1 2 3 4
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Panjang Jalan per hektar (m) < 22.54 22.54 – 47.04 47.05 – 71.53 > 71.53
100
Lampiran 2 Kelas kepadatan penduduk
Perhitungan kepadatan penduduk dilakukan dengan cara menghitung median dan standar deviasi dari setiap desa (dengan satuan jiwa/hektar).
Dari hasil
perhitungan diperoleh nilai median adalah 15 dan standar deviasi adalah 30. Pengkelasan kepadatan penduduk untuk kelas sedang dan tinggi dilakukan dengan rumus : sedang = median + standar deviasi tinggi = median + (standar deviasi x 2) Satuan hasil perhitungan kemudian dikonversikan ke dalam jumlah jiwa per km2 dan selengkapnya disajikan pada tabel berikut :
No
Tingkat Kepadatan Penduduk
1 2 3 4
Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Jumlah penduduk per km2 (jiwa) < 1500 1500 – 4500 4501 – 6000 > 6000
101
Lampiran 3 Variabel-variabel yang digunakan dalam analisa skalogram Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Variabel Jumlah Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba Jumlah Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan & Minuman Jumlah Toko/Warung/Kios Jumlah unit Bank Umum Jumlah unit Bank Perkreditan Rakyat Jumlah Koperasi Unit Desa (KUD) Jumlah Koperasi Non-KUD Jumlah Hotel/Penginapan Jumlah Wartel/kiospon/warpostel/warparpostel Jumlah Warung internet Jumlah Unit Rumah Sakit Pemerintah Jumlah Unit Puskesmas Jumlah Unit Puskesmas Pembantu Jumlah Unit Posyandu Jumlah Praktek Dokter Jumlah Unit Poliknik Jumlah Unit Apotik dan Toko Obat Jumlah guru SD Jumlah guru SMP Jumlah guru SMA Jumlah SD/Madrasah Jumlah SMP/Madrasah Jumlah SMA/Madrasah Banyaknya Perpustakaan Rumah Tangga yang Memiliki TV Rumah Tangga yang Berlangganan telepon Jumlah Keluarga yang Menggunakan Listrik PLN (KK) Jumlah Angkatan kerja (15-55 thn) Jumlah keluarga pertanian Jumlah keluarga pra sejahtera Jumlah rumah permanen Roda 2 Roda 4 Roda 6 Panjang jalan aspal Jarak dari Kantor Desa/Kelurahan ke Kantor Kecamatan yang Membawahi (km) Jarak dari Kantor Desa/Kelurahan ke Kantor Kabupaten/Kota yang Membawahi (km) Jarak dari Kantor Desa/Kelurahan ke Ibukota Kabupaten/Kota Lain yang Terdekat (km) Jika Tidak Ada, Jarak ke SLTP Terdekat (km) Jika Tidak Ada, Jarak ke SMU Terdekat (km)
102
Lampiran 4 Variabel-variabel yang digunakan dalam analisa klaster No 1 2
Kode KP Kpdtn
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Angker PADK Sarbelj Lkeu Kom Tkes Skes SD SMP SMA SSD SSMP SSMA GSD GSMP GSMA Mas R2 R4 jrk1 jrk2
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
jrk3 indeks Denjl jjkt jbgr hl htn bhtn lrg25 lrg8 lrg0 sgi
Variabel Persen keluarga pertanian Kepadatan penduduk Rasio angkatan kerja (penduduk usia 15 - 55 tahun) Pendapatan asli desa per kapita Jumlah sarana perbelanjaan Jumlah sarana perbelanjaan Jumlah sarana komunikasi Jumlah tenaga kesehatan Jumlah sarana kesehatan Jumlah SD Jumlah SMP Jumlah SMA Rasio siswa SD terhadap penduduk Rasio siswa SMP terhadap penduduk Rasio siswa SMA terhadap penduduk Rasio Guru SD terhadap murid Rasio Guru SMP terhadap murid Rasio Guru SMA terhadap murid Jumlah masjid Jumlah kendaraan roda 2 Jumlah kendaraan roda 4 Jarak terhadap ibukota kecamatan Jarak terhadap ibukota kabupaten Jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat indeks perkembangan desa Densitas jalan Jarak lurus ke Jakarta Jarak lurus ke Bogor Persen kawasan hutan lindung Persen kawasan hutan lainnya Persen kawasan bukan hutan Persen luas areal dengan lereng >25% Persen luas areal dengan lereng 8 - 25% Persen luas areal dengan lereng 0 - 8% Densitas sungai
103
Lampiran 5 Variabel-variabel yang digunakan dalam analisa PCA/FA No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Kode KP Kpdtn Angker PADK Kom Tkes SD SMP SMA SSD SSMP SSMA GSD GSMP GSMA R2 R4 jrk2 jrk3 Denjl jjkt jbgr hl htn lrg25 lrg8 lrg0
Variabel Persen keluarga pertanian Kepadatan penduduk Rasio angkatan kerja (penduduk usia 15 - 55 tahun) Pendapatan asli desa per kapita Jumlah sarana komunikasi Jumlah tenaga kesehatan Jumlah SD Jumlah SMP Jumlah SMA Rasio siswa SD terhadap penduduk Rasio siswa SMP terhadap penduduk Rasio siswa SMA terhadap penduduk Rasio Guru SD terhadap murid Rasio Guru SMP terhadap murid Rasio Guru SMA terhadap murid Jumlah kendaraan roda 2 Jumlah kendaraan roda 4 Jarak terhadap ibukota kabupaten Jarak terhadap ibukota kabupaten lain yang terdekat Densitas jalan Jarak lurus ke Jakarta Jarak lurus ke Bogor Persen kawasan hutan lindung Persen kawasan hutan lainnya Persen luas areal dengan lereng >25% Persen luas areal dengan lereng 8 - 25% Persen luas areal dengan lereng 0 - 8%
104
Lampiran 6 Hasil Skalogran No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Desa PABUARAN CIRIUNG CIPAYUNG DATAR BOJONGGEDE CILEUNGSI KIDUL PUSPANEGARA CIRIMEKAR KARANG ASEM BARAT BOJONG KULUR TLAJUNG UDIK PAKANSARI JONGGOL CILEUNGSI BABAKAN PABUARAN LEUWILIANG CITEUREUP CIMANDALA PARUNG WANAHERANG CARIU HARAPAN JAYA SUKAHATI CIBINONG RAGAJAYA CISARUA KOTA BATU PARUNG PANJANG CIBEBER I CIBEUREUM PAMAGER SARI CARINGIN LEUWIMEKAR BENDUNGAN CIJUJUNG CURUG SUKAMULYA PADASUKA PAMAGERSARI CICADAS SASAK PANJANG KEDUNG WARINGIN NANGGEWER MEKAR KARADENAN CIGUDEG
Kecamatan Cibinong Cibinong Megamendung Bojonggede Cileungsi Citeureup Cibinong Citeureup Gunung Putri Gunung Putri Cibinong Jonggol Cileungsi Dramaga Bojonggede Leuwiliang Citeureup Sukaraja Parung Gunung Putri Cariu Cibinong Cibinong Cibinong Bojonggede Cisarua Ciomas Parung Panjang Leuwiliang Cisarua Parung Caringin Leuwiliang Ciawi Sukaraja Gunung Sindur Rumpin Ciomas Jasinga Gunung Putri Bojonggede Bojonggede Cibinong Cibinong Cigudeg
IPD
Hirarki
177.78 111.63 95.66 95.52 94.18 85.25 84.36 82.90 79.88 79.27 77.85 77.83 77.40 74.64 74.02 73.65 72.11 71.93 69.23 66.27 65.05 64.87 64.58 64.40 60.24 59.58 59.28 58.52 58.43 57.62 57.09 57.00 54.42 53.27 52.26 52.21 51.95 51.23 50.72 50.41 49.80 49.56 49.33 49.03 48.86
Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki I Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II
105
Lampiran 6 Lanjutan No 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
Desa NAGRAK CIPAYUNG GIRANG GUNUNG PUTRI CIAWI TAMAN SARI PAGELARAN TUGU SELATAN CIOMAS SUKAMAJU CIANGSANA TENJO WARU BOJONG NANGKA CIDERUM PAMIJAHAN KOPO PUSPASARI JAMPANG DAYEUH CIHERANG PONDOK TAJUR HALANG TENGAH KARANG ASEM TIMUR LIMUS NUNGGAL CIMANGGIS BOJONG RANGKAS GUNUNG SINDUR SIRNAGALIH KEMANG DRAMAGA TARIKOLOT RAWA PANJANG SINGAJAYA PASIR ANGIN PARIGI MEKAR CIGOMBONG SUKAMANTRI CIOMAS RAHAYU BENTENG GUNUNG SARI CIBENING BUNAR CIHERANG BANTARJAYA ARGAPURA
Kecamatan Gunung Putri Megamendung Gunung Putri Ciawi Rumpin Ciomas Cisarua Ciomas Jonggol Gunung Putri Tenjo Parung Gunung Putri Caringin Pamijahan Cisarua Citeureup Kemang Cileungsi Caringin Bojonggede Cibinong Citeureup Cileungsi Bojonggede Ciampea Gunung Sindur Tamansari Kemang Dramaga Citeureup Bojonggede Jonggol Cileungsi Ciseeng Cijeruk Tamansari Ciomas Ciampea Pamijahan Pamijahan Cigudeg Dramaga Rancabungur Cigudeg
IPD 48.81 48.64 48.10 47.44 47.42 47.35 46.86 46.63 46.63 46.42 46.31 45.82 45.81 45.72 45.72 45.64 45.00 44.89 44.66 44.44 44.28 44.19 43.97 43.96 42.61 42.51 42.45 42.34 42.14 41.69 41.65 41.57 41.53 41.25 40.14 39.67 39.39 38.91 38.67 38.65 38.43 38.34 38.29 37.67 37.58
Hirarki Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II
106
Lampiran 6 Lanjutan No 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135
Desa WATES JAYA BANJAR SARI KEMBANG KUNING RENGASJAJAR KARANGGAN PARAKAN JAYA TAJUR RUMPIN CITEKO LEUWINUTUG TEGAL PONDOK RAJEG CIBADAK PETIR LALADON CIBUNAR SUKAMAKMUR GADOG CIBITUNG TENGAH CIHIDEUNG ILIR JABON MEKAR SUSUKAN GANDOANG CILEBUT BARAT SUKAHATI SIPAK CIJAYANTI TUGU JAYA WARINGIN JAYA CIBURUY NAGRAK SADENG LEUWIMALANG KARACAK TUGU UTARA CILEBUT TIMUR NANGGEWER SUKASIRNA BOJONG BARU KAMPUNG SAWAH PASIRLAJA PONDOK UDIK SUKAHARJA CINANGKA CIBANTENG
Kecamatan Cijeruk Ciawi Klapanunggal Cigudeg Gunung Putri Kemang Citeureup Rumpin Cisarua Citeureup Kemang Cibinong Ciampea Dramaga Ciomas Parung Panjang Sukamakmur Megamendung Ciampea Ciampea Parung Bojonggede Cileungsi Sukaraja Citeureup Jasinga Babakan Madang Cijeruk Bojonggede Cijeruk Sukaraja Leuwiliang Cisarua Leuwiliang Cisarua Sukaraja Cibinong Jonggol Bojonggede Rumpin Sukaraja Kemang Cijeruk Ciampea Ciampea
IPD 36.99 36.96 36.96 36.71 36.68 36.67 36.60 36.44 36.10 35.95 35.81 35.72 35.65 35.61 35.54 35.47 35.29 35.10 35.09 35.08 34.79 34.72 34.70 34.67 34.56 34.27 34.23 34.14 34.08 33.81 33.54 33.41 33.40 33.16 33.01 32.95 32.88 32.82 32.75 32.56 32.51 32.48 32.38 32.24 31.90
Hirarki Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II
107
Lampiran 6 Lanjutan No 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180
Desa CIKEAS CIPEUCANG PASIRGAOK SENTUL TELUK PINANG BANJAR WANGI PANDANSARI SITU DAUN GOBANG PURASARI SUKAMAJU KLAPANUNGGAL PURASEDA CIHIDEUNG UDIK CIBEUTEUNG UDIK SITU UDIK PENGASINAN BOJONG CIBADUNG WENINGGALIH KABASIRAN BABAKAN MADANG WARUJAYA GUNUNG SARI PASAREAN CIBENTANG RANCABUNGUR PARAKAN MUNCANG BABAKAN CIASMARA GUNUNG PICUNG JOGJOGAN BOJONG LUMPANG COGREG MEKARSARI PASIREURIH ATANG SENJAYA KAREHKEL PASIR JAMBU KALISUREN PABUARAN CIBINONG BABAKAN LEMAH DUHUR
Kecamatan Sukaraja Cileungsi Rancabungur Babakan Madang Ciawi Ciawi Ciawi Ciampea Rumpin Leuwiliang Megamendung Klapanunggal Leuwiliang Ciampea Ciseeng Cibungbulang Gunung Sindur Klapanunggal Gunung Sindur Jonggol Parung Panjang Babakan Madang Parung Citeureup Pamijahan Ciseeng Rancabungur Nanggung Tenjo Pamijahan Pamijahan Cisarua Tenjo Parung Panjang Parung Cileungsi Tamansari Kemang Leuwiliang Sukaraja Bojonggede Kemang Gunung Sindur Ciseeng Caringin
IPD 31.84 31.82 31.75 31.13 31.09 30.96 30.71 30.63 30.56 30.55 30.47 30.44 30.28 30.06 29.92 29.85 29.71 29.64 29.49 29.47 29.46 29.42 29.21 29.17 29.09 28.93 28.90 28.88 28.74 28.53 28.43 28.35 28.26 28.22 28.18 28.11 28.10 28.02 27.88 27.88 27.75 27.67 27.60 27.54 27.43
Hirarki Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II
108
Lampiran 6 Lanjutan No 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225
Desa SUKASARI PURWASARI CIPELANG JAGABAYA CIAMPEA HAMBALANG TAMANSARI BATOK BOJONG BITUNG SARI SIBANTENG BANJAR WARU CITAPEN PANCAWATI PUTAT NUTUG GUNUNG MALANG CIMAYANG BARENGKOK KADUMANGU RABAK NAMBO NANGGUNG CILEMBER CINAGARA CISEENG LEUWIBATU SELAWANGI SUKADAMAI CITAYAM LEUWISADENG CIDOKOM MEGAMENDUNG CIKARAWANG JATISARI SUKARAJA BOJONG INDAH JASINGA GIRIMULYA SUKAMAKMUR BOJONG SEMPU CIMANDE HILIR CIBUNIAN MAMPIR CIAMPEA UDIK SANJA
Kecamatan Rumpin Dramaga Cijeruk Parung Panjang Ciampea Citeureup Tamansari Tenjo Kemang Ciawi Leuwiliang Ciawi Ciawi Caringin Ciseeng Ciampea Pamijahan Leuwiliang Babakan Madang Rumpin Klapanunggal Nanggung Cisarua Caringin Ciseeng Rumpin Cariu Sukamakmur Bojonggede Leuwiliang Rumpin Megamendung Dramaga Cileungsi Sukaraja Parung Jasinga Cibungbulang Ciomas Parung Caringin Pamijahan Cileungsi Ciampea Citeureup
IPD 27.40 27.33 27.22 27.13 27.13 27.05 26.91 26.78 26.76 26.54 26.52 26.39 26.37 26.22 26.13 26.13 26.06 25.99 25.98 25.87 25.81 25.79 25.79 25.59 25.21 25.10 24.99 24.86 24.83 24.70 24.68 24.67 24.64 24.62 24.44 24.40 24.33 24.05 24.00 23.89 23.89 23.59 23.59 23.49 23.43
Hirarki Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki II Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III
109
Lampiran 6 Lanjutan No 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270
Desa CURUG BITUNG SIRNARASA CIMANGGU 2 CIKOPOMAYAK CIADEG KARANG TENGAH TONJONG KARIHKIL CIKEAS UDIK DUKUH CIAPUS KIARAPANDAK PALASARI CIBEBER II CURUG CEMPLANG SUKAMAHI MUARA JAYA PINGKU BATU LAYANG SUKARESMI SUKAMANAH CICADAS BANTAR KARET KALONGSAWAH DAGO RAWAKALONG CINANGNENG GINTUNG CILEJET BALEKAMBANG NEGLASARI KALONG LIUD MEKARJAYA TAPOS BOJONG KONENG SUKADAMAI BANTARSARI CIPINANG CIBURAYUT BANGUNJAYA GOROWONG SADENGKOLOT CIBUNTU SUKAMANAH SUKAJAYA
Kecamatan Nanggung Cariu Cibungbulang Jasinga Cijeruk Babakan Madang Bojonggede Ciseeng Gunung Putri Cibungbulang Ciomas Sukajaya Cijeruk Leuwiliang Jasinga Cibungbulang Megamendung Caringin Parung Panjang Cisarua Tamansari Jonggol Ciampea Nanggung Jasinga Parung Panjang Gunung Sindur Ciampea Parung Panjang Jonggol Dramaga Nanggung Ciomas Tenjo Babakan Madang Dramaga Rancabungur Rumpin Cijeruk Cigudeg Parung Panjang Leuwiliang Ciampea Megamendung Sukajaya
IPD 23.41 23.40 23.29 23.02 23.01 22.88 22.84 22.65 22.65 22.63 22.57 22.50 22.41 22.40 22.30 22.20 22.12 22.04 21.99 21.83 21.81 21.79 21.79 21.69 21.67 21.66 21.63 21.59 21.58 21.56 21.52 21.45 21.44 21.43 21.37 21.33 21.25 21.23 21.09 21.04 21.04 21.03 21.03 20.97 20.95
Hirarki Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III
110
Lampiran 6 Lanjutan No 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315
Desa SUKAWANGI CIMANGGU 1 PABUARAN GUNUNG BUNDER 2 MEKAR SARI TEGAL WARU PABANGBON PASIR BUNCIR SETU TAPOS 2 KARYASARI WARUNG MENTENG SUKAMAJU SUKAWENING CILEUNGSI SEMPLAK BARAT SITU ILIR CIBALUNG SETU SARI MEKARSARI LULUT KOLEANG CIBITUNG WETAN CIBATOK 1 SINAR SARI PARAKAN GUNUNG BUNDER 1 SUKAGALIH CIBODAS SUKANEGARA JAMBU LUWUK CIJERUK CIBEUTEUNG MUARA PASIR MUKTI CIBEDUG PURWABAKTI KERTAJAYA PASIR MUNCANG KURIPAN SUMUR BATU BABAKAN RADEN BAGOANG WARGAJAYA SROGOL CISALADA
Kecamatan Sukamakmur Cibungbulang Gunung Sindur Pamijahan Rumpin Ciampea Leuwiliang Caringin Jasinga Ciampea Leuwiliang Cijeruk Cigudeg Dramaga Ciawi Kemang Cibungbulang Cijeruk Cileungsi Rancabungur Klapanunggal Jasinga Pamijahan Cibungbulang Dramaga Ciomas Pamijahan Megamendung Rumpin Jonggol Ciawi Cijeruk Ciseeng Citeureup Ciawi Pamijahan Rumpin Caringin Ciseeng Babakan Madang Cariu Jasinga Sukamakmur Cijeruk Cijeruk
IPD 20.90 20.75 20.69 20.65 20.54 20.35 20.34 20.21 20.18 20.15 20.15 20.11 20.00 19.90 19.85 19.78 19.78 19.77 19.72 19.62 19.52 19.48 19.48 19.41 19.13 19.00 18.90 18.80 18.64 18.31 18.29 17.89 17.88 17.85 17.81 17.79 17.76 17.60 17.56 17.52 17.46 17.43 17.43 17.40 17.33
Hirarki Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III
111
Lampiran 6 Lanjutan No 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360
Desa CIASIHAN PABUARAN BABAKAN SADENG CADAS NGAMPAR BOJONG MURNI TAPOS 1 PADURENAN KUTA SUKARESMI BOJONG JENGKOL PASIR JAYA GUNUNG GEULIS CIPENJO SINGASARI CIKUDA CINTAMANIK TANJUNG RASA SUKAJAYA IWUL SUKARAKSA GUNUNG MENYAN CIARUTEN ILIR CIBATOK 2 PANGKAL JAYA KIARASARI CIMANDE BANYU RESMI SUKMAJAYA ANTAJAYA GALUGA HARKATJAYA MEKARJAYA CIBITUNG KULON CIPICUNG SUKAMULYA TANGKIL JAGABITA CILAKU SIRNAGALIH CIBADAK SIPAYUNG CIHOE CISARUA NANGGERANG SUKAKARYA
Kecamatan Pamijahan Sukamakmur Leuwiliang Sukaraja Ciawi Ciampea Gunung Sindur Megamendung Megamendung Ciampea Cijeruk Sukaraja Cileungsi Jonggol Parung Panjang Cigudeg Cariu Tamansari Parung Cigudeg Pamijahan Cibungbulang Cibungbulang Nanggung Sukajaya Caringin Cigudeg Bojonggede Cariu Cibungbulang Sukajaya Cigudeg Pamijahan Cijeruk Sukamakmur Caringin Parung Panjang Tenjo Jonggol Sukamakmur Sukajaya Ciseeng Nanggung Bojonggede Megamendung
IPD 17.27 17.23 17.10 16.96 16.92 16.67 16.64 16.59 16.51 16.36 16.36 16.33 16.32 16.31 16.31 16.20 16.06 15.98 15.93 15.89 15.84 15.75 15.73 15.72 15.67 15.64 15.60 15.59 15.56 15.48 15.47 15.44 15.44 15.42 15.40 15.31 15.16 15.13 15.13 15.09 15.07 14.94 14.93 14.86 14.73
Hirarki Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III
112
Lampiran 6 Lanjutan No 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404 405
Desa KALONG II CIDOKOM SUKARASA BENDUNGAN CITARINGGUL BANTAR JATI SUKAJADI TAJUR HALANG CIKAHURIPAN SUKARESMI SINGABRAJA LEUWEUNG KOLOT SUKALUYU SIRNASARI PANGRADIN SUKAHARJA CILEUKSA TEGAL PANJANG CIARUTEN UDIK MEKARWANGI CIJUJUNG SUKAHARJA JAMPANG SUKAMAJU PASIR TANJUNG CANDALI CIKUTAMAHI BANTAR KUNING KALONG I TEGAL WANGI CIBANON MALASARI TANJUNG SARI WARGAJAYA HAMBARO PANGAUR KARYA MEKAR TANJUNG SARI CIBATU TIGA SIRNAJAYA WANGUN JAYA CIPAMBUAN BATU JAJAR SUKATANI BARENGKOK
Kecamatan Leuwiliang Gunung Sindur Cariu Jonggol Babakan Madang Klapanunggal Tamansari Cijeruk Klapanunggal Sukamakmur Tenjo Cibungbulang Tamansari Cariu Jasinga Ciomas Sukajaya Cariu Cibungbulang Cariu Cibungbulang Sukamakmur Gunung Sindur Cibungbulang Cariu Rancabungur Cariu Cariu Leuwiliang Jasinga Sukaraja Nanggung Cariu Cigudeg Nanggung Jasinga Cariu Cijeruk Cariu Sukamakmur Leuwiliang Babakan Madang Cigudeg Sukaraja Jasinga
IPD 14.66 14.53 14.46 14.37 14.31 14.28 14.19 14.16 14.15 14.04 13.95 13.80 13.79 13.79 13.63 13.58 13.45 13.38 13.37 13.17 13.14 13.04 12.93 12.93 12.83 12.80 12.78 12.70 12.68 12.51 12.27 12.26 12.19 12.14 12.10 11.97 11.61 11.60 11.53 11.25 11.00 10.87 10.81 10.81 10.78
Hirarki Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III
113
Lampiran 6 Lanjutan No
Desa
406 407 408 409 410 411 412 413 414 415 416 417 418 419 420 421 422 423 424 425
SUKAMULIH SUKAJAYA NEGLASARI JUGALA JAYA CIOMAS CIBODAS TEGALEGA BUANAJAYA PASIR MADANG CIBADAK LIGARMUKTI SINGABANGSA KUTA MEKAR BANYU WANGI SUKALUYU BANYU ASIH LEUWIKARET SUKAJADI CISARUA TANGKIL
Kecamatan Sukajaya Jonggol Jasinga Jasinga Tenjo Jonggol Cigudeg Cariu Sukajaya Cariu Klapanunggal Tenjo Cariu Cigudeg Nanggung Cigudeg Klapanunggal Cariu Sukajaya Citeureup
IPD 10.67 10.56 10.52 10.34 10.31 10.28 10.26 10.23 10.11 10.11 10.05 9.82 9.50 9.35 9.32 9.17 8.21 8.05 7.21 2.30
Hirarki Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III Hirarki III
Lampiran 7 Hasil analisa korelasi sederhana antar variabel
KP Kpdtn Angker PADK Sarbelj Lkeu Kom Tkes Skes SD SMP SMA SSD SSMP SSMA GSD GSMP GSMA Mas R2 R4 jrk1 jrk2 jrk3 Denjl jjkt jbgr hl htn
KP 1.00 -0.48 0.00 -0.13 -0.22 -0.21 -0.61 -0.03 -0.24 0.22 -0.16 -0.14 -0.21 -0.23 -0.18 -0.28 -0.24 -0.24 0.11 -0.23 -0.24 -0.25 -0.33 -0.12 -0.22 0.29 0.30 0.03 0.24
Kpdtn
Angker
PADK
Sarbelj
1.00 -0.08 0.06 0.11 0.21 0.43 -0.03 0.07 -0.35 0.08 0.15 -0.07 0.08 0.10 0.09 0.10 0.10 0.12 0.29 0.14 0.20 0.17 0.16 0.20 -0.06 -0.51 -0.10 -0.32
1.00 0.09 0.06 -0.01 0.00 0.11 0.09 0.04 0.02 -0.03 0.15 0.02 -0.07 0.04 0.05 -0.04 -0.04 0.10 -0.02 0.02 0.02 -0.02 -0.03 -0.08 0.06 -0.06 0.10
1.00 0.03 0.08 0.12 -0.02 0.05 -0.07 0.02 -0.02 0.01 -0.02 -0.05 0.06 -0.01 -0.04 0.04 0.02 0.08 0.07 -0.05 0.02 0.11 0.03 -0.05 0.11 -0.01
1.00 0.15 0.24 0.03 0.16 0.02 0.13 0.16 0.11 0.05 0.07 0.12 0.06 0.12 -0.09 0.20 0.18 0.09 0.11 0.02 0.03 -0.13 -0.16 -0.04 -0.09
Lkeu
1.00 0.40 0.15 0.22 -0.02 0.16 0.17 0.16 0.17 0.21 0.23 0.17 0.18 -0.03 0.17 0.23 0.33 0.05 -0.02 -0.03 -0.06 -0.06 0.02 -0.15
Kom
Tkes
Skes
SD
SMP
SMA
SSD
1.00 0.09 0.28 -0.21 0.23 0.22 0.24 0.26 0.23 0.34 0.28 0.25 -0.07 0.16 0.21 0.23 0.33 0.09 0.17 -0.15 -0.25 -0.08 -0.22
1.00 0.26 0.05 0.08 -0.03 0.25 0.15 0.10 0.15 0.12 0.10 -0.02 -0.04 -0.04 0.12 0.02 0.00 -0.07 0.14 -0.02 0.06 0.04
1.00 0.02 0.11 0.05 0.20 0.11 0.08 0.31 0.13 0.08 -0.13 0.03 0.04 0.08 0.02 0.01 -0.05 -0.02 -0.01 0.01 -0.08
1.00 0.12 0.05 0.22 -0.07 -0.01 0.23 -0.05 0.03 -0.02 -0.10 -0.09 0.00 -0.09 0.03 -0.22 0.13 0.33 0.11 0.14
1.00 0.53 0.14 0.46 0.24 0.28 0.54 0.39 -0.07 0.00 0.01 0.09 0.14 0.03 -0.03 -0.16 -0.05 -0.10 -0.05
1.00 -0.01 0.34 0.49 0.12 0.37 0.53 -0.03 0.11 0.09 0.18 0.05 0.01 0.03 -0.12 -0.04 -0.08 -0.11
1.00 0.18 0.09 0.69 0.20 0.14 -0.18 0.07 -0.03 0.11 0.02 -0.01 -0.07 -0.15 0.13 -0.01 -0.01
SSMP
SSMA
GSD
GSMP
1.00 0.43 0.24 0.89 0.50 -0.06 0.05 0.05 0.12 0.03 -0.02 0.05 -0.09 -0.04 -0.07 -0.09
1.00 0.17 0.35 0.83 -0.01 0.06 0.11 0.19 0.04 0.02 0.05 -0.08 -0.06 -0.05 -0.13
1.00 0.30 0.24 -0.17 0.12 0.06 0.16 0.12 0.07 -0.01 -0.15 0.03 -0.09 -0.17
1.00 0.49 -0.11 0.04 0.06 0.13 0.08 -0.03 0.05 -0.14 -0.07 -0.08 -0.10
bhtn lrg25 lrg8 lrg0 sgi
-0.24 0.05 0.22 -0.20 0.03
0.34 -0.18 -0.36 0.36 0.23
-0.07 0.07 0.05 -0.07 -0.09
-0.01 0.08 0.10 -0.12 0.07
Mas
R2
R4
jrk1
jrk2
jrk3
Denjl
jjkt
jbgr
hl
htn
bhtn
lrg25
lrg8
lrg0
sgi
1.00 0.53 0.15 0.09 0.04 0.09 -0.19 -0.10 -0.05 -0.10 0.11 -0.02 -0.11 0.10 -0.15
1.00 0.30 0.18 0.01 0.10 -0.12 -0.11 -0.02 -0.08 0.08 -0.03 -0.06 0.06 0.04
1.00 0.18 0.18 0.07 -0.11 0.00 -0.05 -0.11 0.11 -0.06 -0.11 0.11 -0.05
1.00 0.39 0.08 -0.28 -0.21 -0.04 -0.13 0.14 -0.09 -0.14 0.15 -0.04
1.00 0.03 -0.10 -0.12 -0.04 -0.12 0.12 -0.07 -0.11 0.12 0.01
1.00 -0.13 -0.20 -0.06 -0.18 0.19 -0.11 -0.03 0.07 -0.02
1.00 -0.01 0.26 0.29 -0.35 0.20 0.38 -0.39 0.22
1.00 0.13 0.30 -0.32 0.14 0.14 -0.16 -0.45
1.00 0.03 -0.38 0.09 0.19 -0.19 0.01
1.00 -0.93 0.55 0.49 -0.61 -0.14
1.00 -0.54 -0.52 0.63 0.14
1.00 0.29 -0.62 0.02
1.00 -0.93 -0.04
1.00 0.02
1.00
0.11 -0.04 -0.12 0.11 0.03
0.17 -0.10 -0.15 0.17 0.09
0.27 -0.10 -0.24 0.24 0.11
-0.05 0.02 0.05 -0.05 0.03
0.08 0.00 -0.08 0.07 0.01
0.09 -0.05 -0.21 0.19 -0.05
-0.17 0.09 0.14 -0.15 -0.13
0.13 -0.06 -0.16 0.16 -0.02
0.03 0.01 -0.05 0.04 -0.08
0.11 -0.03 -0.14 0.13 -0.03
0.13 -0.09 -0.16 0.16 0.00
0.20 -0.03 -0.15 0.14 -0.01
Lampiran 7 Lanjutan
GSMA Mas R2 R4 jrk1 jrk2 jrk3 Denjl jjkt jbgr hl htn bhtn lrg25 lrg8 lrg0 sgi
GSMA 1.00 -0.07 0.10 0.17 0.19 0.12 0.05 0.07 -0.16 -0.05 -0.06 -0.13 0.14 -0.10 -0.18 0.18 -0.04
1.00 -0.06 -0.04 -0.08 -0.12 -0.04 -0.02 0.50 -0.35 0.02 0.00 -0.01 -0.12 0.10 -0.04 0.27
0.13 -0.07 -0.15 0.15 0.00
116
Lampiran 8 Hasil analisa regresi berganda Regression Summary for Dependent Variable: IPD (Spreadsheet38) R = .73574894 R² = .54132651 Adjusted R² = .53024744 F(10,414)=48.860 p<0.0000 Std.Error of estimate: 12.482 Beta Intercept F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10
0.140 0.385 0.358 0.294 0.284 0.236 0.115 -0.063 -0.042 -0.065
Std.Err. of Beta 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033 0.033
B 29.203 2.546 7.017 6.514 5.347 5.167 4.297 2.090 -1.139 -0.757 -1.188
Std.Err. of B 0.605 0.606 0.606 0.606 0.606 0.606 0.606 0.606 0.606 0.606 0.606
t(414) 48.230 4.199 11.575 10.746 8.821 8.523 7.089 3.448 -1.879 -1.249 -1.959
p-level 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001 0.061 0.212 0.051
117
Lampiran 9 Hasil analisa klaster No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Desa Babakan Madang Bojong Baru Bojong Gede Cimanggis Kedung Waringin Pabuaran Ragajaya Waringin Jaya Caringin Ciherang Pondok Cariu Bojong Rangkas Banjar Sari Banjar Wangi Banjar Waru Bendungan Bitung Sari Ciawi anggewer Mekar Cibinong Ciriung Girimekar Harapan Jaya Karadenan Pabuaran Parakan Sari Pondok Rajeg Sukahati Sukahati 1 Bunar Ciburuy Cigombong Watesjaya Cileungsi Cileungsi Kidul Cipeucang Limus Nunggal Ciomas Rahayu Laladon Cisarua Leuwimalang Parigi Mekar Citeureup Gunung Sari Karangasem Barat
Kecamatan Babakan Madang Bojonggede Bojonggede Bojonggede Bojonggede Bojonggede Bojonggede Bojonggede Caringin Caringin Cariu Ciampea Ciawi Ciawi Ciawi Ciawi Ciawi Ciawi Cibinong Cibinong Cibinong Cibinong Cibinong Cibinong Cibinong Cibinong Cibinong Cibinong Cibinong Cigudeg Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cileungsi Cileungsi Cileungsi Cileungsi Ciomas Ciomas Cisarua Cisarua Ciseeng Citeureup Citeureup Citeureup
Klaster 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
118
Lampiran 9 Lanjutan No 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
Desa Karangasem Timur Puspanegara Puspasari Tarikolot Babakan Bojong Kulur Bojong Nangka Gunung Putri Nagrak Tlajung Udik Wanaherang Cibadung Curug Gunung Sindur Pamagersari Setu Jonggol Sukamaju Atang Senjaya Jampang Kemang Parakan Jaya Pondok Udik Kembang Kuning Cibeber 1 Leuwiliang Leuwingmekar Cipayung Datar Cipayung Girang Bojong Indah Pamagar Sari Parung Waru Warujaya Jagabaya Parung Pajang Rumpin Cijujung Cimandala Sirnagalih Tenjo Cipambuan Citaringgul Kadumangu Sentul
Kecamatan Citeureup Citeureup Citeureup Citeureup Dramaga Gunung Putri Gunung Putri Gunung Putri Gunung Putri Gunung Putri Gunung Putri Gunung Sindur Gunung Sindur Gunung Sindur Jasinga Jasinga Jonggol Jonggol Kemang Kemang Kemang Kemang Kemang Klapanunggal Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Megamendung Megamendung Parung Parung Parung Parung Parung Parungpanjang Parungpanjang Rumpin Sukaraja Sukaraja Tamansari Tenjo Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang
Klaster 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2
119
Lampiran 9 Lanjutan No 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135
Desa Sumur Batu Citayam Kalisuren Nanggerang Rawa Panjang Sasak Panjang Sukamajaya Susukan Tajurhalang Tonj ng Ciderum Cimande Cimande Hilir Lemah Duwur Muarajaya Pancawati Pasir Buncit Pasir Muncang Babakan Rade Bantarkuning Cibatu Tiga Karyamekar Kuta Mekar Mekarwangi Pasir Tanjung Sukajadi Tanjungrasa Tegal Panjang Benteng Bojong Jengkol Ciampea Ciampea Udik Cibadak Cibanteng Cibitung Tengah Cibuntu Cihideung Hilir Cihideung Udik Cinangka Cinangneng Sicadas Situ Daun Tapos 2 Tegal Waru Cileungsi
Kecamatan Babakan Madang Bojonggede Bojonggede Bojonggede Bojonggede Bojonggede Bojonggede Bojonggede Bojonggede Bojonggede Caringin Caringin Caringin Caringin Caringin Caringin Caringin Caringin Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciampea Ciawi
Klaster 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
120
Lampiran 9 Lanjutan No 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180
Desa Jambu Luwuk Pandansari Teluk Pinang Nanggewer Cemplang Ciaruten Ilir Ciaruten Udik Cibatok 1 Cibatok 2 Cijujung Cimangu 1 Cimangu 2 Dukuh Galuga Girimulya Leuweung Kolot Situ Ilir Situ Udik Sukamaju Sukaraksa Ciadeg Cibalung Cipicung Cisalada Palasari Sorogol Sukaharja Warung Menteng Cipejo Dayeuh Gandoang Jatisari Mampir Mekarsari Pasir Angin Setu Sari Ciapus Ciomas Kota Baru Mekarjaya Padasuka Pagelaran Parakan Sukaharja Sukamakmur
Kecamatan Ciawi Ciawi Ciawi Cibinong Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cibungbulang Cigudeg Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cileungsi Cileungsi Cileungsi Cileungsi Cileungsi Cileungsi Cileungsi Cileungsi Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas Ciomas
Klaster 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
121
Lampiran 9 Lanjutan No 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225
Desa Kopo Babakan Cibentang Cibeuteung Muara Cibeuteung Udik Cihowe Ciseeng Karihkil Kuripan Putatnutug Leuwinutug Pasir Mukti Sanja Tajur Ciherang Cikarawang Dramaga Neglasari Petir Purwasari Sinar Sari Sukadamai Sukawening Ciangsana Cicadas Cikeas Udik Karanggan Cibinong Cidokom jampang Pabuaran Padurenan Pengasinan Rawakalong Bagoang Barengkok Cikopomayak Curug Jasinga Kalongsawah Koleang Neglasari Pangaur Pangradin Sipak
Kecamatan Cisarua Ciseeng Ciseeng Ciseeng Ciseeng Ciseeng Ciseeng Ciseeng Ciseeng Ciseeng Citeureup Citeureup Citeureup Citeureup Dramaga Dramaga Dramaga Dramaga Dramaga Dramaga Dramaga Dramaga Dramaga Gunung Putri Gunung Putri Gunung Putri Gunung Putri Gunung Sindur Gunung Sindur Gunung Sindur Gunung Sindur Gunung Sindur Gunung Sindur Gunung Sindur Jasinga Jasinga Jasinga Jasinga Jasinga Jasinga Jasinga Jasinga Jasinga Jasinga Jasinga
Klaster 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
122
Lampiran 9 Lanjutan No 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269
Desa Tegal Wangi Balaikambang Bendungan Singajaya Singasari Sirnagalih Sukamanah Sukasirna Weninggalih Bojong Pabuaran Semplak Barat Tegal Bantar Jati Lulut Nambo Babakan Sadeng Barengkok Cibeber 2 Kalong 1 Karacak Karehkel Karyasari Leuwisadeng Purasari Puraseda Sadeng Sadengkolot Sibanteng Gadog Sukakarya Sukamahi Sukamaju Sukamanah Curug Bitung Kalong Liud Parakan Muncang Cibening Cibitung Kulon Cibitung Wetan Cimayang Gunung Menyan Gunung Picung Pamijahan
Kecamatan Jasinga Jonggol Jonggol Jonggol Jonggol Jonggol Jonggol Jonggol Jonggol Kemang Kemang Kemang Kemang Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Megamendung Megamendung Megamendung Megamendung Megamendung Nanggung Nanggung Nanggung Pamijahan Pamijahan Pamijahan Pamijahan Pamijahan Pamijahan Pamijahan
Klaster 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
123
Lampiran 9 Lanjutan No 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315
Desa Pasarean Bojong Sempu Cogreg Iwul Jambon Mekar Cikunar Cikupa Dago Gintung Cilejet Gorowong Jagakita Kabasiran Lumpang Pingku Bantar Jaya Bantar Sari Candali Mekarsari Pasir Gaok Ranca Bungur Cibodas Cidokom Cipinang Kampung Sawah Kerta Jaya Mekar Sari Rabak Sukamulya Sukasari Taman Sari Kiara Pandak Sukajaya Pabuaran Cadas Ngampar Cibenon Cikeas Cilebut Barat Cilebut Timur Gunung Geulis Nagrak Pasir Jambu Pasir Laya Sukaraja Sukatani Pasir Eurih Suka Luyu
Kecamatan Pamijahan Parung Parung Parung Parung Parungpanjang Parungpanjang Parungpanjang Parungpanjang Parungpanjang Parungpanjang Parungpanjang Parungpanjang Parungpanjang Rancabungur Rancabungur Rancabungur Rancabungur Rancabungur Rancabungur Rumpin Rumpin Rumpin Rumpin Rumpin Rumpin Rumpin Rumpin Rumpin Rumpin Sukajaya Sukajaya Sukamakmur Sukaraja Sukaraja Sukaraja Sukaraja Sukaraja Sukaraja Sukaraja Sukaraja Sukaraja Sukaraja Sukaraja Tamansari Tamansari
Klaster 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
124
Lampiran 9 Lanjutan No 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360
Desa Sukajadi Sukajaya Sukamantri Sukaresmi Batok Bojong Cilaku Ciomas Singabangsa Singabraja Bojong Koneng Cijayanti Karang Tengah Cinagara Tangkil Antajaya Buanajaya Cibadak Cikutamahi Selawangi Sirnarasa Sirnasari Sukarasa Tanjung Sari Gunung Malang Tapos 1 Bojong Murni Cibedug Citapen Argapura Bangunjaya Banyu Asih Banyu Resmi Banyu Wangi Batu Jajar Cigudeg Cintamanik Mekarjaya Renggasjajar Suka Maju Tegalega Wargajaya Ciburayut Cijeruk Cipelang
Kecamatan Tamansari Tamansari Tamansari Tamansari Tenjo Tenjo Tenjo Tenjo Tenjo Tenjo Babakan Madang Babakan Madang Babakan Madang Caringin Caringin Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Ciampea Ciampea Ciawi Ciawi Ciawi Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cijeruk Cijeruk Cijeruk
Klaster 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
125
Lampiran 9 Lanjutan No 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404 405
Desa Pasir Jaya Tajur Malang Tanjung Sari Tugujaya Batulayang Cibeureum Cilember Citeko Jogjogan Tugu Selatan Tugu Utara Hambalang Sukahati Tangkil Jugala Jaya Cibodas Sukajaya Sukanegara Bojong Cikahuripan Kelapa Nunggal Leuwikaret Ligar Mukti Kalong 2 Pabangbong Wangunjaya Kuta Megamendung Suka Galih Sukaresmi Bantar Karet Cisarua Hambaro Malasari Nanggung Pangkal Jaya Sukaluyu Ciasih Ciasmara Cibunian Gunung Bunder 1 Gunung Bunder 2 Gunungsari Purwabakti Gombang
Kecamatan Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cisarua Cisarua Cisarua Cisarua Cisarua Cisarua Cisarua Citeureup Citeureup Citeureup Jasinga Jonggol Jonggol Jonggol Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Megamendung Megamendung Megamendung Megamendung Nanggung Nanggung Nanggung Nanggung Nanggung Nanggung Nanggung Pamijahan Pamijahan Pamijahan Pamijahan Pamijahan Pamijahan Pamijahan Rumpin
Klaster 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
126
Lampiran 9 Lanjutan No 406 407 408 409 410 411 412 413 414 415 416 417 418 419 420 421 422 423 424 425
Desa Leuwibatu Cileuksa Cisarua Harkatjaya Kiarasari Pasir Madang Sipayung Sukamulih/Sukamulya Cibadak Sirnajaya Sukadamai Sukaharja Sukamakmur Sukamulya Sukaresmi Sukawangi Wargajaya Taman Sari Babakan Tapos
Kecamatan Rumpin Sukajaya Sukajaya Sukajaya Sukajaya Sukajaya Sukajaya Sukajaya Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Tamansari Tenjo Tenjo
Klaster 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
127
Lampiran 10 Desa-desa Hasil overlay klaster 3 dengan hirarki III NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
DESA Malasari Bantar Karet Cisarua Pangkal Jaya Hambaro Sukaluyu Pabangbong Wangunjaya Kalong 2 Cibunian Purwabakti Ciasih Gunung Bunder 2 Gunung Bunder 1 Tapos 1 Cisarua Kiarasari Harkatjaya Sipayung Sukamulih/Sukamulya Suka Maju Banyu Resmi Banyu Wangi Wargajaya Cintamanik Mekarjaya Banyu Asih Tegalega Batu Jajar Bangunjaya Cileuksa Pasir Madang Jugala Jaya Tapos Pasir Jaya Ciburayut Cijeruk Tanjung Sari Tajur Malang Tangkil Cibedug Bojong Murni Batulayang Sukaresmi Suka Galih
KECAMATAN Nanggung Nanggung Nanggung Nanggung Nanggung Nanggung Leuwiliang Leuwiliang Leuwiliang Pamijahan Pamijahan Pamijahan Pamijahan Pamijahan Ciampea Sukajaya Sukajaya Sukajaya Sukajaya Sukajaya Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Cigudeg Sukajaya Sukajaya Jasinga Tenjo Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cijeruk Cijeruk Caringin Ciawi Ciawi Cisarua Megamendung Megamendung
128
Lampiran 10 Lanjutan NO 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
DESA Kuta Bojong Koneng Karang Tengah Tangkil Cibadak Tanjung Sari Sirnasari Sirnarasa Buanajaya Antajaya Sukarasa Cikutamahi Cibadak Sukamulya Sirnajaya Wargajaya Sukawangi Sukaharja Sukaresmi Sukanegara Sukajaya Cibodas Leuwikaret Cikahuripan Ligar Mukti
KECAMATAN Megamendung Babakan Madang Babakan Madang Citeureup Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Cariu Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Sukamakmur Jonggol Jonggol Jonggol Klapanunggal Klapanunggal Klapanunggal