EDISI 14 TAHUN 2016 PRODUK
A N A L I S I S S I T UAS I www.jsithopi.org
JARINGAN SURVEY INISIATIF
Desember 2016
DISKURSUS DEMOKRASI
VIS A VIS GERAKAN POLITIK ISLAM PILKADA ACEH 2017
COPYRIGHT JARINGAN SURVEY INISIATIF 2016 HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG
DAFTAR ISI AUTHOR T.M JAFAR SULAIMAN EDITOR ARYOS NIVADA DESAIN LAYOUT Teuku Harist Muzani SENIOR EXPERT
ANDI AHMAD YANI, AFFAN RAMLI, CAROLINE PASKARINA, ELLY SUFRIADI, CHAIRUL FAHMI, MONALISA, FAHRUL RIZA YUSUF
pendahuluan
3
kontestasi gerakan islam politik aceh
8
ulama & konstestasi politik aceh
10
daftar pustaka
15
rJARINGAN SURVEY INISIATIF
Jln. Tgk. Di Haji, Lr. Ujong Blang, Np. 36, Gp. Lamdingin, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, INDONESIA Telp. (0651) 6303 146 Web: www.jsithopi.org Email:
[email protected]
ANALISIS SITUASI • edisi 14
Teuku Muhammad Jafar Sulaiman Pemikir Muda Muslim
menekuni politik Islam dan filsafat politik sejak tahun 1999 ketika memulai kuliah di jurusan jinayah was siyasah IAIN Ar-Raniry (SekarangUIN Ar-Raniry) Banda Aceh, Alumnus Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam, peneliti power, welfare and demokrasi PolGOV UGM Yogyakarta-Oslo University Norwegia 2013, peneliti pemilu dan politik uang di Indonesia JPP Fisipol UGM – Australian Nationa University Australia, 2014
PENDAHULUAN Demokrasi telah di kenal berabad-abad lalu, nun jauh di Athena (Yunani) yang sering di rujuk sebagai leluhur demokrasi. Namun, pasca Amerika mendeklarasikan kemerdekannya, maka melalui kekuatan narasi dan hegemoninya, demokrasi lansung menjadi narasi besar dunia dan menjadi nubuat sakti pembebasan manusia dimanapun keberadaaan manusia sebagai manusia sekaligus sebagai rakyat. Kini, di tempat kita, dalam mata batin rakyat, demokrasi melalui elit oligarkhis nya, ternyata membelenggu rakyat. Sehingga, melalui bukit kesengsaraannya, rakyat berkata lantang : “Ketika melalui demokrasi kami mendapatkan kesejahteraan dan kesetaraan, maka demokrasi adalah harapan dan masa depan, jika sebaliknya maka demokrasi adalah kekecewaan dan kesuraman”. Dalam konteks kekinian, kita patut mencerna renungan Yudi Latif : “Demokrasi tidak bisa berumah di angin. Trilyunan uang terkuras, berbilang institusi tiruan di cangkokkan, pelbagai prosedur baru di gulirkan, tak membuat rakyat kian berdaya secara politik. Perangkat lunak demokrasi memang berhasil di poles, teta-
JSI
pi perangkat lunak budaya politiknya masih berjiwa tiranik-feodalistik. Demokrasi berjalan dengan meninggalkan sang “demos” (rakyat jelata), seperti Malin Kundang yang melupakan ibunya sendiri”. (Yudi Latif, Makrifat Pagi, 7 Desember 2016) Dalam marka jalan nan miris ini, ketika demokrasi hanya menghasilkan kekuasaan kepemimpinan tiranik-feodalistis yang tidak bisa mensejahterakan dan menjamin kesetaran, maka pentas drama tersebut hanya menghasilkan disilusi (kekecewaan) massal pada demokrasi dan juga pada kepemimpinan. Kekecewaan massal ini dapat berubah menjadi gerakan politik baru yang mencari ruang untuk mempraktekkan sendiri demokrasinya, yang benar-benar berpihak pada rakyat. Untuk Aceh, mungkin tahun 2017 lah saatnya, rakyat mempraktekkan sendiri demokrasinya di luar mainstream demokrasi elitis saat ini, lansung menjadi kontestan politik, berjuang sendiri untuk menikmati hakikat demokrasi bagi kesejahteraan, bahkan melebihi itu. Kita adalah bagian dari generasi yang pernah merasakan hidup di bawah tekanan rezim otoriter orde baru. Kita termarjinal, hak sipil politik dibatasi, perlakuan diskriminatif, kekuasaan yang sewenang-wenang, semuanya membuat kita sebagai warga negara terpuruk, teralienasi, termarjinal secara sosial, ekonomi dan politik. Reformasi adalah fajar harapan baru, rezim tiranik orba runtuh, semua segera menjadi manusia baru, menikmati serta merasakan sebuah kehidupan yang berbeda, terbuka lebarnya ruangruang partisipasi politik dan kemerdekaan hidup sebagai warga negara. Segala hak politik yang telah pulih paska reformasi ini, tidak dapat menutupi kerinduuan rakyat akan perbaikan kualitas hidup. Tuntutan murni rakyat ini adalah hakikat demokrasi di eksistensi keberadaannya, yaitu ketika demokrasi dapat memberi peluang bagi publik untuk menentukan hidupnya, memiliki akses atas www.jsithopi.org
3
JSI
4
ANALISIS SITUASI • edisi 14
berbagai sumberdaya dan dapat mengelola sumberdaya tersebut untuk membawanya ketaraf hidup yang lebih sejahtera. Keinginan rakyat ini kemudian menggeser arah perkembangan demokrasi, dari kebebasan dan pemenuhan hak-hak politik kepada pemenuhan kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak ekonomi sosial budaya. Ranah demokrasi pun mengalami pergeseran, dimana semula berlansung diranah masyarakat, sekarang telah masuk pada perubahan-perubahan di ranah pemerintahan. 1 Aceh adalah satu provinsi di Indonesia yang mengalami perubahan paska reformasi tersebut. Melihat Aceh, tentu berbeda dengan melihat provinsi lain di Indonesia. Dengan segala kekhususan yang dipunyainya, maka cara melihatnya juga harus secara khusus. Transformasi Aceh, bukan hanya paska reformasi, tetapi juga paska bencana besar tsunami dan juga konflik. Paska reformasi, Aceh justru jatuh dalam beban penderitaan psikis dan identitas melalui pemberlakuan darurat militer. Tsunami besar, telah mengilhami kedua belah pihak yang telah bertikai puluhan tahun untuk duduk bersama dengan visi masa depan yaitu bagaimana menegakkan peradaban yang memanusiakan manusia yang luluh lantak karena bencana dan konflik.
Paska damai, aceh memulai pilkada
1 Caroline Paskarina, Mendemokratisasikan Kesejahteraan : Mengelola akses strategi, dan kapasitas control public. Dalam buku : Berebut kontrol atas kesejahteraan, kasus-kasus politisasi demokrasi di tingkat lokal.¸ (Yogyakarta : PolGov UGM : 2015), hlm : 3.
www.jsithopi.org
pertama pada tahun 2006. Pilkada Aceh selalu menarik, sejak dimulai dari 2006 sampai sekarang. Pilkada 2006 banyak dimenangkan oleh calon independen (belum ada partai lokal saat itu), namun sebaliknya ketika pemilu 2012 (bermunculan partai politik lokal), calon independen meredup dan calon dari partai politik baik partai lokal maupun partai nasional mendominasi kemenangan. Bagimana dengan pemiilu 2017 ?. tentu lebih menarik, ada calon dari partai lokal berkolaborasi dengan partai nasional, calon partai nasional, dan banyak juga calon independen dan yang membuat semakin menarik adalah kehadiran ulama Dayah sebagai kandidat Bupati di beberapa kabupaten melalui jalur independen, jalur yang sangat vokal di kritisi oleh partai Aceh, partai politik lokal yang berkuasa saat ini di Aceh. Kemunculan ulama dayah ini dapat dikatakan mengusung spirit gerakan politik Islam, sebagaimana akan dibahas dalam tulisan ini. Setiap lima tahun sekali, pilkada Aceh sama dengan berbagai pilkada lainnya di Indonesia, selalu berada dalam arus besar demokrasi, belum bisa keluar dari arus utama pendefinisian demokrasi. Bahwa demokrasi dalam representasi pilkada adalah sebuah pengaturan metode berkompetisi untuk memperebutkan jabatan-jabatan politik (kepala daerah). Definisi inilah yang jamak mendominasi pemikiran tentang demokrasi, hatta dalam perhelatan pilkada Aceh yang sudah berlansung dua kali. Fenomena ini adalah realita yang sekaligus menyederhanakan demokrasi, demokrasi di pandang hanya sebagai sebuah metode, cara memilih
ANALISIS SITUASI • edisi 14
pemimpin. Gambaran-gambaran naratif besar seperti inilah yang kemudian menghasilkan satu varian kajian baru dari demokrasi, yaitu demokrasi elektoral. (Schumpeter, 1976 : 268-270). 2 Demokrasi seperti ini adalah demokrasi yang sangat elitis. Hanya perhelatan seremonial memilih pemimpin dan kemudian rakyat kembali kerumah-rumah penderitaan mereka sambil terlelap dalam tidur dan dalam mimpin kesejahteraan yang tidak pernah kunjung datang. Demokrasi sejati bukanlah untuk memilih kepala daerah, tetapi menyediakan jalan yang menghubungkan antara demokrasi dan kesejahteraan. Kepemimpinan yang dihasilkan dari sebuah proses pemilu adalah sebuah konsekuensi hak memilih dan dipilih yang di jamin sebagai hak sipil politik. Selebihnya, kekuatan utama ada pada makrifat kepemimpinan, yaitu kepemimpinan yang berkualitas, bertopang kuat pada harapan rakyat, pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri sehingga mengutamakan rakyat sebagai pengabdian hidupnya. Jika tanpa ini, maka pilkada hanyalah komedi absurd yang selalu memalukan kemanusiaan kita. DISKURSUS DEMOKRASI DAN KEKECEWAAN Demokrasi, sejak kelahirannya berabad silam, telah menggelindingkan bola besar pada perubahan dunia, melindas kekuasaan monarkhi absolut, sehingga kekuasaan di tangan seorang raja berubah menjadi kekuasaan yang berada ditangan rakyat banyak. Perjalanan ini, tentu bukan sesuatu yang mulus dan mudah, banyak chaos yang terjadi, karena tidak mungkin sebuah kekuasaan absolut dilepaskan begitu saja tanpa perlawanan rakyat. Seiring perjalanan pendulum waktu, Ibarat sebuah bangunan tubuh teks dan narasi, demokrasi bukanlah teks mati dan narasi mati, dia adalah biologi teks, demokrasi bukanlah bangunan narasi yang statis, tetapi 2
. Ibid…. hlm : 3.
JSI
dinamis dan terus berubah. Demokrasi juga tidak selamanya dapat memenuhi segala hasrat kemanusiaan kita, ada keterbatasan dan juga terkadang mengecewakan. Dalam orasi kebudayaan pada nurcholis Madjid Memorial Lectur (NMML) II “Demokrasi dan Disilusi (kekecewaan)”, Gunawan Muhammad melukiskan dengan satir demokrasi dan disilusi (kekecewaan) tersebut : “ditahun 1998, otokrasi Suharto runtuh, Indonesia mendapatkan “demokrasi liberalnya” - nya kembali. Satu dasawarsa kemudian, kita masih nampak percaya pada demokrasi ini - jika itu berarti pemilihan umum yang regular, partisipasi masyarakat pemilih lewat partai, pembentukan undang-undang melalui para legislator di parlemen, pengawasan kinerja kabinet dari sebuah lembaga negara yang dipilih rakyat. tapi akan bertahankah kepercayaan itu “?. Kita bisa menduga – melihat betapa korupnya para anggota DPR sekarang, melihat tak jelasnya lagi alas an hidup partai-partai, kecuali untuk mendapatkan kursi-. Indonesia sedang memasuki sebuah masa, ketika rakyat – dengan hak penuh untuk memilih dan tak memilih- akan mencemooh, bahkan mencurigai, para pemegang peran dalam demokrasi parlementer yang ada”. Dalam pembicaraan hari ini, saya akan mencoba menunjukkan, bahwa disilusi seperti itu memang tidak terelakkan. Persoalannya kemudian, sejauh mana dan dalam bentuk apa demokrasi bisa dipertahankan”. (Gunawan Muhammad , Demokrasi dan Disilusi, pidato kebudayaan Nurcholis Madjid Memorial Lecture, 25 November 2008). Demokrasi bukanlah sebuah sistem yang sudah final, tetapi terus berkembang dan berbenah sesuai dengan konteks ruang, masa dan waktu. Demokrasi juga bukan sebuah terma yang tidak boleh di kritik, banyak pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan di dalamnya. Ketika kita berbicara bahwa demokrasi adalah hak-hak individu (demokrasi liberal), apakah kemudian pemusatan otoritas dan ketergantungan yang tak terhindarkan dari tiap-tiap individu pada www.jsithopi.org
5
JSI
6
ANALISIS SITUASI • edisi 14
seluruh masyarakat dan pengawasan tiaptiap individu oleh seluruh masyarakat tidak akan berakhir dengan penindasan seluruh masyarakat dalam suatu keseragaman pemikiran, urusan dan perbuatan yang jinak, dan menghasilkan manusia-manusia otomatis serta pembunuh kebebasan ?.3 Sejauh mana kita dapat berharap banyak pada demokrasi elektoral, yang saat ini begitu diagungkan. Demokrasi elektoral seperti pemaparan diatas, hanya menjadi kompetisi bagi para elit, sementara publik tidak memiliki ruang yang besar dalam mengontrol jalannya kekuasaan. Merujuk isi pidato Gunawan Muhammad di atas, dalam rentang arena ruang publik Aceh dan lalu lalang pemerintahan hasil pilkada paska damai, maka gubuk-gubuk rakyat yang masih mudah kita jumpai (semudah menjumpai warung kopi), catatan tingkat kemiskinan, kualitas pendidikan, listrik yang hidup segan mati tak mau, martabat pelayanan publik terhadap kebutuhan dasar rakyat adalah “firman afaqi” (tanda-tanda alam) yang menjadi penanda betapa masih mengecewakannya kinerja pemerintahan terhadap kesejahteraan dan pemenuhan hak dasar rakyat. apakah ada yang sudah di lakukan ?, tentu ada. Apakah sudah maksimal, tentu belum. Sehingga dengan berbagai jenis angka-angka statistik sebagai catatan kaki, dalam tidurpun kita dapat bertanya, kemana uang trilyunan milik Aceh ?. Sejak 2008 hingga 2015, Aceh telah menerima dana otsus senilai 41,49 Trilyun. Dana otsus menjadi sumber penerimaan utama bagi pembangunan Aceh, dengan ra3 John Sturat Mill dan Tocqueville misalnya, dengan pesimis telah mengulas tentang dampak moral dan intelektual demokrasi di Amerika, mereka menyatakan bahwa kekuasaan demokrasi tidak menghancurkan, tetapi dia menghalang-halangi eksistensi, ia menindas, melemahkan, mematikan dan membodohkan sebuah masyarakat dan mengubahnya menjadi segerombolan orang-orang yang penakut dan bersemangat di mana menjadikan pemerintah sebagai penggembalanya. Lihat Isaiah Berlin, empat Esai Kebebasan, Jakarta : LP3ES, 2004, hlm : 334-335.
www.jsithopi.org
ta-rata peningkatan penerimaan 11 persen per tahun. dari APBA 2015 yang berjumlah Rp 12,7 triliun, lebih dari separuhnya berasal dari dana otsus. Dana otsus akan diterima aceh sampai 2027, selama 20 tahun dan diperkirakan akan menerima sejumlah Rp 163 Triliun. Dalam kajian lembaga Kajian Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS), melimpahnya kucuran dana otsus belum berpengaruh pada perbaikan kesejahteraan rakyat di Aceh. Hasil kajian IDeAS sesua dengan rilis awal tahun Badan Pusat Statistik Indonesia tentang Sosial Ekonomi Indonesia. Laporan tersebut menyajikan data tentang angka kemiskinan di 34 Provinsi di Indonesia. Dalam pemetaan IDeAS, periode September 2015, Aceh peringkat tertinggi kedua di Sumatera setelah Bengkulu dengan angka 17,16 persen. Sedangkan untuk Indonesia, Aceh menempati urutan 7 sebagai Provinsi termiskin bahkan berada di bawah Nusa Tenggara Barat (16,54 Persen). Persoalan pengangguran juga menjadi “petaka” Aceh paska damai. Aceh menempati urutan tertinggi angka pengangguran di Indonesia, dengan angka sebesar 9,93 persen dari lima juta lebih jumlah penduduknya. 4 Ketika kekuasaa adalah kehendak, maka Kekuasaan adalah sentral segala kebijakan dan tindakan yang dapat dilakukan untuk terus memperbaiki keadaan dari tidak sejahtera menjadi sejahtera. Kekuasaan adalah mekanisme, bukan milik. Ketika kekuasaan di definisikan sebagai milik, maka “the will to power” (Kehendak untuk berkuasa) lebih besar dari pada “The will to improve” (kehendak untuk memperbaiki).5 Ketik a kekuasaan 4 h t t p : / / n a s i o n a l . t e m p o . c o / r e a d / news/2016/01/11/058734830/dana-otonomi-khusus-melimpah-aceh-masih-tergolong-daerah-termiskin, di akses pada 2 Desember 2016, jam 17.40) 5 . Tentang “kehendak memperbaiki”, lebih lengkap silahkan lihat Tania Murray Li “The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia”, Penerbit: Marjin Kiri, 2012.
ANALISIS SITUASI • edisi 14
dipahami sebagai mekanisme untuk mensejahterakan maka kehendak untuk memperbaiki akan lebih besar. Namun, dalam perjalanan kepemimpinan hasil demokrasi yang kita praktekkan di Aceh, dapat kita lihat mana yang lebih besar, apakah kehendak untuk memperbaiki atau kehendak untuk berkuasa. Kepemimpinan selalu berada dalam wilayah kisruh, berebut kontrol atas kesejahteraan yang konon katanya untuk kesejahteraan rakyat, tetapi kenyataannya tidak pernah terdistribusi secara merata, melainkan terdistribusi pada kelompok tertentu saja. Ini adalah salah satu kekecewaan lainya, sehingga hasil akhirnya, segala kerja mensejahterakan rakyat terhambat karena energi terkuras pada konsentrasi mempertahankan kekuasaan dan perselisihan kekuasaan, sebuah kemunduran yang sangat meresahkan dalam praktek demokrasi kita sebagai Aceh. Segala beban rakyat, segala derita rakyat paska bencana dan paska konflik sejatinya terobati dengan demokrasi yang bertumpu pada kekuatan kedaulatan rakyat dan oleh kepemimpinan yang memimpin dengan hati yang bisa memanusiakan manusia, namun apa daya, rakyat di Aceh memang di lahirkan untuk harus selalu merebut kesejahteraan dengan cara sendiri yang bermartabat.
JSI
butuhkannya demokrasi di tempat kita, tetapi ajakan untuk terus melihat secara dalam, dengan banyak sudut pandang bahwa kita memang masih belajar berdemokrasi, belum memahami secara utuh dan mendalam akan makna hakiki demokrasi, terutama pada aspek bagaimana menempatkan kepentingan kesejahteraan rakyat diatas egala kepentingan lainnya, siap mempertanggung jawabkan kemenangan dan siap kalah. Yang paling penting dalam kerja-kerja kedepan adalah memperkaya, menggairahkan dan menggerakkan secara besar-besaran kerja-kerja literasi kita tentang demokrasi, sehingga demokrasi terpahami berdasarkan kekayaan pengetahuan, melalui pendidikan kritis, tersedianya ruang yang bermartabat bagi “Critical Thinking”, di sini demokrasi berkembang dan utuh berdasarkan kekayaan pengetahuan dan bahasa-bahasa literasi, bukan berdasarkan bahasa-bahasa lisan elit oligarkhi. Demokrasi di Arasy kedaulatan rakyat akan kuat dan tertopang ketika penduduk di sebuah negeri berpengetahuan tinggi, berbahasa literasi, sehingga rumah demokrasi sejati tegak dengan nalar budi, bukan berfondasi janji dalam retorika imitasi.
Dari segala fenomena diatas, ulasan sederhana ini tidak bermaksud melemahkan diskursus demokrasi dan melemahkan nalar dan narasi akan penting dan masih di
www.jsithopi.org
7
JSI
8
ANALISIS SITUASI • edisi 14
KONTESTASI GERAKAN POLITIK ISLAM ACEH KARENA KEKECEWAAN ? Demokrasi elektoral, seperti di sebut Schumpeter, yang dipandang hanya sebagai metode, memiliki segala keterbatasan dan kelemahan. Ada dua titik kelemahan dan keterbatasannya. Pertama, model ini terbatas pada prosedur untuk berkuasa secara legitimit dengan cara memperebutkan dukungan publik. Kedua, terlampau fokus pada institusi sebagai ukuran bekerjanya demokrasi, sementara prinsip atau tujuan yang ingin dicapai demokrasi itu yaitu kesejahteraan cenderung terabaikan. Keterbatasan-keterbatasan inilah yang kemudian mendorong David Beetham (1999)untuk menawarkan definisi demokrasi yang berbeda. Menurut Beetham demokrasi adalah “kontrol popular terhadap urusan publik dan politik berbasis persamaan hak warga negara”. Demokrasi yang dimaksudkan Beetham disini, menekankan pada kontrol popular dan persamaan hak warga negara sebagai ciri bekerjanya demokrasi. Kontrol popular ini, berbasis pada persamaan hak warga negara. Persoalan terpenting dari demokrasi adalah menjamin agar publik dapat mengontrol pembuatan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, termasuk www.jsithopi.org
mengontrol para pembuat kebijakan tersebut. Kapasitas kontrol popular ini menjadi elemen yang sangat penting untuk tidak hanya menunjukkan hak politik warga negara, tetapi juga sekaligus menjadi penentu bekerjanya demokrasi. 6 Bicara Aceh, dengan segala dinamika dan realitanya, maka definisi demokrasi ala Beetham ini, sangat dekat dengat eksistensi kedaulatan rakyat yang selama ini terbaikan, bahwa eksistensi rakyat bukanlah sebagai voter (pemilih) yang hanya menghantarkan saja, tetapi juga sebagai pengontrol jalannya pemerintahan yang berkaitan dengan isu dan kepentingan publik. Ketika demokrasi ditempatkan sebagai kerangka kontrol popular dan persamaan politik, maka pengelolaan kesejateraan juga dipahami sebagai isu publik yang harus tunduk pada kontrol popular dan persamaan politik tersebut. Ini berarti bahwa pengelolaan kesejahteraan bukan semata persoalan manajerial pemerintahan yang menyangkut metode pengelolaan dan pendistribusian sumber-sumberdaya, tetapi juga merupakan persoalan politik yang memerlukan partisipasi publik secara substan6
Caroline,…hlm. 4
ANALISIS SITUASI • edisi 14
tif dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan tersebut. Seturut lima tahun terakhir, praktek kontrol popular (rakyat) terhadap kebijakan publik pemerintah dalam makna demokrasi kedaulatan rakyat, semakin dilokalisir dalam simbol-simbol kamuflase berdalih perjuangan kepentingan rakyat, padahal tidak ada jembatan yang menghubungkan antara simbol-simbol tersebut dengan kesejahteraan rakyat, semua terbaca dalam ejaan kepentingan kehendak berkuasa saja. Sehingga sangat sedikit tempat terhadap kontrol popular tersebut. Demokrasi yang di praktekkan oleh para punggawa politik Aceh, semakin hari memang semakin mengecewakan, banyak mempraktekkan artifisial demokrasi daripada substansial demokrasi. Proses pemilihan kepala daerah misalnya tidak lebih dari pada perebutan kontrol atas kesejahteraan, namun kesejahteraan tersebut tidak terdistribusi. Atas segala bangun duduk demokrasi yang telah berlansung sekian lama dan di praktekkan oleh politisi, kita dapat merenung bahwa demokrasi mengandung “disilusi” (kekecewaan) dalam dirinya sendiri. 7 Demokrasi adalah hasrat yang tidak pernah sampai, namun kendati tidak mencukupi, kita tetap memerlukan demokrasi dan mengubahnya kepada pembuktian ontologis bahwa ada keberadaan mutlak yang wajib dipenuhi demokrasi melalui tangan para pemegang kekuasaan yaitu fitrah kesejahteraan rakyat. Menjadi tanggung jawab moral kita untuk mengurai secara tuntas pernyataan mendasar filsafat politik, yaitu “ketidak cukupan” demokrasi sebagai peralatan mewujudkan perubah revolusioner dan menggantinya menjadi alat perubahan revolusioner. 7 Rocky Gerung : “Mengaktifkan Politik”, bagian tulisan dari Buku “ Demokrasi dan Kekecewaan” , Gunawan Muhammad, dkk, Jakarta : Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Wakaf, Paramadina, 2009, hlm : 21.
JSI
Dalam kontestasi Aceh, di tataran praktiknya, demokrasi lebih sering berhenti pada pelembagaan formal, ketimbang mensponsori perubahan revolusioner. Dalam kondisi hari ini, kita harus mengurai demokrasi dari sudut pandang kebutuhan pada perubahan revolusioner, yang bertujuan untuk menghindari pemaknaan demokrasi dari bajakan elit politik atas penguasaannya secara mutlak melalui doktrin kekuasaan untuk kemewahan kepada bangunan politik yang lebih fundamental yaitu memperbesar struktur metafisika dari teori demokrasi sebagai jalan bagi kemaslahatan. Dalam wahyu disilusi (kekecewaan) pada demokrasi elektoral dan terus tertahannya demokrasi kontrol popular, maka dengan narasi bahwa imajinasi Aceh adalah Islam politik, telah mendorong lahirnya gerakan politik Islam di pilkada 2017 ini, yang merubah kontestasi politik Aceh, dari ruang teritori isu kepada ruang terbuka yaitu perebutan kekuasaan di arena politik praktis. Satu pertanyaan menggelitik yang bisa di alamatkan kepada kekuasaan dari bngkitnya gerakan politik Islam adalah : “bisakah syariat Islam dipraktekkan oleh kekuasaan yang tidak Islami” ? ini adalah pertanyaan yang bisa disematkan kepada kekuasaan dari kebangkitan gerakan politik Islam ini. Dimana ada beberapa hal penting yang menjadi titik pijakan gerakan ini, yaitu pemerintah hakikatnya adalah “uswatun hasanah” (suri teladan), “khadimul ummah” (pelayan ummat), memperbaiki akhlak dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Menegakkan agama, maka butuh kekuasaan, terutama spirit agama rahmatan lilalamin, Islam otentik, menjadi awan yang menaungi siapa saja unutk kebaikan, keselamatan dan kesejahteraaan. Dalam makna ini, maka dalam gerakan politik Islam, demokrasi juga di pahami sebagai demokrasi agama.
www.jsithopi.org
9
JSI
10
ANALISIS SITUASI • edisi 14
ulama dan kontestasi politik aceh Aceh bukanlah ketunggalan, Aceh adalah bagian dari keseluruhan dan bagian dari sistem dunia yang berjalan. Dalam konteks global, maka dunia sedang dan akan terus digiring dan dikendalikan oleh narasi demokrasi (tentu dalam banyak variannya), mayoritas menyatakan bahwa demokrasi adalah keniscayaan dan menjadi ukuran dalam penyelenggaraan sebuah negara, sebuah kekuasaan, dengan kata lain, demokrasi menjadi sebuah ukuran dan perkembangan kontestasi politik global, maka membicarakan konteks politik Islam Aceh dan konteks politik global, kita akan melihat letak adaptasi politik Islam Aceh dengan prinsip-prinsip demokrasi, terutama dalam arus utama demokrasi, yaitu demokrasi liberal. Ketika globalitas tersebut kita turunkan kedalam ruh semesta Aceh, maka narasi “doenya” demokrasi tersebut akan ditundukkan kedalam interpretasi gerakan politik Islam Aceh, bahwa siapapun berhak secara setara untuk masuk ke dalam arena kontestasi kekuasaan politik setelah di filterisasi dengan kapasitas akhlak, pengetahuan kuat keagamaan dan pengabdian kepemimpian bagi kemajuan agama (rahmatan lil’alamin). www.jsithopi.org
Filterisasi ini terbaca bahwa kepemimpinan bukan sembarangan bisa di ambil oleh siapa saja, tapi orang tertentu yang punya kapasitas, kepantasan dan yang paling utama adalah keteladanan. Penterjemahan ini, semakin diperkuat dengan realita kekecewaan terhadap praktek politik yang dihasilkan demokrasi, tanpa keteladanan (uswah hasanah) dan belum menjadi pelayan umat (khadimul umat), dalam dua kalimat inilah berdiri tegak eksistensi politik Islam Aceh. Segala disilusi dalam 10 tahun damai telah sampai kepada kehendak rakyat yang menginginkan ulama untuk masuk ke arena politik dan bagi ulama amanah ini adalah tanggung jawab dakwah yang harus dipikul. Eksistensi wacana keparipurnaan Islam sebagai agama yang juga mengurus politik, telah menggerakkan arus besar rakyat dan ulama dalam pilkada Aceh 2017. Sebagai representasi gerakan politik Islam Aceh, maka kehadiran Tengku H. Muhammad Yusuf (Tu Sop) di kabupaten Bireuen dengan tagline “memperkuat arus kebaikan” dan kehadiran Muhammad Zahed (Abucek) di kabupaten Nagan Raya dengan “gerakan poltik santun” yang merupakan represnetasi
ANALISIS SITUASI • edisi 14
ulama Dayah, telah memperkaya kontestasi pilkada Aceh 2017, apalagi jalan yang terpilih adalah jalur independen. Jalur pembuktian eksistensi kekuatan rakyat dan esensi kedaulatan sejati rakyat. Ketika memastikan maju sebagai kandidat Bupati, Tu Sop menyampaikan satu hal penting di hadapan ribuan warga di komplek Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunib, bahwa : “kehadirannya dalam dunia politik praktis adalah sebuah upaya untuk menyampaikan kepada ummat, khususnya masyarakat Bireuen bahwa dunia politik tidak dapat dipisahkan dari Agama. Apabila agamawan tidak hadir membawa misi-misi agama dan moral dalam dunia politik, maka politik itu akan menjadi malapetaka bagi agama dan masa depan Bangsa”. Dalam masyarakat Islam, Aceh khususnya, telah mengakar sebuah paradigm yang mendikotommi dunia politik dari islam, sehingga dunia politik tidak hadir sebagai kekuatan yang memperkuat misi-misi Islam, malah justru sebaliknya”, Tu Sop juga mengakui bahwa sejauh ini politik sudah jauh bergeser dari nilai-nilai idealis. 8 Tengku H. Muhammad Yusuf atau yang akrab di sapa Tu Sop, pimpinan Al Aziziyah, Jeunib. Dayah Babussalam, menyatakan bahwa beliau terjun kedunia politik karena permintaan masyarakat untuk memperbaiki umat dan kabupaten Bireuen ke arah yang lebih baik. Hal tersebut disampaikan Tu Sop saat mendeklarasikan diri maju sebagai calon Bupati Bireun periode 20122017 di lapangan geulumpang payoeng, Kabupaten Bireun, yang di hadiri oleh puluhan ribu massa dari berbagai Gampong di Bireun : “saya hadir kedunia politik untuk perbaikan umat dan kebaikan bireun, politik harus bisa menguntungkan agama, agama harus menjadi pondasi politik, agama dan politk harus bisa berjalan beriringan demi kebaikan umat dan Bangsa, sudah cukup agama di pisahkan dari 8 http://aceh.tribunnews.com/2016/05/11/tu-sopjeunieb-pastikan-maju-sebagai-balon-bupati-bireuen, di akses pada 1 Desember 2016, jam : 18.15.
JSI
politik, sudah cukup politik berlari sendiri tanpa pengawasan agama”. 9 Terkait dengan diskursus demokrasi, Tu Sop membaca demokrasi sebagai narasi dan model yang harus tunduk pada keimanan, demokrasi harus di tafsirkan dengan konteks keimanan dan kepentingan ke imanan Islam. Dalam penelusuran penulis, penulis mendapati orasi politik Tu Sop, Ulama Dayah ini menyatakan bahwa : “Saya terjun kedunia politik untuk mengadakan pengajian politik, karena sudah sekian lama kita berada dalam praktek politik jahil, yang tidak pernah ada dalam pikiran leluhur kita dulu, jauh sebelum mengalir demokrasi. Kita tidak menyalahkan demokrasi, tapi selama ini, orang Islam sudah menerjemahkan demokrasi seperti yang diterjemahkan oleh orang yang bukan Islam, jadi kehadiran saya hari ini, kita menginginkan orang Islam menerjemahkan demokrasi di dalam pikiran kita, dalam perilaku kita, di dalam sikap kita jangan bertentangan dengan Iman, sesuai dengan hadits Nabi, “Duniamu jangan sampai menghancurkan akhiratmu”, jangan sampai gara-gara politik kita masuk neraka, jangan sampai dengan politik membuat kita tidak selamat sampai kita meninggal nanti, ini yang harus disampaikan, saya sangat puas di saat pengajian politik seperti ini tersampaikan semuanya ke ummat”. 10 Penafsiran demokrasi ini dalam literatur mirip dengan pemaknaan demokrasi agama, bahwa manusia punya segala kebebasan dalam politik, tetapi kebebasan tersebut harus tunduk dan patuh pada ketentuan Allah SWT, sebagai konsekuensi tertinggi keimanan Islam. Dalam literatur Aceh, ulama berpolitik, bukanlah barang baru bagi Aceh, dalam konteks kekinian, ketika kita menggunakan 9 https://klikkabar.com/2016/07/24/tu-sop-terjundunia-politik-kebaikan-ummat-dan-kabupaten-bireuen/ , di akses pada 1 desember 2016, jam : 18.20. 10 https://www.youtube.com/watch?v=d-XkyyjewhQ, alasan Tu Sop maju sebagai Calon Bupati Bireun-part I, 27 Agusuts 2016, di akses pada 1 Desember 2016, di akses pada 1 desember 2016, jam : 18.25.
www.jsithopi.org
11
JSI
12
ANALISIS SITUASI • edisi 14
kalimat bahwa “politik itu kotor, ulama jangan berpolitik, ketika ulama berpolitik, maka kewibawaannya akan pudar”, maka bacaan rakyat Aceh, -terutama yang pro pada gerakan politk kaum ulama-, akan lansung tertuju kepada sosok Snock yang di persangkakan sebagai sang grand design penghambatakan ulama berpolitik, dengan tujuan eksploitatif, agar politik tetap berada di tangan yang tidak baik dengan segala kebebasan mengeksploitasi apapun. Ketika kita berwacana bahwa “kesakralan ulama akan ter desakralisasi ketika memasuki arena ruang publik kontestasi politik”, maka konsekuensi ini di sadari dengan sadarnya oleh para ulama, ketika nanti di kritik dan di cela setelah terpilih sebagai kepala daerah (pemimpiin politik), maka bagi ulama ini bukan sesuatu yang mengherankan. Imajinasi para ulama akan lansung termaktub kedalam spirit kepemimpina khulafaur rasyidin yang menjadi inspiring praktek politik mereka yaitu spirit Khalifah Umar bin Khattab yang dengan sigap mempersilahkan umat untuk meluruskannya dengan pedang ketika dia bersalah”. Kehadiran Muhammad Zahed (akrab disapa Abucek) sebagai kandidat Bupati di Nagan Raya yang merupakan ketua Dayah Sufi Muda, juga berangkat dari spirit fundamental Islam sebagai rahmatan lil’alamin. Bagi Abucek, politik adalah dakwah, memajukan agama (agama dengan spirit rahmmatan lil’alamin), pengabdian dan menjadi pelayan rakyat. kepemimpinan harus berfondasi kepada perubahan akhlak umat dan pemenuhan kesejahteraan rakyat. Muhammad Zahed adalah anak dari Tengku Haji Yahya Oemraity, akrab di sapa Abu Nigan, seorang ulama kharismatik Nagan Raya, seorang khadam dan murid dari Syaikh Muda Waly Al-Chalidy Labuhan haji Aceh Selatan. Ulama muda ini belajar di dayah selama tujuh tahun lebih dan telah belajar dan mempraktekkan tasawuf selama delapan belas tahun lebih. Sosok ulama ini www.jsithopi.org
juga punya segudang pengalaman yang sangat lengkap dalam dunia kepemimpinan dan dinamika masyarakat, pernah menjadi ketua KNPI selama 7 tahun, pernah sebagai ketua pemuda gampong, sekretaris mukim, Majelis Adat Aceh, pernah berprofesi sebagai Guru dan dosen, menjadi birokrat handal dan pernah punya pengalaman politik dalam partai Golkar Nagan Raya selama tujuh tahun. Ulama Dayah yang maju dari jalur independen ini menyatakan maju sebagai kandidat karena permintaan rakyat, rakyat semakin resah dengan segala praktek kepemimpinan yang ada selama ini yang begitu elit, berjarak dengan rakyat dan menjadikan kepemimpinan sebagai sesuatu yang tidak tersentuh : “Saya maju atas amanah rakyat, bagi saya, saya maju ini bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi pengabdian, amanah rakyat harus dipikul secara terhormat dan bermartabat. Kepemimpinan kita saat ini mengalami krisis keteladanan, pengabdian dan pelayanan, karena itu kita memerlukan pemimpin yang berpegang kepada dua hal penting yaitu uswatun hasanah (suri teladan) dan “Khadimul Ummah” (Pelayan Umat). Spirit besarnya adalah bahwa Rasulullah Muhammad itu di utus untuk memperbaiki Akhlak dan menjadi rahmat bagi sekalin alam. Risalah Rasulullah ini harus terus kita lanjutkan dan kita hidupkan dalam segala konteks kekinian, salah satunya melalui kepemimpinan. Pemimpin haruslah sosok yang sudah selesai dengan dirinya sendiri dan menjadi pemimpin semata-mata adalah untuk menjadi pengabdi dan pelayan rakyat” segala kekecewaan rakyat selama ini, harus diganti dengan kepemimpinan yang menjadikan kepentingan rakyat di atas segalanya, kekuasaan yang di gunakan untuk mensejahterakan rakyat”. 11 Dalam kontestasi pilkada, Abucek Muhammad Zahed, tidak membentuk tim sep11 Interview Muhammad Zahed, Nagan Raya, 18 Agustus 2016, jam 15:00.
ANALISIS SITUASI • edisi 14
erti konsep mainstream selama ini, tetapi memakai konsep sahabat. Yang menarik, konsep ini punya tesis untuk membalikkan segala adagium mainstream politik selama ini yang dianggap menyesatkan, bahwa “tidak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan”¸ bagi Abucek, adagium ini sangat kabur dan merusak spirit keluhuran politik Islam yang abadi yaitu kemaslahatan bersama. Bagi Abucek, dalam kerja-kerja politiknya : “poltik adalah persahabatan abadi, kepentingan bisa saja berubah-ubah, tetapi persahabatan adalah abadi”, jadi politik santun yang di gerakkan adalah politik yang merangkul, bukan memukul. Ada satu frasa kalimat yang sering di ucapkan oleh Abucek dalam setiap pidato politiknya yaitu : “Kita naik dengan tidak menginjak orang dan kita menang tanpa ada yang merasa kita kalahkan”. Dalam sebuah silaturahmi politik yang dilakukan, di lapangan Karang Anyar, Nagan Raya, yang dihadiri oleh 10.000 massa, Abucek menyampaikan sebuah pidato politik tentang bagaimana konsep kepemimpinan dalam politik Islam dan eksistensi politik Islam dalam konteks global : “kepemimpinan bukanlah sesuatu yang harus di sombongkan, apa lagi dipertahankan dengan hawa nafsu, tetapi merupakan amanah yang dijalankan dengan sungguh-sungguh untuk membimbing umat ke jalan Allah. Kami maju untuk mengabdi dan melayani rakyat. Pemimpin adalah khadimul ummah, pelayan rakyat dan uswah hasanah, harus menjadi suri teladan rakyat, baik dari akhlak, sikap dan perbuatan. Kami mengusung visi “mewujudkan masyarakat Nagan Raya yang religius, sejahtera dan maju melalui pemerintahan yang bersih dan melayani”. Nagan Raya adalah kabupaten yang kaya akan sumberdaya alam yang harus dikelola dengan benar untuk kesejahteraan, kemakmuran dan menciptakan sumberdaya manusia yang hebat, kuat serta berdaya saing global. Pemimpin itu hakikatnya tidak punya apa-apa, karena semua adalah ke-
JSI
punyaan rakyat, milik rakyat, pemimpin hanya diberi kepercayaan menjaga dan mengelola milik rakyat. kami tidak ada apa-apanya jika tanpa rakyat, karena itu, jiwa dan raga kami persembahkan untuk memikul dan mengemban amanah rakyat Nagan Raya ini”. 12 Secara garis besar, kehadiran dua kandidat ini dapat menggambarkan gerakan politik Islam -yang memang bukan barang baru di Aceh- sebagai gerakan politik yang berpijak pada spirit pembebasan dari belenggu kontrol kuasa kesejahteraan elitis kepada distribusi kesejahteraan yang membumi. Juga berangkat dari pemaknaan kepemimpinan yang harus menjadi teladan dan pelayan, dua model ini mirip-mirip mustahil untuk kita lihat di Aceh dalam 10 tahun terakhir. Kesederhanaan pemimpin di tengah keserba kekurangan rakyat, kepemimpinan yang bisa menjadi milik semua, kepemimpinan yang merangkul dan menyatukan adalah barang langka di tengah segala kemajuan kita dalam hidup penuh kamuflase dan sangat artifisial ini. Dalam konfigurasi ini, kita harus pandaipandai melihat dengan mendalam bahwa saat ini ada sebuah kesimpulan bahwa kepemimpinan masa depan adalah kepemimpinan komunikatif, bukan kepemimpinan kharismatik. Namun dalam konteks pilkada Aceh 2017, dengan kehadiran ulama dalam politik Aceh, maka kepemimpinan masa depan Aceh adalah kepemimpinan kharismatik dan komunikatif. Kharismatik disini, tidak lah terbaca sebagai sebuah teori kharisma, yang membuat orang segan dan berjarak. Tetapi kharismatik dalam makna spiritualitas politik modern bahwa pada diri seorang pemimpin terkumpul segala keteladanan, sikap, perilaku, pemikiran, ketidak berjarakan, merakyat, intinya kepemimpian sebagai kebalikan dari semua stigma negatif kepemimpinan selama ini. Bagaimana tidak kharismatik seorang Nelson Mandela misalnya dan bagaimana kharismatiknya seorang Ahmadinejad dengan segala kesederhanannya. 12
Serambi Indonesia, 19 September 2016.
www.jsithopi.org
13
JSI
14
ANALISIS SITUASI • edisi 14
Kebangkita gerakan politik Islam (tentu bukan dengan pemaksaan representasi) dalam pilkada 2017 ini akan menjadi sebuah tonggak baru model praktek demokrasi di Aceh. Ketika kemenangan gerakan politik Islam ini di raih, maka ruang spirit Islam (lebih dari isu syariat Islam) tidak lagi sebagai ruang teritori isu, tetapi sudah memasuki arena produksi pengetahuan dan kebijakan ruang publik, walaupun selama ini produksi kebijakan adalah berbasis agama, syariat Islam (regulation based on religion), tetapi ruang rasionalitasnya adalah dari spirit kepemimpian yang selama ini dianggap mengecewakan dan akan segera berganti dengan rasionalitas dari spirit kepemimpinan yang membahagiakan dan mensejahterakan, yaitu kepemimpinan ulama. Gejala gerakan politik Islam dengan representasi ulama ini tidak hanya akan terjadi di 2017, tetapi akan terus berulang dalam pilkada 2022 kedepan. Meskipun yang maju nanti bukanlah hanya ulama an sich, bisa saja bukan dari kalangan ulama, namun spirit gerakannya adalah spirit gerakan politik Islam.Arena selalu menyediakan ruang terbuka untuk berkompetisi merebut kontrol ruang publik. Tentu akan di isi oleh siapapun, tetapi dalam lima tahun terakhir, diskursus politik Islam telah mendapat tempat yang subur, terutama sekali di tingkat kabupaten yang punya basis-basis dayah yang punya jumlah massa yang besar dan ideologis, bukan barisan pragmatis yang mudah hanyut, apalagi jika kandidat yang maju berasal dari dayah dan berbasis di dayah. Maka bersiap-siaplah menyambut kepemimpinan berbasis spirit gerakan politik Islam dalam skema kekuasaan Aceh. Analisa yang sangat sederhana ini, hanya ingin menyajikan sebuah fakta di hadapan kita yang tidak hanya www.jsithopi.org
kasat mata tetapi sudah memasuki ruang mental dan spiritual rakyat, sudah meresap kedalam aliran darah dan telah menjadi nafas baru. Ulasan ini adalah juga sudut pandang dalam melihat segala dinamika Aceh, terutama pilkada 2017, bahwa Aceh harus dilihat dalam banyak sekali sudut pandang, dengan tujuan untuk terus memperkaya kita, mendewasan kita pada penglihatan dan analisa bahwa kontestasi kepemimpinan bukan hanya milik partai politik nasional dan partai politik lokal, dan para politisi an sich tetapi juga milik siapa saja, termasuk para ulama panutan ummat dan harapan cahaya bagi umat. Bagi partai politik, jika tidak ingin terus tergerus, pandai-pandailah membaca tanda-tanda alam yang berjalan sedemikian cepat. Eksistensi anda tidak lagi hanya dapat mengandalkan isu syariat semata, karena sekrang sudah mulai memasuki era kebangkitan gerakan politik Islam, dimana gerakan ini akan memuncak di pilkda Aceh 2022 nanti, gerakan politik islam akan memakai baju sendiri, kendaraan sendiri, panggung sendiri untuk terus bereksistensi dengan memegang lansung kekuasaan yang lebih ingin bermoral, mendistribusikan kesejahteraan secara adil dan merata dan menciptakan kebahagiaan, ini adalah pertaruhan penting, karena jika gerakan politik Islam mendapatkan tempat dalam panggung politik, namun tidak bisa di wujdukan, maka akan mendeligitimasi spirit gerakan politik Islam di ruang publik politik. Semoga semua dan segala kebaikan untuk kita semua tercipta di Aceh. Demokrasi dan gerakan politik Islam bertemu di satu arasy yaitu kesejahteraan yang adil dan bermartabat.
ANALISIS SITUASI • edisi 14
JSI
PENUTUP Sebagai agama mayoritas di Aceh, maka umat Islam Aceh sebenarnya tidak terlalu sulit untuk merealisasikian kepentingannya dalam politik pilkada melalui regulasi dan kebijakan-kebijakan lainnya. Namun,tetap ada kekecewaan dari mayoritas Islam ketika politik ternyata hanya melahirkan kelas baru yang tingkat kesejahteraannya melahirkan kesenjangan yang cukup berjarak dengan mayoritas rakyat yang telah berjasa mengantarkan keterpilihan pemimpin. Dalam penerawangan lain, juga terfaktualkan ketidak sungguhan mempraktekkan pola kepemimpinan Islami dalam pemerintahan. Karena ukurannya bukanlah seberapa banyak hukuman cambuk di lakukan, berapa banyak penggerebekan di lakukan, tetapi seberapa besar daya kuasa kekuaasaan dipakai, di arahkan dan di wujdukan bagi kesejahteraan rakyat. Kerinduan pada model kepemimpinan yang setiap geraknya, setiap pikirannya dan setiap visinya adalah kesejahteraan rakyat kini telah di titipkan pada gerakan politik Islam. Di sini, makna demokrasi di baca bukanlah pertentangan, tetapi pembebasan rakyat dari janji-janji politik temporal kepada keabadian tanpa janji, yaitu keabadian kewajiban menunaikan amanah yang di titipkan melalui doa dan air mata dari runtuhnya bangunan kepemimpinan yang mengecewakan dan pengaharapan akan bangunan baru yang kokoh, bersih dan tidak koruptif, demarkasi batas antara pengelolaan kepentingan terbatas dengan reduksi kepentingan bagi kemaslahatan bersama. Bagian terpenting dari semua perjalanan yang kita tempuh, terutama melalui kontestasi politik adalah bagaimana kita membangun sebuah peradaban yang abadi bagi masa depan. Abadi dalam narasi-narasi kebaikan, pencerahan dan pembebasan. Pelajaran terpenting dari semua perjalanan kebuadayaan yang telah kita tempuh selama ini adalah bagaimana memanusiakan manusia, bagaimana memperlakukan manusia secara bermartabat, ini adalah tantangan intelektualitas kita, tantangan kepemimpinan dan tantangan pengelolaan pelayanan publik yang memperlakukan dan menempatkan manusia secara setara, sebagai konsekuensi kodrati dari karunia dan ciptaaan Tuhan yang padanya melekat semua potensi kebaikan yang harus di realisasikan. Pilkada 2017, pasti memberikan kita pelajaran penting tentang makna mengganti kekecewan dengan kesenangan, kemenangan dan kebahagiaan.
***
www.jsithopi.org
15
JSI
16
ANALISIS SITUASI • edisi 14
Bibliography Berebut kontrol atas kesejahteraan, kasus-kasus politisasi demokrasi di tingkat lokal.¸ (Yogyakarta : PolGov UGM : 2015), Isaiah Berlin, empat Esai Kebebasan, Jakarta : LP3ES, 2004 Gunawan Muhamad, Dkk, Demokrasi dan kekecewaan, Jakarta : PUSAD Paramadina, cet. I, 2009. Tania Murray Li “The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia”, Penerbit: Marjin Kiri, 2012. Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, Jakarta : Mizan, 2002. Berita www.klikkabar.com Serambi Indonesia Tempo
www.jsithopi.org