Sudaryatno Sudirham
Analisis Rangkaian Listrik Jilid 1
ii
BAB 13 Teorema dan Metoda Analisis di Kawasan Fasor Setelah mempelajari bab ini, kita akan • memahami aplikasi teorema rangkaian dan metoda analisis rangkaian di kawasan fasor. • mampu melakukan analisis rangkaian di kawasan fasor. • memahami bahwa pada rangkaian dengan induktor dan kapasitor terdapat suatu nilai frekuensi yang akan menyebabkan terjadinya resonansi. • mampu mencari frekuensi resonansi, menentukan faktor kualitas, menentukan lebar pita resonansi. 13.1. Teorema Rangkaian di Kawasan Fasor 13.1.1. Prinsip Proporsionalitas Prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa fasor keluaran sebanding dengan fasor masukan, yang secara matematis dapat dinyatakan dengan
Y = KX
(13.1)
Y adalah fasor keluaran, X adalah fasor masukan, dan K adalah konstanta proporsionalitas. Dalam kawasan fasor, K pada umumnya merupakan bilangan kompleks. Lihat misalnya penyelesaian b) dari contoh 13.7. 13.1.2. Prinsip Superposisi Kita harus berhati-hati dalam menerapkan prinsip superposisi di kawasan fasor. Fasor merupakan representasi sinyal sinus dengan frekuensi tertentu. Oleh karena itu prinsip superposisi hanya berlaku jika seluruh sistem yang kita tinjau mempunyai frekuensi sama. Jika memang demikian halnya, maka tanggapan rangkaian yang mengandung beberapa masukan dapat kita cari dengan memandang masing-masing masukan secara terpisah. Tanggapan keseluruhan adalah jumlah dari tanggapan terhadap masing-masing masukan. Jika masukan-masukan mempunyai frekuensi yang berbeda, kita tidak dapat serta-merta menerapkan prinsip superposisi. Kita ingat 1
bahwa impedansi tergantung dari frekuensi; oleh karena itu walaupun nilai-nilai elemen sama, nilai impedansi akan berbeda jika frekuensi berbeda. Jadi jika kita ingin mencari tanggapan rangkaian terhadap masing-masing masukan, kita harus mencari nilai impedansi rangkaian untuk masing-masing masukan. Tanggapan rangkaian dalam bentuk fasor dari masing-masing masukan tidak dapat langsung dijumlahkan melainkan harus kita transformasikan dulu ke kawasan t , dan barulah hasil di kawasan t untuk masingmasing masukan ini dijumlahkan untuk memperoleh tanggapan keseluruhan. Secara singkat dikatakan, prinsip superposisi berlaku di kawasan waktu untuk setiap rangkaian linier, tetapi berlaku di kawasan fasor hanya apabila masukan-masukan mempunyai frekuensi sama. Agar lebih jelas kita akan melihat tiga kasus berikut. Kasus-1: Sebuah rangkaian mengandung dua sumber yang mempunyai frekuensi sama. Rangkaian ini kita pecah menjadi dua rangkaian, masing-masing mengandung satu sumber. Masing-masing rangkaian kita transformasikan menjadi rangkaian fasor dan kemudian kita melakukan analisis di kawasan fasor. Hasil yang kita peroleh dari dua kali analisis tersebut tentulah merupakan besaran-besaran fasor. Kedua hasil itu dapat langsung kita jumlahkan untuk memperoleh hasil total, tanpa mentranformasikan lebih dulu ke kawasan t. Mengapa? Karena seluruh sistem mempunyai frekuensi sama. Jadi apabila seluruh sistem berfrekuensi sama prinsip superposisi dapat diterapkan dalam analisis fasor. Kasus-2: Sebuah rangkaian mengandung dua sumber yang frekuensinya tidak sama. Kita memisahkan lebih dulu rangkaian tersebut menjadi dua rangkaian yang masing-masing mengandung hanya satu sumber. Setelah dipisahkan, masingmasing rangkaian ditransformasikan menjadi rangkaian fasor kemudian dilakukan analisis di kawasan fasor. Hal ini dapat dilakukan karena masing-masing rangkaian mempunyai frekuensi sendiri yang sama di seluruh rangkaian. Hasil analisis dari kedua rangkaian ini tentulah berbentuk fasor akan tetapi mereka tidak dapat langsung dijumlahkan karena frekuensinya berbeda. Oleh karena itu masing-masing hasil kita transformasikan kembali ke kawasan t, dan hasil transformasi inilah yang dapat kita jumlahkan untuk memperoleh hasil total. Jadi prinsip superposisi berlaku di kawasan fasor hanya apabila masukan-masukan mempunyai frekuensi sama. 2
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (1)
Kasus-3: Sebuah rangkaian mengandung tiga sumber, dua diantaranya mempunyai frekuensi sama dan sumber yang ke-tiga frekuensinya berbeda. Jika rangkaian ini kita pecah menjadi tiga rangkaian yang masing-masing mengandung hanya satu sumber untuk dianalisis di kawasasn fasor, maka hasil fasor untuk dua sumber yang frekuensinya sama dapat kita jumlahkan langsung dalam bentuk fasor. Akan tetapi kita tidak dapat menjumlahkannya dengan hasil analisis rangkaian ke-tiga yang frekuensinya berbeda. Oleh karena itu hasil yang diperoleh harus ditransformasi ke kawasan t lebih dulu sebelum penjumlahan dilakukan. 13.1.3. Rangkaian Ekivalen Thévenin dan )orton Konsep umum mengenai teorema Thévenin dan Norton di bidang fasor, sama dengan apa yang kita pelajari untuk rangkaian di kawasan waktu. Perbedaan yang perlu kita perhatikan adalah bahwa sinyal-sinyal dinyatakan dalam fasor dengan impedansi dan admitansi yang berupa bilangan kompleks. Tegangan ekivalen Thévenin adalah tegangan hubungan terbuka pada terminal beban. Arus ekivalen Norton adalah arus hubung singkat pada terminal beban. Semua peubah ini dinyatakan dalam fasor. Relasi peubah ini dengan impedansi ekivalen Thévenin, ZT , dan admitansi ekivalen Norton, Y , adalah seperti berikut. 1 VT = Z T I ; I = Y VT ; Y = (13.2) ZT Hubungan (13.2) memberikan ketentuan untuk transformasi sumber di kawasan fasor. Seperti yang telah kita lihat pada rangkaian di kawasan waktu, transformasi sumber dapat menyederhanakan perhitungan-perhitungan dalam analisis rangkaian. CO)TOH-13.1: Dari rangkaian di samping ini, carilah rangkaian ekivalen Thévenin yang dilihat oleh induktor L. A
L
B 10Ω
0,1∠−90o A
100Ω
−j100Ω
+ −
20∠45o V
3
Penyelesaian: Jika induktor dilepaskan maka untuk simpul A dan B berlaku
V A = 100 × 0,1∠ − 90 o = 10∠ − 90 o V VB =
− j100 × 20∠45 o = 0,995∠ − 5,7 × 20∠45 o 10 − j100
= 19,9∠39,3 o V Tegangan Thévenin :
VT = V A − VB = 10∠ − 90 o − 19,9∠39.3 o
= − j10 − (15,4 + j12,6) = −15,6 − j 22,6 V
Impedansi Thévenin ZTh , dihitung dengan melihat impedansi dari terminal AB dengan semua sumber dimatikan.
ZT = 100 +
10 × ( − j100) = 109,9 − j 0,99 Ω 10 − j100
13.2. Metoda-Metoda Analisis Dasar Metoda-metoda analisis yang telah kita pelajari untuk rangkaian di kawasan waktu, dapat kita terapkan untuk rangkaian di kawasan fasor dengan mengingat bahwa peubah sinyal dinyatakan dalam fasor dan elemen-elemen dinyatakan dalam impedansi atau admitansinya yang pada umumya berupa bilangan kompleks. 13.2.1. Metoda Keluaran Satu Satuan Metoda ini dapat kita aplikasikan pada rangkaian berbentuk tangga, seperti contoh berikut. 1
CO)TOH-13.2: Carilah ix pada rangkaian di samping ini. Penyelesaian:
12Ω 18
A 14cos2t
+ −
9Ω
F
B
1 F 6
+ vx − 3Ω
C
ix
3 H 2
D Untuk bekerja di kawasan fasor, rangkaian ini kita transformasikan sehingga berbentuk rangkaian impedansi seperti terlihat pada gambar berikut. Dari sinilah kita mulai bekerja.
4
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (1)
12Ω −j9Ω B −j3Ω
A
C
+
14∠0
9Ω
−
Ix j3Ω
3Ω D
Misalkan Ix = 1∠0o A.
VC = j1 A; 3 I 3 = I x + I 4 = (1 + j1) A; v VB = VC + (− j 3)I 3 = j 3 − j 3(1 + j1) = 3 V VC = j 3 V; I 4 =
I2 =
VB 1 4 = A ⇒ I1 = I 2 + I 3 = + j1 A 9 3 3
4 VA = VB + + j1(12 − j 9) = 28 V 3 v I 1 1 14∠0 o K= x = → Ix = VA = = 0,5∠0 o 28 28 VA 28
→ i x = 0,5 cos 2t 13.2.2. Metoda Superposisi Metoda superposisi sangat bermanfaat untuk menganalisis rangkaian yang mengandung lebih dari dua masukan, terutama jika kita ingin mengetahui bagaimana kontribusi dari masing-masing masukan terhadap tanggapan keseluruhan. Sebagaimana telah disebutkan di sub-bab sebelumnya, kita harus berhati-hati dalam menerapkan metoda superposisi di kawasan fasor. Prinsip superposisi dapat diterapkan langsung di kawasan fasor hanya jika masukan-masukan mempunyai frekuensi sama. Jika tidak, kontribusi dari masingmasing masukan harus kita transformasikan ke kawasan waktu lebih dahulu, baru kemudian dapat kita jumlahkan.
5
CO)TOH-13.3: Carilah io pada rangkaian berikut ini. 9Ω 20cos4t V + _
3H io
1 F 24
3cos2t A
Penyelesaian: Rangkaian ini mengandung dua sumber tegangan dan sumber arus yang mempunyai frekuensi berbeda. Oleh karena itu transformasi rangkaian ke kawasan fasor untuk masing-masing sumber juga berbeda, seperti terlihat pada gambar berikut. 9Ω j12Ω + _ 20∠0o − j6Ω
I o1
9Ω
j6Ω
− j12Ω
I o2
3∠0o
Dari masing-masing rangkaian fasor ini, kita mencari tanggapan rangkaian di kawasan fasor kemudian ditransformasikan ke kawasan t. Hasil di kawasan t inilah yang dapat dijumlahkan. Jika sumber arus dimatikan, kita mempunyai rangkaian di kawasan fasor seperti pada gambar sebelah kiri, dengan frekuensi ω = 4. Untuk rangkaian ini, aplikasi HTK memberikan
20∠0 o 20∠0 o 20∠0 o = 2∠ − 36,9 o A = = 8 + j12 − j 6 8 + j 6 10∠36,9 o Jika sumber tegangan dimatikan, kita mempunyai rangkaian seperti pada gambar sebelah kanan, dengan frekuensi ω = 2. Kaidah pembagi arus memberikan : I o1 =
Io2 =
=
1 /(− j12) 1 1 + − j12 8 + j 6 10∠36,9o 10∠ − 36,9o
− j12(8 + j 6) 8 + j6 − j12 × 3∠0o = = × 3∠0o 8 + j 6 − j12 8 − j6
× 3∠0o = 3∠73,8o A
I o1 dan I o 2 tidak dapat dijumlahkan karena fasor ini diperoleh dari sumber dengan frekuensinya yang tidak sama.
6
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (1)
Oleh karena itu kita harus mengembalikannya ke kawasan waktu sebelum dijumlahkan. Dengan cara itu kita peroleh i o1 = 2 cos(4t − 36,9 o ) A sehingga
dan
i o2 = 3 cos(2t + 73,8 o ) A
i o = i o1 + i o2 = 2 cos(4t − 36,9 o ) + 3 cos(2t + 73,8 o ) A
13.2.3. Metoda Rangkaian Ekivalen Thévenin Contoh berikut ini menunjukkan bagaimana metoda rangkaian ekivalen Thévenin kita gunakan di kawasan fasor. CO)TOH-13.4: Carilah i pada rangkaian berikut ini.
A i + −
Penyelesaian :
6Ω
2H
18cos2t V
2Ω 1H 2Ω 1 F
8 Rangkaian ini setelah B ditransformasi ke kawasan fasor menjadi seperti berikut. Fasor tegangan terminal A AB yang terbuka memberikan tegangan 6Ω j4Ω 2Ω j2Ω + Thévenin. Sesuai kaidah − 18∠0o V 2Ω pembagi tegangan, −j4Ω tegangan terminal AB B yang terbuka memberikan 2 9 VT = Vht = V × 18∠0 o = 2 + 6 + j4 2 + j1
sedangkan impedansi Thévenin adalah (yang terlihat dari terminal AB yang terbuka) adalah
ZT = 2 +
2(6 + j 4 ) 16 + j8 + 12 + j8 7 + j 4 = = Ω 2 + 6 + j4 8 + j4 2 + j1
Rangkaian ekivalen Thévenin serta beban di terminal AB setelah disambungkan lagi adalah seperti di samping ini:
I
A + −
ZT
j2Ω
VT −j4Ω B
7
Dari rangkaian ini kita hitung: VT (2 + j1) 9 = × I= Z T + + j 2 − j 4 (2 + j1) (7 + j 4) − j 2(2 + j1)
= 1∠0 o A ⇒ i = 1 cos 2t A 13.2.4. Metoda Reduksi Rangkaian Contoh persoalan berikut ini memperlihatkan penggunaan metoda reduksi rangkaian. CO)TOH-13.5: Carilah ix pada rangkaian berikut: A
B
− +
ix
v= 10sin100t V i1 = 0.1cos100t A
200µF
50Ω 1H
Penyelesaian : Rangkaian ini mengandung sumber tegangan dan sumber arus yang berfrekuensi sama, yaitu ω = 100. Akan tetapi sumber tegangannya dinyatakan dalam sinus sedangkan sumber arusnya dalam cosinus. Kita perlu mengubahnya dalam bentuk standar, yaitu bentuk cosinus, dengan kesamaan sinx = cos(90−x) =cos(x−90) Transformasi I1 = rangkaian ke o 0.1∠0 A kawasan fasor menjadi seperti pada gambar di samping ini.
A
− +
Ix
B
V= 10∠−90oV −j50Ω
50Ω j100Ω
Untuk menghitung I x kita dapat menggunakan metoda superposisi; akan tetapi di sini kita akan menggunakan transformasi sumber. Dalam rangkaian ini sumber tegangan tersambung seri dengan resistor 50 Ω yang diparalel dengan induktor j100 Ω. Sumber ini dapat kita ganti dengan sumber arus ekivalen I2, yang besarnya adalah 8
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (1)
1 (50 + j100) = −0,1 − j 0,2 A 1 I 2 = V + = (− j10) j 5000 j100 50 Iy sehingga rangkaian A akan menjadi seperti 50Ω di samping I2 I = 1 ini.Perhatikan bahwa o −j50Ω j100Ω dengan transformasi 0.1∠0 A sumber ini kita menghilangkan simpul B. Arus I y yang sekarang mengalir
melalui resistor 50Ω, bukanlah arus I x yang kita cari; sebab jika I y dikalikan 50Ω, kita mendapatkan tegangan simpul A, dan bukan tegangan simpul B tempat I x keluar.
Iy 50Ω I = I1 −I2
−j50Ω
j100Ω Sumber I1 dan I 2 terhubung paralel, sehingga dapat digantikan oleh satu sumber arus saja yaitu I , seperti terlihat pada gambar berikut, dengan
I = I1 − I 2 = 0,1 − (− 0,1 − j 0,2) = 0,2 + j 0,2 A Untuk menghitung arus Iy kita memanfaatkan kaidah pembagi arus. 1 (0,2 + j 0,2) 0,2 + j 0,2 50 = Iy = A 1 1 1 1 + j 0,5 + + 50 j100 − j 50 10 + j10 → VA = 50 × I y = V 1 + j 0.5
VB = VA + V = Ix =
10 + j10 15 − j10 = = 13,4∠ − 26,6 o V 1 + j 0,5 1 + j 0,5
VB = 0,27∠ − 26,6 A → i x = 0,27 cos(100t − 26,6) A. 50
9
13.3. Metoda-Metoda Analisis Umum 13.3.1. Metoda Tegangan Simpul. Aplikasi metoda ini, kita lihat pada contoh berikut ini. CO)TOH-13.6: Gunakan metoda tegangan simpul untuk I1 = menyelesaikan 0,1∠0o A persoalan pada contoh13.5.
A
− +
Ix
B
V= 10∠−90oV −j50Ω
50Ω j100Ω
Penyelesaian : Untuk menyelesaikan persoalan ini rangkaian fasor dari contoh-13.5 digambar lagi seperti berikut: Simpul referensi kita tentukan seperti terlihat pada gambar tersebut. Simpul A, B, dan sumber tegangan menjadi simpulsuper karena A dan B keduanya bukan simpul referensi. Persamaan tegangan simpul dapat kita peroleh dengan cara yang sama seperti untuk rangkaian di kawasan waktu, akan tetapi di sini kita bekerja di kawasan fasor dengan impedansiimpedansi. V V V A : − I1 + A + B + B = 0 − j 50 j100 50
B : VA − VB = − V = 10∠90 o = j10 Untuk persamaan yang sederhana ini tentu dapat kita selesaikan dengan metoda substitusi biasa. Namun di sini kita akan menuliskannya dalam bentuk matriks, dengan memasukkan nilai I1 dan V. 1 1 1 o − j 50 j100 + 50 VA = 0,1∠0 VB 10∠90 o −1 1 Untuk menyederhanakan bilangan, baris pertama dari matriks ini kita kalikan 100, dan menuliskan fasor dalam bentuk sudutsiku.
10
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (1)
j 2 2 − j1 VA 10 = 1 − 1 VB j10 j 2 2 − j1 VA 10 → eliminasi Gauss : = 0 − 2 − j1 VB − 30 Dari sini kita peroleh
VB =
−30(−2 + j1) −30 = = 12 − j 6 = 13,4∠ − 26,6 o V − 2 − j1 5
VA = j10 + VB = j10 + 12 − j 6 = 12 + j 4 = 12,6∠18,4 o V 13.3.2. Metoda Arus Mesh Penggunaan metoda ini di kawasan fasor juga akan kita lihat melalui sebuah contoh. CO)TOH-13.7: Tentukanlah arus di semua cabang rangkaian pada persoalan contoh 13.6. dengan menggunakan metoda arus mesh. V=10∠−90oV A B − + I= 0,1∠0o A
I1
I2 −j50Ω
I3 j100Ω
50Ω
Penyelesaian : Rangkaian adalah seperti berikut Persamaan fasor arus mesh dalam bentuk matriks adalah
0 0 1 I1 0.1 j 50 − j 50 + j100 − j100 I = − j10 atau 2 0 − j100 50 + j100 I 3 0 0 0 I1 0.1 1 j 5 j 5 − j10 I = − j1 2 0 − j 2 1 + j 2 I 3 0 11
Eliminasi Gauss memberikan
1 0 0
I1 0.1 j 5 − j10 I 2 = − j1.5 0 5 − j10 I 3 − j 3 0
0
Dari sini kita dapatkan
I1 = 0,1∠0 0 A ; I 3 =
I2 = =
− j3 3∠ − 90 o = = 0,27∠ − 26,6 o A 5 − j10 5 5∠ − 63,4
− j1,5 + j10I 3 − j3 − 1,5 − j 3 = −0,3 + 2 = j5 5 − j10 5 − j10 3,35∠ − 116,6 o 5 5∠ − 63,4
o
= 0,3∠ − 53,2 o A
13.4. Rangkaian Resonansi 13.4.1. Resonansi Seri Impedansi dari rangkaian seri RLC adalah:
1 1 = R + j ωL − (13.3) jωC ωC Reaktansi dari impedansi ini mengandung bagian induktif (XL =jωL) maupun kapasitif (XC = 1/jωC), yang keduanya merupakan fungsi dari frekuensi . Bagian induktif berbanding lurus dengan frekuensi sementara bagian kapasitifnya berbanding terbalik. Pada suatu nilai frekuensi tertentu, nilai reaktansi total menjadi nol, yaitu pada saat Z RLC seri = R + jωL +
1 ωL − =0 ωC
atau
ω = ω0 =
1 LC
(13.4)
Pada saat itulah dikatakan bahwa rangkaian beresonansi, dan ω0 disebut frekuensi resonansi. Pada waktu terjadi resonansi, jelas bahwa impedansi rangkaian ini hanyalah R; reaktansi induktif sama dengan reaktansi kapasitif sehingga saling meniadakan. Dalam keadaan beresonansi, arus yang mengalir dalam rangkaian hanya ditentukan oleh R; jika tegangan sumber adalah Vs maka
12
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (1)
I = Vs / R . Diagran fasor tegangan dan arus terlihat seperti Gb.13.3..
Im
V L = jω 0 L I = jQ V s
Beberapa parameter digunakan untuk menyatapkan resonansi secara lebih detil. Salah satunya adalah faktor kualitas, Q , yang didefinisikan sebagai perbandingan antara reaktansi induktif pada saat resonansi dengan resistansinya. Karena pada saat resonansi |XL | = |XC | , maka
Q=
ω0 L 1 = = R ω 0 RC
I
V R = Vs
Re
VC = − j (1 / ω 0 ) L I = − jQ V s Gb.13.3. Diagram fasor pada saat resonansi.
L/C R
(13.5)
Jelaslah bahwa, walaupun definisi Q menyebut “pada saat resonansi”, Q semata-mata tergantung dari parameter rangkaian. Faktor kualitas berbanding terbalik dengan rasio redaman Q = 1/2ζ. Parameter lain adalah lebar pita resonansi yang didefinisikan sebagai selang frekuensi dimana impedansi tidak berbeda jauh dari nilai impedansi pada saat resonansi. Selang ini biasanya diambil selang frekuensi yang memberikan nilai Z = R − jR dan Z = R + jR . Jika batas frekuensi rendah dan tingginyanya adalah ω1 dan ω2 , maka 1 1 = R atau = − R dan ω 2 L − ω1 L − ω 2 C ω1C
ω12 LC + ω1 RC − 1 = 0 dan ω 22 LC − ω 2 RC − 1 = 0 Karena LC = 1/ω02 dan RC = 1/ω0Q , maka persamaan di atas menjadi ω1 ω0
2
1 ω + 1 Q ω0
ω − 1 = 0 dan 1 ω0
2
1 ω − 1 Q ω0
− 1 = 0
(13.6)
Masing-masing persamaan pada (13.6) mempunyai dua akar. Namun hanya akar yang mempunyai arti fisis yang kita pakai, yaitu yang bernilai positif. Dengan pengertian itu maka
13
1 ω1 = ω 0 − + 2Q 1 ω2 = ω0 + 2Q Lebar pita resonansi adalah
2 1 + 1 dan 2 Q
(13.7)
2 1 + 1 2Q
BW res = ω 2 − ω1 =
ω0 Q
(13.8)
ω1 dan ω2 disebut frekuensi cut-off untuk resonansi. Perubahan reaktansi dan impedansi terhadap frekuensi serta parameterparameter resonansi dijelas-kan pada Gb.13.4. |Z(ω)|
X(ω)
|Z|
XL = ω L +R
XL + XC
0 −R
→ω ω1 ω0
ω2
R 2 R
XL
0
→ω ω1 ω0
ω2
XC
XC = −1/ωC Gb.13.4. XL , XC, |Z|, ω resonansi, ω cut-off. 13.4.2. Resonansi Paralel Admitansi rangkaian paralel RLC adalah 1 1 1 1 Y RLC paralel = + + jωC = + j ωC − (13.9) R jωL R ω L Bagian riil dari admitansi disebut konduktansi dan bagian imajinernya kita sebut suseptansi. Suseptansi dari rangkaian paralel RLC merupakan fungsi dari frekuensi. Seperti halnya reaktansi pada rangkaian seri RLC, ada satu nilai frekuensi yang membuat suseptansi pada (13.38) menjadi nol, yang kita sebut frekuaensi resonansi, ω0.
14
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (1)
1 1 ωC − = 0 → ω = ω0 = (13.10) L ω LC Persamaan (13.10) ini sama dengan (13.4). Jadi frekuensi resonansi rangkaian paralel RLC sama dengan rangkaian serinya. Sesungguhnya admitansi rangkaian paralel dapat kita peroleh dari impedansi ragkaian seri dengan penggantian : R↔G ; L↔C ; C ↔ L Faktor kualitas :
Q=
ω0 C 1 = = G ω 0 GL
R (13.11)
L/C
Frekuensi cutoff:
1 ω1 = ω 0 − + 2Q 1 ω2 = ω0 + 2Q
2 1 + 1 dan 2 Q
Lebar pita resonansi adalah: BW res = ω 2 − ω1 = Frekuensi tengah :
(13.12)
2 1 + 1 2Q
ω 0 = ω1 ω 2
ω0 Q
(13.13) (13.14)
Jika arus total dinyatakan dalam fasor Is , maka pada saat resonansi masing-masing adalah :
I L = − jQ I s
I C = jQ I s
(13.15)
15
Soal-Soal 1. Hitunglah tegangan keluaran vo pada rangkaian-rangkaian berikut ini.
a).
0,5kΩ + 10cos1000t − V
0,25H 0.6kΩ 0,6kΩ 2µF
+ vo −
2cos2000t A
2µF 0,3kΩ 0,2kΩ
+ vo −
200Ω −j50Ω −j100Ω
+ Vo −
b). 100Ω + − 100∠0oV c). + −
j15Ω + Vo 100∠0oV −
+ −
j15Ω + 30Ω + Vo 30Ω − j30Ω − 50∠0oV 100∠0oV −
d).
e).
f).
16
30Ω + 30Ω − 50∠0oV
j15Ω + 30Ω + 4∠0oA Vo 30Ω − j30Ω − − 50∠0oV
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (1)
2. Hitunglah tegangan pada resistor 60 Ω pada rangkaian a) dan tegangan pada resistor 100 Ω pada rangkaian b) berikut ini.
a)
3H 60Ω + − 50cos10t V 5µF 100Ω
b)
2cos1000t A
30Ω + 50cos20t − V + − 200sin2000t V
0,1H
3. Carilah rangkaian ekivalen Thévenin di terminal A-B untuk menentukan impedansi yang harus dipasang pada terminal ini agar terjadi transfer daya maksimum dari sumber ke beban’.
+ −
1mH 0,5µF 20cos106t V
A 1kΩ B
a). + −
A 100Ω 2cos104t A
100Ω 1µF 20cos104t V
B
b).
4. Rangkaian di bawah ini adalah rangkaian T. Carilah hubungan antara Vo dan Vin jika frekuensi operasi adalah 2400 Hz. + Vin −
40Ω 0,5µF
40Ω
+ Vo −
17
5. Tegangan di terminal masukan pada rangkaian berikut ini adalah vs = Asinωt V. Tegangan keluaran dapat dinyatakan sebagai vo = β sin(ωt + φ) V. Berapakah β dan φ jika ωRC = 1. + vs −
A
C R
C R
B
+ vo −
6. Tentukan nilai R pada rangkaian di bawah ini sehingga pada frekuensi 1kHz terjadi perbedaan fasa 180o antara vo dan vs. + 0,01µF 0,01µF 0,01µF + vo vs R R R − − 7. Tegangan di terminal masukan pada rangkaian berikut ini adalah vs = Asinωt V. Bagaimanakah bentuk tegangan keluaran vo ? Bagaimanakah jika ω = 0, ω → ∞, dan ω = 1/RC ? 2R + vs −
C
C R/2
+ vo −
Rangkaian Resonansi 8. Suatu rangkaian RLC seri dengan R = 10 Ω, L = 0,5 mH, dan C = 200 nF. Berapakah frekuensi resonansi rang-kaian ini ? Berapa faktor kualitasnya ? Berapa lebar pita resonansinya ? Berapakah nilai impedansi pada batas frekuensi (cutoff frequency) atas dan bawahnya ? Berapa nilai ke-dua batas frekuensi tersebut ? 9. Pada suatu rangkaian RLC seri L = 0,5 mH, dan C = 200 nF. Impedansi rangkaian ini pada batas frekuensi atasnya adalah Z = 20 + j20 Ω. Berapakah frekuensi resonansi rang-kaian ini ? Berapa faktor kualitasnya ? Berapa lebar pita resonansinya ? Berapa nilai ke-dua batas frekuensi tersebut ?
18
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (1)
10. Sebuah rangkaian resonansi seri RLC dirancang untuk beresonansi pada 50 Mrad/s, dengan lebar pita resonansi 8 Mrad/s. Impedansi pada waktu resonansi adalah 24 Ω. Tentukan faktor kualitasnya, nilai L dan C, batas frekuensi atas dan bawah. 11. Sebuah rangkaian resonansi paralel RLC beresonansi pada 100 krad/s dan lebar pita resonansinya 5 krad/s. Dalam keadaan resonansi, impedansinya bernilai 8 kΩ. Tentukan L, C, faktor kualitas, batas frekuensi atas dan bawah. 12. Sebuah kapasitor variabel diparalel dengan resistor 100 Ω. Rangkaian paralel ini kemudian diserikan dengan induktor 10 mH. Dengan frekuensi 5000 rad/s, pada nilai kapasitor berapakah impedansi rangkaian ini menjadi resistif ? Berapakah impedansi tersebut ? 13 Sebuah resistor 50 Ω dihubungkan seri dengan induktor 10 mH. Rangkaian seri ini diparalel dengan kapasitor 10 µF. Pada frekuensi berapakah impedansi totalnya menjadi resistif. Berapakah nilainya ? 14. Sebuah induktor 20 mH mempunyai resistansi internal 20 Ω. Berapakah nilai kapasitor yang harus diserikan dengan induktor tersebut agar terjadi resonansi pada frekuensi 10 krad/s ? Hitung faktor kualitas rangkaian ini.
19
20
Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (1)