ANALISIS PREFERENSI PANGAN MASYARAKAT DAN DAYA DUKUNG GIZI MENUJU PENCAPAIAN DIVERSIFIKASI PANGAN KABUPATEN BOGOR
IRA KUSUMA WIDYAWATI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRACT IRA KUSUMA WIDYAWATI. The Analysis of Community’s Food Preference and Nutritional Carrying Capacity in The Direction of Food Diversification Achievement in Bogor Regency. Under direction of YAYUK FARIDA BALIWATI. General objective of this study is to analyse Community’s Food Preference and nutritional carrying capacity in the direction of food diversification achievement in Bogor Regency. The spesific objectives are (1) to analyse individual characteristic sample i.e. last education, salary per capita, expenditure per capita, (2) to identify environment characteristic i.e. number of family, job, information from mass media, and production, (3) to identify food preference, (4) to analyse the correlation between food preference with individual and environment characteristic, (5) to analyse local food’s production and preference. Design of this study was cross sectional study with cluster analysis and simple random sampling. Number of sample is 106 for two region characteristics. Data were analized by Microsoft Excel and SPSS 16.0 for Window. Food preference of Bogor Regency community shows that almost sample like to 9 food groups in Desireable Dietary Pattern. The reason of this food preference is food factor (taste, nutrition content, food processing). Local food potential in order to reach food diversification consider to food preference and production. It also an alternative way to fulfill carbohidrat, animal and plant based protein, vitamin and mineral needs. Output of Chi square dan Spearman analysis show that almost food don’t have correlation (p>0.05) with individual and environmental characteristic. Potensial local food based on food preference and production as alternative food for food diversification i.e. corn, cassava, sweet potato, taro (carbohydrate sources): fish, mung bean, tempe, tofu (protein sources); and green leaf vegetables, cow peas, banana and guava (vitamins and minerals sources). Production data shows that corn, fish, mung bean, and soybean production need to be increased its production or import from the other region, especially in West Java. This analysis need to support food preference and by itself it will also support food diversification.
Keywords: Food Preference, Food Diversification, Local Food.
iii
RINGKASAN IRA KUSUMA WIDYAWATI. Analisis Preferensi Pangan Masyarakat dan Daya Dukung Gizi Menuju Pencapaian Diversifikasi Pangan Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh YAYUK FARIDA BALIWATI. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis Preferensi Pangan Masyarakat (PPM) dan daya dukung gizi menuju pencapaian diversifikasi pangan Kabupaten Bogor. Adapun tujuan khususnya adalah (1) Mengidentifikasi karakteristik individu contoh yaitu pendidikan terakhir, pendapatan per kapita, serta pengeluaran per kapita, (2) Mengidentifikasi karakteristik lingkungan contoh yaitu besar keluarga dan pekerjaan, serta informasi dari media massa, (3) Mengidentifikasi preferensi pangan contoh terhadap berbagai jenis pangan menurut kelompok pangan berdasarkan wilayah, (4) Menganalisis hubungan antara preferensi pangan contoh dengan karakteristik individu serta lingkungan, (5) Menganalisis kemampuan produksi dan preferensi pangan lokal. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Analisis Konsumsi Pangan (Preferensi Pangan Masyarakat) Provinsi Jawa Barat. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Kabupaten Bogor dipilih secara purposive dengan pertimbangan 1) memiliki jumlah wilayah desa dan kotatertinggi di Jawa Barat yaitu 428 desa/kota(BPS 2008); 2) proporsi desa dan kotacenderung mendekati karakteristik Jawa Barat; 3) jumlah penduduk terbesar kedua setelah Kabupaten Bandung yaitu 4.100.934 orang (Suseda 2005). Kecamatan Dramaga dipilih karena mewakili karakteristik desa dan desaperkotaan secara seimbang (BPS 2006). Pemilihan desa secara purposive dengan mempertimbangkan potensi wilayah dan mata pencaharian masyarakat serta penghitungan skor berdasarkan Statistik Kesejahteraan Rakyat (2005) sehingga terpilih Desa Purwasari yang mewakili desa serta Desa Babakan yang mewakili kota. Waktu penelitian meliputi tahap persiapan, pengumpulan data primer serta entri dan cleaning data dilaksanakan bulan November hingga Desember 2008. Pengolahan, analisis data serta penulisan laporan pada bulan Januari sampai Agustus 2009. Contoh penelitian diambil secara acak dengan kriteria ibu rumah tangga berusia 20-45 tahun. Contoh diambil secara acak dari 3 RT yang berasal dari 3 RW untuk masing-masing desa. Jumlah contoh sebanyak 120 orang dengan rincian 60 contoh untuk tiap karakteristik wilayah. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner untuk setiap rumah tangga contoh. Data primer ini meliputi karakteristik individu (pendidikan terakhir, pendapatan per kapita, serta pengeluaran per kapita), karakteristik lingkungan (pekerjaan, besar keluarga, informasi dari media massa). Reliabilitas kuesioner informasi dari media massa diuji dengan menggunakan uji Croncbach Alpha dengan hasil televisi (0.770), radio (0.848), media cetak (0.839), serta internet (0.726). Data sekunder yang digunakan meliputi Profil Desa Babakan dan Purwasari serta Kabupaten Bogor dalam Angka. Sebagian besar contoh di desa mengenyam pendidikan hingga SD/setara (45.3%), SMP/setara (26.4%), SMA/setara (3.2%), serta belum/tidak tamat SD (18.9%). Contoh di kota sebagian besar pendidikan terakhirnya SD/setara (58.5%), SMA/setara (11.3%), serta Diploma (9.5%). Sebagian besar contoh baik di desa (54.7%) dan di kota (45.3%) tergolong dalam kategori pendapatan sedang. Sebanyak 35.8% contoh di desa memiliki pendapatan yang rendah, dan hanya 9.4% dengan pendapatan tinggi. Contoh di kota dengan pendapatan
iv
rendah (13.2%), dan pendapatan tinggi (41.5%). Contoh di desa dengan pengeluaran per kapita rendah (67.9%), sedang (31.2%). Pengeluaran per kapita contoh di kota terdiri dari rendah (28.3%), sedang (56.6%), serta tinggi (15.1%). Besar keluarga contoh di desa meliputi keluarga kecil (58.5%), sedang (41.5%), sedangkan di kota terdiri dari keluarga kecil (64.2%), sedang (34.0%) dan keluarga besar (1.9%). Pekerjaan contoh di desa adalah perdagangan/jasa (28.3%), petani/buruh tani (1.9%), serta ibu rumah tangga (69.8%). Contoh di kota bekerja di perdagangan/jasa (30.2%), pegawai swasta (3.8%), PNS (1.9%), serta ibu rumah tangga (64.2%). Sebaran contoh yang tergolong cukup menerima informasi dari televisi di desa (45.3%), radio (9.4%), serta koran (9.4%). Contoh di kota mendapat cukup informasi dari dari televisi (69.8%), majalah (17.0%). radio dan tabloid (13.2%), serta koran (11.3%). Secara umum, internet belum digunakan oleh contoh. Preferensi pangan masyarakat dari 9 kelompok pangan berdasarkan PPH sebagian besar menyatakan suka terhadap pangan-pangan tersebut. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat beberapa pangan yang preferensinya berhubungan dengan tipe wilayah. Pangan yang memiliki hubungan dengan tipe wilayah adalah mie (p=0.007), singkong (p=0.036), ubi jalar (p=0.020), talas (p=0.08), minyak goreng (p=0.000), gorengan (p=0.011), coklat (p=0.032), tahu (0.022) dan tempe (p=0.037), buncis (p=0.027) dan mangga (p=0.016). Sembilan kelompok pangan ini kemudian dibagi menjadi pangan sumber karbohidrat, protein hewani dan nabati, serta sayur-sayuran dan buah-buahan. Berdasarkan hasil uji Spearman pangan yang memiliki hubungan dengan pendidikan terakhir contoh adalah talas (p<0.01;r=0.001), ikan pindang (p<0.01;r=0.002). Preferensi ikan pindang berhubungan signifikan negatif dengan pendapatan contoh (p<0.05;r=-0.245), serta berhubungan signifikan positif dengan besar keluarga (p<0.05;r=0.235). Preferensi pangan yang berhubungan dengan paparan media massa adalah jagung (p<0.01;r=-0.289) dan pindang (p<0.01;r=-0.221). Selain itu, hubungan preferensi pangan dengan pekerjaan diuji dengan menggunakan Chi Square. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan contoh dengan jagung (p=0.036), serta ikan pindang (p=0.001). Pangan lokal yang memiliki potensi berdasarkan preferensi serta produksi wilayah untuk menjadi pangan alternatif dalam upaya pencapaian diversifikasi pangan adalah jagung, singkong, ubi jalar, talas sebagai sumber karbohidrat, ikan, kacang hijau, tempe, tahu sebagai sumber protein, serta sayur daun hijau, kacang panjang untuk sayur-sayuran, buah pisang serta jambu biji. Khusus untuk jagung, ikan, kacang hijau, serta kacang kedelai perlu adanya peningkatan produksi atau impor dari wilayah lain. Hal ini diperlukan agar preferensi tersebut dapat didukung untuk pengembangan diversifikasi pangan.
ANALISIS PREFERENSI PANGAN MASYARAKAT DAN DAYA DUKUNG GIZI MENUJU PENCAPAIAN DIVERSIFIKASI PANGAN KABUPATEN BOGOR
IRA KUSUMA WIDYAWATI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Nama NRP
: Analisis Preferensi Pangan Masyarakat dan Daya Dukung Gizi Menuju Pencapaian Diversifikasi Pangan Kabupaten Bogor : Ira Kusuma Widyawati : I14052810
Disetujui: Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr.Ir. Evy Damayanthi, MS NIP. 19621204 198903 2 002
Tanggal Lulus :
vii
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga proses pembuatan skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2008 ini berjudul Analisis Preferensi Pangan Masyarakat Dan Daya Dukung Gizi Menuju Pencapaian Diversifikasi Pangan Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan sabar membimbing penulis selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN selaku Dosen Pemandu Seminar dan Dr. Ir. Ikeu Ekayanti, MKes sebagai Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Dr. Ir. Evy Damayanti, MS selaku Dosen Pembimbing Akademik serta para staf di Departemen Gizi Masyarakat yang telah memberikan bantuan selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir ini. Staf Kantor Kecamatan Dramaga, Kantor Desa Babakan serta Desa Purwasari atas bantuan selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, bulek, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu, terima kasih penulis ucapkan kepada Rekan-rekan GIZ 42, KMK 42, serta Wisma Candy-Candy yang telah membantu dan memberikan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009
Ira Kusuma Widyawati
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Klaten pada tanggal 27 Januari 1987. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Bapak Irianto, BSc dan Ibu Kadariyah. Penulis menempuh pendidikan formal pertama di TK Bakti Siwi Jakarta Pusat dari tahun 1993 hingga tahun 1994. Selanjutnya pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Tonggalan 1 Klaten. Pada tahun yang sama penulis menempuh pendidikan di SLTP N 2 Klaten hingga tahun 2002. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di SMA N 1 Cisauk Tangerang, dan lulus pada tahun 2005. Penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dan diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor dengan mayor Ilmu Gizi minor Pengembangan Masyarakat pada tahun kedua. Penulis pernah menjadi salah satu staf dari Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi dan Pertanian (HIMAGITA) pada periode 20062007. Selanjutnya penulis juga menjadi staf Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) periode 2007-2008. Penulis juga aktif dalam perkumpulan Keluarga Mahasiswa Klaten (KMK) sejak tahun 2005 hingga sekarang. Penulis pernah mengikuti kegiatan Internship Dietetik di Rumah Sakit Salak. Saat ini, penulis menjadi salah satu asisten di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xiii PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 Latar belakang ................................................................................................. 1 Perumusan Masalah ........................................................................................ 4 Tujuan .............................................................................................................. 5 Keluaran .......................................................................................................... 5 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6 Preferensi Pangan ........................................................................................... 6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Preferensi Pangan Masyarakat ................ 7 Daya Dukung Gizi .......................................................................................... 17 Diversifikasi Pangan....................................................................................... 18 Karakteristik Pedesaan dan Perkotaan .......................................................... 21 KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................................. 23 METODE ........................................................................................................... 25 Desain, Tempat, dan Waktu ........................................................................... 25 Jumlah dan Cara Penarikan Contoh............................................................... 25 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ................................................................ 26 Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................... 27 Definisi Operasional ....................................................................................... 30 HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................. 32 Keadaan Umum Lokasi .................................................................................. 32 Karakteristik Individu ...................................................................................... 35 Karakteristik Lingkungan ................................................................................ 37 Preferensi Pangan Masyarakat ...................................................................... 40 Preferensi Pangan Masyarakat Berdasarkan Wilayah ............................ 40 Preferensi Pangan Masyarakat Berdasarkan Karakteristik Individu ........ 49 Preferensi Pangan Masyarakat Berdasarkan Karakteristik Lingkungan ................................................................................................. 61 Diversifikasi Pangan....................................................................................... 68 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 75 Kesimpulan .................................................................................................... 75 Saran ............................................................................................................. 76 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 77 LAMPIRAN ........................................................................................................ 82
x
DAFTAR TABEL Halaman 1
Variabel/klasifikasi, skor dan kriteria desa 2000......................................... 21
2
Jenis dan cara pengumpulan data .............................................................. 27
3
Jenis dan cara pemberian skor pada variabel penelitian ............................. 28
4
Cara pengkategorian variabel penelitian ..................................................... 29
5
Distribusi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan ....................................... 33
6
Distribusi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan .................................. 33
7
Prasarana kesehatan di Desa Babakan ...................................................... 33
8
Prasarana pendidikan di Desa Babakan ..................................................... 34
9
Distribusi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan ....................................... 34
10 Distribusi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan .................................. 35 11 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan terakhir ....................................... 35 12 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita ................................. 36 13 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran per kapita ................................ 37 14 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ............................................. 38 15 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan ............................................. 38 16 Sebaran contoh berdasarkan informasi dari media massa ......................... 39 17 Sebaran preferensi pangan kelompok padi-padian berdasarkan wilayah.... 40 18 Sebaran preferensi pangan kelompok umbi-umbian berdasarkan wilayah ....................................................................................................... 41 19 Sebaran preferensi pangan kelompok pangan hewani berdasarkan wilayah ....................................................................................................... 43 20 Sebaran preferensi pangan kelompok minyak dan lemak berdasarkan wilayah ....................................................................................................... 44 21 Sebaran preferensi pangan kelompok buah/biji berminyak berdasarkan wilayah ....................................................................................................... 45 22 Sebaran preferensi pangan kelompok kacang-kacangan berdasarkan wilayah ....................................................................................................... 46 23 Sebaran preferensi pangan kelompok gula berdasarkan wilayah ............... 46 24 Sebaran preferensi pangan kelompok sayur dan buah berdasarkan wilayah ....................................................................................................... 47 25 Sebaran preferensi pangan kelompok lain-lain berdasarkan wilayah .......... 48 26 Sebaran preferensi pangan sumber karbohidrat berdasarkan pendidikan terakhir ....................................................................................................... 50
xi
27 Sebaran preferensi pangan sumber protein hewani dan nabati berdasarkan pendidikan terakhir................................................................. 52 28 Sebaran preferensi pangan sumber vitamin dan mineral berdasarkan pendidikan terakhir ..................................................................................... 53 29 Sebaran
preferensi
pangan
sumber
karbohidrat
berdasarkan
pendapatan per kapita ................................................................................ 55 30 Sebaran preferensi pangan sumber protein hewani dan nabati berdasarkan pendapatan per kapita ........................................................... 56 31 Sebaran preferensi pangan sumber vitamin dan mineral berdasarkan pendapatan per kapita ................................................................................ 57 32 Sebaran
preferensi
pangan
sumber
karbohidrat
berdasarkan
pengeluaran per kapita ............................................................................... 58 33 Sebaran preferensi pangan sumber protein hewani dan nabati berdasarkan pengeluaran per kapita .......................................................... 59 34 Sebaran preferensi pangan sumber vitamin dan mineral berdasarkan pengeluaran per kapita ............................................................................... 60 35 Sebaran preferensi pangan sumber karbohidrat berdasarkan besar keluarga ..................................................................................................... 61 36 Sebaran preferensi pangan sumber protein hewani dan nabati berdasarkan besar keluarga ....................................................................... 62 37 Sebaran preferensi pangan sumber vitamin dan mineral berdasarkan besar keluarga ............................................................................................ 63 38 Sebaran preferensi pangan sumber karbohidrat berdasarkan pekerjaan contoh ........................................................................................................ 65 39 Sebaran preferensi pangan sumber protein hewani dan nabati berdasarkan pekerjaan ............................................................................... 66 40 Sebaran preferensi pangan sumber vitamin dan mineral berdasarkan pekerjaan.................................................................................................... 67 41 PPM suka dan sangat suka (%) berdasarkan karakteristik lingkungan (informasi dari media massa) serta hubungannya ...................................... 68 42 Preferensi, produksi, ketersediaan per kapita per hari, serta kontribusi kkal energi .................................................................................................. 70
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Preferensi pangan dihubungkan dengan karakteristik individu dan lingkungan .................................................................................................. 24
2
Cara pengambilan contoh penelitian........................................................... 26
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Kuesioner Preferensi Pangan Masyarakat .................................................. 83
2
Hasil uji kuesioner sumber informasi dengan Croncbach Alpha.................. 86
3
Daftar proporsi wilayah desa-kota Provinsi Jawa Barat .............................. 86
4
Peta Kecamatan Dramaga ......................................................................... 87
PENDAHULUAN Latar belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa kualtas SDM sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, yang secara langsung ditentukan oleh faktor konsumsi pangan dan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi, dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan setiap makhluk, khususnya manusia yang telah memilih tumbuhan dan hewan yang mudah dipelihara, mudah diolah, mudah disimpan dan diawetkan, serta mempunyai manfaat dan citarasa yang terbaik. Pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat tidak hanya sekedar pemenuhan secara kuantitas tetapi juga kualitas. Secara kuantitas, makanan yang dikonsumsi harus cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi sesuai angka kecukupan yang dianjurkan. Secara kualitas, makanan yang dikonsumsi harus bergizi seimbang dan aman (bebas dari cemaran bahan kimia/mikroba/fisik yang berbahaya). Pembangunan pangan merupakan pengembangan sistem pangan yang meliputi kegiatan produksi, pengolahan, distribusi dan pemasaran, serta keterlibatan pelaku ekonomi dan kebijakan pemerintah. Pembangunan ini dipadukan dengan perbaikan gizi untuk menjamin adanya ketahanan pangan dan keamanan pangan. Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi dimana setiap manusia mampu mengkonsumsi pangan & gizi secara seimbang untuk status gizi baik. Menurut UU Pangan No 7 tahun 1996 ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Makna yang terkandung dalam definisi ketahanan pangan yang telah diterima secara luas oleh praktisi maupun akademisi adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat. Ketahanan pangan juga merupakan suatu sistem sehingga faktor-faktor yang mempengaruhinya perlu dikenali. Berkaitan dengan pergeseran konsep maka kerangka ketahanan pangan berada pada suatu jenjang, yaitu ketahanan
2
pangan wilayah, rumah tangga, dan individu (Setiawan diacu dalam Baliwati et al 2004) . Ketahanan pangan wilayah tidak menjamin ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga tidak akan menjamin ketahanan pangan individu. Ketahanan pangan individu akan menjamin ketahanan pangan di semua jenjang. Salah satu penyebabnya adalah kemampuan distribusi dan akses terhadap pangan di tingkat rumah tangga dan individu. Selain itu, di tingkat rumah tangga terdapat perbedaan kemampuan ekonomi yang menghalangi akses rumah tangga terhadap pangan. Pada tingkat individu, preferensi terhadap pangan serta pengetahuan gizi menjadi faktor pengaruh ketahanan pangan. Salah satu elemen Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (2005-2009) adalah
diversifikasi
pangan.
Diversifikasi
pangan
dengan
peningkatan
diversifikasi konsumsi pangan dan gizi seimbang. Diversifikasi pangan merupakan upaya memantapkan atau membudayakan pola konsumsi pangan yang beranekaragam dan seimbang dalam jumlah dan komposisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi yang dapat mendukung hidup sehat, aktif, dan produktif. Konsumsi pangan yang beranekaragam akan dapat memenuhi kebutuhan gizi manusia secara seimbang. Penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor internal yaitu pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya dan religi), serta pengetahuan gizi, maupun faktor eksternal seperti faktor agroekologi, produksi, ketersediaan dan distribusi, keanekaragaman pangan, serta promosi/iklan. Menurut data Riskesdas (2007) diketahui bahwa konsumsi energi dan protein per kapita per hari masyarakat Kabupaten Bogor mencapai 1594.3 kkal dan 51.8 gram. Dari segi kuantitas, jumlah energi yang dikonsumsi masyarakat belum dapat memenuhi angka tingkat konsumsi ideal yang direkomendasikan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun 2004 sebesar 2000kkal/kap/hari, sedangkan konsumsi protein sudah mendekati angka tingkat konsumsi ideal yaitu 52 gram/kap/hari. Konsumsi energi dan protein per kapita per hari Provinsi Jawa Barat sebesar 1636,7 kkal untuk energi dan 53,8 gram untuk protein. Angka konsumsi tersebut juga lebih rendah dibandingkan dengan Nasional yaitu sebesar 1735,1 kkal untuk energi dan 55,5 gram untuk protein. Rumah tangga dengan konsumsi energi dan protein rendah diperoleh berdasarkan jawaban contoh untuk makanan yang di konsumsi anggota rumah tangga (ART) dalam waktu 1 x 24 jam yang lalu.
3
Selain itu, prevalensi kurang makan buah dan sayur usia 10 tahun ke atas pada masyarakat Kabupaten Bogor mencapai 97.9%. Prevalensi tersebut juga melebihi prevalensi kurang makan buah dan sayur di Jawa Barat yaitu 97%, dan Nasional yaitu 93.6%. Kategori kurang untuk konsumsi buah dan sayur ini adalah jika konsumsinya tidak mencapai 5 porsi per hari selama 7 hari dalam seminggu. Berdasarkan data angka konsumsi energi dan protein per hari per kapita serta prevalensi kurang makan buah dan sayur ini mengindikasikan bahwa Kabupaten Bogor belum dapat memenuhi konsumsi pangan secara ideal baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Gambaran umum status gizi kurang dan buruk balita berdasarkan indikator BB/U di Kabupaten Bogor mencapai 15.9%. Pencapaian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi (15%), namun lebih baik bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi menurut RPJM dan MDG’s tahun 2015 sebesar 18.5%. Perkembangan IPTEK dengan ketidakteraturan perekonomian negara menyebabkan keanekaragaman pilihan pangan untuk masyarakat juga semakin meningkat.
Masyarakat
cenderung
memiliki
pilihan
yang
berbeda-beda
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal ini yang disebut dengan preferensi pangan masyarakat (PPM). Penelitian mengenai PPM masih belum banyak dilaksanakan karena istilah PPM sendiri masih merupakan nomenklatur baru (Anonim 2003). Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap makanan dan preferensi ini akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Drewnowski & Hann (1999) menyatakan bahwa merupakan hal penting mempelajari pangan yang disukai maupun yang tidak disukai tersebut, serta makanan yang belum pernah dirasakan serta menelusuri sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi PPM. Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi dapat memberikan peluang bagi percepatan proses peningkatan kesadaran gizi, yang diharapkan dapat mengubah perilaku konsumsinya, sehingga mencapai status gizi yang baik yang
pada
akhirnya
dapat
mempengaruhi
kualitas
SDM.
Selain
itu,
perkembangan teknologi informatika serta strategi komunikasi publik dapat menyediakan peluang yang tinggi untuk mempercepat proses, serta memperluas jangkauan upaya pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarganya (Suryana 2008). Ketersediaan pangan suatu keluarga juga sangat
4
dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam. Menurut penelitian Ginting (2006) 93.1% pengambil keputusan dalam menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi di desa dan kota adalah ibu rumah tangga. Selain itu, ibu juga merupakan house keeper yang mengatur pangan yang diberikan kepada setiap anggota keluarganya, sehingga preferensi pangan ibu akan mempengaruhi penyediaan pangan dan preferensi pangan di tingkat rumah tangga. Informasi mengenai PPM diharapkan dapat menjadi salah satu sarana untuk mengubah konsumsi pangan masyarakat kuantitas maupun kualitas dengan prinsip gizi seimbang dalam rangka perbaikan status gizi. Selain itu, PPM juga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan pangan yang potensial di wilayah tersebut dalam rangka pencapaian diversifikasi pangan. Hal ini yang mendasari peneliti tertarik untuk meneliti mengenai PPM di Kabupaten Bogor. Perumusan Masalah Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi dimana setiap manusia mampu mengkonsumsi pangan & gizi secara seimbang untuk status gizi baik. Salah satu pilar utama dalam Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (2005-2009) adalah diversifikasi pangan. Dalam upaya percepatan pencapaian diversifikasi pangan pada tahun 2015, konsumsi pangan masyarakat harus cukup dari segi kualitas maupun kuantitas. Situasi konsumsi di Kabupaten Bogor masih belum dapat mencapai ideal, terlihat dari kurangnya konsumsi energi dan protein per kapita, tingginya prevalensi kurang makan buah dan sayur, serta status gizi balita. Hal ini menjadi masalah dalam pencapaian diversifikasi pangan. Pencapaian diversifikasi pangan ini mengandung dua komponen pokok, yaitu informasi PPM (secara sosial) serta daya dukung wilayah yang terlihat dari kemampuan produksi (secara fisik). Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap makanan dan preferensi ini akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan (Suhardjo 1989). PPM berhubungan dengan karakteristik individu serta lingkungan. PPM ketika didukung oleh kemampuan produksi terhadap pangan di suatu wilayah dapat digunakan sebagai dasar
5
pengembangan diversifikasi pangan. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik individu serta lingkungan contoh? 2. Bagaimana PPM di Kabupaten Bogor? 3. Apakah alasan yang mendasari contoh menentukan preferensi pangan? 4. Apakah terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan karakteristik lingkungan dengan PPM? 5. Pangan lokal apakah yang dapat digunakan sebagai pangan alternatif nonberas yang sesuai dengan PPM Kabupaten Bogor serta daya dukung gizi sebagai upaya pencapaian diversifikasi pangan? Tujuan Tujuan umum Menganalisis Preferensi Pangan Masyarakat (PPM) dan daya dukung gizi menuju pencapaian diversifikasi pangan Kabupaten Bogor. Tujuan khusus 1.
Mengidentifikasi karakteristik individu contoh yaitu pendidikan terakhir, pendapatan per kapita, serta pengeluaran per kapita.
2.
Mengidentifikasi karakteristik lingkungan contoh yaitu besar keluarga dan pekerjaan, serta informasi dari media massa.
3.
Mengidentifikasi preferensi pangan contoh terhadap berbagai jenis pangan menurut kelompok pangan berdasarkan wilayah.
4.
Menganalisis
hubungan
antara
preferensi
pangan
contoh
dengan
karakteristik individu serta lingkungan. 5.
Menganalisis kemampuan produksi dan preferensi berbagai pangan lokal. Keluaran Tersedianya data dan informasi tentang preferensi pangan masyarakat
Kabupaten Bogor. Selain itu, dapat menjadi rekomendasi untuk pengembangan pola konsumsi bergizi seimbang yang dapat dijadikan sebagai salah satu bahan untuk merumuskan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) bidang ekonomi/pangan, termasuk perencanaan produksi dan penyediaan serta pendidikan gizi seimbang.
6
TINJAUAN PUSTAKA Preferensi Pangan Setiap masyarakat memberikan definisi tertentu tentang arti makanan, dan dalam setiap definisi setiap jenis makanan memiliki arti yang luas. Misalnya: ada jenis makanan untuk orang kaya dan ada yang diperuntukkan bagi orang miskin, ada pula makanan yang diperuntukkan bagi wanita, anak-anak, orang yang sedang sakit atau golongan lanjut usia. Selain itu, ada pula jenis makanan yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh orang-orang tertentu. Setiap masyarakat mempunyai aturan-aturan, pembatasan-pembatasan, rasa suka dan tidak suka, kepercayaan terhadap jenis makanan-makanan yang ada, sehingga membatasi pilihannya terhadap jenis-jenis makanan (Khumaidi 1989). Setiap masyarakat mengembangkan cara yang turun temurun untuk mencari, memilih, menangani, menyiapkan, dan memakan makanan. Adat istiadat menentukan preferensi seseorang terhadap makanan. Latar belakang sosial budaya mempengaruhi pemilihan jenis pangan melalui dua cara yaitu informasi mengenai gizi dan preferensi (Suhardjo 1989). Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap makanan dan preferensi ini akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan (Suhardjo 1989). Bass Wakelfield dan Kolasa (1980) diacu dalam Pradnyawati (1997) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi pangan yaitu; 1) ketersediaan makanan di suatu tempat, 2) pembelian makanan untuk anggota keluarga yang lain, khususnya orang tua, 3) pembelian makanan dan penyediaannya yang mencerminkan hubungan kekeluargaan dan budaya, 4) rasa makanan, tekstur, dan tempat. Dalam memilih makanan tertentu yang disukai pengalaman seseorang dapat menjadi landasan yang kuat. Beberapa faktor antara lain enak, menyenangkan, tidak membosankan, berharga murah, mudah didapat dan diolah. Penampakan merupakan hal yang banyak mempengaruhi preferensi dan kesukaan konsumen. Kesukaan terhadap makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ini termasuk waktu dan konteks dimana makanan itu disajikan sama halnya dengan kondisi pribadi kita pada saat itu, seperti seberapa kita lapar, mood pada saat itu, dan waktu terakhir sejak kita terakhir makan makanan tersebut (Lyman 1989).
7
Menurut Sanjur (1982), preferensi terbentuk dari persepsi suatu produk. Preferensi adalah derajat kesukaan, pilihan, atau sesuatu hal yang lebih disukai konsumen. Menurut Suhardjo (1989), jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi selain dipengaruhi oleh hasil budaya setempat, juga dipengaruhi oleh preferensi terhadap makanan tersebut. Makanan dianggap memenuhi selera atau tidak tergantung tidak hanya pada pengaruh sosial budaya sebagai sifat fisiknya. Reaksi indera terhadap pemilihan pangan, kesukaan pangan pribadi dipengaruhi oleh pendekatan melalui media massa, radio, TV, pamflet, dan iklan. Setiap konsumen pasti memiliki preferensi pangan. Preferensi ini dapat diubah dan dipelajari sejak kecil. Fisiologi, perasaan, dan sikap terintegrasi membentuk preferensi teradap pangan dan akhirnya membentuk perilaku konsumsi pangan. Preferensi mempunyai struktur, serta struktur ini dapat berubah dan dipelajari sejak kecil dan bersifat plastis. Birch (1999) juga menyatakan
bahwa
preferensi
pangan
yang
terjadi
seiring
dengan
perkembangan diet sehat menunjukkan bahwa faktor lingkungan makan juga mempengaruhi preferensi walaupun genetik merupakan manifestasi. Lingkungan makan ini termasuk tersedianya makanan dan praktik pemberian makan saat kecil oleh orang tua. Pengukuran terhadap preferensi pangan dilakukan dengan menggunakan skala, dimana responden ditanya untuk dapat mengindikasikan seberapa besar dia menyukai pangan berdasarkan kriteria. Skala pengukuran dapat dibedakan menjadi sangat tidak suka, tidak suka, netral, suka, dan sangat suka. Skala hedonik adalah salah satu cara untuk mengukur derajat suka maupun tidak suka seseorang. Derajat kesukaan seseorang diperoleh dari pengalamannya terhadap makanan, yang akan memberikan pengaruh yang kuat pada angka preferensinya (Sanjur 1982). Menurut Nurliawati (2003) pengumpulan data primer diperoleh dari pengamatan dan wawancara langsung dengan contoh menggunakan kuesioner. Firna (2008) juga menyatakan bahwa pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan cara simple random sampling dimana contoh diacak dengan menggunakan undian. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Preferensi Pangan Masyarakat Preferensi pangan dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti pengalaman seseorang, pengaruh budaya, dan manfaat kesehatan yang dirasakan. Rasa dan
8
aroma tidak dapat dibantah menjadi penentu utama apakah makanan disukai atau tidak disukai. Perbedaan individu pada persepsi pahit, manis, asin, atau asam dapat mempengaruhi kebiasaan makan, dimana dapat berpengaruh pada status gizi dan resiko penyakit kronis. Aroma juga penentu penting persepsi bermacam-macam
aroma,
dan
keanekaragaman
penciuman
dapat
mempengaruhi preferensi pangan (El-Sohemy 2009). Drewnowski 1997 menyatakan bahwa sensoris merespon pada rasa, aroma, dan tekstur makanan membantu untuk menentukan preferensi pangan dan kebiasaan makan. Bagaimanapun, respon sensoris tidak memprediksikan konsumsi pangan. Pada kenyataannya, terdapat beberapa hubungan antara persepsi rasa, preferensi rasa, preferensi pangan, dan pilihan pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Respon rasa dipengaruhi genetik, psikologi, dan metabolis. Pengaruh faktor rasa pada intik pangan tergantung pada umur dan jenis kelamin dan diatur oleh obesitas, gangguan makan, dan patologi kebiasaan makan lainnya. Preferensi dan pilihan pangan populasi lebih jauh dihubungkan dengan perilaku, sosial dan lebih penting adalah variabel ekonomi seperti pendapatan. Pendidikan gizi dan strategi intervensi dimaksudkan untuk peningkatan diet populasi untuk memperhatikan respon kesukaan terhadap makanan, pada perluasan bahasan mengenai variabel demografis dan sosio budaya. Faktor penentu preferensi pangan berhubungan dengan aroma, rasa, dan penampilan
cara
memasak,
ketidaknyaman
terjadi
ketika
seseorang
mengkonsumsi makanan, dan ini menyebabkan seseorang menjadi tidak suka terhadap makanan tersebut. Kesukaan makan meningkatkan preferensi pangan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kesukaan ditentukan oleh hati (Sachiko 2002). Penelitian serupa juga dilakukan Christensen dan Brooks (2006), dengan hasil laki-laki dan wanita percaya bahwa mereka lebih suka mengkonsumsi makanan pada saat senang dibandingkan dengan sedih, dan laki-laki lebih suka makan dibandingkan dengan wanita. Makanan cemilan vegetarian lebih disukai untuk dikonsumsi pada saat senang dibandingkan dengan sedih, dengan laki-laki lebih suka makan cemilan. Secara umum, mood seseorang mempengaruhi kesukaan terhadap pemilihan makanan. Penelitian Drewnowski & Hann (1999) menyatakan bahwa variabel demografi memiliki pengaruh terhadap preferensi pangan termasuk umur, jenis kelamin, status kesehatan, suku, pendidikan, dan pendapatan.
9
Suhardjo (1989) menyatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi preferensi terhadap makanan, yaitu karakteristik individu, makanan, dan lingkungan. Harga juga berpengaruh dalam pemilihan pangan, namun harga sering dikesampingkan oleh pertimbangan prestice, rasa, dan kemudahan dalam penyiapannya sehingga harga bukanlah faktor utama dalam hal pemilihan pangan. Selain itu, faktor lingkungan yang mempengaruhi preferensi pangan termasuk musim, lokasi geografis, suku, mobilitas, dan tingkat urbanisasi. Besar keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi preferensi pangan. Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu. Ketidakcukupan ini dapat menimbulkan terjadinya stres (Martianto & Ariani 2004). Pada skala keluarga, tingkat konsumsi pangan ditentukan oleh adanya pangan yang cukup, yang dipengaruhi oleh kemampuan keluarga untuk memperoleh bahan pangan yang diperlukan. Selain itu, Den Hartog, van Staveren, dan Brouwer (1995) juga menyatakan bahwa besar keluarga akan mempengaruhi kebiasaan makan dan gizi, khususnya pada rumah tangga miskin yang bergantung pada pendapatan tunai untuk membeli bahan pangan. Sumber pangan keluarga terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya, jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut. Menurut Sanjur (1982) pendapatan per kapita seringkali menurun seiring dengan penambahan jumlah keluarga. Semakin besar ukuran keluarga maka pendapatan per kapita yang diterima akan semakin kecil. Bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud memperoleh atau membantu penghasilan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh seorang anggota keluarga. Beberapa profesi seperti dokter, pengacara, akuntan, peneliti memerlukan syarat pendidikan formal agar bisa bekerja sebagai profesi tersebut. Beberapa jenis pekerjaan lain akan mensyaratkan
pendidikan
minimal,
misalnya
banyak
pabrik
sekarang
10
mensyaratkan minimal lulus SMP atau SMA untuk diterima menjadi buruh. Profesi dan pekerjaan seseorang akan mempengaruhi pendapatan yang diterima (Sumarwan 2004) Menurut Sajogjo 1994 diacu dalam Marud (2008) pendapatan keluarga merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing pendapatan anggota keluarga yang bekerja. Faktor pendapatan keluarga mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebiasaan makan keluarga. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pilihan pangan yang baik. Suhardjo (1986) menyatakan bahwa pada umumnya jika pendapatan meningkat maka jumlah dan jenis pangan akan membaik. Apabila penghasilan keluarga meningkat, biasanya penyediaan lauk pauk meningkat mutunya. Dengan meningkatnya pendapatan perorangan, terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah pangan yang dimakan itu mahal. Tingkat pendapatan juga menentukan pola konsumsi pangan atau jenis pangan yang akan dibeli. Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian pendapatan tambahannya untuk pangan, sedangkan pada orang kaya porsi pendapatan untuk pembelian pangan lebih rendah. Porsi pendapatan yang dibeli untuk jenis pangan padi-padian akan menurun tetapi untuk pangan yang berasal dari susu akan meningkat jika pendapatan keluarga meningkat. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaan termasuk untuk buah-buahan, sayur dan jenis pangan lain (Berg 1986). Menurut penelitian Ginting (2006) pendapatan keluarga di desa dan di kota berbeda. Hal ini dipengaruhi juga oleh jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan. Pendapatan yang tinggi berarti memiliki pekerjaan yang lebih baik dan membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi pula. Menurut BPS 1998 dalam pengeluaran rata-rata per kapita sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan suatu keluarga selama sebulan untuk konsumsi semua anggota keluarga. Soekirman (2000) menyatakan bahwa pengeluaran keluarga untuk pangan dan non pangan selanjutnya dikonversikan
11
ke dalam pengeluaran rata-rata sebulan. Pengeluaran untuk pangan rumah tangga miskin berkisar antara 60-80% dari pendapatan dan bagi keluarga mampu berkisar antara 20-50%. Tingkat pengetahuan individu akan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan dapat dikelompokkan ke dalam pendidikan formal dan informal (Suhardjo 1989). Tingkat pendidikan seseorang umumnya dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam pengalokasian pendapatan untuk kebutuhan pangan. Menurut Suprijanto (2007), pendidikan dibedakan menjadi 9 jenis antara lain: 1) pendidikan massal; 2) pendidikan masyarakat; 3) pendidikan dasar; 4) penyuluhan; 5) pengembangan masyarakat; 6) pendidikan orang dewasa; 7) masyarakat seumur hidup; 8) masyarakat belajar; 9) pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan juga dapat mempengaruhi konsumen dalam pemilihan produk atau merk. Perbedaan pendidikan akan menyebabkan perbedaan selera konsumen (Sumarwan 2004). Menurut mempengaruhi
Pranadji
(1988)
pengetahuan
pendidikan
gizinya.
formal
Seseorang
yang
seseorang
dapat
memiliki
tingkat
pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam kuantitas dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah (Hardinsyah 1985 dalam Mawaddah 2008). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi biasanya akan memilih untuk mengkonsumsi makanan yang bernilai gizi tinggi sesuai dengan pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil, sehingga kebutuhan gizinya tetap terpenuhi. Atmarita & Fallah (2004) menyatakan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan yang rendah mempunyai konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Selain itu, juga mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang relatif tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan
12
kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang rendah (Hartoyo et al. 2000 dalam Nurmiati 2006). Pada suatu keluarga, biasanya ibu yang bertanggungjawab terhadap makanan keluarga, sehingga dengan meningkatnya pengetahuan gizi yang dimiliki ibu, diharapkan semakin pula kemampuan ibu dalam memilih dan merencanakan makanan dengan ragam dan kombinasi yang tepat sesuai dengan syarat-syarat gizi. Pengetahuan ibu rumah tangga tentang bahan makanan akan mempengaruhi perilaku pemilihan makanan dan ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan pemilihan dan pengolahan makanan. Selain itu, faktor kepercayaan dan tingkat pengetahuan ibu sebagai pengelola rumah tangga akan berpengaruh juga pada macam bahan makanan dalam konsumsi keluarga sehari-hari. Sebagai konsumen diperlukan ketrampilan untuk memilih bahan yang murah dan sesuai dengan kebutuhan keluarga, meskipun selera masih menjadi masalah utama. Menurut penelitian Suherman (2004) menunjukkan bahwa dari ketiga faktor yang paling kuat hubungannya dengan konsumsi susu adalah tingkat pengeluaran rumah tangga (r = 0.751), diikuti tingkat pendidikan (r = 0.704), dan paling rendah adalah tingkat kekayaan (r = 0.684). Jumlah masyarakat yang memilih susu yang diawetkan lebih banyak (79.59%) dan berbeda sangat nyata dengan yang memilih susu segar (20.41%). Penelitian Rita (2002) mengenai Preferensi Konsumen terhadap Pangan Sumber Karbohidrat non-beras menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan, status pekerjaan, serta besar keluarga dengan preferensi konsumen terhadap beberapa pangan sumber karbohidrat non-beras. Menurut penelitian Martini (1992), hasil uji korelasi Spearman dapat dilihat hubungan antara
preferensi
responden
dengan
variabel
pendapatan.
Pendapatan
responden memiliki hubungan positif yang tidak nyata (α = 0.05) dengan preferensi responden. Hal ini berarti terdapat kecenderungan semakin tinggi pendapatan semakin tinggi preferensi, baik untuk rumah tangga desa maupun rumahtangga kota, tetapi tidak untuk semua responden. Penelitian Balintfy et al (2009) menunjukkan bahwa pembeli makanan yang tergabung dalam suatu kelompok lingkungan dengan pendidikan dan pendapatan yang tinggi lebih memilih untuk membeli pangan dengan harga tinggi untuk produk lokal. Selain itu, pilihan konsumen sangat dipengaruhi oleh harga.
13
Peningkatan pengeluaran konsumen mengindikasikan keinginan konsumen untuk membeli sejumlah penambahan atribut pada pangan. Brown (2003) menyatakan bahwa rumah tangga dimana seseorang pernah tumbuh di pertanian atau mempunyai keluarga yang tinggal di pertanian, mempunyai preferensi untuk pangan lokal dan lebih memilih untuk membelinya. Lingkungan menentukan preferensi terhadap makanan atau pilihan terhadap makanan. Suhardjo (1986) menyatakan bahwa radio, televisi, pamflet, iklan, dan bentuk media massa lain yang beberapa diantaranya kini telah mencapai daerah desa yang terpencil, efektif dalam merubah kebiasaan makan. Beberapa di antara perubahan ini berpengaruh positif terhadap status gizi, dan sebaliknya. Media massa merupakan media yang secara khusus di desain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Media massa terdiri dari media elektronik dan media cetak. Masing-masing media ini terdiri atas beberapa bentuk media yang masing-masing mempunyai ciri khas dan menimbulkan implikasi khusus, akibatnya untuk memahami media massa perlu lebih mengetahui aneka ragam bentuk dan ragam variasinya. Media massa elektronik meliputi radio, televisi, dan film (film video, disk video, dan kaset/disc). Media massa cetak meliputi koran (harian, mingguan, tabloid), majalah (berita, khusus, hiburan), dan poster termasuk selebaran dan buku. Namun seiring dengan perkembangan teknologi, sosial dan budaya maka jenis media massa bertambah dengan adanya internet dan telepon seluler (Depdikbud RI 1998 ). Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan pemirsanya terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari. Pengaruh media massa terhadap seseorang tersebut antara lain : Media memperlihatkan pada pemirsanya bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, kemudian pemirsa menilai apakah lingkungan mereka sudah layak atau apakah telah memenuhi satndar tersebut. Penawaran-penawaran yang dilakukan oleh media dapat mempengaruhi keinginan pemirsanya Media visual dapat memenuhi kebutuhan pemirsa akan kepribadian yang lebih baik.
14
Bagi remaja atau kaum muda, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi “penentu” dalam menentukan arah media populer saat berekspresi dan mengemukakan pendapat. Media massa elektronik cenderung menjadi hiburan, berita, dan layanan. Khalayak bervariasi, sehingga media ini dapat disebut media massa keluarga. Media massa yang paling banyak dimiliki masyarakat adalah televisi dan radio. Sedangkan media massa cetak, terutama koran harian cenderung menjadi media berita, setengah hiburan, dan layanan. Khalayak berdasarkan tingkat tertentu pria atau wanita, tua atau muda atau anak, serta awam atau ilmuwan. Berita pada koran bersifat ringkas dan analitik. Berita pada majalah berbeda dengan berita pada koran, kelemahan faktor kekinian dalam berita pada majalah, dikompensasikan dengan pandangan yang analitik dan interpretatif (Depdikbud RI 1996). Televisi merupakan media gambar yang dianggap sebagai media dengan keterlibatan yang rendah. Pembelajaran pasif terjadi melalui penampilan iklan TV yang berulang kali. Televisi sangat fleksibel dalam menyampaikan pesan sponsor, mulai dari pemilihan waktu sampai adanya jaminan penyampaian ulasan berita secara khusus untuk pemirsa tertentu (Schiffman & Kanuk 2004). Sumarwan (2004) menyatakan bahwa televisi telah menjadi media yang sangat banyak menciptakan budaya popular. Televisi adalah media iklan yang banyak digunakan oleh para produsen, karena jangkauannya yang luas dan kemampuan audio dan visualnya dalam menyampaikan iklan. Televisi adalah media untuk menyampaikan banyak hal kepada masyarakat: sosial, politik, hiburan, olahraga, beragam berita, dan iklan komersial. Salah
satu
keunggulan
televisi
adalah
kemampuannya
untuk
menyampaikan pesan-pesan baik audio maupun visual secara bersamaan. Adanya kemampuan ini menyebabkan televisi berhasil memikat lebih banyak khalayak daripada media massa lainnya (Jahi 1988). Radio merupakan media untuk menyampaikan berbagai hal kepada masyarakat termasuk media untuk beriklan. Radio telah menjadi forum komunikasi antar pendengarnya. Pendengar bisa saling melakukan transaksi barang dan jasa yang dibutuhkannya. Iklan juga telah mewarnai semua program radio pada semua stasiun radio. Peran radio tidak bisa digantikan atau hilang dengan kehadiran televisi dan internet. Radio memiliki fungsi yang sama dengan televisi. Radio merupakan media untuk menyampaikan berbagai hal kepada
15
masyarakat termasuk media untuk beriklan. Radio saat ini telah menjadi forum komunikasi antar pendengarnya. Iklan pun telah mewarnai hampir semua program radio pada semua stasiun radio (Sumarwan 2004). Menurut Schiffman dan Kanuk (2004) koran merupakan sebuah media yang fleksibel. Pesan dapat dirancang dan dipublikasikan secara cepat. Beberapa pesan berkompetisi untuk mendapatkan perhatian. Akses koran dipersiapkan untuk pembaca dalam skala yang luas. Majalah sejak pertama diluncurkan telah menyediakan berbagai materi untuk para pembaca. Semua majalah, khusus untuk beberapa hal. Majalah memiliki spesialisasi unit atau spesialisasi internal. Majalah yang mengirimkan iklan kepada pembaca, telah mengubah penyelenggara makanan berubah menjadi bermacam-macam ketertarikan tertentu dan menyebabkan menjadi media massa pertama yang membawa pada perubahan (Wilson 1992). Menurut Hiebert et al (1979) dalam hal waktu, majalah memiliki keuntungan lebih intensif dibandingkan dengan koran, radio, atau televisi dalam pengaturan. Majalah memiliki kekuatan untuk bertahan pada topik sepanjang periode waktu pada suatu
isu,
penerimaan
pengaruh
kumulatif
dimana
buku
harus
tetap
mengesankan. Internet menyebabkan munculnya begitu banyak media alternatif online seperti buletin, majalah cyber dan berbagai program berita. Hampir seluruh media cetak dan elektronik mempunyai dan mempromosikan situs web dengan berbagai edisi online mereka. Para pemasar membeli ruang iklan dan berusaha untuk mengarahkan para pemakai pada situs web tertentu (Schiffman & Kanuk 2004). Kehadiran teknologi internet menyebabkan pengguna computer bisa berhubungan dengan dunia luar yang melewati batas-batas geografi, negara, budaya dan batas sosial. Melalui internet, konsumen bisa berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan email. Internet juga memungkinkan konsumen bisa berkomunikasi dua arah dengan sesamanya dengan menggunakan fasilitas chatting. Setiap lembaga apapun dari berbagai negara atau perorangan bisa membuat situs tentang lembaga atau informasi pribadi, yang kemudian situs tersebut bisa diakses oleh siapapun melalui internet. Kehadiran World Wide Web di internet memungkinkan setiap konsumen bisa mencari atau memperoleh dan mengakses informasi mengenai apapun di internet.
16
Media massa sebagai media komunikasi memiliki beberapa kemampuan untuk ikut mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat. Schram (1969) menjelaskan bahwa kemampuan media massa tersebut adalah: Media massa dapat memperluas cakrawala pemikiran. Media massa dapat memusatkan perhatian Media massa dapat menumbuhkan aspirasi Media massa dapat menciptakan suasana membangun Media massa mampu berbuat sebagai pendidik Durasi menonton televisi dan preferensi terhadap iklan merupakan faktor yang yang berpengaruh terhadap konsumsi coklat meskipun secara tidak langsung, dimana semakin lama menonton televisi maka preferensi suka terhadap iklan akan semakin meningkat. Semakin suka terhadap iklan akan dapat meningkatkan rasa suka terhadap komponen produk yang pada akhirnya berdampak kepada meningkatnya rasa suka terhadap komponen produk yang akhirnya berdampak pada meningkatnya konsumsi coklat (Pranowo 2001). Berdasarkan hasil penelitian Firna (2008) contoh paling banyak (68.1% putra dan 66.7% putri) memperoleh informasi mengenai pangan sumber kafein yang mereka konsumsi dari TV, kemudian diikuti koran/majalah (65.0% putra dan 66.7% putri). Televisi dan koran/majalah termasuk ke dalam media massa, dimana menurut Holmes (1978) dalam Sanjur (1982) media massa memegang peranan yang penting agar produk dan pesan tetap diingat dan menjadi bagian dari masyarakat. Menurut Sanjur (1985)
pendekatan alternatif
untuk menganalisis
preferensi pangan akan terlalu memperhatikan determinasi sosiobudaya dari pola pangan karena akan berakibat pada pencegahan efek suplai pangan aktual pada kebiasaan makan. Faktor teknologi dan politik dikombinasikan dengan isu sosio budaya untuk membagi pangan dan praktek konsumsi. Hal yang penting untuk memperhatikan perubahan lingkungan yang terjadi sejak studi awal preferensi pangan. Fungsi beberapa produk pangan yang siap dikurangi dengan variabel musim pada suplai pangan dan diperkuat dengan pangan yang jarang. Efek musim pada pilihan pangan tidak terlalu jelas dimengerti saat ini. Bahkan jika teknologi digunakan sepanjang tahun untuk mengakses pangan musiman, orang akan memiliki perbedaan pengubahan bentuk pada pangan yang sama, dan respon psikologis tetap dapat berefek langsung pada pangan. Karakteristik
17
lingkungan yang merupakan faktor yang penting pada penentuan preferensi pangan, memerlukan penelitian empiris pada masa depan. Daya Dukung Gizi Sasaran keberagaman (biosocial diversity) ini tidak hanya berarti upaya menghargai budaya lokal dan fungsi-fungsi yang diembannya (indigenous institutions), tetapi juga mencerminkan buffering capasity dari adanya gejolak yang senantiasa mempengaruhi program pengembangan pangan dan pertanian akibat perubahan musim, dan perubahan keadaan perekonomian domestik atau internasional (seperti krisis ekonomi saat sekarang). Dalam keadaan sekarang ini, di mana makanan pokok menggantungkan beras, sementara bahan pangan impor didominasi terigu, maka Indonesia senantiasa dalam bahaya ketahanan pangan (food insecurity). Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mencapai ketahanan pangan menyangkut beberapa aspek 1) Ketersediaan Pangan, 2) Distribusi Pangan 3) Konsumsi pangan, 4) Pemberdayaan masyarakat dan 5) Manajemen. Dalam aspek ketersediaan pangan, masalah pokok adalah semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi dan daya saing pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh faktor faktor teknis dan sosial ekonomi. Berdasarkan aspek konsumsi pangan, masalah teknis yang dihadapi adalah Belum berkembangnya teknologi, industri pangan serta produk pangan alternatif berbasis sumber daya pangan lokal (Suryana 2001). Aplikasi daya dukung lingkungan yaitu daya dukung gizi (nutritional carrying capacity). Daya dukung gizi (nutritional carrying capacity) adalah daya dukung sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan gizi dan pangan. Berdasarkan pendekatan perilaku konsumen, daya dukung gizi berkaitan dengan cara agar kebutuhan atau kecukupan pangan dan gizi penduduk dapat dipenuhi dari SDA atau pangan setempat. Berdasarkan pendekatan potensi atau ketersediaan SDA, daya dukung gizi berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan atau kecukupan pangan dan gizi penduduk dengan SDA atau pangan setempat. Daya dukung gizi (nutritional carrying capacity) adalah jumlah maksimum manusia atau penduduk yang dapat dipenuhi kebutuhan pangannya pada saat tertentu tanpa menyebabkan berkurangnya kemampuan wilayah tersebut untuk mendukung penduduk di masa yang akan datang (Baliwati 2007). Hasil analisis daya dukung dapat dipergunakan sebagai salah satu alat atau metode bagi perencana dalam membantu menentukan kebijakan yang akan
18
ditetapkan terhadap suatu wilayah. Kebijakan yang akan ditetapkan tersebut akan sangat erat dengan berbagai implikasi yang melekat di dalamnya. Suatu wilayah yang akan dikembangkan potensinya harus dilihat kondisi empiris faktual yang ada di wilayah tersebut. Diversifikasi Pangan Kebijakan dan strategi serta rencana program aksi diversifikasi pangan dilaksanakan dengan tujuan (1) menyadarkan masyarakat agar dengan sukarela dan atas dasar kemampuannya sendiri melaksanakan diversifikasi pangan dan meningkatkan pengetahuannya, dan (2) mengurangi ketergantungan terhadap beras dan pangan impor dengan meningkatkan konsumsi pangan, baik nabati maupun hewani dengan meningkatkan produksi pangan lokal dan produk olahannya (Suryana 2005). Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan
pangan.
Selain
itu,
diversifikasi
pangan
dilakukan
dengan
meningkatkan keanekaragaman pangan, mengembangkan teknologi pengolahan dan
produk
pangan
serta
meningkatkan
kesadaran
masyarakat
untuk
mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (Ariani 2008). Menurut Suryana (2001) Kegiatan diversifikasi ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif selain beras, penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok alternatif yang berimbang dan bergizi serta berbasis pada pangan lokal. Diversifikasi dilakukan dengan mempercepat implementasi teknologi pasca panen dan pengolahan pangan lokal yang telah diteliti ke dalam industri. Dukungan sektor alat dan mesin dan kredit menjadi penting pada saat transformasi dari skala laboratorium menjadi skala industri agar proses produksi berjalan efisien. Diversifikasi pangan pada dasarnya memiliki dua dimensi pokok yaitu: (1) keragaman pola konsumsi dimana terdapat keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan seimbang (kandungan karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin), dan (2) keanekaragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis gizi, sumber protein dapat diperoleh dari hewan, ikan maupun nabati dan ini bersifat spesifik lokasi (Adnyana 2005). Diversifikasi pangan mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi (Hanani 2008). Suhardjo 1998 yang diacu dalam Hanani (2008) menyebutkan bahwa pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup
19
pengertian yang saling berkaitan, yaitu (1) diversifikasi konsumsi pangan, (2) diversifikasi ketersediaan pangan, dan (3) diversifikasi produksi pangan. Diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya sebagai upaya mengurangi ketergantungan pada beras tetapi juga upaya peningkatan perbaikan gizi untuk mendapatkan manusia yang berkualitas dan mampu berdaya saing dalam percaturan globalisasi. Dari segi fisiologis, manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat memerlukan lebih 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis makanan. Tidak ada satupun jenis pangan yang lengkap gizinya kecuali ASI (Ariani 2008). Sementara, Hanafi mendefinisikan diversifikasi pangan lebih sempit
(dalam
konteks
konsumsi
menganekaragamkan jenis pangan
pangan)
yang
yaitu
dikonsumsi,
sebagai mencakup
upaya pangan
sumber energi dan zat gizi, sehingga memenuhi kebutuhan akan pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan baik ditinjau dari kuantitas maupun kualitasnya. Secara lebih tegas, Pakpahan dan Suhartini (1989) menyatakan dalam konteks Indonesia diversifikasi/keanekaragaman konsumsi pangan sering
diartikan
sebagai pengurangan konsumsi beras yang dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan pangan non beras. Menurut Suhardjo dan Martianto (1992) semakin beragam konsumsi pangan maka kualitas pangan yang dikonsumsi. Menurut Antara (2001) diversifikasi produksi pangan diartikan sebagai usaha penganekaragaman usahatani, baik secara horizontal maupun vertikal. Diversifikasi secara horizontal yang merupakan imbangan pengembangan antar berbagai komoditi dan wilayah, sedangkan diversifikasi secara vertikal diartikan pengembangan produksi setelah panen termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan pengolahan hasil dan limbah pertanian sebagai inti dari industrialisasi pertanian. Keuntungan dari diversifikasi horizontal yaitu: (1) Mengurangi resiko dengan menyebarkan resiko tersebut kepada beberapa jenis tanaman. Kegagalan panen satu jenis tanaman, dapat dikompensasi oleh keberhasilan panen jenis tanaman lainnya, sehingga ketersediaan pangan masih dalam keadaan aman. (2) Menyediakan beranekaragam gizi yang dihasilkan oleh berbagai jenis tanaman, ternak atau ikan yang memang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Sedangkan keuntungan diversifikasi vertikal, yakni tersedianya keanekaragaman berbagai jenis pangan yang dapat meningkatkan nilai dari bahan pangan tersebut dan merubah selera konsumen. Menurut
Antara
(2001)
Diversifikasi
konsumsi
sebagai
derivasi
diversifikasi vertikal sangat penting peranannya dalam mengurangi beban
20
sumberdaya untuk memproduksi satu atau dua komoditas pangan. Penyebaran beban ini akan erat kaitannya, baik dengan kapasitas produksi sumberdaya alam dan kelestariannya, maupun dengan tingkat gizi masyarakat. Menurut Pakpahan dan Effendi 1990 yang diacu dalam Antara (2001), hal yang harus diperhatikan dalam diversiifikasi konsumsi
adalah: (1) Keanekaragaman pangan adalah
barang mewah, karena itu, diversifikasi konsumsi
hanya terjadi apabila
pendapatan masyarakat meningkat; (2) Penyempurnaan teknologi pangan dapat menghasilkan pangan non beras yang dapat merubah status komoditas pangan non beras ini dari pangan yang sebelumnya tidak disukai (inferior) menjadi bagian dari pola makanan sehari-hari (superior), khususnya oleh kalangan menengah ke atas; (3) Merubah pola makan atau kebiasaan makan masyarakat yang dapat dilaksanakan melalui distribusi pengeluaran yang berlaku. Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Dalam hubungannya dengan diversifikasi pangan, Soekartawi 1993 diacu dalam Antara (2001) menganjurkan untuk menggali potensi tanaman tradisional (lokal) yang sudah terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Komoditi uji jalar, ketela pohon, bentul, uwi, gembili, dan masih banyak ragam makanan lokal seolah-olah tertinggalkan. Selain itu, dianjurkan untuk menggali potensi diversifikasi
pangan
yang
dikonsumsi
golongan
miskin,
dengan
tetap
memperhatikan kandungan gizi. Penerapan konsep PPH sebagai pendekatan perencanaan kebutuhan konsumsi dan penyediaan pangan dalam pembangunan pangan sejalan dengan tujuan ketahanan pangan dan penganekaragaman konsumsi pangan, karena tujuan ketahanan pangan adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi penduduk baik jumlah maupun mutu yang terjangkau secara merata agar hidup sehat, aktif, dan produktif. Pada dasarnya, tingkat keanekaragaman pangan mencerminkan perimbangan komposisi antar jenis dan keanekaragaman
21
pangan. Oleh karena itu, salah satu parameter yang dapat dipakai untuk menilai keanekaragaman pangan adalah PPH (Angga et al 2004). Karakteristik Pedesaan dan Perkotaan Penentuan suatu desa atau kelurahan digolongkan perkotaan atau pedesaan dilakukan pada Sensus penduduk tahun 2000. Untuk menentukan apakah suatu desa tertentu termasuk daerah perkotaan atau pedesaan digunakan suatu indikator komposit (indikator gabungan) yang skor atau nilainya didasarkan pada skor atau nilai-nilai tiga buah variabel: kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum (BPS 2006). Cara perhitungan skor ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Variabel/klasifikasi, skor dan kriteria desa 2000 Variabel/klasifikasi (1) Total Skor Skor Minimum Skor Maksimum 2 1. Kepadatan Penduduk/km < 500 500 – 1249 1250 – 2499 2500 – 3999 4000 – 5999 6000 – 7499 7500 – 8499 > 8500 2. Persentase Rumah Tangga Pertanian ≥ 70.00 50.00 – 69.99 30.00 – 49.99 20.00 – 29.99 15.00 – 19.99 10.00 – 14.99 5.00 – 9.00 < 5.00 3. Akses Fasilitas Umum A. Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) Ada atau ≤ 2.5 Km > 2.5 Km B. Sekolah Menengah Pertama Ada atau ≤ 2.5 Km > 2.5 Km C. Sekolah Menengah Umum Ada atau ≤ 2.5 Km > 2.5 Km D. Pasar Ada atau ≤ 2.5 Km > 2.5 Km E. Bioskop Ada atau ≤ 5 Km > 5 Km
Skor (2) 2 26 1 2 3 4 5 6 7 8 1 2 3 4 5 6 7 8 0, 1, 2, 3, ..., 10 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
22
Lanjutan Variabel/klasifikasi (1)
Skor (2)
E. Bioskop Ada atau ≤ 5 Km > 5 Km F. Pertokoan Ada atau ≤ 2 Km > 2 Km G. Rumah Sakit Ada atau ≤ 5 Km > 5 Km H. Hotel/Bilyard/Diskotek/Panti pijat/Salon Ada atau ≤ 2.5 Km > 2.5 Km I. Persentase Rumah Tangga yang mempunyai Telepon ≥ 8.00 Km < 8.00 Km J. Persentase Rumah Tangga yang mempunyai Listrik ≥ 90.00 < 90.00
1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
Cara perhitungan skor adalah sebagai berikut: variabel kapadatan penduduk mempunyai skor antara 1 – 8, satu bagi desa dengan kepadatan kurang dari 500 orang/km2, dua bagi desa dengan kepadatan antara 500 – 1.249 orang/km2 dan seterusnya sampai dengan 8 bagi desa dengan kepadatan lebih besar atau sama dengan 8.500 orang/km2. Skor persentase rumah tangga pertanian berkisar antara 1 – 8, satu bila desa memiliki 70% atau lebih rumah tangga tani, dua bila 50 – 69.99%, dan seterusnya sampai dengan delapan, bila desa mempunyai rumah tangga tani 5 persen atau kurang (BPS 2005b). Variabel akses fasilitas umum merupakan kombinasi antara keberadaan dan akses untuk mencapai fasilitas perkotaan. Skor untuk akses fasilitas umum adalah 1 dan 0. Desa-desa yang tidak memiliki fasilitas perkotaan tetapi jaraknya relatif dekat dengan fasiitas perkotaan dan atau mudah mencapainya, maka desa tersebut dianggap setara dengan desa yang memiliki fasilitas dan diberi skor 1, dengan pertimbangan mudahnya akses kepada fasilitas perkotaan tersebut serupa dengan memiliki. Jumlah skor dari ketiga variabel tersebut kemudian digunakan untuk menentukan apakah suatu desa termasuk daerah perkotaan atau pedesaan. Desa dengan skor gabungan ketiga variabel 9 atau kurang digolongkan sebagai desa pedesaan, sedangkan desa dengan skor gabungan mencapai 10 atau lebih digolongkan sebagai desa perkotaan (BPS 2005b). Kemudian, desa-pedesaan disebut dengan desa, sedangkan desaperkotaan disebut kota.
23
KERANGKA PEMIKIRAN Menurut Suhardjo (1989), latar belakang sosial budaya mempengaruhi pemilihan jenis pangan melalui dua cara yaitu informasi mengenai gizi dan preferensi berdasarkan konteks dua karakteristik wilayah (desa dan kota). Sanjur (1982) menyatakan bahwa preferensi mempunyai struktur, serta struktur ini dapat berubah dan dipelajari sejak kecil dan bersifat plastis. Fisiologi, perasaan, dan sikap terintegrasi membentuk preferensi terhadap pangan dan akhirnya membentuk perilaku konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang cukup dari segi kualitas dan kuantitas merupakan salah satu wujud pengembangan diversifikasi pangan. Pengembangan diversifikasi pangan dapat dilihat dari preferensi pangan serta produksi wilayah sebagai daya dukung gizi pada karakteristik lingkungan. Preferensi pangan pada masyarakat berhubungan dengan karakteristik individu, makanan dan lingkungan. Pada penelitian ini hanya diteliti hubungan preferensi pangan dengan karakteristik individu dan lingkungan. Karakteristik individu diukur dengan pendidikan, pendapatan per kapita serta pengeluaran per kapita, sedangkan besar keluarga, pekerjaan informasi dari media massa, dan produksi pangan merupakan faktor yang diukur untuk karakteristik lingkungan. Besar keluarga biasanya merupakan faktor penentu dalam memilih jenis bahan makanan dan distribusi pangan antara anggota keluarga. Semakin besar ukuran keluarga maka pendapatan per kapita yang diterima akan semakin kecil. Pendapatan di dalam suatu keluarga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan. Pendapatan yang tinggi umumnya akan diikuti oleh peningkatan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Namun, hal itu juga tidak lepas dari peningkatan pengetahuan keluarga terutama ibu. Tingkat pengetahuan individu akan dipengaruhi juga oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi dapat memberikan peluang bagi percepatan proses peningkatan kesadaran gizi, yang diharapkan dapat mengubah perilaku konsumsinya. Seiring dengan perkembangan teknologi, informasi juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi preferensi pangan. Sumber informasi tersebut mencakup informasi yang diperoleh media massa baik cetak maupun elektronik. Perkembangan teknologi informatika serta strategi komunikasi publik dapat menyediakan peluang yang tinggi untuk mempercepat proses, serta memperluas jangkauan upaya pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarganya (Suryana 2008).
23
Konsumsi Pangan
Pengembangan Diversifikasi Pangan
Preferensi Pangan
Karakteristik Individu:
Karakteristik Makanan:
Pendidikan terakhir Pendapatan per kapita Pengeluaran per kapita
Rasa Rupa Tekstur Tipe makanan Bentuk Bumbu Kombinasi makanan Harga pangan
Karakteristik Lingkungan: Besar keluarga Pekerjaan Sumber informasi media massa: Elektronik Cetak Daya dukung gizi (Produksi pangan)
Gambar 1 Preferensi pangan dihubungkan dengan karakteristik individu dan lingkungan Keterangan:
: variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti
: hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Preferensi
Pangan
Masyarakat
Kabupaten
Bogor
ini
merupakan bagian dari penelitian Analisis Konsumsi Pangan (Preferensi Pangan Masyarakat) Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian disebabkan oleh: 1) memiliki jumlah wilayah desa dan kota tertinggi di Jawa Barat yaitu 428 desa/kota (BPS 2008); 2) proporsi desa dan kota cenderung mendekati karakteristik Jawa Barat; 3) jumlah penduduk terbesar kedua setelah Kabupaten Bandung yaitu 4.100.934 orang (Suseda 2005). Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Pemilihan kecamatan serta desa sebagai lokasi penelitian dilakukan dengan analisis cluster. Analisis cluster merupakan teknik multivariat yang mempunyai tujuan utama untuk mengelompokkan objek-objek berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Analisis cluster mengklasifikasi objek sehingga setiap objek yang paling dekat kesamaannya dengan objek lain berada dalam cluster yang sama. Pengelompokan lokasi penelitian sebagai obyek berdasarkan karakteristik wilayah desa dan kota. Kecamatan Dramaga terpilih dengan pertimbangan mewakili karakteristik wilayah desa dan kota secara seimbang (BPS 2006). Penentuan wilayah desa dan kota secara purposive berdasarkan potensi wilayah dan disertai dengan penghitungan skor wilayah desa dan kota berdasarkan Statistik Kesejahteraan Rakyat. Desa yang terpilih adalah Desa Babakan yang mewakili karakteristik kota dan Desa Purwasari yang mewakili karakteristik desa. Pemilihan RW, RT hingga contoh penelitian dilakukan secara simple random sampling (lihat Gambar 2). Waktu penelitian meliputi tahap persiapan, pengumpulan data primer serta entri dan cleaning data dilaksanakan bulan November hingga Desember 2008. Pengolahan, analisis data serta penulisan laporan pada bulan Januari sampai Agustus 2009. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Contoh penelitian ini diambil dengan menggunakan metode acak sederhana. Kriteria contoh pada penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang termasuk dalam kategori usia 20-45 tahun dan tinggal di Desa Babakan dan Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pemilihan contoh ini dengan pertimbangan bahwa ibu merupakan house keeper yang mengatur pangan yang
26
diberikan kepada setiap anggota keluarganya, sehingga preferensi pangan ibu akan mempengaruhi penyediaan pangan dan preferensi pangan di tingkat rumah tangga. Selain itu, pemilihan contoh pada usia 20-45 tahun disebabkan karena pada usia tersebut, contoh masih mampu mengerti pertanyaan yang diajukan pada kuesioner dengan baik. Contoh penelitian sebanyak 60 orang dari tiga RT yang terpilih dari tiga RW untuk masing-masing karakteristik wilayah desa dan kota, sehingga total contoh yang diteliti sebesar 120 orang. Cara pengambilan contoh dijelaskan pada Gambar 2 di bawah ini: Kabupaten Bogor
Cluster
Kecamatan terpilih
Desa terpilih (Desa)
Desa terpilih (Kota)
RW terpilih
RW terpilih
RW terpilih
RT terpilih
RT terpilih
RT terpilih
20 RMT
20 RMT
20 RMT
Simple random sampling
Gambar 2 Cara pengambilan contoh penelitian Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang terkumpul diolah dan dianalisis untuk mengetahui hubungan Preferensi Pangan Masyarakat dengan karakteristik individu dan lingkungan pada ibu yang berusia 20-45 tahun di Desa Babakan dan Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara langsung oleh peneliti dengan menggunakan kuesioner untuk setiap rumah tangga contoh. Kuesioner untuk identifikasi karakteristik individu, lingkungan serta preferensi pangan dapat dilihat pada lampiran. Pembuatan kuesioner preferensi pangan ini mengacu pada Pedoman Metode Pemantauan dan Analisis Preferensi Pangan Masyarakat. Pangan yang terdapat dalam kuesioner ini merupakan pangan
27
primer/pangan dasar yang digunakan sebagai bahan dasar sebelum dikenai proses pengolahan lebih lanjut. Data sekunder yang digunakan meliputi Profil Desa Babakan dan Purwasari. Data profil desa ini digunakan untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian disertai dengan potensi wilayah di daerah tersebut. Selanjutnya, digunakan data Kabupaten Bogor dalam Angka untuk mengetahui produksi pangan di Kabupaten Bogor yang digunakan untuk penghitungan ketersediaan pangan. Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data Jenis data Primer
Sekunder
Data Karakteristik individu Karakteristik lingkungan Informasi yang diperoleh dari media massa Preferensi Pangan Masyarakat Profil Desa Babakan dan Desa Purwasari Kabupaten Bogor dalam Angka
Cara Pengumpulan Data Wawancara Wawancara Wawancara Wawancara Turun Lapang (Data Desa) BPS 2006
Alat Ukur Kuesioner Kuesioner Kuesioner Kuesioner -
Kuesioner sumber informasi dari media massa disusun peneliti. Oleh karena itu, dilakukan pengujian reliabilitas kuesioner. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989) reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten, maka alat pengukur tersebut reliabel. Dengan kata lain reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur dalam mengukur gejala yang sama. Salah satu cara untuk mengukur reliabilitas adalah dengan menggunakan Uji Croncbach’s Alpha. Hasil uji kuesioner untuk televisi, radio, media cetak (koran, majalah, tabloid), dan internet berturut-turut adalah 0.770, 0.848, 0.839, 0.726 dengan derajat kebebasan N = 10-1 = 9. Berdasarkan tabel angka kritik nilai r, dengan derajat kebebasan 9 nilai Croncbach’a Alpha adalah 0.602, sehingga keempat variabel pada kuesioner lebih dari nilai kritik. Oleh karena itu, kuesioner ini dikatakan reliabel. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data meliputi coding, entry, editing, cleaning, dan analisis data. Data dianalisis dengan metode deskriptif dan metode inferensia. Setelah data entri dilakukan cleaning data, sehingga hanya tersisa 106 contoh dengan data yang lengkap masing-masing untuk wilayah desa dan kota sebanyak 53
28
contoh. Seluruh data dientri ke dalam komputer dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS 16.0 for Windows untuk penarikan kesimpulan. Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif yang digunakan adalah analisis frekuensi dan crosstab untuk menjawab tujuan pertama hingga ketiga. Analisis inferensia meliputi uji korelasi Chi Square dan Spearman untuk menjawab tujuan ketiga serta keempat. Uji Chi Square digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel data nominal dengan data ordinal. Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan variabel antar data ordinal (Santoso 2008). Tujuan kelima dianalisis dengan penghitungan produksi pangan yang diterjemahkan dengan energi kemudian dibandingkan dengan kebutuhan. Ketersediaan energi diasumsikan seluruh berasal dari produksi pangan. Kemudian, ketersediaan energi aktual digunakan untuk mengetahui kontribusi energi aktual dengan cara sebagai berikut: Ketersediaan energi aktual Kontribusi kkal E (%) =
x % kontribusi ideal Ketersediaan energi ideal
Informasi dari media massa diukur dengan cara memberikan skor terhadap setiap pilihan jawaban pertanyaan. Masing-masing pertanyaan dan jawaban memiliki jenis pertanyaan dan skor yang berbeda-beda seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis dan cara pemberian skor pada variabel penelitian Variabel Media Massa
Jumlah Pertanyaan
Televisi
12
Radio
6
Koran
7 1
Majalah
7 1
Tabloid
7 1
Cara Pemberian Skor Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-4 Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-1 Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-4 Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-1 Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-4 Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-1 Pertanyaan terbuka Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-4 Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-1 Pertanyaan terbuka Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-4 Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-1 Pertanyaan terbuka
Skor Maksimum
Skor Minimum
34
0
19
0
19
0
19
0
19
0
29
Lanjutan Variabel Media Massa
Jumlah Pertanyaan
Internet
Cara Pemberian Skor
Skor Maksimum
Skor Minimum
8
0
Pertanyaan tertutup kisaran skor 0-1 Pertanyaan terbuka kisaran skor 0-1
4
Setelah masing-masing variabel tersebut dilakukan skoring, selanjutnya digolongkan berdasarkan kategori. Cara pengkategorian dan analisis variabel penelitian disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Cara pengkategorian variabel penelitian Variabel Tipe Wilayah Pendidikan Terakhir
Pendapatan (/kap/bulan) Pengeluaran (/kap/bulan) Besar Keluarga
Pekerjaan Contoh
Pekerjaan Suami
Informasi dari media massa Paparan media informasi PPM
Kategori Desa Kota 0. Tidak/belum tamat SD 1. SD/setara 2. SMP/setara 3. SMA/setara 4. Diploma I/II 5. Diploma III/Akademi 6. Perguruan Tinggi 1. Rendah (
Rp352 432) 1. Kecil (<4) 2. Sedang (4-7) 3. Besar (>7) 1. PNS 2. Pegawai swasta 3. Perdagangan/jasa 4. Petani/buruh tani 5. Ibu rumah tangga 0. Sudah meninggal/bercerai 1. TNI/Polri 2. PNS 3. Pegawai swasta 4. Perdagangan/jasa 5. Petani/ buruh tani 6. Pensiunan 1. Kurang (<50%) 2. Cukup (>50%) 1. Tidak terpapar (<3) 2. Terpapar (≥3) 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Biasa 4. Suka 5. Sangat suka
Analisis Deskriptif Deskriptif
Sumber BPS (2005) BPS (2003)
Deskriptif
Sebaran contoh
Deskriptif
BPS (2008)
Deskriptif
Hurlock (1980)
Deskripsi
Sebaran contoh
Deskriptif
Sebaran contoh
Deskriptif
Sebaran contoh
Deskriptif
Sebaran contoh
Deskriptif
Sikap kesukaan
30
Lanjutan Variabel Alasan PPM
Kategori Analisis Sumber 0. Belum pernah Deskriptif Sebaran contoh 1. Ekonomi 2. Pangan 3. Kebiasaan 4. Kesehatan 5. Psikologis Hubungan antara karakteristik individu (pendidikan terakhir, pendapatan per Inferensia (Uji Chi Square dan kapita, pengeluaran per kapita), lingkungan Spearman) (besar keluarga, pekerjaan, informasi dari media massa) dengan PPM Analisis pangan lokal 1. Aktual (produksi pangan) Deskriptif (Penghitungan kontribusi yang potensial untuk 2. Normatif (PPH) energi berdasarkan produksi pengembangan pangan) diversifikasi pangan
Definisi Operasional Contoh adalah ibu rumah tangga berusia 20-45 tahun yang tinggal di desa dengan karakteristik wilayah desa yang mewakili desa dan kota. Preferensi Pangan Masyarakat adalah sikap contoh dalam memilih pangan yang dikelompokkan dalam 9 kelompok pangan yang didasari oleh berbagai pertimbangan yaitu belum pernah mengkonsumsi, ekonomi, faktor pangan, kebiasaan, kesehatan, serta psikologis yang diukur dengan skala dari 1 (sangat tidak suka) hingga 5 (sangat suka). Desa adalah kriteria desa menurut BPS yaitu wilayah yang berdasarkan kriteria kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum memiliki skor gabungan di bawah 10 sesuai dengan data Statistik Kesejahteraan Rakyat (2005). Kota adalah kriteria kota menurut BPS yaitu wilayah yang berdasarkan kriteria kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum memiliki skor gabungan 10 ke atas sesuai dengan data Statistik Kesejahteraan Rakyat (2005). Karakteristik Individu adalah faktor yang berhubungan dengan preferensi pangan masyarakat diukur dari pendidikan terakhir, pendapatan per kapita serta pengeluaran per kapita. Pendidikan Terakhir adalah jenjang pendidikan formal yang diselesaikan contoh dan suami, dibedakan menjadi tidak atau belum tamat SD, SD/setara, SMP/setara, SMU/setara, Diploma I/II, Diploma III/Akademi, dan Perguruan Tinggi. Pendapatan Per Kapita adalah jumlah penghasilan yang berasal dari anggota keluarga yang dinilai dengan uang dalam kurun waktu satu bulan terakhir dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang dinyatakan dalam
31
rupiah/kapita/bulan yang digolongkan menjadi pendapatan rendah, sedang, dan tinggi. Pengeluaran Per Kapita adalah jumlah pengeluaran baik pangan maupun nonpangan yang berasal dari anggota keluarga yang dinilai dengan uang dalam kurun waktu satu bulan terakhir dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah/kapita/bulan yang digolongkan menjadi pengeluaran rendah, sedang, dan tinggi. Karakteristik Lingkungan adalah faktor yang berhubungan dengan preferensi pangan masyarakat diukur dengan variabel besar keluarga, pekerjaan, informasi dari media massa, serta produksi pangan. Besar Keluarga adalah banyaknya orang yang tinggal dalam satu keluarga dan menjadi tanggung jawab kepala keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang digolongkan menjadi kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang), besar (> 7 orang). Pekerjaan adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh contoh dan suami yang terdiri
dari
TNI/POLRI,
PNS,
pegawai
swasta,
petani,
perdagangan/jasa, buruh tani, pelajar, ibu rumah tangga, lain-lain. Informasi dari media massa adalah keseluruhan informasi yang diperoleh contoh mengenai pangan dan gizi baik terpapar maupun tidak terpapar yang berasal dari media massa elektronik (televisi, radio, dan internet) serta media cetak (koran, majalah, tabloid). Pengembangan diversifikasi pangan adalah penganekaragaman konsumsi pangan untuk menentukan pangan lokal yang dapat dijadikan sebagai alternatif non-beras dengan mempertimbangkan preferensi terhadap pangan sumber karbohidrat, protein hewani, protein nabati, vitamin serta mineral serta produksi pangan di Kabupaten Bogor.
32
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Kecamatan Dramaga Kecamatan Darmaga merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 2,437.636 ha. Sebagian besar tanah yaitu 972 ha digunakan untuk sawah, 1,145 ha untuk lahan kering (pemukiman, pekarangan, kebun), 49.79 ha lahan basah (rawa, danau, tambak, situ), 20.30 ha lapangan olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Darmaga mempunyai batas wilayah sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah
selatan
dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas, sebelah barat dengan Kecamatan Ciampea, dan sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat. Curah hujan di Kecamatan Darmaga 1000 - 1500 mm/tahun, dengan ketinggian 500 m dari permukaan laut. Jarak Kecamatan Darmaga dari ibukota Kabupaten Bogor adalah 12 km, dari ibukota Propinsi Jawa Barat 180 km. Jumlah keluarga sebanyak 22.143 KK dengan 310 Rukun Tetangga (BPS 2005). Menurut BPS (2005) Kecamatan Dramaga memiliki 10 desa yaitu Babakan, Ciherang, Cikarawang, Dramaga, Neglasari, Petir, Purwasari, Sinar Sari, Suka Damai, dan Sukawening dengan jumlah keluarga sebesar 22.143 KK atau 310 Rukun Tetangga. Berdasarkan karakteristik wilayah desa, desa dibagi menjadi kota dan desa. Kecamatan Dramaga memiliki perbandingan desa dan kota yang sama yaitu 5 desa termasuk kota, dan 5 desa yang termasuk desa. Penelitian ini dilakukan di
Desa Babakan untuk mewakili kota, dan Desa
Purwasari untuk desa. Desa Babakan Desa Babakan memiliki luas wilayah sebesar 334.384 ha dengan 5 ha wilayah digunakan untuk tanah sawah irigasi, dan 244 ha untuk tanah perkebunan negara. Jarak Desa Babakan ke ibu kota kecamatan terdekat adalah 1 km dengan waktu tempuh setengah jam, sedangkan jarak ke ibu kota kabupaten adalah 22 km dengan waktu tempuh 1.5 jam. Kendaraan umum yang digunakan
untuk
pengukuran
waktu
tempuh
tersebut
adalah
dengan
menggunakan angkutan umum (angkot). Jumlah penduduk di Desa Babakan adalah 8.667 jiwa pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 10.798 jiwa tahun 2008. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai pegawai swasta dan di bidang perdagangan atau jasa yang disajikan pada Tabel 5.
33
Tabel 5 Distribusi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Pekerjaan TNI/POLRI PNS Pegawai Swasta Petani Perdagangan/Jasa Buruh Tani Lainnya Total
Jumlah (orang) 65 790 1372 1214 106 3547
% 1.8 22.3 38.7 0.0 34.2 0.0 3.0 100
Tingkat pendidikan di Desa Babakan cukup baik. Hal ini terlihat dari rendahnya persentase masyarakat yang tidak sekolah atau tidak tamat SD dibandingkan dengan masyarakat yang dapat menyelesaikan pendidikannya bahkan hingga tingkat perguruan tinggi, dan ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Distribusi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan No. 1. 2. .3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Tingkat Pendidikan Belum sekolah Usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat D-1 D-2 D-3 S-1 S-2 S-3 Total
Jumlah (orang) 507 1520 512 1750 1215 1320 733 205 175 380 184 70 8571
% 5.9 17.7 6.0 20.4 14.2 15.4 8.6 2.4 2.0 4.4 2.1 0.8 100.0
Prasarana air bersih di Desa Babakan terdiri dari 1 unit sumur pompa, 1.047 unit sumur gali, 4 mata air, dan 1 unit hidran umum. Prasarana ibadah terdiri dari 9 masjid dan 34 surau atau mushola. Selain itu, Desa Babakan juga memiliki 28 prasarana olah raga. Prasarana kesehatan terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Prasarana kesehatan di Desa Babakan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prasarana Kesehatan Puskesmas Poliklinik/balai pengobatan Apotik Posyandu Toko obat Tempat dokter praktek Total
Jumlah 1 5 1 8 3 5 23
Sarana dan prasarana transportasi dan perhubungan dalam keadaan baik termasuk jalan, jembatan dan angkutan umum, telekomunikasi, serta kantor pos. Prasarana pendidikan disajikan pada Tabel 8.
34
Tabel 8 Prasarana pendidikan di Desa Babakan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Total
skor
Prasarana Pendidikan TK SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Perguruan Tinggi Lembaga Pendidikan Agama Perpustakaan Total
Desa
Babakan
untuk
Jumlah 2 4 3 3 1 5 11 29
variabel
kepadatan
penduduk,
persentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum adalah 17. Berdasarkan BPS (2005b) desa dengan skor gabungan ketiga variabel mencapai 10 atau lebih digolongkan sebagai desa kota. Desa Purwasari Luas wilayah Desa Purwasari adalah 211.011 ha dengan penggunaan terbesar untuk pertanian sawah yaitu seluas 158.804 ha, serta pemukiman seluas 34.916 ha. Desa Purwasari mempunyai batas wilayah sebelah utara yaitu Desa Petir, sebelah selatan dengan Desa Sukajadi, sebelah barat dengan Situ Daun, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Petir dan Sukajadi. Jarak Desa Purwasari ke ibu kota kecamatan sejauh 7 km dengan waktu tempuh 0.5 jam, sedangkan jarak ke ibu kota Kabupaten sejauh 30 km dengan waktu tempuh 2.5 jam. Pengukuran waktu tempuh tersebut dengan menggunakan fasilitas angkutan umum (angkot) sama seperti di Desa Babakan. Jumlah penduduk di Desa Purwasari adalah sebanyak 5.943 jiwa dengan 2.405 KK. Sebagian besar masyarakat di Desa Purwasari bekerja sebagai petani. Pekerjaan di Desa Purwasari ditampilkan pada Tabel 9. Tabel 9 Distribusi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan No. 1. 2. 3.
Jenis Pekerjaan Petani Pekerja di sektor jasa Pekerja di sektor industri Total
Jumlah (orang) 1212 179 174 1565
% 77.4 11.4 11.1 100
Tingkat pendidikan di Desa Purwasari juga cukup baik sama dengan Desa Babakan. Desa Purwasari juga didukung sarana dan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, dan perhubungan. Menurut data potensi wilayah tahun 2001, Desa Purwasari hanya memiliki 3 SD dan 1 SMP. Desa ini juga memiliki Puskesmas dan 8 Posyandu. Selain itu, jalan di desa ini sebagian besar diaspal dan dalam kondisi baik. Desa Purwasari juga memiliki sarana irigasi dalam kondisi baik. Sarana ibadah yang terdapat di desa ini adalah 8 buah masjid dan
35
10 mushola. Selain itu, terdapat lembaga keagamaan berupa 6 Majelis Taklim. Total skor Desa Purwasari untuk variabel kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses fasilitas umum adalah 7. Berdasarkan BPS (2005b) desa dengan skor gabungan ketiga variabel kurang dari 10 digolongkan sebagai desa. Tingkat pendidikan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Distribusi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan No. 1. 2. .3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Akademik Tamat Perguruan Tinggi Kejar Paket A yang mengikuti Ujian Persamaan Pendidikan Khusus Total
Jumlah (orang) 326 1452 1289 560 4 45 345 4021
% 8.1 36.1 32.1 13.9 0.1 0.0 1.1 8.6 100.0
Karakteristik Individu Pendidikan Terakhir Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang akan mempengaruhi jenis pekerjaan, pendapatan, serta pengeluaran keluarga. Tingkat pendidikan yang rendah, akan mengurangi peluang seseorang untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang relatif tinggi. Sebaran contoh berdasarkan pendidikan terakhir contoh dan suami ditampilkan pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan terakhir Desa Jenis Pekerjaan n Tidak sekolah/tidak tamat SD SD/setara SMP/setara SMA/setara Diploma I/II Akademi/Diploma III Perguruan Tinggi Total
Kota
Suami 9 26 12 6 0 0 0 53
Isteri % 17.0 49.1 22.6 11.3 0.0 0.0 0.0 100
n 10 31 10 2 0 0 0 53
Suami % 18.9 58.5 18.9 3.8 0.0 0.0 0.0 100
n 5 16 11 20 0 0 1 53
% 9.4 30.2 20.8 37.7 0.0 0.0 1.9 100
n 4 24 14 6 3 2 0 53
Isteri % 7.5 45.3 26.4 11.3 5.7 3.8 0.0 100
Sebagian besar contoh baik di kota (45.3%) maupun di desa (58.5%) mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat SD/setara. Selanjutnya, untuk contoh di kota, proporsi tingkat pendidikan terakhir contoh adalah SMP/setara (26.4%), SMA/setara (11.3%), dan tidak sekolah/belum tamat SD (7.5%). Selain itu, contoh di kota juga telah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi yaitu Diploma (9.5%). Contoh di wilayah desa memiliki proporsi yang sama untuk pendidikan terakhir SMP/setara serta tidak sekolah/belum tamat SD yaitu
36
sebesar 18.9%. kemudian, hanya 3.2% atau sebanyak 2 orang yang mampu menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA/setara. Suami
contoh
di
wilayah
kota
sebagian
besar
menyelesaikan
pendidikannya hingga tingkat SMA/setara (37.7%), diikuti dengan tingkat SD/setara (30.2%), SMP/setara (20.8%), serta tidak sekolah/tidak tamat SD (9.4%). Sama halnya dengan contoh, terdapat suami contoh di kota yang telah mengenyam pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi atau S1 (1.9%). Lain halnya dengan suami contoh di desa. Sebagian besar menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SD/setara (49.1%), kemudian proporsi terbanyak adalah SMP/setara (22.6%), tidak sekolah/tidak tamat SD (17%), serta SMA/setara (11.3%), tidak ada yang menyelesaikan pendidikan hingga tingkat lebih tinggi. Pendapatan Per Kapita Pendapatan keluarga merupakan jumlah pendapatan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga yang bekerja (/kapita/bulan). Pendapatan yang tinggi umumnya didukung juga dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar contoh baik di desa (54.7%) dan di kota (45.3%) tergolong dalam kategori pendapatan sedang. Sebanyak 35.8% contoh di desa memiliki pendapatan yang rendah, dan hanya 9.4% dengan pendapatan tinggi. Berbeda dengan contoh di desa, proporsi contoh dengan pendapatan tinggi (41.5%) lebih besar dibandingkan dengan contoh yang memiliki pendapatan rendah (13.2%). Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dapat dilihat pada Tabel 12. Rata-rata pendapatan per kapita contoh di desa adalah Rp186 665 (kategori sedang) dengan standar deviasi (Rp99 892), sedangkan di kota Rp 341 490 (kategori tinggi) dengan standar deviasi (Rp236 566). Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita Golongan Pendapatan Per Kapita Rendah (
Desa
Kota
n
% 19 35.8 29 54.7 5 9.4 53 100 (Rp186 665) (Rp99 892)
n
% 7 13.2 24 45.3 22 41.5 53 100 (Rp341 490) (Rp236 566)
Pengeluaran Per Kapita Pengeluaran per kapita ini merupakan jumlah pengeluaran pangan dan non pangan dalam waktu satu bulan terakhir dibagi dengan jumlah anggota keluarga
(/kapita/bulan).
Pengeluaran
pangan
yang
digunakan
adalah
pengeluaran untuk pangan pokok, lauk pauk, serta sayur dan buah, serta lainnya
37
(makanan jajanan/cemilan). Pengeluaran non-pangan meliputi pengeluaran untuk biaya pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi, gas, listrik, serta air. Pemilihan kategori pengeluaran tersebut karena merupakan alokasi terbanyak pengeluaran di tingkat rumah tangga. Golongan pengeluaran per kapita ini disusun berdasarkan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat tahun 2008 yaitu sebesar Rp 176.216. Menurut Khomsan (2009) konsep dasar garis kemiskinan (poverty line) ditetapkan berdasarkan besarnya pengeluaran per kapita untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar seseorang agar dapat hidup dengan layak. Oleh karena itu, digunakan garis kemiskinan digunakan sebagai penentu golongan pengeluaran per kapita. Tabel 13 menunjukkan sebaran pengeluaran per kapita contoh di wilayah desa dan kota. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran per kapita Golongan Pengeluaran Per Kapita Rendah (Rp 352 432) Total Rata-rata Standar deviasi
Desa n
% 36 67.9 17 32.1 0 0 53 100 (Rp167475) (Rp66 837)
Kota N
% 15 28.3 30 56.6 8 15.1 53 100 (Rp262 363) (Rp172 023)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh di desa (67.9%) termasuk keluarga dengan pengeluaran rendah, sisanya sebanyak 32.1% termasuk pengeluaran sedang. Pengeluaran keluarga di wilayah kota lebih beragam dibandingkan di desa. Sebagian besar contoh tergolong pengeluaran sedang (56.6%), selanjutnya pengeluaran rendah (28.3%), dan pengeluaran tinggi (15.1%). Rata-rata pengeluaran per kapita contoh di desa adalah Rp167 475 (rendah) dengan standar deviasi (Rp66 837), sedangkan di kota sebesar Rp262 363 (sedang) dengan standar deviasi (Rp172 023). Karakteristik Lingkungan Besar Keluarga Sebaran contoh di desa memiliki keluarga kecil (58.5%), dan keluarga sedang (41.5%). Keluarga kecil merupakan keluarga dengan jumlah anggota keluarga kurang dari 4 orang, keluarga sedang 4-7 orang, sedangkan keluarga besar lebih dari 7 orang. Seiring dengan pengeluaran per kapita, besar keluarga di kota menyebar mulai dari keluarga kecil hingga keluarga besar. Sebagian besar contoh di kota juga memiliki keluarga kecil (64.2%), dan contoh lainnya memiliki keluarga sedang (34.0%) dan keluarga besar (1.9%). Rata-rata contoh di desa memiliki keluarga sejumlah 4 orang (sedang) dengan standar deviasi 1
38
orang, begitu pula di kota sebesar 4 orang dengan standar deviasi 1 orang. Pola sebaran besar keluarga sama dengan pendapatan dan pengeluaran per kapita contoh dan ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Golongan Keluarga Kecil (<4 orang) Sedang (4-7 orang) Besar (>7 orang) Total Rata-rata Standar deviasi
Desa n
Kota %
31 22 0 53
n 58.5 41.5 0.0 100
4.2 1.3
% 34 18 1 53
64.2 34.0 1.9 100 4.1 1.4
Pekerjaan Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh di desa (69.8%) maupun di kota (64.2%) adalah ibu rumah tangga. Pekerjaan contoh lainnya untuk di desa hanya di bidang perdagangan/jasa (28.3%) serta buruh tani (1.9%). Pekerjaan contoh di kota lebih beragam sebagian bekerja di bidang perdagangan/jasa (30.2%), lainnya sebagai pegawai swasta (3.8%) serta PNS (1.9%). Tabel 15 menyajikan sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan Jenis Pekerjaan Sudah meninggal/bercerai TNI/POLRI PNS Pegawai swasta Perdagangan/jasa Petani/buruh tani IRT Pensiunan Total
Desa Suami Contoh n % n % 1 1.9 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 1.9 0 0.0 1 1.9 0 0.0 45 84.9 15 28.3 5 9.4 1 1.9 0 0 37 69.8 0 0 0 0.0 53 100 53 100
Kota Suami Contoh n % n % 3 5.7 0 0.0 0 0 0 0.0 5 9.4 1 1.9 7 13.2 2 3.8 36 67.9 16 30.2 1 1.9 0 0.0 0 0 34 64.2 1 1.9 0 0.0 53 100 53 100
Suami contoh sebagian besar bekerja di bidang perdagangan/jasa untuk di desa sebesar 84.9%, sedangkan di desa sebesar 67.9%. Pada pekerjaan suami terdapat golongan pekerjaan suami yang sudah meninggal/bercerai. Golongan ini menandakan bahwa contoh menjadi kepala keluarga, dan tidak ada pemberian nafkah untuk keluarga dari suami. Sebesar 1.9% contoh atau 1 orang contoh di desa merupakan tulang punggung keluarga, sedangkan di kota sebanyak 3.7% atau sebanyak 3 orang. Suami contoh di desa memiliki 3 golongan pekerjaan dengan proporsi yang sama (1.9%) untuk pekerjaan sebagai PNS, pegawai swasta, serta petani, lainnya (7.5%) sebagai buruh tani. Sebaran
39
pekerjaan suami contoh di kota lainnya adalah PNS (9.4%), pegawai swasta (13.2%), serta petani/buruh tani sebesar 1.9%. Informasi dari Media Massa Sumber informasi dari media informasi diperoleh dengan kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai frekuensi, jenis informasi pangan dan gizi yang diperoleh serta penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Kuesioner berisi pertanyaan tertutup dengan skor yang berlainan. Penggolongan sumber informasi yang diperoleh contoh ini adalah kurang (<50%), dan cukup (≥50%). Sebaran contoh berdasarkan informasi media massa ditampilkan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan informasi dari media massa Wilayah Desa
Kota
Sumber Informasi Televisi Radio Koran Majalah Tabloid Internet Televisi Radio Koran Majalah Tabloid Internet
Perolehan Informasi Kurang Cukup n % n % 29 54.7 24 45.3 48 90.6 5 9.4 48 90.6 5 9.4 52 98.1 1 1.9 53 100 0 0.0 53 100 0 0.0 16 30.2 37 69.8 46 86.7 7 13.2 47 88.7 6 11.3 44 83.0 9 17.0 46 86.8 7 13.2 53 100 0 0.0
Total n 53 53 53 53 53 53 53 53 53 53 53 53
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui situasi perolehan informasi contoh dari media massa lebih baik melalui televisi. Sebagian besar contoh cukup memperoleh informasi dari televisi baik di desa (45.3%), dan di kota (69.8%). Sebaran contoh yang tergolong cukup menerima informasi dari televisi di desa (45.3%) sedangkan di kota (69.8%). Contoh di desa lebih banyak memperoleh informasi dari radio dan koran yaitu sebesar 9.4%. Sebaran contoh di kota lebih beragam untuk jenis media massa yang digunakan. Contoh yang mendapat informasi dari majalah (17.0%) lebih besar dibandingkan dengan radio dan tabloid (13.2%), serta koran (11.3%). Internet belum menjadi media massa yang menarik untuk ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh kemampuan mengakses yang sulit, serta tingkat kesibukan yang tinggi dengan urusan rumah tangga. Selain itu, kebanyakan ibu rumah tangga memang belum bisa menggunakan fasilitas internet. Penelitian Firna (2008) juga menunjukkan bahwa contoh paling banyak memperoleh informasi mengenai pangan sumber kafein yang mereka konsumsi dari TV, kemudian diikuti koran/majalah.
40
Preferensi Pangan Masyarakat Preferensi Pangan Masyarakat Berdasarkan Wilayah Kelompok padi-padian meliputi beras, jagung, mie, roti, biskuit, dan bihun. Contoh di desa menyatakan suka terhadap beras (96.2%), jagung (90.6%), mie (94.3%), roti (92.5%), biskuit (96.2%), serta bihun (90.6%). Sama halnya dengan di wilayah desa, di kota sebagian besar menyukai semua jenis pangan yang terdapat dalam kelompok padi-padian ini. Contoh di kota yang menyukai beras (92.5%), jagung (77.4%), mie (73.6%), roti (86.8%), biskuit (83.0%), serta bihun (77.4%). Preferensi pangan masyarakat Kabupaten Bogor dari kelompok padipadian menyatakan bahwa pangan yang paling disukai adalah beras. Pangan yang disukai setelah beras adalah roti, biskuit, jagung, mie, dan terakhir bihun. Alasan contoh menyatakan sikap kesukaan terhadap beras sebagian besar karena kebiasaan, sedangkan untuk jenis pangan lainnya disebabkan karena faktor pangan itu sendiri. Hasil uji korelasi dengan menggunakan Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p=0.007) antara mie dengan kedua tipe wilayah. Contoh di desa lebih menyukai mie dibandingkan dengan contoh di kota. Contoh di desa lebih menyukai mie disebabkan oleh faktor pangan yang terdiri dari rasa serta kemudahan pengolahan, sedangkan contoh di kota yang tidak menyukai disebabkan oleh faktor pangan yaitu kandungan gizi pangan dan kesehatan. Tabel 17 Sebaran preferensi pangan kelompok padi-padian berdasarkan wilayah Preferensi Pangan (%) Alasan 1 2 3 4 5 Tipe* % 96.2 Desa Beras 0.0 0.0 0.0 3.8 3 83.0 90.6 Jagung 0.0 7.5 1.9 0.0 2 96.2 94.3 Mie 0.0 0.0 3.8 1.9 2 92.4 92.5 Roti 0.0 0.0 5.7 1.9 2 50.6 96.2 Biskuit 0.0 0.0 3.8 0.0 2 94.3 90.6 Bihun 0.0 7.5 0.0 1.9 2 98.1 92.5 Kota Beras 0.0 0.0 1.9 5.7 3 86.8 77.4 Jagung 0.0 11.3 5.7 5.7 2 88.7 73.6 Mie 0.0 7.5 1.9 17.0 2 88.7 86.8 Roti 0.0 1.9 1.9 9.4 2 90.6 83.0 Biskuit 0.0 9.4 3.8 3.8 2 84.9 77.4 Bihun 0.0 15.1 5.7 1.9 2 86.8 Keterangan: Preferensi: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Biasa 4. Suka 5. Sangat suka Alasan: 0 : Belum pernah 1 : Ekonomi 2 : Pangan 3 : Kebiasaan 4 : Kesehatan 5 : Psikologis Proporsi contoh didasarkan pada N=106 (53 untuk desa dan 53 untuk kota) Wilayah
Jenis Pangan
Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa preferensi pangan masyarakat Kabupaten Bogor sebagian besar menyatakan suka terhadap semua jenis
41
pangan di kelompok padi-padian, maka jenis pangan lainnya bisa digunakan sebagai pangan alternatif non-beras. Pangan lokal yang dapat digunakan tersebut antara lain jagung. Menurut Muchtadi (2008) diversifikasi pangan pokok sebagai pangan alternatif selain beras difokuskan kepada jagung dan singkong. Berdasarkan tabel 17 juga dapat diketahui bahwa preferensi pangan masyarakat Kabupaten Bogor menyatakan suka terhadap jagung, sehingga jagung bisa digunakan sebagai pangan alternatif untuk diversifikasi pangan pokok selain beras. Pemilihan jagung sebagai pangan alternatif non-beras karena pangan lainnya merupakan pangan olahan dari terigu (mie, roti, biskuit) serta olahan beras (bihun). Berdasarkan tabel 18 dapat dilihat bahwa pada kelompok umbi-umbian sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap semua jenis pangan kecuali gaplek di wilayah kota dan gaplek serta talas untuk wilayah desa. Semua contoh di desa (100%) menyukai ubi jalar, dan sebagian besar menyatakan suka terhadap singkong (96.2%), kentang (90.6%), talas dan sagu (83%). Contoh di daerah desa hanya 52.8% yang menyatakan suka terhadap gaplek, lainnya menyatakan tidak suka. Sebagian besar contoh di kota menyatakan suka terhadap singkong (96.2%), ubi jalar (100%), kentang (86.8%), dan sagu (75.5%), sedangkan untuk talas (56.6%), dan gaplek (58.5%). Contoh yang menyatakan tidak suka terhadap talas (39.6%), dan untuk gaplek (41.5%). Tabel 18 Sebaran preferensi pangan kelompok umbi-umbian berdasarkan wilayah Wilayah
Jenis Pangan
Preferensi Pangan (%) 1
2
3
4
Alasan 5
Tipe*
%
96.2 Singkong 0.0 1.9 1.9 0.0 2 79.2 100 Ubi jalar 0.0 0.0 0.0 0.0 2 90.6 90.6 Kentang 0.0 3.8 3.8 1.9 2 96.2 83.0 Talas 0.0 13.2 3.8 0.0 2 90.6 83.0 Sagu 0.0 15.1 1.9 0.0 2 84.9 47.2 52.8 Gaplek 0.0 0.0 0.0 2 45.3 79.2 Kota Singkong 0.0 3.8 3.8 13.2 2 69.8 83.0 Ubi jalar 0.0 3.8 9.4 3.8 2 83.0 86.8 Kentang 0.0 7.5 1.9 3.8 2 79.2 56.6 Talas 0.0 39.6 3.8 0.0 2 54.7 75.5 Sagu 0.0 20.8 3.8 0.0 2 75.7 41.5 58.5 Gaplek 0.0 0.0 0.0 2 43.4 Keterangan: Preferensi: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Biasa 4. Suka 5. Sangat suka Alasan: 0 : Belum pernah 1 : Ekonomi 2 : Pangan 3 : Kebiasaan 4 : Kesehatan 5 : Psikologis Proporsi contoh didasarkan pada N=106 (53 untuk desa dan 53 untuk kota) Desa
Alasan contoh menyatakan preferensinya terhadap pangan kelompok umbi-umbian sebagian besar disebabkan karena pangan itu sendiri. Preferensi
42
Pangan Masyarakat Kabupaten Bogor menyatakan bahwa jenis pangan yang paling disukai adalah ubi jalar, diikuti oleh kentang, singkong, sagu, serta talas dan gaplek. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara preferensi singkong (p=0.036), ubi jalar (p=0.020), dan talas (p=0.08) dengan tipe wilayah. Contoh di desa lebih menyukai singkong, ubi jalar serta talas dibandingkan dengan contoh di kota. Hal ini diduga disebabkan karena pangan umbi-umbian dianggap pangan tidak elit, sehingga contoh di kota lebih sedikit yang menyatakan suka terhadap pangan tersebut. Kelompok umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat selain kelompok padi-padian, sehingga berdasarkan preferensi masyarakat Kabupaten Bogor tersebut, kelompok umbi-umbian bisa digunakan sebagai salah satu kelompok pangan alternatif dalam diversifikasi pangan. Pangan yang berpotensi dijadikan sebagai pangan alternatif non-beras adalah ubi jalar, singkong, dan talas. Sebagian besar contoh di desa maupun kota berdasarkan tabel 19 menyatakan suka terhadap kelompok pangan daging, kecuali untuk daging kambing bagi contoh di desa. Sebagian besar contoh di wilayah desa menyatakan suka terhadap daging sapi dan kerbau (92.5%), daging ayam (96.2%), sedangkan contoh yang menyatakan tidak suka terhadap kambing (45.3%). Contoh di wilayah kota sebagian besar suka terhadap daging sapi (92.5%), daging kerbau (90.6%), daging kambing (71.7%), dan daging ayam (98.1%). Telur ayam dan telur bebek juga disukai oleh sebagian besar contoh di desa maupun di kota. Telur ayam disukai contoh di desa (98.1%), sedangkan di kota (90.6%). Lebih dari setengah contoh di kota menyukai telur bebek (69.8%), sedangkan di daerah desa (79.2%). Berdasarkan tabel 19 preferensi sebagian besar contoh terhadap ikan, udang, dan kerang menyatakan suka. Sebagian besar contoh di wilayah desa menyukai ikan segar (84.9%), udang (71.7%), ikan asin (77.4%), serta ikan pindang (88.7%). Lebih dari setengah contoh menyukai kerang (58.5%). Preferensi contoh di kota, sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap ikan segar (83%), udang (64.2%), kerang (62.3%), serta ikan pindang (73.6%). Ikan asin hanya disukai lebih dari setengah contoh di kota (58.5%). Preferensi masyarakat Kabupaten Bogor sendiri sebagian besar menyatakan suka terhadap ikan baik ikan segar, ikan asin, serta ikan pindang. Hal ini dapat diupayakan sebagai salah satu pangan alternatif demi tercapainya pangan yang bergizi, beragam, dan berimbang.
43
Sebagian besar contoh di desa (83%) dan kota (81.1%) menyatakan menyukai susu manis. Kurang dari setengah contoh di desa menyatakan suka terhadap susu segar dan susu bubuk (49.1%), dan tidak suka terhadap susu segar (47.2%), serta susu bubuk (49%). Preferensi pangan masyarakat terhadap kelompok pangan hewani ini sebagian besar disebabkan oleh faktor pangan yaitu rasa, sedangkan untuk susu disebabkan oleh aroma. Alasan preferensi susu segar selain dipengaruhi oleh faktor pangan juga dipengaruhi belum pernah mencoba (28.3%) susu tersebut, khususnya di desa. Selain itu, preferensi terhadap kerang juga disebabkan oleh belum pernahnya contoh mencoba kerang (20.8%). Tabel 19 Sebaran preferensi pangan kelompok pangan hewani berdasarkan wilayah Preferensi Pangan Alasan 1 2 3 4 5 Tipe* % 92.5 Desa Daging sapi 1.9 1.9 1.9 1.9 2 98.1 92.5 Daging kerbau 1.9 1.9 1.9 1.9 2 98.1 45.3 45.3 Daging kambing 5.7 1.9 1.9 2 88.7 96.2 Daging ayam 0.0 1.9 0.0 1.9 2 94.3 98.1 Telur ayam 0.0 1.9 0.0 0.0 2 96.2 20.8 79.2 Telur bebek 0.0 0.0 0.0 2 94.3 15.1 84.9 Ikan segar 0.0 0.0 0.0 2 90.6 26.4 71.7 Udang 0.0 0.0 1.9 2 71.7 39.7 58.5 Kerang 0.0 0.0 1.9 2 64.2 77.4 Ikan asin 0.0 3.8 0.0 18.9 2 69.8 88.7 Ikan pindang 0.0 9.4 0.0 1.9 2 90.6 47.2 49.1 Susu segar 1.9 1.9 0.0 2 56.6 15.1 83.0 Susu manis 1.9 0.0 0.0 2 83.0 49.0 49.1 Susu bubuk 1.9 0.0 0.0 2 60.4 92.5 Kota Daging sapi 0.0 1.9 0.0 5.7 2 88.7 90.6 Daging kerbau 0.0 5.7 0.0 3.8 2 90.6 22.6 71.7 Daging kambing 1.9 1.9 1.9 2 86.8 98.1 Daging ayam 0.0 0.0 0.0 1.9 2 90.6 90.6 Telur ayam 0.0 1.9 1.9 5.7 2 84.9 22.6 69.8 Telur bebek 0.0 1.9 5.7 2 84.9 13.2 83.0 Ikan segar 0.0 1.9 1.9 2 86.8 32.1 64.2 Udang 1.9 0.0 1.9 2 60.4 32.1 62.3 Kerang 1.9 1.9 1.9 2 66.0 58.5 Ikan asin 1.9 5.7 1.9 32.1 2 50.9 18.9 73.6 Ikan pindang 1.9 5.7 0.0 2 73.6 26.4 69.8 Susu segar 1.9 1.9 0.0 2 81.1 11.3 81.1 Susu manis 1.9 3.8 1.9 2 77.4 34.0 58.5 Susu bubuk 1.9 3.8 1.9 2 67.9 Keterangan: Preferensi: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Biasa 4. Suka 5. Sangat suka Alasan: 0 : Belum pernah 1 : Ekonomi 2 : Pangan 3 : Kebiasaan 4 : Kesehatan 5 : Psikologis Proporsi contoh didasarkan pada N=106 (53 untuk desa dan 53 untuk kota) Wilayah
Jenis Pangan
Preferensi pangan masyarakat Kabupaten Bogor selain jenis pangan daging adalah ikan termasuk ikan segar, ikan pindang, dan ikan asin. Hasil uji Chi Square menunjukkan tidak terdapat hubungan antara preferensi contoh
44
terhadap pangan hewani contoh dengan tipe wilayah. Contoh di kota dan di desa sama-sama menyukai pangan hewani. Tabel 20 Sebaran preferensi pangan kelompok minyak dan lemak berdasarkan wilayah Wilayah Desa Kota
Jenis Pangan Minyak goreng Margarin Minyak goreng
1 0.0 0 0.0
Margarin
0.0
Preferensi Pangan 2 3 4 56.6 5.7 37.7 90.6 7.5 1.9 98.1 1.9 0.0
5 0.0 0.0 0.0
Alasan Tipe* 2 2 5
% 50.9 94.3 96.2
92.5
0.0
2
92.5
5.7
1.9
Keterangan: Preferensi: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Biasa 4. Suka 5. Sangat suka Alasan: 0 : Belum pernah 1 : Ekonomi 2 : Pangan 3 : Kebiasaan 4 : Kesehatan 5 : Psikologis Proporsi contoh didasarkan pada N=106 (53 untuk desa dan 53 untuk kota)
Berdasarkan Tabel 20 dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh baik di desa (56.6%) maupun di kota (98.1%) tidak menyukai minyak goreng. Lain halnya dengan margarin, sebagian besar contoh di desa menyatakan suka terhadap margarin (90.6). Contoh di kota juga menyukai margarin (92.5%). Alasan contoh tidak menyukai minyak goreng di desa adalah karena pangan itu sendiri, dalam hal ini adalah rasanya, sedangkan untuk contoh di kota, cenderung takut untuk mencoba, karena sudah mengira rasa minyak goreng ini tidak enak. Margarin disukai karena alasan pangan yaitu rasa. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa kesukaan contoh terhadap minyak goreng (p=0.000) memiliki hubungan yang signifikan dengan tipe wilayah. Contoh di desa lebih menyukai minyak goreng dibandingkan dengan contoh di kota. Hal ini disebabkan oleh penekanan minyak goreng sebagai bahan primer bukan sebagai fungsi untuk pengolahan, sehingga contoh tetap menggunakan minyak goreng dalam pengolahan sehari-hari. Sebaran preferensi pangan kelompok minyak dan lemak ditampilkan pada Tabel 20. Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh di desa menyukai kelapa (94.3%), kemiri (98.1%), coklat (83.0%). Lebih dari setengah contoh menyatakan tidak suka terhadap kenari (54.7%), sama dengan di wilayah kota. Contoh di kota menyatakan suka terhadap kelapa (90.6%), kemiri (92.5%), dan coklat (64.2%). Contoh di kota (30.2%) menyatakan sangat suka terhadap coklat. Alasan utama contoh tidak menyukai kenari adalah belum pernah mencoba serta tidak mengetahui bentuk kenari. Selain itu, contoh di desa menyukai coklat karena terbiasa. Alasan contoh di desa dan kota menyukai kelapa, kemiri, dan coklat secara umum adalah faktor pangan yaitu rasa dan
45
pengolahan. Uji korelasi dengan Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kesukaan terhadap coklat dengan tipe wilayah (p=0.032). Contoh di desa lebih banyak yang menyukai coklat dibandingkan dengan contoh di kota. Hal ini disebabkan contoh di kota lebih banyak yang memperhatikan mengenai body image. Coklat yang digunakan pada kuesioner PPM ini merupakan coklat pada umumnya baik yang berbentuk bubuk, maupun batangan. Selain itu, coklat sudah mudah diperoleh. Tabel 21 Sebaran preferensi pangan kelompok buah/biji berminyak berdasarkan wilayah Preferensi Pangan Alasan Jenis Pangan 1 2 3 4 5 Tipe* % 94.3 Desa Kelapa 0.0 3.8 1.9 0.0 2 96.2 98.1 Kemiri 0.0 0.0 1.9 0.0 2 98.1 54.7 Kenari 0.0 0.0 45.3 0.0 5 52.8 83.0 Coklat 0.0 1.9 3.8 11.3 3 83.0 90.6 Kota Kelapa 0.0 5.7 3.8 0.0 2 100 92.5 Kemiri 0.0 5.7 0.0 1.9 2 100 54.7 43.4 Kenari 0.0 1.9 0.0 5 50.9 64.2 30.2 Coklat 0.0 5.7 0.0 2 92.4 Keterangan: Preferensi: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Biasa 4. Suka 5. Sangat suka Alasan: 0 : Belum pernah 1 : Ekonomi 2 : Pangan 3 : Kebiasaan 4 : Kesehatan 5 : Psikologis Proporsi contoh didasarkan pada N=106 (53 untuk desa dan 53 untuk kota) Wilayah
Sebagian besar contoh baik di desa maupun kota menyatakan suka terhadap semua jenis pangan yang termasuk kelompok kacang-kacangan. Semua contoh (100%) di desa menyukai kacang tanah dan tahu, diikuti oleh kacang kedelai (90.6%), kacang hijau, tempe, dan kecap (98.1%), tauco (88.7%) serta emping (90.6%). Sebagian besar contoh di kota menyatakan suka terhadap kacang tanah (94.3%), kacang kedelai (79.2%), kacang hijau (92.5%), tahu (90.6%), dan tempe (88.7%). Demikian juga dengan jenis pangan lain, contoh di kota menyukai oncom (83%), tauco (90.6%), kecap dan emping (92.5%). Alasan contoh menyukai semua jenis pangan yang terdapat dalam kelompok kacang-kacangan ini adalah faktor pangan, termasuk rasa dan pengolahannya. Hasil uji korelasi dengan Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara preferensi tahu (p=0.022) dan tempe (p=0.037) dengan tipe wilayah. Contoh di desa lebih menyukai tahu dan tempe dibandingkan dengan contoh di kota.
46
Tabel 22 Sebaran preferensi pangan kelompok kacang-kacangan berdasarkan wilayah Preferensi Pangan Alasan 1 2 3 4 5 Tipe* % 100.0 Desa Kacang tanah 0.0 0.0 0.0 0.0 2 88.7 90.6 Kacang kedelai 1.9 5.7 1.9 0.0 2 83.0 98.1 Kacang hijau 0.0 1.9 0.0 0.0 2 81.1 100.0 Tahu 0.0 0.0 0.0 0.0 2 45.3 98.1 Tempe 0.0 0.0 1.9 0.0 2 47.1 98.1 Oncom 0.0 0.0 0.0 1.9 2 49.1 88.7 Tauco 0.0 7.5 3.8 0.0 2 84.9 98.1 Kecap 0.0 0.0 1.9 0.0 2 92.4 90.6 Emping 0.0 7.5 1.9 0.0 2 88.7 94.3 Kota Kacang tanah 0.0 0.0 0.0 0.0 2 96.2 79.2 Kacang kedelai 0.0 17.0 1.9 1.9 2 84.9 92.5 Kacang hijau 0.0 0.0 0.0 7.5 2 96.2 90.6 Tahu 0.0 0.0 0.0 9.4 2 47.1 88.7 Tempe 0.0 0.0 0.0 11.3 2 47.1 83.0 Oncom 1.9 1.9 1.9 11.3 2 45.3 90.6 Tauco 0.0 7.5 1.9 0.0 2 77.4 92.5 Kecap 1.9 1.9 0.0 3.8 2 86.8 92.5 Emping 0.0 3.8 1.9 1.9 2 84.9 Keterangan: Preferensi: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Biasa 4. Suka 5. Sangat suka Alasan: 0 : Belum pernah 1 : Ekonomi 2 : Pangan 3 : Kebiasaan 4 : Kesehatan 5 : Psikologis Proporsi contoh didasarkan pada N=106 (53 untuk desa dan 53 untuk kota) Wilayah
Jenis Pangan
Kacang hijau, tahu, dan tempe bisa digunakan sebagai pangan sumber protein nabati. Preferensi pangan contoh sebagian besar menyatakan suka terhadap pangan tersebut, sehingga pangan tersebut dapat digunakan sebagai salah satu upaya pencapaian gizi seimbang. Konsumsi pangan sumber kacangkacangan juga belum mencapai ideal, sehingga masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh baik di desa maupun di kota menyatakan suka terhadap semua jenis pangan yang terdapat dalam kelompok gula. Sebagian besar contoh di desa menyukai gula pasir (96.2%), gula merah (98.1%), sirup (94.3%), serta minuman jadi (86.3%). Tabel 23 Sebaran preferensi pangan kelompok gula berdasarkan wilayah Preferensi Pangan Alasan 1 2 3 4 5 Tipe* % 96.2 Desa Gula pasir 0.0 0.0 3.8 0.0 2 96.2 98.1 Gula merah 0.0 0.0 1.9 0.0 2 98.1 94.3 Sirup 0.0 3.8 1.9 0.0 2 47.2 86.8 Minuman 0.0 11.3 1.9 0.0 2 83.0 94.3 Kota Gula pasir 0.0 5.7 0.0 0.0 2 100 92.5 Gula merah 0.0 5.7 0.0 1.9 2 100 88.7 Sirup 0.0 5.7 1.9 3.8 2 45.3 81.1 Minuman 0.0 11.3 0.0 7.6 2 92.4 Keterangan: Preferensi: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Biasa 4. Suka 5. Sangat suka Alasan: 0 : Belum pernah 1 : Ekonomi 2 : Pangan 3 : Kebiasaan 4 : Kesehatan 5 : Psikologis Proporsi contoh didasarkan pada N=106 (53 untuk desa dan 53 untuk kota) Wilayah
Jenis Pangan
47
Demikian juga dengan contoh di kota, sebagian besar contoh menyukai gula pasir (94.3%), gula merah (92.5%), sirup (88.7%), dan minuman jadi (81.1%). Sebagian besar contoh di desa dan kota menyukai jenis pangan dalam kelompok gula disebabkan oleh faktor pangan yaitu rasa dan praktis dalam konsumsinya. Hasil Chi Square menunjukkan bahwa gula pasir, gula merah, sirup, dan minuman jadi tidak memiliki hubungan yang signifikan (p>0.05) dengan tipe wilayah. Selanjutnya, preferensi pangan masyarakat untuk kelompok sayur dan buah. Berdasarkan Tabel 24 contoh di desa dan kota sebagian besar menyukai semua jenis pangan yang terdapat dalam kelompok sayur dan buah. Preferensi contoh di desa sebagian besar menyukai sayuran daun hijau (94.3%), kacang panjang (96.2%), buncis dan wortel (96.2%). Selain itu, sebagian besar contoh juga menyukai pisang (94.3%), jambu biji (98.1%), mangga (96.2%), serta nangka (88.7%). Demikian juga dengan contoh di kota, sebagian besar contoh menyukai sayuran daun hijau (90.6%), kacang panjang (92.5%), buncis (79.2%), dan wortel (88.7%). Sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap pisang (94.3%), pepaya dan jambu biji (88.7%), mangga (77.4%), serta nangka (73.6%). Tabel 24 Sebaran preferensi pangan kelompok sayur dan buah berdasarkan wilayah Preferensi Pangan Alasan 1 2 3 4 5 Tipe* % 94.3 Desa Daun hijau 0.0 1.9 0.0 3.8 2 75.5 96.2 Kacang panjang 0.0 1.9 0.0 1.9 2 73.2 96.2 Buncis 0.0 3.8 0.0 0.0 2 81.1 96.2 Wortel 0.0 0.0 1.9 1.9 2 79.2 94.3 Pisang 0.0 1.9 1.9 1.9 2 83.0 92.5 Pepaya 0.0 5.7 1.9 0.0 2 84.9 98.1 Jambu biji 0.0 0.0 1.9 0.0 2 81.1 96.2 Mangga 0.0 0.0 0.0 3.8 2 83.0 88.7 Nangka 1.9 9.4 0.0 0.0 2 83.0 Kota 90.6 Kacang panjang 0.0 7.5 0.0 1.9 2 77.4 92.5 Kcg pnjg 0.0 7.5 0.0 0.0 2 81.1 18.9 79.2 Buncis 0.0 1.9 0.0 2 79.2 88.7 Wortel 0.0 7.5 1.9 1.9 2 75.5 94.3 Pisang 0.0 3.8 0.0 1.9 2 83.0 88.7 Pepaya 0.0 9.4 0.0 1.9 2 67.9 88.7 Jambu biji 0.0 7.5 3.8 0.0 2 77.4 77.4 Mangga 0.0 0.0 1.9 20.8 2 83.0 20.8 73.6 Nangka 0.0 3.8 1.9 2 75.5 Keterangan: Preferensi: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Biasa 4. Suka 5. Sangat suka Alasan: 0 : Belum pernah 1 : Ekonomi 2 : Pangan 3 : Kebiasaan 4 : Kesehatan 5 : Psikologis Proporsi contoh didasarkan pada N=106 (53 untuk desa dan 53 untuk kota) Wilayah
Jenis Pangan
Berdasarkan hasil uji hubungan dengan Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara preferensi buncis (p=0.027) dan mangga
48
(p=0.016) dengan tipe wilayah. Contoh di desa lebih menyukai buncis dan mangga dibandingkan dengan contoh di kota. Hal ini disebabkan oleh alasan utama contoh di desa dan kota menyukai sayur dan buah adalah faktor pangan, yaitu rasa buncis dan mangga. Berdasarkan Tabel 24, dapat diketahui bahwa preferensi masyarakat Kabupaten Bogor terhadap sayuran menyatakan bahwa jenis sayur yang paling disukai adalah sayuran daun hijau, diikuti oleh kacang panjang. Selain itu, buah yang paling disukai baik di desa maupun di kota adalah pisang dan jambu biji. Kesukaan masyarakat yang tinggi terhadap sayur dan buah merupakan investasi untuk memperbaiki prevalensi kurang makan buah dan sayur. Tabel 25 menyajikan data mengenai sebaran preferensi pangan kelompok lain-lain berdasarkan wilayah. Sebagian besar contoh menyukai teh baik di desa (94.3%) maupun di kota (88.7%). Sama halnya dengan bumbu, seluruh contoh (100%) menyukai bumbu untuk digunakan sebagai bahan masakan. Preferensi contoh terhadap kopi beragam mulai dari sangat tidak suka hingga sangat suka. Kopi disukai oleh 58.5% contoh di desa dan 43.4% contoh di kota. Preferensi terhadap kopi, lebih banyak contoh yang menyukai dibandingkan yang tidak menyukai. Kopi disukai oleh contoh juga disebabkan oleh faktor pangan baik di desa (69.8%) maupun di kota (47.1%), sedangkan contoh yang tidak menyukai kopi disebabkan oleh faktor kesehatan. Hasil uji ChiSquare menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang siginifikan antara preferensi teh, kopi, serta bumbu dengan wilayah tempat tinggal contoh. Contoh di desa maupun di kota tetap menyukai teh, kopi, serta bumbu. Hal ini disebabkan oleh alasan utama preferensi contoh adalah faktor pangan (rasa). Tabel 25 Sebaran preferensi pangan kelompok lain-lain berdasarkan wilayah Preferensi Pangan Alasan 1 2 3 4 5 Tipe* % 94.3 Desa Teh 0.0 5.7 0.0 0.0 2 79.3 37.7 58.5 Kopi 1.9 1.9 0.0 2 69.8 100 Bumbu 0.0 0.0 0.0 0.0 2 100 88.7 Kota Teh 0.0 5.7 3.8 1.9 2 75.5 39.6 43.4 Kopi 1.9 5.7 9.4 2 47.1 100 Bumbu 0.0 0.0 0.0 0.0 2 100 Keterangan: Preferensi: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Biasa 4. Suka 5. Sangat suka Alasan: 0 : Belum pernah 1 : Ekonomi 2 : Pangan 3 : Kebiasaan 4 : Kesehatan 5 : Psikologis Proporsi contoh didasarkan pada N=106 (53 untuk desa dan 53 untuk kota) Wilayah
Jenis Pangan
49
Preferensi Pangan Masyarakat Berdasarkan Karakteristik Individu Menurut Adnyana (2005) salah satu dimensi pokok diversifikasi pangan yaitu keragaman pola konsumsi dimana terdapat keanekaragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan seimbang (kandungan karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin). Selain itu, pengelompokan ini merupakan modifikasi dari Pedoman Metode Pemantauan dan Analisis Preferensi Pangan Masyarakat, dimana pengelompokan untuk sayur-sayuran dan buah-buahan diubah menjadi sumber vitamin dan mineral. Sumber karbohidrat diambil dari kelompok padi-padian yaitu jagung, serta kelompok umbi-umbian yang terdiri dari ubi jalar, singkong, serta talas. Pangan sumber protein hewani yaitu ikan, terdiri dari ikan segar, ikan asin, dan ikan pindang, sedangkan sumber protein nabati meliputi kacang hijau, tahu, dan tempe. Sumber vitamin dan mineral terdiri dari sayur-sayuran meliputi sayuran daun hijau serta kacang panjang, serta buah-buahan yang digunakan adalah pisang dan jambu biji. Pangan sumber lemak tidak dicantumkan disebabkan oleh tidak adanya produksi pangan sumber lemak di Kabupaten Bogor. Pendidikan Terakhir Preferensi pangan sumber karbohidrat contoh dihubungkan dengan pendidikan terakhir contoh. Berdasarkan Tabel 26, diketahui bahwa jagung dan ubi jalar disukai oleh sebagian besar contoh dengan pendidikan terakhir mulai dari tidak atau belum tamat SD hingga Diploma III. Contoh dengan pendidikan terakhir Diploma III menyatakan suka terhadap jagung dan ubi jalar (100%). Sebagian besar contoh tidak atau belum tamat SD menyatakan suka dan sangat menyukai jagung (100%). Pada contoh SD/setara, SMP/setara, SMA/setara, Diploma I/II terdapat beberapa yang menyatakan tidak suka dan biasa terhadap jagung dan ubi jalar, akan tetapi proporsi terbesar tetap pada contoh yang menyukai jagung dan ubi jalar. Sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap singkong. Semua contoh dengan pendidikan terakhir Diploma III menyukai singkong. Pada contoh dengan pendidikan terakhir SMP/setara, terdapat contoh yang menyatakan tidak suka terhadap singkong (12.5%), sedangkan untuk contoh SD/setara serta Diploma III menyatakan biasa dan suka terhadap singkong. Beberapa contoh lainnya menyatakan suka dan sangat suka terhadap singkong.
50
Tabel 26 Jenis Pangan
Sebaran preferensi pangan sumber karbohidrat berdasarkan pendidikan terakhir Pendidikan Terakhir
1
2
Preferensi Pangan (%) 3 4 % n % n %
n % n n Tidak/belum 0 0.0 0 0.0 0 0.0 13 92.9 1 tamat SD SD/setara 0 0.0 6 10.9 2 3.6 45 81.8 2 SMP/setara 0 0.0 2 8.3 1 4.2 21 87.5 0 6 75.0 0 SMA/setara 0 0.0 2 25.0 0 0.0 2 66.7 0 Diploma I/II 0 0.0 0 0.0 1 33.3 2 100 0 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Singkong Tidak/belum 0 0.0 0 0.0 1 7.1 13 92.9 0 tamat SD SD/setara 0 0.0 0 0.0 1 1.8 51 92.7 3 SMP/setara 0 0.0 3 12.5 0 0.0 19 79.2 2 6 75.0 2 SMA/setara 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 66.7 0 Diploma I/II 0 0.0 0 0.0 1 33.3 2 100 0 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Ubi jalar Tidak/belum 0 0.0 0 0.0 1 7.1 13 92.9 0 tamat SD SD/setara 0 0.0 1 1.8 3 5.5 50 90.9 1 SMP/setara 0 0.0 0 0.0 0 0.0 23 95.8 1 7 87.5 0 SMA/setara 0 0.0 1 12.5 0 0.0 2 66.7 0 Diploma I/II 0 0.0 0 0.0 1 33.3 2 100 0 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Talas Tidak/belum 100 0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 14 tamat SD SD/setara 0 0.0 12 21.8 3 5.5 40 72.7 0 9 37.5 9 SMP/setara 0 0.0 4.2 14 58.3 0 6 75.0 0 2 25.0 0 SMA/setara 0 0.0 0.0 1 33.3 0 2 66.7 0 Diploma I/II 0 0.0 0.0 2 100 0 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Keterangan: p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01 Jagung
Total
5 %
n
%
7.1
14
100
3.6 0.0 0.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
0.0
14
100
5.5 8.3 25.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
0.0
14
100
1.8 4.2 0.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
0.0
14
100
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
p-value (r-value) 0.087 (-0.167)
0.758 (0.030)
0.885 (0.014)
0.001** (-0.318)
Berdasarkan hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara pendidikan terakhir contoh dengan preferensinya terhadap jagung, ubi jalar, serta singkong. Hal ini mengindikasikan preferensi pangan terhadap jagung, ubi jalar serta singkong tidak berubah seiring dengan meningkatnya pendidikan terakhir contoh, sehingga dengan pendidikan terakhir apapun, jagung, ubi jalar dan singkong tetap disukai. Ini diduga disebabkan faktor rasa pangan dari jagung, ubi jalar serta singkong yang enak, sehingga sebagian besar contoh tetap menyukainya walaupun berbeda pendidikan terakhirnya. Talas disukai oleh seluruh contoh dengan pendidikan terakhir tidak/belum tamat SD dengan Diploma III. Sebagian besar contoh menyukai talas untuk contoh SD/setara (72.7%), SMP/setara (58.3%), serta Diploma I/II (66.7%), tetapi
51
semakin tinggi pendidikan contoh secara umum semakin meningkat proporsi contoh yang tidak menyukai talas. Hasil uji korelasi dengan menggunakan Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan negatif lemah antara pendidikan contoh dengan preferensi terhadap talas (p<0.01;r=-0.318). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendidikan terakhir contoh maka talas semakin tidak disukai. Sebagian besar contoh menyatakan tidak menyukai talas disebabkan oleh faktor pangan yaitu rasa serta kesulitan dalam pengolahan, sehingga seringkali menyebabkan gatal. Tabel 26 menyajikan sebaran preferensi pangan contoh untuk pangan sumber protein hewani dan nabati. Sebagian besar contoh menyukai ikan segar, kacang hijau, tempe, dan tahu untuk semua contoh berpendidikan tidak/belum tamat SD, SD/setara, SMP/setara, SMA/setara, Diploma I/II/III, serta Perguruan Tinggi. Ikan segar disukai oleh semua contoh dengan pendidikan terakhir Diploma I/II serta Diploma III. Beberapa contoh tidak suka terhadap ikan segar, tetapi proporsi contoh yang menyukai ikan segar lebih besar. Preferensi kacang hijau seluruhnya menyukai kacang hijau untuk pendidikan contoh dengan tidak/belum tamat SD, Diploma I/II, serta Diploma III. Sebaran preferensi pangan untuk kacang hijau tersebar pada sikap suka dan sangat suka, kecuali contoh SMP/setara terdapat contoh yang tidak menyukai kacang hijau (4.2%). Seluruh contoh menyatakan suka terhadap tahu untuk contoh yang tidak/belum tamat SD, SMA/setara, Diploma I/II, serta Diploma III, sedangkan untuk tempe disukai oleh seluruh contoh SMA/setara, serta Diploma III. Sebaran contoh untuk preferensi tahu tersebar pada suka dan sangat suka, sedangkan untuk tempe terdapat contoh SD/setara (1.8%) yang menyatakan biasa, sedangkan lainnya menyatakan suka dan sangat suka. Sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap ikan asin dan ikan pindang, tetapi sebagian dari contoh juga menyatakan tidak suka. Seluruh contoh yang belum/tidak tamat SD menyukai ikan pindang, sedangkan untuk ikan asin lebih beragam mulai dari biasa, suka, dan sangat suka. Sebanyak setengah dari contoh Diploma III tidak menyukai ikan asin. Contoh dengan pendidikan terakhir Diploma I/II menyatakan sangat tidak suka (33.3%) terhadap ikan asin, begitu pula dengan ikan pindang contoh menyatakan sangat tidak suka (33.3%), dan tidak suka (33.3%).
52
Tabel 27 Jenis Pangan
Sebaran preferensi pangan sumber protein hewani dan nabati berdasarkan pendidikan terakhir
Pendidikan Terakhir
1
2
Preferensi Pangan (%) 3 4 % n % n %
n % n n Tidak/belum 0 0.0 2 14.3 0 0.0 12 85.7 0 tamat SD SD/setara 0 0.0 7 12.7 0 0.0 47 85.5 1 SMP/setara 0 0.0 5 20.8 1 4.2 18 75.0 0 7 87.5 SMA/setara 0 0.0 1 12.5 0 0.0 0 3 100 Diploma I/II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 2 100 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Ikan Tidak/belum 8 57.1 0 0.0 0 0.0 1 7.1 5 asin tamat SD 0.0 38 69.1 14 SD/setara 0 0.0 3 5.5 0 SMP/setara 0 0.0 0 0.0 0 0.0 17 70.8 7 6 75.0 SMA/setara 0 0.0 1 12.5 0 0.0 1 2 66.7 Diploma I/II 1 33.3 0 0.0 0 0.0 0 1 50.0 Diploma III 0 0.0 1 50.0 0 0.0 0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Ikan Tidak/belum 100 0 0.0 0 0.0 0 0.0 14 0 pindang tamat SD SD/setara 0 0.0 7 12.7 1 1.8 46 83.6 1 SMP/setara 0 0.0 4 16.7 0 0.0 20 83.3 0 4 50.0 SMA/setara 0 0.0 3 37.5 1 12.5 0 0.0 1 33.3 Diploma I/II 1 33.3 1 33.3 0 0 1 50.0 Diploma III 0 0.0 0 0.0 1 50.0 0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Kacang Tidak/belum 100 0 0.0 0 0.0 0 0.0 14 0 hijau tamat SD 53 96.4 SD/setara 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 SMP/setara 0 0.0 1 4.2 0 0.0 22 91.7 1 0 SMA/setara 0 0.0 0.0 0 0.0 7 87.5 1 3 100 Diploma I/II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 2 100 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Tahu Tidak/belum 100 0 0.0 0 0.0 0 0.0 14 0 tamat SD SD/setara 0 0.0 0 0.0 0 0.0 53 96.4 2 SMP/setara 0 0.0 0 0.0 0 0.0 21 87.5 3 100 SMA/setara 0 0.0 0 0.0 0 0.0 8 0 100 Diploma I/II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 3 0 100 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 3 0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Tempe Tidak/belum 0 0.0 0 0.0 0 0.0 13 92.9 1 tamat SD SD/setara 0 0.0 0 0.0 0 1.8 53 96.4 1 SMP/setara 0 0.0 0 0.0 0 0.0 21 87.5 3 100 SMA/setara 0 0.0 0 0.0 0 0.0 8 0 Diploma I/II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 66.7 1 100 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Keterangan: p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01 Ikan segar
Total
5 %
n
%
0.0
14
100
1.8 0.0 0.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
35.7
14
100
25.5 29.2 12.5 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
0.0
14
100
1.8 0.0 0.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
0.0
14
100
3.6 4.2 12.5 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
0.0
14
100
3.6 12.5 0.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
7.1
14
100
1.8 12.5 0.0 33.3 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
p-value (r-value) 0.676 (-0.041)
0.158 (-0.138)
0.002** (-0.301)
0.728 0.034
0.325 0.096
0.235 0.116
Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan negatif lemah antara pendidikan terakhir contoh dengan preferensi ikan pindang (p<0.01;r=-0.301). Semakin tinggi pendidikan terakhir contoh maka ikan pindang semakin tidak disukai. Lain halnya dengan ikan segar, ikan asin, kacang hijau,
53
tahu, serta tempe. Sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap pangan tersebut apapun pendidikan terakhirnya. Hal ini diduga disebabkan semakin tinggi pendidikan seseorang maka pengetahuan gizinya juga semakin meningkat. Contoh dengan pendidikan tinggi menganggap ikan pindang kurang aman dikonsumsi karena tidak jelas proses pengolahan sebelum dipasarkan. Tabel 28 menyajikan hubungan preferensi pangan sumber vitamin dan mineral dengan pendidikan terakhir. Tabel 28 Sebaran preferensi pangan sumber vitamin dan mineral berdasarkan pendidikan terakhir Jenis Pangan Sayur daun hijau
Pendidikan Terakhir
1 n
2 %
n
Preferensi Pangan (%) 3 4 % n % n %
Total
5 n
Tidak/belum 0 0.0 0 0.0 0 0.0 13 92.9 1 tamat SD SD/setara 0 0.0 3 5.5 0 0.0 50 90.9 2 SMP/setara 0 0.0 1 4.2 0 0.0 23 95.8 0 7 87.5 SMA/setara 0 0.0 1 12.5 0 0.0 0 3 100 Diploma I/II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 2 100 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Kacang Tidak/belum 0 0.0 1 7.1 0 0.0 13 92.9 0 panjang tamat SD SD/setara 0 0.0 1 1.8 0 0.0 53 96.4 1 SMP/setara 0 0.0 2 8.3 0 0.0 22 91.7 0 7 87.5 SMA/setara 0 0.0 1 12.5 0 0.0 0 3 100 Diploma I/II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 2 100 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Pisang Tidak/belum 0 0.0 0 0.0 0 0.0 13 92.9 1 tamat SD SD/setara 0 0.0 2 3.6 0 0.0 53 96.4 1 SMP/setara 0 0.0 1 4.2 1 4.2 21 87.5 1 8 100 SMA/setara 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 3 100 Diploma I/II 0 0.0 1 0.0 0 0.0 0 2 100 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Jambu Tidak/belum 100 0 0.0 0 0.0 0 0.0 14 0 biji tamat SD SD/setara 0 0.0 1 1.8 2 3.6 52 94.5 0 SMP/setara 0 0.0 0 0.0 1 4.2 23 95.8 0 SMA/setara 0 0.0 2 25.0 0 0.0 6 75.0 0 2 66.7 Diploma I/II 0 0.0 1 33.3 0 0.0 0 2 100 Diploma III 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Perguruan 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 Tinggi Keterangan: p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01
p-value (r-value)
%
n
%
7.1
14
100
3.6 0.0 0.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
0.0
14
100
1.8 0.0 0.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
7.1
14
100
0.0 4.2 0.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
0.0
14
100
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
55 24 8 3 2
100 100 100 100 100
0.0
0
0
0.186 (-0.130)
0.433 (-0.077)
0.470 (-0.071)
0.063 (-0.181)
Sama halnya dengan preferensi sumber karbohidrat, protein hewani dan nabati, sebagian besar contoh menyukai sayur daun hijau, kacang panjang, pisang, dan jambu biji. Seluruh contoh dengan pendidikan terakhir Diploma III menyatakan suka terhadap sayur daun hijau, kacang panjang, pisang, dan jambu biji. Selain itu, seluruh contoh Diploma I/II menyatakan suka terhadap sayur daun hijau, kacang panjang, dan pisang. Contoh menyebar pada tidak suka dan suka
54
untuk semua jenis pangan. Semakin tinggi pendidikan terakhir contoh, semakin banyak contoh yang menyatakan tidak suka terhadap jenis sayur dan buah ini. Contoh yang menyatakan tidak suka terhadap sayuran daun hijau dan kacang panjang adalah contoh dengan tamatan SMA/setara (12.5%), sedangkan untuk pisang adalah SMP/setara (4.2%), dan jambu biji adalah Diploma I/II (33.3%). Berdasarkan uji Spearman tidak terdapat hubungan signifikan (p>0.05) antara pendidikan terakhir dengan sayur daun hijau, kacang panjang, pisang dan jambu biji. Sebagian besar preferensi contoh menyatakan suka terhadap pangan sumber vitamin dan mineral ini. Hal ini mengindikasikan walaupun semakin tinggi pendidikan contoh, preferensi terhadap pangan sumber vitamin dan mineral ini tetap disukai, yang disebabkan oleh faktor pangan yaitu rasa serta kandungan zat gizi. Perbedaan pendidikan akan menyebabkan perbedaan selera konsumen (Sumarwan 2004). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan seseorang dalam memilih bahan pangan demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Menurut Hardinsyah 1985 dalam Mawaddah (2008) orang yang memiliki pendidikan tinggi cenderung memilih bahan pangan yang lebih baik dalam kuantitas dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah. Sebagian besar pangan sumber karbohidrat, protein hewani dan nabati, sumber vitamin dan mineral tidak berhubungan dengan pendidikan terakhir contoh. Hal ini mengkonfirmasi hasil penelitian Rita (2002) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan preferensi konsumen terhadap pangan sumber karbohidrat non-beras hanya pada kentang dan sukun. Selain itu, hasil penelitian ini juga mengkonfirmasi penelitian dengan hasil serupa yaitu penelitian Farohah (2003), serta Maydayanti (2005) dimana pendidikan contoh tidak berhubungan signifikan dengan preferensi contoh. Pendapatan Per Kapita Berdasarkan Tabel 28 dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap pangan sumber karbohidrat. Pangan yang paling banyak tidak disukai contoh adalah talas, semakin tinggi pendapatan per kapita contoh, makin banyak contoh yang tidak menyukai talas. Jagung juga banyak tidak disukai contoh, tetapi proporsi terbesar tetap contoh yang menyatakan suka. Jagung, singkong, dan ubi jalar lebih banyak disukai dan sangat disukai. Sebanyak 80.8% contoh dengan pendapatan per kapita rendah menyukai jagung, 90.6% contoh dengan pendapatan sedang, serta 74.1% yang menyukai
55
jagung dari contoh dengan pendapatan per kapita tinggi. Begitu pula singkong, sebagian besar contoh menyukai singkong pada pendapatan per kapita rendah (92.3%), sedang (88.7%), dan tinggi (81.5%). Lebih banyak contoh yang menyukai ubi jalar dibandingkan dengan jagung dan singkong, yaitu contoh dengan pendapatan per kapita rendah (88.5%), sedang (96.2%), serta tinggi (85.2%). Contoh yang menyukai talas lebih rendah dibandingkan dengan lainnya yaitu 69.2% dari contoh dengan pendapatan per kapita rendah, 71.7% dari pendapatan per kapita sedang serta 66.7% pada contoh dengan pendapatan per kapita tinggi. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara pendapatan per kapita contoh dengan preferensi jagung, singkong, ubi jalar, serta talas. Hal ini menunjukkan bahwa setiap contoh dengan berbagai golongan pendapatan per kapita tetap menyukai jagung, singkong, ubi jalar, serta talas. Tabel 29 Sebaran preferensi pangan sumber karbohidrat pendapatan per kapita
berdasarkan
Preferensi Pangan (%) Total 1 2 3 4 5 n % n % n % n % n % n % Jagung Rendah 0 0.0 4 15.4 0 0.0 21 80.8 1 3.8 26 100 Sedang 0 0.0 2 3.8 2 3.8 48 90.6 1 1.9 53 100 Tinggi 0 0.0 4 14.8 2 7.4 20 74.1 1 3.7 27 100 Singkong Rendah 0 0.0 0 0.0 1 3.8 24 92.3 1 3.8 26 100 Sedang 0 0.0 1 1.9 1 1.9 47 88.7 4 7.5 53 100 Tinggi 0 0.0 2 7.4 1 3.7 22 81.5 1 7.4 27 100 Ubi jalar Rendah 0 0.0 0 0.0 2 7.7 23 88.5 1 3.8 26 100 Sedang 0 0.0 0 0.0 1 1.9 51 96.2 1 1.9 53 100 Tinggi 0 0.0 2 7.4 2 7.4 23 85.2 0 0.0 27 100 23.1 2 7.7 18 69.2 0 0.0 26 100 Talas Rendah 0 0.0 6 Sedang 0 0.0 14 26.4 1 1.9 38 71.7 0 0.0 53 100 29.6 1 3.7 18 66.7 0 0.0 27 100 Tinggi 0 0.0 8 Keterangan: p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01 Jenis Pangan
Pendapatan Per Kapita
p-value (r-value) 0.539 (-0.060) 0.680 (-0.041) 0.148 (-0.141) 0.760 (-0.030)
Berdasarkan Tabel 30 sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap pangan sumber protein hewani dan nabati. Preferensi pangan tersebar dari tidak suka sampai sangat tidak suka. Ikan asin disukai oleh sebagian besar contoh dengan pendapatan per kapita rendah (73.1%), sedang (66.7%), dan tinggi (66.7%), serta sangat disukai oleh contoh dengan pendapatan per kapita rendah (19.2%), sedang (28.3%), dan tinggi (25.9%). Contoh yang menyatakan suka terhadap ikan pindang adalah 88.5% dari contoh dengan pendapatan per kapita rendah, 84.9% dengan pendapatan per kapita sedang, serta 66.7% dari contoh dengan pendapatan per kapita tinggi. Hampir seluruh contoh dengan berbagai golongan pendapatan per kapita menyatakan suka dan sangat suka terhadap kacang hijau, tahu, dan tempe.
56
Kacang hijau dan tahu disukai oleh seluruh contoh dengan pendapatan per kapita rendah (100%), serta disukai dan sangat disukai oleh seluruh contoh dengan pendapatan tinggi (kacang hijau, tahu, dan tempe), serta contoh dengan pendapatan per kapita sedang untuk tahu dan tempe. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan negatif lemah (p<0.05;r=-0.245) antara pendidikan contoh dengan ikan pindang. Semakin tinggi pendapatan per kapita contoh maka ikan pindang semakin tidak disukai. Untuk pangan lainnya, sebagian besar contoh dengan berbagai golongan pengeluaran menyatakan suka terhadap pangan tersebut. Faktor yang mendasari preferensi pangan contoh ini adalah ketersediaan wilayah, harga, serta pengetahuan gizi contoh. Ikan pindang semakin tidak disukai oleh contoh dengan pendapatan tinggi karena menganggap ikan pindang kurang aman dikonsumsi karena tidak jelas proses pengolahan sebelum dipasarkan. Tabel 30
Sebaran preferensi pangan sumber protein hewani dan nabati berdasarkan pendapatan per kapita
Preferensi Pangan (%) 1 2 3 4 n % n % n % n % n 21 80.8 Ikan Rendah 0 0.0 4 15.4 0 0.0 1 segar 46 86.8 Sedang 0 0.0 6 11.3 1 1.9 0 22 81.5 Tinggi 0 0.0 5 18.5 0 0.0 0 19 73.1 Ikan Rendah 0 0.0 2 7.7 0 0.0 5 asin 1 1.9 35 66.0 Sedang 1 1.9 1 1.9 15 18 66.7 Tinggi 0 0.0 2 7.4 0 0.0 7 23 88.5 Ikan Rendah 0 0.0 2 7.7 0 0.0 1 pindang 13.2 45 84.9 Sedang 1 1.9 7 0 0.0 0 22.2 Tinggi 0 0.0 6 3 11.1 18 66.7 0 26 100 Kacang Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 hijau 49 92.5 Sedang 0 0.0 1 1.9 0 0.0 1 26 96.3 Tinggi 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 26 100 Tahu Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 49 92.5 Sedang 0 0.0 0 0.0 0 0.0 4 26 96.3 Tinggi 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 25 96.2 Tempe Rendah 0 0.0 0 0.0 1 3.8 0 48 90.6 Sedang 0 0.0 0 0.0 0 0.0 5 26 96.3 Tinggi 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 Keterangan: p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01 Jenis Pangan
Pendapatan Per Kapita
5 % 3.8 0.0 0.0 19.2 28.3 25.9 3.8 0.0 0.0 0.0 5.7 3.7 0.0 7.5 3.7 0.0 9.4 3.7
Total n 26 53 27 26 53 27 26 53 27 26 53 27 26 53 27 26 53 27
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
p-value (r-value) 0.527 (-0.062) 0.632 (0.047) 0.011* (-0.245) 0.539 (0.060) 0.545 (0.059) 0.305 (0.101)
Berdasarkan Tabel 31 dapat dilihat bahwa preferensi contoh untuk sayursayuran dan buah-buahan tersebar dari tidak suka hingga sangat suka, hanya untuk kacang panjang dan pisang terdapat contoh yang menyatakan sangat tidak suka (1.9%). Sayur-sayuran dan buah-buahan ini lebih banyak disukai oleh contoh dengan golongan pendapatan per kapita rendah dan sedang, tetapi tidak terlalu berbeda jauh dengan contoh yang memiliki pendapatan per kapita tinggi.
57
Tabel 31 Sebaran preferensi pangan sumber vitamin dan mineral berdasarkan pendapatan per kapita Jenis Pangan
Preferensi Pangan (%) 1 2 3 4 n % n % n % n % n 24 92.3 0 0.0 1 3.8 0 0.0 1 52 98.1 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 22 81.5 0 0.0 4 14.8 0 0.0 1 26 100 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 0.0 50 94.3 0 0.0 2 3.8 1 24 88.9 0 0.0 3 11.1 0 0.0 0 25 96.2 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 50 94.3 0 0.0 2 3.8 0 0.0 1 25 92.6 0 0.0 1 3.7 1 3.7 0 0 24 92.3 0 0.0 0.0 2 7.7 0 1 52 98.1 0 0.0 1.9 0 0.0 0 3 23 85.2 0 0.0 11.1 1 3.7 0 * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01
Pendapatan Per Kapita
Sayur daun hijau Kacang panjang
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Pisang Rendah Sedang Tinggi Jambu Rendah biji Sedang Tinggi Keterangan: p-value:
5 % 3.8 1.9 3.7 0.0 1.9 0.0 3.8 1.9 0.0 0.0 0.0 0.0
Total n 26 53 27 26 53 27 26 53 27 26 53 27
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
p-value (r-value) 0.133 (-0.147) 0.082 (-0.170) 0.088 (-0.167) 0.256 (-0.111)
Sayur daun hijau disukai oleh contoh dengan pendapatan rendah (92.3%),
sedang (98.1%),
serta tinggi (81.5%).
Kacang panjang juga
menunjukkkan sebaran contoh yang serupa, yaitu disukai oleh contoh dengan pendapatan per kapita rendah (100%), sedang (94.3%), serta tinggi (88.9%). Pisang juga disukai oleh sebagian besar contoh dengan pendapatan per kapita rendah (96.2%), sedang (94.3%), serta tinggi (92.6%), sedang untuk jambu biji disukai oleh sebagian besar contoh dengan pendapatan rendah (92.3%), sedang (98.1%), serta tinggi (85.2%). Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata (p>0.05) antara pendapatan per kapita dengan jenis pangan yang termasuk sayur dan buah. Preferensi contoh terhadap sayur-sayuran dan buahbuahan menunjukkan bahwa sayur-sayuran dan buah-buahan tetap disukai setiap golongan pendapatan per kapita. Hal ini diduga disebabkan oleh alasan preferensi terhadap sayur-sayuran dan buah-buahan sebagai sumber vitamin adalah faktor pangan yaitu rasa serta kandungan zat gizi, bukan faktor ekonomi. Secara umum, preferensi pangan contoh tidak dipengaruhi oleh pendapatan per kapita. Menurut Sajogjo 1994 diacu dalam Marud (2008) ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga
tersebut.
Rendahnya
pendapatan
merupakan
rintangan
yang
menyebabkan orang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Keluarga yang berpenghasilan cukup atau tinggi lebih mudah dalam menentukan pilihan pangan yang baik. Berdasarkan hasil penelitian preferensi pangan tidak berbeda untuk berbagai pendapatan per kapita. Hal ini disebabkan karena pemilihan kesukaan
58
terhadap pangan oleh contoh ini disebabkan oleh faktor pangan yaitu organoleptik dan bukan alasan ekonomi. Hasil penelitian ini sejalan dengan Krisnandika (2003), Farohah (2003), Maydayanti (2005), yang menyatakan bahwa tingkat pendapatan tidak berhubungan signifikan dengan preferensi pangan, tetapi bertentangan dengan hasil penelitian Martini (1992) yang menyatakan bahwa pendapatan contoh berhubungan positif yang tidak signifikan dengan preferensi contoh. Pengeluaran Per kapita Sebagian besar contoh menyukai pangan sumber karbohidrat meliputi jagung, singkong, dan ubi jalar. Tabel 32 menyajikan sebaran preferensi sumber karbohidrat berdasarkan pengeluaran per kapita. Tabel 32 Sebaran preferensi pangan sumber karbohidrat pengeluaran per kapita Jenis Pangan Jagung
Preferensi Pangan (%) 1 2 3 4 n % n % n % n % n 45 88.2 0 0.0 4 7.8 2 3.9 0 38 80.9 0 0.0 4 8.5 2 4.3 3 25.0 6 75.0 0 0.0 2 0 0.0 1 48 94.1 0 0.0 1 2.0 1 2.0 1 0 4.3 50 78.7 0 0.0 2 4.3 1 24 100 0 0.0 3 0.0 0 0.0 0 48 94.1 0 0.0 1 2.0 2 3.9 0 42 89.4 0 0.0 0 0.0 3 6.4 2 7 87.5 0 0.0 1 12.5 0 0.0 0 37 72.5 0 0.0 11 21.6 3 5.9 0 33 70.2 0 0.0 13 27.7 1 2.1 0 50.0 4 50.0 0 0.0 4 1 0.0 0 * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01
Pengeluaran Per Kapita
Rendah Sedang Tinggi Singkong Rendah Sedang Tinggi Ubi jalar Rendah Sedang Tinggi Talas Rendah Sedang Tinggi Keterangan: p-value:
5 % 0.0 6.4 0.0 2.0 12.8 0.0 0.0 4.3 0.0 0.0 0.0 0.0
berdasarkan Total n 51 47 8 51 47 8 51 47 8 51 47 8
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
p-value (r-value) 0.938 (-0.008) 0.476 (0.070) 0.911 (0.011) 0.306 (-0.100)
Sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap jagung pada contoh dengan pengeluaran per kapita rendah (88.2%), sedang (80.9%), serta tinggi (75%), sedangkan untuk singkong disukai sebagian besar contoh dengan pengeluaran per kapita rendah (94.1%), sedang (78.7%), serta tinggi (100%). Ubi jalar juga disukai oleh contoh dengan pengeluaran per kapita rendah (94.1%), sedang (89.4%), dan tinggi (87.5%). Contoh dengan pengeluaran tinggi banyak yang menyatakan tidak suka terhadap jagung (25%) dan talas (50%). Pangan yang paling tidak disukai contoh adalah talas.
Contoh yang menyukai talas
sebanyak 72.5% dari contoh dengan pengeluaran per kapita rendah, sedangkan untuk contoh dengan pengeluaran per kapita sedang (70.2%), dan tinggi (50%). Berdasarkan Tabel 32 diketahui bahwa preferensi pangan contoh menyatakan suka terhadap pangan sumber protein hewani dan nabati. Sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap ikan segar pada contoh dengan
59
pengeluaran per kapita rendah (88.2%), sedang (78.7%), serta tinggi (87.5%). Ikan asin disukai dan sangat disukai oleh contoh dengan pengeluaran per kapita rendah (90.2%), sedang (95.8%), serta tinggi (100%). Sebagian besar contoh juga menayatakan suka terhadap ikan pindang baik dengan pengeluaran per kapita rendah (84.3%), sedang (80.9%), serta tinggi (62.5%). Seluruh contoh (100%) menyatakan suka kacang hijau, tahu dan tempe kecuali untuk contoh dengan pengeluaran per kapita rendah terdapat 2% dari contoh menyatakan tidak suka terhadap kacang hijau, serta 2% menyatakan biasa untuk tempe. Tabel 33 Sebaran preferensi pangan sumber protein hewani dan nabati berdasarkan pengeluaran per kapita Preferensi Pangan (%) 1 2 3 4 5 n % n % n % n % n % 45 88.2 0 Ikan Rendah 0 0.0 6 11.8 0 0.0 0.0 segar 37 78.7 1 Sedang 0 0.0 9 19.1 0 0.0 2.1 87.5 1 Tinggi 0 0.0 2 0.0 0 12.5 6 0.0 35 68.6 11 21.6 Ikan Rendah 1 2.0 4 7.8 0 0.0 asin 32 68.1 13 27.7 Sedang 0 0.0 1 2.1 1 2.1 24 62.5 0 37.5 Tinggi 0 0.0 3 0.0 0 0.0 43 84.3 1 Ikan Rendah 1 2.0 5 9.8 1 2.0 2.0 pindang 37 80.9 0 Sedang 0 0.0 8 17.0 1 2.1 0.0 62.5 0 Tinggi 0 0.0 2 25.0 1 12.5 5 0.0 49 96.1 1 Kacang Rendah 0 0.0 1 2.0 0 0.0 2.0 hijau 44 93.6 3 Sedang 0 0.0 0 0.0 0 0.0 6.4 8 100 Tinggi 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 50 98.0 1 Tahu Rendah 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2.0 43 91.5 4 Sedang 0 0.0 0 0.0 0 0.0 8.5 8 100 Tinggi 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 48 94.1 2 Tempe Rendah 0 0.0 0 0.0 1 2.0 3.9 43 91.5 4 Sedang 0 0.0 0 0.0 0 0.0 8.5 8 100 Tinggi 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0 Keterangan: p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01 Jenis Pangan
Pengeluaran Per Kapita
Total n 51 47 8 51 47 8 51 47 8 51 47 8 51 47 8 51 47 8
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
p-value (r-value) 0.621 (-0.049) 0.159 (0.138) 0.150 (-0.141) 0.296 (0.103) 0.332 (0.095) 0.423 (0.079)
Uji hubungan dengan menggunakan Spearman dapat disimpulkan bahwa pengeluaran per kapita contoh tidak berhubungan (p>0.05) dengan preferensi pangan sumber karbohidrat dan sumber protein hewani dan nabati. Contoh tetap menyatakan suka walaupun memiliki pengeluaran per kapita rendah, sedang, maupun tinggi. Hal ini disebabkan pangan sumber karbohidrat dan protein hewani serta nabati yang terpilih harganya masih terjangkau untuk contoh dengan pengeluaran per kapita rendah, serta alasan utama preferensi pangan yaitu faktor pangan (rasa dan kandungan gizi). Sebagian besar contoh menyukai sayur daun hijau, kacang panjang, pisang, serta jambu biji. Preferensi sayur-sayuran dan buah-buahan mulai dari tidak suka hingga sangat suka. Contoh dengan pengeluaran per kapita rendah dan sedang sebagian besar menyukai pangan tersebut, sedangkan untuk golongan pengeluaran per kapita tinggi terdapat beberapa contoh yang menyatakan tidak suka terhadap pangan tersebut. Sebagian besar contoh
60
menyatakan suka terhadap sayur daun hijau baik dengan pengeluaran per kapita rendah (92.2%), sedang (95.7%), serta tinggi (75%), sedang untuk kacang panjang disukai oleh contoh dengan pengeluaran per kapita rendah (96.1%), sedang (93.6%), serta tinggi (87.5%). Pada pisang dan jambu biji terdapat 12.5% dari contoh dengan pendapatan tinggi yang menyatakan tidak suka, sisanya menyatakan biasa, suka dan sangat suka. Contoh dengan pengeluaran per kapita rendah sebagian besar menyatakan suka terhadap pisang dan jambu biji yaitu sebanyak 96.1%, sedangkan untuk pengeluaran per kapita sedang sebanyak 93.6%. Tabel 34 Sebaran preferensi pangan sumber vitamin dan mineral berdasarkan pengeluaran per kapita Jenis Pangan Sayur daun hijau Kacang panjang
Preferensi Pangan (%) 1 2 3 4 n % n % n % n % n 47 92.2 0 0.0 2 3.9 0 0.0 2 45 95.7 0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 25.0 6 75.0 0 0.0 2 0 0.0 0 49 96.1 0 0.0 1 2.0 0 0.0 1 44 93.6 0 0.0 3 6.4 1 0.0 0 7 87.5 0 0.0 1 12.5 0 0.0 0 49 96.1 0 0.0 1 2.0 0 0.0 1 44 93.6 0 0.0 1 2.1 1 2.1 1 7 87.5 0 0.0 1 12.5 1 0.0 0 49 96.1 0 0.0 1 2.0 0 2.0 0 44 93.6 0 0.0 2 4.3 1 2.1 0 6 75.0 0 0.0 1 12.5 1 12.5 0 * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01
Pengeluaran Per Kapita
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Pisang Rendah Sedang Tinggi Jambu Rendah biji Sedang Tinggi Keterangan: p-value:
5 % 3.9 2.1 0.0 2.0 0.0 0.0 2.0 2.1 0.0 0.0 0.0 0.0
Total n 51 47 8 51 47 8 51 47 8 51 47 8
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
p-value (r-value) 0.208 (-0.123) 0.089 (-0.166) 0.295 (-0.103) 0.127 (-0.149)
Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pengeluaran per kapita (p>0.05) dengan sayur daun hijau, kacang panjang, pisang, dan jambu biji. Pangan sumber vitamin dan mineral ini disukai oleh contoh dengan berbagai golongan pengeluaran. Pengeluaran per kapita merupakan variabel yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita serta besar kelurga. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaan termasuk untuk buahbuahan, sayur dan jenis pangan lain (Berg 1986). Preferensi pangan ini tidak berhubungan dengan pengeluaran per kapita, tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor pangan yaitu rasa. Faktor pangan merupakan alasan terbanyak pemilihan preferensi pangan sumber vitamin dan mineral ini.
61
Preferensi Pangan Masyarakat Berdasarkan Karakteristik Lingkungan Besar Keluarga Tabel 35 menyajikan sebaran preferensi pangan sumber karbohidrat berdasarkan besar keluarga, dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap pangan sumber karbohidrat, kecuali untuk ubi jalar pada contoh dengan keluarga besar. Seluruh contoh (100%) yang memiliki keluarga besar menyatakan suka terhadap jagung, singkong, dan talas, serta biasa untuk ubi jalar. Talas merupakan pangan yang paling tidak disukai oleh contoh dengan besar keluarga kecil dan sedang. Sebagian besar contoh menyatakan suka jagung baik pada keluarga kecil (84.6%), dan sedang (82.5%). Tabel 35 Sebaran preferensi pangan sumber karbohidrat berdasarkan besar keluarga Jenis Pangan Jagung
Singkong
Ubi jalar
Talas
Besar Keluarga Kecil Sedang Besar Kecil Sedang Besar Kecil Sedang Besar Kecil Sedang Besar
n 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 % 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
n 7 3 2 1 0 2 0 1 10 5 0
Preferensi Pangan (%) 2 3 % n % n 10.8 2 3.1 55 7.5 2 5.0 33 0.0 0 0.0 1 3.1 1 1.5 58 2.5 2 5.0 34 0.0 0 0.0 1 3.1 1 1.5 61 0.0 2 7.5 35 0.0 1 100 0 27.7 1 3.1 54 25.0 0 0.0 34 0.0 0 0.0 1
4 % 84.6 82.5 100 89.2 85.0 100 95.4 87.5 0.0 69.2 70.0 100
n 1 2 0 4 3 0 1 2 0 0 1 0
5 % 1.5 5.0 0.0 6.2 7.5 0.0 0.0 5.0 0.0 0.0 2.5 0.0
Total n 65 40 1 65 40 1 65 40 1 65 40 1
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
p-value (r-value) 0.509 (0.065) 0.843 (-0.019) 0.778 (-0.028) 0.786 (0.027)
Keterangan: p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01
Preferensi terhadap singkong juga menunjukkan bahwa sebagian besar contoh menyatakan suka baik contoh yang memiliki keluarga kecil (89.2%), dan sedang (85%), sedangkan untuk ubi jalar contoh dengan besar keluarga kecil (95.4%), sedang (87.5%) menyatakan suka. Talas hanya disukai sebagian dari contoh dengan besar keluarga kecil (69.2%), serta sedang (70%). Seluruh contoh (100%) yang memiliki keluarga besar menyatakan suka terhadap jagung, singkong, serta talas, dan menyatakan biasa untuk ubi jalar. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara besar keluarga dengan jagung, singkong, ubi jalar dan talas. Preferensi terhadap jagung, singkong, ubi jalar, serta talas tetap sama pada setiap kategori besar keluarga, dimana keempat pangan tersebut tetap disukai tidak berhubungan dengan jumlah anggota keluarga yang dimiliki. Berdasarkan Tabel 36 dapat diketahui bahwa seluruh contoh (100%) yang memiliki keluarga besar menyatakan suka terhadap semua pangan sumber protein hewani dan nabati. Contoh yang memiliki keluarga kecil dan sedang
62
memiliki preferensi terhadap pangan sumber protein hewani tidak suka hingga sangat suka, kecuali untuk ikan asin dan ikan pindang terdapat contoh yang menyatakan sangat tidak suka(1.5%). Sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap ikan segar baik contoh yang memiliki keluarga kecil (83.1%), dan keluarga sedang (85.0%). Ikan sangat disukai dan disukai oleh contoh yang memiliki keluarga kecil (93.8%), dan keluarga besar (92.5%), sedangkan untuk ikan pindang hanya sebanyak 75.4% dari contoh dengan keluarga kecil, dan 92.5% pada keluarga sedang. Kacang hijau disukai sebagian besar contoh dengan keluarga kecil (98.5%), sedangkan untuk tahu dan tempe mencapai 100% dari contoh. Sama halnya dengan contoh yang memiliki keluarga besar, seluruhnya menyatakan suka terhadap kacang hijau, tahu, dan tempe. Pangan sumber protein nabati hanya contoh yang memiliki keluarga kecil (1.5%) yang menyatakan tidak suka, sedangkan untuk tahu contoh hanya menyatakan suka dan sangat suka. Pada tempe terdapat contoh yang menyatakan biasa (2.5%) pada contoh dengan keluarga sedang. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan positif lemah (p>0.05;r=0.235) antara besar keluarga dengan preferensi ikan pindang. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin besar jumlah keluarga yang dimiliki maka semakin banyak contoh yang menyatakan suka terhadap ikan pindang. Hal ini disebabkan ikan pindang banyak tersedia dan mudah diperoleh, kandungan gizinya baik, rasa enak, serta harganya terjangkau sehingga cocok untuk keluarga dengan jumlah keluarga besar. Tabel 36 Sebaran preferensi pangan sumber protein hewani dan nabati berdasarkan besar keluarga Jenis Pangan Ikan segar
Ikan asin
Ikan pindang Kacang hijau Tahu
Tempe
Besar Keluarga Kecil Sedang Besar Kecil Sedang Besar Kecil Sedang Besar Kecil Sedang Besar Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
n 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 % 0.0 0.0 0.0 1.5 0.0 0.0 1.5 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
n 10 5 0 3 2 0 12 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
Preferensi Pangan (%) 2 3 4 % n % n % 15.4 1 1.5 54 83.1 12.5 0 0.0 34 85.0 100 0.0 0 0.0 1 4.6 0 0.0 45 69.2 5.0 1 2.5 26 65.0 100 0.0 0 0.0 1 18.5 3 4.6 49 75.4 7.5 0 0.0 36 90.0 100 0.0 0 0.0 0 1.5 0 0.0 62 95.4 0.0 0 0.0 38 95.0 100 0.0 0 0.0 1 0.0 0 0.0 62 95.4 0.0 0 0.0 38 95.0 100 0.0 0 0.0 1 0.0 0 0.0 62 95.4 0.0 1 2.5 36 90.0 100 0.0 0 0.0 1
n 1 1 0 16 11 0 0 1 0 2 2 0 3 2 0 3 3 0
5 % 0.0 2.5 0.0 24.6 27.5 0.0 0.0 2.5 0.0 3.1 5.0 0.0 4.6 5.0 0.0 4.6 7.5 0.0
Total n 65 40 1 65 40 1 65 40 1 65 40 1 65 40 1 65 40 1
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
p-value (r-value) 0.365 (0.089) 0.907 (0.012) 0.015* (0.235) 0.457 (0.073) 0.965 (0.004) 0.953 (0.006)
Keterangan: p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01
63
Berdasarkan Tabel 37 seluruh contoh (100%) yang memiliki keluarga besar menyatakan suka terhadap sayur daun hijau, kacang panjang, pisang, serta jambu biji. Sebagian besar contoh dengan berbagai golongan besar keluarga menyukai sayur-sayuran dan buah-buahan. Preferensi contoh meliputi tidak suka hingga sangat suka. Seluruh contoh (100%) dengan jumlah keluarga besar menyatakan suka terhadap sayur daun hijau, kacang panjang, pisang serta jambu biji, begitu pula dengan contoh yang memiliki keluarga sedang seluruhnya menyatakan suka dan sangat suka terhadap sayur daun hijau, kacang panjang dan pisang serta suka dan biasa terhadap jambu biji. Preferensi contoh dengan keluarga kecil lebih beragam. Contoh yang menyatakan suka terhadap sayur daun hijau (90.8%), kacang panjang (95.4%), pisang (90.8%), serta jambu biji (92.3%). Tabel 37 Sebaran preferensi pangan sumber vitamin dan mineral berdasarkan besar keluarga Jenis Pangan Sayur daun hijau Kacang panjang Pisang
Jambu biji
Besar Keluarga Kecil Sedang Besar Kecil Sedang Besar Kecil Sedang Besar Kecil Sedang Besar
n 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 % 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
n 5 0 0 3 2 0 3 0 0 4 0 0
Preferensi Pangan (%) 2 3 4 % n % n % 7.7 0 0.0 59 90.8 0.0 0 0.0 38 95.0 100 0.0 0 0.0 1 4.6 0 0.0 62 95.4 5.0 0 0.0 37 92.5 100 0.0 0 0.0 1 4.6 1 1.5 59 90.8 0.0 0 0.0 40 100 100 0.0 0 0.0 1 6.2 1 1.5 60 92.3 0.0 2 5.0 38 95.0 100 0.0 0 0.0 1
n 1 2 0 0 1 0 2 0 0 2 2 0
5 % 1.5 5.0 0.0 0.0 2.5 0.0 3.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Total n 65 40 1 65 40 1 65 40 1 65 40 1
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
p-value (r-value) 0.046* (0.194) 0.653 (0.044) 0.510 (0.065) 0.526 (0.062)
Keterangan: p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01
Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang tidak signifikan (p<0.05;r=0.194) antara besar keluarga dengan preferensi sayur daun hijau. Semakin besar jumlah keluarga yang dimiliki contoh maka sayur daun hijau makin disukai. Hal ini diduga disebabkan alasan utama pemilihan preferensi sayur daun hijau contoh adalah faktor pangan yaitu rasa dan kandungan zat gizi. Selain itu, harga sayur daun hijau relatif murah, dan mudah diperoleh (tersedia). Besar keluarga akan mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran untuk konsumsi pangan. Keluarga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga tersebut tetapi hanya
64
mencukupi sebagian dari anggota keluarga itu (Martianto & Ariani 2004). Pada skala keluarga, tingkat konsumsi pangan ditentukan oleh adanya pangan yang cukup, yang dipengaruhi oleh kemampuan keluarga untuk memperoleh bahan pangan yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian, besar keluarga tidak berhubungan dengan sebagian besar preferensi pangan. Hal ini diduga disebabkan preferensi pangan ini sebagian besar dipengaruhi oleh alasan pangan yaitu rasa. Selain itu, sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap semua pangan. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Maydayanti (2005) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara besar keluarga dengan preferensi pangan. Pekerjaan Contoh Berdasarkan Tabel 38 dapat dilihat bahwa contoh baik yang bekerja sebagai PNS, pegawai swasta, di bidang perdagangan atau jasa, petani atau buruh tani, serta ibu rumah tangga menyatakan suka terhadap semua pangan sumber karbohidrat. Contoh yang bekerja sebagai PNS atau petani atau buruh tani seluruhnya (100%) menyatakan suka terhadap pangan sumber karbohidrat tersebut. Seluruh pegawai swasta (100%) menyatakan suka terhadap jagung, singkong dan talas, sedangkan untuk ubi jalar hanya 50% dari contoh yang menyatakan suka. Preferensi contoh terhadap singkong, ubi jalar, dan talas sebagian besar menyatakan suka. Sebagian besar contoh yang bekerja di bidang perdagangan dan jasa juga menyatakan suka terhadap jagung (74.2%), singkong (87.1%), ubi jalar (93.5%), serta talas (74.2%). Contoh yang bekerja sebagai petani juga menyukai keempat pangan tersebut. Preferensi contoh yang menyatakan suka terhadap jagung (88.7%), singkong (87.3%), ubi jalar (91.5%), serta talas (66.2%). Uji hubungan dengan menggunakan Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p<0.05) antara pekerjaan contoh dengan preferensi terhadap jagung, sedangkan untuk singkong, ubi jalar, serta talas tidak memiliki hubungan (p>0.05) dengan pekerjaan contoh. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga menyukai jagung. Hal ini bertentangan dengan hasil uji hubungan preferensi jagung dengan pendapatan serta pengeluaran per kapita. Profesi dan pekerjaan seseorang akan mempengaruhi pendapatan yang diterima (Sumarwan 2004). Berg (1986) menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula persentase pertambahan pembelanjaan termasuk untuk buah-buahan, sayur, dan jenis
65
pangan lain. Pertentangan hasil uji ini disebabkan data pendapatan dan pengeluaran per kapita diolah dalam bentuk data ordinal, dimana terdapat tingkatan untuk masing-masing kategori. Lain halnya dengan jenis pekerjaan, data yang digunakan berupa data nominal sehingga tidak terdapat tingkatan hanya berupa kategori, sehingga pekerjaan tidak seiring dengan pendapatan dan pengeluaran per kapita. Tabel 38 Sebaran preferensi pangan sumber karbohidrat berdasarkan pekerjaan contoh Preferensi Pangan (%) Total 1 2 3 4 5 n % n % n % n % n % n % 100 0 Jagung I 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0.0 1 100 50.0 1 50.0 II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 2 100 74.2 1 III 0 0.0 4 12.9 0 9.7 2 3.2 31 100 100 0 IV 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0.0 1 100 V 0 0.0 1 8.5 2 1.4 62 88.7 6 1.4 71 100 100 0 Singkong I 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0.0 1 100 100 0 II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 0.0 2 100 III 0 0.0 2 6.5 1 3.5 27 87.1 1 3.2 31 100 100 0 IV 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 100 87.3 0 V 0 0.0 0 1.4 0 2.8 1 8.5 71 100 100 0 Ubi jalar I 0 0.0 0 0.0 1 0.0 1 0.0 1 100 50.0 0 II 0 0.0 0 0.0 1 50.0 1 0.0 2 100 III 0 0.0 0 0.0 1 3.2 29 93.5 1 3.2 31 100 100 0 IV 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0.0 1 100 V 0 0.0 2 2.8 3 4.2 65 91.5 1 1.4 71 100 100 0 Talas I 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0.0 1 100 100 0 II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 0.0 2 100 III 0 0.0 6 19.4 2 6.5 23 74.2 0 0.0 31 100 100 0 IV 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0.0 1 100 V 0 0.0 22 31.0 2 2.8 47 66.2 0 0.0 71 100 Keterangan: Jenis Pekerjaan : I: PNS; II: Pegawai swasta; III: Perdagangan/jasa IV: Petani/buruh tani; V: Ibu rumah tangga p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01 Jenis Pangan
Jenis Pekerjaan
p-value 0.036*
0.992
0.544
0.870
Berdasarkan Tabel 39 seluruh contoh (100%) yang bekerja sebagai PNS dan pegawai swasta menyatakan suka ikan segar, kacang hijau, tahu serta tempe, sedangkan untuk ikan asin seluruh PNS menyatakan tidak suka, dan biasa untuk ikan pindang, Seluruh contoh yang bekerja sebagai pegawai swasta (100%) menyatakan suka dan sangat suka. Contoh yang bekerja sebagai petani/buruh tani (100%) menyatakan suka terhadap semua pangan sumber protein hewani dan nabati. Contoh yang bekerja di bidang perdagangan dan jasa sebagian besar menyatakan suka terhadap ikan segar (77.4%), ikan asin (71.0%), ikan pindang (77.4%), kacang hijau (96.8%), tahu (93.5%), serta tempe (90.8%). Sebagian besar contoh yang bekerja sebagai ibu rumah tangga menyatakan suka terhadap ikan segar (85.9%), ikan asin (67.6%), ikan pindang (83.1%), kacang hijau (94.4%), tahu (95.8%), serta tempe (94.4%). Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan (p=0.001) antara pekerjaan contoh dengan preferensi terhadap ikan pindang. Berdasarkan
66
Tabel 38 diketahui bahwa semua PNS menyatakan biasa, sedangkan pegawai swasta dan petani/buruh tani menyatakan suka terhadap ikan pindang. Contoh yang bekerja di bidang perdagangan/jasa serta ibu rumah tangga memiliki preferensi yang lebih beragam untuk ikan pindang mulai dari sangat tidak suka hingga sangat suka. Hasil uji Chi Square menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara pekerjaan contoh dengan preferensi terhadap ikan segar, ikan asin, kacang hijau, tahu, dan tempe. Pada kacang hijau, tahu, serta tempe preferensi contoh berkisar pada suka dan sangat suka, hanya pada tempe terdapat contoh yang bekerja di perdagangan/jasa menyatakan tidak suka. Selain itu, pada contoh sebagai ibu rumah tangga terdapat contoh yang menyatakan biasa dan sangat suka. Tabel 39
Sebaran preferensi pangan sumber protein hewani dan nabati berdasarkan pekerjaan
Preferensi Pangan (%) Total 1 2 3 4 5 n % n % n % n % n % n % 100 Ikan segar I 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0 0.0 1 100 100 II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 0 0.0 2 100 22.6 0 0.0 24 77.4 III 0 0.0 7 0 0.0 31 100 100 IV 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0 0.0 1 100 V 0 0.0 8 11.3 1 1.4 61 85.9 1 1.4 71 100 100 0 0.0 Ikan asin I 0 0.0 1 0 0.0 0 0.0 1 100 50.0 II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 1 50.0 2 100 III 1 3.2 0 0.0 0 0.0 22 71.0 8 25.8 31 100 100 IV 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0 0.0 1 100 V 0 0.0 4 5.6 1 1.4 48 67.6 18 25.4 71 100 Ikan pindang I 0 0.0 0 0.0 1 100 0 0.0 0 0.0 1 100 100 II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 0 0.0 2 100 III 1 3.2 5 16.1 1 3.2 24 77.4 0 0.0 31 100 100 IV 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0 0.0 1 100 V 0 0.0 10 14.1 1 1.4 59 83.1 1 1.4 71 100 100 Kacang hijau I 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0 0.0 1 100 100 II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 0 0.0 2 100 III 0 0.0 1 3.2 0 0.0 30 96.8 0 0.0 31 100 100 IV 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0 0.0 1 100 V 0 0.0 0 0.0 0 0.0 67 94.4 4 5.6 71 100 100 Tahu I 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 3 0.0 1 100 100 II 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 2 0.0 2 100 III 0.0 0.0 0.0 29 93.5 2 6.5 31 100 100 IV 0.0 0.0 0.0 1 0 0.0 1 100 V 0 0.0 0 0.0 0 0.0 68 95.8 3 4.2 71 100 100 Tempe I 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 0 0.0 1 100 100 II 0 0.0 0 0.0 1 0.0 2 0 0.0 2 100 III 0.0 0.0 0.0 28 90.3 3 9.7 31 100 100 IV 0.0 0.0 0.0 1 0.0 1 100 V 0 0.0 0 0.0 1 1.4 67 94.4 3 4.2 71 100 Keterangan: Jenis Pekerjaan : I: PNS; II: Pegawai swasta; III: Perdagangan/jasa IV: Petani/buruh tani; V: Ibu rumah tangga p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01 Jenis Pangan
Jenis Pekerjaan
p-value 0.986
0.056
0.001**
0.818
0.959
0.983
Berdasarkan Tabel 40 diketahui bahwa seluruh contoh (100%) yang bekerja sebagai PNS, pegawai swasta, serta petani/buruh tani menyatakan suka sayur daun hijau, pisang dan jambu biji, sedangkan untuk ikan asin setengah
67
contoh (50%) menyukai ikan asin, dan sisanya menyatakan tidak suka (50%). Contoh dengan pekerjaan di bidang perdagangan atau jasa menyatakan suka terhadap sayur daun hijau (87.1%), kacang panjang (93.5%), pisang (96.8%), serta jambu biji (66.7%). Sama halnya dengan contoh yang bekerja sebagai ibu rumah tangga sebagian besar juga menyatakan suka terhadap sayur daun hijau (94.4%), kacang panjang (95.8%), pisang (93.0%), serta jambu biji sebanyak 93% menyatakan sangat suka. Uji hubungan dengan menggunakan Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan (p>0.05) antara pekerjaan contoh dengan preferensi terhadap sayuran dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral. Setiap contoh dengan berbagai jenis pekerjaan tetap menyukai sayur daun hijau, kacang panjang, pisang, serta jambu biji. Hal ini disebabkan alasan utama yang mendasari preferensi adalah faktor pangan yaitu rasa dan kandungan zat gizi. Tabel 40 Sebaran preferensi pangan sumber vitamin dan mineral berdasarkan pekerjaan Jenis Pangan
Jenis Pekerjaan
n
1 % 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
n
Preferensi Pangan (%) 2 3 4 % n % n % 100 0.0 0 0.0 1 100 0.0 0 0.0 2 9.7 0 0.0 27 87.1 100 0.0 0 0.0 1 2.8 0 0.0 67 94.4 100 0.0 0 0.0 1 50.0 0 0.0 1 50.0 3.2 0 0.0 29 93.5 100 0.0 0 0.0 1 4.2 1 0.0 68 95.8 100 0.0 0 0.0 1 100 0.0 0 0.0 2 0.0 1 3.2 30 96.8 100 0.0 0 0.0 1 4.2 0 0.0 66 93.0 100 0.0 0 0.0 1 100 0.0 0 0.0 2 33.3 0 0.0 29 66.7 100 0.0 0 0.0 1 2.8 2 4.2 66 93.0
n
5 % 0.0 0.0 3.2 0.0 2.8 0.0 0.0 3.2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.8 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Total n
%
I 0 0 0 1 100 II 0 0 0 2 100 III 0 3 1 31 100 IV 0 0 0 1 100 V 0 2 2 71 100 I Kacang 0 0 0 1 100 II panjang 0 1 1 2 100 III 0 1 1 31 100 IV 0 0 0 1 100 V 0 3 0 71 100 I Pisang 0 0 0 1 100 II 0 0 0 2 100 III 0 0 0 31 100 IV 0 0 0 1 100 V 0 3 2 71 100 I Jambu biji 0 0 0 1 100 II 0 0 0 2 100 III 0 2 0 31 100 IV 0 0 0 1 100 V 0 2 0 71 100 Keterangan: Jenis Pekerjaan : I: PNS; II: Pegawai swasta; III: Perdagangan/jasa IV: Petani/buruh tani; V: Ibu rumah tangga p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01
Sayur daun hijau
pvalue 0.955
0.159
0.960
0.966
Secara umum, pekerjaan contoh juga tidak berhubungan dengan preferensi pangan melainkan dipengaruhi oleh faktor pangan yaitu rasa dan pengolahan. Contoh sebagian besar merupakan contoh yang tidak mempunyai makanan kesukaan atau makanan pantangan, sehingga menyukai seluruh
68
pangan. Pekerjaan tidak menyebabkan contoh memiliki kesukaan atau ketidaksukaan terhadap pangan tertentu. Informasi dari Media Massa Berdasarkan Tabel 41, dapat diketahui bahwa sebagian besar contoh yang terpapar maupun tidak terpapar oleh media massa menyatakan suka terhadap pangan sumber karbohidrat, sumber protein hewani dan nabati, serta sumber vitamin dan mineral. Hasil uji hubungan dengan Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang tidak signifikan antara preferensi ubi jalar (p<0.01;r=-0.289) dan talas (p<0.01;r=-0.221) dengan paparan media informasi. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin terpapar oleh media massa, ubi jalar dan talas semakin tidak disukai. Media massa sebagai media komunikasi memiliki beberapa kemampuan untuk ikut mendorong terjadinya perubahan perilaku masyarakat. Media massa mampu memberikan penawaran-penawaran yang dapat mempengaruhi keinginan pemirsanya. Tabel 41 PPM suka dan sangat suka (%) berdasarkan karakteristik lingkungan (informasi dari media massa) serta hubungannya Jenis Pangan
Informasi dari Media Massa Tidak Terpapar Terpapar
p-value
r-value
Sumber Karbohidrat Jagung Singkong Ubi jalar Talas
89.4 94.6 93.7 72.3
66.7 91.7 91.6 50
0.129 0.891 0.005** 0.033*
-0.158 -0.014 -0.289 -0.221
Sumber Protein Hewani Ikan segar Ikan asin
89.1 92.6
83.3 100
0.900 0.960
-0.013 0.005
0.105
-0.168
0.833 0.090 0.234
0.176 0.124
Ikan pindang 82 83.3 Sumber Protein Nabati Kacang hijau 98.9 100 Tahu 100 100 Tempe 98.9 100 Sumber Vitamin dan Mineral Sayur daun hijau 95.8 91.7 Kacang panjang 94.7 100 Pisang 95.7 100 Jambu biji 92.6 100 Keterangan: p-value: * : signifikan pada level 0.05; **: signifikan pada level 0.01
0.783 0.739 0.327 0.679
-0.22
0.029 0.035 -0.102 -0.043
Diversifikasi Pangan Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Diversifikasi pangan dilakukan dengan meningkatkan keanekaragaman pangan, mengembangkan teknologi pengolahan dan produk pangan serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (Ariani 2008).
69
Diversifikasi pangan yang diteliti dalam penelitian ini adalah diversifikasi pangan secara horizontal. Menurut Antara (2001) diversifikasi secara horizontal merupakan imbangan pengembangan antar berbagai komoditi dan wilayah. Semua propinsi di Indonesia pada tahun 1979 mempunyai pola pangan pokok utama beras dan pada tahun 2005 posisi tersebut masih tetap. Jika terjadi perubahan hanya terjadi pada pangan kedua, antara jagung dan umbi-umbian. Pola pangan tunggal berupa beras pada tahun 1979 hanya terjadi di satu propinsi (Kalsel), namun pada tahun 1996 sudah menjadi 8 propinsi (Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng). Pada tahun 1993, sebagian besar propinsi mempunyai pola pangan pokok yang sudah mengarah ke pola tunggal yaitu beras. Kecenderungan ini terjadi pada masyarakat kaya dan miskin. Perubahan ini semakin signifikan pada tahun 2005, semua masyarakat di kota atau desa dan kaya atau miskin hanya mempunyai satu pola pangan pokok yaitu beras dan mie. Diversifikasi pangan yang diharapkan dapat menurunkan ketergantungan terhadap beras menunjukkan keberhasilan. Namun menjadi salah arah, karena harapannya masyarakat beralih ke pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu dan jagung tetapi justru beralih ke pangan global yaitu mie instan dan sejenisnya (Ariani 2008). Hardinsyah dan Amalia (2007) menyatakan bahwa konsumsi tepung terigu dari tahun 1993 hingga 2005 mengalami fluktuasi konsumsi, tetapi mulai tahun 1999, konsumsi tepung terigu di Indonesia selalu mengalami peningkatan. Pola konsumsi pangan produk olahan terigu di desa relatif sama dengan di kota, perbedaannya adalah dalam kuantitas yang dikonsumsi. Menurut Junaedi (2009) salah satu cara yang paling efektif untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mereaktualisasikan program diversifikasi
pangan
yang
dulu
pernah
digulirkan
pemerintah.
Dengan
diversifikasi pangan, bukan saja menguntungkan dari sudut ilmu gizi, namun lebih dari itu akan mampu memperkuat posisi ekonomi-politik pangan kita. Setidaknya, dukungan untuk mengaktualisasikannya telah ada yaitu preferensi dan budaya makan masyarakat kita yang sebenarnya sudah sangat beragam serta dukungan potensi wilayah yang juga beragam. Menurut
Tampubolon 1998
yang
diacu dalam
Suyastiri
(2008),
diversifikasi bahan pangan merupakan suatu proses pemilihan pangan yang tidak tergantung pada suatu jenis pangan tetapi lebih terhadap berbagai bahan pangan mulai dari aspek produksi, aspek pengolahan, aspek distribusi, hingga
70
aspek konsumsi pada tingkat rumah tangga. Diversifikasi pangan ini dapat dilihat dari sisi preferensi pangan yang mencerminkan permintaan serta produksi pangan wilayah1. Tabel 42 Preferensi, produksi, ketersediaan per kapita per hari, serta kontribusi kkal energi Jenis Pangan Sumber karbohidrat Jagung Singkong Ubi jalar Talas Total Sumber protein hewani Ikan kolam air sawah Ikan kolam air tenang Ikan kolam air deras Ikan keramba Ikan pada jaring terapung Total Sumber protein nabati Kacang hijau Tahu dan Tempe (Kedelai)
Preferensi Terbanyak 4 4 4 4
Produksi (Ton/Tahun) 2.342 201.910 52.762 13.385 270.399
Ketersediaan Energi Aktual Ideal (kkal) (kkal) 2 164 41 10
1000
7593.5
5
4 4
472 168
1 0.3
Total Sumber Vitamin dan Mineral Sayur daun hijau 4 Kacang panjang 4 Total Sumber Vitamin dan Mineral Pisang 4 Jambu biji 4 Total
640
Kontribusi Energi Aktual Ideal (%) (%) 0.1 8.2 2.1 0.5
50
240
0.3
12
100
0.05 0.001
5
120
6
4 1.113,2 4.372,3 1.774 124 210
35.058 14.847 115.962
6 4.29
120
0.01 0.002
6
29.186 6.320 78.133
8 2
120
0.4 0.1
6
Sumber : BPS (2006); Sulistyo (2009)
Berdasarkan Tabel 42 preferensi pangan masyarakat Kabupaten Bogor diketahui bahwa kesukaan masyarakat terhadap pangan sumber karbohidrat yang berasal dari kelompok padi-padian dan umbi-umbian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menyatakan suka terhadap pangan selain beras. Preferensi suka pada kelompok padi-padian termasuk jagung. Pemilihan jagung ini disebabkan karena pada kelompok padi-padian sebagian besar pangan merupakan olahan dari terigu seperti biskuit, roti, dan mie, serta produk olahan beras yaitu bihun. Selain itu, jagung merupakan salah satu pangan yang disarankan untuk digunakan sebagai pangan alternatif non-beras.
1
Menurut Baliwati (2007) masalah ketahanan pangan terkait dengan permintaan dalam negeri serta kemampuan produksi. Preferensi pangan masyarakat Kabupaten Bogor merupakan cerminan permintaan masyarakat terhadap pangan dilihat dari lingkungan sosial, sedangkan produksi wilayah merupakan lingkungan fisik yang mendukung tercapainya diversifikasi pangan sebagai upaya pencapaian ketahanan pangan.
71
Jagung adalah komoditas serealia yang memiliki sifat mirip beras, namun memerlukan persyaratan budidaya yang lebih mudah, memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan panganekaragaman pangan. Selain itu sebagian masyarakat sudah terbiasa makan jagung. Menurut BPS (2006) Kabupaten Bogor memiliki rata-rata hasil per hektar 3.47 ton/ha, dengan produksi 2,342 ton. Rata-rata hasil per hektar jagung adalah di Kecamatan Sukamakmur (3.92 ton/ha), Gunung Putri (3.83 ton/ha), serta Jonggol (3.78 ton/ha). Kabupaten Bogor memiliki 22 kecamatan penghasil produksi jagung dari 40 kecamatan yang ada. Produksi yang luas di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor ini dapat menjadi salah satu modal pencapaian diversifikasi pangan dengan jagung sebagai pangan alternatif non-beras dengan adanya peningkatan produksi. Produksi jagung di Kabupaten Bogor hanya mampu menyumbang kontribusi energi sebesar 0.1% dari 50% kebutuhan energi ideal kelompok padi-padian. Kelompok pangan sumber karbohidrat selanjutnya adalah kelompok umbi-umbian. Preferensi pangan masyarakat Kabupaten Bogor menyatakan bahwa sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap pangan sumber karbohidrat ini. Beberapa pangan yang dapat dijadikan sebagai pangan alternatif non-beras adalah singkong, ubi jalar, serta talas. Menurut Poespodarsono yang diacu dalam Budiarto (2009) tanaman ubi kayu atau singkong menghasilkan umbi basah yang mengandung 60% air, 25 – 35% pati, protein, mineral, serat dan sedikit unsur kalium serta fosfat. Ubi jalar merupakan pangan lokal yang sesuai dengan agroklimat sebagian besar wilayah Indonesia, mempunyai produktivitas yang tinggi, serta mengandung zat gizi yang berpengaruh positif pada kesehatan (Hasyim & Yusuf 2008). Menurut BPS (2006) rata-rata hasil per hektar untuk singkong dan ubi jalar di Kabupaten Bogor adalah 19.23 ton/ha serta 14.41 ton/ha dengan produksi sebesar 201,910 ton untuk singkong, dan 52,762 ton untuk ubi jalar. Produksi singkong dan ubi jalar tersebar di 40 kecamatan di Kabupaten Bogor. Produksi singkong terbesar terdapat di Kecamatan Sukaraja (58,228 ton), diikuti oleh Kecamatan Cibinong (15,524 ton). Produksi ubi jalar terbesar adalah Kecamatan Cibungbulang (8,446 ton) serta Kecamatan Ciampea (5,096 ton). Umbi talas merupakan komoditi andalan produk pertanian di daerah Bogor, Jawa Barat. Produksi talas mencapai 13.385 ton, Bogor merupakan salah satu wilayah sentra produksi talas. Berdasarkan preferensi pangan masyarakat Kabupaten Bogor masih terdapat beberapa contoh yang tidak menyukai talas.
72
Oleh
karena
itu,
perlu
adanya
teknologi
pengolahan
talas.
Peluang
pengembangan talas sebagai produk pangan berpati non-beras sangat besar. Rahmawati (2007) menyatakan bahwa talas merupakan salah satu pangan subsitusi beras selain kentang dan jagung. Oleh karena itu, ubi jalar, ubi kayu, dan talas merupakan pangan lokal yang potensial untuk dijadikan pangan alternatif non-beras baik sebagai pangan pengganti maupun pendamping. Produksi singkong mampu menyumbang kontribusi energi sebesar 8.2%, ubi jalar (2.1%), dan talas (0.5%) dari kecukupan ketersediaan pangan wilayah sebesar 6%. Menurut
Ariningsih
(2008),
hasil
kajian
terhadap
daerah
desa
menunjukkan bahwa konsumsi ikan untuk daerah desa di Pulau Jawa jauh lebih rendah dibandingkan dengan di luar Jawa. Hal ini disebabkan salah satunya karena budaya masyarakat di Pulau Jawa adalah pertanian yang cenderung tidak mengenal ikan. Preferensi yang baik terhadap hasil ternak (daging, telur, dan susu) cenderung telah didukung dengan konsumsi yang baik. Oleh karena itu, perlu adanya penganekaragaman pangan sumber protein hewani yaitu ikan. Preferensi masyarakat Kabupaten Bogor sendiri sebagian besar menyatakan suka terhadap ikan baik ikan segar, ikan asin, serta ikan pindang. Hal ini dapat diupayakan sebagai salah satu pangan alternatif demi tercapainya pangan yang bergizi, beragam, dan berimbang. Menurut BPS (2006) produksi ikan di Kabupaten Bogor dibagi menjadi ikan pada kolam air sawah, kolam air tenang, kolam air deras, ikan keramba dan pada jaring terapung. Produksi ikan di kolam air sawah sebesar 1,113.20 ton, dengan wilayah produksinya di 17 kecamatan di Kabupaten Bogor, dengan produksi terbesar di Kecamatan Gunung Sindur (665.40 ton). Produksi ikan kolam air tenang adalah 4,372.30 ton. Semua kecamatan di Kabupaten Bogor merupakan daerah produksi, dengan produksi terbesar di Kecamatan Gunung Sindur (739.60 ton). Produksi ikan selanjutnya adalah ikan kolam air deras. Produksi ikan kolam air deras adalah sebesar 1,774 ton, dengan 9 kecamatan sebagai wilayah produksi. Kecamatan dengan produksi terbesar adalah Pamijahan (843.10 ton). Produksi ikan keramba sangat kecil dibandingkan dengan lainnya. Produksi ikan ini hanya 124 ton dengan 7 kecamatan sebagai daerah produksi, salah satu yang terbesar adalah Pamijahan (87.7 ton). Produksi ikan terakhir adalah ikan di jaring terapung sebesar 210 ton dengan 4 kecamatan
73
produksi. Salah satu produksi terbesar adalah di Kecamatan Cigombong (203.3 ton) dan Bojong Gedhe (2 ton). Kecamatan di Kabupaten Bogor seluruhnya merupakan sentra produksi ikan dengan berbagai teknik budidaya. Oleh karena itu, ikan bisa menjadi salah satu pangan yang mendukung diversifikasi pangan sebagai sumber protein hewani selain hasil ternak. Produksi ikan di Kabupaten Bogor tersebut mampu memberikan kontribusi sebesar 0.3% dari kecukupan ketersediaan wilayah sebesar 12%. Kontribusi kkal energi yang masih kecil sebagai pangan hewani ini membutuhkan adanya peningkatan produksi. Hal ini disebabkan karena produksi ikan sebenarnya merata di kecamatan di Kabupaten Bogor. Jika tidak kontribusi kkal energi ini dapat diimpor dari wilayah lain di Pulau Jawa. Preferensi masyarakat Kabupaten Bogor untuk protein nabati sama dengan protein hewani. Sebagian besar contoh menyatakan suka terhadap pangan sumber protein nabati. Pangan yang potensial digunakan sebagai pangan alternatif untuk pencapaian pangan beragam adalah kacang hijau, tahu, dan tempe. Produksi kacang hijau di Kabupaten Bogor adalah 472 ton di 9 kecamatan sebagai wilayah produksi. Produksi terbesar di Kecamatan Tanjungsari sebesar 325 ton (BPS 2006). Selain tahu dan tempe, kacang hijau bisa menjadi sumber protein nabati dengan berbagai pengolahan. Menurut Ariningsih (2002) yang diacu dalam Ariningsih (2008) rumah tangga dengan pendapatan rendah di desa konsumsi protein lebih dominan dari protein nabati. Oleh karena itu, perlu adanya kombinasi dengan protein hewani agar kebutuhan gizi terpenuhi secara seimbang. Hal ini disebabkan karena pada protein nabati kandungan asam amino esensialnya kurang lengkap. Produksi di Kabupaten Bogor hanya mampu memberikan kontribusi kkal energi sebesar 0.051% dari kecukupan ketersediaan wilayah yang berasal dari kacang hijau dan kedelai. Oleh karena itu, perlu adanya dukungan impor dari wilayah lain di Provinsi Jawa Barat khususnya atau provinsi lain di pulau Jawa. Kabupaten Bogor merupakan kabupaten dengan prevalensi kurang makan buah dan sayur yang tinggi. Oleh karena itu, selain dibutuhkan untuk pencapaian gizi seimbang, sayur-sayuran dan buah-buahan perlu ditingkatkan konsumsinya sebagai sumber vitamin dan mineral. Salah satunya untuk sayuran adalah dengan sayuran daun hijau. Pemilihan sayuran daun hijau disebabkan karena kebiasaan makan orang Sunda yang suka mengkonsumsi sayuran sebagai lalapan. Hal ini juga seiring dengan preferensi pangan masyarakat
74
Kabupaten Bogor yang sebagian besar menyatakan suka terhadap sayuran daun hijau. Selain sayur daun hijau juga dipilih kacang panjang. Kacang panjang diproduksi di Kabupaten Bogor sebanyak 14,874 ton. Produksi ini menurun dibandingkan dengan produksi tahun 2003 sebesar 26,720 ton (BPS 2006). Buah-buahan yang berpotensi sebagai pangan lokal yang dapat dikembangkan di Kabupaten Bogor adalah pisang dan jambu biji. Menurut BPS (2006) produksi pisang di Kabupaten Bogor adalah 29,186 ton, sedangkan untuk jambu biji adalah 6,320 ton. Secara umum, produksi sayur-sayuran di Kabupaten Bogor adalah sebesar 115,962 ton. Produksi buah-buahan juga mencapai 78,133 ton. Produksi sayur-sayuran dan buah-buahan ini mampu memberikan kontribusi kkal energi sebesar 0.5% dari 6% ketersediaan wilayah. Produksi sayur-sayuran dan buah-buahan di Kabupaten Bogor cukup besar, sehingga dapat memberikan kontribusi energi yang lebih tinggi. Produksi sayur-sayuran dan buah-buahan ini dapat dikatakan mencukupi kebutuhan masyarakatnya. Diversifikasi
pangan selain
merupakan
upaya
untuk
mengurangi
ketergantungan masyarakat terhadap beras, juga sebagai upaya meningkatkan keanekaragaman konsumsi pangan masyarakat. Konsumsi yang beraneka ragam ini dibutuhkan untuk mencapai gizi seimbang. Kabupaten Bogor dengan jumlah produksi yang cukup tinggi untuk komoditas pertanian sumber karbohidrat yang berasal dari kelompok umbi-umbian, vitamin dan mineral merupakan salah satu modal untuk mendukung diversifikasi pangan. Oleh karena itu, dengan dukungan produksi wilayah yang baik diharapkan dapat tercapai diversifikasi pangan dengan pendekatan wilayah untuk ketersediaan energi per kapita per hari yang mencukupi. Untuk pangan sumber karbohidrat (jagung) protein hewani, nabati masih memerlukan dukungan dari wilayah lain berupa impor ataupun dengan peningkatan produksi.
75
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pangan lokal yang memiliki potensi berdasarkan preferensi (sebagain besar contoh menyatakan suka) serta daya dukung gizi (produksi pangan) untuk menjadi pangan alternatif dalam upaya pencapaian diversifikasi pangan adalah jagung, singkong, ubi jalar, talas sebagai sumber karbohidrat, ikan, kacang hijau, tempe, tahu sebagai sumber protein, serta sayur daun hijau, kacang panjang untuk sayur-sayuran, buah pisang serta jambu biji. Ketersediaan energi jagung, ikan, kacang hijau, serta kacang kedelai di Kabupaten Bogor masih rendah, sehingga tidak mampu mendukung preferensi pangan masyarakat sebagai upaya pengembangan diversifikasi pangan. Oleh karena itu perlu adanya upaya peningkatan produksi atau impor dari wilayah lain untuk memenuhi kebutuhan atau kecukupan gizi masyarakat. Preferensi pangan masyarakat dari 9 kelompok pangan berdasarkan PPH sebagian besar menyatakan suka terhadap pangan-pangan tersebut. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat beberapa pangan yang preferensinya berhubungan dengan tipe wilayah. Pangan yang memiliki hubungan dengan tipe wilayah adalah mie (p=0.007), singkong (p=0.036), ubi jalar (p=0.020), talas (p=0.08), minyak goreng (p=0.000), gorengan (p=0.011), coklat (p=0.032), tahu (0.022) dan tempe (p=0.037), buncis (p=0.027) dan mangga (p=0.016). Sembilan kelompok pangan ini kemudian dibagi menjadi pangan sumber karbohidrat, protein hewani dan nabati, serta sayur-sayuran dan buah-buahan. Berdasarkan hasil uji Spearman pangan yang memiliki hubungan dengan pendidikan terakhir contoh adalah talas (p<0.01;r=0.001), ikan pindang (p<0.01;r=0.002). Preferensi ikan pindang berhubungan signifikan negatif dengan pendapatan contoh (p<0.05;r=-0.245), serta berhubungan signifikan positif dengan besar keluarga (p<0.05;r=0.235). Preferensi pangan yang berhubungan dengan paparan media massa adalah jagung (p<0.01;r=-0.289) dan pindang (p<0.01;r=-0.221). Selain itu, hubungan preferensi pangan dengan pekerjaan diuji dengan menggunakan Chi Square. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan contoh dengan jagung (p=0.036), serta ikan pindang (p=0.001). Sebagian besar contoh di desa mengenyam pendidikan hingga SD/setara (45.3%), SMP/setara (26.4%), SMA/setara (3.2%), serta belum/tidak tamat SD (18.9%). Contoh di kota sebagian besar pendidikan terakhirnya SD/setara
76
(58.5%), SMA/setara (11.3%), serta Diploma (9.5%). Sebagian besar contoh baik di desa (54.7%) dan di kota (45.3%) tergolong dalam kategori pendapatan sedang. Sebanyak 35.8% contoh di desa memiliki pendapatan yang rendah, dan hanya 9.4% dengan pendapatan tinggi. Contoh di kota
dengan pendapatan
rendah (13.2%), dan pendapatan tinggi (41.5%). Contoh di desa dengan pengeluaran per kapita rendah (67.9%), sedang (31.2%). Pengeluaran per kapita contoh di kota terdiri dari rendah (28.3%), sedang (56.6%), serta tinggi (15.1%). Besar keluarga contoh di desa meliputi keluarga kecil (58.5%), sedang (41.5%), sedangkan di kota terdiri dari keluarga kecil (64.2%), sedang (34.0%) dan keluarga besar (1.9%). Pekerjaan contoh di desa adalah perdagangan/jasa (28.3%), petani/buruh tani (1.9%), serta ibu rumah tangga (69.8%). Contoh di kota bekerja di perdagangan/jasa (30.2%), pegawai swasta (3.8%), PNS (1.9%), serta ibu rumah tangga (64.2%). Sebaran contoh yang tergolong cukup menerima informasi dari televisi di desa (45.3%), radio (9.4%), serta koran (9.4%). Contoh di kota mendapat cukup informasi dari dari televisi (69.8%), majalah (17.0%). radio dan tabloid (13.2%), serta koran (11.3%). Secara umum, internet belum digunakan oleh contoh. Saran Pangan lokal dapat digunakan sebagai pangan alternatif non-beras. Preferensi pangan masyarakat Kabupaten Bogor dapat menggambarkan permintaan pangan masyarakat, sehingga dapat diketahui pangan yang potensial untuk dikembangkan sebagai pangan alternatif dalam rangka pencapaian diversifikasi pangan. Beberapa pangan agar lebih mudah diterima masyarakat membutuhkan teknologi pengolahan, khususnya untuk pangan sumber karbohidrat. Teknologi pengolahan ini sebaiknya pengubahan bahan primer menjadi tepung, agar dapat diolah lebih lanjut. Hal ini didasarkan preferensi pangan terhadap roti (olahan terigu) menempati posisi kedua setelah terigu. Teknologi pengolahan ini dapat disertai dengan pemberdayaan masyarakat melalui berbagai bentuk kerja sama dan kemitraan usaha. Selain itu, perlu adanya penyuluhan mengenai gizi seimbang dan penganekaragaman konsumsi pangan, khususnya kepada ibu. Penyuluhan mengenai gizi seimbang dapat melalui televisi yang merupakan media massa yang efektif memberikan informasi mengenai pangan dan gizi. Penelitian pangan ini lebih lanjut sebaiknya diteliti mengenai hubungan antara preferensi pangan dengan konsumsi pangan.
77
DAFTAR PUSTAKA Adnyana MO. 2005. Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan terlanjutkan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Angga UJ et al. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. [Anonim]. 2008. Butir - Butir Kesepakatan Sosialisasi dan Apresiasi Penanganan Keamanan Pangan Dan Preferensi Pangan Masyarakat (PPM). http://F:/index 2.php.htm [19 September 2008]. Antara M. 2001. Orientasi penelitian pertanian: memenuhi kebutuhan pangan dalam era globalisasi. Media SOCA (Sosio Economic of Agriculture and Agribusiness) Ariani M. 2008. Keberhasilan diversifikasi pangan tanggung jawab bersama. www.bptpbanten.com [10 Juli 2009]. Baliwati YF. 2007. Masalah lingkungan, penduduk, pangan/gizi dan kesehatan. Diktat Mata Kuliah Ekologi Pangan dan Gizi (tidak dipublikasikan). Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. , Khomsan A, Dwiriani CW. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Berg A. 1986. Peran Gizi dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Rajawali. Birch LL. 1999. Development of food preference. Annual Review of Nutrition 19:41-62. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Karakteristik Penduduk Kabupaten Bogor Hasil Sensus 2000. Jakarta: BPS. . 2005a. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2005. Jakarta: BPS. . 2005b. Statistik Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS. . 2006. Kabupaten Bogor dalam Angka. Jakarta: BPS. . 2008. Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2008. Jawa Barat: BPS. Brown C. 2003. Consumers' preferences for locally produced food: a study in Southeast Missouri. American Journal of Alternative Agriculture 14:213240.
78
Budiarto. 2009. Agro-industri dan diversifikasi produk pangan olahan ubikayu sebagai upaya pemberdayaan masyarakat tani lahan kering. www.diversifikasi/pangan.com [10 Juli 2009). Christensen L dan Brooks A. 2006. Changing food preference as a function of mood. The Journal of Psychology 140:293-306. Den Hartog AP, van Staveren WA, Brouwer (1995). Manual for Sosial Surveys on Food Habits and Consumption in Developing Countries. Germany: Margraf Verlag. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1996. Peranan Media Massa Lokal Bagi Pembinaan Dan Pengembangan Kebudayaan Daerah. Jakarta. . 1998. Peranan Media Massa Lokal Bagi Pembinaan Dan Pengembangan Kebudayaan Daerah. Jakarta. Drewnowski A. 1997. Taste preferences and food intake. Annual Review Nutrition 17:237-530. Drewnowski A & Hann C. 1999. Food preference and reported frequencies of food consumption as predictors of current diet in young women. The American Journal of Clinical Nutrition 70:28-36. El-Sohemy A. 2009. Taste and odour: affect on food choices. www.nugo.org [13 Juli 2009]. Farohah U. 2003. Preferensi dan presepsi konsumen terhadap margarin pada tingkat RT [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Firna AL. 2008. Preferensi dan perilaku konsumsi pangan sumber kafein pada mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor tahun 2007/2008 [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ginting IB. 2006. Analisis hubungan pengetahuan gizi, motivasi, preferensi pangan, dan kebiasaan makan sayuran ibu rumah tangga di kota dan desa Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hakim R. 2004. Kebiasaan penggunaan media massa ibu rumah tangga dalam sosialisasi diversifikasi pangan pokok [skripsi]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah dan Amalia L. 2007. Perkembangan konsumsi terigu dan pangan olahannya di Indonesia 1993-2005. Jurnal Gizi dan Pangan 1:8-15. Hasyim A dan Yusuf M. 2008. Diversifikasi produk ubi jalar sebagai bahan pangan subsitusi beras. www.sinartani.com [10 Juli 2009]. Hiebert RE, Ungurait DF, Bohn TW. 1979. Mass Media II. New York: Longman Inc.
79
Hurlock E. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Irawati, Damanhuri, Fachrurozi. 1995. Pengetahuan gizi murid SD dan SLTP di Kotamadya Bogor. Bogor: Pusat Penelitian Gizi Bogor. Jahi A. 1988. Media Siaran Dalam Pembangunan Di Negara Dunia Ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Junaedi. 2009. Reaktualisasi program diversifikasi pangan. http://reaktualisasiprogram-diversifikasi.html [3 September 2009]. Khomsan A. 2009. Garis kemiskinan yang baru. http://202.46.159.139/ indeks/News/2009/04/ 30/index.html [10 Juni 2009]. Krisnandika A. 2003. Preferensi dan persepsi konsumen terhadap minyak goreng pada tingkat rumah tangga [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lillywhite JM, Simonsen JE, Acharya RN, Laney K. 2003. Local food preferences of restaurant consumers. The Journal of Psychology. Looker T, O Gregson. 2004. Mengatasi Stres Secara Mandiri. Haris Setiawati, penerjemah; Teach Yourself Book. London. Terjemahan dari: Managing Stres. Lyman B. 1989. A Psychology of Food More Than a Matter of Taste. New York:Van Nostrand Reinhold. Martianto D, M Ariani. 2004. Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga. Di Dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta. Martini R. 1992. Studi preferensi tepung kasava sebagai bahan subsitusi pada industri makanan dan rumah tangga di Kabupaten Ponorogo [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Marud UD. 2008. Studi tentang aspek sosial ekonomi dan budaya serta kaitannya dengan masalah gizi kurang di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mawaddah N. 2008. Pengetahuan, sikap, dan praktek gizi serta tingkat konsumsi ibu hamil di Kelurahan Kramat Jati dan Kelurahan Ragunan DKI Jakarta [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Maydayanti IR. 2005. Konsumen, persepsi, dan preferensi konsumen terhadap kerupuk pada tingkat rumah tangga di Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi TR. 2008. Kebijakan pangan Indonesia: tantangan dan peluang eksternal. www.tahanpangan.com [10 Juli 2009].
80
Nurliawati L. 2003. Kebiasaan jajan dan preferensi anak sekolah dasar terhadap makanan jajanan dengan pewarna sintetik [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pradnyawati KNA. 1997. Preferensi dan sikap remaja di dalam memilih makanan siap santap tradisional dan modern [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pranowo IS. 2001. Keterkaitan konsumsi produk susu dan coklat dengan sikap dan preferensi remaja terhadap iklan televisi di Kota Semarang [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rahmawati AF. 2007. Estimasi fungsi permintaan makanan dalam analisa diversifikasi pangan untuk menurunkan permintaan beras Provinsi Jawa Barat 2005 [tesis]. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2007. Riset Kesehatan Dasar Provinsi Jawa Barat 2007. http://riskesdasprov.com [09 April 2009]. Rita E. 2002. Preferensi konsumen terhadap pangan sumber karbohidrat nonberas [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sachiko A. 2002. The determinant of food preference. Journal for the Integrated Study of Dietary Habits. Volume 13 Hlm 17-21. Sanjur D. 1982. Social and Cultural Perspective in Nutrition. New York: Prentice Hall. Santoso S. 2008. Panduan Lengkap Menguasai SPSS 16. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Schiffman LG, Kanuk LL. 2004. Consumer Behaviour. 8th edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Schram W. 1969. Mass Media and National Development. California: Stanford University Press. Sediaoetama AD. 1991. Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Jakarta: Dian Rakyat. Setiowati NL. 2000. Konsumsi dan preferensi sayuran dan buah pada remaja di SMUN 1 Bogor dan SMU 1 Pamengkasan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Singarimbun M dan Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. [SIPID]. 2008. Ekonomi UMRD Jawa Barat. http://regionalinvestment.com [17 Februari 2009]. Soekirman. 1994. Menghadapi Masalah Gizi dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua Agenda REPELITA VI di dalam: M. A. Rifai et al. Editor. Riset dan Teknologi Unggulan mengenai Pangan dan Gizi dalam Menghadapi Masalah Gizi Ganda Pembangunan Jangka Panjang II
81
Widyakarya Pangan dan Gizi V. Jakarta : 20-22 April 1993. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia hlm 71-86. Suhardjo. 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Jakarta: UI Press. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Pendidikan Tinggi. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Suyastiri NM. 2008. Diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis potensi lokal dalam mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga desa di Kecamatan Semin, Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan: 51-60. Suherman D. 2004. Hubungan sosial ekonomi dan preferensi dengan konsumsi susu di kota. Di dalam: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Ketahanan Pangan dan Gizi di era Otonomi Daerah dan globalisasi. Jakarta: LIPI. Sumarwan U. 2004. Perilaku Konsumen, Teori, dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Suprijanto. 2007. Pendidikan Orang Dewasa Dari Teori Hingga Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. Suryana A. 2005. Kebijakan ketahanan pangan nasional. . 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi: Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jakarta: Puslitbang Bulog. Majalah Pangan 52/XVII/Oktober-Desember/2008. Suryana. 2008. Analisis cluster. statistikaterapan.wordpress.com [26 Agustus 2009]. Variyam JM dan J Blayblock. 1998. Unlocking the Mystery between Nutrition Knowledge and Diet Quality. The Diet Quality Balancing Act.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Preferensi Pangan Masyarakat Nama Responden Alamat Tanggal Wawancara Nama Enumerator A.
: ....................................................... : Desa ............................................. RW/RT ....................../...................... : ....................................................... : .......................................................
Karakteristik Individu Responden Tabel 1. Karakteristik Individu Responden No
Nama
JK
Hubungan dg KK
Usia (th)
Tingkat Pendidikan
Jenis pekerjaan
1. 2. 3. 4. 5 6 7 8 9 10 Keterangan: A. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki (L); 2. Perempuan (P) B. Hubungan dengan KK : 1. KK; 2. Isteri; 3. Anak; 4. Saudara C. Jenis pekerjaan : 1. TNI/POLRI 2. PNS 3. Pegawai Swasta 4. Petani 5. Perdagangan/Jasa 6. Buruh Tani 7. Pelajar 8. Ibu Rumah Tangga 9. Lainnya.................... Tabel 2. Jenis Pendapatan Responden Jenis Pendapatan (Rp/hari) (Rp/minggu) Pekerjaan Utama Ayah Ibu Anak Pekerjaan Sampingan Ayah Ibu Anak Lainnya…………………. Total Pendapatan
B. Sumber Informasi tentang Pangan dan Gizi Darimana Ibu memperoleh informasi pangan dan gizi? a. Dokter/petugas kesehatan lainnya b. Keluarga c. Teman, sebutkan………….. d. Media massa Televisi 1. Apakah ibu peduli terhadap informasi pangan dan gizi? a. Ya b. Tidak 2. Apakah ibu pernah menonton siaran atau iklan yang mengandung unsur pangan dan gizi? a. Tidak pernah c. Kadang-kadang e. Selalu b. Jarang d. Sering 3. Kapan Ibu biasa menyaksikannya? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Pagi c. Sore b. Siang d. Malam 4. Informasi apa yang ibu peroleh dari siaran atau iklan tersebut? a. Resep makanan b. Kandungan gizi pangan c. Pangan yang berbahaya d. Pengolahan pangan 5. Apakah informasi tersebut bermanfaat untuk ibu? a. Ya b. Tidak 6. Apakah ibu mempraktekkannya dalam kegiatan sehari-hari?
D. Pendidikan 1. Tidak/belum tamat SD 2. SD/setara 3. SMP/setara 4. SMA/setara 5. Diploma I/II 6. Diploma III/Akademi 7. Perguruan Tinggi
(Rp/bulan)
a. Tidak pernah b. Jarang
c. Kadang-kadang d. Sering
(Rp/tahun)
e. Selalu
7. Bagaimana ibu mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari? a. Pemilihan pangan b. Pengolahan pangan 8. Apakah ibu pernah menonton iklan diversifikasi pangan yang dikeluarkan Departemen Pertanian? a. Ya b. Tidak 9. Seberapa sering ibu menonton iklan tersebut? a. Tidak pernah c. Kadang-kadang e. Selalu b. Jarang d. Sering 10. Kapan Ibu biasa menyaksikannya? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Pagi c. Sore b. Siang d. Malam 11. Apakah informasi tersebut bermanfaat untuk ibu? a. Ya b. Tidak 12. Apakah ibu mempraktekkannya dalam kegiatan sehari-hari?
84
1. 2.
3.
4.
5.
6.
1. 2. 3.
C.
a. Tidak pernah c. Kadang-kadang e. Selalu b. Jarang d. Sering Radio Apakah ibu memiliki radio? a. Ya b. Tidak Apakah ibu pernah mendengarkan siaran atau iklan yang mengandung unsur pangan dan gizi? a. Tidak pernah c. Kadang-kadang e. Selalu b. Jarang d. Sering Pada waktu kapan, Ibu biasa mendengarkannya? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Pagi c. Sore b. Siang d. Malam Informasi apa yang ibu peroleh dari siaran atau iklan tersebut? Sebutkan! a. Resep makanan b. Kandungan gizi pangan c. Pangan yang berbahaya d. Pengolahan pangan Apakah ibu mempraktekkannya dalam kegiatan sehari-hari? a. Tidak pernah c. Kadang-kadang e. Selalu b. Jarang d. Sering Bagaimana ibu mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari? a. Pemilihan pangan b. Pengolahan pangan Media Cetak Apakah Ibu berlangganan Koran/Majalah/Tabloid? a. Ya b. Tidak Jika Ya, Apa nama Koran/Majalah/Tabloid tersebut? ……………………………………………………………… Jika tidak, apakah Ibu pernah membaca Koran/ Majalah/ Tabloid setiap bulannya? a. Tidak pernah c. Kadang-kadang e. Selalu b. Jarang d. Sering
4.
Jika Ya, apakah ibu pernah membaca rubrik mengenai pangan dan gizi? a. Tidak pernah c. Kadang-kadang e. Selalu b. Jarang d. Sering 5. Informasi pangan dan gizi apa yang ibu peroleh? a. Resep makanan b. Kandungan gizi pangan c. Pangan yang berbahaya d. Pengolahan pangan 6. Apakah ibu mempraktekkannya dalam kegiatan sehari-hari? a. Tidak pernah c. Kadang-kadang e. Selalu b. Jarang d. Sering 7. Bagaimana ibu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? a. Pemilihan pangan b. Pengolahan pangan
1.
2.
3.
4.
Internet Apakah Ibu pernah mengakses internet? (Jika ya, lanjutkan ke pertanyaan berikutnya a. Ya b. Tidak Apakah ibu pernah mengakses informasi mengenai pangan dan gizi? a. Ya b. Tidak Informasi pangan dan gizi apa yang ibu peroleh? Sebutkan! a. Resep makanan b. Kandungan gizi pangan c. Pangan yang berbahaya d. Pengolahan pangan Bagaimana ibu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari? a. Pemilihan pangan b. Pengolahan pangan
Pengeluaran Rumah Tangga Tabel 2. Pengeluaran Rumah Tangga Jenis Pengeluaran Pengeluaran Pangan Pangan Pokok Lauk Pauk Sayur dan Buah Lainnya Pengeluaran Non-Pangan Pendidikan Kesehatan Transportasi Komunikasi Gas, Listrik, Air Total Pengeluaran
(Rp/Satuan)
(Rp/Bulan)
D. Preferensi Pangan Tabel 3 Kuesioner Preferensi Pangan Masyarakat No
Kelompok pangan
1.
Padi-padian
2.
Umbi-umbian
Jenis Pangan Beras Jagung Mie Roti Biskuit Bihun Lainnya................ Singkong Ubi jalar Kentang Talas Sagu
Tingkat Kesukaan *) 1 2 3 4 5
Alasan
No
Kelompok pangan
Jenis Pangan
Tingkat Kesukaan *) 1 2 3 4 5
Gaplek Lainnya............... Daging 3. Pangan Hewani sapi/kerbau/kambing Daging ayam Telur ayam/bebek Ikan segar Udang/kerang Ikan asin Ikan pindang Susu segar Susu manis Susu bubuk Lainnya................... Minyak goreng 4. Minyak dan Lemak (Asli/Gorengan) Margarin Lainnya.............. 5. Buah/Biji Berminyak Kelapa Kemiri Kenari Coklat Lainnya............. 6. Kacang-kacangan Kacang tanah Kacang kedelai Kacang hijau Tahu Tempe Oncom Tauco Kecap Emping Lainnya............... 7. Gula Gula pasir Gula merah Sirup Minuman jadi dalam kaleng/botol/gelas Lainnya............... 8. Sayur dan Buah Sayuran daun hijau Kacang panjang Buncis Wortel Pisang a. Buah b. Harus diolah Pepaya Jambu biji Mangga Nangka Lainnya.............. 9. Lain-lain Teh Kopi Bumbu Lainnya............ Keterangan : 1 = Sangat tidak suka 2 = Tidak suka 3 = Suka tidak, tidak suka pun tidak (Biasa) 4 = Suka 5 = Sangat Suka *) Beri tanda (√) pada angka sesuai tingkat kesukaan anda terhadap jenis pangan tersebut.
Alasan
85
86 Lampiran 2 Hasil uji kuesioner sumber informasi dengan Croncbach Alpha Sumber Informasi Televisi Radio Media cetak Internet
Nilai Reliabilitas 0.770 0.848 0.839 0.726
Lampiran 3 Daftar Proporsi Wilayah Desa-Kota Provinsi Jawa Barat
Lampiran 4 Peta Kecamatan Dramaga