ANALISIS POLA RITMIS MAMBALBAL BAGOT PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA HUTAIMBARU KECAMATAN TAPIAN NAULI KABUPATEN TAPANULI TENGAH SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H NIELSON D. R. SIHOMBING NIM: 080707014
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013
0
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Batak Toba adalah salah satu etnis yang terdapat di Sumatera Utara. Pada umumnya wilayah kebudayaannya meliputi Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasunduntan, sebagian Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun dan juga mendiami salah satu kabupaten di pesisir pantai barat yaitu Kabupaten Tapanuli Tengah. Kabupaten Tapanuli Tengah terletak di pesisir Pantai Barat Pulau Sumatera. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Singkil, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, sebelah barat dengan Kota Sibolga dan Samudra Indonesia dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara1. Terdapat beberapa etnis di Kabupaten Tapanuli Tengah antara lain etnis Pesisir, etnis Mandailing, Nias dan Batak Toba. Masyarakat Batak Toba yang berdomisili di Tapanuli Tengah masih banyak yang mencari uang dari hasil pertanian. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan tumbuhan yang tumbuh secara alami di alam seperti pohon enau. Tapanuli Tengah ini merupakan daerah yang banyak ditumbuhi pohon enau. Salah satunya di Desa Hutaimbaru Kecamatan Tapian Nauli. Pohon enau adalah salah satu hasil pertanian yang tumbuh secara liar dan belum dibudidayakan. Masyarakat memanfaatkan pohon enau dengan cara menyadap 1
Sumber : www.wikipedia.com
1
pohon enau tersebut untuk menghasilkan air nira yang kemudian diolah untuk dijadikan tuak. Masyarakat Batak Toba yang tinggal di daerah Tapanuli Tengah ini banyak yang bermata pencaharian sebagai penyadap nira. Kegiatan menyadap nira ini biasanya dilakukan pada pagi dan mengumpulkan hasil yang disadap pada sore hari. Dalam proses penyadapan nira ini terdapat beberapa proses untuk bisa menghasilkan air niranya. Sebelum disadap, pohon enau terlebih dahulu dibersihkan dari tumbuh-tumbuhan yang menempel pada batang enau dan juga mengambil ijuk yang ada pada batang enau. Kemudian salah satunya proses untuk menghasilkan air niranya adalah dengan cara memukul-mukul batang pohon enau tersebut yang disebut dengan mambalbal bagot. Mambalbal bagot berasal dari kata mambalbal yang berarti memukul dan bagot adalah pohon enau. Mambalbal bagot berarti kegiatan memukul pohon enau untuk menyadap nira dari pohon enau untuk kemudian diolah menjadi tuak. Tuak adalah sejenis minuman tradisional Batak Toba. Selain digunakan sebagai tuak, nira juga sebagai bahan baku untuk membuat gula merah. Tuak adalah minuman khas orang Batak yang disadap dari pohon bagot. Proses penyadapan air nira dari bagot disebut maragat biasanya dilakukan oleh seorang paragat2. Sebelum tandan dari pohon bagot diagati terlebih dahulu tandan bagot tersebut dipukul berulang-ulang dengan alat dari kayu yang disebut balbal selama dua minggu sampai tandan dari bagot tersebut menguning, baru dipotong mayangnya. Kemudian membungkus ujung tandan yang telah dipotong tersebut
2
Orang yang pekerjaannya menyadap tuak.
2
dengan memberi kapur sirih atau keladi yang ditumbuk selama dua-tiga hari. Dengan prosedur ini barulah airnya mulai menetes. Penyadapan biasanya dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore harinya dengan menampung tetesan nira dalam sebuah wadah yang terbuat dari bambu yang disebut poting. Sekarang ini para paragat sudah menggunakan jeregen sebagai alat untuk menampung tetesan nira tersebut. Di dalam proses pemukulan bagot ini menggunakan pola-pola ritem tertentu dan dengan tempo tertentu. Ritem yang digunakan adalah pola ritme yang diulangulang dengan tempo agak lambat sekitar 56 MM. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut pola ritem yang terdapat selama mambalbal bagot tersebut. Keberadaan penyadapan nira bagi masyarakat Batak ini dianggap penting. Karena nira tersebut kemudian diolah menjadi tuak. Tuak merupakan pelepas lelah sebagian orang setelah seharian bekerja. Kumpul-kumpul di lapo tuak sambil bernyanyi ria dengan sesama teman, sahabat atau tetangganya merupakan kepuasan tersendiri bagi mereka. Selain itu tuak juga digunakan dalam kegiatan adat. Dalam adat perkawinan dikenal dengan istilah tuak tangkasan. Tuak tangkasan merupakan tuak yang diberikan untuk diminum kepada parhata adat3. Kalau seorang parhata adat belum diberikan tauk tangkasan maka acara pembicaraan adat belum bisa dimulai4. Tuak tangkasan dalam arti yang sesungguhnya adalah tuak yang diperoleh dari hasil penyadapan pertama kali dari sebuah pohon bagot. Namun karena tuak
3 4
Yang pandai berbicara adat dalam adat Batak. Wawancara dengan R. br. Simatupang, salah satu penatua adat di Desa Hutaimbaru.
3
tangkasan yang seperti ini jarang didapat, maka digantikan dengan tuak yang biasa untuk diberikan kepada parhata adat. Tuak ini juga diyakini dapat memperlancar proses peredaran darah dan juga diberikan kepada wanita yang baru melahirkan karena dapat menghangatkan serta memperlancar proses keluarnya air susu ibu untuk menyusui bayi. Nira disamping sebagai minuman, juga merupakan bahan baku untuk pembuatan gula dengan berbagai sebutan seperti gula aren atau gula merah atau gula jawa. Untuk memproses tuak menjadi gula sangatlah sederhana. Secara tradisional, nira hanya dimasak diatas kuali dengan kayu bakar selama beberapa jam, lalu diaduk sampai mengental dan dituang kedalam cetakan yang biasanya terbuat dari bongkol bambo (lempengan bambo yang tipis atau batok kelapa). Belakangan ini nira sudah diproses secara modern menjadi kristal gula yang disebut palm sugar atau brown sugar dan penjualannya tidak lagi di pasar-pasar tradisional melainkan di super market dengan kemasan bermerek dagang untuk olesan gula pada roti. Nira juga sebagai bahan mutlak untuk membuat cuka makan yang disebut Arenga Vinegar. Terdapat semacam ritual dalam proses penyadapan bagot ini. Seperti menyanyikan sebuah lagu sebelum menyadap bagot. Hal ini dimaksudkan untuk membujuk pohon bagot tersebut supaya mau mengeluarkan air tuaknya. Jika seorang paragat tersebut tidak bernyanyi sebelum maragat, maka airnya tidak akan keluar. Seorang paragat juga harus pandai-pandai membujuk pohon bagot yang akan
4
diagati, karena menurut legenda masyarakat Batak5 bagot adalah jelmaan dari seorang wanita yang bunuh diri6 yang harus dibujuk agar mau memberikan tetesan air matanya yang disebut tuak. Tangkai tandan bunga jantan yang akan diagati biasanya digoyang-goyang serta diketuk-ketuk dengan sepotong kayu sambil dinyanyinyanyikan syair rayuan yang berbunyi: “O boru Simbolon siboru nauli, Boru na so ra jadi na uli diagati, unang sai maila ho tangis da. Tangishon ma sude arsak ni rohami7” Kata-kata pantun tersebut dinyanyikan berulang-ulang sampai dirasa Siboru Simbolon dianggap sudah termakan bujuk rajuan oleh paragat. Bila rayuan itu memang diterima oleh Siboru Simbolon maka diyakini penyadapan akan berlangsung lama berbulan-bulan dan menghasilkan tuak yang banyak dari satu tandan. Namun pada penyadapan nira yang terdapat di desa Hutaimbaru ini nyanyian tersebut sudah jarang digunakan bahkan sudah tidak terdapat lagi nyanyian tersebut. Dalam proses penyadapan ini, yang melakukan pekerjaan ini adalah orang yang ahli dalam mambalbal bagot ataupun orang yang sebelumnya telah belajar yang disebut dengan paragat. Paragat biasanya adalah laki-laki yang telah dewasa. Belum pernah ditemukan seorang paragat di Desa Hutaimbaru seorang perempuan ataupun anak-anak. 5
Wawancara dengan Mansari Munte, seorang paragat. Wanita ini bunuh diri karena tidak tahan dengan tingkah laku saudaranya yang kerjanya main judi sehingga memiliki banyak utang. Namun mereka tidak memiliki uang untuk membayar utang-utang saudaranya tersebut, sehingga membuat wanita itu bunuh diri sambil mengucap sebuah sumpah dan ketika gantung diri dia berubah menjadi sebuah pohon bagot. 7 “O boru Simbolon siboru nauli, Boru na so ra jadi na uli diagati, unang sai maila ho tangis da. Tangishon ma sude arsak ni rohami7” artinya wahai boru Simbolon yang cantik rupawan, gadis yang tidak kunjung jadi, yang bagus untuk disadap, janganlah kiranya malu untuk menagis, tangiskanlah semua sedih yang ada di hatimu. 6
5
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam lagi tentang unsur-unsur ritem yang terdapat selama proses penyadapan tuak serta ritual yang dijalani seorang paragat selama menyadap bagot. Untuk itu penulis akan meneliti dan membahas tulisan ini untuk dijadikan karya tulis ilmiah dengan judul Analisis Pola Ritmis Mambalbal Bagot pada Masyarakat Batak Toba di Desa Hutaimbaru Kecamatan Tapian Nauli IV Kabupaten Tapanuli Tengah.
1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah : 1. Bagaimana proses mambalbal dalam maragat untuk penyadapan nira. 2. Bagaimana struktur musikal terutama pola ritem dalam mambalbal bagot. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis proses mambalbal dalam maragat dalam penyadapan nira. 2. Untuk menganalisis struktur musikal terutama pola ritem dalam mambalbal bagot.
1.3.2 Manfaat penelitian 1. Dapat menjadi bahan referensi bagi masyarakat untuk dipelajari.
6
2. Agar dapat menjadi bahan dokumentasi dasar bagi para peneliti, terutama etnomusikolog untuk dikembangkan berikutnya. 3. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai proses penyadapan tuak di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara. 4. Sebagai bahan acuan dalam melaksanakan kehidupan dan pelajaran tentang kehidupan. 1.4. Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:43), analisa adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.. Kata analisis mempunyai arti penelitian suatu masalah, atau penelitian terhadap suatu peristiwa sehingga dapat diketahui latar belakang dan duduk permasalahannya atau proses kejadiannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia Modern). Analisis yang penulis maksud disini adalah menelaah dan menguraikan struktur musikal mambalbal bagot, seperti pola ritme, meter, intensitas suara (keras lembutnya suara). Pola ritmis adalah suatu bentuk pukulan yang mempunyai struktur tertentu dari ritem. Mambalbal bagot berasal dari kata mambalbal yang berarti memukul dan bagot adalah pohon enau. Mambalbal bagot berarti kegiatan memukul pohon enau dalam menyadap pohon enau untuk menghasilkan tuak. Tuak adalah sejenis minuman tradisional batak toba dan juga sebagai bahan baku untuk membuat gula merah. 7
Fungsi dapat dikatakan adalah manfaat atau kegunaan dari suatu hal. Sosial merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Fungsi sosial adalah manfaat maupun kegunaan suatu hal dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini penulis akan melihat apa fungsi atau pun kegunaan mambalbal dalam proses pembuatan tuak.
1.4.2 Kerangka Teori Teori merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa. (Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 1041). Dalam tulisan ini unsur utama yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas adalah pola ritmis di dalam mambalbal bagot. Dalam konteks penelitian, teori digunakan sebagai arahan untuk melakukan kerja-kerja penelitian. Teori hanya sebagai acuan sementara, agar penelitian tidak melebar ke mana-mana. Teori adalah bangunan yang mapan, ada pendapat peneliti, ada simpulan awal. Itulah sebabnya teori harus dibangun terstruktur, sejalan dengan apa saja yang mungkin akan digunakan (Suwardi, 2006:107). Menurut Koentjaraningrat pengertian upacara ritual atau ceremony adalah: sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1990: 190). Untuk melihat apa-apa saja komponen upacara, maka penulis menggunakan teori upacara yang kemukakan oleh Koentjaraningrat (1958:243) yang menyatakan
8
aspek-aspek dalam upacara ada empat, yaitu: (1) tempat upacara, (2) waktu upacara, (3) benda-benda dan alat-alat upacara, (4) yang melaksanakan dan peminpin upacara. Untuk menganalisis aspek pola ritmis dalam mambalbal bagot, penulis mengacu kepada teori yang dikemukakan oleh Mark Slobin dan Jeff Titon (1984:5) yang mengatakan bahwa style (gaya) musik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan organisasi bunyi musikal itu sendiri antara lain; (1) Elemen nada: tangga nada, modus, melodi, harmoni, sistem laras (2) Elemen waktu: ritem dan meter (3) Elemen warna suara: kualitas suara dan warna suara instrumen (4) Intensitas suara: keras-lembutnya suara. Dalam kasus ini penulis hanya menggunakan sebagian dari teori diatas yaitu nomor dua, karena berhubungan dengan elemen waktu. Penulis tertarik untuk menganalisis pola ritem dalam proses mambalbal bagot. Nettl (1964:148-149) ada hal yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsikan dan menganalisis komposisi, hal tersebut berupa (1) ritem; menghitung berbagai nilai not pola ritem serta pengulangan ritem dan variasinya, (2) meter; mengindenfikasi meter, menjelaskan suatu aspek dari musik. (3) tempo; mengindentifikasi perubahan tempo, menghitung jumlah not dan membaginya dengan menit. Teori diatas akan penulis jadikan sebagai panduan dalam menganalisis pola ritem yang terdapat dalam proses mambalbal bagot.
1.5 Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu prosedur atau urutan pekerjaan yang akan dilaksanakan dalam rangka penyelidikan dari suatu bidang yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta atau prinsip-prinsip dengan sabar, hati-hati serta sistematis, 9
dimana pemecahannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran fakta-fakta, termasuk di dalamnya, pemilihan lokasi penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, memformulasikan hipotesa, penentuan model dalam pengujian hipotesa, studi kepustakaan dan kerja labolatorium. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang menghasilkan kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1989:3). Penelitian kualitatif ini, dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu: tahap sebelum ke lapangan, tahap analisis data, dan tahap penulisan laporan (skripsi). Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai adalah sebagai berikut :
1.5.1 Studi Kepustakaan Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan sebuah penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian dan lainlain. Dengan melakukan studi kepustakaan penulis akan mendapat cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Hal pertama yang dilakukan penulis adalah melakukan studi kepustakaan dengan cara mempelajari
tulisan-tulisan
yang berhubungan dengan objek
pembahasan. Dalam hal ini penulis mempelajari skripsi yang sudah pernah ditulis oleh sarjana dari Etnomusikologi. Nyanyian dalam proses penyadapan nira sudah 10
pernah ditulis sebelumnya sehingga tidak akan dibahas lagi dalam skripsi ini. Penulis juga mengumpulkan data dengan menggunakan teknologi internet, seperti dari www.google.com, dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatakan konsep-konsep dan teori juga informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.
1.5.2 Kerja Lapangan Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 108), bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan (fied work) dengan menggunakan teknik observasi untuk melihat, mengamati objek penelitian dengan tujuan mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini, penulis juga langsung melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yaitu di Desa Hutaimbaru Kec. Tapian Nauli IV Kab. Tapanuli Tengah, dan langsung melakukan wawancara antara penulis dengan informan yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
1.5.2.1 Wawancara Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 155), wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang. Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode wawancara yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat (1985 : 139), yaitu: wawancara 11
berfokus (Focused interview), wawancara bebas (Free interview), wawancara sambil lalu (Casual interview). Langkah awal yang penulis lakukan adalah menyiapkan dan menyusun sejumlah pertanyaan yang terperinci sebelum bertemu dengan informan. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik lain secara bebas. Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera dan handycam untuk mempermudah perekaman dan penyimpanan data, dan juga dalam bentuk tulisan.
1.5.3 Kerja Laboratorium Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi. (Meriam 1995 : 85). Menurut Burhan Bungin (2007:153), ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan (2) menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial tersebut. 12
Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisis.
1.5.4 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di di Desa Poriaha Kecamatan Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah.
13
BAB II ETNOGRAFI MASYARAKAT BATAK TOBA TAPANULI TENGAH
2.1 Keadaan Geografis Daerah Penelitian Daerah yang penulis ambil sebagai lokasi penelitian adalah Desa Hutaimbaru Kecamatan Tapian Nauli. Kecamatan Tapian Nauli adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Tengah. Tapanuli Tengah merupakan salah satu daerah tingkat II di propinsi Sumatera Utara. Ibukotanya adalah Pandan. Kabupaten Tapanuli Tengah secara geografis terletak diantara 98º 07 - 98º 12' Bujur Timur dan 1º 11' - 2º 22' Lintang Utara, luas wilayahnya adalah 2.158 Km2. Pada bulan Mei 2007, secara administratif Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri atas 20 kecamatan, 24 kelurahan dan 154 desa8. Kabupaten Tapanuli Tengah mempunyai luas 2.194,98 km2, dengan jumlah penduduk
314.142 jiwa. Sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan
sebagian kecil berada di pulau-pulau kecil disekitar wilayah kabupaten ini9. Sebagian besar wilayah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah berbatasan dengan lautan sehingga berpengaruh pada suhu udara yang tergolong beriklim tropis. Dalam periode bulan Januari – Desember 2006, suhu udara maksimum dapat mencapai 31,53 °C dan suhu minimum mencapai 21,72 °C. Pada tahun 2009, curah
8 9
Sumber: www.wikipedia.com Sumber: http://tapanulitengahkab.bps.go.id
14
hujan rata-rata 4.227,7 mm, hari hujan 229,00 hari, kecepatan angin rata-rata 7,40 knot dan penguapan rata-rata 4,90 mm. Kelembaban udara rata-rata 95,00%10. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk (SP) 2000 yang mencacah penduduk secara lengkap, penduduk di Kabupaten Tapanuli Tengah berjumlah 244.679 jiwa. Kepadatan penduduknya sebesar 111 jiwa per km2. Menurut hasil Sensus Penduduk, pada tahun 2010 penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah meningkat menjadi 311.232 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar 142 jiwa per km2. Komposisi penduduk di Kabupaten Tapanuli Tengah lebih banyak laki-laki (50,24 persen) daripada perempuan (49,76 persen). Sehingga Rasio jenis kelamin/ Sex Ratio penduduk Kabupaten Tapanuli Tengah pada tahun 2010 sebesar 100,98 persen11. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah adalah sebagai berikut :
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Singkil (Propinsi Aceh).
10 11
Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan.
Sebelah timur berbatasan dengan Kota Sibolga dan Samudra Hindia.
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara.
Sumber: www.wikipedia.com Sumber: http://tapanulitengahkab.bps.go.id
15
Gambar 2.1 Peta Sumatera Utara12 12
Sumber: www.google.com
16
Gambar 2.1 Peta Kabupaten Tapanuli Tengah13
13
Sumber: http://tapanulitengahkab.bps.go.id
17
Nama-nama kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli sebagai berikut: 1. Andam Dewi 2. Badiri 3. Barus 4. Barus Utara 5. Kolang 6. Lumut 7. Manduamas 8. Sibabangun 9. Pandan 10.Pasaribu Tobing 11.Pinangsori 12.Sarudik 13.Sirandorung 14.Sitahuis 15.Sorkam 16.Sorkam Barat 17.Sosorgadong 18.Suka Bangun 19.Tapian Nauli 20.Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri atas 20 kecamatan dimana salah satunya adalah Kecamatan Tapian Nauli. Dan yang menjadi lokasi penelitian penulis adalah Dusun Hutaimbaru Kelurahan Tapian Nauli IV Kecamatan Tapian Nauli. Kecamatan Tapian Nauli terletak antara 01º 33´ Lintang Utara dan 98º 45´ Bujur Timur dan berada 0-800 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Tapian Nauli memiliki luas wilayah 133,53 km², yang berbatasan dengan :
18
o Sebelah utara berbatasan dengan
: Kecamatan Kolang
o Sebelah selatan berbatasan dengan : Kecamatan Sibolga dan Kota Sibolga o Sebelah barat berbatasan dengan
: Samudera Hindia
o Sebelah timur berbatasan dengan
: Kecamatan Sitahuis.
Data Statistik Kecamatan Tapian Nauli mengenai keadaan penduduk , pendidikan, pertanian, kelengkapan lainnya dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini. TABEL 1 Banyaknya penduduk dirinci menurut jenis kelamin dan kelompok umur
Kelompok
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
0-4
1136
1100
2236
5-9
1328
1216
2544
10-14
1175
1224
2399
15-19
1000
938
1936
20-24
653
547
1200
25-29
636
623
1259
Umur
19
30-34
677
602
1279
35-39
634
622
1256
40-44
560
597
1157
45-49
471
497
968
50-54
358
401
786
55-59
244
247
491
60-64
174
168
342
65-69
108
154
262
70-74
73
110
183
75+
67
171
238
Sumber: Tapian Nauli dalam Angka 2012, Kantor camat Tapian Nauli.
TABEL 2 Distribusi Sarana Pendidikan No
1
SMU
SMP
SD
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
Negeri
Swasta
1
1
2
2
14
1
Sumber: Tapian Nauli dalam Angka 2012, Kantor camat Tapian Nauli.
20
TABEL 3 Distribusi Sarana Kesehatan No
Rumah sakit
Puskesmas
Pustu
Polindes
Posyandu
1
-
1
4
10
18
Sumber: Tapian Nauli dalam Angka 2012, Kantor camat Tapian Nauli.
TABLE 4 Luas Panen dan Produksi Tanaman Pangan
Uraian
2010
2011
(1)
(2)
(3)
Luas panen (ha)
725
725
Produksi (ton)
2970
2970
Luas panen (ha)
52
74
Produksi (ton)
144
205
Luas panen (ha)
-
-
Produksi (ton)
-
-
Luas panen (ha)
26
5
Produksi (ton)
30
4
Padi
Jagung
Kacang kedelai
Kacang tanah
Ubi kayu
21
Luas panen (ha)
74
27
Produksi (ton)
889
3,5
Luas panen (ha)
14
18
Produksi (ton)
76
54
Ubi jalar
Sumber: Tapian Nauli dalam Angka 2012, Kantor camat Tapian Nauli.
Dari tabel yang yang diperoleh di atas, komoditi pohon enau belum dimasukkan ke dalam daftar tabel karena pohon enau merupakan pohon yang belum dibudidayakan dan belum termasuk ke dalam mata pencaharian utama masyarakat Tapian Nauli. Berdasarkan letak geografisnya, pohon aren dapat tumbuh dengan baik dan berproduksi dengan baik pada daerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800 meter di atas permukaan laut dan suhu rata-rata 30-32 º C. Hal ini membuat Kabupaten Tapanuli Tengah khususnya Kecamatan Tapian Nauli banyak ditumbuhi pohon aren karena berada 0-800m di atas permukaan laut. Tumbuhan ini banyak dijumpai di daerah kecamatan ini. Pohon aren merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh secara liar sehingga tidak memerlukan perawatan tanaman yang khusus.
2.2 Adat Masyarakat yang tinggal di Kecamatan Tapian Nauli khususnya di Desa Hutaimbaru keseluruhannya adalah etnis Batak Toba sehingga kebudayaan yang ada dan dipakai oleh masyarakat ini adalah adat Batak Toba.
22
2.2.1 Struktur Kekerabatan Struktur kekerabatan yang dimaksud adalah hubungan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lain. Kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu disebabkan hubungan darah (consaigunal) dan akibat adanya perkawinal (konjunal). Oleh karena itu kekerabatan (kinship) menyangkut jauh dekatnya hubungan seseorang (individu) dan antara seorang kelompok (keluarga/kerabat) demikian pula sebaliknya (Kepler, 2002:33). Sistem kekerabatan ini merupakan suatu dasar yang merupakan titik acuan di dalam proses interaksi dengan sesama orang Batak Toba. Jauh dekatnya hubungan kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba ditentukan oleh garis keturunan pihak laki-laki dan pertalian darah akibat perkawinan.
2.2.1.1 Kekerabatan Berdasarkan Keturunan Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Hutaimbaru tidak berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain. Kekerabatan masyarakat Batak Toba berdasarkan garis keturunan didasarkan pada tarombo (silsilah) orang Batak itu sendiri. Tarombo ditentukan oleh marga, dimana marga ditentukan oleh garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Segala tata cara kehidupan dimulai dari keluarga sampai pada lingkungan masyarakat diatur dan disusun berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal)14. Dari marga
ini akan
diketahui tarombo seseorang untuk memanggil sapaan terhadap orang lain. Marga dipergunakan oleh anak laki-laki, sementara untuk perempuan disebut boru. 14
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Patrilineal
23
Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berfungsi sebagai pewaris dan penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi keturunannya. Dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah kerabat yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Pria dan wanita yang semarga sangat tidak dibenarkan saling mengawini. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa marga (klan) pada masyarakat Batak Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga (klan) juga sangat berperan dalam kehidupan masyarakat.
2.2.1.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan Masyarakat Batak memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan dalihan na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri dari tiga kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak. Dalihan na tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi hubungan kekerabatan dengan marga lain (Siahaan, 1982). Menurut falsafah orang Batak dalihan na tolu merupakan tiga buah batu yang dijadikan sebagai penyanggah dalam setiap interaksi satu sama lain dalam kehidupan bersama diibaratkan sebagai tungku yang menyanggah beban di atasnya (Skripsi Nainggolan: 2009). Tiga batu penyanggah tersebut membentuk kerja sama yang sungguh-sungguh kokoh dalam usaha untuk menciptakan kebaikan bersama. Setiap 24
batu penyanggah itu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bersama dan tidak bisa lepas satu sama yang lain. Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula, dongan tubu, dan boru (Siahaan, 1982). Hula-hula merupakan pihak keluarga dari istri yaitu orang tua dan semua saudara laki-laki dari wanita yang dinikahi oleh pria dari marga lain. Hula-hula ini memiliki kedudukan dan fungsi yang paling tinggi dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagian, pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi yang harus dihormati. Orang Batak Toba menyakini bahwa hula-hula merupakan sarana penyalur berkat dan bahkan disebut sebagai “tuhan yang kelihatan”. Sehingga dengan menghormati hula-hula orang-orang akan memperoleh berkat dan rejeki dalam kehidupannya. Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang sama atau garis keturunan yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama. Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederejat dengan pihak yang menyelenggarakan pesta (suhut). Dongan tubu mempunyai tugas untuk mengawasi berjalannya acara adat. Boru adalah keluarga yang memperisteri anak perempuan dari suatu marga. Boru adalah orang yang selalu sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi, mengatur berbagai pertemuan atau acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika acara atau pesta (adat) adalah perhelatan atau pesta dari pihak hula-hula.
25
Ketiga dalihan na tolu ini tidak bisa dipisah dalam kehidupan bersosialisasi masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya. Setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang hula-hula akan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain. Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu” (Gultom 1992:53). Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar pihak hula-hula selalu bersikap mangelek (membujuk) dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan tubu.
2.2.2 Sistem Perkawinan Perkawinan dalam Koentjaraningrat (1994:103) adalah sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya Perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian sehidup semati antara laki-laki dan perempuan yang bersatu dalam sebuah rumah tangga, tetapi juga terbentuknya hubungan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan menjadi sebuah keluarga
26
besar (Kepler, 2002:38). Sistem perkawinan menurut adat Batak Toba adalah sesuatu yang kompleks yang harus melalui tahapan-tahapan. Perkawinan bagi masyarakat Batak Toba adalah sebuah pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan tetapi juga mengikat suatu keluarga besar yakni keluarga pihak laki-laki (paranak dalam bahasa Batak Toba) dan pihak perempuan (parboru). Perkawinan mengikat kedua belah pihak tersebut dalam suatu ikatan kekerabatan yang baru, yang juga berarti membentuk satu dalihan na tolu (tungku nan tiga) yang baru juga15. Secara umum, dalam adat Batak Toba, upacara perkawinan didahului oleh upacara pertunangan. Upacara ini bersifat khusus dan otonom, diakhiri dengan tata cara yang menjamin, baik awal penyatuan kedua calon pengantin ke dalam lingkungan baru, maupun perpisahan dan peralihan dari masa peralihan tetap, sebagaimana akan diteguhkan dalam upacara perkawinan. Dengan demikian, tata upacara perkawinan terdiri dari tata cara penyatuan tetap atau permanen ke dalam lingkungan (sosial) baru, dan tata cara penyatuan yang bersifat personal16. Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba menganut hukum eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Seorang perempuan akan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, namun dia akan tetap menyandang marganya sendiri; selanjutnya, perempuan tersebut beserta suaminya 15
Helga Septiani Manik, “Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan Sukubangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya”, jurnal Antropologi FISIP Unair. 2011 16
(Arnold van Gennep, The Rites of Passage. London & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1965, hlm. 116).
27
akan menyebut kelompok marga perempuan itu dengan hula-hula (Vergouwen, 1986:xi) Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak Toba seseorang yang hendak menikah tidak boleh mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan marga dari pihak laki-laki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki. Tahapan-tahapan yang ada pada masyarakat Batak Toba adalah sebagai berikut17: 1. Paranakkon Hata a) Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan). b) Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada orang yang disuruh oleh pihak laki-laki pada hari itu juga. c) Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta. 2. Marhusip a) Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan).
17
http://luciusinurat.blogspot.com/2009/12/tahapan-perkawinan-adat-batak-toba.html
28
b) Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya. c) Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu, boru tubu, dan dongan-sahuta.
3. Marhata Sinamot a) Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari dongan-tubu, boru dan dongan sahuta. b) Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman. c) Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot.
4. Marpudun Saut Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam paranak hata, marhusip, dan marhata sinamot. Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat pembicaraan sebelumnya dipudun (disimpulkan, dirangkum) menjadi satu untuk selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat. Dalam marpudun saut sudah diputuskan ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang adat. 29
5. Unjuk Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan. Berikut adalah tata geraknya: a) Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat duduk. b) Mempersiapkan makanan, c) Paranak memberikan na margoar ni sipanganon dari parjuhut horbo, d) Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas), e) Doa makan, f) Membagikan jambar, g) Marhata adat – yang terdiri dari tanggapan oleh parsinabung ni paranak, dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru, tanggapan parsinabung ni paranak, tanggapan parsinabung ni parboru. h) Pasahat sinamot dan todoan, i) Mangulosi, dan j) Padalan Olopolop.
6. Tangiang Parujungan Doa penutut pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak Toba.
30
2.3 Bahasa Bahasa ialah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tulisan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain (Koentjaraningrat, 1986:39). Kecamatan Tapian Nauli merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tapanuli Tengah yang penduduknya adalah mayoritas Batak Toba. Bahasa Batak Toba merupakan bahasa ibu dari masyarakat dari masyarakat Batak yang menetap disana. Selain bahasa Batak Toba ada juga bahasa Pesisir yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Pesisir ini umumnya digunakan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Masyarakat yang ada di Kelurahan Tapian Nauli IV termasuk di Dusun Hutaimbaru menggunakan bahasa Batak sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penduduk yang tidak bersuku Batak pun mengerti dan fasih menggunakan bahasa ini, karena bahasa Batak lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan bahasa nasional (bahasa indonesia). Hal ini bisa dapat dilihat baik dalam upacara adat, acara kebaktian gereja maupun dalam kehidupan sehari-hari.
2.4 Sistem Religi Kata religi dalam kamus sosiologi (Sujono Sukarno, 1983:403) berasal dari kata religion yang berarti: kepertcayaan kepada hal-hal spiritual, perangkat kepercayaan dan spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri dan idiologi mengenail hal-hal spiritual.
31
Sistem religi yang ada pada masyarakat di Desa Hutaimbaru Kecamatan Tapian Nauli telah dipengaruhi oleh agama Kristen dan Islam. Sebelum agama masuk, masyarakat Batak adalah penganut kepercayaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan roh-roh orang yang telah meninggal. Benda-benda mati dipercayai memiliki tondi (roh) misalnya: gunung, pohon, batu dan benda-benda yang dianggap gaib. Orang Batak percaya kepada arwah leluhur yang telah meninggal ada yang baik dan ada yang buruk. Ada yang bersifat perusak yang dapat menyebabkan beberapa penyakit atau malapetaka kepada manusia, ada yang bersifat memperbaiki diri ada yang roh yang ditakuti. Penghormatan
dan
penyembahan
dilakukan
kepada
arwah
leluhur
akan
mendatangkan keselamatan, kesejahteraan bagi orang tersebut maupun pada keturunan. Masyarakat Batak mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Debata Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan bumi. Masyarakat Batak Toba mengenal tiga konsep menyangkut jiwa dan roh, yaitu18:
Tondi
Sahala
Begu Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena
itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari 18
http://okahutabarat.wordpress.com/2009/02/27/sejarah-agama-di-tanah-batak/
32
sombaon yang menawannya. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hulahula. Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam. Beberapa begu yang ditakuti oleh orang Batak (Batara Sangti, 1977), yaitu:
Sombaon, yaitu begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang gelap dan mengerikan.
Solobean, yaitu begu yang dianggap penguasa pada tempat tempat tertentu
Silan, yaitu begu dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu marga
Begu Ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti, karena dapat membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya. Demikianlah religi dan kepercayaan suku batak yang terdapat dalam pustaha,
yang walaupun sudah menganut agama Kristen, dan berpendidikan tinggi orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanu bari mereka. Masyarakat yang ada di Desa Hutaimbaru ditinjau dari sistem kepercayaan sudah memeluk agama. Kristen Protestan dan Islam merupakan agama yang telah diyakini oleh masyarakat di desa ini.
2.5 Sistem Mata Pencaharian Kecamatan Tapian Nauli merupakan daerah yang berada di daerah lereng gunung dan tanah yang berbukit-bukit. Dari pengamatan yang penulis lakukan 33
masyarakat yang tinggal di keluharahan ini sebagian besar merupakan petani. Khususnya masyarakat yang tinggal di Desa Hutaimbaru dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, mata pencaharian penduduk adalah bertani seperti
sayur-
sayuran, padi terutama sebagai penyadap pohon karet sebagai tumbuhan yang tumbuh secara alami. Selain sebagai petani ada juga beberapa orang yang berprofesi sebagai guru. Namun sekalipun berprofesi sebagai guru mereka juga melakukan kegiatan bertani sebagai pekerjaan sampingan apabila lagi libur atau setelah pulang dari mengajar di sekolah. Di desa ini juga dijumpai kegiatan menyadap nira untuk dijadikan tuak. Nira ini diperoleh dari pohon bagot (aren) yang masih tumbuh secara alami tanpa adanya niat untuk membudidayakan pohon bagot tersebut. Hanya ada satu orang yang membudidayakan pohon bagot ini. Ada sekitar sepuluh pohon bagot yang ditanam di belakang rumahnya. Selain sebagai guru, penyadap bagot merupakan pekerjaan sampingan yang dia tekuni. Dari hasil penyadapan pohon bagot inilah dia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perkuliahan. Pohon enau yang disadap biasanya tumbuh di ladang milik orang. Paragat harus minta ijin terlebih dahulu kepada pemilik ladang sebelum menyadap pohon enau yang ada di ladangnya tersebut. Pemilik bagot biasanya tidak pernah meminta atau mempermasalahkan pembagian dari hasil penjualan tuak tersebut nantinya. Semua tergantung dari paragat yang menyadap pohon enau di ladang pemilik tersebut mau memberikan sebagian hasilnya atau tidak. Dari pengamatan yang penulis lihat di lapangan paragat biasanya hanya memberikan satu persen bahkan 34
kurang dari seluruh hasil penjualan tuak dari satu batang pohon bagot. Ini sangat ironis mengingat hasil penjualan tuak dari satu pohon bagot bisa mencapai lima belas juta. Hal tersebut juga yang menjadi keprihatinan dari Bapak Mansari Munthe yang juga merupakan seorang paragat dan yang sudah membudidayakan pohon enau, beliau mengatakan berani menyewa satu pohon bagot seharga dua juta rupiah karena mengingat hasil dari satu pohon bagot tersebut sangatlah berlimpah. Pekerjaan sebagai paragat biasanya adalah pekerjaan yang dilakukan turuntemurun. Seorang paragat biasa lahir dari keluarga paragat juga, tetapi ada juga yang bukan dari keluarga paragat.
2.6 Kesenian 2.6.1 Seni Musik Musik dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah gondang bisa mengacu pada beberapa arti, seperti ensambel musik, sebagai repertoar dan sebagai alat/instrumen musik. Istilah penggunaan gondang (Hutajulu dan Harahap, 2005:19) bagi masyarakat Batak Toba beserta konteks pengertiaanya, misalnya: 1) Gondang hasahata;, kata gondang memiliki makna sebuah komposisi. 2) Gondang debata; kata gondang memiliki makna repertoar, yakni terdiri dari tiga komposisi yang berbeda: “Debata Guru”, “Bane Bulan”, dan “Debata Sori”. 3) Gondang simonang-monang; kata gondang memiliki makna komposisi lagu sekaligus menunjukkan tempo pada lagu. 35
4) Gondang
saem;
kata
gondang
memiliki
makna
sebuah
upacara
penyembuhan. 5) Gondang sabangunan atau gondang hasapi; kata gondang bermakna ensambel musik. Terdapat dua ensambel yang umum dikenal pada Masyarakat Batak Toba, yaitu ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi. Alat musik yang terdapat dalam ensambel gondang sabangunan yaitu satu set taganing (membranofon), sarune bolon (aerofon), empat buah ogung (idiofon) dan hesek (idiofon). Instrument yang terdapat dalam gondang hasapi yaitu garantung (idiofon), hesek (idiofon), sarune etek (aerofon) dan hasapi (kordofon). Ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi ini tidak pernah lagi dipakai dalam acara adat masyarakat Batak yang ada di Desa Hutaimbaru ini. Masyarakat sudah memakai instrumen kibot dan sulim dalam acara adat, baik adat perkawinan maupun kematian. Ada juga beberapa pengusaha kibot yang telah memasukkan taganing ke dalam instrumennya sebagai pelengkap. 2.6.2 Seni Tari Seni tari pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan dua jenis yaitu tortor dan tumba. Tortor merupakan tarian yang digunakan dalam konteks upacara adat seperti perkawinan dan kematian. Tumba merupakan tarian yang digunakan oleh pemuda-pemudi maupun anak-anak pada waktu terang bulan. Tarian ini merupakan tarian yang bersifat hiburan. Kegiatan ini disebut dengan martumba.
36
Pada masyarakat yang tinggal di Desa Hutaimbaru kegiatan martumba sudah tidak terdapat lagi. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tidak adanya pemrakarsa ataupun karena rasa kekeluargaan dan persatuan antar muda-mudi tidak ada lagi.
2.6.3 Seni Sastra Hutajulu dan Harahap (2005:13) mengatakan pada masyarakat Batak Toba dapat ditemukan beberapa seni sastra, yaitu : 1. Umpasa merupakan kata-kata kiasan yang berisi ajaran tentang keteladanan, kebijaksanaan, aturan-aturan adat serta pesan-pesan religious. Umumnya umpasa disampaikan di dalam berbagai kegiatan upacara adat yang ada di masyarakat Batak Toba. 2. Tonggo-tongo merupakan jenis sastra yang terkait dengan rangkaian teks-teks naratif keagamaan. Tonggo-tonggo dapat berupa doa-doa pujian kepada Sang Pencipta atau juga bentuk doa-doa lainnya dalam bentuk permohonan dan harapan. 3. Turi-turian merupakan satu bentuk seni bercerita yang umumnya bersumber dari berbagai mitos dan legenda. 4. Huling-huling ansa adalah sejenis sastra berbentuk teka-teki yang umumnya dilakukan oleh pemuda dan pemudi di waktu senggang. Umpasa dan hulung-huling ansa merupakan dua dari seni sastra yang masih terdapat pada masyarakat yang ada di Desa Hutaimbaru ini. Berdasarkan pengamatan penulis, umpasa sering digunakan pada acara-acara adat perkawinan dan huling-
37
huling ansa banyak digunakan oleh anak-anak ketika sedang bermain dengan anakanak yang lain.
2.6.4 Seni Rupa Pada masyarakat Batak Toba ditemukan beberapa jenis seni rupa. Yang paling umum adalah seni patung. Umumnya bahan yang digunakan untuk seni patung ini adalah batu dan kayu. Patung yang terbuat dari batu banyak digunakan pada makam orang yang sudah meninggal. Patung yang terdapat di atas makam tersebut menandakan bahwa orang yang meninggal tersebut telah mencapai usia tua dan pada masa hidupnya memiliki pengaruh di masyarakat. (Harahap, 2005:12). Pada jaman dahulu masyarakat Batak telah mengenal seni patung dari batu ini. Hal ini terbukti dari peninggalan-peninggalan bersejarah yang terdapat di Samosir yaitu situs peninggalan raja-raja Batak. Jenis patung yang paling popular di masyarakat Batak Toba adalah sigalegale. Sigale-gale adalah sejenis patung boneka kayu yang dapat menari. Patung ini digunakan sebagai seni pertunjukan hiburan. Sigale-gale dikendalikan oleh seseorang dengan menggunakan tali-tali yang dipasang pada bagian-bagian patung. Selain seni patung, masyarakat Batak Toba juga mengenal seni ukir ornamental yang disebut dengan gorga. Seni ukir ini banyak terdapat pada dinding rumah tradisional Batak dan banyak juga digunakan pada alat-alat musik sebagai hiasan. Motif-motif yang digunakan dapat berupa ukiran gambar manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan maupun lambang delapan penjuru angin.
38
BAB III PROSES MAMBALBAL BAGOT
3.1 Pandangan Masyarakat Tentang Pohon Bagot Pohon bagot dalam bahasa Indonesia disebut dengan pohon enau atau aren (Arenga pinnata), termasuk suku Arecaceae (pinang-pinangan), merupakan tumbuhan biji tertutup (Angiospermae). Aren merupakan tanaman yang banyak tumbuh dari mulai pantai timur India hingga ke Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri tanaman ini terdapat di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hatta Sunanto [1983:17], seorang Insinyur pertanian, menerangkan: Di Indonesia, tanaman aren dapat tumbuh baik dan mampu berproduksi pada daerahdaerah yang tanahnya subur pada ketinggian 500-800m di atas permukaan laut. Pada daerah-daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 500m dan lebih dari 800m, tanaman aren tetap dapat tumbuh namun produksi buahnya kurang memuaskan. Pohon yang besar dan tinggi dapat mencapai 25 m, berdiameter hingga 65 cm. Pada bagian atas pohon diselimuti oleh serabut berwarna hitam yang dikenal sebagai ijuk. Ijuk sebenarnya adalah bagian dari pelepah daun yang menyelubungi batang. Daunnya majemuk menyirip, seperti daun kelapa, panjang hingga 5 m dengan tangkai daun hingga 1,5 m. Anak daun seperti pita bergelombang, hingga 7 x 145 cm, berwarna hijau gelap di atas dan keputih-putihan oleh karena lapisan lilin di sisi bawahnya.
39
Pohon bagot merupakan tumbuhan yang banyak tumbuh di lereng-lereng gunung, tepi-tepi sungai dan merupakan tumbuhan yang banyak tumbuh secara liar. Dari satu pohon bagot bisa menghasilkan beberapa jenis kebutuhan manusia. Ijuk yang menempel pada batang bisa dijadikan sebagai sapu, bahan atap sopo. Daunnya bisa digunakan sebagai bahan pembungkus makanan dan lidinya digunakan sebagai sapu lidi. Buah dari bagot tersebut bisa dijadikan sebagai makanan campuran es, dijadikan sebagai kolak yang disebut sebagai kolang-kaling. Kolang-kaling dihasilkan dari buah yang masih muda. Buah yang masih muda tersebut terlebih dahulu direbus untuk memisahkan buah dengan cangkangnya. Kemudian merendam buah dengan air kapur untuk menghilangkan getah buah yang sangat gatal dan beracun. Pohon bagot juga menghasilkan air nira. Nira ini merupakan air yang diperoleh dengan cara menyadap tandan dari bunga jantan. Nira merupakan cairan yang berwarna jernih dan rasanya manis. Kegunaan dari nira bisa sebagai bahan dasar pembuatan gula jawa, sebagai bahan dasar pengembang kue, juga sebagai minuman. Bagi masyarakat yang tinggal di Desa Hutaimbaru, keberadaan pohon bagot ini dianggap penting. Pohon bagot ini menghasilkan ijuk yang dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan yaitu sapu ijuk. Tentunya ini sebagai penambah penghasilan bagi mereka. Selain ijuk, masyarakat juga memanfaatkan air nira dari bagot tersebut. Setelah disadap dari tandannya, air nira kemudian diolah lagi menjadi tuak. Tuak merupakan minuman khas orang Batak. Paragat yang tinggal di Desa Hutaimbaru 40
akan mengolah nira tersebut sehingga menghasilkan minuman yang mengandung sedikit alkohol yang disebut dengan tuak. Tuak ini diperoleh dengan cara mencampurkan air nira dengan sejenis kulit kayu yang dikenal dengan raru. Raru (Cotylelobium sp) merupakan pohon yang banyak tumbuh di daerah Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara. Kulit dari kayu ini diambil kemudian dikeringkan dengan cara dijemur. Kemudian kulit kayu yang telah kering tersebut dicampur dengan air nira yang telah disadap. Rendaman raru ini dibiarkan selama enam sampai delapan jam di dalam air nira. Selama proses fermentasi, air nira tersebut akan menjadi keruh. Tingkat kekeruhan nira tersebut tergantung dari banyak atau tidaknya raru yang dicampurkan dengan nira. Semakin banyak raru yang dicampur, maka warna nira akan semakin keruh dan menguning. Hasil fermentasi dari nira dan raru inilah yang disebut dengan tuak. Kulit raru dapat digunakan tiga sampai empat kali pencampuran dengan nira. Setelah itu harus dibuang karena sari dari raru tersebut sudah habis. Hal ini dapat dilihat dari kulit kayu raru yang dari warna coklat berubah menjadi keputih-putihan. Sebagian masyarakat Tapanuli Tengah memanfaatkan raru sebagai obat diabetes dengan cara meminum rebusan air dari raru tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, tuak ini dimanfaatkan sebagai minuman pelepas rasa lelah setelah bekerja seharian. Para laki-laki baik yang muda maupun orang tua ngumpul di sebuah lapo (kedai) tuak. Mereka bernyanyi, berbincang-bincang, main catur dan menonton televisi sambil minum tuak. Tuak yang telah diolah oleh paragat akan diedarkan atau dijual ke lapo-lapo tuak atau juga dengan membuka lapak tuak di rumahnya sendiri. Satu hari seorang 41
paragat bisa menghasilkan tuak tiga puluh botol yang berukuran 1500 ml. Dari satu botol akan dihasilkan enam gelas tuak, sehingga satu hari menghasilkan 180 botol. Di desa ini satu gelas tuak berharga Rp. 1000, jadi satu hari seorang paragat bisa berpenghasilan Rp.180.000. Penyadapan bagot itu sendiri bisa bertahan selama dua bulan. Jika ditotalkan secara keseluruhan penghasilan seorang paragat dari satu batang pohon bagot selama dua bulan itu bisa mencapai Rp. 10.800.000. Hasil tersebut di atas sangatlah luar biasa untuk penghasilan seorang paragat yang tanpa harus memiliki pendidikan yang tinggi. Dari pengamatan penulis di lapangan, kehidupan seorang paragat memang memiliki kehidupan yang lebih layak dari sebelumnya. Dari hasil pekerjaan sebagai seorang paragat mereka bisa membeli perabotan rumah tangga, bisa membeli sepeda motor bahkan ada
yang sampai
menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Ada juga seorang paragat yang menjadikan maragat bukan lagi sebagai pekerjaan sampingan melainkan pekerjaan utama. Dalam artian pekerjaan utama dia sebelumnya adalah seorang petani karet yang menggantungkan hidupnya dan keluarganya dari hasil menyadap getah pohon karet, tetapi setelah memiliki pohon bagot untuk disadap, dia lebih menggantukan hidupnya sebagai seorang paragat dari pada petani karet karena dari hasil sebagai paragat jauh lebih menjanjikan. Selain sebagai pelepas lelah, tuak juga diyakini dapat memperlancar proses peredaran darah dalam tubuh, sehingga banyak orang meminum tuak dan juga diberikan kepada wanita yang baru melahirkan karena dapat menghangatkan dan memperlancar proses keluarnya air susu ibu untuk menyusui bayinya.
42
Boru Sinaga (seorang ibu) mengaku bahwa dia dulu minum tuak sewaktu melahirkan untuk membuat asinya tetap lancar. Hal ini dia lakukan paling tidak selama empat hari setelah melahirkan anaknya. Tuak juga digunakan dalam acara adat orang Batak. Dalam adat Batak khususnya adat perkawinan dikenal dengan istilah tuak tangkasan yaitu tuak yang diberikan kepada parhata adat untuk memulai acara adat tersebut19. Tuak tangkasan dalam pengertian yang sebenarnya adalah tuak yang diperoleh dari sadapan yang pertama kali dari sebuah pohon bagot yang baru pertama kali berbuah. Tapi karena tuak tangkasan yang seperti ini sangat jarang bisa diperoleh maka digantikan dengan tuak yang sudah berasal dari hasil penyadapan yang kesekian kalinya.
3.2. Pemilihan Pohon Bagot Untuk Dibalbal Pohon bagot merupakan pohon yang dapat tumbuh besar mencapai 25 m. Setelah pohon bagot tumbuh besar maka pohon tersebut akan berbuah. Pohon yang akan dibalbal adalah yang telah tumbuh besar dan berbuah. Di dalam satu batang pohon bagot terdapat dua jenis buah yang tumbuh yaitu buah dari enau tersebut (betina) dan buah jantan. Menurut Mansari Munthe, bagot pertama kali akan menghasilkan buah yang disebut dengan halto. Halto inilah yang jika diolah akan menghasilkan makanan yang dikenal masyarakat luas dengan kolang-kaling. Jika sebuah pohon bagot sudah berbuah, ini menandakan bahwa pohon tersebut akan segera menghasilkan buah jantan. Buah jantan akan selalu berada di 19
Hasil wawancara dengan Rosliani Simatupang (seorang penatua adat)
43
bawah buah betina (halto) dari pohon bagot. Hal ini menurut Mansari Munthe dikarenakan yang tumbuh pertama kali itu adalah buah bagot tersebut.
Gambar 3.1 Pohon bagot yang sedang berbuah.
44
Gambar 3.2. Buah bagot yang disebut dengan halto yang jika diolah bias menghasilkan bahan makanan yang biasa disebut kolang-kaling.
Kemudian setelah bagot berbuah, akan menghasilkan buah jantan yang menghasilkan air. Buah jantan inilah yang kemudian diagati untuk menghasilkan air nira.
Gambar 3.3 Buah jantan dari pohon bagot.
45
Gambar 3.4. Buah jantan yang bentuknya seperti peluru dan isinya seperti benang-benang yang jika sudah berwarna kuning baru tandannya bisa dibalbal.
3.3 Penyiangan di Sekitar Bagot Persiapan dalam menyadap bagot sangat diperlukan agar dapat menghasilkan nira yang cukup banyak dan masa penyadapannya lebih lama. Salah satu persiapan ini adalah dengan pembersihan pohon. Sebelum pohon bagot diagati terlebih dahulu melakukan proses penyiangan terhadap pohon bagot tersebut dengan membersihkan tumbuhan yang ada di sekitar pohon, memotong pelepah daun dan mengambil ijuk yang menempel pada batang. Proses penyiangan ini dimaksudkan supaya mempermudah paragat di dalam melakukan penyadapan. Karena biasanya di sekitar pohon banyak ditumbuhi
46
tumbuhan liar yang tentunya mengganggu paragat untuk mencapai pohon bagotnya tersebut. Di dalam melakukan penyiangan ini memerlukan parang sebagai alat untuk memotong pelepah daun dan membersihkan sekitar pohon.
Gambar 3.5 Tumpukan pelepah daun yang telah dipotong.
Gambar 3.6 tumpukan ijuk yang telah dibersihkan dari batang pohon bagot.
47
3.4 Waktu Mambalbal Bagot Tandan bagot yang akan dibalbal adalah tandan dari bunga jantan yang bentuknya bulat panjang seperti peluru. Tandan baru bisa dibalbal setelah tandan dewasa. Seorang paragat tahu kapan waktunya tandan mulai dibalbal dengan melihat biji dari bunga jantan tersebut. Jika benang sari dari bunga jantan sudah berwarna kuning maka tandan sudah bisa dibalbal, tetapi jika masih berwarna putih, ini menandakan bahwa bungan jantan masih muda dan belum bisa dibalbal. Perkiraan seorang paragat menentukan kapan tandan bagot bisa dibalbal haruslah tepat, karena jika bunga jantan sudah dewasa dan pecah tetapi belum dibalbal akan mengurangi hasil produksi air niranya. Pemukulan tandan bagot atau yang disebut dengan mambalbal dilakukan sehari sekali. Menurut Kabul Tampubolon (seorang paragat) proses mambalbal tersebut bisa dilakukan pada pagi hari atau pun sore hari dengan selang sehari atau dua hari setelah dibalbal selama lima hari berturut-turut. Keadaan cuaca tidak terlalu berpengaruh terhadap proses pemukulan pohon bagot yang akan diagati. Jika pada pada pagi hari cuaca sedang hujan kegiatan mambalbal dapat dikakukan pada sore harinya. Tetapi cuaca sangat berpengaruh ketika sudah masuk dalam proses mangagati20. Karena ketika tandan sedang diagati tetapi kemudia hujan turun akan membuat air nira yang telah disadap akan bercampur dengan air hujan. Hal ini tentu membuat paragat rugi karena rasa dari air nira sudah tidak asli lagi karena telah bercampur dengan air hujan, sehingga ketika diolah
20
Mangagati artinya menyadap tandan untuk menghasilkan air niranya.
48
menjadi tuak rasanya akan sangat berkurang dari biasanya dan akan mempengaruhi pembeli tuak itu sendiri. Pemukulan dilakukan terhadap tandan bunga jantan dari pohon bagot. Bagian yang dipukul adalah tandan dan batang di bawah tandan.
Bagian tandan yang dibalbal Bagian batang yang dibalbal
Gambar 3.7. Bagian-bagian yang dibalbal pada pohon bagot.
3.5 Teknik Memukul Dalam Mambalbal Bagot Menurut legenda Batak, pohon bagot merupakan jelmaan dari seorang perempuan. Dahulu kala hidup dua orang kakak beradik laki-laki dan perempuan
49
yang telah yatim piatu bermarga Simbolon21. Pekerjaan saudara laki-lakinya ini hanya berjudi dan menghabiskan uang. Karena keseringan kalah, saudara laki-lakinya memiliki utang yang banyak. Hal ini membuat si boru Simbolon sedih dan memohon kepada dewa supaya dia dijadikan sebuah pohon yang berguna dan bermanfaat menghasilkan uang supaya bisa melunasi utang-utang saudara laki-lakinya tersebut. Setelah memohon kepada dewa kemudian dia melompat dari jendela rumah untuk bermaksud bunuh diri dan seketika juga dia berubah menjadi pohon bagot. Ketika saudara laki-lakinya tersebut pulang, ia tidak mendapati si boru Simbolon di rumahnya, tetapi hanya sepucuk surat dari saudarinya itu yang mengatakan bahwa ia telah pergi selamanya dan mengatakan kepadanya supaya memanfaatkan pohon yang ada di samping rumah mereka untuk menghasilkan uang untuk melunasi seluruh utang-utangnya. Dengan perasaan sangat sedih dan penuh penyesalan akhirnya si laki-laki kemudian memanfaatkan pohon yang ada di damping rumahnya yang merupakan jelmaan dari saudara perempuannya itu untuk menghasilkan uang. Si laki-laki tersebut memukul-mukul batang pohon tersebut dengan perasaan sangat menyesal sambil menangisi kepergian adiknya tersebut. Begitulah yang ia lakukan setiap hari. Dari pohon itulah dia menghasilkan air yang sangat enak rasanya dan sangat disukai oleh masyarakat. Kemudian ia menjual air hasil dari pohon tersebut untuk melunasi
21
Hasil wawancara dengan Kabul Tampubolon (seorang paragat), Mansari Munthe (seorang paragat), Rosliani Simatupang (penatua adat). Mereka menceritakan legenda bagot dengan versi yang sama bahwa pohon bagot berasal dari seorang perempuan bermarga boru Simbolon yang bunuh diri, kemudian menjelma menjadi sebuah pohon bagot.
50
utang-utangnya. Demikianlah yang ia perbuat sehari-hari sampai seluruh utangutangnya lunas dan dari penghasilannya itu juga ia memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Orang Batak jaman dahulu sangat percaya bahwa pohon bagot merupakan jelmaan dari si boru Simbolon. Mereka percaya bahwa tubuhnya berubah menjadi batang bagot, rambutnya berubah menjadi ijuk dan buah dadanya berubah menjadi tandan yang menghasilkan air nira. Pada jaman dahulu pohon bagot merupakan sesuatu yang sacral yang sebelum diagati harus terlebih dahulu diende-ende i22 dengan maksud membujuk supaya boru Simbolon tadi mau mengeluarkan air susunya yang merupakan air nira yang dihasilkan oleh bagot tersebut23. Tetapi seiring dengan perkembangan jaman dan pengaruh masuknya agama ke tanah Batak khususnya desa Hutaimbaru, sekarang ini yang penulis lihat di lapangan ketika paragat sedang mambalbal bagot nyanyian tersebut sudah tidak ada lagi. Bisa dikatakan nyanyian paragat ketika mambalbal bagot sudah hilang. Ini dikarenakan oleh kepercayaan orang dahulu yang masih percaya terhadap legenda dan mitos24. Paragat sekarang yang ada di desa Hutaimbaru ini tidak lagi terlalu mensakralkan proses-proses dalam mambalbal bagot. Berdasarkan pengamatan penulis mereka tidak lagi melakukan nyanyian ketika maragat, tetapi hanya melakukan pemukulan terhadap batang dan tandan bagot dengan maksud 22
Diende-ende i artinya dinyanyikan. Hasil wawancara dengan Kabul Tampubolon. 24 Hasil wawancara dengan Mansari Munthe 23
51
melonggarkan serat-serat yang ada dalam batang dan bukan untuk membujuk jelmaan dari si boru Simbolon. Cara yang dilakukan ketika mambalbal bagot sekarang dengan jaman dulu hampir sama. Yang membedakannya hanya dalam letak nyanyian tersebut. Sebelum diagati, tandan dari bunga jantan bagot harus terlebih dahulu dibalbal. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar nantinya air nira dari tandan tersebut setelah diagati. Untuk mencapai tandan bagot yang akan dibalbal seorang paragat memerlukan sebuah tangga. Tangga ini biasanya dibuat dari sebilah bambu dengan melubangi bambu tersebut sebagai pijakan untuk kaki paragat, atau juga dengan menggunakan ranting dari bambu sebagai pijakan kakinya.
Gambar 3.9. Tangga dari bambu yang dilubangi
52
Gambar 3.10. Tangga dari bambu yang menggunakan ranting sebagai pijakan.
Setelah di sekeliling tandan dibersihkan, tandan kemudian diikat ke batang bagot dengan menggunakan tali nilon karena jika tidak diikat tandannya bisa layu karena setelah dibalbal serat-serat dalam tandan akan menjadi longgar sehingga tidak kuat menahan untaian-untaian bunga jantan yang ada dalam tandan tersebut Proses selanjutnya adalah melakukan pemukulan terhadap tandan dan batang di bagian bawah tandan. Pemukulan tandan bagot dilakukan dengan ringan (tidak terlalu keras). Karena jika tandan dipukul keras bisa mengakibatkan tandan tersebut terluka dan menjadi busuk. Tetapi bagian batang yang ada di bawah tandan dipukul
53
dengan keras karena tidak akan menyebabkan kebusukan. Jumlah pukulan terhadap tandan setiap kalinya sekitar 250 pukulan25.
Gambar 3.11: bagian batang yang dibalbal
Contoh pukulan yang terdapat pada saat memukul batang adalah sebagai berikut.
Untuk pola yang selengkapnya terdapat pada bab iv.
25
Jumlah pukulan terhadap tandan bukanlah sesuatu yang baku. Jumlah pukulan tersebut tergantung kepada paragatnya itu sendiri.
54
Gambar 3.12: bagian tandan yang dibalbal
Contoh pola ritem yang terdapat pada saat pemukulan tandan adalah
Setelah selesai dibalbal, kemudian tandan diayun-ayunkan dengan maksud untuk melonggarkan serat-serat yang ada di dalam tandan. Jumlah ayunan dalam setiap kali mambalbal sekitar 90 ayunan26. Alat yang digunakan untuk mambalbal tandan dan batang bagot disebut dengan balbal terbuat dari kayu yang dibentuk sendiri oleh paragat sedemikian rupa sesuai dengan kenyamanan paragat untuk memegang balbal tersebut.
26
Jumlah ayunan tidak memiliki jumlah yang baku tetapi tergantung kepada paragatnya itu sendiri.
55
± 15 cm dengan diameter ±5 cm
± 11 cm dengan diameter ±8 cm
Gambar 3.11. Alat pemukul yang digunakan untuk memukul tandan bagot.
Tujuan dilakukannya pemukulan ini adalah untuk melonggarkan serat-serat yang terdapat dalam batang dan tandan bagot dengan maksud memperlancar air nira dan mendapatkan air nira yang banyak. Dalam mambalbal bagot tidak memiliki aturan yang baku dari setiap paragat, tetapi lebih kepada hasil yang ingin diperoleh paragat itu sendiri.
56
BAB IV ANALISIS POLA RITEM DALAM MAMBALBAL BAGOT
4.1 Pola Ritem Mambalbal Bagot Bab ini akan menganalisis pola ritem mambalbal bagot. Mambalbal bagot adalah sebuah kegiatan memukul tandan yang dilakukan pada saat menyadap enau. Kegiatan ini dilakukan oleh seorang paragat. Ritem yang dimainkan oleh seorang paragat biasanya hampir sama dengan ritem yang dimainkan oleh paragat yang lain. Tetapi dalam memainkan ritem tersebut tidak memiliki standart yang baku. Artinya ritem yang muncul dari seorang paragat tidak selalu sama dengan paragat yang lain. Seseorang yang ingin menjadi penyadap enau biasanya terlebih dahulu belajar kepada orang yang sudah berpengalaman di dalam kegiatan penyadapan enau. Pertama yang dilakukan adalah dengan cara mengamati bagaimana seorang paragat memukul batang bagot dan teknik-teknik yang dilakukan paragat tersebut. Setelah mengamati kemudian calon paragat mempraktekkannya pada batang bagot yang lain yang akan disadap niranya. Hasil nira yang diperoleh seorang paragat yang baru belajar dengan yang sudah berpengalaman memiliki perbedaan jumlah nira yang jauh berbeda. Hasil nira yang diperoleh paragat yang lama lebih banyak dibandingkan seorang paragat yang baru belajar. Hal ini disebabkan oleh cara mambalbal bagotnya yang belum mahir. Seperti yang dijelaskan sebelumnya mambalbal bagot merupakan kegiatan memukul tandan dan batang pohon enau yang mengandung unsur pola ritem. Pola ritem yang penulis maksud disini adalah pola irama yang terjadi ketika melakukan 57
kegiatan mambalbal bagot. Menurut Jamalus Hamzah Busroh (1991: 45), “Ritem adalah irama, sedangkan pola ritem adalah bentuk susunan panjang pendek bunyi dan diam”. Pola irama dapat terjadi atas pulsa dengan tiga macam bentuk yaitu: a. Pola irama rata adalah bentuk pola irama yang susunan panjang pendek bunyinya terbagi rata atau terbagi sama atas pulsanya. b. Pola irama tidak rata adalah bentuk pola irama yang susunanya panjang
pendek bunyinya tidak rata / tak terbagi sama atas pulsanya c. Pola irama sinkop adalah bentuk pola irama dengan tempat aksen kuat yang biasa berpindah ke tempat pulsa yang seharusnya tidak mendapat aksen atau tekanan lebih
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:43), analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahan bagian itu sendiri serta hubungan antara bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Analisis adalah kegiatan berfikir untuk menguraikan suatu keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda komponen, hubungannya satu sama lain dan fungsi keseluruhan terpadu (Komaruddin, 2001:53). Analisis yang penulis maksud disini adalah menguraikan suatu pokok menjadi bagian-bagian sehingga dapat diketahui tanda dari tiap bagian, kemudian hubungan satu sama lain serta fungsi dari mambalbal bagot, seperti pola ritme, meter, intensitas suara (keras lembutnya suara).
58
Untuk menganalisa pola ritem, penulis melakukan pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1964:148-149) yaitu: dalam mendeskripsikan dan menganalisis pola ritem perlu memperhatikan hal-hal seperti pola dasar ritem, variasi, pengulangan, meter dan waktu. Untuk menjelaskan hal yang yang dikemukakan oleh Nettl penulis menggunakan teknik transkripsi. Transkripsi adalah proses penotasian bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual (Nettl 1964 : 98). Dalam mentranskripsikan pola ritem dalam mambalbal bagot penulis menggunakan notasi barat. Adapun alasan penulis memilih sistem notasi barat karena notasi barat sangat cocok untuk menunjukkan nilai ritmis dari setiap nada. Untuk menunjukkan pola ritmis, penulis membaginya ke dalam dua jenis yaitu pola ritmis berdurasi sama dan pola ritmis berdurasi tidak sama. Pola ritmis berdurasi sama adalah pola ritmis yang dalam satu birama memiliki nilai not yang
sama. Contohnya: Sedangkan pola ritmis berdurasi tidak sama tidak sama adalah pola ritmis yang dalam satu birama memiliki nilai not yang tidak sama. Contohnya:
Penulis melakukan perbandingan kepada empat orang paragat yang berbeda, yaitu Hotman Hutapea, Gelluk Sitanggang, Mansari Munthe dan Kabul Tampubolon. Adapun maksud penulis melakukan perbandingan dengan keempat paragat adalah
59
untuk melihat perbedaan pola ritem dalam mambalbal bagot. Sejauh pengamatan penulis tidak ada patokan untuk mambalbal bagot, perbandingan yang dilakukan penulis untuk acuan dalam membambal bagot. Hal terpenting dalam mambalbal bagot adalah hasilnya yakni nira dalam jumlah yang banyak pada satu batang pohon bagot. Dari sinilah dapat diketahui kriteria seorang paragat yang sudah lama atau yang lebih berpengalaman dengan seorang paragat yang baru belajar. Hal yang lumrah apabila terjadi perubahan tempo (metronome) dalam pola ritem mambalbal bagot. Ini menunjukkan bahwa dalam mambalbal bagot sangat dipengaruhi oleh suasana hati sehingga seringkali terjadi perubahan tempo. Tidak ada ketentuan apa dan harus bagaimana proses mambalbal bagot semua tegantung suasana hati paragatnya, jika menurut mereka apa yang mereka lakukan itu sudah cukup tidak ada yang bisa melerai karena itu tergantung pribadi paragatnya. Analisis yang penulis lakukan adalah berdasarkan fakta yang penulis lihat sendiri di lapangan. Berikut adalah pola ritem keempat orang paragat yang telah penulis transkripsikan ke dalam bentuk not balok.
60
MM = ±56
MM = ±61
MM = ±56
61
MM = ±61
MM = ±56
Dalam pola ritem mambambal bagot yang dilakukan oleh Hotman Hutapea, penulis menggunakan meter 2/4 di awal pemukulan agar aksentusai yang terjadi dalam proses mambalbal bagot dapat ditulis dengan tepat. Aksentuasi dalam pola ritem itu yang menjadi penting dalam mambalbal bagot karena kekuatan pukulan baik keras maupun lembut tidak dapat diukur secara akurat. Adapun maksud penulis
62
menggunakan tanda pengulangan di antara pola ritmis berdurasi sama adalah untuk mempersingkat penulisan hasil transkripsi yang penulis kerjakan. Dan penulis juga menggunakan meter 4/4 untuk mempermudah penulis untuk menunjukkan pola ritmis yang berdurasi sama. Berikut analisis yang dapat penulis tarik dari pola ritem mambalbal bagot yang dilakukan oleh Bapak Hotman Hutapea : 1. Memiliki tempo yang berubah-ubah yaitu sekitar ±56 dan ±61. Berdasarkan analisis penulis perubahan ini terjadi pada saat peralihan dari pola ritmis berdurasi sama ke pola ritmis berdurasi tidak sama. Perubahan tempo ini terjadi karena pada saat paragat memukul tandan pola ritmis yang digunakan adalah yang berdurasi sama, sehingga paragat memukul tandannya semakin cepat sehingga terjadi perubahan tempo. 2. Memiliki meter yang bisa digolongkan ke dalam meter 2 dan meter 4 dan bukan merupakan free meter. 3. Pemukulan diawali dengan pola ritmis berdurasi tidak sama kemudian masuk ke pola ritmis yang berdurasi sama. 4. Memiliki pola dasar sebagai berikut:
Kemudian terdapat beberapa variasi ritem dari pola dasar yang ada, seperti berikut.
Variasi pertama
63
Variasi kedua
Variasi ketiga
Variasi keempat
Variasi kelima Dalam pola ritmis mambalbal bagot oleh Bapak Hotman Hutapea, terdapat pengulangan pola ritmis berdurasi tidak sama yaitu di tengah dan di akhir dari proses pemukulan bagot. Berikut pola pengulangan pola ritmis yang ada.
Pola pertama dari proses pemukulan pohon enau merupakan pola dasar dari proses mambalbal bagot yang selalu diawali dengan pola ritmis yang berdurasi tidak sama. Kemudian pengulangan pola tersebut akan kembali dilakukan ditengah dari
64
seluruh proses mambalbal bagot. Dan pola yang terakhir akan kembali terjadi di akhir dari pemukulan dan merupakan penutup dari proses mambalbal bagot tersebut.
MM = ±56
MM = ±60
65
MM = ±56
MM = ±60
66
MM = ±56
67
Dalam pola ritem mambambal bagot yang dilakukan oleh Gelluk Sitanggang, penulis menggunakan meter 4/4 karena dapat digolongkan ke dalam meter empat dan aksentuasi pemukulan dapat ditulis dengan tepat. Aksentuasi dalam pola ritem itu yang menjadi penting dalam mambalbal bagot karena kekuatan pukulan baik keras maupun lembut tidak dapat diukur secara akurat. Berikut analisis yang dapat penulis tarik dari pola ritem mambalbal bagot yang dilakukan oleh Bapak Gelluk Sitanggang : 1. Memiliki tempo yang berubah-ubah yaitu sekitar ±56 pada pola ritmis yang berdurasi tidak sama dan ±60 pada pola ritmis yang berdurasi sama. 2. Memiliki meter 4 3. Pemukulan diawali dengan pola ritmis berdurasi tidak sama kemudian masuk ke pola ritmis yang berdurasi sama. 4. Memiliki pola dasar sebagai berikut:
Terdapat beberapa variasi ritem dari pola dasar yang ada, seperti berikut:
Variasi pertama Variasi kedua Variasi ketiga Variasi keempat
68
Variasi kelima Variasi keenam Variasi ketujuh Variasi kedelapan Dalam pola ritmis mambalbal bagot yang dilakukan oleh Bapak Gelluk Sitanggang, terdapat pengulangan pola ritmis berdurasi tidak sama yaitu di tengah dan di akhir dari proses pemukulan bagot. Berikut pola pengulangan pola ritmis dan variasi dari pola ritmis dasar.
69
MM = ±54
70
Dalam pola ritem mambambal bagot yang dilakukan oleh Mansari Munthe, penulis
tidak
dapat
menggolongkan
ke
71
dalam
meter,
sehingga
penulis
menggolongkan pola ritmis tersebut ke dalam ketukan free meter sehinngga aksentuasi pemukulan dapat ditulis dengan tepat. Berikut analisis yang dapat penulis tarik dari pola ritem mambalbal bagot yang dilakukan oleh Bapak Mansari Munthe : 1. Dari pengamatan penulis tempo pola ritmis yang dilakukan oleh Mansari Munthe ketika mambalbal bagot adalah relatif sama, tidak ada terjadi perubahan tempo. 2. Merupakan ketukan free meter 3. Pemukulan diawali dengan pola ritmis berdurasi tidak sama kemudian masuk ke pola ritmis yang berdurasi sama. 4. Memiliki pola dasar sebagai berikut:
Terdapat beberapa variasi ritem dari pola dasar yang ada, seperti berikut:
Variasi pertama Variasi kedua Variasi ketiga Variasi keempat
Variasi kelima Dalam pola ritmis mambalbal bagot yang dilakukan oleh Bapak Mansari Munthe, terdapat pengulangan pola ritmis berdurasi tidak sama yaitu di tengah dan di 72
akhir dari proses pemukulan bagot. Berikut pola pengulangan pola ritmis dan variasi dari pola ritmis dasar.
Pola pertama dari proses pemukulan pohon enau yang dilakukan oleh Bapak Mansari Munthe merupakan pola dasar dari proses mambalbal bagot yang selalu diawali dengan pola ritmis yang berdurasi tidak sama. Kemudian pengulangan pola tersebut akan kembali dilakukan ditengah dari seluruh proses mambalbal bagot. Dan pola yang terakhir akan kembali terjadi di akhir dari pemukulan dan merupakan penutup dari proses mambalbal bagot tersebut.
73
MM = ±60
74
MM = ±56
75
Dalam pola ritem mambambal bagot yang dilakukan oleh Kabul Tampubolon, penulis menggunakan meter 4/4 karena meter tersebut dapat digunakan dan aksentuasi pukulan juga didapat. Penulis juga menggunakan tanda pengulangan di antara pola ritmis berdurasi sama adalah untuk mempersingkat penulisan hasil transkripsi yang telah penulis kerjakan. Berikut analisis yang dapat penulis tarik dari pola ritem mambalbal bagot yang dilakukan oleh Bapak Kabul Tampubolon: 1. Memiliki tempo ±60 Berdasarkan analisis penulis, perubahan tempo hanya terdapat pada akhir dari pemukulan. Terjadi perlambatan tempo ketika proses mambalbal bagotnya akan selesai yaitu sekitar ±56 2. Memiliki meter yang tetap dan dapat digolongkan ke dalam meter 4/4. 3. Pemukulan diawali dengan pola ritmis berdurasi tidak sama kemudian masuk ke pola ritmis yang berdurasi sama. 4. Memiliki pola dasar sebagai berikut:
Kemudian terdapat beberapa variasi ritem dari pola dasar yang ada, seperti berikut.
Variasi pertama
Variasi kedua
76
Variasi ketiga
Variasi keempat
Variasi kelima Dalam pola ritmis mambalbal bagot oleh Bapak Kabul Tampubolon, juga terdapat pengulangan pola ritmis berdurasi tidak sama yaitu di tengah dan di akhir dari proses pemukulan bagot. Berikut pola pengulangan pola ritmis yang ada.
Sama seperti pola ritmis dari ketiga paragat sebelumnya, pemukulan pertama dari proses mambalbal bagot yang dilakukan oleh Bapak Kabul Tampubolon diawali dengan pola ritmis berdurasi tidak sama yang merupakan pola dasar dari proses mambalbal bagot. Kemudian pengulangan pola tersebut akan kembali dilakukan ditengah dari seluruh proses mambalbal bagot. Dan pola yang terakhir akan kembali terjadi di akhir dari pemukulan dan merupakan penutup dari proses mambalbal bagot tersebut.
77
Berdasarkan hasil transkripsi yang telah penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa hampir tidak ada perbedaan yang ada di dalam proses mambalbal bagot. Penulis berkesimpulan bahwa pola dasar dari keempat paragat tersebut adalah sama yaitu:
Kemudian terjadi pengembangan ritem oleh paragat itu sendiri sesuai dengan suasana hati dan keinginan paragat itu sendiri untuk memukul pohon enau tersebut. Keseluruhan pola ritem yang dilakukan oleh para paragat memiliki alur yang sama yaitu selalu diawali dengan pola dasar yang berdurasi ritmis tidak sama kemudian ke yang berdurasi ritmis sama lalu terjadi pengulangan pola yang berdurasi ritmis tidak sama di tengah proses mambalbal lalu dilanjutkan lagi dengan pola ritmis yang berdurasi sama dan untuk mengakhiri dari proses mambalbal akan diakhiri dengan pola ritmis yang berdurasi tidak sama.
78
BAB V PENUTUP
5.1 Rangkuman Pohon enau adalah salah satu hasil pertanian yang tumbuh secara liar dan belum dibudidayakan dan banyak tumbuh di daerah Tapanuli Tengah. Masyarakat memanfaatkan pohon enau dengan cara menyadap pohon enau tersebut untuk menghasilkan air nira yang kemudian diolah untuk dijadikan tuak. Dalam proses penyadapan nira ini terdapat beberapa proses untuk bisa menghasilkan air niranya. Salah satunya proses untuk menghasilkan air niranya adalah dengan cara memukul-mukul batang pohon enau tersebut yang disebut dengan mambalbal bagot. Di dalam proses pemukulan bagot ini menggunakan pola-pola ritem tertentu dan dengan tempo tertentu. Ritem yang digunakan adalah pola ritme yang diulangulang dengan tempo agak lambat sekitar 56 MM. Pohon bagot merupakan tumbuhan yang banyak tumbuh di lereng-lereng gunung, tepi-tepi sungai dan merupakan tumbuhan yang banyak tumbuh secara liar. Pohon bagot merupakan pohon yang dapat tumbuh besar mencapai 25 m. Setelah pohon bagot tumbuh besar maka pohon tersebut akan berbuah. Pohon yang akan dibalbal adalah yang telah tumbuh besar dan berbuah. Di dalam satu batang pohon bagot terdapat dua jenis buah yang tumbuh yaitu buah dari enau tersebut (betina) dan buah jantan. Tandan bagot yang akan dibalbal adalah tandan dari bunga jantan yang bentuknya bulat panjang seperti peluru. Tandan baru bisa dibalbal setelah tandan 79
dewasa. Seorang paragat tahu kapan waktunya tandan mulai dibalbal dengan melihat biji dari bunga jantan tersebut. Jika benang sari dari bunga jantan sudah berwarna kuning maka tandan sudah bisa dibalbal, tetapi jika masih berwarna putih, ini menandakan bahwa bungan jantan masih muda dan belum bisa dibalbal. Sebelum diagati, tandan dari bunga jantan bagot harus terlebih dahulu dibalbal. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar nantinya air nira dari tandan tersebut setelah diagati. Dalam
mambalbal
bagot
tidak
diperlukan
teknik
khusus.
Tujuan
dilakukannya pemukulan ini adalah untuk melonggarkan serat-serat yang terdapat dalam batang dan tandan bagot dengan maksud memperlancar air nira dan mendapatkan air nira yang banyak. Dalam mambalbal bagot tidak memiliki aturan yang baku dari setiap paragat, tetapi lebih kepada hasil yang ingin diperoleh paragat itu sendiri.
5.2 Kesimpulan Dari uraian-uraian tentang permasalahan dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis mencoba membuat kesimpulan dalam proses mambalbal bagot merupakan sebuah proses yang harus dilalui untuk menghasilkan air nira dari pohon enau.
80
Pohon bagot merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh dengan baik secara liar tanpa perlu adanya perawatan khusus manusia. Kesadaran masyarakat setempat untuk membudidayakan tanaman ini masih sangat kurang. Untuk menghasilkan air nira harus melalui beberapa tahap mulai dari penyiangan sekitar pohon, pembersihan pohon, sampai kepada proses mambalbal dan penyadapannya sendiri. Semua hal tersebut harus dilalui untuk menghasilkan air nira yang banyak. Setelah air nira didapat, kemudian akan diolah kembali untuk menghasilkan tuak yang merupakan minuman khas yang orang Batak. Tuak merupakan minuman yang digunakan dalam berbagai kesempatan termasuk dalam acara adat masyarakat Batak Toba.
5.3 Saran Penelitian yang penulis lakukan masih dalam tahap kecil namun bermanfaat bagi masyarakat pendukung kebudayaan dan serta pihak-pihak yang mengemban tugas menjaga dan melestarikan budaya nusantara. Kiranya penelitian ini membuka jalan untuk penelitian berikutnya.
81
DAFTAR PUSTAKA Danandjaya, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti. Hutajulu, Rithaony & Irwansyah Harahap. 2005. Gondang Batak Toba. Bandung: P4ST UPI. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Malm, William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East and Asia. 2ded. Englewood Cliffs, New Jersey: Pritice Hall Inc. Manik, Kepler H. 2002. Kajian Tekstual dan Musical Doding Ni Paragat pada Masyarakat Simalungun di Kelurahan Girsang I Kecamatan Girsang Sipangan Bolon – Simalungun. Skripsi Sarjana. Medan: Fakultas Sastra USU. Marpaung, P. 1989. Fungsi Sosial Minuman Tuak pada Masyarakat Urban Suku Bangsa Batak Toba di Pematang Siantar. Skripsi Sarjana. Medan: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Merriam, Alan p. 1964. The Anthropology of Music. Evanstone: Northwestern University Press. Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York: Free Press Macmillan Publishing Co, Inc. Siahaan.Nalom. 1964. Sedjarah Kebudajaan Batak. Medan: C.V. Napitupulu & Sons. . 1982. Adat Dalihan Natolu. Medan: Prima Anugerah, Sirait, W. dan O. Sihotang. 1986. Berbagai Fungsi Kedai Tuak. Dalam Pemikiran tentang Batak, edited by B.A. Simanjuntak, pp.343-346. Medan: Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Universitas HKBP Nommensen Sunanto, Hatta. 1983. Aren: Budidaya dan Multigunanya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Titon, Jeff Todd. 1984. World of Musics: An Introduction to the Music of the World’s People. New York: Schirner Book A Division of Macmillan, Inc.
82
DAFTAR INFORMAN Nama
: Mansari Munthe
Umur
: 58 tahun
Pekerjaan
: Guru, paragat tuak
Alamat
: Dusun Pagaran Pinasa, Kecamatan Tapian Nauli
Nama
: Kabul Tampubolon
Umur
: 63 tahun
Pekerjaan
: Petani, paragat tuak
Alamat
: Dusun Hutaimbaru, Kecamatan Tapian Nauli
Nama
: Rosliani Simatupang
Umur
: 53 tahun
Pekerjaan
: Guru, penasehat adat
Alamat
: Dusun Hutaimbaru
Nama
: Hotman Hutapea
Umur
: 42 tahun
Pekerjan
: Petani, paragat tuak
Alamat
: Dusun Hutaimbaru
Nama
: Gelluk Sitanggang
Umur
: 39 tahun
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Dusun Hutaimbaru
83