HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN – KABUPATEN SAMOSIR)
TESIS
Oleh
TIORISTA 067011100/M.Kn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN - KABUPATEN SAMOSIR)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
Oleh
TIORISTA 067011100/M.Kn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR) : Tiorista : 067011100 : Kenotariatan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum) Ketua
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN)
(Syafnil Gani, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Tanggal Lulus : 28 Agustus 2008
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal, 28 Agustus 2008 ____________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS:
Ketua
:
Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.
Anggota
:
1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS.,C.N. 2. Syafnil Gani, S.H., M.Hum. 3. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A. 4. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., M.Hum, C.N.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRAK
Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kematian akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si meninggal. Pewarisan terjadi, bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan mereka yang sah. Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia dibedakan tiga kelompok yaitu: Susunan kekeluargaan patrilineal, kekeluargaan matrilineal kekeluargaan parental. Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender, yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”. Pada masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Dalam hukum adat Batak Toba, anak perempuan tidak memperoleh hak untuk mewarisi harta peninggalan orangtuanya. Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan Batak Toba ?. Permasalahan yang akan dibahas yaitu Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan ?, Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba ?, Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba ?. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat Yuridis Empiris dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, dilakukan guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti anak perempuan tidak berhak berbicara dan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
mengeluarkan pendapat di acara-acara resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini, dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli). Kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki secara bersama-sama telah mendapat hak/bagian atas harta peninggalan dari orangtuanya. Namun terhadap harta pusaka, anak laki-laki lebih berhak atas harta pusaka karena sebagai penerus marga bapaknya. Dalam masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, sistem pembagian warisannya telah mengalami perubahan di mana sebelumnya anak perempuan tidak mewaris terhadap harta peninggalan orangtuanya, namun sekarang anak perempuan telah mendapat hak atas harta warisan dari orangtuanya. Kata-kata kunci: Waris, Anak Perempuan, Batak Toba.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRACT
A marriage can be terminated because of death, divorce and court decision. Death will result in the transfer of right and obligation in terms of property. The right and obligation which were initially in the hands of the deceased will legally move to those the deceased has left, namely, the heirs of the deceased. Inhereting exists if one or both of the legally married couple dies. The distribution of the inheritance is very closely relaed to the exiting family kinship in traditional communities in Indonesia. Traditional communities in Indonesia are grouped into three categories such as patrilineal, matrilinela, and parental communities. In case of inheritance, patrilineal adat/customary law still distinguishes gender stating that the male group in the family is the ones who have the right to inherit the inheritance or the heirs are only men. “The struggle to create gender equalization is not an easy job to do. Women understanding and empathy in this modern era is frequently still imprisoned by the patriarchy way of thinking. In the patrilineal communities found in the areas Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, and Lombok and in other areas in Indonesia, their sons are still regarded more precious and have higher position than their daughters. The sons are regarded as the ones who bring the descendants that pass the marga (family name) og their father to the next generation. In the adat law of Batak Toba, their daughters do not have the right ti inherit their parent’s inheritance. Is this discriminative treatment still accepted by all the daughters of Batak Toba families ? The problems to be discusesd are how the structure of kinship of Batak Toba community is related to the posistion of women (their daughters), what the position of women (their daughters) in the in heritance law in the community of Batak Toba, and whether or not there is a shift in the system of inheritance distribution in the community of Batak Toba. This descriptive study with empirical juridical method describes and explains and to find the answer concerning the questions about the stucture of kinship in the Batak Toba community in its relation to the position of women (their daughters) in the inheritance law in Batak Toba community, and the shift in the system of inheritance distribution in Batak Toba community in Pangururan Sub-district, Samosir District. The result of the this study shows the position of women in the structure of kinship in Batak Toba community which is basically still different compared to that of men. As seen in the Batak parties, women are hardly seen sitting in the front row, getting involved in a discussion, and making decision. In the scope of smaller family meeting, the women (their daughters) have been allowed to talk but only in terms of introduction such as in the tardidi ceremony (giving a name to their child), and the mangapuli ceremony (amusing a grief family). The position of both sons and daughters has together got the right/share of the parants’ inheritance. Only, in terms
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
of inherited wealth, the sons as the ones who pass their father’ family name to the next generation have more right. In Batak Toba community in Pangururan Subdistrict, the inheritance distribution system has changed. Before, the women (theis daughters) did not inherit their fathers’ inheritance but now they do have it. Key words : Heir, Daughter, Batak Toba.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi Nama Tempat / Tanggal lahir Status Alamat
: : : :
TIORISTA Rantauprapat / 24 Desember 1969 Kawin Jl. Mistar, Gang Johar No. 14, Medan
II. Keluarga Nama suami Nama anak
Nama ayah Nama ibu
: Hayata Monro Munthe, ST : 1. Joy Ophelia Munthe 2. Rafael Bagasta Munthe 3. Davin Leonardo Munthe : Jansen Sihaloho (Alm) : Rosinim br. Simarmata (Alm)
III. Pendidikan Tamat tahun 1982, SD Negeri No.112134, di Rantauprapat. Tamat tahun 1985, SMP Negeri No. 1, di Rantauprapat. Tamat tahun 1988, SMEA Negeri, di Rantauprapat. Tamat tahun 2004, S1 Fakultas Hukum, Universitas Medan Area, di Medan. Tamat tahun 2008, S2 Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, di Medan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Sembah sujud dan puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa di tahta-Nya yang Maha Kudus. Penulisan ini dapat diselesaikan bukan karena kemampuan dan kepintaran saya, tapi hanya karena kasih karunia-Nyalah yang menolong saya, sebab Dia-lah sumber pengetahuan dari segalanya. Penulisan tesis ini berjudul “HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (Studi Di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir)”, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan, dorongan masuk, masukan dan saran. Untuk itu disampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat dan amat terpelajar kepada Bapak Komisi Pembimbing: 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, sebagai Anggota Komisi Pembimbing. 2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., merupakan Ketua Program Pascasarjana Magister Kenotariatan. sebagai Anggota Komisi Pembimbing. 3. Syafnil Gani, SH.,M.Hum, sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Atas kesediaannya memberikan bimbingan penulisan yang baik, juga arahan juga petunjuk demi kesempurnaan penulisan tesis ini mulai pemilihan judul hingga hasil penelitian, di mana berkat bimbingan yang diberikan hingga dapat diperoleh hasil yang maksimal. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen penguji yang terhormat dan amat terpelajar yaitu: 1. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A. 2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., M.Hum, C.N.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Atas kesediannya untuk memberikan bimbingan arahan serta masukan maupun saran terhadap penyempurnaan penyelesaian tesis ini, sejak tahap kolokium, selesainya seminar hasil, sehingga penyelesaian tesis ini menjadi lebih terarah. Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan Magister
Kenotariatan di
Universitas Sumatera Utara. 2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan para Asisten Direktris, beserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan studi pada program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi pada program Magister Kenotariatan (MKN). 4. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, selaku mantan Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana, atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn)
Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara. 5. Pada Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya pada Magister Kenotariatan yang telah memberikan pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan studi ini. 6. Para Pegawai / karyawan pada program Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu dengan sepenuh hati, terutama untuk memperlancar wawasan administrasi yang diperlukan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
7. Bapak Christo Efrest Sitorus, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Tarutung, yang telah memberikan bantuan dan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini. 8. Bapak Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), selaku penetua adat, yang telah banyak memberikan bantuan dan informasi tentang adat Batak yang diperlukan dalam penulisan tesis ini dan responden yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 9. Kepada Sahabatku dan rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Teristimewa ucapan terima kasih kepada suami tercinta Hayata Monro Munthe, ST, yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta doa yang tak henti-hentinya, serta menemani dan membantu pengetikan serta mencari bahan literatur kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya, dan juga kepada anak-anakku yang tersayang Joy Ophelia Munthe, Rafael Bagasta Munthe dan Davin Leonardo Munthe. Tak lupa ucapan terima kasih dan sayang penulis kepada orangtuaku
Jansen Sihaloho (Alm) dan Rosinim br. Simarmata
(Alm), dan ibu mertuaku S.br. Siringo-ringo, juga saudara dan iparku: R.br.Haloho/Ir.T.Sitanggang, A.Sihaloho/N.br.Simorangkir, P.Sihaloho/ SW. br.Simarmata, AO.Sihaloho/R.br.Simarmata, PH.Sihaloho, Amd/ D.br.Saragih, SS, FH. Sihaloho, SH, karena berkat doa dan dorongan merekalah, penulis bisa melanjutkan studi S2 (strata dua) pada Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dan akhirnya dapat menyelesaikan tepat pada waktunya. Medan, 28 Agustus 2008 Penulis,
Tiorista
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ...................................................................................................
i
ABSTRACT .................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
v
KATA PENGANTAR.................................................................................
vi
DAFTAR ISI................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii DAFTAR ISTILAH ................................................................................... BAB
xiii
I PENDAHULUAN ...................................................................... 1 A. Latar Belakang .......................................................................... 1 B. Pemasalahan ........................................................................... 7 C. Tujuan Penelitian.................................................................... 7 D. Manfaat Penelitian ................................................................. 8 E. Keaslian Penelitian ................................................................. 8 F. Kerangka Teori Dan Konsepsi................................................ 9 1. Kerangka Teori................................................................ 9 2. Konsepsional ................................................................... 15 G. Metode Penelitian................................................................... 20
BAB
II STRUKTUR KEKERABATAN DALAM KELUARGA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR .......................... 25 A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................... 25 1. Sejarah Berdiri ................................................................ 27
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
2. Penduduk......................................................................... 39 B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba.............. 40 1. Sejarah Batak .................................................................. 40 2. Sistem Kekerabatan......................................................... 41
BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR........................................................ 54 A. Kedudukannya Dalam Keluarga. .......................................... 54 B. Hak Mewaris Anak Perempuan............................................. 62
BAB
IV PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR ........................................................ 81 A. Perkembangan Saat ini.......................................................... 81 B. Penyelesaian Sengketa Warisan............................................ 92
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 104 A. Kesimpulan ........................................................................... 104 B. Saran...................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 106
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
1
Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005 ......................................... 31
2
Struktur Kekerabatan Batak Toba.......................................................... 46
3
Kedudukan Anak Perempuan.................................................................. 61
4
Alasan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris........................................ 70
5
Warisan Yang Diberikan Kepada Anak Perempuan............................... 76
6 Anak Perempuan Termasuk Sebagai Ahli Waris.................................... 88 7
Besarnya Bagian Warisan Untuk Anak Perempuan................................ 89
8
Pembagian Harta Warisan Terhadap Harta Pusaka ................................ 92
9
Sengketa Waris Anak Perempuan........................................................... 100
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul
Halaman
1. Peta Wilayah Samosir ............................................................................ 109
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISTILAH
Anak Arta panjaean Boru Boruki Dalihan Na Tolu Dongan tubu Elek marboru Hagabeon Hamoraon Hasangapon Hasomalon Hela Manat mar dongan tubu Maranak Marhata sinamot Martarombo/martutur Matrilineal Parental Patrilineal Raja parhata Sari matua
Saur matua
Somba mar hula hula Taruhon Umpama/Umpasa
: anak laki-laki/putra. : harta yang diterima/dibawa anak sewaktu mau menikah. : anak perempuan/putri. : putriku : tiga tungku. : kelompok saudara dalam satu marga. : bersikap mengasihi atau menyayangi putri dari semarga. : punya banyak anak. : punya kekayaan. : punya kedudukan. : kebiasaan. : menantu laki-laki. : bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga menurut garis keturunan bapak. : mempunyai anak putra. : membicarakan berapa nilai jual dari seorang anak perempuan yang akan dinikahkan. : menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi. : garis keturunan dari pihak perempuan (ibu). : garis keturunan dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu. : garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak); : juru bicara dalam adat. : sebutan untuk seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga. : sebutan untuk seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu. : bersikap hormat kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu. : mengantar. : pantun.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang berasaskan hukum menjunjung tinggi hukum baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam meningkatkan taraf hidup yaitu menuju suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dibutuhkan pembangunan di berbagai bidang diantaranya di bidang ekonomi dan hukum. Pembangunan di bidang hukum yang dirumuskan dalam Tap MPR Nomor 4 Tahun 1999 adalah: 1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum. 2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender 1 dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. 3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.
Pembangunan di bidang hukum, berawal dari norma-norma yang hidup di tengah-tengah masyarakat, sehingga hukum nantinya mengabdi kepada kepentingan
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi Ketiga, Jakarta, 2005, hal. 353, gender berarti jenis kelamin.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
masyarakat Indonesia. Dari hasil seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di mana salah satu butir yang dirumuskan, menyebutkan: ”Bahwa Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Nasional yang menuju Unifikasi Hukum dan terutama yang akan dilakukan melalui perbuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuh dan berkembangnya Hukum Kebiasaan dan Pengadilan dalam Pembinaan Hukum”. 2
Namun saat ini negara Indonesia belum mempunyai hukum khusus yang mengatur tentang pewarisan secara nasional, karena negara Indonesia terdiri dari beragam suku, adat istiadat, bahasa, agama, sehingga menyulitkan unifikasi hukum waris secara nasional. Oleh karena itu, berlakunya hukum waris tersebut tergantung pada golongan penduduk yang ada terhadap hukum mana
penduduk tersebut
menundukkan diri. Menurut Hilman Hadikusuma bahwa: ”Pada kenyataannya sampai saat ini bagi Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan Timur Asing (Cina) masih tetap berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII-Bab XVIII. Sedangkan bagi warga negara asli masih tetap berlaku hukum waris adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat, yang bersifat patrilinial, matrilineal dan parental/bilateral. Di samping itu bagi keluarga-keluarga Indonesia yang mentaati hukumnya melaksanakan pewarisan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing”. 3
Lebih jauh Von Savigny mengatakan bahwa ”manusia di dunia ini terdiri atas berbagai bangsa dan tiap-tiap bangsa itu mempunyai jiwa bangsa sendiri yang disebut 2
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, 1976, hal. 251. 3 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991, hal. 2.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
volksgeist, jiwa bangsa ini berbeda satu dengan yang lain menurut tempat dan waktu. Semangat atau jiwa bangsa itu terjelma dalam bahasa, adat istiadat dan organisasi sosial”. 4 “Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat”. 5 ”Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang hakiki dari kaidah-kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi”. 6
Bertambah dewasa umurnya maka semakin berkembang pula daya pikirnya, sehingga pada suatu waktu ia akan memerlukan seseorang sebagai pasangan untuk hidup bersama dan untuk membentuk keluarga dalam ikatan perkawinan. Ikatan perkawinan yang mengikat seorang pria dengan seorang wanita menyatukan mereka secara lahir dan batin. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat, yang mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. “Perkawinan adalah hubungan hukum yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang
4
H. Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 41. Ibid. 6 Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 3. 5
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin”. 7 Ikatan lahir ini disebut sebagai hubungan formal yang bersifat nyata baik bagi kedua mempelai, orang lain, atau masyarakat umum. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis UUP) telah mengatur bahwa seorang pria terikat perkawinan secara sah dengan seorang wanita apabila perkawinan mereka tersebut dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya. Setelah pelaksanaan perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya kemudian dalam ayat (2) nya perkawinan tersebut dimohonkan untuk dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Tali perkawinan yang mengikat kedua mempelai secara lahir akan memiliki kekuatan hukum yang pasti dengan terpenuhinya ketentuan dasar perkawinan seperti yang dimaksud di atas. Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kematian merupakan hal yang tak terelakkan bagi manusia. Pada saat kematian itu datang, maka akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si meninggal.
7
Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, Cetakan 1, 1988, hal. 97.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Pewarisan bisa terjadi terjadi bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan mereka yang sah seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUP bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan harus memenuhi Pasal 2 ayat (2) UUP yang menghendaki tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indoenesia dibedakan tiga kelompok yaitu: 1. Susunan kekeluargaan patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak); 2. Susunan kekeluargaan matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu); 3. Susunan kekeluargaan parental, yaitu dimana garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu. 8 Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender 9 , yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang
8
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1987, hal. 129-130. 9 Sr. Alfocine Idarmeiaty Sianturi, Kesetaraan Jender Dalam Semangat Habitus Baru, WKRI, PPU, 2008, hal. 1., Jender adalah suatu konsep tentang perempuan atau laki-laki yang dikonstruksikan (dibentuk) budaya sehingga tidak bersifat universal. Oleh sebab jender tidak universal maka ia dapat berbeda menurut tempat, waktu, golongan masyarakat, perubahan kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan agama. Perbedaan jender antara lain: perempuan lemah, laki-laki kuat; perempuan sabar dan peka, laki-laki berani; perempuan emosional, laki-laki rasional.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”.10 Masyarakat patrilineal
yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli,
Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Sebaliknya, anak perempuannya nantinya akan ”dijual” dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga suaminya. Dalam masyarakat patrilineal khususnya di masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, bahwa anak laki-laki saja yang berhak mewaris karena anak laki-laki nantinya dianggap sebagai generasi penerus marga/clan. Dengan sistem patrilineal ini jelas anak laki-laki sebagai generasi penerus. Sedangkan anak perempuan nantinya akan ikut suaminya kelak, tidak mendapat hak waris, karena dia juga akan menikmati hak dari keluarga suaminya. Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan Batak Toba ?. Maka dalam perkembangan saat ini perlu dilakukan penelitian tentang hak mewaris anak perempuan terhadap harta peninggalan orangtuanya, khususnya di masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
10
James P. Pardede, Berbagi Peran Dalam Mengurangi Angka Kekerasan Terhadap Perempuan, Harian Analisa, tanggal 27 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
B. Permasalahan Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu : 1.
Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?
2.
Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?
3.
Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?
C. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan tesis ini adalah : 1. Untuk mengetahui struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. 2. Untuk mengetahui kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. 3. Untuk mengetahui pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1.
Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk ilmu pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya tentang hukum waris adat pada masyarakat Batak Toba.
2.
Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada tokoh adat, masyarakat serta kepada dunia akademisi dan pemerintah, terkait dalam kedudukan anak perempuan dalam memperoleh harta warisan dalam masyarakat Batak Toba.
E. Keaslian Penelitian Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi di Kecamatan Pangururan-Kabupaten Samosir), belum pernah dilakukan. Namun pada tahun 2003, Herlina Mariaty P., mahasiswa Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan penelitian mengenai “Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan dan Janda Pada Masyarakat Batak Toba di Perkotaan (Suatu Penelitian Di Kelurahan Sudi Rejo II Kecamatan Medan Kota- Kota Medan) yang membahas:
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Bagaimana prinsip dan asas hukum keluarga adat Batak Toba terhadap hak waris anak perempuan dan janda ? 2. Bagaimana perkembangan hak waris anak perempuan dan janda dalam hukum adat keluarga adat Batak Toba dewasa ini ? 3. Bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam menentukan hak mewaris anak perempuan dan janda terhadap harta peninggalan ? Dalam penelitian ini, ada persamaan pembahasan pada butir 2, namun karena penelitian ini bersifat penelitian lapangan (field research) maka hasil penelitian ini akan berbeda. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori adalah “untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi” 11 , dan “satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya”. 12 “Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis” 13 bagi peneliti tentang Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi di Kecamatan Pangururan-Kabupaten Samosir).
11
J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FEUI, Jakarta, 1996, hal. 203. 12 Ibid., hal. 16. 13 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Penelitian ini adalah penelitian yang menyangkut masalah sosial dalam penerapannya dapat menjadi suatu penelitian hukum, sebab penelitian ini berdasarkan penelitian lapangan yang dilihat secara empiris dalam kerangka acuan hukum yaitu hukum waris adat yang hidup 14 dan berkembang di tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Dalam kerangka konsepsionalnya adalah merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan atau konsep-konsep khusus yang akan diteliti yaitu mengenai struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan dalam hak mewaris dan pergeseran hak mewaris dalam masyarakat Batak Toba khususnya di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Menurut Soerjono Soekanto bahwa: “Suatu kerangka konsepsional, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti”. 15 Oleh karena itu, pewarisan berhubungan erat dengan harta perkawinan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang
lingkup kehidupan
manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum dan biasa disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa 14
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988, hal. 16, menurut Soerjono Soekanto bahwa setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan-perubahan yang tidak menarik perhatian orang, ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi dengan lambat, ada yang berjalan dengan sangat cepat, ada pula yang direncanakan, dan seterusnya. Bagi seseorang yang sempat melakukan penelitian terhadap susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lampau, akan tampak perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. 15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indnesia (UI Press), Jakarta, 1984, hal. 132.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Dalam pewarisan masyarakat Batak Toba, anak 16 sejak dalam kandungan sudah dianggap ahli waris, hanya status si anak ditentukan pada saat lahir apakah laki-laki atau perempuan, sebab dalam pewarisan di Batak Toba hanya dikenal ahli waris adalah anak laki-laki, tetapi anak perempuan tidak. Anak perempuan tidak mewaris baik terhadap harta peninggalan/pencaharian maupun harta pusaka. Ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum adat waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris harta peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada umumnya”. 17 Titik tolak anggapan tersebut adalah: a. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual. b. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang meninggal. c. Perempuan tidak mendapat warisan.
16
Bandingkan, HFA. Vollmar, (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989, hal.29 mengatakan: ” ... dalam Hukum Waris; anak yang belum lahir, tetapi diharapkan akan lahir, haruslah diperlakukan sebagai ahli waris juga (Pasal 2 KUH Perdata) .” juga lihat Pasal 836 dan Pasal 899 KUH Perdata. 17 Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978, hal. 65.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Walaupun demikian, kenyataannya anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat patrilineal dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut: a. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki (anak perempuan tidak melanjutkan silsilah). b. Dalam keluarga, istri bukanlah kepala keluarga. c. Anak perempuan tidak dapat mewakili orangtuanya karena ia nantinya masuk dalam anggota keluarga suaminya. Di dalam masyarakat patrilineal khususnya Batak Toba, apabila anak perempuan sudah kawin, ia dianggap tergolong
kelompok suaminya. Dalam
masyarakat Batak Toba, anak perempuan yang sudah kawin menjadi golongan parboru (contohnya: bila ada acara adat, yang salah satu pihak semarga dengan anak perempuan tersebut maka dia menjadi pihak parboru). Namun dalam perkembangannya saat ini, peranan anak perempuan/kaum wanita sudah terlihat di dalam masyarakat baik dalam lapangan keagamaan, lapangan ekonomi, pertanian perdagangan, bahkan menteri dan lapangan lainnya. Akan tetapi walau bagaimanapun masalah tinggi rendahnya kedudukan seorang wanita dapat dilihat dalam peranannya di dalam masyarakat. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang telah meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan Batak Toba yang mamakai marga itu berlaku keturunan patrilienal, maka orangtua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orangtuanya. Akan tetapi anak laki-laki
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
tidak dapat membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian sebaliknya. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa orangtua (pewaris) bebas menentukan untuk membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orangtua yang tidak membedakan kasih sayang kepada anak-anaknya. Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris pada masyarakat Patrilineal, terdiri atas: a. Anak laki-laki. Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta kekayaan, baik harta pencarian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan pewaris dibagi sama di antara para ahli waris. Apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan istri, maka harta pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun istri seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kepada asalnya. b. Anak angkat. Anak angkat hanya berhak atas harta pencaharian/harta bersama orangtua angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak. c. Ayah dan ibu serta saudara-sudara sekandung si pewaris. Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si pewaris yang mewaris bersama-sama. d. Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara-saudara sekandung pewaris dan ayah ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu. e. Persekutuan Adat. Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka harta warisan jatuh kepada persekutuan adat. Berkaitan dengan hukum adat waris yang hanya mengakui anak laki-laki sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Nopember 1961 No.179 K/Sip/1961 telah terjadi upaya ke arah persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan di Tanah Karo, meskipun putusan Mahkamah Agung ini banyak mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal tersebut. Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut, antara lain: a. “Menimbang,
bahwa
keberatan-keberatan
tersebut
berdasarkan
atas
anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap berlaku selaku hukum yang hidup, bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orangtuanya”. b. “Menimbang,
bahwa
Mahkamah
Agung
berdasar
selain
atas
rasa
prikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas warisan, dalam arti, bahwa anak laki-laki sama dengan anak perempuan”. c. “Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orangtuanya”. 2.
Konsepsional Konsepsi adalah : Salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai dan dapat ditemukan suatu kebenaran”. 18 Pengertian hukum waris sampai saat ini baik dalam kepustakaan ilmu hukum
Indonesia dan pendapat para ahli hukum Indonesia menggunakan istilah untuk hukum waris masih berbeda-beda. Seperti Wirjono Prodjodikoro, menggunakan istilah “hukum warisan”. 19 Hazairin, mempergunakan istilah “hukum kewarisan” 20 dan Soepomo menyebutkannya dengan istilah “hukum waris”. 21 Dari istilah yang dikemukakan ketiga para ahli hukum Indonesia, baik tentang penyebutan istilah maupun berkenaan dengan pengertian hukum waris itu sendiri,
18
Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 15. 19 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, hal. 8. 20 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur,an, Tintamas, Jakarta, hal. 1 21 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Universitas, Jakarta, 1996, hal. 72.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
maka dalam penulisan ini lebih cenderung mengikuti istilah dan pengertian dari hukum waris sebagaimana yang digunakan oleh Soepomo. Beberapa pengertian hukum waris sebagai berikut: Soepomo menerangkan bahwa “hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”. Menurut Pitlo bahwa hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka maupun dalam hubungan mereka dengan pihak ketiga. 22
Sedangkan menurut J. Satrio bahwa: Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peratutan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibatakibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaannya yang berwujud; perpindahan dari kekayaan dari si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga. 23
Lebih jauh lagi, B. Ter Haar Bzn memberikan rumusan hukum waris sebagaimana yang dialihbahasakan oleh K.Ng. Soebekti Poesponoto, sebagai berikut “hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad-
22
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1990, hal. 1. 23 J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hal. 8.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. 24 Dari uraian di atas masalah pewarisan terjadi karena: 1) adanya orang yang meninggal, 2) adanya harta yang ditinggalkan, 3) adanya ahli waris. Istilah “hukum waris” mengandung pengertian yang meliputi kaedah-kaedah dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Dalam rangka memahami kaedah-kaedah serta seluk beluk hukum waris perlu diuraikan beberapa istilah yang berkaitan dengan hukum waris, antara lain: a. Waris, istilah ini berarti orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. b. Warisan, berarti sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka. c. Pewaris, berarti orang yang mewariskan. d. Ahli waris, berarti orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka). e. Mewarisi, berarti memperoleh warisan. f. Proses pewarisan, berarti cara atau perbuatan mewarisi atau mewariskan. 25
Berdasarkan hukum adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya akan menjadi harta bersama diantara suami isteri meskipun masih terdapat variasi, misalnya di dalam masyarakat yang patrilineal harta kekayaan yang berasal dari kerabat isteri dalam kawin ambil anak tidak dibenarkan hukum untuk dijadikan 24
K. Ng. Soebakti Poesponoto, Azas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960, hal. 197. 25 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit, hal. 1269.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
sebagai lembaga kekayaan bersama. Misalnya kebiasaan di daerah Jawa, seorang laki-laki yang miskin kawin dengan seorang wanita yang kaya, maka dalam hal ini juga tidak terwujud lembaga kekayaan bersama. Sebab kekayaan yang timbul dalam perkawinan itu dianggap sebagai hasil dari modal kekayaan isteri. Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Harta benda tersebut juga diatur dalam Pasal 35 UUP sampai dengan Pasal 37 UUP. Ada 2 (dua) macam harta benda dalam perkawinan menurut UUP, yaitu: 1) Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami-isteri. 2) Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan. Berdasarkan definisi ayat (1) Pasal 35 UUP yang disebut harta bersama ialah harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami isteri. Asas harta bersama ini pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang biasa disebut harta syarikat. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditemukan, yaitu :
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
a. Menurut Undang-Undang Perkawinan, ada 2 (dua) macam harta benda dalam perkawinan, yaitu : 1) Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami-isteri. 2) Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan. b. Ahli waris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak berhak mewaris. c. Menurut UUP Pasal 65 ayat (1) huruf b menentukan bahwa isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya. d. Kedudukan anak tersebut dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UUP selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah. e. Menurut UUP, yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42), anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43). f. Harta warisan dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah harta bersama yang diperoleh selama perkawinan. (Pasal 35 UUP).
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
g. Pewaris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah seseorang yang telah meninggal dunia. G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Berdasarkan perumusan masalah maka “penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya”. 26 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas. Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif
27
,
deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, 28 dilakukan guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian
26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984, hal. 43. Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 36 : Penelitian Deskripsi pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.. 28 Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 14. 27
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan dan ditetapkan di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, dengan alasan serta pertimbangan sebagai berikut: a. Kecamatan Pangururan merupakan ibukota Kabupaten Samosir yang baru dimekarkan pada tahun 2002. Kecamatan Pangururan berada di tengahtengah pulau Samosir (dikelilingi danau toba). b. Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan masih menjunjung tinggi hukum adat termasuk hukum waris adat. c. Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan relatif banyak melakukan urban 29 ke Kota Medan dan kota besar lainnya. 3. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah seluruh orang Batak Toba yang bertempat tinggal di Kecamatan Pangururan dari 28 desa/kelurahan yang ada di kecamatan tersebut diambil 5 desa/kelurahan sebagai desa sampel. Responden penelitian adalah orang yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan permasalahan di atas. Dari jumlah populasi 28.428 jiwa yang dijadikan responden sebanyak 30 orang.
29
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 1252, urban berarti perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Responden tersebut di 5 (lima) Desa. Penetapan responden tersebut dilakukan melalui penarikan
sampel
yang
bersifat
purposive
sampling 30 ,
yaitu
berdasarkan
pertimbangan peneliti antara lain data responden dianggap dapat terwakili dan lokasi penelitian yang luas, adanya keengganan masyarakat untuk dijadikan responden. Tehnik ini dipergunakan untuk memperoleh informasi dan data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, oleh karena itu dari 5 (lima) desa diambil responden secara merata. Penetapan lokasi dilakukan berdasarkan pada pertimbangan dana, tenaga dan waktu yang terbatas. Dalam mendukung data primer, diperlukan informan yaitu: a. Hakim Pengadilan Negeri 1 (satu) orang : Christo Efrest Sitorus, b. Tokoh Adat 3 (tiga) orang: Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho). 4.
Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
2 (dua) cara yaitu :
30
Ronny Hamitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 51, Purposive sampling atau penarikan sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu. Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama, b. Subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi, c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi pendahuluan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca, mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundangundangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Penelitian lapangan (field research), yaitu dilakukan dengan menghimpun data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada responden maupun informan, dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas terstruktur, agar lebih mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti. 5. Alat Pengumpulan Data Alat untuk mengumpulkan data dilakukan dengan: a. Studi dokumen, yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi dokumen dilakukan atas dokumen seperti segala peraturan, buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan hukum waris adat Batak Toba. b. Wawancara langsung, yaitu dengan menjumpai pihak-pihak yang terkait yang berhubungan dengan permasalahan ini seperti hakim, dan tokoh adat. Sebelum dilakukan wawancara maka terlebih dahulu membuat pedoman wawancara agar pelaksanaan di lapangan menjadi lancar. c. Kuisioner yaitu dengan mempergunakan pedoman pertanyaan yang diberikan kepada responden.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
6. Analisis Data Data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan tersebut dianalisis dengan cara kualifikasi sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa data tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang dapat diamati.31 Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan dipilah-pilah dan dilakukan pengolahannya, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis. Maka diketahui struktur kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka diperoleh suatu kesimpulan sebagai jawaban atas segala permasalahan hukum yang diteliti.
31
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001,
hal. 3.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB II STRUKTUR KEKERABATAN DALAM KELUARGA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Van Vollenhoven merupakan peletak dasar ilmu Hukum Adat, menjadi pembangun dan pembina sistem pelajaran Hukum Adat. Ada 3 (tiga) hal penting karya van Vollenhoven di bidang Hukum Adat yaitu: 1. menghilangkan kesalahan faham yang melihat Hukum Adat identik dengan Hukum Agama (Islam). 2. membela Hukum Adat terhadap usaha pembuat undang-undang untuk mendesak atau menghilangkan Hukum Adat, dengan menyakinkan badan tersebut bahwa Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, mempunyai jiwa dan sistem sendiri. 3. membagi wilayah Hukum Adat Indonesia dalam 19 (sembilan belas) lingkungan Hukum Adat (adatrechtskringen). 32 Adapun pembagian wilayah Lingkungan Hukum Adat dalam 19 (sembilan belas) wilayah yang dibuat oleh van Vollenhoven tersebut adalah: 1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeulue). 2. Tanah Gajo, Alas dan Batak: a. Tanah Gajo (Gajo Lueus); b. Tanah Alas; c. Tanah Batak (Tapanuli): 1). Tapanuli Utara: a). Batak Pakpak (Barus); b). Batak Karo; c). Batak Simalungun; d). Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Djulu). 2). Tapanuli Selatan: a). Padan Lawas (Tano Sapandjang); b). Angkola; c). Mandailing (Sayurmatinggi). 32
Iman Soediyat, Asas-Asas Hukum Adat, Gajah Mada, Yogyakarta, 1969, hal. 51.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
2.a Nias (Nias-Selatan). 3. Tanah Minangkabau (Padang Agam, Tanah Dadatar, Lima piluhu Kota, Tanah Kampar, Korintji). 3.a Mentawai (orang Pagai). 4. Sumatera Selatan: a. Bengkulu (Redjang); b. Lampong (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulung Bawang); c. Palembang (Anak Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Semendo); d. Jambi (Batin dan Penghulu). 4.a Enggano. 5. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumaterea Timur, orang Bandjar). 6. Bangka dan Belitung. 7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam Hulu, Pasir, Dayak Kenja, Dayak Klemanten, Dajak Landak dan Dayan Tajan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timai, Long Glatt, Dayak Maanjan Patai, Dayak Maanjan Siung, Dayak Ngadju, Dayak Ot Danun, Dayak Penjabung Punan). 8. Minahasa (Menado). 9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo). 10. Tanah Toradja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai). 11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Salaiar, Muna). 12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kepulauan Sula). 13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Aru, Kisar). 14. Irian. 15. Kepulauan Timur (Gugus Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sawu, Bima). 16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Djembrana, Lombok, Sumbawa). 17. Djawa Tengah, Djawa Timur serta Madura (Djawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Djawa Timur, Surabaya, Madura). 18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta). 19. Djawa Barat (Priangan, Sunda, Djakarta, Banten). 33 Pembagian tersebut bersifat sementara, karena dewasa ini telah terjadi tukar menukar anggapan para anggota berbagai persekutuan Hukum Adat makin lama
33
Iman Soediyat, Ibid, hal. 52-53.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
makin bertambah, dan dengan sendirinya perbedaan antara hukum berbagai persekutuan hukum adat akan hapus atau berkurang. “Di berbagai belahan dunia, banyak komunitas-komunitas adat harus tersungkur di tanah leluhur mereka. Demikian juga dengan nasib hidup jutaan masyarakat adat di bumi Indonesia. Kita lihat masyarakat Jumma People di Chittagong Hill, Bangladesh; Chin dan Karen di perbatasan Thailand, Kamboja dan Burma; Cordilera di Philipina; Orang Asli di Malaysia; Orang Monk di Thailand; dan komunitas-komunitas masyarakat adat dari Sumatera sampai Papua, penindasan dan pelecahan atas hak-hak meerka masih terus berlangsung sampai detik ini”. 34
Menurut Iman Sudiyat hal ini terjadi “karena pengaruh kota-kota besar dan makin meresapnya keinsafan serta kesadaran nasional sebagai warga dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, di samping juga resepsi hukum eropa dan keinginan untuk mengadakan unifikasi hukum
di Indonesia”. 35 Lebih jauh, Iman Sudiyat
mengatakan bahwa “perbedaan tersebut bukanlah suatu perbedaan asasi, melainkan hanya perbedaan kedaerahan (lokal) belaka”.36 1. Sejarah Berdiri 37 Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, telah mendorong munculnya aspirasi masyarakat di daerah untuk membentuk Kabupaten/Kota baru yang bersifat otonom. Sebab dengan status
34
The International Day of World’s Indigenous Peoples: Momentum Pemajuan Hak Masyarakat Adat di Indonesia, 9 Agustus 2006, tanpa hal. 35 Iman Soediyat, Ibid, hal. 53. 36 Iman Soediyat, Ibid, hal. 53. 37 Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
daerah otonom baru, diharapkan akan memperoleh peluang untuk mengurus daerahnya sendiri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu Kabupaten yang menjadi agenda pemekaran Kabupaten Toba Samosir adalah membentuk Kabupaten Samosir, yang berada di tengah-tengah Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu kajian peningkatan pemekaran Kabupaten Toba Samosir dengan melahirkan calon Kabupaten Samosir perlu segera dilakukan, mengingat sudah waktunya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Oleh karena itu, kajian dan penelitian data perlu dilakukan untuk mendapatkan penilaian objektif dengan berdasar pada ketentuan yang berlaku mengingat bahwa pengelolaan potensi kekayaan yang ada di daerah memerlukan kajian dan pengaturan yang rasional, profesional dan bertanggung jawab sesuai dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing. Aspirasi masyarakat untuk memekarkan Kabupaten Samosir menjadi 2 (dua) Kabupaten, didasarkan pada desakan masyarakat wilayah Samosir dan DPRD Kabupaten Toba Samosir, maka Kabupaten Toba Samosir diusulkan dan direncanakan pemekarannya yaitu: a. Kabupaten Toba Samosir (Induk) terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan yaitu
Kecamatan
Balige,
Laguboti,
Silaen,
Habinsaran,
Porsea,
Lumbanjulu, Uluan, Pintu Pohan Meranti, Ajibata, dan Kecamatan Borbor.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
b. Kabupaten Samosir (Calon) terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan yaitu Kecamatan Pangururan, Sianjur, Mulamula, Simanindo, Nainggolan, Onan Runggu, Palipi, Ajibata, dan Sitio-tio. Sesuai dengan aspirasi dan argumentasi masyarakat yang disampaikan kepada DPRD Kabupaten Toba Samosir dan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir serta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah ditindaklajuti aspirasi masyarakat tersebut dengan: Keputusan DPRD Kebupaten Toba Samosir Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir tanggal 20 Juni 2002. Surat Bupati Toba Samosir Nomor 1101/Pem/2002 tanggal 24 Juni 2002 yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara. Surat Bupati Toba Samosir Nomor 135/1187/Pem/2002 tanggal 3 Juli 2002 perihal laporan tentang aspirasi masyarakat Samosir untuk membentuk Kabupaten Samosir, yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara. Setiap argumentasi dan usulan DPRD dan Bupati Toba Samosir, usulan ini diakomodir dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai tanggal 18 Desember 2003. Terbentuknya Samosir sebagai kabupaten baru merupakan langkah awal untuk melalui percepatan pembangunan menuju masyarakat yang lebih sejahtera. Tujuan pembentukannya adalah untuk menegakkan kedaulatan rakyat dalam rangka perwujudan sosial, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan untuk merespon serta merestrukturisasi jajaran pemerintahan daerah dalam rangka mempercepat proses pembangunan sehingga dalam waktu yang cukup singkat dapat sejajar dengan kabupaten lainnya, sehingga secara langsung akan mengangkat harkat hidup
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
masyarakat yang ada di Kabupaten Samosir pada khususnya, Provinsi Sumatera Utara pada umumnya. Luas wilayah Kabupaten Samosir secara keseluruhan mencapai 254.715 Ha, terdiri dari daratan seluas 144.455 Ha dan perairan danau seluas 110.260 Ha. Luas dan batas perairan di kawasan Danau Toba belum ada ketentuan yang pasti. Namun mengingat Pulau Samosir tepat berada dan dikelilingi oleh Danau Toba, secara proporsional luas perairan Danau Toba yang menjadi bahagian daerah Kabupaten Samosir sewajarnyalah merupakan bahagian yang terluas dibandingkan dengan enam kabupaten-kabupaten lainnya di sekeliling perairan Danau Toba. Posisi geografis Kabupaten Samosir berada pada 2°24’ - 2°45’ Lintang Utara dan 98°21’- 99°55’ BT. Secara administratif wilayah Kabupaten Samosir diapit oleh tujuh kabupaten, yaitu: Sebelah Utara
: Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun,
Sebelah Timur
: Kabupaten Toba Samosir,
Sebelah Selatan
: Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbahas,
Sebelah Barat
: Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat.
Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan, 6 kecamatan berada di Pulau Samosir di tengah Danau Toba dan 3 kecamatan di daerah lingkar luar Danau Toba tepat pada punggung pegunungan Bukit Barisan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, Kecamatan Pangururan yang merupakan bagian dari Wilayah Kabupaten Samosir ( juga merupakan salah satu dari 19 (sembilan belas) Lingkungan Hukum Adat di atas).
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Berdasarkan data statistik luas wilayah Kabupaten Samosir yang dibagi menurut daerah masing-masing adalah sebagai berikut: Tabel 1. Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005 No.
Kecamatan
LuasWilayah (km2)
Rumah Tangga (KK)
Penduduk (jiwa)
Kepadatan (org/km2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sianjur Mula-mula Harian Sitio-tio Nainggolan Onan Runggu Palipi Pangururan Ronggur Nihuta Simanindo JUMLAH
140,24 394,60 249,31 87,86 59,14 143,40 84,65 87,15 198,20 1.444,25
2.131 2.354 2.250 2.920 2.566 2.189 5.369 1.717 4.158 25.654
10.367 11.556 10.960 18.153 14.164 12.086 24.817 7.350 20.625 130.078
74 29 61 207 239 161 293 84 104 90
Sumber: Kantor Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005.
a. Kondisi Sosial Budaya Kondisi kependudukan maupun keadaan sosial budaya masyarakat di Kabupaten Samosir mempunyai karakter yang khas yang memegang teguh kebudayaan dan agama serta adat istiadat yang ada di daerah tersebut. Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan dengan jumlah penduduk Tahun 2004 sebanyak 130.078 jiwa (63.741 orang laki-laki dan 66.337 orang perempuan). Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Samosir secara umum adalah sekitar 90 jiwa/km2, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Pangururan sebanyak 293 jiwa/km2, sedangkan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Harian sebesar 29 jiwa/km2. b. Pertumbuhan Penduduk. Berdasarkan angka hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) tahun 2003, jumlah penduduk Kabupaten Samosir berjumlah
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
119.254, sedangkan jumlah penduduk tahun 2004 berjumlah 130.078, dengan demikian laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 2003 - 2004 adalah 9 persen. c. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin. Berdasarkan kelompok umur, penduduk Kabupaten Samosir tergolong dalam struktur umur muda. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk usia muda (0-14 tahun ) yang cukup besar, yaitu 36,72 persen. Besaran penduduk usia muda dan usia lanjut (65 + tahun ) merupakan beban tanggungan bagi penduduk usia produktif (1464 tahun ), di mana persentase penduduk usia produktif tahun 2003 sebesar 55,46 persen. Hal ini memberikan implikasi bahwa kelompok umur muda perlu mendapatkan perhatian dan pengembangan sehingga mampu menghasilkan tenagatenaga terampil dan mandiri untuk mengisi pembangunan di masa yang akan datang. Besarnya jumlah penduduk usia muda ini, berimplikasi pada beban tanggungan penduduk usia produktif juga semakin besar. Secara kasar angka ini dapat digunakan sebagai indikator pengukur kemajuan ekonomi suatu daerah. Rasio ini menyatakan perbandingan penduduk berusia dibawah 15 tahun dan diatas 65 tahun yang dianggap tidak produktif secara ekonomi dengan jumlah penduduk berusia 15 sampai 65 tahun yang dianggap produktif secara ekonomi. Makin tinggi rasio beban tanggungan berarti semakin kecil jumlah penduduk produktif dan semakin banyak sumber daya yang harus dibagikan kepada kelompok tidak produktif. Beban tanggungan anak di Kabupaten Samosir pada tahun 2003 sebesar 75,08 dan beban tanggungan usia lanjut sebesar 5,21. Hal ini bahwa setiap 100 orang penduduk
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
usia produktif menanggung sekitar 75,08 orang anak dan 5,21 orang usia lanjut. Dengan kata lain bahwa beban tanggungan di Kabupaten Samosir masih cukup besar yaitu mencapai 80,29. Tingginya beban tanggungan ini diduga akibat adanya perpindahan penduduk usia produktif ke daerah lain dengan tujuan bekerja atau melanjutkan sekolah. d. Distribusi menurut Tingkat Pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan dapat dirasakan sebagai penghambat dalam pembangunan. Dengan demikian, tingkat pendidikan sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Keadaan seperti ini sesuai dengan hakekat pendidikan itu sendiri, yakni merupakan usaha sadar untuk pengembangan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Keadaan tingkat pendidikan yang ditamatkan di Kabupaten Samosir berdasarkan hasil Susenas 2003, menunjukkan persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang berhasil menamatkan pendidikan SD sampai dengan perguruan Tinggi sebesar 76,40 persen, selebihnya sekitar 23,60 persen adalah mereka yang berpendidikan SD ke bawah (3,60 persen yang tidak/belum pernah bersekolah dan 20,00 persen yang tidak/belum tamat SD). Dari mereka yang telah menamatkan paling tidak SD tersebut, hanya sekitar 1,50 persen yang tamat diploma/Sarjana dan 50,80 persen tamat pendidikan menengah (21,20 persen tamat SMTP dan 29,60 persen tamat SMTA). Di satu sisi, dari setiap 1.000 orang berusia 10 tahun ke atas, sekitar 15 orang diantaranya berpendidikan Tingkat Diploma hingga sarjana.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Keadaan ini dapat dianggap rendah, hal ini sangat mungkin disebabkan oleh migrasi penduduk yang telah menyandang gelar Diploma atau sarjana untuk mencari pekerjaan
atau
penghidupan
yang
lebih
layak
ke
daerah/kota
lain.
e. Agama. Walaupun Mayoritas jumlah penduduk di Kabupaten Samosir adalah Agama Kristen Protestan dan Agama Katolik, namun kerukunan antara umat beragama tumbuh dan berkembang dengan baik untuk menunjang Pembangunan Daerah Kabupaten Samosir, serta diupayakan perbaikan prasarana dan sarana ibadah keagamaan sesuai dengan perkembangan umat beragama di Kabupaten samosir. f. Etnis dan Suku. Jumlah Etnis dan Suku yang ada di Kabupaten Samosir adalah 6 etnis (Batak Karo, Batak Simalungun, Nias, Jawa, Minang, Batak Toba). g. Angka Kemiskinan. Jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dalam kurun waktu 20002004. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 23 % penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, keadaan ini mengalami kenaikan menjadi 41 % pada tahun 2004 atau naik sekitar 18 %. Secara absolut jumlah penduduk miskin pada periode 2000-2004 mengalami kenaikan sebesar 20.070 Jiwa. h. Angka Pengangguran. Untuk memberikan gambaran mengenai ketenagakerjaan di Kabupaten Samosir, maka secara singkat keadaan ketenagakerjaan dilihat dari penduduk usia
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Penduduk usia kerja (10 keatas) digolongkan sebagai: 1) Angkatan kerja, bila mereka bekerja atau mencari pekerjaan dan secara ekonomis berpotensi menghasilkan out-put atau pendapatan, dan; 2) Bukan angkatan kerja, bila mereka bersekolah, mengurus rumah tangga, dan lainnya. Semakin tinggi Tingkat Partipasi Angkatan Kerja (TPAK) berarti semakin besar keterlibatan penduduk usia 10 tahun keatas dalam pasar kerja. “Persentase penduduk usia kerja di Kabupaten Samosir yang bekerja adalah sebesar 80,16 %, dimana pria sebesar 79,71 % dan wanita sebesar 80,57 % sedangkan penduduk usia kerja yang mencari kerja adalah sebanyak 0,83 %. TPAK Samosir berdasarkan hasil Susenas 2003 adalah sebesar 81,82 %. TPAK laki-laki lebih tinggi dari TPAK wanita, hal ini berarti bahwa penduduk laki-laki lebih besar terlibat bahwa penduduk laki-laki lebih besar terlibat dalam pasar kerja. Adapun TPAK Laki-laki sebesar 81,18 dan TPAK wanita 80,80. Tingkat pengangguran terbuka penduduk laki-laki sebanyak 1,85 % dan penduduk wanita sebesar 0,29 %, sehinggga tingkat pengangguran terbuka secara umum sebesar 1,04%”. 38
i. Kinerja Sektor 1). Pertanian. Salah satu pilar pembangunan Pemerintah Kabupaten Samosir adalah terciptanya “pertanian yang maju” Hal ini menunjukan tekad dan kemauan Pemerintah Kabupaten Samosir dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagian besar penduduk Kabupaten Samosir menggantungkan hidupnya dari sector ini. Sektor pertanian menjadi andalan dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Tahun
38
Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
2003 sektor peretanian memberi kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan PDRB Kabupaten Samosir, yaitu 55,47 persen. Untuk luas lahan sawah dan lahan kering menurut kecamatan di Kabupaten Samosir tahun 2002, Pangururan merupakan kecamatan dengan luas lahan sawah dan lahan kering terluas, yaitu mencapai 21.972 Ha. Sedangkan Simanindo merupakan yang memiliki luas lahan baik sawah dan lahan kering terkecil, yaitu 1.183 Ha. 2). Perikanan. Kegiatan usaha perikanan umumnya dikelola dan diusahakan masyarakat sebagai usaha rumah tangga. Budidaya ikan merupakan salah satu usaha perikanan yang cukup potensial di Kabupaten Samosir. Kegiatan budidaya ini biasanya dilakukan di kolam, sawah, kolam air deras, jaring apung dan usaha tempat pembenihan. Di Kabupaten Samosir jenis budi daya yang memiliki lahan terluas adalah jaring apung dengan luas 2.808 ha. Sedangkan untuk produksi ikannya, dari jaring apung dihasilkan ikan sebanyak 615,06 ton, dari sawah sebanyak 9,10 ton dari kolam sebanyak 4,88 ton. 3). Perkebunan. Untuk mengopotimalkan hasil perkebunan rakyat perlu adanya peningkatan usaha peremajaan dan rehabilitasi perkebunan rakyat, peningkatan intensifikasi tanaman perkebunan, pengadaan bibit unggul, pengendalian hama dan penyakit terpadu, mengadakan penyuluhan secara terpadu, perluasan areal perkebunan, meningkatkan pemasaran hasil perkebunan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
“Kopi merupakan komoditi yang diminati masyarakat, hal ini terlihat dari luasnya areal yang ditanami dibanding dengan tanaman perkebunan lainnya. Tahun 2003 luas tanaman kopi seluas 835,7 Ha, dengan produksi yang dihasilkan sebesar 469,2 ton dan produktivitas 561,4 kg/ha. Luas tanaman kelapa tahun 2003 seluas 348,5 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 41,38 ton dan produktivitas 118,7 kg/ha. Luas tanaman kulit manis tahun 2003 seluas 6,74 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 3,45 ton dan produktivitas 511,9 kg/ha. Luas tanaman kemiri tahun 2003 seluas 341 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 102,2 ton dan produktivitas 299,7 ka/ha. Sedangkan luas tanaman kakao tahun 2003 seluas 2,15 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 0,932 ton dan produktivitas 433,5 kg/ha. Industri dan Perdagangan”. 39
Dari struktur organisasi lembaga dinas dan teknis di Kabupaten Samosir untuk sector industri dan perdagangan di tangani langsung oleh Dinas Perindustrian, Pertambangan, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Samosir. Sesuai dengan rencana strategis, maka prioritas pembangunan adalah Penataan dan pengembangan sektor industri, perdagangan, pertambangan, jasa, koperasi, usaha kecil dan usaha menengah dalam rangka penumbuhan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat. Serta penataan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup melalui pemanfaatan ruang dan wilayah serta pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan terutama kawasan hutan dan perairan Danau Toba. Dari penjelasan di atas, yang telah dan akan dilakukan Instansi terkait khususnya Dinas Perindustrian, Pertambangan, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah,
Pengendalian
Dampak
Lingkungan
Kabupaten
Samosir
adalah
mengembangkan industri hasil hutan (Agroforestri), meningkatkan pembinaan 39
Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
industri kecil dengan mengadakan pelatihan kepada pelaku usaha yang tergabung dalam UKM dan Koperasi dengan pemanfaatan tehnologi tepat guna untuk meningkatkan produktivitas dan mendatangkan para Pakar dari Departemen dan Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk memberikan pemahaman tentang perencanaan usaha dan melakukan studi kelayakan usaha. Untuk menjaga kelestarian alam lingkungan kawasan hutan dan perairan Danau Toba perlu mengadakan penataan pembuangan air limbah, pengendalian dan pemanfaatan enceng gondok di kawasan Danau Toba, penanggulangan lahan kritis/gundul, pencegahan penebangan liar, penataan sanitasi perkotaan. 4). Pariwisata. Potensi yang dimiliki Kabupaten Samosir, seperti kekayaan sumber daya alam (hutan, barang tambang), panorama yang indah dan keunikan Danau Toba serta kekayaan seni budaya dapat dijadikan objek pariwisata yang menguntungkan. Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada peningkatan kegiatan pariwisata untuk menggalakkan kegiatan perekonomian, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat serta penerimaan devisa bagi kabupaten. Pemerintah Kabupaten Samosir sangat peduli terhadap pembangunan sektor ini untuk menjadikan “Pariwisata yang indah di Samosir”. Tersedianya prasarana seperti hotel dan akomodasi menjadi faktor yang sangat penting dalam mendukung pembangunan kepariwisataan. Jumlah hotel di Kabupaten Samosir tahun 2003 sebanyak 86 buah, dengan 1.365 kamar dan 2.803 tempat tidur. Konsenterasi hotel dan akomodasi terbanyak terdapat di Kecamatan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Simanindo dengan 77 hotel dengan 1.241 kamar dan 2.553 tempat tidur. Hal ini karena Kecamatan Simanindo merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang menarik di Kabupaten Samosir. Berikut data Jumlah Hotel dan akomodasi di Kabupaten Samosir. Untuk menarik daya minat wisatawan dalam dan luar negeri (mancanegara) perlu melakukan pemanfaatan tempat bersejarah sebagai tempat wisata, penggalian cagar budaya sebagai objek wisata, pembinaan seni tradisionil sebagai hiburan bagi wisatawan lokal dan asing/mancanegara, pemeliharaan rumah ibadah inkulturatif batak, dan melakukan peningkatan pesona wisata. Salah satu diantaranya adalah Kecamatan Pangururan yang berada di pulau Samosir. 2. Penduduk Wilayah Kecamatan Pangururan yang luasnya 121,43 km2, yang terbagi dalam 25 desa dan 3 kelurahan. Wilayah ini berbatasan dengan: Sebelah Utara
: Kecamatan Simanindo.
Sebelah Selatan
: Kecamatan Palipi.
Sebelah Barat
: Kecamatan Sianjur Mulamula.
Sebelah Timur
: Kecamatan Ronggur Nihuta.
Penduduk di Kecamatan Pangururan adalah mayoritas Batak Toba, yang kebanyakan beragama Kristen Protestan dan Agama Katolik, yang berdasarkan tahun 2006 jumlah penduduk diperkirakan 28.428 jiwa 40 , dengan perbandingan jumlah
40
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, Pangururan Dalam Angka 2006.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
penduduk laki-laki 49,09 % dan perempuan 50,91%, sedangkan jumlah rumah tangga diperkirakan 5.635 rumah tangga. B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba 1. Sejarah Batak Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara para penulis sejarah mengenai pengertian nama “Batak”. Menurut Batara Sangti bahwa “bila ada buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya secara subyektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad). 41 “Perkataan nama “Negeri Batak” telah kedapatan juga dahulu kala di tanah Melayu (sebelum ada terjadi Kesultanan Malaka, BS). Asal kata Batak lebih besar kemungkinannya datang dari kata “Bataha”, sebagai nama salah satu kampung/negeri di Burma/Siam dahulu kala sebagai kampung/negeri asal orang Batak sebelum berserak kekepulauan nusantara. Dus dari kata “Bataha” kemudian beralih menjadi kata “Batak”.” 42
Menurut sejarah Batak bahwa tempat perkampungan leluhur suku bangsa Batak yang pertama adalah berada di tepi sungai danau Toba yang bernama Si Anjur Mula-Mula, dari tempat ini tersebar turunan suku bangsa Batak ke seluruh penjuru tanah Batak. Orang Batak Toba menganggap bahwa mereka berasal dari satu keturunan nenek moyang (geneologis) yang sama yaitu Si Raja Batak, bahwa Si Raja Batak ini adalah turunan dari Mula Jadi Na Bolon, yang mula-mula tinggal di Si Anjur MulaMula pada Gunung Pusuk Buhit dekat Pangururan di pulau Samosir.
41
Batara Sangti, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997, hal. 17. Batara Sangti, Ibid, hal. 26.
42
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Anak dari Si Raja Batak ada 2 orang yaitu: a. Guru Tatea (Satia) mempunyai 9 anak yaitu: 1) Putra 5 orang, yaitu: a). Saribu Raja, b). Limbong Mulana, c). Sagala Raja, d). Malau Raja, e). Raja Biak-biak 2) Putri 4 orang, yaitu: a). Boru Paromas, b). Boru Pareme, c). Boru Bidang Laut, d). Nan Tijo. b.Raja Isombaon (Naga Sumba) mempunyai 3 orang putra, yaitu: 1) Tuan Sori Mangaraja, 2) Raja Asi-asi, 3) Sangkar Som-Alidang.
Maka dari turunan Si Raja Batak sudah mulai memakai marga, pada mulanya nama itulah yang kemudian menjadi marganya sehingga banyak terdapat margamarga pada orang Batak. 2. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan menganut sistem garis keturunan patrilineal (garis keturunan pihak ayah). Dari garis keturunan ayah tersebut dikenal kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga 43 merupakan suatu bentuk kelompok yang turun-temurun
mulai dari 1 (satu) kakek yang terikat dengan
pertalian darah. Lebih jauh, J.C. Vergouwen bahwa: ”marga adalah kelompok orangorang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan
43
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, 2005, hal. 715. Menyebutkan marga adalah kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal. Semua anggota dari satu marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecil.” 44 Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan yang lainnya dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atas mereka yang dalam bahasa Batak disebut “martarombo” atau ”martutur” adalah dengan marga. ”Perkataan marga berasal dari bahasa sansekerta yang artinya jalan atau, satu arah, satu keturunan sedarah dan satu lingkaran adat”. 45 Menurut Djaren Saragih bahwa ”pada masyarakat Batak Toba marga ini sangat penting karena nama panggilan seseorang adalah marganya, bukan namanya. Jadi kalau orang Batak yang baru pertama kalinya bertemu yang ditanya adalah marganya bukan namanya, bukan tempat asalnya. Orang Batak hanya memanggil nama hanya kepada anak-anak. 46 Dalam kehidupan sehari-hari, marga sangat berguna bagi orang batak, antara lainnya: a. mengatur tata pergaulan, b. mengatur tata cara adat, c. mengatur hubungan kekeluargaan. 47 Ada beberapa marga yang dominan dijumpai di Kecamatan Pangururan, di antaranya marga Simbolon, Sitanggang, Naibaho, Simarmata. 44
J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta, 1986, hal.
9. 45
T.M. Sihombing, Filsafat Batak (tentang kebiasasan-kebiasaan adat istiadat), Balai Pustaka, Jakarta 1986, hal. 57. 46 Djaren Saragih, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), Tarsito, Bandung, 1980, hal. 9. 47 Jailani Sihotang dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (tata cara perkawinan di Toba), Mars 26, Jakarta, 1988, hal. 9.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Pada masyarakat Batak Toba dikenal 3 (tiga) warna yaitu merah, hitam dan putih dengan istilah 3 (tiga) bolit, artinya bahwa alam semesta terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu Banua Toru, Banua Tonga dan Banua Ginjang. Penguasa Banua Toru ialah Batara Guru, Penguasa Banua Tonga ialah Debata Sori dan Penguasa Banua Ginjang ialah Mengala Bulan. Kegiatannya dikenal dengan sebutan "Debata Si Tolu Sada". Pembagian alam ini sangat berpengaruh terhadap kebudayaan Batak antara lain : a. Rumah adat Batak terdiri dari Bara, Bagas, dan Bonggar. b. Ornamen (gorga) Batak terdiri dari 3 (tiga) warna c. Bonang manalu terdiri dari 3 (tiga) warna d. Talitali (berbentuk topi) juga terdiri dari 3 (tiga) warna e. Dalihan Na Tolu: somba Marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek marboru. Di kalangan masyarakat batak ”Dalihan Na Tolu” mengandung makna yaitu ”Somba mar hula hula”, “Elek marboru” dan ”Manat mar dongan tubu”. Artinya ketiga pola inilah yang menjadi dasar atau pedoman dalam kehidupan sosial maupun kegiatan lainnya di masyarakat batak. Dilihat dari posisi “Dalihan Na Tolu”, terdapat perbedaan struktural dan bahkan perbedaan prinsip (pendapat), akan tetapi melalui peran “Dalihan Natolu” seluruh aspek kegiatan tetap mengacu kepada hasil yang terbaik. Menurut S. Sagala, bahwa Dalihan Na Tolu mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai suatu sistem kekerabatan, pergaulan dan kesopanan, sosial hukum
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
(adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah hidup masyarakat Batak. 48
Dalam
berhubungan dengan orang lain, orang Batak menempatkan dirinya dalam susunan Dalihan Na Tolu tersebut, sehingga selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan di antara sesamanya (martutur, martarombo). ”Somba mar hula hula”, berarti bersikap hormat kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu. Hula-hula diibaratkan seperti mata ni ari binsar yang artinya memberikan cahaya hidup di segala bidang, yang harus dihormati karena diangggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. “Elek marboru” berarti bersikap mengasihi atau menyayangi putri/boru dari semarga (yang termasuk kelompok boru adalah pihak keluarga Hela termasuk orang tuanya dan keturunannya, setelah anak perempuannya kawin, ia akan ikut dengan marga suaminya),
dan
”Manat mar dongan tubu” berarti bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga, teman semarga adalah teman untuk menjalankan maupun menerima adat (semarga menurut garis keturunan bapak). Menurut Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), Pengetua Adat bahwa ”Budaya Dalihan Na Tolu perlu dilestarikan jangan sampai punah dengan cara mewariskan kepada generasi muda khususnya pemuda Batak, karena budaya ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia.” 49 Dalihan Na Tolu juga berfungsi menyelesaian perselisihan di antara suami istri, bersaudara dan juga dalam acara pernikahan, sehingga Dalihan Na Tolu sebagai falsafah batak masih dipertahankan. Dalihan Na Tolu harfiah adalah “tiga tungku sejarangan”. Ini
48
S. Sagala, Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor. 8, 1996, Yayasan Budaya Batak, Medan, hal. 46. 49 Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
merupakan sistem kekerabatan adat Batak yang terdiri dari hula-hula (bride giver), boru (bride taker) dan dongan tubu (kelompok saudara dalam satu marga). Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli). Menurut Pengetua Adat Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho) bahwa: ”3 (tiga) unsur Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ditambah lagi satu lagi burju mardongan sahuta (berhubungan baik dengan teman sekampung), jika tidak baik akan dikucilkan di tengah-tengah masyarakat”. 50 Sejalan juga dengan pendapat Pengetua Adat Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon) yang mengatakan ”Sebuah keluarga kurang burju/baik di lingkungannya terlihat dari kurang kompaknya anggota masyarakat di sekitar itu bila ada sebuah keluarga membuat suatu acara adat/pesta”. 51 Dengan
Dalihan Na Tolu merupakan suatu
kerangka yang sangat baik, bagaimana orang Batak berinteraksi dengan lingkungannya, yang kaya dengan sistem nilai yang baik dan dapat bertahan sepanjang zaman. Karena, sistem nilai yang ada di dalamnya sangat universal dengan 50
Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), Pengetua Adat di Pangururan,
Op.Cit. 51
Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
nilai-nilai religius yang sangat dalam. Akar dari sistem nilai Dalihan Na Tolu adalah kerendahan hati. Menurut Saudin Sitanggang, Pengetua Adat (dipanggil Ama Salam Sitanggang) bahwa: ”bagaimana tidak, seorang orang Batak harus hormat sama ”hula-hula”nya, tanpa syarat. Tidak dikatakan, hormatilah hula-hulamu, kalau dia kaya, punya jabatan, atau baik. Demikian juga, pada saat kita hula-hula, harus elek kepada boru, walaupun dalam tatanan kekerabatan Batak, Boru adalah kelumpok yang dapat kita minta untuk melayani kita (marhobas), tetapi dalam kedudukan kita yang lebih tinggipun kita harus elek. Manat mardongan tubu, juga merupakan satu tatanan interaksi masyarakat Batak kepada keluarga yang semarga. Kenapa dikatakan manat (hati-hati) dengan dongan sabutuha, sangat jarang di dalam umpama/umpasa yang memberikan kita solusi, untuk mendamaikan orang yang sabutuha kalau terjadi konflik di antara mereka. Kalau mar-hula-hula, kita masih bisa membawa makanan kepada hula-hula untuk minta maaf. Demikian juga marboru, kita bisa memberikan ulos untuk minta maaf”. 52 Berdasarkan hasil penelitian melalui jawaban responden tentang tanggapan terhadap struktur kekerabatan Batak Toba, dapat di lihat pada Tabel-2 berikut ini: Tabel 2. Struktur Kekerabatan Batak Toba No 1 2 3
Jawaban Responden Tetap dipertahankan Disederhanakan tanpa menghilangkan intinya Tidak tahu Jumlah
Jumlah 20 10 0 30
n=30 % 67% 33% 0% 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel tersebut, dapat diketahui bahwa budaya Batak Toba masih tetap dipertahankan merupakan tanggapan yang tidaklah begitu dominan (sebanyak 60%), bila dibandingkan dengan jawaban responden lainnya (sebanyak 40%) yang mengatakan bahwa adat batak perlu disederhanakan tanpa menghilangkan 52
Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
intinya/maknanya. Struktur kekerabatan dari budaya Batak Toba merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia sebenarnya harus tetap dipertahankan dan dijaga walaupun ada penyederhanaan tetapi jangan sampai menghilangkan nilai ataupun ciri khas budaya itu sendiri, karena lama-kelamaaan bukan hanya menghilangkan budaya saja tetapi juga masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Pengetua Adat Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon) yang mengatakan bahwa: ”Dalam acara-acara resmi adat batak dari dulu sampai sekarang ada mengalami penyederhanaan, sehingga acaranya semakin simpel dan waktu yang dibutuhkan relatif tidak lama”. 53 Adat adalah kebiasaan/hasomalon yang diawali dari kesepakatan komunitas tertentu dalam masyarakat batak, makanya banyak pelaksanaan adat batak yang berbeda dari satu marga dengan marga lainnya atau di satu daerah dengan daerah lainnya. Contoh, di Toba kalau seorang bapak meninggal, maka yang memberi ulos saput adalah hula-hula, sedangkan di Humbang yang memberi ulos saput adalah tulang. Kelebihan adat batak adalah adanya pepatah: "aek godang tu aek laut dos ni roha do sibaen na saut", sehingga perbedaan tersebut dapat di atasi. Secara harafiah, adat na taradat adalah undang-undang dan kelaziman yang berupa adat. Adat itu menyatakan istiadat yang oleh suatu persekutuan desa, atau tempat tinggal di daerah perantauan dan juga oleh agama diubah dan dimasukkan menjadi suatu kelaziman atau kebiasaan yang boleh disebutkan adat yang dimufakati oleh warga masyarakat. 53
Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Ciri khas dari adat na taradat ini adalah pragmatisme dan fleksibilitas boleh jadi dilaksanakan berdasarkan sistematika adat inti. Dalam spesies adat kedua ini pelaksanaan adat demikian akomodatif dan lugas untuk menerima pengaruh daerah manapun asal dapat beradaptasi dengan acuan adat inti. Perpaduan fleksibilitas dan fragmatis menjadikan adat luput dari kekakuan dan kegamangan oleh adat inti yang stagnasi dan konservatisme. Adat na taradat ini bersifat adaptatif dan menerima pergeseran dari adat inti dan bahagian adat inilah yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku adat Batak Toba pada saat sekarang dengan berpedoman kepada ungkapan folklor Batak Toba. Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi Napinungka ni ompunta na parjolo Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi
Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, yang sudah dimulai leluhur kita terdahulu kita perbaiki dari belakang
Artinya adat istiadat yang sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita terdahulu kita ikuti sambil diperbaiki (disesuaikan) dari belakang. Ungkapan ini menunjukkan
permufakatan
pergeseran
pelaksanaan
adat.
Hal
ini
sering
menimbulkan perdebatan di kalangan tokoh-tokoh adat (raja parhata) dan pelakupelaku adat. Perdebatan ini sering terjadi dengan suara yang kuat khas Batak Toba antara kelompok yang “seperti” setiap dengan adat inti dengan kelompok yang ingin perubahan oleh sesuatu hal. Lalu perdebatan diredakan dengan beberapa ungkapan umpama dan umpasa yang menimbulkan permufakatan untuk pelaksanaan upacara adat dengan menerima pergeseran dan perubahan antara lain: Aek godang tu aek laut Dos ni roha do sibahen na saut,
Kesamaan pendapat untuk jadi dilaksanakan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Nangkok si puti tuat si deak a i na ummuli ima tapareak,
Sesuatu yang lebih baik itulah yang dilaksanakan
Oleh karena permufakatan untuk pergeseran pelaksanaan adat itu, hampir pada semua upacara adat Batak Toba terjadi perubahan. Misalnya pada upacara perkawinan, sistematika atau urut-urutan tata cara perkawinan sering tidak dilaksanakan lagi mulai dari, marhori-hori dinding, marhusip, marhata sinamot, sibuha-buhai, mangan juhut, paulak une, maningkir tangga. Marhori-hori dinding adalah istilah yang digunakan kepada anak kecil yang mulai belajar berjalan. Anak kecil tersebut memegang dinding sambil melangkah penuh ke hati-hatian supaya jangan terjatuh. Istilah ini pulalah yang dipakai untuk menanyakan pihak yang punya putri oleh pihak yang punya anak yang akan dikawinkan. Dengan hati-hati pihak paranak menanyakan soal prinsip apakah anak gadis parboru sudah siap untuk dikawinkan, kalau sudah siap pada hari-hari berikutnya dilanjutkan dengan marhusip yaitu menanyakan kira-kira berapa sinamot yaitu jumlah uang (boli) yang akan diberikan untuk pelaksanaan pesta. Selanjutnya adalah marhata sinamot yaitu memastikan jumlah sinamot dan pelaksanaan teknis upacara adat pada hari yang ditentukan adalah upacara pesta adat yang dimulai dengan makan sibuha-buhai, itu pembuka pelaksanaan upacara adat lalu bersamasama ke gereja menerima pemberkatan setelah itu dilanjutkan acara adat di tempat yang telah ditentukan. “Secara garis besar demikianlah sistematika pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba pada adat inti. Namun pada saat sekarang dengan permufakatan banyak yang diobah antara lain, marhori-hori dinding, tidak lagi suatu keharusan dilaksanakan. Marhusip yang biasa tidak dihadiri orang
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
tua si anak yang akan dikawinkan, pada saat sekarang justru orang tua si anak yang akan dikawinkan itulah yang memegang peranan dalam acara marhusip, marhata sinamot hanyalah formalitas sekedar mengumumkan apa yang telah dibicarakan pada acara marhusip”. 54
Pada acara marhata sinamot ini pun masih ada sandiwara (pura-pura) menetapkan besar sinamot yang akan diberikan. Jumlah ulos yang harus diterima oleh pihak paranak (pengantin laki-laki) tidak jelas acuannya boleh jadi dari 7 (tujuh) helai sampai 800 (delapan ratus) helai. Paulak une dan maningkir tangga adalah suatu skenario sandiwara upacara adat dalam permufakatan ulaon sadari (diselesaikan dalam satu hari). Substansi acara adat paulak une dan maningkir tangga tidak diperlukan lagi pada saat sekarang. Demikian halnya pada upacara adat kematian status seseorang yang meninggal bisa diobah dengan permufakatan sesuai dengan permintaan keluarga yang meninggal (hasuhutan). Para tokoh adat dan seluruh sanak famili yang masuk ke dalam sistem kekerabatan akan mengalah apabila hasuhuton meminta status yang meninggal dari status mangido tangiang yaitu seseorang yang meninggal pada saat meninggal belum ada anaknya yang sudah berkeluarga atau sudah ada yang kawin tetapi belum mempunyai cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan, diobah status kematiannya menjadi “sari matua” status sari matua menurut adat inti diberikan kepada seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan
54
Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
yang sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga (adong sisarihononhon). Ada juga hasuhuton meminta agar orang tuanya yang meninggal diobah status kematiannya dari sarimatua menjadi saur matua. Saur matua menurut adat inti adalah apabila seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu. Ada juga hasuhuton yang meminta status kematian orang tuanya diobah dari status saur matua menjadi mauli bulung. Kematian status mauli bulung adalah status tertinggi dalam tata upacara adat kematian, mauli bulung adalah apabila seseorang pada saat meninggal meninggalkan keturunannya cucunya telah memiliki cucu dari anak laki-laki dan perempuan atau sudah mempunyai nini dan nono (cicit). “Pergeseran tata acara adat Batak Toba telah terjadi pada setiap kegiatan upacara adat. Misalnya pada upacara adat pemberian ulos tondi pada anak yang sedang hamil 7 bulan diobah menjadi pemberian ulos mula gabe. Substansi pemberian ulos diobah menjadi “mendoakan” anak agar tetap sehat-sehat demikian juga anak yang akan dilahirkan diberikan Tuhan kesehatan.” 55 Demikian halnya pada kegiatan upacara adat lainnya perobahan dan pergeseran itu sudah terjadi seperti tata upacara adat, memasuki rumah, menggali tulang belulang, mengambil nama (mampe goar) dan lain-lain.
55
Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Adat secara umum dapat di bagai 2 (dua) yaitu: a. Adat formal, yang biasa dapat dilihat dari pelaksanaan acara adat Batak, mulai dari lahir, besar, menikah, sampai meninggal. Banyak sekali praktek adat Batak yang berkaitan dengan siklus hidup orang Batak. Kalau ada anak lahir, datanglah mertuanya "mamboan aek ni unte", "pasahat ulos parompa", paebathon. Setelah besar, anak laki-laki biasanya "manulangi tulang", untuk minta izin mau menikah dengan orang lain, biasanya hanya anak laki-laki yang paling sulung, acara pernikahan, sampai acara yang berkaitan dengan orang yang meninggal. Semua ini adalah merupakan bagian dari adat formal. b. Adat Batak material yang lainnya, banyak terkandung di dalam umpama/umpasa Batak, yang di dalamnya terkandung sistem nilai yang sangat baik. 56 Dari penjelasan di atas, adat Batak formal, akan berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Jangankan masalah waktu, yang mengakibatkan dibiasakannya "ulaon sadari", mungkin pada saatnya nanti, pesta adat Batak bisa dilakukan melalui video conference, tidak harus ada di tempat yang sama. Tapi jangan juga ditiadakan sama sekali. Adat formal Batak adalah laboratorium bagi orang Batak untuk mempraktekkan adat Batak material. Dengan mengikuti pesta-pesta/acara adat Batak, maka pemahaman akan adat Batak material akan semakin baik. Adat Batak formal sangat dilandasi oleh satu prinsip "dos ni roha sibaen na saut" (konsensus), tapi adat Batak material adalah suatu kerangka sistem nilai Batak yang membuat budaya Batak lestari. Perlu juga diuraikan bahwa dalam masyarakat Batak, kata "Horas" adalah sapaan universal (akrab) dari masyarakat batak yang berarti "selamat". Pada hakekatnya kata "Horas" juga merupakan doa spontanitas kepada Tuhan Yang Maha Esa agar terlindung dari hal-hal yang tidak diinginkan.
56
Sumber dari
[email protected], Tentang Adat Batak.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Ulos Batak terkenal karena bentuk dan motifnya yang spesifik. Ulos pada mulanya berfungsi untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun gigitan serangga. Kemudian fungsi ulos berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan bentuknya beraneka ragam selain untuk melindungi tubuh juga diyakini bahwa ulos secara filosofis mengandung makna untuk melindungi rohani (tondi) manusia, sesuai dengan suasana maupun bentuk adat yang dilaksanakan. Pada saat tertentu ulos juga digunakan untuk : a. Topi (Tali-tali), b. Pakaian kebesaran (topi, ampe-ampe dan abit). Selain itu Ulos Batak dicontohkan dalam perumpamaan yaitu ulos ganjang dan ulos si godang rambu. Artinya semoga panjang umur, banyak rejeki dan semoga banyak keturunan (torop pomparan). Ulos batak adalah untuk melindungi/ mengayomi badan dan rohani manusia (mangulosi badan dohot tondi). Oleh karena itu, Saudin Sitanggang, Pengetua Adat (dipanggil Ama Salam Sitanggang) menyimpulkan bahwa “adat batak dalam berbagai bentuk upacara resmi adat perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda, khususnya generasi batak, karena sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia, ditakutkan akan hilang karena perubahan zaman.” 57
57
Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR
A. Kedudukannya Dalam Keluarga Sebuah keluarga terbentuk dari sebuah perkawinan yang sah, karena sah tidaknya sebuah perkawinan akan berakibat hukum terhadap kedudukan dan status anak yang dilahirkan tersebut. Untuk sahnya perkawinan dalam Pasal 2 UUP menyatakan bahwa ayat (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya, sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam adat Batak Toba bahwa perkawinan bukanlah urusan pribadi namun lebih dari itu yaitu urusan keluarga, clan/kerabat dan persekutuan. Lebih jauh menurut Soerjono Soekanto mengatakan “perkawinan sebagai urusan keluarga dan kerabat menpunyai fungsi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib suatu masyarakat kerabat melalui angkatan/generasi baru, dimana anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu meneruskan masyarakat keluarga dan kerabat yang sekaligus berfungsi untuk meneruskan tertib clan ataupun suku”. 58 Dalam budaya Batak Toba di kenal tujuan hidup atau nilai-nilai yang berhubungan dengan keturunan, yaitu: 1. Hagabeon (diberkati karena keturunan, apalagi sudah punya anak laki-laki), 2. Hamoraon (kaya), 58
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Op.Cit. hal. 28.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
3. Hasangapon (prestice). Pergeseran makna hagabeon terjadi dalam hal pendidikan anak. Menurut Saudin Sitanggang bahwa ”menjadikan anak sarjana sudah menjadi kebutuhan bagi orang Batak baik di kota maupun di kampung. Mereka menganggap pendidikan adalah satu-satunya jalan menuju kemuliaan hidup”. 59 Dalam hal inilah perempuan Batak sangat berperan. Perempuan Batak yang berjualan cabe dan bawang beralaskan karung goni di pasar mampu mengirimkan uang kepada anaknya setiap bulan untuk bersekolah, sehingga anaknya menjadi insinyur dan orang terkenal. Dengan gigih mereka berjuang. Semua itu mereka lakukan demi anakhonhi do hamoraon di ahu. Bila hagabeon tercapai dalam arti memiliki anak sarjana, pandai mencari uang dan kaya, bahkan terkenal, dengan sendirinya tujuan hidup yang lain hamoraon dan hasangapon juga tercapai. Karena sekarang sudah banyak orang Batak menjadi berpendidikan, berpangkat, kaya dan terkenal dalam berbagai bidang profesi, maka tujuan hidup menjadi sangap (terhormat, gengsi) juga dikait-kaitkan dengan adanya jaringan hubungan dengan kaum elit Batak tersebut. Khusus, mengenai tujuan hidup yang utama itu, dalam pandangan Batak tradisional memiliki banyak anak adalah sangat penting. Dalam banyak upacara perkawinan selalu diungkapkan permohonan berkat agar keluarga diberi karunia banyak keturunan (maranak sapulu pitu, marboru sapulu onom).
59
Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Setiap keluarga mengharapkan agar perkawinan yang telah dibina dapat berjalan harmonis. Keharmonisan keluarga mempunyai peranan yang cukup besar dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Kepribadian anak dapat tumbuh secara baik jika pendidikan diberikan kepada anak disertai dengan perhatian dan kasih sayang. Perhatian demikian akan tercurah dengan baik bila keluarga itu punya hubungan harmonis diantara anggota keluarga, tanpa ada pilih kasih. Kewajiban pemeliharaan anak bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani tetapi juga kebutuhan rohani. Dalam sebuah keluarga selalu mengharapkan agar perkawinan yang telah dibina dapat berjalan dengan langgeng dan menjadi suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera. Keharmonisan keluarga, mempunyai peranan yang cukup besar dalam pertumbuhan dan perkembangan jiwa seorang anak ke arah yang lebih baik, sebaliknya bila hubungan yang kurang harmonis di tengah-tengah keluarga dapat menyebabkan seorang anak tumbuh menjadi tidak baik. Keluarga yang bahagia dan sejahtera menjadi idaman setiap keluarga bila dapat terwujud. Masyarakat hukum di Indonesia jika ditinjau dari segi kekeluargaan adalah berbeda-beda, dimana setiap lingkungan adat ini masing-masing mempunyai sistem kekeluargaan yang berbeda-beda pula. Begitu juga dalam hal kedudukan anak lakilaki dengan anak perempuan dalam sebuah keluarga pada prinsipnya adalah berbeda. “Dalam peta geneologis orang Batak Toba hanya dapat ditelusuri melalui garis garis laki-laki. Anak perempuan tidak tercatat dalam peta tersebut. Dalam sistem patrilineal itu laki-laki dengan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil sudah
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan suaminya (bila sudah menikah). Walaupun perempuan berkaitan dengan kedua clan tersebut tetapi kedudukan perempuan tidak jelas/tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut”. 60 Dalam keluarga orang Batak Toba, bahwa anak menjadi harta berharga bila dibandingkan dengan yang lain, terutama dalam keluarga masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan. Dimana anak laki-laki diharuskan berhasil sehingga dapat meningkatkan derajad sosial dari marganya, bila berhasil menjadi sarjana atau bekerja merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Bagaimanapun cantik, pintar dan baiknya kedua putri kita itu kehadiran mereka, oleh banyak orang batak, belum dianggap cukup untuk membanggakan dan membahagiakan ayah-ibunya, ompung-nya, keluarga besarnya, apalagi dunia kebatakan. Masyarakat di Kecamatan Pangururan yang mayoritas Batak Toba merupakan salah satu masyarakat adat yang hidup dengan sistem kekerabatan mengikuti garis keturunan si bapak (patrilineal), dimana dibedakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Sebagai anak laki-laki merupakan generasi penerus marga dari pihak bapaknya, sedangkan anak perempuan tidak. Hal ini dikarenakan, setelah menikah marganya tidak akan dipakai tetapi masuk kepada marga dari keluarga suaminya. Selama anak perempuan belum kawin dia masih tetap kelompok ayahnya. 60
Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 9.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Adat Batak kuno menganggap perempuan nyata-nyata lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan bukanlah pribadi bebas dan otonom, tetapi sub-ordinat atau perpanjangan tangan laki-laki. Itulah yang menyebabkan dalam pesta-pesta batak sampai hari ini termasuk di kota metropolitan seperti Jakarta kita hampir tidak pernah menyaksikan ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Mereka ada di barisan belakang dan diam (atau ngobrol sendiri dengan sesamanya) tak ubah penghias atau asesori pesta, atau sibuk di dapur sebagai pembantu (parhobas) saja. Dalam adat batak ada beberapa istilah yang merendahkan martabat anak perempuan antara lain: 1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk mengisi rumah orang), 2. Mangan tuhor ni boru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan), 3. holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga dan juga pertahanan, sehingga anak laki-laki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum. 61
Pada masa dulu anak laki-laki sangat dibedakan dengan anak perempuan dalam perhatian keluarganya, karena anak perempuan nantinya akan masuk ke dalam marga suaminya. Dan juga bila anak laki-laki berhasil maka saudara anak perempuan bangga bila saudaranya laki-laki/“ito” nya berhasil. Namun pemahaman sudah mulai bergeser, bukan saja anak laki-laki yang diberi perhatian lebih, namun juga anak
61
J.C. Vergouwen, Op.Cit, hal 485.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
perempuan juga telah sama diperhatikan dalam hal pendidikan, perhatian dan kasih sayang, karena tokh juga anak perempuannya adalah darah daging dari orangtuanya juga. Bahkan suatu saat kelak bahwa tingkat taraf hidup bukan saja dilihat dari keberhasilan anak laki-laki saja tetapi juga anak perempuan, dan bila anak perempuan menikah dan dapat suami (hela) yang dapat mengangkat derajad kehidupan dari suatu keluarga tersebut. Dalam keseharian, anak laki-laki kerap lebih diistimewakan di banding perempuan. Laki-laki, karena alasan membawa nama keluarga lebih dijunjung, dengan melakukan berbagai usaha supaya dapat sekolah setinggi-tingginya, yang akhirnya diharap memperoleh nama dan kedudukan di tengah masyarakat. Sedangkan perempuan karena karena dianggap akan menjadi milik marga lain maka cukuplah kalau tahu baca dan tulis. Anak perempuan sedari kecil dilatih untuk hormat kepada saudara laki-laki walaupun lebih muda dari dia. Perempuan dilatih untuk melayani laki-laki, bahkan untuk hal-hal yang bisa dilakukan sendiri misalnya: mengambil piringnya (ketika hendak makan), mencuci piring dan berbagai pekerjaan rumah lainnya. Ketika anak perempuan sibuk di dapur, anak laki-laki bisa dengan tenang bermain catur menunggu makan malam selesai disiapkan. Akibatnya, seorang perempuan memiliki konsep bahwa harus mengalah kepada laki-laki. Laki-laki adalah raja yang harus ditaatinya, dilayaninya dan kepentingan merekalah yang harus didahulukan. Konsep ini akan diturunkan lagi kepada putrinya kelak. Bagi laki-laki sendiri, kerugiannya ada juga, walau tidak
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
seberat yang dialami perempuan. Seorang laki-laki akan kesulitan hidup mandiri atau sendiri. Jika tidak ada perempuan untuk melayaninya, ia akan kebingungan dan cenderung mencari seseorang yang bisa melakukan peran itu. Dia kesulitan untuk mengurus dirinya sendiri. Ketidakadilan dalam keluarga Batak Toba tidak sulit ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ketidakadilan itu dialami oleh anak perempuan terlihat dalam adat seperti: peran dalam pesta, mahar (tuhor), hak kepemilikan, pembagian harta warisan yang akan dibahas pada bagian tersendiri dan hak mengeluarkan pendapat dalam pertemuan resmi/pengambilan keputusan. Desakan ekonomi seakan lebih kuat untuk menggiring perempuan atau siapapun saat ini masuk dalam sebuah lingkaran yang tidak pernah ketemu dimana ujung pangkalnya. Perjuangan Kartini untuk menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan terbilang hampir berhasil. Karena semua sektor dan lini saat ini sudah ada perempuannya. Kata “kedudukan mengandung arti tingkatan atau martabat, keadaan yang sebenarnya, status keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara”. 62 Kedudukan dalam hal ini dapat diartikan sebagai status atau tingkatan seseorang di dalam mengemban dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga, kerabat dan masyarakat.
62
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976,
hal.38.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Menurut Christo Efrest Sitorus bahwa: “Sesuai dengan amanah yang tertuang dalam UUD tahun 1945, bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu sendiri. Namun dalam sistem kekerabatan suku Batak, kaum perempuan hanya merupakan bagian dari kelompok ayahnya sebelum dia menikah. Setelah menikah, kerabat suaminya akan membayar mas kawin (Sinamot), saat itulah dia meninggalkan orantuanya dan dimasukkan ke dalam satuan kekrabatan suaminya”. 63 Dalam pembahasan ini yang dibahas adalah anak perempuan yang dilahirkan secara sah dalam sebuah perkawinan sah dari keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, dan kaitannya dengan kedudukannya dalam keluarga. Dari hasil penelitian di lapangan dapat diketahui jawaban responden tentang kedudukan anak perempuan, melalui Tabel-3 berikut ini: Tabel 3. Kedudukan Anak Perempuan n=30 No 1 2 3
Jawaban Responden Lebih tinggi kedudukan anak laki-laki Sama kedudukannya Tidak tahu Jumlah
Jumlah 16 13 1 30
% 53% 43% 4% 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel-3 di atas, diketahui bahwa dari hasil penyebaran kuesioner menunjukkan jawaban responden tentang kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki dalam sebuah keluarga cenderung ke arah persamaan derajat (persentase 53% berbanding
43%). Hal ini membuktikan adanya pergeseran, di mana
kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dianggap sama. Namun menurut 63
Chisto Efrest Sitorus, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir, Hasil Wawancara, tanggal 11 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
pendapat Kartolo Simbolon bahwa “persamaan derajat anak laki-laki dengan perempuan tidak akan pernah sama dalam keluarga 100%, mungkin secara umum bisa. Tapi dalam setiap hati kecil orangtua orang batak yang punya anak laki-laki dan anak perempuan pasti ada lebih ke arah anaknya laki-laki”. 64 Hal ini juga didukung oleh Saudin Sitanggang karena ada pepatah “anakhonhi do hamoraon di au, tidak disebutkan boruki do hamoraon di au. Jadi masih ada pilih kasih, tapi bila di bandingkan antara sekarang dengan zaman dulu, perubahannya cukup banyaklah”. 65 B. Hak Mewaris Anak Perempuan Hukum waris mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan atau harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya. Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bentuk susunan kemasyarakatannya, yaitu sistem keturunan dan kekerabatannya. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa : “Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral”. 66 Pada kenyataannya pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem pewarisan yang sama. “Di Indonesia dijumpai tiga macam sistem kewarisan, yaitu pertama sistem 64
Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008. 65 Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008. 66 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Op.Cit, hal. 211.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
kewarisan individual…, kedua sistem kewarisan kolektif..., ketiga sistem kewarisan mayorat…”. 67 a. Ciri sistem pewarisan individual ialah bahwa harta peninggalan itu terbagibagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana menurut hukum perundang-undangan KUH Perdata dan hukum Islam, begitu pula berlaku di lingkungan masyarakat adat seperti pada keluarga-keluarga Jawa yang parental, atau juga pada keluarga-keluarga Batak yang patrilineal. b. Ciri sistem pewarisan kolektif ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi atau dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga/kerabat (badan hukum adat). Sistem pewarisan ini dikenal di Minangkabau dan juga di Lampung. c. Sedangkan ciri sistem pewarisan mayorat ialah bahwa harta peninggalan orang tua (pusaka rendah) atau harta peninggalan leluhur (pusaka tinggi) tetap utuh tidak di bagi-bagi kepada para waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua lelaki (mayorat pria) di lingkungan masyarakat patrilineal Lampung dan juga di Bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita) di lingkungan masyarakat matrilineal Sumando dan Sumatera Selatan dan Lampung. Di kalangan masyarakat Batak sendiri pun dijumpai adanya sistem pewarisan. Masyarakat Batak yang dikenal menganut ciri kekeluargaan bercorak patrilineal yaitu
67
Erman Suparman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 43.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak. Di mana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dibanding dengan kedudukan wantia di dalam pewarisan. Hilman Hadikusuma mengatakan, “dengan ciri kekeluargaan patrilineal itu masyarakat Batak menganut milik perseorangan. Jadi bersistem individual”. 68 Masyarakat Batak Toba sebagai bagian dari masyarakat Batak secara keseluruhan bertumpu pada garis keturunan yang ditarik menurut garis bapak. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masyarakat di Kecamatan Pangururan sistem pewarisannya berciri individual. Kata “pewaris” ini digunakan untuk menunjukkan orang yang meneruskan harta peninggalan ketika hidupnya kepada ahli waris atau orang yang setelah wafat meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada ahli waris. Pewaris adalah empunya harta peninggalan, atau empunya harta warisan. Pewarisan adat harus diingat pada susunan kekerabatan yang mempengaruhinya dan bentuk perkawinan yang dilakukan ketika hidupnya pewaris. Pada
masyarakat
Batak
Toba
di
Kecamatan
Pangururan,
susunan
kekerabatannya mempertahankan garis keturunan pria (patrilineal) sebagaimana berlaku di Batak pada umumnya, maka yang berkedudukan sebagai pewaris adalah kaum pria, yaitu ayah atau pihak ayah (saudara-saudara pihak ayah), sedangkan kaum perempuan bukan pewaris. Jadi ibu atau pihak ibu, saudara-saudara ibu pria dan wanita bukan ahli waris. Pria yang berhak menjadi pewaris, adalah pria yang
68
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Op.Cit, hal. 24.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
melakukan perkawinan dengan pembayaran jujur atau dalam adat perkawinan di Batak Toba disebut dengan perkawinan taruhon jual (eksogami-patriarcht). Ahli waris adalah orang yang berhak mendapat harta warisan. Tetapi ada orang yang tidak merupakan ahli waris, namun ia turut mendapat harta warisan misalnya pemberian. Dalam kekerabatan patrilineal semua anak lelaki adalah ahli waris, sedangkan anak perempuan bukan ahli waris, tetapi mungkin mendapat warisan sebagai pemberian. Begitu pula istri sebagai janda bukan ahli waris dari suaminya yang telah meninggal, tetapi jika anak-anaknya masih kecil belum mampu menguasai harta warisan, maka yang berkuasa dan memelihara atas harta warisan tersebut adalah istrinya, sampai anak-anaknya dewasa. Jika anak-anak sudah dewasa dan harta warisan akan dibagikan, maka si istri boleh mendapat bagian, atau ia ikut pada anak yang tertua. Di masyarakat Batak Toba seperti halnya di tanah Batak pada umumnya anak perempuan bukanlah ahli waris, tetapi mereka selama hidupnya (belum kawin) berhak memakai dan menikmati harta orangtuanya dalam batas kebutuhan penghidupannya. Bahkan, janda bukan merupakan ahli waris dari suami tetapi merupakan penghubung atau jembatan pewarisan dari ayah kepada anak-anaknya yang lelaki, maka begitu juga sebenarnya suami bukan waris dari isterinya yang meninggal karena menurut alam pikiran dalam sistem kekerabatan ini isteri adalah milik suami, apalagi harta bawaan dan harta pencahariannya yang selama perkawinan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dan tidak terbagi bagi kedudukannya.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Maka untuk seorang duda dapat dikatakan tidak ada masalah, ia tetap berkewajiban mengurus anak dan harta kekayaan mereka. Apakah ia kelak kawin lagi dengan mengambil adik kandung si isteri ataukah dengan orang lain tidak mempunyai kedudukan harta warisan, oleh karena hak mewaris tetap pada anak-anaknya yang lelaki. Warisan adalah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris), baik harta benda itu sudah dibagi atau belum terbagi atau memang tidak dibagi. Jadi apabila membicarakan tentang harta warisan maka berarti mempersoalkan harta kekayaan seseorang (pewaris) karena telah wafat dan apakah harta kekayaan orang itu akan (dapat) dibagi, atau belum dapat dibagi atau memang tidak dapat dibagi. Pada umumnya seorang yang meninggal dunia atau seorang pewaris ada memiliki dua bahagian harta benda yaitu harta pusaka dan harta pencaharian. Di samping kedua bagian harta tersebut mungkin juga ditemukan adanya harta yang diperoleh atau didapat seseorang pewaris semasa hidupnya sebagai hadiah dari orang lain, maka untuk harta demikian dapat dipersamakan dengan harta pencaharian. Ada dua macam harta peninggalan, yaitu: 1. Harta bawaan, ialah harta yang diperoleh suami isteri sebelum perkawinan seperti warisan, pemberian. 2. Harta pencarian, ialah harta yang diperoleh selama suami isteri dalam perkawinan, sebagai harta bersama, seperti rumah dan sebagainya.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Menurut hukum adat Batak Toba bahwa yang dimaksud dengan harta pusaka adalah harta yang diperoleh atau didapat seseorang, dimana harta tersebut diperolehnya dari kakeknya/ompungnya yang telah meninggal. Umumnya, objek harta pusaka adalah berupa tanah (tano), rumah (jabu), dan sawah (hauma). Walaupun ada juga seseorang memiliki harta bergerak (lumbung padi, ternak, pohon, piutang) yang diperolehnya dari kakeknya yang telah meninggal, harta demikian umumnya tidak dipandang sebagai harta pusaka. Menurut pandangan orang Batak Toba sulit rasanya untuk mengetahui atau menentukan apakah harta bergerak itu merupakan harta yang diperoleh dari kakeknya atau tidak. Di samping itu harta bergerak sangat mudah diasingkan dibandingkan dengan harta yang tidak bergerak. Sedangkan harta pencaharian adalah segala harta yang tidak termasuk ke dalam harta pusaka. Untuk harta pencaharian ini tidak dibedakan dengan harta yang diperoleh seseorang sebagai hadiah dari pemberian orang lain. Untuk harta pencaharian dapat juga diberikan kepada anak laki-laki yang melangsungkan perkawinan yang tidak dibicarakan sewaktu pembagian harta warisan sesuai dengan adat. Karena pewarisan harta pencaharian, proses pewarisannya diserahkan sepenuhnya kepada pewaris. Di sini pengaruh kerabat dekat suaminya tidak ada dan terhadap anak perempuan juga dapat diberikan harta pencaharian ini. Sedangkan dengan harta pusaka yang masih terasa adanya pengaruh kerabat dekat si pewaris apabila harta tersebut hendak diwariskan. Seorang ahli waris yang memperoleh bagian dari harta warisan berupa harta pusaka, kemudian dari harta
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
penggunaan harta pusaka ini dia menjadi kaya, maka hartanya yang terakhir ini bukan termasuk ke dalam harta pusaka, melainkan termasuk ke dalam harta pencaharian. Proses pewarisan yang merupakan pengoperan barang-barang harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli warisnya dapat dilakukan ketika pewaris itu masih hidup atau setelah meninggal dunia. Menurut Hilman Hadikusuma: “Yang dimaksud dengan proses pewarisan atau jalannya pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan penguasaan dan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada para waris setelah wafat”. 69
Pada masyarakat Batak Toba, pewarisan semasa hidupnya pewaris biasanya dilakukan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya yang sudah kawin dan manjae (mandiri, tidak satu rumah), yang pemberiannya dilakukan secara lisan saja. Apabila seorang anak kawin tetapi belum manjae, maka anak tersebut bersama isterinya berada dalam satu rumah dengan orang tuanya, karena anak tersebut beserta isterinya belum merupakan “ripe” yang berdiri sendiri menurut hukum adat. Tetapi apabila kelak anak tersebut manjae, yang berarti berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka oleh orang tuanya dia diberi arta panjaean berupa sebagian dari harta benda orang tuanya sebagai modal permulaan bagi keluarga baru dari anaknya. Setelah anak tersebut dipanjae barulah ia dapat
69
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Loc.Cit, hal. 95.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
disebut sebagai ripe yang mandiri menurut hukum adat. Harta
yang diterima anak
tersebut (arta panjaean) selalu diperhitungkan pada waktu orang tuanya meninggal, terutama jika pada saat meninggalnya orang tua tersebut masih ada ahli waris yang belum menerima bagiannya. Dengan diberikannya panjaean yang terdiri dari sebagian harta benda ayah kepada
anaknya
sewaktu
manjae,
maka
pada
saat
tersebutlah
berakhir
pertanggungjawaban bapak tersebut anaknya dalam hidup bermasyarakat dan sekaligus berakhirlah pertanggungjawabannya untuk memenuhi kebutuhan hidup isteri anaknya (parumaen-nya). Pewarisan semasa hidupnya pewaris terutama kepada semua anak-anaknya yang sudah kawin dan manjae (mencar) atas segala harta bendanya, terjadi apabila ayah dan ibu tidak kuat lagi bekerja. Setelah diadakannya pewarisan tersebut, maka ayah atau ibu seakan-akan menumpang kepada anak-anaknya. Pewarisan semasa hidupnya pewaris bisa juga terjadi walaupun ayah dan ibu masih sehat. Dalam hal ini jika ayah mempunyai tiga orang anak, maka ayah membagi segala harta bendanya atas empat bagian. Tiap-tiap anak termasuk ayah sendiri memperoleh satu bagian. Berdasarkan hal-hal yang diutarakan diatas, maka ternyata bahwa pewarisan di daerah Kecamatan Pangururan bisa juga terjadi pada waktu pewaris masih hidup, di mana segala
kewajiban dari pewaris termasuk kewajibannya kepada dirinya
sendiri berpindah bersama segala harta bendanya kepada para ahli warisnya. Para ahli waris tersebutlah yang melangsungkan pengerjaan segala kewajiban pewaris
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
termasuk mengurus kepentingan diri pribadi dari pewaris sendiri. Juga bisa terjadi hanya sebahagian dari kewajiban pewaris yang berpindah bersama sebahagian harta bendanya kepada ahli waris yang menerima kewajiban tersebut. Apabila pemberian oleh si ayah kepada anaknya yang perempuan dilakukan pada waktu pewarisan, ataupun diterima oleh anak perempuan tersebut pada waktu pembagian harta peninggalan oleh saudara-saudaranya, maka pemberian itu disebut “ulos na so buruk”, artinya kain yang tak kunjung buruk. Jelaslah bahwa menurut hukum adat Batak Toba, anak perempuan walaupun bukan ahli waris, tetapi berdasarkan lembaga holong ni ate anak perempuan patut mendapat pemberian dari harta peninggalan ayah kandungnya. Mengenai pengakuan terhadap lembaga holong ni ate ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Januari 1968 Reg. No. 136 K/Sip/1967. Tentang hal-hal tersebut diatas, maka oleh karena itu adalah merupakan pesan pewaris sewaktu ia masih hidup, maka pesan tersebut barulah mempunyai kekuatan untuk berlaku sesudah pewaris tersebut meninggal. Lebih lanjut, untuk mengetahui apa yang menjadi alasan anak perempuan dijadikan sebagai ahli waris dapat dilihat pada Tabel-4 berikut ini: Tabel 4. Alasan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris No 1 2 3
Jawaban Responden Persamaan Hak. Kasih sayang/perhatian. Supaya ada yang jaga kampung/huta. Jumlah
Jumlah 16 9 5 30
n=30 % 53% 30% 17% 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Dari Tabel tersebut, responden lebih banyak menjawab anak perempuan dijadikan sebagai ahli waris (53%), hal ini dikarenakan sudah adanya perubahan pandangan bahwa saat ini antara anak laki-laki dengan anak perempuan dianggap sama, sedangkan memilih alasan kasih sayang/perhatian sebanyak 30% dan supaya ada yang jaga kampung sebanyak 17%. Dalam hal pewaris masih meninggalkan janda, anak perempuan yang belum kawin ataupun anak laki-laki yang belum dewasa, hal mana merupakan kewajiban dari pewaris, yang sesudah ia meninggal dunia hanya dapat dipenuhi dengan harta peninggalan, maka selama hal tersebut masih ada, biasanya harta peninggalan dibiarkan tetap tidak terbagi hingga kewajiban tersebut kelak dapat dipenuhi. Menurut Christo Efrest Sitorus bahwa: “pada prinsipnya setuju bila anak perempuan mewaris bersama saudaranya laki-laki walaupun tidak sama, sepanjang ada harta peninggalan yang akan dibagikan, karena didasarkan pada persamaan hak dan adanya lembaga holong ate yang dijadikan sebagai yurisprudensi”. 70 Jika hal tersebut sudah dipenuhi, yakni pada saat meninggalnya janda pewaris dan pada saat kawinnya anak perempuan pewaris ataupun pada saat sesudah dewasanya anak laki-laki dari pewaris, barulah para ahli waris dapat memperoleh bagian yang bersih. Jika para ahli waris tidak sabar, dan ingin dengan segera sesudah meninggalnya pewaris membagi harta peninggalan, maka mereka dapat membagi
70
Chisto Efrest Sitorus, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir, Hasil Wawancara, tanggal 11 April 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
harta peninggalan menurut perbandingan dari jumlah anak laki-laki dari pewaris dengan memperhitungkan kewajibannya dari pewaris yang belum dipenuhi. Beban harta peninggalan lainnya yang segera sesudah meninggalnya pewaris dapat dilunasi, adalah hutang pewaris semasa hidupnya berupa uang ataupun tenaga. Juga termasuk ongkos-ongkos penguburan serta segala biaya-biaya yang diperlukan dalam upacaraupacara adat untuk penguburannya. Jikalau harta peninggalan sudah terbuka untuk dibagi-bagi maka sebelum dibagi-bagi, terlebih dahulu harus dilunasi segala hutang pewaris termasuk ongkos penguburan. Dan jika harta peninggalan tidak cukup untuk memenuhi kewajibankewajiban pewaris ataupun tidak cukup untuk membayar hutang dan ongkos penguburannya, maka para ahli waris tersebut yang melunasinya. Setelah dipenuhi segala kewajiban pewaris, dilunasi segala hutang serta ongkos penguburannya dan dilaksanakan pesan-pesannya mengenai barang-barang tertentu yang tidak bertalian dengan pewarisan, maka apabila masih ada kelebihannya, barulah harta peninggalan terbuka untuk dibagi-bagi oleh para ahli warisnya. Harta peninggalan yang akan dibagi oleh para ahli waris, tidaklah diperhitungkan menurut nilai kesatuannya berupa uang, tetapi tiap benda dipandang tersendiri menurut jenisnya. Jika anak yang sulung memperoleh rumah, maka anak yang bungsu memperoleh rumah, sedang anak yang lainnya dari pewaris memperoleh jenis harta peninggalan yang lain. Jikalau tidak ada perselisihan di antara para ahli waris, maka pembagian harta peninggalan sudah dapat terlaksana di rumahnya pewaris. Namun apabila ada
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
perselisihan diantara para ahli waris mengenai bagian-bagian mereka, maka diperlukan turut campurnya kelompok Dalihan Na Tolu. Dalam hukum waris adalah, anak laki-laki yang mewarisi harta peninggalan bapaknya. Jika ada anak laki-laki, hanya merekalah yang menjadi ahli waris. Apapun yang diperoleh bapak melalui keringatnya sendiri, dipungka, tidak pernah boleh jatuh ke tangan satu anak saja, dia mesti dibagi-bagi di antara semua anak lelaki, atau tetap tidak dibagikan. Anak perempuan bersama harta peninggalan ayahnya berpindah ke tangan ahli waris yang kemudian berdasarkan kebijaksanaannya sendiri atau adat menentukan bagian yang menjadi perolehan anak perempuan tersebut. Apalagi seorang janda dengan atau tanpa anak laki-laki tidak dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, hanya boleh mengelola harta peninggalan suaminya sebelum kemudian beralih ke tangan ahli waris. Jika janda tersebut tidak mempunyai keturunan, atau hanya keturunan anak perempuan, maka harta peninggalan suaminya beralih ke kerabat dari suaminya. Ahli waris dalam adat Batak Toba adalah anak laki-laki. Namun anak perempuan melalui upacara adat dapat meminta bagian dari harta kekayaan ayahnya baik semasa hidup ayahnya maupun sesudah meninggal dunia. Ada pemberian yang dapat dilakukan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya selagi masih kecil, ada harta bawaan serta panjarnya yang diserahkan pada pertunangan anak perempuan selagi dia masih anak kecil, ada pemberian yang diserahkan sesudah dan selama dia berumah tangga, atau yang serahkan kepada anak-anaknya.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Tetapi apa yang dapat diterima anak perempuan tersebut tidaklah dalam arti hak, melainkan imbauan kepada saudara laki-lakinya agar diberi sebagian dari kekayaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Jika tidak ada anak laki-laki, imbauan tersebut bisa ditujukan kepada paman atau kerabat yang lebih jauh. Biasanya anak perempuan harus mengajukan permintaanya itu kepada ayahnya di saat ayahnya menjelang ajal, atau kepada saudara laki-lakinya bila ayahnya sudah tiada, melalui upacara manulangi. Namun permintaan ini tidak dapat dilakukan jika masih ada anak laki-laki yang belum kawin atau anak perempuan tersebut belum menikah, atau jika masih ada ibu yang ongkos hidupnya harus diambilkan dari harta peninggalan. Besarnya bagian yang diserahkan kepada anak perempuan tergantung dari keadaan. Anak sulung yang mengambil keputusan, harus mempertimbangkan hak dan kepentingan semua adik laki-laki dan adik perempuan. Menurut Vergouwen bahwa “hampir tidak pernah terjadi hubungan yang sumbang antara hula-hula dan boru karena perkara ini, paling-paling hanya tarik urat mengenai apa yang pernah dijanjikan tetapi tidak diberikan. Hakim biasanya tidak pernah repot dalam menghadapi perselisihan semacam itu”. 71 Jika ibu masih hidup dan anak-anak perempuan belum menikah, si ibu akan disetujui mengelola bagian terbesar harta kekayaan, dan ahli waris akan menetapkan besarnya pauseang (hadiah perkawinan)
bagi anak perempuan bila ia menikah.
Hadiah ini biasanya hanya bagian kecil saja sebagai pengakuan atas hak mereka selaku uaris juga. Namun banyak juga keluhan pahit anak-anak perempuan, dan ibu 71
J.C. Vergouwen, Op.Cit, hal 316
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
yang hanya melahirkan anak perempuan, karena begitu bapak atau suami meninggal, ahli waris bersikeras menjalankan haknya untuk memberlakukan perwalian dan pengelolaan, menyita segala-galanya. Mereka hanya bersedia memberi kepada perempuan jumlah yang hampirhampir tidak mencukupi untuk menutup keperluan yang paling pokok, dan juga tidak mau memberi apa-apa lagi kepada anak perempuan yang sudah kawin di luar apa yang sudah diterima sebagai pauseang. Garis keturunan yang mengikuti jalur laki-laki berkonsekuensi pada sistem pewarisan. Warisan jatuh ke tangan keturunan laki-laki. Namun tidak berarti anak perempuan tidak mendapat bagian. Apakah perempuan mendapat bagian atau tidak, akan sangat tergantung pada kebaikan hati saudara laki-lakinya. Menurut secara tradisional falsafahnya adalah anak perempuan kawin dengan anak orang lain, mengapa ia harus mendapat warisan. Namun prinsip ini sekarang menurutnya, sudah bergeser, perempuan juga harus mendapat seperti laki-laki. Harta adalah benda bergerak (perhiasan, ternak, dll), dan inilah yang dapat diberikan kepada anak perempuan. Warisan adalah simbol dari eksistensi suatu marga, oleh karena itu warisan harus jatuh ke tangan laki-laki saja. Harta pencaharian atau harta yang didapat selama perkawinan boleh diberikan kepada anak laki-laki maupun anak perempuan, tetapi anak laki-laki tetap harus mendapat bagian yang lebih banyak. Anak laki-laki bertanggung jawab atas adik-adiknya, bila adik-adiknya menderita anak laki-laki harus membantu.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Bahwa orang batak agak lain, karena warisan dibagikan sewaktu seseorang masih hidup. Ada warisan yang diberikan sewaktu orang tua masih manjae (mandiri). Anak-anak laki-laki diberi sawah, kebun, rumah. Anak laki-laki bungsu menempati kedudukan yang istimewa. Ia dianggap kawan sehidup semati oleh orang tuanya. Ia orang yang terakhir dilahirkan dan harus dekat dengan orang tuanya. Dialah yang harus memberangkatkan orang tuanya ke kuburan. Oleh karena itu harta orang tuanya akan diberikan kepadanya. Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orangtua dapat berupa benda tidak bergerak (seperti rumah dan sawah) maupun benda gerak (seperti cincin dan gelang). Berdasarkan hasil penelitian lapangan diperoleh jawaban melalui responden tentang warisan yang diberikan kepada anak perempuan, seperti terlihat pada Tabel-5 berikut ini: Tabel 5. Warisan Yang Diberikan Kepada Anak Perempuan No 1 2 3
Jawaban Responden Rumah. Tanah (sawah/ladang). dll (seperti perhiasan, dll) Jumlah
Jumlah 2 6 22 30
n=30 % 6% 20% 74% 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel tersebut terlihat, bahwa anak perempuan telah mendapat warisan rumah namun persentasenya masih kecil yaitu hanya 6% dan tanah sebanyak 20%, namun hal ini menjadi titik awal persamaan hak waris antara anak laki-laki dengan perempuan. Dari 2 responden diketahui bahwa rumah diberikan karena saudara lakilakinya sudah merantau ke luar pulau samosir ke kota, kecuali bila ada anak laki-laki
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
mungkin tidak diberikan. Tetapi benda-benda lain seperti perhiasaan lebih dominan yaitu sebanyak 74%. Dalam hal perempuan boleh mendapat bagian dari harta ayahnya berupa tanah. Menurutnya perempuan pada waktu kawin mendapat hadiah yang disebut ulos na sora buruk, bisa berupa tanah, kebun atau barang-barang pusaka. Ada lagi yang disebut hoban, yaitu sebidang tanah yang ada mata airnya. Hoban ini juga bisa diberikan kepada anak perempuan. Biasanya satu keluarga bisa memiliki hoban lebih dari satu. Hadiah lain yang biasa diberikan kepada anak perempuan adalah perhiasan. Bahwa salah satu tujuan hidup orang Batak yaitu mencapai hagabeon, memiliki (banyak) keturunan terutama laki-laki, ternyata nyaris tidak berubah sampai saat ini. Bagi orang Batak yang tidak punya anak laki-laki, tujuan tersebut diupayakan dengan mengadopsi anak laki-laki. Hal yang menarik untuk dicermati adalah, meskipun pengangkatan anak sudah disahkan secara adat, agama dan negara, tetapi kaum kerabat masih tidak mengakui anak tersebut. Apalagi bila dikaitkan dengan waris, maka orang yang dianggap tidak memiliki anak itu sangat tidak diuntungkan. Seperti kasus di atas secara normatif adat, harta seorang bapak akan jatuh ke tangan kerabatnya, meskipun ia memiliki seorang anak kandung perempuan dan anak adopsi laki-laki. Seorang ibu juga akan kehilangan harta suaminya meskipun ia sudah memiliki anak adopsi laki-laki. Mengapa nilai untuk memiliki anak laki-laki bagi orang Batak Toba nyaris tidak berubah, berdasarkan kasus di atas, ada kaitannya dengan masalah mempertahankan harta milik.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam hukum adat Batak Toba, perempuan tidak memperoleh hak untuk mewarisi barang-barang menetap dari harta peninggalan orangtuanya. Dalam masyarakat Batak Toba, anak perempuan dengan anak laki-laki
mempunyai
kedudukan yang timpang, di mana anak perempuan pada posisi yang lemah, khususnya dalam hal waris. Secara normatif hukum adat Batak Toba tidak memberikan hak waris kepada anak perempuan 72 , baik yang berupa tanah, rumah maupun benda tidak bergerak lainnya. Sementara itu dalam berbagai peraturan perundangan nasional 73 menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Menurut Tapi Omas Ihromi, bahwa “dalam praktek sehari-hari tampaknya menunjukkan adanya peneguhan kepada aturan adat Batak yang tidak memberikan hak waris kepada perempuan bila orangtuanya meninggal, perempuan tidak pernah diperhitungkan dalam pembagian waris yang berlangsung dalam pertemuan keluarga, di mana anggota kerabat laki-laki memainkan peranan penting”. 74 Akses perempuan kepada harta warisan memang sangat dibatasi, sehingga perempuan harus memperjuangkannya, terutama melalui sengketa melawan kerabat
72
Bandingkan dengan Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 174 KHI: yang memiliki hak untuk mewaris adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pasal 176: Bagian dari anak perempuan adalah ½, dua anak perempuan atau lebih akan mendapat 2/3 bersama-sama. Jika ada anak laki-laki dan perempuan, bagian anak laki-laki 2 dan anak perempuan 1. 73 Dalam UUD 1945 (sekarang UUD 1945 Amandemen ke-IV Tahun 2002) Pasal 27 (1) mengenai kedudukan perempuan dan laki-laki sama di muka hukum; UU Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974, Pasal 31 (1) mengenai hak dan kedudukan suami dan istri yang seimbang; Pasal 35 (1) mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Pasal 36 (1) atas harta bersama tersebut suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 74 Tapi Omas Ihromi, Inheritance and Equel rights for Toba Batak Daughters,” Law and Society Review Vol. 28. No. 3, 1994, hal. 527.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
saudara laki-laki. Akses perempuan 75 kepada tanah ayahnya semakin hilang karena kelangkaan tanah di kampung, sementara itu pewarisan kepada anak laki-laki dan pewarisan kolateral berdasarkan garis laki-laki masih tetap berlangsung. Pengaturan mengenai akses kepada tanah secara tradisional yang tetap dipertahankan ini adalah suatu cara untuk menjaga agar tanah tetap berada dalam wilayah hukum adatnya. Harta yang dibawa oleh suami dan isteri ke dalam perkawinan sebagai modal di dalam kehidupan rumah tangga yang bebas dan berdiri sendiri. Telah menjadi asas umum yang berlaku di dalam hukum adat bahwa suami ataupun isteri yang memperoleh harta yang berasal dari warisan atau hibah, akan tetap menjadi milik suami atau isteri. Harta bawaan itu dapat berupa rumah, tanah, kebun dan perhiasan lainnya. Pemberian harta benda dari orangtua kepada anak-anaknya baik laki-laki atau perempuan disebut istilahnya dengan “holong ate” (kasih sayang). Pemberian-pemberian harta benda ini mempunyai istilah berbeda-beda. Harta benda yang diberikan kepada anak laki-laki disebut dengan istilah “harta panjaean” sedangkan harta yang diberikan kepada anak perempuan disebut dengan “pauseang”. Walaupun sebenarnya artinya sama. Selain dari harta pauseang maupu panjaean masih ada lagi harta bawaan yang fungsinya sama dengan pauseang dan panjaean tadi antara lain :
75
Akses perempuan kepada tanah secara tradisional adalah melalui pauseang, yaitu pemberian atau hadiah yang diberikan kepada anak perempuan ketika ia menikah. Hadiah ini dapat diperoleh perempuan karena ia meminta kepada ayahnya atau saudara laki-lakinya, dan disahkan secara adat. Namun karena sifatnya adalah pemberian atau hadiah, maka tidak dianggap sebagai hak waris.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Indahan arian, ialah pemberian sebidang sawah oleh seorang ayah kepada anak perempuannya apabila anak perempuan tersebut telah mempunyai anak. Jadi pemberian ini adalah bermaksud indahan arian bagi cucunya. 2. Batu ni assimun, ialah pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya yang sudah mempunyai anak. Yaitu berupa hewan peliharaan dan emas. Maksudnya disini adalah pemberian yang seolah-olah sebagai hadiah bagi cucunya. 3. Dondon tua, yaitu pemberian seorang ayah kepada anak perempuannya yang telah melahirkan anak berupa sebidang sawah kepada cucunya yang paling besar dan si cucu boleh menerima setelah kakek meninggal dunia. 4. Hauma punsu tali, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya, pemberian ini adalah merupakan pemberian terakhir dan baru dapat diterima oleh anak perempuannya apabila si ayah meninggal dunia. 5. Ulos na so ra buruk, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya. Harta pemberian ini adalah merupakan sebagai modal pertama pada saat mulai membangun rumah tangga. Dalam keadaan demikian anak perempuan masih mempunyai kesempatan beroleh bagian dari “sinamot” orangtuanya, lewat ulos dan pauseang (tanda sayang). Dalam membela kesamaan/kesetaraan derajat antara anak perempuan dengan anak laki-laki sekarang ini dalam hukum adat Batak Toba ada ungkapan : “Sarupa adop do marmeme anak dohot boru”. Kesetaraan anak perempuan dengan anak laki-laki sangat digaris bawahi.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB IV PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR
A. Perkembangan saat ini Diskriminasi perempuan sangat gampang ditemukan dalam kehidupan seharihari. Kepemimpinan perempuan, contohnya, masih kerap terkungkung pola-pola patriaki. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari di tengah keluargapun, hak-hak perempuan ikut tertindas. Desakan ekonomi seakan lebih kuat untuk
menggiring perempuan atau
siapapun saat ini masuk dalam sebuah lingkaran yang tidak pernah ketemu di mana ujung pangkalnya. Perjuangan Kartini untuk menyetarakan kedudukan laki-laki dengan perempuan hampir berhasil. Karena semua sektor dan lini saat ini sudah ada perempuannya. Dalam kancah politik dan bidang lainnya suara perempuan sudah mulai didengar. Dalam pandangan Islam, perempuan memiliki seperangkat potensi hidup berupa akal dan naluri yang mempunyai peran beragam, yaitu sebagai makhluk (hamba) Allah, sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Sebagai hamba, perempuanpun wajib beribadah kepada Allah, sebagaimana laki-laki. Demikian juga dalam adat istiadat/budaya khususnya Batak Toba, perempuan pada umumnya tetap terikat pada konsep-konsep dan nilai-nilai mengenai perempuan, yang menempatkan mereka dalam arena adat. Kalaupun mereka mampu keluar dari peran tradisionalnya menjalani pendidikan tinggi, menjalani berbagai bidang profesi-
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
profesi terhormat dalam masyarakat, dan hidup sebagai “orang-modern”, mereka tetap tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adatnya. Misalnya mereka “harus” melahirkan anak laki-laki, menjadi ibu dan istri yang baik bagi anak-anak dan suaminya, sekaligus menjadi kerabat yang baik bagi saudara-saudara suaminya maupun kelompok kekerabatan marga ayahnya (hula-hula), dan memiliki berbagai kewajiban kerja tetapi tidak memiliki hak bicara dalam berbagai pertemuan keluarga (adat). Meskipun tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adat, perempuan dari lapisan sosial bawah secara diam-diam bekerja di sektor ekonomi menjalani berbagai profesi dagang. Pandangan mengenai perempuan yang tidak berhak atas harta bapaknya harus dilihat dari falsafah masyarakat tradisional, yang berorientasi pada kelangsungan hidup kelompok dan kaitannya dengan terbatasnya sumberaya. Dalam masyarakat tradisional, laki-laki dalam kelompok clan ayahnya dipandang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan hidup perempuan dari clan tersebut. Di samping itu perempuan dianggap akan menikmati bagian harta suaminya, yang didapat dari clan suaminya. Untuk kelestarian hidup kelompok itulah, telah diciptakan aturan-aturan adat yang bersumber pada falsafah tradisional. Namun kehidupan orang Batak Toba yang tadinya berorientasi pada kelompok (kolektif) lambat-laun berubah menjadi kehidupan yang cenderung menagrah pada individu, terutama di kota besar. Falsafah tradisional yang berorientasi pada kelangsungan hidup kelompok tidak lagi sepenuhnya dapat dibayangkan. Aturan-aturan yang tadinya sangat baik untuk menjaga kelangsungan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
hidup kelompok, khususnya yang berkaitan dengan waris, sesunguhnya dalam segisegi tertentu sudah tidak cocok lagi. Pada masa sekarang peraturan adat yang mengatakan bahwa perempuan bukan ahli waris, akan berdampak tidak menguntungkan bagi perempuan tertentu. Misalnya, bila seorang perempuan kawin dengan seorang laki-laki yang tidak memiliki harta (tergolong miskin), dan dia dikatakan tidak boleh mendapatkan bagian dari harta ayahnya, maka ia berada pada posisi yang tidak diuntungkan. Persoalan mengenai waris berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat menempatkan kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan dalam struktur kekerabatan, dan mensosialisasikannya melalui konsep-konsep gender tentang lakilaki dan perempuan, nilai-nilai, pranata sosial dan pranata hukum yang ditetapkan sebagai acuan berperilaku. Dalam hal ini acuan berperilaku tersebut juga menetapkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam hubungan-hubungan kekerabatan dan hubungan sosial. Bagaimana konsep jender dalam hubungan kekerabatan dan hubungan sosial berkaitan dengan pembatasan perempuan terhadap harta milik ?. Bila jenis kelamin (sex) mengacu pada kategori biologis, maka konsep gender mengacu pada konsep sosial yang menempatkan seseorang sebagai maskulin atau feminin berdasarkan karakteristik psikologis dan perilaku tertentu yang secara kompleks telah dipelajari melalui pengalaman sosialisasi. Makna kodrat yang seharusnya mengacu kepada perbedaan perempuan dan laki-laki sebatas fungsi reproduksinya, diperluas menjadi peranan dan kedudukan di berbagai bidang kehidupan. Tambahan lagi, kondisi di atas
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
didukung oleh penafsiran teks-teks kitab suci yang bias laki-laki. Pemaknaan terhadap hakikat perempuan dan laki-laki menjadi berbeda. Dalam hubungan pertukaran dalam perkawinan, perempuan dilihat sebagai salah satu jenis harta milik dan menerima pembagian kerja di sektor domestik. Sementara laki-laki adalah orang yang memiliki akses kepada penguasaan dan kontrol atas harta milik dan mendapatkan pembagian kerja di sektor publik. Cara pandang atau konstruksi sosial mengenai perempuan dan laki-laki yang demikian itulah yang disebut sebagai gender. Konsep jender bervariasi di setiap kebudayaan dan konteks waktu. Apa yang patut atau tidak patut dikenakan bagi laki-laki dan perempuan pada suatu masyarakat bisa berbeda pada masyarakat lain, atau pada suatu waktu yang lain. Cara pandang yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada tempatnya masing-masing dalam hubungan kekerabatan itu merupakan cara yang ampuh bagi dipertahankannya patrilineage, sekaligus patriarkhi, dengan “mengorbankan” perempuan melalui pembatasan terhadap harta milik. Masalah yang dihadapi oleh anak perempuan Batak Toba yang berkaitan dengan akses terhadap hak waris adalah mengenai bagaimana anak perempuan untuk mendapatkan akses kepada harta waris dan bagaimana anak perempuan dan harta orang tuanya dalam pandangan hukum
adat dan hukum negara. Penyelesaian
sengketa harta waris yang diskriminatif. Sebagai landasan dari penyelesaian sengketa harta waris, dibedakan antara cara penyelesaian melalui peradilan negara yang tujuan akhirnya adalah win-lose solution yang menitikberatkan pada substansi hukum dan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
melalui peradilan adat dengan tujuan win-win solution yang berfokus pada prosedur untuk menghindari terjadinya ketegangan sosial. Perkembangan hukum, kompetisi hukum atau cara penyelesaian alternatif yang menjadi bagian dari strategi bagi anak perempuan dalam penyelesaian sengketa harta waris merupakan keunikan tersendiri. Kebudayaan Batak menetapkan, bahwa hanya anak laki-laki yang mempunyai hak waris atas tanah, sementara anak perempuan hanya memiliki hak terbatas, yakni “hak meminta” berdasarkan cinta kasih. “Hak meminta” ini mengandung makna, bahwa anak perempuan yang orang tuanya tidak mampu, sebaiknya jangan meminta karena tidak ada yang bakal diberi, sementara bagi anak perempuan yang orang tuanya mampu, ia tidak akan diberi kecuali ia meminta. Artinya “hak meminta” pun masih belum pasti antara diberi dan tidak diberi. Sama dengan anak perempuan, seorang perempuan janda juga tidak memiliki hak waris. Ketika berstatus nikah, fungsi istri sebagai pengelola dan penikmat harta suami dan harta bersama untuk selanjutnya diserahkan kepada anak laki-lakinya ketika dewasa, tapi ketika terjadi perceraian (cerai mati/cerai hidup), maka perempuan janda tidak memiliki hak waris atas harta gono-gini, apalagi harta pusaka suaminya. Namun demikian, dalam prakteknya ada peradilan adat yang di lapangan, yakni meskipun tidak memberikan hak milik waris, tapi memberikan hak pengelolaan harta bagi anak perempuan atau memberikan hak waris hanya kepada anak perempuan hanya jika ia merupakan anak satu-satunya dalam suatu keluarga. Perkembangan implementasi hukum yang terjadi tentang hak waris yang banyak
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
dimenangkan oleh perempuan juga dipengaruhi oleh argumentasi tentang pembedaan antara harta pusaka dan harta perkawinan. Berbagai strategi yang dilakukan oleh perempuan ketika bersengketa, mulai dengan cara yang halus tapi cerdik, yakni diam-diam pasang strategi dan tetap menjalin hubungan baik dengan keluarganya, sampai dengan cara yang frontal untuk mempertahankan harta orangtuanya. Akan tetapi pengharapan untuk mendapatkan perlindungan kepada negara atas harta waris tidak selamanya memberikan keuntungan bagi perempuan, meskipun hak waris telah diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang didukung dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 1984. Untuk kasus-kasus yang tidak dipengadilankan, ada kecenderungan terjadinya “pengambangan”, artinya kasus tersebut dibiarkan saja, tetapi si perempuan tetap berhubungan dengan pihak lawan atau dengan cara mengelak dan mengurangi atau memutuskan hubungan dengan pihak lawan, terutama ketika menyadari tipisnya kemungkinan untuk menang. Strategi anak perempuan, meskipun dengan cara yang berbeda dalam menghadapi sengketa waris juga bervariasi mulai dari bersandiwara untuk mendapatkan belas kasihan sampai dengan melakukan perlawanan secara frontal kepada lawan sengketanya. Jika akses terhadap hukum negara bagi perempuan sangat terbatas dan penggunaan institusi hukum juga baru dilakukan ketika perempuan sudah dalam keadaan sangat terdesak, maka anak perempuan dalam menghadapi kasus sengketa warisan melalui pengadilan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Anak perempuan dapat juga melayani gugatan lawan yang mengajukannya ke pengadilan atau melakukan gugatan ke pengadilan negara dan melanjutkan proses pengadilan jika mengalami kekalahan (misalnya, banding). Anak perempuan tidak segan-segan bersentuhan dengan pengadilan meskipun mereka menyadari, bahwa tindakan itu akan banyak menyebabkan social loss. Hal ini bila cara musyawarah tidak tercapai. Keberanian ini disebabkan oleh faktor ekonomi (harta yang dipersengketakan memang besar atau tidak besar tapi vital bagi kelangsungan hidup anak perempuan). Faktor lain adalah karena lawan sengketa adalah anggota keluarga (kerabat ayah dan/atau saudara laki-lakinya) yang sudah jelas tidak memberi hak waris kepada anak perempuan sehingga mendorongnya untuk melakukan perlawanan. Namun, inipun masih ada keraguan karena ada pula kasus anak perempuan ‘kalah sebelum perang’ ketika berhadapan dengan saudara laki-lakinya dalam soal harta waris. Menurut Daniel S. Lev bahwa, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama penyelesaian sengketa yang di dalamnya dapat ditemukan budaya hukum masyarakat, yang cenderung menghindari peradilan negara, yaitu: a. penyelesaian sengketa lebih banyak mengandalkan pada konsiliasi (penyelesaian secara kekeluargaan), dengan mengutamakan kompromi; b. gaya penyelesaian perselisihan yang dianjurkan oleh nilai-nilai dalam budaya hukum masyarakat adalah gaya yang lebih memperhatikan prosedur daripada substansi; c. aturan dan pertimbangan hukum tentang keadilan sudah barang tentu tidak diabaikan, tetapi yang ditekankan bukanlah penerapan aturan-aturan tertentu
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
melainkan berakhirnya sengketa yang ditakutkan akan menimbulkan ketegangan atau gangguan sosial. 76
Peradilan negara merupakan cara terakhir yang dilakukan oleh anak perempuan yang menghadapi kasus sengketa waris juga tidak menjadikan peradilan negara sebagai cara pertama, kecuali jika terjadi kegagalan bernegosiasi dengan musyawarah di tengah-tengah keluarga dan jika ada yang memperadilankan kasus sengketa terlebih dahulu, yang akhirnya mengenalkan anak perempuan pada institusi hukum negara. “Hal ini menimbulkan terjadinya pilihan hukum di bidang waris sehingga menimbulkan pluralisme hukum dan terdapat perdebatan menyangkut sumber hukum adat dan mekanisme pembentukannya.” 77 Dari Tabel-6 berikut ini dapat diketahui dari responden, apakah anak perempuan termasuk dalam ahli waris, sebagai berikut: Tabel 6. Anak Perempuan Termasuk Sebagai Ahli Waris No 1 2 3
Jawaban Responden Setuju. Tidak Setuju. Tidak Tahu. Jumlah
Jumlah 16 12 2 30
n=30 % 54% 40% 6% 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel-6 tersebut, jawaban responden yang mengatakan setuju sebanyak 16 responden (54%) sedangkan tidak setuju sebanyak 12 responden (40%). Dari tabel tersebut tergambar bahwa anak perempuan telah mendapat hak secara bersama-sama 76
Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES (terjemahan), Jakarta, hal. 161. 77 Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan Resistensi, www. law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). tanggal 06 Agustus 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
dengan saudara laki-lakinya untuk mewaris harta peninggalan orangtuanya. Kalaupun perempuan dapat bagian harta warisan dikarenakan harta peninggalan memang ada untuk dibagikan dan semua dapat bagian, umumnya di Kecamatan Pangururan anak laki-laki yang tertua mendapat rumah. Bahwa implementasi hukum adat tidak berpengaruh terhadap letak geografis, tingkat pendidikan dan status sosial lawan sengketa perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan berpengaruhnya implementasi hukum waris bagi orang Batak yang tinggal di daerah. Tingkat pendidikan perempuan berpengaruh positif pada resistensi mereka terhadap harta waris. Berdasarkan penyebaran kuisioner di lapangan, ditemukan jawaban para responden tentang besarnya bagian warisan untuk anak perempuan, dari Tabel-7, sebagai berikut: Tabel 7. Besarnya Bagian Warisan Untuk Anak Perempuan No 1 2 3
Jawaban Responden Lebih Besar Untuk Anak Laki-laki. Sama Besarnya. Sesuai Kesepakatan Ahli waris. Jumlah
Jumlah 14 6 10 30
n=30 % 46% 20% 34% 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel diatas, responden masih memihak kepada anak laki-laki dengan persentase 46%, sedangkan jawaban responden yang mengatakan sama besarnya hanya 20% saja. Sedangkan sesuai kesepakatan
responden hanya berjumlah 10
responden (34%). Bahkan berdasarkan penelitian di lapangan dalam keluarga besar
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Simbolon ( E. Simbolon 78 , seorang anak laki-laki bersama 9 saudaranya yang lain, yang
awal
tahun
2008
melaksanakan
pembagian
warisan
yang
telah
ditentukan/kesepakatan bersama sewaktu ayahnya masih hidup) bahwa “mereka yang berjumlah 10 orang bersaudara (7 laki-laki dan 3 saudara perempuan), bahwa mereka mendapat bagian tanah yang sama, sedangkan kelebihannya dibagikan kepada saudara laki-laki, tetapi pembagian itu tidaklah sama persis, yang penting para ahli waris (baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian). Ada sebagian keluarga, untuk penentuan bagian warisan pada waktu orangtuanya sudah tua atau sakit-sakitan, mereka semua semua berkumpul dan diundang saksi-saksi. Maka setelah orangtuanya meninggal maka dilaksanakan pembagian harta warisan, sepanjang ada yang dibagikan. Adat setempat mengakui untuk rumah diberikan kepada anak laki-laki yang paling tua. Mungkin sudah waktunya memang anak perempuan Batak harus mengambil sikap, dan juga tuntutan zaman yg harus begitu. Dalam perkembangannya saat ini, bahwa anak perempuan untuk mendapatkan harta warisan dari orangtuanya dapat dilakukan berbagai cara, seperti membuat testamen, memberikan warisan dalam bentuk lain seperti uang, pendidikan, perhiasan. Namun pemberian warisan tersebut di atas kepada anak perempuan tetap tidak dianggap sebagai hak. Bagaimana anak perempuan batak mengembangkan
78
E. Simbolon bertempat tinggal di Jakarta, yang pada saat penelitian lapangan dilakukan sedang berada di Pangururan, dan sedang mengurus surat tanah atas tanah yang baru diperolehnya dari pembagian tanah warisan yang ada di Pangururan.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
berbagai strategi untuk memperjuangkan aksesnya atas harta warisan. Sudah diketahui bahwa adat Batak yang kuat sistem patriarkinya hanya mengenal laki-laki sebagai ahli waris. Dalam adat dahulu di tanah Batak memang dikenal suatu cara untuk memberi keseimbangan hak anak perempuan dengan memberikan sebidang tanah kepada anak perempuan yang kawin, yang disebut "pauseang". Juga untuk menunjukkan kasih sayang atas kelahiran cucunya dari anak perempuan dapat juga diberi sebidang lahan disebut "indahan arian" atau "punsu tali". Secara umum perempuan Batak tidak terlalu mempermasalahkan harta pusaka, yang adalah hak dari anak laki-laki dalam sistem patrilineal. Yang dipersoalkan adalah harta perkawinan, gono gini. Bagaimana perempuan Batak melancarkan strategi ? Strategi mulai dari cara yang halus sampai cara frontal. Cara halus maksudnya, dengan tidak kentara, misalnya tetap memelihara hubungan dengan saudara laki-laki. Bisa juga terjadi meminta dukungan tulang (saudara laki-laki) dari ibu, yang memang dimungkinkan adat. Dia juga mendata semua harta peninggalan yang lain di kampung halaman yang diperoleh dari warisan orangtuanya. Cara anak perempuan berperkara di pengadilan, karena melihat ada peluang di pengadilan. Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya cenderung menganut pandangan bahwa anak perempuan adalah juga ahliwaris harta perkawinan. Maka itu ada anak perempuan Batak pakai strategi mengajukan gugatan atau melayani gugatan kerabat suami di pengadilan. Sekarang sudah semakin meluas paham kesamaan kedudukan perempuan dan laki-laki, emansipasi. Ini tantangan bagi budaya Batak.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam Tabel-8 berikut ini akan tergambar bagaimana tanggapan para responden terhadap harta pusaka, sebagai berikut: Tabel 8. Pembagian Harta Warisan Terhadap Harta Pusaka No 1 2 3
Jawaban Responden Hanya untuk anak laki-laki saja. Di bagi sama. Tidak Tahu. Jumlah
Jumlah 28 1 1 30
n=30 % 94% 3% 3% 100 %
Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.
Dari Tabel-8 terjawab, bahwa para responden dengan jumlah 28 orang (persentase 94%) tidak rela harta pusaka dibagikan untuk saudara perempuan. Mungkin hal ini dapat dimaklumi bahwa harta pusaka itu merupakan pemberian kakeknya/ompung dolinya yang harus diteruskan kepada anak laki-laki kepada cucu laki-laki dan seterusnya. Bila diberikan kepada anak perempuan maka akan hilang, karena harta pusaka itu masuk kepada clan/marga dari suaminya/hela-nya. B. Penyelesaian Sengketa Warisan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 12 ayat (1) menyatakan: “Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman”. Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (2) menyatakan: “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Maka profesi hakim dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatas, adalah hakim sebagai pejabat
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
kekuasaan kehakiman yang memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Dalam penelitian ini, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir yang memeriksa dan mengadili perkara perdata (perceraian) dalam tingkat pertama yang diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara perdata (pewarisan) tingkat pertama. Pengadilan Tinggi mempunyai wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara perdata (pewarisan) yang dimintakan banding serta Mahkamah Agung memeriksa dan memutuskan perkara perdata (pewarisan) tingkat terakhir tentang perkara yang dimintakan kasasi. Hukum adat yang beraneka ragam banyaknya masih berlaku pada suku bangsa di Indonesia, dan masing-masing mengacu pada sistem kekerabatan yang dianut. Sistem kekerabatan patrilineal seperti pada suku Batak dan Bali, tidak memasukkan anak perempuan sebagai ahli waris dan tidak termasuk penerus keturunan. Pelaksanaan hukum waris yang termasuk bidang hukum keluarga menurut hukum adat Batak khususnya Batak Toba di Jakarta, masih menggunakan hukum adat Batak. Sejak tahun 1961 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yaitu Yurisprudensi No.179/K/ST/1961 tentang warisan adat di tanah Batak Karo yang memperhitungkan anak perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian yang sama dengan anak laki-laki terhadap harta kekayaan bapaknya (orang tuanya). Dari Yurisprudensi tersebut terlihat bahwa secara yuridis anak perempuan adalah ahli waris, hak waris anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan, namun
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
kenyataannya dalam masyarakat Batak Toba anak perempuan bukan ahli waris apalagi mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya (orang tuanya). “Walaupun secara normatif anak perempuan tidak termasuk dalam kelompok ahli waris, namun dalam perkembangannya, keluarga yang berasal dari warga masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di kota-kota besar sudah memasukkan anak perempuan mereka sebagai ahli waris, sedangkan bagian yang diterima anak perempuan sangat bervariasi, yaitu bagian anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan, bagian anak perempuan tergantung dari saudara laki-lakinya atau bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Hal yang utama dapat dilihat pada bidang pendidikan, dimana anak laki-laki dan perempuan mendapat prioritas utama dengan tidak ada perbedaan.”79
Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hak mewaris anak perempuan Batak Toba, yang menurut hukum adatnya tidak ditempatkan sebagai ahli waris, dalam rangka upayanya untuk memperoleh bagian dari harta ayahnya. Dalam hal ini akan dikaji, bagaimana anak perempuan Batak Toba menggunakan hukum nasional, hukum adat, atau kebiasaan-kebiasaan, dalam melegitimasi kepentingannya untuk mendapatkan akses kepada harta waris. Akhirnya akan dilihat bagaimanakah resistensi terhadap patriarkhi dapat ditunjukkan melalui berkembanganya masalah pewarisan perempuan di tengah berlangsungnya perubahan segi-segi tertentu dalam kebudayaan Batak Toba tersebut. Berdasarkan penelitian
lapangan sejak berdirinya Pengadilan Negeri
Kabupaten Samosir, belum pernah ada sengketa warisan. Namun melalui penelusuran kepustakaan bahwa ada beberapa putusan dalam Tingkat Kasasi di Indonesia oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang pewarisan putusan Kasasi tersebut No. 79
Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal 208.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
179 /Sip/1961 tanggal 1 Nopember 1961 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 204/1959 tanggal 29 Desember 1959 jo. Putusan Pengadilan Negeri Kabanjahe Nomor.3/S 1957 tanggal 8 September 1958 yaitu: Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu vs Benih Ginting, yang menjadi tonggak sejarah bagi anak perempuan menyatakan bahwa anak perempuan dengan anak laki-laki sama-sama berhak mewaris. Adapun duduk perkaranya sebagai berikut: Kasus Posisi: 80 Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu menggugat Benih Ginting, anak kandung dari mendiang Rumbane boru Sitepu di muka Pengadilan Negeri Kabanjahe pada pokoknya atas dalil: 1. bahwa tanah sengketa bernama “Juma Pasar” adalah tanah pusaka berasal dari Rolak Sitepu; 2. bahwa oleh karena Rolak Sitepu tidak anak laki-laki, dan setelah Rolak Sitepu tersebut meninggal dunia, maka menurut hukum adat Karo tanah itu harus diwarisi oleh penggugat-penggugat sebagai anak-anak lelaki dari saudara kandung almarhum Rolak Sitepu tersebut. 3. bahwa menurut putusan Balai Kerapatan (Raja Empat) Kabanjahe tanggal 1 Maret 1929 Nomor. 69 anak-anak perempuan dari almarhum Rolak Sitepu tersebut hanya ada hak buat memakai tanah itu selama mereka hidup. 4. bahwa setelah Rumbane yakni salah satu anak perempuan dari Rolak Sitepu meninggal dunia lalu tanah itu dikuasai oleh tergugat yakni anak lelaki dari almarhum Rumbane tersebut. 5. bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut penggugat-penggugat menuntut supaya Pengadilan Negeri Kabanjahe memberi putusan: a. Mengakui di dalam hukum, bahwa ladang perkara berasal dari pusaka mendiang Rolak Sitepu yang menurut adat Indonesia Karo diwarisi oleh penggugat-penggugat, sebab mendiang Rolak Sitepu adalah saudara kandung dari Tindik Sitepu ayah kandung penggugat-penggugat, karena ia (Rolak Sitepu) telah mati masap (tidak ada keturunan anak laki-laki) selain dari kedua pengugat-penggugat;
80
R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, 1983, hal. 15.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
b. menentukan di dalam hukum untuk menyudahi/memutus pemakaian tergugat atas ladang terperkara dan menyerahkannya kepada penggugatpenggugat.
Maka Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam putusannya tanggal 8 September 1958 Nomor.3/S 1957, mengabulkan gugatan dan menghukum tergugat untuk menyerahkan ladang ”Juma Pasar” kepada para penggugat. Namun dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Medan dengan putusan tanggal 29 Desember 1959 Nomor 204/1959, membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan dalam mengadili kembali menolak gugatan penggugat-penggugat. Kemudian dalam Tingkat Kasasi di Indonesia oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, keberatan-keberatan yang diajukan pada pokoknya adalah: Bahwa menurut hukum adat Karo anak perempuan (dimaksudkan Rumbane, yaitu ibu tergugat) adalah bukan ahliwaris dari ayahnya, dan bahwa penggugat-penggugat kasasi adalah menurut hukum adat Karo ahliwaris dari Rolak Sitepu dan berhak atas tanah sengketa setelah Rolak Sitepu tersebut meninggal dunia. Keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum sebagai berikut: 1. Keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas anggapan bahwa di tanah Karo masih tetap berlaku hukum yang hidup. Seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya; 2. Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa kemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
putusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan; 3. Bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka juga di tanah Karo seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya; 4. bahwa oleh karena demikian, keberatan-keberatan penggugat-penggugat untuk kasasi tidak dapat dibenarkan dan putusan Pengadilan Tinggi Medan, meskipun berdasarkan alasan-alasan lain, harus dipertahankan. Berdasarkan penelusuran kepustakaan, ada kasus yang telah
menjadi
yurisprudensi untuk kalangan masyarakat Batak Toba, yang sebelumnya putusan tersebut didasarkan atas yurisprudensi No.179K/Sip/1961 dan No.100/K/Sip/1967, yaitu No.136/K/Sip/1967. Kasus Posisi: 81 Salmah (pr) menggugat Hadji Fahri dan Siti Dour (pr), anak kandung dari mendiang Hadji Muhammad. Arsjad di muka Pengadilan Negeri Padangsidempuan pada pokoknya atas dalil: 1. bahwa almarhum ada meninggalkan beberapa bidang tanah dan beberapa rumah yang berasal dari harta pencaharian; 2. bahwa semua harta peninggalan tersebut dikuasai dan dinikmati sendiri oleh saudara penggugat yaitu Hadji Fahri. 3. dst...
81
Mahkamah Agung R.I., Yurisprudensi Indonesia, Penerbitan, I-II-III-IV/1969.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Pada Tingkat Pertama, gugatan Salmah (pr) selaku pengugat dikabulkan sebagian, di mana pembagian harta peninggalan mendiang Hadji Muhammad. Arsjad diadakan pembahagian menurut hukum adat Batak “Holong Ate”, yaitu penggugat mendapat
1 (satu) pintu rumah dan tanahnya. (Putusan Pengadilan Negeri
No.91/1956 Per.Ps. tanggal 12 Pebruari 1958). Namun penggugat Salmah (pr) tidak puas atas putusan tersebut, lalu mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Medan, dengan yang menjadi persoalan adalah sebagai berikut: 1. Hukum apakah yang dipergunakan ? hukum adat atau hukum Islam ? 2. Apakah benar yang didalilkan 2 rumah tersebut diserahkan dengan memakai wasiat ? 3. dst... Pertimbangan hukum dari Hakim judex factie bahwa: 1. Yang dipergunakan ialah hukum adat meskipun di sana sini di dalam tubuh hukum adat itu ada terdapat faktor-faktor dari Hukum Islam. 2. Dalil terbanding/tergugat tidak dapat dibuktikan. 3. dst... Pada Tingkat Banding, permohonan Salmah (pr) selaku pembanding dikabulkan sebagian, di mana pembagian harta peninggalan
mendiang Hadji
Muhammad. Arsjad diadakan pembahagian yaitu pembanding mendapat 2 1/2 (dua setengah) pintu rumah dan tanahnya. (Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.201/1958 Perdata tanggal 5 Agustus 1964).
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Namun, terhadap putusan banding tersebut membuat Hadji Fahri mengajukan kasasi dengan keberatan-keberatan untuk kasasi sebagai berikut: 1. Bahwa Pengadilan Tinggi Medan memutus bertentangan dengan apa yang telah terbukti karena tidak dapat dibuktikan adanya warisan, semua rumah asal sudah terbakar, semua yang ada sekarang sudah didirikan oleh orang lain. 2. Bahwa Pengadilan Tinggi Medan salah menerapkan hukum hukum adat sebab menurut adat Holong Ate yang dapat diberikan oleh ahli waris kepada anak perempuan ialah bagian yang dibagi dengan sukarela di hadapan raja-raja adat, anak perempuan tidak berhak menentukan harta mana yang hendak diterimanya sebagai holong ate, dan ahli waris tidak diwajibkan untuk menyerahkan harta yang bukan harta peninggalan. Terhadap keberatan-keberatan tersebut di atas maka Hakim Judex Factie berpendapat bahwa: 1. Bahwa keberatan butir (1) tidak dapat dibenarkan, karena keberatan mengenai penilaian hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. 2. Bahwa keberatan butir (2) tidak dapat dibenarkan, karena menurut pendapat
Mahkamah
Agung
putusan
Pengadilan
Tinggi
yang
mempergunakan hukum adat Batak Holong Ate telah memberikan bagian warisan kepada anak perempuan lebih banyak atas pertimbangan kemajuan kedudukan wanita dan hak-hak wanita di tanah Batak, yaitu 2
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
1/2 pintu rumah beserta tanah pekarangannya yang tersebut pada surat gugat, adalah sudah tetap dan adil. Dari pertimbangan hukum di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi (Hadji Fahri) tersebut ditolak. Putusan Mahkamah Agung ini mendapat sambutan hangat dari kaum wanita Tapanuli dan dapat dianggap sebagai suatu tonggak bersejarah dalam proses pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria. Dengan putusan ini Mahkamah Agung telah membentuk hukum yurisprudensi baru dalam soal warisan di Tapanuli. Untuk melengkapi penulisan ini, perlu dicantumkan beberapa kasus sengketa waris anak perempuan secara nasional: 82 Tabel 9. Sengketa Waris Anak Perempuan Persepsi Para Pihak
Lawan Sengketa
Harta warisan
Laki-laki
Perempuan
1.
Kakak sulung laki-laki.
Rumah, tanah seluas 50m2.
Ingin hukum adat: perempuan tidak berhak mewaris. Perempuan sudah dibeli suami, wajib membeli rumah.
Tidak ingin hukum adat. Merasa punya hak atas bagian harta perkawinan orangtua. Dilahirkan dari ibu yang sama.
2.
Saudara kandung laki-laki.
sawah, tanah, ladang, rumah, kebun di 37 tempat berbeda, perhiasan
Variasi pandangan dlm kelompok pihak laki2: hy anak laki2 yang berhak mewaris harta perkawinan, tdk keberatan perempuan mendpt bagian warisan. ...
Meskipun perempuan, harus dianggap sbg ahli waris jg meminta menuntut pembagian sama rata dengan anak laki-laki.
3.
dst ...
...
...
...
No
Pilihan Hukum Perempuan Harta pusaka tunduk pada hukum adat. Harta pencaharian: tidak pada hukum adat...
Pilihan Pengaduan Adat
Negara
-
-
Mengggugat ke PN
Upaya negosiasi gagal
PN, PT, MA memenangkan anak Perempuan
...
...
...
82
Sulistyowati Irianto, Op.Cit, hal. 275-276.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Dari Tabel tersebut merupakan sebagian dari kasus-kasus sengketa waris yang terjadi di Indonesia yang diteliti oleh Sulistyowati Irianto dalam memperoleh gelar Doktornya dalam bidang Antrologi Hukum yang berjudul Perempuan Di antara Berbagai Pilihan Hukum. Nomor 1 dari Tabel tersebut merupakan data yang diperoleh di lapangan yang dilakukan oleh Sulistyowati Irianto, di mana kasus tersebut merupakan sengketa antara AP vs PP. Kasus ini memperlihatkan strategi anak perempuan (AP) yang dibantu oleh saudara-saudara kandungnya melawan kakak sulung laki-laki, untuk mempertahankan sepetak rumah yang menjadi tempatnya bertuduh. Saudara laki-laki yang selalu berupaya menjual rumah peninggalan orangtuanya itu adalah seorang Sarjana Hukum (satu-satunya sarjana dalam keluarganya), mempunyai pekerjaan yang cukup baik, dan sudah mendapatkan bagian terbesar dari harta ayahnya. Sementara itu saudara perempuan lawan sengketanya tidak memiliki apa-apa, kecuali rumah petak di atas tanah 50 m2 yang disengketakan itu. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hubungan persaudaraan mereka, dan sampai saat ini tidak ada penyelesaian. Namun Nomor 2 dari Tabel tersebut berbeda, karena merupakan data yang diperoleh dari studi dokumen yang dilakukan oleh Sulistyowati Irianto, di mana kasus tersebut merupakan sengketa antara Muj, Pel dan Ter vs Raja Pulung M dan Raja Meriah M (Putusan MA No.182/K/Sip/1970). Kasus waris ini menyangkut harta yang sangat banyak berupa ladang, kebun, sawah, rumah yang terletak di 37 tempat yang berbeda. Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya harta yang disengketakan
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
juga meliputi benda bergerak berupa berbagai perhiasaan yang beratnya 478 gram. Perseteruan terjadi antara anak-anak perempuan melawan saudara-saudara kandung mereka yang laki-laki, memperebutkan harta mendiang orangtua mereka. Baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung memenangkan pihak anak perempuan. Dengan demikian upaya yang dilakukan anak perempuan untuk mendapat hak yang dituntutnya baik melalui musyawarah keluarga atau musyawarah adat, bahkan mengajukan gugatan sengketa warisan ke pengadilan merupakan suatu kemenangan untuk memperoleh hak/bagian bersama-sama dengan saudaranya lakilaki atas harta peninggalan dari orangtua mereka. Beberapa keputusan Mahkamah Agung telah melakukan koreksi terhadap praktek di atas dengan menetapkan secara tegas kedudukan yang sama dalam hak waris antara anak laki-laki dengan anak perempuan. “Namun pada sisi lain pertimbangan hukum dalam putusan Mahakamah Agung tidak dikaitkan dengan filosofi, sejarah Hukum Waris Adat Batak Toba dan nilai-nilai yang hidup pada masyarakatnya.” 83 Sehingga tidak semata-mata berisi pertimbangan persamaan kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dari aspek kemanausiaan, perkembangan peradaban manusia dan pendapat pribadi majelis hakim. Menurut Barita LM. Simanjuntak dalam disertasinya bahwa: “Putusan Mahkamah Agung selanjutnya dipahami sebagai penafsiran kaidah Hukum Waris Adat Batak Toba yang baru sehingga dalam perkembangannya 83
Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan Resistensi, www. Law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). tanggal 06 Agustus 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
otoritas badan peradilan (Mahkamah Agung) turut mempengaruhi kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Hukum Waris Adat Batak Toba, padahal keputusan Mahkamah Agung tersebut sesungguhnya sekedar mengukuhkan, menguatkan kembali saja landasan sejarah dan filosofi Hukum Waris Adat Batak Toba yang sesungguhnya.” 84
84
Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan Resistensi, www. Law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). tanggal 06 Agustus 2008.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Setelah diuraikan pada bab-bab terdahulu khususnya mengenai pembahasan, maka pada bab terakhir ini, yang merupakan bab penutup dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan
Batak Toba pada
prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti anak perempuan tidak berhak berbicara dan mengeluarkan pendapat di acara-acara resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini, dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli). 2. Kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki secara bersama-sama telah mendapat hak/bagian atas harta peninggalan dari orangtuanya. Namun terhadap harta pusaka, yang berhak tetap anak laki-laki karena sebagai penerus marga bapaknya. 3. Dalam masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, sistem pembagian warisannya telah mengalami perubahan. Sebelumnya anak perempuan tidak mendapat bagian warisan terhadap harta peninggalan orangtuanya, kecuali
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
pemberian. Namun sekarang anak perempuan telah mendapat hak atas harta warisan dari orangtuanya seperti tanah, ladang, sawah. B. Saran Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil diberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Disarankan kepada tokoh-tokoh adat dan kaum laki-laki, mulai memberi kesempatan kepada perempuan untuk bersuara dan mengambil keputusan dalam acara pesta-pesta Batak tanpa menghilangkan rasa hormat kepada laki-laki dan ataupun mengubah struktur kekerabatan Batak Toba yaitu “Dalihan Na Tolu”. 2. Persamaan hak itu merupakan tuntutan rasa keadilan dan hukum, karena yurisprudensi tentang waris telah ada dan dijadikan acuan untuk menyelesaikan mengatur persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan. Maka disarankan perlu adanya sosialisasi ditengah-tengah masyarakat (tokoh adat, pemerintah setempat) untuk memberi pemahaman yang sama “kedudukan anak perempuan sama dengan anak laki-laki” sehingga tidak terjadi perselisihan pewarisan dalam satu keluarga. 3. Perkembangan hak mewaris bagi anak perempuan dari tidak mewaris menjadi mewaris, perlu disikapi secara positif. Untuk itu pemerintah disarankan membuat peraturan perundang-undangan tentang pembagian warisan yang bersifat nasional, sehingga tidak ada lagi keanekaragaman pembagian warisan. Maka terciptalah kepastian hukum dan kepastian pembagian warisan bagi para ahli waris.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku.
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, 1976. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi Ketiga, Jakarta, 2005. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980. -------------------------, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an, Tintamas, Jakarta. Ihromi, Tapi Omas, Inheritance and Equel rights for Toba Batak Daughters,” Law and Society Review Vol. 28. No. 3, 1994. Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005. Kartasapoetra, Rien G., Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, Cetakan 1, 1988. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES (terjemahan), Jakarta. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Malik, Rusdi, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta. Manan, H. Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004. Meliala, Djaja S. dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Moleong, Lexy. J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001 Pitlo, A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1990. Poesponoto, K.Ng. Soebakti, Azas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta 1990. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung. Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976. Sangti, Batara, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997. Saragih, Djaren, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), Tarsito, Bandung, 1980. Satrio, J., Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992. Sianturi, Sr. Alfocine Idarmeiaty, Kesetaraan Jender Dalam Semangat Habitus Baru, WKRI, PPU, 2008. Sihombing,T.M., Filsafat Batak (tentang kebiasasan-kebiasaan adat istiadat), Balai Pustaka, Jakarta 1986. Sihotang, Jailani, dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (tata cara perkawinan di Toba), Mars 26, Jakarta, 1988. Soediyat, Iman, Asas-Asas Hukum Adat, Gajah Mada, Yogyakarta, 1969. Soemitro, Ronny Hamitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984. -----------------------, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Universitas, Jakarta, 1996. Subagio, Joko P., Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Subekti, R., Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, 1983. Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. Suparman, Erman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW, Refika Aditama, Bandung, 2005. Vergouwen, J.C, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta, 1986. Vollmar, HFA., (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989. Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1987. Wuisman, J.J.J. M., dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996. B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. ------------, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
C. Media Cetak dan Elektronik Harian Analisa., 27 April 2008. Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor.8. 1996. Magazine The International Day of World’s Indigenous Peoples, 9 Agustus 2006.
[email protected] www.google.com www.law.ui.com www.samosir.go.id
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008
Lampiran 1
Peta Wilayah Samosir:
Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008