ANALISIS PERGESERAN STRUKTUR EKONOMI DAN PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KAWASAN SULAWESI
OLEH S U PA R N O H14084024
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ANALISIS PERGESERAN STRUKTUR EKONOMI DAN PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KAWASAN SULAWESI
Oleh S U PA R N O H14084024
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama
: Suparno
Nomor Registrasi Pokok : H14084024 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis
Pergeseran
Struktur
Ekonomi
dan
Penentuan Sektor Ekonomi Unggulan Kawasan Sulawesi Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Tony Irawan, M.App.Ec. NIP. 132311724
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
DR. Ir. Rina Oktaviani, M.S NIP. 131846872
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN
Bogor,
September 2008
Suparno H14084024
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Suparno, lahir pada tanggal 8 Maret 1978 di Sragen Provinsi Jawa Tengah. Penulis anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan Paimin Mitro Sugito dan Tukinem. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Bedoro IV kemudian melanjutkan ke SMPN I Sambungmacan pada tahun 1990 dan lulus SMP pada tahun 1993. Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Gondang dan lulus pada tahun 1996. Kesemuanya berlokasi di Kabupaten Sragen. Pada tahun 1997, penulis diterima menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta dengan jurusan Komputasi Statistik, menyelesaikan pendidikan DIII pada tahun 2000 dan pada tahun 2001 menamatkan DIV dan mendapat gelar Sarjana Sains Terapan (SST) pada Perguruan Tinggi yang sama dengan jurusan yang sama. Pada tahun 2000 penulis diangkat menjadi CPNS di Badan Pusat Statistik dan satu tahun kemudian ditugaskan di BPS Provinsi Gorontalo. Pada tahun 2008, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa dari BPS dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul ”Analisis Pergeseran Struktur Ekonomi dan Penentuan Sektor Ekonomi Unggulan Kawasan Sulawesi”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi, Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Tony Irawan yang telah memberikan bimbingan baik teknis maupun non teknis dalam proses pembuatan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis tujukan kepada Bapak Mohammad Firdaus yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada seluruh rekan-rekan kelas BPS yang telah memberikan masukan demi perbaikan karya ini pada saat Seminar Hasil Penelitian skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman BPS Pusat maupun BPS Provinsi Gorontalo, terutama Mas Urip yang telah banyak membantu dengan supply datanya. Kepada kelompok TI41 Bogor Timur, penulis juga menyampaikan terimakasih atas diskusi-diskusi dan pemberian motivasi yang membangkitkan semangat sehingga karya ini bisa selesai. Tak lupa juga kepada Bapak Lukman Baga yang telah sudi membagikan pengalamannya, penulis ucapkan terimakasih. Juga kepada teman-teman kost, Bambang, Aan dan Hakim yang telah saling memotovasi, menghibur dan berbagi, terima kasih penulis sampaikan. Ucapan terimakasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan saudara-saudara penulis. Berkat kesabaran, dorongan, nasehat dan doa-doa mereka membuat penulis mampu menyelesaikan karya ini. Akhirnya terimakasih yang tak terhingga kepada
Istriku tercinta, Asriyati Nadjamuddin, serta kedua buah hatiku yang selalu memberi inspirasi, Muhadzdzib Luthfi Hadid dan Muhadzdzib Rifky Hanif, terimakasih telah mendampingi, menghibur dan memotivasi penulis, juga mohon maaf atas tersitanya sebagian waktu yang seharusnya buat kalian ketika penulis mengerjakan skripsi ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, September 2008
S U PAR N O H14084024
RINGKASAN
SUPARNO. Analisis Pergeseran Struktur Ekonomi dan Penentuan Sektor Ekonomi Unggulan Kawasan Sulawesi (dibimbing oleh Tony Irawan)
Karakteristik wilayah mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola pembangunan ekonomi, sehingga pola pembangunan ekonomi wilayah di Indonesia tidak seragam (timpang). Tingginya ketimpangan pendapatan mengindikasikan tidak meratanya pembangunan terutama dalam bidang ekonomi di Indonesia. Selain itu, tingginya ketimpangan pendapatan juga memperlihatkan adanya heterogenitas antar wilayah. Jika antar wilayah terdapat keragaman, kebijakan dalam pembangunan tidak bisa dilakukan secara seragam, diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lokal daerah dan perlakuan (treatment) yang berbeda antar daerah. Upaya untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat telah tercantum dalam GBHN 1999-2004, yaitu dengan memberdayakan pelaku dan potensi daerah, serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Sejalan pula dengan isu lintas bidang yang tercantum dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas 2000-2004) bahwa untuk meningkatkan dan mempercepat pembangunan daerah dilakukan dengan konsep pembangunan lintas wilayah. Selain itu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, telah disebutkan bahwa salah satu strategi untuk mendorong pembangunan nasional adalah dengan membuat rencana tata ruang berbasis pulau/kepulauan untuk wilayah Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Pulau Papua. Kawasan Pulau Sulawesi merupakan salah satu kawasan yang relatif tertinggal dalam perekonomian dibanding dengan Kawasan lainnya di Indonesia seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB perkapita yang tercipta di wilayah ini merupakan yang terendah dibanding dengan wilayah lain di Indonesia. Selain itu, kue ekonomi yang tercipta di Sulawesi dalam perekonomian nasional masih sangat kecil dan bahkan dari tahun ke tahun cenderung semakin mengalami penurunan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pola pergeseran struktur ekonomi di kawasan Sulawesi, keadaan disparitas pendapatan regional diantara provinsi-provinsi di kawasan Sulawesi, pengaruh faktor-faktor komponen pertumbuhan ekonomi terhadap perekonomian Sulawesi, posisi relatif kawasan Sulawesi dalam perekonomian nasional dan menentukan sektor potensial di kawasan Sulawesi untuk menjadi keunggulan wilayah supaya bisa bersaing di perekonomian Nasional.
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Shift Share (klasik) untuk melihat pergeseran struktural dan daya saing sektor dan Shift Share modifikasi Esteban-Marquiless untuk melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif dan spesialisasi. Untuk melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah digunakan analisis Klassen Typologi dan untuk melihat disparitas pendapatan regional digunakan indeks Williamson. Selain itu untuk menentukan sektor basis (memiliki keunggulan komparatif) di kawasan ini digunakan alat analisis Location Quation serta untuk mengetahui efek pengganda dari sektor basis digunakan formula Base Multiplier. Cakupan wilayah dalam penelitian ini adalah Kawasan Pulau Sulawesi, dimana terdapat enam Provinsi didalamnya yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo dengan periode waktu antara tahun 2000 hingga 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur perekonomian Sulawesi mulai terjadi pergeseran dari sektor primer menuju ke sektor sekunder dan tersier, walaupun tingkat pergeserannya masih relatif kecil. Keadaan disparitas pendapatan regional diantara provinsi-provinsi di kawasan Sulawesi cukup rendah dengan rata-rata indeks williamson sebesar 0,19, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemerataan pendapatan di kawasan ini cukup merata. Secara agregat, dari tahun 2000 hingga tahun 2007 terjadi pertambahan tingkat PDRB (output ekonomi) di Sulawesi sebesar 27,31 triliyun rupiah. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (86,76 persen) lebih disebabkan karena effek pertumbuhan ekonomi ditingkat nasional. Sementara pengaruh daya saing Sulawesi terhadap perekonomian Sulawesi hanya mampu mendorong pertambahan perekonomian Sulawesi sebesar 12,56 persen. Sementara itu pengaruh dari efek bauran industri/sektoral (Industrial Mix Growth) terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi sebesar 0,68 persen. Dari berbagai alat analisis yang digunakan, terlihat ada beberapa sektor yang memiliki beberapa keunggulan sekaligus yaitu sektor pertanian, sektor bangunan dan sektor jasa-jasa. Sektor-sektor ini dikategorikan sebagai sektor yang memiliki daya saing yang tinggi, memiliki keunggulan kompetitif, mampu berspesialisasi, serta memiliki keunggulan komparatif sekaligus. Bahkan sektor bangunan selain memiliki semua keunggulan juga dikategorikan sebagai kelompok yang progresif (maju) dan pertumbuhannya pesat (fast growing). Sehingga ketiga sektor ini dapat dikatakan sebagai sektor potensial untuk dikembangkan di Sulawesi. Kepada pengambil kebijakan, untuk menjadikan Sulawesi sebagai wilayah yang maju, perlu di rumuskan formula untuk memulai menggerakkan industri pengolahan terutama yang berbahan baku dari sektor pertanian yang melimpah (memiliki beberapa keunggulan) dan juga mensinergikan dengan sektor-sektor yang memiliki beberapa keunggulan agar dihasilkan multiplier effect terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan percepatan pembangunan ekonomi yang lebih efektif, dengan tidak mengabaikan sektor-sektor ekonomi lainnya.
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
iv
I
PENDAHULUAN .............................................................................
1
1.1 Latar Belakang...............................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ......................................................................
9
1.3 Tujuan Penelitian ..........................................................................
11
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................
11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................
12
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .............
13
2.1 Tinjauan Pustaka ...........................................................................
13
2.1.1 Teori ekonomi pembangunan ..............................................
13
2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi ..............................................
15
2.1.3 Keunggulan Komparatif Dan Keunggulan Kompetitif Wilayah ..............................................................................
19
2.1.4 Konsep Wilayah ..................................................................
22
2.1.5 Teori Perubahan Struktur Ekonomi .....................................
24
2.1.6 Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory) ..................
26
2.1.7 Spesialisasi Perekonomian ..................................................
27
2.1.8 Penelitian-penelitian terdahulu ............................................
28
2.2 Kerangka Pemikiran .................................................................
33
METODE PENELITIAN ...................................................................
35
3.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................
35
3.2 Analisis Disparitas Pendapatan Regional ...........................................
35
3.3 Analisis Klassen Typologi ..........................................................
37
II
III
ii
IV
V
3.4. Metode Analisis Shift-Share Klasik ............................................
38
3.5 Menghitung pergeseran bersih .....................................................
44
3.6 Shif Share Modifikasi Esteban Marquillas (SS-EM) ..................
45
3.7 Location Quotient (LQ) ...............................................................
47
3.8 Analisis Effek Pengganda Sektor Basis (Base Multiplier) ..........
49
3.9 Definisi Operasional Variabel .....................................................
50
HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................
54
4.1 Kondisi Ekonomi Sulawesi .........................................................
54
4.1.1. Struktur Ekonomi ...............................................................
54
4.1.2. Pertumbuhan Ekonomi .......................................................
56
4.1.3. PDRB Perkapita ................................................................
58
4.2 Analisis Disparitas Pendapatan Regional .....................................
60
4.3 Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Daerah ........................
61
4.4 Analisis Komponen Pertumbuhan Ekonomi ................................
63
4.4.1 Analisis Shift Share Klasik ................................................
63
4.4.2 Pergeseran Sektor-Sektor Perekonomian (Pergeseran Bersih/Net Shift) .................................................................
67
4.4.3 Analisis Kuadran PS dan DS .............................................
68
4.5 Analisis Dampak Keunggulan Kompetitif dan spesialisasi ........
70
4.6 Analisis Keunggulan Komparatif .................................................
71
4.7 Analisis efek pengganda basis (base multiplier) ........................
73
4.8 Ringkasan berbagai analisis .........................................................
75
4.9. Relevansi Kebijakan ....................................................................
77
Kesimpulan dan Saran .........................................................................
79
5.1 Kesimpulan ...................................................................................
79
5.2 Saran .............................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
82
LAMPIRAN ........................................................................................
86
iii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.1
Indeks Ketimpangan Williamsons Indonesia Tahun 2000-2007
1
Tabel 1.2
PDRB perkapita dirinci per wilayah di Indonesia tahun 20002007 (ribuan rupiah) ...............................................................
6
Kontribusi Kawasan terhadap Perekonomian Nasional tahun 2000-2007 (persen) .................................................................
7
Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Pulau (Kawasan) di Indonesia tahun 2000-2007 (persen) ........................................
8
Tabel 3.1
Klasifikasi Daerah berdasarkan Klassen Tipology ...................
38
Tabel 3.2
Posisi Relatif Suatu Sektor berdasarkan Pendekatan PS dan DS .............................................................................................
43
Tabel 3.3
Analisis Shift Share Esteban Marquilass ..............................
47
Tabel 4.1
Struktur Ekonomi Sulawesi menurut Sektor Ekonomi Tahun 2000 -2007 (persen) ..................................................................
54
Laju Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Dirinci Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2000-2007 ......................................................
57
Tabel 1.3 Tabel 1.4
Tabel 4.2 Tabel 4.3
PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan Sulawesi Tahun 2000-2007 (Rupiah) .................................................................
59
Indeks Ketimpangan Regional Williamsons Antar Propinsi di Wilayah Sulawesi Tahun 2000-2007 .......................................
60
Perubahan sektoral dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekonomi Sulawesi, 2000-2007 .................................................
64
Tabel 4.6
Pergeseran Bersih (net shift) Sektor Perekonomian Sulawesi..
67
Tabel 4.7
Identifikasi Keunggulan Kompetitif dan Spesialisasi Perekonomian Sulawesi periode 2000-2007 ...........................
71
Nilai Location Quation Sulawesi dirinci per sektor ekonomi tahun 2000-2007 .......................................................................
73
Koefisien Pengganda Pendapatan Sektor Basis di Sulawesi tahun 2000-2007 .......................................................................
74
Ringkasan Berbagai Alat Analisis Yang Digunakan ..............
76
Tabel. 4.4 Tabel. 4.5
Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Konseptual
Gambar 4.1
Klasifikasi Kawasan Pulau di Indonesia berdasarkan Klassen Tipology ................................................................. 61
Gambar 4.2
Klasifikasi provinsi-provinsi di lingkup Sulawesi berdasarkan Klassen Tipology ............................................. 62
Gambar 4.3
Proportional Shift (PS) dan Diference Shift (DS) Sektor Ekonomi di Sulawesi periode 2000-2007 ............................ 69
34
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Bagi sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau seperti Indonesia, perbedaan karakteristik wilayah adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Karakteristik wilayah mempunyai pengaruh kuat pada terciptanya pola pembangunan ekonomi, sehingga pola pembangunan ekonomi wilayah di Indonesia tidak seragam (timpang). Ketidakseragaman ini akan berpengaruh pada kemampuan untuk tumbuh yang pada kenyataannya akan ada wilayah yang maju dan ada beberapa wilayah lain pertumbuhannya lambat. Walaupun negara yang bersangkutan telah berusaha untuk menerapkan kebijakan pembangunan wilayahnya agak tidak terjadi kesenjangan antar wilayah. Diduga, penyebab pokok terjadinya hal tersebut adalah adanya perbedaan dalam struktur industri atau sektor ekonominya. (Thomas, dalam Budiharsono, 2001) Tabel 1.1. Indeks Ketimpangan Williamsons Indonesia Tahun 2000-2007 No.
Tahun
Indeks Williamsons
(1)
(2)
(3)
1 2 3 4 5 6 7 8
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
0,8455 0,8551 0,8570 0,8654 0,8621 0,8523 0,8482 0,8409 0,853327
Rata-rata Sumber: BPS (diolah)
2
Berdasarkan penghitungan Indeks Ketimpangan Williamsons yang membandingkan besaran PDRB perkapita antar provinsi di Indonesia dari tahun 2000-2007, terlihat ketimpangan mencapai 0,85. Hal ini menggambarkan terjadi ketimpangan yang tinggi antar provinsi-provinsi di Indonesia terutama dalam hal distribusi pendapatan perkapita penduduknya. Tingginya ketimpangan pendapatan mengindikasikan tidak meratanya pembangunan terutama dalam bidang ekonomi di Indonesia. Selain itu, tingginya ketimpangan pendapatan juga memperlihatkan adanya heterogenitas antar wilayah. Jika antar wilayah terdapat keragaman, kebijakan dalam pembangunan tidak bisa dilakukan secara seragam, diperlukan penyesuaianpenyesuaian dengan kondisi lokal daerah dan perlakuan (treatment) yang berbeda antar daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan
Pusat
dan
Daerah,
maka
setiap
Pemerintah
Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom dituntut untuk dapat mengembangkan dan mengoptimalkan semua potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional
yang
diwujudkan
dengan
pengaturan,
pembagian,
dan
3
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan dan sumber dana lain (pinjaman/ bantuan LN). (Adiatmojo, 2003). Dewasa ini berkembang fenomena berkaitan dengan perubahan pola pembangunan ekonomi, yaitu pola kerja berjaringan (networking) dalam beragam aktivitas produktif, baik di sektor publik (antar pemerintah) dan bisnis, maupun dalam masyarakat secara umum. Ini hanya dapat berjalan jika masing-masing pihak sebagai simpul memiliki kompetensi yang makin terspesialisasi dan saling komplementatif, berkembangnya keterkaitan atas landasan (platform) bersama yang saling mendukung dan kuat, serta komitmen yang tinggi dan tindakan nyata yang menghasilkan sinergi positif (Taufik, 2005). Salah
satu
pengembangan
kendala
dalam
ekonomi daerah
peningkatan
adalah
pelayanan
keterbatasan
publik
kapasitas
dan
daerah
(sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan, kelembagaan dan asset daerah). Salah satu inovasi untuk mengatasi masalah tersebut adalah kerjasama antardaerah. Pengalaman di berbagai negara dan prakarsa yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia menunjukkan bahwa kerjasama antardaerah pelayanan
akan publik
meningkatkan kapasitas
Pemda dalam
yang
terjangkau,
pembangunan daerah.
berkualitas
dan
dan
mewujudkan percepatan
4
Kerjasama antardaerah akan menjadi pilihan yang paling rasional di masa depan dengan lima pertimbangan. Pertama, sebagian besar daerah menghadapi permasalahan keterbatasan fiskal. Kerjasama antar daerah yang berdekatan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dalam penyediaan pelayanan publik. Kedua, perkembangan wilayah dan dinamika pergerakan manusia semakin mengaburkan batas-batas administratif. Dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, kerjasama mendorong pengembangan klaster industri untuk meningkatkan daya saing produk. Sumberdaya masingmasing daerah dapat dikembangkan secara sinergis menjadi suatu keunggulan bersama yang saling melengkapi. Ketiga, adanya eksternalitas dalam setiap kegiatan pembangunan, baik positif maupun negatif. Kerjasama antardaerah dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pemecahan masalah eksternalitas negatif yang sering terjadi seperti bencana banjir, kekeringan, kebakaran dan tanah longsor sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya alam yang kurang bijaksana. Kerjasama antardaerah juga akan menciptakan eksternalitas positif berupa pengelolaan sumberdaya, peningkatan produktivitas, perluasan pemasaran dan penciptaan lapangan kerja bagi penduduk sekitar. Keempat, adanya kesenjangan antardaerah dan antarpenduduk dan munculnya masalah sosial baru sebagai akibat migrasi penduduk dari daerah miskin ke daerah kaya. Kerjasama antardaerah akan meningkatkan efektivitas pemecahan masalah kependudukan dan kemiskinan. Kelima, terjadinya tumpang tindih perizinan pengelolaan sumber daya alam. Pengeluaran surat izin, surat keterangan dan bukti hak atas
5
kepemilikan tanah ulayat yang terjadi di wilayah perbatasan antardaerah oleh masing-masing daerah seringkali tumpang tindih sehingga mengakibatkan konflik horisontal dan berdampak pada terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban umum. (Bappenas, 2005) Upaya untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan
kuat
telah
tercantum
dalam
GBHN
1999-2004,
yaitu
dengan
memberdayakan pelaku dan potensi daerah, serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Sejalan pula dengan isu lintas bidang yang tercantum dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas
2000-2004)
bahwa
untuk
meningkatkan
dan
mempercepat
pembangunan daerah dilakukan dengan konsep pembangunan lintas wilayah. Selain itu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, telah disebutkan bahwa salah satu strategi untuk mendorong pembangunan nasional adalah dengan membuat rencana tata ruang berbasis pulau/kepulauan untuk wilayah Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Pulau Papua. Di lingkup regional, mulai muncul gagasan dari sejumlah daerah untuk menggalang kerjasama berbasis kawasan guna mempercepat pembangunan di wilayah tersebut. Seperti yang dilakukan oleh provinsi-provinsi di kawasan Sulawesi, pada tahun 2000, pemerintah provinsi se-Sulawesi sepakat untuk mengikat kinerja program daerah dalam suatu wadah kebersamaan guna
6
mewujudkan kesatuan pembangunan regional Sulawesi melalui kesepakatan bersama menyangkut visi dan misi Sulawesi serta kesepakatan program pembangunan Sulawesi. Guna mewujudkan visi dan misi Sulawesi, mereka melakukan kesepakatan untuk menjalin kerjasama yang kemudian dituangkan dengan membentuk BKPRS (Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi). Hal ini selaras dengan pendapat Marshall yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi akan lebih efisien apabila dilakukan secara simultan dan dalam lingkup kluster (kawasan/area) yang tidak terlalu luas. (Marshall, 1919: 285). Kawasan Pulau Sulawesi merupakan salah satu kawasan yang relatif tertinggal dalam perekonomian dibanding dengan Kawasan lainnya di Indonesia seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini dapat dilihat dari nilai PDRB perkapita yang tercipta di wilayah ini merupakan yang terendah dibanding dengan wilayah lain di Indonesia. Rata-rata PDRB perkapita Sulawesi dari tahun 2000 hingga 2007 hanya sebesar 5,9 juta rupiah, sementara kawasan Kalimantan dengan cadangan SDA yang kaya merupakan wilayah dengan PDRB perkapita tertinggi dengan rata-rata mencapai 17,7 juta rupiah. Tabel 1.2
PDRB perkapita dirinci per wilayah di Indonesia tahun 20002007 (ribuan rupiah)
Kawasan
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Sulawesi Sumatera Jawa Bali Kalimantan Lainnya Indonesia
3.852 7.206 6.571 11.627 3.943 6.752
4.330 7.907 7.440 12.665 4.553 7.881
4.770 8.625 8.330 13.088 4.830 8.595
5.291 9.750 9.136 14.810 5.115 9.354
5.900 10.927 10.145 17.622 5.670 10.538
6.875 12.819 12.172 22.050 7.577 12.674
7.849 14.832 14.182 24.027 8.090 15.027
8.792 16.914 15.725 25.494 9.177 17.538
Sumber: Badan Pusat Statistik
Ratarata 5.957 11.123 10.463 17.673 6.119 11.045
7
Selain itu, kue ekonomi yang tercipta di Sulawesi dalam perekonomian nasional masih sangat kecil dan bahkan dari tahun ke tahun cenderung semakin mengalami penurunan. Pada tahun 2000, peranan perekonomian Sulawesi terhadap perekonomian nasional sebesar 4,20 persen (PDRB berlaku) dan pada tahun 2007 menurun tinggal 4,06 persen. Bila dibanding dengan kawasan Sumatera dan Jawa-Bali yang rata-rata memberi kontibusi terhadap perekonomian nasional sebesar 22,42 persen dan 60,63 persen, kawasan Sulawesi memang masih sangat jauh tertinggal dalam perekonomian Nasional. Tabel 1.3
Kontribusi Kawasan terhadap Perekonomian Nasional 2000-2007 (persen) Tahun Kawasan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Sulawesi 4,20 4,22 4,23 4,17 4,16 4,07 4,04 4,06 Sumatera 22,84 22,43 22,27 22,40 22,42 22,12 22,31 23,02 Jawa-Bali 59,89 60,36 61,17 61,25 60,64 60,11 60,65 60,21 Kalimantan 9,63 9,43 8,91 8,89 9,48 9,99 9,50 9,13 Lainnya 3,45 3,56 3,42 3,29 3,30 3,72 3,49 3,57 Total 100 100 100,00 100 100 100 100 100 Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
tahun Ratarata 4,14 22,42 60,63 9,33 3,48 100
Akan tetapi disisi lain, Sulawesi merupakan wilayah yang cukup berpotensi secara ekonomi. Bila dilihat laju pertumbuhan ekonominya, sejak tahun 2000 hingga 2007, perekonomian Sulawesi meningkat rata-rata sebesar 5,73 persen, tertinggi dibanding dengan pertumbuhan kawasan lainnya di Indonesia. Sementara laju pertumbuhan nasional dalam kurun waktu yang sama tercatat sebesar 5,07 persen. Terlihat bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi Sulawesi lebih tinggi dibanding dengan rata-rata pertumbuhan nasional.
8
Tabel 1.4
Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Pulau (Kawasan) di Indonesia tahun 2000-2007 (persen)
Kawasan 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Sulawesi 4,55 4,50 5,31 5,68 6,23 6,93 Sumatra 0,63 5,71 4,52 2,93 3,57 5,26 Jawa & Bali 3,88 4,08 4,92 5,38 5,74 5,77 Kalimantan 4,20 2,74 2,66 3,01 3,92 3,88 Lainnya 6,52 4,45 2,66 (5,26) 13,99 (4,18) Nasional 3,64 4,50 4,78 5,03 5,69 5,51 Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
2007 6,88 4,90 6,16 3,14 4,93 6,32
Rata-rata 5,73 3,93 5,13 3,37 3,30 5,07
Dinamika pertumbuhan regional merupakan hal yang sangat kompleks. Kompleksitas dinamika pertumbuhan regional, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi semata, namun juga turut dipengaruhi oleh faktor, sosial, budaya, dan bahkan politik. Sehingga banyak studi yang dikembangkan untuk meneliti bagaimana terjadinya dinamika tersebut. Dengan mengetahui karakteristik, komponen-komponen pendorong pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor potensial/unggulan disuatu wilayah, diharapkan pembangunan ekonomi akan semakin terarah. Antisipasi perlu dilakukan dalam upaya agar setiap wilayah memiliki keunggulan tertentu yang berbeda dengan daerah lainnya. Dengan keunggulan itu, maka eksistensi suatu wilayah akan tetap terjamin. Antisipasi dapat dilakukan diantaranya menentukan sektor apa yang memiliki keunggulan di daerah ini dibandingkan dengan daerah lain. Dengan antisipasi demikian, maka pumpunan dapat lebih diarahkan pada pengembangan dan pembinaan potensi tersebut di masa mendatang. Potensi-potensi tersebut harus dibangun dan dikembangkan untuk mencapai kondisi perekonomian yang lebih baik dari sebelumnya
9
(Yuwono,1999). Berdasarkan teori pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth)
yang
dikemukakan
oleh
Hirschman,
pembangunan
ekonomi
diprioritaskan kepada sektor ekonomi yang mampu mendorong dan menarik sektor-sektor ekonomi lainnya untuk tumbuh atau berkembang, dengan tidak mengabaikan pembangunan ekonomi pada sektor-sektor ekonomi lainnya. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi seyogyanya diarahkan atau diprioritaskan kepada sektor
yang
menjadi
unggulan
atau
andalan
(leading
sector)
pada
perekonomian daerah tersebut. Namun yang perlu diingat dari pembangunan ekonomi daerah adalah bahwa pembangunan ekonomi daerah tidak terlepas dari kondisi perekonomian nasional dan kondisi perekonomian daerah lain yang juga merupakan bagian dari perekonomian nasional tersebut. Hal ini memberikan pemahaman bahwa analisis perekonomian daerah yang nantinya akan dipergunakan sebagai landasan pembangunan daerah, sebaiknya mengikutsertakan keadaan perekonomian di tingkat nasional dan keadaan perekonomian daerah lain sebagai pembanding.
1.2 Perumusan Masalah Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, telah disebutkan bahwa salah satu strategi untuk mendorong pembangunan nasional adalah dengan membuat rencana tata ruang berbasis pulau/kepulauan untuk wilayah Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali,
10
Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Pulau Papua. Pada penelitian ini, akan dibahas tentang efektifitas pembangunan berbasis pulau yang dilaksanakan di Pulau Sulawesi. Pemilihan wilayah ini didasari karena provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi telah melakukan kesepakatan untuk menjalin kerjasama mewujudkan kesatuan pembangunan regional Sulawesi sejak tahun 2000 yang dituangkan dengan membentuk BKPRS (Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi). Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan tentang masalahmasalah yang ada yang menjadi objek dari penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana pola pergeseran struktur ekonomi di kawasan Sulawesi? 2. Bagaimana keadaan disparitas pendapatan regional diantara provinsiprovinsi di kawasan Sulawesi? 3. Bagaimana faktor-faktor komponen pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap perekonomian Sulawesi? 4. Bagaimana posisi relatif kawasan Sulawesi dalam perekonomian nasional? 5. Manakah yang menjadi sektor potensial di kawasan Sulawesi untuk menjadi keunggulan wilayah supaya bisa bersaing di perekonomian Nasional? 6. Dari hasil analisis yang digunakan dalam penelitian ini, bagaimanakah relevansi terhadap kebijakan yang di terapkan di Wilayah Sulawesi?
11
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis pola pergeseran struktur ekonomi di kawasan Sulawesi 2. Menganalisis keadaan disparitas pendapatan regional diantara provinsiprovinsi di kawasan Sulawesi 3. Menganalisis
faktor-faktor
komponen
pertumbuhan
ekonomi
berpengaruh terhadap perekonomian Sulawesi 4. Menganalisis posisi relatif kawasan Sulawesi dalam perekonomian nasional 5. Menentukan sektor potensial di kawasan Sulawesi untuk menjadi keunggulan wilayah supaya bisa bersaing di perekonomian Nasional 6. Mengetahui relevansi terhadap kebijakan yang di terapkan di Wilayah Sulawesi
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian dari solusi untuk (1) memberikan masukan bagi pihak yang berkompeten terhadap permasalahan perekonomian di kawasan Sulawesi khususnya, bahwa terdapat sektor-sektor ekonomi yang merupakan sektor unggulan yang perlu mendapat prioritas guna meningkatkan daya saing kawasan, (2) sebagai rumusan arahan dan strategi kebijakan pengembangan ekonomi kawasan secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek pemerataan dan keunggulan wilayah. Bagi penulis,
12
penelitian ini diharapkan dapat memperdalam keilmuan terutama dalam bidang ekonomi regional. Bagi pembaca, semoga penelitian ini dapat dijadikan bahan atau acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Cakupan wilayah dalam penelitian ini adalah Kawasan Pulau Sulawesi, dimana terdapat enam Provinsi didalamnya yaitu Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Rentang waktu dalam penelitian ini adalah dari tahun 2000 hingga 2007. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Shift Share (klasik) untuk melihat pergeseran struktural dan daya saing sektor dan Shift Share modifikasi Esteban-Marquiless untuk melihat sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif dan spesialisasi. Untuk melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah digunakan analisis Klassen Typologi. Selain itu untuk menentukan sektor basis (memiliki keunggulan komparatif) di kawasan ini digunakan alat analisis Location Quation serta untuk mengetahui efek pengganda dari sektor basis digunakan formula Base Multiplier.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Putaka Tinjauan
pustaka
pada
penelitian
ini
meliputi
teori
ekonomi
pembangunan, teori dan konsep pertumbuhan ekonomi, teori perubahan struktur ekonomi, konsep wilayah, konsep otonomi daerah dan hasil dari penelitian-penelitian terdahulu.
2.1.1 Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional - yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu cukup lama - untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto (Todaro, 2000). Pembangunan ekonomi juga sering diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan struktur produksi dan penyerapan sumber daya (employment) yang diupayakan secara terencana. Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang hanya sebagai fenomena ekonomi saja. Namun setelah itu, banyak negara yang mulai menyadari
bahwa
“pertumbuhan”
(growth)
tidak
identik
dengan
“pembangunan” (development). Pembangunan ekonomi saat itu tidak lebih diukur dari suatu prestasi kuantitatif semata. Besarnya GNP perkapita, pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan lapangan kerja serta inflasi yang terkendali, merupakan prestasi-prestasi pembangunan yang menjadi tolak ukur
14
utama pembangunan. Namun kemudian keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh percepatan pertumbuhan ekonomi namun lebih pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara lebih utuh (Kuncoro, 1997:73). Tinggi rendahnya kemajuan pembangunan daerah diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik secara keseluruhan maupun per kapita, yang diyakini akan menetes dengan sendiri sehingga menciptakan lapangan pekerjaan dan berbagai peluang ekonomi yang pada akhirnya akan menumbuhkan berbagai kondisi yang diperlukan demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan sosial secara lebih merata. Dengan demikian, tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan unsur yang paling diutamakan sehingga masalah lain seperti soal kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan distribusi sering dinomorduakan. Proses pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata, namun memiliki perspektif yang luas. Dalam proses pembangunan dilakukan upaya yang bertujuan untuk mengubah struktur perekonomian ke arah yang lebih baik (Kuncoro, 1997:37). Dalam pembahasan mengenai teori pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi, dikenal 4 pendekatan yang dominan yaitu: (1) Teori pertumbuhan linier (linier stages of growth); (2) Teori pertumbuhan struktural; (3) Teori revolusi ketergantungan internasional (dependensia); (4) Teori Neo-Klasik. Istilah pembangunan ekonomi biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang.
Sebagian
ahli
ekonomi
mengartikan
istilah
ini
sebagai
15
pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan-perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi seperti mempercepat pertumbuhan ekonomi dan masalah pemerataan pendapatan atau dikenal sebagai economic development is growth plus change - yaitu pembangunan ekonomi (Sukirno, 2001:415). Prestasi pembangunan dapat dinilai dengan berbagai macam cara dan tolak ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan nonekonomi.
Penilaian
dengan
pendekatan
ekonomi
dapat
dilakukan
berdasarkan tinjauan aspek pendapatan. Tolok ukur-tolok ukur kemakmuran, apapun pendekatannya serta darimanapun sudut tinjauannya, pada umumnya akan konsisten. Oleh karena itu meskipun tolak ukur tinjauan pendapatan bukan satu-satunya tolak ukur, ia tetap saja relevan dan yang paling lazim diterapkan.
2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB), yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana
tabungan,
pertumbuhan
populasi
dan
kemajuan
teknologi
mempengaruhi tingkat output perekonomian serta pertumbuhannya sepanjang waktu. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, tingkat tabungan perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal dan tingkat produksinya. Semakin tinggi tingkat tabungan, semakin tinggi pula persediaan modal dan semakin tinggi output.
16
Dalam model Solow, kenaikan tingkat tabungan memiliki efek tingkat pada pendapatan perkapita: memunculkan periode pertumbuhan yang cepat, tetapi akhirnya pertumbuhan itu melambat ketika kondisi mapan yang baru dicapai. Model Solow juga menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan populasi dalam perekonomian adalah determinan jangka panjang lain dari standar kehidupan. Berdasarkan model Solow, semakin tinggi pertumbuhan populasi, semakin rendah tingkat output dan tingkat modal per pekerja. Sementara Malthus memperlihatkan pertumbuhan populasi akan membebani sumber daya alam yang diperlukan untuk memproduksi makanan, sedangkan Kremer menunjukkan bahwa populasi yang besar bisa meningkatkan kemajuan teknologi. (Mankiw, 2002). Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian jangka panjang. Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik seperti Thomas Robert Malthus, Adam Smith, David Ricardo dan John Stuart Mill, ada 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu jumlah penduduk, jumlah stok barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang digunakan (Sukirno,1985:275). Pola pertumbuhan digunakan dalam teori dinamis sebagaimana yang dikembangkan oleh pemikir neo klasik yang mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi berpokok pada efek investasi dan penambahan jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan output serta proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat (Tambunan, 2001). Tingkat pertumbuhan ekonomi harus lebih besar daripada laju pertumbuhan penduduk, agar peningkatan pendapatan perkapita dapat
17
tercapai. Pembangunan dalam lingkup daerah tidak selalu berlangsung cepat dan merata seperti yang diinginkan. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat. Daerahdaerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama disebabkan oleh karena kurangnya sumber-sumber yang dimiliki, adanya kecenderungan peranan modal (investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang telah memiliki fasilitas disamping adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari Pemerintah Pusat kepada daerah (Sutarno dan Mudrajad Kuncoro, 2003). Dalam konteks pertumbuhan, Boediono (1992:1) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada proses mengandung unsur dinamis, perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu pemakaian indikator pertumbuhan ekonomi akan dilihat dalam kurun waktu yang cukup lama misalnya 10, 20 atau 25 tahun atau bahkan lebih. Pertumbuhan ekonomi terjadi apabila ada kecenderungan yang
bersumber
dari
proses
intern
perekonomian
tersebut.
Artinya,
pertumbuhan harus berasal dari kekuatan yang ada dalam perekonomian ekonomi itu sendiri. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi tanpa adanya perubahan atau cara-cara teknologi itu sendiri (Schumpeter, 1961 dalam Boediono, 1992:48). Dalam teorinya Schumpeter juga menekankan tentang pentingnya pengusaha dalam membuat pembaruan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi.
18
Pertumbuhan ekonomi menurutnya adalah suatu sumber kenaikan output. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno, 2001). Produk Domestik Bruto (PDB) secara umum disebut agregat ekonomi, maksudnya angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu negara. Dari agregat ekonomi ini selanjutnya dapat diukur pertumbuhan ekonomi. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil, terlebih dahulu harus dihilangkan pengaruh perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat ekonomi menurut harga berlaku (current price) sehingga terbentuk harga agregat ekonomi menurut harga konstan (constant price) (Dumairy, 1997:38-39)
a. Teori Pertumbuhan W.W. Rostow Menurut Irawan dan Suparmoko (1999), Rostow menyatakan bahwa sejarah pertumbuhan ekonomi melalui beberapa tingkatan yaitu:
Masyarakat Tradisional
Masyarakat Prasyarat lepas landas
Masyarakat lepas landas
masyarakat menuju Kematangan
Masyarakat Konsumsi yang berlebih
19
b. Teori Pembangunan Malthus Menurut Rusli (1996), Robert Malthus (1766-1834) menyatakan bahwa, jika tidak ada pembatasan, kecenderungan pertambahan jumlah penduduk akan lebih cepat dari pertumbuhan pangan. Perkembangan penduduk akan mengikuti deret ukur sedangkan perkembangan pangan mengikuti deret hitung. Menurut Malthus, proses pembangunan adalah suatu proses naikturunnnya aktifitas ekonomi lebih daripada sekedar lancar-tidaknya aktivitas ekonomi. Malthus lebih realistis dalam menganalisa pertumbuhan penduduk dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi saja dianggap
tidak
cukup
untuk
berlangsungnya
pembangunan
ekonomi.
Pertumbuhan penduduk adalah proses pembangunan karena pertambahan penduduk tidak bisa terjadi tanpa peningkatan kesejahteraan yang sebanding. Akan tetapi pertumbuhan penduduk saja tidak mampu meningkatkan kesejahteraan. Pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kesejahteraan hanya bila pertumbuhan tersebut meningkatkan permintaan efektif dengan cara menaikkan tingkat pekerjaan, pendapatan dan tabungan untuk mendorong pembangunan.
2.1.3
Keunggulan Komparatif dan Keunggulan Kompetitif Wilayah Dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini, setiap daerah memiliki
kebebasan dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan ekonomi wilayah. Untuk menentukan arah dan kebijakan pembangunan ekonomi di suatu daerah sangat diperlukan informasi mengenai potensi ekonomi wilayah. Potensi ekonomi
20
wilayah dapat diketahui dengan mengidentifikasi keunggulan dan kelemahan berbagai sektor maupun subsektor ekonomi di wilayah tersebut. Sektor ekonomi yang memiliki keunggulan, memiliki prospek
yang lebih baik
untuk
dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor ekonomi lain untuk berkembang. Tumenggung (1996) memberi batasan bahwa sektor unggulan adalah sektor yang memiliki keunggulan komparatif (comparatif advantages) dan keunggulan kompetitif (competitive advantages) dengan produk sektor sejenis dari daerah lain serta mampu memberikan nilai manfaat yang lebih besar. Sedangkan Mawardi (1997) mengartikan sektor unggulan adalah sektor yang memiliki nilai tambah yang besar terhadap perekonomian lain, serta memiliki permintaan yang tinggi, baik pasar lokal maupun pasar ekspor. Istilah keunggulan komparatif (comparative advantage) mula-mula dikemukakan oleh David Ricardo (1917) sewaktu membahas perdagangan antara dua wilayah. Ricardo membuktikan bahwa apabila dua wilayah yang saling berdagang masing-masing mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang memiliki keunggulan komparatif, maka kedua wilayah tersebut akan beruntung. Ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tetapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional. Pengetahuan akan keunggulan komparatif suatu daerah dapat digunakan para penentu kebijakan untuk mendorong perubahan struktur ekonomi daerah ke arah sektor yang mengandung keunggulan komparatif. Jadi, apabila sektor yang memiliki keunggulan komparatif bagi suatu daerah telah teridentifikasi maka
21
pembangunan sektor tersebut dapat disegerakan tanpa menunggu tekanan mekanisme pasar yang sering berjalan terlambat (Tarigan,2003:76). Pada masa era perdagangan bebas seperti sekarang ini, keunggulan kompetitif mendapat perhatian lebih besar daripada keunggulan komparatif. Keunggulan kompetitif menunjukkan kemampuan daerah untuk memasarkan produknya ke luar daerah. Dalam analisis ekonomi regional, keunggulan kompetitif dimaknai oleh kemampuan daya saing kegiatan ekonomi di suatu daerah terhadap kegiatan ekonomi yang sama di daerah lainnya. Keunggulan kompetitif merupakan cermin dari keunggulan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah terhadap wilayah lainnya yang dijadikan “benchmark” dalam suatu kurun waktu (Thoha,2000:48). Dalam kaitannya dengan keunggulan kompetitif, maka keunggulan komparatif suatu kegiatan ekonomi dapat dijadikan suatu pertanda awal bahwa kegiatan ekonomi tersebut punya prospek untuk juga memiliki keunggulan kompetitif. Jika suatu sektor memiliki keunggulan komparatif karena besarnya potensi sektor tersebut maka kebijakan yang diprioritaskan bagi pengembangan kegiatan ekonomi tersebut dapat berimplikasi kepada terciptanya keunggulan kompetitif. Kegiatan ekonomi yang memiliki keunggulan komparatif sekaligus keunggulan kompetitif akan sangat menguntungkan perekonomian suatu wilayah. Terkait dengan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif, maka berdasarkan kegiatan ekonominya suatu wilayah dapat saja memiliki kedua jenis keunggulan tersebut secara bersama-sama. Hal ini sangat dipengaruhi oleh satu atau gabungan beberapa faktor berikut ini (Tarigan,2003:88) :
22
1. Memiliki potensi sumber daya alam 2. Penguasaan
masyarakat
terhadap
teknologi
mutakhir
dan
tertentu
atau
keterampilan-keterampilan khusus 3. Aksesibilitas wilayah yang baik 4. Memiliki market yang baik atau dekat dengan market 5. Wilayah
yang
memiliki
sentra-sentra
produksi
terdapatnya aglomerasi dari berbagai kegiatan ekonomi. 6. Ketersediaan buruh yang cukup dan memiliki keterampilan baik dengan upah yang relatif rendah. 7. Mentalitas masyarakat yang baik untuk pembangunan : jujur, mau terbuka, bekerja keras, dapat diajak bekerja sama dan disiplin 8. Kebijaksanaan
pemerintah
yang
mendukung
pada
terciptanya
keunggulan-keunggulan suatu kegiatan ekonomi wilayah
2.1.4 Konsep Wilayah Menurut Budiharsono (2001), wilayah adalah suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu: 1. Wilayah Homogen Wilayah
homogen
adalah
wilayah
yang
dipandang
dari
satu
aspek/kriteria yang mempunyai sifat-sifat atau ciri yang relatif sama. Sifat-sifat dan ciri-ciri kehomogenan itu misalnya dalam hal ekonomi, geografi, agama, suku dan lain sebagainya. Setiap perubahan yang terjadi di wilayah tersebut
23
akan mempengaruhi seluruh bagian wilayah tersebut dengan proses yang sama. Dengan demikian apa yang berlaku disuatu bagian wilayah akan berlaku pula pada bagian wilayah lainnya. 2. Wilayah Nodal Wilayah Nodal (Nodal Region) adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Ketergantungan dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi. Batas wilayah Nodal ditentukan sejauh mana pengaruh dari suatu pusat kegiatan ekonomi bila digantikan oleh pengaruh dari pusat kegiatan ekonomi lainnya. 3. Wilayah Administratif Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintah atau politik, seperti provinsi, kabupaten, kecamatan,desa dan kelurahan, serta RT dan RW. Pengelolaan lingkungan pada wilayah ini memerlukan kerjasama dari satuan wilayah administrasi lain yang terkait. 4. Wilayah Perencanaan Wilayah perencanaan bukan hanya dari aspek fisik dan ekonomi, namun ada juga aspek ekologis. Misalnya dalam kaitannya dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Pengelolaan aliran sungai harus direncanakan dari hulu sampai hilirnya. Konsep perencanaan wilayah merupakan tindak lanjut dari kegiatan perencanaan
yang
dilakukan
karena
adanya
perbedaan
kepentingan,
24
permasalahan, ciri dan karakteristik dari masing-masing daerah/wilayah yang menuntut adanya campur tangan pihak pemerintah pada tingkat wilayah. Perencanaan
wilayah
dilakukan
sebagai
upaya
untuk
mengantisipasi
permasalahan dimasing-masing wilayah dan mengupayakan keseimbangan pembangunan antar wilayah. Perana utamanya adalah mengatasai secara langsung
persoalan-persoalan
fungsional
yang
berkenaan
dengan
pembangunan di tingkat wilayah. Glasson (1990) menyatakan bahwa perencanaan wilayah adalah suatu perluasan dari perencanaan lokal, yang terutama mengangani masalah-masalah lokal seperti perpindahan dan persebaran penduduk serta kesempatan kerja, interaksi yang kompleks antara kebutuhan-kebutuhan sosial dan ekonomi, penyediaan fasilitas-fasilitas rekreasi penting dan jaringan komunikasi utama yang hanya diputuskan bagi daerah-daerah yang jauh lebih besar daripada daerah-daerah wewenang dari penguasa-penguasa perencanaan lokal yang ada. Lebih lanjut Glisson mengungkapkan bahwa perencanaan wilayah adalah berkenaan dengan arus penduduk dan kesempatan kerja interregional (interwilayah), berkenaan dengan persediaan dan penggunaan sumber daya dan dengan prospek-prospek ekonomi jangka panjang dalam pengkajiannya.
2.1.5 Teori Perubahan Struktur Ekonomi Teori-teori perubahan struktural (structural-change theory) memusatkan perhatian pada transformasi struktur ekonomi dari pola pertanian ke struktur yang lebih modern serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektor jasa-
25
jasa yang tangguh. Aliran pendekatan struktural ini didukung oleh W.Arthur Lewis yang terkenal dengan model teoritisnya tentang “surplus tenaga kerja dua sektor” (two sektor surplus labor) dan Hollis B. Chenery yang sangat terkenal dengan analisis empirisnya tentang “pola-pola pembangunan” (patterns of development) (Todaro, 2000:100). Teori pembangunan Arthur Lewis pada dasarnya membahas proses pembangunan yang terjadi antara desa dan kota, mengikutsertakan proses urbanisasi yang terjadi antara kedua tempat tersebut. Teori ini juga membahas pola investasi yang terjadi di sektor modern dan juga sistem penetapan upah yang berlaku di sektor modern, yang pada akhirnya akan berpengaruh besar terhadap arus urbanisasi yang ada (Kuncoro, 1997:51). Sementara teori pola pembangunan Chenery memfokuskan terhadap perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perkonomian negara sedang berkembang, yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai roda penggerak ekonomi. Penelitian yang dilakukan Hollis Chenery tentang transformasi struktur produksi menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan perkapita, perekonomian suatu negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor industri. Menurut Kuznets, perubahan struktur ekonomi atau disebut juga transformasi struktural, didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling berkaitan satu sama lainnya dalam komposisi dari permintaan agregat, perdagangan luar negeri (ekspor dan impor), penawaran agregat (produksi dan
26
penggunaan faktor-faktor produksi, seperti penggunaan tenaga kerja dan modal) yang disebabkan adanya proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Chenery, 1997). Perekonomian suatu daerah dalam jangka panjang akan terjadi perubahan struktur perekonomian dimana semula mengandalkan sektor pertanian menuju sektor industri. Dari sisi tenaga kerja akan menyebabkan terjadinya perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian desa ke sektor industri kota, sehingga menyebabkan kontribusi pertanian meningkat. Perubahan ini tentu akan mempengaruhi tingkat pendapatan antar penduduk dan antar sektor ekonomi, karena sektor pertanian lebih mampu menyerap tenaga kerja dibanding sektor industri, akibatnya akan terjadinya perpindahan alokasi pendapatan dan tenaga kerja dari sektor yang produktifitasnya rendah ke sektor yang produktifitasnya tinggi yang pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya kesenjangan pendapatan dalam masyarakat. Faktor penyebab terjadinya perubahan struktur perekonomian antara lain ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta modal dan investasi yang masuk ke suatu daerah.
2.1.6 Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory) Inti dari teori basis ekonomi menurut Arsyad (1999:166) dalam Sadau (2002:20) menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal,
27
termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja (job creation). Pendekatan basis ekonomi sebenarnya dilandasi pada pendapat bahwa yang perlu dikembangkan di sebuah wilayah adalah kemampuan berproduksi dan menjual hasil produksi tersebut secara efisien dan efektif. Lebih lanjut model ini menjelaskan struktur perekonomian suatu daerah atas dua sektor, yaitu: 1. sektor basis, yaitu sektor atau kegiatan ekonomi yang melayani baik pasar domestik maupun pasar luar daerah itu sendiri. Itu berarti daerah secara tidak langsung mempunyai kemampuan untuk mengekspor barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor tersebut ke daerah lain. 2. sektor non basis, yaitu sektor atau kegiatan yang hanya mampu melayani pasar daerah itu sendiri. Berdasarkan teori ini, sektor basis perlu dikembangkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
2.1.7 Spesialisasi Perekonomian Perekonomian suatu wilayah dikatakan terspesialisasi jika suatu wilayah memprioritaskan pengembangan suatu sektor ekonomi melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung terhadap kemajuan sektor tersebut (Muzamil, 2001:38). Pengembangan sektor prioritas tersebut dapat dilakukan melalui investasi dan peningkatan sumber daya manusia pada sektor tersebut.
28
Spesialisasi dalam perekonomian merupakan hal yang cukup penting dalam rangka pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Dikatakan, jika suatu wilayah memiliki spesialisasi pada sektor-sektor tertentu maka wilayah tersebut akan memiliki keunggulan kompetitif dari spesialisasi sektor tersebut (Soepono,1993:41). Beberapa ahli ekonomi mulai memperhitungkan efek spesialisasi terhadap perekonomian suatu wilayah. Menurut Kuncoro (2002:43), salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keterkaitan antar wilayah adalah melalui proses pertukaran komoditas antar daerah. Hal ini dapat ditempuh melalui penciptaan spesialisasi antar daerah. Berbagai macam alat analisis telah dikembangkan untuk melihat tingkat spesialisasi regional. Marquillas (dalam Soepono, 1993:48) memodifikasi analisis Shift Share klasik dengan memasukkan efek alokasi untuk melihat spesialisasi suatu sektor dalam suatu wilayah. Selanjutnya Kim (dalam Kuncoro, 2002:36) mengembangkan indeks krugman untuk melihat spesialisasi regional di Amerika Serikat.
2.1.8. Penelitian-Penelitian Terdahulu Hasil penelitian Tirani Sakuntala Devi (2007) terhadap pertumbuhan Sektor-Sektor ekonomi Perekonomian Kawasan Timur Indonesia, dengan menggunakan analisis Shift Share, menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1994-1996 sektor Listrik, gas dan Air Bersih memiliki laju pertumbuhan yang paling cepat dan sektor Jasa-jasa merupakan sektor yang paling lambat laju
29
pertumbuhannya. Sektor perekonomian yang memiliki daya saing yang paling tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian. Sementara yang sangat tidak bisa bersaing adalah sektor industri pengolahan. Pada tahun 2000-2002, sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan yang paling tinggi adalah sektor Pengangkutan dan Komunikasi, sedangkan sektor pertambangan dan galian menjadi sektor yang paling lambat laju pertumbuhannya.Pada tahun 20002002, sektor pertambangan dan penggalian tetap menjadi sektor dengan daya saing tertinggi, sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan merupakan sektor yang sangat tidak bisa bersaing dengan sektor wilayah lain. Rini (2006) dalam penelitiannya terhadap pertumbuhan sektor-sektor perekonomian 30 provinsi di Indonesia menggunakan model analisis Shift Share menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pertumbuhan pada tahun 1998 dan 2003 pada beberapa provinsi terkait dengan pemekaran provinsi yang terjadi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi sebagai proses pemulihan ekonomi masa ini menunjukkan pertumbuhan yang positif. Kontribusi pertumbuhan ekonomi nasional pada masa itu meningkat sebesar 21 persen. Provinsi dengan kontribusi pertumbuhan ekonomi terbesar adalah provinsi Nusa Tenggara Barat sedangkan
kontribusi
pertumbuhan
terkecil
adalah
Provinsi
Maluku.
Berdasarkan nilai pertumbuhan wilayah yang digambarkan pada pertumbuhan nasional menunjukkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
memberikan
pengaruh
terhadap
kebijakan
pemerintah
daerah.
Pemerintah daerah DKI Jakarta merupakan daerah yang kebijakannya mampu mempengaruhi pertumbuhan sektoralnya, sedangkan provinsi Maluku Utara
30
merupakan provinsi yang kebijakannya kurang mampu mempengaruhi pertumbuhan
sektoralnya.
Secara
sektoral,
sektor
yang
mengalami
pertumbuhan kontribusi terbesar adalah sektor Listrik, gas dan air bersih, sedangkan sektor bangunann merupakan sektor yang mempunyai kontribusi pertumbuhan
terkecil.
Provinsi
Banten
merupakan
provinsi
dengan
pertumbuhan yang cepat dan provinsi Papua merupakan provinsi dengan pertumbuhan yang lamban. Daya saing provinis di dominasi oleh Provinsi Jawa Barat, sedangkan Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang tidak mampu berdaya saing dengan baik. Pertumbuhan wilayah yang terjadi di 30 Provinsi menunjukkan bahwa secara sektoral, sektor industri pengolahan merupakan sektor yang mempunyai nilai pertumbuhan nasional terbesar sehingga mampu mempengaruhi setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah khususnya di Provinsi Jawa Timur, sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih pada Provinsi Maluku Utara merupakan sektor yang mempunyai nilai pertumbuhan nasional terkecil. Berdasakan nilai pergeseran bersih terdapat 16 provinsi yang termasuk dalam kelompok provinsi yang pertumbuhannya progresif dan 14 provinsi lainnya termasuk
dalam
provinsi
dengan
pertumbuhan
yang
lamban.
Profil
pertumbuhan perekonomian menunjukkan bahwa provinsi yang mempunyai daya saing paling baik dan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi paling cepat adalah Provinsi Jawa Barat, sedangkan Provinsi Maluku merupakan provinsi yang mempunyai pertumbuhan paling lamban dengan daya saing sektor yang kurang baik.
31
Bahri (2005) dalam penelitiannya terhadap sektor-sektor sumber pertumbuhan perekonomian Kota Bekasi yang menggunakan metode analisis basis wilayah (LQ), menyatakan bahwa ada beberapa sektor yang mampu menjadi sektor basis secara kontinu pada tahun 2000-2002 berdasarkan indikator pendapatan. Sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan konstuksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor jasa-jasa tidak mampu menjadi sektor basis tahun 2000-2002. Bustam (2005) dalam identifikasi dan kontribusi subsektor perikanan terhadap PDRB Provinsi Nusa Tenggara Barat, berdasarkan hasil analisis LQ menunjukkan bahwa subsektor perikanan merupakan subsektor dengan LQ tertinggi kelima dari semua semua subsektor PDRB, yaitu dengan LQ 2,09. Sementara terhadap sektor pertanian, subsektor ini berada pada urutan ketiga setelah subsektor pertanian tanaman pangan dan subsektor peternakan. Sementara itu, hasil analisis Shift Share Klasik menunjukkan Subsektor perikanan memiliki pertumbuhan sebesar Rp15,25 Milyar dan berada diurutan kedua setelah subsektor peternakan. Sementara hasil Analisis Shiftshare modifikasi Estaban Marquilas menunjukkan subsektor perikanan tidak memiliki spesialisasi maupun keunggulan kompetitif. Setiawan (2004) dalam analisis pertumbuhan ekonomi kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara, dengan alat analisis
Shift Share
memperlihatkan adanya peningkatan perekonomian Provinsi Sumatera Utara
32
yang
tumbuh
sebesar
38
persen.
Analisis
komponen
pertumbuhan
memperlihatkan bahwa pada kurun waktu 19993-1997 untuk komponen pertumbuhan nasional Kota Medan merupakan daerah yang mempunyai pertumbuhan nasional yang paling besar, sedangkan yang paling kecil adalah Kota Sibolga. Hal ini berarti pada tahun 1993-1997 Kota Medan merupakan daerah yang memberikan kontribusi paling besar dalam pembentukan PDRB Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan laju pertumbuhan ekonomi yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat. Daerah yang mempunyai daya saing paling baik adalah Kota Sibolga dan yang paling buruk adalah Kabupaten Langkat. Dilihat dari pertumbuhan wilayah, yang paling maju adalah Kota Sibolga dan yang paling lambat adalah Kabupaten Langkat. Hidayat (2004), dalam mengidentifikasi sektor basis dan non basis di Kabupaten Purbalingga tahun 1996-2003, dari hasil analisis menemukan bahwa laju pertumbuhan adalah positif. Berdasarkan perhitungan LQ, yang merupakan sektor basis bagi Kabupaten Purbalingga tahun 1996-2003 adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor konstruksi, sektor perdagangan serta sektor lainnya, sedangkan untuk mengetahui pergeseran sektor digunakan Shift Share diperoleh hasil selama periode penelitian sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, listrik, gas dan air bersih, konstruksi, perdagangan, komunikasi dan jasa-jasa nilai Differential Shift positif artinya sektor tersebut di Kabupaten Purbalingga tahun 1995-2003 bergeser lebih cepat dibandingkan sektor di Jawa Tengah.
33
2.2 Kerangka Pemikiran Model pembangunan ekonomi daerah dapat dilakukan dengan pendekatan sektoral. Pembangunan ekonomi dengan pendekatan sektoral selalu dimulai dengan pertanyaan sektor apa yang harus dikembangkan (Aziz, 1994:229). Dalam penelitian ini sektor yang harus dikembangkan tersebut disebut dengan sektor potensial. Untuk mengidentifikasi sektor potensial di Sulawesi dapat dilihat melalui indikator PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), yaitu dari sisi kontribusi dan sisi pertumbuhan. Namun sektor ekonomi potensial tidak dapat hanya dilihat dengan pertumbuhan dan kontribusi saja. Untuk menentukan sektor potensial dilihat dari keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif dan spesialisasi sektor tersebut terhadap sektor yang sama pada tingkat Provinsi. Untuk melihat spesialisasi dan keunggulan kompetitif digunakan Analisis Shift Share. Kemudian untuk melihat keunggulan komparatif suatu sektor digunakan Analisis Location Quotient (LQ). Sedangkan untuk melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi sektoral digunakan modifikasi tipologi klassen.
34
Pembangunan Indonesia
PP No 26/2008 (base island)
Kawasan Sulawesi
Daerah tertinggal dlm pembangunan, kurang mampu bersaing
PDRB perKapita
Penentuan Sektor Ekonomi Unggulan
LQ
PS-DS
Analisis Komponen Pertumbuhan & Pergeseran Strukur ekonomi
SS-EM
Sektor Unggulan
Kontribusi terhadap ekonomi Nasional
Analisis disparitas & Pola dan struktur pertumbuhan ekonomi
I. Williamson
Shift Share
Tdk Timpang
Timpang
Relevansi Kebijakan Pembangunan Pulau Sulawesi
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Konseptual
Klassen Typologi
Posisi Relatif
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat Jakarta. Data yang tercakup dalam penelitian ini adalah data PDRB provinsi-provinsi di Indonesia, data PDB Nasional, data jumlah penduduk pertengahan tahun semua provinsi di Indonesia, data kemiskinan, dan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Data-data pendukung lainnya seperti buku, artikel, jurnal dan lain-lain diperoleh dari Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, perpustakaan BPS, perpustakaan di lingkungan IPB, maupun perpustakaan Perguruan Tinggi lainnya seperti UI, STIS, UNSOED dan lain-lain.
3.2 Analisis Disparitas Pendapatan Regional Ukuran yang sering digunakan oleh para peneliti, pengamat dan perencana pembangunan, untuk memperoleh gambaran tentang kondisi suatu wilayah dibanding wilayah lainnya adalah dengan menggunakan Indeks Williamson, yang menggambarkan tendensi pemerataan pembangunan antar wilayah
yang
berada
dalam
suatu
kawasan
regional
(propinsi
atau
kabupaten/kota). Formula yang digunakan untuk menghitung angka Indeks Williamson adalah sebagai berikut : (Sjafrizal, 1997)
36
k
(Y
i
i 1
Iw
dengan Pi
Y ) 2 Pi
Y
………………………………………………(1)
fi ni
i = 1,2,3…k Dimana: Yi Y Pi
= PDRB per kapita di provinsi ke-i = Rata-rata PDRB per kapita dari seluruh Propinsi di Sulawesi = Perbandingan jumlah penduduk provinsi ke-i terhadap jumlah penduduk Sulawesi fi = Jumlah Penduduk provinsi ke-i n = Jumlah penduduk Sulawesi k = Jumlah provinsi di Sulawesi IW = Tingkat disparitas Pendapatan regional Range nilai Indeks Williamsons: 0 < IW <1 Kriteria penilaiannya adalah sebagai berikut:
Jika nilai IW mendekati 1 (satu), menunjukkan bahwa tingkat disparitas pendapatan regional atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi antar provinsi di Sulawesi
semakin
besar
(kemerataan
antar
provinsi
semakin
memburuk).
Jika nilai IW mendekati 0 (Nol), menunjukkan bahwa tingkat disparitas pendapatan regional atau tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi antar provinsi di Sulawesi semakin kecil (kemerataan antar daerah tingkat II semakin membaik).
37
3.3 Analisis Klassen Typologi Gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah merupakan analisis yang cukup penting untuk melihat kondisi perekonomian suatu daerah. Dengan melihat pola dan struktur pertumbuhan ekonomi akan dapat terlihat bagaimana potensi relatif perekonomian suatu daerah baik secara agregat dan sektoral terhadap daerah lain sekitarnya. Untuk melihat pola dan struktur
pertumbuhan
ekonomi
daerah,
para
ahli
ekonomi
biasanya
menggunakan analisis Klassen Typology. Alat analisis ini didasarkan pada dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita di suatu daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan perkapita sebagai sumbu horizontal. Menurut Sjafrizal melalui alat analisis ini dapat diperoleh empat klasifikasi daerah yang masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda, yaitu: a. kuadran I yaitu daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) atau juga disebut sebagai daerah maju dan tumbuh cepat (rapid growth region), merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi b. kuadran II yaitu daerah yang berkembang cepat (high growth but low income) atau juga disebut sebagai daerah maju tapi tertekan (retarded region), merupakan daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih
38
tinggi tapi pendapatan perkapitanya lebih rendah dibanding rata-rata provinsi. c. Kuadran III yaitu daerah maju tapi tertekan (low growth but high income) atau juga disebut sebagai daerah berkembang cepat (growing region), merupakan daerah yang memiliki pertumbuhan ekonominya lebih rendah tapi pendapatan perkapita lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi d. Kuadran IV yaitu daerah relatif tertinggal (low growth and low income) atau juga disebut sebagai daerah relatif tertinggal (relatively backward region), merupakan daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan perkapitanya lebih rendah dibanding rata-rata provinsi
Pertumbuhan Ekonomi
Tabel 3.1. Klasifikasi Daerah berdasarkan Klassen Tipology Kuadran III Kuadran I Daerah berkembang cepat Daerah cepat maju dan cepat tumbuh Kuadran IV Kuadran II Daerah relatif tertinggal Daerah Maju tapi tertekan PDRB per Kapita
3.4. Metode Analisis Shift Share Klasik Analisis shift–share digunakan untuk menganalisis dan mengetahui pergeseran dan peranan perekonomian di daerah. Metode itu dipakai untuk mengamati struktur perekonomian dan pergeserannya dengan cara menekankan pertumbuhan sektor di daerah, yang dibandingkan dengan sektor yang sama pada tingkat daerah yang lebih tinggi atau nasional.
39
Analisis tersebut dapat digunakan untuk mengkaji pergeseran struktur perekonomian daerah dalam kaitannya dengan peningkatan perekonomian daerah yang bertingkat lebih tinggi. Perekonomian daerah yang didominasi oleh sektor yang lamban pertumbuhannya akan tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan perekonomian daerah di atasnya. Untuk mengkaji kinerja berbagai sektor ekonomi yang berkembang di suatu daerah dan membandingkannya dengan perekonomian regional maupun nasional dapat digunakan teknik analisis Shift Share. Dengan teknik ini, selain dapat mengamati penyimpangan-penyimpangan dari berbagai perbandingan kinerja perekonomian antar wilayah, keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu wilayah juga dapat diketahui melalui tenik analisis Shift Share ini (Thoha dan Soekarni, 2000:52). Metode analisis Shift Share diawali dengan mengukur perubahan nilai tambah bruto atau PDRB suatu sektor - i di suatu region - j (Dij) dengan formulasi (Soepono, 1993:44) : Dij = Nij + Mij + Cij ...…………….....……………………..…
(2)
di mana: Nij = Eij. rn
……..……………………………….
(3)
Mij = Eij (rin - rn)
..……..………………...……..……..
(4)
Cij = Eij (rij – rin)
….…..………...……………..……..
(5)
Dari
persamaan
(3)
sampai
(5),
r ij
mewakili
pertumbuhan
sektor/subsektor i di wilayah j, sedangkan rn dan rin masing-masing laju
40
pertumbuhan agregat nasional/provinsi dan pertumbuhan sektor/subsektor i secara nasional/provinsi, yang masing-masing dapat didefinisikan sebagai berikut: rij = (E ij,t – Eij)/E ij
…...…..……………..………....……….. (6)
rin = (E in,t – Ein)/E in
……..…...………..………....…..……... (7)
rn = (E n,t - En)/E n
….…………..……..…………….……... (8)
Keterangan; Di,j : Ni,j :
Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di wilayah Sulawesi Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di wilayah Sulawesi yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan ekonomi secara nasional M i,j : Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di wilayah Sulawesi yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan sektor (subsektor) i secara nasional Ci,j : Perubahan PDRB sektor (subsektor) i di wilayah Sulawesi yang disebabkan oleh keunggulan kompetitif sektor (subsektor) tersebut di wilayah Sulawesi Eij : PDRB sektor i di wilayah Sulawesi tahun awal analisis Ein : PDRB sektor i di wilayah regional tahun awal analisis En : PDRB total di wilayah regional tahun awal analisis Eij,t : PDRB sektor i di wilayah Sulawesi tahun akhir analisis Ein,t : PDRB sektor i di wilayah regional tahun akhir analisis En,t : PDRB total di wilayah regional tahun akhir analisis Menurut Budiharsono (2001) analisis Shift Share ini menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja, pada dua titik waktu disuatu wilayah. Analisis Shift Share memiliki kemampuan untuk menunjukkan:
perkembangan
sektor
perekonomian
disuatu
perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas
wilayah
terhadap
41
perkembangan sektor-sektor pereekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya
perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah
perbandingan laju sektor-sektor perekonomian disuatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya Persamaan (3) sampai (5) juga menunjukkan bahwa peningkatan nilai
tambah suatu sektor di suatu wilayah (Dij) dapat diuraikan (decomposed) menjadi 3 komponen berpengaruh, yaitu (Sjafrizal, 2002:10): 1. Regional Share (Nij) : adalah merupakan komponen pertumbuhan ekonomi daerah yang disebabkan oleh faktor luar yaitu: peningkatan kegiatan ekonomi daerah akibat kebijaksanaan nasional atau Provinsi yang berlaku pada seluruh daerah. 2. Proportional Shift (M ij atau PS): adalah komponen pertumbuhan ekonomi daerah yang disebabkan oleh struktur ekonomi daerah yang baik, yaitu berspesialisasi pada sektor yang pertumbuhannya cepat secara nasional atau provinsi. Selain itu komponen pertumbuhan proporsional tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur, dan keragaman pasar. Disebut juga pengaruh bauran industri (industry mix).
42
3. Differential Shift (Cij atau DS): adalah komponen pertumbuhan ekonomi daerah karena kondisi spesifik daerah yang bersifat kompetitif. Unsur pertumbuhan ini merupakan keuntungan kompetitif daerah yang dapat mendorong
pertumbuhan
ekspor
daerah.
Disebut
juga
komponen
pertumbuhan pangsa wilayah Melalui ketiga komponen tersebut dapat diketahui komponen atau unsur pertumbuhan yang mana yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Nilai masing-masing komponen dapat saja negatif atau positif, tetapi jumlah keseluruhan akan selalu positif, bila pertumbuhan ekonomi juga positif dan begitu pula sebaliknya. Berdasarkan persamaan (2) sampai (8) di atas, maka untuk suatu wilayah, pertumbuhan nasional atau regional, bauran industri dan keunggulan kompetitif dapat ditentukan bagi suatu sektor i atau dijumlah untuk semua sektor sebagai keseluruhan wilayah. Persamaan Shift Share untuk sektor i di wilayah j adalah: Dij = Eij.rn + Eij (rin –rn) + E ij (rij –rin) ……………...…………
(9)
Selanjutnya menurut Oppenheim (1980), Bendad-Alal (1983), Patton (1991), Field dan MacGregor (1993) (dalam Yusuf, 1999:221) dalam analisis pertumbuhan ekonomi regional komponen proportional shift (PS) dan differential shift (DS) lebih penting dibanding komponen regional share. Hal ini disebabkan karena DS digunakan untuk melihat perubahan pertumbuhan dari suatu kegiatan di wilayah studi terhadap kegiatan tersebut di wilayah referensi. Dari perubahan tersebut akan dapat dilihat berapa besar pertambahan atau pengurangan pendapatan dari kegiatan tersebut. Sedangkan PS untuk
43
melihat perubahan pertumbuhan suatu kegiatan di wilayah referensi terhadap kegiatan total (PDRB) di wilayah referensi. Dari kedua komponen ini jika besaran PS dan DS dinyatakan dalam suatu bidang datar, dengan nilai PS sebagai sumbu horisontal dan nilai DS sebagai sumbu vertikal, akan diperoleh empat kategori posisi relatif dari seluruh daerah atau sektor ekonomi tersebut. Keempat kategori tersebut adalah (dalam Freddy, 2001) : Tabel 3.2. Posisi Relatif Suatu Sektor berdasarkan Pendekatan PS dan DS Differential Shift (DS)
Propotional Shift (PS) Negatif (-)
Positif (+)
Positif (+)
Kuadran IV Cenderung Berpotensi (Highly Potential)
Kuadran I Pertumbuhan Pesat (Fast Growing)
Negatif (-)
Kuadran III Terbelakang (Depressed)
Kuadran II Berkembang (Developing)
-
Kategori I (PS positif dan DS positif) adalah wilayah/sektor dengan pertumbuhan sangat pesat (rapid growth region/industry or fast growing).
-
Kategori II (PS positif dan DS negatif) adalah wilayah/sektor dengan kecepatan pertumbuhan terhambat namun cenderung berpotensi (depressed region/industry yang berpotensi).
-
Kategori III (PS negatif dan DS negatif) adalah wilayah/sektor depressed region/industry dengan daya saing lemah dan juga peranan terhadap wilayah rendah.
44
-
Kategori IV (PS negatif dan DS positif) adalah wilayah/sektor dengan
kecepatan
pertumbuhan
terhambat
tapi
berkembang
(depressed region/industry yang berkembang/ developing). Menurut Stevens, (1980) analisis Shift Share memiliki beberapa keunggulan dan juga kelemahan. Keunggulan analisis Shift Share ini antara lain: (1) memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi, walau analisis Shift Share tergolong sederhana, (2) memungkinkan seorang pemula mempelajari struktur perekonomian dengan cepat dan (3) memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dengan cukup akurat. Sedangkan kelemahan dari analisis Shift Share antara lain (1) analisis ini hanya dapat digunakan untuk analisis ex-post, (2) masalah benchmark berkenaan dengan homothetic change, apakah t atau (t+1) tidak dapat dijelaskan dengan baik, (3) terdapat data pada periode waktu tertentu di tengah tahun pengamatan yang tidak ter-ungkap, (4) analisis ini tidak handal sebagai alat peramalan, mengingat bahwa regional shift tidak konstan dari suatu periode ke periode lainnya, (5) analisis ini tidak dapat dipakai untuk melihat keterkaitan antarsektor dan (6) tidak ada keterkaitan antardaerah.
3.5. Menghitung Pergeseran Bersih Apabila komponen pertumbuhan proporsional dan pangsa wilayah dijumlahkan, maka akan diperoleh pergeseran bersih yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan sektor perekonomian. Pergeseran bersih sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:
45
PBij = PSij + DSij dimana: PBij
= pergeseran bersih sektor i pada wilayah j
PSij
= komponen pertumbuhan proporsional sektor i pada wilayah j
DSij
= komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah j
apabila: PBij > 0, maka pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju) PBij < 0, maka pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk lamban
3.6. Shif Share Modifikasi Esteban Marquillas (SS-EM) Selanjutnya untuk mengetahui tingkat spesialisasi perekonomian di suatu daerah juga dapat dilakukan dengan modifikasi analisis Shift Share ini. Estaban Marguillas pada tahun 1972 telah melakukan modifikasi terhadap teknik analisis Shift Share untuk memecahkan masalah pengaruh efek alokasi dan spesialisasi (Soepono, 1993:47). Dengan mengacu kepada persamaan (2) sampai (9), maka modifikasi persamaan Shift Share menurut Estaban Marguillas mengandung unsur baru yang diberi notasi E* ij didefinisikan sebagai suatu variabel wilayah (Eij), bila struktur wilayah sama dengan struktur nasional atau Eij = E*ij maka E*ij dirumuskan menjadi: E*ij = Ej (Ein/En) ……………....…………………………………. (10) Apabila Eij diganti dengan E*ij maka persamaan C ij = Eij (rij – rin) dapat pula diganti menjadi :
46
C*ij = E*ij (rij – rin) ………………….……...…………………… (11) Cij adalah untuk mengukur keunggulan atau ketidakunggulan kompetitif di sektor i pada perekonomian di suatu wilayah menurut analisis Shift Share klasik. Pengaruh efek alokasi (allocation effect) belum dijelaskan dari suatu variabel wilayah untuk sektor i di wilayah j (Aij), untuk mengetahui efek alokasi tersebut didekati dengan menggunakan rumus (Soepono, 1993:41) : Aij = (Eij – E*ij) (rij – rin) ……….…………….…………………. (12) dimana: (Eij –E*ij) : menggambarkan tingkat spesialisasi sektor i di wilayah Sulawesi, jika rij > rin (rij – rin) : menggambarkan tingkat keunggulan kompetitif sektor i diwilayah Sulawesi
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa A ij sebagai pengaruh alokasi dapat dilihat dalam dua bagian yaitu tingkat spesialisasi sektor i di wilayah j (E ij – E*ij) yang dikalikan dengan keunggulan kompetitif (rij – rin). Persamaan tersebut dapat bermakna bahwa bila suatu wilayah mempunyai suatu spesialisasi di sektor-sektor tertentu, maka sektor-sektor tersebut pasti akan menikmati pula keunggulan kompetitif yang lebih baik. Kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dari efek alokasi akan dijelaskan pada tabel 3.3:
47
Tabel 3.3 Analisis Shift Share Esteban Marquilass No.
rij – rin
Eij–E*ij
Keunggulan Kompetitif
Spesialisasi
1
>0
>0
√
√
2
>0
<0
√
x
3
<0
>0
x
√
4
<0
<0
x
x
Dari hasil modifikasi Estaban-Marquillas terhadap analisis Shift Share dapat dirumuskan sebagai berikut (Soepono, 1993: 48) : Dij = Eij (rn)+E ij (rin – rn)+E*ij (rij – rin)+(E ij –E*ij) (r ij – rin) …..… (13)
3.7 Location Quotient (LQ) Location quotient merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk melengkapi analisis Shift Share. Secara umum, analisis ini digunakan untuk menentukan sektor basis/pemusatan dan non basis, dengan tujuan untuk melihat keunggulan komparatif suatu daerah dalam menentukan sektor andalannya. Dalam teknik ini, kegiatan ekonomi suatu daerah dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: (Arsyad (1999:140-141) a. sektor basis adalah sektor ekonomi yang mampu untuk memenuhi kebutuhan baik pasar domestik maupun pasar luar daerah itu sendiri. Artinya sektor ini dalam aktivitasnya mampu memenuhi kebutuhan daerah sendiri maupun daerah lain dan dapat dijadikan sektor unggulan;
48
b. sektor non basis merupakan sektor ekonomi yang hanya mampu memenuhi kebutuhan daerah itu sendiri, sektor seperti ini dikenal sebagai sektor non unggulan. Teori
ini
selanjutnya
menyatakan
bahwa
karena
sektor
basis
menghasilkan barang dan jasa yang dapat dijual keluar daerah yang meningkatkan pendapatan daerah tersebut, maka secara berantai akan meningkatkan investasi yang berarti menciptakan lapangan kerja baru. Peningkatan pendapatan tersebut tidak hanya meningkatkan permintaan terhadap industry basic, tetapi juga menaikkan permintaan akan industry non basic. Dengan dasar teori ini maka sektor basis perlu diprioritaskan untuk dikembangkan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Rumusan Location Quotient (LQ) menurut Bendavid Val (Sadau, 2002:27), yang kemudian digunakan dalam penentuan sektor basis dan non basis, dinyatakan dalam persamaan berikut: LQ
Xr / RVr Xr / Xn atau LQ …………………………. (14) Xn / RVn RVr / RVn
Dimana: LQ Xr RVr Xn RVn
= Koefisien Location Quotient (LQ) Sulawesi = PDRB sektor i di Sulawesi = Total PDRB Sulawesi = PDB sektor i Indonesia = Total PDB Indonesia.
Selanjutnya Bendavid Val memberikan pengukuran terhadap derajat spesialisasi dengan kriteria sebagai berikut: 1. LQ > 1 Jika LQ lebih besar dari 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu pada
49
Sulawesi lebih besar dari sektor yang sama pada tingkat nasional. 2. LQ < 1 Jika LQ lebih kecil dari 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu pada Sulawesi lebih kecil dari sektor yang sama pada tingkat nasional. 3. LQ = 1 Jika LQ sama dengan 1, berarti tingkat spesialisasi sektor tertentu pada Sulawesi sama dengan sektor yang sama pada tingkat nasional. Alat analisis Location Quotient memiliki sejumlah keunggulan dan kelemahan (Bappenas, 2005). Diantara keunggulan metode LQ ini antara lain: metode LQ memperhitungkan ekspor langsung dan ekspor tidak langsung serta metode LQ sederhana dan tidak mahal serta dapat diterapkan pada data historis untuk mengetahui trend. Sementara beberapa kelemahan metode LQ adalah bahwa metode ini berasumsi bahwa pola permintaan di setiap daerah identik dengan pola permintaan bangsa dan bahwa produktivitas tiap pekerja di setiap sektor regional sama dengan produktivitas tiap pekerja dalam industri-industri nasional, dan asumsi bahwa tingkat ekspor tergantung pada tingkat disagregasi.
3.8. Analisis Effek Pengganda Sektor Basis (Base Multiplier) Pengganda
ekonomi
basis
menunjukkan
bahwa
pertumbuhan
pendapatan atau tenaga kerja dalam wilayah karena penggandaan (multifikasi) jumlah pembelanjaan kembali (dalam wilayah) pendapatan dari barang dan jasa yang diproduksi didalam wilayah dan dipasarkan keluar wilayahnya (ekspor). Menurut Tiebout dalam Tarigan (1962) terdapat perbandingan dalam
50
bentuk pendapatan dan faktor-faktor yang terkait dengan pengganda basis. Dalam bentuk pendapatan maka hubungan antara perubahan pendapatan basis dengan perubahan total pendapatan dapat dirumuskan sebagai berikut: ∆Yt = K. ∆Yb ...............…………………………………………….(15) Dimana: Yt = Pendapatan total (total income) Yb = Pendapatan basis Yn = Pendapatan non basis K = Pengganda basis ∆ = perubahan pendapatan Adapun pengganda basis dalam satuan pendapatan adalah: BaseMultiplier
TotalIncome Yt atau dalam bentuk simbol K ……….(16) BasicIncome Yb
Oleh karena itu pendapatan total sama dengan pendapatan basis ditambah pendapatan non basis. Maka rumus pengganda basis tersebut dapat di modifikasi menjadi sebagai berikut:
K
Yt 1 1 1 1 ………………………………..(17) Yn Yb Yb Yt Yn Yt Yn 1 Yt Yt Yt Yt Yt
3.9. Definisi Operasional Variabel Beberapa variabel yang telah digunakan untuk kepentingan penelitian ini memiliki konsep dan definisi sebagai berikut :
1. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku maupun Atas Dasar Harga Konstan merupakan nilai produksi barang dan jasa akhir dalam suatu waktu kurun waktu tertentu orang-orang dan perusahaan. Dinamakan bruto karena memasukkan komponen penyusutan. Disebut domestik karena
51
menyangkut batas wilayah. Disebut Konstan karena harga yang digunakan mengacu pada tahun tertentu (tahun dasar = 2000) dan dinamakan berlaku karena menggunakan harga tahun berjalan (tahun sesuai dengan referensi waktu yang diinginkan). PDRB juga sering disebut dengan NTB (Nilai Tambah Bruto).
2. Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita Produk Domestik regional Bruto (PDRB) per kapita menggambarkan besarnya nilai tambah domestik regional bruto per penduduk pada suatu wilayah, dalam suatu waktu tertentu, pada analisis ini digunakan pendekatan PDRB atas dasar harga konstan. Nilai PDRB per kapita ini diperoleh dengan cara membagi nilai PDRB atas dasar harga konstan di suatu wilayah/region pada jangka waktu satu tahun, dengan jumlah penduduk pertengahan tahun yang berada dalam wilayah/region tersebut.
3. Sektor Ekonomi menyatakan lapangan usaha pembentuk PDRB sektoral di suatu wilayah. Berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI) 1990 lapangan usaha/sektor ekonomi terbagi menjadi sembilan sektor yaitu sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air minum, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor bank dan lembaga keuangan lainnya dan sektor jasa-jasa
4. Sektor dan subsektor ekonomi potensial merupakan sektor dan subsektor ekonomi yang memiliki satu atau gabungan kriteria seperti keunggulan
52
kompetitif, keunggulan komparatif, spesialisasi jika dibandingkan dengan sektor dan subsektor ekonomi yang sama pada wilayah lainnya.
5. Keunggulan Kompetitif berarti kemampuan daya saing kegiatan ekonomi yang lebih besar pada suatu daerah terhadap kegiatan ekonomi yang sama di daerah lainnya. Keunggulan kompetitif juga merupakan cermin dari keunggulan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah terhadap wilayah lainnya yang dijadikan “benchmark”
6. Keunggulan komparatif mengacu pada kegiatan ekonomi suatu daerah yang menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi perekonomian daerah tersebut. Perbandingan tersebut merupakan perbandingan kontribusi nilai tambah bruto suatu sektor/subsektor ekonomi suatu daerah yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya.
7. Spesialisasi mengacu kepada sektor ekonomi di suatu wilayah, dimana suatu wilayah dikatakan memiliki spesialisasi jika wilayah tersebut mengembangkan suatu sektor ekonomi sehingga pertumbuhan maupun andil sektor tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan sektor yang sama pada daerah lainnya, spesialisasi juga tercipta akibat potensi sumber daya alam yang besar maupun peran permintaan pasar yang besar terhadap output-output lokal.
8. Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi menunjukkan suatu pola dan posisi relatif suatu wilayah atau sektor dan subsektor ekonomi berdasarkan struktur dan pertumbuhannya jika dibandingkan dengan wilayah lainnya atau sektor dan subsektor ekonomi di wilayah lainnya. Biasanya untuk melihat pola dan
53
struktur pertumbuhan ekonomi baik regional maupun sektoral digunakan klasifikasi dari klassen (Tipologi Klassen).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Ekonomi Sulawesi 4.1.1. Struktur Ekonomi Todaro (1997:112) mengungkapkan bahwa tingkat perubahan struktural dan sektoral yang tinggi, berkaitan dengan proses pertumbuhan ekonomi. Beberapa komponen utama perubahan strutural tersebut mencakup pergeseran yang berangsur-angsur dari aktifitas pertanian ke sektor non pertanian dan dari sektor industri ke sektor jasa.
Tabel 4.1 Struktur Ekonomi Sulawesi menurut Sektor Ekonomi Tahun 2000 -2007 (persen) Sektor
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Ratarata
Sektor Primer
42,40
41,31
41,08
40,49
39,80
39,72
38,84
38,72
40,29
35,35 7,05
35,21 6,10
35,95 5,13
34,91 5,58
33,72 6,08
33,66 6,06
32,90 5,94
32,59 6,13
34,29 6,01
32,05
32,56
32,68
33,20
33,21
32,88
32,93
33,33
32,86
10,98 0,76 6,64 13,67
10,99 0,82 6,77 13,99
10,77 0,93 6,79 14,18
10,99 0,96 6,98 14,27
10,87 0,94 6,97 14,43
10,43 0,95 7,06 14,43
10,48 0,92 6,92 14,60
10,32 0,91 7,29 14,81
10,73 0,90 6,93 14,30
25,55
26,13
26,24
26,32
26,99
27,39
28,23
27,95
26,85
Pertanian Pertambangan Sektor Sekunder Industri LGA Bangunan Perdagangan Sektor Tersier Pengangkutan Keuangan Jasa – jasa
Total
7,11 7,54 7,65 7,70 7,83 8,43 8,60 8,22 7,88 4,86 4,55 4,62 5,07 5,75 5,60 5,80 5,81 5,26 13,57 14,04 13,98 13,55 13,41 13,36 13,84 13,92 13,71 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Struktur ekonomi kawasan Sulawesi masih didominasi oleh sektor pertanian yang kontribusinya terhadap perekonomian Sulawesi rata-rata diatas
55
34 persen dari tahun 2000 hingga 2007. Sektor pertanian selama ini masih memegang peranan penting baik di tingkat nasional maupun regional, namun peranan tersebut cenderung menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang mencerminkan suatu proses transformasi struktural. Penurunan ini disebabkan oleh interaksi dari berbagai proses yang bekerja disisi permintaan, penawaran, dan pergeseran kegiatan. Akan tetapi dengan adanya kenyataan seperti itu sektor pertanian tidak berarti bahwa penurunan sektor pertanian dalam perekonomian nasional itu menyebabkan sektor pertanian kurang berarti (Ikhsan, dan Armand, 1993). Sektor ekonomi yang mempunyai kontribusi terbesar kedua dan peranannya cenderung membesar adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi rata-rata sebesar 14,30 persen. Pada tahun 2000 peranan sektor ini sebesar 13,67 persen, dan pada tahun 2007 perananannya menjadi 14,81 persen. Selain itu, sektor yang mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Sulawesi adalah sektor jasa-jasa dan sektor industri pengolahan yang masing-masing memberikan kontribusi ratarata sebesar 13,71 dan 10,73 persen. Kontribusi kedua sektor ini relatif stabil selama periode 2000-2007. Sementara itu, sektor-sektor yang lain turut memberikan kontribusi terhadap perekonomian Sulawesi rata-rata dibawah 10 persen dan relatif stabil selama kurun waktu 2000-2007. Jika diamati trendnya, terlihat mulai terjadi pergeseran struktur perekonomian di Sulawesi dari sektor primer menuju ke sektor sekunder dan tersier, walaupun tingkat pergeserannya masih relatif kecil. Berdasarkan tabel
56
4.1 terlihat peranan sektor primer semakin mengalami penurunan, sementara pada saat yang sama terjadi peningkatan pada peranan sektor sekunder dan tersier.
4.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu ukuran dari
hasil
pembangunan yang telah dilaksanakan oleh suatu daerah, khususnya pembangunan dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan tersebut merupakan agregat dari pertumbuhan di setiap sektor ekonomi yang ada. Bagi setiap daerah, indikator ini sangat dibutuhkan untuk mengetahui keberhasilan pembangunan yang telah dicapai, serta berguna untuk menentukan arah pembangunan di masa yang akan datang (BPS, 2001). Menurut Tambunan (2000), untuk meningkatkan pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu target yang sangat penting yang harus dicapai dalam proses pembangunan. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dapat mencerminkan kinerja perekonomian suatu daerah. Menurut Djojohadikusumo (1994), pertumbuhan ekonomi bersangkut paut dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan menyangkut perkembangan yang berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi dan pendapatan. Kegiatan ekonomi yang produktif mengandung berbagai dampak positif, diantaranya menambah pendapatan nyata bagi sebagian besar rakyat atau
57
penduduk, hal itu berarti pula dapat meningkatkan daya konsumsi secara kuantitatif maupun kualitatif.
Tabel 4.2
Laju Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Dirinci Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2000-2007
Sektor Ekonomi (1)
2001 (2) 3,13 2,96 3,96
Laju Pertunbuhan PDRB Sulawesi (%) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 (3) (4) (5) (6) (7) (8) 4,15 3,89 3,45 6,01 5,03 5,42 5,40 2,76 2,91 6,17 4,63 4,38 (2,07) 9,93 6,14 5,23 6,96 10,42
Sektor Primer Pertanian Pertambangan & penggalian Sektor Sekunder Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restoran
6,30 4,17 10,34 7,60 7,16
4,43 2,53 6,39 5,97 5,04
6,04 6,36 5,92 6,43 5,60
5,95 4,06 2,89 7,74 6,68
6,82 6,06 8,80 6,65 7,36
7,50 8,25 7,21 7,16 7,14
7,84 5,94 7,96 8,84 8,76
Sektor Tersier Pengangkutan & komunikasi Keuangan Jasa – jasa
4,72 8,25 (2,98) 5,64
5,17 4,72 7,11 4,77
6,69 8,04 15,25 3,09
8,88 10,25 19,69 4,04
5,83 7,65 5,21 5,00
9,07 7,81 9,97 9,45
7,82 8,54 10,16 6,37
4,55
4,50
5,31
5,68
6,23
6,93
6,88
P D R B Sulawesi
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Membaiknya kinerja perekonomian nasional selama kurun waktu analisis (2000-2007), yang ditunjukkan dengan meningkatnya kinerja beberapa indikator-indikator makro ekonomi, merupakan pondasi yang kuat bagi perekonomian daerah. Kinerja perekonomian Indonesia selama empat tahun terakhir selalu mengalami percepatan pertumbuhan. Meskipun diwarnai dengan berlangsungnya proses pemilihan umum dan pemilihan presiden, pada tahun 2004 ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,03 persen. Pada tahun 2005 perekonomian Indonesia mampu tumbuh lebih tinggi lagi yaitu sebesar 5,69
58
persen. Pada tahun 2006 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,51 persen, dan pada tahun 2007 perekonomian Indonesia tercatat sebesar 6,32 persen. Seiring dengan semakin membaiknya kinerja perekonomian nasional, berdampak pula terhadap kondisi perekonomian di daerah termasuk di Sulawesi. Selama periode analisis, kinerja perekonomian Sulawesi tercatat terus mengalami peningkatan yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi Sulawesi terus mengalami percepatan pertumbuhan. Pada tahun 2004, ekonomi Sulawesi tercatat mengalami pertumbuhan sebesar 5,68 persen. Pada tahun 2005 ekonomi Sulawesi mampu tumbuh lebih tinggi lagi yaitu sebesar 6,23 persen. Bahkan pada tahun 2006, kinerja ekonomi Sulawesi terus mengalami peningkatan dengan membukukan tingkat pertumbuhan ekonomi 6,93 persen. Hingga tahun 2007, perekonomian Sulawesi tetap mengalami pertumbuhan namun sedikit lebih rendah dibanding pada tahun 2006 yakni sebesar 6,88 persen. Selama kurun waktu 2001-2007, pertumbuhan ekonomi Sulawesi ratarata mencapai 5,73 persen. Dilihat dari pola pertumbuhan masing-masing sektor, terlihat trend pertumbuhan pada kelompok sektor primer cenderung (selalu) lebih rendah dibanding dengan pertumbuhan pada kelompok sektor sekunder dan tersier. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan semakin mempercepat proses transformasi dalam struktur ekonomi di Sulawesi. 4.1.3. PDRB Perkapita Prestasi pembangunan dapat dinilai dengan berbagai macam cara dan tolok ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun pendekatan non ekonomi.
59
Penilaian dengan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek pendapatan maupun non pendapatan. Berdasarkan aspek pendapatan, perekonomian biasanya diukur dengan tolok ukur pendapatan per kapita/PDRB perkapita (Dumairy, 1999). Tabel 4.3. PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Konstan Sulawesi Tahun 20002007 (Rupiah) PROVINSI (1)
2000
2001
2002
2003
2004
2005*
2006**
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
5.501.670
5.456.654
5.628.425
5.986.786
6.262.990
6.588.273
1.926.115
1.998.814
2.108.284
2.198.846
2.311.147
2.435.835
5.348.237 5.392.924 Sulawesi Utara 1.767.587 1.837.181 Gorontalo 3.974.832 4.074.672 Sulawesi Tengah 3.932.080 4.082.783 Sulawesi Selatan 2.885.543 2.928.300 Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara 3.172.227 3.230.986 3.853.798 3.958.497 Pulau Sulawesi Sumber: Badan Pusat Statistik
2007**
4.198.068
4.591.602
4.850.069
5.121.155
5.393.530
5.710.602
4.193.084
4.464.402
4.641.566
4.849.963
5.094.268
5.367.670
2.985.861
2.947.238
3.038.536
3.204.694
3.345.722
3.509.340
3.342.934
3.686.468
3.890.489
4.089.024
4.317.740
4.593.440
4.064.248
4.290.046
4.470.309
4.692.177
4.927.429
5.196.618
PDRB perkapita adalah besaran kasar yang menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk disuatu wilayah pada waktu tertentu. PDRB perkapita didapat dengan membagi PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Walaupun nilai PDRB per kapita tidak mampu mencerminkan tingkat pemerataan pendapatan yang diterima oleh masyarakat di suatu wilayah, namun PDRB perkapita tetap merupakan indikator yang cukup penting yang digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan di wilayah tersebut. PDRB perkapita Sulawesi dari tahun 2000 hingga tahun 2007 terlihat mengalami peningkatan dari tahun ketahunnya. Pada tahun 2000, PDRB perkapita atas dasar harga konstan tercatat sebesar Rp. 3.853.798 dan pada tahun 2007 diperkirakan mencapai Rp. 5.196.618. Hal ini mengindikasikan terjadinya
60
perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat secara relatif, walaupun nilai PDRB perkapita tidak menggambarkan tingkat pemerataan dalam distribusinya di masyarakat.
4.2. Analisis Disparitas Pendapatan Regional Keadaan disparitas pendapatan regional diantara provinsi-provinsi di kawasan Sulawesi cukup rendah dengan rata-rata indeks Williamson sebesar 0,19, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemerataan pendapatan di kawasan ini cukup merata. Bandingkan dengan disparitas pendapatan diantara provinsi-provinsi se Indonesia yang rata-rata diatas 0,85.
Tabel. 4.4. Indeks Ketimpangan Regional Williamsons Antar Propinsi di Wilayah Sulawesi Tahun 2000-2007 No
Tahun
(1) 1 2 3 4 5 6 7 8
(2) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Rata-rata
Indeks Williamson Antar Provinsi di Sulawesi (4) 0,2109 0,2058 0,2020 0,1914 0,1885 0,1917 0,1911 0,1910 0, 196529
Sumber: BPS (diolah)
Keadaan disparitas pendapatan regional di Sulawesi selama periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2007, seperti yang terlihat di Tabel 4.4, menunjukkan tendensi pemerataan pendapatan regional yang semakin baik. Hal ini ditandai
61
dengan semakin menurunnya nilai Indeks Williamson, dari sebesar 0,2109 pada tahun 2000 menjadi sebesar 0,1910 pada tahun 2007. Kenyataan ini dimungkinkan terjadi karena adanya kehomogenan tingkat ketersediaan sumber daya alam di masing-masing provinsi di Sulawesi, yang secara otomatis akan berpengaruh pula terhadap ketimpangan pendapatan yang rendah diantara provinsi-provinsi di Sulawesi.
4.3 Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi Daerah 7,00
Sulawesi
6,00
Jawa&Bali
Pertumbuhan Ekonomi
5,00
-
2.000.000
4.000.000
Lainnya
6.000.000 4,00
8.000.000
10.000.000
Sumatera
12.000.000
14.000.000
Kalimantan 3,00
2,00
1,00
-
PDRB Per Kapita
Gambar 4.1 Klasifikasi Kawasan Pulau di Indonesia berdasarkan Klassen Tipology
62
Pada tataran perekonomian nasional, berdasarkan Klassen Tipology, kawasan Sulawesi merupakan kawasan yang dikategorikan daerah berkembang cepat (high growth but low income). Hal ini bermakna bahwa Sulawesi merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tapi PDRB perkapita nya lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Sementara yang dikategorikan sebagai daerah
cepat maju dan
cepat tumbuh (high growth and high income) adalah kawasan Jawa dan Bali yang memang daerah yang relatif mapan dan menjadi tujuan investasi utama di Indonesia. Untuk daerah lainnya yang digolongkan sebagai daerah tertinggal mencakup provinsi-provinsi di Papua, Maluku dan Nusa Tenggara. Sedangkan wilayah yang dikategorikan sebagai daerah maju tapi tertekan ( high income but low growth) yaitu wilayah Sumatera dan Kalimantan. 8,00
Sultra
Pertumbuhan Ekonomi
Gtlo
Sulteng
7,00 6,00
-
1.000.000
2.000.000
3.000.000
Sulbar
4.000.000 5,00
5.000.000
6.000.000
Sulsel 4,00
Sulut 3,00 2,00 1,00 PDRB per Kapita
Gambar 4.2 Klasifikasi provinsi-provinsi berdasarkan Klassen Tipology
di
lingkup
Sulawesi
7.000.000
63
Sementara itu klasifikasi provinsi-provinsi di Sulawesi berdasarkan PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan dengan Klassen Typology, dapat dilihat pada gambar 4.2. Dari hasil pengelompokan dengan Tipology Klassen, terlihat bahwa hanya Provinsi Sulawesi Tengah yang termasuk dalam klasifikasi daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income). Sementara provinsi yang berkategori sebagai daerah yang relatif tertinggal (low
growth and low income) adalah provinsi Sulawesi Barat yang merupakan provinsi termuda di kawasan ini. Pada klasifikasi daerah maju tapi tertekan (high income but low growth)
ditempati Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Untuk daerah dengan kategori berkembang cepat (high growth but low income) ditempati Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara.
4.4 Analisis Komponen Pertumbuhan Ekonomi 4.4.1 Analisis Shift Share Klasik Peningkatan kegiatan ekonomi yang diindikasikan oleh kenaikan PDRB suatu wilayah dapat diperluas (decomposed) atas 3 komponen (Sjafrizal, 2002:10). Secara rinci ketiga komponen tersebut adalah peningkatan PDRB yang disebabkan oleh faktor luar (kebijakan nasional/provinsi) atau sering disebut dengan efek pertumbuhan ekonomi regional (Nij). Pengaruh kedua adalah pengaruh struktur pertumbuhan sektor dan subsektor, atau disebut dengan industrial mix-effect (efek bauran industri-M ij) dan terakhir adalah pengaruh keuntungan kompetitif wilayah studi (Cij).
64
Tabel. 4.5
Perubahan Sektoral dan Komponen yang Mempengaruhi Ekonomi Sulawesi, 2000-2007 Dij (Juta Rp)
Nij (juta Rp)
Cij or DS (juta Rp)
Mij or PS (juta Rp)
6.709.215 (100,00)
8.382.463 (124,94)
1.585.882 (23,64)
-3.259.130 (-48,58)
Pertambangan & penggalian
1.925.819 (100,00)
1.669.780 (86,7)
1.837.383 (95,41)
-1.581.344 (-82,11)
Industri pengolahan
2.756.070 (100,00)
2.600.388 (94,35)
267.255 (9,7)
-111.572 (-4,05)
Listrik, gas & air bersih
267.180 (100,00)
180.697 (67,63)
-186 (-0,07)
86.668 (32,44)
Bangunan
2.384.801 (100,00)
1.572.741 (65,95)
131.505 (5,51)
680.556 (28,54)
Perdagangan, hotel & restoran
4.595.739 (100,00)
3.238.238 (70,46)
597.745 (13,01)
759.756 (16,53)
Pengangkutan & komunikasi
2.856.520 (100,00)
1.683.371 (58,93)
-2.027.529 (-70,98)
3.200.679 (112,05)
Keuangan, persewaan & jasa persh
2.306.306 (100,00)
1.152.233 (49,96)
659.149 (28,58)
494.923 (21,46)
Jasa – jasa
3.510.337 (100,00)
3.215.263 (91,59)
378.526 (10,78)
-83.452 (-2,38)
Total PDRB Sulawesi
27.311.987 (100,00)
23.695.174 (86,76)
3.429.730 (12,56)
187.083 (0,68)
LAPANGAN USAHA
Pertanian
Sumber: BPS (diolah) Keterangan: dalam tanda kurung adalah nilai persentase
Secara agregat, dari tahun 2000 hingga tahun 2007 terjadi pertambahan tingkat PDRB (output ekonomi) di Sulawesi sebesar 27,31 triliyun rupiah. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (86,76 persen) lebih disebabkan karena efek pertumbuhan ekonomi ditingkat nasional. Tidak bisa dielakkan bahwa kondisi perekonomian daerah akan dipengaruhi oleh kinerja perekonomian nasional
65
bahkan perekonomian global. Sulawesi yang merupakan small open economy dalam perekonomian Indonesia sangat mudah terpengaruh oleh perkembangan ekonomi nasional. Sementara pengaruh daya saing Sulawesi terhadap perekonomian Sulawesi hanya mampu mendorong pertambahan perekonomian Sulawesi sebesar 12,56 persen. Hal ini jauh lebih rendah dibanding dengan pengaruh komponen pertumbuhan ekonomi nasional, yang menunjukkan masih rendahnya daya saing atau rendahnya kemandirian daerah. Sementara itu pengaruh dari efek bauran industri/sektoral (industrial mix growth) terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi masih sangat kecil, yakni sebesar 0,68 persen. Ini menunjukkan bahwa dampak dari struktur ekonomi nasional hanya mampu menambah pertumbuhan PDRB Sulawesi sebesar 187,08 milyar atau 0,68 persen. Ditingkat sektoral, pertambahan output yang terjadi pada sektor pertanian selama periode analisis mencapai 6,71 triliyun rupiah. Pengaruh pertumbuhan ekonomi ditingkat nasional mampu mempengaruhi sektor pertanian hingga 124,94 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pengaruh kebijakan nasional seperti subsidi pupuk dan bibit, konsep ketahanan pangan, penetapan harga dasar dan lain-lain, terhadap sektor pertanian di Sulawesi sangat tinggi. Sementara itu, kondisi struktur ekonomi nasional pada periode ini, justru berpengaruh negatif terhadap penciptaan pertumbuhan output ekonomi di sektor pertanian pada kawasan Sulawesi. Pengaruh bauran industri di sektor ini mencapai negatif 48,58 persen, yang berarti bahwa dengan kondisi struktur ekonomi seperti ini justru merugikan karena mengurangi output ditingkat sektor pertanian sebesar 3,26
66
triliun
rupiah.
Sedangkan
pengaruh
komponen
differential
shift
yang
menunjukkan tingkat daya saing wilayah, mampu memberi andil terhadap pertambahan output ekonomi disektor pertanian sebesar 1,59 triliun atau sebesar 23,64 persen terhadap total output yang tercipta di sektor pertanian. Pada sektor industri pengolahan, pengaruh pertumbuhan ekonomi nasional juga sangat tinggi, yakni mencapai 94,35 persen. Ini bisa dimaklumi, karena pada kenyataannya di kawasan Sulawesi masih terbatas jumlah industri pengolahan yang berskala nasional. Selebihnya, sebagian besar industri pengolahan masih tertumpu di wilayah Jawa dan Sumatera. Efek bauran industri terhadap sektor ini mengakibatkan berkurangnya penambahan output ekonomi sebesar 1,58 triliun rupiah atau mencapai negatif 82,11 persen dari total penambahan output yang tercipta di sektor ini yang sebesar 1,93 triliun rupiah. Sementara itu, pengaruh komponen differential shift menunjukkan peranan sebesar 95,41 persen, yang mengindikasikan tingginya daya saing atau kemandirian dalam sektor ini. Dampak dari perekonomian nasional yang cukup besar juga terjadi pada sektor jasa-jasa, dimana pengaruh eksternal (pertumbuhan perekonomian nasional) terhadap sektor ini dikawasan Sulawesi mencapai 91,59 persen. Hal ini dapat dijelaskan bahwa memang, peranan pemerintah pusat terhadap subsektor ini sangat besar, dimana hampir semua provinsi dikawasan Sulawesi sangat mengandalkan alokasi DAU dan DAK dari pemerintah pusat untuk operasional pembangunan di wilayahnya. Pengaruh bauran industri terhadap sektor ini menyebabkan berkurangnya output ekonomi yang tercipta sebesar negatif 2,38 persen, hal ini menunjukkan bahwa kondisi struktur ekonomi yang ada kurang
67
menguntungkan terhadap kegiatan pada sektor ini. Sedangkan pengaruh dari komponen differintial shift turut mendongkrak pertambahan output di sektor ini sebesar 10,78 persen. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.5.
4.4.2. Pergeseran Sektor-Sektor Perekonomian (Pergeseran Bersih/Net Shift) Pergeseran bersih (PB) diperoleh dari hasil penjumlahan antara proporsional shift dan different shift di setiap sektor perekonomian. Apabila PB>0, maka pertumbuhan sektor di Sulawesi termasuk dalam kelompok yang progresif (maju). Sedangkan PB<0 artinya sektor perekonomian di Sulawesi termasuk kelompok yang lamban. Tabel 4.6. Pergeseran Bersih (net shift) Sektor Perekonomian Sulawesi Sektor
Pergeseran Bersih Juta Rp
Pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan Pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan & jasa perusahaan Jasa – jasa PDRB
Persentase
- 1.673.248
- 24,94
256.039 155.682 86.482 812.060 1.357.501 1.173.149 1.154.072 295.074 3.616.813
13,30 5,65 32,37 34,05 29,54 41,07 50,04 8,41 13,24
Sumber: BPS, diolah
Berdasarkan Tabel 4.6, secara agregat pergeseran bersih di Sulawesi menghasilkan nilai positif, yang turut memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan PDRB pada periode 2000-2007 di Sulawesi sebesar 3,62 Triliun
68
rupiah atau sebesar 13,24 persen. Hal ini juga menunjukkan bahwa secara umum, Sulawesi termasuk kedalam kelompok daerah yang progresif (maju). Ditingkat sektoral, hampir semua sektor memiliki nilai PB > 0 kecuali satu sektor yang memiliki PB< 0 yaitu sektor pertanian. Pada sektor pertambangan, pergeseran bersihnya mampu menambah pertumbuhan output sebesar 256,04 Milyar rupiah atau sebesar 13,30 persen terhadap total pertumbuhan di sektor tersebut. Begitu juga yang terjadi di sektor industri pengolahan, sektor listrik, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor pengangkutan, sektor keuangan dan sektor jasa-jasa pergeseran bersihnya turut menambah pertumbuhan output ekonomi di Sulawesi. Lebih jelasnya bisa dilihat pada Tabel 4.6. Sementara pada sektor pertanian pergeseran bersihnya justru membebani tingkat pertumbuhan output sebesar minus 1,67 Triliun rupiah.
4.4.3 Analisis Kuadran PS dan DS Dengan melihat besaran PS dan DS, maka suatu daerah/sektor dapat dikategorikan menjadi empat kelompok/kuadran. Dengan menggunakan alat analisis Shift Share, dapat dilihat dari pendekatan DS dan PS sekaligus, pada periode 2000-2007 secara agregat posisi perekonomian (PDRB) Sulawesi terletak pada Kuadran I (PS dan DS positif). Ini berarti bahwa ekonomi Sulawesi
mengalami
pertumbuhan
yang
pesat
(fast
growing)
dan
perekonomian Sulawesi secara umum memiliki daya saing yang relatif tinggi
69
serta arah pertumbuhan ekonomi sektor domina di Sulawesi sejalan dengan arah pertumbuhan sektor dominan ditingkat nasional. DS
4.000.000
Kuadran IV PDRB
Kuadran I
3.000.000
Pertanian
2.000.000 Pertambangan
1.000.000
Pengangkutan
Jasa2
Perdagangan
Ind. Pengolahan Bangunan (4.000.00 (3.000.00 (2.000.00 (1.000.00 - LGA 1.000.00 2.000.00 0) 0) 0) 0) 0 0
PS 3.000.00 0
4.000.00 0
(1.000.000)
keuangan (2.000.000)
Kuadran III
Kuadran II (3.000.000)
Gambar 4.3. Proportional Shift (PS) dan Diference Shift (DS) Sektor Ekonomi di Sulawesi periode 2000-2007
Pada tingkat sektoral, terdapat tiga sektor yang menempati kuadran I (PS dan DS positif), yaitu sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran
serta
sektor
pengangkutan
dan
komunikasi.
Hal
ini
menginterpretasikan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang cepat. Sektor-sektor tersebut juga mampu bersaing dengan sektor-sektor perekonomian dari wilayah lain.
70
Pada kuadran II (PS positif dan DS negatif) ditempati oleh sektor listrik, gas dan air serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Ini memberikan pengertian bahwa sektor-sektor tersebut berada pada posisi tertekan tapi sedang berkembang (developing). Sektor-sektor ini dikategorikan sebagai sektor ekonomi yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat, tetapi sektor tersebut tidak mampu bersaing dengan sektor ekonomi dari wilayah lain (daya saingnya rendah). Sementara itu, tidak terdapat sektor ekonomi di Sulawesi yang menempati kuadran III (PS negatif dan DS negatif). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada sektor ekonomi di Sulawesi yang dikategorikan sebagai sektor yang terbelakang dan berdaya saing lemah atau dikategorikan terbelakang (depressed). Di kuadran IV ditempati oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan dna perikanan, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan
dan
sektor
jasa-jasa.
Kelompok
sektor
ini
mempunyai
kecenderungan sebagai sektor yang tertekan tetapi berpotensi (highly potential). Kelompok sektor ini memiliki tingkat daya saing yang tinggi tetapi laju pertumbuhannya lambat.
4.5 Analisis Dampak Keunggulan Kompetitif dan Spesialisasi Esteban-Marquillas (1972) berusaha mengatasi satu kelemahan dari analisis Shift Share klasik, yaitu masalah pembobotan yang dijumpai sebagai pengaruh persaingan sebagai komponen ketiga. Melalui analisis Shift Share
71
modifikasi Esteban-Marquiless (SS-EM) dapat dideteksi sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif dan spesialisasi pada suatu wilayah.
Tabel 4.7.
Identifikasi Keunggulan Kompetitif Perekonomian Sulawesi periode 2000-2007 Sektor
rij – rin
Eij – E*ij
(1)
(2)
(3)
Pertanian Pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan,persewaan &jasa perush Jasa – jasa
0,08 0,45 0,04 -0,0004 0,03 0,08 - 0,50 0,24
11.340.621 - 2.878.567 - 9.618.298 90.969 646.682 - 1.424.628 1.391.534 - 1.975.911
0,05
2.427.598
dan
Spesialisasi
Keunggulan Spesialisasi Kompetitif (4)
(5)
Ada Ada Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada
Ada Tidak Tidak Ada Ada Tidak Ada Tidak
Ada
Ada
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah) Tabel 4.7 memperlihatkan setidaknya ada tiga sektor yang memiliki keunggulan kompetitif dan spesialisasi sekaligus yakni sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian dan sektor jasa-jasa. Ini menjelaskan bahwa sektor-sektor ini pertumbuhan dan peranannya relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pertumbuhan dan peranan sektor-sektor yang sama dalam perekonomian tingkat nasional.
4.6 Analisis Keunggulan Komparatif (Analisis Sektor Basis) Alat analisis Location Quotient (LQ) digunakan untuk mengidentifikasi keunggulan
komparatif
kegiatan
ekonomi
di
Sulawesi
dengan
membandingkannya pada tingkat nasional. Teori Location Quotion seperti dikemukakan Bendavid digunakan untuk menganalisis keragaman basis ekonomi. Dari analisis tersebut dapat diidentifikasi sektor-sektor apa saja yang
72
dapat dikembangkan untuk tujuan sektor dan tujuan mensupply kebutuhan lokal, sehingga sektor yang dikatakan potensial dapat dijadikan sektor prioritas utama dalam perencanaan pembangunan ekonomi. Berdasarkan analisis LQ pada Tabel 4.8, di Sulawesi terdapat lima sektor ekonomi yang memiliki keunggulan komparatif (nilai LQ>1), yaitu: sektor pertanian, sektor listrik, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan sektor jasa-jasa. Ini mengindikasikan bahwa wilayah ini telah mampu memenuhi sendiri kebutuhannya disektor ini dan dimungkinkan untuk mengekspor keluar daerah barang dan jasa pada sektor ini. Sektor pertanian
merupakan sektor dengan nilai LQ tertinggi dan
dengan kecenderungan semakin naik, yakni rata-rata mencapai 2,27. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian masih merupakan sektor yang sangat unggul/dominan dikawasan Sulawesi. Selain itu, sektor ini diindikasikan telah mampu mencukupi kebutuhan dalam wilayah ini dan mempunyai kelebihan untuk dijadikan komoditi ekspor. Sementara sektor pertambangan, sektor perdagangan dan sektor keuangan mempunyai nilai LQ<1 yang mengindikasikan bahwa sektor-sektor tersebut bukanlah sektor basis di Sulawesi. Ini juga menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap barang-barang pada sektor ini di Sulawesi belum mampu dicukupi oleh produksi lokal, sehingga dimungkinkan untuk mengimpor dari daerah lain. Dalam Tabel 4.8 tersebut juga terlihat bahwa sektor industri pengolahan merupakan sektor dengan nilai LQ terendah yakni rata-rata sebesar 0,39. Hal
73
ini menunjukkan bahwa sektor ini sangat tidak bisa bersaing dalam perekonomian nasional. Selain itu, hal ini menunjukkan bahwa industrialisasi di kawasan Sulawesi belum berkembang. Seperti diketahui, bahwa sebagian besar industri nasional berdomisili di Jawa dan Sumatera, sangat sedikit industri pengolahan yang terletak di kawasan Sulawesi.
Tabel 4.8.
Nilai Location Quation Sulawesi Dirinci per Sektor Ekonomi Tahun 2000-2007 LQ
Sektor 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Ratarata (10)
Pertanian
2,27
2,24
2,28
2,25
2,24
2,30
2,30
2,31
2,27
Pertambangan & penggalian
0,58
0,60
0,58
0,65
0,71
0,72
0,75
0,81
0,68
Industri pengolahan
0,40
0,40
0,39
0,39
0,38
0,38
0,39
0,39
0,39
Listrik, gas & air bersih
1,26
1,28
1,25
1,26
1,22
1,24
1,24
1,21
1,24
Bangunan
1,20
1,23
1,23
1,23
1,23
1,21
1,18
1,18
1,21
0,85
0,86
0,87
0,87
0,87
0,86
0,85
0,85
0,86
1,52
1,51
1,46
1,40
1,35
1,28
1,19
1,12
1,35
0,59
0,53
0,53
0,57
0,63
0,62
0,63
0,64
0,59
1,45
1,47
1,49
1,46
1,44
1,43
1,45
1,44
1,45
(1)
Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan & jasa perusahaan Jasa – jasa
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
4.7. Analisis Efek Pengganda Basis (Base Multiplier) Dengan diketahui efek pengganda (multiplier), maka pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat diketahui. Efek pengganda sebagai siklus dari pembelanjaan kembali pendapatan yang diperoleh melalui penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh wilayah yang bersangkutan. Pengganda pendapatan basis dihitung dengan membandingkan total pendapatan wilayah
74
dengan pendapatan dari sektor basis. Besarnya efek pengganda ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Pada Tabel 4.9 terlihat koefisien pengganda pendapatan sektor basis menunjukkan nilai rata-rata diatas 1,59 dan dari tahun-ketahun terlihat kecenderungannnya semakin membesar. Hal ini mengandung pengertian bahwa sektor-sektor basis ini mampu memberikan dampak terhadap pembentukan PDRB sebesar 1,5 kali dari total output yang dihasilkan oleh sektor basis ini.
Tabel 4.9.
Koefisien Pengganda Pendapatan Sektor Basis di Sulawesi tahun 2000-2007
Pendapatan Pendapatan sektor sektor Basis non basis (1) (2) (3) 2000 36.388.686 20.961.691 2001 38.099.100 21.862.276 2002 40.103.150 22.557.449 2003 41.657.107 24.329.853 2004 43.560.119 26.178.185 2005 46.260.403 27.819.473 2006 49.208.216 30.003.377 2007 52.116.739 32.545.625 Rata-rata (simple average) Sumber: BPS, diolah Tahun
Keterangan: Sektor basis:
Total Pendapatan (4) 57.350.378 59.961.376 62.660.599 65.986.960 69.738.304 74.079.875 79.211.593 84.662.364
Multiplier Sektor basis (5) 1,5760 1,5738 1,5625 1,5841 1,6010 1,6014 1,6097 1,6245 1,5916
sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor jasa-jasa Sektor non basis: sektor pertambangan, sektor industri pengolahan , sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
75
4.8 Ringkasan Berbagai Analisis Dari berbagai analisis diatas dapat diringkas untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai posisi masing-masing sektor dilihat dari segi tingkat pertumbuhan, kemampuan daya saing, keunggulan kompetitif, keunggulan komparatif serta kemampuan berspesialisasinya. Berdasarkan Tabel 4.10, terlihat bahwa ada beberapa sektor yang memiliki beberapa keunggulan sekaligus yaitu sektor pertanian, sektor bangunan dan sektor jasa-jasa. Sektor-sektor ini dikategorikan sebagai sektor yang memiliki daya saing yang tinggi, memiliki keunggulan kompetitif, mampu berspesialisasi, serta memiliki keunggulan komparatif sekaligus. Bahkan sektor bangunan selain memiliki semua keunggulan juga dikategorikan sebagai kelompok yang progresif (maju) dan pertumbuhannya pesat (fast growing). Sehingga ketiga sektor ini dapat dikatakan sebagai sektor potensial untuk dikembangkan di Sulawesi. Sementara sektor jasa-jasa walaupun memiliki beberapa keunggulan dan dikategorikan sebagai kelompok sektor yang progresif, hanya saja pertumbuhan sektor ini dikategorikan sebagai sektor yang pertumbuhannya lamban.
76
Tabel 4.10. Ringkasan Berbagai Alat Analisis Yang Digunakan Alat Analisis Shift Share Klasik
Sektor PS (1)
DS
SS-EM PB
rij – rin (5)
Eij – E*ij
Location Quotion
Kelompok Progresif/
LQ
Maju a)
Kategori Sektor Daya KeungFast saing gulan Growing Tinggi Kompeb) b) titif c)
Spesialisasi d)
Keunggulan Komparatif d)
(2)
(3)
(4)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
Pertanian
-3.259.130
1.585.882
-1.673.248
0,08
11.340.621
2,27
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Pertambangan
-1.581.344
1.837.383
256.039
0,45
-2.878.567
0,68
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
-111.572
267.255
155.682
0,04
-9.618.298
0,39
Ya
Tidak
Ya
Ya
Tidak
Tidak
86.668
-186
86.482
-0,0004
90.969
1,24
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Bangunan
680.556
131.505
812.060
0,03
646.682
1,21
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Perdagangan
759.756
597.745
1.357.501
0,08
-1.424.628
0,86
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Angkutan
3.200.679
-2.027.529
1.173.149
-0,5
1.391.534
1,35
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Keuangan
494.923
659.149
1.154.072
0,24
-1.975.911
0,59
Ya
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
0,05
2.427.598
1,45
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Ind Pengolahan LGA
Jasa-jasa
-83.452
378.526
295.074
PDRB
187.083
3.429.730
3.616.813
Keterangan a) berdasarkan analisis pergeseran bersih (PB) b) berdasarkan analisis kuadran PS, DS c) berdasarkan analisis SS-EM d) berdasarkan analisis LQ
76
77
4.9. Relevansi Kebijakan Dari analisis yang telah dilakukan selama periode 2000 hingga 2007, dihasilkan sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan di Kawasan Sulawesi yakni sektor pertanian, sektor bangunan dan sektor jasa-jasa. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor inilah yang selama periode ini mendapatkan perhatian yang lebih dari Pemerintah Daerah di Kawasan Sulawesi. Sementara itu terlihat sektor industri pengolahan tidak termasuk sebagai sektor yang memiliki keunggulan komparatif (nilai LQ rendah), hal ini menunjukkan bahwa selama ini proses industrialisasi di wilayah ini berjalan lambat. Hal ini juga terlihat dari peranan sektor industri pengolahan dalam perekonomian Sulawesi yang relatif stagnan bahkan cenderung menurun (lihat tabel 4.1). Menurut teori-teori perubahan struktural (structural change theory), perekonomian suatu wilayah dikatakan maju apabila mengarah ke struktur perekonomian yang modern yakni dari pola ekonomi agraris ke perekonomian industri serta perubahan jenis permintaan konsumen dari produk kebutuhan pokok dan pangan ke berbagai barang dan jasa manufaktur. Walaupun proses transformasi struktur ekonomi di kawasan Sulawesi sudah mulai terlihat, namun terlihat lambat. Inilah kemungkinan salah satu penyebab dari beberapa masalah mengapa perekonomian Sulawesi relatif tertinggal dengan wilayah lain. Menurut teori pertumbuhan Rostow, ketika suatu daerah/wilayah/negara masih mengandalkan
78
sektor pertanian (fase tradisional), maka produktifitas yang tercipta akan rendah sehingga daerah tersebut cenderung akan tertinggal dengan daerah lain. Begitu juga ketika sektor jasa yang didalamnya terdapat subsektor jasa pemerintahan, dikategorikan sebagai sektor yang unggulan. Artinya sektor ini (terutama subsektor jasa pemerintahan-lihat di lampiran 5) selama periode analisis memiliki kontribusi yang besar dalam perekonomian Sulawesi, atau disimpulkan bahwa peranan pemerintah dalam perekonomian Sulawesi masih cukup dominan. Hal ini bertolak belakang dengan teori keunggulan absolut yang dikemukakan oleh Adam Smith yang banyak diikuti ekonom modern, yang menganjurkan untuk menjalankan kebijakan yang dinamakan laissez-faire, yaitu suatu kebijakan yang menyarankan sesedikit mungkin intervensi pemerintah terhadap perekonomian. Sementara itu, sektor yang memiliki semua keunggulan dalam analisis ini yaitu, sektor bangunan. Pada periode ini dimungkinkan terjadi pembangunan yang menyedot investasi yang cukup besar. Keadaan ini menunjukkan suatu perkembangan yang nyata di mana pada masa otonomi daerah, pemerintah di kawasan Sulawesi sedang giat membangun fasilitas infrastruktur untuk menunjang pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum. Selain itu fenomena pemekaran daerah yang terus berlanjut juga memerlukan alokasi untuk pembangunan kantorkantor pemerintah yang baru dan fasilitas umum lainnya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Struktur perekonomian Sulawesi mulai terjadi pergeseran dari sektor primer menuju ke sektor sekunder dan tersier, walaupun tingkat pergeserannya masih relatif kecil. Hal ini terlihat dari kontribusi sektor primer yang semakin menurun dengan pertumbuhan yang relatif rendah, sementara pada saat yang sama kontribusi sektor sekunder dan tersier terlihat semakin meningkat dengan pertumbuhan yang relatif tinggi. 2. Keadaan disparitas pendapatan regional diantara provinsi-provinsi di kawasan Sulawesi cukup rendah dengan rata-rata indeks williamson sebesar 0,19, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemerataan pendapatan di kawasan ini cukup merata 3. Secara agregat, dari tahun 2000 hingga tahun 2007 terjadi pertambahan tingkat PDRB (output ekonomi) di Sulawesi sebesar 27,31 triliyun rupiah. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (86,76 persen) lebih disebabkan karena effek pertumbuhan ekonomi ditingkat nasional. Sementara pengaruh daya saing Sulawesi terhadap perekonomian Sulawesi hanya mampu mendorong pertambahan perekonomian Sulawesi sebesar 12,56 persen. Sementara itu pengaruh dari efek bauran industri/sektoral (Industrial Mix Growth) terhadap pertumbuhan ekonomi Sulawesi sebesar 0,68 persen.
80
4. Pada tataran perekonomian nasional, berdasarkan Klassen Tipology, kawasan Sulawesi merupakan kawasan yang dikategorikan daerah berkembang cepat (high growth but low income). Hal ini bermakna bahwa Sulawesi merupakan daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tapi PDRB perkapita nya lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional. Sementara berdasarkan hasil analisis pergeseran bersih juga menunjukkan bahwa secara umum, Sulawesi termasuk kedalam kelompok daerah yang progresif (maju). 5. Dari berbagai alat analisis yang digunakan, terlihat ada beberapa sektor yang memiliki beberapa keunggulan sekaligus yaitu sektor pertanian, sektor bangunan dan sektor jasa-jasa. Sektor-sektor ini dikategorikan sebagai sektor yang memiliki daya saing yang tinggi, memiliki keunggulan kompetitif, mampu berspesialisasi, serta memiliki keunggulan komparatif sekaligus. Bahkan sektor bangunan selain memiliki semua keunggulan juga dikategorikan sebagai kelompok yang progresif (maju) dan pertumbuhannya pesat (fast growing). Sehingga ketiga sektor ini dapat dikatakan sebagai sektor potensial untuk dikembangkan di Sulawesi.
5.2. Saran 1. Kepada pengambil kebijakan, untuk menjadikan Sulawesi sebagai wilayah yang maju, perlu di rumuskan formula untuk memulai menggerakkan industri pengolahan terutama yang berbahan baku dari sektor pertanian yang melimpah (memiliki beberapa keunggulan) dan juga mensinergikan
81
dengan sektor-sektor yang memiliki beberapa keunggulan agar dihasilkan multiplier effect terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan percepatan pembangunan ekonomi yang lebih efektif, dengan tidak mengabaikan sektor-sektor ekonomi lainnya. 2. Apabila pembangunan diarahkan berbasis kepulauan, hendaknya dikaji lebih cermat mengenai cara implementasinya supaya tidak berbenturan dengan konsep desentralisasi yang sekarang berlangsung 3. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk bisa menganalisis hingga level komoditi, sehingga bisa lebih aplikatif
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardo. 2008. Pengembangan Wilayah Konsep dan Teori, Graha Ilmu, Jakarta Adiatmojo, Gatot Dwi. 2003. Pembangunan Berkelanjutan dengan Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam untuk Membangun Perekonomian dengan basis Pertanian (di Kabupaten Musi Banyuasin). Makalah Pengantar Falsafah Sains Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, Bogor Anggawijaya, Agus Hasan Pura, 1997. Pengaruh Distribusi Tidak Merata Terhadap Pertumbuhan Ekonomi. [Thesis] Universitas Indonesia, Jakarta. Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi keempat, BPFE Yogyakarta Annonimous. Shift-ShareAnalysis: Helps Identify Local Growth Engines. College of Agricultural Sciences Agricultural Research and Cooperative Extension, Pennsylvania University, Aziz, Iwan Jaya. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya Di Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta Bangun, Jasa. 2006. Analisis Daya Saing Perekonomian Propinsi-Propinsi Kawasan Timur Indonesia. Buletin HAISTIS, No. 1 Th. 4 - Mei 2006 Bappenas, 2005. SIMRENAS: Panduan Pemahaman dan Pengisian Data Dasar Perencanaan Pembangunan (Bab: Panduan Perangkat Analisis untuk Perencanaan). Bappenas, Jakarta Bendavid-Val, Avrom. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practioners. Praeger Publisher, New York and London, Foourt Edition. BPS, 1999, Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia 1997, Jakarta BPS.2001. Tinjauan Ekonomi Regional Indonesia 1996-1998. Badan Pusat Statistik, Jakarta. BPS. 2008. Indeks Kesenjangan Ekonomi Antar Kecamatan di Kota Pontianak (Indeks Williamson). Berita Resmi Statistik Kota Pontianak No: 02/02/6171/Th VI, 12 Pebruari 2008, BPS Kota Pontianak, Pontianak. BPS Sulawesi Tengah. Analisis Komponen Pertumbuhan Ekonomi Sulawesi Tengah: Pendekatan shift Share.Makalah disampaikan pada Konsultasi Regional PDRB Provinsi se-Sulawesi, Maluku dan Papua 30-31 Agustus 2005 di Jayapura, 2005
83
Bratakusumah, D. S dan Solihin D. 2003. Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Budiharsono, Sugeng. 2001. Teknis Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Budiharsono, Sugeng. 1995. Perencanaan Pembangunan Daerah. PAU-EK-UI, Jakarta Budiman, A. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Boediono. 1992. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Edisi 1. Yogyakarta: BPFE. Bustam, Ahmad Suharno. 2008. Identifikasi dan Kontribusi Subsektor Perikanan terhadap PDRB Provinsi Nusa Tenggara Barat, [Thesis]. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Devi, Tirani Sakuntala. 2007. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Sebelum dan Pada Awal Otonomi Daerah. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Djojohadikusumo, Sumitro,1994, Dasar Pembangunan, LP3ES, Jakarta.
Ekonomi
Pertumbuhan
dan
Ekonomi
Dumairy, 1999. Perekonomian Indonesia, Cetakan Ketiga. Erlangga, Jakarta. Fritz, Oliver, dan Gerhard Streicher, 2004. Measuring Changes in Regional Competitiveness over Time A Shift-Share Regression Exercise. Paper presented at the International Conference on Policy Modeling (EcoMod2004), Paris, June – July 2004 Hady, Hamdy. 2001. Ekonomi Internasional. Ghalia Indonesia, Jakarta Hidayat, Imam Khurmen, 2004. Mengidentifikasi sektor basis dan non basis di Kabupaten Purbalingga tahun 1996-2003, [Thesis] Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto. http://en.wikipedia.org/wiki/Shift-share_analysis [31 juli 2008] http://www.infosulawesi.net/index.htm [13 agustus 2008] Irawan dan Suparmoko. 1999. Ekonomika Pembangunan. BPFE, Yogyakarta
84 Jaya, Wihana Kirana, 1993. Pengantar Ekonomi Industri: Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar. BPFE, Yogyakarta Kansas Comprehensive Strategic Plan Update. 2002. Supplement B: Shift-Share Analysis. Cambridge Systematics, Inc and Economic Competitiveness Group, Inc. Knudson, William A. 2006. A Shift/Share Analysis of Michigan Agriculture, Working Paper, Michigan State University. Kuncoro, Mudrajad, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan, UPPAMPYKPN, Yogyakarta. Kuncoro, Mudrajad, 2004. Transformasi Ekonomi Dan Ketimpangan Di DIY. KOMPAS, Rubrik Opini, Senin, 13 Desember 2004 Kuncoro, Mudrajat dan Aswandi H., (2002). Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan: Studi Empiris di Kalimantan Selatan 1993-1999, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 16, No.1. Lann, Robert. Shift-Share Analysis (Mix and Share Analysis), Slide Power Point, Georgia Tech, Economic Development Institute. Mankiw, N. Gregory. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Terjemahan dari Macroeconomics 6th Editon. Worh Publishers. Liza, F dan Imam Nurmawan, [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi Kedelapan. Terjemahan dari Intermediate Microeconomics and Its Application, Eight Edition. Harcourt College Publishers. Mahendra, Bayu dan Abdul Aziz, penterjemah. Erlangga. Jakarta. PennState, 2003. Using Employment Data to Better Understand Your Local Economy: Use Location Quotients to Identify Local Strengths, Opportunities, and Industry Clusters, PennState - College of Agricultural Sciences Agricultural Research and Cooperative Extension Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi: Mikroekonomi dan Makroekonomi. Lembaga Penerbit FEUI. Jakarta Rini, Setio. 2006. Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian 30 Provinsi di Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Jilid I. Edisi Kelima. Erlangga: Jakarta.
85
Sadau A. 2002. Identifikasi Sektor Ekonomi dan Prospek Pembangunan daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah Kabupaten Kapuas Hulu 1995-1999 [Tesis]. Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Padang Stevens, B.H dan Moore, C.L . 1980. “A Critical Review of The Literature on shiftShare as A Forcasting Technique” Journal of Regional Science, Vol. 20, No. 4, 1980 Socrates, 2002. Shift Share Analysis Narrative, Anonimous Soegarenda, 2007. Analisis Daya Saing Sektor-Sektor Ekonomi Provinsi Gorontalo: Analisa Shif-Share, working paper Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah dan Dasar Kebijaksanaan. Bima Grafika, Jakarta Sukirno, Sadono. 2000. Pengantar Teori Makroekonomi. Ed. Ke-2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tarigan, Robinson. 2007. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi (edisi revisi). Bumi Aksara, Jakarta Taufik, Tatang A. 2005. Penguatan daya saing dengan platform klaster industri: Prasyarat memasuki ekonomi modern. Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Strategi dan Implementasi Pengembangan Daya Saing Ekonomi Daerah Dengan Pendekatan Lintas Sektoral, yang diselenggarakan oleh Core Competence dan PUPUK di Yogyakarta tanggal 7 - 9 Pebruari 2005. Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1. Haris dan Puji [penerjemah]. Erlangga, Jakarta Todaro, Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jilid 2. Burhanuddin dan Haris [penerjemah]. Erlangga, Jakarta Urai, Nursina Amal, 1999. Kesenjangan Pemanfaatan Potensi Daerah: Analisa Shift Share. Makalah disampaikan pada Konsultasi Regional PDRB se-Sumatera 2629 Oktober 1998 di Palembang.
Lampiran 1. Nilai PDRB Sulawesi Atas Dasar Harga Konstan di Rinci menurut Sektor Ekonomi Tahun 2000-2007 (Juta Rupiah) Sektor (1) Pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan Pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan & jasa perusahaan Jasa – jasa PDRB
PDRB Sulawesi (Juta Rp) 2000 (2)
2001 (3)
2002 (4)
2003 (5)
2004 (6)
2005 (7)
2006 (8)
2007 (9)
20.288.410
20.889.262
22.017.614
22.624.291
23.283.723
24.720.336
25.864.925
26.997.625
4.041.435
4.201.628
4.114.642
4.523.391
4.801.138
5.052.316
5.403.983
5.967.254
6.293.822
6.556.361
6.722.528
7.150.375
7.440.720
7.891.533
8.542.778
9.049.892
437.349
482.560
513.402
543.771
559.475
608.687
652.584
704.528
3.806.567
4.096.011
4.340.656
4.619.893
4.977.459
5.308.626
5.688.492
6.191.368
7.837.637
8.398.712
8.822.330
9.316.185
9.938.856
10.670.004
11.431.525
12.433.377
4.074.330
4.410.646
4.618.974
4.990.152
5.501.834
5.922.970
6.385.600
6.930.850
2.788.797
2.705.575
2.897.949
3.339.902
3.997.471
4.205.619
4.625.092
5.095.102
7.782.030
8.220.621
8.612.505
8.879.001
9.237.629
9.699.784
10.616.615
11.292.368
57.350.378
59.961.376
62.660.599
65.986.960
69.738.304
74.079.875
79.211.593
84.662.364
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
86
Lampiran 2. Nilai PDRB Sulawesi Atas Dasar Berlaku Konstan di Rinci menurut Sektor Ekonomi Tahun 2000-2007 (Juta Rupiah) Sektor (i) Pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan Pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan & jasa perusahaan Jasa - jasa PDRB
PDRB Sulawesi (Juta Rp) 2000 (2)
2001 (3)
2002 (4)
2003 (5)
2004 (6)
2005 (7)
2006 (8)
2007 (9)
20.264.574
23.093.875
26.437.595
28.407.402
31.032.031
36.537.615
41.513.788
46.683.839
4.041.435
4.000.552
3.773.163
4.543.012
5.595.347
6.580.230
7.488.676
8.777.889
6.293.822
7.206.417
7.923.947
8.942.498
10.002.963
11.326.359
13.222.269
14.776.449
437.349
535.678
683.408
778.034
863.707
1.034.974
1.165.822
1.299.015
3.806.567
4.439.318
4.993.794
5.681.782
6.418.043
7.667.444
8.734.582
10.444.238
7.837.637
9.178.757
10.431.835
11.613.569
13.285.160
15.663.646
18.427.125
21.218.805
4.074.330
4.948.378
5.623.841
6.268.605
7.205.646
9.151.329
10.850.317
11.769.633
2.788.797
2.983.488
3.395.381
4.122.999
5.294.675
6.083.353
7.313.346
8.318.352
7.782.030
9.208.650
10.279.773
11.024.443
12.338.939
14.500.112
17.458.297
19.941.609
57.326.542
65.595.113
73.542.735
81.382.343
92.036.511
108.545.062
126.174.221
143.229.828
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
87
Lampiran 3. Nilai PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan di Rinci menurut Sektor Ekonomi Tahun 2000-2007 (Juta Rupiah) Sektor (1) Pertanian, peternakan, kehutanan & perikanan Pertambangan & penggalian Industri pengolahan Listrik, gas & air bersih Bangunan Perdagangan, hotel & restoran Pengangkutan & komunikasi Keuangan, persewaan & jasa perusahaan Jasa - jasa PDB
PDRB Sulawesi (Juta Rp) 2000 (2)
2001 (3)
2002 (4)
2003 (5)
2004 (6)
2005 (7)
2006 (8)
2007 (9)
216.831.500
223.891.500
231.613.500
240.387.300
247.163.600
253.881.700
262.402.800
271.586.900
167.692.200
168.244.400
169.932.000
167.603.800
160.100.500
165.222.600
168.028.900
171.361.700
385.597.900
398.323.800
419.387.800
441.754.900
469.952.400
491.561.400
514.100.300
538.077.900
8.393.800
9.058.300
9.868.200
10.349.200
10.897.600
11.584.100
12.251.100
13.525.200
76.573.400
80.080.400
84.469.800
89.621.800
96.334.400
103.598.400
112.233.600
121.901.000
224.452.200
233.307.900
243.266.600
256.516.600
271.142.200
293.654.000
312.520.800
338.945.700
65.012.100
70.275.900
76.173.100
85.458.400
96.896.700
109.261.500
124.975.700
142.944.500
115.463.000
123.266.000
131.523.000
140.374.400
151.123.300
161.252.200
170.074.300
183.659.300
129.753.800
133.957.500
138.982.400
145.104.900
152.906.100
160.799.300
170.705.400
181.972.100
1.389.769.900
1.440.405.700
1.505.216.400
1.577.171.300
1.656.516.800
1.750.815.200
1.847.292.900
1.963.974.300
Sumber: Badan Pusat Statistik
88
Lampiran 4. Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku di Rinci menurut Kawasan Tahun 2000-2007 (Milyar Rupiah)
Kawasan
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
Sulawesi Sumatra Jawa & Bali Kalimantan Lainnya Total
57.327 311.817 817.775 131.476 47.082 1.365.477
65.595 348.313 937.388 146.432 55.310 1.553.038
73.543 386.806 1.062.554 154.727 59.488 1.737.118
81.382 436.960 1.194.901 173.484 64.282 1.951.011
92.037 495.524 1.340.490 209.635 72.986 2.210.672
108.545 590.480 1.604.929 266.765 99.254 2.669.973
126.174 695.905 1.892.247 296.454 108.933 3.119.712
143.230 811.795 2.123.051 321.942 125.900 3.525.917
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
Lampiran 4. Nilai PDRB Atas Dasar Harga Konstan di Rinci menurut Kawasan Tahun 2000-2007 (Milyar Rupiah) Kawasan
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
57.350 311.817 817.775 131.476 47.082 1.365.501
59.961 313.792 849.483 136.997 50.151 1.410.385
62.661 331.710 884.114 140.745 52.382 1.471.612
65.987 346.715 927.599 144.495 53.777 1.538.572
69.738 356.879 977.537 148.844 50.948 1.603.946
74.080 369.632 1.033.671 154.684 58.075 1.690.140
79.212 389.067 1.093.320 160.687 55.650 1.777.936
84.662 408.118 1.160.721 165.741 58.392 1.877.634
Sulawesi Sumatra Jawa & Bali Kalimantan Lainnya Total
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah
89
90
Lampiran 5. Nilai Location Quation di Sulawesi di Rinci Menurut Subsektor Tahun 2000 -2007 LQ SEKTOR (1)
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Ratarata
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
PERTANIAN
2,27
2,24
2,28
2,25
2,24
2,30
2,30
2,31
2,27
a. Tabama b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan PERTAMBANGAN a. Minyak & Gas b. Pert. Tanpa Migas c. Penggalian
1,78 4,41 1,19 1,02 3,33 0,58 0,02 1,95 1,75 0,40 0,46 1,26 1,53 1,11 1,20 0,85 0,93 0,57 0,42 1,52 1,83 0,73
1,77 4,30 1,16 1,03 3,21 0,60 0,02 1,73 1,77 0,40 0,45 1,28 1,56 1,11 1,23 0,86 0,95 0,53 0,44 1,51 1,85 0,68
1,80 4,34 1,14 1,04 3,30 0,58 0,02 1,51 1,77 0,39 0,44 1,25 1,56 1,00 1,23 0,87 0,96 0,52 0,44 1,46 1,83 0,64
1,79 4,31 1,13 1,04 3,12 0,65 0,02 1,61 1,76 0,39 0,44 1,26 1,58 1,03 1,23 0,87 0,95 0,52 0,45 1,40 1,79 0,58
1,71 4,51 1,16 1,01 3,08 0,71 0,02 1,85 1,71 0,38 0,42 1,22 1,53 1,05 1,23 0,87 0,96 0,52 0,46 1,35 1,80 0,53
1,76 4,64 1,20 1,04 3,13 0,72 0,04 1,71 1,66 0,38 0,42 1,24 1,56 1,05 1,21 0,86 0,94 0,53 0,47 1,28 1,80 0,47
1,75 4,66 1,18 1,09 3,05 0,75 0,05 1,70 1,60 0,39 0,43 1,24 1,55 1,06 1,18 0,85 0,93 0,52 0,47 1,19 1,79 0,41
1,79 4,55 1,19 1,14 3,00 0,81 0,08 1,72 1,65 0,39 0,43 1,21 1,55 1,08 1,18 0,85 0,93 0,50 0,47 1,12 1,87 0,35
1,77 4,46 1,17 1,05 3,15 0,68 0,03 1,72 1,71 0,39 0,44 1,24 1,55 1,06 1,21 0,86 0,94 0,53 0,45 1,35 1,82 0,55
0,59 0,41
0,53 0,32
0,53 0,34
0,57 0,44
0,63 0,59
0,62 0,58
0,63 0,65
0,64 0,68
0,59 0,50
0,63
0,61
0,59
0,58
0,56
0,55
0,55
0,56
0,58
1,06 0,31 1,45 2,28 0,50
1,01 0,32 1,47 2,37 0,49
0,97 0,31 1,49 2,47 0,48
0,93 0,31 1,46 2,50 0,47
0,91 0,30 1,44 2,53 0,45
0,89 0,30 1,43 2,58 0,45
0,85 0,29 1,45 2,68 0,45
0,84 0,29 1,44 2,68 0,45
0,93 0,30 1,45 2,51 0,47
IND. PENGOLAHAN
a. Industri Migas b. Ind. non Migas LGA a. Listrik b. Gas c. Air Bersih BANGUNAN PERDAGANGAN a. Perdagangan b. Hotel c. Restoran PENGANGKUTAN a. Pengangkutan b. Komunikasi KEUANGAN a. Bank b. Lembaga keu Non Bank c. Sewa Bangunan d. Jasa Perusahaan JASA – JASA a. Pemerintahan b. Swasta
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah