77
ANALISIS PERBANDINGAN PERTUMBUHAN BIBIT SAGU DI PERSEMAIAN POLIBAG DAN RAKIT Abstrak Penelitian ini bertujuan membandingkan respon pertumbuhan bibit sagu di persemaian polibag dan rakit. Penelitian dilaksanakan dari Juli 2012 sampai dengan Maret 2013 di Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor, Jawa Barat dan Laboratorium Fisiologi dan Kromatografi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Penelitian diacak dalam blok dengan dua faktor di persemaian polibag dan rakit. Faktor pertama terdiri atas jenis auksin yaitu kontrol (tanpa auksin), 7.40 mM IBA, 7.40 mM NAA, 7.40 mM auksin komersial. Faktor kedua terdiri atas tiga bobot yaitu 500-999 g, 1000-1499 g, and 1500-2000 g. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ada perbedaan antara peubah tinggi rachis tidak normal, jumlah anak daun rachis tidak normal, jumlah anak daun rachis ke-1, diameter rachis ke-1, jumlah akar primer dan akar nafas. Kedua teknik persemaian tidak memberikan perbedaan pada persentase rata-rata bibit hidup. Nilai diameter rachis di rakit lebih tinggi dibandingknan dengan di polibag. Jumlah akar primer di persemaian polibag lebih tinggi dibandingkan dengan persemaian rakit, namun sebaliknya jumlah akar nafas di persemaian rakit lebih banyak dibandingkan dengan di persemaian polibag. Kata kunci: teknik persemaian, analisis perbandingan, media semai
Abstract The experiment was aimed to compare respon of sago palm sucker growth on polybag and raft nursery.. This research was conducted from July 2012 until Mart 2013 at Cikarawang, Dramaga, Bogor, West Java and Physiology and Chromatoghraphy Laboratory, Departemen of Agronomy and Horticulture, Bogor Agricultural University. Randomized block design with 2 factors were used in polybag and raft nursery. The first factor consisted of four treatments namely: control (without auxin) 7.40 mM IBA, 7.40 mM NAA, 7.40 mM commercial auxin. The second factor used sucker weight consisted of three weights, i. e. 500-999 g, 1000-1499 g, and 1500-2000 g. The result showed that there were significantly different to height of abnormal rachis, number of leaflets of abnormal rachis, number of leaflets of 1st rachis, diameter of 1st rachis, number of primary roots, and aerenchyma roots. Both of nursery techniques were not significantly different on percentage of survival rate seedlings. Rachis diameter value in raft nursery was significantly higher than in polybag nursery. The number of primary roots in polybag was significantly higher than in raft nursery, but instead of the number of aerenchyma roots in raft nursery was significantly higher than in polybag nursery. Keywords: nursery technique, seedling, media
78
Pendahuluan Sagu merupakan jenis palma yang menghasilkan pati dari batang. Tanaman tersebut memiliki potensi pati yang cukup tinggi. Jumlah pati yang dapat dihasilkan per batang tanaman sagu yaitu sekitar 200-800 kg. Masyarakat lokal biasanya memanfaatkan sagu dengan mengambil batang sagu dari hutan. Tanaman sagu tersebut tumbuh dan berkembangbiak secara alami selama bertahun-tahun. Pengembangan tanaman sagu secara nasional sudah mulai dilakukan. Tanaman sagu telah ditanam dalam skala perkebunan. Perubahan pemeliharaan sagu dari hutan sagu alam menjadi perkebunan membutuhkan pemeliharaan intensif. Pemeliharaan yang intensif dengan penanaman bibit unggul akan menyebabkan pertumbuhan tanaman sagu menjadi baik. Pertumbuhan yang baik diharapkan mampu meningkatkan kuantitas pati yang dihasilkan saat panen. Pengembangan sagu skala perkebunan meliputi persiapan bibit, persemaian penjarangan anakan, pemangkasan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit, serta manajemen panen. Persemaian merupakan titik penting dalam persiapan bibit siap tanam di lapangan. Kebutuhan bibit sagu dalam jumlah besar mengharuskan persentase bibit hidup yang tinggi di lapangan. Dengan demikian, permasalahan kebutuhan bibit dalam jumlah besar sedikit teratasi. Secara umum, persemaian bibit sagu (sucker) dilakukan di rakit, sehingga air harus menjadi tersedia bagi sucker. Namun, bibit sagu yang tumbuh dalam kondisi air melimpah menjadi terkejut ketika ditanam di lapangan, karena kondisinya jauh berbeda dengan persemaian. Sucker dari persemaian rakit harus berusaha hidup lebih keras untuk bertahan hidup di lapangan. Persemaian polibag sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi transplanting shock saat sucker ditanam di lapangan. Sucker telah berusaha keras untuk tumbuh di awal persemaian polibag, sehingga sucker diharapkan dapat bertahan hidup lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan membandingkan teknik persemaian polibag dan rakit.
Bahan dan Metode Rancangan percobaan yang digunakan untuk kedua persemaian baik di polibag maupun di rakit yaitu split plot. Faktor pertama yaitu bobot sucker, sebagai petak utama. Bobot sucker yang digunakan terdiri atas 500-999 g, 10001499 g, dan 1500-2000 g. Faktor kedua yaitu jenis auksin, sebagai anak petak. Konsentrasi jenis auksin yang digunakan terdiri atas kontrol (0 mM), 7.40 mM IBA, 7.40 mM NAA, dan 7.40 mM auksin komersil (AK). Percobaan dilakukan secara terpisah antara teknik persemaian polibag dan rakit. Satuan percobaan yang diamati untuk persemaian polibag dan rakit dapat dilihat pada percobaan terdahulu. Pada persemaian rakit, bambu dibuat menjadi rakit, sebagai tempat meletakkan sucker. Persemaian polibag menggunakan media tanah, kotoran kambing, dan arang sekam dengan perbandingan 4: 4: 2. Sucker yang diambil dari lapangan direndam dalam larutan fungisida dan bakterisida selama kurang lebih 30 menit. Masing-masing sucker sesuai dengn bobotnya direndam ke dalam larutan yang berisi auksin. Pelaksaan
79
percobaan persemaian polibag dan rakit dapat dilihat pada percobaan terdahulu. Pengamatan peubah pertumbuhan dan akar dilakukan selama 4 bulan setelah semai. Analisis Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) menggunakan SAS system versi 6. 12. Kemudian Uji-t digunakan untuk memperbandingkan peubah-peubah yang diamati di persemaian polibag dan rakit. Apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 % (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Pertumbuhan Tajuk Bibit Sagu di Persemaian Polibag dan Rakit Persemaian bibit sagu dapat dilakukan di persemaian polibag maupun rakit. Penggunaan media tanah untuk persemaian bibit sagu diharapkan dapat mengurangi resiko terjadinya transplanting shock ketika bibit dipindahtanamkan di lapangan. Bibit yang telah mulai menyesuaikan diri dengan media tanah dengan membentuk perakaran dan tajuk akan lebih mudah hidup ketika ditanam di lapangan. Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi rachis dari pangkal sucker sampai dengan ujung rachis. Jumlah daun yang dihitung yaitu jumlah daun rachis tidak sempurna, rachis ke-1, rachis ke-2, dan rachis ke-3. Rachis tidak normal tidak memiliki anak daun (Gambar 20).
a) Persemaian Polibag
b) Persemaian Rakit
Gambar 20 Bagian dan morfologi bibit sagu di (a) persemaian polibag dan (b) rakit pada 4 BSS
80
Kombinasi perlakuan bobot sucker dan jenis auksin berpengaruh nyata terhadap tinggi rachis tidak normal. Kontrol pada bobot sucker 1000-1499 g menghasilkan perbedaan yang nyata pada 1 dan 2 BSS (bulan setelah semai). Tinggi rachis tidak normal dengan bobot sucker tersebut pada 1 BSS yaitu 19.4 cm di persemaian polibag dan 6 cm di rakit, sedangkan pada 2 BSS yaitu (26.9 cm di polibag dan 6.7 cm di rakit. Tinggi rachis tidak normal di persemaian polibag lebih tinggi dibandingankan di persemaian rakit. Namun demikian, aplikasi NAA dengan bobot sucker 1000-1499 g menghasilkan kebalikan dari kontrol pada bobot yang sama. Perlakuan jenis auksin NAA menghasilkan tinggi rachis tidak normal pada persemaian rakit yang lebih tinggi dibandingkan dengan persemaian polibag. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan NAA dengan bobot sucker 1000-1499 g berpengaruh nyata antara persemaian polibag dan rakit pada 1, 2, dan 3 BSS (Tabel 40). Perlakuan jenis auksin pada bobot sucker 500-999 g dan 1500-2000 g tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tinggi rachis tidak normal selama empat bulan pengamatan. Perlakuan jenis auksin belum mampu menghasilkan tinggi rachis tidak normal yang lebih baik dibandingkan kontrol (Tabel 40). Terinisiasinya rachis tidak normal, rachis tidak sempurna, dan rachis ke-1 terkait dengan fase pertumbuhan sucker saat diambil dari lapangan, kemudian diberi perlakuan pemangkasan sucker sebelum disemai. Fase pertumbuhan sucker dan panjang pangkasan menjadi sebab terinisiasinya rachis ke-1, rachis tidak normal dan rachis tidak sempurna. Jika pemangkasan dengan dilakukan dengan keseluruhan anak daun terpangkas, rachis tidak normal (tanpa anak daun akan muncul pada 1 BSS). Irawan (2010) menambahkan bahwa pemangkasan daun sebelum perlakuan persemaian sangat penting bagi pertumbuhan bibit sagu setelahnya. Pemangkasan juga berguna untuk mengurangi transpirasi, selama bibit belum membentuk akar dan daun baru. Tabel 40 Hasil analisis perbandingan rata-rata tinggi rachis tidak normal di persemaian polibag dan rakit Bulan Setelah Semai Bobot (g) Jenis auksin 1 2 3 500-999 0 mM tn tn tn 7.40 mM IBA tn tn tn 7.40 mM NAA tn tn tn 7.40 mM AK tn tn tn 1000-1499 0 mM *(19.4; 6) *(26.9; 6.7) tn 7.40 mM IBA tn tn tn 7.40 mM NAA *(8.1; 20.9) *(7.9; 24.6) *(7.1; 24.5) 7.40 mM AK tn tn tn 1500-2000 0 mM tn tn tn 7.40 mM IBA tn tn tn 7.40 mM NAA tn tn tn 7.40 mM AK tn tn tn Keterangan : 1) Nilai dalam kurung menunjukkan rataan tinggi rachis tidak normal di persemaian (polibag; rakit), 2) tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5 % (p>0.05), 3) * = berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0.05), 4) analisis menggunakan uji-t
4 tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
81
Berbeda halnya dengan rachis tidak normal, tinggi rachis tidak sempurna menunjukkan tidak adanya perbedaan antara persemaian rakit dan polibag untuk perlakuan dari 1, 2, dan 3 BSS. Meskipun demikian, berdasarkan analisis perlakuan polibag dan rakit tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun rachis tidak sempurna. Perlakuan persemaian polibag dan rakit berpengaruh nyata terhadapa peubah jumlah anak daun rachis tidak sempurna pada 4 BSS. Kombinasi perlakuan jenis auksin 0 mM (kontrol) dengan bobot sucker 15002000 g menghasilkan jumlah anak daun rachis tidak sempurna lebih banyak di persemaian rakit dibandingkan dengan di persemaian polibag yaitu 14.4 cm dan 4.3 cm, sedangkan kombinasi perlakuan jenis auksin dan bobot sucker lainnya tidak berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah anak daun rachis tidak sempurna (Tabel 41). Ketersediaan air bagi bibit tanaman sagu di persemaian sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tajuk dan perakaran bibit. Air membantu tanaman untuk mentransportasikan unsur-unsur dan mineral yang dibutuhkan oleh tanaman. Lakitan (2008) menyatakan bahwa peran air sebagai pelarut sangat penting dalam kehidupan tumbuhan. Struktur protein dan asam nukleat sangat ditentukan oleh adanya molekul air di sekitarnya. Aktivitas biologis dari protein dan asam nukleat dapat berlangsung karena adanya air disekitar tanaman. Selain itu, aktivitas senyawa lain di dalam protoplasma juga ditentukan oleh adanya air, kecuali molekul yang berada pada bagian lemak di membran, walaupun secara tidak langsung tetap dipengaruhi oleh air disekitarnya. Air menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk berlangsungnya berbagai reaksi biokimia dalam sel tumbuhan. Tabel 41 Hasil analisis perbandingan rata-rata jumlah anak daun rachis tidak sempurna di persemaian polibag dan rakit Bulan Setelah Semai Bobot (g) Jenis auksin 1 2 3 4 500-999 0 mM tn tn tn tn 7.40 mM IBA tn tn tn tn 7.40 mM NAA tn tn tn 7.40 mM AK tn tn tn tn 1000-1499 0 mM tn tn tn tn 7.40 mM IBA tn tn tn tn 7.40 mM NAA tn tn tn tn 7.40 mM AK tn tn tn tn 1500-2000 0 mM tn tn *(4.3; 14.4) 7.40 mM IBA tn tn tn tn 7.40 mM NAA tn tn tn 7.40 mM AK tn tn tn Keterangan : 1) Nilai dalam kurung menunjukkan rataan jumlah anak daun rachis tidak sempurna di persemaian (polibag; rakit) 2) tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5 % (p>0.05), 3) * = berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0.05), dan 4) - = rachis tidak sempurna tidak terinisiasi, 5) analisis menggunakan uji-t
Kombinasi perlakuan jenis auksin komersial dengan bobot sucker 15002000 g menunjukkan pengaruh nyata untuk peubah jumlah anak daun rachis ke-1.
82
Persemaian rakit menghasilkan jumlah anak daun rachis ke-1 yang lebih banyak dibandingkan dengan di persemaian polibag, berturut-turut yaitu 29.8 dan 7.5 pada 4 BSS. Jumlah anak daun rachis ke-1 tidak terinisiasi pada perlakuan jenis auksin IBA, NAA, dan auksin komersial dengan bobot sucker 500-999 g dan auksin komersial dengan bobot sucker 1000-1499 g disajikan pada (Tabel 42). Faktor lingkungan yang menguntungkan bagi tanaman memberikan proses fotosintesis yang berlangsung baik pada tanaman, sehingga menghasilkan asimilat yang lebih banyak. Kemampuan tanaman untuk menyediakan asimilat dan menyimpan asimilat (source dan sink) bergantung pada kemampuan tanaman beradaptasi terhadap lingkungan tumbuhnya. Apabila tanaman ditumbuhkan pada kondisi yang cocok bagi pertumbuhannya, maka tanaman akan tumbuh dengan baik pula. Tabel 42 Hasil analisis perbandingan rata-rata jumlah anak daun rachis ke-1 di persemaian polibag dan rakit Bulan Setelah Semai Bobot (g) Jenis auksin 3 4 500-999 0 mM tn tn 7.40 mM IBA tn 7.40 mM NAA tn 7.40 mM AK tn 1000-1499 0 mM tn tn 7.40 mM IBA tn tn 7.40 mM NAA tn tn 7.40 mM AK tn 1500-2000 0 mM tn tn 7.40 mM IBA tn tn 7.40 mM NAA tn tn 7.40 mM AK tn *(7.5; 29.8) Keterangan : 1) Nilai dalam kurung menunjukkan rataan jumlah anak daun rachis ke-1 di persemaian (polibag; rakit) 2) tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5 % (p>0.05), 3) * = berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0.05), dan 4) - = rachis ke-1 belum terinisiasi, 5) analisis menggunakan uji-t
10 cm
10 cm
A
B
Gambar 21 Pengaruh jenis auksin dan bobot sucker terhadap keragaan jumlah anak daun rachis ke-1 di persemaian polibag (a) dan rakit (b)
83
Noggle dan Fritz (1983) menyatakan bahwa fungsi air bagi tanaman untuk memelihara turgiditas sel dan sebagai tenaga mekanik dalam pembesaran dan pemanjangan sel-sel tanaman. Tanaman yang toleran terhadap penggenangan akan mengalami gangguan fisiologis jika ditanam dalam kondisi tidak tergenang. Kondisi terganggunya fisiologis terburuk pada tanaman toleran genangan dapat mengakibatkan reduksi pertumbuhan yaitu pertumbuhan memendek dan mengeras. Rata-rata jumlah anak daun rachis ke-1 pada 4 BSS disajikan pada (Gambar 21). Perlakuan auksin komersial dengan perlakuan bobot sucker 15002000 g memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah anak daun rachis ke-1 berbeda nyata antara persemaian polibag dan rakit. Berdasarkan analisis, pertumbuhan bibit sagu pada peubah diameter rachis ke-1 di persemaian rakit nyata lebih tinggi dibandingkan dengan persemaian polibag. Perbedaan antara diameter rachis ke-1 diperoleh pada bobot sucker 500999 g dengan perlakuan NAA dan auksin komersial, bobot sucker 1000-1499 g dengan kontrol, dan bobot 1500-2000 g dengan auksin komersial. Pada bobot terkecil 500<1000 g, aplikasi jenis auksin NAA menghasilkan diameter rachis ke1 di persemaian rakit lebih tinggi dibandingkan persemaian polibag (2.9 cm : 0.8 cm). Secara umum, seluruh perlakuan yang diberikan menghasilkan diameter rachis ke-1 yang lebih lebar di persemaian rakit dibandingkan persemaian dengan menggunakan polibag. Diameter rachis ke-1 yang dihasilkan dari bobot sucker 1500-2000 g dengan auksin komersial pada persemaian rakit lebih besar dibandingkan bobot yang lebih kecil (Tabel 43). Tabel 43 Hasil analisis perbandingan rata-rata diameter rachis ke-1 di persemaian polibag dan rakit Bulan Setelah Semai Bobot (g) Jenis auksin 3 4 500-999 0 mM tn tn 7.40 mM IBA tn tn 7.40 mM NAA tn *(0.8; 2.9) 7.40 mM AK tn *(0.3; 3.4) 1000-1499 0 mM *(1.6; 3.2) tn 7.40 mM IBA tn tn 7.40 mM NAA tn tn 7.40 mM AK tn tn 1500-2000 0 mM tn tn 7.40 mM IBA tn tn 7.40 mM NAA tn tn 7.40 mM AK tn *(1.2; 5.9) Keterangan : 1) Nilai dalam kurung menunjukkan rataan diameter rachis ke-1 di persemaian (polibag; rakit) 2) tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5 % (p>0.05), 3) * = berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0.05), 4) analisis menggunakan uji-t
Jumlah anak daun rachis tidak normal dan rachis tidak sempurna di persemaian rakit lebih banyak dibandingkan di persemaian polibag. Peubah
84
diameter rachis ke-1 pun menunjukkan bahwa diameter rachis ke-1 di persemaian rakit lebih lebar dibandingkan dengan diameter di persemaian polibag. Hartmann et al. (2002) mengemukakan bahwa tidak maksimalnya pertumbuhan vegetatif pada fase bibit disebabkan hambatan fisik media tumbuh. Perubahan diameter batang tanaman Ki pahang ternyata mirip dengan perubahan tinggi bibit pada fase vegetatif. Pengaruh media tanam cukup dominan dalam meningkatkan pertumbuhan. Kandungan air bibit berpengaruh pada kemampuan bibit untuk membentuk perakaran dan tajuk. Air diadsorbsi oleh bibit melalui akar untuk ditransportasikan ke seluruh bagian tanaman bersama-sama dengan unsur hara dan mineral yang terlarut di dalamnya, kemudian diangkut melalui ke bagian atas tanaman melalui xilem, sehingga memacu pertumbuhan akar, batang dan daun bibit. Tanaman memperoleh energi dari proses fotosintesis. Air dan mineral yang diadsorbsi oleh akar serta energi yang dihasilkan melalui proses fotosintesis digunakan oleh tanaman untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangnnya. Lingkungan ikut berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Setiap tanaman memiliki kemampuan hidup yang relatif sama, namun kemampuan adaptasi dan pertumbuhan masing-masing tanaman pada media baru setelah disapih ternyata relatif bervariasi (Sofyan dan Islam 2007). Kondisi tersebut diduga menjadi penyebab bertambahnya jumlah dan luas daun pada media yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda pula. Hasil Analisis Perbandingan Induksi dan Pertumbuhan Akar di Persemaian Polibag dan Rakit Tanaman sagu merupakan tanaman yang toleran terhadap lingkungan jenuh air, sehingga pertumbuhannya tetap baik meskipun pada lingkungan tersebut. Tanaman yang toleran jenuh air seperti halnya tanaman padi memiliki mekanisme perakaran khusus yang membantu perakaran berkembang dengan baik pada lingkungan jenuh air. Mekanisme khusus tersebut baru akan berfungsi dalam keadaan cekaman jenuh air. Akar aerenkim akan terinisisasi seiring dengan kondisi jenuh air yang dialami bibit sagu. Pengamatan jumlah akar primer, jumlah akar nafas, dan akar terpanjang dilakukan pada 4 BSS. Hasil analisis menunjukkan bahwa perlakuan bobot sucker 500-999 g dengan kontrol secara signifikan berbeda nyata pada peubah jumlah akar primer di persemaian polibag dan rakit. Perbedaan nyata juga diperoleh dari perlakuan bobot sucker 1000-1499 g dengan kontrol, IBA dan bobot sucker 15002000 g dengan kontrol, IBA, dan auksin komersial. Perlakuan menunjukkan jumlah akar primer di persemaian polibag lebih banyak dibandingkan dengan jumlah akar primer di persemaian rakit (Tabel 44). Jumlah akar primer pada bobot sucker 1500-2000 g dengan IBA di polibag yaitu 6.8 di polibag tidak lebih tinggi dibandingkan jumlah akar primer pada bobot sucker 1000-1499 g yaitu 9.6. Perbedaan jumlah akar primer pada persemaian polibag dan rakit dapat dilihat pada Gambar 22 dan Tabel 44. Jumlah akar primer yang lebih banyak dari setiap bobot sucker didominasi oleh persemaian polibag dibandingkan dengan
85
persemaian rakit. Jumlah akar primer yang dihasilkan di persemaian polibag lebih banyak dibandingkan dengan di persemaian rakit. Persemaian Polibag
Persemaian Rakit
0 mM
7.40 mM IBA
7.40 mM NAA
10 cm
7.40 mM auksin komersial Gambar 22 Pengaruh jenis auksin terhadap keragaan akar primer bibit sagu asal bobot sucker 1500-2000 g pada 4 BSS di dua persemaian Kombinasi perlakuan jenis auksin IBA dengan bobot sucker 1000-1499 g dan 1500-2000 g menghasilkan perbedaan secara signifikan untuk jumlah akar primer di persemaian polibag dan rakit pada 4 BSS. Namun demikian, aplikasi NAA tidak menghasilkan perbedaan terhadap jumlah akar primer untuk tiga perlakuan bobot sucker. Jenis auksin NAA diduga belum mampu menginduksi
86
akar primer baik di persemaian polibag dan rakit secara optimum. Perlakuan jenis auksin komersial berpengaruh nyata pada bobot sucker 1500-2000 g. Manurung (2002) menyatakan bahwa perendaman menyebabkan batang tanaman tumbuh memanjang dengan cepat, sehingga daun dan batang bagian atas tetap berada di permukaan air. Perendaman juga menyebabkan etilen tertimbun di batang sehingga memnyebabkan pemanjangan yang cepat. Bobot kering akar pada tanaman padi lebih tinggi pada kondisi anaerob, dan bergantung pula pada varietas yang digunakan. Panjang akar pada kondisi anaerob juga lebih tinggi dibandingkan dengan dengan tanaman padi yang ditanam pada kondisi aerob, namun bergantung pula pada varietas yang digunakan. Kandungan etilen akar berpengaruh terhadap pemanjangan akar dan batang tanaman. Pada keadaan tergenang atau anaerob, etilen dihasilkan dalam jumlah besar di batang tanaman, sehingga batang tanaman memanjang dengan cepat. Diameter leher akar lebih lebar pada kondisi anaerob, dan berbeda juga antara varietas yang digunakan. Hipertropi terjadi akibat membesarnya diameter pangkal batang pada kondisi anaerob, karena pembentukan etilen akar yang cukup tinggi. Tabel 44 Hasil analisis perbandingan rata-rata jumlah akar primer pada 4 BSS di persemaian polibag dan rakit Bobot (g)
Jenis auksin
500-999
0 mM 7.40 mM IBA 7.40 mM NAA 7.40 mM AK 0 mM 7.40 mM IBA 7.40 mM NAA 7.40 mM AK 0 mM 7.40 mM IBA 7.40 mM NAA 7.40 mM AK
Jumlah Akar Primer
*(5.5; 0.13) tn tn 1000-1499 *(18.2; 0.73) *(9.6; 0,19) tn 1500-2000 *(7.6; 0.31) *(6.8; 0.29) tn *(8.8; 0.33) Keterangan : 1) Nilai dalam kurung menunjukkan rataan jumlah akar primer di persemaian (polibag; rakit) 2) tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5 % (p>0.05), 3) * = berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0.05), 4) - = akar primer tidak terinisiasi, dan 5) analisis menggunakan uji-t
Jumlah akar nafas yang dihasilkan dari persemaian polibag dan rakit menunjukkan perbedaan pada bobot sucker 1500-2000 g. Bobot sucker 1500-2000 g dengan jenis auksin NAA dan auksin komersial menghasilkan perbedaan jumlah akar nafas yang signifikan antara persemaian polibag dan rakit. Aplikasi NAA menghasilkan jumlah akar nafas di persemaian polibag yaitu 1, sedangkan di persemaian rakit 7.08. Aplikasi NAA pada bobot 1500-2000 g menghasilkan jumlah akar nafas di persemaian rakit yang lebih banyak dibandingkan dengan persemaian dengan polibag (Tabel 45). Keragaan akar nafas bobot sucker 15002000 g pada 4 BSS dapat dilihat pada Gambar 23. Akar nafas terinduksi dikarenakan ketersediaan O2 dalam jumlah rendah, sehingga merangsang terbentuknya etilen. Kawase (1981) menyatakan bahwa
87
apabila etilen diproduksi di akar, maka etilen tersebut akan menginduksi pembentukan jaringan aerenkim, pembentukan akar-akar baru, dan penebalan pangkal batang akan bertambah. Musgrave (1994) menambahkan bahwa penggenangan pada tanaman akan menyebabkan terjadinya perubahan kimia tanah yang ditentukan oleh nilai potensial redoks. Penggenangan menurunkan nilai potensial redoks dari 409 mV menjadi 149 mV yang menunjukkan tidak adanya oksigen bebas di daerah perakaran. 7.40 mM NAA
7.40 mM AK
10 cm
Polibag
Rakit
Polibag
Rakit
Gambar 23 Keragaan akar nafas asal bobot sucker 1500-2000 g pada 4 BSS Tabel 45 Hasil analisis perbandingan rata-rata jumlah akar nafas pada 4 BSS di persemaian polibag dan rakit Bobot (g)
Jenis auksin
500-999
0 mM 7.40 mM IBA 7.40 mM NAA 7.40 mM AK 0 mM 7.40 mM IBA 7.40 mM NAA 7.40 mM AK 0 mM 7.40 mM IBA 7.40 mM NAA 7.40 mM AK
Jumlah Akar Primer
tn tn tn tn 1000-1499 tn tn tn tn 1500-2000 tn tn *(1; 7.08) tn Keterangan : 1) Nilai dalam kurung menunjukkan rataan jumlah akar nafas di persemaian (polibag; rakit) vf 2) tn = tidak berbeda nyata pada taraf 5 % (p>0.05), 3) * = berbeda nyata pada taraf 5 % (p<0.05), dan 4) analisis menggunakan uji-t
Kondisi jenuh air pada persemaian rakit menyebabkan akar nafas (aerenkim) terinisiasi pada rhizome bibit sagu. Tanah yang terlalu lembab pada media persemaian polibag dapat menginisiasi keluarnya akar nafas. Oleh karena
88
itu, akar nafas tidak hanya terinisiadi di persemaian rakit yang jenuh air, tetapi juga di persemaian polibag. Ketersediaan oksigen pada tanaman yang tergenang (kondisi aerob) sangat rendah, sehingga tanaman akan membentuk jaringan aerenkim pada akar untuk memperoleh oksigen. Pembentukan jaringan aerenkim distimulasi oleh senyawa etilen yang terdapat di akar. Kandungan etilen akar yang meningkat pada kondisi anaerob akan merangsang pembentukan jaringan aerenkim. Pada fase pertum buhan vegetatif tanaman terjadi penyimpanan hasil asimilat (bahan organik). Hasil tersebut dapat meningkatkan bobot kering akar dan tajuk serta laju pertumbuhan relatif. Jackson et al. (1995) menyatakan bahwa sintesis etilen terhambat disebabkan O2 digunakan untuk mengubah ACC (1-Aminocyclopropane-1Carboxylic Acid) menjadi etilen. Namun demikian, etilen yang disintesis terperangkap di akar dikarenakan pergerakannya melalui air. Kecepatan pergerakan etilen di air berkurang sekitar 10 000 kali dibandingkan dengan melewati udara. Etilen tersebut lalu menyebabkan beberapa sel korteks mensintesis selulase, yaitu enzim yang menghidrolisis selulosa dan sebagian menyebabkan penguraian dinding sel. Sel korteks tersebut juga kehilangan protoplas, lalu menghilang dan menjadi jaringan aerenkim yang berisi udara. Persentase hidup bibit menunjukkan hasil analisis yang tidak berbeda nyata antara perlakuan. Perlakuan bobot sucker dan jenis auksin tidak menghasilkan persentase hidup yang berbeda antara persemaian polibag dan rakit.
Kandungan Hara Makro dan Mikro di Media Persemaian Polibag dan Rakit Perbandingan peubah pertumbuhan di persemaian polibag dan rakit telah menunjukkan bahwa jumlah anak daun rachis tidak sempurna dan jumlah anak daun rachis ke-1 lebih banyak di persemaian rakit dibandingan di polibag. Diameter rachis ke-1 pun lebih lebar pada persemaian rakit dibandingkan dengan persemaian polibag. Jumlah akar nafas juga lebih banyak terinisiasi pada 4 BSS di persemaian rakit dibandingkan di persemaian polibag. Oleh karena itu, analisis media yang digunakan di persemaian polibag hdan rakit dilakukan untuk membantu menjawab aplikasi perlakuan di kedua persemaian tersebut. Hasil analisis media persemaian baik polibag maupun rakit dapat menjelaskan pengaruh perlakuan bobot sucker dan jenis auksin pada peubah pertumbuhan tajuk, perakaran, dan keragaan bibit sagu dari masing-masing persemaian. Hasil analisis tanah dan air menyatakan bahwa derajat kemasaman media persemaian polibag yaitu tergolong agak masam (5.8), sedangkan media persemaian rakit tergolong netral (6.7) (Tabel 46). Derajat kemasaman media juga berpengaruh terhadap aktivitas biologis di dalamnya. Penguraian bahan organik oleh mikroorganisme agar tersedia dalam tanah dibutuhkan pH 6-7. Blair (1979) menambahkan bahwa ketersediaan unsur hara N, P, Ca, S, Ca, Mn, Fe, Mb, Br, Zn, dan Cu di dalam mineral tanah pada kisaran pH 6-7. Menurut Rao (1994), keadaan pH tanah 5.6 sudah menunjukkan sifat asam. Secara umum, tanah yang asam memiliki ion Ca2+ dalam jumlah rendah dan ion Al+ dalam jumlah banyak. Demikian pula menurut Hardjowigeno (2007) bahwa pada reaksi tanah yang asam, unsur-unsur mikro akan menjadi mudah larut, sehingga dapat ditemukan unsur mikro yang terlalu banyak. Unsur mikro
89
merupakan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga dapat menjadi racun kalau terdapat dalam jumlah yang terlalu besar. Contoh unsur mikro adalah Mn, Fe, Zn dan Cu. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) media tanam merupakan faktor kimia yang berpengaruh terhadap laju pertumbuhan tanaman, hal ini karena mempengaruhi pertumbuhan akar. Tanaman tidak dapat tumbuh pada pH yang sangat rendah (di bawah 4.0) dan sangat tinggi (di atas 9.0) karena pH tersebut merupakan kondisi yang sangat beracun bagi pertumbuhan akar tanaman. Namun demikian, Hofsah (2012) menyatakan bahwa bibit tanaman sagu masih dapat hidup pada media polibag yang berisi tanah gambut dengan pH 3.9 (yang tergolong sangat masam. Gardner et al. (2008) menyatakan bahwa derajat kemasaman tanah yang rendah menyebabkan proses penyerapan menjadi terhambat. Jika unsur K tidak cukup tersedia mengakibatkan sistem translokasi melemah, organisasi sel menjadi tidak baik dan hilangnya permeabilitas sel. Tabel 46 Hasil analisis media persemaian polibag Peubah Tanah C (%) N (%) C/N pH (H2O) P2O5 HCL 25% (mg/100g) P2O5 Olsen (ppm P) K2O HCL 25% (mg/100 g) KTK (me/100 g tanah) Susunan Kation Ca (me/100 g tanah) Mg (me/100 g tanah) K (me/100 g tanah) Na (me/100 g tanah) Kejenuhan Basa (%) Al3+ (cmolc/kg) H+ (cmolc/kg) Tekstur tanah Pasir Debu Liat
Kandungan Media Perlakuan* 4.17 0.30 14.00 5.80
Tinggi Sedang Sedang agak masam
291.00 656.00
sangat tinggi sangat tinggi
125.00 24.21 20.11 3.80 2.48 0.25 >100 0.00 0.05
Nilai
Kandungan Media Nilai Perlakuan** 47.17 sangat tinggi 1.52 sangat tinggi 31.00 sangat tinggi 3.90 sangat masam 33.00 sedang 479.92 33.63
sangat tinggi sedang
sangat tinggi Sedang
134.23
sangat tinggi
sangat tinggi Tinggi sangat tinggi Rendah sangat tinggi sangat rendah
5.72 13.98 0.52 0.73 16.00 0.23 5.85
rendah sangat tinggi sedang sedang sangat rendah sangat rendah
13% 61% 26%
Keterangan : *= hasil analisis tanah dari media persemaian polibag; **= hasil analisis tanah dari persemaian polibag dengan media tanah gambut di Kabupaten Meranti, Provinsi Riau, Nilai berdasarkan Balitanah (2005)
Fosfat dalam tanah sukar larut sehingga sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman. Tersedianya fosfat dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada
90
pH rendah, ion fosfat membentuk senyawa yang tidak larut dengan besi dan alumunium, sedangkan pada pH tinggi terikat sebagai senyawa kalsium, pH optimum untuk fosfat disekitar 6.5. Pupuk fosfat yang diberikan ke dalam tanah tidak seluruhnya tersedia bagi tanaman. karena terjadi pengikatan fosfat oleh partikel tanah. Agar tanaman memperoleh fosfat dari larutan tanah sesuai dengan kebutuhannya, maka disarankan pemberian pupuk fosfat melebihi daya fiksasi tanah (Sarief 1985). Kandungan lumpur di media persemaian rakit yaitu sekitar 97 mgL-1. Kandungan lumpur terkait dengan kemudahan akar menyerap air yang juga berisi unsur hara dan mineral dari media persemaian rakit. Aeni et al. (2011) menya takan bahwa semakin tingginya kandungan limbah lumpur minyak mentah pada media tanam, maka kandungan klorofilnya akan semakin rendah. Konsentrasi 100 ppm limbah lumpur minyak mentah lebih dapat mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman eceng gondok dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Hal tersebut karena minyak mentah yang terlalu pekat menyebabkan air lebih sulit masuk ke dalam jaringan akar sehingga jaringan akar dapat mengalami plasmolisis. Kerusakan jaringan akar tersebut akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan eceng gondok. Konsentrasi minyak mentah di sekitar perakaran akan menghambat masuknya nutrisi ke dalam tanaman. Karena terhambatnya nutrisi masuk ke dalam tanaman, maka proses metabolisme juga terhambat sehingga berakibat pula terhadap rendahnya bobot kering eceng gondok. Penurunan total kandungan klorofil daun eceng gondok seiring dengan meningkatnya konsentrasi limbah lumpur minyak mentah. Kadar lumpur berpengaruh terhadap panjang akar dan tinggi tanaman eceng gondok. Tabel 47 Hasil analisis media persemaian rakit Satuan Peubah Air Salinitas dS/m pH Kadar Lumpur (mgL-1) Kation (ppm) NH4 K Ca Mg Na Fe Al Mn Anion (ppm) NO3 PO4 SO4 Cl HCO3 CO3
MgL-1
Kandungan Media Perlakuan 0.080 6.7 97
m.eL-1 m.eL-1 m.eL-1 m.eL-1 m.eL-1 m.eL-1 m.eL-1 m.eL-1
0 0.01 0.95 0.15 0.20 0 0.01 0
m.eL-1 m.eL-1 m.eL-1 m.eL-1 m.eL-1 m.eL-1
0.02 0 0.11 0.50 0.60 0
dS/m
91
Hasil analisis air dari persemaian rakit menunjukkan bahwa unsur K tersedia sangat rendah (Tabel 47). Berbeda halnya dengan hasil analisis tanah yang menunjukkan bahwa Mg tersedia dalam jumlah yang tinggi, K dan Ca tersedia dalam jumlah sangat tinggi, Na (sedang) dengan jumlah KTK sedang. Menurut Koesnandar et al. (2006), sifat tanah gambut yang memiliki pH rendah, bahan organik dan KTK yang tinggi, dan kejenuhan basa yang rendah menyebabkan unsur hara K, Ca dan Mg yang diberikan sulit diserap oleh tanaman. Tanah-tanah dengan kejenuhan basa yang rendah berarti kompleks jerapan lebih banyak diisi oleh kation-kation asam yaitu Al+++ dan H+, jumlah kation asam yang berlebihan pada tanaman akan menjadi racun bagi tanaman (Hardjowigeno 2007). Tanah gambut memiliki KTK yang tinggi (46.59-74.22 me/100 g) dan kejenuhan basa yang rendah (5.75-7.69 %) menyebabkan tanah kahat hara N, P, K, Ca, Mg, dan Mo (Purwanto et al. 2001). Hasil analisis tanah yang dilakukan juga menunjukkan KTK tanah gambut yang tinggi yaitu 134.23 me/100 g dan kejenuhan basa yang masih tergolong rendah (16 %). Klorofil a berperan secara langsung dalam reaksi terang yang mengubah energi matahari menjadi energi kimiawi. Klorofil b merupakan pigmen pelengkap yang berfungsi untuk menyerap cahaya dan menyalurkan energinya ke klorofil a yang kemudian digunakan dalam reaksi terang pada fotosintesis. Permukaan akar yang luas dan langsung mengalami kontak dengan air, memudahkan proses penyerapan dalam jumlah banyak. Proses penyerapan disebabkan perbedaan konsentrasi antara lingkungan perairan yang memiliki konsentrasi tinggi dengan tanaman yang memiliki konsentrasi lebih rendah. Pertukaran ion terjadi karena penyerapan air oleh bulu-bulu akar, sehingga ion-ion yang terlarut terbawa masuk ke dalam sel-sel akar. Akar yang masih muda memiliki potensi menyerap ion-ion dalam jumlah besar (Dwidjoseputro 1994). Pengangkutan hasil fotosintesis ke akar menentukan kemampuan akar untuk menyerap dan memperoleh hara (Fitter dan Hay 1991). Suplai unsur hara yang lebih akan meningkatkan aktivitas protoplasma sel sehingga menunjang pertumbuhan sel. Dengan adanya pertumbuhan sel dan jaringan yang baik pada akar, maka akan meningkatkan panjang akar dan berat kering akar. Defisiensi fosfor juga dapat menghambat proses respirasi dan fotosintesis pada tanaman. Sitompul dan Guritno (1995) menyatakan bahwa kemampuan tanaman untuk melakukan fotosintesis ditentukan oleh luas daun.
SIMPULAN Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata diantara peubah-peubah tinggi rachis tidak normal, jumlah anak daun rachis tidak sempurna, jumlah anak daun rachis ke-1, diameter rachis ke-1, jumlah akar primer, dan jumlah akar nafas. Bobot sucker 1500-2000 g menghasilkan diameter rachis terbesar, persemaian rakit menghasilkan diameter yang lebih besar dibandingkan polibag. Jumlah akar primer yang dihasilkan pada persemaian polibag lebih banyak dibandingkan dengan rakit. Namun demikian, jumlah akar nafas lebih banyak terinisiasi pada persemaian rakit.
92
Persentase bibit hidup tidak berbeda nyata antara kedua teknik persemaian. Begitupula dengan aplikasi jenis auksin dan perlakuan bobot sucker belum mampu memberikan perbedaan yang nyata diantara kedua teknik persemaian.