RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KENANGA (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla) PADA BERBAGAI INTENSITAS CAHAYA, PENGGUNAAN INANG PRIMER KRIMINIL DAN JENIS MEDIA
ARMELLIA PRIMA YUNA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RESPON PERTUMBUHAN BIBIT KENANGA (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla) PADA BERBAGAI INTENSITAS CAHAYA, PENGGUNAAN INANG PRIMER KRIMINIL DAN JENIS MEDIA
ARMELLIA PRIMA YUNA
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ARMELLIA PRIMA YUNA. Respon Pertumbuhan Bibit Kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla) pada Berbagai Intensitas Cahaya, Penggunaan Inang Primer Kriminil dan Jenis Media. Dibimbing oleh EDJE DJAMHURI dan DHARMAWATI F. DJAM’AN Kenanga dikenal sebagai salah satu jenis tanaman penghasil produk HHBK berupa minyak atsiri dengan nama minyak kenanga (Cananga Oil). Aroma minyak kenanga ini sangat harum dan khas, sehingga di negara maju di benua Amerika (USA) dan benua Eropa (Perancis dan beberapa negara Eropa Barat), minyak kenanga dijadikan salah satu bahan pewangi dalam parfum yang mahal. Setiap tahunnya Indonesia mampu mengekspor minyak kenanga ke pasar dunia sebanyak 50 ton. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara pemasok/penghasil minyak kenanga terbesar di dunia. Ekspor sejumlah 50 ton tersebut diperoleh dari pengumpulan minyak kenanga dari berbagai daerah kecil yang ada di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan dewasa ini di Indonesia tanaman kenanga belum dikembangkan secara intensif, baik berupa kebun kenanga ataupun hutan tanaman. Pengusahaan kenanga secara intensif hingga saat ini terkendala oleh masalah terbatasnya informasi mengenai teknik pengembangannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian-penelitian baru untuk memperkaya informasi mengenai budidaya jenis ini. Untuk mengusahakan dan mengembangkan jenis kenanga secara intensif tentunya perlu dilakukan penyediaan bibit yang berkualitas. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembibitan kenanga di persemaian, antara lain faktor intensitas cahaya (naungan), penggunaan inang primer dan media sapih. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan berbagai intensitas cahaya, inang primer kriminil dan jenis media bagi pertumbuhan bibit kenanga di persemaian sekaligus menemukan kondisi pembibitan yang paling optimal bagi pertumbuhan bibit kenanga di persemaian dari segi penggunaan intensitas cahaya, inang primer kriminil maupun jenis media. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan PetakPetak Terbagi (Split Split Plot Design) pola faktorial 3 x 3, sehingga menghasilkan 27 kombinasi perlakuan. Petak utama terdiri dari 3 tingkat intensitas cahaya, yaitu 100% (tanpa naungan), 45% (naungan 55%) dan 25% (naungan 75%). Anak petak berupa penggunaan 3 taraf inang primer kriminil, yakni 0 batang (tanpa penggunaan inang primer kriminil), 1 batang dan 2 batang. Sedangkan anak-anak petak terdiri dari 3 taraf jenis media, yaitu media tanah, media campuran tanah dan sekam padi (1:1) serta media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (1:1:1). Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 5 bibit (unit percobaan) dan diulang sebanyak 3 kali (r = 3), sehingga jumlah bibit total yang diamati sebanyak 405 bibit. Parameter yang diamati berupa tinggi, diameter, Nisbah Pucuk Akar (NPA), Bobot Kering Total (BKT), kandungan hara dalam media dan penampang akar. Data yang diperoleh dianalisis dengan bantuan program SPSS versi 12.0.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas cahaya berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. Penggunaan inang primer kriminil berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, diameter dan Nisbah Pucuk Akar (NPA) bibit kenanga. Sedangkan, jenis media berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, diameter, Nisbah Pucuk Akar (NPA) dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. Intensitas cahaya 25% (naungan 75%) merupakan perlakuan yang paling baik digunakan untuk meningkatkan pertambahan tinggi dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. Secara umum penggunaan inang primer kriminil tidak efektif dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kenanga. Jenis media campuran tanah dan sekam padi merupakan jenis media yang paling baik digunakan untuk meningkatkan pertambahan tinggi, diameter, dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. Kata kunci: Kenanga (Cananga odorata forma macrophylla), Intensitas Cahaya, Naungan, Media, Kriminil (Alternanthera ficoidea)
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Pertumbuhan Bibit Kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla) pada Berbagai Intensitas Cahaya, Penggunaan Inang Primer Kriminil dan Jenis Media adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada Perguruan Tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari skripsi ini.
Bogor, Maret 2008
Armellia Prima Yuna NRP E14203003
Judul Skripsi
Nama NRP
: Respon Pertumbuhan Bibit Kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla) pada Berbagai Intensitas Cahaya, Penggunaan Inang Primer Kriminil dan Jenis Media : Armellia Prima Yuna : E14203003
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua,
Ir. Edje Djamhuri NIP. 130 516 499
Anggota,
Dra. Dharmawati F. Djam’an NIP. 710 020 186
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Padang pada tanggal 06 Desember 1984 dari pasangan suami istri Arnis dan Yurnalis. Penulis memulai jenjang pendidikan formal pada tahun 1991 di SDN 18 Padang Tujuh dan lulus pada tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 4 Pasaman dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2000. Selanjutnya tahun 2000 melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Pasaman dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan, yakni sebagai staf Departemen Kewirausahaan Forest Management Students Club (FMSC) dari tahun 2005-2006, panitia Temu Manajer (TM) Jurusan Manajemen Hutan tahun 2005, panitia Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional III yang diadakan oleh Fakultas Kehutanan IPB tahun 2005 serta sebagai panitia dan peserta Kongres Mikoriza II yang dilaksanakan oleh Puslitbang Hutan Tanaman dan Konservasi Alam Bogor tahun 2007. Penulis juga pernah memperoleh dana hibah dari DIKTI untuk melaksanakan penelitian dalam Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2007. Selain aktif dalam keorganisasian, penulis juga aktif sebagai asisten praktikum beberapa mata kuliah seperti Silvikultur, Pembiakan Vegetatif Tanaman Kehutanan dan Dendrologi. Penulis juga pernah mengikuti Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) tahun 2006 di Getas, Baturraden dan Cilacap. Pada tahun 2007 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di PT. Musi Hutan Persada Provinsi Sumatera Selatan. Untuk memperoleh gelar Sajana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Respon Pertumbuhan Bibit Kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla) pada Berbagai Intensitas Cahaya, Penggunaan Inang Primer Kriminil dan Jenis Media dibawah bimbingan Ir. Edje Djamhuri dan Dra. Dharmawati F. Djam’an.
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Respon Pertumbuhan Bibit Kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla) pada Berbagai Intensitas Cahaya, Penggunaan Inang Primer Kriminil dan Jenis Media. Atas selesainya penyusunan karya ilmiah ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Ir. Edje Djamhuri dan Ibu Dra. Dharmawati F. Djam’an selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan sejak dimulainya penelitian sampai dengan penyelesaian skripsi. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc. selaku dosen penguji atas segala saran dan masukan yang sangat berarti. 3. Kepala Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor yang telah memberi izin dan memfasilitasi kegiatan penelitian ini. 4. Papa dan Mama serta Adinda tercinta yang selama ini tiada henti menyayangi, mengasihi, mendukung dan mendoakan penulis. 5. Mahali yang selalu setia menemani, mendukung dan mendoakan penulis selama kuliah, penelitian dan penyusunan skripsi. 6. Yuli A. dan Yulistia W. (sahabat dalam suka dan duka) beserta seluruh penghuni Pondok NN: Indah D.P. , Ifa S.M. , Endah M. , Reni A. , Fitri A. , Venty A. dan Rissa F. , terimakasih atas kebersamaan dan kekeluargaannya. 7. Hendry Ramadani, Rona Mestika, Nenih dan Mita Diantina atas semua bantuannya selama penelitian serta seluruh keluarga besar Silvikultur Angkatan 40 yang tiada pernah bosan menyemangati dan membesarkan hati. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan dunia ilmu pengetahuan. Bogor, Maret 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR.......................................................................................
i
DAFTAR TABEL .............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian .........................................................................
4
1.3 Manfaat Penelitian .......................................................................
4
1.4 Hipotesis.......................................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Umum Tanaman Kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla).. .................................
5
2.1.1 Sifat botanis.......................................................................
5
2.1.2 Penyebaran ........................................................................
7
2.1.3 Kegunaan ..........................................................................
8
2.2
Pertumbuhan Tanaman................................................................
9
2.3
Respon Tanaman Terhadap Naungan .........................................
9
2.4
Toleransi Tanaman Terhadap Naungan ...................................... 11
2.5
Media Tanam .............................................................................. 12 2.4.1 Tanah................................................................................. 13 2.4.2 Sekam padi ........................................................................ 14 2.4.3 Serbuk sabut kelapa .......................................................... 16
2.6
Inang Primer ............................................................................... 17
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 19
3.2
Alat dan Bahan............................................................................ 19
3.3
Metode Penelitian ....................................................................... 19 3.3.1 Persiapan media sapih ....................................................... 19 3.3.2 Penanaman inang primer kriminil..................................... 19 3.3.3 Penyapihan bibit................................................................ 20
3.3.4 Pemeliharaan bibit............................................................. 20 3.3.5 Pengamatan dan perolehan data ........................................ 20 3.4
Rancangan Percobaan ................................................................. 22
BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Balai Penelitian Teknologi Perbenihan....................................... 25 4.1.1 Sejarah............................................................................... 25 4.1.2 Letak dan luas ................................................................... 25 4.1.3 Sarana dan prasarana......................................................... 25 4.2 Stasiun Penelitian Nagrak ........................................................... 26 4.2.1 Prospektus ......................................................................... 26 4.2.2 Letak dan luas ................................................................... 26 4.2.3 Sarana penunjang .............................................................. 27 BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Hasil ......................................................................................... 28 5.1.1 Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan bibit kenanga ..................................................................... 30 5.1.2 Pengaruh penggunaan inang primer kriminil terhadap pertumbuhan bibit kenanga ................................ 33 5.1.3 Pengaruh jenis media terhadap pertumbuhan bibit kenanga ..................................................................... 35 5.1.4 Pengaruh interaksi perlakuan intensitas cahaya, penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap pertumbuhan bibit kenanga ................................ 39 5.1.5 Kandungan Hara dalam Media.......................................... 44 5.1.6 Penampang Akar ............................................................... 46
5.2
Pembahasan................................................................................. 48 5.2.1 Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan bibit kenanga ...................................................................... 49 5.2.2 Pengaruh penggunaan inang primer kriminil terhadap pertumbuhan bibit kenanga ................................. 52 5.2.3 Pengaruh jenis media terhadap pertumbuhan bibit kenanga ...................................................................... 54
5.2.4 Pengaruh interaksi perlakuan intensitas cahaya, penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap pertumbuhan bibit kenanga ................................. 57 BAB VI KESIMPULAN 6.1
Kesimpulan ................................................................................. 59
6.2 Saran ......................................................................................... 59 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 60 LAMPIRAN....................................................................................................... 64
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Komposisi kimia sekam padi (% bahan kering) .......................................... 15 2. Komposisi bahan organik dari serbuk sabut kelapa..................................... 16 3. Komposisi kimia serat dari serbuk sabut kelapa (% bahan kering) ............. 17 4. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh intensitas cahaya, pengggunaan inang primer kriminil dan jenis media beserta interaksinya terhadap tinggi, diameter, Nisbah Pucuk Akar (NPA) dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga .................................................... 29 5. Pengaruh intensitas cahaya terhadap rerata pertambahan tinggi bibit kenanga pada 1 BST, 2 BST dan 3 BST ............................................. 30 6. Pengaruh penggunaan intensitas cahaya terhadap rerata peningkatan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga pada 3 BST ................................ 32 7. Pengaruh penggunaan inang primer kriminil terhadap rerata pertambahan tinggi bibit kenanga pada 2 BST dan 3 BST .......................... 33 8. Pengaruh penggunaan inang primer kriminil terhadap rerata pertambahan diameter bibit kenanga pada 1 BST, 2 BST dan 3 BST ......... 34 9. Pengaruh penggunaan inang primer kriminil terhadap rerata peningkatan Nisbah Pucuk Akar (NPA) bibit kenanga pada 3 BST ................................ 35 10. Pengaruh jenis media terhadap rerata pertambahan tinggi bibit kenanga pada 1 BST, 2 BST dan 3 BST.............................................. 36 11. Pengaruh jenis media terhadap rerata pertambahan diameter bibit kenanga pada 1 BST dan 3 BST .......................................................... 37 12. Pengaruh jenis media terhadap rerata peningkatan Nisbah Pucuk Akar (NPA) bibit kenanga pada 3 BST ................................ 38 13. Pengaruh jenis media terhadap rerata peningkatan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga pada 3 BST ................................ 39 14. Pengaruh interaksi perlakuan intensitas cahaya dan jenis media terhadap rerata pertambahan tinggi bibit kenanga pada 3 BST ................... 40 15. Pengaruh interaksi perlakuan penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap rerata pertambahan tinggi bibit kenanga pada 3 BST................................................................................................... 41 16. Pengaruh interaksi perlakuan penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap rerata pertambahan diameter bibit kenanga pada 1 BST, 2 BST dan 3 BST ................................................................... 42 17. Pengaruh interaksi perlakuan penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap rerata peningkatan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga pada 3 BST ............................................................................ 43
18. Hasil analisis kandungan hara media pada awal pengamatan...................... 44 19. Hasil analisis kandungan hara media pada akhir pengamatan ..................... 44 20. Kondisi lingkungan unit pengamatan (naungan) ......................................... 49
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Tanaman kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla)......................................................................................
6
2. Inang primer kriminil (Alternanthera ficoidea (L.) R. Br. ex Griseb)......... 18 3. Grafik pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan tinggi bibit kenanga ................................................................................................ 31 4. Pertumbuhan bibit kenanga pada berbagai intensitas cahaya ...................... 31 5. Grafik pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan diameter bibit kenanga ................................................................................................ 32 6. Pertumbuhan bibit kenanga pada berbagai penggunaan inang primer kriminil ................................................................................... 34 7. Pertumbuhan bibit kenanga pada berbagai jenis media ............................... 37 8. Perakaran bibit kenanga pada berbagai media tumbuh................................ 47 9. Perakaran bibit kenanga pada berbagai penggunaan inang primer kriminil ................................................................................... 48 10. Arah perkembangan akar bibit kenanga....................................................... 48
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Denah peletakan unit percobaan .................................................................. 65 2. Rekapitulasi pengukuran parameter tinggi.................................................. 66 3. Rekapitulasi pengukuran parameter diameter............................................. 69 4. Rekapitulasi pengukuran Nisbah Pucuk Akar (NPA)................................. 72 5. Rekapitulasi pengukuran Bobot Kering Total (BKT)................................. 74 6. Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter tinggi pada 1 BST............... 76 7. Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter tinggi pada 2 BST............... 76 8. Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter tinggi pada 3 BST............... 77 9. Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter diameter pada 1 BST........... 78 10. Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter diameter pada 2 BST........... 79 11. Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter diameter pada 3 BST........... 80 12. Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter Nisbah Pucuk Akar (NPA).. 80 13. Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter Bobot Kering Total (BKT).. 81 14. Uji lanjut Duncan interaksi faktor intensitas cahaya dengan jenis media (I x M) pada 3 BST (tinggi) ......................................... 82 15. Uji lanjut Duncan interaksi faktor penggunaan inang primer kriminil dengan jenis media (K x M) pada 3 BST (tinggi)........................................ 82 16. Uji lanjut Duncan interaksi faktor penggunaan inang primer kriminil dengan jenis media (K x M) pada 1 BST (diameter) ................................... 83 17. Uji lanjut Duncan interaksi faktor penggunaan inang primer kriminil dengan jenis media (K x M) pada 2 BST (diameter) ................................... 83 18. Uji lanjut Duncan interaksi faktor penggunaan inang primer kriminil dengan jenis media (K x M) pada 3 BST (diameter) ................................... 84 19. Uji lanjut Duncan interaksi faktor penggunaan inang primer kriminil dengan jenis media (K x M) pada 3 BST (BKT) ......................................... 84 20. Pedoman pengharkatan hasil analisis kesuburan tanah................................ 85
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan sumberdaya yang sangat potensial sebagai penghasil devisa. HHBK mencakup berbagai jenis bahan yang diambil dari hutan selain kayu dengan beragam bentuk dan sifat yang sangat luas (Sofyan 2000). Salah satu produk HHBK adalah minyak atsiri. Komoditas minyak atsiri yang dimiliki Indonesia terdiri dari 3 kategori, yaitu yang sudah berkembang, sedang berkembang dan potensial untuk dikembangkan (Kemala et al. 1990). Minyak atsiri yang sedang berkembang antara lain minyak kenanga (Cananga Oil). Minyak ini dihasilkan dari penyulingan terhadap bunga tanaman kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla). Minyak kenanga mempunyai aroma yang sangat wangi. Zaman dahulu kenanga merupakan bunga tradisional yang amat digemari di Thailand dan Malaysia. Bunganya sering dipetik untuk pengharum tubuh setelah mandi, mengharumkan rambut dan pakaian serta menjadi pengharum rumah. Oleh karena aromanya yang harum dan khas tersebut, maka minyak kenanga dijadikan salah satu bahan pewangi dalam parfum yang mahal. Aroma minyak kenanga ini sangat disukai di negara maju di benua Amerika (USA) dan benua Eropa (Perancis dan beberapa negara Eropa Barat). Setiap tahunnya Indonesia mampu mengekspor minyak kenanga sebanyak 50 ton. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara pemasok/penghasil minyak kenanga terbesar di dunia (Anonim 2006). Ekspor sejumlah 50 ton tersebut diperoleh dari pengumpulan minyak kenanga dari berbagai daerah kecil yang ada di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan dewasa ini di Indonesia tanaman kenanga belum dikembangkan secara intensif, baik berupa kebun kenanga ataupun hutan tanaman. Padahal kenyataannya di masa kini permintaan dari industri kosmetik luar negeri sangatlah tinggi, bahkan melebihi dari jumlah yang bisa diekspor oleh Indonesia (sekitar 75-100 ton/tahun). Sehingga, amat disayangkan apabila peluang bisnis yang menjanjikan ini disia-siakan begitu saja tanpa ada upaya untuk mengembangkannya secara intensif.
Tanaman atsiri seperti kenanga selain menguntungkan secara ekonomi juga berpotensi untuk dikembangkan dalam program konservasi dan rehabilitasi lahan kritis di Indonesia. Tanaman kenanga bisa digunakan untuk konservasi karena memiliki perakaran yang dalam, tumbuh cepat dan produksi biomasnya relatif tinggi, sehingga tanaman ini potensial untuk menjaga erosi dan merehabilitasi lahan kritis. Tanaman ini memiliki nilai tambah yang tinggi dan memberikan hasil antara, maka selain cocok dikembangkan untuk tujuan konservasi juga sesuai dikembangkan dalam program pembangunan hutan rakyat bahkan yang lebih intensif berupa hutan tanaman. Dewasa ini tanaman kenanga belum begitu banyak dikenal dan diusahakan di Indonesia. Oleh sebab itu, informasi mengenai budidaya dan teknik pengembangannya sampai saat ini masih terbatas. Sehingga, perlu dilakukan penelitian-penelitian baru untuk memperkaya informasi mengenai budidaya jenis ini. Untuk mengusahakan dan mengembangkan jenis kenanga secara intensif tentunya perlu dilakukan penyediaan bibit yang berkualitas. Umumnya penyediaan bibit dilakukan di persemaian, yakni suatu tempat yang digunakan untuk menyemaikan suatu jenis tanaman dengan perlakuan dan perawatan dalam jangka waktu tertentu, sehingga akan dihasilkan bibit yang berkualitas baik yang memenuhi persyaratan umur, ukuran dan pertumbuhan yang baik serta siap tanam (Parisy & Wilarso 1989). Agar pembibitan di persemaian berhasil dengan baik ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, antara lain kualitas benih (mutu fisik, fisiologi dan genetik), media tabur, media sapih, pemupukan, penyiraman, penyiangan gulma, pemberantasan hama dan penyakit, pengaturan intensitas cahaya (penaungan) dan penggunaan inang primer untuk memproduksi bibit yang berkualitas di persemaian. Karena banyaknya faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembibitan kenanga, maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sebagian dari faktor tersebut, yaitu aspek media sapih, intensitas cahaya (naungan) dan penggunaan inang primer untuk memproduksi bibit kenanga berkualitas di persemaian.
Faktor pertama yang paling penting untuk keberhasilan persemaian adalah media sapih. Banyak bahan yang dapat digunakan sebagai media sapih, tetapi persyaratan media yang baik dan cocok sebagai media sapih adalah ringan, tidak mahal, komposisinya seragam, kompak, dan mudah tersedia (Anonim 1984). Bahan yang bisa digunakan sebagai media tumbuh dapat berasal dari bahan organik, anorganik atau campuran keduanya. Bahan organik yang umum dipakai sebagai media seperti serbuk gergaji, serbuk sabut kelapa, sekam atau arang sekam dan sebagainya. Sedangkan bahan anorganik antara lain pasir, zeolit dan sebagainya. Faktor kedua adalah intensitas cahaya yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah optimum. Pada intensitas cahaya yang tinggi laju evapotranspirasi tanaman akan meningkat secara drastis, sehingga proses kehilangan air akan semakin cepat terjadi. Hal ini berakibat serapan unsur hara yang bergerak bersama gerakan air kapiler (serapan secara kinetik) akan ikut terhambat (Hakim et al. 1986). Dengan adanya naungan, intensitas cahaya yang tinggi dapat dikurangi sehingga serapan hara akan berlangsung dengan baik pula. Pemberian naungan dimaksudkan untuk memodifikasi lingkungan mikro tanaman, seperti radiasi surya, suhu (suhu udara dan suhu tanah) serta kelembaban (Januwati 1989). Faktor lain yang diperkirakan turut menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah penggunaan inang primer. Pada dasarnya penggunaan inang primer bertujuan untuk menciptakan hubungan simbiosis yang menguntungkan antara tanaman pokok dengan inang primernya. Saat ini inang primer
yang
telah
dimanfaatkan
dalam
mendukung
pertumbuhan
dan
perkembangan bibit tanaman antara lain cabe rawit (Capsicum frutescens L.), kaliandra (Calliandra sp.) dan kriminil (Alternanthera ficoidea (L.) R. Br. ex Griseb). Penelitian tentang penggunaan kriminil sebagai inang primer bagi gaharu (Aquilaria malaccensis) telah dilakukan oleh Djam’an dan Ristiyana (2006). Hasilnya menunjukkan bahwa kriminil disinyalir dapat menjadi tanaman pendamping atau inang primer bagi bibit gaharu karena mempengaruhi pertambahan diameter bibit yang tertinggi. Hingga saat ini belum ada laporan mengenai penggunaan kriminil sebagai inang primer bagi kenanga. Oleh karena
itu, perlu adanya penelitian tentang efektivitas penggunaan kriminil sebagai inang primer bagi bibit kenanga. 1.2 Tujuan Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1
Untuk mempelajari pengaruh penggunaan berbagai intensitas cahaya, inang primer kriminil dan jenis media bagi pertumbuhan bibit kenanga.
2
Untuk mendapatkan kondisi pembibitan yang paling optimal bagi pertumbuhan bibit kenanga, baik dari segi penggunaan intensitas cahaya, inang primer kriminil maupun jenis media.
1.3 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh bibit yang berkualitas dan bervigor baik sehingga dapat meningkatkan daya hidup bibit di lapangan. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi solusi alternatif dalam mengatasi kendala pengadaan bibit kenanga di lapangan. 1.4 Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Pertumbuhan bibit kenanga dipengaruhi oleh intensitas cahaya, penggunaan inang primer kriminil dan jenis media. 2. Penggunaan inang primer kriminil dapat mengurangi pemberian nutrisi tambahan (pupuk) bagi pertumbuhan bibit kenanga di persemaian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tanaman Kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson) forma macrophylla) 2.1.1
Sifat botanis Menurut Heyne (1987) dan (Mauludi et al. (1990), kenanga (Cananga
odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla) merupakan jenis dari famili Annonaceace dan berkeluarga dekat dengan tanaman ylang-ylang (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma genuina). Di negara lain jenis ini dikenal dengan nama Ylang-ylang, Cananga, Perfume Tree (Inggris); Ylang-ylang, Cananga (Perancis); Chenanga (Malaysia); Ylang-ylang, Ilang-ilang, Alangilang (Philipina); Kadatngan, Kadapgnam, Sagasein (Myanmar); Chhke sreng (Kamboja); Kradangnga-thai, Kradangngasongkhla, Sabannga-ton (Thailand); dan Ngojc lan taay, Hoafng lan, Ylang-ylang (Vietnam) (Oyen & Dung 1999). Menurut USDA (2001), klasifikasi dari tanaman kenanga adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Magnoliales
Famili
: Annonaceae
Genus
: Cananga
Spesies
: Cananga odorata (Cananga odorata forma macrophylla)
Pada umumnya kenanga berbatang besar dengan diameter 70 cm-100 cm dengan tinggi mencapai 25 meter lebih. Meski begitu, juga bisa diusahakan sebagai tanaman hias dalam pot dengan ketinggian maksimal 3 meter dan bertajuk lebar. Daunnya tunggal setangkai, berbentuk bulat telur atau bulat telur memanjang dengan pangkal daun mirip jantung dan ujung daun runcing. Panjang daun dapat mencapai 10-23 cm dengan lebar 4,5-14 cm (Gambar 1).
Sumber: Dokumentasi Armellia Prima Yuna (2008)
Gambar 1
Tanaman kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla).
Bunganya berbentuk bintang, berwarna hijau pada waktu masih muda dan berwarna kuning setelah tua. Bunga tersebut muncul pada batang pohon atau ranting bagian atas pohon dengan susunan yang khas. Mahkota bunga umumnya berjumlah 6, namun terkadang berjumlah 8 atau 9, berdaging, terlepas antara satu sama lainnya dan tersusun dalam 2 lingkaran yang masing-masing biasanya berjumlah 3. Benang sarinya banyak dan ruang tempat sari berhubungan terdapat di ujung tangkai sari, berbentuk memanjang dan tertutup, berwarna coklat muda. Jumlah bakal buah sekitar 7-15 dan kepala putik berbentuk tombol. Buah berbentuk bulat telur terbalik dengan panjang 2 cm, berdaging tebal, berwarna hijau ketika masih muda dan menjadi hitam setelah tua. Lazimnya, buah mengelompok sekitar 6-10 buah pada 1 tangkai utama. Biji kenanga biasanya ditemukan sekitar 8-12 biji per buah, tersusun dalam 2 baris, berbentuk bundar, pipih, berkulit keras dan warnanya coklat. Kenanga mulai berbunga pada umur sekitar 4 tahun sejak penyemaian benih. Satu pohon kenanga mampu menghasilkan bunga sampai 200 kg dalam 1 tahun. Untuk mempermudah pemetikan dan memperbanyak jumlah daun dapat dilakukan pemangkasan. Pemangkasan ini dilakukan dengan membuang pucuk tanaman pada ketinggian 2-3 meter (Hobir et al. 1990). Secara umum tanaman kenanga (Cananga odorata forma macrophylla) dan ylang-ylang (Cananga odorata forma genuina) merupakan jenis tanaman yang memiliki kandungan minyak atsiri yang cukup banyak. Akan tetapi, bila
dilihat lebih teliti kedua jenis ini memiliki perbedaan yang khas dari morfologinya. Perbedaan morfologi antara tanaman kenanga dengan ylang-ylang dapat dilihat dari habitus, bentuk daun dan warna ranting muda serta tangkai dan tulang daun. Kenanga pada umumnya berhabitus gemuk, batang besar (kokoh), cabang agak rapat sehingga daunnya nampak rimbun. Sebaliknya, ylang-ylang memiliki habitus yang lebih ramping dan batangnya relatif kecil, cabang-cabang agak jarang, sehingga nampak daunnya kurang rimbun (Hobir et al. 1990). Bentuk daun kenanga hampir sama dengan ylang-ylang, yakni lonjong. Perbedaan hanya terletak pada perbandingan panjang dan lebar daun. Perbandingan panjang dan lebar daun kenanga lebih kecil daripada daun ylangylang sehingga nampak daun kenanga lebih lebar dari daun ylang-ylang. Disamping itu, urat daun kenanga lebih kecil sehingga nampak lebih lemas, permukaan datar (rata) dan warnanya hijau muda. Sebaliknya, daun ylang-ylang lebih sempit, urat daun lebih besar sehingga daun nampak lebih kaku, permukaan keriput dan warnanya hijau tua (Hobir et al. 1990). Kenanga dapat diperbanyak secara generatif. Perbanyakan secara vegetatif masih sulit dilakukan, baik dengan cangkokan, okulasi maupun kultur jaringan. Benih kenanga tidak dapat disimpan dalam kondisi kering (Anonim 2006). 2.1.2
Penyebaran Kenanga merupakan tanaman asli dari Asia Tropika atau Asia Tenggara
Bagian Timur yang kemudian menyebar ke seluruh Asia Tenggara, Australia dan beberapa pulau di Lautan Pasifik. Kenanga mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tempat tumbuhnya. Tanaman ini dapat tumbuh hampir di semua jenis tanah. Akan tetapi, kenanga akan lebih sering berbunga bila ditanam ditempat subur, beriklim panas dan pada ketinggian sekitar 20-700 m dpl (Sunanto 1993). Menurut Suratman dan Kappuw (2002), sinar matahari yang cukup dengan temperatur 25-30 ºC serta curah hujan antara 1500-3000 mm/tahun sangat cocok untuk tanaman ini. Sebelum Perang Dunia II, Banten adalah produsen minyak kenanga yang cukup terkenal. Menyusul Majalengka, Cirebon, Kuningan (Jawa Barat); Boyolali (Jawa Tengah); dan Blitar (Jawa Timur) (Rahardi 2003).
2.1.3
Kegunaan Tanaman kenanga ditanam/diusahakan untuk menghasilkan minyak
kenanga. Minyak kenanga Indonesia (Java Cananga Oil) telah lama dikenal di pasaran dunia. Ekspor minyak kenanga dari Indonesia mencapai volume 50 ton/tahun dan merupakan pemasok minyak kenanga terbesar di dunia (Anonim 2006). Minyak kenanga mempunyai aroma yang sangat wangi dan khas, sehingga dijadikan sebagai bahan pewangi dalam sabun, sampo dan parfum yang mahal oleh industri kosmetik luar negeri. Para wanita Thailand sangat suka mengambil remasan bunga kenanga untuk diusapkan-usapkan pada tubuhnya sehabis mandi sehingga terpancar aroma harumnya. Sedangkan wanita Malaysia memanfaatkan bunga kenanga segar untuk mengharumkan rambut, pakaian dan tempat tidurnya. Di pulau Jawa dan Bali kenanga digunakan dalam upacara adat (tradisional). Selain untuk industri kosmetik, minyak kenanga juga dimanfaatkan dalam pengobatan, yakni untuk menyembuhkan penyakit malaria, therapi bagi penderita asma, bronkhitis, serta juga dijadikan sebagai jamu setelah melahirkan (Sunanto 1993). Minyak kenanga dihasilkan dari bagian bunga. Tanaman kenanga ini dapat berbunga sepanjang tahun, sehingga waktu panen dan penyulingan dapat dilakukan sepanjang tahun. Namun demikian di Semenanjung Malaysia waktu panen dibagi menjadi 2 musim, yaitu : a) Panen antara bulan Februari - Mei b) Panen antara bulan Agustus - Oktober Panen pada musim panas menghasilkan bunga dengan kadar air yang lebih kecil (lebih kering) dan mengandung minyak lebih banyak dibandingkan hasil panen musim hujan. Untuk memperoleh kualitas minyak yang tinggi/maksimal hendaknya bunga dipanen setelah betul-betul masak yang ditandai dengan warna bunga kuning tua. Kandungan minyak atsiri tertinggi biasanya pada malam hari menjelang pagi dan pada siang hari menurun. Oleh karena itu panen bunga hendaknya dilakukan sepagi mungkin dan tidak melebihi pukul 9 pagi. Selain bunga, bagian lain yang juga dapat dimanfaatkan adalah kayu dan kulit batang kenanga. Pohon kenanga yang tingginya mencapai 30 meter dengan
diameter batang sampai 1 meter sangat baik daya akustiknya. Di Malaysia batang kenanga tersebut bisa digunakan sebagai bahan untuk membuat drum/tong beserta stiknya (alat musik pukul) karena bersifat resonan (Sunanto 1993). Sedangkan kulit batangnya sering digunakan untuk membuat tambang (Manado), digulung dan dijadikan sebagai tempat menyimpan jala (Minahasa), dan untuk pengobatan berbagai penyakit kulit (Heyne 1987). 2.2 Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil tanaman. Pertumbuhan ukuran tubuh tanaman secara keseluruhan merupakan hasil dari pertambahan ukuran bagian-bagian (organ-organ) tanaman akibat dari pertambahan jaringan sel yang dihasilkan oleh pertambahan ukuran sel (Sitompul & Guritno 1995). Pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti tanah, iklim dan tanaman itu sendiri yang semuanya saling berkaitan erat satu sama lainnya. Pertumbuhan tanaman yang baik dapat dicapai bila faktorfaktor tersebut seimbang dan menguntungkan. Bila salah satu faktor tidak seimbang dengan faktor lain, faktor ini dapat menekan atau kadang menghentikan pertumbuhan tanaman. Iklim turut mempengaruhi kondisi tanah, kekurangan curah hujan akan menyebabkan tanah menjadi terlalu kering untuk pertumbuhan suatu tanaman (Nyakpa et al. 1988). Suatu tanaman akan tumbuh dengan subur, apabila segala elemen yang dibutuhkan tersedia cukup dan dalam bentuk yang sesuai untuk diserap tanaman. Jika suatu unsur kurang maka penambahannya akan memberi manfaat, tapi bila unsur itu sudah berlebih maka penambahannya akan terbuang percuma bahkan bisa mengakibabtkan kerusakan pada tanaman (Dwijoseputro 1980). 2.3 Respon Tanaman terhadap Naungan Secara fisiologis, pengaruh cahaya pada metabolisme secara langsung dapat dilihat melalui aktivitas fotosintesis, sedangkan secara tidak langsung dapat dilihat melalui pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Fitter & Hay 1992). Menurut Salisbury dan Ross (1995), cahaya adalah faktor lingkungan yang
diperlukan untuk mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Alasan utamanya adalah karena cahaya mempengaruhi proses fotosintesis. Cahaya adalah salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan tanaman. Klorofil mengabsorbsi energi cahaya dengan panjang gelombang antara 4,40-0,75 micron, yang memungkinkan tumbuhan untuk memproduksi makanannya. Cahaya mempengaruhi jumlah dan komposisi kloroplas, sintesis klorofil, membuka dan menutupnya stomata dan sangat berpengaruh terhadap transpirasi. Cahaya juga diperlukan untuk menyusun pigmen tanaman. Pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan diferensiasi sel dinyatakan pada pertumbuhan tinggi, perubahan ukuran dan struktur dari batang serta daun tanaman (Kramer & Kozlowski 1960). Menurut Aung (1974) dalam Fitter dan Hay (1992), kemampuan penyerapan unsur hara bagi tanaman terutama bagi tanaman yang masih muda sangat tergantung pada kondisi iklim mikro, terutama ketersediaan air dan kelancaran proses transpirasi. Bila air bukan menjadi kendala, maka intensitas sinar dan fotoperiodisitas yang mempengaruhi proses evapotranspirasi menjadi sangat penting. Pada intensitas cahaya yang tinggi akan meningkatkan laju evapotranspirasi tanaman, sehingga proses kehilangan air akan semakin cepat pula. Hal ini berakibat serapan unsur hara yang bergerak bersama gerakan air kapiler (serapan secara kinetik) akan ikut terhambat (Hakim et al. 1986). Tampak bahwa dengan adanya naungan intensitas cahaya yang tinggi dapat dikurangi sehingga serapan hara akan berlangsung dengan baik pula. Pemberian naungan dimaksudkan untuk memodifikasi lingkungan mikro tanaman, karena akan mengubah kuantitas dan kualitas faktor lingkungan yang ada. Faktor lingkungan yang dapat dipengaruhi oleh naungan antara lain radiasi surya, suhu (suhu udara dan suhu tanah) serta kelembaban (Januwati 1989). Respon tanaman terhadap naungan berbeda-beda. Adaptasi tanaman terhadap naungan dilakukan dalam 2 cara yakni: (1) meningkatkan luas daun dengan tujuan untuk meminimalkan penggunaan metabolit dan (2) penurunan jumlah cahaya yang ditransmisikan dan dipantulkan (Hale & Orcutt 1987). Menurut Salisbury dan Ross (1995), tanaman yang hidup pada kondisi ternaungi akan menunjukkan gejala etiolasi. Sedangkan menurut Sudarman dan Sugito (1996), respon tanaman terhadap naungan dicirikan oleh pertumbuhan
daunnya. Ukuran daun akan semakin meningkat dengan menurunnya intensitas cahaya akibat perlakuan taraf naungan yang semakin meningkat. Penaungan pada tempuyung menyebabkan tajuk tanaman bertambah lebar tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun, bahkan ada kecenderungan semakin menurun setelah taraf naungan dinaikkan menjadi 30% (Januwati & Muhammad 1993). Menurut Haris (1999), peningkatan luas daun merupakan salah satu mekanisme toleransi terhadap naungan untuk memperoleh cahaya lebih banyak atau optimalisasi penerimaan cahaya oleh tanaman. Berdasarkan penelitian Tunggal (2004), pengamatan terhadap daun tanaman meniran menunjukkan kecenderungan bahwa warna daun tanaman yang berada di bawah naungan menjadi lebih gelap daripada yang tidak diberi naungan. Suharti (1979) mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh di tempat yang memiliki intensitas cahaya 0% pertumbuhan batang akan lebih cepat dan lebih panjang, namun batang cenderung lebih lembek, karena kandungan air jauh lebih besar daripada kandungan zat padatnya, sehingga berat keseluruhan tanaman kebanyakan terdiri dari berat kandungan cairannya. 2.4 Toleransi Tanaman terhadap Naungan Menurut Daniel et al. (1992), toleransi adalah istilah yang sering digunakan dalam bidang kehutanan yang berarti kemampuan relatif dari suatu pohon untuk hidup bersaing pada persaingan cahaya rendah dan perakaran tinggi. Toleransi dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan persaingan akar, serta ketinggian tempat. Berdasarkan tingkat toleransinya terhadap naungan, tumbuhan dibagi atas jenis toleran (shade demanding species) dan intoleran (light demanding species). Jenis toleran merupakan jenis tumbuhan yang hanya hidup di tempat naungan berat, sedangkan jenis intoleran merupakan jenis tumbuhan yang hanya dapat hidup di tempat terbuka. Meskipun demikian banyak jenis tumbuhan memiliki selang toleransi yang lebar terhadap faktor cahaya yang tinggi, sehingga dikenal sebagai jenis semi toleran (Daubenmire 1967). Kramer dan Kozlowski (1960) menyatakan bahwa toleransi erat kaitannya dengan pengaruh intensitas radiasi surya terhadap pertumbuhan pohon dimana sering didefinisikan bahwa toleransi adalah kemampuan suatu jenis pohon dapat
hidup di bawah naungan. Kemudian disebutkan bahwa jenis yang toleran adalah jenis pohon yang mampu bertahan hidup di bawah naungan, sedangkan yang tidak mampu bertahan di bawah naungan disebut jenis pohon intoleran. Dalam versi lain jenis pohon toleran dikatakan sebagai jenis yang tahan akan keteduhan diwaktu kecil, sedangkan jenis pohon intoleran adalah jenis yang tidak tahan akan keteduhan diwaktu kecil (Darjadi & Hardjono 1972). Toleransi naungan berbeda-beda menurut umur pohon dan menurut kondisi lingkungan. Pohon-pohon cenderung memperlihatkan toleransi naungan pada waktu muda. Pada tapak yang lebih baik (subur), pohon-pohon lebih tahan terhadap naungan daripada tapak yang miskin hara. Pertumbuhan tanaman muda cenderung lebih cepat pada pohon intoleran daripada pohon toleran bilamana keduanya ditanam di bawah cahaya penuh. Sesudah tahap semai, pohon toleran tumbuh lebih cepat pada daerah terbuka dibandingkan dengan di bawah naungan. Secara fisiologis, jenis pohon toleran dan intoleran ini dibedakan berdasarkan perilaku fotosintesisnya. Jenis-jenis pohon toleran mencapai kapasitas efisiensi fotosintesis pada intensitas cahaya dan titik kompensasi cahaya yang lebih rendah daripada jenis-jenis yang intoleran (Daniel et al. 1992). Secara umum, jenis pohon toleran bersifat: (1) biji dapat berkecambah di bawah tajuk; (2) semai tahan lama di bawah tajuk, jika mendapat cahaya akan tumbuh cepat; (3) mempunyai tajuk lebar dan lebat, daun yang di dalam kurang mendapat cahaya; (4) pemangkasan alam lambat dan (5) tumbuh lambat pada waktu muda. Sedangkan, jenis pohon intoleran bersifat: (1) biji berkecambah hanya ditempat terbuka; (2) semai cepat mengalami kematian, jika dibebaskan reaksinya lambat; (3) mempunyai tajuk yang tipis dan jarang, daun secara keseluruhan mendapat cukup cahaya; (4) pemangkasan alam cepat dan (5) tumbuh cepat pada waktu muda (Darjadi & Hardjono 1972). 2.5 Media Tanam Media tanam secara umum memiliki dua fungsi, yakni sebagai tempat tumbuh tanaman dan pemberi bahan makanan bagi kehidupan tanaman. Menurut Nelson (1981) dan Soepardi (1983), pada prinsipnya media tanam harus mampu memberikan dukungan bagi kelangsungan hidup tanaman seperti aerasi yang baik, tempat akar, mampu menahan air dan menyediakan hara bagi pertumbuhan
tanaman. Agoes (1994) menyatakan bahwa suatu media tanam yang baik harus mendukung pertumbuhan tanaman dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) dapat dijadikan tempat berpijak tanaman; (2) mampu mengikat air dan unsur hara; (3) mempunyai drainase dan aerasi yang baik; (4) dapat mempertahankan kelembaban di sekitar akar tanaman; (5) tidak menjadi sumber penyakit bagi tanaman serta (6) mudah didapat dan harganya relatif murah. Terdapat dua jenis media dalam budidaya tanaman, yaitu campuran tanah (soil mixes) yang mengandung tanah alami dan campuran tanpa tanah (soilness mixes) yang tidak sedikitpun mengandung tanah alami (Adams et al. 1993). Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai media tanam dapat berupa bagan organik (seperti, gambut, sisa-sisa kayu, humus, pupuk kandang, limbah pertanian dan limbah rumah tangga) dan bahan anorganik (seperti, pasir, vermikulit dan lain-lain). Semua bahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai media tunggal atau campuran, baik dengan campuran tanah (soil mixes) maupun campuran tanpa tanah (soilness mixes) (Adams et al. 1993). 2.5.1
Tanah Tanah adalah tubuh alam (natural body) yang terbentuk dan berkembang
sebagai bekerjanya gaya-gaya alam di permukaan bumi. Tubuh alam ini dapat berdiferensiasi membentuk horizon-horizon mineral maupun organik yang kedalamannya beragam (Hakim et al. 1986). Selanjutnya juga dikatakan bahwa tanah merupakan medium alam untuk pertumbuhan tanaman. Tanah menyediakan unsur hara sebagai makanan tanaman untuk pertumbuhannya. Unsur hara diperoleh akar tanaman dan melalui daun diubah menjadi persenyawaan organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan sebagainya yang amat berguna bagi tanaman. Schroeder (1972) dalam Hakim et al. (1986) menyatakan bahwa tanah merupakan suatu sistem tiga fase yang mengandung air, udara, bahan-bahan mineral dan organik serta jasad hidup, yang karena beberapa pengaruh faktor lingkungan terhadap permukaan bumi dan kurun waktu membentuk berbagai perubahan yang memiliki ciri-ciri morfologi yang khas, sehingga berperan sebagai tempat tumbuh bermacam-macam tanaman. Akibat berlangsungnya proses
pembentukan tanah itu maka terjadilah perbedaan morfologi, kimia fisis dan biologi dari tanah. Sarief (1985) mengemukakan fungsi tanah dalam peningkatan produksi adalah: (1) sebagai sumber unsur hara bagi tumbuh-tumbuhan, (2) sebagai matriks tempat akar tanaman berjangkar dan air tanah tersimpan serta tempat unsur hara dan air ditambahkan. Fungsi tanah dalam meningkatkan produksi tergantung dari kesuburan tanah itu sendiri. Tanah dikatakan subur apabila tata air, udara dan unsur hara dalam keadaan cukup, seimbang dan sesuai dengan tuntutan tanaman. Dimana, kesuburan tanah ini meliputi kesuburan fisik, kimiawi dan kesuburan biologi tanah karena semuanya menunjukkan tingkat kesuburan tanah secara keseluruhan (Fakuara et al. 1988). 2.5.2
Sekam padi Sekam padi merupakan salah satu hasil sampingan yang terbesar dalam
proses penggilingan padi. Sekam padi merupakan bagian terluar yang keras dari bulir padi yang terdiri dari lapisan lemma dan palea. Pemberian sekam padi sebagai bahan organik pada tanah mineral akan memberikan pengaruh positif terhadap sifat fisik dan kimia tanah. Bahan organik tanah merupakan perekat butiran lepas dan juga merupakan sumber unsur hara (Soepardi 1983). Selanjutnya dijelaskan bahwa penambahan bahan organik akan memperbaiki kemampuan tanah menyimpan air, struktur tanah, dan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah serta dapat menyediakan unsur hara tertentu bagi tanaman. Dari segi kimia tanah mineralisasi sekam padi akan melepaskan hara secara lambat dan kontinyu, sehingga hara akan tersedia dalam jangka waktu yang relatif panjang. Suparyono dan Setyono (1993) menyatakan bahwa sisa-sisa tanaman
padi
banyak
mengandung
senyawa
organik
seperti
selulosa,
hemiselulosa, pektin, lignin dan protein. Sisa tanaman padi ini juga mengandung mineral seperti Nitrogen (N), Posfor (P), Potasium, Silikon dan Sulfur (S). Kandungan hara sisa tanaman tersebut tergantung dari lamanya pelapukan atau pembusukannya. Komposisi kimia dari sekam padi menurut para ahli dapat dirangkum pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia sekam padi (% bahan kering) Nutrien A B C D Bahan Kering 92,40 86,00 91,70 Bahan Organik Protein Kasar 2,80 3,30 2,88 1,90-3,00 Karbohidrat 26,50-29,80 Lemak Kasar 3,50 0,30-0,80 Serat Kasar 41,20 34,50-45,90 Abu 18,80 22,60 13,20-21,00 22,00 NDF 66,00-74,00 ADF 58,00-6,00 Lignin 19,20 9,00-20,00 Selulosa 42,20 28,00-36,00 Hemiselulosa 12,00 Silica 18,80-22,40 TDN 29,20 9,30-9,50 Pentosans 26,00 21,00-22,00 Kalsium 0,73 0,60-1,30 Phospor 0,30-0,70 Kalium 0,73 -
E 78,00 42,90 21,57 0,80 0,45
F 92,00 3,30 0,80 0,10 0,80 -
Keterangan: A = Cullison (1979); B = Hartadi et al. (1980); C = Luh (1980); D = Juliano (1985); E = Mariam (1986); F = NRC (1997)
Dari hasil analisis sekam padi yang dilakukan oleh Hayyu (1991) sekam padi mengandung 46,77 % C organik, 0,32 % N total, 0,05 % P, 0,25 % K, 1,00 % Ca, 0,07 % Mg dan pH 6,6. sedangkam menurut Hidayati (1993) analisis pada sekam padi menghasilkan 45,06 % C organik, 0,31 % N total, 0,07 % P, 0,28 % K, 0,16 % Mg total dan 33,01 % SiO2 total. Walaupun unsur yang terkandung dalam sekam padi rendah, hasil percobaan yang dilakukan oleh Kasdiman (1988) memperlihatkan adanya peningkatan kandungan P-tersedia dengan penambahan sekam padi ke dalam tanah. Bertambahnya P ini disebabkan oleh pelepasan P pada proses dekomposisi sekam padi dan juga sebagai akibat adanya penambahan SiO2 dalam tanah. Menurut Hartmann dan Kester (1975), SiO2 dalam tanah disamping sebagai hara tanaman, juga berperan dalam menurunkan serapan Fe dan Mn yang berada dalam kondisi toksik. Silikat juga mempengaruhi proses fiksasi P, sehingga ketersediannya menjadi meningkat. Marschner (1986) menyatakan bahwa dengan adanya kandungan SiO2 yang tinggi pada sekam padi dapat meningkatkan ketahanan terhadap hama dan penyakit melalui pengerasan jaringan daun. Selanjutnya Winslow (1992)
mempertegas bahwa sekam padi dapat berfungsi untuk mengendalikan hama dan penyakit. Mengenai keuntungan sekam padi ini, Purbiati et al. (1986) dalam Muas dan Indriyani (1991) menyatakan bahwa pada pembibitan mangga penggunaan sekam padi memberikan bobot per bibit yang lebih berat serta sistem perakan yang lebih berkembang. 2.5.3
Serbuk sabut kelapa Tanaman kelapa banyak terdapat di Indonesia terutama di daerah dekat
pantai atau pesisir. Umumnya kelapa ditanam untuk diambil buahnya dan langsung diperdagangkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dibuat minyak goreng atau kopra sebagai bahan industri. Buah kelapa terdiri dari sabut, tempurung, daging buah dan air. Berdasarkan komposisinya, dalam 1 buah kelapa terdiri atas 35 % sabut kelapa, 28 % daging buah dan 25 % air buah (Woodroof 1979). Sabut kelapa merupakan komponen terbesar dari limbah kelapa. Bagian terpenting lainnya adalah serbuk sabut kelapa. Bagian ini menempati 46 % dari total kandungan sabut kelapa. Komponen utama dari serbuk sabut kelapa ini adalah lignin dan selulosa dari senyawa lignoselulosa bersama dengan hemiselulosa atau pektin dengan proses penguraian yang lambat oleh mikroba dalam kondisi alami (Rumokoi 1990). Adanya jamur yang mempunyai kemampuan menghancurkan lignin, memungkinkan serbuk sabut kelapa menjadi potensial untuk dikonversikan sebagai Microbial Biomass Product (MDP) yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan makanan ternak dan pupuk (Rumokoi 1990). Komposisi dari serbuk sabut dapat diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi bahan organik dari serbuk sabut kelapa Komposisi Serbuk Halus Serbuk Kasar Air 15,77 20,39 Bahan Organik 86,87 96,43 Abu 13,13 3,57 Sumber: Thampan (1981)
Sabut termasuk dalam kelompok serat alami yang terdiri dari selulosa, lignin dan substansi material pembangunan dari struktur sel. Komposisi kimia dari serbuk sabut kelapa dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia serat dari serbuk sabut kelapa (% bahan kering) Sumber Serat
Kelarutan dalam Air
Kelapa Tua 5,2 Kelapa Muda 16,0 Kelapa sangat 15,5 Muda Sumber: Thampan (1981)
Pektin dan Kelarutan dalam Air Panas 3,0 2,7 4,4
Hemiselulosa
Lignin
Selulosa
0,25 0,15 0,25
45,8 40,5 41,0
43,4 32,9 36,1
Serbuk sabut kelapa merupakan media yang sangat baik untuk perkembangan akar. Menurut Ketaren dan Djatmiko (1981) sabut kelapa merupakan sumber Kalium dan dapat mempertahankan kelembaban tanah. Campuran media tanah dengan sabut kelapa memiliki nisbah C/N yang rendah (kurang dari 20%) hampir mendekati nisbah C/N tanah setelah didekomposisikan 2,5 bulan. Keadaan ini sangat menguntungkan, karena rendahnya nilai C/N berarti akan mempercepat laju mineralisasi media, sekaligus memberikan unsur-unsur dekomposan yang cepat tersedia bagi tanaman. 2.6 Inang Primer Inang primer merupakan inang yang diperlukan oleh tanaman induk pada tingkat awal pertumbuhan, yaitu pada saat pembibitan. Penggunaan inang primer dimaksudkan untuk tujuan membantu penyerapan sebagian unsur hara yang diperlukan oleh tanaman induk. Penelitian pada cendana menunjukkan adanya hubungan langsung xylem-xylem antara akar cendana dan akar inangnya. Menurut Sarma (1977) dalam Barret (1985), cendana menyadap unsur hara N, P dan asam amino dari tanaman inang, sedangkan Ca dan K diambil dari tanah. Menurut Surata (1992b), tanaman yang akan dijadikan sebagai inang primer harus memiliki sifat-sifat: (1) dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman pokok; (2) tidak menimbulkan persaingan; (3) bertajuk kecil; (4) akarnya bersifat sukulen; (5) mudah tumbuh kembali setelah dipangkas; (6) tidak berumur pendek dan (7) mudah didapat. Saat ini inang primer yang telah dimanfaatkan dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan bibit tanaman antara lain cabe rawit
(Capsicum frutescens L.), kaliandra (Calliandra sp.) dan kriminil (Alternanthera ficoidea (L.) R. Br. ex Griseb). Menurut LIPI (1977), tanaman kriminil atau disebut juga “joy weed” berhabitus herba, berukuran rendah dengan tinggi 10-15 cm. Tumbuhnya membentuk rumpun yang rapat. Daunnya berbentuk bundar dengan warna yang beraneka. Ada yang berwarna merah, ada yang berwarna hijau dan ada pula yang berwarna hijau bercak-bercak kuning. Bunganya berukuran kecil, berwarna putih, tunggal atau berpasangan yang muncul dari ujung batangnya. Tanaman ini berbunga sepanjang tahun (Gambar 2).
Sumber: Dokumentasi Armellia Prima Yuna (2008)
Gambar 2 Inang primer kriminil (Alternanthera ficoidea (L.) R. Br. ex Griseb). Tempat asal dari bunga ini adalah Brasil (Amerika Selatan), tetapi dewasa ini sudah umum ditanam di Indonesia. Tumbuh baik di daerah pegunungan, namun demikian dapat juga ditanam di dataran rendah. Umumnya di dataran rendah warna daunnya berubah menjadi buram (LIPI 1977). Karena tumbuhnya yang merumpun, maka tanaman ini sering ditanam pada batas-batas taman, sisi-sisi jalan terutama jalan setapak. Pemeliharaannya mudah, tetapi pemangkasan harus dilakukan secara teratur. Kadang-kadang ditanam pada tanah-tanah yang agak miring untuk mencegah erosi. Berdasarkan pengalalamnan, tempat-tempat dimana rumput tidak dapat tumbuh, maka kriminil dapat berfungsi sebagai pengganti rumput (LIPI 1977). Di alam tanaman ini berbiak dengan biji, tetapi sebagai tanaman hias lebih sering diperbanyak dengan stek. Pada beberapa tempat, daun-daun mudanya dimakan orang sebagai lalaban ataupun sebagai sayuran (LIPI 1977).
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Stasiun Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor yang berlokasi di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian berlangsung selama 5 bulan, mulai bulan Juni sampai dengan November 2007. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
kaliper,
mistar/penggaris, timbangan elektrik Ohaus, oven, shading net (55% dan 75%), polybag dan kamera. Sedangkan bahan yang digunakan meliputi: bibit kenanga (Cananga odorata (Lamk) Hook.f. & Thomson forma macrophylla), tanaman kriminil (Alternanthera ficoidea (L.) R. Br. ex Griseb), media tanah, media sekam padi dan media serbuk sabut kelapa. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1
Persiapan media sapih Media yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: media tanah (top
soil), media campuran tanah dan sekam padi (1:1) dan media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (1:1:1). Media yang digunakan telah melalui pengayakan untuk mendapatkan tekstur media yang halus dan seragam, sehingga lebih kompak dan tidak mudah mengalami pemadatan/penggumpalan. Media yang telah disiapkan ditempatkan pada polybag (12 cm x 20 cm) untuk kegiatan penyapihan bibit. 3.3.2
Penanaman inang primer kriminil Penanaman inang primer kriminil pada polybag yang mendapat perlakuan
penambahan kriminil dilakukan sebelum kegiatan penyapihan. Penanaman atau perbanyakan di polybag dilakukan dengan cara stek. Dari total 405 polybag, sebanyak 135 polybag dilakukan penanaman kriminil 1 batang, kemudian 135
polybag berikutnya dilakukan penanaman kriminil 2 batang. Adapun 135 polybag yang tersisa tidak dilakukan penanaman kriminil. Bahan tanaman kriminil yang dilakukan penyetekan berasal dari tanaman hias dipekarangan kebun. Ukuran potongan yang digunakan
seragam pada
seluruh polybag/ulangan, yakni berukuran panjang sekitar ≥ 5 cm. 3.3.3
Penyapihan bibit Penyapihan bibit dari bak kecambah ke polybag dilaksanakan setelah
terbentuk kecambah normal. Seluruh bibit yang digunakan untuk kegiatan penyapihan dipilih dari bibit/kecambah berpenampilan paling baik diantara semua benih yang telah dikecambahkan. Penyapihan dilakukan pagi hari sebelum pukul 9 untuk mengurangi laju evapotraspirasi bibit yang disapih. Agar perakaran bibit yang disapih tidak mengalami kerusakan maka sebelum bibit dicabut dari media tabur terlebih dahulu disiram air sampai jenuh. Bibit yang telah disapih ke polybag ditempatkan secara acak pada naungan dengan intensitas cahaya 100%, 45% dan 25%. 3.3.4
Pemeliharaan bibit Pemeliharaan
bibit
yang
dilakukan
selama
dipersemaian
berupa
penyiraman (pagi dan sore hari) dan penyiangan gulma secara rutin. Apabila ditemukan serangan hama berupa ulat pemakan daun (Maenas maculifascia WLK) yang biasanya menyerang tanaman pada musim hujan, maka dilakukan pengendalian berupa perbaikan sanitasi di sekitar areal tanaman terhadap sisa-sisa sarang dan rumput/sampah (pengendalian secara fisik/mekanik). Selain itu, dapat juga dilakukan pengendalian secara kimia dengan melakukan penyemprotan ke bagian tanaman yang diserang menggunakan Azodrin 15 WSC (dosis 2 ml/liter) atau Atabron 50 EC, Nogos 50 EC dan Dursban 20 EC (dosis 0.5 ml/liter). 3.3.5
Pengamatan dan perolehan data Parameter-parameter yang diukur/diamati dalam mempelajari respon
pertumbuhan bibit kenanga pada berbagai perlakuan media, naungan dan penanaman kriminil adalah sebagai berikut:
a) Tinggi bibit Pengukuran tinggi dilakukan setelah penyapihan dan selama pengamatan (mulai dari awal sampai akhir pengamatan). Tinggi awal (T0) diukur setelah kegiatan penyapihan. Selanjutnya diukur setiap 1 bulan hingga bibit mencapai umur 3 bulan (T3). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mistar mulai dari pangkal batang hingga titik tumbuh tunas pucuk bibit. b) Diameter bibit Pengukuran diameter dilakukan setelah penyapihan dan selama pengamatan (mulai dari awal sampai akhir pengamatan). Diameter awal (D0) diukur setelah kegiatan penyapihan. Selanjutnya diukur setiap 1 bulan hingga bibit mencapai umur 3 bulan (D3). Diameter bibit diukur 1 cm di atas pangkal batang. Pengukuran diameter bibit dilakukan dengan menggunakan kaliper. c) Nisbah Pucuk-Akar (NPA) Nisbah pucuk-akar diperoleh dari hasil pengukuran terhadap Berat Kering (BK) pucuk dan akar bibit. Pengukuran Berat Kering ini dilakukan pada akhir pengamatan. Setiap bibit dipotong menjadi dua bagian, bagian pucuk dan akar. Kedua bagian tersebut dimasukkan ke dalam wadah penyimpanan yang berbeda (terpisah) kemudian dioven pada suhu 70˚C selama 3 x 24 jam. Selanjutnya,
setelah
tercapai
berat
kering
yang
konstan
dilakukan
penimbangan Berat Kering pada masing-masing bagian tersebut dengan menggunakan timbangan elektrik Ohaus. Dari hasil penimbangan Berat Kering dicari ratio pucuk-akar bibit dengan rumus:
Nisbah Pucuk - Akar =
BK pucuk BK akar
d) Berat Kering Total (BKT) Data BKT diperoleh dari hasil pengukuran Berat Kering bagian pucuk dan bagian akar bibit kenanga. Pengukuran Berat Kering Total (BKT) ini dilakukan pada akhir pengamatan, yakni bersamaan dengan pengukuran Nisbah Pucuk-Akar (NPA). BKT diperoleh dengan menjumlahkan secara langsung BK bagian pucuk dengan BK bagian akar. Berat Kering Total (BKT) = BK pucuk + BK akar
e) Kandungan hara dalam media Analisis kandungan hara dalam media dilakukan pada awal dan akhir pengamatan di Laboratorium Kesuburan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Analisis dilakukan terhadap media tumbuh bibit kenanga yang terdiri dari tanah (Top Soil), campuran tanah dan sekam padi (1:1) serta campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (1:1:1). Kandungan hara yang dianalisis difokuskan pada unsur N, P, K dan C-Organik (macronutrient) dan unsur-unsur Al, Fe, Mn dan Zn (micronutrient). f) Penampang akar Pengambilan data penampang akar dilaksanakan pada akhir pengamatan dengan mendokumentasikan penampang akar yang dibersihkan sebagian media tumbuhnya. Data penampang akar diambil untuk melihat pertumbuhan dan arah perkembangan akar bibit kenanga. 3.4 Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan PetakPetak Terbagi (Split Split Plot Design) yang terdiri dari 27 kombinasi perlakuan, yakni: 1) I0K0M0
10) I1K0M0
19) I2K0M0
2) I0K0M1
11) I1K0M1
20) I2K0M1
3) I0K0M2
12) I1K0M2
21) I2K0M2
4) I0K1M0
13) I1K1M0
22) I2K1M0
5) I0K1M1
14) I1K1M1
23) I2K1M1
6) I0K1M2
15) I1K1M2
24) I2K1M2
7) I0K2M0
16) I1K2M0
25) I2K2M0
8) I0K2M1
17) I1K2M1
26) I2K2M1
9) I0K2M2
18) I1K2M2
27) I2K2M2
Keterangan : I0
: Intensitas cahaya 100 % (tanpa naungan)
I1
: Intensitas cahaya 45 % (naungan 55%)
I2
: Intensitas cahaya 25 % (naungan 75 %)
K0
: Tanpa inang primer kriminil
K1
: Inang primer kriminil 1 batang
K2
: Inang primer kriminil 2 batang
M0
: Media tanah
M1
: Media campuran tanah dan sekam padi (1:1)
M2
: Media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (1:1:1) Setiap kombinasi perlakuan terdiri dari 5 bibit (unit percobaan) dan
diulang sebanyak 3 kali (r = 3), sehingga jumlah bibit total yang diamati sebanyak 405 bibit. Adapun denah peletakan dari tiap unit percobaaan di lapangan yang mengikuti pola RPPT dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan Gaspersz (1994), model statistika untuk percobaan 3 faktor (intensitas cahaya (I) sebagai petak utama; inang primer kriminil (K) sebagai anak petak; dan jenis media (M) sebagai anak-anak petak) yang menggunakan RPPT dalam RAK dapat diformulasikan sebagai berikut:
Yijkl = μ + R1+ Ii + εi1 + Kj + (IK)ij + δijl + Mk + (IM)ik + (KM)jk + (IKM)ijk + γijkl Dimana: Yijkl
: Nilai pengamatan (pertumbuhan kenanga) pada kelompok ke-1 yang memperoleh taraf intensitas cahaya ke-i, taraf inang primer kriminil ke-j, dan taraf media ke-k
μ
: Nilai rata-rata pertumbuhan kenanga yang sesungguhnya
R1
: Pengaruh aditif dari kelompok ke-1 terhadap pertumbuhan kenanga
Ii
: Pengaruh aditif dari taraf intensitas cahaya ke-i terhadap respon pertumbuhan kenanga
εi1
: Pengaruh galat yang timbul pada kelompok ke-1 yang memperoleh taraf intensitas cahaya ke-i
Kj
: Pengaruh aditif dari taraf inang primer kriminil ke-j terhadap pertumbuhan kenanga
(IK)ij
: Pengaruh interaksi antara taraf intensitas cahaya ke-i serta taraf inang primer krimiil ke-j terhadap pertumbuhan kenanga
δij1
: Pengaruh galat yang timbul pada kelompok ke-1 yang memperoleh taraf intensitas cahaya ke-i dan taraf inang primer kriminil ke-j
Mk
: Pengaruh aditif dari taraf media ke-k terhadap pertumbuhan kenanga
: Pengaruh interaksi antara taraf intensitas cahaya ke-i dan taraf media
(IM)ik
ke-k terhadap pertumbuhan kenanga : Pengaruh interaksi antara taraf inang primer kriminil ke-j dan taraf
(KM)jk
media ke-k terhadap pertumbuhan kenanga (IKM)ijk
: Pengaruh interaksi antara taraf intensitas cahaya ke-i, taraf inang primer kriminil ke-j, dan taraf media ke-k terahadap pertumbuhan kenanga : Pengaruh galat yang timbul pada kelompok ke-1 yang memperoleh
γijkl
taraf intensitas cahaya kei, taraf inang primer kriminil ke-j, dan taraf media ke-k Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati dilakukan sidik ragam. Selanjutnya apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata, kemudian dilakukan uji lanjut Duncan taraf 5% untuk mengetahui perbedaan nyata atau tidak nyata setiap taraf perlakuan yang diberikan.
Analisis/pengolahan
data
menggunakan program SPSS versi 12.0.
hasil
pengamatan
dibantu
dengan
BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Balai Penelitian Teknologi Perbenihan 4.1.1
Sejarah
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP) berawal dari Proyek Perbenihan Kehutanan pada tahun 1983 dan kemudian ditingkatkan menjadi Balai Teknologi Perbenihan (BTP) melalui Keputusan Menteri Kehutanan (Menhut) No. 100/Kpts-II/1984 dan merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Dalam rangka reorganisasi Departemen Kehutanan, tahun 1991 BTP ditetapkan menjadi UPT Balai Litbang Kehutanan melalui Keputusan Menhut No. 170/Kpts-II/1991. Perkembangan organisasi selanjutnya, BTP diubah menjadi Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan (BPPTP) sesuai Keputusan Menhut No. 6182/Kpts-II/2002. Selanjutnya mengalami perubahan lagi menjadi Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP). 4.1.2
Letak dan luas
Kantor dan Laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP) berlokasi di Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, berada pada ketinggian 250 m dpl dengan luas 4000 m2. 4.1.3
Sarana dan prasarana
Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP) didukung oleh sarana dan prasaranan penelitian sebagai berikut: a) Laboratorium penyimpanan benih yang dilengkapi Dry Cold Storages (DCS), Cold Storages (CS) dan Conditioning Room (CR).
b) Laboratorium pengujian benih yang dilengkapi dengan alat untuk pengujian kadar air, kemurnian dan perkecambahan. c) Rumah kaca seluas 156 m2 dan rumah perakaran. d) Unit persemaian dan pembibitan di Nagrak seluas 1 hektar beserta kelengkapan bangunan dan peralatannya.
e) Stasiun Kebun Benih Semai Uji Keturunan (KBSUK) di Parung Panjang seluas 134,2 hektar yang dilengkapi dengan kantor/mess, rumah kaca, gudang benih, pompa air dan rumah jaga. f) Stasiun Kebun Penelitian dan Pendidikan di Rumpin seluas 50 hektar. 4.2 Stasiun Penelitian Nagrak 4.2.1
Prospektus
Salah satu fungsi Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP) adalah untuk mendukung pengelolaan sarana uji coba dan perakitan teknologi serta uji coba teknik perbenihan. Stasiun Penelitian Nagrak merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan fungsi di atas. Melalui kegiatan di stasiun ini akan dapat diperoleh teknologi mengenai persilangan terkendali, produksi stek dan pengelolaan limbah pertanian sebagai media pembibitan. Ketiga macam teknologi tersebut diarahkan untuk menunjang terwujudnya hutan berproduktivitas tinggi dalam bentuk Hutan Klon (Clonal Forestry). 4.2.2
Letak dan luas
Stasiun Penelitian Nagrak terletak di Desa Nagrak (sebelah Timur Kota Bogor), Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Posisi dari Stasiun Penelitian ini antara 106.0º 51.1’ 271” LS dan 06.0 º 36.1’ 74.1” BT. Luas Stasiun Penelitian sekitar 1 hektar dengan ketinggian tempat 200 m dpl dan curah hujan 2500 mm/tahun. Stasiun Penelitian Nagrak merupakan salah satu tempat pelaksanaan penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP). Dalam jangka panjang lokasi ini diarahkan untuk dapat berfungsi sebagai percontohan mengenai persilangan terkendali, kebun pangkas dari biji hasil persilangan terkendali (antar tetua teruji), kebun pangkas dari klon teruji, kebun pangkas tanaman langka, tanaman andalan dan tanaman cepat tumbuh (asal biji biasa), teknik perakaran dan pemeliharaan stek serta teknik persemaian dan pembibitan. Selain itu, stasiun penelitian juga difungsikan sebagai kebun pangkas untuk menghasilkan teknologi vegetatif (cangkok, okulasi, grafting dan stek). Uji coba pengelolaan kebun pangkas sedang dilaksanakan pada jenis Ulin (Eusideroxylon zwageri), Pulai (Alstonia scholaris), Pinus (Pinus merkusii),
Ramin (Gonystylus bancanus), Mahoni (Swietenia macrophylla), Hopea (Hopea odorata), Benuang Bini (Octomeles sumatrana), Merbau (Intsia bijuga), Jelutung
(Dyera costulata), Mimba (Azadirachta indica), Sentang (Azadirachta excelsa) dan Jabon (Anthocephalus cadamba). 4.2.3
Sarana penunjang
Sarana penunjang yang ada di Stasiun Penelitian Nagrak meliputi rumah perakaran stek model BTP ADH-1, persemaian permanen, ruang pembuatan kompos, ruang pencampuran media, sumber air, rumah tinggal pengelola kebun, kantor dan gudang beserta alat-alat yang menunjang seluruh kegiatan di Stasiun Penelitan Nagrak.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil
Data yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari beberapa parameter pertumbuhan bibit kenanga yang diukur dan diamati selama 3 bulan (mulai bibit kenanga berumur 0 BST sampai dengan 3 BST). Parameter pertumbuhan yang diukur meliputi tinggi bibit, diameter bibit, Nisbah Pucuk Akar (NPA), Bobot Kering Total (BKT) dan analisis kandungan hara dalam media. Sedangkan parameter berupa penampang akar hanya disajikan dalam bentuk deskriptif saja. Rekapitulasi hasil pengukuran dari parameter tinggi, diameter, NPA dan BKT di lapangan dapat dilihat pada Lampiran 2 sampai dengan Lampiran 5. Sedangkan, rekapitulasi hasil dari sidik ragam terhadap berbagai parameter pertumbuhan bibit kenanga dapat dilihat pada Tabel 4 dan Lampiran 6 sampai dengan Lampiran 13. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa faktor intensitas cahaya memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi bibit kenanga sejak berumur 1 BST hingga 3 BST dan BKT pada 3 BST. Penggunaan inang primer kriminil memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi (2 BST sampai dengan 3 BST), diameter (1 BST sampai dengan 3 BST) dan NPA bibit kenanga pada 3 BST. Sedangkan, jenis media memberikan pengaruh yang nyata terhadap seluruh parameter yang diukur, yakni tinggi, diameter, NPA dan BKT bibit kenanga sejak berumur 1 BST. Pada interaksi 2 faktor, interaksi antara intensitas cahaya dan penggunaan inang primer kriminil memberikan pengaruh yang nyata terhadap diameter bibit kenanga berumur 1 BST sampai dengan 2 BST. Interaksi antara intensitas cahaya dan jenis media memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi bibit kenanga umur 3 BST. Sedangkan, interaksi antara penggunaan inang primer kriminil dan jenis media memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi dan BKT bibit kenanga umur 3 BST serta diameter bibit kenanga mulai umur 1 BST. Interaksi antara ketiga faktor tidak ada yang menunjukkan pengaruh yang nyata pada seluruh parameter yang diamati.
Tabel 4 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh intensitas cahaya, pengggunaan inang primer kriminil dan jenis media beserta interaksinya terhadap tinggi, diameter, Nisbah Pucuk Akar (NPA) dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga F hitung
Peubah I
K
M
Interaksi I x K
Interaksi I x M
Interaksi K x M
Interaksi I x K x M
T (1 BST)
8,162*
3,013tn
13,703*
1,018tn
1,081tn
1,345tn
1,979tn
T (2 BST)
11,373*
3,595*
20,586*
1,415tn
1,534tn
0,962tn
1,000tn
T (3 BST)
18,371*
3,711*
53,309*
2,244tn
2,956*
4,118*
1,334tn
D (1 BST)
1,919tn
4,790*
6,806*
2,904*
1,075tn
7,806*
1,054tn
D (2 BST)
0,306tn
6,510*
1,172tn
3,264*
0,355tn
5,866*
1,091tn
D (3 BST)
0,592tn
3,289*
5,407*
1,273tn
1,519tn
5,071*
0,688tn
NPA
3,008tn
3,503*
7,011*
2,052tn
0,959tn
1,929tn
1,892tn
BKT
10,614*
0,007tn
7,207*
0,117tn
1,359tn
3,522*
0,515tn
Keterangan: T=Tinggi; D=Diameter; NPA=Nisbah Pucuk Akar; BKT=Bobot Kering Total; I=Intensitas Cahaya; K=Inang primer Kriminil; M=Jenis Media; tn = tidak nyata; *=nyata (p < 0,05); BST=Bulan Setelah Tanam
5.1.1
Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan bibit kenanga
Intensitas cahaya berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi bibit kenanga sejak berumur 1 BST sampai dengan 3 BST. Untuk melihat perbedaan yang nyata setiap taraf perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan yang hasilnya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5
Pengaruh intensitas cahaya terhadap rerata pertambahan tinggi bibit kenanga pada 1 BST, 2 BST dan 3 BST Rerata pertambahan tinggi (cm) padaPerlakuan 1 BST 2 BST 3 BST a b 0,67 1,41 2,24b I0 (0) (0) (0) b c 0,45 1,18 2,27b I1 (-32,84) (16,31) (1,34) a a 0,67 1,59 2,87a I2 (0) (12,77) (28,13)
Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% Angka dalam kurung pada kolom yang sama menunjukkan persentase pertambahan tinggi terhadap kontrol
Pada saat bibit mencapai umur 3 BST dapat dilihat bahwa bibit kenanga yang memberikan respon tinggi terbaik adalah pada intensitas cahaya 25% (I2) dengan rerata riap tinggi sebesar 2,87 cm atau meningkatkan rerata tinggi sekitar 28,13% dibanding kontrol. Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan yang nyata antara intensitas cahaya 25% (I2) dengan intensitas cahaya 45% (I1). Pada 3 BST dapat pula diamati bahwa kontrol/intensitas cahaya 100% (I0) memberikan respon tinggi yang terburuk dengan rerata riap tinggi sebesar 2,24 cm. Pada kondisi tersebut kontrol/intensitas cahaya 100% (I0) tidak berbeda nyata dengan intensitas cahaya 45% (I1) yang menghasilkan rerata riap tinggi sebesar 2,27 cm atau meningkatkan rerata tinggi sekitar 1,34%. Agar lebih jelasnya pengaruh yang diberikan oleh setiap taraf intensitas cahaya terhadap pertambahan tinggi bibit kenanga dapat dilihat pada Gambar 3. Pada gambar tersebut akan dapat diamati bahwa intensitas cahaya 25% (I2) secara umum memberikan riap tinggi yang cenderung terus meningkat dibanding perlakuan intensitas cahaya 100% (I0) dan intensitas cahaya 45% (I1).
12,000 10,000
Tinggi (cm)
8,000
I0 I1 I2
6,000 4,000 2,000 0,000 0 BST
1 BST
2 BST
3 BST
Umur Bibit (Bulan)
Gambar 3
Grafik pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan tinggi bibit kenanga.
Jika dilihat secara visual (Gambar 4), bibit kenanga yang diberikan perlakuan intensitas cahaya 25% (I2) memiliki penampilan fisik yang lebih baik dibanding intensitas cahaya 100% (I0) dan intensitas cahaya 45% (I1). I0
I2
I1
Gambar 4 Pertumbuhan bibit kenanga pada berbagai intensitas cahaya. Ket: (I0) Intensitas cahaya 100%; (I1) Intensitas cahaya 45%; dan (I2) Intensitas cahaya 25%. Untuk parameter diameter bibit, perlakuan intensitas cahaya pada 1 BST hingga 3 BST tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter bibit kenanga (Gambar 5). Begitu pula halnya dengan Nisbah Pucuk Akar (NPA), perlakuan intensitas cahaya pada 3 BST tidak berpengaruh nyata terhadap nilai NPA bibit kenanga.
2.500
Diameter (mm)
2.000
1.500
I0 I1 I2
1.000
0.500 0.000 0 BST
1 BST
2 BST
3 BST
Umur (Bulan)
Gambar 5
Grafik pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan diameter bibit kenanga.
Terhadap Bobot Kering Total (BKT), perlakuan intensitas cahaya berpengaruh nyata pada 3 BST. Untuk melihat perbedaan yang nyata setiap taraf perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan yang hasilnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6
Pengaruh penggunaan intensitas cahaya terhadap rerata Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga pada 3 BST Perlakuan Rerata (gram) Peningkatan terhadap kontrol (%) I0 0,1173b 0 a I1 0,1954 66,58 I2 0,1937a 65,13
Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Pada saat bibit mencapai umur 3 BST dapat dilihat bahwa bibit kenanga yang menghasilkan rerata BKT tertinggi adalah pada intensitas cahaya 45% (I1) dengan rerata BKT sebesar 0,1954 gram atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 66,58%. Namun demikian, intensitas cahaya 45% (I1) pada dasarnya tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan intensitas cahaya 25% (I2) yang menghasilkan rerata BKT sebesar 0,1937 gram atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 65,13%. Pada 3 BST dapat pula diamati bahwa kontrol/intensitas cahaya 100% (I0) menghasilkan rerata BKT terendah, yakni sebesar 0,1173 gram. Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan yang nyata antara kontrol/intensitas cahaya 100% (I0) dengan intensitas cahaya 45% (I1) dan intensitas cahaya 25% (I2).
5.1.2
Pengaruh penggunaan inang primer kriminil terhadap pertumbuhan bibit kenanga
Untuk parameter tinggi bibit, penggunaan inang primer kriminil pada 1 BST tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi bibit kenanga. Pengaruh yang nyata mulai terlihat pada saat bibit mencapai umur 2 BST hingga 3 BST. Akan tetapi, pengaruh yang ditunjukkan pada 2 BST hingga 3 BST ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Artinya, penggunaan inang primer kriminil yang pada awalnya diharapkan dapat menstimulasi pertumbuhan bibit kenanga secara keseluruhan, justru menyebabkan penurunan riap tinggi dari bibit kenanga dibandingkan dengan kontrol (Tabel 7). Tabel 7 Pengaruh penggunaan inang primer kriminil terhadap pertambahan tinggi bibit kenanga pada 2 BST dan 3 BST Rerata pertambahan tinggi (cm) padaPerlakuan 2 BST 3 BST 1,50a 2,64a K0 (0) (0) 1,27b 2,35b K1 (-15,33) (-10,98) 1,42ab 2,38b K2 (-5,33) (-9,85) Keterangan:
rerata
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% Angka dalam kurung pada kolom yang sama menunjukkan persentase pertambahan tinggi terhadap kontrol
Dari tabel dapat dilihat bahwa penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1) tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan penggunaan inang primer kriminil 2 batang (K2), akan tetapi keduanya memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol (K0). Pada 3 BST, bibit kenanga tanpa penggunaan inang primer kriminil (K0) memberikan respon tinggi yang terbaik dengan rerata riap tinggi sebesar 2,64 cm, sedangkan penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1) dan 2 batang (K2) justru menurunkan riap tinggi bibit kenanga sekitar 9,85% (rerata riap tinggi 2,35 cm) dan 10,98% (rerata riap tinggi 2,38 cm) dibandingkan dengan kontrol. Apabila dilihat secara visual (Gambar 6), bibit kenanga tanpa penggunaan inang primer kriminil (K0) memiliki penampilan fisik yang lebih baik dibanding penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1) dan 2 batang (K2).
K2 K0
K1
Gambar 6 Pertumbuhan bibit kenanga pada berbagai penggunaan inang primer kriminil. Ket: (K0) Tanpa penggunaan inang primer kriminil; (K1) Penggunaan inang primer kriminil 1 batang; dan (K2) Penggunaan inang primer kriminil 2 batang. Untuk parameter diameter bibit, penggunaan inang primer kriminil berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter bibit kenanga sejak berumur 1 BST hingga 3 BST. Perbedaan yang nyata dari setiap taraf perlakuan dapat dilihat pada hasil uji lanjut Duncan yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Pengaruh penggunaan inang primer kriminil terhadap rerata pertambahan diameter bibit kenanga pada 1 BST, 2 BST dan 3 BST Rerata pertambahan diameter (mm) padaPerlakuan 1 BST 2 BST 3 BST a a 0,1974 0,5185 0,7368a K0 (0) (0) (0) a a 0,2045 0,4930 0,7423a K1 (3,60) (-4,92) (0,75) b b 0,1563 0,4470 0,6708b K2 (-20,82) (-13,79) (-8,96) Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% Angka dalam kurung pada kolom yang sama menunjukkan persentase pertambahan diameter terhadap kontrol
Pada 1, 2 dan 3 BST penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1) memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (K0), namun keduanya berbeda nyata dengan penggunaan inang primer kriminil 2 batang (K2). Dari data yang disajikan dapat diketahui bahwa pada bibit kenanga berumur 1 BST dan 3 BST, penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1) memperlihatkan pengaruh yang lebih baik dalam meningkatkan rerata riap diameter, yakni masingmasing sebesar 0,2045 mm dan 0,7423 mm atau meningkatkan rerata diameter
sekitar 3,60% dan 0,75%. Akan tetapi, penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1) pada dasarnya tidak berbeda nyata dengan kontrol (K0) yang menghasilkan rerata riap diameter masing-masing sebesar 0,1974 mm dan 0,7368 mm. Kondisi sebaliknya terjadi pada perlakuan penggunaan inang primer kriminil 2 batang (K2). Pada perlakuan tersebut rerata riap diameter yang dihasilkan pada 1 BST hingga 3 BST paling rendah dibanding perlakuan lainnya, yaitu sebesar 0,1563 mm, 0,4470 mm dan 0,6708 mm atau menurunkan rerata diameter sekitar 20,82%, 13,79% dan 8,96%. Penggunaan inang primer kriminil juga berpengaruh nyata terhadap nilai Nisbah Pucuk Akar (NPA) bibit kenanga pada 3 BST. Perbedaan yang nyata dari setiap taraf perlakuan dapat dilihat pada hasil uji lanjut Duncan yang disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Pengaruh penggunaan inang primer kriminil terhadap rerata Nisbah Pucuk Akar (NPA) bibit kenanga pada 3 BST Perlakuan Rerata Peningkatan terhadap kontrol (%) ab K0 1,5261 0 K1 1,4564b -4,57 K2 1,7481a 14,55 Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Pada saat bibit mencapai umur 3 BST penggunaan inang primer kriminil 2 batang (K2) memberikan rerata NPA yang tertinggi, yakni sebesar 1,7481 atau mengalami peningkatan terhadap kontrol (K0) sekitar 14,55%. Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan yang nyata antara penggunaan inang primer kriminil 2 batang (K2) dengan penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1) yang menghasilkan rerata NPA terendah sebesar 1,4564 atau mengalami penurunan terhadap kontrol sebesar 4,57%. Untuk parameter Bobot Kering Total (BKT), pada 3 BST penggunaan inang primer kriminil tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan BKT bibit kenanga. 5.1.3
Pengaruh jenis media terhadap pertumbuhan bibit kenanga
Jenis media berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi bibit kenanga sejak berumur 1 BST sampai dengan 3 BST. Untuk melihat perbedaan yang nyata
setiap taraf perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan yang hasilnya disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Pengaruh jenis media terhadap rerata pertambahan tinggi bibit kenanga pada 1 BST, 2 BST dan 3 BST Rerata pertambahan tinggi (cm) padaPerlakuan 1 BST 2 BST 3 BST a a 0,78 1,70 2,67b M0 (0) (0) (0) 0,50b 1,32b 2,93a M1 (-35,90) (-22,35) (9,74) 0,52b 1,17b 1,78c M2 (33,33) (-31,18) (-33,33) Keterangan: Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata dalam pada selang kepercayaan 95% Angka dalam kurung pada kolom yang sama menunjukkan persentase pertambahan tinggi terhadap kontrol
Pada 3 BST, jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) serta jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2) pada 1 BST hingga 3 BST menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) mulai terlihat berbeda nyata terhadap jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2) pada saat bibit mencapai umur 3 BST. Pada masa ini perlakuan yang menunjukkan respon tinggi terbaik adalah pada jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) dengan rerata riap tinggi sebesar 2,93 cm yang berarti meningkatkan rerata tinggi sekitar 9,74% dibandingkan kontrol. Sebaliknya, jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2) justru menurunkan rerata riap tinggi bibit kenanga dibandingkan dengan kontrol sekitar 33,33% (rerata riap tinggi 1,78 cm). Jika dilihat secara visual (Gambar 7), bibit kenanga dengan jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) memiliki penampilan fisik yang lebih baik dibanding jenis media tanah/kontrol (M0) dan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2).
M2
M0 M1
Gambar 7
Pertumbuhan bibit kenanga pada berbagai jenis media. Ket: (M0) Jenis media tanah; (M1) Jenis media campuran tanah dan sekam padi; dan (M2) Jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa.
Untuk parameter diameter bibit, jenis media berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter bibit kenanga pada 1 BST dan 3 BST. Untuk melihat perbedaan yang nyata setiap taraf perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan yang hasilnya disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Pengaruh jenis media terhadap rerata pertambahan diameter bibit kenanga pada 1 BST dan 3 BST Rerata pertambahan diameter (mm) padaPerlakuan 1 BST 3 BST a 0,2210 0,6882b M0 (0) (0) b 0,1617 0,7755a M1 (-26,83) (12,68) b 0,1755 0,6863b M2 (-20,59) (-0,28) Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% Angka dalam kurung pada kolom yang sama menunjukkan persentase pertambahan diameter terhadap kontrol
Pada 3 BST, jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kontrol (M0) dan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2). Dari data yang disajikan di atas dapat diamati bahwa respon diameter terbaik terjadi pada bibit yang menggunakan jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) dengan rerata riap diameter tertinggi sebesar 0,7755 mm atau meningkatkan rerata diameter sekitar 12,68% dibandingkan kontrol.
Kondisi sebaliknya terjadi pada bibit kenanga yang menggunakan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2) dengan rerata riap diameter sebesar 0,6863 mm atau mengalami penurunan rerata pertambahan diameter sekitar 0,28% dibandingkan dengan kontrol. Dari rerata riap diameter yang dihasilkan akan dapat dilihat bahwa perlakuan M2 tidak berbeda nyata dengan kontrol/jenis media tanah (M0) yang memberikan rerata riap diameter sebesar 0,6882 mm. Jenis media juga berpengaruh nyata terhadap nilai Nisbah Pucuk Akar (NPA) bibit kenanga pada 3 BST. Perbedaan yang nyata dari setiap taraf perlakuan dapat dilihat pada hasil uji lanjut Duncan yang disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Pengaruh jenis media terhadap rerata Nisbah Pucuk Akar (NPA) bibit kenanga pada 3 BST Perlakuan Rerata Peningkatan terhadap kontrol (%) b M0 1,4120 0 M1 1,8208a 28,95 M2 1,4980b 6,09 Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Pada 3 BST, jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) memberikan rerata NPA yang tertinggi dibanding perlakuan lainnya, yakni sebesar 1,8208 atau mengalami peningkatan terhadap kontrol (M0) sekitar 28,95%. Kondisi tersebut sekaligus menunjukkan perbedaan yang nyata antara jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) dengan kontrol/jenis media tanah (M0) yang menghasilkan rerata NPA terendah sebesar 1,4120. Akan tetapi, jika dilihat dari rerata NPA yang dapat dihasilkan oleh kontrol/jenis media tanah (M0) terlihat bahwa perlakuan M0 tersebut tidak berbeda nyata dengan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2) yang menghasilkan rerata NPA sebesar 1,4980 atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 6,09%. Selain tinggi, diameter dan Nisbah Pucuk Akar (NPA), jenis media juga berpengaruh nyata terhadap pertambahan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga pada 3 BST. Untuk melihat perbedaan yang nyata setiap taraf perlakuan dilakukan uji lanjut Duncan yang hasilnya disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Pengaruh jenis media terhadap rerata Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga pada 3 BST Perlakuan Rerata (gram) Peningkatan terhadap kontrol (%) M0 0,1716a 0 a M1 0,2041 18,94 M2 0,1307b -23,83 Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Dari tabel dapat dilihat bahwa bibit kenanga yang menghasilkan rerata BKT tertinggi adalah pada perlakuan jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1), yakni sebesar 0,2041 gram atau mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 18,94%. Akan tetapi, perlakuan M1 ini pada dasarnya tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan kontrol/jenis media tanah (M0) yang menghasilkan rerata BKT sebesar 0,1716 gram. Kondisi sebaliknya justru terjadi pada perlakuan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2). Perlakuan M2 yang digunakan memberikan hasil rerata BKT yang berbeda nyata dengan perlakuan M1 dan M0, yaitu menghasilkan rerata BKT terendah sebesar 0,1307 gram atau menurunkan rerata BKT sekitar 23,83% dibandingkan dengan kontrol. 5.1.4
Pengaruh interaksi perlakuan intensitas cahaya, penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap pertumbuhan bibit kenanga
Pada saat bibit kenanga berumur 3 BST, interaksi dari ketiga faktor tidak ada yang menunjukkan pengaruh yang nyata pada berbagai parameter yang diamati. Pengaruh yang nyata hanya ditemukan pada interaksi antara dua faktor, yakni interaksi antara faktor intensitas cahaya dengan jenis media (pada parameter tinggi) serta faktor penggunaaan inang primer kriminil dengan jenis media (pada parameter tinggi, diameter dan BKT). Interaksi antara faktor intensitas cahaya dengan jenis media pada parameter tinggi dapat dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 14. Pada 3 BST, interaksi perlakuan I2M0 (penggunaan jenis media tanah pada intensitas cahaya 25%) memberikan hasil rerata riap tinggi yang terbaik, yakni 3,23 cm atau mengalami peningkatan rerata tinggi sekitar 32,92% dibandingkan dengan kontrol. Akan tetapi, interaksi perlakuan I2M0 pada dasarnya tidak berbeda nyata dengan I2M1 (penggunaan jenis media campuran tanah dan sekam padi pada
intensitas cahaya 25%) dan I1M1 (penggunaan jenis media campuran tanah dan sekam padi pada intensitas cahaya 45%) yang memberikan hasil rerata riap tinggi masing-masing sebesar 3,05 cm dan 3,02 cm atau mengalami peningkatan rerata tinggi sekitar 25,51% dan 24,28%. Kondisi sebaliknya justru terjadi pada interaksi perlakuan I1M2 (penggunaan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa pada intensitas cahaya 45%) yang memberikan rerata riap tinggi terburuk sebesar 1,43 cm atau mengalami penurunan rerata tinggi sekitar 41,15%. Akan tetapi, interaksi perlakuan I1M2 tidak berbeda nyata dengan I0M2 (penggunaan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa pada intensitas cahaya 100%) yang memberikan hasil rerata riap tinggi sebesar 1,57 cm atau menurunkan rerata tinggi sekitar 35,39% dibandingkan dengan kontrol. Tabel 14 Pengaruh interaksi perlakuan intensitas cahaya dan jenis media terhadap rerata pertambahan tinggi bibit kenanga pada 3 BST Pertambahan/Peningkatan Perlakuan Rerata (cm) terhadap kontrol (%) I0M0 2,43c 0 bc I0M1 2,72 11,93 I0M2 1,57d -35,39 I1M0 2,35c -3,29 I1M1 3,02ab 24,28 I1M2 1,43d -41,15 I2M0 3,23a 32,92 ab I2M1 3,05 25,51 I2M2 2,33c -4,12 Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Untuk interaksi antara faktor penggunaaan inang primer kriminil dengan jenis media pada parameter tinggi dapat dilihat pada Tabel 15 dan Lampiran 15. Pada interaksi perlakuan penggunaan inang primer kriminil dan jenis media (3 BST) dapat diamati bahwa perlakuan K0M1 (jenis media campuran tanah dan sekam padi tanpa penggunaan inang primer kriminil) menghasilkan rerata riap tinggi yang terbaik dan berbeda nyata dibanding interaksi perlakuan lainnya, yakni meningkatkan rerata riap tinggi sebesar 3,41 cm atau meningkatkan rerata tinggi sekitar 32,17%. Sedangkan, interaksi perlakuan K1M2 (penggunaan inang primer kriminil 1 batang pada jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa) menghasilkan rerata riap tinggi terburuk sebesar 1,53 atau
mengalami penurunan rerata tinggi sekitar 40,70%. Rerata tinggi yang dihasilkan oleh interaksi perlakuan K1M2 tersebut tidak berbeda nyata dengan K2M2 (penggunaan inang primer kriminil 2 batang pada jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa) dan K0M2 (jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa tanpa penggunaan inang primer kriminil) yang menghasilkan rerata riap tinggi masing-masing sebesar 1,87 cm dan 1,93 cm atau mengalami penurunan rerata tinggi sekitar 27,52% dan 25,19% dibandingkan dengan kontrol. Tabel 15 Pengaruh interaksi perlakuan penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap rerata pertambahan tinggi bibit kenanga pada 3 BST Pertambahan/Peningkatan Perlakuan Rerata (cm) terhadap kontrol (%) K0M0 2,58b 0 a K0M1 3,41 32,17 K0M2 1,93c -25,19 K1M0 2,70b 4,65 b K1M1 2,83 9,69 K1M2 1,53c -40,70 K2M0 2,73b 5,81 K2M1 2,55b -1,16 K2M2 1,87c -27,52 Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Untuk interaksi antara faktor penggunaaan inang primer kriminil dengan jenis media pada parameter diameter dapat dilihat pada Tabel 16 dan Lampiran 16-18. Pada 3 BST, interaksi perlakuan K1M1 (penggunaan inang primer kriminil 1 batang pada jenis media campuran tanah dan sekam padi) menghasilkan rerata riap diameter tertinggi, yaitu 0,8090 mm atau meningkatkan rerata diameter sekitar 24,42%. Namun demikian, interaksi perlakuan K1M1 terlihat tidak berbeda nyata dengan K0M2 (tanpa penggunaan inang primer kriminil pada jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa), K1M0 (penggunaan inang primer kriminil 1 batang pada jenis media tanah), K0M1 (tanpa penggunaan inang primer kriminil pada jenis media campuran tanah dan sekam padi) dan K2M1 (penggunaan inang primer kriminil 2 batang pada jenis media campuran tanah dan sekam padi) yang menghasilkan rerata riap diameter berturut-turut sebesar 0,7987
mm, 0,7961 mm, 0,7617 mm dan 0,7559 mm atau meningkatkan rerata diameter sekitar 24,42%, 22,84%, 22,44% dan 16,26%. Kondisi sebaliknya terjadi pada interaksi perlakuan K2M0 (penggunaan inang primer kriminil 2 batang pada jenis media tanah) yang menghasilkan rerata riap diameter terendah sebesar 0,6182 mm atau mengalami penurunan sekitar 4,92% dibandingkan kontrol. Rerata diameter yang ditunjukkan oleh interaksi perlakuan K2M0 ini tidak berbeda nyata dengan K1M2 (penggunaan inang primer kriminil 1 batang pada jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa), K2M2 (penggunaan inang primer kriminil 2 batang pada jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa) dan K0M0 (jenis media tanah tanpa penggunaan inang primer kriminil) yang menghasilkan rerata riap diameter 0,6218 mm, 0,6384 mm dan 0,6502 mm atau mengalami penurunan rerata diameter sekitar 4,37% dan 1,81% dibandingkan dengan kontrol. Tabel 16 Pengaruh interaksi perlakuan penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap rerata pertambahan diameter bibit kenanga pada 1 BST, 2 BST dan 3 BST Rerata pertambahan diameter (mm) padaPerlakuan 1 BST 2 BST 3 BST K0M0 0,2188bc 0,5271abc 0,6502bc (0) (0) (0) K0M1 0,1349d 0,4701cde 0,7617ab (-38,34) (-10,81) (17,15) ab ab K0M2 0,2385 0,5581 0,7987a (9,00) (5,88) (22,84) a a K1M0 0,2909 0,5671 0,7961a (32,95) (7,59) (22,44) cd cde K1M1 0,1625 0,4526 0,8090a (-25,73) (-14,13) (24,42) cd cde K1M2 0,1603 0,4592 0,6218c (-26,74) (-12,88) (-4,37) d e K2M0 0,1534 0,4124 0,6182c (-29,89) (-21,76) (-4,92) K2M1 0,1877bcd 0,4921bcd 0,7559ab (-14,21) (-6,64) (16,26) K2M2 0,1277d 0,4367de 0,6384c (-41,64) (-17,15) (-1,81) Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% Angka dalam kurung pada kolom yang sama menunjukkan persentase pertambahan diameter terhadap kontrol
Untuk interaksi antara faktor penggunaaan inang primer kriminil dengan jenis media pada parameter Bobot Kering Total (BKT) dapat dilihat pada Tabel 17 dan Lampiran 19. Pada interaksi perlakuan penggunaan inang primer kriminil dan jenis media, diperoleh data bahwa perlakuan K0M1 (jenis media campuran tanah dan sekam padi tanpa penggunaan inang primer kriminil) menghasilkan rerata BKT yang tertinggi, yakni sebesar 0,2557 gram dengan peningkatan rerata BKT terhadap kontrol mencapai 98,06%. Rerata BKT yang dihasilkan tersebut berbeda nyata dengan seluruh perlakuan lainnya. Sebaliknya, interaksi perlakuan K0M2 (jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa tanpa penggunaan inang primer kriminil) menghasilkan rerata BKT yang terendah, yakni sebesar 0,1232 gram atau mengalami penurunan sekitar 4,57% dibandingkan dengan kontrol. Jika dilihat dari rerata BKT yang dapat dihasilkan akan terlihat bahwa perlakuan K0M2 tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan K0M0 dan K1M2 yang memberikan rerata BKT berturut-turut sebesar 0,1291 gram dan 0,1312 gram. Tabel 17 Pengaruh interaksi perlakuan penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap rerata Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga pada 3 BST Perlakuan Rerata Peningkatan terhadap kontrol (%) c K0M0 0,1291 0 K0M1 0,2557a 98,06 K0M2 0,1232c -4,57 K1M0 0,1759bc 36,25 K1M1 0,1953abc 51,28 K1M2 0,1312c 1,63 ab K2M0 0,2097 62,43 K2M1 0,1613bc 24,94 K2M2 0,1377bc 6,66 Keterangan:
Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Terhadap parameter Nisbah Pucuk Akar (NPA), interaksi antara beberapa faktor, baik 2 faktor maupun 3 faktor tidak ada yang menunjukkan pengaruh yang nyata pada parameter NPA yang diamati.
5.1.5
Kandungan hara dalam media
Tabel 18 Hasil analisis kandungan hara media pada awal pengamatan Jenis Media
Tekstur Pasir
Debu (%)
Liat
M0
10,65
19,70
69,65
M1
10,01
27,07
62,92
M2
13,02
29,67
57,31
Keterangan:
pH 1:1
KB
H2O 4,85 (M) 4,65 (M) 4,90 (M)
(%) 34,51 (R) 44,36 (S) 57,52 (T)
N NH4OAc pH 7,0 KTK (me/100 g)
Walkley & Black C-org (%)
10,23 (R)
2,18 (S)
0,18 (R)
13,91 (R)
3,05 (T)
0,20 (R)
18,74 (S)
2,25 (S)
0,19 (R)
Kjeldhal N-Total (%)
C/N ratio 12,11 (S) 15,25 (S) 11,84 (S)
Bray I P (ppm) 0,8 (SR) 1,3 (SR) 0,8 (SR)
N NH4OAc N KCl pH 7,0 K Al (me/100 g)
0,05 N HCl Fe
Cu
Zn (ppm)
Mn
0,31 (R)
1,28
3,36
4,16 3,76
11,24
1,25 (ST)
0,15
2,12
3,28
3,60
59,32
4,35 (ST)
tr
4,72
3,28
6,20
80,12
M0 (media tanah/Top Soil murni); M1 (media campuran tanah dan sekam padi); dan M2 (media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa); SR (sangat rendah); R (rendah); S (sedang); T (tinggi); dan ST (sangat tinggi) Penilaian SR/R/S/T/ST pada unsur macronutrient didasarkan pada pedoman pengharkatan yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat
Tabel 19 Hasil analisis kandungan hara media pada akhir pengamatan Jenis Media M0 pada K0 M0 pada K1 M0 pada K2 M1 pada K0 M1 pada K1 M1 pada K2 M2 pada K0 M2 pada K1 M2 pada K2 Keterangan:
Walkley & Black C-org (%) 0,65 (SR) 0,77 (SR) 0,78 (SR) 1,72 (R) 2,04 (S) 2,69 (S) 4,24 (S) 4,08 (S) 4,81 (S)
Kjeldhal N-Total (%) 0,08 (SR) 0,08 (SR) 0,09 (SR) 0,12 (R) 0,13 (R) 0,15 (R) 0,17 (R) 0,16 (R) 0,18 (R)
C/N ratio 8,13 (R) 9,63 (R) 8,67 (R) 14,33 (S) 15,69 (S) 17,93 (T) 24,94 (T) 25,50 (ST) 26,72 (ST)
Bray I P (ppm) 5,1 (SR) 3,1 (SR) 3,1 (SR) 4,4 (SR) 3,1 (SR) 4,8 (SR) 3,2 (SR) 2,9 (SR) 3,7 (SR)
N NH4OAc pH 7,0 K (me/100 g) 0,22 (R) 0,51 (S) 0,36 (R) 0,93 (T) 0,72 (T) 1,12 (ST) 3,05 (ST) 2,13 (ST) 2,68 (ST)
N KCl Al (me/100 g) 0,16 0,32 0,44 tr tr tr tr tr tr
Fe 3,75 4,00 3,76 4,40 5,56 4,04 8,04 4.92 5,22
0,05 N HCl Zn (ppm) 4,43 4,60 4,04 5,00 5,72 5,32 5,08 5,64 4,40
Mn 33,76 23,12 32,60 38,96 46,20 43,92 102,84 93,08 48,20
M0 (media tanah/Top Soil murni); M1 (media campuran tanah dan sekam padi); M2 (media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa); K0 (tanpa penggunaan inang primer kriminil); K1 (penggunaan inang primer kriminil 1 batang); K2 (penggunaan inang primer kriminil 2 batang; SR (sangat rendah); R (rendah); S (sedang); T (tinggi); dan ST (sangat tinggi) Penilaian SR/R/S/T/ST pada unsur macronutrient didasarkan pada pedoman pengharkatan yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat
Berdasarkan hasil analisa tanah yang telah dilakukan terlihat bahwa kandungan hara dalam media pada awal dan akhir pengamatan menunjukkan hasil yang saling berbeda. Setelah ditanami kenanga dan inang primer kriminil beberapa unsur mengalami perubahan kandungan, baik berupa peningkatan maupun penurunan kandungan unsur. Dari Tabel 18 dan 19 secara umum dapat dilihat kandungan jenis media yang digunakan dalam percobaan ini hampir seluruhnya berada dalam kondisi yang kurang mendukung untuk pertumbuhan tanaman. Pada awal pengamatan jenis media tanah (M0), media campuran tanah dan sekam padi (M1) dan media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2) memiliki pH yang tergolong masam, yakni masing-masing sebesar 4,85; 4,65 dan 4,90. Kejenuhan Basa tergolong rendah sampai tinggi. Jenis media tanah (M0), media campuran tanah dan sekam padi (M1) dan media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2) memiliki KB masing-masing 34,51 (rendah); 44,36 (sedang) dan 57,52 (tinggi). Sedangkan KTK rendah sampai sedang dengan tekstur yang dominan liat (> 50%). Jenis media tanah (M0), media campuran tanah dan sekam padi (M1) dan media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2) memiliki KTK masing-masing 10,23 (rendah); 13,91 (rendah) dan 18,74 (sedang). Media dengan KTK yang tinggi mempunyai daya menyimpan unsur hara yang tinggi, sehingga sangat penting untuk kesuburan tanah (Hardjowigeno 1993). Dari hasil analisis yang dilakukan pada awal pengamatan terlihat bahwa jenis media tanah mengandung 2,18% C organik (sedang); 0,18% N total (rendah); C/N ratio 12,11 (sedang); 0,8 ppm P (sangat rendah); 0,31 me/100g K (rendah); 1,28 me/100g Al; 3,36 ppm Fe; 3,76 ppm Zn; dan 11,24 ppm Mn. Jenis media campuran tanah dan sekam padi mengandung 3,05% C organik (tinggi); 0,20% N total (rendah); C/N ratio 15,25 (sedang); 1,3 ppm P (sangat rendah); 1,25 me/100g K (sangat tinggi); 0,15 me/100g Al; 2,12 ppm Fe; 3,60 ppm Zn; dan 59,32 ppm Mn. Jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa mengandung 2,25% C organik (sedang); 0,19% N total (rendah); C/N ratio 11,84 (sedang); 0,8 ppm P (sangat rendah); 4,35 me/100g K (sangat tinggi); 4,72 ppm
Fe; 6,20 ppm Zn; dan 80,12 ppm Mn. Adapun standar yang digunakan dalam pengharkatan kandungan unsur kimia dan sifat fisik media mengacu pada kriteria yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor (Lampiran 20). Pada akhir pengamatan (setelah media ditanami kenanga dan kriminil) terjadi perubahan kandungan unsur media. Secara umum dapat diamati jenis media tanah mengalami peningkatan kandungan pada unsur P, K, Fe, Zn dan Mn, namun mengalami penurunan kandungan pada unsur C-org, N dan Al. Sedangkan jenis media campuran tanah dan sekam padi mengalami peningkatan kandungan pada unsur P, Fe dan Zn, namun mengalami penurunan kandungan pada unsur Corg, N, K, Al dan Mn. Adapun jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa mengalami peningkatan kandungan pada unsur C-org, P, Fe dan Mn, namun mengalami penurunan kandungan pada unsur N, K, Al, dan Zn. Nitrogen merupakan unsur yang paling banyak dibutuhkan oleh tanaman selama masa pertumbuhannya. Penurunan unsur N pada jenis media tanah (M0) terlihat paling drastis dibandingkan jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) dan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2). Sedangkan, jika ditinjau dari penggunaan inang primer kriminil, menurunnya kandungan N pada media (M0, M1 dan M2) yang ditanami bibit kenanga dan inang primer kriminil secara bersama tidak sebanyak pada media yang hanya ditanami bibit kenanga saja. Walaupun, jika dilihat dari angka penurunan yang dicapai media yang ditanami bibit kenanga dan inang primer kriminil secara bersama tidak begitu berbeda nyata dibandingkan dengan media yang hanya ditanami bibit kenanga saja. 5.1.6
Penampang akar
Pengambilan data penampang akar dilaksanakan pada akhir pengamatan dengan mendokumentasikan penampang akar yang dibersihkan sebagian media tumbuhnya. Data penampang akar diambil untuk melihat pertumbuhan dan arah perkembangan akar bibit kenanga. Dari hasil pengamatan secara visual terhadap pertumbuhan akar bibit kenanga terlihat suatu kecenderungan bahwa akar bibit yang ditumbuhkan pada jenis media tanah (M0), akar primernya berkembang lebih pesat (besar dan
panjang) dibanding media lainnya, sedangkan jenis media campuran tanah sekam padi (M1) menghasilkan pertumbuhan akar primer dan sekunder yang paling sedikit (pendek). Adapun pada jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2) bagian akar yang berkembang lebih pesat justru pada akar sekundernya. Perbedaan panjang akar primer dan akar sekunder yang terbentuk pada ketiga media lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 8.
A
Gambar 8
B
C
Perakaran bibit kenanga pada berbagai media tumbuh. Ket: (A) Jenis media M0; (B) Jenis media M1; (C) Jenis media M2.
Selain itu juga ditemukan kecenderungan bahwa akar bibit kenanga yang mendapat perlakuan penggunaan inang primer kriminil (K1 dan K2) menunjukkan pertumbuhan yang lebih pesat dibandingkan yang tidak mendapat perlakuan penggunaan inang primer kriminil (K0). Hal tersebut dapat dilihat dari panjang akar primer dan akar sekunder yang dapat dibentuk oleh ketiga perlakuan penggunaan inang primer kriminil tersebut. Akar bibit kenanga yang mengalami pertumbuhan paling pesat (akar primer dan sekunder) adalah pada perlakuan penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1). Sebaliknya, penggunaan inang primer kriminil 2 batang menghasilkan pertumbuhan akar primer dan sekunder yang paling sedikit (pendek). Perbedaan panjang akar primer dan akar sekunder yang terbentuk pada ketiga perlakuan penggunaan inang primer kriminil lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 9.
A
Gambar 9
B
C
Perakaran bibit kenanga pada berbagai penggunaan inang primer kriminil. Ket: (A) Tanpa inang primer kriminil/K0; (B) Inang primer kriminil 1 batang/K1; (C) Inang primer kriminil 2 batang/K2.
Sedangkan
dari
hasil
pengamatan
secara
visual
terhadap
arah
perkembangan akar bibit kenanga terlihat kecenderungan perakaran bibit kenanga tumbuh dan berkembang menuju ke arah perakaran kriminil (Gambar 10). Akar Kriminil
Akar kenanga
Akar kenanga
Akar kenanga
Akar Kriminil
(A)
(B)
(C)
Gambar 10 Arah perkembangan akar bibit kenanga. Ket: (A) Tanpa inang primer kriminil/K0; (B) Inang primer kriminil 1 batang/K1; (C) Inang primer kriminil 2 batang/K2. 5.2 Pembahasan
Secara umum selama pelaksanaan penelitian (bulan Juni-November) kondisi cuaca di tempat penelitian tergolong panas/kering, terutama pada awal kegiatan penanaman. Curah hujan yang tinggi baru terjadi di akhir kegiatan penanaman Dari hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara yang dilakukan
pada unit pengamatan (naungan) di lapangan, diperoleh data rata-rata suhu dan kelembaban relatif sebagaimana yang tersaji pada Tabel 20. Tabel 20 Kondisi lingkungan unit pengamatan (naungan) Intensitas Cahaya Suhu (º) Kelembaban Relatif (%) 100% (tanpa shading net) 30,5 90 45% (shading net 55%) 30,4 85,4 25% (shading net 75%) 29,0 95,2 Menurut Suratman dan Kappuw (2002), sinar matahari yang cukup dengan temperatur 25-30 ºC serta curah hujan antara 1500-3000 mm/tahun sangat cocok untuk tanaman ini. Berdasarkan data di atas jelas naungan 75% merupakan kondisi yang paling optimal untuk mendukung pertumbuhan bibit kenanga. 5.2.1
Pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan bibit kenanga
Hingga bibit berumur 3 BST intensitas cahaya berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati, baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan
atau pengaruh perlakuan yang diterapkan. Hal ini
didasarkan atas kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat. Sebagai parameter pengukur pengaruh lingkungan, tinggi tanaman sensitif terhadap faktor lingkungan tertentu seperti cahaya. Peningkatan pertumbuhan pada parameter tinggi dapat disebabkan oleh peranan cahaya sebagai sumber energi untuk reaksi anabolik yang akan mempengaruhi laju fotosintesis. Menurut Gardner et al. (1991), cahaya berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan batang. Pemberian naungan cenderung akan
meningkatkan
auksin
yang
pada
akhirnya
berpengaruh
terhadap
pemanjangan ruas batang sehingga batang akan lebih terentang/lebih panjang. Oleh karena itu, tanaman yang mengalami kekurangan cahaya biasanya lebih tinggi daripada tanaman yang mendapat cahaya cukup (Sitompul & Guritno 1995). Secara umum pada umur 3 BST bibit kenanga yang menunjukkan respon tinggi terbaik adalah pada taraf intensitas cahaya 25% (I2) dan terburuk pada taraf intensitas cahaya 100% (I0). Berdasarkan keterangan tersebut dapat dikatakan
bahwa kenanga termasuk kedalam kelompok tanaman yang membutuhkan naungan dalam masa hidupnya (tidak tahan cahaya). Intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban yang relatif tinggi diduga mengakibatkan proses fotosintesis bibit kenanga menjadi lebih efektif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hakim et al. (1986) yang menyatakan bahwa pada intensitas cahaya yang tinggi laju evapotranspirasi tanaman mengalami peningkatan, sehingga proses kehilangan air juga akan semakin cepat. Hal ini berakibat serapan unsur hara yang bergerak bersama gerakan air kapiler (serapan secara kinetik) akan ikut terhambat. Dengan adanya naungan, intensitas cahaya yang tinggi dapat dikurangi, sehingga serapan hara akan berlangsung dengan baik pula. Pendapat senada juga disampaikan oleh Sitompul dan Guritno (1995) yang mengungkapkan bahwa pada umumnya laju fotosintesis tinggi pada tingkat cahaya yang rendah dan kemudian menurun hingga mencapai nol pada tingkat cahaya yang lebih tinggi. Terhambatnya pertumbuhan pada bibit kenanga yang tidak mengalami penaungan (terbuka 100%) erat kaitannya dengan sifat toleransi yang dimiliki oleh jenis ini. Kramer dan Kozlowski (1960) menyatakan bahwa toleransi erat kaitannya dengan pengaruh intensitas radiasi surya terhadap pertumbuhan pohon dimana sering didefinisikan bahwa toleransi adalah kemampuan suatu jenis pohon dapat hidup di bawah naungan. Jenis yang toleran adalah jenis pohon yang mampu bertahan hidup di bawah naungan, sedangkan yang tidak mampu bertahan di bawah naungan disebut jenis pohon intoleran. Dalam versi lain jenis pohon toleran dikatakan sebagai jenis yang tahan akan keteduhan diwaktu kecil, sedangkan jenis pohon intoleran adalah jenis yang tidak tahan akan keteduhan diwaktu kecil (Darjadi & Hardjono 1972). Mengacu pada keterangan yang disebutkan di atas maka dapat disimpulkan pula bahwa kenanga merupakan jenis yang termasuk kedalam kategori pohon toleran yang tahan terhadap naungan. Intensitas cahaya juga turut mempengaruhi peningkatan Bobot Kering Total (BKT) tanaman melalui efek fotosintesis. BKT merupakan indikator yang umum digunakan untuk mengetahui baik tidaknya pertumbuhan bibit karena BKT dapat menggambarkan efisiensi proses fisiologis di dalam tanaman. Nilai BKT sekaligus juga menunjukkan nilai biomassa suatu tanaman. Semakin besar nilai
BKT maka semakin besar nilai biomassanya. Dengan semakin besarnya nilai biomassa maka akan semakin baik pula pertumbuhan bibit. Hal ini dikarenakan tanaman selama hidupnya atau selama masa tertentu membentuk biomassa yang mengakibatkan pertambahan berat dan diikuti dengan pertambahan ukuran lain yang dapat dinyatakan secara kuantitatif (Sitompul & Guritno 1995). Dari hasil uji lanjut Duncan pada 3 BST diperoleh rerata BKT terbaik pada bibit kenanga yang diberikan taraf intensitas cahaya 45% (I1). Akan tetapi, jika dilihat dari nilai BKT yang dapat dihasilkan, intensitas cahaya 45% (I1) pada dasarnya tidak berbeda nyata dengan intensitas cahaya 25% (I2). Pada kondisi seperti ini intensitas cahaya 45% (I1) dan 25% (I2) relatif sama baiknya digunakan untuk kegiatan pembibitan kenanga di persemaian yang menghasilkan BKT terbesar sesuai harapan. Sebaliknya, intensitas cahaya 100% (I0) menghasilkan BKT terburuk/terendah pada bibit kenanga. Tanaman berhijau daun memperoleh karbohidrat untuk keperluan pertumbuhannya melalui proses fotosintesis (Salisbury & Ross 1995). Berbagai percobaan yang pernah dilakukan terhadap tanaman telah banyak membuktikan adanya hubungan yang erat antara laju fotosintesis dan produksi bahan kering dengan radiasi matahari. Menurut Milthrope dan Moorby (1979) dalam Imran (1994), radiasi matahari pada suatu daerah dapat dievaluasi dari 2 gatra utama, yaitu: (a) sebagai sumber energi panas yang memungkinkan penghilangan air oleh evaporasi dan (b) sebagai sumber energi cahaya bagi fotosintesis. Pada kondisi radiasi matahari memiliki intensitas yang tinggi, evaporasi dan transpirasi tanaman akan makin meningkat sehingga ketersediaan air bagi tanaman menjadi berkurang. Bahan (bobot) kering merupakan material yang dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman. Oleh karena itu terdapat hubungan yang erat antara radiasi matahari dengan pertumbuhan dan hasil tanaman. Pemberian naungan pada percobaan ini merupakan salah satu upaya untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yang sampai ke tanaman. Dengan demikian tanaman tidak menerima intensitas cahaya matahari yang terlalu tinggi sehingga tanaman akan terlindungi dari kemungkinan mengalami defisit air dan kerusakan klorofil yang sangat penting untuk kegiatan fotosintesis. Intensitas cahaya matahari yang optimal akan
berpengaruh positif terhadap fotosintesis dan fotostimulus tanaman termasuk didalamnya meliputi proses pemanjangan batang dan perluasan daun yang pada akhirnya akan menghasilkan bobot kering tanaman yang tinggi. Terhadap diameter dan Nisbah Pucuk Akar (NPA), faktor intensitas cahaya tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini diduga perlakuan intensitas cahaya yang diberikan mengakibatkan pertumbuhan yang terbentuk lebih terkonsentrasi pada pemanjangan tunas dan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada pertumbuhan radial. Sukaesih (2002) menyatakan bahwa tinggi tanaman semakin meningkat dengan meningkatnya persentase naungan, tapi sebaliknya untuk jumlah buku, jumlah batang dan diameter batang. Pertumbuhan yang terkonsentrasi pada pemanjangan batang ditujukan untuk memaksimumkan intensitas cahaya yang diterima dan untuk mempertahankan laju fotosintesis. Jika diamati secara visual bibit kenanga yang mendapat perlakuan intensitas cahaya tinggi (tanpa naungan/intensitas cahaya 100%) terlihat mengalami penghambatan pertumbuhan. Pada perlakuan ini warna daunnya menjadi hijau kekuning-kuningan, jumlah daun sedikit dan kecil-kecil, serta lebih pendek/kerdil dibanding perlakuan lainnya. Warna daun yang berubah menjadi kekuning-kuningan menunjukkan tanaman mengalami reduksi pigmen klorofil. Intensitas cahaya yang tinggi juga akan menimbulkan gangguan pada kinerja stomata. Tanaman yang mengalami defisit air akan terganggu turgiditas sel penjaganya. Hal ini mengakibatkan stomata akan menutup. Penutupan stomata pada akhirnya akan menghambat serapan CO2 oleh tanaman. Akibat dari gangguan pada klorofil dan serapan CO2 ini, proses fotosíntesis menjadi terhambat sehingga pertumbuhan yang dihasilkan pun menjadi sangat terbatas (jumlah daun sedikit dan kecil-kecil, serta lebih pendek/kerdil). 5.2.2
Pengaruh penggunaan inang primer kriminil terhadap pertumbuhan bibit kenanga
Pada dasarnya pemanfaatan inang primer ini bertujuan untuk menciptakan hubungan simbiosis yang menguntungkan antara tanaman pokok dengan inang primernya. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan inang primer kriminil berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, diameter serta Nisbah
Pucuk Akar (NPA) bibit kenanga dan tidak berpengaruh nyata terhadap Bobot Kering Total (BKT). Pada parameter tinggi, bibit yang dibebaskan dari penggunaan inang primer kriminil (K0) menghasilkan pertambahan tinggi yang lebih baik dibanding yang menggunakan inang primer kriminil, baik 1 batang (K1) maupun 2 batang (K2). Hal ini diduga karena terjadinya kompetisi diantara kenanga dengan inang primernya yaitu kriminil. Kompetisi yang terjadi berupa persaingan dalam memperoleh cahaya. Dimana, pada kondisi bibit kenanga dan inang primer hidup berdampingan, inang primer kriminil sebagai herba tumbuh lebih cepat meninggalkan pertumbuhan kenanga. Pada kondisi ini inang primer kriminil akan menciptakan naungan yang lebih berat bagi bibit kenanga dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tinggi bibit kenanga ke arah pucuk (atas). Terhambatnya pertumbuhan ke arah pucuk juga akan turut menurunkan bobot kering yang dapat dihasilkan di daerah pucuk dan pada akhirnya akan menurunkan Bobot Kering Total (BKT) yang dapat dihasilkan oleh kenanga tersebut. Pada parameter diameter dan Nisbah Pucuk Akar (NPA), penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1) menunjukkan respon diameter dan NPA yang lebih baik dibanding taraf lainnya dan terburuk pada penggunaan inang primer kriminil 2 batang (K2). Akan tetapi, jika dilihat dari pertambahan diameter dan nilai NPA yang dapat dihasilkannya, penggunaan inang primer kriminil 1 batang (K1) pada dasarnya tidak berbeda nyata dengan tanpa penggunaan inang primer kriminil (K0). Pada kondisi seperti ini pembibitan dengan menggunakan inang primer kriminil 1 batang (K1) ataupun tidak menggunakan inang primer (K0) akan menghasilkan bibit kenanga dengan pertumbuhan diameter dan NPA yang relatif sama di persemaian. Hal ini diduga karena terjadi kompetisi perkembangan akar pada bibit kenanga. Pada bibit yang diberikan perlakuan inang primer kriminil, jika diamati secara visual akarnya cenderung tumbuh lebih pesat dibandingkan yang tidak mendapat perlakuan penggunaan inang primer kriminil. Akar yang terangsang tumbuh dan berkembang lebih pesat akan meningkatkan serapan hara untuk fotosintesis dan menurunkan nilai NPA bibit kenanga menuju nilai minimum yang
ideal/diharapkan, yaitu mendekati 1. Terhadap Bobot Kering Total (BKT), penggunaan inang primer kriminil tidak memberikan pengaruh yang nyata. 5.2.3
Pengaruh jenis media terhadap pertumbuhan bibit kenanga
Medium sapih berperan sangat penting dalam rangka pertumbuhan bibit di persemaian. Agoes (1994) menyatakan bahwa suatu media tanam yang baik harus mendukung pertumbuhan tanaman dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) dapat dijadikan tempat berpijak tanaman; (2) mampu mengikat air dan unsur hara; (3) mempunyai drainase dan aerasi yang baik; (4) dapat mempertahankan kelembaban di sekitar akar tanaman; (5) tidak menjadi sumber penyakit bagi tanaman serta (6) mudah didapat dan harganya relatif murah. Setiap kondisi medium akan menghasilkan pertumbuhan yang berbeda pada setiap jenis bibit tanaman. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis media berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, diameter, Nisbah Pucuk Akar (NPA) serta Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. Pada umur 3 BST bibit kenanga yang menunjukkan respon tinggi, diameter dan Bobot Kering Total (BKT) terbaik adalah pada jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) dan terburuk pada jenis media campuran tanah, sekam padi dan sabut sabut kelapa (M2). Hal ini diduga karena jenis media campuran tanah dan sekam padi menyediakan hara yang siap pakai (dalam bentuk tersedia dan siap digunakan/diserap oleh tanaman) relatif lebih banyak daripada jenis media lainnya. Hasil analisis media pada awal dan akhir pengamatan menunjukkan bahwa nisbah C/N pada bibit yang menggunakan jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) termasuk dalam kategori sedang, artinya hara pada masa ini sudah cukup tersedia bagi tanaman dan akan terus tersedia dalam jangka waktu yang lebih panjang, karena proses dekomposisi masih berlanjut. Nisbah C/N yang terlalu rendah atau tinggi kurang baik untuk pertumbuhan tanaman. Nisbah C/N yang terlalu rendah mengindikasikan terjadinya kondisi miskin hara pada media akibat hara tersebut telah diserap habis oleh tanaman untuk pertumbuhannya atau kemungkinan mengalami pencucian (leaching). Sedangkan, nisbah C/N yang terlalu tinggi mengindikasikan bahwa proses dekomposisi media masih berlangsung (belum sempurna). Pada kondisi nisbah C/N yang tinggi media
tumbuh mempunyai kandungan Nitrogen yang relatif rendah. Disini terjadi Immobilisasi Nitrogen sebagai akibat terjadinya persaingan antara jasad mikro dan
tanaman dalam memperoleh unsur N yang pada akhirnya mengganggu pertumbuhan tanaman (Rao 1994). Ketersediaan hara yang cukup dan porositas yang baik dalam media memungkinkan bibit kenanga untuk tumbuh lebih tinggi, diameter menjadi lebih besar, akibatnya Bobot Kering Total (BKT) yang dihasilkan juga turut meningkat. Selain itu, ketersediaan hara dan porositas yang baik dalam media juga akan menjadikan sistem perakaran lebih berkembang (efektif). Ketersediaan hara yang cukup dan kontinyu menunjang proses fotosintesis menjadi semakin efektif sehingga menghasilkan pertumbuhan yang optimal bagi tanaman berupa pembesaran dan pemanjangan sel/jaringan yang secara nyata dapat dilihat pada perkembangan tinggi dan diameter serta BKT tanaman. Terdapat hubungan yang sinergis antara akar dan perkembangan diameter tanaman. Daniel et al. (1992) mengungkapkan bahwa pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh sistem akar yang berfungsi efektif. Sistem akar yang efektif bergantung pada porositas dari media. Perakaran tanaman akan sulit menembus lebih jauh media tanam yang memiliki kandungan oksigen terbatas, walaupun dalam media tanam tersebut tersedia nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan tanaman (Edinger 1975). Dari segi fisik, jenis media campuran sekam dan tanah (M1) memiliki porositas dan retensi yang tinggi dibanding media tanah murni. Sifat inilah yang diduga memudahkan penetrasi akar dalam upaya menyerap hara. Dari segi kimia tanah mineralisasi sekam padi akan melepaskan hara secara perlahan dan kontinyu, sehingga hara akan tersedia dalam jangka waktu yang relatif panjang. Sedangkan pada jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa, meskipun jenis media ini secara fisik berporositas baik namun sangat lama terdekomposisi. Herath (1993) menyatakan bahwa kandungan lignin dan selulosa yang terdapat dalam sabut kelapa sangat tinggi, sehingga perubahan unsur-unsur hara yang dikandungnya untuk diubah kedalam bentuk hara tersedia bagi tanaman menjadi sangat lambat. Keadaan ini dapat menyebabkan tanaman yang tumbuh di atasnya menunjukkan gejala kekurangan Nitrogen.
Perkembangan sistem perakaran mempengaruhi perkembangan bagian pucuk dan sebaliknya. Akar menyediakan unsur hara dan air yang diperlukan pucuk untuk kegiatan fotosintesis, sedangkan pucuk menyediakan fotosintat yang diperlukan untuk pertumbuhan akar dan bagian tanaman lainnya. Efektifnya hubungan tersebut dapat dilihat melalui nilai Nisbah Pucuk Akar (NPA) tanaman. NPA merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan tanaman yang mencerminkan perbandingan antara kemampuan tanaman dalam menyerap air dan mineral dengan proses transpirasi dan luasan fotosintesis dari tanaman (Kramer & Kozlowski 1960). NPA merupakan sifat yang sangat plastis (mudah berubah) tergantung pada suplai air, kandungan Nitrogen dan Oksigen pada tanah serta suhu tanah. Pada Nisbah Pucuk Akar (NPA), penggunaan jenis media tanah (M0) menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding taraf lainnya (semakin mendekati nilai minimum yang ideal, yaitu 1). Akan tetapi, jika dilihat nilai NPA yang dapat dihasilkannya, jenis media tanah (M0) pada dasarnya tidak berbeda nyata dengan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa (M2). Sebaliknya yang terburuk adalah pada jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) dengan nilai NPA paling tinggi diantara perlakuan lainnya. Tanaman dengan NPA yang tinggi menunjukkan bahwa pada bagian batang/pucuk mempunyai pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan bagian bawah/akar dan sebaliknya. Nisbah Pucuk Akar (NPA) dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui daya adaptasi tumbuhan terhadap lingkungannya. Duryea dan Brown (1984) menyatakan bahwa nilai NPA yang baik berkisar antara 1 sampai 3 dan yang terbaik adalah yang terendah atau mendekati nilai minimum yaitu 1. Namun hal tersebut tidaklah berlaku mutlak. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), nilai NPA yang tinggi dengan produksi biomassa total yang besar pada tanah yang subur, secara tidak langsung menunjukkan bahwa akar yang relatif sedikit cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang relatif besar dalam menyediakan air dan unsur hara. Sedangkan tanaman yang kekurangan air dan unsur hara akan berusaha membentuk akar yang lebih banyak yang memungkinkan tanaman untuk meningkatkan serapan sehingga pada akhirnya menghasilkan NPA yang rendah.
Pernyataan Sitompul dan Guritno (1995) di atas mendukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perakaran bibit kenanga yang pendek (NPA tertinggi) pada jenis media campuran tanah dan sekam padi (M1) menunjukkan bahwa akar yang relatif sedikit cukup untuk mendukung pertumbuhan bibit kenanga, sebaliknya akar yang panjang (NPA terendah) pada jenis media M0 menunjukkan bahwa bibit kenanga berada dalam kondisi adaptasi dengan lingkungannya dalam proses penyerapan hara dan air. 5.2.4
Pengaruh interaksi perlakuan intensitas cahaya, penggunaan inang primer kriminil dan jenis media terhadap pertumbuhan bibit kenanga
Pada saat bibit kenanga berumur 3 BST, interaksi dari ketiga faktor tidak ada yang menunjukkan pengaruh yang nyata pada berbagai parameter yang diamati. Pengaruh yang nyata hanya ditemukan pada interaksi antara dua faktor, yakni interaksi antara faktor intensitas cahaya dengan jenis media (pada parameter tinggi) serta faktor penggunaaan inang primer kriminil dengan jenis media (pada parameter tinggi, diameter dan BKT). Pada interaksi antara faktor intensitas cahaya dan jenis media, respon tinggi terbaik dihasilkan oleh perlakuan I2M0 (penggunaan jenis media tanah pada intensitas cahaya 25%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Murray dan Nichols (1966) yang mengemukakan bahwa kebutuhan naungan tergantung kesuburan tanah. Pada tanah yang miskin unsur hara tanaman membutuhkan naungan yang lebih berat. Selanjutnya Chang (1968) dan Stiger (1984) menyatakan bahwa naungan dapat mempertahankan unsur hara dan Tisdale et al. (1985) memperbaiki penyerapan hara. Namun demikian, interaksi perlakuan I2M0 pada dasarnya tidak berbeda nyata dengan I2M1 (penggunaan jenis media campuran tanah dan sekam padi pada intensitas cahaya 25%) dan I1M1 (penggunaan jenis media campuran tanah dan sekam padi pada intensitas cahaya 45%). Sehingga, penggunaan jenis media campuran tanah dan sekam padi pada naungan 45% dan 25% relatif sama baiknya digunakan untuk kegiatan pembibitan kenanga di persemaian yang menghasilkan tinggi terbaik sesuai harapan. Kondisi sebaliknya terjadi pada interaksi perlakuan I1M2 (penggunaan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa pada intensitas
cahaya 45%). Respon yang ditunjukkan oleh interaksi perlakuan I1M2 ini pada dasarnya tidak berbeda nyata dengan I0M2 (penggunaan jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa pada intensitas cahaya 100%). Terbatasnya pertumbuhan pada interaksi perlakuan I1M2 maupun I0M2 diperkirakan karena miskinnya kandungan hara yang terkandung pada media M2 (jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa), sebagai akibat belum terdekomposisinya hara secara sempurna. Selain itu, kondisi tanpa naungan (pada I0M2) dan naungan ringan (pada I1M2) akan lebih mempercepat proses pencucian hara pada media M2 tersebut. Pada interaksi antara faktor penggunaan inang primer kriminil dan jenis media, respon tinggi dan BKT terbaik diberikan oleh perlakuan K0M1 (jenis media campuran tanah dan sekam padi tanpa penggunaan inang primer kriminil). Sedangkan, respon diameter terbaik dihasilkan oleh perlakuan K1M1 (penggunaan inang primer kriminil 1 batang pada jenis media campuran tanah dan sekam padi). Namun demikian, interaksi perlakuan K1M1 pada dasarnya tidak berbeda nyata dengan K0M2 (jenis media campuran tanah, sekam padi dan serbuk sabut kelapa tanpa penggunaan inang primer kriminil), K1M0 (penggunaan inang primer kriminil 1 batang pada jenis media tanah), K0M1 (jenis media campuran tanah dan sekam padi tanpa penggunaan inang primer kriminil) dan K2M1 (penggunaan inang primer kriminil 2 batang pada jenis media campuran tanah dan sekam padi). Berdasarkan kondisi di atas maka akan lebih efektif bila perlakuan K0M1 (jenis media campuran tanah dan sekam padi tanpa penggunaan inang primer kriminil) yang dipilih untuk diterapkan dalam kegiatan pembibitan kenanga di persemaian. Hal tersebut dikarenakan penggunaan perlakuan K0M1 secara umum menunjukkan respon pertumbuhan tinggi, diameter dan BKT yang lebih baik pada bibit kenanga.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan
1) Intensitas cahaya berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. Penggunaan inang primer kriminil berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, diameter dan Nisbah Pucuk Akar (NPA) bibit kenanga. Sedangkan, jenis media berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, diameter, Nisbah Pucuk Akar (NPA) dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. 2) Intensitas cahaya 25% merupakan perlakuan yang paling baik digunakan untuk meningkatkan pertambahan tinggi dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. 3) Secara umum penggunaan inang primer kriminil tidak efektif dalam meningkatkan pertumbuhan bibit kenanga. 4) Jenis media campuran tanah dan sekam padi merupakan jenis media yang paling baik digunakan untuk meningkatkan pertambahan tinggi, diameter, dan Bobot Kering Total (BKT) bibit kenanga. 6.2
Saran
1) Pada pembibitan kenanga di persemaian dianjurkan menggunakan intensitas cahaya 25% (naungan 75%) pada jenis media campuran tanah dan sekam padi tanpa penggunaan inang primer kriminil, karena secara keseluruhan menunjukkan respon yang lebih baik dalam meningkatkan pertambahan tinggi dan diameter, BKT serta NPA bibit kenanga. 2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan menggunakan intensitas cahaya dibawah 50% (naungan diatas 50%) dengan selang perbedaan intensitas cahaya yang lebih sempit, agar kebutuhan intensitas cahaya yang paling memadai bagi pertumbuhan bibit kenanga dapat diketahui lebih seksama. 3) Pada penelitan selanjutnya perlu dilakukan percobaan media tanah dan sekam padi serta serbuk sabut kelapa dengan dosis yang lebih bervariasi. Sekam padi dan serbuk sabut kelapa yang digunakan sebagai media sapih di persemaian sebaiknya yang sudah terdekomposisi secara sempurna.
DAFTAR PUSTAKA Adams CR, Bamford KM, Early MP. 1993. Principles of Horticulture. 2nd Ed. Oxford: Butterworth Heinemann Ltd. Agoes D. 1994. Aneka Jenis Media Tanam dan Penggunaannya. Penebar Swadaya.
Jakarta:
[Anonim]. 1984. Seleksi dan Pengembangan Media Persemaian TanamanTanaman Pohon Hutan dalam Wadah. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada. [Anonim]. 2006. Budidaya ylang-ylang dan kenanga. http://situshijau.co.id [28 Agustus 2007]. Barret DR. 1985. Santalum album (Indian Sandal Wood) Literature Review Mulga Researh Centre. Perth: Western Australian Institute of Technology. Chang JH. 1968. Climate and Agriculture an Ecological Survey. Chicago: Aldine Publishing Company. Daniel TW, Helms JA, Baker FS. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Marsono D, penerjemah; Soeseno OH, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Principles of Silviculture. Darjadi L, Hardjono. 1972. Djenderal Kehutanan.
Sendi-Sendi Silvikultur.
Jakarta: Direktorat
Daubenmire RF. 1967. Plant and Environment. New York: John Wiley and Sons Inc. Djam’an DF, Ristiyana A. 2006. Peran tanaman krokot sebagai pengganti pupuk pada pembibitan gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Bioteknologi; Cibinong, 15-16 November 2006. Bogor: LIPI. Duryea ML, Brown GN. 1984. Seedling physiology and reforestation succes. Proceeding of the Physiology Working Technical Session. Boston: Dr. W Junk Publisher. Dwijoseputro D. 1980. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT. Gramedia. Edinger P. 1975. Organic Gardening. California Lane Magazine and Book Company. Fakuara Y, Setiadi Y, Wilarso S, Rusdiana. 1988. Mikrobiologi Tanah Hutan. Bogor: Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Fitter AH, Hay RKM. 1992. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Gardner P, Franklin, Pearche RB, Mitchell RL. Budidaya. Jakarta: UI Press.
1991.
Fisiologi Tanaman
Gaspersz V. 1994. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: Armico.
Hakim N, Nyakpa MY, Lubis AM, Nugroho SG, Saul MR, Diha MM, Hong GB, Bailey HH. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Hale MG, Orcutt DM. 1987. The Physiology of Plants Under Stress. Canada: Wiley Interscience Publication, John Wiley and Sons. Hardjowigeno HS. 1993. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Haris A. 1999. Karakteristik iklim mikro dan respon tanaman padi gogo pada pola tanam sela dengan tanaman karet [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hartmann HT, Kester DE. 1975. Plant Propagation Principle and Practice. 4th Ed. New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Cliffs. Hayyu A. 1991. Pencampuran gambut dengan serbuk gergaji, sekam padi, arang kayu serta pemberian tepung tulang sebagai media tumbuh jagung manis [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Herath W. 1993. Coir dust as a growing medium. Floricultural Symposium Colombo. Colombo: Institute of Fundamental Studies Hantana. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 2. Kehutanan, penerjemah; Jakarta: Departemen Kehutanan.
Badan Litbang
Hidayati U. 1993. Pengaruh residu kapur dan sekam padi pada sifat kimia Oxyic Dystripept Cikarawang dan hasil kedelai [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hobir, Ellyda AW, Anggraeni, Makmun. 1990. Kenanga dan ylang-ylang. Di dalam: Perkembangan penelitian tanaman penghasil minyak atsiri Ed sus. Littro VI (1): 30-37. Imran. 1994. Pengaruh peubah lingkungan fisik terhadap pertumbuhan, hasil dan kandungan minyak nilam [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Januwati M. 1989. Pengaruh jarak tanam dan intensitas naungan terhadap produksi daun tanaman tapak dara penghasil vincain [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Januwati M, Muhammad H. 1993. Pengaruh tingkat naungan terhadap produksi daun tempuyung (Sonchus arvensis L. ). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 2 (3): 17-18. Kasdiman D. 1988. Pengaruh pengapuran dan pemberian abu sekam terhadap sifat kimia tanah, pertumbuhan serta serapan P, K, Ca, Mg dan Si oleh tanaman padi varietas IR-36 pada tanah Podzolik Merah Kuning dari Jasinga. Masalah khusus. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Kemala S, Indrawanto C, Mauludi L. 1990. Peluang pasar dan potensi pengembangan minyak atsiri Indonesia Ed sus. Littro VI (I): 5-8.
Ketaren S, Djatmiko B. 1981. Daya Guna Kelapa. Bogor: Jurusan Teknologi Industri, Fakultas Teknik Pertanian, Instiut Pertanian Bogor. Kramer PJ, Kozlowski. 1960. Physiology of Trees. New York: McGraw-Hill Book Co. , Inc. [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Proyek Sumberdaya Ekonomi Lembaga Biologi Nasional. 1977. Tanaman Hias. Bogor: LIPI. Marschner H. 1986. Mineral Nutrition of Higher Plant. London: Academic Press. Mauludi L, Rosmeilisa P, Hobir. 1990. Kemungkinan pengembangan ylangylang di Indonesia. Di dalam: Tanaman Minyak Atsiri. Prosiding Simposium Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri; Caringin-Bogor, 2527 Juli 1989. Bogor: Littri. Seri Pengembangan No. 13 hlm 1083-1087. Muas I, Indriyani NLP. 1991. Penggunaan Sekam sebagai Campuran Media pada Okulasi Durian. Solok: Balai Penelitian Hortikultura. Murray DB, Nichols R. 1966. Light, shade and growth in some tropical plants. In: Light as an Ecological Factor. Oxford: Blackwell. Nelson PV. 1981. Green House Operation and Management. 2nd Ed. Virginia: Reston Publ. Co. Inc. Nyakpa et al. 1988. Kesuburan Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Oyen LPA, Nguyen XD. 1999. Essential-oil Plants. Bogor: PROSEA. Parisy S, Wilarso S. 1989. Teknik Pembangunan Persemaian Hutan Tanaman Industri: Diktat Khusus untuk Peserta Diklat. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Rahardi F. 2003. Agustus 2007].
Ylang-ylang untuk meraih dolar.
http://kompas.com [28
Rao NSS. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Ed ke-2. Susilo H, penerjemah; Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Soil Microorganism and Plant Growth. Rumokoi MMM. 1990. Potensi dan prospek pemanfaatan limbah kelapa di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 9 (3): 50-56. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Lukman, Sumaryono, penerjemah; Bandung: Institut Teknologi Bandung. Sarief S. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Bandung: Pustaka Buana. Sitompul SM, Guritmo B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soepardi G. 1983. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sofyan K. 2000. Strategi penelitian teknologi hasil hutan untuk meningkatkan peran hasil hutan non kayu Indonesia. Di dalam: Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Teknologi Hasil Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Stiger CJ. 1984. Shading: a traditional methode of micro climate manipulation. Agric (32): 81-86. Sudarman, Sugito Y. 1996. Pengaruh Persentase Naungan dan Dosis mulsa terhadap Pertumbuhan Bibit Cengkeh (Eugenia caryophyllus S. ). Agrivita 19 (2): 69-73. Suharti M. 1979. Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Pertumbuhan dan Biomas Mikania micrantha. Bogor: Laporan No. 308. LPH, Bogor. Sukaesih E. 2002. Studi karakter iklim mikro pada berbagai tingkat naungan pohon karet dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan 20 genotipe kedelai (Glycine max (L) Merr. ) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sunanto H. 1993. Budidaya Kenanga. Yogyakarta: Kanisius. Suparyono, Setiyono A. 1993. Padi. Volume ke-1. Jakarta: Penebar Swadaya. Surata IK. 1992a. Perkembangan penelitian pembibitan dan penanaman cendana di NTT. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang status silvikultur di Indonesia saat ini. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Suratman, Kappuw N. 2002. Pedoman Bercocok Tanam Kenanga (Canangium odoratum Baill.). Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Thampan PK. 1981. Handbook of Coconut Palm. New Delhi: IBH Publishing Co. Tisdale SL, Nelson WC. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. 4th Ed. London: The Mac Millan Co. Tunggal L. 2004. Pengaruh intensitas naungan dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi herba meniran (Phyllanthus niruri L. ) pada sistem pertanian organik [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. USDA. 2001. Pacific Island Ecosystem at Risk (PIER): United States Department of Agriculture Forest Service Collection. Hunt Institute for Botanical Documentation. Carnegie Mellon University, Pitssburg. http://www.hear.org/pier/caodop.htm [28 Agustus 2007]. Winslow MD. 1992. Silicon, disease resistance and yield of rice genotypes under upland cultural conditions. Crops Science. 32: 1208-1213. Woodroof JG. 1979. Coconut: Production, Processing, Product. Version 2nd Ed. Connecticut: AVI Publishing Company Inc.
LAMPIRAN
4
1
2
2
4
5
4
3
1
4
4
1
1
1
4
1
5
1
1
2
5
3
5
4
2
2
5
5
B B
5
5
1
4
1
2
3
2
1
5
5
3
1
1
3
2
1
5
1
2
5
4
2
5
3
4
4
4
1
5
3
4
2
4
4
4
4
1
4
4
3
3
3
1
4
5
1
2
5
4
1
2
2
2
2
2
3
1
3
4
5
3
2
2
5
5
1
2
1
R1 (25% = I2)
R1 (100% = I0)
5
1
3
4
1
2
5
2
4
1
2
5
4
4
2
2
4
4
3
1
3
3
5
1
1
2
1
3
B
2
1
5
3
1
2
5
2
4
3
1
3
5
5
4
2
1
5
3
5
4
3
5
5
1
4
I2K2M1
3 I2K2M0
4 I2K2M2
4 I2K0M0
2 I2K0M2
4 I2K0M1
2 I2K1M0
2 I2K1M2
2 I2K1M1
4 I1K1M2
3 I1K1M0
5 I1K1M1
5 I1K0M0
1 I1K0M2
1 I1K0M1
5 I1K2M2
4 I1K2M1
4 I1K2M0
3 I0K1M2
1 I0K1M1
3 I0K1M0
3 I0K2M0
3 I0K2M2
2 I0K2M1
2 I0K0M0
4 I0K0M1
5
B
1
4
5
1
5
4
1
4
5
5
1
2
2
3
3
3
1
2
2
4
1
5
2
3
2
3
2
4
5
2
3
4
5
4
1
3
2
5
3
1
2
4
1
3
5
1
5
4
1
1
4
3
5
5
2
R1 (45% = I1)
R3 (25% = I2)
3
4
4
3
1
2
5
1
1
5
5
5
5
3
5
1
4
2
1
5
5
3
5
5
5
4
2
4
3
3
B
1
4
3
3
4
2
4
2
4
3
1
2
2
2
1
3
3
1
5
3
1
1
3
3
5
1
I1K0M1
5
I1K0M0
1
I1K0M2
4
I1K1M1
3
I1K1M2
4
I1K1M0
4
I1K2M2
2
I1K2M0
2
I1K2M1
5
I0K2M1
5
I0K2M2
3
I0K2M0
4 I0K1M2
1 I0K0M0
5 I0K0M2
2 I0K0M1
3 I2K2M1
3 I2K2M2
2 I2K2M0
4 I2K0M1
5 I2K0M0
1 I2K0M2
1 I2K1M1
3 I2K1M0
4
I0K1M0
B
3
2
B B B
2
3
B
B
4
3
B B B
2
4
R2 (100% = I0)
I2K1M2
5
2
R2 (45% = I1)
I0K0M2
3
I0K1M1
B B
4
I0K2M0
4 I0K2M1
3 I0K2M2
3 I0K1M0
3 I0K1M1
1 I0K1M2
5 I0K0M2
2 I0K0M0
1 I0K0M1
5 I2K0M0
5 I2K0M1
2 I2K0M2
4 I2K2M1
3 I2K2M2
5 I2K2M0
3 I2K1M1
3 I2K1M0
5 I2K1M2
3 I1K1M0
5 I1K1M2
1 I1K1M1
3 I1K0M1
3 I1K0M0
2 I1K0M2
1 I1K2M2
3 I1K2M0
5
B
B
I1K2M1
Lampiran 1 Denah peletakan unit percobaan
2
5
2
4
4
2
5
1
4
2
1
4
3
5
1
4
4
1
4
2
2
4
2
5
1
1
2
5
2
5
5
2
3
3
3
1
1
4
2
4
3
5
3
2
4
3
1
1
2
3
2
4
2
5
1
R2 (25% = I2)
R1 (100% = I0)
R3 (45% = I1)
Lampiran 2 Rekapitulasi pengukuran parameter tinggi A. Intensitas Cahaya 100 % IC
Kriminil
Media
M0
K0
M1
M2
M0
I0
K1
M1
M2
M0
K2
M1
M2
Rerata T1
Rerata T2
Rerata T3
Riap 1 (T1-T0)
Riap 2 (T2-T0)
Riap 3 (T3-T0)
8.4
9.0
10.1
10.6
0.7
1.7
2.3
9.2
10.0
10.7
11.2
0.8
1.5
2.0
3
7.8
8.4
9.3
10.0
0.6
1.5
2.2
4
6.7
7.8
8.6
9.0
1.1
1.9
2.4
5
7.0
8.1
9.1
9.5
1.2
2.2
2.6
1
5.7
6.6
7.5
9.0
0.9
1.9
3.4
2
6.3
7.0
8.3
9.2
0.7
2.0
2.9
3
6.5
7.3
8.4
10.8
0.8
1.9
4.3
4
7.3
8.4
9.2
10.2
1.1
2.0
3.0
5
8.3
9.1
9.8
12.3
0.9
1.5
4.1
1
5.3
6.5
7.0
7.6
1.2
1.7
2.3
2
5.6
5.9
6.5
7.2
0.3
1.0
1.7
3
6.5
7.4
7.9
8.4
0.9
1.4
1.9
4
6.2
6.8
7.2
7.6
0.6
1.0
1.5
5
5.6
6.2
6.8
7.3
0.5
1.1
1.7
1
8.8
10.0
10.8
11.6
1.2
2.0
2.8
2
6.2
7.3
7.9
8.6
1.1
1.7
2.5
3
6.8
8.3
9.0
9.2
1.5
2.2
2.4
Ulangan
Rerata T0
1 2
4
7.5
8.3
9.0
9.8
0.8
1.5
2.3
5
7.0
7.8
8.9
9.5
0.9
2.0
2.6
1
5.3
5.8
6.1
7.6
0.5
0.9
2.4
2
5.5
5.9
6.6
8.1
0.4
1.1
2.6
3
5.7
5.9
6.6
8.3
0.3
0.9
2.6
4
5.6
5.8
6.8
7.6
0.2
1.2
2.0
5
6.7
6.9
7.5
8.6
0.3
0.9
2.0
1
6.4
7.1
7.3
7.9
0.8
1.0
1.5
2
7.0
7.1
7.7
8.3
0.1
0.7
1.2
3
5.7
6.1
6.5
7.3
0.4
0.8
1.6
4
6.4
7.2
7.4
7.9
0.8
1.0
1.5
5
6.7
7.1
7.5
8.2
0.4
0.7
1.5
1
6.3
7.5
7.5
8.7
1.2
1.2
2.4
2
6.2
7.3
9.0
9.0
1.1
2.8
2.8
3
7.0
7.0
8.1
9.0
0.0
1.1
2.0
4
7.0
7.0
7.5
9.0
0.0
0.5
2.0
5
5.7
6.8
7.9
8.8
1.1
2.2
3.1
1
5.7
6.5
7.0
8.2
0.8
1.3
2.5
2
4.3
5.5
6.0
6.5
1.2
1.7
2.2
3
5.5
5.9
7.0
7.1
0.4
1.5
1.6
4
6.2
6.6
8.0
9.2
0.4
1.8
3.0
5
6.0
6.5
7.2
8.2
0.5
1.2
2.2
1
6.3
6.7
7.4
7.8
0.4
1.0
1.4
2
5.5
5.8
6.4
6.8
0.3
0.9
1.3
3
5.6
5.8
6.7
7.0
0.2
1.2
1.5
4
6.1
6.2
7.0
7.3
0.1
0.9
1.2
5
5.2
5.7
6.5
7.0
0.5
1.3
1.8
(Lanjutan) Lampiran 2 B. Intensitas Cahaya 45 % IC
Kriminil
Media
M0
K0
M1
M2
M0
I1
K1
M1
M2
M0
K2
M1
M2
Ulangan
Rerata T0
Rerata T1
Rerata T2
Rerata T3
Riap 1 (T1-T0)
Riap 2 (T2-T0)
Riap 3 (T3-T0)
1
8.1
9.1
9.5
10.2
1.0
1.4
2.1
2
7.4
7.8
8.1
9.0
0.4
0.7
1.7
3
7.4
8.0
9.2
9.5
0.6
1.8
2.1
4
7.7
8.8
9.9
10.6
1.2
2.3
2.9
5
6.6
7.8
8.5
9.2
1.2
1.9
2.6
1
7.0
7.4
8.3
11.2
0.3
1.2
4.1
2
6.3
6.7
7.3
9.6
0.4
1.0
3.3
3
6.7
7.0
8.1
10.2
0.2
1.4
3.4
4
6.9
7.2
7.8
10.2
0.3
0.9
3.3
5
7.2
7.5
8.4
10.7
0.3
1.2
3.4
1
5.4
6.1
6.6
7.7
0.7
1.2
2.2
2
6.5
6.6
7.3
7.7
0.2
0.9
1.3
3
5.9
6.2
7.0
7.6
0.3
1.1
1.6
4
6.3
6.8
7.4
8.5
0.5
1.1
2.2
5
7.2
7.7
8.7
9.1
0.5
1.5
1.9
1
5.2
5.5
6.5
7.6
0.3
1.4
2.4
2
6.3
6.6
7.7
8.5
0.3
1.3
2.2
3
6.4
7.3
7.9
8.6
0.9
1.5
2.2
4
6.5
7.0
7.8
8.2
0.5
1.3
1.7
5
6.3
6.7
8.0
9.6
0.4
1.7
3.3
1
7.1
7.5
8.4
11.3
0.4
1.3
4.2
2
6.8
7.2
7.8
10.2
0.4
0.9
3.4
3
7.3
7.5
8.2
9.6
0.2
0.9
2.3
4
6.1
6.7
7.3
9.8
0.6
1.2
3.7
5
6.3
6.6
7.6
9.2
0.3
1.3
2.9
1
6.8
7.1
7.8
8.0
0.2
1.0
1.2
2
6.2
6.2
6.7
7.0
0.0
0.5
0.8
3
7.2
7.6
8.2
8.2
0.4
1.0
1.1
4
6.2
6.3
6.7
6.8
0.1
0.5
0.6
5
7.0
7.7
8.0
8.6
0.6
0.9
1.5
1
6.7
7.1
7.8
8.7
0.4
1.1
2.0
2
6.3
7.0
8.0
8.6
0.7
1.7
2.3
3
6.7
7.3
8.3
8.4
0.6
1.6
1.7
4
7.3
8.0
9.0
10.1
0.7
1.7
2.8
5
5.8
6.4
7.6
9.1
0.6
1.8
3.3
1
6.7
7.1
7.8
8.6
0.4
1.1
2.0
2
5.6
6.1
6.7
8.4
0.5
1.0
2.8
3
5.9
6.1
6.2
7.9
0.2
0.3
2.0
4
5.4
5.9
6.7
7.9
0.5
1.2
2.5
5
5.5
5.6
6.0
7.4
0.1
0.6
2.0
1
6.3
6.4
7.1
7.5
0.1
0.8
1.2
2
6.3
7.1
7.5
7.6
0.9
1.3
1.4
3
5.5
6.0
6.4
7.2
0.4
0.9
1.7
4
5.7
6.0
6.5
6.7
0.3
0.8
0.9
5
6.1
6.5
7.1
7.9
0.5
1.1
1.8
(Lanjutan) Lampiran 2 C. Intensitas Cahaya 25 % IC
Kriminil
Media
M0
K0
M1
M2
M0
I2
K1
M1
M2
M0
K2
M1
M2
Rerata T3
Riap 1 (T1-T0)
Riap 2 (T2-T0)
Riap 3 (T3-T0)
8.7
9.1
1.0
2.1
2.6
9.1
11.2
0.7
1.3
3.4
8.4
8.9
10.3
1.1
1.6
3.1
8.6
9.5
11.3
0.8
1.7
3.5
Ulangan
Rerata T0
Rerata T1
Rerata T2
1
6.6
7.6
2
7.8
8.5
3
7.2
4
7.8
5
7.0
7.9
9.0
10.2
0.9
1.9
3.2
1
6.8
7.4
8.2
9.9
0.7
1.5
3.1
2
7.0
7.7
8.7
10.0
0.7
1.7
3.0
3
6.3
6.9
8.2
10.0
0.7
1.9
3.7
4
6.7
7.2
7.9
10.1
0.4
1.1
3.3
5
6.8
7.4
8.0
9.8
0.6
1.2
2.9
1
6.6
7.2
8.4
8.9
0.6
1.9
2.3
2
6.0
6.7
7.5
8.3
0.7
1.5
2.4
3
6.2
7.1
8.0
8.7
0.9
1.8
2.5
4
5.5
5.8
6.9
7.4
0.3
1.4
1.9
5
5.7
6.1
6.5
7.3
0.3
0.8
1.6
1
7.3
8.6
9.7
12.0
1.3
2.4
4.7
2
7.7
8.4
9.4
10.6
0.7
1.7
2.9
3
7.0
7.5
8.6
10.0
0.5
1.6
3.0
4
6.7
7.3
8.6
9.9
0.6
1.9
3.2
5
6.7
7.7
8.0
9.0
1.0
1.3
2.3
1
6.6
7.4
9.0
10.9
0.8
2.4
4.4
2
6.4
6.5
7.5
9.0
0.1
1.1
2.6
3
5.2
5.8
6.7
8.5
0.5
1.4
3.2
4
5.5
5.7
6.3
7.9
0.2
0.8
2.4
5
6.7
6.8
7.3
8.4
0.1
0.6
1.7
1
6.4
6.6
7.4
8.5
0.2
1.0
2.1
2
6.5
7.0
7.6
8.1
0.5
1.1
1.6
3
6.2
7.1
7.8
8.3
0.9
1.6
2.1
4
6.5
7.4
8.0
8.5
1.0
1.5
2.0
5
6.6
7.5
8.1
9.2
0.9
1.5
2.6
1
6.5
7.2
8.3
10.5
0.8
1.8
4.1
2
7.1
7.6
8.4
9.1
0.5
1.4
2.1
3
7.2
8.4
9.8
10.7
1.1
2.5
3.5
4
7.3
7.7
9.4
10.6
0.4
2.1
3.2
5
5.9
6.6
7.9
9.5
0.7
1.9
3.6
1
6.7
7.0
7.9
9.4
0.3
1.2
2.7
2
6.4
7.0
7.7
8.3
0.6
1.2
1.8
3
5.6
6.3
7.6
9.3
0.7
2.0
3.7
4
5.5
6.2
6.7
8.1
0.7
1.2
2.6
5
6.0
6.8
8.7
10.7
0.8
2.7
4.7
1
6.5
7.0
8.2
9.2
0.5
1.7
2.7
2
6.7
7.5
8.2
8.7
0.8
1.5
2.1
3
5.5
7.2
8.3
9.4
1.7
2.8
3.9
4
6.3
6.9
7.4
8.0
0.6
1.1
1.7
5
6.4
6.7
7.5
9.8
0.2
1.1
3.4
Lampiran 3 Rekapitulasi pengukuran parameter diameter A. Intensitas Cahaya 100% IC
Kriminil
Media
M0
K0
M1
M2
M0
I0
K1
M1
M2
M0
K2
M1
M2
Ulangan
Rerata D0
Rerata D1
Rerata D2
Rerata D3
Riap 1 (D1-D0)
Riap 2 (D2-D0)
Riap 3 (D3-D0)
1
1.800
2.095
2.310
2.310
0.295
0.510
0.510
2
2.000
2.300
2.560
2.560
0.300
0.560
0.560
3
1.647
1.853
2.147
2.300
0.207
0.500
0.653
4
1.473
1.733
2.087
2.240
0.260
0.613
0.767
5
1.450
1.950
2.170
2.330
0.500
0.720
0.880
1
1.500
1.650
2.080
2.130
0.150
0.580
0.630
2
1.620
1.690
1.980
2.270
0.070
0.360
0.650
3
1.593
1.673
2.140
2.540
0.080
0.547
0.947
4
1.680
1.890
2.270
2.330
0.210
0.590
0.650
5
1.670
1.850
2.360
2.850
0.180
0.690
1.180
1
1.447
1.720
2.080
2.553
0.273
0.633
1.107
2
1.267
1.500
1.833
2.120
0.233
0.567
0.853
3
1.493
1.733
2.060
2.300
0.240
0.567
0.807
4
1.420
1.650
1.970
2.180
0.230
0.550
0.760
5
1.320
1.600
1.880
2.187
0.280
0.560
0.867
1
1.690
2.000
2.280
2.330
0.310
0.590
0.640
2
1.450
1.770
1.880
2.175
0.320
0.430
0.725
3
1.450
1.850
2.040
2.480
0.400
0.590
1.030
4
1.600
1.850
2.150
2.430
0.250
0.550
0.830
5
1.540
2.000
2.120
2.270
0.460
0.580
0.730
1
1.490
1.540
1.740
2.100
0.050
0.250
0.610
2
1.480
1.700
1.810
2.180
0.220
0.330
0.700
3
1.350
1.540
1.830
2.350
0.190
0.480
1.000
4
1.310
1.540
1.700
2.200
0.230
0.390
0.890
5
1.440
1.590
1.810
2.220
0.150
0.370
0.780
1
1.613
1.827
2.040
2.147
0.213
0.427
0.533
2
1.493
1.667
2.033
2.153
0.173
0.540
0.660
3
1.447
1.700
1.920
2.193
0.253
0.473
0.747
4
1.550
1.790
1.980
2.250
0.240
0.430
0.700
5
1.520
1.633
2.033
2.173
0.113
0.513
0.653
1
1.480
1.600
1.880
2.000
0.120
0.400
0.520
2
1.400
1.600
1.960
2.120
0.200
0.560
0.720
3
1.700
1.700
2.000
2.230
0.000
0.300
0.530
4
1.680
1.700
1.860
2.280
0.020
0.180
0.600
5
1.400
1.600
1.800
2.030
0.200
0.400
0.630
1
1.380
1.600
1.840
2.260
0.220
0.460
0.880
2
1.400
1.480
1.600
1.880
0.080
0.200
0.480
3
1.400
1.550
1.780
2.000
0.150
0.380
0.600
4
1.260
1.450
1.850
2.150
0.190
0.590
0.890
5
1.300
1.500
1.800
2.180
0.200
0.500
0.880
1
1.527
1.660
1.973
2.333
0.133
0.447
0.807
2
1.347
1.480
1.707
1.820
0.133
0.360
0.473
3
1.433
1.460
1.833
2.093
0.027
0.400
0.660
4
1.493
1.687
1.953
2.113
0.193
0.460
0.620
5
1.387
1.500
1.873
2.040
0.113
0.487
0.653
(Lanjutan) Lampiran 3 B. Intensitas Cahaya 45% IC
Kriminil
Media
M0
K0
M1
M2
M0
I1
K1
M1
M2
M0
K2
M1
M2
Ulangan
Rerata D0
Rerata D1
Rerata D2
Rerata D3
Riap 1 (D1-D0)
Riap 2 (D2-D0)
Riap 3 (D3-D0)
1
1.820
1.900
2.347
2.413
0.080
0.527
0.593
2
1.640
1.750
2.180
2.250
0.110
0.540
0.610
3
1.747
1.947
2.220
2.327
0.200
0.473
0.580
4
1.720
1.980
2.267
2.367
0.260
0.547
0.647
5
1.547
1.687
1.980
2.160
0.140
0.433
0.613
1
1.747
1.887
2.140
2.607
0.140
0.393
0.860
2
1.473
1.600
1.807
2.340
0.127
0.333
0.867
3
1.693
1.733
2.140
2.620
0.040
0.447
0.927
4
1.673
1.773
2.013
2.393
0.100
0.340
0.720
5
1.700
1.793
2.213
2.480
0.093
0.513
0.780
1
1.267
1.560
1.953
2.187
0.293
0.687
0.920
2
1.487
1.567
1.753
2.080
0.080
0.267
0.593
3
1.373
1.533
2.127
2.287
0.160
0.753
0.913
4
1.587
1.767
2.033
2.313
0.180
0.447
0.727
5
1.473
1.700
2.020
2.253
0.227
0.547
0.780
1
1.280
1.587
1.907
2.133
0.307
0.627
0.853
2
1.327
1.647
1.880
2.147
0.320
0.553
0.820
3
1.560
1.700
1.987
2.183
0.140
0.427
0.623
4
1.487
1.753
2.200
2.427
0.267
0.713
0.940
5
1.393
1.567
1.947
2.200
0.173
0.553
0.807
1
1.360
1.640
1.980
2.850
0.280
0.620
1.490
2
1.427
1.567
1.947
2.300
0.140
0.520
0.873
3
1.667
1.760
2.200
2.400
0.093
0.533
0.733
4
1.467
1.647
1.873
2.240
0.180
0.407
0.773
5
1.427
1.673
1.987
2.220
0.247
0.560
0.793
1
1.520
1.633
1.927
2.020
0.113
0.407
0.500
2
1.513
1.687
1.927
2.100
0.173
0.413
0.587
3
1.553
1.567
1.933
2.000
0.013
0.380
0.447
4
1.427
1.620
1.920
2.033
0.193
0.493
0.607
5
1.600
1.700
2.107
2.227
0.100
0.507
0.627
1
1.587
1.760
2.033
2.120
0.173
0.447
0.533
2
1.473
1.773
2.007
2.293
0.300
0.533
0.820
3
1.707
1.713
1.933
2.080
0.007
0.227
0.373
4
1.660
1.820
2.073
2.247
0.160
0.413
0.587
5
1.400
1.567
1.873
2.180
0.167
0.473
0.780
1
1.380
1.490
1.780
1.990
0.110
0.400
0.610
2
1.247
1.460
1.887
2.000
0.213
0.640
0.753
3
1.227
1.433
1.653
2.087
0.207
0.427
0.860
4
1.253
1.467
1.767
1.993
0.213
0.513
0.740
5
1.200
1.550
1.700
1.860
0.350
0.500
0.660
1
1.387
1.513
1.807
1.980
0.127
0.420
0.593
2
1.470
1.640
1.930
2.100
0.170
0.460
0.630
3
1.387
1.527
1.807
2.007
0.140
0.420
0.620
4
1.487
1.560
1.900
2.007
0.073
0.413
0.520
5
1.520
1.727
2.013
2.120
0.207
0.493
0.600
(Lanjutan) Lampiran 3 C. Intensitas Cahaya 25% IC
Kriminil
Media
M0
K0
M1
M2
M0
I2
K1
M1
M2
M0
K2
M1
M2
Ulangan
Rerata D0
Rerata D1
Rerata D2
Rerata D3
Riap 1 (D1-D0)
Riap 2 (D2-D0)
Riap 3 (D3-D0)
1
1.450
1.540
1.860
2.030
0.090
0.410
0.580
2
1.580
1.760
2.120
2.247
0.180
0.540
0.667
3
1.693
1.933
2.180
2.427
0.240
0.487
0.733
4
1.587
1.733
2.087
2.187
0.147
0.500
0.600
5
1.520
1.793
2.067
2.280
0.273
0.547
0.760
1
1.593
1.800
2.133
2.260
0.207
0.540
0.667
2
1.587
1.693
2.080
2.173
0.107
0.493
0.587
3
1.560
1.760
1.940
2.300
0.200
0.380
0.740
4
1.613
1.693
2.027
2.220
0.080
0.413
0.607
5
1.720
1.960
2.153
2.333
0.240
0.433
0.613
1
1.560
1.767
2.040
2.200
0.207
0.480
0.640
2
1.333
1.720
1.920
2.093
0.387
0.587
0.760
3
1.447
1.793
2.140
2.307
0.347
0.693
0.860
4
1.227
1.467
1.773
1.980
0.240
0.547
0.753
5
1.400
1.600
1.887
2.040
0.200
0.487
0.640
1
1.430
1.940
2.110
2.480
0.510
0.680
1.050
2
1.673
1.927
2.280
2.327
0.253
0.607
0.653
3
1.600
1.847
2.320
2.353
0.247
0.720
0.753
4
1.540
1.693
2.033
2.320
0.153
0.493
0.780
5
1.713
1.967
2.107
2.420
0.253
0.393
0.707
1
1.427
1.653
2.080
2.367
0.227
0.653
0.940
2
1.367
1.500
1.827
2.120
0.133
0.460
0.753
3
1.373
1.500
1.827
2.100
0.127
0.453
0.727
4
1.373
1.493
1.787
1.947
0.120
0.413
0.573
5
1.290
1.340
1.640
1.790
0.050
0.350
0.500
1
1.573
1.673
2.047
2.293
0.100
0.473
0.720
2
1.633
1.693
1.947
2.127
0.060
0.313
0.493
3
1.520
1.740
2.053
2.193
0.220
0.533
0.673
4
1.547
1.720
2.040
2.220
0.173
0.493
0.673
5
1.727
1.993
2.220
2.433
0.267
0.493
0.707
1
1.540
1.700
1.960
2.110
0.160
0.420
0.570
2
1.580
1.727
2.027
2.240
0.147
0.447
0.660
3
1.420
1.827
2.033
2.200
0.407
0.613
0.780
4
1.640
1.727
2.020
2.160
0.087
0.380
0.520
5
1.347
1.500
1.740
1.997
0.153
0.393
0.650
1
1.367
1.467
1.880
2.140
0.100
0.513
0.773
2
1.400
1.660
1.960
2.333
0.260
0.560
0.933
3
1.327
1.400
1.860
2.007
0.073
0.533
0.680
4
1.240
1.400
1.840
1.980
0.160
0.600
0.740
5
1.400
1.690
1.965
2.260
0.290
0.565
0.860
1
1.720
1.800
2.213
2.340
0.080
0.493
0.620
2
1.587
1.727
2.127
2.273
0.140
0.540
0.687
3
1.580
1.700
1.970
2.090
0.120
0.390
0.510
4
1.573
1.760
1.860
1.993
0.187
0.287
0.420
5
1.493
1.567
1.973
2.657
0.073
0.480
1.163
Lampiran 4 Rekapitulasi pengukuran Nisbah Pucuk Akar (NPA) B. Intensitas Cahaya 45 %
A. Intensitas Cahaya 100 % IC
Kriminil
Media
K0
M0
K0
K0
K1
I0
K1
K1
K2
K2
K2
M1
M2
M0
M1
M2
M0
M1
M2
Ulangan
NPA
1
1.409
2
1.214
3 1 2
2.167
3
1.840
1
1.357
IC
Kriminil
Media
Ulangan
NPA
K0
M0
1
1.908
2
0.867
1.080
3
0.980
1.631
1
1.878
2
2.245
3
1.508
1
1.800
2
1.822
3
2.148
1
1.324
2
1.091
K0
K0
M1
M2
2
1.900
3
1.316
1
1.000
2
1.250
3
1.966
3
1.652
1
1.978
1
2.061
2
2.000
2
1.108
3
2.704
3
1.525
1
1.429
1
1.258
2
1.477
2
1.083
3
1.696
3
1.605
1
2.048
1
1.214
2
2.241
2
1.341
3
1.258
3
1.778
1
2.000
1
1.670
2
2.000
2
1.375
3
2.828
3
1.548
1
1.641
1
1.492
2
1.655
2
1.300
3
1.773
3
1.737
K1
I1
K1
K1
K2
K2
K2
M0
M1
M2
M0
M1
M2
(Lanjutan) Lampiran 4 C. Intensitas Cahaya 25 % IC
Kriminil
Media
K0
M0
K0
K0
K1
I2
K1
K1
K2
K2
K2
M1
M2
M0
M1
M2
M0
M1
M2
Ulangan
NPA
1
0.933
2
1.154
3
1.804
1
0.493
2
1.417
3
1.595
1
1.403
2
1.437
3
1.900
1
0.967
2
1.938
3
1.604
1
1.412
2
1.300
3
0.864
1
0.764
2
1.077
3
1.190
1
0.765
2
1.365
3
1.972
1
2.689
2
3.714
3
1.611
1
1.820
2
1.347
3
1.018
Lampiran 5 Rekapitulasi pengukuran Bobot Kering Total (BKT) A. Intensitas Cahaya 100% IC
Kriminil
Media
K0
M0
K0
K0
K1
I0
K1
K1
K2
K2
K2
M1
M2
M0
M1
M2
M0
M1
M2
B. Intensitas Cahaya 45 %
Ulangan
BKT
1
0.106
2
0.062
3 1
IC
Kriminil
Media
Ulangan
BKT
K0
M0
1
0.221
2
0.084
0.104
3
0.101
0.321
1
0.282
K0
M1
2
0.209
2
0.305
3
0.071
3
0.331
1
0.066
1
0.182
2
0.127
3
0.085
1
0.316
2
0.138
K0
M2
2
0.116
3
0.088
1
0.144
2
0.063
3
0.086
3
0.122
1
0.134
1
0.404
2
0.120
2
0.196
3
0.100
3
0.154
1
0.170
1
0.149
2
0.109
2
0.150
3
0.062
3
0.112
1
0.128
1
0.496
2
0.094
2
0.206
3
0.070
3
0.150
1
0.144
1
0.243
2
0.120
2
0.171
3
0.111
3
0.158
1
0.169
1
0.152
2
0.077
2
0.138
3
0.122
3
0.104
K1
I1
K1
K1
K2
K2
K2
M0
M1
M2
M0
M1
M2
(Lanjutan) Lampiran 5 C. Intensitas Cahaya 25% IC
Kriminil
Media
K0
M0
K0
K0
K1
I2
K1
K1
K2
K2
K2
M1
M2
M0
M1
M2
M0
M1
M2
Ulangan
BKT
1
0.201
2
0.140
3
0.143
1
0.315
2
0.249
3
0.218
1
0.185
2
0.173
3
0.087
1
0.354
2
0.235
3
0.125
1
0.287
2
0.253
3
0.110
1
0.194
2
0.108
3
0.127
1
0.286
2
0.246
3
0.211
1
0.166
2
0.198
3
0.141
1
0.141
2
0.223
3
0.113
Lampiran 6 Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter tinggi pada 1 BST Sumber Keragaman I K M I*K I*M K*M I*K*M Acak (Error) Total
Jumlah Kuadrat 1.351 .499 2.269 .337 .358 .445 1.311 8.940 63.990
Derajat Bebas (db) 2 2 2 4 4 4 8 108 135
Kuadrat Tengah .676 .249 1.134 .084 .090 .111 .164 .083
Fhitung
Peluang
8.162 3.013 13.703 1.018 1.081 1.345 1.979
.000 .053 .000 .401 .369 .258 .056
Faktor intensitas cahaya (I)
Tinggi
Duncan a,b I
N
I1 I2 I0 Sig.
45 45 45
Subset 1 .4578 1.000
2 .6689 .6711 .971
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Faktor jenis media (M) Duncan
Tinggi
a,b
M
N
M1 M2 M0 Sig.
45 45 45
Subset 1 2 .4978 .5178 .7822 .742 1.000
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Lampiran 7 Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter tinggi pada 2 BST Sumber Keragaman I K M I*K I*M K*M I*K*M Acak (Error) Total
Jumlah Kuadrat 3.698 1.169 6.694 .920 .998 .626 1.301 17.560 295.610
Derajat bebas (db) 2 2 2 4 4 4 8 108 135
Kuadrat Tengah 1.849 .585 3.347 .230 .249 .156 .163 .163
Fhitung
Peluang
11.373 3.595 20.586 1.415 1.534 .962 1.000
.000 .031 .000 .234 .197 .432 .440
(Lanjutan) Lampiran 7 Faktor intensitas cahaya (I) Duncan
Tinggi
a,b
I
N
I1 I0 I2 Sig.
45 45 45
1 1.1844
Subset 2
3
1.4111 1.000
1.000
1.5889 1.000
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Faktor penggunaan inang primer kriminil (K) Tinggi
Duncan a,b K
N
K1 K2 K0 Sig.
45 45 45
Subset 1 2 1.2711 1.4178 1.4178 1.4956 .087 .362
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Faktor jenis media (M) Tinggi
Duncan a,b M
N
M2 M1 M0 Sig.
45 45 45
Subset 1 1.1689 1.3178 .083
2 1.6978 1.000
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Lampiran 8 Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter tinggi pada 3 BST Sumber Keragaman I K M I*K I*M K*M I*K*M Acak (Error) Total
Jumlah Kuadrat 11.383 2.300 33.032 2.781 3.663 5.103 3.306 33.460 911.010
Derajat bebas (db) 2 2 2 4 4 4 8 108 135
Kuadrat Tengah 5.692 1.150 16.516 .695 .916 1.276 .413 .310
Fhitung
Peluang
18.371 3.711 53.309 2.244 2.956 4.118 1.334
.000 .028 .000 .069 .023 .004 .235
(Lanjutan) Lampiran 8 Faktor intensitas cahaya (I)
Tinggi
Duncan a,b I
N
I0 I1 I2 Sig.
45 45 45
Subset 1 2 2.2400 2.2667 2.8689 .821 1.000
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Faktor penggunaan inang primer kriminil (K)
Tinggi
Duncan a,b K K1 K2 K0 Sig.
N 45 45 45
Subset 1 2 2.3511 2.3822 2.6422 .791 1.000
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Faktor jenis media (M)
Tinggi
Duncan a,b M
N
M2 M0 M1 Sig.
45 45 45
1 1.7756
Subset 2
3
2.6689 1.000
1.000
2.9311 1.000
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Lampiran 9 Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter diameter pada 1 BST Sumber Keragaman I K M I*K I*M K*M I*K*M Acak (Error) Total
Jumlah Kuadrat .024 .061 .087 .074 .027 .199 .054 .688 5.888
Derajat bebas (db) 2 2 2 4 4 4 8 108 135
Kuadrat Tengah .012 .031 .043 .018 .007 .050 .007 .006
Fhitung
Peluang
1.919 4.790 6.806 2.904 1.075 7.806 1.054
.152 .010 .002 .025 .372 .000 .401
(Lanjutan) Lampiran 9 Faktor penggunaan inang primer kriminil (K)
Diameter
Duncan a,b K
N
K2 K0 K1 Sig.
45 45 45
Subset 1 2 .1563 .1974 .2045 1.000 .672
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Faktor jenis media (M)
Diameter
Duncan a,b M
N
M1 M2 M0 Sig.
45 45 45
Subset 1 2 .1617 .1755 .2210 .415 1.000
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Lampiran 10 Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter diameter pada 2 BST Sumber Keragaman I K M I*K I*M K*M I*K*M Acak (Error) Total
Jumlah Kuadrat .006 .118 .021 .118 .013 .212 .079 .978 33.452
Derajat bebas (db) 2 2 2 4 4 4 8 108 135
Faktor penggunaan inang primer kriminil (K)
Diameter
Duncan a,b K
N
K2 K1 K0 Sig.
45 45 45
Subset 1 2 .4470 .4930 .5185 1.000 .206
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Kuadrat Tengah .003 .059 .011 .030 .003 .053 .010 .009
Fhitung
Peluang
.306 6.510 1.172 3.264 .355 5.866 1.091
.737 .002 .314 .014 .840 .000 .375
Lampiran 11 Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter diameter pada 3 BST Sumber Keragaman I K M I*K I*M K*M I*K*M Acak (Error) Total
Jumlah Kuadrat .026 .142 .234 .110 .131 .439 .119 2.337 72.875
Derajat bebas (db) 2 2 2 4 4 4 8 108 135
Kuadrat Tengah .013 .071 .117 .028 .033 .110 .015 .022
Fhitung
Peluang
.592 3.289 5.407 1.273 1.519 5.071 .688
.555 .041 .006 .285 .202 .001 .701
Faktor penggunaan inang primer kriminil (K)
Diameter
Duncan a,b K
N
K2 K0 K1 Sig.
45 45 45
Subset 1
2
.6708 1.000
.7368 .7423 .861
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Faktor jenis media (M) Duncan
Diameter
a,b
M
N
M2 M0 M1 Sig.
45 45 45
Subset 1 2 .6863 .6882 .7755 .952 1.000
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Lampiran 12 Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter Nisbah Pucuk Akar (NPA) Sumber Keragaman I K M I*K I*M K*M I*K*M Acak (Error) Total
Jumlah Kuadrat 1.076 1.253 2.509 1.468 .687 1.380 2.708 9.660 222.157
Derajat bebas (db) 2 2 2 4 4 4 8 54 81
Kuadrat Tengah .538 .627 1.254 .367 .172 .345 .338 .179
Fhitung
Peluang
3.008 3.503 7.011 2.052 .959 1.929 1.892
.058 .037 .002 .100 .437 .119 .080
(Lanjutan) Lampiran 12 Faktor penggunaan inang primer kriminil (K)
NPA
Duncan a,b K
N
K1 K0 K2 Sig.
27 27 27
Subset 1 2 1.4564 1.5261 1.5261 1.7481 .547 .059
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Faktor jenis media (M)
NPA
Duncan a,b M
N
M0 M2 M1 Sig.
27 27 27
Subset 1 2 1.4120 1.4980 1.8208 .458 1.000
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Lampiran 13 Sidik ragam dan uji lanjut Duncan parameter Bobot Kering Total (BKT) Sumber Keragaman I K M I*K I*M K*M I*K*M Acak (Error) Total
Jumlah Kuadrat .108 .000 .073 .002 .028 .071 .021 .274 2.884
Derajat bebas (db) 2 2 2 4 4 4 8 54 81
Faktor intensitas cahaya (I)
BKT
Duncan a,b I
N
I0 I2 I1 Sig.
27 27 27
Subset 1 2 .1173 .1937 .1954 1.000 .927
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Kuadrat Tengah .054 .000 .037 .001 .007 .018 .003 .005
Fhitung
Peluang
10.614 .007 7.207 .117 1.359 3.522 .515
.000 .993 .002 .976 .260 .013 .840
(Lanjutan) Lampiran 13 Faktor jenis media (M)
BKT
Duncan a,b M
N
M2 M0 M1 Sig.
27 27 27
Subset 1 2 .1307 .1716 .2041 1.000 .099
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Lampiran 14 Uji lanjut Duncan interaksi faktor intensitas cahaya dengan jenis media (I x M) pada 3 BST (tinggi) Tinggi
Duncan a,b IM
N
I1M2 I0M2 I2M2 I1M0 I0M0 I0M1 I1M1 I2M1 I2M0 Sig.
15 15 15 15 15 15 15 15 15
Subset 1 1.4267 1.5733
2 2.3267 2.3533 2.4267 2.7200
.472
3
2.7200 3.0200 3.0533
.079
.124
4
3.0200 3.0533 3.2267 .343
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Lampiran 15 Uji lanjut Duncan interaksi faktor penggunaan inang primer kriminil dengan jenis media (K x M) pada 3 BST (tinggi) Duncan
Tinggi
a,b
KM
N
K1M2 K2M2 K0M2 K2M1 K0M0 K1M0 K2M0 K1M1 K0M1 Sig.
15 15 15 15 15 15 15 15 15
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
1 1.5267 1.8667 1.9333
Subset 2
3
2.5533 2.5800 2.7000 2.7267 2.8267 .060
.239
3.4133 1.000
Lampiran 16 Uji lanjut Duncan interaksi faktor penggunaan inang primer kriminil dengan jenis media (K x M) pada 1 BST (diameter) Duncan
Diameter
a,b
KM
N
K2M2 K0M1 K2M0 K1M2 K1M1 K2M1 K0M0 K0M2 K1M0 Sig.
15 15 15 15 15 15 15 15 15
Subset 1 .1277 .1349 .1534 .1603 .1625 .1877
2
3
.1603 .1625 .1877 .2188
.073
4
.1877 .2188 .2385
.068
.103
.2385 .2909 .075
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Lampiran 17 Uji lanjut Duncan interaksi faktor penggunaan inang primer kriminil dengan jenis media (K x M) pada 2 BST (diameter) Diameter
Duncan a,b KM
N
K2M0 K2M2 K1M1 K1M2 K0M1 K2M1 K0M0 K0M2 K1M0 Sig.
15 15 15 15 15 15 15 15 15
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
1 .4124 .4367 .4526 .4592 .4701
.144
2 .4367 .4526 .4592 .4701 .4921
.161
Subset 3 .4526 .4592 .4701 .4921 .5271 .057
4
.4921 .5271 .5581 .074
5
.5271 .5581 .5671 .283
Lampiran 18 Uji lanjut Duncan interaksi faktor penggunaan inang primer kriminil dengan jenis media (K x M) pada 3 BST (diameter) Duncan
Diameter
a,b
KM
N
K2M0 K1M2 K2M2 K0M0 K2M1 K0M1 K1M0 K0M2 K1M1 Sig.
15 15 15 15 15 15 15 15 15
1 .6182 .6218 .6384 .6502
.594
Subset 2
.6502 .7559 .7617
.051
3
.7559 .7617 .7961 .7987 .8090 .389
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
Lampiran 19 Uji lanjut Duncan interaksi faktor penggunaan inang primer kriminil dengan jenis media (K x M) pada 3 BST (BKT) BKT
Duncan a,b KM
N
K0M2 K0M0 K1M2 K2M2 K2M1 K1M0 K1M1 K2M0 K0M1 Sig.
9 9 9 9 9 9 9 9 9
Keterangan: Αlpha (α) = 0,05
1 .1232 .1291 .1312 .1377 .1613 .1759 .1953 .067
Subset 2
.1377 .1613 .1759 .1953 .2097 .059
3
.1953 .2097 .2557 .094
Lampiran 20 Pedoman pengharkatan hasil analisis kesuburan tanah
Sifat Tanah C N C/N ratio P2O5 HCl 25% (ppm) P2O5 Bray (ppm) P2O5 Olsen (ppm) K2O HCl 25% (ppm) K (me/100 gram) Na (me/100 gram) Mg (me/100 gram) Ca (me/100 gram) KTK (me/100 gram) Kejenuhan Basa (%) pH (H2O)
Sangat Rendah < 1,00 < 0,10 <5 < 15 < 10 < 10 < 10 < 0,1 < 0,1 < 0,4 <2 <5 < 20
< 4,5 Sangat masam
4,5 – 5,5 Masam
Rendah 1,00 – 2,00 0,10 – 0,20 5 – 10 15 – 20 10 – 15 10 – 25 10 – 20 0,1 – 0,3 0,1 – 0,3 0,4 – 1,0 2–5 5 – 16 20 – 35 5,6 – 6,5 Agak Masam
Kategori Sedang 2,01 – 3,00 0,21 – 0,50 11 – 15 21 – 40 16 – 25 26 – 45 21 – 40 0,4 – 0,5 0,4 – 0,7 1,1 – 2,0 6 – 10 17 – 24 36 – 50 6,6 – 7,5 Netral
Tinggi 3,01 – 5,00 0,51 – 0,75 16 – 25 41 – 60 26 – 35 46 – 60 41 – 60 0,6 – 1,0 0,8 – 1,0 2,1 – 8,0 11 – 20 25 – 40 51 – 70 7,6 – 8,5 Agak Alkalis
Sangat Tinggi > 5,00 > 0,75 > 25 > 60 > 35 > 60 > 60 > 1,0 > 1,0 > 8,0 > 20 > 40 > 70 > 8,5 Alkalis