ANALISIS PERANAN ANGGARAN BELANJA MODAL SEBAGAI INVESTASI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN KAWASAN TIMUR INDONESIA TAHUN 2005-2009
TITUK INDRAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Peranan Anggaran Belanja Modal Sebagai Investasi Pemerintah Dalam Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Tahun 2005-2009 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011 Tituk Indrawati NIM : H151090334
ABSTRACT TITUK INDRAWATI. An Analysis of Role of Capital Expenditure as Government Investment on Economic in East Indonesia Year 2005-2009. Under direction of HERMANTO SIREGAR and NUNUNG NURYARTONO. How important was government investment in enhancing The East Indonesia’s economy? Using a dataset of regional government spending and panel data (First-difference Generalized Method of Moments), it show that regional government in East Indonesia still depend on central government for their government revenue and policy. Fiscal independence from regional government in East Indonesia were low and declining every year. The research also find that government investment especially on infrastructure (irrigation, street, and telecommunication/network) have positive impact for economic growth in East Indonesia. And also have complementer relation with private investment, which mean both investment have contribution on accumulation investment for higher output and aggressive economic growth. These results suggest that regional government must explore their potential resources to increase their own-source revenue (pendapatan asli daerah, or PAD) so they can have higher fiscal independence. Regional government can create favorable environtment to attract private investor so later on it will provide jobs and become source of government revenue. Keywords: government investment on infrastructure, economic growth, fiscal independence, panel data (FD GMM)
.
RINGKASAN TITUK INDRAWATI. Analisis Peranan Anggaran Belanja Modal Sebagai Investasi Pemerintah Dalam Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Tahun 2005-2009. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan NUNUNG NURYARTONO. Terjadi kesenjangan pembangunan yang sangat tinggi, pada wilayah barat memiliki pembangunan yang cukup pesat yang ditandai dengan tingkat perekonomian yang tinggi dan terjadinya aglomerasi industri dibeberapa daerah, sedangkan pada wilayah timur pembangunan berjalan sangat lambat, yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu tingkat perekonomian yang berjalan lambat dan masih mengandalkan sektor primer sebagai sektor unggulan (Basri, 2009). Pembangunan yang tidak merata di Indonesia pada dasarnya disebabkan dengan perbedaan kemampuan daerah untuk tumbuh dan berkembang yang salah satunya adalah ketersediaan sarana infrastruktur dasar (Prasetyo, 2010). Hal ini memerlukan peranan pemerintah karena investasi infrastruktur merupakan investasi yang membutuhkan dana besar dengan resiko pengembalian yang tinggi dan waktu pengembalian yang sangat lama, dimana pihak swasta tidak akan melakukannya. Sebab lain yang dapat menyebabkan pembangunan yang tidak merata di Indonesia adalah daerah itu sendiri yaitu kemampuan dan kesanggupan suatu daerah dalam melaksanakan kegiatan perekonomiannya, yang ditentukan dari sumber-sumber pendapatan daerah. Perubahan sistem politik pemerintahan di Indonesia, dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi seharusnya membawa dampak positif bagi perkembangan pembangunan daerah. Dengan desentralisasi, pemerintah daerah diharapkan bisa merencanakan pembangunan daerahnya. Hal apa saja yang dibutuhkan dalam meningkatkan perekonomian serta membangun daerah. Pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan dan melaksanakan kebijakan anggarannya untuk keperluan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Bertolak dari hal-hal tersebut di atas maka permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi keuangan yang ada di daerah serta pengaruh investasi pemerintah yang ada dalam perekonomian Indonesia khususnya di wilayah timur. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan (1) Menganalisis kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah di Kawasan Timur Indonesia untuk dapat membiayai pembangunan daerahnya sendiri; (2) Menganalisis sumbangan investasi pemerintah dalam perekonomian di Kawasan Timur Indonesia selama tahun 2005-2009; (3) Menganalisis dampak yang terjadi antara investasi pemerintah baik secara total maupun menurut jenis yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah dengan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia. Metode analisis deskriptif yang digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai beberapa data yang diperoleh. Analisis rasio kemandirian fiskal digunakan untuk menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana dari luar (ekstern). Analisis data panel digunakan untuk melihat pengaruh dan dampak investasi pemerintah baik total maupun menurut jenis yang dibelanjakan terhadap perekonomian Kawasan Timur Indonesia.
Analisis kinerja keuangan daerah diukur menggunakan rasio kemandirian fiskal yang dapat melihat ketergantungan suatu daerah dengan pemerintah pusat. Pada tahun 2005 hingga 2009, rasio kemandirian provinsi di KTI berada di tingkat 0-25 persen yang berarti memiliki pola instruktif dengan pemerintah pusat, tingkat ketergantungan dengan pemerintah pusat masih sangat tinggi. Provinsi di KTI yang memiliki rasio kemandirian daerah tertinggi pada tahun 2009 adalah provinsi yang sudah stabil dan memiliki pendapatan asli daerah terbesar yaitu Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Tidak hanya memiliki rasio kemandirian yang rendah namun juga daerah di KTI memiliki pola yang semakin menurun setiap tahunnya. Hal ini disebabkan kenaikan PAD yang terjadi di setiap daerah lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah yang membuat penurunan peran (share) PAD terhadap penerimaan daerah. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan daerahnya, bersumber dari anggaran yang dimiliki pemerintah daerah atau dengan kata lain penerimaan daerah. Dalam hal ini, investasi pemerintah terbagi atas enam bagian yaitu tanah; peralatan dan mesin; gedung dan bangunan; jalan, irigasi dan jaringan; asset tetap lainnya; serta investasi lainnya. Dengan besarnya anggaran suatu pemerintah daerah maka daerah tersebut akan memiliki kemampuan yang besar dalam berinvestasi untuk membangun daerahnya. Anggaran pemerintah dalam melakukan investasi adalah sebesar ratarata 27,67 persen setiap tahunnya dari total anggaran yang dimiliki oleh pemerintah. Provinsi di KTI yang sedang giat menggalakkan pembangunan dan berinvestasi dalam membangun daerahnya pada tahun 2009 adalah Papua, Sulawesi Selatan dan Papua Barat masing-masing mencapai 6.022,1; 4.188,8; dan 3.206,4 milyar rupiah pada tahun 2009. Khusus untuk Provinsi Papua Barat memang sedang giat membangun dalam rangka mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya sebagai provinsi terbaru yang terbentuk pada tahun 2005. Hasil estimasi persamaan peranan investasi pemerintah total terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI pada periode tahun 2005-2009 menunjukkan bahwa investasi pemerintah memiliki hubungan yang substitusi dengan investasi swasta. Hal ini disebabkan memang masih sangat terbatas investor swasta akan menginvestasikan pada daerah yang belum berkembang (memiliki return of investment yang lama atau risk investment yang tinggi). Dalam persamaan terlihat yang berperan sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi di KTI adalah terpusat pada variabel tenaga kerja dengan elastisitas terbesar yaitu 0,2134 selain pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan produksi KTI masih bersifat padat karya. Sedangkan peranan investasi pemerintah untuk keperluan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI pada tahun 2005-2009 menghasilkan estimasi bahwa yang memiliki peranan langsung adalah investasi pemerintah untuk keperluan irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan. Hubungan investasi pemerintah dan swasta pada persamaan adalah bersifat komplementer yaitu kenaikan pada investasi pemerintah memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan ekonomi dengan investasi swasta. Dengan kata lain, keduanya memiliki kontribusi terhadap akumulasi investasi yang dapat meningkatkan kapasitas menuju ke tingkat output yang lebih tinggi dan berkelanjutan serta menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Diantara keduanya, yang memiliki peranan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi di KTI pada tahun 2005-
2009 adalah investasi pemerintah untuk keperluan irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan dengan elastisitas 0,1503 dibandingkan elastisitas investasi swasta yang hanya 0,0625. Variabel trade openness pada kedua persamaan menunjukkan hubungan yang negatif dan signifikan pada taraf 1 persen. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya trade openness dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di KTI. Hubungan yang negative memiliki makna bahwa di KTI nilai impor daerah masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai ekspor. Hal ini sangat dimungkinkan karena daerah di KTI masih memerlukan beberapa barang yang tidak dapat disediakan dari daerahnya, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk bahan baku industri yang ada di KTI. Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa arah kebijakan yang disarankan antara lain: (1) untuk meningkatkan PAD perlu mencari alternatif lain dengan melihat kondisi dan potensi daerah masing-masing serta tidak menghambat investor untuk menanamkan modalnya di daerah dan mengembangkan sumber PAD yang non pajak diantaranya membangun BUMD atau usaha milik pemerintah daerah yang profitable, (2) Pemerintah daerah KTI seharusnya tidak meningkatkan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dengan dalih peningkatan PAD. Upaya yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha sehingga mampu menarik investor swasta untuk menanamkan modalnya, yang pada gilirannya akan menyerap tenaga kerja lokal dan menjadi sumber pendapatan daerah. Pemerintah daerah bahkan seharusnya memberikan insentif dan kemudahan bagi investor melalui kemudahan perijinan, perbaikan infrastruktur perekonomian serta meningkatkan kualitas sumberdaya manusia lokal. (3) Pemerintah daerah KTI perlu mengusahakan suatu kebijakan yang dapat mengurangi nilai impor daerah KTI dan meningkatkan nilai ekspor dengan melihat suatu peluang pada perdagangan internasional sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh daerah di KTI. Seperti melakukan substitusi bahan baku industri, himbauan penggunaan produk domestic dan kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan usaha baru untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar merupakan produksi domestik daerah. Kata Kunci: Keuangan Daerah, Investasi Pemerintah Daerah, Pertumbuhan Ekonomi Daerah
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
ANALISIS PERANAN ANGGARAN BELANJA MODAL SEBAGAI INVESTASI PEMERINTAH DALAM PEREKONOMIAN KAWASAN TIMUR INDONESIA TAHUN 2005-2009
TITUK INDRAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Penelitian : Analisis Peranan Anggaran Belanja Modal Sebagai Investasi Pemerintah Dalam Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Tahun 2005-2009 Nama : Tituk Indrawati NRP : H151090334 Program Studi : Ilmu Ekonomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto
PRAKATA Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu untuk dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian. Topik yang dipilih untuk penelitian ini adalah “Analisis Peranan Anggaran Belanja Modal Sebagai Investasi Pemerintah dalam Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Tahun 2005-2009”, yang pelaksanaannya dimulai pada bulan November 2010. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Profesor Hermanto Siregar selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Nunung Nuryartono, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan dalam menyusun tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga diberikan kepada Bapak Nunung Nuryartono, Ph.D selaku ketua program studi dan Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan sebagai pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Badan Pusat Statistik yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Akhirnya, besar harapan penulis agar proposal ini dapat menghasilkan penelitian yang bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi pembangunan di Indonesia khususnya dalam kebijakan fiskal, serta bermanfaat bagi dunia pendidikan.
Bogor , Juni 2011 Penulis,
Tituk Indrawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi Jawa Barat pada tanggal 31 Maret 1980 dari bapak H.Darwadji Moertopo dan ibu Hj.Roeslinati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan M. Zamrisal dan dikaruniai satu orang anak yaitu M Arif Billah. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Angkasa IX kemudian melanjutkan ke SMPN 81 Jakarta Timur pada tahun 1992 dan lulus pada tahun 1995. Setelah lulus dari SMPN penulis melanjutkan ke SMAN 81 Jakarta Timur. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta dan lulus tahun 2002. Setelah lulus penulis bekerja di BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada tahun 2008, penulis diberi kepercayaan sebagai Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis BPS Kota Pangkalpinang. Pada tahun 2009 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi bea siswa tugas belajar kerja sama BPS-IPB.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................
xv
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xviii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xix
I.
PENDAHULUAN.................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ........................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................
7
1.4 Kegunaan Penelitian........................................................................
7
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..................................
8
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ...............
9
2.1 Tinjauan Teori .................................................................................
9
2.1.1 Peranan Pemerintah .............................................................
9
2.1.2 Pengeluaran Pemerintah .....................................................
10
2.1.3 Teori Pertumbuhan Ekonomi...............................................
17
2.1.4 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pengeluaran Pemerintah ...........................................................................
24
2.1.5 Investasi Pemerintah ............................................................
26
2.1.6 Desentralisasi Fiskal ............................................................
29
2.1.7 Pengelolaan Keuangan Daerah ............................................
31
2.1.8 Keterbukaan Dalam Perdagangan (Trade Openness) ..........
38
2.2 Regresi Data Panel ..........................................................................
39
2.2.1 Data Panel Statis ..................................................................
41
2.2.1 Data Panel Dinamis .............................................................
49
2.3 Penelitian-Penelitian Terdahulu ......................................................
57
2.4 Kerangka Pemikiran ........................................................................
60
2.4 Hipotesis Penelitian.........................................................................
61
III. METODE PENELITIAN ......................................................................
63
3.1 Metode Analisis .............................................................................
63
II.
3.1.1 Analisis Deskriptif .............................................................
63
3.1.2 Analisis Rasio Kemandirian Fiskal .....................................
63
3.1.3 Analisis Data Panel ..............................................................
64
3.2 Definisi Operasional ......................................................................
67
3.3 Jenis dan Sumber Data ..................................................................
69
3.4 Software Analisis yang Digunakan ...............................................
70
IV. KAWASAN TIMUR INDONESIA .....................................................
71
4.1 Kondisi Umum Penelitian ..............................................................
71
4.1.1 Kondisi Geografi ...............................................................
71
4.1.2 Penduduk ............................................................................
72
4.1.3 Kondisi Perekonomian .......................................................
76
4.2 Keuangan Daerah KTI ...................................................................
81
4.2.1 Sisi Penerimaan Daerah .....................................................
81
4.2.2 Sisi Pengeluaran Daerah .....................................................
86
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
91
5.1 Kemandirian Fiskal .........................................................................
91
5.2 Investasi Daerah ..............................................................................
96
5.3 Hasil Estimasi..................................................................................
99
5.3.1 Analisis Peranan Investasi Pemerintah Total terhadap Perekonomian KTI .............................................................
102
5.3.2 Analisis Peranan Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur terhadap Perekonomian KTI ..........................
105
VI. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................
111
6.1 Kesimpulan .....................................................................................
111
6.2 Implikasi Kebijakan ........................................................................
113
6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut .........................................................
114
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
117
LAMPIRAN ..................................................................................................
121
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Halaman
Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kawasan Timur Indonesia Tahun 2004-2008 (Persen) ......................................................................
2
2
Anggaran Belanja Rutin & Modal Kawasan Timur Indonesia 2008 ......
4
3
Perkembangan Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah ...............
32
4
Pola Hubungan Tingkat Kemampuan Daerah.........................................
64
5
Ibukota Provinsi, Luas Area, Persentasenya terhadap Indonesia serta Jumlah Pulau yang dimiliki di KTI Tahun 2009 ....................................
6
Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Menurut Provinsi Di Wilayah KTI Tahun 2009 ..................................................................
7
73
Angkatan Kerja, Jumlah Orang Bekerja dan Jumlah Pengangguran di Wilayah KTI Tahun 2009 ......................................................................
8
72
75
Nilai PDRB ADHB dan ADHK 2000 Menurut Provinsi di KTI Tahun 2005-2009 (Milyar Rupiah) .........................................................
76
Kontribusi Sektor Menurut Provinsi di KTI Tahun 2009 (Persen) .........
80
10 Penerimaan Daerah di KTI Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah)..............
82
9
11 Penerimaan Daerah KTI Menurut Sumbernya Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) .......................................................................................
83
12 Total Belanja KTI Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) ...........................
87
13 Total Belanja Provinsi di KTI Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) .........
89
14 Pendapatan Asli Daerah KTI Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) ..........
92
15 Rasio Kemandirian Fiskal Provinsi KTI Tahun 2005-2009 (Persen) .....
93
16 Derajat Desentralisasi Fiskal Tahun 2005-2009 (Persen) .......................
94
17 Investasi Pemerintah Daerah KTI Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) ...
98
18 Hasil Estimasi Peranan Investasi Pemerintah Total Menggunakan Metode Data Panel Statis dan Dinamis ................................................... 19
103
Hasil Estimasi Peranan Investasi Pemerintah Untuk Keperluan Infrastruktur Menggunakan Metode Data Panel Statis dan Dinamis ............................
109
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1
Tingkat Pertumbuhan Investasi Riil Indonesia Tahun 2001-2009 ......
6
2
Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner ...................
14
3
Teori Peacock dan Wiseman ...............................................................
15
4
Perkembangan Pengeluaran Pemerintah..............................................
17
5
Investasi Aktual Dan Break-Even........................................................
23
6
Hubungan Antara Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Dengan Porsi Pengeluaran Pemerintah Terhadap PDB .............................................
26
7
Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square ............................
44
8
Estimasi dengan Pendekatan Within Group ........................................
45
9
Kerangka Pemikiran ............................................................................
61
10
Laju Pertumbuhan Provinsi di KTI Tahun 2005-2009 .......................
77
11
Kontribusi Sektor Terhadap PDRB KTI Tahun 2005-2009 ................
79
12
Pos DAU dan DAK Menurut Provinsi di KTI Tahun 2007-2009 .......
84
13
Kontribusi PAD Provinsi dengan Penerimaan Daerah Terbesar Yaitu Sulawesi Selatan dan Papua Tahun 2005-2009 ........................
86
14
Alokasi Belanja Pada Total Belanja KTI Tahun 2009 (Persen) ..........
88
15
Distribusi Anggaran Provinsi di KTI Tahun 2009 ..............................
97
16
Investasi Pemerintah Menurut Jenisnya di KTI Tahun 2009 ..............
99
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Halaman
Pengujian Regresi (Ordinary Least Square) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total ....................................................
2
Pengujian Panel Statis Fixed Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total ..................................................................
3
127
Pengujian Panel Statis Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur ...........................
9
126
Pengujian Panel Statis Fixed Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur ...........................
8
125
Pengujian Regresi (Ordinary Least Square) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur ............
7
124
Pengujian Panel Dinamis (FD-GMM) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total ..................................................................
6
123
Uji Kebaikan (Uji Hausman) antara Fixed dan Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total .....................
5
122
Pengujian Panel Statis Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total ..................................................................
4
121
128
Uji Kebaikan (Uji Hausman) antara Fixed dan Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur .........................................................................................
10
129
Pengujian Panel Dinamis (FD-GMM) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur ...........................
130
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, wilayah Indonesia dibagi menjadi 2 kawasan pembangunan yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) yang terdiri dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Bali serta Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang terdiri dari Pulau Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara Barat dan Timur. Dari kedua wilayah tersebut terdapat kesenjangan pembangunan yang sangat tinggi, pada wilayah barat memiliki pembangunan yang cukup pesat yang ditandai dengan tingkat perekonomian yang tinggi dan terjadinya aglomerasi industri dibeberapa daerah. Sedangkan pada wilayah timur pembangunan berjalan sangat lambat, yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu tingkat perekonomian yang berjalan lambat dan masih mengandalkan sektor primer sebagai sektor unggulan (Basri, 2009). Ketimpangan ini dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS pada tahun 2008 mengenai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi seluruh provinsi menunjukkan bahwa terjadi pemusatan kegiatan ekonomi di Pulau Jawa. Pulau yang luasnya hanya mencapai 7 persen dari luas Indonesia ini mendominasi sekitar 58,79 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatera menguasai sekitar 23,29 persen, Kalimantan menguasai 10,51 persen, Sulawesi menguasai 4,21 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua masing-masing hanya 1,35; 0,24; 1,60 persen. Sementara itu, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2008 sebesar 6,17 persen, provinsi di Sumatera sebesar 4,96 persen, Kalimantan sebesar 3,14 persen, Sulawesi sebesar 6,88 persen, provinsi di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebesar 5,04 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah. Pembangunan Kawasan Timur Indonesia masih diwarnai beberapa permasalahan umum seperti permasalahan pertanian tradisional dan subsistemnya; masih adanya kasus busung lapar yang diderita warga; tingginya angka kematian; kemiskinan dan keterisolasian; terbatasnya pasokan air minum, listrik, dan energi;
masih terbatasnya sarana dan prasarana transportasi untuk memudahkan aksesibilitas; bencana alam; masih rendahnya kualitas hidup masyarakat; serta masih rawannya ancaman separatisme. Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi penyebab pembangunan di kawasan timur Indonesia berjalan lambat karena masih minimnya sarana dan prasarana/infrastruktur dasar, sumber daya manusia yang rendah, serta industrialisasi yang belum berkembang. Salah satunya dengan indikator nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai indikator kualitas sumber daya manusia, terlihat pada Tabel 1. Ada perbedaan nilai rata-rata IPM pada wilayah barat sebesar 72,2 persen pada tahun 2008 dibandingkan pada wilayah timur yang hanya mencapai 68,6 persen. Pada wilayah barat, nilai IPM merata diatas 70 persen hampir di seluruh provinsi. Sedangkan pada wilayah timur, hanya Sulawesi dan Maluku yang mempunyai nilai IPM diatas 70 persen. Tabel 1 Nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Wilayah Timur Indonesia Tahun 2004-2008 (%) PROVINSI
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
IPM 2004 60,6 62,7 73,4 67,3 67,8 66,7 65,4 64,4 69,0 66,4 63,7 60,9
2005 62,4 63,6 74,2 68,5 68,1 67,5 67,5 65,7 69,2 67,0 64,8 62,1
2006 63,0 64,8 74,4 68,8 68,8 67,8 68,0 67,1 69,7 67,5 66,1 62,8
2007 63,7 65,4 74,7 69,3 69,6 68,3 68,8 67,7 70,0 67,8 67,3 63,4
2008 64,1 66,2 75,2 70,1 70,2 69,0 69,3 68,6 70,4 68,2 68,0 64,0
Sumber : BPS (diolah)
Ketersediaan infrastruktur dasar sangat penting karena dapat menunjang aktivitas perekonomian serta berperan dalam mengakselerasi pembangunan dalam suatu wilayah. Dengan adanya sarana infrastruktur yang memadai dapat menarik
investasi untuk masuk ke daerah tersebut sehingga dapat menjadi lebih cepat berkembang. Penyediaan sarana infrastruktur dasar ini dilakukan oleh pemerintah karena investasi ini membutuhkan dana yang sangat besar dengan resiko pengembalian yang tinggi dan waktu pengembaliannya sangat lama. Oleh sebab itu pemerintah berperan menanamkan investasi khususnya investasi publik, sebagai fungsi yang meliputi pengalokasian sumber daya, distribusi pendapatan hingga menciptakan stabilitas perekonomian. Investasi ini juga memiliki arti bahwa investasi dilakukan pada sektor publik yaitu sektor pelayanan pemerintah secara umum dan perusahaan non-keuangan seperti jasa transportasi; jalan kereta api, pesawat terbang atau jasa-jasa publik lainnya. Pada pelaksanaannya. investasi pemerintah berdampingan dengan investasi swasta. Investasi pemerintah sangat dibutuhkan sebagai stimulus investasi swasta, memberi arah. serta sasaran pembangunan bangsa sehingga mampu menangkap preferensi masyarakat demi mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan. Pengeluaran pemerintah yang digambarkan pada APBN/APBD yang bertujuan untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan bagi pelayanan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam APBN/APBD terbagi atas dua kelompok utama yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dari keduanya, pengeluaran terbesar adalah pengeluaran rutin yaitu sekitar 60 persen terhadap total pengeluaran sementara 40 persennya digunakan untuk pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin meliputi belanja pegawai, barang, pemeliharaan. perjalanan dinas, pinjaman beserta bunga, dan subsidi yang kesemua jenis tersebut mempunyai sifat pengeluaran konsumsi. Sedangkan pengeluaran pembangunan terbagi menurut sektor-sektor pembangunan yang lebih bersifat sebagai investasi atau modal pemerintah. Sejalan dengan semakin luas jangkauan lingkup pembangunan di daerah maka pengeluaran pemerintah secara total terus meningkat begitupun dengan pengeluaran pembangunan yang merupakan nilai investasi pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan mensejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia (Brata, 2002). Walaupun pemilihan prioritas investasi pemerintah tersebut merupakan permasalahan yang cukup sulit. pemerintah harus menentukan komponen mana saja dari pengeluaran tersebut yang harus dikurangi
atau ditambah dalam menciptakan anggaran pembangunan yang efektif dan efisien. Dengan adanya otonomi daerah maka daerah memiliki kewenangan dalam menyusun anggaran terutama yang terkait dengan investasi pemerintah sehingga daerah dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya serta investasi tersebut tepat guna. Tabel 2 Anggaran Belanja Rutin & Modal di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2008
Provinsi Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Belanja Rutin
Belanja Modal
4.667.453.49
78.52
20.97
(%) Belanja Tak Terduga 0.51
3.565.401.76 3.305.179.76 3.491.374.39 9.159.956.85 3.786.303.52 2.175.998.89 1.552.528.05 2.183.557.76 2.483.503.63 5.359.789.10 13.653.190.08
68.79 72.41 69.70 71.26 69.90 69.51 64.10 68.29 61.92 55.65 68.69
31.02 27.48 30.08 28.57 29.81 30.40 35.54 31.31 37.69 43.93 30.33
0.19 0.11 0.22 0.16 0.29 0.09 0.36 0.39 0.39 0.42 0.99
Total Belanja (Jutaan Rupiah)
Sumber : Kemenkeu. (diolah)
Pada Tabel 2 dapat dilihat besaran persentase pengeluaran rutin atau biasa disebut dengan belanja rutin dan pengeluaran pembangunan atau belanja modal dari keseluruhan total belanja daerah (APBD) pada provinsi di wilayah timur Indonesia. Secara total belanja rutin memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan dengan belanja modal yaitu 68, 23 persen dan 31, 43 persen dengan 0, 34 persen belanja tak terduga. Terlihat pengeluaran pembangunan yang sangat kecil, hal ini membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah masih digunakan untuk membiayai kegiatan yang mendukung kelancaran pelaksanaan berbagai program dan kegiatan pemerintahan yang bersifat operasional dan peningkatan jangkauan serta mutu pelayanan terhadap masyarakat. Dengan kata lain pengeluaran yang tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan peningkatan output. Hal ini berarti
pengeluaran pemerintah berperan hanya dalam konsumsi, tidak atau belum dapat meningkatkan atau menstimulus pertumbuhan ekonomi sehingga dapat mengejar ketertinggalannya dengan wilayah barat Indonesia. Beberapa langkah yang diambil oleh pemerintah dalam upaya percepatan pembangunan di wilayah timur agar dapat mengurangi kesenjangan pembangunan yang terjadi tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2010-2014 adalah dengan meningkatkan koordinasi antar-provinsi. daya saing serta perubahan manajemen publik yang responsif terhadap tantangan. potensi dan masalah daerah. Langkah ini memerlukan kesiapan pemerintah daerah yang bersangkutan (Nanga M, 2005), untuk itu diperlukan peranan pemerintah dalam hal ini APBD sebagai modal atau investasi publik dalam membangun daerah. Beberapa tahun terakhir ini. nilai pengeluaran pemerintah daerah di wilayah timur meningkat namun pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi kawasan timur Indonesia tidak mengalami peningkatan sesuai yang direncanakan.
1.2. Perumusan Masalah Investasi merupakan salah satu komponen yang membentuk PDB yang mempunyai definisi modal yang digunakan seseorang atau perusahaan untuk memberikan manfaat di masa yang akan datang. Selama tahun 2000 hingga 2009, Indonesia mengalami tingkat pertumbuhan investasi riil yang terus menurun. Hal ini merupakan masalah yang serius, karena apabila investasi turun maka kegiatan produksi secara nasional akan turun dan mengakibatkan secara langsung nilai output juga turun. Apabila nilai output ini turun terus menerus. akan menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi yang merosot tajam. Penurunan nilai investasi dapat kita lihat pada Gambar 1. Investasi menurut sumbernya dibagi menjadi dua kelompok yaitu investasi yang bersumber dari investor asing atau disebut dengan penanaman modal asing (PMB) dan yang bersumber dari dalam negeri (PMDN). Investasi menurut pelaku dikelompokkan menjadi dua. yaitu investasi yang dilakukan oleh sektor swasta dan sektor publik dalam hal ini pemerintah. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah ini membuktikan peranan pemerintah yang aktif dalam perekonomian.
Gambar 1 Tingkat Pertumbuhan Investasi Riil Indonesia Tahun 2001-2009 (%). Pembangunan yang tidak merata di Indonesia pada dasarnya disebabkan dengan perbedaan kemampuan daerah untuk tumbuh dan berkembang yang salah satunya adalah ketersediaan sarana infrastruktur dasar (Munnel AH, 1992 dan Perkins P, 2005). Hal ini memerlukan peranan pemerintah karena investasi infrastruktur merupakan investasi yang membutuhkan dana besar dengan resiko pengembalian yang tinggi dan waktu pengembalian yang sangat lama. dimana pihak swasta tidak akan melakukannya. Sebab lain yang dapat menyebabkan pembangunan yang tidak merata di Indonesia adalah daerah itu sendiri yaitu kemampuan dan kesanggupan suatu daerah dalam melaksanakan kegiatan perekonomiannya. yang ditentukan dari sumber-sumber pendapatan daerah. Perubahan sistem politik pemerintahan di Indonesia, dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi seharusnya membawa dampak positif bagi perkembangan pembangunan daerah. Dengan desentralisasi, pemerintah daerah diharapkan bisa merencanakan pembangunan daerahnya. Hal apa saja yang dibutuhkan dalam meningkatkan perekonomian serta membangun daerah (Adi PH, 2006). Pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan dan melaksanakan kebijakan anggarannya untuk keperluan dan kepentingan daerah yang bersangkutan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan utama yang ingin dibahas di dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi keuangan yang ada di
daerah serta pengaruh investasi pemerintah yang ada dalam perekonomian Indonesia khususnya di wilayah timur. Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia sehingga dapat membiayai pembangunan daerahnya sendiri?
2.
Bagaimana peran investasi pemerintah dalam perekonomian Kawasan Timur Indonesia?
3.
Bagaimanakah dampak investasi pemerintah baik secara total maupun khusus untuk infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi ataupun peningkatan output di Kawasan Timur Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini pada intinya bertujuan untuk: 1.
Menganalisis kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah di Kawasan Timur Indonesia untuk dapat membiayai pembangunan daerahnya sendiri.
2.
Menganalisis peran investasi pemerintah dalam perekonomian di Kawasan Timur Indonesia selama 2005-2009.
3.
Menganalisis dampak yang terjadi antara investasi pemerintah baik secara total maupun khusus untuk infrastruktur dalam perekonomian di Kawasan Timur Indonesia.
1.4. Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri juga bagi pihak-pihak lain. 1. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai investasi pemerintah dalam perekonomian Kawasan Timur Indonesia, baik itu kontribusinya maupun dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi serta mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kemandirian fiskal yang dimiliki oleh daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia.
2. Bagi
penulis
yaitu
meningkatkan
pengetahuan.
wawasan
dan
memberikan pemahaman yang semakin mendalam tentang investasi pemerintah. 3. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan agar lebih memprioritaskan dan menentukan apa yang akan dilakukan sehubungan dengan memajukan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. 4. Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi pada pembaca mengenai kondisi terkini tentang pengaruh investasi pemerintah terhadap pembangunan perekonomian.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini
dilakukan
pada
wilayah
timur
Indonesia
dengan
menggunakan data time series tahunan yaitu pada data ouput yang didekati dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan investasi pemerintah yang dimaksud adalah investasi yang didekati dengan menggunakan data belanja modal atau belanja pembangunan pada anggaran dan keuangan daerah yang di agregasi dari fiskal provinsi dan kabupaten/kota. Model yang digunakan yaitu analisis data panel dengan rentang waktu lima tahun antara tahun 2005 hingga 2009. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, data time series yang digunakan hanya tahun 2005 hingga 2009 karena keterbatasan data. Kedua, data investasi pemerintah yang digunakan hanya berasal dari investasi menurut wujudnya yaitu infrastruktur dan fisik karena lebih mudah terukur dan terdata. Ketiga, pembatasan investasi pemerintah menurut jenis yang dibelanjakan yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah investasi pemerintah dengan pendekatan pengeluaran yang dikeluarkan pemerintah sebagai fiskal stimulus sesuai yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah masing-masing di wilayah KTI.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Tinjauan Teori-Teori
2.1.1 Peranan Pemerintah Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu. Fungsi pemerintah menurut Stiglitz (2000) ada tiga hal yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi. Tiga hal yang relevan dengan keuangan negara adalah redistribusi pendapatan, penyediaan barang publik, dan perlindungan sosial (Gramlich, 1990). Alasan peranan pemerintah dibutuhkan dalam perekonomian adalah: 1
Untuk menyediakan legal system atau peraturan-peraturan yang tidak dapat disediakan oleh sektor swasta
2.
Untuk mengkoreksi bila terjadi kegagalan pasar, adapun kegagalan pasar diantaranya: a. Kompetisi tidak sempurna. Dalam pasar yang tidak sempurna dan cenderung monopoli, harga yang terjadi biasanya lebih tinggi dan jumlah produksi lebih sedikit. Pemerintah diharapkan dapat mengatur dan memperbaiki agar kesejahteraan masyarakat tidak berkurang. b. Barang publik mempunyai karakteristik non excludable dan non rivalry. Dengan adanya sifat barang publik seperti itu maka akan timbul fenomena free rider artinya orang akan berlomba-lomba untuk tidak membayar dalam menikmati barang tersebut. Sistem penyediaan barang seperti ini tidak dapat dilakukan oleh sektor swasta, sehingga pemerintah yang menyediakannya. c. Ekternalitas pasar bersifat selfish sehingga yang dipikirkan adalah meminimalkan biaya sedangkan dampak secara tidak langsung seperti dampak sosial tidak diperhitungkan. d. Adanya kegagalan informasi Dalam beberapa hal masyarakat sangat membutuhkan informasi yang tidak dapat disediakan oleh pihak swasta, misalnya perkiraan cuaca. Bidang pertanian dan kelautan sangat membutuhkan informasi cuaca, akan tetapi pihak swasta tidak ada yang
menyediakannya. Pemerintah yang harus menyediakan informasi cuaca tersebut. Salah satu fungsi utama pemerintah adalah fungsi distribusi, kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah menghasilkan distribusi pendapatan yang merata. Padahal, distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan
bahwa
pengeluaran untuk
meningkatkan pengeluaran agregat (dan karenanya merangsang keluaran agregat) dalam resesi dan depresi. Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro salah satunya adalah dengan investasi yang dilakukan oleh dan untuk sektor public. Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Pada tahun 1980-an, peranan pemerintah Indonesia dalam meningkatkan perekonomian sangat besar karena masih memiliki hasil dari ekspor minyak bumi yang masih memiliki harga tinggi. Namun pada tahun 1980 akhir hingga sekarang, peranan pemerintah mulai berkurang. Ini disebabkan banyaknya fenomena investasi yang dilakukan oleh swasta. Dengan demikian, tercatat bahwa pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yaitu investasi pemerintah pada khususnya APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara).
2.1.2 Pengeluaran Pemerintah Di Indonesia pengeluaran pemerintah mempunyai peranan besar dalam meningkatkan dan mempertahankan permintaan agregat serta pertumbuhan ekonomi. Sumber dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut berasal dari penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan. Penerimaan dalam negeri pemerintah Indonesia berasal dari minyak bumi dan gas, pajak dan bukan pajak, serta tabungan pemerintah di Bank Indonesia. Penerimaan pembangunan meliputi bantuan program dan bantuan proyek. Dana penerimaan
pembangunan ini sebagian besar berasal dari luar negeri baik berupa kredit komersial maupun pinjaman dengan syarat pengembalian lunak. Kondisi perbandingan antara pengeluaran dan penerimaan tersebut dapat berupa (i) anggaran surplus, bila penerimaan lebih besar dari pengeluaran, (ii) anggaran berimbang, bila penerimaan sama dengan pengeluaran, dan (iii) anggaran defisit bila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran. Pemerintah mengambil kebijakan melaksanakan anggaran berimbang untuk menghindari terjadinya inflasi yang tinggi. Kebijakan tersebut tetap dianut hingga sekarang, meskipun dalam pelaksanaannya seringkali kebijakan tersebut belum direalisasikan dengan baik. a.
Dampak Perubahan Pengeluaran Pemerintah Pemerintah dapat memengaruhi tingkat output keseimbangan dengan
menambah atau mengurangi
pengeluarannya.
Besarnya
efek
perubahan
pengeluaran pemerintah adalah sama dengan pengaruh perubahan investasi (I o) atau konsumsi otonomous (Co), sehingga dampak
perubahan pengeluaran
pemerintah terhadap perekonomian dapat ditulis sebagai: ΔY = ΔG / (1-b),
(2.1)
dimana b = Marginal Propensity to Consume (MPC) b.
Pengaruh Pajak terhadap Keseimbangan Ekonomi Kebijakan fiskal bertujuan mengarahkan perekonomian ke kondisi yang
lebih baik, dengan demikian dampaknya terhadap keseimbangan harus dipahami. Salah satu cara paling mudah dengan melihat pengaruh pajak terhadap output keseimbangan. Pajak nominal, pertama kali memengaruhi pendapatan disposable. Jika pendapatan adalah Y dan pajak nominal adalah T, maka pendapatan disposable adalah : Yd = Y – T
(2.2)
Fungsi konsumsi menurut model Keynes adalah C = Co + b Yd
(2.3)
Dengan adanya pajak nominal, maka Yd = Y - T, sehingga fungsi konsumsi menjadi: C = Co + b (Y - T),
(2.4)
dan fungsi pengeluaran agregat menjadi AE = Ao + bY - bT.
(2.5)
Dengan demikian fungsi keseimbangan menjadi Y = AE = Ao – bT + bY
(2.6)
Y (1 - b) = Ao – bT
(2.7)
Y = (Ao - bT) / (1-b)
(2.8)
sehingga hubungan antara perubahan pajak nominal (ΔT) dengan perubahan pendapatan keseimbangan (ΔY) adalah ΔY = - bΔT / (1-b)
(2.9)
Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh para
ahli
ekonomi
dan
dapat
digolongkan
menjadi
tiga
golongan
(Mangkoesoebroto, 1997), yaitu: 1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antarsektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1991) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil.
Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke
pengeluaran-pengeluaran
untuk
aktivitas
sosial
seperti
program
kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner yang mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Hukum Wagner diformulasikan sebagai berikut: < PkPP PPK 1,2,…,n
<…<
(2.10)
: Pengeluaran pemerintah perkapita : Pendapatan perkapita (PDB / jumlah penduduk) : jangka waktu (tahun)
Hukum Wagner ditunjukkan dalam Gambar 2, dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponential yang ditunjukkan oleh kurva 1 dan bukan kurva 2.
PkPP/PPK
Kurva1
Kurva 2
an ang tah b n kem eri per pem a n v r ara Ku Z : ngelu pe Waktu/tahun 0
1
2
3
4
Gambar 2 Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah menurut Wagner.
3. Teori Peacock dan Wiseman. Teori yang didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Dengan demikian masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan
pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. PDB E F
D C G
Pe n
ran gelua
A
Pe n g
0
t
rinta p e me
h
B
an s eluar
a w a st
t+1
Gambar 3 Teori Peacock dan Wiseman. Pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta, ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali
normal maka tingkat pajak tidak turun kembali pada tingkat sebelum terjadinya perang. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 3. Dalam keadaan normal dari tahun t ke t+1, pengeluaran pemerintah dalam persentase terhadap PDB naik sebagaimana ditunjukkan garis AG. Apabila pada tahun t terjadi perang maka pengeluaran pemerintah naik sebesar AC dan kemudian naik seperti ditunjukkan garis CD. Setelah perang selesai pada tahun t+1 pengeluaran pemerintah tidak turun ke G, yaitu tingkat pengeluaran pemerintah apabila tidak terjadi perang. Hal ini disebabkan karena setelah perang pemerintah memerlukan tambahan dana untuk mengembalikan pinjaman pemerintah yang digunakan dalam pembiayaan perang. Kenaikan tarif pajak tersebut dimaklumi masyarakat, sehingga tingkat toleransi pajak naik dan pemerintah dapat memungut pajak yang lebih besar tanpa menimbulkan gangguan dalam masyarakat. Jadi berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidak berbentuk suatu garis, tetapi berbentuk seperti tangga sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Bird mengkritik hipotesa yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman. Bird menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang terjadi pengalihan aktivitas pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke pengeluaran yang berhubungan dengan gangguan tersebut. Hal ini akan diikuti oleh peningkatan persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB. Akan tetapi setelah terjadinya gangguan, persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB akan menurun secara perlahan-lahan kembali ke keadaan semula. Jadi menurut Bird, efek pengalihan merupakan gejala dalam jangka pendek, tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang. Satu hal yang perlu dicatat dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi pajak tersebut. Bird juga menyatakan bahwa limit perpajakan adalah sebesar 25 persen dari pendapatan nasional. Apabila limit dilampaui maka akan terjadi inflasi dan gangguan lainnya.
PDB Wagner, Solow, Musgrave
Peacock dan Wiseman
0
Tahun
Gambar 4 Perkembangan Pengeluaran Pemerintah.
2.1.3`Teori Pertumbuhan Ekonomi 1 Model Ekonomi Keynesian Peran investasi termasuk investasi infrastruktur dalam aktivitas ekonomi dapat dipisahkan atas perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan bagian dari komponen pengeluaran agregat, sedangkan stok kapital fisik seperti infrastruktur merupakan bagian dari faktor produksi dalam fungsi produksi sektoral atau agregat. Berdasarkan katagori tersebut, penjelasan teoritis mengenai peran investasi akan dilihat dari sisi permintaan dalam sebuah model makroekonomi dan sisi penawaran yang direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi. Pada bagian ini akan diuraikan teori sisi permintaan yaitu model ekonomi makro Keynesian. Model ekonomi makro Keynesian merupakan teori yang menjelaskan fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek dengan menfokuskan perhatiannya pada sisi pengeluaran agregat. Identitas Produk Nasional Bruto (PNB) standar Keynesian, dapat diilustrasikan sebagai berikut: C + I + G + (X-M) = PNB = C + S + T + Rf
(2.11)
Keterangan: C
:
total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa
I
:
investasi
G
:
pengeluaran pemerintah
(X – M) : ekspor bersih barang dan jasa S
:
tabungan swasta bruto
T
:
penerimaan pajak bersih
Rf
:
total pembayaran transfer ke luar negeri
Identitas di atas menunjukkan bahwa kondisi ekuilibrium dicapai ketika total pengeluaran agregat sama dengan total pendapatan agregat dan keduanya sama dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu perekonomian. Pada posisi keseimbangan, nilai ekspor bersih sama dengan total pembayaran ke luar negeri, sehingga kedua komponen ini dapat dikeluarkan untuk penyederhanaan identitas pendapatan nasional, sebagai berikut: C + I + G = PNB = C + S + T
(2.12)
Seluruh komponen pengeluaran dan pendapatan agregat apabila dideflasikan terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas pendapatan nasional dalam nilai riil sebagai berikut: c+i+g =y= c+s+t
(2.13)
Keterangan: t = t’y;
t‘ > 0
c = c’yd;
c’ > 0
s = s’yd ;
s’ > 0
ii ; gg; yd = y – ty; Pada persamaan penerimaan pajak (t), total pengeluaran konsumsi (c) dan total tabungan (s) semuanya merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, dengan kecenderungan tambahan pajak (t’) atau marginal propensity to tax (MPT), kecenderungan tambahan konsumsi (c’) atau marginal propensity to consume (MPC) dan kecenderungan tambahan tabungan (s’) atau marginal propensity to save (MPS) positif tetapi lebih kecil dari satu. Pada persamaan investasi swasta (i) dan pengeluaran pemerintah (g) diasumsikan sebagai peubah eksogenus.
Seluruh komponen pengeluaran agregat apabila disubstitusikan ke sisi pengeluaran pada persamaan asal akan diperoleh pengeluaran agregat riil sebagai berikut:
y c( y ty ) i g
(2.14)
Derivasi total pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponen c, t, g dan i pada persamaan diatas dan menyusunnya kembali akan menghasilkan efek pengganda (multiplier) pendapatan dari perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah sebagai berikut: dy
1 (di dg ) 1 c(1 t )
(2.15)
Pada persamaan diatas, setiap perubahan peubah eksogenus investasi swasta dan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan perubahan pendapatan nasional sebesar hasil kali angka pengganda dengan kenaikan komponen pengeluaran tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran pemerintah tergantung pada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin kecil MPT maka semakin besar dampak perubahannya terhadap pendapatan nasional.
2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar Model pertumbuhan Harrod dan Domar atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar (Harrod-Domar growth model) merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negaranegara sedang berkembang (Todaro 2006). Domar mengkonstruksi teorinya dengan menekankan peran ganda yang dimainkan oleh investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier, dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Domar dalam hal ini hendak menjawab tingkat investasi yang diperlukan agar peningkatan permintaan agregat sama dengan kapasitas produksi sehingga pemanfaatan kapasitas penuh dapat dipertahankan.
Pada model Domar, dinyatakan bahwa pertumbuhan permintaan agregat sama dengan investasi (I) dikalikan dengan besaran multiplier (1/s). Sedangkan pertumbuhan kapasitas produksi (penawaran agregat) sama dengan investasi (I) dibagi rasio kapital output (k). Melalui manipulasi matematis diperoleh laju pertumbuhan investasi yang diperlukan agar dapat menyamakan laju pertumbuhan permintaan agregat dengan laju pertumbuhan penawaran, yaitu sebesar rasio MPS (Marjinal Propensity to Save=s) terhadap COR (Capital Output Rasio=k) atau dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
Y K I s Y K I k
(2.16)
Keterangan:
Y = laju pertumbuhan permintaan agregat atau output Y K = laju peningkatan stok kapital (penawaran agregat) K I = laju peningkatan investasi I Menurut Harrod, pertumbuhan ekonomi dapat dibedakan atas pertumbuhan aktual, pertumbuhan yang diinginkan dan pertumbuhan alamiah. Pertumbuhan aktual (the actual growth =ΔY/Y) adalah laju pertumbuhan sesungguhnya yang besarnya ditentukan oleh rasio tabungan-output (S/Y) dan rasio tambahan kapitaloutput (ΔK/ΔY). Kedua besaran ini dianggap konstan dan melalui manipulasi matematis akan sama dengan tabungan. Pada tingkat laju pertumbuhan aktual, output aktual tidak selalu sama dengan output potensial. Laju pertumbuhan yang diinginkan adalah laju pertumbuhan yang dianggap memadai oleh para investor sehingga menjamin tercapainya kapasitas penuh atau keseimbangan permintaan dan produksi dalam jangka panjang. Permintaan agregat dianggap cukup tinggi oleh para investor pada laju pertumbuhan ini sehingga dapat menjamin terjualnya seluruh kapasitas pabrik yang ada. Output aktual akan sama dengan output potensial sehingga tidak terjadi variasi siklis dalam pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ini tercapai apabila output
(aktual dan potensial), permintaan agregat, stok kapital, dan investasi tumbuh pada tingkat yang sama. Perekonomian berada pada posisi keseimbangan ketika laju pertumbuhan aktual sama dengan laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh, yaitu laju pertumbuhan ekuilibrium jangka panjang. Perekonomian akan mengalami kelebihan kapasitas yang akibatnya dapat menciptakan depresi jangka panjang apabila laju pertumbuhan aktual lebih kecil daripada laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh. Jika permintaan agregat tumbuh sangat cepat sehingga laju pertumbuhan aktual melebihi laju pertumbuhan yang menjamin kapasitas penuh maka perekonomian akan mengalami inflasi tinggi jangka panjang. Ketidakseimbangan yang terjadi pada perekonomian baik karena depresi maupun inflasi, tidak ada mekanisme otomatis yang dapat membawa perekonomian pada kondisi keseimbangan. Kondisi ekuilibrium sangat jarang terjadi, sehingga Harrod sampai pada kesimpulan
teorema
ketidakseimbangan
(disequilibrium
theorem)
yang
menyatakan bahwa di dalam proses pertumbuhan ekonomi terkandung unsur ketidakstabilan yang sewaktu-waktu dapat mengganggu keadaan ekuilibrium. Selama proses pertumbuhan ekonomi berlangsung, tidak ada kekuatan yang secara otomatis dapat membawa penyimpangan tersebut kembali kepada kondisi ekuilibrium. Stabilitas pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang hanya dapat tercapai melalui intervensi pemerintah lewat kebijakan fiskal dan moneter untuk menanggulangi gangguan penyimpangan dan ketidakstabilan. Kedua kebijakan ini sangat berperan untuk meningkatkan investasi dalam sektor infrastruktur yang akan meningkatkan permintaan agregat dalam jangka pendek dan memperluas kapasitas produksi serta menjamin keberlanjutan proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. 3 Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow Teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu bentuk teori pertumbuhan ekonomi neoklasik yang populer. Teori ini merupakan pengembangan teori klasik yang menekankan proses pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Berdasarkan
sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi merupakan proses peningkatan output atau produksi barang dan jasa per kapita yang berlangsung dalam jangka panjang. Peningkatan output per kapita terjadi sebagai hasil dari interaksi faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Faktor produksi tersebut terdiri dari tanah dan sumber daya alam, tenaga kerja, modal dan kemajuan teknologi. Sebagian besar teori pertumbuhan ekonomi menfokuskan perhatiannya pada peran kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Secara umum pemikiran neoklasik didasarkan atas asumsi fungsi produksi kontinu yang bersifat constant returns to scale, pasar bebas yang bersaing sempurna, faktor produksi yang mobile, adanya kemungkinan substitusi di antara faktor produksi, serta anggapan tabungan yang identik dengan investasi (Todaro 2006). Berdasarkan asumsi tersebut, aktivitas perekonomian secara otomatis akan mencapai stabilitas pertumbuhan pada ekuilibriumnya dalam jangka panjang. Solow memandang proses pertumbuhan ekonomi dengan menempatkan pentingnya peran kemajuan teknologi dalam proses produksi. Model Solow diformulasikan atas anggapan bahwa unsur waktu dianggap terkandung dalam komponen kapital, tenaga kerja dan kemajuan teknologi. Selain itu, kemajuan teknologi dianggap terkandung dalam tenaga kerja yang disebut tenaga kerja efektif (effective labor), labor augmenting atau Harrod-nuetral. Fungsi produksi bersifat constant returns to scale sehingga output akan meningkat dengan proporsi yang sama apabila kapital dan tenaga kerja digandakan dan input-output yang baru digunakan sepenting input yang telah ada. Input selain kapital, tenaga kerja dan pengetahuan diasumsikan tidak penting. Berdasarkan anggapan tersebut model Solow diformulasikan sebagai suatu hubungan fungsional dimana output per tenaga kerja efektif sebagai fungsi dari kapital per tenaga kerja efektif, yaitu: y = f(k) Keterangan: y=
output per tenaga kerja efektif (Y/AL)
k=
kapital per tenaga kerja efektif (K/AL)
Y=
output
K = kapital
(2.17)
L = tenaga kerja A = efektivitas tenaga kerja (pengetahuan) AL = tenaga kerja efektif (labor augmented) Menurut Solow output nasional hanya digunakan untuk dua tujuan yaitu konsumsi dan investasi. Bagian output yang digunakan untuk tujuan investasi bersumber dari tabungan. Sebagai proses akumulasi modal, satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Tingkat perubahan stok kapital per unit tenaga kerja efektif merupakan selisih antara perubahan investasi aktual dengan perubahan investasi break-even (yaitu investasi yang diperlukan untuk mengimbangi pertumbuhan tenaga kerja dan ilmu pengetahuan serta menggantikan penyusutan kapital yang lama sehingga jumlah stok kapital per tenaga kerja efektif yang ada tetap terpelihara). Investasi per unit tenaga kerja efektif
Investasi break even
Investasi aktual
Modal per tenaga kerja efektif
k*
K
Sumber: Mankiw 2007
Gambar 5 Investasi Aktual Dan Break-Even. Stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Sebagaimana ditunjukkan Gambar 5, apabila tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif rendah, investasi aktual per unit tenaga kerja efektif lebih besar dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat tinggi sehingga jumlahnya meningkat ke posisi stok kapital per tenaga
kerja efektif keseimbangan atau laju pertumbuhannya positif. Pada tingkat stok kapital per tenaga kerja efektif yang tinggi, investasi aktual per unit tenaga kerja lebih kecil dari investasi break-even dan tingkat produktivitas stok kapital per tenaga kerja efektif sangat rendah sehingga jumlahnya menurun ke posisi stok kapital per tenaga kerja keseimbangan atau laju pertumbuhannya negatif. Stok kapital per tenaga kerja efektif selalu konvergen ke posisi keseimbangannya di titik k*. Setelah konvergensi tercapai, laju pertumbuhan stok kapital per tenaga kerja efektif mencapai nol karena pada posisi keseimbangan perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital total, tenaga kerja efektif dan output total tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar jumlah pertumbuhan tenaga kerja efektif dan pertumbuhan ilmu pengetahuan. Stok kapital per tenaga kerja dan total output per tenaga kerja tumbuh sebesar pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pemikiran Solow di atas menunjukkan bahwa perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu suatu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow. 2.1.4 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Pengeluaran Pemerintah Model pertumbuhan endogen menyatakan bahwa pertumbuhan Produk Nasional Bruto merupakan konsekuensi alamiah atas adanya ekuilibrium jangka panjang serta adanya divergensi pola pertumbuhan ekonomi antar Negara dalam jangka panjang, meskipun tehnologi tetap diakui memainkan peranan yang cukup penting. Namun dalam model pertumbuhan endogen, faktor tehnologi tidak perlu ditonjolkan untuk menjelaskan terciptanya pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Todaro, 2000). Dalam model Barro (1990) yang menguji model pertumbuhan endogen mengenai hubungan antara pengeluaran pemerintah di dalam Produk Domestik Bruto dan tingkat pertumbuhan riil, diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diketahui fungsi produksi Cobb Douglas sebagai berikut:
y = f(k,g) = Ak1-αgα
(2.18)
dimana g adalah kuantitas barang dan jasa perkapita yang dibeli oleh pemerintah, yang diasumsikan tidak ada pungutan biaya apapun (user charges), y adalah output perkapita, dan k adalah stok modal perkapita serta diasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan (constant return to scale). Jika diasumsikan total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak τ maka dapat dituliskan berikut: g = T = τy = τ Ak1-αgα
(2.19)
Apabila persamaan fungsi produksi diubah menjadi produktivitas marjinal modal maka: fk = A(1 - α)(g/k)α
(2.20)
jika total pembelanjaan pemerintah dibiayai oleh pendapatan pajak pada tingkat τ di substitusikan dengan persamaan di atas maka dapat dituliskan sebagai berikut: y = kA1/1- α τ α /1- α
(2.21)
dimana bahwa rasio input g dan k adalah sebagai berikut: g/k = (g/y)(y/k) = τ (y/k) = (Aτ) 1- α
(2.22)
Nilai untuk produktivitas marjinal modal dapat dituliskan kembali sebagai berikut: fk = (1 –α)A1 /1- α τ α /1- α
(2.23)
Oleh karena itu, solusi untuk tingkat pertumbuhan output per kapita dapat ditentukan sebagai berikut: y = c/c = (1- σ) [(1 – α)A1 /1- α τ α /1- α - ρ]
(2.24)
Pada persamaan di atas, bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh alokasi pembelanjaan publik dan tingkat pajak, sama halnya dengan individu memaksimalkan
pertumbuhan konsumsi
yang berkaitan
dengan
tingkat
pertumbuhan dari output dan modal. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah juga digambarkan oleh kurva Scully yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari
model dapat disimpulkan bahwa: peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini.
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
g
Porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDB
t
Gambar 6 Hubungan Antara Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Dengan Porsi Pengeluaran Pemerintah Terhadap PDB. 2.1.5 Investasi Pemerintah Investasi merupakan salah satu komponen atau variabel yang membentuk GDP. Definisi dari investasi itu sendiri adalah suatu kegiatan penanaman modal pada berbagai kegiatan ekonomi dengan harapan untuk memperoleh keuntungan (benefit) dimasa-masa yang akan datang. Investasi ini dikelompokan menjadi dua menurut sumbernya, yaitu investasi yang dilakukan oleh sektor swasta (private investment) dan sektor publik dalam hal ini adalah pemerintah (public investment). Sedangkan menurut wujudnya terbagi atas fisik dan non-fisik. Investasi pemerintah yang berwujud fisik seperti investasi pada infrastruktur umum, social capital, listrik, transportasi massa dan komunikasi umum. Sedangkan yang berwujud non-fisik adalah pemberian beasiswa untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh sumber daya pemerintah (pegawai pemerintahan). Dari kedua investasi berdasarkan sumbernya yaitu investasi pemerintah dan swasta mempunyai suatu hubungan. Jika investasi pemerintah dan investasi
swasta mempunyai hubungan substitusi sempurna, maka peningkatan investasi pemerintah akan memiliki pengaruh yang sama terhadap pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pengaruh dari investasi swasta. Namun bisa juga kondisi ini menyebabkan crowding out, dimana investasi pemerintah menggantikan investasi swasta. Ada dua pendapat yaitu menurut Keynesian masalah crowding out ini bukan merupakan sesuatu hal yang penting namun menurut David Aschauer yang berdasarkan teori Neo Klasik yaitu adanya kemungkinan bahwa investasi pemerintah akan mendorong meningkatnya investasi swasta yang akan bertambah tinggi produktivitas modal swasta dari akumulasi modal melalui modal yang berasal dari pemerintah. Selain hubungan keduanya juga memiliki perbedaan, yaitu investasi pemerintah lebih bersifat mendahulukan kepentingan masyarakat banyak dan untuk sesuatu yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan investasi swasta sudah dipengaruhi dengan mencari keuntungan yang sesuai dengan investasi/modal
yang ditanamkan (lebih terfokus pada
tingkat
pengembalian dari investasi yang dilakukan). Dalam model Barro diasumsikan bahwa aktivitas pemerintah memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Diketahui fungsi produksi Cobb Douglas yang didalamnya secara eksplisit terdapat modal pemerintah sebagai berikut: Yt = At Ltα Kt-1β KGt-1γ
(2.25)
dengan variabel agregat output (Yt), produktivitas (At), input tenaga kerja (Lt), dan variabel modal swasta yang didapatkan dari modal sektor swasta yang bukan konstruksi perumahan (K), serta modal pemerintah (KG) dimana t adalah merepresentasikan periode waktu sedangkan α, β, γ adalah parameter. Dan adanya hubungan antara investasi swasta serta pemerintah, yaitu memiliki hubungan substitusi sempurna ataupun komplementer yang sering disebut dengan istilah crowding-in dan crowding-out. Dampak crowding out terjadi apabila pengeluaran pemerintah bertindak sebagai substitusi untuk pengeluaran swasta. Dampak ini bersumber dari menurunnya investasi dan apresiasi nilai mata uang, sebagai akibat dari naiknya
tingkat bunga karena adanya stimulus fiskal. Besaran turunnya dampak pengganda tergantung pada hal-hal berikut (Abimanyu, 2005): a.
Sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga, naiknya sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga akan menurunkan koefisien pengganda. Namun demikian, apabila investasi merupakan fungsi positif dari pendapatan, maka angka pengganda tidak terlalu berpengaruh.
b.
Hubungan antara permintaan uang dengan tingkat bunga dan pendapatan. Semakin besar pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang, akan semakin menekan besarnya dampak pengganda, sebaliknya dengan kenaikan pendapatan.
c.
Tingkat keterbukaan ekonomi dan sistem nilai tukar yang digunakan. Keterbukaan ekonomi menimbulkan peluang substitusi permintaan, dari domestik menjadi impor, sehingga memperkecil dampak kebijakan fiskal yang diharapkan. Terkait dengan sistem nilai tukar, sistem nilai tukar fleksibel yang digunakan dapat meningkatkan crowding out, sehingga menurunkan efektivitas stimulus fiskal.
d.
Flesibelitas harga berpengaruh secara negatif terhadap besarnya pengganda.
e.
Rational expectation, apabila kebijakan stimulus fiskal ditempuh secara permanen, maka hal tersebut akan menimbulkan harapan akan naiknya tingkat bunga dan menguatnya nilai tukar. Sehingga stimulus fiskal menjadi kurang efektif, karena mempunyai crowding out yang cukup besar.
f.
Pandangan Ricardian equivalen, kebijakan fiskal tidak memengaruhi pendapatan permanen dan pola konsumsi masyarakat. Hal ini disebabkan adanya pola pikir masyarakat yang berpendapat bahwa kenaikan pendapatan dari stimulus fiskal pasti akan diikuti dengan kenaikan pajak dimasa yang akan datang.
Secara teori, analisis stimulus fiskal dimulai dengan Keynesian yang meliputi kriteria negara maju atau negara berkembang, perekonomian tertutup atau terbuka, dan sistem nilai tukar tetap atau mengambang. Berdasarkan Mundel-Flemming Model, kebijakan fiskal tidak akan efektif pada negara dengan perekonomian terbuka dan mempunyai sistem nilai tukar tukar yang mengambang, karena crowding out melalui nilai tukar yang memengaruhi ekspor neto.
2.1.6 Desentralisasi Fiskal Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi akan diwujudkan dengan memberikan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat (Bird, 2000). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, karena apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya dan diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus mendapat dukungan dari pemerintah pusat berupa subsidi/bantuan maupun pinjaman dari pemerintah pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat. Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, antara lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu peran pemerintah dalam menyediakan barang yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam memengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengatur distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam memengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut : 1.
Adanya Pemerintah Pusat yang capable dalam melakukan pengawasan dan enforcement.
2.
Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah. 3.
Stabilitas politik yang kondusif.
4.
Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan memengaruhi keputusankeputusan tersebut.
5.
Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah
6.
Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat. Salah satu teori yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan
oleh Tiebout (1996) yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it" (Stiglitz, 2000). Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya. Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal (Stiglitz, 2000). Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting
desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD-nya. 2.1.7 Pengelolaan Keuangan Daerah Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah berubah seiring dengan adanya desentralisasi fiskal. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim, 2007:23). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005, tentang pengelolaan keuangan daerah, pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 pada pasal 66 ayat 1, keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money) dengan
prinsip tata
pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105 tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah. Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga aspek analisis yang saling terkait satu dengan lainya. Ketiga aspek tersebut meliputi : 1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut.
2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat. 3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Dalam konsep yang lebih luas, sistem pengelolaan keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut : 1. Pengelolaan (optimalisasi dan/atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang mungkin dilakukan. 2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah. 3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. 4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. 5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas. Tabel 3 Perkembangan Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Sebelum Desentralisasi
Setelah Desentralisasi
UU 22/1999
Pemerintahan Daerah
UU 17/2003
Keuangan Negara
UU 25/1999
Perimbangan Keuangan Pemerintah
UU 1/2004
Perbendaharaan Negara
Pusat dan Pemerintah Daerah.
UU 32/2004
Pemerintahan daerah
PP 105/2000
Pengelolaan Keuangan Daerah
UU 33/2004
Perimbangan
KMDN 29/2002
Pedoman Pengurusan,
Pemerintah
Keuangan Pusat
dan
Pertanggungajawaban dan
PP 24/2005
pemerintah daerah
Pengawasan Keuangan Daerah
PP 58/2005
Standar Akuntansi Pemerintah
Permendagri
Pedoman Pengelolaan Keuangan
13/2006
Daerah
Pengelolaan Keuangan daerah
Sumber : Halim, 2007
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah salah satu wujud pengelolaan keuangan daerah. APBD adalah sebuah rencana yang disusun dalam bentuk kuantitatif dalam satuan moneter untuk suatu periode, yang biasanya satu tahun. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun
anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, dan belanja daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Tabel 3 menunjukkan perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah semenjak diberlakukannya desentralisasi fiskal. Ada beberapa format APBD yang digunakan sejak dilaksanakan desentralisasi fiskal. Pada tahun 2001-2002 menggunakan format APBD yang berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) 1981. Pada awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor 020-595 tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Kelemahan paling mendasar sistem administrasi keuangan daerah adalah masih diterapkannya pembukuan tunggal (Single entry book keeping) dan berbasis kas (cash basis). Secara struktural, yaitu penerimaan meliputi sisa anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan pinjaman. Sedangkan Belanja di bagi menjadi belanja rutin dan Belanja Pembangunan (Mulyana, 2006). Belanja rutin didefinisikan sebagai belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Belanja pembangunan didefinisikan sebagai belanja
yang menghasilkan nilai
tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja pembangunan adalah pengeluaran berkaitan dengan proyekproyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik lainnya. Sementara itu, belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya. Format yang berbasis Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA 1981) (format lama) diganti dengan format yang berbasis kinerja dengan berdasarkan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Perundangan
Kemendagri No. 29 Tahun 2002 tersebut tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Perubahan struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun anggaran 2002-2006 (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Perbedaan tersebut karena adanya perubahan sistem pencatatan dari ’Single Entry ke Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang berbasis kinerja dan prestasi (Mulyana, 2006). Struktur keuangan daerah berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja daerah dan Pembiayaan. Dalam hal ini, yang dimaksud satu kesatuan adalah dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber-sumber pembiayaannya. Pendapatan Daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut jenis pendapatan misalnya, pajak daerah, retribusi daerah , Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana, 2006). Sementara itu, belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Belanja menurut organisasi adalah satu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, Sekretariat Daerah serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya, pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai, belanja barang, belanja
pemeliharaan,
belanja
perjalanan
dinas
dan
belanja
modal/pembangunan. Selanjutnya, pembiayaan dirinci menurut sumber
pembiayaan.
Sumber-sumber pembiayaan yang merupakan penerimaan daerah antara lain, yaitu sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan.
Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Surplus anggaran adalah selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah, dan defisit anggaran adalah selisih kurang Pendapatan daerah terhadap Belanja Daerah (Mulyana, 2006). Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak terduga dibedakan dalam bagian anggaran pengeluaran tidak terduga. Pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak terduga adalah penanganan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah (Mulyana, 2006). Belanja Aparatur Daerah adalah bagian belanja berupa belanja administrasi Umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan
yang
dialokasikan
pada
atau
digunakan
untuk
membiayai kegiatan yang hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact) tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Sedangkan belanja pelayanan publik adalah bagian belanja berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact) secara langsung dinikmati masyarakat (Publik) (Mulyana, 2006). Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut berjalan hanya sampai 4 tahun dan direvisi kembali dengan PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman
Pengelolaan
Keuangan
Daerah
sebagai
pengganti
Kepmendagri No. 29 Tahun 2002. Permendagri No. 13 Tahun 2006 ini sebagai pedoman umum bagi pemerintahan daerah dalam melaksanakan tata kelola keuangannya, yang tentu saja dalam rangka perbaikan manajemen keuangan daerah yang sehat tercapai transparasi dan akuntabilitas. Format baru belanja tahun 2006, berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, belanja dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung.
Belanja
tidak langsung merupakan belanja
yang
dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan di dalamnya yang terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal. Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai kepentingan publik. Pengeluaran pemerintah dilaksanakan dalam rangka : 1. Menyediakan barang publik atau proses pembagian keseluruhan sumberdaya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang publik 2. Distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai keadaan distribusi yang merata dan adil, kemudian disebut fungsi distribusi. 3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat, dengan memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran, yang kemudian disebut fungsi stabilisasi. Dengan tujuan diatas, maka diperlukan sistem pengukuran kinerja yang bertujuan untuk menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Salah satu alat ukur kinerja adalah analisis rasio keuangan daerah yang merupakan inti pengukuran kinerja sekaligus konsep pengelolaan pemerintah daerah untuk menjamin dilakukannya pertanggungjawaban publik oleh lembaga pemerintah kepada masyarakat luas. Hasil analisis rasio keuangan tersebut dapat digunakan untuk : 1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah; 2. Mengukur efisiensi dan efektifitas dalam merealisasikan pendapatan daerah; 3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya; 4. Mengukur
kontribusi
masing-masing
sumber
pendapatan
dalam
pembentukan pendapatan daerah; 5. Melihat
pertumbuhan/perkembangan
perolehan
pendapatan
dan
pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Beberapa macam rasio keuangan adalah : a. Rasio Kemandirian Rasio kemandirian keuangan daerah (selanjutnya disebut “Rasio KKD”) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah, yang dapat diformulasikan (Halim, 2007:128) sebagai berikut.
Pendapatan Asli Daerah Rasio KKD =
X 100
(2.26)
Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi dan Pinjaman
Berdasarkan formula di atas dapat diketahui bahwa rasio KKD menggambarkan sejauh mana ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD. b. Rasio Efektivitas Dan Efisiensi Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio efektivitas, maka semakin baik kinerja pemerintah daerah. Realisasi Penerimaan PAD Rasio Efektivitas =
X 100 Target Penerimaan PAD
(2.27)
Untuk memperoleh ukuran yang lebih baik, rasio ini dibandingkan dengan rasio efisiensi. Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Semakin kecil rasio efisiensi, maka akan semakin baik kinerja pemerintah daerah. Biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD Rasio Efisiensi =
X 100 (2.28) Realisasi Penerimaan PAD
c. Rasio Aktivitas Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin besar persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin, maka semakin kecil dana yang dialokasikan untuk belanja pembangunan. Rasio Belanja Rutin terhadap APBD = Total Belanja Rutin Total APBD Rasio Belanja Pembangunan terhadap APBD = Total Belanja Pembangunan Total APBD
2.1.8 Keterbukaan Dalam Perdagangan (Trade Openness) Teori perdagangan internasional menyatakan bahwa dengan adanya kelimpahan sumber daya, setiap wilayah yang memiliki keunggulan komparatif akan melakukan spesialisasi guna memproduksi komoditi yang harganya relatif murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional. Kondisi sebaliknya, apabila terjadi keterbatasan sumber daya, melalui perdagangan interregional dan pasar internasional, kebutuhan akan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, mengingat adanya keunggulan komparatif dari wilayah atau negara lain, dapat dipenuhi melalui kegiatan impor. Oleh
karenanya,
kegiatan
ekspor-impor
dianggap
dapat
meningkatkan
kesejahteraan penduduk suatu wilayah atau negara karena konsumen akan mendapatkan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, terkait dengan adanya spesialisasi antar wilayah atau negara (Salvatore, 1996).
Berdasarkan teori standar tersebut, seharusnya dengan semakin besar kapasitas perdagangan internasional dan interregional, maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah atau negara tersebut. Sehingga antara keterbukaan perdagangan (trade openness) dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah mempunyai hubungan yang positif atau searah. Keterkaitan ini dibangun berdasarkan teori ekonomi Keynes yang menyatakan bahwa produksi output meningkat disebabkan karena pengaruh konsumsi rumahtangga, investasi, pengeluaran pemerintah, serta keterbukaan perdagangan yaitu ekspor dan impor. Dari teori ini, Buckner dan Tuladhar (2010) memasukkan komponen keterbukaan perdagangan sebagai salah satu variabel dalam pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan investasi pemerintah (public investment). 2.2
Regresi Data Panel Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif
dengan menggunakan metode ekonometrika melalui analisa regresi panel data. Data panel (atau longitudinal data) adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series murni. Verbeek
(2001) menjelaskan bahwa penggunaan model data panel
memiliki dua keunggulan utama bila dibandingkan dengan model cross section dan time series murni. Pertama, dengan mengkombinasikan data time series dan cross section dalam data panel membuat jumlah observasi menjadi lebih besar. Dengan menggunakan model data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga paramater yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Jumlah data dalam data panel meningkatkan jumlah derajat bebas (degree of freedom) dan mengurangi
kolinieritas di antara variabel penjelas, yang dalam hal ini meningkatkan efisiensi dari penduga ekonometrik. Kedua, penggunaan model data panel adalah dapat mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang, sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. Walaupun demikian, analisis data panel juga memiliki beberapa kelemahan dan keterbatasan dalam penggunaannya khususnya apabila data panel dikumpulkan atau diperoleh dengan metode survei. Permasalahan tersebut antara lain: (i) relatif besarnya data panel karena melibatkan komponen cross section dan time series menimbulkan masalah disain survei panel, pengumpulan dan manajemen data (masalah yang umumnya dihadapi di antaranya: coverage, nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi, dan waktu wawancara; (ii) distorsi kesalahan pengamatan (measurement error) yang umumnya terjadi karena kegagalan respon (contoh: pertanyaan yang tidak jelas, ketidaktepatan informasi, dan lain-lain); (iii) masalah selektivitas, yakni: self selectivity, nonresponse, attrition (jumlah responden yang terus berkurang pada survey lanjutan); dan (iv) cross section dependence (contoh: apabila macro panel data dengan unit analsis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence maka dapat mengakibatkan kesimpulan yang tidak tepat (miss leading inference). Menurut Baltagi (2005), meskipun dengan kelemahannya analisis data panel memiliki keunggulan dibandingkan dengan analisis ekonometrik lainnya yaitu sebagai berikut : 1. Data panel mampu mengakomodasi tingkat heterogenitas variabel-variabel yang tidak dimasukkan dalam model (unobserved heterogeneity),
memberikan
informasi
yang
lebih
banyak
dan
beragam
serta
meningkatkan jumlah derajat bebas dan lebih efisien, 2. Data panel mampu mengindikasikan dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diperoleh dengan data cross section murni atau time series murni, misalnya efek dari upah minimum, 3. Data panel mampu meminimalkan masalah kolinieritas antar variabel, 4. Data panel dapat menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks, misalnya fenomena skala ekonomi dan perubahan teknologi, Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit data lebih banyak. 2.2.1 Data Panel Statis Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit cross section yang sama, yang memiliki karakteristik di mana N > 1 dan T > 1. Misalkan yit merupakan nilai varabel dependen untuk unit cross section ke-i pada waktu ke-t dengan i = 1, 2,…, N dan t = 1, 2,…,T. Dan misalkan terdapat K variabel penjelas yang masing-masing diberi indeks j = 1, 2,…,K serta dinotasikan sebagai
, yang menyatakan nilai variabel penjelas ke-j untuk unit ke-i pada
waktu ke-t. Cara yang sering digunakan untuk mengorganisir data panel adalah dengan menuliskannya ke dalam bentuk matriks sebagai berikut:
; dengan
;
=
(2.29)
menyatakan gangguan acak untuk unit ke-i pada waktu ke-t.
Selanjutnya data tersebut disederhanakan dalam bentuk stack sebagai berikut:
;
;
(2.30)
dengan y adalah matriks berukuran NTx1, X adalah matriks berukuran NTxK, dan ε adalah matriks berukuran NTx1. Model standar data panel linier dapat diekspresikan sebagai y = X 'β + ε
(2.31)
dengan β adalah matriks berukuran NT x 1 yang diekspresikan sebagai
(2.32) Ada beberapa metode yang sering digunakan untuk mengestimasi parameter model data panel statis. Metode sederhana yang sering digunakan adalah pooled estimator atau dikenal sebagai metode least square yang umumnya digunakan pada model cross section dan time series murni. Sebagaimana dibahas sebelumnya bahwa data panel memiliki jumlah observasi lebih banyak dibandingkan data cross section dan time series murni. Akibatnya, ketika data digabungkan menjadi pool data, regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi yang menggunakan data cross section dan time series murni. Akan tetapi, dengan mengabungkan data, maka variasi atau perbedaan baik antara individu dan waktu tidak dapat terlihat. Hal ini tentunya kurang sesuai dengan tujuan dari digunakannya data panel. Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, penduga yang dihasilkan melalui least square dapat menjadi bias akibat kesalahan spesifikasi data. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ada dua metode yang biasanya digunakan dalam pemodelan data panel, yakni Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dan variabel bebas. Misalkan: yit = αi + Xit β + εit
(2.33)
Pada one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: εit = λi + uit
(2.34)
Untuk two way error components model, komponen error dispesifikasi dalam bentuk:
it i t uit
(2.35)
Pada pendekatan one way, error term hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek dari individu (λi). Pada two way dimasukkan efek dari
waktu (μt) ke dalam komponen error. Jadi perbedaan antara FEM dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara λi dan μt dengan Xit. Uji yang digunakan dalam penentuan kedua metode ini adalah uji Hausman. 1. Fixed Effect Model (FEM) FEM digunakan bila ada korelasi antara komponen eror dengan variabel bebasnya. Oleh karena itu, komponen eror dari efek individu (λi) dan efek dari waktu (μt) dapat menjadi bagian dari intersep. Dengan dua pendekatan, dapat dinyatakan sebagai berikut: A. Untuk one way error component
yit i i X it uit
(2.36)
B. Untuk two way error component
yit i i t X it uit
(2.37)
Penduga dalam FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik sebagai berikut: a. Pendekatan Pooled Least Square (PLS) Pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan jumlah series yang digunakan, yang diregresikan dengan model:
yit i X it uit
(2.38)
dimana αi bersifat konstan untuk semua observasi, atau αi = α. Formula perhitungannya adalah:
ˆ y ˆ x
(2.39)
1 N T xit y it NT i 1 t 1 ˆ 1 N T 2 xit NT i 1 t 1
(2.40)
Dimana x
1 NT
N
T
x i 1 t 1
it
dan xit xit x
Dengan mengkombinasikan semua data cross section dan data time series, data panel dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien, yaitu dengan varian: var(u ) var( ˆ ) N T it xit2
(2.41)
i 1 t 1
Pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing individu. (Gambar 7)
Gambar 7 Estimasi dengan Pendekatan Pooled Least Square. Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda. b. Pendekatan Within Group (WG) Pendekatan ini digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan menggunakan data deviasi dari rata-rata individu dimana: T
y T 1 yit
(2.42)
i 1
T
xi T 1 xit i 1
Dalam hal ini
(2.43)
xit* xit xit
(2.44)
yit* yit yit
(2.45)
dan yi i xi' ui
(2.46)
Jika yit = αi + xit β + uit , maka diperoleh: yit yi ( i i ) ( xit xi ) ' (uit ui )
(2.47)
atau yit* xit*' uit*
(2.48)
sehingga,
ˆ WG
1 N T * * xit yit NT i 1 t 1 1 N T *2 xit NT i 1 t 1
(2.49)
Gambar 8 Estimasi dengan Pendekatan Within Group Berdasarkan persamaan 2.49, FEM dengan pendekatan WG tidak memiliki intersep. Untuk mengilustrasikan bagaimana pendapatan ini bekerja dapat dilihat pada Gambar 8 diatas. Kelebihan dari WG ini adalah dapat menghasilkan parameter β yang tidak bias, tetapi kelemahannya adalah nilai var (βWG) cenderung lebih besar dari var (βPLS) sehingga dugaan WG menjadi relatif lebih tidak efisien. Untuk melihat hal ini dapat dibuktikan dengan:
N
T
S xx ( xit x ) 2
(2.50)
i 1 t 1 N
T
S xxw ( xit xi ) 2
(2.51)
i 1 t 1 N
S xxb T ( xi x ) 2
(2.52)
i 1
sehingga dapat dilihat bahwa: S xx S xxw S xxb
(2.53)
diketahui bahwa: T 1 var(u it* ) var(u it ) T
(2.54)
sehingga varians dari penduga β dengan pendekatan WG adalah: var( ˆ WG )
=
var(u it* ) N
T
x i 1 t 1
=
(2.55)
2 it
var(u it* ) S xx S xxb
T 1 var(u it ) T = S xx S xxb
(2.56)
(2.57)
Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa var(β) pada WG lebih besar dari var(β) pada PLS. Kelemahan lain dari WG adalah tidak dapat mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM, seperti terlihat dari tidak dimasukkannya intersep ke dalam model. c. Pendekatan Least Square Dummy Variable (LSDV) Metode ini bertujuan dapat merepresentasikan perbedaan intersep, yaitu dengan dummy variable. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalkan persamaan awal seperti pada persamaan PLS dan kelompok dummy variable dgit = 1 (g = i): yit i xit' uit
(2.58)
dengan memasukkan sejumlah dgit = 1 (g = i), persamaan awal menjadi:
yit 1d1it 2 d 2it ... N d Nit xit' uit
(2.59)
persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter βLSDV. Kelebihan pendekatan ini (LSDV) adalah dapat menghasilkan dugaan parameter β yang tidak bias dan efisien. Tetapi kelemahannya jika jumlah unit observasinya besar maka terlihat cumbersome. Untuk menguji apakah intersep memang signifikan atau tidak dapat menggunakan F-test dengan hipotesis sebagai berikut: H0
: α1 = α2 = α3 = ..... = αN dan
H1
: satu dari α ada yang tidak sama
Hipotesis ini dapat secara langsung digunakan untuk menguji apakah lebih baik menggunakan PLS atau LSDV. Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik yaitu: 2 RDV R p2 NT N k F 2 1 RDV N 1
(2.60)
dimana: 2 : koefisien determinasi LSDV RDV
R p2 k
: koefisien determinasi PLS : banyaknya variabel
Jika nilai F hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesis nol sehingga dugaan bahwa α adalah sama untuk semua individu dapat ditolak. d.
Two Way Error Components Fixed Effect Model Model ini disusun berdasarkan fakta bahwa terkadang fixed effects tidak hanya berasal dari variasi antar individu (time invariants) tetapi juga berasal dari variasi antar waktu (time effect) sehingga model dasar yang digunakan adalah: yit i t xit' uit
(2.61)
Dimana γt merepresentasikan time effect. Jika masing-masing pengaruh individu (αi) dan time-effect (γt) diasumsikan berbeda, sehingga dengan menambahkan sejumlah zsit = 1 dummy akan diperoleh persamaan:
(s = t) variabel
yit 1d1it 2 d 2it ... N d Nit 2 z 2it ... T zTit xit' uit
(2.62)
Penambahan sejumlah dummy variable ke dalam persamaan menyebabkan masalah pada penggunaan two way fixed effect yaitu berkurangnya derajat kebebasan, yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. 2. Random Effect Model (REM) REM muncul ketika antara efek individu dan variabel bebas tidak ada korelasi. Asumsi ini membuat komponen eror dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam eror, dimana: A. Untuk one way error component sebagai:
yit i i X it uit
(2.63)
B. Untuk two way error component sebagai:
yit i i t X it uit
(2.64)
Beberapa asumsi yang biasa digunakan dalam REM yaitu:
E (uit / i ) 0
(2.65)
E (uit2 / i ) u2
(2.66)
E ( i / xit ) 0
(2.67)
E ( i2 / xit ) 2
(2.68)
E (uit i ) 0
(2.69)
Untuk i ≠ j dan t ≠ s E (uit u js ) 0
(2.70)
Untuk i ≠ j E ( i j ) 0
(2.71)
dimana: Untuk one way error component, τi = λi Untuk two way error component, τi = λi + μi Dari semua asumsi tersebut, yang paling penting dalam REM adalah asumsi bahwa nilai harapan dari xit untuk setiap τi adalah 0 atau E(τi xit) = 0. Untuk menghitung estimator REM, ada dua jenis pendekatan yang digunakan, yaitu:
a. Pendekatan Between Estimator Pendekatan ini berkaitan dengan dimensi antar data (differences between individual), yang ditentukan sebagaimana OLS estimator pada sebuah regresi dari rata-rata individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak terhingga, dengan asumsi bahwa variabel bebas dengan eror tidak saling berkorelasi atau E (xit εi = 0) begitu juga dengan nilai ratarata eror E (xit εi = 0). b. Pendekatan Generalized Least Square (GLS) Pendekatan GLS mengkombinasikan informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat dipandang sebagai ratarata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah regresi. Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator yang diperoleh disebut random effects estimator. Dalam bentuk persamaan hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
RE = Between + (Ik - ) Within
(2.72)
2.2.2 Data Panel Dinamis Data panel dapat didefinisikan sebagai observasi berulang pada setiap unit cross section yang sama. Relasi di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataan banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen di antara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, model data panel dinamis adalah sebagai berikut: (2.73) dengan
menyatakan suatu skalar,
menyatakan matriks berukuran 1xK dan
matriks berukuran Kx1. Dalam hal ini,
diasumsikan mengikuti model
oneway error component sebagai berikut: (2.74)
dengan
menyatakan pengaruh individu dan
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap
. Dalam
model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena fungsi dari
maka
juga merupakan fungsi dari
fungsi dari
maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor
merupakan
. Karena
adalah dengan
. Hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila
tidak
berkorelasi serial sekalipun. Untuk mengilustrasikan kasus tersebut, berikut diberikan model data panel autoregresif (AR(1)) tanpa menyertakan variabel eksogen: (2.75) dengan
di mana
dan
satu sama lain. Penduga fixed effect bagi
saling bebas
diberikan oleh
(2.76) dengan
dan
. Untuk menganalis sifat dari
, dapat disubstitusi persamaan tersebut ke dalam persamaan (2.76) untuk memperoleh:
(2.77) Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk
dan T tetap, bentuk
pembagian pada Persamaan (2.77) tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila
. Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan
bahwa:
(2.78)
sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arrelano dan Bond menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Ada dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni: 1. First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM)
1. First-differences GMM (AB-GMM) Untuk mendapatkan estimasi tertentu,
akan
dilakukan
yang konsisten di mana
first-difference
mengeliminasi pengaruh individual
pada
dengan T
Persamaan (2.78)
untuk
sebagai berikut: (2.79)
namun, pendugaan dengan least square akan menghasilkan penduga inkonsisten karena
dan
yang
berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila
. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, digunakan sebagai instrumen. Di sini, tetapi tidak berkorelasi dengan penduga variabel instrumen bagi
akan
berkorelasi dengan , dan
tidak berkorelasi serial. Di sini,
disajikan sebagai
(2.80) syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
(2.81) Penduga (2.80) merupakan salah satu penduga yang diajukan oleh Anderson dan Hsiao (1981). Mereka juga mengajukan penduga alternatif di mana digunakan sebagai instrumen. Penduga variabel instrumen bagi
disajikan
sebagai
(2.82) syarat perlu agar penduga ini konsisten adalah
(2.83) Penduga variabel instrumen yang kedua memerlukan tambahan lag variabel untuk membentuk instrumen, sehingga jumlah amatan efektif yang digunakan untuk melakukan pendugaan menjadi berkurang (satu periode sampel “hilang”). Dalam hal ini pendekatan metode momen dapat menyatukan penduga dan mengeliminasi kerugian dari pengurangan ukuran sampel. Langkah pertama dari pendekatan metode ini adalah mencatat bahwa
(2.84) yang merupakan kondisi momen (moment condition). Dengan cara yang sama dapat diperoleh
(2.85) yang juga merupakan kondisi momen. Kedua estimator selanjutnya dikenakan kondisi momen dalam pendugaan. Sebagaimana diketahui penggunaan lebih banyak kondisi momen meningkatkan efisiensi dari penduga. Arellano dan Bond menyatakan bahwa daftar instrumen dapat dikembangkan dengan cara menambah
kondisi momen dan membiarkan jumlahnya bervariasi berdasarkan t. Untuk itu, mereka mempertahankan T tetap. Sebagai contoh, ketika T = 4 diperoleh untuk t=2 , untuk t=3 , untuk t = 4 Semua kondisi momen dapat diperluas ke dalam GMM. Selanjutnya, untuk memperkenalkan penduga GMM, misalkan didefinisikan ukuran sampel yang lebih umum sebanyak T, sehingga dapat dituliskan
(2.86) sebagai vektor tranformasi error, dan
(2.87) sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks
berisi instrumen yang
valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai (2.88) yang merupakan kondisi bagi 1+2+…+T-1. Untuk menurunkan penduga GMM, Persamaan (2.85) dituliskan sebagai (2.89) Karena jumlah kondisi momen umumnya akan melebihi jumlah koefisien yang belum diketahui,
akan diduga dengan meminimumkan kuadrat momen sampel
yang bersesuaian, yakni
(2.90) dengan
adalah adalah matriks penimbang definit positif yang simetris.
Dengan mendifrensiasikan Persamaan (2.90) terhadap GMM sebagai
akan diperoleh penduga
(2.91) yang konsisten
Sifat dari penduga GMM (2.91) bergantung pada pemilihan selama
definit positif, sebagai contoh
yang merupakan matriks
identitas. Matriks penimbang optimal (optimal weighting matrix) akan memberikan penduga yang paling efisien karena menghasilkan matriks kovarian asimtotik terkecil bagi
. Sebagaimana diketahui dalam teori umum GMM (Verbeek,
2000), diketahui bahwa matriks penimbang optimal proposional terhadap matriks kovarian invers dari momen sampel. Dalam hal ini, matriks penimbang optimal seharusnya memenuhi (2.92) Dalam kasus biasa, dimana tidak ada restriksi yang dikenakan terhadap matriks kovarian
, matriks penimbang optimal dapat diestimasi menggunakan first-step
consistent estimator bagi
dan mengganti operator ekspektasi dengan rata-rata
sampel, yakni (two step estimator)
(2.93) Dengan
menyatakan vektor residual yang diperoleh dari first-step consistent
estimator. Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa
pada
seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan
bagi
autokorelasi pada
sampel
berukuran
kecil)
menekankan
ketidakberadaan
dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis.
Dengan catatan di bawah restriksi
(2.94) matriks penimbang optimal dapat ditentukan sebagai (one step estimator)
(2.95) Sebagai catatan bahwa (2.95) tidak mengandung parameter yang tidak diketahui, sehingga penduga GMM yang optimal dapat dihitung dalam satu langkah bila error
diasumsikan homoskedastis dan tidak mengandung autokorelasi. Jika model data panel dinamis mengandung variabel eksogenus, maka
persamaan dasar dapat dituliskan kembali menjadi (2.96) Parameter persamaan juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap , sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun. Bila strictly exogenous dalam artian bahwa error
tidak berkorelasi dengan sembarang
, akan diperoleh ; untuk setiap s dan t
sehingga
(2.97)
dapat ditambah ke dalam daftar instrumen untuk persamaan
first difference setiap periode. Hal ini akan membuat jumlah baris pada menjadi besar. Selanjutnya, dengan mengenakan kondisi momen ; untuk setiap t
(2.98)
Matriks instrumen dapat dituliskan sebagai
(2.99) Bila variabel di mana diperoleh
tidak strictly exogenous melainkan predetermined, dalam kasus dan lag
tidak berkorelasi dengan bentuk error saat ini, akan , untuk s ≥ t. Dalam kasus dimana hanya
instrumen yang valid bagi persamaan first difference pada periode t, kondisi momen dapat dikenakan sebagai
(2.100) Dalam prakteknya, kombinasi variabel x yang strictly exogenous dan predetermined dapat terjadi lebih dari sekali. Matriks
kemudian dapat
disesuaikan.
2. System GMM (SYS-GMM) Ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah untuk mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret. Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut: (2.101) dengan
,
untuk i =1, 2,…, N; t = 1,
dan
2,…,T. Dalam hal ini, Blundel dan Bond memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh sedemikian sehingga
tepat teridentifikasi (just identified).
Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan
pada
. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari
Persamaan (2.101) yang dievaluasi pada saat t=2 dengan mengurangi kedua ruas pada persamaan tersebut, yakni: (2.102) Dikarenakan ekspektasi
, maka
akan bias ke atas (upward
biased) dengan
(2.103) Dengan instrumen
. Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi variabel
intsrumen tahap pertama akan konvergen ke
dengan parameter non-centrality
, dengan Karena
maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Di sini,
Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga firstdifference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi 2.3
.
Penelitian-Penelitian Terdahulu Lynde dan Richmond (1993) melakukan penelitian mengenai dampak stok
modal publik terhadap tingkat output dan tingkat pertumbuhan produkstivitas di Amerika Serikat. Menurut penelitiannya secara empiris, 40 persen penurunan produktivitas di AS disebabkan oleh penurunan rasio antara modal publik dan tenaga kerja, yang mana kondisi ini menunjukkan pentingnya sektor publik dibandingkan sektor swasta. Lachler dan Aschauer (1998) menyatakan bahwa dampak investasi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi tergantung pada bagaimana hubungannya dengan investasi swasta. Hal ini disebabkan karena jika investasi pemerintah dan swasta bersifat komplementer, maka kenaikan pada investasi pemerintah memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan ekonomi dengan investasi swasta. Keduanya memiliki kontribusi terhadap akumulasi investasi yang dapat meningkatkan kapasitas menuju ke tingkat output yang lebih tinggi dan berkelanjutan. Namun apabila hubungan keduanya adalah substitusi, maka kenaikan investasi pemerintah tidak selalu berdampak pada kenaikan modal fisik, karena investasi tersebut dapat menyebabkan pengurangan investasi swasta atau lebih dikenal dengan crowding out. Crowding out dapat terjadi pada dua kondisi: secara keuangan, apabila pemerintah membiayai peningkatan investasinya dengan kenaikan pajak atau dengan cara meminjam pada pasar modal domestik dan secara fisik, investasi pemerintah mengurangi kesempatan pasar yang seharusnya dapat dilakukan swasta. Apabila modal tidak dengan mudahnya keluar-masuk secara internasional,
pemerintah meminjam modal domestik dan mendorong naiknya tingkat bunga domestik. Hal
lain
yang menggambarkan investasi
pemerintah mendorong
pertumbuhan output adalah dengan melihat produktivitas, terlepas dari akumulasi modal. Jika modal infrastruktur pemerintah komplemen terhadap modal swasta, kenaikan pada investasi pemerintah tidak hanya menarik lebih banyak modal swasta dengan adanya akumulasi modal, bahkan membuat modal swasta menjadi lebih produktif. Namun apabila hubungan keduanya substitusi, maka dampak terhadap produktivitas akan sebaliknya. Selanjutnya, dampak investasi pemerintah terhadap pertumbuhan output juga tergantung pada bagaimana investasi tersebut dibiayai. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelum ini, bahwa investasi pemerintah dibiayai oleh pajak atau dengan pinjaman domestik -yang menyebabkan meningkatnya beban pajak bagi masyarakat- sehingga tingkat pengembalian dari investasi tersebut harus dikurangi oleh dampak gangguan yang disebabkan oleh adanya pajak tersebut. Yonathan (2005) menganalisis VAR terhadap korelasi antara pendapatan nasional dan investasi pemerintah di Indonesia, 1983/1984-1999/2000. Data yang digunakan data triwulanan dari tahun 1983-2000. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa investasi pemerintah di sektor fiskal, khususnya pengeluaran pembangunan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Alfirman dan Sutriono (2006) menganalisis hubungan pengeluaran pemerintah dan PDB dengan menggunakan pendekatan Granger Causality dan VAR. Data yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 1970-2003. Hasilnya menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah dengan PDB. Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi PDB karena bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap PDB. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk modal (investasi pemerintah).
Pereira dan Oriol (2006) melihat efek kebijakan fiskal terhadap output di Portugal dengan menggunakan metode VAR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pemerintah mempunyai efek positif yang kuat tehadap output, tetapi pajak langsung mempunyai efek negatif yang kuat terhadap output. Lendvai (2007) dalam studinya pengaruh kebijakan fiskal di Hungaria. Penelitian ini ingin melihat pengaruh dari perubahan pengeluaran pemerintah, menggunakan data triwulanan dari tahun 1997 sampai tahun 2005 dengan metode structural vector autoregressive (SVAR). Hasilnya memperlihatkan bahwa pergeseran dari pengeluaran pemerintah memberikan dampak campuran terhadap perekonomian. Secara khusus, rumah tangga merespon positif terhadap pengeluaran pemerintah ekspansif yang mengarah ke peningkatan pendapatan mereka, tetapi menunjukkan reaksi negatif pada perusahaan. Secara keseluruhan, peningkatan pengeluaran pemerintah meningkatkan PDB. Hatano (2010) mengembangkan penelitian Aschauer (1998) untuk negara Jepang lebih lanjut dengan melihat hubungan jangka pendek dan jangka panjang dari investasi pemerintah dan swasta yang didasari kenyataan adanya kondisi keseimbangan jangka panjang dan kondisi dinamis terkait dengan bentuk hubungan kedua jenis investasi itu. Berdasarkan analisis kointegrasi, Hatano menyimpulkan bahwa dalam jangka pendek, yaitu 1 tahun, investasi pemerintah berdampak negatif terhadap investasi swasta atau menyebabkan terjadinya crowding out, sementara dalam jangka panjang, antara 2 – 10 tahun, akan memberikan pengaruh positif atau mengakibatkan crowding in of private investment. Brückner and Tuladhar (2010) menemukan bahwa dampak multiplier dari investasi pemerintah terhadap output lebih besar dibandingkan dampak multiplier dari pengeluaran belanja pemerintah, namun besarnya relatif kecil dan terus menurun dari waktu ke waktu. Disamping itu ditemukan juga bahwa efektivitas dari investasi pada infrastruktur ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat ternyata memberikan dampak yang lebih rendah dibandingkan oleh dampak dari investasi di bidang sosial yang didesain oleh pemerintah lokal. Kesimpulannya adalah untuk menghasilkan dampak pengganda yang diinginkan harus diperhatikan komposisi dari jenis investasi pemerintah tersebut. Disamping
itu, adanya temuan mengenai dampak pengganda investasi pemerintah yang relatif kecil dan terus menurun dari waktu ke waktu mengindikasikan adanya gejala crowding out yang dihasilkan oleh investasi pemerintah. Dengan metode GMM, diperoleh hasil bahwa dampak investasi pemerintah secara total terhadap investasi swasta adalah positif namun secara statistik tidak signifikan, sementara dampaknya terhadap konsumsi rumah tangga adalah negatif dan signifikan. Sementara dampak pengeluaran pemerintah lokal terhadap investasi swasta menunjukkan pengaruh yang negatif dan sangat signifikan, dan secara langsung hal ini mengindikasikan terjadinya crowding out of investment, sebaliknya pengaruhnya terhadap konsumsi rumah tangga memperlihatkan pengaruh yang positif namun secara statistik tidak signifikan.
2.4
Kerangka Pemikiran Dalam
upaya
melihat
pengaruh
investasi
pemerintah
di
dalam
perekonomian Indonesia khususnya di wilayah timur, maka diperlukan suatu studi agar pemerintah daerah dapat merencanakan pembangunan daerahnya dengan lebih tepat guna terutama dengan kebijakan fiskal yang dimilikinya. Untuk memberikan gambaran mengenai alur pemikiran dalam penelitian ini, berikut digambarkan kerangka pemikiran penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 9.
Kebijakan Fiskal
Penerimaan Pemerintah
Pengeluaran Pemerintah
Konsumsi
Pengeluaran pembangunan
Investasi Pemerintah
Produksi Labor
Pertumbuhan Ekonomi
Gambar 9 Kerangka Pemikiran.
2.5
Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut diatas, maka
hipotesis yang diajukan adalah : 1.
Daerah di kawasan timur Indonesia memiliki kemandirian fiskal yang berbeda-beda dalam membiayai pembangunan daerahnya sendiri.
2.
Investasi pemerintah memiliki kontribusi yang berbeda-beda di dalam perekonomian daerah di Kawasan Timur Indonesia.
3.
Investasi pemerintah memiliki hubungan yang positif dengan perekonomian di Kawasan Timur Indonesia.
Halaman ini sengaja dikosongkan
III.
3.1
METODE PENELITIAN
Metode Analisis
3.1.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan memberikan pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram. Fungsi analisis deskriptif adalah untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Gambaran umum ini menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang diteliti. 3.1.2 Analisis Rasio Kemandirian Fiskal Pada teori Pengelolaan Keuangan Daerah di bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana anggaran keuangan yang dimiliki oleh suatu daerah. Kinerja pemerintah daerah dapat diukur melalui kinerja keuangannya yang salah satunya adalah rasio keuangan daerah. Hasil dari analisis rasio keuangan daerah salah satunya adalah untuk menilai kemandirian fiskal yang dimiliki daerah tersebut, apakah mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi dengan pemerintah pusat. Rasio Kemandirian Fiskal ini menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak ekstern) antara lain: Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat dan Dana Pinjaman (Halim, 2007). Rumus yang digunakan untuk menghitung Rasio Kemandirian Fiskal adalah: Rasio kemandirian =
Pendapatan Asli Daerah x 100 % Sumber Pendapatan dari Pihak Ekstern
(3.1)
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah dan
demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Tabel 4 Pola Hubungan Tingkat Kemampuan Daerah Kemampuan Keuangan Rendah sekali Rendah Sedang Tinggi
Kemandirian (%) 0-25 25-50 50-75 75-100
Pola hubungan Instruktif Konsultatif Partisipatif Delegatif
Sumber : Halim (2007)
Selain Rasio Kemandirian Fiskal, dalam mengukur kinerja keuangan daerah menurut Musgrave dan Peggy (1990) dapat menggunakan derajat desentralisasi fiscal, yaitu kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : DDF =
PADt x 100 % TPDt
(3.2)
Keterangan : DDF : Derajat Desentralisasi Fiskal (%) PADt : Total PAD Tahun t (Rupiah) TPDt : Total Penerimaan Daerah Tahun t (Rupiah)
3.1.3 Analisis Data Panel Model yang digunakan untuk menganalisis peranan investasi pemerintah dalam perekonomian kawasan timur Indonesia merupakan pengembangan dari fungsi produksi Cobb-Douglas. Alasan pemilihan fungsi produksi Cobb-Douglas berkaitan dengan kelebihannya yaitu: penyelesaiannya relatif mudah (mudah untuk ditransfer dalam bentuk linier), koefisien hasil estimasi merupakan elastisitas, dan penjumlahan dari elastisitas tersebut menunjukkan besarnya return
to scale, serta fungsi produksi ini telah banyak digunakan dalam penelitianpenelitian untuk mengestimasi output potensial suatu wilayah (Verbeek, 2001). Formula umum fungsi produksi Cobb-Douglas yaitu sebagai berikut: Yit = Ait Kitα Litβ
(3.3)
Dalam penelitian ini, awal pemikirannya adalah penelitian yang dilakukan oleh Aschauer (1989) mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah yang ternyata memiliki hubungan yang positif dengan investasi pemerintah, salah satu bagian penting dalam pengeluaran pemerintah. Kemudian Aschauer dan Lachler (1998) meneruskan penelitiannya khusus tentang investasi yang dilakukan oleh pemerintah (public investment) dan hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menghasilkan bahwa ternyata investasi pemerintah dan swasta mempunyai suatu hubungan, yaitu terjadinya crowding out. Penelitian Aschauer dan Lachler (1998) disempurnakan oleh Hatano (2010), membuktikan bahwa investasi pemerintah dapat berdampak negatif terhadap investasi swasta dalam jangka pendek dan terjadi crowding out, namun sebaliknya jika terjadi dalam jangka waktu panjang. Model persamaan Hatano digunakan sebagai model dasar (baseline model) yaitu Y it = A IP it α IS it β TK it δ
(3.4)
Dimana: Y adalah output, A adalah total factor productivity, IP adalah investasi pemerintah, IS adalah investasi swasta, dan TK adalah tenaga kerja. Sedangkan untuk i adalah indeks provinsi dan t adalah indeks waktu. Dengan teori pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang maka suatu daerah akan lebih meningkatkan perekonomiannya jika memiliki spesialisasi guna memproduksi komoditi yang harganya relatif murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional. Juga dengan kemampuan daerah tersebut dalam membangun daerahnya, ini didekati dengan melihat penerimaan yang diterima oleh pemerintah daerah yaitu salah satu sumbernya adalah melalui penerimaan pajak daerah. Penelitian yang terbaru yaitu Buckner dan Tuladhar (2010) memasukkan komponen keterbukaan dalam perdagangan yaitu ekspor dan impor dan penerimaan pajak, menjadi :
Z it i Z it 1 t uit
(3.5)
dimana Z adalah fungsi dari PDB, pengeluaran pemerintah dalam hal ini merupakan pendekatan investasi pemerintah, penerimaan pajak, investasi swasta, tenaga kerja dan ekspor. Modifikasi dari penelitian Bruckner dan Tuladhar (2010) pada persamaan (3.5) diperlukan mengingat ketersediaan data dari seluruh variabel yang ada dalam penelitian tersebut tersedia di seluruh provinsi Indonesia khususnya wilayah timur. Alasan lain adalah adanya penambahan variabel baru yang ingin diteliti. Maka model empiris yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (semua variabel dalam bentuk logaritma natural): Yit = αit + β1 ln PADit + β2 ln IPit + β3 ln ISit + β4 ln TKit + β5 (X-M)it + β6 Yit-1+ εit
(3.6)
dimana: Yit
: pertumbuhan ekonomi provinsi ke-i periode ke-t
Yit-1
: lag pertumbuhan ekonomi provinsi ke-i periode ke-t
PADit
: pendapatan asli provinsi ke-i periode ke-t
IPit
: investasi pemerintah provinsi ke-i periode ke-t
ISit
: investasi swasta provinsi ke-i periode ke-t
(X-M)it
: keterbukaan perdagangan provinsi ke-i periode ke-t
TKit
: tenaga kerja yang ada di provinsi ke-i periode ke-t
εit
: error term
subskrip i
: provinsi di wilayah timur Indonesia (12 provinsi)
subskrip t
: periode/waktu dari tahun 2005-2009
Menyesuaikan dengan tujuan penelitian yang ke tiga yaitu untuk melihat pengaruh peranan investasi pemerintah yang terbagi menurut jenis yang dibelanjakan terhadap perekonomian daerah di Kawasan Timur Indonesia, maka persamaan 3.6 diperluas. Investasi pemerintah dibagi menurut jenis yang dibelanjakan maka terbagi atas investasi dengan pembelian peralatan dan mesin; gedung dan bangunan; serta irigasi, jalan dan jaringan. Namun dikarenakan investasi yang jelas sangat
berpengaruh terhadap masyarakat adalah investasi pemerintah infrastruktur maka variabel investasi pemerintah total diganti menjadi investasi infrastruktur. Sehingga persamaan 3.6 menjadi Yit = αit + β1 ln PADit + β2 ln IPIit + β3 ln ISit + β4 ln TKit + β5 ln (X-M)it + β6 Yit-1 + εit
(3.7)
dimana tambahan variabelnya adalah : IPIit
: investasi pemerintah yang digunakan untuk infrastruktur di provinsi ke-i periode ke-t dalam hal ini seperti irigasi, jalan serta jaringan Metode estimasi yang dilakukan adalah menggunakan metode analisis data
panel satis terlebih dahulu pada kedua persamaan di atas yaitu persamaan 3.6 dan 3.7 baru kemudian dilakukan dengan menggunakan data panel dinamis. Ditinjau dari sisi ekonometrik, kedua persamaan di atas berpotensi memiliki permasalahan endogeneity yaitu yang muncul akibat adanya lag dependent variable yang ikut dalam persamaan sebagai variabel bebas yang menyebabkan adanya korelasi antara lag dependent variable tersebut dengan error. Namun permasalahan endogeneity menurut Verbeek (2001) dapat diatasi dengan menerapkan metode generalized method of moment (GMM). Penerapan metode GMM dalam analisis data panel dinamis dapat mengurangi bias pada penggunaan tehnik OLS dan standard error yang dihasilkan menjadi lebih efisien jika dibandingkan dengan penggunaan estimasi two stage least square (2SLS). 3.2
Definisi Operasional Definisi operasional mutlak diperlukan dalam sebuah penelitian. Sebab
definisi suatu konsep mungkin membutuhkan deskripsi bagaimana mengukur konsepnya, dan kadangkala ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam mengukur suatu konsep. Hal ini dilakukan sebab tidak semua konsep dapat diukur dengan jelas. Konsep yang jelas seperti umur, jenis kelamin, dan jumlah anak dapat diukur secara langsung. Namun konsep keberhasilan pembangunan dan loyalitas tidak dapat diukur secara langsung, sehingga perlu dibuat sebuah konsep operasional supaya dapat diukur (Juanda, 2009).
Dari persamaan (3.6) dapat dijelaskan definisi operasional dari masingmasing variabel yaitu sebagai berikut: 1.
Variabel Yit adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 yang merupakan jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi yang terjadi di provinsi i pada periode ke t yang diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilainya benar-benar mencerminkan adanya jumlah produksi yang terbebas dari pengaruh harga. Variabel ini sebagai indikator pertumbuhan ekonomi yang dimiliki oleh daerah, sampai sejauh mana suatu daerah
berkembang
atau
meningkatkan
perekonomiannya
dalam
membangun daerah tersebut tanpa adanya pengaruh inflasi. 2.
Variabel Yit-1 adalah PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 pada provinsi i pada tahun sebelumnya. Dalam meneliti hubungan investasi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi, nilai investasi tersebut tidak akan langsung mempengaruhi perekonomian suatu daerah, maka variabel lag ini diperlukan.
3.
Variabel PADit adalah pendapatan yang diterima oleh pemerintah provinsi i pada periode t yang menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang dilakukan oleh daerah tersebut. Pendapatan ini didapat dari beberapa kebijakan yang dilakukan serta sumber ekonomi asli yang dimiliki daerah tersebut, terbagi atas beberapa sumber yaitu dari pajak, retribusi, hasil usaha kekayaan daerah yang dipisahkan serta lain-lain.
4.
Variabel IPit adalah investasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi i tahun t, yang didekati pada anggaran pemerintah daerah menggunakan pengeluaran pembangunan untuk menghasilkan nilai tambah asset baik fisik maupun non fisik. Pengeluaran pembangunan ini bisa dipecah berdasarkan sektor (pendidikan, kesehatan, telekomunikasi dan lain-lain) maupun menurut jenis yang dibelanjakan (tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan serta asset lainnya).
5.
Variabel IPIit adalah investasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi i tahun t, yang didekati pada anggaran pemerintah daerah menggunakan pengeluaran pembangunan untuk menghasilkan nilai tambah asset baik fisik
maupun non fisik khusus untuk keperluan infrastruktur dasar. Pengeluaran pembangunan yang dibelanjakan untuk kebutuhan irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan. 6.
Variabel ISit adalah investasi yang dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat pada provinsi i tahun t, dengan pendekatan data penanaman modal yang dilakukan baik dari dalam negeri maupun luar negeri atau pihak asing yang disalurkan ke daerah/provinsi tertentu di Kawasan Timur Indonesia.
7.
Variabel (X-M)it adalah tingkat keterbukaan ekonomi provinsi i tahun t yaitu dengan pendekatan data perdagangan yang dilakukan oleh suatu daerah terhadap daerah lain (ekspor dan impor). Tingkat keterbukaan ini diperoleh dari penjumlahan besarnya ekspor dan impor dari PDRB menurut Penggunaan kemudian hasilnya dibagi dengan total PDRB itu sendiri.
8.
Variabel TKit adalah tenaga kerja yang ada di provinsi i pada tahun t. Yang dimaksud tenaga kerja disini adalah jumlah penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja, yaitu melakukan kegiatan ekonomi dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan , paling sedikit satu jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu.
3.3
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data provinsi di Kawasan Timur Indonesia
yang mencakup kurun waktu 2005-2009. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari berbagai publikasi resmi pemerintah atau studi literature yang diperoleh dari instansi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Kementrian Keuangan (Kemenkeu) khususnya pada Dirjen Keuangan serta instansi terkait lainnya. Untuk mendukung ketersediaan data lainnya yang lebih lengkap, sumber data juga diakses melalui publikasi artikel maupun makalah/jurnal ilmiah dari internet.
Data yang bersumber dari BPS adalah data tahunan untuk PDRB menurut provinsi tahun 2005-2009, yang terbagi atas menurut Lapangan Usaha dan Penggunaan. Karena pada PDRB menurut Penggunaan, dapat diketahui data
keterbukaan perdagangan yaitu ekspor, impor dan investasi total. Juga data tenaga kerja yang ada di provinsi, didekati dari data Susenas dan Sakernas. Data sekunder yang berasal dari BKPM adalah data investasi swasta yang didekati dari realisasi investasi kegiatan penanaman modal dalam negeri dan asing menurut provinsi. Sedangkan data sekunder yang dikompilasi dari Kemenkeu adalah data untuk keuangan daerah yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), investasi dan konsumsi pemerintah.
3.4
Software Analisis yang Digunakan Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan bantuan
beberapa software untuk melakukan analisis data. Software tersebut adalah sebagai berikut: 1. Microsoft Excel 2007 Ms Excel merupakan perangkat lunak berbasis spreadsheet buatan Microsoft Corp. Software ini digunakan dalam pembuatan tabel, grafik dan beberapa pengolahan data. 2. EViews 6.0 EViews adalah program komputer yang digunakan untuk mengolah data statistik dan data ekonometri. Program EViews dibuat oleh Quantitative Micro Software. Software ini digunakan untuk analisis data panel. 3. Stata ver. 10 Stata merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data statistik dan ekonometri dengan menggunakan command yang serupa dengan program DOS namun lebih mudah. Software ini digunakan untuk analisis data panel yang bersifat dinamis baik FD GMM maupun SYS GMM.
BAB IV. KAWASAN TIMUR INDONESIA 4.1 Kondisi Umum Penelitian 4.1.1 Kondisi Geografi Aspek-aspek geografis yang meliputi posisi, susunan keruangan dan lokasi sangat menentukan langkah-langkah kebijakan dalam pembangunan ekonomi. Pengambilan keputusan ekonomi perlu mempertimbangkan keuntungan lokasi dan pengaruh ruang secara eksplisit agar keputusan yang diambil realistis dan tidak salah (Sjafrizal, 2008). Negara Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri atas 17.504 pulau, terletak antara 6008' Lintang Utara dan 11015' Lintang Selatan serta 94045' sampai dengan 141005' Bujur Timur. Oleh karena wilayah Indonesia dilalui garis khatulistiwa, maka keadaan iklimnya dipengaruhi oleh iklim tropis, hal ini menyebabkan keragaman sumber daya alam dan faktor produksi yang terkandung di dalamnya. Ketika Negara Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia hanya memiliki 8 provinsi, yaitu: Sumatra, Borneo (Kalimantan), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Pada masa pergerakan kemerdekaan hingga sekarang, Indonesia mengalami perubahan wilayah yang sangat pesat. Pada awal orde baru (tahun 1966), Indonesia telah memiliki 24 provinsi yang kemudian bertambah menjadi 26 hingga tahun 1975. Timor Timur menjadi provinsi yang ke-27 pada tahun 1975. Provinsi ini memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1999, dan Indonesia kembali memiliki 26 provinsi. Pemekaran wilayah daerah otonomi baru semakin marak sejak disahkannya UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No 32 Tahun 2004. Hingga Desember 2009 jumlah daerah otonom mencapai 524 yang terdiri atas 33 provinsi, 387 kabupaten dan 96 kota. Berkaitan dengan cakupan penelitian yang akan dilakukan, seperti telah disebutkan pada pendahuluan/latar belakang, dimulai pada tahun 2005 hingga 2009 maka wilayah provinsi yang menjadi penelitian adalah sejumlah provinsi yang ada di wilayah timur Indonesia (KTI) yaitu 12 provinsi. Termasuk provinsi baru setelah adanya pemekaran provinsi di beberapa daerah pada masa otonomi daerah yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara serta Papua Barat. Potensi wilayah KTI ditunjukkan dengan bentuk kepulauan dan luas
wilayah yang mencapai 39,29 persen dari keseluruhan luas Negara Indonesia yaitu tepatnya seluas 750.769,63 km2 dan terbagi ke dalam 9.995 pulau-pulau. Wilayah KTI cukup luas karena mempunyai provinsi terluas yaitu Papua, mencapai 416.060,32 km2 dengan jumlah pulau terbanyak yaitu 2.543. Kondisi tersebut sebelum adanya pemekaran wilayah yang membagi Papua menjadi provinsi Papua dan Papua Barat dengan pembagian luas 97.024,27 km 2 dan 1.945 pulau yang masing-masing memiliki otonomi daerah 26 kabupaten dan 1 kota untuk Papua dan 9 kabupaten/kota untuk Papua Barat. Beberapa hal yang terangkum pada provinsi KTI ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Ibu Kota Provinsi, luas area, persentasenya terhadap Indonesia serta jumlah pulau yang dimiliki di Kawasan Timur Indonesia Tahun 2009
No
Provinsi KTI
Ibu Kota Provinsi
Luas Area (km²)
Persentase Thdp Luas Indonesia
Jumlah Pulau
1 2 3 4 5
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo
Manado Palu Makasar Kendari Gorontalo
13.851,64 61.841,29 46.717,48 38.067,70 11.257,07
0,72 3,24 2,44 1,99 0,59
668 750 295 651 136
6
Mamuju
16.787,18
0,88
0
Mataram
18.572,32
0,97
864
8 9
Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku
Kupang Ambon
48.718,10 46.914,03
2,55 2,46
1.192 1.422
10 11 12
Maluku Utara Papua Barat Papua
Ternate Manokwari Jayapura
31.982,50 97.024,27 319.036,05
1,67 5,08 16,70
1.474 1.945 598
Indonesia
Jakarta
1.910.931,32
100,00
17.504
kependudukan merupakan bagian
yang krusial
7
Sumber: BPS, 2009
4.1.2 Penduduk Masalah
dalam
perekonomian karena tidak bisa dilepaskan dalam kegiatan pembangunan. Penduduk mempunyai peran ganda dalam pembangunan yaitu sebagai obyek dan sebagai subyek. Pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan
pertambahan jumlah penduduk usia kerja, yang berarti pula terjadi peningkatan faktor produksi. Bertambahnya penduduk tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan penduduk karena ketersediaan lapangan kerja yang terbatas, sehingga muncul masalah kependudukan yang kompleks. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk dapat memberikan penjelasan lain tentang mengapa sebagian negara kaya dan sebagian lainnya miskin (Mankiw, 2007). Tabel 6 Jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk menurut provinsi di Wilayah KTI tahun 2009 No
Provinsi KTI
Jumlah Penduduk (000 jiwa)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
2,228.90 2,480.30 7,908.50 2,118.30 984.00 1,047.70 4,434.00 4,619.70 1,339.50 975.00 743.90 2,097.50 231,369.60
Persentase
Laju Pertumbuhan
Kepadatan Penduduk
0.96 1.07 3.42 0.92 0.43 0.45 1.92 2.00 0.58 0.42 0.32 0.91
0.95 1.72 1.33 2.09 1.21 1.49 1.61 1.88 1.42 1.60 1.90 1.99
161 40 169 56 87 62 239 95 29 30 8 7
100.00
1.25
121
Sumber: BPS, 2009
Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah territorial selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap (BPS, 2009). Penduduk juga merupakan salah satu penyebab terjadinya ketimpangan antara KTI dan KBI. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 mencapai 231,36 juta jiwa dengan perbandingan penduduk di wilayah KTI hanya sebesar 13,39 persen yaitu 30,97 juta jiwa sisanya berkumpul di wilayah KBI (Tabel 6). Provinsi dengan penduduk terbanyak di KTI adalah provinsi Sulawesi Selatan yaitu 3,42 persen dari penduduk Indonesia atau sebanyak 7.908,5 ribu jiwa. Diikuti oleh provinsi Nusa Tenggara Timur dengan 4.619,7 ribu jiwa (2 persen terhadap total penduduk). Sedangkan provinsi dengan jumlah penduduk terkecil adalah Papua Barat hanya
sebesar 743,9 ribu jiwa. Distribusi penduduk Indonesia ternyata tidak merata di seluruh wilayah tanah air. Penduduk paling banyak berdomisili di wilayah barat sedangkan di wilayah timur sangat berbeda jauh. Hal ini bisa dilihat dari kepadatan penduduknya, dimana perbandingan antara jumlah penduduk terhadap luas wilayah penduduk tersebut berdomisili. Semakin besar maka semakin padat. Pada KTI, terlihat yang memiliki kepadatan penduduk terbesar Nusa Tenggara Barat dengan angka yang cukup tinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya yaitu 239 jiwa per km2. Sementara itu Provinsi Sulawesi Selatan pada urutan kedua dengan kepadatan penduduk sebesar 169 jiwa per km 2 yang memang provinsi tersebut merupakan provinsi di KTI yang memiliki jumlah penduduk terbanyak. Kepadatan penduduk terkecil yang ada di KTI adalah Provinsi Papua, yang hanya mencapai 7 jiwa per km2 dan Papua Barat dengan 8 jiwa per km 2. Angka-angka ini perlu mendapat perhatian yang serius karena menggambarkan ketimpangan yang terjadi di wilayah Indonesia. Penambahan jumlah penduduk tidak dapat dilepaskan dari angka pertumbuhannya. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan penduduk pada tahun 2009 secara nasional mencapai 1,25 persen. KTI mempunyai laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dibandingkan dengan KBI, diatas laju pertumbuhan penduduk nasional. Provinsi yang memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi di wilayah KTI adalah Sulawesi Tenggara dengan 2,09 persen diikuti oleh Papua dan Papua Barat yang masing-masing 1,99 serta 1,90 persen. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah dimiliki oleh Sulawesi Utara yang hanya sebesar 0,95 persen. Jumlah, laju pertumbuhan dan kepadatan penduduk yang ada di KTI menggambarkan
ketimpangan
dalam
penyebaran
penduduk
sehingga
menunjukkan daya dukung lingkungan yang kurang seimbang antara KTI dan KBI. Mengapa? Karena konsentrasi penduduk merupakan faktor produksi di wilayah-wilayah yang padat, dapat menyebabkan kegiatan perekonomian juga terkonsentrasi di wilayah yang menyediakan faktor produksi (tenaga kerja) yang besar, sehingga tidak mengherankan jika pusat industri besar yang bersifat padat karya berada di KBI sedangkan KTI hanya kaya akan faktor produksi (bahan
baku/mentah). Jumlah penduduk menentukan faktor produksi yang penting yaitu tenaga kerja. Penduduk dengan usia kerja yaitu yang berumur 15 tahun ke atas seharusnya memiliki pekerjaan atau dengan kata lain bekerja (melakukan suatu kegiatan yang dapat menghasilkan pendapatan atau keuntungan). Dengan banyaknya penduduk usia kerja yang bekerja dalam suatu wilayah dapat diartikan bahwa penduduk dapat meningkatkan kesejahteraannya karena memiliki pendapatan untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Pada wilayah KTI, yang memiliki jumlah pengangguran tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Selatan dengan 314.664 orang diikuti oleh Nusa Tenggara Barat yaitu 131.258 orang (Tabel 7). Namun hal ini bukanlah jaminan karena jika dilihat persentase jumlah orang yang bekerja dengan angkatan kerja, Provinsi Sulawesi Selatan justru memiliki persentase yang kecil yaitu 56,92 persen yang menunjukkan dari penduduk dengan usia kerja hanya 56,92 yang bekerja sedangkan sisanya adalah mencari pekerjaan atau tidak bekerja. Sedangkan Nusa Tenggara Barat memiiki nilai persentase yang lebih tinggi yaitu 64,36 persen. Tabel 7 Angkatan Kerja, Jumlah Orang Bekerja dan Jumlah Pengangguran Di Wilayah KTI Tahun 2009 (Orang) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Provinsi KTI Sulut Sultengah Sulsel Sultenggara Gorontalo Sulbar Ntb Ntt Maluku Malut Papua Barat Papua Indonesia
Sumber: BPS (diolah)
Angkatan Kerja 1,694,125 1,754,965 5,660,624 1,418,144 701,495 750,944 3,056,611 3,121,422 910,844 658,005 514,293 1,450,851 169,328,208
Bekerja 940,173 1,149,718 3,222,256 950,876 420,962 488,080 1,967,380 2,160,733 533,015 393,834 325,759 1,082,028 104,870,663
Pengangguran 110,957 66,009 314,664 47,319 26,351 23,064 131,258 89,395 63,015 28,564 26,626 46,008 8,962,617
4.1.3 Kondisi Perekonomian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku (adhb) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. Tujuan dari penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan untuk menghitung statistik ini. Pertama, pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi. Kedua, pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Ketiga, pendekatan pengeluaran, dengan menghitung semua komponen permintaan akhir. Tabel 8 Nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan 2000 Menurut Provinsi di KTI Tahun 2005-2009 (Milyar Rupiah) Provinsi
Jenis
2005
2006
2007
2008
2009
Sulut
adhb adhk Sultengah adhb adhk Sulsel adhb adhk Sultenggara adhb adhk Gorontalo adhb adhk Sulbar adhb adhk Ntb adhb adhk Ntt adhb adhk Maluku adhb adhk Malut adhb adhk Papua Barat adhb adhk Papua adhb adhk Indonesia adhb
18,763.48 12,744.55 17,116.58 11,752.24 51,780.44 36,421.79 12,981.05 8,026.86 3,480.57 2,027.72 4,422.95 3,120.77 25,682.67 15,183.79 14,810.47 9,867.31 4,570.66 3,259.24 2,583.10 2,236.80 7,913.78 5,307.33 43,615.32 22,209.19 2,669,975.94
21,216.49 13,473.11 19,310.25 12,671.55 60,902.82 38,867.68 15,270.35 8,643.33 4,062.28 2,175.82 5,124.81 3,321.15 28,596.88 15,603.77 16,904.07 10,368.50 5,079.64 3,440.11 2,818.42 2,359.48 8,945.54 5,548.90 46,895.23 18,402.20 3,118,307.85
24,081.13 14,344.30 22,757.59 13,683.88 69,271.92 41,332.43 17,953.07 9,331.72 4,760.70 2,339.22 6,192.79 3,567.82 33,522.23 16,369.22 19,136.98 10,902.40 5,698.80 3,633.48 3,160.04 2,501.18 10,369.84 5,934.32 55,380.45 19,200.30 3,536,797.38
27,842.99 15,428.43 28,151.50 14,746.02 85,143.19 44,549.82 22,173.89 10,010.59 5,899.79 2,520.67 7,778.00 3,872.52 35,261.68 16,799.83 21,621.84 11,426.43 6,269.71 3,787.10 3,856.36 2,650.76 12,471.61 6,369.37 54,733.63 18,914.88 4,204,326.34
32,049.76 16,638.85 32,057.20 15,874.69 99,904.66 47,314.02 25,655.94 10,768.58 7,082.61 2,719.74 8,671.82 4,106.02 41,784.96 18,310.83 24,138.68 11,910.88 7,069.09 3,992.79 4,687.76 2,810.21 14,547.73 6,768.20 66,651.85 22,926.55 4,567,710.17
adhk Sumber: BPS (diolah)
1,690,243.45
1,777,950.13
1,878,738.65
1,983,834.69
2,076,356.56
Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan (adhk) yang
menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus) yaitu pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini masih digunakan sampai sekarang sebagai ukuran kinerja pembangunan. Pada tahun 2009, PDB Indonesia mencapai 2.076,35 trilyun rupiah secara keseluruhan jika dihitung menurut harga konstan tahun 2000, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,66 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. KTI sendiri tumbuh sangat pesat, terlihat pada PDRB Pulau Sulawesi yang mencapai 97,42 trilyun rupiah (tumbuh sebesar 6,91 persen). Sedangkan untuk PDRB Pulau Nusa Tenggara, Maluku dan Papua sebesar 66,72 trilyun rupiah atau tumbuh hingga 11,29 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai PDRB atas dasar harga konstan yang menyatakan jumlah output dari aktivitas ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang secara umum meningkat secara signifikan. Perkembangan nilai PDRB tidak dapat dipisahkan dari potensi faktor-faktor produksi yang digunakan pada tahun yang bersangkutan. PDRB masing-masing provinsi pada KTI dari tahun 2005 hingga 2009 dengan segala kondisi politik dan ekonomi yang memengaruhi terlihat pada Gambar 10. Secara umum pertumbuhan di keseluruhan provinsi di KTI memiliki pola yang hampir sama, kecuali Papua dengan pola pertumbuhan yang berfluktuasi.
Gambar 10 Laju Pertumbuhan Provinsi di KTI Tahun 2005-2009. Secara umum pendapatan setiap penduduk suatu wilayah dicerminkan oleh pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita dapat didekati dengan PDRB per
kapita yang dihitung dengan membagi nilai PDRB dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun. PDRB perkapita dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejehteraan penduduk. Angka ini menunjukkan ukuran secara agregat, namun sampai sekarang masih dianggap sebagai ukuran yang cukup relevan digunakan, khususnya untuk membandingkan tingkat kesejahteraan wilayah-wilayah di Indonesia. Nilai output yang digunakan dalam penghitungan kesejahteraan penduduk adalah PDRB atas dasar harga berlaku (PDRB nominal). Tabel 8 menunjukkan bahwa perekonomian yang menghasilkan output terbesar di wilayah Indonesia timur pada tahun 2009 adalah Provinsi Sulawesi Selatan dengan 99.904,66 milyar rupiah diikuti oleh Papua sebesar 66.651,85 milyar rupiah. Sedangkan yang mengalami peningkatan perekonomian yang sangat signifikan adalah Provinsi Papua sebesar 21,77 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan pada tahun 2008 PDRB Papua mengalami kontraksi hingga minus 1,17 persen. Kenaikan output yang pesat juga dialami oleh Maluku Utara, yaitu tumbuh hingga 21, 56 persen. Besaran pendapatan per kapita suatu daerah bergantung pada besaran PDRB dan jumlah penduduk. Provinsi dengan PDRB per kapita tertinggi di KTI adalah Papua, Papua Barat dan Sulawesi Utara yaitu masing-masing 31,77; 19,56; 14,38 juta rupiah. Provinsi Papua memiliki PDRB perkapita yang tinggi dikarenakan penghasil tambang berharga terbesar di Indonesia yaitu emas. Sedangkan Papua Barat disebabkan perekonomian yang tumbuh pesat namun memiliki penduduk yang masih sedikit. PDRB perkapita terendah dimiliki oleh Provinsi Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur dengan 4,81 dan 5,23 juta rupiah. Hal ini dikarenakan pada Maluku Utara masih merupakan provinsi baru dengan kondisi yang rentan secara politis namun masih dapat berkembang. Sedangkan Nusa Tenggara Timur memang daerah yang sangat tandus dan minim sumber daya alam yang bisa dikembangkan serta memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap daerah sekitarnya. PDRB dengan pendekatan produksi terbagi atas 9 sektor/lapangan usaha sehingga dapat diketahui sektor ekonomi mana yang berperan besar dalam suatu daerah. Dengan kata lain dapat digunakan untuk melihat struktur perekonomian dan pergeseran/transformasi struktural apabila secara series. Namun pada wilayah
timur Indonesia tidak terjadi pergeseran struktur perekonomian pada tahun 2005 hingga 2009. Pada tahun 2005 hingga 2009, perekonomian KTI didominasi oleh sektor primer yaitu pertanian dan pertambangan serta penggalian. Wilayah KTI sesungguhnya memang memiliki potensi yang berbasis sumber daya alam seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, wisata bahari dan pertambangan serta penggalian. Kontribusi dari tiap sektor tidak banyak berubah, hanya terjadi peningkatan kontribusi yang cukup besar pada sektor jasa-jasa dua tahun terakhir seperti terlihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Kontribusi Sektor Terhadap PDRB KTI Tahun 2005-2009. Pada tahun 2009, daerah/provinsi di KTI masih memiliki basis perekonomian di sektor primer yaitu pertanian dan pertambangan. Hanya 2 provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat dan Papua yang memiliki sektor pertambangan terbesar yaitu 31,10 dan 62,76 persen terhadap PDRB daerah mereka masing-masing yaitu pertambangan gas bumi dan emas. Sedangkan daerah/provinsi lainnya memiliki peranan terbesar pada pertanian, rata-rata 33,48 persen. Walaupun memiliki basis perekonomian yang hampir sama, namun pada dasarnya tiap provinsi mempunyai pola distribusi sektor yang berbeda-beda. Hal
ini berarti sebagian besar provinsi mempunyai spesialisasi yang berbeda-beda. Perbedaan ini lebih banyak disebabkaan karena perbedaan faktor endowment. Provinsi yang memiliki kontribusi sektor industri pengolahan terbesar adalah Papua Barat, Maluku Utara dan Sulawesi Selatan yang masing-masing sebesar 24,39; 13,01; dan 12,53 persen terhadap total PDRB. Papua Barat dengan industri pengolahan hasil laut yaitu udang, kepiting, rajungan, cumi-cumi, sotong yang dipasarkan dalam bentuk segar atau dikeringkan melalui proses penggaraman, pengasapan, pembekuan, pengalengan dan proses lainnya. Begitupun dengan Maluku Utara. Sedangkan pada Sulawesi Selatan memiliki industri pengolahan yang cukup tinggi yaitu dari pengolahan padi dan kakao. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kontribusi Sektor Menurut Provinsi Tahun 2009 (Persen) Provinsi Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
1 18.87 40.45 27.98 35.02 29.59 48.39 21.33 39.62 33.04 37.35 24.52 10.13
2 4.27 5.03 5.51 4.28 1.15 0.78 31.10 1.31 0.74 4.98 13.24 62.76
3 8.07 7.79 12.53 6.43 4.87 7.12 3.66 1.55 4.76 13.01 24.39 1.61
PDRB KTI
26.11
18.42
7.60
Lapangan Usaha 4 5 6 0.82 17.63 16.67 0.66 6.41 11.74 0.95 5.39 16.71 0.93 7.72 17.45 0.55 6.94 10.31 0.43 4.64 13.06 0.45 7.04 13.69 0.40 6.95 16.10 0.56 1.33 28.51 0.60 2.73 22.89 0.51 9.81 9.99 0.16 6.73 5.21 0.62
7.33
13.66
7 11.48 7.09 7.96 9.26 8.88 2.73 7.45 5.97 9.05 8.00 7.28 5.02
8 5.75 4.62 6.25 5.30 10.19 5.50 4.61 3.97 4.72 3.70 2.40 2.46
9 16.45 16.21 16.72 13.61 27.52 17.34 10.68 24.13 17.28 6.75 7.86 5.91
7.45
4.81
14.01
Keterangan: (1) Pertanian, (2) Pertambangan & Penggalian, (3) Industri Pengolahan , (4) Listrik, Gas & Air Bersih, (5) Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel & Restoran, (7) Pengangkutan & Komunikasi, (8) Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan, (9) Jasa-Jasa Sumber: PDRB 2009, BPS (diolah)
4.2
Keuangan Daerah KTI Sejalan dengan tuntutan demokratisasi dalam bernegara, penyelenggaraan
pemerintahan juga mengalami perubahan. Sistem pemerintahan yang semula lebih condong pada sentralistik menjadi desentralisasi. Selaras dengan perubahan tersebut, maka tata aturan juga mengalami perubahan yang lebih mengarah pada penyempurnaan pelaksanaan otonomi daerah, melalui pemberian kewenangan
yang seluas-luasnya dengan tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai penyempurnaan dilakukan seperti yang tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2004, yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 25 Tahun 1999. Pemberian kewenangan diberikan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran keuangan daerah. 4.2.1 Sisi Penerimaan Daerah Penerimaan daerah merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan daerah. Penerimaan daerah di KTI selama periode 2005-2009 mengalami peningkatan, terutama ketika periode tahun 2005 ke 2006 terjadi peningkatan hampir dua kali lipat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya implementasi kebijakan desentralisasi fiskal yaitu adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelola pendapatan daerah sejalan dengan meningkatnya besaran APBD yang diterima pemerintah daerah. Meningkatnya penerimaan daerah ini diharapkan juga mampu untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam membiayai pembangunan dan menentukan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan juga mampu mengelola anggaran tersebut secara tepat karena dalam era desentralisasi fiskal ini, penerimaan daerah merupakan modal utama dalam pembangunan. Penerimaan daerah terdiri atas beberapa komponen yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan pendapatan dihasilkan dari daerah sendiri, Dana Perimbangan yang merupakan dana dari pemerintah pusat untuk pemerintah daerah, dan Penerimaan Lain yang Sah. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan yang dapat dipisahkan dari perusahaan milik daerah serta pendapatan daerah lainnya yang sah. Sedangkan pos dana perimbangan dari pemerintah pusat diantaranya dari bagi hasil pajak dan bukan pajak sumber daya alam, dana alokasi umum serta khusus. Dan penerimaan lain yang sah adalah dari penerimaan pemerintah pusat
selain dana
perimbangan, dari
provinsi,
kabupaten/kota lainnya, dana yang bersifat untuk kebutuhan darurat, dan lain-lain (subsidi, hibah, bunga).
Tabel 10 Penerimaan Daerah di KTI Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) No
Tahun
Provinsi KTI 2005
2006
2007
2008
2009
1 Sulaw esi Utara
1,779,309.56
3,350,956.54
4,584,993.28
5,408,766.67
6,412,599.03
2 Sulaw esi Tengah
1,313,933.32
4,197,037.66
5,051,180.22
5,885,346.67
6,079,342.87
3 Sulaw esi Selatan
6,292,273.05
9,902,769.19
11,814,641.77
13,528,333.86
14,269,572.95
4 Sulaw esi Tenggara
1,322,274.33
3,230,935.18
4,580,869.95
5,472,843.13
6,409,527.67
5 Gorontalo
945,012.26
1,786,805.51
2,136,763.54
2,581,804.47
2,743,100.10
6 Sulaw esi Barat
690,463.39
1,488,024.69
2,325,778.66
2,343,064.38
2,624,409.24
7 Nusa Tenggara Barat
2,900,932.71
4,173,599.65
5,039,031.06
5,714,579.30
6,213,450.99
8 Nusa Tenggara Timur
3,438,616.94
5,859,650.58
7,003,985.25
7,815,086.18
8,595,808.68
9 Maluku
1,957,714.23
3,001,717.36
4,143,569.31
4,395,631.95
4,671,590.47
10 Maluku Utara
1,162,793.51
2,631,799.13
3,448,988.47
3,858,124.84
4,183,949.62
11 Papua Barat
2,109,587.49
4,586,460.97
5,518,343.27
7,191,194.06
8,445,041.82
12 Papua
5,670,288.81
13,724,219.24
17,506,861.12
18,512,128.13
19,101,488.21
Total
29,583,199.60
57,933,975.70
73,155,005.89
82,706,903.63
89,749,881.64
Sumber : Kemenkeu (diolah)
Perkembangan komponen penerimaan daerah di KTI secara umum selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya, hal tersebut dapat dilihat dari Tabel 10 diatas. Terlihat pertumbuhan yang cukup pesat pada total penerimaan daerah di KTI periode 2005 ke 2006, hampir dua kali lipat (100 persen) kemudian hingga tahun 2009 menurun hanya 8,52 persen atau sebesar 89.749,8 milyar rupiah. Sedangkan yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada periode tersebut adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua masing-masing sebesar 219,4; 144,3; dan 142 persen. Pertumbuhan penerimaan daerah yang selama periode 2005-2009 cukup tinggi dialami oleh Papua Barat dan Sulawesi utara yaitu ratarata 46,37 dan 40,42 persen tiap tahunnya. Pertumbuhan penerimaan daerah dari ketiga provinsi tersebut pada tahun 2006 disebabkan karena adanya peningkatan dari beberapa pos/sumber, diantaranya dari PAD khususnya pos retribusi daerah dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Sedangkan dari dana perimbangan, yang terlihat cukup mencolok kenaikannya adalah dari pos dana alokasi umum dan khusus walaupun dari pos bagi hasil pajak juga mengalami kenaikan yang cukup tinggi.
Tabel 11 Penerimaan Daerah KTI Menurut Sumbernya Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) Keterangan
2005
2006
2007
2008
2009
BAGIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH
2,865,076.13
3,908,270.80
4,977,227.81
6,381,866.10
6,842,220.74
Pos Pajak Daerah
1,720,262.73
2,080,696.27
2,623,166.18
3,420,139.28
3,525,139.98
Pos Retribusi Daerah
535,730.95
745,907.19
842,146.00
1,021,567.34
1,272,187.67
Pos Laba Perusahaan Milik Daerah
189,558.51
226,923.70
313,983.58
377,154.63
447,440.28
Pos Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
419,523.94
854,743.70
1,197,932.05
1,563,004.84
1,597,452.81
22,730,551.38
48,068,679.54
54,916,277.04
64,706,752.96
70,227,062.88
2,777,482.51
4,743,607.27
2,465,595.48
3,342,068.84
197,888.99
761,250.36
1,034,796.19
4,789,368.25
4,038,213.47
8,463,328.76
Pos Dana Alokasi Umum
17,833,711.66
38,149,136.53
41,370,870.67
49,386,668.25
52,447,836.24
Pos Dana Alokasi Khusus
1,358,106.85
4,141,139.66
6,290,442.64
7,939,802.40
9,118,008.90
BAGIAN LAIN-LAIN PENERIMAAN YANG SAH
3,987,572.09
5,956,088.41
8,706,466.42
11,357,776.98
12,680,598.02
Penerimaan Dari Pemerintah
2,842,013.28
654,956.68
6,944,133.58
8,268,274.57
8,984,322.38
Penerimaan Dari Propinsi
713,014.96
1,232,106.96
688,131.93
1,496,476.04
1,907,229.93
Penerimaan Dari Kabupaten/Kota Lainnya
140,424.97
8,360.59
0.00
0.00
0.00
53,312.63
43,091.51
0.00
657,236.61
149,800.00
238,806.25
230,582.19
1,074,200.91
935,789.76
1,639,245.71
DANA PERIMBANGAN Pos Bagi Hasil Pajak Pos Bagi Hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam
Dana Darurat Lain-Lain
Sumber: Kemenkeu (diolah)
Pada Tabel 11 terlihat sumber-sumber penerimaan daerah untuk seluruh provinsi di daerah timur (KTI). Sejak tahun 2005 hingga 2009, kontribusi pendapatan asli daerah cukup kecil dalam penerimaan daerah di KTI yaitu ratarata sebesar 7,71 persen, lebih kecil dibandingkan penerimaan daerah lainnya yang sah. Hal ini menunjukkan bahwa KTI belum optimal dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan belum optimalnya penerimaan PAD terhadap total penerimaan daerah yaitu: a. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada diluar penerimaan pemerintah daerah. b. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan perkapita c. Kurang mampunya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada.
Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa peranan pemerintah pusat masih cukup tinggi di KTI, yaitu pada kontribusi dana perimbangan yang sebesar ratarata 78,27 persen. Khususnya dari pos Dana Alokasi Umum (DAU), hal ini mengindikasikan bahwa masih lemahnya anggaran daerah KTI dalam membiayai penyelenggaraan pemerintah melalui PAD. Sehingga menunjukkan bahwa kinerja fiskal penerimaan daerah di KTI melalui PAD belum memberikan hasil yang baik atau dengan kata lain bahwa pembiayaan pembangunan di KTI masih bergantung pada pusat.
10,000,000.00 Sulawesi Utara
9,000,000.00
Sulawesi Tengah
8,000,000.00
Sulawesi Selatan 7,000,000.00
Sulawesi Tenggara
6,000,000.00
Gorontalo
5,000,000.00
Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat
4,000,000.00
Nusa Tenggara Timur 3,000,000.00
Maluku
2,000,000.00
Maluku Utara
1,000,000.00
Papua Barat Papua
0.00 2007
2008
2009
1,800,000.00
Sulawesi Utara
1,600,000.00
Sulawesi Ten gah
1,400,000.00
Sulawesi Selatan Sulawesi Ten ggara
1,200,000.00
Go ro ntalo
1,000,000.00
Sulawesi Barat 800,000.00
Nusa Ten g gara Barat
600,000.00
Nusa Ten g gara Timur
400,000.00
Maluku
200,000.00
Maluku Utara Pap ua Barat
0.00 2007
2008
2009
Pap ua
Gambar 12 Pos DAU dan DAK Menurut Provinsi di KTI Tahun 2007-2009. Apabila dilihat menurut provinsi di KTI, komponen penerimaan daerah pos DAU dan DAK mengalami peningkatan yang sangat signifikan seperti terlihat pada Gambar 12. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya, sehingga pemerintah pusat memberikan transfer dalam bentuk dana perimbangan kepada daerah. Pemberian dana perimbangan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan, baik kesenjangan vertikal maupun
kesenjangan horisontal antardaerah. Provinsi di KTI yang menerima transfer dari pemerintah pusat khususnya pos DAU dan DAK terbesar adalah Papua dan Sulawesi Selatan. Pada awalnya, Sulawesi Selatan yang memiliki pos dana transfer dari pemerintah pusat yang terbesar namun hal ini berubah ketika Pemerintah Daerah Papua mendapatkan Otonomi Khusus sehingga nilai DAK yang diberikan pusat menjadi semakin besar. Besarnya penerimaan total KTI tidak terlepas dari bagaimana kondisi penerimaan daerah masing-masing provinsi. Adanya potensi yang dimiliki akan berakibat pada besarnya jumlah penerimaan yang diterima masing-masing. Sejak tahun 2005 hingga 2009, dari kedua belas provinsi di KTI, yang memberikan kontribusi penerimaan daerah terbesar adalah Papua dan Sulawesi Selatan. Hal ini dikarenakan Papua dan Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang lebih maju atau mempunyai kegiatan perekonomian dan fasilitas yang lebih banyak dibandingkan dengan provinsi lain di KTI. Papua dengan pertambangan emasnya dan Sulawesi Selatan dengan industri pengolahan sektor perikanan atau pertanian serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Jika dilihat dari nilai PDRB, kontribusi PDRB Papua dan Sulawesi Selatan terhadap total PDRB KTI cukup besar yaitu masing-masing 18,30 dan 27,42 persen. Hal ini bisa menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kegiatan perekonomian yang tercermin dari besarnya PDRB dengan penerimaan daerah. Sesuai dengan teori Peacock dan Wiseman yang menyatakan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi suatu daerah, maka penerimaan daerah juga akan meningkat. Jika dilihat dari salah satu komponen penerimaan daerah yaitu PAD, Sulawesi Selatan memberikan PAD lebih besar dibandingkan Papua pada pajak, retribusi daerah dan laba perusahaan milik daerah (Gambar 13). Karena pajak dan retribusi daerah kebanyakan berasal dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta sektor jasa. Sulawesi Selatan merupakan provinsi yang lebih maju jika dibandingkan Papua dengan kegiatan perekonomian yang hampir menyeluruh yaitu pada sektor pertanian; industri pengolahan; perdagangan, hotel dan restoran; dan jasa-jasa. Sedangkan Papua hanya terpusat pada pertambangan dan penggalian.
100% 80% 60% 40% 20%
2005
2006
2007
2008
pajak daerah
retribusi daerah
laba perusahaan daerah
pad lain yang sah
Papua
SulSel
Papua
SulSel
Papua
SulSel
Papua
SulSel
Papua
SulSel
0%
2009
Gambar 13. Kontribusi PAD Provinsi Dengan Penerimaan Daerah Terbesar Yaitu Sulawesi Selatan dan Papua Tahun 2005-2009. 4.2.2
Sisi Pengeluaran Daerah Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana
perimbangan digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan
pembangunan
daerah.
Keberhasilan
suatu
daerah
dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan masingmasing pemerintah daerah melalui alokasi sumber-sumber pendanaan yang tercermin pada alokasi belanjanya. Alokasi belanja yang disusun sesuai dengan pola kebijakan, prioritas dan program pembangunan suatu daerah untuk setiap tahunnya (Priyarsono et al, 2008). Secara umum terjadi peningkatan yang signifikan tiap tahunnya pada total belanja, dengan peningkatan yang cukup besar terjadi pada pertumbuhan di tahun 2006. Tumbuh sebesar 81,90 persen atau hingga mencapai sebesar 51.425,05 milyar rupiah. Pertumbuhan ini kemudian melambat hingga sebesar 13,86 persen pada tahun 2009 atau sebesar 94.708,79 milyar rupiah. Total belanja terbesar di KTI adalah provinsi dengan penerimaan daerah terbesar karena dapat membiayai pengeluaran tersebut walaupun sumber penerimaan terbesarnya adalah transfer dari pusat. Provinsi dengan alokasi belanja terbanyak adalah Papua, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur masing-masing mencapai 19.918,94; 15.509,83 dan 9.082,94 milyar rupiah pada tahun 2009.
Tabel 12 Total Belanja KTI Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) Keterangan
2005
2006
2007
2008
2009
12,107,264.19
17,737,825.29
24,141,598.61
30,472,157.57
37,418,618.40
Belanja Barang dan Jasa
3,787,742.71
7,397,097.37
13,073,111.68
15,693,886.30
17,714,785.83
Belanja Lain-lain
2,549,429.67
4,985,328.44
5,078,415.38
9,221,557.79
4,263,170.55
Belanja Modal
5,450,663.28
14,211,545.73
21,819,508.21
25,415,955.43
27,573,240.15
Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan
3,972,733.23
6,610,395.78
4,116,158.95
1,990,755.48
7,237,773.15
403,036.84
482,861.18
416,326.16
387,121.48
501,202.29
28,270,869.92
51,425,053.79
68,645,118.99
83,181,434.05
94,708,790.37
Belanja Pegawai
Belanja Tidak Tersangka
Total Belanja Sumber : Kemenkeu (diolah)
Dari total belanja, pengeluaran terbanyak adalah untuk kesejahteraan pegawai yaitu belanja pegawai yang setiap tahunnya rata-rata tumbuh sebesar 32,91 persen, mencapai 37.418,62 milyar rupiah pada tahun 2009. Sedangkan belanja barang dan jasa mengalami pertumbuhan yang cukup pesat pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing mencapai 95,29 dan 76,73 persen yang kemudian melambat hanya tumbuh 12,88 persen tahun 2009. Belanja tumbuh secara signifikan pada tahun 2006 yaitu sebesar 160,73 persen atau mencapai 14.211,54 milyar rupiah yang kemudian melambat hanya tumbuh sebesar 8,49 persen atau menjadi 27.573,24 milyar rupiah. Besarnya total belanja KTI tentu tidak terlepas bagaimana kondisi belanja daerah masing-masing provinsi. Adanya perbedaan potensi, kondisi dan kebijakan masing-masing daerah mengakibatkan prioritas pembangunan masing-masing daerah juga berbeda. Hal ini mengakibatkan perbedaan alokasi belanja untuk masing-masing provinsi di KTI. Daerah yang kondisi geografisnya rentan terhadap potensi bencana alam, maka alokasi belanja untuk menangani bencana akan lebih besar dibandingkan daerah lainnya. Namun terlihat pada KTI, kontribusi alokasi belanja sama pada tiap tahunnya sejak 2005 hingga 2009, seperti terlihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Alokasi Belanja Pada Total Belanja KTI Tahun 2009 (Persen). Provinsi yang memiliki penerimaan daerah terbesar adalah juga yang memiliki pengeluaran atau total belanja daerah terbanyak yaitu Papua dan Sulawesi Selatan masing-masing mencapai 15.509,83 dan 19.918,92 milyar rupiah pada tahun 2009. Setiap tahunnya masing-masing berkontribusi rata-rata 21,66 dan 17,70 persen terhadap total belanja KTI. Hal ini disebabkan kedua provinsi tersebut merupakan provinsi yang sudah cukup maju dan stabil, dengan kepadatan penduduk, kegiatan perekonomian yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lain di wilayah timur, tentunya jumlah pegawai, biaya pemeliharaan barang dan jasa serta biaya pelayanan masyarakat juga akan lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa suatu daerah yang mempunyai kegiatan perekonomian yang lebih besar dibandingkan daerah lain, maka besarnya belanja daerah juga akan lebih besar dibanding daerah lain. Ini sesuai dengan hukum Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi (Mangkoesoebroto, 1997). Selain itu juga sesuai dengan hukum Wagner yang menerangkan mengapa peranan pemerintah yang dimanivestasikan lewat belanja daerah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Suatu daerah yang kegiatan perekonomiannya lebih maju dari daerah lain, tentunya mempunyai potensi sumber daya yang lebih banyak baik itu sumber daya alam maupun manusia. Dengan adanya kelebihan
sumber daya tersebut, tentunya biaya yang digunakan baik untuk membayar, memelihara dan perawat fasilitas yang ada akan lebih besar. Tabel 13 Total Belanja Provinsi KTI Tahun 2005-2009 (Jutaan Rupiah) KTI
2005
2006
2007
2008
2009
Sulawesi Utara
1,665,558.79
3,255,196.72
4,445,711.13
5,211,921.81
6,585,304.80
Sulawesi Tengah
1,280,251.40
3,830,401.72
4,924,502.82
5,662,218.89
6,348,385.87
Sulawesi Selatan
6,043,587.56
8,999,393.54
11,281,413.54
13,992,122.80
15,509,833.96
Sulawesi Tenggara
1,316,264.94
2,908,377.65
4,476,325.06
5,410,379.75
6,966,206.47
Gorontalo
904,508.52
1,563,018.77
2,050,009.48
2,539,151.35
2,818,109.75
Sulawesi Barat
624,616.92
1,404,630.75
2,286,316.81
2,400,517.19
2,714,020.75
Nusa Tenggara Barat
2,752,062.20
3,949,627.10
4,880,868.35
5,680,818.46
6,573,522.95
Nusa Tenggara Timur
3,303,986.35
5,259,784.92
6,637,021.69
8,065,626.56
9,082,942.56
Maluku
1,874,526.45
2,744,439.47
3,087,247.45
4,442,194.83
5,159,589.51
Maluku Utara
1,081,194.02
2,464,017.16
3,191,220.72
3,914,612.07
4,478,280.71
Papua Barat
1,896,552.27
3,780,089.44
5,176,571.33
7,381,487.41
8,553,655.21
Papua
5,527,760.50
11,266,076.38
16,207,910.59
18,480,382.95
19,918,937.83
28,270,869.92
51,425,053.62
68,645,118.99
83,181,434.05
94,708,790.37
Total
Sumber : Kemenkeu (diolah)
Pertumbuhan belanja daerah tiap provinsi di KTI sejak tahun 2005 hingga 2009 mempunyai pola melambat. Namun pada tahun 2009 terdapat provinsi yang mengalami peningkatan pertumbuhan yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat menjadi 26,35; 28,76 dan 13,06 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ketiga provinsi tersebut mengalami peningkatan total belanja hingga mencapai 6.585,30; 6.966,20; 2.714,02 milyar rupiah pada tahun 2009. Peningkatan total belanja ini dialokasikan untuk pengeluaran pegawai sebesar 49,06; 45,36; 42,15 persen dan untuk belanja barang dan jasa sebesar 14,33; 17,85; 21,43 persen terhadap masing-masing total belanja daerah. Sedangkan untuk investasi atau pengeluaran yang bersifat modal berkontribusi rata-rata 28,95 persen hampir sama dengan tahun lalu. Provinsi yang mengalami peningkatan kontribusi secara signifikan dibandingkan tahun sebelumnya adalah Sulawesi Barat, hal ini dikarenakan provinsi tersebut sedang menggalakkan pembangunan di segala bidang sebagai provinsi baru. Selain itu, ternyata pada tahun 2009, ketiga provinsi tersebut juga meningkatkan pengeluaran untuk bagi hasil dan bantuan.
Halaman ini sengaja dikosongkan
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Kemandirian Fiskal Selama masa desentralisasi fiskal telah terjadi beberapa kali perubahan
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Perubahan peraturan tersebut dengan harapan dapat lebih mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah, baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara pemerintah daerah dan DPRD, ataupun antara pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien, serta dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pembahasan pengelolaan keuangan daerah hanya dibatasi pada kinerja keuangan baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Kinerja keuangan daerah diukur dari rasio keuangan daerah yang digunakan untuk menilai kemandirian fiskal yang dimiliki daerah tersebut, apakah mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi dengan pemerintah pusat. Rasio Kemandirian Fiskal ini menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain (pihak ekstern) antara lain: Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat dan Dana Pinjaman (Halim, 2007). Seperti yang terdapat pada Tabel 10 yaitu terjadi peningkatan penerimaan daerah tiap tahunnya, peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan pendapatan asli daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang diperoleh dari potensi wilayah sendiri dapat menggambarkan seberapa besar daerah mampu menggali potensi yang dimiliki. Terjadi pertumbuhan pendapatan asli daerah yang sangat berfluktuatif pada periode tahun 2005 hingga 2009. Peningkatan pertumbuhan pada tahun 2006 hingga diatas 20 persen yang selanjutnya terus menurun pada tahun 2009. Penurunan pertumbuhan pendapatan asli daerah pada tahun 2009 terjadi di seluruh provinsi di KTI. Nilai
pertumbuhan PAD yang terkecil pada tahun 2009 terjadi pada Provinsi Papua Barat dan Papua masing-masing sebesar minus 25,80 dan 16,05 persen. Sedangkan provinsi yang memiliki pertumbuhan terbesar setiap tahunnya adalah Sulawesi Tenggara yaitu mencapai 75,55 persen pada tahun 2008 dan 59,10 persen pada tahun 2009. Tabel 14 Pendapatan Asli Daerah KTI Tahun 2005-2009 Provinsi
(Juta Rupiah) 2009
2005
2006
2007
2008
Sulawesi Utara
246,980.24
324,855.32
412,446.61
495,384.41
507,317.69
Sulawesi Tengah
177,230.53
282,970.41
322,379.30
438,905.91
417,878.45
Sulawesi Selatan
1,034,274.70
1,294,038.30
1,602,043.30
1,927,953.73
2,111,576.14
145,349.96
213,379.25
267,516.60
469,621.55
747,159.82
Gorontalo
90,044.31
117,583.39
151,388.99
194,986.72
213,686.93
Sulawesi Barat
46,306.48
69,289.00
77,414.18
119,621.17
129,570.01
Nusa Tenggara Barat
330,131.71
442,800.23
526,556.26
629,421.69
715,520.52
Nusa Tenggara Timur
287,904.82
415,455.12
470,368.19
553,804.98
560,432.40
Maluku
118,711.19
141,379.05
198,064.26
258,590.65
286,013.69
Maluku Utara
60,979.56
119,608.13
151,930.49
249,036.27
300,362.99
Papua Barat
53,187.26
75,514.97
162,137.15
248,241.41
184,196.28
273,975.37
411,397.63
634,982.49
796,297.61
668,505.83
2,865,076.13
3,908,270.80
4,977,227.81
6,381,866.10
6,842,220.74
Sulawesi Tenggara
Papua KTI
Sumber : Kemenkeu (diolah)
Pada Tabel 14 terlihat peningkatan PAD yang cukup signifikan pada periode tahun 2005 hingga 2009. Namun dengan peningkatan ini apakah benar daerah tersebut telah menggali potensi yang dimilikinya sehingga dapat membangun daerahnya sendiri tanpa tergantung dengan pemerintah pusat? Hal ini dapat terlihat pada rasio kemandirian yang besarannya dapat menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap sumber dana dari luar daerah (ekstern). Semakin tinggi besaran rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak luar daerah dalam hal ini pemerintah pusat semakin rendah dan begitupun sebaliknya. Rasio kemandirian provinsi di KTI pada tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel tersebut menunjukkan bahwa provinsi di wilayah timur Indonesia masih memiliki kemampuan keuangan yang rendah sekali dengan
tingkat kemandirian 0%-25%. Sehingga provinsi di KTI memiliki pola hubungan instruktif dengan pemerintah pusat, yang mengandung arti bahwa provinsi di KTI masih melakukan kegiatan pemerintahannya sesuai dengan perintah pemerintah pusat. Tabel 15 Rasio Kemandirian Fiskal Provinsi KTI Tahun 2005-2009 (%) Rasio Kemandirian Fiskal
KTI 2005
2006
2007
2008
2009
Sulawesi Utara
16.12
10.74
12.89
10.08
8.59
Sulawesi Tengah
15.59
7.23
7.64
8.06
7.38
Sulawesi Selatan
19.67
15.03
19.47
16.62
17.37
Sulawesi Tenggara
12.35
7.07
6.20
9.39
13.20
Gorontalo
10.53
7.04
9.82
8.17
8.45
7.19
4.88
3.84
6.09
5.19
Nusa Tenggara Barat
12.84
11.87
11.67
12.38
13.01
Nusa Tenggara Timur
9.14
7.63
7.20
7.63
6.97
Maluku
6.46
4.94
5.61
6.25
6.52
Maluku Utara
5.53
4.76
4.61
6.90
7.73
Papua Barat
2.59
1.67
3.03
3.58
2.23
Papua
5.08
3.09
3.76
4.49
3.63
Sulawesi Barat
Sumber : Kemenkeu (diolah)
Provinsi yang memiliki rasio kemandirian yang stabil dan terbesar pada setiap tahunnya adalah Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki rasio kemandirian yang mencapai 19,47 persen pada tahun 2007 dan 17,37 persen pada tahun 2009. Sedangkan Nusa Tenggara Barat mencapai 12,84 persen pada tahun 2005 dan 13,01 persen pada tahun 2009. Hal ini sesuai dengan pendapatan asli yang dimiliki oleh kedua provinsi tersebut adalah yang terbesar. Dengan rasio kemandirian ini juga dapat menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di kedua provinsi tersebut cukup tinggi sehingga dapat ikut berperan dalam membayar pajak dan retribusi daerah. Kenaikan pada rasio kemandirian di kedua provinsi tahun 2009 juga dapat disimpulkan bahwa share PAD yang meningkat dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Sedangkan provinsi yang memiliki tingkat ketergantungan sangat besar pada pemerintah pusat adalah provinsi dengan rasio kemandirian
terkecil yaitu Papua Barat dan Papua masing-masing sebesar 2,23 dan 3,63 persen pada tahun 2009. Terlihat bahwa kemandirian daerah di KTI justru semakin menurun pada periode tahun 2005 hingga 2009. Hal ini disebabkan kenaikan PAD yang terjadi di setiap daerah lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah yang membuat penurunan peran (share) PAD terhadap penerimaan daerah. Beberapa provinsi yang masih memiliki perkembangan PAD yang positif atau semakin besar kemandirian daerahnya adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Maluku Utara. Tabel 16 Derajat Desentralisasi Fiskal KTI Tahun 2005-2009 (%) DDF
KTI 2005
2006
2007
2008
2009
Sulawesi Utara
13.88
9.69
9.00
9.16
7.91
Sulawesi Tengah
13.49
6.74
6.38
7.46
6.87
Sulawesi Selatan
16.44
13.07
13.56
14.25
14.80
Sulawesi Tenggara
10.99
6.60
5.84
8.58
11.66
Gorontalo
9.53
6.58
7.08
7.55
7.79
Sulawesi Barat
6.71
4.66
3.33
5.11
4.94
Nusa Tenggara Barat
11.38
10.61
10.45
11.01
11.52
Nusa Tenggara Timur
8.37
7.09
6.72
7.09
6.52
Maluku
6.06
4.71
4.78
5.88
6.12
Maluku Utara
5.24
4.54
4.41
6.45
7.18
Papua Barat
2.52
1.65
2.94
3.45
2.18
Papua
4.83
3.00
3.63
4.30
3.50
Sumber : Kemenkeu (diolah)
Selain rasio kemandirian, kinerja keuangan daerah dapat dihitung menggunakan derajat desentralisasi fiskal atau perbandingan antara PAD dengan total penerimaan daerah. Besarannya hampir sama dengan rasio kemandirian hanya saja pembandingnya adalah seluruh penerimaan daerah termasuk PAD daerah tersebut. Dari derajat tersebut, terlihat bahwa yang memiliki rasio terbesar adalah sama dengan provinsi yang memiliki rasio kemandirian terbesar yaitu Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat masing-masing sebesar 14,80 dan
11,52 persen. Namun hal ini masih menunjukkan kemampuan keuangan daerah yang sangat rendah karena berkisar antara 0 hingga 25 persen. Hal ini disebabkan pada struktur perekonomian daerah di KTI yang masih didominasi oleh sektor pertanian. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 yang termasuk PAD adalah pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah serta penerimaan lain yang sah. Jenis pajak yang masuk kategori ini adalah jenis pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C, pajak parkir yang tentunya tidak semua daerah terdapat kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan pajak tersebut. Jenis-jenis retribusi antara lain retribusi jalan umum, retribusi jasa serta usaha perijinan tertentu. Melihat sumber-sumber penerimaan yang bersumber dari PAD, wajar jika suatu daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa akan lebih besar jika dibanding daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh bidang pertanian. Sebab, pada dasarnya pajak-pajak yang menjadi sumber PAD berasal dari sektor tersebut. Terlihat perbedaan dengan KBI yang memiliki rasio PAD terhadap total penerimaan jauh lebih besar dibandingkan dengan daerah di KTI. Hal ini disebabkan antara lain struktur perekonomian daerah di KBI lebih didominasi oleh sektor penghasil pajak dan retribusi serta sumber daya manusia yang sangat mendukung. Menurut Halim (2007) ada beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya kenaikan PAD terhadap total penerimaan daerah yaitu : a. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada diluar penerimaan pemerintah daerah. b. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan perkapita. c. Kurang mampunya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada. Akan tetapi dibalik tingginya keinginan untuk menaikkan rasio kemandirian lewat PAD harus diperhatikan kelangsungan jangka panjangnya. Artinya pada saat sekarang PAD bisa saja meningkat, karena pendapatan dari pajak yang naik
akibat kenaikan tarif pajak, akan tetapi hal tersebut menjadi beban pengusaha sehingga mengganggu kegiatan usahanya. Oleh karena itu pembuatan kebijakan dalam rangka meningkatkan PAD harus memperhatikan banyak pihak dan banyak kepentingan. Salah satunya adalah dengan tetap memperhatikan kondisi dan situasi daerahnya masing-masing. Daerah di KTI memiliki PAD yang kecil dibandingkan dengan daerah di KBi karena masih memiliki struktur perekonomian di sektor pertanian atau bukan penghasil pajak. Oleh karena itu masing-masing daerah harus mencari potensi yang paling menonjol atau produk unggulan masing-masing daerah, kemudian di kembangkan dan di beri bantuan dalam hal pengolahan maupun pemasaran. Pada akhirnya tidak hanya sebagai penghasil bahannya saja, tetapi juga mampu mengolah, sehingga jika kegiatan ini dapat berjalan dengan baik, maka pendapatan asli daerah akan dapat meningkat seiring dengan berkembangnya kegiatan perekonomian suatu daerah. 5.2
Investasi Daerah Investasi terbagi dua menurut sumbernya, yaitu investasi yang dilakukan
oleh sektor swasta (private investment) dan sektor publik dalam hal ini adalah pemerintah (public investment). Investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan daerahnya, bersumber dari anggaran yang dimiliki pemerintah daerah atau dengan kata lain penerimaan daerah. Dalam hal ini, investasi pemerintah terbagi atas enam bagian yaitu tanah; peralatan dan mesin; gedung dan bangunan; jalan, irigasi dan jaringan; asset tetap lainnya; serta investasi lainnya. Anggaran pemerintah daerah terdiri atas pengeluaran rutin yang berguna untuk
membiayai
segala
sesuatu
yang diperlukan
dalam
menjalankan
pemerintahan dan pengeluaran investasi yang digunakan untuk membiayai pembangunan daerah serta pengeluaran tidak terduga yang digunakan untuk membiayai segala sesuatu yang muncul di luar dari rencana yang sudah dianggarkan. Dengan besarnya anggaran suatu pemerintah daerah maka daerah tersebut akan memiliki kemampuan yang besar dalam berinvestasi untuk membangun daerahnya sehingga dapat mengejar ketertinggalannya dengan daerah lainnya. Namun terlihat anggaran daerah di KTI masih terfokus untuk membiayai
pengeluaran rutin, bukan untuk membangun daerahnya dengan meningkatkan pengeluaran investasinya seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 15 Distribusi Anggaran Provinsi di KTI Tahun 2009.
Terlihat pada tabel 17, yang mempunyai investasi pemerintah terbesar adalah provinsi dengan anggaran yang besar yaitu Papua, Sulawesi Selatan dan Papua Barat masing-masing mencapai 6.022,1; 4.188,8; dan 3.206,4 milyar rupiah pada tahun 2009. Oleh sebab itu, untuk melihat pemerintah daerah yang sedang giat dalam membangun daerahnya adalah pada pertumbuhan investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut. Provinsi yang memiliki pertumbuhan investasi pemerintah yang pesat pada tahun 2005 hingga 2009 adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat masing-masing tumbuh rata-rata sebesar 45,26; 35,85; 30,23 persen. Ketiga provinsi ini sedang membangun dalam rangka mengembangkan daerahnya dengan potensi yang dimiliki setiap daerah tersebut. Khusus untuk Provinsi Papua Barat memang sedang giat membangun dalam rangka mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya sebagai provinsi terbaru yang terbentuk pada tahun 2005.
Tabel 17 Investasi Pemerintah Daerah KTI Tahun 2005-2009 (Juta Rupiah) KTI Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
2005 237,268.53 192,303.47 1,195,043.64 241,188.90 228,460.52 161,469.49 383,149.57 587,778.85 469,656.76 226,047.63 536,235.21 992,060.71
Investasi Pemerintah 2006 2007 635,850.11 1,089,585.35 1,066,302.47 1,712,922.00 2,368,395.06 3,231,208.55 842,504.02 1,472,413.85 496,877.20 659,482.02 466,019.01 779,494.24 702,386.91 1,190,983.12 1,247,059.59 1,916,234.71 866,886.54 956,085.92 854,401.66 1,187,359.04 1,523,336.99 2,126,145.33 3,141,526.17 5,497,594.07
2008 1,290,818.46 1,736,643.07 3,910,231.07 1,664,509.81 765,274.66 800,755.35 1,180,131.10 2,123,379.84 1,368,731.92 1,506,745.71 3,225,549.83 5,843,184.61
2009 1,883,885.68 1,874,847.03 4,188,843.59 1,993,236.61 807,848.90 804,144.00 1,310,689.88 2,224,198.30 1,477,666.44 1,779,396.08 3,206,414.76 6,022,068.87
Sumber : Kemenkeu (diolah)
Pada tahun 2009, yang masih melakukan investasi tanah adalah Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Papua Barat, dapat dimaklumi karena kedua provinsi terakhir masih merupakan provinsi baru yang memerlukan tanah atau bangunan serta gedung dalam membangun daerah tersebut, masing-masing mencapai 428,96; 50,67; 173,32 milyar rupiah. Sedangkan provinsi yang melakukan investasi pada peralatan dan mesin yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Maluku Utara masing-masing berkontribusi sebesar 22,01; 19,32; 19,27 persen terhadap total investasi pemerintah di setiap pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang sedang giat melakukan investasi pada gedung dan bangunan adalah Maluku, Maluku Utara dan Papua yaitu mencapai 666,6; 669,4; 2.265,7 milyar rupiah. Investasi jalan, irigasi dan jaringan yang merupakan investasi fisik dasar yang dibutuhkan dalam pembangunan daerah lebih banyak dilakukan oleh Gorontalo, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara masing-masing mencapai 51,08; 49,19 dan 45,70 persen terhadap total investasi di setiap daerah.
Papua Papua Barat Maluku Utara Maluku NTT NTB Sulawesi Barat Gorontalo Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Utara
Belanja Tanah Belanja Peralatan dan Mesin Belanja Gedung dan Bangunan Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja Aset Tetap Lainnya Belanja Aset Lainnya
Gambar 16 Investasi Pemerintah Menurut Jenisnya di KTI Tahun 2009 (Persen).
5.3
Hasil Estimasi Alokasi anggaran pengeluaran pemerintah dibedakan atas empat macam
yaitu pengeluaran untuk pegawai, barang dan jasa, penanaman modal/investasi dan lainnya. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilihat melalui pengeluaran untuk modal. Untuk melihat peranan investasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perekonomian di daerah Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada periode tahun 2005 hingga 2009, dilakukan dengan menggunakan metode analisis panel dan software Stata 10. Metode analisis panel yang digunakan untuk mengestimasi pada persamaan yang ada pada bab 3 adalah panel statis, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM), dan panel dinamis yaitu dengan metode First-difference Generalized Method of Moments (FDGMM). Hal ini berkenaan untuk melihat continuum dari parameter model. Hasil estimasi untuk masing-masing persamaan kemudian dirangkum dalam bentuk tabel yang dirinci menurut metode yang digunakan dan untuk setiap metode ditampilkan beberapa statistik uji yang diperlukan dalam rangka memperoleh penduga terbaik.
Hasil estimasi dari persamaan (3.6) dapat dilihat pada Tabel 18, menampilkan tiga metode estimasi untuk data panel statis, yaitu FEM, REM dan pooled LS (OLS) serta satu metode data panel dinamis dengan menggunakan metode FD-GMM. Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi dengan melihat robustness model, serta validitas di setiap metode estimasi yang digunakan. Secara khusus, hasil ini juga dapat digunakan untuk mengkomparasi hasil estimasi dari model panel statis dan panel dinamis, mengingat masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Dari ketiga metode data panel statis, estimasi terbaik diberikan oleh FEM dibanding dua metode lainnya. Hal ini bisa dilihat dari uji Hausman yang mengindikasikan metode FEM lebih baik dari REM (P-value = 0,0000); begitupun dengan Chow F-Test yang juga menyatakan FEM jauh lebih baik dari pooled LS (P-value = 0,0001). Selain kedua uji tersebut, hasil uji kebaikan suai (goodness of fit) juga menunjukkan hasil estimasi dari model FEM cukup baik, mengingat Wald chi-test signifikan pada taraf 1 persen. Pada metode data panel statis menggunakan metode Fixed Effect (FEM), hasil estimasi untuk variabel investasi pemerintah dan tenaga kerja terbukti nyata mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di KTI dengan signifikansi pada taraf 5 persen. Koefisien regresi yang bernilai positif pada kedua variabel tersebut menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan investasi pemerintah atau bertambahnya tenaga kerja pada suatu lapangan usaha di kawasan timur Indonesia maka akan meningkatkan pula pertumbuhan ekonominya. Sedangkan hasil sebaliknya adalah pada variabel pendapatan asli daerah, investasi swasta dan keterbukaan perdagangan (trade openness) yang ternyata tidak mempengaruhi secara nyata pertumbuhan ekonomi di KTI. Metode panel data dinamis digunakan dalam penelitian ini mengingat kelebihan metode panel data dinamis yang sanggup mengatasi endogeneity problem terkait dengan penggunaan lag variabel dependen, dimana pada metode panel data statis penggunaan lag variabel dependen menyebabkan hasil estimasi menjadi bias dan tidak konsisten. Sehingga dengan metode data panel dinamis terlihat hasil yang berbeda karena adanya penambahan variabel lag variabel
dependen. Data panel dinamis menghasilkan estimasi bahwa variabel pendapatan asli daerah, investasi pemerintah, tenaga kerja dan trade openness serta lag variabel dependen terbukti secara nyata mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di KTI pada taraf 5 persen dengan validitas dari instrument yang digunakan (uji Sargan) harus menerima H0 karena P-value 0,3276. Begitupun dengan hasil estimasi untuk persamaan 3.7, bahwa dari ketiga metode data panel statis yang terbukti cukup baik adalah metode Fixed Effect seperti terlihat pada Tabel 19. Terbukti nyata dari uji Hausman sebesar 1 persen; serta dari uji Chow F-Test yang menyatakan bahwa metode tersebut lebih baik dibandingkan dengan pooled LS (P-value = 0,0002) serta dengan uji kebaikan suai (goodness of fit) juga menunjukkan hasil estimasi dari model FEM cukup baik, mengingat Wald chi-test signifikan pada taraf 1 persen. Hasil estimasi persamaan 3.7 ini sejalan dengan persamaan 3.6, yaitu variabel investasi yang dilakukan pemerintah pada bidang jalan, telekomunikasi dan irigasi serta tenaga kerja terbukti nyata mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di KTI pada taraf 5 persen. Hal ini berarti seperti pada persamaan 3.6 bahwa apabila investasi pemerintah pada bidang jalan, telekomunikasi dan irigasi serta tenaga kerja di wilayah timur Indonesia mengalami kenaikan maka perekonomian KTI juga akan tumbuh. Atau dengan kata lain, peningkatan investasi pemerintah di wilayah timur Indonesia akan meningkatkan perekonomian. Begitupun dengan persamaan 3.7 yang diestimasi menggunakan metode data panel dinamis mendapatkan hasil yang serupa dengan persamaan 3.6. Namun pada persamaan 3.7 ini menghasilkan yang lebih baik, yaitu dengan uji validitas instrument yang digunakan (Sargan Test) dengan menerima H0 (P-value > 0,0001) yaitu P-value sebesar 0,3617. Dan keseluruhan variabelnya memiliki hasil estimasi yang terbukti nyata memiliki pengaruh pada pertumbuhan di KTI sebesar taraf 5 persen. Dengan hasil estimasi yang konsisten pada persamaan 3.6 dan 3.7 maka metode yang digunakan yaitu data panel statis dan dinamis telah baik. Namun karena kelemahan yang dimiliki oleh metode data panel statis yaitu dapat menghasilkan estimasi yang bias dan tidak konsisten dalam menggunakan lag variabel dependen sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini metode
data panel dinamis dipilih sebagai metode yang lebih tepat dalam menjelaskan peranan investasi pemerintah baik total maupun menurut bidangnya terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia. 5.3.1 Analisis Peranan Investasi Pemerintah Total terhadap Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Arah koefisien yang dihasilkan dalam estimasi metode data panel dinamis dengan variabel investasi pemerintah total sebagian besar telah sesuai dengan kajian teori ekonomi (Tabel 18). Variabel pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya mempengaruhi secara nyata positif pertumbuhan ekonomi tahun berjalan dengan nilai koefisien sebesar 0,6459. Angka ini dapat diartikan sebagai kenaikan sebesar 10 persen pada pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya akan meningkatkan pertumbuhan tahun berjalan sebesar 6,459 persen. Hubungan yang positif ini dikarenakan adanya penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment) mengingat variabel pertumbuhan ekonomi merupakan variabel yang dinamis terutama dalam analisis jangka panjang. Variabel yang terbukti nyata positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di KTI adalah investasi pemerintah total, dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,038 pada taraf signifikan 1 persen. Hal ini berarti sesuai dengan teori ekonomi yang ada, bahwa investasi memiliki hubungan yang positif dengan perekonomian. Meningkatnya anggaran investasi dalam hal ini pemerintah sebesar 10 persen maka pertumbuhan ekonomi di KTI juga akan meningkat sebesar 0,38 persen. Dengan dilakukannya investasi pemerintah yang mempunyai sifat membangun suatu daerah (menyediakan infrastruktur dasar) akan membuka jalan daerah tersebut dalam mengembangkan daerahnya. Seperti penelitian Alfirman dan Sutriyono (2006) yang menyimpulkan bahwa pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk modal (investasi pemerintah) memiliki hubungan kausalitas positif dengan PDB.
Tabel 18 Hasil Estimasi Peranan Investasi Pemerintah Total Menggunakan Metode Data Panel Statis dan Dinamis Variabel
Ly pad ip is tk to _cons
F-Test Wald-Test Chow F-Test Breusch-Pagan LM Test Hausman Test Arelano-Bond m1 m2 Sargan Test
OLS
FEM
0.9947 (0.0207) 0.0104 (0.0229) 0.0148 (0.0202) 0.0263 (0.0577) -0.0159 (0.0269) -0.0581 (0.0313) 0.0523 (0.2150)
***
3015.88
[0.0000]
*
0.3957 (0.0959) 0.0082 (0.0329) 0.0849 (0.0402) -0.0477 (0.0482) 0.4246 (0.1273) -0.0065 (0.0467) 2.5841 (1.8207)
REM
***
**
***
44.23 428.88 5.65
[0.0000] [0.0000] [0.0001]
57.95
[0.0000]
0.9885 (0.0232) 0.0086 (0.0249) 0.0195 (0.0221) 0.0241 (0.0582) -0.0087 (0.0300) -0.0568 (0.0340) 0.0101 (0.2397)
GMM
***
*
13801.56
[0.0000]
2.40
[0.1214]
0.6459 (0.0359) 0.0240 (0.0107) 0.0380 (0.0126) -0.0011 (0.0007) 0.2134 (0.0745) -0.0558 (0.0099) 1.9607 (0.9210)
***
3395.12
[0.0000]
-1.0691 1.0287 5.7856
[0.2850] [0.3036] [0.3276]
** ***
*** *** **
Ket :
*** : signifikan pada 01% *** : signifikan pada 05% *** : signifikan pada 10% ( ) : standar error [ ] : P-value
104
Namun dari hasil estimasi persamaan 3.6 juga terlihat bahwa dalam KTI, investasi swasta tidak terbukti nyata atau tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan memang masih sangat terbatas investor swasta akan menginvestasikan pada daerah yang belum berkembang (memiliki return of investment yang lama atau risk investment yang tinggi). Dibuktikan dengan data investasi yang dilakukan oleh pihak swasta masih sangat minim dibandingkan penanaman modal di daerah Indonesia Barat. Variabel tenaga kerja nyata positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di KTI dengan nilai koefisien sebesar 0,2134. Tenaga kerja yang merupakan salah satu faktor produksi yang diperlukan untuk meningkatkan output sebagai suatu proses dalam pertumbuhan ekonomi (Hukum Solow). Tak terkecuali dengan KTI, yang masih membutuhkan tenaga kerja khususnya dalam meningkatkan perindustrian yang ada. Tenaga kerja yang ada di Indonesia sebagian besar terpusat ke arah barat yaitu KBI, hal ini dikarenakan memang pusat perindustrian atau dengan kata lain lapangan kerja terpusat di KBI sesuai dengan penelitian RB Prasetyo (2010) yang menyebutkan bahwa aglomerasi industri manufaktur di Indonesia masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Dengan hasil estimasi diatas, diharapkan dengan penambahan tenaga kerja yang produktif di KTI sebesar 10 persen dapat meningkatkan produksi atau pertumbuhan ekonomi di KTI sebesar 2,134 persen. Pendapatan asli daerah terbukti nyata positif pada taraf 5persen mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang ada di KTI dengan koefisien regresi sebesar 0,0104. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pendapatan asli daerah meningkat 10 persen maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesat 0,104 persen. Hal ini termasuk anomali karena seharusnya pendapatan asli daerah yang merupakan sebagian besar hasil pajak dan retribusi daerah dapat mengurangi output yang ada. Dengan meningkatnya pajak maka kemampuan masyarakat dalam memproduksi akan menurun. Tidak demikian di KTI, karena pajak daerah itulah merupakan salah satu sumber yang digunakan oleh pemerintah daerah KTI untuk membiayai pengeluaran dalam membangun daerah sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi walaupun tidak cukup besar.
Variabel keterbukaan dalam perdagangan (trade openness) ternyata pada daerah KTI memiliki pengaruh nyata negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien regresi sebesar 0,0558. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan trade openness memiliki hubungan yang negatif yaitu apabila trade openness meningkat sebesar 10 persen maka yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi menurun sebesar 0,558 persen. Ini disebabkan bahwa KTI masih memiliki impor yang lebih besar dibandingkan dengan ekspor. KTI mengimpor baik itu barang untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk kebutuhan bahan baku industri dan barang modal. 5.3.2 Analisis Peranan Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur terhadap Perekonomian Kawasan Timur Indonesia Dalam penelitian ini, investasi pemerintah terbagi atas 3 jenis menurut yang dibelanjakan oleh pemerintah daerah, yaitu investasi pemerintah yang digunakan untuk membeli peralatan dan mesin; bangunan dan gedung; infrastruktur dasar seperti irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan. Dari ketiga jenis investasi ini, yang termasuk jelas penggunaan ke masyarakat langsung atau yang mempengaruhi perekonomian secara langsung adalah investasi pemerintah untuk irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan. Pada investasi pemerintah untuk peralatan dan mesin, penggunaannya tidak secara langsung ke masyarakat luas karena alokasi investasi ini bisa ambigu dengan hanya diperuntukkan kebutuhan kinerja pemerintah daerah seperti mesin foto copy dan peralatan kantor lainnya. Sedangkan investasi pemerintah untuk bangunan dan gedung juga memiliki ambiguitas yang jelas, apakah pembangunan untuk infrastruktur dasar (seperti sekolah, pasar dan pertokoan) atau pembangunan perkantoran pemerintahan daerah. Untuk itu terlihat jelas bahwa pada persamaan 3.7 pada Tabel 19, hasil estimasi dengan menggunakan investasi pemerintah untuk infrastruktur seperti irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan. Hasil
estimasi adalah investasi pemerintah menurut jenis yang
dibelanjakan yaitu untuk keperluan infrastruktur sudah konsisten dengan persamaan 3.6, investasi pemerintah total, didapatkan nilai koefisien regresi yang nyata positif pada variabel lag variabel dependennya sebesar 0,7392 (Tabel 19). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat penyesuaian dinamis (dynamic of
adjustment) pada model peranan investasi pemerintah menurut jenisnya mengingat variabel pertumbuhan ekonomi merupakan variabel yang dinamis terutama dalam analisis jangka panjang. Angka koefisien regresi sebesar 0,7392 memiliki makna bahwa kenaikan sebesar 10 persen pada pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya akan meningkatkan perekonomian atau pertumbuhan ekonomi tahun berjalan sebesar 7,392 persen. Sejalan dengan hasil yang didapat pada estimasi peranan investasi pemerintah total terhadap perekonomian dalam hal ini pertumbuhan ekonomi, anomali pendapatan asli daerah juga memiliki hubungan nyata positif dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,0316 pada taraf 1 persen. Hal ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan pendapatan asli daerah sebesar 10 persen maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 0,316 persen. Anomali ini terjadi karena memang salah satu dana untuk membiayai pengeluaran dalam pembangunan daerah di KTI selain dari pemerintah pusat adalah pendapatan asli daerah yang sebagian besar berasal dari pajak dan retribusi daerah. Hasil estimasi ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2010), yang menyimpulkan bahwa pendapatan asli daerah dan dana perimbangan memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah. Serupa dengan hasil estimasi persamaan 3.6, variabel tenaga kerja pada persamaan 3.7 juga memiliki hubungan nyata positif terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI dengan angka koefisien regresi sebesar 0,3055 pada taraf 5 persen (terlihat pada Tabel 19). Sesuai dengan teori ekonomi yang memang tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi yang dapat meningkatkan produksi atau output dalam hal ini pertumbuhan ekonomi (Solow). Angka tersebut memiliki arti bahwa jika tenaga kerja yang ada di KTI bertambah sebesar 10 persen maka pertumbuhan ekonomi wilayah KTI juga akan meningkat sebesar 3,055 persen. Dengan kata lain dapat disimpulkan berarti bahwa kegiatan produksi di KTI masih bersifat padat karya dibandingkan dengan padat modal. Berbeda dengan hasil estimasi persamaan 3.6, metode data panel dinamis pada persamaan 3.7 (Tabel 19) menghasilkan bahwa kedua investasi baik pemerintah maupun swasta memiliki hubungan nyata
positif terhadap
pertumbuhan ekonomi di KTI. Investasi pemerintah infrastruktur khususnya jenis
irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan memiliki hubungan positif pada taraf 5 persen dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,1503. Nilai koefisien ini cukup besar karena apabila investasi pemerintah untuk keperluan ini ditingkatkan sebesar 10 persen maka pertumbuhan ekonomi di KTI akan meningkat dengan cukup pesat yaitu sebesar 1,503 persen.
Penelitian Prasetyo (2009) juga
menyimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur dasar seperti irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan regional dengan variabel infrastruktur listrik/jaringan lebih besar dibandingkan jalan. Sedangkan untuk variabel investasi swasta memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,0625 pada taraf 5 persen, yang mempunyai arti bahwa apabila investasi yang dilakukan oleh pihak swasta meningkat 10 persen maka pertumbuhan ekonomi di KTI juga akan meningkat sebesar 0,625 persen. Apabila dilihat kedua investasi tersebut pada persamaan 3.7, memiliki hubungan yang sama yaitu positif dengan pertumbuhan ekonomi maka dapat disimpulkan bahwa diantara keduanya memiliki hubungan crowding-in. Seperti Lachler dan Aschauer (1998) yang menyatakan bahwa dampak investasi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi tergantung dengan bagaimana hubungannya dengan investasi swasta. Dengan hasil estimasi yang didapatkan pada penelitian ini maka hubungan antara investasi pemerintah dan swasta bersifat komplementer. Kenaikan pada investasi pemerintah memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan ekonomi dengan investasi swasta, yaitu keduanya memiliki kontribusi terhadap akumulasi investasi yang dapat meningkatkan kapasitas menuju ke tingkat output yang lebih tinggi dan berkelanjutan serta menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Variabel keterbukaan dalam perdagangan (trade openness) memiliki hubungan yang nyata negative pada taraf 1 persen, serupa dengan hasil estimasi persamaan 3.6. Namun memiliki nilai koefisien regresi yang lebih kecil yaitu minus 0,3889 (-0,3889), yang memiliki arti apabila trade openness turun 10 persen maka pertumbuhan ekonomi baru akan meningkat sebesar 3,889 persen. Trade openness dan pertumbuhan ekonomi yang memiliki hubungan negative memiliki makna bahwa di KTI nilai impor daerah masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai ekspor. Berbeda dengan yang ditemukan oleh
Brückner and Tuladhar (2010), bahwa ekspor merupakan salah satu yang terbukti signifikan positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Dengan meningkatnya ekspor dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun mengkontrol nilai ekspor belum tentu mengubah secara signifikan dari elastisitas pengeluaran investasi pemerintah, dalam kasus di Jepang.
Lain halnya jika kasusnya di
Indonesia Kawasan Timur, hal ini sangat dimungkinkan karena daerah di KTI masih memerlukan beberapa barang yang tidak dapat disediakan dari daerahnya, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk bahan baku industri yang ada di KTI.
Tabel 19 Hasil Estimasi Peranan Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur Menggunakan Metode Data Panel Statis dan Dinamis
Variabel
OLS
Ly
0.9989
pad IpI is tk to _cons
F-Test Wald-Test Chow F-Test Breusch-Pagan LM Test Hausman Test Arelano-Bond m1 m2 Sargan Test
FEM
***
0.4449
REM
***
0.9989
GMM
***
0.7392
(0.0212)
(0.1018)
(0.0212)
(0.0797)
0.0184
0.0452
0.0184
0.0316
(0.0186)
(0.0302)
(0.0186)
(0.0109)
0.0267
0.0472
0.0267
0.1503
(0.1109)
(0.1231)
(0.1109)
(0.0733)
-0.0018
-0.0245
-0.0186
0.0625
(0.0724)
(0.0633)
(0.0724)
(0.0314)
-0.0210
0.5622
-0.0210
0.3055
(0.0265)
(0.1234)
(0.0265)
-0.0474
-0.0122
-0.0474
(0.0284)
(0.0501)
(0.0284)
(0.0197)
**
***
-0.0637
0.1489
0.6472
0.1489
(0.3889)
(1.8219)
(0.1456)
(1.3513)
[0.0000]
39.15 427.94 4.91
[0.0000] [0.0000] [0.0002]
43.38
[0.0000]
17804.70 3.04
*** ** ** **
(0.1178) *
(0.1456)
2967.45
***
[0.0000]
***
2041.09
[0.0000]
-1.0558
[0.2911]
1.0510
[0.2933]
5.4655
[0.3617]
[0.0.0811]
Ket :
*** : signifikan pada 01% *** : signifikan pada 05% *** : signifikan pada 10% ( ) : standar error [ ] : P-value
Halaman ini sengaja dikosongkan
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai peranan investasi pemerintah total
dan menurut jenis yang dibelanjakan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia pada kurun waktu 2005 sampai 2009 dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Harapan desentralisasi fiskal adalah agar daerah dapat berdiri sendiri dalam membangun dan memajukan daerahnya dengan pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien serta dapat mewujudkan pemerintahan daerah yang baik dan tertib. Namun terkadang daerah masih belum mengelola khususnya keuangannya dengan tertib dan baik, yang dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Kinerja ini diukur menggunakan rasio kemandirian fiskal yang dapat melihat ketergantungan suatu daerah dengan pemerintah pusat. Pada tahun 2005 hingga 2009, rasio kemandirian provinsi di KTI berada di tingkat 0-25 persen yang berarti memiliki pola instruktif dengan pemerintah pusat, tingkat ketergantungan dengan pemerintah pusat masih sangat tinggi. Provinsi di KTI yang memiliki rasio kemandirian daerah tertinggi pada tahun 2009 adalah provinsi yang sudah stabil dan memiliki pendapatan asli daerah terbesar yaitu Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Hal ini disebabkan kenaikan PAD yang terjadi di setiap daerah lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah yang membuat penurunan peran (share) PAD terhadap penerimaan daerah. 2. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan daerahnya, bersumber dari anggaran yang dimiliki pemerintah daerah atau dengan kata lain penerimaan daerah. Dengan besarnya anggaran suatu pemerintah daerah maka daerah tersebut akan memiliki kemampuan yang besar dalam berinvestasi untuk membangun daerahnya. 3. Hasil estimasi persamaan peranan investasi pemerintah total terhadap pertumbuhan
ekonomi
di
KTI
pada
periode
tahun
2005-2009
menunjukkan bahwa investasi pemerintah memiliki peran yang penting
dibandingkan dengan investasi swasta. Hal ini disebabkan memang masih sangat terbatas investor swasta akan menginvestasikan pada daerah yang belum berkembang (memiliki return of investment yang lama atau risk investment yang tinggi). Dalam persamaan 3.6 terlihat yang berperan sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi di KTI adalah terpusat pada variabel tenaga kerja dengan elastisitas terbesar yaitu 0,2134 selain pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan produksi KTI masih bersifat padat karya. 4. Peranan investasi pemerintah untuk keperluan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI pada tahun 2005-2009 menghasilkan estimasi bahwa yang memiliki peranan langsung adalah investasi pemerintah untuk keperluan irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan. Hubungan investasi pemerintah dan swasta pada persamaan 3.7 adalah bersifat komplementer yaitu kenaikan pada investasi pemerintah memiliki dampak yang sama pada pertumbuhan ekonomi dengan investasi swasta. Dengan kata lain, keduanya memiliki kontribusi terhadap akumulasi investasi yang dapat meningkatkan kapasitas menuju ke tingkat output yang lebih tinggi dan berkelanjutan serta menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Diantara keduanya, yang memiliki peranan terbesar dalam pertumbuhan ekonomi di KTI pada tahun 2005-2009 adalah investasi
pemerintah
untuk keperluan irigasi,
jalan
dan
telekomunikasi/jaringan dengan elastisitas 0,1503 dibandingkan elastisitas investasi swasta yang hanya 0,0625. 5. Variabel trade openness pada kedua persamaan yaitu 3.6 dan 3.7 menunjukkan hubungan yang negative dan signifikan pada taraf 1 persen. Hal ini berarti bahwa dengan meningkatnya trade openness dapat menghambat pertumbuhan ekonomi di KTI. Hubungan yang negative memiliki makna bahwa di KTI nilai impor daerah masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan nilai ekspor. Hal ini sangat dimungkinkan karena daerah di KTI masih memerlukan beberapa barang yang tidak dapat disediakan dari daerahnya, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk bahan baku industri yang ada di KTI.
6.2
Implikasi Kebijakan Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan sebelumnya,
maka beberapa arah kebijakan yang disarankan antara lain: 1. Dengan melihat rasio kemandirian daerah yang sangat rendah pada provinsi di KTI maka sebaiknya pemerintah daerah di KTI perlu mencari alternative lain untuk dapat meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah dengan tetap melihat kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Upaya
peningkatan
penerimaan
PAD
harus
tetap
memperhatikan
dampaknya terhadap daya tarik investasi. Kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah guna meningkatkan PAD, hendaknya tidak menghambat masuknya investasi ke daerah. Mengembangkan sumbersumber non pajak seperti kebijakan membuka BUMD atau usaha-usaha yang dimiliki pemerintah daerah secara lebih profitable. 2. Peranan investasi pemerintah sangat besar pada pertumbuhan ekonomi daerah di KTI, maka pemerintah daerah KTI perlu merencanakan anggarannya dengan alokasi yang lebih banyak pada pengeluaran investasi yang secara langsung berdampak pada peningkatan ekonomi daerah. Upaya yang dapat dilakukan adalah membuat birokrasi pemerintahan yang lebih efisien serta meningkatkan kontrol masyarakat terhadap penggunaan belanja pemerintah
daerah
untuk
mengurangi
terjadinya
penyimpangan-
penyimpangan dan korupsi serta perilaku rent seeking. Selain itu juga perlu adanya sinkronisasi prioritas pembangunan ekonomi di tingkat kabupaten kota, provinsi dan nasional, sehingga dapat menghemat anggaran belanja daerah. 3. Pemerintah daerah KTI seharusnya tidak meningkatkan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dengan dalih peningkatan PAD. Upaya yang seharusnya dilakukan adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha sehingga mampu menarik investor swasta untuk menanamkan modalnya, yang pada gilirannya akan menyerap tenaga kerja lokal dan menjadi sumber pendapatan daerah. Pemerintah daerah bahkan seharusnya memberikan insentif dan kemudahan bagi investor melalui kemudahan
perijinan,
perbaikan
infrastruktur
perekonomian
serta
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia lokal. Karena terbukti bahwa investasi pemerintah dan swasta memiliki hubungan komplementer yang sama-sama berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional KTI. 4. Tenaga kerja merupakan variabel penting dan terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah KTI sehingga dapat disimpulkan bahwa perekonomian KTI bersifat padat karya (labor intensive). Maka sebaiknya pemerintah daerah dapat memusatkan kegiatan ekonomi dan industriindustri yang menyerap banyak tenaga kerja. Pengembangan industri padat karya seharusnya dilakukan dalam rentang waktu yang panjang dan continuous sehingga pemusatan industry dan tenaga kerja tidak hanya pada KBI. 5. Pemerintah daerah KTI perlu mengusahakan suatu kebijakan yang dapat mengurangi nilai impor daerah KTI dan meningkatkan nilai ekspor dengan melihat suatu peluang pada perdagangan internasional sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh daerah di KTI. Seperti melakukan substitusi bahan baku industri, himbauan penggunaan produk domestic dan kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan usaha baru untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar merupakan produksi domestik daerah.
6.3
Saran Penelitian Lebih Lanjut Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang dirumuskan sebelumnya,
maka beberapa saran untuk penelitian lebih lanjut antara lain: 1. Peranan investasi pemerintah sangat besar pada pertumbuhan ekonomi daerah di KTI, maka pemerintah daerah KTI perlu merencanakan anggarannya dengan lebih tepat guna dan efisien agar dapat langsung dirasakan manfaatnya untuk perekonomian dan masyarakat KTI sendiri serta menarik investor swasta lain. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa investasi yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah untuk kebutuhan irigasi, jalan dan telekomunikasi/jaringan. Kajian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menelaah investasi pemerintah dialokasikan ke sektor-
sektor yang ada, diantaranya sektor industri, pendidikan, kesehatan dan lainnya (infrastruktur dasar). 2. Dengan pentingnya investasi pemerintah terhadap pembangunan wilayah timur, maka perlu ditindak lanjuti dengan menambah sumber data investasi pemerintah. Tidak hanya dari anggaran pemerintah daerah namun bisa ditambah investasi pemerintah dari pusat yaitu menggunakan dana tugas pembantuan, dekonsentrasi serta dana perimbangan alokasi khusus. 3. Untuk penelitian lebih lanjut, perlu disempurnakan dengan memasukkan beberapa variabel lain dan menambah indikator perekonomian yaitu terhadap ketimpangan distribusi pendapatan ataupun dengan tingkat kemiskinan. Selain itu perlu juga dilakukan kajian yang lebih mendalam mengenai kebijakan-kebijakan dan program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah
terkait
dengan
investasi
pertumbuhan ekonomi khususnya di KTI.
pemerintah
dan
peningkatan
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu A. 2005. Kebijakan Fiskal dan Efektivitas Stimulus Fiskal di Indonesia. Jurnal Ekonomi Indonesia 1:1-35. Adi PHa. 2007. Kemampuan Keuangan Daerah dan Relevansinya dengan Pertumbuhan Ekonomi. The 1st National Accounting Conference. Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Adi PHb. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Krisis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. Afonso A, Sousa RM. 2009. The Macroeconomic Effect of Fiscal Policy. Working Paper Series No.991. European Central Bank. Agustina N. 2010. “Desentralisasi Fiskal, Tax Effort dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Studi Empirik Kabupaten/Kota Se-Indonesia Tahun 2001-2008”. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Alfirman L, Sutriono E. 2006. Analisis Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Produk Domestik Bruto dengan Menggunakan Pendekatan Granger Causality dan VAR. Jurnal Ekonomi Indonesia 4:25-66. Arslanalp S, Bornhorst F and Gupta S. 2011. Investing in Growth. IMF Finance and Development Journal. Vol.48 No 1. Aschauer DA. 1989. Is Public Expenditure Productive. Journal of Monetary Economics, Volume 23. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. 3rd Ed. John Wiley & Sons, Ltd. Basri F. 2009. Landskap Ekonomi Indonesia. Jakarta:Kencana Prenada Media Group. Barro R. 1990. Government Spending in a Simple Model of Endogenous Growth. Journal of Political Economy, 98: S103-S125. Bird R, Francois. 2000. Desentralisasi Fiskal di Negara-negara Berkembang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Blundell R, Bond S. 2000. GMM Estimation with Persistent Panel Data: An Application to Production Function. Econometrics Reviews, 19:321-340 Blanchard O. 2006. Macroeconomics. New York: Prentice Hall Business Publishing. [BPS] Badan Pusat Statistik, 2008. Statistik Indonesia 2008. Jakarta: BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik, 2009. Statistik Indonesia 2009. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah TK II Tahun 2004-2008. Jakarta: BPS. Brata AG. 2002. Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Regional di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan 7: 113-122 Brückner M, Tuladhar A. 2010. “Public Investment as a Fiscal Stimulus: Evidence from Japan’s Regional Spending During the 1990s,” IMF Working Paper, WP/10/110, April. Capello R. 2007. Regional Economics. Routledge, New York. Davoodi H, Zhou HF. 1998. Fiscal Decentralization and Economic Growth: A Cross-Country Study. Journal of Urban Economics. 43: 244-257. Dornbusch R, Fisher S, Startz R. 2004. Makroekonomi, Ed ke-8.Yusuf W, Roy IM, penerjemah; Jakarta: Media Global. Terjemahan dari: Macroeconomics. Enders W. 2004. Applied Econometrics Time Series. Ed ke-2 New York: John Willey and Sons, Inc. Fan, Hazell and Thhorat. 1999. Linkages between Government Spending, Growth and Poverty in Rural India. International Food Policy Research Institute. Washington DC. Gramlich, Edward M. 1990. “The Economics of Fiscal Federalism and Its Reform” dalam Swartz dan Peck (eds.), The Changing Face of Fiscal Federalism, Armonk, NY, M.E. Sharpe, Inc. Gramlich EM. 1990. Fiscal Indicators, OECD Department of Economics and Statistics Working Paper No.80. Gujarati D. 2006. Ekonometrika Dasar. Sumarno Z, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Hadi YS. 2003. Analisis Vector Autoregression (VAR) terhadap Korelasi antara Pendapatan dan Investasi Pemerintah di Indonesia, 1983/1984-1999/2000. Jurnal Keuangan dan Moneter 6:107-121. Halim A. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta:STIM YKPN. Hatano T. 2010. “Crowding-in Effect of Public Investment on Private Investment,” Policy Research Institute, Ministry of Finance, Japan, Public Policy Review, Vol.6 (1), pp.105-120. February.
Iimi A. 2005. Decentralization and Economic Growth Revisited : An Empirical Note. Journal of Urban Economics 57: 449-461. Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Lächler U, Aschauer DA. 1998. “Public Investment and Economic Growth in Mexico” Policy Research Working Paper, no WPS 1964 2005/05/14, August. Lendvai J. 2007. The Impact of Fiscal in Hungaria. ECFIN Country Focus. Volume IV, Issue 11. Makrifah SA. 2010. “Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur”. Thesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mangkosoebroto G. 1997. Ekonomi Publik. Yogyakarta: BPFE. Mankiw NG. 2007. Teori Makroekonomi, Ed ke-6 Liza F, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics theory. Miller, Stephen and Russek Frank. 1997. Fiscal Structure and Economic Growth at the State and Local Level. Public Finance Review, Vol 25 No 3: 213237 Mulyana B. 2006. Keuangan Daerah : Perspektif Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan APBD di Indonesia. Http//www.bppk.depkeu.go.id. Munnel AH. 1992. Policy Watch: Infrastructure Investment and Economic Growth. The Journal of Economic Perspectives, 6(4): 189-198 Musgrave R and Peggy. 1990. The Public Finance in Theory and Practice. New York: Mc Graw Hill. Nanga M. 2005. Analisis Posisi Fiskal Kabupaten/Kota di NTT : Adakah Posisi Fiskal Pasca Otda Lebih Baik? Jurnal Kritis. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. Pakasi CBD. 2005. “Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian Kabupaten dan Kota di Provinsi Sulawesi Utara”. Thesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pereira AM, Sagales OR. 2006. On Effect of Fiscal Policies in Portugal. Working Paper No.35. Department of Economics, College of William and Mary. Perkins P. 2005. An Analysis of Economic Infrastructure Investment In South Africa. South African Journal of Economics. 73:2.
Prasetyo RB. 2010. “Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri Terhadap Pertumbuhan Regional di Indonesia”. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Priyarsono DS, Widyastutik, Henny R. 2008. Ekonomi Publik. Jakarta: Universitas Terbuka. Republik Indonesia. 2010. Peraturan Presiden Republik Indonesia No 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Jakarta. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. Padang : Baduose Media. Stiglitz J. 2000. Economics of The Public Sector. Third Edition. New York: WW Norton. Susiyati BH. 2006. Evaluasi Lima Tahun Desentalisasi Fiskal di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia 6: 63-82. Suparno. 2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya Terhadap Perekonomian di Indonesia. Thesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan T. 2006. Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama Hingga Pasca Krisis. Jakarta : Pustaka Quantum. Tiebout CM. 1996. A Pure Theory of Local Expenditures. The Journal of Political Economy 64: 416-424. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Ed ke-9. Munandar H, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development. Verbeek M. 2001. “A Guide to Modern Econometrics”. Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. Zhang T, Zhou HF. 1998. Fiscal Decentralization, Public Spending, and Economic Growth in China. Journal of Public Economics. 67: 221-240
LAMPIRAN Lampiran 1 Pengujian Regresi (Ordinary Least Square) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total . regress y L.y pad ip is tk to Source | SS df MS -------------+-----------------------------Model | 35.9292414 6 5.9882069 Residual | .081407907 41 .001985559 -------------+-----------------------------0.9974 Total | 36.0106493 47 .766184028
Number of obs = 48 F( 6, 41) = 3015.88 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.9977 Adj R-squared = Root MSE
= .04456
-----------------------------------------------------------------------------y| Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------y| L1. | .9947476 .0207137 48.02 0.000 .9529154 1.03658 pad | .0104697 .0229019 0.46 0.650 -.0357816 .0567211 ip | .0148429 .0201877 0.74 0.466 -.025927 .0556129 isr | .026357 .0577353 0.46 0.650 -.0902417 .1429557 tk | -.0159015 .0269769 -0.59 0.559 -.0703824 .0385795 to | -.0581091 .0313401 -1.85 0.071 -.1214016 .0051834 _cons | .0522852 .2150363 0.24 0.809 -.3819893 .4865598 ------------------------------------------------------------------------------
Lampiran 2 Pengujian Panel Statis Fixed Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total xtreg y L.y pad ip is tk to, fe Fixed-effects (within) regression Number of obs = 48 Group variable: prov Number of groups = 12 R-sq: within = 0.8984 between = 0.9493 overall = 0.9484
Obs per group: min = avg = max =
4 4.0 4
F(6,30) = 44.23 corr(u_i, Xb) = 0.6823 Prob > F = 0.0000 -----------------------------------------------------------------------------y | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------y| L1. | .3957105 .0959387 4.12 0.000 .1997775 .5916436 pad | .0081945 .0329362 0.25 0.805 -.0590703 .0754593 ip | .0848774 .0402406 2.11 0.043 .0026952 .1670596 isr | -.0477333 .048287 -0.99 0.331 -.1463484 .0508818 tk | .4245797 .1273521 3.33 0.002 .1644921 .6846673 to | -.0065183 .0467642 -0.14 0.890 -.1020235 .088987 _cons | 2.584141 1.820786 1.42 0.166 -1.1344 6.302682 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | .27907226 sigma_e | .02971426 rho | .98879013 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(11, 30) = 5.65 Prob > F = 0.0001 . est sto fixed . xttest3 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (12) = 428.88 Prob>chi2 = 0.0000
Lampiran 3 Pengujian Panel Statis Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total . xtreg y L.y pad ip is tk to, re Random-effects GLS regression Group variable: prov
Number of obs Number of groups
R-sq: within = 0.7538 between = 0.9997 overall = 0.9977 Random effects u_i ~ Gaussian corr(u_i, X) = 0 (assumed) 0.0000
Obs per group: min avg max Wald chi2(6) Prob > chi2
= =
48 12
= = =
4 4.0 4
= 13801.56 =
-----------------------------------------------------------------------------y| Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------y| L1.| .9884906 .0232373 42.54 0.000 .9429462 1.034035 pad | .0086373 .0249878 0.35 0.730 -.0403378 .0576125 ip | .0194664 .0220619 0.88 0.378 -.0237741 .0627068 isr | .0241405 .0582071 0.41 0.678 -.0899434 .1382244 tk | -.0086702 .0300748 -0.29 0.773 -.0676158 .0502754 to | -.0568285 .0340416 -1.67 0.095 -.1235488 .0098918 _cons | .0100759 .2397706 0.04 0.966 -.4598659 .4800178 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | .00888387 sigma_e | .02971426 rho | .08205262 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------. est sto random . xttest0 Breusch and Pagan Lagrangian multiplier test for random effects y[prov,t] = Xb + u[prov] + e[prov,t] Estimated results: | Var sd = sqrt(Var) ---------+----------------------------y | .766184 .8753194 e | .0008829 .0297143 u | .0000789 .0088839 Test: Var(u) = 0 hi2(1) = 2.40 Prob > chi2 = 0.1214
Lampiran 4 Uji Kebaikan (Uji Hausman) antara Fixed dan Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total . hausman fixed random ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) | fixed random Difference S.E. -------------+---------------------------------------------------------------L.y | .3957105 .9884906 -.5927801 .093082 pad | .0081945 .0086373 -.0004428 .0214571 ip | .0848774 .0194664 .0654111 .0336538 isr | -.0477333 .0241405 -.0718738 . tk | .4245797 -.0086702 .4332499 .1237499 to | -.0065183 -.0568285 .0503102 .0320634 -----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test: Ho: difference in coefficients not systematic chi2(6) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 57.95 Prob>chi2 = 0.0000 (V_b-V_B is not positive definite)
Lampiran 5 Pengujian Panel Dinamis (FD-GMM) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah Total . xtabond y pad ip is tk to, two Arellano-Bond dynamic panel-data est Number of obs = Group variable: prov Number of groups Time variable: tahun Obs per group: min = avg max Number of instruments =
12
Wald chi2(6) = Prob > chi2
36 = 3 = =
12 3 3
= 3395.12 0.0000
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------y| Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------y| L1. | .6459881 .0359854 17.95 0.000 .575458 .7165183 pad | .0240306 .0106641 2.25 0.024 .0031293 .0449319 ip | .0380402 .0126101 3.02 0.003 .0133248 .0627556 is | -.001116 .0007248 -1.54 0.124 -.0025365 .0003045 tk | .2134423 .0745279 2.86 0.004 .0673702 .3595144 to | -.0558758 .0099183 -5.63 0.000 -.0753152 -.0364363 _cons | 1.960779 .9210196 2.13 0.033 .1556137 3.765944 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).y Standard: D.pad D.ip D.is D.tk D.to Instruments for level equation Standard: _cons . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-1.0691 0.2850 | | 2 | 1.0287 0.3036 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(5) = 5.785619 Prob > chi2 = 0.3276
Lampiran 6 Pengujian Regresi (Ordinary Least Square) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur regress y L.y pad ipI isr tk to Source | SS df MS -------------+-----------------------------Model | 35.9279158 6 5.98798597 Residual | .082733473 41 .00201789 -------------+-----------------------------0.9974 Total | 36.0106493 47 .766184028
Number of obs = F( 6, 41) = 2967.45 Prob > F = 0.0000 R-squared = 0.9977 Adj R-squared = Root MSE
= .04492
-----------------------------------------------------------------------------Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] y | Coef. -------------+---------------------------------------------------------------y| L1. | .9989047 .0212455 47.02 0.000 .9559984 1.041811 pad | .0184909 .0186364 0.99 0.327 -.0191461 .056128 ipI | .0267158 .1109349 0.24 0.811 -.1973218 .2507535 isr | -.0018663 .0724478 -0.03 0.980 -.1481775 .1444449 tk | -.0210101 .0265037 -0.79 0.433 -.0745355 .0325153 to | -.0474691 .0284391 -1.67 0.103 -.1049031 .0099649 _cons | .1489365 .1456143 1.02 0.312 -.1451375 .4430105
48
Lampiran 7 Pengujian Panel Statis Fixed Effect untuk Model Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur xtreg y L.y pad ipI isr tk to, fe Fixed-effects (within) regression Group variable: prov
Number of obs Number of groups
= =
48 12
R-sq: within = 0.8868 between = 0.9240 overall = 0.9237
Obs per group: min avg max
= = =
4 4.0 4
corr(u_i, Xb) = 0.1617
F(6,30) Prob > F
= =
39.15 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------y | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------y| L1. | .4449883 .1018338 4.37 0.000 .237016 .6529606 pad | .0451719 .0302542 1.49 0.146 -.0166154 .1069593 ipI | .0472535 .1231376 0.38 0.047 -.2042271 .298734 is | -.0245487 .0633617 -0.39 0.701 -.1539505 .1048532 tk | .5622102 .1234363 4.55 0.000 .3101197 .8143007 to | -.0121819 .0501893 -0.24 0.810 -.1146822 .0903183 _cons | .6472756 1.819932 0.36 0.725 -3.069522 4.364074 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | .2518568 sigma_e | .03137559 rho | .98471772 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(11, 30) = 4.91 Prob > F = 0.0002 . est sto fixed . xttest3 Modified Wald test for groupwise heteroskedasticity in fixed effect regression model H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i chi2 (12) Prob>chi2
= 427.94 = 0.0000
Lampiran 8 Pengujian Panel Statis Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur . xtreg y L.y pad ipI isr tk to, re Random-effects GLS regression Group variable: prov R-sq: within = 0.7357 between = 0.9998 overall = 0.9977
Number of obs = Number of groups = Obs per group: min = avg = 4.0 max = 4
48 12 4
Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(6) = 17804.70 corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000 -----------------------------------------------------------------------------y | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------y| L1. | .9989047 .0212455 47.02 0.000 .9572642 1.040545 pad | .0184909 .0186364 0.99 0.321 -.0180358 .0550177 ipI | .0267158 .1109349 0.24 0.810 -.1907127 .2441443 isr | -.0018663 .0724478 -0.03 0.979 -.1438613 .1401287 tk | -.0210101 .0265037 -0.79 0.428 -.0729565 .0309363 to | -.0474691 .0284391 -1.67 0.095 -.1032088 .0082706 _cons | .1489365 .1456143 1.02 0.306 -.1364623 .4343352 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 0 sigma_e | .03137559 rho | 0 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------. est sto random . xttest0 Breusch and Pagan Lagrangian multiplier test for random effects y[prov,t] = Xb + u[prov] + e[prov,t] Estimated results: | Var sd = sqrt(Var) ---------+----------------------------y | .766184 .8753194 e | .0009844 .0313756 u| 0 0 Test: Var(u) = 0 chi2(1) = 3.04 Prob > chi2 = 0.0811
Lampran 9 Uji Kebaikan (Uji Hausman) antara Fixed dan Random Effect untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur . hausman fixed random ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) random Difference S.E. | fixed -------------+---------------------------------------------------------------L.y | .4449883 .9989047 -.5539164 .0995929 pad | .0451719 .0184909 .026681 .0238327 jlnr | .0472535 .0267158 .0205376 .0534444 isr | -.0245487 -.0018663 -.0226824 . tk | .5622102 -.0210101 .5832204 .1205573 to | -.0121819 -.0474691 .0352872 .0413543 -----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test: Ho: difference in coefficients not systematic chi2(6) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 43.38 Prob>chi2 = 0.0000 (V_b-V_B is not positive definite)
Lampiran 10 Pengujian Panel Dinamis (FD-GMM) untuk Persamaan dengan Variabel Investasi Pemerintah untuk Keperluan Infrastruktur . xtabond y pad ipI isr tk to, two Arellano-Bond dynamic panel-data est Number of obs = 36 Group variable: prov Number of groups = 12 Time variable: tahun Obs per group: min = 3 avg = 3 max = 3 Number of instruments = 12 Wald chi2(6) = 2041.09 Prob > chi2 = 0.0000 Two-step results -----------------------------------------------------------------------------Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] y| -------------+---------------------------------------------------------------y| L1. | .7391827 .0797895 9.26 0.000 .5827982 .8955673 pad | .0316399 .0109124 2.90 0.004 .0102519 .0530279 ipI | .1502803 .0733305 2.05 0.040 .0065553 .2940054 isr | .0625037 .0314307 1.99 0.047 .0009007 .1241067 tk | .3055488 .1178583 2.59 0.010 .0745507 .5365468 to | -.0636979 .0196757 -3.24 0.001 -.1022615 -.0251342 _cons | -.3889274 1.351338 -0.29 0.773 -3.0375 2.259646 -----------------------------------------------------------------------------Warning: gmm two-step standard errors are biased; robust standard errors are recommended. Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).y Standard: D.pad D.jlnr D.isr D.tk D.to Instruments for level equation Standard: _cons . estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| | 1 |-1.0558 0.2911 | | 2 | 1.051 0.2933 | +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(5) = 5.465542 Prob > chi2 = 0.3617