ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI KABUPATEN TERTINGGAL
PERWITA SARI NRP. H 151090294
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
Perwita Sari NRP : H 151090294
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT
PERWITA SARI. Impact Analysis of Infrastructure Development Program to Reduce Poverty on Underdeveloped Region. Under direction of NUNUNG NURYARTONO and LUKYTAWATI ANGGRAENI. Raising up welfare and reducing poverty are some of the government goals in underdeveloped region. Therefore the ministry of underdeveloped region accelerate these by implementing P2IPDT, which is an infrastructure development program in underdeveloped region. The purpose of this study is to analyse the impact of this programs on the economy, inequality and poverty reduction. Using dynamic panel data model, the result shows that P2IPDT has significant and positive impact to per capita GDRP in the medium and long run. However, increased of per capita GDRP is not only comes from increased of P2IPDT but also from increased of inequality. Therefore this condition makes the economy unable to reduce poverty on underdeveloped region.
Keywords: P2IPDT, economy, inequality, poverty, dynamic panel data model
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN PERWITA SARI. Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan LUKYTAWATI ANGGRAENI. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan, 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satunya adalah penerapan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Kebijakan tersebut dilakukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal di Indonesia (183 kabupaten atau sekitar 40,39%) dan masih tingginya rata-rata persentase jumlah penduduk miskin di daerah tertinggal (sebesar 17,47% pada tahun 2009). Angka kemiskinan yang tinggi di kabupaten tertinggal ini ternyata diikuti oleh kinerja perekonomian yang buruk. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp Rp 1.997,05 juta atau sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar 25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata output, baik di wilayah KBI maupun KTI dengan rata-rata nasional ini mengindikasikan bahwa di Indonesia masih terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi yang cukup besar. Ketimpangan pembangunan ekonomi tersebut juga diikuti dengan ketimpangan pendapatan rumahtangga. Pada Tahun 2008, angka gini rasio Indonesia adalah sebesar 0,37 dimana menurut Todaro dan Smith (2006) angka ini sudah tidak lagi mencerminkan pendapatan masyarakat yang relatif merata. Pemerintah dalam hal ini Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan stimulus untuk pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Pada Tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan pada Tahun 2008 naik lebih dari dua kali lipat menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal melalui peningkatan infrastruktur sejalan dengan penelitian-penelitian empiris sebelumnya (Aschauer 1989, Munnel 1992, Canning dan Pedroni 1999, Perkins, et al 2005, Seetanah, et al 2009, Prasetyo 2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha, melalui peningkatan infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mendorong perekonomian. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh program pembangunan infrastruktur dan kaitannya terhadap perekonomian, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada 82 kabupaten yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang ditetapkan oleh Kementrian PDT Tahun 2005. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada pertimbangan ketersediaan data, dimana 82 kabupaten yang terpilih tersebut mendapatkan dana bantuan P2IPDT secara kontinu setiap tahunnya.
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dihimpun dari Kementrian PDT dan Badan Pusat Statistik (BPS), periode 2007-2009. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum dan sesudah implementasi program P2IPDT. Analisis ekonometrik digunakan untuk melihat pengaruh infrastruktur terhadap perekonomian dan kemiskinan. Beberapa metode ekonometrik yang digunakan diantaranya metode data panel statis, data panel dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai metode estimasi yang digunakan. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan di kabupaten tertinggal pada kurun waktu 2006 (sebelum implementasi P2IPDT) dan 2009 (setelah implementasi P2IPDT) membaik, tercermin dari adanya peningkatan ratarata PDRB atas dasar harga konstan. Dinamika ketimpangan menunjukkan angka yang meningkat (semakin timpang) pada kurun waktu yang sama, sedangkan dinamika kemiskinan membaik yang ditunjukkan dengan adanya penurunan ratarata persentase kemiskinan. Program P2IPDT dilaksanakan pada kurun waktu 20072009 pada 5 bidang infrastruktur yaitu transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi, ekonomi dan sosial. Infrastruktur energi merupakan infrastruktur yang diprioritaskan oleh Kementrian PDT, dimana infrastruktur energi merupakan jenis infrastruktur dengan cakupan kabupaten penerima bantuan dan nilai proporsi bantuan yang terbesar tiap tahunnya. Hasil estimasi total bantuan menunjukkan bahwa variabel yang nyata secara statistik terhadap perekonomian kabupaten tertinggal (didekati dengan nilai PDRB per kapita) adalah PDRB per kapita tahun sebelumnya, bantuan stimulus infrastruktur, inflasi tahun sebelumnya dan gini rasio. Variabel populasi penduduk ternyata tidak signifikan memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal. Bantuan stimulus infrastruktur nyata positif memengaruhi perekonomian dalam jangka panjang, sedangkan untuk variabel indeks gini dan inflasi juga menunjukkan arah yang positif. Sementara, hasil estimasi pengaruh perekonomian terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa variabel yang nyata memengaruhi tingkat kemiskinan adalah tingkat kemiskinan tahun sebelumnya, PDRB per kapita dan pengeluaran pemerintah. Variabel PDRB perkapita nyata positif memengaruhi tingkat kemiskinan sedangkan variabel pengeluaran nyata negatif memengaruhi penurunan kemiskinan. Berdasarkan hasil estimasi yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan investasi infrastruktur P2IPDT dan kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan menyebabkan kenaikan PDRB per kapita di kabupaten tertinggal. Hal ini menyebabkan kondisi tersebut belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin di kabupaten tertinggal.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
Halaman ini sengaja dikosongkan
ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PENURUNAN KEMISKINAN DI KABUPATEN TERTINGGAL
PERWITA SARI NRP. H 151090294
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Penelitian : Analisis Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal Nama
: Perwita Sari
NRP
: H 151090294
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
terhadap
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Ketua
Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M. Sc.Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ali Said, MA
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Pengaruh Program Pembangunan Infrastruktur terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ali Said, MA atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr. selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis selama ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Bapak dan Ibu yang tercinta, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman pada Direktorat Diseminasi Statistik, khususnya kepada Ir. Agoes Subeno, M.Si yang telah membantu memberi dukungan dalam proses perkuliahan hingga dalam penyelesaian tesis ini. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.
Bogor, Mei 2011
Perwita Sari
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Perwita Sari lahir pada tanggal 6 Februari 1980, di Jakarta. Penulis merupakan anak keenam dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak Drs. Sukidjo Hardjo Utomo dan Ibu K.T. Wahyuni. Penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Ulujami 02 Pagi, Jakarta pada tahun 1992, selanjutnya menamatkan jenjang SLTP pada SMPN Negeri 56 Melawai, Jakarta pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 70 Bulungan, Jakarta dan lulus pada tahun 1998. Setelah menamatkan pendidikan di tingkat SMU, pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, tamat pada tahun 2002 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Kemudian bekerja pada Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Timur selama lebih kurang 1,5 tahun, pada tahun 2004 penulis dipindahtugaskan ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Merauke, Provinsi Papua dan sejak tahun 2009 hingga sekarang penulis bertugas di Direktorat Diseminasi Statistik, BPS, Jakarta. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor setelah sebelumnya mengikuti program alih jenjang pada perguruan tinggi yang sama. Program Penyelenggaraan Khusus Departemen Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor ini merupakan kerja sama BPS dan IPB.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xx
DARTAR GAMBAR ................................................................................
xxi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xxiii
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1. Latar Belakang .........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................
8
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................
9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................
9
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ......
11
2.1. Kerangka Teori ..........................................................................
11
2.1.1. Konsep Kemiskinan ......................................................
11
2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi .................................................
14
2.1.3. Konsep Ketimpangan Pendapatan ................................
18
2.1.4. Konsep Infrastruktur .....................................................
21
2.1.5. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tertinggal
22
2.1.6. Konsep dan Kriteria Kabupaten Tertinggal ..................
23
2.1.7. Operasionalisasi Kebijakan Kabupaten Tertinggal .......
25
2.1.8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal .........................................................
27
2.1.9. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kemiskinan .........
28
2.1.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi ........................................................................
30
2.1.11. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan .........................
31
2.1.12. Pengaruh Investasi Infrastruktur ...................................
32
2.2. Kerangka Pemikiran ................................................................
34
2.3. Hipotesis Penelitian ..................................................................
36
I.
II.
xvii
III.
IV.
METODE PENELITIAN ..............................................................
37
3.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................
37
3.2. Metode Analisis ........................................................................
37
3.2.1.
Analisis Deskriptif .......................................................
37
3.2.2.
Analisis Pengaruh Bantuan Stimulus Infrastruktur terhadap Perekonomian, Ketimpangan dan Penurunan Kemiskinan .................................................................
38
3.2.2.1. Analisis Data Panel ........................................
38
3.2.2.2. Pengaruh Infrastruktur, Ketimpangan Pendapatan terhadap Perekonomian …….…
44
3.2.2.3. Pengaruh Peningkatan Perekonomian terhadap Kemiskinan ………………………..
49
3.2.3.
Uji Spesifikasi Model ..................................................
51
3.2.4.
Definisi Operasional ....................................................
52
KERAGAAN DAN DINAMIKA KABUPATEN TERTINGGAL SERTA UPAYA PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KABUPATEN TERTINGGAL ……………………………...................................
53
4.1.
53
Keragaan Kabupaten Tertinggal ............................................. 4.1.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Barat Indonesia ......................................................................
55
4.1.2. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Timur Indonesia ......................................................................
57
Dinamika Kabupaten Tertinggal ............................................
58
4.2.1. Dinamika Pertumbuhan ................................................
58
4.2.2. Dinamika Ketimpangan ...............................................
61
4.2.3. Dinamika Kemiskinan ..................................................
64
Bantuan Stimulus Infrastruktur ..............................................
70
ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL ...............................................................................
81
5.1. Hasil Estimasi ...........................................................................
81
4.2.
4.3. V.
xviii
5.1.1. Analisis Pengaruh Bantuan Infrastruktur terhadap Perekonomian Kabupaten Tertinggal .............................
83
5.1.2. Analisis Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal .............................
89
5.2. Uji Spesifikasi Model Panel Data Dinamis ..............................
91
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................
93
6.1. Kesimpulan ...............................................................................
93
6.2. Implikasi Kebijakan ..................................................................
94
6.3. Saran .........................................................................................
96
VII. DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
97
VI.
xix
DAFTAR TABEL
Nomor
Hal
1.1.
Jumlah Bantuan Stimulus P2IPDT Kabupaten Tertinggal di Indonesia, Tahun 2007 dan 2008 (Juta Rupiah)
6
4.1.
Cakupan Kabupaten Penerima P2IPDT dan Proporsi Nilai Bantuan P2IPDT per jenis Bantuan di Kabupaten Tertinggal, Tahun 2007-2009
78
5.1.
Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT (Total dan per Jenis Bantuan) menggunakan Panel Data Statis dan Dinamis
84
5.2.
Hasil Estimasi Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Panel Statis, Panel Dinamis dan Panel Instrumental Variabel
90
xx
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Hal
1.1.
Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008
2
1.2.
Perbandingan Rata-Rata PDRB Kabupaten Tertinggal di Wilayah KBI dan KTI dengan Rata-Rata PDRB Nasional
3
1.3.
Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2008
4
2.1.
The Poverty-Growth-Inequality Triangle
19
2.2.
Kurva Lorenz
21
2.3.
Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal
23
2.4.
Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik
33
2.5.
Kerangka Pemikiran Penelitian
35
4.1.
Perbandingan Persentase Kabupaten Tertinggal KBI, KTI dan Nasional, Tahun 2005 dan 2010
54
4.2.
Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KBI menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010
56
4.3.
Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KTI menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010
57
4.4.
Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 20062009
59
4.5.
Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 20062009
60
4.6.
Perbandingan Angka Indeks Gini Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
62
4.7.
Perbandingan Angka Indeks Gini Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
63
xxi
4.8.
Rata-Rata Penurunan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009
65
4.9.
Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 20062009
66
4.10.
Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 20062009
67
4.11.
Perbandingan Pertumbuhan Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT), menurut Provinsi Tahun 2006-2009
71
4.12.
Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) di KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
72
4.13.
Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) di KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009
73
5.1.
Growth Incidence Curve Kabupaten Tertinggal di Indonesia, Tahun 2008-2009
86
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Hal
1.
Perkembangan Rata-rata Garis Kemiskinan Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi, Tahun 2006-2009
104
2.
Daftar 183 Kabupaten Tertinggal di Indonesia
105
3.
Jumlah dan Persentase Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010
111
4.
Dinamika PDRB atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009
112
5.
Dinamika Ketimpangan Kabupaten Tertinggal, Tahun 20062009
113
6.
Dinamika Kemiskinan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009
114
7.
Hasil Analisis Kuadran (Dinamika Pertumbuhan dan Kemiskinan) di Kabupaten Tertinggal
115
8.
Rata-rata Bantuan P2IPDT, Tahun 2007-2009
119
9.
Hasil Output Stata
120
xxiii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan, 2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut antara lain adalah percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Upaya melaksanakan kebijakan tersebut adalah dengan membentuk Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementrian PDT) yang dalam Perpres No. 9 tahun 2005 memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal. Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal dilakukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal, yakni sebesar 40,39 % (183
kabupaten) dan masih banyaknya penduduk kabupaten
tertinggal yang masuk kategori miskin. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2008, masih terdapat lebih dari 34 juta (15,1 %) penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2008). Dari sejumlah penduduk miskin 66,26 % berlokasi di wilayah kabupaten yang tergolong maju dan 33,74 % penduduk miskin berlokasi di wilayah kabupaten tertinggal (Gambar 1.1). Gambar 1.1 juga memperlihatkan kondisi bahwa pulau dengan persentase jumlah penduduk miskin yang tinggal di wilayah kabupaten tertinggal terbanyak adalah Pulau Sumatera dan Jawa yang tercatat memiliki persentase jumlah penduduk miskin di kabupaten tertinggal masing-masing sebesar 9,39 % dan 8,68 %. Kenyataan bahwa masih cukup banyaknya penduduk miskin yang berlokasi di wilayah kabupaten tertinggal ini sangatlah ironis, hal ini menimbulkan dugaan awal bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten tertinggal ini dapat dikategorikan sebagai kemiskinan yang kronis (chronic poverty). Dugaan ini cukup beralasan mengingat berbagai keterbatasan dan keterbelakangan daerah tertinggal jika
2 dibandingkan dengan daerah lain yang tergolong maju, diantaranya rendahnya kualitas sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, rendahnya kualitas maupun kuantitas infrastruktur, dan letak geografis yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan akses penduduk menjadi terbatas.
Sumatera (9,39%) Jawa (8,68%)
Kab. Tertinggal 33,74%
Bali&NT (5,59%) Kalimantan Sulawesi (5,00%) Maluku (1,34%)
Kab. Maju 66,26%
Papua (2,28%)
Sumber : BPS (2008), diolah
Gambar 1.1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008 Kemiskinan di kabupaten tertinggal ini semakin kronis apabila diikuti oleh rendahnya output maupun pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten tertinggal. Data empiris menunjukkan bahwa meskipun tiap tahunnya rata-rata produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten tertinggal baik di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tiap tahunnya mengalami kenaikan, namun besaran nominalnya masih di bawah capaian rata-rata nasional (Gambar 1.2.). Gambar 1.2 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp 1.997,05 juta atau hanya sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar 25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata
3 TI dan rata--rata nasionnal mengindikasikan bahwa b di output anttara wilayaah KBI, KT Indonesia masih terrjadi ketimppangan pem mbangunann ekonomi yang cuku up besar antarwilayyah.
500 00 450 00 400 00 350 00 300 00 250 00 200 00 150 00 100 00 50 00 0 20 006
2007 KBI
KTI
200 08
2009
Nasionaal
Sumber: BPS (2010),, diolah
Gambarr 1.2. Perbandingan Rata-Rata R P PDRB Kab bupaten Teertinggal dii ngan Rata--Rata PDR RB Nasionall Wilayyah KBI daan KTI den Ketimpangan pembanguna p an ekonomii tersebut juuga diikuti dengan d ketim mpangan pendapataan rumahtanngga. Hal inni terlihat daari masih tin ngginya kettimpangan distribusi d pendapataan masyarak kat di Indoonesia, yangg tercerminn dari angkka indeks gini g yang masih cukkup besar dan d menunjjukkan tren kenaikan untuk u periodde 2004-20 007. Pada tahun 20009, angka in ndeks gini Inndonesia addalah sebesaar 0,36 dimaana menuruut Todaro dan Smithh (2006) anngka ini suudah tidak lagi menceerminkan diistribusi penndapatan masyarakaat yang relaatif merata. Kondisi keetimpangan yang mem miliki kecend derungan untuk menningkat tiapp tahunnyaa perlu diw waspadai terrkait dengann potensiny ya dalam meningkattkan angka kemiskinan n.
4
0,39 0,38 0,37 0,36 0,35 0,34 0,33 0,32 0,31 0,3 0,29
0,38 0,37 0,36
0,36 0,34
0,33
0,32 0,32
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Sumber: BPS (2009a), diolah Gambar 1.3. Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2009 Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan dioperasionalisasikan pada berbagai program bantuan. Hal tersebut merupakan stimulus bagi daerah tertinggal untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan. Salah satu
bantuan
stimulus
tersebut
adalah Program Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilakukan oleh Kementrian PDT sejak Tahun 2006. Program dan instrumen ini dimaksudkan untuk membantu kabupaten tertinggal agar dapat menjadi kabupaten yang terbuka dan mampu berinteraksi dengan “dunia luar” sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi semakin mudah untuk dijangkau, yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian kabupaten tertinggal. Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal dan mengentaskannya dari ketertinggalan yang telah dilakukan Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT ini sudah cukup tepat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1994) bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada bidang social overhead, seperti
5 pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur lainnya. Studi terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur baik berupa sarana dan prasarana transportasi, jaringan listrik dan telekomunikasi serta pengadaan air bersih sangatlah penting dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat di suatu
wilayah
(Aschauer,1989;
Munnel,1992;
Canning
dan
Pedroni,1999;
Sibarani,2002 dan Prasetyo,2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha. Sehingga peningkatan infrastruktur
diharapkan
dapat
membawa
kesejahteraan
dan
mempercepat
pertumbuhan ekonomi. Daerah dengan infrastruktur yang memadai mempunyai keuntungan yang lebih besar dalam menarik investasi masuk ke daerahnya sehingga menyebabkan daerah akan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan dengan daerah yang memiliki infrastruktur yang kurang memadai. Hal ini dikarenakan terbukanya keterisolasian daerah sehingga akses ke berbagai faktor produksi dimungkinkan untuk membuka peluang bergeraknya perekonomian daerah. Pemerintah melalui Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan stimulus
untuk
pembangunan
infrastruktur
daerah
tertinggal.
Tabel
1.1
memperlihatkan bahwa dana yang digulirkan Kementrian PDT untuk percepatan pembangunan infrastruktur pedesaan daerah tertinggal mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Tercatat pada tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2008, menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Pola sebaran bantuan yang diberikan cukup sesuai mengingat share bantuan simulus infrastruktur paling besar diberikan pada daerah yang sejatinya merupakan daerah dengan indeks infrastruktur yang rendah (Prasetyo, 2010).
6 Tabel 1.1. Jumlah Bantuan Stimulus P2IPDT Kabupaten Tertinggal di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 (Juta Rupiah) Tahun 2007 2008 29.030,53 82.253,27 Sumatera (27,55) (29,93) 11.949,41 31.219,42 Jawa (11,34) (11,36) 10.864,06 34.489,76 Bali dan Nusa Tenggara (10,31) (12,55) 4.646,99 25.613,11 Kalimantan (4,41) (9,32) 27.239,17 55.733,26 Sulawesi (25,85) (20,28) 8.566,90 16.269,27 Maluku (8,13) (5,92) 13.076,91 29.240,72 Papua (12,41) (10,64) 105.373,98 274.818,82 Jumlah (100,00) (100,00) Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Cat: Angka dalam kurung menunjukkan nilai proporsi Pulau
Kondisi ini mencerminkan bahwa pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius untuk melakukan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal sehingga dapat mengurangi kemiskinan melalui percepatan pembangunan infrastruktur. Studi empirik yang mengkaji mengenai dampak kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan kabupaten tertinggal kiranya perlu dilakukan untuk mendeskripsikan implementasi bantuan infrastruktur yang telah dilaksanakan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini menganalisis pengaruh program percepatan pembangunan infrastruktur dalam meningkatkan perekonomian serta kaitannya dengan ketimpangan pendapatan dan penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Kajian mengenai pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal juga menjadi relevan untuk diteliti, mengingat pola pembangunan infrastruktur yang diterapkan haruslah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan dasar daerah tertinggal.
7 1.2. Perumusan Masalah Upaya campur tangan yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi ketertinggalan dan mengurangi jumlah rakyat miskin di kabupaten tertinggal dilakukan dengan membentuk Kementrian PDT yang tugas, pokok dan fungsinya adalah membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal (Perpres No. 9, Tahun 2005). Upaya yang dilakukan oleh Kementrian PDT adalah melaksanakan berbagai program bantuan yang diberikan kepada 183 (seratus delapan puluh tiga) kabupaten yang termasuk kategori kabupaten tertinggal di Indonesia. Salah satu program yang dilaksanakan Kementrian PDT adalah Program Pengembangan Sarana dan Prasarana melalui instrumen Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT). Program dan instrumen ini bermaksud membantu kabupaten tertinggal agar dapat menjadi suatu kabupaten yang terbuka dan mampu berinteraksi dengan “dunia luar” sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi semakin mudah untuk dijangkau, yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian kabupaten tertinggal. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa program bantuan yang dilaksanakan Kementrian PDT mampu secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Kawasan Timur Indonesia (Sari, 2009). Namun kajian mengenai dampaknya terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan belum banyak dilakukan. Kajian tersebut perlu dilakukan mengingat keterbatasan anggaran pemerintah (keterbatasan ruang fiskal), sehingga pemerintah tidak mungkin selamanya mampu memberikan dana bantuan, untuk itu kabupaten tertinggal harus mampu secara aktif dan
mandiri meningkatkan pertumbuhan
ekonominya dengan mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, yang diukur dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang disertai penurunan angka kemiskinan dan pemerataan distribusi pendapatan. Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan studi mengenai dinamika pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masing-masing kabupaten tertinggal. Terkait dengan besaran belanja modal pemerintah pusat yang
8 dilaksanakan oleh Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT, perlu dilakukan kajian apakah instrumen P2IPDT memiliki pengaruh yang signifikan pada peningkatan perekonomian kabupaten tertinggal. Lebih jauh perlu diteliti pengaruh peningkatan perekonomian yang dicapai kabupaten tertinggal terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Hal ini perlu dilakukan mengingat masih banyaknya penduduk miskin yang tinggal di kabupaten tertinggal (33,74% dari total jumlah penduduk miskin di Indonesia). Berdasarkan fakta tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT? 2. Bagaimana pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal? 3. Bagaimana pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal? 4. Bagaimana hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai antara lain: 1. Menganalisis dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT. 2. Menganalisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang saat ini telah dilakukan oleh Kementrian PDT. 3. Menganalisis pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal. 4. Menganalisis hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal.
9 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian antara lain: 1. Deskripsi mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT diharapkan dapat digunakan untuk menilai dampak dari adanya program P2IPDT di kabupaten tertinggal, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat evaluasi bagi Kementrian PDT. 2. Analisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal diharapkan dapat memberikan
gambaran
mengenai
pelaksanaan
program
pembangunan
infrastruktur di daerah tertinggal dan diharapkan dapat memberikan masukan pada pengambil kebijakan, sehingga dapat lebih meningkatkan dampak positif dari pelaksanaan kebijakan. 3. Analisis mengenai pengaruh program P2IPDT
melalui studi ekonometrik
diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT tentang pentingnya program P2IPDT bagi kesejahteraan masyarakat kabupaten tertinggal. 4. Analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perekonomian diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT maupun pemangku kebjakan yang lain untuk lebih memfokuskan kebijakan maupun programnya pada peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan untuk mendorong meningkatnya aktifitas ekonomi suatu daerah. 5. Analisis hubungan perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan diharapkan dapat digunakan oleh Kementrian PDT dan pemangku kebijakan yang lain sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan yang tidak hanya pro pada pertumbuhan namun juga pro terhadap rakyat miskin.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi tiga hal. Pertama, memberikan deskripsi dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai
10 pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian dan faktor-faktor yang memengaruhi perekonomian. Ketiga, melakukan studi ekonometrik untuk melihat hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada kabupaten tertinggal, dimana analisis deskriptif
yang dilakukan mencakup 199 kabupaten yang
dikategorikan tertinggal oleh Kementrian PDT pada tahun 2005, sedangkan analisis ekonometrik difokuskan pada 82 kabupaten tertinggal di Indonesia (KBI dan KTI) yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang telah ditetapkan oleh Kementrian PDT. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada kontinuitas dana yang digulirkan oleh Kementrian PDT, dimana 82 kabupaten yang dipilih merupakan kabupaten yang mendapatkan dana bantuan stimulus infrastruktur (P2IPDT) secara terus menerus (2007-2009), selain juga mempertimbangkan faktor ketersediaan data pendukung lainnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Kerangka Teori
2.1.1. Konsep Kemiskinan Berbagai konsep mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif. World Bank (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan perkapita sebesar US$ 1 per hari. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Studi yang dilakukan oleh Chen dan Ravallion (2008) menyatakan bahwa menurut standar PPP dari International Comparison Program (ICP) tahun 2005 bahwa garis kemiskinan internasional sebesar US$ 1 per hari tidak lagi sesuai dengan nilai PPP tahun 2005,
12 untuk itu Chen dan Ravallion menyatakan bahwa garis kemiskinan internasional yang lebih tepat dengan menggunakan nilai PPP tahun 2005 dari ICP adalah sebesar US$ 1,25 per hari. Badan Pusat Statistik (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2008 sebesar Rp 204,896/kapita/bulan
untuk daerah perkotaan dan Rp
161,831/kapita /bulan untuk daerah pedesaan. Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah. Perkembangan garis kemiskinan dapat dilihat pada Lampiran 1. Penghitungan indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak terbatas pada jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS juga menghitung rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) dan Indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) dengan menggunakan metode Foster-GreerThorbecke (FGT), yang dirumuskan sebagai:
Pα =
1 q z − yi ∑ N i =1 z
α
(2.1)
dimana: z
= besarnya garis kemiskinan yang ditetapkan.
N = jumlah penduduk. q
= banyaknya penduduk yang di bawah garis kemiskinan.
yi = rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, .......q), yi < q. α = 0,1 dan 2. Jika α = 0 maka diperoleh persentase penduduk miskin (P 0 ); jika α = 1 adalah rasio kedalaman kemiskinan (P 1 ); dan jika α = 2 adalah Indeks keparahan kemiskinan (P 2 ). Rasio kedalaman kemiskinan P 1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan. Semakin
13 tinggi nilai P 1 berarti semakin besar kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk. Sedangkan P 2 sampai batas tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan. Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Beberapa ahli yang mendalami masalah kemiskinan membagi ukuran kemiskinan tidak hanya berdasarkan P 1 maupun P 2 saja, namun berdasarkan tipe kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu chronic poverty dan transient poverty. Kemiskinan kronis (chronic poverty) dapat diartikan kondisi dimana suatu individu yang tergolong miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat dan berada pada tingkat kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. Kemiskinan sementara (transient poverty) dapat diartikan sebagai kondisi dimana kemiskinan yang terjadi pada suatu waktu hanya merupakan kondisi sementara yang tidak bersifat permanen, yang dikarenakan penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang berbeda diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan. Investasi jangka panjang untuk orang miskin seperti peningkatan modal fisik maupun modal manusia merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kasus chronic poverty, sedangkan asuransi dan skema stabilisasi pendapatan yang memproteksi rumahtangga dari guncangan ekonomi (economic shocks) akan menjadi kebijakan yang penting ketika tipe kemiskinan yang terjadi adalah transient poverty.
14 2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi keduanya merupakan fenomena ekonomi yang saling berhubungan. Sampai dengan Tahun 1960, teori pembangunan ekonomi diperlakukan sebagai perluasan dari teori ekonomi konvensional dan untuk itu pembangunan dapat dikatakan hampir sama dengan pertumbuhan (Reungsri, 2010). Hall (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai peningkatan dalam produksi nasional maupun pendapatan nasional, namun Seers (1969) berargumen bahwa pembangunan tidak hanya berarti pertumbuhan, namun juga harus mengikutsertakan aspek sosial seperti adanya penurunan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran. Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terusmenerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Tiga komponen pertumbuhan ekonomi yang penting bagi setiap masyarakat adalah: 1. Akumulasi modal, dimana akumulasi modal termasuk di dalamnya semua investasi baru dalam tanah, peralatan fisik dan sumberdaya manusia melalui perbaikan di bidang kesehatan, pendidikan dan keterampilan keja 2. Pertumbuhan jumlah penduduk yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan angkatan kerja 3. Kemajuan teknologi yang secara luas diartikan sebagai cara baru dalam menyelesaikan pekerjaan. Sukirno
(2004)
menyatakan
bahwa
pertumbuhan
ekonomi
adalah
perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. Pendapatan nasional ini dihitung berdasarkan jumlah seluruh output barang dan jasa yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara. Pendapatan nasional atau jumlah seluruh output barang dan jasa ini dikenal sebagai Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
15 PDB merupakan pendapatan total dan pengeluaran total nasional atas output barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara. PDB dapat mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara, karena PDB merupakan nilai tambah yang merupakan refleksi dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu negara (Mankiw, 2007). Nilai PDB ini merupakan indikator yang umum digunakan sebagai gambaran tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Terdapat dua pendekatan yang lazim digunakan dalam penghitungan PDB, yaitu pendekatan produksi dan pendekatan pengeluaran. Metode penghitungan PDB terbagi menjadi dua jenis, yaitu atas dasar harga berlaku yang menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi dengan mengalikan total nilai tambah dengan harga pada tahun berjalan dan atas dasar harga konstan yang dihitung dengan mengalikan seluruh nilai tambah dari hasil kegiatan ekonomi dengan harga pada tahun dasar. Data PDB yang digunakan untuk mengukur besaran nilai pertumbuhan ekonomi adalah PDB atas dasar harga konstan. Nilai PDB pada dasarnya merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari masing-masing provinsi/kabupaten di suatu negara (BPS, 2005). Pengaruh peningkatan investasi infrastruktur yang akan diteliti dalam studi kali ini diukur dengan melakukan pendekatan kuantitatif pada indikator pembangunan ekonomi. Indikator pembangunan ekonomi diukur melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB) maupun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB maupun PDRB secara umum digunakan sebagai pendekatan dalam mengukur kinerja perekonomian (Sen, 1988).
Teori Pertumbuhan Harrod Domar Teori pertumbuhan pertama kali dikemukakan oleh Harod dan Domar, yang menggunakan model Keynesian untuk menganalisis pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian tertutup. Teori ini kemudian dikenal lebih luas dengan model pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan Harrod-Domar didasarkan pada tiga asumsi.
16 Pertama, bahwa perekonomian menyebabkan terjadi peningkatan tabungan (S) dalam proporsi yang konstan (s) terhadap pendapatan nasional (Y): S=sY
(2.3)
dimana s merupakan rasio tabungan baik marginal mapun rata-rata. Kedua, bahwa perekonomian berada pada keseimbangan, dimana investasi yang direncanakan sama dengan tabungan yang direncanakan: I=S
(2.4)
Ketiga, bahwa investasi dipengaruhi oleh ekspektasi kenaikan pendapatan nasional (ΔY) dan koefisien teknis tetap v yang dikenal sebagai Incremental Capital Output Ratio (ICOR): I=v ΔY
(2.5)
Model pertumbuhan Harrod-Domar kemudian mendefinisikan pertumbuhan ekonomi (g y ) sebagai perubahan pendapatan tiap satu satuan pendapatan: gy =
(2.6)
Mensubstitusikan hubungan pada persamaan (2.4) dan (2.5) memberikan definisi alternatif untuk pertumbuhan sebagai: gy =
(2.7)
Persamaan (2.7) berimplikasi bahwa jika ketiga asumsi yang mendasari teori ini terpenuhi, maka perekonomian akan tumbuh pada suatu level yang dipengaruhi oleh parameter s dan v. Meskipun demikian, paling tidak dalam prakteknya ada dua asumsi yang tidak mungkin dipegang, yakni bahwa nilai ICOR yang tetap berimplikasi bahwa terdapat hubungan yang tetap antara jumlah stok kapital dan output, kedua bahwa input tenaga kerja tidak dimasukkan dalam model, sehingga hal ini menyebabkan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar ini memiliki asumsi yang lemah.
Teori Pertumbuhan Solow Mankiw (2007) menyatakan bahwa model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan angkatan
17 kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan. Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi. Dengan kata lain, output per pekerja (y) merupakan konsumsi per pekerja (c) dan investasi per pekerja (i): y=c+I
(2.8)
Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung sebagian s dari pendapatan mereka dan mengkonsumsi sebagian (1-s), hubungan ini dapat dinyatakan sebagai: c = (1-s)y
(2.9)
y = (1-s)y + I
(2.10)
Meskipun model Solow telah mampu memasukkan tenaga kerja sebagai faktor yang memengaruhi pertumbuhan, namun model ini gagal menjelaskan bagaimana dan mengapa kemajuan teknologi terjadi. Romer (1986) kemudian menggagas model alternatif dengan memasukkan kemajuan teknologi ke dalam model, namun demikian tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak akan mencapai tingkat pareto optimal. Model Romer (1986) tersebut kemudian dikenal sebagai teori pertumbuhan endogen.
Teori Pertumbuhan Endogen Kelemahan
dari
teori
pertumbuhan
neoklasik
kemudian
memicu
berkembangnya teori pertumbuhan endogen. Paul Romer merupakan salah satu penggagas teori ini dengan model pertumbuhan endogen yang memasukkan kemajuan teknologi ke dalam model. Romer dalam Capello (2009) juga menyatakan bahwa selain kemajuan teknologi, salah satu sumber pertumbuhan adalah berasal dari eksternalitas yang terjadi akibat adanya akumulasi stok pengetahuan teknis yang kemudian berkolaborasi dengan modal tetap pada suatu waktu tertentu dalam mencapai tingkat output tertentu.
18 Robert Lucas juga merupakan ahli ekonomi yang juga merupakan penggagas teori pertumbuhan endogen. Lucas dalam Capello (2009) menyatakan hal yang sama dengan apa yang dikemukakan Romer, bahwa modal yang menentukan tingkat output yang dicapai dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu modal fisik dan modal manusia. Kombinasi keduanya dalam fungsi produksi dapat meningkatkan tingkat output tertentu. Teori pertumbuhan endogen menyatakan bahwa perbaikan dan kemajuan teknologi dihasilkan dari investasi yang secara langsung menyebabkan pertumbuhan, sehingga investasi dapat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Economic Planning Advisory Commission, 1995). Reungsri (2010) juga menyatakan bahwa investasi merupakan salah satu faktor penting pada model pertumbuhan endogen, investasi dapat menyebabkan perbaikan pada kapasitas produksi dan kenaikan laba yang berimplikasi pada adanya pertumbuhan ekonomi. Pada teori pertumbuhan neoklasik, adanya asumsi “law of diminishing return” membawa pada argumentasi bahwa investasi tidak mampu memengaruhi pertumbuhan. Namun pada teori pertumbuhan endogen, meskipun dibawah asumsi “law of diminishing return” investasi tetap mampu meningkatkan pertumbuhan. Sebagai contoh, adanya kemajuan teknologi yang didanai dari investasi akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, selain itu, tenaga kerja ahli yang didapat dari hasil pendidikan maupun pelatihan juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam penelitian ini peranan investasi terutama investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi didekati dengan menggunakan model pertumbuhan endogen.
2.1.3. Konsep Ketimpangan Pendapatan Glaeser (2006) menyatakan ketimpangan pendapatan adalah suatu kondisi dimana distribusi pendapatan yang diterima masyarakat tidak merata. Ketimpangan ditentukan oleh tingkat pembangunan, heterogenitas etnis, ketimpangan juga berkaitan dengan kediktatoran dan pemerintah yang gagal menghargai property rights.
19 Bourguignon (2004) menyatakan bahwa ketimpangan merujuk pada adanya disparitas pendapatan relatif penduduk. Disparitas dalam pendapatan ini didapat setelah menormalisasi seluruh pengamatan dengan rata-rata populasi sehingga membuatnya sebagai skala yang independen terhadap pendapatan. Ketimpangan pendapatan memiliki hubungan yang cukup erat dengan pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan, sehingga dikembangkanlah kerangka konseptual the poverty-growthinequality triangle untuk melihat hubungan antara ketiga variabel.
Kemiskinan absolut dan penurunan kemiskinan
“Strategi Pembangunan” Distribusi dan Perubahan Distribusi pendapatan
Tingkat pendapatan agregat dan pertumbuhan
Sumber: Bourguignon (2004) Gambar 2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle
Ketimpangan pendapatan terjadi apabila sebagian besar penduduk memperoleh pendapatan yang rendah dan pendapatan yang besar hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk. Semakin besar perbedaan pendapatan yang diterima masing-masing kelompok menunjukkan semakin besarnya ketimpangan. Adanya ketimpangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin menurut Todaro dan Smith (2006) akan menimbulkan setidaknya dua dampak negatif yaitu: 1. Terjadinya inefisiensi ekonomi. 2. Melemahkan stabilitas dan solidaritas sosial.
20 Terdapat beragam ukuran dalam menilai ketimpangan pendapatan suatu wilayah. Indeks gini adalah salah satu ukuran dalam mengukur ketimpangan, selain itu terdapat beberapa ukuran lainnya, antara lain Indeks Theil, kriteria Bank Dunia dan Indeks Williamson. Indeks gini merupakan ukuran ketimpangan yang paling sering digunakan. Hal ini disebabkan penghitungan indeks gini yang relatif mudah dan dapat menggunakan berbagai pendekatan baik pengeluaran atau pendapatan, sehingga dapat mengukur perbedaan tingkat daya beli masyarakat secara riil. Berdasarkan alasan tersebut, penelitian ini menggunakan indeks gini dalam mengukur ketimpangan pendapatan. Indeks gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang nilainya berkisar antara nol dan satu. Nilai indeks gini nol artinya tidak ada ketimpangan (pemerataan sempurna) sedangkan nilai satu artinya ketimpangan sempurna. Ketimpangan pendapatan dalam masyarakat dapat dikelompokkan sebagai ketimpangan rendah, sedang atau tinggi. Pengelompokkan yang dilakukan sesuai dengan ukuran ketimpangan yang digunakan. Nilai indeks gini pada negara-negara yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0,50 hingga 0,70, sedangkan untuk negaranegara yang distribusi pendapatanya relatif merata, nilainya antara 0,20 hingga 0,35 (Todaro dan Smith, 2006). Indeks gini dihitung dengan menggunakan Kurva Lorenz. Indeks gini dirumuskan sebagai rasio antara luas bidang yang terletak antara Kurva Lorenz dan garis diagonal (luas bidang A) dengan luas separuh segi empat dimana Kurva Lorenz berada (luas bidang BCD). Rumusan di ilustrasikan pada gambar 2.2. sebagai berikut:
Luas bidang A (2.11)
Indeks gini = Luas bidang BCD
21
Sumber: Todaro dan Smith (2006) Gambar 2.2. Kurva Lorenz
2.1.4. Konsep Infrastruktur Konsep infrastruktur memiliki pengertian yang berbeda-beda menurut sudut pandang kepentingannya, belum terdapat kesamaan pandangan antar lembaga, negara dan antar disiplin ilmu mengenai konsep infrastruktur. Dari sisi ekonomi, infrastruktur dapat dipandang sebagai sumberdaya modal yang digunakan dalam aktifitas konsumsi, produksi dan investasi. Implikasi atas pengertian ini mendorong timbulnya klasifikasi infrastruktur menjadi infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial (Torrisi dalam Riadi (2010)). Kodoatie (2003) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan pendukung utama fungsi-fungsi sistem sosial dan sistem ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, maka infrastruktur secara lebih jelas merupakan fasilitas-fasilitas dan struktur-struktur fisik yang dibangun guna berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi menunjuk pada suatu keberlangsungan dan keberlanjutan aktivitas masyarakat dimana infrastruktur fisik mewadahi interaksi antara aktivitas manusia dengan lingkungannya.
22 Hudson, et al. (1997) menyatakan bahwa keberhasilan dan kemajuan kelompok masyarakat tergantung pada infrastruktur fisik untuk pendistribusian sumber daya dan
pelayanan
publik.
Kua1itas
dan
efisiensi
infrastruktur
mempengaruhi kualitas hidup kesehatan sistem sosial dan keber1anjutan kegiatan perekonomian dan bisnis. Grigg (1988) menyatakan bahwa infrastruktur adalah semua fasilitas fisik yang sering disebut dengan pekerjaan umum. World Bank (1994) membagi infrastruktur menjadi tiga komponen utama, yaitu: 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang
aktivitas
ekonomi,
meliputi
public
utilities
(tenaga
listrik,
telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.
2.1.5. Strategi Pengentasan Kemiskinan di Daerah Tertinggal Pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius dalam mengembangkan kabupaten tertinggal. Bukti keseriusan pemerintah dalam hal ini adalah, dengan dibentuknya Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal yang memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal, sesuai Peraturan Presiden Nomor. 09 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Tugas pokok dan fungsi ini kemudian disempurnakan melalui Peraturan Presiden Nomor. 90 tahun 2006, dimana Kementrian PDT mempunyai penambahan fungsi operasional kebijakan di bidang: 1. Bantuan infrastruktur pedesaan 2. Pengembangan ekonomi Lokal 3. Pemberdayaan Masyarakat.
23 Perhatian pemerintah pada kabupaten tertinggal tidak hanya pada pengentasan kabupaten-kabupaten tertinggal, namun juga berupaya untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di kabupaten tertinggal. Hal ini sejalan dengan tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2009 yakni peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan. Tema RKP tersebut tertuang pada skenario pembangunan daerah tertinggal yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT (Gambar 2.3). Kondisi
• Tahun 2004 199 kabupaten tertinggal • Awal Tahun 2008 28 kabupaten terentaskan (perlu dibina sampai tahun 2009)
Upaya-Upaya
• Kerangka Regulasi Rancangan Inpres PPDT Rancangan UU PPDT Stranas PPDT RAN PPDT RAD PPDT • Kerangka Anggaran Mainstreaming DAK per Bidang DAK SPP-DT
Kondisi yang Diharapkan Tahun 2009 • 40 kabupaten terentaskan • Meningkatnya pendapatan masyarakat • Berkurangnya penduduk miskin • Tercapainya rehabilitasi daerah pasca konflik dan bencana
Kendala Antara lain belum optimalnya koordinasi, sinkronisasi dan sinergitas kegiatan
Tema RKP 2009 Peningkatan Kesejahteeraan Rakyat dan Pengurangan Kemiskinan
Sumber: Kementrian PDT (2008) Gambar 2.3. Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal
2.1.6. Konsep dan Kriteria Kabupaten Tertinggal Konsep dan kriteria kabupaten tertinggal tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor. 001/KEP/M-PDT/I/2005. Dalam Keputusan Menteri tersebut kabupaten tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Suatu daerah dikategorikan sebagai daerah tertinggal, karena beberapa faktor penyebab, antara lain:
24 a. Geografis Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya yang jauh di pedalaman, perbukitan/pegunungan, kepulauan, pesisir dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan baik transportasi maupun media komunikasi. b. Sumberdaya alam Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan. c. Sumberdaya Manusia Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan atau institusi yang belum berkembang. d. Prasarana dan Sarana Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, penddikan dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan utuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial. e. Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial Seringnya suatu daerah mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi f. Kebijakan Pembangunan Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan.
25 Sebaran daerah tertinggal secara geografis digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain: a. Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan yang pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang relatif lebih maju b. Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju c. Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di perbatasan antarnegara baik batas darat maupun laut d. Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor, gunung api, maupun banjir. e. Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir.
Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka dalam Strategi Nasional Pembangunan Daerah Tertinggal, ditetapkan 183 kabupaten yang dikategorikan kabupaten tertinggal. Daftar kabupaten tertinggal tersaji pada Lampiran 2.
2.1.7. Operasionalisasi Kebijakan Pembangunan Kabupaten Tertinggal Upaya
pengentasan
kabupaten
tertinggal
dilakukan
dengan
mengimplementasikan kebijakan pembangunan daerah tertinggal secara terpadu dan tepat sasaran serta tepat kegiatan, maka KPDT melaksanakan program prioritas yang diarahkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh semua daerah tertinggal ke dalam bidang-bidang kegiatan, antara lain: a. Bidang Pembangunan Infrastruktur Pedesaan dengan melaksanakan program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilakukan dengan melakukan penyediaan sarana dan prasarana transportasi
26 dan komunikasi, pelayanan sosial dasar dan pemberdayaan masyarakat adat terasing. b. Bidang Pemberdayaan Masyarakat dengan melaksanakan tiga program yaitu: 1. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) yang dilakukan
dengan
menyediakan
“block
grant”
untuk
mendukung
pengembangan ekonomi lokal, penyediaan sarana dan prasarana lokal dan pemberdayaan masyarakat serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat. 2. Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT) yang dilakukan melalui manajemen marketing dan regional, pengembangan sistem distribusi barang dan jasa, pelayanan informasi, maupun pengembangan jaringan prasarana antar wilayah (transportasi dan komunikasi) 3. Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) yang dilakukan melalui
penyediaan
sarana
dan
prasarana
transportasi/komunikasi,
pengembangan ekonomi lokal, pelayanan sosial dasar dan pelayanan lintas batas c. Bidang Pengembangan Ekonomi Lokal dengan melaksanakan dua program prioritas yaitu: 1. Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT) yang dilakukan melalui penyiapan lahan dan investasi dalam kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, pertambangan rakyat, pariwisata berikut industri pengolahan dan pendukung yang dikelola secara kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat 2. Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan (P4DT) yang dilakukan melalui pembangunan pusat pelayanan jasa dan distribusi/kota penyangga, termasuk kawasan industri terpadu dan kawasan perdagangan bebas atau kawasan ekonomi khusus.
27 2.1.8. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) Instrumen Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) dilaksanakan di bawah tanggung jawab Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur Kementrian PDT. Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur selain sebagai penanggungjawab instrumen, juga melaksanakan fungsi operasionalisasi kebijakan di bidang infrastruktur pedesaan. P2IPDT dicanangkan dan dilaksanakan di kabupaten tertinggal sebagi solusi mengatasi ketimpangan infrastruktur. Instrumen ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari pemerintah kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan dan menjadi stimulan kegiatan pendukung atau pendorong dan pemicu pembangunan infrastruktur daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi, dalam membentuk bantuan sosial, dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi lokal. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan integral terhadap sektor terkait dan dengan program daerah yang bersangkutan. Instrumen P2IPDT dilaksanakan pada kabupaten tertinggal, dengan tujuan antara lain: a. Sebagai bahan dari implementasi kebijakan pengembangan infrastruktur pedesaan dalam bidang transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi di daerah tertinggal yang dapat difasilitasi oleh Kementrian PDT. b. Merupakan upaya Kementrian PDT dalam mengurangi keterisolasian daerah tertinggal agar menjadi daerah maju yang setara dengan daerah lainnya. c. Memberikan arah dan panduan teknis terhadap pelaksanaan program P2IPDT di daerah tertinggal. d. Menjamin terlaksananya koordinasi pusat dan kabupaten dalam pelaksanaan bantuan stimulan infrastruktur pedesaan. Ruang lingkup dari instrumen P2IPDT pada dasarnya adalah melaksanakan kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan koordinasi, pemantauan, pengawasan, pelaksanaan koordinasi dan pelaporan yang meliputi:
28 a. Bantuan peningkatan infrastruktur transportasi b. Bantuan peningkatan infrastruktur informasi dan telekomunikasi c. Bantuan peningkatan infrastruktur ekonomi d. Bantuan peningkatan infrastruktur energi.
2.1.9. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kemiskinan Schiller (2004) menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang dapat menjadi penyebab kemiskinan, antara lain: 1. Kurangnya motivasi atau keterampilan individu 2. Adanya hambatan sosial terhadap akses pada kesempatan (society’s barrier to opportunity) 3. Kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya penurunan pendapatan dan partisipasi kerja Hasil penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya mengunakan fixed effect model menyimpulkan bahwa penurunan jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang didekati dari besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), namun besarnya pengaruh tersebut relatif tidak besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruhnya masing-masing relatif kecil. Peningkatan pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri terhadap PDRB juga cukup signifikan mengurangi kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif paling besar pengaruhnya terhadap penurunan kemiskinan ialah pendidikan. Iradian (2005), dalam studi mengenai peranan pertumbuhan, ketimpangan dan pengeluaran pemerintah menunjukkan bahwa perubahan jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan, perubahan ketimpangan pendapatan yang didekati dengan variabel indeks gini dan perubahan pengeluaran pemerintah yang diukur melalui persentasenya terhadap PDB. Iradian (2005) menggunakan dua metode ekonometrik, yakni Ordinary Least Square (OLS) dan Generalized Method of Moment (GMM). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa koefisien regresi dari pertumbuhan PDB per kapita atas dasar harga konstan
29 dan perubahan ketimpangan pendapatan signifikan secara statistik dalam mengurangi kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi akan mengurangi kemiskinan jika dibarengi dengan penurunan ketimpangan sedangkan penurunan kemiskinan akan sulit terjadi jika pertumbuhan ekonomi dibarengi dengan adanya peningkatan ketimpangan pendapatan. Hajiji (2009) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Riau dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan, namun ketimpangan pendapatan tersebut tidak memiliki efek yang signifikan pada tingkat kemiskinan. Penelitian tersebut menggunakan analisis regresi data panel untuk melihat hubungan antara pertumbuhan, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa efek positif dari pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi kemiskinan mendominasi efek negatif dari adanya ketimpangan pendapatan. Fan, et al. (2002) menganalisis peranan pertumbuhan, ketimpangan dan pengeluaran pemerintah melalui investasi publik di daerah pedesaan Cina dalam mengurang kemiskinan. Fan, et al. mengembangkan model persamaan simultan untuk mengestimasi efek perbedaan jenis pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mendorong investasi yang juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah dalam hal ini, tidak hanya berperan dalam meningkatkan pertumbuhan, namun juga mampu mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di daerah pedesaan Cina. Seetanah, et al. (2009) membandingkan model panel data fixed effect dan GMM dinamis dalam melihat pengaruh investasi publik khususnya investasi infrastruktur dalam mengurangi kemiskinan di negara berkembang. Hasil penelitian menggunakan kedua model tersebut mendukung pernyataan bahwa infrastruktur transportasi dan komunikasi merupakan alat yang efisien dalam memerangi kemiskinan di pedesaan. Sehingga, kebijakan pemerintah seharusnya memperhatikan pentingnya perbaikan akses penduduk miskin pada infrastruktur transportasi dan komunikasi.
30 2.1.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Stern (1991) mengemukakan adanya postulat penting bahwa terdapat tiga faktor standar yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor tersebut adalah manajemen organisasi, alokasi sumberdaya dan infrastruktur.
Manajemen Organisasi Organisasi yang diatur dengan baik, menurut Stern dapat meningkatkan output melalui minimalisasi pemborosan sumberdaya dan perbaikan efisiensi, sedangkan manajemen yang buruk dapat menyebabkan terjadinya
penuruanan
produktifitas. Sebagai contoh selama tahun 1960 hingga 1970, India berhasil meningkatkan tingkat tabungannya, namun karena adanya manajemen yang buruk, kondisi ini gagal meningkatkan pertumbuhan ekonominya (Ahluwalia 1985).
Alokasi Sumberdaya Faktor kedua yang dapat memengaruhi pertumbuhan menurut Stern adalah alokasi sumberdaya. Stern menemukan bahwa pengaturan alokasi sumberdaya oleh institusi di negara-negara berkembang sangat bervariasi. Hal ini menyebabkan terjadinya distorsi ekonomi yang menyebabkan distribusi sumberdaya menjadi optimal. Distribusi sumberdaya yang optimal ini mengakibatkan tumbuhnya perekonomian dan berdampak pada pemerataan sosial.
Infrastruktur Infrastruktur menjadi faktor ketiga yang menurut Stern dapat memengaruhi pertumbuhan. Infrastruktur sangat penting untuk produktifitas dan pertumbuhan. Kwik dalam Haris (2009) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Dari alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur memengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro,
31 ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.
2.1.11. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan Distribusi pendapatan dan kaitannya terhadap pertumbuhan dan kemiskinan telah menjadi perhatian utama bagi para ekonom. Banyak penelitian telah mengkaji hubungan triangular antara ketiga variabel ini, termasuk Bourguignon (2004) yang menggagas konsep The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Iradian (2004), pada penelitiannya di Armenia menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memiliki dampak pada ketimpangan, namun ketimpangan dapat memberikan efek negatif pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan apabila pertumbuhan tersebut memiliki dampak yang kecil pada ketimpangan pendapatan. Gelaw (2010) menggunakan estimasi model fixed effect
dalam meneliti
hubungan triangular antara pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemiskinan dapat terus menjadi tinggi jika suatu negara gagal mencapai pertumbuhan yang cepat dan berkelanjutan, yang dalam hal ini haruslah didukung dengan adanya penurunan pada ketimpangan pendapatan. Lopez (2003), meskipun tidak menganalisis dampak pada kemiskinan, mendukung pernyataan bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan. Penelitian ini mengkaji dampak kebijakan pro growth yaitu perbaikan pada sektor pendidikan dan infrastruktur pada pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan di sektor pendidikan dan infrastruktur serta tingkat inflasi yang rendah dapat mendorong pertumbuhan dan pemerataan pendapatan yang progresif. Selain itu, pembangunan di sektor keuangan, keterbukaan dalam perdagangan dan penurunan government size dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan peningkatan pada ketimpangan pendapatan. Laabas dan Limam (2004) menggunakan sistem persamaan simultan dalam melihat hubungan antara investasi publik, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan
32 ketimpangan pendapatan. Penelitian tersebut menggunakan tiga variabel endogen yaitu pertumbuhan, ketimpangan dan pendapatan. Hasil estimasi menyimpulkan bahwa investasi diketahui memiliki hubungan yang erat dengan tingginya pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu wilayah. Faktor penting yang lain dalam penelitian tersebut adalah faktor kelembagaan yang merupakan salah satu sumber pertumbuhan yang penting karena dapat berdampak pada kontribusi pelaku ekonomi dalam memberikan insentif pada pertumbuhan.
2.1.12. Pengaruh Investasi Infrastruktur Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa infrastruktur merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi (Stern, 1991). Infrastruktur merupakan roda penggerak perekonomian, sedangkan dari sudut pandang alokasi pembiayaan publik dan swasta, infrastruktur dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Reungsri (2010) menyatakan bahwa infrastruktur sebagai representasi dari investasi publik memiliki pengaruh pada dua aspek, yaitu aspek ekonomi dan sosial.
Aspek Ekonomi (Pertumbuhan) Investasi infrastruktur yang merupakan investasi publik berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dapat menggunakan investasi infrastruktur ini sebagai alat untuk menaikkan investasi swasta atau untuk menurunkan permintaan. Paradigma ekonomi Keynesian, investasi dapat menstimulus pengeluaran pemerintah yang kemudian berdampak pada terjadinya crowding out dan crowding in investasi swasta (Gambar 2.1). Infrastruktur bukanlah merupakan faktor yang dapat secara langsung
memengaruhi
pertumbuhan
ekonomi.
Infrastruktur
memengaruhi
pertumbuhan dengan memfasilitasi produktifitas melalui penyediaan sarana dan prasarana yang memadai.
33 Aspek Sosial (Pemerataan) Infrastruktur, selain memiliki pengaruh pada aspek ekonomi, juga memiliki dampak pada aspek sosial, antara lain mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat, diukur dengan adanya penurunan kemiskinan, pemerataan dan redistribusi pendapatan dan mitigasi dalam memerangi degradasi lingkungan.
Investasi Publik
Suku Bunga Riil
PDB
Return to Capital
Investasi Swasta
Investasi Swasta
Investasi Swasta
PDB Crowding Out
PDB Crowding In
Sumber: Aromdee, et al. (2005) Gambar 2.4. Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik
Aschauer (1989) menyatakan bahwa investasi publik pada infrastruktur sangat penting sebagai salah satu sumber pendukung pertumbuhan ekonomi. Aschauer meneliti hubungan antara output agregat dengan stok dan aliran pengeluaran pemerintah dan menyimpulkan bahwa infrastruktur inti seperti jalan, jalan tol, bandara dan sistem transportasi massal merupakan peranan pemerintah yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan perbakan produktifitas. Munnel (1992) juga menganalisis kebijakan pemerintah dalam hal investasi infrastruktur dan kaitannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam memberikan stimulus ekonomi yang cepat, investasi
34 publik pada infrastruktur memiliki efek positif yang signifikan terhada pertumbuhan ekonomi. Canning dan Pedroni (1999) menyimpulkan bahwa telefon dan jalan sebagai pendukung infrastruktur mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Canning menggunakan metode error correction model dalam menganalisis pengaruh jangka panjang antara infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Perkins, et al. (2005) meneliti hubungan antara investasi infrastruktur ekonomi dan pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan. Penelitian ini menggunakan metode F-tests yang dikembangkan oleh Pesaran, Shin dan Smith. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infrastruktur ekonomi dan pertumbuhan memiliki hubungan dua arah. Investasi yang tidak memadai pada infrastruktur dapat menciptakan bottlenecks dan hilangnya kesempatan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
2.2.
Kerangka Pemikiran Dalam upaya memberikan masukan untuk perbaikan strategi dan kebijakan
yang diambil oleh KPDT dalam mengefektifkan program yang dilaksanakan, maka kiranya diperlukan suatu studi mengenai pengaruh program peningkatan infrastruktur Kementrian PDT terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Untuk memberikan gambaran mengenai alur pemikiran dalam penelitian ini, berikut digambarkan kerangka pemikiran penelitian, seperti tergambar di bawah ini.
35
Kabupaten Tertiggal
Investasi Infrastruktur (P2IPDT) Transportasi
Ekonomi
Informasi dan telekomunikasi
Sosial
Transmisi tidak langsung (sisi makro)
Energi
Peningkatan Produktifitas
Transmisi langsung (sisi mikro)
Pendapatan Nasional dan Pertumbuhan Ekonomi
Tenaga Kerja
Peningkatan Pendapatan Riil/Konsumsi Masyarakat
Ketimpangan Pendapatan
Aspek Pertumbuhan
Penurunan Kemiskinan
Strategi Pembangunan Ekonomi untuk Pengentasan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
Aspek Pemerataan
36 2.3.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah:
1. Terjadi perbaikan pada dinamika kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan kinerja perekonomian di kabupaten tertinggal. 2. Investasi infrastruktur dalam hal ini adalah instrumen P2IPDT Kementrian PDT, sebagai representasi dari investasi publik pemerintah memiliki pengaruh positif dalam meningkatkan perekonomian. 3. Peningkatan
kinerja
perekonomian
di
kabupaten
tertinggal
mampu
menurunkan ketimpangan pendapatan. 4. Peningkatan kinerja perekonomian di kabupaten tertinggal dapat menurunkan tingkat kemiskinan.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari berbagai publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), diantaranya publikasi indikator kesejahteraan rakyat dan produk domestik regional bruto, selain itu digunakan pula data Suvei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Data mengenai bantuan stimulus infrastruktur juga digunakan dalam penelitian ini, yang bersumber dari Kementrian PDT. Data yang dihimpun mencakup 199 kabupaten tertinggal yang ditetapkan Kementrian PDT tahun 2005 dan digunakan untuk melakukan analisis deskriptif, sedangkan analisis ekonometrik dilakukan pada 82 kabupaten tertinggal yang secara kontinu mendapatkan bantuan stimulus infrastruktur dari Kementrian PDT tiap tahunnya.
3.2.
Metode Analisis Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis
ekonometrik. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan deskripsi mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT. Analisis ekonometrik digunakan untuk melihat pengaruh infrastruktur terhadap perekonomian dan kemiskinan. Beberapa metode ekonometrik yang digunakan diantaranya metode data panel statis, data panel dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai metode estimasi yang digunakan.
3.2.1. Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk
38 memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi. Salah satu analisis deskriptif yang digunakan adalah teknik analisis kuadran. Analisis kuadran digunakan untuk melihat hubungan dan dinamika pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan serta pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan kabupaten tertinggal, pada dua periode waktu, yaitu 2005 dan 2009. Pemilihan Tahun 2005 sebagai tahun awal dimana program P2IPDT belum diimplementasikan, dan Tahun 2009 di pilih untuk melihat kondisi terkini di kabupaten tertinggal. Dua periode waktu tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran dinamika pertumbuhan, ketimpangan dan kemiskinan kabupaten tertinggal.
3.2.2. Analisis Pengaruh Bantuan Stimulus Infrastruktur Perekonomian, Ketimpangan dan Penurunan Kemiskinan
terhadap
Studi mengenai peranan program P2IDT dalam mendorong kinerja perekonomian, menurunkan ketimpangan dan kemiskinan ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis regresi. Analisis regresi dilakukan dengan tujuan utama adalah untuk memperkirakan nilai dari variabel tak bebas pada nilai variabel bebas tertentu (Supranto, 2000). Berdasarkan pemikiran tersebut penulis menggunakan metode ini untuk menjelaskan pengaruh program P2IDT dalam meningkatkan perekonomian, menurunkan ketimpangan dan kemiskinan. Pada penelitian ini analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi data panel.
3.2.2.1. Analisis Data Panel Analisis data panel adalah bentuk analisis data longitudinal yang cukup populer di kalangan peneliti bidang ilmu sosial dan ilmu perilaku. Data panel adalah data silang dari sekumpulan variabel yang di survei secara periodik. Penggunaan analisis panel data dalam estimasi ekonometrika memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Baltagi (2005) menyatakan bahwa panel data memiliki kelebihan antara lain: 1. Dapat mengontrol heterogenitas individu 2. Panel data memberikan data yang lebih lengkap dengan kolinieritas yang rendah dan derajat bebas yang lebih besar serta lebih efisien
39 3. Panel data baik digunakan untuk mengkaji mengenai penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment) 4. Panel data lebih handal dalam mengidentifikasi dan mengukur efek individu maupun efek waktu yang tidak dapat dilakukan dalam teknik analisis deret waktu (time series) maupun analisis antar individu (cross section) 5. Panel data dapat digunakan untuk membangun dan menguji model dengan perilaku yang kompleks. Namun demikian, analisis panel data memiliki beberapa kelemahan, antara lain: 1. Masalah dalam desain dan pengumpulan data, termasuk masalah cakupan dan kelengkapan data 2. Gangguan yang timbul akibat kesalahan pengukuran (measurement errors) 3. Mengatasi data deret waktu yang pendek 4. Terdapat hubungan antar individu
Analisis Data Panel Statis Analisis data panel statis merupakan analisis data longitudnal yang tidak melibatkan variabel lag dependent dalam model. Terdapat beberapa tipe model analisis data panel statis, antara lain: 1. Constant coefficient model (Pooled OLS) adalah salah satu tipe model data panel yang memiliki koefisien yang konstan untuk intersep dan slope. Untuk model data panel ini dapat menggunakan metode ordinary least squares regression model. 2. Tipe model data panel lainnya adalah fixed effect model (FEM), dimana model ini memiliki konstan slope namun memiliki intersep yang bergantung pada data panel dari serangkaian grup observasi. Model ini dikenal juga sebagai Least Squares Dummy Variable Model, karena sebanyak i-1 variabel dummy digunakan dalam model ini. Persamaan model ini adalah sebagai berikut:
y it = α i + x’ it β + u it ;
i=1,….,N; t=1…..,T
(3.1)
dimana u it =μ i + v it , untuk one way error component dan u it = μ i + λ t + v it untuk two way error component.
40 3. Random Effect Model (REM), dalam model ini terdapat perbedaan intersep untuk setiap individu dan intersep tersebut merupakan variabel random atau stokastik. Sehingga dalam model random effects terdapat dua komponen residual, yakni residual secara menyeluruh ε it dan residual secara individu. Persamaan model random effects dapat ditulis sebagai berikut: (3.2)
Metode estimasi yang digunakan pada model analisis regresi data panel statis, didasarkan pada asumsi struktur matriks varians dan covarians residualnya, yang terdiri dari 3 metode, yaitu: 1. Ordinary Least Square (OLS/LSDV), jika struktur matriks varians-covarians residualnya diasumsikan bersifat homokedastik dan tidak ada cross sectional correlation, 2. Generalized Least Square (GLS)/Weighted Least Square (WLS): Cross Sectional Weight, jika struktur matriks varians-covarians residualnya diasumsikan bersifat heterokedastik dan tidak ada cross sectional correlation, 3. Feasible
Generalized
Least
Square
(FGLS)/Seemingly
Uncorrelated
Regression (SUR), jika struktur matriks varians-covarians residualnya diasumsikan bersifat heterokedastik dan ada cross sectional correlation.
Analisis Data Panel Dinamis Baltagi (2005) menyatakan bahwa hubungan di antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataan banyak yang bersifat dinamis. Analisis data panel dinamis dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis yang melibatkan variabel lag dependen sebagai variabel regresor di dalam model. Keuntungan penggunaan panel data dinamis adalah bahwa panel data dinamis dapat mengkaji mengenai analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Sebagai ilustrasi, model data panel dinamis adalah sebagai berikut:
y it = δ y i,t-1 + u it ;
i=1,….,N; t=1…..,T
(3.3)
dengan δ menyatakan suatu skalar, x’ it menyatakan matriks berukuran 1xK dan β matriks berukuran Kx1. Pada model ini, u it diasumsikan mengikuti model one way error component sebagai berikut:
41
u it =μ i + v it dengan u it ~ IID(0,
(3.4)
) menyatakan pengaruh individu dan v it ~ IID(0,
)
menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literatur disebut sebagai transient error. Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada FEM maupun REM terkait perlakuan terhadap model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena fungsi dari
maka y i,t-1 juga merupakan fungsi dari
. Karena
. Dalam merupakan
adalah fungsi
dari u it maka akan terjadi korelasi antara variabel regresor y i,t-1 dengan u it . Hal ini akan menyebabkan penduga least square (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila
tidak berkorelasi
serial sekalipun. Pendekatan method of moments dapat digunakan untuk mengatasi masalah bias dan inkonsistensi. Arrelano dan Bond menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang populer. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.. Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Beberapa kelemahan metode GMM, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM. Terdapat dua jenis prosedur estimasi GMM yang umumnya digunakan untuk mengestimasi model linear autoregresif, yakni: 1. First-difference GMM (FD-GMM atau AB-GMM) 2. System GMM (SYS-GMM)
42 First-differences GMM (AB-GMM) Metode first-differences GMM (AB-GMM) dikembangkan oleh Arellano dan Bond. Metode first-differences dilakukan untuk mendapatkan estimasi δ yang konsisten di mana N → ∞ dengan T dan mengeliminasi pengaruh individual. Persamaan dinamis dengan first-differences kemudian dapat dijabarkan sebagai berikut:
y it - y it-1 = δ (y i,t-1 - y i,t-2 ) + (v it - v it-1 ); t=2,….., T
(3.5)
Pendugaan dengan metode least square (OLS) akan menghasilkan penduga δ yang inkonsisten karena y it dan v it-1 berdasarkan definisi berkorelasi, bahkan bila T → ∞. Untuk itu, transformasi dengan menggunakan first difference ini dapat menggunakan suatu pendekatan variabel instrumen. Sebagai contoh, y i,t-2 akan digunakan sebagai instrumen. Di sini, y i,t-2 berkorelasi dengan (y it - y it-1 ) tetapi tidak berkorelasi dengan, v it-1 dan v it tidak berkorelasi serial. Pendekatan GMM secara umum tidak menekankan bahwa v it ~ IID pada seluruh individu dan waktu, dan matriks penimbang optimal kemudian diestimasi tanpa mengenakan restriksi. Sebagai catatan bahwa, ketidakberadaan autokorelasi dibutuhkan untuk menjamin validitas kondisi momen. Oleh karena pendugaan matriks penimbang optimal tidak terestriksi, maka dimungkinkan (dan sangat dianjurkan
bagi
sampel
berukuran
kecil)
menekankan
ketidakberadaan
autokorelasi pada v it dan juga dikombinasikan dengan asumsi homoskedastis. Jika model data panel dinamis yang mengandung variabel eksogenus, maka Persamaan (3.3) dapat dituliskan kembali menjadi
y it = x’ it β + δ y i,t-1 + µ i + v it Parameter
persamaan
(3.6)
juga
dapat
diestimasi
(3.6) menggunakan
generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Bergantung pada asumsi yang dibuat terhadap x’ it , selain itu sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat pula dibangun.
System GMM (SYS-GMM) Pendekatan system GMM berkembang berdasarkan pemikiran Blundell dan Bond. Ide dasar dari penggunaan metode system GMM adalah mengestimasi sistem persamaan baik pada first-differences maupun pada level yang mana
43 instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret. Blundell dan Bond dalam Baltagi (2005) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:
y it = δ y i,t-1 + μ i + v it
(3.7)
dengan E(μ i ) = 0, E(v it ) = 0 dan E(μ i v it ) = 0 untuk i =1, 2,…, N; t = 1, 2,…,T. Dalam hal ini, Blundel dan Bond memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal sedemikian sehingga δ tepat teridentifikasi (just identified). Pada System GMM, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi τ. Analisis Data Panel Instrumental Variable Metode data panel instrumental variable dikenal sebagai solusi dalam mengatasi masalah endogenous regressors, dimana variabel bebas berkorelasi dengan error. Metode instrumental variable merupakan salah satu cara untuk mendapatkan estimasi parameter yang konsisten (Baum, 2009). Verbeek ( 2008) menyatakan bahwa apabila variable bebas dalam model merupakan variabel endogen, maka estimasi dengan OLS menjadi bias dan tidak konsisten, untuk itu diperlukan suatu teknik estimasi yang lebih baik, salah satunya adalah estimasi instrumental variable. Model instrumental variable
dapat direpresentasikan
dalam bentuk persamaan: y it = x it β 1 + ε it
(3.8)
Jika x it merupakan variabel endogen, dimana E(x it ,ε it ) ≠ 0, maka penggunaan estimasi dengan metode OLS tidak lagi menghasilkan estimasi yang tidak bias dan konsisten. Penggunaan teknik instrumental variable dapat mengatasi masalah ini, dengan menggunakan suatu variabel lain (z it ) yang berkorelasi dengan y it , namun tidak berkorelasi dengan error. Variabel z it haruslah memiliki korelasi yang erat dengan x it , sehingga x it memengaruhi y it hanya melalui instrumen z it. Estimasi dengan teknik instrumental variable tersebut dapat menggunakan metode two stage least squares (2SLS) estimator. Secara umum, estimator ini
44 dapat diinterpretasikan sebagai penggunaan estimator yang sama dalam dua tahap. Kedua tahap tersebut dapat diestimasi dengan menggunakan teknik least square estimator. Pada tahap pertama, persamaan reduced form diestimasi dengan menggunakan OLS (regresi variabel endogen dengan semua instrumen). Pada tahap kedua persamaan struktural diestimasi, juga dengan menggunakan OLS, dengan mengganti nilai variabel endogen dengan nilai prediksi dari hasil regresi sebelumnya yang menggunakan persamaan reduced form (Verbeek, 2008). Verbeek (2008) juga menyatakan bahwa permasalahan dapat timbul dalam penggunaan teknik instrumental variable ini adalah pada masalah “lemahnya instrumen”. Masalah ini timbul apabila instrumen yang digunakan memiliki korelasi yang lemah dengan variabel endogennya, sehingga kondisi ini menyebabkan hasil estimasi dengan teknik instrumental variable menjadi bias.
3.2.2.2. Pengaruh Infrastruktur, Perekonomian
Ketimpangan
Pendapatan
terhadap
Analisis mengenai pengaruh infrastruktur dan ketimpangan terhadap perekonomian dalam penelitian ini menggunakan analisis ekonometrik panel data statis dan dinamis. Penggunaan dua metode estimasi ini diharapkan dapat melihat perbandingan hasil estimasi dan melihat kebaikan serta robustness model. Panel data statis digunakan dalam penelitian ini untuk melihat secara sederhana pengaruh infrastruktur dan ketimpangan terhadap perekonomian, tanpa melihat pengaruh waktu (time lag) dalam permodelan. Panel data dinamis juga digunakan dalam penelitian ini, untuk melihat pengaruh waktu mengingat adanya time lag dari pengaruh infrastruktur yang menyebabkan dampak investasi infrastruktur tidak hanya dirasakan pada saat yang sama namun juga pada jangka panjang. Penggunaan model panel data dinamis juga dilakukan mengingat adanya pengaruh ekspektasi nilai output dari para pelaku pasar, yang dapat memengaruhi nilai output saat ini juga menjadi salah satu alasan penggunaan. Persamaan dinamis sederhana yang digunakan dalam penelitian ini, merujuk pada penelitian Calderon dan Serven (2008). Model panel data dinamis pada penelitian tersebut digambarkan ke dalam satu persamaan dinamis sederhana, yaitu:
45 y it – y it-1 = αy it-1 + φ’ K it + γ’Z it + μ t + η t + ε it
(3.9)
= αy it-1 + β’X it + μ t + η i + ε it
(3.10)
Dimana: y
= tingkat output
K
= ukuran ketimpangan pendapatan
Z
= bantuan stimulus infrastruktur
Persamaan 3.9 diperoleh dengan menggabungkan faktor-faktor dari pertumbuhan, ketimpangan dan infrastruktur, dimana X it = (K’ it , Z’ it ) dan β’= (φ’, γ’). Ditinjau dari sisi ekonometrik, persamaan tersebut di atas berpotensi memiliki tiga permasalahan endogeneity. Masalah tersebut antara lain: 1. Permasalahan endogeneity yang muncul akibat adanya lag dependent variabel yang ikut dalam persamaan sebagai variabel bebas yang menyebabkan adanya korelasi antara lag dependent variabel tersebut dengan error. Lag dependent variabel tersebut ternyata juga memiliki pengaruh pada ukuran ketimpangan pendapatan (K) dan bantuan stimulus infrastruktur (Z). Munculnya permasalahan endogeneity tersebut menyebabkan estimasi dengan metode ordinary least square (OLS) menjadi tidak lagi konsisten (Verbeek, 2008). 2. Permasalahan endogeneity juga berpotensi terjadi pada persamaan tersebut mengingat
ketimpangan
(K)
memiliki
memiliki
pengaruh
terhadap
pertumbuhan, sehingga terjadi reverse causality antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan (Heshmati, 2004). 3. Permasalahan endogeneity muncul akibat terdapat banyak faktor yang memengaruhi keputusan pengambil kebijakan dalam menentukan besaran nilai bantuan stimulus infrastruktur. Hal ini menyebabkan variabel bantuan stimulus infrastruktur tidak lagi murni sebagai variabel eksogen yang tidak berkorelasi dengan error, namun menjadi variabel endogen. Kondisi ini menyebabkan perlunya diterapkan teknik estimasi menggunakan variabel instrumen untuk memodelkan faktor-faktor yang memengaruhi nilai bantuan stimulus infrastruktur. Calderon dan Serven (2008) dalam penelitiannya
46 melibatkan lag dependent infrastruktur sebagai instrumen internal dan kepadatan penduduk sebagai instrumen eksternal. Ketiga permasalahan endogeneity tersebut menurut Verbeek (2008) dapat diatasi dengan menerapkan metode generalized method of moment (GMM). Penerapan metode GMM dalam analisis panel data dinamis dapat mengurangi bias pada penggunaan teknik OLS dan standard error yang dihasilkan menjadi lebih efisien jika dibandingkan dengan penggunaan estimasi two stage least square (2SLS). Penggunaan metode analisis panel dinamis meskipun memiliki kelebihan dalam menangani masalah endogeneity (khususnya pada penanganan data dengan pengaruh time lag), namun metode ini hanya dapat diterapkan pada permodelan dengan satu persamaan. Kelemahan ini menyebabkan teknik analisis panel data dinamik tidak dapat digunakan untuk melihat secara simultan pengaruh infrastruktur terhadap penurunan kemiskinan (melalui jalur pertumbuhan). Metode analisis panel instrumental variable digunakan untuk menjawab permasalahan ini, mengingat kelebihan metode ini dalam menangani regresi dengan lebih dari satu persamaan melalui penggunaan variabel instrumen. Pemilihan faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi, didasarkan oleh berbagai variabel yang digunakan dalam penelitian-penelitian terdahulu. Faktor-faktor yang memengaruhi aktifitas perekonomian dan pertumbuhan ekonomi daerah yang dikaji dalam penelitian ini antara lain:
Infrastruktur Infrastruktur, terbukti merupakan senjata yang ampuh dalam mendorong perekonomian.. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan berbagai peneliti, antara lain Aschauer (1989) yang menyatakan bahwa peran pemerintah dalam investasi publik sangatlah penting dalam mendorong pertumbuhan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah positif meningkatkan output dengan elastisitas berkisar antara 0,38 dan 0,56. Penelitian Aschauer diperkuat oleh Munnel (1992) yang menyatakan bahwa investasi publik di bidang infrastruktur berpengaruh positif terhadap pertumbuhan. Canning dan Pedroni (1999) menyimpulkan bahwa infrastruktur telepon dan jalan aspal positif
47 memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Prasetyo (2010) juga meneliti mengenai pengaruh infrastruktur. Dalam penelitiannya Prasetyo menyimpulkan bahwa Variabel human capital memiliki dampak terbesar dibandingkan variabel lain dengan elastisitas sebesar 0,34. Variabel listrik dan jalan berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan tingkat elastisitas listrik sebesar 0,33 lebih tinggi daripada jalan (0,13), sedangkan infrastruktur air bersih tidak berpengaruh secara statistik.
Ketimpangan Pendapatan Ketimpangan memengaruhi
pendapatan
perekonomian.
merupakan Heshmati
faktor
(2004)
lain dalam
yang
mampu
penelitiannya
menyimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan yang diukur melalui indeks gini, investasi dan pendidikan memiliki pengaruh pada perekonomian. Penelitian ini juga mendukung hipotesis Kuznets yang menyatakan bahwa hubungan antara perekonomian (log PDRB per kapita) dan ketimpangan pendapatan dapat digambarkan sebagai kurva U terbalik. Iradian (2005) meneliti pengaruh ketimpangan (indeks gini), pendapatan per kapita, inflasi dan investasi terhadap pertumbuhan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif antara ketimpangan dan pendapatan dan terdapat hubungan positif antara investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Inflasi Penggunaan variabel inflasi sebagai salah satu faktor yang memengaruhi perekonomian didasarkan atas hasil penelitian yang dilakukan oleh Mallik dan Chowdurry (2001) yang menyatakan bahwa inflasi dan pertumbuhan memiliki hubungan jangka panjang yang positif. Motley (1993) menyatakan bahwa negara dengan tingkat inflasi yang rendah memiliki kecenderungan untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Hasil penelitian dari Li dan Zou (2002) dengan menggunakan analisis panel data dari berbagai negara, menyimpulkan bahwa inflasi dapat menurunkan capaian pertumbuhan ekonomi.
48 Penduduk Faktor demografi merupakan faktor yang cukup penting dalam menentukan perekonomian wilayah. Tingkat fertilitas (Ogawa dan Suits, 1981), pertumbuhan penduduk (Klasen dan Lawson, 2007), tingkat migrasi (Manitoba Bureau of Statistics, 2008) merupakan faktor-faktor
demografi yang
memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Indikator demografi yang baik serta tingkat fertilitas yang rendah dapat mendorong peningkatan pembangunan. Berdasarkan penelitian terdahulu, serta merujuk pada penelitian Iradian (2005) maka persamaan (3.9) dan (3.10) dapat dituliskan kembali menjadi: Y it = α it + β 1 Y it-1 + β 2 GINI it + β 3 P2IPDT it + β 4 (P2IPDT it )2 + β 5 INF it-1 + β 6 POP it + β 7 DWIL it + ε it (3.11) Keterangan: Y it
= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i periode ke-t
Y it-1
= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i periode ke-(t-1)
GINI it
= Indeks gini kabupaten ke-i periode ke-t
P2IPDT it
= Besaran bantuan stimulus infrastruktur kabupaten ke-i periode ke- t (juta rupiah)
(P2IPDT it )2 = Kuadrat Besaran bantuan stimulus infrastruktur kabupaten ke-i periode ke-t (juta rupiah) INF it-1
= Inflasi kabupaten yang didekati dengan nilai GDP deflator kabupaten periode t-1 (persen)
POP it
= Jumlah penduduk kabupaten i periode t (jiwa)
DWIL it
= Dummy variabel wilayah (0=KBI dan 1=KTI)
Model analisis menggunakan persamaan 3.11 di atas tidak mampu menjawab masalah jenis bantuan apa yang paling besar memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Faktor ketersediaan data, dimana masing-masing kabupaten tertinggal tidak secara kontinu mendapatkan satu jenis bantuan yang
49 sama tiap tahunnya menyebabkan penulis mengalami sedikit hambatan dalam permodelan. Untuk itu dilakukan permodelan dengan menggunakan dummy variable jenis bantuan seperti pada persamaan di bawah ini: Y it = α it + β 1 Y it-1 + β 2 GINI it + β 3 DTRANSP it + β 4 DENERGI it + β 5 DINFOTEL it + β 6 DSOS it + β 7 DEKON it + β 8 INFit -1 + β 9 POP it + β 10 DWIL it +ε it (3.12) Keterangan: Y it
= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i periode ke-t
Y it-1
= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i periode ke-(t-1)
DTRANSP it = Dummy variabel bantuan transportasi (0=tidak dapat dan 1=dapat) DENERGI it = Dummy variabel bantuan energi (0=tidak dapat dan 1=dapat) DINFOTEL it = Dummy variabel bantuan infotel (0=tidak dapat dan 1=dapat) DSOS it
= Dummy variabel bantuan sosial (0=tidak dapat dan 1=dapat)
DEKON it
= Dummy variabel bantuan ekonomi (0=tidak dapat dan 1=dapat)
GINI it
= Indeks gini kabupaten ke-i periode ke-t
INF it-1
= Inflasi kabupaten yang didekati dengan nilai GDP deflator kabupaten
POP it
= Jumlah penduduk kabupaten i periode t (jiwa)
DWIL it
= Dummy variabel wilayah (0=KBI dan 1=KTI)
3.2.2.3. Pengaruh Peningkatan Perekonomian terhadap Kemiskinan Dalam penelitian ini, pengaruh peningkatan perekonomian terhadap kemiskinan dikaji dengan menggunakan tiga metode estimasi, yaitu metode panel data statis, panel data dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan metode panel data statis dan dinamis digunakan untuk melihat pengaruh jeda waktu (time lag) sedangkan metode panel instrumental variable digunakan untuk melihat secara langsung (simultan) pengaruh infrastruktur, inflasi dan ketimpangan terhadap kemiskinan lewat jalur perekonomian (PDRB per kapita).
50 Faktor-faktor lain selain PDRB per kapita, dalam penelitian ini juga dilihat pengaruhnya terhadap angka kemiskinan. Pemilihan variabel yang digunakan dalam model, merujuk pada penelitian terdahulu. Berdasarkan pertimbangan tersebut, beberapa variabel dipilih antara lain:
Aktivitas Perekonomian dan Pertumbuhan Ekonomi Bolnick (2000) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu instrumen untuk mengurangi kemiskinan di Mozambique. Dalam penelitian juga dinyatakan bahwa analisis pertumbuhan seharusnya tidak hanya dilihat dari perspektif makro ekonomi semata namun juga dalam aspek pembangunan regional dan sektoral. Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian dari Siregar dan Wahyuniarti (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia dipengaruhi oleh besarnya PDRB, jumlah populasi penduduk, tingkat inflasi, pangsa sektor pertanian dan industri terhadap PDRB, serta tingkat pendidikan yang mencerminkan modal manusia (human capital).
Ketimpangan Pendapatan Pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan pemerataan pendapatan (ketimpangan yang rendah) dapat menjadi satu faktor yang efektif dalam mengurangi jumlah penduduk miskin.
Pernyataan ini sejalan dengan yang
dikemukakan Gelaw (2010) yang menyatakan bahwa kemiskinan akan tetap tinggi jika pertumbuhan ekonomi diikuti dengan ketimpangan pendapatan.
Jumlah Penduduk Indra (2008) dalam penelitiannya juga memasukkan variabel populasi dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk miskin. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian Siregar dan Wahyuniarti (2007). Bedasarkan
penelitian-penelitian
terdahulu,
analisis
pengaruh
pertumbuhan terhadap penurunan kemiskinan dalam penelitian ini dimodelkan seperti pada persamaan (3.13). Persamaan tersebut merujuk pada model yang
51 dikembangkan oleh Iradian (2005) yang telah dimodifikasi, persamaan tersebut adalah sebagai berikut: P it = α i + β 1 P it-1 + β 2 Y it + β 3 GINI it + β 4 EXP it + β 4 ( EXP it )2 + ε it (3.13) Keterangan: P it
= Tingkat kemiskinan (head count poverty) kabupaten ke-i periode ke-t (persen)
P it-1
= Tingkat kemiskinan (head count poverty) kabupaten ke-i periode ke-(t-1) (persen)
Y it
= PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 kabupaten ke-i periode ke-t (persen)
GINI it
= Indeks gini kabupaten ke-i periode ke-t
EXP it
= Pengeluaran pemerintah kabupaten ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
(EXP it )2
= Pengeluaran pemerintah kabupaten ke-i tahun ke-t (juta rupiah)
3.2.3. Uji Spesifikasi Model Data Panel Pada model data panel statis, masalah utama dalam pengujian model adalah penentuan model apakah termasuk model efek tetap atau efek acak. Dalam penelitian ini, mengacu pada penelitian sebelumnya maka hanya analisis panel data dengan model efek tetap yang digunakan, sehingga tidak lagi dilakukan uji haussman untuk menentuakan model efek tetap atau model efek acak yang digunakan. Pada model panel data dinamis, beberapa kriteria ditentukan untuk melihat uji validitas dan uji spesifikasi model, untuk menentukan model dinamis atau penggunaan jenis GMM yang paling sempurna. Kriteria tersebut antara lain adalah: 1. Konsistensi model dengan menggunakan Arellano-Bond m 1 dan m 2 untuk menguji adanya serial korelasi pada residual. 2. Validitas instrumen dengan menggunakan pemeriksaan moment condition dengan menggunakan Uji Sargan.
52 3. Estimasi parameter menggunakan GMM seharusnya menghasilkan estimasi yang tidak bias. Berdasarkan kriteria tersebut maka penduga terbaik haruslah memiliki kriteria konsisten, valid dan tidak bias. 3.2.4. Definisi Operasional Berikut diberikan definisi operasional dari masing-masing variabel yang digunakan dalam model, antara lain: 1. PDRB perkapita (Y) merupakan hasil bagi PDRB atas dasar harga konstan Tahun 2000 dengan jumlah penduduk masing-masing kabupaten. Data diperoleh dari publikasi PDRB kabupaten kota Tahun 2007-2009 yang diperoleh dari BPS. 2. Indeks gini (GINI) meupakan ukuran ketimpangan pendapatan dari sisi pengeluaran per kapita. Angka Indeks gini diperoleh dari perhitungan penulis dengan menggunakan data SUSENAS kor Tahun 2007-2009. 3. Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal
(P2IPDT)
merupakan
besaran
dana bantuan
stimulus
infrastruktur yang diperoleh dari KPDT. Dana bantuan stimulus tersebut merupakan salah satu mata anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 4. Inflasi (INF) merupakan ukuran tingkat perubahan harga di pasar yang juga dapat mencerminkan daya beli masyarakat. Dalam penelitian ini nilai inflasi kabupaten tertinggal didekati dengan nilai PDRB deflator, sehubungan dengan tidak tersedianya data inflasi tingkat kabupaten. 5. Jumlah penduduk (POP) merupakan jumlah penduduk yang dihitung berdasarkan jumlah penduduk pertengahan tahun yang tersedia dalam publikasi PDRB kabupaten/kota BPS. 6. Tingkat kemiskinan (P) merupakan tingkat kemiskinan (headcount poverty) yang dihitung berdasarkan garis kemiskinan BPS. Data tingkat kemiskinan didasarkan pada data yang dikeluarkan oleh BPS berdasarkan data SUSENAS. 7. Pengeluaran pemerintah (EXP) merupakan total belanja yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan APBD.
IV. KERAGAAN DAN DINAMIKA KABUPATEN TERTINGGAL SERTA UPAYA PERCEPATAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KABUPATEN TERTINGGAL
Analisis mengenai keragaan dan dinamika kabupaten tertinggal dilakukan untuk melihat dampak implementasi program P2IPDT yang telah dilakukan Kementrian PDT di daerah tertinggal. Analisis sebelum dan sesudah (before and after) implementasi bantuan dipilih sebagai salah satu teknik untuk melihat dampak implementasi program. Kondisi awal sebelum implementasi program dideskripsikan sebagai kondisi kabupaten tertinggal pada tahun 2006, sedangkan kondisi akhir setelah implementasi program dideskripsikan sebagai kondisi pada tahun 2009. Diharapkan dengan membandingkan kedua periode tahun ini, dapat dilihat secara sederhana dinamika kabupaten tertinggal sebelum dan sesudah implementasi program P2IPDT.
4.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal Ketertinggalan daerah dalam pembangunan disebabkan oleh banyak faktor yang bersifat kompleks dan menyebabkan ketimpangan yang kurang menguntungkan dalam berbagai aspek. Hal itu menyebabkan perlunya suatu upaya sistematis dan terencana untuk mengejar ketertinggalan daerah sehingga setara dengan daerah maju lainnya. Pemerintah melalui Kementrian PDT telah melaksanakan berbagai program untuk meningkatkan daya saing daerah tertinggal dan mengejar ketertinggalan. Berdasarkan data dari Kementrian PDT, sampai dengan tahun 2010 terdapat 183 kabupaten yang tergolong sebagai daerah tertinggal. Sebanyak 55 kabupaten tertinggal berada di wilayah Kawasan Barat Indonesia dan sebanyak 128 kabupaten berada di kawasan Indonesia Timur. Secara kasat mata angka ini menunjukkan sedikit perbaikan pada capaian pengentasan kabupaten tertinggal, karena tercatat pada tahun 2005, berdasarkan Keputusan Menteri PDT No. 001/KEP/M-PDT/I/2005, terdapat sebanyak 199 kabupaten tertinggal di Indonesia, 76 kabupaten tertinggal berada di KBI dan 123 kabupaten tertinggal berada di KTI.
54 Data teersebut meenunjukkan,, selama kurun waaktu 2005-2010, terjadi urunan jum mlah kabup paten tertin nggal di Inndonesia sebanyak 16 kabupatten. penu Berd dasarkan anngka tersebbut,
tidak dapat diaartikan bahhwa hanya sebanyak 16
kabu upaten
berhassil
terttinggal
tellah
terentaaskan
darii
ketertingggalan.
Paada
keny yataannya, dari d 199 kabbupaten yanng masuk kategori k terttinggal padda tahun 200 05, sebannyak 51 kaabupaten tiddak lagi meenyandang daerah terttinggal padaa tahun 2010. Masiih tingginyya jumlah kabupaten tertinggall yang terrcatat padaa tahun 20 010 disebbabkan karrena adanyaa proses pemekaran p wilayah, dimana d daerrah tertinggal tersebut kemudiian membenntuk daerahh otonomi bbaru (48 kaabupaten). S Sehingga to otal kabu upaten tertinnggal di Indoonesia padaa tahun 20100 menjadi sebanyak s 1883 kabupaten.
58,7 72
100,00
59,71
80,00 60,00
37,81
20,68
42,25
0 28,90
40,00
2010
20,00
20 005
0,00 KBI
KTI
2005
Indonesia
20 010
S Sumber: Kem mentrian PD DT (2010), diolah G Gambar 4.11. Perbandiingan Perssentase Kab bupaten Teertinggal K KBI, KTI dan d Nasionall, Tahun 20005 dan 20110 Dari datta jumlah kabupaten k teertinggal yaang dipublik kasikan oleeh Kementrian PDT, baik tahuun 2005 dan d 2010, Kawasan Timur T Indoonesia tercatat memilliki perseentase jumlah kabupatten tertinggal yang lebbih tinggi bila b dibandinngkan deng gan Kaw wasan Barat Indonesia (Gambar 4.1). Salah ssatu faktor yang menggakibatkan hal h
55 tersebut diantaranya adalah proses pembangunan Indonesia masih terpusat di Kawasan Barat Indonesia.
Selain itu, dalam berbagai aspek baik sumber daya
manusia serta infrastruktur, terlihat perbedaan yang mencolok antara wilayah KBI dan KTI.
4.1.1. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Barat Indonesia Selama kurun waktu 2005-2010, terjadi penurunan persentase kabupaten tertinggal di KBI sebanyak 8,11 persen. Provinsi Riau, Jambi, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali berhasil mengentaskan seluruh kabupaten tertinggal di wilayahnya, sehingga saat ini provinsi-provinsi tersebut tidak lagi memiliki kabupaten tertinggal (tahun 2005, hanya DKI Jakarta yang tidak memiliki daerah tertinggal). Keberhasilan provinsi-provinsi tersebut mengentaskan kabupaten tertinggal di wilayahnya diduga erat kaitannya dengan kinerja perekonomian yang berhasil dicapai. Data BPS menunjukkan bahwa kabupaten tertinggal di provinsi tersebut memiliki capaian pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 4 persen. Kondisi yang cukup mengkhawatirkan terjadi di Provinsi Bengkulu, tercatat pada tahun 2005, hampir seluruh kabupaten di provinsi ini tergolong sebagai kabupaten tertinggal (kecuali Kota Bengkulu). Pada tahun 2010, mulai terjadi perbaikan dalam upaya mengurangi jumlah kabupaten tertinggal, 3 kabupaten tertinggal berhasil terentaskan dari ketertinggalan (Bengkulu Selatan, Rejang Lebong dan Bengkulu Utara). Adanya pengentasan 3 kabupaten tertinggal tersebut, nyatanya tidak membuat Bengkulu memiliki capaian pengentasan kabupaten tertinggal yang lebih baik dibandingkan dengan provinsi KBI lainnya. Hal ini tercermin dari fakta bahwa pada tahun 2010, hanya Provinsi Bengkulu dan Nangroe Aceh Darussalam yang memiliki persentase kabupaten tertinggal lebih dari 50 persen, yang notabene persentase sebesar itu merupakan karakteristik provinsi-provinsi di KTI. Kondisi ini perlu disikapi, dengan mengkaji lebih dalam kondisi Bengkulu dan menerapkan kebijakan sesuai dengan kebijakan yang dilakukan di KTI (Gambar 4.2). Provinsi Banten tercatat mengalami stagnasi dalam upaya mengurangi jumlah kabupaten tertinggalnya. Pada tahun 2005 Provinsi Banten memiliki 2 kabupaten
56 tertinggal (Pandeglang dan Lebak), sedangkan kondisi tahun 2010 kedua kabupaten tersebut masih belum berhasil terentaskan. Diduga kondisi ini disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia Provinsi Banten. Data dari Kementrian PDT menunjukkan pada kurun waktu 2005-2010 indeks ketertinggalan sumber daya manusia Kabupaten Pandeglang dan Lebak masih di atas indeks ketertinggalan sumber daya manusia Kabupaten Garut yang pada tahun 2011 sudah tergolong sebagai kabupaten maju. Indeks ketertinggalan sumber daya manusia Kabupaten Pandeglang dan Lebak masing-masing sebesar 0,38 dan 0,41 sedangkan Kabupaten Garut tercatat sebesar 0,21. Tingginya indeks ketertinggalan dalam bidang sumber daya manusia mengindikasikan rendahnya kualitas sumber daya manusia di Provinsi Banten. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2008, IPM Provinsi Banten adalah sebesar 69,70, lebih rendah dari capaian IPM nasional yang tercatat sebesar 71,17.
100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 ‐
2005
2010
Sumber: Kementrian PDT (2010), diolah Gambar 4.2. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KBI menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010
57 Gambar 4.1 menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan mengalami peningkatan jumlah kabupaten tertinggal. Peningkatan jumlah kabupaten tertinggal di Provinsi ini disebabkan adanya pemekaran wilayah, dimana terdapat satu daerah otonomi baru yaitu Kabupaten Empat Lawang yang juga masuk kategori daerah tertinggal. 4.1.2. Keragaan Kabupaten Tertinggal Kawasan Timur Indonesia Kondisi yang berbeda tampak pada keragaan kabupaten tertinggal di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Tercatat hampir semua provinsi di KTI memiliki kenaikan persentase kabupaten tertinggal pada kurun waktu 2005-2010. Meningkatnya angka persentase kabupaten tertinggal diduga sebagai akibat pemekaran-pemekaran wilayah yang dilakukan oleh kabupaten induk seiring dengan adanya otonomi daerah.
100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 ‐
2005
2010
Sumber: Kementrian PDT (2010), diolah Gambar 4.3. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KTI menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010 Provinsi Sulawesi Selatan, dalam kurun waktu 2005-2010 tercatat mengalami pencapaian yang cukup memuaskan dalam pengentasan kabupaten tertinggal. Dalam
58 periode tersebut sebanyak 9 kabupaten berhasil lepas dari ketertinggalan, atau terjadi penurunan persentase kabupaten tertinggal dari 54,17 persen pada tahun 2005 menjadi sebesar 16,67 persen pada tahun 2010 (Lampiran 3). Provinsi Kalimantan Tengah juga mengalami kemajuan yang cukup berarti. Hal ini tercermin dari banyaknya kabupaten tertinggal yang berhasil terentaskan, yaitu sebanyak 6 kabupaten, atau mengalami penurunan persentase kabupaten tertinggal dari 50 persen pada tahun 2005, menjadi sebesar 7,14 persen pada tahun 2010. Kondisi yang cukup kontras terjadi pada Provinsi Sulawesi Barat, dimana seluruh kabupaten di Provinsi ini masuk kategori sebagai daerah tertinggal pada tahun 2005, dan tidak terjadi perubahan ke arah yang lebih baik pada tahun 2010. Selama kurun waktu tersebut, kabupaten tertinggal di Provinsi Sulawesi Barat tercatat sebanyak 5 kabupaten (100 persen dari total kabupaten).
4.2. Dinamika Kabupaten Tertinggal 4.2.1. Dinamika Pertumbuhan Program-program pengentasan kabupaten tertinggal yang dilakukan oleh Kementrian PDT selain dimaksudkan untuk mengentaskan kabupaten tertinggal juga diupayakan
dapat
mendorong
pertumbuhan
ekonomi
kabupaten
tertinggal.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting guna melakukan evaluasi dan koreksi terhadap program pembangunan ekonomi yang telah dilaksanakan pada masa atau periode yang lalu. Dalam mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi digunakan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan, karena dalam penghitungan PDRB atas dasar harga konstan tersebut, pengaruh perubahan harga telah dieliminasi. Dengan demikian pertumbuhan yang dicerminkan merupakan pertumbuhan riil barang dan jasa dalam suatu periode waktu tertentu. Capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Kawasan Barat Indonesia cukup tinggi, tercatat bahwa sebagian besar kabupaten tertinggal memiliki pertumbuhan ekonomi di atas 4 persen. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal tertinggi dicapai oleh Provinsi Riau, dengan nilai pertumbuhan
59 ekonomi periode 2006-2009 adalah sebesar 7,33 persen per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Riau lebih banyak ditopang melalui pendapatan asli daerah dari sektor migas. Sektor migas mampu memberikan
kontribusi penting
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Implikasi dari hal tersebut bahwa dengan nilai pertumbuhan yang tinggi, propinsi Riau berhasil mengentaskan 2 kabupaten tertinggalnya lepas dari ketertinggalan.
8,00
7,33 5,45
6,00
5,86
5,77 5,53 4,52 4,70
4,37 4,00
5,16 4,19
5,10 4,30
3,31
2,98 1,41
2,00 0,00 ‐2,00 ‐4,00
‐3,88
‐6,00
Sumber: BPS (2010), diolah Gambar 4.4. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009 Provinsi Bengkulu, pada periode tahun yang sama mengalami pertumbuhan di bawah 4 persen (2,98 persen). Rendahnya nilai pertumbuhan yang dicapai menggambarkan lambatnya kinerja perekonomian di provinsi Bengkulu. Rendahnya kinerja perekonomian Provinsi Bengkulu bila dibandingkan dengan provinsi lain di KBI ini diikuti dengan tingginya persentase jumlah kabupaten tertinggal (di atas 50 persen). Ini merupakan kondisi yang mengkhawatirkan sehingga perlu kiranya penanganan yang cukup serius dari institusi terkait, untuk mendorong meningkatnya
60 aktifitas ekonomi di provinsi ini yang pada gilirannya dapat membantu dalam mengentaskan kabupaten tertinggal di wilayah Bengkulu. Dari seluruh provinsi di KBI, tercatat bahwa hanya Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang memiliki pertumbuhan negatif (-3,38 persen). Pada tahun 2006 Provinsi Nangroe Aceh Darussalam tercatat memiliki rata-rata PDRB atas dasar harga konstan sebesar Rp. 1.550,31 miliar dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi sebesar Rp. 1.376,63 miliar (Lampiran 4). Pertumbuhan ekonomi yang negatif dipicu oleh besarnya penurunan nilai produksi migas sejak tahun 2004 hingga sekarang, meskipun sektor bangunan mengalami peningkatan seiring dengan adanya pembangunan infrastruktur dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana tsunami (BI, 2007). 8,00
7,19 7,18
7,00
6,63
6,53 6,03
6,00 5,05
5,81
5,51
5,36
7,03
5,00 3,88 3,72
4,00 3,00
2,85 2,86
2,72
2,75
2,00 1,00 0,00
Sumber: BPS (2010), diolah Gambar 4.5. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009 Capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal KTI, nyatanya lebih tinggi dari capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal KBI. Tidak sedikit kabupaten tertinggal yang mencatat pertumbuhan ekonomi yang tinggi
61 (di atas 5 persen) pada kurun waktu 2006-2009. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal tertinggi dicatat oleh Provinsi Gorontalo dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7,19 persen. Upaya pemerintah daerah menggalakkan produksi jagung di wilayah ini diduga menjadi stimulus positif dalam upaya menggerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah ini. Rata-rata pertumbuhan ekonomi terendah dicatat oleh kabupaten tertinggal di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan. Pada kurun waktu 2006-2009, tercatat provinsi ini mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 2,72 persen.
4.2.2. Dinamika Ketimpangan Pertumbuhan ekonomi yang dicapai kabupaten tertinggal diharapkan diikuti oleh penurunan ketimpangan pendapatan, sehingga dengan adanya penurunan ketimpangan pendapatan maka penurunan tingkat kemiskinan di kabupaten tertinggal dapat
dicapai.
Ketimpangan
pendapatan
menurut
Oshima
(1970)
dapat
dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan angka indeks gini yaitu: 1. ketidakmerataan rendah apabila angka indeks gini lebih kecil dari 0,3. 2. ketidakmerataan sedang apabila angka indeks gini terletak antara 0,3 - 0,4. 3. ketidakmerataan tinggi apabila angka indeks gini lebih besar dari 0,4. Berdasarkan kiteria tersebut, ketimpangan distribusi pendapatan kabupaten tertinggal menurut provinsi yang diukur dengan angka indeks gini masih tergolong rendah sampai sedang. Angka indeks gini juga mengalami tren peningkatan tiap tahunnya, hal ini dapat diartikan bahwa terjadi kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan pada kabupaten-kabupaten tertinggal di wilayah Indonesia.
62 0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0
Gini 2006
Gini 2009
Sumber: BPS, diolah dari data Susenas Kor 2006 dan 2009 Gambar 4.6. Perbandingan Angka Indeks gini Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009 Angka indeks gini kabupaten tertinggal KBI berada pada kisaran 0,25 hingga 0,39. Angka indeks gini tertinggi adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan angka indeks gini pada tahun 2009 sebesar 0,39 (Gambar 4.6). Angka indeks gini ini masih tergolong sebagai ketidakmerataan sedang, namun perlu diwaspadai karena nilainya hampir mendekati kategori ketidakmerataan tinggi dan terdapat kecenderungan untuk meningkat tiap tahunnya. Daerah dengan angka indeks gini terendah di KBI adalah Provinsi Bangka Belitung dengan nilai indeks gini pada tahun 2009 sebesar 0,28. Kondisi ini berarti ketimpangan distribusi pendapatan di Provinsi Bangka Belitung termasuk kategori ketimpangan rendah. Dibandingkan dengan ketimpangan distribusi pendapatan KBI, KTI memiliki ketimpangan pendapatan yang relatif lebih tinggi, hal ini tercermin dari indeks gini yang berada pada kisaran 0,30 hingga 0,40 (Gambar 4.7). Sama halnya dengan KBI, angka indeks gini ini masih tergolong sebagai ketidakmerataan sedang, namun perlu
63 diwaspadai karena nilainya hampir mendekati kategori ketidakmerataan tinggi dan terdapat kecenderungan untuk meningkat tiap tahunnya.
0,45 0,4 0,35 0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0
Gini 2006
Gini 2009
Sumber: BPS, diolah dari data Susenas Kor 2006 dan 2009
Gambar 4.7. Perbandingan Angka Indeks gini Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009 Angka indeks gini kabupaten tertinggal KTI tertinggi dicatat oleh Provinsi Papua, dengan angka indeks gini tahun 2006 sebesar 0,39 dan meningkat menjadi sebesar 0,41 pada tahun 2009. Angka indeks gini terendah di KTI dicatat oleh kabupaten tertinggal di Provinsi Kalimantan Tengah dengan angka indeks gini tahun 2006 sebesar 0,26 dan meningkat menjadi sebesar 0,29 pada tahun 2009. Fenomena yang perlu digarisbawahi mengenai kondisi ketimpangan distribusi pendapatan di kabupaten tertinggal ini adalah, adanya kecenderungan peningkatan nilai tiap tahunnya. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di sebagian besar wilayah kabupaten tertinggal tidak diikuti dengan pemerataan distribusi pendapatan masyarakatnya.
64 4.2.3. Dinamika Kemiskinan Kondisi ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal yang memiliki kecenderungan untuk meningkat tiap tahunnya kiranya perlu dicermati. Kondisi ini dapat
menyebabkan
pertumbuhan
berpotensi
untuk
meningkatkan
tingkat
kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah multi dimensi yang menarik untuk dicermati. Indikator kemiskinan yang paling sering mendapat perhatian publik adalah jumlah dan persentase penduduk miskin. Melalui kedua indikator ini, kinerja pembangunan ekonomi yang mampu menyejahterakan masyarakat dapat diukur. Data BPS menunjukkan bahwa capaian angka kemiskinan di Indonesia membaik, hal ini tercermin dari adanya kecenderungan penurunan nilai tiap tahunnya. Angka kemiskinan Indonesia tahun 2009 tercatat sebesar 14,15persen. Indikator kemiskinan ini mengalami perbaikan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 15,42persen. Hal ini berarti terjadi penurunan angka kemiskinan di Indonesia sebesar 1,27persen. Sama halnya dengan kondisi nasional, capaian indikator kemiskinan kabupaten tertinggal juga membaik. Hampir seluruh kabupaten tertinggal mengalami penurunan angka kemiskinan sejak tahun 2006 hingga 2009. Rata-rata persentase kemiskinan kabupaten tertinggal menurut provinsi juga mengalami penurunan dalam kurun waktu 2006-2009. Rata-rata penurunan persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal tertinggi adalah di Provinsi Gorontalo dengan rata-rata penurunan persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal sebesar 11,3 persen (Gambar 4.8). Persentase penurunan penduduk miskin yang cukup besar di Gorontalo ini diimbangi dengan capaian nilai pertumbuhan ekonomi yang besar (Lampiran 6). Sehingga dapat dikatakan pertumbuhan ekonomi di Gorontalo pro terhadap rakyat miskin (pro poor growth).
65 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0
11,3
11,0 9,7 7,5
8,8 7,6
5,3
5,1
6,8 5,4 3,9
7,9 7,4 6,9 6,4 6,0 5,9 5,8 4,8 4,4 3,9 3,9 3,9 3,2 3,1
7,8 4,9
5,65,9
5,6 5,6
3,3
2,0 Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
0,0
Sumber: BPS (2009b), diolah Gambar 4.8. Rata-Rata Penurunan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009 Kondisi yang sama terjadi untuk Provinsi Kepulauan Riau, dimana capaian penurunan persentase penduduk miskin yang cukup besar (11,0 persen) diikuti dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (23,63 persen). Kondisi ini mengisyaratkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kepulauan Riau telah mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan pembangunan yang juga mampu menurunkan tingkat kemiskinan. Indikator kemiskinan lainnya, yaitu rata-rata persentase penduduk miskin (Gambar 4.9), mencatat bahwa provinsi yang memiliki rata-rata persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal tertinggi tahun 2009 adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yaitu sebesar 24,55 persen pada tahun 2009 (Lampiran 6). Ironisnya, pada tahun yang sama, Daerah Istimewa Yogyakarta juga tercatat sebagai provinsi di KBI yang memiliki angka indeks gini yang tinggi (Gambar 4.6). Satu hal yang menarik untuk dicermati pada Provinsi DIY adalah fakta bahwa pada tahun 2010 Provinsi DIY mencapai prestasi yang cukup baik dalam pengentasan kabupaten tertinggal, dimana provinsi ini telah berhasil mengentaskan sebanyak 2 (dua)
66 kabupaten tertinggal di wilayahnya, sehingga pada tahun yang sama Provinsi DIY tidak lagi memiliki kabupaten tertinggal. Capaian yang cukup baik ini nyatanya tidak diikuti dengan capaian yang baik pula pada indikator kemiskinan dan ketimpangan. Hal ini menunjukkan bahwa belum adanya sinkronisasi pada kebijakan pengentasan kemiskinan di kabupaten tertinggal dengan kebijakan pengentasan kabupaten tertinggal. Faktor lain yang diduga menyebabkan terjadinya kondisi yang saling bertolak belakang ini adalah faktor tidak dimasukkannya indikator kemiskinan sebagai salah satu kriteria kabupaten tertinggal.
35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00
Po 2006
Po 2009
Sumber: BPS (2009b), diolah Gambar 4.9. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009 Indikator kemiskinan yang diwujudkan dalam rata-rata persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal di KTI memiliki karakteristik yang hampir sama dengan KBI (Gambar 4.10), dimana hampir di semua provinsi mengalami penurunan ratarata persentase penduduk miskin. Rata-rata persentase penduduk miskin tertinggi baik pada tahun 2006 maupun tahun 2009 di KTI adalah di Provinsi Papua, dengan rata-
67 rata persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal tahun 2006 sebesar 41,95 persen dan turun menjadi sebesar 36,40 persen pada tahun 2009 (Lampiran 6). Sama halnya dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua juga tercatat sebagai provinsi dengan persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal tertinggi dan diikuti dengan capaian tertinggi dalam hal ketimpangan distribusi pendapatan (Gambar 4.7).
45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00
Po 2006
Po 2009
Sumber: BPS (2009b), diolah Gambar
4.10.
Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 20062009
Analisis lebih mendalam mengenai gambaran dinamika kemiskinan kabupaten tertinggal pada tingkat kabupaten dapat dilihat dengan membandingkan kondisi pertumbuhan dan kemiskinan pada tahun 2006 dan 2009, melalui analisis kuadran. Kuadran 1 menunjukkan kondisi terbaik, yaitu apabila kabupaten tertinggal memiliki karakteristik pertumbuhan diatas rata-rata dan kemiskinan yang rendah (di bawah rata-rata). Kuadran 2 menunjukkan kondisi dimana kabupaten tertinggal memiliki karakteristik pertumbuhan ekoomi yang tinggi namun diikuti dengan
68 persentase kemiskinan yang tinggi. Kuadran 3 menunjukkan kondisi terburuk dimana kabupaten tertinggal memiliki karakteristik pertumbuhan ekonomi yang rendah (di bawah rata-rata) dengan persentase kemiskinan yang tinggi, sedangkan kuadran 4 menunjukkan
kondisi
dimana
kabupaten
tertinggal
memiliki
karakteristik
pertumbuhan ekonomi yang rendah namun dengan persentase kemiskinan yang rendah pula. Hasil analisis kuadran menunjukkan bahwa kabupaten tertinggal di KBI tersebar secara merata di setiap kuadran, sedangkan kabupaten tertinggal di KTI mengumpul di sekitar garis rata-rata dengan konsentrasi terbanyak di kuadran1 dan 4 (Lampiran 7). Kondisi kabupaten tertinggal di KBI memiliki karakteristik yang cukup baik, terlihat banyak kabupaten tertinggal yang pada tahun 2006 maupun 2009 berada pada kuadran 1 (kuadran terbaik) atau setidaknya berada pada kuadran 4 (pertumbuhan rendah, kemiskinan rendah). Beberapa kabupaten tercatat berada pada kuadran terburuk (kuadran 3) yaitu kabupaten tertinggal di provinsi NAD, yaitu; Simelue, Aceh Singkil, Aceh Barat Daya, Gayo Lues, Nagan Raya, Aceh Jaya, Bener Meriah dan kabupaten tertinggal di wilayah Bengkulu yaitu, Bengkulu Selatan, Kaur serta Seluma. Dari seluruh kabupaten yang disebutkan di atas hanya kabupaten Aceh Barat Daya yang memiliki catatan perbaikan, sedangkan yang lain tetap. Kabupaten Aceh Barat Daya tersebut posisinya berubah dari kuadran 3 ke kuadran 2, artinya mengalami perbaikan karakteristik pertumbuhan ekonomi namun tidak dalam karakteristik kemiskinan. Kabupaten tertinggal lainnya yang tercatat mengalami perbaikan kondisi antara lain adalah Kabupaten Nias, Tapanuli Tengah, Lahat, Musi Rawas dan Lampung Timur, dimana posisinya berubah dari kuadran 2 menuju kuadran 1. Kondisi ini dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hal penurunan persentase kemiskinan di kabupaten-kabupaten tersebut. Perbaikan dalam penurunan persentase kemiskinan dialami oleh Kabupaten Lingga, yang posisinya berubah dari kuadran 3 ke kuadran 4, sedangkan perbaikan kondisi yang sangat signifikan dialami oleh Kabupaten Banjarnegara yang posisinya berubah dari kuadran 4 (pertumbuhan rendah, kemiskinan rendah) ke kuadran 1 (pertumbuhan tinggi, kemiskinan rendah).
69 Kondisi yang cukup ekstrem dialami oleh kabupaten Rembang, Kulon Progo dan Gunung Kidul, yang posisinya berubah dari kuadran 4 ke kuadran 2, kondisi ini dapat diartikan bahwa terjadi perbaikan dalam capaian pertumbuhan ekonomi, namun diiringi dengan peningkatan persentase penduduk miskin di wilayah ini. Kondisi yang dicapai oleh ketiga kabupaten ini perlu dicermati, agar kedepannya pertumbuhan ekonomi yang dicapai dapat diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari adanya penurunan persentase kemiskinan. Kabupaten Bengkulu Utara merupakan satu-satunya kabupaten di KBI yang mengalami kemunduran. Hal ini tercermin dari berubahnya posisi Kabupaten Bengkulu Utara dari kuadran 1 ke kuadran 4, yang dapat diartikan bahwa terjadi penurunan dalam hal capaian pertumbuhan ekonomi di kabupaten ini. Kebijakan pemerintah yang dapat mendorong meningkatnya aktifitas ekonomi kiranya diperlukan untuk memperbaiki capaian pertumbuhan Kabupaten Bengkulu Utara di masa datang. Berbeda halnya dengan kondisi yang terjadi di wilayah KBI, analisis kuadran menunjukkan bahwa kondisi pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan kabupaten tertinggal KTI tidak lebih baik pencapaiannya. Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya kabupaten tertinggal yang berada di kuadran 3. Tercatat hanya kabupaten tertinggal di wilayah Kalimantan dan Sulawesi yang menyebar di kuadran 1 dan 4. Hasil perbandingan analisis kuadran dari kabupaten tertinggal KBI dan KTI, terlihat bahwa pola penyebaran karakteristik kabupaten tertinggal jauh berbeda. Kabupaten tertinggal di KBI cenderung menyebar merata di tiap kuadran, sedangkan di KTI kabupaten tertinggal terlihat lebih terkonsentrasi di sekitar kuadran 3 dan 4. Kabupaten tertinggal yang berpindah antar kuadran di KTI ternyata tidak sebanyak yang terjadi di KBI. Kabupaten tertinggal di KTI rata-rata memiliki karakteristik yang seragam, dimana terdapat kecenderungan untuk tetap berada pada kuadran yang sama baik di tahun 2006 maupun di tahun 2009. Tercatat hanya sekitar 14 kabupaten dari 123 kabupaten tertinggal di KTI yang mengalami perpindahan kuadran, sisanya tetap. Ke-14 kabupaten tersebut diantaranya adalah Kabupaten Lombok Tengah, Bima, Sanggau, Kolaka, Polewali Mandar dan Merauke yang
70 mengalami perbaikan karakteristik kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata, atau berpindah dari kuadran 2 ke kuadran 1. Kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Boalemo, Gorontalo, Pohuwatu, Bone Bolango dan Jayapura mengalami perpindahan dari kuadran 3 ke kuadran 4, atau mengalami perbaikan indikator kemiskinan dengan pertumbuhan di bawah rata-rata. Kabupaten Muna tercatat mengalami perbaikan yang cukup baik dalam karakteristik pertumbuhan dan kemiskinan, hal ini terbukti dengan berpindahnya kabupaten ini dari kuadran 4 di tahun 2006 menjadi kuadran 1 di tahun 2009. Kabupaten Tana Toraja mengalami kemunduran kondisi dimana perpindahan kuadran yang terjadi adalah dari kuadran 1 ke kuadran 4, yang artinya terjadi kemunduran geliat ekonomi di kabupaten ini, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi di bawah rata-rata kabupaten tertinggal. Satu hal yang cukup menarik untuk dicermati, bahwa terdapat variasi yang seragam apabila karakteristik kabupaten tertinggal ini dilihat per masing-masing pulau. Kabupaten tertinggal yang terletak di pulau Kalimantan dan Sulawesi memiliki kecenderungan untuk berada di kuadran 1 dan 4, sedangkan kabupaten tertinggal di wilayah Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki kecenderungan berada di kuadran 3.
4.3. Bantuan Stimulus Infrastruktur Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2006, menjadi dasar hukum pelaksanaan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilaksanakan oleh Kementrian PDT. Peningkatan infrastruktur ini diharapkan dapat menjadi pendorong dalam pengentasan daerah tertinggal. Selain untuk mengentaskan daerah tertinggal, program P2IPDT ini juga sebagai solusi mengatasi ketimpangan infrastruktur. Program P2IPDT ini merupakan salah satu bentuk kegiatan pokok dari pemerintah kepada daerah tertinggal di bidang pembangunan infrastruktur pedesaan dan menjadi stimulan kegiatan pendukung atau pendorong pembangunan infrastruktur daerah melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi, informasi dan telekomunikasi, sosial, ekonomi dan energi dalam bentuk bantuan sosial dengan
71 pendekatan pemberdayaan masyarakat. Bantuan stimulan bersifat komplementer dan
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 ‐200
Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
integral terhadap sektor terkait dan program daerah yang bersangkutan.
Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Gambar 4.11. Perbandingan Pertumbuhan Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT), menurut Provinsi Tahun 2006-2009 Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementrian PDT, dalam kurun waktu tahun 2006-2009, bantuan stimulus infrastruktur yang diberikan berfluktuatif. Besaran pemberian bantuan dan jenis bantuan stimulus infrastruktur ini didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah tertinggal. Dari sebanyak 199 kabupaten tertinggal, terdapat sebanyak 82 kabupaten tertinggal yang secara kontinu sejak tahun 2007 hingga 2009 mendapatkan bantuan stimulus infrastruktur tiap tahunnya. Ratarata pertumbuhan bantuan stimulus infrastruktur tertinggi selama periode waktu tersebut adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dengan capaian sebesar lebih dari 1.417,29 persen (Lampiran 8). Capaian angka pertumbuhan bantuan P2IPDT yang cukup besar di NAD disebabkan oleh fakta bahwa pada tahun 2006 pemulihan kondisi NAD pasca bencana alam tsunami, bantuan infrastruktur di provinsi ini banyak terserap dan dikoordinir oleh Badan Rekontruksi Aceh dan Nias. Kementrian
72 PDT kembali melaksanakan fungsinya dalam percepatan pembangunan infrastruktur di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sejak tahun 2009. Terdapat 5 provinsi yang tercatat mengalami penurunan rata-rata bantuan stimulus infrastruktur. Kelima provinsi tersebut antara lain; Kepulauan Riau, Bali, NTB, Papua barat dan Papua. Penurunan ini tercermin dari nilai laju pertumbuhan bantuan stimulus infrastruktur periode 2007-2009 yang bernilai negatif. Penurunan nilai bantuan infrastruktur provinsi Kepulauan Riau dan Bali ini diduga terkait dengan semakin membaiknya kinerja perekonomian daerah di dua provinsi tersebut. Data BPS menunjukkan angka pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, yaitu sebesar 4,57 persen untuk Provinsi Kepulauan Riau dan 5,94 persen untuk Provinsi Bali.
6000 5000 4000 3000 2000
2007
1000
2008
0
2009
Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Gambar 4.12. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) di KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009 Apabila dibandingkan per provinsi KBI, rata-rata bantuan stimulus infrastruktur terbesar tercatat di kabupaten tertinggal Provinsi Riau. Tercatat pada
73 tahun 2009, rata-rata bantuan stimulus infrastruktur kabupaten tertinggal adalah sebesar Rp. 5.261,66 juta (Lampiran 7). Besarnya dana bantuan stimulus infrastruktur ini ternyata memiliki arti positif dalam menggerakkan perekonomian kabupaten tertinggal. Hal ini terbukti dengan tingginya capaian pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Provinsi Kepulauan Riau, yang diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Besaran bantuan stimulus infrastruktur ini juga diduga memiliki andil dalam mengentaskan kabupaten tertinggal di Provinsi Kepulauan Riau, sehingga tercatat pada tahun 2010, Povinsi Riau tidak lagi memiliki kabupaten yang tergolong tertinggal.
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500
2007 2008 2009
0
Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah Gambar 4.13. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) di KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009 Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di kabupaten tertinggal KTI. Provinsi Sulawesi Utara tercatat sebagai Provinsi dengan rata-rata bantuan stimulus infrastruktur terbesar untuk kabupaten tertinggal, yakni sebesar Rp. 2.507,49 juta (Lampiran 7). Namun tidak seperti Kepulauan Riau, capaian indikator ekonomi dan
74 sosial kabupaten tertinggal di Provinsi ini tidak cukup memuaskan. Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi dengan rata-rata bantuan stimulus infrastruktur terendah (Rp. 973,51 juta) pada tahun 2009. Bantuan stimulus inftrastruktur yang diberikan ke daerah tertinggal dilaksanakan melalui berbagai bidang bantuan. Pada tahun 2009 program bantuan stimulus infrastruktur tersebut telah dilaksanakan pada berbagai bidang, yang antara lain: 1. P2IPDT Bidang Infrastruktur Transportasi Dalam upaya mengurangi keterisolasian bidang transportasi darat, laut maupun udara, Kementrian PDT telah mengimplementasikan instrumen P2IPDT. Bantuan untuk peningkatan infrastruktur transportasi ini diberikan pada kabupaten tertinggal berupa peningkatan jalan desa, pembangunan jalan desa dan perbaikan sarana dan prasarana jalan pedesaan kepada 101 desa, pembangunan dermaga, pengembangan dermaga dan rehabilitasi dermaga kepada 14 desa, pembelian kapal tempel dan kapal penumpang pada 8 desa. Nilai bantuan P2IPDT bidang transportasi terbesar yang diimplementasikan oleh Kementrian PDT adalah pada pembangunan jembatan di Kabupaten Kuantan Singgigi di Provinsi Riau. Pembangunan jembatan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pada periode 2008 (tahap 1) dan periode tahun 2009 (tahap 2). Total nilai pembangunan jembatan untuk kedua tahap tersebut mencapai Rp. 7,5 milyar. Bantuan P2IPDT bidang transportasi tahun 2009, selain itu diimplementasikan pada beberapa kabupaten tertinggal dengan membangun jalan desa (Kabupaten Tapanuli Tengah, Rokan Hulu, Hulu Sungai Utara, Buol serta beberapa kabupaten
tertinggal
lainnya).
Bantuan
P2IPDT
bidang
transportasi
diimplementasikan pula dengan membangun dermaga/pelabuhan rakyat pada beberapa kabupaten tertinggal (Kabupaten Kolaka dan Morowali). Pemberian bantuan melalui pengadaan sarana transportasi juga dilakukan oleh Kementrian PDT, diantaranya di Kabupaten Indragiri Hilir, Pesisir Selatan, Pangkajene Kepulauan dan beberapa kabupaten tertinggal lainnya. Nilai bantuan P2IPDT bidang transportasi untuk pengadaan jalan desa, dermaga/pelabuhan rakyat dan
75 sarana transportasi pedesaan nilainya relatif amat kecil bila dibandingkan dengan nilai bantuan P2IPDT untuk pembangunan jembatan di Kabupaten Kuantan Singgigi. Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah besarnya dana yang digulirkan untuk pembangunan jembatan di Kabupaten Kuantan Singgigi (Provinsi Riau). Dana yang terserap pada pembangunan jembatan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan dana yang terserap untuk pembangunan jalan desa, dermaga/pelabuhan rakyat dan transportasi pedesaan. Padahal data menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah Provinsi Riau sangatlah besar, yaitu mencapai Rp. 1,27 triliun atau menempati posisi kedelapan provinsi dengan PAD terbesar. Kenyataan ini sangat kontradiktif, dimana seharusnya pemberian bantuan stimulus infrastruktur diberikan pada kabupaten lain yang memiliki sumber daya yang relatif kurang. 2. P2IPDT Bidang Infrastruktur Informasi dan Telekomunikasi Sejak tahun 2007 Kementrian PDT telah memberikan bantuan infrastruktur P2IPDT berupa peralatan internet dan peralatan komputer untuk sekolah, alat komunikasi handy talky dan Warung Informasi Masyarakat (WIM) kepada 24 kabupaten tertinggal. Kementrian PDT bekerjasama dengan Kementrian Komunikasi dan Informasi, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian PDT menandatangani kesepahaman bersama 3 menteri dalam menangani ppenyediaan infrastruktur telekomunikasi “Program Desa Berdering” berupa telepon dasar minimal satu satuan sambungan telepon (SST) untuk satu desa pada tahun 2010. Bantuan P2IPDT bidang informasi dan telekomunikasi tahun 2009 (pembangunan WIM) diantaranya diimplementasikan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Dairi, Pesisir Selatan, Ogan Komering Ulu Selatan, Mamasa, Mamuju Utara, Luwu Utara, Konawe, Gorontalo dan beberapa kabupaten tertinggal lainnya. Pembangunan WIM ini lebih banyak dilakukan di kabupaten tertinggal kawasan timur Indonesia (KTI). Satu hal yang menarik untuk menjadi perhatian adalah fakta bahwa kualitas sumber daya manusia di KTI masih relatif rendah. Data Susenas BPS tahun 2009 menunjukkan bahwa hanya sebesar 31,50 persen
76 penduduk di KTI yang memiliki ijasah setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau lebih. Kondisi ini menjadi suatu indikasi bahwa WIM dapat dinikmati oleh masyarakat tertentu saja (terutama masyarakat dengan tingkat pendidikan tertentu dan yang mengikuti perkembangan teknologi informasi). 3. P2IPDT Bidang Infrastruktur Energi Pemanfaatan sumber energi terbarukan telah menjadi tujuan pengembangan energi nasional dalam rangka penyediaan listrik di pedesaan. Pemanfaatan sumber daya energi terbarukan di daerah terpencil adalah untuk menghemat cadangan sumber bahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara) dan untuk melestarikan lingkungan hidup. Sampai dengan tahun 2005 terdapat kurang lebih 19 juta KK di seluruh Indonesia yang belum berlistrik, dari jumlah tersebut yang berada di daerah tertinggal dan tidak bisa dilayani PLN dalam kurun waktu 5-10 tahun kedepan adalah sebesar 5 juta KK atau sebanyak 10 ribu desa. Jumlah KK yang sudah mendapat bantuan infrastruktur energi adalah sebanyak 58.300 KK di 1.016 desa berupa PLTS tersebar, sebanyak kurang lebih 39.970 unit. PLTS terpusat sebanyak kurang lebih 4.380 unit, PLTMH sebanyak kurang lebih 53 unit (13.200 KK). BCS sebanyak kurang lebih 3 unit (600 KK) dan bantuan jaringan listrik untuk 5 desa (750 KK). Masih terdapat sekitar 4,9 juta KK atau sekitar 9000 desa di daerah tertinggal masih belum menikmati listrik. 4. P2IPDT Bidang Infrastruktur Ekonomi Sejak tahun 2006, Kementrian PDT melalui P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi telah memberikan bantuan sebanyak 18 jenis pada kabupaten tertinggal yang tersebar di 290 desa dan 514 kabupaten. Bantuan tersebut berupa pembangunan los kios pasar, pamboat plus alat tangkap ikan, alat pengering ikan berkadar garam rendah, rehabilitasi irigasi, alat mesin pertanian (handtractor dan power thrasher), ice flake (mesin pembuat es curah), cold storage, alat mesin penyuling nilam, cold box, alat mesin perontok padi, sarana dan prasarana budidaya rumput laut serta alat mesin pengolah pakan ternak, pakan ikan.
77 Salah satu implementasi P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi tahun 2009 adalah pengadaan hand tractor di Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung. Pengadaan hand tractor
di kabupaten ini sudah cukup sesuai, mengingat
Kabupaten Way Kanan masih mengandalkan sektor pertanian terutama subsektor tanaman bahan makanan dalam perekonomiannya. Sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB kabupaten ini (BPS, 2004). Implementasi P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi tahun 2009 lainnya adalah pengadaan Cool Box, Pamboat, Ketinting 5,5 PK dan rumpon laut dalam di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Alat-alat tersebut merupakan alat penunjang subsektor perikanan di kabupaten ini. Pengadaan alat tersebut cukup sesuai dengan karakteristik Kabupaten Kepulauan Sangihe. Data BPS (2004) mencatat bahwa Kabupaten Kepulauan Sangihe masih mengandalkan sektor pertanian dalam perekonomiannya terutama pada subsektor perikanan (subsektor kedua setelah tanaman perkebunan dengan kontribusi PDRB terbesar). Implementasi P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi tahun 2009 pada beberapa kabupaten tertinggal lainnya masih dilaksanakan dengan melakukan pengadaan alat mesin pertanian. Seperti halnya pada Kabupaten Way Kanan dan Kepulauan Sangihe, beberapa kabupaten tertinggal penerima bantuan P2IPDT bidang infrastruktur ekonomi, perekonomiannya masih bertopang pada sektor pertanian (agricultural base). 5. P2IPDT Bidang Infrastruktur Sosial Kementrian PDT dalam menangani dan meningkatkan infrastruktur sosial diorientasikan pada: a. Bidang kesehatan, difokuskan pada sarana dan prasarana kesehatan yang bersifat mobile (baik darat maupun laut) agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang optimal di daerah terpencil, pesisir dan pulau-pulau kecil terutama di daerah perbatasan. Selain itu pembangunan puskesmas pembantu (Pustu) diarahkan pada daerah-daerah yang belum memiliki Pustu.
78 b. Bidang permukiman, difokuskan pada penyediaan air bersih bagi desa yang rawan air bersih khususnya di daerah rentan kekeringan, daerah pulau-pulau kecil serta daerah yang rawan bencana alam c. Bidang pendidikan, diarahkan pada rehabilitasi dan pembangunan sekolah dasar yang rusak berat di desa-desa tertinggal. Selain itu, Kementrian PDT juga memberikan bantuan sosial berupa penyediaan air bersih untuk rumahtangga. Jumlah KK yang sudah mendapat bantuan sosial air bersih dari Kementrian PDT melalui infrastruktur sosial ini sebanyak 9050 KK (2006-2009). Prioritas bantuan P2IPDT Bidang Infrastruktur Sosial tahun 2009 masih pada pengadaan sarana air bersih. Kedepannya infrastruktur pendidikan kiranya perlu menjadi prioritas mengingat berdasarkan teori pertumbuhan endogen peningkatan kualitas sumber daya manusia (knowledge) merupakan salah satu pendukung pertumbuhan ekonomi.
Tabel 4.1. Cakupan Kabupaten Penerima P2IPDT dan Proporsi Nilai Bantuan P2IPDT per Jenis Bantuan di Kabupaten Tertinggal, Tahun 20072009 Tahun Jenis Bantuan
2007 Cakupan
2008
Proporsi (%)
Cakupan
2009 Proporsi (%)
Cakupan
Proporsi (%)
Transportasi
15
5.10
27
4.23
23
6.30
Informasi dan Telekomunikasi
10
2.34
2
0.24
12
1.44
Energi
80
73.61
176
86.45
174
88.18
Ekonomi
31
12.12
14
1.98
37
3.35
Sosial
23
6.83
124
7.10
2
0.73
Total
100,00
100,00
100,00
Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah
Tabel 4.1. menyajikan data cakupan kabupaten dan proporsi nilai bantuan stimulus infrastruktur per jenis bantuan. Bantuan stimulus infrastruktur bidang energi
79 terlihat merupakan prioritas utama Kementrian PDT tiap tahunnya, terlihat dari proporsi bantuan infrastruktur energi
terhadap total yang besarannya hingga
mencapai lebih dari 70 persen tiap tahunnya dan cakupan kabupaten penerima bantuan terbanyak. Proporsi nilai bantuan infrastruktur energi pada tahun 2009 mencapai 88,18 persen dari total dana yang diberikan ke kabupaten tertinggal. Infrastruktur transportasi pada tahun 2009 tercatat merupakan infrastruktur prioritas kedua, dengan besaran proporsi nilai bantuan yang masih relatif kecil, yaitu sebesar 6,30 persen. Beberapa penelitian terdahulu diantaranya Canning dan Pedroni (1999) serta Seetanah, et al (2010) menunjukkan bahwa infrastruktur transportasi merupakan infrastruktur yang menyumbang kontribusi terbesar pada pertumbuhan, untuk itu kiranya perlu dipertimbangkan untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur transportasi sebagai infrastruktur prioritas utama pada pembangunan kabupaten tertinggal.
V. ANALISIS PENGARUH BANTUAN STIMULUS INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN, KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN TERTINGGAL
5.1. Hasil Estimasi Analisis mengenai pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT) terhadap perekonomian, ketimpangan dan kemiskinan dalam penelitian ini, dilakukan dengan menghitung pengaruh total bantuan P2IPDT maupun per jenis bantuan P2IPDT yang diterima kabupaten tertinggal. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa bantuan P2IPDT diberikan pada kabupaten tertinggal dalam bidang transporasi, energi, informasi dan telekomunikasi, sosial dan ekonomi. Tabel 5.1 dan 5.2 masing-masing menyajikan hasil estimasi pengaruh bantuan infrastruktur terhadap perekonomian (model 1) dan pengaruh aktifitas perekonomian terhadap kemiskinan (model 2) dengan menggunakan beberapa teknik ekonometrik, antara lain metode panel statis, panel dinamis dan panel instrumental variable. Penggunaan berbagai metode estimasi ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan, robustness model, serta validitas di antara berbagai metode estimasi yang digunakan. Secara khusus, hasil ini juga dapat digunakan untuk mengkomparasi hasil estimasi dari model panel statis, panel dinamis dan panel instrumental variable, mengingat masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode panel data dinamis digunakan dalam penelitian ini mengingat kelebihan metode panel data dinamis yang sanggup mengatasi endogeneity problem terkait dengan penggunaan lag variabel dependen, dimana pada metode panel data statis penggunaan lag variabel dependen menyebabkan hasil estimasi menjadi bias dan tidak konsisten. Penggunaan metode panel instrumental variable digunakan mengingat keterbatasan metode panel data statis dan dinamis jika digunakan pada lebih dari satu persamaan. Digunakannya dua persamaan dalam penelitian ini adalah untuk melihat mekanisme transmisi bantuan stimulus
infrastruktur terhadap
82 penurunan penduduk miskin (melalui jalur perekonomian) menjadi satu alasan digunakannya metode panel instrumental variable. Estimasi dari ketiga metode ekonometrik yang digunakan tersebut menunjukkan hasil yang bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing metode memiliki kelebihan dan kelemahan. Pada model panel data statis menggunakan model Random Effect (RE), hasil estimasi untuk variabel inflasi dan jumlah populasi, terbukti nyata memengaruhi perekonomian (PDRB per kapita). Hasil yang berbeda didapatkan pada estimasi pengaruh variabel indeks gini, bantuan stimulus infrastruktur (P2IPDT) dan kuadrat bantuan, dimana ketiga variabel tersebut tidak signifikan memengaruhi perekonomian, namun demikian hasil estimasi koefisien menunjukkan arah yang sama dengan hasil estimasi menggunakan metode panel dinamis.
Hasil estimasi panel data statis untuk dummy variable yang
digunakan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara petumbuhan ekonomi KBI dan KTI. Hasil estimasi yang tidak konsisten antara hasil model 1 dan model 2 didapatkan pada penggunaan metode panel data statis. Pada hasil estimasi model 1, variabel indeks gini nyata positif memengaruhi perekonomian. Kondisi ini dapat diartikan bahwa meningkatnya aktifitas perekonomian di kabupaten tertinggal diikuti pula oleh kenaikan ketimpangan ditribusi pendapatan masyarakat daerah tertinggal, sehingga seharusnya kondisi ini tidak mampu menurunkan persentase kemiskinan di kabupaten tertinggal. Kenyataan yang berkebalikan didapat pada hasil estimasi model 2, dimana dapat disimpulkan bahwa perekonomian di kabupaten tertinggal mampu menurunkan angka kemiskinan. Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi pada variabel PDRB per kapita yang nyata negatif memengaruhi persentase penduduk miskin sehingga dapat diartikan kenaikan aktifitas ekonomi diikuti oleh penurunan persentase penduduk miskin. Hasil yang tidak konsisten ini diduga merupakan akibat dari kelemahan panel data statis yang tidak mampu menangkap proses dynamic adjustment dari perekonomian karena tidak diikutsertakannya lag dependent variable (lag PDRB per kapita) dalam model.
83 Berbeda halnya dengan hasil estimasi yang didapatkan dengan menggunakan metode panel data dinamis, dimana hasil estimasi antara model 1 dan model 2 menunjukkan arah yang konsisten. Pada estimasi panel data dinamis dalam model 1 menunjukkan bahwa variabel indeks gini nyata positif memengaruhi PDRB per kapita, yang artinya efek distribusi pendapatan yang besar menyebabkan aktifitas perekonomian yang semakin tinggi tidak mampu menurunkan kemiskinan. Hasil yang sama ditunjukkan pada estimasi model 2, dimana nilai koefisien regresi variabel PDRB per kapita nyata positif memengaruhi persentase penduduk miskin, yang artinya kenaikan aktifitas perekonomian diikuti dengan kenaikan persentase penduduk miskin. Estimasi koefisien pada metode panel instrumental variable (IV) model Fixed Effect (FE) menunjukkan hasil yang tidak lebih baik (Tabel 5.2). Terlihat bahwa hanya variabel PDRB per kapita yang nyata negatif memengaruhi persentase penduduk miskin, sedangkan variabel pengeluaran pemerintah baik nominal maupun kuadrat nominalnya tidak nyata dalam menurunkan persentase penduduk miskin. Kelemahan lain pada estimasi panel instrumental variable ini adalah tidak dapat dilihatnya pengaruh bantuan terhadap perekonomian kabupaten tertinggal karena variabel tersebut telah diinstrumenkan ke dalam persamaan model 2. Melihat hasil estimasi dari ketiga metode ekonometrik yang telah diulas di atas, maka disimpulkan bahwa dalam penelitian ini metode panel data dinamis dipilih sebagai metode yang lebih tepat dalam menjelaskan model pengaruh bantuan terhadap perekonomian dan persentase kemiskinan.
5.1.1. Analisis Pengaruh Bantuan Infrastruktur terhadap Perekonomian Kabupaten Tertinggal Arah koefisien regresi yang dihasilkan dalam estimasi panel data dinamis dengan menggunakan variabel total bantuan P2IPDT sebagian besar telah sesuai dengan kajian teori ekonomi (Tabel 5.1). Variabel lag PDRB per kapita nyata positif memengaruhi PDRB per kapita tahun berjalan, dengan nilai koefisien sebesar 0,859. Angka sebesar ini dapat diartikan sebagai kenaikan sebesar Rp. 1 juta pada PDRB per
84 kapita tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB per kapita tahun berjalan sebesar Rp. 859 ribu. Hubungan yang positif ini dikarenakan adanya penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment) mengingat variabel PDRB per kapita merupakan variabel yang dinamis terutama dalam analisis jangka panjang.
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT (Total dan per Jenis Bantuan) menggunakan Panel Data Statis dan Dinamis Model 1 (Dependent Var: PDRB per kapita) Variabel
Total Bantuan RE
Per Jenis Bantuan
SysGMM
RE
SysGMM
Inflasi (t-1) (Inft_1)
1487431 (0,000)
Jumlah Penduduk (Popt)
-3,10634 (0,000)
Indeks gini (t) (Ginit)
788496,9 (0,550)
0,8594341 (0,000) -97,06834 (0,001) 0,0212297 (0,000) 194524,7 (0,013) -0,2917056 (0,176) 1634775 (0,003)
Dummy Bantuan Infrastruktur Transportasi (Dtransp)
-
-
46504,04 (0,625)
46956,63 (0,582)
Dummy Bantuan Infrastruktur Energi (Denergi)
-
-
27689,4 (0,770)
-19161,45 (0,832)
Dummy Bantuan Infrastruktur Infotel (Dinfotel)
-
-
-20150,57 (0,887)
-12409,84 (0,862)
-
-
15540,48 (0,810)
-53979,26 (0,108)
-
-
-23612,9 (0,768)
-71113,77 (0,162)
-1167833 (0,008)
497287,4 (0,037)
-1295852 (0,081)
269979,4 (0,022)
Lag PDRB per kapita (Yt-1)
-
Bantuan Infrastruktur (P2IPDT)
-113,446 (0,450)
Kuadrat Bantuan Infrastruktur (P2IPDT2)
Dummy Bantuan Infrastruktur Sosial (Dsos) Dummy Bantuan Infrastruktur Ekonomi (Dekon) Dummy Wilayah (Dwil)
0,0155132 (0,605)
-
0,9612485 (0,000)
-
-
-
-
940332,5 (0,000)
131368,6 (0,050)
-3,062739 (0,003)
-0,2925832 (0,272)
535407,9 (0,118)
693669,8 (0,028)
Cat: angka dalam kurung menunjukkan nilai probabilita
Variabel kuadrat bantuan stimulus infrastruktur (P2IPDT) nyata positif memengaruhi PDRB per kapita, dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,0212. Nilai bantuan stimulus infrastruktur dalam model panel dinamis nyata negatif
85 memengaruhi PDRB per kapita dengan nilai koefisien sebesar -97,06. Kedua nilai ini menunjukkan bahwa hubungan antara bantuan dan PDRB per kapita memiliki bentuk pola U (kuadratik), dimana pada awal bantuan diterapkan terdapat kecenderungan penurunan nilai PDRB per kapita, hingga pada suatu saat dicapainya titik balik (turning point), maka bantuan yang diberikan mampu meningkatkan perekonomian. Hasil estimasi yang negatif pada nilai bantuan dan positif pada nilai kuadrat bantuan ini juga menjelaskan bahwa dalam meningkatkan perekonomian, dampak infrastruktur berpengaruh pada jangka menengah dan jangka panjang, mengingat hal tersebut kiranya perlu dibuat peta bantuan (road map) bagaimana bantuan didistribusikan ke kabupaten tertinggal, untuk memperbesar dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat serta memudahkan dalam evaluasi bantuan. Inflasi tahun sebelumnya nyata positif memengaruhi PDRB per kapita kabupaten tertinggal dengan nilai koefisien sebesar 194.524,7. Besaran nilai koefisien regresi ini menunjukkan bahwa apabila terdapat kenaikan 1 persen pada inflasi tahun sebelumnya, maka akan terjadi kenaikan PDRB per kapita sebesar Rp. 194.524,7 juta. Hubungan yang positif ini dapat terjadi sebagai akibat adanya inflasi terutama yang berasal dari adanya dorongan permintaan (demand pull inflation), mengingat di daerah tertinggal nilai tambah daerah masih didorong oleh konsumsi masyarakat yang tinggi. Hasil estimasi panel dinamis pada variabel indeks gini yang dalam hal ini merupakan ukuran ketimpangan distribusi pendapatan, menunjukkan arah yang positif dengan nilai koefisien sebesar 1.634.775. Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan indeks gini sebesar 0,01 akan meningkatkan PDRB per kapita sebesar Rp. 16.347,75 juta. Kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan aktifitas ekonomi di kabupaten tertinggal belum mampu menurunkan angka kemiskinan, karena nyatanya ketimpangan yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan pada kinerja perekonomian. Hasil ini sejalan dengan penelitian Iradian (2005) yang menyatakan bahwa ketimpangan yang tinggi yang diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan penurunan kemiskinan akan sulit terjadi. Hubungan positif antara indeks gini dengan PDRB per kapita menunjukkan bahwa ada distribusi
86 pendapatan yang timpang di kabupaten tertinggal, dimana peningkatan aktifitas perekonomian hanya dinikmati oleh masyarakat berpendapatan tinggi. Kondisi yang sama terjadi pada level nasional, data BPS pada tahun 2009 mencatat bahwa sebanyak 44,90 persen pendapatan dinikmati hanya oleh 20% penduduk berpendapatan tinggi yang menunjukkan bahwa peningkatan output yang terjadi lebih banyak dinikmati oleh penduduk berpendapatan tinggi.
Pertumbuhan 0,25
0,2 0,15 0,1 0,05 0 1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89 93 97 Persentil Pengeluaran Growth Mean
Sumber: BPS, diolah dari Susenas Kor Tahun 2008 dan 2009 Gambar 5.1. Growth Incidence Curve Kabupaten Tertinggal di Indonesia, Tahun 2008-2009 Pola hubungan yang positif antara indeks gini dan PDRB per kapita juga dapat dijelaskan oleh pola Growth Incidence Curve (GIC). GIC kabupaten tertinggal periode 2008-2009 menunjukkan fungsi turun pada kelas 30 persen pendapatan rendah, sedangkan pada kelas 70 persen pendapatan tinggi, GIC mulai menunjukkan fungsi naik. GIC dengan pola seperti ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan ketimpangan yang menurun pada kelas 30 persen pendapatan rendah, sedangkan pada kelas 70 persen pendapatan tinggi menunjukkan kecenderungan ketimpangan yang semakin tinggi. Kesimpulan ini merujuk pada Ravallion dan Chen (2001) yang menyatakan bahwa jika GIC merupakan fungsi turun menunjukkan bahwa
87 ketimpangan akan cenderung menurun, sedangkan jika GIC merupakan fungsi naik menunjukkan bahwa ketimpangan akan meningkat. Penduduk kelas 70 persen pendapatan tinggi menguasai 84,04 persen (tahun 2009) dari total pendapatan kabupaten tertinggal yang menunjukkan besarnya kemampuan dalam memengaruhi perekonomian, sehingga penurunan ketimpangan pada kelas 30 persen pendapatan rendah tidak mampu mengimbangi peningkatan ketimpangan kelas 70 persen pendapatan tinggi. Penelitian Suparno (2010) juga mendukung hasil yang didapat pada penelitian ini, dimana dalam penelitiannya disimpulkan bahwa perekonomian ekonomi (20052008) di perdesaan belum tergolong pro poor growth, yang artinya penduduk miskin di perdesaan belum menikmati secara optimal efek perekonomian yang terjadi. Nilai PEGR di perdesaan (2,14 persen) lebih rendah dibanding perekonomian pendapatannya (3,48 persen), berbeda dengan hasil penelitian di perkotaan yang sudah tergolong pro poor growth. Hasil yang saling mendukung ini dapat disebabkan oleh kesamaan karakteristik daerah perdesaan pada penelitian tersebut dengan daerah tertinggal yang memang merupakan daerah perdesaan. Klasifikasi kota dan desa BPS mengkategorikan 183 kabupaten tertinggal sebagai daerah perdesaan. Variabel dummy wilayah yang digunakan untuk menangkap perbedaan intersep antara KBI dan KTI nyata positif memengaruhi perekonomian dengan nilai koefisien sebesar 497.287,4. Besaran nilai koefisien ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan intersep pada persamaan PDRB per kapita, yaitu sebesar Rp. 497.287,4 antara wilayah KBI dan KTI. Melihat kondisi ini, kiranya kebijakan selanjutnya dapat ditekankan di KTI mengingat marginal benefit akan lebih banyak dinikmati di kawasan timur. Model estimasi total bantuan seperti yang telah dilakukan sebelumnya telah menjelaskan bahwa bantuan infrastruktur (P2IPDT) yang distimulasi oleh Kementrian PDT ternyata mampu meningkatkan aktifitas ekonomi meskipun belum mampu menurunkan persentase kemiskinan di kabupaten tertinggal. Model estimasi total bantuan tersebut namun tidak dapat melihat jenis bantuan apa yang paling signifikan
mendorong
perekonomian
kabupaten
tertinggal,
sehingga
dapat
88 diprioritaskan dalam pembangunan infrastruktur kabupaten tertinggal. Model estimasi per jenis bantuan digunakan dalam penelitian ini untuk menjawab permasalahan tersebut. Faktor ketersediaan data menjadi salah satu hambatan dalam memodelkan bantuan infrastruktur (P2IPDT) ke dalam model persamaan ekonometrik, dimana masing-masing kabupaten tertinggal tidak secara kontinu mendapatkan satu jenis bantuan yang sama tiap tahunnya. Model persamaan dengan dummy variable jenis bantuan kemudian digunakan dalam penelitian ini untuk mengatasi hambatan ketersediaan data. Hasil estimasi dengan menggunakan metode panel data dinamis per jenis bantuan infrastruktur didapatkan nilai koefisien regresi yang nyata positf pada variabel lag variabel dependen, yaitu sebesar 0,961. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment) pada model pengaruh bantuan infrastruktur (per jenis bantuan) mengingat variabel PDRB per kapita merupakan variabel yang dinamis terutama dalam analisis jangka panjang. Angka koefisien regresi sebesar 0,961 memiliki arti bahwa kenaikan sebesar Rp. 1 juta pada PDRB per kapita tahun sebelumnya akan meningkatkan PDRB per kapita tahun berjalan sebesar Rp. 961 ribu. Nilai koefisien dari dummy variable jenis bantuan kiranya menarik untuk dicermati, dimana tidak ada satupun dari dummy variable jenis bantuan yang nyata secara statistik. Kondisi ini mungkin saja terjadi akibat beberapa faktor diantaranya, bantuan yang diberikan kurang
sesuai dengan kebutuhan daerah, bantuan yang
diberikan bersifat ad hoc (tidak kontinu) sehingga bantuan tersebut berhenti sebelum dampaknya dirasakan masyarakat. Dari segi permodelan, dummy variable yang digunakan untuk menangkap pengaruh jenis bantuan kiranya belum robust dalam menjelaskan fenomena jenis bantuan secara ekonometrik. Sejalan dengan hasil yang didapatkan pada estimasi pengaruh bantuan P2IPDT total dalam analisis pengaruh per jenis bantuan ini, inflasi tahun sebelumnya nyata positif memengaruhi PDRB per kapita kabupaten tertinggal dengan nilai koefisien sebesar 131.368,6. Besaran nilai koefisien regresi ini menunjukkan bahwa apabila terdapat kenaikan 1 persen pada inflasi tahun sebelumnya, maka akan terjadi
89 kenaikan PDRB per kapita sebesar Rp. 131.368,6 juta. Hubungan yang positif ini dapat terjadi sebagai akibat adanya inflasi yang timbul dari dorongan permintaan (demand pull inflation), mengingat di daerah tertinggal nilai tambah daerah masih didorong dari konsumsi masyarakat yang tinggi. Variabel indeks gini yang merupakan ukuran ketimpangan distribusi pendapatan, menunjukkan arah yang positif dengan nilai koefisien sebesar 693.669,8. Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan indeks gini sebesar 0,01 akan meningkatkan PDRB per kapita sebesar Rp. 6.936,7 juta. Kondisi ini sejalan dengan estimasi yang dihasilkan dengan menggunakan nominal bantuan P2IPDT total yang juga sejalan dengan yang ditunjukkan oleh penelitian Suparno (2010). Berdasarkan hasil estimasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa peningkatan perekonomian kabupaten tertinggal diikuti dengan kenaikan ketimpangan pendapatan. Melihat fenomena ini, kiranya perlu memfokuskan pembangunan di daerah perdesaan khususnya daerah tertinggal, terutama pada pemberdayaan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, untuk turut serta berperan aktif dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Perbedaan variasi dalam perekonomian ekonomi antara KBI dan KTI ternyata signifikan secara statistik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi yang bernilai positif pada variabel dummy wilayah yang digunakan. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan variasi PDRB per kapita sebesar Rp. 456.430,7 antara wilayah KBI dan KTI. Hal ini dapat diartikan pula bahwa terdapat ketimpangan pembangunan antara wilayah KBI dan KTI, bahkan pada kasus kabupaten tertinggal.
5.1.2. Analisis Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Tertinggal Analisis pengaruh perekonomian terhadap persentase penduduk miskin dijelaskan dalam model ke-2 (Tabel 5.2). Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel PDRB per kapita (sebagai proxy aktifitas perekonomian) nyata positif memengaruhi penduduk miskin dengan
nilai koefisien regresi sebesar 1,36e-06. Besaran ini
mengindikasikan bahwa kenaikan PDRB per kapita sebesar Rp. 1 triliun dapat
90 meningkatkan persentase penduduk miskin sebesar 1,36 %. Kondisi ini mendukung hasil estimasi model 1, yang menyimpulkan bahwa aktifitas ekonomi di kabupaten tertinggal belum mampu menurunkan angka kemiskinan karena diikuti oleh kenaikan ketimpangan pendapatan. Kondisi ini terjadi mengingat proses pembangunan lebih dititikberatkan pada daerah maju (perkotaan) dibandingkan dengan daerah tertinggal (perdesaan).
Hal
ini
sejalan
dengan
penelitian
Daryanto
(2003)
yang
mengungkapkan bahwa proses pembangunan lebih mengedepankan pembangunan perkotaan, sedangkan pembangunan perdesaan selalu diletakkan paling belakang Perdesaan masih dianggap sebagai sumber produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan perkotaan, sumber potensi konsumsi dalam penyerapan yang dihasilkan produk industri dan jasa di perkotaan, serta sumber kelimpahan tenaga kerja bagi perkotaan. Hal ini mengakibatkan semakin lebarnya kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan (Daryanto, 2003).
Tabel 5.2. Hasil Estimasi Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Panel Statis, Panel Dinamis dan Panel Instrumental Variable
Variabel
Model 2 (Dependent Var: Persentase Pddk Miskin) RE
Panel IV FE
SysGMM -
1,056407 (0,000)
-
Indeks gini (t) (Ginit)
-16,10561 (0,005)
-
-6,19999 (0,326)
Pengeluaran Pemerintah (Expjuta)
-8,25e-07 (0,098)
-0,0000328 (0,085)
5,16e-6 (0,424)
3,20e-12 (0,193)
2,68e-11 (0,029)
1,41e-12 (0,603)
-6,71e-07 (0,021)
1,36e-06 (0,019)
-0,000012 (0,000)
Lag Persentase Pddk Miskin (Pot-1)
Kuadrat Pengeluaran Pemerintah (Expjuta2) PDRB per kapita (Yt)
Cat: angka dalam kurung menunjukkan nilai probabilita
Variabel pengeluaran pemerintah signifikan dalam menurunkan persentase penduduk miskin, hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien yang negatif, yaitu sebesar
91 -0,0000328. Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah sebesar Rp. 1 miliar dapat menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 0,328 %. Hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dengan persentase penduduk miskin ini dapat terjadi sebagai refleksi implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang pro poor growth. dalam mengalokasikan dan mengelola keuangan daerah, sehingga dampaknya dapat dirasakan oleh masyarakat miskin. Hal yang cukup menarik untuk dicermati adalah pada variabel kuadrat pengeluaran pemerintah yang nilai koefisiennya bernilai positif. Nilai koefisien yang positif dapat diartikan bahwa dalam jangka panjang, kenaikan pengeluaran pemerintah dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi dan berpotensi meningkatkan kemiskinan. Kondisi ini dapat terjadi mengingat Anggaran pendapatan dan belanja baik pusat maupun daerah masih didominasi oleh anggaran untuk belanja rutin (belanja pegawai) yang nilainya lebih tinggi dari belanja modal untuk pembangunan, sehingga peningkatan nilai tambah/output yang terjadi disebabkan oleh peningkatan konsumsi bukan dari investasi. Data Kementrian Keuangan (2009) menunjukkan bahwa belanja modal untuk pembangunan hanya sebesar 26,33 persen dari total belanja nasional.
5.2. Uji Spesifikasi Model Panel Data Dinamis Pengujian spesifikasi model panel data dinamis dalam penelitian ini menggunakan uji Sargan atau yang lebih dikenal dengan Sargan Test of Overidentifying Restriction. Uji Sargan ini digunakan untuk melihat validitas instrumen yang digunakan di dalam model. Hasil uji Sargan terhadap ketiga model persamaan panel data dinamis dapat disimpulkan bahwa instrumen/model yang digunakan adalah valid pada tingkat kepercayaan 1%. Kesimpulan tersebut didasarkan pada nilai p-value pada ketiga model persamaan yang digunakan. Nilai p-value pada model pengaruh total bantuan P2IPDT terhadap perekonomian ekonomi adalah sebesar 0,0317 sedangkan nilai pvalue untuk model pengaruh bantuan P2IPDT per jenis bantuan adalah sebesar 0,0197. Nilai p-value untuk model pengaruh perekonomian ekonomi terhadap persentase kemiskinan adalah sebesar 0,2459. Ketiga hasil tersebut merujuk pada
92 kesimpulan bahwa tidak cukup bukti secara statistik untuk menolak Ho, sehingga disimpulkan bahwa instrumen/model valid secara statistik.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan Penelitian ini mengkaji pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT) yang diberikan oleh Kementrian PDT pada daerah tertinggal. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dampak bantuan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi dan penurunan penduduk miskin. Penelitian dilakukan pada 82 (delapan puluh dua) kabupaten tertinggal yang selama periode 2007-2009 mendapatkan bantuan infrastruktur secara kontinu. Berdasarkan pembahasan yang dipaparkan sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada kurun waktu 2006-2009 hampir seluruh kabupaten baik KBI maupun KTI menunjukkan dinamika pertumbuhan yang cukup pesat, kecuali tercatat pada Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang pertumbuhannya negatif. 2. Distribusi pendapatan di kabupaten tertinggal baik KBI maupun KTI tergolong dalam kategori ketidakmerataan sedang, yakni pada kisaran 0,26-0,41. Dinamika ketimpangan kabupaten tertinggal selama kurun waktu 2006-2009 menunjukkan tren kenaikan tiap tahunnya. 3. Pada periode 2006-2009, rata-rata persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal per provinsi baik KBI maupun KTI mengalami kecenderungan menurun. Dibandingkan kondisi kemiskinan pada tahun 2006, kondisi kemiskinan kabupaten tertinggal d tahun 2009 membaik. 4. Pembangunan infrastruktur diterapkan Kementrian PDT pada kabupaten tertinggal dalam berbagai bidang bantuan seperti pembangunan jalan pedesaan, pembangunan dermaga, pembangunan Warung Informasi Masyarakat (WIM), pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), pembangunan los kios pasar, penyediaan air bersih, rehabilitasi dan pembangunan sekolah dasar serta bantuan infrastruktur lainnya. Infrastruktur transportasi dan energi merupakan infrastruktur yang diprioritaskan oleh Kementrian PDT.
94 5. Hasil estimasi pengaruh bantuan infrastruktur (P2IPDT) terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal menunjukkan bahwa dampak bantuan tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam jangka menengah dan panjang. Hal yang menarik didapatkan pada estimasi pengaruh bantuan infrastruktur yang dipecah berdasarkan jenis bantuan (transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi, sosial dan ekonomi). Hasil estimasi menunjukkan tidak ada satupun variabel jenis bantuan yang nyata secara statistik. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena ini adalah bantuan yang diberikan tidak dilakukan secara berkesinambungan tiap tahunnya. Variabel gini rasio dan inflasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan di kabupaten tertinggal selain bantuan stimulus infrastruktur. 6. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di kabupaten tertinggal diikuti oleh kenaikan ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tersebut tidak mampu menurunkan persentase penduduk miskin kabupaten tertinggal. Kondisi ini berati bahwa efek distribusi pendapatan masih melebihi efek pertumbuhan, dikarenakan pertumbuhan di kabupaten tertinggal masih dinikmati oleh penduduk yang berpendapatan tinggi.
6.2. Implikasi Kebijakan 1. Kontinuitas program bantuan pada satu daerah kiranya diperlukan mengingat tidak adanya variabel yang signifikan pada analisis pengaruh bantuan yang dipilah per jenis bantuan (transportasi, energi, infotel, sosial dan ekonomi) kiranya dapat menjadi titik awal evaluasi bantuan infrastruktur kabupaten tertinggal. Kontinuitas program bantuan di satu jenis bantuan pada satu kabupaten dapat direalisasikan dengan misalnya membangun sarana transportasi pada tingkat kecamatan secara bergilir tiap tahunnya. Metode ini diharapkan dapat menjalin sinergitas antar kecamatan sehingga terjadi koneksi antar kecamatan yang tentunya diharapkan dapat meningkatkan produktifitas masyarakat. 2. Kondisi yang terjadi di DIY dimana pada tahun 2010 provinsi ini sudah berhasil mengentaskan 2 kabupaten tertinggal di wilayahnya namun capaian tingkat
95 kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan masih cukup tinggi menunjukkan bahwa belum ada keselarasan antara kebijakan pengentasan kabupaten tertinggal dengan pengentasan kemiskinan, sehingga kedepannya perlu menambahkan indikator kemiskinan dalam penentuan kiteria kabupaten tertinggal. 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa peningkatan kinerja perekonomian yang dicapai oleh kabupaten tertinggal periode 2006-2009 ternyata belum mampu menurunkan angka kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh kondisi dimana pertumbuhan ekonomi yang dicapai diikuti oleh kenaikan ketimpangan pendapatan masyarakat. Fenomena ini cukup menarik untuk dicermati mengingat kebijakan pengentasan kemiskinan telah banyak diterapkan, namun ternyata belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin. Koordinasi kebijakan pengentasan kemiskinan antara pusat dan daerah, antar sektor dan kementrian kiranya perlu ditingkatkan kembali, agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan. Koordinasi juga diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang diikuti dengan pemerataan distribusi pendapatan dan menurunkan kemiskinan. 4. Pertumbuhan yang tidak pro terhadap rakyat miskin, yang notabene merupakan akibat dari distribusi pendapatan yang timpang di kabupaten tertinggal kiranya perlu dicermati. Kedepannya perlu kebijakan-kebijakan yang kiranya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan pemerataan distribusi pendapatan. Salah satunya adalah melalui prioritas kebijakan pada sektor yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat menengah ke bawah untuk berpartisipasi aktif dalam roda perekonomian. 5. Arah kebijakan pemerintah pada daerah tertinggal kiranya dapat lebih dititikberatkan pada kawasan timur, mengingat sebagian besar kabupaten tertinggal berada di KTI dan marginal benefit akan lebih banyak dirasakan di kawasan timur.
96 6.3. Saran Model dan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini masih dapat terus dikembangkan lebih lanjut. Variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model terbatas hanya pada variabel-variabel inti yang besar pengaruhnya terhadap variabel dependen. Perbaikan untuk penyempurnaan model kiranya dapat dilakukan dengan menambah variabel-variabel lain dalam memodelkan persamaan pertmbuhan ekonomi seperti, besaran kontribusi PDRB sektor pertanian, kontribusi PDRB sektor industri, tingkat pendidikan dan indeks persepsi korupsi (corruption perception index). Metode analisis yang digunakan kiranya perlu dikembangkan dengan memanfaatkan metode yang lebih tepat dan robust
yang dapat menjawab
permasalahan penelitian dengan lebih gamblang. Penggunaan metode analisis panel dinamis simultan (simultaneous dynamic panel) kiranya perlu dimanfaatkan dalam memodelkan pengaruh bantuan infrastruktur terhadap persentase penduduk miskin. Penggunaan metode analisis panel dinamis simultan diharapkan dapat menjawab permasalahan endogeneity yang timbul akibat penggunaan lag variable dependen sekaligus mampu memodelkan hubungan ketimpangan, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi secara simultan, sehingga diharapkan hasil analisis yang didapat lebih robust. Penambahan rentang data waktu penelitian yang juga menyesuaikan masalah ketersediaan
data,
kiranya
perlu
dilakukan
mengingat
perilaku
hubungan
ketimpangan, kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi merupakan hubungan jangka panjang yang melibatkan beberapa fase pembangunan. Penyempurnaan terhadap penelitian ini juga dapat dilakukan dengan melakukan komparasi (double difference analysis) antara kabupaten tertinggal yang secara kontinu mendapat bantuan dan yang tidak Komparasi juga dapat dilakukani antara kabupaten tertinggal yang mendapat bantuan dan kabupaten bukan tertinggal yang tidak mendapat bantuan dengan syarat kabupaten tidak tertinggal yang dipilih memiliki kesamaan karakteristik dengan kabupaten tertinggal sebagai kelompok kendali (control group).
DAFTAR PUSTAKA Ahluwalia IJ. 1985. Industrial Growth in India: Stagnation since the mid-sixties. New Delhi: Oxford University Press. Aromdee V et al. 2005. Building Mega Projects: How to Maintain Economic Stability. Bangkok: Bank of Thailand. Aschauer DA. 1989. Is Public Expenditure Productive. Journal of Monetary Economics 23. Aziz IJ. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. Third Edition. New Jersey: John Wiley and Sons Inc. [BI] Bank Indonesia. 2007. Perkembangan Perekonomian Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Triwulan I-2007. Banda Aceh: Kantor Bank Indonesia Banda Aceh. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Tahun 2010-2014. Jakarta: Bappenas. Baum CF. 2009, Instrumental Variables and Panel Data Methods in Economics and Finance. Berlin: Boston College and DIW. Bellinger WK. 2007. The Economics Analysis of Public Policy. Oxon: Routledge. Bolnick BR. 2000. Economic Growth as an Instrument for Poverty Reduction in Mozambique: Framework for a Growth Strategy. Gabinete de Estudos Discussion Paper 12a. Bourguignon F. 2004. The Poverty-Growth-Inequality Triangle. Washington: World Bank. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota menurut Subsektor Tahun 2000-2004. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Penghitungan Produk Domestik Regional Bruto. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009a. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2009. Jakarta: BPS.
98 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009b. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/Kota, Tahun 2005-2009. Jakarta: BPS. Calderon C dan Serven L. 2008. The Effect of Infrastructure Development on Growth an Income Distribution. Ideas-Repec. http://ideas.repec.org/ p/cht/bcchwp/270.html [5 Nov 2010] Canning D dan Pedroni P. 1999. Infrastructure and Long Run Economic Growth. World Bank and USAID CAER II Working Paper. Capello R. 2009. Regional Economics. New York: Routledge. Chen, Shaohua dan Ravallion M. 2008. The Developing World is Poorer than We Thought, But No Less Successful in the Fight Against Poverty. Policy Research Working Paper, The World Bank Development Research Group 4703. Daryanto A. 2003. Disparitas Pembangunan Perkotaan-Perdesaan di Indonesia. Agromedia 8(2). Economic Planning Advisory Commission. 1995, Investment and economic growth. Australian Government Publishing Service Commission Paper 9. Fan S, Zhang L dan Zhang X. 2002. Growth, Inequality, and Poverty in Rural China, The Role of Public Investment. International Food Policy Research Institute. Washington DC. Gelaw F. 2010. The dynamic relationship among poverty, inequality,and growth in rural Ethiopia: A micro evidence. Journal of Development and Agricultural Economics 2(5):197-208 Glaeser EL. 2006. Inequality. Di dalam Barry R Weingast BR, Wittman DA, editor. The Oxford Handbook of Political Economy. New York: Oxford University Press Inc. Grigg NS. 1988. Infrastructure Engineering and Management. New York: John Wiley and Sons. Hajiji A. 2009. Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan dan Penurunan Kemiskinan di Provinsi Riau, 2002-2008 [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,. Hall P. 1983. The Economics Of Growth And Development. New York: St. Martin's Press.
99
Haris A. 2009. Pengaruh Penatagunaan Tanah Terhadap Keberhasilan Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi. Jurnal Ekonomi Pembangunan. http://www.bappenas.go.id/ node/71/1195. Heshmati A. 2004. Growth, Inequality and Poverty Relationships. MTT Economic Research and IZA Discussion Paper 1338. Hudson RW, Haas R, Uddin W. 1997. Infrastructure Management. New York: McGraw-Hill. Iradian G. 2004. Poverty, Inequality, and Growth in Armenia Cross-Country Evidence. IMF Working Paper;04/05. Middle East and Central Asia Department, International Monetary Fund. Iradian G. 2005. Inequality, Poverty, and Growth: Cross-Country Evidence. IMF Working Paper;WP/05/28. Middle East and Central Asia Department, International Monetary Fund. Indra. 2008. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Indonesia. Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Artikel tidak dipublikasikan. Jalan J dan Ravallion M. 1998. Determinants of Transient and Chronic Poverty: Evidence from Rural China. Development Research Group, World Bank. Washington DC. Kementrian Keuangan. 2011. Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2011. Jakarta: Kementrian Keuangan. Kementrian Keuangan. 2009. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2009. Jakarta: Kementrian Keuangan. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2005. Keputusan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 001, Tahun 2005. Jakarta: Kementrian PDT. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2008. Arah Kebijakan, Program dan Kegiatan Bidang Peningkatan Infrastruktur di Daerah Tertinggal. Workshop Peran PV Dalam Penyediaan Energi Listrik Di Indonesia. Jakarta: Kementrian PDT. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2009. Bantuan Sosial/Stimulan Kabupaten Tertinggal Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur, Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta: Kementrian PDT. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). 2010. Booklet Karya Tulis Pembangunan Daerah Tertinggal 2010. Jakarta: Kementrian PDT.
100 Klasen S dan Lawson D. 2007. The Impact of Population Growth on Economic Growth and Poverty Reduction in Uganda. Göttingen: George August University. Kodoatie RJ. 2003. Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Laabas dan Limam. 2004. Impact of Public Policies on Poverty, Income Distribution and Growth. IFPRI/API Colaborative Research Project: Public Policy and Poverty Reduction in the Arab Region. Li H dan Zou H. 2002. Inflation, Growth, and Income Distribution: A CrossCountry Study. Annals Of Economics And Finance 3:85–101. Lopez H. 2003. Macroeconomics And Inequality. Research Workshop. New York: The World Bank. Oshima HT. 1970. Income Inequality and Economic Growth: The Postwar Experiences of Asian Countries. Malayan Economic Review 15(2): 13. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Edisi keenam. Jakarta: Erlangga. Mallik G dan Chowdurry A. 2001. Inflation And Economic Growth: Evidence From Four South Asian Countries. Asia-Pacific Development Journal 8(1) Manitoba Bureau of Statistics. 2008. Population Increase And Economic Growth What Are The Impacts?. Manitoba. Motley B. 1993. Inflation and Growth. FRBSF Weekly Letter 31 Desember 1993 :93-44. Federal Reserve Bank of San Fransisco, San Fransisco. Munnell AH. 1992. Policy Watch: Infrastructure Investment and Economic Growth. The Journal of Economic Perspectives 6(4): 189-198. Nalarsih RT. 2007. Analisis Ketersediaan Dan Kapasitas Pemenuhan Infrastruktur Di Kawasan Bisnis Beteng Surakarta. [tesis] Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Dipenogoro. Ogawa N dan Suits DB. 1981. Lessons on Population and Economic Change, From the Japanesse Meiji Experience. NUPRI Research Paper Series 2. Tokyo. Perkins P et al. 2005. An Analysis Of Economic Infrastructure Investment In South Africa. South African Journal of Economics;73:2. Prasetyo RB. 2010. Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia. [tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
101
Ravallion M dan Chen S. 2001. Measuring Pro Poor Growth. Policy Research Working Paper : 2666. World Bank. Reungsri T. 2010. The Impact Of Public Infrastructure Investment On Economic Growth In Thailand. [disertasi] Victoria: School of Economics and Finance Faculty of Business and Law, Victoria University. Romer P. 1986, Increasing Returns and Long-Run Growth. Journal of Political Economy 94(5): 1002-1037. Riadi M. 2010. Dampak Kebijakan Stimulus Fiskal Bidang Infrastruktur Padat Karya terhadap Kinerja Ekonomi dan Ekonomi Sektoral di Indonesia. [tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sari P. 2009. Pengaruh Pembangunan Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi 25 Kawasan Timur Indonesia. [skripsi] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Schiller B. 2004. The Economics of Poverty and Discrimination, Ninth Edition. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Seers D. 1969. The Meaning of Development. International Development Review; 11(4):2-6. Seetanah B et al. 2009. Does Infrastructure Alleviates Poverty In Developing Countries? International Journal of Applied Econometrics and Quantitative Study. [Setneg RI] Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 9, Tahun 2005. Jakarta: Sekretariat Negara RI [Setneg RI] Sekretariat Negara Republik Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 90, Tahun 2006. Jakarta: Sekretariat Negara RI Suparno. 2010. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan: Studi Pro Poor Growth di Indonesia. [tesis] Bogor: Institut Pertanian Bogor. Supranto J. 2000, Statistik Teori dan Aplikasi. Edisi Keenam. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Stern N. 1991, The Determinants of Growth. The Economic Journal; 101(404):122-133. Todaro MP dan Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jakarta: Erlangga.
102 Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. Chisester: John Wiley & Son. Verbeek, M. 2008. A Guide to Modern Econometrics. Edisi Ketiga. Rotterdam: RSM Erasmus University. World Bank. 1990. World Development Report: Poverty, New York: Oxford University Press. World Bank. 1994. World Development Reports: Infrastructure for Development. New York: Oxford University Press.
LAMPIRAN
104 Lampiran
1.
No
Perkembangan Rata-Rata Garis Kemiskinan Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi Tahun 2006-2009 (Rp/kapita/bln)
Provinsi
1
Nangroe Aceh Darussalam
2
Jumlah Kabupaten Tertinggal 2005
Rata-Rata Garis Kemiskinan 2007
2008
2009
16
226.241,27
250.787,34
251.492,63
Sumatera Utara
6
151.995,88
175.038,14
175.268,00
3
Sumatera Barat
9
162.379,34
191.531,68
192.261,67
4
Riau
2
236.517,46
265.007,23
265.708,00
5
Jambi
2
189.878,17
219.165,06
222.727,50
6
Sumatera Selatan
6
178.503,07
195.884,46
197.077,67
7
Bengkulu
8
165.301,48
185.202,73
174.567,50
8
Lampung
5
160.063,90
182.108,86
183.151,00
9
Bangka Belitung
3
243.122,49
182.108,86
265.449,00
10
Kepulauan Riau
1
182.640,04
264.637,85
172.104,00
11
Jawa Barat
2
139.882,29
159.420,90
156.024,50
12
Jawa Tengah
3
151.374,40
170.816,70
161.904,00
13
D,I. Yogyakarta
2
165.944,94
191.494,88
177.289,00
14
Jawa Timur
8
149.349,07
166.845,63
159.838,63
15
Banten
2
140.836,95
161.352,63
161.547,50
16
Bali
1
131.744,96
157.619,26
157.223,00
17
Nusa Tenggara Barat
7
163.770,83
179.432,56
180.081,43
18
Nusa Tenggara Timur
15
123.202,82
153.426,11
153.173,60
19
Kalimantan Barat
9
147.719,42
164.432,21
164.689,89
20
Kalimantan Tengah
7
175.236,30
203.942,73
203.669,14
21
Kalimantan Selatan
2
145.432,35
171.110,16
171.470,50
22
Kalimantan Timur
3
221.035,62
238.984,28
241.065,67
23
Sulawesi Utara
2
147.792,01
163.275,22
163.328,00
24
Sulawesi Tengah
9
157.162,71
177.807,45
177.917,33
25
Sulawesi Selatan
13
133.869,93
151.740,79
150.867,46
26
Sulawesi Tenggara
8
151.171,96
167.307,88
144.006,13
27
Gorontalo
4
143.593,61
158.134,98
157.381,25
28
Sulawesi Barat
5
136.415,14
159.564,14
158.928,40
29
Maluku
7
165.702,48
190.922,16
192.444,43
30
Maluku Utara
6
150.975,46
190.496,29
191.709,00
31
Papua Barat
7
208.472,60
231.922,46
228.785,17
32
Papua
19
215.441,84
226.594,26
226.489,79
105 Lampiran 2. Daftar 183 Kabupaten Tertinggal di Indonesia Kawasan
Propinsi
NAD
Sumatera Utara KBI
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
No.
Kabupaten
Status
1
Simelue
Agak Tertinggal
2
Aceh Singkil
Agak Tertinggal
3
Aceh Selatan
Agak Tertinggal
4
Aceh Timur
Agak Tertinggal
5
Aceh Barat
Agak Tertinggal
6
Aceh Besar
Maju
7
Aceh Barat Daya
Agak Tertinggal
8
Gayo Lues
Agak Tertinggal
9
Nagan Raya
Agak Tertinggal
10
Aceh Jaya
Agak Tertinggal
11
Bener Meriah
Agak Tertinggal
12
Pidie Jaya
Maju
13
Nias
Agak Tertinggal
14
Tapanuli Tengah
Agak Tertinggal
15
Nias Selatan
Agak Tertinggal
16
Pakpak Barat
Agak Tertinggal
17
Nias Barat
Agak Tertinggal
18
Nias Utara
Agak Tertinggal
19
Kepulauan Mentawai
Tertinggal
20
Pesisir Selatan
Agak Tertinggal
21
Solok
Agak Tertinggal
22
Sawah Lunto/Sijunjung
Agak Tertinggal
23
Padang Pariaman
Maju
24
Solok Selatan
Agak Tertinggal
25
Dharmas Raya
Agak Tertinggal
26
Pasaman Barat
Agak Tertinggal
27
Ogan Komering Ilir
Agak Tertinggal
28
Agak Tertinggal
29
Lahat Musi Rawas
Tertinggal
30
Banyu Asin
Agak Tertinggal
31
Ogan Komering Ulu Selatan
Agak Tertinggal
32
Ogan Ilir
Agak Tertinggal
106 Kawasan
Propinsi Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
KBI
Bangka Belitung Kepulauan Riau
Jawa Barat
Jawa Timur
Banten
NTB
KTI
NTT
No.
Kabupaten
Status
33
Empat Lawang
Agak Tertinggal
34
Kaur
Agak Tertinggal
35
Seluma
Tertinggal
36
Muko-muko
Agak Tertinggal
37
Lebong
Agak Tertinggal
38
Kepahiang
Agak Tertinggal
39
Bengkulu Tengah
Agak Tertinggal
40
Lampung Barat
Agak Tertinggal
41
Lampung Utara
Agak Tertinggal
42
Way Kanan
Agak Tertinggal
43
Pesawaran
DOB
44
Bangka Selatan
Agak Tertinggal
45
Natuna
Agak Tertinggal
46
Kepulauan Anambas
DOB
47
Sukabumi
Agak Tertinggal
48
Garut
Maju
49
Bondowoso
Tertinggal
50
Situbondo
Tertinggal
51
Bangkalan
Tertinggal
52
Sampang
Tertinggal
53
Tertinggal
54
Pamekasan Pandeglang
Agak Tertinggal
55
Lebak
Agak Tertinggal
56
Lombok Barat
Tertinggal
57
Lombok Tengah
Tertinggal
58
Lombok Timur
Tertinggal
59
Sumbawa
Tertinggal
60
Dompu
Tertinggal
61
Bima
Tertinggal
62
Sumbawa Barat
Tertinggal
63
Lombok Utara
DOB
64
Sumba Barat
Tertinggal
65
Sumba Timur
Sangat Tertinggal
66
Kupang
Tertinggal
107 Kawasan KTI
Propinsi NTT
No.
Kabupaten
Status
67
Timor Tengah Selatan
Tertinggal
68
Timor Tengah Utara
Tertinggal
69
Belu
Tertinggal
70
Alor
Tertinggal
71
Lembata
Tertinggal
72
Flores Timur
Agak Tertinggal
73
Sikka
Agak Tertinggal
74
Ende
Tertinggal
75
Ngada
Agak Tertinggal
76
Manggarai
Tertinggal
77
Rote Ndao
Tertinggal
78
Manggarai Barat
Tertinggal
79
Manggarai Timur
DOB
80
Nagekeo
DOB
81
Sabu Raijua
DOB
82
Sumba Barat Daya
DOB
83
Sumba Tengah
DOB
84
Sambas
Tertinggal
85
Bengkayang
Agak Tertinggal
86
Landak
Tertinggal
87
Sanggau
Agak Tertinggal
88
Ketapang
Tertinggal
89
Sintang
Agak Tertinggal
90
Kapuas Hulu
Agak Tertinggal
91
Sekadau
Agak Tertinggal
92
Melawi
Agak Tertinggal
93
Kayong Utara
DOB
Kalimantan Tengah
94
Seruyan
Agak Tertinggal
Kalimantan Selatan
95
Barito Kuala
Agak Tertinggal
96
Hulu Sungai Utara
Agak Tertinggal
97
Kutai Barat
Maju
98
Malinau
Maju
99
Nunukan
Maju
100
Kepulauan Sangihe
Maju
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
108 Kawasan KTI
Propinsi
No.
Sulawesi Utara
101
Kepulauan Talaud
Maju
102
Kepulauan Sitaro
DOB
103
Banggai Kepulauan
Tertinggal
104
Banggai
Agak Tertinggal
105
Morowali
Agak Tertinggal
106
Poso
Agak Tertinggal
107
Donggala
Agak Tertinggal
108
Toli-Toli
Agak Tertinggal
109
Buol
Agak Tertinggal
110
Parigi Moutong
Agak Tertinggal
111
Tojo Una-Una
Tertinggal
112
Sigi
DOB
113
Selayar
Agak Tertinggal
114
Jeneponto
Agak Tertinggal
115
Pangkajene Kepulauan
Agak Tertinggal
116
Toraja Utara
DOB
117
Buton
Agak Tertinggal
118
Muna
Agak Tertinggal
119
Konawe
Agak Tertinggal
120
Konawe Selatan
Agak Tertinggal
121
Bombana
Agak Tertinggal
122
Wakatobi
Agak Tertinggal
123
Kolaka Utara
Agak Tertinggal
124
Buton Utara
Agak Tertinggal
125
Konawe Utara
Agak Tertinggal
126
Boalemo
Agak Tertinggal
127
Pohuwatu
Agak Tertinggal
128
Gorontalo Utara
Agak Tertinggal
129
Majene
Agak Tertinggal
130
Polewali Mandar
Agak Tertinggal
131
Mamasa
Agak Tertinggal
132
Mamuju
Agak Tertinggal
133
Mamuju Utara
Agak Tertinggal
134
Maluku Tenggara Barat
Tertinggal
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Kabupaten
Status
109 Kawasan KTI
Propinsi Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
No.
Kabupaten
Status
135
Maluku Tengah
Agak Tertinggal
136
Buru
Tertinggal
137
Kepulauan Aru
Tertinggal
138
Seram Bagian Barat
Tertinggal
139
Seram Bagian Timur
Tertinggal
140
Buru Selatan
DOB
141
Maluku Barat Daya
DOB
142
Halmahera Barat
Tertinggal
143
Halmahera Tengah
Agak Tertinggal
144
Kepulauan Sula
Tertinggal
145
Halmahera Selatan
Tertinggal
146
Halmahera Utara
Agak Tertinggal
147
Halmahera Timur
Agak Tertinggal
148
Morotai
DOB
149
Kaimana
Agak Tertinggal
150
Teluk Wondama
Tertinggal
151
Teluk Bintuni
Tertinggal
152
Sorong Selatan
Agak Tertinggal
153
Sorong
Tertinggal
154
Raja Ampat
Tertinggal
155
Maybrat
DOB
156
Tambrau
DOB
157
Merauke
Tertinggal
158
Jayawijaya
Sangat Tertinggal
159
Nabire
Tertinggal
160
Yapen Waropen
Agak Tertinggal
161
Biak Numfor
Agak Tertinggal
162
Paniai
Sangat Tertinggal
163
Puncak Jaya
Tertinggal
164
Mimika
Agak Tertinggal
165
Boven Digoel
Sangat Parah
166
Mappi
Sangat Parah
167
Asmat
Sangat Parah
168
Yahukimo
Sangat Parah
110 Kawasan KTI
Propinsi Papua
Catatan: DOB = Daerah Otonomi Baru
No.
Kabupaten
Status
169
Pegunungan Bintang
Sangat Parah
170
Tolikara
Sangat Parah
171
Sarmi
Tertinggal
172
Keerom
Agak Tertinggal
173
Waropen
Tertinggal
174
Supiori
Tertinggal
175
Deiyai
DOB
176
Dgiyai
DOB
177
Intan Jaya
DOB
178
Lanny Jaya
DOB
179
Mamberamo Raya
DOB
180
Mamberamo Tengah
DOB
181
Nduga
DOB
182
Puncak
DOB
183
Yalimo
DOB
111 Lampiran 3. Jumlah dan Persentase Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010
No
Provinsi
Jumlah Kabupaten Tertinggal
Jumlah Kabupaten Total
Persentase Kabupaten Tertinggal
2005
2010
2005
2010
2005
2010
1
Nangroe Aceh Darussalam
16
12
23
23
69,57
52,17
2
Sumatera Utara
6
6
30
32
20,00
18,75
3
Sumatera Barat
9
8
19
19
47,37
42,11
4
Riau
2
-
11
11
18,18
-
5
Jambi
2
-
11
11
18,18
-
6
Sumatera Selatan
6
7
15
15
40,00
46,67
7
Bengkulu
8
6
9
10
88,89
60,00
8
Lampung
5
4
11
11
45,45
36,36
9
Bangka Belitung
3
1
7
7
42,86
14,29
10
Kepulauan Riau
1
2
7
7
14,29
28,57
11
Jawa Barat
2
2
26
26
7,69
7,69
12
Jawa Tengah
3
-
35
35
8,57
-
13
D,I, Yogyakarta
2
-
5
5
40,00
-
14
Jawa Timur
8
5
38
38
21,05
13,16
15
Banten
2
2
7
7
28,57
28,57
16
Bali
1
-
9
9
11,11
-
17
Nusa Tenggara Barat
7
8
10
10
70,00
80,00
18
Nusa Tenggara Timur
15
20
21
21
71,43
95,24
19
Kalimantan Barat
9
10
14
14
64,29
71,43
20
Kalimantan Tengah
7
1
14
14
50,00
7,14
21
Kalimantan Selatan
2
2
13
13
15,38
15,38
22
Kalimantan Timur
3
3
14
14
21,43
21,43
23
Sulawesi Utara
2
3
15
15
13,33
20,00
24
Sulawesi Tengah
9
10
11
11
81,82
90,91
25
Sulawesi Selatan
13
4
24
24
54,17
16,67
26
Sulawesi Tenggara
8
9
12
12
66,67
75,00
27
Gorontalo
4
3
5
6
80,00
50,00
28
Sulawesi Barat
5
5
5
5
100,00
100,00
29
Maluku
7
8
11
11
63,64
72,73
30
Maluku Utara
6
7
8
9
75,00
77,78
31
Papua Barat
7
8
9
11
77,78
72,73
32
Papua
19
27
20
27
95,00
96,43
199
183
469
483
42,43
37,89
Indonesia
112 Lampiran 4. Dinamika Perekonomian PDRB atas Dasar Harga Konstan 2000 Kabupaten Tertinggal (milyar)
No
Provinsi
1
NAD
2
Rata-Rata PDRB ADH Konstan
Jumlah Kabupaten Tertinggal
2006
Pertumbuhan 2006-2009
Rata-Rata P2IPDT 2009
2009
% PDRB09 thd P2IPDT 09
1.550,31
1.376,63
-3,88
627,55
0,046
Sumatera Utara
16 6
1.017,43
1.192,86
5,45
1.434,96
0,120
3
Sumatera Barat
9
1.322,44
1.568,67
5,86
1.427,64
0,091
4
Riau
2
2.219,50
2.744,00
7,33
5.261,66
0,192
5
Jambi Sumatera Selatan Bengkulu
2
1.433,00
1.695,50
5,77
2.213,04
0,131
6
2.340,33
2.750,17
5,53
1.362,48
0,050
8
598,13
653,25
2,98
1.331,44
0,204
5
3.080,75
3.212,75
1,41
2.025,25
0,063
3
932,67
1.060,33
4,37
2.083,92
0,197
10
Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau
1
1.448,00
1.596,76
3,31
615,99
0,062
11
Jawa Barat
2
8.267,00
9.438,50
4,52
773,15
0,008
12
Jawa Tengah
3
2.277,67
2.614,33
4,70
1.870,47
0,072
13
D,I, Yogyakarta
2
2.178,00
2.463,50
4,19
1.478,41
0,060
14
Jawa Timur
8
2.086,88
2.426,88
5,16
1.346,24
0,055
15
Banten
2
3.451,50
3.916,00
4,30
1.434,95
0,037
16
1
1.505,00
1.747,00
5,10
546,52
0,031
7
1.967,86
2.141,00
2,85
1.309,53
0,027
15
531,80
578,80
2,86
1.413,65
0,244
9
1.421,89
1.648,56
5,05
1.133,49
0,069
7
680,29
795,57
5,36
1.160,28
0,146
2
1.253,50
1.358,50
2,72
1.360,87
0,100
3
1.403,00
1.672,33
6,03
1.502,71
0,090
2
467,00
548,50
5,51
2.507,49
0,457
9
1.169,44
1.310,89
3,88
1.403,51
0,107
13
1.249,93
1.394,79
3,72
1.572,99
0,113
8
779,75
942,75
6,53
2.149,33
0,228
27
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo
4
377,75
465,25
7,19
1.799,37
0,387
28
Sulawesi Barat
5
672,80
828,40
7,18
1.980,64
0,239
29
Maluku
7
287,14
311,49
2,75
1.837,39
0,683
30
Maluku Utara
6
279,17
330,67
5,81
1.498,22
0,453
31
Papua Barat
7
516,00
625,57
6,63
981,37
0,157
32
Papua
19
965,21
1.183,26
7,03
973,51
0,082
6 7 8 9
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
113 Lampiran 5. Dinamika Ketimpangan Kabupaten Tertinggal
No
Provinsi
Jumlah Kabupaten Tertinggal 2005
Gini Rasio
Pertumb uhan Gini Rasio 06-09
Pertumbuhan P2IPDT 20072009
2006
2009
16
0,31147
0,32291
1,21
1417,29
1
Nangroe Aceh Darussalam
2
Sumatera Utara
6
0,29876
0,3036
0,54
4,30
3
Sumatera Barat
9
0,30447
0,31447
1,08
108,83
4
Riau
2
0,30059
0,31175
1,22
206,34
5
Jambi
2
0,29189
0,28067
-1,30
131,10
6
Sumatera Selatan
6
0,29357
0,29438
0,09
43,43
7
Bengkulu
8
0,29513
0,30385
0,98
69,30
8
Lampung
5
0,29955
0,30400
0,49
55,42
9
Bangka Belitung
3
0,26922
0,28016
1,34
376,46
10
Kepulauan Riau
1
0,34215
0,34121
-0,09
-38,15
11
Jawa Barat
2
0,33379
0,33479
0,10
6,83
12
Jawa Tengah
3
0,29831
0,31153
1,46
34,83
13
D.I. Yogyakarta
2
0,42359
0,39394
-2,39
328,38
14
Jawa Timur
8
0,31878
0,32037
0,17
27,08
15
Banten
2
0,33588
0,35517
1,88
258,60
16
Bali
1
0,31089
0,30284
-0,87
-21,87
17
Nusa Tenggara Barat
7
0,31272
0,34194
3,02
-27,64
18
Nusa Tenggara Timur
15
0,34181
0,36023
1,76
10,77
19
Kalimantan Barat
9
0,30583
0,32437
1,98
16,37
20
Kalimantan Tengah
7
0,26788
0,29683
3,48
42,17
21
Kalimantan Selatan
2
0,31157
0,31361
0,22
7,39
22
Kalimantan Timur
3
0,3703
0,33141
-3,63
375,17
23
Sulawesi Utara
2
0,30492
0,31907
1,52
112,27
24
Sulawesi Tengah
9
0,32618
0,32223
-0,41
33,03
25
Sulawesi Selatan
13
0,31389
0,32554
1,22
71,84
26
Sulawesi Tenggara
8
0,31209
0,30482
-0,78
198,97
27
Gorontalo
4
0,32449
0,33312
0,88
82,91
28
Sulawesi Barat
5
0,32971
0,33246
0,28
101,49
29
Maluku
7
0,31534
0,33839
2,38
127,54
30
Maluku Utara
6
0,30439
0,30865
0,46
27,15
31
Papua Barat
7
0,32469
0,36307
3,79
-2,81
32
Papua
19
0,39124
0,41250
1,78
-10,85
114 Lampiran 6. Dinamika Kemiskinan Kabupaten Tertinggal (persen)
No
Provinsi
1
Nangroe Aceh Darussalam
2
Sumatera Utara
3 4
Sumatera Barat Riau
Jumlah Kabupaten Tertinggal 2005
Po 2006
2009
Laju Penurunan Po 06-09
Pertumb uhan P2IPDT 20072009
16
30,34
22,89
-8,97
1417,29
6
26,18
16,50
-14,27
4,30
11,16
-12,15
108,83
14,96
-12,79
206,34 131,10
9 2
16,45 22,55
5
Jambi
2
16,10
11,03
-11,84
6
Sumatera Selatan
6
25,61
16,79
-13,12
43,43
7
Bengkulu
8
25,52
18,68
-9,88
69,30
8
Lampung
5
28,33
22,95
-6,79
55,42
8,96
-11,43
376,46 -38,15
9
Bangka Belitung
3
12,90
10
Kepulauan Riau
1
21,42
10,46
-21,26
11
Jawa Barat
2
18,64
13,74
-9,66
6,83
12
Jawa Tengah
3
29,87
22,10
-9,55
34,83
13
D.I. Yogyakarta
2
28,42
24,55
-4,77
328,38
22,14
-7,68
27,08 258,60
14
Jawa Timur
8
28,14
15
Banten
2
15,19
11,32
-9,33
16
Bali
1
9,42
6,37
-12,23
-21,87
17
Nusa Tenggara Barat
7
29,50
22,57
-8,55
-27,64
18
Nusa Tenggara Timur
15
30,04
24,19
-6,97
10,77
10,16
-17,47
16,37
7,02
-14,90
42,17 7,39
19 20
Kalimantan Barat Kalimantan Tengah
9 7
18,08 11,39
21
Kalimantan Selatan
2
11,23
6,45
-16,86
22
Kalimantan Timur
3
20,35
13,00
-13,88
375,17
23
Sulawesi Utara
2
16,60
12,70
-8,54
112,27
20,65
-7,95
33,03
13,99
-6,54
71,84 198,97
24 25
Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan
9 13
26,48 17,14
26
Sulawesi Tenggara
8
25,17
18,74
-9,36
27
Gorontalo
4
32,17
20,84
-13,48
82,91
28
Sulawesi Barat
5
20,01
14,39
-10,42
101,49
33,22
-5,31
127,54
15,16
-6,28
27,15 -2,81 -10,85
29 30
Maluku Maluku Utara
31
Papua Barat
32
Papua
7 6
39,12 18,41
7
40,49
34,87
-4,86
19
41,95
36,40
-4,61
115 Lampiran 7. Hasil Analisis Kuadran (Dinamika Pertumbuhan dan Kemiskinan) di Kabupaten Tertinggal
Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KBI, Tahun 2006
I
II Sampang
40.00
Kaur Bengkulu Selatan Nias Selatan
Seluma
Nagan Raya
Nias
Lingga Gayo Lues
30.00
Aceh Singkil
Bangkalan Aceh Timur
Bireuen
Lahat Gunung Kidul Bondowoso
Po_06
Aceh Utara
Musi Rawas
Pamekasan
Pakpak Bharat
Lampung Selatan
Lampung Timur
Trenggalek Mukomuko Madiun
20.00
Sarolangun
Kuantan Singingi Garut
Pasaman
Sukabumi
Situbondo Banyu Asin
Lebong Belitung Timur Dairi
Lebak Pandeglang
Dharmas Raya
Tanjung Jabung Timur
Belitung
10.00
Kepahiang Bangka Selatan
Natuna
Karangasem
IV 0.00
III 2000.00
4000.00
6000.00
PDRBK_06
8000.00
10000.00
116
Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KBI, Tahun 2009
I
II Sampang Bangkalan
30.00 Lampung Utara
Bener Meriah
Rembang
Bengkulu Selatan Kulon Progo Kaur
Aceh Utara
Pamekasan Lampung Selatan
Nias
Aceh Jaya
Seluma
Lahat
Po_09
Nias Selatan Wonogiri
20.00 Lampung Barat
Lampung Timur
Situbondo
Madiun
Lingga Lebong
Bondowoso
Garut
Banyu Asin
Mukomuko
Tanjung Jabung Timur
Dharmas Raya
Belitung Timur
Lebak
Sukabumi
Pandeglang
10.00 Belitung
Dairi
Pasaman Barat
Bangka Selatan Karangasem
0.00
IV 0.00
III 2000.00
4000.00
6000.00
PDRBK_09
8000.00
10000.00
12000.00
117
Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KTI, Tahun 2006
60.00
I
II Puncak Jaya
Paniai
50.00
Supiori
Jayawijaya Pegunungan Bintang Sumba Barat
Waropen
Nabire
Fakfak
40.00
Kaimana
Po_06
Asmat Mappi
30.00
Mimika
Sorong Jayapura
Lombok Barat
Kolaka Utara
Sumbawa Barat
Kolaka
Wakatobi Halmahera Timur
Parigi Moutong
Belu Luwu Pangkajene dan Kepulauan
20.00
Selayar Halmahera Barat
Sambas
Ngada Kepulauan Sula Barru
Halmahera Utara
0.00
Kutai Barat
Mamuju
10.00
Luwu Timur
Pinrang
IV 0.00
III 2000.00
4000.00
6000.00
PDRBK_06
8000.00
10000.00
12000.00
118
Analisis Kuadran Pertumbuhan dan Kemiskinan KTI, Tahun 2006
60.00
I
II Teluk Bintuni Supiori
Yahukimo
50.00
Puncak Jaya Paniai Pegunungan Bintang Waropen
40.00 Biak Numfor
Po_09
Asmat
Nabire
30.00
Seram Bagian Barat Buru
Sorong Selatan
20.00
Mimika
Lombok Timur
Raja Ampat Keerom
Polewali Mandar Morowali
Pohuwato
Kolaka
Sumbawa Barat
Luwu Utara Parigi Moutong
Mamasa Kepulauan Sula
10.00
Barru
Merauke
Ketapang Luwu Timur
Sinjai Mamuju
Pinrang
Sukamara Lamandau Barito Kuala
0.00
IV 0.00
III 2500.00
5000.00
7500.00
PDRBK_09
10000.00
12500.00
119 Lampiran 8. Rata-Rata Bantuan P2IPDT 2007-2009
No
Provinsi
Jumlah Kabupaten Tertinggal
Rata-Rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) 2007
2008
Pertumbu han 20072009
2009
1
Nangroe Aceh Darussalam
16
41,36
132,82
627,55
1417,29
2
Sumatera Utara
6
1.375,78
1.277,65
1.434,96
4,30
3
Sumatera Barat
9
683,64
2.047,58
1.427,64
108,83
4
Riau
2
1.717,57
4.827,82
5.261,66
206,34
5
Jambi
2
957,60
2.233,21
2.213,04
131,10
6
Sumatera Selatan
6
949,95
1.319,62
1.362,48
43,43
7
Bengkulu
8
786,44
2.189,47
1.331,44
69,30
8
Lampung
5
1.303,11
1.486,77
2.025,25
55,42
9
Bangka Belitung
3
437,38
1.167,89
2.083,92
376,46
10
Kepulauan Riau
1
996,00
2.965,94
615,99
-38,15
11
Jawa Barat
2
723,70
1.422,01
773,15
6,83
12
Jawa Tengah
3
1.387,25
2.063,75
1.870,47
34,83
13
D,I, Yogyakarta
2
345,12
1.530,30
1.478,41
328,38
14
Jawa Timur
8
1.059,34
1.699,66
1.346,24
27,08
15
Banten
2
400,15
2.032,29
1.434,95
258,60
16
Bali
1
-
699,47
546,52
-21,87*
17
Nusa Tenggara Barat
7
1.809,65
1.533,21
1.309,53
-27,64
18
Nusa Tenggara Timur
15
1.276,22
1.621,85
1.413,65
10,77
19
Kalimantan Barat
9
974,00
1.078,28
1.133,49
16,37
20
Kalimantan Tengah
7
816,15
1.309,08
1.160,28
42,17
21
Kalimantan Selatan
2
1.267,22
1.566,87
1.360,87
7,39
22
Kalimantan Timur
3
316,25
1.585,16
1.502,71
375,17
23
Sulawesi Utara
2
1.181,27
3.071,18
2.507,49
112,27
24
Sulawesi Tengah
9
1.055,01
1.385,98
1.403,51
33,03
25
Sulawesi Selatan
13
915,40
1.060,98
1.572,99
71,84
26
Sulawesi Tenggara
8
718,91
857,99
2.149,33
198,97
27
Gorontalo
4
983,75
1.747,71
1.799,37
82,91
28
Sulawesi Barat
5
982,98
1.393,61
1.980,64
101,49
29
Maluku
7
807,49
1.138,58
1.837,39
127,54
30
Maluku Utara
6
1.178,32
1.228,78
1.498,22
27,15
31
Papua Barat
7
1.009,70
988,85
981,37
-2,81
32
Papua
19
1.092,02
1.086,57
973,51
-10,85
199
990,98
1.443,95
1.444,19
45,73
Indonesia
Cat: * menggunakan data tahun 2008-2009
120 Lampiran 9. Hasil Output Stata
Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Fixed Effect Model) Fixed-effects (within) regression Group variable: kab1
Number of obs Number of groups
R-sq:
within
= =
246 82
= 0.5041
Obs per group: min =
3
between = 0.1247
avg =
3.0
overall = 0.1255
max =
3
corr(u_i, Xb)
= 0.1403
F(5,159)
=
32.33
Prob > F
=
0.0000
-----------------------------------------------------------------------------yt | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------p2ipdt |
50.74785
33.54758
1.51
0.132
-15.50849
117.0042
p2ipdt2 | inft_1 |
-.0090004 948060.3
.0059343 100248.8
-1.52 9.46
0.131 0.000
-.0207206 750069.2
.0027198 1146051
popt | ginit |
-1.928998 580276.2
2.868119 330154.3
-0.67 1.76
0.502 0.081
-7.593523 -71777.29
3.735526 1232330
dwil | _cons |
(dropped) 3836949
783505.9
4.90
0.000
2289528
5384370
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 3099801.5 sigma_e | rho |
187657.81 .99634845
(fraction of variance due to u_i)
-----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(81, 159) = 739.14 Prob > F = 0.0000
121
Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Random Effect Model) Random-effects GLS regression Group variable: kab1
Number of obs Number of groups
R-sq:
within
= =
246 82
= 0.5037
Obs per group: min =
3
between = 0.1468
avg =
3.0
overall = 0.1482
max =
3
Random effects u_i ~ Gaussian
Wald chi2(6)
=
171.38
corr(u_i, X)
Prob > chi2
=
0.0000
= 0 (assumed)
-----------------------------------------------------------------------------yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------p2ipdt |
48.20545
33.9293
1.42
0.155
-18.29476
114.7056
p2ipdt2 | inft_1 |
-.008779 980574.8
.0059908 86748.05
-1.47 11.30
0.143 0.000
-.0205208 810551.8
.0029629 1150598
popt | ginit |
-3.040136 583929.9
1.016434 334030
-2.99 1.75
0.003 0.080
-5.032311 -70756.92
-1.047962 1238617
dwil | _cons |
-1292100 4827819
715294.2 666549.3
-1.81 7.24
0.071 0.000
-2694051 3521406
109850.9 6134231
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 2938994.2 sigma_e | rho |
187657.81 .9959396
(fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
122
Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Statis Note: the rank of the differenced variance matrix (3) does not equal the number of coefficients being tested (5); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale. ---- Coefficients ---| |
(b) random
(B) fixed
(b-B) Difference
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E.
-------------+---------------------------------------------------------------p2ipdt | p2ipdt2 |
48.20545 -.008779
50.74785 -.0090004
-2.542404 .0002214
5.075163 .0008212
inft_1 | popt |
980574.8 -3.040136
948060.3 -1.928998
32514.57 -1.111138
. .
ginit | 583929.9 580276.2 3653.644 50736.33 -----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(3) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = Prob>chi2 =
0.10 0.9916
-Æ RANDOM EFFECT
(V_b-V_B is not positive definite)
123
Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Generalized Least Square Method) Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients:
generalized least squares
Panels:
homoskedastic
Correlation:
common AR(1) coefficient for all panels
(0.8243)
Estimated covariances = Estimated autocorrelations =
1 1
Number of obs Number of groups
= =
246 82
Estimated coefficients
7
Time periods Wald chi2(6)
= =
3 49.51
Prob > chi2
=
0.0000
=
-----------------------------------------------------------------------------yt |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------p2ipdt | -113.4466 150.0937 -0.76 0.450 -407.6248 180.7317 p2ipdt2 | inft_1 |
.0155132 1487431
.0299834 354022.8
0.52 4.20
0.605 0.000
-.0432532 793559.3
.0742795 2181303
popt | ginit |
-3.10634 788496.9
.6378021 1319126
-4.87 0.60
0.000 0.550
-4.356409 -1796943
-1.856271 3373936
dwil | _cons |
-1167833 3965333
438984.4 842983.3
-2.66 4.70
0.008 0.000
-2028227 2313116
-307439.6 5617550
------------------------------------------------------------------------------
124
Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan Total terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Dinamis note: dwil dropped from dgmmiv() because of collinearity note: ginit dropped from dgmmiv() because of collinearity note: D.dwil dropped from lgmmiv() because of collinearity note: D.ginit dropped from lgmmiv() because of collinearity note: dwil dropped from div() because of collinearity note: inft_1 dropped because of collinearity note: ginit dropped because of collinearity note: p2ipdt dropped because of collinearity note: p2ipdt2 dropped because of collinearity note: dwil dropped because of collinearity note: popt dropped because of collinearity note: ginit dropped because of collinearity System dynamic panel-data estimation Group variable: kab1
Number of obs Number of groups
= =
164 82
min =
2
avg =
2
max =
2
Wald chi2(7)
=
54306.46
Prob > chi2
=
0.0000
Time variable: tahun Obs per group:
Number of instruments =
10
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------yt | L1. | p2ipdt |
.8594341 -97.06834
.0300878 28.53918
28.56 -3.40
0.000 0.001
.8004631 -153.0041
.9184052 -41.13257
p2ipdt2 | dwil |
.0212297 497287.4
.0034943 238309.3
6.08 2.09
0.000 0.037
.014381 30209.68
.0280785 964365
popt |
-.2917056
.2156995
-1.35
0.176
-.7144689
.1310577
ginit |
1634775
548061
2.98
0.003
560595.1
2708955
inft_1 | 194524.7 78646.16 2.47 0.013 40381.06 348668.4 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).yt L(1/.).p2ipdt L(1/.).p2ipdt2 L(1/.).inft_1 L(1/.).popt L(2/.).ginit Standard: D.p2ipdt D.p2ipdt2 D.inft_1 D.popt D.ginit Instruments for level equation GMM-type: LD.yt D.p2ipdt D.p2ipdt2 D.inft_1 D.popt LD.ginit
125
Uji Sargan (Overidentifcation test) dan Uji Autokorelasi Panel Dinamis Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(3) Prob > chi2
= =
8.824739 0.0317
Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order |
z
Prob > z|
|------+----------------| | |
1 2
| |
. .
. | . |
+-----------------------+ H0: no autocorrelation
126
Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Fixed Effect Model) Fixed-effects (within) regression Group variable: kab1
Number of obs Number of groups
R-sq:
within
= =
246 82
= 0.5109
Obs per group: min =
3
between = 0.1203
avg =
3.0
overall = 0.1215
max =
3
corr(u_i, Xb)
= 0.1189
F(8,156)
=
20.37
Prob > F
=
0.0000
-----------------------------------------------------------------------------yt | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ginit |
534503.5
344857.1
1.55
0.123
-146688.5
1215695
inft_1 | popt |
912060.4 -2.113729
100743.2 2.894218
9.05 -0.73
0.000 0.466
713063.6 -7.830642
1111057 3.603183
dwil | dtransp |
(dropped) 74109.61
48912.11
1.52
0.132
-22505.87
170725.1
denergi | dinfotel |
90212.83 30119.03
48188.8 65464.69
1.87 0.46
0.063 0.646
-4973.914 -99192.56
185399.6 159430.6
dsos | dekon |
26501.98 16244.05
36628.78 39390.21
0.72 0.41
0.470 0.681
-45850.39 -61562.94
98854.35 94051.04
_cons | 3915563 796170 4.92 0.000 2342898 5488227 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | sigma_e |
3098219.1 188161.11
rho | .99632518 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0:
F(81, 156) =
750.83
Prob > F = 0.0000
127
Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Random Effect Model)
Random-effects GLS regression
Number of obs
=
246
Group variable: kab1
Number of groups
=
82
R-sq:
within = 0.5105 between = 0.1463
Obs per group: min = avg =
3 3.0
overall = 0.1478
max =
3
= =
177.72 0.0000
Random effects u_i ~ Gaussian corr(u_i, X) = 0 (assumed)
Wald chi2(9) Prob > chi2
-----------------------------------------------------------------------------yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ginit | inft_1 |
535407.9 940332.5
342528.5 88162.34
1.56 10.67
0.118 0.000
-135935.7 767537.5
1206751 1113128
popt | dwil |
-3.062739 -1295852
1.048242 741660.8
-2.92 -1.75
0.003 0.081
-5.117255 -2749480
-1.008222 157776.8
dtransp |
71881.35
48605.87
1.48
0.139
-23384.42
167147.1
denergi |
88366.33
47620.33
1.86
0.064
-4967.792
181700.5
dinfotel | dsos |
28243.3 27413.67
65046.82 36398.16
0.43 0.75
0.664 0.451
-99246.13 -43925.4
155732.7 98752.75
dekon | _cons |
16979.41 4866191
39038.02 690427.7
0.43 7.05
0.664 0.000
-59533.7 3512978
93492.53 6219405
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 3105851.1 sigma_e | rho |
188161.11 .99634315
(fraction of variance due to u_i)
------------------------------------------------------------------------------
128
Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Statis
Note: the rank of the differenced variance matrix (7) does not equal the number of coefficients being tested (8); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale. ---- Coefficients ---|
(b)
|
fixed
(B) random
(b-B) Difference
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E.
-------------+---------------------------------------------------------------ginit | inft_1 |
534503.5 912060.4
535407.9 940332.5
-904.4118 -28272.06
40008.07 48750.41
popt | dtransp |
-2.113729 74109.61
-3.062739 71881.35
.9490092 2228.266
2.697719 5464.742
denergi | dinfotel |
90212.83 30119.03
88366.33 28243.3
1846.499 1875.729
7380.072 7384.926
dsos | dekon |
26501.98 16244.05
27413.67 16979.41
-911.693 -735.3615
4103.845 5255.605
-----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(7) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 0.96 Prob>chi2 = 0.9954 Æ RANDOM EFFECT
129
Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Statis (Generalized Least Square Method) Cross-sectional time-series FGLS regression Coefficients:
generalized least squares
Panels: Correlation:
homoskedastic common AR(1) coefficient for all panels
Estimated covariances
=
1
Estimated autocorrelations = Estimated coefficients =
1 10
(0.9631)
Number of obs
=
246
Number of groups Time periods
= =
82 3
Wald chi2(9) Prob > chi2
= =
60.32 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------dtransp | denergi |
46504.04 27689.4
95164.07 94660.07
0.49 0.29
0.625 0.770
-140014.1 -157840.9
233022.2 213219.7
dsos |
15540.48
64474.87
0.24
0.810
-110827.9
141908.9
dinfotel |
-20150.57
141492.3
-0.14
0.887
-297470.3
257169.2
dekon | inft_1 |
-23612.9 1077472
79972.5 201190.5
-0.30 5.36
0.768 0.000
-180356.1 683145.9
133130.3 1471798
popt | ginit |
-3.157938 592100.6
.6657105 620822.8
-4.74 0.95
0.000 0.340
-4.462706 -624689.6
-1.853169 1808891
dwil | _cons |
-1295489 4705698
450924.2 575042.2
-2.87 8.18
0.004 0.000
-2179285 3578636
-411694 5832760
------------------------------------------------------------------------------
130
Hasil Estimasi Model Pengaruh Bantuan per Jenis Bantuan terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan Panel Dinamis note: dwil dropped from dgmmiv() because of collinearity note: D.dwil dropped from lgmmiv() because of collinearity note: ginit dropped because of collinearity System dynamic panel-data estimation
Number of obs
=
164
Group variable: kab1
Number of groups
=
82
min =
2
avg = max =
2 2
Wald chi2(10)
=
60715.63
Prob > chi2
=
0.0000
Time variable: tahun Obs per group:
Number of instruments =
12
Two-step results -----------------------------------------------------------------------------yt | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------yt | L1. | dtransp |
.9612485 46956.63
.014469 85299.03
66.44 0.55
0.000 0.582
.9328898 -120226.4
.9896072 214139.7
denergi | dinfotel |
-19161.45 -12409.84
90416.13 71221.96
-0.21 -0.17
0.832 0.862
-196373.8 -152002.3
158050.9 127182.6
dsos | dekon |
-53979.26 -71113.77
33631.74 50834.8
-1.61 -1.40
0.108 0.162
-119896.3 -170748.2
11937.73 28520.62
dwil | ginit |
269979.4 693669.8
117656.1 315432.4
2.29 2.20
0.022 0.028
39377.74 75433.69
500581 1311906
inft_1 | popt |
131368.6 -.2925832
67114.73 .2663093
1.96 -1.10
0.050 0.272
-173.8915 -.8145398
262911 .2293734
-----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).yt L(1/.).dtransp L(1/.).denergi L(1/.).dinfotel L(1/.).dsos L(1/.).dekon L(2/.).ginit Standard: D.inft_1 D.popt D.ginit Instruments for level equation GMM-type: LD.yt D.dtransp D.denergi D.dinfotel D.dsos D.dekon LD.ginit
131
Uji Sargan (Overidentifcation test) dan Uji Autokorelasi Panel Dinamis
Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(2) Prob > chi2
= =
7.858085 0.0197
Æ VALID PADA α=0,01
. estat abond Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| |
1
|
.
. |
|
2
|
.
. |
+-----------------------+ H0: no autocorrelation
132
Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Panel Statis (Fixed Effect Model)
Fixed-effects (within) regression
Number of obs
=
246
Group variable: kab1
Number of groups
=
82
R-sq:
= 0.2594
Obs per group: min =
3
between = 0.0230 overall = 0.0245
avg = max =
3.0 3
within
corr(u_i, Xb)
= -0.8966
F(4,160)
=
14.01
Prob > F
=
0.0000
-----------------------------------------------------------------------------pot | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ginit |
-12.67615
5.551188
-2.28
0.024
-23.6392
-1.713103
yt | exptjuta |
-5.56e-06 -5.83e-06
1.10e-06 5.35e-06
-5.04 -1.09
0.000 0.277
-7.74e-06 -.0000164
-3.38e-06 4.73e-06
exptjuta2 | _cons |
3.51e-12 54.90191
2.41e-12 4.961161
1.46 11.07
0.146 0.000
-1.24e-12 45.10411
8.27e-12 64.69972
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 18.811172 sigma_e | rho |
3.0725978 .97401368
(fraction of variance due to u_i)
-----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(81, 160) = 21.46 Prob > F = 0.0000
133
Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Panel Statis (Random Effect Model) Random-effects GLS regression
Number of obs
=
246
Group variable: kab1
Number of groups
=
82
R-sq:
within = 0.1733 between = 0.0025
Obs per group: min = avg =
3 3.0
overall = 0.0076
max =
3
= =
24.00 0.0001
Random effects u_i ~ Gaussian corr(u_i, X) = 0 (assumed)
Wald chi2(4) Prob > chi2
-----------------------------------------------------------------------------pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------ginit | yt |
-16.10561 -6.71e-07
5.727452 2.90e-07
-2.81 -2.31
0.005 0.021
-27.33121 -1.24e-06
-4.880012 -1.03e-07
exptjuta | exptjuta2 |
-8.25e-06 3.20e-12
4.98e-06 2.45e-12
-1.66 1.30
0.098 0.193
-.000018 -1.61e-12
1.52e-06 8.01e-12
_cons |
32.10116
2.519311
12.74
0.000
27.1634
37.03892
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | sigma_e |
7.5764403 3.0725978
rho | .85876137 (fraction of variance due to u_i) ------------------------------------------------------------------------------
134
Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Statis Note: the rank of the differenced variance matrix (1) does not equal the number of coefficients being tested (4); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale.
---- Coefficients ---| |
(b) random
(B) fixed
(b-B) Difference
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E.
-------------+---------------------------------------------------------------ginit | -16.10561 -12.67615 -3.42946 1.409974 yt |
-6.71e-07
-5.56e-06
4.89e-06
exptjuta |
-8.25e-06
-5.83e-06
-2.42e-06
. .
exptjuta2 |
3.20e-12
3.51e-12
-3.17e-13
4.78e-13
-----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(1) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) =
5.92
Prob>chi2 =
0.0150
(V_b-V_B is not positive definite)
135
Hasil Estimasi Model Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Panel Dinamis Dengan Indeks Gini note: ginit dropped because of collinearity System dynamic panel-data estimation
Number of obs
=
164
Group variable: kab1
Number of groups
=
82
min =
2
avg = max =
2 2
Time variable: tahun Obs per group:
Number of instruments =
3
Wald chi2(2)
=
68.29
Prob > chi2
=
0.0000
One-step results -----------------------------------------------------------------------------pot |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------pot | L1. | yt |
(dropped) 6.14e-06
1.26e-06
4.87
0.000
3.67e-06
8.61e-06
ginit | exptjuta |
(dropped) -7.83e-06
.0000137
-0.57
0.569
-.0000348
.0000191
exptjuta2 | -1.95e-11 1.10e-11 -1.78 0.075 -4.09e-11 1.98e-12 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pot L(2/.).yt L(2/.).ginit Standard: D.exptjuta D.exptjuta2 D.ginit Instruments for level equation GMM-type: LD.pot LD.yt LD.ginit . estat abond artests not computed for one-step system estimator with vce(gmm) cannot calculate AR tests with dropped variables Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors cannot calculate test with dropped variables +-----------------------+ |Order | z Prob > z| |------+----------------| +-----------------------+ H0: no autocorrelation . estat sargan Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid cannot calculate Sargan test with dropped variables chi2(0) Prob > chi2
= =
. .
Æ TIDAK ADA KEPUTUSAN
136 Tanpa Indeks Gini note: exptjuta dropped because of collinearity note: exptjuta2 dropped because of collinearity System dynamic panel-data estimation
Number of obs
=
164
Group variable: kab1 Time variable: tahun
Number of groups
=
82
min = avg =
2 2
max =
2
= =
219.80 0.0000
Obs per group:
Number of instruments =
6
Wald chi2(3) Prob > chi2
One-step results -----------------------------------------------------------------------------pot |
Coef.
Std. Err.
z
P>|z|
[95% Conf. Interval]
-------------+---------------------------------------------------------------pot | L1. |
1.056407
.2064859
5.12
0.000
.651702
1.461112
exptjuta | exptjuta2 |
-.0000328 2.68e-11
.000019 1.22e-11
-1.72 2.19
0.085 0.029
-.0000701 2.81e-12
4.52e-06 5.08e-11
yt | 1.36e-06 5.79e-07 2.34 0.019 2.22e-07 2.49e-06 -----------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation GMM-type: L(2/.).pot L(1/.).exptjuta L(1/.).exptjuta2 L(2/.).yt Standard: D.exptjuta D.exptjuta2 Instruments for level equation GMM-type: LD.pot D.exptjuta D.exptjuta2 LD.yt
Uji Sargan (Overidentifcation test) dan Uji Autokorelasi Panel Dinamis Sargan test of overidentifying restrictions H0: overidentifying restrictions are valid chi2(2)
=
2.805557
Prob > chi2
=
0.2459
137
Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen Pertumbuhan-Random Effect Model)
G2SLS random-effects IV regression Group variable: kab1
Number of obs Number of groups
R-sq:
within
= =
246 82
= 0.2088
Obs per group: min =
3
between = 0.0167
avg =
3.0
overall = 0.0203
max =
3
corr(u_i, X)
= 0 (assumed)
Wald chi2(4)
=
21.54
Prob > chi2
=
0.0002
-----------------------------------------------------------------------------pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------yt |
-1.80e-06
6.50e-07
-2.77
0.006
-3.08e-06
-5.29e-07
ginit | exptjuta |
-15.40703 -3.97e-06
6.086697 5.55e-06
-2.53 -0.72
0.011 0.474
-27.33674 -.0000148
-3.477324 6.90e-06
exptjuta2 | _cons |
2.56e-12 35.6429
2.61e-12 3.301142
0.98 10.80
0.325 0.000
-2.55e-12 29.17278
7.67e-12 42.11302
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 7.6868292 sigma_e | rho |
3.3877403 .83735668
(fraction of variance due to u_i)
-----------------------------------------------------------------------------Instrumented: yt Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt p2ipdt p2ipdt2 dwil ------------------------------------------------------------------------------
138
Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan Total Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen Pertumbuhan-Fixed Effect Model) Fixed-effects (within) IV regression Group variable: kab1
Number of obs Number of groups
R-sq:
within
= =
246 82
= 0.0997
Obs per group: min =
3
between = 0.0267
avg =
3.0
overall = 0.0268
max =
3
Wald chi2(4)
=
2442.04
Prob > chi2
=
0.0000
corr(u_i, Xb)
= -0.9748
-----------------------------------------------------------------------------pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------yt |
-.000012
1.96e-06
-6.14
0.000
-.0000159
-8.19e-06
ginit | exptjuta |
-6.19999 5.16e-06
6.310884 6.45e-06
-0.98 0.80
0.326 0.424
-18.56909 -7.49e-06
6.169114 .0000178
exptjuta2 | _cons |
1.41e-12 81.29728
2.70e-12 8.320286
0.52 9.77
0.603 0.000
-3.89e-12 64.98982
6.70e-12 97.60475
-------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 38.235673 sigma_e | rho |
3.3877403 .99221091
(fraction of variance due to u_i)
-----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(81,160) = 17.86 Prob > F = 0.0000 -----------------------------------------------------------------------------Instrumented: yt Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt p2ipdt p2ipdt2 dwil ------------------------------------------------------------------------------
139
Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Instrumental Variable Note: the rank of the differenced variance matrix (1) does not equal the number of coefficients being tested (4); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale. ---- Coefficients ---| |
(b) fixed
(B) random
(b-B) Difference
sqrt(diag(V_b-V_B)) S.E.
-------------+---------------------------------------------------------------yt | -.000012 -1.80e-06 -.0000102 1.85e-06 ginit |
-6.19999
-15.40703
9.207042
1.667143
exptjuta |
5.16e-06
-3.97e-06
9.13e-06
3.29e-06
exptjuta2 |
1.41e-12
2.56e-12
-1.16e-12
7.09e-13
-----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtivreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtivreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(1) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = Prob>chi2 =
30.50 0.0000
Æ FIXED EFFECT
(V_b-V_B is not positive definite) .
140
Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT per jenis Bantuan Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen PertumbuhanRandom Effect Model) G2SLS random-effects IV regression Group variable: kab1
Number of obs Number of groups
= =
246 82
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
3 3.0 3
within = 0.2096 between = 0.0165 overall = 0.0201
corr(u_i, X)
= 0 (assumed)
Wald chi2(4) Prob > chi2
= =
21.74 0.0002
-----------------------------------------------------------------------------pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------yt | -1.79e-06 6.63e-07 -2.70 0.007 -3.09e-06 -4.94e-07 ginit | -15.48396 6.031353 -2.57 0.010 -27.3052 -3.66273 exptjuta | -4.26e-06 5.52e-06 -0.77 0.441 -.0000151 6.57e-06 exptjuta2 | 2.64e-12 2.59e-12 1.02 0.308 -2.43e-12 7.70e-12 _cons | 35.74867 3.332908 10.73 0.000 29.21629 42.28105 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 7.7949252 sigma_e | 3.3541729 rho | .84376798 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------Instrumented: yt Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt dwil dtransp denergi dinfotel dsos dekon ------------------------------------------------------------------------------
141
Hasil Estimasi Pengaruh Bantuan P2IPDT per jenis Bantuan Terhadap Persentase Penduduk Miskin dengan model Instrumental Variable (Instrumen Pertumbuhan- Fixed Effect Model) Fixed-effects (within) IV regression Group variable: kab1
Number of obs Number of groups
= =
246 82
R-sq:
Obs per group: min = avg = max =
3 3.0 3
within = 0.1175 between = 0.0266 overall = 0.0267
corr(u_i, Xb)
= -0.9733
Wald chi2(4) Prob > chi2
= =
2490.41 0.0000
-----------------------------------------------------------------------------pot | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------yt | -.0000117 1.90e-06 -6.14 0.000 -.0000154 -7.94e-06 ginit | -6.570526 6.235724 -1.05 0.292 -18.79232 5.651267 exptjuta | 4.53e-06 6.35e-06 0.71 0.476 -7.92e-06 .000017 exptjuta2 | 1.53e-12 2.67e-12 0.57 0.568 -3.71e-12 6.76e-12 _cons | 79.78706 8.077319 9.88 0.000 63.95581 95.61832 -------------+---------------------------------------------------------------sigma_u | 37.0912 sigma_e | 3.3541729 rho | .99188867 (fraction of variance due to u_i) -----------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(81,160) = 18.21 Prob > F = 0.0000 -----------------------------------------------------------------------------Instrumented: yt Instruments: ginit exptjuta exptjuta2 inft_1 popt dwil dtransp denergi dinfotel dsos dekon ------------------------------------------------------------------------------
142
Hasil Uji Hausman Pada Model Panel Data Instrumental Variable Note: the rank of the differenced variance matrix (1) does not equal the number of coefficients being tested (4); be sure this is what you expect, or there may be problems computing the test. Examine the output of your estimators for anything unexpected and possibly consider scaling your variables so that the coefficients are on a similar scale. ---- Coefficients ---| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B)) | fixed random Difference S.E. -------------+---------------------------------------------------------------yt | -.0000117 -1.79e-06 -9.87e-06 1.78e-06 ginit | -6.570526 -15.48396 8.913438 1.58336 exptjuta | 4.53e-06 -4.26e-06 8.79e-06 3.13e-06 exptjuta2 | 1.53e-12 2.64e-12 -1.11e-12 6.71e-13 -----------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtivreg B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtivreg Test:
Ho:
difference in coefficients not systematic chi2(1) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B) = 31.69 Prob>chi2 = 0.0000 (V_b-V_B is not positive definite)
.
80
Halaman ini sengaja dikosongkan
Halaman ini sengaja dikosongkan
xxiv
Halaman ini sengaja dikosongkan