ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA)
RAHMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
RINGKASAN RAHMAWATI. Analisis Penerapan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor Berdasarkan Estimasi Beban Emisi (Studi Kasus : DKI Jakarta). Dibimbing oleh IMAM SANTOSA dan ANA TURYANTI. Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di Jakarta mengakibatkan menurunnya kualitas udara ambien yang disebabkan oleh meningkatnya pencemar yang diemisikan oleh kendaraan bermotor. Jenis dan besarnya pencemar tergantung pada kondisi kendaraan dan kualitas bahan bakar yang digunakan. Proses pembakaran bahan bakar akan mengeluarkan unsur dan senyawa-senyawa pencemar (polutan) ke udara, seperti partikel debu, karbon monoksida, hidrokarbon, oksida-oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2) dan gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O). Apabila kadar dari unsur pencemar yang di keluarkan itu melebihi baku mutu emisi yang ditentukan maka dapat mengganggu kualitas lingkungan (udara, air, tanah dan bangunan) serta kesehatan manusia. Hasil uji emisi yang dilakukan pada ruas-ruas jalan arteri di DKI Jakarta tahun 2007 menunjutkan bahwa di DKI Jakarta masih terdapat banyak kendaraan yang tidak ramah lingkungan. Pencemar dominan yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dan mengganggu kesehatan dan lingkungan adalah karbon monoksida, partikel, dan oksida-oksida nitrogen Sedangkan menurut data pemantauan udara ambien di DKI Jakarta tahun 2008 masih terdapat 19 hari yang dinyatakan tidak sehat. Pada tahun 2005 dalam mendukung terciptanya kualitas udara yang sehat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005. Ruang lingkup peraturan daerah tersebut adalah pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak, sumber tidak bergerak dan pengendalian pencemaran udara di dalam ruangan. Khusus untuk pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak yang merupakan sumber dominan di daerah perkotaan, upaya-upaya pencegahan terdiri atas ; (1) pemeriksaan emisi dan perawatan bagi kendaraan pribadi dan (2) penggunaan bahan bakar gas untuk
kendaraan umum. Upaya tersebut diharapkan dapat menurunkan beban emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Efektifitas pelaksanaan program-program tersebut dimasa mendatang dalam menurunkan beban emisi perlu dikaji secara ilmiah. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dibutuhkan untuk meninjau besarnya beban emisi dari kendaraan bermotor dan mengetahui besarnya pengaruh kebijakan yang ada terhadap penurunan beban emisi di DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beban emisi pencemar CO, PM10 dan NOx tahun 2008, menduga beban emisi pada tahun 2014 dan tahun 2020 tanpa adanya pengendalian dari sumber bergerak di DKI Jakarta serta menganalisis pengaruh kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta dalam menurunkan emisi CO, PM10 dan NOx tahun 2014 dan tahun 2020. Beban emisi dalam penelitian ini dihitung dengan pendekatan panjang perjalanan kendaraan (vehicles kilometers travel-VKT) pada setiap kategori kendaraan yang ada di DKI Jakarta. Nilai VKT didapatkan dari survei pembacaan odometer yang terpasang pada setiap kendaraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai VKT terbesar adalah kendaraan bis sedangkan sepeda motor memiliki nilai VKT terkecil. Perjalanan kendaraan bis yang relatif tetap setiap hari dan cenderung jauh mengakibatkan nilai VKT yang dihasilkan besar, hal yang sebaliknya terjadi pada sepeda motor dimana kebanyakan digunakan untuk jarak yang tidak jauh dan waktu yang singkat. Berdasarkan parameter pencemar yang diteliti, kontribusi terbesar emisi di DKI Jakarta didominasi pencemar CO sebesar 72,7%, NOx sebesar 24,6% dan PM10 sebesar 2,7%. Tanpa adanya pengendalian pencemaran udara, beban emisi dari kendaraan bermotor pada tahun 2014 diperkirakan meningkat 1,4 kali lipat dari tahun 2008 dan dua kali lipat pada tahun 2020. Sedangkan konsentrasi pencemar diperkirakan akan meningkat 1,2 kali lipat pada tahun 2014 dan 2,3 kali lipat pada tahun 2020. Pengendalian pencemaran udara dengan sistem pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor pribadi (sistem P dan P) dimaksudkan untuk mengidentifikasi kendaraan yang beroperasi (in-use vehicles) yang tidak memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO, HC, dan opasitas.
Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut dipersyaratkan untuk diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas. Penurunan total beban emisi dengan diterapkannya sistem P dan P pada tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 32%, NOx sebesar 6% dan PM10 sebesar 23%. Sedangkan pada tahun 2020, penurunan total beban emisi dengan diterapkannya sistem P dan P untuk pencemar CO sebesar 37%, NOx sebesar 4% dan PM10 sebesar 27%. Sebagaimana diketahui bahwa kualitas bahan bakar minyak yang beredar di pasaran Indonesia belum cukup ramah lingkungan, maka penggunaan bahan bakar alternatif seperti bahan bakar gas (BBG) sangatlah diperlukan dalam rangka penurunan tingkat emisi dari kendaraan bermotor. Salah satu upaya yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah pemanfaatan BBG sebagai pengganti BBM untuk kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah. Penurunan total beban emisi dengan penggunaan BBG bagi kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 8% dan pencemar NOx sebesar 21% serta pencemar PM10 sebesar 28% sedangkan tahun 2020 CO sebesar 5% dan pencemar NOx sebesar 18% serta pencemar PM10 sebesar 21%. Penurunan total beban emisi bila kebijakan sistem P dan P serta kebijakan penggunaan BBG bagi kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah dilakukan secara bersamaan pada tahun 2014, untuk pencemar CO sebesar 44% dan pencemar NOx sebesar 33% serta pencemar PM10 sebesar 57%. Pada tahun 2020, potensi penurunannya untuk pencemar CO sebesar 47%, NOx sebesar 33% dan PM10 sebesar 56%.
ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI (Studi Kasus : DKI JAKARTA)
RAHMAWATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis Nama NIM
: Analisis Penerapan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor Berdasarkan Estimasi Beban Emisi (Studi Kasus : DKI Jakarta) : Rahmawati : P051064124
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Imam Santosa, M.S Ketua
Ana Turyanti, S.Si, M.T Anggota
Diketahui : Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 20 Januari 2009
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : Arif Sabdo Yuwono, MSc, Phd.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1972 dari ayah Mustari dan ibu Rini Mistrini. Penulis merupakan putri bungsu dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Achmad Syaifuddin dan dikaruniai dua orang anak , M. Irsyad Ramadhani dan Jihan Nadhifa Putri. Penulis setelah menyeselaikan pendidikan dasar dan menengah pertama, melanjutkan studi di Sekolah Menengah Analis Kimia Caraka Nusantara sampai tahun 1992. Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas Satya Negara Indonesia jurusan teknik lingkungan tahun 2002. Pada tahun 2007 penulis mendapat beasiswa dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ke Pascasarjana dan diterima di jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB. Penulis adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 1995 sampai saat ini. Selama ini penulis ditempatkan di Laboratorium Lingkungan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... v DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. vii I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................... 1.3 Kerangka Pikir ........................................................................... 1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................
1 4 4 5
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara .................................................................... 2.2 Sumber Pencemar Udara ............................................................ 2.3 Pencemaran dari Kendaraan Bermotor ...................................... 2.4 Karbon Monoksida (CO) ........................................................... 2.5 Partikel (PM10) ........................................................................... 2,6 Nitrogen Oksida (NOx) ............................................................. 2.7 Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor ..... 2.7.1 Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Emisi Kendaraan... 2.7.2 Penggunaan Bahan Bakar Gas pada Kendaraan Umum... 2.5 Bahan Bakar Minyak .................................................................. 2.5.1 Bensin ............................................................................. 2.5.2 Solar ............................................................................... 2.6 Bahan Bakar Gas ......................................................................... 2.7 Inventory Emisi ...........................................................................
7 7 8 10 11 14 15 17 18 20 20 20 21 23
III. GAMBARAN WILAYAH STUDI 3.1 Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta ...................................... 3.2 Kondisi Kependudukan, Ekonomi dan Transportasi .................... 3.2.1 Kependudukan .................................................................. 3.2.2 Ekonomi ............................................................................ 3.2.3 Transportasi ......................................................................
27 27 27 28 29
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 4.2 Objek Penelitian ............................................................................ 4.3 Jenis dan Sumber Data .................................................................. 4.4 Pengumpulan Data ........................................................................ 4.5 Pengolahan Data .......................................................................... 4.6 Perhitungan dan Analisis Data ...................................................... 4.6.1 Estimasi Jumlah Kendaraan ………………………………. 4.6.2 Nilai Panjang Perjalanan Kendaraan ................................... 4.6.3 Penentuan Faktor Emisi ...................................................... 4.6.4 Estimasi Beban Emisi Tahun 2008, 2014 dan 2020 ............
32 32 32 33 33 36 36 37 37 38
II.
iv
4.6.5 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor dalam Mereduksi Beban Emisi……. ........................................................................... 4.6.6 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model Kotak ....................................................................... V.
39 40
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Beban Emisi Pencemar dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta 42 5.1.1 Pertumbuhan Kendaraan Bermotor pada Tahun 2003 sampai 2007 …………………………………………………… 42 5.1.2 Estimasi Jumlah Kendaraan Bermotor Tahun 2008, 2014 dan 2020 …………………………………………………….. 44 5.1.3 Estimasi Panjang Perjalanan Kendaraan ……………….. 46 5.1.4 Beban Emisi tahun 2008 ……………………… 49 5.1.4 Estimasi Beban Emisi Tahun 2014 dan Tahun 2020 ……. 52 5.2 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta dalam Mereduksi Beban Emisi. ……………………………………………………………. 55 5.2.1 Pengaruh Kebijakan Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Kendaraan Bermotor dalam Mereduksi Beban Emisi.......... 56 5.2.2 Pengaruh Penggunaan Bahan Bakar Gas untuk Kendaraan umum dalam Mereduksi Beban Emisi ................................ 59 5.2.3 Pengaruh kedua Kebijakan diterapkan Bersamaan dalam Menurunan Beban Emisi.......................................... 62 5.3 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model Kotak ............................................................................................. 64
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan .................................................................................... 69 6.2. Saran .............................................................................................. 69 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... LAMPIRAN ...................................................................................................
v
71 74
DAFTAR TABEL
1.
Volume pergerakan komuter di Jabodetabek .....................................
9
2.
Jenis dan sumber data penelitian .........................................................
33
3.
Faktor emisi kendaraan bermotor di Indonesia ...................................
37
4.
Estimasi jumlah kendaraan tahun 2008, 2014, 2020………………..
45
5.
Panjang perjalanan kendaraan berdasarkan kategori (km/tahun) ……
48
6.
Estimasi reduksi emisi dengan sistem P & P ......…………………….
54
7.
Estimasi beban emisi dengan sistem P & P (ton/tahun) ………………
55
8.
Estimasi reduksi emisi dengan penggunaan BBG …………………...
58
9.
Estimasi beban emisi dengan BBG (ton/tahun) ……………………….
60
10.
Estimasi reduksi emisi dengan penggunaan BBG dan sistem P & P diterapkan bersamaan …………………………...................................... 62
11.
Estimasi beban emisi tahun 2014 dan 2020 bila penggunaan BBG dan sistem P dan P diterapkan bersamaan (ton/tahun) ................................... 63
12.
Distribusi spasial beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI tahun 2008 ……………………………………………………………... 65
13.
Estimasi kualitas udara di DKI Jakarta tahun 2008 ................................. 65
iv
DAFTAR GAMBAR
1.
Diagram alir kerangka pemikiran ...........................................................
5
2.
Kecepatan rata-rata di jalan-jalan utama di Jakarta ...............................
9
3.
Proses pembakaran yang sempurna, baik dan tidak sempurna ............... 10
4.
Sistem pernapasan manusia ..................................................................... 12
5.
Konsep pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor ....... 17
6.
Survei moda transportasi di JABOTABEK tahun 2002 ........................
7.
Panjang jalan di Provinsi DKI Jakarta ................................................... 30
8.
Bagan alir pengolahan data panjang perjalanan kendaraan ….………..
35
9.
Bagan alir perhitungan estimasi beban emisi ………………………..
39
10.
Total jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2003-2007 …
42
11.
Komposisi kendaraan bermotor di DKI Jakarta. ...................
43
12.
Trend utilisasi jumlah kendaraan terhadap luas jalan di DKI Jakarta, 1994-2014 ..............................................................................................
30
44
13.
Estimasi jumlah kendaraan tahun 2008, 2014 dan 2020 ......................... 45
14.
Distribusi kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008, 2014 dan 2020 …………………………………………………………………....
46
15.
Penggunaan mobil pribadi selama 14 tahun pertama. ............................ 47
16.
Total panjang perjalanan kendaraan bermotor di DKI Jakarta ............... 48
17.
Beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008 ........
49
18.
Komposisi penghasil emisi dari kendaraan bermotor.............................
50
19.
Prosentase beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor................... 50
20.
Kualitas BBM di JABODETABEK parameter Pb dan Sulfur................
21.
Estimasi beban emisi total dari kendaraan bermotor 2014 dan 2020
52
(ton/tahun) …………………………………………………………......
53
22.
Beban emisi CO dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta …………...
53
23.
Beban emisi PM10 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta …………... 54
24.
Beban emisi NOx dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta …………... 55
25.
Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor dengan kebijakan sistem P dan P tahun 2014 dan tahun 2020 di DKI Jakarta …………. v
58
26.
Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor dengan kebijakan Penggunaan BBG tahun 2014 dan tahun 2020 di DKI Jakarta …………. 61
27.
Total beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta(dengan kontrol dan tanpa kontrol) ..................................................................................... 63
28
Estimasi konsentrasi CO tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta ............... 65
29
Estimasi konsentrasi PM10 tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta .......... 65
30
Estimasi konsentrasi NOx tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta ............ 65
vi
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Nilai panjang perjalanan kumulatif mobil penumpang ........................... 74
2.
Nilai panjang perjalanan kumulatif bis ..............................................
3.
Nilai panjang perjalanan kumulatif truk ................................................. 111
4.
Nilai panjang perjalanan kumulatif sepeda motor .................................. 112
5.
Hubungan usia kendaraan dan panjang perjalanan rerata kategori
110
sepeda motor .......................................................................................... 113 6.
Hubungan usia kendaraan dan panjang perjalanan rerata kategori truk dan bis ................................................................................................... 114
7.
Informasi penduduk dan luas wilayah tahun 2007 ................................. 115
8.
Estimasi konsentrasi pencemar udara tahun 2014 dan 2020 ………….. 116
vii
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pada saat ini isu pencemaran udara sudah menjadi isu lingkungan hidup
yang nyata di Indonesia, terutama di Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta merupakan tempat tujuan bagi masyarakat pedesaan. Urbanisasi memicu jumlah penduduk di Jakarta semakin meningkat. Jumlah penduduk di Jakarta sampai dengan tahun 2006 sebesar 8,96 juta jiwa dengan luas wilayah 661,52 km2 berarti kepadatan penduduk mencapai 13,5 ribu/km2 (BPS, 2007) Seiring dengan pertambahan penduduk yang tinggi (± 100 ribu jiwa/tahun) dan kegiatan pembangunan tersebut, kebutuhan akan alat transportasi penduduk juga meningkat. Moda transportasi yang paling diminati adalah kendaraan bermotor dan kereta api. Berdasarkan studi rencana induk transportasi terpadu (Study on Integrated Transportation Master Plan = SITRAMP) fase II tahun 2004 di Jabodetabek, penggunaan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi kota meningkat dari 52,9% pada tahun 1985 menjadi 62,7% tahun 2002, sedangkan kereta api digunakan sebanyak 0,2% tahun 1985 dan 0,8% pada tahun 2002 dan selebihnya memilih berjalan kaki (JICA, 2004). Pertumbuhan kendaraan yang pesat di kota-kota besar mencerminkan kurang memadainya sistem transportasi kota. Saat ini jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta sekitar 5,4 juta, dengan rata-rata peningkatkan 7% per tahun. Setiap harinya tidak kurang dari 1000 kendaraan mengajukan STNK baru yang memerlukan jalan sepanjang 828 meter (BPS, 2007). Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2005 terdapat 600.000 kendaraan (1,2 juta orang) dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi masuk wilayah Jakarta setiap hari. Jumlah kendaraan bermotor yang bergerak setiap harinya mencapai 4,95 juta (terbagi atas kendaraan roda dua 53%, mobil pribadi 30%, bis 7%, dan truk 10%). Rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 98% dibanding 2%.
2 Penggunaan mobil pribadi dan sepeda motor bagi banyak orang didorong oleh ketiadaan transportasi umum yang nyaman, aman, dan tepat waktu. Sistem transportasi belum terintegrasi ke dalam pengembangan wilayah. Pembangunan perumahan di luar pusat kota tidak diikuti dengan pengembangan sistem transportasi yang menghubungkan lokasi perumahan dengan lokasi komersial dan perkantoran di pusat kota, sehingga kendaraan pribadi mengambil porsi transportasi jalan yang lebih besar dibanding moda transportasi lainnya. Rasio penggunaan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 49,7% dibanding 50,3% dari total 15 juta perjalanan/hari. Perbandingan antara panjang jalan dan total area di wilayah DKI Jakarta hanya 4%, idealnya untuk kota sebesar Jakarta adalah 10–15% (Ammari, 2005). Meningkatnya jumlah kendaraan secara terus-menerus, menyebabkan penggunaan bahan bakar minyak menjadi intensif dari sektor transportasi yang akan berdampak pada lingkungan udara. Berdasarkan data Pertamina UMPS III, penjualan bahan bakar minyak didominasi oleh sektor transportasi sebesar 55%, sedangkan sektor industri hanya 14%, electricity dan rumah tangga masingmasing sebesar 12% dan 19% (BPS, 2007).
Penggunaan BBM di sektor
transpotasi tersebut, 85% digunakan oleh kendaran bermotor baik kendaraan pribadi, bus dan truk sedangkan sisanya untuk pesawat terbang. Proses pembakaran bahan bakar minyak akan mengeluarkan unsur dan senyawa-senyawa pencemar (polutan) ke udara, seperti partikel debu, karbon monoksida, hidrokarbon, oksida-oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2) dan gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O). Apabila kadar dari unsur pencemar yang di keluarkan itu melebihi baku mutu emisi yang ditentukan maka dapat mengganggu kualitas lingkungan (udara, air, tanah dan bangunan) serta kesehatan manusia. Besarnya kadar unsur-unsur tersebut akan tergantung pada kualitas dan kuantitas bahan bakar minyak yang digunakan. Beberapa hasil kajian terdahulu menyimpulkan bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan khususnya di wilayah aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 65%75% dari pencemar NOx dan 15%-55% pencemar PM10 (World Bank, 1997; JICA,1997; Syahril et al., 2002; Suhadi dan Damantoro, 2005)
3 Hasil uji emisi yang dilakukan pada ruas-ruas jalan arteri di DKI Jakarta oleh Pemda DKI Jakarta tahun 2007 memperlihatkan persentase kendaraan yang memenuhi standar baku mutu emisi (BME) yaitu sebesar 51,1% dari total 8400 kendaraan. Hal ini menunjutkan bahwa di DKI Jakarta masih terdapat banyak kendaraan yang tidak ramah lingkungan. Kondisi inilah yang berpotensi menghasilkan pencemar utama seperti CO, NOx, SO2, Particulate Matter (PM) dan juga gas-gas penyebab terjadinya efek rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O. Pada tahun 2005 dalam mendukung terciptanya kualitas udara yang sehat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005. Ruang lingkup peraturan daerah tersebut adalah pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak, sumber tidak bergerak dan pengendalian pencemaran udara di dalam ruangan. Khusus untuk pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak yang merupakan sumber dominan di daerah perkotaan, upaya-upaya pencegahan terdiri atas ; (1) pemeriksaan emisi dan perawatan bagi kendaraan pribadi dan (2) penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan umum. Upaya tersebut diharapkan dapat menurunkan beban emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Efektifitas pelaksanaan program-program tersebut dimasa mendatang dalam menurunkan beban emisi perlu dikaji secara ilmiah. Sementara disisi lain ketersediaan informasi secara sistematis mengenai sumber-sumber emisi dan beban emisi untuk wilayah DKI Jakarta secara khusus dan Indonesia umumnya dinilai masih sangat kurang, sehingga menyulitkan dalam melakukan pembaruan data, estimasi serta evaluasi beban emisi yang diperlukan dalam pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan pengendalian pencemaran udara. Oleh karena itu penelitian ini dibutuhkan untuk meninjau besarnya beban emisi dari kendaraan bermotor dan mengetahui besarnya efektifitas kebijakan yang ada terhadap penurunan beban emisi karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx) dan debu berukuran ≤10 µm (PM10) di DKI Jakarta.
4 1.2
Perumusan Masalah Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta tiap tahun terus meningkat, hal ini
terbukti dengan makin banyaknya jumlah titik kemacetan dan penurunan kecepatan kendaraan di berbagai ruas jalan. Menurut hasil studi pada tahun 1995 rata-rata kecepatan daerah perkotaaan di Indonesia untuk semua jenis kendaraan adalah 22-24 km/jam pada jam puncak dan 32-38 km/jam diluar jam puncak, sementara kecepatan rata-rata angkutan umum hanya 16-18 km/jam pada jam puncak dan 24-28 km/jam diluar jam puncak. Untuk DKI Jakarta terjadi penurunan kecepatan rata-rata dari 38,3 km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002 (JICA,2004). Dengan demikian terjadi pembakaran bahan bakar yang cukup tinggi dari sektor transportasi yang berpotensi meningkatkan pencemaran udara, baik untuk pencemar primer (CO, NOx, PM10, HC) maupun polutan gas rumah kaca (CO2 dan CH4). Bila di nilai secara ekonomi kerugian dari kemacetan mencapai 5,5 triliun/tahun di wilayah Jabodetabek. Perlu strategi dan upaya pengendalian yang benar dan efektif agar jumlah emisi yang dikeluarkan dapat sekecil mungkin. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian : 1.
Berapa besar beban emisi yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor pada tahun 2008 untuk pencemar CO, PM10 dan NOx?
2.
Bagaimana beban emisi di tahun mendatang (tahun 2014 dan 2020) tanpa adanya pengendalian?
3.
Bagaimana pengaruh kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta dalam menurunkan beban emisi tersebut ?
1.3
Kerangka Pikir Kendaraan bermotor adalah salah satu sumber antropogenik yang langsung
mengemisikan pencemar ke atmosfer dan terkait erat dengan sistem transportasi. Besar emisinya ditentukan oleh karakteristik mesin, jenis bahan bakar serta kecepatan tempuh kendaraan. Pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor akan mempengaruhi kualitas udara ambien dan kesehatan masyarakat. Informasi yang tepat tentang pencemaran udara ini sangat diperlukan untuk menyusun strategi dan kebijakan pengendalian pencemaran udara secara efektif. Sampai
5 dengan saat ini
ketersediaan informasi secara sistematis mengenai sumber-
sumber emisi dan beban emisi untuk wilayah DKI Jakarta secara khusus dan Indonesia umumnya dinilai masih sangat kurang. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan pembaharuan informasi tentang emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta. Adapun kerangka pemikiran dilakukannya penelitian analisis penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor berdasarkan estimasi beban emisi di DKI Jakarta tersaji dalam Gambar 1.
Sumber pencemar antropogenik (Kendaraan bermotor)
Emisi pencemar Reduksi Emisi
BMU ambien.
Konsentrasi Udara ambien.
Analisis efektifitas Strategi/kebijakan pengelolaan kualitas udara
Perbandingan dgn BMU ambien.
Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran 1.4
Tujuan Penelitian Penelitian tentang analisis penerapan kebijakan pengendalian pencemaran
udara dari kendaraan bermotor berdasarkan estimasi beban emisi memiliki tujuan sebagai berikut: 1.
Mengetahui beban emisi pencemar CO, PM10 dan NOx dari sumber pencemar kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta tahun 2008.
6 2.
Menduga beban emisi pada tahun 2014 dan tahun 2020 tanpa adanya pengendalian dari sumber bergerak di DKI Jakarta
3.
Menganalisis besarnya penurunan emisi CO, PM10 dan NOx tahun 2014 dan tahun 2020 dengan penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Udara Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih kontaminan/polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan lama waktu keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian pada manusia, tumbuhan kehidupan binatang dan atau properti/material serta menyebabkan gangguan kenyamanan dalam melakukan aktivitas hidup. Materi yang diemisikan ke atmosfer oleh aktivitas manusia maupun secara alami merupakan penyebab beberapa masalah lingkungan seperti hujan asam, penurunan kualitas udara pemanasan global, rusaknya infrastruktur bangunan, pengurangan lapisan ozon dan pemaparan ekosistem oleh bahan beracun (Canter, 1996). 2.2
Sumber Pencemar Udara Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis sumber
frekuensi terjadinya, distribusi spasial dan jenis emisi. Berdasarkan jenis sumber pencemar maka dapat dibedakan menjadi sumber yang terjadi secara alami dan sumber yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sumber alami meliputi letusan gunung berapi, penyerbukan tanaman, kebakaran hutan dan lain sebagainya sedangkan sumber yang berasal dari aktivitas manusia seperti sektor transportasi proses industri, pembangkit energi, aktivitas konstruksi, dan aktivitas latihan militer. Sumber pencemaran berdasarkan distribusi spasial dapat dibedakan atas beberapa kategori antara lain sumber titik seperti cerobong industri serta sumber garis yang merupakan sumber pencemar yang begerak seperti aktivitas kendaraan bemotor. Selain itu juga terdapat sumber area seperti emisi debu dari lokasi konstruksi dan aktivitas pelatihan militer yang semuanya terjadi dalam satu lokasi geografis tertentu (Canter, 1996).
8 2.3
Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor Permasalahan lingkungan yang kerap mengancam kota-kota besar di
Indonesia saat ini adalah pencemaran udara terutama yang bersumber dari kendaraan bermotor. Hal ini dibuktikan oleh beberapa hasil kajian seperti The Study on the Integrated Air Quality Management for Jakarta Area (JICA, 1997), Urban Air Quality Management Strategy in Asia : Jakarta report (Word Bank, 1997) dan The Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta (Syahril et al., 2002) bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan khususnya di wilayah aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 69% dari total pencemar NOx, 15% dari total pencemar SO2 dan 40% dari total pencemar PM10 untuk tahun 1995 (JICA, 1997). Sementara itu laporan kajian lain menyebutkan 73% dari total NOx dan 15% dari total PM10 (Worldbank, 1997) dan studi terakhir pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa 76% dari total NOx, 17% dari total SO2 dan 55% dari total PM10 berasal dari kendaraan bermotor (Suhadi dan Damantoro, 2005). Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta tahun 2005 memperkirakan bahwa pada tahun 2014 jumlah kendaraan roda empat akan mencapai tiga juta unit ; pada waktu bersamaan rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan akan mencapai titik jenuh. Artinya diperkirakan akan terjadi kemacetan total diruasruas jalan di DKI Jakarta mulai tahun 2014. Masalah sumber pencemar udara dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tidak terlepas dari kontribusi sumber pencemar dari wilayah Bodetabek karena pada saat ini sekitar 1,3 juta penduduk yang bertempat tinggal di wilayah Bodetabek melakukan perjalanan dari dan ke Jakarta setiap hari. Volume pergerakan kendaraan di wilayah Jabodetabek paling tinggi adalah pergerakan dari Bekasi ke Jakarta (dan sebaliknya) dibandingkan dari daerah Tangerang dan Bogor atau Depok (Tabel 1).
9 Tabel 1. Volume pergerakan komuter di Jabodetabek Arah Pergerakan DKI Jakarta – Tangerang DKI Jakarta – Bogor/Depok DKI Jakarta - Bekasi Sumber : JICA, 2004
Volume Pergerakan (kendaraan/hari) 412.543 424.219 499.198
Motorisasi semakin membuat moda transportasi tidak bermotor menjadi rentan dan marginal. Tidak hanya angka kecelakaan yang meningkat, dampak motorisasi juga menyebabkan kemacetan, pecemaran udara dan kebisingan, tingginya konsumsi bahan bakar, dan berkurangnya infrastruktur kota dan lahan terbuka hijau untuk kualitas hidup masyarakat kota yang lebih baik. Kepadatan lalu lintas menyebabkan rata-rata kecepatan menurun dari 38,3 km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002 (JICA, 2004). Kepadatan dan kemacetan lalu lintas menyebabkan kendaraan tidak dapat beroperasi pada kecepatan optimum yaitu kecepatan yang menghasilkan emisi gas buang minimum. Emisi gas buang ini dapat berupa pencemar SO2, NOx, CO, HC, debu, timbal (Pb) dan gas pembentuk efek rumah kaca seperti metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O) dan yang paling besar adalah karbon dioksida (CO2). (Gorham, 2002).
Pada Gambar 2 disampaikan kecepatan rata-rata kendaraan
mobil penumpang di jalan utama di DKI Jakarta.
Gambar 2 Kecepatan rata-rata mobil penumpang di jalan-jalan utama di Jakarta Sumber : JICA, 2004
10 2.4
Karbon Monoksida (CO) Gas CO adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang
tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak menyebabkan iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui pernapasan dan diabsorpsi di dalam darah. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin (yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat haemoglobin sebesar 240 kali lipat kemampuannya mengikat oksigen (O2). Secara langsung hal ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam,sehingga melemahkan
kontraksi
jantung
dan
menurunkan
volume
darah
yang
didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppm ambien) dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppm) dapat menyebabkan kematian. Selain dari bahan bakar, CO juga dihasilkan dari pembakaran produk-produk alam dan sintesis, termasuk rokok. Dalam proses industri, karrbon monoksida digunakan dalam jumlah kecil saja (Kannan, 1995). CO dihasilkan dari pembakaran material yang mengandung karbon seperti bensin, gas alam, batu bara, kayu dan sebagainya. CO merupakan produk yang tidak diinginkan dalam proses pembakaran. Ia diproduksi dalam proses pembakaran dalam oksigen dibawah jenuh yang melibatkan senyawa karbon. Sehingga jumlah CO yang dihasilkan terutama tergantung dari perbandingan bahan bakar dan udara serta tingkat pencampuran. Pada campuran yang ideal, emisi CO yang terbentuk akan sedikit. Berikut ini disampaikan proses pembakaran dalam mesin kendaraan. (Gambar 3).
Gambar 3 Proses pembakaran dalam mesin kendaraan Sumber : UNEP, 2006
11 Karbon monoksida hanya larut ringan dalam air dan termasuk zat yang tidak meracuni air. CO memiliki densitas yang kira-kira sama dengan udara. CO masuk ke atmosfir melalui gas buang dan akan cepat teroksidasi membentuk CO2. CO berbahaya karena tingkat toksisitasnya yang tinggi terhadap manusia dan hewan. Waktu tinggal CO di atmosfir antara 1 sampai 2 bulan. Waktu paruh CO terikat dalam darah kira-kira 250 menit. Konsentrasi CO dapat meningkat di sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan pencemar lokal. Data kimiawi dan sifat fisik dari CO adalah sebagai berikut : Rumus Empiris Berat Molekul Relatif Densitas Densitas Gas Relatif Titik didih Titik Leleh Temperatur nyala Batas Meledak Tekanan Meledak Maksimum Faktor Konversi
: : : : : : : : : :
CO 28,01 gram 1,25 g/l pada 0 oC 0,97 -191,5 oC -199 oC 605 oC 12,5 - 74 vol % 7,3 x 105 Pa 1 ppm = 1,164 mg/m3 1 mg/m3 = 0,859 ppm
2.5 Partikel Debu (PM10) Partikel adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan uap, yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Ukuran partikel antara 0,1 mikron hingga 100 mikron. Di samping mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat terhisap ke ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru.. Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernafasan akan disisihkan tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernafasan atas, sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di dalam tubuh dalam waktu yang lama (Gambar 4). Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10µm (PM10). PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pernafasan, pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat menurunkan
12 fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi penderita bronkhitis. Toksisitas dari partikel inhalable tergantung dari komposisinya. Partikel juga merupakan sumber utama haze (kabut asap) yang menurunkan visibilitas. Partikel debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi pemandangan (mengurangi batas pandang).
Gambar 4 Struktur pernapasan dalam tubuh manusia Sumber : Colls, 2002
13 Adanya cacahan logam beracun yang terdapat dalam partikel di udara merupakan bahaya yang cukup besar bagi kesehatan. Udara yang tercemar pada umumnya hanya mengandung logam berbahaya sekitar 0,01 sampai dengan 0,03 mikron dan seluruh partikel di udara, akan tetapi logam tersebut bersifat akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi synergistic dalam jaringan tubuh manusia. Ada beberapa jenis logam yang terkandung dalam partikel udara, diantaranya ada 4 (empat) jenis logam berat yang dianggap berbahaya bagi kesehatan yaitu timah hitam/timbal (Pb), cadmium (Cd), nikel (Ni), dan merkuri (Hg). Keempat jenis partikel logam tersebut umumnya akan mengganggu sistem pernapasan, penyakit paru-paru, kanker paru-paru, serta radang otak. Menurut Hodges (1976) dalam Satudju (1991), terdapat empat tingkat penyakit yang dihasilkan oleh bahan partikel di udara, yaitu: •
Bronchitis kronis, kerusakan pada tabung bronchial yang tetap atau permanen, produksi mukus yang berlebihan sehingga mengakibatkan batuk yang kronis.
•
Bronchial asthma, bahan-bahan asing yang berupa timah yang memberikan reaksi alergi pada bronchial membran yang hebat, dan menyebabkan pernapasan pendek dan berbunyi.
•
Emphysema, pengerutan bronchiole yang menyebabkan transfer oksigen ke dalam darah berkurang serta menyebabkan pernapasan menjadi pendek dan kronis.
•
Kanker paru-paru, (lung cancer), diakibatkan beberapa partikel yang terdapat di atmosfer yang tercemar dan kebanyakan terdapat di wilayah perkotaan, yaitu partikel debu logam, asbestos, aromatik hidrokarbon (carcinogen 3, benzylphyrene). Tetapi konsentrasi partikel-partikel tersebut sangat kecil.
14
2.6
Nitrogen Oksida (NOx) NOx adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfir terdiri atas NO dan
NO2. Walaupun bentuk nitrogen oksida lainnya ada, tetapi kedua gas ini paling banyak ditemui sebagai polutan udara. NO merupakan gas yang tidak berwarna dan berbau, sebaliknya NO2 mempunyai warna coklat kemerahan dan berbau tajam. Pembentukan NO dan NO2 mencakup reaksi antara nitrogen dan oksigen di udara sehingga membentuk NO, kemudian reaksi antara NO dengan lebih banyak oksigen membentuk NO2 (Fardiaz, 1992). Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut : N2
+ O2
2 NO
2NO + O2
2NO2
Udara terdiri dari sekitar 80 % volume nitrogen dan 20 % volume oksigen. Pada suhu kamar kedua gas ini hanya sedikit mempunyai kecenderungan untuk bereaksi satu sama lain. Pada suhu yang lebih tinggi (diatas 1210 oC) keduanya dapat bereaksi membentuk NO dalam jumlah lebih tinggi mengakibatkan polusi udara. Dalam proses pembakaran, suhu yang digunakan biasanya mencapai 121 oC-1765 oC dengan adanya udara, oleh karena itu reaksi merupakan sumber NO yang penting. Jadi reaksi pembentukan NO merupakan hasil samping dalam proses pembakaran. Dari seluruh jumlah NO yang dibebaskan ke atmosfer, jumlah yang terbanyak adalah dalam bentuk NO yang diproduksi oleh aktifitas bakteri. Akan tetapi polusi NO dari sumber alam ini tidak merupakan masalah karena tersebar secara merata sehingga jumlahnya menjadi kecil. Hal yang menjadi masalah adalah polusi NO yang diproduksi oleh kegiatan manusia karena jumlahnya akan meningkat hanya pada tempat-tempat tertentu. Oksida nitrogen yang umum dijumpai di udara dalam bentuk nirogen dioksida dan nitrogen monoksida. Kedua macam gas tersebut mempunyai sifat yang berbeda dan sangat berbahaya bagi kesehatan. Udara yang mengandung gas NO dalam batas normal relatif aman dan tidak berbahaya, kecuali bila gas NO
15 berada dalam konsentrasi yang sangat tinggi. Konsentrasi gas NO yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem syaraf yang mengakibatkan kejangkejang. Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila gas itu teroksidasi oleh oksigen sehingga menjadi gas NO2. Sifat racun (toksisitas) gas NO2 empat kali lebih kuat daripada toksisitas gas NO. Organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas NO2 adalah paru-paru. Paru-paru yang terkontaminasi oleh gas NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernafas yang dapat mengakibatkan kematian (Kannan, 1997). Udara yang tercemar oleh gas nitrigen oksida dapat menyebabkan bintikbintik pada permukaan daun tanaman. Pada konsentrasi lebih tinggi dapat menyebabkan nekrosis atau kerusakan pada jaringan daun. NOx adalah kontributor utama smog (smoke dan fog atau asap dan kabut) dan deposisi asam. Nitrogen oksida bereaksi dengan senyawa organik volatil (yang mudah menguap) membentuk ozon dan oxidan lainnya seperti peroksiasetilnitrat (PAN) di dalam smog fotokimia. Bila bersamaan dengan air hujan, reaksi tersebut menghasilkan asam nitrat yang menyebabkan hujan asam. Smog fotokimia berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita asma, batuk-batuk pada anak-anak dan orang tua, dan berbagai gangguan sistem pernapasan, serta menurunkan jarak pandang. Deposisi asam basah (hujan asam) dan kering (bila gas NOx membentuk partikel aerosol nitrat dan terdeposisi ke permukaan bumi) dapat membahayakan tanaman, pertanian, ekosistem perairan dan hutan. Hujan asam dapat mengalir memasuki danau dan sungai lalu melepaskan logam aluminium dari tanah serta mengubah komposisi kimia air. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan dan bahkan memusnahkan kehidupan air. Oksida nitrogen diproduksi terutama dari proses pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batu bara dan gas alam. 2.7
Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor Pengendalian pencemaran udara dari sektor transportasi yang merupakan
sumber dominan pencemaran di DKI Jakarta, harus mencakup upaya-upaya pengendalian langsung maupun tak langsung yang dapat menurunkan tingkat emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Ada dua pendekatan strategi yang
16 mungkin diterapkan, yaitu (1) penurunan laju emisi pencemar dari setiap kendaraan untuk satu kilometer jalan yang ditempuh atau (2) penurunan jumlah dan kerapatan total kendaraan didalam suatu daerah tertentu (Soedomo, 2001). Pemilihan strategi yang terbaik diperlukan sehingga dampak ekonomi dan sosial yang akan timbul adalah sekecil mungkin. Pengendalian pencemaran udara perkotaan mempunyai implikasi yang luas, mencakup aspek perencanaan kota, sistem lalu lintas, prasarana dan sarana transportasi serta bahan bakar yang digunakan. Beberapa faktor penting yang menyebabkan berpengaruhnya sistem lalu lintas terhadap pencemaran udara perkotaan adalah (Eggleston, 2000; Sukarto, 2004): -
Tidak seimbangnya prasarana lalu lintas dengan jumlah kendaraan yang ada
-
Pola mengemudi (driving pattern)
-
Jenis, umur, karakteristik dan faktor perawatan kendaraan bermotor. Usaha pengendalian yang mungkin dilakukan ditunjukkan dengan garis
terputus pada diagram dalam Gambar 5. Pengendalian yang paling baik diarahkan kepada pengendalian penyebabnya. Beberapa langkah disinsentif untuk mengurangi kepadatan lalu lintas secara parsial dilakukan dengan cara pembatasan minimum penumpang kendaraan atau pembatasan jenis kendaraan bermotor pada ruas jalan atau wilayah tertentu, misalnya kawasan three in one dan pembatasan waktu melintas bagi truk dengan jumlah berat tertentu di DKI Jakarta. Namun perlu diperhatikan bahwa pengendalian kepadatan lalu lintas disuatu kawasan tanpa upaya mengurangi volume kendaraan secara keseluruhan tidak akan mengurangi emisi gas buang total karena yang terjadi adalah pengalihan volume kendaraan dari suatu ruas jalan ke ruas jalan lain. Pada saat ini upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Khusus DKI Jakarta dalam rangka pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah : 1.
Sistem pemeriksaan dan perawatan emisi kendaraan bermotor
2.
Penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan umum
17
Variabel Ekonomi
Perencanaan Kota
Sistem Transportasi
Pola Lalu lintas BBM Jumlah Kendaraan
Jumlah trip (Kend/km)
Faktor Emisi
PENGENDALIAN
Emisi Pencemar
Meteorologi
Dispersi Difusi
Konsentrasi
Baku Mutu
Reseptor
Gambar 5 Konsep pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor Sumber USEPA, 1976 dalam Soedomo, 2001
2.7.1 Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Emisi Kendaraan Bermotor Salah satu strategi pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang dilakukan di berbagai negara maju maupun berkembang adalah sistem pemeriksaan dan perawatan emisi kendaraan bermotor (sistem P dan P) atau dikenal dengan istilah I/M System. Sistem P dan P adalah cara untuk melihat
18 apakah sistem kontrol emisi pada kendaraan berjalan dengan benar atau tidak. Tujuan dari sistem P&P ini adalah untuk mengidentifikasi kendaraan-kendaraan yang beroperasi yang tidak memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO, HC dan opasitas. Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut dipersyaratkan untuk diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas. Secara umum terdapat tiga struktur (tipe) sistem P dan P, yaitu sentralisasi, desentralisasi dan kombinasi (NAP, 2001). a. Tipe sentralisasi atau terpusat adalah pengujian yang dilakukan di berbagai tempat yang dikelola oleh satu atau dua operator (pemerintah atau swasta) b. Tipe desentralisasi adalah pengujian emisi dilaksanakan di berbagai tempat yang dikelola oleh banyak operator. Biasanya operator pemeriksaan adalah bengkel-bengkel yang tersebar di berbagai tempat dan perawatan pun dapat dilakukan di bengkel yang sama. c. Tipe kombinasi adalah merupakan kombinasi kedua tipe sentralisasi dan desentralisasi. Di DKI Jakarta, sistem P&P mulai di perkenalkan pada masyarakat tahun 1997 atas dukungan Clean Air Project Swisscontact melalui uji emisi yang dilakukan dijalan atau tempat tertentu (Spot check). Kemudian pada tahun 2000 diterbitkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 95/2000 tentang Pemeriksaan Emisi dan Perawatan Mobil Penumpang Pribadi di Provinsi DKI Jakarta. Kebijakan tersebut mewajibkan setiap kendaraan pribadi melakukan pemeriksaan emisi satu tahun sekali pada bengkel yang sudah diakreditasi. Apabila emisinya melebihi ambang batas yang ada maka pemilik kendaraan diharuskan melakukan perawatan kendaraannya hingga emisinya memenuhi nilai ambang batas. 2.7.2 Penggunaan Bahan Bakar pada Kendaraan Umum Sejarah perkembangan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi di DKI Jakarta tidak terlepas dari posisi DKI Jakarta sebagai lokasi pilot project nasional. Pemanfaatan gas untuk transportasi dimulai dengan pelaksanaan konversi 300 taksi di tahun 1987. Jumlah ini meningkat perlahan menjadi ± 4.500 kendaraan dalam waktu 10 tahun kemudian ditambah dengan sekitar 40 bus besar. Puncaknya pada tahun 2000, pada saat jumlah kendaraan
19 pengguna gas mencapai angka ± 6.600 unit. Setelah itu, jumlahnya turun drastis, dan hanya tersisa ± 2.500 di tahun 2002, bahkan menjadi hanya 534 unit pada tahun 2004. Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan teknis yang dialami Perusahaan umum Pengangkutan Djakarta (PPD) dalam mengoperasikan bus berbahan bakar gas, jumlah bus dimaksud pada tahun 2002 hanya tersisa 5 unit, dan habis sama sekali di tahun 2004. Pada saat ini strategi penerapan pemanfaatan bahan bakar gas untuk kendaraan umum akan diterapkan kepada armada busway khususnya koridor 2 dan seterusnya diwajibkan telah menggunakan BBG, sedangkan untuk busway koridor 1 perlu diupayakan secara bertahap. Penetapan target sasaran mobil penumpang umum dibakukan secara bertahap dengan berorientasi kepada point to point terminal sesuai dengan ketersediaan BBG dan lokasi SPBG. Peningkatan jumlah kendaraan yang berbahan bakar gas juga perlu ditunjang oleh bengkel-bengkel instalasi dengan memanfaatkan bengkel-bengkel yang telah ada, menyusun mekanisme perijinan dan pengawasannya serta mendidik teknisiteknisi yang profesional. Program yang ditetapkan dalam pemanfaatan BBG untuk transportasi di bidang kendaraan meliputi: a. Penyusunan Peraturan Gubernur tentang kewajiban penggunaan BBG oleh angkutan umum dan kendaraan operasional Pemda DKI Jakarta (berdasarkan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara Nomor 2 Tahun 2005 Pasal 20). b. Pemberian insentif penggunaan BBG oleh angkutan umum Dz`engan kegiatan berupa penyusunan kebijakan tentang pemberian insentif kepada pengusaha angkutan umum serta mekanismenya untuk konversi ke BBG c. Penyusunan mekanisme perijinan bengkel pemasangan dan perawatan peralatan konversi dengan kegiatan berupa Penyusunan kriteria bengkel dan mekanisme pemberian ijin bengkel pemasangan dan perawatan peralatan konversi d. Peningkatan pengetahuan teknisi bengkel pemasangan dan perawatan peralatan konversi yang meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Penyusunan materi pelatihan teknisi
20 b. Pelaksanaan pelatihan teknisi e. Sosialisasi tentang pemanfaatan BBG untuk angkutan umum yang meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Penyusunan konsep dan strategi sosialisasi b. Penyusunan rencana pelaksanaan sosialisasi c. Produksi materi sosialisasi d. Pelaksanaan sosialisasi 2.8
Bahan Bakar Minyak Bahan bakar minyak (BBM) masih merupakan energi utama yang di
konsumsi oleh masyarakat. Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian energi final merupakan yang terbesar dan terus mengalami peningkatan. Dilihat dari sisi pemakaian BBM, sektor transportasi merupakan pemakai BBM terbesar (47%) dengan proporsi setiap tahun selalu mengalami kenaikkan. Kemudian di susul oleh sektor rumah tangga (22%), sektor industri (21%) dan pembangkit listrik (10%). Peningkatan konsumsi BBM di sector transportasi berkaitan erat dengan pertumbuhan jumlah kendaraan serta tergantung pada kondisi-kondisi seperti: pola lalu lintas, kondisi teknis mesin dan peralatan kendaraan, pola mengemudi dan prasarana jalan (Hidayat, 2005). 2.8.1 Bensin Jenis bahan bakar minyak bensin merupakan nama umum untuk beberapa jenis BBM yang diperuntukkan bagi mesin dengan jenis pembakaran menggunakan pengapian. Di Indonesia terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis bensin yang memiliki nilai mutu pembakaran berbeda. Nilai mutu pembakaran ini dihitung berdasarkan nilai RON (randon octane number). Berdasarkan RON tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : a. Premium (RON 88), merupakan bahan bakar minyak jenis distilat berwarna kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat pewarna tambahan (dye). Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin bensin seperti mobil, sepeda motor, dan lain-lain. b. Pertamax (RON 92), merupakan bahan bakar dengan stabilitas oksidasi tinggi
21 dan kandungan olefin, aromatik dan benzen pada level yang rendah sehingga menghasilkan pembakaran tang lebih sempurna pada mesin. Pertamax ditujukan untuk kendaraan yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan tanpa timbal (unleaded). Pertamax juga direkomendasikan untuk kendaraan yang diproduksi diatas tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi setara dengan electronic fuel injection dan catalytic converter. c. Pertamax Plus (RON 95), merupakan bahan bakar dengan kandungan energi tinggi. Jenis BBM ini telah memenuhi standar performance international world fuel charter (WWFC). Pertamax plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan yang memiliki kompresi ratio >10,5 dan juga yang menggunakan teknologi electronic fuel injection, variable valve timing intelligent, turbocharge dan catalytic converter (Bphmigas, 2005). 2.8.2 Solar High speed diesel (HSD) merupakan BBM jenis solar yang memiliki angka Performa cetane number 45, jenis BBM ini umumnya digunakan untuk mesin transportasi jenis diesel dengan sistem injeksi pompa mekanik (injection pump) dan electronic injection . Penggunaan jenis BBM ini adalah untuk transportasi dan mesin industri. Berikut ini memperlihatkan properti dari minyak solar (Bphmigas, 2005). 2.9. Bahan Bakar Gas Bahan Bakar Gas adalah gas bumi yang telah dimurnikan dan aman, bersih, andal, murah. BBG digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Komposisi BBG sebagian besar terdiri dari gas metana dan etana kurang lebih 90% dan selebihnya adalah gas propana, butana, nitrogen dan karbondioksida. BBG lebih ringan dari udara dengan berat jenis sekitar 0,6036 dan mempunya nilai oktan 120 (Bphmigas,2003) Gas alam terkompresi (compressed natural gas, CNG) adalah alternatif bahan bakar selain bensin atau solar. Di Indonesia, kita mengenal CNG sebagai bahan bakar gas (BBG). Bahan bakar ini dianggap lebih 'bersih' bila dibandingkan dengan dua bahan bakar minyak karena emisi gas buangnya yang ramah
22 lingkungan. CNG dibuat dengan melakukan kompresi metana (CH4) yang diekstrak dari gas alam. CNG disimpan dan didistribusikan dalam bejana tekan, biasanya berbentuk silinder. Argentina dan Brazil di Amerika Latin adalah dua negara dengan jumlah kendaraan pengguna CNG terbesar berdasarkan laporan kajian bahan bakar gas untuk transportasi, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral tahun 2003. Konversi ke CNG difasilitasi dengan pemberian harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan bahan bakar cair (bensin dan solar), peralatan konversi yang dibuat lokal dan infrastruktur distribusi CNG yang terus berkembang. Sejalan dengan semakin meningkatnya harga minyak dan kesadaran lingkungan, CNG saat ini mulai digunakan juga untuk kendaraan penumpang dan truk barang berdaya ringan hingga menengah. CNG bukanlah barang baru di Indonesia. Pencanangan untuk menggunakan CNG yang harganya lebih murah dan lebih bersih lingkungan dari pada bahan bakar minyak (BBM) sudah dilakukan sejak tahun 1986. Pada saat itu ditetapkan bahwa 20 persen dari armada taksi harus memakai CNG. Namun, karena pada saat itu harga BBM masih dianggap terjangkau dan stasiun pengisian BBM terdapat di mana-mana, maka minat untuk menggunakannya tidak sempat membesar. CNG terkadang dianggap sama dengan LNG. Walaupun keduanya samasama gas alam, perbedaan utamanya adalah CNG adalah gas terkompresi sedangkan LNG adalah gas dalam bentuk cair. CNG secara ekonomis lebih murah dalam produksi dan penyimpanan dibandingkan LNG yang membutuhkan pendinginan dan tangki kriogenik yang mahal. Akan tetapi CNG membutuhkan tempat penyimpanan yang lebih besar untuk sejumlah massa gas alam yang sama serta perlu tekanan yang sangat tinggi. Oleh karena itu pemasaran CNG lebih ekonomis untuk lokasi-lokasi yang dekat dengan sumber gas alam. CNG juga perlu dibedakan dari LPG, yang merupakan campuran terkompresi dari propana (C3H8) dan butana (C4H10) (Wikipedia, 2008) Bahan bakar gas memiliki emisi karbon monoksida (CO) yang lebih rendah, hampir tidak memancarkan partikulat dan telah mengurangi senyawa organik yang mudah menguap (VOC). Per unit energi, bahan bakar gas mengandung lebih
23 sedikit karbon dibanding bahan bakar fosil lain, mendorong ke arah emisi gas karbon dioksida yang lebih rendah (CO2) per kilometer jalannya kendaraan. Emisi cold-start dari Kendaraan BBG juga rendah, karena pengayaan cold-start tidaklah diperlukan, dan ini mengurangi baik hidro- karbon non metana (NMHC) dan emisi CO. Pengurangan emisi yang spesifik untuk kendaraan BBG dibandingkan dengan bensin adalah (GTZ, 2003): •
CO, 60-80%
•
gas organik non metana (NMOG), 87%
•
NOx, 50-80%
•
CO2, sekitar 20%
•
Reaktifitas produksi ozon, 80-90%
2.10 Inventory Emisi Inventory emisi merupakan kumpulan informasi secara kuantitas tentang pencemaran udara dari keseluruhan sumber yang berada pada suatu wilayah geografis selama periode waktu tertentu. Inventori emisi menyediakan informasi dari semua sumber emisi beserta lokasi, ukuran, frekuensi, durasi waktu, serta konstribusi relatif emisi. Inventori emisi tersebut nantinya dapat digunakan sebagai dasar acuan untuk tindakan pencegahan terhadap pencemaran udara pada masa yang akan datang serta membantu dalam menganalisa aktivitas yang berperan dalam peningkatan pencemaran di area geografis dalam studi yang dilakukan (Canter, 1996). Inventory emisi menyajikan perhitungan kuantitas suatu kontaminan yang diemisikan oleh sumber tertentu dan dikombinasikan dengan emisi yang berasal dari sumber lainnya. Metodologi dasar dari inventori emisi menggunakan rata-rata emisi untuk setiap aktivitas yang didasarkan pada kuantitas penggunaan material seperti bahan bakar. Penting untuk diperhatikan bahwa inventori emisi menampilkan perhitungan rata-rata emisi dalam periode waktu tertentu dan tidak mengidikasikan emisi yang aktual dalam satuan hari (Wilton, 2001).
24 Sasaran utama dari inventory emisi adalah untuk menganalisa sumber buangan yang mengemisikan kontaminan ke dalam atmosfer. Inventori emisi dapat memberikan indikasi tentang kondisi udara di lingkungan dan gambaran kualitas udara yang ada. Inventory emisi jika dikaitkan dengan instrumen pengelolaan kualitas udara, dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber permasalahan mengenai kualitas udara dan membantu dalam mengidentifikasi alternatif pengelolaan untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran udara. Inventori emisi merupakan komponen penting dari sekian banyak strategi pengelolaan kualitas udara. Komponen atau instrumen lainnya dalam strategi pengelolaan kualitas udara antara lain pemantauan, pembuatan tujuan kualitas udara, analisa dampak meteorologi, serta analisa biaya-manfaat. Inventory emisi juga diperlukan untuk penentuan perencanaan yang mencakup identifikasi konstributor utama, menentukan tingkat pengendalian dan sebagai
dasar
pengembangan
strategi
pengendalian.
US
EPA
(2004)
mengungkapkan bahwa inventori emisi diperlukan guna penentuan perijinan suatu kegiatan yang dapat berdampak terhadap lingkungan pada suatu wilayah tertentu seperti penentuan terhadap attainment status suatu wilayah. Selain itu inventori emisi diperlukan untuk sumber informasi publik yang bersifat terbuka mengenai status kondisi kualitas udara dan sebagai alat untuk melacak emisi-emisi sepanjang waktu. Melalui inventori emisi dapat diketahui dimana polusi udara diemisikan, berapa besar emisi yang dikeluarkan oleh setiap sumber dan sumber mana yang lebih efektif dan menjadi skala prioritas untuk dilakukan pengendalian emisinya. Perhitungan emisi yang dihasilkan dapat dihitung berdasarkan data dasar atau indeks dari operasi suatu sistem seperti jumlah dan kandungan material dari energi yang digunakan, proses alamiah, sistem penanganan kontrol emisi yang digunakan, perhitungan keseimbangan massa, dan perhitungan berdasarkan faktor emisi. Inventory emisi biasanya mencakup dua komponen data penting yaitu mencakup data kategori polutan dan data kategori sumber emisi. berdasarkan acuan dari US EPA (1972), pembuatan inventory emisi mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1. Klasifikasi semua polutan dan sumber emisi pada lokasi yang dimaksud
25 2. Identifikasi dan mendapatkan informasi mengenai faktor emisi untuk tiap polutan dan sumber 3. Memperkirakan kuantitas informasi unit produksi 4. Perhitungan rata-rata untuk tiap polutan yang diemisikan ke atmosfer 5. Menyimpulkan emisi polutan yang spesifik untuk masing-masing sumber yang teridentifikasi Inventory emisi dapat digunakan pada keseluruhan area geografis, akan tetapi dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan pembaruan informasi termasuk faktor emisi, perubahan informasi (sumber yang hilang dan sumber yang baru), sehingga diperlukan pengecekan atau pengawasan secara periodik terhadap ketersediaan berbagai informasi serta perubahan-perubahan dalam pembuatan inventory emisi (Canter, 1996). Menurut IPCC (2006), pelaksanaan inventory harus dapat memberikan jaminan kualitas mulai dari pengumpulan data sampai pada pelaporan. Indikator dari kualitas inventori meliputi beberapa hal, yaitu : a. Transparansi. Pihak di luar pelaksana inventory dapat mengerti tentang bagaimana inventori dilaksanakan dan mudah untuk diaplikasikan dalam skala nasional b. Kelengkapan. Semua pengukuran yang berdasar pada sumber, parameter gas dan lokasi harus dilaporkan secara lengkap termasuk adanya komponenkomponen yang terlewatkan selama melakukan inventory c. Konsistensi. Inventory yang digunakan untuk mengetahui pola tahunan harus dihitung berdasarkan metode dan sumber data yang tetap setiap tahunnya sehingga mampu memberikan gambaran fluktuasi dari emisi yang dihasilkan d. Perbandingan. Inventory emisi yang dilakukan harus dapat dibandingkan dengan inventori emisi di kota atau negara lain untuk skala yang sama e. Akurasi. Adanya over/under estimate dalam perhitungan inventory emisi harus dapat dipertanggungjawabkan. Pembaruan data inventory emisi perlu dilakukan secara teratur, sedikitnya setiap dua tahun. Tujuan dan kegunaan pembaruan data inventory emisi adalah: •
Pengkajian kualitas udara
•
Pengamatan kecenderungan emisi
26 •
Input pemodelan kualitas udara
•
Mengevaluasi skenario di masa yang akan datang, seperti memperkirakan dampak suatu rencana aksi pengelolaan terhadap perbaikan kualitas udara, dampak adanya sumber pencemaran baru, atau skenario penurunan emisi
•
Panduan untuk mengembangkan dan menyempurnakan jaringan pemantau kualitas udara (Bappenas, 2006)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Udara Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih kontaminan/polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan lama waktu keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian pada manusia, tumbuhan kehidupan binatang dan atau properti/material serta menyebabkan gangguan kenyamanan dalam melakukan aktivitas hidup. Materi yang diemisikan ke atmosfer oleh aktivitas manusia maupun secara alami merupakan penyebab beberapa masalah lingkungan seperti hujan asam, penurunan kualitas udara pemanasan global, rusaknya infrastruktur bangunan, pengurangan lapisan ozon dan pemaparan ekosistem oleh bahan beracun (Canter, 1996). 2.2
Sumber Pencemar Udara Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis sumber
frekuensi terjadinya, distribusi spasial dan jenis emisi. Berdasarkan jenis sumber pencemar maka dapat dibedakan menjadi sumber yang terjadi secara alami dan sumber yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sumber alami meliputi letusan gunung berapi, penyerbukan tanaman, kebakaran hutan dan lain sebagainya sedangkan sumber yang berasal dari aktivitas manusia seperti sektor transportasi proses industri, pembangkit energi, aktivitas konstruksi, dan aktivitas latihan militer. Sumber pencemaran berdasarkan distribusi spasial dapat dibedakan atas beberapa kategori antara lain sumber titik seperti cerobong industri serta sumber garis yang merupakan sumber pencemar yang begerak seperti aktivitas kendaraan bemotor. Selain itu juga terdapat sumber area seperti emisi debu dari lokasi konstruksi dan aktivitas pelatihan militer yang semuanya terjadi dalam satu lokasi geografis tertentu (Canter, 1996).
8 2.3
Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor Permasalahan lingkungan yang kerap mengancam kota-kota besar di
Indonesia saat ini adalah pencemaran udara terutama yang bersumber dari kendaraan bermotor. Hal ini dibuktikan oleh beberapa hasil kajian seperti The Study on the Integrated Air Quality Management for Jakarta Area (JICA, 1997), Urban Air Quality Management Strategy in Asia : Jakarta report (Word Bank, 1997) dan The Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta (Syahril et al., 2002) bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan khususnya di wilayah aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 69% dari total pencemar NOx, 15% dari total pencemar SO2 dan 40% dari total pencemar PM10 untuk tahun 1995 (JICA, 1997). Sementara itu laporan kajian lain menyebutkan 73% dari total NOx dan 15% dari total PM10 (Worldbank, 1997) dan studi terakhir pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa 76% dari total NOx, 17% dari total SO2 dan 55% dari total PM10 berasal dari kendaraan bermotor (Suhadi dan Damantoro, 2005). Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta tahun 2005 memperkirakan bahwa pada tahun 2014 jumlah kendaraan roda empat akan mencapai tiga juta unit ; pada waktu bersamaan rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan akan mencapai titik jenuh. Artinya diperkirakan akan terjadi kemacetan total diruasruas jalan di DKI Jakarta mulai tahun 2014. Masalah sumber pencemar udara dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tidak terlepas dari kontribusi sumber pencemar dari wilayah Bodetabek karena pada saat ini sekitar 1,3 juta penduduk yang bertempat tinggal di wilayah Bodetabek melakukan perjalanan dari dan ke Jakarta setiap hari. Volume pergerakan kendaraan di wilayah Jabodetabek paling tinggi adalah pergerakan dari Bekasi ke Jakarta (dan sebaliknya) dibandingkan dari daerah Tangerang dan Bogor atau Depok (Tabel 1).
9 Tabel 1. Volume pergerakan komuter di Jabodetabek Arah Pergerakan DKI Jakarta – Tangerang DKI Jakarta – Bogor/Depok DKI Jakarta - Bekasi Sumber : JICA, 2004
Volume Pergerakan (kendaraan/hari) 412.543 424.219 499.198
Motorisasi semakin membuat moda transportasi tidak bermotor menjadi rentan dan marginal. Tidak hanya angka kecelakaan yang meningkat, dampak motorisasi juga menyebabkan kemacetan, pecemaran udara dan kebisingan, tingginya konsumsi bahan bakar, dan berkurangnya infrastruktur kota dan lahan terbuka hijau untuk kualitas hidup masyarakat kota yang lebih baik. Kepadatan lalu lintas menyebabkan rata-rata kecepatan menurun dari 38,3 km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002 (JICA, 2004). Kepadatan dan kemacetan lalu lintas menyebabkan kendaraan tidak dapat beroperasi pada kecepatan optimum yaitu kecepatan yang menghasilkan emisi gas buang minimum. Emisi gas buang ini dapat berupa pencemar SO2, NOx, CO, HC, debu, timbal (Pb) dan gas pembentuk efek rumah kaca seperti metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O) dan yang paling besar adalah karbon dioksida (CO2). (Gorham, 2002).
Pada Gambar 2 disampaikan kecepatan rata-rata kendaraan
mobil penumpang di jalan utama di DKI Jakarta.
Gambar 2 Kecepatan rata-rata mobil penumpang di jalan-jalan utama di Jakarta Sumber : JICA, 2004
10 2.4
Karbon Monoksida (CO) Gas CO adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang
tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak menyebabkan iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui pernapasan dan diabsorpsi di dalam darah. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin (yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat haemoglobin sebesar 240 kali lipat kemampuannya mengikat oksigen (O2). Secara langsung hal ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam,sehingga melemahkan
kontraksi
jantung
dan
menurunkan
volume
darah
yang
didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppm ambien) dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppm) dapat menyebabkan kematian. Selain dari bahan bakar, CO juga dihasilkan dari pembakaran produk-produk alam dan sintesis, termasuk rokok. Dalam proses industri, karrbon monoksida digunakan dalam jumlah kecil saja (Kannan, 1995). CO dihasilkan dari pembakaran material yang mengandung karbon seperti bensin, gas alam, batu bara, kayu dan sebagainya. CO merupakan produk yang tidak diinginkan dalam proses pembakaran. Ia diproduksi dalam proses pembakaran dalam oksigen dibawah jenuh yang melibatkan senyawa karbon. Sehingga jumlah CO yang dihasilkan terutama tergantung dari perbandingan bahan bakar dan udara serta tingkat pencampuran. Pada campuran yang ideal, emisi CO yang terbentuk akan sedikit. Berikut ini disampaikan proses pembakaran dalam mesin kendaraan. (Gambar 3).
Gambar 3 Proses pembakaran dalam mesin kendaraan Sumber : UNEP, 2006
11 Karbon monoksida hanya larut ringan dalam air dan termasuk zat yang tidak meracuni air. CO memiliki densitas yang kira-kira sama dengan udara. CO masuk ke atmosfir melalui gas buang dan akan cepat teroksidasi membentuk CO2. CO berbahaya karena tingkat toksisitasnya yang tinggi terhadap manusia dan hewan. Waktu tinggal CO di atmosfir antara 1 sampai 2 bulan. Waktu paruh CO terikat dalam darah kira-kira 250 menit. Konsentrasi CO dapat meningkat di sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan pencemar lokal. Data kimiawi dan sifat fisik dari CO adalah sebagai berikut : Rumus Empiris Berat Molekul Relatif Densitas Densitas Gas Relatif Titik didih Titik Leleh Temperatur nyala Batas Meledak Tekanan Meledak Maksimum Faktor Konversi
: : : : : : : : : :
CO 28,01 gram 1,25 g/l pada 0 oC 0,97 -191,5 oC -199 oC 605 oC 12,5 - 74 vol % 7,3 x 105 Pa 1 ppm = 1,164 mg/m3 1 mg/m3 = 0,859 ppm
2.5 Partikel Debu (PM10) Partikel adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan uap, yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Ukuran partikel antara 0,1 mikron hingga 100 mikron. Di samping mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat terhisap ke ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru.. Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernafasan akan disisihkan tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernafasan atas, sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di dalam tubuh dalam waktu yang lama (Gambar 4). Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10µm (PM10). PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pernafasan, pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat menurunkan
12 fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi penderita bronkhitis. Toksisitas dari partikel inhalable tergantung dari komposisinya. Partikel juga merupakan sumber utama haze (kabut asap) yang menurunkan visibilitas. Partikel debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi pemandangan (mengurangi batas pandang).
Gambar 4 Struktur pernapasan dalam tubuh manusia Sumber : Colls, 2002
13 Adanya cacahan logam beracun yang terdapat dalam partikel di udara merupakan bahaya yang cukup besar bagi kesehatan. Udara yang tercemar pada umumnya hanya mengandung logam berbahaya sekitar 0,01 sampai dengan 0,03 mikron dan seluruh partikel di udara, akan tetapi logam tersebut bersifat akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi synergistic dalam jaringan tubuh manusia. Ada beberapa jenis logam yang terkandung dalam partikel udara, diantaranya ada 4 (empat) jenis logam berat yang dianggap berbahaya bagi kesehatan yaitu timah hitam/timbal (Pb), cadmium (Cd), nikel (Ni), dan merkuri (Hg). Keempat jenis partikel logam tersebut umumnya akan mengganggu sistem pernapasan, penyakit paru-paru, kanker paru-paru, serta radang otak. Menurut Hodges (1976) dalam Satudju (1991), terdapat empat tingkat penyakit yang dihasilkan oleh bahan partikel di udara, yaitu: •
Bronchitis kronis, kerusakan pada tabung bronchial yang tetap atau permanen, produksi mukus yang berlebihan sehingga mengakibatkan batuk yang kronis.
•
Bronchial asthma, bahan-bahan asing yang berupa timah yang memberikan reaksi alergi pada bronchial membran yang hebat, dan menyebabkan pernapasan pendek dan berbunyi.
•
Emphysema, pengerutan bronchiole yang menyebabkan transfer oksigen ke dalam darah berkurang serta menyebabkan pernapasan menjadi pendek dan kronis.
•
Kanker paru-paru, (lung cancer), diakibatkan beberapa partikel yang terdapat di atmosfer yang tercemar dan kebanyakan terdapat di wilayah perkotaan, yaitu partikel debu logam, asbestos, aromatik hidrokarbon (carcinogen 3, benzylphyrene). Tetapi konsentrasi partikel-partikel tersebut sangat kecil.
14
2.6
Nitrogen Oksida (NOx) NOx adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfir terdiri atas NO dan
NO2. Walaupun bentuk nitrogen oksida lainnya ada, tetapi kedua gas ini paling banyak ditemui sebagai polutan udara. NO merupakan gas yang tidak berwarna dan berbau, sebaliknya NO2 mempunyai warna coklat kemerahan dan berbau tajam. Pembentukan NO dan NO2 mencakup reaksi antara nitrogen dan oksigen di udara sehingga membentuk NO, kemudian reaksi antara NO dengan lebih banyak oksigen membentuk NO2 (Fardiaz, 1992). Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut : N2
+ O2
2 NO
2NO + O2
2NO2
Udara terdiri dari sekitar 80 % volume nitrogen dan 20 % volume oksigen. Pada suhu kamar kedua gas ini hanya sedikit mempunyai kecenderungan untuk bereaksi satu sama lain. Pada suhu yang lebih tinggi (diatas 1210 oC) keduanya dapat bereaksi membentuk NO dalam jumlah lebih tinggi mengakibatkan polusi udara. Dalam proses pembakaran, suhu yang digunakan biasanya mencapai 121 oC-1765 oC dengan adanya udara, oleh karena itu reaksi merupakan sumber NO yang penting. Jadi reaksi pembentukan NO merupakan hasil samping dalam proses pembakaran. Dari seluruh jumlah NO yang dibebaskan ke atmosfer, jumlah yang terbanyak adalah dalam bentuk NO yang diproduksi oleh aktifitas bakteri. Akan tetapi polusi NO dari sumber alam ini tidak merupakan masalah karena tersebar secara merata sehingga jumlahnya menjadi kecil. Hal yang menjadi masalah adalah polusi NO yang diproduksi oleh kegiatan manusia karena jumlahnya akan meningkat hanya pada tempat-tempat tertentu. Oksida nitrogen yang umum dijumpai di udara dalam bentuk nirogen dioksida dan nitrogen monoksida. Kedua macam gas tersebut mempunyai sifat yang berbeda dan sangat berbahaya bagi kesehatan. Udara yang mengandung gas NO dalam batas normal relatif aman dan tidak berbahaya, kecuali bila gas NO
15 berada dalam konsentrasi yang sangat tinggi. Konsentrasi gas NO yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem syaraf yang mengakibatkan kejangkejang. Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila gas itu teroksidasi oleh oksigen sehingga menjadi gas NO2. Sifat racun (toksisitas) gas NO2 empat kali lebih kuat daripada toksisitas gas NO. Organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas NO2 adalah paru-paru. Paru-paru yang terkontaminasi oleh gas NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernafas yang dapat mengakibatkan kematian (Kannan, 1997). Udara yang tercemar oleh gas nitrigen oksida dapat menyebabkan bintikbintik pada permukaan daun tanaman. Pada konsentrasi lebih tinggi dapat menyebabkan nekrosis atau kerusakan pada jaringan daun. NOx adalah kontributor utama smog (smoke dan fog atau asap dan kabut) dan deposisi asam. Nitrogen oksida bereaksi dengan senyawa organik volatil (yang mudah menguap) membentuk ozon dan oxidan lainnya seperti peroksiasetilnitrat (PAN) di dalam smog fotokimia. Bila bersamaan dengan air hujan, reaksi tersebut menghasilkan asam nitrat yang menyebabkan hujan asam. Smog fotokimia berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita asma, batuk-batuk pada anak-anak dan orang tua, dan berbagai gangguan sistem pernapasan, serta menurunkan jarak pandang. Deposisi asam basah (hujan asam) dan kering (bila gas NOx membentuk partikel aerosol nitrat dan terdeposisi ke permukaan bumi) dapat membahayakan tanaman, pertanian, ekosistem perairan dan hutan. Hujan asam dapat mengalir memasuki danau dan sungai lalu melepaskan logam aluminium dari tanah serta mengubah komposisi kimia air. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan dan bahkan memusnahkan kehidupan air. Oksida nitrogen diproduksi terutama dari proses pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batu bara dan gas alam. 2.7
Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor Pengendalian pencemaran udara dari sektor transportasi yang merupakan
sumber dominan pencemaran di DKI Jakarta, harus mencakup upaya-upaya pengendalian langsung maupun tak langsung yang dapat menurunkan tingkat emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Ada dua pendekatan strategi yang
16 mungkin diterapkan, yaitu (1) penurunan laju emisi pencemar dari setiap kendaraan untuk satu kilometer jalan yang ditempuh atau (2) penurunan jumlah dan kerapatan total kendaraan didalam suatu daerah tertentu (Soedomo, 2001). Pemilihan strategi yang terbaik diperlukan sehingga dampak ekonomi dan sosial yang akan timbul adalah sekecil mungkin. Pengendalian pencemaran udara perkotaan mempunyai implikasi yang luas, mencakup aspek perencanaan kota, sistem lalu lintas, prasarana dan sarana transportasi serta bahan bakar yang digunakan. Beberapa faktor penting yang menyebabkan berpengaruhnya sistem lalu lintas terhadap pencemaran udara perkotaan adalah (Eggleston, 2000; Sukarto, 2004): -
Tidak seimbangnya prasarana lalu lintas dengan jumlah kendaraan yang ada
-
Pola mengemudi (driving pattern)
-
Jenis, umur, karakteristik dan faktor perawatan kendaraan bermotor. Usaha pengendalian yang mungkin dilakukan ditunjukkan dengan garis
terputus pada diagram dalam Gambar 5. Pengendalian yang paling baik diarahkan kepada pengendalian penyebabnya. Beberapa langkah disinsentif untuk mengurangi kepadatan lalu lintas secara parsial dilakukan dengan cara pembatasan minimum penumpang kendaraan atau pembatasan jenis kendaraan bermotor pada ruas jalan atau wilayah tertentu, misalnya kawasan three in one dan pembatasan waktu melintas bagi truk dengan jumlah berat tertentu di DKI Jakarta. Namun perlu diperhatikan bahwa pengendalian kepadatan lalu lintas disuatu kawasan tanpa upaya mengurangi volume kendaraan secara keseluruhan tidak akan mengurangi emisi gas buang total karena yang terjadi adalah pengalihan volume kendaraan dari suatu ruas jalan ke ruas jalan lain. Pada saat ini upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Khusus DKI Jakarta dalam rangka pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah : 1.
Sistem pemeriksaan dan perawatan emisi kendaraan bermotor
2.
Penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan umum
17
Variabel Ekonomi
Perencanaan Kota
Sistem Transportasi
Pola Lalu lintas BBM Jumlah Kendaraan
Jumlah trip (Kend/km)
Faktor Emisi
PENGENDALIAN
Emisi Pencemar
Meteorologi
Dispersi Difusi
Konsentrasi
Baku Mutu
Reseptor
Gambar 5 Konsep pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor Sumber USEPA, 1976 dalam Soedomo, 2001
2.7.1 Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Emisi Kendaraan Bermotor Salah satu strategi pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang dilakukan di berbagai negara maju maupun berkembang adalah sistem pemeriksaan dan perawatan emisi kendaraan bermotor (sistem P dan P) atau dikenal dengan istilah I/M System. Sistem P dan P adalah cara untuk melihat
18 apakah sistem kontrol emisi pada kendaraan berjalan dengan benar atau tidak. Tujuan dari sistem P&P ini adalah untuk mengidentifikasi kendaraan-kendaraan yang beroperasi yang tidak memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO, HC dan opasitas. Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut dipersyaratkan untuk diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas. Secara umum terdapat tiga struktur (tipe) sistem P dan P, yaitu sentralisasi, desentralisasi dan kombinasi (NAP, 2001). a. Tipe sentralisasi atau terpusat adalah pengujian yang dilakukan di berbagai tempat yang dikelola oleh satu atau dua operator (pemerintah atau swasta) b. Tipe desentralisasi adalah pengujian emisi dilaksanakan di berbagai tempat yang dikelola oleh banyak operator. Biasanya operator pemeriksaan adalah bengkel-bengkel yang tersebar di berbagai tempat dan perawatan pun dapat dilakukan di bengkel yang sama. c. Tipe kombinasi adalah merupakan kombinasi kedua tipe sentralisasi dan desentralisasi. Di DKI Jakarta, sistem P&P mulai di perkenalkan pada masyarakat tahun 1997 atas dukungan Clean Air Project Swisscontact melalui uji emisi yang dilakukan dijalan atau tempat tertentu (Spot check). Kemudian pada tahun 2000 diterbitkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 95/2000 tentang Pemeriksaan Emisi dan Perawatan Mobil Penumpang Pribadi di Provinsi DKI Jakarta. Kebijakan tersebut mewajibkan setiap kendaraan pribadi melakukan pemeriksaan emisi satu tahun sekali pada bengkel yang sudah diakreditasi. Apabila emisinya melebihi ambang batas yang ada maka pemilik kendaraan diharuskan melakukan perawatan kendaraannya hingga emisinya memenuhi nilai ambang batas. 2.7.2 Penggunaan Bahan Bakar pada Kendaraan Umum Sejarah perkembangan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor transportasi di DKI Jakarta tidak terlepas dari posisi DKI Jakarta sebagai lokasi pilot project nasional. Pemanfaatan gas untuk transportasi dimulai dengan pelaksanaan konversi 300 taksi di tahun 1987. Jumlah ini meningkat perlahan menjadi ± 4.500 kendaraan dalam waktu 10 tahun kemudian ditambah dengan sekitar 40 bus besar. Puncaknya pada tahun 2000, pada saat jumlah kendaraan
19 pengguna gas mencapai angka ± 6.600 unit. Setelah itu, jumlahnya turun drastis, dan hanya tersisa ± 2.500 di tahun 2002, bahkan menjadi hanya 534 unit pada tahun 2004. Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan teknis yang dialami Perusahaan umum Pengangkutan Djakarta (PPD) dalam mengoperasikan bus berbahan bakar gas, jumlah bus dimaksud pada tahun 2002 hanya tersisa 5 unit, dan habis sama sekali di tahun 2004. Pada saat ini strategi penerapan pemanfaatan bahan bakar gas untuk kendaraan umum akan diterapkan kepada armada busway khususnya koridor 2 dan seterusnya diwajibkan telah menggunakan BBG, sedangkan untuk busway koridor 1 perlu diupayakan secara bertahap. Penetapan target sasaran mobil penumpang umum dibakukan secara bertahap dengan berorientasi kepada point to point terminal sesuai dengan ketersediaan BBG dan lokasi SPBG. Peningkatan jumlah kendaraan yang berbahan bakar gas juga perlu ditunjang oleh bengkel-bengkel instalasi dengan memanfaatkan bengkel-bengkel yang telah ada, menyusun mekanisme perijinan dan pengawasannya serta mendidik teknisiteknisi yang profesional. Program yang ditetapkan dalam pemanfaatan BBG untuk transportasi di bidang kendaraan meliputi: a. Penyusunan Peraturan Gubernur tentang kewajiban penggunaan BBG oleh angkutan umum dan kendaraan operasional Pemda DKI Jakarta (berdasarkan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara Nomor 2 Tahun 2005 Pasal 20). b. Pemberian insentif penggunaan BBG oleh angkutan umum Dz`engan kegiatan berupa penyusunan kebijakan tentang pemberian insentif kepada pengusaha angkutan umum serta mekanismenya untuk konversi ke BBG c. Penyusunan mekanisme perijinan bengkel pemasangan dan perawatan peralatan konversi dengan kegiatan berupa Penyusunan kriteria bengkel dan mekanisme pemberian ijin bengkel pemasangan dan perawatan peralatan konversi d. Peningkatan pengetahuan teknisi bengkel pemasangan dan perawatan peralatan konversi yang meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Penyusunan materi pelatihan teknisi
20 b. Pelaksanaan pelatihan teknisi e. Sosialisasi tentang pemanfaatan BBG untuk angkutan umum yang meliputi kegiatan sebagai berikut: a. Penyusunan konsep dan strategi sosialisasi b. Penyusunan rencana pelaksanaan sosialisasi c. Produksi materi sosialisasi d. Pelaksanaan sosialisasi 2.8
Bahan Bakar Minyak Bahan bakar minyak (BBM) masih merupakan energi utama yang di
konsumsi oleh masyarakat. Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian energi final merupakan yang terbesar dan terus mengalami peningkatan. Dilihat dari sisi pemakaian BBM, sektor transportasi merupakan pemakai BBM terbesar (47%) dengan proporsi setiap tahun selalu mengalami kenaikkan. Kemudian di susul oleh sektor rumah tangga (22%), sektor industri (21%) dan pembangkit listrik (10%). Peningkatan konsumsi BBM di sector transportasi berkaitan erat dengan pertumbuhan jumlah kendaraan serta tergantung pada kondisi-kondisi seperti: pola lalu lintas, kondisi teknis mesin dan peralatan kendaraan, pola mengemudi dan prasarana jalan (Hidayat, 2005). 2.8.1 Bensin Jenis bahan bakar minyak bensin merupakan nama umum untuk beberapa jenis BBM yang diperuntukkan bagi mesin dengan jenis pembakaran menggunakan pengapian. Di Indonesia terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis bensin yang memiliki nilai mutu pembakaran berbeda. Nilai mutu pembakaran ini dihitung berdasarkan nilai RON (randon octane number). Berdasarkan RON tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : a. Premium (RON 88), merupakan bahan bakar minyak jenis distilat berwarna kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat pewarna tambahan (dye). Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin bensin seperti mobil, sepeda motor, dan lain-lain. b. Pertamax (RON 92), merupakan bahan bakar dengan stabilitas oksidasi tinggi
21 dan kandungan olefin, aromatik dan benzen pada level yang rendah sehingga menghasilkan pembakaran tang lebih sempurna pada mesin. Pertamax ditujukan untuk kendaraan yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan tanpa timbal (unleaded). Pertamax juga direkomendasikan untuk kendaraan yang diproduksi diatas tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi setara dengan electronic fuel injection dan catalytic converter. c. Pertamax Plus (RON 95), merupakan bahan bakar dengan kandungan energi tinggi. Jenis BBM ini telah memenuhi standar performance international world fuel charter (WWFC). Pertamax plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan yang memiliki kompresi ratio >10,5 dan juga yang menggunakan teknologi electronic fuel injection, variable valve timing intelligent, turbocharge dan catalytic converter (Bphmigas, 2005). 2.8.2 Solar High speed diesel (HSD) merupakan BBM jenis solar yang memiliki angka Performa cetane number 45, jenis BBM ini umumnya digunakan untuk mesin transportasi jenis diesel dengan sistem injeksi pompa mekanik (injection pump) dan electronic injection . Penggunaan jenis BBM ini adalah untuk transportasi dan mesin industri. Berikut ini memperlihatkan properti dari minyak solar (Bphmigas, 2005). 2.9. Bahan Bakar Gas Bahan Bakar Gas adalah gas bumi yang telah dimurnikan dan aman, bersih, andal, murah. BBG digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Komposisi BBG sebagian besar terdiri dari gas metana dan etana kurang lebih 90% dan selebihnya adalah gas propana, butana, nitrogen dan karbondioksida. BBG lebih ringan dari udara dengan berat jenis sekitar 0,6036 dan mempunya nilai oktan 120 (Bphmigas,2003) Gas alam terkompresi (compressed natural gas, CNG) adalah alternatif bahan bakar selain bensin atau solar. Di Indonesia, kita mengenal CNG sebagai bahan bakar gas (BBG). Bahan bakar ini dianggap lebih 'bersih' bila dibandingkan dengan dua bahan bakar minyak karena emisi gas buangnya yang ramah
22 lingkungan. CNG dibuat dengan melakukan kompresi metana (CH4) yang diekstrak dari gas alam. CNG disimpan dan didistribusikan dalam bejana tekan, biasanya berbentuk silinder. Argentina dan Brazil di Amerika Latin adalah dua negara dengan jumlah kendaraan pengguna CNG terbesar berdasarkan laporan kajian bahan bakar gas untuk transportasi, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral tahun 2003. Konversi ke CNG difasilitasi dengan pemberian harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan bahan bakar cair (bensin dan solar), peralatan konversi yang dibuat lokal dan infrastruktur distribusi CNG yang terus berkembang. Sejalan dengan semakin meningkatnya harga minyak dan kesadaran lingkungan, CNG saat ini mulai digunakan juga untuk kendaraan penumpang dan truk barang berdaya ringan hingga menengah. CNG bukanlah barang baru di Indonesia. Pencanangan untuk menggunakan CNG yang harganya lebih murah dan lebih bersih lingkungan dari pada bahan bakar minyak (BBM) sudah dilakukan sejak tahun 1986. Pada saat itu ditetapkan bahwa 20 persen dari armada taksi harus memakai CNG. Namun, karena pada saat itu harga BBM masih dianggap terjangkau dan stasiun pengisian BBM terdapat di mana-mana, maka minat untuk menggunakannya tidak sempat membesar. CNG terkadang dianggap sama dengan LNG. Walaupun keduanya samasama gas alam, perbedaan utamanya adalah CNG adalah gas terkompresi sedangkan LNG adalah gas dalam bentuk cair. CNG secara ekonomis lebih murah dalam produksi dan penyimpanan dibandingkan LNG yang membutuhkan pendinginan dan tangki kriogenik yang mahal. Akan tetapi CNG membutuhkan tempat penyimpanan yang lebih besar untuk sejumlah massa gas alam yang sama serta perlu tekanan yang sangat tinggi. Oleh karena itu pemasaran CNG lebih ekonomis untuk lokasi-lokasi yang dekat dengan sumber gas alam. CNG juga perlu dibedakan dari LPG, yang merupakan campuran terkompresi dari propana (C3H8) dan butana (C4H10) (Wikipedia, 2008) Bahan bakar gas memiliki emisi karbon monoksida (CO) yang lebih rendah, hampir tidak memancarkan partikulat dan telah mengurangi senyawa organik yang mudah menguap (VOC). Per unit energi, bahan bakar gas mengandung lebih
23 sedikit karbon dibanding bahan bakar fosil lain, mendorong ke arah emisi gas karbon dioksida yang lebih rendah (CO2) per kilometer jalannya kendaraan. Emisi cold-start dari Kendaraan BBG juga rendah, karena pengayaan cold-start tidaklah diperlukan, dan ini mengurangi baik hidro- karbon non metana (NMHC) dan emisi CO. Pengurangan emisi yang spesifik untuk kendaraan BBG dibandingkan dengan bensin adalah (GTZ, 2003): •
CO, 60-80%
•
gas organik non metana (NMOG), 87%
•
NOx, 50-80%
•
CO2, sekitar 20%
•
Reaktifitas produksi ozon, 80-90%
2.10 Inventory Emisi Inventory emisi merupakan kumpulan informasi secara kuantitas tentang pencemaran udara dari keseluruhan sumber yang berada pada suatu wilayah geografis selama periode waktu tertentu. Inventori emisi menyediakan informasi dari semua sumber emisi beserta lokasi, ukuran, frekuensi, durasi waktu, serta konstribusi relatif emisi. Inventori emisi tersebut nantinya dapat digunakan sebagai dasar acuan untuk tindakan pencegahan terhadap pencemaran udara pada masa yang akan datang serta membantu dalam menganalisa aktivitas yang berperan dalam peningkatan pencemaran di area geografis dalam studi yang dilakukan (Canter, 1996). Inventory emisi menyajikan perhitungan kuantitas suatu kontaminan yang diemisikan oleh sumber tertentu dan dikombinasikan dengan emisi yang berasal dari sumber lainnya. Metodologi dasar dari inventori emisi menggunakan rata-rata emisi untuk setiap aktivitas yang didasarkan pada kuantitas penggunaan material seperti bahan bakar. Penting untuk diperhatikan bahwa inventori emisi menampilkan perhitungan rata-rata emisi dalam periode waktu tertentu dan tidak mengidikasikan emisi yang aktual dalam satuan hari (Wilton, 2001).
24 Sasaran utama dari inventory emisi adalah untuk menganalisa sumber buangan yang mengemisikan kontaminan ke dalam atmosfer. Inventori emisi dapat memberikan indikasi tentang kondisi udara di lingkungan dan gambaran kualitas udara yang ada. Inventory emisi jika dikaitkan dengan instrumen pengelolaan kualitas udara, dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber permasalahan mengenai kualitas udara dan membantu dalam mengidentifikasi alternatif pengelolaan untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran udara. Inventori emisi merupakan komponen penting dari sekian banyak strategi pengelolaan kualitas udara. Komponen atau instrumen lainnya dalam strategi pengelolaan kualitas udara antara lain pemantauan, pembuatan tujuan kualitas udara, analisa dampak meteorologi, serta analisa biaya-manfaat. Inventory emisi juga diperlukan untuk penentuan perencanaan yang mencakup identifikasi konstributor utama, menentukan tingkat pengendalian dan sebagai
dasar
pengembangan
strategi
pengendalian.
US
EPA
(2004)
mengungkapkan bahwa inventori emisi diperlukan guna penentuan perijinan suatu kegiatan yang dapat berdampak terhadap lingkungan pada suatu wilayah tertentu seperti penentuan terhadap attainment status suatu wilayah. Selain itu inventori emisi diperlukan untuk sumber informasi publik yang bersifat terbuka mengenai status kondisi kualitas udara dan sebagai alat untuk melacak emisi-emisi sepanjang waktu. Melalui inventori emisi dapat diketahui dimana polusi udara diemisikan, berapa besar emisi yang dikeluarkan oleh setiap sumber dan sumber mana yang lebih efektif dan menjadi skala prioritas untuk dilakukan pengendalian emisinya. Perhitungan emisi yang dihasilkan dapat dihitung berdasarkan data dasar atau indeks dari operasi suatu sistem seperti jumlah dan kandungan material dari energi yang digunakan, proses alamiah, sistem penanganan kontrol emisi yang digunakan, perhitungan keseimbangan massa, dan perhitungan berdasarkan faktor emisi. Inventory emisi biasanya mencakup dua komponen data penting yaitu mencakup data kategori polutan dan data kategori sumber emisi. berdasarkan acuan dari US EPA (1972), pembuatan inventory emisi mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1. Klasifikasi semua polutan dan sumber emisi pada lokasi yang dimaksud
25 2. Identifikasi dan mendapatkan informasi mengenai faktor emisi untuk tiap polutan dan sumber 3. Memperkirakan kuantitas informasi unit produksi 4. Perhitungan rata-rata untuk tiap polutan yang diemisikan ke atmosfer 5. Menyimpulkan emisi polutan yang spesifik untuk masing-masing sumber yang teridentifikasi Inventory emisi dapat digunakan pada keseluruhan area geografis, akan tetapi dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan pembaruan informasi termasuk faktor emisi, perubahan informasi (sumber yang hilang dan sumber yang baru), sehingga diperlukan pengecekan atau pengawasan secara periodik terhadap ketersediaan berbagai informasi serta perubahan-perubahan dalam pembuatan inventory emisi (Canter, 1996). Menurut IPCC (2006), pelaksanaan inventory harus dapat memberikan jaminan kualitas mulai dari pengumpulan data sampai pada pelaporan. Indikator dari kualitas inventori meliputi beberapa hal, yaitu : a. Transparansi. Pihak di luar pelaksana inventory dapat mengerti tentang bagaimana inventori dilaksanakan dan mudah untuk diaplikasikan dalam skala nasional b. Kelengkapan. Semua pengukuran yang berdasar pada sumber, parameter gas dan lokasi harus dilaporkan secara lengkap termasuk adanya komponenkomponen yang terlewatkan selama melakukan inventory c. Konsistensi. Inventory yang digunakan untuk mengetahui pola tahunan harus dihitung berdasarkan metode dan sumber data yang tetap setiap tahunnya sehingga mampu memberikan gambaran fluktuasi dari emisi yang dihasilkan d. Perbandingan. Inventory emisi yang dilakukan harus dapat dibandingkan dengan inventori emisi di kota atau negara lain untuk skala yang sama e. Akurasi. Adanya over/under estimate dalam perhitungan inventory emisi harus dapat dipertanggungjawabkan. Pembaruan data inventory emisi perlu dilakukan secara teratur, sedikitnya setiap dua tahun. Tujuan dan kegunaan pembaruan data inventory emisi adalah: •
Pengkajian kualitas udara
•
Pengamatan kecenderungan emisi
26 •
Input pemodelan kualitas udara
•
Mengevaluasi skenario di masa yang akan datang, seperti memperkirakan dampak suatu rencana aksi pengelolaan terhadap perbaikan kualitas udara, dampak adanya sumber pencemaran baru, atau skenario penurunan emisi
•
Panduan untuk mengembangkan dan menyempurnakan jaringan pemantau kualitas udara (Bappenas, 2006)
III. GAMBARAN WILAYAH STUDI
3.1 Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta DKI Jakarta adalah ibukota Republik Indonesia, yang terdiri dari lima wilayah kota dan satu kabupaten administratif. Kelima kota tersebut adalah Jakarta utara, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan serta Kabupaten Kepulauan Seribu. Letak Provinsi DKI Jakarta berada diantara 6o12’ Lintang Selatan dan 106o48’ Bujur Timur yang merupakan daerah daratan rendah dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah daratan 661,5 km2 dan lautan seluas 6.977,5 km2. Jakarta beriklim tropis dengan suhu tahunan rata-rata 27oC dan kelembaban 80-90%. Karena terletak dekat dengan garis katulistiwa, arah angin dipengaruhi oleh angin musim. Angin musim barat bertiup antara November dan April sedangkan angin musim timur bertiup antara Mei dan Oktober. Suhu harian di Jakarta dipengaruhi angin laut dan darat karena lokasinya yang terletak dekat dengan pantai. Curah hujan rata-rata adalah 2.000 mm yang umumnya paling besar terjadi pada bulan Januari dan paling kecil bulan September. 3.2
Kondisi Kependudukan, Ekonomi dan Transportasi
3.2.1
Kependudukan Jumlah penduduk DKI Jakarta berdasarkan hasil survei sosial ekonomi
nasional tahun 2006 berjumlah 8.960.000 jiwa, dengan luas wilayah seluas 661,5 km2 berarti kepadatan penduduknya mencapai 13.500 jiwa/km2. Hal tersebut menjadikan provinsi DKI Jakarta sebagai wilayah terpadat penduduknya di Indonesia. Dari jumlah tersebut penduduk laki–laki lebih banyak dari pada perempuan dengan sex ratio lebih dari angka 100 yaitu 100,10. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun adalah jenjang SLTA 35,23 %, SLTP 19,59 %, SD 20,95 % serta Universitas 12,33 %. Tingkat pertumbuhan (kelahiran) penduduk pada tahun 2000-2005 menurun dari 1,21 % menjadi 1,11 % pada periode 2000–2006. Jumlah penduduk yang begitu
28
besar serta pendatang baru yang terus bertambah mengakibatkan penurunan pertumbuhan tersebut tidak terlihat. Selama ini Pemda DKI Jakarta terus melakukan upaya untuk menyusun tata ruang perkotaan yang tepat dan memikirkan bagaimana memberi ruang hidup, makanan, air bersih, pelayanan kesehatan, obat–obatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan dan prasarana transportasi serta berbagai kebutuhan lainnya kepada penduduk DKI Jakarta. Sementara upaya transmigrasi penduduk juga terusmenerus dilakukan. 3.2.2
Perekonomian Perekonomian DKI Jakarta pada tahun 2006 tumbuh sebesar 5,90 %,
angka tersebut lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2005 yang mencapai 6,01 %. Sektor–sektor yang menunjukan pertumbuhan tinggi pada periode tahun 2006 adalah sektor pengungkatan dan komunikasi sebesar 14,25 %, sektor bangunan sebesar 7,12 %, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 6,60 %. Dibidang perekonomian pertumbuhan ekonomi pada masa yang akan datang diharapkan akan tetap positif. Sebelum terjadinya krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi provinsi DKI Jakarta mencapai rata–rata 7%-8 % pertahun, kemudian selama puncak krisis tahun 1998 dan 1999, pertumbuhan mengalami kontraksi masing–masing sebesar 17,5% dan -0,29 %. Kinerja ekonomi mulai menunjukan pertumbuhan positif pada tahun 2000 dan 2001 yaitu mencapai masing – masing 3,98 % dan 3,64%. Diharapkan untuk tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 tetap akan tercapai pertumbuhan positif antara 4 % hingga 6 % per tahun. Hal ini pun masih akan tergantung pada seberapa jauh stabilitas politik, penegakan hukum dan ketertiban masyarakat dapat dicapai dan diperlukan untuk mendukung aktivitas ekonomi secara kondusif lima tahun kedepan. Selanjutnya inflasi diharapkan dapat ditekan dibawah dua digit per tahun selama lima tahun kedepan. Seperti telah diketahui, pada tahun 1998 telah terjadi hiper inflasi yang mencapai 74,40 %, walaupun kemudian dapat ditekan menjadi sebesar 1,60% pada tahun 1999. Tahun 2006 laju inflasi harga konsumen mencapai 6,03 % lebih kecil daripada tahun 2005 yang sebesar 16,06 % (BPS, 2007)
29
3.2.3
Sistem Transportasi Semenjak dihentikannya pengoperasian trem oleh pemerintah DKI Jakarta
era 1970an, bus sudah menjadi sarana transportasi umum yang penting disamping sarana transportasi yang lain. Namun, selama 30 tahun lebih, porsi penggunaan bus semakin menurun dibandingkan dengan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor, dimana rasio kendaraan pribadi (92%) dan umum (8%) menjadi semakin lebar perbedaannya), sehingga public transport share nya menurun dari sekitar 70% (tahun 1970-an) menjadi 57% (1985) dan 45% (2000) (Sutomo & Ammari, 2008). Adapun jenis kendaraan yang digunakan di DKI Jakarta adalah sebagai berikut : -
Bajaj, bemo, toyoko (tricycle, pada umumnya memakai mesin 2 Tak)
-
Sedan, jeep, taksi dan sejenisnya (termasuk yang berbahan bakar diesel)
-
Mikrolet, APK, APB, KWK
-
Metromini dan sejenisnya (berbahan bakar diesel)
-
Bis besar
-
Pick up, box kecil (untuk angkutan barang dalam kota)
-
Truk sedang, besar, gandeng, peti kemas
-
Sepeda motor (status kepemilikan pribadi dan dinas) Gambar 6 memperlihatkan preferensi moda transportasi berdasarkan hasil
survei yang dilakukan di Jabodetabek. Preferensi dinilai dari tingkat kenyamanan, keamanan, kecepatan, kesenangan, dan biaya. Misalnya, mobil pribadi memiliki tingkat kenyamanan, keamanan, kesenangan, kecepatan, dan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan bis. Sedangkan sepeda motor memiliki tingkat kecepatan yang sama dengan mobil pribadi, tetapi memiliki tingkat kenyamanan, kesenangan, dan keamanan yang lebih rendah. Namun, tingkat biaya sepeda motor sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan mobil pribadi. Hasil survei ini semakin memperkuat alasan mengapa penggunaan kendaraan pribadi terus meningkat.
30
Gambar 6. Survei moda transportasi di JABOTABEK tahun 2002 Sumber : JICA, 2004
Kondisi kendaraan umum di Jakarta tahun 2007 sebanyak 22.476 bis kota yang terdiri dari bis besar sebanyak 4.513 buah, bis sedang sejumlah 4.979 dan bis kecil 12.984 buah (BPS, 2008).
Sedangkan jumlah kendaraan pribadi yang
terdaftar di Polda Metro Jaya adalah 3,28 juta buah yang terdiri dari sepeda motor dan mobil penumpang pribadi .
Panjang jalan (km)
10000 8000 6000 4000 2000 0 1998
1999
2000
2001
2002
Tahun
Gambar 7 Panjang jalan di Provinsi DKI Jakarta Sumber : BAPPENAS, 2006
2003
31
Total panjang jalan di DKI Jakarta kurang lebih 10% dari total panjang jalan di Pulau Jawa. Pada saat ini panjang jalan adalah 7.600 km atau sekitar 7% dari luas wilayah kota. Walaupun pemerintah berupaya mengatasi persoalan kemacetan dengan membangun jalan baru, memperlebar jalan, atau membangun jalan tol, ternyata hal ini tidak memecahkan masalah bahkan semakin menambah jumlah kendaraan di jalan raya yang akhirnya semakin menambah kemacetan. Rasio panjang jalan yang rendah (pertumbuhan panjang jalan dan lebar jalan tidak signifikan) seharusnya di atasi dengan penggunaan angkutan umum yang berkapasitas angkut besar. Pola jaringan jalan di DKI Jakarta terdiri dari sistem jaringan jalan lingkar, yaitu lingkar dalam (inner ring road) dan lingkar luar (outer ring road) yang juga merupakan jaringan jalan arteri primer, jaringan radial yang melayani kawasan di dalam inner ring road, dan jaringan jalan berpola grid di wilayah sentra ekonomi. Tahun 2004 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mendukung sistem transportasi yang baik di ibukota menetapkan rencana pengembangan sistem transportasi berdasarkan skenario tahun 2002 (dasar), tahun 2007, tahun 2010 dan tahun 2020. Hal ini dapat dilihat pada Keputusan Gubernur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta No. 84/2004 tentang Pola Transportasi Makro (PTM). Skenario pada tahun 2007 di antaranya mencakup pengembangan kereta api Jabodetabek, busway dan bus-bus pengumpan serta perpindahan antar moda, transport demand management (TDM) yang mengarah pada pembatasan lalu lintas dan parkir, dan angkutan sungai. Sedangkan skenario pada tahun 2010 meliputi mass rapid transit (MRT) dan light rail train (LRT), busway di semua koridor, dan integrasi sistem
angkutan cepat massal berbasis jalan dan rel. Pada dasarnya, PTM
dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan penyediaan jasa transportasi yang terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman, dan efisien.
IV. METODE PENELITIAN
4.1
Waktu dan Tempat Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 7 (tujuh) bulan, yaitu pada awal
bulan Mei 2008 hingga bulan Nopember 2008. Lokasi penelitian ini dilakukan di wilayah DKI Jakarta. 4.2
Objek Penelitian Objek pada penelitian ini adalah beban emisi untuk parameter karbon
monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx) dan partikel debu berukuran ≤10 µm (PM10) dari kendaraan bermotor. Pemilihan parameter pencemar didasarkan bahwa ke tiga parameter merupakan sumber pencemar utama dari pembakaran bahan bakar pada kendaraan bermotor. Adapun kendaraan bermotor yang dimaksud dalam penelitian ini dibagi kedalam 4 (empat) kategori kendaraan yaitu sepeda motor, mobil penumpang (mobil pribadi, taksi, mikrolet), bis dan truk. Pembagian kategori kendaraan disesuaikan dengan peraturan POLDA Metro Jaya dan juga faktor emisi yang telah dikeluarkan oleh KLH. 4.3
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam 2 jenis yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dengan melakukan pengamatan langsung dilapangan sedangkan data sekunder merupakan data yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan oleh pihak lain yang biasanya dalam bentuk publikasi ilmiah atau jurnal serta laporan hasil kegiatan dari lembaga-lembaga yang terkait (BPLHD Prov. DKI Jakarta, BPS, KLH, Dinas Perhubungan dan lain-lain).
33 Tabel 2. Jenis data penelitian No.
Rincian Data
Jenis Data
1.
Pembacaan panjang perjalanan kendaraan (ordometer) Distribusi jenis dan jumlah kendaraan di ruas jalan utama Hasil uji emisi kendaraan di Jalan, Bengkel dan PKB Faktor emisi kendaraan Data kuota BBM Data jumlah, tahun, jenis kendaraan
Primer dan Sekunder Sekunder
2. 3. 4. 5. 6.
4.4
Sekunder Sekunder Sekunder Sekunder
Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik survei dan
dokumentasi dari dokumen yang ada di instansi-instansi terkait, seperti BPLHD Prov. DKI Jakarta, KLH, BPS dan Ditlantas POLDA Metro Jaya. Survei dilakukan untuk mendapatkan data panjang perjalanan kendaraan sepeda motor dan mikrolet dengan jumlah sampel masing-masing 150 unit. Adapun pengumpulan data dilakukan di beberapa SPBU dan terminal. Sedangkan teknik dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data panjang perjalanan kendaraan (kategori mobil penumpang pribadi, taksi, bis dan truk), jumlah dan jenis kendaraan, faktor emisi kendaraan, serta data penjualan BBM. 4.5 Pengolahan Data Pengolahan data yang dilakukan dalam hal ini adalah data yang terkumpul diolah hingga didapatkan data panjang perjalanan rerata untuk setiap kategori kendaraan. Beberapa asumsi yang digunakan dalam mengolah data panjang perjalanan kendaraan, adalah : •
Kecepatan rata-rata kendaraan di DKI Jakarta adalah 25 km/jam
•
Kendaraan dioperasikan maksimum selama 10,5 jam untuk jenis kendaraan bukan umum (jenis sedan, jeep, van/minibus, pick-up dan truk)
•
Kendaraan umum dioperasikan maksimum selama 12 jam
34 •
Kendaraan yang digunakan dalam perhitungan adalah kendaraan dengan tahun pembuatan diatas tahun 1993 (usia kendaraan adalah 15 tahun)
•
Kendaraan dengan tahun pembuatan 2008 diasumsikan berusia 1 tahun
Berdasarkan asumsi tersebut, maka pengolahan data panjang perjalanan setiap kendaraan dilakukan dengan beberapa tahapan: 1.
Data ditabulasikan berdasarkan kategori kendaraannya (mobil penumpang, sepeda motor, bis dan truk). Pada setiap data tabulasi mengandung unsurunsur seperti bahan tahun pembuatan kendaraan, merek dan tipe kendaraan, bakar kendaraan serta nilai panjang perjalanan akumulatif setiap setiap kendaraan tersebut. Nilai panjang perjalanan kendaraan akumulatif yang digunakan adalah : •
Panjang perjalanan akumulatif (yang terbaca pada odometer kendaraan) untuk kendaraan jenis sedan, jeep, van/minibus, pick-up dan truk yang melebihi 96.000 km per tahun atau kurang dari 800 km per tahun dieliminasi.
•
Panjang perjalanan akumulatif untuk kendaraan jening angkutan umum (mikrolet, taksi, dan bis), data odometer yang melebihi 109.500 km per tahun atau kurang dari 10.000 km per tahun dieliminasi.
• 2.
Untuk sepeda motor: tidak ada eliminasi data odometer
Data panjang perjalanan setiap kategori kendaraan pada tahun yang sama dibuat rerataannya. Tahap ini digunakan untuk melihat distribusi data panjang perjalanan kendaraan pada tahun tersebut.
3.
Data dibuat kurva antara usia kendaraan dan panjang perjalanan akumulatifnya. Kurva ini dibuat untuk melihat pola penggunaan kendaraan yang ada di DKI Jakarta. Secara umum panjang perjalanan suatu kendaraan akan sebanding dengan usia pakai kendaraan tersebut. Semakin tua usia kendaraan maka akan semakin besar nilai panjang perjalanannya Laju penggunaan kendaraan tua akan semakin menurun sehingga diduga kurva tidak akan linier bentuknya.
4.
Tahap terakhir adalah data panjang perjalanan setiap kategori kendaraan dibuat rerataannya.
35
Berikut ini disampaikan gambar alur pengolahan data panjang perjalanan kendaraan untuk kategori mobil penumpang (Gambar 8).
Kategori Kendaraan Mobil Penumpang
Data Kend. A
Data Kend. B
Data Kend. n
Data Kend. C
Tahun, VKT akumulatif
Tahun, VKT akumulatif
Tahun, VKT akumulatif
Tahun, VKT akumulatif
Usia Kend 1 thn = VKT rerata Usia Kend 2 thn = VKT rerata Usia Kend 3 thn = VKT rerata • • • •
Usia Kend 15 tahun = VKT rerata
Kurva usia kendaraan dan VKT
VKT rerata Mobil Penumpang Gambar 8 Bagan alir pengolahan data panjang perjalanan kendaraan
36 4.6
Perhitungan dan Analisis Data Perhitungan estimasi beban emisi pencemar pada penelitian ini dilakukan
dengan pendekatan nilai panjang perjalanan kendaraan (vehicle kilometers traveled–VKT). Secara umum perhitungan beban emisi dari kendaraan bermotor mengikuti persamaan sebagai berikut : Beban emisi = FE * N * VKT Keterangan : Beban emisi FE (Faktor Emisi) N VKT
: : : :
(1)
Total emisi dari kendaraan bermotor Massa per unit aktivitas (g/km, g/kg) Jumlah kendaraan panjang perjalanan kendaraan (km/waktu)
Berdasarkan persamaan 1, terdapat 3 (tiga) jenis data yang dibutuhkan yaitu jumlah kendaraan, faktor emisi dan nilai VKT. 4.6.1 Jumlah Kendaraan Jumlah kendaraan yang dimaksud pada persamaan 1 adalah kendaraan yang beroperasi di jalan raya. Pada penelitian ini jumlah kendaraan diambil dari Ditlantas Polda Metro Jaya selama 5 tahun terakhir, yaitu tahun 2003, 2004, 2005, 2006 dan 2007. Sedangkan untuk mengestimasi beban emisi pada tahun 2008, 2014 dan 2020, jumlah kendaraannya diestimasi berdasarkan jumlah kendaraan yang diambil selama 5 tahun sebelumnya tersebut. Adapun rumus perhitungan jumlah kendaraan untuk tahun-tahun yang akan datang adalah : Pt = Po (1+ r)t Keterangan : Pt : Jumlah kendaraan pada akhir periode waktu ke t Po : Jumlah kendaraan pada awal periode waktu ke t r : Rata-rata prosentase pertambahan jumlah kendaraan t : Selisih tahun
(2)
37 4.6.2 Nilai Panjang Perjalanan Kendaraan Panjang perjalanan kendaraan (VKT) adalah kilometer tempuh rerata kendaraan per kurun waktu (hari/minggu/bulan/tahun). Data ini didapatkan dari survei pembacaan odometer yang terpasang pada setiap kendaraan. Penentuan nilai VKT rerata per tahun untuk setiap kategori atau sub-kategori kendaraan, rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:
VKTn =
∑f
i ,n
f i ,n i ,n
∑ X
(3)
Keterangan : VKT n = VKT rerata per tahun untuk kategori n (km/tahun) X i,n = VKT akumulatif kendaraan i kategori n (km/tahun) f i,n = frekuensi VKT akumulatif kendaraan i kategori n
4.6.3 Penentuan Faktor Emisi Faktor emisi adalah massa pencemar dalam gram atau kilogram per kilogram atau per liter bahan bakar yang dikonsumsi atau per kilometer jarak tempuh kendaraan. Data faktor emisi yang digunakan dalam perhitungan diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup seperti terlihat pada Tabel.3. Tabel 3. Faktor emisi kendaraan bermotor di Indonesia (g/km) No. Kategori
PM10
NOx
CO
1. 2. 3. 4.
0,24 0,12 1,4 1,4
0,29 2,30 11,90 17,70
14,0 32,4 11,0 8,4
Sepeda Motor Mobil Penumpang (mix) Bis Truk
Sumber : KLH, 2008
38 Faktor emisi dari kendaraan bermotor yang merupakan nilai besaran emisi suatu pencemar per unit aktifitas, misalnya perkilometer perjalanan, dipengaruhi oleh 4 kelompok parameter. •
Pertama adalah parameter kendaraan, termasuk di dalamnya adalah kategori kendaraan, model dan tahun, akumulasi jarak perjalanan, sistem bahan bakar, sistem control emisi dan kondisi perawatan.
•
Kelompok parameter kedua adalah bahan bakar, termasuk didalamnya jenis bahan bakar, kandungan oksigen, daya penguapan, kandungan benzene, olefin dan aromatik, kandungan sulfur, kandungan timbal.
•
Kelompok parameter ketiga adalah lingkungan, termasuk didalamnya kelembaban, ketinggian, temperatur ambien, dan kelas jalan.
•
Kelompok parameter terakhir adalah kondisi pengoperasian kendaraan, yaitu kecepatan rata-rata berkendara, beban, akselerasi dan penurunan kecepatan, dan perilaku mengemudi.
4.6.4 Estimasi Beban Emisi tahun 2008, 2014 dan 2020 Beban emisi pencemar CO, NOx dan PM10 diperkirakan dan dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
E=∑
Ni * VKTi * FEi
i
6
10
(4)
Keterangan : E = Ni = VKTi= FEi =
Beban pencemar udara a kategori kendaraan i (ton/tahun) Jumlah kendaraan kategori i untuk tahun 2008, 2014 dan 2020 Panjang perjalanan rerata untuk kategori kendaraan i (km/tahun) Faktor emisi pencemar a untuk kendaraan kategori i (g/km)
Gambar 9 disampaikan diagram alur perhitungan estimasi beban emisi dari kendaraan bermotor yang dilakukan.
39
VKT rerata mobil penumpang
VKT rerata sepeda motor
VKT rerata bis
Jumlah Kendaraan : - mobil penumpang - sepeda motor - bis - truk
-
VKT rerata truk
Faktor Emisi : mobil penumpang sepeda motor bis truk
BEBAN EMISI CO, NOx dan PM10 DI DKI JAKARTA
Gambar 9 Bagan alir perhitungan estimasi beban emisi 4.6.5 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dalam Menurunkan Beban Emisi Pencemar Kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang akan diberlakukan di DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005 adalah pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor atau dikenal dengan istilah Sistem P dan P (pasal 19) dan penggunaan bahan bakar alternatif yaitu BBG untuk kendaraan umum dan kendaraan operasional (pasal 20). Kedua kebijakan tersebut dievaluasi dan dianalisis pengaruhnya terhadap penurunan beban emisi di tahun yang akan datang, baik untuk jangka pendek (tahun 2014) maupun jangka panjang (tahun 2020). Analisis pengaruh kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta dalam menurunkan beban emisi dilakukan menggunakan dua skenario. Skenario pertama dibangun dengan mengasumsikan bahwa kedua kebijakan diterapkan secara terpisah. Skenario kedua dibangun dengan mengasumsikan kedua kebijakan diterapkan bersamaan.
40 Tahapan
yang
dilakukan
dalam
menganalisis
efektifitas
dengan
menggunakan dua skenario diatas adalah : •
Menganalisis penurunan beban emisi pencemar CO, PM10 dan NOx tahun 2014 dan tahun 2020 bila kebijakan sistem P dan P diterapkan bagi kendaraan mobil penumpang pribadi dan juga sepeda motor.
•
Menghitung efisiensi bahan bakar bila kebijakan sistem P dan P diterapkan
•
Menganalisis penurunan beban emisi masing-masing pencemar bila kebijakan penggunaan BBG untuk kendaraan umum diterapkan
•
Menganalisis penurunan beban emisi masing-masing pencemar bila kedua kebijakan diterapkan secara bersamaan.
4.6.6 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model Kotak. Kualitas udara tahun 2014 dan 2020 untuk pencemar CO, NOx dan PM10 diperkirakan dengan menggunakan pendekatan model kotak yang sederhana. Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah bahwa pencemar dianggap tercampur sempurna dalam kotak volume yang telah ditentukan. Ketinggian kotak adalah ketinggian lapisan pencampuran atau ketinggian inversi temperatur. Kecepatan angin terhadap profil ketinggian vertikal dianggap sama atau seragam dan turbulensi angin arah vertikal diabaikan. Rumus persamaan yang digunakan untuk menghitung konsentrasi pencemar adalah :
C= Keterangan : C = Konsentrasi pencemar (µg/m3) A = Luas are (m2) H = tinggi lapisan pencampuran (m)
E A∗ H
(5)
41
Sebelum menghitung estimasi pencemaran udara yang terjadi di setiap wilayah administratif kotamadya, nilai VKT yang didapat dari perhitungan 4.2.2 didistribusikan terlebih dahulu ke setiap wilayah administratif tersebut. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut (Hao et al. 2000):
(
)
VKT kj = K 1k + K 2k .VKT
j
Keterangan : VKTkj = VKT untuk suatu area k dan kategori kendaraan j VKTj = total VKT
K1k = K 2k = pk = pt = Lk = Lt = α=
αp k pt
= faktor pembobot kepadatan penduduk
(1 − α ) Lk Lt
= faktor pembobot panjang jalan
penduduk di area k total penduduk di wilayah panjang jalan di area k total panjang jalan di wilayah 0,3 (pengaruh penduduk dan panjang jalan terhadap VKT) Semakin kecil nilai α, maka pengaruh penduduk dan panjang jalan terhadap panjang perjalanan kendaraan adalah makin kecil.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Beban Emisi Pencemar dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta
5.1.1 Pertumbuhan kendaraan bermotor pada tahun 2003 - 2007 Jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di DKI Jakarta mengalami peningkatan rata-rata 8% pertahun untuk semua kategori kendaraan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pertumbuhan kendaraan bermotor dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 disampaikan pada Gambar 10. Jumlah total kendaraan tahun 2003 adalah 4,1 juta dan bertambah sebanyak 1,6 juta sampai dengan tahun 2007 menjadi 5,7 juta unit.
Jumlah Kendaraan (unit)
7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Gambar 10 Total jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2003-2007 Sumber : Ditlantas Polda Metro Jaya, 2008 Berdasarkan komposisi jenis kendaraannya, Gambar 11 menunjukkan bahwa kategori kendaraan sepeda motor selalu mengalami peningkatan tiap tahun dengan rata-rata peningkatan sebesar 12% per tahun. Pada tahun 2003 berjumlah 2,2 juta meningkat menjadi 3,6 juta unit pada tahun 2007. Sedangkan untuk jenis kendaraan lainnya kenaikan yang terjadi rata-rata hanya dibawah 5% pertahun, bahkan untuk kendaraan bis hanya 0,2% per tahun. Persentase perbandingan antara jenis kendaraannya adalah 58% sepeda motor, 28% mobil penumpang, 8% truk serta 5% mobil bis.
43
4000000
Jumlah Kendaraan (unit)
3500000 3000000 2500000 2000000 1500000
2003
1000000
2004
500000
2005
0
2006 Mobill Penumpang
Truk
Bis
Sepeda motor
2007
Kategori Kendaraan
Gambar 11 Komposisi kendaraan bermotor di DKI Jakarta Sumber : Ditlantas Polda Metro Jaya, 2008 Kecilnya jumlah kenaikan kendaraan bis dibandingkan kendaraan lain terutama kendaraan pribadi telah membuktikan bahwa kendaraan pribadi terutama sepeda motor merupakan pilihan kendaraan yang paling diminati oleh penduduk kota Jakarta. Hal tersebut disebabkan oleh : 1) kondisi jalan di Jakarta yang semakin padat 2) fasilitas untuk memiliki kendaraan cukup mudah dan harga kendaraan relatif lebih murah (secara menyicil) serta 3) harga bahan bakar minyak yang semakin mahal. Pertumbuhan kendaraan pribadi yang pesat di kota-kota besar di Indonesia, terutama DKI Jakarta memperlihatkan bahwa sistem transportasi kota memang kurang memadai. Fasilitas transportasi umum yang ada dirasakan banyak orang tidak nyaman dan aman serta tidak ada jaminan lamanya waktu tempuh kendaraan mendorong banyak orang memilih menggunakan kendaraan pribadi. Volume pergerakan orang dan kendaraan yang tinggi antara DKI Jakarta dan Bodetabek telah memberikan kontribusi penting pada kepadatan lalu lintas di pusat-pusat kota Jakarta. Kepadatan dan kemacetan lalu lintas menyebabkan kendaraan tidak dapat beroperasi pada kecepatan optimum yaitu kecepatan kendaraan yang menghasilkan emisi gas buang minimum. Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta (2005) memprediksi bahwa pada tahun 2014 jumlah kendaraan roda empat di DKI Jakarta akan mencapai sekitar 3 juta unit akan di
44 layani oleh jalan seluas hanya 40 juta meter persegi (Gambar 12). Dengan demikian rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan akan mencapai titik jenuh. Artinya, diperkirakan akan terjadi kemacetan total di ruas-ruas jalan di DKI Jakarta mulai tahun 2014. Rasio panjang jalan yang rendah seharusnya diatasi dengan penggunaan angkutan umum yang berkapasitas angkut besar.
50
3000
Luas (juta m2)
40
2500
30
2000
20
1500 1000
10
500
0
Kendaraan Roda 4 (ribu unit)
3500
0 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 Luas (juta m2)
Kendaraan roda 4 (ribu unit)
Gambar 12 Trend utilisasi jumlah kendaraan terhadap luas jalan di DKI Jakarta, 1994 – 2014. Sumber : Bappenas, 2006
5.1.2 Estimasi Jumlah kendaraan bermotor tahun 2008, 2014 dan 2020 Jumlah kendaraan bermotor pada tahun 2008, 2014 dan 2020 diestimasi berdasarkan jumlah kendaraan 5 tahun sebelumnya (tahun 2003-2007). Pada tahun 2014 diperkirakan akan terjadi kenaikan jumlah kendaraan sebanyak hampir 2 kali lipat dari jumlah kendaraan yang ada pada tahun 2007 dan lebih dari 3 kali lipatnya pada tahun 2020 (Gambar 13).
45
Jumlah kendaraan (unit)
25000000 20000000 15000000 10000000 5000000 0 2014
2008
2020
Tahun
Gambar 13 Estimasi jumlah total kendaraan tahun 2008, 2014 dan 2020. Jumlah kendaraan di DKI Jakarta yang diperkirakan terus bertambah di masa yang akan datang sangatlah diperlukan sistem pengelolaan transportasi kota yang terpadu. Data selengkapnya estimasi jumlah kendaraan bermotor tahun 2008, 2014 dan 2020 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Estimasi jumlah kendaraan tahun 2008, 2014, 2020 Tahun
Mobil Penumpang
Sepeda motor
Truk
Bis
2008
1.626.082
4.041.182
422.369
257.242
2014
2.190.227
8.377.716
474.347
260.120
2020
2.950.095
17.367.723
532.721
263.030
Sumber : perhitungan
Pada Tabel 4 terlihat kenaikan yang cukup signifikan akan terjadi pada sepeda motor, dimana pada tahun 2020 kenaikan diperkirakan akan mencapai 300% dari tahun 2008. Hal ini terlihat sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan kendaraan jenis bis, dimana kenaikannya dari tahun 2008 ke tahun 2020 diperkirakan hanya sebesar 2%.
46 Persentase komposisi kendaraan tahun 2008, 2014 dan 2020 seperti pada Gambar 14, semua kendaraan mengalami penurunan komposisi kecuali sepeda motor yang justru meningkat persentasenya.
Komposisi kendaraan (%)
100 75
80
82
63 60 40 20
26
19
14 4
2
1
7
4
3
0
2008 Mobill Penumpang
Bis
Truk
Sepeda motor
2014 2020
Gambar 14 Distribusi kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008, 2014, 2020 Perkiraan kenaikan jumlah sepeda motor yang sangat fantastis di masa mendatang perlu mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak, selain kondisi lalu lintas lebih tidak terkontrol karena tidak ada jalur khusus sepeda motor, hal yang tidak kalah penting adalah jumlah emisi pencemar tentu akan meningkat. Kebijakan untuk menekan jumlah sepeda motor dan mengadakan sarana transportasi umum serta management lalu lintas yang lebih baik sangatlah diperlukan. 5.1.3 Estimasi Panjang Perjalanan Kendaraan Panjang perjalanan suatu kendaraan bermotor (vehicle kilometers traveledVKT) adalah jumlah jarak yang ditempuh oleh suatu kendaraan dalam kurun waktu tertentu. Beberapa jenis kendaraan memiliki nilai VKT yang dapat dipantau seperti mikrolet, mikro bis dan bis, hal ini dikarenakan jenis kendaraan tersebut melintasi rute perjalanan yang sama setiap waktu. Sedangkan jenis kendaraan lain seperti; mobil pribadi (sedan, jeep, minibus), taksi, sepeda motor, serta truk nilai VKT nya selalu berbeda tiap waktu.
47 Berdasarkan data yang didapat, nilai VKT akumulatif kendaraan sangat beragam nilainya (Lampiran 1-4). Nilai VKT ini biasanya akan sebanding dengan usia pakai dari kendaraan tersebut. Pola penggunaan kendaraan untuk jenis mobil pribadi yang ada di DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 15, sedangkan untuk kendaraan dengan kategori lain dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.
VKT akumulatif (10 3 km/tahun)
250 y = -0,5844x2 + 22,416x - 17,53
200
R 2 = 0,963
150 100 50 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Usia Kendaraan (tahun)
Gambar 15 Penggunaan mobil pribadi selama 15 tahun pertama. Gambar 15 menunjukkan bahwa hubungan antara panjang perjalanan kendaraan dipengaruhi oleh usia kendaraan jenis mobil pribadi, hal ini ditandai dengan nilai r2 = 0,96. Kategori mobil penumpang pada penelitian ini adalah kendaraan mobil pribadi baik jenis sedan, jeep, maupun minibus, mikrolet, taksi dan pickup. Hasil perhitungan panjang perjalanan kendaraan rerata berdasarkan kategori kendaraan dapat dilihat pada Tabel 5. Data panjang perjalanan rerata kendaraan pada Tabel 5 memperlihatkan bahwa kendaraan dengan kategori bis memiliki nilai rerata paling besar dan nilai VKT rerata terkecil adalah sepeda motor.
48 Tabel 5 Panjang perjalanan kendaraan berdasarkan kategori (km/tahun) Kategori Kendaraan
VKT rerata
Mobil penumpang Sepeda Motor Bis Truk
21.053 9.843 130.721 24.917
Sumber : perhitungan
Hal ini disebabkan oleh rute perjalanan yang ditempuh kendaraan bis relatif panjang (jauh) dan tetap, misalnya dari terminal Grogol ke terminal Lebak Bulus, dari terminal Senen ke terminal Blok M dan sebagainya. Sepeda motor pada umumnya digunakan untuk jarak yang pendek dan waktu yang tidak terlalu lama. Walaupun nilai VKT rerata bis lebih besar dibandingkan kategori lain, namun tidak menghasilkan VKT total yang besar hal ini disebabkan oleh jumlah kendaraan yang ada relatif sedikit. Jumlah kendaraan sepeda motor yang lebih banyak dari kendaraan lain di DKI Jakarta menyebabkan nilai total VKT yang dihasilkanpun besar (Gambar 16).
Total VKT (106 km)
50 40 30 20 10 0 Sepeda Motor
Mobil Penumpang
Truk
Bis
Gambar 16 Total panjang perjalanan kendaraan bermotor di DKI Jakarta.
49 5.1.4 Beban Emisi tahun 2008 Beban emisi pencemar CO, NOx dan PM10 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008 tersaji dalam Gambar 17. Nilai beban emisi terbesar adalah parameter CO sebesar 52% (1.109.178 ton/tahun) sedangkan beban emisi terkecil adalah parameter PM10 sebesar 5% (4.108 ton/tahun). Kedua pencemar tersebut dihasilkan dari emisi kendaraan mobil penumpang.
Beban emisi (ton/tahun)
1200000 1000000 800000 600000 400000 200000 0
PM10 Sepeda Motor
Mobil Penumpang
Truk
Bis
Nox CO
Gambar 17 Beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008 Karakteristik mobil penumpang yang ada di DKI adalah kendaraan dengan bahan bakar bensin mendominasi jumlahnya dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar solar (JICA, 2004). Kendaraan roda empat dengan mesin yang berbahan bakar bensin dapat mengemisikan hampir 90% CO dibandingkan dengan pencemar NOx, SO2 dan PM10 (Walsh et al. 1996) Bila ditinjau dari penghasil emisinya, kategori kendaraan mobil penumpang
menghasilkan emisi terbesar sejumlah 42% dibandingkan dengan kategori lain. Sedangkan untuk kendaraan bis, sepeda motor dan truk berkontribusi mengeluarkan emisi masing-masing sebesar 28%, 20% dan 10% terhadap beban emisi total (Gambar 18).
50
Sepeda Motor 20%
Bis 28%
Truk 10%
Mobil Penumpang 42%
Gambar 18. Komposisi penghasil emisi dari kendaraan bermotor. Berdasarkan parameter pencemar yang diteliti, kontribusi terbesar emisi di DKI Jakarta didominasi pencemar CO sebesar 73% setara dengan 5.820 ton/hari diikuti oleh NOx sebesar 24% (1.854 ton/hari) dan PM10 sebesar 3% (207 ton/hari) (Gambar 19). Secara umum setiap pembakaran bahan bakar minyak baik bensin maupun solar akan mengeluarkan pencemar CO, hanya saja kondisi pembakaran dan jenis bahan bakar juga akan mempengaruhi besarnya emisi yang dikeluarkan.
NOx 24%
PM10 3%
CO 73%
Gambar 19 Persentase beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor.
51 Proses pembakaran secara tidak sempurna yang terjadi pada mesin menyebabkan emisi CO menjadi tinggi. Selain CO, emisi NOx dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta juga tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh komposisi antara bahan bakar dan udara yang terjadi saat proses pembakaran pada mesin. Kondisi emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin. Pengalaman dari negaranegara maju menunjukkan bahwa emisi zat-zat pencemar udara dari sumber transportasi dapat dikurangi secara substansial dengan kandungan bahan bakar yang ramah lingkungan, perbaikan sistem pembakaran dan penggunaan katalis (catalytic converter) serta pengendalian manajemen lalu lintas setempat (ARPEL, 2001). Tahun 2001 sebesarnya Pertamina telah memasok bensin tanpa timbal untuk wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Namun ketidaktersediaan bensin tanpa timbal di hampir seluruh wilayah Indonesia (produksi bensin bertimbal nasional masih 75%) dan kandungan sulfur dalam minyak solar di Indonesia yang masih tinggi, sulit untuk mewajibkan produsen kendaraan bermotor memasang peralatan pereduksi emisi (katalis) pada kendaraan bermotor. Katalis tidak dapat berfungsi jika bensin mengandung timbal dan kandungan sulfur dalam minyak solar tinggi Berdasarkan pemantauan bahan bakar minyak yang dilakukan oleh KLH tahun 2007 pada SPBU-SPBU di 30 kota di Indonesia, menunjukkan bahwa sebagian besar bensin masih mengandung timbal walaupun ada 10 kota yang sudah tidak terdektesi adanya timbal yaitu kota Bandung, Denpasar, Makassar, Medan, Surabaya, Ambon, Banjarmasin, Mataram, Pekanbaru, dan Sorong. Sedangkan pemantauan terhadap kandungan sulfur memperlihatkan bahwa 26 kota ditemukan nilai rata-rata sulfur sama dengan atau di bawah ambang batas. Sementara empat kota lainnya ditemukan nilai rata-rata sulfur di atas ambang batas, yaitu 3.500 ppm. Empat kota tersebut adalah Manado dengan nilai 3.775 ppm, Mataram dengan nilai 4.250 ppm, Bandar Lampung dengan nilai 3.950 ppm, dan Jayapura dengan nilai 3.600 ppm (KLH, 2007). Khusus untuk kota Jabodetabek kadar timbal maupun sulfur masih dibawah standar yang dipersyaratkan oleh Departemen Energi Sumberdaya dan Mineral (Gambar 20). Kota Bogor dari hasil pemantauan didapati kandungan sulfur yang
52 lebih rendah dibandingkan kota-kota lain di Jabodetabek, sedangkan kadar timbal terendah dideteksi di Kota Bekasi. Kandungan sulfur di DKI Jakarta paling tinggi dibandingkan kota lain di Jabodetabek dan kandungan timbal dijumpai sama dengan Kota Tangerang dan Depok.
0,014
4000
0,012
3500 3000 2500
0,008
2000
0,006
ppm
gram/liter
0,01
1500
0,004
1000
0,002
500
0
0 Bekasi
Pb
Bogor
standart Pb : 0,013 g/L
Jakarta
Tangerang
Sulfur
Depok
Standar sulfur : 3500 ppm
Gambar 20 Kualitas BBM di JABODETABEK parameter Pb dan Sulfur. Sumber : KLH, 2007
5.1.4 Estimasi Beban Emisi tahun 2014 dan tahun 2020 Beban emisi tahun 2014 dan tahun 2020 diestimasi dengan menggunakan pendekatan jumlah kendaraan yang diperkirakan ada pada tahun tersebut (lihat bagian 5.1.2) dan menggunakan faktor emisi yang sama dengan tahun 2008. Besar beban emisi tahun 2014 dan tahun 2020 untuk pencemar CO, PM10 dan NOx terlihat pada Gambar 21. Peningkatan terbesar beban emisi pada tahun 2020 diperkirakan terjadi pada pencemar PM10 sebesar 97% dibandingkan tahun 2014. Secara keseluruhan beban emisi total dari kendaraan bermotor pada tahun 2014 diperkirakan meningkat 1,4 kali lipat dari tahun 2008 dan menjadi 2,5 kali lipat pada tahun 2020.
53
4939314
3145617
794048
1285370
929203 93449
CO
NOx
Beban Emisi (ton/tahun)
PM10 PM10
2014
2020
Gambar 21 Beban emisi total dari kendaraan bermotor tahun 2014 dan 2020 Estimasi beban emisi CO tahun 2014 dan 2020 sesuai kategori kendaraannya dapat dilihat pada Gambar 22. Kendaran mobil penumpang menghasilkan emisi CO tertinggi pada tahun 2014 sejumlah 1.493.992 ton/tahun, sedangkan di tahun 2020 nilai tertinggi emisi CO dihasilkan dari sepeda motor sebanyak 2.393.307 ton/tahun. Peningkatan beban emisi CO tahun 2020 dari sepeda motor sebanyak lebih dari dua kali lipat dari tahun 2014 disebabkan meningkatnya jumlah sepeda motor yang cukup signifikan (lima kali lipat dari tahun 2008).
Beban emisi (ton/tahun)
3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 2014 Sepeda Motor
Mobil Penumpang
2020 Truk
Bis
Gambar 22 Beban emisi CO dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta
54 Peningkatan jumlah kendaraan bis dan truk yang tidak sebesar kendaraan sepeda motor maupun mobil penumpang tahun 2020 menyebabkan beban emisi CO dari kendaraan bis dan truk meningkat hanya sebesar 1,1% dan 21% dibandingkan beban emisi tahun 2014. Estimasi beban emisi PM10 di DKI Jakarta tahun 2014 dan 2020 sesuai kategori kendaraannya dapat dilihat pada Gambar 23. Beban emisi PM10 terbesar dihasilkan dari kendaraan bis. Secara keseluruhan beban emisi PM10 dari sepeda motor diperkirakan akan meningkat sejumlah 21.237 ton atau sebanyak dua kali lipat dibandingkan tahun 2014. Sedangkan kendaraan kategori lain peningkatan beban emisi berturut-turut sebesar 1.920 ton, 5.392 ton dan 532 ton dari mobil penumpang, truk dan bis.
Beban emisi (ton/tahun)
60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 2014 Sepeda Motor
Mobil Penumpang
2020 Truk
Bis
Gambar 23 Beban emisi PM10 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta Mesin kendaraan (tanpa alat kontrol pengendalian emisi) yang menggunakan bahan bakar solar sebagai penggeraknya akan mengeluarkan emisi PM10 sebanyak tujuh sampai sepuluh kali lipat dari pada mesin kendaraan berbahan bakar bensin (Walsh et al. 1996). Beban emisi NOx dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2014 dan 2020 yang terbesar dihasilkan dari kendaraan bis dan yang terkecil adalah dari sepeda motor. Peningkatan jumlah emisi NOx tahun 2020 yang dikeluarkan dari kendaraan truk lebih besar dari kendaraan kategori lainnya yaitu sebesar 68.173
55 ton. Kendaraan mobil penumpang emisi NOx meningkat sebesar 36.734 ton tahun 2020, sepeda motor meningkat sebesar 25.662 ton dan bis meningkat sebesar
Beban emisi (ton/tahun)
4.516 ton dari tahun 2014.
450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 2014 Sepeda Motor
Mobil Penumpang
2020 Truk
Bis
Gambar 24 Beban emisi NOx dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta Berdasarkan hasil-hasil beban emisi yang didapatkan diatas, kebijakan pengendalian emisi sesuai dengan pencemar yang dihasilkan akan lebih bermanfaat dari pada kebijakan secara global. Pengendalian emisi dari sepeda motor akan mengurangi beban emisi CO dan PM10. Pengendalian emisi dari mobil penumpang akan mengurangi beban emisi CO. Pengendalian emisi dari bis akan mengurangi beban emisi NOx dan PM10 sedangkan pengendalian emisi dari truk akan mengurangi beban emisi NOx. Pembatasan jumlah kendaraan terutama sepeda motor akan sangat mempengaruhi beban emisi dimasa-masa mendatang. 5.2
Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta dalam Mereduksi Beban Emisi. Pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor pada prinsipnya
melibatkan 4 elemen, yaitu standar baku mutu (baik emisi maupun ambien), spesifikasi bahan bakar, pemeriksaan dan perawatan kendaraan serta managemen transportasi yang baik. DKI Jakarta sebagai barometer dari segala kegiatan mempelopori adanya peraturan di tingkat daerah tentang pengendalian pencemaran udara pada tahun 2005. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan
56 Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta No.2 tahun 2005. Khusus untuk pengendalian pencemaran udara dari sektor transportasi (sumber bergerak) terdapat dua strategi kebijakan yang diharapkan dapat mengurangi tingkat pencemaran. Pertama adalah kebijakan sistem pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor pribadi (biasa digunakan istilah sistem P dan P) dan yang kedua adalah kebijakan penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah. 5.2.1 Pengaruh Kebijakan Sistem Pemeriksaan Emisi dan Perawatan kendaraan Bermotor dalam Mereduksi Beban Emisi. Pengendalian pencemaran udara dengan sistem pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor pribadi (sistem P dan P) dimaksudkan untuk mengidentifikasi kendaraan-kendaraan yang beroperasi (in-use vehicles) yang tidak memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO, HC, dan opasitas. Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut dipersyaratkan untuk diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas. Negara-negara maju dan berkembang di dunia banyak yang menerapkan kebijakan sistem pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor bagi semua kendaraan-kendaraan yang beroperasi. Hal ini dilakukan untuk menjaga performa kerja mesin dan efisiensi bahan bakar, mengingat dengan bertambahnya usia pakai kendaraan maka performa kerja mesinpun mengalami penurunan. Melalui perawatan rutin seperti penyetelan mesin, pembersihan filter udara, dan lain-lain emisi gas buang CO dapat berkurang hingga 90%, HC hingga 75%, dan partikulat hingga 85% (Walsh et al, 1996) dan NOx sebesar 20% (Gorham, 2002). Sedangkan berdasarkan survei yang dilakukan pada kegiatan pekan uji emisi tahun 2001 oleh pemerintah DKI Jakarta bekerjasama dengan Swisscontact menunjukkan adanya pengurangan emisi CO sebesar 50%, PM10 sebesar 45%. Di samping itu efisiensi bahan bakar pun dapat mencapai 50%. Walaupun sampai saat ini, sistem p dan p baru disosialisasikan untuk mobil pribadi, akan tetapi perangkat teknis bagi sepeda motor sudah mulai disiapkan. Jumlah bengkel pelaksana uji emisi yang tersertifikasi bagi mobil pribadi di DKI
57 Jakarta sampai dengan tahun 2008 sebanyak 216 bengkel yang tersebar di lima wilayah kota. Beberapa asumsi yang digunakan dalam mengestimasi reduksi emisi bila kebijakan ini diterapkan adalah : •
Tahun 2014 target kendaraan yang tereduksi adalah 80%
•
Kendaraan yang gagal memenuhi baku mutu emisi sebanyak 5% untuk mobil penumpang dan sepeda motor, 20% truk dan bis.
•
Tahun 2020 kendaraan yang tereduksi ditargetkan sebesar 90 %. Estimasi reduksi emisi pada tahun 2014 dan 2020 bila sistem ini diterapkan
di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 6. Pada tahun 2014 total emisi CO yang dapat direduksi diperkirakan sebesar 1.135.167 ton, NOx dapat direduksi sebesar 96.185 ton dan emisi PM10 total adalah 66.529 ton. Tabel 6 Estimasi reduksi emisi dengan sistem P dan P Kategori Kendaraan
2014 Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis 2020 Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis
CO %
ton
%
NOx ton
%
PM10 ton
38% 38% 30% 30%
432.925 560.247 36.937 1.12.210
15% 15% 12% 12%
3.587 15.908 31.133 48.556
33,8% 33,8% 27,0% 27,0%
13.111 3.666 14.980 34.751
43% 43% 35% 35%
1.376.151 1.157.078 101.061 245.842
17% 17% 14% 14%
41.148 118.565 281.748 351.881
38,3% 38,3% 31,5% 31,5%
25.335 4.602 17.750 32.974
Tahun 2020 dengan menerapkan kebijakan ini total emisi CO, NOx dan PM10 yang dapat direduksi diperkirakan sebesar 2.880.133 ton, 793.342 ton dan 80.661 ton. Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta pada tahun 2014 dan tahun 2020 bila kebijakan sistem P dan P diterapkan dapat dilihat pada Tabel 7. Pada tahun 2014 total beban emisi pencemar adalah 2.764.670 ton/tahun sedangkan pada tahun 2020 total beban emisi sebesar 3.754.136 ton/tahun.
58 Tabel 7 Estimasi beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta (dengan penerapan Sistem P dan P) (ton/tahun) Sepeda Motor
Mobil Penumpang
Tahun
Parameter
Truk
Bis
2014
CO NOx PM10
721.541 20.327 13.111
933.745 90.147 3.666
86.187 228.309 14.980
261.824 356.081 34.751
2020
CO NOx PM10
1.376.151 41.148 25.335
1 157.078 118.565 4.602
101.061 281.748 17.750
245.842 351.881 32.974
Beban emisi karbon monoksida pada tahun 2014 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta bila kebijakan ini diterapkan adalah 2.003.298 ton/tahun dan pada tahun 2020 sebesar 2.880.133 ton/tahun. Hampir 90% dari beban emisi tersebut berasal dari sepeda motor dan mobil penumpang, sedangkan beban emisi NOx total adalah 694.863 ton/tahun pada tahun 2014 dan 793.342 ton/tahun pada tahun 2020. Sebanyak 50% beban emisi NOx bersumber dari kendaraan bis. Beban emisi total PM10 pada tahun 2014 adalah 66.509 ton/tahun menjadi 80.661 ton/tahun di tahun 2020 dimana hampir 50% dari pencemar ini berasal dari kendaraan bis.
Beban emisi (ton/tahun)
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
0 CO
2014 Tanpa kontrol
2014 Sistem P dan P
NOx
2020 Tanpa kontrol
PM10
2020 Sistem P dan P
Gambar 25 Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor dengan kebijakan sistem P dan P tahun 2014 dan tahun 2020 di DKI Jakarta
59 Beban emisi total untuk masing-masing pencemar tanpa pengendalian maupun dengan penerapan sistem P dan P ditampilkan pada Gambar 25. Potensi penurunan total beban emisi dengan diterapkannya sistem P dan P pada tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 32%, NOx sebesar 6% dan PM10 sebesar 23%. Sedangkan pada tahun 2020, potensi penurunannya adalah untuk pencemar CO sebesar 37%, NOx sebesar 4% dan PM10 sebesar 27%. Tujuan utama dari perawatan kendaraan adalah mengoptimumkan pembakaran dalam mesin yang berarti mengefisiensikan konsumsi bahan bakar. Penghematan bahan bakar yang dikaitkan dengan peningkatan ekonomi bahan bakar akan menghemat biaya pemilik kendaraan. Berdasarkan hasil evaluasi pekan uji emisi di wilayah DKI Jakarta tahun 2001 didapatkan hasil bahwa efisiensi bahan bakar bensin dengan melakukan perawatan sebesar 52% (Swisscontact, 2001). Bila angka ini yang dipergunakan untuk menghitung efisiensi bahan bakar bensin untuk tahun 2014 maka diperkirakan akan terjadi penghematan BBM sebesar 17.083 kl/hari dengan asumsi : •
jumlah kendaraan berbahan bakar bensin sebesar 75% dari total jumlah kendaraan mobil penumpang
•
konsumsi BBM kendaraan rata-rata per hari adalah 20 liter/hari
5.2.2 Pengaruh Kebijakan Penggunaan Bahan Bakar Gas untuk Kendaraan Umum dalam Mereduksi Beban Emisi. Sebagaimana hasil pembahasan sebelumnya bahwa kualitas bahan bakar minyak yang beredar di pasaran Indonesia belum cukup ramah lingkungan, maka penggunaan bahan bakar alternatif seperti bahan bakar gas (BBG) sangatlah diperlukan dalam rangka penurunan tingkat emisi dari kendaraan bermotor. Salah satu upaya yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah pemanfaatan BBG sebagai pengganti BBM untuk kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah. Penggunaan BBG pada kendaraan dapat mengurangi emisi pencemar PM10 sebesar 60% sampai 97%, NOx sebesar 25% hingga 86% dan CO sebesar 52% hingga 84% dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar solar (worldbank, 2000). Sedangkan bila dibandingkan dengan kendaraan yang menggunakan bahan
60 bakar bensin, penggunaan BBG dapat menurunkan 98% pencemar CO, 45% NOx dan 95% PM10 (Walsh et al. 1996). Adapun target kendaraan yang akan dikonversi sebanyak 5% untuk mobil penumpang yang merupakan kendaraan dari jenis angkutan umum (mikrolet dan taksi) serta kendaraan operasional milik pemerintah, 2% kendaraan truk serta 30% bis. Berdasarkan hal tersebut, maka estimasi reduksi emisi dengan menggunakan BBG dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Estimasi reduksi emisi dengan penggunaan BBG Kategori Kendaraan
CO
NOx
%
ton
%
0% 5% 2% 45%
73.206 1.847 168.316
0% 5% 2% 45%
98.603 2.332 170.198
PM10 ton
%
ton
0% 2% 1% 39%
2.386 3.373 157.809
0% 5% 2% 54%
263 369 25.706
0% 2% 1% 39%
4.643 4.259 159.574
0,0% 5,0% 2,0% 54%
279 466 25.994
2014 Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis 2020 Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis
Pada tahun 2014 total emisi CO yang dapat direduksi diperkirakan sebesar 243.368 ton, NOx dapat direduksi sebesar 163.568 ton dan emisi PM10 total adalah 26.339 ton. Sedangkan pada tahun 2020 total emisi CO yang dapat tereduksi diperkirakan sebesar 271.134 ton, NOx dapat direduksi sebesar 168.475 ton dan emisi PM10 total adalah 26.740 ton. Tabel 9 Estimasi beban emisi dengan penggunaan BBG (ton/tahun) Tahun 2014 2020
Parameter
Sepeda Motor
CO NOx PM10 CO NOx PM10
1.154.466 23.914 19.791 2.393.307 49.576 41.028
Mobil Penumpang 1.420.786 103.669 5.270 1.913.707 138.207 7.174
Truk 121.278 256.069 20.151 153.146 323.356 25.447
Bis 205.719 246.829 21.898 208.020 249.590 22.143
61 Total beban emisi pencemar pada tahun 2014 yang berasal dari mobil penumpang dengan adanya kebijakan ini adalah 1.529.725 ton/tahun, kendaraan truk berkontribusi 397.499 ton/tahun dan bis berkontribusi sebesar 474.466 ton/tahun. Pada tahun 2020 total beban emisi pencemar yang berasal dari mobil penumpang dengan adanya kebijakan ini adalah 2.059.087 ton/tahun, kendaraan truk berkontribusi 501.948 ton/tahun dan bis berkontribusi sebesar 479.753 ton/tahun Total beban emisi CO dari kendaraan bermotor tahun 2014 bila kebijakan penggunaan BBG ini diterapkan adalah 2.902.249 ton/tahun dan pada tahun 2020 total beban emisi CO adalah 4.668.180 ton/tahun. Sedangkan beban emisi NOx total 630.480 ton/tahun pada tahun 2014 dan 760.728 ton/tahun pada tahun 2020. Beban emisi total pencemar PM10 pada tahun 2014 sebesar 67.111 ton/tahun dan sebesar 95.791 ton/tahun pada tahun 2020 (Gambar 26).
Beban emisi (ton/tahun)
5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0
CO
2014 Tanpa kontrol
NOx 2014 BBG
2020 Tanpa kontrol
PM10 2020 BBG
Gambar 26 Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor dengan adanya kebijakan BBG tahun 2014 dan tahun 2020 di DKI Jakarta Potensi penurunan total beban emisi dengan diterapkannya kebijakan BBG pada tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 8%, NOx sebesar 21% dan PM10 sebesar 28%. Sedangkan pada tahun 2020, potensi penurunan total beban emisi dengan diterapkannya kebijakan BBG untuk pencemar CO sebesar 5%, NOx sebesar 18% dan PM10 sebesar 24%.
62 5.2.3 Pengaruh Kedua Program Kebijakan diterapkan Bersamaan dalam Menurunan Emisi Apabila sistem P dan P diterapkan bersamaan dengan penggunaan BBG pada kendaraan umum dan operasional pemerintah, maka diperkirakan reduksi emisi pada tahun 2014 adalah 1,7 juta ton dan meningkat mencapai 2,7 juta ton di tahun 2020. Jumlah ini adalah dua kali lipat dari penerapan kebijakan yang dilakukan secara terpisah atau bila hanya salah satu dari kebijakan yang diterapkan. Reduksi emisi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Estimasi reduksi emisi bila penggunaan BBG dan sistem P dan P diterapkan bersamaan Kategori Kendaraan
%
CO ton
NOx %
PM10 ton
%
ton
2014
Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis 2020 Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis
38% 42% 32% 75%
432.925 633.452 38.784 280.526
15% 17% 13% 51%
3.587 18.294 34.506 206.365
34% 39% 29% 81%
6.679 2.130 5.910 38.560
43%
1.017.155
17%
8.428
38%
15.693
47% 37% 80%
953.835 56.750 302.575
20% 15% 53%
28.927 50.125 216.857
42% 33% 86%
3.130 8.629 41.157
Pada tahun 2014 total emisi CO yang dapat direduksi diperkirakan sebesar 1.385.688 ton, NOx dapat direduksi sebesar 262.752 ton dan emisi PM10 total adalah 53.279 ton. Sedangkan pada tahun 2020 total emisi CO yang dapat tereduksi diperkirakan sebesar 2.330.315 ton, NOx dapat direduksi sebesar 304.337 ton dan emisi PM10 total adalah 68 610 ton. Total beban emisi pencemar pada tahun 2014 yang berasal dari mobil penumpang bila kedua kebijakan dilakukan bersamaan adalah 951.703 ton/tahun, sepeda motor sebesar 754.980 ton/tahun, kendaraan truk berkontribusi sebesar 323.887 ton/tahun dan bis berkontribusi sebesar 300.826 ton/tahun. Pada tahun 2020 total beban emisi pencemar 1.176.720 ton/tahun, kendaraan truk berkontribusi 393.502 ton/tahun, bis berkontribusi sebesar 274.930 ton/tahun dan sepeda motor sebesar 1.442.634 ton/tahun.
63 Tabel 11 Estimasi beban emisi tahun 2014 dan 2020 bila penggunaan BBG dan sistem P dan P diterapkan bersamaan (ton/tahun) Tahun
Parameter
2014
CO NOx PM10
Sepeda Motor 721.541 20.327 13.111
2020
CO NOx PM10
1.376.151 41.148 25.335
Mobil Penumpang Truk 860.539 84.341 87.760 224.936 3.403 14.611 1.058.475 113.922 4.323
98.729 277.490 17.284
Bis 93.509 198.272 9.045 75.644 192.307 6.980
Total beban emisi CO dari kendaraan bermotor tahun 2014 bila bila kedua kebijakan diterapkan bersamaan adalah 1.759.930 ton/tahun dan pada tahun 2020 total beban emisi CO adalah 2.608.999 ton/tahun. Sedangkan beban emisi NOx total 531.296 ton/tahun pada tahun 2014 dan 624.866 ton/tahun 2020. Beban emisi total pencemar PM10 pada tahun 2014 sebesar 40.170 ton/tahun dan sebesar 53.921 ton/tahun pada tahun 2020. Perbandingan total beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2014 dan 2020 dapat dilihat pada Gambar 27. Bila dilakukan pengendalian terhadap emisinya tahun 2014 maka diperkirakan akan menurunkan beban emisi sampai dengan 1,7 juta ton dan 2,2 juta ton pada tahun 2020.
Beban emisi (ton/tahun)
7000000 6000000 5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0 2014 Tanpa kontrol
Sistem P dan P
2020 BBG
Bersamaan
Gambar 27 Total beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta (dengan kontrol dan tanpa kontrol)
64 Secara umum kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta mampu mengurangi beban emisi yang ada baik yang dilakukan secara terpisah maupun bersamaan. Potensi penurunan total beban emisi jika kedua kebijakan diterapkan bersamaan pada tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 44%, NOx sebesar 33% dan PM10 sebesar 57%. Sedangkan pada tahun 2020, potensi penurunannya untuk pencemar CO sebesar 47%, NOx sebesar 33% dan PM10 sebesar 56%. Penurunan total beban emisi dari kendaraan bermotor dengan menggunakan kebijakan penggunaan BBG bagi kendaraan umum tidak sebesar bila diterapkan kebijakan pemeriksaan emisi dan pemeliharaan kendaraan bermotor apalagi jika diterapkan bersamaan. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya (terbatas) jumlah kendaraan yang menggunakan BBG, tetapi jika dikemudian hari kendaraan umum yang ada bertambah sesuai dengan kebutuhan perjalanan penduduk Jakarta maka tidak menutup kemungkinan beban emisi akan berkurang secara signifikan. Kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor seharusnya terintegrasi dengan kebijakan transportasi yang ada. Tanpa dukungan management transportasi yang baik maka pengendalian pencemaran udara dari sektor transportasi tidak akan mampu menurunkan tingkat pencemaran udara yang ada saat ini. Kesadaran akan kebutuhan udara yang bersih dan sehat dari semua warga masyarakat harus terus di tingkatkan. Dukungan akan terciptanya udara yang bersih dari semua pihat baik perorangan, masyarakat, instansi pemerintah dan swasta sangatlah diperlukan. 5.3
Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model Kotak. Beban emisi tahun 2008 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta untuk
masing-masing pencemar yang terdistribusi ke dalam lima wilayah administratif kotamadya tersaji pada Tabel 12 dengan mengacu nilai VKT pada Lampiran 8. Beban emisi terbesar dijumpai di Jakarta Timur. Jumlah penduduk Jakarta Timur yang lebih tinggi dari wilayah lain ternyata berpengaruh terhadap beban emisi yang dihasilkan (Lampiran 9).
65
Tabel 12 Distribusi spasial beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008 (ton/tahun) Wilayah Admistratif
CO
NOx
PM10
Jakarta Selatan
509.653
162.349
18.105
Jakarta Timar
532.710
169.694
18.924
Jakarta Utara
361.241
115.073
12.833
Jakarta Pusat
294.979
93.965
10.479
Jakarta Barat
425.778
135.631
15.125
(Sumber : perhitungan) Estimasi kualitas udara tahun 2008 menggunakan model kotak dapat dilihat pada Tabel 13. Ketinggian lapisan pencampuran maksimum (musim kemarau) mencapai 1.981,29 meter dan minimum (musim hujan) adalah 1.435,17 meter (Septianzar, 2008). Tabel 13 Estimasi kualitas udara di DKI Jakarta tahun 2008 Wilayah Administratif Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Utara Jakarta Pusat Jakarta Barat Keterangan :
CO mg/m3 6,68 5,42 4,85 11,76 6,44 4,84 3,92 3,51 8,52 4,67
NOx µg/m3 2.127 1.708 1.529 3.707 2.031 1.541 1.250 1.119 2.713 1.487
PM10 µg/m3 237 190 171 413 227 172 139 125 303 166
Keterangan A.
B.
A= Saat ketinggian lapisan pencampuran minimum B = Saat ketinggian lapisan pencampuran maksimum
Konsentrasi yang tertera pada Tabel 13 menunjukkan angka yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan hasil pengukuran kualitas udara milik BPLHD DKI Jakarta untuk mobile station (Lampiran 8). Kemungkinan hal ini dapat terjadi karena hasil pengukuran dilapangan sudah dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti angin, temperatur, radiasi sehingga pencemaran telah mengalami
66 pengenceran. Selain itu, kenyataan yang terjadi di lapangan adalah konsentrasi pencemar yang terukur bersumber tidak hanya dari kendaraan bermotor, tetapi juga dari sumber pencemar lain. Pada tahun 2014 diperkirakan konsetrasi pencemar CO, NOx dan PM10 akan meningkat masing-masing sebesar 0,9 kali hingga 2 kali lipat dari tahun 2008. Peningkatan akan bertambah di tahun 2020 menjadi 1 kali hingga 3,21 kali lipat bila dibandingkan tahun 2008. Berikut ini disajikan estimasi konsentrasi pencemar rata-rata tahunan pada tahun 2014 dan 2020 (Gambar 28 - Gambar 30)
Konsentrasi (mg/m3)
30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Selatan
Selatan
Timur
Utara
Pusat
Barat
Ketinggian maksimum Tahun 2014
Tahun 2020
Timur
Utara
Pusat
Barat
Ketinggian minimum
BMU DKI Jakarta
Gambar 28 Estimasi konsentrasi CO tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta Kisaran konsentrasi pencemar CO tahun 2014 diperkirakan sebesar 5,20 mg/m3 hingga 17,41 mg/m3, sedangkan pada tahun 2020 konsentrasi pencemar berkisar antara 8,17 mg/m3 hingga 27,34 mg/m3. Konsentrasi pencemar di Jakarta Pusat memiliki nilai tertinggi dan melebihi baku mutu udara ambien DKI dibandingkan dengan daerah lain hal ini dapat dipahami mengingat luasan area Jakarta Pusat lebih kecil dari daerah lain. Pada tahun 2020, konsentrasi CO di seluruh DKI Jakarta berpotensi melebihi baku mutu udara ambien DKI (BM 24 jam), jika kebijakan pengendalian pencemaran udara sama sekali tidak diterapkan kecuali untuk wilayah Jakarta Utara yang terukur pada ketinggian lapisan pencampuran maksimum.
67
6000
Konsentrasi ( µg/m 3)
5000 4000 3000 2000 1000 0 Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Selatan
Selatan
Timur
Utara
Pusat
Barat
Timur
Ketinggian maksimum Tahun 2014
Tahun 2020
Utara
Pusat
Barat
Ketinggian minimum
BMU DKI Jakarta
Gambar 29 Estimasi konsentrasi NOx tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta Kisaran konsentrasi pencemar NOx tahun 2014 diperkirakan sebesar 1.313 µg/m3 hingga 4.395 µg/m3 dan pada tahun 2020 nilai konsentrasi berkisar 1.537 µg/m3hingga 5.143 µg/m3. Pada Gambar 29 terlihat bahwa semua nilai konsentrasi jauh diatas baku mutu 24 jam dan 1 tahun udara ambien DKI Jakarta untuk pencemar NO2 yaitu 92,5 µg/m3 dan 60 µg/m3. Perkiraan konsentrasi pencemar PM10 tahun 2014 berkisar antara 155 µg/m3 hingga 517 µg/m3 dan pada tahun 2020 nilai konsentrasi berkisar 203 µg/m3hingga 678 µg/m3. Bila dibandingkan dengan baku mutu udara ambien DKI Jakarta yaitu 150 µg/m3 maka nilai konsentrasi yang diperkirakan akan berada diatas baku mutu, terlebih bila dibandingkan dengan baku mutu WHO (2005) yang sebesar 50 µg/m3 maka semua nilai konsentrasi yang ada tahun 2020 jauh diatas baku mutu.
68
800
Konsentrasi ( µg/m 3)
700 600 500 400 300 200 100 0 Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Selatan
Selatan
Timur
Utara
Pusat
Barat
Ketinggian maksimum Tahun 2014
Tahun 2020
Timur
Utara
Pusat
Barat
Ketinggian minimum
BMU DKI Jakarta
Gambar 30 Estimasi konsentrasi PM10 tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut : a.
Beban emisi pencemar CO, NOx dan PM10 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta pada tahun 2008 secara berturut turut adalah 2.124.361 ton/tahun, 676.713 ton/tahun dan 75.466 ton/tahun.
b.
Tanpa adanya kebijakan pengendalian emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta maka total beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor diperkirakan akan meningkat 1,4 kali lipat pada tahun 2014 dan 2 kali lipat pada tahun 2020 dari beban emisi tahun 2008. Sedangkan konsentrasi pencemar di udara akan meningkat sebesar 0,9 kali hingga 3,2 kali lipat dari konsentrasi tahun 2008.
c.
Penerapan kebijakan sistem P dan P dapat menurunkan total beban emisi lebih besar dibandingkan penerapan kebijakan BBG dan nilai ini akan bertambah jika kedua kebijakan tersebut dilakukan bersamaan.
6.2
Saran
a.
Penurunan tingkat emisi yang lebih besar dari kendaraan dapat dicapai bila dilakukan pengembangan sistem transportasi umum menuju pusat-pusat aktivitas ekonomi dan terintegrasi dengan wilayah penyangga (bodetabek). Sehingga besar kemungkinan penggunaa kendaraan pribadi akan menurun.
b.
Penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang ada di DKI Jakarta sesuai dengan Perda nomor 2 tahun 2005 terutama untuk sistem P dan P sebaiknya segera dilaksanakan, sehingga beban emisi dari kendaraan bermotor dapat segera berkurang.
c.
Adanya kebijakan bahan bakar minyak sesuai standart internasional di Indonesia perlu segera direalisasikan mengingat salah satu sumber tingginya
70
pencemaran udara dari kendaraan adalah adanya bahan bakar yang tidak ramah lingkungan. d.
Perlu adanya kebijakan pemberian keringanan pajak bagi kendaraan yang menggunaan bahan bakar alternatif, sehingga dapat memicu jumlah kendaraan yang ramah lingkungan lebih banyak lagi.
71 DAFTAR PUSTAKA
Ammari, F. 2005. Transport and Traffic Draft Working Paper, Urban Air Quality Improvement Sector Development Program (UAQ-i SDP), UAQi ADB TA Consultant [ARPEL] Regional Association of oil and Natural Gas Companies in Latin America and the Caribbean. 2001. Systemic Approach to Vehicular Emission Control in Latin America and the Caribbean. Argentina. [BPHMIGAS] Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas. Komoditas dan Pemasaran Bahan Bakar Minyak. http:// www.bphmigas.go.id. [23 Oktober 2008] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Jakarta dalam Angka Tahun 2007. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Strategi dan Rencana Aksi Lokal DKI Jakarta untuk Peningkatan Kualitas Udara Perkotaan, Jakarta. Canter. 1996. Environmental Impact Assessment Second Edition : Impact Prediction and Assessment of Air Quality. Kota penerbit :, McGraw Hill Godhish, T. 2004. Air Quality 4th Edition, Atmospheric Pollution and Pollutants, Chapter 2 pages 31-33 and 49-50. Kota penerbit : Lewis Publisher Eggleston, S. and Walsh, M. 2000. Emissions : Energy, Road Transport. Paper Good Practice Guidance and Uncertainty Management in National Greenhouse Gas Inventories. Gorham, R. 2002. Air Pollution from Ground Transportation ; An assessment of causes, strategies and tactics, and proposed actions for the international community, United Nations. Hidayat, A. 2005. Konsumsi BBM dan Peluang Pengembangan Energi Alternatif, Inovasi online 5/XVII/November 2005 [15 Oktober 2008].November 2005 [6 September 2008] [IPCC] Intergovermental Panel on Climet Change. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories: Reference Manual [JICA] Japan International Cooperation Agency. 1997. The Study on the Integrated Air Quality Management for Jakarta Metropolitan Area. Draft Final Report. Nippon Koei Co. Ltd, Suuri Keikaku Ltd.
72 [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2004. The Study on Integrated Transport Master Plan fo JABODETABEK (SITRAMP) Vol. I and Vol II. Kannan, K. 1997. Fundamentals of Environmental Pollution. S. Chand and Company Ltd. New Delhi. India Kazakhstani. 2002. GHG Emissions Inventory from Coal Mining and Road Transportation. Almaty. Kazakhtan. http ://www.pnl.gov/aisu/pubs/ kazakemm.pdf, [7 Juni 2008] Kementerian Lingkungan Hidup. 2007. Fuel Quality Report 2007. Clean Fuel : A Requirement for Air Quality Improvement. Jakarta Kementerian Lingkungan Hidup. 2008. Draft Petunjuk Teknis Penghitungan Beban Emisi dari Kendaraan Bermotor Volume 1. Jakarta {NAP] National Academic Press. 2001. Evaluating Vehicle Emissions Inspection and Maintenance Programs. National Academy of Sciences. Washington, D.C. http ://www.nap.edu/catalog/10133.html [8 Juli 2008] Satudju, D. 1991. Studi Pencemaran Udara Oleh Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta. Program Studi Ilmu Lingkungan – UI. Jakarta.
Soedomo, M. 2001. Pencemaran Udara, Kumpulan Karya Ilmiah. ITB Bandung, Suhadi dan Damantoro. 2005. Emission Strengths and Spatial Distribution of Emissions of Primary Pollutants in Agglomeration of Jakarta. Sukarto,H. 2004. Sistem lalu lintas perkotaan berwawasan lingkungan. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan 24 (3) : 228-239. Sutomo H. dan Ammari, F. 2008. Sistem Transportasi yang Berkesinambungan di DKI Jakarta. Inovasi.online 10 (XX) Maret 2008 [10 September 2008]. Stewart, R. 2005. Earth’s Radiation Balance and Oceanic Heat Fluxes, Department of Oceanography, Texas A&M University Syahril, S., Resosudarmo, B.P., and Satriyo Tomo, B. 2002. Indonesian MultiSector Action Plan Group on Vehicle Emission Reduction, Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta, RETA 5937 Asian Development Bank. Swisscontact. 2001. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pekan Urun Turun Emisi IV. Jakarta. UNEP. 2006. Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (versi bahasa Indonesia).
73 Walsh M, Faiz, A., Weaver, C.S. 1996. Air pollution from Motor Vehicles. Standards and Technologies for Controlling Emissions. World Bank Washington D.C.
USA World Bank. 1997. Urban Air Quality Management Strategy in Asia. World Bank Technical Paper No. 378 Wilton, E. 2001. Good Practice Guide for Preparing Emission Inventory, Ministry for The Environment - Sustainable Management Fund