STANDAR EMISI EURO2 DAN INSTRUMEN EKONOMI SEBAGAI UPAYA REDUKSI EMISI KENDARAAN BERMOTOR DI DKI JAKARTA Nuraini Soleiman (
[email protected]) Univervsitas Terbuka R.C. Tarumingkeng Akhmad Fauzi Bunasor Sanim Institut Pertanian Bogor ABSTRACT Air pollution from vehicle emission becomes a major problem in Jakarta. These vehicle emissions worsen ambient air concentration because of increasing use of diesel engine for urban transportation, which exhaust particulate matter (PM10). The policy of reducing emission from automobile is stated by government by using the Euro2 emssion standard for cars. This article presents an assessment of Euro2 standard emission policy in Jakarta. Simulation method has used to estimate the health impact and economic loss before and after the use of the new emission standard. It was estimated that social-cost of health problems concerning this pollutant has reached approximately 6 triliun rupiah in year 2007, this value is about 8.8% of Jakarta RGDP in 2004. This social-cost will be reduced about 70%, after using the new policy emission standard. However, the level of vehicles emission cannot be monitored by this standar policy. Therefore, some economic instruments are introduced for additional policies to standar regulation for reducing the level of particulate matter pollution from vehicles emission. Key words: air pollution, economic loss, emission standard, environmental policy, health problems, particulate matter
Partikel ebu yang berdiameter kecil dari 10 µmeter (PM10) , merupakan salah satu gas buang yang diemisikan kendaraan bermotor terutama yang berbahan bakar solar. Kontribusi sektor transportasi pada emisi total PM10 di Jakarta lebih dari 70% (Syahril, Resosudarmo, & Tomo, 2002). Hasil pemantauan konsentrasi ambien polutan ini di lima wilayah pemantauan di Jakarta telah melampaui baku mutu udara ambien (Tamin & Rachmatunisa, 2007). Dampak yang disebabkan oleh PM10 pada kesehatan diantaranya adalah berbagai gangguan kesehatan dan dapat berakibat pada kematian (Ostro, 1994). PM10 merupakan polutan yang paling bermasalah yang berasal dari sektor transportasi (Walsh, 1996; Panyacosit, 2000; Quah & Tay, 2002). Kontak secara langsung atau kontak dalam konsentrasi kecil namun dalam periode waktu tertentu terhadap PM10 dapat menyebabkan hilangnya fungsi paru-paru (Liu & Liptak, 1999; McGranahan & Murray, 2003). Terdapat hubungan linier antara meningkatnya konsentrasi ambien PM10 dan tingkat mortalitas (Daniel., Dominici, Samet, & Zeger, 2002). Kenaikan 10 µgr/m3 konsentrasi PM10 meningkatkan mortalitas prematur sebesar 0,1% sampai 4,6% dan morbiditas,
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 55-62
misalnya untuk LRI (gangguan pernapasan pada anak-anak) akan meningkat antara 1,1% sampai 24,9% (El-Fadel, Aldeen, & Maroun, 2004; Voorhees, 2004). Hubungan antara meningkatnya konsentrasi PM10 dengan meningkatnya perawatan rumah sakit akibat gangguan pernapasan (Respiratory Hospital Admission = RHA), membuktikan kenaikan 10 µgr/m3 akan meningkatkan RHA sebanyak 1% Wilson, Salloway, Wake, & Kelly, 2004). Dampak secara sosial dan ekonomi yang ditanggung masyarakat inilah yang menjadi pertimbangan utama kebijakan reduksi tingkat pencemaran harus dilakukan (Ostro, 1994; Lvovsky, Hudges, Maddison, Ostro, & Pearce, 2000; El-Fadel, Aldeen, & Maroun, 2004). Secara nasional upaya reduksi emisi dari kendaraan bermotor telah diantisipasi pemerintah dengan keluarnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 141 tahun 2003, tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi, yang menyatakan bahwa standar Euro2 akan diterapkan mulai Januari 2005 untuk kendaraan tipe baru dan Januari 2007 untuk kendaraan tipe produksi yang sudah beredar. Artikel ini bertujuan mengkaji efektivitas kebijakan standar emisi kendaraan terhadap reduksi konsentrasi ambien, dampak kesehatan dan biaya sosial akibat pencemaran PM10 serta alternatif kebijakan instrumen ekonomi untuk pengendalian pencemaran PM10 dari kendaraan bermotor di Jakarta. Data inventori emisi dan pembagian wilayah DKI Jakarta atas 23 grid diperoleh dari penelitian sebelumnya (Syahril et al, 2002). Data kependudukan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk kepentingan model ini data kecepatan angin dan arah angin tersedia untuk periode 10 tahun diperoleh dari Badan Metereologi dan Geofisika (BMG). Tingkat pertumbuhan ekonomi diambil 2%, sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2000. Pertumbuhan kendaraan menggunakan tingkat pertumbuhan tahun 2000, direktorat Lalu-lintas Daerah Kepolisian Metro Jakarta (Ditlantas Polda Metro Jaya). Model estimasi konsentrasi udara ambien menggunakan model Gaussian untuk urban area (Schnelle & Dey, 1999). Estimasi dampak kesehatan menggunakan fungsi Dose-response yang dikembangkan Ostro (1994). Estimasi nilai ekonomi kesehatan menggunakan cost of illness (COI), nilai ekonomi keterbatasan hari kerja (RAD) menggunakan upah minimum harian (UMR) Jakarta 2004, dan nilai prematur mortalitas menggunakan value of statistical life (VSL) dengan mengadopsi VSL yang digunakan Susandi (2004) dengan angka kematian kasar DKI Jakarta sebesar 0,036. Dua skenario didisain untuk melihat perilaku model. Skenario bussiness as usual (BAU) merupakan keadaan dimana tidak ada perlakuan atau kebijakan yang diambil untuk reduksi tingkat pencemaran dari kendaraan bermotor. Pada kondisi BAU faktor emisi yang digunakan adalah faktor emisi tidak terkontrol. Sedangkan pada skenario Euro2, faktor emisi kendaraan yang digunakan adalah faktor emisi Euro2 dengan variabel lainnya pada kedua skenario adalah sama. HASIL DAN PEMBAHASAN Skenario Bussiness as Usual (BAU) Hasil simulasi model diberikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1 menyimpulkan bahwa wilayah yang paling banyak menerima gangguan kesehatan adalah wilayah Jakarta Barat (Jakbar), dimana 24,1% penduduk Jakarta bermukim di wilayah tersebut. Sedangkan wilayah Jakarta Selatan (Jaksel) dengan penduduk 21,4% dari penduduk Jakarta, menerima dampak kesehatan terkecil.
56
Soleiman, Standar Emisi Euro2 dan Instrumen Ekonomi sebagai Upaya Reduksi Emisi Kendaraan Bermotor
Wilayah Jakarta Pusat (Jakpus) sekalipun jumlah penduduk hanya 9,1% dari penduduk Jakarta, namun dampak kesehatan pada penduduk di wilayah tersebut di atas 50% dari jumlah kasus yang terjadi di Jakarta Barat (Jakbar). Tabel 1. Gangguan Kesehatan Dampak PM10 di Jakarta (kasus)
RHA ERV RSD RAD LRI AA BC PM
Jakpus 960 18,841 14,647,188 1,840,904 36,387 43,705 4,898 277
Jumlah Kasus Gangguan Kesehatan Tahun 2007 Jakbar Jaksel Jakut Jaktim 1,662 790 1,308 1,008 32,613 15,493 25,652 19,783 25,352,977 12,044,476 19,941,724 15,379,186 3,186,440 1,513,787 2,506,337 1,932,903 62,982 29,921 49,539 38,205 75,650 35,939 59,504 45,890 8,479 4,028 6,669 5,143 479 227 377 290
Total 5,729 112,382 87,365,552 10,980,370 217,034 260,688 29,217 1,650
Wilayah Jakarta Utara (Jakut) dimana 17% penduduk Jakarta bermukim di wilayah tersebut, menerima dampak kesehatan terburuk setelah Jakarta Barat. Sementara itu, sebagian besar penduduk Jakarta bermukim di wilayah Jakarta Timur (Jaktim) sekitar 28,2%, dan dampak kesehatan pada wilayah ini lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya, kecuali Jaksel. Biaya gangguan kesehatan dari dampak pencemaran merupakan kerugian ekonomi (economic loss) dari pencemaran udara. Tabel 2 memberikan nilai ekonomi dari masing-masing gangguan kesehatan per wilayah pada tahun 2007. Secara total, biaya ekternalitas pencemaran udara ini mencapai 8,8% dari PDRB Jakarta pada tahun 2004. Di Indonesia biaya eksternalitas tersebut harus ditanggung oleh masyarakat. Tingginya biaya eksternalitas tersebut terhadap PDRB Jakarta menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di banyak negara biaya ekternalitas diinternalisasi ke dalam perhitungan PDRB/PDB. Dengan demikian, dampak dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat. Tabel 2. Nilai Ekonomi Gangguan Kesehatan Dampak PM10
RHA ERV RSD RAD LRI AA BC PM Total
Jakpus 1,050 8,651 477,132 41,420 1,185 2,096 445 507,969
Nilai Ekonomi Kesehatan Tahun 2007 per Wilayah (Juta Rp.) Jakbar Jaktim Jaksel Jakut 1,818 1,103 864 1,430 14,973 9,083 7,113 11,778 825,873 500,977 392,349 649,602 71,695 43,490 34,060 56,393 2,052 1,245 975 1,614 3,627 2,200 1,723 2,853 770 467 366 606 879,249 533,355 417,706 691,585
Total 6,265 51,598 2,845,933 247,058 7,070 12,499 2,653 3,029,863 6,202,940
Skenario Euro 2 Menggunakan skenario Euro2 yaitu dengan menggunakan faktor emisi Euro2, simulasi model dinamis menghasilkan reduksi terhadap variabel endogen sistem rata-rata di atas 50% (Tabel 3). Asumsi dari model ini adalah standar emisi Euro2 diterapkan pada semua kendaraan.
57
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 55-62
Tabel 3. Reduksi Variabel Endogen Model Skenario Euro2 Variabel Endogen Reduksi emisi kendaraan Reduksi emisi total Reduksi konsentrasi ambien Reduksi gangguan kesehatan Reduksi Prematur Mortalitas Reduksi biaya sosial
Skenario Euro2 (%) 58,6 48,3 51,0 69,9 69,9 69,9
Gambar 1 dan Gambar 2 memberikan perbandingan gangguan tingkat morbitas dan tingkat prematur mortalitas per skenario. Kedua gambar tersebut memberikan bahwa secara grafik kedua gangguan kesehatan menunjukkan kecenderungan yang sama namun dengan besaran yang berbeda. Dari gambar-gambar ini juga terlihat bahwa reduksi untuk masing-masing gangguan kesehatan dengan penggunaan stadar emisi Euro2 sangat signifikan. Tingkat Morbiditas di Jakarta per Skenario
Juta Kasus
800 600 400 200 0 2005
2007
2009
2011
2013 2015
2017
2019 2021
2023
2025
Tahun BAU
Euro2
Gambar 1. Tingkat morbiditas dampak pencemaran PM10 per skenario Tingkat Prematur Mortalitas Dampak PM10 di Jakarta
Ribu Kasus
15.00 10.00 5.00 0.00 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025 Tahun BAU
Euro2
Gambar 2. Tingkat prematur mortalitas dampak pencemaran PM10 per skenario
58
Soleiman, Standar Emisi Euro2 dan Instrumen Ekonomi sebagai Upaya Reduksi Emisi Kendaraan Bermotor
Tereduksinya tingkat morbiditas dan prematur mortalitas menggunakan skenario Euro2, akan berdampak pada menurunnya nilai ekonomi dari kedua gangguan kesehatan tersebut. Nilai ekonomi dari dampak pencemaran PM10 terhadap kesehatan manusia diberikan pada gambar 3.
Triliun Rp.
Nilai Ekonomi Gangguan Kesehatan Dampak Pencemaran PM10 60,0 40,0 20,0 0,0 2005
2008
2011
2014
2017
2020
2023
Tahun BAU
Euro2
Gambar 3. Nilai ekonomi gangguan kesehatan dampak pencemaran PM10 per skenario Menggunakan asumsi bahwa setiap kendaraan menggunakan standar emisi Euro2, sistem dinamis memperlihatkan bahwa kebijakan penetapan standar Euro2 merupakan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang sangat efektif mengatasi meningkatnya polusi udara dari kendaraan bermotor. Kebijakan penetapan standar membutuhkan adanya program memonitor emisi dari setiap kendaraan, yang merupakan bagian dari kebijakan ini. Dengan demikian, pada saat ini kebijakan Euro2 hanya dapat dilaksanakan untuk kendaraan baru, karena monitoring terhadap pelaksanaan standar emisi yang digunakan dapat dilakukan dengan mudah. Untuk kendaraan yang sedang beroperasi atau kendaraan lama, penerapan standar emisi Euro2 membutuhkan pemasangan alat pengendali polusi atau polution control equipment (PCE) pada setiap kendaraan. Namun, kebijakan standar tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat untuk memonitor emisi dari setiap kendaraan, karena tidak cost-effective (Fullerton & West 2002). Dengan demikian, negara-negara di Eropa menggunakan kebijakan instrumen ekonomi sebagai alat kontrol emisi kendaraan (Beltran, 1996; O’Connor, 1996). Kebijakan Lingkungan Kebijakan lingkungan hidup terdiri dari kebijakan penetapan standar atau biasa disebut kebijakan command and control (CAC) dan kebijakan yang bergantung pada pasar atau market based policy yang biasanya menggunakan instrumen ekonomi. Kebijakan standar terdiri atas kebijakan standar emisi dan standar teknologi, standar emisi Euro2 merupakan contoh kebijakan standar emisi, sedangkan kebijakan penggunaan alat kontrol polusi (PCE) adalah contoh kebijakan standar teknologi. Indonesia pada saat ini masih menggunakan kebijakan CAC untuk mengatasi polusi udara dari kendaraan bermotor. Untuk mengatasi besarnya jumlah kasus kesehatan dan nilai ekonomi (social-cost) akibat pencemaran udara dari kendaraan bermotor, di negara maju dilakukan dengan menginternalisasi biaya tersebut ke dalam perhitungan PDRB/PDB, melalui instrumen ekonomi. Penggunaan instrumen
59
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 55-62
ekonomi bukan hanya dibutuhkan untuk menghimpun dana, tetapi juga sebagai instrumen untuk melakukan perubahan perilaku masyarakat dalam berkendaraan sehingga dalam menurunkan jumlah kilometer perjalanan, yang merupakan salah satu variabel yang menentukan besarnya emisi kendaraan (Beltran, 1996; Fullerton & West, 2002). Biaya perbaikan lingkungan atau abatemen cost sulit untuk dihitung, mengingat abatemen cost dari kendaraan sangat bergantung pada banyak faktor, diantaranya adalah faktor preferensi masyarakat dalam memilih kendaraan (Fullerton & Gan, 2005). Di samping itu, pencemaran udara dari kendaraan bermotor disebabkan juga oleh kondisi kendaraan, kendaraan tua yang tidak terawat merupakan penyebab polusi udara tertinggi (Small & Kazimi, 1994). Instrumen pajak dapat digunakan untuk menginternalisasi biaya degradasi lingkungan (Beltran 1996; Fullerton & West, 2002). Pajak pada bahan bakar minyak (BBM) merupakan instrumen yang paling efektif dalam mereduksi polusi udara dari kendaraan bermotor (Fullerton & Gan, 2005). Namun demikian, penggunaan pajak BBM perlu memperhatikan kondisi wilayah lain, karena pajak BBM berlaku secara nasional, sedangkan pencemaran dari kendaraan bermotor hanya terjadi di wilayah perkotaan. Di negara berkembang seperti Indonesia, pajak BBM digunakan untuk meningkatkan pendapatan negara, atau dengan kata lain biaya kerusakan lingkungan belum termasuk dalam perhitungan pajak BBM (Lvovsky et al., 2000). Dengan demikian instrumen pajak bahan bakar untuk mereduksi emisi kendaraan bermotor di negara berkembang tidak mencapai sasaran. Beberapa negara di Eropa menggunakan beberapa jenis pajak dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan di samping itu dapat menurunkan tingkat pencemaran, disebut instrumen environmental fiscal, contohnya adalah pajak pada bahan bakar dan pestisida (Beltran, 1996). Karena itu, alasan bahwa negara masih membutuhkan dana untuk pembangunan, sehingga perbaikan lingkungan tidak pernah menjadi prioritas perlu dikaji lebih lanjut. Di samping itu, menggunakan polluter pays principle di mana pencemar berkewajiban untuk melakukan perbaikan kerusakan lingkungan, maka penggunaan berbagai jenis instrumen ekonomi dalam mereduksi tingkat pencemaran udara dari kendaraan bermotor dapat dilakukan. Instrumen pajak kendaraan yang berdasarkan pada umur kendaraan misalnya dapat digunakan untuk menurunkan penggunaan kendaraan tua. Kalaupun penggunaan kendaraan tua masih tetap tinggi maka perlu digunakan kebijakan penggunaan PCE atau alat kontrol polusi pada kendaraan tersebut. Pemasangan PCE pada setiap kendaraan membutuhkan biaya yang tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada masyarakat. Karena itu, dibutuhkan kebijakan subsidi terhadap PCE. Secara moral penggunaan subsidi merupakan penghargaan bagi pencemar, namun untuk mempercepat reduksi pencemaran udara maka kebijakan ini dapat diterima (Field & Field, 2002). Selain itu, dana subsidi terhadap PCE dapat diambilkan dari pendapatan pajak kendaraan. Penelitian yang dilakukan di negara maju menunjukkan bahwa kombinasi antara kebijakan pajak pada BBM, pajak kendaraan berdasarkan umur kendaraan, dan subsidi terhadap PCE merupakan kebijakan terbaik dalam mereduksi emisi kendaraan (Fullerton & West, 2002). Namun penelitian penggunaan pajak BBM di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa tingginya permintaan terhadap kendaraan menyebabkan pajak pada BBM tidak elastis terhadap penurunan emisi dari kendaraan (O’Connors, 1996). Di samping itu, pajak pada BBM merupakan kebijakan yang berlaku secara nasional, padahal pencemaran udara dari kendaraan bermotor hanya terjadi di wilayah perkotaan. Dengan demikian, penggunaan pajak BBM tidak dapat diterapkan di negara berkembang termasuk Indonesia. Pajak lain yang juga dapat diterapkan adalah pajak penggunaan
60
Soleiman, Standar Emisi Euro2 dan Instrumen Ekonomi sebagai Upaya Reduksi Emisi Kendaraan Bermotor
jalan atau road pricing, jenis pajak ini dapat sepenuhnya menginternalisasi ekternalitas dari penggunaan kendaraan (Chia, Tsui, & Whalley, 2001). Selain itu, penggunaan road pricing di Singapore dapat menurunkan tingkat kemacetan sampai 75% (Field & Field, 2002). Hasil beberapa penelitian di atas menyimpulkan bahwa eksternalitas dari penggunaan kendaraan harus diinternalisasi dalam perhitungan PDB. Penggunaan instrumen pajak kendaraan dan pajak penggunaan jalan merupakan alternatif untuk melakukan internalisasi biaya kerusakan lingkungan dalam perhitungan PDB atau PDRB. Pengendalian emisi dari kendaraan dilakukan menggunakan kebijakan penetapan standar emisi atau kebijakan CAC yang ada dan penggunaan instrumen ekonomi. Kebijakan penggunaan instrumen pajak dan subsidi terhadap penggunaan PCE merupakan kebijakan terbaik yang dapat diterapkan di Jakarta. PENUTUP Simulasi model menghasilkan bahwa kebijakan standar emisi yang diterapkan saat ini merupakan kebijakan yang efektif dalam mereduksi emisi kendaraan untuk kendaraan baru. Namun, dengan kebijakan ini tidak dapat dilakukan pengawasan dari emisi setiap kendaraan, yang merupakan bagian dari kebijakan CAC tersebut. Karena itu, selain menggunakan kebijakan CAC dibutuhkan pula kebijakan lingkungan yang menggunakan instrumen ekonomi yang menganut polluter pays principle sebagai tambahan dari kebijakan CAC tersebut. Untuk mengatasi besarnya biaya kerusakan lingkungan maka internalisasi biaya kerusakan lingkungan ke dalam perhitungan PDB harus dilakukan. Internalisasi biaya kerusakan tersebut dilakukan menggunakan pajak kendaraan dan pajak penggunaan jalan. Sedangkan, penggunaan instrumen ekonomi untuk mereduksi emisi dari kendaraan dibutuhkan kombinasi antara instrumen pajak dan subsidi terhadap PCE yang merupakan alternatif kebijakan terbaik dalam mengendalikan emisi dari kendaraan bermotor di Jakarta. REFERENSI Beltran, D.J. (1996). Environmental taxes: Implementation and environmental effectiveness. Environmental Issues Series, No.1. Compenhagen, Denmark. Chia, N.C., Tsui A.K.C., & Whalley, J. (2001). Taxes and traffic in Asian Cities: Ownership and use taxes on Autos in Singapore. National Bureau of Economic Research (Working Paper No. W8278). Daniel, M.J., Dominici, F., Samet, J.M., & Zeger, S.L. (2002). Estimating PM10-Mortality doseresponse curves and treshhold level: An analysis of daily time-series for the 20 larges US cities. El-Fadel, M., Aldeen, R.A.F., & Maroun, R. (2004). Impact of diesel policy banning on PM levels in urban areas. International Journal on Environment Studies, 61 (4), 427-436. Field, B.C. & Field, M.K. (2002). Environmental economics: An introduction. New York: McGraw-Hill. Fullerton, D. & Gan, L. (2005). Cost effective policies to reduce vehicle emissions. National Bureau of Economic Research. Working Paper No.11174. Fullerton, D., & West, S.E. (2002). Can taxes on cars and gasoline mimic an unavailable tax on emissions? Journal of Environmental Economics and Managemen, 43, 135-157. Liu, D.H.F. & Liptak, B.G. (2000). Air pollution. Boca Raton: Lewis Publisher. Lvovsky, K., Hudges, G., Maddison, D., Ostro, B., & Pearce, D. (2000). Environmental cost of fossil fuels. Pollution Management Series. The World Bank Environment Department.
61
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 4, Nomor 1, Maret 2008, 55-62
McGranahan, G. & Murray, F. (2003). Air pollution and health in rapidly developing countries. London: Earthscan Publication Ltd. O’Connor, D. (1996). Applying economic instruments in developing countries: From theory to implementation. Paris: OECD Development Centre. Ostro, B. (1994). Estimating the health effects of air pollutans: A method with an application to Jakarta. Policy Research Working Paper No. 1303. Diambil 18 Januari 2006, dari http://wdsbeta.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/IW3P/IB/1994/05/01/00000 9265_3970716141007/Rendered/PDF/multi0page.pdf.. Panyacosit, L. (2000). A review of particulate matter and health: Focus on developing countries. Diambil 11 Januari 2006, dari http://www.iiasa.ac.at/Publications/Documents/IR-00-005.pdf. Quah, E. & Tay L.B. (2002). The economic cost of particulate air pollution on health in Singapore. Journal of Asian Economics. Diambil 11 Januari 2006, dari http://www.unb.ca/courses/econ5755/DR%20Method-QuahBoon.pdf. Schnelle, K.B. Jr. & Dey, P.R. (1999). Atmospheric dispersion modeling compliance guide. New York: McGraw-Hill. Small, K.A. & Kazimi, C. (1994). On the costs of air pollution from motor vehicles. Diambil 11 Januari 2006, dari http://www.socsci.uci.edu/~ksmall/Small-Kazimi.pdf. Susandi A. (2004). The impact of international GHG emissions reduction on Indonesia. Hamburg, German. Syahril, S., Resosudarmo, B.P., & Tomo, H.S. (2002). Study on the air quality in Jakarta, Indonesia. Future trends, health impacts, economic value, and policy Options. Jakarta: Asian Development Bank. Tamin, R.D. & Rachmatunisa, A. (2007). Integrated air quality management in Indonesia. Jakarta: Ministry of Environment. Voorhees, A.S. (2004). Feasibility of cost-benefit analysis for particulate matter air pollution control in Japan. International Journal on Environment Studies. 61 (30), 315-325. Walsh, M.P. (1996). Environmental considerations for cleaner transportation fuels in Asia: Technical options. World Bank. Wilson, A.M., Salloway, J.C., Wake, C.P., & Kelly, T. (2004). Air pollution and the demand for hospital services: A review. Journal of Environment International, 30, 1109-1118.
62