JRL Vol.7 No.2 Hal. 137 - 144
Jakarta,
Juli 2011
ISSN : 2085.3866 No.376/AU1/P2MBI/07/2011
KUANTIFIKASI REDUKSI EMISI KARBON MELALUI GREEN BUILDING SEBAGAI UPAYA MITIGASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DAN PEMANASAN GLOBAL Suryo Anggoro dan Joko Prayitno Susanto Pusat Teknologi Lingkungan-BPPT Jl MH Thamrin no 8 Jakarta 10340, email:
[email protected] Abstrak Ada dua pendekatan yang dapat diambil untuk memutuskan kebijakan terkait dengan dampak perubahan iklim yaitu mitigasi dan adaptasi. Mitigasi berupaya untuk mengurangi sumber atau meningkatkan penyerapan gas-gas rumah kaca terutama karbon dioksida (CO 2), sementara adaptasi berupaya menyesuaikan respon manusia terhadap perubahan iklim dan dampaknya. Perbedaan mendasar antara mitigasi dengan adaptasi adalah reduksi CO2 yang dikuantifikasi dengan ekivalensi unit. Reduksi emisi melalui kegiatan mitigasi dapat terukur dengan jelas dan mudah. Green Building adalah salah satu kegiatan mitigasi dan tulisan ini berusaha menganalisis kebijakan yang dilakukan melalui green building untuk mengetahui besaran reduksi CO2 yang ditunjukkan dalam ekivalensi unit kata kunci : bangunan hijau, mitigasi, perubahan iklim
CARBON EMISSION REDUCTION QUANTIFICATION THROUGH GREEN BUILDING AS A MITIGATION EFFORTS ON CLIMATE CHANGE AND GLOBAL WARMING Abstract Mitigation and adaptation are two approaches for taking policy action to address climate change impacts. Mitigation activities seek to reduce the sources or enhance the sinks of greenhouse gases, most notably carbon dioxide (CO2), and adaptation is to adjust human systems in response to actual or expected climatic stimuli or their effects. One signifance difference between mitigation and adaptation approach is emission reduction expressed in CO2-equivalent units. Emission reductions through mitigation activities can be easily measured. Green building is one of mitigation activities and this paper is to analyze policy impacts through green building approach in CO2 reduction equivalent units. keywords : green building, mitigation, climate change
Kuantifikasi Reduksi Emisi...JRL. Vol. 7 No. 2, Juli 2011 : 137 - 144
137
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Dampak perubahan iklim dan pemanasan global dalam kurun 10 tahun terakhir telah menjadi isu yang mengemuka dan penting di seluruh negara di dunia. Melalui penelaahan secara ilmu pengetahuan dan kajian ilmiah yang semakin mendalam, saat ini upaya merespon perubahan iklim telah mengerucut pada alternatif solusi untuk menekan dampak yang ditimbulkannya. Alternatif solusi ini secara umum terbagi dalam dua pendekatan untuk pengambilan aksi kebijakan, yaitu: mitigasi dan adaptasi (Brody, S., et.al., 2010). Mitigasi yang dilakukan bertujuan untuk mereduksi sumber atau meningkatkan penjerapan gas-gas rumah kaca, terutama CO2 (IPCC), 2001). Para pengambil keputusan memiliki 2 (dua) cara untuk mempengaruhi besaran gas rumah kaca yang di emisikan ke atmosfer atau menyimpannya didalam elemen penjerap yaitu: pertama, melalui peraturan untuk sumber-sumber polusi seperti pembangkit energi dan industri manufaktur umumnya. Kedua, ditujukan pada sektor permukiman dan pola perilaku individual. Pada cara ke-2 ini sebagai contoh dapat dilakukan dengan implementasi kebijakan perencanaan untuk mengurangi jarak tempuh kendaraan melalui optimalisasi kepadatan daerah terbangun (Ewing, R., Bartholomew, K., Winkelman, S., Walters, J., and Chen, D., 2008) atau menciptakan pembangunan berorientasi transit dan strategi untuk mencegah perluasan wilayah kumuh pinggiran kota (Brody, S., Grover, et.al., 2008). Adaptasi sebagai strategi kedua menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global adalah upaya penyesuaian manusia untuk menyikapi kejadian atau prediksi gejala iklim atau dampak yang ditimbulkannya (IPCC), 2001). Adaptasi ini terkait erat dengan konsep kerentanan (resiko terhadap perubahan) dan konsep ketahanan (kemampuan penyesuaian untuk 138
menyikapi perubahan) (Adger, W.N., 2001). Hingga saat ini upaya adaptasi yang telah dijalankan di hampir semua negara dalam rangka menghadapi perubahan iklim banyak difokuskan pada tingkatan lokal. Hal ini karena masyarakat paling rentan menerima dampak resiko iklim (Brody, S., et.al., 2008) dan kebijakan untuk mengatasi ini ada pada wewenang organisasi perencanaan lokal dan regional (EIA., 2005) Perbedaan antara kegiatan mitigasi dan adaptasi dapat dilihat berdasarkan empat aspek, yaitu: pertama dari skala kegiatan. Kegiatan mitigasi pada umumnya dilakukan dalam wilayah regional atau inter regional dimana emiter gas rumah kaca dalam jumlah besar dilibatkan untuk dapat memberikan dampak yang signifikan. Sedangkan kegiatan adaptasi banyak melibatkan aktivitas lokal untuk implementasi peraturan dan perencanaan (Smit, B., Burton, I., Klein, R.J.T and Wandel, J., 2000, Adger, W.N., 2001). Aspek kedua yang membedakan antara kegiatan mitigasi dan adaptasi adalah pelaku yang terlibat di dalamnya(Eankhduser., et.at., 2005 Pelaku yang terlibat dalam kegiatan mitigasi adalah yang banyak terkait dengan sektor energi dan transportasi, sementara kegiatan adaptasi melibatkan lebih beragam pelaku seperti sektor lingkungan, sumberdaya alam, agrikultur, pengembang, air bersih dan pengelola lokal (Smit, B., et.al., 2003). Aspek ke-tiga adalah tolok ukur dampak kegiatan. Kegiatan mitigasi untuk mereduksi emisi dapat terukur melalui besaran unit CO2 yang di ekivalensi dengan analisis manfaat biaya (Fankhouser, S. dan Tol, R.S., 2005). Sebaliknya untuk kegiatan adaptasi, dampak kegiatan sulit untuk terukur karena biasanya tolok ukurnya bervariasi tergantung dari pencapaian yang terkait dengan sosio ekonomi dan politik dan sektor yang terpengaruhi. Hal ini menyebabkan analisis manfaat biaya sulit dilakukan untuk kegiatan adaptasi. Aspek keempat adalah waktu yang dibutuhkan untuk menunjukkan hasil. Kegiatan mitigasi Anggoro, S. dan Susanto, J.P., 2011
secara tipikal membutuhkan waktu cukup panjang hingga puluhan tahun untuk memperlihatkan dampak, sementara kegiatan adaptasi hanya membutuhkan beberapa tahun (Peltonen, L., et.al., 2005) Green building adalah salah satu upaya mitigasi untuk menghadapi perubahan iklim (Brown, M.A. dan Southworth, F., 2008). Dalam laporan tahun 2007 IPCC menyebutkan bahwa sektor bangunan merupakan sektor yang paling potensial untuk upaya mereduksi CO 2 dengan biaya implementasi yang rendah (United Nations Foundations, 2007). Reduksi CO2 di sektor bangunan ini dilakukan terutama melalui efisiensi pemakaian energi untuk operasional bangunan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh kementerian ESDM penggunaan energi oleh sektor bangunan secara nasional di Indonesia, hanya dari konsumsi energi listrik mencapai 30% dari total konsumsi listrik nasional (Peni Susanti, 2009). Hingga saat ini praktik green building masih dalam tahap awal diterapkan di Indonesia. Sebagai sebuah upaya mitigasi maka salah satu aspek yang membedakannya dengan upaya adaptasi adalah dampak kegiatan dapat terukur melalui besaran unit CO2 yang dapat diekivalensi. 1.2 Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisa pengukuran ekivalensi CO2 yang dapat tereduksi melalui aplikasi green building dengan melakukan efisiensi energi, sesuai dengan skenario Peraturan Presiden no.5/2006 dan Instruksi Presiden no.2/2008 dan Instruksi Presiden no.13/2011 untuk penghematan energi sebesar 20% pada bangunan.
nasional diserap oleh DKI Jakarta dengan penggunaan terutama untuk sektor komersial (Peni Susanti, 2009). Lingkup bahasan adalah konsumsi penggunaan energi listrik oleh bangunan multi lantai di DKI Jakarta. Waktu penelitian dilaksanakan selama 4 bulan. 2.2 Sampling dan Analisis Sampel Sampling objek penelitian dilakukan acak terarah pada populasi gedung high rise (lebih dari 6 lantai), dimana sampel mewakili tipe peruntukkan kantor, perbelanjaan, mixed use, rumah sakit, hotel (bintang 3-5), mall dan apartemen. Analisis sampel dilakukan melalui perhitungan kuantifikasi nilai efisiensi. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Berdasarkan laporan hasil studi tentang negara ASEAN tahun 1992, ratarata konsumsi energi pada sektor bangunan di Indonesia 28% lebih tinggi daripada nilai rata-rata negara ASEAN lainnya (ASEANUSAID, 1992). Jumlah total listrik yang dihasilkan PLN yang dikonsumsi pada tahun 2010 adalah sebesar 169.786 GWh, dimana sektor industri menyerap sebesar 40,35%, rumah tangga 40,83%, sektor komersil 14,62%, sektor sosial 2,24%, penerangan jalan publik 1,67% dan bangunan kantor pemerintah 1,58%.
II. METODOLOGI 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian Lingkup wilayah penelitian untuk tulisan ini adalah gedung multi lantai atau gedung high rise (lebih dari 6 lantai) di DKI Jakarta. Berdasarkan data 20% pengguna listrik
Gambar 1.Grafik distribusi penggunaan energi per sektor
Kuantifikasi Reduksi Emisi...JRL. Vol. 7 No. 2, Juli 2011 : 137 - 144
139
Secara keseluruhan sektor bangunan (mencakup komersial, sosial dan bangunan kantor pemerintah) menyerap energi listrik sebesar 18,53% dari jumlah total energi listrik yang dihasilkan oleh PLN. Penggunaan energi listrik pada sektor bangunan di Indonesia sebagian besar untuk peralatan pendinginan A/C dengan penyerapan ± 50% dari total konsumsi energi bangunan. Beberapa hasil laporan audit energi dari beberapa instansi juga menunjukkan hasil yang berkisar antara 50-65%. Berdasarkan hasil survei dan komparasi data yang dilakukan pada sampel gedung high rise di DKI Jakarta, dapat terlihat distribusi penggunaan energi di gedung-gedung sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi penggunaan energi di 60 gedung high rise Jakarta
TIPE BANGUNAN 1
Distribusi Energi (%) A/C
LIFT/ Pene ESC. rangan
lain nya
Perkantoran a.Pemerintah 46,80
1,80
21,10 30,30
b. Swasta
45,74
3,20
21,00 30,05
2
Pus. 51,55 perbelanjaan
4,78
18,57 25,10
3
Mixed use
47,56
3,82
14,82 33,80
4
Rumah Sakit a.Pemerintah 60,25
4,43
10,82 24,50
b.Swasta
62,04
4,27
11,77 21,92
a.bintang 5
60,18
6,44
14,54 18,84
b.bintang 4
60,15
7,68
9,57 22,40
c.bintang 3
65,40 16,10
10,40
6
Mall
51,90
0,92
11,95 35,20
7
Apartemen
53,45
6,75
12,25 27,55
5
Hotel
Sumber : Hasil pengolahan data 140
8,10
Gambar 2.Grafik distribusi penggunaan energi per jenis bangunan Apabila ditinjau dari laju pertumbuhan dan kebutuhan sektor properti Indonesia, maka pertambahan jumlah perkantoran, komersial dan hotel yang terkonsentrasi di DKI Jakarta menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini juga akan meningkatkan besaran konsumsi energi per tahun dari sektor bangunan. Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) DKI menyebutkan hingga 2011 ini di kawasan DKI tercatat ada 1.033 bangunan tinggi dan menengah. Bangunan tinggi 567 unit, bangunan menengah 466 unit dan bangunan industri 6.838 unit. Bangunan tinggi dan menengah tersebut ada yang peruntukannya untuk pusat perkantoran, ada juga untuk pusat komersil. Tabel 2 menunjukkan laju pertumbuhan gedung perkantoran dan komersial. 3.2 Pembahasan Studi konsumsi energi bangunan di wilayah ASEAN untuk beberapa tipe bangunan utama dapat terlihat pada Tabel 4. Data tersebut menunjukkan bahwa dibanding dengan ibukota ASEAN lainnya, bangunan-bangunan perkantoran dan komersial di Jakarta mengkonsumsi energi 34% lebih tinggi dengan konsumsi rata-rata sebesar 390 kWh/m2.tahun. Menyikapi krisis pengadaan BBM dan semakin tingginya harga BBM dunia yang terjadi sejak tahun 2008, maka pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden no.13/2011 tentang penghematan energi dan air. Anggoro, S. dan Susanto, J.P., 2011
Tabel 2. Pertumbuhan perkantoran dan komersial di jakarta Tahun
Tipe & luas (1000 m2) Perkantoran
Komersial
1997
4.095
2.260
1998
4.815
2.373
1999
4.820
2.375
2000
4.825
2.378
2002
4.970
2.450
2003
5.070
2.499
2005
5.468
2.599
2007
5.999
2.798
2008
6.299
2.938
2009
6.614
3.084
2010
7.190
3.239
2011
7.894
3.401
Sumber: Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI),2011; Hendarto, Dicky (2005) & hasil pengolahan data Tabel 3. Konsumsi energi bangunan di jakarta dan negara ASEAN Konsumsi Energi (kWh/m2.tahun) Tipe
Jakarta ASEAN
Beda Standar (%) Indonesia
Perkantoran
333
246
35,4
240
Hotel
400
307
30,3
300
Komersial
450
332
35,5
330
Rumah Sakit
420
382
9,9
380
Sumber : ASEAN-US Energy Conservation in Building Project (1992); Panduan Te k n i s S t a n d a r B a n g u n a n Indonesia (2002) Penghematan energi yang harus dilakukan sebesar 20% dan penghematan air sebesar 10% dari rata-rata penggunaan untuk semua bangunan. Dirjen Energi Sumber Daya dan Mineral (DESDM) mengidentifikasi bahwa
potensi konservasi energi di semua sektor mempunyai peluang yang sangat besar yaitu antara 10% sampai dengan 30%. Penghematan ini dapat direalisasikan dengan cara yang mudah dengan sedikit atau tanpa biaya. Dengan cara itu penghematan yang dapat dicapai sekitar 10% hingga 15%, apabila menggunakan investasi maka penghematan dapat mencapai 30%. Sasongko dan Santoso menyimpulkan bahwa konservasi energi dapat dicapai melalui penggunaan teknologi hemat energi dalam penyediaan, baik dari sumber terbarukan maupun sumber tak terbarukan dan menerapkan budaya hemat energi dalam pemanfaatan energi. Penerapan konservasi energi meliputi perencanaan, pengoperasian, dan pengawasan dalam pemanfaatan energi (Sugiyono, Agus, 2006). Berdasarkan hasil riset BPPT, konservasi energi berupa penghematan dengan penggunaan teknologi yang lebih efisien berdampak lebih efektif dibanding dengan konversi bahan bakar fosil ke bahan bakar nabati. Sesuai dengan instruksi yang dikeluarkan, penghematan energi yang akan dilakukan oleh pemerintah adalah berupa pembentukan tim pengawas energi listrik di setiap kantor yang ada di kota besar. Tim ditunjuk oleh pimpinan setiap kantor untuk mengontrol pemakaian listrik antara lain dengan mematikan listrik yang tidak perlu dan mengatur pendingin atau air conditioner (AC) pada suhu 25 0C . Perubahan pengaturan temperatur dalam ruang pada kisaran suhu 250C karena banyak gedung perkantoran di Jakarta menerapkan standar Amerika (ASHRAE 55-1992) dengan mengatur temperatur ruangan pada kisaran 22-250C. Sementara hasil penelitian Karyono(2000) tentang kenyamanan suhu ruang kerja di beberapa kantor di Jakarta memperlihatkan bahwa para pekerja kantor masih merasa nyaman pada kisaran suhu 26,70-28,60C. Perhitungan ekivalensi CO 2 yang dapat tereduksi dengan melakukan penghematan energi sebesar 15%-20%
Kuantifikasi Reduksi Emisi...JRL. Vol. 7 No. 2, Juli 2011 : 137 - 144
141
disimulasikan untuk sektor perkantoran dan komersial, yaitu yang mengkonsumsi energi listrik terbesar dari sektor bangunan. Maka rumus perhitungan sbb.: Energy Saving = Annual energy consumption x potential energy efficiency Energy Saving = 285kWh x 15% = 42,75kWh/m2.th Total area = 10.428.000 m2 Total Energy Saving = Total Area x Energy Saving = 10.428.000m2 x 42,75kWh/m2.th = 445.797.000 kWh/tahun Ekivalensi CO2 (sesuai dengan surat menteri ESDM no.3783/21/600.5/2008) yaitu 1kWh = 0,891kg CO2 Total CO2 tereduksi = Total Energy Saving x Conversion Factor = 445.797.000 kWh x 0,891 = 397.205.127 kg CO2 = 397.205 ton CO2/tahun Apabila total CO2 yang dapat tereduksi
Gambar 5. Grafik potensi reduksi CO2 per tipe bangunan Berdasarkan data dan hasil perhitungan konversi diatas terlihat bahwa walaupun rata-rata penggunaan energi dari bangunan perkantoran lebih kecil daripada bangunan hotel, komersial dan rumah sakit, namun potensi reduksi CO2 nya ternyata yang paling besar. Hal ini karena rata-rata tingkat pertumbuhan perkantoran paling tinggi dari tipe bangunan lainnya. Rata-rata konsumsi energi per tahun tertinggi terdapat pada rumah sakit, dengan distribusi penggunaan terbesar adalah pendinginan ruang untuk persyaratan medis dan sanitasi (lihat Tabel 2.). Namun potensi
Tabel 4. Konversi reduksi CO2 per tipe aktivitas bangunan melalui efisiensi 15% (2011) Tipe
Konsumsi Energi (kWh/m2.th)
Luas lantai (1000 m2)
CO2 tereduksi (ton)
Total Pohon (1000)
Perkantoran
240
7894
253.208
71730
Hotel
300
3155
126.500
35836
Komersial
330
3401
149.999
42493
Rumah Sakit
380
1983
100.711
28530
Sumber : Hasil Analisa & Pengolahan Data dengan efisiensi sebesar 15% disetarakan dengan kemampuan penjerapan ratarata CO2 per pohon, maka sesuai dengan standar perhitungan emisi EIA (Energy Information Administration, 2005), Average Sequesteration per tree = 3,53 kg CO2/year Total tree sequesteration = Total CO2 reduction / average sequestertion per tree = 397.205.127 / 3,53 kg = 112.522.699 pohon 142
reduksi CO2 nya ternyata yang paling kecil dibanding dengan tipe bangunan lainnya. Hal ini karena tingkat pertumbuhan rumah sakit paling rendah dibandingkan dengan tipe bangunan lainnya. Pada tulisan ini metode penghematan 15% belum dibahas secara mendetail karena tidak dapat digeneralisasikan untuk semua tipe bangunan. Hal ini terutama karena setiap tipe bangunan memiliki sistem Anggoro, S. dan Susanto, J.P., 2011
pemakaian energi dengan karakteristik teknis yang saling berbeda satu dengan lainnya. Sesuai dengan instruksi pemerintah maka metode penghematan 15% ini dapat tercapai tanpa biaya dan tanpa investasi tambahan, hanya melalui tindakan efisiensi dan penghematan penggunaan energi (listrik) pada peralatan penerangan (lampu) dan pengaturan suhu pendinginan ruang. Berdasarkan tujuan utama penulisan yaitu untuk memperlihatkan bahwa praktik green building merupakan upaya mitigasi terhadap perubahan iklim, maka kuantifikasi ekivalensi nilai CO2 yang mampu tereduksi dapat terukur dan dianalisa dengan metode dan standar-standar yang tersedia. Hasil perhitungan dan analisa menunjukkan bahwa aplikasi green building sangat efektif dan ekonomis dalam rangka untuk mereduksi CO2 dari sumber penggunaan energi. Dengan mempertimbangkan secara tepat sasaran aplikasi (sektor dan objek) sesuai dengan data-data yang tersedia maka jumlah CO2 yang dapat tereduksi secara terukur dapat terlihat secara signifikan. Hasil analisa juga memperlihatkan bahwa praktik green building sebagai upaya mitigasi dari segi aspek waktu dampak kegiatan, ternyata memiliki karakteristik aspek waktu yang sama dengan kegiatan adaptasi yaitu dampak kegiatan dapat terlihat dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Berbeda dengan yang disampaikan oleh Peltonen, (1993) dan Ausubel 1993) Hal ini memberikan nilai yang lebih untuk green building sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hambatan yang dihadapi dalam konservasi energi antara lain: biaya investasi tinggi, budaya hemat energi masih sulit diterapkan, kemampuan sumber daya manusia masih rendah sehingga pengetahuan terhadap teknologi yang efisien masih sangat kurang, dan dukungan dari
pemerintah dalam bentuk insentif untuk melakukan upaya konservasi masih kurang. Green Building adalah praktik yang sangat potensial dan sudah saatnya untuk diaplikasikan untuk semua sektor bangunan. Aplikasi green building tidak hanya mencakup, energi tetapi holistik hingga mempertimbangkan aspek konservasi air, material, kualitas udara, limbah dan kualitas lingkungan di dalam dan di sekitar bangunan. Semua aspek ini dapat terukur melalui metode perhitungan untuk mengetahui dampak kegiatan. Upaya pemerintah pusat melalui instruksi penghematan energi dan pemerintah daerah DKI Jakarta tentang bangunan hijau sangat membantu sosialisasi dan penyebarluasan pengetahuan tentang teknologi green building. Energy Conservation Center of Japan (ECCJ) telah melakukan survei atau audit energi pada perhotelan dan bangunan komersial. Berdasarkan hasil audit yang dilakukan, mereka memaparkan bahwa faktor mendasar yang menentukan keberhasilan penghematan energi adalah desain bangunan, manajemen energi, dan komitmen pimpinan (ECCJ), 2008). DAFTAR PUSTAKA Adger, W.N., 2001. Scales of Governance and Environmental justice for Adaptation and Mitigation of Climate Change. Journal of International Development, 13(7), 921-931 Ausubel, J.H., 1993, Mitigation and Adaptation for Climate Change: Answers and Question, The Bridge ASEAN-USAID, 1992, Buildings Energy Conservation Project Final Report. ASEAN Secretariat, Jakarta Brody, S., Zahran, S., Grover, H., and Vedlitz, A., 2008. A Spatial Analysis of Local Climate Change: Risk, Stress and Opportunity. Landscape and Urban Planning Journal, 87(1), 33-41 Brown, M.A. dan Southworth, F., 2008.
Kuantifikasi Reduksi Emisi...JRL. Vol. 7 No. 2, Juli 2011 : 137 - 144
143
Mitigating Climate Change and Smart Growth. Environment and Planning, 653-675 Brody, S., Grover, H., 2010. Examining Climate Change Mitigation and Adaptation Behaviours among Public Sector Organization. Local Environment Journal, 15 (6), 591-603 Energy Information Administration (EIA), 2005. Method for Calculating Carbon Sequestration by Trees in Urban and Suburban Settings, US DOE Ewing, R., Bartholomew, K., Winkelman, S., Walters, J., and Chen, D., 2008. Growing Cooler: the Evidence on Urban Development and Climate Change. Urban Land Institute, Washington D.C. Fankhouser, S. Dan Tol, R.S., 2005. on Climate Change and Economic Growth. Resource and Energy Economics, 1-17 Fussel, H.M., and Klein, R.J.T., 2006. Climate Change Vulnerability Assessment: An Evolution of Conceptual Thinking. Climatic Change, 75(3), 301-329 Gore, C., Robinson, P., 2009. Local government Response to Climate Change. MIT Press, Cambridge, MA. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), 2001, Climate Change 2001: Synthesis Report. Cambridge University Press, New York
144
Karyono, TH., 2000. Report on Thermal Comfort and Building Energy Studies in Jakarta. Journal of Building and Environment, vol.35, 77-90 Moser, S.C., 2009. Governance and the Art of Overcoming Barriers to Adaptation, IDHP, 3, 31-36 Peltonen, L., Haanpaa, S., dan Lehtonen, S., 2005. The Challenge of Climate Change Adaptation in Urban Planning. FINADAPT Working Paper 13, Finnish Environment Institute, Helsinki Peni Susanti, 2009. Sustainable Urban Planning and Energy Efficient Buildings in Jakarta. presentation on Asia Pacific Forum, Beijing Smit, B., Burton, I., Klein, R.J.T and Wandel, J., 2000. An Anatomy of Adaptation to Climate Change and Variability. Climatic Change, 45(1), 223-251 Smit, B., Pilisova, O., 2003. Adaptation to Climate Change in the Context of Sustainable Development and Equity. Sustainable Development, 8-9 Sugiyono, Agus, 2006. Peluang Konservasi Energi di Industri. ITB Bandung The Energy Conservation Center of Japan (ECCJ), 2008. International Cooperation for Energy Efficiency and Conservation in Asia. The First Asia Energy and Environment Technologies Workshop, Tokyo United Nations Foundations, 2007. Realizing the Potential of Energy Efficiency
Anggoro, S. dan Susanto, J.P., 2011