ANALISIS PENERAPAN BENCHMARK BEHAVIORAL MODEL DALAM PEMERIKSAAN PAJAK Muhammad Iqbal, Iman Santoso Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ABSTRAK Dengan target penerimaan pajak Indonesia yang terus meningkat, tuntutan untuk meningkatkan tax ratio, jumlah wajib pajak yang besar, dan sumber daya manusia yang terbatas maka dibutuhkan suatu alat bantu yang terukur untuk menilai dan menguji tingkat kepatuhan wajib pajak. Benchmark Behavioral Model merupakan salah satu alat dari Direktorat Jenderal Pajak untuk memetakan kepatuhan wajib pajak badan. Metode ini merupakan pengembangan dari metode sebelumnya yaitu Total Rasio Benchmarking. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang penyempurnaan metode benchmarking dan kaitannya dengan pemeriksaan pajak. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode Total Rasio Benchmarking memiliki beberapa kelemahan sehingga diganti dengan Benchmark Behavioral Model. Benchmark Behavioral Model ini bisa membantu tugas Account Representative dalam melakukan pengawasan. Selain itu, metode ini juga bisa digunakan sebagai alat bantu bagi pemeriksa untuk menentukan luas pemeriksaan sebagai pedoman awal pemeriksaan. Due to increasing of tax revenue target of Indonesia, demand to increase tax ratio, huge amount of taxpayer, and limited human resources, it is required to have a measured supporting tools to validate and test the taxpayer’s compliance. Benchmark Behavioral Model is one of the method used by Tax Authority to mapping taxpayer’s compliance in Indonesia. This method developed from previous method called Total Ratio Benchmarking. The objective of this research is to gain better understanding on background fixing benchmarking method and how it related to tax audit program proposed by the Indonesia Tax Authorities. The approachusedin this research is qualitative with descriptive method. Results of this research showed from evaluating Total Rasio Benchmarking, there are so many weakness that try to fixed in Benchmark Behavioral Method. Beside that Benchmark Behavioral Method could help account representative task to control taxpayers. Furthermore, this method could also used by auditor as supporting tools to determine audit scope as early direction in tax auditing. Keywords: Tax Audit; Controlling; Benchmarking;Finance report analysis
Pendahuluan Target Penerimaan Pajak merupakan sumber penerimaan utama Indonesia dan terus meningkat dari tahun ke tahun.Pemerintah terus berupaya untuk mendorong peningkatan pendapatan negara, terutama dari sektor Penerimaan Pajak, untuk mengimbangi belanja negara yang semakin melonjak dari tahun ke tahun. Penerimaan pajak dalam RAPBN 2013 ditargetkan Rp.1.031,7 Triliun atau naik 5,2% dari target APBN-P 2012 (Nota RAPBN 2013, Republik Indonesia, 2013).Untuk mengetahui kinerja penerimaan pajak di setiap negara, salah satu tolak ukur yang digunakan adalah tax ratio. Tax ratio adalah perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dalam satu tahun dengan Produk Domestik Bruto (Nurmantu, 2005, h.35). Tabel 1 Tax Ratio Negara ASEAN (dalam persentase) Negara Singapura Thailand Malaysia Filipina Indonesia
2008 15,0 16,4 14,7 13,6 13,0
2009 14,7 15,2 14,9 12,2 11,4
2010 13,5 16,0 13,8 12,1 10,9
2011 14,1 17,6 15,3 12,3 11,8
Sumber: data.worldbank.org
Dari daftar tersebut terlihat bahwa tax ratio Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga masih tertinggal. Rasio pajak Indonesia dari tahun 2008-2011 selalu masih di bawah dengan negara-negara tersebut. Salah satu rekomendasi cukup penting dari IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) tahun 1999, menyatakan bahwa langkah kunci untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah dengan cara menaikan coveragepemeriksaan pajak (tax audit coverage ratio). Sebagai upaya untuk mengamankan penerimaan negara, Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) harus memperhatikan kebijakan di bidang pemeriksaan. Hardi (2003, h.89) menyebutkan ada beberapa hal penting yang harus menjadi pertimbangan Dirjen Pajak dalam menentukan kebijakan pemeriksaan pajak diantaranya adalah keterbatasan sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Pajak. “Sebanyak 32 ribu pegawai pajak harus melayani 60 juta Wajib Pajak di Indonesia. Dari jumlah itu, yang benar-benar berhubungan dengan Wajib Pajak yaitu Account Representative itu Cuma 6000 untuk melayani 60 juta Wajib Pajak” ujar Fuad Rahmany selaku Dirjen Pajak dalam artikel di liputan6.com pada 21 Desember 2012 lalu. Dirjen Pajak merasa perlu melakukan manajemen risiko yang dilakukan secara komprehensif dalam memetakan perilaku Wajib Pajak dan menetapkan strategi compliance yang tepat. Hal ini didasarkan tidak semua Wajib Pajak melaksanakan sistem self assessment yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri jumlah pajak terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan dengan benar.Salah satu bentuk manajemen risiko yang diterapkan oleh Dirjen Pajak adalah dengan pembuatan benchmarking. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan kepatuhan wajib pajak, Dirjen Pajak mengembangkan metodologi berupa Benchmark Behavioral Model (BBM) yang tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-40/PJ/2012. Metode Benchmark Behavioral Model merupakan pengembangan dari metode Rasio Total Benchmarking berupa pemetaan risiko ketidakpatuhan pembayaran pajak wajib pajak badan yang terdaftar pada Dirjen Pajak dengan mengacu pada Surat Pemberitahuan Wajib Pajak Badan. Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka pokok permasalahan yang diangkat adalah: 1. Apa yang melatarbelakangi Direktorat Jenderal Pajak mengganti metode Rasio Total Benchmarking dengan metode Benchmark Behavioral Model? 2. Bagaimana perbedaan proses pemeriksaan dan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak Badan setelah diterapkannya kebijakan Benchmark Behavioral Model? 3. Apa saja permasalahan-permasalahan yang timbul sehubungan dengan diterapkannya kebijakan Benchmark Behavioral Model dan upaya-upaya yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mengatasi permasalahan tersebut? Tinjauan Teoritis Dalam melakukan analisis pada penerapan Benchmark Behavioral Model terhadap Pemeriksaan Pajak disini penulis menggunakan beberapa teori yang relevan. Teori yang digunakan yaitu self assessment system, pengawasan, pemeriksaan pajak, benchmarking, dan analisa laporan kuangan. Self assessment system menurut Rosdiana (2011) merupakan suatu sistem yang memberi kepercayaan kepada para wajib pajak dimana wajib pajak sendiri yang menghitung, menetapkan, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang terhutang. Sebagai konsekuensi atas penerapan sistem ini dan terwujudnya kepatuhan sukarela, Direktorat Jenderal Pajak berkewajiban untuk melakukan pengawasan dan pembinaan kepada wajib pajak. Setelah upaya tersebut dilakukan, pendekatan terakhir yang digunakan adalah dengan pendekatan penegakan hukum (law enforcement) yang meliputi kegiatan pemeriksaan dan penyidikan. Pengawasan merupakan suatu proses dimana pemimpin ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan telah sesuai dengan rencana, perintah atau kebijakan yang telah ditentukan. Pengawasan itu dimaksudkan untuk mencegah atau
memperbaiki kesalahan, penyimpangan, ketidaksesuaian, dan lainnya yang tidak sesuai dengan tugas dan wewenang yang telah ditentukan. Pengawasan bertujuan agar hasil pelaksanaan pekerjaan diperoleh secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif) sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya (Simbolon, 2003, h.61) Pemeriksaan merupakan istilah yang sering digunakan dalam kaitannya dengan perpajakan. Akan tetapi, istilah yang dikenal secara lebih umum adalah auditing. Pengertian pemeriksaan/auditing menurut Arens dan Loebbecke (1997) adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seseorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Pemeriksaan dikategorikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu: (Arens dan Loebbecke, 1997, h.4) a. Pemeriksaan Ketaatan, adalah pemeriksaan yang tujuannya untuk menentukan ketaatan suatu entitas dalam mengikuti prosedur atau peraturan tertentu yang telah ditetapkan. Hasil audit kepatuhan ini adalah laporan ketaatan dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang membuat kriteria. Jenis audit ini banyak dijumpai dalam pemerintahan b. Pemeriksaan Laporan Keuangan, adalah pemeriksaan yang dilakukan auditor independen untuk menentukan kesesuaian laporan keuangan dengan kriteria yang telah ditetapkan. Umumnya kriteria itu adalah prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hasil pemeriksaannya adalah pernyataan pendapatnya tentang kewajaran laporan keuangan tersebut. c. Pemeriksaan Operasional, merupakan review secara sistematik kegiatan organisasi, atau bagian daripadanya, dalam hubungannya dengan tujuan tertentu, yaitu: -‐
Mengevaluasi kinerja
-‐
Mengidentifikasi kesempatan untuk peningkatan
-‐
Membuat rekomendasi untuk perbaikan atau tindakan lebih lanjut
Benchmarking dalam ilmu manajemen merupakan suatu proses mengukur dan membandingkan secara berkesinambungan atas proses-proses bisnis suatu organisasi dengan organisasi lain sejenis untuk mendapatkan informasi yang akan membantu upaya organisasi tersebut memperbaiki kinerjanya (Watson, 1997, h.3). Setelah melakukan perbandingan tersebut, perusahaan ini dapat melakukan evaluasi dan kemudian menentukan langkah yang sistematis untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Model benchmarking ini juga diadopsi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka melakukan pengawasan terhadap Wajib Pajak. Benchmarking yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak awalnya bernama Total Rasio Benchmarking dan kemudian dengan SE40/PJ/2012 dikembangkan menjadi Benchmark Behavioral Model. Latar belakang penerapan metode ini adalah asumsi bahwa wajib pajak dengan karakteristik yang sama akan cenderung memiliki perilaku bisnis yang sama, kondisi keuangan dan perpajakan masing-masing wajib pajka dapat dibandingkan dengan suatu benchmark yang mewakili karakteristik wajib pajak yang bersangkutan. Dengan penerapan metodologi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan kepatuhan wajib pajak. Benchmark
Behavioral
Model
di
dalam
SE-40/PJ/2012
disusun
dengan
membandingkan kinerja keuangan Wajib Pajak Badan dengan kinerja keuangan kelompok Wajib Pajak Badan yang sejenis, yaitu Wajib Pajak Badan yang berada pada klasifikasi usaha yang sama, yang terdaftar di KPP pada Kanwil yang sama, serta dalam rentang skala usaha yang sama. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menilai kinerja keuangan perusahaan, tetapi analisis yang menggunakan rasio keuangan merupakan hal yang umum dilakukan. Rasio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan. (Harahap, 2002, h.32).Rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam Benchmark Behavioral Model ada 12 (dua belas) rasio.Kinerja keuangan yang akan dibandingkan adalah rasio-rasio keuangan yang bersumber dari Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Wajib Pajak Badan. Rasio-rasio ini terkait dengan tingkat laba dan berbagai input perusahaan dalam kegiatan usaha serta melihat hubungan keterkaitan antar rasio untuk menilai kewajaran kinerja keuangan. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu (Sugiyono, 2008, h.1). Dengan metode penelitian, gejala dari objek yang diteliti dapat dirumuskan secara objektif dan rasional. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendektan kualitatif. Creswell (1998, h.15) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan (holistic), melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam setting yang alamiah tanpa
adanya intervensi apapun dari peneliti. Hasil dari penelitian kualitatif ini akan menghasilkan data deskriptif berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan. Didasari dari definisi dan karakteristik tersebut, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena ditujukan untuk menemukan suatu pemahaman dan gambaran menyeluruh mengenai penggunaan metode BenchmarkBehavioral Model di kalangan Dirjen Pajak dalam melakukan pemeriksaan dan pengawasan wajib pajak. Penelitian yang akan dilakukan dapat dikategorikan kedalam beberapa jenis, yaitu berdasarkan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dimensi waktu, dan teknik pengumpulan data. Berdasarkan tujuan, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan jenis penelitian yang berusaha mendeksripsikan gambaran mengenai detail situasi dan menjelaskan secermat mungkin mengenai suatu hal dari data yang ada. Berdasarkan manfaat penelitian, jenis penelitian ini merupakan penelitian murni karena memiliki orientasi akademis dan ilmu pengetahuan.Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian cross sectional karena penelitian dilakukan dalam waktu tertentu dan hanya dilakukan dalam sekali waktu saja dan tidak melakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk dijadikan perbandingan.Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan melalui studi lapangan (field research) atau obeservasi langsung dengan cara wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap pejabat pembuat kebijakan dan pelaksanaan kebijakan. Selain itu penelitian ini dibatasi oleh evaluasi pembuatan metode ini oleh Kanwil dan pemanfaatannya oleh KPP terhadap wajib pajak badan semenjak dikeluarkannya keputusan ini di bulan Agustus 2012 sampai dengan Maret 2013. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Latar Belakang Perubahan Total Rasio Benchmarking menjadi Benchmark Behavioral Model Pada bulan Agustus 2012, Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE40/PJ/2012 tentang Pembuatan Benchmark Behavioral Model dan Tindak Lanjutnya. Benchmark Behavioral Model ini merupakan pengembangan Total Rasio Benchmarking yang telah diterapkan di lingkungan Dirjen Pajak sejak dikeluarkannya Surat Edaran Nomor SE96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan Petunjuk Pemanfaatannya. Benchmarking ini merupakan perwujudan penggunaan rasio keuangan sebagai dasar menilai dan menganalisis suatu usaha yang sudah lazim digunakan di dunia usaha. Rasio keuangan yang
digunakan dalam benchmarking ini bersumber dari laporan keuangan dan SPT wajib pajak untuk menganalisis kepatuhan wajib pajak badan. Total Rasio Benchmarking dengan dasar Surat Edaran Nomor SE-96/PJ/2009 telah dilakukan sebanyak 5 kali dengan diterbitkannya Surat Edaran tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking dengan mencakup 115 Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU).Sebagai metodologi baru yang diterapkan dalam lingkungan Dirjen Pajak, pelaksanaan Benchmarking yang tertuang melalui Total Rasio Benchmarking tidak berjalan dengan seharusnya. Dari evaluasi yang dilakukan terdapat beberapa kekurangan metodologi ini diantaranya dari segi 1. Metodologi -
Belum menerapkan prinsip kesebandingan secara ideal dimana tidak ada dikotomi skala usaha dan perbedaan wilayah usaha. Benchmarkyang dibuat tidak menunjukan keadaan yang sebenarnya karena mempersamakan kondisi dan karakteristik perusahaan kecil, menengah, dan besar. Selain itu Total Rasio Benchmarking dibuat secara nasional oleh kantor pusat Dirjen Pajak tanpa melihat perbedaan letak geografis suatu perusahaan.
-
Penggunaan nilai tunggal dan bukan nilai range. Penggunaan nilai tunggal ini akan memberikan ruang yang terlalu besar bagi pengguna dalam menggunakan subjektifitasnya dalam menentukan mana wajib pajak yang upper performed.
2. Pelaksanaan -
Pemilihan wajib pajak tidak menggunakan risk scoring dan masih bersifat subjektif. Hal ini menyebabkan perusahaan yang digunakan sebagai benchmark terpilih dari perusahaan yang berkinerja terbaik sehingga menempatkan banyak perusahaan dalam status sebagai under performed.
-
Tidak adanya output
berupa daftar wajib pajak badan berisiko yang disertai
dengan skala prioritas secara otomatis -
Kurang fleksibel terhadap perubahan jika diperlukan karena harus menunggu Surat Edaran dari kantor pusat.
3. Pengawasan -
Pengawasan atas tindak lanjut relatif sulit dilakukan dikarenakan tidak ada daftar nominatif Wajib Pajak yang harus ditindaklanjuti berdasarkan skala prioritas.
Pada pelaksanaannya, Total Rasio Benchmarking tidak dimanfaatkan secara optimal oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) karena masih banyak terdapat beberapa kelemahan. Total Rasio Benchmarking tidak bisa mencerminkan kondisi di lapangan yang sebenarnya sehingga jarang
digunakan
untuk
melakukan
pengawasan
dan
pemeriksaan
oleh
Account
Representative dan fungsional pemeriksa. Benchmarkingselaku alat yang digunakan dalam lingkungan Dirjen Pajak untuk memetakan perilaku Wajib Pajak dapat memainkan peran yang sangat penting dalam proses manajemen risiko. Benchmarking idealnya dapat menilai perilaku dan kepatuhan wajib pajak khususnya pada tahap risk identification, risk prioritazion, dan assessment. Oleh karena itu merupakan suatu kebutuhan untuk menyempurnakan metodologi baru ini. Menyadari hal ini, DJP melakukan beberapa pengembangan dan perbaikan, sehingga lahir Benchmark Behavioral Model melalui SE40/PJ/2012. Beberapa perbaikan yang dilakukan pada Benchmark Behavioral Model ini adalah: a. Benchmarking dibuat dengan kesebandingan yang lebih ideal mempetimbangkan lokasi usaha dan skala usaha Wajib Pajak. Benchmark dibuat oleh masing-masing Kantor Wilayah (Kanwil) DJP atas Wajib Pajak yang terdaftar di KPP yang terdapat pada
Wilayah
Kanwil
masing-masing.Selain
itu,
perbandingan
juga
mempertimbangkan skala usaha Wajib Pajak yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. b. Pemilihan Wajib Pajak didasarkan pada verfikasi data yang dilakukan oleh KPP. Perusahaan yang digunakan sebagai benchmark terpilih dari berbagai perusahaan dengan perilaku biaya yang berbeda sehingga Wajib Pajak yang tersaring untuk pembuatan benchmark dihasilkan dari proses yang ketat. c. Benchmarking dibuat dengan menggunakan rentang nilai. Penggunaan nilai rentang akan mengurangi jumlah wajib pajak secara signifikan yang dinilai under performed. Pada akhirnya Kanwil dapat lebih selektif memilih mana Wajib Pajak yang berisiko yang harus ditindaklanjuti oleh KPP. d. Menghasilkan output berupa daftar nominatif Wajib Pajak Badan berisiko beserta skala prioritas untuk ditindaklanjuti. Kanwil DJP membuat dan memutakhirkan BBM ini lalu menghasilkan daftar nominatif Wajib Pajak Badan berisiko. Daftar nominatif ini disusun dengan menggunakan metode regresi dimana wajib pajak dirangking berdasarkan nilai indeks risiko. Untuk wajib pajak yang berada yang under performed akan diklasifikasikan wajib pajak skala prioritas 1 sampai dengan 6 untuk ditindaklanjuti. Sedangkan wajib pajak yang berada pada middle performed akan masuk kedalam klasifikasi wajib pajak skala prioritas 7 sedangkan wajib pajak yang berada diatas nilai atas benchmark akan digolongkan pada prioritas 8. Prioritas 1 untuk kelompok wajib pajak yang memiliki resiko paling tinggi, begitu seterusnya
hingga prioritas 6. Dengan pemetaan risiko seperti ini, pengawasan terhadap Wajib Pajak yang akan ditindaklanjuti akan lebih jelas dan terarah. e. Pembuatan Benchmark dilakukan oleh Kanwil dan dilakukan secara bertahap per sektor. Kanwil bertanggungjawab untuk membuat dan/atau memutakhirkan BBM atas Wajib Pajak Badan yang terdaftar di wilayah Kanwil masing-masing. Pembuatan dan/atau pemutakhiran BBM ini dilakukan 2 kali setiap tahun dan pada setiap periodenya dilakukan terhadap 3 KLU. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kedinamisan dimana akan lebih fleksibel terhadap perubahan apabila nantinya diperlukan karena tidak harus menunggu dikeluarkannya Surat Edaran. f. Pengurangan penggunaan rasio PPN dan divident payout ratioatas dasar kemudahan dan ketersediaan data.Metode BBM ini hanya menggunakan 12 rasio keuangan, berbeda dengan rasio Total Benchmarking yang berjumlah 14. Tabel 2 Perbandingan Total Rasio Benchmarking dengan Benchmark Behavioral Model Rasio Total Benchmarking Perusahaan yang digunakan sebagai benchmark terpilih dari perusahaan yang berkinerja terbaik sehingga menempatkan banyak perusahaan dalam status sebagai under performed Nilai benchmark yang digunakan menggunakan sistem angka tunggal, bukan rentang angka sehingga memberikan ruang yang terlalu besar bagi pengguna dalam menggunakan subjektifitasnya dalam menentukan upper performed dan under performed Belum mengakomodir berbagai hal yang pada dasarnya sangat penting dalam suatu perbandingan (one fits all), misalnya perbedaan letak geografis dan skala usaha Pembandingannya dilakukan secara manual untuk setiap wajib pajak, sehingga penentuan skala prioritas wajib pajak yang akan ditindaklanjuti kurang efisien Nilai benchmark bersifat statis dan ditetapkan oleh kantor pusat melalui Surat Edaran Dirjen Pajak, akibatnya relatif sulit untuk disesuaikan apabila diperlukan Menggunakan 14 variabel rasio yang
BenchmarkBehavioral Model Perusahaan yang digunakan sebagai benchmark terpilih dari berbagai perusahaan dengan perilaku biaya yang berbeda sehingga WP yang tersaring benar-benar dihasilkan dari prosedur yang ketat Menggunakan rentang nilai sehingga wajib pajak dapat dikelompokan menjadi under performed, middle performed, dan upper performed. Penggunaan rentang nilai secara signifikan juga akan mengurangi jumlah wajib pajak under performed yang perlu ditindaklanjuti Mengakomodir hal-hal mendasar yang diperlukan dalam suatu pembandingan, antara lain perbedaan skala usaha dan lokasi wajib pajak Disusun dengan menggunakan metode regresi dimana wajib pajak dirangking berdasarkan nilai indeks risikonya, sehingga penentuan skala prioritas wajib pajak yang akan ditindaklanjuti lebih mudah untuk dilakukan Pembuatan benchmark dilakukan oleh Kanwil, dilakukan secara bertahap per sektor sehingga lebih bersifat dinamis, mudah disesuaikan saat dibutuhkan Berubah menjadi 12 rasio (tidak ada rasio
bersumber dari SPT
PPN dan divident payout ratio) atas dasar kemudahan dan ketersediaan data. Penetapan rasio benchmarking menggunakan Penetapan rasio benchmarking menggunakan data tahun 2005-2007 data tahun 2007-2010
2. Kaitan Benchmark Behavioral Model dengan Pengawasan dan Pemeriksaan Wajib Pajak Badan Sistem administrasi di Dirjen Pajak mengatur bahwa Account Representative bertanggung jawab untuk mengawasi kepatuhan administrasi wajib pajak.Sebagai usaha untuk mengatasi keterbatasan tenaga fungsional pemeriksa, maka Account Representative juga memiliki pengawasan material secara terbatas.Seorang Account Representative rata-rata harus melakukan pengawasan terhadap 500-1000 wajib pajak. Pengawasaan terhadap banyaknya jumlah Wajib Pajak ini tentu tidak akan maksimal karena disamping keterbatasan kompetensi, jam terbang, dan pengalaman Account Representative itu sendiri, pekerjaan administrasi lainnya juga menyita waktu dan pikiran mereka (wawancara dengan Account Representative KPP Matraman). Dari beberapa uraian diatas, maka dibutuhkan suatu alat bantu untuk memudahkan tugas dari Account Representative ini dalam melakukan pengawasan. Pengawasan diharapkan dapat dilakukan secara menyeluruh dengan alat atau metode yang terukur, terarah, dan non subjektif. Salah satu metode yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah Benchmark Behavioral Model. Dengan beberapa perbaikan yang dilakukan terkait benchmarking, diharapkan metode Benchmark Behavioral Model ini dapat menyajikan data yang lebih valid dan bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh Account Representative dalam melakukan pengawasan. Tugas Account Representative akan menjadi lebih terarah dengan adanya daftar nominatif wajib pajak badan berisiko beserta file individual assessment yang dikeluarkan oleh Kanwil. Wajib pajak badan berisiko tinggi itu adalah wajib pajak yang memiliki kinerja rasio keuangan yang rendah (under performed) dibanding rata-rata rasio keuangan wajib pajak lainnya dalam suatu kelompok. Untuk wajib pajak dengan rasio keuangan rendah ini nantinya akan dikelompokan lagi dengan penggunaan skala prioritas. Terdapat 8 tingkatan skala prioritas dimana skala priotas 1-6 ditujukan untuk wajib pajak yang tergolong under performed. Sedangkan skala prioritas 7 dan 8 untuk wajib pajak yang tergolong middle performed dan upper performed. Account Representative hanya diminta untuk memusatkan perhatiannya pada prioritas 1-6 saja. Prioritas 1 adalah untuk kelompok Wajib Pajak yang memiliki resiko paling tinggi begitu seterusnya hingga prioritas 6. Dengan ketersediaan data
ini, Account Representative dapat lebih selektif untuk memilih mana wajib pajak yang benarbenar harus diawasi. Dengan begitu, tindakan pengawasan dapat lebih efektif dan efisien untuk dilakukan. Untuk wajib pajak yang masuk pada under performed, Account Representative tidak serta merta langsung memberikan surat himbauan. Sebelumnya memberikan surat himbauan, mereka diharuskan untuk melakukan analisis terlebih dahulu. Harus dipahami bahwa suatu perusahaan memiliki karakteristik dan ciri tersendiri yang membedakan dengan perusahaan lain walaupun terdapat pada satu industri yang sama.Pada SE-40/PJ/2012, dalam melakukan analisis komprehensif ini diatur bahwa Account Representative bersama-sama dengan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi melakukan pembahasan, mengumpulkan data yang diperlukan.Analisis usaha ini meliputi proses menilai lingkungan usaha, strategi, posisi keuangan, dan kinerja perusahaan. Setelah dilakukan analisis komprehensif dan didapatkan data serta bukti-bukti yang kuat angka kurang bayar, maka akan dilakukan tindak lanjut oleh Account Representative. akan menerbitkan surat himbauan. Bentuk tindak lanjut yang dilakukan adalah penerbitan surat himbauan oleh KPP untuk meminta klarifikasi kepada wajib pajak terhadap dugaan adanya belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.Per-170/PJ/2007.Atas surat himbauan ini disediakan fasilitas konseling untuk melakukan klarifikasi terhadap data yang tercantum pada surat himbauan. Kepala Kantor wajib memberikan kesempatan konseling kepada wajib pajak untuk melakukan klarifikasi.Pada tahap ini, Wajib pajak diminta untuk menjelaskan bagaimana rasio perusahaan mereka bisa berbeda jauh dengan benchmark yang telah ditetapkan dengan didukung data dan bukti yang ada. Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Per-170/PJ/2007 pasal 3 ayat 11, pelaksanaan konseling dilakukan paling lama 14 hari sejak berakhirnya jangka waktu yang dimaksud dalam surat himbauan.Berdasarkan simpulan hasil penelitian, Account Representative memberikan rekomendasi tindak lanjut terhadap wajib pajak yang dituangkan dalam Laporan Pelaksanaan Konseling paling lambat 7 hari setelah pelaksanaan konseling. Tindak lanjut dari konseling ini adalah a. Apabila wajib pajak mengakui kebenaran data dan bersedia untuk melaksanakan pembetulan Surat Pemberitahuan, petugas konseling wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembetulan tersebut.
b. Dalam hal setelah jangka waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan konseling berakhir wajib pajak belum membetulkan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak tersebut agar diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan. Jika bukti-bukti yang telah didapat cukup kuat Account Representative dapat mengusulkan dilakukannya pemeriksaan khusus terhadap wajib pajak badan ini. Dalam hal klarifikasi yang diberikan oleh wajib pajak tidak cukup untuk diterima dan wajib pajak yang tidak kooperatif, petugas konseling akan mengusulkan kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak (pemeriksaan khusus bottom up) untuk dilakukan pemeriksaan. Kanwil bertugas untuk melakukan sosialisasi, asistensi, dan pengawasan atas tindak lanjut pemanfaatan benchmark yang dilakukan oleh KPP. Kanwil membuat/memutakhirkan BBM
Daftar Nominatif WP Badan Berisiko (skala prioritas 1-‐6)
Pengawasan oleh AR
Analisis data komprehensif
Bukti dan data cukup -‐> terdapat angka kurang bayar
Bukti tidak cukup
Penerbitan Surat Himbauan Konseling AR dengan WP
WP tidak kooperatif
Sumber : diolah oleh peneliti
WP membetulkan SPT
Usulan Pemeriksaan Pajak
Gambar 1 Alur pengawasan dengan metode Benchmark Behavioral Mode
Benchmark Behavioral Model bisa menjadi sebuah acuan dan sarana deteksi awal terjadinya ketidakpatuhan oleh wajib pajak. Dengan menggunakan acuan BBM ini, Account Representative dapat melakukan pengawasan lebih lanjut terhadap wajib pajak badan berisiko tinggi. Setelah dilakukan analisis, dalam hal terdapat temuan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan oleh wajib pajak badan ini akan dilakukan tindak lanjut yang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Tahap pemeriksaan pajak menjadi sarana terakhir sebagai langkah penegakan hukum (law enforcement) jika wajib pajak setelah dilakukan himbauan dan konseling ternyata tidak kooperatif. Akan tetapi, patut dicermati dalam pelaksanaannya agar Benchmark Behavioral Model tidak digunakan sebagai dasar untuk melakukan koreksi. Benchmark tidak digunakan untuk menetapkan suatu angka pembayaran wajib pajak. BBM hanya menjadi sebuah alat bantu dan acuan untuk mengidentifikasi serta membandingkan kinerja keuangan Wajib Pajak. Hal ini juga diatur pada Surat Edaran SE-40/PJ/2012 bagian E huruf 2 yang menyebutkan bahwa “BBM tidak dapat digunakan secara langsung sebagai dasar penetapan pajak”. Seorang pemeriksa harus benar mempunyai data dan bukti pendukung yang cukup, sebelum melakukan pemeriksaan pajak dan menetapkan koreksi pajak. Data hasil benchmark untuk wajib pajak yang sedang diperiksa akan diteruskan kepada fungsional pemeriksa untuk ditindaklanjuti Hal ini seperti yang dimuat pada SE40/PJ/2012 tentang tata cara tindak lanjut BBM yang berbunyi “Atas wajib pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan, data hasil benchmark agar diteruskan kepada tim Fungsional Pemeriksa yang sedang melakukan pemeriksaan atas Wajib Pajak yang dimaksud guna ditindaklanjuti.” Data hasil benchmark bisa digunakan oleh pemeriksa untuk membantu tugas dalam hal melakukan perencanaan pemeriksaan (audit plan).Pada Per-9/PJ/2010 ini juga disebutkan bahwa rencana pemeriksaan sudah harus dibuat sebelum terbitnya Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3).Salah satu hal yang paling dicermati dalam pembuatan perencaan pemeriksaan adalah penentuan luas pemeriksaan (audit scope). Penentuan luas pemeriksaan adalah penentuan pos-pos SPT atau pos turunannya yang akan diperiksa/dilakukan pengujian. Audit
scope
ditentukan
dari
hasil
identifikasi
masalah
berdasarkan
berkas/data/informasi yang diterima oleh supervisor. Terhadap data-data dan informasi yang tersedia tersebut dilakukan analisa/pengujian antara lain dengan melakukan: a. Analisis rasio data keuangan yang terkait dengan pos-pos SPT b. Analisis trend dan benchmark dengan industri atau perusahaan sejenis c. Ekualisasi antara pos SPT PPh Badan/Orang Pribadi dengan objek pajak lainnya
Perencanaan Pemeriksaan
Luas Pemeriksaan (audit scope)
Pemeriksaan lebih terarah, efektif, efisien
Data Pendukung: • • • •
Analisis Rasio Benchmarking Ekualisasi Analisa resiko
Gambar 2 Peran Benchmark Behavioral Model terhadap Pemeriksaan
Dengan adanya benchmarking maka perencanaan pemeriksaan akan lebih matang karena tahu kondisi lapangan. Perencanaan akan membuat pemeriksaan dilakukan lebih terfokus dan dengan demikian jalannya pemeriksaan akan menjadi lebih efektif. 3. Permasalahan yang timbul sehubungan dengan diterapkannya kebijakan BenchmarkBehavioral Model Penerapan Benchmark Behavioral Model sebagai alat bantu DJP dalam melakukan pengawasan kepatuhan Wajib Pajak Badan juga tidak lepas dari kendala dan permasalahan. Metode ini dikeluarkan oleh DJP melalui Surat Edaran SE-40/PJ/2012 pada agustus 2012. Sampai dengan penelitian ini dilakukan, metode BBM ini telah dilakukan dua kali untuk tahap periode II 2012 dam periode I 2013 yang dimulai pada bulan Januari. Karena metode BBM merupakan alat bantu yang dibuat dan dilaksanakan oleh pihak internal DJP, maka kendala yang terbesar bersifat kendala internal. Permasalahan internal yang ditemui adalah a. Perekaman Data Kendala lain dalam pembuatan Benchmark Behavioral Model oleh Kanwil adalah pada ketersediaan data. Benchmark Behavioral Model dibuat oleh Kanwil dengan berdasarkan basis data 2009-2011. Data pembuatannya bersumber dari Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan DJP. Akan tetapi, di direktorat ini belum semua data yang terekam, terlebih lagi untuk tahun pajak akhir seperti 2011 dan 2012. Selain itu juga ada beberapa data yang tidak valid sehingga tidak bisa disertakan langsung dalam perhitungan untuk membuat benchmarking.
b. Pemilihan Klasifikasi Lapangan Usaha Benchmark Behavioral Model dilakukan dengan melakukan perbandingan wajib pajak yang berada pada satu Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU). BBM ini akan dilakukan sebanyak 2 kali setiap tahun dengan pada setiap pembuatan atau pemutakhirannya akan dipilih 3 KLU. Pemilihan KLU ini wewenangnya diberikan pada tiap Kanwil.Salah satu kendala yang muncul adalah pada saat penentuan KLU mana yang akan dilakukan benchmarking ini. Hal ini didasarkan bahwa tidak semua wajib pajak yang datanya terekam secara lengkap di Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan) DJP. Basis data yang kurang lengkap menjadi salah satu pertimbangan Kanwil untuk memilih KLU mana yang akan dilakukan benchmarking. Selain itu, kendala lain adalah banyaknya wajib pajak yang tidak meng-update KLU ketika berubahnya jenis usaha. c. Pemahaman Account Representative dan pemeriksa Tidak semua fiskus yang mengetahui tentang adanya benchmarking model baru, yaitu benchmark behavioral model. Hal ini didasarkan pengakuan seorang Account Representative dan pemeriksa yang belum mengetahui mengenai Benchmark Behavioral Model ini. Mereka tahu akan adanya teori benchmarking dalam bentuk Rasio Total Benchmarking (SE-96/PJ/2009) namun tidak dengan metode BBM. Oleh karena itu, penggunaan metode ini di lingkungan KPP belum bisa dilakukan secara maksimal. Kesimpulan 1. Latar belakang perubahan Total Rasio Benchmarking menjadi Benchmark Behavioral Model adalah setelah dilakukan evaluasi terhadap metode Total Benchmarking, terdapat beberapa kelemahan diantaranya dari segi metodologi, pelaksanaan dan pengawasan sehingga penggunaannya tidak optimal di KPP. Diantara kelemahan ini salah satunya adalah kesalahan metodologi dimana belum menerapkan kesebandingan secara ideal dan perusahaan yang dipilih dari perusahaan berkinerja terbaik, sehingga tidak bisa mencerminkan kondisi sesungguhnya di lapangan. Atas beberapa evaluasi terhadap metode Total Benchmarking ini, pada metode yang baru yaitu Benchmark Behavioral Model dilakukan beberapa perbaikan diantaranya: -
Kesebandingan yang lebih ideal dimana pada metode BBM ini diperhitungkannya lokasi usaha dan skala usaha
-
Pemilihan Wajib Pajak didasarkan pada verifikasi data yang dilakukan oleh KPP
-
Benchmark dibuat menggunakan rentang nilai bukan nilai tunggal seperti metode Total Benchmarking
-
Menghasilkan output berupa daftar nominatif wajib pajak badan berisiko untuk ditindaklanjuti
-
Pembuatan benchmark dilakukan oleh Kanwil, dilakukan secara bertahap per sektor sehingga lebih bersifat dinamis, mudah disesuaikan saat dibutuhkan
-
Jumlah rasio yang digunakan berkurang menjadi 12 rasio atas dasar pertimbangan kemudahan dan ketersediaan data.
2. Perbedaan pengawasan yang dilakukan oleh Account Representative dengan adanya metode BBM terhadap wajib pajak badan menjadi lebih terarah dengan dikeluarkannya daftar nominatif wajib pajak badan berisiko oleh Kanwil. Akan tetapi, metode BenchmarkBehavioral Model ini hanya digunakan sebagai acuan dan pedoman awal, dimana nilai benchmark ini tidak bisa digunakan sebagai dasar koreksi dan penerbitan Surat Ketetapan Pajak. Terhadap daftar nominatif wajib pajak badan berisiko ini, Account Representative harus melakukan tindak lanjut sesuai dengan Undang-Undangmeliputi analisis mendalam terlebih dahulu. Setelah didapatkan data dan angka kurang bayar, maka Account Representative diperbolehkan untuk masuk ke tahap lanjut yaitu penerbitan surat himbauan, konseling, dan pemeriksaan pada tahap akhir. Selain itu, metode BBM dapat membantu tugas fungsional pemeriksa terhadap pemeriksaan dalam hal penyusunan perencaan pemeriksaan dan luas pemeriksaan (audit scope) karena tersedianya data indikator awal sehingga akan membuat pemeriksaan menajdi lebih terarah dan efektif. 3. Permasalahan yang ditemui berkaitan dengan penerapan metode Benchmark Behavioral Model ini berasal dari pihak internal DJP diantaranya adalah permasalahan pada keterbatasan basis data internal DJP, Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU), dan pemahaman Account Representative dalam menggunakan metode ini. Saran 1. Masih banyak Account Representative dan fungsional pemeriksa yang belum mengetahui tentang perubahan metode Total Rasio Benchmarking menjadi Benchmark Behavioral Model. Karena ketidaktahuan tersebut, masih banyak Account Representative yang belum memanfaatkan secara optimal metode Benchmark Behavioral Model ini sebagai alat bantu dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan. Oleh karena itu, Direktorat
Jenderal Pajak perlu untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan pemanfaatan metode BBM kepada fiskus atas metode ini. 2. Direktorat Jenderal Pajak perlu mengadakan pelatihan lebih banyak kepada Bidang Dukungan Teknis Komputer Kanwil yang membuat BBM ini agar memiliki pemahaman yang sama dan bisa membuat atau memutakhirkan Benchmark Behavioral Model secara optimal. 3. Direktorat Jenderal Pajak perlu melakukan perbaikan dari segi administrasi dan basis data wajib pajak. Diantaranya adalah melakukan percepatan perekaman data SPT Wajib Pajak Badan dan melakukan himbauan kepada wajib pajak untuk mengupdate dan memperbaiki Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) apabila berubahnya jenis usaha. 4. Dari segi penamaan yaitu behavioral model, penerapan sistem BBM agar juga memasukan komponen penilaian tax compliance, reputasi, dan tata kelola manajemen perpajakan
dan
aspek-aspek
kualiatatif
lain
dalam
melakukan
perbandingan/benchmarking dan tidak semata-mata berpatokan pada elemen rasio keuangan perusahaan. Daftar Pustaka Agoes, S. (2004). Auditing (Pemeriksaan Akuntan) oleh Kantor Akuntan Publik Jilid I. Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Arens & Loebbecke. (1997).Auditing (Amir Abadi Jusuf,Penerjemah). Jakarta: Salemba Empat Prasetyo, B & Jannah, M. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada Bendell, T& Boulter, L. (1993). Benchmarking for competitive advantage. London: Pitman Publishing Creswell,
J.W. (1998). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five
designs. Thousand Oaks, CA: Sage Publication Inc. Darussalam &Septriadi. (2008). Konsep dan Aplikasi: Cross border Transfer Pricing untuk tujuan perpajakan. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center Djarwanto. (1989). Pokok-Pokok Analisa Keuangan. Yogyakarta: BPFE
Gunadi (1999). Akuntansi dan Pemeriksaan Pajak. Jakarta: Abdi Tandur Gunadi. (2007). Pajak Internasional (edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Harahap, Sofyan. (2002). Analisa Kritis atas Laporan Keuangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada Hardi. (2003). Pemeriksaan Pajak. Jakarta: Penerbit Kharisma International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD).(1998).International Tax Glossary (2nd edition), Amsterdam: IBFD Publication Ismawan, B. (2001). Memahami Reformasi Perpajakan 2000. Jakarta: Elexmedia Hampton, J.Paul. (1989). Financial Decision Making, Concept, Problem and Cases (fourth edition). Prentice Hall International David &Stanley,. (1997). Introduction to Total Quality. Prenctice-Hall Intl Inc Lubis, Irwansyah. (2012). Menggali potensi pajak perusahaan dan bisnis dengan pelaksanaan hukum. Jakarta: Elex Media Komputindo Mahsun, M. (2009). Pengukuhan Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM Mardiasmo. (2003). Perpajakan (edisi revisi). Yogyakarta: Andi Yogyakarta Moleong, L.J. (2006). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya Neuman, W.L. (2003) Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches (5th ed). USA:Allyn & Bacon Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar perpajakan. Jakarta: Granit Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD). (2010). “OECD Transfer Pricing Guidelines For Multinational Enterprises and Tax Administration. Netherlands: OECD. Priantara, D. (2000). Pemeriksaan dan penyidikan pajak. Jakarta: Djambatan
Rosdiana, Haula & Irianto, Edi. (2011). Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di Indonesia, Jakarta: Visi Media Simbolon, Maringan. (2003). Dasar- Dasar Administrasi dan Manajemen. Jakarta:Ghalia Indonesia Setiawan, A & Musri, B. (2007). Tax Audit dan Tax Review,. Jakarta: RajaGrafindo Persada Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Research&Design, Jakarta:Alfabeta Sularno, S. (1999). Pajak daerah dan retribusi daerah. Jakarta: STIA-LAN Press Syamsuddin, Lukman. (2004). Manajemen keuangan perusahaan : Konsep aplikasi dalam: Perencanaan, Pengawasan, dan Pengambilan Keputusan. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada Turonyi, Victor. (1996). Tax Law Design and Drafting (volume 1). Washington DC: International Monetary Fund Watson, H Gregory. (1997). Strategic Benchmarking, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wild, S & Hasley. (2003).Financial Statement Analysis. New York: McGrawhill