ANALISIS PENDAPATAN USAHA KAYU OLAHAN LOKAL MASYAKARAT DI KABUPATEN JAYAWIJAYA JOHNI WAY Abstract Research activities conducted in Wamena district and Hubikoasi district is purposive, because the farmer and timber merchants are built from forestry local government. The research conducted in October – Decemer 2008. Sampling for respondent done by the census with five entrepreneurs. Data collected among others, age, education, experience,and the amount and the purchase price of timber grown each period. The result of the research show the average of age was 41,5 years old with education level, elementary school 20%, Junior High School 60%, and Senior High School 20%. The Trader experience in timber business between 7-12 years 20%, 19-24 years 20%, 19-24 years 40%, the experience > 24 years 20%. Obtained from 40% of traders gets a loan from the bank, and 60% use their own capital. There are many kind of timber was traded, that is Sage (Notofagus Sp), Cina (Podocarpus Sp), Kasuari (Araucaria Sp), Cemara (Kasuarina Sp), Wompi (Dagredium Sp), Sengon/wiki (Parasirienthis Sp), Akasia mangium (Eucaliptus Sp) dan Pinus (Pinus Mercussi). The average of the number of processed 3 3 Wood produced at the research site reaches 936 M /years with initial capital Rp 1.290.000/M . 3 Price at the consumer level reach Rp 3.250.000/M . Profits Rp 1.834.550/years (R/C = 2,51). There are six processed wood marketing channels at the research site, that is (a) farmers – final consumers, (b) farmers – woodcutter – house hold, (c) farmers – woodcutter – furniture makers, (d) farmers - sawmill – timber merchant – final consumers and furniture makers, (e) farmers - woodcutter – timber merchant – furniture makers and final consumers and (f) farmers - timber merchant in in Jayawijaya. The high demand for Wood raw material for the acceleration of development in Jayawijaya district, impact to deforestation and land degradation. For that, required local government policy to take forest management policies. The best solution is any logging must be followed by reforestation immediately.
PENDAHULUAN Dalam rangka mewujudkan ciri-ciri dari struktur perekonomian yang seimbang, pengolahan hasil hutan diharapkan memiliki nilai tambah, kualitas hasil, penyerapan tenaga kerja, pendapatan produsen, ketrampilan produsen. Industri pengolahan kayu merupakan barometer peningkatan perekonomian nasional. Disamping itu sebagai penerimaan Negara dari sektor kehutanan. Praktek-praktek eksploitatif terhadap sumber daya hutan telah dilakukan sejak diterbitkannya UU No.5 Tahun 1967 tentang kehutanan (DEPHUT RI, 2004) Industri pengolahan kayu sebagai sektor hilir kehutanan yang diatur melalui UU No.5 Tahun 1967 tentang pokok-pokok Ketentuan Kehutanan. Pemanfaatan hutan secara intensif tersebut untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, antara lain: (a) bertambahnya kebutuhan penduduk akan peralatan rumah tangga berbahan dasar kayu, (b) makin majunya ekspor hasil hutan serta makin banyaknya permintaan dari luar negeri, (c) makin majunya industry plywood (untuk keperluan dalam negeri dan ekspor), Pulp (untuk bahan baku industri dalam negeri dan bahan setengah jadi untuk diekspor), dan industri rayon (untuk bahan sandang). Pembangunan ekonomi daerah di era otonomi menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal, seperti masalah kesenjangan dan iklim globalisasi. Yang disebut belakangan ini menuntut tiap daerah untuk mampu bersaing di dalam dan luar negeri. Kesenjangan dan globalisasi berimplikasi kepada provinsi dan kabupaten/kota, untuk melaksanakan percepatan pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan/wilayah dan produk andalannya. Salah satu produk andalan yang dibeberapa daerah di Indonesia yang menjadi sumber pendapatan daerah adalah produk olahan kayu. Salah satunya adalah kabupaten Jayawijaya yang berada di Provinsi Papua. Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Papua dengan luas hutan 1.484.700 Ha, terbagi dalam (1) hutan produksi 70.300Ha, (2) hutan produksi konservasi
217.133 Ha, (3) hutan lindung 285.431 Ha, (4) hutan konservasi (TN, Cagar Alam, dll) 713.321 Ha, dan (5) areal penggunaan lain 198.515 Ha (Dinas Kehutanan Provinsi Papua, 2007). Dalam rangka peningkatan pendapatan pengusaha kayu olahan lokal maka perlu didukung berbagai faktor. Faktor pendukung yang dimaksud adalah hutan produksi, jenis tanaman kayu, tenaga kerja, pengolahan, modal dan sebagainya. Untuk mencapai keuntungan yang optimal, maka semua faktor produksi yang ada perlu digunakan atau diatur penggunaanya secara baik serta efisien untuk memperoleh hasil yang optimal. Pengusaha kayu olahan sebagai konsumen dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sangat tergantung terhadap berapa besar pendapatan yang diperoleh dari hasil usahanya untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari diantaranya kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Mengacu pada uraian di atas dan berdasarkan data empiris dalam perusahaan, maka penulis berkeinginan menggali lebih dalam hal-hal yang berkaitan dengan pendapatan usaha kayu olahan lokal masyarakat dan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan usahanya dengan mengadakan penelitian dengan topik “Analisis Pendapatan Usaha Kayu Olahan Lokal Masyarakat di Kabupaten Jayawijaya” Penelitian bertujuan (1) Untuk mengetahui besarnya pendapatan usaha kayu olahan lokal masyarakat di Kabupaten Jayawijaya, (2) Untuk mengetahui berapa besar tingkat perkembangan pendapatan usaha kayu olahan lokal masyarakat di Kabupaten Jayawijaya, dan (3) Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendapatan usaha kayu olahan lokal masyarakat di Kabupaten Jayawijaya. Hasil penelitian diharapkan akan bermanfaat bagi pengusaha kayu olahan dan sebagai informasi bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan perkayuan dimasa datan, khususnya di Kabupaten Jayawijaya. METODE PENELITIAN 2.1. Tempat, waktu dan metode penentuan responden Penelitian dilakukan di Distrik Kota Wamena dan Distrik Hubikosi Kabupaten Jayawijaya. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yang melatar belakangi adalah petani/pedagang kayu merupakan binaan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Jayawijaya. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Oktober-Desember 2008. Responden yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari petani sebagai produsen dalam menghasilkan kayu dan lembaga pemasaran yang memasarkan komoditi kayu ini. Pengambilan contoh untuk petani dilakukan secara sensus, dimana jumlah pedagang terdapat sebanyak 5 (lima) orang. Menurut Singarimbun, (1987) dan Daniel (2001) apabila populusi seragam dan relatif sedikit akan lebih baik dilakukan pengambilan sampel secara sensus agar keseragaman dapat tercapai, 2.2. Jenis, metode pengumpulan data dan analisis data Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, menggunakan data primer, yang diperoleh melalui wawancara menggunakan quisioner (daftar pertanyaan). Data sekunder bersumber dari Dinas kehutanan dan BPS. Data yang dikumpulkan meliputi, antara lain (1) data jumlah dan harga pembelian kayu yang diusahakan setiap periode, (2) data lain yaitu umur, pengalaman berusaha, etnis/suku pengusaha dll. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif ditujukkan untuk memperoleh gambaran secara holistik. Analisis kualitatif ditujukan untuk mengukur peubah kualitatif menggunakan parameter statistik sederhana antara lain persentase, nilai maximum dan minimum, serta nilai rataan. Analisis deskriptif kualitatif menggunakan rumus yang mengacu kepada Irawan (2003) dan Malik (2008), sbb: I = P-Q - ∑ vi.xi, dimana I = Pendapatan (Rp); P = Harga beli (Rp); Q = Harga jual (Rp);
2
vi = Harga faktor produksi ke i (Rp); xi = faktor produksi ke i. Selanjutnya digunakan analisis R/C, untuk mengetahui apakah usaha kayu tersebut menguntungkan atau tidak, dengan kriteria sebagai berikut : a. Jika R/C > 1, maka kegiatan usaha adalah menguntungkan b. Jika R/C = 1, maka kegiatan usaha adalah pada titik BEP c. Jika R/C < 1, maka kegiatan usaha tidak menguntungkan Titik Impas produksi (TIP) dan harga (TIH). Tujuan dipelajarinya adalah untuk mengetahui hubungan antara biaya produksi dengan volume penjualan serta penerimaan maka diketahui tingkat keuntungan serta kelayakan suatu usaha. Salah satu teknik dalam mempelajari hubungan antara biaya, penerimaan dan volume produksi adalah melalui titik impas produksi dan harga (Hernanto, 1989): TIP = ∑ Bi/HP dan TIP = ∑ Bi /P Dimana: TIP = Titik Impas Produksi TIH = Titik Impas Harga B = Biaya usaha P = Produksi HP = Harga output i = Indek komponen biaya
HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Keadaan umum Kabupaten Jayawijaya Kabupaten Jayawijaya merupakan salah satu kabupaten dataran tinggi di Provinsi Papua yang sampai saat ini hanya bisa diakses dengan pesawat udara. Batas Kabupaten Jayawijaya adalah: Sebelah Utara dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, sebelah Barat dengan Kabupaten Paniai, Selatan berbatasan dengan Kabupaten Merauke dan sebelah Timur perbatasan negara Papua New Guinea (PNG). Kabupaten Jayawijaya terletak pada ketinggian 1.550-2.000 m dpl. Pada daerah ketinggian ini banyak terdapat hutan alam yang kaya akan kayu. Kabupaten Jawijaya terdiri dari 15 distrik dengan luas wilayah 14.874 km2. Distrik terluas adalah Perime dengan luas 2.544 km2 dengan rasio 17,13%, sedangkan yang tersempit adalah distrik Makki dengan luas 154 km2 dengan rasio 1,04% (BPS Jayawijaya, 2007). Berdasarkan klasifikasi iklim kawasan hutan di Jayawijaya tergolong pada hutan hujan tropis menengah sampai hujan hutan tropis dataran tinggi/pegunungan. Hutan hujan tropis menengah. Berdasarkan peta kawasan hutan Papua Tahun 1999, kawasan hutan di Kabupaten Jayawijaya termasuk kedalam kawasan suaka alam/pelestarian alam (taman nasional lorentz), hutan lindung, hutan produksi, dan hutan produksi konservasi serta areal pegunungan lain. Dalam persentasi porsi luasan, maka luas hutan KSA/PA (Taman Nasional Lorentz) memiliki posisi luasan yang paling luas (65%) luas wilayah Kabupaten Jayawijaya, disusul oleh hutan produksi (HP) di bagian selatan dari kabupaten ini. Kabupaten Jayawijaya memiliki hutan produksi di wilayah selatan dalam hamparan yang cukup luas dan meliputi 13% dari wilayah kabupaten Jayawijaya. Selain itu, Kabupaten Jayawijaya masih memiliki hutan produksi konservasi (HPK) seluas 9% dari total wilayah Kabupaten, disusul hutan areal pegunungan lain (APL) seluas 8% dari total wilayah kabupaten dan fungsi kawasan hutan lindung (HL) yang sangat penting peranannya hanya 5% dari wilayah Kabupaten Jayawijaya. 3.2. Karakteristik responden pedagang Berdasarkan hasil penelitian kisaran umur pedagang berada pada usia 25-50 tahun dengan rata-rata 41,5 tahun. Menurut Simanjuntak (1998) kemampuan manusia dalam bekerja dengan curahan tenaga kerja yang efektif dalam berada pada kisaran umur lebih >20 tahun dan < 55 tahun.
3
Dilihat dari tingkat pendidikan formal pedagang kayu tidak jauh berbeda dengan gambaran umum tingkat pendidikan petani dan pedagang di Indonesia. Dari hasil penelitian tidak didapatkan pedagang yang tidak tamat Sekolah Dasar dan tidak didapatkan pedagang yang berpendidikan perguruan tinggi. Pedagang yang berpendidikan SD terdapat 20%, berpendidikan setara SLTP dan hanya 60%, yang berpendidikan SLTA didapatkan 20%. 3.3. Sumber modal usaha dan bahan baku Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan didapatkan 40% pedagang melakukan pinjaman modal dari Bank dan terdapat 60% pedagang menggunakan modal sendiri. Untuk memperbesar usaha, perlu pembinaan dalam permodalan yang diseimbangkan dengan kelestarian hutan. Keberlanjutan usaha sangat tergantung dari bahan baku yang tersedia, baik dari hutan maupun dari petani sebagai menghasil bahan baku. Dari hasil penelitian dan wawancara dengan pedagang kayu, bahwa bahan baku kayu bersumber dari petani yang didapatkan dari hak uyalat sebanyak 20% dan pembelian standing stock sebanyak 80%. Pengusaha kayu olahan lokal yang memiliki hak ulayat sendiri sehingga dalam menjalankan usahanya hampir atau jarang terjadi hambatan dalam penyediaan bahan baku kayu. 3.4. Suku/etnis pengusaha dan jenis kayu yang diperdagangkan Suku/etnis pengusaha kayu olahan yang terdapat di lokasi penelitian adalah 80% suku/etnis dari non Papua (suku Bugis/Makasar dan Toraja), sedangkan terdapat 20% dari penduduk asli Papua. Disamping itu suku/etnis Bugis/Makasar terkenal dengan jiwa agribisnsis. Dari hasil penelitian produksi kayu olahan lokal masyarakat di kabupaten Jayawijaya selama ini yang diperdagangkan hanya digolongkan ke dalam dua kategori sesuai kelas kayu atau kelenturan yakni jenis kayu keras dan jenis kayu lunak. yaitu (1) yang termasuk dalam kategori kayu keras yakni kayu Sage (Notofagus Sp), Kayu Cina (Podocarpus Sp) kasuari (Araucaria Sp), Cemara (Kasuarina Sp), Wompi (Dagredium Sp), dan (2) Jenis kayu lunak yakni kayu sengon/wiki (Parasirienthis Sp), akasia mangium (Eucaliptus Sp), dan Pinus (Pinus Mercusii). Sumbar pengambilan kayu, baik kayu keras maupun kayu lunak adalah pada kawasan hutan yang merupakan ulayat/dusun dari masyarakat setempat/asli. Dan sumber pengambilan bahan baku/standing stock tersebut oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi konversi (HPK) dan dari kawasan budidaya yaitu Areal Penggunaan Lain (APL). Bahan baku atau standing stock ini diambil dengan cara membayar kepada masyarakat pemilik ulayat/dusun dengan harga yang disepakati bersama yakni Rp 300.000/pohon. 3.5. Modal usaha dan biaya produksi Keberhasilan suatu usaha, faktor modal sangat menentukan. Besaran modal usaha pengusaha kayu olahan di lokasi penelitian berkisar Rp 23.580.000 – Rp 84.500.000 (rata-rata Rp 36.878.000/pengusaha kayu). Berdasarkan hasil penelitian besaran modal Rp 20.000.000– < Rp 25.000.000/pengusaha terdapat 40% dan > Rp 25.000.000 - < Rp 40.000.000/pengusaha terdapat 40%, serta Rp 40.000.000/pengusaha terdapat 20%. Sumber modal yang digunakan untuk usaha pengolahan kayu ini berasal dari dari pribadi dan belum ada bersumber dari Bank. Disamping modal yang dimiliki dalam bentuk kontan, pengusaha juga mempunyai modal dalam bentuk aset barang seperti mesin pengolahan (genset), bangunan, gergagi, cansau, parang, kampak. Semua alat ini diperhitungkan nilai susutnya dalam usaha. Nilai susut alat pendukung prosesing pengolahan kayu sebesar Rp 11.450.000/tahun atau Rp 220.192/minggu (Tabel 1).
4
Tabel 1. Distribusi biaya dan rata-rata nilai susut alat pendukung prosesing usaha kayu lokal di Jayawijaya, 2008 No Jenis investasi/atat Nilai baru (Rp) Usia Nilai ekonomis susut/tahun (tahun) 1 Genset 40.000.000 8 5.000.000 2 Bangunan 35.000.000 10 3.500.000 3 Gergaji pemotong 2.000.000 5 400.000 4 Cainsau 20.000.000 8 2.500.000 5 Parang 300.000 10 30.000 6 Kampak 200.000 10 20.000 Jumlah 11.450.000 Sumber: Data primer diolah (2008) Dari hasil penelitian, dalam kurun waktu seminggu pengusaha kayu melakukan kegiatan prosesing dan pengolahaan kayu rata-rata 3 pohon/minggu dengan rata-rata pembelian kayu Rp 5.000.000/pohon, biaya curahan tenaga kerja untuk pengolahan Rp 800.000/pohon, biaya bahan bakar minyak (BBM) untuk satu minggu atau satu kali pengolahan Rp 2.000.000, rata-rata transfortasi Rp 50.000/M2 dan biaya fie untuk hak ulayat yang dibayarkan kepada pemilik hak ulayat rata-rata Rp 300.000/pohon, rata-rata biaya penyusutan Rp 220.192/minggu. Restribusi yang harus dibayar pengusaha kayu untuk pendapatan asli daerah yang sudah diatur oleh PERDA adalah Rp 100.000/meter kubik kayu yang akan dijual. Rata-rata pengeluaran satu kali proses pengolahan kayu Rp 23.220.192 (Tabel 2). Pengeluaran Rp 23.220.192/periode usaha yang menghasilkan 18 M2 kayu. Maka satu M2 kayu yang dihasilkan pengusaha setara dengan Rp 23.220.192:18 M2 = Rp 1.290.000/M2. Artinya untuk menghasilan satu M2 kubik kayu yang sudah diolah dan dikeluarkan semua biaya oleh pengusaha kayu lokal di lokasi penelitian Jayawijaya adalah Rp 1.290.000/M2 kayu. Rp 1.290.000/ M2 kayu merupakan harga modal satu M2 kayu pengusaha. Tabel 2. Distribusi biaya rata-rata prosesing usaha kayu oleh pengusaha di Jayawijaya selama seminggu, 2008 No Uraian pengeluaraan Keterangan Nilai (Rp) 1 Pembelian pohon 3 pohon x Rp 5.000.000 15.000.000 berdiri 2 Tenaga kerja 3 x Rp 800.000 2.400.000 3 BBM 100 liter x Rp 20.000 2.000.000 4 Transfort 18 M2 x Rp 50.000 900.000 5 Biaya hak 3 pohon x Rp 300.000 900.000 ulayat/perpohon 6 Penyusutan *) Rp 11.450.000:52 minggu 220.192 7 Restribusi Rp 100.000 x 18 M2 1.800.000 jumlah 23.220.192 Sumber: Data primer diolah (2008) *) Tabel 1 3.6. Perhitungan rugi laba pengusaha kayu Rata-rata produksi kayu yang diusahakan dari pengusaha kayu olahan di Kabupaten Jayawijaya adalah 18 M3/minggu dengan modal Rp 1.290.000/M3. Penjualan kayu rata-rata di tingkat konsumen Rp 3.250.000/M3, sehinggga pendapatan pengusaha adalah: Nilai jual Rp 3.250.000/M2 dikurangi nilai modal awal Rp 1.290.000/ M3 = Rp 1.960.000. Keuntungan usaha kayu olahan lokal oleh pengusaha kayu di Jayawijaya selama satu kali periode usaha menghasilkan 18 M3 dengan keuntungan Rp 35.279.808. Jika pendapatan selama seminggu Rp 35.279.808 maka pendapatan perpengusaha kayu olahan di kabupaten
5
Jayawijaya adalah Rp 35.279.808 dibagi 5 responden dibagi 7 hari maka pendapatan bersih adalah Rp 1.007.994,5/pengusaha kayu/hari. Jika dianalisis maka didapatkan nilai R/C =2,5 (Tabel 3) yang artinya dari kegiatan usaha olahan kayu yang diusahakan lokasi penelitian mendapatkan nilai tambah Rp 250. Dengan kata lain setiap investasi pengusaha kayu yang dilakukan pengusaha Rp 1.000.000 memberikan nilai tambah sebesar Rp 250.000. Tabel 3. Input-Output usaha kayu lokal di Jayawijaya selama seminggu, 2008 No Uraian Nilai (Rp) A Input 23.220.192 1 Pembelian kayu 15.000.000 2 Tenaga kerja 2.400.000 3 BBM 2.000.000 4 Transfortasi 900.000 5 Biaya hak ulayat/perpohon 900.000 6 Penyusutan *) 220.192 7 Restribusi 1.800.000 B Output 1 Penjualan 18 meter kubik x Rp 3.250.000 58.500.000 Keuntungan (B-A) 35.279.808 R/C (B:A) 2,5 Sumber: Data primer diolah (2008) *) Tabel 1 Menurut kelender masehi, setahun adalah 52 minggu. Maka biaya yang dikeluarkan selama kegiatan usaha pengolahan kayu oleh pengusaha di kabupaten Jayawijaya Rp.1.207.450.000. Sedangkan hasil kayu yang diusahakan didapatkan 936 M3 dengan nilai Rp.3.042.000.000 (Tabel 4). Tabel 4. Input-Output usaha kayu olahan di Jayawijaya selama setahun, 2008 No Uraian Nilai (Rp) A Input 1.207.450.000 1 Pembelian kayu 780.000.000 2 Tenaga kerja 124.800.000 3 BBM 104.000.000 4 Transfortasi 46.800.000 5 Biaya hak ulayat/perpohon 46.800.000 6 Penyusutan *) 11.450.000 7 Restribusi 93.600.000 B Output 1 Penjualan 936 M2 x Rp 3.250.000 3.042.000.000 Keuntungan (B-A) 1.834.550.000 R/C (B:A) 2,51 Sumber: Tabel 4 (diolah) *) Tabel 1 Hasil analisis titik impas harga dan produksi usaha kayu olahan di Jayawijaya (Tabel 5). Tampak struktur biaya yang tetap, usaha pengolahan kayu di lokasi penelitian Jayawijaya masih mampu berada pada keuntungan normal pada tingkat harga Rp 1.290.010/ M3. Artinya harga kayu tidak boleh kurang dari Rp 1.290.010/ M3, kalau kurang dari harga tersebut pengusaha kayu dalam kondisi merugi. Begitu juga dari produktivitas dari hasil usaha kayu yang diusahakan tidak boleh kurang dari 371,5 M3/tahun, kalau produksi kayu yang dihasilkan kurang dari yang diusahakan maka pengusaha tidak mendapatkan keuntungan.
6
Tabel 5. Analisis TIP dan TIH usaha pengelolaan kayu lokal di Jayawijaya selama setahun, 2008 No Uraian Nilai 1 Total biaya pengeluaran (Rp) 1.207.450.000 2 Produksi (meter kubik) 936 3 Harga (Rp/meter kubik) 3.250.000 4 Titik impas produksi (TIP) 371,5 5 Titik impas harga (TIH) 1.290.010 Sumber :Tabel 11 (diolah). 3.7. Saluran pemasaran kayu olahan Perusahaan yang telah memproduksi dan memasarkan produksi kayunya adalah 8 (delapan) perusahaan pemegang ijin pengolahan kayu atau pun industri pengolahan kayu di Kabupaten Jayawijaya. Jalur pemasaran kayu dari sudah tertentu di mana perusahaan sudah menjalin mitra untuk bertransaksi dalam pendistribusian hasil kayu. Di lokasi penelitian terdapat 5 saluran pemasaran, yaitu: (1) petani langsung memasarkan hasil produksinya kepada konsumen akhir yang pada umumnya adalah masyarakat dan rumah tangga yang berdomisili dekat dengan petani tersebut atau lokasi hutan hak ulayat tersebut, (2) petani menjual produk kayu dalam bentuk pohon berdiri kepada penebang. Kemudian penebang menjual kayu dalam bentuk kayu gergajian ke konsumen akhir. Pada jalur 2, penebang berfungsi melakukan pembelian kayu dalam bentuk pohon berdiri. Petani menjual pohon kayunya kepada penebang sebab kurangnya modal untuk membiayai proses pengolahan kayu menjadi bentuk kayu gergajian dan petani tidak menanggung resiko terhadap kualitas pohon tersebut. Saluran (3) petani menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri ke penebang. Petani tidak mengeluarkan biaya pemasaran dan seperti di jalur 2, harga yang diterima oleh petani dari penjualan pohon per meter kubik dan harga jualnya terhadap konsumen akhir yang pada jalur 3 ini adalah pedagang pembuat perabotan, (4) petani menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri kepada industri penggergajian melalui pekerja penebangnya dan di jualnya kepada konsumen. Saluran (5) petani menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri kepada penebang dan di jualnya kepada konsumen akhir. Petani tidak mengeluarkan biaya pemasaran untuk menjual pohon sebab penebang yang membeli pohon kayunya tersebut yang akan melakukan kegiatan pengolahan kayu ke dalam bentuk kayu bulat dan atau gergajian dan kemudian memasarkan kayu tersebut ke pedagang kayu. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1.Kesimpulan 1. Kisaran umur pedagang kayu 25-50 tahun dengan rata-rata 41,5 tahun dengan tingkat pendidikan pedagang setara SD terdapat 20%, berpendidikan setara SLTP 60% dan SLTA 20%. 2. Pengalaman pedagang dalam berusaha kayu 7-12 tahun 20%, 19-24 tahun sebanyak 20%, pengalaman 19-24 tahun 40%, pengalaman > 24 tahun 20%. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh pengusaha kayu 0-5 orang sebanyak 60% dan 6-9 orang sebanyak 40%. 3. Dari hasil penelitian didapatkan 40% pedagang kayu melakukan pinjaman modal dari Bank 40% dan 60% pedagang menggunakan modal sendiri 4. Dari hasil penelitian ditemukan bahan baku kayu bersumber dari petani yang didapatkan dari hak uyalat sebanyak 20% dan pembelian standing stock sebanyak 80%. Sedangkan suku/etnis pengusaha kayu yang terdapat di lokasi penelitian adalah 80% suku/etnis dari non Papua, sedangkan terdapat 20% dari penduduk asli Papua. Etnis non Papua berasal dari Bugis/Makasar. 5. Jenis-jenis kayu yang diperdagangkan adalah kayu Sage (Notofagus Sp), Kayu Cina (Podocarpus Sp) kasuari (Araucaria Sp), Cemara (Kasuarina Sp), Wompi (Dagredium Sp),
7
kayu sengon/wiki (Parasirienthis Sp), akasia mangium (Eucaliptus Sp), dan Pinus (Pinus Mercusii). 6. Besaran modal usaha pengusaha kayu olahan di lokasi penelitian berkisar Rp 23.580.000 – Rp 84.500.000 atau rata-rata Rp 36.878.000/pengusaha kayu. Berdasarkan hasil penelitian besaran modal Rp 20.000.000 –