ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L)
Oleh : AKBAR ZAMANI A. 14105507
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
AKBAR ZAMANI. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi (Averrhoa Carambola L). Dibawah bimbingan NUNUNG NURYARTONO. Kota Depok merupakan salah satu kota di Propinsi Jawa Barat yang sejak dahulu giat mengembangkan usaha hortikultura buah-buahan khususnya belimbing. Menanam pohon belimbing dapat dikatakan sudah menjadi tradisi petani di Kota Depok. Hal ini disebabkan karena tanaman belimbing yang telah ditanam sejak tahun 1970-an dan tetap dilestarikan secara turun temurun hingga sekarang. Pada saat ini, pengembangan belimbing Dewa-Dewi di Kota Depok tidak lagi bersifat ekstensifikasi tetapi lebih difokuskan pada pola intensifikasi. Hal ini dikarenakan makin berkurangnya lahan-lahan pertanian sebagai akibat dari meningkatnya jumlah penduduk dan pemukiman. Pola intensifikasi ini lebih menekankan pada perbaikan teknis produksi berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Good Agriculture Practices (GAP). Tujuan penelitian ini, antara lain : (1) menganalisis pendapatan usahatani belimbing Dewa-Dewi, baik yang menerapkan SOP dan yang tidak menerapkan SOP, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani belimbing Dewa-Dewi, baik yang menerapkan SOP dan yang tidak menerapkan SOP dan (3) menghitung sejauh mana tingkat efesiensi penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani belimbing Dewa-Dewi, baik yang menerapkan SOP dan yang tidak menerapkan SOP. Penelitian ini dilakukan di enam kecamatan yaitu Kecamatan Sawangan, Pancoran Mas, Sukmajaya, Cimanggis, Limo dan Kecamatan Beji, Kota Depok. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena petani yang menerapkan SOP jumlahnya sangat sedikit dan tersebar di enam kecamatan yang ada di Kota Depok. Data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data primer dan data sekunder. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan dua metode yaitu secara sensus dan snowballing sampling. Metode sensus digunakan untuk petani yang menerapkan SOP, hal ini dikarenakan jumlah petani yang masih sedikit yaitu 33 orang dan tersebar pada enam kecamatan di Kota Depok. Metode snowballing sampling digunakan untuk mengambil sampel pada petani yang tidak menerapkan SOP. Jumlah responden untuk petani non SOP diambil sebanyak 35 orang petani yang ada di enam kecamatan. Berdasarkan komponen biaya, pengeluaran biaya terbesar untuk petani SOP dan non SOP adalah biaya untuk Tenaga Kerja dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Biaya TKLK yang dikeluarkan petani SOP yaitu sebesar Rp 1.247.200,00 atau sekitar 30,97 persen dari biaya total produksi dan untuk petani non SOP mengeluarkan biaya tersebut sebesar Rp 1.177.600,00 atau sekitar 30,98 persen dari biaya total produksi. Komponen biaya terbesar pertama adalah biaya TKDK, petani SOP mengeluarkan biaya ini sebesar Rp 1.331.600,00 atau sekitar 33,06 persen dari total biaya produksi, sedangkan petani
non SOP mengeluarkan biaya TKDK sebesar Rp 1.705.600,00 atau sekitar 44,87 persen dari total biaya produksi. Penerimaan tunai yang diterima petani SOP dan petani non SOP yaitu masing-masing sebesar Rp 6.288.876,00 dan Rp 4.803.976,00. Pendapatan usahatani belimbing petani SOP atas biaya tunai dan biaya total untuk satu musim panen masing-masing sebesar Rp 3.701.019,00 dan Rp 2.261.114,00, sedangkan untuk petani non SOP masing-masing sebesar Rp 2.816.139,00 dan Rp 1.002.916,00. Sehingga R/C rasio atas biaya tunai dan total untuk petani SOP masing-masing sebesar 2,43 dan 1,56, sedangkan rasio R/C atas biaya tunai dan total yang diperoleh petani Non SOP yaitu sebesar 2,42 dan 1,26. Berdasarkan hasil analisis regresi, untuk model penduga produksi petani SOP diperoleh koefisien determinsi (R2) sebesar 98,9 persen dan koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) sebesar 98,7 persen. Dari hasil uji-t diketahui bahwa produksi belimbing petani SOP secara statistik nyata dipengaruhi oleh pupuk NPK, insektisida Decis dan tenaga kerja pada taraf nyata 95 persen. Input produksi lainnya seperti pupuk Gandasil tidak berpengaruh nyata terhadap produksi petani SOP pada taraf nyata 95 persen. Nilai koefisien determinsi (R2) dari model penduga produksi petani non SOP, adalah 93,8 persen dan koefisien determinasi terkoreksi (R2 adj) model tersebut adalah 92,8 persen. Hasil uji koefisien regresi secara parsial untuk petani non SOP diketahui bahwa koefisien regresi yang berpengaruh nyata pada taraf nyata 95 persen yaitu insektisida Curacon dan tenaga kerja. Koefisien regresi pupuk NPK, insektisida Decis dan pupuk Gandasil memiliki nilai t-hitung yang lebih rendah dari t-tabel (2,045). Hal ini berarti koefisien regresi tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap produksi pada taraf nyata 95 persen. Tingkat penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani belimbing untuk petani SOP dan petani non SOP masih belum efisien. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan rasio NPM-BKM dari masing-masing faktor produksi yang tidak sama dengan satu. Petani SOP perlu meningkatkan penggunaan faktor produksi berupa pupuk NPK, insektisida Decis dan pupuk Gandasil untuk mencapai efisiensi. Hal sebaliknya untuk faktor produksi berupa tenaga kerja perlu dikurangi agar efisensi tercapai. Efisiensi penggunaan faktor produksi petani non SOP dapat tercapai yaitu dengan cara meningkatkan penggunaan semua faktor produksi. Hal ini berdasarkan nilai NPM-BKM semua faktor produksi yang digunakan oleh petani SOP yang lebih besar dari satu. Saran yang diajukan pada penelitian ini adalah perlunya pemberian bantuan berupa modal maupun sarana pertanian oleh Dinas Pertanian Kota Depok, khususnya kepada petani belimbing Non SOP. Hal ini bertujuan agar petani non SOP dapat menerapkan teknis budidaya belimbing sesuai dengan SOP, sehingga akhirnya dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani tersebut. Perlunya pengawasan dan pemberian informasi kepada petani Non SOP terhadap intensitas serangan hama yang terjadi secara berkala untuk mencegah kerugian yang akan diderita petani non SOP karena rusak dan berkurangnya produksi buah yang dihasilkan. Petani perlu merencanakan dan mengorganisasikan kembali penggunaan faktor-faktor produksi dalam usahatani belimbing dengan jumlah input secara tepat dan optimal untuk mencapai keuntungan maksimal.
ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L.)
Oleh : AKBAR ZAMANI A. 14105507
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
:
Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi (Averrhoa carambola L.)
Nama
:
Akbar Zamani
Nrp
:
A14105507
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS NIP. 132 104 952
Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian:
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTORFAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L.)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, 9 September 2008
Akbar Zamani A 14105507
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 08 November 1983, Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H. Chairul Zahidin dan Ibu Hj. Marwiyah. Penulis memulai jenjang pendidikan dasar di SDN 07 Pagi Pondok Labu Jakarta Selatan pada tahun 1990 dan lulus tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikan ke SLTP Negeri 226 Cilandak Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 1999. Selama tahun 1999 sampai tahun 2002, penulis meneruskan pendidikan di SMU Negeri 49 Jagakarsa Jakarta Selatan. Pada tahun 2002 penulis meneruskan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima pada Program Studi Diploma III Perlindungan Sumberdaya Hutan Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan studi di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, IPB.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya kepada Allah SWT atas nikmat islam, kekuatan, kesehatan, serta kemudahan yang selalu penulis dapatkan selama menjalani perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi (Averrhoa carambola L.)” disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Sarjana (S1) Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pemilihan topik dan judul mengenai belimbing diawali dengan ketertarikan penulis pada salah satu artikel di internet yang menginformasikan mengenai program pemerintah daerah Kota Depok yang hendak menjadikan belimbing sebagai ikon kota. Salah satu kebijakan untuk mendukung program tersebut adalah membuat suatu panduan tentang teknis budidaya belimbing untuk petani berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Good Agriculture Practices (GAP). Tehnik budidaya belimbing berdasarkan SOP, memungkinkan adanya ketentuan penggunaan faktor-faktor produksi pada kegiatan budidaya belimbing. Faktor-faktor produksi dalam usahatani belimbing yang menjadi ketentuan SOP adalah dosis pemupukan, penyemprotan pestisida dan teknis budidaya lainnya. Penerapan teknis budidaya berdasarkan SOP tidak sepenuhnya dapat dijalankan oleh petani di Kota Depok, terutama petani yang memiliki modal terbatas. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari usahatani belimbing petani SOP maupun petani non SOP dari aspek ekonomi dan produksi. Aspek ekonomi yang dimaksud adalah kondisi pendapatan usahatani. Aspek produksi yang
dipelajari antara lain faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi dan tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi. Hasil penelitian yang dapat digambarkan secara umum bahwa pendapatan dari masing-masing petani cukup menguntungkan. Produktivitas belimbing petani SOP dipengaruhi oleh pupuk NPK, insektisida Decis dan tenaga kerja, sedangkan produktivitas belimbing petani non SOP dipengaruhi oleh insektisida Curacon dan tenaga kerja. Tingkat penggunaan faktor-faktor produksi dari masing-masing petani di atas masih belum optimum, berdasarkan kondisi tersebut keuntungan yang lebih tinggi masih berpeluang diperoleh melalui penggunaan faktor produksi secara optimum. Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih banyak memiliki kekurangan. Semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Bogor, 9 September 2008
Akbar Zamani A 14105507
UCAPAN TERIMA KASIH Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Chairul Zahidin dan Ibu Marwiyah, atas doa dan kasih sayang serta dukungan berupa materil maupun moril yang selalu diberikan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS selaku dosen pembimbing yang secara tulus meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga dalam memberikan bimbingan dan pengarahan sejak perencanaan penulisan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen penguji utama yang telah memberikan saran dan masukan yang berharga untuk perbaikan skripsi ini. 4. Tintin Sarianti, SP sebagai dosen penguji komisi pendidikan atas masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 5. Pemerintah Kota Depok, Dinas Pertanian Kota Depok dan Pengelola Koperasi Pemasaran Belimbing Dewa Depok atas segala bantuan, informasi serta izin yang diberikan untuk melakukan penelitian. 6. Petani Belimbing di seluruh Kota Depok atas bantuan, diskusi dan informasi yang diberikan. 7. Seluruh dosen dan staf Program Studi Ekstensi Manajemen Agribisnis. Terima kasih atas kesediaannya membantu penulis. 8. Lina Mardiana A.Md, atas dukungan doa, perhatian, serta pengertian yang menambah semangat dan motivasi penulis.
9. Seluruh rekan penulis Abdi Haris, Eko Hendrawanto, Zaky Adnany, Yudistira Marfiandra, Kholid Samsurrizal, Tenri Wali, Alam Lazuardi, Northa Idaman, Widi Nugraha, Wemvy Risyana, Agung Wibowo, Dafri Aryadi, Moh. Irfan Lubis, Tri Agung Juniarto, Rury Herlita, Amatu Assaheda, Rilian Sari atas segala dukungan, kritik serta saran yang telah diberikan dan tanpa kalian semua, mungkin skripsi ini tidak akan terselesaikan. 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Skripsi ini ditulis dengan segala keterbatasan wawasan dan pikiran penulis, sehingga sangat sadari bahwa masih banyak kekurangan pada tulisan ini. Kritik dan saran sangat diharapkan sebagai masukan. Semoga apa yang telah dituangkan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, 9 September 2008 Akbar Zamani A 14105507
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xix I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1.2. Perumusan Masalah .......................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 1.4. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ....................................................
1 8 12 12
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat Tanaman Belimbing................................................. 2.1.1. Taksonomi Tanaman Belimbing ............................................ 2.1.2. Sifat Botani Belimbing Manis................................................ 2.2. Teknis Budidaya Belimbing Manis ................................................... 2.3. Manfaat Tanaman Belimbing ............................................................ 2.4. Analisis Empiris Terhadap Analisis Fungsi Produksi .......................
14 14 16 17 23 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................ 3.1.1. Konsep Usahatani .................................................................. 3.1.2. Penerimaan dan Biaya Usahatani ......................................... 3.1.3. Analisis Pendapatan Usahatani .............................................. 3.1.4. Analisis Fungsi Produksi ....................................................... 3.1.5. Skala Usaha ............................................................................ 3.1.6. Efisiensi Ekonomi Penggunaan Faktor Produksi ................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .....................................................
33 33 34 35 38 41 44 46
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi ............................................................................. 4.2. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 4.3. Metode Pengambilan Sampel ............................................................ 4.4. Metode Analisis Data ........................................................................ 4.4.1. Analisis Fungsi Produksi ....................................................... 4.4.2. Analisis Efisiensi Alokasi (Allocative Efficiency) ................. 4.6. Pengujian Hipotesis........................................................................... 4.5. Analisis Pendapatan Usahatani ......................................................... 4.7. Konsep Pengukuran Variabel ...........................................................
52 52 53 54 54 57 58 59 60
V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah Penelitian ....................................................... 5.1.1. Letak dan Luas Wilayah ........................................................... 5.1.2. Keadaan Alam .......................................................................... 5.1.3. Tata Guna Lahan ......................................................................
63 63 64 65
5.1.4. Jumlah Penduduk Kota Depok ................................................. 65 5.1.5. Matapencaharian Penduduk Kota Depok ................................. 66 5.1.6. Sarana dan Prasarana ................................................................ 66 5.2. Karakteristik Petani Responden ......................................................... 68 5.2.1. Sebaran Umur Responden Petani SOP dan Petani Non SOP ... 69 5.2.2. Tingkat Pendidikan Responden Petani SOP dan Petani Non SOP ................................................................................... 69 5.2.3. Pengalaman Responden Petani SOP dan Petani Non SOP ..... 70 5.2.4. Jumlah Tanggungan Responden Petani SOP dan Petani Non SOP ................................................................................... 72 5.2.5. Mata Pencaharian Responden Petani SOP dan Petani Non SOP .................................................................................. 72 5.2.6.Alasan Responden Petani SOP dan Petani Non SOP dalam Berusahatani Belimbing ........................................................... 73 5.2.7. Umur Tanaman Belimbing Petani SOP dan Petani Non SOP .. 75 5.3. Hubungan Karakteristik Responden dengan Efisiensi Usaha. .......... 75 5.4. Keragaan Usahatani Belimbing Dewa-Dewi di Kota Depok ........... 77 5.4.1. Sanitasi Kebun .......................................................................... 80 5.4.2. Pemupukan Tanaman Belimbing ............................................. 80 5.4.3. Penyemprotan Pupuk Daun dan Pengendalian Hama .............. 81 5.4.4. Penjarangan dan Pembungkusan Buah Belimbing .................. 82 5.4.5. Pemanenan Buah Belimbing .................................................... 83 5.4.6. Pemangkasan Tanaman Belimbing .......................................... 85 VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA-DEWI 6.1. Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa-Dewi .................... 6.1.1. Biaya Usahatani Belimbing Dewa-Dewi ............................... 6.1.1.1. Biaya Tidak Tetap ..................................................... 6.1.1.2. Biaya Tetap ............................................................... 6.2. Hasil Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa-Dewi .......... VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA-DEWI 7.1. Analisis Fungsi Produksi ................................................................... 7.1.1. Model Penduga I Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Petani SOP ............................................................................. 7.1.2. Model Penduga I Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Petani Non SOP .................................................................... 7.1.3. Model Penduga II Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Petani SOP ............................................................................. 7.1.4. Model Penduga II Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Petani Non SOP .................................................................... 7.2. Analisis Skala Usaha (Return To Scale) ............................................ 7.2.1 Analisis Elastisitas Faktor Produksi....................................... 7.3. Analisis Efisiensi Ekonomi ................................................................
86 86 86 92 94
99 99 101 103 106 110 110 116
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan ........................................................................................ 8.2. Saran ..................................................................................................
120 121
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... LAMPIRAN ..................................................................................................
122 125
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1.
Perkiraan Permintaan Buah-Buahan Indonesia Tahun 1998-2015.........
3
2.
Produksi Belimbing Manis Menurut Pulau di Indonesia Tahun 2006 .......................................................................................................
4
Produksi Belimbing Manis Menurut Propinsi di Indonesia Tahun 2006 .......................................................................................................
6
4.
Komoditas Buah-Buahan Unggulan Kota Depok Tahun 2004 ..............
7
5.
Perbedaan Pemberian Pupuk dan Insektisida Per Musim Panen antara Teknik Budidaya Berdasarkan SOP dan Cara Petani Tradisional (Non SOP) ...........................................................................
11
6.
Varietas dan Karakteristik Belimbing yang Terdapat di Indonesia ........
16
7.
Komposisi Buah Belimbing Manis per 100 gram ..................................
24
8.
Ringkasan Penelitian Terdahulu yang digunakan Sebagai Acuan .........
32
9.
Analisis Ragam Terhadap Model Penduga Fungsi Produksi .................
56
10.
Uji Signifikansi Parameter Penduga Fungsi Produksi ............................
59
11.
Luas Areal Enam Kecamatan yang ada di Kota Depok .........................
64
12.
Penggunaan Lahan di Kota Depok Pada Tahun 2006 ............................
65
13.
Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Depok Pada Tahun 2003 ........................................................................................................
66
14.
Sebaran Umur Responden Petani SOP dan Petani Non SOP ................
69
15.
Tingkat Pendidikan Responden Petani SOP dan Petani Non SOP ........
70
16.
Pengalaman Responden Petani SOP dan Petani Non SOP.....................
71
17.
Jumlah Tanggungan Responden Petani SOP dan Petani Non SOP .......................................................................................................
72
Mata Pencaharian Responden Petani SOP dan Petani Non SOP ..........
73
3.
18.
19.
Alasan Petani SOP dan Petani Non SOP dalam Berusahatani Belimbing ...............................................................................................
74
Sebaran Umur Tanaman Belimbing Petani SOP dan Petani Non SOP .......................................................................................................
75
Hubungan Karakteristik Responden Petani SOP dan Petani Non SOP dengan Rasio R/C Atas Biaya Total ...............................................
76
Hubungan Karakteristik Responden Petani SOP dan Petani Non SOP dengan Rasio R/C Atas Biaya Tunai ..............................................
77
Persamaan dan Perbedaan Antara Teknik Budidaya Petani SOP dan Teknik Budidaya Petani Non SOP .........................................................
79
24.
Indeks Kematangan Buah Belimbing Dewa-Dewi .................................
84
25.
Perbedaan Berat Buah Belimbing Berdasarkan Grade ..........................
84
26.
Perbandingan Biaya Pembelian Sarana Produksi Usahatani Belimbing Dewa-Dewi Petani SOP dan Petani Non SOP Selama Satu Musim Panen dengan Luas Lahan 1000 m2 ...................................
88
Dosis Penggunaan Pupuk dan Insektisida dalam Usahatani Belimbing Dewa-Dewi Petani SOP dan Petani Non SOP selama Satu Musim Panen dengan Luas Lahan 1000 m2 ...................................
90
Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) dalam Budidaya Belimbing Dewa-Dewi Petani SOP dan Petani Non SOP Selama Satu Musim Panen dengan Luas Lahan 1000 m2 ...................................
91
Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Pada Budidaya Belimbing Dewa-Dewi Petani SOP dan Petani Non SOP Selama Satu Musim Panen dengan Luas Lahan 1000 m2 ...................................
92
Biaya Penyusutan Peralatan yang digunakan dalam Budidaya Belimbing oleh Petani SOP dan Petani Non SOP Selama Satu Musim Panen ..........................................................................................
93
Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa-Dewi Petani Non SOP dan Petani SOP Selama Satu Musim Panen dengan Luas lahan 1000 m2 ..................................................................................................
96
Pengujian Nilai Tengah Sebaran Rasio R/C Petani SOP dan Petani Non SOP ...............................................................................................
98
20. 21. 22. 23.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
Nilai VIF Hasil Uji Multikolinearitas Model Fungsi Produksi Petani SOP ..............................................................................................
101
Nilai VIF Hasil Uji Multikolinearitas Model Fungsi Produksi Petani Non SOP ......................................................................................
102
Hasil Analisis Uji F Terhadap Model Fungsi Produksi II Petani SOP .......................................................................................................
104
Pengujian Beda Nyata Koefisien Regresi Model Produksi II Petani SOP .......................................................................................................
105
Nilai VIF Hasil Uji Multikolinearitas Model Fungsi Produksi Petani SOP .............................................................................................
106
38.
Hasil Analisis Uji F terhadap Fungsi Produksi Petani Non SOP ...........
107
39.
Pengujian Beda Nyata Koefisien Regresi Pada Model Produksi II Petani Non SOP ......................................................................................
108
Nilai VIF Hasil Uji Multikolinearitas Model Fungsi Produksi II Petani Non SOP ......................................................................................
108
Perbandingan Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dari Produksi Belimbing untuk Petani SOP dan Petani Non SOP .......................................................................
118
34. 35. 36. 37.
40. 41.
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1.
Kurva Fungsi Produksi (Soekartawi, 1990) ...........................................
43
2.
Kerangka Operasional Penelitian ...........................................................
51
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1.
Produksi Buah-buahan Indonesia Tahun 2000-2006..............................
126
2.
Nilai Khi Khuadrat Berdasarkan Indikator Efisiensi dan Karakteristik Petani SOP ........................................................................
127
Nilai Khi Khuadrat Berdasarkan Indikator Efisiensi dan Karakteristik Petani Non SOP ...............................................................
128
4.
Sebaran Efisiensi (R/C Rasio) Petani SOP dan Petani Non SOP ...........
129
5.
Uji Nilai Tengah Sebaran Rasio R/C petani SOP dan Petani Non SOP .......................................................................................................
130
Hasil Analisis Regresi Model Penduga Produksi I Belimbing Petani SOP .......................................................................................................
131
7.
Koefisien Korelasi antar Peubah Petani SOP .........................................
132
8.
Hasil Analisis Regresi Model Penduga Produksi I Produksi Belimbing Petani Non SOP ....................................................................
133
9.
Koefisien Korelasi antar Peubah Petani Non SOP .................................
134
10.
Hasil Analisis Regresi Model Penduga Produksi II Produksi Belimbing Petani SOP ............................................................................
135
Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Model Penduga Produksi II Petani SOP ..............................................................................................
136
Hasil Analisis Regresi Model Penduga Produksi II Produksi Belimbing Petani Non SOP ....................................................................
137
Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Model Penduga Produksi II Petani SOP .............................................................................................
138
Data Penggunaan Input dan Produksi Belimbing Petani SOP dan Petani Non SOP dengan Luas Lahan 1000 m2 .......................................
139
3.
6.
11. 12. 13. 14.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Hal ini dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) atas harga berlaku sebesar Rp 106,8 triliun atau 13,92 persen pada triwulan kedua tahun 2006. Nilai ini merupakan tertinggi ketiga setelah sektor industri pengolahan sebesar Rp 232,2 triliun atau 28,91 persen dan sektor perdagangan sebesar Rp 119,9 triliun atau 14,93 persen1. Selain penyumbang dalam total PDB Indonesia, sektor pertanian juga sebagai sumber devisa negara, penyedia lapangan kerja, penyedia bahan baku industri dan dalam penyedia pangan bagi penduduk Indonesia Begitu pentingnya sektor pertanian bagi perekonomian Indonesia, maka Departemen Pertanian selaku pihak yang berkepentingan seharusnya berupaya meningkatkan pembangunan di semua subsektor pertanian. Bukan hanya untuk memacu produksi tetapi juga untuk meningkatkan mutu, daya saing produk dan nilai tambah guna mengangkat pendapatan dan kesejahteraan petani Salah satu bagian dari pembangunan sektor pertanian adalah pada subsektor hortikultura. Pada tahun 2006 subsektor ini memberikan kontribusi pada PDB sektor pertanian sebesar 23,06 persen atau setara dengan Rp 47,1 triliun. Subsektor ini tertinggi kedua setelah subsektor tanaman pangan yang mencapai 37,85 persen atau setara dengan RP 77,3 triliun2.
1 2
“PDB Indonesia” www.bps.go.id . [5 Januari 2008] Y.H, Bahar “Keberhasilan dan Kinerja Agribisnis Hortikultura 2006”. http://www.hortikultura.deptan.go.id. [10 Januari 2008]
Subsektor hortikultura terdiri dari komoditi buah-buahan, sayuran, tanaman obat dan florikultur (bunga dan tanaman hias). Berdasarkan data tahun 2005, PDB komoditi buah-buahan menempati urutan pertama di atas komoditi hortikultura lainnya yaitu mencapai Rp 31,694 triliun atau 51 persen dari total PDB hortikultura3. Prospek pengembangan buah-buahan di Indonesia ditunjukkan dengan jumlah produksi dan potensi pasar yang besar dan terus meningkat. Data tahun 2001 hingga 2006 menunjukkan bahwa produksi buah-buahan terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 14,8 persen per tahun. Data peningkatan produksi komoditi buah-buahan Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 1. Buah-buahan adalah salah satu jenis hortikultura yang mempunyai daya tarik tersendiri. Buah mempunyai rasa yang segar dan khas, yaitu perpaduan dari berbagai macam rasa dengan komposisi yang tepat, sehingga banyak digunakan sebagai pemicu selera makan (appetizer) dan sebagai jus (Poerwanto, 1994). Selain jumlah produksi yang besar, prospek buah-buahan juga ditunjukan dengan potensi pasar yang terus berkembang. Prospek pemasaran buah-buahan di dalam negeri dari tahun ke tahun diperkirakan makin baik. Perkiraan permintaan buah-buahan Indonesia tahun 1998-2015 dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1, peningkatan jumlah pemintaan terhadap komoditi buah-buahan disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kecukupan gizi dari buah-buahan yang ditunjukkan oleh konsumsi per kapita.
3
Y.H, Bahar, Ibid.
Tabel 1. Perkiraan Permintaan Buah-Buahan Indonesia Tahun 1998-2015 Tahun 1998 2000 2005 2010 2015
Populasi Penduduk (Juta) 200.000 213.000 227.000 240.000 254.000
Total Buah Konsumsi/Kapita Total Konsumsi (Kg) (Ribu ton) 36.76 7.352.00 36.76 7.829.88 45.70 10.373.90 57.92 13.900.80 78.74 19.999.96
Sumber : Pusat Kajian Buah Tropika,1998
Besarnya permintaan pasar dan banyaknya potensi yang dimiliki Indonesia, merupakan peluang agribisnis buah-buahan untuk menjadi sumber pertumbuhan baru yang potensial. Agribisnis buah-buahan merupakan salah satu sektor produksi strategis yang mempunyai potensi yang sangat besar dilihat dari keragaman yang sangat banyak, serta keterlibatan masyarakat dalam proses onfarm dan off-farm. Salah satu jenis tanaman buah tropis yang banyak tumbuh di Indonesia dan memiliki prospek yang cukup bagus untuk dikembangkan ialah belimbing. Berdasarkan Lampiran 1, produksi belimbing di Indonesia dari tahun 2001-2006 memiliki trend (kecenderungan) yang positif dari tahun ke tahun. Menurut laporan mengenai Keberhasilan dan Kinerja Agribisnis Hortikultura Tahun 2006, peningkatan produksi ini disebabkan oleh beberapa hal. Hal tersebut diantaranya adalah sebagai akibat pertambahan luas areal tanam, semakin banyaknya tanaman yang berproduksi, berkembangnya teknologi produksi yang diterapkan petani, semakin intensifnya bimbingan dan fasilitasi yang diberikan kepada petani dan pelaku usaha, semakin baiknya manajemen
usaha yang diterapkan pelaku usaha, dan adanya penguatan kelembagaan agribisnis petani4. Tercatat sebanyak 30 propinsi di seluruh Indonesia sebagai daerah penghasil belimbing yang tersebar dari Pulau Sumatera sampai dengan Pulau Papua. Pulau Jawa merupakan pulau yang menempati urutan pertama sebagai penghasil belimbing terbanyak sebesar 49.642 ton atau 70,61 persen dari total produksi belimbing di Indonesia. Pulau Sumatera menempati urutan kedua sebesar 13.628 ton atau 19,38 persen, kemudian diikuti Pulau Kalimantan yang menempati ururtan ketiga sebesar 3.783 ton atau 5,38 persen dari total produksi di Indonesia. Pada Tabel 2, dapat dilihat produksi pohon belimbing dari beberapa pulau di Indonesia tahun 2006.
Tabel 2. Produksi Belimbing Manis Menurut Pulau di Indonesia Tahun 2006 Pulau
Jumlah Tanaman
Luas Panen (Ha) 1.802 413 145 143
Hasil Per Ha (Ton/Ha) 27,55 33,00 26,09 12,72
Jawa 540.691 Sumatera 123.569 Kalimantan 43.615 Sulawesi 43.009 Bali, Nusa 14.966 50 21,36 Tenggara Maluku dan 11.114 37 9,68 Papua Jumlah 733.349 2.590 130,4 Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura, 2007
Hasil Per Pohon (Kg/Phn) 91,81 110,28 88,74 42,29
Produksi (Ton)
Tot. Prod (%)
49.642 13.628 3.783 1.819
70,61 19,38 5,38 2,58
71,36
1.068
1,51
32,21
358
0,5
436,69
70.298
100
Propinsi-propinsi di Pulau Jawa sebagai sentra penghasil belimbing terdiri dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Yogyakarta dan Banten. Pada tahun 2006, Propinsi Jawa Barat menempati urutan ketiga dalam hal produksi setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Produksi Jawa Barat pada tahun 2006 sebesar 10.876 ton atau sebesar 21,90 persen dari total produksi di Pulau 4
Y.H, Bahar, Ibid.
Jawa. Berdasarkan produktivitasnya, propinsi Jawa Barat menempati urutan pertama dibandingkan dengan propinsi lainnya di Pulau Jawa yaitu mencapai 38,43 ton per hektar. Pada Tabel 3, dapat dilihat mengenai produksi pohon belimbing yang menghasilkan di beberapa propinsi di Pulau Jawa pada tahun 2006. Perkiraan permintaan belimbing setiap tahun semakin meningkat, peningkatan permintaan tersebut adalah sebesar 6,1 persen per tahun (1995-2000), 6,5 persen per tahun (2000-2005), 6,8 persen per tahun (2005-2010), dan mencapai 8,9 persen per tahun (2010-2015). Hal ini menunjukkan bahwa prospek usahatani belimbing sangat cerah bila dikelola secara intensif dan komersial, baik dalam bentuk perkebunan, pekarangan maupun tabulampot (tanaman buah dalam pot)5. Terdapatnya keunggulan dan jaminan akan permintaan belimbing diatas, diharapkan dapat membuat para petani tertarik untuk membudidayakan buah belimbing yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Kota Depok merupakan salah satu kota di Propinsi Jawa Barat yang sejak dahulu giat mengembangkan usaha hortikultura buah-buahan khususnya belimbing. Pemerintah Kota Depok dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya, mulai mengembangkan komoditas-komoditas pertanian unggulan daerah. Terdapat 39 komoditas hortikultura di Kota Depok, dari komoditas tersebut ada 12 komoditas yang memiliki trend positif yang sangat menunjang pertumbuhan dan perkembangan produk pertanian di Kota Depok. Komoditas tersebut meliputi
5
“Budidaya Pertanian Belimbing”http://www.ristek.go.id.[12 Januari 2008]
buah-buahan, sayuran dan tanaman hias. Komoditas unggulan untuk buah-buahan terdiri dari empat jenis yaitu belimbing, jambu biji, rambutan, dan pepaya.
Tabel 3. Produksi Belimbing Manis Menurut Propinsi di Pulau Jawa Pada Tahun 2006 Propinsi Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat DKI Jakarta Banten Yogyakarta Jumlah
Jumlah Tanaman 199.265
Luas Panen (Ha) 664
Hasil Per Ha (Ton/Ha) 26,30
Hasil Per Pohon (Kg/Phn) 87,64
185.043 85.002 42.186
617 283 141
23,90 38,43 27,67
14.822 14.373 540.691
49 48 1802
35,82 18,71 170,83
Produksi (Ton)
Tot.Prod (%)
17.464
35,17
79,69 127,95 92,50
14.747 10.876 3,902
29,70 21,90 7,86
118,41 62,48 568,67
1,755 898 49.642
3,53 1,8 100
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura, 2007
Berdasarkan Tabel 4, perkembangan produksi komoditas belimbing mengalami peningkatan yang cukup signifikan bila dibandingkan komoditas buah lainnya, yaitu dari 8.250 kuintal pada tahun 2000 meningkat pesat menjadi 49.512 kuintal pada tahun 2004. Peningkatan ini terjadi karena keberhasilan program pemerintah daerah melalui perluasan areal tanaman belimbing yang telah dimulai dari tahun 2002 (Dinas Pertanian Kota Depok, 2007). Menanam pohon belimbing dapat dikatakan sudah menjadi tradisi petani di Kota Depok. Hal ini disebabkan karena tanaman belimbing telah ditanam sejak tahun 1970-an dan tetap dilestarikan secara turun temurun hingga sekarang (Dinas Pertanian Kota Depok, 2007). Pada saat ini, belimbing merupakan salah satu komoditas yang cukup potensial dan prospektif di Kota Depok. Varietas unggul yang digunakan dalam usahatani belimbing di daerah Kota Depok sebagian besar adalah varietas Dewa Baru dan Dewi Murni (Dewa-Dewi).
Tabel 4. Komoditas Buah-Buahan Unggulan Kota Depok Pada Tahun 2004 No 1 2 3 4
Buah-buahan Belimbing Jambu biji Rambutan Pepaya
2000 8.250 1.776 5.545
Produksi Buah Unggulan (Kuintal) 2001 2002 2003 5.945 5.945 6.062 10.264 10.264 11.053 12.763 12.762 12.762 15.049 15.047 15.580
2004 49.512 28.230 28.028 32.491
Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok, 2005
Pemilihan varietas tersebut karena belimbing Dewa-Dewi memiliki berbagai
keunggulan
dibandingkan
dengan
varietas
belimbing
lainnya.
Keunggulan kedua varietas tersebut adalah dalam hal kemampuannya berproduksi yang tinggi,
penampilan buahnya yang menarik, rasanya yang manis dan
memiliki bobot antara 150-500 gram per buah serta mudah dibudidayakan (Dinas Pertanian Kota Depok, 2007). Pesatnya perkembangan usaha budidaya tanaman belimbing di Kota Depok juga didukung dengan keluarnya Keputusan Walikota Depok No. 18 tahun 2003, yang didalamnya memuat antara lain: (1) peningkatan produktivitas pertanian, (2) pengembangan kelembagaan petani, (3) peningkatan pemasaran produk, (4) peningkatan pelayanan sektor pertanian, dan (5) pengembangan potensi unggulan pertanian pada tingkat pencapaian target satu produk potensial berkembang (Dinas Pertanian Kota Depok, 2007).
.
Potensi Kota Depok dalam pengembangan usahatani buah belimbing dapat sangat diandalkan. Hal ini didukung oleh beberapa faktor yang ikut menunjang dalam kegiatan usahatani dan pemasaran buah belimbing. Kota Depok merupakan daerah yang strategis karena letaknya yang berdekatan dengan DKI Jakarta, sehingga dapat mempermudah dalam pemasaran produk belimbing. Kesesuaian lahan sebagai sentra produksi dan dari letak geografisnya baik dari ketinggian tempat serta iklim merupakan faktor yang sangat mendukung perkembangan
usaha budidaya buah belimbing di Kota Depok (Dinas Pertanian Kota Depok, 2005).
1.2. Perumusan Masalah Laju pertumbuhan dan pembangunan fisik di Kota Depok yang cukup tinggi, berdampak pada tingginya kebutuhan akan penyediaan kawasan pemukiman beserta seluruh fasilitas umum dan fasilitas sosial pendukungnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian. Akumulasi konversi lahan selama kurun waktu lima tahun di Kota Depok cukup tinggi, mencapai 25 persen. Sebagai contoh pada tahun 2000 luas lahan pertanian produktif mencapai 1300 hektar dan pada akhir tahun 2005 luas areal pertanian menyusut menjadi 972,5 hektar (Dinas Pertanian 2007). Hal ini membuat
Pemerintah
Kota
Depok
perlu
melakukan
tindakan
untuk
menyelamatkan lahan pertanian yang ada, sehingga fungsi Kota Depok sebagai daerah resapan air dan kota yang nyaman dapat tetap terjaga. Pembangunan pertanian di Kota Depok saat ini diarahkan untuk pengembangan agribisnis perkotaan yang memiliki daya saing dan memiliki nilai tambah yang didukung oleh sumberdaya daerah dan pemanfaatan teknologi. Visi yang dimiliki Dinas Pertanian Kota Depok adalah ” Mendukung terwujudnya Depok sebagai Kota perdagangan jasa yang bertumpu pada pertanian perkotaan maju”. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah Daerah Kota Depok cukup serius dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota, yaitu salah satunya melalui sektor pertanian di perkotaan. Subsektor hortikultura terutama buah-buahan merupakan subsektor pertanian yang banyak dikembangkan di Kota Depok. Salah satu produk
hortikultura Kota Depok yang merupakan komoditas potensial adalah belimbing Dewa-Dewi. Potensi belimbing cukup bagus untuk dikembangkan, terlebih lagi kecocokan agroklimat Kota Depok sangat mendukung untuk melakukan budidaya buah belimbing. Selain itu, peluang pasar yang masih terbuka membuat Pemerintah Kota Depok berusaha untuk mengembangkan komoditas ini dan menjadikan belimbing sebagai komoditas unggulan serta icon Kota Depok. Besarnya permintaan belimbing di beberapa daerah seperti Jakarta belum mampu dipenuhi sebanyak 1.200-1.500 ton per tahun, sedangkan untuk daerah Jadebotabek dan Bandung permintaan pasar belimbing adalah 6.119,18 ton (Dinas Pertanian Kota Depok, 2007). Hal ini berarti peluang pasar komoditi belimbing masih terbuka luas. Besarnya permintaaan belimbing diduga berhubungan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat, yang salah satunya caranya yaitu dengan mengkonsumsi buah. Khasiat buah belimbing yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti tekanan darah tinggi dan ginjal, diduga merupakan salah satu penyebab permintaan belimbing oleh masyarakat meningkat (Dinas Pertanian Kota Depok, 2007). Belum terpenuhinya permintaan belimbing dan masih terbukanya peluang pasar, mendorong Pemerintah Kota Depok untuk mengembangkan usahatani belimbing Dewa-Dewi yang telah ada. Pengembangan ini selain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani belimbing, juga untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Depok. Pada saat ini, pengembangan belimbing Dewa-Dewi di Kota Depok tidak lagi bersifat ekstensifikasi tetapi lebih difokuskan pada pola intensifikasi. Hal ini dikarenakan makin berkurangnya lahan-lahan pertanian sebagai akibat dari
meningkatnya jumlah penduduk dan pemukiman. Pola intensifikasi ini lebih menekankan pada perbaikan teknis produksi berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Good Agriculture Practices (GAP). Pada kenyataannya di lapangan, belum semua petani belimbing di Kota Depok menerapkan SOP dalam kegiatan budidayanya. Hal ini, dikarenakan tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani apabila menerapkan SOP dibandingkan dengan tehnik budidaya yang selama turun-temurun diterapkan oleh petani. Alasan lain yang menyebabkan petani belum mau menerapkan SOP yaitu karena petani merasa belum adanya jaminan akan hasil produksi yang tinggi apabila menggunakan SOP dalam kegiatan budidayanya. Perbedaan yang paling terlihat antara kegiatan budidaya yang menerapkan SOP dengan cara tradisional (non SOP) yaitu dalam hal kegiatan pemupukan dan penggunaan pestisida. Pada Tabel 5, dapat dilihat perbedaan pemberian pupuk dan insektisida antara teknik budidaya berdasarkan SOP dan non SOP. Berdasarkan Tabel 5, pada umumnya pemberian pupuk NPK lebih banyak digunakan oleh petani non SOP, yaitu lebih besar dari satu kilogram. Perlakuan berbeda dilakukan oleh petani SOP, pemberian pupuk NPK terhadap tanaman hanya satu kilogram per pohon. Selain pupuk NPK, penggunaan pupuk kandang lebih banyak digunakan apabila menerapkan SOP yaitu 40-70 kilogram per pohon, sedangkan dengan cara petani SOP hanya 35 kilogram per pohon. Perbedaan yang lainnya adalah dalam hal pemberian pupuk cair, penggunaan insektisida untuk pengendalian lalat buah, pengendalian jamur upas dan pengendalian bercak daun.
Tabel 5. Perbedaan Pemberian Pupuk dan Insektisida Per Musim Panen antara Teknik Budidaya Berdasarkan SOP dan Cara Petani Tradisional (Non SOP) Kegiatan budidaya Pemupukan : Pupuk NPK Pupuk Kandang Pupuk Cair (Gandasil) Pengendalian hama dan Penyakit : Insektisida cair (Curacon) Insektisida cair (Decis) Perangkap lalat buah (Petrogenol 800L) Pengendalian jamur upas (Benlate) Pengendalian bercak daun (Kaptafol)
Petani Non SOP
SOP
>1 Kg/pohon 35 Kg/pohon < 10 grm/liter
1 Kg/pohon 40-70 Kg/pohon Sesuai dosis anjuran
< 5 ml/liter < 5 ml/liter -
Sesuai dosis anjuran Sesuai dosis anjuran 20-25 buah/hektar Sesuai dosis anjuran Sesuai dosis anjuran
Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok , 2007
Berdasarkan uraian diatas, terlihat jelas bahwa dalam kegiatan budidaya dengan menerapkan SOP menggunakan input yang lebih banyak. Hal ini, mengakibatkan tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan petani dalam sekali musim panen. Terlebih lagi pada saat sekarang, mahalnya harga-harga input produksi seperti pupuk dan pestisida yang merupakan salah satu input produksi yang penting bagi budidaya belimbing dapat menyebabkan alokasi faktor produksi menjadi tidak efisien dan biaya produksi menjadi tinggi. Tingginya biaya produksi budidaya belimbing Dewa-Dewi dengan menerapkan SOP, seharusnya juga diikuti dengan peningkatan produksi belimbing yang dihasilkan petani. Hal ini karena besar atau kecilnya pendapatan petani tergantung dari biaya dan hasil produksi yang dihasilkan dalam kegiatan usahatani tersebut. Sehubungan dengan uraian diatas maka yang menjadi pertanyaan adalah faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap produksi dalam proses usahatani belimbing Dewa-Dewi baik yang menerapkan SOP maupun yang tidak menerapkan SOP, seberapa besar tingkat pendapatan usahatani belimbing Dewa-Dewi yang menerapkan SOP dan yang tidak
menerapkan SOP, bagaimana tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dari masing-masing usahatani tersebut.
I.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani belimbing Dewa-Dewi, baik yang menerapkan SOP dan yang tidak menerapkan SOP 2. Menganalisis pendapatan usahatani belimbing Dewa-Dewi, baik yang menerapkan SOP dan yang tidak menerapkan SOP. 3. Menghitung sejauh mana tingkat efesiensi penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani belimbing Dewa-Dewi, baik yang menerapkan SOP dan yang tidak menerapkan SOP.
1.4. Manfaat dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka diharapkan manfaat dari penelitian ini antara lain : 1. Bagi petani belimbing, sebagai salah satu bahan masukan dalam mengevaluasi dan menjadi pedoman dalam merencanakan usahatani belimbing sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani belimbing. 2. Bagi pemerintah diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukkan dalam pengembangan lebih lanjut mengenai usahatani belimbing.
3. Bagi penulis, selain sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, juga diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat menjadi wadah aplikasi ilmu-ilmu yang selama ini dipelajari di bangku kuliah. 4.
Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang ingin menekuni usahatani belimbing maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Singkat Tanaman Belimbing Menurut Sunarjono (2004) tanaman belimbing berasal dari daerah Asia Tenggara terutama Malaya, kemudian berkembang ke daerah-daerah di Indonesia. Sedangkan menurut N.I. Vavilov, tanaman belimbing tergolong tanaman tropis, yang berasal dari India kemudian menyebar ke berbagai negara tropis seperti Indonesia
dan
Malaysia.
Tanaman
belimbing
menurut
Rumpius
telah
dibudidayakan di Indonesia sebelum tahun 1892 di daerah Demak6. Sehingga pada saat ini tidaklah mengherankan jika daerah Demak dan Jepara merupakan salah satu sentra produksi belimbing di Indonesia. Terdapat banyak varietas belimbing yang berasal dari daerah tersebut seperti Belimbing Kunir, Kapur, dan Belimbing Jinggo (Sunarjono, 2004).
2.1.1. Taksonomi Tanaman Belimbing Berdasarkan sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman belimbing manis secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut (Sunarjono, 2004) : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Sphermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Oxalidales
Famili
: Oxalidaceae
Genus
: Averrhoa dan Oxalis
Species
: Averrhoa carambola L. (Belimbing Manis)
6
”Budidaya Belimbing Manis Secara Agribisnis di DKI Jakarta”http://www.distanjkt.co.id. [10 Januari 200]
Terdapat dua jenis belimbing yaitu, belimbing manis (Averrhoa carambola L.) dan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L), kedua jenis belimbing ini memiliki perbedaan dalam hal rasa dan penampakannya. Belimbing manis memiliki bentuk seperti bintang, berlekuk-lekuk jika dilihat dari penampang melintangnya dan permukaannya licin seperti lilin. Rasa manis bervariasi sesuai dengan jenis dan varietasnya. Belimbing wuluh memiliki bentuk bulat lonjong dengan panjang lima sampai enam sentimeter, warnanya hijau pekat saat muda dan berubah kekuningan setelah matang. Rasa buahnya sangat asam dan daging buahnya sangat banyak mengandung air (Rukmana, 1996). Jenis belimbing yang banyak dibudidayakan di Indonesia yaitu jenis belimbing manis, hal ini dikarenakan jenis ini memiliki keunggulan yaitu : (1) dapat dibudidayakan di kebun, pekarangan maupun pot, (2) cepat berbuah, dan setelah berbuah pertama kali cenderung berbuah secara terus-menerus, (3) rasa manisnya bervariasi sesuai dengan jenis dan varietasnya dan (4) buahnya mengandung kalori, vitamin A dan vitamin C yang cukup tinggi (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1998). Varietas unggul adalah varietas yang telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian menggenai keunggulan-keunggulan tertentu yang dimilikinya, misalnya dari sisi produksi, aroma dan rasa. Kondisi alam Indonesia yang subur membuat tanaman belimbing dapat tumbuh dengan baik, sehingga banyak ragam dan varietas belimbing manis, diantaranya Demak, Sembiring, Bangkok, Filipina, Paris, Dewi, Siwalan, Wulan, Wijaya, Taiwan, Malaya dan Penang. Pada Tabel 6, disajikan beberapa varietas belimbing yang terdapat di Indonesia beserta ciri-cirinya.
Tabel 6. Beberapa Varietas dan Karakteristik Belimbing yang Terdapat di Indonesia Varietas Kapur
Asal Demak
Kunir Demak Sembiring Medan Bangkok Filipina Paris Dewi Siwalan Wulan Wijaya
Thailand Filipina Cimanggis Pasar minggu, Jakarta Tuban Madiun Pati
Taiwan Malaya Penang
Taiwan Medan Malaysia
Warna Buah Matang
Rasa Buah Matang
Kuning keputihan
Manis keasaman, berair banyak Kuning keemasan Manis, berair banyak Kuning menyala Manis sekali, berair banyak Kuning kemerahan Manis, berair banyak Kuning Manis, berair banyak Kuning kemerahan Manis, berair sedikit Kuning kemerahan, Manis, berair sedikit mengkilap Kuning keemasan Kuning kemerahan Kuning Kuning Kuning keemasan Kuning jingga
Manis, berair banyak Manis, berair banyak Manis sekali, berair banyak Manis, berair banyak Manis, berair banyak Manis, berair banyak
Bobot Buah ratarata (gr) 150-300 150-300 300 165 500-700 225-200 200-500 150 300-400 170 500 200-400 200-400
Sumber : Tim Penulis Penebar Swadaya, 1998
2.1.2. Sifat Botani Belimbing Manis Tanaman belimbing manis berukuran kecil, tingginya mencapai 5-12 meter, daunnya majemuk, bunganya kecil berwarna merah muda dan harum. Belimbing manis umumnya dibudidayakan di dataran rendah dengan ketinggian 0-500 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini membutuhkan sinar matahari langsung dengan lama penyinaran minimal tujuh jam setiap hari dengan intensitas 45-50 persen. Daerah penanamannya harus memiliki curah hujan yang merata sepanjang tahun dan angin yang tidak terlalu kencang. Tanah dengan kandungan unsur hara yang seimbang sangat cocok untuk pertumbuhanya. Faktor yang sangat menentukan adalah keasaman tanah (pH tanah), dimana yang cukup baik dan masih bisa ditolelir oleh tanaman belimbing yaitu antara 5,5-7,0. Keasaman tanah
seperti ini diperkirakan terdapat keseimbangan unsur-unsur hara yang diperlukan tanaman (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1998). Belimbing berbuah tidak mengenal musim, panen biasanya dapat dilakukan tiga sampai empat kali dalam satu tahun. Panen besar biasanya terjadi pada bulan Juli sampai Agustus. Umur panen buah belimbing sangat dipengaruhi oleh letak geogarafis pemanenan, yaitu faktor lingkungan dan iklim. Pada dataran rendah yang tipe iklimnya basah seperti Jakarta, umur petik buah belimbing sekitar 35-60 hari setelah pembungkusan atau 65-90 hari setalah bunga mekar (Rukmana, 1996).
2.2. Teknis Budidaya Belimbing Manis Teknik budidaya belimbing terbilang cukup mudah, sehingga banyak petani yang mampu menghasilkan tanaman belimbing yang bagus baik dari hal produksi buah maupun dalam hal mengasilkan bibit unggul. Menurut Sunarjono 2004,
agar
dapat
menghasilkan
tanaman
belimbing
yang
baik
harus
memperhatikan hal berikut ini :
1. Bibit Biasanya petani menanam bibit yang berasal dari okulasi. Hal ini karena tanaman atau bibit yang dihasilkan nantinya mudah atau cepat untuk berbuah. Sebagai batang bawah, biasanya berasal dari biji yang diambil dari buah yang telah masak penuh. Setelah ditanam di lapangan atau polybag selama enam sampai delapan bulan, biasanya ukuran diameter batang sudah lebih besar dari pensil, batang dengan ukuran sebesar ini sudah siap untuk diokulasi.
Okulasi diambil dari varietas yang produksi dan kualitas buahnya baik misalnya dari varietas Dewi, Dewa, Demak dan lain sebagainya. Pohon yang dapat diokulasi adalah pohon yang telah berbuah atau berumur lebih dari tiga tahun. Okulasi biasanya dilakukan pada ketinggian 10 sentimeter dari leher akar, hal ini bertujuan agar mudah mendeteksi pertumbuhan cabang yang berasal dari bagian okulasi. Satu tahun setelah okulasi, bibit dapat dipindahkan ke lapangan atau ke pot yang lebih besar. Bibit belimbing juga dapat diperoleh dengan cara lain seperti dari cangkokan atau enten.
2. Penanaman Penanaman dapat dilakukan dengan menggunakan wadah pot maupun drum bekas. Pot maupun drum bekas yang dijadikan sebagai wadah tanaman belimbing, terlebih dahulu dilubangi bagian bawahnya untuk mempermudah keluarnya air. Pada bagian atas pot, diisi dengan media tumbuh yang terdiri dari campuran tanah, pupuk kandang dan pasir atau sekam dengan perbandingan satu banding satu. Pengambilan bibit yang terdapat di lapangan, dilakukan dengan cara menggali sekeliling pohon sekitar 10 sentimeter dari pangkal batang dengan kedalaman 20-30 sentimeter, hal ini bertujuan agar sebagian besar volume akar tidak terpotong. Waktu pemindahan bibit tanaman belimbing ke dalam pot dapat dilakukan pada sore hari atau pagi hari. Bila penanaman dilakukan langsung ke pekarangan, satu bulan sebelum penanaman lubang tanam telah dipersiapkan untuk bibit tersebut. Ukuran lubang penanaman yaitu sebesar 60 x 60 x 60 sentimeter. Setelah dua minggu, terlebih dahulu lubang tanam dimasukkan tanah. Selanjutnya, lapisan atas diisi dengan
campuran tanah, pupuk kandang dan pasir atau sekam dengan perbandingan satu banding satu. Satu minggu kemudian, barulah tanaman dari pembibitan dipindahkan ke lubang yang telah kita siapkan. Tanaman yang baru dipindahkan sebaiknya disiram setiap sore hari.
3. Pemupukan Pemberian pupuk untuk tanaman belimbing yaitu berupa pupuk NPK sebanyak 0,25 kg ditambah satu sendok makan Furadan atau Curater-3G. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara ditaburkan mengelilingi bibit dengan diameter 10 sentimeter dari bibit. Pada tanaman dewasa, pemupukan dilakukan dua kali setahun yaitu pada awal dan akhir musim penghujan. Cara pemberian pupuk yaitu dengan cara menaburkan pupuk ke dalam tanah sedalam 20 sentimeter mengelilingi pohon dengan diameter sesuai dengan diameter tajuk pohon. Lubang yang telah ditaburi pupuk kemudian ditutupi kembali dengan menggunakan tanah.
4. Pemangkasan Pemangkasan pada belimbing sangat diperlukan untuk pembentukan tajuk, memudahkan Berdasarkan
panen, tujuan
merangsang dan
waktu
pembungaan pelaksanaannya,
dan
pembesaran
terdapat
tiga
buah. macam
pemangkasan, yaitu pemangkasan untuk membentuk pohon, pemangkasan cabang dan ranting yang tumbuh tidak beraturan, serta pemangkasan untuk meremajakan tanaman yang telah tua. Kegiatan ini harus dilakukan oleh petani agar tanaman dapat tumbuh optimal serta dapat menghasilkan produksi belimbing yang tinggi.
4.1. Pemangkasan Bentuk Pemangkasan untuk pembentukan pohon, dilakukan pada tanaman yang belum produktif, berumur dua sampai tiga tahun. Tujuannya untuk membentuk percabangan secara teratur dan mencegah pertumbuhan pohon meninggi. Dengan demikian akan mempermudah pembungkusan buah pada saat panen. Ujung batang utama dipotong pada ketinggian satu sampai dua meter dari permukaan tanah. Pertahankan tiga sampai empat cabang primer yang subur dan dapat tumbuh memanjang. Pada pertumbuhan selanjutnya, ujung cabang primer dipotong dengan menyisakan sepanjang 30-50 sentimeter. Selanjutnya, setelah tumbuh tunas pada cabang primer (disebut cabang sekunder), kemudian dibiarkan sampai tumbuh cabang sebanyak dua atau tiga cabang sekunder. Setelah tumbuh cabang sekunder, kemudian cabang tersebut dipotong pucuknya dengan menyisakan sepanjang 30-50 sentimeter. Setiap kali pemangkasan, permukaan cabang diusahakan miring untuk mencegah pembusukan cabang. Dengan demikian akan diperoleh bentuk tajuk pohon yang melebar, dengan percabangan yang teratur.
4.2. Pemangkasan Cabang dan Ranting Pemangkasan tunas yang tumbuh di pangkal dan tengah cabang serta ujung ranting dilaksanakan secara terus menerus, setiap satu sampai dua bulan. Tujuannya agar sinar matahari dapat memasuki mahkota tajuk, sehingga dapat mengurangi kelembaban. Pemangkasan ini juga bertujuan untuk meningkatkan manfaat penggunaan bahan makanan untuk menghasilkan pertumbuhan dan buah yang lebih besar.
4.3. Pemangkasan untuk Peremajaan Pemangkasan ini biasanya dilaksanakan pada pohon berumur lebih dari 10 tahun, yang produksinya mulai menurun. Batang utama dipotong miring pada ketinggian 60-70 sentimeter dari permukaan tanah. Pengaturan cabang-cabang yang tumbuh baru, mengikuti cara-cara pemangkasan bentuk. Adakalanya, bersamaan dengan peremajaan ingin dilakukan penyambungan secara okulasi dengan kultivar yang lebih baik dari pohon pangkal. Hal ini dapat dilakukan mengingat sifat regenerasi dan rekombinasi pada belimbing sangat baik. Bahkan, rekombinasi beberapa kultivar secara okulasi pada satu pohon pangkal dapat dilakukan.
5. Pembungkusan Buah Pembungkusan buah bertujuan untuk melindungi buah dari serangan lalat buah serta meningkatkan kualitas buah. Lalat buah dapat menimbulkan kerugian sampai 100 persen. Lalat betina meletakkan telur dalam daging buah belimbing. Larva akan menghisap cairan buah sehingga buah menjadi busuk dan gugur. Pembungkusan buah dilakukan pada saat ukuran buah sebesar jempol jari tangan. Pada satu rangkaian buah, dipilih satu buah yang bentuk dan pertumbuhannya terbaik. Bahan pembungkus buah dapat berupa dua lapis karbon bekas yang ujung dan pangkalnya diikat tali. Belimbing yang dibungkus dengan bahan ini penampilannya akan sangat menarik dengan warna buah yang cerah. Belimbing Dewi akan berwarna kuning orange dan mengkilat, sedangkan pinggiran belimbing akan berwarna kuning. Penampilan buah belimbing akan tampak bersih, menarik dan bebas dari pencemaran. Kelemahan pembungkusan dengan kertas karbon yaitu kematangan
buah belimbing sulit dideteksi. Bahan pembungkus lain yang dapat digunakan, ialah adalah kantong plastik (PE). Pada saat menggunakan plastik sebagai pembungkus, hal yang harus dilakukan yaitu menggunting bagian bawah plastik yang bertujuan untuk mencegah kelembaban yang tinggi. Bahan lain yang dapat digunakan sebagai pembungkus buah belimbing yaitu daun pisang kering. Kualitas atau mutu buah belimbing ditentukan oleh waktu dan cara pemetikannya. Pemetikan yang dilakukan pada saat yang tepat akan menghasilkan buah yang enak dan warna buah yang lebuh menarik. Pemetikan yang dilakukan pada saat buah belum siap panen akan menurunkan kualitas buah, dengan rasa buah masam dan sepat, warnanya tidak menarik dan jika dibiarkan masak dalam penyimpanan akan menyebabkan buah keriput dan pucat. Waktu pemetikan yang tepat adalah pada pagi hari, saat ini buah masih segar dan sinar matahari belum terlalu panas. Guna menjaga agar buah tidak rusak, maka pemetikan harus dilakukan secara hati-hati bersama dengan pembungkusnya. Pada tempat yang teduh, belimbing dikeluarkan dari pembungkusnya dan dikumpulkan pada tempat yang telah tersedia.
6. Hama dan Penyakit Tanaman Belimbing Serangan hama dan penyakit pada belimbing manis dapat menyebabkan berkurangnya produktivitas, menurunnya mutu buah setelah panen dan memperpendek umur simpan. Menurut Tim Penulis Penebar Swadaya (1998) beberapa hama dan penyakit yang biasanya menyerang buah belimbing manis yaitu :
a. Lalat buah Hama ini termasuk jenis serangga, yaitu lalat buah Dacus pedestris Bezzi, menyerang pada bagian buah sehingga menyebabkan noda hitam pada kulit buah. Bila buah ini dibelah, akan terlihat belatung atau larva. Larva inilah yang menggerogoti daging buah dan menyebabkan kebusukan. b. Larva Nacolelia octasema Kulit buah yang terserang hama ini menjadi burik-burik seperti kudisan, warnanya abu-abu kecoklatan, menebal, keras, dan pecah-pecah. Pada tingkat serangan yang berat buah menjadi tidak normal pertumbuhannya, yaitu menjadi keriput, kering dan kempes. c. Ngengat dari famili Pyralidae Pada awal serangan terlihat lubang kecil di permukaan buah, semakin lama daerah disekitar lubang ini berubah menjadi coklat. Pada akhirnya, bagian yang coklat ini meluas dan disekitarnya tampak butiran-butiran merah bat yang semakin lama semakin bertambah banyak. d. Cendawan Bagian tanaman yang terserang cendawan akan terlihat bercak-bercak putih keabuan atau kehitaman. Apabila buah yang terserang cendawan maka buah akan menjadi lunak, kecoklatan, berair dan busuk. Buah dengan kondisi seperti ini berpotensi sebagai sumber patogen baru.
2.3 Manfaat Tanaman Belimbing Buah belimbing berpotensi untuk didayagunakan sebagai bahan obat. Salah satu jenis penyakit yang dapat diobati dengan mengkonsumsi buah belimbing adalah tekanan darah tinggi yaitu, dengan cara mengkonsumsi buah
belimbing segar atau meminum sarinya secara teratur Selain dapat menurunkan tekanan darah tinggi belimbing juga berkhasiat sebagai pencuci darah, reumatik, radang dan malaria, hal ini dikarenakan buah belimbing mengandung protein, lemak, kalsium, zat besi, phosphor dan vitamin (Wijayakusuma dan Dalimarta, 2005).
Tabel 7. Komposisi Buah Belimbing Manis per 100 gram Komponen Jumlah Energi 36 Karbohidrat 8,8 Lemak 0,4 Protein 0,4 Vitamin A 170 Vitamin B1 0,03 Vitamin B2 0,07 Vitamin C 35 Kalsium 4 Phospor 12 Besi 1,1 Bagian yang dapat dimakan 86 Kadar air 90
Satuan kal gram gram gram SI mg mg mg mg mg mg Persen persen
Sumber : Departemen Pertanian, 2004
2.4. Analisis Empiris Terhadap Analisis Fungsi Produksi Hasil-hasil penelitian terdahulu yang dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini yaitu penelitian mengenai pendapatan usahatani dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Penelitian mengenai komoditi belimbing varietas Dewa-Dewi dilakukan oleh Angraini (2006). Pada penelitian ini, menjelaskan bahwa pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani dengan sistem penjualan per buah (SPB) lebih kecil dibandingkan dengan sistem penjualan per kilogram (SPK).
Sistem penjualan per buah menghasilkan pendapatan atas biaya tunai pada usahatani belimbing sebesar Rp 9.039.780,00 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 8.121.946,67. Penerimaan pada sistem penjualan per buah sebesar Rp 14.400.000 dengan R/C total sebesar 2,29. Sedangkan dalam sistem penjualan per kilogram (SPK) penerimaan yang didapat sebesar Rp 18.900.000, dengan pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 14.562.780 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 13.644.946,67 serta R/C total sebesar 3,60. Berdasarkan penelitian Farihah (2005), menunjukkan bahwa kegiatan usahatani jamur merang di Kecamatan Cilamaya layak diusahakan oleh petani. Hal ini didasarkan dari nilai rasio R/C atas pengeluaran total yang lebih besar dari satu yaitu 1,08. Besarnya pendapatan atas pengeluaran tunai dalam satu periode produksi sebesar Rp 314.751,10 dan pendapatan atas pengeluaran total dalam usahatani merang ini sebesar Rp 141.723,28. Hasil analisis regresi model fungsi produksi untuk usahatani jamur merang dengan metode kuadrat terkecil diperoleh R-square sebesar 71,1 persen berarti bahwa keragaman produksi mampu diterangkan sebesar 71,1 persen oleh peubah-peubah bebas yang digunakan dalam model. Nilai F-hitung pada model fungsi produksi yang diduga adalah sebesar 11,27 yang menunjukkan bahwa semua faktor produksi yaitu bibit, jerami, dedak halus, kapur, kapas, minyak tanah dan tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap produksi pada selang kepercayaan 99 persen. Berdasarkan pengujian t-hitung pada semua variabel bebas yang digunakan hanya bibit yang berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 99 persen, jerami dan minyak tanah berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95 persen
sedangkan peubah yang lainnya yaitu dedak halus, kapur, kapas dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan 95 persen. Tingkat efisiensi harga faktor-faktor produksi yang dapat dilihat dari rasio NPM dan BKM menunjukkan bahwa penggunaan bibit, jerami, dedak halus, kapur dan kapas belum optimal, sehingga untuk mencapai tingkat keuntungan yang optimal penggunaan faktor produksi tersebut harus ditambahkan. Sedangkan faktor produksi minyak tanah dan tenaga kerja tidak optimal, oleh karena itu penggunaannya harus dikurangi. Penelitian tentang efisiensi harga faktor-faktor produksi dan pendapatan usahatani salak bongkok dilakukan oleh Maya (2006). Pada penelitian ini faktorfaktor produksi yang diduga adalah luas lahan, umur tanaman, pengalaman, tenaga kerja, pupuk kandang dan pupuk urea (dummy). Hasil dugaan diperoleh bahwa nilai F-hitung sebesar 226,15 signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor produksi yang digunakan secara bersama-sama signifikan terhadap produksi. Nilai koefisien R-square sebesar 95,8 persen, hal ini menunjukkan bahwa 95,8 persen dari variasi produksi dijelaskan oleh model yaitu luas lahan, umur tanaman, pengalaman, tenaga kerja, pupuk kandang dan pupuk urea. Nilai uji-t menunjukkan bahwa tidak semua variabel penduga signifikan. Nilai t-hitung untuk variabel umur tanaman, tenaga kerja, dan variabel dummy pupuk urea signifikan pada tingkat kepercayaan 99 persen dan luas lahan signifikan pada tingakat kepercayaan 95 persen, sedangkan variabel pengalaman dan pupuk kandang tidak signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen. Penggunaan faktor-faktor produksi usahatani salak bongkok di Desa Jambu masih
belum mencapai kondisi efisien dan optimal hal ini dilihat dari rasio NPM dan BKM tidak sama dengan satu. Berdasarkan hasil analisis Rugi/Laba, diketahui usahatani salak bongkok sudah menuntungkan untuk masing-masing golongan umur kecuali untuk golongan umur dibawah empat tahun karena pada umur ini tanaman salak belum berproduksi. Golongan umur 10-15 tahun lebih menguntungkan dibandingkan dengan golongan umur tanaman lainnya, hal ini disebabkan produktivitas salak bongkok yang dihasilkan pada golongan umur ini relatif lebih tinggi. Pendapatan atas biaya total per periode produksi diperoleh sebesar Rp. 12.032.800. Berdasarkan penelitian Pasaribu (2006), diketahui bahwa pendapatan usahatani wortel atas biaya tunai dan biaya total per hektar untuk satu musim tanam masing-masing Rp 10.915.225,58 dan Rp 8.450.291,68. R/C rasio atas biaya tunai dan total masing-masing 4,26 dan 2,46. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani wortel yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Tegal layak dan menguntungkan untuk dilaksanakan. Pada penelitian ini, faktor-faktor produksi yang diduga mempengaruhi produktivitas wortel adalah luas lahan, benih, pengalaman, tenaga kerja pria, tenaga kerja wanita, pupuk kandang, pupuk urea, pupuk KCL, dan obat-obatan. Berdasarkan analisis faktor produksi, didapat model produksi dengan R2 dan R2 adjusted masing-masing sebesar 73,7 persen dan 65,9 persen. Pada model tersebut, penggunaan benih dan tenaga kerja pria berpengaruh nyata terhadap produksi wortel pada selang kepercayaan 95 persen. Sedangkan pupuk kandang berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 80 persen.
Penggunaan faktor produksi dalam usahatani wortel belum digunakan secara efisien karena ratio masing-masing faktor tidak sama dengan satu. Rasio NPM-BKM lahan sebesar 1,35 benih sebesar 10,58, pupuk kandang sebesar 33,78, obat cair sebesar -1,11, serta penggunaan tenaga kerja pria dan wanita masing-masing sebesar 3,24 dan -1,27. Efisiensi faktor produksi usahatani padi dipelajari oleh Irawati (2006), penelitian dilakukan terhadap petani program PTT dan petani bukan program PTT di Karawang. Metode analisis yang digunakan adalah fungsi produksi CobbDouglas. Faktor produksi yang digunakan petani program PTT berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani padi pada selang kepercayaan 95 persen. Faktorfaktor produksi tersebut meliputi luas lahan, benih, pupuk urea, pupuk NPK, obat cair dan tenaga kerja. Faktor produksi yang tidak berpengaruh nyata pada selang kepercayaan yang sama adalah pupuk SP-36 dan obat padat. Hasil uji terhadap faktor produksi yang digunakan petani bukan program PTT, diketahui bahwa luas lahan, benih, pupuk NPK dan tenaga kerja berpengaruh nyata sedangkan pupuk SP-36, obat padat dan cair tidak berpengaruh nyata terhadap produksi. Faktor produksi yang digunakan kedua kelompok petani masih belum efisien, hal ini diketahui dari rasio NPM-BKM tidak sama dengan satu. Analisis efisiensi faktor produksi udang tambak di Indonesia dilakukan oleh Nasution pada tahun 2005. Penelitian tersebut dilakukan untuk menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap produksi udang tambak, tingkat efisiensi produksi dan menganalisis nilai total factor productivity usaha budidaya udang tambak. Hipotesis awal penelitian tersebut yaitu : 1) input produksi digunakan
dengan kombinasi yang belum optimal oleh petani tambak di Indonesia dan 2) lahan, benur, tenaga kerja, pestisida dan variabel input lain berbanding lurus dengan produksi yang dihasilkan. Analisis
produksi
digunakan
sebagai
pendekatan
analisis
faktor
determinan produksi udang tambak. Fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan sebagai pendekatan, setiap koefisien regresi yang diperoleh diuji secara statistik baik uji serempak maupun parsial. Efisiensi penggunaan faktor produksi dianalisis dengan pendekatan rasio NPM-BKM. Analisis terhadap total faktor produktivitas lebih rumit karena pendekatan yang digunakan adalah fungsi produksi CobbDouglas restriksi. Restriksi tersebut berarti fungsi produksi berada pada skala pengembalian konstan dimana elastisitas produksi sama dengan satu. Kendala ditemukan dalam pendugaan fungsi produksi, ditemukan adanya multikolinier antar faktor produksi. permasalahan tersebut kemudian diatasi dengan analisis komponen utama. Produksi udang tambak di Indonesia sangat nyata dipengengaruhi oleh luas tambak, tenaga kerja dan pestisida. Produksi tambak dipengaruhi oleh pupuk oranik dan anorganik pada selang kepercayaan 90 persen. Usaha budidaya tambak udang di Indonesia masih dapat dikembangkan karena mempunyai skala pengembalian yang meningkat. Elastisitas produksi sebesar 1,8337 merupakan indikator kondisi tersebut. Efisiensi ekonomi belum dicapai sehingga hipotesis awal diterima. Rasio NPM-BKM usaha budidaya udang tambak belum sesuai kriteria. Total faktor produktivitas sebesar -9,26 persen berarti secara agregat tidak terjadi peningkatan teknologi dalam produksi udang di Indonesia namun sebaliknya terjadi penurunan.
Penelitian tentang pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani ayam ras pedaging dilakukan oleh Murjoko (2004). Penelitian tersebut dipusatkan pada beberapa tujuan penelitian yaitu menganalisis faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi ayam ras pedaging, menganalisis tingkat efisiensi ekonomi penggunaan faktor-faktor produksi usahatani ayam ras pedaing, menentukan kombinasi penggunaan faktor produksi yang optimal dan menganalisis tingkat pendapatan peternak plasma ayam. Sampel responden diambil dengan metode sensus sejumlah 38 orang. Metode analisis yang digunakan terdiri dari analisis pendugaan dan pemilihan model fungsi produksi, dan analisis efisiensi ekonomi pengunaan faktor-faktor produksi. Fungsi produksi dipilih dari tiga model alternatif yaitu model linier berganda, Cobb-Douglas dan translog. Analisis dilanjutkan dengan rasio NPM BKM sehingga diketahui efisiensi ekonomi penggunaan faktor-faktor produksi. pendekatan yang digunakan dalam analisis pendapatan usahatani peternakan adalah analisis rasio R/C dan rasio B/C. Model fungsi produksi yang dipilih adalah model Cobb-Douglas karena dua pertimbangan. Hasil uji kolmogorov-smirnov, model Cobb-Douglas mempunyai nilai P = 0,15, sedangkan model linier berganda mempunyai P = 0,079 yang berarti model Cobb-Douglas lebih bagus. Pertimbangan yang kedua adalah masalah multikolinieritas pada model translog yang tidak dapat diatasi dengan modifikasi variabel. Model Cobb-Douglas tersebut mempunyai R2 sebesar 99,4 persen dan secara statistik faktor-faktor produksi secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi.
Produksi ayam ras pedaging yang diteliti dipengaruhi oleh bibit DOC, pakan starter, pakan finisher, tenaga kerja dan obat (vaksin-vitamin). Faktorfaktor produksi tersebut secara statistik berpengaruh nyata terhadap produksi pada selang kepercayaan 99 persen. Faktor produksi pemanas gasolec dan mortalitas tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi ayam ras pedaging. Peubah bebas dalam model berada pada daerah rasional, ditunjukkan dengan nilai koefisien regresi bernilai positif dan lebih rendah dari satu. Efisiensi ekonomi produksi diperlukan agar keuntungan maksimum dapat dicapai. Hasil analisis efisiensi ekonomi sesuai dengan hipotesis awal dengan indikasi rasio NPM-BKM tidak sama dengan satu pada beberapa faktor produksi. Faktor produksi pakan starter, pakan finisher dan tenaga kerja secara statistik belum efisien. Tingkat penggunaan harus ditingkatkan menjadi 7.129 kg pakan starter, 10.570 kilogram pakan finisher dan 704,55 HOK tenaga kerja. Perubahan tersebut berdampak pada perbedaan pendapatan aktual dan optimal. Pendapatan bersih pada kondisi aktual sebesar Rp 6.067.386, rasio R/C sebesar 1,1 dan rasio B/C sebesar 0,1. Pendapatan bersih pada kondisi optimal mengalami peningkatan menjadi Rp 21.785.728, dengan rasio R/C sebesar 1,346 dan rasio B/C sebesar 0,346. Penelitian yang berkaitan dengan pendapatan, produksi dan efisiensi ekonomi telah banyak dilakukan sebelumnya. Pada Tabel 8, tertera beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu tersebut yaitu pada jenis usahatani dan waktu dilakukannya penelitian. Hasil dari setiap penelitian pada umumnya bervariasi, namun terdapat persamaan yaitu dari metode yang
digunakan. Hasil yang ingin dicapai dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan, produksi dan efisiensi produksi. Kesamaan yang lain adalah jenis data yang digunakan yaitu data cross section pada waktu tertentu.
Tabel 8. Ringkasan Penelitian Terdahulu yang digunakan Sebagai Acuan Penulis Topik Tahun Alat analisis Murjoko Analisis pendapatan dan 2004 Rasio R/C dan fungsi efisiensi faktor produksi produksi Cobb-Douglas Farihah. I Analisis pendapatan dan 2005 Rasio R/C dan fungsi efisiensi faktor produksi produksi Cobb-Douglas Nasution Analisis efisiensi faktor 2005 fungsi produksi Cobbproduksi Douglas Irawati. N Analisis pendapatan dan 2006 Rasio R/C dan fungsi efisiensi faktor produksi produksi Cobb-Douglas Angraini. H Analisis pendapatan dan 2006 Rasio R/C tataniaga Maya. D Analisis pendapatan dan 2006 Rasio R/C dan fungsi efisiensi faktor produksi produksi Cobb-Douglas Pasaribu. P Analisis pendapatan dan 2006 Rasio R/C dan fungsi efisiensi faktor produksi produksi Cobb-Douglas
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Usahatani Usahatani oleh Rifai dalam Hernanto (1989) didefinisikan sebagai organisasi dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang-orang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa usahatani terdiri atas manusia petani (bersama keluarganya), tanah (beserta fasilitasnya yang diatasnya seperti bangunan-bangunan, saluran air) dan tanaman ataupun hewan/ternak. Usahatani merupakan subsistem dalam sistem agribisnis yang merupakan kegiatan pokok yang selanjutnya memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) dengan subsistem selanjutnya yaitu agroindustri dan pemasaran. Soekartawi (2002), mengemukakan bahwa ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Ukuran dan jenis usahatani berkisar dari sebidang kecil usahatani dengan luas areal kurang dari satu hektar sampai dengan perusahaan pertanian yang meliputi semua lahan dari beberapa desa. Kegiatan usahatani dilaksanakan oleh seorang penggarap atau pemilik, seorang manajer yang dibayar sebuah perusahaan, atau seorang pemilik yang tinggal jauh dari lahan yang dimilikinya Soekartawi (2002). Menurut Hernanto (1989), keberhasilan suatu usahatani tidak terlepas dari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Pertama adalah faktor di dalam usahatani (intern) itu sendiri yang meliputi petani pengelola, tanah usahatani,
tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petani mengalokasikan penerimaan keluarga dan jumlah keluarga keluarga petani. Kedua faktor diluar (ekstern) yang meliputi ketersediaan sarana angkutan dan komunikasi, aspekaspek yang menyangkut pemasaran hasil dan input usahatani, fasilitas kredit dan penyuluhan bagi petani. Analisa usaha dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan pengelola secara menyeluruh. Ini berarti meliputi kekayaan keluarga yang dapat dinilai dan sebagai jaminan atau agunan bank serta usahanya. Informasi ini penting bagi pengelola dalam kedudukannya yang berkaitan dengan kredit, pajak-pajak usaha dan kekayaan (Hernanto 1989).
3.1.2. Penerimaan dan Biaya Usahatani Analisa usahatani yang dilakukan harus mengetahui besarnya biaya yang dikeluarkan dan nilai produksi yang akan dicapai selama umur proyek, yang keduanya dapat dihitung keuntungan dari usahatani tersebut. Meskipun berada pada kondisi usahatani yang belum efesien, namun kenyatannya petani merasakan bahwa usahatani itu tetap menguntungkan, sehingga masih banyak diusahakan oleh mereka. Penerimaan usahatani merupakan hasil kali antara jumlah output yang dihasilkan dengan harga output. Sedangkan biaya adalah semua pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk dalam suatu periode produksi (Hernanto, 1989). Biaya dapat dibedakan atas : 1). Biaya tunai, meliputi biaya tetap misalnya pajak tanah, dan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit, obat-obatan dan biaya untuk tenaga kerja luar keluarga.
2). Biaya tidak tunai, meliputi biaya tetap misalnya biaya penyusutan alat-alat dan bangunan pertanian serta sewa lahan milik sendiri. Sedangkan untuk biaya variabel meliputi biaya tenaga kerja dalam keluarga. Menurut Soekartawi (2002), biaya usahatani dapat berbentuk biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dibayar dengan uang seperti biaya pembelian sarana produksi, biaya pembelian bibit, pupuk dan obat-obatan serta biaya upah tenaga kerja. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani, modal dan nilai kerja keluarga. Tenaga kerja keluarga dinilai berdasarkan upah yang berlaku. Biaya penyusutan alat-alat pertanian dan sewa lahan milik sendiri termasuk biaya diperhitungkan. Biaya atau pengeluaran mencakup juga penurunan inventaris usahatani. Nilai inventaris berkurang karena hilang, rusak atau karena penyusutan.
3.1.3. Analisis Pendapatan Usahatani Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua komponen pokok yaitu penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Kegunaan analisis ini adalah untuk menggambarkan keadaan sekarang dari perencanaan atau tindakan (Soeharjo dan Patong, 1973). Soeharjo dan Patong (1973), mendefinisikan pendapatan sebagai balas jasa dan kerjasama faktor-faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan. Sedangkan secara harfiah pendapatan dapat didefinisikan sebagai sisa dari pengurangan nilai penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk mengukur keberhasilan usahatani bisa dilakukan dengan melakukan analisis pendapatan usahatani. Penggunaaan dari analisis usahatani dapat
diketahui gambaran keadaan usahatani sekarang sehingga dapat melakukan evaluasi dengan perencanaan kegaiatan usahatani pada masa yang akan datang. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), dalam analisa pendapatan ada beberapa ukuran pendapatan yang dipakai yaitu : a). Pendapatan Kerja Petani Pendapatan ini diperoleh dengan menghitung semua penerimaan baik yang berasal dari penjualan, yang dikonsumsi keluarga maupun kenaikan inventaris. Pendapatan tersebut kemudian dikurangi dengan semua pengeluaran, baik yang tunai maupun yang diperhitungkan, termasuk bunga modal dan nilai kerja keluarga. Bunga modal disertakan karena dianggap bunga modal itu diperoleh petani dengan jalan meminjam atau karena untuk modal itu tersedia beberapa alternatif penggunaan. Angka pendapatan kerja petani umumnya kecil, bahkan bisa negatif. Apabila tidak disertakan, maka lebih besar atau positif. b). Penghasilan Kerja Petani Angka ini diperoleh dari menambah pendapatan kerja petani dengan penerimaan tidak tunai. Tanaman, ternak dan hasil ternak yang dikonsumsi keluarga adalah penerimaan tidak tunai. c). Pendapatan Kerja Keluarga Pendapatan ini merupakan balas jasa dari kerja dan pengelolaan petani dan anggota keluarganya. Apabila usahatani dilaksanakan oleh petani dan keluarganya maka ukuran inilah yang terbaik untuk mengetahui berhasilnya kegiatan usaha. Pendapatan kerja keluarga diperoleh dari menambah penghasilan kerja petani dengan nilai kerja keluarga.
d). Pendapatan Keluarga Angka ini diperoleh dengan menghitung pendapatan dari sumber-sumber lain yang diterima petani bersama keluarganya di samping kegiatan pokoknya. Cara ini dipakai apabila petani tidak membedakan sumber-sumber pendapatannya untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), menyatakan bahwa pendapatan yang besar tidak selalu menunjukan efisiensi. Salah satu ukuran efisiensi adalah penerimaan untuk rupiah yang dikeluarkan (Revenue Cost Ratio atau R/C Ratio). Analisis R/C ratio digunakan untuk mengetahui keuntungan relatif usahatani berdasarkan keuntungan finansial. R/C ratio menunjukan besarnya penerimaan yang diperoleh dengan pengeluaran dalam satu satuan biaya. Apabila nilai R/C > 1, berarti penerimaan yang diperoleh lebih besar dari unit biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan tersebut. Sedangkan nilai R/C > 1, menunjukkan bahwa tiap input biaya yang dikeluarkan akan lebih dari penerimaan yang diperoleh. Keberhasilan usahatani tidak saja dilihat berdasarkan dari sisi pendapatan maupun efisiensi usaha (R/C rasio). Terlebih lagi adanya kendala berupa modal menyebabkan petani berusaha bagaiman meningkatkan keuntungan dengan kendala modal tersebut. Faktor produksi merupakan hal yang harus diperhatikan oleh petani untuk mendapatkan keuntungan yang optimal. Suatu tindakan yang dapat dilakukan adalah bagaimana memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan istilah meminimumkan harga (cost minimization).
Untuk memahami pendekatan di atas, maka petani harus memahami konsep hubungan antara input dan output. Konsep hubungan input dengan output dapat dipelajari melalui fungsi produksi.
3.1.4. Analisis Fungsi Produksi Fungsi produksi adalah suatu fungsi yang menunjukkan hubungan fisik antara hasil produk fisik (output) dengan faktor-faktor produksi (input) tertentu pada tingkat teknologi tertentu. Fungsi produksi dalam bentuk matematika sederhana dapat dinyatakan sebagai berikut : Y = f (X1, X2, X3,.......Xn)................................ (1) dimana :
Y Xn f
= jumlah produksi yang dihasilkan = faktor produksi yang digunakan = fungsi hubungan antara faktor produksi dan hasil
Menurut Soekartawi (1990), beberapa model fungsi produksi yang dikenal antara lain model linier, kuadratik, Cobb-Douglas dan Transendental. Model linier berganda dan model Cobb-Douglas merupakan model yang paling sederhana serta mudah dianalisis (Soekartawi, 1990). Fungsi produksi linier menyatakan hubungan yang bersifat linier antara peubah bebas dan peubah tidak bebas. Model ini merupakan model yang paling sederhana, tetapi belum tentu merupakan model yang terbaik. Model ini memodelkan produksi yang bertambah atau berkurang secara linier jika faktor produksi diubah. Nilai elastisitas pada model ini selalu berubah sesuai dengan besarnya faktor produksi yang digunakan dan produksi yang diperoleh (Soekartawi, 1990).
1).
Fungsi Produksi Linier Berganda Rumus matematik dari fungsi produksi linier berganda dapat dituliskan sebagai berikut : Y = b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X4 + ................+ bn Xn + U…………(2)
dimana :
2).
Y b0 b1 X U
= Peubah bebas = Konstanta/intersep = Koefisien regresi dari peubah bebas, dimana i = 1,2,3,...n = Peubah bebas, dimana, i = 1,2,3,...n = Unsur sisaan (galat)
Fungsi Produksi Cobb-Douglas Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah fungsi produksi yang umum
digunakan, parameter-parameter yang diperoleh dari model ini merupakan elastisitas produksi bagi setiap faktor produksi yang masuk dalam model dengan nilai elastisitas setiap faktor produksi dalam model ini dianggap tetap. Model ini hanya mampu menerangkan proses produksi pada fase diminishing return, yaitu fase produksi pada saat tambahan produksi yang dihasilkan sebagai akibat adanya tambahan faktor produksi, meningkat dengan peningkatan yang makin lama makin berkurang. Bentuk umum model fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut : Y = b0 X 1b1 X2b2 X3b3...Xnbn еu………………….(3) dimana :
Y a bi Xi U i е
= Jumlah produksi yang diduga = Intersep = Parameter penduga variabel ke-i dan merupakan elastisitas = Faktor produksi yang digunakan = Kesalahan pengganggu = 1, 2, 3,........., n = bilangan natural (2,718)
Pemilihan model ini didasarkan pada pertimbangan adanya kelebihan fungsi produksi ini, antara lain :
a). Koefisien pangkat dari masing-masing fungsi produksi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan besarnya elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadap output. b). Sekaligus merupakan pendugaan terhadap keadaan skala usaha dari proses produksi yang berlangsung. c). Mengurangi terjadinya heterokedastisitas. Hal ini karena bentuk linier dari fungsi Cobb-Douglas ditransformasikan dalam bentuk log e (ln), dalam bentuk tersebut variasi data menjadi sangat kecil. d). Perhitungannya sederhana karena dapat dimanipulasi ke dalam persamaan linier. e). Bentuk fungsi Cobb-Douglas paling banyak digunakan dalam penelitian, khususnya penelitian bidang pertanian. Estimasi koefisien regresi dilakukan dengan metode OLS. Asumsi-asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut (Nachrowi dan Usman, 2006) : 1). E(ui) = 0 atau E(ui | xi) = 0 atau E(Yi) = β1+ β2 Xi ui menyatakan variabel-variabel lain yang mempengaruhi Yi akan tetapi tidak terwakili dalam model. Asumsinya pengaruh ui terhadap Yi diabaikan 2). Cov (ui , uj)= 0, i≠j. Asumsi tersebut berarti tidak ada korelasi antara ui dan uj. 3). Var (ui) = σ2, atau homoskedastisitas yaitu besar varian ui sama untuk setiap i. 4). Kovarian antara ui dan Xi nol atau cov (ui , Xi) = 0. asumsi tersebut berarti tidak ada korelasi antara ui dan Xi. 5). Multikolinier tidak ada, yang berarti tidak ada hubungan linier yang nyata antara variabel-variabel yang menjelaskan (Xi).
Pemilihan model fungsi produksi yang baik dan benar hendaknya fungsi tersebut memenuhi tiga syarat sebagai berikut (Soekartawi, 2002) : 1). Mempunyai dasar yang logis secara fisik maupun ekonomi. 2). Mudah dalam melakukan analisis. 3). Mempunyai implikasi ekonomi.
3.1.5. Skala Usaha Untuk melihat perubahan produk yang dihasilkan dan yang disebabkan oleh penggunaan faktor produksi dapat dinyatakan dengan elastisitas produksi. Elastisitas produksi adalah persentase perubahan output sebagai akibat persentase perubahan input (Soekartawi, 1990). Persamaan elastisitas produksi dapat dirumuskan sebagai berikut : Ep = ∂Y/Y ∂Xi/Xi dimana : Ep ∂Y ∂Xi Y Xi
= ∂Y ∂Xi
*
Xi Y
=
PM
.................................................(4)
PR
= Elastisitas produksi = Perubahan hasil produksi = Perubahan faktor produksi ke-i, dimana i = 1,2,3,...,n = Hasil produksi = Faktor produksi ke-i, dimana i = 1,2,3,...,n
Berdasarkan nilai elastisitas produksi, fungsi produksi dibagi menjadi tiga daerah yaitu daerah dengan elastisitas produksi yang lebih besar dari satu (daerah I), antara nol dan satu (daerah II), dan lebih kecil dari nol (daerah III), dapat dilihat pada Gambar 1. Pembagian daerah produksi berdasarkan elastisitas produksi dibedakan atas tiga daerah, yaitu :
1).
Daerah I nilai elastisitas produksi adalah lebih besar dari satu sehingga setiap penambahan faktor prouksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penambahan produksi lebih tinggi sebesar satu persen. Pada daerah ini prouksi masih dapat ditingkatkan dengan cara pemakaian jumlah input yang lebih besar dari keuntungan maksimum belum tercapai, oleh sebab itu daerah I disebut Daerah Irrasional (Irraational Region atau Irrational Stage of Production).
2).
Pada daerah II nilai elastisitas produksi terletak antara nol dan satu sehingga penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan mengakibatkan penambahan produksi paling tinggi sebesar satu persen dan paling rendah sebesar nol persen. Daerah ini dicirikan dengan penambahan hasil produksi yang peningkatannya semakin menurun. Pada daerah ini dicapai keuntungan maksimum dengan tingkat penggunaan faktor produksi tertentu, oleh karena itu daerah ini disebut Daerah Rasional (Rational Region atau rational Stage of Production)
3).
Pada daerah III nilai elastisitas produksinya bernilai lebih kecil dari nol sehingga setiap penambahan faktor produksinya sebesar satu persen akan mengakibatkan penurunan produksi sebesar nilai elastisitasnya. Penggunaan faktor produksi pada daerah ini sudah tidak efesien lagi sehingga daerah ini juga disebut sebagai Daerah Irrational (Irrational Region atau Irrational Stage of Production). Hubungan fisik antara faktor produksi dengan produksi dapat digambarkan
dalam proses produksi seperti pada Gambar 1. Menurut Soekartawi (1990), skala usaha merupakan penjumlahan dari semua elastisitas faktor-faktor produksi. Skala
usaha dibagi menjadi tiga bagian yaitu increasing return to scale, constant return to scale dan decreasing return to scale.
Y
C B
TP
A III
II
I
X A Ep>1
B
C Ep<1
MP
AP X
Gambar 1. Kurva Fungsi Produksi (Soekartawi, 1990). Keterangan : TP MP AP Y X Ep
= Total Produksi = Marginal Product (Produksi Marjinal) = Average Product (Produksi Rata-rata) = Output = Input = Elastisitas produksi
Berikut ini interpretasi dari masing-masing skala usaha berdasarkan gambar diatas : 1).
Kenaikan hasil yang semakin meningkat (Increasing return to scale), pada daerah ini ∑ Ep > 1. Hal ini berarti proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan prouksi yang proporsinya lebih besar.
2).
Kenaikan hasil yang tetap (Constant return to scale), pada daerah ini ∑ Ep = 1. Hal ini berarti proporsi penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh.
3).
Kenaikan hasil yang menurun (Decreasing return to scale), pada daerah ini ∑ Ep > 1. Hal ini berarti proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi.
3.1.6. Efisiensi Ekonomi Penggunaan Faktor Produksi Prinsip efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi adalah bagaimana menggunakan faktor produksi seefisien mungkin. Menurut Teken dan Asnawi (1977), dalam produksi terdapat dua macam ukuran efesiensi, yaitu efisiensi teknis dan efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis tercapai apabila pada saat produk rata-rata mencapai maksimum. Sedangkan usahatani akan mencapai efisiensi ekonomis jika tercapai pada saat penggunaan faktor-faktor produksi sudah dapat menghasilkan keuntungan maksimum. Menurut Soekartawi (2002), konsep efisiensi mengandung tiga pengertian, yaitu efisiensi teknis, efisiensi harga (alokatif) dan efesiensi ekonomi. Efisiensi teknis merupakan konsep efisiensi yang menyatakan produk maksimal yang dapat diperoleh dengan penggunaan kombinasi masukan tertentu dalam fungsi produksi. Sedangkan efisiensi harga merupakan konsep efisiensi yang menghasilkan nilai produk marjinal sama dengan oppurtunitas dari masukan. Efisiensi teknis dan efisiensi harga merupakan komponen dari efisiensi ekonomi. Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai keuntungan maksimum yaitu syarat keharusan (neccesary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition). Syarat keharusan (neccesary condition) bagi penentuan efisensi dan tingkat produksi optimum adalah hubungan fisik antara faktor produksi dengan produksi harus diketahui. Pada analisis fungsi produksi syarat ini dipenuhi jika produsen berproduksi pada daerah II yaitu pada saat elastisitas
produksinya bernilai nol dan satu (0 < Ep < 1). Pada tingkat tertentu penggunaan faktor-faktor produksi di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum. Syarat kecukupan (sufficient condition), untuk mencapai efisiensi tingkat tertinggi atau tingkat produksi optimal adalah nilai produk marjinal (NMP) sama dengan biaya korbanan marjinal (BKM). Tercapainya tingkat produksi yang optimum dimana tercapai efisiensi ekonomis, maka perlu memasukan variabel harga yaitu harga faktor produksi dan harga produksi (Teken dan Asnawi, 1977). Bila jumlah produksi yang dihasilkan Y, sedangkan Py adalah harga satuan dari produk tersebut dan Xi adalah jumlah faktor produksi yang digunakan dengan harga per satuan adalah Pxi, maka keuntungan yang diperoleh usahatani adalah selisih antara nilai produksi yang dihasilkan dengan nilai produksi yang digunakan. Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : π = Py . Y – { Pxi . Xi + BTT }.............................(5) dimana : π Py Y Pxi Xi BTT
= Pendapatan usahatani = Harga per unit produksi = Hasil produksi = Harga pembelian faktor produksi ke-i = Jumlah faktor produksi ke-i yang digunakan = Biaya tetap tunai
Keuntungan maksimum tercapai apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan bernilai nol, secara matematik dapat dituliskan dalam persamaan sebagai berikut : ∂π / ∂xi = Py . ∂Y/∂xi – Pxi = 0 Py . ∂y/∂xi = Pxi Py . Pmxi = Pxi NPMxi = Pxi...........................................................(6) dimana : Py Pxi Pmxi NPMxi
= Harga produk = Harga faktor produksi ke i = (BKMxi) = Produk marjinal faktor produksi ke-i = Nilai produk marjinal faktor produksi ke-i
Apabila penggunaan faktor produksi tidak dipengaruhi oleh jumlah pembelian faktor produksi, persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut : NPM = BKM NPM / BKM = 1 Sedangkan untuk penggunaan lebih dari satu faktor produksi, maka keuntungan maksimum dapat tercapai apabila : NPMxi/BKMxi = NPMx2/BKMx2 = .....= NPMxn/BKMxn......(7) Menurut Teken dan Asnawi (1977), keuntungan yang diperoleh dari kombinasi faktor produksi optimum selalu merupakan kombinasi faktor-faktor produksi dengan biaya minimum, tetapi kombinasi faktor-faktor produksi dengan biaya minimum tidak selalu menghasilkan keuntungan maksimum.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian sebagai akibat dari meningkatnya jumlah penduduk dan pemukiman di Kota Depok, menyebabkan pengembangan belimbing Dewa-Dewi di Kota Depok tidak lagi bersifat ekstensifikasi tetapi lebih difokuskan pada pola intensifikasi. Pola intensifikasi ini lebih menekankan pada perbaikan teknis produksi berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Good Agriculture Practices (GAP). Alasan lain yang menyebabkan dibuatnya program usahatani berdasarkan SOP dan GAP adalah untuk membantu para petani dalam meningkatkan hasil produksi dan kualitas produk yang dihasilkan. Selain itu, penerapan SOP memungkinkan adanya perbaikan manajemen produksi, pengelolaan proses produksi dan hasil produksi. Dengan begitu, diharapkan mampu meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya para petani belimbing Dewa-Dewi. Tehnik budidaya belimbing berdasarkan SOP, memungkinkan adanya ketentuan penggunaan faktor-faktor produksi pada kegiaatan budidaya belimbing. Faktor-faktor produksi dalam usahatani belimbing yang menjadi ketentuan SOP adalah dosis pemupukan, penyemprotan pestisida dan teknis budidaya lainnya. Pengaturan dan ketentuan penggunaan faktor-faktor produksi tersebut, menyebabkan terjadinya perbedaan biaya input usahatani antara petani yang menerapkan SOP dan petani non SOP. Terlebih lagi dengan semakin mahalnya biaya input produksi pupuk dan insektisida, menyebabkan biaya input semakin tinggi. Pada budidaya belimbing SOP yang mengharuskan menggunakan input lebih banyak serta semakin tingginya biaya input yang harus dikeluarkan, diduga dapat menyebabkan semakin menurunnya pendapatan yang akan diterima petani. Terlebih lagi dengan belum adanya jaminan akan kualitas dan kuantitas yang akan dihasilkan nantinya. Tingginya biaya produksi, menjadi kendala bagi para petani belimbing yang memiliki modal terbatas dalam menerapkan tehnik budidaya SOP. Hal ini menyebabkan para petani tidak mau menerapkan budidaya berdasarkan SOP dan memilih untuk kembali beralih menerapkan teknik tradisional (non SOP) yang selama ini mereka terapkan. Sehingga pada saat sekarang, pengelolaan tanaman belimbing Dewa-Dewi di Kota Depok terbagi menjadi dua, ada yang masih bersifat tradisional (non SOP) dan ada yang sudah menerapkan SOP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar tingkat pendapatan dari usahatani belimbing petani SOP dan petani non SOP. Selain itu penelitian ini juga untuk menganalisis efisiensi penggunaan input yang digunakan oleh masing-masing petani. Identifikasi biaya dan penerimaan diperlukan dalam analisis pendapatan usahatani dari kedua jenis petani tersebut. Identifikasi biaya dilakukan agar biayabiaya produksi yang dikeluarkan dalam usahatani dapat diketahui. Harga jual juga diperlukan karena merupakan komponen penerimaan dari kegiatan usahatani. Keuntungan diperoleh dari total penerimaan dikurang biaya yang dikeluarkan. Penerimaan yang diterima untuk setiap satuan unit biaya yang dikeluarkan dapat dihitung dengan pendekatan rasio R/C. Usahatani yang dilakukan menguntungkan jika rasio tersebut lebih besar dari satu. Usahatani belimbing merupakan suatu proses produksi, sehingga suatu keluaran (output) dihasilkan dari beberapa masukan (input) yang digunakan dalam proses tersebut. Analisis terhadap produksi belimbing dapat didekati dengan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas. Hubungan antara produksi dan faktor produksi yang digunakan dapat dianalisis sebagai hubungan sebab akibat. Hubungan sebab akibat dapat didekati dengan analisis regresi, kemudian hubungan kausal tersebut diuji secara statistik. Faktor produksi yang digunakan dalam produksi usahatani belimbing petani SOP dan petani non SOP yaitu: pupuk NPK, pupuk kandang, insektisida Curacon, insektisida Decis, pupuk Gandasil dan tenaga kerja. Hipotesis awal diduga yaitu semua masukan produksi yang digunakan petani SOP maupun petani non SOP berpengaruh nyata terhadap produksi usahatani belimbing di lokasi
penelitian. Analisis fungsi produksi Cobb-Douglas dan uji statistik digunakan sebagai metode untuk melihat kebenaran dari hipotesis tersebut. Fungsi produksi menurut teori produksi klasik dapat dibedakan menjadi tiga daerah yaitu daerah I, II dan III. Keputusan produksi pada daerah I secara ekonomi tidak rasional, karena efisiensi masukan produksi masih dapat ditingkatkan. Produksi pada daerah II merupakan area yang relevan dengan teori ekonomi karena berlaku hukum pengembalian yang semakin berkurang (law of diminishing returns) (Soekartawi, 1990). Hukum pengembalian yang semakin berkurang berlaku jika elastisitas produksi bernilai positif dan kurang dari satu atau 0 < Ep < 1. Elastisitas produksi antara daerah I, II dan III berbeda. Elastisitas tersebut dapat digunakan untuk mengetahui return to scale. Return to scale produksi usahatani belimbing dari masing-masing petani di lokasi penelitian belum diketahui dengan pasti. Produktivitas tinggi mungkin dapat dicapai dengan tingkat penggunaan faktor produksi yang lebih tinggi. Hal ini berarti biaya produksi yang diperlukan juga lebih tinggi sementara petani pada umumnya mempunyai keterbatasan modal. Pendekatan yang lebih sesuai bagi petani mungkin adalah bagaimana agar keuntungan dapat dimaksimumkan. Keuntungan maksimum diperoleh ketika proses produksi sudah dilakukan secara efisien. Efisiensi usahatani dapat didekati dengan efisiensi pendapatan, efisiensi harga, efisiensi teknik dan ekonomi skala usaha. Efisiensi produksi cabang usahatani dapat dianalisis dengan pendekatan efisiensi harga atau allocative efficiency. Hasil dari analisis diatas, bertujuan untuk mengetahui keadaan usahatani belimbing petani SOP maupun petani non SOP yang dilihat dari pendapatan dan
efesiensinya. Selain itu, hasil analisis ini diharapkan dapat menjadi masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Depok khususnya Dinas pertanian dalam menentukan kebijakan yang akan diambil untuk pengembangan usahatani belimbing Dewa-Dewi. Alur kerangka pemikiran penelitian ini secara lebih jelas telah tersusun secara sistematis pada Gambar 2.
Adanya Program Penerapan SOP Pada Usahatani Belimbing Varietas Dewa-Dewi di Kota Depok
Penerapan SOP diharapkan dapat meningkatkan mutu dan produksi belimbing Dewa-Dewi
Konsekuensi penerapan SOP : • Input semakin banyak • Biaya produksi semakin tinggi
Perbandingan antara petani SOP dan Non SOP
Petani SOP
Faktor Alam
Petani Non SOP
Produksi Hasil Produksi
Analisis Produksi Pendugaan Fungsi Produksi Cobb-Douglas
Elastisitas Produksi Parsial Efisiensi Harga (Allocative efficienc)
Elastisitas Produksi
• • • • •
Faktor Produksi :
Pupuk NPK Pupuk Kandang Insektisida Curacon Insektisida Decis Pupuk Gandasil • Tenaga Kerja Analisis Pendapatan Usahatani Rasio R/C
Return To Scale
Perbandingan Tingkat Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan I t
Gambar 2. Kerangka Operasional Penelitian.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan April 2008 dan dilaksanakan di enam kecamatan yaitu Kecamatan Sawangan, Pancoran Mas, Sukmajaya, Cimanggis, Limo dan Kecamatan Beji, Kota Depok. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) karena petani yang menerapkan SOP jumlahnya sangat sedikit dan tersebar di enam kecamatan yang ada di Kota Depok.
4.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif dan data kualitatif. Berdasarkan sumber datanya, data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari wawancara langsung dengan pembudidaya tanaman belimbing dan sumber lain dengan pengisian kuisioner sebagai alat wawancara. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik pembudidaya tanaman belimbing seperti umur, tingkat pendidikan dan pengalaman usaha. Keadaan usaha, seperti luas lahan, teknik budidaya, input yang digunakan, pemasaran, peralatan yang dimiliki dan produksi yang dihasilkan. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait seperti Dinas pertanian Kota Depok, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Depok, data monografi kecamatan yang menjadi lokasi penelitian. Selain itu juga didapatkan dari beberapa literatur,
baik dari website internet maupun literatur di perpustakaan yang berupa hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian ini.
4.3. Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan dua metode yaitu secara sensus dan snowballing sampling. Metode sensus digunakan untuk petani yang menerapkan SOP, hal ini dikarenakan jumlah petani yang masih sedikit yaitu 33 orang dan tersebar pada enam kecamatan di Kota Depok. Metode snowballing sampling digunakan untuk mengambil sampel pada petani yang tidak menerapkan SOP (non SOP). Jumlah responden untuk petani non SOP diambil sebanyak 35 orang petani yang ada di enam kecamatan. Banyaknya jumlah responden dari masing-masing kecamatan ditentukan berdasarkan luas kepemilikan lahan yang digunakan untuk usahatani belimbing. Pengambilan sampel responden petani non SOP direncanakan akan diambil secara acak dari populasi. Kendala di lapangan yang dihadapi adalah data spesifik tentang petani belimbing Non SOP di Kota Depok tidak diperoleh, sehingga pengambilan secara acak tidak dapat dilakukan. Responden petani belimbing non SOP diperoleh berdasarkan informasi dari satu responden ke responden yang lain secara bergulir. Mengingat pembudidaya tanaman belimbing umumnya tidak memiliki catatan (data tertulis) mengenai kegiatan usahanya, maka pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung pada petani. Supaya mendapatkan hasil yang baik dan terarah, wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu sebelum ke lapang.
4.4. Metode Analisis Data Data yang diperolah akan diolah dan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif dikemukakan secara deskriptif dalam bentuk uraian dibantu dengan gambar dan tabel untuk mempermudah dalam menganalisis data. Sementara data kuantitatif diolah dengan menggunakan alat bantu kalkulator, MS Excel 2003 dan program MINITAB versi 14 for windows yang bertujuan uintuk menganalisis pendapatan petani, analisis R/C ratio dan analisis efisiensi. Tahap analisis data yang digunakan adalah dengan transfer data, pengeditan serta pengolahan data dengan menggunakan program Microsoft Excel dan MINITAB.
4.4.1 Analisis Fungsi Produksi Pendugaan besarnya produksi usahatani belimbing digunakan analisis fungsi Cobb-Douglas. Model dari fungsi Cobb-Douglas untuk usahatani belimbing yang menerapkan tehnik budidaya belimbing berdasarkan SOP maupun non SOP adalah : Y = a X 1b1 X2b2 X3b3...Xnbn еu………………...(8) Agar memudahkan dalam penyelesaian dari rumus di atas, maka persamaan tersebut diubah dalam bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut sehingga : Ln Y = ln a + b1 ln X1+ b2 ln X1 +....+ b6 ln X6 + u…….(9) dimana : Y
= Produksi belimbing (Kg)
X1
= Pupuk NPK (Kg)
X2
= Pupuk Kandang (Kg)
X3
= Insektisida Decis (ml)
X4
= Insektisida Curacon(ml)
X5
= Pupuk Gandasil (gram)
X6
= Tenaga kerja (HOK)
a
= Intersep
b
= Slop atau kemiringan garis
u
= Kesalahan (disturbance term)
e
= Logaritma baturnal, e = 2,718 Metode penduga ditentukan dengan metode kuadrat terkecil (OLS),
sehingga ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi. Kelayakan model diuji berdasarkan asumsi OLS yaitu multikolinier, homoskedastis dan normalitas error. Kesesuaian model penduga dengan dengan data yang digunakan (goodness of fit) diuji berdasarkan koefisien determinasi dan siknifikansi parameter penduga secara serempak. Uji nyata parameter penduga secara serempak dilakukan dengan pendekatan analisis ragam (analysis of variance). Hipotesis awal dalam uji tersebut yaitu parameter penduga dalam model secara serempak sama dengan nol. Analisis ragam tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. H0 ditolak berarti secara serempak parameter penduga dalam model berpengaruh nyata terhadap keragaman produksi pada tingkat kepercayaan α, dan sebaliknya jika H0 tidak ditolak. Koefisien determinasi yang digunakan dalam uji kelayakan model (goodness of fit) merupakan ukuran berapa keragaman produksi dapat diterangkan oleh variabel penjelas yang telah dipilih.
Tabel 9. Analisis Ragam Terhadap Model Penduga Fungsi Produksi Hipotesis Ho:b = b2 = b3 = b4 = b5 = b6 = 0 H1:b1≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ b5 ≠ b6 ≠ 0
Uji Statistik F =
{JKS/(k - 1)} {(JKR)/(n - k)}
Kriteria uji F hitung > F α(k–1, n–k), maka tolak Ho F hitung < F α(k–1, n– k), maka terima Ho
Keterangan : JKS = jumlah kuadrat sisaan ; JKR = Jumlah kuadrat regresi ; n = Jumlah data ; k = Jumlah parameter penduga
Koefisien determinasi mempunyai keterkaitan erat dengan nilai F pada analisis ragam. Uji statistik F selain digunakan untuk menguji siknifikansi parameter penduga secara serempak juga merupakan uji siknifikansi koefisien derminasi. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut : ⎛ σe 2 JKR ⎜ i 2 R = = 1− ⎜⎜ 2 JKT ⎝ σYi
⎞ ⎟ ............................................(10) ⎟⎟ ⎠
Keterangan : σei2= Jumlah kuadrat unsur sisa, σYi2= Jumlah kuadrat total Keterkaitan antara koefisien determinasi dengan uji F dapat dirumuskan sebagai berikut : F = =
JKS (n - k ) JKR (n − 1)
(n - k ) ( JKT − JKS n − 1) JKS
JKT (n - k ) JKT − JKS (n − 1) JKT R 2 (n - k )
JKS
=
=
1 − R 2 (n − 1)
……………………….(11)
Selain uji statistik F, ketepatan suatu model dapat diketahui dengan melakukan pengujian terhadap model dengan menggunakan alat analisis uji
statistik t. Uji ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar masing-masing faktor produksi (Xi) mempengaruhi produksi (Y), prosedur pengujiannya adalah : Ho : bi = 0 (tidak ada pengaruh) ; Hi : bi ≠ 0 (ada pengaruh). Jika t-hitung < ttabel, maka Ho diterima, artinya Xi tidak berpengaruh nyata terhadap Y, sedangkan jika t-hitung > t-tabel, maka Ho ditolak, artinya Xi berpengaruh nyata terhadap Y. Peubah bebas yang dilibatkan dalam model fungsi produksi cabang usahatani belimbing cukup banyak. Peubah-peubah bebas tersebut seharusnya saling bebas satu dengan yang lain sehingga model yang diperoleh tidak bias. Keterkaitan atau hubungan antar peubah bebas dikenal dengan istilah multikolinier. Uji multikolinier dilakukan dengan pendekatan Varians Inflation Factors (VIF). Nilai VIF digunakan sebagai indikator dalan uji tersebut. Nilai VIF lebih besar dari 10 berarti terdapat kolinier antar peubah bebas (Gujarati, 2003). Asumsi OLS tentang hetereskedastisitas dan normalitas sisaan diuji dengan pendekatan grafis.
4.4.2. Analisis Efisiensi Alokasi (Allocative Efficiency) Pendekatan yang dapat digunakan untuk analisis efisiensi alokasi masukan produksi adalah memaksimalkan keuntungan (profit maximization). Keuntungan dari suatu proses produksi dapat dimaksimalkan ketika nilai marjinal produk setiap masukan sama dengan biaya unit masukan tersebut. Keuntungan maksimum dicapai ketika nilai produk marjinal sama dengan biaya korbanan marjinal. Nilai produk marjinal merupakan perkalian produk marjinal dengan harga keluaran sedangkan biaya korbanan marjinal merupakan harga masukan. Kriteria tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
Py
dY dX
i
= Px (i = 1,2,3,.....6) ......................................(12) i
Persamaan tersebut dapat ditulis dalam persamaan sebagai berikut : Px
i = dY (i = 1,2,3,.... .6) .........................................(13) Py dX i
4.5. Analisis Pendapatan Usahatani Total pendapatan (keuntungan) usahatani adalah total penerimaan dikurangi dengan total biaya dalam suatu proses produksi. Total penerimaan usahatani belimbing adalah nilai dari total penjualan belimbing yang dihasilkan. Secara matematik, total pendapatan (keuntungan) usahatani belimbing dapat dirumuskan sebagai berikut : Π = TP – TB Π = TP – (BV+BT) ................................(14) dimana : Π TP TB BV BT
= Total pendapatan dalam suatu periode pemeliharaan (Rp) = Total Penerimaan dalam suatu periode pemeliharaan (Rp) = Total Biaya dalam suatu periode pemeliharaan (Rp) = Biaya variabel dalam suatu periode pemeliharaan (Rp) = Biaya Tetap dalam suatu periode pemeliharaan (Rp) Menurut Soekartawi (1990) untuk melihat efisiensi suatu usahatani
terhadap penggunaan faktor produksi dilakukan dengan menggunakan analisis R/C. Rasio R/C merupakan perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya. Usahatani dikatakan menguntungkan apabila R/C= 1. Semakin besar nilai R/C maka semakin menguntungkan usahatani tersebut. Perhitungan R/C dapat dirumuskan sebagai berikut : R/C = Total Penerimaan / Total Biaya ..................(15) Py . Y / TB
dimana : Py = Harga produk dalam satu periode pemeliharaan (Rp) Y = Total produksi dalam satu periode pemeliharaan (Kg) TB = Total Biaya dalam suatu periode pemeliharaan (Rp)
4.5. Pengujian Hipotesis Hipotesis yang pertama dugaan tentang efisiensi pendapatan usahatani belimbing dari populasi petani di lokasi penelitian. Perumusan hipotesis mengenai efisiensi pendapatan yaitu berdasarkan penelitian terdahulu mengenai belimbing Depok yang menunjukkan bahwa efisiensi usaha petani belimbing Depok (R/C rasio) lebih besar dari kriteria kelayakan yaitu lebih besar dari satu. Sehingga, hipotesis awal (H0) yaitu rasio R/C sama dengan satu dan hipotesis alternatif (H1) adalah rasio R/C lebih besar dari satu. H0 : µ = µ0 = R/C = 1 H1 : µ = R/C > 1 t
hitung
=
x −µ σ
0 ...............................................(16)
n
Jika : t hitung > t (α/2, n – k), maka tolak H0 ; t hitung < t (α/2, n – k), maka tolak H1 Hipotesis kedua adalah dugaan bahwa semua variabel produksi yang digunakan dalam fungsi produksi mempunyai pengaruh nyata terhadap produksi. Hipotesis awal (H0) yaitu produksi cabang usahatani tidak dipengaruhi oleh pupuk NPK, pupuk kandang, insektisida Curacon, insektisida Decis, pupuk Gandasil dan tenaga kerja. Hipotesis alternatif (H1) yaitu dugaan bahwa faktor-faktor produksi tersebut berpengaruh nyata terhadap produksi belimbing di lokasi penelitian. Uji statistik terhadap hipotesis tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Uji Signifikansi Parameter Penduga Fungsi Produksi Hipotesis H0 : b1 = 0 ; H1 : b1 > 0 H0 : b2 = 0 ; H1 : b2 > 0 H0 : b3 = 0 ; H1 : b3 > 0 H0 : b4 = 0 ; H1 : b4 > 0 H0 : b5 = 0 ; H1 : b5 > 0 H0 : b6 = 0 ; H1 : b6 > 0
Uji Statistik
t =
bi σ bi
Kriteria Uji Jika І t hitung І > t (α, tolak H0
Jika І t hitung І < t (α, tolak H1
n – k),
maka
n – k),
maka
Keterangan : K = Jumlah variabel termasuk intersep n = Jumlah data i = 1,2,3,4,5,6. α = 0,05 bi = Parameter penduga xi σ bi = Simpangan baku parameter penduga Xi
4.7. Konsep Pengukuran Variabel Variabel-variabel yang diamati merupakan data dan informasi mengenai usahatani belimbing yang diusahakan petani pada satu kali panen. Variabel yang diamati dalam menganalisis pendapatan usahatani belimbing ialah : 1. Modal ialah barang ekonomi berupa alat-alat, sarana produksi dan uang tunai yang digunakan untuk menjalankan usahatani belimbing. 2. Tenaga kerja adalah tenaga yang digunakan untuk kegiatan budidaya belimbing dalam satu musim panen, baik yang berasal dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga. Tenaga kerja diukur dengan satuan Hari Orang Kerja (HOK). 3. Biaya tunai adalah besarnya nilai uang tunai yang dikeluarkan petani untuk membeli pupuk, pertisidat, upah tenaga kerja. Biaya yang digunakan untuk membayar pajak dan penyusutan termasuk kedalam biaya tetap tunai. Satuan yang dipergunakan ialah Rupiah (Rp). 4. Biaya yang diperhitungkan adalah pengeluaran untuk pemakaian input milik sendiri berdasarkan tingkat upah yang berlaku. Satuan yang dipergunakan ialah Rupiah (Rp).
5. Biaya total merupakan penjumlahan dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Satuan yang dipergunakan ialah Rupiah (Rp). 6. Produksi total adalah hasil belimbing yang didapat dari hasil pemanenan belimbing dan diukur dalam satuan Kilogram (Kg). 7. Harga produk adalah harga belimbing ditingkat petani dalam satu kali musim panen. Satuan yang dipergunakan ialah Rupiah per Kilogram (Rp/kg). Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis faktor produksi usahatani belimbing adalah sebagai berikut : 1. Produksi (Y) : hasil produksi belimbing (Kg) per musim tanam yang dihasilkan petani pada luasan tanah tertentu. 2. Jumlah pupuk NPK (X1) : jumlah pupuk NPK (Kg) yang digunakan untuk proses produksi per musim tanam. Biaya korbanan yang dikeluarkan didefinisikan sebagai harga pupuk NPK per kilogram. 3. Jumlah pupuk kandang (X2) : jumlah pupuk kandang (Kg) yang digunakan untuk proses produksi per musim tanam. Biaya korbanan yang dikeluarkan didefinisikan sebagai harga pupuk kandang per kilogram. 4. Jumlah Insektisida Curacon (X3) : jumlah insektisida Curacon (ml) yang digunakan dalam satu musim tanam belimbing. Biaya korbanan yang dikeluarkan adalah harga insektisida Curacon tersebut untuk setiap mililiter. 5. Jumlah Insektisida Decis (X4) : jumlah insektisida Decis (ml) yang digunakan dalam satu musim tanam belimbing. Biaya korbanan yang dikeluarkan adalah harga insektisida Decis tersebut untuk setiap mililiter.
6. Jumlah pupuk Gandasil (X5) : jumlah pupuk Gandasil (grm) yang digunakan untuk proses produksi per musim tanam. Biaya korbanan yang dikeluarkan adalah harga pupuk Gandasil tersebut untuk setiap gram. 7. Jumlah tenaga kerja (X6) : jumlah tenaga kerja (HOK) yang digunakan dalam satu musim tanam belimbing. Biaya korbanan marjinalnya adalah tingkat upah yang dikeluarkan dalam setiap hari kerja pria.
V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1. Karakteristik Wilayah Penelitian 5.1.1. Letak dan luas wilayah Letak geografis Kota Depok berada pada 6.190-6.280 LS dan 106.430106.550 BT yang merupakan daerah bentangan dengan dataran rendah perbukitan bergelombang lemah, dengan elevasi antara 50-140 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lereng kurang dari 15 persen. Letak wilayah Kota Depok memiliki batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara
:
Kecamatan Ciputat Kabupaten Tangerang dan wilayah Kecamatan Pasar Minggu, Pasar Rebo, Cilandak, Propinsi DKI Jakarta.
Sebelah Timur :
Kecamatan Pondok Gede, Kabupaten Bekasi, dan Kecamatan Gunung Puteri, kabupaten Bogor.
Sebelah Selatan :
Kecamatan
Cibinong
dan
Kecamatan
Bojong
Gede,
Kabupaten Bogor. Sebelah Barat
:
Kecamatan
Parung
dan
Kecamatan
Gunung
Sindur,
Kabupaten Bogor. Kota Depok beribukota di Kecamatan Pancoran Mas, dengan luas wilayah mencapai 20.504,54 hektar atau 200,29 kilometer persegi, yang mencakup enam kecamatan yaitu Beji, Limo, Cimanggis, Sawangan, Sukmajaya dan Pancoran Mas. Enam kecamatan tersebut awalnya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bogor, yang kemudian masuk menjadi wilayah Kota Administratif Depok. Berikut ini pada Tabel 11 dapat dilihat luas areal per kecamatan yang ada di Kota Depok
Tabel 11. Luas Areal Enam Kecamatan yang ada di Kota Depok No 1 2 3 4 5 6
Kecamatan
Sawangan Pancoran Mas Sukmajaya Cimanggis Beji Limo Jumlah
Luas (Km2) 45,69 29,83 34,13 53,54 14,30 22,80 200,29
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Depok, 2003
5.1.2. Keadaan Alam Wilayah Kota Depok termasuk beriklim tropis dengan perbedaan curah hujan cukup kecil yang dipengaruhi oleh angin muson. Musim kemarau jatuh pada bulan April sampai dengan September dan musim penghujan jatuh pada periode Oktober sampai Maret. Temperatur rata-rata 24.3 – 330 C, kelembaban udara rata-rata 82 persen, penguapan udara rata-rata 3,9 milimeter per tahun dengan kecepatan angin rata-rata 3,3 knot dan penyinaran matahari rata-rata 49,8 persen. Sedangkan curah hujan yang tercatat pada tahun 2003 adalah 872 milimeter per tahun dan banyaknya hari hujan adalah 94 hari atau rata–rata curah hujan sekitar 2,4 mililiter per tahun (BPS, 2003). Secara geologis wilayah Kota Depok terdiri dari tanah tinjau jenis young vulkanik seperti tanah lempung, konglomerat dan endapan lahar serta pasir dan alluvium lembah yang terdiri dari lempung tufa dan pasir. Wilayah Kota Depok memiliki agroklimat yang sesuai bagi tumbuhnya berbagai jenis habitat tanaman, mulai dari padi hingga berbagai tanaman hias. Kondisi alam wilayah Depok juga sesuai untuk berbagai budidaya pertanian lain seperti ikan konsumsi, ikan hias, dan peternakan. Kondisi wilayah yang mendukung tersebut sangat prospektif bagi pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota Depok
melalui program pertanian yang nantinya dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). 5.1.3. Tata Guna Lahan Kondisi wilayah Kota Depok merupakan tanah darat dan tanah sawah. Sebagian besar tanah darat merupakan areal pemukiman sesuai dengan fungsi kota Depok yang dikembangkan sebagai pusat pemukiman, pendidkan, perdagangan dan jasa. Berikut ini pada Tabel 12 dapat dilihat secara rinci mengenai penggunaan lahan di Kota Depok.
Tabel 12. Penggunaan Lahan di Kota Depok Pada Tahun 2006 Penggunaan Lahan Pemukiman Industri Sawah Tanah kering Kebun campuran Perkebunan Hutan Semak dan Padang rumput Lahan kosong Perairan dan lainnya Jumlah
Luas (Ha)
8.915,09 310,45 972,55 7.110,10 26,29 818,20 18.152,68
Sumber : www.regionalinvestment.com
5.1.4. Jumlah Penduduk Kota Depok Jumlah penduduk di Kota Depok pada tahun 2006 mencapai 1.420.480 jiwa, jumlah ini terdiri atas 719.969 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 700.511 jiwa berjenis kelamin perempuan. Pertumbuhan penduduk di Kota Depok mencapai 3,44 persen dengan kepadatan penduduk yaitu mencapai 7.092,12 jiwa per kilometer persegi. Berdasarkan data pada tahun 2003, Kota Depok memiliki kepadatan penduduk rata-rata sebesar 5.709 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan penduduk
terbesar yaitu pada Kecamatan Sukmajaya mencapai 7.780 jiwa per kilometer persegi, sedangkan kepadatan penduduk terendah yaitu pada Kecamatan Sawangan sebesar 2.831 jiwa per kilometer persegi. Berikut ini pada Tabel 13, mengenai kepadatan penduduk per Kecamatan di Kota Depok pada tahun 2003.
Tabel 13. Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Depok Pada Tahun 2003 Kecamatan
Sawangan Pancoran Mas Sukmajaya Cimanggis Beji Limo Rata-rata
Jumlah Penduduk (Jiwa) 129.339 208.580 265.534 314.727 108.871 116.352 -
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 2.831 6.992 7.780 5.878 7.613 5.103 5.709
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Depok, 2003
5.1.5. Matapencaharian Penduduk Kota Depok Mata pencaharian penduduk Kota Depok umumnya beragam yang terdiri dari beberapa sektor. Terdapat beberapa sektor yang signifikan membangun perekonomian Kota Depok diantaranya yaitu sektor perdagangan dan jasa sebesar 35,42 persen. Penduduk Kota Depok yang berstatus sebagai pegawai pemerintah yaitu sebanyak 23,02 persen, petani sebesar 6,85 persen, pengrajin sebesar 0,63 persen, pengusaha sebesar 0,18 persen dan sektor lainnya mencapai 33,9 persen (BPS, 2003).
5.1.6. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana merupakan faktor pendukung bagi keberhasilan kegiatan yang akan dilakukan di suatu wilayah baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Sarana dan prasarana yang terdapat di Kota Depok diantaranya adalah (BPS, 2003), :
Sarana transpotasi meliputi daerah di sekitar Kota Depok dan luar Kota Depok dimana terdapat satu buah terminal, dengant 12 rute angkutan untuk mencakup wilayah Depok, rute untuk luar Kota Depok sebanyak 11 trayek bus besar dan delapan bus sedang yang menuju Jakarta dan lima trayek bus untuk melayani tujuan kota lainnya. Prasarana berupa jalan untuk menunjang kegiatan transportasi dan ekonomi terdiri atas jalan negara sepanjang 21,3 kilometer, jalan propinsi sepanjang 254 kilometer, jalan kabupaten sepanjang 10,8 kilometer, jalan kecamatan sepanjang 120,2 kilometer dan jalan lain-lain sepanjang 129 kilometer. Pelayanan air bersih dilaksanakan oleh PDAM, sampai saat ini penduduk yang telah terlayani sebanyak 197.484 jiwa (54,26%). Sumber air bersih berasal dari sungai Ciliwung dan sumur bor dengan debit 323 liter per detik. Kebutuhan Listrik bagi Kota Depok dilayani oleh PLN, Jumlah pelanggan saat ini berjumlah 85.000 (99,27%) dengan sambungan berkekuatan 281.856 KVA. Saluran telepon yang terdapat di Kota Depok mencapai 79.500 saluran. Kota Depok mempunyai fasilitas tempat pembuangan sampah seluas 2,87 hektar dan akan diperluas mencapai 2,5 hektar. Namun di masa yang akan datang akan sulit menemukan lokasi tempat pembuangan sampah, selain itu juga akan sangat mahal. Kondisi ini akan memperparah terjadinya pencemaran lingkungan bukan saja pencemaran udara atau bau namun juga pencemaran tanah atau air tanah. Terdapat pertokoan yang bergerak dalam berbagai bidang yaitu : sandang, pangan, alat-alat rumah tangga, bangunan, alat tulis kantor, elektronik dan lainlain sebanyak 2847 buah dan 15 buah pasar harian, 17 pasar swalayan, empat
buah shoping center, 1.775 buah kios. 1.959 buah pedagang kaki lima dan satu pasar mingguan Sebagai kota pemukiman, pendidikan, jasa dan perdagangan, Kota Depok telah memiliki empat buah hotel, empat buah penginapan, lima buah wisma, 12 buah fasilitas sejenis lainnya, 46 buah restoran, 1400 buah rumah makan. Fasilitas rekreasi dan hiburan yang telah dimiliki oleh Kota Depok adalah dua buah taman rekreasi, lima buah kolam renang, 17 buah bioskop, 17 buah tempat bilyard dan 14 buah hiburan lainnya. Pemerintah Kota Depok memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap pendidikan, keagamaan dan kesehatan mayarakat. Hal tersebut diwujudkan dengan dibangunnya beberapa sarana dan prasarana yang mendukung kegiatankegiatan tersebut. Kota Depok memiliki 327 buah SD, 127 buah SMP, 94 buah SMA dan 17 buah perguruan tinggi. Rumah peribadatan yang ada meliputi 530 buah mesjid, 1042 buah mushola, 104 buah gereja dan tiga buah vihara. Sarana kesehatan berupa rumah sakit sebanyak tujuh buah, 25 buah puskesmas, 824 posyandu dan 82 buah apotek.
5.2. Karakteristik Petani Responden Faktor internal dan faktor eksternal merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam menjalankan suatu kegiatan usahatani. Menurut Hernanto (1989), faktor internal dalam usahatani antara lain yaitu petani pengelola dan tenaga kerja. Tenaga kerja mempunyai kemampuan kerja yang dipengaruhi oleh pendidikan, umur, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan dan tingkat kesehatan.
Berikut ini, penulis akan menjabarkan mengenai karakteristik petani belimbing di Kota Depok. Karakteristik ini secara tidak langsung menentukan keberhasilan dalam menjalankan suatu usahatani. Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini, yaitu petani belimbing SOP dan petani belimbing non SOP. Karakteristik responden yang dikaji dalam penelitian ini meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman, jumlah tanggungan petani, umur tanaman, matapencaharian petani dan alasan memilih usahatani belimbing. Data mengenai karakterisrtik petani responden akan disajikan sebagai berikut : 5.2.1. Sebaran Umur Responden Petani SOP dan Petani Non SOP Sebaran umur responden petani SOP dan petani non SOP di bagi menjadi lima kategori dengan rentang tiap kelas umur yaitu lima tahun. Prosentase terbesar responden petani belimbing yang berumur antara 36 hingga 40 tahun ialah sebesar 51,51 persen untuk petani SOP dan 37,14 persen untuk petani non SOP dengan rentang umur 41 hingga 45 tahun. Berdasarkan Tabel 14, responden petani SOP maupun petani non SOP masuk ke dalam usia produktif. Usia Produktif dapat dikatakan bahwa responden secara fisik mempunyai kekuatan yang memadai, sehingga dapat mengerjakan pekerjaan dengan baik. Umur termuda untuk petani SOP adalah 35 tahun dan tertua adalah 56 tahun, sedangkan umur termuda untuk petani non SOP ialah 32 tahun dan tertua adalah 52 tahun.
Tabel 14. Sebaran Umur Responden Petani SOP dan Petani Non SOP Kelompok Umur
30-35 36-40 41-45 46-50 >50 Jumlah
Petani SOP Jumlah Persentase Responden (%) 2 6,06 17 51,51 6 18,18 2 6,06 6 18,18 33 100
Kelompok Umur
30-35 36-40 41-45 46-50 >50 Jumlah
Petani Non SOP Jumlah Persentase Responden (%) 4 11,42 12 34,28 13 37,14 3 8,57 3 8,57 35 100
5.2.2. Tingkat Pendidikan Responden Petani SOP dan Petani Non SOP Tingkat pendidikan mempunyai pengaruh bagi petani dalam melaksanakan kegiatan usahatani, terutama terhadap cara pengelolaannya. Tingkat pendidikan petani yang semakin tinggi, diharapkan dapat mengelola dan menjalankan usahataninya dengan baik. Kemampuan mengelola yang lebih baik tersebut disebabkan karena wawasan dan pengetahuan yang dimiliki semakin banyak dan luas serta semakin terbuka terhadap inovasi yang dianjurkan. Tingkat pendidikan responden terdiri dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tingkat pendidikan yang paling dominan untuk petani SOP maupun petani non SOP yaitu SMP. Persentase terbesar yaitu untuk responden dengan tingkat pendidikan akhir SMP sebesar 45,45 persen atau 15 orang untuk petani SOP dan 43,24 persen atau 16 orang untuk petani non SOP. Mengenai tingkat pendidikan responden petani SOP dan petani non SOP, lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Tingkat Pendidikan Responden Petani SOP dan Petani Non SOP Tingkat Pendidikan
SD SMP SMA Jumlah
Petani SOP Jumlah Persentase Responden (%) 13 39,39 15 45,45 5 15,15 33 100
Tingkat Pendidikan
SD SMP SMA Jumlah
Petani Non SOP Jumlah Persentase Responden (%) 12 32,43 16 43,24 9 24,32 35 100
5.2.3. Pengalaman Responden Petani SOP dan Petani Non SOP Petani sebagai pengelola usahatani dituntut untuk mempunyai kemampuan menentukan, mengorganisir dan mengorganisasikan semua faktor-faktor produksi yang dikuasai sehingga produksi diperoleh sesuai dengan harapan. Kemampuan
mengelola suatu usahatani
tentu dipengaruhi oleh pengalaman setiap petani.
petani mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap suatu usahatani yang dikelola karena belajar dari pengalaman yang diperoleh selama menjalankan usahatani tersebut. Pengalaman petani dapat diperoleh sendiri maupun dari orang lain. Pengalaman responden petani SOP maupun petani non SOP dibagi menjadi tiga kategori, rentang pengalaman tiap kategori ialah tiga tahun. Pada Tabel 16 persentase terbesar ialah pada rentang pengalaman antara delapan hingga 10 tahun sebesar 60,60 persen atau 20 orang untuk petani SOP dan 51,42 persen atau 18 orang dengan rentang pengalaman antara lima sampai tujuh untuk petani non SOP. Persentase terbesar kedua dan ketiga untuk petani SOP yaitu pada rentang pengalaman antara lima hingga tujuh tahun serta rentang pengalaman diatas 10 tahun, sedangkan untuk petani non SOP, yaitu rentang pengalaman antara delapan hingga 10 tahun dan rentang pengalaman diatas 10 tahun.
Tabel 16. Pengalaman Responden Petani SOP dan Petani Non SOP Pengalaman (Tahun)
5-7
Petani SOP Pengalaman Jumlah Persentase (Tahun) Responden (%) 7 21,21 5-7
Petani Non SOP Jumlah Persentase Responden (%) 18 51,42
8-10
20
60,60 8-10
14
40
>10
6
18,18 >10
3
8,57
35
100
Jumlah
33
100 Jumlah
5.2.4. Jumlah Tanggungan Responden Petani SOP dan Petani Non SOP Jumlah tanggungan petani responden akan berimplikasi terhadap pendapatan perkapita petani. Jika jumlah tanggungan semakin banyak, maka pendapatan perkapita petani semakin kecil. Jumlah tanggungan meliputi istri,
anak dan famili. Jumlah tanggungan terbesar yaitu empat orang dengan persentase sebesar 48 atau 15 orang untuk petani SOP dan sebesar 48 persen atau 17 persen untuk petani non SOP. Berdasarkan hasil wawancara yang menjadi tanggungan petani responden tidak banyak membantu dalam kegitan usahatani belimbing. Hal ini karena anggota keluarga tersebut masih bersekolah atau belum masuk usia kerja, kecuali istri yang kadang ikut membantu kegiatan usahatani ini. Perincian mengenai jumlah tanggungan petani SOP dan petani non SOP dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Jumlah Tanggungan Responden Petani SOP dan Petani Non SOP Jumlah Tanggungan
3 4 5 6 Jumlah
Petani SOP Jumlah Persentase Responden (%) 6 18 15 46 7 21 5 15 33 100
Jumlah Tanggungan
3 4 5 6 Jumlah
Petani Non SOP Jumlah Persentase Responden (%) 9 26 17 48 5 14 4 11 35 100
5.2.5. Mata Pencaharian Responden Petani SOP dan Petani Non SOP Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden petani SOP maupun petani non SOP, sebagian besar tidak memiliki pekerjaan lain diluar usahatani belimbing. Sebanyak 43 persen atau 14 orang petani SOP dan 51 persen atau 18 orang petani non SOP yang hanya mengandalkan usahatani belimbing sebagai sumber pendapatan keluarganya. Selain usahatani belimbing, petani pada umumnya memiliki pekerjaan lain diluar pertanian seperti wirausaha (berdagang). Sebanyak lima orang atau 15 persen responden petani SOP dan sebanyak tujuh orang atau 20 persen petani non SOP mempunyai usaha sampingan berdagang.
Perincian mengenai mata pencaharian sampingan petani SOP dan petani non SOP dapat dilihat pada Tabel 18. Kota Depok memiliki beberapa komoditi pertanian selain belimbing diantaranya yaitu jambu biji, tanaman hias dan perikanan air tawar. Sehingga tidak mengherankan apabila banyak para petani yang juga menekuni usaha tersebut. Sebagai contoh para responden petani SOP maupun non SOP memiliki usaha sampingan lain sebagai penambah pendapatan keluarganya.
Tabel 18. Mata Pencaharian Responden Petani SOP dan Petani Non SOP Matapencarian
Petani SOP Jumlah Persentase Responden (%)
Tidak ada wirausaha Jambu biji Budidaya ikan Tanaman hias Jumlah
14 5 7 4 3 33
43 15 21 12 9 100
Matapencarian
Tidak ada wirausaha Jambu biji Budidaya ikan Tanaman hias Jumlah
Petani Non SOP Jumlah Persentase Responden (%)
18 7 8 2 35
51 20 23 6 100
Sebanyak delapan orang atau 21 persen petani SOP dan tujuh orang atau 21 persen petani non SOP yang memiliki usahatani jambu biji. Hanya responden petani SOP saja yang memiliki usaha tambahan budidaya ikan air tawar yaitu sebanyak empat orang atau 12 persen. Tanaman hias merupakan usaha yang banyak ditekuni akhir-akhir ini, hal ini dikarenakan harga jual tanaman hias cukup menguntungkan Terdapat tiga orang atau sembilan persen petani SOP dan dua orang atau enam orang petani non SOP yang memiliki usaha tanaman hias sebagai usaha sampingannya.
5.2.6. Alasan Responden Petani SOP dan Petani Non SOP dalam Berusahatani Belimbing Berbagai pertimbangan dan motivasi dimiliki oleh petani dalam menjalankan suatu kegiatan usahatani. Pertimbangan ekonomi dan sosial mendasari petani dalam menentukan jenis usahatani apa yang akan mereka pilih untuk mereka laksanakan. Pada Tabel 19, dapat dilihat beberapa alasan petani memilih usahatani belimbing. Alasan responden yang menyatakan bahwa usahatani belimbing lebih menguntungkan yaitu masing-masing sebanyak 13 orang atau 40 persen petani SOP dan 15 orang atau 43 persen petani non SOP. Tingkat keuntungan usahatani belimbing lebih tinggi, hal ini dikarenakan harga jual belimbing yang relatif mahal. Sebanyak delapan orang atau 24 persen petani SOP dan delapan orang atau 23 persen petani non SOP menyatakan harga belimbing relatif lebih mahal serta diikuti dengan penurunan harga yang tidak terlalu rendah jika dibandingkan dengan jenis usahatani lainnya. Dua alasan yang telah diuraikan di atas sangat terkait dengan kepentingan ekonomi sebagai pertimbangan ekonomi.
Tabel 19. Alasan Petani SOP dan Petani Non SOP dalam Berusahatani Belimbing Alasan
Lebih menguntungkan Harga mahal Pengaruh lingkungan Alasan lainnya Jumlah
Petani SOP Jumlah Persentase Responden (%)
13
40
8
24
5
15
7 33
21 100
Alasan
Lebih menguntungkan Harga mahal Pengaruh lingkungan Alasan lainnya Jumlah
Petani Non SOP Jumlah Persentase Responden (%)
15
43
8
23
8
23
4 35
11 100
Usahatani belimbing dilakukan oleh responden petani SOP maupun petani non SOP disebabkan karena pengaruh lingkungan, baik dari dalam maupun dari luar petani. Pengaruh lingkungan dalam petani yaitu dari pengaruh keluarga petani, biasanya kebiasaan usahatani merupakan usaha turun-temurun dari orang tua petani. Pengaruh dari luar petani yaitu karena melihat keberhasilan petani lain dalam menjalankan usahatani belimbing. Pengaruh lingkungan sebagai alasan bertani belimbing diungkapkan oleh lima orang atau 15 persen petani SOP dan delapan orang atau 23 persen petani non SOP. Selain alasan di atas, terdapat tujuh orang atau 21 persen petani SOP dan empat orang atau 11 persen petani non SOP memiliki alasan lainya seperti budidaya yang mudah, produksinya banyak dan mudah dijual.
5.2.7. Umur Tanaman Belimbing Petani SOP dan Petani Non SOP Produksi tanaman belimbing sangat dipengaruhi oleh umur tanaman. Semakin tua umur tanaman belimbing, maka buah yang dihasilkan akan semakin banyak. Hal ini disebabkan karena semakin tua tanaman tersebut, maka percabangan sebagai tempat munculnya buah semakin banyak. Hal tersebut menyebabkan petani yang memiliki umur tanaman yang cukup tua akan mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan petani yang memiliki tanaman belimbing yang masih muda. Rata-rata sebanyak 13 orang atau 40 persen responden petani SOP memiliki tanaman belimbing dengan umur delapan tahun. Sedangkan rata-rata petani non SOP memiliki tanaman belimbing dengan umur tujuh tahun. Selengkapnya mengenai sebaran umur tanaman petani SOP maupun petani non SOP dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Sebaran Umur Tanaman Belimbing Petani SOP dan Petani Non SOP Umur Tanaman (Tahun) 7 8 9 10 Jumlah
Petani SOP Jumlah Persentase Responden (%) 9 27 13 40 8 24 3 9 33 100
Umur Tanaman (Tahun) 7 8 9 10
Petani Non SOP Jumlah Persentase Responden (%) 16 46 11 31 8 23 35 100
5.3. Hubungan Karakteristik Responden dengan Efisiensi Usaha Analisis hubungan karakteristik responden dengan efisiensi usaha dilakukan untuk mengetahui sejauh mana karakteristik responden dapat mempengaruhi efisiensi usaha. Karakteristik responden yang dianalisis meliputi umur petani, pendidikan, pengalaman dan luas lahan. Hubungan karakteristik tersebut dengan efisiensi usaha dianalisis dengan pendekatan uji kebebasan tabel kontingensi (Khi kuadrat). Pada Tabel 21 dapat dilihat mengenai hubungan karakteristik responden petani SOP dan petani non SOP dengan rasio R/C total.
Tabel 21. Hubungan Karakteristik Responden Petani SOP dan Petani Non SOP dengan Rasio R/C Atas Biaya Total Karakteristik Petani SOP Umur petani Pendidikan Pengalaman Luas lahan Petani Non SOP Umur petani Pendidikan Pengalaman Luas lahan
db
X2 0,05
X2hit
Kesimpulan
4 2 2 2
9,488 5,991 5,991 5,991
5,117 0,138 4,650 6,720
Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho Tolak Ho
4 2 2 2
9,488 5,991 5,991 5,991
1,678 2,479 1,944 16,64
Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho Tolak Ho
Hasil perhitungan khi kuadrat pada tabel di atas, diketahui bahwa karakteristik petani SOP dan petani non SOP yaitu luas lahan dengan efisiensi usaha berupa R/C atas biaya total diperoleh nilai X2 hitung untuk masing-masing petani sebesar 6,720 dan 16,64, dengan nilai X2 tabel dari masing-masing petani pada α = 5 persen dengan derajat bebas dua adalah 5,99. Berarti nilai X2 hitung berada pada daerah penolakan hipotesis awal. Hipotesis kebebasan antara luas lahan dengan rasio R/C atas biaya total dapat ditolak pada taraf nyata lima persen. Hal ini berarti ada hubungan antara karakteristik petani SOP dan petani non SOP berupa luas lahan dengan efisiensi usaha yaitu R/C atas biaya total. Karakteristik responden baik untuk petani SOP maupun petani non SOP yaitu umur petani, pendidikan, pengalaman dan luas lahan tidak ada hubungan terhadap rasio R/C atas biaya tunai. Pada Tabel 22, nilai X2 hitung karakteristik dari masing-masing petani lebih kecil dari nilai X2 tabel pada α = 5 persen, sehingga hipotesis awal tidak ditolak. Hasil perhitungan khi kuadrat dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
Tabel 22. Hubungan Karakteristik Responden Petani SOP dan Petani Non SOP dengan Rasio R/C Atas Biaya Tunai Karakteristik Petani SOP Umur petani Pendidikan Pengalaman Luas lahan Petani Non SOP Umur petani Pendidikan Pengalaman Luas lahan
db
X2 0,05
X2hit
Kesimpulan
4 2 2 2
9,488 5,991 5,991 5,991
5,636 4,911 1,895 3,960
Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho
4 2 2 2
9,488 5,991 5,991 5,991
5,139 1,228 4,809 1,474
Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho
5.4. Keragaan Usahatani Belimbing Dewa-Dewi di Kota Depok Usahatani belimbing di Kota Depok, yang tersebar di enam wilayah kecamatan yang pada umumnya terdapat di areal lahan pekarangan, kebun-kebun dekat dengan rumah atau lahan-lahan pertanian teknis yang semula untuk bertanam padi sawah dan sayuran. Pada awalnya usahatani belimbing yang dilakukan di Kota Depok masih bersifat tradisional dengan pemeliharaan yang seadanya saja. Namun dengan semakin bekembangnya potensi usahatani belimbing dan besarnya keuntungan yang diperoleh, usahatani ini mulai mendapatkan perhatian khusus dari para petani terutama pada pemeliharaannya. Hingga pada saat ini tanaman belimbing telah beralih fungsinya menjadi tanaman budidaya yang diandalkan oleh para petani. Besarnya potensi dari usahatani ini, mendorong pemerintah daerah setempat untuk memberikan prioritas khusus dalam pengembangan usahatani belimbing. Salah satu bentuk dukungan pemerintah setempat yaitu dengan memberikan bantuan berupa bibit dan sarana produksi. Selain itu, pemerintah juga memberikan program pelatihan mengenai budidaya belimbing sesuai dengan GAP (Good Agriculture Practice) dan SOP (Standart Operational Prosedure). Pada kenyataannya di lapangan penerapan SOP yang dicanangkan oleh pemerintah setempat sulit diterapkan oleh petani, hal ini dikarenakan keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani. Budidaya belimbing berdasarkan SOP memang membutuhkan biaya yang cukup besar, terutama pada kegiatan pemupukan dan pengendalian hama. Selain dari hal biaya, juga terdapat perbedaan dalam hal teknik budidaya lainnya. Secara ringkas mengenai persamaan dan perbedaan
antara teknik budidaya yang diterapkan petani non SOP dan petani SOP di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 23. Keberhasilan dalam pengembangan usahatani belimbing Dewa-Dewi sebagai salah satu komoditas potensial di Kota Depok telah didukung dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut meliputi bidang teknologi, prasarana, infrastruktur, kelembagaan, permodalan, pemasaran dan lainnya. Saat ini, pemerintah daerah telah melakukan semua bidang tersebut seperti pembentukan kelembagaan pertanian (GAPOKTAN), penerapan teknologi budidaya yang lebih baik (SOP) dan permodalan serta pemasaran melalui Pusat Koperasi dan Pemasaran Belimbing Dewa. Pada tahun 2008, pemerintah setempat telah mendirikan Pusat Koperasi Pemasaran Buah Belimbing Dewa-Dewi. Koperasi ini bertujuan agar petani tidak lagi terikat oleh tengkulak dan mendapatkan harga jual yang pantas. Semua bantuan dan program tersebut diatas diharapkan dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas belimbing yang dihasilkan serta meningkatkan kesejahteraan petani belimbing di Kota Depok.
Tabel 23. Persamaan dan Perbedaan Antara Teknik Budidaya Petani SOP dan Teknik Budidaya Petani Non SOP Kegiatan Budidaya
Sanitasi kebun
Pemupukan Penyemprotan pupuk daun Pengendalian hama
Petani Non SOP
Petani SOP
membersihkan kebun dari gulma dan buah yang rontok yang merupakan sumber hama penyakit menggunakan pupuk NPK (>1 Kg/phn) dan pupuk kandang (20-35 Kg/phn) menggunakan pupuk Gandasil-B (0.98 grm/L) Menggunakan insektisida Curacon (< 0,5 ml/L), dan insektisida Decis(< 0,5 ml/L)
membersihkan kebun dari gulma dan buah yang rontok yang merupakan sumber hama penyakit menggunakan pupuk NPK (1 Kg/phn) dan pupuk kandang (40-70 Kg/phn menggunakan pupuk Gandasil-B (grm/0.71/L) menggunakan insektisida Curacon ( >1 ml/L dan insektisida Decis ( 0,5-1 ml/L)
Penjarangan buah Pembungkusan buah Pemanenan buah Pemangkasan tanaman
Buah pada bagian ujung ranting Buah pada bagian ujung ranting, buah serta buah yang cacat, terserang cacat, buah yang bergerombol OPT. banyak,tangkai buah kecil, terserang OPT menggunakan kertas karbon, menggunakan kertas karbon pada saat buah berumur 2-3 pada saat buah berumur 2-3 minggu minggu Buah dipanen saat berumur 30- Buah dipanen saat berumur 30-40 hari 40 hari setelah pembungkusan setelah pembungkusan memotong cabang atau ranting memotong cabang atau ranting yang yang telah tua atau tidak telah tua atau tidak produktif produktif
Berikut ini merupakan kegiatan-kegiatan dalam usahatani belimbing Dewa-Dewi yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian. Kegiatan tersebut terdiri dari (1) sanitasi kebun belimbing, (2) pemupukan tananam belimbing, (3) Penyemprotan pupuk daun dan pengendalian hama, (4) penjarangan dan pembungkusan buah belimbing, pemanenan buah belimbing dan (5) pemangkasan tanaman belimbing. 5.4.1. Sanitasi Kebun Belimbing Kegiatan sanitasi kebun biasanya dilakukan pada awal musim atau setelah musim panen sebelumnya selesai. Sanitasi yaitu menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan kebun. Hal ini bertujuan untuk memberikan lingkungan tumbuh yang baik bagi pertumbuhan tanaman serta memutuskan siklus hidup organisme pengganggu tanaman (OPT). Petani SOP maupun petani non SOP di lokasi penelitian pada dasarnya telah melakukan kegiatan ini dengan baik. Kegiatan ini diantaranya adalah memotong gulma yang tumbuh disekitar tanaman, membersihkan serasah, membuang buah yang rontok pada saat proses pembesaran buah maupun pada saat kegiatan pembungkusan serta pada saat pemanenan. Sampah atau kotoran berupa gulma, serasah dan buah yang rontok
tersebut kemudian ditimbun di dalam lubang tanah yang terlebih dahulu dipersiapkan oleh petani. Peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah sabit, cangkul, garu, sapu lidi dan karung sampah.
5.4.2. Pemupukan Tanaman Belimbing Pemupukan dilakukan setelah kegiatan sanitasi selesai, kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan unsur hara (nutrisi) yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Petani belimbing di lokasi penelitian menggunakan dua jenis pupuk yaitu pupuk kimia dan pupuk organik. Pupuk kimia yang digunakan oleh petani yaitu NPK,sedangkan pupuk organik yang digunakan yaitu pupuk kandang yang berasal dari kotoran kambing. Peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah cangkul, timbangan, ember dan sprayer. Kegiatan ini diawali petani dengan pembuatan alur lubang pupuk dibawah lingkaran tajuk tanaman belimbing. Alur lubang tersebut memiliki kedalaman kurang lebih 20 sentimeter dari permukaan tanah dengan lebar kurang lebih 15 sentimeter. Setelah lubang pupuk selesai dibuat, kemudian petani menyiapkan dosis dari masing-masing pupuk yang akan digunakan dengan alat bantu berupa timbangan atau alat takar lainnya. Dosis penggunaan pupuk untuk petani SOP dan petani non SOP dapat dilihat pada Tabel 23. Pupuk yang telah selesai dipersiapkan oleh petani berdasarkan dosisnya, kemudian ditimbun kedalam lubang pupuk yang telah dibuat. Pupuk yang ditimbun tersebut ialah pupuk NPK dan pupuk kandang. Pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang oleh petani dilakukan empat bulan sekali atau setiap selesai satu periode panen.
5.4.3. Penyemprotan Pupuk Daun dan Pengendalian Hama Petani belimbing di lokasi penelitian selain menggunakan pupuk NPK dan pupuk kandang, juga menggunakan pupuk daun (Gandasil) yang berguna untuk merangsang pembungaan dan mendukung pertumbuhan daun. Penyemprotan pupuk ini biasanya bersamaan dengan penyemprotan insektisida yaitu setelah kegiatan pemupukan. Pengendalian hama lalat buah di lokasi penelitian dengan menggunakan insektisida jenis Curacon 500 EC dan Decis 500 EC. Penyemprotan pupuk daun dilakukan oleh petani sebanyak satu sampai dua kali seminggu selama satu bulan. Kegiatan penyemprotan ini dihentikan apabila tanaman belimbing telah berbunga. Penyemprotan insektisida dilakukan oleh petani non SOP sebanyak satu sampai dua kali seminggu sampai panen berakhir, sedangkan banyaknya penyemprotan insektisida yang dilakukan oleh petani SOP tergantung dari intensitas serangan hama yang terjadi. Penerapan dosis insektisida untuk petani SOP dan non SOP dapat dilihat pada Tabel 23. Peralatan yang digunakan pada saat penyemprotan yaitu sprayer dengan kapasitas 15 liter, ember plastik dan timbangan. Waktu penyemprotan insektisida biasanya dilakukan petani pada pagi hari yaitu antara pukul 07.00-10.00 dan sore hari berkisar antara pukul 16.30-17.30.
5.4.4. Penjarangan dan Pembungkusan Buah Belimbing Penjarangan buah merupakan kegiatan mengurangi buah yang terdapat pada tanaman belimbing. Tujuan dari kegiatan ini yaitu meningkatkan ukuran dan mutu buah yang akan dihasilkan. Kegiatan ini dilakukan pada saat buah berumur
15-20 hari setelah bunga mekar atau pada saat buah berukuran dua sampai tiga sentimeter. Petani Non SOP pada umumnya hanya membuang buah yang terdapat pada ujung ranting, buah yang cacat dan buah yang terserang OPT (Organisme Pengganggu Tanaman). Selain kriteria diatas, petani SOP juga menjarangkan buah yang bergerombol terlalu banyak dalam satu cabang atau ranting dan buah yang memiliki tangkai yang kurus. Buah hasil penjarangan biasanya ditempatkan petani pada kantung plastik, ditimbun di dalam tanah atau terkadang sebagai bahan pakan ternak ikan. Pembungkusan ialah kegiatan membungkus buah muda, dengan tujuan agar menghindarkan buah dari serangan OPT, meningkatkan mutu buah dan menghindarkan buah dari pencemaran pestisida. Kegiatan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan penjarangan buah. Bahan pembungkus yang digunakan oleh petani SOP maupun petani non SOP di lokasi penelitian seluruhnya menggunakan kertas karbon. Hal ini karena kertas karbon selain melindungi buah dari serangan lalat buah juga mampu menyerap cahaya matahari sehingga menghasilkan buah belimbing dengan warna yang cerah dan bagus. Kegiatan pembungkusan buah diawali dengan mempersiapkan peralatan dan bahan pembungkus. Peralatan yang digunakan pada saat penjarangan dan pembungkusan buah yaitu tangga dan gunting stek, sedangkan bahan yang digunakan yaitu tali rafia atau tali bambu, kantong plastik dan kertas karbon. Buah yang telah dijarangkan sebelumnya kemudian dibungkus dengan cara menyelimuti seluruh buah dengan kertas karbon, setelah itu ujung kertas karbon diikat dengan menggunakan tali rafia atau tali bambu. Pengikatan ujung
kertas dilakukan tidak terlalu kencang, hal ini bertujuan agar tangkai buah tidak terputus dan buah dapat tumbuh besar.
5.4.5. Pemanenan Buah Belimbing Pemanenan buah di lokasi penelitian, biasanya dilakukan oleh para petani setelah 30-40 hari dari masa pembungkusan buah. Buah yang dipetik biasanya buah yang telah memasuki indeks kematangan IV yaitu dengan ciri warna buah kuning agak kehijauan. Menurut para petani responden, indeks kematangan IV dipilih karena buah ini nantinya tidak cepat busuk selama proses penyimpanan. Perbedaan mengenai indeks kematangan buah belimbing selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 24. Kegiatan pemanenan dapat dilakukan sebanyak empat sampai enam kali, hal ini dikarenakan waktu kematangan buah belimbing tidak sama antara satu dengan yang lain walaupun dalam satu cabang atau satu pohon. Kegiatan pemanenan buah dilakukan petani pada pagi atau siang hari. Pemetikan buah pada saat pemanenan dilakukan dengan menggunakan gunting stek dan alat bantu berupa tangga yang bertujuan untuk menjangkau buah belimbing yang terdapat pada ujung cabang. Buah yang telah dipetik, kemudian diletakkan diatas keranjang plastik atau keranjang bambu. Kertas karbon yang digunakan sebagai pembungkus buah tersebut kemudian dikumpulkan pada kantong plastik untuk digunakan pada periode selanjutnya. Tabel 24. Indeks Kematangan Buah Belimbing Dewa-Dewi Indeks Kematangan Indeks I Indeks II Indeks III Indeks IV Indeks V Indeks VI Indeks VII
Ciri-Ciri Buah Buah berwarna hijau keputihan Buah berwarna hijau putih kekuningan Buah berwarna kuning kehijauan Buah berwarna kuning kehijauan Buah berwarna kuning kemerahan Buah berwarna orange kemerahan Buah berwarna orange kemerahan, buah terlalu matang
Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok, 2007
Hasil panen buah belimbing petani terbagi menjadi tiga grade yaitu grade A, B dan grade C, penentuan grade tersebut yaitu berdasarkan berat buah per kilogram.Harga buah per kilogram sangat dipengaruhi oleh grade buah, semakin tinggi grade maka semakin mahal harga buah tersebut. Penetuan harga jual per grade di lokasi penelitian yaitu berdasarkan kesepakatan bersama antara petani dan pembeli. Selengkapnya mengenai perbedaan grade tersebut dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Perbedaan Berat Buah Belimbing Berdasarkan Grade Grade Berat Buah A Buah dengan berat ≥ 250 gram/buah B Buah dengan berat 200-250 gram/buah C Buah dengan berat < 200gram/buah Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok, 2007
5.4.6. Pemangkasan Tanaman Belimbing Pemangkasan merupakan suatu kegiatan pemeliharaan, kegiatan ini yaitu memotong cabang atau ranting tanaman yang tidak produktif dan tidak dikehendaki. Pemangkasan oleh petani SOP maupun petani non SOP di lokasi penelitian dilakukan setelah kegiatan pemanenan. Hal ini bertujuan untuk merangsang pembungaan, membuang cabang maupun ranting yang mati atau tidak produktif dan untuk memudahkan sinar matahari masuk hingga ke cabangcabang terbawah. Pemangkasan dilakukan oleh petani dengan menggunakan golok. Cabang atau ranting yang dipangkas yaitu cabang yang tidak produktif, rusak karena terserang OPT dan cabang yang telah mati. Cabang atau ranting yang telah dipangkas kemudian dikumpulkan dan dibuang dengan menggunakan keranjang.
VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA-DEWI
6.1. Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa-Dewi Analisis pendapatan usahatani merupakan hal yang penting untuk diketahui, sehingga nantinya dapat memberikan gambaran umum mengenai kondisi usahatani serta keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usahatani tersebut. Berikut ini penulis akan menganalisis pendapatan usahatani belimbing di lokasi penelitian yang terdiri dari petani SOP yang berjumlah 33 orang dan petani non SOP yang berjumlah 35 orang. Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan gambaran petani mana yang lebih memberikan keuntungan lebih besar dalam usahataninya, apakah petani SOP atau petani non SOP. Analisis ini menggunakan angka rata-rata dari masing-masing responden petani SOP dan petani non SOP, dengan luas lahan 1000 meter persegi.
6.1.1. Biaya Usahatani Belimbing Dewa-Dewi Biaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keuntungan dari suatu usaha. Biaya dalam analisis usahatani belimbing dibedakan menjadi tiga komponen biaya. Komponen biaya yang dimaksud adalah biaya tidak tetap, biaya tetap dan biaya sewa lahan. Komponen-komponen biaya tersebut selanjutnya diuraikan secara terpisah.
6.1.1.1. Biaya Tidak Tetap Biaya tidak tetap didefinisikan sebagai jenis biaya yang dipengaruhi oleh besarnya produksi. Biaya tidak tetap pada usahatani belimbing terdiri dari biaya
sarana produksi dan biaya tenaga kerja. Biaya sarana produksi yaitu biaya pembelian pupuk NPK, pupuk kandang, pupuk Gandasil, insektisida Curacon, insektisida Decis dan kertas karbon. Besarnya biaya tersebut ditentukan dari jumlah sarana produksi yang digunakan dan harga dari sarana produksi tersebut. Biaya tidak tetap dapat dibedakan menjadi biaya yang bersifat tunai dan diperhitungkan. Biaya tunai pada usahatani belimbing terdiri dari biaya pembelian sarana produksi dan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga petani. Pada Tabel 26, total biaya sarana produksi untuk petani SOP selama satu musim panen sebesar Rp 1.312.324,00. Proporsi terbesar dari biaya tersebut adalah pembelian sarana produksi berupa pupuk kandang yaitu sebesar 41,87 persen dan proporsi pembelian terkecil adalah biaya pembelian pupuk Gandasil sebesar 0,72 persen. Besarnya biaya pembelian sarana produksi berupa pupuk kandang diakibatkan karena dalam teknis budidaya SOP, petani harus menggunakan pupuk kandang yang cukup banyak. Biaya total petani non SOP untuk pembelian sarana produksi selama satu musim panen ialah sebesar Rp 781.903,78. Pembelian kertas karbon sebesar 38,75 persen merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan petani non SOP untuk membeli sarana produksi. Hal ini dikarenakan petani non SOP melakukan pembungkusan buah lebih banyak dibandingkan petani SOP. Penggunaan sarana produksi yang digunakan petani non SOP, seperti pupuk dan insektisida tidak sebanyak yang digunakan oleh petani SOP.
Tabel 26. Perbandingan Biaya Pembelian Sarana Produksi Usahatani Belimbing Dewa-Dewi Petani SOP dan Petani Non SOP Selama Satu Musim Panen dengan Luas Lahan 1000 m2 Sarana Produksi
Pupuk NPK (Kg) Pupuk Kandang (Kg) Insektisida Curacon (ml) Insektisida Decis (ml) Pupuk Gandasil (grm) Kertas Karbon (Kg) Jumlah
Harga Ratarata
Petani SOP Jumlah (Rp)
(%)
Rata-
Petani Non SOP Jumlah (Rp)
(%)
2.500
27,77
69.425,00
5,3
32,85
82.125,00
10,50
285.71
1923,40
549.534,60
41,87
682,73
195.062,78
24,94
170,00
1409,22
239.567,40
18,25
669,38
113.794,60
14,55
170,00
932,19
158.472,30
12,07
428,86
72.906,20
9,32
30,00
316,16
9.484,80
0,72
501,84
15.055,20
1,92
8.000
35,73
285.840,00
21,78
37,87
302.960,00
38,75
1.312.324,00
100
781.903,78
100
Pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa penggunaan rata-rata sarana produksi oleh petani SOP berupa pupuk kandang, insektisida Curacon dan insektisida Decis
lebih banyak dibandingkan dengan petani non SOP. Hal
tersebut mengakibatkan biaya sarana produksi petani SOP lebih besar dibandingkan petani non SOP. Biaya sarana produksi ditentukan oleh harga per unit dan jumlah sarana produksi yang digunakan. Harga per unit tersebut adalah harga pembelian per kemasan dibagi dengan volume kemasan tersebut. Penggunaan rata-rata pupuk kandang oleh petani non SOP di lokasi penelitian 25,28 kilogram per pohon, sedangkan petani SOP sebesar 71,23 kilogram per pohon. Pemberian pupuk ini oleh masing-masing petani dilakukan enam bulan sekali. Harga pupuk kandang sebesar Rp 285,7 per kilogram atau Rp 10.000,00 per karung (35 Kg). Menurut para petani pupuk kandang digunakan
karena pupuk ini sangat baik untuk pertumbuhan tanaman belimbing dan tahan lebih lama dibandingkan dengan kotoran sapi dan ayam petelur, sehingga dapat menghemat pengeluaran petani. Perbedaan dalam penggunaan pupuk tidak hanya sebatas pada pupuk kandang saja, di lokasi penelitian para petani non SOP memiliki dosis tersendiri dalam menggunakan pupuk maupun insektisida. Penggunaan rata-rata pupuk NPK oleh petani SOP adalah 1,02 kilogram per pohon sedangkan petani non SOP yaitu 1,21 kilogram per pohon dengan harga sebesar Rp 2500,00 per kilogram. Pupuk daun (Gandasil) digunakan petani untuk merangsang pertumbuhan bunga. Penyemprotan ini dilakukan oleh petani SOP dan non SOP selama satu musim sebanyak 8 kali, dengan dosis untuk petani non SOP yaitu 0,68 gram per liter dan untuk petani SOP yaitu 1,04 gram per liter untuk sekali penyemprotan. Petani di lokasi penelitian menggunakan spryer dengan kapasitas 15 liter, untuk melakukan penyemprotan pupuk maupun insektisida. Sehingga untuk sekali penyemprotan dengan jumlah 27 pohon, petani memerlukan empat kali penyemprotan atau sekitar 60 liter. Pencegahan terhadap serangan serangga lalat buah di lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan insektisida Curacon. Penyemprotan Curacon rata-rata dilakukan oleh petani non SOP sebanyak satu sampai dua kali seminggu dengan dosis 0,43 mililiter per liter, sedangkan dosis yang digunakan petani SOP yaitu 1,17 mililiter per liter dalam sekali penyemprotan. Selain insektisida Curacon, petani juga menggunakan insektisida Decis sebagai tambahan dalam penyemprotan tersebut. Dosis yang digunakan petani non SOP untuk penyemprotan tersebut yaitu sebanyak 0,27 mililiter per liter,
sedangkan dosis petani SOP yaitu 0,73 mililiter per liter. Secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 27 mengenai dosis penggunaan pupuk dan insektisida oleh petani SOP maupun petani non SOP dalam budidaya belimbing Dewa-Dewi.
Tabel 27. Dosis Penggunaan Pupuk dan Insektisida dalam Usahatani Belimbing Dewa-Dewi Petani SOP dan Petani Non SOP selama Satu Musim Panen dengan Luas Lahan 1000 m2 Jenis sarana produksi
Total per 1000 m2 (27 pohon)
Jumlah sekali kegiatan
Dosis yang digunakan
Petani SOP
Pupuk NPK
27,77
-
1,02 kg/phn
1923,40
-
71,23 kg/phn
Pupuk daun (Gandasil)
316,15
31,52 grm/60 l*
0,65 grm/liter
Insektisida (Curacon)
1409,22
70,46 ml/60 l**
1,17 ml/l
932,18
44,39 ml/60 l**
0,73 ml/l
32,85
-
1,21 kg/phn
Pupuk Kandang
682,73
-
23,43 kg/phn
Pupuk daun (Gandasil)
501,83
62,72 grm/60 l*
1,04 grm/liter
Insektisida (Curacon)
669,38
25,74 ml/60 l***
0,43 ml/l
Insektisida (Decis)
428,85
16,49 ml/60 l***
0,27 ml/l
Pupuk Kandang
Insektisida (Decis) Petani Non SOP
Pupuk NPK
Keterangan :
* dalam satu musim dilakukan 8 kali penyemprotan ** dalam satu musim dilakukan 20 kali penyemprotan *** dalam satu musim dilakukan 26 kali penyemprotan
Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) merupakan salah satu biaya tidak tetap tunai selain sarana produksi. Jumlah tenaga kerja dalam analisis usahatani belimbing menggunakan satuan HOK (Hari Orang Kerja). Jumlah jam kerja di lokasi penelitian berkisar kurang lebih delapan jam per hari, yaitu dimulai dari pukul 07.00-12.00 kemudian dilanjutkan dari pukul 13.00-16.00 yang dihitung sebagai satu HOK. Satu HOK di lokasi penelitian bernilai Rp 40.000,00 atau Rp 5.000 per jam kerja. Pada Tabel 28, biaya total yang dikeluarkan petani SOP untuk TKLK adalah sebesar Rp 1.247.200,00 dan sebesar Rp 1.177.600,00 untuk
petani non SOP. Pada Tabel 28, persentase terbesar dari biaya TKLK untuk petani SOP dan petani non SOP terserap pada kegiatan pembungkusan dan penjarangan buah yaitu 69,91 persen untuk petani SOP dan 67,35 persen untuk petani non SOP. Pembungkusan dan penjarangan buah belimbing memerlukan banyak tenaga kerja dari luar keluarga dan memerlukan banyak waktu. Hal ini karena dalam satu pohon terdapat ratusan buah belimbing yang harus dibungkus, yang terlebih dahulu dilakukan penjarangan. Tenaga kerja yang telah mahir melakukan kegiatan tersebut dalam sehari hanya mampu menyelesaikan satu pohon dengan jumlah buah rata-rata 300 buah. Biaya tidak tetap pada usahatani belimbing tidak seluruhnya dikeluarkan secara tunai. Upah atas jasa tenaga kerja dalam keluarga tidak dibayarkan secara tunai atau biasa disebut dengan biaya tidak tetap yang diperhitungkan. Biaya total Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) untuk petani SOP dan petani non SOP masing-masing adalah sebesar Rp 1.331.600,00 dan Rp 1.705.600,00. Tabel 28. Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) dalam Budidaya Belimbing Dewa-Dewi Petani SOP dan Petani Non SOP Selama Satu Musim Panen dengan Luas Lahan 1000 m2 Kegiatan
Sanitasi Kebun Pemupukan Penyemprotan pupuk dan Insektisida Pembungkusan dan pejarangan buah Pemanenan Pemangkasan tanaman Jumlah
Total HOK 0,86 2,26
Petani SOP Jumlah (Rp) 34.400,00 90.400,00
0
0
0
0
21,80
872.000,00
69,91
19,83
793.200,00
67,35
5,08
203.200,00
16,29
5,81
232.400,00
19,73
1,18
47.200,00
3,78
2,06
82.400,00
6,99
31,18
1.247.200,00
100
29,44
1.177.600,00
100
(%)
2,76 7,24
Petani Non SOP Total Jumlah HOK (Rp) 0,87 34.800.00 0,87 34.800,00
(%)
2,95 2,95 0
Pada Tabel 29, persentase terbesar dalam penggunaan TKDK untuk petani SOP dan petani non SOP adalah pada kegiatan penyemprotan pupuk dan insektisida. Pada kegiatan tersebut biasanya memang lebih banyak dilakukan oleh TKDK dengan alasan mudah dilakukan dan tidak perlu menggunakan tenaga kerja dari luar. Tabel 29. Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Pada Budidaya Belimbing Dewa-Dewi Petani SOP dan Petani Non SOP Selama Satu Musim Panen dengan Luas Lahan 1000 m2 Kegiatan
Sanitasi Kebun Pemupukan Penyemprotan pupuk dan Insektisida Pembungkusan dan pejarangan buah Pemanenan Pemangkasan tanaman Jumlah
Petani SOP Total Jumlah (Rp) HOK 1,91 76.400,00 2,56 102.400,00
(%)
5,73 7,69
Total HOK 2,16 2,62
Petani Non SOP Jumlah (%) (Rp) 86.400,00 5,06 104.800,00 6,14
20,35
814.000,00
61,12
26,48 1.059.200,00
62,10
4,9
196.000,00
14,71
7,05
282.000,00
16,53
2,9
116.000,00
8,71
3,73
149.200,00
8,75
0,67
26.800,00
2,01
0,6
24.000,00
1,41
33,29
1.331.600,00
100
42,64 1.705.600,00
100
6.1.1.2. Biaya Tetap Kegiatan budidaya belimbing Dewa-Dewi oleh petani SOP maupun petani non SOP memerlukan alat bantu untuk mempermudah semua kegiatan budidaya, peralatan pertanian tersebut terdiri dari cangkul, parang, garu dan lain-lain. Biaya tetap yang dikeluarkan adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian yang digunakan dalam usahatani belimbing. Pada analisis pendapatan, biaya ini masuk ke dalam biaya yang diperhitungkan. Alat-alat pertanian mempunyai umur ekonomis yang panjang dan dapat digunakan dalam beberapa periode produksi. Alat-alat pertanian yang digunakan
petani akan mengalami penurunan nilai ekonomis selama digunakan karena penyusutan. Penurunan nilai tersebut terjadi secara berkelanjutan, bahkan hingga tidak mempunyai nilai jual. Nilai pembelian merupakan biaya asset yang harus dibebankan pada setiap periode produksi. Biaya penyusutan alat-alat pertanian dihitung dengan pendekatan metode garis lurus. Pada Tabel 30, biaya total penyusutan alat yang digunakan untuk kegiatan budidaya belimbing oleh petani SOP dan petani non SOP yaitu sebesar Rp 108.304,70 dan Rp 107.623,01. Biaya penyusutan terbesar pada petani SOP dan
petani non SOP yaitu pada alat sprayer yaitu sebesar Rp 25.555,55 untuk petani Sop dan Rp 26.571,42 untuk petani non SOP.
Tabel 30. Biaya Penyusutan Peralatan yang digunakan dalam Budidaya Belimbing oleh Petani SOP dan Petani Non SOP Selama Satu Musim Panen Jenis Alat Petani SOP Parang Garu Gunting Stek Golok Sprayer Keranjang Tangga Jumlah Petani Non SOP Cangkul Parang Garu Gunting Stek Golok Sprayer Keranjang Tangga Jumlah
Harga Per Unit (RP) 46.969.69 36.363,63 42.727,27
Jumlah 2 2 1
Umur Teknis (Tahun) 4 3 4
41.060,60
4
45.454,54 383.333,33 10.000,00 87.272,72
Jumlah (Rp) 93.939,38 72.727,26 42.727,27
Penyusutan (Rp) 7.828,28 8.080,80 3.560,60
3
164.242,40
18.249,15
2 1 6 3
4 5 1 5
90.909,08 383.333.30 60.000,00 261.818,20 1.169.697,00
7.575,75 25.555,55 20.000,00 17.454,54 108.304,70
45.857,14 34.142,86 31.428.57
2 2 1
4 3 4
91.714,28 68.285,72 31.428.57
7.642,85 7.587,30 2.619,04
38.714,28
3
3
116.142,80
12.904,76
46.285,71 398.571,42 10.000,00 92.428,57
1 1 7 3
4 5 1 4
46.285,71 398.571,40 70.000,00 277.285,70 1.099.714,00
3.857,14 26.571,42 23.333,33 23.107,00 107.623,01
6.2. Hasil Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa-Dewi Analisis pendapatan ini meliputi analisis pendapatan atas biaya total dan analisis pendapatan atas biaya tunai. Pada komponen biaya,biaya yang di keluarkan oleh petani untuk usahatani belimbing terdiri dari biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai terdiri dari biaya sarana produksi yang meliputi biaya pupuk NPK, pupuk daun (Gandasil), pupuk kandang, insektisida Curacon dan Decis, tenaga kerja dalam keluarga, serta kertas karbon. Sedangkan yang termasuk dengan biaya yang diperhitungkan adalah biaya penyusutan alat, biaya sewa lahan, biaya tenaga kerja dalam keluarga dan biaya pajak lahan. Pada Tabel 31, dapat dilihat bahwa petani SOP memiliki penerimaan sebesar Rp 6.288.876,00 sedangkan petani non SOP sebesar Rp 4.803.976,00. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan petani SOP lebih besar dibandingkan petani non
SOP. Besarnya penerimaan petani SOP dikarenakan buah belimbing yang dihasilkan lebih banyak serta memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan petani non SOP. Kualitas belimbing dibedakan menjadi tiga kelas (grade) yaitu grade A, grade B dan grade C, semakin baik kualitas maka semakin mahal harga belimbing tersebut. Produksi belimbing yang dihasilkan petani SOP rata-rata masuk kedalam grade B yaitu 45,8 persen, sedangkan petani non SOP rata-rata menghasilkan belimbing dengan grade C yaitu sebesar 46,6 persen dari total produksinya. Jumlah biaya total yang harus dikeluarkan petani SOP selama satu musim yaitu sebesar Rp 4.027.761,80. Persentase terbesar yang dikeluarkan petani adalah untuk biaya tidak tetap yang bersifat tunai sebesar Rp 2.587.857,00 atau 64,25
persen dari total biaya, sisanya sebesar Rp 1.439.904,70 atau 35,75 persen untuk biaya yang diperhitungkan. Biaya total yang harus dikeluarkan petani non SOP selama satu musim yaitu Rp 3.874.392,80 dengan persentase terbesar adalah untuk biaya tidak tetap bersifat tunai sebesar Rp 1.987.837,00 atau 52,30 persen dari total biaya, sedangkan besarnya persentase biaya yang diperhitungkan adalah 47,70 persen dari total biaya. Biaya terbesar dari masing-masing petani yaitu untuk biaya TKLK dan TKDK, hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja merupakan salah satu input yang penting dalam usahatani belimbing. Pada Tabel 31, pendapatan atas biaya total petani SOP selama satu musim adalah Rp 2.261.114,00. Hal ini lebih besar dibandingkan dengan pendapatan atas biaya total petani non SOP sebesar Rp 1.002.916,00. Besarnya pendapatan petani dipengaruhi oleh biaya yang dikeluarkan serta banyaknya produksi yang dihasilkan. Pada petani SOP menghasilkan belimbing lebih banyak yaitu 1492,17 kilogram, sedangkan petani non SOP hanya menghasilkan belimbing sebanyak 1370,06 kilogram. Berdasarkan segi biaya, petani SOP mengeluarkan biaya yang lebih besar dibandingkan petani non SOP. Hal ini karena petani SOP menggunakan lebih banyak sarana produksi dibandingkan petani non SOP. Tingginya total biaya petani SOP mampu ditutupi dengan besarnya penerimaan, sehingga petani SOP tersebut tidak mengalami kerugian. Hasil analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio) usahatani belimbing untuk petani SOP dan petani non SOP, menunjukkan bahwa usahatani ini memiliki penerimaan yang lebih besar dibandingkan dengan biaya usahatani.
Hal ini ditunjukkan oleh nilai R/C rasio yang lebih besar dari satu, yang berarti usahatani tersebut menghasilkan penerimaan lebih besar dari total biaya yang dikeluarkan.
Tabel 31. Analisis Pendapatan Usahatani Belimbing Dewa-Dewi Petani Non SOP dan Petani SOP Selama Satu Musim Panen dengan Luas lahan 1000 m2 SOP Uraian
Non SOP
Nilai (Rp)
1.492.17 Produksi (Kg) Grade A (Kg) 547,62 Grade B (Kg) 683,41 Grade C (Kg) 261,14 Penerimaan grade A (Rp) 2.902.386,00 Penerimaan grade B (Rp) 2.733.640,00 Penerimaan grade C (Rp) 652.850,00 A. Total Penerimaan 6.288.876,00 B. Biaya Usahatani Belimbing B. 1. Biaya Tunai 1. Pupuk NPK 69.425,00 2. Pupuk kandang 549.534,60 3. Pupuk Gandasil-B 9.484,80 4. Insektisida Curacon 239.567,40 5. Insektisida Decis 158.472,30 6. Kertas Karbon 285.840,00 7. TKLK 1.247.200,00 8. Pajak lahan 28.333,00 Total biaya tunai 2.587.857,00 B.2. Biaya diperhitungkan 1. TKDK 1.331.600,00 2. Penyusutan alat Total biaya yang diperhitungkan C. Total Biaya (B1+B2) D. Pendapatan atas Biaya Tunai (A-B1) E. Pendapatan atas Biaya Diperhitungkan (A-B2) F. Pendapatan atas Biaya Total (A-C) G. R/C atas Biaya Tunai (A/B1) H. R/C Biaya Total (A/C)
(%)
Nilai (Rp)
(%)
Harga /satuan (Rp)
36,7 45,8 17,5 -
1.370,06 216,47 515,14 638,45 1.147.291,00 2.060.560,00 1.596.125,00 4.803.976,00
15,8 37,6 46,6 -
1,72 13,64 0,24 5,95 3,93 7,10 30,97 0,70 64,25
82.125,00 195.062,78 15.055,20 113.794,60 72.906,20 302.960,00 1.177.600,00 28.333,00 1.987.837,00
2,16 5,13 0,40 2,99 1,92 7,97 30,98 0,75 52,30
-
33,06
1.705.600,00
44,8
-
108.304,70 1.439.904,70
2,69 35,75
107.623,01 1.886.556,01
2,83 47,7
-
4.027.761,80 3.701.019,00
100
3.874.392,80 2.816.139,00
100
-
5.300 4.000 2.500 -
4.848.971,00
2.990.753,00
-
2.261.114,00
1.002.916,00
-
2.43
2.42
-
1.56
1.26
-
Rasio R/C menggambarkan berapa besar penerimaan yang diperoleh petani dari tiap satu rupiah yang dikeluarkan. Nilai R/C ratio atas biaya tunai petani SOP dan petani non SOP adalah sebesar 2,43 dan 2,42. Nilai tersebut mempunyai arti bahwa setiap Rp 1,00 biaya tunai yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,43 untuk petani SOP dan sebesar 2,42 untuk petani non SOP. Nilai R/C ratio atas biaya total petani SOP dan petani non SOP adalah sebesar 1,56 dan 1,26. Hal tersebut berarti setiap Rp 1,00 biaya total yang dikeluarkan akan mengasilkan penerimaan sebesar Rp 1,56 untuk petani SOP dan sebesar Rp 1,26 untuk petani non SOP. Nilai rasio R/C tersebut selanjutnya diuji terhadap nilai tengah sebaran R/C populasi responden. Sebaran rasio R/C tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4 Hasil uji statistik terhadap nilai tengah rasio R/C dari responden petani SOP dan petani non SOP di lokasi penelitian dapat disimak pada Tabel 32. Nilai t-hitung rasio R/C atas biaya tunai dan total untuk petani SOP adalah sebesar 16,50 dan 7,02 sedangkan untuk petani non SOP adalah sebesar 15,72 dan 5,70. Nilai t-tabel diketahui sebesar 2,0423 untuk petani SOP dan sebesar 2,0369 untuk petani non SOP. Nilai t-tabel pada kedua hipotesis yang diuji untuk masingmasing petani lebih besar dari t-tabel, sehingga hipotesis awal ditolak pada taraf nyata lima persen. Kesimpulan dari uji tersebut yaitu rata-rata rasio R/C tunai maupun total pada petani SOP dan petani non SOP adalah lebih besar dari satu. Uji nilai tengah terhadap sebaran rasio R/C dari masing-masing petani dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 32. Pengujian Nilai Tengah Sebaran Rasio R/C Petani SOP dan Petani Non SOP Rasio R/C Petani SOP Atas biaya tunai Atas biaya total
Hipotesis Ho : R/C = 1 H1 : R/C > 1 Ho : R/C = 1 H1 : R/C > 1
Nilai t
Thitung = 16,50 Thitung = 7,02
Kesimpulan Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho
Petani Non SOP Atas biaya tunai Atas biaya total
Ho : R/C = 1 H1 : R/C > 1 Ho : R/C = 1 H1 : R/C > 1
Thitung = 15,72 Thitung = 5,70
Keterangan : Ttabel (0.05, 32) = 2,0423 ; Ttabel (0.05, 34) = 2,0369; α = 0,05
Tidak tolak Ho Tidak tolak Ho
VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEWA-DEWI
7. 1. Analisis Fungsi Produksi Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam budidaya belimbing ini adalah pupuk NPK, pupuk kandang, pupuk daun (Gandasil), insektisida Curacon, insektisida Decis dan tenaga kerja. Faktor-faktor produksi tersebut merupakan variabel bebas (dependent variabel) yang mempengaruhi produksi belimbing sebagai variabel tidak bebasnya (dependent variabel). Setelah pengumpulan informasi dan pendataan jumlah produksi belimbing serta tingkat penggunaan input yang digunakan dalam proses budidaya, maka disusunlah suatu model fungsi produksi yang menggambarkan hubungan antara faktor-faktor produksi yang digunakan dengan output yang dihasilkan. Fungsi produksi yang digunakan dalam penelitian ini, baik untuk petani SOP maupun petani non SOP adalah fungsi produksi eksponensial dengan enam peubah bebas. Peubah bebas yang digunakan adalah pupuk NPK (X1), pupuk kandang (X2), insektisida Curacon (X3), insektisida Decis (X4), pupuk Gandasil (X5) dan tenaga kerja (X6). Sedangkan peubah respon yang digunakan adalah produksi (Y). Pengujian terhadap ketepatan model fungsi produksi yaitu dengan melihat koefesien determinasi R2, F-hitung, dan t-hitung untuk masing-masing parameter.
7.1.1 Model Penduga I Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Petani SOP. Berdasarkan hasil pendugaan fungsi produksi untuk petani SOP, diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar 98,9 persen dan koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) sebesar 98,6 persen. Hal ini berarti keragaman produksi (Y)
mampu diterangkan sebesar 98,6 persen oleh peubah-peubah bebas yang digunakan oleh model, sedangkan sisanya sebesar 1,4 persen tidak dapat diterangkan oleh model. Hasil pendugaan fungsi produksi selengkapnya disajikan dalam Lampiran 7. Model penduga fungsi produksi usahatani belimbing petani SOP adalah sebagai berikut : Y = 2,06 X1 0,804 X2 0,330 X3 0,019 X4– 0,142 X5 – 0,0376 X6 0,201…………(17) Pengaruh semua variabel bebas yang digunakan terhadap produksi dari model diatas, dapat dilakukan dengan cara melakukan uji F. Nilai F-hitung pada model fungsi produksi yang diduga adalah sebesar 380,66. Nilai F-hitung yang lebih besar dari F-tabel (2,47) menunjukkan bahwa semua faktor produksi yaitu pupuk NPK, pupuk kandang, pupuk Gandasil, insektisida Curacon, insektisida Decis dan tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi pada selang kepercayaan 95 persen. Uji beda nyata koefisien regresi secara parsial dilakukan dengan pendekatan statistik uji-t pada taraf nyata lima persen. Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa keenam koefisien regresi dalam model memiliki nilai thitung yang lebih rendah dari t-tabel (2,055). Hal ini berarti koefisien regresi tersebut tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Penilaian terhadap masalah multikoleniaritas dapat dilakukan terhadap model dengan melihat nilai VIF (Variance Inflation Factor). Pada Tabel 33 variabel pupuk NPK, pupuk kandang dan insektisida Curacon memiliki nilai VIF lebih besar dari 10. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan variabel yang lain. Selain dengan melihat nilai VIF,
untuk melihat multikolinear juga dapat dilakukan dengan uji pearson correlation. Berdasarkan uji tersebut (Lampiran 8) bahwa pupuk NPK, pupuk kandang dan insektisida Curacon memiliki korelasi yang kuat dengan variabel lainnya, sehingga terjadi masalah multikolinear.
Tabel 33. Nilai VIF Hasil Uji Multikolinearitas Model Fungsi Produksi Petani SOP Variabel
Konstanta Pupuk NPK Pupuk kandang Insektisida Curacon Insektisida Decis Pupuk Gandasil Tenaga Kerja
Koefisien regresi 2,06 0,804 0,330 0,019 0,142 0,0376 0,201
VIF
592,2 574,6 13,4 8,9 3,6 9,7
7.1.2. Model Penduga I Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Petani Non SOP. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh model penduga fungsi produksi usahatani belimbing untuk petani non SOP. Hasil pendugaan fungsi produksi selengkapnya disajikan dalam Lampiran 9. Model fungsi produksi yang diperoleh adalah sebagai berikut : Y = 1,12 X10,101 X20,047 X30,272 X4– 0,181X5– 0,224 X61,41...........................(18) Nilai koefisien determinasi (R2) dari model diatas yaitu sebesar 93,9 persen, sedangkan nilai koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) adalah sebesar 92,6 persen. Hal ini berarti keragaman produksi (Y) mampu diterangkan sebesar 92,6 persen oleh peubah-peubah bebas yang digunakan oleh model, sedangkan sisanya sebesar 6,1 persen tidak dapat diterangkan oleh model. Nilai F-hitung pada model fungsi produksi yang diduga adalah sebesar 71,43. Nilai F-hitung yang lebih besar dari F-tabel (2,44) menunjukkan bahwa
semua faktor produksi yaitu pupuk NPK, pupuk kandang, pupuk Gandasil, insektisida Curacon, insektisida Decis dan tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi pada selang kepercayaan 95 persen. Berdasarkan hasil uji-t, diketahui bahwa koefisien regresi yang berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen yaitu insektisida Curacon dan tenaga kerja. Koefisien regresi pupuk NPK, pupuk kandang, insektisida Decis dan pupuk Gandasil memiliki nilai t-hitung yang lebih rendah dari t-tabel (2,048). Hal ini berarti koefisien regresi tersebut tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Penilaian terhadap masalah multikoleniaritas dapat dilihat pada Tabel 34, variabel tenaga kerja memiliki nilai VIF lebih besar dari 10. Hal ini mengindikasikan bahwa variabel tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan variabel yang lain. Multikolinearitas muncul dikarenakan adanya korelasi yang kuat antar variabel bebas di dalam model.
Tabel 34. Nilai VIF Hasil Uji Multikolinearitas Model Fungsi Produksi Petani Non SOP Variabel
Konstanta Pupuk NPK Pupuk kandang Insektisida Curacon Insektisida Decis Pupuk Gandasil Tenaga Kerja
Koefisien regresi 1,12 0,101 0,047 0,272 -0,181 -0,224 1,41
VIF
3,5 9,0 3,5 2,7 4,9 13,1
Berdasarkan uji pearson correlation, multikolinearitas terjadi karena tenaga kerja memiliki nilai korelasi yang tinggi yaitu mencapai 0,8 dengan variabel bebas lainnya. Hasil uji pearson correlation selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10.
Berdasarkan pengujian secara statistik terhadap model di atas, baik untuk petani SOP maupun petani non SOP terdapat masalah yaitu adanya multikolinier. Sehingga model tersebut tidak dapat digunakan untuk menduga besarnya produksi usahatani belimbing. Masalah multikolinear dalam suatu regresi berganda dapat diatasi,
yaitu
dengan
cara
menghilangkan
variabel
yang
mengandung
multikolinear dalam model, mentransformasi variabel atau membuat suatu rasio variabel (Nachrowi dan Usman, 2006). Modifikasi model fungsi produksi untuk petani SOP maupun petani non SOP agar sesuai dengan asumsi OLS (Ordinary Least Square), dilakukan dengan cara memilih model penduga produksi dari hasil analisis regresi dengan menggunakan metode best subsets. Metode regresi best subsets menghasilkan model regresi terbaik dengan cara mengkombinasikan variabel-variabel bebas yang ada. Pada metode ini, tidak semua variabel-variabel bebas yang ada pada model I ikut ke dalam model penduga II .
7.1.3. Model Penduga II Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Petani SOP. Berdasarkan hasil analisis menggunakan metode regresi best subsets, diperoleh model penduga produksi terbaik untuk petani SOP yang terdiri dari beberapa variabel penduga yaitu pupuk NPK (X1), insektisida Decis (X2), pupuk Gandasil (X3) dan tenaga kerja (X4). Hasil pendugaan fungsi produksi selengkapnya disajikan dalam Lampiran 11. Model fungsi produksi yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Y = 3,52 X1 1,13 X2 0,163 X3 – 0,027 X4 – 0,230...............................................(19)
Dari hasil pendugaan model produksi untuk petani SOP diatas, diperoleh koefisien determinsi (R2) sebesar 98,9 persen dan koefisien determinasi terkoreksi (R2adj) sebesar 98,7 persen. Angka R2adj tersebut menunjukkan bahwa kemampuan variabel bebas (X) seperti pupuk NPK, insektisida Curacon, insektisida Decis, pupuk Gandasil dan tenaga kerja dalam menjelaskan keragaman dari variabel tidak bebas (Y) sebesar 98,7 persen. Sedangkan sebesar 1,3 persen sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Pengujian mengenai pengaruh semua variabel bebas yang digunakan terhadap produksi dari model diatas, dapat dilakukan dengan cara melakukan uji F. Nilai F-hitung pada model fungsi produksi yang diduga adalah sebesar 602,71. Nilai F-hitung yang lebih besar dari F-tabel (2,71) menunjukkan bahwa semua faktor produksi yaitu pupuk NPK, pupuk kandang, pupuk Gandasil, insektisida Curacon, insektisida Decis dan tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi pada selang kepercayaan 95 persen. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis awal ditolak. Hasil analisa uji-F terhadap model fungsi produksi petani SOP disajikan dalam Tabel 35.
Tabel 35. Hasil Analisis Uji F Terhadap Model Fungsi Produksi II Petani SOP Hipotesis
H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = 0 H1 : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ β4 ≠ 0
F
Fhitung = 602,71 Ftabel (0,05,4,28) = 2,71
Kesimpulan
Tolak H0
Uji beda nyata koefisien regresi secara parsial dilakukan dengan pendekatan statistik uji-t pada taraf nyata lima persen. Berdasarkan hasil uji pada Tabel 36 diketahui bahwa koefisien regresi yang berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen yaitu pupuk NPK, insektisida Decis dan tenaga kerja. Koefisien
regresi pupuk Gandasil memiliki nilai t-hitung yang lebih rendah dari t-tabel (2,048). Hal ini berarti koefisien regresi tersebut tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Pada Tabel 37, dapat dilihat bahwa nilai VIF masing-masing variabel bebas dalam model miliki nilai lebih kecil dari 10. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas di dalam model penduga produksi untuk petani SOP. Selain melakukan uji multikolinearitas terhadap model, terdapat beberapa asumsi lain yang harus dipenuhi oleh model fungsi produksi yang telah didapat diantaranya adalah uji normalitas dan heteroskedastisitas. Kenormalan unsur sisaan diuji dengan pendekatan grafik kenormalan sisaan yang diperkuat dengan uji Anderson-Darling.
Tabel 36. Pengujian Beda Nyata Koefisien Regresi Model Produksi II Petani SOP Peubah
Pupuk NPK Insektisida Decis Pupuk Gandasil Tenaga Kerja
Koefisien Hipotesis regresi 1,13 H0: β1 = 0 H1: β1 > 0 0,163 H0: β2 = 0 H1: β2 > 0 -0,0277 H0: β3 = 0 H1: β3 > 0 -0,230 H0: β4 = 0 H1: β4 > 0
thitung
19,84 2,21 -0,58 -2,34
Kesimpulan
Terim a H0 Terim a H0 Tolak H0 Terim a H0
t0,05, (n – 5) =2,04
Asumsi kenormalan sisaan terpenuhi yang ditunjukkan dengan bentuk sebaran sisaan yang berupa garis lurus. Hasil uji grafik kenormalan sisaan yang diperkuat dengan hasil uji Anderson-Darling, dimana nilai-P sebaran sebesar 0,892 yang lebih besar dari taraf α = 5 persen. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Lampiran 12.
Tabel 37. Nilai VIF Hasil Uji Multikolinearitas Model Fungsi Produksi Petani SOP Variabel Konstanta Pupuk NPK Insektisida Decis Pupuk Gandasil Tenaga Kerja
Koefisien regresi 3,52 1,13 0,163 -0,0277 0,230
VIF
7,1 3,5 3,2 8,1
Asumsi kehomogenan sisaan (Homoscedasticity) pada model penduga juga terpenuhi, hal ini dilihat berdasarkan sebaran sisaan mempunyai pola acak dan merupakan indikasi bahwa sisaan mempunyai ragam konstan. Hasil uji kenormalan dan kehomogenan sisaan dapat dilihat pada Lampiran 10.
7.1.4. Model Penduga II Fungsi Produksi Usahatani Belimbing Petani Non SOP. Model penduga produksi terbaik untuk petani non SOP berdasarkan metode best subsets, terdiri dari beberapa variabel penduga yaitu pupuk NPK (X1), insektisida Curacon (X2), insektisida Decis (X3), pupuk Gandasil (X4) dan tenaga kerja (X5). Hasil pendugaan fungsi produksi selengkapnya disajikan dalam Lampiran 13. Model fungsi produksi yang diperoleh adalah sebagai berikut : Y = 1,01 X1 0,103 X2 0,286 X3 – 0,182 X4 – 0,215 X5 1,48..................................(20) Nilai koefisien determinsi (R2) dari model penduga produksi diatas, adalah 93,8 persen sedangkan koefisien determinasi terkoreksi (R2 adj) sebesar 92,8 persen. Angka R2adj tersebut menunjukkan bahwa kemampuan variabel bebas (X) seperti pupuk NPK, insektisida Curacon, insektisida Decis, pupuk Gandasil dan tenaga kerja dalam menjelaskan keragaman dari variabel tidak bebas (Y) sebesar
92,8 persen. Sedangkan sebesar 7,2 persen sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model. Nilai F-hitung pada model fungsi produksi yang diduga adalah sebesar 88,29. Nilai F-hitung yang lebih besar dari F-tabel (2,54) menunjukkan bahwa semua faktor produksi yaitu pupuk NPK, pupuk kandang, pupuk Gandasil, insektisida Curacon, insektisida Decis dan tenaga kerja secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi pada selang kepercayaan 95 persen. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis awal ditolak. Hasil analisa uji-F terhadap model fungsi produksi petani non SOP disajikan dalam Tabel 38.
Tabel 38. Hasil Analisis Uji F terhadap Fungsi Produksi Petani Non SOP Hipotesis
H0 : β1 = β2 = β3 = β4 = β5 = 0 H1 : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ β4 ≠ β5 ≠ 0
F
Fhitung = 88,29 Ftabel (0,05,5,29) = 2,54
Kesimpulan
Tolak H0
Hasil uji koefisien regresi secara parsial untuk petani non SOP dapat dilihat pada Tabel 39. Berdasarkan hasil uji tersebut diketahui bahwa koefisien regresi yang berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen yaitu insektisida Curacon dan tenaga kerja. Koefisien regresi pupuk NPK, insektisida Decis dan pupuk Gandasil memiliki nilai t-hitung yang lebih rendah dari t-tabel (2,045). Hal ini berarti koefisien regresi tersebut tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen. Berdasarkan nilai VIF yang lebih kecil dari 10, mengindikasikan bahwa masing-masing variabel bebas yang terdapat di dalam model produksi II petani non SOP tidak terdapat multikolinearitas. Selengkapnya mengenai nilai VIF dari masing-masing variabel bebas dapat dilihat pada Tabel 40.
Tabel 39. Pengujian Beda Nyata Koefisien Regresi Pada Model Produksi II Petani Non SOP Peubah
Pupuk NPK Insektisida Curacon Insektisida Decis Pupuk Gandasil Tenaga Kerja
Koefisien Hipotesis regresi 0,103 H0: β1 = 0 H1: β1 > 0 0,286 H0: β2 = 0 H1: β2 > 0 -0,183 H0: β3 = 0 H1: β3 > 0 -0,215 H0: β4 = 0 H1: β4 > 0 1,48 H0: β5 = 0 H1: β5 > 0
thitung
Kesimpulan
1,12
Tolak H0 Terim a H0 Tolak H0 Tolak H0 Terim a H0
2,09 -1,31 -1,05 6,82
t0,05, (n – 6) =2,045
Model fungsi produksi yang telah didapat dikatakan layak sebagai model penduga produksi apabila memenuhi beberapa asumsi ekonometrika. Uji tersebut bukan hanya mengenai uji multikolinearitas, tetapi juga harus memenuhi beberapa asumsi yaitu kenormalan sisaan dan kehomogenan sisaaan. Kenormalan unsur sisaan diuji dengan pendekatan grafik kenormalan sisaan yang diperkuat dengan uji Anderson-Darling. Hasil uji grafik kenormalan sisaan yang diperkuat dengan hasil uji Anderson-Darling, dimana nilai-P sebaran sebesar 0,143 yang lebih besar dari taraf α = 5 persen. Asumsi kenormalan sisaan terpenuhi yang ditunjukkan dengan bentuk sebaran sisaan yang berupa garis lurus
Tabel 40. Nilai VIF Hasil Uji Multikolinearitas Model Fungsi Produksi II Petani Non SOP Variabel Konstanta Pupuk NPK Insektisida Curacon Insektisida Decis Pupuk Gandasil Tenaga Kerja
Koefisien regresi 1,01 0,103 0,286 -0,183 -0,215 1,48
VIF
3,5 3,3 2,7 4,9 8,3
Berdasarkan pengujian kehomogenan sisaan (Homoscedasticity) pada model penduga, diketahui bahwa sebaran sisaan mempunyai pola acak dan merupakan indikasi bahwa sisaan mempunyai ragam konstan. Hasil uji kenormalan dan kehomogenan sisaan dapat dilihat pada Lampiran 14. Hasil pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas dari masing-masing petani secara statistik telah memenuhi asumsi OLS. Akan tetapi, fungsi produksi tersebut tidak memenuhi kaidah atau asumsi fungsi Cobb-Douglas. Asumsi yang tidak terpenuhi adalah nilai elastisitas dari faktor produksi yang bernilai lebih kecil dari pada nol dan lebih besar dari satu. Pada fungsi produksi berdasarkan asumsi Cobb-Douglas, setiap elastisitas faktor produksi pada kurva produksi klasik harus berada pada daerah dua yaitu elastisitas antara nol dan satu. Elastisitas faktor produksi yang lebih kecil dari nol adalah pupuk Gandasil dan tenaga kerja pada fungsi produksi petani SOP serta insektisida Decis dan pupuk Gandasil pada fungsi produksi petani non SOP. Elastisitas faktor produksi yang lebih besar dari satu adalah pupuk NPK pada fungsi produksi petani SOP dan tenaga kerja pada fungsi produksi petani non SOP. Tidak terpenuhinya salah satu asumsi Cobb-Douglas menjadi keterbatasan dalam model penduga produksi dari masing-masing petani. Implikasinya, model yang dihasilkan belum dapat menggambarkan hubungan yang tepat antara input dan output pada usahatani belimbing dari masing-masing petani responden. Akan tetapi fungsi produksi tersebut merupakan fungsi yang terbaik dari beberapa model yang telah dicoba, yaitu fungsi produksi linear berganda, translog, logaritma linear (loglin) dan PCA (principal component analysis).
7.2. Analisis Skala Usaha (Return To Scale) Analisis return to scale dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai elastisitas pada fungsi produksi eksponensial dari masing-masing petani. Penjumlahan dari nilai elastisitas tersebut dapat digunakan untuk mengetahui keadaan skala usaha. Jumlah nilai elastisitas dalam model untuk petani SOP dan petani non SOP adalah 1,035 dan 1,47. Hal ini menggambarkan bahwa usahatani belimbing dari masing-masing petani berada pada skala increasing return to scale, berarti apabila seluruh faktor produksi ditambah secara proporsional sebesar satu satuan, maka penambahan input yang diperoleh akan lebih besar dari satu satuan.
7.2.1. Analisis Elastisitas Faktor Produksi Elastisitas produksi adalah persentase perubahan output sebagai akibat perubahan persentase input. Berdasarkan persamaan yang telah ada, dapat dilihat nilai elastisitas input, sehingga dapat diketahui sejauh mana pengaruh input-input tersebut terhadap output. Pada usahatani belimbing petani SOP, input yang digunakan berupa pupuk NPK, insektisida Decis, pupuk Gandasil dan tenaga kerja. Petani non SOP dalam budidayanya menggunakan input berupa pupuk NPK, insektisida Curacon, insektisida Decis, pupuk Gandasil dan tenaga kerja. Pengaruh masing-masing input produksi petani SOP dan Petani non SOP adalah dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pupuk NPK Pupuk NPK merupakan salah satu pupuk yang digunakan pada kegiatan budidaya belimbing. Nilai elastisitas pupuk NPK untuk petani SOP adalah 1,13
dan untuk petani non SOP adalah 0,103. Nilai tersebut memiliki arti bahwa setiap penambahan pupuk NPK sebesar satu persen sementara semua faktor produksi dianggap konstan, maka akan meningkatkan jumlah produksi belimbing sebesar 1,13 persen untuk petani SOP dan 0,103 persen untuk petani non SOP. Nilai koefisien pupuk NPK pada fungsi produksi petani SOP berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 95 persen, sedangkan untuk petani non SOP pupuk NPK tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Penggunaan faktor produksi berupa pupuk NPK oleh petani SOP berada pada daerah irrasional karena mempunyai elastisitas yang positif yaitu lebih besar dari satu. Nilai elastisitas faktor produksi pupuk NPK untuk petani non SOP berada pada daerah rasional karena mempunyai nilai yang positif yaitu antara nol dan satu. Pada kurva fungsi produksi, nilai elastisitas pupuk NPK untuk petani SOP yang lebih besar dari satu masuk ke dalam daerah I. Pada daerah ini produksi masih dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan pemakaian jumlah input pupuk NPK. Penerapan dosis pupuk NPK oleh petani SOP telah sesuai dengan anjuran yang ditetapkan oleh Dinas Pertanian Kota Depok tentang teknis budidaya belimbing yaitu satu kilogram per pohon. Penggunaan dosis pupuk NPK oleh petani SOP yaitu 1,02 kilogram per pohon, sedangkan petani non SOP sebesar 1,21 kilogram per pohon. Penggunaan pupuk NPK yang berlebihan diduga berpengaruh buruk pada tanaman, sehingga menyebabkan produksi belimbing petani non SOP lebih rendah dibandingkan petani SOP.
2. Insektisida Decis Nilai elastisitas faktor produksi insektisida Decis untuk petani SOP adalah sebesar 0,163 dan untuk petani non SOP adalah -0,183. Hal ini berarti setiap penambahan insektisida Decis sebesar satu persen sementara semua faktor produksi dianggap konstan, akan meningkatkan jumlah produksi belimbing petani SOP sebesar 0,163 persen. Hal sebaliknya terjadi pada petani non SOP yaitu setiap penambahan insektisida Decis sebesar satu persen sementara semua faktor produksi dianggap konstan, maka akan mengurangi jumlah produksi belimbing sebesar 0,183 persen. Nilai koefisien insektisida Decis pada fungsi produksi petani SOP berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 95 persen, sedangkan untuk petani non SOP nilai koefisien insektisida Decis tidak berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 95 persen. Penggunaan faktor produksi berupa insektisida Decis oleh petani SOP berada pada daerah rasional karena mempunyai elastisitas yang positif yaitu anatar nol dan satu. Nilai elastisitas faktor produksi petani non SOP berupa insektisida Decis berada pada daerah irrasional karena mempunyai elastisitas yang negatif yaitu lebih kecil dari nol. Pada kurva fungsi produksi, nilai elastisitas pupuk NPK untuk petani non SOP yang lebih kecil dari nol (negatif) masuk ke dalam daerah III. Berbeda dengan petani SOP, penerapan dosis insektisida Decis oleh petani non SOP tidak sesuai dengan aturan pakai yang tertera pada kemasan produk yaitu antara 0,5-1 mililiter per liter. Penggunaan dosis insektisida Decis oleh petani non
SOP yaitu 0,27 mililiter per liter, sedangkan untuk petani SOP sebesar 0,71 mililiter per liter. Penerapan dosis yang lebih rendah dari aturan pakai diduga mengurangi produksi belimbing yang dihasilkan oleh petani non SOP. Semakin rendahnya dosis yang diterapkan maka akan mengurangi tingkat toksisitas suatu insektisida terhadap hama sasaran. Hal ini menyebabkan intensitas serangan hama tidak dapat dikurangi sehingga menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman belimbing, yang akhirnya berimplikasi pada rendahnya produksi tanaman tersebut. Hal lain yang diduga mempengaruhi produksi belimbing petani non SOP yaitu waktu penyemprotan insektisida yang tidak tepat. Petani non SOP dalam satu minggu melakukan penyemprotan insektisida sebanyak dua kali tanpa melihat intensitas serangan yang terjadi, sedangkan untuk petani SOP seringnya penyemprotan tergantung dari tingginya atau tidaknya intensitas atau serangan hama yang ada. Petani SOP mengetahui tinggi atau tidaknya serangan hama yang terjadi yaitu melalui informasi yang didapat dari para penyuluh pertanian yang selalu mengontrol ke lokasi budidaya. Hal berbeda justru didapat oleh petani non SOP, dimana para penyuluh pertanian jarang datang dan memberi bimbingan serta informasi mengenai intensitas serangan hama yang terjadi pada saat kegiatan budidaya berlangsung. Ketidaktahuan petani non SOP terhadap intensitas serangan hama yang tinggi, membuat tanaman belimbing mudah terserang hama dan mempengaruhi produksi tanaman belimbing.
3. Insektisida Curacon Penggunaan insektisida Curacon dalam produksi belimbing pada petani petani non SOP berpengaruh nyata terhadap produksi yang dihasilkan, pada tingkat kepercayaan 95 persen. Besarnya pengaruh insektisida Curacon terhadap produksi belimbing adalah sebesar 0,286. Nilai tersebut memiliki arti bahwa setiap penambahan insektisida Curacon sebesar satu persen sementara semua faktor produksi dianggap konstan, maka akan meningkatkan jumlah produksi belimbing sebesar 0,286. Penggunaan faktor produksi berupa pupuk Curacon, berada pada daerah rasional karena mempunyai nilai elastisitas yang positif yaitu lebih kecil dari satu. Penggunaan insektisida Curacon di lapangan menurut para petani Non SOP cukup bagus dibandingkan insektisida Decis, walaupun waktu penyemprotan yang dilakukan oleh petani kadang tidak tepat. Menurut mereka hal ini karena penerapan dosis dan tingkat toksisitas insektisida Curacon lebih tinggi dibandingkan insektisida Decis dalam menekan serangan hama yang sering menyerang tanaman belimbing.
4. Pupuk Gandasil Nilai elastisitas faktor produksi pupuk Gandasil untuk petani SOP dan petani non SOP yaitu sebesar -0,0277 dan -0,215. Hal ini berarti setiap penambahan pupuk Gandasil sebesar satu persen sementara semua faktor produksi dianggap konstan, akan mengurangi jumlah produksi sebesar 0,0277 persen untuk petani SOP dan sebesar 0,215 persen untuk petani non SOP. Nilai koefisien pupuk Gandasil pada fungsi produksi petani SOP dan petani non SOP tidak berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Penggunaan faktor produksi berupa pupuk Gandasil oleh petani SOP dan petani non SOP berada pada daerah irrasional karena mempunyai elastisitas yang negatif yaitu lebih kecil dari nol. Pada kurva fungsi produksi, nilai elastisitas pupuk Gandasil untuk kedua petani yang lebih kecil dari nol (negatif) masuk ke dalam daerah III. Penggunaan pupuk Gandasil oleh petani bertujuan untuk merangsang pertumbuhan bunga, yang nantinya akan menjadi bakal buah belimbing. Berkurangnya produksi diduga karena bunga yang akan menjadi bakal buah gugur karena terpaan angin dan hujan, hal ini karena petani melakukan budidaya bertepatan pada saat musim penghujan.
5. Tenaga Kerja Nilai elastisitas faktor produksi tenaga kerja untuk petani SOP adalah sebesar -0,230 dan untuk petani non SOP sebesar 1,48. Hal ini berarti setiap penambahan tenaga kerja sebesar satu persen sementara semua faktor produksi dianggap konstan, akan menurunkan jumlah produksi belimbing petani SOP sebesar 0,230 persen. Hal sebaliknya terjadi pada petani non SOP yaitu setiap penambahan tenaga kerja sebesar satu persen sementara semua faktor produksi dianggap konstan, maka akan meningkatkan jumlah produksi belimbing sebesar 1,48 persen. Penggunaan faktor produksi berupa tenaga kerja oleh kedua petani berada pada daerah irrasional karena mempunyai elastisitas yang negatif yaitu lebih kecil dari nol untuk petani SOP, dan nilai yang positif yaitu lebih besar dari satu untuk petani non SOP. Nilai koefisien tenaga kerja pada fungsi produksi petani SOP dan
petani non SOP berpengaruh nyata terhadap produksi pada tingkat kepercayaan 99 persen. Tenaga kerja banyak dibutuhkan dalam kegiatan budidaya belimbing, terutama pada saat kegiatan penjarangan dan pembungkusan buah. Berkurangnya produksi belimbing diduga karena pengetahuan para tenaga kerja tentang kegiatan penjarangan buah yang sesuai dengan SOP masih sangat rendah. Berdasarkan SOP, buah yang dijarangkan adalah buah yang bergerombol, terdapat pada ujung ranting, cacat, terserang penyakit dan hama. Kriteria buah yang harus dijarangkan tersebut kadang tidak terlalu diperhatikan oleh para tenaga kerja. Hal ini karena mereka tidak tahu atau karena telah terbiasa dengan cara biasa (non SOP), yang hanya menjarangkan buah yang terdapat pada ujung ranting, cacat, terserang penyakit dan hama. Terkadang ada pula tenaga kerja yang memang sengaja melakukan penjarangan buah yang tidak sesuai dengan kriteria SOP. Menurut para pekerja, mereka melakukan hal tersebut untuk menghemat waktu, karena apabila menjarangkan buah sesuai dengan kriteria SOP memerlukan banyak waktu. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya pengawasan petani pengelola dalam mengontrol pekerja pada saat kegiatan tersebut berlangsung. Kurangnya pengetahuan dan belum terbiasanya para pekerja, dikarenakan teknis budidaya berdasarkan SOP masih sangat baru yaitu baru berjalan kurang lebih satu tahun.
7.3. Analisis Efisiensi Ekonomi Tujuan akhir dari suatu proses produksi yang diusahakan oleh petani tidak hanya ingin mencapai tingkat produksi yang setinggi-tingginya, namun yang lebih utama adalah memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Menurut Teken
dan Asnawi (1977), tujuan tersebut dapat dilakukan dengan memenuhi syarat keharusan dan syarat kecukupan. Pemenuhan dua syarat tersebut ditandai oleh tercapainya Nilai Produk Marjinal (NPM) sama dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) atau rasio NPM/BKM sama dengan satu. Besaran Produk Marjinal (PM) perlu diketahui terlebih dahulu untuk mendapatkan NPM, karena NPM merupakan hasil kali harga produk (Py) dengan PM. Biaya Korbanan Marjinal adalah tambahan biaya yang dikeluarkan untuk meningkatkan penggunaan faktor-faktor produksi satu-satuan. Tingkat efisiensi ekonomi penggunaan faktor-faktor produksi dapat dilihat dari rasio NPM-BKM per periode. Kondisi efisiensi produksi belimbing oleh petani SOP dan petani non SOP dapat diketahui jika produksi belimbing dan harga produk diketahui. Pada penelitian ini, produksi belimbing untuk petani SOP adalah sebesar 1.492,17 kilogram per periode produksi dengan harga produk sebesar Rp. 4.288,00 per kilogram. Nilai ini ialah hasil dari penerimaan petani dibagi dengan total produksi. Begitu pula untuk petani non SOP, besarnya produksi belimbing ialah 1.370.06 kilogram per periode produksi dengan harga produksi sebesar Rp.3.538,00 per kilogram. Berdasarkan Tabel 41, tingkat penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani belimbing untuk petani SOP dan petani non SOP masih belum efisien. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan rasio NPM-BKM yang tidak sama dengan satu. Apabila rasio NPM-BKM lebih besar dari satu berarti penggunaan faktor produksi belum efisien, sehingga agar efisien maka penggunaan faktor produksi tersebut harus ditambah. Hal sebaliknya dilakukan apabila rasio NPM-BKM lebih
kecil dari satu yang menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi tersebut sudah tidak efisien, maka penggunaan faktor produksi tersebut harus dikurangi.
Tabel 41. Perbandingan Rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) dari Produksi Belimbing untuk Petani SOP dan Petani Non SOP Faktor Produksi
Petani SOP Pupuk NPK Insektisida Decis Pupuk Gandasil Tenaga Kerja Petani Non SOP Pupuk NPK Insektisida Curacon Insektisida Decis Pupuk Gandasil Tenaga Kerja
Input rata-rata
Koefisien Regresi
BKM
NPM
27.77 932.19 316.16 64.47 32,85 669,38 428,86 501,84 72.08
Rasio NPM/BK M
1,13 0,163 -0,0277 -0,230
2.500,00 170,00 30,00 40.000,00
260.360,83 1.118,81 -560,59 -22.826,71
104,14 6,58 18,68 0,57
0,103 0,286 -0,183 -0,215 1,48
2.500,00 170,00 170,00 30,00 40.000,00
15.198,45 2.071,05 -2.068,39 -2.076,68 99.527,79
6,07 12,18 12,16 69,22 2,48
Rasio NPM-BKM pupuk NPK untuk petani SOP adalah 104,14, sedangkan untuk petani non SOP adalah 6,07. Hal ini berarti penggunaan pupuk NPK masih belum efisien, untuk mencapai efisien maka penggunaan input tersebut masih dapat ditingkatkan. Penggunaan insektisida Curacon oleh petani non SOP dilokasi penelitian masih belum efisien. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio NPM-BKM insektisida Curacon yang lebih besar dari satu. Rasio NPMBKM insektisida Curacon untuk petani non SOP adalah sebesar 12,18 sehingga untuk mencapai efisien maka penggunaan input tersebut masih dapat ditingkatkan. Rasio NPM-BKM insektisida Decis untuk petani SOP adalah 6,58 sedangkan untuk petani non SOP adalah 12,16. Nilai tersebut menunjukkan bahwa penggunaan insektisida Decis oleh masing-masing petani masih belum efisien, untuk mencapai efisien maka penggunaan input tersebut masih dapat ditingkatkan. Penggunaan pupuk Gandasil oleh masing-masing petani di lokasi
penelitian harus ditingkatkan untuk mencapai kondisi efisien. Hal tersebut berdasarkan nilai rasio NPM-BKM pupuk Gandasil untuk masing-masing petani yang lebih besar dari satu. Nilai rasio NPM-BKM pupuk Gandasil untuk petani SOP sebesar 18,68 sedangkan untuk petani non SOP adalah 69,22. Rasio NPM-BKM tenaga kerja untuk petani non SOP adalah 2,48, sedangkan untuk petani SOP adalah 0,57. Hal ini berarti penggunaan tenaga kerja oleh petani non SOP harus ditambah agar kondisi efisien tercapai, sebaliknya penggunaan tenaga kerja harus dikurangi petani SOP agar kondisi efisien tercapai.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan 1. Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh petani dalam satu periode produksi yaitu sebesar Rp 3.701.019,00 untuk petani SOP dan sebesar Rp 2.816.139,00 untuk petani non SOP. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh petani SOP yaitu sebesar Rp 2.261.114,00 sedangkan petani non SOP memperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp 1.002.916,00. Sehingga R/C rasio atas biaya tunai dan total untuk petani SOP sebesar 2,43 dan 1,56, sedangkan rasio R/C atas biaya tunai dan total yang diperoleh petani non SOP yaitu sebesar 2,42 dan 1,26. 2. Berdasarkan hasil pengujian secara statistik, produksi belimbing petani SOP dipengaruhi oleh pupuk NPK, insektisida Decis dan tenaga kerja. Sedangkan untuk petani non SOP produksi dipengaruhi oleh insektisida Curacon dan tenaga kerja. 3. Tingkat penggunaan faktor-faktor produksi pada usahatani belimbing untuk petani SOP dan petani non SOP masih belum efisien. Kondisi tersebut ditunjukkan dengan rasio NPM-BKM yang tidak sama dengan satu. Faktor produksi petani SOP yang memiliki nilai rasio NPM-BKM yang lebih besar dari satu yaitu pupuk NPK (104,14), pupuk Gandasil (18,68) dan insektisida Decis (6,58), sedangkan faktor produksi tenaga kerja memiliki nilai rasio NPM-BKM lebih kecil dari satu yaitu sebesar 0,57. Semua faktor produksi yang digunakan petani non SOP memiliki nilai rasio NPM-BKM lebih besar dari satu. Faktor produksi tersebut terdiri dari pupuk NPK (6,07), insektisida
Curacon (12,18), insektisida Decis (12,16), pupuk Gandasil (69,22) dan tenaga kerja (2,48). 8.2. Saran 1.
Pemberian bantuan berupa modal maupun sarana pertanian dapat dilakukan oleh Dinas Pertanian Kota Depok, khususnya kepada petani belimbing non SOP. Hal ini bertujuan agar petani Non SOP dapat menerapkan teknis budidaya belimbing sesuai dengan SOP, sehingga akhirnya dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani tersebut.
2.
Perlunya pengawasan dan pemberian informasi kepada petani non SOP terhadap intensitas serangan hama yang terjadi secara berkala untuk mencegah kerugian yang akan diderita petani non SOP karena rusak dan berkurangnya produksi buah yang dihasilkan.
3.
Bagi petani SOP, perlu meningkatkan pengawan terhadap para tenaga kerja dalam kegiatan penjarangan dan pembungkusan buah. Pengawasan yang kurang, mengakibatkan para pekerja tidak melakukan penjarangan buah dengan benar dan sesuai SOP. Hal ini nantinya akan menyebabkan turunnya produksi buah yang dihasilkan petani SOP.
4.
Penggunaan input produksi oleh petani SOP dan petani non SOP masih belum efisien. Agar tercapai efisiensi, maka input produksi dari masingmasing petani yang memiliki nilai ratio NPM-BKM lebih besar dari satu harus ditambah. Hal sebaliknya dilakukan pada rasio NPM-BKM lebih kecil dari satu, maka penggunaan input tersebut harus dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
Angraini, H. 2006. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Buah Belimbing Depok Varietas Dewa-Dewi Kasus Kecamatan Pancoran Mas. Kota Depok. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik Kota Depok. 2003. Kota Depok dalam Angka 2002/2003. Badan Pusat Statistik, Kota Depok. Departemen Pertanian. 2004. Panduan Budidaya Buah yang Benar (Good Agriculture Practices) Sistem Sertifikasi Pertanian Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Hortikultura. Jakarta. Dinas Pertanian Kota Depok. 2005. Profil Belimbing Kota Depok. Depok. 2007. Kajian Strategi Produksi Belimbing (Laporan Akhir). Dinas Pertanian Kota Depok. Depok. . . ....2007. Profil Belimbing Kota Depok. Dinas Pertanian Kota Depok. Depok. 2007. Standar Operasional Prosedur Belimbing Dewa. Dinas Pertanian Kota Depok. Depok. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2007. Data Produksi dan Luas Panen Buah-buahan Indonesia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Jakarta. Farihah, I. 2005. Analisis Pendapatan dan Efesiensi Harga Faktor-Faktor Produksi Usahatani Jamur Merang (Volvariella volvaceae) Kasus Kecamatan Cilamaya, Kabupaten Karawang. Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Gujarati, Damodar N. 1988. Basic Econometrics. Second Edition. McGraw-Hill Book Company. New York. Hernanto, F. 1989. Ilmu usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Irawati, I.N. 2006. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Padi Program PTT dan Non Program PTT. (kasus : Penerapan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) di Kabupaten Karawang). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Departemen Sosial-Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Maya, D. 2006. Analisis Efesiensi Harga Faktor-Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Salak Bongkok (kasus di Desa Jambu, Kecamatan Conggeang, Sumedang). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Departemen Sosial-Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Murjoko. 2004. Analisis Efesiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Ayam Ras Pedaging. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Departemen Sosial-Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Nachrowi, D. dan Usman, H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Nasution, Y.H. 2005. Analisis Efisiensi Faktor-Faktor Produksi Udang Tambak di Indonesia. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Departemen Sosial-Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Pasaribu, P. 2006. Analisis Pendapatan dan Efesiensi Harga Faktor-Faktor Produksi Usahatani Wortel di Kabupaten Tegal (Kasus Desa Rambul, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal, Propinsi Jawa Tengah). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Departemen Sosial-Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Poerwanto. 1994. Bertanam Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta. Pusat Kajian Buah Tropika. 1998. Proyeksi Permintaan Buah-Buahan per Kapita Indonesia Tahun 1998-2015. PKBT. Bogor Rukmana. R. 1996. Belimbing. Penerbit Kanisius. Jakarta. Soeharjo dan Patong, 1973. Sendi-sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmuilmu Sosial-Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Khusus Analisis Fungsi Cobb-Douglas. Raja Grafindo persada. Jakarta. ________ . 2002. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta
________ . 2002. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sunarjono. H. S. 2002. Berkebun Belimbing Manis. Penebar Swadaya. Jakarta. Teken. I.B. dan Asnawi, S. 1977. Teori Ekonomi Mikro. Departemen Ilmu-ilmu Sosial-Ekonomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tim Penulis Penebar Swadaya. 1998. 13 Jenis Belimbing Manis. Penebar Swadaya. Depok. Wijayakusuma. H.M dan Setiawan. D. 2005. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Darah Tinggi. Penebar Swadaya. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Produksi Buah-buahan Indonesia Tahun 2001-2006 Komoditi Alpukat Belimbing
2001
2002
2003
2004
2005
2006
141,703.00
238,182.00
255,957.00
221,774.00
227,577.00
239,463.00
53,157.00
56,753.00
67,261.00
78,117.00
65,966.00
70,298.00
Blewah
0
0
31,532.00
34,582.00
63,860.00
67,708.00
Duku/ Langsat Durian
113,071.00
208,350.00
232,814.00
146,067.00
163,389.00
157,655.00
347,118.00
525,064.00
741,831.00
675,902.00
566,205.00
747,848.00
Jambu Air
0
0
0
117,576.00
110,704.00
128,648.00
Jambu Biji
137,598.00
162,120.00
239,108.00
327,896.00
178,509.00
196,180.00
Jeruk
691,433.00
968,132.00
1,441,680.00
2,071,084.00
2,214,020.00
2,565,543.00
0
0
0
76,324.00
63,801.00
85,691.00
Jeruk Besar Jeruk Siam Mangga
0
0
0
0
2,150,219.00
2,479,852.00
923,294.00
1,402,906.00
1,526,474.00
1,437,665.00
1,412,884.00
1,621,997.00
Manggis
25,812.00
62,055.00
79,073.00
62,117.00
64,711.00
72,634.00
Markisa
0
0
0
0
82,892.00
119,683.00
37,141.00
59,106.00
70,560.00
47,664.00
58,440.00
55,370.00
415,079.00
537,186.00
694,654.00
710,795.00
712,693.00
683,904.00
494,968.00
555,588.00
677,089.00
709,918.00
925,082.00
1,427,781.00
Melon Nangka/ Cempedak Nenas Pepaya
500,571.00
605,194.00
626,745.00
732,611.00
548,657.00
643,451.00
Pisang
4,300,422.00
4,384,384.00
4,177,155.00
4,874,439.00
5,177,608.00
5,037,472.00
Rambutan
350,875.00
476,941.00
815,438.00
709,857.00
675,578.00
801,077.00
Salak
681,255.00
768,015.00
928,613.00
800,975.00
937,931.00
861,950.00
Sawo
63,011.00
69,479.00
83,877.00
88,031.00
83,787.00
107,169.00
240,298.00
266,904.00
0
410,195.00
366,702.00
392,587.00
46,951.00
52,974.00
0
82,338.00
75,767.00
84,373.00
Semangka Sirsak Sukun
41,036.00
47,549.00
62,432.00
66,994.00
73,637.00
88,339.00
9,604,793.00
11,446,882.00
12,752,293.00
14,482,921.00
17,000,619.00
18,736,673.00
Sumber : Departemen Pertanian (2007)7
7
http://www.deptan.go.id
Lampiran 2. Nilai Khi Khuadrat Berdasarkan Indikator Efisiensi dan Karakteristik Petani SOP RC Tunai rendah tinggi RC Total rendah tinggi
RC Tunai rendah tinggi RC Total rendah tinggi
RC Tunai rendah tinggi RC Total rendah tinggi
RC Tunai rendah tinggi RC Total rendah tinggi
30-35 36-40 41-45 46-50 >50 Tahun Tahun Tahun Tahun tahun 1.090909 0.057041 0.161616 0.757576 0.494949 1.309091 0.068449 0.193939 0.909091 0.593939 30-35 36-40 Tahun Tahun 1.333333 0.039216 2.666667 0.078431
SD 0.167832 0.201399 SD
41-45 Tahun
SMP
0.365801 0.438961 5-7 tahun 1.166667 2.333333
< 1000 0.027273 0.032727 < 1000 0.133333 0.266667
SMA
0.97071 1.16485 SMP
0.012821 0.025641
5-7 tahun
46-50 >50 Tahun tahun 0 0.083333 0.25 0 0.166667 0.5
8-10 Tahun 0.000758 0.000909 8-10 Tahun
1.093939 1.312727
1000-4320 0.136364 0.163636 1000-4320 0.106667 0.213333
1.705882 3.411765 5.117647
2.232479 2.678974 4.911453 Total
0.033333 0.066667
> 10 Tahun
0.046154 0.092308 0.138462 Total
0.494949 0.593939 > 10 Tahun
0.133333 0.266667
Total
Total
SMA 0 0
Total 2.562092 3.07451 5.636601
0.861508 1.03381 1.895317 Total
0.25 0.5
>5000
1.55 3.1 4.65 Total
1.636364 1.963636 >5000
1.8 2.16 3.96 Total
2 4
2.24 4.48 6.72
Lampiran 3. Nilai Khi Khuadrat Berdasarkan Indikator Efisiensi dan Karakteristik Petani Non SOP 30-35 36-40 41-45 46-50 > 50 RC Tunai Tahun Tahun Tahun Tahun tahun Total rendah 0.631955 0.352005 0.125969 0.084712 1.154887 2.349528 tinggi 0.750446 0.418006 0.149588 0.100595 1.371429 2.790064 5.139592 30-35 36-40 41-45 46-50 > 50 RC Total Total Tahun Tahun Tahun Tahun tahun rendah 0.223214 0.107143 0.043956 0.297619 0.047619 0.719551 tinggi 0.297619 0.142857 0.058608 0.396825 0.063492 0.959402 1.678953 RC Tunai rendah tinggi
SD
SMP
SMA
Total
0.338847 0.402381
0.05414 0.06429
0.168421 0.2
0.561404 0.666667 1.22807
0.669643 0.892857
0.14286 0.19048
0.25 0.333333
1.0625 1.416667 2.479167
RC Total rendah tinggi RC Tunai rendah tinggi RC Total rendah tinggi
RC Tunai rendah tinggi RC Total rendah tinggi
5-7 tahun 0.15447 0.183433 5-7 tahun 0.285714 0.380952
< 1000 0.327162 0.388504 < 1000 3.752232 5.002976
8-10 Tahun 0.889474 1.05625 8-10 Tahun 0.5 0.666667
1000-4320 0.340027 0.403782 1000-4320 3.361345 4.481793
> 10 Tahun 1.154887 1.371429 > 10 Tahun 0.047619 0.063492
>5000 0.006767 0.008036 >5000 0.017857 0.02381
Total 2.19883 2.611111 4.809942 Total 0.833333 1.111111 1.944444 Total 0.673955 0.800322 1.474277 Total 7.131434 9.508578 16.64001
Lampiran 4. Sebaran Efisiensi (R/C Rasio) Petani SOP dan Petani Non SOP Petani SOP
R/C Tunai
Suhaemi Sabil Nanang Adul Mad Rohim Ahmad Mahmud Yasin Karta Wawan Sukriah Eny Sendi Kamarudin H.Jaelani Durochman Ahmd. Tohir Amin Suheni Rimin Namat H. Saini Yayat Tabroni Ubaydillah Komar H. Rouf H. Arifin Basuni Misan Abd. Rozie Atmaja Zayahir Rosyid Jumlah Rata-rata
2.934284 3.097681 5.293797 2.807917 2.458808 2.614425 3.114256 2.727787 2.691678 2.978238 2.376863 2.31296 3.246791 2.150846 2.214081 2.737537 2.606285 2.353477 1.497781 2.638864 2.27554 2.575376 2.575738 3.007935 2.645778 2.750366 2.768716 2.299364 2.462689 2.252532 2.985419 2.721465 2.250184 88.42546 2.679559
R/C Total 2.580641 2.641329 4.413833 2.312533 1.779124 1.277295 2.589485 1.702167 1.893304 2.235997 1.509012 1.731661 1.798815 1.472171 1.555976 1.486715 1.36102 1.386859 1.091998 1.264575 1.609778 1.933011 1.316463 1.564278 1.163168 1.485408 1.755444 1.45595 1.992841 1.668426 1.633053 1.130634 1.483333 58.2763 1.765948
Petani
Non R/C Tunai R/C Total SOP 3.500819 1.015133 Tohir 3.072106 1.267095 Syafrudin 1.955201 0.815092 Leman 3.358807 1.207906 Anwar 1.963315 0.813204 Ahmad 1.503631 0.704104 Samin 3.038731 1.350104 Mulih 2.982679 1.446225 Ayatullah 4.120386 1.210274 Abd. Hakim 2.545946 0.750556 Naih 2.74184 1.111625 Sanusi 2.845657 1.272403 Jarkasih 2.449059 1.165605 Amir 2.696906 1.107098 Abdullah 3.117078 0.981003 Agus Bari 2.364162 1.063531 Tohir Yunus 4.426235 2.269601 Abu Mutolib 2.94368 1.410953 Agus Zunaidi 4.255988 1.903682 Amir 2.743658 1.631773 Syaiful 2.091095 1.292701 Karim 2.032167 1.337849 Kosasih 2.246478 1.441038 Supriatna 2.007272 1.607203 Abd. Hamid 2.42239 1.604832 Muh. Tohir 2.26719 1.320498 Samin. R 2.969613 2.295153 Karwijaya 2.594372 1.717414 Ahm. Kholid 2.768884 1.86395 Asmanudin 2.653476 1.60406 Hamanih 2.358687 1.651955 Ukar Wijaya 2.252373 1.443625 Suratman 2.264955 1.474031 Aden 2.878642 2.494348 misbahul 2.676165 2.206487 syamronih Jumlah 95.10964 49.85211 Rata-rata 2.717418 1.424346
Lampiran 5. Uji Nilai Tengah Sebaran Rasio R/C petani SOP dan Petani Non SOP One-Sample T: rc tunai Petani Non SOP Test of mu = 2.72 vs not = 2.72
Variable rc tunai
N 35
Mean 2.71742
StDev 0.64623
SE Mean 0.10923
95% CI (2.49543, 2.93941)
T -0.02
P 0.981
One-Sample T: rc total Petani Non SOP Test of mu = 1.42 vs not = 1.42
Variable rc total
N 35
Mean 1.42435
StDev 0.44038
SE Mean 0.07444
95% CI (1.27307, 1.57562)
T 0.06
One-Sample T: rc tunai Petani SOP Test of mu = 2.67 vs not = 2.7
Variable rc tunai_1
N 33
Mean 2.67956
StDev 0.58475
SE Mean 0.10179
95% CI (2.47222, 2.88690)
T -0.20
95% CI (1.54359, 1.98831)
T 0.05
P 0.842
One-Sample T: rc total Petani SOP Test of mu = 1.76 vs not = 1.76 Variable rc total_1
N 33
Mean 1.76595
StDev 0.62709
SE Mean 0.10916
P 0.957
P 0.954
Lampiran 6. Hasil Analisis Regresi Model Penduga Produksi I Belimbing Petani SOP Regression Analysis: The regression equation is Produksi (Kg) = 2.06 + 0.804 Pupuk NPK (Kg) + 0.330 Pupuk kandang (Kg) + 0.019 Curacon (ml) + 0.142 Decis (ml) - 0.0376 Gandasil B (grm) - 0.201 Tenaga kerja (HOK) Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 2.059 2.304 0.89 0.380 Pupuk NPK (Kg) 0.8039 0.5362 1.50 0.146 592.5 Pupuk kandang (Kg) 0.3299 0.5459 0.60 0.551 574.6 Curacon (ml) 0.0186 0.1469 0.13 0.900 13.4 Decis (ml) 0.1416 0.1206 1.17 0.251 8.9 Gandasil B (grm) -0.03763 0.05168 -0.73 0.473 3.6 Tenaga kerja (HOK) -0.2007 0.1105 -1.82 0.081 9.7 S = 0.0813119 R-Sq = 98.9% R-Sq(adj) = 98.6% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 6 15.1007 2.5168 380.66 0.000 Residual Error 26 0.1719 0.0066 Total 32 15.2726
Lampiran 7. Koefisien Korelasi antar Peubah Petani SOP Correlations: Produksi (Kg, Pupuk NPK (K, Pupuk kandan, Curacon (ml), ... Pupuk NPK (K Pupuk kandan Curacon (ml) Decis (ml) Gandasil B ( Kertas karbo Tenaga kerja
Gandasil B ( Kertas karbo Tenaga kerja
Produksi (Kg 0.832 0.000 0.911 0.000 0.810 0.000 0.666 0.000 0.815 0.000 0.999 0.000 0.961 0.000
Pupuk NPK (K
Pupuk kandan
Curacon (ml)
0.789 0.000 0.633 0.000 0.589 0.000 0.734 0.000 0.832 0.000 0.842 0.000
0.810 0.000 0.708 0.000 0.847 0.000 0.915 0.000 0.938 0.000
0.728 0.000 0.767 0.000 0.804 0.000 0.805 0.000
Decis (ml) 0.750 0.000 0.660 0.000 0.730 0.000
Gandasil B (
Kertas karbo
0.817 0.000 0.874 0.000
0.962 0.000
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Lampiran 8. Hasil Analisis Regresi Model Penduga Produksi I Produksi Belimbing Petani Non SOP Regression Analysis: The regression equation is
Produksi (Kg) = 1.12 + 0.101 Pupuk NPK (Kg) + 0.047 Pupuk kandang (Kg) + 0.272 Curacon (ml) - 0.181 Decis (ml) - 0.224 Gandasil B (grm) + 1.41 Tenaga kerja (HOK) Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 1.1229 0.8523 1.32 0.198 Pupuk NPK (Kg) 0.10137 0.09336 1.09 0.287 3.5 Pupuk kandang (Kg) 0.0474 0.1239 0.38 0.705 9.0 Curacon (ml) 0.2723 0.1431 1.90 0.067 3.5 Decis (ml) -0.1813 0.1412 -1.28 0.210 2.7 Gandasil B (grm) -0.2241 0.2095 -1.07 0.294 4.9 Tenaga kerja (HOK) 1.4139 0.2775 5.09 0.000 13.1 S = 0.203462 R-Sq = 93.9% R-Sq(adj) = 92.6% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 6 17.7428 2.9571 71.43 0.000 Residual Error 28 1.1591 0.0414 Total 34 18.9020
Lampiran 9. Koefisien Korelasi antar Peubah Petani Non SOP Correlations: Produksi (Kg, Pupuk NPK (K, Pupuk kandan, Curacon (ml), ... Pupuk NPK (K Pupuk kandan Curacon (ml) Decis (ml) Gandasil B ( Tenaga kerja
Gandasil B (
Tenaga kerja
Produksi (Kg 0.832 0.000 0.911 0.000 0.810 0.000 0.666 0.000 0.815 0.000 0.961 0.000 Decis (ml) 0.750 0.000
Pupuk NPK (K
0.730 0.000
0.874 0.000
0.789 0.000 0.633 0.000 0.589 0.000 0.734 0.000 0.842 0.000 Gandasil B (
Cell Contents: Pearson correlation P-Value
Pupuk kandan
Curacon (ml)
0.810 0.000 0.708 0.000 0.847 0.000 0.938 0.000
0.728 0.000 0.767 0.000 0.805 0.000
Lampiran 10. Hasil Analisis Regresi Model Penduga Produksi II Produksi Belimbing Petani SOP Regression Analysis: Produksi (Kg versus Pupuk NPK (K; Decis (ml); ... The regression equation is Produksi (Kg) = 3,52 + 1,13 Pupuk NPK (Kg) + 0,163 Decis (ml) - 0,0277 Gandasil B (grm) - 0,230 Tenaga kerja (HOK) Predictor Constant Pupuk NP Decis (m Gandasil Tenaga k
Coef 3,5221 1,13260 0,16312 -0,02769 -0,22981
S = 0,07913
SE Coef 0,3663 0,05710 0,07380 0,04767 0,09825
R-Sq = 98,9%
T 9,61 19,84 2,21 -0,58 -2,34
P 0,000 0,000 0,035 0,566 0,027
VIF 7,1 3,5 3,2 8,1
R-Sq(adj) = 98,7%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 4 28 32
SS 15,0973 0,1753 15,2726
MS 3,7743 0,0063
F 602,71
P 0,000
Lampiran 11. Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Model Penduga Produksi II Petani SOP
Uji Normalitas
,999 ,99
Probability
,95 ,80 ,50 ,20 ,05 ,01 ,001
Residuals Versus0,0 the Fitted Values -0,1 0,1 (response is Produksi)
RESI1
Average: 0,0000000 0,2 StDev: 0,0740233 N: 33
Anderson-Darling Normality Test A-Squared: 0,190 P-Value: 0,892
Residual
0,1
0,0
-0,1
7
8
Fitted Value
9
Lampiran 12. Hasil Analisis Regresi Model Penduga Produksi II Produksi Belimbing Petani Non SOP Regression Analysis: Produksi (Kg versus Pupuk NPK (K; Curacon (ml); ... The regression equation is Produksi (Kg) = 1,01 + 0,103 Pupuk NPK (Kg) + 0,286 Curacon (ml) - 0,183 Decis (ml) - 0,215 Gandasil B (grm) + 1,48 Tenaga kerja (HOK) Predictor Constant Pupuk NP Curacon Decis (m Gandasil Tenaga k
Coef 1,0060 0,10263 0,2855 -0,1827 -0,2149 1,4786
S = 0,2004
SE Coef 0,7839 0,09192 0,1368 0,1391 0,2050 0,2168
R-Sq = 93,8%
T 1,28 1,12 2,09 -1,31 -1,05 6,82
P 0,210 0,273 0,046 0,199 0,303 0,000
VIF 3,5 3,3 2,7 4,9 8,3
R-Sq(adj) = 92,8%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 5 29 34
SS 17,7368 1,1652 18,9020
MS 3,5474 0,0402
F 88,29
P 0,000
Lampiran 13. Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas Model Penduga Produksi II Petani SOP
Uji Normalitas
,999 ,99
Probability
,95 ,80 ,50 ,20 ,05 ,01 ,001 -0,3
-0,2
-0,1
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
RESI1 Average: -0,0000000 StDev: 0,185121 N: 35
Anderson-Darling Normality Test A-Squared: 0,553 P-Value: 0,143
Residuals Versus the Fitted Values (response is Produksi)
0,4 0,3
Residual
0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 7
8
Fitted Value
9
Lampiran 14. Data Penggunaan Input dan Produksi Belimbing Petani SOP dan Petani Non SOP dengan Luas Lahan 1000 m2 SOP
Produksi (Kg)
Pupuk NPK (Kg)
Pupuk kandang (Kg)
Curacon (ml)
Decis (ml)
Gandasil B (grm)
Kertas karbon (Kg)
Tenaga kerja (HOK)
Suhaemi
11262,85714
200
13000
4500
3000
1200
270
294
Sabil
10714,28571
200
12000
3000
2400
800
250
289
Nanang
13812,85714
200
14000
4500
2250
1500
330
133
Adul
6278,571429
120
7200
3000
1800
800
150
186
2763
60
4200
2400
1350
480
63
117
1519,071429
30
2100
1800
1200
240
38,25
81
7200
120
8400
4500
2400
600
168
183
Yasin
2014,285714
40
2800
1800
1200
360
47
86
Karta
3253,714286
60
4200
2400
1500
640
78
122
Wawan
4771,714286
80
5600
3000
1800
600
114
142
Sukriah
2035,714286
40
2800
1800
1050
480
50
96
Eny Sendi
3343,785714
65
4550
3000
2250
800
84,5
123
1795,1625
27
1890
1800
1650
240
42,525
71
H.Jaelani
2247,428571
48
3360
2250
1500
600
55,2
106
Durochman
2535,714286
50
3500
3000
1800
800
62,5
113
Ahmd. Tohir
1618,392857
30
2100
1500
900
200
39,75
77
Amin
1303,571429
25
1750
1350
750
270
31,25
73
Suheni
1473,642857
30
2100
1650
1200
440
34,5
83
Mad Rohim Ahmad Mahmud
Kamarudin
Rimin
2085,714286
40
2800
4500
2550
900
50
147
Namat
1114,285714
20
1400
1800
1200
480
26
66
H. Saini
2659,285714
50
3500
2550
1800
680
63,75
121
Yayat
3471,428571
60
4200
3000
2250
1000
81
128
Tabroni
1376,571429
30
2100
1350
900
360
33
79
Ubaydillah
1632,428571
30
2100
1500
900
400
39
75
Komar
1028,571429
20
1400
1800
1350
360
24
66
H. Rouf
1564,285714
30
2100
1650
1050
440
37,5
77
H. Arifin
2263,857143
40
2800
2100
1500
280
53
96
Basuni
1840
35
2450
2250
1800
600
40,25
90
Misan
5631,428571
100
7000
3000
1950
1000
135
208
Abd. Rozie
3175,714286
60
4200
2400
1650
640
78
134
Atmaja
1715,5
35
2450
1800
1200
240
41,125
72
Zayahir
1017,857143
20
1400
1500
900
200
25
65
Rosyid
2314,285714
40
2800
1950
1200
520
60
104
Rata-rata
1492,176227
27,77777778
1923,400673
1409,22542
932,18921
316,1587384
35,73232323
64,50098941
Non SOP
Produksi (Kg)
Pupuk NPK (Kg)
Pupuk kandang (Kg)
Curacon (ml)
Decis (ml)
Gandasil B (grm)
Kertas karbon (Kg)
Tenaga kerja (HOK)
Tohir
811,5714286
30
400
500
250
500
23
56
Syafrudin
1323,214286
50
500
500
500
500
37,5
70
Leman
725,7142857
25
600
500
500
500
20
65
Anwar
1092,857143
20
500
500
250
500
30
65
Ahmad
617,5714286
15
300
500
500
500
16,5
59
Samin
682,8571429
30
400
500
500
500
20
65
Mulih
1451,071429
25
500
1000
500
500
42,5
67
Ayatullah
1403,571429
25
500
1000
500
500
37,5
71
Abd. Hakim
951,1071429
27
630
1000
500
500
24,75
58
Naih
608,0357143
15
400
500
250
500
18,75
58
Sanusi
991,8571429
30
400
500
500
500
26,5
68
Jarkasih
1224,642857
37,5
600
1000
500
500
33,75
67
Amir
1084,821429
20
600
1000
500
500
28,125
71
Abdullah
1093,857143
30
400
500
500
500
31
68
889
30
400
500
500
500
24,5
67
Tohir Yunus
1058,571429
30
400
500
500
500
30
68
Abu Mutolib Agus Zunaidi
2777,142857
60
800
1000
500
500
72
88
1720,178571
40
540
500
250
500
48,75
85
Amir
1852,714286
30
500
500
250
500
49,5
72
Syaiful
2644,321429
40
600
1000
500
500
72,875
121
Karim
1871,428571
60
800
1000
500
500
50
111
Kosasih
2522,928571
65
1300
1500
500
1000
71,5
127
2987,5
70
1400
1500
1000
1000
87,5
131
Abd. Hamid
5052,857143
180
4200
2000
1000
1500
135
222
Muh. Tohir
3555,035714
130
2275
1000
500
500
100,75
142
Samin. R
1984,821429
22,5
1575
1000
750
750
56,25
98
6550
150
2000
1500
1000
1500
175
204
Ahm. Kholid
3440,357143
32,5
1950
1500
500
750
97,5
130
Asmanudin
3742,857143
40
1600
1500
750
1000
100
148
Hamanih
2456,928571
35
1000
1000
750
750
66,25
110
Ukar Wijaya
3443,428571
100
2800
1250
750
1000
92
145
2902,25
35
2450
1000
750
750
82,25
131
2868
80
2100
1000
500
750
84
119
Misbahul
11611,42857
300
7000
1500
1000
1500
320
294
Syamronih
8164,285714
75
5250
1500
1000
1000
225
248
1370,06746
32,85233285
682,7320827
669,3814893
428,85895
501,8392102
37,87698413
71,6577926
Agus Bari
Supriatna
Karwijaya
Suratman Aden
rata-rata