4
TINJAUAN PUSTAKA Belimbing ( Averrhoa carambola L.) Belimbing banyak terdapat di daerah tropis dan sangat popular di masyarakat. Tanaman belimbing mudah tumbuh dan mampu berbuah lebat jika dirawat dengan sungguh-sungguh sesuai dengan aturan budidaya (Zahara 2005). Sumber genetik dari keanekaragaman belimbing diduga terdapat di Malaysia sampai sekarang, dikenal dua macam belimbing yaitu belimbing yang buahnya manis disebut belimbing manis (carambola) dan belimbing yang rasanya asam disebut belimbing wuluh (bilimbi). Nilai ekonomis buah belimbing manis lebih tinggi dibandingkan belimbing wuluh. Belimbing wuluh biasanya digunakan sebagai campuran membuat sayur. Belimbing manis memiliki daging buah berbentuk seperti bintang sehingga disebut dengan star fruit, permukaannya licin seperti lilin, berlekuk-lekuk, mempunyai bagian pinggir yang disebut lingir terdapat lekukan kedalam berjumlah 5 rusuk. Rasa manisnya bervariasi sesuai dengan jenis dan varietasnya. Jenis belimbing yang dibudidayakan diberbagai negara beriklim tropis adalah dari varietas belimbing manis (Samson 1992). Belimbing manis merupakan salah satu komoditi hortikultura yang banyak digemari masyarakat. Disamping bentuknya yang menarik, rasa buahnya enak. Buah belimbing manis mempunyai nilai gizi yang cukup baik terutama sebagai sumber vitamin C. Setiap 100 g daging buah belimbing mengandung 90 g air, 36 kkal energi, 0.4 lemak, 0.4 g protein, 170 SI vitamin A, 35 mg vitamin C, 0.03 mg vitamin B1, 12 mg fosfor, 1.1 mg besi dan 4 mg kalsium (Ditjen Bina Produksi Hortikultura 2004). Dalam taksonomi tumbuhan, tanaman belimbing manis diklasifikasikan dalam: Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Oxalidales
Famili
: Oxalidaceae
Genus
: Averrhoa
Species
: carambola L. (Backer & Brink 1963).
5
Pohon belimbing berkayu keras, tinggi pohon mencapai 12 m dengan penampilan ramping dan tidak terlalu besar. Daun belimbing termasuk daun majemuk meyirip ganjil. Daun muda berwarna kemerahan, setelah tua berwana hijau muda. Tanaman belimbing mempunyai akar tunggang dan memiliki akar samping banyak. Akarnya cukup kuat tetapi tidak terlalu dalam sekitar 1.5 – 2 m. Bunga belimbing terdiri dari 5 helai kelopak dan 5 helai mahkota. Bakal buah mempunyai 5 ruang dengan bakal biji (ovulum) yang jumlahnya lebih dari satu. Kelopak bunga berwarna kemerah-merahan, pangkal mahkota bunga berwarna merah, ujung mahkota berwarna keungu-unguan. Perpaduan warna tersebut menarik binatang pencari madu sehingga dapat membantu penyerbukan (Tjitrosoepomo 1996). Bunga belimbing umumnya keluar dalam tandan atau rangkaian yang bercabang-cabang (panicula). Kuntum bunga belimbing kecil, lemah, dan mudah gugur jika tertiup angin. Bunga belimbing termasuk bunga sempurna. Berdasarkan jenis kelaminnya, bunga belimbing termasuk hermaprodit karena dalam satu bunga terdapat dua jenis kelamin, yaitu putik dan benang sari. Kedudukan putik adalah heterodistylus, artinya ada yang lebih rendah dan ada yang lebih tinggi dibandingkan benang sari. Jumlah benang sari 10 buah, terdapat dalam dua kelompok, 5 benang sari yang ada disebelah dalam lebih pendek daripada putik dan 5 benang sari terletak di luar lebih tinggi daripada putik. Benang sari yang lebih pendek biasanya rudimenter. Dengan adanya putik yang berkedudukan lebih rendah dibandingkan benang sari memungkinkan terjadinya penyerbukan sendiri (self-pollination) (Samson 1992). Belimbing manis umumnya dibudidayakan di dataran rendah dengan ketinggian 0-500 m di atas permukaan laut. Tanaman ini membutuhkan sinar matahari langsung dengan lama penyinaran 7 jam setiap hari dengan intensitas 4550%. Cuaca panas dan hujan yang seragam sepanjang tahun adalah keadaan yang sesuai untuk tanaman belimbing. Tanah dengan kandungan unsur hara yang seimbang sangat cocok untuk pertumbuhannya. Curah hujan 1500-3000 mm setahun dan suhu 25-27°C sangat cocok untuk belimbing (Ditjen Bina Produksi Hortikultura 2004).
6
Belimbing berbuah tidak mengenal musim. Buah menjadi masak 90-110 hari setelah anthesis. Panen dilakukan 3-4 kali dalam setahun, panen besar biasanya bulan Juli-Agustus. Umur petik dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan iklim. Di dataran rendah yang iklimnya basah, umur petiknya sekitar 35-60 hari setelah pembungkusan atau 65-90 hari setelah bunga mekar. Belimbing harus dipetik setelah matang di pohon karena tidak dapat diperam (non-klimaterik). Belimbing dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun. Belimbing selalu menghasilkan bunga dengan jumlah yang sangat banyak, tetapi bunga dan buah belimbing mudah rontok (Samson 1992). Pemilihan varietas atau bibit unggul merupakan komponen utama yang sangat penting dalam peningkatan produksi suatu tanaman. Varietas belimbing unggul adalah varietas belimbing yang memiliki produktivitas tinggi, resisten terhadap hama dan penyakit, berkualitas tinggi, serta dapat ditanam diberbagai kondisi lingkungan baru (kisaran adaptasi luas). Berikut ini beberapa varietas belimbing yang memiliki kriteria tersebut adalah belimbing Demak, Sembiring, Bangkok, Paris, Dewa, Dewi dan Wulan (IP2TP 2007). Pola Kerontokan Bunga dan Buah Produksi buah-buahan dapat ditingkatkan melalui beberapa cara diantaranya adalah mengurangi jumlah buah yang rontok. Untuk mengurangi jumlah buah yang rontok diperlukan pengetahuan tentang pola kerontokan buah. Absisi atau kerontokan buah merupakan proses lepasnya buah dari pohon seperti halnya terjadi pada daun, bunga dan bagian-bagian bunga. Absisi terjadi pada zona absisi yang berada pada tangkai buah. Proses absisi diinduksi oleh rendahnya kandungan auksin dan tingginya etilen pada zona absisi (Taiz & Zeiger 2002). Kerontokan bunga dan buah terjadi akibat pekanya zona absisi terhadap etilen (Bangert, 2000). Etilen merupakan hormon pemacu kerontokan yang kuat dan tersebar luas diberbagai organ tumbuhan. Etilen menginduksi sintesis serta sekresi hidrolase pengurai dinding sel. Ini merupakan efeknya pada transkripsi, jumlah mRNA yang menyandikan hidrolase meningkat. Meningkatnya sekresi enzim hidrolase menyebabkan kerusakan pada dinding sel zona absisi dan terjadi proses kerontokan organ tanaman (Salisbury & Ross 1995).
7
Secara fisiologis kerontokan bunga dan buah berkorelasi dengan terbatasnya suplai fotosintat dan kecukupan hara (Marschner 1986), serta regulasi hormonal pada zona absisi (Bangert 2000). Kerontokan buah terjadi akibat aktifnya lapisan absisi yaitu lapisan yang terletak dekat pangkal tangkai buah, selsel parenkim kecil pada lapisan ini memiliki dinding yang sangat tipis dan tidak ada sel serat disekitar jaringan pembuluh. Lapisan ini akan melemah bila enzim menghidrolisis polisakarida dalam dinding sel, akibatnya buah rontok. Absisi dikontrol oleh perubahan keseimbangan etilen dan auksin, bila konsentrasi auksin rendah sel-sel pada lapisan absisi menjadi peka terhadap etilen. Etilen menginduksi sintesis enzim yang mencerna sellulosa dan komponen lain pada dinding sel (Campbell et al. 2003). Absisi buah yang terjadi selama perkembangan buah akibat aktifnya zona absisi. Proses tersebut diinduksi oleh beberapa faktor lingkungan, persaingan dalam penggunaan asimilat dan kandungan hormon internal. Zona absisi pada mangga terletak pada tangkai buah dengan jarak beberapa mm dari cekung buah (tempat menempelnya buah pada tangkai buah). Dari aspek biokimia dan molekuler, absisi
terjadi karena aktifnya enzim ß-1,4- endoglukanase (EG) dan
polygalacturonase (PG). Dua enzim hidrolase tersebut terlibat dalam kerusakan dinding sel tanaman yang bertanggung jawab terhadap kerontokan bunga dan buah. Kekhususan zona absisi dalam memberikan respon terlepasnya organ-organ tergantung kepekaan lapisan tersebut terhadap etilen (Bonghi et al. 2000). Perkembangan zona absisi dapat diinduksi meningkatnya ABA dan menurunnya IAA, umumnya terjadi pada waktu terjadi kegagalan penyerbukan dan fertilisasi. Kegagalan polinasi dan fertilisasi merupakan salah satu faktor penyebab kerontokan bunga. Bunga yang polinasi dan fertilisasinya berhasil, sintesis auksinnya meningkat sehingga tidak mengalami absisis (Bangert 2000). Aneja dan Gianfagna (1999) melaporkan bahwa auksin terlibat dalam fruitset kakao. Auksin bisa berasal dari polen setelah terjadi polinasi dan juga bisa terbentuk di ovari. Pemberian auksin eksogen dapat menginduksi fruitset dan perkembangan buah, karena pemberian auksin eksogen dapat sebagai pengganti penyerbukan.
8
Menurut Bangert (2000) kerontokan buah dapat dijelaskan melalui hipotesis correlative dominance effect. Suatu buah mempunyai tingkat dominansi yang berbeda-beda. Tingkat dominansi suatu buah ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya adalah fruitset dan jumlah buah dalam satu tangkai. Suatu buah dikatakan mempunyai tingkat dominansi yang relatif rendah apabila buah tersebut paling akhir fruitset-nya dan dalam suatu tangkai banyak buah lain yang waktu fruitset-nya lebih awal. Buah yang mempunyai tingkat dominansi rendah tidak mampu menjaga konsentrasi auksin minimal agar zona absisi tidak peka terhadap etilen. Kepekaan zona absisi terhadap etilen karena kandungan auksin rendah, ditandai dengan aktifnya aktivitas enzim hidrolitik. Peningkatan enzim ini menyebabkan rusaknya dinding sel pada zona absisi. Kerusakan dinding sel pada zona absisi menyebabkan terpisahnya organ tanaman dari pohon induknya. Buah
memerlukan
asimilat
dalam
jumlah
yang
cukup
selama
perkembangannya. Proses mendapatkan asimilat dalam jumlah yang cukup merupakan proses persaingan baik dengan buah lain maupun dengan organ vegetatif. Kemampuan buah untuk mendapatkan asimilat ditentukan oleh sink strength buah tersebut. Buah akan rontok mempunyai sink strength yang lebih rendah dibandingkan buah retensi. Kandungan auksin yang lebih tinggi pada biji buah retensi menyebabkan buah retensi mempunyai sink strength yang lebih kuat dibandingkan buah akan rontok (Taiz & Zeiger 2002). Hasil penelitian Bains et al. (1997b) menunjukkan bahwa buah mangga yang akan rontok mempunyai kandungan auksin lebih rendah dibandingkan dengan buah retensi. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas enzim peroksidase dan IAA-oksidase pada buah yang akan rontok. Peningkatan aktivitas enzim tersebut mengurangi konsentrasi IAA dalam buah yang sedang berkembang. Tingginya konsentrasi etilen dan rendahnya konsentrasi auksin dan GA menyebabkan kerontokan buah (Aneja & Gianfagna 1999). Konsentrasi IAA dan GA3 pada buah dan tangkai buah yang rontok lebih rendah dibandingkan pada buah dan tangkai buah yang retensi, buah yang akan rontok mempunyai kandungan asam absisat yang tinggi. Kerontokan buah juga disebabkan oleh peningkatan produksi etilen (Bains et al. 1997a).
9
Tingkat kerontokan buah yang tertinggi terjadi pada minggu pertama setelah fruitset. Kerontokan terus berlangsung sampai beberapa minggu walaupun tingkat kerontokannya rendah. Puncak kerontokan buah mangga hanya terjadi satu kali yaitu pada saat 6 hari setelah anthesis. Setelah itu jumlah buah yang rontok menurun drastis. Penurunan terus berlanjut sampai 21 hari setelah anthesis dan mencapai nol pada hari ke-24 setelah anthesis. Tingkat kerontokan buah mangga diatas 95% (Sakhidin et al. 2004). Pada lengkeng gugur buah berlangsung dua kali yaitu : (1) beberapa saat setelah penyerbukan, (2) pada saat buah berdiameter 1 cm, kira-kira dua minggu setelah penyerbukan (Choo & Ketsa 1992). Pada leci gugur buah berlangsung dua periode yaitu : (1) berlangsung selama 4 minggu setelah bunga betina mekar seluruhnya. Bunga betina lengkeng yang berkembang menjadi buah muda hanya sebesar 5-10%, (2) seminggu kemudian periode ke dua terjadi dan berhenti setelah 8-9 minggu setelah bunga betina mekar seluruhnya. Bunga betina yang berkembang menjadi buah dewasa 3-5% (Stern et al. 1995). Informasi mengenai pola kerontokan buah diperlukan untuk menentukan saat paling tepat untuk memberikan perlakuan tertentu, sehingga jumlah buah yang rontok dapat dikurangi. Pola kerontokan buah dikaitkan dengan perubahan kandungan hormon endogen diperlukan dalam usaha mengurangi kerontokan buah melalui pemberian zat pengatur tumbuh. Peranan Hormon dalam Proses Kerontokan Bunga dan Buah Hormon tanaman merupakan senyawa-senyawa kimia yang terjadi secara alamiah di dalam tanaman yang berperan dalam mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara aktif pada konsentrasi yang sangat rendah (George & Sherington 1984). Menurut Wattimena (1988) hormon tanaman adalah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6 – 10-5mM), yang disintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut kebagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologi dan morfologis. Bahan kimia sintetik yang mempunyai peranan sama dengan hormon tanaman disebut zat pengatur tumbuh tanaman sintetik (George et. al. 1984). Fitohormon yang secara umum dikenal adalah
10
auksin, giberelin, sitokinin, asam absisik dan etilen (Salisbury & Ross 1995). Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam bidang hortikultura sudah banyak dilakukan. Zat pengatur tumbuh diberikan pada tanaman dengan tujuan untuk mengontrol dan memodifikasikan pertumbuhan tanaman agar diperoleh hasil yang secara ekonomis menguntungkan. Keuntungan tersebut meliputi: peningkatan hasil, memperbaiki kualitas produksi. Giberelin Beberapa peran fisiologis GA yaitu mendorong perpanjangan sel dan organ, mendorong pembungaan (GA3 – GA7 dan GA9), mendorong pembentukan buah partenokarpi, mendorong perkecambahan biji dan tunas, menghambat pembentukan akar, menghambat pembentukan umbi, mengubah penampilan seks tanaman serta menunda pemasakan buah. Giberelin umumnya tersedia di pasaran dalam bentuk GA3 dan jenis ini banyak digunakan dalam penelitian-penelitian fisiologi tumbuhan (Wattimena 1988). Giberelin bekerja secara sinergis dengan auksin untuk mempengaruhi peningkatan fruitset, mencegah terjadinya absisi, pembebasan enzim α-amilase untuk menghidrolisis tepung menjadi gula yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan buah (Gardner et al. 1991). Giberelin berperan menstimulasi sintesis sejumlah enzim hidrolitik seperti amilase dan protease yang mampu mencerna zat tepung dan protein dengan demikian meningkatkan kandungan gula dan asam amino untuk pertumbuhan sel. Asam amino yang tersedia akibat aktivitas enzim protease merupakan prekursor terbentuknya jenis hormon tumbuhan yang lain, seperti triptopan yang merupakan bentuk awal dari auksin. Giberelin berperan penting dalam meningkatkan pembelahan dan pembesaran sel. Pembesaran dan pembelahan sel mengakibatkan buah aktif tumbuh dan membesar, akibatnya buah mempunyai sink strength yang tinggi. Semakin tinggi sink strength maka semakin tinggi kemampuan buah untuk memobilisasi asimilat kebuah tersebut. Dengan demikian buah akan tumbuh dan berkembang mencapai ukuran yang optimum (Taiz & Zeiger 2002). Selain itu GA berperan juga dalam regulasi pembentukan sukrosa melalui peningkatan aktivitas enzim sucrose-phosphate synthase. Stopar et al. (2001) menyatakan bahwa buah
11
yang akan rontok mempunyai kandungan pati yang lebih tinggi dan kandungan glukosa yang lebih rendah dibandingkan dengan buah retensi. Kinet et al. (1985) menyebutkan bahwa giberelin berfungsi untuk mengontrol perkembangan bunga mawar. Penurunan konsentrasi giberelin berkorelasi dengan adanya aborsi bunga, pemberian giberelin eksogen dapat mencegah gugurnya bunga akibat kondisi lingkungan yang kurang sesuai. Aneja dan Gianfagna (1999) menyatakan tingginya konsentrasi etilen, rendahnya konsentrasi auksin dan GA pada tanaman dapat menyebabkan kerontokan buah. Konsentrasi IAA dan GA3 pada buah dan tangkai buah yang rontok lebih rendah dibandingkan pada buah dan tangkai buah yang retensi, buah yang akan rontok mempunyai kandungan asam absisat yang tinggi (Bains et al. 1997a). GA3 dapat mengurangi persentase buah gugur dengan menekan biosintesis dari ABA (Steffens 1988). Giberelin pada tanaman berperan untuk memacu pertumbuhan sel melalui peningkatan perombakan sumber energi seperti amilum (molekul komplek) menjadi glukosa dan fruktosa (molekul sederhana) yang digunakan oleh sel untuk tumbuh dan berkembang (Sandovald et al. 1995). Kandungan gula total yang rendah pada daun pucuk pendukung bunga dan buah menyebabkan bunga dan buah mengalami kerontokan. Menurut Hooley (1994) pemberian GA3 eksogen akan
merangsang
peningkatan
GA3
endogen,
dengan
demikian
akan
meningkatkan aktivitas GA3 endogen. Menurut Ben-Arie et al. (1996) salah satu peranan giberelin adalah menunda penuaan bunga dan buah. Davies (1995) menyatakan bahwa GA berperan dalam meningkatkan pembelahan sel. Pemberian GA secara eksogen meningkatkan pembentukan dan pertumbuhan buah. Pemberian GA3 pada tanaman mangga dapat meningkatkan jumlah bunga permalai, jumlah buah yang terbentuk permalai, retensi buah permalai (Rajput & Singh 1983). Penyemprotan NAA dan GA3 pada mangga Carabao dapat mengurangi persentase buah yang rontok (Quintana et al. 1984). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aplikasi NAA dan GA3 dapat mengurangi kerontokan bunga dan buah serta meningkatkan hasil. Menurut Zaenudin (1995) aplikasi auksin sintetis dan GA3 dapat mengurangi kerontokan bunga dan buah pada tanaman jambu.
12
Auksin Auksin
berperan
penting
dalam
meningkatkan
pembelahan
dan
pembesaran sel. Pembelahan dan pembesaran sel mengakibatkan buah aktif tumbuh dan membesar, akibatnya buah mempunyai sink strength yang tinggi. Semakin tinggi sink strength maka semakin tinggi kemampuan buah untuk untuk memobilisasi asimilat kebuah tersebut. Dengan demikian buah akan tumbuh dan berkembang mencapai ukuran yang optimum (Taiz & Zeiger 2002). Buah yang akan rontok mempunyai kandungan auksin yang rendah sehingga sink strengthnya rendah. Tingkat ketersedian asimilat yang lebih tinggi selama perkembangan buah sangat diperlukan untuk memperoleh retensi buah yang tinggi. Peranan auksin dapat menghambat gugur bunga dan buah, karena auksin merangsang aktivitas fotosintesis melalui peningkatan pembukaan stomata, fosforilasi dan fiksasi CO2. Dengan meningkatnya aktivitas fotosintesis akan meningkatkan suplai asimilat, sehingga buah akan tumbuh dan berkembang dengan baik (Bangerth 2000). Secara fisiologis gugur buah berkorelasi dengan terbatasnya suplai fotosintat (Marschner 1986). Rendahnya asimilat yang diterima buah dapat menginduksi terjadinya kerontokan buah (Stopar et al. 2001). Konsentrasi auksin yang cukup akan menjaga agar zona absisi tidak peka terhadap etilen. Kepekaan zona absisi terhadap etilen disebabkan karena kandungan auksin yang rendah, ditandai dengan meningkatnya aktivitas enzim hidrolitik. Peningkatan aktivitas enzim hidrolitik menyebabkan kerusakan dinding sel pada zona absisi dan menyebabkan terpisahnya organ tanaman dari pohon induknya (Bangerth 2000). Pergerakan asimilat semakin cepat apabila kandungan hormon tumbuh seperti auksin pada buah semakin tinggi. Kandungan auksin yang tinggi meningkatkan sink strength buah. Semakin tinggi sink strength maka semakin tinggi kemampuan buah tersebut untuk memobilisasi asimilat ke buah tersebut (Brenner & Cheikh 1995). Senyawa tertentu yang disintesis oleh ahli kimia juga mampu menimbulkan banyak respon fisiologis seperti yang ditimbulkan oleh IAA, dan biasanya senyawa tersebut dianggap juga sebagai auksin. Beberapa diantaranya yang paling banyak dikenal ialah asam α-naftalenasetat
(NAA),
13
asam 2,4-D diklorofenoksiasetat (2,4-D), dan asam 2-metil-4-klorofenoksiasetat (MCPA). 2,4-D adalah suatu herbisida organik golongan kloropenoxy yang bersifat selektif yang telah dikomersialkan sejak tahun 1940. Pemberian (2,4-D) dengan konsentrasi rendah dapat mendorong pertumbuhan tanaman, tetapi sebaliknya dengan konsentrasi tinggi berfungsi sebagai herbisida. 2,4-D pada konsentrasi yang sebanding dengan konsentrasi fisiologis IAA, dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa 2,4-D berperan sebagai auksin. 2,4-D lebih tahan terhadap sistem IAA oksidase dibanding dengan IAA dan lebih tahan terhadap perubahan bentuk menjadi bentuk auksin terikat dengan senyawa lain, tetapi mempunyai sistem pengangkutan polar yang agak lemah dibanding dengan IAA. Pada konsentrasi tinggi, 2,4-D sangat efektif sebagai herbisida pada berbagai tumbuhan dikotil berdaun lebar, tetapi tidak efektif pada tumbuhan monokotil (Salisbury & Ross 1995). Auksin alami seperti IAA juga berperan dalam meningkatkan jumlah buah yang terbentuk, tetapi jarang digunakan karena mudah mengalami degradasi dengan cepat di dalam tanaman (Sexton 1995). Menurut Taiz dan Zeiger (2002) selama tahap awal absisi daun, aplikasi auksin menghambat kerontokan daun, sedangkan selama tahap berikutnya aplikasi auksin mempercepat absisi, mungkin dengan menginduksi sintesis etilen. Mekanisme ini diperkirakan tidak berbeda jauh dengan proses absisi atau kerontokan buah. Etilen dan auksin merupakan hormon yang terkait langsung dalam proses kerontokan buah. Etilen merupakan hormon yang mendukung terjadinya proses kerontokan buah, sedangkan auksin berperan dalam mencegah proses kerontokan buah. Kandungan auksin yang rendah menyebabkan peningkatan sensitivitas sel pada zona absisi terhadap etilen yang menginduksi enzim hidrolitik yang mampu mencerna sellulosa pada dinding sel sehingga terjadi pemisahan sel. Menurut Moffet et al. (1980) pemberian 2,4-D dengan konsentrasi 0.01, 0.1 dan 1 ppm meningkatkan jumlah bunga tanaman kapas, tetapi dengan konsentrasi 10 ppm menyebabkan penurunan jumlah bunga namun masih lebih tinggi dari kontrol yang tanpa pemberian 2,4-D. Penyemprotan tanaman kapas di Arizona dengan
14
2,4-D dengan konsentrasi rendah meningkatkan nektar bunga. Pemberian 1 ppm 2,4-D memberi kenaikan nektar bunga tertinggi yakni sekitar 30%. Menurut Aneja dan Gianfagna (1999) asam absisat dan etilen mempercepat proses absisi bunga cacao. Proses tersebut dapat dicegah dengan pemberian NAA pada saat bunga mekar penuh. Pemberian NAA 150 ppm pada buah muda dengan cara disemprotkan dapat meningkatkan persentase buah retensi ( Baghel et al. 1987). Poerwanto et al. (2000) melaporkan pemberian auksin sintetis
pada saat buah sebesar kelereng dapat meningkatkan jumlah buah
mangga yang dapat dipanen. Pemberian hormon tumbuh secara eksogen seperti GA3 dan auksin sintetis dapat memperkuat sink strength, sehingga buah lebih kuat menarik asimilat, dengan demikian buah dapat tumbuh dan berkembang mencapai ukuran yang optimum (Taiz & Zeiger 2002). Aplikasi auksin sintetis pada tanaman leci dapat mengurangi gugur buah (Stern & Gazit 1997).