TINJAUAN PUSTAKA Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Buah belimbing adalah nama Melayu untuk jenis tanaman buah dari keluarga Oxalidaceae, marga Averrhoa. Tanaman belimbing dibagi menjadi dua jenis, yaitu belimbing manis (Averrhoa carambola) dan belimbing asam (Averrhoa bilimbi) atau lazim disebut belimbing wuluh. Klasifikasi ilmiah untuk belimbing wuluh adalah sebagai berikut. Kingdom Divisi Sub-divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Plantae (tumbuh-tumbuhan) : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) : Angiospermae (berbiji tertutup) : Dicotyledoneae (biji berkeping dua) : Oxalidales (suku belimbing-belimbingan) : Oxalidaceae : Averrhoa : Averrhoa bilimbi Linnaeus (belimbing wuluh)
Belimbing wuluh merupakan tanaman yang dapat berbuah sepanjang tahun. Tinggi pohon dapat mencapai 5-10 m. Batang utama pendek, bergelombang dan bercabang rendah. Daunnya majemuk, menyirip berselang-seling dengan jumlah 2145 pasang anak daun. Buah berbentuk silinder agak pentagonal dengan panjang 5-10 cm dengan bobot sekitar 20 gram. Buah pertama muncul setelah tanaman berumur 4 sampai 5 tahun. Buah belimbing wuluh mengandung banyak air dan rasanya asam segar.
Buah muda berwarna hijau dengan sisa kelopak bunga menempel di
ujungnya. Buah masak berwarna kuning atau kuning pucat (Subhadrabandhu, 2001).
Gambar 1. Tanaman dan Buah Belimbing Wuluh. Sumber : http://www.toptropicals.com
3
Zakaria et al. (2007) melaporkan bahwa buah belimbing wuluh mengandung golongan senyawa oksalat, minyak menguap, fenol, flavonoid dan pektin. Susunan kimia yang terkandung dalam belimbing wuluh yaitu asam amino, asam sitrat, fenolat, ion kalium, gula serta vitamin dan mineral, juga terdiri dari serat, abu dan air (Ikram et al., 2009). Menurut Zakaria et al. (2007) dalam buah belimbing wuluh terkandung sekitar 6 mg/kg total senyawa volatil. Carangal et al. (1961) melaporkan bahwa belimbing wuluh mengandung senyawa asam organik yang ditampilkan pada Tabel 1. Kandungan zat gizi belimbing wuluh menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1996) ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 1. Kandungan Senyawa Organik pada Buah Belimbing Wuluh Asam Organik Asam Asetat Asam Sitrat Asam Format Asam Laktat Asam Oksalat
Satuan mEq/100 g total padatan mEq/100 g total padatan mEq/100 g total padatan mEq/100 g total padatan mEq/100 g total padatan
Jumlah 1,6-1,9 92,6-133,8 0,4-0,9 0,4-1,2 5,5-8,9
Sumber : Carangal et al. (1961)
Tabel 2. Kandungan Zat Gizi Belimbing Wuluh (per 100 g bahan segar) Zat Gizi Berat Dapat Dimakan Air Energi Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Kalsium (Ca) Fosfor (P) Zat Besi (Fe) Natrium (Na) Kalium (K) Vitamin A Tiamin (Vitamin B1) Riboflavin (Vitamin B2) Asam Askorbat (Vitamin C)
Satuan % % kalori g g g g g mg mg mg mg mg SI mg mg mg
Jumlah 100,00 93,00 32,00 0,40 7,00 0,60 0,30 3,40 11,10 0,40 4,00 148,00 0,01 0,02 25,00
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1996)
4
Belimbing wuluh merupakan buah yang memiliki keunggulan kandungan kimia sebagai antioksidan alami dan penghambat produksi nitrooksida (NO) (Abas et al., 2006). Ekstrak buah belimbing wuluh memiliki daya inhibisi pembentukan nitrooksida sebesar 22,3%±4,01%. Belimbing wuluh digolongkan sebagai buah yang memiliki aktivitas antioksidan yang kuat (Abas et al., 2006). Belimbing wuluh memiliki kandungan fenol sebanyak 1261,63±31,41 mg GAE/100 g dan memiliki nilai aktivitas antioksidan sebesar 91,89%±0,01% (Ikram et al., 2009). Sari Buah atau Fruit Juice Sari buah atau jus atau fruit juice adalah cairan buah jernih atau keruh yang tidak difermentasi yang diperoleh dari proses ekstraksi buah dengan proses mekanis dan memiliki karakteristik warna, bau dan flavor seperti buah asalnya (Syamsir, 2010). Sari buah dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu sari buah, nektar dan minuman buah. Perbedaan ketiga produk tersebut terletak pada jumlah padatan juice di dalam total padatannya. Sari buah mengandung 100% padatan juice didalam total padatannya. Nektar dan minuman buah mengandung padatan juice lebih sedikit dan sisa padatannya adalah gula atau pemanis (Syamsir, 2010). Berdasarkan teknologi proses yang digunakan, dikenal tiga bentuk produk sari buah yaitu : sari buah, konsentrat sari buah dan bubuk sari buah (Syamsir, 2010). Konsentrat sari buah memiliki konsentrasi total padatan yang lebih tinggi daripada sari buah. Pemekatan dilakukan dengan menguapkan sebagian air dari sari buah menggunakan evaporator vakum. Bubuk sari buah diperoleh dengan mengeringkan konsentrat sari buah menggunakan spray dryer atau freeze dryer (Syamsir, 2010). Pembuatan sari belimbing meliputi berbagai proses yaitu : penerimaan dan penyortiran bahan baku, pemotongan buah dan trimming (biji dan serat), pencucian, blansir atau pencelupan dalam air (80 °C; 3 menit), penghancuran (ekstraksi) dan penyaringan (Aminah, 2011). Pembuatan minuman buah skala industri dilakukan dengan beberapa langkah tambahan yaitu pengenceran dengan air 80 °C (1:2 v/v), penambahan gula (10% b/b), penambahan asam sitrat (1 gram/liter), penambahan CMC (0,03% per volume total), pemanasan sari buah atau pasteurisasi (80 °C; 15 menit), penyaringan (kain ukuran 10 mesh), pembotolan, sterilisasi, pelabelan dan penyegelan serta penyimpanan (Aminah, 2011).
5
Dendeng Sapi Dendeng adalah produk olahan daging tradisional khas Indonesia yang tergolong pangan semi basah atau intermediate moisture meat product (Huang dan Nip, 2001). Pangan semi basah bersifat plastis, lebih awet, berbentuk siap konsumsi juga tidak memerlukan rehidratasi atau pemasakan terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Pangan semi basah memiliki kadar air sebesar 15%-50% dan aktivitas air sekitar 0,60-0,92 sehingga stabil tanpa penyimpanan pada suhu dingin ataupun proses pemanasan (Huang dan Nip, 2001). Produk pangan tersebut umumnya resisten terhadap bakteri pembusuk karena kadar air yang rendah juga kandungan garam dan gula yang tinggi. Dendeng menjadi alot dan kurang elastis setelah penyimpanan 3 bulan pada suhu 50 °C (Obanu, 1988). Dendeng merupakan produk olahan daging (pengawetan) yang dibuat melalui proses pembumbuan (curing) dan pengeringan (Hung dan Nip, 2001). Dendeng memiliki rasa manis karena komposisi gula yang tinggi, diperkuat oleh rasa yang diperoleh dari bumbu dan rempah. Daging segar diiris setebal ± 2 mm dan direndam dalam larutan bumbu (terbuat dari gula aren, garam, bawang putih, lengkuas, ketumbar dan rempah lainnya) sekitar 6 jam (Huang dan Nip, 2001; Bintoro et al., 1987). Pengurangan kadar air baik secara pengeringan atau penambahan bahan penguap air bertujuan untuk mengawetkan bahan pangan dengan mengurangi air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme (Purnomo, 1995). Dendeng sapi memiliki dua kali lipat nilai kalori jika dibandingkan dengan daging segar (Tabel 5). Kadar lemak dendeng menurun setengahnya dari kadar lemak daging segar. Peningkatan kadar protein dan karbohidrat (per berat basah) terjadi sejalan dengan menurunnya kandungan air. Kadar kalsium, fosfor, serta zat besi meningkat sedangkan vitamin A menjadi rusak total (Direktorat Gizi, 1996). Standar Mutu Dendeng Sapi Dendeng berkualitas baik harus memenuhi standar. Komponen standar mutu dendeng sapi menurut SNI 01-2908-1992 yaitu : warna dan bau, kadar air, kadar protein dan cemaran fisik. Syarat mutu dendeng sapi ditampilkan pada Tabel 3. Standar mutu dendeng sayat berkaitan langsung dengan sifat kimia, mikrobiologi dan kandungan gizi yang ditampilkan pada Tabel 4 dan Tabel 5.
6
Tabel 3. Syarat Mutu Dendeng Sapi Persyaratan
Syarat Mutu
Mutu I khas dendeng maks 12% min 30% maks 1% maks 1% tidak nampak
Warna dan bau Kadar air Kadar protein Abu Benda asing Kapang dan serangga
Mutu II khas dendeng maks 12% min 25% maks 1% maks 1% tidak nampak
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1992)
Tabel 4. Sifat Kimia dan Total Bakteri Dendeng Sapi Komposisi Kadar air (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Abu (%) Karbohidrat (%) Nitrit (ppm) Nitrat (ppm) Aktivitas air Total bakteri (koloni/100 g) pH Gula (%) Garam (%)
Bintoro et al. (1987) 20,9±0,8 21,8±0,6 5,5±0,4 1,5±0,1 46,7 ±0,4 5-93 1.010-2.480 0,54-0,65 0,4-1,75 x103 -
Huang dan Nip (2001) 26,0 35,0 10,0 0,52-0,67 5,6 35,0 8,0
Purnomo (1995) 9,9-35,5 1,0-17,4 20-52,2 0,4-0,6
Tabel 5. Kandungan Gizi Daging Sapi dan Dendeng Sapi (per 100 g) Kandungan Gizi Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B1 Air
Satuan
Daging Sapi
kkal g g g mg mg mg SI mg g
207,00 18,80 14,00 0,00 11,00 170,00 2,80 30,00 0,08 66,00
Dendeng Sapi 433,00 55,00 9,00 0,50 30,00 370,00 5,10 0,00 0,00 25,00
Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1996)
7
Pembuatan Dendeng Sapi Inti dari pembuatan dendeng sayat adalah proses pengirisan daging, pembumbuan dan pengeringan. Pembuatan dendeng sayat berupa proses pengirisan daging (lembaran tipis setebal ± 2 mm) diikuti dengan pencampuran dengan bumbu atau perendaman dan pengeringan (Purnomo, 1995). Menurut Bintoro et al. (1987) pembuatan dendeng sapi meliputi proses pengirisan daging (lembaran tipis setebal ± 2 mm) diikuti perendaman dalam larutan bumbu (gula aren, garam, bawang putih, lengkuas, ketumbar dan rempah lainnya) sekitar 6 jam serta pengeringan. Pengirisan daging (slicing) bertujuan untuk memperluas permukaan daging sehingga mempercepat pengeringan. Pengirisan juga bertujuan untuk membersihkan daging dari kotoran, lapisan lemak maupun urat. Dendeng sayat umumnya memiliki ketebalan 2-5 mm. Pembumbuan dilakukan untuk mempersiapkan daging sebelum diolah lebih lanjut, menghambat aktivitas mikroba dan memunculkan rasa (Winarno, 1993). Bumbu dan rempah berperan dalam menambah cita rasa dan peningkatan nutrisi serta bersifat antioksidan, antifungi dan antimikrobial (Tassou et al., 2004). Bumbu dan rempah yang digunakan dalam penelitian ini adalah gula merah, gula putih, garam, bawang putih, ketumbar, lada, jintan putih dan lengkuas. Pengeringan adalah proses menurunkan kadar air daging menggunakan panas matahari atau menggunakan oven sampai kadar air sesuai standar. Pengeringan bertujuan agar bahan menjadi awet dan volume menjadi lebih kecil, sehingga mempermudah dan menghemat ruang dalam distribusi. Dendeng yang dikeringkan dengan sinar matahari membutuhkan waktu 5 hari sedangkan pengeringan dengan oven 70 °C memerlukan waktu 3 jam. Metode pengeringan dapat mempengaruhi komposisi kimia dendeng seperti yang ditampilkan pada Tabel 6 (Hadiwiyoto, 1994). Tabel 6. Komposisi Kimia Dendeng Sapi dengan Metode Pengeringan yang Berbeda Parameter Kadar Air (%) Kadar Gula (%) Kadar NaCl (%) Malonaldehida (mg/Kg)
Matahari 16,47 36,58 8,61 246,26
Oven 40 °C (4,5 jam) 20,93 35,18 8,89 289,17
Oven 55 °C (3,5 jam) 24,29 34,29 8,35 243,86
Oven 70 °C (3 jam) 18,23 39,67 8,85 206,43
Sumber : Hadiwiyoto (1994)
8
Bumbu Dendeng Sapi Pembuatan dendeng dalam penelitian ini menggunakan gula merah, gula putih, garam, bawang putih, ketumbar, lada, jintan putih dan lengkuas. Penambahan gula kelapa dan garam dapur berfungsi untuk menurunkan nilai aktivitas air (aw) dan kadar air daging sedangkan bumbu dan rempah berperan dalam pembentukan cita rasa khas dendeng (Purnomo, 1995). Penambahan gula merah, gula putih dan garam berfungsi untuk memodifikasi rasa dan meningkatkan aroma, dan menjaga tekstur. Penambahan gula berfungsi untuk mencegah penguapan air agar tidak terlalu kering (Soeparno, 1994). Konsentrasi larutan gula 30%-40%, serta konsentrasi garam sekitar 2% dapat menyebabkan osmosis air dalam sel bakteri, ragi dan kapang sehingga akan menghambat pertumbuhannya (Winarno, 1993). Bawang putih (Allium sativum L.) termasuk tumbuhan berbatang lunak yang digunakan sebagai rempah. Bawang putih mengandung beberapa senyawa aktif, salah satunya allisin yang memiliki daya anti bakteri dan anti radang (Bozin et al., 2008). Bawang putih memiliki cita rasa sangat khas yang ditimbulkan oleh komponen sulfur yang ada dalam minyak volatil bawang putih dengan aroma dan rasa pedas (Brodnitz et al., 1971). Dialil disulfida dapat menghambat pembentukan kolesterol dan asam lemak sedangkan dialil trisulfida berfungsi sebagai anti radang dan anti kanker (Brodnitz et al., 1971). Bawang putih mengandung total fenolat dengan kisaran 0,05-0,98 g GAE/100 g (Bozin et al., 2008). Ketumbar (Coriandum sativum L.) mempunyai aroma khas yang menyengat pada bagian batang, daun dan buah (Sharma dan Sharma, 2004). Ketumbar mempunyai kandungan minyak volatil sebanyak 0,3%-1,7% serta minyak non volatil sekitar 19,6% (Sharma dan Sharma, 2004). Ekstrak etanol ketumbar dan minyak ketumbar masing masing memiliki kandungan fenol sebesar 0,15 ± 0,01 g GAE/100 g dan 0,14 g ± 0,01 GAE/100 g (Helle et al., 2004). Lada putih atau merica (Piper nigrum L.) adalah rempah berwujud biji-bijian yang termasuk ke dalam suku Piperaceae (sirih-sirihan). Sifat kimiawi lada adalah pedas, berbau khas, dan aromatik karena mengandung senyawa piperin. Kandungan kimia pada lada putih antara lain : piperin, saponin, flavonoida dan minyak atsiri (Tassou et al., 2004). Kandungan total fenolat pada lada putih sebesar 850 mg cathecin ekuivalen/100 mg ekstrak (Chatterjee et al., 2007).
9
Jintan putih (Cuminum cyminum L.) merupakan tumbuhan berbunga dari famili Apiaceae. Jintan putih memiliki sifat sebagai antibakteri dan antioksidan. Jintan putih umum digunakan sebagai bumbu karena aromanya yang kuat dan efek pedas yang dihasilkan. Buah jintan putih mengandung minyak menguap (volatil) sekitar sekitar 8% serta mengandung total fenolat sebanyak 3,74 ± 0,32 g /100 g (Hinneburg et al., 2006). Rimpang lengkuas (Alpinia galangal L.) dapat digunakan untuk mengobati penyakit kulit, salah cerna, disentri dan kolera karena bersifat antifungi, antiprotozoa dan antibakteri (Ravindran et al., 2004). Rimpang lengkuas mengandung resin yang disebut galangol, kristal berwarna kuning yang disebut kamfor, galangin dan senyawa flavonoid (Gholib dan Darmono, 2008). Senyawa volatil pada rimpang lengkuas adalah 1,8-sineol, fensil asetat dan β-pinen (Ravindran et al., 2004). Senyawa bioaktif pada bumbu dan rempah ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7. Senyawa Bioaktif pada Bumbu dan Rempah Bumbu/Rempah Lada Ketumbar
Jintan Putih Bawang Putih Lengkuas
Senyawa Bioaktif piperilin, piperolein, piperonal dan monoterpen linalool (67,7%), α-pinen (10,5%), γ-terpinen (9,0%), geranil asetat (4,0%), kamfor (3,0%) dan geraniol (1,9%) kuminaldehid, safranal, monoterpen dialil disulfida, dialil trisulfida, alil propil disulfida sineol (28,4%), α-fensil asetat (18, 4%), kamfor (7,7%), metil sinamat (4,2%) dan guaiol (3,3%)
Sumber Tassou et al., 2004 Sharma dan Sharma, 2004
Hinneburg et al., 2006 Brodnitz et al., 1971 Ravindran et al., 2004
Karakteristik Sensori Dendeng Sapi Daging dan produk olahan daging memenuhi syarat untuk dikonsumsi jika memiliki daya tarik dan cita rasa khas selain juga ditentukan oleh kandungan gizinya. Kriteria palatabilitas daging atau kualitas makan dari daging ditentukan oleh aroma dan rasa, warna (penampilan), keempukan atau tekstur, dan sifat juiceness (Price dan Schweigert, 1971). Kualitas makan dari daging juga ditentukan oleh water holding capacity sebelum dan sesudah pemasakan (Lawrie, 2003). 10
Pentingnya kualitas makan pada daging dan produk olahan daging akan ditentukan oleh preferensi regional dan pandangan dari individu konsumen (Lawrie, 2003). Menurut SNI 01-2908-1992, karakteristik dendeng yang memiliki kualitas makan yang baik yaitu : warna merah kecokelatan, aroma khas daging dan bumbu, tekstur yang tidak terlalu empuk serta rasa manis yang khas dari bumbu dan rempah yang ditambahkan. Intensitas warna, aroma, dan rasa pada dendeng dipengaruhi oleh metode, lama waktu dan suhu pemasakan (Price dan Schweigert, 1971). Suhu pemasakan mempengaruhi tingkat konversi pigmen warna daging. Daging sapi yang dimasak pada suhu internal 60 °C mempunyai warna merah cerah di bagian interior; inferior berwarna pink pada suhu internal 60-70 °C dan berwarna cokelat keabu-abuan di bagian interior pada suhu internal lebih dari 70 °C (Jensen, 1949). Daging yang dimasak pada suhu 65 °C selama 400 menit akan mengalami denaturasi mioglobin hingga mencapai 70% (Bernofsky et al., 1959). Metmioglobin adalah pigmen berwarna cokelat sering terjadi di permukaan daging apabila sekitar 60% mioglobin sudah terdenaturasi (Cross dan Overby, 1988). Produksi metmioglobin dari mioglobin dipercepat oleh panas, garam dan cahaya ultraviolet. Pigmen pada daging masak adalah globin hemikromogen (Cross dan Overby, 1988). Aroma dan rasa adalah sensasi penginderaan yang saling terkait. Aroma dan rasa pada dendeng didominasi oleh komponen volatil pada daging, bumbu dan rempah yang digunakan. Komponen volatil pada daging sapi masak setidaknya terdiri dari 57 senyawa diantaranya senyawa cincin pirazin dan senyawa yang mengandung sulfur dan oksigen (Yueh dan Strong, 1960). Komponen volatil dari bumbu dan rempah antara lain senyawa sulfur pada bawang putih (Brodnitz et al., 1971), kuminal dan safranal pada jintan putih (Hinneburg et al., 2006), piperilin pada lada putih dan sineol pada lengkuas (Tassou et al., 2004). Kadar Air dan Aktivitas Air Peranan air dalam bahan pangan dapat dinyatakan sebagai kadar air maupun aktivitas air. Kadar air adalah perbedaan antara berat bahan sebelum dan sesudah dilakukan pemanasan. Aktivitas air (water activity = aw) adalah besaran yang menyatakan jumlah air bebas dalam bahan pangan yang dapat digunakan oleh mikroorganisme (Purnomo, 1995). Kandungan air, aktivitas air, tingkat oksidasi lemak dan reaksi lainnya berpengaruh terhadap kualitas produk pangan (Gambar 2). 11
Gambar 2. Laju Reaksi Sebagai Fungsi dari Kadar Air dan Aktivitas Air Sumber : Schmidt (2004)
Menurut SNI 01-2908-1992 kadar air dendeng memiliki nilai maksimal sebesar 12%. Nilai tersebut jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan literatur lain. Dendeng memiliki kadar air sekitar 25% (Winarno, 1993); 26% (Huang dan Nip, 2001); 15%-25% (Soeparno, 1994), dan 20,9±0,8% menurut Bintoro et al. (1987). Aktivitas air (aw) pada dendeng sapi sebesar 0,54-0,65 (Bintoro et al., 1987) dan 0,52-0,67 menurut Huang dan Nip (2001). Produk dengan kisaran nilai aw tersebut masih memungkinkan untuk ditumbuhi kapang. Kadar air, rendemen dan aktivitas air pada produk olahan daging (dendeng) berkaitan secara langsung dengan proses pemanasan, susut masak, dan daya ikat air oleh protein atau water holding capacity. Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan yang juga ditentukan oleh metode dan waktu pemasakan. Suhu tinggi yang terlibat akan menyebabkan denaturasi protein, melelehkan lemak, dan banyak menurunkan kapasitas memegang air (Baker, 1942). Kehilangan karena pemasakan (% berat) berbanding lurus dengan peningkatan suhu (Sanderson & Vail, 1963). Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik karena kehilangan nutrisi selama pemasakan lebih sedikit. Kapasitas mengikat air menurun karena adanya solubilitas protein seiring meningkatnya temperatur. Water holding capacity mengalami penurunan pada pemanasan 60 °C (Hamm, 1977). 12
Tabel 8. Pengaruh Temperatur Daging Internal terhadap Susut Masak Parameter Total Kehilangan Karena Pemasakan (% berat) Kehilangan Kadar Air (% berat)
Suhu Internal Daging (°C) 60 70 80 10,5 28,8 40,5 5,6 9,6 14,0
Sumber : Sanderson dan Vail (1963)
Oksidasi Lemak dan Produk Oksidasi Lemak Lemak daging sapi mempunyai perbedaan pada komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Daging sapi memiliki asam lemak tak jenuh sekitar 45% dari total asam lemak (Yuanita, 2006). Perubahan fisik dan kimia pada lemak daging disebabkan oleh proses hidrolisis dan oksidasi. Hidrolisis lemak terutama terjadi pada lemak yang banyak mengandung asam lemak jenuh akibat kerja lipase daging atau mikroba sedangkan oksidasi lemak terutama terjadi pada lemak yang mengandung asam lemak tak jenuh yang disebut autooksidasi (Yuanita, 2006). Oksidasi Lemak Proses oksidasi terjadi pada ikatan rangkap dan mengakibatkan terbentuknya asam lemak rantai pendek, senyawa aldehid atau keton sehingga menimbulkan ketengikan. Ketengikan lemak terjadi melalui autooksidasi, lipolisis oleh lipase dan lipooksidasi oleh lipooksidase. Oksidasi lemak adalah reaksi radikal yang terdiri dari reaksi inisiasi, propagasi dan terminasi sesuai Gambar 3 (Raharjo dan Sofos, 1993). Selama fase inisiasi reactive oxygen species (ROS) berfungsi sebagai inisiator. Pembentukan radikal asam lemak (reaksi 1), yaitu munculnya suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen (Frankel, 1998). Alkil radikal dari lemak tak jenuh yang berisi hidrogen labil bereaksi cepat (reaksi 2) dengan molekul oksigen (O2) membentuk radikal peroksi terjadi pada tahap propagasi. Radikal peroksi lebih lanjut akan bereaksi (reaksi 3) dengan asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru (Frankel, 1998). Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida dan keton yang bertanggungjawab atas flavor pada makanan berlemak (Raharjo dan Sofos, 1993). Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi melalui reaksi antar radikal bebas membentuk kompleks bukan radikal (reaksi 4). 13
Inisiasi Propagasi Terminasi
: RH — R* + H* : R* + O2 —–ROO* ROO* + RH —–ROOH +R* : ROO* +ROO* — non radikal R* + ROO* — non radikal R* + R* —– non radikal
(1) (2) (3) (4)
Gambar 3. Reaksi Oksidasi Lemak Salah satu metode untuk menentukan kualitas lemak adalah metode analisis kimia. Metode kimia diklasifikasikan menjadi dua yaitu berdasarkan produk turunan lemak yaitu produk oksidasi utama dan produk oksidasi sekunder. Produk oksidasi utama berupa hidroperoksida. Produk oksidasi sekunder berupa malonaldehida yang terbentuk dari tiga senyawa karbon dialdehida (Raharjo dan Sofos, 1993). Produk oksidasi lemak utama terbentuk selama autooksidasi asam lemak tak jenuh. Hidroperoksida memiliki sedikit atau tidak memiliki dampak langsung terhadap aroma dan rasa. Produk oksidasi utama dikuantifikasi sebagai bilangan peroksida. MDA terbentuk dari tiga senyawa karbon dialdehida. Oksidasi lemak menghasilkan malonaldehida dan setelah bereaksi dengan hidrogen menghasilkan asam thiobarbituriat. Kandungan MDA pada bahan pangan dan dikuantifikasi sebagai bilangan TBA (Nollet dan Toldra, 2009). Bilangan Peroksida Keberadaan senyawa peroksida digunakan sebagai indikator terjadinya oksidasi lemak dan tingkat kerusakan lemak. Semakin tinggi bilangan peroksida maka semakin tinggi pula tingkat kerusakan lemak. Peroksida terbentuk pada asam lemak tak jenuh akibat terikatnya oksigen pada rantai rangkapnya (Frankel, 1998). Analisis bilangan peroksida adalah pengukuran iod yang dibebaskan dari kalium iodida akibat reaksi oksidasi oleh peroksida pada sampel dalam medium asam asetat-kloroform seperti yang dijelaskan pada Gambar 4 (Horwitz dan Latimer, 2005). Penentuan angka peroksida dilakukan dengan metode iodometri, dengan cara melarutkan sejumlah lemak dalam campuran asetat:kloroform yang mengandung KI sehingga terjadi pelepasan iodin (I2). Iodin yang bebas ditritasi dengan natrium
thiosulfat
menggunakan indikator amilum sampai warna biru hilang.
Larutan amilum digunakan sebagai indikator karena mampu menangkap iodium sehingga membentuk kompleks warna biru (Horwitz dan Latimer, 2005). 14
Pelepasan iodin
: R-COOH + KI
→ R-CO + H2O + I2 + K+
Titrasi natrium thiosulfat
: I2 + 2 Na2S2O3
→ 2 NaI + Na2S4O6
Gambar 4. Reaksi Iodometri Bilangan Peroksida Bilangan peroksida dendeng daging sapi giling lebih tinggi dibandingkan dengan dendeng daging sapi iris. Daging giling mempunyai permukaan yang lebih luas. Pemanfaatan oksigen pada dendeng giling menjadi lebih banyak dan memudahkan terjadinya oksidasi (Soputan, 2000). Bilangan TBA (Thio Barbituric Acid) Oksidasi lemak dapat menyebabkan degradasi asam lemak tidak jenuh juga menghasilkan senyawa baru produk oksidasi lemak seperti malonaldehida, keton, timbulnya bau dan rasa tengik (Du dan Li, 2008). Prinsip analisis bilangan TBA adalah mengukur absorbansi kromogen merah yang terbentuk oleh reaksi antara asam tiobarbiturat dengan malonaldehida yang dikuantifikasi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm seperti yang dijelaskan pada Gambar 5 (Sørensen dan Jørgensen, 1996). Intensitas warna merah berbanding lurus dengan tingkat ketengikan pada bahan pangan.
Gambar 5. Reaksi MDA dengan Pereaksi TBA Sumber : http://www.biotek.com
Faktor Penyebab Oksidasi Lemak Faktor-faktor yang mempercepat oksidasi lemak yaitu: (1) radiasi, misalnya oleh panas atau cahaya, (2) bahan pengoksidasi, misalnya peroksida, perasid, ozon, asam nitrat, (3) katalis metal, khususnya garam mineral dari beberapa jenis logam berat dan (4) sistem oksidasi, misalnya adanya katalis organik yang labil terhadap panas (Hamilton, 1983). Faktor tersebut menyebabkan hidrogen terlepas dari ikatan lemak dan terbentuklah radikal alkil, sejenis radikal bebas. Radikal itu berikatan dengan oksigen membetuk radikal peroksi yang dapat membentuk hidroperoksida setelah bereaksi dengan asam lemak tak jenuh (Raharjo, 2006). 15
Terdapat tiga tipe ketengikan yaitu: oksidatif, hidrolisis dan enzimatis (Raharjo, 2006). Semakin tinggi kandungan asam lemak tidak jenuh dan jumlah ikatan ganda, ketengikan makin cepat terjadi. Ketengikan hidrolisis disebabkan oleh kandungan air dalam minyak bahan pangan maupun udara bebas (kelembaban udara). Lemak dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak dengan adanya air yang dapat dipercepat oleh basa, asam, dan enzim. Lemak hewani dan nabati mengandung enzim lipase dan lipoksigenase (Raharjo, 2006). Lemak atau minyak yang terpapar cahaya akan mengalami reaksi oksidasi yang menyebabkan kerusakan lemak. Lemak yang disimpan dalam jangka waktu yang lama dalam keadaan kontak dengan faktor inisiator (panas, oksigen, cahaya, logam) oksidasi masih dapat terjadi yang dapat menimbulkan ketengikan, perubahan rasa dan aroma. Bahan pangan lemak pada umumnya mengandung logam dalam jumlah yang sangat kecil dalam bentuk garam komplek, garam organik maupun garam anorganik. Logam yang mempunyai valensi dua atau lebih, misalnya Fe, Cu, Co, Mn, Ni umumnya mempercepat periode induksi kerusakan lemak dalam bahan pangan yang mengkibatkan off flavor yang khas (Hamilton, 1983). Aktivitas Antioksidan Antioksidan
didefinisikan
sebagai
senyawa
yang
dapat
menunda,
memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipida karena dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas dapat diredam (Sunardi dan Kuncahyo, 2007). Penambahan antioksidan (AH) dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi (Brand-Williams et al., 1995). Antioksidan berperan sebagai pemberi atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil (Molyneux, 2003). Turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal bebas (Brand-Williams et al., 1995). Penambahan antioksidan dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi dan propagasi (Gambar 6). Radikal antioksidan (A*) yang terbentuk relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi membentuk radikal bebas baru. Inisiasi
:
Propagasi :
R*
+ AH R-H + A*
ROO* + AH ROOH + A*
Gambar 6. Reaksi Penghambatan Antioksidan Primer Terhadap Radikal Bebas
16
Aktivitas antioksidan diketahui melalui uji pengkapan radikal bebas (scavenging activity) dan uji kandungan senyawa antioksidan. Prinsip uji aktivitas antioksidan adalah mengevaluasi adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh
senyawa antioksidan yang terkandung dalam bahan pangan.
Salah
satu
metode yang dapat digunakan yaitu scavenging activity difenilpikrilhidrazil (DPPH). Prinsip uji kandungan senyawa antioksidan adalah menghitung jumlah senyawa yang tergolong senyawa antioksidan misalnya dengan dengan menghitung total fenolat. Scavenging Activity DPPH DPPH akan bereaksi
dengan senyawa antioksidan dan akan berubah
menjadi difenilpikrilhidrazin yang bersifat nonradikal. Meningkatnya jumlah difenilpikrilhidrazil akan ditandai dengan
berubahnya warna ungu pada larutan
menjadi warna kuning pucat. Peredaman warna ungu menjadi kuning pucat ketika elektron bebas radikal bebas menjadi berpasangan dengan hidrogen dari antioksidan yang menyerang radikal bebas sehingga membentuk DPPH-H seperti yang dijelaskan pada Gambar 7 (Molyneux, 2003).
Gambar 7. Struktur DPPH Sebelum dan Sesudah Reaksi dengan Antioksidan (AOH) Sumber : http://www.baltic-analytics.de
Peredaman warna DPPH sebanding dengan banyaknya elektron yang tertangkap.
Perubahan
warna
larutan
menunjukkan
aktivitas
penangkapan
radikal bebas DPPH. Aktivitas penangkapan radikal bebas diketahui dengan menghitung perbedaan absorbansi pada sampel dengan absorbansi standar yang dinyatakan dalam persentase scavenging activity (%SA) (Molyneux, 2003). 17
Kandungan Total Fenolat Fenol (C6H5OH) atau asam karbolat atau benzenol memiliki gugus hidroksil (OH) yang berikatan dengan cincin fenil (Vermerris dan Nicholson, 2007). Senyawa polifenol merupakan senyawa yang memiliki lebih dari satu gugus fenol dan berkontribusi terhadap sifat antioksidan sehingga pengujian kandungan total fenolat berkorelasi dengan kandungan antioksidan pada bahan pangan (Medina, 2011). Fenol merupakan salah satu senyawa bioaktif yang banyak terkandung pada tumbuhan (Vermerris dan Nicholson, 2007). Senyawa turunan fenol (fenolat) terdiri dari : fenolat sederhana, asam fenolat dan aldehida, asetofenon, asam fenilasetat, asam sinamat, kumarin, flavonoid, biflavonil, benzofenon, benzokuinon, betasianian, lignin, lignan dan tanin (Vermerris dan Nicholson, 2007). Senyawa fenolik sederhana memiliki sifat bakterisidal, antiseptik dan antihelmintik. Fungsi senyawa fenol pada tanaman adalah sebagai sistem pertahanan yang berada dalam bentuk bebas atau polimer dalam dinding sel (Vermerris dan Nicholson, 2007). Metode Folin-Ciocalteu merupakan salah satu metode untuk mengukur kandungan total fenolat dengan cara mengurangi kapasitas komponen dari sampel makanan atau minuman (Medina, 2011). Fenol dan polifenol terdeteksi melalui transfer elektron dari senyawa fenolat kepada asam fosfomolibdat (MoO42-) dan asam fosfotungsat (WO42-) dalam media basa (Medina, 2011). Gugus fenolik hidroksil
bereaksi
dengan
reagen
Folin-Ciocalteu
membentuk
kompleks
fosfotungstat-fosfomolibdat berwarna biru. Semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak konsentrasi ion fenolat sehingga warna biru semakin pekat (Vermerris dan Nicholson, 2007).
Gambar 8. Reaksi Senyawa Fenol dengan Folin-Ciocalteu Sumber : (Vermerris dan Nicholson, 2007).
18