EFEKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L) TERHADAP BAKTERI MIX SALURAN AKAR GIGI
NI PUTU IGA SAVITRI NPM : 10.8.03.81.41.1.5.055
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR DENPASAR 2014
i
Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Terhadap Bakteri Mix Saluran Akar Gigi
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
Oleh : NI PUTU IGA SAVITRI NPM : 10.8.03.81.41.1.5.055
Menyetujui Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
drg. Putu Rusmiany, M.Biomed NPK. 82 6795 206
drg. Kadek Lusi Ernawati NPK. 826 595 309
ii
Lembar Pengesahan Penguji dan Pengesahan Dekan Tim penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar telah meneliti dan mengetahui cara pembuatan skripsi dengan judul : “Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Terhadap Bakteri Mix Saluran Akar Gigi” yang telah dipertanggung jawabkan oleh calon sarjana yang bersangkutan pada tanggal 25 Februari 2014. Maka atas nama Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar dapat mengesahkan. Denpasar 25 Februari 2014 Tim Penguji Skripsi FKG Universitas Mahasaraswati Denpasar Ketua,
drg. Putu Rusmiany, M.Biomed NPK. 82 6795 206 Anggota :
Tanda Tangan :
1. drg. Kadek Lusi Ernawati NPK. 82 7610 309 2. drg.IGAA Hartini, M.Biomed NPK. 826395207
Mengesahkan, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
drg. P.A. Mahendri Kusumawati, M.Kes., FISID NIP. 19590512 198903 2001
iii
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat-Nya
penulis
dapat
menyelesaikan
skripsi
yang
berjudul
“EFEKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L) TERHADAP BAKTERI MIX SALURAN AKAR GIGI” ini tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun untuk memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi (SKG) pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. Keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Drg. Putu Rusmiany, M.Biomed selaku dosen pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktu dalam mengarahkan, membimbing dan memberikan petunjuk kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Drg. Kadek Lusi Ernawati selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
bantuan
dalam
membimbing
sehingga
skripsi
ini
terselesaikan. 3. Drg. I Gusti Agung Ayu Hartini, M.Biomed selaku dosen penguji yang telah bersedia menguji serta memberikan koreksi dan masukan kepada penulis.
iv
4. Ibu Amy Lelly Kusumawati S.Km selaku analis Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas segala dukungan, bimbingan dan bantuan yang telah diberikan 5. Drg. Putu Ayu Mahendri, M.Kes, FISID Selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar. 6. Ibu Tjok. Istri Sri Ramaswati, SH, M.M, selaku Rektor Univeristas Mahasaraswati Denpasar. 7. Keluarga tercinta ayah I Made Suwitra SKM, Msi dan ibu Ni Luh Widarini, ST, serta adik I Kadek Sakawesi Vidya dan I Komang Aebel Trisila Vidantra atas dukungan moral dan motivasi serta kasih sayang yang tak terhingga yang diberikan kepada si penulis sampai hari ini. 8. Bayu Kandel Arbawa, Kak Anggi dan sahabat-sahabatku tercinta Primadewi Candrawaty, Mita Antari, Ria Artayanti, Ovie kristina, Chintya, Silvia, Ophie, Dek Ari dan seluruh teman-teman angkatan cranter yang tidak dapat disebutkan satu-persatu oleh penulis, atas bantuan dan motivasinya baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan skripsi ini hingga selesai.
v
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya bagi seluruh pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan ilmu bagi pengemban ilmu dan masyarakat Denpasar, 25 Februari 2014
Penulis
vi
Efektivitas antibakteri ekstrak daun belimbing wuluh(Averrhoa bilimbi L) terhadap bakteri mix saluran akar gigi. Abstrak Perawatan Saluran Akar merupakan salah satu jenis perawatan yang bertujuan mempertahankan gigi agar tetap dapat berfungsi. Sterilisasi merupakan bagian dari perawatan saluran akar yang merupakan proses pemusnahan semua mikroorganisme. Ekstrak daun belimbing wuluh digunakan sebagai alternatif bahan medikamen saluran akar karena telah terbukti memiliki efek antibakteri. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental laboratorium dengan rancangan penelitian Post test only control group design. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek antibakteri daun belimbing wuluh terhadap bakteri mix saluran akar gigi. Ekstrak daun belimbing wuluh diencerkan dalam tabung glass dengan metode dilusi, diperoleh konsentrasi 10,5%, 11%, 12% yang masing-masing terdiri dari 4 sampel. Pada penelitian ini menunjukkan ekstrak dengan konsentrasi 10,5%, 11%, 12% tidak terdapat pertumbuhan bakteri. Ekstrak daun belimbing wuluh memiliki daya antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri mix saluran akar gigi. Kata Kunci : Ekstrak daun belimbing (Averrhoa bilimbi L), sterilisasi saluran akar, bakteri mix saluran akar gigi.
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul .......................................................................................................
i
Halaman Persetujuan Pembimbing ........................................................................
ii
Halaman Persetujuan Penguji dan Pengesahan Dekan ..........................................
iii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................
iv
ABSTRAK ............................................................................................................
vii
DAFTAR ISI..........................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL..................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................
xii
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang .............................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ........................................................................................
5
1.3
Tujuan Penelitian .........................................................................................
5
1.4
Manfaat Penelitian .......................................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
2.2
2.3
Mikroorganisme Saluran Akar ...................................................................
7
2.1.1 Jenis-Jenis Bakteri Saluran Akar ......................................................
9
2.1.1.1 Bakteri Anaerob Gram Negatif ..............................................
10
2.1.1.2 Bakteri Anaerob Gram Positif ...............................................
11
2.1.2 Resistensi Bakteri Terhadap Obat......................................................
12
Sterilisasi Saluran Akar ...............................................................................
14
2.2.1 Medikamen Saluran Akar ..................................................................
15
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) ......................................................
16
2.3.1 Komponen Kimia Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) ..... 18 2.3.2 Manfaat Daun Belimbing Wuluh(Averrhoa bilimbi L) .....................
viii
19
2.4 Tannin
.......................................................................................................
19
2.4.1 Sifat-sifat Tannin ...............................................................................
19
2.4.2 Manfaat Tannin..................................................................................
21
2.5 Flavonoid .......................................................................................................
21
2.5.1 Sifat-sifat Flavonoid ..........................................................................
21
2.5.2 Manfaat Flavonoid .............................................................................
22
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN 3.1
Kerangka Konsep........................................................................................
23
3.2
Hipotesis Penelitian ....................................................................................
24
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Jenis Penelitian ...........................................................................................
25
Rancangan Penelitian..................................................................................
25
4.2
Sampel Penelitian .......................................................................................
26
4.3
Besar Sampel .............................................................................................
26
4.4
Identifikasi Variabel ...................................................................................
27
4.5
Definisi Operasional ..................................................................................
27
4.6
Bahan dan Alat Penelitian ..........................................................................
28
4.6.1 Alat dan Bahan Pembuatan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh ............
28
4.6.2 Alat dan Bahan Uji Identifikasi Fitokimia .........................................
29
4.6.3 Alat dan Bahan Uji Efektivitas Ekstrak Daun Belimbing Wuluh Terhadap Bakteri Mix Saluran Akar Gigi .........................................
30
4.7 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................
31
4.7.1 Tempat Penelitian...............................................................................
31
4.7.2 Waktu Penelitian ...............................................................................
32
Alur Penelitian ...........................................................................................
32
4.9 Prosedur Penelitian ......................................................................................
32
4.9.1 Pembuatan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh ......................................
32
4.8
ix
4.9.2 Skrining Fitokimia Ekstrak Buah Mahkota Dewa ..............................
33
4.9.3 Pembiakan Spesimen .........................................................................
37
4.10 Penentuan MIC dan MBC Bahan Coba ......................................................
37
4.11 Analisis Data ...............................................................................................
39
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1
Ekstrak Daun Belimbing Wuluh .................................................................
40
5.2
Uji Identifikasi Fitokimia ...........................................................................
40
5.3
Uji Efektivitas Antibakteri ..........................................................................
41
BAB VI PEMBAHASAN ...................................................................................
45
BAB VII SIMPULAN dan SARAN 7.1
Simpulan .....................................................................................................
48
7.2
Saran ..........................................................................................................
48
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1
Perhitungan jumlah bakteri untuk bahan coba ekstrak daun Belimbing wuluh ..............................................................................
xi
43
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Staphylococcus Aureus ..................................................................
5
Gambar 2.1 Daun Belimbing Wuluh ...................................................................
18
Gambar 4.1
Alat pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh ...........................
28
Gambar 4.2
Alat uji efektivitas antibakteri........................................................
31
Gambar 4.3
Larutan Flavonoid .........................................................................
34
Gambar 4.4
Larutan Saponin .............................................................................
35
Gambar 4.5
Larutan Fenol ................................................................................
36
Gambar 4.6 Larutan Tannin ................................................................................
36
Gambar 4.7 Larutan Glikosida ............................................................................
37
Gambar 5.1 Ekstrak kental daun belimbing wuluh ..............................................
40
Gambar 5.7
SuspensiBakteri Mix SaluranAkar Gigi Setelah Berkontak Dengan Bahan Coba Pada Berbagai Konsentrasi ..........................
41
Gambar 5.8 Hasil Biakan Mulai Tampak Jernih Bila Dibandingkan Dengan Kontrol Positif ..................................................................
42
Gambar 5.9 Hasil Pengujian Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh 10,5%, 11%, 12% Pada Media Blood Agar ....................................
xii
42
DAFTAR SINGKATAN
MFC
: Minimal Fungicidal Concentration ............................................
5
TSB
: Trypic Soy Broth ........................................................................
31
MIC
: Minimum Inhibitory Concentration ...........................................
35
MBC
: Minimum Bactericidal Concentration .......................................
37
CFU
: Colony Forming Unit .................................................................
38
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Di Indonesia tingkat kesadaran masyarakat mengenai kesehatan gigi dan mulut masih belum memuaskan. Kesehatan gigi dan mulut tidak hanya sebatas memiliki gigi yang utuh saja melainkan bebas dari seluruh penyakit mulut termasuk kondisi di rongga mulut. Dan salah satu penyakit gigi dan mulut yang banyak dijumpai pada masyarakat adalah karies. Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan cementum. Karies gigi disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut yaitu gigi, saliva, mikroorganisme, dan diet, sedangkan faktor tambahannya adalah waktu. Peran mikroorganisme sangat penting terhadap proses terjadinya karies gigi yang juga didukung oleh faktor lainnya. Awal terjadinya proses karies gigi ditandai dengan adanya peningkatan aktivitas mikroorganisme di dalam rongga mulut (Poetry Oktanauly dkk. 2011). Mikroorganisme yang terdapat dalam karies merupakan sumber utama iritasi terhadap jaringan pulpa dan periradikuler. Banyak cara bakteri untuk masuk ke pulpa, namun masuknya bakteri ke pulpa paling sering disebabkan oleh proses lanjut dari karies. Saat ini mayoritas bakteri yang diisolasi dari infeksi saluran akar adalah anaerob (Nevi Yanti dan Fadhlina Irham, 2009). Bila karies telah menyebabkan terbukanya pulpa vital, jaringan pulpa harus di buang atau mungkin giginya bisa dicabut. Jika gigi ini ingin diselamatkan, maka di perlukan perawatan saluran akar yang bertujuan mempertahankan gigi agar tetap dapat berfungsi (Edwina A.M. Kidd dkk. 1992).
1
2
Keberhasilan perawatan endodonti secara langsung dipengaruhi oleh kemampuan untuk mengeliminasi mikroorganisme yang terdapat pada saluran akar yang terinfeksi. Bakteri yang biasa dapat bertahan dalam saluran akar adalah golongan bakteri anaerob
seperti Porphyromonas, Bacterioides gingivalis,
Phorphyromonas bacteriodes endodontalis, dan Prevotella bacterioides buccae yang dinamakan Bacterioides spesies. Tahapan penting dalam perawatan saluran akar gigi yang terinfeksi adalah preparasi, sterilisasi dan pengisian. Preparasi saluran akar gigi akan menunjang proses sterilisasi dengan bahan irigasi saluran akar untuk menghasilkan pengisian yang baik , sehingga mendapatkan hasil yang maksimal (Agustin, 2005). Preparasi biomekanikal dan irigasi saluran akar sangat penting untuk mengurangi jumlah bakteri selama perawatan endodonti. Hal ini juga perlu ditunjang dengan pemberian bahan medikamen saluran akar karena akan sangat membantu untuk mengeleminasi bakteri yang masih tertinggal setelah dilakukan preparasi atau setidaknya menghambat infeksi berulang saluran akar diantara kunjungan. Penggunaan bahan medikamen saluran akar selama perawatan endodonti harus dapat mensterilisasi atau mengurangi jumlah mikroorganisme patogen dalam saluran akar (Rosa dkk. 2002). Bahan medikamen yang paling umum digunakan saat ini adalah kalsium hidroksida (Ca(OH)2). Bahan ini digunakan sebagai medikamen selama kunjungan terapi endodonti dan mempunyai sifat antibakterial yang baik. Sifat antibakteri kalsium hidroksida ini disebabkan oleh penguraian ion-ion Ca2+ dan OH-6. Mekanisme antimikroba kalsium hidroksida terjadi dengan pemisahan ion kalsium dan hidroksil ke dalam reaksi enzimatik pada bakteri dan jaringan,
3
menginhibisi replikasi DNA serta bertindak sebagai barrier dalam mencegah masuknya bakteri ke dalam saluran akar (Athanassiadis 2007, Estrela 2008). Secara klinis, kalsium hidroksida merupakan bahan medikamen memiliki kemampuan menginaktifasi endotoksin bakteri serta dapat diterima baik sebagai bahan medikamen saluran akar. Akan tetapi, penelitian terdahulu menyatakan bahwa kalsium hidroksida dapat bekerja aktif terbatas pada beberapa hari. Hal ini mungkin dikarenakan saluran akar yang merupakan jaringan kompleks bahan organik dan anorganik. Kalsium hidroksida juga memiliki kelemahan, yaitu kekuatan kompresif yang rendah sehingga dapat berpengaruh pada kestabilan kalsium hidroksida terhadap cairan di dalam saluran akar yang akhirnya dapat melarutkan bahan medikamen saluran akar (Leswari, 1997). Pada penelitian sebelumnya melaporkan bahwa dentin dapat menginaktifkan aktifitas antibakteri kalsium hidroksida dan menunjukkan jumlah saluran akar yang positif mengandung bakteri meningkat setelah perawatan saluran akar dengan kalsium hidroksida (Kudiyirickal, 2008). Oleh karena itu, sangat diharapkan berkembangnya aplikasi bahan medikamen saluran akar yang berasal dari alam dan lebih kompatibel terhadap jaringan, namun tetap memiliki kemampuan antibakteri yang sama dengan bahan non-biologi. Kecenderungan masyarakat kembali memakai bahan alami dikenal sebagai New Green Wafe, dimana gerakan ini berupaya kembali menggunakan obatobatan tradosional yang ramuannya dari bahan alami yang didapat dari alam (biofarmaka). Sumber bahan baku obat (medicine) hingga saat ini masih berasal dari alam, baik nabati maupun asal hewan (Ristek, 2009). Tanaman berkhasiat obat mempunyai nilai lebih ekonomis dan efek samping lebih kecil dibandingkan
4
dengan obat-obat sintesis, karena itu penggunaan tumbuhan obat dengan formulasi yang tepat sangat penting dan tentunya lebih aman dan efektif (Wasitaatmadja, 1997). Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) merupakan salah satu jenis tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional. Tanaman ini banyak dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai penyakit seperti batuk, diabetes, rematik, gondongan, sariawan, sakit gigi, gusi berdarah, jerawat, diare sampai tekanan darah tinggi (Wijayakusuma, 2006) bagian tanaman yang sering digunakan sebagai obat adalah buah dan daunnya. Daun belimbing wuluh dijadikan obat tradisional karena di dalam daun belimbing wuluh terdapat zat-zat aktif yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang sering disebut zat antiseptik. Zat-zat aktif yang terkandung dalam daun belimbing wuluh
adalah tanin, sulfur, asam format, dan flavonoid
(Wijayakusuma, 2006). Senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan misalkan flavonoid, tanin, dan saponin berdasarkan beberapa hasil penelitian mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri, di dalam daun belimbing wuluh mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid dan tanin sehingga senyawa aktif tersebut dapat digunakan sebagai antibakteri. Kadar senyawa aktif tertinggi terdapat pada bagian daun (Leinmuler dkk. 1991 cit. Abdurohman 1998). Warna hijau pada daun berasal dari kandungan klorofil daun, sedangkan daun tua kehilangan klorofil sehingga warnanya berubah menjadi kuning atau merah (Anonymous, 2009). Ekstrak chloroform daun belimbing
wuluh
mengandung
senyawa
Staphylococcus aureus (Hernani dkk. 2009)
flavonoid
membunuh
bakteri
5
Menurut penelitian Winarti (2005), konsentrasi daun belimbing wuluh yang diuji mulai dari konsentrasi 0%, 1%, 1,5%, 3,5%, 6%, 7,5%, 9%, dan 10,5%. Penetapan rentang konsentrasi ditetapkan berdasarkan penelitian sebelumnya dimana telah diketahui nilai MFC (Minimal Fungicidal Contentration) dari daun belimbing wulih terhadap Staphylococcus aureus adalah 10,5%.
Gambar 1 Bentuk mikroskopis S. aureus (Wikipedia, 2006) Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa sudah ada penelitian untuk mengetahui efek antibakteri daun belimbing wuluh terhadap bakteri Staphylococcus aureus, namun belum ada penelitian efek antibakteri daun belimbing wuluh terhadap bakteri mix dari saluran akar gigi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian efek antibakteri daun belimbing wuluh terhadap bakteri saluran akar gigi.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka timbul permasalahan sebagai berikut : Apakah daun belimbing wuluh dengan konsentrasi 10,5%, 11%, 12% memiliki efek antibakteri terhadap bakteri mix saluran akar?
6
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui efek antibakteri daun belimbing wuluh dalam berbagai konsentrasi terhadap bakteri mix saluran akar.
1.4 Manfaat Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Dapat menjadi wawasan dan pengetahuan serta memberikan pengalaman langsung pada peneliti dalam melakukan penelitian. 2. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat mengembangkan potensi pendayagunaan tanaman obat berkhasiat yang ada di Indonesia. 3. Sebagai acuan untuk dilakukan penelitian selanjutnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroba Saluran Akar Masuknya bakteri dalam sistem saluran akar merupakan penyebab utama penyakit pulpa. Sebagian besar penyakit jaringan pulpa dan periradikuler secara langsung atau tidak langsung terkait dengan mikroorganisme (Walton dan Torabinejad, 2002). Menurut Grossman pada tahun 1995, bakteri dapat masuk ke dalam pulpa melalui tiga cara yaitu invasi langsung melalui dentin, seperti karies, fraktur mahkota atau akar, terbukanya pulpa pada waktu preparasi kavitas, atrisi, abrasi, erosi, atau retak pada mahkota, invasi melalui pembuluh darah atau limfatik terbuka, yang ada hubungannya dengan penyakit periodontal, suatu kanal aksesori pada daerah furkasi, infeksi gusi dan invasi melalui pembuluh darah , misalnya selama penyakit infeksius atau bakteremia transien. Banyak cara bakteri untuk masuk ke pulpa, namun masuknya bakteri ke pulpa paling sering disebabkan oleh proses lanjut dari karies (Nevi Yanti dan Fadhlina Irham, 2009). Menurut Kidd dan Bechal pada tahun 1992, karies gigi merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan sementum, yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Tandanya adalah adanya demineralisasi jaringan keras gigi yang kemudian diikuti oleh kerusakan bahan organiknya. Akibatnya, terjadi invasi bakteri dan kematian pulpa serta penyebaran infeksinya ke jaringan periapeks yang dapat menyebabkan nyeri.
7
8
Mikroorganisme yang terdapat dalam karies merupakan sumber utama iritasi terhadap jaringan pulpa dan periradikuler (Walton dan Torabinejad, 2002). Dengan berlanjutnya proses karies walaupun pulpa belum terkena, sel-sel peradangan akan mengadakan penetrasi ke pulpa melalui tubulus dentin yang terbuka sehingga jika karies sudah meluas mengenai pulpa, itu berarti telah terjadi peradangan kronis dan cepat atau lambat pulpa akan menjadi nekrosis. Nekrosis pulpa adalah kematian yang merupakan proses lanjutan dari radang pulpa akut maupun kronis atau terhentinya sirkulasi darah secara tiba-tiba akibat trauma (Tarigan, 2013). Jika telah menjadi nekrosis, jaringan pulpa akan menjadi reservoir bagi mikroorganisme, produk samping bakteri, dan produk-produk pemecahan mikroorganisme. Setelah pulpa terbuka karena karies, berbagai spesies bakteri yang oportunis dari floral oral akan berkoloni pada pulpa yang terbuka. Dari sekitar 500 spesies bakteri yang dikenal sebagai flora normal rongga mulut hanya relatif sedikit saja kelompok yang dapat diisolasi dari ruang pulpa yang terinfeksi. Yang dominan adalah bakteri anaerob obligat dan bakteri anaerob fakultatif jenis gram negatif dan gram positif (Walton dan Torabinejad, 2002). Bakteri anaerob meliputi 90% dari bakteri penyebab infeksi saluran akar. Berdasarkan temuan tersebut tidak hanya satu macam bakteri tetapi berbagai macam bakteri (Agustin,2005). Bakteri anaerob adalah bakteri yang tidak membutuhkan oksigen untuk pertumbuhan dan metabolisme tetapi mendapatkan reaksinya dari fermentasi. Definisi fungsional anaerob adalah bakteri yang memerlukan tekanan oksigen yang rendah untuk tumbuh dan tidak dapat tumbuh pada permukaan perbenihan
9
padat dalam udara yang mengandung CO2 (Jawetz dkk. 2008). Menurut Baumgartner dkk. 1991, suatu penelitian yang dilakukan telah mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri dari saluran akar yang terinfeksi 5 mm daerah apeks pada gigi yang pulpanya terbuka dan disertai lesi periradikuler yang diakibatkannya. Ternyata bahwa sebagian besar 68% isolatnya adalah anaerob obligat. Mendominasinya anaerob obligat ini mungkin disebabkan adanya proses yang selektif yang hanya menguntungkan bakteri anaerob. Proporsi relatif dari bakteri anaerob obligat terhadap anaerob fakultatif makin lama akan makin meningkat, seperti juga halnya dengan jumlah bakteri totalnya (Walton dan Torabinejad, 2002). 2.1.1 Jenis-Jenis Bakteri Saluran Akar Infeksi yang penting secara medis akibat bakteri anaerob sering terjadi. Infeksinya sering bersifat polimikroba yaitu, bakteri anaerob ditemukan pada infeksi campuran dengan bakteri anaerob lainnya, fakultatif anaerob dan aerob. Bakteri anaerob ditemukan di semua bagian tubuh manusia baik di kulit, di permukaan mukosa, dan di mulut serta saluran cerna dengan konsentrasi tinggi sebagai bagian dari flora normal. Infeksi terjadi ketika bakteri anaerob dan bakteri flora normal lainnya mengontaminasi bagian tubuh yang secara normal steril (Jawez dkk. 2008). Baik mikroorganisme aerob dan anaerob, dan juga mikroorganisme fakultatif dapat ditemukan di dalam saluran akar. Menurut Jawetz tahun 2008, bakteri anaerob terbagi menjadi dua yaitu bakteri anaerob gram negatif dan bakteri anaerob gram positif. Berikut beberapa spesies bakteri anaerob yang paling sering ditemukan pada saluran akar.
10
2.1.1.1 Bakteri Anaerob Gram Negatif A. Bacteroides Spesies Bacteroides adalah anaerob yang sangat penting yang menyebabkan infeksi pada manusia. Spesies ini adalah kelompok besar basillus gram negatif dan dapat tampak seperti batang yang tipis atau kokobasillus (Jawetz dkk. 2008). Genus anaerob Bacteroides telah banyak mengalami revisi taksonomi yang mengubah nomenklatur bakteri berpigmen hitam yang terkait dengan infeksi saluran akar (Walton dan Torabinejad, 2002). B. Prevotella Spesies Prevotella adalah bakteri basillus gram-negatif dan dapat nampak seperti batang yang tipis atau kokobasillus. Prevotella meliputi spesises yang baru diberi nama dan spesies yang dulu diklasifikasikan ke dalam spesies bakteroides (Jawetz dkk. 2008). Spesies yang diisolasi di saluran akar adalah Prevotella intermedia dan Prevotella nigrecens. Prevotella nigrecens paling banyak ditemukan dalam infeksi saluran akar (Walton dan Torabinejad, 2002). C. Porphyromonas Spesies Porphyromonas merupakan basillus gram-negatif yang merupakan bagian dari flora normal mulut dan juga terdapat pada bagian tubuh yang lain. Genus porphyromonas meliputi spesies yang baru diberi nama dan dahulu dimasukkan ke dalam genus bacteroides (Jawetz dkk. 2008). Bakteri porphyromonas yang diisolasi di dalam saluran akar adalah Porphyromonas gingivalis dan Porphyromonas endodontalis yang biasanya terdapat pada infeksi akut (Walton dan Torabinejad, 2002).
11
D. Fusobacterium Spesies Fusobacterium adalah bakteri batang pleomorfik gram-negatif. Kelompok Fusobacterium meliputi beberapa spesies yang sering diisolasi dari infeksi bakteri campuran yang disebabkan oleh flora normal mukosa (Jawetz dkk. 2008). E. Veillonella Spesies Veillonella adalah kelompok kokus kecil, anaerob, gram-negatif yang merupakan bagian dari flora normal mulut, nasofaring. Meskipun kadang-kadang spesies ini diisolasi pada infeksi polimikroba anaerob, spesies ini jarang menjadi satu-satunya penyebab suatu infeksi (Jawetz dkk. 2008). 2.1.1.2 Bakteri Anaerob Gram Positif A. Actinomyces Kelompok actinomyces merupakan jenis bakteri yang paling banyak menyebabkan aktinomikosis. Pada pewarnaan gram, kelompok ini sangat bervariasi panjangnya, dapat berukuran pendek dan panjang, tipis filament bermanik-manik, dapat bercabang atau tidak bercabang (Jawetz dkk. 2008). B. Propionibacterium Pada pewarnaan gram, spesies ini sangat pleomorfik, menunjukkan ujung yang berbentuk lengkung, seperti gada atau titik, bentuk panjang dengan pewarnaan seperti manik-manik dan tidak rata, serta kadang-kadang berbentuk kokus (Jawetz dkk. 2008). Spesies Actinomyces dan Propionibacterium mampu untuk menetap di jaringan periradikuler jika ada jaringan yang terinflamasi kronis. Hampir semua infeksi ini tampaknya mengadakan respons terhadap perawatan
12
saluran akar konvensional walaupun kadang-kadang pembedahan dan antibiotik mungkin diperlukan untuk mengatasi infeksi ini (Walton dan Torabinejad, 2002). C. Eubacterium Spesies Eubacterium adalah jenis bakteri anaerob, pleomorfik, batang grampositif. Bakteri ini kerap diasosiasikan dengan gejala dan tanda klinis pada penyakit periradikuler (Walton dan Torabinejad, 2002). D. Peptostreptococcus Spesies Peptostreptococcus adalah spesies kokus gram-positif dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi yang ditemukan pada kulit dan merupakan bagian dari flora normal membrane mukosa. Spesies ini sering ditemukan pada infeksi campuran akibat flora normal (Jawetz dkk. 2008). Bakteri ini juga kerap diasosiasikan dengan gejala dan tanda klinis pada penyakit periradikuler (Walton dan Torabinejad, 2002). 2.1.2 Resistensi Bakteri Terhadap Obat Mikroorganisme yang terdapat di dalam saluran akar dapat menyerbu jaringan periapikal dan tidak saja menimbulkan rasa sakit, tetapi juga menghancurkan periodonsium termasuk tulang. Flora mikroba saluran akar terdiri dari organisme yang dapat hidup pada jaringan pulpa mati, yaitu saprofit, yang dapat tumbuh pada suatu lingkungan dengan tegangan oksigen rendah, dan yang dapat bertahan dalam lingkungan dengan makanan terbatas. Organisme yang mencapai saluran akar berasal dari rongga mulut dan mempunyai kesempatan untuk masuk jaringan pulpa dan hanya yang paling cocok dapat bertahan. Salah satu masalah endodontik adalah menghilangkan organisme gram-positif, karena organisme ini adalah yang paling berlimpah. Selain itu, sejumlah kecil organisme gram-negatif
13
dan jamur dapat diisolasi dari saluran akar namun resisten terhadap obat-obatan antimikroba yang digunakan pada sterilisasi saluran akar (Grossman, 1995). Resistensi mikroorganisme adalah suatu sifat terganggunya kehidupan mikroorganisme oleh antimikroba. Resistensi terjadi ketika bakteri atau mikroorganisme berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi mikroba pada manusia (Eka Rahayu Utami, 2012). Terdapat beberapa mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat resisten terhadap obat, yaitu mikroorganisme menghasilkan enzim yang menghancurkan obat aktif, mikroorganisme mengubah permeabilitasnya terhadap obat, mikroorganisme menyebabkan perubahan target struktural untuk obat, mikroorganisme menyebabkan perubahan jalur metabolik yang melintasi reaksi yang dihambat oleh obat, mikroorganisme menyebabkan perubahan enzim yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tetapi kurang dipengaruhi oleh obat (Jawetz dkk. 2008). Selain itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan gigi rentan terhadap infeksi atau menyebabkan kegagalan pada proses disinfeksi saluran akar. Apakah dari suatu luka ataukah dari saluran akar gigi tanpa pulpa. Faktor-faktor tersebut adalah trauma, jika gigi ingin dirawat gigi tersebut harus diasah. Selanjutnya jaringan didevitalisasi, bila terdapat pada saluran akar atau jaringan periapikal, akan mengganggu disinfeksi atau perbaikan. Untuk efek maksimum, medikamen harus berkontak dengan mikro-organisme dalam saluran akar, dan adanya akumulasi eksudat (Grossman, 1995).
14
2.2 Sterilisasi Saluran Akar Perawatan saluran akar merupakan salah satu jenis perawatan yang bertujuan mempertahankan gigi agar tetap dapat berfungsi. Tahap perawatan saluran akar adalah preparasi saluran akar, sterilisasi dan pengisian saluran akar. Keberhasilan perawatan saluran ini dipengaruhi oleh preparasi dan pengisian saluran akar yang baik (Patrick Soedjono dkk. 2009). Sterilisasi adalah proses pemusnahan semua mikroorganisme. Disinfeksi adalah menghilangkan organisme vegetatif yang menyebabkan penyakit (Tarigan, 2006). Sterilisasi saluran akar adalah pembinasaan mikroorganisme patogenik, dengan syarat pengambilan jaringan pulpa dan debris yang memadai, pembersihan dan pelebaran saluran akar dengan cara biokimiawi, pelebaran saluran dengan cara biokimiawi dan pembersihannya dengan cara irigasi. Sterilisasi saluran akar bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan flora mikrobial di dalam saluran akar. Menurut studi Bystom dan Sundqvist tahun 1985, apabila tidak dilakukan sterilisasi saluran akar pada setiap kali melakukan perawatan maka jumlah mikroorganisme akan meningkat jumlahnya. Perlunya sterilisasi saluran akar adalah untuk memusnahkan atau mengurangi jumlah mikroorganisme secara nyata (Grossman, 1995). 2.2.1 Medikamen Saluran Akar Sterilisasi saluran akar dilengkapi dengan medikamen saluran akar. Medikamen saluran akar merupakan suatu tahap yang penting dalam perawatan saluran akar. Perlunya medikamen saluran akar untuk memusnahkan atau
15
mengurangi jumlah mikroorganisme kelihatan nyata (Grossman, 1995). Selain untuk mengurangi jumlah mikroorganisme, medikamen juga digunakan untuk mengurangi inflamasi periradikuler dan mengurangi nyeri, mencegah resorpsi akar serta re-infeksi (Athanassiadis B dkk. 2007). Medikamen
digunakan
untuk
membantu
meningkatkan
keberhasilan
perawatan endodontik. Medikamen tersebut diharapkan dapat berpenetrasi ke dalam tubulus dentin dan membunuh bakteri. Sehingga syarat dari medikamen saluran akar yaitu harus memiliki aktivitas antibakteri (Athanassiadis B dkk. 2007). Bahan medikamen saluran akar yang telah dipakai selama ini antara lain: a. Bahan berbasis fenol Terbagi atas parachlorophenol, champhorated monoparachlorophenol (CMPC), metyl acetate, eugenol dan thymol, memiliki daya antimikrobial, tetapi tidak bertahan lama, menimbulkan bau tidak sedap, toksik terhadap jaringan dan melemahkan sifat bahan tumpatan (Hauman, 2009). b. Kombinasi antibiotik-steroid Memiliki efek bakterisida yang kuat terhadap bakteri. Mengandung kortikosteroid yang berguna mengurangi peradangan dan antibiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri saluran akar. Tetapi keberadaan kedua kandungan tersebut perlu diperhatikan mengingat efek samping yang ditimbulkan dari kandungan kortikosteroid akan menurunkan kemampuan regenerasi sel dan jaringan serta menghambat pembentukan fibroblast dan antibodi. Kandungan antibiotikanya juga berakibat kurang baik untuk pemakaian jangka panjang (Hauman, 2009). c. Formokresol
16
Merupakan kombinasi formaline dan tricresol dalam perbandingan 1:2 atau 1:1. Formokresol merupakan bahan medikamen yang tidak spesifik dan sangat efektif terhadap mikroorganisme aerob dan anaerob yang ditemukan dalam saluran akar. Tetapi formokresol disebutkan juga menghasilkan iritasi derajat tinggi dan menyebabkan nekrosis yang bertahan selama 2-3 bulan, sehingga bersifat toksik (Hauman, 2009) d. Kalsium hidroksida Kalsium hidroksida (Ca(OH)2) telah digunakan sejak 1920 sebagai bahan medikamen saluran akar. Kalsium hidroksida saat ini merupakan medikamen saluran akar yang paling sering digunakan (C.Sathron dkk. 2007). Mengingat pentingnya melakukan sterilisasi saluran akar sebelum melakukan pengisian saluran akar, dibutuhkan suatu medikamen atau obat-obatan intra saluran yang dapat memusnahkan atau mengurangi jumlah mikroorganisme. Sebelum
mempertimbangkan
suatu
medikamen
yang
akan
digunakan,
menentukan jenis mikroorganisme apa yang akan dimusnahkan. Pada sebagian besar kasus dijumpai berbagai mikroorganisme yang lebih sering ditemui dalam berbagai kombinasi. Untuk itu dibutuhkan suatu medikamen yang dapat mengurangi jumlah mikroorganisme di dalam saluran akar (Grossman, 1995). 2.3 Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) Tanaman di Indonesia banyak yang bisa memberi manfaat untuk kehidupan, salah satu diantaranya adalah belimbing wuluh (Averrha bilimbi L.). Belimbing wuluh merupakan salah satu spesies dalam famili Averrhoa yang tumbuh di daerah ketinggian hingga 500 m di atas permukaan laut dan dapat ditemui di tempat yang banyak terkena sinar matahari langsung tetapi cukup lembab. Pada
17
umumnya belimbing wuluh ditanam dalam bentuk tanaman pekarangan yaitu diusahakan sebagai usaha sambilan atau tanaman peneduh di halaman rumah (Parikesit, 2011). Pohon yang berasal dari Amerika tropis ini menghendaki tempat tumbuh yang terkena cahaya matahari langsung dan cukup lembab. Pohonnya tergolong kecil, tinggi mencapai 10 m dengan batang tidak begitu besar, kasar berbenjol-benjol dan mempunyai garis tengah sekitar 30 cm. Percabangan sedikit, arahnya condong ke atas, cabang muda berambut halus seperti beludru berwarna cokelat muda. Bunga berupa malai, berkelompok, keluar dari batang atau cabang yang besar. Bunga kecil-kecil berbentuk bintang, warnanya ungu kemerahan. Buahnya berbentuk bulat lonjong bersegi, panjang 4-6,5 cm, warnanya hijau kekuningan, bila masak berair banyak dan rasanya masam. Bijinya berbentuk bulat telur (Wijayakusuma dan Dalimartha, 2006). Belimbing wuluh disebut Averrhoa bilimbi L, yang termasuk dalam famili Oxalidaceae. Tanaman ini dikenal dengan nama daerah limeng, selemeng, beliembieng, blimbing buloh, limbi, libi, tukurela dan malibi. Nama asingnya bilimbi, cucumber tree dan kamias (Anonymous, 2008). Adapun, Klasifikasi ilmiah tanaman belimbing wuluh adalah (Dasuki, 1991) Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio
: Magnoliophyta (berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub-kelas
: Rosidae
Ordo
: Geraniales
18
Familia
: Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan)
Genus
: Averrhoa
Spesies
: Averrhoa bilimbi L
Gambar 2.1 Daun Belimbing Wuluh ( Puji Rahayu, 2013) Daun majemuk menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Anak daun bertangkai pendek, bentuknya bulat telur sampai jorong, ujung runcing, pangkal membundar, tepi rata, panjang 2-10 cm, lebar 1-3 cm, warnanya hijau, permukaan bawah warnanya lebih muda (Wijayakusuma dan Dalimartha, 2006). 2.3.1 Komponen Kimia Daun Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) Daun belimbing wuluh mengandung tanin, sulfur, asam format dan peroksida (Wijayakusuma dan Dalimarta, 2006). Senyawa peroksida yang dapat berpengaruh terhadap antipiretik, peroksida merupakan senyawa pengoksidasi dan kerjanya tergantung pada kemampuan pelepasan oksigen aktif dan reaksi ini mampu membunuh banyak mikroorganisme (Soekardjo, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Lidyawati dkk. 2006, menunjukkan bahwa penapisan fitokimia
19
menunjukkan bahwa simplisia dari ekstrak metanol daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Pada sel daun terdapat cairan vakuola yang terdapat dalam vakuola terutama terdiri dari air, namun didalamnya dapat terlarut berbagai zat seperti gula, berbagai garam, protein, alkaloida, zat penyamak atau tanin dan zat warna. Jumlah tanin dapat berubah-ubah sesuai dengan musim serta pigmen dalam vakuola adalah flavonoid (Hidayat, 1995). 2.3.2 Manfaat Daun Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) Daun belimbing wuluh berguna sebagai obat encok, obat penurun panas dan obat gondok (Mulyani dan Gunawan, 2006). Khasiat daun belimbing wuluh yaitu sebagai obat gondongan dan rematik. Daun, bunga dan buah belimbing wuluh dapat sebagai obat batuk (Anonymous, 2008). 2.4 Tanin Leinmuler et al (1991) dalam Abdurohman (1998) menyebutkan bahwa tanin ditemukan dalam hampir semua genus tanaman dikotil misalnya leguminosa. Penyebaran tanin dalam tanaman beragam. Pada tanaman Rhus coraria, tanin ditemukan 27% dalam daun, 6% dalam kulit pohon dan 0,4% dalam kayu. Perbedaan kadar tanin dipengaruhi oleh tingkat kematangan, umur daun dan musim. Tanin terdapat dalam berbagai tanaman baik digunakan sebagai bahan makanan oleh manusia ataupun hewan. Secara menyeluruh senyawa tanin menurun selama proses pematangan dan pendewasaan. Senyawa tanin selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan tanaman atau buah. Secara umum tanin mencapai kandungan
20
tertinggi pada waktu masih muda dan menurun setelah tua (Winarno dan Aman, 1981).
2.4.1 Sifat-sifat Tanin Tanin tidak selalu berwarna kuning atau coklat. Asam tanat yang dapat dibeli di pasaran mempunyai BM 1.701 dan kemungkinan besar terdiri dari sembilan molekul asam galat dan sebuah molekul glukosa (Winarno, 2002). Winarno dan Aman (1981) menyebutkan bahwa oksidasi tanin akan menghasilkan senyawa berwarna coklat yang tidak mampu mengendapkan protein. Fenol sangat peka terhadap oksidasi enzim dan mungkin hilang pada proses isolasi akibat kerja enzim fenolase yang terdapat pada tumbuhan (Harborne, 1987). Harborne (1987) dan Jasni et.al (1997) menyebutkan bahwa kompleks taninprotein umumnya terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen dan tidak larut. Ikatan hidrogen antara gugus karbonil dari ikatan peptida dengan gugus hidroksil dari tanin merupakan ikatan yang paling dominan di dalam kompleks tanin protein. Interaksi hidrofobik tanin-protein terlihat pada cincin aromatik fenol dan alifatik serta rantai samping aromatik pada protein asam amino (Hagerman and Butler, 1980 dalam Abdurohman,1998). Kompleks ini dipengaruhi oleh pH, suhu dan bobot molekul. Nilai pH yang rendah akan menurunkan pembentukan kompleks tanin-protein sebagai akibat adanya efek elektrostatik dari protein. Winarno (2002) tanin terdiri dari katekin, leukoantosianin dan asam hidroksi yang masingmasing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. Warna ini terbentuk karena terbentuknya kompleks antara logam Fe dari FeCI3 1 % dengan gugus hidroksi dari tanin. Terikatnya Fe pada tannin menghasilkan warna yang
21
spesifik karena gugus hidroksil berkonjugasi dengan ikatan rangkap, sedangkan terikatnya katekin dengan Fe tidak memberikan warna yang sama, sebab gugus hidroksil tidak berkonjugasi dengan ikatan rangkap (Nurhasanah, 2001). 2.4.2 Manfaat Tanin Beberapa tanaman diduga memproduksi tanin sebagai upaya pertahanan melawan jamur dan bakteri patogenik serta melawan pemakannya seperti serangga dan herbivora (Barry, 1989 dalam Abdurohman, 1998). Selain itu, beberapa manfaat tanin (Imtihanah, 1989) pengobatan luka bakar, pada industri tekstil dan industri tinta tanin sebagai zat warna, pencegah korosi, sebagai penjernih dalam industri minuman anggur, sebagai bahan fotografi dan menurunkan viskositas lumpur pada pipa pengeboran minyak. 2.5 Flavonoid Flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan yaitu daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nektar, buah dan biji (Markham, 1988). Flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus sampai angiospermae. Pada tumbuhan tinggi flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga (Robinson, 1995). Golongan flavonoid digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6 yaitu kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzen tersubstitusi) disambung oleh rantai alifatik tiga karbon (Robinson, 1995). 2.5.1 Sifat-sifat Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa polar, maka flavonoid umumnya larut dalam pelarut
etanol
(EtOH),
metanol
(MeOH),
butanol
(BuOH),
aseton,
dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), air dan lain-lain. Adanya
22
gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air (Markham, 1988). Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia, sehingga mudah dideteksi pada kromatogram atau larutan (Harborne, 1987). Pengaruh glikolisasi menyebabkan flavonoid menjadi kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air (cairan), sifat ini memungkinkan penyimpanan flavonoid di dalam vakuola sel (disinilah flavonoid berada) (Markham, 1988). Uji untuk mengetahui adanya flavonoid menggunakan serbuk logam Mg dan beberapa tetes HCI pekat (Hayati, 2008). 2.5.2 Manfaat Flavonoid Flavonoid berfungsi untuk menjaga pertumbuhan normal, pengaruh infeksi dan kerusakan. Flavonoid telah dikenalkan sebagai anti karsinogenik, anti alergi, menghambat pertumbuhan tumor, antimikrobia dan sering digunakan untuk pengobatan tradisional (Harborne, 1988).
BAB III HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Variabel bebas Ekstrak belimbing wuluh 10,5%, 11%, 12%
Variabel kendali Suhu Waktu Media pH
Variabel terikat Bakteri mix saluran akar gigi
23
24
3.2 Hipotesis 1. Berdasarkan kerangka konsep di atas maka hipotesis pada penelitian ini adalah ekstrak daun belimbing wuluh pada konsentrasi 10,5%, 11%, 12% efektif membunuh bakteri mix saluran akar gigi.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah eksperimental laboratorium Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Post test Only Control Group Design Design K
P
Keterangan
S
Ra
O0
P1
O1
P2
O2
P3
O3
: P : Populasi S : Sampel Ra : Rendom alokasi K : Perlakuan dengan control dengan kekeruhan setara 108 CFU/ml yang diinkubasi 24 jam (kontrol positif) P1 : Perlakuan dengan ekstrak daun belimbing wuluh pada
25
26
konsentrasi 10,5% P2 : Perlakuan dengan ekstrak daun belimbing wuluh pada konsentrasi 11% P3 : Perlakuan dengan ekstrak daun belimbing wuluh pada konsentrasi 12,5% O0 : Pengamatan hasil pada kelompok K O1 : Pengamatan hasil pada kelompok P1 O2 : Pengamatan hasil pada kelompok P2 O3 : Pengamatan hasil pada kelompok P3 4.2 Sampel Penelitian Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri mix saluran akar gigi yang diperoleh dengan menggunakan paper point yang dimasukkan ke dalam saluran akar gigi dengan diagnosa nekrosis pulpa tanpa ada kelainan periapikal pada akar gigi tunggal dan belum pernah dilakukan perawatan saluran akar. 4.3 Besar Sampel Penelitian ini menggunakan bakteri, sehingga penentuan besar sampel ditetapkan sesuai dengan penetapan baku uji bakteri yaitu menggunakan 108 bakteri. Jumlah pengulangan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan rumus Federer (1999) : (n - 1) (t - 1) ≥ 15 (n - 1) (4 - 1) = 15
27
(n – 1) (3)
= 15 n – 1 = 15;3 n=5+1 =6
Keterangan : n : banyaknya ulangan t : banyaknya perlakuan Berdasarkan perhitungan dengan rumus diatas, maka diperoleh n = 6. Dan t = 4 maka jumlah sampel keseluruhan adalah 24 sampel. 4.4 Identifikasi Variabel a. Variabel terikat
: Bakteri mix saluran akar gigi
b. Variabel bebas
: Ekstrak daun belimbing wuluh 10,5%, 11%, 12%
c. Variabel kendali
: Lamanya inkubasi, suhu, konsentrasi ekstrak daun belimbing wuluh
d. Variabel tidak terkendali
: Bakteri mix saluran akar gigi
4.5 Definisi Operasional a. Daya hambat adalah kemampuan suatu zat untuk menghambat pertumbuhan bakteri. b. Bakteri mix saluran akar gigi adalah sejumlah bakteri yang terdapat di dalam saluran akar gigi yang dapat menyebabkan infeksi saluran akar.
28
Bakteri mix saluran akar ini diperoleh dengan menggunakan paper point steril yang dimasukkan ke dalam saluran akar gigi dengan diagnose nekrosis pulpa. c. Ekstrak daun belimbing wuluh merupakan ekstrak yang diperoleh dari daun belimbing wuluh dengan konsentrasi 10,5%, 11%, 12%. d. Waktu inkubasi adalah waktu yang digunakan untuk mengamati pertumbuhan atau pembiakan bakteri mix saluran akar gigi yaitu 18-24 jam. e. Suhu adalah ukuran panas atau dinginnya suatu benda. Suhu yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri mix saluran akar gigi yaitu 370C. 4.6 Bahan dan Alat Penelitian 4.6.1
Alat dan Bahan Pembuatan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh A. Alat a. Botol timbang b. Rotary evaporator c. Pisau d. Ayakan 40 mesh e. Neraca analitik (adam) f. Oven (binder) g. Moisture analyzer h. Batang pengaduk i. Spatula j. Alat-alat gelas k. Kertas saring bebas abu (whatmaan ashless)
29
l. Vacuum gas m. Penyaring Buchner
A. Bahan a. Simplisia daun belimbing wuluh b. Etanol 96% c. N-heksana d. Kloroform
Gambar 4.1 Alat pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh 4.6.2
Alat dan Bahan Uji Identifikasi Fitokimia
30
A. Alat a. Tabung reaksi b. Rak tabung reaksi c. Penjepit tabung d. Pipit tes e. Gelas ukur f. Tabung spiritus g. Cawan penguap B. Bahan a. Akuades b. Metanol 10 ml c. Etanol d. Kloroform e. Asam asetat anhidrat f. Asam sulfat g. HCL 2N h. FeCl3 4.6.3
Alat dan Bahan Uji Efektifitas Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Terhadap Bakteri Mix Saluran Akar Gigi
A. Alat a. Cawan petri b. Micropipette c. Lampu Bunsen d. Incubator
31
e. Timer f. Tabung eppendorf 1,8mm g. Tabung glass B. Bahan a. Blood agar 20 ml b. Glukosa boilon c. TSB (trypic soy broth) d. Paper point yang berisi bakteri mix saluran akar gigi e. Ekstrak daun belimbing wuluh f. Etanol 96% g. Masker h. Handscoon
Gambar 4.2 Alat Uji Efektivitas Antibakteri
32
4.7 Tempat dan Waktu Penelitian 4.7.1 Tempat Penelitian a) Pembuatan ekstrak daun belimbing wuluh dan uji identifikasi fitokimia Laboratorium Fitokimia dan Farmakognosi Farmasi Universitas Udayana b) Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 4.7.2 Waktu Penelitian Waktu penelitian Desember – Januari 2014 4.8 Alur Penelitian Bakteri Mix Saluran Akar Gigi
Uji Fitokimia Saponin Fenol Ekstrak Daun Belimbing Wuluh 10,5%, 11%, 12%
Tannin Glikosida Minyak atsiri Flavonoid
4.9 Prosedur Penelitian 4.9.1
Pembuatan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
Daun belimbing wuluh dikumpulkan sebanyak 1kg, kemudian di timbang
33
lalu di potong kecil-kecil dan dikeringkan dengan bantuan kipas angin selama 14 hari. Serbuk daun belimbing wuluh dihaluskan hingga diperoleh serbuk berukuran 100 mesh. Sebanyak 900 gram serbuk daun belimbing wuluh dimaserasi menggunakan 2,5 liter etanol 96% pada suhu kamar selama 1 hari disertai dengan pengadukan setiap 10 jam sekali. Disaring (diperoleh ekstrak cair pertama) kemudian ampas dimaserasi kembali dengan 2,5 liter etanol 96% pada suhu kamar selama 1 hari disertai dengan pengadukan setiap 10 jam sekali. Disaring (diperoleh ekstrak cair kedua) kemudian ekstrak cair pertama dan kedua disatukan, didiamkan 1 hari dan dilanjutkan ke tahap pengentalan ekstrak menggunakan rotary evaporator (80 rpm, 450C, 0.62 bar). 4.9.2
Skrining Fitokimia Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
Skrining fitokimia terhadap ekstrak daun belimbing wuluh meliputi pemeriksaan minyak atsiri, tannin, alkaloid, sterol, terpenoid, saponin, fenol, glikosida dan flavonoid. a. Pembuatan larutan untuk skrining fitokimia Pembuatan larutan uji untuk skrining fitokimia dilakukan dengan melarutkan 500 mg ekstrak dalam 10 mL etanol 96 %. b. Pemeriksaan minyak atsiri Ekstrak yang diperoleh ditambah dengan etanol, bila berbau enak/aromatik larutan alkoholik tersebut diuapkan kembali hingga kering. Bila residu tetap berbau enak, menunjukan ekstrak positif mengandung minyak atsiri. c. Pemeriksaan flavonoid
34
Reaksi Pew : Sebanyak 1 mL larutan ekstrak uji diuapkan, dibasahkan sisanya dengan aseton P, ditambahkan sedikit serbuk halus asam borat P dan serbuk halus asam oksalat P, dipanaskan hati-hati di atas tangas air dan dihindari pemanasan berlebihan. Sisa yang diperoleh dicampur dengan 10 mL eter P. Diamati dengan sinar UV366; larutan berfluoresensi kuning intensif, menunjukkan adanya flavonoid.
Gambar 4.3 : larutan flavonoid d. Pemeriksaan steroid dan triterpenoid Pemeriksaan steroid dan triterpenoid dilakukan dengan reaksi LiebermannBurchard.Sebanyak 2 mL larutan uji diuapkan dalam cawan penguap. Residu dilarutkan dengan 0,5 mL kloroform, kemudian ditambahkan 0,5 mL asam asetat anhidrat. Selanjutnya ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung.Terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cincin birukehijauan menunjukkan adanya steroid. e. Pemeriksaan Saponin:
35
Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji dalam tabung reaksi ditambahkan dengan 10 mL aquades kemudian dikocok vertical selama 10 detik.Pembentukan busa setinggi 1 - 10 cm yang stabil selama tidak kurang dari 10 menit, menunjukkan adanya saponin.Pada penambahan 1 tetes HCL 2N, busa tidak hilang.
Gambar 4.4 : Larutan Saponin f. Pemeriksaan alkaloid Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselin hingga di dapat residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCl 2N. Larutan yang didapat kemudian di bagi ke dalam 5 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan asam encer yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendorff sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes. Tabung ke empat ditambahkan pereaksi wagner sebanyak 3 tetes. Tabung kelima ditambahkan pereaksi Bouchardat sebanyak 3 tetes. Terbentuknya endapan
36
jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung ketiga menunjukkan adanya alkaloid. g. PemeriksaanFenol Sebanyak 2 mL larutan uji ditambahkan 3 tetes FeCl3 10%. Terbentuk warna hitam pekat menunjukkan adanya fenol.
Gambar 4.5 : Larutan Fenol h. Tannin Sebanyak 2 ml Larutan uji ditambahkan 2 tetes larutan Pb asetat 10%. Terbentuk endapan berwarna putih menunjukkan adanya tannin.
37
Gambar 4.6 : larutan tannin
i. Glikosida Sebanyak 2 ml larutan uji 2 ml asam asetat anhidrat, dilanjutkan dengan penambahan asam sulfat pekat. Terbentuk larutan berwarna hijau kebiruan menunjukkan adanya glikosida jantung.
Gambar 4.7 : larutan glikosida
38
4.9.3
Pembiakan spesimen
Kegiatan spesimen dilakukan pada inkubator, pada suhu 370C selama 18-24 jam. Sebanyak 1-2 ose dari biakkan yang telah dikultur dan tumbuh dengan subur disuspensikan dengan menggunakan larutan TSB sampai diperoleh kekeruhan standar 0,5 Mc Farland, ini berarti konsentrasi suspensi bakteri adalah 108 CFU/ml. 4.10
Penentuan MIC dan MBC Bahan Coba MIC (Minimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi minimal bahan
coba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri setelah diinkubasi 24 jam dan tidak tumbuh koloni bakteri pada media perbenihan dengan menggunakan metode dilusi. MBC (Minimum Bactericidal Concentration) adalah konsentrasi minimal bahan coba yang dapat membunuh 99,9% atau 100% bakteri setelah dilakukan uji dilusi selama 24 jam. Pada penelitian konsentrasi ekstrak yang diuji terdiri dari 10,5%, 11%, 12%. Dari masing-masing konsentrasi ekstrak daun belimbing wuluh dari pengenceran yang telah dilakukan, ambil sebanyak 5 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian pada setiap tabung reaksi diberi label sesuai dengan konsentrasinya. Lalu tambahkan 1 ml suspensi bakteri dengan menggunakan mikropipet ke dalam masing-masing tabung bahan coba tersebut, selanjutnya dihomogenkan . kemudian diinkubasi pada suhu 370C 18-24 jam. Kemudian amati kekeruhan yang terjadi dengan membandingkan tabung-tabung tersebut dengan kontrol untuk menentukan nilai MIC dan MBC . Tabung dengan kekeruhan yang mulai tampak jernih untuk setiap kelompok perlakuan yang merupakan MIC dan
39
MBC diambil 1 ose (10 ) untuk setiap konsentrasi kemudian digoreskan pada media blood agar, diinkubasi dengan suhu 370C selama 18-24 jam. Kemudian jumlah koloni bakteri dihitung dengan prinsip satu sel bakteri hidup bila dibiakkan pada media padat akan tumbuh menjadi satu koloni bakteri. Apabila bentuk koloni melebar dianggap berasal dari satu koloni, bila bentuknya dua koloni bersinggungan dianggp sebagai dua koloni. Satuan yang dipakai adalah CFU (Colony Forming Unit) /ml cairan (suspensi). Setelah dihitung jumlah koloni bakteri pada masing-masing tetesan, dibuat rata-ratanya dan dikalikan dengan faktor pengenceran dan faktor pengali. Oleh karena pada penelitian konsentrasi yang dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri merupakan konsentrasi awal (sebelum dilakukan dilusi) maka faktor pengenceran x 1. Selain itu karena pada penetesan suspensi bahan coba dan bakteri pada media padat sebanyak 50 μl, maka hasil perhitungan harus dikali dengan faktor pengali 20 untuk mendapatkan hasil sesuai satuan standar (CFU/ml). 4.11
Analisis Data
Data hasil penelitian ini tidak dilakukan uji statistik karena data yang diperoleh adalah jumlah bakteri yang mati seluruhnya sehingga hasilnya 0, artinya tidak dijumpai pertumbuhan pada media perbenihan atau bakteri yang berkontak dengan bahan coba 100% mengalami kematian.
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Ekstrak Daun Belimbing Wuluh Dalam penelitian ini diperoleh ekstrak kental daun belimbing wuluh. Kemudian dilakukan pengenceran dengan menggunakan akuades sehingga didapatkan ekstrak daun belimbing wuluh berwarna coklat kehitaman. Disimpan dalam botol kaca tertutup dan diletakkan dalam lemari pendingin dengan suhu 280C.
Gambar 5.1 : Ekstrak kental daun belimbing wuluh 5.2 Uji Identifikasi Fitokimia . Hasil uji identifikasi fitokimia yang dilakukan menunjukkan bahwa ektrak daun belimbing wuluh yang mengandung zat antibakteri yang positif adalah saponin, fenol, tannin, glikosida, minyak atsiri, flavonoid.
40
41
5.3 Uji Efektivitas Antibakteri Pengujian efektifitas antibakteri bahan coba dilakukan dengan mengamati perubahan kekeruhan pada tiap konsentrasi bahan coba. Dimulai dari konsentrasi 10,5%, 11%, 12%. Perubahan yang terjadi ditandai dengan hasil biakan mulai tampak jernih bila dibandingkan dengan kontrol positif (Mc Farland yang diinkubasi 24 jam). Selanjutnya, dilakukan perhitungan jumlah koloni bakteri dengan menggunakan media blood agar yang bertujuan untuk membuktikan perubahan tingkat kekeruhan pada setiap konsentrasi menunjukkan kemampuan bahan coba membunuh bakteri sebesar 99%-100%, yang disebut dengan MBC (Minimum Bactericidal Concentration).
Gambar 5.2 : Suspensi bakteri mix saluran akar gigi setelah berkontak dengan berbagai konsentrasi ekstrak
42
Gambar 5.3 : Hasil biakan mulai terlihat jernih bila dibandingkan dengan kontrol positif. Selanjutnya
dilakukan
perhitungan
menggunakan media blood agar
jumlah
koloni
bakteri
dengan
yang bertujuan untuk membuktikan bahwa
tingkat kekeruhan pada setiap konsentrasi menunjukkan kemampuan bahan coba membunuh bakteri sebesar 99%-100%, yang disebut dengan MBC (Minimum Bactericidal Concentration). Pada setiap konsentrasi hasil dari jumlah koloni juga dibandingkan dengan jumlah koloni yang terdapat pada kontrol positif.
Gambar 5.4 : Hasil uji antibakteri ekstrak daun belimbing wuluh 10,5%, 11%, 12% pada media blood agar.
43
Dari hasil pengujian antibakteri pada ekstrak daun belimbing wuluh, pada konsentrasi 10,5%, 11%, 12% adalah steril 0 CFU/ml, dimana tidak dijumpai pertumbuhan bakteri dalam media blood agar atau bakteri yang berkontak dengan bahan coba 100% mengalami kematian. Sedangkan pada penentuan MIC, kekeruhan tabung tidak berubah sehingga pada penelitian ini nilai MIC 10,5%. Pengulangan Konsentrasi 10,5% (CFU/ml)
Konsentrasi 11%
Konsentrasi 12%
(CFU/ml)
(CFU/ml)
1
0
0
0
2
0
0
0
3
0
0
0
4
0
0
0
5
0
0
0
6
0
0
0
Table 5.1 perhitungan jumlah bakteri untuk bahan coba ekstrak daun belimbing wuluh Keterangan: 0 CFU/ml = steril, tidak dijumpai pertumbuhan bakteri Dari tabel, terlihat bahwa pengujian antibakteri (penghitungan jumlah koloni yang terbentuk) terhadap bakteri mix saluran akar gigi pada bahan coba ekstrak daun belimbing wuluh pada konsentrasi 10,5% adalah steril (0 CFU/ml), yang berarti bahwa setelah penanaman pada media blood agar dan diinkubasi selama 24 jam tidak terlihat adanya pertumbuhan bakteri atau koloni bakteri, sehingga dapat disimpulkan bahwa MBC dari bahan coba daun belimbing wuluh adalah 10,5% terhadap bakteri mix saluran akar gigi. Data hasil penelitian ini tidak dapat
44
dilakukan uji secara statistik karena nilai perhitungan koloni bakteri adalah 0 yang artinya tidak dijumpai pertumbuhan bakteri dalam media perbenihan atau bakteri yang berkontak dengan bahan coba 100% mengalami kematian.
BAB VI PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak daun belimbing wuluh ( Averrhoa bilimbi L. ) sebagai daya hambat pada bakteri mix saluran akar. Daya hambat adalah kemampuan suatu zat untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Bakteri mix saluran akar gigi adalah sejumlah bakteri yang terdapat di dalam saluran akar gigi yang dapat menyebabkan infeksi saluran akar. Saat ini mayoritas yang diisolasi dari saluran akar adalah bakteri anaerob. Bakteri anaerob terbagi menjadi dua yaitu bakteri anaerob gram positif dan bakteri anaerob gram negatif. Kandungan pada daun belimbing wuluh yang berperan sebagai penghambat/ membunuh bakteri mix saluran akar adalah tanin, flavonoid, dan saponin. Ekstraksi daun belimbing wuluh dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol. Metode ekstraksi yang dipilih adalah maserasi, alasannya karena pelaksanaannya sederhana serta untuk mengurangi kemungkinan terjadinya zat aktif yang terkandung dalam daun belimbing wuluh oleh pengaruh suhu, karena dalam maserasi tidak ada proses pemanasan (Kere, 2011). Penggunaan konsentrasi 10,5%, 11%, 12% pada ekstrak daun belimbing wuluh dikarenakan pada penelitian Winarti, tahun, 2005, menggunakan konsentrasi 0%, 1%, 1,5%, 3,5%, 6%, 7,5%, 9%, 10,5%. Dari hasil penelitian terbukti bahwa konsentrasi 10,5% memiliki efektivitas antibakteri terhadap bakteri staphylococcus aureus. Maka dari itu peneliti mencoba menggunakan konsentrasi diatas dari 10,5%, yaitu 10,5%, 11%, 12%, tetapi dilakukan pada bakteri mix saluran akar gigi. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode dilusi.
45
46
Senyawa aktif daun belimbing wuluh yang berkhasiat sebagai antibakteri adalah flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Untuk membuktikan bahwa adanya senyawa aktif tersebut dilakukan uji identifikasi fitokimia. Hasil uji identifikasi fitokimia menunjukkan bahwa senyawa flavonoid, saponin, tannin positif sedangkan steroid/triterpenoid negatif. Pada uji identifikasi fitokimia daun belimbing wuluh tersebut juga ditemukan hasil positif pada glikosida, minyak atsiri, dan fenol, sedangkan negatif pada alkaloid. Senyawa-senyawa tersebut memiliki daya antibakteri. Tanin dapat digunakan sebagai antibakteri karena mempunyai gugus fenol, sehingga tanin mempunyai sifat-sifat seperti alkohol yaitu bersifat antiseptik yang dapat digunakan sebagai komponen antimikroba. Tanin merupakan senyawa yang dapat mengikat dan mengendapkan protein berlebih dalam tubuh. Pada bidang pengobatan tanin digunakan sebagai obat diare, hemostatik (menghentikan pendarahan), dan wasir (Naim, 2004). Siswantoro (2006) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tanin yang terdapat dalam tanaman dapat digunakan untuk membunuh bakteri. Tanin merupakan zat kimia yang terdapat dalam tanaman yang memiliki kemampuan menghambat sintesis dinding sel bakteri dan sintesis protein sel kuman gram positif maupun gram negatif. Suspensi standar 0,5 Mc Farland adalah suspensi yang menunjukan konsentrasi kekeruhan bakteri sama dengan 108 CFU/ml (Mutia, 2010). Maka suspensi bakteri dibuat terlebih dahulu kemudian disesuaikan kekeruhannya dengan 0,5 Mc Farland. Setelah dilakukan pengujian nilai MIC dan MBC dalam berbagai konsentrasi, tidak dijumpai adanya pertumbuhan bakteri (steril atau 0 CFU/ml) pada konsentrasi 10,5%, 11%, 12% yang artinya pada konsentrasi
47
tersebut memberikan daya antibakteri. Nilai minimum yang ditunjukan pada bahan coba adalah konsentrasi 10,5% yaitu 0 CFU/ml, maka ditentukan sebagai nilai MIC dan MBC. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan acuan pustaka yang ada menyebutkan bahwa daun belimbing wuluh memiliki kandungan flavonoid, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Dari hasil uji fitokimia didapatkan kandungan yang negatif pada alkaloid dan steroid/triterpenoid. Pada uji identifikasi fitokimia daun belimbing wuluh tersebut juga ditemukan hasil positif pada glikosida, minyak atsiri dan fenol. Jadi pada penelitian ini ekstrak daun belimbing wuluh dengan konsentrasi 10,5% efektif sebagai antibakteri pada bakteri mix saluran akar gigi, walaupun tidak terdapat kandungan daun belimbing wuluh yaitu alkaloid dan steroid/triterpenoid. Ditemukannya tiga kandungan zat pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, sehingga dengan konsentrasi yang lebih rendah pun dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 KESIMPULAN Berdasarkan Kajian Pustaka, hasil dan pembahasan, selanjutnya hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa belimbing wuluh dengan konsentrasi 10,5%, 11%, 12% efektif dapat membunuh bakteri mix saluran akar. 7.2 SARAN Saran dalam penelitian ini adalah : 1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan zat aktif mana yang memiliki efek antibakteri paling besar pada ekstrak daun belimbing wuluh. 2. Perlu penelitian lebih lanjut membandingkan dengan bahan herbal yang lainnya.
48
49
DAFTAR PUSTAKA Agustin, D. W. 2005, Perbedaan khasiat antibakteri bahan irigasi antara hydrogen peroksida 3% dan infusum daun sirih 20% terhadap bakteri mix, Majalah Kedokteran Gigi. (Dent. J.), Vol. 38. No. 1. Hal 45-47. Fransiska N, Lidiawati, Oktanauli P, Efek antimikroba polifenol the hijau terhadap streptococcus mutans. Grossman,
L.
I.,
Oliet,
S.,
dan
Rio,
C.
E.
D.
1995,
IlmuEndodontikDalamPraktek,Ed ke-11, Jakarta, EGC. Hal 248-263. Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2008, Mikrobiologi Kedokteran, Ed ke-23, Jakarta, EGC. Hal 311-316 Kere, M. 2011, Daya anti bakteri ekstrak etanol buah mahkota dewa (PhaleriaMacrocarpa [Scheff.]Boerl.) terhadap Fusobacterium nucleatum sebagai bahan medikamen saluran akar secara in vitro, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Kidd, E. A. M. dan Bechal, S. J. 1992, Dasar-Dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya, Ed ke-2, Jakarta, EGC. Hal 31-45. Lince M, Monalisa P, Rina W, Pengaruh Sari Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans Mukhlisoh, W. 2010 Pengaruh Ekstrak Tunggal dan Gabungan Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L) Terhadap Efektivitas Antibakteri Secara In Vitro, Skripsi, Universitas Islam Negeri Malang. Mutia, R. 2010 Efek Antibakteri Minyak Atsiri Kayu Manis terhadap Enterococcus Faecalis Sebagai Bahan Medikamen Saluran Akar Secara In Vitro, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Tarigan, R. 2006, PerawatanPulpa Gigi (Endodonti), Ed ke-2, Jakarta, EGC. Hal 23-85. Tarigan, R. 2012, PerawatanPulpa Gigi (Endodonti), Ed ke-3, Jakarta, EGC. Hal 35-37. Walton, R. danTorabinejad, M. 2008, PrinsipdanPraktikIlmuEndodonsia, Ed. Ke3, Jakarta, EGC. Hal 315-326.
50
Widrayani, B. 2013, EfektifitasAntibakteriBahanSterilisasiSaluranAkar Gigi EkstrakLidahBuaya (Aloe Vera) 12,5% LebihTinggiDaripada CHKM, Skripsi, UniversitasMahasaraswati, Bali. Winarti, 2005 Pengaruh Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus.
51
LAMPIRAN
52
53
54
55
56
57
serbuk halus daun belimbing wuluh
Penyaringan Ekstrak Daun Belimbing Wuluh
58
Rotary Evaporator
Hasil Pembiakan Bakteri Mix
59