KARAKTERISASI KOMPONEN AROMA AKTIF PADA BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) DAN PRODUK FERMENTASINYA
EREN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi Komponen Aroma Aktif pada Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) dan Produk Fermentasinya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015 Eren NIM F251130526
RINGKASAN EREN. Karakterisasi Komponen Aroma Aktif pada Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dan Produk Fermentasinya. Dibimbing oleh HANNY WIJAYA dan DIDAH NUR FARIDAH. Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah. Aceh salah satu provinsi di Indonesia yang terletak diujung utara Pulau Sumatra memiliki bumbu tradisional yang dikenal dengan nama asam sunti. Asam sunti banyak digunakan dalam kuliner Aceh karena rasa dan aromanya yang khas. Asam sunti terbuat dari belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) yang dijemur, diberi garam, dan dibiarkan mengalami fermentasi secara spontan. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengkaji mengenai komponen aroma aktif pada belimbing wuluh dan asam sunti. Tahapan penelitian ini terdiri dari: penentuan sampel yang representatif; karakterisasi secara fisik, kimia, dan sensori; analisis komponen volatil menggunakan gas kromatografi-spektroskopi massa (GC-MS); analisis komponen aroma aktif dengan gas kromatografi-olfaktometri (GC-O) dan perhitungan odor active value (OAV); dan rekonstitusi komponen aroma aktif menggunakan senyawa standar. Belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian ini memiliki warna hijau, tekstur keras, dan tidak bercacat. Asam sunti yang digunakan dalam penelitian ini memiliki rasa asam dan asin yang dominan, aroma asam, berwarna coklat, berbentuk oval pipih, dan tidak berjamur. Pengukuran karakteristik fisik menunjukkan belimbing wuluh memiliki nilai kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan asam sunti. Belimbing wuluh memiliki warna dominan kuning dan hijau, sedangkan asam sunti memiliki warna dominan kuning dan merah. Analisis proksimat menunjukkan belimbing wuluh memiliki 94.78% kadar air, 0.35% lemak, 1.37% protein, 0.30% abu, dan 3.19% karbohidrat. Asam sunti memiliki 62.16% kadar air, 1.27% lemak, 4.24% protein, 11.38% abu, dan 20.94% karbohidrat. Analisis sensori QDA dengan 10 panelis terlatih menyimpulkan bahwa belimbing wuluh memiliki aroma green yang lebih kuat dari asam sunti secara signifikan, sedangkan asam sunti memiliki aroma rancid dan rasa asin yang lebih kuat dari belimbing wuluh secara signifikan. Hasil analisis GC-MS menunjukkan belimbing wuluh terdeteksi memiliki 35 komponen volatil, sedangkan asam sunti memiliki 82 komponen volatil. Analisis GC-O menunjukkan 4 komponen aroma aktif untuk belimbing wuluh dan 22 komponen aroma aktif untuk asam sunti. Alpha-pinena (OAV=3.33) dan etil (2E)-3-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-2propenoat (OAV=2) merupakan komponen volatil yang berperan dalam pembentukan aroma belimbing wuluh. (E)-2-tetradekanal (OAV=49000), (E,Z)2,4-dekadienal (OAV=18428), nonanal (OAV=4850), metil isoheksadekanoat (OAV=3970), alpha-metil ionon (OAV=1301), (E)-2-oktenol (OAV=1040), etil benzoat (OAV=17.33), asam pentanoat(OAV=14), asam heptadekanoat (OAV=3.39), vanilin (OAV=3.35), asam 2-furankarboksilat (OAV=1.15), dan asam dekanedioat (OAV=1.13) merupakan komponen volatil yang berperan dalam pembentukan aroma pada asam sunti. Asam sunti memiliki komponen volatil yang lebih kompleks serta membentuk aroma yang lebih kuat dibandingkan dengan belimbing wuluh. Kata kunci : asam sunti, belimbing wuluh, bumbu,komponen aroma aktif, OAV
SUMMARY EREN. Aroma Active Components of Bilimbi (Averrhoa Bilimbi L.) and Its Fermented Product. Supervised by HANNY WIJAYA and DIDAH NUR FARIDAH. Indonesia is very rich with its natural resources. Every region and island in Indonesia has its unique culture, include taste. Aceh is one of Indonesia province located at northern end of Sumatra that has traditional seasoning called asam sunti. Asam sunti was used for Acehnese culinary for its unique taste and flavor. Asam sunti was made from dried, salted, and spontaneous fermented bilimbi (Averrhoa bilimbi L.). The aroma active compound of bilimbi and asam sunti was firstly systematically evaluated. The research consist of: selection of the representative sample; physical, chemical, and sensory characterization of bilimbi and asam sunti; analysis of volatile compounds with gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS); analysis of aroma active compounds with gas chromatography-olfactometry (GCO) and odor active value (OAV); and reconstitution of the aroma active compounds using standard compounds. Bilimbi that was used in this research had green color, hard texture, and no defective. Asam sunti that was used in this research had sour and salty dominant taste, sour aroma, brown color, flat oval shape, and no moldy. Physical characterization showed that bilimbi had a lighten color than asam sunti with yellow and green dominant color, whereas asam sunti had a yellow and red dominant color. The proximate analysis showed that bilimbi had 94.78% moisture, 0.35% fat, 1.37% protein, 0.30% ash, and 3.19% carbohydrate content. While, asam sunti had 62.16% moisture, 1.27% fat, 4.24% protein, 11.38% ash, and 20.94% carbohydrate content. Quantitative descriptive analysis (QDA) by 10 trained panelists concluded that green odor was significantly higher in bilimbi, while asam sunti exhibited significantly higher in rancid odor, salty and umami taste. GC-MS result showed 35 and 82 volatile compounds for bilimbi and asam sunti, respectively. In addition, GC-O analysis revealed 4 and 22 odor active compounds for bilimbi and asam sunti, respectively. Alpha-pinene (OAV=3.33) and ethyl (2E)-3-(4-hydroxy-3methoxyphenyl)-2-propenoate (OAV=2) were volatiles that play important role in bilimbi aroma. (E)-2-tetradecanal (OAV=49000), (E,Z)-2,4-decadienal (OAV=18428), nonanal (OAV=4850), methyl isohexadecanoat (OAV=3970), alpha-methyl ionone (OAV=1301), (E)-2-octenol (OAV=1040), ethyl benzoate (OAV=17.33), pentanoic acid (OAV=14), heptadecanoic acid (OAV=3.39), vanillin (OAV=3.35), 2-furancarboxylic acid (OAV=1.15), and decanedioic acid (OAV=1.13) were volatiles that play important role in asam sunti aroma. Asam sunti had more complex volatiles and exhibited a stronger aroma than bilimbi. Keywords: aroma active compounds, asam sunti, bilimbi, OAV, seasoning
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KOMPONEN AROMA AKTIFPADA BELIMBING WULUH (Averrhoa bilimbi L.) DAN PRODUK FERMENTASINYA
EREN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.Ir. Sukarno, M.Sc
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah komponen flavor, dengan judul Karakterisasi Komponen Aroma Aktif pada Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dan Produk Fermentasinya. Publikasi ilmiah hasil penelitian ini telah dikirimkan ke Jurnal Internasional “Food Chemistry” dengan judul “Characterization of Aroma Active Compounds in Bilimbi (Averrhoa bilimbi L.) and Its Fermented Product”. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Prof.Dr.Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr dan Dr. Didah Nur Faridah, S.TP, M.Si sebagai komisi pembimbing yang telah menyediakan waktu dan memberikan arahan selama perkuliahan, penelitian, dan penulisan publikasi ilmiah. 2. Dr.Ir. Sukarno, M.Sc sebagai dosen penguji atas waktu dan masukan yang membangun dalam pembahasan tesis ini. 3. Prof.Dr.Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pangan yang telah menyediakan watunya untuk memimpin ujian tesis dan memberikan masukan yang berharga. 4. Seluruh dosen dan pegawai di Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membagikan banyak hal selama kegiatan perkuliahan. 5. Bakti Kumara S.TP, M.Sc (PT. Indesso Aroma) yang telah menyediakan tempat untuk penulis dapat melakukan ekstraksi; Daisy Irawan S.TP dan Dr.Ir. Bram Kusbiantoro, M.Si (BB Padi) yang telah memberikan masukan mengenai metode ekstraksi; dan para panelis yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. 6. PT. Ogawa Indonesia yang telah membantu menyediakan aroma standar untuk uji rekonstitusi. 7. Pemerintah Republik Indonesia khususnya Direktur Jendral Pendidikan Tinggi yang telah memberikan beasiswa fresh graduate selama perkuliahan dan mendanai penelitian ini dalam program Hibah Kompetitif dengan judul “Pelestarian dan Pendayagunaan Potensi Kimiawi Sumber Daya Alam Lokal Indonesia dalam Pengembangan Pangan Fungsional dan Ingredien Pangan Alami Seri-3”. 8. Sahabat, kerabat,para responden in-depth interview dan Juhadi Sunaryo atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Karya ilmiah ini saya dedikasikan kepada keluarga tercinta Papa (Alm), Mama, Cici. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2015 Eren
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Asam Sunti In-depth Interview Quantitative Descriptive Analysis (QDA) Komponen Volatil pada Buah Analisis Komponen Aroma Aktif
2 2 3 4 5 5 6
3 METODE Bahan Alat Prosedur Analisis Data
11 11 11 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan asam sunti yang representatif Karakteristik fisik, kimia, dan sensori Identifikasi komponen volatil dan komponen aroma aktif
19 19 20 23
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
32 32 33
DAFTAR PUSTAKA
34
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
48
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tingkatan mutu asam sunti. Tahapan penelitian. Senyawa uji intensitas ranking. Senyawa uji untuk segitiga rasa dan aroma. Senyawa referensi untuk pelatihan panelis. Hasil in-depth interview asam sunti. Analisis warna belimbing wuluh dan asam sunti. Komposisi asam sunti dan belimbing wuluh. Komponen volatil belimbing wuluh dan asam sunti. Komponen aroma aktif belimbing wuluh. Komponen aroma aktif asam sunti. Senyawa aroma aktif pada belimbing wuluh berdasarkan perhitungan OAV. Senyawa aroma aktif pada asam sunti berdasarkan perhitungan OAV. Deskripsi aroma ekstrak dan senyawa rekonstitusi.
4 12 14 15 16 20 20 21 24 29 29 31 31 32
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Belimbing wuluh. Asam sunti. Profil sensori belimbing wuluh dan asam sunti. Perbedaan aroma ekstraksi
3 3 22 23
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Kuisioner uji in-depth interview. ANOVA seleksi panelis: uji ranking. Profil sensori belimbing wuluh dan asam sunti.
40 41 45
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dilalui oleh garis khatulistiwa sehingga menjadikannya sebagai negara yang beriklim tropis dan memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah. Nusantara merupakan istilah yang menunjukkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Sumatera sampai Pulau Papua. Luas dan suburnya tanah Indonesia ini menjadikannya sebagai negara agraris yang dikenal memiliki sumber daya hayati terbesar kedua setelah Brazil dengan lebih dari 28.000 spesies tanaman. Setiap pulau dan daerah di Indonesia memiliki kekhasannya masing-masing termasuk dalam hal cita rasa. Di Aceh terdapat bumbu dapur yang khas dikenal dengan nama asam sunti. Asam sunti berasal dari belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) yang dikeringkan, diberi garam, dan dibiarkan mengalami fermentasi secara spontan. Asam sunti memiliki aroma yang unik sehingga memberikan cita rasa yang khas pada masakan. Asam sunti umumnya ditambahkan dalam masakan, seperti tongkol asam sunti, asam keueng, sayur asam sunti, dan lain-lain. Belimbing wuluh merupakan salah satu buah tropika yang tumbuh subur di Indonesia. Belimbing wuluh teridentifikasi dalam jenis Averrhoa bilimbi L. suku oxalidaceae, memiliki rasa asam yang disebabkan oleh kandungan asam asetat, asam format, asam laktat, asam malat, asam oksalat, dan asam sitrat yang ada di dalamnya (Subhadrabandhu 2001). Beberapa penelitian telah mengkaji mengenai asam sunti, hasil penelitian Hayati (2002) menyatakan bahwa proses penggaraman awal sebelum pengeringan akan menghasilkan asam sunti dengan kualitas yang lebih baik dari pada proses penggaraman akhir setelah proses pengeringan. Muzaifa (2013) telah mengkaji perubahan karakteristik fisik dari belimbing wuluh menjadi asam sunti selama fermentasi. Namun, informasi dan penelitian mengenai komponen aroma aktif yang berperan dalam memberikan aroma khas pada belimbing wuluh dan asam sunti belum pernah dilakukan. Identifikasi komponen volatil umumnya dilakukan dengan gas kromatografi-spektroskopi massa (GC-MS), namun tidak semua komponen volatil yang terdeteksi berperan terhadap aroma yang terbentuk dan mempengaruhi persepsi aroma. Metode terbaik untuk mengidentifikasi komponen aroma aktif adalah dengan gas kromatografi-olfaktometri (GC-O) („sniffing‟), dimana pengaruh aroma pada sampel dianalisis oleh olfaktori panelis yang sensitif (Kirshinbaum et al.2012). Penelitian akan difokuskan untuk mendapatkan komponen volatil yang berperan dalam memberikan aroma yang khas pada asam sunti dan mempelajari perubahan komponen volatil yang ada pada belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) menjadi asam sunti. Penelitian ini penting dilakukan melihat potensi asam sunti sebagai bahan pemberi cita rasa dalam masakan sangat besar. Komponen volatil yang ada pada asam sunti dapat dijadikan sebagai standar mutu bagi asam sunti.
2 Perumusan Masalah Asam sunti banyak digunakan sebagai bumbu penyedap dalam masakan Indonesia, khususnya masakan Aceh, karena memiliki aroma yang unik. Namun, informasi mengenai komponen volatil yang terkandung dalam belimbing wuluh dan asam sunti belum pernah dilakukan. Selain itu, tidak semua komponen volatil yang ada pada belimbing wuluh dan asam sunti berperan memberikan aroma yang khas. Oleh karena itu, penelitian mengenai komponen aroma aktif yang berperan dalam memberikan aroma khas dari belimbing wuluh menjadi asam sunti perlu dilakukan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah karakterisasi komponen aroma aktif yang berperan dalam memberikan aroma unik pada belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dan asam sunti. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai komponen aroma aktif yang berperan dalam memberikan aroma yang khas pada asam sunti sehingga dapat dijadikan sebagai standar mutu dalam pembuatan perisa yang memimik aroma asam sunti.
2 TINJAUAN PUSTAKA Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Belimbing wuluh (Gambar 1) merupakan tanaman yang tumbuh bebas di Indonesia, Filipina, Sri Lanka, Myanmar, dan Malaysia. Di Indonesia, belimbing wuluh dikenal dengan berbagai nama, misalnya di Aceh dikenal dengan nama limeng ungkot, di Nias dikenal dengan nama malimbi, di Bali dikenal dengan nama blingbing buloh, di Makasar dikenal dengan nama bainang, dan di Jawa dikenal dengan nama belimbing wuluh. Belimbing wuluh teridentifikasi dalam jenis Averrhoa bilimbi L. suku oxalidaceae. Menurut Dalimartha (2007) belimbing wuluh berbentuk bulat lonjong, panjangnya 4-6.5 cm, berwarna hijau kekuningan, berair banyak jika sudah masak, dan rasanya asam. Rasa asam disebabkan oleh kandungan asam asetat, asam format, asam laktat, asam malat, asam oksalat, dan asam sitrat yang ada di dalamnya (Subhadrabandhu 2001).
3
Gambar 1 Belimbing wuluh. Analisis komponen volatil pada belimbing wuluh masih sangat terbatas, Pino et al. (2004) telah mengisolasi komponen volatil dari belimbing wuluh yang ada di Cuba dan berhasil mengidentifikasi 62 komponen volatil yang ada dengan nonanal and (Z)-3-heksenol sebagai komponen yang dominan. Wong dan Wong (1995) juga telah mengisolasi komponen volatil yang ada pada Averrhoa bilimbi L. dengan menggunakan distilasi uap dan berhasil mengidentifikasi 53 komponen volatil, terdiri dari 47.8% asam alifatik yang didominasi oleh asam heksadekanoat dan (Z)-9-asam oktadekanoat. Asam Sunti Asam sunti merupakan produk yang sudah sangat dikenal di daerah Aceh. Asam sunti merupakan produk fermentasi belimbing wuluh yang banyak digunakan sebagai bumbu penyedap pada masakan Aceh. Saat ini, pemasaran asam sunti baru dilakukan di pasar-pasar tradisional. Menurut Muzaifa (2013) asam sunti memiliki penampakan berwarna coklat, berasa asam sedikit asin, dan memiliki tekstur lembut agak kenyal (Gambar 2). Asam sunti digunakan sebagai bumbu, khususnya pemberi rasa dan aroma spesifik dalam masakan Aceh.
Gambar 2 Asam sunti. Proses pembuatan asam sunti menurut Muzaifa (2013) dilakukan dengan cara menjemur belimbing wuluh segar yang masih berwarna hijau (belum masak) selama 2 hari, kemudian dipindahkan ke baskom, dilakukan penggaraman, didiamkan semalaman dan dijemur kembali keesokan harinya. Penggaraman dilakukan sebanyak 3 kali dengan jumlah penambahan garam sebanyak 30% dari berat belimbing wuluh (Muzaifa 2013). Kemudian diperam selama 1 minggu sampai 1 bulan. Belimbing wuluh yang terbaik adalah belimbing wuluh yang dipanen pada hari ke-34 setelah buah mekar dengan ciri-ciri buah yang berwarna hijau merata, keras, dan tidak cacat (Hayati 2002). Menurut Hayati (2002) proses penggaraman belimbing wuluh akan menghasilkan asam sunti dengan kualitas yang lebih baik jika penggaraman dilakukan sebelum proses pengeringan. Hasil
4 penelitian Risna (2013) menunjukkan bahwa proses pengeringan asam sunti dengan penjemuran matahari menghasilkan asam sunti dengan kadar air yang lebih rendah, pH lebih tinggi, total asam yang lebih rendah, tekstur yang lebih lembut, dan warna yang lebih cerah dibandingkan dengan pengeringan dengan cabinet dryer.Menurut Hayati (2002) tingkatan mutu asam sunti yang berkembang di masyarakat Aceh adalah sebagai berikut (Tabel 1): Tabel 1 Tingkatan mutu asam sunti. Tingkatan mutu
Warna
Penampakan permukaan
Tekstur
Kotoran (sisa tangkai)
I II
Cokelat muda Cokelat muda coklat tua Coklat tua kehitam-hitaman
Tidak berkeriput Sedikit berkeriput Sangat berkeriput
Lunak Lunak - agak liat Agak liat sangat liat
Tidak ada Sedikit
III
Banyak
Penelitian Irhami (2012) telah mengkaji proses pembuatan asam sunti menjadi asam sunti bubuk sehingga lebih praktis untuk digunakan. Hasilnya menunjukkan bahwa pengeringan dengan spray dryer 180 0C dengan konsentrasi dekstrin 30% merupakan perlakuan terbaik untuk menghasilkan bubuk asam sunti dengan kadar air 5.14%, pH 1.28, total asam 48.40%, asam oksalat 6.10%, dan kelarutan 96.47%. In-depth Interview In-depth interview merupakan sebuah metode kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan pendapat, perasaan, dan perspektif responden terhadap suatu subyek. Menurut Boyce dan Neale (2006) terdapat enam tahapan dalam melakukan in-depth interview, yaitu perencanaan, pengembangan instrumen, pelatihan pengumpul data, pengumpulan data, analisis data, dan merangkum hasil. Pada tahap perencanaan, beberapa hal yang perlu dipersiapkan adalah identifikasi siapa stakeholder yang berkaitan dengan subjek dan identifikasi informasi apa saja yang ingin didapat. Tahap selanjutnya adalah pengembangan instrumen. Tahap ini bertujuan untuk mengembangkan peraturan dan pedoman selama interview serta meningkatkan reprodusibilitas interview. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu pengembangan instrumen adalah apa yang sebaiknya dikatakan saat mengatur jadwal pertemuan interview, saat memulai interview, dan apa yang perlu dilakukan selama interview berlangsung (mencatat, menggunakan tape recorder, atau keduanya). Pada tahap pelatihan pengumpul data perlu memperhatikan siapa interviewer yang akan digunakan, sebaiknya yang dapat menggunakan bahasa lokal setempat. Pelatihan meliputi pemaparan tujuan interview, teknik pengumpulan data, membangun keahlian interview, dan praktek melakukan interview. Tahap berikutnya adalah pengumpulan data dengan melakukan interview dan mencatat hasil interview. Tahap selanjutnya adalah analisis data. Hasil interview yang memiliki jawaban sama kemudian dikelompokkan dan diidentifikasi. Tahap terakhir adalah merangkum semua hasil interview agar mudah dibaca.
5 Metode in-depth interview memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ini adalah dapat menggali secara mendalam mengenai informasi yang sebenarnya, responden akan lebih terbuka dengan interviewer karena wawancara dilakukan satu per satu, memperoleh kualitas data yang lebih baik, dan waktu yang digunakan lebih singkat. Kekurangan metode ini adalah memerlukan analisis data yang lebih menantang, interviewer memerlukan pelatihan dan kemampuan yang mempuni, jumlah responden yang digunakan cenderung dalam jumlah kecil. Menurut Dworkin (2012), jumlah responden in-depth interview yang direkomendasikan adalah 25-30 responden. Quantitative Descriptive Analysis (QDA) QDA® (Quantitative Descriptive Analysis) merupakan salah satu metode uji deskriptif yang dikembangkan oleh Tragon Corporation untuk mengatasi ketidakpuasan metode analisis sensori sebelumnya, seperti metode Flavor Profile (Meilgaard et al. 1999). Menurut Stone dan Sidel (2004) metode QDA® dapat digunakan untuk menilai semua sifat sensori produk, penggunaan subjek yang terbatas dan terlatih, pengujian bersifat kuantitatif dengan pengulangan, dan data dapat dianalisis dengan analisis statistika. Tahap-tahap uji QDA® (Quantitative Descriptive Analysis) menurut ASTM (1981) adalah seleksi panelis, pelatihan panelis, dan analisis sampel. Seleksi panelis bertujuan untuk mendapatkan 6-10 panelis yang memiliki sensitivitas baik untuk mengenali serta membedakan aroma dan rasa. Seleksi panelis terdiri dari pemilihan panelis, skrining tes, dan penentuan panelis yang lolos seleksi. Skrining tes untuk uji deskriptif dilakukan dengan beberapa uji, yaitu uji rasa dasar, uji pengenalan aroma, uji intensitas ranking, dan uji segitiga. Uji rasa dasar bertujuan untuk mendapatkan panelis yang memiliki kemampuan untuk membedakan rasa dasar di atas tingkatan ambang rasa. Uji pengenalan aroma bertujuan untuk mendapatkan panelis yang memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan aroma. Uji intensitas ranking bertujuan untuk mendapatkan panelis yang memiliki kemampuan untuk mengurutkan intensitas rasa dasar dari konsentrasi paling kecil ke besar atau sebaliknya. Uji segitiga bertujuan untuk menilai keakuratan dan kemampuan panelis untuk menilai sampel yang diduplikasi. Pelatihan panelis bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas dan konsistensi panelis dalam memberikan penilaian. Pelatihan calon panelis untuk analisis kuantitatif deskriptif dilakukan dengan memberikan beberapa sampel untuk dideskripsikan atribut sensorinya dan melatih panelis dengan teknik sniffing untuk mencium aroma pada sampel. Hasil uji QDA® dianalisis secara statistik dan dilaporkan secara umum dalam bentuk spider web dengan suatu cabang dari satu titik pusat untuk tiap-tiap atribut (Meilgaard et al. 1999). Komponen Volatil pada Buah Buah memproduksi sejumlah komponen volatil yang berperan dalam pembentukan aroma yang khas. Beberapa komponen volatil diproduksi dalam jumlah kecil, kurang dari limit deteksi instrumen analitik, namun dapat terdeteksi
6 oleh olfaktori manusia (Goff dan Klee 2006). Komponen volatil pada buah umumnya terdiri dari senyawa ester, alkohol, aldehid, keton, lakton, terpenoid, dan apokarotenoid. Menurut Hadi et al. (2013) banyak faktor yang dapat mempengaruhi komposisi komponen volatil pada buah seperti genetik, tingkat kematangan, kondisi lingkungan, penanganan setelah panen, dan penyimpanan. Strawberi adalah salah satu buah yang memiliki aroma kompleks dengan lebih dari 350 komponen volatil penyusunnya (Schwab et al. 2008). Furanon, 2,5 dimetil-4-hidroksi-3(2H)-furanon (furaneol) dan turunannya 2,5 dimetil-4metoksi-3(2H)-furanon (mesifuran) merupakan komponen yang mendominasi aroma tersebut (Jetti et al. 2007). Komponen-komponen tersebut memberikan aroma seperti karamel, manis, daun, dan aroma buah. Pisang diketahui memiliki lebih dari 250 komponen volatil dengan kelompok senyawa ester sebagai top note, yaitu isoamil asetat dan isobutil asetat (Wendakoon et al. 2006). Mangga memiliki aroma yang sangat atraktif mengandung lebih dari 270 komponen volatil pada varietas yang berbeda-beda (Shibamoto dan Tang 1990). Aplikasi teknologi ekstraksi destilasi dan odor active value (OAV) menunjukkan bahwa monoterpen seperti alpha-pinena, miresena, α-feladrena, σ-3-carene, pcymene, limonena, danterpinolena; ester termasuk etil-2-metil propanoat, etil butanoat, (E,Z)-2,6-nonadienal, (E)-2-nonenal, metil benzoat, (E)-β-ionon, dekanal, dan 2,5-dimetil-4-metoksi-3(2H)-furanon adalah komponen utama yang membentuk aroma mangga (Pino dan Mesa 2006). Analisis Komponen Aroma Aktif Setiap tumbuhan memiliki kemampuan untuk menghasilkan komponen organik volatil dengan jumlah dan komposisi yang berbeda-beda tergantung pada variasi genotip dan fenotip yang dihasilkan (Maffei 2010). Identifikasi komponen aroma aktif yang membawa karakter unik pada buah penting dalam menyediakan identitas sensori dan karakteristik aroma pada buah (Cheong et al. 2010). Analisis komponen volatil yang memberikan aroma aktif pada penelitian ini meliputi beberapa tahap, yaitu ekstraksi komponen volatil, identifikasi dan kuantifikasi komponen volatil dengan GC-MS, penentuan komponen aroma aktif dengan GCO, penentuan odor active value (OAV), dan uji rekonstitusi. Ekstraksi komponen volatil Proses ektraksi sangat penting karena akan menentukan komponen yang terekstrak. Menurut Ormeno et al. (2011) sampai saat ini tidak ada konsesus yang menyatakan metode ekstraksi paling baik dalam mengekstrak suatu komponen volatil, karena tidak ada metode ekstraksi yang dapat mengekstrak seluruh komponen volatil yang ada pada sampel. Metode ekstraksi yang banyak digunakan untuk mengekstrak komponen volatil diantaranya adalah sebagai berikut: Headspace Metode headspace merupakan metode ekstraksi yang bekerja secara langsung menjerap komponen volatil pada bagian headspace dari produk. Metode ini banyak digunakan untuk mengekstrak komponen aroma yang paling volatil
7 dari produk, seperti aroma off-flavor (Schirack et al. 2006). Kelebihan metode ini adalah cepat, mudah dilakukan, dan mendapatkan aroma ekstrak yang sesuai dengan yang diterima oleh indera penciuman. Namun metode ini memiliki beberapa kekurangan, yaitu kurang sensitif terhadap komponen aroma volatil yang jumlahnya sedikit, reprodusibilitas analisis rendah, tidak dapat digunakan untuk mengekstrak komponen volatil minor, ekstrak yang dihasilkan tidak dapat menggambarkan seluruh komponen volatil yang ada pada produk, dan sulit untuk mengkuantifikasi komponen volatil yang terekstrak pada produk. Distilasi Metode distilasi dikenal dengan hidrodistilasi, bekerja dengan melepaskan komponen volatil yang ada pada material menjadi bentuk gas. Metode ini dilakukan dengan merebus sampel dalam air dengan suhu yang dapat menghancurkan material sampel namun masih di bawah titik didih komponen volatil sampel. Komponen volatil tersebut kemudian akan menguap dan terkondensasi pada bagian kondensor. Kelebihan metode ini adalah hasil ekstraksi tidak meninggalkan residu. Kekurangan metode ini adalah berpotensi kehilangan sebagian besar komponen terpen polar dan komponen aktif akibat teroksigenasi, kehilangan komponen volatil, dan rendahnya efisiensi ekstraksi (Rezazadeh et al. 2008). Ekstrasi dengan pelarut organik (maserasi) Maserasi merupakan metode ekstraksi sederhana dan murah yang dilakukan dengan merendam sampel di dalam larutan organik. Efisiensi metode ini sangat tergantung dari penggunaan pelarut yang digunakan, agitasi, dan suhu yang digunakan. Menurut Ormeno et al. (2008) ekstraksi 1 gram daun pada suhu kurang dari 25-30 0C dengan agitasi selama 20-30 menit menghasilkan pengembalian komponen volatil terbaik. Metode ini baik untuk komponen volatil dan bahan pangan yang sensitif terhadap suhu tinggi, seperti monoterpen yang banyak hilang pada ekstraksi dengan distilasi (Ormeno et al. 2011). Namun memiliki kelemahan, yaitu terikutnya komponen non-volatil pada saat ekstraksi dan memerlukan waktu yang lama untuk ekstraksi (semalaman) (Matich et al. 2003). Dalam beberapa dekade terakhir, teknologi ultrasonik telah diinvestigasi sebagai teknologi alternatif menggantikan proses termal karena dapat mengurangi dampak negatif dari proses konvensional, seperti kerusakan komponen pangan (komponen bioaktif), enzimatis, dan aktivitas mikrobiologi (Rawson et al. 2011, Fonteles et al. 2012, dan Chandrapala et al. 2012). Teknologi ultrasonik dengan intensitas panjang gelombang yang tinggi akan menghasilkan perbedaan tekanan, perbedaan getaran, dan perbedaan suhu sehingga memicu kerusakaan fisik pada struktur material (McClemments 1995). Baik dinding sel maupun dinding membran akan mengalami kerusakan akibat adanya kavitasi yang menyebabkan perubahan suhu dan tekanan pada waktu yang singkat (Knorr 2004). Efek kavitasi adalah pengecilan ukuran partikel sehingga meningkatkan luas permukaan antara fase solid dan likuid. Oleh karena itu, teknologi ultrasonik dapat membantu meningkatkan penetrasi pelarut ke dalam material seluler sehingga meningkatkan laju penetrasi masa dalam jaringan dan memfasilitasi perpindahan komponen dari sel ke pelarut yang mempercepat proses ekstraksi (Wang dan Weller 2006) dan meningkatkan rendemen ekstraksi. Kekurangan metode ini adalah terbentuknya
8 radikal bebas pada sampel yang dapat mengganggu komposisi komponen volatil pada sampel (Vilkhu et al. 2008). Simultaneous distillation extraction Likens-Nickerson Metode simultaneous distillation extraction merupakan gabungan metode ekstraksi dengan pelarut dan distilasi. Aparatus ekstraksi simultaneous distillation extraction pertama kali dideskripsikan oleh Likens dan Nickerson, terdiri dari sebuah labu yang mengandung sampel ditaruh pada water-bath dan sebuah labu lain yang mengandung pelarut. Pelarut yang digunakan umumnya memiliki titik didih yang rendah. Metode ini umum digunakan untuk menganalisis komponen volatil flavor dengan medium yang memiliki titik didih tinggi (Kang dan Baek 2014), namun tidak cocok digunakan untuk bahan pangan yang termolabil karena dapat mengakibatkan kerusakan komponen flavor. Kelebihan metode ini adalah cepat, ekstrak bebas dari komponen non-volatil, dan tidak menggunakan pelarut dalam jumlah besar (Teixeira et al. 2007). Namun, menurut Ortega et al. (2002) metode ini juga akan menyebabkan degradasi komponen volatil dan pembentukan komponen aromatik selama proses ekstraksi sehingga mempengaruhi hasil analisis. Supercritical fluid extraction Supercritical fluid extraction merupakan metode ekstraksi yang tidak menggunakan pelarut. Metode ini menggunakan CO2 untuk mengekstrak komponen volatil, dimana CO2 di bawah tekanan yang tinggi akan berubah fase menjadi cair dan mengekstrak komponen volatil dan jika tekanan diturunkan CO2 akan kembali ke fase gas. Kelebihan metode ini adalah menggunakan suhu rendah, tidak meninggalkan residu pelarut, dan memiliki efisiensi yang tinggi. Namun, metode ini tidak cocok untuk mengekstrak monoterpen (Stashenko et al. 2004), karena keterbatasan CO2 yang bersifat polar tidak dapat mengekstrak komponen non polar (Dawidowickz et al. 2008). Solid-phase Microextraction (SPME) Solid-phase Microextraction (SPME) merupakan metode ekstraksi tanpa pelarut dengan prinsip dasar kesetimbangan partisi analit antara lapisan fiber dan larutan sampel. Lapisan fiber dapat dilapisi oleh cairan (polimer), padatan (absorben), atau campuran keduanya. Lapisan tersebut akan mengadsorpsi analit dari sampel, analit yang ada di dalam fiber akan didesorpsi secara termal pada saat diinjeksikan ke dalam gas kromatografi untuk analisis selanjutnya (Somenath 2003). Metode ini menggunakan fase solid yang memiliki kesamaan dengan komponen yang akan diisolasi. Menurut Yan et al. (2008) kelebihan metode ini adalah cepat, bebas dari pelarut, dan mudah dilakukan. Kekurangan metode ini adalah tingginya selektivitas fiber SPME terhadap senyawa yang dianalisis sehingga tidak dapat mengekstrak seluruh komponen, rendahnya reprodusibiltas analisis berkaitan dengan usia fiber yang digunakan, dan terbatas pada analisis semikuantitatif. Identifikasi dan kuantifikasi komponen volatil dengan GC-MS Analisis komponen volatil dengan instrumen GC-MS merupakan suatu teknik analisis kualitatif dan kuantitatif untuk komponen volatil (Pavia et al. 2001). Dalam rangkaian GC-MS, setiap komponen volatil akan dipisahkan berdasarkan titik didihnya pada unit GC. Berikutnya, komponen tersebut akan terbagi dua ke unit spektroskopi massa yang disebut ion chamber, komponen akan
9 diionisasi hingga senyawa tersebut akan terpecah menjadi fragmen-fragmen bermuatan dengan massa yang spesifik. Fragmen yang terbentuk selanjutnya akan melewati mass analyzer. Ion-ion yang berhasil melewati mass analyzer akan terdeteksi oleh detektor. Dalam mengidentifikasi dan mengkuantifikasi komponen volatil yang terdeteksi diperlukan standar internal dan standar eksternal. Standar internal adalah komponen yang tidak ada pada sampel, yang diketahui jumlahnya dan ditambahkan ke dalam sampel (Cachet 2011). Standar eksternal adalah sejumlah analit yang diketahui dan dianalisis terpisah dari sampel menghasilkan area peak-peak yang akan digunakan sebagai response factor. Identifikasi komponen volatil dilakukan dengan menyocokan spektrum masa komponen target dengan spektrum masa referensi GC-MS, setelah itu nilai LRI (Linear Retention Index) komponen target dibandingkan dengan LRI referensi. Nilai LRI dapat dihitung dengan persamaan Kratz. LRIx = {
-
+ n} x100 (i)
Keterangan: LRIx : indeks retensi linear komponen x Rt(x) : waktu retensi komponen x (menit) Rt(n): waktu retensi n-alkana standar yang muncul sebelum komponen x (menit) Rt(n+1): waktu retensi n-alkana standar yang muncul setelah komponen x (menit) Kuantifikasi komponen volatil yang ada pada sampel dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini: [A] = (ii) Keterangan: A : Konsentrasi komponen tertentu dalam sampel (μg/g) B : Komponen tertentu pada kromatogram sampel C : Volume standar internal pada kromatogram sampel (ml) Identifikasi Aroma Aktif dengan GC-O Analisis menggunakan GC dapat menetukan komponen volatil yang ada pada sampel. Namun, karena tingginya keragaman pada ambang batas dan fungsi psikometrik dari odor-aktif maka detektor fisik tidak dapat merepresentasikan komponen yang berperan terhadap aroma sampel. Gas kromatografi-olfaktometri adalah metode yang menggunakan manusia sebagai detektor dan panelis yang sensitif untuk menentukan senyawa odor-aktif. Metode ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu deteksi frekuensi, pengenceran dengan treshold, dan intensitas langsung (Delahunty et al. 2006). Metode GC-O dengan deteksi frekuensi menggunakan 6-12 asssesors pada ekstrak yang sama. Masing-masing panelis mencatat durasi untuk setiap odor yang terdeteksi dengan menggunakan tape recorder. Komponen yang terdeteksi oleh semakin banyak panelis dinyatakan sebagai komponen yang berperan penting terhadap pembentukan aroma (Etievant et al. 1999). Kelebihan metode ini adalah kesederhanaannya dan panelistidak memerlukan banyak pelatihan (Le Guen et al. 2000). Namun, kelemahannya jika konsentrasi meningkat, intensitas odor dapat terus meningkat, sedangkan deteksi frekuensi tidak bisa ditingkatkan. Metode GC-O dengan pengenceran threshold digunakan untuk mengukur potensi senyawa odor, berdasarkan rasio konsentrasi pada batas threshold di udara. Metode dilusi yang paling sering digunakan adalah AEDA (Aroma Extract
10 Dilution Analysis) (Grosch 1994). Satu ekstrak dengan beberapa pengenceran kemudian dinilai oleh GC-O. Panelis akan merekam ketika mendeteksi odor dan mendeskripsikan odor yang tercium. Metode ini tidak mengukur intensitas odor. Dilusi maksimum ekstrak yang odornya dapat dicium disebut sebagai faktor dilusi (FD). Kelemahan metode ini adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan analisis pengenceran pada masing-masing ekstrak. Namun hanya menggunakan jumlah panelis yang sedikit dan sangat rentan dengan keragaman kepekaan individu (Van Ruth dan O‟connor 2001, Debonneville et al. 2002). Metode GC-O dengan intensitas langsung, panelis diminta untuk mengukur intensitas yang dirasakan dari komponen tertentu menggunakan skala. Panelis yang digunakan pada metode ini hanya 4 orang dengan memberikan intensitas odor yang terdeteksi pada skala garis horizontal 15 cm, dimana pada 0 cm tidak terdeteksi odor dan 15 cm odor terdeteksi secara ekstrim. Di Indonesia, penelitian mengenai flavor telah banyak menggunakan instrumen GC-O untuk menentukan komponen yang berperan dalam memberikan aroma aktif. Wijaya et al. (2002) menggunakan GC-O dengan pengenceran AEDA untuk menentukan komponen aroma aktif pada buah andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC), Apriyantono dan Kumara (2004) menggunakan GC-O dengan AEDA untuk menentukan komponen aroma yang mempengaruhi karakter buah kawista (Feronia limonia), Wijaya et al. (2005) menggunakan GC-O dengan deteksi frekuensi untuk menentukan komponen aroma aktif pada beberapa kultivar buah salak (pondoh hitam, pondoh super, dan gading). Penentuan Nilai Aroma Aktif (OAV) Metode Odor Active Value (OAV) digunakan untuk menentukan komponen volatil yang berperan dalam memberikan aroma khas. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Rothe dan Thomas (1963). Menurut Kiefl et al. (2013) metode ini digunakan untuk melengkapi dan memverifikasi hasil analisis dengan GC-O. Nilai odor active value (OAV) dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini: OAV=
(iii)
Keterangan: OAV: nilai aktivitas aroma c : total konsentrasi setiap komponen di dalam sampel (μg/L) t : nilai ambang batas aroma di dalam air (μg/L) Menurut Guth (1997) hanya komponen dengan nilai OAV lebih dari 1 yang berperan terhadap aroma aktif sampel. Namun, tidak hanya satu komponen yang berperan dalam pembentukan aroma yang khusus. Setiap komponen akan berinteraksi satu sama lain untuk membentuk aroma tertentu sehingga perlu dilakukan percobaan rekombinasi komponen untuk menentukan konsentrasi sampel dalam mempengaruhi aroma khas yang dihasilkan (Kiefl et al. 2013). Setiap kombinasi komponen aroma kemudian dianalisis secara sensori dengan uji segitiga oleh panelis terlatih untuk membedakan aroma (Tokitomo et al. 2005). Kombinasi yang memberikan hasil tidak berbeda nyata dengan sampel segar itulah yang mewakili pembentukan aroma khas pada sampel.
11 Uji Rekonstitusi Uji rekonstitusi merupakan suatu teknik untuk memverifikasi komponen aroma aktif yang berperan dalam membentuk aroma secara signifikan (Grosch 2001). Uji rekonstitusi dilakukan dengan mencampurkan semua komponen volatil yang terdeteksi secara analitik. Aroma yang dihasilkan dari campuran tersebut kemudian dibandingkan dengan aroma aslinya (Dharmawan et al. 2009).
3 METODE Penelitian ini diawali dengan menetapkan sampel belimbing wuluh dan asam sunti. Pemilihan belimbing wuluh didasarkan pada ciri-ciri belimbing wuluh yang digunakan dalam pembuatan asam sunti. Menurut Hayati (2002), belimbing wuluh yang digunakan dalam pembuatan asam sunti berwarna hijau merata, keras, dan tidak cacat. Pemilihan sampel asam sunti dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan metode in-depth interview. Setelah mendapatkan sampel yang representatif, sampel tersebut akan dikarakterisasi secara fisik (warna), kimia (proksimat), dan sensori (QDA). Isolasi dan identifikasi komponen aroma aktif sampel (belimbing wuluh dan asam sunti) diawali dengan pemilihan proses ekstraksi. Metode ekstrak yang terpilih kemudian dianalisis dengan instrumen GC-MS untuk mengidentifikasi dan mengkuantifikasi komponen volatil yang ada pada sampel, dan menentukan komponen aroma aktif dengan GC-O. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Tabel 2. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah belimbing wuluh segar yang dipanen di pada bulan Juni 2014 di Bogor, asam sunti yang diperoleh dari pasar tradisional di Desa Lamreung (Aceh), dietil eter, aroma standar (etil butirat, etil 2-metilbutirat, furanol, vanilin, Z-3-heksenol, dan metil pirazin), dan standar hidrokarbon C7-C23. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca, hand mixer, labu bergoyang, seperangkat alat ekstraksiLicken-Nickerson, kolom vigreux, gas kromatografi-spektroskopi massa (7890A-5975C, Agilent Technologies, Inc.), sniffing port olfaktometri (Gertsel ODP 2), dan kolom DB-5 (Agilent Technologies). Prosedur Analisis Data Penentuan asam sunti yang representatif Penentuan asam sunti yang representatif dilakukan dengan metode in-depth interview (Boyce dan Neale 2006) kepada pedagang kuliner Aceh, warga Aceh yang tinggal di kota/kabupaten Bogor, dan penduduk Aceh. Wawancara atau
12 interview dilakukan untuk menggali informasi mengenai apa yang mereka ketahui tentang asam sunti, bagaimana kriteria asam sunti yang baik, darimana biasanya responden mendapatkan asam sunti, untuk apa saja asam sunti diaplikasikan, dan bagaimana kriteria asam sunti yang jelek (Lampiran 1). Wawancara dilakukan secara langsung. Tahapan wawancawara dilakukan dengan meminta persetujuan responden untuk dilakukan wawancara. Setelah responden setuju untuk diwawancara kemudian dijadwalkan untuk wawancara. Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian adalah 27 responden sesuai dengan rekomendasi Dworkin (2012). Tabel 2 Tahapan penelitian. Tahapan penelitian Menetapkan sampel yang representatif
Mengkarakterisasi sampel
Pemilihan metode ekstraksi terbaik
Tools yang digunakan Studi pustaka dan in-depth interview (Boyce dan Neale 2006) Fisik dengan analisis derajat warna (Hutching 1999), kimia dengan proksimat (AOAC 2012), dan sensori denganQDA® (ASTM 1981) Ekstraksi Maserasi dan LikensNickerson
Variabel yang diamati Hasil hasil studi pustaka dan wawancara
Analisis
Hasil yang diharapkan Terpilih sampel representatif untuk analisis
Hasil pengukuran
Analisis fisik, kimia, dan sensori
Sampel yang digunakan untuk analisis terkarakterisasi dengan baik
Perbedaan aroma masing-masing ekstrak dengan sampel segar (belum diekstrak) secara organoleptik RT (retention time) LRI (Linier Retention Index) dan spektra massa
Analisis sensori: uji beda dari kontrol (Meilgaard et al. 1999) Analisis RT dan LRI: menentukan komponen volatil pada sampel Menentukan komponen volatil yang memberikan aroma khas Menetukan komponen aroma aktif
Terpilih metode ekstraksi yang terbaik
Identifikasi dan kuantifikasi komponen volatil
GC-MS
Identifikasi aroma aktif pada sampel
GC-O (Kirshinbaum et al. 2012)
NIF (Nasal Impact Frequency)
Penentuan nilai aroma aktif
OAV (Hellin et al. 2010)
OAV setiap komponen volatil
Uji rekonstitusi komponen volatil
Uji rekonstitusi (Dharmawan et al. 2009)
Aroma sampel rekonstitusi
Sensori
Mengetahui komponen volatil yang ada pada sampel secara kualitatif dan kuantitatif Mengetahui aroma aktif yang mempengaruhi aroma sampel Mengetahui komponen volatil yang memiliki aroma aktif Mendapatkan sampel rekonstitusi yang mirip dengan ekstrak belimbing wuluh dan asam sunti
13 Karakterisasi fisik, kimia, dan sensori Analisis warna (Hutching 1999) Pengukuran sampel dilakukan pada 3 titik permukaan sampel dengan meletakkan measuring head pada sampel yang akan diukur dan tekan tombol „measure‟ pada kromameter Minolta CR 300. Nilai L, a, b pengukuran merupakan parameter warna pada sampel. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel, semakin tinggi nilai L warna sampel semakin cerah, nilai 100 menunjukkan warna putih. Nilai a menunjukkan warna merah-hijau, dimana +a dari 0-80 menunjukkan warna merah, sedangkan –a dari 0-(-80) menunjukkan warna hijau. Nilai b menunjukkan warna biru-kuning, dimana +b dari 0-70 menunjukkan warna kuning, sedangkan -b dari 0-(-70) menunjukkan warna biru. Analisis proksimat Analisis proksimat terdiri dari kadar air dengan metode pengeringan oven vakum (AOAC 2012), kadar abu dengan metode pengabuan kering (AOAC 2012), kadar lemak dengan metode hidrolisis soxhlet (AOAC 2012), kadar protein dengan metode Kjeldahl (AOAC 2012), dan kadar karbohidrat dengan metode by difference. Analisis Quantitatif Deskriptif (QDA®) Analisis kuantitatif deskriptif dilakukan oleh panelis terlatih yang telah lolos seleksi dan mengikuti pelatihan. Seleksi dan pelatihan panelis menggunakan metode ASTM (1981). Prosedur analisis kuantitatif deskriptif mengikuti tahapan di bawah ini: 1. Seleksi panelis (ASTM 1981) Seleksi panelis terdiri dari pemilihan panelis, skrining tes, dan penentuan panelis yang lolos seleksi. Pemilihan panelis dilakukan dengan memberikan kuisioner untuk mengetahui latar belakang calon panelis. Kuisioner tersebut berisi pertanyaan mengenai minat (interest) untuk mengikuti seleksi panelis, ketersediaan waktu calon panelis, kesehatan calon panelis (ada atau tidaknya alergi terhadap produk yang akan diuji dan sedang tidak menderita flu atau batuk selama pengujian), dan kesediaan untuk mencicipi sampel dengan objektif. Skrining tes bertujuan untuk mendapatkan 6-10 panelis yang memiliki sensitivitas baik untuk mengenali serta membedakan aroma dan rasa. Skrining untuk uji deskriptif dilakukan dengan beberapa uji, yaitu: Uji rasa dasar Panelis yang berpotensi menjadi panelis terlatih adalah panelis yang memiliki kemampuan untuk membedakan rasa dasar di atas tingkatan ambang rasa. Sampel yang digunakan akan merepresentasikan empat rasa dasar, yaitu manis (2% konsentrasi sukrosagula rafinasi), asam (0.07% konsentrasi asam sitrat CICA), asin (0.2% konsentrasi NaCl garam meja), dan pahit (0.07% konsentrasi kafein Fluka). Penyajian sampel dilakukan dengan 4 rasa dasar ditambah 2 sampel replikasi untuk menghindari bias. Jumlah sampel yang digunakan untuk uji adalah 30 ml. Panelis yang lolos skrining ini adalah panelis yang dapat mengidentifikasi seluruh rasa dasar dengan benar.
14 Uji pengenalan aroma Uji pengenalan aroma diberikan untuk menunjukkan kemampuan panelis dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan 20 aroma yang berbeda terdiri dari 15 aroma yang sering ditemui dan 5 aroma yang jarang ditemui. Aroma yang digunakan untuk aroma yang sering ditemui adalah coklat, peppermint, fruity, merica, pandan, strawberi, roasted, chicken, guava, jeruk, susu, cola, tamarin, kacang, dan anggur. Sedangkan untuk aroma yang jarang ditemui digunakan aroma green, eugenol, alkoholic, spicy, burnt. Panelis diminta untuk mendeskripsikan setiap aroma atau menggunakan istilah yang berhubungan dengan aroma tersebut. Untuk menghindari bias, maka setiap sesi penyajian dibatasi 5 aroma. Penilaian hasil identifiaksi aroma dilakukan dengan memberikan skor. Skor 5 diberikan pada panelis yang dapat menyebutkan dengan tepat komponen aroma tersebut atau menggunakan asosiasi yang tepat. Skor 3 diberikan pada panelis yang menyebutkan karakteristik aroma tersebut. Skor 1 diberikan pada panelis yang mencoba memberikan deskripsi. Panelis yang lolos skrining ini adalah panelis yang memiliki total skor 70. Uji intensitas ranking Panelis yang mendeskripsikan flavor harus memiliki kemampuan untuk mengurutkan intensitas rasa dasar dari paling kecil ke besar atau sebaliknya. Konsentrasi yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Setiap seri rasa dasar minimal diuji sebanyak tiga kali. Hasil uji ranking setiap panelis kemudian dianalisis dengan ANOVA dan dibandingkan dengan nilai rata-rata sebenarnya. Panelis yang memiliki nilai-p kurang dari 0.05 tidak lolos skrining (Lampiran 2). Tabel 3 Senyawa uji intensitas ranking. Rasa Pahit (kafein)
Sumber Fluka
Manis (sukrosa)
Gula rafinasi
Asin (NaCl)
Garam meja
Asam (asam sitrat)
CICA
Konsentrasi (%) 0.035 0.07 0.14 1.00 2.00 4.00 0.10 0.20 0.40 0.035 0.07 0.14
Uji segitiga Uji segitiga bertujuan untuk menilai keakuratan analisis panelis dengan melihat kemampuan panelis untuk menilai sampel yang diduplikasi. Panelis diminta untuk menguji segitiga 12 seri sampel terdiri dari 6 seri segitiga rasa dan 6 seri segitiga aroma, setiap sampel diduplikasi dua kali. Panelis yang lolos uji skrining ini adalah panelis yang mampu menjawab dengan benar paling sedikit 66-75% jawaban benar dari total 24
15 uji. Senyawa uji yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4 dengan deskripsi aroma yang diperkirakan ada pada sampel. Tabel 4 Senyawa uji untuk segitiga rasa dan aroma. Deskripsi Manis
Senyawa uji Larutan gula pasir
Sumber Gula rafinasi
Asam
Larutan asam sitrat
CICA
Asin
Larutan garam
Garam meja
Pahit
Larutan kafein
Fluka
Fruity
Green
Etil butirat Etil 2-metilbutirat Furanool Vanilin Z-3-heksenol
PT. Indesso Aroma PT. Indesso Aroma PT. Indesso Aroma PT. Indesso Aroma PT. Indesso Aroma
Roasted
Metilpirazin
PT. Indesso Aroma
Acid note
Flavor mangga
PT. Mane Indonesia
Sweet
Asam sunti
Asam sunti dengan Aceh produsen berbeda Medan * di dalam Propilen Glikol (Sigma-Aldrich)
Konsentrasi 1.00% 2.00% 4.00% 0.04% 0.07% 0.14% 0.10% 0.20% 0.40% 0.04% 0.07% 0.14% 100% 100% 6.25 % * 25% * 6.25% * 25% * 6.25% * 25% * 100%
2. Pelatihan panelis (ASTM 1981) Tahap pelatihan panelis bertujuan untuk melatih kepekaan sensori panelis terhadap atribut rasa dan aroma. Pelatihan terdiri atas pengenalan produk dan pengembangan atribut oleh para panelis untuk mendeskripsikan karakteristik flavor belimbing wuluh dan asam sunti. Pelatihan panelis dilakukan selama 10 jam sesi yang dibagi ke dalam 7 sesi pertemuan, terdiri dari pendahuluan mengenai QDA, penentuan jadwal pelatihan, pengembangan atribut sampel, pelatihan intensitas rasa dan aroma, dan pengujian konsistensi penilaian. Proses pengembangan atribut dilakukan dengan menggunakan 2 sampel yang memiliki karakteristik mirip dengan belimbing wuluh dan asam sunti. Sampel tersebut adalah mangga muda dan lobi-lobi untuk pendekatan atribut belimbing wuluh, sedangkan asam jawa dan asam sunti (Medan) untuk pendekatan atribut asam sunti. Pelatihan intensitas rasa dan aroma menggunakan flavor standar (Tabel 5). Flavor standar tersebut diharapkan dapat membantu panelis berdiskusi, menghomogenkan kriteria dari daftar yang ada, dan membantu mengidentifikasi atribut. 3. Analisis sensori kuantitatif deskriptif (ASTM 1981) Sampel yang digunakan adalah buah belimbing wuluh segar dan asam sunti. Analisis kuantitatif deskriptif dilakukan terhadap atribut rasa dan aroma sampel oleh panelis terlatih yang lolos seleksi pada penelitian tahap pertama. Panelis diminta untukmemberikan penilaian terhadap intensitas rasa dan aroma sampel menggunakan skala garis (0-15 cm) (Stone dan Sidel 2004).
16 Tabel 5 Senyawa referensi untuk pelatihan panelis. Deskripsi Manis
Senyawa uji Sukrosa
Sumber Gula rafinasi
Asam
Asam sitrat
CICA
Asin
NaCl
Garam meja
Pahit
Kafein
Fluka
Umami Spicy, clove
NaCl + MSG Eugenol
Garam meja dan perisa PT. Firmenich Indonesia
Woody, piney
Alpha pinene
PT. Firmenich Indonesia
Green
Z-3-heksenol
PT. Indesso Aroma
Waxy
Nonanal
PT. Firmenich Indonesia
Sweet, floral
Benzil alkohol
PT. Firmenich Indonesia
Rancid
Asam dekanoat
PT. Firmenich Indonesia
Konsentrasi 2.00% 10.00% 16.00% 0.05% 0.15% 0.20% 0.20% 0.35% 0.70% 0.05% 0.15% 0.20% 0.30% + 0.30% 2000 ppma 1%a 2000 ppma 2%a 1% ppma 10%a 2000 ppma 1%a 1%a %10a 2000 ppma 1%a
Skala 2b 10b 15b 2b 10b 15b 2,5b 5b 15b 2b 10b 15b 10b 4 10 3 10 2.5 10 4 11 2 8 3 10
a Pemilihan Metode Ekstraksi Terbaik : di dalam Propilen Glikol (Sigma-Aldrich) b
Intensitas skala mengikuti Meilgaraard et al. 1999
Pemilihan metode ekstraksi terbaik Belimbing wuluh yang digunakan dalam penelitian ini adalah belimbing wuluh yang belum masak dengan karakteristik berwarna hijau merata, keras, dan tidak terdapat cacat. Asam sunti yang digunakan adalah asam sunti dengan ciriciri sebagai berikut: berwarna coklat, tidak banyak kotoran, dan berbau segar. Proses ekstraksi dilakukan dengan dua metode, yaitu maserasi dan LikensNickerson. Kedua hasil ekstraksi ini dibandingkan dengan aroma sampel segar, dan dipilih hasil ekstraksi yang paling mendekati aroma sampel segar. Metode maserasi (Wijaya et al. 2002) Sebanyak 221.41 g belimbing wuluh atau 60g asam sunti yang telah dihancurkan,0.5 ml standar internal (1,4-diklorobenzena) 0.1%, dan 60 ml larutan garam jenuh (18.60%) dilarutkan ke dalam 60 ml dietil eter (Merck, Germany) dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan digoyang selama 2 jam lalu disimpan semalam pada suhu freezer. Campuran sampel dengan pelarut kemudian dipisahkan dengan kertas saring (Whatman no. 1), dan ditambahkan natrium sulfat anhidrat (Merck, Germany) ke dalam ekstrak agar terbebas dari air. Filtrat dipekatkan dengan destilasi fraksional menggunakan kolom vigreux (panjang 15 cm x 1 cm diameter) dengan suhu 500C sampai volume ekstrak menjadi 3 ml untuk belimbing wuluh atau 5 ml untuk asam sunti.
17 Metode Likens-Nickerson(Wijaya et al. 2002) Sebanyak 221.41 g belimbing wuluh atau 60 g asam sunti yang telah dihancurkan, 0.5 ml standar internal (1,4-diklorobenzena) 0.1%, dan 60 ml larutan garam jenuh (18.60%) dimasukkan ke labu di atas penangas. Sebanyak 15 ml dietil eter (Merck, Germany) dimasukkan ke dalam labu yang berada di dalam water bath. Labu dididihkan selama 3 jam. Ekstrak pelarut pada labu yang ada di water bath ditambahkan dengan natrium sulfat anhidrat (Merck, Germany). Filtrat dipekatkan dengan destilasi fraksional menggunakan kolom vigreux (panjang 15 cm x 1 cm diameter) dengan suhu 50 0C sampai volume ekstrak menjadi 3 ml untuk belimbing wuluh atau 5 ml untuk asam sunti. Uji Organoleptik: Beda dari Kontrol (Meilgaard et al. 1999) Uji organoleptik beda dari kontrol dilakukan untuk memilih metode ekstraksi terbaik. Masing-masing ekstrak diuji perbedaan aromanya terhadap aroma sampel yang belum diekstrak. Uji beda dari kontrol menggunakan 10 panelis terlatih yang diminta untuk mendeteksi seberapa besar perbedaan yang terjadi antara sampel yang diuji dengan kontrol. Sampel yang digunakan sebagai uji adalah hasil ekstraksi dari dua metode yang disebutkan di atas, sedangkan sampel yang digunakan sebagai kontrol adalah sampel yang tidak diekstrak. Metode ekstraksi dengan nilai perbedaan yang paling kecil itulah yang dipilih sebagai metode ekstraksi terbaik. Analisis GC-MS GC-MS (7890A-5975C, Agilent Technologies, Inc.) dengan kolom kapiler DB-5 (30 m, diameter dalam 0.25 mm, tebal film 0.25 μm, Agilent Technologies) digunakan untuk menganalisis komponen volatil dari ekstrak terbaik. Suhu injektor dan detektor 250 0C, suhu oven diprogram 60 0C selama 2 menit, kemudian dinaikkan 10 0C/menit hingga mencapai suhu 120 0C kemudian dinaikkan 5 0C/menit sampai suhu 250 0C. Gas pembawa helium dengan kecepatan 1 ml/menit. Volume injeksi 0.2μl dengan mode splitless. Detektor MS menggunakan mode 70 ev pada suhu 230 0C antara 35 sampai 400 amu. Identifikasi komponen volatil dilakukan dengan menyocokan nilai LRI (Linear Retention Index) masing-masing peak dihitung berdasarkan data waktu retensi n-alkana standar (C7 – C23) yang disuntikkan pada kondisi yang sama dengan penyuntikan sampel atau dengan refensi mass spectral NIST05a. Nilai LRI dapat dihitung dengan persamaan Kratz. LRIx = {
-
+ n} x100
(i)
Keterangan: LRIx : indeks retensi linear komponen x Rt(x) : waktu retensi komponen x (menit) Rt(n) :waktu retensi n-alkana standar yang muncul sebelum komponen x (menit) Rt(n+1): waktu retensi n-alkana standar yang muncul setelah komponen x (menit) Analisis GC-O GC (7890A, Agilent Technologies, Inc.) terhubung dengan sniffing port olfaktometri (Gertsel ODP 2) digunakan untuk menganalisis komponen volatil
18 dari ekstrak terbaik.Suhu injektor dan detektor 250 0C, suhu oven diprogram 60 0 C selama 2 menit, kemudian dinaikkan 100C/menit hingga mencapai suhu 120 0C kemudian dinaikkan selama 50C/menit. Gas pembawa helium dengan kecepatan 1 ml/menit. Volume injeksi 0.2 μl dengan mode splitless. Penentuan komponen aroma aktif mengikuti metode Kirshinbaum et al. (2012) dengan metode NIF (Nasal Impact Frequency), menggunakan tujuh panelis (2 laki-laki dan 5 perempuan). Komponen aroma aktif teridentifikasi jika tiga dari tujuh panelis memberikan deskripsi aroma yang mirip pada waktu retensi yang sama. Jika hanya satu atau dua panelis yang mendeteksi aroma tertentu maka hal tersebut dapat disebabkan oleh noise olfaktometri dan tidak dapat diterima. Identifikasi Komponen Identifikasi komponen volatil dilakukan dengan membandingkan spektra massa MS dari library NIST05a dan nilai LRI. LRI dihitung menggunakan standar n-alkana C7-C23 menggunakan persamaan Kartz. Perbedaan nilai LRI yang digunakan tidak lebih dari 5% dari nilai LRI pada database (http://www.odour.org.uk/cgi-bin/search.cgi) menggunakan kolom DB-5. Deskripsi komponen aroma didapat dari analis GC-O. Penentuan Komponen Aroma Aktif (OAV) Metode baru yang digunakan untuk menentukan komponen volatil yang berperan dalam memberikan aroma yang khas adalah Odor Active Value (OAV). Menurut (Kiefl et al. 2013) metode ini digunakan untuk melengkapi dan memverifikasi hasil analisis dengan GC-O. Menurut Hellin et al. (2010) nilai OAV dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini: OAV= Keterangan: OAV: nilai aktivitas aroma C : total konsentrasi setiap komponen di dalam sampel (μg/g) t : nilai ambang batas aroma di dalam air Total konsentrasi komponen volatil pada sampel diperkirakan standar internal (1 ml 1,4 diklorobenzen 1%) yang ditambahkan pada Kuantifikasi komponen volatil yang ada pada sampel dapat dihitung persamaan di bawah ini: [A] =
(ii)
dengan sampel. dengan (iii)
Keterangan: A : Konsentrasi komponen tertentu dalam sampel (μg/g) B : Komponen tertentu pada kromatogram sampel C : Volume standar internal pada kromatogram sampel (ml) Menurut Guth (1997) hanya komponen dengan nilai OAV> 1 yang berperan terhadap aroma aktif sampel. Uji Rekonstitusi Komponen Volatil (Dharmawan et al. 2009) Uji rekonstitusi dilakukan dengan mencampurkan seluruh senyawa sintetik dari komponen volatil yang ditemukan pada analisis GC-O. Konsentrasi senyawa yang digunakan sesuai dengan konsentrasi yang didapat pada perhitungan OAV. Hasil campuran senyawa sintetik tersebut kemudian dilakukan uji sensori untuk
19 mendeskripsikan aroma campuran dan dibandingkan dengan deskripsi aroma ekstrak sampel. Ekstrak sampel yang digunakan adalah ekstrak belimbing wuluh dan asam sunti.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan asam sunti yang representatif Karakteristik demografi responden ditetapkan sebelum dilakukan wawancara karena asam sunti belum cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia dan terbatas hanya dikenal oleh warga Aceh dan sekitarnya. Pendekatan in-depth interview merupakan metode kualitatif yang dilakukan dengan tujuan agar dapat menggali pendapat dan perspektif responden terhadap asam sunti. Responden yang diwawancara adalah responden asal Aceh yang tinggal di sekitar kampus IPB Dramaga, Bogor dan di Kabupaten/Kota Aceh. Wawancara dilakukan secara langsung kepada 27 responden (6 laki-laki dan 21 perempuan) dengan rentang usia 20-55 tahun yang terdiri dari pedagang kuliner Aceh, mahasiswa, dosen, dan ibu rumah tangga. Hasil in-depth interview (Tabel 6) menunjukkann bahwa seluruh responden mengetahui asam sunti. Asam sunti merupakan produk tradisional yang belum memiliki standar sehingga perspektif mengenai kualitas asam sunti sangat beragam. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh selera masing-masing responden. Ada responden yang menyatakan asam sunti berwana coklat terang sampai coklat kehitaman. Menurut Chong et al. (2008) reaksi pencoklatan enzimatis dapat mengubah warna hijau dari belimbing wuluh menjadi coklat selama proses pengeringan dengan matahari. Metabolit hasil fermentasi, seperti gula pereduksi, turunan karbohidrat, senyawa aromatik, dan substansi lainnya juga akan mempengaruhi pembentukan warna sampel (Kim dan Lee 2008). Semakin lama proses pemeraman, maka warna asam sunti akan semakin gelap (Muzaifa 2013). Berdasarkan hasil wawancara, responden yang menyukai aroma fermentasi dari asam sunti akan memilih asam sunti dengan warna coklat yang gelap. Responden yang lebih menyukai aroma buah segar akan memilih asam sunti dengan warna coklat yang lebih terang. Berdasarkan in-depth interview asam sunti banyak digunakan dalam masakan Aceh, seperti gulai ikan mujair, ikan bandeng, ayam kari sambal terasi, asam keueung, tumis ikan sambal keumah, dan dadar telur. Jumlah asam sunti yang digunakan dalam tiap masakan berbeda-beda tergantung pada kesukaan masing-masing. Umumnya, untuk memasak 1 kg ikan menggunakan 8-9 buah asam sunti, untuk memasak sayur bening digunakan 1-2 buah asam sunti, dan untuk memasak asam keueung digunakan 1-2 buah asam sunti. Asam sunti juga memiliki umur simpan yang panjang dapat mencapai 1 tahun jika disimpan di tempat yang kering dan tertutup. Asam sunti yang rusak akan berwarna hitam, berair, dan berjamur pada permukaan asam sunti. Asam sunti yang representatif memiliki rasa asam dan asin dengan aroma asam, warna coklat, berbentuk pipih lonjong, tekstur yang lembut, dantidak ada jamur. Karakteristik asam sunti seperti inilah yang digunakan dalam penelitian ini.
20
Tabel 6 Hasil in-depth interview asam sunti. Pertanyaan
Responden (%)
Apa yang Anda ketahui mengenai asam sunti? Fermentasi belimbing wuluh dengan proses penggaraman dan pengeringan Bumbu tradisional Aceh Produk fermentasi asam sunti dan bumbu tradisional Aceh Bagaimana flavor asam sunti? Rasa asam dan asin dengan aroma dominan asam Bagaimana karakteristik asam sunti yang Anda ketahui? Berwarna coklat-kehitaman dengan tekstur lembut Berwarna coklat, berbentuk oval pipih dengan tekstur lembut Berwarna merah-kecoklatan dengan permukaan kering Berwarna kuning-kecoklatan Darimana Anda mendapatkan asam sunti? Membuat sendiri Pasar tradisional Membuat sendiri dan pasar tradisional Bagaimana karakteristik asam sunti yang baik? Berwarna coklat dan permukaan kering Berwarna coklat-kehitaman Berwarna merah-kecoklatan Berwarna coklat terang Tidak berjamur dan off-flavor
Karakteristik fisik, kimia, dan sensori Karakterisasi warna belimbing wuluh dan asam sunti dilakukan dengan sistem notasi Hunter, dimana kecerahan (L) memiliki nilai diantara 0 (hitam) dan 100 (putih), merah-hijau (a) memiliki nilai diantara 80 (merah) dan -80 (hijau), biru-kuning (b) memiliki nilai diantara 70 (kuning) dan -70 (biru). Hasil kuantifikasi objektif warna belimbing wuluh dan produk asam sunti dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Analisis warna belimbing wuluh dan asam sunti. Sampel L a b Belimbing wuluh 43.89 ± 3.31 -16.76 ± 1.17 30.26 ± 2.53 Asam sunti 27.22 ± 0.18 8.42 ± 0.68 9.35 ± 0.86 Berdasarkan hasil analisis kromameter, belimbing wuluh memiliki kecerahan yang lebih tinggi dari asam sunti sertadidominasi warna kuning dan hijau, sedangkan asam sunti memiliki penampakan warna yang lebih gelap dengan warna dominan kuning dan merah. Perubahan warna belimbing wuluh menjadi asam sunti disebabkan oleh reaksi enzimatis (Chong et al. 2008), terutama degradasi klorofil yang berwarna hijau oleh klorofilase menjadi klorofilin,
51.85 33.33 14.82 100 25.92 59.26 7.41 7.41 48.15 33.33 18.52 44.44 7.41 11.11 18.52 18.52
21 feoforbid, dan feofitin yang berwarna coklat saat terkena panas pengeringan (Chen et al. 2012). Karakteristik kimia dari belimbing wuluh dan asam sunti dapat dilihat dari komposisinya(Tabel 8). Kadar air yang tinggi (94.78%) pada belimbing wuluh menjadi faktor utama belimbing wuluh mudah rusak. Berdasarkan hasil observasi di lapangan belimbing wuluh hanya dapat bertahan 1 hari saja. Oleh karena itu, biasanya belimbing wuluh banyak berjatuhan dan terbuang sia-sia. Masyarakat Aceh kemudian memanfaatkan belimbing wuluh yang tumbuh subur dengan cara mengeringkannya dan memfermentasi belimbing wuluh secara spontan dengan menaburi garam. Proses pengeringan dan pemberian garam dapat mengurangi kadar air bahan sehingga dapat memperpanjang umur simpan produk. Tabel 8 Komposisi asam sunti dan belimbing wuluh. Analisis Belimbing wuluh Asam sunti Kadar air (% bb) 94.78 ± 0.26 62.16 ± 0.65 Kadar lemak (% bk) 6.75 ± 0.26 3.36 ± 0.09 Kadar protein (% bk) 26.17 ± 0.32 11.21 ± 0.38 Kadar abu (% bk) 5.82 ± 0.43 30.08 ± 0.17 Kadar karbohidrat (% bk) 61.13 ± 1.54 55.35 ± 0.60 Kadar abu asam sunti lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan kadar abu belimbing wuluh. Peningkatan kadar abu ini diperkirakan karena adanya penambahan garam yang cukup banyak dalam proses pembuatan asam sunti. Belimbing wuluh memiliki kadar lemak yang cukup tinggi (6.75% bk), jika dibandingkan dengan buah-buahan lainnya, seperti blueberry (4.18% bk) menurut Starast et al. 2007), tomat (1.80% bk menurut Guil dan Rebolloso 2009), dan strawberi (3.31% bk menurut Giampieri et al. 2012). Menurut Berry (1987), biji dari buah belimbing (Averrhoa carambola L.) yang memiliki genus sama dengan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) diketahui memiliki kandungan asam lemak yang tinggi, terdiri dari asam palmitat, asam stearat, asam oleat, dan asam linoleat. Berdasarkan pengukuran kadar lemak (Tabel 8), terlihat penurunan kadar lemak dari belimbiing wuluh menjadi asam sunti. Hal ini dapat disebabkan oleh proses fermentasi dan adanya penambahan garam dalam proses pembuatan asam sunti yang menyebabkan peningkatan total solid bahan. Demikian pula halnya dengan kadar protein. Analisis kadar protein dengan metode Kjeldahl akan mengukur total kandungan nitrogen di dalam sampel. Namun, hasil pengukuran kadar protein dari asam sunti lebih rendah dibandingkan dengan belimbing wuluh. Hal ini juga diduga akibat adanya proses fermentasi yang mendegradasi senyawa protein dan peningkatan total solid akibat penambahan garam sehingga menyebabkan kadar protein lebih rendah dari pada belimbing wuluh. Karakteristik sensori dengan analisis QDA dilakukan oleh 10 panelis terlatih (4 laki-laki dan 6 perempuan). Hasil pengujian (Gambar 3) menunjukkan bahwa belimbing wuluh memiliki rasa asam yang dominan, sedangkan asam sunti selain memiliki rasa asam yang dominan juga memiliki rasa asin. Hal ini sesuai dengan hasil in-depth interview yang menyimpulkan bahwa asam sunti memiliki rasa dominan asin dan asam. Selain rasa asam dan asin panelis terlatih dalam uji QDA ini juga mendeteksi adanya rasa umami pada belimbing wuluh dan asam sunti. Berdasarkan Umami Information Center (2012), beberapa buah mengandung
22 asam glutamat bebas yang berperan dalam memberikan rasa umami, seperti anggur (5-184 mg/100 g), tomat (260 mg/100 g), dan strawberi (44.40 mg/100 g). Sedangkan untuk belimbing wuluh belum ada penelitian yang mengkaji mengenai kandungan asam glutamat bebasnya. Berdasarkan hasil QDA (Gambar 3) rasa asin pada asam sunti berbeda signifikan (Lampiran 3) dibandingkan belimbing wuluh. Hal ini disebabkan oleh adanya penambahan garam dalam pembuatan asam sunti. Rasa umami yang ada pada asam sunti juga berbeda signifikan dengan belimbing wuluh (Lampiran 3). Asam sunti memiliki skala 5.9 dari 15, sedangkan belimbing wuluh hanya 2.1. Panelis kurang mendeteksi adanya rasa umami pada belimbing wuluh dapat disebabkan oleh tingginya rasa asam yang ada pada belimbing wuluh sehingga menutupi rasa umami. Selain itu, degradasi protein yang terjadi selama fermentasi akan meningkatkan jumlah asam amino bebas (Visessanguan et al. 2005). Asam amino bebas seperti, asam aspartat, asam glutamat, 5‟ inosinat, dan 5‟ guanilat merupakan senyawa-senyawa yang berperan dalam memberikan rasa umami (Food Reference 2014). Hal inilah yang diduga menyebakan asam sunti memiliki rasa umami dan banyak digunakan sebagai bumbu dalam masakan Aceh. Rancid * Floral
Sweet 15.0 10.0 5.0
Salty * Sour
0.0 Waxy
belimbing wuluh Umami*
Woody
asam sunti
Spicy Green *
Gambar 3 Profil sensori belimbing wuluh dan asam sunti. Menurut Breslin (1996), interaksi antara rasa asin pada konsentrasi subthreshold dan rasa asam pada konsentrasi suprathreshold dapat menyebabkan rasa asin menekan intensitas rasa asam. Oleh karena itu, dalam analisis QDA belimbing wuluh memiliki intensitas rasa asam yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam sunti walaupun selama fermentasi terbentuk asam-asam organik. Berdasarkan Gambar 3, diketahui belimbing wuluh memiliki aroma dominan green, woody, floral, dan waxy, sedangkan asam sunti memiliki aroma dominan rancid, floral dan waxy. Menurut Hadi et al (2013) setiap buah memproduksi sejumlah komponen volatil yang akan membentuk karakteristik aromanya masing-masing. Aroma green dan rancid pada belimbing wuluh berbeda signifikan dengan asam sunti (Lampiran 3). Aroma rancid yang ada pada asam sunti diduga terbentuk selama proses pengeringan akibat adanya reaksi lipid autoksidasi.
23 Identifikasi komponen volatil dan komponen aroma aktif
skor perbedaan aroma
Pemilihan metode ekstraksi terbaik Berdasarkan hasil uji organoleptik beda dari kontrol (Gambar 4), metode ekstraksi maserasi memberikan aroma ekstraksi yang paling mirip dengan sampel segar yang belum diekstraksi, baik untuk belimbing wuluh maupun asam sunti. Berdasarkan Apriyantono dan Kumara (2004), pelarut dietil eter memiliki efisiensi yang baik untuk mengekstrak senyawa golongan ester dan karboksilat. Metode ekstraksi maserasi merupakan metode ekstraksi yang sederhana dan murah. Penggoyangan selama 2 jam pada suhu ruang sebelum disimpan di freezer (-4 ± 1 0C) semalaman berfungsi untuk meningkatkan pelarutan komponen volatil. Hasil ekstraksi dengan metode Likens-Nickerson kurang cocok untuk sampel ini karena proses pemanasan akan memberikan aroma matang pada ekstrak. 5 4 3 2
Liken-Nickerson
1
Maserasi
0 Belimbing wuluh
Asam sunti sampel
Gambar 4 Perbedaan aroma ekstraksi Identifikasi komponen volatil Komponen volatil belimbing wuluh dapat dilihat pada Tabel 9, analisis dengan GC-MS mendeteksi adanya 35 komponen volatil. Penelitian sebelumnya (Pino et al. 2004) dengan metode ekstraksi Likens-Nickerson mendeteksi adanya 62 komponen volatil pada belimbing wuluh yang tumbuh di Cuba. Perbedaan kandungan komponen volatil ini dapat disebabkan oleh perbedaan geografis dan metode ekstraksi yang dilakukan. Ekstraksi dengan metode Likens-Nickerson dapat membentuk senyawa baru akibat pemanasan selama proses ekstraksi. Dari 35 komponen volatil yang terdeteksi dengan GC-MS, 11 komponen diantaranya (furfural, heksanol, alpha-pinena, 1-okten-3-ol, gamma-terpinena nonanal, asam nonanoat, asam tetradekanoat, asam heksadekanoat, asam oktadekanoat, danZ-9-trikosena) juga telah dilaporkan sebagai komponen volatil yang ada pada belimbing wuluh (Pino et al. 2004). Menurut Pino et al. (2004) rangkaian komponen C-9 seperti nonanal dan asam nonanoat diduga sebagai komponen penting yang membentuk aroma belimbing wuluh. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa senyawa nonanal dan asam nonanoat berperan memberikan karakteristik aroma pada family Cucurbitaceae (Buttery et al. 1982, Beaulieu dan Grimm 2001). Produk fermentasi belimbing wuluh, yaitu asam sunti terdeteksi memiliki 82 komponen volatil (Tabel 9). Komponen volatil yang lebih banyak dibandingkan dengan belimbing wuluh ini menunjukkan bahwa degradasi karbohidrat, lemak, dan protein selama fermentasi membentuk komponen volatil baru. Dari 82
24 komponen volatil yang terdeteksi ada pada asam sunti, 13 komponen diantaranya juga terdeteksi pada belimbing wuluh, yaitu asam nonanoat, asam tetradekanoat, asam n-heksadekanoat, (Z,Z)-asam 9,12-oktadekadienoat, asam oktadekenoat, asam oktadekanoat, heksadekanol, nonanal, Z-9-trikosena, (3-metilfenil)2fenilasetat, furfural, vanilin, dan etil benzena. Tabel 9 Komponen volatil belimbing wuluh dan asam sunti. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Komponen Asam Asam 3-metilbutanoat Asam pentanoat Asam oktanoat Asam benzenkarboksilat Asam nonanoat Asam butanadioat Asam dekanoat Asam (E)-3-fenilpropenoat Asam undekanoat Asam dodekanoat Asam 4-Hydroksi-3-methoksibenzoat Asam nonadioat Asam tetradekanoat Asam dekanedioat Asam (E)-2-tridekanoat Asam n-heksadekanoat Asam heptadekanoat (Z,Z)-asam 9,12-oktadekadienoat Asam oktadekenoat Asam oktadekanoat Asam eikosanoat Alkohol Heksanol 1-Oktenol (E)-2-oktenol (Z)-3,7-dimethil-2,6-oktadienol Cedrol Heksadekanol Isobornil isobutirat 9,12-Octadekadienol Aldehida 2,4-Heptadienal Nonanal (2E)-3-fenylpropenal (E,Z)-2,4-dekadienal
RT
LRI
Belimbing wuluh (Area%)
4.04 8.51 10.25 10.48 11.82 12.02 14.07 14.50 16.15 18.33 19.02 20.87 22.43 22.92 25.01 26.35 28.49 29.67 29.77 30.16 33.70
834 1112 1210 1222 1290 1300 1396 1416 1491 1589 1621 1705 1779 1802 1904 1972 2084 2149 2154 2176
4.48 6.28 7.76 10.99 18.69 24.54 24.78 31.53
865 0.01 979 <0.01 1067 1247 1605 1881 0.01 1893 2254
6.58 8.44 11.36 12.46
996 1108 0.02 1266 0.01 1321
Asam sunti(Area%)
Metode identifikasia
0.10 0.05 0.04 0.20 0.05 0.04 0.01 0.01 0.03 0.03 0.02 0.18 0.03 0.01 0.15 0.06 0.38 5.58 0.82 0.04
B A A A A A A A A A A A A A A A A A A A A
0.02 0.01 0.01 0.04 0.01 0.29
B B B B B B B A
0.02
<0.01
0.01
0.14 0.03 0.12 0.03
0.01 0.13 0.02
B A B B
25
No. 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
Komponen Tetradekanal (E)-2-tetradekanal Alkana 1-Metoksiheksana Siklotridekana 4-Etilheptane Nonadekane Oktadekane Tricosana Alkena 1-Dekena 1,13-Tetradekadiena Z-12-pentakosena Z-9-trikosena 1-Eikosena Alkuna 7-Pentadesina Ester Metil 2-furoat Etil benzoate 1,3-Diasetiloksipropanil asetat Nonil 2,2,2-trikloroasetat 3,7-Dimetil-2,6-oktadienil asetat Pentadesil 2,2,3,3,3-pentafluoropropanoat Eugenil asetat Etil dodekanoat Metil tetradekanoat (3-Metilfenil)2-fenilasetat 3,7,11-Trimetildodeka-2,6,10-trienil asetat Benzil 2-hidroksibenzoat Metil isoheksadekanoat Heksadekanoat Etil (2E)-3-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-2propenoat Ethyl hexadecanoate Metil (8E,11E)-oktadekadienoat Metil 11-oktadekanoat N-oktadesil etanoat [(10E,12E)-heksadekadienil] asetat Metil (Z)-9-oktadekenoat Furan Furfural
RT
LRI
Belimbing wuluh (Area%)
Asam sunti(Area%)
Metode identifikasia
18.92 20.26
1616 1677
0.03 0.01
B B
5.58 20.38 23.03 24.85 32.24 32.32
937 1683 0.01 1807 1896 2295 0.02 2299
0.02
0.53
A A A A A A
15.90 23.27 26.22 31.80 33.37
1480 <0.01 1819 1966 2269 0.01
0.01 0.07 0.11 0.18
A A A A A
31.96
2278
0.02
A
8.33 9.47 13.06 13.51 15.13 15.96 17.06 18.52 21.28 23.41 23.65 24.16 25.46 25.69 25.72
1102 1166 1349 1370 1444 1482 1532 1598 1724 1826 1837 1862 1927 1939 1940
0.11 0.02
A B A A B A B B A B B B A A A
26.73 28.69 28.82 30.83 31.64 32.80
1992 <0.01 2095 2102 2213 2260
3.99
830 0.02
0.01 0.01
<0.01 0.01 0.01
0.01 0.01 0.01
0.01 0.02 0.01 0.01 0.02
0.50 0.01 <0.01
0.11 0.05 0.38 0.06 0.01
B A A A A A
0.15
A
26
No. 70 71 72 73 74
75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 a
Komponen asam 2-furankarboksilat Etil furan-2-karboksilat 5-Formilfuranil)methil asetat 5-(Hydroksimetil)-2-furaldehida 4,4,7a-Trimetil-5,6,7,7a-tetrahidro-1benzofuran-2(4H)-on Ketones 3,5-Dihidroksi-6-metil-2,3-dihidropiran-4on 4-Metil-2-nitro-1-(oksaniloksi)pentanon Alpha-ionon Delta-dekalakton 2-tridekanon Alpha-metil ionon 1-(2,3,6-Trimetilfenil)butenon Difenilmetanon 6,10,14-Trimetil-2-pentadekanon 1-Oksasikloheptadekanon Fenol 2-Methylfenol Metil isoeugenol Vanilin (E)-isoeugenol (Z)-isoeugenol Terpenes Citronelal Alpha-pinena Beta terpinena Gamma terpinen Terpinen-4-ol Lain-lain Etil benzena 2-Pentilpiridin 5-[(Z)-Propenil]-1,3-benzodioksol Unknown Unknown Miristisin Unknown Unknown 1-Dokosanetiol 1-(6-Metilheptanil)-4-(4metilpentil)sikloheksana
RT
LRI
Belimbing wuluh (Area%)
Asam sunti(Area%)
Metode identifikasia
9.08 9.92 10.90 11.21 17.51
1144 1192 1243 1259 1552
0.19 0.19 0.06 0.22 0.01
A A A A A
10.57
1226
0.06
A
13.64 15.88 16.30 16.55 16.65 19.20 19.58 23.84 25.58
1376 1478 <0.01 1498 1509 1513 1629 1646 1847 1933
0.01
A B B B B A A A A
7.81 14.41 14.64 15.67 15.70
1070 1412 0.01 1422 0.01 1469 0.01 1471
0.02
1153 938 981 1066 1193
0.03
B B A A A
0.01 0.03
A B A
9.23 5.60 6.33 7.74 9.93 4.53 10.03 12.09 14.18 15.58 17.14 31.39 33.14 33.20 33.56
0.02 0.02 0.02 0.02 0.01 0.10 0.03
0.02 0.01
<0.01 <0.01 0.02 0.01
869 <0.01 1199 1303 0.02 1402 1465 1536 0.02 2246
B A A A A
0.01 0.01 A 0.04 0.03 0.02 0.01
A A
Metode identifikasi: (A) membandingkan spektrum massa dengan spektrum yang ada pada library NIST 05a; (B) membandingkan nilai LRI dengan LRI yang ada pada database (http://www.odour.org.uk/cgibin/search.cgi).
27 Tabel 9 menunjukkan, belimbing wuluh dan asam sunti terdiri dari komponen volatil yang berbeda. Ester (7) dan asam (7) merupakan golongan komponen volatil yang paling banyak pada ekstrak belimbing wuluh, diikuti oleh terpen (4). Golongan asam (20) adalah komponen volatil yang paling banyak pada ekstrak asam sunti, diikuti oleh ester (16), dan keton (9). Perbedaan ini disebabkan oleh adanya proses pengeringan dan fermentasi dalam pembuatan asam sunti. Golongan ester banyak dilaporkan terdapat pada buah-buahan, sayursayuran, dan produk hasil olahannya (Zhao et al. 2007). Pada belimbing wuluh, senyawa ester diduga terbentuk melalui jalur biosintesis pada jaringan sel selama pertumbuhan. Pada asam sunti, senyawa ester terbentuk melalui esterifikasi alkohol dan asam lemak selama selama proses fermentasi (Wang et al. 2015). Metil 2-furoat, etil benzoat, nonil 2,2,2-trikloroasetat, pentadesil 2,2,3,3,3pentafluoropropanoat, eugenil asetat, etil dodekanoat, metil tetradekanoat, metil isoheksadekanoat, metil heksadekanoat, metil (8E,11E)-oktadekadienoat, metil 11-oktadekanoat, n-oktadesil etanoat, [(10E,12E)-heksadekadienil] asetat, dan metil (Z)-9-oktadekenoat adalah senyawa-senyawa yang terdapat pada asam sunti namun tidak ditemukan pada belimbing wuluh sehingga diduga terbentuk selama proses pengeringan maupun fermentasi asam sunti. Etil benzoat, etil dodekanoat, danmetil heksadekanoat juga dilaporkan terdapat pada buah plum yang telah dikeringkan (Nunes et al. 2008). Etil dodekanoat dan metil tetradekanoat juga telah dilaporkan terdapat pada produk fermentasi cabai merah di Korea (Kang dan Baek 2014). Menurut Lee dan Ahn (2009); Steinhaus dan Schieberle(2007), ester merupakan komponen penting yang berperan dalam pembentukan aroma pada produk fermentasi karena tingginya volatilitas dan sensitivitas reseptor olfaktori manusia. Oleh karena itu, senyawa volatil golongan ester pada asam sunti jumlahnya jauh lebih banyak dari belimbing wuluh. Diantara senyawa ester, metil ester memiliki proporsi yang paling besar. Senyawa golongan asam, asam oktadekanoat, asam 9,12-oktadekadienoat, dan asam nonanoat merupakan asam lemak yang jumlahnya paling tinggi pada asam sunti. Asam n-heksadekanoatdan asam oktadekenoat merupakan komponen yang paling besar pada belimbing wuluh. Hal ini sesuai dengan penelitian Wong dan Wong (1995) yang melaporkan asam heksadekanoat sebagai komponen utama pada belimbing wuluh. Besarnya kandungan asam lemak pada asam sunti diduga berperan dalam pembentukan aroma rancid. Asam lemak dengan rantai karbon medium sampai panjang terbentuk melalui sintesis asam lemak dari asetil ko-A selama proses fermentasi khamir (Styger et al. 2011). Hal ini didukung dengan hasil QDA (Gambar 3), dimana aroma rancid pada asam sunti berbeda nyata (p<0.05) dengan belimbing wuluh. Menurut Wang et al. (2015), asam lemak selain berperan dalam memberikan aroma rancid juga berperan dalam mengatur keseimbangan aroma secara keseluruhan. Golongan alkohol berperan dalam aroma belimbing wuluh. Heksanol berperan memberikan aroma green (Wang et al. 2015). Heksanol juga diketahui terdapat pada kulit dan biji zaitun dengan memberikan aroma fruity, green, dan grassy (Reboredo-Rodriguez et al. 2013). Hilangnya senyawa heksanol pada asam sunti disebabkan oleh sensitivitas senyawa tersebut selama proses pengeringan dan proses fermentasi. Hilangnya heksanol juga menyebabkan hilangnya aroma fresh dalam asam sunti.
28 Salah satu golongan karbonil yang berkaitan dengan aktivitas mikroba adalah keton (Giri et al. 2010). Sebanyak 10 komponen volatil golongan keton terdapat pada asam sunti dan 2 pada belimbing wuluh. Keton merupakan produk degradasi dari senyawa lemak dan asam amino. Hal ini juga yang diduga dapat menyebabkan penurunan komposisi lemak dan protein pada asam sunti jika dibandingkan dengan belimbing wuluh. Diantara seluruh keton, 2pentadekanon,6,10,14-trimetil merupakan komponen yang paling besar jumlahnya pada asam sunti dan memberikan aroma woody. Komponen volatil minor terdiri dari golongan fenol, aldehid, furan, akana, alkena, alkuna, dan terpen juga berperan dalam pembentukan karakteristik aroma belimbing wuluh dan asam sunti. Keberadaan beberapa senyawa furan dan turunannya seperti furfural, asam 2-furankarboksilat, dan 5-asetoksimetil-2furaldehida pada asam sunti merupakan hasil pirolisis glukosa dan reaksi Maillard, yang juga ditemukan pada produk fermentasi (Lee et al. 2003). Komponen volatil terpen hanya ditemukan pada ekstrak belimbing wuluh, gamma-terpinen merupakan komponen yang paling banyak terdapat pada belimbing wuluh. Gamma-terpinenaberperan dalam pembentukan aroma buah jeruk (Hadi et al. 2013). Identifikasi komponen aroma aktif Komponen aroma yang ada pada masing-masing ekstrak dianalisis menggunakan GC-O dengan metode NIF (Nasal Impact Frequency) oleh 7 panelis. Hasil analisis ekstrak belimbing wuluh dengan GC-O menunjukkan terdapat 4 komponen volatil yang memiliki aroma aktif (Tabel 10). Keempat komponen volatil tersebut adalah alpha-pinena, etil (2E)-3-(4-hidroksi-3metoksifenil)-2-propenoat, dan dua komponen unknown. Komponen unknown adalah komponen yang tidak terdeteksi oleh GC-MS namun terdeteksi oleh olfaktori panelis. Alpha-pinena memiliki nilai NIF yang paling tinggi, terdeteksi oleh semua panelis dengan deskripsi aroma woody dan herbal lift. Alpha-pinena juga terdeteksi pada belimbing wuluh yang tumbuh di Cuba (Pino et al. 2004). Alpha-pinena juga diketahui sebagai komponen aroma aktif pada buah jeruk dan mangga (Hadi et al. 2013). Komponen unknown pertama dengan nilai LRI (linear retention index) 1117 terdeteksi oleh 6 panelis dengan deskripsi aroma green dan floral. Berdasarkan kesamaan nilai LRI dari DB-5 (http://www.odour.org.uk/cgi-bin/search.cgi) dan deskripsi aroma dari panelis, diduga bahwa komponen volatil tersebut adalah Z-3heksenol. Z-3-heksenol juga diketahui sebagai senyawa yang memberikan aroma pada tumbuhan. Komponen unknown kedua dengan nilai LRI 1603 terdeteksi oleh tiga panelis dengan deskripsi aroma dry, sweet, dan soft. Berdasarkan kesamaan nilai LRI dari DB-5 (http://www.odour.org.uk/cgi-bin/search.cgi) dan deskripsi aroma dari panelis, diduga bahwa komponen volatil tersebut adalah cedrol. Komponen volatil yang terdeteksi oleh olfaktori panelis namun tidak terdeteksi oleh GC-MS disebabkan oleh rendahnya konsentrasi komponen atau berada di bawah limit deteksi instrumen analitik (Delahunty 2006). Berdasarkan hasil GC-O, buah belimbing wuluh memiliki aroma woody, fresh, herbal lift, rose, floral, dry, sweet, soft, green dan earthy. Aroma waxy yang terdeteksi melalui analisis QDA tidak terdeteksi pada analisis GC-O. Hal ini dapat terjadi akibat dua hal, yang pertama adalah adanya interaksi antar
29 komponen volatil yang ada pada belimbing wuluh. Interaksi sinergis antar komponen volatil akan meningkatkan persepsi aroma yang diterima (Pang et al. 2012) sehingga aroma waxy terdeteksi pada buah. Kedua, perbedaan biologis seperti laju respirasi panelis saat melakukan sniffing dan kejenuhan reseptor setelah mencium aroma yang kuat dapat menyebabkan kesalahan deteksi (Hanaoka et al. 2001). Tabel 10 Komponen aroma aktif belimbing wuluh. No. 1 2 3 4 *
LRI 938 1117 1603 1940
Senyawa Alpha-pinena Unknown Unknown Etil (2E)-3-(4-hidroksi-3metoksifenil)-2-propenoat
NIF 7 6 3 3
Deskripsi aroma* Woody, fresh, herbal lift Green, floral Dry, sweet, soft Floral, green, earthy
Deskripsi aroma mengikutiGood Scents Company(www.thegoodscentscompany.com)
Hasil analisis ekstrak asam sunti dengan GC-O menunjukkan terdapat 22 komponen volatil yang memiliki aroma aktif (Tabel 11). Dari 22 komponen volatil yang ada, 8 diantaranya tidak terdeteksi oleh GC-MS namun terdeteksi oleh olfaktori manusia. Berdasarkan kesamaan nilai LRI dari DB-5 (http://www.odour.org.uk/cgi-bin/search.cgi) dan deskripsi aroma dari panelis, diduga bahwa komponen volatil tersebut adalah 3-metilsiklopentanon (LRI 820), 2,3-dimetilpirazin (LRI 9180, limonena (LRI 1056), alpha-terpineol (LRI 1185), dekanal (LRI 1205), (E)-anethol (LRI 1281), gama-nonalakton (LRI 1360), dan benzil benzoat (LRI 1760). Nonanal adalah senyawa yang memiliki nilai NIF tertinggi, yaitu 5 dengan deskripsi aroma waxy dan citrus. Senyawa ester yang memiliki tingkat volatilitas tinggi, seperti etil benzoat dan eugenil asetat terdeteksi sebagai komponen aroma aktif pada asam sunti dengan aroma sweet, floral, fresh, dan slight green. Tabel 11 Komponen aroma aktif asam sunti. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
LRI 820 918 1056 1067 1109 1112 1144 1166 1185 1205
Senyawa Unknown Unknown Unknown (E)-2-oktenol Nonanal Asam pentanoat asam 2-furankarboksilat Etil benzoat Unknown Unknown
NIF 3 5 3 4 5 3 4 4 4 3
11 12 13 14 15
1281 1321 1360 1427 1509
Unkonwn (E,Z)-2,4-dekadienal Unknown Vanilin 2-Tridekanon
3 3 3 3 3
Deskripsi aroma* Roasted Burnt sugar, dusty Citrus, fruity Green, citrus Musty phenolic, waxy Fat, citrus, green Sweat Sweet, medicinal Fermented, floral Camphoraceous, earthy, musty Freshly baked bread Sweet, anise Fatty, green, waxy, citrus Sweet Sweet, creamy, coconut, fatty
30 No.
LRI
Senyawa
NIF
16 17
1513 1532
Alpha-metil ionon Eugenil asetat
3 4
18 19 20 21 22
1677 1760 1802 1927 2084
(E)-2-tetradekanal Unknown Asam dekanedioat Metil isoheksadekanoat Asam heptadekanoat
4 3 3 3 3
*
Deskripsi aroma* with oily buttery nuances Balsam, herbal, spicy, earthy Sweet, fruity, citrus like with a green tropical nuance Fruity, green, tallow Sweet, fruity Burnt, earthy Fatty Oily herbal jasmin celery woody
Deskripsi aroma mengikutiGood Scents Company (www.thegoodscentscompany.com)
Senyawa unknown yang terdeteksi oleh 5 panelis dengan deskripsi aroma burn sugar diduga sebagai senyawa 2,3-dimetilpirazin. 2,3-Dimetilpirazin adalah senyawa hasil reaksi Maillard yang juga ditemukan pada produk pangan, seperti coklat (Counet et al. 2002) dan kentang goreng (van Loon et al. 2005). Senyawa unknown dengan LRI 1185 diduga sebagai alpha-terpineol dengan deskripsi aroma fermented dan floral. Alpha-terpineol telah diketahui berperan penting dalam pembentukan aroma produk fermentasi. Senyawa ini adalah hasil dari aktivitas Saccharomyces cerevisiae selama proses fermentasi (Gamero et al. 2011). Alpha-terpineol juga ditemukan pada produk fermentasi cabai merah Korea (Kang dan Baek. 2014). Analisis GC-O menunjukkan asam sunti memiliki aroma roasted, burnt sugar, dusty, citrus, fruity, musty phenolic, fat, green, sweat, medicinal, fermented, floral, sweet, anise, earthy, spice, creamy, dan waxy. Aroma roasted dan burnt sugar pada analisis GC-O diperkirakan terbentuk akibat proses pengeringan yang memanaskan gula pada belimbing wuluh. Hasil analsis GC-O sejalan dengan QDA. Analisis GC-O dapat menentukan senyawa yang berperan dalam pembentukan aroma pada analisis QDA, rancid (asam pentanoat, 2-tridekanon, metil isoheksadekanoat), floral (unknown), dan waxy (nonanal). Berdasarkan hal tersebut, maka komponen aroma aktif yang ada pada Tabel 11 diduga berkontribusi besar dalam pembentukan aroma asam sunti. Identifikasi komponen aroma aktif dengan perhitungan OAV Perhitungan nilai OAV senyawa yang terdeteksi pada analisis GC-O dapat dilihat pada Tabel 12 dan 13. Threshold senyawa yang digunakan dalam penelitian ini merupakan threshold dalam air. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar fase dari belimbing wuluh maupun asam sunti adalah air sehingga untuk mendapatkan kualitas aroma yang mirip digunakan threshold senyawa dalam air. Namun, karena keterbatasan informasi mengenai threshold senyawa 2-tridekanon dan eugenil asetat maka OAV untuk senyawa tersebut tidak diketahui. Berdasarkan perhitungan OAV yang didapatkan, seluruh senyawa yang terdeteksi pada analisis GC-O memiliki nilai OAV lebih dari 1. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa-senyawa tersebut berkontribusi terhadap pembentukan aroma belimbing wuluh dan asam sunti. Berdasarkan perhitungan OAV, alpha-pinena dan etil (2E)3-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-2-propenoat berkontribusi dalam pembentukan aroma belimbing wuluh. (E)-2-tetradekanal, (E,Z)-2,4-dekadienal, nonanal, metil
31 isoheksadekanoat, alpha-metil ionon, (E)-2-oktenol, etil benzoat, asam heptadekanoat, vanillin, asam dekanedioat, asam pentanoat, dan asam 2furankarboksilat adalah senyawa yang berperan dalam pembentukan aroma dari asam sunti. Nilai OAV asam sunti yang lebih tinggi dari belimbing wuluh menunjukkan bahwa aroma dari asam sunti lebih kuat dibandingkan dengan belimbing wuluh. Tabel 12 Senyawa aroma aktif pada belimbing wuluh berdasarkan perhitungan OAV. No.
LRI
Senyawa
Konsentrasi (μg/g) a
Threshold (μg/g)
OAV
1 2
938 1940
Alpha-pinena Etil (2E)-3-(4-hidroksi-3metoksifenil)-2-propenoat
0.02 ± 0.02 0.02 ± 0.16 e-2
0.006a 0.01a
3.33 2
a
Konsentrasi threshold berdasarkan http://www.leffingwell.com
Namun, dalam penelitian ini terdapat perbedaan kualitas aroma berdasarkan metode NIF dan OAV. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian, walaupun nilai OAV dari senyawa (E)-2-tetradekanal (49000) dan (E,Z)-2,4-dekadienal (18428) lebih besar dari senyawa nonanal (4850), namun nonanal terdeteksi oleh 5 panelis sedangkan (E,Z)-2,4-dekadienal hanya terdeteksi oleh 3 panelis dan (E)-2tetradekanal hanya terdeteksi oleh 4 panelis. Nilai OAV yang tinggi tidak selalu menunjukkan nilai NIF yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu (a) perhitungan nilai OAV tidak memperhatikan interaksi antar komponen dalam satu campuran, seperti supresi, sinergis, dan antagonis, (b) perhitungan nilai OAV bertentangan dengan Steven‟s Law (Buttner et al. 1999) yang menyatakan bahwa fungsi psikometrik dari senyawa aroma membentuk kurva sigmoid (konsentrasi-respon). (c) perbedaan biologis selama melakukan uji GC-O, perbedaan kecepatan respirasi (Hanaoka et al. 2001) dan kejenuhan reseptor setelah mencium aroma yang kuat dapat mengakibatkan kesalahan deteksi. Tabel 13 Senyawa aroma aktif pada asam sunti berdasarkan perhitungan OAV. No.
LRI
Senyawa
Konsentrasi (μg/g)
Threshold (μg/g)
OAV
1 2 3 4 5
1067 1109 1112 1144 1166
(E)-2-oktenol Nonanal Asam pentanoat Asam 2-furankarboksilat Etil benzoat
1.04 ± 0.20 4.85 ± 1.76 44.86 ± 2.99 42.74 ± 0.02 1.04 ± 0.27
0.001a 0.001a 3a 37a 0.06a
1040 4850 14.95 1.15 17.33
6 7 8 9 10 11 12
1321 1427 1513 1677 1802 1927 2084
(E,Z)-2,4-dekadienal Vanilin Alpha-metil ionon (E)-2-tetradekanal Asam dekanedioat Metil isoheksadekanoat Asam heptadekanoat
1.29 ± 0.88 0.67 ± 0.05 0.69 ± 0.07 0.49 ± 0.02 1.13 ± 0.46 19.02 ± 1.34 2.17 ± 0.09
a
0.00007a 18428.57 0.2a 3.35 0.00053a 1301.89 0.00001b 49000 1c 1.13 d 0.00479 3970.77 0.64e 3.39
Konsentrasi threshold berdasarkan http://www.leffingwell.com, bKonsentrasi threshold berdasarkan Ho et al. 2013, cKonsentrasi threshold berdasarkan http://www.mindfully.org/Plastic/ Sebacic-Acid-CASNo11-20-6.htm, dKonsentrasi threshold berdasarkan Burdock 2010.
32 Uji Rekonstitusi Uji rekonstitusi bertujuan untuk memverifikasi kontribusi komponen aroma aktif yang disebutkan pada Tabel 10-11 terhadap aroma ekstrak yang terbentuk. Senyawa-senyawa sintetik yang digunakan dalam uji rekonstitusi adalah senyawasenyawa analisis GC-O termasuk senyawa unknown yang diperkirakan ada dalam ekstrak. Dalam penelitian ini, senyawa-senyawa sintetik yang digunakan berasal dari PT. Ogawa Indonesia. Karena keterbatasan senyawa sintetik yang tersedia, maka dalam uji rekonstitusi tidak semua senyawa yang terdeteksi melalui GC-O digunakan. Senyawa-senyawa yang digunakan untuk merekonstitusi ekstrak belimbing wuluh adalah alpha-pinena dan Z-3-heksenol. Senyawa-senyawa yang digunakan untuk merekonstitusi asam sunti adalah 2,3-dimetil pirazin, limonena, nonanal, asam pentanoat, asam 2-furankarboksilat, etil benzoat, dekanal, Eanethol, 2,4-dekadienal, gamma nonalakton, vanilin, 2-tridekanon, alpha-metil ionon, eugenil asetat, 2-tetradekanal, benzil benzoat, metil isoheksadekanoat, dan asam heptadekanoat. Konsentrasi senyawa yang digunakan sesuai dengan hasil perhitungan OAV (Tabel 12-13), sedangkan untuk senyawa unknown yang diperkirakan ada pada sampel konsentrasinya mengikuti konsentrasi threshold senyawa tersebut. Hasil uji sensori ekstrak sampel dan senyawa rekosntitusi dapat dilihat pada Tabel 14. Deskripsi aroma senyawa rekonstitusi kurang sesuai dengan deskripsi aroma ekstrak. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya senyawa unknown yang ditemukan pada analisis GC-O. Sehingga, senyawa kunci yang ada pada sampel belum teridentifikasi. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi positif untuk meyakinkan identifikasi senyawa unknown adalah senyawa yang ada pada ekstrak. Selain itu, tidak semua ekstrak dapat dengan mudah direkonstitusi. Hasil rekonstitusi ekstrak belimbing wuluh kurang memberikan aroma waxy sehingga menyebabkan aroma woody dan green kurang seimbang. Aroma asam sunti sebagai produk fermentasi melibatkan komponen volatil yang sangat kompleks dan mempengaruhi pembentukan aromanya. Rekonstitusi dengan mencampurkan senyawa sintetik tidak mudah untuk memimik aroma asam sunti. Hal ini juga terjadi pada sampel fermentasi seperti kopi, walaupun beberapa penelitian dapat melakukan rekonstitusi aroma kopi namun kualitas aroma hasil rekosntitusi tidak dapat sama seperti aroma kopi alami (Flament 2001). Tabel 14 Deskripsi aroma ekstrak dan senyawa rekonstitusi. Sampel Belimbing wuluh Asam sunti
Deskripsi aroma ekstrak Green, waxy, floral, woody Rancid, waxy, fermented, floral
Deskripsi aroma rekonstitusi Green, woody Rancid, mint, fresh
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil in-depth interview menunjukkan asam sunti yang representatif memiliki ciri-ciri berasa asam dan asin dengan aroma asam, berwarna coklat, berbentuk pipih lonjong, bertekstur lembut, dan tidak berjamur. Belimbing wuluh memiliki perbedaan atribut sensori dengan produk fermentasinya (asam sunti).
33 Belimbing wuluh memiliki aroma green, sedangkan asam sunti memiliki aroma rancid yang lebih intens secara signifikan. Metode ekstraksi maserasi memberikan aroma yang paling mirip dengan sampel segar untuk belimbing wuluh maupun asam sunti. Belimbing wuluh terdeteksi memiliki 35 komponen volatil, sedangkan asam sunti memiliki 82 komponen volatil. Alpha-pinena (woody, fresh, herbal lift) dan etil (2E)-3-(4-hidroksi-3-metoksifenil)-2-propenoat (floral, green, earthy) adalah senyawa yang diperkirakan berkontribusi dalam pembentukan aroma belimbing wuluh. (E)-2-tetradekanal (fruity, green, tallow), (E,Z)-2,4-dekadienal (sweet, anise), nonanal (musty, phenolic), metil isoheksadekanoat (fatty),alphametil ionon (balsam, herbal, spicy, earthy), (E)-2-oktenol (green, citrus), etil benzoat (sweet, medicinal), asam pentanoat (fat, citrus, green), asam heptadekanoat (oily, herbal, jasmin, celery, woody), vanillin (sweet), asam dekanedioat (burnt, earthy), dan asam 2-furankarboksilat (sweat) adalah senyawa yang diperkirakan berperan dalam pembentukan aroma dari asam sunti. Saran Komponen volatil pada belimbing wuluh dan asam sunti memberikan aroma yang unik. Rekonstitusi komponen volatil yang memberikan aroma aktif dapat dijadikan acuan dalam upaya untuk memimik aroma dari belimbing wuluh dan asam sunti. Identifikasi mikroba yang berperan dalam proses fermentasi belimbing wuluh menjadi asam sunti juga perlu dilakukan karena mikroba yang berperan dalam fermentasi akan mempengaruhi komponen volatil yang dihasilkan.
34
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Assosiation of Analytical Chemist. 2012. Official Method of Analysis 19th Ed. 934.06 Moisture in dried food. New York: Chemist Inc. [AOAC] Assosiation of Analytical Chemist. 2012. Official Method of Analysis 19th Ed. 940.26 Ash of fruit and fruit products .New York: Chemist Inc. [AOAC] Assosiation of Analytical Chemist. 2012. Official Method of Analysis 19th Ed. 922.06 Fat in flour. New York: Chemist Inc. [AOAC] Assosiation of Analytical Chemist. 2012. Official Method of Analysis 19th Ed. 920.152 Protein in fruit products. New York: Chemist Inc. [ASTM] American Society for Testing and Materials. 1981. Guidelines for the selection and training of sensory panel members ASTM STP 758. Philadelphia: ASTM. Apriyantono A, Kumara B. 2004. Identifikasi character impact odorants buah kawista (Feronia limonia). JTIP. 15(1): 35-44. Beaulieu JC, Grimm CC. 2001. Identification of volatile compounds in cantaloupe at various developmental stages using solid phase microextraction. J. Agric. Food Chem. 49: 1345-1352. DOI: 10.1021/jf0005768. Berry SK. 1978. The composition of the oil of starfruit (Averrhoa carambola Linn.) seed. J.Am.Oil Chem.Soc. 55(3): 340-341. DOI:10.1007/BF02669925. Boyce C, Neale P. 2006. Conducting In-DepthInterviews:A Guide for Designing andConducting In-Depth Interviewsfor Evaluation Input. Pathfinder International. Breslin PAS. 1996. Interactions among salty, sour and bitter compounds. Trends Food Sci. Technol.7(12): 390-399. DOI: 10.1016/S0924-2244(96)10039-X. Buttery RG, Seifert RM, Ling LC, Soderstorm EL, Ogawa JM. Turnbaugh JG. 1982. Additional aroma components of honeydew melon. J. Agric. Food Chem. 30: 1208-1211. DOI: 10.1021/jf00114a051. Buttner A, Hoch U, Schieberle P. 1999. Interaction of food matrix with small ligands influencing flavour and texture. Meeting COST Action 96. 4: 123-129. Cachet T. 2011. Guidelines for the quantitative gas chromatography of volatile flavouring substances, from the working group on methods of analysis of the international organization of the flavor industry (IOFI). Flavour Fragr. J. 26: 297-299. DOI: 10.1002/ffj.2061. Chandrapala J, Oliver C, Kentish S, Ashokkumar M. 2012. Ultrasonic in food processing – Food quality assurance and food safety. Review. Trends Food Sci. Technol. 26: 88-98. DOI: 10.1016/j.tifs.2012.01.010. Chen K, Zhang F, Kan J. 2012. Characterization of chlorophyll breakdown in green prickleyashes (Zanthoxylum schinifolium Zucc.) during slow drying. Eur. Food Res. Technol. 234: 1023-1031. DOI: 10.1007/s00217-012-1718-7. Cheong KW, Tan CP, Mirhosseini H, Hamid NSA, Osman A, Basri M. 2010. Equilibrium headspace analysis of volatile flavour compounds extracted from soursop (Anoan muricata) using solid phase microextraction. Food Res. Int. 43:1267–1276. DOI: 10.1016/j.foodres.2010.03. 001. Chong CH, Law CL, Cloke M, Abdullah LC, Daud WRW. 2008. Drying kinetics, texture, color, and determination of effective diffusivities during sun drying of chempedak. Dry Technol. 26: 1286-1293. DOI: 10.1080/07373930802307308.
35 Counet C, Callemien D, Ouwerx C, Collin S. 2002. Use of gas chromatographyolfactometry to identify key odorant compounds in dark chocolate. Comparison of sample before and after conching. J. Agric. Food Chem. 50: 2385-2391. DOI: 10.1021/jf0114177. Dalimartha S. 2007. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia4. Jakarta: Puspa Swara. ISBN 979-1133-14-X. Dawidowicz AL, Rado E, Wianowska D, Mardarowicz M, Gawdzik J. 2008. Application of PLE for the determination of essential oil components from Thymus vulgaris L. Talanta76:878-884. DOI: 10.1016/j.talanta.2008.04.050. Debonneville C, Orsier B, Flament L, Chaintreau A. 2002. Improved hardware and software for quick gas chromatography−olfactometry using CHARM and GC-“SNIF” analysis. Anal. Chem. 74: 2345-2351. DOI: 10.1021/ac011064a. Delahunty CM, Eyres G, Dufour JP. 2006. Gas chromatography-olfactometry. Review. J.Sep.Sci. 29:2107-2125. DOI: 10.1002/jssc.200500509. Dharmawan J, Kasapis S, Sriramula P, Lear MJ, Curran P. 2009. Evaluation of aroma-active compounds in pontianakorange peel oil (citrus nobilis lour. var. microcarpahassk.) by gas chromatography-olfactometry,aroma reconstitution, and omission test. J. Agric. Food Chem. 57: 239-244. DOI: 10.1021/jf801070r. Dworkin SL. 2012. Sample Size Policy for Qualitative Studies Using In-Depth Interviews. Arch. Sex. Behav. 41:1319–1320. DOI: 10.1007/s10508-012-00166. Etievant P,Callement G,Langlois D,Issanchou S, Coquibus N. 1999. Odor Intensity Evaluation in Gas Chromatography−Olfactometry by Finger Span Method. J. Agric. Food Chem. 47: 1673–1680. DOI: 10.1021/jf980794p. Flament I. 2001. Coffee flavor chemistry. England: John Wiley & Sons, Ltd Fonteles TV, Costa MGM, Jesus ALT, Miranda MRA, Fernandes FAN, Rodrigues S. 2012. Power ultrasound processing of cantaloupe melon juice: effects on quality parameters. Food Res. Int.48: 41-48. DOI: 10.1016/j.foodres. 2012.02.013. Food reference. 2014. What is umami.http://foodreference.about.com/od/Food Terminology/a/What-Is-Umami.htm.[11Juli 2014]. Gamero A, Manzanares P, Querol A, Belloch C. 2011. Monoterpene alcohols release and bioconversion by Saccharomyces species and hybrids. Int. J. Food Microbiol. 145(1): 92-97. DOI: 10.1016/j.ijfoodmicro.2010.11.034. Giampieri F, Tulipani S, Alvares-Suarez JM, Quiles JL, Mezzetti B, Battino M. 2012. The strawberry: composition, nutritional quality, and impact on human health. Nutrition28: 9-19. DOI: 10.1016/j.nut.2011.08.009. Giri A, Osako K, Okamoto A, Ohshima T. 2010. Olfactometric characterization of aroma active compounds in fermented fish paste in comparison with fish sauce, fermented soy paste and soy products. Food Res. Int. 43: 1027-1040. DOI: 10.1016/j.foodres.2010.01.012. Goff SA, Klee HJ. 2006. Plant volatile compounds: Sensory cues for health and nutritional value. Science 311:815–819. DOI: 10.1126/science.1112614. Grosch W. 1994. Determination of potent odourants in foods by aroma extract dilution analysis (AEDA) and calculation of odour activity values (OAVs). Flavour Fragr. J.9: 147–158. DOI: 10.1002/ffj.2730090403.
36 Grosch W. 2001. Evaluation of the key odorants of food by dilution experiments, aroma models and omission. Chem. Sense 26: 533-545. DOI:10.1093/chemse /26.5.533 Guil GJL, Rebolloso FMM. 2009. Nutrient Composition and antioxidant activity of eight tomato (Lycopersicon esculentum) varieties. J. Food Comp. Anal. 22: 123-129. DOI: 10.1016/j.jfca.2008.10.012. Guth H. 1997. Identification of character impact odorants of different white wine varieties. J. Agric.Food Chem.45: 3027–3032. DOI: 10.1021/jf9608433. Hadi MAME, Zhang FJ, Wu FF, Zhou CH, Tao J. 2013. Advances in fruit aroma volaile research. Molecules 18:8200-8229. DOI: 10.3390/molecules18078200. Hanaoka K., Vallet N, Giampaoli P, Heyd B, MacLeod P. 2001. Possible influence of breathing on detection frequency and intensity rating in gas chromatography-olfactometry. Food Chem. 72: 97−103. DOI: 10.1016/S03088146(00)00193-X. Hayati R. 2002. Kajian penggaraman dan pengeringan belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dalam pembuatan asam sunti dari Aceh. [skripsi]. Bogor : IPB. Hellin P, Manso A, Flores P, Fenoll J. 2010. Evolution of aroma and phenolic compounds during ripening of „superior seedles‟ grapes. J.Agric. Food Chem. 58:6334-6340. DOI: 10.1021/jf100448k. Hutching JB. 1999. Food Color and appearance 2nd ed. Maryland. Aspen Publising Inc. Irhami. 2012. Kajian penanganan pasca panen belimbing wuluh (Averrhoa blimbi L.) sebagai bahan baku pembuatan bubuk asam sunti menggunakan pengeringan kabut (spray dyer). [tesis]. Bogor: IPB. Jetti RR, Yang E, Kurnianta A, Finn C, Qian MC. 2007. Quantification of selected aroma-active compounds in strawberries by headspace solid-phase microextraction gas chromatography and correlation with sensory descriptive analysis. J. Food Sci. 72:S487–S496. DOI: 10.1111/j.1750-3841.2007.00445.x. Kang MK, Baek HH. 2014. Aroma quality assessment of korean fermented red pepper paste (gochujang) by aroma extract dilution analysis and headspace solid-phase microextraction –gas chromatography-olfactometry. Food chem. 145:488-495. DOI: 10.1016/j.foodchem.2013.08.087. Kiefl J, Pollner G, Schieberle P. 2013. Sensomics analysis of key hazelnut Odorants (Corylus avellana L.„Tonda Gentile‟) Using Comprehensive TwoDimensional GasChromatography in Combination with Time-of-Flight Mass Spectrometry (GC×GC-TOF-MS). J. Agric. Food Chem. 61: 5226−5235. DOI: dx.doi.org/10.1021/jf400807w. Kim JK, Lee YS. 2008. A study of chemical characteristics of soy sauce and mixed soy sauce: chemical characteristics of soy sauce. Eur Food Res Technol. 227: 933-944. DOI: 10.1007/s00217-007-0808-4. Kirshinbaum LM, Tietel Z, Porat R, Ulrich D. 2012. Identification of aroma compound in „wonderful‟ pomegranat fruit using solvent-assisted flavor evaporation and headspace solid-phase micro-extraction methods. Eur Food Res Technol. 235:277-283. DOI: 10.1007/s00217-012-1757-0. Knorr D, Zenker M, Heinz V, Lee D. 2004. Applications and potential of ultrasonics in food processing.TrendsFood Sci. Technol. 15(5):261-266. DOI: 10.1016/j.tifs.2003.12.001.
37 Le Guen S,Prost C, Demaimay M. 2000. Critical Comparison of Three Olfactometric Methods for the Identification of the Most Potent Odorants in Cooked Mussels (Mytilus edulis). J. Agric. Food Chem.48: 1307–1314. DOI: 10.1021/jf990745s. Lee JH, Kang JH, Min DB. 2003. Optimization of solid-phase microextraction for the analysis of the head space volatile compounds in kimchi, a traditional Korean fermented vegetable product. J. Food Sci.68(3): 844-848. DOI: 10.1111/j.1365-2621.2003.tb08253.x. Lee S, Ahn B. 2009. Comparison of volatile components in fermented soybean pastes using simultaneous distillation and extraction (SDE) with sensory characterisation. Food Chem. 114: 600-609. DOI: 10.1016/j.foodchem.2008. 09.091 Maffei ME. 2010. Site of synthesis, biochemistry and functional role of plant volatiles. South Afr. J. Bot. 76:612–631. DOI: 10.1016/j.sajb.2010.03.003. Matich AJ, Young H, Allen JM, Wang MY, Fielder S, McNeilage MA, MacRae EA. 2003. Actinidia arguta: volatile compounds in fruit and flowers. Phytochemistry 63: 285-301. DOI: 10.1016/S0031-9422(03)00142-0. McClements D J. 1995. Advances in the application of ultrasound in food analysis and processing. Trends Food Sci. Technol. 6(9): 293-299. DOI:10.1016/S09242244(00)89139-6. Meilgaard M, Civille GV, Carr T. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. Washington. CRC Press. CLL. Muzaifa M. 2013. Perubahan karakteristik fisik belimbing wuluh selama fermentasi asam sunti. JTIPI. 5(2):7-11. Nunes C, Coimbra M A, Saraiva J, Rocha S M. 2008. Study of the volatile components of a candied plum and estimation of their contribution to the aroma. Food Chem. 111: 897-905. DOI: 10.1016/j.foodchem.2008.05.003. Ormeno E, Baldy V, Ballini C, Fernandez C. 2008. Production and Diversity of Volatile Terpenes from Plants on Calcareous and Siliceous Soils: Effect of Soil Nutrients.J. Chem. Ecol. 34: 1219-1229.DOI: 10.1007/s10886-008-9515-2. Ormeno E, Goldstein A, Niinemets U. 2011. Extracting and trapping biogenic volatile organic compounds stored in plant species. Trends Anal. Chem. 30(7): 978-989. DOI:10.1016/j.trac.2011.04.006. Ortega HM, Gonzalez SML, Beltran S. 2002. Aroma composition of wine studied by different extraction methods. Anal. Chim. Acta. 458: 85-93. DOI: 10.1016/S0003-2670(01)01526-4. Pang X, Guo X, Qin Z, Yao Y, Hu X, Wu J. 2012. Identification of aroma-active compounds in jiashi muskmelon juice by GC-O-MS and OAV calculation. J.Agric. Food Chem. 60: 4179-4185. DOI: 10.1021/jf300149m. Pavia DL, Lampman GM, Kriz GS. 2001. Introduction to spectroscopy 3rd edition. Thomson learning. Washington: United States. Pino JA, Marbot R, Bello A. 2004. Volatile components of Averrhoa bilimbi L. fruit grown in Cuba. J. Essent . Oil Res. 16(3): 241-242. DOI: 10.1080/ 10412905.2004.9698710. Pino JA, Mesa J. 2006. Contribution of volatile compounds to mango (Mangifera indica L.) aroma. Flav. Frag. J. 21:207–213. DOI: 10.1002/ffj.1703.
38 Rawson A, Tiwari BK, Patras A, Brunton N, Brennan C, Cullen PJ, O‟Donnell C. (2011). Effect of thermosonication on bioactive compounds in watermelon juice. Food Res. Int. 44: 1168-1173. DOI: 10.1016/j.foodres.2010.07.005. Rezazadeh SH, Baha-Aldini BZBF, Vatanara A, Behbahani B, Rouholamini NajafabadiA, Maleky-Doozzadeh M, Yarigar-Ravesh M, Pirali Hamedani M. 2008. Comparison of super critical fluid extraction and hydrodistillation methods on Lavander's essential oil composition and yield.J. Meds. Plants. 7(4):63-68. Risna. 2013. Physicochemical properties and sensory characteristics of asam sunti processed with different salting and drying methods. [skripsi]. Jakarta:UPH. Rothe M, Thomas B. 1963. Aromastoffe des brotes. Z. Lebensm. Unters. Forsch. 119: 302-310. Schirack AV, Drake MA, Sanders TH, Sandeep KP. 2006. Characterization of aroma-active compounds in microwave blanched peanuts. J. Food Sci. 71(9): 513-520. DOI: 10.1111/j.1750-3841.2006.00173.x. Schwab W, Davidovich RR, Lewinsohn E. 2008. Biosynthesis of plant-derived flavor compounds. Plant J. 54:712–732. DOI: 10.1111/j.1365-313X.2008. 03446.x. Shibamoto T, Tang CS. 1990. “Minor” tropical fruit mango, papaya, passion fruit, and guava. In Food Flavours: Part C: The Flavour of Fruit; Morton, I.D. MacLeod AJ. Eds. Elsevier: Amsterdam, The Netherlands. pp. 221–234. Somenath M(Ed.). 2003. Sample Preparation Techniques in Analitycal Chemistry. John Wiley & Sons Inc. New Jersey. Starast M, Karp K, Vool E, Moor U, Tonutare T, Paal T. 2007. Chemical composition and quality of cultivated and natural blueberry fruit in estonia. Vegetable Crops Res. bulletin 66:143-153. DOI: 10.2478 /v10032-007-0016-6. Stashenko EE, Jaramillo BE, Martínez JR. 2004. Comparison of different extraction methods for the analysis of volatile secondary metabolites of Lippia alba (Mill.) N.E. Brown, grown in Colombia, and evaluation of its in vitro antioxidant activity. J. Chrom. A 1025: 93-103. DOI: 10.1016/j.chroma. 2003.10.058. Steinhaus P, Schieberle P. 2007. Characterization of the key aroma compounds in soy sauce using approaches of molecular sensory science. J. Agric. Food Chem. 55: 6262-6269. DOI: 10.1021/jf0709092. Stone H, Sidel JL. 2004. Sensory evaluation practices, 3rd ed. Elsevier: San Diego pp 201-245. Styger G, Prior B, Bauer FF. 2011. Wine flavor and aroma. J. Ind. Microbiol. Biot. 38: 1145-1159. DOI: 10.1007/s10295-011-1018-4. Subhadrabandhu S. 2001. Under-utilized tropicall fruits of Thailand. [terhubung berkala]. ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/004/ab777e/ab777e00.pdf [ 9 Maret 2014]. Teixeira S, Mendes A, Alves A, Santos L. 2007.Simultaneous distillationextraction of high-value volatile compounds from Cistus ladanifer L. Anal. Chim. Acta 584: 439-446. DOI: 10.1016/j.aca.2006.11.054. Tokitomo Y, Steinhaus M, Buttner A, Schieberle P. 2005. Odor-active constituents in fresh pineapple (Ananas comosus [L.] Merr.) by quantitative and sensory evaluation. Biosci. Biotechnol. Biochem. 69(7): 1323-1330. DOI: 10.1271/bbb.69.1323.
39 Umami Information Center. (2012). Umami Rich Foods. Retrieved from http://www.umamiinfo.com/ [11 Juli 2014]. Van Loon WAM, Linssen, JPH, Legger A, Posthumus MA, Voragen AGJ. 2005. Identification and olfactometry of french fries flavor extracted at mouth conditions. Food Chem. 90(3): 417-425. DOI: 10.1016/j.foodchem.2004.05.005. Van Ruth SM, O‟Connor CH. 2001. Evaluation of three gas chromatographyolfactometry methods: comparison of odour intensity-concentration relationships of eight volatile compounds with sensory headspace data. Food chem. 74: 341-347. DOI: 10.1016/S0308-8146(01)00142-X. Vilkhu K, Mawson R, Simons L, Bates D. 2008. Application and oppurtunities for ultrasound assisted extraction in the food industry-A review. Innov. Food Sci. Emerg. Technol. 9:161-169. DOI: 10.1016/j.ifset.2007.04.014. Visessanguan W, Benjakul S, Potachareon W, Panya A, Riebroy S. 2005. Accelerated proteolysis of soy proteins during fermentation of thua-nao inoculated with Bacillus subtilis. J Food Biochem. 29: 349-366. DOI:10.1111/j.1745-4514.2005.00012.x. Wang L, WellerCL. 2006. Recent advances in extraction of nutraceuticals from plants.Trends Food Sci. Technol. 17(6): 300-312. DOI: 10.1016/j.tifs.2005.12. 004. Wang P, Li Z, Qi T, Li X, Pan S. 2015. Development of a method for identification and accurate quantitation of aroma compounds in Chinese Daohuaxiang liquor based on SPME using a sol-gel fibre. Food Chem.169: 230-240. DOI: 10.1016/j.foodchem.2014.07.150. Wendakoon SK, Ueda Y, Imahori Y, Ishimaru M. 2006. Effect of short-term anaerobic conditions on the production of volatiles, activity of alcohol acetyltransferase and other quality traits of ripened bananas. J. Sci. Food Agric. 86:1475–1480. DOI: 10.1002/jsfa.2518. Wijaya CH, Hadiprodjo IT, Apriyantono A. 2002. Identification of volatile compound and key aroma compound of andaliman fruit (Zanthoxylum acanthopodium DC.). Food Sci. Biotechnol. 11(6): 680-683. Wijaya CH. Ulrich D. Lestari R. Schippel K. Ebert G. 2005. Identification of Potent Odorants in Different Cultivars of Snake Fruit [Salacca zalacca (Gaert.) Voss] Using Gas Chromatography-Olfactometry. J. Agric. Food Chem.53 (5): 1637–1641. DOI: 10.1021/jf048950h. Wong KC, Wong SN. 1995. Volatile constituents of Averrhoa bilimbi L. fruit. J. Essent . Oil Res. 7(6): 691-693. DOI: 10.1080/10412905.1995.9700533. Yan L, Zhang Y, Tao W, Wang L, Wu S. 2008. Rapid determination of volatile flavor components in soy sauce using head space solid-phase microextraction and gas chromatography-mass spectrometry. Chin. J. Chrom. 26: 285-291. DOI: 10.1016/S1872-2059(08)60017-6. Zhao D, Tang J, Ding X,. 2007. Analysis of volatile components during potherb mustard (Brassica juncea, Coss) pickle fermentation using SPME-GC-MS. Lwt - Food Sci. Technol.40: 439-447. DOI: 10.1016/j.lwt.2005.12.002.
40 Lampiran 1 Kuisioner uji in-depth interview. 1. 2. 3. 4. 5.
Identitas responden: Nama: Jenis kelamin: TTL: Pekerjaan: Alamat:
Pertanyaan interview: 1. Apa yang Anda ketahui mengenai asam sunti? 2. Bagaimana rasa dan aroma asam sunti? 3. Bagaimana ciri-ciri asam sunti yang Anda kenal? 4. Darimana Anda biasanya mendapatkan asam sunti?
5. Bagaimana Anda memilih asam sunti yang baik? 6. Untuk apa saja biasanya asam sunti digunakan?
7. Berapa banyak asam sunti yang digunakan untuk pertanyaan no.6? (mungkin setiap masakan menggunakan asam sunti yang jumlahnya berbeda) 8. Berapa lama daya tahan asam sunti dan disimpan dalam kondisi bagaimana?
9. Bagaimana ciri-ciri asam sunti yang kualitasnya jelek?
41
Lampiran 2 ANOVA seleksi panelis: uji ranking.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
42
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
43
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
44
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
45
Lampiran 3 Profil sensori belimbing wuluh dan asam sunti. Group Statistics Sampel Salty
Sour
Sweet
Bitter
Umami
Spicy
Green
Woody
Waxy
Floral
Rancid
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
asam sunti
9
11.2222
3.93789
1.31263
bilimbi
9
2.1333
3.16465
1.05488
asam sunti
9
13.2667
2.27101
.75700
bilimbi
9
13.7889
1.92123
.64041
asam sunti
9
.6667
.37749
.12583
bilimbi
9
1.2556
1.37123
.45708
asam sunti
9
1.1778
1.28625
.42875
bilimbi
9
1.2667
1.40089
.46696
asam sunti
9
5.9000
4.37836
1.45945
bilimbi
9
2.1222
2.45397
.81799
asam sunti
9
.9111
1.13186
.37729
bilimbi
9
.1778
.40552
.13517
asam sunti
9
.9111
1.61435
.53812
bilimbi
9
10.1889
2.64502
.88167
asam sunti
9
2.0222
2.07953
.69318
bilimbi
9
4.4889
4.04798
1.34933
asam sunti
9
5.6778
2.27804
.75935
bilimbi
9
5.4444
3.84159
1.28053
asam sunti
9
3.8000
4.04537
1.34846
bilimbi
9
3.6000
2.86138
.95379
asam sunti
9
8.2444
1.90139
.63380
bilimbi
9
.0000
.00000
.00000
46
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Difference
Std. Error F Salty
Equal variances assumed
Sig. 1.251
t .280
Equal variances not assumed Sour
Equal variances assumed
.001
.980
Equal variances not assumed Sweet
Equal variances assumed
16.969
.001
Equal variances not assumed Bitter
Equal variances assumed
.410
.531
Equal variances not assumed Umami
Equal variances assumed Equal variances not assumed
4.872
.042
df
Sig. (2-tailed) Mean Difference
Difference
Lower
Upper
5.397
16
.000
9.08889
1.68397
5.51902
12.65876
5.397
15.292
.000
9.08889
1.68397
5.50554
12.67224
-.527
16
.606
-.52222
.99155
-2.62422
1.57978
-.527
15.572
.606
-.52222
.99155
-2.62892
1.58448
-1.242
16
.232
-.58889
.47408
-1.59390
.41612
-1.242
9.206
.245
-.58889
.47408
-1.65769
.47992
-.140
16
.890
-.08889
.63394
-1.43279
1.25501
-.140
15.885
.890
-.08889
.63394
-1.43358
1.25580
2.258
16
.038
3.77778
1.67305
.23106
7.32449
2.258
12.575
.042
3.77778
1.67305
.15090
7.40465
Spicy
Equal variances assumed
4.257
.056
Equal variances not assumed Green
Equal variances assumed
2.538
.131
Equal variances not assumed Woody
Equal variances assumed
4.899
.042
Equal variances not assumed Waxy
Equal variances assumed
4.673
.046
Equal variances not assumed Floral
Equal variances assumed
.457
.509
Equal variances not assumed Rancid
Equal variances assumed Equal variances not assumed
12.737
.003
1.830
16
.086
.73333
.40077
-.11626
1.58293
1.830
10.020
.097
.73333
.40077
-.15939
1.62606
-8.982
16
.000
-9.27778
1.03292
-11.46746
-7.08810
-8.982
13.234
.000
-9.27778
1.03292
-11.50525
-7.05030
-1.626
16
.123
-2.46667
1.51696
-5.68248
.74915
-1.626
11.948
.130
-2.46667
1.51696
-5.77345
.84012
.157
16
.877
.23333
1.48874
-2.92266
3.38933
.157
13.007
.878
.23333
1.48874
-2.98272
3.44939
.121
16
.905
.20000
1.65168
-3.30141
3.70141
.121
14.402
.905
.20000
1.65168
-3.33324
3.73324
13.008
16
.000
8.24444
.63380
6.90086
9.58803
13.008
8.000
.000
8.24444
.63380
6.78291
9.70598
47