ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG AKIBAT LI’AN TERHADAP PERKAWINAN DALAM KITAB BADĀI’ ALSHANĀI’ KARYA „ALAUDDĪN ABĪ BAKRI BIN MAS‟ŪD AL-KĀSĀNĪ SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Dalam Ilmu Syari`ah Jurusan Ahwal al-Syakhshiyah
Oleh : AFTON MUZZAQI 102111002
FAKULTAS SYARI‟AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2015 i
ii
iii
MOTTO
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
iv
PERSEMBAHAN Karya ilmiah ini adalah hasil jerih payah selama menempuh jenjang pendidikan di UIN Walisongo Semarang, dan karya ini kupersembahkan untuk : 1.
Kedua orang tuaku Bapak Slamet dan Ibu Alqomah yang senantiasa mencurahkan kasih sayang beserta do‟anya yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan saya selama ini.
2.
Adikku Alaika Fuadi dan keluarga besarku yang selalu memotivasi dan mendo‟akan saya, semoga semua selalu berada dalam pelukan kasih sayang Allah SWT.
3.
Untuk kakakku Riska B.S dan Nasyi‟in yang selalu mensuport dan mendukung dalam penyelesaian tugas akhir ini sehingga dapat selesai dengan lancar.
4.
Untuk Almamaterku Universitas Walisongo Semarang.
Penulis,
Afton Muzzaqi NIM. 102111002 v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-pemikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 28 November 2015 DEKLARATOR
Afton Muzzaqi NIM. 102111002
vi
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa suami istri boleh berkumpul kembali setelah terjadinya proses li’an. Sedangkan para ulama` lain, termasuk para imam madzhab lain berpendapat bahwa suami istri tidak dapat berkumpul kembali untuk selama-lamanya. Pendapat Imam Abu Hanifah tersebut dapat ditemukan dalam salah satu kitab dari pengikut madzhab hanafiyah, yakni Badāi’ al-Shanāi’ karya „Alauddīn Abī Bakri bin Mas‟ūd al-Kāsānī. Kajian ini meliputi tentang pendapat beliau dan istinbath hukumnya. Pengkajian terhadap istinbath hukum dilakukan karena dalam artikel-artikel yang membahas pemikiran Imam Abu Hanifah tidak diketemukan bagaimana istinbath hukum yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah. Oleh sebab itulah, dalam penelitian ini akan dicoba untuk melakukan pembacaan terhadap metode istinbath beliau dalam merumuskan pendapatnya tentang li’an. Untuk merealisasikan pengkajian tersebut, maka dalam penelitian ini diajukan dua rumusan masalah, yakni bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah tentang akibat li’an terhadap perkawinan? bagaimana metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah tentang akibat li’an terhadap perkawinan. Metodologi penelitian yang digunakan sebagai penunjang adalah metodologi penelitian kepustakaan yang bersifat kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab Badāi’ alShanāi’, sedangkan sumber data sekunder adalah teori-teori yang berhubungan dengan konsep li’an dalam hukum Islam. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik dokumentasi. Sedangkan analisa data menggunakan teknik analisa deskriptif kualitatif.
vii
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah boleh berkumpul lagi menjadi suami istri dengan nikah baru manakala terjadinya li’an itu karena kesalahan. Karena beliau mengatakan dalam persoalan li’an tentang akibat li’an yang menurut beliau adalah apabila perceraian yang diakibatkan li’an itu terjadi maka perceraian tersebut dengan talak ba’in, yang disamakan dengan perceraian akibat impoten. Berbeda dengan pendapat imam madzhab lain yang mayoritas ulama madzhab menyatakan apabila perceraian terjadi yang diakibatkan terjadinya li’an, maka si suami istri tidak dapat berkumpul kembali untuk selama-lamanya.
viii
KATA PENGANTAR
ُّصالَةُ وَالسَلَام َ اَلْحَمْدُ لِلهِ َربِّ اْلعَالَمِ ْينَ وَبِهِ نَسْتَعِ ْينُ عَلَى أُمُ ْورِ الدُنْيَا وَالدِّ ْينِ وَال )شرَفِ اْألَنْبِيآءِ َواْل ُمرْسَلِ ْينَ َوعَلَى آلِهِ َوصَحْبِهِ أَجْمَعِ ْينَ (امّابعد ْ َعَلَى أ Alhamdulillah, Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugrahkan rahmat dan pertolongan-Nya terutama terhadap yang berjuang keras dalam kesungguhannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya yang mulia. Penulis bersyukur dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Akibat Li‟an Terhadap Perkawinan Dalam Kitab Badāi’ Al-Shanāi’ Karya „Alauddīn Abī Bakri Bin Mas‟ūd Al-Kāsānī ”, skripsi ini disusun guna memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Penyusun menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaiaan penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung ix
maupun tidak langsung. Untuk itu, ucapan terima kasih sedalamdalamnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan, bimbingan dengan moral dan bantuan apapun yang sangat besar bagi penulis. Ucapan terima kasih teruama penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. 2. Dr. H. Akhmad Arif Junaidi, M.Ag., selaku Pgs. Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, dan Wakil Dekan serta para Dosen Pengampu di lingkungan Fakultas Syari‟ah. 3. Ibu Anthin Lathifah, M. Ag., selaku Kepala Jurusan Ahwal alSyakhsiyah dan Bapak Muhammad Shoim, S.Ag., MH., selaku Sekjur Ahwal al-Syakhsiyah. 4. Bapak Drs. H. Slamet Hambali, M.S.I, selaku pembimbing I dan Ibu Nur Hidayati Setyani, SH., MH., selaku pembimbing II, yang telah sabar meluangkan waktu, memberikan bimbingan dan pengarahan dari proses proposal hingga menjadi skripsi ini. 5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu karyawan perpustakaan universitas dan fakultas yang telah memberikan pelayanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi.
x
7. Semua kawan-kawan penulis baik di JQH eL Fasya, HMJ HPI, PMII Rayon Syari‟ah, teman-teman AS A angkatan 2010 yang telah memberikan waktu untuk berbagi rasa suka dan duka selama ini. 8. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu, baik moral maupun materil. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dalam arti sesungguhnya. Untuk itu tegur sapa serta masukan yang konstruktif sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pada pembaca pada umumnya.
Semarang, 28 November 2015 Penulis
Afton Muzzaqi NIM. 102111002
xi
DAFTAR ISI Halaman Cover ............................................................................... i Halaman Persetujuan Pembimbing ..............................................ii Halaman Pengesahan ................................................................... iii Halaman Motto ............................................................................. iv Halaman Persembahan .................................................................. v Halaman Deklarasi ........................................................................ vi Halaman Abstrak ..........................................................................vii Halaman Kata Pengantar .............................................................. ix Daftar Isi .......................................................................................xii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................. 13 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................... 14 D. Tinjauan Pustaka .............................................. 15 E. Metodologi Penelitian ...................................... 19 F. Sistematika Penulisan ........................................ 25
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG LI’AN A. Pengertian Li’an ................................................ 27 B. Dasar Hukum Li’an ........................................... 31 C. Macam-macam Tuduhan dan Syarat Li’an ....... 37 D. Syarat-Syarat Wajib Li’an ................................. 49 xii
E. Akibat Li’an Terhadap Perkawinan Menurut Hukum Islam .................................................. 51 F. Teori istinbath hukum..................................... 59 BAB III
PENDAPAT
IMAM
ABU
TENTANG
LI’AN
BADĀI’
AL-SHANĀI’
HANIFAH
DALAM
KITAB KARYA
„ALAUDDĪN ABĪ BAKRI BIN MAS‟ŪD AL-KĀSĀNĪ
A. Biografi Imam Abu Hanifah .......................... 67 B. Biografi Alauddin Abi Bakri bin Mas‟ud AlKasani ............................................................ 80
C. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Akibat Li’an Terhadap Perkawinan ........................... 85
D. Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah Tentang Akibat Lian Terhadap Perkawinan ... 90 BAB IV
ANALISIS
PENDAPAT
IMAM
ABU
HANIFAH TENTANG LI’AN DALAM KITAB BADĀI’ AL-SHANĀI’ KARYA „ALAUDDĪN ABĪ BAKRI BIN MAS‟ŪD AL-KĀSĀNĪ
A. Analisis Pendapat Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Akibat Li’an Terhadap Perkawinan . 102
xiii
B. Analisis Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah tentang Akibat Li’an Terhadap Perkawinan 116 BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................. 133 B. Saran-saran .................................................. 135 C. Penutup ........................................................ 136
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS
xiv
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkawinan merupakan suatu ikatan yang sangat sakral dalam agama kita, karena dengan adanya pernikahan ini hasrat seseorang akan tersalurkan dalam bingkai ibadah, serta akan mendapatkan keturunan yang dilegitimasi oleh agama. Namun jangan dikira bahwa hidup dalam sebuah ikatan perkawinan penuh dengan hiasan canda dan tawa bagaikan hidup dalam surga, melainkan di dalamnya tidak jarang terjadi problema dikarenakan keinginan yang berbeda. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang mengakhiri ikatan sucinya dengan sebuah perceraian. Ketika membahas masalah perceraian, masalah yang telah umum
terjadi,
dan tergantung dari motif
yang melatar
belakanginya. Jadi terdapat istilah thalaq, khulu‟, li‟an dan fasakh. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk memahami persoalan ini, agar kita mengetahui kriteria-kriteria yang satu
1
2 dengan yang lainnya, sehingga apabila hal tersebut terjadi pada diri kita atau bahkan pada diri orang lain kita mampu menyelesaikannya sesuai dengan tuntunan agama. Salah satu hal yang menyebabkan perceraian adalah li‟an. Li‟an berasal dari kata “la‟ana” لعنyang artinya laknat1, sebab suami istri pada ucapan kelima saling bermula‟anah dengan kalimat: “sesungguhnya padanya akan jatuh laknat Allah, jika ia tergolong orang yang telah berbuat dosa.” Sedangkan menurut istilah syara’, li‟an berarti sumpah seorang suami di muka hakim bahwa ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina. Jadi, suami menuduh istrinya berbuat zina, dengan tidak mengemukakan saksi, kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut. Tuduhan itu dapat ditangkis oleh istri dengan jalan bersumpah pula bahwa apa yang dituduhkan oleh suami atas dirinya adalah dusta belaka. 2
1
Munawwir, Adib Bisri, Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999)., hlm. 661 2 Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminuddin, fiqih munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 97.
3 Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Nabi SAW, ketika terjadi suami menuduh istrinya berbuat zina, tetapi ia tidak mengakuinya dan suami tidak mau mencabut tuduhannya itu, maka
Allah
SWT
mengadakan li‟an:
membolehkan
kepada
mereka
untuk
4
3
Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a., bahwa hilal bin umayah menuduh istrinya berbuat zina dihadapan Rasulullah SAW. Dengan Syuriak bin Sahma. Lalu Nabi SAW bersabda, “ tunjukkanlah buktinya atau punggungmu didera. Lalu sahutnya, “Wahai Rasulullah! Jika salah seorang diantara kami melihat istrinya jalan disamping laki-laki lain, apakah diminta pula bukti? Lalu Rasulullah SAW bersabda, “tunjukkanlah bukti, kalau tidak punggungmu didera! Lalu sahutnya, “Demi Tuhan! Yang mengutus tuhan yang sebenarnya. Sungguh saya ini berkata benar. Semoga Allah akan menurunkan ayat-Nya yang menolong saya dari hukuman had”. Lalu Jibril turun, dan turunlah Qur”an Surat An-Nur ayat: 6-9. Kemudian Nabi SAW pergi ke istri Hilal. Lalu Hilal datang dan mengucapkan sumpah (kesaksian), sedangkan Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Tahu.” 4 kalau salah satu diantara kamu ini ada yang berdusta. Apakah ada dari salah satu dari kamu ini ada yang bertaubat? Lalu (istri Hilal) bersumpah ketika sampai kelima kalinya kaumnya menghentikannya sambil mereka berkata bahwa sumpah ini pasti terkabulkan. Kata Ibnu Abbas, “Lalu (istri Hilal) tampak ketakutan dan mengigil, sehingga kami mengira dia mau merubah sumpahnya. Tapi kemudian ia berkata, “Saya tidak mau mencoreng arang di wajah kaumku sepanjang masa, lalu diteruskan sumpahnya. Lalu Nabi SAW bersabda 3
Achmad Sunarto, Shahih Bukhari, Terj, Jilid. VII, (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993). 4 Yang dimaksudkan kalimat “Sesungguhnya Allah Maha Tahu” adalah jika suami yang menuduh tidak dapat mengajukan saksi, maka dihukum dera. Tetapi kalau mau mula‟anah tidak.
5 (kepada kaumnya), “Perhatikanlah dia. Jika nantinya anaknya hitam seperti celah kelopak matanya kalunnya besar … padat berisi pahanya berarti keturunannya Syuriak bin Sahma. Lalu ternyata lahirnya anak seperti tersebut. Lalu Nabi SAW bersabda, “Jika bukan karena telah ada ketentuan lebih dulu dalam Al-Qur’an, tentulah aku akan selesaikan urusannya dengannya.” 5 Dalam Al-Qur’an juga terdapat dasar hukum untuk melakukan li‟an, yang tercantum dalam firman Allah SWT dalam Surat An-Nur ayat 6 – 9 :
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, 5
Jika tidak karena telah ada hukum li‟an dalam Al-Qur’an, tentu ia akan saya jatuhi hukuman had zina.
6 sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa kalimat laknat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman Allah oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk oarang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima : bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orangorang yang benar.” Maka li‟an dapat disamakan juga tuduh menuduh ketika melihat keterangan di atas. Suami menuduh istri, dan istri menuduh suami telah berdusta. Apabila suami tidak dapat mendatangkan saksi sebanyak empat orang laki-laki, maka ia harus bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa dirinya benar. Dan pada kelima kalinya ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat oleh Allah SWT, jika tuduhannya itu dusta, lalu istri menyanggah tuduhan tersebut dengan bersumpah empat kali. Dan pada kelima kalinya, ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah ternyata ucapan suaminya itu benar. 7
6
Departemen Agama R.I. Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Raja Publishing, 2011), hlm. 280 7 Ibid. hlm. 103
7 Seperti yang telah disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang Putusnya Perkawinan pasal 126, yakni: Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.8 Ketika suami menuduh istrinya berzina, dan ia tidak memiliki empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu, tetapi suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinahinya, atau istri mengakui perbuatan zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya itu. Dalam keadaan seperti ini lebih baik ditalak, bukan malah mengadakan mula‟anah. Tetapi kalau mula‟anah itu terjadi ketika itu juga, maka saat itulah terjadi “pisah”. Dan “pisah” dalam konteks li‟an terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai itu. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa pisah akibat li‟an dianggap fasakh, tetapi Abu Hanifah menganggapnya sebagai talak ba‟in, hal ini karena timbul li‟an dari pihak suami dan tak ada campur tangan dari pihak istri. Setiap perpisahan yang timbul 8
271
Kompilasi Hukum Islam, ( Bandung: Citra Umbara, 2010)., hlm.
8 dari pihak suami adalah talak, bukan fasakh. Perpisahan yang terjadi disini seperti perpisahan sengketa jual beli jika hal tersebut didasarkan dalam putusan pengadilan. Adapun ulama yang mengikuti pendapat pertama, yaitu yang dianggap sebagai fasakh, mengemukakan dalil bahwa keharaman selama-lamanya karena disamakan sebagai orang yang berhubungan mahram. Mereka barpendapat fasakh karena li‟an menyebabkan bekas istri tidak berhak mendapatkan nafkah selama masa iddahnya, juga tidak mendapatkan tempat tinggal. Hal ini karena nafkah dan tempat tinggal hanya berhak diperoleh dalam iddah talak, bukan iddah fasakh. Hal ini dikuatkan oleh riwayat Ibnu Abbas tentang peristiwa mula‟anah :
Artinya : “Nabi SAW, telah memutuskan tidak ada makanan (nafkah) dan tempat tinggal bagi perempuan yang berpisah bukan karena talak atau suaminya meninggal
9 dunia, tetapi karena dili’an.” (HR Ahmad dan Abu Dawud) Sebagian ulama lain berpendapat bahwa perpisahan itu terjadi karena li‟an, berdasarkan hadits-hadits li‟an yang menyatakan
bahwa
Rasulullah
SAW
memisahkan
antara
keduanya. Ibnu Syihab mengatakan melalui riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Malik darinya. “demikianlah sunah yang tetap berlaku di antara dua orang yang berli‟an.” Sedangkan imam Malik , Al- Laits, dan segolongan fuqoha berpendapat bahwa perpisahan itu terjadi apabila keduanya telah selesai mengadukan li‟an. Imam Syafi’i berpendapat, jika suami yang menyelesaikan li‟annya, maka perpisahan pun telah terjadi. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat perpisahan tidak terjadi kecuali berdasarkan keputusan dari hakim. Pendapat ini juga dikemukakan oleh As-Sauri dan Ahmad. Alasan yang dikemukakan Imam malik terhadap Imam Syafi’i adalah hadits Ibnu Umar r.a :
9
hlm. 220
Sayyid Sabiq, fiqih sunnah, Jilid. 3, ( Jakarta: Darul Fath, 2004).,
10
10
Artinya : “ ibnu umar berkata bahwa, Rasulallah SAW memisahkan di antara dua orang yang berli’an, kemudian bersabda, “Perhitungan kalian terserah kepada Allah, salah seorang diantara kamu berdua telah berdusta, maka tidak ada jalan bagimu kepadanya.” Juga riwayat lain yang menyatakan bahwa, Rasulallah SAW tidak memisahkan di antara keduanya, kecuali sesudah sempurnanya li‟an. Imam Syafi’i mengemukakan alasan bahwa li‟an istri ditunjukkan untuk menghindarkan hukuman had atas dirinya semata, sedangkan li‟an suami berpengaruh bagi pengingkaran nasab. Karena itu li‟an mempunyai pengaruh pada perpisahan yang hendaknya yang berpengaruh itu li‟an dari suami, karena dipersamakan dengan talak. Alasan Imam Malik dan Syafi’i terhadap pendapat Abu Hanifah ialah bahwa Nabi SAW memberitahukan kepada 10
Achmad Sunarto, Shahih Bukhari, Terj, Jilid. VII, (Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993)., hlm. 218
11 keduanya (suami istri yang berli’an) atas terjadinya perpisahan begitu terjadinya li‟an dari keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa li‟an itu merupakan penyebab terjadinya perpisahan.
11
Dan
kalangan mayoritas ulama bahwa perceraian di antar suami istri terjadi semata-mata karena terjadinya li‟an, dan pihak pria haram menikah dengan pihak wanita yang dili‟annya untuk selamalamanya. Namun demikian, Asy-Syafi’i dan sebagian ulama madzhab Maliki bahwa perceraian terjadi semata-mata karena li‟an yang dilakukan suami dan tidak tergantung kepada li‟an dari pihak istri. Sebagian ulama Malikiyah lainnya mengatakan bahwa perceraian itu juga bergantung pada li‟an dari pihak istri. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “perceraian tidak terjadi kecuali dengan adanya putusan dari qadhi setelah sepasang suami istri tersebut melakukan li‟an. Hal ini berdasarkan ucapan Ibnu Umar :
( ثمّ فرّق بينهماkemudian Rasulullah memisahkan antara
keduanya).
11
Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminuddin, fiqih munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)., hlm. 115
12 Mayoritas ulama mengatakan bahwa perpisahan atau perceraian tersebut tidak memerlukan putusan qadhi, berdasarkan sabda Rasulullah SAW (kepada Uwaimir):
( ال سبيل لك عليهاtidak
ada jalan bagimu terhadapnya). Sedangkan dalam riwayat lain, dinyatakan :
ففارقها
( kemudian Uwaimir menceraikannya ).
Sementara itu, Al- Laits mengatakan bahwa li‟an tidak menimbulkan pengaruh apapun terhadap terjadinya perceraian, dan li‟an sama sekali tidak bisa menyebabkan terjadinya perceraian.12 Sekelompok ulama juga berpendapat bahwa apabila sepasang suami istri melakukan li‟an, maka si istri diharamkan atas suaminya untuk selama-lamanya. Ulama yang memegang pendapat ini berbeda pendapat, jika ternyata sang suami kemudian menyatakan bahwa dirinya berbohong dalam sumpah li‟annya. Abu Hanifah mengatakan bahwa si istri menjadi halal bagi suaminya, karena hilangnya unsur yang membuat istri haram
12
Imam an-Nawawi, syarah shahih muslim, Jilid. 10, ( Jakarta: Pustaka Azzam, 2011)., hlm. 376.
13 baginya. Sedangkan Imam Malik dan Syafi’i serta yang lainnya mengatakan bahwa si istri tetap haram bagi si suami. 13 Setelah mengetahui sedikit banyak tentang gambaran umum persoalan li‟an, menurut penulis, akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji mengenai metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah mengenai akibat li‟an sehingga akan dapat diketahui bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah tentang li‟an. Hasil
penelitian
yang
mengacu
pada
kaidah
penelitian
kepustakaan (library research) ini nantinya akan disusun dalam laporan yang berbentuk skripsi dengan judul “Analisis Pendapat Imam
Abu
Hanifah
Tentang
Akibat
Li’an
Terhadap
Perkawinan Dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ Karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī”.
B. RUMUSAN MASALAH Berangkat dari pemaparan latar belakang tersebut, maka dalam penelitian akan diajukan dua rumusan masalah yang akan dibahas, sebagai berikut : 13
Ibid.
14 1. Bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an terhadap perkawinan Dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ Karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī ? 2. Bagaimana metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an terhadap perkawinan Dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ Karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan penelitian. Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ini berupa upaya mencari jawaban atas permasalahan yang dijadikan obyek penelitian. Dengan demikian, tujuan dari penelitian ini adalah untuk: a. Mengetahui pendapat Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an terhadap perkawinan Dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ Karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī. b. Mengetahui metode istinbath hukum Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an terhadap perkawinan Dalam Kitab
15 Badāi’ al-Shanāi’ Karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd alKāsānī. 2. Manfaat penelitian. a. Manfaat praktis. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai bagian dari implementasi keilmuan dari proses belajar penulis selama ini. Dan dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengertian selain yang telah didapatkan di bangku perkuliahan, dan juga memberi bekal pengalaman untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan selama di bangku kuliah ke dalam karya nyata. b. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah sebagai media untuk mengembangkan khazanah teori yang berhubungan dengan Li’an.
D. TINJAUAN PUSTAKA Dalam penyusunan skripsi ini penulis melakukan telaah pustaka untuk mencari beberapa literatur yang berhubungan
16 dengan penelitian yang akan dilakukan, agar menghindarkan asumsi plagiatisasi sekaligus sebagai bahan sekunder dalam penelitian ini. Tinjauan pustaka adalah suatu tahap yang harus dilakukan, karena tahap ini bagian penting untuk menentukan ”state of the art” (sebuah langkah mutakhir dari penelitian yang akan dilakukan ini), di mana penelitian yang akan dilakukan dapat dibedakan dengan penelitian lain di mana pun. 14 Maka penulis akan memaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu, yang diantaranya sebagai berikut : Pertama, skripsi yang disusun oleh Anisatul ’Inayah (032111008) Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dengan judul skripsi ”Studi Analisis Terhadap Pendapat Ibnu ‟Abidin Tentang Li‟an Bagi Orang Bisu”. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa li‟an bagi orang bisu itu tidak sah, karena orang bisu tidak termasuk orang yang tidak sah dalam persaksiannya. Dalam hal ini li‟an disamakan dengan syahadah 14
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik, serta Ilmu-ilmu sosial lainnya, (Jakarta: Kencana, 2011)., hlm. 30
17 (kesaksian). Dan seorang saksi itu harus menerangkan atau memberikan keterangan sendiri tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Karena sesungguhnya kesaksian itu harus dinyatakan atau diucapkan dengan katakata yang jelas, bukan dengan kata-kata kinayah (sindiran). Kedua, skripsi yang berjudul “Anak Li‟an Sebagai Pewaris Dalam Pandangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah”, yang disusun oleh M. Zhamir Islami (05350010) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan bahwa ibu dari anak li‟an dapat menerima warisan dari anak li‟annya dengan jalan „ashabah dan dengan jalan furud berdasar pada hadits yang diriwayatkan oleh Washilah bin al asqa’ dan qiyas. Ketiga, skripsi yang disusun oleh Fariha Yustisia (080710101111) Fakultas Hukum Universitas Jember dengan judul Skripsi “Kedudukan Hukum Anak Yang Lahir Akibat Perceraian Li‟an Dlam Hukum Waris Islam”, bahwasannya Skripsi ini menjelaskan tentang Seorang anak hasil dari perzinaan
18 dan li‟an, seperti sering diketahui bahwa posisi mereka dalam ranah hukum waris sangatlah lemah, hal ini sebagai akibat dari sebagian masyarakat yang belum sepenuhnya mengetahui dan menyadari akan hak dan kewajiban seorang ahli waris terutama seorang anak hasil hubungan zina dan li‟an dalam keberadaannya diantara ahli waris yang lain. Seorang anak dari hasil hubungan zina dan li‟an disini mempunyai hak waris tersendiri yang telah diatur dalam undang-undang dan harus diakui akan haknya sebagai pelaksanaan dan perlindungan hukum terhadapnya. Keempat, skripsi yang berjudul “Analisis Pendapat Imam Abu Hahifah Tentang Kewajiban Suami Kepada Istri Yang Dili‟an”, oleh Zainal Mukhtar (05230110) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menguraikan tentang li‟an disamakan dengan perceraian talak ba‟in karena impoten, sehingga hukumnya wajib memberikan nafkah dan tempat tinggal. Semua itu dilakukan untuk memberikan sanksi yang tegas pada suami agar lebih memperhatikan kebutuhan istri dan tanggung jawab sebagai suami.
19 Berdasarkan telaah pustaka yang telah penulis sebutkan diatas, maka penelitian skripsi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, Oleh sebab itu penulis merasa yakin untuk tetap melaksanakan penelitian ini mengenai ”Pendapat Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an terhadap perkawinan”
E. METODE PENELITIAN Untuk
mendapatkan
kajian
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka penulis akan menggunakan metode penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian library research (penelitian kepustakaan), yakni sebuah penelitian yang mana metode untuk memperoleh data bersumber dari buku atau kitab yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas. 15 Untuk mendapatkan informasi mengenai beberapa hal, orang juga harus 15
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode dan Teknik, Edisi VII (disempurnakan), (Bandung: Tarsito, 1989)., hlm. 251.
20 melakukan penelaahan kepustakaan. Memang, pada umumnya kegiatan dalam seluruh proses penelitian itu adalah membaca. Karena itu sumber bacaan merupakan bagian penting dalam penelitian. Secara garis besar, sumber bacaan itu dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (a) sumber acuan umum, dan (b) sumber acuan khusus. Teori-teori dan konsep-konsep pada umumnya dapat diketemukan dalam sumber acuan umum, yaitu kepustakaan yang berwujud buku-buku teks, ensiklopedia, monograp, dan sejenisnya. Generalisasi-generalisasi dapat ditarik dari laporan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan bagi masalah yang sedang digarap. Hasil-hasil penelitian terdahulu itu pada umumnya dapat diketemukan dalam sumber acuan khusus, yaitu kepustakaan yang berwujud jurnal, buletin penelitian, tesis, disertasi, dan lain-lain sumber bacaan yang memuat laporan hasil penelitian.16
16
Sumadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 1983)., hlm. 19
21 2. Sumber Data Data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berhubungan langsung dengan obyek kajian dalam penelitian ini, yakni pendapat Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an terhadap perkawinan. Sedangkan data sekunder
adalah data yang
menunjang penelitian dan masih memiliki hubungan dengan data primer namun bukan data utama. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang berhubungan dengan li‟an. Sumber data dalam penelitian ini ada dua jenis dengan penjelasan sebagai berikut: a. Sumber data primer Pengertian sumber data primer adalah sumber data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber pertamanya. 17 Sumber data primer dengan obyek kajian pendapat Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an, idealnya adalah referensi yang berasal dari Imam Abu Hanifah langsung. Oleh karena Imam Abu
17
Ibid., hlm. 39
22 Hanifah tidak membuat kitab (buku), maka sumber data primer dalam penelitian ini tidak diambilkan dari tangan pertama. Maka itu, sumber data primer dalam penelitian ini adalah sumber bahan sekunder yang berupa kitab Badāi‟ al-Shanāi‟ karya Imam ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, salah seorang pengikut mazhab Hanafi. b. Sumber data sekunder Di samping data primer terdapat data sekunder, yang sering kali juga diperlukan oleh peneliti. Data sekunder ini biasanya telah tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen. Mengenai data sekunder ini, peneliti tidak banyak berbuat untuk menjamin mutunya. Dalam banyak hal peneliti akan harus menerima menurut apa adanya. 18 Seperti artikel-artikel li‟an menurut imam madzhab, buku-buku tentang li‟an, dan literatur lainnya.
18
Ibid.
23 3. Metode Pengumpulan Data Sebagai konsekuensi dari penelitian kepustakaan, maka dalam metode pengumpulan data penulis menggunakan teknik dokumentasi. Pengertian dari teknik dokumentasi adalah cara mengumpulkan berbagai informasi dari buku-buku atau karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini. 19 Aplikasi metode dokumentasi dalam penelitian ini adalah dengan
pelaksanaan
pengumpulan
data-data
tertulis
yang
berhubungan dengan pendapat Imam Abu Hanifah tentang li‟an, baik dari sumber data primer maupun sekunder. 4. Metode Analisis Data Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat ditafsirkan.
20
Untuk menganalisis data dalam
penelitian ini, penulis menggunakan kaidah analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan normatif. Sedangkan teknik-teknik
19
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006)., hlm. 44 20 H. Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000)., hlm. 102.
24 analisis yang akan digunakan meliputi content analysis (analisis isi). Analisis isi merupakan cara menguraikan masalah yang sedang dibahas secara teratur mengenai seluruh konsepsi pemikiran tokoh yang tertuang dalam karya tulisnya. 21 Teknik analisis isi digunakan oleh penulis untuk menganalisis isi kitab dan buku yang memuat pemikiran Imam Abu Hanifah tentang li‟an. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan komparasi (perbandingan). Pendekatan perbandingan dilakukan untuk membuat perbandingan
pendapat
mengenai
li‟an.
Dengan
adanya
perbandingan ini akan diketahui hakekat perbedaan pendapat seputar masalah li‟an. Aplikasi dari pendekatan ini adalah dengan membuat perbandingan pendapat antara pendapat Imam Abu Hanifah dengan pendapat yang berbeda dari imam mazhab lain. Dengan adanya pendekatan tersebut akan diperoleh hasil mengenai perbandingan perbedaan pendapat dalam dalil tentang akibat Li‟an.
21
Anton Bekker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)., hlm. 65.
25 F. SISTEMATIKA PENULISAN Bahasan-bahasan dalam penelitian ini disusun dalam 5 (lima) bab yang dibuat sedemikian rupa dimana antara satu bab dengan bab lainya memiliki keterkaitan logis dan sistematis dengan harapan agar para pembaca mudah untuk memahaminya, adapun sistematika penulisan ini sebagai berikut: BAB I. Terdiri atas latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II. Ketentuan umum tentang li‟an dan istinbath hukumnya yang meliputi tentang pengertian li‟an, dasar hukum li‟an, macam-macam tuduhan dan syarat li‟an, akibat li‟an terhadap perkawinan menurut hukum islam, dan teori istinbath hukum. BAB III. Pada bab III berisi tentang biografi Imam Abu Hanifah dan ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī, pendapat dan metode istinbath Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an
26 terhadap perkawinan dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ Karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī. BAB IV. Bab IV berisi tentang analisis pendapat dan istinbath hukum Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an terhadap perkawinan dalam Kitab Badāi’ al-Shanāi’ Karya ’Alauddīn Abī Bakri bin Mas’ūd al-Kāsānī. BAB V. Pada bab V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG LI’AN DAN ISTINBATH HUKUM A. PENGERTIAN LI’AN Li‟an berasal dari kata “La‟ana” لعنyang artinya laknat. Sebab suami istri yang bermula‟anah pada ucapan yang kelima kalinya berkata : “Sesungguhnya padanya akan jatuh laknat Allah, jika ia tergolong orang yang berbuat dusta”. Ada orang yang berkata “li‟an” itu berarti menjauhkan “suami istri yang bermula‟anah”. Disebut demikian karena sesudah li‟an akan mendapat dosa dan dijauhkan satu sama lain selama-lamanya. Dan jika salah satunya ternyata dusta, maka dialah yang dilaknat oleh Allah. Ada orang yang berpendapat lain yaitu karena masingmasing suami istri dijauhkan dari teman hidupnya tadi untuk selama-lamanya, sehingga haramlah dikawini kembali. 1
1
Drs. M. Thalib, Perkawinan Menurut Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)., hlm. 147.
27
28 Para ulama baik dari kalangan sahabat maupun yang lainnya, mengatakan bahwa kata لعنlebih dipilih dari pada kata ( غاضبmarah), meskipun kedua kata ini terdapat dalam Al-quran yang telah disebutkan, dan kedua perkara ini pun ada dalam praktik li‟an, sebab kata li‟an lebih dahulu disebutkan dalam praktik atau prosesi li‟an. Alasan lainnya adalah pihak laki-laki lebih kuat daripada pihak perempuan, dan pihak laki-laki (suami) mampu memulai kasus li‟an sedangkan pihak perempuan (istri) tidak, serta karena li‟an pihak suami dapat dilepaskan dari li‟an, pihak istri, tetapi tidak sebaliknya. Menurut mayoritas sahabat, li‟an adalah sumpah. Namun menurut salah satu pendapat li‟an adalah persaksian. Menurut pendapat yang lain, li‟an adalah sumpah yang mengandung unsur persaksian secara pasti. Namun menurut pendapat yang lain lagi, justru sebaliknya. Para ulama mengatakan bahwa tidak termasuk sumpah, sesuatu yang diucapkan secara berulang kali kecuali li‟an dan qasamah. Dan ucapan itu tidaklah dianggap sebagai sumpah dari
29 pihak penggugat kecuali pada kasus li‟an dan qasamah ini. Para ulama juga mengatakan bahwa li‟an diperbolehkan memelihara nasab dan mencegah kemudharatan terhadap masing-masing pasangan suami istri. Para ulama juga sepakat atas keabsahan li‟an secara umum.2 Abu Al Qasim Rahimahullah Ta‟ala berkata, kata Li‟an berasal dari kata La‟n (menjauhkan), karena setiap orang dari sepasang suami istri melaknat dirinya dalam sumpah yang kelima, jika dia orang yang berdusta. Al Qadhi berkata, suami istri yang melakukan li‟an disebut demikian, karena suami istri itu tidak terbebas dari status bahwa salah seorang dari mereka itu adalah orang yang berdusta, sehingga terjadilah pelaknatan atas dirinya. Yaitu pengusiran dan menjauhkan.3 Al Imam Ja‟far Ash-Shadiq mengatakan bahwa li‟an menurut bahasa berarti pengusiran dan penjauhan. Sedangkan
2
Imam Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, (Jakarta: Pustakaazzam, 2011)., hlm. 371. 3 Ibnu Qudamah, Al Mughni, jilid. 11, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013)., hlm. 126.
30 menurut istilah syariat ia berarti saling melaknat diantara suami istri dengan cara-cara yang telah ditentukan, dengan tujuan menolak hadd (hukuman) dengan suami yang menuduh istrinya berzina, atau untuk menolak anak darinya. 4 Menurut Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, kata li‟an adalah bentuk masdar dari fiil madhi laa‟ana yang mustaq dari kata la‟ana, artinya adalah menjauhkan diri dari rahmat Allah. Suami istri yang saling berli‟an disebut demikian karena li‟an itu mengakibatkan dosa dan terjauh dari rahmat Allah, dan karena salah satu dari suami istri tersebut ada yang berdusta maka ia terlaknat (mal‟uun). Ada pula yang mengatakan bahwa disebut li‟an karena masing-masing suami dan istri yang mengucapkan li‟an itu menjadi berjauhan sebab haram selamanya untuk berkumpul kembali. Li‟an menurut syara‟ adalah ungkapan tertentu yang dijadikan sebagai alasan oleh orang yang terpaksa menuduh zina,
4
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih al-Imam Ja‟far ash-Shadiq „Ardh wa Istidlal, terj, (Jakarta: Lentera, 2009)., hlm. 554.
31 karena alas tidurnya (kemaluan istrinya) dikotori oleh oleh orang lain yang mengakibatkan ia (suami) merasa malu. Lafal li‟an tidak dikategorikan kemarahan dan kesaksian, karena li‟an itu lafal yang asing, sedangkan sesuatu itu bisa terkenal karena asingnya. Ada pula yang mengatakan karena li‟an adalah suami yang mengatakan kata laknat. 5
B. DASAR HUKUM LI’AN Adapun beberapa dalil-dalil dan hadist Nabi Muhammad SAW yang menjadi dasar hukum dalam pembahasan masalah li‟an adalah sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT pada surat An-Nuur ayat 4 :
5
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, terj, jilid. 2, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997)., hlm. 559.
32 Artinya : Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik 6 (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Firman Allah SWT dalam Al-Quran surat An-Nuur ayat 6-7 :
8
Artinya : Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta 6
Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanitawanita yang suci, akil balig dan muslimah 7 Departemen Agama R.I. Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Raja Publishing, 2011), hlm. 279 8 Ibid.,hlm. 280 9 Orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa dia adalah benar dalam tuduhannya itu. Kemudian dia bersumpah sekali lagi bahwa dia akan kena laknat Allah jika dia berdusta. Masalah Ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.
33
Firman Allah SWT dalam Al-Quran surat An-Nuur ayat 2 :
Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Firman Allah dalam Al-Quran surat An-Nuur ayat 8-9 :
Artinya : Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya 10
Departemen Agama R.I, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Raja Publishing, 2011) ., hlm. 279
34 itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Sedangkan
dasar
dari
hadis
adalah
hadis
yang
diriwayatkan oleh Imam Malik dan imam-imam lainnya yang meriwayatkan hadis shahih, dari hadis Uwaimir Al-Ajlani :
11
Ibid., hlm. 280
35
12
Artinya : “Pada suatu hari datang kepada „Ashim bin „Abdi AlAjlani seorang laki-laki dari kalangan kaumnya, yaitu „Uwaimir Al-„Ajlani, kemudian laki-laki itu bertanya kepadanya, “Hai „Ashim, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama dengan orang lain, apakah ia boleh membunuhnya, yang akibatnya ia pun akan dibunuh oleh kalian, atau bagaimanakah yang harus ia perbuat?. Hai „Ashim, tanyakanlah masalah ini kepada Rasulullah SAW, demi aku”. Lalu Ashim menanyakan masalah tersebut kepada Rasulullah SAW. Ketika „Ashim telah kembali kepada keluarganya, datanglah „Uwaimir dan berkata kepadanya, “Hai „Ashim, apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, kepadamu? Jawab „Ashim, “Engkau tidak membawa kebaikan untukku. Sesungguhnya Rasulullah SAW, membenci persoalan yang engkau tanyakan”. „Uwaimir berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mundur sebelum menanyakan langsung hal itu kepadanya”. Akhirnya „Uwaimir pun menghadap sendiri. Dan ketika telah datang dihadapan Rasulullah SAW, yang 12
Achmad Sunarto, Shahih Bukhari, Terj, Jilid VII, (Semarang: Asy Syifa‟, 1993)., hlm. 213
36 ketika itu sedang berada ditengah-tengah orang banyak, berkatalah „Uwaimir, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama drngan laki-laki lain, apakah ia boleh membunuhnya, yang akhirnya ia pun akan kalian bunuh (sebagai qisas) atau bagaimanakah yang harus ia perbuat? “Rasulullah SAW, menjawab “Sesungguhnya telah turunnya wahyu berkenaan dengan dirimu dan istrimu itu. Maka pergilah dan datangkanlah istrimu kemari.” Sahl salah seorang perawi hadis ini berkata “Akhirnya keduanya („Uwaimir dan istrinya) saling berli‟an, sedang ketika itu saya bersama dengan orang banyak dihadapan Rasulullah SAW. Setelah keduanya selesai berli‟an, maka „Uwaimir berkata, “Ya Rasulullah,aku berdusta kepadanya seandainya aku tetap memegangnya sebagai istriku, “maka kemudian „Uwaimir menalak istrinya tiga kali, sebelum rasulullah SAW memerintahkan hal itu kepadanya.” (H.R. Imam Malik) Dengan dasar tersebut, maka li‟an disamakan juga tuduh menuduh. Suami menuduh istri, dan istri menuduh suami telah berdusta. Apabila suami tidak dapat mendatangkan saksi sebanyak empat orang laki-laki, maka ia harus bersumpah empat kali yang menyatakan bahwa dirinya benar. Dan pada kelima kalinya, ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah SWT. Jika tuduhannya itu dusta, lalu istri menyanggah tuduhan tersebut 13
Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999)., hlm. 89-101.
37 dengan bersumpah empat kali. Dan pada kelima kalinya, ia mengucapkan bahwa ia akan dilaknat Allah ternyata ucapan suaminya itu benar. 14
C. MACAM-MACAM TUDUHAN YANG MEWAJIBKAN LI’AN Bentuk-bentuk yang mewajibkan li‟an ada dua macam : 1. Suami menuduh istrinya berzina, tapi ia tidak punya empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. 2. Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai hasil dari benihnya.15 1. Wajibnya li‟an karena tuduhan berzina Wajibnya li‟an karena tuduhan berzina, yaitu apabila suami mengaku melihatnya sendiri, tidak ada silang pendapat fuqaha pada masalah ini. Ulama Malikiyah mengatakan bahwa
14
Ibid., hlm. 101. Drs. M. Thalib, Perkawinan Menurut Islam, (Surabaya : AlIkhlas, 1992)., hlm. 151 15
38 yang diperselisihkan adalah, apabila suami mengatakan bahwa ia tidak mencampurinya. Sedang mengenai wajibnya li‟an hanya berdasarkan tuduhan semata, jumhur fuqaha berpendapat atas kebolehannya. Mereka antara lain Syafi‟i, Abu Hanifah, Tsauri, Ahmad, Dawud, dan lain-lain. Menurut pendapat yang terkenal dari Malik, tidak boleh berli‟an hanya karena tuduhan semata. Ibnu Qasim juga berpendapat
atas
kebolehan
berli‟an.
Pendapat
ini
juga
diriwayatkan dari Malik.
,,,,,, Artinya : Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)…. (QS. An-Nuur : 6) Dalam ayat ini tidak disebutkan sifat zina secara khusus tanpa menyebutkan yang lain, seperti penegasan Allah mengenai wajibnya hadd bagi tuduhan berzina yang terdapat dalam QS. AnNuur ayat 4 :
39 Artinya : Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nuur : 4) Malik berpegangan dengan lahirnya hadis-hadis yang berkenaan dengan masalah tersebut. Antara lain adalah hadis Sa‟ad :
Artinya : Bagaimana pendapatmu seandainya ada seorang lelaki mendapati istrinya bersama lelaki lain? (HR. Bukhari dan Muslim) Dan hadis Ibnu Abbas r.a yang di dalamnya disebutkan :
Artinya : Maka lelaki tersebut datang menghadap Rasulullah SAW, lalu berkata, „Demi Allah, Wahai Rasulullah, aku benar-benar melihat dengan mata kepalaku sendiri dan dengan telingaku sendiri.‟ Rasulullah SAW, tidak suka dengan pertanyaan yang diajukan itu dan beliau merasa keberatan dengannya, maka turunlah ayat, (QS. 16
Achmad Sunarto, loc.cit
40 An-Nuur : 6) „Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)…dan seterusnya” Lagi pula tuduhan itu harus dibarengi dengan bukti, seperti saksi.17 2. Wajibnya li‟an karena mengingkari kandungan istrinya. Suami mengingkari kandungan, terdapat dua persoalan. Salah satunya suami mengaku bahwa ia telah mengistibrakkan18 istrinya dan tidak menggaulinya sesudah istibrak . Hal ini dapat diperselisihkan oleh fuqaha. Pendapat Malik berbeda-beda mengenai masalah istibrak ini. Kadang ia mengatakan bahwa masa istibrak itu tiga kali haid, dan kadang mengatakan, masanya cukup satu kali haid saja. Akan halnya jika suami mengingkari kandungan istrinya secara mutlak, maka menurut pendapat Malik yang terkenal, suami tidak diwajibkan li‟an.
17
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid. 2, (Jakarta : Pustaka Amani, 2007)., hlm. 672-673 18 Istibrak : membersihkan rahim istrinya dengan tidak menggaulinya.
41 Pendapat ini ditentang oleh Syafi‟i, Ahmad, dan Dawud. Mereka mengatakan, pendapat ini tidak bermakna, karena terkadang wanita
itu
mengalami
kehamilan
dalam
keadaan
masih
mengeluarkan darah haid. Abdul Wahab menuturkan suatu pendapat dari para pengikut Syafi‟i bahwa tidak boleh mengingkari kandungan secara mutlak tanpa tuduhan berzina. 19 1. Waktu Mengingkari Kandungan. Dari persoalan ini fuqaha berselisih pendapat mengenai satu cabang persoalan, yaitu untuk mengingkari kandungan. Jumhur ulama berpendapat bahwa suami boleh mengingkarinya sewaktu istrinya hamil. Malik mensyaratkan, apabila suami tidak mengingkari kandungan pada masa kehamilan, maka ia tidak boleh mengingkarinya sesudah kelahiran dengan li‟an. Syafi‟i berpendapat, apabila suami mengetahui kehamilan istrinya, kemudian hakim memberi kesempatan kepadanya untuk
19
Ibnu Rusyd, op.cit. hlm. 674.
42 berli‟an, tetapi ia tidak mau berli‟an, maka tidak ada hak baginya untuk mengingkari kandungan sesudah kelahiran. Sedang Abu Hanifah berpendapat, suami tidak boleh mengingkari anak sampai istri melahirkannya. Malik dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya beralasan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir dari hadis Ibnu Abbas, Ibnu Mas‟ud, Anas r.a, dan Sahl bin Sa‟ad berikut ini :
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW, ketika memutuskan perkara li‟an diantara dua orang yang saling berli‟an, beliau bersabda, “jika istri melahirkan kandungan dengan ciri-ciri demikian, maka aku berpendapat bahwa, ia (suami) benar terhadap tuduhannya.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam hadits di atas mengatakan bahwa hal ini menunjukkan istri dalam keadaan hamil sewaktu li‟an.20
20
Ibnu Rusyd,op,cit., hlm 675
43 Alasan Abu Hanifah, kandungan itu terkadang mengalami keguguran. Oleh karena itu, hanya “keyakinan” yang menjadi alasan terkuat untuk melakukan li‟an. Jumhur fuqaha mengemukakan alasan bahwa syarak telah menguntungkan berbagai macam hukum terhadap timbulnya kandungan, seperti nafkah, iddah, dan larangan menyetubuhi. Maka sudah seharusnya pula masalah li‟an diqiyaskan demikian. Abu Hanifah berpendapat bahwa suami boleh berli‟an sekalipun ia tidak mengingkari kandungan, kecualu pada waktu melahirkan. Tetapi Abu Hanifah tidak memberi batasan waktu bagi pengingkaran tersebut. Sedang kedua pengikutnya, yakni Abu Yusaf dan Muhammad, berpendapat bahwa seami boleh mengingkari kandungan dalam tempo empat puluh malam sejak kelahiran. Sedang fuqaha yang mewajibkan li‟an dalam masa mengandung sependapat bahwa suami boleh mengingkari
44 kandungan selama istri masih berada dalam ikatan perkawinan („ismah.)21 2. Pengingkaran Kandungan Sesudah Talak. Fuqaha berselisih pendapat mengenai pengingkaran kandungan sesudah talak. Malik berpendapat bahwa suami boleh melakukan pengingkaran pada semua waktu yang menjadikan anak dapat dipertalikan nasabnya dengan suami, sebagai konsekuensi penguasaan tempat tidur (al-firasy). Masa tersebut – menurut
pendapatnya
–
adalah
masa
mengandung
yang
terpanjang, yaitu antara empat atau lima tahun. Begitu pula – menurutnya – suami boleh mengingkari anak sesudah talak apabila ia tetap mengingkarinya. Pendapat yang hampir senada dikemukakan pula oleh Syafi‟i. Segolongan fuqaha berpendapat bahwa suami tidak boleh mengingkari kandungan kecuali pada masa iddah saja. Jika ia mengingkarinya pada selain masa iddah, maka ia terkena
21
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid. 2, (Jakarta : Pustaka Amani, 2007).
45 hukuman hadd, sedang anak yang dikandung itu dipertalikan nasabnya kepada suami. 22 3. Masa Berlangsungnya Hukuman Li’an. Jumhur
ulama
berpendapat
bahwa
hukum
li‟an
berlangsung hingga berakhirnya masa mengandung terpanjang, sesuai dengan silang pendapat dalam masalah ini. Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa batas terpendek masa mengandung yang mewajibkan hukum li‟an adalah seperti lumrahnya masa mengandung, yakni sembilan bulan dan masa yang mendekati sembilan bulan. Tidak diperselisihkan lagi di kalangan fuqaha bahwa hukum li‟an wajib dilaksanakan pada masa „ismah. Selebihnya menurut masa mengandung terpendek, yaitu enam bulan. Yakni, bahwa anak tersebut hendaknya dilahirkan pada masa enam bulan sejak waktu jimak atau mulai dari waktu suami sempat menyetubuhinya; bukan dari waktu akad nikah. Abu Hanifah berbeda sendiri pendapatnya ketika ia mengatakan bahwa masa enam bulan itu dihitung sejak waktu 22
Ibnu Rusyd, ibid., hlm. 676
46 akad, sekalipun telah diketahui tidak memungkinkan terjadi jimak. Lebih dari itu, ia berpendapat, seandainya ada seorang lelaki yang tinggal di Barat jauh kawin dengan seorang wanita yang tinggal di Timur jauh, kemudian wanita itu melahirkan anak setelah masuk enam bulan dihitung dari waktu akad, maka anak tersebut dipertalikan nasabnya dengan lelaki itu, kecuali jika lelaki itu mengingkari anak tersebut melalui li‟an. Dalam hal ini, Abu Hanifah sependapat seperti Fuqaha Zhahiri tulen berpegang teguh pada keumuman makna sabda Nabi SAW :
Artinya : Anak itu dinasabkan pada yang menguasai tempat tidur.( HR. Bukhari dan Muslim)
Sedang wanita itu menjadi hamparan bagi lelaki tersebut melalui akad. Maka ia seolah berpendapat bahwa masalah ini
23
Achmad Sunarto, Shahih Bukhari, Terj, Jilid VII, (Semarang: Asy Syifa‟, 1993).
47 merupakan ibadah yan tidak bisa dipahami alasannya. Pendapat ini lemah.24 4. Menuduh
Istri
Berzina
dan
Mengakui
Kandungannya. Dalam persoalan ini, pendapat Malik berbeda-beda, mengenai satu cabang persoalan, yaitu apabila suami menuduh istrinya berbuat zina dan mengakui kehamilannya. Dari Malik ada tiga riwayat. Pertama, bahwa suami dikenai hukuman hadd, anak dipertalikan nasabnya kepadanya, dan tidak boleh berli‟an. Kedua, bahwa suami boleh berli‟an dan boleh mengingkari anak. Ketiga, bahwa anak dipertalikan nasabnya kepadanya dan boleh berli‟an untuk menghindari hukuman hadd dari pada dirinya. Silang pendapat ini disebabkan persoalan, apakah penetapan adanya kandungan dapat diperhatikan, jika dilakukan bersamaan dengan kewajiban mengingkarinya, yaitu tuduhan berzina?
24
Ibnu Rusyd, op,cit., hlm. 677
48 5. Persaksian dan Li’an. Dari persoalan ini fuqaha berselisih pendapat mengenai satu cabang persoalan, apabila suami dapat menegakkan persaksian atas pebuatan zina istrinya, apakan ia boleh berli‟an atau tidak? Abu Hanifah dan Dawud berpendapat bahwa suami tidak boleh berli‟an karena pada dasarnya li‟an itu dijadikan pengganti kesaksian, berdasarkan firman Allah :
... Artinya : Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri… (QS. An-Nur : 6)
Malik dan Syafi‟i berpendapat bahwa suami boleh berli‟an karena persaksian itu – menurut mereka – tidak berpengaruh unutk menolak hubungan nasab. 26
25
Departemen Agama R.I. Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Raja Publishing, 2011), hlm. 280 26 Ibnu Rusyd, loc,cit., hlm. 678
49 D. SYARAT-SYARAT WAJIB LI’AN. Menurut para ulama syarat li‟an dibagi menjadi dua bagian yaitu syarat wajibnya li‟an dan syarat sahnya melakukan li‟an. Syarat wajibnya li‟an adalah seperti berikut : 1. Pasangan tersebut masih berstatus suami isteri, sekalipun isteri tersebut belum disetubuhi atau isteri masih dalam iddah talak raj‟i berdasarkan pandangan Hanafiah. Menurut jumhur pula, suami juga boleh meli‟an isteri dalam talak ba‟in. 2. Hendaklah akad perkawinan tersebut akad yang sah. 3. Suami yang melakukan li‟an hendaklah seorang yang muslim 4. Adanya tuduhan qazaf dari suami terhadap isteri. Menurut Shafi‟iyyah dan Hanabilah, li‟an juga berlaku kepada orang kafir dan tidak disyaratkan si suami itu seorang yang adil. Maka sah li‟an yang dilemparkan oleh suami yang fasid. Sedangkan, syarat sah proses li‟an adalah seperti berikut : 1. Li‟an dilakukan dihadapan hakim atau wakilnya. 2. Li‟an dilakukan oleh suami setelah diminta oleh hakim untuk melakukan sumpah.
50 3. Hendaklah sempurna kelima lafaz li‟an yang diucapkan. 4. Lafaz yang digunakan oleh kedua pasangan suami isteri menunjukkan atau memberi maksud li‟an sebagaimana dalam al-Quran. 5. Hendaklah lafaz li‟an itu diucapkan seperti yang telah ditetapkan. 6. Sekiranya pasangan suami dan isteri itu hadir dalam proses li‟an. Namun, sekiranya salah satu pihak tidak hadir, maka hendaklah digunakan nama dan identitas yang lengkap untuk memastikan bahwa orang yang dili‟an adalah betul.27 Jika syarat-syarat telah terpenuhi, dan suami menuduh istrinya berzina atau menolak anaknya, maka ia (si suami) akan terkena hukuman yang disebut hadd al-qadzf, (hukuman yang dijatuhkan kepada seorang yang menuduh orang lain berzina) kecuali jika dia mendatangkan bukti-bukti atau melakukan li‟an. 28
27
http://www.academia.edu/5598292/Lian_dalam_Islam Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih al-Imam Ja‟far ash-Shadiq „Ardh wa Istidlal, terj, (Jakarta: Lentera, 2009)., hlm. 555 28
51 E. AKIBAT
LI’AN
TERHADAP
PERKAWINAN
MENURUT HUKUM ISLAM. Mengenai akibat-akibat li‟an, yang masih diperselisihkan oleh fuqaha, antara lain, tentang “perceraian” yang diwajibkan atau tidak. Jika diwajibkan, maka kapan perpisahan itu diwajibkan. Apakah perpisahan itu diwajibkan karena li‟an itu sendiri atau karena keputusan hakim. Dan jika perpisahan di antara keduanya itu terjadi, apakah dinamakan talak atau fasakh.29 Jumhur ulama berpendapat bahwa perceraian terjadi karena li‟an, karena hal ini telah terkenal melalui hadis-hadis li‟an yang menyatakan :
Artinya : Bahwa Rasulullah SAW, memisahkan antara keduanya. (HR. Bukhari dan Muslim)
29
Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminuddin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999)., hlm. 144. 30 Achmad Sunarto, Shahih Bukhari, Terj, Jilid VII, (Semarang: Asy Syifa‟, 1993).
52 Ibnu
Syihab
mengatakan
menurut
riwayat
Malik.
Demikianlah sunat yang tetap berlaku diantara dua orang yang berli‟an. Mereka juga beralasan dengan sabda Nabi SAW : َال Artinya : Tidak ada jalan lain bagimu kepadanya. (HR. Muslim dan Abu Dawud)31 Utsman
al-Batti
dan
segolongan
ulama
Basrah
mengatakan bahwa li‟an tidak mengakibatkan perpisahan diantara suami istri. Merka mengemukakan alasan bahwa hukum perpisahan itu tidak termuat dalam ayat li‟an, dan tidak pula dijelaskan dalam hadis-hadis tentang li‟an. Karena di dalam hadis yang
masyhur
hanya
menyebutkan
bahwa
suami
telah
menceraikan istrinya di hadapan Rasulullah SAW, sedang beliau tidak mengingkari perbuatan itu. Lagi pula, li‟an disyariatkan bertujuan menghindari hukuman hadd karena menuduh istri
31
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid. 2, (Jakarta : Pustaka Amani, 2007).
53 berzina. Oleh karena itu, li‟an tidak mewajibkan pengharaman rujuk karena disamakan dengan saksi.32 Jumhur ulama mengemukakan alasan bahwa pada dasarnya di antara keduanya telah terjadi pemutusan hubungan, saling membenci, saling mengumbar hawa nafsu, dan merusak batasan-batasan Allah, yang kesemuanya itu mengharuskan keduanya tidak berkumpul kembali selamanya. Demikian itu karena pada dasarnya hubungan suami istri itu dibina atas dasar kasih sayang, sementara mereka tidak memiliki lagi rasa kasih sayang ini sama sekali. Maka hukuman yang layak bagi keduanya adalah bercerai dan berpisah.33 Mengenai kapan perceraian itu diwajibkan, Imam Malik, Al-Lais, dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa perpisahan itu terjadi apabila keduanya telah selesai mengadukan li‟an. Imam Syafi‟i berpendapat, jika suami telah menyelesaikan li‟an-nya, maka perpisahan pun telah terjadi.sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perpisahan tidak terjadi kecuali berdasarkan 32
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid. 2, (Jakarta : Pustaka Amani, 2007)., hlm. 687. 33 Ibid., 687.
54 keputusan dari hakim. Pendapat ini juga dikemukakan oleh AsSauri, dan Ahmad. Alasan Imam Malik terhadap Imam Syafi‟i ialah hadis Ibnu Umar r.a. : Ibnu Umar berkata, “Rasulullah SAW, memisahkan di antara dua orang yang berli‟an, kemudian beliau bersabda :
Artinya : Perhitungan kalian terserah kepada Allah; salah seorang di antara kamu berdua telah berdusta, maka tidak ada jalan bagimu kepadanya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud) Dan riwayat lain yang mengatakan bahwa Nabi SAW tidak
memisahkan
di
antara
keduanya
kecuali
sesudah
sempurnanya li‟an. Syafi‟i mengemukakan alasan bahwa li‟an istri tidak lain untuk menghindarkan hukuman hadd atas dirinya semata, sedang li‟an suami itulah yang berpengaruh bagi pengingkaran nasab. Maka seharusnya, jika li‟an itu mempunyai pengaruh pada
55 perpisahan, maka yang berpengaruh itu li‟an suami, karena li‟an suami disamakan dengan talak. Alasan Malik dan Syafi‟i terhadap Abu Hanifah ialah bahwa Nabi SAW memberitahukan kepada suami istri itu atas terjadinya perpisahan begitu keduanya mengucapkan li‟an. Ini menunjukkan bahwa li‟an itulah penyebab terjadinya perpisahan. Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa perpisahan hanya dapat terlaksana berdasarkan keputusan dan perintah Rasulullah SAW yang menyatakan hal itu, ketika beliau bersabda, “tidak ada jalan bagimu kepadanya.” Oleh karena itu Abu Hanifah berpendapat bahwa keputusan Nabi SAW merupakan syarat bagi jatuhnya perpisahan, seperti keputusan beliau juga menjadi syarat sahnya li‟an.34 Silang pendapat di antara fuqaha yang berpendapat bahwa perpisahan harus terjadi setelah li‟an, denga fuqaha yang tidak berpendapat demikian, karena pemisahan yang dilakukan oleh Nabi SAW terhadap kedua suami istri itu – dalam hadis yang masyhur itu – kurang jelas keterangannya.karena di dalam hadis 34
Ibid., hlm. 689
56 tersebut disebutkan bahwa lelaki itu sendirilah yang memulai menalak istrinya sebelum Nabi SAW memberitahukan kepadanya tentang wajibnya terjadi perpisahan. Tidak ada perpisahan kecuali dengan talak dan di dalam syara‟ tidak ada pengharaman (untuk berkumpul kembali) yang bersifat abadi, yang disepakati oleh semua fuqaha. Oleh karena itu bagi fuqaha yang lebih menguatkan aturan pokok atas mafhum hadis, mereka menafikan wajibnya terjadi perpisahan. Sedangkan bagi fuqaha yang memegang mafhum hadis, mereka menetapkan wajibnya perpisahan. Mengenai perbedaan pendapat antara fuqaha yang mensyaratkan
dari
hukum
dengan
fuqaha
yang
tidak
mensyaratkannya, hal itu disebabkan oleh ketidakjelasan hukum ini, apakah harus menguatkan kemiripan hukum ini dengan hukum-hukum yang untuk sahnya disyaratkan adanya keputusan dari hakim, atau dengan hukum-hukum yang tidak disyaratkan demikian.35
35
Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminuddin, op.cit., hlm. 116
57 Dalam Kompilasi Hukum Islam tentang Putusnya Perkawinan juga telah disebutkan dalam pasal 128 : Li‟an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.36 Kemudian masalah perpisahan yang terjadi karena Li‟an apakah perpisahan tersebut merupakan fasakh atau talak, maka fuqaha yang berpendapat terjadinya perpisahan ini juga saling berselisih pendapat mengenai pendapat tersebut. Dalam
suatu
permasalahan
yang
banyak
terjadi
perselisihan islam menawarkan jalan yang terbaik, yaitu menghilangkan madharat dan mendatangkan kemaslahatan, sebagaimana kaidah ushul menjelaskan :
Artinya: “Apabila dua mafsadah saling berlawanan, maka harus dipelihara yang lebih berat madharatnya dengan melaksanakan yang lebih ringan dari padanya”. Kaidah tersebut diatas dapat dijadikan landasan untuk melegitimasi adanya penjatuhan talak dari pada li‟an karena talak 36
272
Kompilasi Hukum Islam, ( Bandung: Citra Umbara, 2010)., hlm.
58 lebih ringan mafsadatnya, tetapi kalau masalahnya sudah sampai pada masalah penyangkalan anak, atau penyangkalan bayi yang masih dalam kandungannya, yaitu suami benar-benar yakin kalau bayi itu tidak ada hubungan nasab dengan istrinya maka dalam keadaan yang demikian maka suami harus menyangkalnya dengan li‟an. Karena mempertalikan nasab yang bukan berasal dari padanya adalah haram, sebagaimana haram pula menyangkal terhadap bayi yang berasal dari sulbi (diri) suami itu sendiri. 37 Imam Malik dan Syafi‟i berpendapat bahwa perpisahan tersebut merupakan fasakh, sedangkan Abu Hanifah mengatakan perpisahan tersebut merupakan talak ba‟in.38 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang Putusnya Perkawinan dalam pasal 125 menyatakan : Li‟an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk selama-lamanya.39 Alasan Imam Malik untuk mengharamkan selamanya adalah karena mantan istri itu diserupakan dengan wanita yang 37
Mukhtar Yahya, dan Fatchurrahman, Dasar- dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung : PT. Al- Ma‟arif, 1993)., hlm. 514 38 Ibnu Rusyd, op.cit., hlm. 690. 39 Kompilasi Hukum Islam, op.cit., hlm. 271
59 haram dinikahi (mahram). Sedang Abu Hanifah menyerupakan perpisahan ini dengan talak. Karena diqiyaskan atas perpisahan lelaki yang impoten, sebab perpisahan ini menurut pendapatnya baru dapat terjadi sesudah ada keputusan dari hakim. 40
F. TEORI ISTINBATH HUKUM Adapun penjelasan pokok pegangan yang digunakan Imam Abu Hanifah dalam membina madzhabnya adalah sebagai berikut: 1. Al-Qur‟an Al-Qur‟an merupakan nama kitab suci yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw. Dalam kajian Ushūl Fiqh, alQur‟an disebut dengan al-Kitab,
41
sebagaimana terdapat
dalam Surat al-Baqarah ayat 2:
40
Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminuddin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999)., hlm. 116 41 Nasroen Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta : Logos, 1996)., hlm. 20.
60 Artinya: “Kitab (al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Q.S. Al Baqarah: 2) 2. Al-Sunnah Al-sunnah secara etimologis berarti: ”Jalan yang bisa dilalui atau yang senantiasa dilakukan, apakah cara itu sesuatu yang baik atau yang buruk”. Sedang secara terminology adalah: ”Segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW. Berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”. 42 3. Aqwāl al-Shaḫ ābah (fatwa sahabat) Aqwāl al-Shaḫ ābah (fatwa sahabat) merupakan fatwa yang dikeluarkan setelah Rasulullah wafat oleh sekelompok sahabat yang mengetahui ilmu fiqh dan lama menemani Rasulullah dan faham akan al-Qur‟an serta hukum-hukum, karena diadakan untuk memberikan fatwa dan membentuk hukum untuk kaum muslimin. Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan pendapat bahwa pendapat sahabat dalam hal-hal
42
Ibid, hlm.38.
61 yang tidak dapat dijangkau oleh akal merupakan hujjah atas kaum muslimin, karena hal itu pasti dikaitkan berdasarkan pendengarannya dari Rasulullah.43 4. Al-Ijma‟ Secara
etimologis,
ijma‟
berarti
“kesepakatan
atau
konsensus”. Pengertian dijumpai dalam Surat Yusuf ayat 15 sebagai berikut:
Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedalam sumur...” (QS. Yusuf:15) Menurut
istilah
para
ahli
ushūl
fiqh,
ijma‟
adalah
“kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat Islam pada masa setelah Rasulullah wafat atas hukum syara‟ mengenai suatu
kejadian.
Apabila
terjadi
suatu
kejadian
yang
dihadapkan pada semua mujtahid dari umat Islam pada suatu
43
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994)., hlm. 135.
62 kejadian itu terjadi, mereka sepakat atas hukum mengenainya, maka kesepakatan mereka disebut ijma‟”.44 5. Al-Qiyās Qiyās menurut para ahli ushul fiqh sebagaimana dikutip Abdul Wahhab Khallaf adalah “mempersamakan suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya, lantaran persamaan illat hukumnya dari dua peristiwa itu”. 45 Sesuai dengan ta‟rīf tersebut, maka apabila suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui menurut satu cara dari beberapa cara mengetahui illat hukum, kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya sama dengan illat hukum dari peristiwa yang sudah mempunyai nash tersebut, maka peristiwa yang tidak ada nash tersebut disamakan dengan
44 45
Ibid., hlm.56. Ibid., hlm. 66.
63 hukum peristiwa yang ada nashnya, lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa tersebut. 46 Mereka berpendapat demikian, didasarkan pada al-Qur‟an Surat al-Hasyr ayat 2 sebagai berikut:
Artinya: “…Hendaklah kamu mengambil I‟tibar (ibarat/pelajaran) hai orang-orang yang berfikir.” (Q.S. al-Hasyr: 2) Analisa-analisa yang logis yang mereka gunakan untuk menetapkan kehujjāhan adalah sebagai berikut:47 a) Allah SWT tidaklah menetapkan hukum bagi hamba-Nya sekiranya tidak untuk kemaslahatan hamba tersebut. Kemaslahatan
inilah
yang
menjadi
tujuan
akhir
diciptakannya suatu perundang-undangan. Karena itu, apabila suatu peristiwa yang tidak ada nashnya, akan tetapi illatnya sesuai dengan illat suatu peristiwa yang
46
Muchtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: al-Ma‟arif, 1997)., hlm. 66. 47 Ibid, hlm. 74-75.
64 sudah ada nashnya dan diduga keras pula dapat memberikan kemaslahatan kepada hamba, maka adillah kiranya jika ia samakan hukumnya dengan peristiwa yang sudah ada nashnya itu demi merealisasikan kemaslahatan yang dicita-citakan oleh undang-undang. b) Nash-nash al-Qur‟an dan al-Sunnah itu adalah terbatas, sedangkan kejadian-kejadian pada manusia tidak terbatas dan tidak teratur. Oleh karena itu, tidak mungkin nashnash yang terbatas itu dijadikan sebagai sumber terhadap kejadian-kejadian yang tidak terbatas. Dengan demikian, qiyās merupakan sumber perundang-undangan yang dapat mengikuti
kejadian-kejadian
baru
yang
dapat
menyesuaikan dengan kemaslahatan. c) Al-Qiyās adalah dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika yang sehat. Tidak terdapat perselisihan di antara manusia, bahwa sesuatu yang berlaku pada salah satu dari dua hal serupa, berlaku pula pada yang lain
65 selama tidak ada sesuatu yang membedakan antara dua hal tersebut.48 6. Istihsān Secara etimologi, istihsān berarti “menganggap sesuatu itu baik”. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih, istihsān adalah “berpalingnya seorang mujtahid dari tuntunan qiyās yang jalli (nyata) kepada tuntutan qiyās yang khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istisna‟ (pengecualian) pada dalil yang menyebabkan mujtahid tersebut mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini”49 7. Al-„Urf Al-„Urf adalah “sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, perbuatan atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut “adat”. 48
Lihat juga, Muhammad bin Hasan al-Jahwi al-Syu‟âlabi al-Fâsiy, op. cit., hlm. 426. 49 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994)., hlm. 110. Penjelasan lain tentang istihsān Imam Abu Hanifah juga dapat dilihat dalam Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqhu al-Islamiy, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th)., hlm. 780.
66 Menurut istilah ahli syara‟, tidak ada perbedaan antara al-„urf dan adat kebiasaan “.50 Demikianlah sekilas tentang keterangan metode istinbath hukum yang digunakan oleh Abu Hanifah secara umum. Di mana langkah-langkah yang ditempuh berbeda dengan ketiga imam mazhab lainnya, karena ia merupakan ulama yang dikenal dengan sebutan ahli al-ra‟yu dalam berijtihad. Hal ini dikarenakan, Abu Hanifah lebih menanamkan motto “kemerdekaan” dalam berfikir, disamping juga karena beberapa yang lain, sebagaimana disebutkan di atas.
50
Ibid, hlm. 123.
BAB III PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG LI’AN DALAM KITAB BADĀI’ AL-SHANĀI’ KARYA ’ALAUDDĪN ABĪ BAKRI BIN MAS’ŪD AL-KĀSĀNĪ
A. BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH. Abu Hanifah dilahirkan pada tahun
80
Hijriyah
(bertepatan pada tahun 699 M) di kota Khufah. Nama aslinya adalah Nu‟man bin Tsabit bin Zauthi. Ia berasal dari keturunan Persia, karena ayahnya Tsabit adalah keturunan Persia kelahiran Kabul, Afganistan. Pada mulanya beliau tinggal di Kabul kemudian pindah ke Kuffah. Dia dilahirkan pada waktu pemerintahan Islam dipegang oleh Abdul Malik Ibn Marwan, keturunan Bani Umayyah ke-5.1
1
Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan Empat Imam Mazhab, (Solo: Ramadhani, 1984)., hlm. 12-13.
67
68 Dalam kehidupannya, ia menjalani hidup di dua lingkungan sosio politik yang berbeda, yakni di masa akhir dinasti Umayyah dan awal dari dinasti Abbasiyah. 2 Menurut suatu riwayat, ia dipanggil dengan sebutan Abu Hanifah karena beberapa hal. Pertama, ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Hanifah, maka ia diberi julukan Abu Hanifah (bapak atau ayah) dari Hanifah. Kedua, ia seorang yang sejak kecil sangat tekun belajar dan menghayatinya, maka ia dianggap seorang yang Hanif (lurus) kepada agama. Ketiga, Menurut bahasa Persia, “Hanifah” berarti tinta, dimana Imam Hanafi ini sangat rajin menulis hadits-hadits, ke mana pun ia pergi selalu membawa tinta, karena itu ia diberi nama Abu Hanifah yang berarti bapak tinta, sehingga ia masyhur dengan nama Abu Hanifah.3 Ayah Abu Hanifah adalah seorang pedagang besar kain sutera. Sejak kecil, Abu Hanifah selalu bekerja membantu 2
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997)., hlm. 95. 3 Tamar Djaja, op. cit., hlm. 12.
69 ayahnya.
Ia selalu mengikuti ayahnya
ke tempat-tempat
perniagaan. Di sana, ia banyak bercakap-cakap dengan pedagangpedagang besar sambil belajar tentang perdagangan dan rahasiarahasianya. 4 Disamping berniaga, ia tekun pula menghafal alQur‟an dan amat gemar membaca.5 Demikianlah yang dilakukan sehari-hari, kecerdasan otaknya sampai menarik perhatian orangorang yang mengenalnya. Hingga al-Sya‟bi, seorang ulama fiqh melihatnya dan menganjurkan supaya Abu Hanifah mencurahkan perhatiannya kepada ulama. Saran itu dijawab oleh Abu Hanifah “minat saya kepada para ulama hanya sedikit”. Ulama Fiqh tersebut menasehatinya, “Engkau harus mencurahkan perhatianmu kepada ilmu pengetahuan dan mendekatkan diri kepada para ulama. Saya melihat engkau mempunyai ingatan kuat dan kecerdasan”.
6
Sejak itu, Abu Hanifah mulai menumpahkan
perhatiannya pada ilmu pengetahuan. Kuffah di masa itu adalah
4
Abdurrahman al-Syarqawi, “A‟immah al-Fiqh al-Tis‟ah”, terj. M.A. Haris al- Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqih,( Bandung : Pustaka Hidayah, 2000)., hlm. 237. 5 T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997)., hlm. 442. 6 Abdurrahman al-Syarqawi, op.cit.
70 suatu kota besar, tempat beraneka macam ilmu, tempat berkembang kebudayaan lama. Kota itu juga dikenal sebagai kota yang bisa menerima ilmu pengetahuan. 7 Abu Hanifah memang orang yang bijak dan gemar ilmu pengetahuan. Ketika ia menambah ilmu pengetahuan, mula-mula ia belajar sastra Arab, karena ilmu bahasa tidak banyak menggunakan pikiran. 8 Meskipun demikian, Abu Hanifah tidak menjauhi bidang-bidang yang lain, ia menguasai bidang qira‟at, bidang kesusastraan Arab dan ilmu kalam. Selain itu dia juga turut aktif berdiskusi dalam kelompok-kelompok keagamaan yang timbul pada waktu itu. 9 Ilmu Hadits dan Fiqih ia pelajari dari ulama-ulama terkemuka di negeri itu. Menurut sebagian dari para ahli sejarah, bahwa ia berguru/belajar kepada sahabat-sahabat besar dalam bidang fiqih. Diantara para guru yang paling mempengaruhi pada 7
Ibid. Ahmad al-Syurbasi, “Al- Aimatul Arba‟ah”, terj. Sabil Had dan Ahmadi, Sejarah dan Biografi Imam Empat Mazhab, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993)., hlm. 17. 9 T. M. Hasbi Ash- Siddieqy, loc. cit., hlm. 443. 8
71 dirinya adalah ulama besar Hammad bin Abi Sulaiman (W.120 H). Gurunya ini sangat kagum dengan kemampuan intelektual yang dimiliki Abu Hanifah, dan sebaliknya imam Abu Hanifah juga memandang gurunya yang satu ini sebagai tokoh yang patut diteladani, baik dalam berperilaku maupun kealimannya. 10 Pada suatu waktu, tutur Manna al-Qattan (ahli sejarah tasyri‟/hukum berkebangsaan Mesir) sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Aziz Dahlan menyebutkan bahwa ketika gurunya itu mengadakan perjalanan, Imam Abu Hanifah ditunjuk untuk menggantikan sebagai guru pada halaqah.
11
Enam puluh
pertanyaan yang diajukan oleh peserta pengajian itu dapat dijawabnya dengan lancar, dan jawaban itu sempat dicatatnya. Setelah Hammad kembali dari perjalanan Imam Abu Hanifah kembali menceritakan seluruh jawabannya itu, lalu Hammad menyatakan setuju dengan 40 jawaban dan berbeda pendapat dengan 20 jawaban. Saya memberi penjelasan tentang apa yang menjadi sebab perbedaan tersebut. Penjelasan Hammad tersebut 10 11
Ahmad al- Syurbasi, op. cit. Halaqah adalah sistem belajar yang duduk melingkari gurunya.
72 sebelumnya diketahui oleh Abu Hanifah, telah menambah kekagumannya terhadap gurunya itu, dan ia berjanji tidak akan berpisah dengannya sampai wafat. Sepeninggal gurunya, Imam Abu Hanifah melakukan ijtihad secara mandiri dan menggantikaan posisi gurunya sebagai pengajar di halaqah yang bertempat di Masjid Kuffah. Dan memang hanya dia yang dipandang layak oleh murid-murid Hammad untuk memegang jabatan itu. 12 Kecerdasan Abu Hanifah memang diakui oleh para ilmuwan, diantaranya adalah Imam Abu Yusuf. Ia berkata: “Aku belum pernah bersahabat dengan seseorang yang cerdas dan cerdik melebihi kecerdasan akal pikiran Abu Hanifah”, dan masih banyak lagi ulama yang mengakuinya. 13 Dalam bidang Fiqih, Imam Syafi‟i pernah berkata “Manusia seluruhnya adalah menjadi
12
Abdul Azis Dahlan (et.al.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996)., hlm. 12. 13 Ibid
73 keluarga dalam ilmu Fiqih, menjadi anak buah Abu Hanifah”. 14 Abu Hanifah dijuluki al-Imam al-Azam (Imam Agung) oleh murid-muridnya karena kepandaiannya dalam berdiskusi dan kedalaman ilmunya di bidang fiqh.15 Imam Abu Hanifah adalah seorang yang mempunyai tubuh yang sedang saja, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu besar, tingginya sedang dan gemuknya pun sedang. Kulitnya putih kuning, mukanya bercahaya, terbayang kekerasan hatinya, keberanian hatinya, keberanian dan ketangkasannya. Ia berbicara lemah lembut dan halus, sehingga menarik perhatian orang yang mendengarnya. Ia selalu bekerja dengan rajin. Ia berkawan dengan orang-orang baik, tidak sudi berteman dengan orang-orang jahat, dari kecil hingga dewasa. 16 Berani mengatakan salah bagi yang salah, walaupun yang disalahkannya itu orang besar. Ia seorang yang teguh dalam pendirian, mempunyai jiwa merdeka (tidak
14
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)., hlm. 184-185. 15 Abdul Azis Dahlan, op. cit. 16 Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan Empat Imam Mazhab, (Solo: Ramadhani, 1984).,hlm. 15.
74 mudah larut dalam pribadi orang lain), jiwanya suka meneliti segala sesuatu yang dihadapi, dan tidak berhenti pada kulitkulitnya saja, tetapi harus mendalami isinya. Ia mempunyai daya tangkap yang sangat luar biasa untuk mematahkan hujjah lawan. 17 Karena sifat-sifat beliau itulah, maka ia berada pada puncak ilmu diantara para ulama, di samping juga pribadinya yang sangat mengagumkan. Abu Hanifah adalah seorang hamba Allah yang takwa dan saleh beribadah. Setiap hari pekerjaannya tidak ada yang kosong, tetapi seluruhnya berisi ibadah dan amal belaka. Zuhud, wara dan sangat hati-hati dalam urusan hukum. Jiwanya kuat akhlaknya mulia.18 Demikianlah
sifat-sifat
dan
kepribadiannya
bisa
dibayangkan dengan jelas, bahwa secara lahir maupun batin ia memang kuat apalagi soal pendirian. Dia rela dihukum untuk
17
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997)., hlm. 448. 18 Tamar Djaja, op. cit., hlm. 21.
75 mempertahankan pendiriannya dari pada disuruh berbuat yang tidak benar. Dalam suatu riwayat pada masa Bani Umayyah, Yazid bin Hubairah gubernur Irak ingin mengangkat Abu Hanifah untuk menjadi qadhi, tetapi beliau enggan. Dia berfikir bahwa ikut serta dalam kekuasaan yang dzalim sama artinya dengan berbuat dzalim, karenanya ia didera dan dimasukkan penjara. Hal ini dilakukan mungkin dipandang tidak memberikan kesetiaannya kepada Bani Umayyah, bukan semata-mata karena tidak mau menjadi qadhi.19 Nasib serupa itu, terulang pula dialami beliau pada masa pemerintahan „Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Abu Ja‟far Al-Mansur (754-775), yang memerintah sesudah „Abbas AsySyaaffah, Imam Abu Hanifah menolak pula kedudukan qadhi yang ditawarkan pemerintah kepada beliau. Kemudian, akibat
19
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001)., hlm. 85.
76 penolakan itu beliau ditangkap, dihukum, dipenjara dan wafat pada tahun 767 M.20 Imam Abu Hanifah adalah orang yang berdarah Persia dan pendiri mazhab fiqh al-ra‟yu. Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, ia diakui masyarakat sebagai imam besar. 21 Perjuangan Imam Abu Hanifah tidak putus sampai disini saja, namun masih dilanjutkan oleh murid-muridnya. Dari sekian banyak muridnya, ada 4 orang yang sangat terkenal sebagai ulama besar di dunia Islam, antara lain: 22 1. Imam Abu Yusuf, Ya‟kub Ibn Ibrahim al-Anshary. Ia dilahirkan tahun 113 H. Mula-mula ia belajar dengan Imam Abi Layla di kota Kuffah, kemudian pindah belajar menjadi murid Imam Hanafi. Karena kepandaiannya, ia dijadikan kepala murid oleh Imam Hanafi. Ia banyak membantu Imam 20
K.H.E Abdurrahman, Perbandingan Mazhab-Madzhab, (Bandung: Sinar Baru, 1986)., hlm. 27. 21 Abdurrahman al-Syarqawi, “A‟immah al-Fiqh al-Tis‟ah”, terj. M.A. Haris al- Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqih,( Bandung : Pustaka Hidayah, 2000)., hlm. 250. 22 „Alauddin Abī Bakri bin Mas‟ūd al-Kāsānī, Badāi‟ al-Shanāi‟, Juz I, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 1997)., hlm. 64.
77 Hanafi dalam
menyebarkan mazhabnya,
serta banyak
mencatat pelajaran dari Imam Hanafi dan menyebarkannya ke beberapa tempat. Sebutan sebagai ulama yang paling banyak mengumpulkan hadits telah disandangnya. Karena itu, Imam Abu Yusuf termasuk ulama ahli hadits terkemuka. 2. Imam Hasan bin Ziyad al-Lu‟luy, salah seorang murid yang terkemuka pula. Ia dikenal sebagai seorang ahli fiqh yang merencanakan menyusun kitab Imam Hanafi. Ia dikenal pula sebagai ahli qiyās. 3. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqat al-Syaibani. Sejak kecil, ia tinggal di kota Kuffah, kemudian pindah ke Baghdad. Ia cenderung kepada ilmu hadits dan belajar kepada Imam Hanafi, akhirnya menjadi ulama terkemuka. Beliau dekat dengan Sultan Harun Rasyid. Kepada Imam Muhammad inilah tulisan atau kitab al-Kasani dinisbatkan kepada Abu Hanafi / Mazhab Hanafi. 4. Imam Zafar ibnu Huzail ibnu Qais al-Kuffi. Beliau adalah salah seorang murid yang juga ahli hadits.
78 Empat orang ulama inilah murid Imam Hanafi yang terkemuka, yang masing-masing mempunyai keahlian tersendiri dalam ilmu fiqh, ilmu hadits, ilmu ra‟yu dan lainnya. 23 Diantara masalah-masalah fiqih Abu Hanifah yang telah dihimpun oleh beberapa murid beliau, yaitu: 24 1) Ikhtilāfu Abī Ḫ anīfah wa Ibni Abi Laila, karya Imam Abu Yusuf. Memuat sejumlah masalah fiqh yang diperdebatkan antara Imam Abu Hanifah dan Imam Abi Laila (74-148 H), seorang tokoh fiqh terkenal pada masa itu. 2) Beberapa kitab yang dihimpun Muhammad bin Hasan alSyaibani, yaitu: al-Jāmi‟ al-Kabīr (perhimpunan besar), alJāmi‟ al-Shaghīr (himpunan kecil), al-Siyār al-Kabīr (sejarah hidup beasar), al-Siyār al-Shagīr (sejarah hidup kecil) dan alMabsūth (terhampar). 25
23
Tamar Djaja, Hajat dan Perjuangan Empat Imam Mazhab, (Solo: Ramadhani, 1984).,hlm.19-20. 24 Abī Bakri bin Mas‟ūd al-Kāsānī, op. cit. 25 Lihat juga, Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001)., hlm. 107.
79 Dalam bidang Ushul Fiqh, buah pikiran Imam Abu Hanifah dapat dirujuk antara lain dalam Ushūl al-Sarakhsī oleh alSarakhsī dan Kanz al-Wushūl Ilā „Ilmu al-Ushūl karya Imam alBazdawi.26 Meski dikenal sebagai ulama yang berpengetahuan dan dihormati, namun wafatnya Abu Hanifah sangat menyedihkan. Beliau wafat pada saat menjalani hukuman penjara pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja‟far al-Mansur dari Bani Abbasiyah. Dalam
kehidupannya,
Abu
Hanifah
tidak
suka
dengan
permasalahan politik. Sebelum masa pemerintahan Abbasiyah, Abu Hanifah juga pernah dipenjara oleh pemerintahan Bani Umayyah karena tidak mau dijadikan sebagai qadhi (hakim). Hal yang sama juga beliau terima pada saat pemerintahan Bani Abbasiyah hingga beliau menghembuskan nafas terakhirnya pada
26
Abdul Azis Dahlan, loc.cit., hlm. 14.
80 usia 70 tahun di penjara, dan jenazah Abu Hanifah dikebumikan di makam al-Khaizaran di timur kota Baghdad.27 Demikianlah sekilas penjelasan tentang biografi Imam Abu Hanifah mulai sejak kecil hingga wafat serta perjuangannya dalam pengembangan agama Islam. B. BIOGRAFI AL KASANI
1. Riwayat Hidup al-Kasani Ibn Mas‟ud al-Kasani, nama asli al-Kasani adalah Abu Bakar Mas‟ud bin Alauddin al-Kasani. Sebutan al-Kasani diambil dari istilah kasan, sebuah daerah di sekitar Syasy. Dalam kitab Misytabihun Nisbah karya ad-Dzahabi disebutkan bahwa daerah kasan merupakan daerah yang luas di Turkistan dan penduduk aslinya sering menyebut daerah tersebut dengan kasan yang
27
Ahmad al-Syurbasi, “Al- Aimatul Arba‟ah”, terj. Sabil Had dan Ahmadi, Sejarah dan Biografi Imam Empat Mazhab, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993)., hlm. 69
81 berarti suatu daerah yang indah dan memiliki benteng yang kokoh.28 Tahun kelahiran al-Kasani tidak disebutkan dengan jelas, sedangkan waktu wafatnya adalah pada tanggal 10 Rajab 587 H. Ibn Adim berkata, saya mendapatkan Dhiyya ad-Din berkata: saya mendatangi al-Kasani pada hari kematiannya, maka al-Kasani membaca surat Ibrahim hingga ketika sampai pada ayat 27:
Artinya : Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu29 dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. 30
28
„Alauddin Abi Bakri bin Mas‟ud al-Kasani, Badai‟ ash-Shanai‟ Juz I, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, t,th). 29
yang dimaksud ucapan-ucapan yang teguh di sini ialah kalimatun thayyibah yang disebut dalam ayat 24 yaitu kalimat baik ialah kalimat tauhid, yaitu segala ucapan yang menyeru kepada kebijakan dan mencegah kemungkaran serta perbuatan baik. Kalimat tauhid, seperti La ilaha illallah. 30
Departemen Agama R.I. Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Raja Publishing, 2011)
82 Maka keluarlah ruhnya, al-Kasani dimakamkan di sebelah kuburan istrinya, yaitu Fatimah di dalam makam Ibrahim alKhalil. Makam al- Kasani tersebut dikenal dengan nama makam seorang perempuan dengan suaminya. 31 Al-Kasani merupakan salah satu ulama Hanafi yang tinggal di Damaskus pada masa kekuasaan Sultan Nuruddin Mahmud dan di masa ini pula al-Kasani menjadi gubernur daerah Halawiyah di Alippo. 2. Guru-guru al-Kasani Di antara guru-guru al-Kasani adalah sebagai berikut: a. Alaudin Mahmud bin Ahmad al-Samarqondi, al-Kasani belajar fiqih dengan beliau, beliau adalah pengarang kitab fiqih at-Thuhfah, alKasani membaca sebagian besar karangan-karangannya. b. Sadr al-Islam Abi Yasar al-Badawi c. Abu al-Mu‟min Maemun al-Khahuli
31
„Alauddin Abi Bakri bin Mas‟ud al-Kasani ,op.cit.
83 d. Majidul Aimah Imam al-Ridlo al-Syarkasi 3. Murid-murid al-Kasani Di antara murid-murid al-Kasani adalah sebagai berikut: a. Mahmud yaitu putra al-Kasani. b. Ahmad bin Mahmud al-Ghoznawi, yaitu pengarang kitab Muqodimah al-Ghoznawiyah al-fiqih al-Hanafi. 4. Karya-karya al-Kasani Di antara karya-karya al-Kasani adalah sebagai berikut: a. Al-Shulton al-Mubin fi Ushul ad-Din Mengenai kepandaian al-Kasani, sebagaimana yang terdapat pada beberapa syairnya, diantaranya: “Aku mendahului orang-orang yang alim kepada kedudukannya yang benar dan kemampuan yang tinggi”. “Demikian kebijakan munculnya cahaya petunjuk pada malam yang gelap gulita”. “Orang-orang ingkar mendadankannya, tetapi Allah menghalangi hingga Allah yang menyempurnakannya”.
84 b. Badai‟ ash-Shanai‟ fi Tartibi al-Sharai‟ Kitab ini merupakan syarah kitab Tukhfah al-Fuqaha karya
al-Samarqondi,
tetapi
kitab
Badai‟ash-Shanai‟
sistematikanya menggunakan sistematika fiqih. Menerangkan berbagai pendapat madzhab fiqih dan pentarjihan (menguatkan) salah satu pendapat dengan berbagai alasan. Meskipun seorang tokoh madzhab Hanafi, al-Kasani tidak menerima begitu saja pendapat madzhabnya. Banyak pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya yang ditolak. 32 Al-Samarqondi mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Fatimah, dia adalah seorang perempuan yang cantik dan hafal kitab at-Thukhfah karya ayahnya. Banyak raja-raja dari negeri
Ruum
yang
ingin
melamarnya.
Ketika
al-Kasani
mengarang kitab Badai‟ dan memperlihatkan pada gurunya, beliau sangat senang. Kemudian al-Samarqondi menikahkan al-Kasani dengan putrinya, dimana sebagian maharnya adalah kitab al32
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid II, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 346
85 Kasani menyarahi kitab at-Thukhfah nya dan al-Samarqondi menikahkan dengan putrinya. 33 Karya terbesar al- Kasani yaitu kitab fiqh yang berjudul Badai‟ ash- Shanai‟fi Tartib al-Sharai‟. Kitab ini merupakan salah satu rujukan bagi orang yang bermadzhab Hanafi, selain kitab al-Mabsut karangan Imam Kamal Ibn Humam. Kitab Badai‟ ash-Shanai‟fi Tartib al-Sharai‟ merupakan penjelasan dari kitab Tuhfah fuqoha yang ditulis oleh as-Samarqondi. Dalam kitab Badai‟ ash-Shanai‟fi Tartib al-Sharai‟ yang terdiri dari 10 (sepuluh) jilid ini, al- Kasani juga membicarakan segala persoalan mulai dari ibadah, sosial dan politik. C. PENDAPAT
IMAM
ABU
HANIFAH
TENTANG
AKIBAT LI’AN TERHADAP PERKAWINAN. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dalam kitab Badai‟ Ash Shanai‟ syarah Imam „Ala‟uddin Abu Bakar Mas‟ud AlKasani Al-Hanafi :
33
‟Alauddin Abi Bakri bin Mas‟ud al-Kasani, loc.cit., hlm. 75
86
34
Artinya : “Abu Hanifah dan Muhammad berkata : Perceraian yang terjadi di dalam li‟an adalah perceraian sebab talaq ba‟in, maka hilanglah kepemilikan nikah dan tetap keharaman melakukan ijtihad dan pernikahan lama masih dalam keadaan li‟an, apabila si suami dusta kepada dirinya maka didera sebagai hadd atau si istri dusta kepada dirinya dalam artian membenarkan suaminya maka boleh nikah di antara keduanya dan berkumpul keduanya.” Hal ini juga dijelaskan dalam kitab Al- Ahwal Asy- Syahsiyah:
35
Artinya: “Dan apabila terjadi perpisahan maka tidak halal bagi suaminya hingga ia mengaku dusta atas tuduhannya, atau istri membenarkannya, maka apabila demikian istri menjadi halal bagi suaminya… Dalam kitab Al-Mabsuth juga diterangkan: 34
„Alauddin Abī Bakri bin Mas‟ūd al-Kāsānī, Badāi‟ al-Shanāi‟, Juz V, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 1997)., hlm. 53 35 Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Asy- Syahsiyah, (Beirut: DarAl-Fikri Al- Arabi, t.th)., hlm. 404
87
36
Artinya :”Dan apabila orang yang meli‟an mendustakan dirinya maka ia dikenakan hukum had berupa jilid (dera) dan ia hanya sebagai orang yang berbicara (khatib). Pendapat ini digunakan oleh Abu Hanifah dan Muhammad kemudian Beliau berdua berpendapat bahwa perpisahan li‟an seperti Talak”. Dari keterangan diatas dapat dijelaskan bahwa Imam Abu Hanifah berpendapat apabila keduanya (suami atau istri) mengaku dusta dalam tuduhannya maka suami istri yang bermula‟anah tersebut dapat menjadi suami istri kembali dengan akad nikah baru. Adapun yang menjadi alasan beliau dalam hal ini adalah :
36
Syamsuddin As- Syarakhsi, Al- Mabsuth, Juz VII, ,( Beirut ; Daar Al- Ma‟rifah, 1989)., hlm. 43-44
88
37
Artinya: “Dan Abu Hanifah beralasan, karena suami telah mengaku dusta dalam tuduhannya, ini berarti li‟annya batal, sebagaimana kepada suami boleh dinisbatkan anak kepadanya, begitu juga istrinya jika suami menginginkannya. Karena dasar haramnya untuk selama- lamanya bagi mereka adalah semata-mata tidak dapat menentukan mana yang benar dari suami istri yang bermula‟anah tersebut padahal sudah jelas salah satunya pasti ada yang berdusta. Karena itu jika telah terungkap rahasia tersebut, maka keharaman selama-lamanya jadi terhapus. Dapat dijelaskan mengenai pendapat Imam Abu Hanafi tentang
li‟an,
bahwa
perpisahan
hanya
dapat
terlaksana
berdasarkan keputusan dari perintah Rasulullah SAW, yang menyatakan hal itu ketika beliau bersabda, “Tidak ada jalan bagimu kepadamu”. Oleh karena itu Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa keputusan Nabi SAW merupakan syarat bagi jatuhnya
perpisahan,
sebagaimana
keputusan
beliau
juga
merupakan syarat bagi sahnya li‟an.
37
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz II, (Kairo: Dar al-fath lil I‟lam al-„araby, t.th)., hlm. 173- 174
89 Kemudian masalah perpisahan yang terjadi karena li‟an apakah perpisahan tersebut merupakan fasakh atau talak (yang dapat rujuk kembali), maka fuqaha yang berpendapat terjadinya perpisahan ini juga saling berselisih pendapat mengenai masalah tersebut. Imam Malik dan Syafi‟I berpendapat bahwa perpisahan tersebut merupakan fasakh, sedangkan Abu Hanifah mengatakan perpisahan tersebut merupakan talak ba‟in. Alasan Imam Malik untuk mengharamkan selamanya adalah karena mantan istri itu diserupakan dengan wanita yang haram
dinikahi
(mahram).
Sedang
Imam
Abu
Hanifah
menyerupakan perpisahan ini dengan talak, karena diqiyaskan atas perpisahan lelaki yang impoten, sebab perpisahan ini menurut pendapatnya baru dapat terjadi sesudah ada keputusan dari hakim.38
38
Drs. Slamet abidin, Drs. H. Aminuddin, Fiqih Munakahat II, ( Bandung: Pustaka Setia, 1999)., hlm. 116
90 D. METODE ISTINBATH HUKUM IMAM ABU HANIFAH TENTANG
AKIBAT
LI’AN
TERHADAP
PERKAWINAN Dalil yang dijadikan dasar Imam Abu Hanifah dalam menjelaskan pendapat beliau tentang akibat li‟an terhadap perkawinan adalah sebagai berikut :
91
Artinya : “Pada suatu hari datang kepada „Ashim bin „Abdi AlAjlani seorang laki-laki dari kalangan kaumnya, yaitu „Uwaimir Al-„Ajlani, kemudian laki-laki itu bertanya kepadanya, “Hai „Ashim, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama dengan orang lain, apakah ia boleh membunuhnya, yang akibatnya ia pun akan dibunuh oleh kalian, atau bagaimanakah yang harus ia perbuat?. Hai „Ashim, tanyakanlah masalah ini kepada Rasulullah SAW, demi aku”. Lalu Ashim menanyakan masalah tersebut kepada Rasulullah SAW. Ketika „Ashim telah kembali kepada keluarganya, datanglah „Uwaimir dan berkata kepadanya, “Hai „Ashim, apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, kepadamu? Jawab „Ashim, “Engkau tidak membawa kebaikan untukku. Sesungguhnya Rasulullah SAW, membenci persoalan yang engkau tanyakan”. „Uwaimir berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mundur sebelum menanyakan langsung hal itu kepadanya”. „Uwaimir pun menghadap sendiri. Dan ketika telah datang dihadapan Rasulullah SAW, yang ketika itu sedang berada ditengah-tengah orang banyak, berkatalah „Uwaimir, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang mendapati istrinya bersama drngan laki-laki lain, apakah ia boleh membunuhnya, yang akhirnya ia pun akan kalian bunuh (sebagai qisas) atau bagaimanakah yang harus ia perbuat? “Rasulullah SAW, menjawab “Sesungguhnya telah turunnya wahyu berkenaan dengan dirimu dan istrimu itu. Maka pergilah dan datangkanlah istrimu kemari.” Sahl salah seorang perawi hadis ini berkata “Akhirnya keduanya („Uwaimir dan istrinya) saling
92 berli‟an, sedang ketika itu saya bersama dengan orang banyak dihadapan Rasulullah SAW. Setelah keduanya selesai berli‟an, maka „Uwaimir berkata, “Ya Rasulullah,aku berdusta kepadanya seandainya aku tetap memegangnya sebagai istriku, “maka kemudian „Uwaimir menalak istrinya tiga kali, sebelum rasulullah SAW memerintahkan hal itu kepadanya.” (H.R. Imam Malik) Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dasar pendapat Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an terhadap perkawinan memang tidak dijelaskan secara detail, karena dasar pendapat Imam Abu Hanifah itu melalui beberapa pendapat jumhur ulama pada khususnya, seperti hadist tentang li‟an yang menyatakan :
Artinya : “ Dari Nafi‟ bahwasannya Ibnu Umar r.a memberi kabar kepadanya bahwa Rasulullah SAW. telah memisahkan seorang lelaki (suami) dan perempuan (istri) di mana ia
39
Achmad Sunarto, Shahih Bukhari, Terj, Jilid VII, (Semarang: Asy Syifa‟, 1993)., hlm. 213
93 menuduhnya keduanya”.40
berzina
dan
Nabi
menyumpah
Adapun Ibnu Umar berkata :
Artinya : “ Dari Ibnu Umar r.a bahwasannya Rasulullah SAW bersabda kepada dua orang (suami istri) yang telah tuduh menuduh, Perhitungan kalian berdua terserah kepada Allah, salah seorang diantara kamu berdua mesti ada yang berdusta, tidak ada jalan lain bagi engkau untuk kembali kepadanya “. (HR. Muslim dan Abu Dawud)41 Dalam hadits lain, Nabi SAW juga bersabda :
Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a bahwa ia telah berkata, dalam hadits dua orang yang tuduh menuduh (suami istri), ”Dan telah menghukum Rasulullah SAW bahwa tidak 40
Ibid, hlm. 219 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid. 2, (Jakarta ; Pustaka Amani, 1989)., hlm. 688 41
94 ada tempat kediaman yang hak baginya (istri) yang wajib atasnya (suami), dan tidak pula makanan yang wajib diberikan suami, karena keduanya telah bercerai, bukan karena talak, dan bukan pula karena suaminya meninggal”.42 Dasar-dasar yang dipakai Imam Abu Hanifah tidak dijelaskan secara rinci. Namun demikian, kaidah-kaidah umum (ushūl kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqihnya bercermin pada pernyataannya sebagaimana dikutip Romli SA:
Artinya: “Saya berpegang kepada kitab Allah (al-Qur‟an) apabila menemukannya, jika saya tidak menemukannnya saya berpegang kepada sunnah dan atsār, jika saya tidak ditemukan dalam kitab sunnah saya berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya. Saya tidak keluar (pindah) dari pendapat lainnya. Maka jika 42
Aminuddin, Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung; Pustaka Setia, 1999)., hlm. 118
95 persoalan sampai kepada Ibrahim al-Sya‟bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Sa‟id Ibnu Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad….” 43 Kutipan di atas menunjukkan, bahwa Abu Hanifah dalam melakukan istinbath hukum berpegang kepada dalil yang sistematis atau susunannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Yaitu Al-Qur‟an, sunnah, atsār dan ijtihad. Menurut Sahal Ibnu Muzahim mengenai dasar-dasar penegakan fiqih, Abu Hanifah berpegang kepada riwayat orang terpercaya
dan
menjauhkan
diri
dari
keburukan
serta
memperhatikan muamalah manusia dan adat atau „urf mereka itu. Dia memegangi qiyās, apabila suatu masalah tidak baik didasarkan kepada qiyās, beliau memegangi istihsān selama yang demikian itu dapat dia lakukan. Kalau tidak, maka beliau berpegang pada adat atau „urf.44 Jadi jelas, bahwa dalil fiqh Abu
43
Ramli SA, Muqaranah Madzahib fi al Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999)., hlm. 21. 44 T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001)., hlm. 86.
96 Hanifah adalah al-Kitab, al-Sunnah, Ahwāl al-Shaḫ ābat, Ijma‟, Qiyās, al-Istiḫ sān dan al-„urf.45 Imam Abu Yusuf berkata: “Saya belum pernah melihat orang yang lebih mengerti tentang hadits dan tafsirnya selain Abu Hanifah. Ia tahu akan ‟illat-‟illat hadits, mengerti tentang ta‟dil, tarjiḫ dan tentang tingkatan hadits yang sah atau tidak”. Bahkan Abu Hanifah sendiri pernah berkata: “Jauhilah olehmu perkataan mengenai urusan agama Allah menurut pendapat sendiri, tidak menurut hadits-hadits Nabi”. Dia memang sangat selektif terhadap hadits, sehingga hadits yang dipandang lemah ditinggalkan dan lebih mengutamakan rasio.46 Dikarenakan begitu sedikit penggunaan hadits Abu Hanifah, maka akibatnya dalam penerimaan hadits ia sangat ketat, karena pada waktu itu kota Kuffah dan Baghdad banyak berkembang hadits-hadits palsu, sehingga ia banyak memakai
45
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1997)., hlm. 146. 46 M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002)., hlm. 186.
97 ra‟yu dan rasionalisasi nash. Beliau sering memakai qiyās dan istiḫ sān sebagai dasar ijtihādnya. Penggunaan rasio tersebut di samping dilatarbelakangi alasan di atas, juga karena dalam masyarakat Irak pada waktu itu sangat dinamis dan heterogen, sehingga banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum baru yang tidak dapat menggunakan penalaran dari nash saja, serta juga dikarenakan jauhnya wilayah Irak dari sumber hadits, yaitu Makkah dan Madinah. Oleh karena itu, ia dalam berijtihad banyak memakai dasar ra‟yu (rasio), bahkan ia mendahulukan qiyās dari pada hadits ahad.47 Sebagaimana yang telah penulis kemukakan bahwa Manhaj Imam Abu Hanifah adalah menggunakan tujuh macam dasar yaitu : Al- Qur‟an, Sunnah Rasul, Ijma‟, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan ( Maslahat mursalah) dan Urf. Tetapi dalam kaitannya dengan pendapat yang membolehkan nikah kembali
47
Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Surabaya : Bina Utama, 1999)., hlm. 39. Mengenai kriteria hadits ahad menurut Imam Abu Hanifah dapat juga dilihat dalam Muhammad bin Hasan al-Jahwī al-Su‟ālabī al-Fāsīy, al-Fikru al-Sāmīy fi Tārīkh al-fiqhu al-Islāmīy, (Beirut: Dār al-Kutb al-Ilmiyah, t.th)., hlm. 425.
98 bagi suami istri yang bermula‟anah, ternyata tidak semua metodemetode tersebut tidak dipakainya melainkan hanya beberapa metode saja, diantaranya yang paling menonjol dalam hal ini adalah Qiyas. Secara
harfiyah
qiyas
bermakna
mengukur
atau
memastikan panjang, berat atau kualitas sesuatu. 48Dari segi teknis qiyas merupakan perluasan nilai syari‟ah yang terdapat dalam kasus asal atau asl, kepada kasus baru karena yang disebut terakhir mempunyai kasus yang sama dengan yang disebut pertama. Kasus asal ditentukan oleh nash yang ada dan qiyas berusaha memperluas tekstual tersebut kepada kasus yang baru. 49 Dengan adanya kesamaan kausa („illat) antara kasus asal dan kasus baru, maka penerapan qiyas mendapat justifikasi. Imam Abu
Hanifah
berpendapat
seperti
diatas
karena
beliau
mengqiyaskan perceraian akibat li‟an dengan perceraian karena
48
Muhammad Hasshim Kamali, Prinsip- prinsip dan Teori- teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998)., hlm. 225 49 Imam Muhammad Ali Ibnu Asy- Syaukani, Irsyadul Fukhul, (Beirut: Dar Al- Kutub al-Ilmiyyah, , t.th)., hlm. 198
99 impoten. Sebagaimana pendapat beliau yang dinukilkan oleh Ibnu Rusydi al-Qurtuby dalam kitab Bidayatul mujtahid:
50
Artinya: “Adapun Imam Abu Hanifah menyerupakan perpisahan li‟an dengan talak karena diqiyaskan dengan perceraian lelaki yang impoten, karena perpisahan ini menurut pendapatnya baru dapat terjadi sesudah ada keputusan dari hakim. Dari keterangan diatas telah jelas bahwa Imam Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya dengan metode
qiyas,
bahwasanya perceraian karena li‟an termasuk talak bukan fasakh, karena menurut beliau perceraian karena li‟an dan perceraian karena impoten mempunyai kesamaan yakni sama-sama baru dapat terjadi sesudah ada keputusan dari hakim. Dan juga perceraian ini datangnya dari pihak suami dan tidak ada campur
50
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Juz II, (Kairo: Dar al-fath lil I‟lam al-„araby, t.th)., hlm. 173- 174
100 tangan dari pihak istri maka disebut talak. karena perceraian yang timbul dari pihak suami adalah talak bukan fasakh.51 Imam Abu Hanifah dalam masalah ini menggunakan cara istinbath demikian, karena menurut beliau bahwa perceraian karena li‟an adalah perceraian dengan talak karena diqiyaskan atas perpisahan lelaki yang impoten, sebab perpisahan ini (menurut pendapatnya ) baru dapat terjadi sesudah ada keputusan dari hakim.52 Jadi
pengqiyasan
perceraian
karena
li‟an
dengan
perceraian karena suami impoten dikarenakan ada kesamaan kausa („illat) yakni baru samasama dapat terjadi setelah adanya keputusan dari hakim. Dan pendapat beliau dikuatkan oleh Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh As- Sunnah yang menyatakan bahwa perceraian karena li‟an termasuk dalam kategori talak ba‟in, sebabnya perceraian
51 52
hlm. 122
Ibid. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: Daar Al- Fikr, t.th).,
101 datangnya dari pihak suami, bukan dari pihak istri. Semua perceraian yang datangnya dari pihak suami adalah termasuk kategori talak, bukan fasakh. Perceraian yang terjadi disini adalah seperti perceraian karena impoten yang harus dilakukan dengan putusan pengadilan (putusan hakim). 53 Dengan melihat pendapat beliau bahwa li‟an termasuk kategori talak ba‟in berarti dapat diindikasikan bahwa perceraian karena li‟an bukan perceraian selama- lamanya (abadi) sebab yang namanya talak ba‟in adalah perceraian yang dapat bersatu kembali dengan akad nikah baru.
53
Sayyid Sabiq, Op.cit.
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG LI’AN DALAM KITAB BADĀI’ AL-SHANĀI’ KARYA ’ALAUDDĪN ABĪ BAKRI BIN MAS’ŪD AL-KĀSĀNĪ
A. ANALISIS
PENDAPAT
TENTANG
AKIBAT
IMAM LI’AN
ABU
HANIFAH TERHADAP
PERKAWINAN. Hukum Islam dibangun sesuai dengan fungsi dari agama Islam sebagai rahmat li al-‘ālamīn. Konsekuensi dari fungsi tersebut adalah bahwa Islam tidak hadir sebagai sesuatu yang menyulitkan umat manusia sebagaimana dijelaskan Allah dalam salah satu firman-Nya berikut ini dalam Qur‟an surat Al-Hajj ayat 78:
102
103 Artinya : ”Dan tidaklah Allah jadikan bagimu dalam agama suatu kesulitan”.1 Oleh sebab itu dalam perkembangan hukum Islam, umat Islam diperkenankan untuk melakukan penetapan hukum terhadap suatu hal yang belum ada kejelasan hukum dalam sumber hukum Islam. Langkah inilah yang kemudian dikenal dengan jalan ijtihad. Proses ini merupakan sebuah langkah menyelaraskan ajaran Islam dengan perubahan zaman. Sebab dalam perubahan zaman tentu terdapat perubahan-perubahan yang tidak jarang membutuhkan ijtihad terhadap penetapan ketentuan hukum suatu hal yang mengalami perubahan sebagai dampak dari perubahan zaman. Hal ini
menurut
Wahbah
al-Zuhaili
diperbolehkan
dengan
menyandarkan pada salah satu prinsip dalam syari‟at Islam berikut ini:
1
Departemen Agama R.I. Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Raja Publishing, 2011)
104 Artinya : “Ketentuan-ketentuan hukum dapat berubah dengan berubahnya masa”.2 Ijtihad telah menjadi bagian dari pengembangan hukum Islam. Namun tidak selamanya hasil ijtihad senantiasa sama antara satu mujtahid dengan mujtahid lainnya. Hal ini salah satunya dapat terlihat pada pendapat ulama tentang akibat li’an terhadap perkawinan. Dalam lingkup ulama mazhab, Imam Abu Hanifah merupakan imam yang memiliki pendapat yang berbeda mengenai hal tersebut. Oleh sebab itu, ada baiknya sebelum melakukan analisa terhadap implikasi pendapat Imam Abu Hanifah mengenai akibat li’an terhadap perkawinan, penulis akan memaparkan terlebih dahulu pendapat ulama (imam mazhab) yang berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Perbedaan pendapat para imam madzhab bersumber pada hadist li’an yang menjelaskan tentang kisah Uwaimir Al-Ajlani,
2
Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Studi Banding dengan Hukum Positif, terj. Said Agil Hussain al-Munawwar dan M. Hadri Hasan dari judul asli Nazhariyah al-dharurah al-Syar‟iyah Muqaranah Ma‟a al-Qanun al-Wadli‟i, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997)., hlm. 51.
105 ketika melihat istrinya berjalan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya, yang berbunyi sebagai berikut :
106
3
Artinya : Dan Yahya bin Yahya juga menceritakan kepada kami, dia berkata: aku membaca kepada Malik dari Ibnu Syihab, bahwa Sahl bin Sa‟d As-Sa‟idi mengabarkan kepadanya, bahwa Uwaimir Al-Ajlani dating kepada Ashim bin Adiy Al-Anshari, lau Uwaimir berkata kepadanya: Wahai Ashim, bagaimana pendapatmu jika seorang lelaki mendapati isterinya sedang bersama laki-laki lain, apakah dia boleh membunuh lelaki itu, lalu kalian semua akan membunuhnya (mengqishashnya)? Atau, apa yang harus dia lakukan? Tanyakanlah hal itu kepada Rasulullah wahai Ashim! Ashim kemidian menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW. Namun beliau tidak menyukai pertanyaan itu dan mencelanya, sehingga Ashim pun merasa begitu sedih dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah. Ketika Ashim kembali kepada keluarganya, Uwaimir mendatanginya, lalu ia berkata, Wahain Ashim, apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu? Ashim berakata kepada Uwaimir, ”kamu tidak datang kepadaku dengan membawa kebaikan. Sungguh, Rasulullah SAW tidak menyukai pertanyaan yang aku ajukan kepada beliau.” Uwaimir berkata, ”demi Allah, aku tidak akan berhenti sampai aku ajukan pertanyaan itu kepada beliau.” Maka Uwaimir pun pergi hingga mendatangi Rasulullah yang sedang berada di tengah kerumunan orang-orang. Ia berkata (kepada Rasulullah), ”wahai Rasulullah, bagaiman menurut engkau jika seorang lelaki menemukan isterinya sedang bersama lelaki 3
Imam An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, (Jakarta; Pustaka Azam, 2011)., hlm. 344-345
107 (lain). Apakah dia boleh membunuh lelaki lain itu, lalu kalian akan membunuhnya (mengqishashnya)?” Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya telah turun (ayat). Yang berkenaan dengan dirimu dan teman perempuanmu (isterimu) itu. Maka pergilah, lalu baawalah teman perempuanmu itu (ke sini).” Sahl berkata : Uwaimir dan istrinya saling meli‟an, dan saat aku bersama orang-orang di dekat Rasulullah. Ketika keduanya selesai, Uwaimir berkata, ”aku berdusta kepadanya, wahai Rasulullah, jika aku akan mempertahankannya?” Uwaimir kemudian menceraikan isrtinya dengan talak tiga sebelum Rasulullah memerintahkannya (melakukan itu).” Ibnu Syihab berkata : ”maka itu pun menjadi ketentuan yang berlaku bagi dua orang yang saling meli‟an.” Adapun madzhab lain kecuali madzhab imam Abu Hanifah tentunya menafsiri hadits tersebut adalah hadits tentang li’an. Penafsiran tersebut didasarkan pada ucapan Uwaimir Al Ajlani : ( كَذبْتُ عليها يا رسول اهللِ اِنْ اَمْسَكْتُهاaku berdusta kepadanya, wahai ya Rasulullah. Aku tidak akan mempertahankannya), itu merupakan kalimat yang sempurna. Setelah itu, Uwaimir memulai kembali perkataannya dengan mengatakan
( هي طالق ثالثاdia
tercerai dengan talak tiga). Ucapan ini bertujuan untuk membenarkan perkataannya yang menyatakan bahwa ia tidak akan mempertahankan istrinya. Dalam hal ini perlu diketahui
108 bahwa li’an tidak mengharamkan istrinya bagi dirinya, kemudian dia ingin menjadikan istrinya haram bagi dirinya dengan menjatuhkan talak kepada istrinya. 4 Imam Abu Hanifah juga berpendapat bahwa perpisahan hanya dapat terlaksana berdasarkan keputusan dan perintah dari Rasulullah SAW, yang menyatakan hal itu ketika beliau bersabda :
Artinya : ”Tidak ada jalan bagimu untuk kembali kepadnya” Rasulullah SAW mengatakan tidak ada jalan secara mutlak. Seandainya haramnya tidak selamanya tentu beliau menjelaskan sebabnya sebagaimana beliau menjelaskan sebab haramnya perempuan yang ditalak tiga. 5 Oleh karena itu, imam Abu
Hanifah
merupakan
4
berpendapat
bahwa
keputusan
syarat bagi jatuhnya perpisahan,
Nabi
SAW
sebagaimana
Ibid.,hlm 377 Abu Bakar Al Husaini, Imam Taqiyudin, Kifayatul Akhyar, Terj., Jilid 2., (Surabaya; PT Bina Ilmu, 1997)., hlm. 567 5
109 keputusan beliau juga merupakan syarat bagi sahnya li’an. Yang mana syarat sahnya li’an adalah lafadz yang digunakan oleh kedua, pasangan suami istri menunjukkan atau memberikan maksud li’an sebagaimana dalam Al Quran. Maka riwayat dari Abu Hanifah dan Ahmad yang paling tegas bahwa ”Perceraian itu belum berlaku sebelum istri melakukan li’an dan sebelum hakim menetapkan perceraian”. Dan hakim perlu menegaskan ”Aku pisahkan kamu yang seorang dari yang lain”. 6 Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwasannya perbedaan pendapat yang timbul antara imam Abu Hanifah dan imam madzhab lainnya terletak pada penafsiran terhadap hadits yang menjelaskan kisah Uwaimir Al Ajlani yang sedang mendapati istrinya sedang bersama laki-laki lain yang bukan suaminya. Yang pada dasarnya disebabkan adanya ketidak jelasan tentang pemisahan yang dilakukan oleh Nabi SAW terhadap kedua suami istri di dalam hadits yang masyhur itu kurang jelas keterangannya. Karena di dalam hadits tersebut 6
T.M. Hashbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2001)., hlm. 286
110 disebutkan bahwa lelaki itu sendirilah yang memulai menalak istrinya sebelum Nabi SAW memberitahukan kepadanya tentang wajibnya terjadi perpisahan. Perpisahan karena li‟an itu termasuk dalam kategori fasakh, karena perceraian itu mengakibatkan tidak boleh nikah lagi antara kedua bekas suami istri itu untuk selama- lamanya. Dan jika terjadi fasakh sebab li’an maka pihak wanita tidak berhak menerima nafkah dan tempat tinggal selama masa iddah. Yang berhak menerima nafkah tersebut hanya istri yang di talak, bukan karena fasakh. Nabi pernah memutuskan wanita yang berli’an tidak berhak mendapatkan nafkah untuk keperluan makan dan tempat tinggal.7 Menurut penulis tentang pendapat Imam Abu Hanifah tentang perceraian akibat terjadinya li’an, yang mana imam Abu Hanifah mengatakan bahwa istri menjadi halal bagi suami, karena hilangnya unsur yang mebuat istri haram baginya adalah imam
7
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988)., hlm. 363
111 Abu Hanifah berpendapat bahwa perpisahan yang disebabkan oleh li’an yakni merupakan talak ba’in, sedang mayoritas ulama ketika perceraian yang disebabkan oleh li’an itu adalah merupakan fasakh, yang artinya suami tersebut tidak dapat kembali bersama istri untuk selama-lamanya. Jadi jelas bahwa li’an merupakan kategori fasakh dan wanita yang dili’an tidak berhak menerima nafkah dan tempat tinggal, karena yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal adalah istri yang beriddah karena talak. Kemudian dari segi disyari‟atkannya li’an untuk manusia merupakan syari‟at Ilahi yang paling tinggi yang pernah digambarkan oleh manusia tentang
keadilan, perlindungan, pemeliharaan kehormatan dan keturunan dengan cara li’an, sebab suatu persoalan yang dibiarkan tanpa penyelesaian, maka tidak seorang pun yang dapat menentukan terjadinya kejahatan dan siapa yang berkhianat dan berdusta. Namun demikian tampaknya pendapat Imam Malik dan Imam Syafi‟i lebih tepat diterapkan di negara Indonesia, karena sebagai bangsa timur yang bercorak religius, menjunjung tinggi
112 nilai-nilai etika dan moral. Oleh karena itu dengan mengambil ketegasan hukum diatas diharapkan kita lebih berhati-hati lagi agar tidak terjadi lagi peristiwa mula’anah yang nantinya menimbulkan dua akibat yakni hukuman dera dan ternodanya keluarga. Dan pendapat jumhur bahwa li’an menimbulkan keharaman selama-selamanya untuk berkumpul telah termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam yakni pada bab XI tentang batalnya perkawinan pada pasal 70 yang menegaskan bahwa : “Perkawinan batal apabila seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili‟annya”. 8 Dan pada bab XVII tentang Akibat Putusnya Perkawinan bagian keenam, tentang Akibat Li’an, pada pasl 162 dinyatakan bahwa: ”Bilamana li‟an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamalamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suami terbebas dari kewajiban memberi nafkah”.9 Dan pendapat Imam Abu hanifah tentang alasan bolehnya suami menikah kembali dengan istrinya yang telah dili’annya dengan alasan pemahaman hadits yang menyatakan bahwa tidak 8
Kompilasi Hukum Islam, ( Bandung: Citra Umbara, 2010)., hlm.
9
Ibid., hlm. 286
251
113 boleh berkumpul kembali (keharaman selama-lamanya) adalah jika keduanya (suami dan istri) selagi masih saling meli’an. Jadi menurut Imam Abu Hanifah, jika dari salah satu pihak telah mengakui kesalahannya berarti bukan li’an lagi, sehingga batallah hukum li’an. Alasan ini secara sepintas bisa dibenarkan bahkan sangat rasional. Akan tetapi jika dikaji lebih mendalam dengan melihat pada riwayat- riwayat kebanyakan jumhur Ulama‟, para sahabat dan tabi‟in lebih condong kepada keharaman untuk selama-lamanya serta dari segi hikmah diturunkannya syari‟at li’an, maka penulis menyimpulkan bahwa pendapat Jumhur Ulama‟ lebih tepat, sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan boleh nikah kembali bagi suami istri yang bermula’anah adalah kurang tepat dan sedikit pengikutnya karena kurang rajih. Dikalangan Ulama‟ Hanafiyah sendiri yakni pengikut Imam Abu Hanifah banyak yang tidak sependapat dengan beliau, diantaranya Abu Yusuf, Zufar dan Hasan ibnu Ziyad, ketiganya berpendapat:
Li’an
adalah
perceraian
selain
talak,
dan
114 sesungguhnya li’an itu menyebabkan keharaman untuk selamalamanya seperti keharuman karena susuan dan semenda. Mereka beralasan dengan sabda Nabi Muhammad saw. bahwa suami istri yang telah berli’an itu tidak boleh bertemu kembali (sebagai suami istri) untuk selama- lamanya.10 Ibnu Jauzi berkata: dari Imam Ahmad ada dua pendapat dan yang lebih syah dari keduanya adalah bahwa suami istri yang telah melakukan li’an tidak boleh kembali lagi padanya, sedang riwayat yang kedua menyatakan boleh. Imam Abu Hanifah dalam salah satu pendapatnya juga seperti itu.11 Demikian pula jika ditinjau dari sisi keputusan dari hakim yang telah terjadi tidak dapat dibatalkan atau dicabut kembali oleh siapapun, walaupun putusan itu salah. Hal itu karena nabi Saw memberi sugesti para hakim (qadhi) untuk berijtihad dalam mengambil setiap keputusan. Walaupun keputusan yang diambil
10
Muhammad al- Kasani al- Hanafi, Bada’i as- sana’i fi Tartibi asySyara’i, juz III, (Beirut: Dar- al- Kutub al- Ilmiyah, t.th)., hlm. 245 11 Muhammad Ali Ash- shabuni, Tafsir ayat ahkam, Juz III (Suriah: Dar al- Qalam al-Araby, t.th)., hlm 68
115 hakim itu ternyata salah ia tetap mendapat pahala. Sebagaimana sabda nabi:
12
Artinya: ”Dari Abu Hurairah berkata: bahwasanya Rasulullah saw. Telah bersabda: apabila Hakim menjatuhkan hukum dengan berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan kalau ia menjatuhkan hukum dengan ijtihad, kemudian ijtihadnya itu salah, maka ia mendapat satu pahala”. Dari hadits tersebut menurut dalam ash-Shan‟any dalam subulus salam bahwa tidak dapat diragukan bahwa sabda Rasulullah saw. أجر فله فأخطاءitu tidak dapat dijadikan landasan ketiadaan dibolehkannya membatalkan keputusan qadhi mujtahid yang salah. Sebab yang dimaksud أخطاءadalah salah disisi Allah sebagaimana halnya salah pada kebenaran itu sendiri. Kesalahan yang demikian itu hanya diketahui berdasarkan wahyu dari Tuhan. Pembicaraan dalam permasalahan kesalahan yang terdapat dalam
12
Imam Nasa‟i, Sunan Nasa’i, juz VIII, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, t.th)., hlm. 244
116 suatu perkara di dunia ini adalah ketiadaan penuhnya syaratsyarat dan unsur- unsur dalam pengambilan keputusan.13 Mengenai perkara li’an, menurut penulis termasuk putusan yang tidak dapat dibatalkan karena adanya nash (hadits Nabi) dan para ulama‟ dan pengikut Imam Abu Hanifah sendiri yang
menunjukkan
bahwa
li’an
menyebabkan
haramnya
berkumpul lagi sebagai suami istri yang bersifat abadi walaupun suami mengaku dusta. B. ANALISIS ISTINBATH HUKUM PENDAPAT IMAM ABU
HANIFAH
TENTANG
AKIBAT
LI’AN
TERHADAP PERKAWINAN. Terkait pendapat Imam Abu Hanifah tentang akibat li’an, tidak dapat dilepaskan dari istinbath hukum beliau mengenai perpisahan akibat li’an terhadap perkawinan, pada hadits yang menceritakan tentang kisah Uwaimir Al Ajlani sebagai berikut:
13
Ash- Shan‟any, Subul As-Salam, Juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, t.th)., hlm. 219
117
14
14
Imam An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, (Jakarta; Pustaka
118 Artinya : Dan Yahya bin Yahya juga menceritakan kepada kami, dia berkata: aku membaca kepada Malik dari Ibnu Syihab, bahwa Sahl bin Sa‟d As-Sa‟idi mengabarkan kepadanya, bahwa Uwaimir Al-Ajlani dating kepada Ashim bin Adiy Al-Anshari, lau Uwaimir berkata kepadanya: Wahai Ashim, bagaimana pendapatmu jika seorang lelaki mendapati isterinya sedang bersama laki-laki lain, apakah dia boleh membunuh lelaki itu, lalu kalian semua akan membunuhnya (mengqishashnya)? Atau, apa yang harus dia lakukan? Tanyakanlah hal itu kepada Rasulullah wahai Ashim! Ashim kemidian menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW. Namun beliau tidak menyukai pertanyaan itu dan mencelanya, sehingga Ashim pun merasa begitu sedih dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah. Ketika Ashim kembali kepada keluarganya, Uwaimir mendatanginya, lalu ia berkata, Wahain Ashim, apa yang dikatakan Rasulullah SAW kepadamu? Ashim berakata kepada Uwaimir, ”kamu tidak datang kepadaku dengan membawa kebaikan. Sungguh, Rasulullah SAW tidak menyukai pertanyaan yang aku ajukan kepada beliau.” Uwaimir berkata, ”demi Allah, aku tidak akan berhenti sampai aku ajukan pertanyaan itu kepada beliau.” Maka Uwaimir pun pergi hingga mendatangi Rasulullah yang sedang berada di tengah kerumunan orang-orang. Ia berkata (kepada Rasulullah), ”wahai Rasulullah, bagaiman menurut engkau jika seorang lelaki menemukan isterinya sedang bersama lelaki (lain). Apakah dia boleh membunuh lelaki lain itu, lalu kalian akan membunuhnya (mengqishashnya)?” Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya telah turun (ayat). Yang berkenaan dengan dirimu dan teman
Azam, 2011)., hlm. 344-345
119 perempuanmu (isterimu) itu. Maka pergilah, lalu baawalah teman perempuanmu itu (ke sini).” Sahl berkata : Uwaimir dan istrinya saling meli‟an, dan saat aku bersama orang-orang di dekat Rasulullah. Ketika keduanya selesai, Uwaimir berkata, ”aku berdusta kepadanya, wahai Rasulullah, jika aku akan mempertahankannya?” Uwaimir kemudian menceraikan isrtinya dengan talak tiga sebelum Rasulullah memerintahkannya (melakukan itu).” Ibnu Syihab berkata : ”maka itu pun menjadi ketentuan yang berlaku bagi dua orang yang saling meli‟an.” Mayoritas para ulama menjadikan hadist tersebut sebagai dasar li’an, akan tetapi masih terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang perpisahan yang diakibatkan oleh li’an. Yang mana ulama madzhab Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi‟iyah tidak memperbolehkan suami istri berkumpul kembali untuk selamalamanya, namun berbeda pendapat dari ulama madzhab Hanafiyah justru malah sebaliknya, yakni perpisahan tetap terjadi, akan tetapi suami istri tersebut dapat berkumpul kembali, dikarenakan perpisahan yang disebabkan oleh li’an adalah sebagai talak ba’in. Sebagaimana telah penulis analisa mengenai pendapat Imam Abu Hanifah tentang dapat berkumpul kembali bagi suami istri yang bermula’anah, dimana pendapat tersebut tidak terlepas
120 dari metodologi beliau dalam beristinbath, oleh karena itu penulis akan menganalisa lebih dalam mengenai metode beliau dalam beristinbath dalam permasalahan bolehnya berkumpul kembali bagi suami istri yang bermula’anah. Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum pada umumnya menggunakan dasar- dasar hukum sebagai berikut : 1. Al-Qur‟an 2. Al- Hadits 3. Fatwa Sahabat dan Ijma‟ 4. Qiyas 5. Istihsan 6. Adat dan „Urf masyarakat. 15 Adapun Imam Abu Hanifah menyerupakan perpisahan akibat li’an bagi suami istri yang bermula’anah ini dengan talak. Karena diqiyaskan atas perpisahan lelaki yang impoten, sebab
15
Munawir Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)., hlm. 79
121 perpisahan ini menurut pendapatnya baru dapat terjadi sesudah ada keputusan dari hakim.16 Mengenai hal tersebut memang telah terjadi perselisihan dikalangan Imam Madzhab. Imam Abu Hanifah dalam permasalah ini berpendapat suami istri dapat berkumpul kembali yang telah bermula’anah karena perceraian li’an dikategorikan dengan talak ba’in. Dan talak ba’in merupakan talak yang membolehkan nikah kembali tapi dengan syarat dengan akad nikah baru. Sebagaimana pendapat beliau yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd al- Qurtuby dalam kitab Bidayatul mujtahid:
17
Artinya: “Adapun Imam Abu Hanifah menyerupakan perpisahan li‟an dengan talak karena diqiyaskan dengan perceraian lelaki yang impoten, karena perpisahan ini menurut pendapatnya baru dapat terjadi sesudah ada keputusan dari hakim.
16
Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminuddin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999)., hlm. 116 17 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: Daar Al- Fikr, t.th).
122 Dari keterangan diatas telah jelas bahwa Imam Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya dengan metode
qiyas,
bahwasanya perceraian karena li’an termasuk talak bukan fasakh, karena menurut beliau perceraian karena li’an dan perceraian karena impoten mempunyai kesamaan yakni sama-sama baru dapat terjadi hukumnya sesudah ada keputusan dari hakim. Dan juga perceraian ini datangnya dari pihak suami dan tidak ada campur tangan dari pihak istri maka disebut talak. Karena perceraian yang timbul dari pihak suami adalah talak bukan fasakh.18 Qiyas menurut Ulama‟ ushul adalah menyamakan sesuatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya hukum).19
18
Sayyid Sabiq, Fiqh al-sunnah, juz II, (Kairo: Dar al- Fath lil I‟lam al-„Arabi,1990)., hlm. 275 19 Depag. RI, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tingkat Tinggi Agama IAIN, 1986)., hlm. 107
123 Dilihat dari ketentuan pengqiyasan, baik dari segi rukun dan syaratnya, penulis berpendapat bahwasanya pendapat Imam Abu Hanifah lemah, sebab perceraian karena lemah dzakar (impoten) yang disebut sebagai hukum asal ternyata perceraian tersebut tidak ada satu pun nash baik al-Qur‟an maupun hadits yang menjelaskan sebagai alasan perceraian. Akan tetapi merupakan
qiyas
dari
penyakit
sopak,
gila,
dan
lepra.
Sebagaimana sabda Nabi:
20
Artinya: “Diiwayatkan dari Umar, sesungguhnya ia berkata siapa saja perempuan yang menjadikan seorang laki- laki tertimpa olehnya berpenyakit gila, lepra, dan sopak, maka perempuan tersebut berhak mahar, sebab apa yang menimpa dirinya, sedang mahar tersebut menjadi beban orang yang telah menipunya. (HR. Malik dan Dar quthni).
20
Muhammad bin Ali bin Muhamad Asy- Syaukani, Nail alAuthar, Juz V, (Mesir: Mustafa al- Babi al- Halaby wa Auladah, t.th)., hlm. 304
124 Dalam riwayat lain disebutkan:
21
Artinya: “Dan dalam lafadz lain dikatakan bahwa Umar pernah memutuskan perkaraseorang perempuan yang sakit sopak, lepra dan gila, apabila ba‟da dukhul maka keduanya diceraikan, sedangkan maharnya menjadi hak si wanita itu karena telah dicampuri suaminya”. Dari
hadits
tersebut
dapat
diambil
mafhum
muwafaqahnya, bahwa penyakit sopak, lepra dan gila adalah termasuk cacat yang membolehkan adanya fasakh dalam suatu perkawinan.22 Sedangkan Jumhur dari kalangan sahabat Nabi dan generasi berikutnya berpendapat bahwa boleh difasakh suatu perkawinan karena adanya cacat, meskipun mereka berselisih
21
Ibid. Ahmad Ghandur, Ath-Thalaq fi Syari’at al-Islamiyyah wa al-Qanun, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1967)., hlm. 35 22
125 pendapat tentang perincian, macam dan jenis cacat yang membolehkan adanya fasakh. 23 Dari penjelasan diatas telah jelas bahwa perceraian karena impoten merupakan qiyas dari perceraian karena sopak, kusta dan gila karena impoten termasuk cacat. Menurut Imam Abu Hanifah perceraian karena impoten dijadikan sebagai ashal dari perceraian akibat li’an. Sedangkan pengqiyasan terhadap qiyas tidak dapat dibenarkan.
Sebab
qiyas
tidak
dapat
dijadikan
tempat
mengqiyaskan suatu peristiwa, karena jika ‘illat cabang itu sama dengan ‘illat hukum yang ditetapkan dengan qiyas maka „illat cabang itu sama dengan „illat peristiwa yang sudah mempunyai nash dan jika „illatnya tidak sama, maka tidaklah sah menyamakan hukumnya. Kemudian menurut jumhur Ulama‟ walaupun membolehkan qiyas yang satu menjadi ashal dari qiyas yang lain. Namun kalau dicermati sebenarnya sama karena pembolehan ini apabila ‘illat tersebut identik dengan ‘illat asal. Berbeda dengan al- Ghazali , beliau menolak proposisi bahwa
23
Ibid.
126 suatu qiyas dapat menjadi asal dari qiyas yang lain. Menurut beliau bahwa qiyas yang dibangun atas dasar qiyas yang lain bagaikan spekulasi yang dibangun atas spekulasi, dan apabila terus mengikuti garis itu, maka kemungkinan besar spekulasi itu salah.24 Dari penjelasan diatas penulis menguatkan pendapatnya Imam al- Ghazali sehingga qiyas dijadikan sebagai asal pada qiyas yang lain tidak boleh. Jadi pengqiyasan perceraian li’an diqiyaskan dengan perceraian karena impoten mempunyai „illat hukum dan konsekwensi yuridis yang berbeda serta tidak lengkapnya rukun
qiyas yang menyebabkan tidak boleh
mengqiyaskan atau menyamakan hukum antara keduanya. Dengan demikian setelah diteliti ternyata penggunaan qiyas tidak dapat diterima, maka logikanya penggunaan atas qiyas tidak dapat dibenarkan. Adapun mengenai masalah pengqiyasan yang membolehkan qiyas menjadi asal pada qiyas yang lain seperti yang diungkapkan keabsahannya oleh Ibnu Rusyd (Fuqaha‟
24
Al- Ghazali, Mustasfa, jilid II, (Beirut: Dar fikr, t.th)., hlm. 87
127 Maliki terkemuka) ataupun yang berpendapat bahwa perceraian karena impoten bukanlah qiyas , karena pengqiyasan terhadap sopak, lepra dan gila menurut penulis adalah qiyas ma’al fariq (qiyas kepada yang tidak sama), karena Impoten menghilangkan tujuan nikah, yaitu mendapatkan keturunan, sedangkan cacat yang lainnya tidak setaraf dengan itu. Jadi perceraian akibat impoten bukanlah qiyas karena permasalahan tersebut mempunyai landasan normatif sendiri, yakni dari hadits sebagai berikut:
25
Artinya: “Diriwayatkan dari Sa‟id bin Musayyab berkata bahwa Umar ra. telah memberikan keputusan bagi orangorang yang impoten untuk ditunggu satu tahun”. Hadits tersebut di atas oleh Imam Syafi‟i dijadikan landasan untuk meligitimasi adanya perceraian karena alasan cacat badan (impoten) yang sebelumnya diberi waktu satu tahun untuk menjalankan perawatan medis.
25
Ibnu Hajar al- Asqalany, Bulughul maram, (Bandung: al- Ma‟arif, t.th)., hlm. 212
128 Dan kalau kita analisa landasan normatif hadits tersebut dari kevalidan hadits. Hadits tersebut termasuk hadits dhoif bahkan munqathi’ antara Sa‟id bin Musayyab dan Umar. Namun demikian hadits tersebut dapat dijadikan landasan pedoman perceraian lantaran perawinya dhabith dan tsiqoh. Sehingga Imam Syafi‟i mengecualikan sebagian hadits munqathi’ yang diterima. Sedangkan matan tersebut merupakan kebijakan khalifah Umar, barangkali dalam waktu satu tahun penyakit tersebut dapat disembuhkan, bila tetap dalam keadaannya, maka istri dapat mengajukan gugatan fasakh. Kemudian terlepas perbedaan pendapat mengenai hukum perceraian karena impoten dan boleh tidaknya qiyas sebagai asl dari qiyas yang lain. menurut analisa penulis bahwasanya pengqiyasan perceraian karena li’an terhadap perceraian karena suami impoten tidak dapat diterima, karena dalam perceraian karena impoten berlaku dua hukum tergantung inisiatif dari suami istri, sehingga akibatnya berbeda yakni talak dan fasakh. Sedangkan
yang
sebenarnya
hukum
asal
bukan
hukum
129 pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu. Dan dari al- furu’ yakni yang diqiyaskan yaitu perceraian karena li’an sudah ada nashnya yang jelas dan Jumhur Ulama‟ telah mengakui keberadaannya yaitu berupa hadits, sedangkan sesuatu perkara yang akan diqiyaskan seharusnya yang belum ada nashnya. Demikianlah analisa penulis mengenai pemakaian qiyas sebagai dasar pendapat Imam Abu Hanifah dalam permasalahan perceraian karena li’an. Dan tentang tidak boleh kembali serta tidak ada jalan untuk suami istri yang bermula’anah dalam hadits mula’anah yang lain sebagaimana potongan hadits ini :
Menurut Asy-syaukani hadits tersebut merupakan hujjah, bahwa setiap perceraian sesudah dicampuri maka, tidak berhak lagi suami menuntut maharnya. 26 Dari sini jelas Imam Abu
26
Muhammad bin Ali bin Muhamad Asy- Syaukani, Nail alAuthar, Juz V, (Mesir: Mustafa al- Babi al- Halaby wa Auladah, t.th)., hlm. 304
130 Hanifah dalam masalah ini hanya melihat dari sisi bahasa dan memilih hadits yang menguatkan pendapatnya sendiri. Sedangkan jika dilihat dari keberadaan hadits tentang li’an seperti yang termaktub dalam kitab Nail al- Authar adalah:
27
Artinya: “Dan dari Sahl bin Sa‟d tentang cerita suami istri yang telah melakukan li‟an, ia berkata: kemudian suami mentalaknya tiga kali sekaligus lalu Rasulallah saw. menetapkannya, sedang apa yang dilakukan nabi adalah sunnah. Sahl berkata : aku sendiri dalam peristiwa ini di sisi Rasulullah saw., kemudian berlangsunglah sunnah tersebut itu suami istri yang saling menuduh harus diceraikan antara keduanya, lalu tidak boleh berkumpul kembali untuk selamalamanya. (HR. Abu Daud) Dari hadits diatas dapat dipahami bahwa dengan li’an, maka antara suami dan istri diceraikan dan keduanya tidak boleh 27
Ibid.
131 menjadi suami istri untuk selama-lamanya. Karena dalam penjelasan kitab Nail al-Authar menyatakan bahwa perkataan tidak dapat kembali suami istri yang telah melakukan sumpah li’an itu, Syarikh berkata: ini menunjukkan atas keabadian perceraian mereka, demikian menurut jumhur. 28 Menurut
Sayid
Sabiq
dalam
kitab
fiqh
sunnah
menyatakan: apabila dua orang suami, istri masing-masing telah berani mengangkat sumpah sumpah li’an, maka terjadilah perceraian antara mereka berdua untuk selama-lamanya dan haram mengulangi perkawinan. 29 Menurut penulis, permasalahan tentang perceraian akibat li’an di atas tidak lepas dari prinsip istinbath hukum Imam Abu Hanifah yang dinyatakan dalam kalimat berikut:
28
Ibid., hlm. 305 Sayyid Sabiq, Fiqh al-sunnah, juz II, (Kairo: Dar al- Fath lil I‟lam al-„Arabi,1990)., hlm. 275 29
132
Artinya : “Saya berpegang kepada kitab Allah (al-Qur‟an) apabila menemukannya, jika saya tidak menemukannnya saya berpegang kepada sunnah dan atsār, jika saya tidak ditemukan dalam kitab sunnah saya berpegang kepada pendapat pra sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya. Saya tidak keluar (pindah) dari pendapat lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim al-Sya‟bi, al-Hasan, Ibn Sirin, Sa‟id Ibnu Musayyab, maka saya berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad….” 30 Ungkapan beliau tersebut seolah-olah menjadi penguat mengapa Imam Abu Hanifah menyandarkan pendapat tentang perceraian akibat li’an kepada pemikiran rasionalnya.
30
Ramli SA, Muqaranah Madzahib fi al Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999)., hlm. 21.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang perceraian akibat li‟an yang mengatakan bahwa perpisahan itu terjadi ketika terdapat keputusan dari Qadhi, pendapat ini juga dikemukakan oleh Tsauri dan Ahmad. Imam Abu Hanifah juga mengatakan dalam persoalan li‟an tentang akibat li‟an yang menurut beliau adalah apabila perceraian yang diakibatkan li‟an itu terjadi maka perceraian tersebut disamakan dengan talak ba‟in, berbeda dengan pendapat imam madzhab lain yang mayoritas ulama madzhab menyatakan apabila perceraian terjadi yang diakibatkan terjadinya li‟an, maka si suami istri tidak dapat berkumpul kembali untuk selama-lamanya. Dalam
133
134 kitab Badai‟ Ash-Shanai‟ syarah Imam „Alauddin Abi Bakri Mas‟ud Al-Kasani Al-Hanafi juga telah dijelaskan yang menurut Imam Abu Hanifah berbunyi “maka boleh nikah di antara keduanya dan berkumpul keduanya”. Jadi menurut penulis adalah Imam Abu Hanifah berpendapat ketika suami istri saling bermula‟anah, maka keduanya boleh berkumpul kembali dengan akad nikah baru. 2. Istinbath hukum yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah mengenai perceraian akibat li‟an terhadap perkawinan disandarkan pada pemikiran rasional yakni qiyas, yang mana diqiyaskan dengan lelaki yang impoten.
Karena menurut
beliau perceraian karena li‟an dan perceraian karena impoten mempunyai kesamaan yakni hal tersebut baru dapat terjadi hukumnya setelah ada keputusan dari hakim. Dan perceraian karena impoten merupakan qiyas dari perceraian karena sopak, kusta dan gila karena impoten termasuk cacat. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah pengqiyasan terhadap qiyas tidak dapat dibenarkan. Sebab qiyas tidak dapat
135 dijadikan tempat mengqiyaskan suatu peristiwa, karena jika „illat cabang itu sama dengan „illat hukum yang ditetapkan dengan qiyas maka ‘illat cabang itu sama dengan ‘illat peristiwa yang sudah mempunyai nash dan jika ‘illatnya tidak sama, maka tidaklah sah menyamakan hukumnya.
B. SARAN-SARAN Berdasarkan penelusuran ilmiah yang penulis laksanakan, maka terdapat beberapa saran-saran yang cukup menarik dalam penelitian ini, yaitu : 1. Meski pendapat Imam Abu Hanifah tentang akibat li‟an terhadap perkawinan yang menyatakan adalah talak ba‟in bukan fasakh itu apabila dipraktekkan, maka kurang sesuai dengan maslahat dalam umat Islam. Karena memang realita yang ada adalah jarang ditemui ketika terdapat sebuah perkawinan
tersebut
telah
berpisah
yang
itu
semua
diakibatkan oleh proses li‟an. Namun, pada dasarnya hakekat kekhawatiran beliau dapat dijadikan acuan dalam proses
136 keseluruhan li‟an dari mulai terjadinya hingga akibatakibatnya. 2. Perlu adanya penelusuran lebih lanjut mengenai akibat li‟an terhadap perkawinan, yang memang hal tersebut masih minim penjelasannya.
Khususnya
penjelasan-penjelasan
yang
dihasilkan dari beberapa Imam madzhab yang ada.
C. PENUTUP Syukur alhamdulillah penulis panjatkan dengan selesainya proses penyusunan skripsi ini. Berkaca pada ungkapan bijak bahwa tak ada gading yang tak retak, maka penulis dengan kerendahan hati memohon kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan evaluasi hasil karya ini. Dan apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam karya ini, penulis berharap semoga karya ini mampu menjadi setitik air dalam lautan ilmu pengetahuan. Amin.
DAFTAR PUSTAKA Bakri „Alauddin Abī bin Mas‟ūd al-Kāsānī, Bada’i as- sana’i fi Tartibi asy- Syara’i, juz III, (Beirut: Dar- al- Kutub alIlmiyah, t.th). Bakri „Alauddin Abī bin Mas‟ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz I, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 1997). Bakri „Alauddin Abī bin Mas‟ūd al-Kāsānī, Badāi’ al-Shanāi’, Juz V, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiah, 1997). Dahlan Abdul Azis (et.al.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996). Dahlan Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid II, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Khallaf Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994). Khallaf Abdul Wahhab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001). Al-Syarqawi Abdurrahman, “A’immah al-Fiqh al-Tis’ah”, terj. M.A. Haris al- Husaini, Riwayat Sembilan Imam Fiqih,( Bandung : Pustaka Hidayah, 2000).
Abdurrahman. K. H. E, Perbandingan Mazhab-Madzhab, (Bandung: Sinar Baru, 1986). Abu Bakar Al Husaini, Imam Taqiyudin, Kifayatul Akhyar, Terj., Jilid 2., (Surabaya; PT Bina Ilmu, 1997). Sunarto Achmad, Shahih Bukhari, Terj, Jilid VII, (Semarang: Asy Syifa‟, 1993). Al-Syurbasi Ahmad, “Al- Aimatul Arba’ah”, terj. Sabil Had dan Ahmadi, Sejarah dan Biografi Imam Empat Mazhab, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993). Ghandur Ahmad, Ath-Thalaq fi Syari’at al-Islamiyyah wa al-Qanun, (Mesir: Dar al-Ma‟arif, 1967). Al- Ghazali, Mustasfa, jilid II, (Beirut: Dar fikr, t.th). Ali Hasan. M, Perbandingan Madzhab, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002). Abu Bakar Al-Husaini Al-Imam Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, terj, jilid. 2, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997). Aminuddin, Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung; Pustaka Setia, 1999).
Anton Bekker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990). Ash- Shan‟any, Subul As-Salam, Juz IV, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, t.th). Syukur Asywadie, Pengantar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Surabaya : Bina Utama, 1999). Bungin Burhan, Metode Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik, serta Ilmu-ilmu sosial lainnya, (Jakarta: Kencana, 2011). Dadang Kahmad. H, Metode Penelitian Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000). Depag. RI, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tingkat Tinggi Agama IAIN, 1986). Departemen Agama R.I, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Raja Publishing, 2011) . Ash-Shiddieqy Hasbi. T. M, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001). Ash-Shiddieqy Hasbi. T. M, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1997).
Ash Shiddieqy Hasbi. T. M, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang; Pustaka Rizki Putra, 2001). http://www.academia.edu/5598292/Lian_dalam_Islam Yanggo Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997). Hajar al- Asqalany Ibnu, Bulughul maram, (Bandung: al- Ma‟arif, t.th). Qudamah Ibnu, Al Mughni, jilid. 11, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013). Rusyd Ibnu, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: Daar Al- Fikr, t.th). Rusyd Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Jilid. 2, (Jakarta : Pustaka Amani, 2007). An-Nawawi Imam, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, (Jakarta; Pustaka Azam, 2011). Ali Ibnu Asy- Syaukani Imam Muhammad, Irsyadul Fukhul, (Beirut: Dar Al- Kutub al-Ilmiyyah, , t.th). Nasa‟i Imam, Sunan Nasa’i, juz VIII, (Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, t.th). Kompilasi Hukum Islam, ( Bandung: Citra Umbara, 2010).
Yahya Muchtar dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Bandung: al-Ma‟arif, 1997). Abu Zahrah Muhammad, Al-Ahwal Asy- Syahsiyah, (Beirut: Dar- AlFikri Al- Arabi, t.th). Ali Ash- shabuni Muhammad, Tafsir ayat ahkam, Juz III (Suriah: Dar al- Qalam al-Araby, t.th). Ali bin Muhammad bin Muhamad Asy- Syaukani, Nail al- Authar, Juz V, (Mesir: Mustafa al- Babi al- Halaby wa Auladah, t.th). Al-Su‟ālabī al-Fāsīy Muhammad bin Hasan al-Jahwī, al-Fikru alSāmīy fi Tārīkh al-fiqhu al-Islāmīy, (Beirut: Dār al-Kutb alIlmiyah, t.th). Kamali Muhammad Hasshim, Prinsip- prinsip dan Teori- teori Hukum
Islam
(Ushul
al-Fiqh),
(Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar,1998). Mughniyah Muhammad Jawad, Fiqih al-Imam Ja’far ash-Shadiq ‘Ardh wa Istidlal, terj, (Jakarta: Lentera, 2009). Khalil Munawir, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983).
Munawwir, Adib Bisri, Al-Bisri Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999). Haroen Nasroen, Ushul Fiqh, (Jakarta : Logos, 1996). Daly Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988). Ramli SA, Muqaranah Madzahib fi al Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999). Sabiq Sayyid, Fiqh al-sunnah, juz II, (Kairo: Dar al- Fath lil I‟lam al„Arabi,1990). Sabiq Sayyid, fiqih sunnah, Jilid. 3, ( Jakarta: Darul Fath, 2004). Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006). Suryabrata Sumadi, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo, 1983). As- Syarakhsi Syamsuddin, Al- Mabsuth, Juz VII, ,( Beirut ; Daar AlMa‟rifah, 1989). Djaja Tamar, Hajat dan Perjuangan Empat Imam Mazhab, (Solo: Ramadhani, 1984).
Thalib. M, Perkawinan Menurut Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1992). Az-Zuhaili Wahbah, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Studi Banding dengan Hukum Positif, terj. Said Agil Hussain alMunawwar dan M. Hadri Hasan dari judul asli Nazhariyah aldharurah al-Syar‟iyah Muqaranah Ma‟a al-Qanun al-Wadli‟i, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997). Surakhmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode dan Teknik, Edisi VII (disempurnakan), (Bandung: Tarsito, 1989).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Data Pribadi Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama Lengkap : AFTON MUZZAQI Tempat Tanggal Lahir : Semarang, 30 April 1991 Jenis Kelamin : Laki-Laki Agama : Islam Status : Belum Menikah Alamat : JL. Beringin, Kalipasir Rt. 06 Rw. 01, Kalirejo, Ungaran Timur, Kab. semarang Email :-
B. Riwayat Pendidikan 1. 2. 3. 4. 5.
TK Harapan (Lulus Tahun 1997) SD 01 Kalirejo (Lulus Tahun 2003) MTS Sunan Pandanaran Jogjakarta (Lulus Tahun 2006) MA Sunan Pandanaran Jogjakarta (Lulus Tahun 2009) Mahasiswa S1 Jurusan Al-Ahwal al-Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah, UIN Walisongo Semarang Angkatan Tahun 2010
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagai mana mestinya.
Semarang, 30 November 2015 Penulis,
AFTON MUZZAQI NIM. 102111002