PEMIKIRAN HISAB KH. MA’SHUM BIN ALI AL-MASKUMAMBANGI (Analisis Terhadap Kitab Badi’ah al-Misal Fi Hisab al-Sinin Wa al-Hilal tentang Hisab al-Hilal) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh : M RIFA JAMALUDDIN NASIR NIM : 0 7 2 1 1 1 0 6 7
KONSENTRASI ILMU FALAK JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
ii
iii
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan dalam penelitian ini.
Semarang, 13 Desember 2010 Penulis
M. Rifa Jamaluddin Nasir NIM: 0 7 2 1 1 1 0 6 7
iv
ABSTRAK
Penelitian yang berupa skripsi ini mengemukakan pemikiran hisab KH. Muhammad Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi. Penelitian ini berawal dari persoalan dijadikannya masterpiece-nya dalam keilmuan falak, yaitu kitab Badi’ah al-Mitsal fi hisab al-Sinin wa al-Hilal sebagai rujukan keilmuan falak di Nusantara, serta banyaknya kitab falak setelahnya yang terlahir dari kitab ini. Hasil perhitungan kitab ini, pernah berbeda dalam pengidentifikasian atau visibilitas al-hilal dengan kitab yang beraliran sama lainnya, bahkan nilainya mendekati hasil dari kitab yang beraliran di bawahnya. Dalam penelitian ini, persoalan yang dibahas adalah: 1. Apakah corak metode pemikiran hisab yang dikemukakan oleh KH. Muhammad Ma’shum bin Ali alMaskumambangi dalam kitabnya Badi’ah al-Misal fi Hisab al-Sinin wa alHilal?, 2. Bagaimana relevansi dan aplikabilitas metode tersebut dalam konteks kekinian?. Metode penelitian ini bersifat Kualitatif dengan menggunakan pendekatan arithmatic (ilmu hitung). Jenis datanya bersifat Library research (penelitian kepustakaan). Sebagai sumber data primernya yaitu seluruh data yang diperoleh langsung dari kitab Badi’ah al-Mitsal fi hisab al-Sinin wa alHilal, sedangkan data sekundernya adalah seluruh dokumen berupa buku, tulisan, hasil wawancara, makalah-makalah yang berkaitan dengan obyek penelitian. Data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode content analysis (analisis isi), yang kemudian dilihat melalui comparative study and evaluation research (membandingkannya dengan metode yang sejenis) Hasil penelitian menunjukan pertama, bahwa corak metode pemikiran hisab yang dikemukakan oleh KH. Muhammad Ma’shum Bin Ali AlMaskumambangi yang tertuang dalam kitab Badi’ah al-Mitsal fi hisab al-Sinin wa al-Hilal dapat dikategorikan ke dalam hisab hakiki bi al-Tahqiq (keakurasian yang tinggi), sehingga masih bisa dijadikan acuan dalam penentuan awal bulan. Kedua, bahwasanya relevansi dan aplikabilitas metode dalam kitab tersebut jika ditarik pada konteks kekinian sudah menggunakan rumus astronomi modern (spherical trigonometri) sehingga hasil perhitungannya sudah akurat. Akan tetapi butuh adanya lagi up to date data dan penyamaan konsep astronomi modern agar seirama dengan perkembangan iptek. Key Words: Pemikiran hisab, Badiah al-Mitsal, Visibilitas al-Hilal
v
MOTO
ﻢ ﻫ ﻭ ﺪﹰﺍ ِﻟ ﹼﻠ ِﻪﺳﺠ ﺂِﺋ ِﻞﺸﻤ ﺍﹾﻟﲔ ﻭ ِ ﻴ ِﻤﻋ ِﻦ ﺍﹾﻟ ﻼﻟﹸﻪ ﻴﺄﹸ ِﻇ ﹶﺘ ﹶﻔﻳ ﻲ ٍﺀ ﺷ ﻪ ﻣِﻦ ﻖ ﺍﻟ ﹼﻠ ﺧ ﹶﻠ ﺎﻭﹾﺍ ِﺇﻟﹶﻰ ﻣ ﺮ ﻳ ﻢ ﻭ ﹶﻟ ﹶﺃ ﻭ ﹶﻥﺍ ِﺧﺮﺩ
1
Tidakkah mereka perhatikan dari sesuatu yang Allah ciptakan?.bayang-bayang melenggang dari selatan dan utara (deklinasi) bersujud untuk Allah, dan mereka patuh.
ﲔ ﺴِﻨ ﺩ ﺍﻟ ﺪ ﻋ ﻮﺍﻌ ﹶﻠﻤ ﺘﺎ ِﺯ ﹶﻝ ِﻟﻣﻨ ﺭﻩ ﺪ ﻭ ﹶﻗ ﺍﻮﺭﺮ ﻧ ﻤ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﺎ ًﺀ ﻭﺿﻴ ِ ﺲ ﻤ ﺸ ﻌ ﹶﻞ ﺍﻟ ﺟ ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻫ ﺏ ﺎﺤﺴ ِ ﺍﹾﻟﻭ
2
Dialah yang menjadikan Matahari bersinar, dan Bulan bercahaya, serta ditetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanannya, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (hisab).
ﺟ ﱠﻞ ﻭ ﺰ ﻋ ﷲ ِ ﺕﺍ ِ ﻳﺎﻦ ﹶﺍ ﺘﺎ ِﻥ ِﻣﻳﺮ ﹶﺍ ﻤ ﻭﺍﹾﻟ ﹶﻘ ﺲ ﻤ ﺸ ِﺍ ﱠﻥ ﺍﻟ sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla
1 2
٨٤ : ﺍﻟﻨﺨﻞ ٥: ﻳﻮﻧﺲ
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini Saya persembahkan untuk :
Bapak dan Ibu Tercinta
KH. A. Rosyiddin dan Hj. A Mukhlasoh,
ﺭﺏ ﺍﻏﻔﺭﻟﻰ ﻭ ﻟﻭﺍ ﻟﺩﻱ ﻭ ﺍﺭﺤﻤﻬﻤﺎ ﻜﻤﺎ ﺭﺒﻴﺎﻨﻰ ﺼﻐﻴﺭﺍ
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberi pemahaman manusia hal yang tidak diketahuinya dari alam ciptaan-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda Nabi agung Muhammad Saw sebagai Rasul Allah yang diutus kedunia untuk membawa rahmat di seluruh alam semesta. Demikin juga shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada para sahabat Nabi saw yang pemikiran mereka banyak dijadikan rujukan oleh para generasi selanjutnya hingga hari akhir. Rasa syukur tak terhingga penulis panjatkan juga ke hadirat Allah swt yang telah memberikan inayah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan lancar tanpa ada halangan yang betul-betul mengganggu selama dalam proses penulisan. Sehubungan dengan ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulis adalah mahluk biasa yang lemaha dan tidak luput dari kesalahan, sehingga kegiatan ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Kedua orang tua penulis atas perjuangannya yang tiada terkira. 2. Keluarga penulis ( Teh Ai, Teh Popy, Teh Tuti, Kang Sihab, Kang Irfan, Dek. Alish, Dek. Idham dan Siti Thohurotul Ula,) yang selalu memberi semangat lahiriyah dan Bathiniyah.
viii
3. PD. Pontren Kementrian Agama RI, yang telah memberi kesempatan mendapat Beasiswa Santri berprestrasi. 4. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya). 5. Drs. H. Eman Sulaeman, MH., selaku kepala Prodi Konsentrasi Ilmu Falak (KIF), beserta staf-staf-nya (Pak Syifa, Pak Wanto), yang telah bersusah payah memberikan arahan dan bimbingan sepenuhnya kepada penulis dan temanteman KIF lainnya selama belajar di Semarang. 6. KH. Sirodj Chudlori, dan H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, selaku Kyai, serta pembimbing penulis di dalam dan luar perkuliahan. 7. Drs. Slamet Hambali, selaku Kyai penulis yang telah memberi pemahaman tentang Ilmu Falak. 8. Drs. H. Maksun, M.Ag, selaku dosen wali, yang selalu memberikan masukan, wejangan, yang sangat berharga. 9. Drs. H. Musahadi, M.Ag dan Agus Yusrun Nafi’, M.SI selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang telah memberikan masukan sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini. 10. Sayful Mujab, M.SI, Pembimbing dlohiriah dan bathiniyah penulis dalam Thalab al-Ilmi di Semarang. 11. Tedi Kholiluddin, SH.I, MSi, Teman-teman seperjuangan KIF (Ari Mucin, Mannan, Eni, Ozi, Ansor, Faqih, Hasna, Encep, Rahman, Syamsul, Pipit, Yuyun, Bk, Ifeh, Ayuk, Q3, Anif, Adah, Faroh, Maryani, Jaelani, Obi, lifah, Oki, Hasan, Mahya, Sri, Anis, Inung.) adik-adik kelas KIF dan temen-temen
ix
Pondok Darunnajaah yang memberi dorongan kepada penulis. (khususnya Gus Labib, yang telah memberikan waktunya setiap saat, Ibnu Qodong dll) 12. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis selama penulis studi di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Tidak ada ucapan yang dapat penulis kemukakan disini atas jasa-jasa mereka, kecuali sepenggal harapan semoga pihak-pihak yang telah penulis kemukakan di atas selalu mendapat rahmat dan anugerah dari Allah Swt. Demikian skripsi yang penulis susun ini sekalipun masih belum sempurna namun harapan penulis semoga akan tetap bermanfaat dan menjadi sumbangan yang berharga bagi khazanah kajian ilmu falak.
Semarang, 13 Desember 2010 Penulis
M. Rifa Jamaluddin Nasir NIM. 0 7 2 1 1 1 0 6 7
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ..............................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iii
HALAMAN DEKLARASI .............................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK .................................................................................
v
HALAMAN MOTTO .....................................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .....................................................................
vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ...............................................................
viii
HALAMAN DAFTAR ISI .............................................................................
xi
BAB I
BAB II
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................
1
B. Permasalahan .......................................................................
7
1. Pembatasan Masalah ......................................................
8
2. Perumusan Masalah ........................................................
8
C. Tujuan Penelitian ..................................................................
8
D. Manfaat Penelitian ................................................................
9
E. Tinjauan Pustaka ...................................................................
9
F. Metode Penulisan .................................................................
14
G. Sistematika Penulisan ...........................................................
16
: SISTEM PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH A. Pemahaman Hisab.................................................................
19
1. Definisi Hisab .................................................................
20
xi
2. Macam-macam Hisab......................................................
20
B. Pemahaman Rukyah .............................................................
29
1.
BAB III
Definisi Rukyah ............................................................
30
2. Metode Rukyah ...............................................................
30
C. Konsep Hisab dan Rukyah ...................................................
38
1. Konsep Bola Bumi ..........................................................
38
2. Konsep Bola Langit ........................................................
39
: PEMIKIRAN HISAB KH. MA’SHUM BIN ALI ALMASKUMAMBANGI TENTANG HISAB AL-HILAL A. Sosio-Biografi KH. Ma’shum Bin Ali Al-Maskumambangi
44
1. Sosio-Historis KH. Ma’shum bin Ali .............................
44
2. Karya Pena .....................................................................
49
B. Gambaran Umum kitab Kitab Badi’ah Al-Misal Fi Ma’rifah AlSinin Wa Al-Hilal .................................................................
52
1. Bagian Utama .................................................................
52
2. Bagian Lampiran.............................................................
62
C. Perhitungan Hisab al-Hilal ...................................................
62
1. Konsep dan Corak Perhitungan.......................................
62
2. Proses Perhitungan ..........................................................
63
3. Batasan Hilal Terlihat .....................................................
79
xii
BAB IV
: ANALISIS METODE PEMIKIRAN HISAB KH. MA’SHUM BIN ALI AL-MASKUMAMBANGI DALAM KITAB BADI’AH AL-MITSAL FI HISAB AL-SININ WA AL-HILAL A. Analisis Konsep Perhitungan ................................................
84
B. Analisis Data .........................................................................
93
C. Koreksi Penentuan Ketinggian Hilal .................................... 100 D. Analisis Koreksi Data Perhitungan ...................................... 108 E. Analisis Aplikasi Perhitungan .............................................. 108 BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................... 110 1. Corak Metode Pemikiran Hisab Yang Dikemukakan Oleh
KH.
Muhammad
Ma’shum
Bin
Ali
Al-
Maskumambangi........................................................... 110 2. Relevansi dan Aplikabilitas Metode Tersebut dalam Konteks Kekinian .......................................................... 110 B. Saran...................................................................................... 111 C. Penutup ................................................................................. 113 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT PENDIDIKAN
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ”Kunci dari ilmu falak adalah kitab Badi’ah al-Misal, jika seseorang dapat menguasai kitab ini, maka setidaknya semua cakupan ilmu falak bisa ia kuasai”. Statemen ini disampaikan oleh Muhyiddin Khazin sekertaris Badan Hisab Rukyah (BHR) Republik Indonesia. Hal tersebut ia ungkapkan bukan tidak ada dasar bila kita hubungkan dengan isi, cakupan serta cara penggunaan yang ada di dalamnya. Kitab di atas pada dasarnya memakai data angka Jumali, dengan perhitungan menggunakan Rubu’ Mujayyab. Pembahasannya pun cukup komplit dengan berbagai sistem perhitungan dan kalender1. KH. Muhammad Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi dengan karya monumentalnya dalam ilmu falak ini, yaitu kitab Badi’ah al-Misal fi Hisab alSinin wa al-Hilal merupakan salah satu dari sekian banyak karya yang membahas tentang penentuan awal bulan Hijriyah. Pengaruh kitab ini terlihat sangat kuat dan telah hampir merata di setiap belahan daerah di Indonesia terutama di pulau Jawa. Lebih-lebih lagi di komunitas kalangan para pecinta keilmuan falak. Hal ini tidak mengherankan jika kitab ini menjadi salah satu hal yang perlu dikaji oleh para pengamal dan pencari yang haus akan oase khazanah keilmuan ini. Kitab ini
selain merupakan karya klasik dari khazanah keilmuan hisab di
Indonesia juga mempunyai pengaruh yang sangat kuat khususnya di daerah Jawa 1
Penuturan Muhyiddin Khazin pada “Kuliah Hisab Gerhana” semester VI, di Ruang M2 Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada Hari Selasa,bertepatan dengan tgl. 08-06-2010.
1
2
Timur, tempat kelahiran sang mestro ilmu falak ini. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Sidogiri. Pada penetapan awal Syawal pondok ini pada tahun 1427 H pernah berbeda, dengan lebih awal berhari raya, hal ini menurut mereka karena hasil hisab kitab Badi’ah al-Misal karya KH. Muhammad Ma’shum bin Ali yang dijadikan acuan oleh pondok telah mencapai nilai dua derajat (2°)yang berarti hilal sudah dapat dilihat (Imkan al-Rukyah)2. Perbedaan hasil ini pula, terjadi pada tahun 2007, tepatnya pada penetapan awal Ramadhan 1428 H di mana hisab-hisab lainnya yang beraliran hakiki tahqiqi masih bernilai minus dua (-2°) derajat, kitab Badiah al-Mitsal yang juga diklasifikasikan ke dalam hisab hakiki tahqiqi ini telah mencapai minus 1 derajat (1°). Nilai tersebut lebih mendekati dengan klasifikasi hisab hakiki taqribi yang rata-rata sudah bernilai minus 1 derajat (lihat pada table di Gambar 1). Pengaruh kitab ini bisa kita lihat pula salah satunya dengan tercantumnya sebagai rujukan BHR RI (Badan Hisab Rukyat Republik Indonesia) dalam musyawarah penetapan awal bulan, sehingga kitab ini sangat diperhitungkan dalam diskursus keilmuan hisab rukyah di Indonesia3.
2
Penuturan Sayful Mujab (Ahli Falak) pada wawancara tanggal 5 Januari 2010. Sesuai dengan keputusan temu kerja evaluasi hisab rukyat tahun 2007 tanggal 16-18 Maret di Wisma Bahtera Cipayung Bogor yang diadakan oleh Badan Hisab Rukyah Republik Indonesia, kitab ini dimasukkan ke dalam sistem hisab Haqiqi Bi Al-Tahqiq yang mempunyai akurasi tinggi bersama karyakarya lainnya seperti Hisab Hakiki Kiyai Wardan Diponingrat, al-Khulasoh al-Wafiyah karya KH Zubair Umar Al-Jailani Salatiga, al-Manahij al-Hamidiyah karya Syekh Abdul Hamid Mursi, Nur alAnwar karya Abu Sayful Mujab Noor Ahmad SS, dan Almanak Menara Kudus yang dipopulerkan oleh KH. Turachan Adjhuri. (Power Point Sriyatin Sadiq Al-Falaky dalam sidang anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI di JL. Lapangan Banteng Barat No.3-4 Jakarta Pusat (tanggal 29 Agustus 2007).lihat Gambar 1)) 3
3
REKAP HASIL PERHITUNGAN IJTIMA' DAN TINGGI “HILAL” AWAL RAMADLAN 2007 M / 1428 H MENURUT BERBAGAI MACAM SISTEM*) SISTEM HISAB
I. HISAB HAQIQI TAQRIBI
II. HISAB HAQIQI TAHQIQI
III. HISAB KONTEMPORER
*)
SISTEM
NO.
IJTIMA'
TINGGI
HARI
TGL.
JAM
11 September ‘07
19:00
HILAL
1
Sullam al Nayyirain
Selasa
2
Fath al Rauf al Manan
Selasa
11 September ‘07
20:00
- 01º 00'
3
Al Qawa'id al Falakiyah
Selasa
11 September ‘07
20:07
- 01º 35'
4
Hisab Hakiki
Selasa
11 September ‘07
19:45
- 02º 04'
5
Badi'ah al Mitsal
Selasa
11 September ‘07
19:42:09
- 01º 54' 18"
6
Al Khulashah al Wafiyah
Selasa
11 September ‘07
19:45:40
-2º 10’14,33”
7
Al Manahij al Hamidiyah
Selasa
11 September ‘07
19:43
- 02º 07'
8
Nurul Anwar
Selasa
11 September ‘07
19:38:36
- 02º 05’ 19”
- 00º 30'
9
Menara Kudus
Selasa
11 September ‘07
19:45
- 02º 17' 19"
10
New Comb
Selasa
11 September ‘07
19:38:35
- 02º 00' 15"
11
Jeen Meeus
Selasa
11 September ‘07 18:28:45,6
- 2º 02’59,63”
12
E.W. Brouwn
Selasa
11 September ‘07
19:44:10
-2º 46' 23,26"
13
Almanak Nautika
Selasa
11 September ‘07
19:45
-02º 09' 37,2"
14
Ephemeris Hisab Rukyat
Selasa
11 September ‘07 19:45:10
15
Al Falakiyah
Selasa
11 September ‘07
16
Mawaqit
Selasa
11 September ‘07 19:44:30
17
Ascript
Selasa
11 September ‘07
19:45
18
Astro Info
Selasa
11 September ‘07
19:45
- 01º 51'
19
Starry Night Pro 5
Selasa
11 September ‘07
19:45
- 2º 02' 09,6"
19:45
-02º 00' 01" - 02º 09' 17" - 03º 02' 24" - 02º 51'
Keputusan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat Tahun 2007, Tgl. 16 s.d 18 Maret 2007 di Wisma bahtera Cipayung, Bogor
Gambar 1: Hasil Hisab Berbagai Sistem4 Hal yang menarik lain dan menjadikannya istimewa dari karangan KH. Muhammad Ma’shum bin Ali ini ialah, banyaknya kitab-kitab dan buku-buku ilmu falak yang tersebar luas di Indonesia terlahir berkat inspirasi yang didapat dari kitab ini. Kitab tersebut juga menjadi acuan ormas-ormas Islam, salah satunya ialah magnum opus KH Noor Ahmad SS yaitu kitab Nur al-Anwar, disamping Samsu al-Hilal jilid I –nya beliau,5 juga kitab Ittifaq Dzat al-Bain karya KH Zuber Abdul Karim Gresik6. Keberagaman dan populasi karya-karya dalam ilmu falak senantiasa memberikan corak dan warna baru dalam khazanah perkembangan keilmuan
4
Diambil dari power point Sriyatin Sadiq Al-Falaky dalam sidang anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI di JL. Lapangan Banteng Barat No.3-4 Jakarta Pusat (tanggal 29 Agustus 2007). 5 Penuturan KH. Noor Ahmad SS pada pelatihan :”Hisab Rukyah Nasional” di Pondok Pesantren Setinggil Kryian Jepara tgl. 29-31 Desember 2009. 6 Wawancara tgl. 19 Maret 2010dengan Sayful Mujab, Sesuai penelusurannya ketika penelitian skripsinya tentang Studi Analisis Pemikiran Hisab KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab Ittifaq Dzatil Bain.
4
pada
umumnya.
Terlepas
dari
makin
berkembangnya
ilmu
falak,
keanekaragaman ini juga memberikan distribusi bagi bangsa ini sebagai salah satu kontributor perbedaan pemahaman dalam penentuan awal bulan hijriyah. Dewasa ini terdapat banyak sekali perbedaan penetapan awal bulan hijriyah yang terjadi di Indonesia. Permaslahan penetapan awal bulan hijriyah ini selalu menjadi pembicaraan yang hangat dan mengemuka. Masalah yang klasik tetapi aktual ini menjadi sangat terasa rumit jika bangsa ini menghadapi bulan hijriyah tertentu. Bulan-bulan yang sangat signifikan terhadap konsentrasi umat Islam, yaitu dalam penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sering menjadi perbincangan dan sorotan dalam penentuan serta penetapnnya. Indonesia dapat dikatakan sebagai negara penghasil hari raya terbanyak atau gudangnya lebaran (hari raya). Hal ini sangat tampak jelas sekali jika kita menengok pada tahun 1429 H. Terdapat lima hari raya yang sama, ditemukan di belahan bumi pertiwi ini, yaitu di mulai dari hari Jum’at sampai hari Selasa. Hal demikian dikarenakan antara lain7: 1) Hampir setiap kalangan dan lembaga di negara ini ikut serta dalam menetapkan awal bulan hijriyah. Diantaranya adalah Departemen Agama RI, ormas-ormas (contoh: PBNU, PP. Muhammadiyah, dan PERSIS), ahliahli hisab, jama’ah-jama’ah serta berbagai pondok pesantren yang menjadi ikon utama dalam penyebaran keilmuan ini. Masing-masing menganggap dirinya mempunyai hak dan kapasitas dalam penetapannya.
7
Lihat : Sayful Mujab, Studi Analisis Pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab Ittifaq Dzatil Bain, (Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2007). Hal. 1
5
2) Adanya keanekaragaman corak perhitungan yang tersebar di Indonesia , berpengaruh kuat sebagai pedoman suatu komunitas masyarakat. 3) Tidak ada patokan yang kongkrit dalam kriteria penentuan dan di setujui oleh setiap kalangan ahli falak di Indonesia sebagai acuan bersama, dan lain sebagainya. Secara umum penetapan bulan hijriyah ini telah dibahas oleh nash-nash yang terdapat dalam ayat al-Qur’an dan Hadis al-Rasul, yang antara lain: 1. Ayat al-Quran:
ﻮﺍ ﺗﺗ ﹾﺄ ﺮ ِﺑﹶﺎ ﹾﻥ ﺲ ﺍﹾﻟِﺒ ﻴﻭﹶﻟ ﺞ ﺤ ﻭ ﺍﹾﻟ ﺱ ِ ـﺎ ﺖ ِﻟﻠﻨ ﱠ ﻴﻮﺍِﻗ ﻣ ﻲ ﻋ ِﻦ ﺍ َﻷ ِﻫﱠﻠ ِﺔ ﹸﻗ ﹾﻞ ِﻫ ﻚ ﻧﻮ ﺴـﹶﺄﹸﻟ ﻳ ﻮﺍ ﺗ ﹸﻘﻭ ﺍ ﻬﺎ ﻮﺍِﺑ ﺑﻦ ﹶﺍ ﺕ ِﻣ ﻮ ﻴﺒﻮﺍ ﺍﹾﻟ ﺗـﻭ ﺃ ﺗﻘﻰﻦ ﺍ ﻣ ﺮ ﻦ ﺍﹾﻟِﺒ ﻭ ﹶﻟ ِﻜ ﻫﺎ ﻮ ِﺭ ﻬ ﻦ ﹸﻇ ﺕ ِﻣ ﻮ ﻴﺒﺍﹾﻟ ﻮﻥ ﺤ ﺗ ﹾﻔِﻠ ﻢ ﻌﱠﻠ ﹸﻜ ﷲ ﹶﻟ َﺍ Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumahrumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.( al-Baqarah (2) : 189) 2. Hadis nabi:
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﳕﺎ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺗﺴﻊ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﻓﻼ ﺗﺼﻮﻣﻮﺍ ﺣﱵ ﺗﺮﻭﻩ ﻭﻻ ﺗﻔﻄﺮﻭﺍ ﺣﱵ ﺗﺮﻭﻩ ﻓﺎﻥ ﻏﻢ ( ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺎﻗﺪﺭﻭﺍﻟﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ 8
Artinya : “Dari Ibnu Umar ra. Berkata Rasulullah saw bersabda satu bulan hanya 29 hari, maka jangan kamu berpuasa sebelum melihat bulan, dan jangan berbuka sebelum melihatnya dan jika tertutup awal maka perkirakanlah. (HR. Muslim)
8
481.
Abu Husain Muslim bin al Hajjaj, Shohih Muslim, Jilid I, Beirut: Dar al Fikr, tt, hlm.
6
Nash-nash tersebut masih dianggap bersifat umum, memberikan peluang kepada kaum muslim untuk menentukan kriteria awal bulan hijriyah yang dipilih sesuai dengan pemahaman dan keyakinannya terhadap interpretasi masing-masing nash tersebut. Kemungkinan lain dikarenakan adanya kemudahan dalam menentukan awal bulan hijriyah. Hal ini disebabkan penentuan bulan dengan sistem ini memiliki kejelasan yang kasat mata dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk atau fase bulan, sehingga dianggap lebih akurat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak karya buku falak klasik atau yang modern membahas tentang penetapan awal bulan hijriyah dengan kriteria yang berbeda-beda pula. Tanpa mengesampingkan yang lain, dengan meneliti poin kedua yang melatarbelakangi perbedaan di atas, bahwasanya pada masa sekarang ini sangat dibutuhkan sebuah metode yang tepat dalam penentuan awal bulan yang benar-benar ilmiah dan terpadu. Dibantu dengan kaidah syar'i sehingga memunculkan suatu Ilmu Amaliyah Ilmiyah Syar’iyah. Penggunaan pemikiran yang matematis dan teori probabilitas yang terdukung oleh data serta teguh berpegang dengan kaidah syar'i perlu dikembangkan dalam kegiatan penentuan awal bulan Hijriyah di Indonesia.9 Dari berbagai sudut pandang di atas, penulis sangat tertarik untuk mengkaji dan mengulas bagaimana metode pemikiran hisab KH. Muhammad Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi. Yaitu seorang Founding Father hisab di Indonesia dengan pengaruh kitabnya Badi’ah 9
Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. III.
7
al-mitsal Fi Hisab al-Sinin Wa al-Hilal. Inilah yang menjadikannya menarik. Penulis juga akan mencoba mengkaji bagaimana relevansi penerapannya sebagai Ilmu Amaliyah Ilmiyah Syar’iyah, melihat banyaknya kasus seperti pemaparan di atas. Dari permasalahan tersebut di atas, maka penulis menyusun penelitian dalam bentuk skripsi ini dengan judul: Pemikiran Hisab KH. Ma’shum Bin Ali al-Maskumambangi (Analisis Terhadap Kitab Badi’ah alMisal Fi Hisab al-Sinin Wa al-Hilal tentang Hisab al-Hilal).
B. Permasalahan Penelitian tentang metode hisab dalam kitab Badi’ah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal sangat luas sekali cakupannya, mengingat komposisi kitab itu sendiri. Dalam kitab tersebut diterangkan berbagai sistem kalender yang telah berkembang di dunia penanggalan dengan beberapa model dan sistem penetapan serta penghitungannya. Dapat kita lihat dalam kalender Arab Jahiliyah misalnya, serta kalender Arab pra Islam, kalender Yahudi, Mesir, Cina dan lain sebagainya. Dilihat dari persoalan komposisinya, kitab ini memberikan penjelasan yang luas tentang penghitungan sisitem kalender, begitupun untuk penetapan awal bulan Islam. Oleh karenanya, penulis lebih memfokuskan pada masalah hisab al-hilal dari salah satu komposisi yang ada. Penulis beranggapan, kitab ini adalah kitab paling akurat perhitungannya dalam menentukan awal bulan
8
menurut ahli-ahli falak, sebuah kitab yang termasuk dalam golongan sistem hisab hakiki. Untuk lebih mengkrucutkan penelitian ini dari permasalahan yang ada, diperlukan penentuan, pembatasan dan perumusan masalah. 1. Pembatasan Masalah Karena luasnya pembahasan yang berkenaan dengan penentuan awal bulan dalam kitab Badiah al-Mitsal tersebut, maka penelitian ini dibatasi dan difokuskan pada: Sistem hisab atau penentuan awal bulan dengan metode atau corak perhitungan dan visibilitas al-hilal (bulan muda). 2. Perumusan Masalah Adapun ditinjau dari pemahaman diatas, rumusan masalah penelitian yang dilaporkan dalam bentuk skripsi ini adalah sebagai berikut: a) Apakah corak metode pemikiran hisab yang dikemukakan oleh KH. Muhammad Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi dalam kitabnya Badi’ah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal ? b) Bagaimana relevansi dan aplikabilitas metode tersebut dalam konteks kekinian ?
C. Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
9
1. Untuk mengetahui metode pemikiran hisab KH. Ma’shum bin Ali alMaskumambangi, 2. Untuk mengetahui karkter dan aplikabilitas metode hisab al-hilal dalam kitab Badi’ah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal, serta mengetahui relevansi metode yang ada dalam kitab Badi’ah al-Mitsal fi Hisab alSinin wa al-Hilal dalam konteks perkembangan hisab rukyah di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini mengandung manfaat/signifikansi sebagai berikut: 1. Bermanfaat untuk memperkaya dan menambah khazanah intelektual umat Islam khususnya Indonesia terhadap berbagai metode atau sistem penentuan awal bulan Hijriyah khususnya metode hakiki. 2. Bermanfaat untuk menambah wawasan dalam memahami aplikabilitas dan relevansitas suatu metode penetapan dan perhitungan hisab al-hilal (bulan muda/ new moon). 3. Sebagai suatu karya ilmiah, yang selanjutnya dapat menjadi informasi dan sumber rujukan bagi para peneliti di kemudian hari.
E. Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan berkaitan dengan pembahasan penelitian ini, yaitu tentang metode hisab al-hilal antara lain: 1. “Analisis Kritis tentang Hisab Awal Bulan Qomariyah dalam Kitab Sulam al-Nayyirain”
10
Tulisan yang berupa skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Izzuddin. Menguraikan tentang hisab awal bulan Qamariyah menurut kitab Sulam al-Nayyirain. Dalam penelitiannya, Ahmad Izzuddin menjelaskan geneologi perkembangan ilmu falak di dunia Islam dan pembagian keilmuan hisab rukyah di Indonesia, yang merupakan hasil dari Rihlah Ilmiah para ulama ke Jazirah Arab. Ia menuturkan klasifikasi kitab Sulam al-Nayyirain yang termasuk ke dalam sistem hisab Haqiqi bi al-Taqrib. Data yang disuguhkan dalam kitab tersebut merupakan data peninggalan yang dihasilkan oleh raja Ulugh Beyk. Ia juga menuturkan bahwasanya di samping kitab Sulam al-Nayyirain, KH. Mas Manshur memiliki kitab lainnya yang membahas lebih ke masalah fiqhiyah dari perhitungan hisab al-hilal, seperti kitab Mizan al-I’tdal yang membahas secara rinci batasan ketinggian hilal yang dapat dilihat.10 Penelitian tersebut akan memberikan distribusi tentang geneologi keilmuan hisab dan ulama ilmu falak di Indonesia, serta pembedaan corak perhitungan antara kitab hisab hakiki sebelumnya (hisab hakiki taqribi seperti kitab Sulam al-Nayyirain) dengan kitab Bad’iah al-Misal (kitab yang akan diteliti). 2. “Pemikiran Hisab Rukyah KH. Turaikhan dan Aplikasinya” Penelitian yang berupa tesis ini, disusun oleh M. Agus Yusrun Nafi’ pada tahun 2007. Dalam penelitian tersebut, ia memaparkan 10
Ahmad Izzuddin, Analisis Kritis tentang Hisab Awal Bulan Qomariyah dalam Kitab Sulamun Nayyirain, (Skripsi Sarjana Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 1997, t.d).
11
bagaimana konsep pemikiran hisab rukyah KH. Turaikhan Adjhuri alSyarofi, yang pada awalnya pemikiran beliau bermura dari kitab hakiki taqribi dengan mengikuti KH. Abdul Djalil Kudus yang beraliran geosentris. Penelitian ini juga menimpulkan bahwa perkembangan pemikiran Kyai Turaikhan merupakan sintesa kreatif pemikiran-pemikiran hisab sebelumnya. Adapun yang memberi andil pemikirannya selain KH. Abdul Djalil dengan kitabnya Fath al-Rouf al-Mannan yaitu; kitab Badi’ah alMisal karya KH. Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi, serta Syekh Zaed Nafi’ dengan Matla al-Said fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rasd al-Jadid11. Keterkaitan
penelitian
ini
dengan
penelitian
yang
akan
dikemukakan hanya menjelaskan bahwa pemikiran KH. Ma’shum bin Ali dengan kitab Badiah al-Mitsalnya mempunyai andil terhadap pemikiran hisab KH. Turaikhan Adjhuri dengan Almanak Menara Kudusnya. 3. “Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qamariyah Dalam Kitab Khulashah alWafiyah Dengan Metode Hakiki bi al-Tahqiq” Penelitian oleh Ahmad Syifaul Anam ini juga berupa skripsi, menguraikan bagaimana hisab awal bulan dengan metode kitab Khulashah al-Wafiyah. Ia berpendapat bahwa Kitab Khulashah alWafiyyah dalam menentukan awal bulan Qamariyah memuat beberapa sisitem, sistem Hakiki Taqribi dan juga sistem Hakiki Tahqiqi.
11
M. Agus Yusrun Nafi’, Pemikiran Hisab Rukyah KH. Turaikhan Dan Aplikasinya, (Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo, Semarang , 2007, t.d.)
12
Dalam kitab ini, sistem Hakiki Taqribi dipakai untuk dasar mengerjakan hisab Hakiki Tahqiqi. Dengan kata lain untuk mengerjakan hisab Hakiki Tahqiqi, terlebih dahulu harus mengerjakan hisab Hakikii Taqribi. Ia juga memaparkan bagaimana pendapat para ulama dan ahli tentang klasifikasi metode kitab ini, yaitu antara dua pendapat; termasuk ke dalam golongan hakiki tahqiqi atau hakiki taqribi12. Namun hasil penelitiannya menggambarkan bahwasanya hisab yang digunakan telah memakai metode Spherical Trigonometri. Artinya, hisab dalam kitab tersebut dapat kita golongkan dalam tipe hakiki Bi al-Tahqiq. Jika dilihat dari sejarah pembuatannya, kitab khulasah lebih muda dari kitab Badiah al-Mitsal, sehingga penemuan ini akan memberi gambaran umum untuk tipologi corak perhitungan dan rujukan untuk tipe perhitungan yang ada dalam kitab Badiah al-Mitsal. 4. “Studi Analisis Pemikiran Hisab KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab Ittifaq Dzat al-Bain” Skripsi dari Sayful Mujab ini, merupakan analisis research dari Kitab Ittifaq Dzat al-Bain13. Dalam penelitiannya ia mengemukakan metode
perhitungannya
dengan
menyimpulkan
teori
dan
sistem
perhitungan tersebut. Ia menguraikan pula perbedaan kitab Ittifaq Dzat alBain dengan kitab-kitab lainnya yang sejenis. Serta memberikan pemaparan tentang kelebihan serta kelemahan dari kitab tersebut.
12
Ahmad Syifa'ul Anam, Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qamariyah Dalam Kitab Khulashotul Wafiyah Dengan Metode Hakiki Bit Tahkik, (Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 2001, t.d.) 13 Moh. Zubair Abdul Karim, Ittifaq Dzati al-Bain, Gresik: Lajnah Falakiyah Jatim, tt.
13
Dalam penelitiannya dinyatakan bahwa, kitab KH. Moh. Zubari Abdul Karim dalam perhitungannya berusaha mengkombinasikan antara hisab yang berasal dari kitab Fath al-Rouf al-Mannan karya KH. Abdul Jalil Kudus dengan hisab yang bersumber dari kitab Badi’ah al-Mitsal yang disusun oleh KH. Muhammad Ma’sum bin Ali 14 Dari gambaran di atas, penelitian ini menemukan kaitan kitab Ittifaq Dzat al-Bain dengan kitab Badi’ah al-Misal, yaitu bahwasanya kitab karya KH. Ma’shum bin Ali ini menjadi salah satu kitab rujukannya. Dalam penelitian ini tidak dibahas tipologi, corak dan proses perhitungan dari kitab Badi’ah al-Misal. Dari penelitian ini hanya dikemukakan bahwa yang diambil hanya berupa data astronomi15. Hal ini bisa menjadi rujukan dalam penelitian yang akan kami lakukan. Walaupun kitab Badi’ah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal termasuk kitab awal dan kitab induk yang membahas tentang metode hisab hakiki, akan tetapi sejauh penelusuran yang penulis lakukan, belum ditemukan penelitian secara khusus dan mendetail, serta spesifik yang membahas tentang pemikiran hisab KH. Muhammad Ma’shum bin Ali AlMaskumambangi (analisis terhadap kitab Badi’ah al-Mitsal Fi Hisab Al-Sinin Wa al-Hilal tentang Hisab al-Hilal). Begitu pula dengan melihat penelitianpenelitian di atas tersebut.
14 15
Sayful Mujab, loc. cit. Ibid, hal. 42.
14
F. Metode Penulisan Dalam penelitian berikutnya, metode penulisan skripsi yang akan dipergunakan adalah sebagai berikut: 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan oleh penulis untuk menganalisis data-data yang telah diperoleh adalah memakai paradigma
metode
penelitian
yang
bersifat
kualitatif16
dengan
menggunakan pendekatan arithmatic (ilmu hitung). Pendekatan ini diperlukan untuk menguji apakah metode hisab yang dipergunakan dalam menentukan awal bulan Hijriyah sesuai dengan kebenaran ilmiah astronomi modern melalui pendekatan penghitungan aritmatis (kajian yang bersifat ilmiah). Sehingga pemikiran hisab KH. Muhammad Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi dalam menentukan awal bulan Hijriyah dapat digunakan sebagai pedoman dalam penentuan awal bulan Hijriyah. 2. Sumber dan jenis Data Jenis data pada penelitian ini bersifat Library research (penelitian kepustakaan) yang di dalamnya terdapat dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Dalam hal ini data primer adalah kitab Badi’ah al-Mitsal fi hisab al-Sinin wa al-Hilal. Sedangkan data sekundernya adalah kitab-kitab hisab hakiki seperti; Sulam al-nayyirain, Syam al-
16
Analisis Kualitatif pada dasarnya lebih menekankan pada proses dekuktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika antar fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah. Lihat dalam Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet-5, 2004, hlm. 5.
15
Hilal, Ittifaq Dzat al-Bain, al-Khulasoh al-Wafiyah, Nur al-Anwar, Ephemeris Hisab Rukyah Depag RI, Newcomb dan seluruh dokumen, buku-buku, juga hasil wawancara yang berkaitan dengan obyek penelitian utama. 3. Teknik Pengumpulan Data. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis antara lain : a) Document observation (observasi dokumen), yakni pengumpulan data dan informasi pengetahuan yang berhubungan dengan penelitian, terutama sumber utama yaitu kitab Badi’ah al-Mitsal fi hisab al-Sinin wa al-Hilal sebagai data primer, disamping data sekunder yang berkaitan dengan penelitian ini. Kemudian diproses melalui pengamatan dan tinjauan atas berbagai konsep pemikiran para ahli/ulama dalam menghitung awal bulan, baik melalui studi kepustakaan (buku-buku dan karya ilmiah lainnya), melalui penelusuran yang ada di situs-situs internet, maupun hasilhasil pemikiran mereka dalam pertemuan-pertemuan ilmiah. b) Interview (wawancara), berupa pengumpulan informasi tentang penelitian dengan bertatap muka pada obyek penelitian ini, seperti: kegiatan belajar mengajar, wawancara, seminar, konferensi, dan lain-lain.
16
4. Teknik Analisis Data. Analisis yang digunakan penulis adalah content analisis (analisis isi) melalui teknik deskriptif. Bertujuan untuk membuat deskripsi, yaitu gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai metode data primer serta fenomena atau hubungan antar fenomena yang diselidiki17. Dengan rujukan utama yaitu kitab Badi’ah al-Misal fi hisab al-Sinin wa al-Hilal tentang hisab al-Hilal. Selanjutnya, dilihat dengan model analisis comparative study and evaluation research. Melakukan studi komparatif adalah membandingbandingkan berbagai konsep pemikiran para ahli/ulama dalam menghitung dan menetapkan visibilitas al-Hilal, dan melakukan evaluasi atas berbagai pemikiran tersebut. Dianalisis dengan pendekatan penghitungan aritmatis, tidak dengan lainnya, seperti pendekatan politis, ideologis, dsb.
G. Sistematika Penulisan Secara garis besar, penulisan penelitian ini disusun per bab, yang terdiri atas lima bab. Di dalam setiap babnya terdapat sub-sub pembahasan, dengan sistematika sebagai berikut:
17
Pelaksanaan metode-metode deskriptif dalam pengertian lain tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data itu. Karena itulah maka dapat terjadi sebuah penyelidikan deskriptif membandingkan persamaan dan perbedaan fenomena tertentu, lalu mengambil bentuk studi komparatif, menetapkan hubungan dan kedudukan (status) dengan unsur yang lain. Lihat Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metoda, dan Teknik (Bandung: Tarsito, 1985), Edisi ke-7, hal. 139-141. Lihat juga Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Cet. II (Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 136-137.
17
BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini menerangkan “Latar Belakang Masalah” penelitian ini dilakukan. Kemudian mengemukakan “Tujuan Penelitian”, dan “Manfaat”.
Berikutnya
dibahas
tentang
“Permasalahan
Penelitian” yang berisi pembatasan masalah dan rumusan masalah. Selanjutnya dikemukakan “Tinjauan Pustaka”. Metode penelitian juga dikemukakan dalam bab ini, di mana dalam “Metode Penelitian” ini dijelaskan bagaimana teknis/cara dan analisis
yang
dilakukan
dalam
penelitian.
Terakhir,
dikemukakan tentang “Sistematika Penulisan”. BAB II
: SISTEM PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH Bab ini memaparkan kerangka teori landasan keilmuan, dengan judul utama “Sistem Penentuan Awal Bulan Qaamariyah” yang didalamnya membahas tentang “Pemhaman serta konsep dari Hisab dan Rukyah” (dalam sub bab-sub babnya dipaparkan; pemahaman Hisab, Pemahaman Rukyah, dan Konsep Hisab dan Rukyah).
BAB III
: PEMIKIRAN HISAB KH. MA’SHUM BIN ALI ALMASKUMAMBANGI TENTANG HISAB AL-HILAL. Bab ini menerangkan tentang corak pemikiran hisab KH. Ma’shum Bin Ali tentang metode Hisab al-hilal, dan aplikasi dari metode tersebut. Dalam bab ini juga kami singgung beberapa kajian yang berkaitan dengan KH. Ma’shum bin Ali
18
Al-Maskumambangi yang terangkum dalam Sosio-Biografinya dan yang berkaitan dengan magnum opusnya kitab Badi’ah alMitsal Fi Hisab al-Sisnin Wal al-Hilal, yaitu pembahasanpembahasan yang ada dalam kitab tersebut. BAB IV
: ANALISIS PEMIKIRAN KH. MA’SHUM BIN ALI ALMASKUMAMBANGI TENTANG METODE HISAB ALHILAL. Bab ini merupakan pokok dari pembahasan penulisan penelitian yang dilakukan, yakni meliputi analisis terhadap karakteristik metode hisab al-hilal KH. Ma’shum bin Ali serta relevansi dan aplikabilitas pemikirannya tentang metode hisab al-Hilal tersebut dalam konteks perkembangan hisab dan rukyah di Indonesia.
BAB V
: PENUTUP Bab ini meliputi “Kesimpulan” dan “Saran” serta kata penutup.
BAB II SISTEM PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH Pada bab ini penulis memaparkan kerangka teori sebagai landasan keilmuan dalam permasalahan seputar kajian yang akan penulis teliti, yang dirangkum dalam judul “Sistem Penentuan Awal Bulan Qamariyah”. Penamaan ini didasarkan pada penelitian dalam skripsi ini yaitu penentuan awal bulan hijriyah dan visibilitas al-hilal. Di mana konsep ini merupakan bagian keilmuan sains yang berkaitan dengan hukum Islam (syari’ah). Sistem penentuan awal bulan ini merupakan kajian dari pada ilmu hisab, yang didalamnya mengkaji tentang perhitungan awal bulan serta obserfasi bendabenda langit. Sehingga ilmu ini disebut pula dengan ilmu rukyah (observasi). Oleh karena itu pada bab ini diuraikan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pemahaman serta konsep hisab dan rukyah.
A. Pemahaman Hisab Ilmu hisab1 merupakan bagian dari ilmu falak (ilmu ini sering disamakan dengan astronomi). Dalam literatur-literatur klasik, ilmu ini, sering disebut dengan ilm al-miqat, rasd, dan hai’ah.2. Ilmu ini dalam perkembangannya di Indonesia, sering disebut dengan istilah ilmu Hisab Rukyah, yaitu kajian ilmu yang berkutat pada persoalan tentang penentuan waktu-waktu yang berkaitan dengan kegiatan ibadah umat Islam. Persoalan-
1
Fakhruddîn al-Râzi, al-Tafsîr al-Kabîr Beirut: Dâr al-Fikr, 1398 H., Juz V, hal. 479. Tanthawi al-Jauhari, Tafsir al Jawahir,Juz VI, Mesir: Mustafa al Babi al Halabi, 1346 H, Juz IX, hal. 166. 2
19
20
persoalan itu pada umumnya terdiri atas penentuan arah kiblat, bayangan arah kiblat (Rashdul kiblat), waktu-waktu sholat, awal bulan, dan gerhana.3 1. Definisi Hisab Kata Hisab berasal dari Bahasa Arab yaitu ﺣﺴﺐ ﳛﺴﺐ ﺣﺴﺎﺑﺎ4 yang artinya menghitung. Dalam bahasa Inggris kata ini disebut Arithmatic yaitu ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan.5 Kata Hisab dalam al-Qur’an yang mempunyai arti ilmu hisab terdapat dalam surat Yunus ayat 5, yang berbunyi :
ﲔ ﺴِﻨ ﺩ ﺍﻟ ﺪ ﻋ ﻮﺍﻌﹶﻠﻤ ﺘﺎ ِﺯ ﹶﻝ ِﻟﻣﻨ ﺭﻩ ﺪ ﻭﹶﻗ ﺍﻮﺭﺮ ﻧ ﻤ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﺎ ًﺀ ﻭﺿﻴ ِ ﺲ ﻤ ﺸ ﻌ ﹶﻞ ﺍﻟ ﺟ ﻮ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﻫ (٥ : ﻮﻥ)ﻳﻮﻧﺲﻌﹶﻠﻤ ﻳ ﻮ ٍﻡ ﺕ ِﻟ ﹶﻘ ِ ﺎ ﹸﻞ ﺍﻟﹾﺂﻳﻳ ﹶﻔﺼ ﻖ ﺤ ﻚ ِﺇﻟﱠﺎ ﺑِﺎﹾﻟ ﻪ ﹶﺫِﻟ ﻖ ﺍﻟﱠﻠ ﺧﹶﻠ ﺎﺏ ﻣ ﺎﺤﺴ ِ ﺍﹾﻟﻭ Artinya :“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilan-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan”(Q.S Yunus: 5).6 2. Macam-macam Hisab Penentuan penanggalan pada kalender Islam adalah berdasar atas penampakan al-hilal (bulan baru atau sabit pertama setelah terjadinya ijtima’)7 sesaat sesudah matahari terbenam. Alasan utama dipilihnya
3 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004, hlm. 4. 4 Loewis Ma’luf, al-Munjid,. cet. 25, Beirut: Dar al-Masyriq, 1975, hal. 132. 5 Badan Hisab Rukyah Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hal. 14. 6 Ibid, hlm. 306. 7 Ijtima’ juga disebut Iqtiran, yaitu antar bumi dan bulan berada pada bujur astronomi, (Dawairu al-Buruj) yang sama, dalam istilah astronomi disebut konjungsi, para ahli hisab dijadikan pedoman untuk menentukan bulan baru (kamariah), Badab Hisab Dan Rukyah Departemen Agama, op. cit, hlm. 219.
21
kalender Bulan Qomariyah8, walau tidak dijelaskan di dalam al-Hadis maupun al-Qur'an, nampaknya karena adanya kemudahan dalam menentukan awal bulan, serta kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) Bulan9. Hal ini berbeda dari kalender Syamsiah10 (kalender Matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.11 Seiring berjalannya kegiatan astronomi dan menyebar luasnya keilmuan falak, sudah hal yang lumrah jika banyak orang dapat menentukan kapan pergantian bulan, seperti sistem kalender tradisional (Jawa) yang bertumpu pula pada kalender Bulan. Walaupun ada sebagian pada masyarakat yang menghendaki adanya penyesuaian dengan musim12. Ada pula sistem kalender gabungan atau Qomari al-Syamsiah (Lunisolar Calendar), seperti kalender Yahudi, kalender Cina, dan kalender Arab sebelum masa kerasulan Muhammad SAW. Pada sistem
8
Dinamakan kalender Qomariyah dikarenakan perhitungannya berdasarkan peredaran Bulan. Lihat dalam Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa, Semarang: IAIN Walisongo, tt. hlm. 5. 9 Sayful Mujab, Studi Analisis Pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab Ittifaq Dzatil Bain, (Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2007), hal. 2. 10 Dinamakan kalender Syamsiyah atau Masehi adalah tahun berdasarkan matahari. Kata Masehi berdasal dari dari nama sebutan untuk nabi Isa’ yakni Al-masih. Tahun ini dihitung mulai kelahiran nabi Isa, tahun ini juga dinamakan tahun miladiah (tahun kelahiran). Lihat M.Suhudi Ismail, Hisab Rukyah Awal Bulan Hijriah, Ujung Pandang : T.p, 1990, hlm. 7. 11 Untuk jumlah hari Masehi Basitoh / Kabisat = Januari (31), Februari (59/60), Maret (90/91), April (120/121), Mei (151/152), Juni (181/182), Juli (212/213), Agustus (243/244), September (273/274), Oktober (304/305), Nopember (334/335), Desember (365/366) (lihat: Sayful Mujab, loc. cit.) 12 Tahun Jawa disebut juga dengan sebutan tahun Aji Soko, sebab permulaan perhitungannya dimulai sejak penobatan Prabu Aji Saka pada tahun 78 M. Badan Hisab dan Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 44.
22
gabungan ini ada bulan ketiga belas setiap 3 tahun agar kalender Qomariyah tetap sesuai dengan musim. Nama bulan pun disesuaikan dengan nama musimnya, seperti Romadlon yang semula berarti bulan musim panas terik.13 Dalam ajaran Islam penambahan bulan itu dilarang karena biasanya bulan ke-13 tersebut diisi dengan upacara atau pesta yang dipandang sesat, sebagaimana firman Allah SWT : $YΒ%tæ …çµtΡθãΒÌhptä†uρ $YΒ%tæ …çµtΡθ=Ïtä† (#ρãxx. š⎥⎪Ï%©!$# ϵÎ/ ‘≅ŸÒム( Ìøà6ø9$# ’Îû ×οyŠ$tƒÎ— â™û©Å¤¨Ψ9$# $yϑ¯ΡÎ) (37:
)ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ
4 ª!$# tΠ§ym $tΒ (#θ=Åsã‹sù ª!$# tΠ§ym $tΒ nÏã (#θä↔ÏÛ#uθã‹Ïj9
Artinya : "Sesungguhnya mengundur-undur bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undur itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah" (QS. Al-Taubah : 37) Selain larangan terhadap penambahan bulan pada kalender Hijriyah sebagaimana ayat di atas, juga terdapat penegasan oleh Allah Swt terhadap jumlah bulan Hijriyah dalam satu tahun yang hanya berjumlah 12 bulan, sebagaimana firman Allah SWT : ÏN≡uθ≈yϑ¡¡9$# t,n=y{ tΠöθtƒ «!$# É=≈tFÅ2 ’Îû #\öκy− u|³tã $oΨøO$# «!$# y‰ΖÏã Í‘θåκ’¶9$# nÏã ¨βÎ) (36 : )ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ4 ãΝÍhŠs)ø9$# ß⎦⎪Ïe$!$# šÏ9≡sŒ 4 ×Πããm îπyèt/ö‘r& !$pκ÷]ÏΒ š⇓ö‘F{$#uρ Artinya : "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah diwaktu menciptakan Langit dan Bumi, diantaranya terdapat empat bulan
13
Sayful Mujab, loc. cit.
23
haram14. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..." (QS. AlTaubah : 36) Dari berbagai macam perkembangan keilmuan hisab di Indonesia, kita bisa mengklasifikasikannya ke dalam lima komponen umum menurut tingkat akurasinya (lihat pula Gambar 1 pada bab sebelumnya), yaitu : a) Hisab Urfi Urfi diambil dari kata ﺍﻟﻌﺭﻑyang berarti ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﺭﻋﻴﺔyaitu: Convensi atau kebiasaan yang dipelihara15. Hisab ini sering disebut juga dengan hisab Jawa Islam, karena hisab urfi ini perpaduan antara tahun Hindu Jawa dengan hisab Hijriyah yang dilakukan oleh Sultan Agung Anyokro Kusumo pada tahun 1663 M atau 1555 C (Caka).16 Metode hisab ini menetapkan satu daur ulang (siklus) 8 tahun yang disebut Windu. Setiap kurun delapan tahun ditetapkan ada tiga tahun Kabisat (Wuntu, panjang yang umurnya 355 hari) yaitu tahun-tahun ke 2, 4 dan 7 dan ada lima tahun Bashitoh (Wastu, atau pendek yang umurnya 354 hari) yaitu tahun ke 1, 3, 5, 6, dan 8. Umur bulan ditetapkan 30 hari untuk bulan-bulan ganjil dan 29 hari untuk bulan-bulan genap kecuali bulan Besar pada tahun-tahun Kabisat berumur 30 hari. Disamping itu pada tiap-tiap 120 tahun 14
Yang termasuk ke dalam empat bulan haram yaitu: bulan Muharrom, Rajab, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah. 15 Achmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet. I Surabaya: Pustaka Progressif, 1984, hal. 920. 16 Badan Hisab Rukyat, Op.Cit., hlm. 45. Lihat pula: Muhammad Maksum bin Ali, Badiah al-Misal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal, Surabaya: Maktabah Sa’ad bin Nashir Nabhan, tt,, hal. 5 dan Noor Ahmad, Risalah Syaml al-Hilal, jilid I., Kudus: Madrasah Tasywiyq al-Thullab alSalafiyah, tt., hal. 3.
24
mengalami pengunduran satu hari, yaitu dengan menghitung bulan Besar yang semestinya berumur 30 hari dihitung hanya 29 hari17. Adapun nama-nama bulan pada hisab urfi adalah Suro, Safar, Mulud Bakdomulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dhulkongidah Dan Besar. Sedangkan tahun-tahun dalam setiap windu diberi lambang dengan huruf arab abjadiyah. Berturut-turut sebagai berikut : Alif, Ehe, Jim Awal, Ze, Dal, Be, Wawu, dan Jim Akhir.18 Mulai permulaan tahun 1747 hingga menjelang tahun 1867, tanggal satu Suro tahun Alip jatuh pada hari Rabu Wage (Aboge). Mulai tahun 1867 hingga menjelang tahun 1987, tanggal satu Suro tahun Alip jatuh pada hari Selasa Pon (Asopon). Mulai permulaan tahun 1987, hingga menjelang tahun 2107, tanggal satu Suro tahun Alif jatuh pada hari Senin Pahing (Anining).19 b) Hisab Istilahi Hisab istilahi ini adalah metode perhitungan penanggalan yang didasarkan kepada peredaran rata-rata Bulan mengelilingi Bumi. Hisab ini juga menetapkan adanya daur ulang (siklus) tiga puluh tahun. Setiap tiga puluh tahun itu ditetapkan adanya 11 tahun Kabisat (panjang) umurnya 355 hari, yaitu tahun-tahun ke 2, 5, 7,10, 13, 15, 18, 21, 24, 26 dan 29. sedangkan 19 tahun selain 17
Muhammad Maksum bin Ali, op. cit, hal. 5. Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 45 19 Sek.Jen PBNU, Pedoman Rukyat dan Hisab Nahdlatul Ulama, Jakarta: Lajnah Falakiyah PBNU, 2006., hlm. 49 lihat juga Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab rukyah Kejawen, (Semarang : IAIN Walisongo, 2006). Bandingkan pula dengan Badan Hisab Rukyat, op.cit., hlm. 45-46. 18
25
tahun-tahun tersebut adalah tahun Bashitoh (pendek) umurnya 354 hari20. Secara konvensional ditetapkan bahwa tiap-tiap bulannya mempunyai aturan yang tetap dan beraturan, yaitu untuk bulan-bulan ganjil umurnya 30 hari, sedangkan untuk bulan-bulan genap umurnya 29 hari, kecuali untuk bulan ke-12 (Dzulhijjah) pada tahun Kabisat umurnya 30 hari.21 Nama-nama bulan menurut hisab istilahi ini adalah sebagai berikut: Muharram, Shafar, Rabi'ul Awal, Rabi'ul Akhir, Jumadil Ula, Jumadil Tsaniah, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah22. Diantara karya-karya hisab yang membahas hisab urfi dan Istilahi dan menganut sistem ini adalah; Badi’ah al-mitsal fi hisab alsinin wa al-hilal karya Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi, Syamsul hilal jilid 1 karya Noor Ahmad SS, Ilmu Falak karya Salamun Ibrahim, The Muslim and Christian Calenders karya G.S.P. Freeman Grenville, Almanak Sepanjang Masa karya Slamet Hambali dan lainlain23. c) Hisab Hakiki Bi al-Taqrib Hisab hakiki bi al-Taqrib adalah hisab yang datangnya bersumber dari data yang telah disusun dan telah dikumpulkan oleh Ulugh Beyk al-Samarqandiy (w.1420M). Data-data tersebut 20
Ibid. Ibid., hal. 42-43. lihat pula :Muhammad Ma’ksum bin Ali, op. cit, hal. 6. 22 Ibid,. hal. 3. 23 Lihat pula: Sriyatin Sadiq Al-Falaky, Makalah Platihan Dan Pendalaman Ilmu Falak,Pascasarjan IAIN Walisongo Semarang tanggal 10-11 Januari 2009. 21
26
merupakan hasil pengamatan yang berdasarkan pada teori geosentris (bumi sebagai pusat peredaran benda-benda langit)24. Dalam mencari ketinggian hilal, menurut sistem hisab ini dihitung dari titik pusat Bumi, bukan dari permukaan bumi. Berpedoman pada gerak rata-rata Bulan, yakni setiap harinya Bulan bergerak ke arah timur rata-rata 12 derajat. Sehingga operasional hisab ini adalah dengan memperhitungkan selisih waktu ijtima' (konjungsi) dengan waktu Matahari terbenam kemudian dibagi dua25. Sebagai konsekuensinya adalah apabila ijtima' terjadi sebelum Matahari terbenam, maka praktis Bulan (hilal) sudah di atas ufuq ketika Matahari terbenam. Hisab ini masih belum dapat memberikan informasi tentang azimuth Bulan maupun Matahari26. Buku-buku atau kitab yang membahas sistem ini antara lain; alSulam al-Nayirain, Fath al-Rauf al-Mannan, Tadzkiroh al-Ikhwan, Bulug al-Wathar, Risalah al-Qamarain, Risalah al-Falakiyah, Tshil al-Mitsal, Jadawil al-Falakiyah, Syams al-Hilal jilid 2, Bughta’ alRafiq, Qawaid al-Falakiyah, Awail al-Falakiyah27, dll. d) Hisab Hakiki Bi al-Tahkik Hisab Hakiki bi al-Tahkik adalah hisab yang perhitungannya berdasarkan data astronomis yang diolah dengan trigonometri (ilmu
24
Sek.Jen PBNU, op. cit, hlm. 49. Ibid. 26 Ibid. 27 Lihat pula : Sriyatin Sadiq Al-Falaky, op. cit. 25
27
ukur segitiga) dengan koreksi-koreksi gerak Bulan maupun Matahari yang sangat teliti28. Dalam menyelesaikan perhitungannya digunakan alat-alat elektronik misalnya kalkulator ataupun computer. Dapat pula diselesaikan dengan menggunakan daftar logaritma empat desimal maupun dengan menggunakan Rubu' Mujayyab29 (kuadran). Hanya saja perhitungan yang diselesaikan dengan menggunakan daftar logaritma maupun Rubu' hasilnya kurang halus. Hal ini disebabkan adanya pembulatan angka-angka invers dari daftar logaritma, serta ketidaktepatan pembagian pada menit dan detik30. Dalam
menghitung
ketinggian
hilal,
sistem
hisab
ini
memperhatikan posisi observer (Lintang tempat maupun Bujur tempatnya), deklinasi Bulan 31 dan sudut waktu Bulan atau asensiorecta. Bahkan lebih lanjut diperhitungkan pula pengaruh refraksi (pembiasan sinar)32, paralaks (beda lihat), dip (kerendahan ufuq) dan semi diameter Bulan. Hisab Hakiki bi al-Tahqiq ini mampu memberikan informasi tentang waktu terbenamnya Matahari setelah
28
Sayful Mujab, op. cit, hal. 9-10. Rubu' Mujayyab adalah Suatu alat hitung yang berbentuk seperempat lingkaran untuk hitungan goneometris. Lihat dalam Muhyidin Khazin, op. cit, hlm. 69. 30 Sayful Mujab, loc. cit. 31 Deklinasi atau yang dalam bahasa arab disebut dengan “Mail” adalah jarak benda langit sepanjang lingkaran yang dihitung dari equator sampai benda langit tersebut. Lihat dalam bab “Mail” dalam Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, op. cit, hlm. 51. 32 Refraksi yang dalam bahasa arab disebut dengan “Daqo’iqul Ikhtilaf” adalah perbedaan antara tinggi suatu benda langit yang terlihat dengan tinggi benda langit yang sebenarnyasebagai akibat adanya pembiasan / pembelokan sinar. Lihat dalam bab “Daqa’iqul Ikhtilaf” dalam: Ibid, hlm. 19. 29
28
terjadi ijtima', ketinggian hilal, azimuth Matahari maupun Bulan untuk suatu tempat observasi.33 Untuk kitab dan buku yang membahas masalah dan perhitungan ini diantaranya adalah; al-Matla’ al-Said, Manahij al-Hamidiyah, alKhulashoh al-Wafiyah, Badi’ah al-Mitsal, Muntaha Nataij al-Aqwal, Hisab Hakiki, Nur al-Anwar, Ittifaq dzati al-Bain, Irsyad al-Murid34, dan sebagainya. e) Hisab Hakiki Kontemporer Untuk sistem hisab generasi ke tiga dari sistem hisab hakiki, dan kelima dari sistem hisab secara umum. Pada dasarnya memiliki kemiripan dengan sistem hisab Hakiki bi al-Tahqiq, yaitu samasama telah memakai hisab yang perhitungannya berdasarkan data astronomis yang diolah dengan spherical trigonometri (ilmu ukur segi tiga bola) dengan koreksi-koreksi gerak Bulan dan Matahari yang sangat teliti35. Yang menjadikan pembeda keduanya hanya data yang ditampilkan.
Data-data
tersebut
sudah
masak
dan
tinggal
mengaplikasikannya ke dalam rumus segitiga bola, tanpa harus diolah terlebih dahulu seperti yang dipakai oleh sistem hisab
33
Sayful Mujab, op. cit, hal. 9-10. Lihat pula: Sriyatin Sadiq Al-Falaky, op. cit. 35 Sayful Mujab, loc. cit. 34
29
sebelumnya. Selain itu pada sistem ini koreksi atau pen-ta’dil-an dilakukan dengan banyak sekali. 36 Tidak sedikit pula hal yang membahas sistem ini mulai dari hanya data-data yang ditampilkan seperti; Almanak Nautika, Astronomical Almanac, Jean Meuus, EW. Brown, New Comb, Ephemeris Hisab rukyat, (Hisab Win dan Win Hisab), Ephemeris al-Falakiyah, sampai program-program seperti halnya; Taqwim al-Falakiyah, Mawaqit, Nur al-Falak, Nur al-Anwar program, alAhillah, Mooncal Monzur, Accurate times, Sun Times, Ascript37, dan lain sebagainya.
B.
Pemahaman Rukyah Kegiatan merukyat merupakan komponen yang sangat penting pula dalam perhitungan awal bulan. Hal ini dikarenakan kegiatan merukyah merupakan konsep syari’ yang diajarkan Nabi Muhammad kepada umatnya. Kegiatan ini pula merupakan observasi praktis berupa pengamatan untuk terciptanya hasil yang ingin dicapai dalam kegiatan perhitungan awal bulan Hijriyah atau Qamariyah. Kegiatan ini pula bisa dijadikan kegiatan untuk mengoreksi perhitungan atau hisab yang dipakai38. Kegiatan ini harus sangat diperhatikan perkembangannya, melihat ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilannya, antara lain; polusi
36
Fairuz Sabiq, Telaah Metodologi Penetapan Awal Bulan Qomariyah Di Indonesia, (Tesis, Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2007), hal. 106-107. 37 Lihat pula : Sriyatin Sadiq Al-Falaky, op. cit. 38 Sayful Mujab, op. cit, hal.9-10.
30
atmosfer (debu dan cahaya) dan juga cahaya yang berasal dari lampu-lampu kota. Hal ini akan mempersulit pengamatan hilal yang cendrung bercahaya lebih redup. Keadaan ini sebenarnya bisa sedikit diatasi dengan memanfaatkan data posisi hilal yang akurat dari almanak astronomi mutakhir (hasil
penyempurnaan
almanak
astronomi
sepanjang
sejarah
perkembangannya)39 1. Definisi Rukyah Kata Rukyah juga berasal dari bahasa Arab yaitu راءى ﻳﺮى رؤﻳﺔyang artinya melihat.40 Adapun yang dimaksud adalah melihat bulan baru (alhilal) sebagai tanda masuknya awal bulan baru pada penanggalan hijriyah dan dilaksanakan pada saat matahari terbenam pada tiap tanggal 29 bulan tersebut, sebagaimana hadis al-Rasul:
ﻋﻦ ﻧﺎﻓﻊ ﻋﻦ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺍﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻻ ﺗﺼﻮﻣﻮﺍ ﺣﱴ ﺗﺮﻭﺍ ﺍﳍﻼﻝ ﻭﻻ ﺗﻔﻄﺮﻭﺍ ﺣﱴ ﺗﺮﻭﻩ: ﻭﺳﻠﻢ ﺫﻛﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻘﺎﻝ (ﻓﺎﻥ ﻏﻢ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺎﻗﺪﺭﻭﺍﻟﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ 41
Artinya :“Dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar bahwasanya Rasulullah saw menjelaskan bulan Ramadhan kemudian beliau bersabda: janganlah kamu berpuasa ssampai kamu melihat hilal dan (kelak) janganlah kamu berbuak sebelum melihatnya lagi.jika tertutup awan maka perkirakanlah (HR Bukhari). 2. Metode Rukyah Istilah rukyah dilihat dari metodenya berati melihat atau mengamati al-hilal dengan mata ataupun dengan alat bantu seperti teleskop pada saat
39
Ibid. M. Warson Munawir, op. cit, hlm. 460. 41 Muhammad ibn Isma’il al Bukhari, Shahih Bukhari, Juz III, Beirut: Dar al Fikr, tt, hlm. 40
34.
31
matahari terbenam menjelang bulan baru qamariyah.42 Apabila al-hilal berhasil di lihat maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal satu untuk bulan baru. Sedangkan apabila al-hilal tidak berhasil dilihat karena gangguan cuaca maka tanggal satu bulan baru ditetapkan pada malam hari berikutnya atau bulan di-istikmal-kan (digenapkan) 30 hari. Sesuai dengan hadis nabi :
ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ ﺳﻼﻡ ﺍﳉﻤﺤﻲ ﺣﺪ ﺛﻨﺎ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﻳﻌﲏ ﺍﺑﻦ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﻭﻫﻮ ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﻋﻦ ﺍﰊ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺍﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻞ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ .(ﺻﻮﻣﻮﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺍﻓﻄﺮﻭﺍ ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻓﺎﻥ ﻏﻤﻲ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﺎﻛﻤﻠﻮﺍ ﺍﻟﻌﺪﺩ )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ Artinya :”Diriwayatkan dari Abdurrahman ibn Salam al-Jumahi, dari alRabi’ (ibn Muslim), dari Muhammad (yaitu Ibn Ziyad), dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : Berpuasalah kamu karena melihat tanggal (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat tanggal (hilal). Apabila pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sha’ban (menjadi 30 hari)43. Diketahui pula bahwa perbedaan dalam menentukan awal bulan qamariyah juga terjadi karena perbedaan memahami konsep permulaan hari melihat hilal pada saat bulan baru. Disinilah kemudian muncul berbagai aliran mengenai penentuan awal bulan yang pada dasarnya berpangkal pada pedoman ijtima, dan posisi hilal di atas ufuk.44
42
Abd Salam Nawawi, Algoritma Hisab Ephimeris, Semarang: Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyah Nahdotul Ulama, 2006, hlm. 130. 43 Lihat: Abu Husain Muslim bin al Hajjaj, Shohih Muslim, Jilid I,Beirut: Dar al Fikr, tt, hlm. 481. 44 Ijtima’ adalah berkumpulnya matahari dan bulan dalam satu bujur astronomi yang sama. Ijtima’ di sebut juga dengan konjungsi ,pangkreman, iqtiraan. Sedangkan yang di maksud ufuk adalah lingkaran besar yang membagi bola langit menjadi dua bagian yang besarnya sama. Ufuk di sebut juga horizon, kaki langit, cakrawala, batas pandang. Lihat dalam Muhyiddin Khazin, op. cit., hlm. 32.
32
Kelompok yang berpegang pada ijtima’ dalam menetapkan awal bulan qamariah ini, berpedoman ketika terjadi ijtima’ (conjunction) yaitu ijtima’ al nayiraini ithbat baina al-shahraini (bertemunya dua benda yang bersinar atau berkumpulnya bulan dan matahari yang terletak pada posisi garis bujur yang sama apabila dilihat dari arah timur dan barat).45 Kelompok ini tidak mempermasalahkan hilal bisa dilihat ataukah tidak.46 Menurut ahli hisab, dalam sistem penanggalan hijriah (menentukan awal bulan) adalah posisi hilal berada diatas ufuk pada saat matahari terbenam sedangkan menurut ahli rukyah, awal bulan ditandai dengan keberadaan hilal diatas ufuk pada saat matahari terbenam dan dapat dirukyah. Adapun ahli astronomi menyatakan awal bulan ditandai dengan terjadinya konjungsi atau ijtima’ al-hilal (matahari dan bulan berada pada garis bujur yang sama)47 a) Konsep ijtima’ Keterkaitan ijtima’ dengan fenomena alam ini, berkembang menjadi beberapa kriteria pemahaman. Golongan yang berpedoman pada ijtima’ ini dapat dibedakan menjadi beberapa golongan yaitu48:
45
Waktu yang terjadi sebelum ijtimak, termasuk kedalam bulan sebelumnya dan waktu yang terjadi setelah ijtimak, dihitung awal bulan berikutnya (bulan baru). 46 Dalam perhitungan hisab, terdapat perbedaan pandangan tentang konsep penentuan awal kamariah, yaitu : 1. Perbedaan pandangan kelompok yang berpegang pada ijtimak dan kelompok yang berpegang teguh pada posisi hilal. Lihat: Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), hal. 147. 47 Ibid 48 Sayful Mujab, op. cit, hal. 34.
33
1) Ijtima’ qobl al-ghurub yaitu apabila ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam maka pada malam harinya sudah di anggap sebagai bulan baru. 2) Ijtima’ qobl al-fajri yaitu apabila ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar maka pada malam itu sudah di anggap sudah masuk awal bulan baru. 3) Ijtima’ qabl al-zawal yaitu apabila ijtima’ terjadi sebelum zawal maka hari itu sudah memasuki awal bulan baru. Namun dari golongan - golongan tersebut yang masih banyak di pegang oleh ulama adalah ijtima’ qobl al-ghurub dan ijtima’ qobl al-fajri. Sedangkan golongan yang lain tidak banyak di kenal secara luas oleh masyarakat. b) Konsep posisi al-hilal Adapun kriteria posisi hilal yang dijadikan sebagai penentu masuknya awal bulan kamariah adalah apabila perhitungan hilal sudah memenuhi
kriteria
sebagai
penentu
awal
bulan
(tidak
memperhitungkan apakah hilal dapat dilihat atau tidak). Adapun dalam hal menentukan posisi hilal, ada yang berpedoman pada49 : a) Ufuk hissi, yaitu bidang datar yang lurus dan searah dengan peninjau dan sejajar dengan ufuk haqiqi. Menurut pendapat ini, bahwa apabila pada saat matahari terbenam (setelah terjadinya 49
Susiknan Azhari Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 32-37.
34
ijtimak) posisi hilal sudah tampak diatas ufuk hissi, maka malam harinya terhitung sudah masuk awal bulan.50 b) Ufuk haqiqi, yaitu ufuk yang berjarak 90 derajat dari titik zenit (lingkaran bola langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal peninjau.51 Menurut pendapat ini, bahwa apabila pada saat matahari terbenam (setelah terjadinya ijtimak), posisi hilal sudah berada di atas ufuk haqiqi.52 c) Ufuk mar’i, yaitu ufuk yang terlihat (bidang datar yang merupakan batas pandangan) mata peninjau.53 Menurut pendapat ini, bahwa apabila posisi piringan bulan (pada saat terbenamnya matahari) berada diarah timur dari posisi piringan matahari.54 Awal bulan ditentukan dengan pada saat matahari terbenam sedangkan posisi hilal berada diatas ufuk mar’i, yaitu ufuk hakiki dengan koreksi seperti kerendahan ufuk55, refraksi56, semi diameter57, dan parallax58. 59
50
Penentuan ketinggian hilal, diukur dari permukaan bumi. Marsito. Kosmografi Ilmu Bintang-Bintang, (Djakarta: Pembangunan, 1960), hlm. 13. Posisi hilal pada ufuk adalah posisi titik pusat bulan pada ufuk hakiki. Lihat Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Lazuardi, 2001), hlm. 32. 52 Penentuan awal bulan kamariah dilakukan dengan menentukan ketinggian (hakiki) titik pusat bulan yang diukur dari ufuk haqiqi. Lihat Ichtijanto. Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), hlm. 148. 53 Semakin tinggi pandangan mata peninjau, maka semakin rendah ufuk mar’i. 54 Arah timur, diukur dari ufuk mar’i. 55 Untuk mencari kerendahan ufuk dapat digunakan rumus 0o 1,76’ dikalikan dengan akar ketinggian tempat tersebut dari permukaan air laut. 56 Untuk mencari refraksi dapat digunakan rumus tinggi lihat – tinggi nyata. 57 Semi Diameter / jari-jari/ Nisful Qotr adalah titik pussat matahari / bulan dengan piringan luarnya. Lihat dalam Tim Hisab Ditpenpera Depag RI, Op.Cit, hlm. 4. 58 Parallax/ ikhtilaful mandzor adalah sudut antara garis yang di tarik dari benda langit ke titik pusat bumi dan garis yang di tarik dari benda langit ke mata si pengamat. Lihat dalam Tim Hisab Ditpenpera Depag RI,Ephemeris Hisab Rukyat 2004, Jakarta, Ditpenpera,2004, hlm. 5. 51
35
d) Imkan
al-Ru’yah
yaitu
masuknya
awal
bulan
ditentukan
berdasarkan pengamatan langsung terhadap hilal atau berdasarkan penampakan hilal (menetukan posisi ketinggian hilal pada saat terbenamnya matahari, yang memungkinkan bisa dilihat).60 Mengenai kriteria dalam penetapan awal bulan hijriyah dengan imkan al-rukyah yang dikembangkan oleh pemerintah ini, sebagaimana disepakati dalam persidangan al-hilal Negara-negara Islam se-dunia di Istambul Turki 1978 dengan ketentuan sebagai berikut61: 1) Tinggi hilal tidak kurang dari 5 derajat dari ufuk barat 2) jarak sudut hilal ke matahari tidak kurang 8 derajat 3) Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtima’ terjadi. Ketentuan ini sering mengalami penyesuaian berdasarkan faktor geografis dan kesulitan tekhnis lainnya. Seperti Negaranegara serumpun Indonesia, Malasyia, Brunai Darussalam, dan Singapura (MABIMS) 1990 bersepakat untuk menyatukan kriteria kebolehtampakan hilal denga ketentuan yang berdasarkan kriteria Turki dan penggabungan hisab dan rukyah. Yaitu sebagi berikut62: 1) Tinggi al-hilal tidak kurang dari 2 derajat 2) Jarak sudut al-hilal ke matahari tidak kurang 3 derajat 59 Mudzakir, Pedoman Hisab Rukyah Departemen Agama RI , Semarang: Diklat Hisab Dan Rukyah Nasional, 2006, hlm. 4. 60 Ichtijanto. Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hal. 149. 61 Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, Op.Cit., hlm. 281-284. 62 Khafid, Hisab Dan Rukyah Kontemporer, makalah dalam Lokakarya Imsakiyah IAIN Walisongo, Semarang, pada tanggal 07 November 2009.
36
3) Umur hilal tidak kurang dari 8 jam setelah ijtima’ terjadi63. Kriteria ini juga yang disepakati dalam siding komite penyatuan kalender Hijriyah ke-8 yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman Saudi Arabia 7-9 Nopember 1998 di Jeddah. Akan tetapi dalam prakteknya kriteria tersebut tidak dapat disepakati sebagaimana Turki yang tetap menggunakan 8 derajat atau International Islamic Calendar Program (IICP) dengan kriteria 4 derajat64. Sebenarnya terdapat korelasi antara ketentuan Turki dan yang disepakati oleh MABIMS yaitu apabila ketinggian hilal di Negara-negara ASEAN mencapai 2 derajat, maka ketinggian itu akan menjadi 5 derajat di Negara-negara sekitar laut tengah dan ketinggian itu akan semakin bertambah di Negara-negara sekitar laut tengah.65 Pada bulan maret 1998 para ulama ahli hisab rukyah Indonesia dan para perwakilan masyarakat Islam mengadakan pertemuan yang membahas tentang kriteria imkanurrukyah Indonesia dan menghasilan keputusan sebagi berikut66:
63
Ibid. Lihat selenggakapnya dalam laporan hasil sidang komite penyatuan kalender Hijriyah ke 8 di Jeddah, Saudi Arabia, 7-9 Nopember 1998. 65 Ibid. 66 Hasil musyawarah ulama ahli hisab rukyah dan ormas Islam tentang kriteria imkanurrukyah yang dilaksanakan pada tangal 24-26 Maret 1998/25-27 Dzulqo’dah 1418 H di hotel USSU Cisarua Bogor, sebagaimana dinukil oleh Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyah Indonesia:Sebuah Upaya Penyatuan Madzhab Hisab Dan Madzhab Rukyah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003, hlm. 80-81. 64
37
a) Penentuan awal bulan qamariyah didasarkan pada sistem hisab hakiki tahkiki dan / atau rukyah. b) Penentuan awal bulan qamariyah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah mahdhah yaitu awal ramadhan, syawal dan dzulhijjah ditetapkan dengan memperhitungkan hisab hakiki tahkiki dan rukyah. c) Kesaksian rukyah hilal dapat diterima apabila ketingian hilal 2 derajat dan jarak ijtima’ ke ghurub matahari minimal 8 jam. d) Kesaksian rukyah hilal dapat diterima apabila ketingian hilal kurang dari 2 derajat maka awal bulan didasarkan istikmal. e) Apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih awal bulan dapat ditetapkan. f) Kriteia imkan al-rukyah tersebut akan diadakan penelitian lebih lanjut. g) Menghimbau
kepada
seluruh
pimpinan
organisasi
kemasyarakatan Islam untuk menyosialisasikan keputusan ini. Dalam pelaksanaan
isbat,
pemerintah
mendengarkan
pendapat-pendapat dari berbagai organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli67.
67
Ibid.
38
C. Konsep Hisab dan Rukyah Konsep perhitungan pada hisab dan rukyah pada penentuan awal bulan hijriyah, tidak lepas dari posisi dan proyeksi benda langit terhadap bola bumi dan bola langit. Dalam sub-bab ini penulis akan mencoba membahas sedikit bagaimana konsep-konsep tersebut. 1. Konsep Bola Bumi68 Pada dasarnya konsep bola bumi sebagaimana konsep sebuah bangunan bola yang memiliki kutub, garis tengah, lingkaran dasar, lingkaran dasar utama. dan lingkaran kecil. Koordinat bola Bumi ini berfungsi untuk menentukan koordinat suatu tempat di bumi berupa Lintang dan Bujur tempat. Selanjutnya lihat pada gambar di bawah ini: U
M
G E
Q m
g
S
Gambar 4 : Koordinat Bola Bumi Keterangan: U-S
= Sumbu poros bumi (garis tengah bola)
U
= Kutub Utara Bumi
S
= Kutub Selatan Bumi
E-g-m-Q
= Lingkaran Khatulistiwa atau equator bumi (lingkaran dasar utama).
68
M. S. L. Toruan, Ilmi Falak (Kosmografi), Semarang: Banteng Timur, tt. hal. 20-22. Lihat juga: P. Simamora, Ilmu Falak Kosmografi, Jakarta : CV. Pedjuang Bangsa, 1985, hal. 5.
39
Lingkaran besar yang melalui U-G-g-S adalah lingkaran meridian Bumi tetap yang juga disebut garis bujur 0 derajat (G= Greenwich). Lingkaran-lingkaran besar yang melalui U-S disebut meridian bumi yang disebut juga garis bujur. Garis bujur atau meridian yang berada disebelah barat meridian tetap (Greenwich) dinamakan bujur barat (BB) dan yang berada di sebelah timur Greenwich dinamakan bujur timur. Keduanya memiliki besar wilayah yang sama yaitu 180 derajat. Sedangkan lingkaran kecil yang melalui G adalah garis lintang Greenwich, dan lingkaran kecil yang melalui M disebut garis lintang M. Jadi garis lintang adalah lingkaran-lingkaran kecil yang sejajar dengan khatulistiwa atau ekuator, baik disebelah utara equator yang diberi tanda positif (+) maupun disebelah selatan equator yang diberi tanda negatif (-). Keduanya dihitung dari equator keutara 0 – 90 derajat dan ke selatan 0 – 90 derajat juga. Pada gambar tersebut titik g o m (sisi g m) menunjukan besar bujur M (BT) dan sudut m o M (sisi m M) menunjukan besarnya lintang M (LU). 2. Konsep Bola Langit Mengetahui tata koordinat astronomi pada bola langit sangatlah urgen sekali dalam ilmu falak. Hal ini untuk mengetahui letak suatu benda pada suatu bidang datar dapat ditentukan dengan dua garis lurus, yakni dengan menggunakan koordinat x dan koordinat y. Tapi pada permukaan yang tidak datar seperti pada bola langit, tentu tidak dapat ditentukan dengan dua garis lurus, melainkan dengan garis lengkung (busur) sesuai
40
dengan bentuk bola langit. Di bawah ini akan diuraikan macam serta cara menentukan posisi benda pada bola langit. a) Koordinat Horison Koordinat ini berfungsi untuk menentukan posisi sebuah benda langit. Koordinat horison berfungsi untuk menentukan posisi sebuah benda langit sehingga dapat mengetahui nilai azimuth dan tinggi suatu benda langit. Perhatikan gambar skema bola langit di bawah ini69. Z
Keterangan: Z
= titik zenith (900) = ﲰﺖ ﺍﻟﺮﺃ ﺱ
N
= titik nadir (-900) = ﲰﺖ ﺍﻟﻘﺪﻡ
ZN
= garis vertikal
UBST
= horison atau ufuq
M
= bintang
m
= proyeksi bintang
MZNm
= lingkaran vertikal
M T O
U
S m
B
N
Gambar 5 : Koordinat Horison
Sudut UOm (busur UTSm = azimuth bintang M (h) Azimuth adalah sudut yang di bentuk oleh garis yang menghubungkan titik pusat dengan titik utara dengan garis yang menghubungkan antara titik pusat dengan proyeksi bintang sepanjang horison searah dengan perputaran arah jarum jam (berkisar antara 00 – 3600). Yang dimaksud dengan tinggi bintang ialah sudut yang dibentuk oleh garis yang menghubungkan antara titik pusat dengan proyeksi bintang dengan garis yang menghubungkan antara titik pusat
69
ibid, hal. 25-29. Lihat pula, Susiknan Azhari Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, op. cit, hal. 24-25.
41
dengan bintang. Tinggi bintang di atas ufuq nilainya positif dari 00 – 900 dan dibawah ufuq nilainya negatif antara 00 – 900. b) Koordinat Sudut Jam Sistem koordinat sudut jam bintang ini bertujuan untuk mengetahui nilai sudut jam suatu benda langit. Dalam sistem ini, penentuan posisi benda langit memerlukan sudut jam bintang (t) dan deklinasi bintang (d). Sudut jam bintang itu sendiri ialah sudut yang dibentuk oleh bidang deklinasi bintang tersebut dengan bidang meridian langit. Jika sebuah benda langit sedang berkulminasi atas atau berada pada titik zenith, maka nilainya 0o (nol derajat). Perhatikan dalam skema bola di bawah ini70:
Z
E
t
E1 m
T
M O
U KLU
KLS S
B
Gambar 6 : Koordinat Sudut Jam Bintang Q1
N
Q
Gambar di atas menggambarkan daerah yang bergaris lintang negatif kurang lebih – 15 derajat (Z-E/S-KLS), KLU-KLS
= sumbu langit
KLU-M-m-KLS = lingkaran waktu/lingkaran deklinasi.
70
EBQT
= equator langit
E1-M-Q1
= lintasan bintang (sejajar dengan equator langit)
E-m
= sudut jam bintang
M-m
= deklinasi bintang M
Ibid, hal 26-27, lihat pula: P. Simamora, op. cit, hal. 14-16.
42
c) Koordinat Equator Dalam pendeskripsian koordinat equator, yang diperlukan untuk penentuan posisi benda langit dengan sistem ini adalah ascensiorecta (alphi) dan deklinasi. Asenciorecta suatu bintang ialah sepotong busur ekuator langit yang diukur dari titik aries ssmpai titik deklinasi bintang itu. Perhatikan skema bola di bawah ini71.
KEU
KLU
E 23’ 27’
M
E
Q m
K
R
Gambar 7: koordinat Equator KLS
Keterangan:
KES
ERmQ
= Equator langit
KRME
= Ekliptika (membentuk sudut 230 27’ dengan ekuator)
KLU-M-m-KLS = Lingkaran waktu (lingkaran deklinasi) KEU-KES
= sumbu ekliptika
R
= Titik aries
R-m
= Ascensiorecta bintang
m-M
= Deklinasi bintang M
d) Koordinat Ekliptika Pada koordinat ekliptika ini kita dapat mengetahui pergerakanpergerakan suatu bintang dengan lingkaran ekliptika sebagai dasar utamanya, sedangkan titik acuannya adalah tititk musim semi (titik
71
Ibid, hal. 10-14.
43
aries). Dalam sistem ini yang di perlukan adalah bujur ekliptika (ecliptic
logitude)
dan
lintang
ekliptika
(ecliptic
latidude).
Sebagaimana yang terdapat pada gambar skema bola di bawah ini72. KEU
KLU E1 M E
K1
23’ 27’
E
m
K
Q
R
Gambar 8: Koordinat Ekliptika Keterangan: E-R-Q
KLS
KES
= Equator langit
K-R-m-E = Ekliptika ( membentuk sudut 230 27’ dengan ekuator) K1-M-E1 = Lingkaran Lintang Ekliptika KEU-M-m-KES = Lingkaran Bujur Ekliptika R
= Titik aries
R-m
= Bujur Ekliptika atau ecliptic longitide
m-M
= Lintang Ekliptika atau ecliptic latitude.
Sayful Mujab dalam skripsinya menuturkan bahwasanya: Ilmu hisab merupakan ilmu yang berkembang secara terus menerus dari zaman ke zaman. Secara keseluruhan perkembangan ilmu hisab ini memiliki kecenderungan ke arah semakin tingginya tingkat akurasi atau kecermatan hasil hitungan. Observasi atau rukyah terhadap posisi dan lintasan benda-benda langit adalah salah satu faktor dominan yang mengantarkan ilmu hisab ke tingkat kemajuan perkembangannya dewasa ini, sampai faktor penemuan alat-alat observasi (rukyah) yang lebih tajam, alat-alat perhitungan yang lebih canggih dan cara perhitungan yang lebih cermat seperti ilmu ukur segi tiga bola (trigonometri).73 72 M. S. L. Toruan,,op. cit, hal. 58- 65. Lihat pula: Susiknan Azhari Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, op. cit, hal. 31. 73 Sayful Mujab, op. cit, hal. 5.
BAB III PEMIKIRAN HISAB KH. MA’SHUM BIN ALI AL-MASKUMAMBANGI TENTANG HISAB AL-HILAL
Kajian yang akan kita kemukakan pada bab ini adalah penjelasan mengenai corak pemikiran hisab KH. Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi yang ada pada magnum opusnya, kitab Badi’ah al-Mitsal Fi Hisab al-Sinin Wal alHilal yang lebih terfokus pada kajian penetapan awal bulan Hijriyah dengan metode hisab Haqiqi bi al-Tahqiq, sesuai yang telah kita paparkan pada rumusan masalah agar tidak adanya kerancuan penelitian. Tetapi sebelum kita menginjak pada kajian pokok tesebut, alangkah baiknya terlebih dahulu kita kemukakan juga biografi dan histographi penulis kitab ini. Di samping itu, akan kita sampaikan dan perkenalkan komponenkomponen kajian yang terdapat dalam kitab tersebut.
A. Sosio-Biografi KH. Ma’shum Bin Ali Al-Maskumambangi 1) Sosio-Historis KH. Ma’shum bin Ali Nama lengkap KH. Ma’shum adalah Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Jabbar Al-Maskumambangi. Ia lahir di Maskumambang, Gresik, (1886/1887), tepatnya di sebuah pondok yang didirikan oleh sang kakek yaitu Syekh Abdul Jabbar al-Maskumambangi. Syekh Abdul Jabbar ini merupakan pendiri pondok pesantren yang terkenal di abad ke-19 M, yaitu pesantren Maskumambang di Gresik. Ada pula yang mengatakan
44
45
bahwasanya ia lahir di Cirebon Jawa Barat. Ia merupakan putra dari KH. Ali bin Abdul Jabbar yang juga pengasuh pondok pesantren. Lahir dan dibesarkan di lingkungan pondok pesantren yang kental dengan nuansa religius menjadikan jiwanya terpaut dalam eforia pendidikan pesantren1 Pada mulanya Ma’shum muda belajar kepada ayahnya. Kmudian, ia dikirim untuk menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang pimpinan Hadratus Syeikh Hasyim Asyari. Ia termasuk salah satu santri generasi awal Hadratus Syeikh. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali2. Bertahun-tahun lamanya Ma’shum muda mengabdi di Tebuireng. Kemampuannya dalam segala bidang ilmu telah terlihat, terutama dalam bidang ilmu falak, hisab, sharaf, dan nahwu. Keadaan ini pula yang membuat Hadratus Syeikh tertarik untuk menikahkannya dengan putrinya yang pertama, Nyai Khairiyah3. Aliansi perkawinan dengan keluarga Kyai Abdul Jabbar ini diikuti oleh adiknya yaitu Adlan Ali dengan salah satu keponakan Kyai Hasyim As’ari. Kyai Adlan Ali ini pula yang kelak atas inisiatif Hadratus Syeikh mendirikan pondok putri Wali Songo Cukir, menjadi Kyai berpengaruh dan menjadi pemimpin Tharekat Qodiriyah wa an-Naqsabandiyah di daerah Jawa Timur4.
1
http://www.nu.or.id/page.php. lihat pula : http://www.pondokpesantren.net/ponpren. di akses pada tgl; 29-08-2010. bandingkan dengan; Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, op. cit,, hal. 135. 2 http://www.pondokpesantren.net/ponpren. op.cit 3 ibid 4 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta : LP3ES, 1994. hal. 66
46
Setelah menikah dengan Khoiriyah, pada tahun 1913 Kyai Ma’shum yang pada saat itu baru usia 26 tahun mendirikan sebuah rumah sederhana yang terbuat dari bambu yang terletak di Seblak5. Penduduk Seblak kala itu masih banyak yang melakukan kemungkaran, seperti halnya warga Tebuireng sebelum kedatangan Hadratus Syeikh. Melihat kondisi ini, Kiai Ma’shum merasa terpanggil untuk menyadarkan masyarakat setempat dan mengenalkan Islam secara perlahan6. Jerih payah yang dilandasi keikhlasan membuat niatnya diridhai Allah SWT. Seiring berjalannya waktu, di sekitar rumah tersebut kemudian didirikan pondok dan masjid yang berkembang cukup pesat. Meski sudah berhasil mendirikan pondok, Kiai Ma’shum tetap istiqamah mengajar di madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng, membantu Hadratus Syeikh mendidik santri. Pada tahun berikutnya, ia diangkat menjadi Mufattis (Pengawas) di Madrasah tersebut7 dan menjadi direktur Madrasah sampai tahun 1928 M8. Dalam pandangannya, semua orang lebih pintar darinya. Hal ini dibuktikannya ketika Kiai Ma’shum pernah berguru kepada seorang nelayan selama dalam perjalanan pergi dan pulang ibadah haji ke tanah suci. Ia tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Selain belajar dari tanah haram, salah satu yang menjadi wasilahnya menulis
5
Seblak merupakan sebuah nama dusun yang terletak sekitar 300 meter sebelah barat
Tebuireng 6
http://www.pondokpesantren.net/ponpren. op.cit. ibid. 8 Zamakhsyari Dhofier, op.cit Hal. 104 7
47
kitab Badiah Al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal adalah pembelajaran dengan nelayan tersebut9. Kyai Ma’shum juga dikenal sebagai seeorang ulama yang sufi. Kehati-hatiannya terlihat ketika ia membakar fotonya menjelang wafat, hal ini dilakukan untuk menghindari sikap sombong di hadapan manusia, padahal itu adalah satu-satunya dokumentasi foto yang dimiliki. Hal ini dikarenakan tidak lain takut identitasnya diketahui oleh banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti riya, ujub, dan sombong. Pembakaran foto beberapa saat sebelum kewafatannya ini, mengindikasikan kedekatannya dengan sang Khalik10. Kehidupan sehari-hari Kyai Ma’shum mencerminkan sosok pribadi yang harmonis, baik bersama masyarakat, keluarga, maupun santri. Ia juga sangat menghormati orang tua dan gurunya. Khusus kepada Hadratus Syeikh yang berposisi sebagai orang tua (mertua) sekaligus guru nya, Ma’shum bin Ali sering menghadiahkan kitab, contohnya sepulang dari Makkah tahun 1332 H, Kyai Ma’shum tak lupa membawakan kitab alJawahir al-Lawami sebagai hadiah untuk pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ini. Bahkan kitab As-Syifa yang pernah diberikannya, menjadi kitab referensi utama Hadratus Syeikh ketika mengarang sebuah kitab11. Nyai Khoiriyah Hasyim pernah bercerita: “Suatu ketika Kiai Ma’shum pernah berdebat dengan Hadratus Syeikh tentang dua persoalan;
9
loc.cit).
http:// www.nu.or.id/page.php loc cit.( lihat pul :www.pondokpesantren.net/ponpren.
10 11
ibid. ibid.
48
pertama, soal foto dan penentuan awal Ramadhan. Menurut Kiai Masum, foto tidak haram. Sedangkan Hadratus Syeikh menyatakan haram”12. Berkenaan dengan permulaan bulan puasa, Kyai Ma’shum telah menentukannya dengan hisab (perhitungan astronomis). Sedangkan Hadratus Syeikh memilih dengan teori rukyah. Akibat perselisihan ini, keluarga Kyai Ma’shum di Seblak lebih dahulu berpuasa dari pada keluarga Kyai Hasyim dan para santri di Tebuireng. Walaupun kedua ulama ini berbeda pendapat, namun hubungan keduanya tetap terjalin akrab. Ini merupakan bukti bahwa perbedaan pendapat di antara ulama merupakan hal yang wajar13. Pada tangal 24 Ramadhan 1351 atau 8 Januari 1933, Kiai Ma’shum wafat setelah sebelumnya menderita penyakit paru-paru. Ia wafat pada usia kurang lebih 46 tahun. Wafatnya Kyai Ma’shum merupakan kesedihan besar terutama bagi santri Seblak dan Tebuireng, karena dialah salah satu ulama yang menjadi rujukan dalam segala bidang keilmuan setelah Hadratus Syeikh14. Setelah Kyai Ma’shum wafat, Nyai Khoiriyah dinikahi oleh Kyai Abdul Muhaimin Azir, yang merupakan putra dari Kyai termasyhur di Rembang. Ia juga merupakan paman dari KH. Kholil Rembang. Mereka berdua bermukim dan mengajar di Makah sampai akhir hayatnya.15
12
Ibid. ibid. 14 ibid. 15 Zamakhsyari Dhofier,op. cit, hal. 66 13
49
Kyai Ma’shum bersama Nyai Khairiyyah mempunyai dua orang putri, yaitu; Abidah dan Jamilah. Nyai Abidah selaku putri yang pertama menikah dengan Kyai Mahfud Anwar, putra dari Kyai Anwar pendiri dan pemimpin pesantren Paculgowang Jombang16. Kyai Mahfudz Anwar ini pula yang mewarisi keahlian sang mertua, yaitu sebagai ahli Falak. Ia juga pernah menjadi ketua Lajnah Falakiyah PBNU. Putri yang kedua Nyai Jamilah, menikah dengan Kyai Nur Aziz, saudara kandung Kyai Masykur, dan putra dari Kyai Ma’shum pimpinan Pondok pesantren Singosari Malang17. 2) Karya Pena Meskipun jumlah karyanya tak sebanyak mertuanya, mengingat kepulangannya keharibaan Tuhan yang cepat dan masih muda, menjadikan ia tetap tergolong ulama yang produktif dalam menulis. Kelebihan yang lain berupa setiap kitab karangannya sangat monumental dikalangan santri Pondok Pesantren. Banyak orang yang lebih mengenal kitab karangannya dibanding pengarangnya.
Ada
empat
kitab
karya
ia
yang
terkenal
dan
terpublikasikan. yaitu; a) Al-Amtsilah al-Tashrifiyyah. Kitab
ini
membahas
dan
menerangkan
Ilm
al-Sharaf
(gramatikal bahasa Arab). Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik di 16 17
ibid. ibid.
50
Indonesia atau di luar negeri, banyak yang menjadikan kitab ini sebagai rujukan terutama di kalangan pondok pesantren sebagai pedoman pembelajaran bahasa arab. Kitab ini bahkan menjadi pegangan wajib di sebagian pondok pesantren salaf maupun modern untuk dihafal. Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit khususnya oleh penerbit Maktabah Sa’ad Bin Nashir Nabhan Surabaya. b) Fath al-Qadir. Kitab ini merupakan kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1920-an, kitab ini mempunyai halaman yang tipis tapi lengkap dan banyak dijumpai di pasaran18. c) Al-Durus al-Falakiyah. Kitab yang disinyalir sebagai karangan pertamanya dalam ilmu falak ini telah diterbitkan oleh berbagai penerbit, bahkan telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Kitab ini terdiri dari tiga juz, ada yang menerbitkannya dalam satu jilid dengan jumlah 109 halaman, ada pula yang memisahkannya menjadi tiga jilid. Kitab al-Durus al-Falakiyah ini merupakan kitab yang pada mulanya pembuatannya dikhususkan untuk pembahasan ilmu falak dengan pemakaian alat Rubu’ Mujayyab. Di dalamnya termuat beberapa gambaran tentang kaidah falakiyah yang berupa posisi-posisi
18
Muhammad Ma’ksum bin Ali, Fath al-Qadir, Surabaya : Salim Nabhan, 1375 H.
51
matahari dan kaidah lainnya, serta dimuat pula beberapa konsep ilmu hisab (hitung), logaritma, almanak masehi dan hijriyah, arah kiblat, serta waktu sholat19. d) Badi’ah al-Misal. Kitab yang mempunyai nama lengkap Badiah al-Misal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal ini, membahas tentang perhitungan awal bulan dengan berbagai sistem kalender dan perhitungan. Kitab ini juga telah menjadi salah satu pedoman dan rujukan utama para ahli falak dan Kementrian Agama RI dalam menetapkan awal bulan hijriyyah di Indonesia20. Dalam muqaddimah kitab tersebut KH. Ma’shum bin Ali menuturkan bahwasanya pembuatan kitab yang ia namai Risalah (tulisan/catatan) ini dilandasi atas kebutuhan para pelajar di pulau Jawa yang mendesak dalam perhitungan awal bulan, hilal dan tahun. Kesulitan para talib al-ilm dalam mempelajari kitab-kitab yang besar dan jarangnya mereka mempunyai kitab-kitab besar tersebut menjadi motivasi lain. Karena itulah ia membuat risalah ini. Kitab ini pulalah yang akan penulis bahas dan paparkan dalam penelitian kali ini21.
19
Muhammad Ma’ksum bin Ali, al-Durus al-Falakiyah, Surabaya : Maktabah Sa’ad bin Nashir Nabhan wa Auladuhu, 1992 M/ 1412 H. 20 Muhammad Ma’ksum bin Ali, Badiah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal, Surabaya : Maktabah Sa’ad bin Nashir Nabhan, tt, 21 ibid. hal. 2
52
B. Gambaran Umum Kitab Badi’ah al-Misal Fi Ma’rifah al-Sinin Wa alHilal Badi’ah al-Misal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal adalah kitab yang terdiri dari dua komponen besar, yaitu; bagian utama kitab dan bagian lampiran dengan berbagai bab dan penjelasan di dalamnya. Adapun pembagian tersebut secara rinci adalah: 1. Bagian Utama22 Bagian utama merupakan risalah kitab. Menerangkan secara rinci setiap pembahasan ataupun cara perhitungan penggunaan hisab di dalamnya. Pada risalah ini pula terdapat muqaddimah kitab yang di antaranya berisi tentang sebab dibuatnya kitab atau risalah ini. Bagian ini dibagi menjadi 48 (empat puluh delapan) pembahasan, yaitu antara lain: a) ﺍﻟﻴﻮﻡ23 Dalam pembahasan pertama ini KH. Ma’shum memaparkan secara rinci makna dari ( )ﺍﻟﻴﻮﻡatau yang lebih kita kenal dengan nama (Hari). Jika kita lihat adanya perincian pemaran kata ﺍﻟﻴﻮﻡbertujuan agar setiap orang memahami terlebih dahulu konsep dasar dari obyek pembahasan Ilmu Falak. Kyai Ma’shum memaknai kata ﺍﻟﻴﻮﻡmenjadi dua bagian, yaitu secara etimologi dan terminologi dengan perbedaan awal permulaan
22 23
ibid, hal. 2-30. ibid, hal. 2
53
pemaknaan ﺍﻟﻴﻮﻡditinjau dari beberapa ahli. Selain itu ia juga mencantumkan pembagian dari ﺍﻟﻴﻮﻡ. 1) Pemaknaan kata ﺍﻟﻴﻮﻡ a.
24
Etimologi Secara etimologi atau bahasa kata ﺍﻟﻴﻮﻡbermakna ﺍﻟﻮﻗﺖ (waktu). Yang secara syariah ﺍﻟﻮﻗﺖadalah waktu antara fajar shadiq dan terbenamnya matahari.
b.
Terminologi Sedangkan menurut terminologi (istilah)-nya ia menuturkan; masa perputaran bumi pada porosnya dalam satu kali putaran, yang berarti ﺍﻟﻴﻮﻡterdiri dari siang dan malam.
2) Perbedaan awal permulaan ﺍﻟﻴﻮﻡ
25
Pada perbedaan awal mula tanda dari ﺍﻟﻴﻮﻡ, cucu dari Syekh Abdul Jabbar ini menuliskan beberapa pendapat sebagai berikut: a. Ahli falak Permulaan ﺍﻟﻴﻮﻡyaitu bergesernya matahari di atas Zenit (ﺯﻭﺍﻝ/tengah siang) sampai ke zenith lagi. 24 25
ibid ibid
54
b. ( اﻷﻓﺮﻧﺠﻴﻴﻦBangsa Prancis) Yaitu pertengahan malam ketika posisi matahari berada di titik nadhir (jam 00:00 /24:00 tengah malam) sampai titik nadlir kembali. c. ( ﺍﻟﻐﺮﻭﺑﻴﺔPengamal waktu terbenam) Menurut mereka permulaannya ketika terbenamnya matahari sampai terbenam kembali. Pendapat ini pula yang dipegangi oleh kebanyakan orang jawa. 3) Pembagian ﺍﻟﻴﻮﻡ
26
Dalam pembagiannya dibagi menjadi dua bagian yaitu: a. ( ﺃﲬﺴﻲpasaran) Yaitu terdiri dari; Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. b. ( ﺍﺳﺒﻮﻋﻲmingguan) Mingguan ini di dunia Islam yaitu terdiri dari; Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu. Sedangkan mingguan ini pra Islam di dunia arab (zaman Jahiliyah) terdiri dari; Ahad, Ahwan, Jabbar, Dabbar, Munis, Urubah, Sayyar. b) ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭ ﺍﻟﺸﻬﻮﺭ27 Pembahasan kedua ini, menerangkan pembagian tahun yang dibagi menjadi dua, yaitu Syamsiyah yang berpatokan pada peredaran 26 27
ibid ibid, hal. 2
55
matahari, serta Qomariyah yang berpatokan pada peredaran dan pergerakan bulan. c) ﺣﺴﺎﺏ ﺍﻫﻞ ﺟﺎﻭﺍﻩ28 Pada kesempatan ini ia menerangkan tentang konsep tahun hijriyah masyarakat jawa. Dalam konsepnya diterangkan bahwasanya tahun jawa mempunyai daur (siklus) yang akan terulang. Satu daur tahun hijriyah jawa terdiri dari 8 (delapan) tahun, yang biasa kita kenal dengan nama satu Windu dengan mengurutkan harinya memakai huruf Jumaliyah. Ia juga menerangkan ada satu siklus yang setiap pergantiannya harus ada penambahan satu hari, yaitu ketika telah berlangsung 120 tahun. d) ﺍﳊﺴﺎﺏ ﺍﻹﺻﻄﻼﺣﻰ
29
Dalam pembahsan kali ini diterangkan penanggalan atau tarekh Arab. Ia menerangkan bahwa permulaan tarekh Arab beemula setelah hijrahnya baginda Nabi muhammad ke Madinah yaitu pada tahun wau ()ﻭ, hal ini merupakan pendapat Al-Ghozi Mukhtar Basya al-falaky dan diikuti oleh syekh Mahmud al-falaky. Sedangkan menurut KH. Ma’shum sendiri bahwa yang soheh bermula pada tahun setelah tahun hijrah. Sedangkan proses hijrah sendiri terjadi pada hari senin 12 Rabiul Awal, tahun ba ()ﺏ, sama dengan 4 Oktober 621. sedangkan untuk permulaan harinya menurut
28 29
ibid, hal. 5 ibid, hal.6
56
hisab jatuh pada hari Kamis, sedangkan menurut rukyah terjadi pada hari Jum’at. Beliau juga dalam pembahasan ini menerangkan bahwasanya tarekh arab mempunyai siklus 30 tahun, yang didalamnya terdapat 11 tahun kabisath. Tahun-tahun tersebut terkumpul dalam bait:
ﻛﺒﺎﺋﺲ ﰱ ﻛﻞ "ﻟـ" ﻣﻦ ﻫﺠﺮﺓ¤ ﺏ ﻫـ ﺯ ﻱ ﻳﺞ ﻳﻪ ﻳﺢ ﻛﺄ ﻛﺪ ﻛﻮ ﻛﻂ Bait yang berupa angka jumali ini menerangkan bahwa tahun-tahun kabisath terjadi pada tahun; 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29. e) ﻣﺪﺧﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ30 Pada pembahasan ini ia menerangkan bagaimana cara perhitungan mengetahui awal pada tarekh Arab yang berupa hari mingguan dan hari pasaran atau wetonan. Adapun perhitungan tersebut tegambar dalam contoh dibawah ini: Menentukan awal tahun 1448 H. Caranya: 1447 : 30 = 48, sisa 7 th (3 kabisat dan 4 basitoh) 1) Awal hari mingguan 48 x 5 = 240 3x5 =
15
4x4 =
16 + 271 + 5 (jiyadah) = 276
276 : 7 = 39, sisa 3 berarti hari Selasa (dimulai dari ahad).
30
ibid,
57
2) Pasarannya/ wetonan 48 + (4 x 4) = 48 + 16 = 64 64 : 5 = 12, sisanya 4 berarti Wage (dimulai dari legi). Jadi; awal tahun 1448 H, yaitu hari Selasa Wage. f) ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﺘﻮﺍﺭﻳﺦ ﺍﻟﻘﻤﺮﻳﺔ31 Untuk pembahasan kali ini, KH. Ma’shum bin Ali menjelaskan cara mengetahui hal-hal yang bersejarah lainnya pada penanggalan Qomariyah. Hal tersebut bisa diketahui dengan menambahkan ﺍﻷﺱ (konsep) pada tarekh Arab. Contohnya:
( ﺍﻷﺱKONSEP)
Hal Yang Bersejarah
( ﺛﻴﺐ512)
Tahun Jawa
( ﺧﻼ631)
Kelahiran Nabi Isa As
( ﻏﺸﺴﻂ1369)
Permulaan Raja Buktunashoro
( ﺑﻐﺸﻤﺢ2348 )
Wafatnya Nabi Musa
( ﺟﻐﻀﻌﺪ3874)
Terjadinya Tofan
( ﻭﻏﺮﻳﻮ6216)
Turunya Nabi Adam As
g) ﻣﺪﺍﺧﻞ ﺍﻟﺸﻬﻮﺭ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ Di jelaskan pada bab ini bagaiman cara mengetahui bulan-bulan pada tahun Arab. Kita bisa mengetahuinya dengan melihat bait di bawah ini:
31
ibid, hal. 8
58
)ﺩﻩ( ﺭﺑﻴـﻊ ﺍﻭﻝ )ﻭﻩ( ﺁﺧـﺮ¤ )ﺃﺇ( ﳏـﺮﻣـﻚ )ﺟﺊ( ﻟﺼـﻔﺮ )ﺣﺞ( ﻟﺮﺟﺐ )ﻫﺞ( ﻟﻠﺸﻌﺒﺎﻥ¤ )ﺯﺩ( ﺍﻭﻝ ﺍﳉﻤـﺎﺩ )ﺑﺪ( ﻟﻠﺜـﺎﱏ )ﺑﺎ( ﻗﻌﺪﺓ )ﺩﺍ( ﺣﺠﺔ ﻓﻨـﺎﻟﻮﺍ¤ )ﻭﺏ( ﻟﺮﻣﻀـﺎﻥ )ﺍﺏ( ﺷـﻮﺍﻝ Dua huruf dalam kurung di depan merupakan us yang pertama untuk harian dan yang kedua merupakan us pasaran.32 Contoh: Mengetahui awal bulan Ramadhon 1344 H. Awal tahun 1344 adalah; Selasa Wage, us Ramadhan adalah ﻭﺏ. Wawu dihitung dari hari Selasa maka hasilnya Ahad, dan us Ba’ menunjukan Kliwon dihitung dari Wage. Jadi; Ramadhan 1344 adalah Ahad Kliwon. h) ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﺍﳌﻼﺩﻳﺔ33 Bab ini hanya dijelaskan bahwa permulaan dari penanggalan masehi adalah kelahiran Isa al-Masih. i) ﺍﻟﻜﺒﻴﺴﺔ ﻭ ﺍﻟﺒﺴﻴﻄﺔ
34
Bab ini menerangkan bagaimana kaidah untuk mengetahui tahun Kabisah dan Basithoh pada penanggalan Syamsiyah. Kaidah tersebut adalah: 1) Tahun masehi yang dimaksud dibagi dengan 400 (emat ratus)Apabila habis, maka tahun itu termasuk pada tahun 32
ibid, ibid. 34 ibid, 33
59
kabisat, dan apabila ada sisa, maka harus dibagi dengan 4 (empat).. 2) Untuk tahun-tahun abad (missal 1700, 1800, dst), maka itu dibagi dengan 400. Contoh:
1600 : 400 = 4, sisa 0 (T. Kabisat) 1700 : 400 = 4,
j) ﻣﺪﺧﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﳌﻴﻼﺩﻳﺔ35 Bab ini menerangkan cara perhitungan untuk tahun Miladiyah atau Masehi baik berupa hari maupun pasaran. Contoh: 2018 : 400 = 5, sisa 18 tahun. Sisa 18 : 100 = 0 Sisa 18 : 4 = 4 Sisa 2 1) Mencari hari 5 x 7 = 35 0 x 5 = 00 4 x 5 = 20 2 x 1 = 02 + 57 02 + 59 : 7 = 8, Sisa 3 berarti hari Selasa 2) Mencari pasaran 5 x 2 = 10 0x4=0 4 x 1 = 04 35
ibid, hal.9
60
2 x 5 = 10 + 24 2 + 26 : 5 = 5, Sisa 1 berarti Legi Jadi, tanggal 1 januari 2019 adalah hari Selasa Legi. k) ﻣﺪﺍﺧﻞ ﺍﻟﺸﻬﻮﺭ ﺍﳌﻴﻼﺩﻳﺔ36 Pada bab ini diterangkan bagaimana cara mengetahui hari dan pasaran awal bulan Miladiyah, dengan melihat tabel dibawah ini: NAMA
KABISAT
NAMA
BASITOH
BULAN
Hr
Ps
BULAN
Hr
Ps
Januari
1
1
Januari
1
1
Februari
4
2
Februari
4
2
Maret
5
1
Maret
4
5
April
1
2
April
7
1
Mei
3
2
Mei
2
1
Juni
6
3
Juni
5
2
Juli
1
3
Juli
7
2
Agustus
4
4
Agustus
3
3
September
7
5
September
6
4
Oktober
2
5
Oktober
1
5
November
5
1
November
4
5
Desember
7
1
Desember
6
5
Tabel di atas merupakan hasil terjemah dari bait-bait berikut:
36
ibid, hal.10
61
( )ﺍﺑﻴﺎﺕ ﺍﻻﺱ ﰱ ﺍﻟﻜﺒﻴﺴﺔ ( ﺍﻓﺮﻳﻞ )ﺍﺏ( ﻭﻣﻲ )ﺟﺐ( ﺟﻮﱐ )ﻭﺝ¤ (ﺟﻨﺎ) ﺃﺇ( ﻓﻴﱪ )ﺩﺏ( ﻣـﺎﺭﺕ )ﻫﺈ ( ﺍﻭﻛﺘﻮ )ﺑﻪ( ﻧﻮﻓﻴﻢ ﻫﺈ ﺩﺳـﻴﻢ )ﺯﺇ¤ (ﺟﻮﱄ )ﺍﺝ( ﺍﻛﻮﺱ )ﺩﺩ( ﺳﻔﺘﻢ )ﺯﻩ ( )ﺍﺑﻴﺎﺕ ﺍﻻﺱ ﰱ ﺍﻟﻜﺒﻴﺴﺔ ( ﺍﻓﺮﻳﻞ )ﺯﺇ( ﻭﻣﻲ )ﺑـﺈ( ﺟﻮﱐ )ﻫﺐ¤ (ﺟﻨﺎ )ﺃﺇ( ﻓﻴﱪ )ﺩﺏ( ﻣـﺎﺭﺕ )ﺩﻩ ( ﺍﻭﻛﺘﻮ)ﺍﺩ(ﻧﻮﻓﻴﻢ )ﺩﻩ( ﺩﺳﻴﻢ )ﺯﻩ¤ (ﺟﻮﱄ )ﺯﺏ( ﺍﻛﻮﺱ )ﺣﺞ( ﺳﻔﺘﻢ)ﻭﺩ Pada tabel tersebut kita bisa mengambil us atau alamat (berupa nomor) untuk dicocokan dengan hari dan pasaran pada awal tahun yang dicari, sesuai dengan urutannya. (lihat pada pembahasan pada poin “J”). l) ﲢﻮﻳﻞ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺍﱃ ﺍﻷﻳﺎﻡ37 Pada bab ini dibahas tentang mengetahui jumlah hari dari tahun Arab atau ia menyebutnya dengan hari Arab asli. m) ﲢﻮﻳﻞ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﺍﱃ ﺍﳍﺠﺮﻱ ﺍﻟﺸﻤﺲ38 Pembahasan pada bab ini mengenai konversi penanggalan tahun atau hari Arab (hijry Qomariyah) ke tahun hjriy Syamsiyah. n) ﲢﻮﻳﻞ ﺍﻷﺻﻞ ﺍﱄ ﺍﳌﻴﻼﺩﻱ39 Pembahasan pada bab ini menerangkan bagaimana cara mengkonversi atau merubah hari Arab asli ke penanggalan miladiyah (Masehi).
37
ibid. ibid, hal.11 39 ibid. 38
62
o) ﲢﻮﻳﻞ ﺍﻷﺻﻞ ﺍﱃ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﺍﻟﺮﻭﻣﻲ40 Bab ini menerangkan bagaimana cara mengkonversi hari Arab asli ke penanggalan Romawi. KH. Ma’shum dalam hal ini menerangkan pula bahawasanya penanggalan rowawi merupakan penanggalan raja Iskandar Dzulqornain. p) ﲢﻮﻳﻞ ﺍﻷﺻﻞ ﺍﱃ ﺍﻟﺘﺎﺭﻳﺦ ﺍﻟﻘﺒﻄﻲ41 Bab ini sebagaimana halnya seperti empat bab sebelumnya, yaitu menerangkan konversi. Dalam kesempatan kali ini ia menjelaskan cara mengubah penanggalan Arab asli ke penanggalan Mesir, yang merupakan warisan Raja Diftiliyanus. 2. Bagian Lampiran42 Bagian ini berupa lampiran-lampiran dari bagian pertama khusus untuk Hisab al-Hilal, sehingga ia merupakan bagian penting dari kitab ini. Pada bagian ini memuat tabel-tabel gerak matahari dan bulan, serta datadata astronomi lainnya.
C. Perhitungan Hisab al-Hilal 1) Konsep dan Corak Perhitungan Pada dasarnya penggunaan hisab al-hilal pada kitab Badi’ah alMisal ini di desain memakai alat bantu hitung yaitu Rubu’ Mujayyab43. Alat yang dikembangkan penggunaannya oleh dua ahli astronomi Islam, 40
ibid, hal.12 ibid, hal.13 42 ibid, pada halaman lampiran 43 ibid.hal. 28 41
63
yaitu al-Khawarizm (770-840) dan Ibnu Shatir (abad 11) ini, merupakan alat hitung astronomis untuk memecahkan permasalahan segitiga bola dalam astronomi.44 a) Proses Perhitungan Secara garis besar, Badi'ah al-Misal melakukan hisab hakiki awal bulan dengan langkah-langkah sbb45: 1.
Menentukan posisi rata-rata Matahari dan bulan, yakni untuk Wasat dan Khoshoh Matahari, Wasat, Khosoh, dan uqdah Bulan pada waktu terbenam matahari (Ghurub menurut waktu Istiwa') untuk suatu tempat menjelang awal bulan kamariyah.
2.
Menghitung Thul al-Syamsi dan Thul al-Qamar.
3.
Menentukan waktu terjadinya Ijtima' (Konjungsi)
4.
Menghitung Irtifa' al-hilal.
5.
Menghitung arah terbenam Matahari dan Bulan
6.
Menghitung Simt al-Irtifa' (arah hilal ketika mataharai terbenam)
7.
Menghitung Muks al-Hilal (Lama hilal diatas ufuk)
8.
Menghitung Nur al-Hilal (Lebar Cahaya Hilal).
Dengan proses lebih lengkapnya adalah sebagai berikut :
44
Hendro Setyanto, Petunjuk Penggunaan Rubu Al-Mujayyab, Bandung : Pudak Scientific, 2002, hal 2. 45 Muhammad Ma’ksum bin Ali, Badiah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal, op. cit. hal. 13-28
64
1. Menentukan Posisi rata-rata Matahari dan Bulan Langkah-langkahnya46: a. Menentukan awal bulan (qomariyah) apa dan tahun (Hijriyah) berapa yang akan dihitung, serta menentukan lokasinya. Kemudian dilacak koordinat lokasi tersebut, yakni berupa lintang tempat (LT) dan bujur tempat (BT) nya. b. Menghitung
Matahari
terbenam
untuk
lokasi
yang
bersangkutan menurut waktu istiwa' pada hari yang ke 29 menjelang bulan yang bersangkutan (bisa menggunakan jadwal waktu sholat). c. Mengambil data wasat dan Khoshoh Matahari, Wasat, Khosoh, dan uqdah Bulan dari data yang tersedia untuk tahun Tam (1 tahun yang lewat), bulan qobla al-Tam (2 bulan yang lewat), hari ke 29 (kadang 28 atau 30), jam dan menit (waktu ghurub matahari)
kemudian
data
tersebut
dijumlahkan.
Hasil
penjumlahan adalah posisi rata-rata Matahari dan Bulan pada waktu gurub matahari untuk Jombang47. d. Mengambil Daqa'iq al-Tafawut (DT= perata waktu ) dari daftar berdasarkan hasil penjumlahan wasat Matahari setelah
46
ibid,hal. 13 Sehingga apabila dikehendaki perhitungan untuk selain Jombang maka harus dilakukan koreksi terhadap data posisi matahari dan bulan senilai selisih waktu antar jombang dan lokasi yang dikehendaki itu / Fadl al-Tulaini (SFT) yakni (bujur Jombang- BT) / 15 ). Dengan catatan utuk lokasi disebelah barat Jombang ditambahkan, sedangkan untuk lokasi di timurnya dikurangkan. 47
65
dikoreksi Fadl al-Tulaini (SFT). Perhatikan tanda positif (+) dan negatifnya (-). e. Menghitung gerak matahari dan bulan selama waktu DT tersebut. f. Gerak matahari dan bulan selama waktu DT tersebut untuk mengoreksi (menambah atau mengurangi) hasil penjumlahan di atas menurut tanda yang ada pada DT yakni tanda (=) adalah tambah dan tanda (–) adalah kurang. g. Hasil koreksian inilah yang merupakan posisi rata-rata Matahari dan bulan, yakni wasat Matahari (WS), Khoshoh Matahari (KM), Wasat Bulan (WB), Khosoh Bulan (KB), dan uqdah Bulan (UB) pada waktu gurub matahari untuk lokasi yang telah ditentukan tadi, 2. Menghitung Thul matahari (TM) dan Thul Bulan (TB) Langkah-langkahnya sbb48: a. Mengambil beberapa koreksi atau Ta'dil, yaitu : 1) Ta'dil Matahari (Td. Mt) 2) Ta'dil pertama bulan (T1) 3) Ta'dil al-Khashoh Bulan (T. Khos) 4) Ta'dil Uqdah Bulan (T. uqd.) 5) Sabak Matahari (sbk. Mt) Diambil dari daftar berdasarkan B0 atau khashah Matahari.
48
ibid, hal. 13-16.
66
b. Menghitung Thul Matahari (TM) dengan rumus : TM = WM +/- Td.Mt c. Mengambil Ta'dil kedua bulan (T2) dan sabak Bulan kedua (Sbk 2) dari daftar berdasarkan dalil al-Tsani yang diperoleh dari: 2(WB-TM) – KB. d. Mengambil Ta'dil ketiga Bulan (T3) dan sabak pertama (Sbk.1) dari daftar berdasarkan KB' (D3) KB' = Kb + T1 + T2 + T. KHos e. Menghitung wast bulan Mu’addal (WB') dengan rumus : WB' = WB + T1 + T2 + T3 f. Mengambil Ta'dil keempat bulan (T4) dan sabak ketiga bulan (sbk3) dari daftar berdasarkan dalil al-Robi' yang diperoleh dengan cara: WB' – TM g. Mengambil
Ta'dil
al-Khomis
Bulan
(T5)
dari
daftar
berdasarkan dalil Khomis atau Hishah al-Ardl (HU), HU di hitung dengan rumus: HU = WB + T4 + UB + T. Uqd h. Menghitung Thul Bulan (TB) dengan rumus: TB = WB ' + WB' + T4 + T5 3. Menentukan Saat Terjadinya Ijtima' Langkah-langkahnya sbb49: a. Menghitung Bu'du al-Nayyirain (BN) dengan rumus : BN = TB - TM
49
ibid, hal. 19
67
b. Menghitung sabak bulan (SB)dengan rumus : SB = (Sbk1 + Sbk2 + Sbk3) c. Menghitung titik Ijtima' (T Ijt) dengan rumus : T ijt = BN / SB d. Menghitung waktu ijtima' (Ijtima') dengan rumus : Ijtima' = Gurub + 12 - T Ijt = = > (Waktu Istiwa'). Hasil ijtima'
ini
dengan
menggunakan
waktu
istiwa'
yakni
menggunakan waktu matahari hakiki. Sehingga apabila dikehendaki dengan WIB (misalnya) maka harus dilakukakan koreksi dengan DT (Daqoi'iq al-Ta'dil) dan interpolasi waktu WIB yakni: DT = (BT - 105) : 15 IJTIMA' = (Ijtima' + DT – Interpolasi Waktu) = (Zone Time), atau yang lebih ringkasnya: (Saat Magrib WIB – T Ijt). 4. Menghitung Irtifa' al-Hilal Maksudnya Irtifa' al-Hilal pada saat Maghrib setelah Ijtima'. Sebelum kita menentukan Irtifa' ini terlebih dahulu kita harus mengolah data Matahari dan bulan karena dalam perhitungan irtifa' al-hilal kita membutuhkan data tersebut. Dengan keterangan selengkapnya : a. Olah Data Matahari 1) Mail Matahari (MM)50
50
ibid, hal.21
68
Benang diletakkan pada Sittin, Muri diposisikan pada 23° 52’ dihitung dari Markaz, Benang dipindah ke Qaus sebesar Thul Matahari (TM) dihitung dari awal alqaus. Pada Muri, tariklah benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal al-Qaus sampai
benang
itulah
Mail
al-Syamsi
(deklinasi
Matahari). Adapun arah MM mengikuti arah TM, yakni : Bila TM pada buruj 0, 1, 2, 3, 4,
dan 5 atau TM <
180° maka MM positif Bila TM pada buruj 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 atau TM > 180° maka MM negatif 2) Bu’dul Quthr Matahari (BQM)51 Benang diletakkan pada Sittin, Muri diposisikan pada Jaib Lintang Tempat dihitung dari Markaz. Benang dipindah ke Mail Matahari (MM) dihitung dari awal alQaus sepanjang busur. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal al-Qaus sampai benang itulah Bu’dul Quthr Matahari.
51
ibid, hal. 22
69
Bila LT dan MM sama-sama positif atau negatif maka BQM positif. Bila LT dan MM berbeda positif negatifnya maka BQM negatif 3) Ash al-Mutlaq Matahari (AMM)52 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada jaib Complement Lintang Tempat atau 90 – abs (LT), Benang dipindah ke Complement Mail Matahari yaitu 90 – abs(MM) dihitung dari awal Qaus. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal Qaus sampai benang itulah Ash al-Mutlaq Matahari. Catatan : Bila LT
= 0, maka AMM = 90 – abs(MM)
Bila MM = 0, maka AMM = 90 – abs(LT) Bila LT dan MM = 0, maka AMM = 90 4) Nisf al-Fudlah Matahari (NFM) Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada jaib Ash al-Mutlaq. Matahari dihitung dari markaz. Benang digeser hingga Muri tepat pada jaib Bu’d alQuthr. Kemudian Matahari dihitung dari Jaib al-Tamam. Jarak busur antara awal Qaus sampai benang itulah Nisf al-Fudlah Matahari.
52
ibid, hal. 23
70
Arah NFM mengikuti arah BQM 5) Nisfu Qaus al-Nahar Matahari (NQNM)53 Bila NFM positif maka NQNM = 90 + NFM Bila NFM negatif maka NQNM = 90 – NFM 6) Ta’dil Mathali’ Matahari (TMM)54 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada jaib complement Mail Matahari dihitung dari Markaz. Benang digeser hingga Muri tepat pada jaib alMankus Thul Matahari dihitung dari Markaz pada Jaib al-Tamam. Jarak busur antara akhir al-Qaus sampai benang itulah Ta’dil Mathali’ Matahari. 7) Matali’ al-Falakiyah Matahari (MFM)55 Jika TM pada buruj 09, 10, dan 11 (270° s/d 360°) maka MFM = 00 + TMM Jika TM pada buruj 00, 01, dan 02 ( 00° s/d 90° ) maka MFM = 180 - TMM Jika TM pada buruj 03, 04, dan 05 ( 90° s/d 180°) maka MFM = 180 + TMM Jika TM pada buruj 06, 07, dan 08 (180° s/d 270°) maka MFM = 360 – TMM
53
ibid, hal.24 ibid. 55 ibid 54
71
8) Mathali’ Gurub Matahari (MGM)56 MGM = MFM + NQNM
b. Olah Data Bulan 1) Ardl Bulan (AB)57 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada 05° 16’ dihitung dari Markaz. Benang dipindah ke Qaus sebesar data Hishah al-Ardli (HA) dihitung dari awal Qaus. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak antara awal Qaus sampai benang itulah Ardl Bulan. Catatan: Bila HU pada buruj 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 atau HU < 180, maka AB positif. Bila HU pada buruj 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 atau HU > 180, maka AB negatif. 2) Mail al-Awal Bulan (M1B)58 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada 23° 52’ dihitung dari markaz. Benang dipindah ke Qaus sebesar Thul Bulan (TB) dihitung dari awal alQaus. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan
56
ibid ibid, hal. 21 58 ibid. 57
72
garis-garis mabsut. Jarak busur dari awal al-Qaus sampai benang. Itulah Mail Awal li al-Qamar. Adapun arah M1B mengikuti arah TB, yakni : Bila buruj TB 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 atau TB < 180 maka M1B positif. Bila buruj TB 6, 7, 8, 9, 10, dan 11 atau TB > 180 maka M1B negatif 3) Mail al-Tsani Bulan (M2B)59 Tarik garis lurus sejajar dengan garis-garis Mankus pada skala 55° 03’ dari Markaz pada Jaib al-Tamam. Tarik garis lurus sejajar dengan garis-garis Mabsut pada skala M1B dari Markaz pada Sittin. Benang diletakkan pada titik perpotongan kedua garis lurus tersebut. Jarak busur antara awal al-Qaus sampai benang itulah Mail alTsani Bulan. 4) Hissah al-Bu’di (HB)60 HB = AB + M2B, Bila antara AB dan M2B searah positif negatifnya: Arah HB mengikuti arah AB atau M2B. HB = AB - M2B, Bila antara AB dan M2B berlainan arah: Arah HB mengikuti arah data yang besar. HB = AB + M2B 59 60
ibid, hal. 22 ibid.
73
5) Sudut Bantu (SB)61 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada 55° 03’ dihitung dari Markaz. Benang dipindah pada data HB dihitung dari awal al-Qaus. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal al-Qaus sampai benang itulah Sudut Bantu. Arah SB mengikuti arah HB 6) Bu’du Bulan (BB)62 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada jaib Complement M2B atau
90 – abs(M2B)
dihitung dari Markaz. Benang digeser hingga Muri tepat pada jaib mabsut sudut bantu di atas (SB), dihitung dari jaib al-Tamam. Jarak busur antara awal al-Qaus sampai benang itulah Bu’du Bulan. Arah BB mengikuti arah HB. 7) Bu’du al-Quthr Bulan (BQB)63 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada Jaib Lintang Tempat dihitung dari Markaz. Benang dipindah ke Bu’du Bulan (BB) dihitung dari awal Qaus sepanjang busur. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal Qaus sampai benang itulah Bu’du al-Quthr Bulan. 61
ibid. ibid. 63 ibid. 62
74
Bila LT dan BB sama-sama positif atau negative, maka BQB positif. Bila LT dan BB berbeda positif – negatifnya, maka BQB negatif. 8) Ash al-Mutlaq Bulan (AMB)64 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada jaib complement Lintang Tempat atau 90 - abs(LT). Benang dipindah ke complement Bu’du Bulan yaitu 90 – abs(BB) dihitung dari awal al-Qaus. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal al-Qaus sampai benang itulah Ash alMutlaq Bulan. Catatan: Bila LT = 0
maka AMB = 90 – abs(BB)
Bila MM = 0
maka AMB = 90 – abs(LT)
Bila LT dan BB = 0 maka AMB = 90 9) Nisf al-Fudlah Bulan (NFB)65 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada jaib Ash al-Mutlaq Bulan. Benang digeser hingga Muri tepat pada jaib Bu’du al-Quthr Bulan. Jarak busur antara awal al-Qaus
sampai benang itulah Nisf al-
Fudlah Bulan. Arah NFB mengikuti arah BQB. 64 65
ibid, hal. 23 ibid.
75
10) Nisf al-Qaus al-Nahar Bulan (NQNB)66 Bila NFB positif, maka
NQNB = 90 + NFB
Bila NFB negatif, maka NQNB = 90 – NFB 11) Ta’dil Mathali’ Bulan (TMB)67 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada jaib complement M1B dihitung dari Markaz. Benang digeser hingga Muri tepat pada jaib al-Mankus Thul Bulan dihitung dari Markaz pada Jaib al-Tamam. Jarak busur antara akhir al-Qaus sampai benang itulah Ta’dil Mathali’ Bulan 12) Matali’ al-Falakiyah Bulan (MFB)68 Jika TB pada buruj 09, 10, dan 11 (270° s/d 360°), maka MFB = 00 + TMB. Jika TB pada buruj 00, 01, dan 02 ( 00° s/d 90° ), maka MFB = 180 - TMB Jika TB pada buruj 03, 04, dan 05 ( 90° s/d 180°), maka MFB = 180 + TMB Jika TB pada buruj 06, 07, dan 08 (180° s/d 270°), maka MFB = 360 - TMB 13) Mathali’ al-Gurub Bulan (MGB)69 MGB = MFB + NQNB 66
ibid, hal. 24 ibid. 68 ibid. 69 ibid, hal. 24-25. 67
76
14) Qaus al-Muksi (QM)70 QM = MGB – MGM 15) Fadl al-Da’ir Bulan (FDB)71 FDB = NQNB – QM 16) Ash al-Mu’addal (AMd)72 Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada jaib Ash al-Mutlaq Bulan dihitung dari Markaz. Benang dipindah pada Complement Fadl al-Da’ir Bulan (90–abs(FDB)) dihitung dari awal al-Qaus. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal al-Qaus dengan benang itulah Ash al-Mu’addal. Bila FDB < 90 maka AMd positif Bila FDB > 90 maka AMd negatif 17) Irtifa’ al-Hilal (IRT)73 Bila AMd dan BQB searah maka IRT positif maka al-Hilal di atas ufuk. Bila AMd dan BQB berbeda arah maka IRT negative maka al-Hilal di bawah ufuk.
70
ibid, hal. 25 ibid. 72 ibid. 73 ibid. 71
77
5. Arah Terbenam Matahari (ATM) Benang diletakkan pada busur sebesar complement Lintang Tempat atau 90 – abs(LT) dihitung dari awal al-Qaus. Muri diposisikan pada Jaib Mail Matahari dihitung dari Jaib alTamam. Benang dipindah ke Sittin. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal Qaus sampai benang itulah Arah Terbenam Matahari. 74 Arah ATM mengikuti arah MM. Bila: ATM positif, maka Matahari terbenam di utara titik Barat. ATB negatif, maka Matahari terbenam di selatan titik Barat. 6. Arah Terbenam Bulan (ATB) Benang diletakkan pada busur sebesar complement Lintang Tempat atau 90 – abs(LT) dihitung dari awal Qaus. Muri diposisikan pada Jaib Bu’du Bulan dihitung dari Jaib al-Tamam. Benang dipindah ke Sittin. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal Qaus sampai benang itulah Arah Terbenam Bulan. 75 Arah ATB mengikuti arah BB. Kemudian bila: ATB positif, maka Bulan terbenam di utara titik Barat. ATB negative, maka Bulan terbenam di selatan titik Barat.
74 75
ibid, hal. 27 ibid.
78
7. Hissah al-Simt Bulan (HSB) Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada Jaib Lintang Tempat. Benang digeser pada Qaus sebesar data Irtifa’ yang dihitung dari awal Qaus. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal Qaus dengan Benang itulah Hishah al-Simt Bulan. 76 Bila LT dan IRT searah, maka HSB positif Bila LT dan IRT berbeda arah maka, HSB negatif 8. Ta’dil al-Simt Bulan (TSB)77 Bila ATB dan HSB searah, maka jaib TSB = jaib ATB – jaib HSB. Bila ATB dan HSB berbeda arah, maka jaib TSB = jaib ATB + jaib HSB. 9. Arah Bulan (ArB) Benang diletakkan pada Sittin. Muri diposisikan pada jaib Complement Irtifa’ dihitung dari Markaz. Benang digeser hingga Muri tepat pada jaib al-Mabsut Ta’dil al-Simt Bulan dihitung dari Jaib al-Tamam. Pada Muri, tarik benang ke Qaus sejajar dengan garis-garis mabsut. Jarak busur antara awal Qaus sampai benang itulah Arah Bulan ketika Matahari terbenam.78 Arah ArB mengikuti arah TSB. Kemudian bila: Bila ArB positif, maka Bulan di utara titik Barat 76
ibid, hal. 26 ibid, hal. 27 78 ibid. 77
79
Bila ArB negative, maka Bulan di selatan titik Barat 10. Posisi Bulan (PB)79 PB = abs(ATM – ArB) Bila ATM < Arb, Hilal di utara Matahari miring ke utara. Bila ATM > Arb, Hilal di selatan Matahari miring ke selatan. Bila PB < 0.5, Hilal terlentang di atas Matahari. 11. Nurul Hilal (NH)80 NH = (√(PB2 + IRT2)) / 15 12. Lama Hilal (LH) LH = QM / 15
2) Batasan Hilal Terlihat81 Dalam menyikapi batasan hilal dapat di rukyah atau dilihat, KH. Ma’shum dalam kitabnya memaparkan beberapa kriteria dari pendapatpendapat ulama. Hal tersebut diperinci sebagai berikut : a) Sebagian ulama menetapkan batasan rukyah jika cahaya bulan mencapai 5 jari 12' (daqiqoh), dan Qous al-Muksti 3° (derajat). b) Sebagian yang lain menetapkan bahwa hilal yang dapat dilihat minimal mempunyai kriteria cahaya hilal ( )ﻧـﻮﺭ ﺍﳍـﻼﻝmencapai 2/3 jari dengan ketinggian 6°.
79
ibid. ibid, hal. 28. 81 ibid, hal. 30. 80
80
Jika kedua kriteria ini kurang
sedikit saja, maka hilal akan sulit
dirukyah. Akan tetapi jika salah satunya yang kurang masih ada kemungkinan dapat dirukyah. c) Para ulama yang lainnya menetapkan batasan rukyah al-hilal apabila cahaya bulan ( )ﻧﻮﺭ ﺍﻟﻘﻤﺮmencapai 2/3 jari dengan Qous al-Muksi 11°.
BAB IV ANALISIS METODE PEMIKIRAN HISAB KH. MA’SHUM BIN ALI AL-MASKUMAMBANGI DALAM KITAB BADI’AH AL-MITSAL FI HISAB AL-SININ WA AL-HILAL
Sebagaimana yang telah penulis jelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa ilmu hisab merupakan ilmu sains yang terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini dipengaruhi oleh makin mutakhirnya peralatan dan teknologi. Ilmu ini juga akan terus mengalami adanya perubahan data dikarenakan sifat alam yang dinamis. Statemen ini bisa dianalisis dengan berbagai data yang makin diperbaharui dan berubah seperti kemiringan ekliptika yang telah dilakukan penelitian oleh al-Biruni1. Adanya fenomena perbedaan penetapan awal bulan yang terjadi di Indonesia, dengan banyaknya sistem penentuannya, merupakan tolak ukur adanya perkembangan keilmuan hisab dan rukyah (ilmu falak) yang sangat pesat. Perkembangan yang pesat itu ditandai dengan diklasifikasinya hisab ke dalam lima metode. Kelima metode itu sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya ialah; hisab urfi , Istilahi, Hakiki bi al-Taqrib, Hakiki bi al-Tahqiq, dan Hakiki Kontemprer atau Tadqiqi.2. Jika kelima metode tersebut diteliti dengan kacamata ilmu falak dan astronomi modern, metode pertama dan kedua yaitu hisab urfi dan hisab istilahi, sudah tentu tidak bisa dijadikan patokan utama dan pegangan dalam 1
Lihat: Kh. U. Sadykov, Abu Raihan al-Biruni, Terj. Mursid Djokolelono, Jakarta : Suara Bebas, 2007 2 lihat : bab II tentang macam-macam hisab
81
82
penentuan awal bulan hijriyah. Hal ini dikarenakan hasil kedua hisab tersebut masih merupakan perkiraan yang menetapkan jumlah hari untuk bulan-bulan ganjil umurnya 30 hari. Sedangkan bulan-bulan genap berumur 29 hari, kecuali untuk bulan ke-12 (Dzulhijjah) pada tahun Kabisah umurnya 30 hari. Dengan memakai sistem hisab urfi maupun hisab istilahi, maka umur bulan Sya'ban ada pada urutan genap yakni ke-8. Sedangkan umur bulan Ramadhan adalah tetap pula yaitu 30 hari, karena pada bulan Ramadhan ada pada urutan ganjil yakni ke-9. Realitasnya belum tentu demikian. Hal ini sangat bertentangan dengan ilmu astronomi modern, juga bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
ﺪﹶﺛﻨِﻲ ﺣ ﻴﺮﻫ ﻦ ﺯ ﺑ ﺏ ٍ ﺮ ﺣ ﺎﺪﹶﺛﻨ ﺣ ﻤﻌِﻴ ﹸﻞ ﺳ ﻦ ِﺇ ﻋ ﺏ ﻮﻦ ﹶﺃﻳ ﻋ ﺎِﻓ ٍﻊﻦ ﻧ ﻋ ﺑ ِﻦﺮ ﺍ ﻤ ﻲ ﻋ ﺿ ِ ﺭ ﻪ ﺍﻟﱠﻠ ﺎﻬﻤ ﻨﻋ ﻮ ﹸﻝ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﺭﺳ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﻪ ﻴ ِﻪ ﺍﻟﱠﻠﻋﹶﻠ ﻢ ﺳﻠﱠ ﻭ ﺎﻧﻤﺮ ِﺇ ﻬ ﻊ ﺍﻟﺸ ﺴ ﻭ ﹶﻥ ِﺗﺸﺮ ﻭ ِﻋ ﻮﺍ ﹶﻓﻠﹶﺎﻮﻣﺗﺼ ﻰﺣﺘ ﻭﻩ ﺮ ﺗ ﻭﻟﹶﺎ ﻭﺍ ﹾﻔ ِﻄﺮﻰ ﺗﺣﺘ ﻭﻩ ﺮ ﺗ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥﻢ ﹸﻏﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﻭﺍ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ ِﺪﺭﹶﻟﻪ. ()اﻟﻤﺴﻠﻢ رواﻩ3 Artinya :“Zuhair bin Harb menceritakan kepada saya, Ismail telah bercerita dari Ayub dari Nafi’ dari Abdillah bin Umar bahwasanya Rasulullah SAW. Sesungguhnya (bilangan) Bulan itu duapuluh sembilan hari, maka janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihatnya (hilal) dan (kelak) janganlah kalian berbuka sebelum melihatnya lagi. Apabila tertutup awan maka perkirakanlah” (HR Muslim). Atas dasar ini pula, kedua sistem hisab tersebut (hisab urfi dan hisab istilahi) belum dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan awal bulan Ramadhan maupun Syawal kaitannya dengan ibadah puasa, maupun awal bulan Dzulhijjah kaitannya dengan ibadah haji.
3
Muslim bin Hajjaj Abu Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Jilid I,Beirut: Dar al Fikr, tt. Hadits No. 1797.
83
Adapun metode yang paling akurat dalam menunjang pelaksanaan rukyah adalah metode yang ke empat (Hisab Hakiki Tahqiqi) dan ke lima (yaitu Hisab Hakiki Kontemporer). Metode tersebut sudah menggunakan rumus segitiga bola, dengan berbagai koreksi gerak Bulan maupun Matahari yang sangat teliti dan akurat. Dengan kedua metode tersebut, kita juga dapat menentukan dimana letak terbenamnya Matahari maupun posisi Hilal yang akan dijadikan pedoman dalam penentuan awal bulan hijriyah4. Dalam pelaksanaan rukyah al-Hilal, hisab hakiki bi al-Tahqiq dan hisab hakiki bi al-Tadqiq (hisab kontemporer) ini sangat representatif dijadikan sebagai alat bantu dan penopang dalam mensukseskan pelaksanaan observasi dilapangan. Dengan sistem hisab ini, para perukyah telah dapat memvisualisasikan munculnya hilal lengkap dengan kondisi maupun posisinya. Menurut penulis, kedua metode tersebut dapat dikatakan sebagai metode yang tepat dalam penentuan awal bulan hijriyah. Yaitu metode yang berbasis pada penggunaan pemikiran yang matematis dan teori probabilitas yang terdukung oleh data, serta sesuai dengan konsep kaidah syar’i.. Bagaimana jika konsep-konsep astronomi dan ilmu falak yang dianggap oleh para ahli sebagai yang akurat diterapkan untuk menganalisis pemikiran hisab KH. Ma’shum bin Ali pada kitabnya Bad’iah al-Misal fi Hisab al-Sinin wa alHilal? Salah satu kitab ilmu falak tua yang berkembang di tanah air ini. Hal ini yang akan penulis bahas pada bab ini sebagai”greget” untuk membumikan Ilm alAmaliyah Ilmiyah al-Syar’iyah pada khazanah keilmuan falak di Indonesia. 4
Bisa dilihat pada setiap hasil perhitungan setiap kitab atau system perhitungan awal bulan yang termasuk dalam kedua metode tersebut. Lihat : Bab I, pada gambar 1.
84
Secara umum, jika dilihat dari bab sebelumnya, cara yang dipergunakan oleh KH. Ma’shum bin Ali dalam kitab Badi’ah al-Misal ketika menghitung ketinggian hilal lebih cermat dan akurat dibandingkan kitab-kitab sebelumnya. Semisal perhitungan pada kitab, Sullam al-Nayyiroin dan kitab-kitab yang menggunakkan sistem hakiki bit taqrib pada umumnya yang masih sederhana. Kitab ini tidak hanya memperhatikan saat terjadinya ijtima’ saja. Lebih dari itu, kitab ini telah memperhitungkan pula kecepatan gerak Matahari dan Bulan pada bola langit, sudut waktu, dan lainnya. Sedangkan kitab-kitab sebelumnya hanya dengan membagi dua, selisih terjadinya ijtima’ dengan terbenamnya matahari5. Lebih lanjut penulis akan memaparkan faktor-faktor perbedaan antara kitab Badi’ah al-Misal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal dengan bermacam kitab lainnya. Yaitu berbagai kitab yang juga tergolong ke dalam hisab Hakiki bi alTahqiqi, atau dengan metode kekinian (kontemporer). Beberapa perbedaan yang mendasar tersebut adalah: A. Analisis Konsep Perhitungan Perhitungan hisab pada kitab Badi’ah al-Misal ini menggunakan alat bantu hitung Rubu’ Mujayyab. Penggunaan alat ini mengindikasikan bahwa perhitungan awal bulannya telah memakai konsep perhitungan Trigonometri (ilmu ukur segitiga). Sebagaimana telah dijelaskan pada bab II bahwa pemakaian ilmu ini pada hisab tertentu, menjadikan perhitungan yang
5
Lihat pada perhitungan kitab-kitab yang beraliran Haqiqi bi al-Taqrib seperti Sams alHilal. Bandingkan dengan: Ahmad SS., Noor, Risalah Syams al-Hilâl, jilid I, Kudus: Madrasah Tasywiqât-Tullâb Salâfiyah, T.Th. hal. 34.
85
digunakan masuk dalam kategori hisab Hakiki bi al-Thaqiq (mempunyai koreksi dan ketepatan yang tinggi). Pada bab sebelumnya telah disinggung pula, bahwa pemakaian hisab dengan konsep perhitungan memakai alat yang berbentuk ¼ (seperempat) lingkaran ini kurang halus dalam hasil yang disuguhkan. Hal ini Kyai Ma’shum akui pula dalam kitabnya, ia mengatakan bahwa:
ﺻﻐﻴﺮا آﺎن اذا ﺧﺼﻮﺻﺎ اﻟﻤﺠﻴﺐ ﺑﺎﻟﺮﺑﻊ اﻟﻌﻤﻞ اﻧﺘﺎﺋﺞ آﺬا و ﺗﻘﺮﻳﺒﻰ اﻹﻧﺘﺼﺎب ان6 Statemen tersebut menjelaskan bahwa perhitungan memakai rubu’ masih merupakan perkiraan (dalam keakurasiannya), apalagi jika rubu’nya kecil. Apabila ingin lebih teliti (ke arah al-Tadqiq), ia menganjurkan pemakaian daftar logaritma ketika melakukan perhitungan7. Berbeda dengan kitab-kitab lain sejenisnya seperti Khulasoh al-Wafiyah telah memakai daftar Logaritma. Bahkan kitab Nur al-Anwar telah memakai kalkulator. Berbeda pula dengan hisab-hisab kontemporer atau Tadqiqi seperti Ephimeris Hisab Rukyat Depag RI, Mawaqit Ing. Khafid, dan lainnya, telah memakai komputer dengan bentuk Software. Adapun komponen-komponen yang ada pada Rubu’ al-Mujayyab adalah sebagai berikut8 :
6
Muhammad Ma’ksum bin Ali al-Maskumambangi, Badiah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal, Surabaya : Maktabah Sa’ad bin Nashir Nabhan, tt. hal. 28. 7 Ibid. 8 Hendro Setyanto, Petunjuk Penggunaan Rubu’ Al-Mujayyab, Bandung : Pudak Scientific, 2002. hal. 2-5
86
Gambar.9 : Komponen Rubu’ Mujayyab
a) Markaz: Titik pusat Rubu’ yang terdapat pada sudut siku-suku alat dan terdapat lubang kecil untuk tali (khaith) b) Qaus al-Irtifa: Busur utama pada rubu’ yang dibagi kedalam 90 skala. Ketelitian pembacaan skala tersebut adalah sebesar 0,125° c) Jaib al-Tamam: Garis lurus yang ditarik dari markaz ke awal al-Qous. Jaib al-Tamam dibagi menjadi 60 skala (jaib) sama besar. Setiap skala mempunyai garis yang terhubung atau ditarik garis lurus kearah Qous alIrtifa’ Juyub al-Mankusah.( sudut kemiringan cahaya pada bidang datar yang berdiri tegak dilihat dari ujung bayang-bayang benda yang tegak lurus). d) Awwal Al-Qaus: Busur yang berimpit dengan sisi jaib al-Tamam (permulaan busur) e) Akhir Al-Qaus: Busur yang berimpit dengan sisi jaib. Dari awal al-qaus hingga akhir qaus dibagi dengan skala 0° s/d 90°. f) Al-Sittini: Garis lurus yang ditarik dari Markaz ke awal al-Qous. alSittini dibagi menjadi 60 skala pula yang sama besar. Setiap skala
87
mempunyai garis lurus yang terhubung dengan qous al-irtifa’ yang disebut Juyub Al-Mabsuthoh (sudut kemiringan cahaya pada bidang horizontal dilihat dari ujung bayang-bayang benda yang berdiri tegak). g) Hadafah: Lubang pengintai (biasa digunakan pengamatan seperti Rukyah al-Hilal) yang posisinya sejajar dengan al-Sittini. h) Khaith: Tali atau benang yang dipasang pada lubang Markaz. i) Muri: Simpulan benang yang terdapat dan diikatkan pada khaith dan biasanya mempunyai warna yang berbeda dengan benang khaith serta dapat digeser/digerakkan. Pemasangan Muri sesuai dengan kebutuhan pemakai. j) Syaqul: Bandul yang terdapat pada ujung khaith dan berfungsi sebagai alat pemberat. k) Al-Tajyib: Busur setengah lingkaran yang dibuat dengan radius ½ kali radiu busur utama. Jika pusat al-Tajyib berada pada al-sittini di jaib 30, maka disebut al-Tajyib al-Ula. Dan jika pusat al-Tajyib terletak di Jaib al-Tamam pada jaib 30, maka disebut al-Tajyib al-Saniah. l) Qous al-Ashr: Garis lengkung yang ditarik dari awal al-Qous hingga ke al-Sittini pada jaib 42,3. m) Dairot al-Mail al-A’dhom: Busur yang membentuk ¼ lingkaran dan menggambarkan deklinasi maksimum matahari sebesar 23,45°. Secara umum, alat ini mempunyai fungsi yang kompleks yaitu; sebagai alat hitung, alat ukur dan table astronomi. Adapun konsep perhitungan trigonometri rubu’ didasarkan pada hitungan Sexagesimal (60). Dimana sin
88
90° = cos 0° = 60, dan sin 0° = cos 90° = 0. Dapat dibandingkan dengan konsep trigonometri yang biasa digunakan dimana; sin 90° = cos 0° = 1, dan sin 0° = cos 90° = 0. Penyebabnya adalah pembandingan nilai dari trigonometri Rubu’ dan Trigonometri biasa yaitu 60 (enam puluh) berbanding 1 (satu) (60 : 1). Maka nilai yang diperoleh melalui perhitungan dengan memakai alat rubu’ harus dibagi dengan nilai 60, agar diperoleh nilai yang sesuai dengan trigonometri biasa (mendekati)9. Formulasi-formulasi tersebut akan didefinisikan sebagai berikut : a. Sinus Dalam ilmu matematika adalah perbandingan sisi segitiga yang ada di depan sudut dengan sisi miring (dengan catatan bahwa segitiga itu adalah segitiga siku-siku atau salah satu sudut segitiganya 90°)10. lihat pada skema dibawah ini. Sin A = a/c
Sin B= b/c
A c b
Gambar 10: Skema Sinus
B
a
C
Untuk mengetahui nilai Sinus (jaib) pada Rubu’ Mujayyab dari sebuah sudut (AC) dapat dibaca langsung pada sisi al-Sittini11. Perhatikan skema dibawah ini :
9
Ibid, hal. 5 ST. Negoro. dkk, Rumus-Rumus Sifat Table Matematika Serta Bimbingan Dan Contoh, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982. hal, 97. 11 Hendro Setyanto, op.cit, hal. 5 10
89
Gambar 11: Nilai Sinus Pada Rubu’ Mujayyab x
M
B
y
c
Keterangan
Bahasa Rubu’
Sin AC = Mx
Jaib al-qous AC = Mx
Sin -¹ Mx = AC
Qous al-Jaib Mx = AC
A
Contoh konversi: Menentukan nilai Sin 15° Berdasarkan data diatas diketahui AC = 15° a) Letakan khoit pada sudut 15° dihitung dari Jaib al-Tamam (garis AM) kemudian diproyeksikan ke al-Sittini (garis MB) maka diperoleh nilai 15,5. (perhatikan gambar 5). b) Karena rubu’ menggunakan konsep sexsagesimal (60) maka nilai 15,5 dibagi 60, dan diperoleh nilai 0,2583. c) Jadi sin 15° = 0,2583. Bandingkan dengan hasil kalkulator; Sin 15° = 0,2588. 15,5 B
Gambar 12 : Konversi Nilai Sinus Contoh hasil-hasil konversi nilai Sinus :
c
M
A 15°
90
SUDUT
JAIB
SIN
(RUBU’)
(KALKULATOR)
Mx
X 1/60
0°
0
0
0
15°
15.5
0.2583
0.2588
30°
30
0.5
0.5
45°
42.5
0.7083
0.7071
60°
52
0.8667
0.866
75°
58
0.9667
0.9659
90°
60
1
1
b. Cosinus Dalam matematika adalah perbandingan sisi segitiga yang terletak di sudut dengan sisi miring (dengan catatan bahwa segitiga itu adalah segitiga siku-siku atau salah satu sudut segitiganya 90°)12.
A Cos B= a/c
c
Cos A = a/c
Gambar 13: Skema Cosinus
b B
a
C
Adapun nilai Cosinus dalam rubu’ adalah Tamam al-Jaib merupakan sudut yang didefinisikan sebagai sinus dari komplemen sudut tersebut13. Perhatikan skema berikut :
12 13
ST. Negoro, dkk. op.cit, hal. 97. Hendro Setyanto, op.cit, hal. 7
91
x
B
M
Gambar 14 : Konsep Sudut Cosinus pada Rubu’ Keterangan y
c
Cos AC = Sin BC = My Dimana AC + BC = 90°
A
Contoh Konversi : Menentukan nilai Cos 15° Berdasarkan data diatas diketahui BC = 15°, karena AC + BC = 90°; AC = 90° - 15°,
AC = 75°
d) Letakan khoit pada sudut 75° dihitung dari Jaib al-Tamam (garis AM) kemudian diproyeksikan ke Jaib al-Sittini (garis MB) maka diperoleh nilai 58. (perhatikan gambar 7) e) Karena rubu’ menggunakan konsep sexsagesimal (60) maka nilai 58 dibagi 60, dan diperoleh nilai 0.9667. Jadi Cos 15° = 0.9667. bandingkan dengan hasil kalkulator; Cos 15° = 0.9659 58
B
M
c
Gambar 15: Konversi nilai Cosinus
75° A
92
Contoh hasil-hasil konversi nilai Cosinus:
TAMAM AL-JAIB
COS
(RUBU’)
(KALKUL
SUDUT Mx
X 1/60
ATOR)
0
60
1
1
15
58
0.9667
0.9659
30
52
0.8667
0.866
45
42.5
0.7083
0.7071
60
30
0.5
0.5
75
15.5
0.2583
0.2588
90
0
0
0
c. Tangen Tangen (bahasa belanda: tangens; lambang tg/tan) dalam matematika merupakan perbandingan sisi segitiga yang ada di depan sudut dengan sisis segitiga yang terletak di sudut (dengan catatan bahwa segitiga itu adalah segitiga siku-siku atau salah satu sudut segitiganya 90°)14. Tan B = b/a
Tan A = a/b
A
c
Gambar 16: Skema Tangen B
b a
C
Nilai konversi Tangen dan kotangen pada Rubu’ Mujayyab adalah Dhil al-Mabsut dan bisa dihitung pula dengan mendefinisikan fungsinya15. Dengan keterangan sebagai berikut:
14 15
ST. Negoro, dkk. op.cit, hal. 97. Hendro Setyanto, op.cit, hal. 8.
93
x
B
M
y
c
Gambar 17: Konversi nilai Tangen
A
Dimana; Tan AC = Sin AC = Sin AC = xM Cos AC Sin BC = yM Cotan AC = Cos AC = Sin BC = yM Sin AC Sin AC = xM Dari analisis diatas, dapat disimpulkan bahwa Jaib = sinus, Jaib alTamam = cosinus, dan Dhil al-Mabsut= tangens, maka cara perhitungan dengan
Rubu’
dapat
diformulasikan
dengan
rumusan
matematis
goneometri dengan merubah nilai buruj dijadikan derajat ( @ buruj = 30°).
B. Analisis Data a) Tabel Astronomi Data pada tabel-tabel astronomi yang digunakan dalam bagian lampiran dari kitab Badi’ah al-Misal sudah menggunakan angkaHindiy (١,٢,٣,٤,٥,…. dst), berbeda dengan kitab-kitab falak klasik sebelumnya yang sebagian masih menggunakan huruf-huruf dalam angka huruf arab (Angka Jumaliyah)16 seperti Sulam al-Nayyirain. Namun walaupun 16
Yang dimaksud dengan angka Jumaliyah adalah notasi angka yang disimbolkan dengan huruf-huruf Arab, yaitiu sbb: ﺳﻌﻔﺺ ﻗﺮﺵ ﺗﺜﺨﺬ ﺿﻈﻎ¤ ﺍﲜﺪ ﻫﻮﺯ ﺣﻄﻴﻚ ﳌﻦ
94
demikian dalam kitab ini masih terdapat beberapa simbol yang menggunakan angka Jumaliyah. Angka tersebut dipakai hanya dalam menyebutkan alamat saja bukan hasil, seperti al-Ayyam dan al-sa’at. Sedangkan selebihnya menggunakan angka Hindi. Dalam kitab ini hari dimulai dengan hari ahad, senin, selasa dan setrerusnya. Sedangkan pasaran dimulai dari Legi, kemudian pahing, dan seterusnya. Sedangkan untuk buruj dihitung mulai dari buruj haml. b) Ardh al-Qamar al-Kully Ardh al-Qamar al-Kully ( )ﻋﺮض اﻟﻘﻤﺮ اﻟﻜﻠﻰatau ada pula yang menyebutnya Ardh al-Qamar ( )ﻋﺮض اﻟﻘﻤﺮsaja. Secara etimologi adalah lintang astronomi Bulan terjauh. Sedangkan secara terminologi yaitu busur sepanjang lingkaran kutub ekliptika dihitung dari titik pusat Bulan hingga lingkaran ekliptika. Jika bulan berada di utara ekliptika, maka lintang bulan beharga positif (+), dan jika bulan berada di selatan ekliptika, maka lintang bulan berharga negatif (-)17. Ardh al-Qomar merupakan nilai yang sangat penting dalam perhitungan hisab Hakiki bit al-Tahqiqi. Nilai ini digunakan untuk menentukan besaran nilai deklinasi Bulan padaa saat itu. Dalam menggunakan nilai besar Ardh al-Qomar al-Kully, terdapat beberapa perbedaan. KH. Moh. Ma’shum bin Ali sendiri, dalam kitabnya Badiah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal berpendapat bahwa nilai Ardhul Qomar Kully adalah 5° 16'18.
Dengan urutan angka sesuai huruf : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90, 100, 200, 400, 500, 600, 700, 800, 900, 1000. (lihat: Kitab jadwal Sulam al-Nayyiroin) 17 Muhyidin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta : Buana Pustaka, 2005. hal. 5 18 Muhammad Ma’ksum bin Ali, op. cit, hal. 21
95
Sedangkan KH. Noor Ahmad SS berpendapat bahwa Ardh al-Qamar al-kully bernilai 5°.19 Menurut KH. Zuber Umar al-Jailaniy dalam kitabnya al-Khulasoh al-Wafiyah nilainya adalah 5° 16'20. KH. Moch. Zubair Abd. Karim dalam kitabnya Ittifaq dzat al-Bain menyuguhkan nilai 5° 8'21, Pendapat dengan besaran ini juga diutarakan oleh Muhyidin Khazin dalam Kamus Ilmu Falak-nya22. Jika dibedakan dengan nilai lintang bulan terjauh yang dipakai oleh BHR Kementrian Agama RI, yang sesuai dengan astronomi modern saat ini besarannya mencapai 5° 8' 52“23. c) Koreksi Daqoiq al-Tamkiniyah24 Dalam beberapa kitab yang tergolong ke dalam hisab hakiki bi alTahqiqi, seperti dalam kitab Nurul Anwar susunan KH. Noor Ahmad SS, Daqoiq al-Tamkiniyah ( )ﺩﻗـﺎﺌﻕ ﺍﻟﺘﻤﻜﻴﻨﻴﺔsangat dibutuhkan sekali untuk digunakan sebagai koreksi atas sudut waktu matahari ( ﻧﺼﻒ ﻗﻮس اﻟﻨﻬﺎر اﻟﻤﺮئ ) ﻟﻠﺸﻤﺲdan sudut waktu bulan ()ﻧﺼﻒ ﻗﻮس اﻟﻨﻬﺎر اﻟﻤﺮئ ﻟﻠﻘﻤﺮ25. Dalam kitab Nurul Anwar, besar Daqoiq al-Tamkiniyah yang digunakan = 1° 13'26.
19
Noor Ahmad SS, Risalah Falakiyah Nurul Anwar, Kudus: TBS, tt, hlm. 11. Zubair Umar al-Jailani, Khulasoh al-Wafiyah, TP.dan tt.. hal. 84. 21 Moch. Zubair Abdul Karim, Ittifaq dzat al-Bain, Gresik : Lajnah Falakiyah NU Jatim, tt, hal. 15. 22 Muhyidin Khazin, loc. cit. 23 Badan Hisab Rukyah Departemen Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 101. 24 Daqo’iq al-Tamkiniyah ()دﻗﺎﺋﻖ اﻟﺘﻤﻜﻴﻨﻴﺔ, adalah tenggang waktu yang diperlukan oleh matahari sejak piringan atasnya menyentuh Ufuk Hakiki sampai terlepas dari Ufuk Mar’I (Muhyidin Khazin, op. cit, hal. 19). 25 ﻗﻮس اﻟﻨﻬﺎرAdalah busur siang, yaitu busur sepanjang lintasan suatu benda langit diukur dari titik terbit melalui titik kulminasi atas sampai titik terbenam.( Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 248) 26 Noor Ahmad SS, op. cit, hal.12. 20
96
Dalam kitab Badi’ah al-Misal sendiri hanya menjelaskan bahwa setelah menghitung ﻧﺼﻒ ﻗﻮس اﻟﻨﻬﺎرbisa menggunakan Daqoiq alTamkiniyah untuk mendapatkan nilai ﻧﺼﻒ ﻗﻮس اﻟﻨﻬﺎر اﻟﻤﺮئdengan melihat jadwal27 yang diambil dari al-Mail (deklinasi) dan Ard al-Balad (lintang tempat). Tetapi tidak ada berkenaan dengan penjelasan besaran nilainya28. Pada jadwal juga, tidak ada data yang menunjukan statemen tersebut, serta tidak pula digunakan dalam proses perhitungannya. Temuan tersebut menyimpulkan bahwa kitab Badi’ah al-Misal tidak memakai Daqo’iq alTamkiniyah sebagai koreksi dari sudut waktu. Menurut Sayful Mujab29, koreksi Daqo’iq al-Tamkiniyah sangat dibutuhkan dalam mengoreksi perjalanan bulan maupun matahari. Ia juga mengatakan bahwa salah satu hal yang mendasari perbedaan hasil perhitungan pada kitab Badi’ah al-Misal, ketika menentukan ketinggian hilal, adalah tidak digunakannya Daqo’iq al-Tamkiniyah sebagai koreksi sudut waktu.30 d) Data tempat Pada dasarnya data tempat atau lokasi observasi yang diterapkan dalam kitab Badi‘ah al-Misal sama dengan astronomi modern, yaitu dengan memakai titik acuan bujur Grrenwich sebagai patokan bujur 0.
27
Jadwal adalah istilah penyebutan taabel astronomi yang biasa digunakan oleh para ahli falak,. Jadwal ini hamper semuanya terletak pada lampiran sebuah kitab. 28 Muhammad Ma’ksum bin Ali, op. cit, hal. 24 29 Sayful Mujab adalah tokoh falak dan dosen Ilmu Falak IAIN Walisongo Semarang, salah satu Pengasuh Pondok pesantren Astronomi Setinggil Kriyan Kalinyamatan Jepara, dan juga merupakan putra dari KH. Noor Ahmad SS (Pakar Falak PBNU dan penulis berbagai kitab falak salah satunya Nur al-Anwar), 30 Wawancara dengan Sayful Mujab pada tanggal 16 Oktober 2010 di Semarang.
97
hanya saja bujur Jombang sebagai markaz perhitungan dalam kitab Badi’ah al-Misal =112° 26’ (bujur timur), sedangkan dalam Almanak Hisab Rukyah Depag RI (data diambil dari Der Gehel Aarde, oleh PR. Bos- JF. Niermeyer, JB. Wolters- Groningen, Jakarta 1951) bujur untuk daerah Jombang sebesar 112° 13’31. Dari sini sangat terlihat ada perbedaan yaitu sebesar 13 menit. Atas dasar ini, perlu kiranya ada penelitian dan pengamatan secara seksama kembali agar memperoleh data posisi tempat yang akurat. Mengingat data tempat ini sangat berpengaruh terhadap epoch32 yang digunakan. e) Data Astronomis Dilihat dalam pencocokan data astronomi yang dipakai oleh kitab Badi’ah al-Misal dengan data-data astronomi pada kitab-kitab sejenisnya (hakiki bi al-Tahqiq) seperti Khulasoh al-Wafiyah, Nur al-Anwar secara keseluruhan terjadi kesamaan data. Jika dilihat dengan teliti ada perbedaan nilai pada data tertentu seperti Ta’dil al-Zaman/ Tadil al-Tafawut/ equation of time33 dan Jadwal Harakat al-Nayyirain fi al-Sinin alMajmu’ah.
31
Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 264. Nama lain dari Epoch Mabda ( )ﻣﺒﺪأyaitu waktu yang dipergunakan sebagai patokan awal dalam perhitungan ilmu falak atau astronomi. (Muhyidin Khazin, op. cit, hal. 112) 33 Bandingkan dengan :Zubair Umar al-Jailani, op. cit, hal., 213 32
98
Contoh : Gerak Matahari ( )وﺳﻂ اﻟﺸﻤﺲ34 Khulasoh al-Wafiyah35 Nur al-Anwar36
Th
Badi’ah al-Misal
1350
1b 13° 49' 02“
1b 14° 00' 52“
043° 49' 19“
1380
2b 22° 14' 00“
2b 22° 25' 50“
082° 14' 17“
1500
7b 25° 53' 52“
7b 26° 05' 42“
235° 54' 09“
Perbedaan pada data Harakat al-Nayyirain fi al-Sinin al-Majmu’ah sangatlah wajar dan dapat dimaklumi. Perbedaan Markaz (patokan tempat) yang digunakan adalah salah satu penyababnya, seperti Badi’ah al-Misal memakai epoch Jombang, dan Nur al-Anwar memakai Markaz Jepara. Bandingkan pula data astronomi yang ada pada kitab Badi’ah alMisal ini dengan data astronomi modern seperti data pada Newcomb, maka akan ditemukan data yang hampir sama nilainya. Hanya saja data dalam Badi’ah al-Misal hanya berhenti pada satuan detik (1/3600 derajat), sementara data dalam astronomi moderen terdapat satuan dibawah detik yakni mikron (1/216000 derajat). Data pada satuan mikron ini, dalam penulisannya memakai bentuk pecahan desimal dalam detik37. Sebagai contoh perbandingan dengan data-data pada Newcomb38 di bawah ini39:
34
Data penulisan “1b“ merupakan artian dari; 1 buruj/ atau buruj 1. Zubair Umar al-Jailani, op. cit, hal., 213. 36 Konsep data dalam kitab Nur al-Anwarsudah dirubah sepenuhnya kedalam derajat (tidak ad lagi tanda buruj). Lihat: Noor Ahmad SS, Jadwal Falak Nur al-Anwar, Kudus: TBS, tt, hlm. 30-33. 37 Muhammad Ma’ksum bin Ali, op. cit, hal. Lampiran dan Bandingkan dengan data pada tabel astronomi Newcomb 38 Simon Newcomb adalah ahli astronomi dari Amerika, ia adalah penyusun buku yang berjudul “Tables of Montion of the Earth, Tabels of the heliocentric montion of Mercury, Tabels of the heliocentric montion of Venus, Tabels of the heliocentric montion of Mars,” dan buku “ A Compendium of spherical Astronomy”. Kedua buku ini menjadi rujukan dalam perhitungan awal bulan dan gerhana yang dikenal dengan nama sistem Newcomb. System ini dikembangkan di 35
99
1) Gerak Matahari Waktu
Badi’ah Al-Misal
New Comb
Satu jam
00° 02' 28.00“
00° 02' 27.90“
Satu hari
00° 59' 08.00“
00° 59' 08.33“
29 hari
28° 35' 02.00“
28° 35' 01.60“
30 hari
29° 34' 10.00“
29° 34' 09.90“
2) Gerak Bulan Waktu
Badi’ah Al-Misal
New Comb
Satu jam
00° 32' 56.00“
00° 32' 56.50“
Satu hari
13° 10' 35.00“
13° 10' 35.10“
29 hari
22° 06' 56.00“
22° 06' 55.90“
30 hari
35° 17' 31.00“
35° 17' 30.80“
Dari perbandingan di atas terlihat bahwa data yang terdapat dalam kitab Badi’ah al-Misal adalah pembulatan pada tingkatan detik dari data yang semestinya. Begitupun dalam segi perhitungannya, dalam kitab ini akan ditemukan pembulatan-pembulatan. Dengan adanya proses pembulatan-pembulatan tersebut, akan wajar sekali bila kemudian hasil perhitungan dari kitab Badi’ah al-Misal relatif berbeda dengan perhitungan yang lain (hakiki kontemporer). Pembulatan di sini berupa penambahan, pengurangan dan pembuangan data.
Indonesia oleh Abdur Rahim. (ibid, hal. 112.).. Penggunaan sistem Newcomb sebagai parameter pembandingan, dikarenakan hisab dengan sistem ini menjadi acuan dengan rating atau rengking tertinggi dalam keakuratan hasil dari perhitungannya (atau paling meendekati dengan kenyataan) Lihat: Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 264. 39 Data untuk Newcomb diambil dari buku : Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed) Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta :Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2004., hal., 138.
100
C. Koreksi Penentuan Ketinggian al-Hilal Dalam perhitungan ilmu hisab, hasil ketinggian hilal merupakan hal yang sangat urgen dalam penentuan awal bulan kamariyah, ketinggian hilal atau yang sering disebut Irtifa’ al-Hilal ()ارﺗﻔ ﺎع اﻟﻬ ﻼل, dalam astronomi biasa disingkat dengan “h“ (haight) ini, seakan-akan merupakan hasil akhir dari proses perhhitungan hisab. Penyebabnya, ارﺗﻔ ﺎع اﻟﻬ ﻼلselalu menjadi acuan dalam penetapan awal bulan. Hal tersebut, bisa diihat dari adanya ketetapan Imkanur Rukyah dengan ketinggian hilal 2° (dua derajat) yang dipegang oleh pemerintah, konsep Wujud al-Hilal (ketinggian hilal plus (positif) di atas ufuk) oleh ormas Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Jika dilihat pada berbagai perhitungan hisab awal bulan, ketinggian hilal sendiri terbagi menjadi dua macam, tinggi Hilal Hakiki, dan tinggi Hilal Mar’i. Tinggi hilal hakiki didasarkan pada posisi ketinggian hilal yang dihitung dari Ufuq Hakiki40, sedangkan tinggi hilal mar’i merupakan ketinggian hilal yang dihitung dari Ufuq Mar’i41. Ufuq, pada dasarnya dibagi menjadi tiga, selain ufuq hakiki dan mar’i masih ada Ufuq Hissi (horison semu). Bidang ufuq hissi ini sejajar dengan bidang ufuq hakiki, perbedaannya terletak pada parallax.42. Dengan keterangan pendiskripsian sebagai berikut:
40 Ufuk hakiki atau ufuk yang dalam astronomi disebut True Horizon, adalah bidang datar yang ditarik dari titik pusat bumi tegak lurus dengan garis vertical sehingga ia membelah bumi dan bola langit menjadi dua bagian sama besar, bagian atas dan bagian bawah, dalam praktek perhitungan tinggi suatu benda langit mula-mula dihitung dari ufuk hakiki ini. (lihat: Muhyidin Khazin, Op. Cit, hal. 86) 41 Ufuk mar’I atau ufuk kodrat adalah ufuk yang terlihat oleh mata, yaitu ketika seseorang berada di tepi pantai atau berada di dataran yang sangat luas, maka akan tampak ada semacam garis pertemuan antara langit dan bumi. Garis pertemuan inilah yang dimaksud dengan ufuk mar’i, yang dalam astronomi dikenal dengan nama Visible Horizon.(lihat : ibid) 42 ibid.
101
P
Ufuk Hissi Ufuk Mar’i
Bumi
Ufuk Hakiki
Gambar 18 : Gambaran Ufuk Ket: P = Pengamat Dari perhitungan yang dipergunakan oleh kitab Bad’iah al-Misal, menyatakan bahwa ketinggian hilal ada dua yaitu tinggi Bulan dan tinggi hilal. Tinggi Bulan menunjukkan bahwa tinggi tersebut dihitung dari ufuq hakiki atau dengan kata lain tinggi tersebut merupakan tinggi nyata. Sedangkan tinggi hilal menunjukkan bahwa tinggi tersebut merupakan tinggi mar’i atau tinggi lihat. Namun dalam penentuan tinggi hilal atau tinggi mar’i, kitab Badi’ah 43
al-Misal hanya memperhitungkan koreksi semidiameter ()ﻧ ﺼﻒ اﻟﻘﻄ ﺮ اﻟﻘﻤ ﺮ saja. Lihat gambar di: bawah:
A ½ gt = 16’
M Bulan Gambar 19: Semidiametr Bulan 43
ﻧﺼﻒ اﻟﻘﻄﺮadalah jarak titik pusat benda langit hingga piringan luarnya
102
Ket : A
= Upper Limb/ titik teratas pada piringan atas
M
= Titik pusat Bulan ()ﻣﺮآﺰ اﻟﻘﻤﺮ
AM
= Semidiameter (jari-jari)/ ﻧﺼﻒ اﻟﻘﻄﺮ اﻟﻘﻤﺮ
Rata-rata
= 16' (Menit)44
Koreksi ini dimaksudkan agar hasil yang dihitung bukan titik pusat Bulan akan tetapi piringan dari Bulan. Perlu diperhatikan bahwa dalam penggunaan koreksi semidiameter Bulan ini, harus tahu kegunaan dan maksud dari koreksi tersebut. Jika koreksi ini ditambahkan maka yang diukur adalah piringan atas Bulan, namun apabila yang dikehendaki adalah piringan bawah bulan Maka koreksinya adalah dikurang semidiameter. Adapun koreksi-koreksi yang belum diperhatikan dalam penentuan ketinggian hilal mar’i dalam kitab Badi’ah al-Misal adalah sebagai berikut: a) Refraksi (Pembiasan Cahaya) Refraksi dalam bahasa arab disebut ( دﻗﺎﺋـﻖ اﻻﺧﺘﻼفDaqo’iq alIkhtilaf) atau biasa juga disebut pula al-Inkisar, sedangkan dalam bahasa indonesia disebut dengan pembiasan cahaya. Secara terminologi adalah perbedaan di antara tinggi suatu benda langit yang dilihat dengan tinggi sebenarnya yang diakibatkan oleh adanya pembiasan sinar. Pembiasan ini terjadi karena sinar yang dipancarkan benda tersebut sampai kepada mata penglihat, melalui lapisan-lapisan atmosfir yang berbedaa-beda tingkan
44
Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 258.
103
kerenggangan udaranya, sehingga posisi benda langit itu terlihat lebih tinggi dari posisi sebenarnya45. Benda langit yang sedang menempati posisi zenith nilai refraksinya adalah 0°. Semakin rendah posisi suatu benda langit maka refraksinya semakin besar. Refraksi terbesar terjadi pada posisi ketinggian 0 meter di atas permukaan laut atau pada saat piringan atas suatu benda langit bersinggungan dengan kaki langit (ufuk), yaitu dengan nilai = 34' 50".46 Berikut ini daftar nilai refraksi 47: H (ketinggian) 0 1
Refraksi 34' 50" 24' 22"
H (ketinggian) 8 9
Refraksi 6' 29" 5' 49"
2
28'
06"
10
5'
16"
3
14'
13"
11
4'
47.7"
4 5 6
11' 9' 8'
37" 45" 23"
12 13 14
4' 4' 3'
24.5" 04.4" 47"
7
7'
19"
16
3'
18.2"
Pada perhitungan awal bulan, yaitu ketika mencari ketinggian hilal mar’i, refraksi merupakan salah satu hal urgen agar menghasilkan prediksi penglihatan “hilal“ yang lebih cermat dalam kegiatan merukyah. Data ini ditambahkan pada Irtifa al-Hilal al-haqiqi jika diterapkan sebagai koreksi perhitungan48.
45
ibid, hal. 233 . ibid, 47 Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 121. 48 ibid. 46
104
Gambar 20: Simulasi Refraksi.
M
Keterangan : = Arah pandangan peninjau = Peninjau = Hilal sebenarnya = Arah sebenarnya dari peninjau ke hilal = Sinar yang sampai kepada peninjau = Posisi hilal lihat = Refraksi atau pembiasan sinar M = Titik pusat bumi. b) Kerendahan Ufuk Kerendahan ufuk (dalam ilmu hisab biasa disingkat Dip/ D’) yang dalam bahasa arab disebut Ikhtilaf al-Ufuq ( )اﺧﺘﻼف اﻷﻓﻖadalah perbedaan kedudukan ufuq hakiki dengan ufuq mar’i oleh seorang pengamat yang disebabkan pengaruh ketinggian tempat peninjau. Semakin tinggi kedudukan peninjau maka semakin besar pula nilai kerendahan ufuq ini
105
akibatnya semakin rendahnya ufuq mar’i tersebut.49 Selebihnya bisa dilihat dalam gambaran dibawah ini: Gambar 21: Kerendahan Ufuk
H’
h A B
H
O p
Ket : O = Pengamat P = Titik pusat bumi A = Permukaan laut h = Ketinggian tempat AH = Horizon sebenarnya (Ufuq Hakiki)
OB = Horizon yang terlihat pengamat (Ufuq Mar’i) H’OB = Dip (kerendahan ufuk) Koreksi
kerendahan
ufuk
(Dip/D')
ini
diperlukan
untuk
menunjukkan bahwa ufuk yang terlihat itu bukan ufuk yang berjarak 90° dari titik zenith, melainkan ufuk mari yang jaraknya dari titik zenith tidak tetap, artinya tergantung pada tinggi-rendahnya peninjau.50. Untuk mengetahui besarnya koreksi kerendahan ufuk ini, dalam ilmu Falak digunakan rumus: Dip = 1.76 √hm ÷ 60
49
Saa’doeddin Djambek, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tintamas, 1976, hlm.19. Lihat juga Abdur Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta : Liberty, 1983, hlm. 29-34. 50 ibid., hal. 30
106
Dip = kerendahan ufuk dalam satuan menit busur (D'). hm = ketinggian mata dalam satuan meter. Atau disingkat:
D' = 1.76
Ada pula yang berpendapat bahwa rumus dari kerendahan ufuk adalah :
D' = 1.93 √hm
Contoh : Untuk ketinggian 10 meter dari permukaan air laut, maka harga DIP/D' nya: 1.76 √10 ÷ 60 =
0° 5' 33.94" yang
kemudian ditambahkan ke irtifa’ hilal haqiqi51. Dengan koreksi DIP/D' ini, berarti kita menghitung tinggi lihat hilal dari ufuk mar’i dan bukan dari ufuq hakiki. c) Parallax (beda lihat) Parallax atau yang dalam bahasa arab disebut dengan Ikhtilaf alMandzar ( )اﺧﺘﻼف اﻟﻤﻨﻈﺮmerupakan sudut yang terjadi antara dua garis yang ditarik dari benda langit ke titik pusat bumi dan garis yang ditarik dari benda langit ke mata pengamat (beda lihat) 52. Paralaks ini timbul karena pengamat berada di permukaan bumi, sedangkan posisi benda langit menurut perhitungan ditentukan dari titik pusat bumi. Perhatikan gambar dibawah ini :
51 52
Lihat pula pada: Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 117-118 Muhyidin Khazin, op. cit, hal.32-33.
107
Z B1 z1
p
P z2
HP
B
O Gambar 22: Deskripsi Paralaks P adalah seorang peninjau pada permukaan Bumi. ZPB1 adalah jarak zenith benda langit (sebesar sudut z1) dengan B adalah hilal hakiki dan B1 adalah hilal mar’i. ZOB1 jarak zenith jika dilihat dari titik pusat Bumi O (besarnya z2). Dari gambar dapat dilihat bahwa z1 = z2 + p, atau z1 – z2 = p (sudut PB1O). Sudut p inilah yang dinamakan parallax atau beda lihat ()اﺧﺘﻼف اﻟﻤﻨﻈﺮ53. Dalam pengamatan benda-benda langit yang sangat jauh seperti bintang-bintang, perbedaan acuan tersebut tidak berpengaruh. Akan tetapi untuk pengamatna benda-benda yang lebih dekat seperti Matahari dan Bulan, efek paralaks sangat berpengaruh. Parallax bagi benda langit yang berada di posisi horison disebut horisontal paralax (HP). nilai horisontal parallax Bulan berubah-ubah karena jarak dari Bulan ke Bumi selalu
53
Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 122-125
108
berubah-ubah. Koreksi paralaks horizon untuk Bulan dapat mencapai 1° dan untuk Matahari hanya sekitar 9" (8.790")54. Untuk mengetahui besar nilai paralaks dapat digunakan rumus: P = HP x cos h'
D. Analisis Koreksi Data Perhitungan Dalam urusan ketelitian pengolahan data yang dilihat dari proses perhitungannya, kitab ini hanya melakukan sistem koreksi sebanyak lima kali yaitu trjadi pada saat proses ijtima’ (dalil I - dalil V). Berbeda dengan hisabhisab kontemporer seperti Ephimeris Hisab Rukyat Kementrian Agama RI, Newcomb, dan metode hisab yang sejenisnya memakai sistem koreksi sampai seratus kali55.
E. Analisis Aplikasi Perhitungan Dalam aplikasi hisab sebagai bahan obserfasi hilal yaitu batasan hilal dapat dilihat (dirukyah) pada kitab ini, KH. Ma’shum bin Ali mengemukakan tiga pendapat para ulama yaitu: 1) Cahaya Bulan ( )ﻧﻮر اﻟﻬﻼلsebesar 5 jari (Usbu’)12' (daqiqoh) dan Qous alMuksti 3° (derajat). 2) ﻧﻮر اﻟﻬﻼلsebesar 2/3 jari dengan ( ارﺗﻔﺎع اﻟﻬﻼلketinggian hilal) 6°. 3) ﻧﻮر اﻟﻬﻼلmencapai 2/3 jari dengan Qous al-Muksti 11°
54 55
ibid. Fairuz Sabik, op. cit, hal. 185-187.
109
Dalam literatur penggunaan kaidah hisab, kata usbu’ sendiri mempunyai kaidah sebagaimana sesuai dengan kata usbu’ itu sendiri. Kata usbu’ ditulis dalam bahasa Arab adalah أﺻﺒ ـﻊmerupakan untaian dari angka Jumaliyah, yang berarti ( اalif) – ( صshad) – ( بba’) –’( عAin) dengan kalkulasi Alif = 1, Shad= 90, Ba’= 2, ’Ain= 70, sehingga jika kita jumlahkan 1+ 90+ 2+70 = 163 ini dalam satuan detik., 163 detik = 00° 2' 43“ (1 Usbu’). Jadi jika bulan purnama (oposisi/ Istqbal) adalah adalah 12 Usbu’ maka, 12 x 00° 2' 43“ = 00° 32' 36“ (rata-rata diameter bulan). Padahal menurut astonomi moderen rata-rata diameter bulan adalah sekitar 00° 29' 34“ s/d 00° 36' 50“.56 Untuk keriteria hilal dapat dirukyah bisa dibandingkan dengan keputusan Persidangan Hilal negara-negara Islam sedunia di Istambul, Turki dengan rumusan kriteria Imkan al-Rukyah, sbb57: 1) Tinggi hilal tidak kurang dari 5° dari ufuk barat . 2) Jarak lengkung anak bulan ke matahari tidak kurang dari 8°. 3) Umur hilal tidak kurang dari 8 jam selepas ijtimak berlaku. Atau kriteria Imkan al-Rukyah hasil keputusan MABIMS58: 1) Tinggi hilal minimal 2° (derajat), 2) Jarak lengkung hilal ke matahari minimal 3°, 3) Umur hilal minimal 8 jam pada hari rukyah selepas terjadinya ijtimak. Kriteria di atas mengharuskan tiga persyaratan, apabila salah satunya tidak terpenuhi maka hilal dinyatakan tidak mungkin terlihat.
56
Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim, op. cit, hal.142 Badan Hisab Rukyah Departemen Agama, op.cit., hlm. 281-284. 58 Khafid, Hisab Dan Rukyah Kontemporer, makalah dalam Lokakarya Imsakiyah IAIN Walisongo, Semarang, pada tanggal 07 November 2009. 57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan beberapa penjelasan dan analisis di atas (berupa rumusan masalah yang penulis/peneliti ajukan), dapat disimpulkan bahwa skripsi ini menelaah dan mengemukakan pandangan tentang pemikiran hisab KH. Ma’shum Ibn Ali Ibn Abdul Jabbar al-Maskumambangi dalam kitab Badi’ah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal. Penulis mendapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Corak Metode Pemikiran Hisab yang Dikemukakan oleh KH. Muhammad Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi. Dilihat dari segi perhitungan hisab al-hilalnya, kitab Badi’ah alMitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal KH. Ma’shum bin Ali ini termasuk dalam kategori hisab Hakiki bi al-Tahqiq. Adapun teori dan sistem perhitungannya didasarkan pada rumus astronomi modern (teori spherical trigonometri), dengan memakai Rubu’ Mujayyab (konsep lama trigonometri) sebagai alat hitungnya. 2) Relevansi dan Aplikabilitas Metode Tersebut dalam Konteks Kekinian. Pemikiran hisab KH. Ma’shum bin Ali dengan kitab Bad’ah alMisal masih relevan penggunaannya dalam konteks kekinian. Kitab tersebut
memiliki
satu
keistimewaan,
110
dapat
digunakan
untuk
111
menghitung tahun kapanpun. Data-data yang terdapat di dalamnya masih bersifat stagnasi dan statis, kurang up to date dibanding dengan perkembangan keilmuan astronomi sekarang. Koreksi data yang digunakan masih berupa pembulatan, belum sampai ke tingkat akurasi tinggi seperti Newcomb dan hisab hakiki kontemporer. Dalam menentukan Nisfu Qaus al-Nahar (sudut waktu), kitab ini belum menggunakan koreksi Daqo’iq al-Tamkiniyah. Pada perhitungan ketinggian hilalnya, KH. Ma’shum bin Ali hanya melakukan koreksi terhadap tinggi hakiki bulan menggunakan semidiameter, tanpa adanya koreksi Parallaks, Refraksi, dan juga Kerendahan Ufuk seperti halnya konsep astronomi modern. Untuk aplikasi dari implikasi kegiatan menghisab, yaitu sebagai sarana kegiatan merukyah, ketentuan imkan al-rukyah pada kitab ini belum mengikuti kriteria keputusan persidangan hilal negara-negara Islam sedunia di Istambul, Turki dan kriteria hasil keputusan MABIMS.
B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diambil sebagaimana disebutkan di atas, saran peneliti adalah sebagai berikut: 1) Bagi para pihak yang merasa terlibat dengan kitab Badiah al-Mitsal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal, seperti pihak keluarga dan juga para pengamal, untuk melakukan perbaikan terhadap data-data yang terdapat di dalamnya. Perlu adanya transformasi dengan konsep perhitungan
112
astronomi modern. Dengan harapan, agar hasil dari kitab tersebut dapat benar-benar menghasilkan data yang lebih akurat dan up to date. Sehingga, out put hisabnya diakui dan menjadi pedoman dunia internasional, minimal di Indonesia. Mengingat, kitab ini menjadi salah satu rujukan dalam perhitungan hisab awal bulan di tanah air. 2) Bagi para pengamal hisab dengan memakai kitab Badi’ah al-Misal fi Hisab al-Sinin wa al-Hilal agar memperhatikan hasil penelitian ini ketika mendasarkan hisabnya dari kitab ini. 3) Perlu adanya rasa tasammuh (toleransi diri) terhadap hasil dari metode hisab lainnya. Setiap perbedaan harus disikapi dengan sikap arif bahwa sumber perbedaan terletak pada diri masing-masing personal, demi terciptanya persatuan, kesatuan dan kemaslahatan umat Islam. 4) Pemerintah dengan Kementrian Agamanya memiliki tanggung jawab terhadap permasalahan hisab rukyah yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya usaha yang lebih keras, bekerja sama dengan para ulama dan pakar falak dalam upaya penetapan awal bulan hijriyah. Sehingga, didapatkanlah kesepakatan bersama tanpa adanya perbedaan yang dapat menyebabkan konflik antar dalam masyarakat awam. 5) Penulis belum menneliti secara keseluruhan pemikiran hisab KH. Ma’shum bin Ali al-Maskumambangi dalam kitabnya Badi’ah al-Misal. Masih terdapat beberapa konsep yang belum penulis telaah. Seperti konsep hisab urfi dan istilahi, konsep matla’nya, serta beberapa hal lain yang mungkin dapat ditelaah oleh peneliti selanjutnya.
113
6) Mempelajari ilmu falak adalah Fardhu Kifayah. Hendaknya ilmu ini tetap dijaga eksistensinya oleh setiap komponen dan lapisan, dengan melakukan
pengembangan
dan
pembelajaran
sejalan
dengan
perkembangan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
C. Penutup Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Pemberi kenikmatan serta karunia yang tidak terhingga kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian berupa skripsi ini. Meskipun dalam pengerjaannya penulis telah berupaya dengan optimal, akan tetapi tetap yakin masih ada kekurangan dan kelemahan di dalamnya, baik dari satu sisi atau berbagai sisi, karena hanya Allah lah Maha sempurna. Karenanya, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis nantikan. Penulis berdo’a dan berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca serta dunia keilmuan pada umumnya. Amin. Akhir kata sebuah maqalah dari penulis:
ﻭﻴﻜﻔﻰ ﺍﻥ ﻴﻘﻭل ﻤﻌﺭﻓﺔ ﺍﺫﺍ ﻜﺎﻥ ﻴﺸﻌﺭ ﺍﻟﺨﻭﻑ ﻤﻥ ﺍﷲ ﺍﺤﺩﻫﻡ ﻲ ﺍﺫﺍ ﺸﻌﺭﺕ ﻤﻐﺭﻭﺭ ﻤﻊ ﻤﻌﺭﻓﺘﻬﻡ ﻭﻴﻜﻔﻰ ﺍﻟﻘﻭل ﺸﺨﺹ ﻏﺒ
ﻭﺍﷲ ﺍﻋﻠﻡ ﺒﺎﻟﺼﻭﺍﺏ
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad SS., Noor, Risalah Syams al-Hilâl, jilid I, Kudus: Madrasah TasywiqâtTullâb Salâfiyah, T.Th. ______________, Risalah Falakiyah Nurul Anwar, Kudus: TBS, tt. ______________, Jadwal Falak Nur al-Anwar, Kudus: TBS, tt. Al-Asmawiy, Muhammad Said, Usul al-Syariah, Bairut: al-Maktabah alTsaqofiyah, 1992. Al-‘Asqalany, Ibnu Hajar, Fath al-Bâry, Juz IV, Madînah: al-Maktabah alSalâfiyyah, T.Th. Al-Bagdadi, Abi al-Fauz Muhammad Amin, Sabaik al Dahab fi Ma’rifah Qobail al-Arab, Bairut : Dar al Kitab al ‘Alamiyah, 1995 M / 1415 H. Al-Banjâri, Muhammad Arsyad, Kitâb Sabîl al-Muhtadîn, (disalin oleh H.M. Asywadie Syukur), Surabaya: P.T. Bina Ilmu, T.Th. Al-Bâqi, Fuâd ‘Abd, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981 M/ 1401 H Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Shohih al-Bukhari, Juz III,Beirut: Dar al Fikr, 1412/1992 Al-Dârimy, Muhammad Manshûr ibn al-Hamîd ibn Muhammad, Sullam alNayyirain fî Ma’rifat al-Ijtima’ wa al-Kusûfain, Jakarta: al-Madrasah alKhairiyyah al-Manshûriyyah, T.Th. Al-Dâruquthnî, Sunan al-Dâruquthnî, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, T.Th. Al-Fairuzzabadi, al-Qamus al-Muhîth, Beirut: al-Muassasah Dâr al-Fikr, 1415/1995. Al-Falaky, Muhammad, Haul Asbâb Ikhtilâf Awâil al-Syuhûr, Tunis: Idarah alSyu’un al-Dîniyyah, 1981. Al-Falaky, Sriyatin Sadiq, Power Point (dalam sidang anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI) di JL. Lapangan Banteng Barat No.3-4 Jakarta Pusat tanggal 29 Agustus 2007
____________________, Makalah Platihan Dan Pendalaman Ilmu Falak, Pascasarjan IAIN Walisongo Semarang tanggal 10-11 Januari 2009. Al-Jailany, Zubair Umar,Khulasoh al Wafiyah, Surakarta: Melati, tt. Al-Jauhary, Thantawy, Tafsir al Jawahir,Juz VI,Mesir: Mustafa al Babi al Halabi, 1346 H. Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’în, Juz IV, Mesir: Maktabah Tijariyah, 1972. Al-Kahlâny, al-Sayyid al-Imâm Muhammad bin Isma’îl, Subul al-Salâm, Juz I, T.Tp: Multazam al-Thabi’ wa al-Nasyr, T. Th. Al-Khâtib, Ahmad SH, A New Dictionary of Scientific & Technical Terms, Cet. IV, Libanon: Maktabah Libanon, T.Th. Al-Maskumambangi, Muhammad Ma’ksum bin Ali, Badiah al-Mitsal fi Hisab alSinin wa al-Hilal, Surabaya : Maktabah Sa’ad bin Nashir Nabhan, tt, ______________________________________, Fath al-Qadir, Surabaya : Salim Nabhan, 1375 H ______________________________________, al-Durus al-Falakiyah, Surabaya : Maktabah Sa’ad bin Nashir Nabhan wa Auladuhu, 1992 M/ 1412 H Al-Naisabury, Abî al-Hasan ‘Âli bin Ahmad al-Wahidy, Asbâbun Nuzul, Mesir: Muassasah al-Halaby wa Syirkah li al-Nashr, T.Th. Al-Naisabury, Muslim ibn Hajjaj, Shahîh Muslim, Juz I, Beirut: Dâr al-Fikr, 1512/1992. Al-Qulyubi, Syihabudin,Hasiyah, Minhaj al Thalibin, Jilid II,Kairo: Mustofa al Babi al Halabi, 1956. Al-Syarbini, Muhammad al-Khâtib, Mughnî al-Muhtâj, Cet. I, Juz I, (Messir: Mathba’ah al-Istiqâmah, 1374 H./1955 M. Al-Thabary, Abû Ja’far Muhammad bin Jarîr, Tafsîr al-Thabary, Juz XV, Beirut: Dâr al-Ihyâ’ al-Turâts al-‘Araby, T.Th. Al-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmi wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1425/2004.
Ali, M. Sayuthi, Ilmu Falak, Cet. I, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1997. Amin, Ma’ruf, “Rukyah untuk Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan menurut Pandangan Syari’ah dan Sorotan Iptek”, dalam Selayang Pandang Hisab Rukyat, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004. Anam, Ahmad Syifa'ul, Studi Tentang Hisab Awal Bulan Qomariyah Dalam Kitab Khulashotul Wafiyah Dengan Metode Hakiki Bit Tahkik, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, 1997. Arsyad, M. Natsir, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Cet. IV, Bandung: Mizan, 1995. Azhari, Susiknan, Ilmu falak (Teori dan Praktek), Yogyakarta: Lazuardi, 2001 ______________, Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Cet. II, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007. ______________, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008. Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Cet I, Bandung : Mizan, 2002. Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet-5, 2004. Baiquni, Ahmad, al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Cet. IV, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996. Bakar, Osman, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, (terj. Purwanto), Cet. I, Bandung: Mizan, 1997. Beker, Robert H., Astronomy a Textbook for University and College Student, Canada: D. van Nostrand Company, 1930. Dahlan, Abdul Aziz, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. I, Jilid I, Jakarta: P.T. Ichtiar Baru van Hoeve, 1997. Dasuki, Hafidz, dkk., Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1994. Dawanas, Djoni N., Dasar-dasar Astronomi Bola, Bandung: ITB, 1996.
Departemen Agama R.I., Badan Hisab dan Rukyat, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981. Depaartemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, tt, Departemen Agama R.I., Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994/1995. Departemen Agama R.I., Pedoman Teknik Rukyat, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994/1995. Departemen P & K., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Jakarta : LP3ES, 1994 Diponingrat, Muhammad Wardan, Hisab Urfi dan Hakiki, Yogyakarta: Siaran, 1957. Djambek, Saadoe’ ddin, Hisab Awal Bulan Qomriyah, Cet. I, Jakarta : Tintamas, 1976. Esposito, John L., The Oxford Encyclopaedia of The Modern Islamic World, Cet. I, Vol. I, New York: Oxford University Press, 1995. Hambali, Slamet, Almanak Sepanjang Masa, Semarang: IAIN Walisongo, tt. Hamid, Abu Hamdan Abdul Jalil ibn Abdul, Fath al-Rauf al-Mannan, Kudus : Matba’ah Menara Kudus, tt. Hitti, Philip K., History of The Arabs, (terj) Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008. Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Cet. I, Juz IV, Mesir: Dâr Andalus, 1966. Ibn Manzhur, Lisân al-‘Araby, Mesir: al-Muassasah al-Mishriyyah, T.Th. Ichtijanto (et.al), Almanak Hisab Rukyat, Cet. I, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981.
Iman, M. Ma’rifat. KH, “Corak Pemikiran (Metode Falak) Sa’adoeddin Djambek”, Tesis, (Jakarta: Universits Muhammadiyah Jakarta, 1998). Izzuddin, Ahmad, Analisis Kritis tentang Hisab Awal Bulan Qamariyah dalam kitab Sullamun Nayyirain, Skripsi Sarjana, Seamarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 1997. _____________, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional, (Laporan Penelitian) IAIN Walisongo Semarang, 2004 _____________, Fiqh Hisab Rukyah Di Indonesia (Sebuah upaya penyatuan madzhab rukyah dengan madzhab hisab), Jakarta: Erlangga,2007. _____________, Fiqh Hisab rukyah Kejawen, Semarang : IAIN Walisongo, 2006. Karim, Moh. Zubair Abdul, Ittifaq Dzatil Bainy Fi Ma’rifati Hisabil Hilal Wal Kusufain, Gresik: Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Timur, tt. Katsir, Anwar, Matahari & Bulan dengan Hisab, Surabaya: P.T. Bina Ilmu, 1979. Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004. ________________, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta : Buana Pustaka, 2005. King, David A., Astronomy in the Service of Islam, USA: Variorum, 1993. Ma’luf, Loewis, al-Munjid, Bairut: Dar-al-Alamiah al-Ilmiyah, 2002 Marsito, Kosmografi Ilmu Bintang-bintang, Jakarta: P. T. Pembangunan, 1960. Mujab, Sayful, Studi Analisis Pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab Ittifaq Dzatil Bain, Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2007. Munawir, M. Warson, Kamus al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1996. Nafi’, M. Agus Yusrun, Pemikiran Hisab Rukyah KH. Turaikhan Dan Aplikasinya, Tesis Pascasarjana IAIN Walisongo, Semarang , 2007. Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Cet. I, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Negoro, ST. dkk, Rumus-Rumus Sifat Table Matematika Serta Bimbingan Dan Contoh, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982. NN, Pedoman Perhitugan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama, tt PBNU, Sek. Jen, Pedoman Rukyah dan Hisab & Program Kerja Lembaga Sosial Mabarrot Nahdlatul Ulama, Jakarta: Penerbit Lajnah Falakiyah Lembaga Sosial Mabarrot PBNU, 1994. Purwadi, Horoskop Jawa, Yogyakarta : Media Abadi, 2010 Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1983. Raharto, Moedji, Sistem Penanggalan Syamsiyah/Masehi, Cet. I, Bandung: Penerbit ITB, 2001. Ruskanda, S. Farid, 100 Masalah Hisab & Rukyat telaah Syari’ah, Sains dan Terknologi, Cet. I, Jakarta: Gema Insan Press, 1996. Sabiq, Fairuz, Telaah Metodologi Penetapan Awal Bulan Qomariyah Di Indonesia, (Tesis), Program Pascasarjana IAIn Walisongo Semarang, 2007 Sâbiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Cet. IV, Beirut: Dâr al-Fikr, 1403H./1983 M. Sadykov, Kh. U., Abu Raihan al-Biruni, Terj. Mursid Djokolelono, Jakarta : Suara Bebas, 2007. Saksono, Tono, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: P.T. Amythas Publicita, 2007. Setyanto, Hendro, Petunjuk Penggunaan Rubu Al-Mujayyab, Bandung : Pudak Scientific, 2002. Simamora, P, Ilmu Falak (Kosmografi), Cet. XXX, Jakarta: Penerbit CV. Pedjuang Bangsa, 1985. Shadiliy, Hassan, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1982. Shaleh, Qamaruddin, Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayatayat al-Qur’an, Cet. X, Bandung: P.T. al-Ma’arif, 1988.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet. I, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Cet. VI, Bandung: Mizan, 1418/1997. Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Cet. II, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 2003. Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metoda, dan Teknik, Bandung: Tarsito, 1985. Taimiyyah, ibn, Majmu’ al-Fatâwâ, T.Tp: Maktabah Ibn Taimiyyah, T.Th. Tim Hisab Ditpenpera Depag RI, Ephemeris Hisab Rukyat 2007, Jakarta: Ditpenpera, 2007. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Toruan, M.S.L., Pokok-Pokok Ilmu Falak (kosmografi), Cet IV, Semarang: Banteng Timur, tt. Trihantoro, Hanif, Gerak Langit dan Sejarah Tokoh Astronomi, (Power Point disampaikan pada kuliah semester V Prodi Ilmu Falak, Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang 2009). Turner, Howard R, Sains Islam Yang Mengagumkan, Bandung : Nuansa, 2004. Widiana, Wahyu, “Rukyatul Hilal di Indonesia”, Makalah, disampaikan pada Seminar tentang Rukyatul Hilal di Institute of Astronomical & Geophysical Research King Abdul Aziz City for Science and Technology, Riyadh, 23 Nopember 1995. Yusuf, Choirul Fuad dan Bashori A. Hakim (ed), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta :Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2004. www.nu.or.id/page.php. www.pondokpesantren.net/ponpren www.pesantrenpajagalan.com/pengertian-ilmu-falak-ilmu-hisab-dan-astronomi
Kuliah Hisab Gerhana semester VI, di Ruang M2 Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada Hari Selasa,bertepatan dengan tgl. 08-06-2010 Pelatihan :”Hisab Rukyah Nasional” di Pondok Pesantren Setinggil Kryian Jepara tgl. 29-31 Desember 2009. Wawancara dengan Sayful Mujab, tgl. 19 Maret 2010 ___________________________, pada tanggal 16 Oktober 2010 di Semarang
Lampiran:1 Contoh Perhitungan kitab Badiah al-Misal: Ijtima' Akhir Ramadlan 1428 H Markaz Semarang Lintang Tempat (φ) Bujur Tempat (λ) Selisih waktu dengan kota epoch Ghurub (29/9/1428)/(11/11/07) (Ghurub LMT+Selisih Waktu Epoch)-12 Jam
-6°
-59'
00''
LS
110°
0'
00''
BT
00 j
8'
52''
17 j
52'
00''
06 j
1'
16''
LMT
Menentukan Bujur Astronomi Matahari ( S' ) DATA Tahun Tahun Bulan Hari / Tanggal Jam Menit Jumlah Decimal
Dalil I ( m ) E Pt A N S' = S + E
1410 17 Sya'ban 29 6 14
Wasath ( S ) 120° 38' 58'' 177° 32' 21'' 232° 36' 46'' 28° 35' 02'' 00° 14' 47'' 00° 00' 35'' 199° 38' 29'' 199,6413889
Khasshah ( m ) 17° 38' 15'' 177° 14' 20'' 232° 36' 04'' 28° 34' 57'' 00° 14' 47'' 00° 00' 35'' 96° 18' 58'' 96,31611111
96,31611111 -1,917835185 0,186856636 0,384458796 -0,14630108
96° -01° 00° 00° 00°
18' -55' 11' 23' -08'
58'' -4,21'' 12,68'' 4,05'' -46,68''
197,7235537
197°
43'
24,79''
Lampiran:2
Menentukan Bujur Astronomi Bulan ( Mo ) DATA Wasath ( M ) Khasshah ( A ) Uqdah ( N ) Tahun 1410 128° 50' 34'' 249° 23' 07'' 52° 24' 29'' Tahun 17 174° 36' 53'' 223° 29' 33'' 319° 00' 05'' Bulan 29' 51'' Sya'ban 229° 37' 46'' 203° 20' 14'' 12° Hari / tanggal 29 22° 06' 56'' 18° 53' 05'' 01° 32' 09'' Jam 6 03° 17' 39'' 03° 15' 59'' 00° 00' 48'' Menit 14 00° 07' 41'' 00° 07' 37'' 00° 00' 02'' Jumlah 198° 37' 29'' 338° 29' 35'' 25° 27' 24'' Desimal 198,6247222 338,4930556 25,45666667 Dalil II = 2 x ( M – S' ) - A 23,30928148 23° 18' 33,41'' T -0,52383739 00° -31' -25,81'' Dalil III (A') = A + Pt + T + a 338,5405336 338° 32' 25,92'' PP 2,167725926 02° 10' 3,81'' M' = M + Pt + T + PP 200,4554674 200° 27' 19,68'' Dalil IV = ( M' – S' ) 2,731913691 02° 43' 54,89'' V 0,055674921 00° 03' 20,43'' M" = M' + v 200,5111423 200° 30' 40,11'' N' = N + n 25,31036559 25° 18' 37,32'' Dalil V ( H ) = M" + N' 225,8215079 225° 49' 17,43'' FE -0,111944444 00° -06' -43,00'' Mo = M" + FE 200,3991979 200° 23' 57,11'' Ijtima' = (S'-Mo)/30' 12,59734555 12 j 35' 50,44'' 28"+Ghurub Ijtima' = (S'-Mo)/30' 12,26401222 12 j 15' 50,44'' 28"+Ghurub PERHITUNGAN POSISI HILAL a. DATA MATAHARI S' ( Thul al-Syamsi ) δ = sin-¹(sin S' x sin 23° 27') t = cos-¹(-tan φ x tan δ) α = tan-¹(tan S' x cos 23° 27') + 180 MFS = α + 90 A = cos-¹ (sin δ / cos φ) A diukur dari U – B
197,7235537 -6,95821023 90,85655316 196,3410182 286,3410182 97,01047519
197° -06° 90° 196° 286° 97°
43' 24,79'' -57' -29,56'' 51' 23,59'' 20' 27,67'' 20' 27,67'' 00' 37,71''
Lampiran:3 b. DATA BULAN Mo L' = sin-¹ (sin (Dalil V(H) x sin 5° 16') x = tan-¹(sin Mo x tan 23° 27') y = (L' + x ) δ' = sin-¹(sin Mo x sin 23° 27' x sin y /sin x) α' = [cos-¹(cos Mo x cos L' / cos δ')-360] MFQ = α' + 90 t' = MFS - MFQ + t h = sin-¹( sin φ x sin δ' + cos φ x cos δ' x cos t' ) A' = cos-¹(-tan φ x tan h + sin δ' / cos φ / cos h ) A' diukur dari U – B Muksu al-Hilal = ( α' - α ) / 15 Jarak Azimut Bulan & Matahari = A A' NH = (√(/daz² + h²/))/15
200,3991979 200° - -03° 3,774520007 - -08° 8,597782226 - -12° 12,37230223 - -11° 11,46683973 197,3882416 197° 287,3882416 287° 89,80932983 89° 1,570531777 01° 101,3617837 101°
23' -46'
57,11'' 28,27'' -35' 52,02'' -22' 20,29'' -28' -0,62'' 23' 23' 48' 34'
17,67'' 17,67'' 33,59'' 13,91''
21'
42,42''
0,069814889
00 j
04'
11,33''
-4,351308542
-04°
-21'
-4,71''
0,30840418
00°
18'
30,26''
Keadaan Hilal Miring ke Selatan karena jarak azimuth negative. KESIMPULAN Menurut hisab metode Badi’ah al-Misal Pada saat matahari terbenam tanggal 11 Oktober 2007 untuk kota Semarang, adalah Tinggi Hilal
1,570531777
01° 34'
Terletak
Sebelah selatan matahari
Sejauh
4,351308542
Keadaan
Miring ke selatan
Lama di atas ufuq Besarnya Cahaya Hilal
13,91''
04° 21'
4,71''
0,069814889
00° 04'
11,33''
0,30840418
00° 18'
30,26''
Lampiran:4 Bandingkan dengan hasil dari hisab memakai sistem Newcomb di bawah ini : Keterangan Awal Bulan Syawwal 1428 H Tanggal Ijtima' Jam Ijtima' Sudut Edar Bulan Tinggi Hilal Hakiki Refraksi Bulan Tinggi Hilal Mar'i Azimut Hilal (AM) Lama di Atas Ufuk Cahaya Hilal
11-10-2007 Keterangan Hilal Saat Ghurub 11:50:15,82 Hari Kamis Legi 90°44'07,63'' Tanggal 11-10-2007 00°38'50,87'' Jam 17:32:20,37 Tinggi Hilal 00°27'19,52'' 00°30'45,07'' Mar'i Azimut 00°30'45,07'' -07°07'29,23'' Matahari (AS) Azimut Hilal -11°15'52,78'' -11°15'52,78'' (AM) Letak Hilal 0j 02m40,71'd -04°08'23,55'' dari matahari Lama di Atas 0j 02m 40,71'd 0,0005122 Ufuk
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
Nama
: M. Rifa Jamaluddin Nasir
Tempat Tanggal Lahir
: Cianjur 18 Maret1988.
Alamat Asal
: PP. Tauhidul Afkar, Cibadak Pesantren RT/ RW. 01/ 02, Ds. Sukanagalih, Kec. Pacet, Kab. Cianjur, Jawa Barat
Alamat Sekarang
: Pon-Pes Daarun Najaah. Jl. Statsiun Jrakah No 275 Tugu Semarang.
Jenjang Pendidikan
:
a. Pendidkan Formal 1. Madrasah Ibtidaiyah, Al-Manar, Cianjur. Lulus Tahun 2001 2. Madrasah Tsanawiyah Ali Maksum, Yogyakarta, Lulus Tahun 2004. 3. Madrasah Aliyah Ali Maksum, Yogyakarta,, Lulus Tahun 2007. b. Pendidikan Non Formal 1. Pondok Pesantren Tauhidul Afkar, Cianjur. 2. Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, (2001-Sekarang). 3. Pondok Pesantren Daarun Najaah, Semarang (2007-Sekarang).
Semarang 13 Desember 2010
M. Rifa Jamaluddin Nasir NIM : 0 7 2 1 1 1 0 6 7
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
Nama
: M. Rifa Jamaluddin Nasir
Tempat Tanggal Lahir
: Cianjur 18 Maret1988.
Alamat Asal
: PP. Tauhidul Afkar, Cibadak Pesantren RT/ RW. 01/ 02, Ds. Sukanagalih, Kec. Pacet, Kab. Cianjur, Jawa Barat
Alamat Sekarang
: Pon-Pes Daarun Najaah. Jl. Statsiun Jrakah No 275 Tugu Semarang.
Jenjang Pendidikan
:
c. Pendidkan Formal 4. Madrasah Ibtidaiyah, Al-Manar, Cianjur. Lulus Tahun 2001 5. Madrasah Tsanawiyah Ali Maksum, Yogyakarta, Lulus Tahun 2004. 6. Madrasah Aliyah Ali Maksum, Yogyakarta,, Lulus Tahun 2007. d. Pendidikan Non Formal 4. Pondok Pesantren Tauhidul Afkar, Cianjur. 5. Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, (2001-Sekarang). 6. Pondok Pesantren Daarun Najaah, Semarang (2007-Sekarang).
Semarang 13 Desember 2010
M. Rifa Jamaluddin Nasir NIM : 0 7 2 1 1 1 0 6 7