ANALISIS PEMBERDAYAAN PELAYANAN PUBLIK DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE “STUDI KASUS PADA PEMERINTAHAN KABUPATEN BEKASI”
Oleh: Rusham
ABSTRAK Regional autonomy is a government authority to regulate purely local affairs on their own initiative based on the aspirations of the people to solve various problems and the provision of services locally for the welfare of society. Thus, it means autonomy (decentralization) is given to the public and not to the Local or Regional Head. "Public Service (or often referred to as 'yanmas', community service)" reflects the community's independence in an area in an effort to obtain satisfactory service in an effort to improve their welfare, so that the quality of public services will be measured from the rate of change of governance in favor of the interests of increase social welfare. Key Words: Public Service, Good Governance 1. LATAR BELAKANG Sesuai dengan UU No. 22/1999 yang selanjutnya direvisi melalui UU No. 32 tahun 2004, prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam pengertian bahwa “daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat Kebijakan Daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat”. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun otonomi yang bertanggung awab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
1
Dalam satu dekade terakhir ini Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berupaya untuk memperbaiki kinerja ke-pemerintahan-nya, antara lain dengan menerapkan konsep ”Good Governance” sebagaimana diperkenalkan oleh World Bank, UNDP, United Nation dan beberapa agen international lainnya. Visi kelembagaan (institutional vision) yang jelas, bekerja efektif dan efesien, transparan dalam proses pengambilan keputusan, akuntabel dalam berbagai tindakan dan menghormati hak asasi manusia, merupakan nilainilai utama yang perlu mendapat perhatian segera. Otonomi Daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokal atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat untuk memecahkan berbagai masalah dan penyediaan pelayanan yang bersifat lokal demi kesejahteraan masyarakatnya. Dengan demikian, artinya otonomisasi (desentralisasi) diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada Daerah atau Kepala Daerah. ”Pelayanan Publik (atau sering disebut dengan istilah ’yanmas’, pelayanan masyarakat)” mencerminkan kemandirian masyarakat di suatu daerah dalam upaya mendapatkan pelayanan yang memuaskan dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya, sehingga mutu pelayanan publik akan dapat diukur dari tingkat perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang berpihak pada kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, pelayanan publik sampai dengan saat ini masih mengindikasi-kan kecenderungan tidak responsibel, kurang responsif dan tidak representatif. Pelayanan publik yang dikelola oleh Pemerintah secara berjenjang (hirarkies) cenderung bercirikan ”over bureucatic, bloated, wastefull, dan under performing”, sehingga penyelenggaraan pelayanan yang dikelola pemerintah cenderung tidak memuaskan masyarakat, bahkan kalah bersaing dengan pelayanan swasta. Kondisi tersebut antara lain dapat dilihat dari kualitas pelayanan di sektor pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan berbagai pelayanan masyarakat lainnya, yang sebagian besar masih relatif rendah, bahkan tidak dapat di-akses atau tidak menyentuh lapisan masyarakat tertentu. Pergeseran peran Pemerintah Daerah menuju model demokrasi, tentu menuntut peningkatan kualitas pelayanan publik. Keterlibatan masyarakat atas prakarsa sendiri menjadi sangat strategis dan menentukan dalam meningkatkan kualitas pelayanan yang mereka terima. Peran Pemerintah Daerah dalam pelayanan publik secara ekplisit mencakup seluruh bidang kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama (UU No. 32 Pasal 10 Tahun 2004). Selanjutnya, dalam UU No. 32 Pasal 13 Tahun 2004, yang menjadi wewenang wajib Pemerintahan Daerah (Kota/Kabupaten) adalah urusan berskala lokal, meliputi :
2
a.
perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.
penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.
penanganan bidang kesehatan;
f.
penyelenggaraan pendidikan;
g.
penanggulangan masalah sosial;
h.
pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j.
pengendalian lingkungan hidup;
k.
pelayanan pertanahan;
l.
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m.
pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.
pelayanan administrasi penanaman modal;
o.
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p.
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Ruang lingkup penelitian pelayanan publik yang sangat luas memungkinkan terjadinya
keragaman bentuk pelayanan publik yang dilakukan, sehingga berpengaruh terhadap distribusi pelayanan, jangkauan rentang pelayanan, dan tingkat mutu pelayanan publik yang diselenggarakan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Perbedaan yang mungkin terjadi tidak terbatas pada lingkup wilayah Kabupaten/Kota, melainkan juga berpotensi untuk terjadi pada lingkup wilayah Kelurahan / Kecamatan. Oleh kerena itu, cakupan pelayanan publik yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Bekasi perlu dikaji, sehingga dalam jangka panjang dapat diterapkan model pelayanan publik yang sesuai dengan karakteristik masing-masing Bagian Wilayah Pembangunan (WP). Disamping itu, kajian pun perlu dilakukan terhadap tingkat mutu pelayanan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi, terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. MAKSUD, TUJUAN DAN SASARAN Tujuan yang diharapkan akan mampu tercapai melalui pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan Pelayanan Publik Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance ini adalah sebagai berikut :
3
1.
Mengetahui cakupan pelayanan publik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi, termasuk variasi cakupan pelayanan berdasarkan struktur dan fungsi yag telah ditetapkan;
2.
Mengetahui peranan Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam menjalankan fungsi pelayanan publik, temasuk menyangkut kewenangan yang melibatkan sektor swasta dan masyarakat;
3.
Menemukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peran Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik, sesuai dengan karakteristik fungsi Kabupaten Bekasi;
4.
Memperoleh gambaran model pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Kabupaten Bekasi, sesuai karakteristik dan potensi sumber daya yang ada di Kabupaten Bekasi. Berdasarkan tujuan tersebut, maka sasaran yang diharapkan dapat tercapai melalui
pelaksanaan kegiatan Pemberdayaan Pelayanan Publik Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance ini antara lain adalah sebagai berikut : 1)
Sasaran Fungsional adalah tersedianya data dan informasi yang memadai mengenai penyediaan pelayanan publik yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam rangka mewujudkan Good Governance;
2)
Sasaran Operasional adalah hasil pemutakhiran data dan informasi serta hasil evaluasi dan analisis terhadap keluaran dan manfaat dari setiap kebijakan dan strategi yang telah dilaksanakan di Kabupaten Bekasi menyangkut penyediaan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan Good Governance, yang mana akan dapat digunakan sebagai : a)
Indikasi terlaksananya pelayanan publik sesuai prinsip-prinsip Good Governance.;
b)
Bahan acuan bagi Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam penyelenggaraan kepemerintahanan yang baik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan melihat bagaimana kebijakan dan strategi tersebut dapat memperbanyak pilihan pelayanan yang tersedia bagi seluruh lapisan masyarakat;
c)
Bahan evaluasi, analisis dan pertimbangan bagi para perumus kebijakan dan pengambil keputusan dalam penyusunan kebijakan pemerataan pembangunan yang konsisten dan berkelanjutan;
d)
Bahan acuan dalam upaya terciptanya iklim pelayanan publik yang kondusif dalam mewujudkan visi dan misi Bekasi Kota Unggul dalam Perdagangan dan Jasa;
4
3)
Sasaran Lokasi adalah wilayah Kabupaten Bekasi
3. METODOLOGI Sebagaimana dipaparkan di atas, pekerjaan Pemberdayaan Pelayanan Publik Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance dilakukan secara proporsional dalam cakupan wilayah Kabupaten Bekasi dengan mempertimbangkan heterogenitas Bagian Wilayah Kabupaten (BWK), baik dari aspek sosial-budaya, fisik dan geografis, potensi sumber daya, dan pemerintahan. Pemerintah Kabupaten Bekasi telah menetapkan visi dan misi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, hal mana telah dituangkan dalam Rencana Stratejik Pemerintah Kabupaten Bekasi TA. 2008-2013. Secara substansi, diperoleh pemahaman bahwa untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran tertentu dalam rangka peningkatan mutu kesejahteraan masyarakat melalui upaya perluasan akses pelayanan bagi seluruh tingkatan masyarakat sesuai visi dan misinya, pada dasarnya harus disusun berdasarkan hasil pengamatan (existing condition) dan analisis kebutuhan (need) maupun permintaan (demand). Hasil pengamatan dan analisis tersebut diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perumusan dan penyusunan perencanaan, strategi serta kebijakan yang diperuntukkan peningkatan mutu dan kinerja pelayanan kepada masyarakat. Arah kebijakan umum yang tertuang dalam kebijakan yang ada, telah mendasarkan proses dan mekanisme perencanaan dan penyusunan program pembangunan dengan mengikuti pola atau konsep “Perencanaan Stratejik (Strategic Planning)” yaitu proses perencanaan yang didasarkan atas hasil-hasil perumusan dan penetapan mengenai : a. Misi dan Visi Pembangunan Pernyataan “Visi dan Misi” yang disampaikan Pemerintah Daerah pada dasarnya harus mampu memberikan gambaran yang luas tentang “masa depan” daerahnya yang tentunya akan membedakan karakteristiknya dengan daerah lain. b. Tujuan dan Sasaran Pembangunan Tujuan dan Sasaran” didefinisikan sebagai hasil-hasil spesifik yang ingin dicapai dalam mewujudkan visi - misi, yang dirumuskan berdasarkan „kekuatan‟ dan „kelemahan‟ yang ada serta „peluang‟ maupun „tantangan‟ yang dihadapi selama proses pencapaiannya. Pernyataan tujuan dan sasaran harus jelas, konsisten, terukur dan dapat diterima. c. Strategi Pelaksanaan Pembangunan Strategi” adalah metoda yang dinilai tepat dalam mencapai tujuan dan sasaran dalam jangka panjang yang telah ditetapkan dan dijabarkan dalam program maupun proyek.
5
d. Kebijakan Pembangunan Kebijakan” adalah cara untuk mencapai sasaran tahunan yang didokumentasikan dalam bentuk pedoman, peraturan dan prosedur. Dengan demikian, kebijakan merupakan acuan proses pengambilan keputusan dan menjelaskan tentang kejadian yang dapat berulang. e. Rencana Implementasi Rencana implementasi” menjelaskan mengenai jadwal pelaksanaan program dan proyek yang telah disusun, termasuk dengan perencanaan pembiayaannya. Berdasarkan pemahaman konsep tersebut, maka dalam rangka implementasi kebijakan tentang upaya peningkatan mutu dan kinerja pelayanan kepada masyakat yang bertumpu pada kemampuan menggali dan memanfaatkan potensi sumber daya mandiri, kepada para stakeholder perlu diberi wawasan yang memadai mengenai (i) Visi-misi dan kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik yang bertumpu pada prinsip-prinsip Good Governance; (ii) penataan organisasi dan tata kerja kelembagaan yang berkaitan dengan upaya optimalisasi pelayanan kepada masyarakat, sehingga tidak menimbulkan keterasingan masyarakat terhadap sistem dan mekanisme pelayanan publik; (iii) strategi pembangunan sistem pelayanan informasi dan mekanisme penanganan pengaduan masyarakat untuk mendorong pemahaman bahwa hal ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat; dan (iv) pemecahan masalah pokok keterbatasan akses masyarakat (untuk lapisan tertentu) dalam memperoleh pelayanan yang memadai. Strategi yang telah dirintis sejak beberapa tahun lalu dan dinilai sesuai adalah pendekatan pemberdayaan masyarakat dan pendekatan peningkatan kapasitas kelembagaan. Dengan demikian, strategi tersebut perlu diterapkan melalui upaya-upaya sebagai berikut : Penciptaan iklim yang kondusif, yang dapat mendorong pengembangan potensi masyarakat yang didorong dengan peningkatan kapasitas dan mutu sumber daya dalam pengertian yang seluas-luasnya; Membangun, mengembangkan, dan memobilisasi potensi sumber daya lokal yang ada di masyarakat, sebagai landasan pemberdayaan; Memberikan perhatian, dukungan, perlindungan, layanan dan kepastian hukum yang jelas keberpihakannya kepada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah;
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis khusus pada peningkatan pelayanan publik adalah tinjauan khusus yang memiliki keeratan hubungan (close correlation) pada komponen yang membentuk kinerja
6
pelaksanaan pelayanan publik, terutama komponen memiliki kepekaan sangat tinggi terhadap perubahan internal dan eksternal, antara lain komponen daya beli, yang akan berdampak secara sistematis kepada komponen pelayanan publik lainnya, antara lain sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat.
(1)
Aspek Pendidikan Uraian SWOT untuk aspek pendidikan dijelaskan dalam uraian sebagai berikut : Komponen SWOT Kekuatan
Uraian Adanya Dorongan Kuat untuk menyekolahkan anak usia sekolah, sehingga angka anak sekolah semakin tinggi Jumlah guru 4 tahun t3rakhir meningkat Masih terbatasnya pendidikan non formal
Kelemahan
Adanya kecenderungan biaya pendidikan semakin mahal, namun APBD dapat memberikan banyuan untuk pendidikan gratis SD Kualitas peserta didik yang bergizi buruk Masih adanya anak jalan
Peluang
Komitmen Pemerintah dalam pembiayaan pendidikan gratis Kerjasama dengan industri untuk sektor pendidikan
Ancaman
PHK di sektor industri Tingginya angka migrasi
Usur-unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman masing masing memiliki bobot, yang mana bobot itu sendiri dihasilkan dari skala dan share dalam rangka peningkatan pelayanan publik di sektor pendidikan. Selanjutnya masing-masing komponen dinilai menurut rating dan terakhir adalah keluar skor untuk masing-masing komponen. Skor masing-masing komponen SWOT akan menghasilkan strategi pengembangan pendidikan dalam rangka meningkatan mutu pelayanan mutu pendidikan di Kabupaten Bekasi. Sedangkan Grand Strategy dapat dilihat dalam Gambar 4.2, dan uraian skor dari masing-masing komponen disajikan pada Tabel 4.2.
7
Gambar 4.2 Grand Strategy Peningkatan Pelayanan Publik Dalam Sektor Pendidikan di Kabupaten Bekasi O conservative
agressive
2.0
1.0
W
S
0.0
T diversive
defensive
Berdasarkan Gambar 4.2 terlihat bahwa kurva strategi berada dalam kuadran II, atau strategi conservative, yakni memaksimalkan peluang dan meminimalkan kelemahan. Berdasarkan strategi tersebut di atas, maka isu-isu strategis adalah sebagai berikut: Meningkatkan pendidikan non formal Meningkatkan bantuan biaya operasi pendididkan formal Program perbaikan gizi peserta didik Beasiswa pendidikan bagi yang tidak mampu
Tabel 4.2 Analisis SWOT untuk Peningkatan Pelayanan Publik Pada Sektor Pendidikan SWOT
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
Peluang (O)
ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL angka usia sekolah yang bersekolah semakin tinggi Jumlah guru meningkat Tingkat pendidikan masyarakat kota relatif lebih baik dari wil. Kabupaten Jumlah gedung semakin meningkat Total Masih terbtasnya pendidikan non formal Biaya pendidikan meningkat Masih ada peserta didik bergizi buruk Masih ada usia sekolah yang belum sekolah Total EKSTERNAL Adanya komitmen pemerintah dalam pendidikan adanya kerjasama dengan pemerintah pusat, Perguruan tinggi dan LSM
Skala
Share
Bobot
Rating
Skor
4
30.77
0.15
4
0.62
3
23.08
0.12
3
0.35
3
23.08
0.12
2
0.23
3 13 4 4 3
23.08 100.00 28.57 28.57 21.43
0.12 0.50 0.14 0.14 0.107
3 12 4 4 3
0.35 1.54 0.57 0.57 0.32
3
21.43
0.107
3
0.32
14
100.00
0.50
14
1.79
4
50.00
0.25
4
1.00
4
50.00
0.25
3
0.75
8
Ancaman (T)
(2)
Total Meningkatnya migrasi ke Kabupaten Bekasi Masih adanya PHK di lingkungan industri Total
8
100.00
0.50
7
1.75
4
57.14
0.29
4
1.14
3 7
42.86 100.00
0.21 0.50
2 6
0.43 1.57
Rating Kekuatan dan Peluang
Rating Kelemahan dan Ancaman
Sangat berpengaruh = 4
Sangat berpengaruh =4
Berpengaruh = 3
Berpengaruh = 3
Kurang berpengaruh = 2
Kurang berpengaruh = 2
Tidak berpengaruh = 1
Tidak berpengaruh = 1
Aspek Kesehatan Uraian SWOT untuk aspek kesehatan dijelaskan dalam uraian sebagai berikut : Komponen SWOT Kekuatan
Kelemahan Peluang
Ancaman
Uraian Meningkatnya Jumlah RS dan PUSTU Meningkatnya usia harapan hidup Menurunnya AKB Meningkatnya angka gixi buruk selama 5 tahun terkahir Adanya ibu hamil yang belum terlayani Komitmen Pemerintah dalam pelayanan kesehatan yang lebih baik Kerjasama dengan industri untuk sektor kesehatan Pencemaran lingkungan akibat industri Tingginya angka migrasi
Usur-unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman masing masing memiliki bobot, yang mana bobot itu sendiri dihasilkan dari skala dan share dalam rangka peningkatan mutu pelayanan publik di sektor kesehatan. Selanjutnya masing-masing komponen dinilai menurut rating dan terakhir adalah keluar skor untuk masing-masing komponen. Skor masing-masing komponen SWOT akan menghasilkan strategi peningkatan pelayanan publik di sektor kesehatan di Kabupaten Bekasi. Sedangkan Grand Strategy dapat dilihat dalam Gambar 4.3, dan uraian skor dari masing-masing komponen disajikan pada Tabel 4.3.
9
Gambar 4.3
Grand Strategy Peningkatan Pelayanan Publik Dalam Sektor Kesehatan di Kabupaten Bekasi O conse rva tive
a gre ssive
2.0
1.0
W
S
0.0
T dive rsive
de fe nsive
Berdasarkan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa kurva strategi berada dalam kuadran II, atau strategi agresive, yakni memaksimalkan peluang dan kekuatan. Berdasarkan strategi tersebut di atas, maka isu-isu strategis adalah sebagai berikut : Peningkatan Pelayanan kesehatan kepada Masyarakat Peningkatan standar dan program pelayanan Tabel 4.3 Analisis SWOT untuk Peningkatan Pelayanan Publik Dalam Sektor Kesehatan SWOT Kekuatan (S)
Kelemahan (W) SWOT Peluang (O)
Ancaman (T)
ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL RS & Puskesmas meningkat jumlahnya Usia harapan hidup meningkat Angka kematian bayi menurun Total Meningkatnya persentase gizi buruk pada usia balita dlm 5 tahun terakhir Adanya ibu hamil yang belum terlayani Total ANALISIS LINGKUNGAN EKSTERNAL Adanya komitmen pemerintah dalam mendorong pelayanan kesehatan Adanya peluang kerjasama dengan Pusat dalam pendanaan kesehatan Total Meningkatnya migrasi ke Kabupaten Bekasi, sehingga meningkatkan kwasan kumuh Meningkatnya risiko dari pencemaran udara dan air Belum terlayaninya seluruh KK dalam air bersih dan sanitasi lingkungan Total
Skala
Share
Bobot
Rating
Skor
4 4 4 12
33.33 33.33 33.33 100.00
0.17 0.17 0.17 0.50
4 4 4 12
0.67 0.67 0.67 2.00
4
50.00
0.25
3
0.75
4 8
50.00 100.00 Share
0.25 0.50 Bobot
3 6 Rating
0.75 1.50 Skor
4
50.00
0.25
4
1.00
4
50.00
0.25
3
0.75
8
100.00
0.50
7
1.75
3
33.33
0.17
3
0.50
3
33.33
0.17
3
0.50
3
33.33
0.17
3
0.50
9
100.00
0.50
9
1.50
Skala
10
Rating Kekuatan dan Peluang Sangat berpengaruh = 4 Berpengaruh = 3 Kurang berpengaruh = 2
(3)
Rating Kelemahan dan Ancaman Sangat berpengaruh =4 Berpengaruh = 3 Kurang berpengaruh = 2
Aspek Ekonomi Komponen kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman untuk aspek perekonomian lokal dapat dilihat dalam uraian di bawah ini. Komponen SWOT Kekuatan
Kelemahan
Peluang
Ancaman
Berdasarkan
skor
dari
Uraian Sektor sekunder (industri non migas) dan jasa mendominasi perekonomian Kabupaten Bekasi PAD dan APBD meningkat setiap tahun Komitmen Pemerintah Kabupaten Bekasi dalam mendorong ekonomi lokal sangat tinggi Struktur penerimaan didominasi dari dana perimbangan Sumber pendapatan realtif konstan dari BUMD Kredit UMKM masih terbatas Berkembangnya sektor unggulan dari sekot pertanian dan UMKM Kerjasama dengan industri melalui COMDEV Kepastian hukum lemah Aturan yang belum harmonis antara pusat dan daerah Tingginya angka migrasi Persaingan ekonomi global dan pasar bebas masing-masing
komponen
SWOT
dihasilkan
strategi
pengembangan perekonomian lokal dalam rangka mendukung upaya peningkatan pelayanan publik di Kabupaten Bekasi. Grand Strategy dapat dilihat dalam Gambar 4.4, dan uraian skor dari masing-masing komponen disajikan pada Tabel 4.4 Gambar 4.4 Grand Strategy Peningkatan Pelayanan Publik Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal
11
Berdasarkan Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa kurva strategi berada dalam kuadran II, atau strategi agresive, yakni memaksimalkan peluang dan kekuatan.
Berdasarkan strategi tersebut di atas, maka isu-isu strategis adalah sebagai berikut : Mendorong perkembangan sektor unggulan (jasa dan perdagangan) Peningkatan pembiayaan ekonomi rakyat dalam sektor unggulan Kebijakan dalam pengembangan perekonomian rakyat Pengembangan investasi dan kemitraan UKM dan usaha besar Tabel 4.4 Analisis SWOT untuk Peningkatan Pelayanan Publik Dlam Rangka Pengembangan Perekonomian Lokal SWOT Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
SWOT Peluang (O)
Ancaman (T)
ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL Sektor sekunder dan jasa dominan dalam perekonmian Kabupaten Bekasi PAD cenderung meningkat Komitmen pemerintah Kota yang tinggi dalam memajukan perekonomian lokal Total Struktur penerimaan masih didominasi Dana Perimbangan Susmber pendapatan belum berkembang Penyediaan dana kredit bagi perekonomian rakyat masih lemah Lemahnya penguasaan informasi, modal dan teknologi oleh pelaku UKM Total ANALISIS LINGKUNGAN EKSTERNAL Bekasi memiliki sektor yang responsif Adanya peluang kerjasama dengan pemerintah pusat dan swasta dalam perekonomian daerah Total Kepastian hukum yang lemah Banyaknya aturan yang belum harmonis antara pusat dan daerah Persaingan perekonomian global Total
Skala
Share
Bobot
Rating
Skor
3
30.00
0.15
3
0.45
4
40.00
0.20
4
0.80
3
30.00
0.15
4
0.60
10
100.00
0.50
11
1.85
4
57.14
0.29
3
0.86
3
42.86
0.21
3
0.64
4
57.14
0.29
3
0.86
4
57.14
0.29
3
0.86
7 Skala
100.00 Share
0.50 Bobot
6 Rating
1.50 Skor
4
50.00
0.25
4
1.00
4
50.00
0.25
3
0.75
8 4
100.00 36.36
0.50 0.18
7 3
1.75 0.55
4
36.36
0.18
3
0.55
3 11
27.27 100.00
0.14 0.50
3 9
0.41 1.50
Rating Kekuatan dan Peluang Sangat berpengaruh = 4 Berpengaruh = 3 Kurang berpengaruh = 2 Tidak berpengaruh = 1
Rating Kelemahan dan Ancaman Sangat berpengaruh =4 Berpengaruh = 3 Kurang berpengaruh = 2 Tidak berpengaruh = 1
12
5. KESIMPULAN Beberapa indikasi kegiatan pelayanan publik yang telah diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi pada dasarnya telah memperlihatkan indikasi adanya upaya ke arah terwujudnya Good Governance. Meskipun relatif belum dapat terukur secara akurat, dikarenakan belum adanya parameter atau tolok ukur kinerja internal yang terpadu, namun setidaknya beberapa parameter umum yang diterapkan untuk mengukur kinerja lembaga pemerintah dapat diterapkan dalam mengevaluasi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kinerja lembaga pemerintahan memberikan gambaran sampai seberapa jauh lembaga pemerintahan mampu mencapai tujuan atau visi yang telah ditetapkan, dengan memanfaatkan strategi yang telah dipilih. Dalam melakukan penilaian kinerja tersebut, dibutuhkan dasar teori, sasaran dan parameter penilaian, metode dan konteks penilaian yang jelas. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui ’mengapa diperlukan penilaian, apa saja yang dinilai, bagaimana melakukan penilaian dan dalam kondisi apa suatu penilaian dilakukan’. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dasar teoritis dari penilaian kinerja pada saat sekarang adalah “reinventing government” yang menitikberatkan penilaian kinerja pada hasil. Hal ini bukan berarti penilaian terhadap cara yang digunakan tidak penting, tetapi hal ini merupakan upaya untuk mengkondisikan bahwa “bobot penilaian dari apa yang dijanjikan kepada masyarakat harus lebih tinggi dari pada bobot dari apa yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi janji tersebut”. Indikator yang digunakan untuk menilai kinerja pemerintahan pada saat ini adalah “Good Governance” dan “Capacity Building”. Good governance memuat nilai-nilai yang dijanjikan kepada masyarakat, sedangkan “capacity building” memuat nilai-nilai tentang kelayakan dari strategi yang ditempuh Pemerintah dalam memenuhi janji tersebut. Efektif tidaknya suatu penilaian tergantung dari konteks ketika penilaian dilakukan. Pengalaman menunjukkan bahwa tingkat pencapaian hasil juga sangat ditentukan oleh konteks lingkungan yang meliputi dukungan internal organisasi (input) dan eksternal organisasi. Dari pengalaman sehari-hari dapat dilihat bahwa lembaga atau aparat pemerintahan tidak dapat menjalankan tugas pokoknya karena ketiadaan dana, sarana dan fasilitas (input) sebagai input penting yang seharusnya sudah tersedia ketika ia butuhkan. Bila hal ini terjadi maka penilaian terhadap kinerja menjadi tidak valid. Begitu pula, lembaga atau aparat pemerintahan tidak dapat menjalankan tugas pokoknya karena adanya ancaman atau hambatan, atau sebaliknya kurang adanya dukungan dari masyarakat sekitarnya. Dalam hal yang demikian, menilai kinerja menjadi tidak relevan
13
sama sekali. Karena itu, agar penilaian dapat diterima maka sebelum menilai kinerja (individu, kelompok, institusi, dan program), perlu terlebih dahulu melakukan penilaian terhadap dukungan input dan lingkungan. Salah satu konteks lingkungan yang juga perlu dinilai adalah kemampuan penilai dan hubungan khusus antara pihak atau lembaga penilai dengan yang dinilai. Termasuk dalam kemampuan penilai adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan penguasaan terhadap materi yang dinilai. Ia mengetahui secara tepat apa yang hendak ia nilai, dan cara ia memberi penilaian. Di masa lampau, ketepatan penilaian seringkali tidak diperhatikan sebab penilai atau pemimpin tidak mengetahui secara benar apa materi yang dinilai dan bagaimana menilainya. Karena ketidakmampuan tersebut maka muncul penilaian yang sangat didasarkan kepada keeratan hubungan pribadi antara pihak yang menilai dengan yang dinilai. Dalam kondisi semacam ini hasil penilaian tidak dapat digunakan. Secara teoritis dalam proses penilaian, si penilai harus memiliki kemampuan menilai dan bersifat independen (obyektif). Karena itu disarankan agar penilai sebaiknya berasal dari luar institusi. Penilai dari luar memang lebih independen tetapi sering kali kurang menguasai suasana di dalam institusi, dan sebaliknya penilai dari dalam institusi memang lebih mengetahui kondisi di dalam tetapi seringkali dikritik karena kurang obyektif. Ia memiliki hubungan pribadi yang sangat kuat dengan pihak-pihak tertentu di dalam lembaga sehingga mengkontaminasi penilaian kinerja. Berdasarkan hal tersebut, maka disarankan agar dalam penilaian kinerja digunakan sistim multi penilai, yaitu pihak yang berasal dari luar institusi tetapi dapat menilai karena mengalami langsung seperti para pelanggan dan masyarakat yang dilayani, sedangkan dari dalam institusi yang mengalami langsung yaitu pihak yang dinilai dan pihak yang mengamati kinerja secara langsung seperti pimpinan lembaga atau unit kerja. Disamping itu, secara teoritis juga diharapkan agar kriteria yang digunakan dalam penilaian tersebut juga diketahui dan disetujui oleh pihak yang dinilai. Disamping prinsip ini penting dalam rangka transparansi, juga agar pihak yang dinilai dapat mengajukan keberatan tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapinya sehingga tidak bisa berkinerja baik, dan dengan demikian bias-bias penilaian dapat dihindari. Prinsip ini juga harus diterapkan pada penilaian kinerja pemerintahan, termasuk kinerja aparatnya. Untuk tidak terulang kembali kesalahan di masa lalu, maka pengembangan standard penilaian kinerja pemerintahan di masa mendatang harus memperhatikan masalah validitas, konteks dan proses penilaian. Aspek-aspek ini harus menjadi prioritas dalam agenda reformasi. Dalam kaitannya dengan validitas, pertanyaan pertama adalah mengapa dilakukan evaluasi atau apa tujuan evaluasi ? Apakah evaluasi dilakukan karena diberlakukan suatu orientasi
14
teoritis atau paradigma yang baru seperti orientasi “reinventing government”? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dilakukan upaya metodologis melalui uji “construct validity”. Pertanyaan kedua adalah apa saja yang harus dievaluasi? Dengan kata lain apa ruang lingkup dari penilaian tersebut. Apakah parameter-parameter yang digunakan telah lengkap dan memadai?. Pertanyaan ini dapat dideteksi secara metodologis melalui uji “content validity”. Untuk saat ini nilai-nilai “good governance” dan “capacity building” dapat dijadikan indikator dan parameter utama. Dan pertanyaan ketiga adalah bagaimana melakukan evaluasi dengan cara yang valid, agar instrumen evaluasi dapat menggambarkan dengan benar kenyataan. Untuk menjawab pertanyaan ketiga tersebut dibutuhkan penilaian metodologis melalui uji “criterion” atau “empirical validity”. Dalam kaitannya dengan konteks penilaian perlu dipertanyakan apakah pengukuran telah dilakukan dengan proses dan dalam situasi dan kondisi yang tepat. Demikian pula, apakah ada consensus bersama antara penilai dan yang dinilai tentang aspek-aspek yang dinilai? Apakah ada kepentingan-kepentingan tertentu yang telah mendatangkan bias penilaian tersebut? Karena penilaian kinerja merupakan titik strategis pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pemulihan nama baik pemerintahan di masa mendatang, maka perbaikan standar kinerja dan sistim evalusi kinerja harus menjadi agenda utama Pemerintah Kabupaten Bekasi saat ini. Nilai-nilai “good governance” dan “capacity building” harus diakomodasikan dalam standar penilaian tersebut, dan perbaikan validitas dan konteks serta proses penilaian kinerja terus dilakukan secara berkesinambungan. Disamping itu, berdasarkan hasil kaji tindak atas penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik di Kabupaten Bekasi diperoleh beberapa indikasi program yang dinilai perlu dilakukan dalam upaya mewujudkan Good Governance. Secara garis besar, program yang dinilai perlu dikedepankan dalam upaya tersebut adalah kaitannya dengan ”peningkatan mutu pelayanan publik” dan ”peningkatan kapasitas organisasi pelaku penyediaan pelayanan publik”. Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis atas beberapa peraturan yang berlaku dalam konteks implementasi kebijakan daerah di Kabupaten Bekasi, maka sebagai hasil kaji tindak, telah dirumuskan “Rancangan Peraturan Daerah tentang Transparansi dan Partisipasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kabupaten Bekasi” sebagai acuan awal dalam meningkatkan upaya untuk Peningkatan Pelayanan Publik dalam mewujudkan Good Governance.
15
DAFTAR PUSTAKA
Laode Ida, 2000. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Goverment. PPSK, Jakarta. __________. 1995. Peran serta masyarakat dan keterpaduan dalam pembangunan yang berkelanjutan. Perencanaan Pembangunan. No. 2 tahun 1995. P: 90-95. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Paper Number 3. Washington D.C. Freddy, Rangkuti. 2000. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Suryono, Agus. 2001. Teori dan Isu Pembangunan. Malang : UM-Press Moleong, Lexy. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya B. Peraturan dan Perundang-undangan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Permendagri No.13 Tentang Penyusunan dan Pelaporan Keuangan Daerah C. Hasil Penelitian LPPM Unisma, 2003. Evaluasi Implementasi Visi dan Misi Kabupaten Bekasi LPPM Unisma, 2004. Evaluasi Implementasi Renstra Kabupaten Bekasi Tahun 2002-2004 D. Dokumen Pemerintah Kabupaten Bekasi BPS Kabupaten Bekasi, 2006. Dokumen IPM Kabupaten Bekasi BPS Kabupaten Bekasi, 2002, 2003-2006. Kabupaten Bekasi dalam Angka Tahun 2002 – 2006 RPJMD Kabupaten Bekasi 2007-2012, Tahun 2007 LPJ Bupati Bekasi dari Tahun 2005-2007 Visi dan Misi Kabupaten Bekasi, 2004-2008 Renstra Kabupaten Bekasi, 2004-2008
16