69
Analisis Nilai-Nilai... (Nur Ismiati)
ANALISIS NILAI-NILAI BUDAYA DALAM NOVEL TEUNTRA ATOM KARYA THAYEB LOH ANGEN oleh Nur Ismiati* ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai budaya (1) hubungan manusia dengan Tuhan, (2) hubungan manusia dengan manusia, (3) hubungan manusia dengan alam, dan (4) hubungan manusia dengan diri sendiri. Sumber data penelitian ini berupa novel Teuntra Atom karya Thayeb Loh Angen yang diterbitkan oleh Center for Aceh Justice and Peace, Banda Aceh, tahun 2009. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) peneliti dan (2) format identifikasi data. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan terlihat dari ketaatan, berserah diri, percaya atas kekuasaan-Nya, dan bergantung/berharap pada Tuhan. Nilai-nilai budaya hubungan manusia dengan manusia berupa saling membantu, bercanda dengan sesama, menyayangi sesama manusia, saling memaafkan, rasa suka/ cinta terhadap lawan jenis, sikap menghormati/menjaga sikap terhadap sesama, musyawarah, dan silaturahmi. Nilai-nilai budaya hubungan manusia dengan alam terlihat pada perilaku menjaga kebersihan, menjaga lingkungan dan memperindah/melestarikan alam. Nilai-nilai budaya hubungan manusia dengan dirinya sendiri tergambar dalam menuntut ilmu, keberlangsungan hidup, dan menjaga diri. Kata Kunci: analisis, nilai budaya, dan novel Teuntra Atom
ABSTRACT This research was to find out the cultural value of (1) relationship between humans and the God, (2) interpersonal relationship, (3) relationship between humans and nature, and (4) relationship between humans and themselves. The source of data for this research was the novel Teuntra Atom written by Thayeb Loh Angen, published by Center for Aceh Justice and Peace, Banda Aceh, in 2009. The instruments used for this research were researcher and data identification form. The data were collected by using documentation technique. The research results showed that the cultural value of relationship between humans and the God was shown by obedience, surrendering to the God, belief in the God’s power, and reliance on the God. The cultural value of interpersonal relationship can be observed from helping one another, joking, loving others, giving forgiveness, giving love between male and female, respecting others making delibera* Penulis adalah Mahasiswa MPBSI Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
70 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:69−83 tion, and making friendship. Cultural value of relationship between humans and nature can be seen in maintaining environment, conserving nature. Cultural value of relationship between humans and themselves is depicted in pursuing education, staying alive, and taking care of themselves. Keywords: analysis, cultural relation, and novel Teuntra Atom Pendahuluan Novel diciptakan oleh seorang pengarang melalui perpaduan unsur-unsur penting yang membangun sebuah cerita. Salah satu unsur pembangun tersebut adalah unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik sastra merupakan unsur-unsur yang berada di luar karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut. Unsur-unsur ekstrinsik yang dimaksud di antaranya adalah latar belakang budaya pengarang, pendidikan, adat istiadat, ekonomi, sosial, agama, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Karena banyaknya nilai yang terkandung dalam novel, dalam penelitian ini nilai yang dikaji dibatasi pada nilai budaya saja. Banyak pengertian nilai budaya yang dikemukakan oleh para ahli. Mulyana dan Rakhmat (2006:27) menyebutkan bahwa nilai-nilai budaya adalah “seperangkat aturan yang diorganisasikan untuk membuat pilihan-pilihan dan mengurangi konflik dalam suatu masyarakat”. Moeliono (1999:690) menyebutkan bahwa nilai budaya adalah “konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai di kehidupan manusia”. Berbeda dengan kedua ahli di atas, Koentjaraningrat (1997:25) menyebut bahwa nilai budaya merupakan “konsepsi yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang dianggap paling bernilai di dalam kehidupan”. Dengan demikian, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman aturan tertinggi bagi kelakuan manusia dan sifatnya lebih konkret. Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, baik di lingkungan organisasi maupun di lingkungan masyarakat yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol dengan karakteristik tertentu yang dapat dijadikan acuan perilaku dan tanggapan terhadap sesuatu yang akan terjadi atau yang sedang
terjadi. Nilai budaya biasanya berasal dari isuisu filosofis yang merupakan bagian dari suatu lingkungan budaya dan umumnya bersifat normatif. Berdasarkan uraian di atas, dapat diartikan bahwa nilai budaya suatu masyarakat adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kepentingan para anggota masyarakat, bukan nilai yang dianggap penting dalam satu anggota masyarakat sebagai individu atau pribadi. Nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam novel tentu saja dapat dianalisis karena merupakan salah satu unsur ekstrinsik. Hal ini dapat berarti bahwa penciptaan sebuah novel bukanlah semata-mata hanya sebagai bacaan kosong. Salah satu novel yang diangkat dari pengalaman hidup manusia atau dilatarbelakangi oleh berbagai peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat tempat karya tersebut dilahirkan adalah novel Teuntra Atom. Novel ini tidak semata-mata diciptakan sebagai bacaan kosong. Di dalamnya terkandung berbagai nilai budaya yang dapat dipetik oleh pembaca. Pengarang novel Teuntra Atom melalui karyanya mengungkapkan detail secara bebas dan menyajikan detail tersebut dengan lebih banyak melibatkan berbagai macam persoalan yang lebih kompleks. Novel Teuntra Atom mengungkapkan pandangan tentang manusia dengan keberadaannya yang konkret, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan diri sendiri. Novel tersebut juga menggambarkan bagaimana kebudayaan, tingkah laku sosial, serta kepercayaan (agama) dalam masyarakat Aceh. Nilai budaya masyarakat Aceh lebih didominasi oleh muatan makna yang berdasar pada ajaran Islam yang kemudian menjadi adat Aceh. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya Islam merupakan isi budaya Aceh (Nur, 2012:7).
Analisis Nilai-Nilai... (Nur Ismiati) Novel ini juga memperlihatkan bagaimana tokoh utama menjalani kehidupannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sebagai pejuang pun masih tetap melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Sebagai sesama manusia, saling membantu dalam hidup bermasyarakat yang terikat oleh adat dan budaya. Novel ini layak diteliti karena selain terdapat nilai budaya di dalamnya, novel ini pada tahun 2006 terpilih sebagai juara II dalam lomba menulis novel yang diadakan oleh sekolah menulis Dokarim, Banda Aceh. Istilah novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’ yang diartikan sebagai sebuah karya sastra dalam bentuk prosa (Nurgiyantoro, 2002:9). Zaidan (1997:136) mengatakan bahwa novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan mengandung nilai hidup diolah dengan teknik kisahan dan ragam yang menjadi dasar konvensi penulisan. Dalam kamus The American College Dictionary (dalam Tarigan, 1984:164) disebutkan bahwa novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. Selanjutnya, dalam kamus The Advanced Learner’s Dictionary of Current English disebutkan bahwa novel adalah suatu cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif ( dalam Tarigan, 1984:164). Wolf (dalam Tarigan, 1984:164) menyatakan bahwa novel merupakan sebuah eksplorasi atau suatu kronik penghidupan; merenungkan dan melukiskan dalam bentuk yang tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik manusia. Dari beberapa pengertian novel tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah genre prosa fiksi yang di dalamnya menceritakan problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh atas dasar sudut pandang pengarang, mengandung nilai kehidupan, dan mengolah nilai ke-
71 hidupan tersebut dengan teknik kisahan. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut (novel). Unsur intrinsik meliputi tema, alur, tokoh, latar, amanat, dan sudut pandang serta gaya bahasa, sedangkan unsur ekstrinsik meliputi latar belakang budaya pengarang, pendidikan, adat istiadat, ekonomi, sosial, agama, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Karena tulisan ini hanya terfokus pada unsur ekstrinsik (nilai budaya), pembahasan tentang unsur instrinsik ditiadakan. Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu budhayah. Kata tersebut merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti ‘budi dan akal’. Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani). Taylor (dalam Ratna, 2007:5) menyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, adat-istiadat, seni, moral, hukum, dan kebiasaankebiasaan lain. Dengan demikian, budaya berkenaan dengan cara kita hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan, makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatankegiatan ekonomi politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya. Menurut Koentjaraningrat (1997:25-41), nilai budaya merupakan tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum-hukum, norma-norma semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya itu. Sebagai sistem nilai, Djamaris (1993:2) menyebutkan bahwa budaya dapat dikelompokkan berdasarkan 5 kategori hubungan, yaitu (1) hubungan manusia dengan Tuhan; (2) hubungan manusia dengan alam; (3) hubungan
72 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:69−83 manusia dengan manusia; (4) hubungan manusia dengan masyarakat; (5) hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Hermeneutika berasal dari istilah Yunani, ‘hermeneuein’ ‘menafsirkan’ dan ‘hermeneia’ yang berarti ‘interpretasi’. Berarti secara harfiah, hermeneutika adalah ‘penafsiran’ atau interpretasi’. Jadi, hermeneutika merupakan usaha beralih dari sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang lebih terang. Menurut Palmer (2005:14), hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu dari tidak tahu menjadi tahu dan mengerti. Ricoeur (dalam Rafiek 2010:3) menyebutkan bahwa hermeneutika adalah teori tentang pemahaman dan penafsiran teks. Berdasarkan beberapa pengertian hermeneutika tersebut, ada tiga macam makna hermeneutika yang mendasar, yaitu: (1) mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pemikiran melalui katakata sebagai medium penyampaian; (2) menjelaskan secara rasional sesuatu yang masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti; dan (3) menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain. Untuk dapat membuat interpretasi terhadap suatu teks, orang terlebih dahulu harus mengerti atau memahami teks tersebut. Namun, keadaan ‘lebih dahulu mengerti’ ini bukan didasarkan pada penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah sebab menurut kenyataannya bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada keserta-mertaan antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya, bukan dua momen dalam satu proses. (Sumaryono, 1999: 30-31). Menurut pandangan Betti (dalam Sumaryono, 1999:31) kegiatan interpretasi adalah proses yang bersifat ‘triadik’ (mempunyai tiga segi yang berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga makna teks tersebut menyatu dengan si penaf-
sir. itu sendiri. Oleh karena itulah, dapat dipahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh terhadap suatu teks akan berkembang bila didasarkan pada pengetahuan yang benar (correct). Sesuatu arti tidak akan dikenal jika tidak direkontruksi. Berdasarkan penjelasan di atas, novel Teuntra Atom, sebagai sebuah teks yang dijadikan fokus penelitian ini, tentu saja harus dipahami makna niatan pengarang teks tersebut ketika membuat suatu interpretasi. Dengan kata lain, penafsir dituntut memahami Thayeb Loh Angen melalui penggunaan bahasa dan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam teks yang direkanya. Jadi, pemahaman akan lebih mendalam lagi manakala teks dapat dimengerti. Akhirnya, interpretasi akan lebih kompleks lagi bila dihubungkan dengan pengalaman sastra peneliti sendiri. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah “bagaimanakah penggambaran nilai-nilai budaya dalam novel Teuntra Atom karya Thayeb Loh Angen? Adapun nilai-nilai budaya yang menjadi fokus penelitian ini adalah (1) Nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan, (2) Nilai budaya hubungan manusia dengan manusia, (3) Nilai budaya hubungan manusia dengan alam, (4) Nilai budaya hubungan manusia dengan diri sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan penggambaran nilai-nilai budaya yang terdapat dalam novel Teuntra Atom karya Thayeb Loh Angen. Adapun yang menjadi tujuan fokus penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan, (2) Mendeskripsikan nilai budaya hubungan manusia dengan manusia, (3) Mendeskripsikan nilai budaya hubungan manusia dengan alam, (4) Mendeskripsikan nilai budaya hubungan manusia dengan diri sendiri. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan nilai-nilai budaya dalam novel Teuntra Atom karya Thayeb Loh Angen dan memberi kontribusi yang berarti untuk menambah khasanah sastra Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat bermanfaat bagi pemerintah dalam menyukseskan program pelestarian kebudayaan daerah sebagai bagian
Analisis Nilai-Nilai... (Nur Ismiati) dari kebudayaan nasional. Penelitian ini difokuskan kepada kajian substansi isi yang memuat nilai-nilai budaya. Oleh karena itu, objek yang diteliti khusus nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan, nilai budaya hubungan manusia dengan manusia, nilai budaya hubungan manusia dengan alam, dan nilai budaya hubungan manusia dengan diri sendiri. Selain itu, novel yang dijadikan kajian dalam penelitian ini adalah novel Teuntra Atom karya Thayeb Loh Angen. Konsep teori yang dimanfaatkan dalam penelitian ini berupa sebuah pendekatan. Dalam hal ini, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan hermeneutis. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau kuantitatif. Menurut Moleong (2008:6) pendekatan kualitatif merupakan pendekatan untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik. Pemahaman tersebut dideskripsikan dalam bentuk kata-kata atau bahasa berdasarkan suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Menurut Lincon dan Guba (dalam Moleong, 2008: 8-13), ada sepuluh ciri penelitian kualitatif, yaitu (1) latar alami, (2) manusia sebagai alat, (3) metode kualitatif, (4) teori dari dasar, (5) deskriptif, (6) lebih mementingkan proses daripada hasil, (7) desain yang bersifat sementara, (8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, dan (10) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama. Penelitian kualitatif ini menuntut peneliti sastra untuk mengungkapkan fakta-fakta yang tampak dengan memberikan gambaran yang jelas. Data sebagai sumber informasi menjadi fokus analisis. Analisis dilakukan dengan cara menyajikan deskripsi sebagaimana adanya. Untuk menghadirkan pemahaman yang baik, peneliti sastra diharapkan memiliki pengetahuan yang mendalam terhadap objek penelitiannya sehingga hasil penelitian lebih objektif.
73 Berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan di atas, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu mendeskripsikan struktur novel Teuntra Atom karya Thayeb Loh Angen yang berupa data-data nilai budaya. Dari data yang bersifat deskriptif itu, peneliti melakukan analisis data untuk membuat generalisasi atau kesimpulan umum. Sumber data penelitian ini adalah novel Teuntra Atom karya Thayeb Loh Angen. Novel ini diterbitkan oleh Center for Aceh Justice and Peace, Banda Aceh, tahun 2009. Tebal novel tersebut 362 halaman dengan ukuran 20,1 cm x 13,2 cm, kover depan berwarna hitam dan bergambar kubah mesjid, sedangkan kover belakang berwarna hitam dan abu-abu. Instrumen dalam penelitian ini yaitu peneliti dan format identifikasi data. Instrumen yang sangat berperan dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human instrument). Dikatakan demikian karena paparan hasil penelitian ini pada hakikatnya sangat bergantung kepada peneliti dan lain-lain yang ikut mempengaruhi hasil penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi. Langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut: (1) membaca teks novel Teuntra Atom dengan cermat dan berulang-ulang, (2) mengidentifikasi nilai-nilai budaya sebagaimana yang dikehendaki dalam masalah penelitian, (3) mengklasifikasi data menurut masing-masing kriteria nilai-nilai budaya. Sesuai dengan jenis penelitian, analisis data menggunakan metode kualitatif untuk menganalisis nilai-nilai budaya dalam novel Teuntra Atom. Adapun langkah-langkah penganalisisan data yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut. (1) membaca teks novel Teuntra Atom dengan cermat dan berulang-ulang. (2) menentukan nilai-nilai budaya sebagaimana yang dikehendaki dalam masalah penelitian. (3) menganalisis nilai-nilai budaya tersebut kemudian diberikan kode tertentu yang selanjutnya akan diklasifikasikan menurut kelompok nilai masing-masing. (4) membahas nilai-nilai budaya tersebut
74 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:69−83 berdasarkan kelompok nilai masing-masing. sesuatu yang harus dilawan oleh manusia, ma(5) menyimpulkan dengan menggunakan nusia wajib untuk selalu berusaha menaklukbahasa peneliti. kan alam, dan (3) kebudayaan yang menganggap bahwa manusia itu hanya dapat berusaha Hasil Penelitian mencari keselarasan dengan alam. Penyikapan 1) Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan manusia terhadap alam ini dapat mewujudkan Tuhan adanya gambaran nilai budaya dalam kaitan Dalam hubungan antara manusia dan manusia dengan alam. Tuhan terdapat tugas dan kewajiban manusia Dalam novel Teuntra Atom ini terdapat terhadap Tuhan. Adapun tugas dan kewajiban beberapa gambaran yang menyatakan hubuntersebut antara lain, (1) keimanan terhadap Tu- gan manusia dengan alam. Gambaran tersebut han, (2) keteringatan manusia terhadap sifat berupa menyapu, memunguti sampah, menjaga Tuhan, (3) ketaatan manusia terhadap Tuhan, lingkungan, dan memperindah alam. Gambaran dan (4) kepasrahan manusia terhadap Tuhan. membersihkan alam (memungut sampah) dapat Dalam novel Teuntra Atom karya Thayeb dilihat pada kutipan berikut ini. Loh Angen terdapat beberapa nilai budaya antara manusia dan Tuhan. Nilai-nilai budaya tersebut Laki-laki gemuk itu memunguti berupa mengaji, berzikir, taat, azan, jujur, salat, sampah-sampah, mencampakkanberdoa, wudu, bersyukur, kepercayaan gaib, taknya ke tunggul kering tepi tebing dir, tanggung jawab, kepatuhan, dan kepasrahan. kuning bekas greder. (halaman 61) Selain tingkah laku di atas, simbol-simbol yang tertulis dalam novel juga dapat menggambar- 3) Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan kan hubungan manusia dengan Tuhan. SimbolManusia simbol tersebut dapat berupa pemberian nama, Dalam kehidupan bermasyarakat itu adat, gambar, atau benda-benda. Berikut ini ku- manusia senantiasa terkait dengan pranata sotipan yang menggambarkan hubungan manusia sial. Pranata sosial itu perlu dipatuhi agar manudengan Tuhan yang tergambar dalam pemakaian sia mendapatkan keharmonisan dalam kehidupan simbol-simbol. bersama. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia adalah nilai yang berTubuhku berlumuran darah ibuhubungan dengan kepentingan para anggota ku, meronta-ronta. Bidan tua masyarakat. mengurut-urut perut ibuku, tali Nilai budaya hubungan manusia dengan pusarku dipotong. Ayahku menamanusia yang terdapat dalam novel Teuntra nam ariku di bawah tangga sesuai Atom berupa membantu orang lain, menyamdengan adat orang daerah kami, paikan amanah, bercanda, memberi pinjaman, namun tidak kusidik mengapa. menyayangi ibu, minta maaf dan memaafkan, (halaman 1) suka terhadap lawan jenis, memberi tumpangan, menghormati tamu, perhatian, musyawarah, ju2) Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan jur, taat atasan, pemurah, sabar, mengajar, siAlam laturahmi, tanggung jawab, dan ramah. Berikut Sikap manusia terhadap alam berma- ini ditampilkan kutipan yang menggambarkan cam-macam sehingga berpengaruh terhadap hubungan manusia dengan manusia dalam hal pandangan budayanya. Menurut Koentjaran- mengajar. ingrat (1997:29), pandangan budaya terhadap alam ada tiga, yaitu (1) kebudayaan yang meAku senang mengajarkan memandang alam itu sebagai sesuatu yang dahreka kendati pun aku belum mesyat sehingga manusia pada hakikatnya hanya nyelesaikan jurus pamungkas. menyerah saja, tanpa berusaha melawannya, (halaman 260) (2) kebudayaan yang memandang alam sebagai
Analisis Nilai-Nilai... (Nur Ismiati) 4) Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri Kita sebagai umat manusia sudah selayaknya berusaha untuk terus menyempurnakan diri. Salah satu caranya adalah dengan mengintrospeksi diri, mengenali diri sendiri, baik kelebihan maupun kekurangannya. Dengan cara ini, kita dapat berusaha untuk mengatasi kekurangan diri sendiri sekaligus mengembangkan kelebihan kita. Dengan demikian, kita akan lebih menyadari eksistensi kita di dunia ini. Kesadaran terhadap eksistensi diri membuat kita mampu menempatkan diri di tengahtengah masyarakat secara tepat dan membuat masyarakat menerima kita. Ada beberapa nilai budaya hubungan manusia dengan diri sendiri yang terdapat dalam novel Teuntra Atom. Nilai-nilai budaya itu adalah menuntut ilmu, berusaha, membersihkan diri, menjaga kesehatan, bekerja keras, menjaga penampilan, bertahan hidup, dan prinsip. Berikut ini akan dijelaskan mengenai nilainilai budaya hubungan manusia dengan diri sendiri dalam hal menuntut ilmu. Aku masuk dayah salafi di kompleks masjid Attaqwa Paloh sejak kelas tiga madrasah ibtidaiyah. Di sana kupelajari bahasa Arab di kitab-kitab nahwu, sharaf, dan kitab-kitab zaman tingkat dasar. (halaman 11) Pembahasan Novel Teuntra Atom merupakan karya pertama Thayeb Loh Angen. Novel ini menceritakan hitam dan putihnya perjuangan seorang kombatan semasa menjadi “pejuang”. Perjalanan tersebut diceritakan semenjak ia kecil, remaja, bergabung dengan kelompok pejuang (ASNLF), hingga perdamaian antara pemerintah dan pejuang terjadi. Gambaran kebudayaan Aceh yang kental merupakan salah satu yang menjadikan novel ini istimewa. Nilai budaya masyarakat Aceh lebih didominasi oleh muatan makna yang berdasar pada ajaran Islam yang kemudian menjadi adat Aceh. Ini telihat pada saat kelahiran tokoh utama, orang tuanya menamakan dia Ir-
75 fan. Dalam hal pemberian nama, masyarakat Aceh selalu memperhatikan makna yang terkandung di dalamnya karena nama merupakan sebuah doa. Makanya, sebelum memberikan nama, masyarakat Aceh pada umumnya akan menanyakan dahulu kepada teungku nama apa yang cocok diberikan kepada sang anak. Selain dalam hal pemberian nama, masyarakat Aceh juga terkenal dalam mempelajari ilmu-ilmu agama salah satunya dengan belajar Alquran. Ini sesuai yang digambarkan oleh Snouck ketika di Aceh dulu. Tingkatan/hierarkhi pendidikan yang dilaksanakan yaitu dengan belajar Alquran terlebih dahulu sebelum belajar agama lebih lanjut. Pembelajaran Alquran merupakan pendidikan dasar yang dilakukan dengan berbagai pendekatan dan metode agar mudah memahami isi dan kandungan Alquran itu sendiri. Novel ini juga memperlihatkan kepada pembaca keserasian antarunsur yang membentuk novel ini. Keteguhan tokoh utama dalam menjalani hidup sebagai seorang pejuang. Keinginannya dalam menuntut ilmu meskipun dalam masa perjuangan karena menuntut ilmu dapat menambah kewibawaan dalam masyarakat, akan lebih dihargai dan dihormati. Dalam perjalanan tersebut sangat banyak dijumpai kisah ketaatan kepada Tuhan, kesetiaan, percintaan, pengorbanan, dan perjuangan hidup. Kisah-kisah tersebut sangat menyentuh dan memiliki nilai-nilai budaya dalam kehidupan. Nilai-nilai budaya tersebut dapat menjadi pijakan untuk memahami nilai-nilai dalam masyarakat. Adapun nilai-nilai budaya yang terdapat dalam novel Teuntra Atom karya Thayeb Loh Angen dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu nilai budaya antara manusia dan Tuhan, nilai budaya antara manusia dan lingkungan, nilai budaya antara manusia dan manusia, dan nilai budaya antara manusia dan dirinya sendiri. Nilai budaya tersebut terlihat dalam berbagai perilaku yang terdapat dalam novel. Nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan terlihat dalam perilaku mengaji, berzikir, taat, azan, jujur, salat, berdoa, wudhu, bersyukur, kepercayaan gaib, takdir, tanggung jawab, kepatuhan, dan kepasrahan. Nilai budaya hubungan manusia dengan alam terlihat
76 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:69−83 pada perilaku menyapu, memungut sampah, menjaga lingkungan, dan memperindah alam. Nilai budaya hubungan manusia dengan manusia terlihat pada perilaku membantu orang lain, menyampaikan amanah, bercanda, memberi pinjaman, menyayangi ibu, minta maaf dan memaafkan, suka terhadap lawan, jenis, memberi tumpangan, menghormati tamu, perhatian, musyawarah, jujur, taat atasan, pemurah, sabar, mengajar, silaturahmi, tanggung jawab, dan ramah. Kemudian, nilai budaya hubungan manusia dengan diri sendiri terlihat pada perilaku menuntut ilmu, berusaha, membersihkan diri, menjaga kesehatan, bekerja keras, menjaga penampilan, bertahan hidup, dan prinsip. Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan Tuhan Nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan merupakan perilaku seseorang yang berhubungan dengan Tuhan. Manusia yang ber-Tuhan selalu menggantungkan hidupnya dalam kekuasaan Tuhan. Ketergantungan manusia pada Tuhan terlihat dari ketaatan (menjalan perintah-Nya), berserah diri, percaya atas kekuasaan-Nya, dan bergantung/ berharap pada Tuhan. Ketaatan yang tergambar dalam novel Teuntra Atom berupa mengaji, berzikir, salat, kepatuhan, wudhu, dan azan. Taat berarti menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Mengaji, berzikir, salat, wudu, dan azan merupakan bentuk menjalankan perintah Allah. Kepatuhan di sini merupakan kepatuhan meninggalkan segala laranganNya. Pada novel ini tergambar bahwa tokoh menjalin hubungan dengan Tuhan. Hubungan tersebut tergambar dari dialog yang menceritakan tokoh dalam novel mengambil air wudu sebelum melaksanakan salat. Si tokoh juga berzikir dan berdoa kepada Tuhan agar selalu mendapat perlindungan. Dalam masyarakat Aceh mengaji diterjemahkan dengan kata beuet. Pergi mengaji diterjemahkan dengan jak beuet. Bagi masyarakat Aceh ‘jak jok beuet’( mengantar ke pengajian) adalah sudah mengadat. Buktinya jak jok beuet itu dilakukan secara resmi dengan suatu tatacara yang sudah mengadat pula. Misalnya,
ketika anaknya diantar dan diserahkan kepada Teungku dilakukan dengan acara peusijuk dan membawa nasi ketan. Di Aceh kegiatan mengaji bukan hanya kegiatan membaca Alquran, melainkan semua kegiatan yang bersifat belajar. Makanya, orang yang pergi ke balèe ‘balai’ untuk membaca kitab (buku-buku karangan ulama [umumnya ditulis dengan tulisan Arab Jawi]) dikatakan jak beuet. Begitu juga dengan halnya berzikir, salat, wudu, dan azan, kegiatan itu merupakan kegiatan yang selalu kita temukan rutinitas keseharian masyarakat Aceh. Kegiatan azan dan wudhu dilakukan sebelum mengerjakan salat. Azan adalah pertanda sudah masuk waktu salat, sedangkan wudhu adalah syarat sahnya salat. Bahkan, pada kasus tertentu azan juga digunakan untuk selain pengingat waktu salat, seperti menolak bencana (tsunami). Istilah zikir (bahasa Aceh: meuratép) juga sangat sering digunakan oleh masyarakat, bukan hanya waktu selesai salat. Ketika mendapat musibah, rezeki, atau mendapat penyakit, masyarakat selalu berzikir. Namun, zikir yang digunakan berbeda-beda sesuai dengan artinya. Bahkan, dalam masyarakat Aceh kita juga sering mendengar hadih maja “Meudo’a watèe cirét, meuratép watèe geumpa” (berdoa ketika mancret, berzikir ketika gempa). Dalam masyarakat Aceh dikenal istilah takzem ke tengku. Istilah ini bermakna bahwa apa-apa yang dikatakan oleh tengku itulah yang benar. Tidak ada yang berani membantah karena tengku merupakan seorang yang ahli dalam bidang keagamaan. Tidak ada seorang pun yang berani bermain-main dengan agama. Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan Alam Hubungan manusia dengan alam merupakan sikap atau kegiatan dalam menjaga, memelihara, dan mengagumi keindahan alam. Manusia memiliki ketergantungan terhadap alam. Ketergantungan tersebut terlihat dari manusia yang memenuhi berbagai kebutuhan hidup dari alam. Agar kebutuhan tersebut selalu terjaga, manusia sudah semestinya selalu menjaga dan memelihara alam. Beberapa contoh yang terlihat dalam
Analisis Nilai-Nilai... (Nur Ismiati) novel ini mengenai hubungan manusia dengan alam adalah menjaga kebersihan, yaitu menyapu dan memunguti sampah. Selain itu, terlihat juga sikap menjaga lingkungan dan memperindah/ melestarikan alam. Menyapu dan memungut sampah adalah sikap dalam menjaga lingkungan agar selalu bersih. Alam yang bersih akan memberi dampak yang nyaman terhadap manusia. Manusia akan merasa betah berlama-lama di dalamnya. Membersihkan sarang laba-laba juga termasuk dalam menjaga kebersihan lingkungan. Namun, membersihkan sarang laba-laba lebih identik dengan menjaga keindahan rumah atau tempat tinggal agar tidak terlihat semak. Begitu juga dengan buang air kecil pada tempatnya merupakan sikap dalam menjaga kebersihan. Kotoran yang dibuang sembarangan dapat mempengaruhi alam yang mengakibatkan udara yang bau. Menjaga lingkungan memiliki hubungan timbal balik antara lingkungan dan manusia. Manusia menjaga kebersihan lingkungan dan lingkungan akan memberikan kesejukan, kenyamanan, dan udara yang bersih untuk manusia. Jadi, sikap menjaga lingkungan dapat memberi dampak bagi manusia sendiri. Selain yang tergambar dari dalam novel, kehidupan masyarakat Aceh yang berhubungan dengan kebersihan dapat juga kita lihat dalam kehidupan nyata. Masyarakat Aceh setiap hari Jumat biasanya mengadakan gotongroyong membersihkan kampung sehingga ada yang menyebutkan dengan Jumat bersih. Hari Jumat diadakan gotong-royong karena Jumat merupakan hari untuk salat Jumat berjamaah. Jadi, sebelum melaksanakan salat, lingkungan harus bersih agar pelaksanaan Jumat menjadi nyaman. Selanjutnya, nilai budaya hubungan manusia dengan alam yang terdapat di dalam novel ini berupa sikap memperindah alam. Memperindah alam dalam novel ini terlihat ketika seorang anggota pejuang membersihkan rumput, si Khadijah yang membersihkan ilalang, dan banyaknya bunga-bunga yang ditanam untuk menambahkan keindahan. Rumput yang tumbuh menyebabkan alam menjadi tidak enak dipandang. Alam akan
77 terkesan semak dan berantakan. Oleh karenanya, rumput-rumput dan ilalang harus dibersihkan agar alam terlihat indah. Begitu juga dalam menjaga keindahan alam, jika kita melihat kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Aceh, masyarakat Aceh selalu menjaga keindahan alam hingga memiliki begitu banyak aturan yang menyangkut dengan alam (adat glé). Sebagai contoh, ketika seseorang membuka ladang, orang tersebut dilarang ceumeucah (menebas semak) dalam hujan karena kegiatan tersebut dapat mendatangkan hama belalang (Zuheimi, 2013:1). Kemudian, makna dari simbol-simbol yang dipakai dalam novel Teuntra Atom juga dapat ditafsirkan sebagai hubungan manusia dengan alam. Simbol rumah panggung, tanaman bonsai, gambar hewan dan tumbuhan, dan aroma bunga merupakan bentuk manusia memiliki hubungan dengan alam. Berikut ini kutipan yang menggambarkan hubungan tersebut. Rumah panggung merupakan rumah khas masyarakat Aceh. Rumah panggung (rumoh Aceh) bukan sekadar tempat hunian, melainkan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Melalui rumah panggung, kita dapat melihat budaya, pola hidup dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumah yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku, tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, bertap rumbia, dan tidak menggunakan paku, rumah panggung ini dapat bertahan hingga 200 tahun (Dunia Melayu Sedunia, 2007:1). Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan Manusia Dalam novel ini sangat banyak tergambar hubungan manusia dengan manusia. Memang, manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri tanpa berdampingan/berinteraksi dengan manusia lainnya. Sikap-sikap yang ter-
78 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:69−83 dapat dalam interaksi tersebut merupakan nilainilai budaya antara sesama manusia. Nilai-nilai budaya hubungan manusia dengan manusia yang terdapat dalam novel ini tergambar dari sikap saling membantu, bercanda, menyayangi, saling memaafkan, mencintai sesama, menghormati/menjaga sikap terhadap sesama, bermusyawarah, dan silaturahmi. Berikut ini penulis gambarkan nilai-nilai hubungan manusia dengan manusia yang terkandung dalam novel tersebut. Nilai budaya hubungan manusia dengan manusia yang pertama berupa saling membantu. Sikap ini merupakan sikap yang sudah semestinya dimiliki oleh setiap manusia karena manusia tidak mungkin dapat hidup sendiri tanpa mendapat bantuan dari orang lain. Memboncengi orang lain juga terlihat dalam gambaran novel tersebut. Ia sering memboncengi pemuda yang keluar masuk markas latihan karena jarak dari markas ke jalan utama sangat jauh. Nilai budaya lainnya juga terlihat dari kesetiakawanan. Ia membantu temannya agar temannya tersebut ditempatkan di barak yang tepat. Nilai budaya selanjutnya berupa membantu orang lain dalam bentuk mengajar. Manusia yang terlahir pasti tidak memiliki kemampuan apa pun. Ia harus diajarkan agar mampu hidup dan menjalani kehidupan. Oleh karena itu, proses mengajar ini merupakan hal yang penting dalam hubungan manusia dengan manusia. Saling membantu memang merupakan budaya Aceh yang selalu tertanam dalam jiwa masyarakat Aceh. Sebagai contoh, kita sering melihat, di Aceh, ketika ada sebuah musibah (kematian), acara syukuran, atau perkawinan, beramai-ramai warga saling membantu. Bahkan, pada pesta perkawinan beberapa malam sebelumnya dibentuk panitia yang mengurusi bidang-bidang tertentu. Malahan, jika melihat nilai yang diwariskan oleh indatu dalam hal saling membantu ini, indatu telah menanamkannya melalui sebuah hadih maja yang berbunyi “Ureung deuk tabri bu, ureung grah tabri ie” (orang lapar berikanlah nasi, orang haus berikanlah air) (Harun, 2009:224). Dalam hubungan manusia dengan ma-
nusia, nilai budaya selanjutnya terlihat dari sikap bercanda dengan sesama. Sebagai manusia yang hidup dalam bermasyarakat, tentunya, kita akan berinteraksi satu sama lainnya. Interaksi tersebut tidak mungkin hanya sebatas komunikasi yang serius, tetapi dibarengi dengan candaan agar suasana tidak tegang. Sifat menyayangi sesama manusia juga merupakan sikap yang pasti ada dalam jiwa manusia apalagi rasa sayang terhadap orang tua. Bagaimana mungkin manusia tidak menyayangi orang tuanya walaupun orang tuanya tidak merestui perilaku anaknya. Menyayangi orang tua merupakan hal yang diharuskan dalam masyarakat Aceh. Orang tua di dalam konteks ini bukan hanya orang tua kandung, melainkan juga orang tua yang usianya lebih tua dari pelaku (atau yang telah dianggap sebagai orang tua kandung). Saking sayangnya si anak terhadap orang tua, jika ada orang yang menghina orang tuanya, ia rela bertarung, bahkan hingga mati. Hal ini juga ada diungkapkan dalam novel ini. Dalam hadih maja juga terlihat nilainilai yang mengecam jika kita tidak menyayangi orang tua, yaitu “Yôh jibajék bèk tupé heumpah, ‘oh jeuet keu panah lupa guna ma” (semasa putik jangan tupai makan, setelah jadi nangka lupa guna ibu). Dalam hadih maja lain, lebih ditekankan lagi bagaimana perumpamaan kepada anak yang tidak menyayangi orang tua “Aneuk hana dengö bang” (anak tidak dengar azan) (Harun, 2009:195-197). Sebagai manusia yang bermasyarakat, manusia pernah berbuat kesalahan terhadap sesama. Kesalahan tersebut dapat berupa kesalahan yang sengaja dilakukan ataupun kesalahan yang tidak sengaja. Akan tetapi, semuanya itu akan terlupakan jika sesama manusia saling memaafkan. Dengan sikap memaafkan, hubungan sesama manusia tetap harmonis dan rukun. Sikap inilah yang merupakan salah satu nilai budaya yang selalu ada dalam masyarakat, seperti dalam hadih maja, “Pat ranup nyang hana mirah, pat peuneurah nyang hana bajo, pat tuto nyang hana salah, hana bak awai teuntè na bak dudoe” (Sisadit, 2013:1). Dalam jiwa manusia yang sempurna pasti terdapat rasa suka/cinta terhadap lawan
Analisis Nilai-Nilai... (Nur Ismiati) jenis. Rasa suka atau cinta terhadap lawan jenis ini juga tergambar dalam berbagai kutipan dalam novel ini. Rasa tersebut merupakan nilai yang berhubungan antara sesama manusia. Rasa suka/cinta dapat muncul karena kecocokan antara sesama, baik kecocokan dalam bentuk kecocokan berinteraksi, kecocokan pekerjaan maupun kecocokan dalam perbuatan. Rasa suka/cinta juga tergambar dalam novel ini. Selanjutnya, nilai budaya hubungan manusia dengan manusia yang terdalam gambar dari novel ini berupa sikap menghormati/ menjaga sikap terhadap sesama. Menghormati merupakan sikap menghargai, mendengarkan, dan melaksanakan pendapat atau perbuatan orang lain. Menghormati juga dapat diartikan sikap menganggap orang lain itu ada. Selain menghormati, nilai menjaga sikap terhadap sesama juga dapat kita temukan dalam novel tersebut. Kita harus bertutur dengan sopan, tidak boleh menyakiti hati orang lain. Jika kita menjaga sikap terhadap orang lain, orang lain juga akan menjaga sikap kepada kita. Kita akan dihormati jika menjaga sikap. Bukti menghormati/menjaga sikap terhadap sesama terlihat dalam setiap tingkah laku dalam masyarakat, seperti agak menundukkan badan jika berpapasan/melewati orang. Memberi salam setiap memasuki kampung jika berjumpa dengan orang lain. Bahkan, dalam penggunaan bahasa juga (tergantung ragam) terlihat berbagai penghormatan, seperti pemakaian gopnyan, geuh, teungku, atau droenueh untuk yang lebih tua. Pemakaian-pemakaian bahasa Aceh oleh masyarakatnya yang menggambarkan rasa menghormati/menjaga sikap dalam kehidupan bermasyarakat juga terlihat dalam berbagai hadih maja. Selain itu, dalam lagu kutipan lagu Rafly juga sering kita dengar “Tameututô bèk leupah-leupah. Peulara lidah yôh goh binasa” (Rafly dalam lagu Peulara Lidah). Kemudian, dalam hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat ada nilai budaya yang tidak pernah bisa hilang, yaitu musyawarah. Musyawarah adalah sikap menemukan titik terang dengan mengambil kesepakatan yang bersumber dari berbagai pendapat. Musyawarah merupakan metode yang paling
79 jitu dalam menyelesaikan permasalahan. Begitu juga yang terlihat dalam novel ini, si ibu bermusyawarah dalam mencari jalan keluar antara hubungan Irfan dan Aina. Bermusyawarah di Aceh memang sudah dikenal sejak zaman dahulu. Hal ini terlihat dari berbagai macam susunan struktur pemerintahan yang menggambarkan pentingnya musyawarah. Kita ambil contoh, dalam sebuah gampông (desa) ada geuchik, tuha peuet, tuha lapan, dan imum meunasah. Masing-masing struktur ini memiliki peran dalam masyarakat untuk menjaga keselarasan. Sebagai contoh, jika dalam sebuah desa terjadi sebuah pertikaian (sengketa), struktur pemerintahan ini (tuha peuet, geuchik, dll.) akan mengadakan musyawarah dalam mengambil kebijakan (Qanun No. 5, Tahun 2003). Selanjutnya, nilai budaya hubungan manusia dengan manusia tergambar ketika kedatangan tamu ke sebuah rumah. Masyarakat Aceh sangat menghormati tamu yang datang berkunjung ke rumahnya, siapa saja tamu itu pasti disambut dengan gembira dan disuguhkan apa saja yang tersedia di rumahnya. Tuan rumah senantiasa menampakkan wajah senang dan tutur yang sopan dan melayani tamu sebagaimana mestinya. Nilai budaya hubungan manusia dengan manusia terakhir yang tergambar dalam novel ini adalah silaturahmi/menjalin hubungan. Manusia harus selalu bersatu, bersaudara, atau bersahabat agar sesama manusia dapat saling merasakan kesenangan atau kesedihan sesama. Sikap silaturahmi ini sangat penting dijaga agar manusia tidak terlepas ikatannya. Dengan silaturahmi juga, kita dapat mendekatkan persaudaraan yang sudah renggang/jauh dan dapat meruntuhkan anggapan-anggapan negatif terhadap sesama. Bahkan, dalam hadih maja disebutkan “Paléh ôn u hana meupuréh, paléh waréh hana meuhaba” (celaka daun kelapa tidak berlidi, celaka waris tidak saling bicara). Bentuk silaturahmi ini dapat berupa saling mengunjungi, bertemu sapa, atau hanya sekadar senyuman. Jadi, nilai budaya hubungan manusia dengan manusia yang berupa silaturahmi ini sangat perlu dijaga. Dari segi simbol yang terdapat dalam
80 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:69−83 novel, kita juga dapat melihat hubungan antara manusia dan manusia. Simbol-simbol tersebut mencerminkan sikap kesopanan manusia dalam menjaga pandangan, yaitu pada kutipan “Sumur berpagar seng...”. Kemudian, simbol pintu berwarna kuning menyiratkan makna ketangguhan dalam masyarakat. Terakhir, gambar naga mencerminkan bahwa dahulu masyarakat kita memiliki kerukunan dengan bangsa-bangsa lain, terutama bangsa Cina. Masalah warna kuning yang dikaitkan dengan ketangguhan berdasarkan nilai-nilai yang terdapat dalam kasab (layar dalam adat Aceh). Kasab tersebut terdiri dari 4 warna khusus, seperti pada tirèe atau tirai yang membentang beludu polos secara vertikal antara warna kuning, merah, hijau, dan hitam. Keempat warna tersebut mewakili status sosial masyarakat tradisional Aceh, mulai dari kuning yang melambangkan raja, merah sebagai hulubalang atau panglima, hijau sebagai ulama, dan hitam sebagai rakyat jelata (Amien, 2013:1). Selanjutnya, gambar naga menyimbulkan bahwa masyarakat Aceh sejak dulu sudah menjalin kerukunan dengan bangsa lain. Naga merupakan lambang bangsa Cina. Berarti, zaman dulu bangsa Cina sudah menjalin hubungan dengan Aceh. Oleh sebab itu, tidak salah jika dalam sejarah ada yang menyebutkan bahwa Laksamana Cheng Ho pernah tiga kali singgah ke Aceh. Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri Nilai-nilai budaya hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang tergambar dalam novel ini dapat dikategorikan dalam menuntut ilmu, keberlangsungan hidup, menjaga diri. Menuntut ilmu berarti menjadikan diri sendiri lebih mengetahui segala sesuatu atau menambah wawasan/ilmu. Menjadikan diri lebih terarah, terampil, dan terkendali. Mengubah dari yang tidak tahu menjadi tahu. Dalam novel Teuntra Atom disebutkan ilmu-ilmu apa saja yang dipelajari oleh si tokoh, yaitu ilmu nahwu, sharaf, dan kitab-kitab lainnya. Ilmu-ilmu itu umumnya berupa ilmu agama karena ia menuntut ilmu di madrasah ibtidaiyah. Kemudian, efek dari nilai menuntut
ilmu juga digambarkan dalam novel ini, yaitu seorang yang menuntut ilmu dapat menambah kewibawaannya dalam masyarakat. Ia akan lebih dihargai dan dihormati. Dalam konteks tersebut banyak dijelaskan menuntut ilmu yang berhubungan dengan keagamaan. Penggambaran itu memang karena Aceh yang terkenal dengan syariat Islam atau Serambi Mekah. Menuntut ilmu di sekolah umum lebih identik dengan kepintaran atau dunia, sedangkan di sekolah agama lebih identik dengan kealiman atau akhirat. Hal tersebut sesuai dengan hadih maja “Meunabsu keu carong tajak bak guru, meunabsu keu malém tajak bak teungku” (jika ingin pintar belajarlah pada guru, jika ingin alim belajarlah pada teungku) (Harun, 2009:108). Bukti nyata lain pentingnya menuntut ilmu dalam masyarakat Aceh terlihat dari banyaknya jumlah dayah (sekolah agama). Hampir setiap pelosok Aceh memiliki dayah. Setiap dayah memiliki ratusan santri yang menuntut ilmu. Selain dayah, tempat menuntut ilmu yang lebih kecil disebut dengan balèe (balai). Balèe ini bahkan jumlahnya lebih banyak lagi dari dayah. Setiap kampung ada yang memiliki lebih dari satu balèe. Namun demikian, antara dayah dan balèe memiliki perbedaan. Santri di dayah, umumnya, tinggal di asrama dan mereka belajar dari pagi hingga malam. Kalau santri di balèe, mereka, umumnya, hanya belajar di waktu malam (setelah magrib). Selanjutnya, manusia dalam mempertahankan hidupnya harus selalu berusaha dan mempertahankan prinsip yang benar. Berusaha adalah nilai budaya manusia terhadap dirinya. Dengan berusaha berarti ia ingin dirinya tetap bertahan dalam menjalankan segala cobaan. Sikap berusaha yang terdapat dalam novel ini digambarkan dalam sikap kesungguhan/berusaha dalam mencari nafkah, menuntut ilmu, dan mempertahankan prinsip. Umumnya, apa pun akan manusia lakukan untuk mempertahankan hidupnya. Salah satunya adalah berusaha mencari nafkah, menuntut ilmu, dan mempertahankan prinsip. Usaha-usaha itu sangat tertanam dalam kepribadian masyarakat Aceh pada umumnya. Ma-
Analisis Nilai-Nilai... (Nur Ismiati) syarakat rela pergi jauh dari kampung halaman untuk mencari nafkah atau ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Kemudian, tetap mempertahankan prinsip (salah satunya dalam hal beragama) walaupun jauh dari kampung halaman. Prinsip juga diartikan dapat memilah antara kebutuhan dan kemauan, hak dan kewajiban. Kebersihan adalah sebagian d ari iman. Begitulah yang diajarkan agama. Kebersihan yang dimaksud di sini adalah kebersihan yang berhubungan dengan diri sendiri. Kebersihan diri dalam novel ini memuat aspek menjaga kebersihan diri, menjaga kesehatan, dan menjaga kerapian. Menjaga kebersihan diri merupakan sebuah nilai budaya yang sudah tertanam dalam jiwa manusia. Manusia yang tidak menjaga kebersihan, di dalam masyarakat, dapat dikategorikan orang yang kurang normal, seperti badannya kotor, tangannya tidak dicuci sebelum makan, dan pakaiannya kotor. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri itu merupakan nilai budaya yang sangat berpengaruh dalam mencitrakan diri di masyarakat. Pencitraan inilah yang menyebabkan munculnya berbagai tamsilan dalam masyarakat Aceh jika menjumpai seseorang yang tidak menjaga kebersihan. Salah satu tamsilannya adalah “Lagèe ureueng pajôh boh panah” (seperti orang makan buah nangka) atau “Bèe lagèe bèe kamèng landôk” (bau seperti bau kambing bandot) (Harun, 2009:162-163). Gambaran nilai budaya hubungan manusia dengan diri sendiri juga terdapat dalam novel ini. Selain menjaga kebersihan diri, menjaga kesehatan juga merupakan nilai budaya hubungan manusia dengan dirinya. Manusia yang sehat dapat melakukan berbagai kegiatan, begitu juga sebaliknya. Makanya, kesehatan ini menjadi patokan untuk seseorang dalam melakukan suatu kegiatan. Nilai budaya lainnya yang berhubungan dengan diri sendiri adalah menjaga penampilan/kerapian. Penampilan adalah faktor yang menjadi daya tarik/pemikat terhadap seseorang. Penampilan yang rapi, pakaian yang rapi, sepatu yang mengkilap dapat menambah percaya diri dalam bermasyarakat. Kebersihan sangat erat hubungannya
81 dengan kesehatan dan kerapian. Seseorang yang bersih, kemungkinan juga sehat dan rapi. Dalam masyarakat Aceh orang yang tidak rapi dalam berpakaian sering dikatakan lagèe ureueng pungo (seperti orang gila). Perkataan tersebut karena umumnya orang gila selalu tidak rapi dalam berpakaian, bahkan ada yang tidak lengkap pakaiannya. Kemudian, jika kita melihat dalam hadih maja, ada juga disinggung tentang kerapian ini. Dalam hadih maja, jika orang yang tidak rapi dikatakan “Lagèe iték woe di paya” (seperti itik pulang dari rawarawa). Bebek yang pulang dari rawa, pastinya akan kotor dengan lumpur-lumpur. Pada novel ini juga terdapat sebuah simbol yang mencerminkan hubungan manusia dengan dirinya. Simbol tersebut berupa menjaga diri agar selalu menjalankan perintah agama, yaitu menutup aurat. Memakai jilbab merupakan bentuk menjaga aurat agar tidak terlihat oleh orang lain. Sebagai masyarakat yang bersyariat (Aceh), jilbab adalah benda yang selalu digunakan jika bepergian atau keluar rumah. Makanya, jika ada anak perempuan yang keluar rumah tanpa berjilbab (menutup aurat), masyarakat sering menyebutnya bukan masyarakat Aceh. Penutup Novel Teuntra Atom merupakan karya pertama Thayeb Loh Angen. Novel ini menceritakan hitam dan putihnya perjalanan perjuangan seorang kombatan semasa menjadi “pejuang”. Dalam perjalanan tersebut sangat banyak dijumpai kisah ketaatan kepada Tuhan, kesetiaan, percintaan, pengorbanan, dan perjuangan hidup. Kisah-kisah tersebut sangat menyentuh dan memiliki nilai-nilai budaya dalam kehidupan. Nilai-nilai budaya tersebut dapat menjadi pijakan dalam memahami nilai-nilai dalam masyarakat. Adapun nilai-nilai yang terdapat dalam novel Teuntra Atom karya Thayeb Loh Angen dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu nilai budaya antara manusia dan Tuhan, nilai budaya antara manuasia dan lingkungan, nilai budaya antara manusia dan manusia, dan nilai budaya antara manusia dan dirinya sendiri. Ketergantungan manusia pada Tuhan terlihat dari keta-
82 Master Bahasa Vol. I No. 2; Juli 2013:69−83 atan (menjalan perintah-Nya), berserah diri, percaya atas kekuasaan-Nya, dan bergantung/ berharap pada Tuhan. Nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan yang tergambar dalam novel Teuntra Atom berupa mengaji, berzikir, salat, kepatuhan, wudu, dan azan. Taat berarti menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Mengaji, berzikir, salat, wudu, dan azan merupakan bentuk menjalankan perintah Allah. Kepatuhan di sini merupakan kepatuhan meninggalkan segala larangan-Nya. Nilai budaya hubungan manusia dengan alam terlihat pada perilaku menjaga kebersihan, yaitu menyapu dan memunguti sampah. Selain itu, terlihat juga sikap menjaga lingkungan dan memperindah/melestarikan alam. Selanjutnya, nilai budaya hubungan manusia dengan alam yang terdapat di dalam novel ini berupa sikap memperindah alam. Memperindah alam dalam novel ini terlihat ketika seorang anggota pejuang membersihkan rumput, si Khadijah yang membersihkan ilalang, dan banyaknya bunga-bunga yang ditanam untuk menambahkan keindahan. Nilai budaya hubungan manusia dengan manusia berupa saling membantu, bercanda dengan sesama, menyayangi sesama manusia, saling memaafkan, rasa suka/cinta terhadap lawan jenis, sikap menghormati/menjaga sikap terhadap sesama, musyawarah, dan silaturahmi. Nilai-nilai budaya hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang tergambar dalam novel ini dapat dikategorikan dalam menuntut ilmu, keberlangsungan hidup, menjaga diri. Menuntut ilmu berarti menjadikan diri sendiri lebih mengetahui segala sesuatu atau menambah wawasan/ilmu. Menjadikan diri lebih terarah, terampil, dan terkendali. Mengubah dari yang tidak tahu menjadi tahu. Keberlangsungan hidup berarti berusaha agar hidup menjadi lebih bermakna. Kemudian, menjaga diri merupakan sikap menjaga agar terhindar dari hal-hal yang bersifat negatif.
DAFTAR PUSTAKA Amien, Rahmat. 2013. Khasab Sulaman Khas Aceh. Online. http://rahmatscorner.blogspot. com. Diakses tanggal 5 Mei 2013 Angen, Thayeb Loh. 2009. Teuntra Atom. Banda Aceh: Center for Aceh Justice and Peace. Djamaris, Edwar,dkk. 1993. Sastra Daerah di Sumatra Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dunia Melayu Sedunia. 2007. Rumoh Aceh. http://melayuonline.com. Diakses tanggal 5 Mei 2013 Harun, Mohd. 2009. Memahami Orang Aceh. Bandung: Citapustaka Media Perintis. Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Moeliono, Anton M. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan OrangOrang Berbeda Budaya. Bandung: Rosakarya. Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada. Nur, Aslam. 2012. Rabbani Wahid Bentuk Seni Islam di Aceh. Banda Aceh: Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh.
Analisis Nilai-Nilai... (Nur Ismiati)
83
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika Teori Sisadit. 2013. Hadih Maja (Peribahasa Aceh). Online. http://sisadit.blogspot.com. Baru Mengenai Interpretasi, Terjemahan Diakses tanggal 10 Mei 2013 oleh Masnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik Sebuah Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Nomor 5, Tahun 2003, tentang Pemerintahan Gampong dalam Provin- Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. si Nanggroe Aceh Darussalam Rafiek, M. 2010. Teori Sastra Kajian Teori dan Zaidan, Abdul Razak,dkk. 1997. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Puataka. Praktik. Bandung: Refika Aditama. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar