Ideologi Budaya Jawa dalam Novel Genduk Duku Karya YB Mangunwijaya Sri Muryati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo, Jl. Letjen Sujono Humardani 1 Jombor Sukoharjo 57512, Telp. 0271593156, HP 085647198449, surrel srimuryati
[email protected] Abstrak Penelitian ini membahas ideologi budaya Jawa dalam novel Genduk Duku karya YB Mangunwijaya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Ideologi budaya Jawa yang diteliti berdasarkan karakter tokoh Genduk Duku dan Slamet yang teraktualisasikan dalam pikiran, perilaku, sikap, dan nilai baik yang tersurat maupun dalam novel. Ideologi budaya Jawa merupakan suatu kesatuan terikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun religi yang mendasari kehidupan anggota masyarakat. Ideologi budaya Jawa terbentuk dari penggabungan pikir Jawa tradisional, kepercayaan Hindu atau filsafat India, dan ajaran tasawuf Islam yang aktualisasinya memiliki corak warna yang beragam dalam masyarakat. Pada hakikatnya orang Jawa memiliki pandangan hidup rela, narima ing pandum, sepi ing pamrih rame ing gawe, temen, sabar atau lapang dada, berbudi luhur, tirakat, dan bersyukur. Dalam novel Genduk Duku ditemukan ideologi budaya Jawa dan dimiliki oleh tokoh Genduk Duku dan Slamet yaitu sepi ing pamrih rame ing gawe, narima ing pandum, temen, berbudi luhur, tirakat, pasrah, dan rela. Kata-kata kunci: ideologi budaya Jawa, novel, karakter tokoh, penelitian kualitatif.
Pendahuluan Ideologi atau gagasan mengenai dunia dan manusia yang dianggap ideal, pencarian sekaligus pembahasan mengenai ideologi budaya penting untuk dikaji karena berkaitan dengan aktualisasinya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui aspek ideologi budaya dapat ditelusuri bangunan ideologi budaya yang ingin diperjuangkan oleh pengarang lewat karya sastra. Gagasan-gagasan pengarang dapat menjadi suatu kebaruan, dunia baru yang mampu mempengaruhi perilaku masyarakat, membuka cakrawala luas tentang manusia. Menurut Kleden (dalam Satoto, 2000: 143) sebuah cerita dapat saja melukiskan jiwa seorang individu, tetapi situasi kejiwaan tersebut dapat merupakan metaphor untuk keadaan tempat tokoh bersangkutan hidup. Dengan demikian , keseluruhan lingkungan ideologi budaya yang dibangun melalui karyanya merupakan cermin dari kondisi sosial ideologi budaya suatu masyarakat. Novel Genduk Duku karya YB Mangunwijaya merupakan novel sejarah yang menceritakan kehidupan masyarakat pada zaman Kerajaan Mataram dengan rajanya Sultan Agung. Novel ini penuh dengan aspek sosial budaya yang sekaligus mencerminkan ideologi budaya Jawa. Gambaran manusia Jawa yang ada dalam novel ini dapat dikaitkan dan bahkan merupakan cerminan ideologi budayanya. Bagi orang Jawa memahami novel ini tidak sulit walaupun terdapat istilah-istilah budaya Jawa. Demikian juga bagi selain etnik Jawa dapat memahaminya karena sudah ada penjelasan makna istilah-istilah budaya Jawa dalam bentuk catatan kaki. Tokoh utama novel Genduk Duku yaitu Genduk Duku adalah wanita Jawa yang memiliki keinginan, cita-cita, harapan, dan gambaran dunia yang diinginkannya. 129
No.2 / Volume 22 / 2013 WIDYATAMA Keinginan dan cita-cita tersebut diaktualisasikan dalam sikap, perilaku, usaha, dan doanya dalam keseharian hidupnya. Hal itu dilakukannya dalam bentuk pengabdiannya tidak hanya sebagai abdi Rara Mendut, tetapi lebih sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat Jawa. Dia bisa dikatakan sebagai pejuang, dan emansipasi wanita pada zamannya. Genduk Duku menolak aturan keraton yang berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat terutama wanita yang dianggap merupakan semacam lambang kekayaan kerabat keraton. Karena pada hakikatnya perempuan adalah manusia juga seperti laki-laki memiliki pendapat, pikiran, kemauan untuk merdeka, menentukan sendiri nasib yang berkaitan dengan masa depan dirinya. Kira-kira begitu kemauan Duku tokoh novel Genduk Duku. Dia sebagai wanita pesisir mempunyai watak, dan perilaku yang lebih dinamis, merdeka, terus terang, dan apa adanya. Sebagai orang yang pernah mengikuti Rara Mendut sampai di Wirogunan, ia telah berhubungan dengan beberapa kerabat keraton termasuk isteri Wiroguna.Kerinduannya pada orang-orang yang telah menolong, dan memberi petunjuk dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi membuat Genduk Duku selalu berkaitan dengan kerabat keraton. YB Mangunwijaya dengan Burung-burung Manyar, Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, dan Durga Umayi menghadirkan dunia Jawa dengan berbagai persoalannya. Budaya Jawa yang identik dengan dunia wayang, burung perkutut, keris, katuranggan, narima ing pandum, pasrah, lega lila, dan hal-hal yang supernatural seolah-olah mengisi hidup kembali dalam panggung sejarah kesusastraan Indonesia modern. Dunia Jawa yang terkenal dengan sekuler, harmoni, dan segala tindak-tanduknya dalam kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi tampak jelas terefleksi dalam karya sastra Indonesia modern (Santosa, 2002: 9). Latar belakang sosial budaya pengarang banyak memperngaruhi dan ikut mewarnai corak cipta sastra yang dihasilkannya. YB Mangunwijaya yang memiliki kedekatan dengan kaum pinggiran sangat mudah dalam menceritakan tokoh-tokohnya. Tokoh yang dihadirkan dalam novel-novelnya menggambarkan kehidupan orang-orang yang tertindas dan berjuang untuk mendapatkan kemerdekaannya. Ketertindasan tokoh disebabkan oleh dominannya kekuasaan, kemiskinan, juga kurangnya pendidikan. Karya sastra memberikan manfaat bagi manusia karena karya sastra bisa mengandung gagasan yang dapat memberi makna pada manusia dan kehidupannya. Seperti yang diungkapkan oleh Wellek dan Waren (1990: 15) bahwa karya sastra yang baik bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan segi estetiknya, tetapi juga dilihat dari kebermanfaatan karya tersebut bagi pembaca dan kehidupannya. Karya sastra merupakan proses kreatif pengarang, dapat memberikan kekayaan batin, membersihkan jiwa kepada pembacanya, bukan sekedar kata yang rancak (Sumanto dalam Jatman, 1985: 96). Seorang pengarang harus memiliki daya kreativitas yang luas dan kompleks karena ia harus memadukan antara faktor kehidupan dan imajinasi. Oleh karena itu penting sekali bagi seorang pengarang untuk memiliki pandangan dan pengetahuan yang luas tentang berbagai masalah. Genduk Duku karya YB Mangunwijaya merupakan novel yang sarat tentang aspek sosial budaya, ajaran religius, moral, maupun pendidikan. Keluasan wawasan pengarang tentang kehidupan rakyat kecil, raja dan kerabatnya, bidang-bidang politik, kelangenan (kesenangan),religius, sosial tergambar secara gamblang dalam novel. Sastra selalu berkaitan dengan kenyataan sosial, karya sastra diciptakan oleh manusia dan manusia adalah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Status sosial yang disandang oleh setiap anggota masyarakat akan menentukan perannya dalam masyarakat tempat mereka berada. Dalam novel Genduk Duku peran tokohnya 130
WIDYATAMA
Sri Muryati. Ideologi Budaya Jawa dalam Novel Genduk Duku Karya YB Mangunwijaya....
tergambar jelas adanya gambaran dan cita-cita sosial budaya yang ada dalam masyarakat khususnya Jawa Tengah. Sapardi Djoko Damono (1978: 1) menyatakan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Pengertian kehidupan di sini mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia, antarperistiwa, dan hubungan antara masyarakat dan orang seorang yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakatnya. Kata novel berasal dari bahasa Latin novellus yang dibentuk dari kata novus yang berarti baru (Waluyo, 1986: 224). Sedangkan Yasin (1983: 78) berpendapat bahwa novel mencerminkan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang, luar biasa karena dari kejadian itu terlahir suatu konflik pertikaian yang mengubah jurusan nasib mereka. Suatu peralihan jurusan seolah-olah seluruh kehidupan mereka memadu. Pendapat tersebut memberi gambaran bahwa novel lebih melukiskan kehidupan sesaat, dan dalam novel berisi peruubahan jalan hidup pelaku-pelakunya. Novel melukiskan pengolahan jiwa yang mengakibatkan perubahan jalan nasib pelakunya. Bagaimanapun juga novel, isinya bertolak dari kehidupan nyata, walaupun sudah diolah dengan imajinasi pengarang. Arti luas novel adalah cerita dalam bentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran luas di sini dapat berarti cerita dengan plot yang kompleks, karakter yang banyak, suasana cerita yang beragam pula. Namun ukuran yang luas ini tidak mutlak demikian, mungkin yang luas salah satu unsur fiksinya saja, misalnya tema, sedangkan karakter, setting dan lain-lainnya hanya satu. Menurut Murdsal Esten (1990: 12) bahwa novel sebagai salah satu jenis karya sastra yang menggunakan fragmen kehidupan manusia yang ada di dalamnya tampak konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan perubahan jalan hidup bagi para pelakunya. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel adalah karya sastra prosa yang berisi fragmen kehidupan manusia yang luar biasa sehingga menimbulkan konflik dan mengubah nasib tokoh. Karya sastra meliputi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Analisis karya sastra yang didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra terjadi dari unsur-unsur pembentuk yang bersistem disebut analisis struktural. Antara unsur yang satu dengan yang lain terjadi hubungan timbal balik yang saling menentukan. Dalam pengertian ini Aminudin (1987: 33) melihat adanya rangkaian kesatuan dalam struktur karya sastra yang meliputi tiga ide dasar. Ketiga ide dasar itu adalah ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri. Struktur karya sastra itu berisi gagasan transformasi, dalam arti struktur itu tidak statis. Struktur itu mampu melakukan proses-proses transformasioanal, di mana bahanbahan baru diproses dengan prosedur dan melalui prosedur itu. Struktur itu tidak memerlukan bantuan dari luar dirinya untuk mensyahkan prosedur transformasinya. Unsur-unsur novel terdiri atas alur, penokohan, tema dan amanat, setting, dan sudut pandang. Alur atau plot menunjukkan usaha pengarang dalam menyusun cerita untuk memunculkan tema, membeberkan ide serta menyampaikan ide serta menyampaikan amanat kepada pembaca. Alur merupakan bagian integral sebuah cerita, tanpa alur sebuah cerita tidak lebih dari deretan fakta dan data yang mati dan kaku. Karakter dan perwatakan dalam cerita berbeda dengan perwatakan manusia senyatanya. Apa yang digambarkan dalam cerita adalah wayak dalam garis-garisnya yang jelas. Inilah sebabnya watak-watak tang abadi dalam khasanah sastra adalah watak-watak WIDYATAMA
131
No.2 / Volume 22 / 2013 WIDYATAMA yang keras. Watak yang diciptakan pengarang dapat dipertanggungjawabkan betapapun memukaunya (Sumardjo, 1987: 9). Tema merupakan ide sentral sebuah cerita dan bersifat netral artinya belum mempunyai tendensi memihak, karena ia masih merupakan persoalan. Sedangkan amanat adalah pesan pengarang yang disampaikan lewat karyanya sebagai alternative dari pemecahan permasalahan atau jawaban masalah. Latar adalah waktu, tempat, dan lingkungan soial terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar soial dapat berwujud adat istiadat, pandangan hidup, keyakinan, dan sebagainya. Orang Jawa secara umum dapat digambarkan sebagai orang yang berbahasa Jawa, tinggal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan yang lekat terikat satu sama lain oleh normanorma hidup karena sejarah, tradisi, maupun religinya. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat adalah kekeluargaan. Hidup kekeluargaan mewujudkan hidup bersama dalam masyarakat yang paling kecil yang disebut masyarakat desa. Sistem hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam hukum adatnya. Pandangan hidup atau ideologi orang Jawa terbentuk dari penggabungan pikir Jawa tradisional, kepercayaan Hindu atau filasafat India, dan ajaran tasawuf atau mistikisme Islam (Herusatoto, 1985: 74). Ketiga aspek tersebut memiliki corak warna yang berbeda dalam aktualisasinya dalam masyarakat. Dan pada masa sekarang terus mengalami evolusi karena berbagai pengaruh. Pada hakikatnya orang Jawa memiliki pegangan hidup rela, narima ing pandum, temen, sabar atau lapang dada, dan budi luhur (Herusatoto, 1985: 79). Sikap rila atau rela adalah keiklasan hati sewaktu menyerahkan miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan karena semua itu adalah kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu, orang yang memiliki sikap rela tidak sepatutnya berharap mendapatkan imbalan dari perbuatannya, apalagi sampai bersedih hati, menggerutu terhadap penderitaannya. Sikap rela bagi orang Jawa dapat memunculkan sikap hidup tidak putus asa, ora gumunan, ora kagetan. Semua kejadian sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Narima (menerima) berpengaruh terhadap ketenteraman hati. Narima berarti ora melik tidak menginginkan milik orang lain, serta tidak iri hati terhadap kebahagiaan orang lain. Sehingga narima adalah sikap yang menggambarkan sikap bersyukur kepada Tuhan. Hal ini dilakukan untuk ketenteraman hati, bukan berarti malas bekerja tetapi menerima nasib. Narima berarti jika dalam kondisi terjepit seseorang harus dapat berpikir rasional dengan tidak jatuh apalagi menentang secara percuma. Sikap narima merupakan kesadaran dan keyakinan bahwa garising urip iku dhewedhewe.Manusia diciptakan dalam kondisi berbeda-beda. Kita harus menyadari bahwa segala yang dialami seseorang telah sesuai dengan jatah, dalam bahasa Jawa disebut pandum, narima ing pandum tidak nggresula (menggerutu) dan tidak berprasangka negatif kepada Sang Pandum. Berdasarkan ideologi budaya Jawa bahwa orang Jawa yang diidealkan tidak memiliki sifat meri, panasten, drei, srengki, dahwen, open, jail, methakil. Hal ini diperkuat lagi dengan pandangan hidup bahwa urip iku mung mampir ngombe. Temen berarti menepati kata hati sendiri, baik yang sudah diucapkan maupun yang diucapkan di dalam hati. Orang yang tidak menepati kata hatinya berarti menipu diri sendiri, sedangkan kata hati yang telah diucapkan padahal tidak ditepati adalah kebohongan. Temen dapat diartikan juga dengan konsisten antara kata, pikiran, dan perbuatan. Salah satu indikatornya adalah kesungguhan dalam menghadapi kehidupan. Sabar atau lapang dada adalah sikap tidak emosi dan tidak mudah marah dalam menghadapi persoalan hidup yang pelik. Persoalan perlu dihadapi dengan hati yang bening 132
WIDYATAMA
Sri Muryati. Ideologi Budaya Jawa dalam Novel Genduk Duku Karya YB Mangunwijaya....
dan sikap rasional sehingga persoalan tersebut dapat diurai sesuai dengan alurnya. Sepelik apa pun persoalan pasti ada jalan keluar yang dapat ditempuh. Sikap berbudi luhur bagi orang Jawa adalah rangkuman dari segala aspek nilai ideologi yang ada, yaitu nilai yang mengarahkan kepada seseorang untuk bertingkah laku baik sesuai norma agama, kesusilaan, dan adat. Tirakat bagi orang Jawa merupakan aktivitas yang didasari oleh tujuan tertentu dengan jalan lelaku seperti tidak tidur semalaman untuk memikirkan dan berdoa demi tercapainya tujuan. Rasa syukur dalam budaya Jawa diimplementasikan dalam bentuk seperti kenduri, sesajen, dan sedekah bumi. Kesemuanya itu ditujukan untuk rasa syukur yang dalam, bersedekah diperlukan untuk memupuk rasa senasib sepenanggungan. Kemudian orang Jawa juga dituntut untuk bertindak tepat. Tindakan yang tepat berarti mampu menempatkan diri di tempat yang cocok. Tepat dalam membawakan diri sesuai situasi dan kondisi. Orang Jawa memiliki prinsip empan papan yang artinya kemampuan untuk menempatkan diri di mana pun berada, baik di kalangan rakyat kecil, tokoh masyarakat maupun dalam keluarga. Orang yang belum bisa ‘merasa’ dikatakan belum Jawa. Dari beberapa uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ideologi kebudayaan Jawa meliputi nilai-nilai dan sikap yang diyakini dan diterapkan dalam kehidupan orang Jawa dan meliputi (1) Sepi ing pamrih rame ing gawe, (2) Narimo ing pandum, (3) Rilo, ikhlas, (4) Prasojo, (5) Andhap asor, (6) Temen, (7) Empan papan. Masalah dalam kajian tentang novel Genduk Duku ini adalah (1) bagaimanakah struktur novel Genduk Duku karya YB Mangunwijaya ditinjau dari alur, tema, penokohan, setting, dan amanat? (2) Ideologi budaya Jawa apa saja yang terdapat dalam novel Genduk Duku karya YB Mangunwijaya? Metode Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Data dalam penelitian ini adalah kata-kata, frasa, kalimat atau paragraf yang mencerminkan aspekaspek intrinsik dan ideologi budaya Jawa yang terdapat dalam novel Genduk Duku karya YB Mangunwijaya. Sedangkan sumber data penelitian ini adalah novel Genduk Duku karya YB Mangunwijaya yang terdiri atas 370 halaman dan diterbitkan oleh PT Gramedia Widiasarana, Jakarta tahun 1994.Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca dan catat. Adapun teknik analisis data yang digunakan melalui prosedur: (1) tahap deskripsi data, yaitu mendeskripsikan semua data yang diperoleh darisumber data; (2) tahap klasifikasi, mengklasifikasikan data sesuai dengan tujuan penelitian yang sudah dirumuskan; (3)Tahap interpretasi, yaitu menafsirkan semua data sehingga mendapat pemahaman yang bulat dan utuh terhadap objek penelitian; (4) teknik penarikan simpulan, yaitu dilakukan penarikan simpulan secara induktif terhadap semua data yang diperoleh. Pembahasan Dalam pembahasan ini dianalisis struktur novel Genduk Duku atas alur, penokohan, tema dan amanat, serta setting. Alur novel Genduk Duku alur maju. Cerita dimulai dari meninggalnya Rara Mendut, puan Duku di pantai laut Selatan. Duku kemudian melarikan WIDYATAMA
133
No.2 / Volume 22 / 2013 WIDYATAMA diri dari kejaran pasukan Wiraguna bersama Si Bolu dan Untir-untir pengikut Pranacitra. Sampailah Duku di Puri Bendara Pahitmadu kakak Tumenggung meminta perlindungan. Akhirnya Duku dan temannya selamat. Duku minta diri meneruskan tugas untuk mengabari Nyai Singobarong ibunda Pranacitra di Pekalongan, terus ke Telukcikal tempat wali Mendut. Selama perjalanan Duku mendapat bantuan dari beberapa pihak. Sampai daerah barat diantar pesuruh Bendara Pahitmadu, mau ke Telukcikal dititipkan pada penjual mori naik perahu. Di sinilah Duku ketemu dengan Slamet yang akhirnya menjadi suaminya. Sampai di Telukcikal tugas selesai dan nikah dengan Slamet. Karena rindu dengan orang-orang yang telah menolong dalam perjalanan, Duku disertai Slamet mengadakan perjalanan ke sekitar keraton lewat Jepara. Di Jepara Duku mulai menghadapi konflik baru yaitu berhadapan dengan pasukan yang membawa pampasan perang untuk diserahkan ke keraton. Slamet terpilih untuk menjadi pemikul benda pampasan. Di tengah perjalanan sakit, sering digoda Wedana Yuyukiyer. Untunglah memiliki sahabat Kang Kimpul yang membantu Duku keluar dari rombongan. Dalam persinggahannya ketika sakit dia bertemu dengan Persteeh dan Karel anaknya yang menjadi tawanan Mataram. Mereka bersahabat, tetapi Duku berpikir bahwa semua masalah berasal dari keraton, terutama kekuasaan dengan misi memperluas daerah kekuasaan Mataram dengan dipimpin oleh Panglima Tumenggung Wiraguna. Perluasan daerah menimbulkan masalah seperti yang dialami oleh Mendut sebagai Putri boyongan, Persteeh, Mbah Legen yang anaknya terbunuh ikut membela Negara. Putri Arumardi selir boyongan juga, tak terkecuali Nyai Ajeng. Sementara itu, di Keraton putra Susuhunan Ing Ngalaga yang masih berusia belasan tahun itu suka main perempuan. Termasuk Duku juga menjadi incaran permainan Pangeran Aria Mataram yang sering disebut Jibus. Tetapi Duku dapat menyelesaikan masalah ini. Konflik yang menimpa Duku terus berkembang sampai pada puncaknya yaitu ketika Katumenggungan menerima putri boyongan dari Imogiri bernama Tejarukmi, gadis belasan tahun simpanan Kakek Tumenggung. Pangeran juga tahu keberadaan Tejarukmi di Puri Wiragunan dan dia menaruh hati padanya. Akhirnya Tejarukmi diculik dari Wiragunan dibawa ke Padepokan Pangeran Jibus. Duku dan Slamet mendapat tawaran dari isteri Wiraguna untuk membawa lari Tejarukmi dari padepokan dengan alasan kasihan pada Tejarukmi. Kemudian Duku dan Slamet memutuskan bahwa tugas itu resikonya berat, tidak hanya menimpa Duku dan Slamet tetapi juga pihak istri Wiraguna. Kemudian Pangeran mengembalikan Tejarukmi ke Wiraguna karena keadaan istana terutama Sultan Agung Hanyakra Kusuma sudah mulai mencium gelagat Pangeran Aria Mataram ya Si Jibus. Di sinilah konflik mencapai puncak, karena Tumenggung merasa dipermalukan kedatangan Tejarukmi dari tempat penculikannya. Tejarukmi dibunuh dan Slamet juga terbunuh ketika hendak menghadangi Tejarukmi. Sebagai wanita yang memperjuangkan kemerdekaan, Duku dapat menerima kematian Slamet. Duku dapat membesarkan Lusi anaknya dengan Slamet dengan bantuan Putri Arumardi selir Wiraguna. Tokoh yang dianalisis dalam pembahasan ini adalah tokoh utama Duku yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya Jawa. Duku adalah wanita yang memiliki watak setia, orang yang dapat diteladani dalam perjuangan kemanusiaan melawan kekejaman, ketidakadilan dan kesewenangan terutama terhadap perempuan, seperti tampak pada kutipan berikut: “Tejarukmi sudah tertidur. Biarlah anak itu, kasihan. Tetapi sehari mendengar keluh kesahnya, Duku capek juga, Mas. Mosok hidup kok Cuma derita dan takut, pahit, getir, kecewa, puttus asa melulu.” (Genduk Duku, 1994: 282) 134
WIDYATAMA
Sri Muryati. Ideologi Budaya Jawa dalam Novel Genduk Duku Karya YB Mangunwijaya....
Dia tidak pernah minta pada kerabat keraton yang dikenalnya seperti Putri Arumardi, Bendara Pahit Madu, Nyai Ageng untuk menggunakan fasilitas keraton. Kesederhanaan itu di antaranya dapat dilihat pada kutipan berikut: “Bintang-bintang Bima Sakti, intan-intan padatan rahasia semesta bengawan kehidupan danbulan yang barubercahayakan janji, kalian saksi perestu kisah Slamet dan Duku. Berbahagialah bersama dua orang rakyat ini, yang masih mampu menghargai kemewahan berkandang langit berselimut awan-awan tanpa cemburu kepada kaum mewah.Biarkan mereka sendirian di gubug tengah sawah.” (Genduk Duku, 1994: 283) Dan sikap setia ditunjukkannya dengan mengunjungi orang-orang yang mempunyai andil dalam memperjuangkan kemerdekaan. Hal itu dapat dilihat pada sifat suka mengunjungi orang-orang yang berarti dalam hidupnya, walaupun orang tersebut diperkirakam tidak mengenal dirinya dengan baik karena sudah tua seperti tampak pada kutipan berikut: “Nah, siaplah mereka menghadap Bendara Pahitmadu. Semua untunguntungan. Bendara itu sudah tua sekali, dan seandainya beliau tidak mengenal kembali Genduk Duku, maka ya, besarlah risikonya mereka akan dicemoohkan. Seandainya begitu, mereka masih dapat meneruskan perjalanan yang cukup jauh ke sungai Bagawanta, lalu ke Jali. Mbah Legen dan Nyi Gendis tidak akan lupa pada Genduk Duku” (Genduk Duku, 199: 71). Dia juga memperhatikan nasihat orang-orang terdekatnya. Misalnya pada petikan: “…karena kedua Beliaulah permohonan untuk jangan mengubur suaminya di tanah yang telah ternoda kaum kejam. Dilarung, dilabuh, diserahkan ke Samodra Agung . Tempat pemerdekaan puannya Rara Mendut.”(Genduk Duku, 1994: 306). Duku seorang wanita sederhana, dalam perjalanan hidupnya tidak untuk memikirkan diri sendiri misalnya untuk memiliki tempat tinggal, bahkan untuk makan sehari-hari tidak terpikirkan. Hidupnya lebih banyak untuk menolong orang lain yang membutuhkan. Seperti terdapat dalam kutipan berikut: … Duku sebenarnya lebih suka menantikan saat bersalinnya di rumah bambu Mbah Legen dan Nyi Gendis. Kendati dalam pondok papa, namun si bayi akan masuk ke dalam dunia kehidupannya di tengah kedua orang dina sederhana yang baik hati itu; dan belum sempat mereka kunjungi.” (Genduk Duku, 1994: 183). Secara fisik Duku orang yang bertubuh kecil berisi, agak hitam, lincah. Dia senang naik kuda bahkan menjadi blantik kuda karena kemampuannya memahami perkudaan. Di antaranya dapat dilihat pada data berikut: “ Dan dayang ciliknya yang sangat mahir naik kuda telah kami kenal pula dari warta berita. Tetapi janganlah kau tergesa-gesa menyombongkan diri, Genduk Duku…” (Genduk Duku, 1994: 16). Tema novel Genduk Duku adalah perjuangan seseorang untuk kemerdekaan diri dan lingkungan dari segala yang mengungkung kehidupannya dengan cara yang dapat WIDYATAMA
135
No.2 / Volume 22 / 2013 WIDYATAMA diterima akal. Di antaranya yang dilakukan Duku ketika dirayu Raden Mas Jibus untuk meladeninya, dia dengan berpura-pura menjadi prewangan (peri) yang mau menerimanya, dapat dilihat dari kutipan berikut: “Jari-jari tangannya maju dan menjamah tepi kain yang membalut dada Genduk, pada saat kain itu tersingkap, tegar dan duduklah Duku dengan mata tertutup. Dengan membiarkan dada terbuka Genduk memegang tangan Jibus … dan mengantarkannya ke Jeliting (kuda). …Tak sadarkan diri akhirnya Raden Mas Jibus masuk lubang makam yang lapuk.” (Genduk Duku, 1994: 156-157). Duku, tokoh utama novel ini juga memiliki prinsip hidup tentang perjuangan, hakikat wanita yang tidak menyukai pembunuhan tetapi justru penyambung kehidupan seperti tugas mengandung, menyusui, merawat seperti tampak pada kutipan: “Wanita selalu melawan pembunuhan, karena kodratnya adalah mengandung dan menyusui kehidupan. Di pengantar kehidupan. “ (Genduk Duku, 1994: 218) Sedangkan amanat novel ini adalah walaupun hidup dalam lingkungan yang terkungkung tetapi kita dapat berbuat untuk kemerdekaan orang lain. Syarat yang harus terpenuhi adalah kita menjadi merdeka. Hal ini ada pada diri Genduk yang dapat memutuskan ke mana dia harus pergi dan apa yang harus dilakukannya. Sebgai contoh setelah Slamet meninggal dia memutuskan untuk tinggal di rumah Nyi Gendhis. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: “Dan memang, Nyi Gendhis seperti terpaku di ambang pintu. Berdiri kaku tidak dapat berucap atau berbuat apa-apa. Tetapi kedua mata basah kuyup yang kadang terusap tangan memandang ke wajah seorang wanita gagah muda matang molek yang serba bergegas … “ (Genduk Duku, 1994: 319) “ Dia kaupilih sendiri seperi Rara Mendut atau biasa dijodohkan oleh orang tuanya? Dua-duanya Mbah, tetapi dia lain denganku, … saya senang dia tanggung jawab.” (Genduk Duku, 1994: 324). Setting dalam novel ini adalah Mataram, Telukcikal, Puri Pahitmadu, Nyamikan, Pekalongan, Surabaya, Pati, Jepara, Sungai Opak, pantai, perjalanan dari Jepara ke Mataram. Kehidupan rakyat dari kebon, mencari ikan, keadaan sosial masyarakat yang sangat sederhana. Sebagian dari suasan dan tempat cerita tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “ Suami isteri itu mengayuh perahu ke pantai, ke suatu perkampungan kecil untuk bertanya dulu, ada apa di Jepara.” (Genduk Duku, 1994: 40). Setting waktu yang terdapat dalam novel Genduk Duku yaitu pada masa pemerintahan Sultan Agung di Mataram Yogyakarta dan memiliki patih bernama Tumenggung Wiroguna. Raja ini berkuasa pada zaman penjajahan Belanda pada abad ke-16. Hal ini dapat dilihat pada nama-nama tokoh yang dapat dibaca dari sejarah Kerajaan Mataram karena novel ini adalah novel sejarah. “Bahkan biasanya mereka lalu menjadi abdi Susuhunan Mataram yang setia. Contoh paling bagus ya Pangeran Pekik dari Surabaya itu sendiri. Dulu lawan gigih , sekarang sekutu dan abdi paling setia.” (Genduk Duku, 1994: 217) Perbuatan untuk membantu, memberi dan berbuat baik kepada orang lain yang tidak dilandasi oleh adanya imbalan dari perbuatannya merupakan salah satu gagasan dalam 136
WIDYATAMA
Sri Muryati. Ideologi Budaya Jawa dalam Novel Genduk Duku Karya YB Mangunwijaya....
novel ini. Di antaranya pertolongan Duku dan Slamet bertujuan menyelamatkan Putri Tejorukmi dari ancaman Raden Mas Jibus dan Tumenggung Wiraguna merupakan sikap sepi ing pamrih. Sikap demikian terdapat dalam diri Duku dan Slamet. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: “Dan bukankah pembelaan yang lebih sepi ing pamrih ini karena justru seolah-olah menolong orang yang dalam hati dibenci oleh Duku dan Slamet, bukankah hal ini jauh lebih berharga daripada apa yang telah dibaktikan Duku kepada puannya Mendut? (Genduk Duku, 1994: 170). “Untung apa sebetulnya Duku-Slamet dengan petualangan ini? Tanya diri Duku tak habis-habis. Demi apa ya? Demi apa?Entahlah. Pokoknya Duku-Slamet telah sepakat, jasabakti, ya hanya jasabaktilah… Pokoknya karena merasa harus berbuat begini, entah disebut apa. Yang jelas sepi ing pamrih.” (Genduk Duku, 1994: 268) Sikap pengabdiannya tidak setengah-setengah tetapi dengan penuh pengorbanan, Duku bisa menerima kematian Slamet melindungi Tejorukmi dari amukan Wiroguno seperti tampak pada kutipan berikut: “Tidak, Slamet tidak mati. Slamet tidak meninggalkan Duku dan Lusi.Duku masih bersama dengan yang dicintainya, lingga saka guru rahimrumah jati dirinya, hidup bersinambung dalam buah benihnya, anaknya yang membawa citra dirinya.”. (Genduk Duku, 1994:306) Sikap batin yang merupakan watak orang Jawa adalah nrima ing pandum setelah mengalami nasib buruk yaitu meninggalnya Slamet dalam melindungi Tejarukmi. Dalam kekhawatiran, Duku akhirnya pasrah pada kekuasaan-Nya seperti tampak pada kutipan: “Ah terserahlah. Biar gulungan wayang beber esok hari nanti berbicara sendiri” (Genduk Duku, 1994: 344). Juga sikap Duku menjadi rakyat kecil yang jauh dari makmur, semua dijalani dengan ikhlas. Dialah yang terpanggil untuk menangani masalah seperti tampak pada kutipan berikut: “Wanita-wanita tingkat tumenggungan jangan dulu menangani langsung. Serahkan kepada hamba dan suami hamba.” (Genduk Duku, 1994: 264). Putri Arumardi menjadi sadar terhadap keberadaan Duku (tanggap sasmita) yang puannya memutuskan lebih baik mati daripada menjadi putri boyongan, ini berkaitan dengan pengertian rasa. Dalam novel ini juga tokoh memiliki sikap mementingkan cara dari prinsip yang dianut dengan ngono ya ngono ning aja ngono. Dari percakapan, sebetulnya Arumardi sudah ‘tanggap sasmita’, bahwa Duku dan Slamet segan mempertaruhkan nyawa hanya untk membuat snang sebuah puri bangsawan. Apalagi demi Wiroguna yang pernah menjadikan pujaanya meninggalkanya untuk selamanya.” (Genduk Duku, 1994: 262). Nama-nama tokoh wayang yang juga dijelaskan dalam novel adalah Kumbakarna lambang kesetiaan kepada saudara, bangsa dan Negara walaupun yang dibela salah. Dan Wibisana mewakili orang yang membela kebenaran siapa pun yang harus dihadapi. Dalam hal ini Duku lebih memilih Wibisana yaitu untuk membela kebenaran.
WIDYATAMA
137
No.2 / Volume 22 / 2013 WIDYATAMA “Ya, dia (Wibisana) cinta kebenaran, tidak mau memihak yang salah walaupun rajanya sendiri, abangnya sendiri. Jangan lupa (berat bila harus melawan saudara sendiri).” (Genduk Duku, 1994: 163) Dijelaskan juga tentang Kamaratih dan Kamajaya lambang cinta kasih. Bentuk lain sikap yang diujudkan dalam nama-nama wayang adalah: “Dewi Uma adalah perwujudan kesaktian Sang Hyang Pramesti Guru. Bagi Rama kehilangan Sinta berarti kehilangan kesaktiannya, dan merebut Sinta bagi Dasamuka adalah merebut kesaktian yang dia tidak punya “ (Genduk Duku, 1994: 347). Sikap syukur juga ditunjukkan Duku melihat Karel anak Pinterseng yang tidak dapat menemui ibunya karena mereka menjadi tawanan Mataram. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: “Dibanding ibu si Karel Duku masih di firdaus” (Genduk Duku, 1994: 196). Di samping itu sikap bersyukur juga ditunjukkan dengan pemberian nama Lusi pada anak mereka. “Diberi nama Lusi saja artinya bersyukur” (Genduk Duku, 1994: 178). Sikap prihatin terdapat dalam diri Slamet pada saat berada di Puri Pahitmadu yang tidak tidur bersma isterinya karena isteri menemani Bendara Ayu Pahitmadu sementara Slamet tirakat, seperti terdapat dalam kutipan berikut: “Malam itu Bendara Ayu Pahitmadu sangat menginginkan tidur ‘kelonan’ dngan Genduk Duku. Slamet harus puas dengan kamar lain di ‘keputran’. Tetapi ia memohon agar diperbolehkan tidur di tepi pendapa saja. ‘Tirakatan’, katanya kepada para abdi dalem.(Genduk Duku, 1994: 74). Sikap pasrah ini terdapat dalam diri Slamet dan Duku ketika menghadapi cobaan hidup yang tidak mudah, seperti ketika diburu Raden Mas Jibus mereka harus bersembunyi dari kejaran utusan Putra Mahkota Mataram itu. Juga ketika dia berhasil menyembunyikan Putri pampasan Tejorukmi dari kejaran Raden Mas Jibus. Dia dianggap sangat berjasa di hadapan Tumenggung Wiraguno. Latar belakang melakukannya adalah sikap membela kebenaran seperti terdapat dalam watak Wibisono. Bahwa Tejorukmi di bawah kekuasaan Wiraguno, tetapi Jibus mengetahui kecantikannya kemudian dia melik. Sikap pasrah Duku dapat dilihat pada kutipan berikut: “Namun tiba-tiba ia tegak tercekam kecemasan, jangan-jangan janin dalam kandungannya akan gugur akibat bergelut sampai jatuh dari kuda. Ya, Allah kasihanilah Duku hambaMu … dan adik emasku Tejorukmi ini. Janganlah ia mengalami nasib seperti Rara Mendut” (Genduk Duku, 1994: 175). Sikap pasrah juga ditunjukkan oleh Duku dan Slamet pada saat berada di Puri Pahitmadu kakak kandung Tumenggung untuk berziarah ke dekat Sungai Opak. “Maka berangkatlah Duku dan Slamet menunggang kuda cebol kore, dan Slamet cukup berjalan kaki. Mereka tidak mau diantar maupun dikawal. Pasrah sumarah itu jauh lebih bermakna” (Genduk Duku, 1994: 185). Simpulan Orang Jawa memiliki karakter yang diidamkan untuk dimiliki dan tercermin dalam perilaku berpikir, berbuat, dan merasakan. Bagi orang Jawa, ‘merasakan’ merupakan dasar 138
WIDYATAMA
Sri Muryati. Ideologi Budaya Jawa dalam Novel Genduk Duku Karya YB Mangunwijaya....
dalam berpikir, berbuat, dan berperilaku. Dalam novel Genduk Duku terdapat banyak karakter tokoh yang menunjukkan ideologi budaya Jawa terutama dalam diri tokoh utamanya yaitu Genduk Duku. Tokoh lain yang mencerminkan ideologi budaya Jawa adalah Slamet. Ideologi budaya Jawa yang terdapat dalam novel Genduk Duku adalah narima ing pandum, rila, sepi ing pamrih, temen, pasrah, berbudi luhur, arti sebuah nama, dan bersyukur. Sikap demikian merupakan sikap yang diidam-idamkan dimiliki oleh orang Jawa agar mencapai kedamaian dan ketenteraman hidup. Sehingga konflik antarmanusia maupun antarmasyarakat tidak terjadi. Daftar Rujukan Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Damono, Sapardi Djoko. 1998. Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Esten, Mursal. 1990. Kesusasteraan: Pengantar, Teori, dan Sejarah. Bandung: Angkasa. Herusatoto, Budiono. 1985. Pengkajian Drama 1.Surakarta: Sebelas Maret University Press. Mangunwijaya. 1994. Genduk Duku. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mursal, Esten. 1990. Kesusasteraan: Pengantar, Teori, dan Sejarah. Bandung: Angksa. Santosa, Puji. 2002. Pluralisme Budaya dalam Sastra Indonesia Memperkokoh Persatuan Bangsa Indonesia. (makalah PIBSI XXIV) di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Satoto, Soediro. 2000. Pengajian Drama 1. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Sumardjo, Jacob. 1987. Apresiasi Sastra. Jakarta: Gramedia. Waluyo, Herman J. 1986. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widyasari Press. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusasteraan (Terjemahan Melani Budianto). Jakarta: Gramedia.
WIDYATAMA
139