51
BAB III YB MANGUNWIJAYA, KARYA, DAN PEMIKIRANYA A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosio Kultur Sosok intelektual yang akrab disapa Romo Mangun, memiliki nama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya1. Lahir di Ambarawa 6 Mei 1926, adalah anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah2. Bilyarta adalah nama kecilnya. Nama Yusuf di depan Bilyarta adalah nama permandian atau nama baptis. Sementara nama Mangunwijaya diambil dari nama kakeknya, seorang petani tembakau3 Seperti sejarah banyak orang, sejarah YB Mangunwijaya juga ditentukan oleh perjalanan hidup ayahnya. Semasa kecil, ayahnya diangkat anak oleh pakde ayahnya sendiri yang menjabat sebagai lurah desa di daerah Parakan, Jawa Tengah. Pengangkatan ayahnya sebagai anak lurah ini kelak
ikut membentuk sejarah
Mangunwijaya. Sebab berkat pengangkatan ayahnya lantas dimungkinkan mengenyam pendidikan dan menjadi guru SD. Ibu Mangun yang juga sempat mengenyam pendidikan menjadi guru TK4 Pada zaman kolonial Belanda5, sekolah memang hanya diperuntukan bagi keturunan Belanda dan priyayi pribumi. Priyayi rendahan apalagi rakyat biasa tidak 1
Ketika Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau akrab dipanggil Romo Mangun meninggal dunia, tanggal 10 Februari 1999, ribuan pelayat menghadiri pemakamannya. Tidak hanya dari kalangan rohaniawan dan Penganut agama Katholik atau masyarakat Yogyakarta saja, tetapi juga masyarakat dari berbagai agama, suku, kedudukan, pangkat, profesi dan lain-lain ( Simposium Sosok YB Mangunwijaya, Sabtu, 28 Juni 2003 di Aula RS st Borromeus. File: http://www. Google. Simposium Sosok YB Mangunwijaya - Sabtu, 28 Juni 2003.htm 2 Orang tua, khususnya ibunya, berharap agar anak sulung tersebut menjadi seseorang imam, namun tidak demikian harapannya pada anak-anaknya yang lain. Oleh orang tuanya, Yusuf kecil mendapat mainan untuk 'misa-misaan'. Dia memerankan imam dan adik-adiknya disuruh menjadi umat. Semua adik-adiknya laki-laki tidak pernah memerankan imam seperti dia. Dan dalam kenyataannya, memang hanya Yusuplah yang menjadi pelayan Tuhan dari keluarga besar tersebut. ” file: http://www. Google..mangun.htm.14.02.04) 3 Willy Pramudya, sebuah Pengantar Perjalanan Hidup Seorang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya dalam “ Mendidik Manusia Merdeka”, Romo Y. B. Mangunwijaya 65 Tahun (Yogyakarta: Interfidei, 1995), Cet II Juli, hlm. 3 4 Ibid 5 Mangun kecil jauh lebih beruntung dibanding anak-anak dari keluarga kebanyakan, sebab boleh mengenyam pendidikan yang ketika itu hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat
52
memperoleh kesempatan itu. Melihat nasib seperti ini, gereja melalui para misionaris atau zendingnya mendirikan sekolah swasta bagi golongan rakyat. Di sekolah seperti inilah ayahnya mengenyam pendidikan dasar hingga pendidikan lanjutannya sebaga calon guru SD. Ayahnya bahkan sempat menjadi pimpinan asrama sekolah tempat mengajar. Di Muntilan, sekolah ayahnya ini pula, Mangun kecil memulai pendidikan formalnya. Berbeda dengan teman-teman asramanya dari berbagai daerah yang harus berpisah dengan orang tua dan lingkunganya (yang merupakan sistim pendidikan waktu itu)6 Meski cukup lama hidup di Asrama, pribadi Mangun lebih banyak terbentuk oleh keluarganya sendiri. Tetapi yang jelas masa kanak-kanak saat itu baginya adalah masa yang penuh kenangan manis dan menguntungkannya. Sayang setelah Jepang datang7, sekolah itu terpaksa bubar. Bahkan sebagian besar teman-temanya itu tidak terdengar lagi kabar beritanya hingga kini8. Di masa kanak-kanaknya, meski tidak pernah bergaul langsung dengan Belanda atau Indo-Belanda, Mangun punya kenang-kenangan yang berkaitan dengan suasana anak-anak Belanda dan Indo-Belanda. Salah satu kegemaranya adalah mengintip para sinyo atau noni cilik Belanda yang mempunyai banyak mainan asing yang membuatnya kagum. Mangun kecil suka melihat9 anak-anak
yang memiliki status sosial tertentu. Selain itu perjalanan hidup Mangun kecil juga sangat ditentukan oleh hidup ayah dan ibunya yang berprofesi sebagai guru. Latar belakang sadar pendidikan inilah yang mengantarnya kelak menjadi intelektual (Asyer Tandapai “Gereja Dispiora Paguyuban Kharismatik Sosio Religius” file: http://www. Google..htm.28/02/25) 6 Willy Pramudya, Op Cit, hlm 4 7 Masa yang dirasakanya sangat mengerikan adalah saat Indonesia di bawah pendudukan fasis militer Jepang. Ketika itu, keluarganya tinggal di kota Magelang, kota tangsi yang bersuasana militer Belanda. Suasana pendidikan yang sangat memperihatinkan segi-segi penghalusan akal budi dan pencerdasan akal sehat, digantikan dengan suasana militeristis yang memporak porandakan ekonomi dan kebudayaan. Dunia fasis yang serba kasar sangat dibenciya (B. Rahmanto Y B. Mangunwijaya karya dan Dunianya (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 3 8 Singgih Nugroho Pendidikan Pemerdekaan dan Islam, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), Cet I Sep, hlm. 16 9 “Melihat mereka, serasa mereka dalam suasana surgawi sebagaimana cerita-cerita yang diajarkan dalam pelajaran agama. Mereka memiliki mainan lengkap dan menyenangkan yang tak mungkin dibeli oleh orang tuaku” kenangnya. Sebagai orang Jawa, Mangun kecil tidak merasa terganggu, iri, atau cemburu melihat tingkah laku mereka meskipun sadar bahwa tidak mungkin bermain bersama karena suasana zaman yang membedakan mereka secara sosial (Willy Pramudya, Op Cit, hlm 5)
53
Belanda yang sedang bermain-main di jalan-jalan atau di pemukiman Belanda. Bagi mangun, anak-anak Belanda khususnya
noni-noni itu sangat manis dan
menyenangkannya untuk dilihat sehingga menjadi hiburan tersendiri10 Sejak kecil Mangun sudah menunjukan telenta pada bidang ilmu-ilmu pasti alam dan tehnik, setidaknya ia selalu tertarik pada bidang keilmuan tersebut. Karena itulah setamat SD, ia melanjutkan sekolahnya di Sekolah Tehnik (ST) di Semarang. Sebab saat itu ST, apalagi jurusan listrik, memiliki gengsi tersediri di mata masyarakat. Menurutnya lulusan ST jaman itu sering jauh lebih bermutu dibandingkan dengan lulusan sekolah tehnik yang ada sekarang. Saat duduk di ST inilah kecerdasan Mangun mulai terlihat. Beberapa kali dia selalu mendapat juara satu dan atau dua di kelas maupun sekolahnya. Namun suatu ketika ia berubah pikiran. Peristiwa ini bermula dari setiap perjalanan pulang dan usai liburan di sepanjang perjalanan. Ia selalu mendengarkan pembicaraan para pelajar sekolah umum (setingkat SMP dan terutama setingkat SMA). Mereka selalu berdebat tentang sejarah dunia dan para tokohnya serta para cendikiawan dan hasil dari pemikiran mereka, yang membuatnya seperti tidak tahu apa-apa tentang dunia. Selain itu pengaruh bacaan buku-buku sejarah dan filsafat milik ayanya yang bertutur tentang Aristoteles, Plato, Socrates yang setiap kali dibacanya dan berbagai bacaan lainya dari perpustakaan ayahnya makin mengganggu pikiranya. Kemudian Mangun remaja makin merasa bahwa sekolah tehnik kurang luas horison baginya. Karena itu setelah lulus ST, mangun muda, justru ingin melanjutkan ke SMA11 Satu hal yang juga menjadi bakat Mangun sejak kecil adalah kegemaranya membuat berbagai desain mainan di pasir seperti rumah-rumahan, pelabuhan, lapangan terbang dan berbagai bangunan mainan lainya. Kesempatan yang di perolehnya di waktu kecil keluar masuk lingkungan Belanda melihat noni-noni juga ikut memberi inspirasi dalam dirinya. Ia mengamatinya secara khusus bangunanbangunan ala Belanda. Disamping kegemaranya membaca sejarah dunia, khususnya sejarah Eropa, dan lebih khusus sejarah Belanda. Kelak, pengetahuan tentang 10 11
Singgih Nugroho Op Cit, hlm 17 Ibid hlm 18
54
berbagai kreasi kebudayaan Eropa yang terekam mendalam pada diri YB Mangunwijaya turut mempengaruhi prestasi dan keberpihakanya pada dunia arsitektur12. Ketika Jepang datang, dunia pendidikan mengalami perubahan drastis. Disamping karena gangguan perang, yang membuat proses pendidikan tersedatsendat, yang sangat mendasar adalah perubahan sistemnya. Menurutnya, sistem pendidikan Belanda yang lebih menekankan pada olah pikir13 dan pengenalan berbagai budaya di samping pakaian yang necis dan bersih diganti dengan sistim Jepang yang lebih berorientasi pada olah raga “seni” berkelahi dan perang dengan teriak-teriak dan macam-macam latihan yang berkesan biadab untuk anak yang pernah dididik cara Eropa. Suasana Jepang yang kasar menghadapi perang Timur Raya waktu itu tidak disukainya14. Tidak heran, tatkala tanah air membutuhkan dukungan dari warga bangsanya, maka bersemangatlah Mangun muda, ketika Moh. Sadli (kelak menjadi Menteri Perdagangan zaman Orde Baru) guru mekanika di STM memperseiapkan murid-muridnya untuk siaga bila perjuangan demi kemerdekaan memerlukan para pemuda. Pada tahun 1945-1951, Mangun muda beserta sejumlah pemuda lain ikut mendaftarkan diri menjadi tentara dan akhirnya sempat bergabung dengan TKR Batalyon X Devisi III Yogyakarta, komisi zeni, pimpinan Mayor Soeharto yang berpengkalan didepan Benteng Vredenburg depan Istana Kepresidenan kala revolusi. Selama di TKR ini Mangun sempat terlibat dalam pertempuran di Magelang, Ambarawa dan Semarang15.
12
Ibid Mata pelajaran SD zaman Belanda dibuat tidak untuk dihapalkan, abstrak, dan tidak bersangkut paut dengan kehidupan riil, tetapi benar-benar berakar pada kebutuhan lokal serta situasional si anak dengan dimensi pembukaan pintu gerbang masa depan. Disamping itu, guru-guru Belanda itu sangat memperhatikan daya kreasi dan fantasi anak-anak. Jika anak-anak hanya menirukan jawaban tanpa memahaminya, itulah dosa-dosa besar iklim pendidikan sekolah dasar sekarang ini (B. Rahmanto Op Cit hlm 2) 14 Singgih Nugroho Op Cit, hlm 19 15 Y. B. Mangunwijaya Tumbal Kumpulan Tulisan YB Mangunwijaya (Yogyakarta : Benteng Intervisi Utama, 1994), Cet II Juni, hlm. 441 13
55
Tidak lama kemudian perang usai dan Mangun ingin melanjutkan sekolahnya. Akhirnya ada tawaran dari Uskup Malang untuk sekolah di sana. Di Malang sesudah RI menang, Mangun meninggalkan dunia tentara. Di sana Mangun muda sempat aktif di organisasi Pemuda Katholik. Dalam sebuah kesempatan dia mewakili organisasinya untuk mengikuti perayaan besar-besaran atas menangnya RI melawan Belanda. Mangun muda tidak manyangka bahwa perayaan itu akan membelokan cita-citanya sejak kecil, yakni menjadi insinyur yang kaya, menikah, punya anak-istri, hidup nyaman, indah dengan punya rumah mewah, tetapi punya ruang untuk kegiatan sosial. Ia tidak pernah menyangka bahwa pidato16 dari Komandan Tentara Pelajar RI (TP-RI) bernama Mayor Isman (ayahanda Hayono Isman, mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga) akan mengubah cita-citanya17. Pidato yang diucapkan dengan gaya retorika yang memukau itu seingat Mangun sempat membuat hadirin terdiam panjang. Namun, bagi Mangun pidato itu tidak hanya membuatnya terdiam panjang. Hampir semua yang yang diucapkan Isman membuatnya tidak bisa tidur. Beberapa hari
sangat gelisah. Bahkan ia
mengalami krisis mengenai hari depanya. Karena tidak mampu meredam kegelisahan, Mangun minta nasihat dari seorang pastor gurunya, Romo Jayus (alm). Beliau menasihati agar ikut merenung dan berdoa mendalam. “kamu perlu retret (ziarah rohani dengan menyingkirkan diri dari dunia ramai untuk mengadakan penyucian bathin dan refleksi diri). Retret berjalan lancar. Mangun kembali “normal”. Tetapi ada yang memanggil-manggil. Sebuah keyakinan tumbuh. Bangsa Indonesia telah menang dan diakui kemerdekaan politiknya. Tetapi perjalanan yang amat jauh dan lebih sulit masih harus dihadapi, yakni menemukan sikap dasar yang menjauhkan bangsanya dari godaan “berlumuran darah” dalam segala bentuk. Selain itu Mangun ingin 16
“Kami bukan pahlawan, kami bukan bunga bangsa. Kami bukan madu bagi rakyat. Karena, kami sudah membunuh, kami sudah membakar, kami sudah berlumuran darah dan melakukan hal-hal yang kejam. Karenanya, kami minta tolong agar kami yang menjadi manusia normal kembali. Inilah jasa yang dapat anda berikan kepada kami yang menjadi korban revolusi, yang terpaksa membela tanah air dengan senjata” (YB Mangunwijaya Saya Ingin Membayar Utang kepada Rakyat, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), Cet V, hlm. 59 17 Singgih Nugroho Op Cit, hlm 20
56
membalas budi kepada rakyat yang paling besar jasa dan pengorbanannya selama perang-perang kemerdekaan. Ia ingin menjadi rohaniawan yang bekerja tidak demi harta dan kekuasaan, apalagi dengan tangan-tangan berlumuran darah yang mengorbankan
rakyat. Ia18 ingin masuk seminari dan diterima di Seminari
Menengah Kanisius di Magelang, kemudian di Seminari Tinggi Sancti Pauli Yogyakarta19 Tahun 1959-1960 ia mendapat tugas untuk belajar arsitektur ke ITB dan kemudian diteruskan
studinya di Sekolah Tinggi Rheinisch-Westfaelische
Techmische Hochchule, Aanchen, Jerman Barat (1960-1966). Di sini ia kenal akrab dengan B. J. Habiebie dan Wardiman Djojonegoro yang pernah menolong Mangun muda yang masih asing di Jerman untuk mendaftarkan kuliah di Aanchen. Di sini Mangun disamping mempelajari ilmu-ilmu tehnik, juga mulai mendalami pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial, kebudayaan dan filsafat Tahun 1966 setelah berhasil menyelesaikan studinya di Jerman, Mangun menjadi pastur di Jetis dan Salam (Magelang) disamping itu, ia mengajar di jurusan Tehnik Arsitektur Universitas Gadjah Mada UGM. Namun akhirnya pada tahun 1980, setelah mengajar 12 tahun di sana, Romo Mangun memilih keluar dari UGM. Karena menurutnya kampus itu telah menjadi milik orang-orang besar dan tidak bersahabat dengan orang-orang miskin. Kemudian dia lebih berkonsentrasi menjalankan tugas kepastoranya20.. Suatu ketika ia meminta ijin kepada Kardinal Justinus Darmojuwono untuk tingal di daerah kumuh. Keinginan itu pada awalnya diejek sebagai kesempatan untuk piknik. Namun Mangun berhasil meyakinkan bahwa sudah saatnya ia hidup dan bernafas bersama rakyat paling bawah. Ia hanya ingin sekedar mengaktualisasi apa yang ada pada dirinya dan memang sudah lama diinstruksikan oleh Gereja:Preferential option for the poor21. 18
Mangun menerima pentahbisan sebagai imam untuk keuskupan (Agung) Semarang dari Mgr. A. Soegijapranata (1959). Sejak tahun itu ia resmi menjadi pastur (Ibid hlm 22) 19 Willy Pramudya, Op Cit hlm 10 20 YB Mngunwihaya, Tumbal Op Cit hlm 443 21 Willy Pramudya, Loc Cit hlm 15
57
Sejak di Kali Code ini, Mangun semakin mengenal kondisi masyarakat. Ia semakin mengenal berbagai aspek kehidupan lebih lengkap. Ia juga belajar membuat dunia teologi yang lebih bersifat normatif dan abstrak itu menjadi lebih membumi. Paradigma berpikir demikian mendorongnya untuk selalu berusaha berpihak kepada orang-orang miskin dan kaum tertindas, tanpa mempermasalahkan “baju” agamanya. Bagi Mangunwijaya, sesungguhnya memahami persoalan kemanusiaan lebih bijak dengan pendekatan religiusitas, bukan agama. Sebab iman sebenarnya adalah praksis. Inilah yang mendorongnya berpihak kepada para petani yang menjadi korban ambisi negara22 B. Karya-Karya YB Mangunwijaya Untuk menelusuri karya-karya YB. Mangunwijaya tidak terlalu sulit. Banyak karyanya yang tersebar di berbagai media massa sehingga memudahkan kita untuk mengaksesnya. Bahkan berbagai tulisan itu sekarang sudah dikumpulkan dalam berbagai bukunya, salah satu diantaranya ialah, bukunya yang berjudul Tumbal, merupakan kumpulan tulisannya di harian Kompas, dari tahun 1970-1990, Gerundelan Orang Republik23. Agar bisa memahami perkembangan pemikiran YB Mangunwijaya dalam bingkai yang utuh, secara sederhana kita bisa melihatnya dalam sosok diri Mangunwijaya- yang agamawan sekaligus budayawan24.
22
Singgih Nugroho Op Cit, hlm 24 Dalam buku ini gerundelan orang republik Romo Mangun mangajak kita mempertanyakan kembali esensi kemerdekaan yang terdalam, mempertanyakan kembali apa perbedaanya setelah “merdeka” bagi rakyat, buku ini ditujukan terutama pada generasi muda, karena Romo Mangun ingin mengekspresikan simpati dan kepercayaan kepada mereka. Menurutnya esai bukan merupakan gugusan dalil-dalil yang mampu mengklaim kebenaran secara mutlak, melainkan merupakan upaya ihktiar dalam rangka memahami sesuatu yang dianggap penting. YB Mangunwijaya Gerundelan Orang Republik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) Cet I September, hlm 17 24 Dua profesi inilah inilah yang menjadi dasar berpijak untuk menjalani pilihan hidupnya. Sebagai agamawan Katolik, dia berprinsip bahwa hidup keagamaanya adalah pengembangan iman dan religius, bukan mengerasnya lembaga agama yang dapat mengakibatkan eklusifisme. Dia mengatakan bahwa agama cenderung dan dalam tingkat tertentu, harus menjadi eksklusif, tetapi iman selalu terbuka dan inklusif. (Singgih Nugroho Op Cit, hlm 25) 23
58
Sebagai seorang budayawan, tulisan menjadi salah satu alat perjuanganya. Pergulatan hidupnya yang selalu bersama dengan rakyat, membuat isi karangan yang pernah dibuatnya, tidak terpisah dengan realitas kehidupan. Hampir dalam setiap tulisanya, pasti kita akan menemukan nuansa dan wacana pemerdekaan, menggugat ketidakadilan, menggugah semangat cinta kasih, kemanusiaan, keagamaan yang inklusif, dsb. Menurut Budi Darmawan, seorang budayawan, sejak Mangun meluncurkan novel pertamanya, Romo Rohadi ,manuju mester piece-nya, lalu menuju novel sejarah, Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homo
25
disambung gubahan cerita Roro-roro
Mendut, sampai dengan novel-novel akhirnya, antara lain Burung-Burung Rantau, tidak lain adalah produk tradisi sastra realisme26 Melalui novel (sebagai corong refleksi pemikiran dan perasaan), YB Mangunwijaya mengajak kita menaruh keprihatinan serius mengenai wujud masayarakat Indonesia: hubungan antar sesama, hubungan dengan masayarakat dan bagaimana hidup yang bertolak dan berdasar pada nilai27. Keprihatinan pokok mengenai wujud negara dilambangkan dengan “pembangunan sarang burung manyar”28 demi meletakan generasi masa depan (baru) telur-telur manyar itu. Pembangunan “sarang burung” ini amat ditentukan oleh kualitas manusia-manusia matang yang mampu mencapai dan mampu hidup atas dasar jati dirinya.
25
Dalam novel ini, Mangunwijaya menyuguhkan tafsirannya atas suatu peristiwa sejarah yang pernah melanda masyarakat Halmahera dan sekitarnya pada abad ke-17. menurut pengakuanya, novel ini diilhami setelah membaca suatu monografi A. Hueting tahun 1912 tentang adat istiadat dan riwayat suku Tobelo Halmahera. B. Rahmanto Op Cit hlm 30 26 Singgih Nugroho Loc Cit, hlm 26 27 Mudji Sutrisno, “Benang-Benang Merah Pemikiran Mangunwijaya” dalam “Mendidik Manusia Merdeka” (Yogyakarta : Interfidei, 1995), Cet II Juli, hlm. 89 28 Terdapat dalam novel “Burung-Burung Manyar”, struktur bangunan luar novel ini mirip arsitektur gedung. Lantai pertama (bagian I: 1934-1944, masa sepuluh tahun), lantai kedua (bagian II: 1945-1950, masa lima tahun, dan lantai ketiga (bagian III:1968-1978, masa sepuluh tahun. Lantai pertama itu, seperti halnya menonton pertunjukan wayang kulit (Mangunwijaya sendiri selalu mengatakan bahwa novel BBM sebenarnya “wayang” dalam bentuk novel modern) membaca novel ini tidak boleh meloncat, tetapi urut. B. Rahmanto Y B. Mangunwijaya karya dan Dunianya 2001, Op Cit hlm 23
59
“Sarang Burung Manyar” ini cara membangunya menuntut keberanian membongkar mentalitas lama demi terjaminya citra diri. Dalam bahasa arsitektur, dirumusnya sebagai “wusthu citra”, artinya:dimensi kejiwaan yang bersumber pada jati diri manusia sang pembangun.29. Sisi lain yang menarik ada beberapa novel, yang sebenarnya merupakan pengungkapan jujur secara implicit dari diri Manguwijaya-meskipun Mangun sendiri terkadang mengelak. Novel Burung-Burung Rantau misalnya, novel itu merupakan gagasanya tentang format kebudayaan baru, sebuah gagasan yang sebetulnya sudah dilontarkanya pada tahun 1980-an. Di novel itu, diceritakan tentang sosok wanita akademisi yang begitu hebat kemampuan intelektualnya dan masa depanya, dengan mendadak memutuskan untuk mengorbankan kecerdasan dan masa depanya dengan jalan menjadi pembela anak-anak hina, papa, dan kaum tertindas. Gambaran ini sesuai dengan kehidupan Mangunwijaya sendiri yang membela orang-orang miskin di Pinggir Kali Code dan para petani korban Waduk Kedung Ombo.30 Pembelaan Mangun kepada rakyat kecil, dapat kita lihat di banyak tulisanya. Ia menulis Kasus Nipah dan Rasa Keadilan, begitu terdengar kabar orang-orang Nipah harus membayar nyawanya untuk membayar tanah yang akan dibangun waduk. Ketika Marsinah mendapat anugrah HAM Yap Thiam Hien 1993, Romo Mangun pun mengungkapkan rasa syukur dengan menulis Marsinah, Pahlawan HAM. Dalam novel-novelnya seperti Trilogi Roro Mendut, Gedhuk Duku dan Lusi Lindri31 juga mengungkap penderitaan rakyat kecil. Romo Mangun tergolong bukan pastur seperti pada umumnya. Ia pastur dengan sejumlah predikat. Selain menjadi rohaniawan Katholik, ia juga seseorang
29
Mudji Sutrisno Loc Cit hlm 89 Singgih Nugroho Op Cit, hlm27 31 Sesuai dengan nama “Trilogi”, ketiga novel sejarah itu dapat dibaca sendiri-sendiri. Namun, ketiganya sebenarnya disatukan oleh satu tema pokok trdisional, yaitu kebathilan-keculasan dan kesewenang-wenangan pasti akan mendapatkan hukumanya yang setimpal. Yang hanya ingin mengetahui bagiamana Mangunwijaya menafsirkan kembali mitos cinta segi tiga Roro MendutPronocitro-Wiroguno yang berakhir dengan mengenaskan, cukup membaca RM sebagai buku pertama. B. Rahmanto Y B. Mangunwijaya karya dan Dunianya 2001, Op Cit hlm 41 30
60
arsitek. Sebagai arsitek, selain berkarya nyata, Romo Mangun juga berteori melalui penulisan buku. Semua karyanya, baik karya arsitektur rumah tinggal, bangunan peribadatan, kampus, kantor, lingkungan perumahan, rancangan kota maupun dua buku yang dikarang-Pasal-pasal Penghantar Fisika Bangunan dan Wusthu Citra (PT Gramedia)-adalah karya arsitektural yang monumental. Buat saya, Romo Mangun adalah seoarang arsitek modern dan pascamodernis yang paling terampil sekaligus paling intelektual yang pernah dimiliki Indonesia sampai saat ini. Bahkan, tidaklah berlebihan bila F. Silaban kita katakan sebagai salah seoarang Bapak Arsitektur Modern Indonesia, maka YB Mangunwijaya adalah seorang Bapak Arsitektur Pasca Modernisme Indonesia32 Diantara karya-karyanya antara lain: Gedung Bentara Budaya Jakarta, rumah kediaman Arief Budiman di Salatiga, Gedung Gereja Katholik di Klaten, Salam, Jetis dan sebagainya. Rancangan khas Mangun biasanya berciri dari bahan kayu dan bambu, yang diakui arsitektur berkepribadian Nusantara. Karya-karya arsitekturnya mendapat berbagai penghargaan. Diantaranya dari Badan Lingkungan Dunia di Vancouver (1977), Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) berturut-turut pada tahun 1991 dan 1993 memberikan IAI Award untuk sumbangan pada usaha penataan lingkungan komplek ziarah, Sendang Seno, Kulon Progo Yogyakarta. Ia pun meraih penghargaan Aga Khan Award For Architecture in The Muslim Word (1992) atas keberhasilanya membenahi kampung di pinggir Kali Code yang semula kumuh menjadi artistik, indah dipandang meski sederhana33 Demikian YB Mangunwijaya, seorang yang maminjam istilah Arief Budiman adalah sosok yang multidimensional34. Romo Mangun biasa dilihat dari banyak segi. Bisa dilihat sebagai budayawan, rohaniawan, arsitektur dan pejuang
32
Andy Siswanto, “ YB Mangunwijaya;Arsitek Wusthu Catra” dalam “Mendidik Manusia Merdeka” (Yogyakarta : Interfidei, 1995), Cet II Juli, hlm. 209 33 Singgih Nugroho Op Cit, hlm 28 34 Arief Budiman “Romo Mangun dan Masyarakat Ketakutan” dalam Mendidik Manusia Merdeka, Op Cit hlm 377
61
kemanusiaan, tidak sedikit pula yang menyebutnya seniman. Dan barangkali yang tak terlupakan adalah dia juga seorang pendidik35 Sebagai seorang pendidik, pendidikan dimaknainya sebagai upaya pemerdekaan manusia. Dia berusaha mengembangkan pola pendidikan yang memberikan ruang kesetaraan antara murid dan guru. Baginya kebodohan tidak selalu dibawa semenjak lahir tetapi seringkali diciptakan setelah orang dilahirkan ke dunia, dan dilestarikan setelah orang menjadi dewasa di tengah-tengah masyarakatnya. Pendidikan berfungsi antara lain, mengurangi dan menyingkirkan halangan-halangan yang ada dalam masyarakat, sehingga setiap orang dengan intelegensinya yang sederhana dapat mencapai suatu tingkat kecerdasan yang mencukupi untuk mengurus dirinya sendiri atas tindakan yang dilakukannya36 Kecintaannya pada anak-anak membuatnya berpikir sistem pendidikan yang mampu memberdayakan muridnya. Dan menurutnya, hal itu bisa terlaksana ketika pendidikan dasar sudah kuat. Asumsi itulah yang membuatnya dirinya concern pada sekolah dasar (SD). Sebab baginya SD adalah modal dasar bagi pembentukan seseorang, baru kemudian revolusi dan sebaginya merupakan sekolah kedua. Pendidikan dasar sangatlah fundamental bagi eksistensi dan hancurnya sebuah bangsa37 Demikianlah sekilas tentang Romo Mangun. Rakyat kecil adalah pilihan awal dan akhir Romo Mangunwijaya. Dengan segala kelabihan dan kekuranganya, dia telah memberikan warisan yang terbaik bagi bangsa ini. Dia memang bukanlah sosok yang lengkap pemikiranya. Pemikiranya memang amat subur tetapi, ia bukanlah pemikir sistematis yang mengajukan teori. Pemikiranya adalah respon spontan kepada keadaan, tanpa memberikan suatu kerangka besar yang dapat dipegang secara konseptual
35
Karya-karyanya yang paling menonjol dalam bidang pendidikan sebagian dibukukan dalam Impian dari Yogyakarta (Kompas 2003) dan Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat (Kanisius 2003) File:http://www.Google.Simposium Sosok YB Mangunwijaya - Sabtu, 28 Juni 2003.htm 36 Singgih Nugroho Loc Cit, hlm 29 37 Singgih Nugroho Op Cit, hlm 30
62
C. Dimensi Pendidikan Pemerdekaan YB Mangunwijaya Secara tradisional, pendidikan diselenggarakan terutama oleh orang tua atau kolektifitas dusun/suku secara spontan, melalui adat istiadat. Pada tahap lebih lanjut, datanglah pihak agama dengan sistim pesantren, ashram, surau, asrama dan sebagainya. Setelah dikenal pola tata politik, ekonomi, sosial dan kultur barat, munculah sistim sekolah (pengindonesiaan kata Belanda school, baca: “skool”) yang secara formal bersarana kurikulum, tingkat-tingkat, jenjang-jenjang, ijazah dan sebagainya. Para perintis pendidikan bangsa, khususnya Ki Hajar Dewantoro, merasa perlu untuk menandaskan bahwa visi pendidikan mereka sungguh-sungguh bermetodologi modern. Alasanya kurang lebih sama dengan alasan Restorasi Meiji di Jepang yang juga menghadapi invasi kebudayaan Barat, yaitu bahwa yang mampu menandingi hegemoni Barat hanyalah kaum terpelajar keluaran sekolahsekolah yang bermetode modern juga. Walaupun begitu, penerapanya tetap berpedoman pada “kebudayaan Timur yang luhur”. Oleh karena itu, pembentukan karakter atau sifat/sikap dasar moral dan budi pekerti (ditambah semangat perjuangan) menjadi program utama38 Dewantara juga berpendapat, bahwa salah satu konsepsi pendidikan adalah sebagai proses memerdekakan manusia. Manusia merdeka adalah manusia kolektif, manusia yang selalu sadar, bahwa dirinya adalah anggota masyarakat yang harus melakukan kewajiban-kewajiban yang di letakan oleh masyarakat kepadanya. Manusia merdeka yang kolektif ini adalah manusia yang sadar, bahwa kemerdekaanya dan kebebasanya berfikir dan berbuat untuk mencapai kebahagiaan hidup yang sudah menjadi haknya itu, haruslah dapat memperkaya masyarakatnya, memperkaya pergaulan hidup. Manusia merdeka yang kolektif itu juga berarti
38
YB Mangunwijaya “Mencari Visi Dasar Pendidikan “ dalam (Sindhunata, Ed) Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman , (Yogyakarta; Kanisius, 2001), Cet I, hlm. 155
63
manusia yang dalam mempergunakan haknya untuk mengatur dirinya sendiri selalu mengingat tertib damainya masyarakat39 Cita-cita kemerdekaan dengan tonggak historis Proklamasi Kemerdekaan ialah pemerdekaan/pembebasan bangsa kita, baik secara kolektif maupun personal, dari pembelengguan dari bentuk apapun dan oleh siapapun. Jadi tidak cuman pemerdekaan/pembebasan dari Belanda. Inti cita-cita kemerdekaan bangsa kita ialah pencapaian suatu tata masyarakat, tata negara dan pergaulan antar manusia di negeri ini yang bebas dari exploitation de l’homme par I’ home. Ini perumusan Soekarno yang sulit mendapat tandingan dalam kejelasan dan bobot isinya. Secara positif dikatakan membangun masyarakat yang adil dan makmur dalam dimensi manusia yang seutuh-utuhnya40 Paradigma Pendidikan pemerdekaan Mangun - secara makro - dimaknainya sebagai proses awal dalam usaha menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah. Sebab kesadaran sosial hanya akan bisa tercapai apabila seseorang telah berhasil membaca realitas dan belajar memahami lingkungan mereka dengan perantaraan dunia di sekitar mereka. Proses yang paling tepat untuk pencapaian kesadaran tersebut adalah lewat pendidikan41 Walau seseorang tanpa pendidikanpun dapat belajar dan memahami realitas di sekitarnya, pemahamanya tidak bisa utuh dan menyentuh, sebab persoalan yang ada, karena tidak mempunyai perangkat analisis yang sistimatis. Dalam konteks inilah seseorang memerlukan sebuah proses pendidikan yang dilakukan dengan kesadaran untuk belajar memahami realitas secara bersama-sama dengan metode dan analisis yang tepat, sehingga menemukan sebuah akar dari permasalahan yang ada.
39
Syamsul Ma’arif “Mengembalikan Fungsi Sekolah Untuk Proyek Kemanusiaan”Jurnal Edukasi Vol II, Nomor 2, Desember 2004, hlm 286 40 YB Mangunwijaya “Bangsa Kita Belum Merdeka dalam Kurungan Magis”dalam imam waluyo dkk “Dialog: Indonesia Kini dan Esok” ( Jakarta: Lappenas, 1981) hlm 91 41Singgih Nugroho Pendidikan Pemerdekaan dan Islam, (Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2003), Cet I Sep, hlm 84
64
1. Pemerdekaan Kemanusiaan dan Keadilan Sosial Romo Mangun adalah sosok intelektual, banyak gagasanya yang tertuju pada persoalan yang substansi dan mendasar. Baginya, tugas pendidikan - secara mikro - adalah mengantar dan menolong peserta didik untuk mengenal dan mengembangkan potensi-potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri, dewasa dan utuh. Manusia merdeka - berarti membimbing peserta didik dengan penuh tanggung jawab tanpa tekanan, untuk menjadi SDM yang berkemampuan sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk budaya dan juga sosial42.- sekaligus peduli dan solider dengan sesama manusia lain dalam ikhtiar meraih kemanusiaan yang terjadi, dengan jati diri serta citra diri yang semakin utuh harmonis dan integer. Visinya tentang nasionalisme (kebangsaan) tidak lepas dari perjuangan kemanusiaan dan pemerdekaan jiwa. Baginya kebangsaan hanya merupakan jembatan untuk mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna, bukan untuk memuaskan diri sendiri, sekali-kali bukan untuk merusak pergaulan kemanusiaan43. Pendidikan pemerdekaan Mangun dipengaruhi oleh prinsip hidupnya, yang dikenal dengan “tribina” yakni bina manusia, bina usaha dan bina lingkungan. Prinsip inilah yang mendorong dirinya untuk selalu komitmen total. Selalu melakukan usaha pembebasan dan pemerdekaan jiwa individu dari penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah, dalam segala bentuk, melalui proses penyadaran (Conscientiization) 44dan gerakan anti kekerasan. Kemerdekaan adalah modal utama bagi setiap manusia, merdeka disini tidak saja terlepas dari tekanan dari seseorang atau kelompok tertentu. Akan tetapi
42
Nursyid Sumaatmadja “Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, (Bandung: Alfabeta, 2002) Cet I November, hlm 71 43 Singgih Nugroho, Op Cit hlm 435 44 Kata ‘konsientisasi’ (berasal dari bahasa Brasil conscientizaCao),proses dimana manusia berpartisipasi secara kritis dalam aksi perubahan. Konsientisasi tidak dapat mengabaikan perubahan yang menghasilkan penyingkapan dan realisasi yang konkrit. Paulo Freire, Politik Pendidikan kebudayaan, kekuasaan, dan pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet IV Des, Hlm. 183
65
merdeka apabila seseorang mampu berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaanya, bukan pada nilai-nilai yang datang dari luar sebagai nilai paksaan.45 Pendidikan dalam dimensi tersebut seharusnya membuat masyarakat sadar, siapa darinya, bagaimana dirinya dengan dunia di luarnya. Kesadaran ini akan menggugah bahwa dirinya tak sebebas yang dibayangkanya. Dalam hal ini pendidikan harus mampu menyadarkan manusia karena pemaksaan dan penindasan tidak hanya mengenai hal fisik dan luaran saja, tetapi pemaksaan dan penindasan juga akan merasuk ke dalam kesadaran manusia. Justru lewat kedalaman itulah manusia harus bengkit dari kesadaran yang dulunya menindas.46 Oleh karena itu komitmenya di bidang pendidikan, Mangunwijaya lebih memilih pendidikan yang berpihak kepada kaum miskin dan tertindas Filsafat pendidikanya berdasarkan pendidikan pancasila khususnya sila kedua dan kelima.47 1.1 Kemanusiaan Persatuan bangsa dan masyarakat Indonesia dalam dimensi hidupnya yang tertinggi dan terdalam adalah keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang maha esa. Dilengkapi horizontal oleh sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Bila sikap dasar vertikal dan horisotal itu dipahami, dihayati, dan diamalkan, buahnya ialah, persahabatan, persaudaraan, saling manghargai, saling menolong. Jadi sikap-sikap dasar yang berciri ingklusif saling merangkul48 Jika keduanya (vertical dan horizontal) dihubungkan, maka akan menjadi theoanthroposentris, yaitu mengandung hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antara manusia dengan manusia lain. Hal ini jika dilihat dari sudut pandangan pancasila, hal diatas kurang lengkap. Untuk itu perlu ditambah
45
Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial Paulo Freire YB Mangunwijaya, (Yogyakarta: Logos Pustaka, 2004) Cet I September, hlm 10 46 Ibid 47 SDEKM merupakan SD yang murid-muridnya hampir semua anak-anak dari keluarga ekonomi lemah beserta segala akibat budaya/kebiasaan mereka yang positif dan negative dan agama yang beragam. Pada tahun 1999 siswa dengan jumlah total 54 siswa dengan jumlah 6 orang guru. Kelas di mulai dari kelas II sampai VI. Kelas I tidak ada sudah hamper mau di tutup. Di kutip dalam Singgih Nugroho Op Cit, hlm 61 48 YB Mangunwijaya “Demi Kesatuan dan Persatuan” dalam Nur Achmad (ed), “Pluralitas Agama: Kerukunan dalam Keragaman” (Jakarta: Kompas, 2001) CetI, hlm 30
66
cosmosentris yaitu alam sekitar atau alam sekeliling menjadi pusat pembicaraan sehingga menjadi “theoantro cosmosentris” karena pancasila memandang manusia mempunyai tiga hubungan yaitu: Hubungan manusia dengan Tuhanya terkait dengan sila I, hubungan manusia dengan manusia yang lain terkait dengan sila ke II, serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya atau alam sekelilingnya terkait dengan sila III, IV dan V. 49 Pada prinsipnya sila ini menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan dan sikap saling menghargai antara sesama manusia ‘tepa selira’ atau besar rasa tengang rasa50. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab berarti menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.51 Keseluruhan pengertian tentang sila kedua dari pancasila52 ini jelaslah merupakan suatu kebulatan pengertian yang lengkap tentang manusia. Manusia utuh dilihat dari kacamata sila kedua adalah yang sadar akan dirinya sebagai manusia, yaitu yang berkepribadian luhur. Berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia mempunyai kelebihannya yaitu jiwa. Oleh karena itu manusia utuh adalah yang berbuat sesuai dengan nilai-nilai kejiwaannya.53 Manusia dapat dikatakan memiliki kebebasan dalam hal keinginannya, tetapi terikat oleh keterbatasan dan tanggung jawabnya kepada masyarakat dan
49
Bambang Daroeso dan Suyamo, “Filsafat Pancasila”, (Yogyakarta: Liberty, tt.), hlm. 62 Krissantono (Ed) “Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila” ( Jakarta: CSIS, 1976) Cet I Maret hlm 39 51 Achmad Fauzi dkk, “Pancasila ditinjau Dari Segi Sejarah, Yuridis Konstitusional, dan Segi Filosofis”( Malang: Lembaga Penerbitan Brawijaya, 1983),. hlm 102 52 Sebagai bentuk pengamalan sila kedua antara lain, Mengakui persamaan derajat, saling mencintai sesama manusia, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, berani membela kebenaran dan keadilan, bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia. Ibid 53 H. Sunoto, “Mengenal Filsafat Pancasila; Filsafat Sosial dan Politik Pancasila”, Edisi 3, (Yogyakarta: Andi Offset, tt. ), hlm. 21 50
67
Negara, dibatasi juga oleh lingkungan yang itu semua karena manusia tidak hidup sendiri. Walaupun dia ingin hidup sendiri, tetapi hal itu tidaklah mungkin54 Dengan begitu manusia secara alamiah merdeka, dan secara alamiah pula ia memiliki sifat sosial. Untuk bisa menggunakanya kebebasanya secara tepat ia butuh disiplin. Untuk hidup dalam masyarakat ia perlu kebajikan-kebajikan moral. Moral yang baik serta kebiasaan intelektual dibutuhkan demi pengembangan hakikat manusia seutuhnya. Lebih lanjut Omar al Tomy sebagaimana dikutip Syamsul Ma’arif mengatakan “kebebasan/kemerdekaan” adalah jalan-jalan yang betul ke arah kebahagiaan individu, keselarasan sosial dan psikologinya yang baik, pencapaian sendirinya, menyadarkan akan hakikat manusia, kehormatan, kebanggaan, dan kekuatannya. Juga ke arah peningkatan semangat produktifitasnya, membuka bakatbakat,
minat
dan
mengembangkan
kebolehan-kebolehannya.
Jadi
kebebasan/kemerdekaan merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi, tanpa itu manusia tidak akan menjadi manusia seutuhnya55 Segala pendidikan yang ingin menumbuhkan bibit-bibit unggul dengan basis yang luas dan tanah tumbuh yang subur hanya berpredikat sejati, bila tujuan primer manusia-manusia seutuhnya yang beremansipasi. Teremansipasi berarti merdeka dewasa mandiri (termasuk sikap sosialnya) yang secara integral seimbang mampu menghadapi tantangan-tantangan riil yang dihadapi dan akan dihadapi anak didik. Pendidikan emansipatorik oleh Fuad Hassan seperti yang di kutip oleh Mangun adalah-memandirikan manusia untuk memekarkan eksistensinya-penciptaan iklim yang meleluaskan anak manusia berkembang dan terus mekar sendiri hingga menjadi pribadi yang mandiri. Dan tidak bertujuan mencetak alumni siap pakai karena hal ini akan bermuara pada eksploitasi antar sesama manusia56
54
Kansil (Ed) “Penghayatan dan Pengamalan Pancasila”(Jakarta: Balai Pustaka, 1979) Cet III Januari, hlm 26 55 Syamsul Ma’arif “Mengembalikan Fungsi Sekolah Untuk Proyek Kemanusiaan”Jurnal Edukasi Vol II, Nomor 2, Desember 2004, hlm 286 56 Yb Mangunwijaya “Impian Dari Yogyakarta”, Kumpulan Esai Masalah Pendidikan, (Jakarta: Kompas, 2003) Cet I, hlm 272
68
Pendidikan yang diterapkan oleh Mangun, baik melalui pendidikan pendampingan terhadap warga masyarakat tertindas maupun pendidikan bagi anak miskin melalui SD Mangunannya, merupakan cita-citanya untuk mengabdikan diri bersama masyarakat dan berusaha mengangkat harkat dan martabat masyarakat dari berbagai penindasan. Dia yang terjun langsung ke tengah masyarakat dapat mengamati tentang banyaknya warga masyarakat yang belum mampu hidup layak57 Usaha Mangun adalah memberikan penyadaran kepada masyarakat untuk cerdas membaca realitas yang melingkupi seluruh hidupnya dan mengembalikan kemerdekaan yang hilang. Baginya rakyat akan bisa cerdas apabila hak-hak mereka dihormati dan seluruh partisipasi dan emansipasi mereka diakui layaknya orang lain, terutama dalam memperoleh pendidikan 1.2 Keadilan Sosial Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah kesesuaian sifat-sifat dan keadaan dengan hakikat adil, di mana secara umum hakikat adil adalah memberikan diri sendiri dan orang lain apa yang menjadi haknya, tidak berat sebelah, selayaknya, tidak sewenang-wenang, dan mendapat perlakuan yang sama. Dengan demikian dalam hubungan hak dan kewajiban, adil adalah memperoleh perlakuan yang sama dan layak serta tidak berat sebelah di dalam hak dan kewajiban.58 Pada prinsipnya sila keadilan sosial menghendaki adanya kemakmuran yang merata di antara seluruh rakyat, bukan merata yang statis melainkan merata yang dinamis dan meningkat. Artinya seluruh kekayaan alam Indonesia, seluruh potensi bangsa, diolah bersama-sama menurut kemampuan dan bidang masing-masing, untuk kemudian dimanfaatkan bagi kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat59 Sila ini secara bulat berarti bahwa setiap rakyat Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya dan 57
Firdaus M. Yunus, Op Cit hlm 76 Bambang Daroeso dan Suyamo, Op Cit, hlm. 73 59 Krissantono (Ed), Op Cit hlm 70 58
69
pendidikan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, pengertian keadilan sosial mencakup pula pengertian adil dan makmur60 Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 antara lain tersirat bahwa cita-cita bangsa Indonesia ialah mewujudkan masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual berdasarkan pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia Jalan untuk mencapai tujuan itu benar-benar harus bersendikan moral yang luhur untuk kepentingan nasional. Salah satu jalan yang ditempuh ialah dengan mempergunakan asas kekeluargaan. Sudah barang tentu harus disertai dengan kesediaan dari semua pihak untuk bekerja keras. Asas ini khas Indonesia, sesuai dengan asas yang lebih kebersamaan dari pada perorangan. Suatu asas yang cocok kalau dipadukan dengan prinsip musyawarah. Dalam Undang-undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional bagian keempat tentang Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah pasal 11 disebutkan bahwa: 1. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi 2. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun Dari kedua pasal ini terlihat bahwa pemerintah ikut andil dan bertanggung jawab terhadap pendidikan sesuai dengan pembukaan UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan Bangsa” Namun yang terjadi adalah bahwa dunia pendidikan kini berada dalam genggaman sikap mental kapitalisitik. Ketimpangan pendidikan ini makin memperburuk situasi. Mestinya si Miskin bersekolah dengan harapan akan mampu merubah nasibnya, yang terjadi justru si Miskin tetap miskin karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Sebaliknya yang kaya terus menikmati fasilitas dan lulus
60
Kansil (Ed), Op Cit hlm 38
70
juga mampu membayar untuk bekerja di kantor atau perusahaan yang baik. Artinya lingkaran kemiskinan terus membelit.61 Dengan kata lain pendidikan Formal justru melahirkan stratifikasi sosial dan makin mempertajam kesenjangan. Mahalnya biaya sekolah justru diikuti pula oleh kemerosotan dunia ekonomi. Pengangguran terselubung makin banyak jumlahnya dan pertumbuhan penduduk tetap tinggi. Dari titik inilah muncul keresahan sosial, dan berbagai konflik yang diakibatkan oleh kesenjangan sosial 62 Menurut Mangun fungsi esensial dunia pendidikan63 demi kehidupan real kini dan mendatang ialah bagimana jalan-jalan persekolahan formal maupun nonformal dan informal, ketiganya berpadu secara bagus agar peserta didikan semakin cerdas memakai daya intelegensinya mereka.
Terlatih untuk jeli
menemukan sendiri sumber-sumber informasi yang penting, dan pandai menyelekasi mana sumber serius mana sumber gadungan, mana yang relevan dan tidak. 64 Mangunwijaya mengatakan pendidikan formal hanyalah eksplisit saja meskipun penting, akan tetapi dalam situasi komunikasi modern masa kini, tidak begitu penting mempersoalkan pendidikan formal atau pendidikan non formal, yang terpenting sekarang adalah bagaimana mendialogkan65 pendidikan itu semua kepada
61
Saratri Wilonoyudho “Pendidikan Berbasis Kapitalisme”Jurnal Edukasi Vol II, Nomor 2, Desember 2004, hlm 278 62 Ibid 63 Pendidikan ternyata perlu di lihat di dalam lingkupan pengertian yang luas. Ada tiga hal yang perlu dikaji kembali yaitu: pertama pendidikan yang tidak dibatasi hanya sebagai schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka pendidikan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu rumusan mengenai pendidikan yang hanya membedakan antara nonformal dan informal perlu disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegang peranan penting dalam pembentukan tingkah laku manusia.Kedua pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik peserta didik, selanjutnya pendidikan bukan hanya membuat anak pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya. Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses hominisasi dan humanisasi seorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan masyarakat yang berbudaya, kini dan masa depan. Tilaar. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Rinika Cipta, 2000), Cet I, hlm 21 64 Singgih Nugroho Op Cit hlm 55 65 Pola dialogisme yang di kembangkannya sebenarnya bukan hanya pola relasi antara pemerintah dan masyarakat, tapi bagaimana upaya dialog yang dilakukan oleh guru terhadap murid. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi dominasi antara guru terhadap murid maupun pemerintah
71
masyarakat, baik pendidikan dalam bentuk formal maupun pendidikan dalam bentuk non formal, agar masyarakat dapat sadar terhadap barbagai permasalahan yang menimpa mereka sebagai masyarakat66 Dalam RUU-PN - ketika Mangun menulis ini belum ada UUSPN 2003- pun sudah menegaskan bahwa selain jalur sekolah formal, masih ada dua jalur yang sangat penting dan menentukan perkembangan nasion, yakni jalur nonformal (NF) dan informal (IF). Banyak yang beranggapan bahwa jalur NF dan IF hanya untuk kaum berekonomi lemah atau yang bodoh, dan memang kenyataanya RUU-PN pun praktis hanya menggarap hal-hal yang berhubungan dengan persekolahan formal, dan hanya menyinggung sebentar bahwa jalur NF dan IF itu ada. Sebenarnya pembagian pendidikan formal, nonformal, dan informal oleh UNESCO bermaksud baik, tetapi dalam praktiknya pembagian itu ditafsiri keliru, seolah-olah pendidikan formal itu normative, standar dan sempurna, sehingga pendidikan kelas dua tidak normal, dan hanya ditoleransi, mengingat mereka yang bodoh, yang miskin, yang seharusnya mengikuti pendidikan formal tetapi tidak mampu.67 Di dalam hampir semua seminar atau tanggapan mengenai RUU-PN salah kaprah itu melayang. Khususnya kalau orang berbicara tentang pendidikan dasar, selalu saja orang masih saja terkurung pada gagasan sempit, seolah-olah pendidikan dasar itu sama sebatas dengan sekolah formal SD dan SMP. Apalagi SD dan SMP praktis hanya dilihat melulu sebagai jenjang untuk meneruskan pelajaran ke sekolah (formal lagi). Suatu nasion yang begitu melekat dan mendewakan sekolah formal dalam pancaroba Revolusi Industri ke II yang melejit cepat masa kini ini- padahal masih harus mengejar banyak segi keterbelakangan dengan penduduk yang sebentar lagi melebihi 200 juta orang, dengan segala kendala geografis dan cultural, dengan semakin manganganya jurang antara kaya dan miskin, antara yang melimpah informasi dan yang kekurangan-tidak akan mungkin akan lepas landas, apalagi makmur adil merata. Sehebat-hebatnya sekolah formal, jumlah dan kualitasnya tidak terhadap masyarakat, sehingga wewenang untuk mencerdaskan bangsa adalah tanggung jawab berasama 66 Firdaus M. Yunus, Op Cit hlm 81 67 YB Mangunwijaya, Impian Dari Yogyakarta,Op Cit, hlm 163
72
mungkin menangani sendiri masalah abad ke-21 yang semakin menggunung dan semakin berubah, serba kejutan-kejutan baru. Kita akan terbelenggu tak ketolongan oleh keahlian-keahlian semu si Hasil Sekolah, yang
begitu serba menghapal,
sampai nanti kalau tamat ia hanya tahu mengulang-ulang kesalahan-kesalahan sekian abad orang-orang Barat maupun Timur dengan bangga. Kita tidak ingin meremehkan peran dan pentingnya dunia sekolah formal. Hanya perlu diingat, bahwa mati hidupnya tanaman berkondisi pada tanahtumbuhnya, ikan pada airnya, pasukan gerilya tergantung pada rakyatnya. Kita ini sudah begitu tergenangi iklim serba semu, sampai menyangka Eropa, Amerika Utara dan Jepang maju karena terutama hebatnya sistim persekolahan formal mereka. Padahal, jalur NF/IF itu jalur yang sungguh sama-sama terhormat dan sederajat, walaupun tidak setingkat jalur formal, dan fungsinya, metodiknya, sasaranya. Sayur gudeg dan telur tidak lebih tinggi martabatnya dari pada nasi putih biasa. Satu piring, tetapi lain sama sekali posisi, fungsi, bahkan kodratnya. Pemahaman itu memang dapat dipahami, Cuma semogalah itu jangan dilembagakan dan justru diperkuat salah kaprahnya. Orang kan tidak mengatakan bahwa jalan aspal itu lebih tinggi derajanya dibanding dengan jalan rel besi kerata api68. Jalur-jalur formal dan nonformal/informal pada hakikatya terlanjur keliru disebut jalur. Seharusnya dimensi, matra aspek sudut. Istilah jalur mengesankan halhal yang lepas berdampingan. Dimensi menunjuk kepada kemanunggalan perkaraperkara yang memang berlainan, tetapi masih dalam satu kesatuan yang lebih besar dan menyeluruh. 1.3 Penyadaran sebagai Tujuan Pendidikan Pemikiran pendidikan pemerdekaan yang di bangun YB Mangunwijaya mempunyai misi dan visi yang jelas yaitu menyadarkan seluruh masyarakat. Sasaran pendidikan Mangunwijaya tidak hanya terbatas pada satu golongan saja, tetapi bersentuhan dengan seluruh lapisan masyarakat yang ada, baik pendidikan dalam
68
Ibid hlm 164-171
73
bentuk formal, maupun pendidikan dalam bentuk non formal sebagai upaya dalam menggugah kesadaran kritis manusia Penyadaran adalah hal pertama yang harus dilakukan untuk membuka tabirtabir keterasingan dan penindasan yang menyelimuti manusia. Kesadaran sosial dalam proses pemerdekaan manusia begitu penting, karena hanya kesadaran dan mentalitas yang tercerahkan, jernih dalam melihat realitas dan wawasan kemanusiaan yang baru, yang menentukan terjadinya transformasi sosial. Dengan kesadaran kemanusiaan yang luhur manusia akan menjadi penentu atas terciptanya struktur hidup yang harmonis Proses penyadaran yang dilakukan oleh Mangunwijaya terhadap masyarakat bersifat ganda, yaitu “makro” dan “mikro”69. Aspek “makro” meliputi aspek structural masyarakat yang meliputi, struktur sosial, budaya, politik, ekonomi, dan pendidikan. Sementara persoalan “mikro” berkaitan dengan kemiskinan masyarakat itu sendiri yang diwarnai oleh corak kehidupan mereka sehari-hari, terutama kecenderungan menjadi apatis dan mereproduksi struktur makro yang menindas dalam skala mikro.
69
Salah satu ajaran dasar nabi adalah intelektualisasi total, yakni proses penyadaran kepada umat dalam pelbagai dimensi,baik dalam dimensi pendidikan, sosial politik dan kebudayaan. (Alqur’an 16:25). Prof. Dr. Abdurrahman Mas’ud Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan dalam Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: IAIN dan Pustaka Pelajar, 2001), Cet I Mei, hlm 7