ANALISIS MINGGUAN
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI
Vol.1 No.1 - 2007
Pemberantasan Korupsi Kurang Kehendak Politik!
M
ESKIPUN media massa memberitakan begitu banyak penanganan kasus korupsi, tetapi sesungguhnya pemberantasan korupsi yang dilakukan sekarang adalah “bekerja sekadar untuk dikatakan telah bekerja.” Betapa tidak, kasus korupsi yang ditangani cenderung berkutat pada permasalahan tender. Sementara kasus-kasus korupsi dalam bentuk, tempus, maupun locus yang lainnya cenderung belum tertangani. Hal ini menunjukkan bahwa hukum pemberantasan korupsi belum bekerja sebagaimana mestinya. Dilihat dari instrumen hukumnya, ada sejumlah peraturan perundangan-undangan untuk memberantas korupsi, di antaranya: UU No.31/999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi1 — yang kemudian diubah dengan UU No.20/2001,2 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, kemudian dibentuk pula Keppres No.80/2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk mencegah penyelewengan keuangan negara. Di antara sejumlah peraturan tersebut, dapat dikatakan bahwa UU No.31/1999 jo UU No.20/2001 menjadi instrumen utama dalam pemberantasan korupsi. Dalam aturan-aturan tersebut disebutkan berbagai macam perbuatan yang digolongkan sebagai korupsi (lihat tabel di halaman 2). Dari kesemua macam tindak pidana tersebut, sebenarnya yang utama adalah rumusan Pasal 2 UU No.31/1999 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana …” Dibandingkan dengan rumusan delik pada undang-undang sebelumnya (KUHP dan UU No.3/1971 tentang 1 2
UU ini mencabut UU No.3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi UU No.20/2001 di antaranya: mengubah penjelasan Pasal 2 ayat (2); bunyi Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Yusril dan Hamid Awaluddin dalam Kasus Dana Tommy Soeharto
Tebang dari Lingkar Terdalam!
S
AAT Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) menjalani pidana di LP Nusakambangan sebagai ganjaran keterlibatannya dalam pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, ia meminta bantuan kepada orang-orang terdekatnya untuk mengurus pencairan dana Motorbike Corporation, perusahaan miliknya yang berkedudukan hukum di Bahama. Dana perusahaan itu ditampung dalam rekening di Banque Nationale de Paris and Paribas (BNP Paribas) cabang London, Inggris. Namun, upaya pencairan dana itu rupanya mendapat rintangan karena pihak Bank menolak dengan alasan berdasarkan informasi dari Financial Intelligence Services yang menyatakan bahwa dana Tommy Soeharto itu dicurigai terkait dengan hasil korupsi penguasa Orde Baru yaitu Soeharto. Untuk mengatasi masalah pencairan dana itu, pihak Tommy Soeharto kemudian menyewa jasa para pengacara dari firma hukum Ihza & Ihza yang didirikan oleh kakak beradik Yusril Ihza Mahendra (saat ini menjabat Menteri Sekretaris Negara) dan Yusron Ihza Mahendra. ... bersambung ke halaman 4
Analisis Mingguan ini diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Redaksi Abdul Qodir Agil, Daniel Hutagalung, Elisabet R. Kuswijayanti, Fajrimei A. Gofar, Isfahani, Robby Kurniawan, Robertus Robet Jl. Sawo No. 11 Menteng Jakarta Pusat 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 www.p2d.org E-mail:
[email protected]
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
No
Jenis Tindak Pidana Korupsi
UU No.39/1999 jo UU No.20/2001
1
Kerugian Keuangan Negara
Pasal 2; Pasal 3
2
Suap-Menyuap
Pasal 5 (1) (a); Pasal 5 (1) (b); Pasal 13; Pasal 5 (2); Pasal 12 Huruf (a); Pasal 12 Huruf (b); Pasal 11; Pasal 6 (1) Huruf (a); Pasal 6 (1) Huruf (b); Pasal 6 (2); Pasal 12 Huruf (c); Pasal 12 Huruf (d)
3
Penggelapan Dalam Jabatan
Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 Huruf (a); Pasal 10 Huruf (b); Pasal 10 Huruf (c)
4
Pemerasan
Pasal 12 Huruf (e); Pasal 12 Huruf (g); Pasal 12 Huruf (h)
5
Perbuatan Curang
Pasal 7 (1) Huruf (a); Pasal 7 (1) Huruf (b); Pasal 7 (1) Huruf (c); Pasal 7 (1) Huruf (d); Pasal 7 (2); Pasal 12 Huruf (h)
6
Benturan Kepentingan dalam
Pasal 12 Huruf (i)
Pengadaan 7
Gratifikasi
Pasal 12 (b) jo Pasal 12 (c)
Sumber: Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Agustus 2006.
demikian, belakangan ini muncul Tindak Pidana Korupsi), rumuRezim penanganan korupsi gerakan-gerakan yang mencoba san dalam UU No.31/1999 jauh yang terjadi sekarang ini mendelegitimasi kerja-kerja KPK. berbeda ketika menjadikan koLembaga yang masih lemah tapi rupsi sebagai delik formiil, datelah disalahartikan merupakan satu-satunya harapan lam artian, tanpa harus dibuksebagai ancaman bagi kayang ada ini terancam dirusakkan tikan ada tidaknya kerugian oleh konspirasi diam-diam para negara, maka suatu perbuatan rier politik. Sehingga politisi. yang dimaksud telah dapat upaya-upaya untuk mengDilihat dari kerjanya, struktur dikatakan korupsi dengan terhantam dengan bargaining hukum pemberantasan korupsi penuhinya salah satu unsur terlihat hanya mengandalkan Kepdalam rumusan tersebut. politik terus dilakukan. pres No 80/2003 sebagai senjata Jika diperhatikan, pasalutama untuk melakukan kerjapasal di atas memang luas dan detail secara deskriptif. Namun segi substantif kerja mereka. Akibatnya, kasus-kasus yang ditadari korupsi sebagai bentuk penyalahgunaan ja- ngani terbatas pada tender-tender. Lihat saja kasus batan demi kepentingan pribadi terasa kabur dan Widjanarko, kasus Saukani Husin, kasus alat sidik jari yang diduga melibatkan Yusril, dan kasuskurang kuat. Dilihat dari struktur hukumnya, pemberantas- kasus lainnya yang diliput media massa. Sementara an korupsi mengandalkan mekanisme hukum pi- itu kasus-kasus korupsi dalam bentuk yang lainnya dana dari penyelidikan hingga putusan hakim. belum tersentuh secara maksimal. Misalnya kasus Mengingat bahwa sistem pidana hukum pidana di- percaloan di DPR-RI, kasus pencairan uang indikasi sangat korup dan tidak imun terhadap Tommy, dan lain sebagainya. Penanganan praktik suap, maka dibentuklah KPK sebagai penyelidik suap masih mengandalkan laporan atau pengadudan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun an yang masuk, padahal sebenarnya praktik-prak-
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
3
karang ini telah disalahartikan tik suaplah yang menghancurkan Pengadilan Tipikor sebagai ancaman bagi karier ponegeri ini. Karena suap tersebut belum mendapat dukungan litik. Sehingga upaya-upaya untidak saja terjadi di pengadilan, tuk menghantam dengan barbahkan melalui suap, muncul yang layak, baik itu secara gaining politik terus dilakukan. kebijakan-kebijakan yang sangat institusional maupun pemKesadaran hukum bahwa komerugikan keuangan negara. rupsi sebagai suatu kejahatan Mengandalkan Keppres biayaan. Malah sebaliknya, masih “jauh panggang dari api.” No.80/2003 sebagai senjata utakeberadaan pengadilan Sebagaimana diberitakan, perma mengakibatkan kerja-kerja sepsi masyarakat terhadap kostruktur tersebut berkutat pada tersebut dicoba untuk rupsi masih sangat lemah dan penanganan korupsi pasca berditiadakan ketika muncul akibatnya mempengaruhi pemlakunya Keppres, sementara berantasan korupsi. kasus-kasus yang terjadi di masawacana untuk menghapusTidak bekerjanya sistem humasa sebelumnya juga tak tertanya melalui Draft RUU kum sebagaimana diuraikan di ngani dengan baik. Sebagai conrevisi UU Anti Korupsi. atas, ditambah pula dengan kutoh misalnya BLBI, kasus keluarrangnya determinasi politik daga Cendana, dan kasus-kasus lam pemberantasan korupsi lainnya. Tampaknya, kesulitan pembuktian menjadi alasan mengapa kasus lain belum bisa menyentuh kasus dan orang-orang yang tak tertangani. Tetapi, alasan kesulitan membuk- mempunyai bargaining politik yang kuat. Bargaintikan bukan menjadi pembenar bagi pengabaian- ing politik yang dimiliki koruptor telah menjadikan pengabaian kasus-kasus korupsi lainnya. Jika pem- mereka sebagai orang yang untouchable. Itulah buktian yang sulit menjadi alasan utama, maka mengapa kasus yang ditengarai melibatkan Yusril seharusnya yang perlu dipikirkan adalah bagai- Ihza Mahendra dalam pengadaan alat sidik jari temana menciptakan sistem agar pembuktian per- lah “diselesaikan secara adat”. Begitu pula kasus buatan-perbuatan semacam itu menjadi mudah. ditengarai melibatkan Hamid Awaluddin, sampai Bukan sebaliknya menciptakan rumusan hukum sekarang kasus tersebut belum ada tanda-tandanya yang multi-interpretasi yang pada akhirnya dapat untuk diusut, baik dalam kasus KPU maupun kasus pencairan uang Tommy Soeharto. disalahgunakan. Dalam sejarah, pemberantasan korupsi selalu Di tengah karut-marut itu, keberadaan struktur hukum ini juga dihantam permainan politik mensyaratkan tindakan dan kemauan yang bersifat ketika kewenangan KPK dipertanyakan dalam patriotik dari pemimpin politik. Banyak pemimpin Mahkamah Konstitusi. Begitu pula keberadaan yang jatuh akibat korupsi, tapi tidak sedikit juga Pengadilan Tipikor belum mendapat dukungan pemimpin yang terus dikenang dan dikagumi kareyang layak, baik itu secara institusional maupun na keberaniannya memberantas korupsi. Saat ini pembiayaan. Malah sebaliknya, keberadaan peng- Indonesia masih menunggu munculnya pemimpin adilan tersebut dicoba untuk ditiadakan ketika sejati muncul wacana untuk menghapusnya melalui Draft RUU revisi UU Anti Korupsi. Wacana penghapusan —yang dihembuskan ketua tim perumus RUU dan didukung oleh Komisi III DPR-RI, akademisi dan hakim agung tersebut—menunjukkan bahwa ada upaya-upaya untuk menghancurkan struktur hukum pemberantasan korupsi yang memang masih sangat rapuh. Rezim penanganan korupsi yang terjadi se-
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
sambungan dari halaman 1...
Pasal-Pasal Tentang Tindakan Korupsi Pemilihan dan penunjukan firma hukum Ihza & Ihza sebagai kuasa hukum pihak Tommy Soeharto tentu saja bukan tanpa pertimbangan. Salah satu yang mungkin dijadikan alasan kuat bagi pihak Tommy untuk menggunakan jasa firma tersebut adalah kewenangan besar yang dimiliki pendirinya, Yusril Ihza Mahendra, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh HAM). Dari alasan tersebut, dapat diduga adanya niat dari pihak Tommy untuk memanfaatkan kewenangan pejabat negara untuk melancarkan urusan-urusan bisnisnya. Dalam proses awal pengurusan di London, mereka menemui jalan buntu karena BNP Paribas memberikan prasyarat yang cukup berat, yaitu bahwa pencairan baru bisa dilakukan apabila telah mendapatkan verifikasi dari Pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa pemilik dana tidak terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering). Untuk mendapatkan verifikasi pemerintah sebagaimana dipersyaratkan oleh BNP Paribas, Ihza & Ihza mengupayakannya lewat Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Belum selesai persoalan dugaan korupsi pengadaan alat sidik jari di Departemen Hukum dan HAM semasa Yusril menjabat menteri, datang lagi persoalan baru ini. Dalam soal Tommy Soeharto ini, seharusnya Yusril —yang saat itu menjabat sebagai Menkeh HAM—memahami conflict of interests dan problem etis yang dihadapinya ketika harus menangani permintaan verifikasi dari pihak Tommy melalui kuasa hukumnya Ihza & Ihza. Yusril mestinya juga paham bahwa Tommy Soeharto adalah warga negara bermasalah yang tersangkut dengan bermacam-macam urusan hukum. PT. Timor Putra Nasional, perusahaan yang dipimpin Tommy, saat itu bahkan sedang menjadi sorotan publik yang terkait dengan dugaan
UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 4 Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 13 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
UU Nomor 20 tahun 2001 Pasal 5 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. (2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 6 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pasal 7 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta kejahatan pajak. Namun, Yusril justru mengerahkan segala kewenangan dan sumber daya yang dimilikinya untuk melancarkan urusan Tommy. Dalam rangka verifikasi, bawahan Yusril, Dirjen Administrasi Hukum Zulkarnain Yunus mengirim surat kepada kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) yang berisi permintaan informasi tentang keterlibatan pemilik Motorbike Corp dengan kejahatan pencucian uang. Setelah mendapat surat balasan dari kepala PPATK, Dirjen Administrasi Hukum Umum kemudian membuat legal opinion (opini hukum) dan mengirimkannya ke Ihza & Ihza dan BNP Paribas. Ada permasalahan terkait legal opinion tersebut, terutama yang menganggap bahwa surat balasan kepala PPATK sebagai bukti verifikasi. Padahal, kepala PPATK, Yunus Husein menyatakan bahwa surat balasannya hanya berisi keterangan berdasarkan pengecekan data administrasi. Surat balasan PPATK jelas bukan merupakan suatu surat pernyataan bebas money laundering yang dapat digunakan selayaknya surat verifikasi resmi. Hingga akhir masa jabatan Yusril sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, BNP Paribas masih belum juga mencairkan dana Motorbike Corp. Pihak Tommy terus mengupayakan pencairan dana dan menyandarkan harapan pada pengganti Yusril, yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) yang baru, Hamid Awaludin. Ketika BNP Paribas London mengirim surat pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menindaklanjuti surat menyurat sebelumnya, Dirjen Administrasi Hukum Umum meminta konfirmasi ulang dari PPATK. Setelah mendapat balasan dari PPATK yang menyatakan bahwa pengurus dan pemegang saham Motorbike Corp bebas dari transaksi mencurigakan, Kantor Kementerian Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mengirim surat
(2)
(tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah): a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang; b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Pasal 9 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftardaftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Pasal 10 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja: a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut. Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Pasal 12 Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal dike-
5
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
kepada BNP Paribas London yang di dalam isi surat tersebut juga memuat mengenai keterangan PPATK yang menyatakan bahwa para pengurus dan pemegang saham Motorbike Corp tidak terlibat dalam kejahatan money laundering. Surat balasan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada BNP Paribas bermasalah karena informasi PPATK hanya pemberitahuan bahwa rekening dari perusahaan Tommy tidak pernah dilaporkan sebab Motorbike adalah perusahaan asing yang berkedudukan hukum di Bahama. Selain semestinya tidak diteruskan kepada pihak BNP
dukungan penuh Menteri Hamid. Permintaan BNP Paribas untuk mengirim dana Motorbike ke rekening milik pemerintah disanggupinya. Menteri Hamid mengirim surat pemberitahuan ke Gubernur Bank Indonesia terkait hal itu. Selanjutnya ia meminta BNP Paribas untuk mengirimkan dana Motorbike ke rekening baru Dirjen Administrasi Hukum Umum yang dibuat di Bank BNI cabang Tebet, untuk keperluan khusus menampung dana Motorbike. Satu lagi permasalahan muncul dari upaya Hamid untuk melancarkan urusan Tommy Soeharto. Pembukaan
Pendapat Wapres yang mengaitkan kembalinya dana pada Tommy Soeharto dengan perbaikan investasi adalah pendapat yang sama sekali tidak berdasar. Paribas karena status kerahasian dari surat PPATK tersebut, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia ternyata juga telah mendistorsi informasi dari PPATK. Tindakan ini patut diduga melanggar Pasal 3 UU No.31/1999 juncto UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur larangan melakukan tindakan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kelancangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada akhirnya mempermudah proses pencairan dana Motorbike. Proses pengalihan dana juga berjalan lancar atas
rekening baru yang dipakai secara khusus untuk menampung dana Motorbike telah melanggar ketentuan perundang-undangan. UU Perbendaharaan Negara memang memungkinkan menteri/pimpinan lembaga untuk membuka rekening untuk keperluan pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran di lingkungan kementerian negara/lembaga tersebut, atas persetujuan Bendahara Umum Negara (Pasal 29 Ayat (1) dan Pasal 31 Ayat (1) UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara). Namun demikian, pasal-pasal tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum yang membenarkan pembukaan rekening baru sebagaimana dilakukan di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penitipan sementara dana pribadi/ swasta hanya dapat dilakukan lewat
rekening penampungan Bank Indonesia. Ini merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum. Lebih jauh, harus dilakukan penyelidikan untuk melacak motif sesungguhnya dari segala tindak kelancangan dan penyalahgunaan wewenang yang terjadi di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dana Motorbike di BNP Paribas London kurang lebih senilai sembilanpuluh miliar rupiah akhirnya berhasil dikuasai oleh pengurus-pengurusnya. Para pengacara firma hukum Ihza & Ihza juga telah mendapatkan honorarium dan success fee yang nilainya sangat besar. Lalu, apa yang akan terjadi pada Menteri Yusril dan Menteri Hamid? Apakah kita dapat mempercayai begitu saja ketika kedua menteri menjelaskan ke publik mengenai motif mereka yang non-vested interest? Ataukah pembelaan keduanya itu semata pembelaan bagi penyelewengan kewenangan demi melancarkan urusan Tommy Soeharto? Tidak sedikit yang langsung mengendus “bau” kasus ini. Sungguh beralasan apabila kemudian banyak pihak yang menduga kuat adanya penyelewengan kewenangan. Namun demikian, pernyataan Wapres Jusuf Kalla mengenai kasus ini justru bertentangan dengan logika publik. Dugaan kuat adanya penyelewengan kewenangan dan korupsi tidak ditanggapi secara serius oleh Wapres. Ia justru mendukung tindakan kedua menteri yang dianggapnya telah berjasa mengembalikan dana yang tersangkut di luar negeri. Pendapat Wapres yang mengaitkan kembalinya dana pada Tommy Soeharto dengan perbaikan investasi adalah pendapat yang sama sekali tidak berdasar. Lagipula, dari mana ia bisa yakin bahwa Tommy akan menggunakan dana tersebut untuk melakukan investasi di dalam negeri? Bagaimana Seharusnya Sikap dan Tindakan Pemerintah? Masa pemerintahan SBY, pemberantasan tindak pidana korupsi menda-
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
patkan tantangan serius, ketika upaya pemberantasan korupsi sudah mulai menjangkau lingkungan terdekat presiden. Hingga kini publik terus memantau perkembangan penyelidikan kasus pencairan dana Hutomo Mandala Putra atau yang lebih dikenal sebagai Tommy Soeharto dan pemanfaatan rekening negara untuk keperluan itu, yang melibatkan dua pembantu presiden, yaitu Menteri Sekertaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin. Selain mengenai kedudukan dan kedekatan dua orang menteri tersebut dengan lingkar terdalam kekuasaan, kekhawatiran lain yang muncul dari kasus ini adalah masih kuatnya pengaruh rezim Orde Baru dalam mengintervensi birokrasi dan kebijakan. Dari dimensi etis, keterlibatan kantor penasehat hukum Ihza & Ihza melakukan pelanggaran etis, di mana relasi kekerabatan keluarga antara Yusril dan kantor Ihza & Ihza, dalam konteks Yusril sebagai pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan untuk kepentingan kantor Ihza & Ihza dapat didasari oleh ikatan kekerabatan, dan bukan atas dasar kepentingan publik, karena sulit untuk mengukur satu dengan lainnya. Dalam hal ini, dimensi etis merupakan dimensi yang sulit diukur dengan ukuran-ukuran normatif, sehingga pengukuran yang paling mudah dilakukan adalah Yusril menolak untuk mengurus proses yang melibatkan kantor Ihza & Ihza. Dimensi etika memang kelihatannya melihat suatu hal secara hitam-putih, tapi memang di situ pentingnya prinsip etis, karena ukurannya adalah pada boleh atau tidak boleh, dan baik atau tidak baik, atas dasar argumen etis. Argumen etis suatu tata-pemerintahan yang baik adalah profesionalisme, di mana unsur kepentingan (interests), baik kepentingan pribadi maupun kekeluargaan, harus ditanggalkan, dan semua yang mengandung potensi ke arah itu harus ditolak sedari awal
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
tahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang; pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Pasal 12 A (1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). (2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 12 B (1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 12 C (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. (3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. (4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
7