ANALISIS MINGGUAN
Hak-Hak Atas Tanah
PERHIMPUNAN PENDIDIKAN DEMOKRASI Vol.1 No.9
Minggu IV - Mei 2007
Kontroversi Sengketa Tanah di Meruya Kasus Puluhan Tahun Yang Belum Menemui Titik Terang Penyelesaian
B
ERITA di berbagai media massa dua minggu terakhir mengenai kasus sengeketa tanah di Meruya, Jakarta Barat, terus memicu kontroversi. Siapa pemilik sah dari tanah sengketa itu semakin menimbulkan tanda tanya. Sebenarnya Mahkamah Agung (MA) No.2863.K/PDT/1999 telah memutuskan PT. Portanigra sebagai pemilik sah tanah sengketa seluas lebih kurang 49,810/M2 tersebut. Namun persoalan tak berhenti sampai di situ, ribuan kepala keluarga yang sudah puluhan tahun tinggal di sana juga memiliki sertifikat hak milik sama seperti PT. Portanigra. Pertanyaannya adalah siapa yang betul-betul sah sebagai pemilik tanah tersebut? Sekiranya MA yang benar lewat keputusannya, maka bagaimana nasib ribuan KK tersebut? Kronologis Kasus Sengketa Tanah Meruya Setelah 20 tahun lebih mendiami tanah yang dimilikinya secara sah secara hukum, sekitar 21.760 warga (5.563 Kepala Keluarga) Meruya Selatan, Jakarta Barat, bak tersambar petir. Karena melayang berita, tanah yang mereka tinggali sekarang ini dimiliki pihak lain, yakni PT Portanigra. Hal ini terjadi karena PT Portanigra memenangkan tanah seluas lebih kurang 49 hektar di Meruya Selatan berdasarkan putusan MA No.2863.K/ PDT/1999 tanggal 26 Juni 2001. Atas putusan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Barat menetapkan jadwal eksekusi pada 21 Mei 2007. ... Bersambung ke Halaman 6
Dok. P2D (Robby Kurniawan)
Dok. P2D (Robby Kurniawan)
M
ENURUT Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Hak menguasai oleh negara tersebut memberi wewenang kepada negara untuk (i) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (ii) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (iii) menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria No.5/1960 atau UUPA). Khusus mengenai tanah, dalam UUPA telah disebutkan macam-macam hak atas tanah, antara lain: (i) hak milik, (ii) hak guna-usaha, (iii) hak guna-bangunan, (iv) hak pakai, (v) hak sewa, (vi) hak membuka tanah, (vii) hak memungut-hasil hutan, (viii) hakhak lainnya — yang ditetapkan oleh UU tersendiri — serta hak-hak yang sifatnya sementara (Pasal 16 UUPA). Dalam Pasal 53 UUPA disebutkan hakhak yang sifatnya sementara itu antara lain: hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian). Di antara berbagai hak ...Bersambung ke Halaman 4
2
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.9/2007
Cegah Agar Kasus Meruya Tidak Merunyam! Mendamaikan Kepastian Hukum dengan Keadilan
Dok. P2D (Robby Kurniawan)
P
UTUSAN MA No.2863 K/PDT/ 1999, Jo. No.364/PDT.G/1996/ PN.JKT.BAR., telah mengabulkan sebagian gugatan Penggugat (PT. Portanigra), yang salah satunya adalah, “Menghukum Tergugat I, II, III dan semua orang yang mendapat hak dari padanya untuk mengosongkan tanah-tanah milik adat tersebut dan menyerahkan dalam keadaan kosong kepada Penggugat”. Selain menimbulkan konsekuensi hukum, yaitu hapus dan beralihnya hak atas tanah yang dipegang sejumlah besar subyek hukum kepada PT. Portanigra, putusan MA itu sekaligus menimbulkan dampak sosial serius. Lebih dari 20 ribu jiwa penghuni tanah dan bangunan di lokasi sengketa terancam menjadi korban eksekusi, akan terusir dari tempat tinggalnya, dan sebagian besar dari mereka sangat mungkin menjadi tuna wisma. Proses Persidangan Salinan Putusan MA memuat faktafakta sebagai berikut: pada tahun
1972 dan 1973, PT. Portanigra telah membeli tanah milik adat dari Para Tergugat (H. Djuhri bin H. Geni, M. Yatim Tugono, dan Yahya bin H. Geni). Setelah jual-beli terjadi, Para Tergugat kemudian menjual untuk kedua kalinya tanah obyek jual beli itu dengan surat-surat palsu kepada pihak ketiga, antara lain: PT. Labrata, PT. Intercom, Pemda DKI, dan BRI. Penggugat kemudian mengadukan 3 orang tersebut yang akhirnya oleh pengadilan diputuskan bersalah dan dipidana karena memberikan keterangan palsu dan penggelapan. PT. Portanigra juga telah mengajukan gugatannya di PN Jakarta Barat. Terhadap gugatan tersebut, PN Jakarta Barat dalam putusannya tanggal 24 April 1997 No.364/Pdt.G/ 1996/PN.Jkt.Brt menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet Onvankelijkverklaard atau N/O). Dalam pengadilan tingkat banding, putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, dengan putusan tanggal 29 Oktober
1997 No.598/Pdt/1997/PT.DKI. Setelah itu, Penggugat kemudian mengajukan permohonan kasasi. MA menerima permohonan kasasi itu dan menimbang bahwa putusan PN dan Pengadilan Tinggi (judex facti) tidak cermat dan tidak teliti, salah menerapkan peraturan-peraturan yang berlaku, melanggar hukum yang berlaku, lalai memenuhi syaratsyarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, serta kurang memberikan pertimbangan hukum dalam memutus perkara sehingga bertentangan dengan Yurisprudensi MA. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, MA membatalkan Putusan PN dan Putusan Pengadilan Tinggi yang menguatkan, dan MA memutuskan untuk mengadili sendiri perkara itu. Putusan MA, sebagaimana telah kita ketahui, akhirnya memenangkan Penggugat. Proses peradilan yang pada akhirnya menghukum semua orang yang mendapatkan hak dari Para Tergugat patut disayangkan. Betapa tidak, mereka diabaikan dalam pro-
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.9/2007 ses persidangan sejak dari PN, di mana mereka semestinya diberi kesempatan untuk membuktikan dan mempertahankan hak-haknya. Padahal, Buku I, Titel I bagian ke lima dari Reglemen Hukum Acara Perdata (Pasal 70-76) memungkinkan untuk menarik pihak lain masuk dalam perkara (vrijwaring). Proses peradilan tanpa vrijwaring merugikan pihak ketiga. Mengapa demikian? Karena putusan MA merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap
Jika eksekusi dilaksanakan, maka lahan yang di atasnya telah dibangun ribuan rumah harus dikosongkan untuk kemudian diserahkan pada PT. Portanigra. Sungguh, apabila hal itu terjadi maka rasa keadilan kita terusik! sehingga eksekusi dapat dijalankan langsung, bahkan tanpa perlu ada amar yang menyatakan putusan dapat dijalankan terlebih dahulu (uitverbaar bij voorraad). Artinya, meskipun Pihak Ketiga mengajukan perlawanan (derden verzet) terhadap eksekusi, hal tersebut tidak dapat menghambat pelaksanaan eksekusi. Kepastian Hukum? Menurut Suparjo Sujadi, pengajar hukum agraria FHUI, PT. Portanigra dan warga Meruya adalah korban sistem. Lebih lanjut diungkapkannya
bahwa sistem pendaftaran tanah kita memang tidak menjamin adanya kepastian hukum. Stelsel pendaftaran hak atas tanah yang berlaku di pelbagai negara dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu sistem positif dan sistem negatif. Dalam sistem positif, subyek yang namanya sudah terdaftar dalam Buku Tanah, haknya mempunyai kekuatan positif dan sah menurut hukum, sehingga tidak bisa diganggu gugat. Sebaliknya, dalam sistem negatif hak yang dimiliki oleh pemegang hak masih memungkinkan dibantah sepanjang bantahan-bantahan itu dapat dibuktikan dengan memberikan alat-alat bukti yang cukup kuat (Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti: 1988). Dengan kata lain, dalam sistem negatif pemerintah tidak menjamin kebenaran data yang terdapat dalam daftar-daftar umum pendaftaran hak. Dengan melihat aturan dalam PP No.10/1961 yang telah disempurnakan dengan PP No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, Indonesia dapat dikatakan menganut sistem negatif yang mengandung unsur positif (quasi positif) (U. Indriyanto: 2006). Jadi, meskipun sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, namun tetap belum memberikan suatu jaminan pasti. Jaminan Keadilan Saat ini, lahan sengketa di Kelurahan Meruya Selatan telah ditempati ribuan bangunan dan ditinggali puluhan ribu warga. Mereka telah membeli tanah dan mengurus segala persyaratan sesuai dengan peraturan sehingga memperoleh tanda bukti hak yang berupa sertifikat. Mereka juga secara rutin memenuhi kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Namun demikian, putusan MA telah mengabaikan fakta tersebut dan sekonyong-konyong
3
merampas hak mereka. Jika eksekusi dilaksanakan, maka lahan yang di atasnya telah dibangun ribuan rumah harus dikosongkan untuk kemudian diserahkan pada PT. Portanigra. Sungguh, apabila hal itu terjadi maka rasa keadilan kita terusik! Bagaimana tidak, meskipun PT. Portanigra yang menjadi korban telah mendapatkan kepastian hukum untuk memperoleh kembali haknya, namun para warga yang sama-sama menjadi korban, semestinya juga mendapat porsi keadilan. Hukum harus mampu menghadirkan keadilan, tidak hanya kepastian. Terlebih, keadilan bagi pihak yang paling tidak diuntungkan. (**)
Peraturan Pemerintah No.24/1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 32 (1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. (2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.
4
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.9/2007 untuk mengeluarkan tanda bukti tersebut. Inilah salah satu fungsi BPN yang ditunjuk untuk mengurusi masalah pertanahan di Indonesia. Tanda bukti hak yang diakui oleh hukum Indonesia adalah tanda bukti berupa surat, yaitu sertifikat. Sertifikat inilah sebagai penanda bahwa suatu bidang tanah telah didaftarkan haknya. Sedangkan alat bukti surat lainnya, seperti Girik, atau Letter C, Letter D atau Petuk, atau alat bukti pembayaran PBB lainnya, tidak dianggap sebagai
Sambungan dari Halaman 1 Hak-hak Atas Tanah
tersebut, hak milik merupakan hak yang paling tinggi dibandingkan hak-hak lainnya. Hubungan hukum antara orang dan tanah akan mempunyai jaminan dan kepastian hukum ketika pemegang hak mempunyai tanda bukti hak yang diakui oleh negara. Untuk mendapatkan tanda bukti ini pemegang hak musti mendaftarkan haknya kepada instansi yang ditunjuk
bukti hak atas tanah, melainkan hanya dianggap sebagai hak menguasai saja. Oleh karena itu, kedudukannya sebagai bukti hak atas tanah masih sangat lemah dibandingkan sertifikat. Di sinilah pentingnya pendaftaran tanah untuk memperoleh jaminan dan kepastian hukum hak atas tanah. Pengaturan mengenai tata cara pendaftaran tanah dan persyaratanpersyaratannya diatur dalam PP No.24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.(*)
HAK MILIK
HAK GUNA USAHA
HAK GUNA BANGUNAN
HAK PAKAI
Pengertian
Hak milik adalah hak turunmenurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri.
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain.
Yang Dapat Memegang (Subyek)
z
Hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik z Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
z
-
Tanah yang Dapat Dikenai (Obyek)
z
WNI Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
-
z
Jangka Waktu
-
z
z
WNI Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Tanah Negara; Tanah Hak Pengelolaan; z Tanah Hak Milik.
Tanah Negara.
Luas
z
Paling lama 35 tahun Dapat diperpanjang lagi paling lama 25 tahun. z Pemegang hak dapat diberikan pembaharuan HGU di atas tanah yang sama.
z
Tanah Negara; Tanah Hak Pengelolaan; z Tanah Hak Milik.
z
z
z
z
-
-
Minimum 5 hektar. z Maksimum kepada perorangan 25 hektar. z Kepada badan hukum (tidak ada ketentuan) z
WNI Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; z Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah; z Badan-badan keagamaan dan sosial; z Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; z Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; z Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Intemasional. z
Paling lama 30 tahun Dapat diperpanjang lagi paling lama 20 tahun. z HGB atas tanah negara dapat diperpanjang atau diperbaharui z z
Paling lama 25 tahun Dapat diperpanjang lagi paling lama 20 tahun z Atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu z z
Pembebanan
Dapat dijadikan jaminan Dapat dijadikan jaminan utang Dapat dijadikan jaminan utang de- Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan utang dengan dibebani Hak dengan dibebani Hak Tanggungan ngan dibebani Hak Tanggungan Tanggungan
Peralihan
Hak milik dapat beralih dan Peralihan terjadi dengan cara: jual Peralihan terjadi dengan cara: jual Peralihan terjadi dengan cara: jual beli; dialihkan kepada pihak lain. beli; tukar menukar; penyertaan beli; tukar menukar; penyertaan tukar menukar; penyertaan dalam dalam modal; hibah; pewarisan modal; hibah; pewarisan dalam modal; hibah; pewarisan
Hapusnya
z
Pencabutan hak untuk kepentingan umum z Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; z Karena diterlantarkan; z Karena tanahnya musnah
Tidak terpenuhinya kewajibankewajiban pemegang hak z Karena putusan pengadilan z Dilepaskan secara sukarela z Dicabut berdasarkan UU No. 20/1961; z Diterlantarkan; z Tanahnya musnah; z
Tidak terpenuhinya kewajibankewajiban pemegang hak z Karena putusan pengadilan z Dilepaskan secara sukarela z Dicabut berdasarkan UU No. 20/1961; z Diterlantarkan; z Tanahnya musnah; z
Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak z Karena putusan pengadilan z Dilepaskan secara sukarela z Dicabut berdasarkan UU No. 20/1961; z Diterlantarkan; z Tanahnya musnah; z
Sumber: Diolah dari UUPA No.5/1960 dan PP No.40/1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.9/2007
5
Menelisik Konsep Tanah Negara
S
ALAH satu hal yang pelik dalam sengketa pertanahan adalah konsep tanah negara. Tidak sedikit orang yang dibuat bingung dengan konsep ini. Secara umum di bawah ini akan dideskripsikan mengenai konsep tanah negara.
Agrarische Wet 1870 dan aturan pelaksanaannya Agrarische Besluit tahun 1870, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa semua tanah adalah milik negara, kecuali tanahtanah yang dapat dibuktikan sebagai hak milik seseorang.
Tempophoto (Robin Ong)
Tanah dan hutan adalah milik raja. Demikian pemahaman banyak orang di wilayah nusantara ketika Republik Indonesia belum berdiri. Konsep ini kemudian diadopsi oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui Gubernur Jenderal Daendels, yang memerintah Pulau Jawa pada tahun 1808-1811. Hak menguasai tersebut memberi otoritas kepada Deandels untuk menjual atau menyewakan bidangbidang tanah di Pulau Jawa kepada para pemodal. Di sinilah awal mula kemunculan tanah partikelir. Konsep tersebut sangat mendukung kelancaran pelaksanaan cultuurstelsel yang diterapkan Gubernur Jenderal Van den Bosch tahun 1830, dengan anggapan bahwa penguasa sebagai pemilik tanah dapat dengan leluasa mengatur peruntukan tanah. Pada tahun 1870 konsep tanah milik negara diformalkan melalui
Selanjutnya, konsep tersebut lebih dikenal sebagai domeinverklaring (pernyataan tanah negara). Konsep ini kemudian dianut pula oleh Boschordonantie van Java en Madoera 1927 yang mengatur mengenai kehutanan. Tentu saja, akibat aturan-aturan ini, tanah atau hutan yang tidak dapat dibuktikan secara hukum oleh pemiliknya menjadi milik negara, termasuk di situ tanah-tanah dan hutan adat, atau tanah milik perseorangan yang tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah menurut hukum. Meskipun Indonesia telah merdeka, aturan ini masih terus diterapkan sampai akhirnya terbentuk UU No.5/1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA mencabut Agrarische Wet 1870 beserta segala aturan pelaksanaannya. Sayangnya, UUPA tidak mencabut Boschordonantie 1927 dan
peraturan-peraturan kehutanan lainnya, sehingga terjadi kontradiksi hukum antara hukum tanah di luar kawasan hutan dan hukum tanah dalam kawasan hutan. UU No.5/1967 tentang Kehutanan — yang lahir di masa Soeharto — juga tidak mencabut Boschordonantie itu, sehingga sampai sekarang terjadi perbedaan pengaturan antara tanah dalam kawasan hutan dan tanah di luar kawasan hutan, walaupun UU No.5/1967 telah diganti dengan UU No.41/1999 dan mencabut Boschordonantie 1927. Meskipun UUPA secara tegas menyatakan bahwa konsep domeinvelkraling bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, tetapi konsep ini masih kerap diterapkan. Sehingga tanah atau hutan yang tidak dapat dibuktikan sebagai milik, kerap diklaim sebagai tanah atau hutan negara — yang kemudian diserahkan negara kepada pemodal. Berikutnya terjadilah konflik, baik secara vertikal maupun horisontal.(***)
Analisis Mingguan ini diterbitkan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi Abdul Qodir, Daniel Hutagalung, Donny Ardyanto, Elisabet R. Kuswijayanti, Fajrimei A. Gofar, Isfahani, Otto Pratama, Rachland Nashidik, Robby Kurniawan, Robertus Robet, Ronny Agustinus, Santi Nuri Dharmawan
Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
6
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.9/2007
Sambungan dari Halaman 1 Kontroversi Sengketa Tanah di Meruya
Berawal di tahun 1972, di mana Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono melakukan transaksi jualbeli tanah dengan PT. Portanigra dalam bentuk surat kepemilikan tanah berupa girik. Ketiga orang tersebut kembali melakukan transaksi dengan pihak lain dengan memalsukan girik yang sebelumnya telah dijual ke PT. Portanigra. Di antaranya telah terjual kepada PT. Intercone 2 hektar dan PT. Copylas 2,5 hektar pada 1975, kepada BRI 3,5 hektar pada 1977, dan 15 hektar dijual ke Pemerintah DKI Jakarta pada 1974 (Tempo, Edisi XII/2007). Pada tahun 1978, Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pusat pimpinan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo menemukan sindikasi mafia tanah tersebut. Kasus tersebut pun akhirnya dimejahijaukan pada tahun 1986 dengan putusan hukuman satu tahun penjara dijatuhkan kepada ketiga orang tersebut. Tetapi putusan itu tidak
mengembalikan kepemilikan tanah PT. Portanigra. Lalu PT. Portanigra menempuh peradilan perdata dengan menggugat tiga orang itu pada 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas lebih-kurang 49 hektar yang diklaim milik Portanigra. Namun, karena warga di tanah sengketa tak turut digugat, gugatan PT. Portanigra kandas di pengadilan. Sita jaminan pun dicabut. Karena kekurangan pihak ini pula gugatan Porta kandas lagi di tingkat banding. MA mengabulkan permohonan PT. Portanigra pada 2001. Salah satu dasar putusannya adalah sita jaminan ditetapkan pengadilan atas 44 hektar lahan tersebut. Akhirnya putusan MA memenangkan PT. Portanigra pada tahun 2001 dengan penetapan eksekusi baru yang keluar 9 April 2007 dengan ketetapan pada tanggal 21 Mei 2007 akan dilakukan eksekusi. Sampai tulisan ini dibuat, warga masih terus melakukan pembelaan. Mulai dari gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat sampai dengan pengajuan fatwa ke
MA atas keputusan eksekusi MA tersebut. Pembelaan tersebut memperoleh hasil di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang dinyatakan oleh Ketua PN Hariyanto dengan kepastian bahwa pada 21 Mei mendatang, eksekusi tanah di Meruya Selatan tidak akan dilakukan. Selain itu, dukungan kepada warga pun banyak berdatangan. Mulai dari Pemda DKI Jakarta, DPRD Jakarta, Badan Pertanahan Nasional (BPN), DPR RI, dan Komisi Yudisial (KY). Kalau didasarkan pada norma hukum, maka putusan MA memiliki kekuatan hukum untuk menentukan pemilik sah tanah itu yakni PT. Portanigra, hanya saja nasib warga yang kemudian menjadi soal. Kesimpulan awal yang bisa diambil adalah: baik warga maupun PT. Portanigra menjadi korban penipuan jual beli tanah. Sekarang menjadi tugas Pemerintah, DPR dan lembaga-lembaga negara lainnya untuk menyelesaikan kasus ini dengan baik dan damai, tanpa harus membuat masalahnya menjadi semakin runyam. (*****)
Dok. P2D (Robby Kurniawan)
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.9/2007
7
Beberapa Pola Sengketa Pertanahan di Kota Besar
K
ASUS-KASUS yang disajikan berikut ini, mungkin tidak bisa menggambarkan seluruh pola konflik tanah di kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Makassar. Menurut BPN, jumlah kasus konflik pertanahan di seluruh Indonesia mencapai 2865 kasus (Medan Bisnis, 5 /11/ 2006). Contoh konflik atau sengketa tanah yang diambil, sangat khas kota besar. Sangat terbatasnya lahan atau tanah di perkotaan menimbulkan benturan antara pemerintah, pengusaha dan penduduk, sehingga muncul pola-pola konflik atau sengketa yang boleh dikatakan jarang terjadi di pedesaan. Duduki Dulu Perkara Belakangan Pola ini terbentuk, ketika para pendatang tidak mempunyai tempat untuk tinggal. Sementara mereka tidak mempunyai uang untuk menyewa tempat, maka pilihannya adalah tanah atau lahan kosong. Apakah itu di kolong jembatan, pinggir kali, atau tanah kosong yang tidak berpenghuni. Makin lama jumlahnya makin banyak, tidak jarang kemudian menjadi perkampungan sendiri. Sekitar 150 ribu warga di kawasan Jakarta Utara ternyata belum memiliki status kependudukan yang jelas, padahal sudah menetap puluhan tahun. Mereka tersebar di lima kelurahan di tiga kecamatan, yakni Kelurahan Kampung Sawah, Cilincing, dan Semper Timur di Kecamatan Cilincing; Kelurahan Pejagalan di Penjaringan dan Kelurahan Koja di Kecamatan Koja. Supardi Setiabudi, Kepala Bagian Administrasi Wilayah Kantor Kota Madya Jakarta Utara menyatakan, “Mereka umumnya menempati lahan sengketa, lahan fasilitas umum, bantaran sungai, dan pinggi-
ran rel kereta api, sehingga status kependudukannya sulit dipenuhi”, (Koran Tempo, 20/3/2007). Kasus ini terkuak ketika pemerintah DKI Jakarta hendak membayar ganti rugi, atas tanah yang akan dijadikan jalan tol. Di Medan, sengketa tanah dengan pola yang sama juga terjadi. Dalam hal ini pihak yang mengklaim sebidang tanah Grand Sultan No.525, menggunakan jasa “preman” untuk mengintimidasi penduduk dan pemilik tanah. Tanah Grand Sultan No.525 itu, kini telah dikuasai oleh pihak ketiga, yakni mafia tanah berinisial Ng, Bd dan oknum anggota DPRD Medan berinisial HM dan oknum pengusaha PT. BI. Datuk Ahmad sebagai pemilik tanah, terkejut ketika PT. Anjur Nauli mempunyai HGB atas tanahnya. Pada tingkat pengadilan negeri, PT. Anjur Nauli dan tergugat lainya dinyatakan menang. Namun pada tingkat banding, Datuk Ahmad ditetapkan sebagai pemilik yang sah. Bahkan, dari temuan di lapangan, di tanah sengketa itu telah dibangun tembok pagar keliling setinggi tiga meter dan puluhan bangunan rumah Perumahan Sinar Mas tanpa ada izin dari Dinas TKTB Pemkot Medan. Kasus yang mirip juga terjadi di Makassar, ketikaYayasan RS Faisal diketahui meminjam tanah untuk mengurus HGB. Sertifikat itu kini masih dipegang BPN. Tapi setelah sekian lama, tanah seluas 5.209 meter milik Ahmad Laga Daeng Nipi tersebut, diklaim milik Yayasan RS Faisal. Buat Sertifikat, Lalu Jual Atau Perkarakan Di Pengadilan Pola berikutnya adalah dengan membuat sertifikat tanah “aspal” (asli tapi palsu). Dengan berbekal sertifikat
aspal tersebut tanah dapat direbut atau kemudian menjadi sengketa. Misalnya, pada kasus sengketa tanah antara pemerintah Kota Medan dengan masyarakat. Ilham Nasution, SE, yang mengaku kuasa dari ahli waris H. Ridwan Daulay yang mengklaim pemilik tanah seluas 6.500/M2 di Jalan Karya Jasa, mengadu ke DPRD Medan berdasarkan sertifikat No.8 tahun 1969. Namun atas tanah yang sama PT. Griya Riatur Indah Medan (GRI) juga mempunyai sertifikat HGB No.479 tahun 1996. Ceritanya, pada awal Februari 2005, PT. GRI Medan menjual tanah itu kepada Pemkot Medan seharga Rp500.000/M2 ditambah dengan tukar guling eks Terminal Sei Wampu di Jalan K.H. Wahid Hasyim. Kemudian, hasil penjualan tanah itu digunakan untuk membayar utang EHS di Bank Sumut. Transaksi ini diperkuat pula oleh Kepala BPN Medan dengan suratnya No.500.846 tanggal 21 Juli 2005. Sekarang, di atas tanah tersebut berdiri kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda)Medan (Sinar Indonesia Baru, 20/6/2006). Penggusuran warga di Jalan Andi Petarani, Makassar, Sulawesi Selatan, juga berawal dari sertifikat “aspal”. Menurut korban gusuran, mereka menempati tanah tersebut karena diwariskan oleh seseorang yang bernama Bacolo. Tapi mereka dikalahkan oleh adanya sertifikat yang dimiliki oleh seorang pengusaha bernama Adaming. Untuk membuktikan bahwa sertifikat tersebut sah atau tidak, maka dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium di Kepolisian Makassar. Hasil tes laboratorium membuktikan bahwa sertifikat tersebut palsu. Walaupun terbukti sertifikat tersebut palsu, warga tetap saja digusur. (Detik.com, 25/11/2005).
8
Analisis Mingguan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi Vol.1/No.9/2007
Bekerjasama Dengan Aparat Pemerintah Pola terakhir adalah memanfaatkan Pemerintah Daerah untuk menguasai tanah. Biasanya dimulai dengan penyebaran isu dan opini. Misalnya keindahan, keamanan atau mengatasnamakan pembangunan. Contoh kasus yang menarik adalah, pelurusan aliran Sungai Deli di Medan. Sebelum digusur, sepanjang sungai dulunya perkampungan padat dan banyak terdapat pemukiman kumuh. Dengan alasan pemukiman kumuh tidak layak secara estetika dan citra Kota Medan, Beni Basri, melalui PT. Alfinky Binamitra Sejahtera miliknya, mengajukan permohonan pada pemerintah kota untuk membersihkan pinggir kali tersebut. Ternyata tidak hanya membersihkan pinggiran sungai yang dilakukan, tapi juga memotong aliran sungai dengan meluruskan alirannya. Akibatnya masyarakat sekitar hulu sungai selalu kebanjiran. Frekuensinya bisa enam sampai sepuluh kali dalam setahun. Dari hasil pelurusan sungai tersebut, PT. Alfinky Binamitra Sejahtera memperoleh lahan tambahan 4,8 hektar, setelah memperoleh 1,2 hektar hasil penggusuran warga. Sekarang, di atas tanah terebut telah
berdiri kompleks pertokoan (Seputar Indonesia, 1/10/2006). Di Surabaya, sebuah perkumpulan olah raga yang berada di Jalan Embong Sawo, Surabaya harus kehilangan lapangan tenis mereka. Menurut Ketua Perkumpulan Olah Raga Embong Sawo (PORES) Dr. Lie Khaij Sing, keluarga mereka sudah menempati tanah seluas 16.957 meter persegi tersebut sejak tahun 1905. Sampai sekarang tanah tersebut digunakan untuk fasilitas lapangan tenis. Awalnya, tanah dan bangunan itu dikelola NV. Soerabaiasch Sporterrein lalu dilanjutkan oleh Surabaja Cricket en Lawn Tennis Club (SCFTC) yang didirikan sejak 14 Agustus 1897. Kemudian tanah dan bangunan itu dikelola PORES hingga sekarang. PORES tak pernah memindahan hak atau menjaminkan, dengan cara apapun baik kepada perorangan maupun bank. Tapi entah bagaimana, terbitlah sertipikat HGB atas nama PT. Inter Surabaya Intiland, yang dikeluarkan oleh BPN Surabaya tahun 1989. Dan rencananya lahan tersebut akan dijadikan salah satu pusat bisnis Surabaya, kerjasama antara PT. Inter Surabaya Intiland dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya (Surabaya Pos, 4/12/2006).
Dari kasus di atas, selain pihak yang bertikai, konflik itu juga melibatkan pihak lain. Salah satunya BPN. Keterlibatan BPN sangat kuat dalam setiap kasus. Terdapatnya sertifikat ganda atau munculnya sertifikat atas nama seseorang atau lembaga, yang sebenarnya tidak mempunyai hak atas tanah tersebut. Ini bisa menjadi tanda bahwa ada yang tidak beres di BPN. Apakah aparataparatnya yang menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan, atau sistem keamanan dokumentasi dan data yang bocor. Pihak lain yang juga memainkan peran di sini adalah Pemerintah Daerah (Pemda). Dalam banyak kasus Pemerintah Daerah lebih mengedepankan kepentingan ekonomi yang mengorbankan penduduk. Salah satu kelompok yang menuai rejeki dari konflik tersebut adalah mafia tanah dan organisasi atau orang yang disewa salah satu pihak yang bertikai. Bahkan tidak jarang konflik terjadi karena ulah mafia tanah ini, melalui praktek jual beli dan penggandaan sertifikat, Sedangkan kelompok sewaan disuruh untuk mengintimidasi dan menteror pihak lawan yang membayar mereka. Selain itu mereka juga dipakai untuk menjaga dan melakukan eksekusi. (***)
Alat Bukti Yang Sering Digunakan Dalam Sengketa Tanah No 1
Alat Bukti Sertipikat
Keterangan z
Alat bukti hak atas tanah paling kuat Sebagai bukti bahwa tanah telah didaftarkan z Dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Akta Tanah (BPN, Notaris atau Camat). Daftar riwayat penguasaan bidang tanah dalam buku desa, biasanya dipegang oleh Sekretaris Desa Disebut juga Petuk D atau Girik, alat bukti kepemilikan sebelum ada desa. Menggantikan sertipikat Cap Singa. z Bukti girik ini musti dikuatkan pula dengan surat keterangan yang dikeluarkan Desa/Lurah. z Girik bukanlah bukti kepemilikan tetapi bukti penguasaan z Dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Misalnya: akta jual-beli, wakaf, warisan, hibah z
2
Letter C Desa
3
Letter D
4
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
5
Surat bukti lain yang menerangkan peralihan hak