Analisis Metode Perhitungan Bagi Hasil Pada Investasi Mudharabah Berdasarkan PSAK 105 di Kopwan Syari’ah Sejahtera Lamongan *)
Abdul Ghofur *)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan
ABSTRAKSI Islam mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif, karena itu islam mendorong seluruh masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang untuk membungakan uang. Investasi merupakan suatu kegiatan usaha yang mengandung risiko karena adanya unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) juga tidak pasti dan tidak tetap. Sedangkan membungakan uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap. PENDAHULUAN Bagi hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar-kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi. Masalah yang hendak dicari jawabanya a dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana metode perhitungan bagi hasil pada investasi mudharabah dengan revenue sharing di lembaga keuangan syari‟ah ? 2. Apakah metode perhitungan bagi hasil pada investasi mudharabah di KOPWAN SYARI‟AH SEJAHTERA LAMONGAN sudah sesuai dengan PSAK 105 ? Metode bagi hasil terdiri dari dua sistem: a. Bagi untung (Profit Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Dalam system syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah b. Bagi hasil (Revenue Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari total pendaptan pengelolaan dana. Dalam sistem syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah. mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modalnya sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Jenis-Jenis Mudharabah a. Mudharabah Muthlaqah "Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis." Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if'al ma syi'ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi
kekuasaan sangat besar. Jenis usaha disini mempunyai syarat yaitu aman, halal dan menguntungkan. b. Mudharabah Muqayyadah Mudharabah muqayyadah atau istilah lainnya restricted mudharabah/specified mudharabah adalah mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha. c.Mudharabah Musytarakah Mudharabah Musytarakah adalah bentuk mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi. Akad Mudharabah Musytarakah ini merupakan solusi sekiranya dalam perjalan usaha, pengelola dana memiliki modal yang dapat dikontribusikan dalam investasi, sedangkan di lain sisi, adanya penambahan modal ini akan dapat meningkatkan kemajuan investasi. METODE PENELITIAN jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif kualitatif dengan dasar pendekatan pada studi kasus, yaitu penelitian yang memberikan gambaran penjelasan secara teoritik yang didasarkan pada masalah yang diteliti yang ada di lapangan serta mengeksplorasikan ke dalam bentuk laporan. Populasi yang digunakan oleh penulis adalah 10 nasabah investasi mudharabah. Penulis menentukan jumlah sampel yang diambil adalah 5 nasabah investasi mudharabah. adalah metode pengambilan sampel probabilitas/acak (random sampling), yaitu suatu metode pemilihan ukuran sampel dimana setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel dengan memberikan pertanyaan kepada 5 nasabah pembiayaan mudharabah yang dianggap sudah mewakili dan dapat memberikan informasi yang jelas tentang hal-hal yang dibutuhkan oleh penulis. penulis akan menganalisis cara pembayaran pembiayaan mudharabah dengan metode revenue
sharing yang sesuai dengan PSAK 105. Langkahlangkah yang dilakukan dalam menilai kesesuaian tersebut adalah sebagai berikut: a. Cara pembayaran angsuran bagi hasil yang dilakukan setiap bulan disesuaikan dengan nisbah bagi hasil dari keuntungan yang didapat oleh nasabah; b. Angsuran pokok dibayar setiap bulan. Berdasarkan rumus tersebut kemudian dianalisis dengan analisis kualitatif, metode yang digunakan dalam proses penalarannya yaitu metode induktif. Metode induktif adalah proses logika yang berangkat dari data empirik lewat studi lapangan menuju kepada teori. PEMBAHASAN Penilaian pada metode perhitungan bagi hasil pada pembiayaan mudharabah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang metode perhitungan bagi hasil yang dipakai pada KOPWAN SYARI‟AH SEJAHTERA Lamongan, karena dengan penelitian tersebut akan mengetahui metode perhitungan bagi hasil yang digunakan KOPWAN SYARI‟AH SEJAHTERA Lamongan sesuai dengan PSAK 105 Dalam PSAK 105 paragraf 22: “Pengakuan penghasilan pada usaha mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil atas realitas penghasilan usaha dari pengelolah dana. Tidak diperkenankan mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha” Pada transaksi di KOPWAN SYARI‟AH SEJAHTERA belum sesuai karena KOPWAN Syari‟ah Sejahtera mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha bukan berdasarkan laporan bagi hasil atas realitas penghasilan usaha dari pengelolah dana sebagaimana yang terdapat pada (PSAK 105 paragraf 22) Dalam PSAK 105: Paragraf 28 “Bagi hasil mudharabah dapat menggunakan bagi laba (profit sharing) atau bagi hasil (revenue sharing)” Pada transaksi di di KOPWAN SYARI‟AH SEJAHTERA sudah sesuai karena KOPWAN Syari‟ah Sejahtera menghitung bagi hasil dengan revenue sharing sebagaimana yang terdapat pada (PSAK 105: Paragraf 28) Dalam PSAK 105: Paragraf 34 “Hasil investasi dibagi antara pengelolah dana (sebagai mudharib) dan pemilik dana sesuai nisbah yang disepakati, selanjutnya bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelolah dana ( sebagai mudharib) tersebut dibagi antara pengelolah dana dengan pemilik dana sesuai porsi modal masingmasing” Pada transaksi di KOPWAN SYARI‟AH SEJAHTERA sudah sesuai karena KOPWAN Syari‟ah Sejahtera menghitung bagi hasil sesuai nisbah yang disepakati sebagai mana terdapat pada (PSAK 105: Paragraf 34)
Dalam PSAK 105: Paragraf 27 “Pengelolah dana mengakui pendapatan atas penyaluran dana syirkah temporer secara bruto sebelum dikurangi dengan bagian hak pemilik dana” Pada transaksi di KOPWAN SYARI‟AH SEJAHTERA sudah sesuai karena KOPWAN Syari‟ah Sejahtera menghitung bagi hasil dengan revenue sharing sebagaimana yang terdapat pada (PSAK 105: Paragraf 27) KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN penulis menganalisis metode yang digunakannya adalah metode revenue sharing, yang lebih menguntungkan pihak LKS tersebut, dengan alasan sebagai berikut: 1. Metode revenue sharing lebih mudah digunakan oleh KOPWAN SYARI‟AH SEJAHTERA Lamongan. 2. LKS mudah membuat standar harapan bagi hasil dari nasabah pembiayaan 3. LKS tidak menanggung resiko biaya-biaya dari pengelolaan usaha nasabah yang dibiayai oleh LKS dikarenakan LKS tidak ikut mengelolah. 4. Metode revenue sharing lebih maslahah dan adil bagi kedua belah pihak (LKS dan nasabah). SARAN 1. Semoga penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen KOPWAN SYARI‟AH SEJAHTERA dalam menerapkan metode perhitungan bagi hasil pada pembiayaan mudharabah. 2. KOPWAN SYARI‟AH SEJAHTERA sebaiknya tetap menggunakan metode revenue sharing dalam pembiayaan mudharabahnya, karena metode revenue sharing ini lebih menguntungkan serta sudah sesuai dengan PSAK syari‟ah 105 3. Penelitian Selanjutnya Penelitian ini masih memiliki keterbatasan dan perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengembangkan beberapa hal : Pertama, objek dalam penelitian adalah produk pembiayaan Kopwan Syariah Sejahtera. Yang mungkin bisa dicoba dengan obyek Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Unit Usaha Syariah, dan Badan Pembiayaan Syariah yang kesemuanya mempunyai karakter yang berbeda. Oleh sebab itu penelitian selanjutnya dapat difokuskan pada objek penelitian dengan spesifikasi khusus untuk masing-masing bentuk LKS (Lembaga Keuangan Lembaga Syariah) / KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) sehingga diharapkan dapat memberi hasil yang lebih baik. Kedua sampel dalam penelitian ini hanya menggunakan satu tahun, selanjutnya diharapkan periode penelitian ditambah. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Petunjuk Pelaksanaan Operasional Koperasi Jasa Keuangan Syari‟ah, Dinas Perindustrian, Perdagangan Dan Koperasi Provinsi Jawa Timur Antonio Syafi‟I, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, 2001, Gema Insani Press, Jakarta. A. Perwataatmadja, Karnaen dan Syafi‟I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, 1992, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta. Eva Arfiah Kirni, Analisis Pengaruh Tingkat Bagi Hasil, Dana Pehak Ketiga Dan Non Performing Financing terhadap Volume Pembiayaan Mudharabah 2007, UNSOED, Surakarta Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syariah, 2001, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan Bank Indonesia, Jakarta. Karim, Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, 2004, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin Pada Bank Syariah, 2004, UII Press, Yogyakarta.
Ridwan, Muhammad, Manajemen Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), 2004, UII Press, Yogyakarta. Soeratno dan Lincolin Arsyad, Metodologi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis, 1995, UPP Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta. Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, 2004, Ekonisia, Yogyakarta. Suseno, Priyonggo dan Heri Sudarsono, IstilahIstilah Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, 2004, UII Press, Yogyakarta. Undang-undang No.10 Thn. 1998. Umi Fauziyah, Analisis metode perhitungan bagi hasil berdasarkan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional, 2006, STAIN Surakarta, Surakarta. Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, 2005, PT. Grasindo, Jakarta. Wiroso PSAK 101-110 , 2010, Jakarta
Pergeseran Pola Pernikahan Perempuan Jawa Madekhan*) *)
Dosen Prodi Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Lamongan
Abstract Artikel berikut berusaha menggambarkan perubahan pola pernikahan perempuan di keluarga Jawa. Latar kajian berada pada perubahan sosial yang terjadi di ruang institusi agama, keluarga, sekaligus relasi masyarakat patriarki. Melalui ketiga ranah perubahan demikian, akan digali implikasi lanjutan, terutama pada (1) pergeseran pola pernikahan perempuan di Jawa, dan (2) keberdayaan perempuan. Fenomena perubahan institusi keluarga terlihat dari pergeseran menuju keluarga inti (nuclear family), pola hubungan yang lebih egaliter, ukuran keluarga yang semakin kecil, dan menurunnya pasangan pernikahan usia dini. Pada tataran pendidikan, perempuan pada keluarga Jawa juga semakin memiliki peluang untuk melanjutkan pendidikan yang letaknya jauh dari komunitas tempat tinggalnya, sekaligus ke jenjang pendidikan tinggi. Hal ini berimplikasi pada semakin kecilnya peluang perkawinan pada usia dini dan pola perjodohan oleh orang tua.
A.
Perempuan Dalam Institusi Agama Dan Keluarga Jawa
Indonesia adalah negara yang besar dan luar biasa beragam, yang populasinya mencapai 220 juta orang tersebar di ribuan pulau dengan sekitar tiga ratus kelompok etnis, di antaranya yang paling penting dan menyebar luas adalah masyarakat Jawa. Berkenaan dengan kehidupan beragama, sebagian besar agama-agama besar dunia terwakili di Indonesia. Selain agama-agama lokal dan kepercayaan animistis. Di antara agama ini, Islam menduduki sekitar 87 persen dari populasi, membuatnya sebagai kelompok agama terbesar di negara ini, dan sangat mendominasi kehidupan masyarakat. Selain itu, Indonesia secara tradisi sangat berbeda dari Timur Tengah atau Barat atau Asia Selatan, terutama terkait dengan tradisi kebebasan yang lebih besar bagi perempuan di tempat publik. Seperti yang telah disebutkan di atas, dominasi sosial dan politik masyarakat Jawa adalah fitur dari masyarakat Indonesia. Masyarakat Jawa, dengan budaya dan tradisinya, mendominasi sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya. Hegemoni budaya Jawa dalam masyarakat Indonesia terjadi karena dukungan politik, sistem pendidikan formal dan media. Nilainilai masyarakat Jawa, pandangan dan gaya hidup telah menjadi sumber dan referensi standar bagi banyak cita-cita dan nilai-nilai masyarakat yang lebih luas, untuk tidak menyebut masyarakat Indonesia modern1. Dalam pandangan masyarakat Jawa, nasib perempuan secara utama berpusat pada peran perempuan sebagai istri dan ibu. Ada pembenaran budaya secara umum untuk subordinasi perempuan dalam budaya Jawa di mana perempuan (istri) 1
Bani Syarif Maula, Women’s Struggle On Political, Rights In Indonesia, PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010
didefinisikan sebagai “teman di belakang” (Jawa: konco ing wingking) atau sebutan yang lebih baik "pendamping suami". Pepatah ini mengingatkan mereka bahwa peran perempuan adalah untuk duduk di belakang suaminya (baik secara literal dan kiasan) dan mendukungnya seperti yang dia butuhkan. Konsep gender ini tetap tidak berubah dan bahkan diperkuat oleh Islam. Banyak Muslim Indonesia percaya bahwa menurut Qur'an Surah An-Nisa ayat 34 jika wanita (istri) gagal untuk menghormati kewajiban ini, laki-laki (suami) memiliki hak untuk memukul mereka. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia pada umumnya sebenarnya secara dominan dipengaruhi oleh budaya Jawa, yang didukung oleh tradisi Islam tradisional dan intervensi negara dalam menentukan peran gender masyarakat. Pengaruh budaya Jawa, keyakinan agama dan ideologi gender negara, di mana sistem nilai patriarki mereka sebagian besar mendiskriminasikan perempuan, yang secara jelas bertanggung jawab untuk pengaruh yang sangat berkelanjutan dari citacita ini dalam cara subordinasi perempuan untuk laki-laki. Bagaimanapun, demokratisasi memberi perempuan kesempatan baru yang penting untuk bertindak sebagai warga negara demokratis. Untuk perempuan Indonesia, kesempatan ini datang ketika zaman otoriter Suharto, rezim patriarki Suharto kekuasaannya berakhir pada tahun 1998, dan Indonesia memulai proses transisi demokrasi baru. Perempuan Indonesia harus menentukan peran mereka, kewarganegaraan dan partisipasi dalam pemerintahan yang lebih demokratis, tugas sebagian besar dipenuhi melalui kehebatan aktivitas pergerakan sosial mereka. Sebagai negara demokrasi, konstitusi Indonesia menjamin kesetaraan di depan hukum, perlindungan hukum yang sama, dan pemenuhan hak-hak dan kewajiban yang setara untuk seluruh warga negaranya. Namun, diskriminasi gender tetap menjadi praktek. Sebagaimana disebutkan di
atas, status perempuan di Indonesia lebih rendah daripada laki-laki. Karena fakta ini, ada beberapa gerakan untuk perbaikan status perempuan dan kampanye untuk kesamaan gender yang lebih dalam masyarakat. Sebenarnya, gerakan perempuan itu sendiri dan upaya untuk kesetaraan sudah ada sejak gerakan nasionalis kemerdekaan dimulai pada awal abad kedua puluh sampai sekarang. Persepsi perempuan di kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya telah dipengaruhi oleh berbagai elemen. Salah satunya adalah pengaruh dari tradisi Jawa dalam menafsirkan ajaran Islam dan pengajarannya. Banyak Muslim percaya bahwa perempuan dianggap sebagai godaan duniawi, untuk mitos bahwa kaum Hawa adalah penggoda. Akar devaluasi perempuan bersumber dari keyakinan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk kiri Adam. Dipengaruhi oleh budaya Jawa, banyak umat Islam Indonesia memandang bahwa, tidak seperti pria, wanita tidak dapat memiliki kekuatan spiritual karena peran mereka sebagai ibu dan istri yang direndahkan. Hanya laki-laki yang memiliki potensi untuk mencapai kekuatan spiritual dan dengan demikian mencapai kehidupan yang lancar. Dalam tradisi Jawa, sejak kecil, wanita dilatih untuk menjadi istri patuh dibanding seorang ibu. Menurut budaya Jawa, "wanita yang baik salah satunya adalah yang berada dirumah, menjadi istri setia, patuh dan mendukung, menangani pekerjaan rumah tangga dan bertanggung jawab atas anak-anak ". Gagasan tentang wanita yang baik dalam budaya Jawa kemudian berkubu dalam hukum Pernikahan Indonesia Nomor 1/1974, pasal 31, sebagaimana disebutkan di atas, yang membagi pekerjaan laki-laki dan perempuan menjadi dua daerah yang sukar, daerah umum dan pribadi. Selain itu, aturan Islam mengizinkan poligami, UU pernikahan Indonesia juga dalam pasal 3, 4 dan 5. Dalam hal ini, banyak sarjana Muslim Indonesia mencerminkan tradisi Jawa, karena salah satu tanda kekuasaan sosial, menurut Anderson, adalah kesuburan, orang Jawa menyatakan bahwa kepemilikan seorang wanita dianggap sebagai sifat alami sebuah kekuatan. Untuk memperlihatkan peran perempuan sebagai istri dan ibu yang tinggal dalam lingkungan tertutup, yang tentu saja merupakan Status subordinasi kepada pria, banyak sarjana Muslim tradisional Indonesia berpendapat dengan berfokus pada teks Al-Qur'an Sura An-Nisa ayat 34 terjemahan resmi Indonesia dari Al-Qur'an, yang berbunyi: Laki-laki adalah pemimpin (qawwamun) bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah
telah memelihara ( mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka ( daraba). Banyak Muslim di Indonesia percaya bahwa ayat ini mengatur bahwa laki-laki adalah pemimpin (qawwam) perempuan. Argumen mereka juga didukung oleh hadits, yang biasanya dikutip dan ditafsirkan secara harfiah untuk menjaga perempuan agar tinggal di rumah. Salah satu hadis menyatakan bahwa "perempuan harus memiliki izin suami mereka jika mereka ingin pergi keluar rumah ke dunia publik, karena tempat perempuan yang tepat adalah berada dalam daerah rumah tangga" . Selain itu, seksualitas perempuan, bagi sebagian presepsi muslim, dipandang sebagai kekuatan yang sangat kuat dan bersifat merusak daripada laki-laki, dan diidentifikasi sebagai fitnah atau kekacauan. Oleh karena itu, menurut mereka, perempuan harus dikontrol untuk mencegah lakilaki dari perasaan terganggu karena tugas-tugas sosial dan keagamaan mereka. Hadits lain, yang sangat populer dan selalu dikutip oleh para sarjana Muslim konservatif Indonesia, yang menyatakan bahwa "orang tidak akan makmur jika diatur oleh seorang wanita" (dalam bahasa Arab: Lan yufliha qaum Wallau amrahum imra'ah) . Selama periode pemilu tahun 1999, ayat Al Qur'an dan hadits-hadits hangat diperdebatkan di arena publik dalam konteks pernyataan oleh beberapa ulama Muslim Indonesia bahwa perempuan tidak bisa menjadi presiden menurut hukum Islam. Kontroversi hak-hak politik perempuan, dalam konteks ini adalah hak perempuan untuk peran kepemimpinan, meletus ketika Majelis Ulama Islam Indonesia (Majelis Ulama Indonesia atau MUI) menegaskan bahwa calon presiden yang populer Megawati Soekarnoputri tidak diizinkan untuk menjadi presiden menurut hukum Islam karena dia adalah perempuan, meskipun ulama Muslim moderat lainnya memiliki tafsiran yang berbeda. Mereka percaya bahwa Qur'an dan hadits yang dikutip di atas untuk perdebatan terhadap perempuan untuk menjadi pemimpin politik adalah penyalahtafsiran dari perintah yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga. Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2002 oleh lembaga riset PPIM menegaskan pendapat tersebut meskipun tidak diwakili oleh kebanyakan, 26 persen responden percaya bahwa seorang wanita tidak bisa menjadi presiden negara itu, sementara 7 persen berpikir seorang wanita seharusnya tidak menjadi anggota parlemen. Debat publik tentang hak-hak perempuan untuk kepemimpinan dan hasil survei di atas menunjukkan persetujuan isu-isu tentang peran perempuan baik di dalam maupun di luar keluarga memberikan kontribusi terhadap personalisasi keprihatinan politik dan visi modernisasi. Perdebatan apakah Indonesia sebagai negara
mayoritas Muslim bisa memiliki presiden perempuan akan tampak di permukaan untuk menunjukkan bahwa Islam merupakan sumber penting dari ketidakadilan gender di Indonesia. Meskipun demikian, perdebatan ini disediakan aktivis gender dengan konteks yang tepat waktu di mana untuk mendorong orang untuk mempertimbangkan kembali pemahaman mereka tentang peran perempuan dalam Islam. B. PEREMPUAN JAWA DALAM RELASI PATRIARKI Pada awal 1980-an, perempuan di Indonesia dipandang telah mewujudkan tujuan mereka dan berhasil mengubah sikap sosial terhadap peran gender, terutama ketika banyak perangkat hukum opresif diskriminatif sebagian besar telah dihapuskan. Di sini perubahan hukum memang telah terjadi, namun perubahan sosial tidak serta merta menyertainya. Feminisme dengan bantuan studi gender telah menjelaskan bahwa kita memainkan peran gender masing-masing, sebagai perempuan dan laki-laki dalam masyarakat, di mana laki-laki seharusnya berperilaku seperti lakilaki dan perempuan layaknya wanita (Andersen, 2006). Dengan bantuan tak ternilai dari studi perempuan yang kemudian dikembangkan menjadi studi gender, pegiat feminisme telah mengembangkan berbagai macam konsep yang baik dalam upaya mencoba untuk menjelaskan dan melawan subordinasi perempuan. Konsep-konsep ini sangat membantu dalam gerakan perempuan untuk kesetaraan hak. Studi perempuan maupun gender telah sangat membantu perjuangan perempuan untuk kesetaraan hak. Kita tahu saat ini perempuan telah naik ke tangga sosial yang begitu tinggi, yang memungkinkan sebagian dari mereka bisa tampil sebagai perdana menteri, anggota kabinet dan berbagai pekerjaan terkemuka lainnya telah mampu diraih oleh tangan-tangan handal perempuan. Banyak feminis sekarang berjuang agar perempuan tidak dilihat lagi sekedar makhluk seksual dan perhiasan semata2. Kebebasan seksual dimana kita menginginkan diperuntukkan bagi perempuan telah menjadi masalah besar di dunia saat ini. Seiring kecenderungan maraknya pornografi, nampaknya hanya berujung pada eksploitasi perempuan ke tingkat yang semakin berbahaya. Pada saat ini, kita semakin prihatin bagaimana seringkali perempuan yang masih muda dan miskin dieksploitasi melalui prostitusi, industri seks dan perdagangan perempuan. Di Jawa, dengan memanfaatkan “nilai ketimuran” patriarki secara leluasa menyingkirkan perempuan dengan membangun dikotomi antara 2
Nína Katrín Jóhannsdóttir, 2009.
ranah publik dan privat. Perempuan semakin termarjinalkan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu bentuknya adalah peminggiran peran perempuan untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan politik yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan publik.3 Dalam konsepsi patriarki, struktur sosial dan berbagai prakteknya didominasi laki-laki, dengan menindas da mengeskploitasi perempuan. Kekuatan konsep ini mempengaruhi struktur sosial, setidaknya dikembangkan melalui enam struktur dasarnya: patriarki dalam moda dan alat produksi, hubungan patriarki dalam organisasi kerja, relasi patriarki dalam negara, kekerasan laki-laki terhadap perempuan, relasi patriarki dalam seksualitas, dan dalam kelembagaan sosial (Walby, 1990, 20)4. Kenyataan bahwa negara berwatak patriarkis, rasis, kapitalis, dan seringkali menampilkan bias kepentingan patriarkis 5. Rosalia (2003)6 mengungkapkan bagaimana relasi dominatif antara laki-laki terhadap perempuan dibungkus dan diajarkan oleh negara dan pranata keluarga dengan cita-cita keselarasan sosial. Meski begitu, sebenarnya hubungan keduanya tidak mengandalkan hubungan yang setara. Sebaliknya, hal ini didasarkan pada rantai kekuasaan yang hirarkis yang terstruktur di sepanjang ideologi gender patriarkis. Sang Bapak dianggap sebagai sumber utama kekuasaan dan sang ibu sebagai medium bawahan untuk menyalurkan kekuasaan tersebut. Sementara itu, Presiden merupakan sosok Bapak tertinggi bangsa. Secara lebih spesifik, negara melalui agenagen birokratisnya memberikan kontribusi pada tindak kekerasan rumah tangga baik dalam perlakuan tidak setara kepada perempuan dan dengan penolakan mereka untuk melindungi perempuan dengan sarana hukum (Hanmer dan Sanders, 1984). Bagaimana akibat kealpaan dalam memahami keadilan gender, kelembagaan negara dalam kebijakan-kebijakannya enggan mengakui kekerasan dalam rumah tangga sebagai masalah publik yang harus diprioritaskan secara politik7. Kekerasan laki-laki terhadap perempuan secara sistematis didukung dan ditoleransi oleh negara melalui berbagai pengabaian atas berbagai tindak kekerasan yang berlangsung. Dalam situasi subordinatif, perempuan relatif tidak memiliki kontrol atas sumberdaya ekonomi keluarga; status 3
Ibid hlm 68 Dalam Katrin, Nina, 2009 5 Walby, 1990 6 Ulasan kekerasan rumah tangga dihubungkan dengan karakter ideologi dan kebijakan negara lebih jauh bisa ditemukan dalam tulisan Rosalia Sciortino dan Ines Smith dalam Frans Husken dan Huub de Jonge (eds) Orde Zonder Order, Kekerasan dan Dendam di Indonesia, 1965-1998, LKIS, 2003, LKIS, 2003 4
7
Ibid, hal 154
lebih rendah, dan posisi pengambilan keputusan dan kekuasaan lebih didominasi si suami, dengan karakter relasi perilaku di antara keduanya lebih mencerminkan hirarki superior menindas inferior8. Di dalam memandang kekerasan dan eksistensi rumah tangga, konseptualisasi lebih berujung pada pernyataan bahwa kekerasan rumah tangga sebagai gejala subordinasi perempuan sekaligus salah satu sarana praktis untuk menjalankannya. Kekerasan fisik terhadap perempuan didasarkan atas dan berguna untuk menjaga subordinasi ini, dan memang tidak dapat dijelaskan tanpa merujuk kepada konsep subordinasi itu sendiri (Campbell, 1992; Binney, 1985)9. Kelembagaan sosial telah menjadi faktor utama dalam menjelaskan apa yang dihasilkan oleh kebijakan pembangunan, mengarahkan sikap individu dan membentuk pola interaksi sosial (North, 1990)10. Banyak literatur mengungkapkan, bagaimana ketidakadilan gender dalam pendidikan dan lapangan kerja merupakan masalah yang serius. Ketidakadilan gender ini bukan hanya mengamputasi kebebasan dasar perempuan, tetapi juga mampu menyebabkan hasil-hasil pembangunan berdampak negatif bagi seluruh masyarakat. Singkatnya, ketidakadilan gender berakar pada peran gender yang berlaku di kelembagaan sosial (seringkali informal) yang mempengaruhi perilaku hidup sehari-hari dan melahirkan „tuntutan peran‟ dimana orang-orang berupaya melaksanakan dan memenuhinya 11. Hubungan institusi sosial dan ketidakadilan gender tersebar dalam kerangka agama, sistem politik, geografis dan dan tingkat perkembangan ekonomi. Secara lebih mikro, bagaimana situasi dalam institusi sosial tertentu bisa membawa masyarakat pada rendahnya tingkat kesehatan, pelayanan pemerintah yang buruk, dan stagnasi perekonomian (Swamy, Knack, Lee, & Azfar, 2001; World Bank, 2001). Laporan Riset Kebijakan Bank Dunia Tahun 2011, mengungkap implikasi isu gender terhadap situasi ekonomi dan sosial di negara sedang berkembang. Laporan ini juga memperkuat keterkaitan konseptual dan empirikal antara gender, kebijakan publik, dan capaian pembangunan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa masyarakat dengan diskriminasi gender cenderung lebih lambat tingkat pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinannya ketimbang masyarakat berkeadilan
gender. Untuk mendorong kesetaraan gender, hasil penelitian merekomendasikan tiga kerangka strategi yang menekankan (i) reformasi kelembagaan berpusat pada upaya penyetaraan hakhak laki-laki dan perempuan; (ii) Kebijakan ekonomi berkelanjutan; dan (iii) aktif melakukan upaya penurunan disparitas gender (World Bank, 2001)12. Perspektif relasi patriarkis dalam kelembagaan sosial, memperjelas bagaimana lakilaki menikmati posisi dominan di berbagai pranata sosial, seperti media, dan bagaimana tradisi menempatkan perempuan menjadi obyek tontonan media massa (Walby, 1990)13. Konstruksi gender yang bersifat patriarkis menempatkan perempuan sebagai kelas dua, inferior, dan harus selalu mengalah dalam hubungannya dengan laki-laki. Dalam masyarakat yang patriarkis relasi gender dilandasi hukum kebapakan. Seperti dikemukakan oleh Walby bahwa patriarki bisa dibedakan menjadi dua, yaitu patriarki privat dan patriarki publik. Inti dari teorinya itu adalah telah terjadi ekspansi wujud patriarki, dari ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke wilayah yang lebih luas yaitu negara. Seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran dari patriarki privat menuju patriarki publik. Patriarki pertama berdasarkan pada aktifitas kerja produksi rumah tangga, dengan pihak lakilaki (patriarch) mengontrol individu perempuan secara langsung dalam ruang yang relatif privat di rumah. Sementara praktek patriarki publik lebih berdasar pada struktur daripada kerumahtanggaan, meski pada dasarnya keluarga juga masih dipandang sebagai ruang besar terjadinya praktek patriarki. Dalam hal ini, institusi sosial dan budaya dipandang dalam domain publik yang menjadi sentral pelestari patriarki.14Ekspansi ini menyebabkan patriarki terus menerus berhasil mencengkeram dan mendominasi kehidupan lakilaki dan perempuan. Dari teori tersebut, dapat diketahui bahwa patriarki privat bermuara pada wilayah rumah tangga. Wilayah rumah tangga sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas perempuan, sedangkan patriarki publik menempati wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjaan dan negara.
8
Ann Whitehead, Some Preliminary Notes on the Subordination of Women, IDS Bulletin Volume 37 Number 4, September 2006. Anthology, Institute of Development Studies 2006 9 Frans Husken dan Huub de Jonge (eds), 2003 10 Dalam Branisa, Boris dan Klasen, Stephan, Gender Inequality in Social Institutions and Gendered Development Outcomes, 2005. 11 Ibid hlm 24
12
The World Bank, Engendering Development - Through Gender Equality in Rights, Resources, and Voice, 2001 13 Sylvia Walby, dalam Theorising Patriarchy, 1990). 14
Ibid hlm 178
C. PERGESERAN POLA PERNIKAHAN PEREMPUAN DI JAWA Tingkat pendidikan perempuan di Indonesia merupakan salah satu faktor yang paling terkait dengan sikap terhadap pernikahan. Untuk memperjelasnya, kita bisa membagi sejarah Indonesia dalam dua periode: (1) dari tahun 1950 hingga tahun 1970-an, dan (2) dari tahun 1970 sampai sekarang. Selama periode pertama, wanita di Indonesia, khususnya di Jawa, menikah pada usia 17, sebagian disebabkan karena kemiskinan dan kurangnya fasilitas pendidikan, sehingga banyak gadis tidak melanjutkan pendidikan mereka kecuali tingkat sekolah dasar. Selama periode ini, jika ada seorang gadis yang belum menikah pada usia 17, ia akan dicap sebagai perawan tua dan akan membuat malu orangtuanya. Untuk menghindari rasa malu, beberapa orang tua sengaja menikahkan putri mereka pada usia itu atau mencari seorang pria yang sementara akan menikahi putri mereka selama seminggu atau lebih dan kemudian menceraikannya. Jika pasangan tidak bahagia dengan pernikahan yang mereka atur, putrinya bisa kembali pada orang tua setelah perceraian. Setelah perceraian itu, akan lebih mudah untuk sang putri mencari suami yang mau menanggung malu karena terlibat dengan pernikahan yang rumit15. Pada saat itu, pernikahan adalah urusan orang tua, bukan pilihan pribadi. Orang tua memiliki beberapa kepentingan dalam pernikahan anak-anak mereka. Misalnya, banyak orang tua takut anak mereka mungkin tidak memilih pasangan yang tepat dan akan jatuh ke tangan lelaki hidung belang16. Terlebih, mereka cenderung melindungi martabat keluarga dengan menikahkan putri mereka pada usia dini atau segera setelah mereka mencapai pubertas untuk menghindari perbuatan seksual dan kehamilan di luar pernikahan17. Selain itu, sebagian orang tua terdorong kepentingan ekonomi terkait penerimaan hadiah atau sumbangan dalam jumlah besar selama pesta pernikahan dari para tamu, tentu sebagai pengembalian sumbangan yang telah mereka berikan sebelumnya. Pesta pernikahan meriah bagi putri mereka juga berfungsi untuk menunjukkan
status sosial orang tua di tengah komunitasnya. Pernikahan ini, bagi banyak orang tua, merupakan perayaan ritual penting bagi putri mereka bukan hanya memasuki jenjang kedewasaannya sekaligus menyisakan pilihan untuknya apa tetap bertahan ataupun meninggalkan pernikahan tersebut 18. Karena pernikahan diatur oleh orang tua, mereka akan bertanggung jawab ketika pernikahan tidak berjalan lancar dan senang hati menyambut putri mereka kembali ke rumah. Setelah pernikahan pertamanya, anak perempuan memiliki lebih banyak kebebasan untuk memilih suaminya sendiri. Jika dia masih terlalu muda, orang tua mungkin masih mengatur pernikahan berikutnya, dengan persetujuan putrinya. Pernikahan yang diatur orang tua biasanya dimulai sejak usia dini, bahkan sebelum kelahiran anak-anaknya. Ini perjodohan yang sangat rentan terhadap perceraian karena ketidakdewasaan dan ketidakcocokan19. Pada tahun 1950an, tingkat perceraian di Jawa tercatat tertinggi di dunia dengan hampir setengah dari pernikahan berakhir dengan perceraian, yang sebagian besar terjadi pada pernikahan pertama yang diatur oleh orang tua. Tidak ada stigma untuk perceraian karena pernikahan pertama dianggap sebagai sebuah percobaan. Namun, menurut Wolf, tingginya tingkat perceraian umumnya di antara kaum Abangan, yang memandang perceraian bukan sebagai beban moral. Sementara masyarakat Santri dan Priyayi cenderung melihat perceraian sebagai beban moral dan memalukan. Selain itu, menurut Wolf, perempuan dari kalangan priyayi (kelas menengah atas) cenderung menghindari perceraian untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan ekonomi oleh suami mereka20. Sebelum tahun 1970-an, perempuan Indonesia sangat rentan terhadap pelecehan. Perempuan jarang diberi pilihan menikah karena cinta, dan ketika mereka menikah, biasanya pada usia dini, mereka rentan diceraikan secara sepihak, dimadu (polygamously) atau ditelantarkan oleh suami mereka begitu saja. Perempuan tidak memiliki hak yang jelas karena belum ada hukum di Indonesia yang mengatur hubungan pernikahan21. Situasi telah berubah sejak 1970-an,
15
Hildred Geertz, The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization (USA: The Free Press of Glencoe, 1961), p. 56 16 Susan Blackburn and Sharon Bessell, ‘Marriageable age: political debates on early marriage in twentieth-century Indonesia’, Indonesia, No. 63 (April) 1997, pp. 107–41. 17 Gavin W. Jones, “Modernization and divorce: Contrasting trends in Islamic Southeast Asia and the West”, Population and Development Review 23, 1 (March1997), pp. 95–114.
18
Geertz, The Javanese Family, pp. 69-70. Jones, ‘Modernization and divorce”; Rosemary Firth, Housekeeping, p. 44; Tim B. Heaton et al., “Why is the divorce rate declining in Indonesia?” Journal of Marriage 20 Diane L. Wolf, Factory Daughters: Gender, Household Dynamics, and Rural Industrialization in Java, (Berkeley: University of California Press, 1992), p. 62. 21 June S. Katz and Ronald S. Katz, 1975, dalam Nina Nurmila, The Influence Of Global Muslim Feminism 19
saat dimana Indonesia baru saja memulai perkembangannya. Pemerintah Orde Baru telah meningkatkan jalan dan transportasi dan membangun banyak sekolah di seluruh Indonesia, terutama di Jawa, dengan sebuah Sekolah Dasar di setiap Desa, SMP dan SMA di setiap kabupaten. Hal ini membuat lebih mudah bagi perempuan untuk bersekolah lebih dekat dengan rumah. Hasilnya, sejumlah besar perempuan berhasil menyelesaikan pendidikan sembilan tahun pertama. Sebagian orang tua mendukung pendidikan lanjutan bagi putri mereka, meski harus bersekolah jauh dari rumah mereka. Kondisi ini menghasilkan tingkat pendidikan, termasuk kesempatan kerja, kemapanan dan prestis ekonomi, dimana semakin banyak orang tua Indonesia lebih suka putri mereka melanjutkan sekolah daripada menikah. Pernyataan ini dapat dilihat, misalnya, dalam komentar-komentar dari tetangga untuk pernikahan dini, yang merupakan kebalikan dari apa yang terdengar pada tahun 1950. Pada tahun 1950, jika gadis berusia enam belas atau tujuh belas tahun yang belum menikah, mereka akan dicap sebagai gadis tidak laku atau perawan tua. Pasca 1970-an, jika seorang gadis tujuh belas tahun menikah, ia cenderung akan dipandang rendah atau diejek. Misalnya dengan ungkapan “Kok kawin, Masih Muda!" Kenapa dia menikah, dia begitu muda! " terutama jika pernikahan itu disebabkan oleh kehamilan di luar nikah22. Secara umum, telah terjadi peningkatan usia pernikahan sejak 1970-an, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Asia Tenggara. Kesempatan pendidikan bagi anak perempuan mungkin telah memberi kontribusi pada peningkatan usia perkawinan. Di Indonesia, diberlakukannya undang-undang Perkawinan tahun 1974, yang menetapkan usia minimal untuk menikah, berusia 16 tahun untuk wanita dan 18 tahun untuk laki-laki, mungkin juga telah memberi kontribusi pada meningkatnya usia perkawinan. Menurut Hull, di Indonesia, rata-rata pernikahan naik menjadi di atas usia 20 tahun pada tahun 1985. Menurut Jones, usia rata-rata pernikahan meningkat mulai kurang dari 19,5 pada tahun 1980 sampai 20,9 pada tahun 1990. Peningkatan ini terus berlanjut di seluruh kawasan Melayu. Akibatnya, sejak tahun 1990, merupakan hal yang umum menemukan pria dan wanita Melayu yang belum
On Indonesian Muslim Feminist Discourse, AlJa>mi‘ah, Vol. 49, No. 1, 2011 M/1432 H. 22 Nancy J. Smith-Hefner, “The new Muslim romance: Changing patterns of courtship and marriage among educated Javanese youth’, Journal of Southeast Asian Studies 36, 3 (October 2005), p. 451.
menikah di usia tiga puluhan atau bahkan tidak menikah sama sekali sepanjang hidupnya23. Kesempatan belajar untuk anak perempuan juga berimplikasi pada lebih banyaknya kesempatan untuk bersosialisasi dengan lawan jenis mereka, sekaligus memberi mereka lebih banyak kesempatan untuk mengenal satu sama lain di luar pengawasan orang tua. Hal ini telah menggeser pola perjodohan orangtua menjadi pernikahan hasil pilihan pribadi berdasarkan rasa cinta. Pernikahan berdasarkan rasa cinta pada usia lebih matang cenderung berlangsung lebih lama daripada pernikahan dijodohkan orangtua. Akibatnya, angka perceraian secara bertahap menurun. Tingkat penurunan perceraian juga mungkin disebabkan karena perkembangan ekonomi, yang menghasilkan peningkatan kesempatan pria dan wanita memiliki karir setelah mereka lulus. Situasi demikian menunjukkan terjadinya penurunan faktor penyebab perceraian terkait kemiskinan. Selain itu, berlakunya UU Perkawinan tahun 1974, yang mensyaratkan bahwa perceraian berlangsung di Pengadilan Agama, berkontribusi mengurangi angka perceraian. Sebelum berlakunya UU Perkawinan tahun 1974, perceraian itu sangat mudah, saat itu laki-laki hanya tinggal mengucapkan bahwa dia menceraikan istrinya, bahkan tanpa sepengetahuan istri, dan perceraian terjadi. Sebaliknya, setelah berlakunya UU Perkawinan tahun 1974, suami atau istri dipaksa untuk membawa kasus mereka ke Pengadilan dan membayar semua biaya hukum. Untuk mendapatkan perceraian, pasangan harus menghadiri setidaknya tiga arahan untuk rekonsiliasi (perdamaian) pada tahap mediasi, kedua menemukan hasil dari proses rekonsiliasi, dan jika proses rekonsiliasi tidak memiliki hasil positif, sidang ketiga mengesahkan prosedur perceraian. Secara keseluruhan, meskipun telah ada kritik dan ketidakpuasan dengan UU Perkawinan 1974, disahkannya UU ini telah melindungi hak perempuan lebih baik daripada sebelumnya. D. KEBERDAYAAN PEREMPUAN Menurut Moser dalam Daulay (2006) bahwa strategi pemberdayaan bukan bermaksud menciptakan perempuan lebih unggul dari laki – laki kendati menyadari pentingnya peningkatan kekuasaan, namun pendekatan ini mengidentifikasikan kekuasaan bukan sebagai dominasi yang satu terhadap yang lain, melainkan lebih condong dalam kapasitas perempuan meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal. Menurut Suyanto dan Susanti (1996) dalam Daulay (2006) bahwa yang diperjuangkan dalam pemberdayaan perempuan adalah pemenuhan hak 23
Terence H. Hull, 1994; Gavin W. Jones, 1995, dalam Nina K., 2011.
mereka untuk menentukan pilihan dalam kehidupan dan mempengaruhi arah perubahan melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol atas sumber daya material dan nonmaterial yang penting24. Mengukur keberhasilan program pembangunan menurut perspektif gender, tidak hanya dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat atau penurunan tingkat kemiskinan. Tetapi lebih kepada sejauhmana program mampu memberdayakan perempuan. Dalam mengukur pengaruh sebuah kebijakan, dan atau program pembangunan terhadap masyarakat menurut perspektif gender, Moser mengemukakan dua konsep penting, yakni pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender. Pemberdayaan perempuan berdasarkan analisis gender adalah membuat perempuan berdaya dalam memenuhi kebutuhan praktis gender dan kebutuhan strategis gender. Analisis kebutuhan praktis dan strategis berguna untuk menyusun suatu perencanaan ataupun mengevaluasi apakah suatu kegiatan pembangunan telah mempertimbangkan ataupun ditujukan untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan (Moser dalam Daulay, 2006). Implikasi dari sejumlah perubahan pola pernikahan perempuan Jawa demikian, dalam perkembangan selanjutnya menyebabkan terjadinya pergeseran peran perempuan di lingkungan keluarga. Ruang lingkung aktifitas perempuan tidak lagi terbatas pada tempat dinding rumah tangga. Tiga dasawarsa terakhir, baik seiring proses perubahan sosial dalam bentuk modernisasi, keterbukaan informasi, pendidikan dan kebijakan politik Indonesia, menunjukkan, eskalasi partisipasi perempuan dalam ekonomi keluarga yang cukup signifikan. Perempuan bekerja (wanita karir) telah mendapatkan tempat dan imbalan sebagaimana profesinya. Perempuan semakin sadar bahwa dalam lingkup rumah tangga, peran ekonomi sangat besar untuk tercapainya tingkat kesejahteraan ekonomi keluarga. Tingkat pendidikan perempuan yang semakin setara dengan laki-laki menyebabkan angkatan kerja nasional saat ini cukup besar ditopang oleh angkatan kerja perempuan. Perempuan semakin sadar bahwa posisi mereka tidak sekedar sebagai figur pelengkap yang menguatkan sistem patriarkhi dimana berpusat pada figur suami sebagai penopang ekonomi keluarga. Melihat realita yang ada, kini sudah banyak perempuan yang mandiri secara ekonomi dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga, meskipun masih adapandangan sebagian masyarakat dan bahkan pengakuan yuridis kerja
ataupenghasilan wanita dianggap sebagi penghasilan tambahan belaka. Selanjutnya, ketika undang-undang pernikahan yang baru diberlakukan pada tahun 1974, perempuan Indonesia punya hak lebih lanjut dalam perlindungan hukum dan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya dalam lingkungan keluarga25. Secara umum, perempuan juga menjadi bagian dari proses pembangunan negara. Semakin banyak perempuan ditunjuk sebagai pejabat pemerintah termasuk menjadi figur pengambil keputusan. Ketika pemerintah melakukan serangkaian perubahan yang lebih besar atas sistem pengadilan yang sebelumnya dijalankan Islam, banyak wanita juga memegang posisi sebagai hakim, dan keputusan, khususnya tentang perceraian dan poligami, yang sewenang-wenang dan memberatkan istri. Selain itu, pada tahun 1973, Kementerian Dalam Negeri secara resmi melaksanakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) sebagai proyek pemerintah pusat. PKK mempromosikan lima peran utama bagi perempuan, yang mana perempuan sebagai penahan yang setia dan pendukung suaminya, sebagai pengurus rumah tangganya, sebagai penghasil generasi mendatang, sebagai pen-sosialisasi utama keluarga, dan sebagai warga negara Indonesia. Program ini sangat dikritik sebagai penekanan yang berlebihan pada peran perempuan sebagai istri dan ibu dan yang menjadi channel utama komunikasi antara perempuan negara dan desa. Selain itu, struktur organisasi tersebut secara keras merupakan model top-down, yang diadopsi dari hirarki birokrasi dan militer. Kepala PKK selalu istri pemimpin birokrasi. Sebagai contoh, di provinsi manapun, istri gubernur akan secara otomatis menjadi pemimpin PKK terlepas dari kemampuannya. Setelah pembentukan PKK, banyak Asosiasi-Asosiasi istri lain yang terbentuk. Ini termasuk Asosiasi istri Angkatan Laut, Asosiasi istri Dokter, Asosiasi istri para ahli ekonomi, Asosiasi istri Pegawai Negeri Sipil, yang secara utama keanggotaanya berdasarkan status pernikahan perempuan dan posisi kerja suaminya. Hirarki organisasi disejajarkan dengan hirarki kerja birokrat suami mereka. Selain itu, selalu para istri pejabat tinggi yang secara resmi memegang posisi kepemimpinan, dan karena itu istri dengan peringkat yang lebih rendah tidak memiliki kesempatan untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan dalam struktur organisasi 26.
25 24
Daulay, Harmona. 2006. Pemberdayaan Perempuan: Studi Kasus Pedagang Jamu di Geding Johor Medan. Jurnal Harmoni Sosial, Volume I Nomor I, September 2006.
Munti, Ratna Batara, and Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: LBH APIK, 2005, pp. 12-15. 26
Cooley, Laura, “Maintaining rukun for Javanese households and for the state”, in Sita van Bemmelen
Perhatian utama anggota mereka sebenarnya untuk mempertahankan peran sosial tradisional wanita dalam hubungan dengan suami dan keluarganya, dan untuk mendukung suaminya dalam lingkungan tempat kerja. Oleh karena itu, ideologi keibuan yang kuat, yang berarti bagaimana menjadi istri yang baik dan patuh, seorang ibu yang didedikasikan untuk anak-anak, dan bangsa, menjadi fokus untuk asosiasi tersebut. Dengan membentuk proyek ini, rezim Suharto bisa menjamin kesetiaan politik para istri pegawai negeri, sementara pada saat yang sama bisa mengendalikan mereka agar stabilitas politik terjamin27. Aktivis peran wanita Indonesia, sarjana dan intelektual, untuk waktu yang lama mengkritik cara kebijakan Soeharto yang menempatkan perempuan dalam status yang tidak sama penting dalam masyarakat sebagai ibu dan istri. Sejak awal 1980-an, banyak aktivis dan intelektual bekerja dengan organisasi-organisasi non-pemerintah untuk menerapkan berbagai strategi dan program yang bertujuan untuk merangsang orang untuk berpikir kritis tentang bagaimana konsepsi keluarga dan peran gender dipengaruhi dan dimanipulasi oleh kebijakan pemerintah. Di antara praktik-praktik mereka, aktivis perempuan terus berkampanye publik melalui surat kabar dan majalah editorial, televisi dan radio talk show, dan seminar untuk mempromosikan hak-hak perempuan dan mendekonstruksi dominasi ideologi patriarki. Organisasi-organisasi wanita baru berbagi keprihatinan yang sama dalam beberapa aspek, terutama melindungi hak dan kebebasan perempuan, dan mereka juga memiliki agenda yang sama menantang dominasi nilai-nilai patriarki dengan menafsirkan kembali ajaran agama dan tradisi budaya modernisasi. Demikian pula, tidak lama setelah wafatnya Presiden Suharto, beberapa organisasi Muslim radikal juga muncul pada awal tahun 2000. Organisasi tersebut berbagi keprihatinan yang sama dalam beberapa aspek, terutama dalam penerapan hukum syariat, dan mereka juga memiliki agenda yang sama dominasi menantang dan pengaruh negara-negara Barat dan ide-ide Barat, termasuk ide-ide kesetaraan gender yang dibawa oleh organisasi perempuan Muslim moderat . Sampai batas tertentu, agenda mereka cukup sukses. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah Syariah berdasarkan peraturan daerah. Pergeseran dari sebuah negara pusat yang kuat untuk otonomi daerah berdasarkan kabupaten sejak jatuhnya Suharto telah memungkinkan beberapa pemerintah daerah, yang mendukung agenda Islamis, untuk memberlakukan peraturan daerah yang membatasi otonomi
perempuan dalam hal berpakaian, bepergian, berada di depan umum setelah hari gelap, dan menyangkal hak-hak mereka untuk duduk dalam jabatan yang tinggi. Meningkatnya popularitas simbol yang mencolok dari identitas gender Islam, yaitu penutup kepala, merupakan indikasi keberhasilan Islam dalam melaksanakan agenda mereka. Selain itu, atas nama penerapan hukum syariat, di sejumlah tempat seperti Jakarta dan Kendal di Jawa Tengah, peraturan daerah menyatakan bahwa hanya kepala rumah tangga yang memenuhi syarat untuk bergabung dengan DPRD, mengingat bahwa tahun 1974 UU pernikahan mengatur bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga. Debat publik pada tahun 1999 tentang apakah Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim bisa memiliki presiden perempuan adalah kasus lain, yang menunjukkan bahwa agenda Islam sebenarnya sudah ada sejak awal era reformasi 1998.
(ed), Women and Mediation in Indonesia, Leiden: Kiltlv, 1992.
Ann Whitehead, Some Preliminary Notes on the Subordination of Women, IDS Bulletin
27
Ibid, hal 238.
Faktanya, banyak Muslim moderat, yang merupakan penduduk Muslim terbesar di Indonesia, percaya bahwa apa yang Islam coba untuk menerapkan hukum syariat sebenarnya proses Arabisasi di antara mereka bukan Islamisasi. Namun, situasi ini menjadi tantangan bagi organisasi-organisasi perempuan Muslim moderat untuk melaksanakan agenda mereka untuk menegakkan kesetaraan gender di Indonesia, selain budaya lokal yang mempengaruhi status perempuan dalam kehidupan publik, sebagaimana telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa di era rezim otoriter Suharto, budaya Jawa mendominasi; sementara di era reformasi, budaya Arab, yang menyamar sebagai Islamisasi, diberlakukan. Yang terakhir ini benarbenar dianggap oleh banyak orang Indonesia seperti di luar tradisi muslim mereka dan tentunya di luar budaya mereka.
Daftar Pustaka: Bani Syarif Maula, Women‟s Struggle On Political, Rights In Indonesia, PALASTRèN: Vol. 3, No. 1, Juli 2010 Rosalia Sciortino dan Ines Smith dalam Frans Husken dan Huub de Jonge (eds) Orde Zonder Order, Kekerasan dan Dendam di Indonesia, 1965-1998, LKIS, 2003, LKIS, 2003 The World Bank, Engendering Development Through Gender Equality in Rights, Resources, and Voice, 2001 Sylvia Walby, Theorising Patriarchy, 1990.
Volume 37 ------------, Number 4, September 2006. Anthology, Institute of Development Studies 2006 Branisa, Boris dan Klasen, Stephan, Gender Inequality in Social Institutions and Gendered Development Outcomes, 2005. Susan Blackburn and Sharon Bessell, „Marriageable age: political debates onearly marriage in twentieth-century Indonesia‟, Indonesia, No. 63 (April) 1997, pp. 107–41. Gavin W. Jones, “Modernization and divorce: Contrasting trends in Islamic Southeast Asia and the West”, Population and Development Review 23, 1 (March1997), pp.95–114. Geertz, Hildred,The Javanese Family, 1977 Jones, „Modernization and divorce”; Rosemary Firth, Housekeeping, p. 44; Tim B. Heaton et al., “Why is the divorce rate declining in Indonesia?” Journal of Marriage Diane L. Wolf, Factory Daughters: Gender, Household Dynamics, and Rural Industrializationin Java, (Berkeley: University of California Press, 1992), p. 62.
June S. Katz and Ronald S. Katz, 1975, dalam Nina Nurmila, The Influence Of Global Muslim Feminism On Indonesian Muslim Feminist Discourse, Al-Ja>mi„ah, Vol. 49, No. 1, 2011 M/1432 H. Nancy J. Smith-Hefner, “The new Muslim romance: Changing patterns ofcourtship and marriage among educated Javanese youth‟, Journal of Southeast Asian Studies36, 3 (October 2005), p. 451. Terence H. Hull, 1994; Gavin W. Jones, 1995, dalam Nina K., 2011. Daulay, Harmona. 2006. Pemberdayaan Perempuan: Studi Kasus Pedagang Jamu di Geding Johor Medan. Jurnal Harmoni Sosial, Volume I Nomor I, September 2006. Munti, Ratna Batara, and Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: LBH APIK, 2005, pp. 12-15. Cooley, Laura, “Maintaining rukun for Javanese households and for the state”, in Sita van Bemmelen (ed), Women and Mediation in Indonesia, Leiden: Kiltlv, 1992. Ibid, hal 238.
Analisa Perilaku Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Mie Instan Merk Sedaap Di Ponpes Sunan Drajat (Study Pada Santri Pondok Pesantren Sunan Drajat)
Titin *) *)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan
ABSTRAKSI Perkembangan teknologi dan industri menimbulkan persaingan usaha yang ketat sehinga perusahaan mengalami kesulitan dalam memonitor, memahami dan menganalisis pola perilaku keputusan pembelian konsumen.Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan survei.Jumlah sampel sebanyak 50 responden.Variabel bebasnya terdiri dari budaya (X 1), sosial (X2), pribadi (X3) serta psikologis (X4) dan variabel terikatnya adalah keputusan pembelian (Y). Metode analisis data mengunakan regresi linier berganda dengan langkah-langkah:(uji validitas, uji reliabilitas, korelasi berganda, uji regresi berganda), dan uji hipotesis (uji F, uji t). Hasil menunjukan bahwa variabel budaya (X 1), sosial (X2), pribadi (X3) serta psikologi (X4) berpengaruh secara simultan terhadap pengambilan keputusan pembelian Santri.Hasil menunjukan bahwa variabel budaya (X1), sosial (X2), pribadi (X3) serta psikologi (X4) berpengaruh secara simultan terhadap pengambilan keputusan pembelian mahasiswa. Dari perhitungan uji F diperoleh F hitung 20,772 > F tabel 2,58 dengan nilai p sebesar 0,000 ≤ 0.05. Selain itu nilai Adjusted R Square yang sebesar 0,649 yang berarti besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikatnya adalah 64,9%. Dan dari uji t diketahui bahwa secara parsial variabel budaya (X1), sosial (X2), pribadi (X3) serta psikologis (X4) berpengaruh secara signifikan dengan perhitungan t hitung variabel budaya (X1) sebesar 3.692 > t tabel 2.011, sosial (X2) sebesar 3.729 > t tabel 2.011, pribadi (X3) sebesar 2.125 > t tabel 2.011, serta psikologis (X4) sebesar 2.440 > t tabel 2.011.Dari keempat variabel diatas variabel yang mempunyai pengaruh dominan terhadap pengambilan keputusan pembelian adalah variabel sosial (X2). Kata Kunci : Prilaku Konsumen, Keputusan Pembelian PENDAHULUAN Di abad modern sekarang ini, banyak manusia yang dalamkehidupannya mengiginkan sesuatu yang praktis dan mudah untuk dilaksanakan. Dalam hal ini yang paling utama adalah di bidang pangan, dimana santri menginginkan suatu kemudahan dalam memperoleh dan mengolah makanan tersebut tanpa harus membuang waktu yang konsumen miliki. Dengan adanya kejadian seperti ini produsen makanan selalu berlomba dan terus melakukan pengembangan produk makanan yang ada. Perkembangan teknologi dan industri membawa dampak bagi kehidupan manusia terutama dunia usaha pada saat ini. Di samping itu banyaknya usaha yang bermunculan baik perusahaan kecil maupun besar berdampak pada persaingan yang ketat antar perusahaan baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis. Oleh karena itu pemasaran merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dalam menghadapi persaingan, pengembangan usaha dan untuk mendapatkan laba, sehingga perusahaan dapat mengembangkan produknya, menetapkan harga, mengadakan promosi dan mendistribusikan barang dengan efektif. Pada umumnya perusahaan mengalami kesulitan dalam memonitor, memahami dan
menganalisis perilaku konsumen secara tepat dan benar, mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi perilakperbedaan perilaku untuk masing-masing individu. Dengan demikian perusahaan dituntut untuk dapat memantau perubahan-perubahan perilaku konsumennya, termasuk perilaku konsumen untuk mendapatkan atau memilih produk. Produk mie instan sebagaimana diketahui adalah salah satu produk makanan cepat saji yang semakin lama semakin banyak digemari masyarakat karena kemudahan dalam hal penyajiannya. Demikian juga bagi kalangan santri yang menganalisis perilaku konsumen mie instan untuk mengetahui pola pembeliannya. Dengan banyaknya merk mie instan yang ada di pasaran akan mendorong perusahaan bersaingmendapatkan calon konsumen melalui berbagai strategi yang tepat. Oleh karena itu perlu bagi perusahaan untuk menganalisis perilaku konsumen mie instan untuk mengetahui pola pembeliannya. Dengan banyaknya merk mie instan yang ada di pasaran akan mendorong perusahaan bersaing mendapatkan calon konsumen melalui berbagai strategi yang tepat, sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu perlu bagi perusahaan untukmengubah kemasan, rasa, aroma, promosi dan
harga. Lebih jauh lagi produsen dalam mendistribusikan produknya ke pasar konsumen berusaha agar produknya dapat diterima sesuai dengan apa yang diinginkan konsumen. Lebih jauh lagi produsen dalam mendistribusikan produknya ke pasar konsumen berusaha agar produknya dapat diterima sesuai dengan apa yang diinginkan konsumen. untuk menganalisis perilaku konsumen mie instan untuk mengetahui pola pembeliannya. Dengan banyaknya merk mie instan yang ada di pasaran akan mendorong perusahaan bersaing mendapatkan calon konsumen melalui berbagai strategi yang tepat, misalnya mengubah kemasan, rasa, aroma, promosi dan harga. Lebih jauh lagi produsen dalam mendistribusikan produknya ke pasar konsumen berusaha agar produknya dapat diterima sesuai dengan apa yang diinginkan konsumen. Keanekaragaman konsumen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari konsumen maupun luar konsumen. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen diantaranya adalah faktor budaya, sosial, pribadi dan psikologis.Dari uraian tersebut di atas maka penulis bertujuan untuk melakukan penelitian yang berjudul: Pengaruh Perilaku KonsumenTerhadap Pengambilan Keputusan Pembelian Mie Instan Merek Sedaap (StudiPada Santri Pondok Pesanter Sunan Drajat) Menurut Tjiptono (2002:7) pemasaran adalah: “Suatu proses sosial dan manajerial dimanaindividu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, pewarnaan, dan pertukaran segala sesuatu yang bernilai dengan orang atau kelompok lain”. Sedangkan Kotler dan Amstrong (2008:6)mendefinisikan pemasaran: “Proses dimana perusahaan menciptakan nilai bagi pelangan dan membangun hubungan yang kuat dengan pelangan dengan tujuan untuk menangkap nilai bagi pelangan sebagai imbalannya”. Pada dasarnya sebagian besar keuntungan yang didapat oleh perusahaan berasal dari kepuasan konsumen dalam menikmati produknya. Konsep produksi berpendapat bahwa konsumen akan menyukai produk yang berkualitas dengan harga yang relatif murah. Untuk itu perusahaan dalam proses kegiatan produksi haruslah mengerti dan tahu dengan benar akan arti dari produk itu sendiri.Perilaku konsumen menyangkut masalah keputusan yang diambil seseorang dalam persaingannya dan penentuan untuk mendapatkan dan mempergunakan barang dan jasa. Konsumen mengambilbanyak macam keputusan membeli setiap hari. Kebanyakan perusahaan besar meneliti keputusan membeli konsumen secara amat rinci untuk menjawab pertanyaan mengenai apa yang dibeli konsumen, dimana mahasiswa membeli, bagaimana dan berapa
banyak mahasiswa membeli, serta mengapa mahasiswa membeli. Pemasar dapat mempelajari apa yang dibeli konsumen untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengenai apa yang mahasiswa beli, dimana dan berapa banyak, tetapi mempelajari mengenai alasan tingkah laku konsumen bukan hal yang mudah, jawabannyaseringkali tersembunyi jauh dalam benak konsumen. Model perilaku konsumen yang dikemukakan Kotler (1997 : 10) menerangkan bahwa keputusan konsumen dalam pembelian selain dipengaruhi oleh karakteristik konsumen, dapat dipengaruhi oleh rangsangan perusahaan yang mencakup produk, harga, tempat dan promosi. Variabel-variabel diatas saling mempengaruhi proses keputusan pembelian sehingga menghasilkan keputusan pembelian yang didasarkan pada pilihan produk, pilihan merek, pilihan penyalur, waktu pembelian, jumlah pembelian.Dalam memahami perilaku konsumen perlu dipahami siapa konsumen, sebab dalam suatulingkungan yang berbeda akan memiliki penelitian, kebutuhan, pendapat, sikap dan selera yang berbeda. Menurut Kotler dan Amstrong (2008:159) “Pembelian konsumen sangat dipengaruhi oleh karakteristik budaya,sosial, pribadi, psikologis”. Biasanya pemasar tidak dapat mengendalikan faktor-faktor semacam itu, tetapi mereka harus memperhitungkanya. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen, Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: (1) Faktor budaya mempunyai pengaruh yang luas dan mendalam pada perilaku konsumen. Pemasar harus memahami peran yang dimainkan oleh budaya, subbudaya, dan kelas sosial pembeli. (2) Faktor sosial Perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial seperti kelompok acuan, keluarga, serta peran dan status sosial konsumen. (3) Faktor pribadi Menurut Kotler dan Amstrong (2008:169) keputusan membeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi. (4) Faktor psikologisMenurut Kotler dan Amstrong (2008:172) Pilihan pembelian seseorang di pengaruhi oleh empat faktor psikologis utama: motivasi, persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan sikap. Keputusan pembelian yang kompleks biasanya melibatkan peserta pembelian dan pertimbangan pembeli yang lebih banyak. Menurut Kotler dan Amstrong(2008:177): adapun tipe perilaku pembelian konsumen berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli dan tingkat perbedaan antara merek, METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini mengunakan jenis penelitian exsplanatory.penelitian yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesis”. Apabila untuk data yang sama peneliti menjelaskan hubungan kausal antara
variabel-variabel melalui pengujian hipotesis, maka penelitian tersebut tidak lagi dinamakan penelitian deskriptif melainkan penelitian pengujian hipotesis atau penelitian penjelasan (explanatory research). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik accidental sampling. Teknik accidental sampling adalah teknik penarikan sampel secara kebetulan yaitu siapa saja yang kebetulan ditemui peneliti di lokasi penelitian yaitu di Pondok Pesantren Sunan Drajat dimana kuesioner dibagikan kepada Santri yang kebetulan pernah mengkonsumsi produkmie instanmerek Sedaap dengan melalui wawancara awal yang dilakukanpenulis dengan jumlah responden 50 orang. Sumber data yang digunakan adalah data primer sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data”.Peneliti memperoleh langsung data-data yang dibutuhkan berdasarkan dari keterangan dan informasi yang diberikan responden melalui angket (Kuesioner) yang telah disebarkan dengan metode skor. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan secara acak untuk memperoleh sampel dari populasi yang dimaksud, agar diperoleh data yang baik maka dipilih dengan menggunakan metode: Wawancaraadalah “proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide. Kuesioneradalah “teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkatpertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya”. Kuesioner yang dibagikan secara langsung oleh penulis kepada responden yang ditemui secara langsung di Pondok Pesantren Sunan DrajatDokumentasi, merupakan teknik pengumpulan data dengan cara membaca, mengolah laporan-laporan serta catatan yang menunjang penelitian ini, yaitu data santri dari kantor yayasan pondok. Berdasarkan pokok permasalahan dan rumusan hipotesis, variabel penelitian dikelompokan ke dalam dua variabel, yaitu: Definisi operasional adalah” penentu construct sehinga menjadi variabel yang dapat diukur, definisioperasional menjelaskan cara tertentu yang digunakan oleh peneliti dalam mengoperasionalkan construct, sehinga memungkinkan bagi peneliti yang lain untuk melakukan replikasi pengukuran dengan cara yang sama atau mengembangkan cara pengukuran construct yang lebih baik” (Indriantoro dan Supomo, 2002:69). Variabel independenVariabel ini sering disebut sebagai variabel stimulus, prediktor,antecedent. Dalam bahasa indonesia sering juga disebut variabel bebas. Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). (Sugiono, 2011.39). Variabel dependenSering di sebut sebagai variabel output kriteria konsekuen. Dalam bahasa indonesia sering disebut sebagaivariabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas.(Sugiono, 2011.39) Dalam hal ini metode analisis datanya meliputi: (1) Uji Validitas, Untuk memiliki instrumen penelitian yang dapat diandalkan kemampuanya maka dapat dilakukan uji validitas, uji reabilitas dan uji normalitas terhadap alat ukur tersebut agar diperoleh data yang representative dalam penelitian. Menurut Umar (2001:103) “uji validitas adalah merupakan sejauh mana suatu alat ukur mengukur apa yang ingin diukur”. (2) Uji Reliabilitas, Reliabilitas menyangkut ketepatan alat ukur. “Suatu alat ukur disebut mempunyai reliabilitas tinggi atau dapat dipercaya, jika alat ukur itu mantap, dalam pengertian jika alat ukur tersebut stabil, dapat di andalkan (dependability) dan dapat diramalkan (predictability), serta konsisten dalam mengukur apa yang ingin diukur. Teknik uji reliabilitas mengunakan koefisiensi alpha cronbach pada taraf signifikansi 5%. Jika nilai koensfisien memiliki nilai lebih besar dari nilai yang biasa di pakai yaitu sebesar 0,6” Sugiono (2000:93). Model Regresi, Analisis regresi linier berganda merupakan model analisis konstribusi tersebar dari variabel bebas terhadap variabel terikat. Persamaan ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Menurut Supranto (2001:189), formulasi dari analisis regresi berganda sebagai berikut:Y=a + bX1 + bX2 + bX3 + bX4 + e Korelasi Berganda, Sugiono (2011:231) mengemukakan “korelasi berganda (multiple correlation) merupakan angka yang menunjukkan arah dan kuatnya hubungan antara dua variabel independen secara bersama-sama atau lebih dengan variabel dependen”. Uji Simultan (Uji F) Untukmengujikebenaran hipotesis bahwa budaya (X1), sosial (X2), pribadi (X3) dan psikologis (X4) secara bersama-sama dan atau secara parsial berpengaruh terhadap keputusan pembelian mie instan merek Indomie digunakan uji F yaitu untuk menguji keberartian/signifikansi regresi secara keseluruhan dengan rumus uji F Uji Parsial (Uji t)Untuk menguji kebenaran hipotesis bahwa budaya (X1), sosial (X2), pribadi (X3) dan psikologis (X4) secara bersama-sama dan atau secara parsial berpengaruh terhadap keputusan pembelian mie instan merek Sedaap langkah pertama yang dilakukan adalah pengujian secara parsial melalui uji t. PEMBAHASAN Hasil pengumpulan dan pengolahan data adalah menggunakan : (1) Uji validitas yaitu
digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Uji signifikasi dilakukan dengan membandingkan r hitung dengan r tabel.Syarat minimum untuk dianggap memenuhi syarat adalah kalau r hitung > r tabel α= 0,05 ( 0,279) dan hasil uji validitas menunjukan bahwa nilai r hitung dari masing-masing variabel lebih besar dari r tabel sebesar 0,279 jadi dapat disimpulkan bahwa masingmasing butir pertanyaan adalah valid. (2) Uji reliabiltas yaitu suatu instrument cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrument sudah baik. Suatu variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai cronbach alpha > 0,60 dan uji reliabilitas menunjukan bahwa nilai cronbach alpha dari tiap-tiap konstruk atau variabel lebih besar dari 0,60 yang berarti bahwa kuesioner yang merupakan indikator-indikator dari variabel tersebut adalah reliabel. (3) Uji regresi linier berganda (multiple regression test) adalah alat analisis peramalan nilai pengaruh variabel bebas yaitu budaya (X1), sosial (X2), pribadi (X3), psikologis (X4), dan keputusan pembelian (Y). Pada penelitian ini menggunakan pengujian yang dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% atau tingkat signifikansi 5% (ɑ = 0,05). (4) Analisis regresi linier berganda ini dilakukan dengan bantuan software SPSS v. 15 for windows,Hasil analisis, diketahui besarnya sumbangan variabel budaya (X1), sosial (X2), pribadi (X3), psikologis (X4), dan keputusan pembelian (Y) yang ditunjukkan oleh nilai Adjusted R Square yaitu sebesar 0,649 atau 64,9%. Angka ini menunjukkan bahwa variabel budaya (X1), sosial (X2), pribadi (X3), psikologis (X4) yang digunakan dalam persamaan regresi ini telah mampu memberikan sumbangan atau kontribusi terhadap variabel keputusan pembelian (Y) sebesar 64,9%, sedangkan sisanya 45,1% dipengaruhi oleh variabel lain diluar empat variabel bebas yang diteliti. (5) Korelasi berganda Koefisien korelasi yang diperoleh adalah 0,805, maka hal ini menunjukkan hubungan yang positif sempurna dan kuat karena nilai hasil yang diperoleh dari perhitungan tersebut hampir mencapai satu. Korelasi yang positif menunjukkan hubungan yang searah, dimana kenaikan variabel X1, X2, X3, X4akan diikuti dengan variabel Y. Uji Simultan (Uji F) Dalam hipotesis penelitian ini diduga bahwa budaya (X1), sosial (X2), pribadi (X3) dan psikologis (X4) secara bersama-sama dan atau secara simultan berpengaruh terhadap keputusan pembelian mie instan merek Sedaap (Y).Berdasarkan hasil perhitungan yang dapat dilihat pada kolom diatas hasil analisis regresi di atas menunjukkan bahwa signifikan F < 5% (0,000 < 0,05) atau Fhitung > Ftabel (20,772> 2,58). Dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti secara simultan (serempak) variabel budaya (X1), sosial (X2), pribadi (X3) dan psikologis (X4) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian (Y).Uji Parsial (Uji t)Pengujian hipotesis ini untuk
menunjukkan variabel bebas secara individu mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikat serta untuk membuktikan variabel manakah yang paling dominan.Dari hasil uji t pada kolom diatas, hasil analisis regresi bahwa variabel budaya (X1) menunjukkan bahwa signifikan t < 5% (0,001< 0,05) atau thitung > ttabel (3,692>2,011), maka dengan demikian pengujian menunjukkan Ho ditolak dan Ha diterima atau dengan kata lain variabel budaya (X1) berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian (Y). Variabel sosial (X2) menunjukkan bahwa signifikan t < 5% (0,001< 0,05) atau thitung > ttabel (3,729>2,011), maka hasil pengujian menunjukkan Ho ditolak dan Ha diterima atau dengan kata lain variabel sosial (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian (Y).Variabel pribadi (X3) menunjukkan bahwa signifikan t < 5% (0,039< 0,05) atau t hitung > ttabel (2,125>2,011), maka dengan demikian pengujian menunjukkan Ho ditolak dan Ha diterima atau dengan kata lain variabel pribadi (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian (Y).Variabel psikologis (X4) menunjukkan bahwa signifikan t < 5% (0,019< 0,05) atau thitung > ttabel (2,440>2,011), maka dengan demikian pengujian menunjukkan Ho ditolak dan Ha diterima atau dengan kata lain variabel psikologis (X4) berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian (Y).Dari hasil analisis regresi di atas, dapat diketahui juga bahwa variabel yang paling dominan mempengaruhi keputusan pembelian mie instan merek Sedaap adalah variabel sosial (X2). Hal ini ditunjukkan dari nilai koefisien Beta terbesar yaitu sebesar 0,366. Uji validitas menunjukan bahwa r hitung dari masing-masing varibel lebih besar dari r tabel sebesar 0,279 jadi dapat disimpulkan bahwa masingmasing butirnpertanyaan adalah valid. Uji reliabilitas menunjukan bahwa nilai cronbach alpha dari tiap-tiap konstruk atau variabel lebih besar dari 0,60 yang berarti bahwa kuisioner yang merupakan indikator-indikator dari variabel tersebut adalah reliabel. Dari hasil uji t hitung (X1) 3,692 lebih besar dr t tabel 2,011 dan t hitung (X2) 3,279 lebih besar dari t tabel 2,011 sehingga dapat ditarik kesimpulan Ho ditolak dah Ha diterima yang berarti variabel budaya (X1), sosial (X2), pribadi (X3), dan psikologis (X4) berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian (Y).Dan dari hasil analisis korelasi ganda diperoleh hasil untuk variabel Budaya (X1) sebesar 0,324 menunjukan bahwa variabel budaya (X1), berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian (Y). Dari nilai R sebebsar 0,805 menunjukan adanya hubungan yang kuat antara keempat variabel bebas dengan variabel terikat, sedangkan adjust R2 yang menunjukan sebesar 0,617 atau sebesar 61,7% yang artinya keputusan pembelian (Y) berpengaruh
61,7% oleh variabel budaya, sosial, pribadi dan psikologis. Dari F hitung yang menunjukan nilai 20,722 lebih besar dari F tabel 2,58 sehingga Ho di tolah dan Ha di terima yang artinya bahwa secara bersama-sama variabel Budaya, sosial, pribadi dan psikologis berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian mie instan merk sedaap.hasil regresi menunjukan koefisien regresi variabel budaya (X1) sebesar 0,324 terhadap keputusan pembelian (Y) dan variabel sosial sebesar 0, 418, variabel pribadi 0,208 dan variabel psikologis 0,264, hal ini berarti bahwa variabel sosial paling dominan terhadap keputusan pembelian mie instan merk sedaap ddi PONPEN Sunan Drajat. Dari hasil analisis yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa keempat variabel perilaku konsumen (budaya, sosial, pribadi dan psikologis) pada Santri Pondok pesantren Sunan Drajat secara simultan ternyata berpengaruh terhadap keputusan pembelian mie instan merek Sedaap. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan pembelian konsumen bergantung pada keempat variabel perilaku konsumen terdiri dari budaya, sosial, pribadi, dan psikologis. Dari uji parsial budaya, sosial, pribadidan psikologisjuga berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian. Dengan diketahui bahwa variabel sosial mempunyai pengaruh yang siginifikan dan dominan terhadap keputusan pembelian maka dalam hal ini yangperlu diperhatikan dan ditingkatkan oleh perusahaan atau produsen untuk meningkatkan penjualannya dengan selalu berupaya untuk memahami sosial konsumen maupun calon konsumen melalui lingkungan sosial pondok, Kelompok referensi tentang produk maupun pengaruh rekan tentang mengkonsumsi mie instan merk sedaap.. Produk mie instan yang dijual dengan berbagai macam rasa terbukti mampu memotivasi konsumen untuk membeli. Hal ini terlihat dari respon konsumen (santri) terhadap kuesioner yang diberikan, melalui variabel perilaku konsumen yang terdiri budaya, faktor sosial, faktor pribadi dan psikologis. KESIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan berikut disampaikan simpulan, dari hasil analisis didapatkan bahwa budaya, sosial, pribadi dan psikologis secara simultan/bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian mie instan merek Sedaap hal ini dibuktikan dengan hasil koefisien korelasi dan uji f.Dari hasil uji parsial budaya, sosial, pribadidan psikologis berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian mie instan merek Indomie dan variabel psikologis mempunyai pengaruh yang siginifikan dan dominan terhadap keputusan
pembelian mie instan merek Sedaap hal ini dibuktikan dengan hasil uji regresi dan uji t. hasil uji regresi faktor sosial berpengaruh secara dominan terhadap keputusan pembelian mie instan merk sedaap pada Santri Pondok Pesantren Sunan Drajat, hal ini di buktikan dengan nilai koefisien beta pada uji regresi. SARAN Dari hasil penelitian, analisis dan simpulan di atas, berikut beberapa saran yang dapat disampaikan: (1). Mengingat keberadaan mie Sedaap dikalangan Santri Pondok Pesantren Sunan Drajat mudah didapat, harga terjangkaudan kandungan gizi hendaknya kondisi tetap terjaga agar konsumen tidak berpindah ke merek lain. Dengan demikian saluran distribusi perlu di jaga. (2).Karena pengaruh variabel psikologis yang terdiri dari motivasi, persepsi dan pengetahuan menjadi pertimbangan konsumen dalam melakukan keputusan pembelian pada mie instan merek Sedaap, maka perusahaan (produsen mie instan merek Sedaap) lebih hati-hati karena dari konsumen yang diteliti yaitu Santri terlihat keputusan beli Santri tidak mudah dipengaruhi orang lain, daya beli sedang dan kebanyakan belum berpenghasilan sehinga faktor perimbangan harga dan kualitas menjadi pertimbangan tersendiri. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi. Cetakan Kesembilan. Rineka Cipta, Jakarta. Buchari, Alma. 2005. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Edisi Revisi. Penerbit Alfabeta, Bandung. Charles. W. et.al. 2001. Pemasaran. Buku I Edisi Pertama. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Gujarati, Damodar. 2007. DasarDasar Ekonometrika. Edisi ketiga, jilid 2. Jakarta: erlangga. Husen, Umar. 2000. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kotler, Philip dan AB. Susanto.2001. Manajemen Pemasaran Indonesia.Buku 2.Salemba empat, Jakarta. Kotler, Philip and Amstrong Gary, 2008 Prinsipprinsip Pemasaran. Jilid 1. Edisi 12. Erlangga, Jakarta.
Analisa Faktor Kualitas Sumber Daya Manusia Dan Diklat Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Bagian Operasional Pada Perusahaan Umum DAMRI Surabaya Muhammad Rizal Nur Irawan *) *)
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam lamongan
ABSTRAKSI Salah satu strategi perusahaan untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan bagian operasional adalah kualitas sumber daya manusia dan diklat.Jika kualitas sumber daya manusia dan diklat meningkat maka memberikan dampak positif pada prestasi kerja karyawan bagian operasional pada suatu perusahaan.penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan kuantitatif sedangkan Dalam pelaksanaannya metode penelitian yang dipakai adalah metode survey. Dapat disimpulkan melalui Hasil analisis uji validitas dan uji reliabilitas menunjukkan hasil yang cukup valid dan reliabel. Berdasarkan uji hipotesis terhadap faktor kualitas sumber daya manusia dan diklatterhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada perusahaan umum DAMRI Surabaya, dari perhitungan regresi linier berganda di peroleh Y = 0,091 + 0,163 (X 1) + 0,110 (X2) dan Uji F diperoleh nilai Fhitung 22,450 ≥ Ftabel 3,20, uji t sebesar thitung X1 = 5,376 ≥ X1 = 5,376 ≥ 2,010 dan thitung X2 = 5,290 ≥ 2,010. Dari bukti tersebut menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusi dan diklat mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada perusahaan umum DAMRI Surabaya, dan variabel kualitas sumber daya manusia mempunyai pengaruh yang dominan terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada perusahaan umum DAMRI Surabaya. Kata kunci : Kualitas SDM, Diklat,prestasi kerja PENDAHULUAN Kondisi perekonomian Indonesia yang tidak menentu memaksa setiap perusahaan untuk tetap mampu bertahan, selain itu banyaknya perusahaan yang bergerak dalam bisnis ini memaksa perusahaan yang bergerak dibidang yang sama untuk mampu bersaing. Kondisi ini menyebabkan konsumen lebih bebas dalam menentukan pilihan yang ditawarkan oleh perusahaan. Agar perusahaan dalam situasi persaingan yang semakin ketat mampu bertahan hidup dan ikut serta dalam “percaturan” bisnis, maka produsen dituntut untuk dapat menyediakan sumber daya manusia yang terampil dan terlatih di bidangnya masing-masing, sejumlah perusahaan dapat menjaga keterampilannya pada titik optimal. Karena pentingnya tenaga operasional dalam perannya sebagai tenaga pelaksana harian, maka permasalahan pengaruh kemampuan dan pelatihan menjadi relevan. Kerugian perusahaan dalam jangka panjang karena tidak efektifnya kemampuan dan pelatihan hanya akan terhindar apabila perusahaan berusaha untuk melakukan perencanaan yang baik dalam manajemen sumber daya manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa efesiensi dan efektifitas kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dari pekerja. Oleh karena itu pelatihan membantu karyawan dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya guna meningkatakan kemampuan, kecakapan dan sikap moral yang diperlukan organisasi atau perusahaan dalam suatu usaha mencapai tujuannya. Setiap perusahaan yang menginginkan dapat bekerja secara efektif dan efisien, dalam rangka untuk mencapai yang akan dicapai oleh perusahaan.
ISSN 2302-3562
Jadi kemampuan dan pelatihan merupakan suatu program yang harus dijalankan oleh sesuatu perusahaan untuk meningkatkan keterampilan sumber daya manusia agar dapat memenuhi tuntutan-tuntutan perubahan lingkungan, baik dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang. Dengan kata lain bagaimana perusahaan mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat yang tumbuh dan berkembang. Perum Damri merupakan salah satu perusahaan yang membutuhkan tenaga yang handal dan profesional sesuai dengan bidangnya untuk mencapai hasil yang maksimal atau mempertahankan kemajuan perusahaan. Berdasarkan penelitian terdahulu yang di tulis oleh Shofwan Hadi, penulis tertarik untuk mengembangkan penelitiaan tersebut dan menambah variabel kualitas sumber daya manusia RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah kualitas sumber daya manusia dan diklat berpengaruh secara simultan terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada Perusahaan Umum DAMRI Surabaya ? 2. Apakah kualitas sumber daya manusia dan diklat berpengaruh secara parsial terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada Perusahaan Umum DAMRI Surabaya ? 3. Manakah diantara factor kualitas sumber daya manusia dan diklat yang paling dominan dalam mempengaruhi prestasi kerja karyawan bagian operasional pada Perusahaan Umum DAMRI Surabaya ?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh kualitas sumber daya manusia dan diklat secara simultan terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada Perusahaan Umum DAMRI Surabaya. 2. Untuk mengetahui pengaruh kualitas sumber daya manusia dan diklat secara persial terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada Perusahaan Umum DAMRI Surabaya. 3. Untuk mengetahuimanakah diantara faktor kualitas sumber daya manusia dan diklat yang paling dominan dalam mempengaruhi prestasi kerja karyawan bagian operasional pada Perusahaan Umum DAMRI Surabaya. PEMBAHASAN Dari hasil penelitian mengenai pengaruh factor kualitas sumber daya manusia dan diklat terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada perusahaan umum DAMRI Surabaya maka dapat disimpulkan interpretasi hasil penelitian : A. Interpretasi Hasil Penelitian Interprestasi data secara statistic telah dilakukan untuk menjelaskan secara rinci sesuai dengan rumusan masalah penelitian. Berdasarkan hasil interpretasi secara statistik, maka kajian lebih mendalam dapat disajikan dalam pembahasan berikut : 1. Dari hasil perhitungan yang dilakukan penulis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda di peroleh : Y = 0,091 + 0,163 (X1) +0,110 (X2) Dari persamaan regresi linier ganda, maka dapat diartikan : Y = Variabel terikat yang nilainya akan diprediksi oleh variabel bebas a = 0,091 merupakan nilai konstanta, yang memiliki arti bahwa prestasi kerja karyawan Perusahaan Umum DAMRI Surabaya akan konstan sebesar 0,91 tanpa adanya pengaruh dari variabel kualitas Sumber Daya Manusia (X1) dan pelatihan (X2). b1 = 0,163 merupakan besarnya kontribusi variabel kualitas sumber daya manusia (X1) mempengaruhi variabel perstasi kerja karyawan perusahaan umum DAMRI Surabaya (Y). koefisien b1 sebesar 0,163 dengan tanda positif, hasil tersebut berarti bahwa apabila kualitas sumber daya manusia dinaikkan satu satuan maka prestasi kerja karyawan kan bertambah sebesar 0,163 dengan asumsi variabel lain yang mempengaruhi dianggap konstan (a dan Y 2= 0) b2 = 0,110 merupakan besarnya kontribusi variabel pelatihan (X2) mempengaruhi variabel prestasi kerja karyawan perusahaan umum DAMRI Surabaya (Y). koefisien b2 sebesar 0,110 dengan tanda positif, hasil
ISSN 2302-3562
2.
3.
4.
tersebut berarti bahwa apabila pelatihan ditingkatkan maka prestasi kerja karyawan perusahaan umum DAMRI Suarabaya (Y) akan bertambah sebesar 0,110 dengan asumsi variable lain yang mempengaruhi dianggap konstan (a dan X1= 0) Uji Korelasi Hasil uji korelasi diperoleh hasil r1 (kualitas sumber daya manusia) sebesar 0,613 dan r2 (pelatihan) sebesar 0,607 yang artinya bahwa kualitas sumber daya manusia (X1) dan pelatihan (X2) terdapat hubungan yang positif atau hubungan yang kuat antara dua variabel bebas terhadap variabel terikat, hal ini dibuktikan dengan hasil kedua korelasi 0,60. Uji F (simultan) Dari perhitungan tabel 5.4 diperoleh nilai F hitung 22,450 dengan signifikansi sebesar 5% maka untuk F tabel dengan dfl = (n-k-l)= 50-21= derajat penyebut 47 untuk taraf nyata 5% diperoleh nilai F tabel= 3,20. Perbandingan keduanya menghasilkan F hitung 22,450 > F tabel 3,20, sehingga disimpulkan Ho ditolak dan Ha diterima : artinya pada model regresi berganda ini antara variabel independen dengan variabel dependennya terhadapat pengaruh yang signifikan. Uji t (Parsial) kualitas sumber daya manusia (X1) terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional perusahaan umum DAMRI Surabaya (Y). hasil pengujian secara manual sebagaimana yang ditunjukkan tabel .. diperoleh nilai t hitung 5,376> t tabel 2,011 dan nilai p 0,002 < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel kualitas sumber daya manusia (X1) secara individu berpengaruh signifikan terhadap terhadap variabel prestasi kerja karyawan bagian operasional (Y). Pengaruh pelatihan (X2) terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada perusahaan umum DAMRI Surabaya (Y).hasil pengujian secara manual yang tertera pada tabel .. menunjukkan nilai t hitung 5,290 > t tabel 2,011 dan nilai p 0,002 < 0,05. Hal ini mununjukkan bahwa variabel pelatihan (X2) secara individu berpengaruh signifikan terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasinal (Y).
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan persamaan berganda diperoleh Y = 0,091 + 0,163 (X1) +0,110(X2) yang artinya kualitas sumber daya manusia dan pelatihan mempunyai pengaruh terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional (Y). dan
2.
3.
perhitungan uji F diperoleh F hitung sebesra 22,450 > F tabel 3,20 ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima pada taraf signifikan 5%. Jadi variabel kualitas sumber daya manusia (X1) dan pelatihan (X2) mempunyai pengaruh secara simultan terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada perusahaan umum DAMRI Surabaya (Y). Dari hasil secara parsial untuk kualitas sumber daya manusia menggunakan uji t diperoleh bahwa t hitung 5,376 > ttabel 2,011 yang berarti kulaitas sumber daya manusia (X1) memberikan pengaruh secara parsial terhadap prestasi kerja karyawan pada perusahaan umum DAMRI Surabaya (Y). sedangkana pelatihan diperoleh thitung(X2) 5,290 > ttabel = 2,011 sehingga pelatihan (X2) memberikan pengaruh secara parsial terhadap prestasi kerja karyawan bagian operasional pada perusahaan umum DAMRI Suarabaya (Y). Variabel kualitas sumber daya manusia (X1) merupakan variabel yang dominan terhadap prestasi kerja karywan bagian operasional pada perusahaan umum DAMRI Surabaya, hal ini dibuktikan dari nilai korelasi r1(0,613)lebih besar dari nilai korelasi r2 (0.607) serta dari nilai regresi berganda Y = 0,091 + 0,163 (X1) +0,110(X2)
B. Saran Sebagai tindak lanjut dari beberapa temuan penelitian diatas, maka peneliti merekomendasikan dalam bentuk saran sebagai berikut : Temuan peneliti menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia mempunya pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan pelatihan.Bagi perusahaan umu DAMRI Suarabaya hendaknya menggunakan kaulitas sumber daya manusia sebagai rujukan untuk melakukan peningkatan prestasi kerja karyawan bagian operasional. Bagi peneliti selanjutnya, sangatlah penting untuk mengembangkan penelitian ini dengan menggunakan variabel atau indikator yang berbeda, sehingga mampu menghasilkan temuan yang lebih tajam dan mendalam demi kesempurnaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Mangkunegara,Anwar.Prabu.2009.Perencanaan dan Penegmabangan Sumber Daya Manusia. PT.Refika Aditama.Bandung Dessler,Gary. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia, jilid 1. PT Indeks. Jakarta Sugiyono. 2007. Statistika untuk penelitian. Alfabeta. Bandung Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. PT Rineke Cipta. Jakarta. Anggoro, M. Toha. 2008. Metode Penelitian. Universitas Terbuka. Jakarta.
ISSN 2302-3562
http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kuantitatif (Senin, 26 Mei 2014, 13.05 WIB) http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kualitatif (Senin, 26 Mei 2014, 13.07 WIB) http://www.damri.co.id/ (Senin, 26 Mei 2014, 13.10 WIB) http://tesisdisertasi.blogspot.com/2010/03/pengertianpendidikan-dan-pelatihan.html (Senin, 26 Mei 2014, 13.15 WIB) http://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_manusia (Senin, 26 Mei 2014, 13.17 WIB)
PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK SAKSI DAN KORBAN Enik Isnaini Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan. Abstrak Korban dalam terjadinya kejahatan memiliki peranan dan tanggungjawab yang fungsional. Peranan fungsional pihak korban berdasarkan situasi dan kondisi korban yang dapat mendorong pelaku kejahatan melakukan kejahatan kepada dirinya, contoh kasus pencurian kendaraan bermotor dikarenakan korban tidak memarkir ditempat yang aman, maka sikorban secara tidak sadar mendorong pelaku kejahatan melakukan kejahatan terhadap dirinya. Jadi tanpa korban tidak akan terjadi suatu kejahatan,begitupun sebaliknya. Korban dalam kejahatan perlu mendapat perhatian dari Negara maupun masyarakat, dan perhatian kepada korban diberikan dalam bentuk Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan UndangUndang tersebut juga memberikan perlindungan kepada Saksi, karena Saksi adalah orang yang menyaksikan terjadinya kejahatan dan timbulnya Korban. Berdasarkan hasil penelitian,Kompetensi Lembaga perlindungan Saksi dan Korban kurang maksimal memberi perlindungan kepada saksi dan korban terutama kasus HAM, dan UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 kurang memberi perlindungan untuk pelapor, padahal pelapor berhak mendapat perlindungan lakyaknya Saksi dan Korban.
Kata kunci : saksi dan korban
1. PENDAHULUAN Korban memiliki peran yang fungsional dalam terjadinya kejahatan, peran fungsional korban dapat dilihat dari situasi dan kondisi pihak korban dalam terjadinya kejahatan, contohnya seseorang yang memarkirkan sepeda motornya di tempat yang kurang aman, secara tidak langsung sikorban mendorong pihak pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan terhadap diri korban tersebut dan membuat sikorban menjadi korban pencurian. Jadi tanpa korban tidak akan terjadi kejahatan dan begitupun sebaliknya. contoh tersebut menerangkan bahwa korban memilki peran fungsional yang aktif dalam terjadinya kejahatan, karena secara tidak langsung sikorban telah mendorong pihak pelaku kejahatan untuk melakukan pencurian sepeda motor sikorban. Korban dalam kejahatan perlu mendapatkan perhatian dari Negara
ISSN 2302-3562
maupun masyarkat dan perhatian tersebut diberikan dalam bentuk peraturan hukum Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,yang tentang korban diatur dalam Pasal 1 ayat(2) yang berbunyi sebagai beikut: “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi dikarenakan perbuatan tindak pidana” Dan pihak lain yang perlu juga mendapatkan perhatian berupa perlindungan adalah Saksi, penonton/penggemar,28 dimana saksi adalah orang yang menyaksikan terjadinya kejahatan dan timbulnya korban. dan Negara memberikan pula perlindungan kepada saksi dalam bentuk 28
Ray Pratama Siadari. Peranan Korban Atas Terjadinya Kejahatan_File:///D :/.2013. htm.
peraturan hukum Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang tentang saksi diatur dalam Pasal 1 ayat(1) yang berbunyi sebagai berikut:
Undang nomor 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan Korban.
“saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri”
1.3 Kajian teori dan Relevan
Dalam hal melakukan perlindungan atas hakhak Saksi dan Korban, pemerintah membentuk suatu lembaga yang disebut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Permohonan agar terlindunginya hak-hak Saksi atau Korban dapat diajukan ke Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban tersebut.29Yang mana lembaga tersebut di atur dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 3 angka 3 yang menyatakan bahwa: “lembaga perlindungan saksi dan korban yang selanjutnya disebut LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”.
Dari latar belakang permasalahan tersebut, maka dikemukakan dua permasalahan, yaitu 1. Bagaimanakah Kompetensi Perlindungan Saksi dan Korban? dan yang ke 2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap Saksi dan Korban menurut Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban.
1.1 Tujuan Peneliti Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis memiliki tujuan peneliti dalam karya ilmiah ini, tujuan peneliti tersebut adalah: 1. Untuk mengetahui tentang kompetensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan 2. Untuk mengatahui tentang Perlindungan hukum terhadap Saksi dan Korban menurut Undang29
Khafid Documentary. 2011/05/09./ Bentuk Perlindungan Saksi Dan Korban Menurut Undangundang nomor 13 tahun 2006./File;////D:/
ISSN 2302-3562
tentang
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri dan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi dikarenakan perbuatan tindak pidana. saksi dan korban memerlukan perlindungan, dimana memberikan perlindungan merupakan tujuan darin Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban yang tertuang dalam Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut: “Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa mana kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana”. saksi dan korban memerlukan perlindungan dari Negara maupun dari masyarakat dan yang perlu dilindungi adalah hak-hak korban dan saksi dalam mengungkapkan terjadinya kejahatan yaitu dari ancaman dan hal lainnya yang mungkin dilakukan dari pihak pelaku. Dalam hal perlindungan, perlindungan dilakukan oleh suatu lembaga yang lembaga tersebut disebut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perllindungan Saksi dan Korban yang tertuang dalam Pasal 3 ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut: “lembaga perlindungan saksi dan korban yang selanjutnya disebut LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini”. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian atau model penelitian ini adalah model penelitian yuridis normatife, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan
kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya.30
hukum yang digunakan terdiri dari bahanhukum primer dan bahan hukum sekunder.
2.2 Pendekatan Masalah dalam Penelitian ini juga terdapat pendekatan model penelitian, yang pendekatan penelitian tersebut dilakukan dengan beberapa model pendekatan, yaitu model pendekatan perundang-undangan dan model pendekatan konsep.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan , catatan-catatan resmi , atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim. Dan jenis data primer adalah:
Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah Undang-Undang yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dihadapi. dan pendekatan konsep adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang di hadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang di hadapi.31
a. Undang-undang Dasar 1945
Jadi karena penelitian ini adalah tentang Perlindungan hukum terhadap Saksi dan Korban menurut Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006, maka Undang-Undang yang ditelaah adalah Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban. dan juga menggunakan pandanganpandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi, yang mana tentang perlindungan hukum untuk saksi dan korban, Karena penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum untuk saksi dan korban, baik dari undang-undangnya maupun dari lembaganya.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. pembentukan UndangUndang perlindungan Saksi dan Korban ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana, dan lahirnya Undang-Undang ini memakan waktu yang cukup panjang yang mana sebelumnya terdapat Rancangan Undang-Undang sebelum disahkan menjadi Undang-Undang. minimnya perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum terhadap Saksi-Korban membuat Rancangan Undang-Undang(RUU) ini selalu didesakkan hampir setiap tahun sejak 2001 hingga 2005 agar masuk dalam rencana Program legislasi nasional (prolegnas). tahun 2001 undangundang perlindungan saksi diamanatkan untuk segera dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
2.3 Sumber dan Jenis Data sumber dan jenis data yang digunakan dapat disebut dengan bahan hukum yang digunakan dalam pembuatan karya ilmiah, dan bahan
30
Johny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publising, Malang 2006, h. 57 31 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Universitas Air Langga. Surabaya. h. 93.
ISSN 2302-3562
b. Undang-undang Ham nomor 39 Tahun 1999 c.Undang-undang nomor 13 Tahun tentang perlindungan saksi dan korban
2006
d.PERPRES RI nomor 13 Tahun 2007 tentang susunan panitia seleksi,tata cara pelaksanaan seleksi dan pemilihan calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. dan bahan hukum sekunder adalah berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,kamuskamus hukum , jurnal-jurnal hukum ,dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.32
32
Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit. hal. 141
Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Juni 2002 Badan Legislasi DPR RI mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Saksi dan Korban yang ditandatangani oleh 40 anggota DPR dari berbagai fraksi sebagai Rancangan UndangUndang usul inisiatif DPR. Awal Februari 2006 komisi III DPR RI membentuk Panitia Krja yang terdiri dari 22 orang untuk membahas RUU Perlindungan Saksi dan Korban. Pada bulan Juli 2006, Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Perlindungan Saksi dan Korban menjadi Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Sepuluh fraksi di DPR RI mendukung keberadaan UndangUndang tersebut. 11 Agustus 2006 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64). Salah satu amanat yang ada dalam UndangUndang Perlindungan Saksi dan Korban ini adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang dibentuk paling lambat setahun setelah Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008.33 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah Lembaga yang mandiri, sebagaimana hal ini diatur oleh Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 11 ayat(1) yang berbunyi sebagai berikut: “LPSK merupakan lembaga yang mandiri” Karena merupakan Lembaga yang mandiri maka kemudian Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak meletakkan struktur Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berada di bawah instansi manapun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun lembaga negara lainnya. Walaupun dari segi finansial lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan negara. Pilihan Undang-Undang terhadap model lembaga seperti ini tentunya menyerupai berbagai lembaga negara yang telah ada seperti: Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya.
33
Pembentukan LPSK,file///D:/pembentukan LPSK. htm
ISSN 2302-3562
Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota negara Republik Indonesia,hal ini diatur dalam Undang-Undangnomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban Pasal 11 ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut: “LPSK berkedudukan di ibu Kota Negara Republik Indonesia”. Namun di samping berkedudukan di ibukota negara, Undang-Undang juga memberikan keleluasaan bagi LPSK untukmembentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK. Pilihan Undang-Undang untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang tepatkarena dari segi geografis wilayah republik Indonesia yang lumayan luas dan akses informasi maupunkomunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota dengan wilayah lainnya. Lagi pula kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi selama ini justru paling banyak di luar wilayah ibu kotaNegara Republik Indonesia (RI).34 3.2 Kompetensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga yang menangani perlindungan terhadap Saksi dan Korban, setidaknya memberi angin segar bagi masyarakat yang selama ini menjadi korban pelanggaran HAM atau Saksi Korban tindak kejahatan. LPSK menjadi aktor penting yang merupakan bagian dari fungsi pemerintah untuk menciptakan terungkapnya kebenaran dan tegaknya keadilan bagi Saksi dan Korban dalam system peradilan pidana di indonesia.35 Salah satu wujud hubungan hukum dengan kekuasaan Negara, di bentuklah suatu lembaga Negara yang berdasarkan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang LPSK ini dan ditentukan Visi LPSK, yakni “terwujudnya perlindungan Saksi dan Korban dalam system peradilan pidana”, dan dari Visi LPSK 34
Supriyadi Widodo Eddyono.Lembaga Perlindungan Bagi Saksi dan Korban di Indonesia:sebuah pemetaan awal. Jakarta: Indonesia Corruption watch.2007. hal 11 35 Dr. H. Siswanto Sunarso. Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana.Jakarta :Sinar Grafika, 2012.h. 17
selanjutnya dibangun Misi LPSK yang terdiri dari beberapa hal, yaitu mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi Saksi dan Korban dalam peradilan pidana, mewujudkan kelembagaan yang profesional dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak Saksi dan Korban. Berdasarkan Misi LPSK maka di tetapkan sejumlah fungsi LPSK. Pengertian fungsi ini dapat di artikan sebagai sejumlah pekerjaan atau tugas-tugas LPSK yang meliputi: 1.Mengkoordinasikan fungsi dan peran perlindungan Saksi dan Korban dalam peradilan pidana. 2.Menerima permintaan, penyerahan dari atau permohonan untuk di lakukan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban dalam kasus perkara pidana tertentu. 3.Menentukan persyaratan dan wujud perlindungan kepada para Saksi dan Korban sesuai perlindungan yang dilakukan LPSK juga memiliki kewenangan yang dengan siapa untuk melindungi Saksi dan Korban, kewenangan tersebut antara lain :1.Memberikan perlindungan dan bantuan kepada Saksi dan Korban di semua tahapan proses peradilan pidana. 2.Melaksanakan tata kerja dan aktivitas administrasi dalam kegiatan perlindungan dan pemberian bantuan kepada para Saksi dan Korban. 3.Mendayagunakan, mensinergikan, mengoptimalkan berbagai kemampuan kelembagaan, fasilitas dan anggaran Negara yang di peruntukan bagi aktivitas perlindungan saksidan korban dengan penuh tanggung jawab.Dan sesuai dengan tugas dan kewenagan yang di berikan kepada LPSK, LPSK mempunyai tanggung jawab yang dimiliki dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan korban. 36 LPSK memiliki syarat dalam pemberian Perlindungan dan Bantuan berdasarkan atas perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana di berikan(diatur dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban Pasal 28),dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1.Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban. 2.Tingkat anacaman yang membahayakan saksi dan/atau korban. 3.Hasil analisis tim medis atau psikologis terhadap saksi dan/atau korban.
36
Dr. H. Siswanto Sunarso.Op.cit.h.19-21.
ISSN 2302-3562
Rekam jejak kejahatan yang pernah di lakukaan oleh saksi dan/atau korban.37
Kompetensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di nilai berdasarkan Tugas dan Kewenangan yang di miliki oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban(LPSK), dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti, lembaga ini masih kurang memadai.38 sebenarnya LPSK memerlukan kewenangan yang lebih besar, apalagi kewenangan yang menyangkut tentang perlindungan Saksi pada tindak pidana hak asasi manusia39 dan Korban yang bisa juga mengalami tindak pidana hak asasi manusia. 3.3 Arti Kejahatan dan Kriminologi Kejahatan merupakan suatu fenomena yang sangat kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Dalam pengertian yuridis kejahatan dibatasi sebagai perbuatan yang telah ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan dalam hukum pidananya dan diancam dengan suatu sanksi.contohnya tindak pidana pemerkosaan, korupsi, dan lain sebagainya yang telah ditetapkan dalam undang-undang. kejahatan yang dipandang dari sudut sosiologis yang berarti bahwa suatu perbuatan yang melanggar norma-norma yang hidup di dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah perempuan yang melacurkan diri.
37
Dr. H.Siswanto Sunarso. Op.cit. h. 268 Supriyadi Widodo Eddyono. Op.cit. h.14 39 Randy Christian. kompetensi lembaga perlindungan saksi dan korban terhadap saksi pada tindak pidana hak asasi manusia./2010/file:///G:/ kompetensi lembaga perlindungan saksi dan korban terhadap saksi pada tindak pidana hak asasi manusia.Christian_ skripsi hukum.htm. 38
Jadi kejahatan memiliki pengertian yang luas dari sudut pandang masing-masing, dan tidak ada batasanakan pengertian kejahatan.40
Dalam hal kejahatan, terdapat suatu ilmu yang mempelajari kejahatan,ilmu yang mempelajari kejahatan disebut Kriminologi, Kriminologi adalah secara etimologis kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan, dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan,sehingga kriminologi adalah ilmu/pengetahuan tentang kejahatan.41 Kriminologi memiliki tujuan, yang secara umum bertujuan untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek, shingga di harapkan dapat memperoleh pemahaman mengenal fenomena kejahatan dengan lebih baik.42 Secara garis beasrnya obyek studi kriminologi adalah : 1. Kejahatan, yaitu perbuatan yang di sebut sebagai kejahtan. Apa yang di maksud dengan kejahatan (pidana), yaitu norma-norma yang termuat di dalam peraturan pidana. 2. Pelaku, yaitu orang yang melakukan kejahatan atau sering di sebut “penjahat”. Studi terhadap pelaku ini terutama di lakukan oleh kriminologi positivis dengan tujuan untuk mencari sebasebab orang melakukan kejahatan. 3. Reaksi Masyarakat terhadap Kejahatan dan Pelaku. Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan bertujuan untuk mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakaat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang di pandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas,akan tetapi undang-undang belum bisa mengaturnya.43 Dalam kejahatan terdapat hubungan Korban dengan kejahatan. Hubungan penjahat dengan korban merupakan salah satu subyek yang 40
Ray pratama Siadari.pengertiankejahatan/2013/file:///D:/Pengertian kejahatan_Ray pratama Siadari,S.H.htm
paling diabaikan dalam studi mengenai kejahatan dan dalam pelaksanaan keadilan pidana.korban tidak hanya mengalami terjadinya proses kriminalisasi belaka, tetapi memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran dan memahami masalah kejahatan.44 Kita semua paham bahwa para penjahat dan para korban adalah hasil kreasi satu sama lain .ini adalah penemuan dasar pemikiran Viktimologi dalam Kriminologi. Hal ini memperjelas bahwa kriminologi mempelajari hubungan-hubungan yang mempelajari hubungan antara para peserta pada terjadinya suatu kejahatan.45 Antara pihak korban dan pihak pelaku terdapat hubungan fungsional.bahkan dalam terjadinya kejahatan tertentu pihak korban di katakan bertanggung jawab. Pelaku dan korban kejahatan berkedudukan sebagai peartisipasi, yang terlibat secara aktif atau pasif dalam suatu kejahatan. 46 hal ini dapat dilihat dari Salah satu contoh kasus perkosaan yang dialami oleh SB, 43 tahun, warga jalan Puntodewo Selatan, Malang. SB berhasil diperkosa, setelah dicekoki minuman keras. Korban adalah seorang janda, yang diperkosa dua orang. Dua pelakunya, YAS, 27 tahun, warga jalan Kolonel Sugiono, Malang dan AES, 27 tahun, warga jalan Permadi I, Polehan, Malang. Korban sebelum diperkosa meminum miras terlebih dahulu bersama-sama pelaku, kemudian dia mabuk dan akhirnya tak sadarkan diri. Pelaku tergoda dengan kemolekan tubuh korban hingga nekat memperkosa korban secara bergiliran. Dalam kasus diatas, korban berperan untuk terjadinya kejahatan. Korban termasuk kategori partisipasi aktif, artinya dia berperan aktif dalam terjadinya kejahatan.47 3.4 Perlindungan Hukum Terhadap Saksi dan Korban menurut Undang-Undang
44 41
Prof.Dr.I.S.Susanto. Kriminologi.Yogyakarta:Genta publishing,2011.hal.1 42 Prof.Dr.I.S.Susanto. Op.Cit h.2 43 Prof.Dr.I.S.Susanto. Op.Cit. h. 33
ISSN 2302-3562
Dr.H.Siswanto Sunarso. Op cit. h. 62 Dr.H.Siswanto Sunarso. Op cit. h. 64 46 Dr. H. Siswanto Sunarso. Op. Cit. hal. 68 47 Shinhaji.Viktimisasi-korbanperkosaan.blogspot.com/2011/10/viktimisasikorban-perkosaan.html 45
nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 kepada Saksi dan Korban adalah untuk melindungi saksi dan korban dalam peristiwa pidana yaitu proses peradilan pidananya. Kedudukan saksi dan korban dalam peradilan pidana adalah merupakan kunci untuk mengungkapkan kejahatan yang terjadi. Dalam mekanisme sistem peradilan pidana terpadu keberhasilan pengungkapan suatu kasus pidana sangat bergantung pada adanya alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan sejak awal penyidikan hingga persidangan. Peran saksi sebagai alat bukti sangat menentukan hidup matinya nasib seorang tersangka/terdakwa.Saksi dalam peradilan pidana kedudukannya menempati posisi kunci, sebagaimana terlihat dalam penempatannya dalam pasal 184 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut: “alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli,surat petunjuk,keterangan terdakwa” Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh Saksi. Sejak awal proses peradilan pidana saksi telah memiliki peran dan kedudukan yang penting. 48
Landasan hukum bagi perlidungan saksi dan korban adalah Konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,yang mana dalam Pasal 1 UUD 1945, berbunyi sebagai berikut: “1.Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. 2.Kedaulatan beada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. 3.Negara Indonesia adalah Negara hukum”. 49 Sebagai objek perlindungan atas hak Saksi dan Korban,menurut Undang-undang di atur dalam Bab II Pasal 5, Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dengan obyek perlindungan meliputi:
48
www.Balitbangham.go.id/index/images/judul_p df/sipol/penelitian/2008/saksi_dan_korban.pdf 49 Dr.H.Siswanto Sunarso.Op.Cit. hal. 210
ISSN 2302-3562
a.Memperoleh perindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau lebih di berikannya. b.Ikut serta dalam memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan. c.Memberikan keterangan tanpa tekanan dan Medapat penerjemah. d.Bebas dari pertanyaan yang menjerat. e.Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan. f.Mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan. g.Mendapat identitas baru dan Mendapatkan tempat kediaman baru. h.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan. i.Mendapat nasihat hukum dan memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.50 Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang bertugas melindungi Saksi dan Korban dari ancaman dan melindungi keluarga saksi dan korban, Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan pengertian tentang ancaman dan keluarga, hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat(4) dan (5) yang berbunyi sebagai berikut: “Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan saksi dan/atau korban merasa takut dan/atau di paksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian Kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana”.(ayat 4) “Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan saksi dan/atau korban”(ayat 5). Dan perlindungan terhadap Saksi dan Korban menurut Undang-Undang di berikan Kepada 50
Dr.H.Siswanto Sunarso. H. 257
Saksi dan/atau Korban dalam semua tahap proses peradilaan pidana dalam lingkungan peradilan, untuk melindungi atas segala ancaman baik fisik dan/atau psikis.51 sebagaimana hal ini diatur dalam UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut: “Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan”. Perlindungan terhadap Saksi dan Korban, yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadillan tempat perkara tersebut sedang diperiksa,52 hal ini di atur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam pasal 9 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut: “Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa haadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa” Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK) ini mengatur ketentuan pidana dalam hal perlindungan dan pemberian bantuan kepada Saksi dan/Korban yang diatur dalam Pasal 37 yang berbunyi sebagai berikut: “ setiap orang yang memaksakan baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu yang menyebabkan saksi dan/korban tidak memperoleh perlindungan sebagaiman dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a(memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan,sedang,atau telah diberikannya) atau huruf d(mendapat penerjemah) sehingga saksi dan/atau korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat manapun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 5(lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 51 52
Dr.H.Siswanto Sunarso. Op.cit. h.245 Dr.H.Siswanto Sunarso. Op.cit. h.260
ISSN 2302-3562
40.000.000,00(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000,00(dua ratus juta rupiah)” Pentingnya perlindungan saksi dan korban, di latarbelakangi adanya perspektif pergeseran dari keadilan retributif kepada keadilan retroaktif. Penggeseran ini merupakan pergeseran filsafat keadilan dari hukum positif yang mendasarkan kepada asaas hukum materiel dalam system peradilan pidana. 53 Secara substansi , Undang-undang perlindungan saksi dan korban nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengandung kekurangan, yaitu tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi pelapor, perlindungan hanya diberikan kepada saksi dan korban, dimana hal ini diatur dalam Undang-Undang perlindungan saksi dan korban nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban Pasal 2,yang berbunyi sebagai berikut: “Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan”. Padahal pelapor seharusnya lebih dilindungi karena memiliki potensi ancaman kekerasan lebih besar, karena dari pelaporan awal suatu perkara dapat mulai diungkapnya terjadinya suatu kejahatan.54 Dalam UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban,hanya ada 1 Pasal yang mengatur perlindungan bagi pelapor, pasal tersebut adalah Pasal 10 ayat 1 UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang berbunyi sebagai berikut: “saksi,korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan,kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya”. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Perlindungan yang diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kepada Saksi dan Korban tindak kejahatan kurang maksimal, dikarenakan LPSK memerlukan kewenangan yang lebih besar dari pada 53 54
Dr. H. Siswanto Sunarso.Op.cit. H. 47-48 Dr. H. Siswanto Sunarso.Op.cit. H. 218
kewenangan ynag telah diberikan oleh Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban. dan UndangUndang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban kurang memberikan perlindungan kepada Pelapor, padahal pelapor sangat perlu dilindungi layaknya Saksi dan Korban. 4.2 Saran Perlindungan terhadap Saksi dan Korban perlu ditingkatkan lagi, karena masih banyak kelemahan khususnya untuk saksi dan korban hak asasi manusia yang berat, seperti kasusyang dialami oleh ibu Tuti Koto dan pak makmur amsori yang Keduanya merupakan korban pelanggaran HAM berat dalam kasus tanjung priok 1984. dan bagi masyarakat serta penegak hukum untuk lebih meningkatkan lagi kewaspadaannya terhadap kejahatan dan lebih mengepentingkan keadaan Saksi dan Korban tindak kejahatan dari pada pelaku kejahatan. 5. DAFTAR PUSTAKA 5.1 Literatur Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Universitas Air Langga. Surabaya. Johny Ibrahim, Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang 2006. Ray Pratama Siadari, S.H. 2013. Peranan Korban Atas Terjadinya Kejahatan_File:///D :/. Htm Pembentukan LPSK,file///D:/pembentukan LPSK. htm Khafid Documentary. 2011/05/09./ Bentuk Perlindungan Saksi Dan Korban Menurut Undang-undang nomor 13 tahun 2006. /File;////D:/ Prof.
Dr. I.S. Susanto, SH.Kriminologi, Yogyakarta. Genta Publishing 2011.
Randy Christian. /2010/kompetensi lembaga perlindungan saksi dan korban terhadap saksi pada tindak pidana hak asasi manusia. /file:///G:/kompetensi lembaga perlindungan saksi dan korban terhadap saksi pada tindak pidana hak
ISSN 2302-3562
asasi manusia._ hukum.htm.
Christian_
skripsi
Shinhaji.Viktimisasi-korbanperkosaan.blogspot.com/2011/10/vikti misasi-korban-perkosaan.html www.Balitbangham.go.id/index/images/judul_p df/sipol/penelitian/2008/saksi_dan_kor ban.pdf
5.2 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban PERPRES Nomor 13 Tahun 2007 tentang susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi dan pemilihan calon anggota lembaga perlindungan saksi dan korban
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP SISA HASIL USAHA (SHU) (Studi kasus pada Koperasi Wahyu Pratama Lamongan)
Noer Rafikah *) *)
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Lamongan
ABTRAKSI Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Sisa Hasil Usaha (SHU) pada Koperasi Wahyu Pratama yang bertujuan untuk menganalisis apakah jumlah anggota koperasi, jumlah pinjaman, dan jumlah simpanan mempunyai pengaruh terhadap Sisa Hasil Usaha (SHU). Jenis penelitian yang digunakan adalah bertipe penelitian penjelasan (exsplanatory research), yaitu apabila untuk data yang sama peneliti menjelaskan hubungan kausal antara variable-variabel melalui pengujian hipotesis (Singarimbun dan Effendi, 1995:5). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari ketiga faktor tersebut hanya jumlah Anggota Koperasi yang berpengaruh terhadap Sisa Hasil Usaha (SHU), Jumlah Pinjaman dan Jumlah Simpanan tidak berpengaruh terhadap Sisa Hasil Usaha (SHU). Kata Kunci :Jumlah Anggota, Simpanan, Sisa Hasil Usaha (SHU) A. Latar Belakang Pemerintah saat ini sudah secara tegas menetapkan bahwa dalam rangka pembangunan nasional dewasa ini, koperasi harus menjadi tulang punggung dan wadah perekonomian rakyat. Kebijakan Pemerintah ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dijelaskan bahwa bangunan usaha yang sesuai adalah koperasi. Oleh karena itu, peran koperasi menjadi penting berkaitan dengan pelaksanaan tujuan di atas. Dengan demikian koperasi harus tampil sebagai organisasi yang dapat mengumpulkan dan membentuk kekuatan ekonomi bersama-sama untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik lagi anggotanya, hal ini sesuai dengan salah satu tujuan koperasi yang berdasarkan pasal 3 Undang-Undang Perkoperasian No. 25 Tahun 1992. Dalam garis besarnya, koperasi pada umumnya dipahami sebagai perkumpulan orang-orang yang secara sukarela mempersatukan diri untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi mereka melalui pembentukan suatu perusahaan yang dikelola secara demokratis. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa didalam koperasi terdapat dua unsur yang saling berkaitan, unsur pertama adalah unsur ekonomi yang memperjuangkan pemenuhan kebutuhan ekonomi para anggotanya, sedangkan unsur yang kedua
ISSN 2302-3562
adalah unsur sosial yang berusaha memenuhi kebutuhan anggotanya itu tanpa menjadikan keuntungan sebagai titik usahanya. Berdasarkan asas dan sendi dasar koperasi, salah satu syarat untuk mengembangkan kesejahteraan anggota khusunya dan masyarakat umumnya adalah dengan perluasan investasi. Untuk mencapai hal tersebut, koperasi harus memperoleh keuntungan atau lebih tepatnya Sisa Hasil Usaha (SHU) yang akan digunakan sebagai salah satu indikator untuk menilai keberhasilan atau prestasi dari manajemen koperasi dalam menjalankan usahanya. Peran koperasi dalam memberikan sumbangan kekuatan daerah dalam rangka permbangunan dikawasan sendiri sangatlah beralasan, karena sebagai sisa hasil usaha harus disisihkan untuk melaksanakan pembangunan pada lokasi dimana koperasi tersebut menjalankan aktivitasnya sesuai dengan pasal 45 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992, besarnya dana yang disisihkan tersebut ditentukan dalam Rapat Anggota, dengan demikian semakin besar sisa hasil usaha suatu koperasi, maka diharapkan semakin besar pula sumbangan pembangunannya. B. Metodologi Penelitian ini menggunakan penjelasan (exsplanatory research. Menurut Sugiyono (2011:137-145) untuk mengumpulkan data dan menganalisis data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik yaitu (1) Observasi adalah mengadakan pengamatan langsung kelapangan guna memperoleh data yang dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. (2) Interview adalah suatu cara untuk memperoleh data dengan mengadakan wawancara langsung dengan pihak yang ada hubungannya dengan perusahaan yang bersangkutan. (3) Dokumentar adalah suatu cara memperoleh data dengan mengutip catatan atau data yang disediakan oleh perusahaan yang ada hubungannya dengan penulisan penelitian yang kemudian data tersebut dikumpulkan, diolah dan disajikan. C. Hasil dan Pembahasan Pada Koperasi Wahyu Pratama yang berkedudukan di Jalan Kusuma Bangsa Kab. Lamongan, dimana dalam kurun beberapa tahun jumlah anggota, jumlah pinjaman, jumlah simpanan dan sisa hasil usaha yang diperoleh tidak tetap. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, koperasi unit usaha simpan pinjam ini memberikan pinjaman-pinjaman yang mudah dengan bunga yang ringan sehingga dapat membantu menyelesaikan masalah keuangan yang dihadapi anggotanya dan diharapkan akan meningkat volume kegiatan koperasi sehingga akan diperoleh peningkatan sisa hasil usaha koperasi. Keberhasilan yang telah dirasakan Koperasi Wahyu Pratama adalah mampu bertahan sampai bertahun-tahun ini tidak lepas dari anggotanya yang aktif dalam usaha perkoperasian, sehingga semakin sering anggota koperasi tersebut meminjam maka semakin banyak sisa hasil usaha yang diterima oleh koperasi. Menurut pasal 1 UU No. 25 Tahun 1992 yang dimaksud dengan koperasi adalah “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas kekeluargaan”. Sedangkan pengertian tersendiri dari koperasi simpan pinjam yang dikemukakan oleh Baswir (1997:100), koperasi yang bergerak dalam bidang pemupukan simpanan para anggotanya, untuk kemudian dipinjamkan kembali kepada anggota-anggotanya yang memerlukan bantuan modal. Jumlah Simpanan para anggota sangatlah berbeda antara anggota satu dengan anggota yang lainnya, dengan semakin besar jumlah anggota koperasi yang menyimpan dananya pada koperasi maka diharapkan dapat meningkatkan besarnya simpanan pada koperasi
ISSN 2302-3562
sehingga akan meninggkatkan Sisa Hasil Usaha. Pengertian Sisa Hasil Usaha menurut pasal 45 Undang-Undang Perkoperasian No. 25 ahun 1992, Sisa Hasil Usaha Koperasi merupakan pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya, penyusutan dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan. Sedangkan Pengaruh Jumlah Pinjaman Terhadap SHU adalah dengan bertambahnya jumlah pinjaman oleh anggota koperasi maka dapat meningkatkan sisa hasil usaha, karena disini SHU adalah usaha yang didapat dari anggota dan usaha-usaha yang didapat bukan dari anggota. Apabila jumlah pinjaman mengalami penurunan maka akan mengakibatkan SHU mengalami penurunan, demikian juga sebalikny Dari hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diketahui bahwa Variabel Jumlah Anggota Koperasi (X1) berpengaruh terhadap sisa hasil usaha, hal ini dibuktikan dengan besarnya t hitung (5,450) > t tabel (4,303) sehingga hipotesis yang menyatakan jumlah anggota koperasi berpengaruh tehadap sisa hasil usaha terbukti kebenarannya. Hal ini berarti bahwa kenaikan jumlah anggota pada variabel jumlah anggota akan menaikan sisa hasil usaha. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat dari data jumlah anggota koperasi pada tahun 2008 sebesar 454 orang dengan sisa hasil usaha Rp.516.975.047 sedangkan pada tahun 2012 jumlah anggota 382 maka jumlah sisa hasil usaha yang diperoleh pun sedikit yaitu Rp. 258.086.942. dengan jumlah anggota semakin banyak maka akan memperoleh sisa hasil usaha yang lebih besar. Variabel jumlah pinjaman (X2) tidak berpengaruh terhadap sisa hasil usaha, hal ini dibuktikan dengan adanya t hitung (3,052) < t tabel (4,303) sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa jumlah pinjaman berpengaruh terhadap sisa hasil usaha tidak terbukti kebenarannya. Hal ini dikarenakan dalam pembagian SHU tidak melihat dari besar kecilnya Jumlah Anggota Koperasi, Jumlah Pinjaman dan Jumlah Simpanan, melainkan melihat dari Cadangan Resiko, Cadangan Umum, Jasa Penyimpanan, Jasa Peminjam, Dana Pengurus, Dana karyawan, Dana Pendidikan dan Dana Sosial. Variabel Jumlah Simpanan (X3) tidak berpengaruh terhadap sisa hasil usaha, hal ni tidak terbukti kebenarannya, terbukti dengan
dengan besarnya t hitung (0,916) < t tabel (4,303) sehingga hipotesis yang menyatakan jumlah simpanan berpengaruh terhadap sisa hasil usaha tidak terbukti kebenarannya. Hal ini berarti bahwa kenaikan jumlah simpanan pada variabel jumlah simpanan tidak terbukti kebenarannya. Hal ini dikarenakan dalam pembagian SHU tidak melihat dari besar kecilnya Jumlah Anggota Koperasi, Jumlah Pinjaman dan Jumlah Simpanan, melainkan melihat dari Cadangan Resiko, Cadangan Umum, Jasa Penyimpanan, Jasa Peminjam, Dana Pengurus, Dana karyawan, Dana Pendidikan dan Dana Sosial. d. Penutup Simpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) Jumlah Anggota koperasi pada Koperasi Wahyu Pratama Lamongan berpengaruh terhadap sisa hasil usaha teruji kebenarannya. Ini berarti bahwa Jumlah Anggota Koperasi dan, Jumlah Pinjaman dan Jumlah Simpanan dapat digunakan untuk memprediksi besar kecilnya yang artinya kenaikan atau penurunan yang terjadi pada jumlah Anggota Koperasi, Jumlah Pinjaman dan Jumlah Simpanan tidak berpengaruh terhadap Sisa dan Hasil Usaha pada Koperasi Wahyu Pratama Lamongan. (2) Jumlah Pinjaman berpengaruh terhadap Sisa Hasil Usaha (SHU) pada Koperasi Wahyu Pratama Lamongan tidak teruji kebenarannya, dikarenakan dalam pembagian SHU tidak melihat dari besar kecilnya Jumlah Anggota Koperasi, Jumlah Pinjaman dan Jumlah Simpanan,melainkan melihat dari Cadangan Resiko, Cadangan Umum, Jasa Penyimpanan, Jasa Peminjam, Dana Pengurus, Dana karyawan, Dana Pendidikan dan Dana Sosial. (3) Jumlah Simpanan berpengaruh terhadap Sisa Hasil Usaha (SHU) pada Koperasi Wahyu Pratama Lamongan tidak terbukti
ISSN 2302-3562
kebenarannya, dikarenakan dalam pembagian SHU tidak melihat dari besar kecilnya Jumlah Anggota Koperasi, Jumlah Pinjaman dan Jumlah Simpanan,melainkan melihat dari Cadangan Resiko, Cadangan Umum, Jasa Penyimpanan, Jasa Peminjam, Dana Pengurus, Dana karyawan, Dana Pendidikan dan Dana Sosial. Saran Dari hasil pembahasan, dapat diketahui bahwa Jumlah Anggota Koperasi berpengaruh terhadap Sisa Hasil Usaha (SHU), sedangkan untuk jumlah pinjaman dan Jumlah Simpanan tidak berpengaruh terhadap Sisa Hasil Usaha (SHU) paada Koperasi Wahyu Pratama Lamongan. Maka saran yang dapat diajukan oleh peneliti yaitu (1) Koperasi Wahyu Pratama, haruslah dapat selalu meningkatkan pelayanan terhadap anggotanya, sehingga dapat dimungkinkan akan bertambahnya keanggotaan baru. (2) Hendaknya ada penelitian lanjutan dan pengembangan yang ditujukan untuk mengetahui faktor lain yang berpengaruh terhadap sisa hasil usaha (SHU) DAFTAR RUJUKAN Baswir, R. 1997. Koperasi Indonesia, Edisi Pertama. BPFE. Yogyakarta. Ikatan Akuntansi Indonesia. 2004. Standar Akuntansi Keuangan. Salemba Empat.Jakarta. Singarimbun, Masri, dan Effendi Sofyan. 1999. Metode Penelitian Survey. PT. Pustaka LP3ES. Jakarta Sugiyono. 2011. Metode penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung. Zarkasi, A. 1992. Undang-undang No. 25 Tentang Perkoperasian. Media Center. Surabaya.
Fungsi Laboratorium dalam Optimalisasi Kinerja Tri Darma Perguruan Tinggi Fathurrahman*) Dosen FKIP Universitas Islam Lamongan
Abstrak; This study want to explained on role and functions of the laboratory in an effort to maximize Tridarma University activities. University laboratory can be interpreted as a media for learning and development of education by faculty and students in improving science, transformation of values, and increase the academic competence. Research activities could be centered on a laboratory study where academic or social issues by maximizing extracting data and information sources from direct observation in the field, as well as the development of science and technology. The results of research studies can be used by faculty and students as a means of dedication to the community development. University can also use laboratory or industrial partners and business partners as a practicum student and faculty as well as the business people in order to optimize the study and research to produce a new creativity and innovation Kata Kunci : Peran Laboratorium, Kinerja Tridarma Perguruan Tinggi A. Pendahuluan Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang komplek, mempunyai tugas dan peran sebagai institusi pengembang keilmuan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Tridarma perguruan tinggi tersebut melekat dalam domain pengelolaan dan kepemimpinan perguruan tinggi yang telah teruji dalam dinamika perkembangan masyarakat global dewasa ini. Melalui peran dan fungsi pengajaran tidak hanya memberikan transfer of knowladge kepada mahasiswa, lebih dari itu adalah pewarisan nilai-nilai keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Demikian halnya dengan peran penelitian, laboratorium menjadi ruang mahasiswa dan dosen dalam melakukan penelitian dan menghasilkan penemuan baru sesuai dengan bidang keilmuannya yang selanjutnya digunakan sebagai wahana pengabdian kepada masyarakat. Universiatas kita dengan konsep Tridarma perguruan tinggi telah banyak menghasilkan karya besar untuk menjadi sumbangsih perguruan tinggi dalam membangun bangsa dan Negara. Sebagai institusi yang Komplek, perguruan tinggi mengharuskan adanya pengelolaan yang konprehensif dan strategis dalam menjalankan dan menata pamong praja, sarana, prasarana, dan kepemimpinannya guna mendukung optimalisasi peran, fungsi, dan tugas tridarma perguruan tinggi. Salah satu sarana yang penting dan memadai dalam pengelolaan perguruan tinggi serta mendukung tercapainya misi dan tujuan perguruan tinggi dalam menjalankan tridarma adalah laboratorium perguruan tinggi. Berbagai laboratorium dimiliki oleh perguruan tinggi sesuai dengan konsentrasi keilmuan yang diajar-kembangkan sebagai pusat pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat antara lain; laboratorium bahasa, teknik, perkapalan, komputer, kesehatan, farmasi, pendidikan, peternakan, kelautan, dan pertanian. Dengan demikian dapat difahami bahwa Universitas yang menghasilkan manusia profesional menyediakan „lahan administratif‟ yang holistik dan komprehensif. Dalam kontek manajemen perguruan tinggi (Palfreyman dan Warner, 1996) memberikan elemen kunci dalam pengelolaan perguruan tinggi yang menjalankan pengajaran dan penelitian atau menggabungkan keduanya, antara lain; Budaya organisasi, perencanaan strategis, sumber dana dan alokasi sumberdaya, pengambilan keputusan, personalia, sarana dan manajemen kemahasiswaan. Sebagai contoh, dalam penyusunan perencanaan strategis manajerial perguruan tinggi tentu dicanangkan beberapa program dan kebijakan yang mendukung efektifitas ketercapaian misi dan tujuan perguruan tinggi dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya yang ada. Termasuk didalamnya adalah posisi laboratorium dalam perguruan tinggi. b. Tinjaun Pustaka Perguruan Tinggi merupakan sebuah sistem sekaligus subsistem dari sistem pendidikan nasional, sebagai sebuah sistem perguruan tinggi memiliki struktur yang terdiri dari berbagai komponen yang berkaitan erat satu sama lain secara fungsional dan holistik, sehingga merupakan keterpaduan
ISSN 2302-3562
organisasi yang sinergis. Dalam komponen komponen itu terjadi proses yang sesuai dengan peran dan fungsi masingmasing, serta tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan, berkaitan, saling mendukung, dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sasaran strategis dari proses sistemik perguruan tinggi tersebut di Indonesia dikenal dengan istilah tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Laboratorium merupakan unsur penting dan salah satu syarat bagi keberadaan suatu perguruan tinggi (Sonhadji, 2002). Hal penting yang diperankan oleh laboratorium guna mendukung pencapaian tujuan pendidikan di perguruan tinggi dalam menyiapkan kompetensi peserta didik, antara lain : memperkaya keilmuan, teknologi, dan seni serta mengembangkan dan menggunakannya di tengah kehidupan masyarakat. Serta berperan sebagai kekuatan moral dan keunggulan kompetitif. Oleh karenanya, diperlukan pengelolaan laboratorium perguruan tinggi yang handal sehingga mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni serta kebutuhan masyarakat. Saat ini, yang penting untuk diketengahkan sebagai permasalahan dalam manajemen perguruan tinggi adalah tingginya orientasi pengajaran dan minimnya kajian dan penelitian serta lemah dalam pemberian bekal kompetensi lulusan yang berhubungan dengan kebutuhan nyata masyarakat. Oleh karenanya persoalan relevansi manajemen perguruan tinggi dengan proses perkembangan masyarakat menjadi issu yang urgen untuk dijembatani. Nah, posisi laboratorium menjadi salah satu alternatif untuk dipilih sebagai sarana mendekatkan jarak antara cita-cita yang ingin dicapai oleh manajemen perguruan tinggi dengan kebutuhan lulusan yang kompeten. Dalam bidang Pendidikan dan pengajaran laboratorium berfungsi untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman spesifik yang erat hubungannya dengan tujuan kuriikulum dan performansi yang di kehendaki. Storm (dalam Sonhadji, 2002). Laboratorium perguruan ttinggi dapat sebagai wahana menjalankan peran dan fungsi pengajaran tidak hanya memberikan transfer of knowladge kepada mahasiswa, lebih dari itu adalah pewarisan nilai-nilai keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Melalui program pengajaran merupakan bentuk dari pola pewarisan keilmuan dan pengetahuan hasil dari penelitian dan rekayasa yang dilakukan. Begitu pula bidang penelitian, laboratorium bisa memberikan sumbangsihnya dalam penelitian eksperimental, penelitian tindakan kelas, maupun penelitian survey. Dosen dan mahasiswa dapat mengeksplore kajian keilmuan berupa penelitian berbasis laboratorium yang difasilitasi oleh program perguruan tinggi dan laboratorium. Selanjutnya melalui riset yang dilakukan akan menghasilkan temuantemuan baru untuk senantiasa melengkapi atas apa yang telah ada, juga menghasilkan teknologi yang dapat bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan umat manusia. Dalam konteks ini laboratorium, kehadirannya diharapkan memberi makna lebih dalam memberikan sumbangsihnya pada persoalan kemanusian dan utamanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Laboratorium menjadi penting untuk menciptakan pribadi yang handal dengan keilmuan yang mumpuni dalam melaksanakan kegiatan penelitian serta didorong oleh keberpihakan kebijakan kampus kearah itu, dan terciptanya lingkungan yang kondusif bagi para peneliti untuk mengekspresikan keingintahuannya dalam bentuk penelitian. Sedangkan dalam bidang pengabdian kepada masyarakat laboratorium dapat berperan sebagai wahana pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dimana masyarakat memanfaatkan produk-produk laboratorium. Pengabdian kepada masyarakat yang merupakan salah satu Tridarma perguruan tinggi yang belum mendapatkan prioritas perhatian sebagaimana darma pengajaran dan pendidikan serta darma penelitian. Berdasarkan data DP2M Dikti sampai dengan Tahun 2010 kurang 5% populasi dosen dan kurang dari 1% Guru Besar yang aktif melaksanakan pengabdian masyarakat. Demikian pula besarnya alokasi dana PPM di DP2M masih berkisar sekitar 15% dari alokasi dana riset dosen. Alokasi tersebut belum mampu ditingkatkan sampai mencapai 20-25%. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya pengabdian kepada masyarakat adalah apresiasi karya program pengabdian masyarakat dalam sistem skor kenaikan pangkat dosen masih rendah. Disisi lain kebutuhan masyarakat atas manfaat dari pelaksanaan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh universitas cukup tinggi, oleh karenanya sebaiknya para dosen/pihak akademis diharapkan memiliki wawasan mengenai pemberdayaan masyarakat khususnya Inovasi dan Kreativitas dalam Pemanfaatan modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat. Civitas akademika kampus dapat melakukan kerja sosial bersama masyarakat berangkat dari hasil kerja laboratoirum. Dengan demikian, laboratorium dalam menajemen perguruan tinggi merupakan unsur penting dan salah satu syarat bagi keberadaan suatu perguruan tinggi. Hal penting yang diperankan oleh
ISSN 2302-3562
laboratorium guna mendukung pencapaian tujuan pendidikan di perguruan tinggi dalam menyiapkan kompetensi peserta didik, antara lain : memperkaya keilmuan, teknologi, dan seni serta mengembangkan dan menggunakannya di tengah kehidupan masyarakat. Serta berperan sebagai kekuatan moral dan keunggulan kompetitif. Dukungan laboratorium dalam proses belajar di perguruan tinggi dapat dimaknai dalam tridarma perguruan tinggi agar dapat menghasilkan lulusan yang kompeten dibidangnya dan mampu bersaing dalam situasi gobal. Keberadaan laboratorium di perguruan tinggi juga bisa digunakan sebagai sarana pembelajaran dan praktikum awal mahasiswa sebelum memasuki dunia kerja. Ketika perguruan tinggi menjalin hubungan kerjasama dengan perusahaan atau dunia industri dalam mengembangkan proses pembelajaran dan peningkatan ketrampilan teknis guna menghasilkan lulusan yang kompeten. Praktikum yang dilaksanakan oleh mahasiswa memberikan pengalaman teknis yang relevan dan dibutuhkan oleh dunia usaha, dunia industry, atau pangsa kerja dimana lulusan bekerja. Dalam kontek ini, laboratorium yang digunakan sebagai tempat praktikum tidak hanya terbatas pada laboratorium yang dikelola oleh perguruan tinggi akan tetapi juga dapat menggunakan laboratorium yang dikelola oleh dunia kerja. Penggunaan laboratorium dunia usaha sebagaimana disarankan oleh Boud, Solomon, dan Symes (2001) bahwa kerja berbasis belajar merupakan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan program kelas perguruan tinggi hasil kerjasama antara universitas dan dunia industri untuk menciptakan kesempatan pembelajaran baru di tempat kerja. Disisi lain melalui Work-based learning (WBL) manajemen perguruan tinggi dapat menggunakan laboratorium yang berada di industri atau lembaga lain sebagai sarana belajar mahasiswa dan dosen. Kerjasama yang saling menguntungkan antara perguruan tinggi dan dunia kerja, dimana masing-masing saling berinteraksi dengan berbasis laboratorium dalam menciptakan sumberdaya yag handal, dosen dan mahasiswa dapat menggunakan laboratorium dunia usaha untuk kepentingan belajar dan penelitian sementara karyawan memperoleh sharing ilmu pengetahuan baru dari pihak perguruan tinggi. Dalam hal perguruan tinggi sebagai program pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas dan kepentingan mahasiswa, maka sudah barang tentu kehadiran laboratorium ini akan memberi warna baru dalam kehidupan dunia keilmuan. Beberapa pola manajerial yang berbeda, serta iklim organisasi yang melingkupi akan berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan prilaku civitas akademika yang ada. Demikian pula guna pengembangan sumberdaya manusia karyawan pada dunia usaha, industry, dan layanan jasa maka diperlukan komitmen dan keseriusan dalam menjalin kerjasama antara perguruan tingggi dan dunia usaha. Bentuk bangunan kerjasama seyogjanya memberi ruang dan iklim yang menggairahkan kerja mahasiswa, dosen dan karyawan di dalam laboratorium. Secara garis besar posisi laboratorium dalam manajemen perguruan tinggi dan kerjasama dengan dunia usaha dapat digambarkan pada bagan berikut:
ISSN 2302-3562
Mengingat strategisnya posisi laboratorium dalam manajemen perguruan tinggi, maka perlu melihat saran Sonhadji (2002) yang masih urgen dengan kondisi sampai saat ini. Bahwa agar perangkat laboratorium dapat menunjang pelaksanaan pendidikan pada perguruan tinggi teknik secara efektif perlu ditingkatkan kualitas pengorganisasian fasilitasnya, terutama pada aspek kondisi lingkungan kerja dan keselamatan kerja. Hal mana mengharuskan manajemen perguruan tinggi untuk mengkonsentrasikan posisi laboratorium sebagai basik utama pengembangan kompetensi mahasiswa dengan melakukan reorganisasi kurikulum, meningkatkan kualitas sarana laboratorium, dan profesionalisme dosen. Dengan demikian posisi laboratorium Universitas dalam manajemen perguruan tinggi dapat difahami sebagai sebuah institusi pendukung yang vital dalam kerangka perguruan tinggi memberikan layanan pendidikan kepada mahasiswa. sebagaimana (Palfreyman dan Warner, 1996) memberikan elemen kunci dalam pengelolaan perguruan tinggi yang menjalankan pengajaran dan
ISSN 2302-3562
penelitian atau menggabungkan keduanya, antara lain; Budaya organisasi, perencanaan strategis, sumber dana dan alokasi sumberdaya, pengambilan keputusan, personalia, dan manajemen kemahasiswaan. Manajemen perguruan tinggi mendasari pengelolaan laboratorium dengan landasan budaya universitas, dimana budaya organisasi perguruan tinggi dibentuk dari rutinitas, nilai, simbol, sejarah yang dapat memberikan gambaran dan pesan secara jelas tentang prilaku organisasi. Laboratorium perguruan tinggi sebagai bagian dari pelayanan akademis baik pengajaran maupun penelitian juga dipengaruhi oleh bagaimana kekuasaan didistribusikan dalam organisasi, dan bagaimana pekerjaan di strukturkan dan dikontrol oleh organisasi perguruan tinggi.
Dalam manajerial Perguruan Tinggi, diaplikasikan bagaimana perguruan tinggi
mendesign organisasi laboratorium berikut kewajiban, hak dan kewenangannya didalam universitas. Pengaturan mana dilengkapi tentang peran dan fungsi laboratorium dalam manajemen kepemimpinan perguruan tinggi dengan membuat struktur tugas organisasi dan hirarkhi pertanggungjawaban beserta kelengkapan program kerja laboratorium melalui Perencanaan strategis. Dalam hal ini memperhatikan pengaruh dari dalam dan luar perguruan tinggi yang diterjemahkan dalam analisis organisasi berdasarkan kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman (analisis SWOT) yang dimiliki dan dihadapi oleh sebuah perguruan tinggi. Program kerja dirancang sedemikian rupa mengingat peran strategis yang dimiliki laboratorium dalam menjalankan layanan akademik perguruan tinggi. Begitu pula dalam hal pendanaan, struktur pengelolaan dana perguruan tinggi selayaknya memberikan porsi yang besar bagi pengelolaan laboratoirum. Alokasi dana pengelolaan laboratorium bisa bersumber dari perguruan tinggi sebagai induk organisasi, pemerintah secara langsung sebagai program penelitian, kontrak kerjasama dengan dunia industri dan hasil dari „model‟ capitalisme academic yang sudah diorganisasi dan dimanaj sedemikian rupa sebagai modal perguruan tinggi dalam mengembangkan diri. Sementara alokasi pengeluaran dana laboratorium bisa lebih di fokuskan pada berbagai program praktikum mahasiswa dan program penelitian dosen serta mahasiswa baik internal maupun kerjasama dengan pihak luar khhususnya industri. Posisi strategis laboratorium didalam manajemen perguruan tinggi membutuhkan sumberdaya manusia perguruan tinggi yang handal dan mumpuni. Melalui perencanaan personalian kemudia dilakukan seleksi dan rekrutmen tenaga serta penggembangan dajn job design akan didapat tenaga laboran yang mampu dan kompeten dibidangnya dimana pada gilirannya kebutuhan layanan akademik dapat dilaksanakan dengan standar tinggi. Begitu pula dalam penggelolaannya perguruan tinggi penyelenggara laboratorium perlu
ISSN 2302-3562
memperhatikan standar prosedur, perlindungan, keamanan, dan reward tidak hanya bagi laboran tetapi juga bagi setiap individu yang terlibat dalam pengembangan laboratorium. Demikian pula halnya dengan manajemen kemahasiswaan dalam pengelolaan laboratorium. Sebagai bagian dari domain layanan akademik perguruan tinggi penggelolaan laboratorium perlu menegaskan keberpihakan layanannya kepada kebutuhan belajar dan praktikum mahasiswa. Program kerja dan kegiatan yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi dengan basis laboratorium selayaknya mampu memberikan situasi belajar yang kondusif, penuh kedisiplinan dan bernuasa pengembangan skill tinggi. Sehingga tidak hanya menghasilkan mahasiswa dengan hard skill mumpuni tetapi lebih dari itu juga membuahkan soft skill mahasiswa yang mandiri dan berdaya saing. Secara umum keberhasiilan laboratorium dalam menjalankan peran fungsinya dapat dilihat dengan empat indikator keberhasilan sebagai berikut : 1) Indikator masukan, antara lain mencakup kurikulum, siswa, dana, sarana dan prasarana belajar, data dan informasi, pendidik dan tenaga kependidikan, gedung, kelompok belajar, sumber belajar, motivasi belajar, kesiapan mahasiswa dan karyawan (fisik dan mental) dalam belajar, kebijakan dan peraturan serta pereturan-peraturan yang berlaku. 2) Indikator proses, antara lain mencakup lama waktu belajar, kesempatan mengikuti pembelajaran dan penelitian, efektivitas serta mutu pembelajaran dan penelitian, dan teknik serta metode pembelajaran dan penelitian yang digunakan. 3) Indikator keluaran, antara lain mencakup jumlah mahasiswa yang berhasil dan lulus, nilai-rata-rata yang diperoleh, mutu lulusan dan karya yang dihasilkan. 4) Indikator dampak, yang antara lain berupa kemampuan mahasiswa dan karyawan yang memberikan dampak signifikan dalam berkarya, memberikan sumbangsih perubahan, berpengaruh terhadap sector pekerjaannya dan kelulusannya serta lingkungan dan terhadap kehidupan masyarakat secara luas.
c. Penutup Akhirnya, Laboratorium diharapkan menjadi rumah bagi kalangan akademisi dalam mendorong pemahaman internasionalisasi, memenuhi kebutuhan kognitif, afektif, dan menggalang pelatihan psikomotorik yang handal. Dengan demikian laboratorium benarbenar menjadi pusat pembelajaran dan kegiatan penelitian mahasiswa dan dosen guna menghasilkan temuan dan karya baru yang dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Yang pada gilirannya mampu menghasilkan lulusan yang kompeten dalam menghadapi masyarakat global, menghasilkan karya penelitian yang akseptabel, kemitraan dengan dunia usaha yang komprehensif, dan layanan pengabdian kepada masyarakat dengan apresiasi tinggi. Daftar Rujukan: Boud, David dan Solomon, Nicky. 2001. Workbased Learning: A New Higher
ISSN 2302-3562
Educatiion?. Buckingham: SRHE Open University Press, Bristol. Buku Pendukung HELTS 2003-2010, Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003 – 2010, Mewujudkan Perguruan Tinggi Berkualitas. Depertemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta: Balai Pustaka Palfreyman, David dan Warner, David. 1996. Higher Education Management, The Key Elements Buckingham: SRHE Open University Press, Bristol. Scott, P. 2000. Higher Education Re-formed. Falmer Press. London. Sonhadji, Ahmad. 2002. Laboratorium sebagai Basis Pendidikan Teknik di Perguruan Tinggi: Pidato pengukuhan Guru Besar. Malang: Universitas Negeri Malang.
Proses Tumbuh Kembang Siswa Usia Sekolah *)
HM. Tsalits Fahami *) Dosen FKIP Universitas Islam Lamongan
Abstraks: Pertumbuhan adalah berkaitan dangan masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat ( gram, pound ) ukuran panjang ( cm, inchi ), umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan menyangkut adaanya proses difrensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Keyword : Tumbuh kembang, siswa usia sekolah A. Pendahuluan Tumbuh kembang anak sebenarnya mencakup 2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam ukuran baik besar, jumlah, atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu. Hurlock B.E,1988, dalam Dhama (ed) mengatakan bahwa pertumbuhan berkaitan dengan perubahan Kuantitatif, yaitu peningkatan ukuran dan struktur. Tidak hanya besar secara fisik, tetapi ukuran dan struktur organ dalam dan otak meningkat. Perkembangan lebih menitikberatkan pada aspek perubahan bentuk atau fungsi pematangan organ ataupun individu, termasuk pula perubahan pada aspek sosial atau emosional akibat pengaruh lingkungan. Hurlock B.E,1988, dalam Dhama (ed), menyebut perkembangan sebagai perubahan kuantitatif dan kualitatif. Sebagai deretan progresif dari perubahan yang teratur dan koheren. Progresif menandai perubahan terarah, membimbing mereka maju dan bukan mundur. Teratur dan koheren menunjukkan adanya hubungan nyata antara perubahan yang terjadi dan yang telah mendahului atau yang akan mengikutinya. Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari selsel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa
ISSN 2302-3562
sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan menandai maturitas dari organorgan dan sistem-sistem, perolehan ketrampilan, kemampuan yang lebih siap untuk beradaptasi terhadap stress dan kemampuan untuk memikul tanggung jawab maksimal dan memperoleh kebebasan dalam mengekspresikan kreativitas. Dengan demikian proses pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisis sedangkan proses perkembangan berkaitan dengan fungsi pematangan intelektual dan emosional organ atau individu. Masa tumbuh kembang siswa ini merupakan masa yang sangat penting dalam proses pembentukan dan pematangan kepribadiannya, oleh karena itu pendidikan merupakan upaya sadar yang dilakukan sistem pendidikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rohani siswa, dalam kerangka pembentukan kepribadian dan karakter yang kuat penuh keutamaan. B. Gambaran proses Pertumbuhan dan perkembangan Pertumbuhan dan perkembangan berjalan menurut norma-norma tertentu, walaupun demikian seorang anak dalam banyak hal tergantung kepada orang dewasa misalnya mengenai makanan, perawatan, bimbingan, perasaan aman, pencegahan penyakit dan sebagainya. Oleh karena itu semua orang yang mendapat tugas untuk mengawasi anak harus mengerti persoalan anak yang sedang tumbuh dan berkembang.
Pola pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara terus menerus. Pola ini dapat merupakan dasar bagi semua kehidupan manusia, petunjuk urutan dan langkah dalam perkembangan anak ini sudah ditetapkan tetapi setiap orang mempunyai keunikan secara individual. Pertumbuhan fisik dapat dilihat secara lebih nyata, namun sebenarnya disertai pula dengan pertumbuhan psikososial anak dan diikuti dengan Directional trends, pertumbuhan dan perkembangan berjalan secara teratur, berhubungan dengan petunjuk atau gradien atau reflek dari perkembangan fisik dan maturasi dari fungsi neuromuscular. Gunarsa, D.S 1997 menyatakan pola perkembangan pada manusia ada beberapa yaitu : 1. Pertumbuhan Fisik yang terarah ; terdapat hukum pertumbuhan fisik yaitu : a. Hukum Cephalocaudal pertumbuhan dimulai dari kepala ke arah kaki, kepala tumbuh lebih dahulu, daripada bagian lainnya (pada pertumbuhan pranatal, janin), bayi lebih dahulu mempergunakan mulut dan matanya lebih cepat daripada anggota geraknya. Ada juga yang mengatakan Cephalocandal /Head to tail (dari kepala ke kaki) Misalnya: mengangkat kepala kemudian dada dan menggerakkan ekstremitas bagian bawah. b. Hukum Proximaldistal pertumbuhan berpusat pada pusat sumbu tubuh dan mengarah ke tepi. Alat tubuh seperti jantung, paru, hati, alat pencernaan, lebih dahulu daripada alat2 tepi. Proximodistal atau Near to Far Direction (Menggerakkan anggota gerak yang paling dekat dengan pusat dan pada anggota gerak yang lebih jauh dari pusat) Misalnya: bahu dulu baru jari-jari. 2. Perkembangan terjadi dari umum ke khusus : Terjadi proses Diferensiasi (H.Werner, dalam Gunarsa, 1997) proses perkembangan dimulai dari hal-hal umum. Secara sedikit demi sedikit meningkt kepada hal-hal khusus. Perkembangan kemampuan : menyebutkan semua wanita “mama”
ISSN 2302-3562
sebelum ia mampu mengenal ibunya, mana pengasuh atau bibinya. Mengenal istilah binatang atau pohon, sebelum mengenal mana yang tergolong ayam, kucing, anjing, atau pohon pisang, pohon mangga, pohon pepaya. Perkembangan emosi : anak menangis bila mengalami hal-hal tidak enak, menyakitkan menyedihkan yang menjengkelkan denganreaksi yang sama. Sedikt demi sedikit akan membedakan rangsangan tertentu dengan reaksi berlainan. Mass to specific atau simple to complex (Menggerakkan daerah yang lebih sederhana dulu baru kemudian daerah yang lebih kompleks) Misalnya: mengangkat bahu dulu baru kemudian menggerakkan jari-jari yang lebih sulit atau melambaikan tangan batu bisa memainkan jarinya. 3. Perkembangan berlangsung dalam tahapan-tahapan perkembangan : a. Masa pra Lahir : masa konsepsi antara sel kelamin laki-laki dan perempuan, sampai janin di lahirkan, selama 280 hari, terjadi pertumbuhan cepat pada alat dan jaringan tubuh. b. Masa Jabang-bayi (neonatus) : 0 – 2 minggu : Masa sejak di lahirkan sampai berumur 2 minggu, masa tenang dalam pertumbuhan fisik, sedikit sekali perubahan. Masa menyesuaikan kehidupan diluar rahim ibunya. c. Masa bayi ( 2 minggu – 1 tahun ) : Masa dimana kehidupannya tergantung pada orang lain sepenuhnya, sedikit demi sediit berkembang kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri, misal mengambil makanan, mengambil minuman bila haus dan meminumnya, memperkembangkan kemampuan untuk melindungi dan menghindar dari hal mengancam keselamatan dirinya. Bisa meminta sesuatu dan berkomunikasi dengan orang lain. d. Masa Anak ( 10 tahun – 14 tahun) : Terbagi menjadi masa anak, pra sekolah dan menjelang masa remaja. Seluruh aspek perkembangan mengalami perubahan besar, dari lingkungan
e.
hidup, orang tua, kelompok anakanak sampai kelompok sosial yang lebih luas. Proses berfikir di dominasi oleh khayalan-khayalan, sampai proses berfikir objektif dan riil. Masa remaja ( 14 tahuan – 21 tahun) : Terbagi menjadi : remaja dini, remaja dan remaja lanjut. Peralihan dari dunia anak-anak ke dunia dewasa. Pada wanita di tandai haid pertama, dan pada laki-laki di tandai keluarnya air mani pertama. Perubahan fisik menimbulkan permasalahan yang sangat besar dan majemuk dan seringkali menjadi masalah bagi orang tua.
4. Perkembangan dipengaruhi kematangan dan Latihan atau Belajar : Kematangan adalah proses intrinsik yang terjadi dengan sendirinya sesuai dengan potensi yang ada. Gessel (dalam dalam Gunarsa, 1997) : antara kematangan dan latihan atau proses belajar terdapat interaksi erat yang mempengaruhi perkembangan. 2 hal penting sehubungan dengan ini : Dalam perkembangan ada saat dimana anak siap menerima sesuatu dari luar. Kematangan dicapai untuk disempurnakan dengan rangsangan2 yang tepat (masa kritis). Thorndike Hukum Kesiapan (Law of Readiness) : proses belajar dan perkembangan akan lancar bila dilakukan pada saat seseorang siap menerima rangsangan itu. LH Blum (1952) istilah kesiapan dalam perkembangan (Developmental readiness) R.J Havighurst (1953) istilah saat peka belajar (teachable moment) untuk mengungkapkan pentingnya perangsangan , latihan dan prosesproses belajar pada masa yang tepat dalam perkembangan anak. Bahwa perkembangan permulaan adalah penting dan mutlak : Freud kehidupan emosi pada tahun pertema kehidupan anak harus berlangsung dengan baik agar tidak menjadi masalah setelah dewasa Eric Ericsson menganggap tahun pertama kehidupan anak penting
ISSN 2302-3562
ditanamkan dasar mempercayai orang lain. C. Tugas Perkembangan anak : Tugas yang timbul pada atau kira-kira pada masa perkembangan tertentu dalam kehidupan seseorang yang bila berhasil , menimbulkan kebahagiaan dan diharapkan berhasil pada masa perkembangan berikutnya, bila gagal maka timbul ketidak bahagiaan, tidak diterima masyarakat. Bersumber dari 3 hal : Kematangan fisik, Rangsangan atau tuntutan masyarakat, Norma pribadi mengenai aspirasiaspirasinya. Tugas Perkembangan : Kelompok 0 – 6 tahun : Berjalan, belajar makan makanan keras , belajar berbicara, mengatur dan mengurangi gerak gerik tubuh yang tidak perlu, belajar mengenal perbedaan jenis kelamin dengan ciri-cirinya, mencapai stabilitas fisiologis, membentuk konsep sederhana mengeni realitas sosial dan fisik, belajar melibatkan diri secara emosional dengan oran tua, saudara dan orang lain, belajar membedakan benar salah dan membentuk nurani. Kelompok 6 – 12 Tahun : belajar kemampuan fisik yang diperlukan agar bisa melaksanakan permainan atau olah raga biasa, membentuk sikap tertentu terhadap dirinya sebagai pribadi yang sedang tumbuh dan berkembang, belajar bergaul dengan teman-teman seumurnya, memperkembangkan kemampuan dasar dalam membaca, menulis dan menghitung, memperkembangkan nurani, moralitas dan skala nilai, memperoleh kebebsan pribadi, membentuk sikap terhadap kelompok sosial dan institusi. D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan dan Perkembangan Proses pertumbuhan dan perkembangan anak tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang mempengaruhinya baik faktor yang dapat dirubah/dimodifikasi yaitu faktor keturunan, maupun faktor yang tidak dapat dirubah atau dimodifikasi yaitu faktor lingkungan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah sebagai berikut: Faktor Keturunan / Herediter (a) Seks ; Kecepatan pertumbuhan dan perkembangam pada seorang anak wanita berbeda dengan
anak laki-laki, (b) Ras ; Anak keturunan bangsa Eropa lebih tinggi dan lebih besar dibanding anak Asia. Faktor Lingkungan ; (a) Lingkungan Eksternal ; Kebudayaan, Status sosial ekonomi keluarga, Nutrisi, Penyimpangan keadaan sehat, Olah raga, Urutan anak dalam keluarga, (b) Lingkungan Internal ; Intelegensi. Pada umumnya anak yang mempunyai integensi tinggi, mempunyai perkembangan lebih baik. Hormon, ada tiga hormon yang mempengaruhi pertumbuhan anak yaitu: Somatotropin, hormon yang mempengaruhi jumlah sel tulang, merangsang sel otak pada masa pertumbuhan. Berkurangnya hormon ini dapat menyebabkan gigantisme; hormon tiroid, mempengaruhi pertumbuhan tulang. Berkurangnya hormon ini dapat menyebabkan kreatinisme; Hormon gonadotropin, merangsang testosteron dan merangsang perkembangan seks laki-laki dan memproduksi spermatozoid. Sedangkan estrogen merangsang perkembangan seks sekunder wanita dan produksi sel telur: kekurangan homon gonadotropin dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan seks. Emosi, hubungan yang hangat dengan orang lain seperti dengan ayah, ibu, saudara, teman sebaya serta guru akan memberi pengaruh terhadap perkembangan emosi, sosial dan intelektual anak. Cara anak berinteraksi dalam keluarga akan mempengaruhi interaksi anak di luar rumah. Apabila keinginan anak tidak dapat terpenuhi sesuai dengan tahap perkembangan tertentu dapat memberi pengaruh terhadap tahap perkembangan selanjutnya. Meyer, dalam Louw, Van Ede & Louw dalam Eloff and Ebersohn (Eds) (2002) menyatakan bahwa anakanak mengembangkan semua waktu di beberapa bidang yang berbeda, yang semuanya berkaitan erat. Daerah perkembangan berikut berdampak pada perilaku anak- anak, seperti juga diilustrasikan : Perkembangan fisik melibatkan perubahan yang terjadi dalam tubuh anak yang meliputi pertumbuhan, fungsi, struktur, perubahan hormonal dan koordinasi. Perubahan ini memungkinkan anak untuk mencapai tugas-tugas perilaku baru.
ISSN 2302-3562
Pengembangan Intelektual melibatkan pengembangan kemampuan kognitif anak yang akan menginformasikan persepsi dan pemaha man tentang dunia, yang membentuk perilakunya. Pembangunan sosial melibatkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan pengembangan pola-pola interaksi yang tepat yang diperlukan dalam situasi sosial. Perkembangan moral melibatkan kesadaran akan perbedaan antara benar dan salah. Pengembangan emosional melibatkan pe ningkatan pemahaman perasaan anak itu sendiri dan perkembangan perilaku yang cocok dalam menanggapi mereka Prinsip-prinsip Pola Pertumbuhan dan Perkembangan tersebut berjalan, sejalan tidak dipengaruhi materi dan sebagainya tetapi cepat lambatnya dapat dipengaruhi. Sequential Trends ; Semua dimensi tumbuh kembang dapat diketahui, maka sequence dari tumbuh kembang tersebut dapat diprediksi. Dimana hal ini berjalan secara teratur dan kontinyu. Semua anak yang normal melalui setiap fase ini. Setiap fase dipengaruhi oleh fase sebelumnya. Misalnya: tengkurap merangkak; berdiri - berjalan. Sensitive Period ; Ada waktu-waktu yang terbatas selama proses tumbuh kembang dimana anak berinteraksi, terutama dengan lingkungan yang ada, kejadian yang spesifik. Masa-masa tersebut adalah sebagai berikut : Masa Kritis yaitu masa yang apabila tidak dirangsang / berkembang maka hal ini tidak akan dapat digantikan pada masa berikutnya. Masa Sensitif Mengarah pada perkembangan dan microorganisme. Misalnya pada saat perkembangan otak, ibunya menderita flu maka kemungkinan anak tersebut akan hydrocepallus/ ancepalitis. Masa Optimal ; Yaitu suatu masa diberikan rangsangan optimal maka akan mencapai puncaknya. Misalnya: anak usia 3 tahun / saat perkembangan otak dirangsang dengan bacaan-bacaan / gizi yang tinggi, maka anak tersebut dapat
mencapai tahap perkembangan yang optimal. Perkembangan ini berjalan secara pasti dan tepat, tetapi tidak sama untuk setiap anak. Misalnya: Ada yang lebih dulu bicara baru jalan atau sebaliknya Ada yang lebih dulu bicara baru jalan atau sebaliknya, ada yang badannya lebih dulu berkembang kemudian sub systemnya dan sebaliknya Ciri-ciri Tumbuh Kembang Anak Tumbuh kembang adalah proses yang continue sejak dari konsepsi sampai maturitas / dewasa yang dipengaruhi oleh factor bawaan dan lingkungan. Dalam periode tertentu terdapat masa percepatan atau masa perlambatan serta laju tumbuh kembang yang berlainan diantara organorgan. Pola perkembangan anak adalah sama pada semua anak, tetapi kecepatan berbeda antara anak yang satu dengan yang lain. Perkembangan erat hubungannya dengan maturasi system susunan saraf. Aktifitas seluruh tubuh diganti respons individu yang khas. Refleks primitive seperti refleks memegang dan berjalan akan menghilang sebelum gerakan volunteer tercapai. Ada yang lebih dulu bicara baru jalan atau sebaliknya. Jean Piaget dalam Slavin, Robert E. (2006), membagi perkembangan kognitif anak dan remaja menjadi empat Tahapan Perkembangan Piaget Tahap Usia Sensorimotor 0 – 2 tahun Preoperasional
3 – 7 tahun
Concrete operation 7 – 11 atau 12 tahun Formal operation
11 – 15 atau 16 tahun
Tingkah laku yang signifikan Perilaku preverbal, kegiatan motorik sederhana terkoordinasi, dapat mempersepsikan perasaan yang berbeda Egoscentrism: dapat menghubungkan konsep suatu benda dengan kenyataan, konsep elaborate (rumit/panjang), mengajukan pertanyaan Pemecahan masalah: mulai mengerti hubungan seperti ukuran, mengetahuai kiri dan kanan, mempunyai penda[at atau sudut pandang Hidup sekarang/nyata dan bukan sekarang/ tidak nyata, lebih mempokuskan kepada sesuatu yang mungkin, dapat menggunakan alasan ilmiah, dapat menggunakan logika
Di tempat lain, Havighurst dalam Hurlock E.B, (1978) menyatakan bahwa tugas perkembangan adalah tugas yang timbul pada atau sekitar periode kehidupan individu tersebut, keberhasilan menimbulkan kebahagiaan, kegagalan
ISSN 2302-3562
tahap : sensorimotor, praoperasional, operasional konkret, dan formal operasional. Dia percaya bahwa semua anak melewati tahap-tahap dalam urutan ini dan bahwa anak tidak dapat melewatkan tahap, meskipun anakanak lain melewatinya sedikit berbeda. Individu yang sama dapat melakukan tugas-tugas terkait dengan tahapan yang berbeda pada saat yang sama, terutama pada titik-titik transisi ke tahap baru. Piaget lebih menekankan kepada perkembangan kognitif atau intelektual. Piaget menyatakan perkembangan kognitif berkembang dengan proses yang teratur dengan 4 urutan/tahapan melalui proses ini: Assimilasi, adalah proses pada saat manusia ketemu dan berekasi dengan situasi baru dengan mengunakan mekanisme yang sudah ada. Pada tahap ini manusia mendapatkan pengalaman dan keterampilan baru termasuk cara pandang terhadap dirinya dan duania disekitarnya Akomodasi, merupakan proses kematangan kognitive untuk memecahkan masalah yang sebelumnya tidak dapat dipecahkan. Tahap ini dapat tercapai karena ada pengetahuan baru yang menyatu. Adaptasi, merupakan kemampuan untuk mengantisipasi kebutuhan
menimbulkan ketidakbahagiaan, ketidak setujuan masyarakat dan kesulitan pelaksanaan tugas lainnya kelak. Ia meyakini ada 6 periode atau tahap dari perkembangan, adalah :
Periode Infancy dan childhood
Middle childhood
Adolesence
Early adulthood Midle age
Late maturity
E.
Tugas Belajar berjalan, belajar berbicara, belajar makan makanan cair, belajar mengontrol eleiminasi kotoran dari tubuh, belajar membedakan kelamin, menerima kestabilan psikologi, membentuk konsep sosial dan fisik yang sederhana, belajar berhubungan emosi dengan orang tua, saudara (sibling), dan orang lain, belajar membedakan benar dan salah, mengembangkan nurani Belajar keterampilan fisik yang penting dalam permainan, membangun perilaku yang menunjukan diri sendiri sebagai organisme yang berkembang. Belajar mendapatkan teman sebaya, belajar menilai peran feminim dan maskulin, mengembangkan keterampilan dasar membaca, menulis dan menghitung, mengembangkan konsep yang penting dalam kehidupan seharihari, mengembangkan nilai perasaan, moral, dan skala, mendapatkan kebebasan individu, mempertahankan perilaku dalam kelompok dan institusi. Menerima keadaan fisik dan menerima peran maskulin atau feminim, mengembangkan hebungan dengan jenis kelamin yang berbeda, memiliki ketidak tergantungan emosid engan orang tua dan orang dewasa lain, memiliki jaminan ekonomi sendiri, memilih dan mempersiapkan pekerjaan sendiri, mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep dalam kehidupan sipil, mempersiapkan perkawinan, dan kehidupan berkeluarga, mendapatkan nilai dan sistem etik yang harmoni dalam memandang dunia, memiliki keinginan dan menerima tanggung jawab perilaku sosial. Memilih teman hidup, belajar hidup dengan pasangan perkawinan, memulai berkeluarga, memiliki anak, mengatur rumah, mulai mendapatkan pekerjaan, memikirkan kepentingan umum, menemukan grup hobies Menerima peran sivil dan tanggung jawab sosial, membangun dan mempertahankan standar ekonomi kehidupan, membantu remaja memmiliki tanggung jawab, menggunakan waktu luang untuk mengembangkan kedewasaan, menerima dan menilai perubahan psikologis usia pertengahan, mengatur waktu sebagai orang tua Menerima penurunan kekuatan fisik dan kesehatan, menerima pensiun dan penurunan pendapatan, menerima kematian pasangan, membangun hubungan ekplisit dengan kelompok seusia, kegiatan sosial dan melakukan kewajiban sipil, membangun kepuasan kehidupan fisik
Perkembangan Kognitif Dalam keadaan normal, pikiran anak berkembang secara berangsur – angsur. Daya pikir anak yang masih bersifat imajinatif dan egosentris, sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif. Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benarbenar berada pada stadium belajar. Menurut teori Piaget dalam Santrock (2001), pemikiran anak – anak usia sekolah dasar disebut pemikiran Operasional Konkrit (Concret Operational Thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada objek – objek peristiwa nyata atau konkrit. Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindera, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata
ISSN 2302-3562
dengan kenyataan sesungguhnya. Dalam masa ini, anak telah mengembangkan 3 macam proses yang disebut dengan operasi – operasi, yaitu : 1. Negasi (Negation), yaitu pada masa konkrit operasional, anak memahami hubungan hubungan antara benda atau keadaan yag satu dengan benda atau keadaan yang lain. 2. Hubungan Timbal Balik (Resiprok), yaitu anak telah mengetahui hubungan sebab-akibat dalam suatu keadaan. 3. Identitas, yaitu anak sudah mampu mengenal satu persatu deretan bendabenda yang ada. Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula untuk mengetahui suatu perbuatan tanpa melihat bahwa perbuatan tersebut ditunjukkan. Jadi, pada tahap ini anak telah memiliki struktur kognitif yang memungkinkanya dapat
berfikir untuk melakukan suatu tindakan, tanpa ia sendiri bertindak secara nyata. Perkembangan Memori, Santrock (2002) menyatakan bahwa memori adalah sebagai unsur pusat perkembangan kognitif, yang memuat seluruh situasi yang di dalamnya individu menyimpan informasi yang ia terima sepanjang waktu. Memori jangka pendek anak telah berkembang dengan baik. Akan tetapi, memori jangka panjang tidak terjadi banyak peningkatan dengan disertai adanya keterbatasan – keterbatasan. Untuk mengurangi keterbatasan tersebut, anak berusaha menggunakan strategi memori (memory strategy), yaitu merupakan perilaku disengaja yang digunakan untuk meningkatkan memori. 4 macam strategi memori yang penting, yaitu : (1) Rehearsal (Pengulangan) : Suatu strategi meningkatkan memori dengan cara mengulang berkali-kali informasi yang telah disampaikan. (2) Organization (Organisasi) : Pengelompokan dan pengkategorian sesuatu yang digunakan untuk meningkatkan memori. Seperti, anak SD sering mengingat nama-nama teman sekelasnya menurut susunan dimana mereka duduk dalam satu kelas. (3) Imagery (Perbandingan) : Membandingkan sesuatu dengan tipe dari karakteristik pembayangan dari seseorang. (4) Retrieval (Pemunculan Kembali) : Proses mengeluarkan atau mengangkat informasi dari tempat penyimpanan. Ketika suatu isyarat yang mungkin dapat membantu memunculkan kembali sebuah meori, mereka akan menggunakannya secara spontan. Selain strategi-strategi memori diatas, terdapat hal lain yang mempengaruhi memori anak, seperti tingkat usia, sifat anak (termasuk sikap, kesehatan dan motivasi), serta pengetahuan yang diperoleh anak sebelumnya. Perkembangan Pemikiran Kritis, yaitu pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu befikir secara reflektif dan evaluatif. Perkembangan Kreativitas, dalam tahap ini, anak-anak mempunyai kemampuan
ISSN 2302-3562
untuk menciptakan sesuatu yang baru. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama lingkungan sekolah. Perkembangan Bahasa, selama masa anakanak awal terus berlanjut. Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan Psikosial, pada tahap ini, anak dapat menghadapi dan menyelesaikan tugas atau perbuatan yang dapat membuahkan hasil, sehingga dunia psikosial anak menjadi semakin kompleks. Anak sudah siap untuk meninggalkan rumah dan orang tuanya dalam waktu terbatas, yaitu pada saat anak berada di sekolah. Perkembangan Pemahaman Diri, pada tahap ini, pemahaman diri atau konsep diri anak mengalami perubahan yang sangat pesat. Ia lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal. Perkembangan Hubungan dengan Keluarga, dalam hal ini, orang tua merasakan pengontrolan dirinya terhadap tingkah laku anak mereka berkurang dari waktu ke waktu dibandingkan dengan periode sebelumnya, karena rata-rata anak menghabiskan waktunya di sekolah. Interaksi guru dan teman sebaya di sekolah memberikan suatu peluang yang besar bagi anak-anak untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan ketrampilan sosial. Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya, berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu. Umumnya mereka meluangkan waktu lebih dari 40% untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan terkadang terdapat duatu grup/kelompok. Anak idak lagi puas bermain sendirian dirumah. Erikson (Gunarsa, 1997) mengatakan bahwa masa remaja adalah masa dimensi polaritas antara identitas dan kekaburan peran. Terjadi perubahan besar karena pertumbuhan dan kematangan fisiknya yang disertai perubahan psikologisnya. Kegoncangan ini akan mempengaruhi integritas id, ego dan super ego. Mekanisme pertahanan diri (defenses) antara lain sublimasi dari dorongan seksual yang tadinya sudah terjadi dengan baik, kini berubah menuntut perbuatan nyata dengan jenis kelamin lawannya. Hal ini karena mereka pada masa genital. Masa remaja menurut Erikson berlangsung lama adalah karena diberikan masyarakat agar
mampu mengintegrasikan dirinya dalam kehidupan dewasa. Tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001). Untuk menyelesaikan krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya. Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001). Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain” (Papalia dan Olds, 2001). Elkind selanjutnya mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah personal fabel. Personal fabel adalah “suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai diri kita sendiri, tetapi [cerita] itu tidaklah benar” . Kata fabel berarti cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds (2001)
ISSN 2302-3562
dengan mengutip Elkind menjelaskan “personal fable” sebagai berikut : “Personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri [self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya [saat mengendarai mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs] berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya”. Perkembangan Kepribadian, yaitu perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001). Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua. Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar. Permasalahan Fisik dan Kesehatan Permasalahan akibat perubahan fisik banyak dirasakan oleh remaja awal ketika mereka mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai masa pubertasnya (remaja tengah dan akhir) permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan ketidakpuasan/ keprihatinan mereka terhadap keadaan fisik yang dimiliki yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan.
F. Kesimpulan Remaja mengalami proses yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangannya yakni proses secara berkelanjutan guna memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan adalah kecendrungan permanen dalam diri seseorang yang menimbulkan dorongan dan kelakuan untuk mencapai tujuan tertentu. Kebutuhan muncul sebagai akibat adanya perubahan (internal change) dalam organisme atau akibat pengaruh kejadian– kejadian dari lingkungan organisme. Sebagai implikasi pemenuhan kebutuhan remaja dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, guru hendaknya selalu sensitif terhadap kebutuhan para siswa (remaja) dan berusaha memahaminya sebaik mungkin. Untuk itu guru perlu memperhatikan aspek berikut: 1. Mempelajari kebutuhan remaja melalui berbagai pendapat orang dewasa 2. Mengadakan angket yang ditujukan kepada para remaja untuk mengetahui masalah–masalah yang sedang mereka hadapi 3. Bersikap sensitif terhadap kebutuhan yang tiba–tiba muncul dari siswa yang berada di bawah bimbingannya. 4. Guru dapat menerapkan pembelajaran individual dan kelompok serta dapat memahami siswanya (kebutuhan, potensi, minat, karakteristik kepribadian dan latar belakangnya)
ISSN 2302-3562
5.
Penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler yang variatif dapat mengakomodir kebutuhan yang berbeda dari siswa
Daftar Rujukan : Eloff, I and Ebersohn, L (Eds), 2004, Keys to Educational Psyschology, 1st pub., UCT Press, Lansdowne, Cape Town. Gunarsa, D. S, 1997, Dasar-dasar dan Teori perkembangan Anak, PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta Hurlock E.B, 1978, Perkembangan Anak, Jilid I, Edisi 6, alih bahasa :Meitasari dkk, McGraw-Hill,Inc. Papalia E,D, Old,S.W, 2001, Human Development, Psikologi Perkembangan, alih bahasa Anwar K, The McGraw Hill Companies Papalia E,D et al, 2008, Human Development, Psikologi Perkembangan, Edisi ke-9, alih bahasa Anwar K, The McGraw Hill Companies Slavin, Robert E. 2006, Educational Psychology : Theory and Practice, 8th ed., Pearson Education, Inc, Boston Santrock W.J, 2002, Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup, Jilid I, Edisi 5, alih bahasa A.Chuasairi, Erlangga, Jakarta Santrock W.J, 2001, Life Span Development, Perkembangan Masa Hidup, Jilid II, alih bahasa A.Chuasairi, Erlangga, Jakarta