ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI PADI SEMIORGANIK DI DESA CIBURUY, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR
IMAM MUKTI WIBOWO
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2013
Imam Mukti Wibowo H44080102
ii
ANALYSIS OF COMPARATIVE AND COMPETITIVE OF SEMIORGANIC RICE FARMING IN CIBURUY VILLAGE, CIGOMBONG SUB-DISTRICT, BOGOR REGENCY
Wibowo, Imam Mukti1, Hendrakusumaatmaja, Sutara2 Abstract If the views of potential resources and condition of agricultural markets organic products is increasing, then Indonesia has a great opportunity to be producers of organic food. It was realized by the government to make the program “Go Organic 2010”, where one of the purpose is to encourage the development of organic farming who have the competitiveness and sustainability. This research wanted to see rice farming semiorganic run by farmers in the village Ciburuy have comparative and competitive advantages or not. The results of this research are: 1). Semiorganic rice farming run by each farmer characteristics have comparative and competitive advantages, as indicated by PCR and DRC values smaller than one. The land sharecroppers farmers value is 0.851 and 0.826. The land tenant farmers value is 0.532 and 0.632. The farmers owner land value is 0.608 and 0.616; 2). Based on the sensitivity analysis, the most sensitive indicator of the decline occurred in the conditions of the selling price of output, and decrease the amount of output. For indicators the increase of anorganic fertilizer price is not overly sensitive, due to the use of anorganic fertilizers is not too much in rice farming semiorganic. Keywords: comparative advantage, competitive advantage, sensitivity analysis, rice semiorganic
1 2
Mahasiswa Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, NIM H44080102, semester 10 Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Gelar: Ir. M.Sc
1
RINGKASAN IMAM MUKTI WIBOWO. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA. Memasuki abad ke-21, gaya hidup sehat dengan slogan Back to Nature telah menjadi trend baru masyarakat dunia. Masyarakat semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida kimia ternyata berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Hal ini mengakibatkan banyak permintaan akan produk-produk pertanian yang mengarah kepada Back to Nature atau dengan kata lain produk organik. Salah satu produsen di Kabupaten Bogor yang mengembangkan beras semiorganik adalah Gapoktan Silih Asih yang terletak di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Gapoktan ini sudah memproduksi beras semiorganik selama kurun waktu 10 tahun sejak tahun 2002. Beras yang dijual ke masyarakat bermerek beras SAE (Sehat, Aman, dan Enak). Permasalahan yang masih dialami oleh petani Gapoktan Silih Asih dalam mengembangkan usahatani padi semiorganik adalah distribusi dan pemasaran produk, produksi masih rendah dan belum dapat memenuhi permintaan. Selain itu maraknya produk impor sejenis mengakibatkan persaingan semakin ketat. Dari sisi budidaya, para petani tidak bisa terlepas dari kebergantungan akan pupuk urea dan NPK, karena kondisi tanah yang masih ketergantungan. Para petani dihadapkan pada masalah tingginya harga input produksi, terutama pupuk. Ditambah kondisi perairan irigasi yang sudah tidak bagus, sehingga petani sulit mendapat air ketika kondisi tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keunggulan komaparatif dan kompetitif usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy berdasarkan status kepemilikan lahan, serta melihat dampak perubahan kebijakan pemerintah dan variabel lainnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi semiorganik di Desa ciburuy. Hasil dari Policy Analysis Matrix (PAM) menunjukkan bahwa usahatani padi semiorganik yang dijalankan oleh petani penggarap, penyewa, dan pemilik lahan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Hal tersebut terlihat dari nilai KP dan KS yang positif, serta nilai PCR dan DRC yang kurang dari satu. Keuntungan privat dan sosial terbesar didapatkan oleh petani penyewa lahan, sedangkan nilai PCR terkecil didapatkan oleh petani pemilik sebesar 0,616 dan nilai DRC terkecil didapatkan oleh petani penyewa lahan sebesar 0,532. Perbedaan keuntungan serta nilai PCR dan DRC disebabkan adanya perbedaan harga jual serta jumlah output yang didapatkan dan dihasilkan oleh setiap karakteristik petani padi semiorganik. Analisis sensisitivitas yang dilakukan pada penelitian ini mencakup penurunan jumlah output pada nilai tertentu tiap karakteristik petani, kenaikan harga pupuk anorganik untuk urea sebesar 12,5 persen dan pupuk lainnya sebesar 90 persen, penurunan harga jual output pada nilai tertentu tiap karakteristik petani, dan analisis sensisitivitas gabungan. Hasil dari analisis sensitivitas dapat dilihat dari setiap petani yang menunjukkan kepekaan yang berbeda-beda dari tiap indikator analisis sensitivitas. Indikator yang paling sensitif terjadi pada penurunan harga jual dan penurunan jumlah output. Untuk penurunan harga jual
iii
dan penurunan jumlah output, petani yang paling sensitif terjadi pada petani penggarap lahan ketika terjadi penurunan sebesar 17 persen, sedangkan untuk petani yang kurang sensitif terjadi pada petani pemilik lahan ketika penurunan sebesar 37,7 persen dan 37 persen. Indikator yang tidak terlalu sensitif terjadi ketika adanya kenaikan harga pupuk anorganik. Nilai DRC dan PCR yang menjadi indikator keunggulan komparatif dan kompetitif pada ketiga karakteristik petani menunjukkan peningkatan dari nilai sebelum adanya analisis sensitivitas. Hal tersebut terlihat dari nilai DRC dan PCR yang mendekati nilai satu, sehingga terjadi inefisiensi pada kondisi sosial maupun privat. Hasil analisis sensitivitas gabungan dapat disimpulkan ketika kondisi buruk terjadi, petani yang tidak memiliki keuntungan sosial dan keunggulan komparatif hanya petani penggarap. Untuk petani lainnya memiliki keuntungan sosial dan keunggulan komparatif. Selain itu untuk keuntungan secara finansial dan keunggulan kompetitif, semua karakteristik petani responden mengalami kerugian pada kondisi privat dan tidak mempunyai indikator keunggulan kompetitif. Kata kunci: keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif, analisis sensitivitas, padi semiorganik
iv
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI PADI SEMIORGANIK DI DESACIBURUY, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR
IMAM MUKTI WIBOWO H44080102
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
v
Judul Skripsi : Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong,Kabupaten Bogor. Nama : Imam Mukti Wibowo NIM : H44080102
Disetujui Pembimbing
Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc NIP. 19480601 197301 1 001
Diketahui Ketua Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 19660717 199203 1 003
Tanggal Lulus :
vi
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini, antara lain kepada: 1. Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Orangtua tercinta, ayahanda Abdul Latief dan Ibunda Chairiyah atas segala doa, cinta dan kasih sayang, kesabaran, dukungan baik materi dan moral yang telah diberikan kepada penulis selama ini, serta segenap kakak tercinta, Kurnia Fitra Utama dan Lingga Fitriany yang telah memberikan doa dan semngat kepada penulis. 3. Bapak Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc yang senantiasa dengan penuh ketekunan dan kesabaran membimbing penulis hingga skripsi ini selesai. 4. Ibu Hastuti, SP, MP, M.Si atas kesediaan beliau menyisihkan waktunya untuk berdiskusi tentang skripsi ini dengan penulis. 5. Bapak Novindra, SP, M.Si dan Ibu Asti Istiqomah, SP, M.Si atas kesediaan beliau menjadi dosen penguji utama dan perwakilan departemen. 6. Pihak desa di Desa Ciburuy (Pak H. Ahmad Zakaria sebagai ketua Gapoktan Silih Asih dan Pak Sukri yaitu sebagai ketua kelompok tani Saung Kuring) atas bantuan dan pengarahannya kepada penulis selama penelitian. 7. Para petani padi semiorganik di Desa Ciburuy yang sudah bersedia meluangkan waktunya sebagai responden dalam penelitian penulis. 8. Keluarga Bapak Sukri di Desa Cigombong yang telah bersedia memberikan akomodasi tempat tinggal selama penulis melakukan penelitian.
vii
9. Sausan Basmah yang telah berjuang dan saling memberi semangat bersama penulis ketika melakukan penelitian bersama di Desa Ciburuy. 10. Teman-teman kontrakan DR A 14; Yogi, Ade, Rizky Radityo, Sandy, Ichsan, Rahmat, yang selalu memberikan akomodasi tempat istirahat ketika penulis berada di Bogor. 11. Teman-teman seperjuangan skripsi Kak Dinda, Kak Kiki, Alya, Yuli, Heti, Dea, Asih, dan Fadhli yang telah memberikan dukungan, doa, dan kerjasama selama proses penulisan skripsi. 12. Teman-teman seperjuangan semasa kuliah, Novrika, Sandra, Husen, Mahmud, Ajeng, Indi, Sandy, Ferry, Erna, Elok, Malik, Dharma, Ihsan, Febri, Boy yang selalu menemani dan memberikan keceriaan pada hari-hari penulis. 13. Teman-teman BEM FEM IPB, Khususnya Departemen Pendidikan Orasi, dan Departemen Hubungan Eksternal Sinergi yang telah membentuk penulis menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya sehingga dapat menyelesaikan skripsi. 14. Keluarga besar ESL 45 Envirangers atas semangat kekeluargaan selama kuliah di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan IPB, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuannya. Serta kakak-kakak dan adik-adik ESL 43, 44, 46, dan 47.
Bogor, April 2013
Penulis
viii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan syarat kelulusan pada Program Sarjana Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Penelitian ini berisi analisis mengenai suatu sistem usahatani, apakah memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif serta bagaimana dampaknya apabila terjadi perubahan harga dan faktor lainnya. Penulis berharap, isi penelitian ini bisa menjadi masukan bagi pembaca, pengambil kebijakan, dan para pelaku usahatani. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih memiliki kekurangan dan keterbatasan. Namun walaupun dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada, penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk untuk penulis pribadi.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................….
xiii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................….
xv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................….
xvi
I.
PEDAHULUAN ..........................................................................…. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
II.
III.
IV.
1
Latar Belakang ..........................................................................…. Perumusan Masalah...................................................................…. Tujuan Penelitian ......................................................................…. Manfaat Penelitian ....................................................................…. Ruang Lingkup Penelitian .........................................................….
1 7 9 9 10
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................….
11
2.1. Pertanian Organik......................................................................…. 2.1.1. Pengertian Pertanian Organik...........................................…. 2.1.2. Kendala Pertanian Organik ..............................................…. 2.1.3. Tujuan Pertanian Organik ................................................…. 2.1.4. Kegunaan Pertanian Organik ...........................................…. 2.2. Pupuk Organik ..........................................................................…. 2.2.1. Pengertian Pupuk Organik ...............................................…. 2.2.2. Macam-Macam Pupuk Organik .......................................…. 2.3. Pestisida ....................................................................................…. 2.3.1. Pengertian Pestisida .........................................................…. 2.3.2. Jenis - Jenis Pestisida .......................................................…. 2.3.3. Resiko Penggunaan Pestisida Pertanian ...........................…. 2.4. Gambaran Umum Beras ............................................................…. 2.5. Beras SAE (Sehat, Aman, dan Enak) .........................................…. 2.6. Kajian Penelitian Terdahulu .......................................................... 2.6.1. Penelitian Terdahulu Mengenai Keunggulan Komparatif dan Kompetitif .................................................................…. 2.6.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Padi Semiorganik ...........….
11 11 13 13 14 15 15 16 17 17 18 20 22 25 25 26 28
KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................….
31
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .....................................................…. 3.1.1. Konsep Daya Saing .........................................................…. 3.1.2. Keunggulan Komparatif...................................................…. 3.1.3. Keunggulan Kompetitif ...................................................…. 3.1.4. Policy Analysis Matrix (PAM) .........................................…. 3.1.5. Analisis Sensitivitas .........................................................…. 3.1.6. Kebijakan Pemerintah ......................................................…. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ..............................................….
31 31 32 34 35 36 37 41
METODE PENELITIAN ...........................................................….
44
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .....................................................….
44
x
4.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian ..............................................…. 4.3. Metode Penolahan dan Analisis Data .........................................…. 4.3.1. Menentukan Input dan Output..........................................…. 4.3.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing ...............…. 4.3.3. Penentuan Harga Bayangan Output dan Input ..................…. 4.3.3.1. Harga Bayangan Output ......................................…. 4.3.3.2. Harga Bayangan Input ........................................…. 4.3.3.3. Harga Bayangan Faktor Domestik ......................…. 4.3.3.4. Harga Bayangan Nilai Tukar...............................…. 4.4. Policy Analysis Matrix (PAM)...................................................…. 4.5. Analisis Sensitivitas ..................................................................….
44 45 46 46 48 49 50 55 56 57 65
GAMBARAN UMUM .................................................................….
68
5.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Bogor ...........................................…. 5.2. Kondisi Wilayah Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong ...........…. 5.3. Karakteristik Responden ...........................................................…. 5.3.1. Usia .................................................................................…. 5.3.2. Tingkat Pendidikan ..........................................................…. 5.3.3. Pengalaman Bertani Dengan Sistem Semiorganik ............…. 5.3.4. Luas Lahan .....................................................................…. 5.3.5. Sumber Modal .................................................................…. 5.3.6. Status Kepemilikan Lahan ...............................................…. 5.3.7. Status Usahatani ..............................................................…. 5.3.8. Varietas Benih yang Digunakan ......................................….
68 69 72 72 73 74 74 75 76 76 77
V.
VI.
ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI PADI SEMIORGANIK ..........…. 6.1. Policy Analysis Matrix Pada Usahatani Padi Semiorganik .........…. 6.1.1. Analisis Keuntungan Finansial dan Ekonomi ...................…. 6.2. Indikator PAM Usahatani Padi Semiroganik Berdasarkan KlasiFikasi Penguasaan Lahan...........................................................…. 6.2.1. Keunggulan Kompetitif ...................................................…. 6.2.2. Keunggulan Komparatif...................................................…. 6.3. Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usahatani Padi Semiorganik ......................................................................…. 6.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output .............…. 6.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhdap Input .................…. 6.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output ...….
VII.
78 78 78 79 79 82 85 85 87 90
DAMPAK PERUBAHAN DAN PERUBAHAN VARIABEL PENERIMAAN DAN BIAYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI PADI SEMIORGANIK .................................................................................…… 93 7.1. Dampak Adanya Penurunan Jumlah Output...............................…. 93 7.2. Dampak Adanya Kenaikan Harga Pupuk Anorganik .................…. 96 7.3. Dampak Adanya Penurunan Harga Jual Output .........................…. 98 7.4. Dampak Adanya Analisis Sensitivitas Gabungan .......................…. 101
VIII. SIMPULAN DAN SARAN .........................................................….
104
xi
8.1. Simpulan ...................................................................................…. 8.2. Saran ........................................................................................….
104 105
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................….
107
LAMPIRAN…. ......................................................................................….
111
RIWAYAT HIDUP ................................................................................….
130
xii
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Milliar Rupiah) Tahun 2007-2011 ......................….
1
2.
Lahan Pertanian Organik di Kawasan Asia ......................….
3
3.
Proyeksi Produksi dan Kebutuhan Pasar Padi Organik di Indonesia Tahun 2005-2009 ............................................….
5
Perbedaan Sifat Pupuk Organik (Kompos) dan Pupuk Anorganik .......................................................................….
17
Persamaan dan Perbedaan antara Penelitian “Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong,Kabupaten Bogor” dengan Penelitian Terdahulu .........................….
30
Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi .........................................................................….
38
7.
Matriks Analisis Kebijakan .............................................….
58
8.
Penggolongan Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Desa Ciburuy Tahun 2011 .......................….
71
Penggolongan Petani Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Desa Ciburuy Tahun 2011 ................................….
71
10.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Aspek Usia........….
73
11.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan.
73
12.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani Dengan Sistem Organik ...................................................….
74
13.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan .......….
75
14.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Sumber Modal ..….
75
15.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan ..............................................................................…. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani
76 76
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Varietas yang Digunakan .......................................................................….
77
Policy Analysis Matrix Untuk Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy Tahun 2012 ...........................................….
78
Nilai KP dan PCR Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam ...........................................................….
79
4. 5.
6.
9.
16. 17. 18.
19.
xiii
20. 21. 22. 23 24 25. 26. 27.
Nilai KS dan DRC Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim tanam ............................................................….
82
Nilai TO dan NPCO Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam ...............................................….
85
Nilai TI, NPCI, dan TF Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam ...............................................….
87
Nilai EPC, TB, PC, dan SRP Usahatani Padi Semorganik Per Hektar Per Musim Tanam .........................................….
90
Besarnya Perubahan KS, DRC, KP, dan PCR Akibat Adanya Penurunan Jumlah Output (Rp/Ha) ...........................….
93
Besarnya Perubahan KS, DRC, KP, dan PCR Akibat Adanya Kenaikan Harga Pupuk Anorganik (Rp/Ha) ..............….
96
Besarnya Perubahan KS, DRC, KP, dan PCR Akibat Adanya Penurunan Harga Jual Output Padi Semiorganik .......….
99
Besarnya Perubahan KS, DRC, KP, dan PCR Akibat Adanya Analisis Sensitivitas Gabungan (Rp/Ha) ...................….
101
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Halaman Alur Kerangka Pemikiran ................................................….
43
xv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11. 12.
13.
Halaman Alokasi komponen biaya input-output usahatani padi Semiorganik dalam komponen domestik dan asing ..........….
112
Perhitungan harga bayangan output usahatani padi semiorganik.....................................................................…
113
Perhitungan harga bayangan pupuk anorganik pada usahatani padi semiorganik ......................................................….
114
Indikator dampak perubahan kebijakan pemerintah dan variabel lainnya pada petani penggarap lahan usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy ...................................….
115
Indikator dampak perubahan kebijakan pemerintah dan variabel lainnya pada petani penyewa lahan usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy ...................................….
116
Indikator dampak perubahan kebijakan pemerintah dan variabel lainnya pada petani pemilik lahan usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy ..........................................….
117
Rincian penerimaan, biaya finansial dan ekonomi dalam komponen domestik dan asing pada petani penggarap usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy ...................….
118
Rincian penerimaan, biaya finansial dan ekonomi dalam komponen domestik dan asing pada petani penyewa usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy ...................….
120
Rincian penerimaan biaya finansial dan ekonomi dalam komponen domestik dan asing pada petani pemilik usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy ...................….
122
Rata-rata penggunaan input petani penggarap usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy per hektar per musim tanam ..............................................................................….
124
Harga privat dan sosial input-output petani penggarap pada usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy ...................….
125
Rata-rata penggunaan input petani penyewa usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy per hektar per musim tanam ..............................................................................….
126
Harga privat dan sosial input-output petani penyewa pada usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy ...................….
127
xvi
14.
15.
Rata-rata penggunaan input petani pemilik usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy per hektar per musim tanam ..............................................................................….
128
Harga privat dan sosial input-output petani pemilik pada usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy ...................….
129
xvii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal dengan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani. Hal ini didukung dengan kekayaan alam Indonesia, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang berpotensi untuk mengembangkan produk-produk pertanian. Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam mendorong perekonomian nasional, diantaranya sebagai penyedia bahan pangan serta menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Selain itu sektor ini juga memiliki kemampuan khusus dalam memadukan pertumbuhan dan pemerataan atau pertumbuhan yang berkualitas (Daryanto, 2009). Sektor pertanian berperan dalam pembentukan PDB nasional. Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan indikator ekonomi makro untuk mengetahui peranan dan kontribusi yang diberikan oleh suatu sektor terhadap pendapatan nasional. Tabel 1. PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Milliar Rupiah) Tahun 2007-2011 No
9.
Sektor Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan Jasa-jasa
10.
Produk Domestik Bruto
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Produk Domestik Bruto 11. Tanpa Migas Sumber: BPS, 2011 *Angka Sementara
2007 271.509,3
2008 284.619,1
2009 295.883,8
2010 304.777,1
2011* 315.036,8
171.278,4
172.496,3
180.200,5
187.152,5
189.761,4
538.084,6 13.517 121.808,9
557.764,4 14.994,4 131.009,6
570.102,5 17.136,8 140.267,8
597.134,9 18.050,2 150.022,4
633.781,9 18.921 159.993,4
340.437,1
363.818,2
368.463
400.474,9
437.199,7
142.326,7
165.905,5
192.198,8
217.980,4
241.298
183.659,3
198.799,6
209.163
221.024,2
236.146,6
181.706
193.049
205.434,2
217.842,2
232.537,7
1.964.327,3
2.082.456,1
2.178.850,4
2.314.458,8
2.464.676,5
1.821.757,7
1.939.625,9
2.036.685,5
2.171.113,5
2.322.763,5
1
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai PDB sektor pertanian pada tahun 2007-2011 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Nilai PDB sektor pertanian menempati posisi ketiga terpenting setelah sektor perdagangan, hotel & restoran, dan industri pengolahan. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pemasukan PDB dari sektor pertanian menjadi sangat penting terhadap pendapatan nasional. Memasuki abad ke-21, gaya hidup sehat dengan slogan Back to Nature telah menjadi trend baru masyarakat dunia. Masyarakat semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida kimia ternyata berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Hal ini mengakibatkan banyak permintaan akan produk-produk pertanian yang mengarah kepada Back to Nature atau dengan kata lain produk organik. Gaya hidup yang demikian, telah mengalami pelembagaan secara internasional yang diwujudkan melalui regulasi perdagangan global yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus mempunyai atribut aman dikonsumsi (food safety attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) serta ramah lingkungan (eco-labelling attributes)1. Litbang pertanian menyebutkan bahwa preferensi konsumen terhadap produk organik di seluruh dunia meningkat sebesar 20 persen per tahun. WTO menyebutkan bahwa perdagangan produk pertanian organik dunia pada tahun 2000-2004 mencapai nilai rata-rata US$ 17,5 milyar. Peluang pasar produk pangan organik, terutama padi organik masih terbuka lebar baik di dalam maupun luar negeri. Kontribusi pasar organik untuk wilayah Asia termasuk Indonesia masih potensial untuk dikembangkan. Pada
1
http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/17/ (diakses pada tanggal 5 April 2012)
2
tahun 2005, pasar beras organik di Indonesia baru mencapai Rp 28 milyar dengan pertumbuhan sekitar 22 persen per tahunnya. Volume produksi beras organik nasional meningkat dari 1.180 ton ditahun 2001 menjadi hampir 11.000 ton di tahun 2004. Beras organik tersebut sebagian besar dipasarkan di supermarket tertentu di kota-kota besar di Indonesia (Biocert, 2006). Indonesia yang dianugerahi kekayaan keanekaragaman hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air dan tanah, maka Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sendiri untuk mengembangkan pertanian organik (Damardjati, 2005). Menurut IFOAM (International Federation of Organic Agricultural Movement), Indonesia baru memanfaatkan 40.000 ha (0,09 persen) lahan pertaniannya untuk pertanian organik, sehingga masih diperlukan berbagai program untuk memaksimalkan pertanian organik di Indonesia 2. Tabel 2. Lahan Pertanian Organik di Kawasan Asia Negara China India Indonesia Srilanka Vietnam Filipina
Luas Lahan (Ha) 298.990 76.236 40.000 15.215 6.475 3.500 3 Sumber: Ecology and Farming Foundation (SOEL, 2005) dalam Siahaan (2009) Berdasarkan luas penggunaan lahan, Indonesia merupakan negara ketiga di Asia dalam pengembangan pertanian organik setelah China dan India (Purbo Winarno4, 2008 dalam Siahaan, 2009). Lahan yang digunakan untuk pertanian organik mencapai 40.000 ha. Sebagian besar lahan organik tersebar di Pulau Jawa.
2
http://bisena.files.wordpress.com/2012/11/penyertaan-petani-dalam-rantai-nilai-beras-organikindonesia.pdf (diakses pada tanggal 9 April 2013) 3 Data disampaikan dalam Simposium dan Temu Lapang Pertanian Organik di IPB pada tanggal 25 November 2008. 4 Salah satu anggota Asosiasi Produsen Organik Indonesia yang menjadi pembicara di Simposium dan Temu Lapang Pertanian Organik di IPB pada tanggal 25 November 2008.
3
Lahan ini digunakan untuk mengusahakan tanaman pangan seperti sayuran, kopi, dan padi organik. Statistik Pertanian Organik Indonesia (SPOI) tahun 2010 yang dipublikasikan oleh AOI (Aliansi Organic Indonesia) mendata bahwa total luas area pertanian organik di Indonesia tahun 2010 adalah 238.872,24 hektar, yang meningkat sepuluh persen dari tahun sebelumnya 5. Angka ini mencakup luas area pertanian organik yang disertifikasi (organik dan konversi), dalam proses sertifikasi, sertifikasi PAMOR (Penjaminan Mutu Organis Indonesia) dan tanpa sertifikasi. Jika dilihat dari sumberdaya alam, potensi serta kondisi pasar pertanian organik yang sedang meningkat, maka Indonesia berpeluang besar menjadi produsen pangan organik. Hal tersebut mulai diwujudkan oleh pemerintah dengan mengembangkan pertanian organik dengan program Go Organic 2010. Program ini mulai disosialisasikan mulai tahun 2001, namun teknologi ini belum tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu misi dari program Go Organic 2010 adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan alam Indonesia, dengan mendorong berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan. Dalam pencapaian visi tersebut, pemerintah sangat mendukung pengembangan pertanian organik dengan adanya kebijakan peningkatan produksi pertanian organik. Menurut Sulaeman (2007), perkembangan pertanian organik di Indonesia terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut termasuk ekspor. Hal tersebut dapat terlihat dari meningkatnya jumlah gerai dan toko organik di Indonesia yang
5
http://www.organicindonesia.org/05infodata-news.php?id=267 (diakses tanggal 5 April 2012)
4
menjual beraneka ragam produk organik, seperti sayuran, daging, produk perkebunan, dan produk probiotik. Tabel 3. Proyeksi Produksi dan Kebutuhan Pasar Padi Organik di Indonesia Tahun 2005-2009 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber: Sulaeman (2007)
Produksi (Kuintal) 550.300 557.179 563.865 570.519 577.080
Kebutuhan Pasar (Kuintal) 550.300 660.360 792.432 950.918 1.141.102
Berdasarkan Tabel 3, dapat diketahui bahwa produksi padi organik mengalami peningkatan, walaupun tidak terlalu besar. Hal tersebut terlihat dari produksi pada tahun 2005 sebesar 550.300 kuintal dan meningkat pada tahun 2009 sebesar 577.080 kuintal. Pada Tabel 3, dapat terlihat bahwa permintaan akan produk padi organik meningkat setiap tahunnya. Meningkatnya permintaan tidak diiringi dengan produksi padi organik tersebut, sehingga produksi padi organik Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan pabrik beras organik dalam rangka memnuhi permintaan pasar terhadap beras organik. Sentra produksi padi organik paling banyak berlokasi di Pulau Jawa yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Yogyakarta. Dewasa ini pertanian padi organik menjadi kebijakan pertanian unggulan di beberapa kabupaten seperti Sragen, Klaten, Malang, Sleman, Tasikmalaya, dan Bogor. Kebijakan ini dikarenakan: (1) padi organik hanya memakai pupuk dan pestisida organik sehingga mampu melestarikan lingkungan, (2) beras organik lebih sehat karena tidak
mengandung
bahan
kimia
sehingga
aman
dan
sehat
untuk
dikonsumsi,(3)segmen pasar beras organik umumnya merupakan masyarakat
5
kelas menengah ke atas sehingga harga jualnya lebih tinggi daripada beras konvensional6. Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang berada di Propinsi Jawa Barat. Kabupaten ini sedang mengembangkan jenis-jenis beras yang mempunyai keunggulan, yaitu beras semiorganik. Salah satu produsen yang memiliki dan mengembangkan potensi beras yang dihasilkan melalui sistem petanian organik di Kabupaten Bogor adalah Gapoktan Silih Asih. Gapoktan Silih Asih terletak di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Gapoktan Silih Asih sudah terkenal memproduksi beras semiorganik selama kurun waktu 10 tahun sejak tahun 2002. Gapoktan tersebut memproduksi beras organik yang dikenal masyarakat dengan merek beras SAE (Sehat, Aman, dan Enak). Gapoktan tersebut menerapkan sistem produksi dan pasca panen sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) dibawah bimbingan Dirjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian dan Kehutanan. Berdasarkan pemaparan yang sudah dijelaskan sebelumnya, kondisi preferensi konsumen yang menginginkan produk hasil pertanian organik, serta peluang pasar padi organik yang sangat besar, didukung dengan program pemerintah yaitu Go Organic 2010 untuk membuat produk pertanian organik yang berdaya saing. Maka penelitian skripsi ini penting untuk melihat keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi semiorganik yang dihasilkan di Desa Ciburuy, Kabupaten Bogor.
6
http://www.tempo.co/read/news/2005/03/20/05858315/Sragen-Ingin-Jadi-Sentra-ProduksiBeras-Organik (diakses pada tanggal 9 April 2013)
6
1.2. Perumusan Masalah Pada abad ke-21, masyarakat dunia telah merubah preferensi konsumsinya dengan menggunakan produk-produk organik. Hal tersebut juga terjadi di Indonesia, dimana perkembangan pertanian organik meningkat secara signifikan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya pertambahan jumlah luas lahan pertanian organik serta pangsa pasar beras organik yang mencapai Rp 28 Milyar pada tahun 2005 (Biocert, 2006). Ditambah dengan meningkatnya volume produksi beras organik meningkat dari 1.180 ton di tahun 2001 menjadi hampir 11.000 ton pada tahun 2004. Program pemerintah untuk mendukung perkembangan pertanian organik, yaitu Go Organic 2010 dirasa belum maksimal. Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang belum mengarah kepada pertanian organik. Ditambah dengan banyaknya petani yang belum mendapatkan penyuluhan secara baik dan benar mengenai pertanian organik. Selain itu, pemerintah melalui program ini belum membuat kebijakan khusus mengenai pertanian organik, seperti kebijakan subsidi pupuk organik dan kebijakan harga jual padi yang dihasilkan dengan sistem pertanian organik, sehingga dengan sikap pemerintah seperti ini, belum banyak petani di Indonesia yang mau menerapkan pertanian organik. Salah satu gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang sudah mulai menerapkan pertanian padi semiorganik, yaitu Gapoktan Silih Asih di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Gapoktan ini baru menghasilkan padi semiorganik untuk dijual ke masyarakat. Padi semiorganik tersebut dikemas menjadi suatu merek, yaitu beras SAE (Sehat, Aman, dan Enak). Gapoktan ini mulai merintis pertanian padi semiorganik dengan komposisi bahan 7
organik hampir 90 persen dari total komposisi penyusun padi semiorganik dan tidak menggunakan pestisida kimia, dan sisa bahan lainnya menggunakan pupuk anorganik (seperti urea dan phonska). Penggunaan pupuk anorganik hanya sebesar 10 persen dikarenakan kondisi tanah yang belum bisa terlepas dengan pupuk anorganik akibat kebiasaan menanam secara konvensional. Permasalahan yang masih sering dihadapi oleh para petani padi semiorganik di Desa Ciburuy ini antara lain adalah (1) harga jual output padi semiorganik di tingkat petani yang masih rendah. Hal ini dikarenakan kualitas padi semiorganik yang dihasilkan oleh petani masih kurang pada musim tertentu; (2) sarana produksi (saprodi) seperti pupuk anorganik masih mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi. Walaupun komposisi pupuk anorganik hanya sebesar 10 persen untuk mendukung produksi padi semiorganik, namun kenaikan harga ini cukup dirasakan sulit bagi sebagian petani yang bermodal rendah; dan (3) hasil jumlah panen padi semiorganik yang dihasilkan di Desa Ciburuy masih berfluktuatif. Hal ini dikarenakan pada musim tertentu sebagian petani kesulitan mendapatkan air irigasi, karena faktor saluran irigasi yang rusak. Berdasarkan uraian permasalahan yang dapat mempengaruhi daya saing padi semiorganik yang dihasilkan. Oleh karena itu beberapa pertanyaan yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy berdasarkan status kepemilikan lahan? 2. Bagaimana dampak perubahan variabel penerimaan dan biaya terhadap keunggulan
komparatif
dan
kompetitif
usahatani
padi
semiorganik
berdasarkan status kepemilikan lahan? 8
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis
keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi
semiorganik di Desa Ciburuy berdasarkan status kepemilikan lahan. 2. Menganalisis dampak perubahan variabel penerimaan dan biaya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy berdasarkan status kepemilikan lahan. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi petani padi semiorganik, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui pendapatannya dengan cara mengutamakan kualitas yang baik dan produktivitas yang tinggi serta bersifat keberlanjutan (sustainable). 2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rekomendasi untuk mendukung dan mempraktekan usahatani padi dengan sistem organik, sehingga bisa menjadi salah satu komoditas unggulan dalam sektor pertanian. 3. Bagi pemerintah khususnya pemerintah daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam penetapan berbagai kebijakan yang terkait dengan pertanian sistem organik. 4. Bagi kalangan mahasiswa dan akademisi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian lanjutan.
9
5. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan serta dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan analisis permasalahan yang ada di lapangan. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani padi semiorganik yang tergabung di dalam Gapoktan Silih Asih yang mengusahakan beras SAE di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Komoditi yang diteliti adalah padi semiorganik yang dihasilkan oleh petani responden. Sistem usahatani padi organik yang dimaksud dalam penelitian adalah sistem yang masih bersifat semiorganik, yaitu usahatani yang bebas pestisida kimia, serta mengkombinasikan pupuk organik (pupuk kompos dan pupuk kandang) dan pupuk kimia dengan dosis yang rendah sebagai input dalam usahatani yang dilakukan. Analisis ini terbatas hanya pada musim terakhir pengusahaan padi semiorganik yaitu bulan januari tahun 2012. Alat analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) dan analisis sensitivitas. Alat tersebut digunakan untuk menganalisis keuntungan finansial dan ekonomi, serta indikator-indikator keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi semiorganik.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Organik Melihat perkembangan dunia pangan, dimana para konsumen lebih memilih menggunakan produk-produk hasil pertanian organik. Hal ini didukung dengan potensi pengembangan pertanian organik di Indonesia yang terbuka lebar. Untuk mengetahui mengenai pertanian organik lebih lanjut, maka tinjauan pustaka pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 2.1.1. Pengertian Pertanian Organik Pertanian organik adalah teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis7. Menurut Riyanto (2005), pertanian organik pada dasarnya merupakan sistem pertanian yang dijalankan nenek moyang kita dulu sebelum penemuan banyak bahan-bahan pertanian buatan diciptakan. Teknologi ramah lingkungan ini sendiri merupakan cerminan penghargaan tinggi masyarakat dulu pada alam yang memberikan mereka penghidupan yang artinya harus dijaga, dihormati, dan digunakan secara bijaksana. Menurut Las et al. (2006), berdasarkan pengembangan pertanian organik (dan penggunaan pupuk organik) dibedakan atas dua pemahaman umum. Pertama, pertanian organik “absolut” (POA) sebagai sistem pertanian yang sama sekali tidak menggunakan input kimia anorganik, hanya menggunakan bahan alami berupa bahan organik atau pupuk organik. Sasaran utamanya adalah menghasilkan produk dan lingkungan (tanah dan air) yang bersih dan sehat (ecolabeling attributes). Kedua, pertanian organik “rasional” (POR) atau pertanian semiorganik
7
http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/17/ (diakses pada tanggal 7 April 2012)
11
sebagai sistem pertanian yang menggunakan bahan organik sebagai salah satu masukan yang berfungsi sebagai pembenah tanah dan suplemen pupuk buatan (kimia anorganik). Pestisida dan herbisida digunakan secara selektif dan terbatas, atau menggunakan biopeptisida. Landasan utamanya adalah sistem pertanian modern yang mengutamakan produktivitas, efisiensi sistem produksi, keamanan, serta kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Daryanto dalam Winangun (2005), pertanian organik merupakan sistem dengan ciri utama bekerja selaras dengan alam untuk mencukupi kebutuhan pangan sehat bagi umat manusia. Pertanian organik dirancang menjadi sebuah sistem usahatani yang mengikuti prinsip-prinsip alam dalam membangun keseimbangan agroekosistem agar bermanfaat bagi tanah, air, udara, tanaman, dan seluruh makhluk hidup yg ada (termasuk organisme pengganggu) serta menyediakan bahan pangan yang sehat untuk manusia. Menurut dokumen BSN SNI 01-6729-2002 dalam Saragih (2008), pertanian organik adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai standar produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas atau lembaga sertifikasi resmi. Standar yang dimaksud adalah standar proses produksi. Untuk mendapatkan sertifikat organik tidaklah mudah. Oleh karena itu pemerintah Indonesia menetapkan draft empat jenis label yang menggambarkan tingkat keorganikan dari suatu sistem produksi. Label-label tersebut adalah sebagai berikut: 1. Label biru; label ini mengindikasikan bahwa proses produksi yang dilakukan sudah bebas dari pestisida sintetik.
12
2. Label kuning; label ini mengindikasikan bahwa proses produksi sedang mengalami masa transisi dari cara bertani yang selama ini menggunakan bahan kimia sintetik ke cara bertani yang tidak menggunakan sama sekali bahan kimia sintetik. 3. Label hijau organik; label ini mengindikasikan bahwa proses produksi sudah setara dengan standar SNI. 4. Label hijau organically grown; label ini mengindikasikan produk pertanian yang tumbuh secara organik dengan sendirinya. 2.1.2. Kendala Pertanian Organik Menurut Susanto (2002), petanian organik masih sering dianggap sebagai pertanian yang memerlukan biaya mahal, tenaga kerja yang banyak, kembali pada sistem tradisional, serta hasil produksi yang rendah. Pemahaman tersebut adalah keliru yang sering dinilai oleh masyarakat maupun petani. Beberapa kendala mengenai pertanian organik, yaitu ketersediaan bahan organik terbatas dan takarannya harus banyak, menghadapi persaingan dengan kepentingan lain dalam memperoleh sisa pertanaman dan limbah organik, dan tidak adanya nilai tambah dari harga produk pertanian organik. 2.1.3. Tujuan Pertanian Organik Menurut IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movements) dalam Winangun (2005), tujuan yang hendak dicapai dari pertanian organik antara lain: 1. Menghasilkan bahan pangan dengan kualitas nutrisi tinggi serta dalam jumlah cukup
13
2. Melaksanakan interaksi efektif dengan sistem dan daur alamiah yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada. 3. Mendorong serta meningkatkan daur ulang dalam sistem usaha tani dengan mengaktifkan kehidupan jasa renik,tanah, flora, dan fauna. 4. Memelihara serta meningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan. 5. Menggunakan sebanyak mungkin sumber-sumber terbaharui yang berasal dari sistem usaha tani itu sendiri. 6. Memanfaatkan bahan-bahan yang mudah didaur ulang baik di dalam maupun di luar usaha tani. 7. Menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak hidup sesuai dengan perilakunya yang hakiki. 8. Membatasi terjadinya semua bentuk pencemaran lingkungan yang mungkin dihasilkan oleh kegiatan pertanian. 9. Mempertahankan keanekaragaman hayati termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan. 10. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas dari kegiatan usaha tani terhadap kondisi fisik dan sosial. 2.1.4. Kegunaan Pertanian Organik Menurut Susanto (2002), kegunaan pertanian organik pada dasarnya adalah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Pertanian organik dapat menghemat penggunaan hara tanah, sehingga dapat memperpanjang umur produktif tanah. Selain itu, pertanian organik juga dapat memelihara ekosistem tanah karena tidak membahayakan flora dan fauna tanah, bahkan dapat menyehatkannya. Serta 14
pertanian organik tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya pencemaran sumberdaya air, karena zat-zat kimia yang terkandung berkadar rendah dan berbentuk senyawa yang mudah larut. 2.2. Pupuk Organik Pupuk organik merupakan salah satu bahan organik penyusun dalam usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy. Pada tinjauan pustaka dapat dilihat pengertian pupuk organik, dan macam-macam pupuk organik. 2.2.1. Pengertian Pupuk Organik Menurut Yuliarti (2009) pupuk organik merupakan hasil akhir dari peruraian bagian-bagian atau sisa-sisa (serasah) tanaman dan binatang, misalnya pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, bungkil, guano, tepung tulang dan lain sebagainya. Pupuk organik dapat menggemburkan lapisan permukaan tanah (top soil), meningkatkan populasi jasad renik, mempertinggi daya serap dan daya simpan air, yang oleh karenanya kesuburan tanah menjadi meningkat. Agar disebut pupuk organik, pupuk yang dibuat dari bahan alami itu harus memenuhi berbagai persyaratan, diantaranya : 1. Zat N atau zat lemasnya harus terdapat dalam bentuk senyawa organik yang dapat dengan mudah diserap oleh tanaman. 2. Pupuk tersebut tidak meninggalkan sisa asam organik di dalam tanah. 3. Pupuk tersebut mempunyai kadar senyawa C organik yang tinggi seperti hidrat arang. Menurut Sutanto (2002), pengertian lain pupuk organik adalah bahan pembenah tanah yang paling baik dibanding bahan pembenah lainnya. Nilai pupuk yang dikandung pupuk organik pada umumnya rendah dan sangat 15
bervariasi, misalkan unsur nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) tetapi juga mengandung unsur mikro esensial lainnya. Karakteristik umum yang dimiliki pupuk organik antara lain: (i) kandungan unsur hara rendah dan sangat bervariasi, (ii) penyediaan hara terjadi secara lambat, (iii) menyediakan hara dalam jumlah terbatas. Menurut International Organization for Standardization (ISO) bahwa pupuk organik adalah bahan organik atau bahan karbon, pada umumnya berasal dari tumbuhan dan/atau hewan, ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya mengandung nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan/atau hewan. Menurut Asociation of America Plant Food Control Officials (AAPFCO) mendefinisikan pupuk organik sebagai pupuk yang mengandung karbon sebagai komponen esensial (tetapi tidak dalam bentuk karbonat) dan istilah tersebut sebetulnya juga berasal dari senyawa karbon yang dikandung organism (termasuk senyawa karbon sintetik). 2.2.2. Macam-Macam Pupuk Organik Pupuk organik terbuat dari berbagai macam bahan, seperti sampah organik (sayur-sayuran), kotoran hewan ternak, serta bahan-bahan organik lainnya. Pada dasarnya pupuk organik dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu (Yuliarti, 2009): 1. Pupuk Kandang Pupuk kandang dibedakan menjadi pupuk kandang yang segar dan pupuk kandang yang busuk. Pupuk kandang segar merupakan kotoran hewan yang baru saja keluar dari tubuh hewan. Sedangkan pupuk kandang busuk merupakan pupuk kandang yang telah lama disimpan di suatu tempat sehingga mengalami pembusukan. 16
2. Pupuk Hijau Pupuk hijau dibuat dari tanaman atau bagian tanaman yang masih muda, kemudian dibenamkan ke dalam tanah dengan maksud agar dapat meningkatkan ketersediaan bahan organik dan unsur hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. 3. Kompos Kompos merupakan hasil akhir suatu proses fermentasi tumpukan sampah, serasah tanaman atau bangkai binatang. Ciri-ciri kompos yang baik adalah berwarna coklat, berstruktur remah, berkonsistensi gembur dan berbau daun lapuk. Menurut Djuarnani (2005), pupuk organik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pupuk anorganik. Berikut ini merupakan beberapa perbedaan antara pupuk organik (kompos) dan pupuk anorganik: Tabel 4. Perbedaan Sifat Pupuk Organik (Kompos) dan Pupuk Anorganik No 1.
2.
Sifat Pupuk Organik atau Kompos Mengandung unsur hara makro dan mikro yang lengkap walaupun jumlahnya sedikit.
Sifat Pupuk Anorganik Hanya mengandung satu atau beberapa unsur hara tetapi dalam jumlah banyak.
Dapat memperbaiki struktur tanah.
Tidak dapat memperbaiki struktur tanah tetapi justru penggunaan dalam jangka waktu panjang dapat membuat tanah menjadi keras.
3.
Beberapa tanaman yang menggunakan kompos lebih tahan terhadap serangan penyakit dan menurunkan aktivitas mikroorganisme tanah yang merugikan. Sumber: Djuarnani (2005)
Sering membuat tanaman manja sehingga rentan terhadap penyakit.
2.3. Pestisida 2.3.1. Pengertian Pestisida Menurut Kardinan (2002), secara luas pestisida diartikan sebagai suatu zat yang dapat bersifat racun, menghambat pertumbuhan atau perkembangan, tingkah 17
laku, perkembangbiakan, kesehatan, mempengaruhi hormone, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Menurut tata bahasa pestisida (inggris: pesticide) secara harfiah berarti pembunuh hama (pest: hama; cide: membunuh), sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 7/1993, pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk: 1. Mengendalikan atau mencegah hama atau penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman, atau hasil pertanian; 2. Mengendalikan rerumputan; 3. Mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan; 4. Mengendalikan atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan atau ternak; 5. Mengendalikan hama-hama air; 6. Mengendalikan atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi, dengan penggunaan pada tanaman, tanah, dan air. 2.3.2. Jenis-Jenis Pestisida Berdasarkan kegunaannya, Ekha (1991), pestisida dibedakan menjadi : 1. Insektisida, yaitu zat atau senyawa kimia yang digunakan untuk mematikan atau membarantas serangga. 2. Acarisida, yaitu untuk memberantas tungau. 3. Nematosida, yaitu obat untuk memberantas cacing nematoda. 4. Fungisida, yaitu obat pembarentas jamur atau cendawan. 18
5. Herbisida, yaitu obat pemberantas rumput dan gulma. 6. Ovisida, yaitu obat pemberantas telur serangga. 7. Larvasida, yaitu obat pemberantas larva. 8. Rodentisida, yaitu obat pemberantas hewan perusak, pengerat/tikus. 9. Algisida, yaitu obat pembarantas algae. 10. Molluscisida, yaitu obat pemberantas hewan-hewan mollusca, seperti siput. Jika dilihat dari cara kerja pestisida dalam membunuh hama dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Racun perut Insektisida atau pestisida yang termasuk golongan ini pada umumnya dipakai untuk membasmi serangga-serangga pengunyah, penjilat, dan penggigit. Daya bunuhnya melalui perut. 2. Racun kontak Serangga yang mempunyai bagian mulut untuk menggigit dan mengambil makanannya dari bawah permukaan daun atau bagian tanaman lainnya dan tidak terkena racun yang disemprotkan atau ditebarkan pada permukaannya, harus dihadapi dengan racun kontak. Jenis ini membunuh hewan sasaran dengan masuk ke dalam tubuh melalui kulit, menembus saluran darah, atau dengan melalui saluran pernafasan. Racun jenis ini dapat digunakan dalam bentuk cairan atau tepung. 3. Racun gas Jenis racun yang disebut juga dengan fumigant ini digunakan terbatas pada ruangan-ruangan tertutup.
19
2.3.3. Resiko Penggunaan Pestisida Pertanian Meskipun sebelum diproduksi secara komersial telah menjalani pengujian yang sangat ketat perihal syarat-syarat keselamatannya, namun karena bersifat bioaktif, maka pestisida tetap merupakan racun (Djojosumarto, 2008). Berikut merupakan keseluruhan resiko penggunaan pestisida dalam pertanian. 1. Resiko Bagi Keselamatan Pengguna Resiko bagi keselamatan pengguna adalah kontaminasi pestisida secara langsung, yang dapat mengakibatkan keracunan, baik akut maupun kronis. Keracunan akut dapat menimbulkan gejala sakit kepala, pusing, mual, muntah, dan sebagainya, seperti iritasi kulit. Keracunan pestisida yang akut berat dapat menyebabkan penderita tidak sadarkan diri, kejang-kejang, bahkan meninggal dunia. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Beberapa gangguan kesehatan yang sering dihubungkan dengan pestisida, meskipun tidak mudah dibuktikan dengan pasti dan meyakinkan, adalah kanker, gangguan syaraf, fungsi hati dan ginjal, gangguan pernapasan, keguguran, cacat pada bayi, dan sebagainya. 2. Resiko Bagi Konsumen Resiko bagi konsumen adalah keracunan residu (sisa-sisa) pestisida yang terdapat dalam produk pertanian. Resiko bagi konsumen dapat berupa keracunan langsung karena memakan produk pertanian yang tercemar pestisida atau lewat rantai makanan. Meskipun bukan tidak mungkin konsumen menderita keracunan akut, tetapi resiko bagi konsumen umumnya
20
dalam bentuk keracunan kronis, tidak segera terasa, dan dalam jangka panjang mungkin menyebabkan gangguan kesehatan. 3. Resiko Bagi Lingkungan Resiko penggunaan pestisida terhadap lingkungan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok sebagai berikut: a. Resiko bagi orang, hewan, atau tumbuhan yang berada ditempat, atau di sekitar tempat pestisida digunakan. Drift pestisida, misalnya, dapat terbang oleh angin dan mengenai orang yang kebetulan lewat. Pestisida dapat meracuni hewan ternak yang masuk ke kebun yang sudah disemprot pestisida. b. Bagi lingkungan umum, pestisida dapat menyebabkan pencemaran lingkungan (tanah, udara, dan air) dengan segala akibatnya, misalnya kematian hewan nontarget, penyederhanaan rantai makanan alami, penyederhanaan keanekaragaman hayati, dan sebagainya. c. Khusus pada lingkungan pertanian (agroekosistem), penggunaan pestisida pertanian dapat menyebabkan hal-hal berikut: 1) Menurunnya kepekaan hama, penyebab penyakit, dan gulma terhadap pestisida tertentu yang berpuncak pada kekebalan (resistensi) hama, penyakit, dan gulma terhadap pestisida. 2) Resurjensi hama, yakni fenomena meningkatnya serangan hama tertentu sesudah perlakuan dengan insektisida. Mekanisme resurjensi ini belum diterangkan dengan jelas, tetapi dugaan mengarah pada menurunnya populasi musuh alami hama.
21
3) Timbulnya hama yang selama ini tidak penting. Timbulnya hama sekunder akibat aplikasi pestisida belum banyak diteliti di Indonesia. 4) Terbunuhnya musuh alami hama. 5) Perubahan flora, misalnya penggunaan herbisida secara terus menerus untuk
mengendalikan
gulma
daun
lebar
akan
merangsang
perkembangan gulma daun sempit (rumput). 6) Meracuni tanaman bila salah menggunakannya. 2.4. Gambaran Umum Beras Menurut Dewi (2011), beras adalah gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara digiling dan disosoh menggunakan alat pengupas dan penggiling serta penyosoh. Gabah yang hanya terkupas bagian kulit luarnya disebut beras pecah kulit, sedangkan beras pecah kulit yang seluruh atau sebagian dari kulit arinya telah dipisahkan dalam proses penyosohan, disebut beras giling. Tujuan penggilingan dan penyosohan beras adalah untuk memisahkan sekam, kulit ari, katul, dan lembaga dari endosperm beras, meningkatkan derajat putih dan kilap beras, menghilangkan kotoran dan benda asing, serta sedapat mungkin meminimalkan terjadinya beras patah pada produk akhir. Menurut Siregar (1981), sebagian bagian beras terbesar didominasi oleh pati (sekitar 80-85 persen). Beras juga mengandung protein, vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral, dan air. Pati beras tersusun dari dua polimer karbohidrat, yaitu: 1. Amilosa, pati dengan struktur tidak bercabang. 2. Amilopektin, pati dengan struktur bercabang dan cenderung bersifat lengket. Perbandingan komposisi kedua golongan pati ini sangat menentukan warna (transparan atau tidak) dan tekstur nasi (lengket, lunak, keras, atau pera). 22
Ketan hampir sepenuhnya didominasi oleh amilopektin sehingga sangat lekat, sementara beras pera memiliki kandungan amilosa melebihi 20 persen yang membuat butiran nasinya terpencar-pencar (tidak berlekatan) dan keras. Warna beras yang berbeda-beda diatur secara genetik, ini dikarenakan akibat perbedaan gen yang mengatur warna aleuron, warna endospermia, dan komposisi pati pada endospermia. Macam dan warna beras dapat dikategorikan sebagai berikut8: 1. Beras putih yang berwarna putih agak transparan karena hanya memiliki sedikit aleuron, dan kandungan amilosa umumnya sekitar 20 persen, dan kandungan amilosa umumnya sekitar 20 persen. 2. Beras merah, akibat aleuronnya mengandung gen yang memproduksi antosianin yang merupakan sumber warna merah atau ungu. 3. Beras
hitam,
sangat
langka,
disebabkan
aleuron
dan
endospermia
memproduksi antosianin dengan intensitas tinggi sehingga berwarna ungu pekat mendekati hitam. 4. Ketan (atau beras ketan), berwarna putih, tidak transparan, seluruh atau hampir seluruh patinya merupakan amilopektin. 5. Ketan hitam, merupakan versi ketan dari beras hitam. Beberapa jenis beras mengeluarkan aroma wangi bila ditanak (misalnya Cianjur Pandan wangi atau Rojolele). Bau ini disebabkan beras melepaskan senyawa aromatik yang memberikan efek wangi. Sifat ini diatur secara genetik dan menjadi objek rekayasa genetika beras.
8
http://id.wikipedia.org/wiki/Beras (diakses pada tanggal 9 April 2012)
23
Pada aspek pangan, beras dimanfaatkan terutama untuk diolah menjadi nasi, makanan pokok terpenting warga dunia, khususnya Indonesia. Beras juga digunakan sebagai bahan pembuat berbagai macam makanan dan kue-kue, utamanya dari ketan, termasuk pula untuk dijadikan tape. Selain itu, beras merupakan komponen penting bagi jamu beras kencur dan param. Minuman yang populer dari olahan beras adalah arak dan air tajin. Dalam bidang industri pangan, beras diolah menjadi tepung beras. Sosohan beras (lapisan aleuron), yang memiliki kandungan gizi tinggi, diolah menjadi tepung bekatul (rice bran). Bagian embrio juga diolah menjadi suplemen makanan dengan sebutan tepung mata beras. Kekurangan tiamin dapat mengganggu sistem saraf dan jantung, dalam keadaan berat dinamakan beri-beri, dengan gejala awal nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan, sembelit, mudah lelah, kesemutan, jantung berdebar, dan refleks berkurang. Unsur gizi lain yang terdapat pada beras merah adalah fosfor (243 mg per 100 gr bahan) dan selenium. Selenium merupakan elemen kelumit (trace element) yang merupakan bagian esensial dari enzim glutation peroksidase. Enzim ini berperan sebagai katalisator dalam pemecahan peroksida menjadi ikatan yang tidak bersifat toksik. Peroksida dapat berubah menjadi radikal bebas yang mampu mengoksidasi asam lemak tidak jenuh dalam membran sel hingga merusak membran tersebut, menyebabkan kanker, dan penyakit degeneratif lainnya. Menurut banyak pakar bahan ini memiliki potensi untuk mencegah penyakit kanker dan penyakit degeneratif lain
24
2.5. Beras SAE (Sehat, Aman, dan Enak) Beras sebagai makanan pokok utama orang Indonesia yang dikonsumsi sehari-hari berpotensi mengandung residu pestisida berbahaya. Menurut hasil analisa laboratorium menunjukkan bahwa sebagian beras yang dihasilkan PanturaJawa Barat telah tercemar lima jenis residu insektisida berbahaya, yaitu Kloriporifos, Lindan, Endosulfan, BPMC, dan karbofuran dengan residu yang telah melebihi batas aman. Residu pestisida kimia tersebut akan terakumulasikan di dalam tubuh dan dapat membahayakan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu pestisida yang terakumulasi akan menyebabkan beberapa penyakit, antara lain kanker, penurunan kesuburan, gangguan fungsi syaraf, kerusakan hati, ginjal, dan paru-paru. Beras “SAE” merupakan beras yang diproduksi dengan teknologi ramah lingkungan. Beras SAE (Sehat Aman Enak) dinyatakan bebas pestisida berdasarkan uji laboratorium BB BIOGEN BOGOR No. 080/LB/VII/2006. Merek terdaftar No. DOO 2007005776 Dinas Kesehatan Bogor P-IRT No. 215320119. Beras SAE diproduksi dengan menggunakan teknologi pertanian yang ramah lingkungan. Beras SAE bebas residu pestisida golongan Organoklorin, Organophospate, Karbanet, dan Piretoid. Beras SAE memiliki karakteristik yang khas yaitu memiliki warna nasi yang putih, pulen, dan wangi. 2.6. Kajian Penelitian Terdahulu Kajian penelitian terdahulu adalah beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini. Kajian penelitian terdahulu dibagi menjadi dua, yaitu penelitian terdahulu mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif serta penelitian terdahulu mengenai padi semiorganik. 25
2.6.1 Penelitian Terdahulu Mengenai Keunggulan Komparatif & Kompetitif Mantau (2009) meneliti tentang analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan profitabilitas privat usahatani jagung dan padi masing-masing sebesar Rp 218.926 dan Rp 3.870.106, sedangkan profitabilitas sosial masing-masing sebesar Rp 3.045.938 dan Rp 3.446.567 per dua musim. Berdasarkan nilai PCR dapat dikemukakan bahwa usahatani jagung memerlukan 0,97 satuan untuk dapat bersaing dengan usahatani padi yang hanya memerlukan tambahan biaya faktor domestik pada harga privat sebesar 0,69 satuan. Nilai DRC usahatani jagung menunjukkan bahwa setiap US$ 1,00 yang dibutuhkan untuk mengimpor produk tersebut, hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US$ 0,65, artinya untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas jagung sebaiknya di produksi sendiri di Bolaang Mongondow dan tidak perlu didatangkan atau diimpor dari daerah atau negara lain. Demikian halnya dengan usahatani padi yang memiliki nilai DRC sebesar 0,68. Sehingga dapat dikemukakan bahwa kedua komoditas tersebut lebih menguntungkan diproduksi di dalam Kabupaten Bolaang Mongondow daripada mengimpornya. Septiyorini (2009) meneliti tentang analisis daya saing beras pandan wangi di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengusahaan beras pandan wangi sertifikat dan non-sertifikat di Kabupaten Cianjur dapat memberikan keuntungan finansial dan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dari nilai Keuntungan Privat (KP) dan Keuntungan Sosial (KS) bernilai positif. Pengusahaan beras pandan wangi sertifikat mempunyai nilai KP Rp 18.617.492 dan nilai KS Rp 33.449.761. Sedangkan pengusahaan beras 26
pandan wangi non sertifikat mempunyai nilai KP Rp 13.443.559 dan nilai KS sebesar Rp 24.550.192.
Pengusahaan kedua beras pandan wangi tersebut
memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Hal tersebut terlihat dari nilai Privat Cost Ratio (PCR) dan Domestic Resource Cost (DRC) yang kurang dari satu. Pengusahaan beras pandan wangi sertifikat mempunyai nilai PCR sebesar 0,32 dan nilai DRC sebesar 0,21. Sedangkan untuk beras panda wangi nonsertifikat mempunyai nilai PCR sebesar 0,34 dan nilai DRC sebesar 0,22. Astriana (2011) meneliti tentang analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa usahatani jambu biji di Kecamatan Tanah Sereal memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Hal ini terlihat dari nilai PP ( keuntungan privat) sebesar 13.333.154 (Rp/Ha) dan SP (keuntungan sosial) sebesar 29.556.434 (Rp/Ha). Selain itu terlihat dari PCR (Rasio Biaya Privat) sebesar 0,488 (kurang dari satu) dan DRC (Biaya Sumberdaya Domestik) sebesar 0,254 (kurang dari satu).
Hal tersebut
menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan usahatani jambu biji pada tahun 2009 belum memberikan insentif kepada petani jambu biji di Kecamatan Tanah Sereal. Mastuti (2011) meneliti tentang analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usaha pembenihan ikan patin siam di perusahaan Deddy Fish Farm. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa usaha pembenihan ikan patin Deddy Fish Farm memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif baik pada tahun 2008 dan 2009. Hal ini terlihat dari keuntungan privat (PP) pada tahun 2008 sebesar Rp 64.494.080 dan pada tahun 2009 sebesar Rp 53.264.680 yang bernilai 27
positif. Lalu pada keuntungan sosial (SP) pada tahun 2008 sebesar Rp 61.991.489 dan pada tahun 2009 sebesar Rp 57.633.122 yang berniali positif. Selain itu terlihat dari rasio biaya privat (PCR) pada tahun 2008 sebesar 0,548 dan tahun 2009 sebesar 0,597 yang kurang dari satu. Kemudian untuk nilai biaya sumberdaya domestic (DRC) pada tahun 2008 sebesar 0,567 dan tahun 2009 sebesar 0,572 yang kurang dari satu. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berjalan efektif sehingga keunggulan kompetitif lebih tinggi daripada keunggulan komparatif. 2.6.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Padi Semiorganik Gultom (2011) meneliti tentang analisis pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani padi sehat (studi kasus: Gapoktan Silih Asih di Desa Ciburuy Kecamatan Cigombong, Bogor). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usahatani padi sehat ini menguntungkan dan layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan dari pendapatan bersih rata-rata sebesar Rp 2.405.039,56 dgn R/C biaya tunai dan R/C biaya total sebesar 2,10 dan 1,22. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produksi adalah pupuk kompos, pupuk urea, pupuk phonska, pestisida nabati, sedangkan faktor produksi benih dan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata baik pada selang kepercayaan 85 persen dan 95 persen. Sari (2011) meneliti tentang analisis ekonomi usahatani padi semiorganik dan anorganik pada petani penggarap (studi kasus: Desa Ciburuy dan Desa Cisalada, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usahatani padi semiorganik lebih layak dijalankan dibandingkan anorganik karena menghasilkan NPV dan gross B/C ratio yang 28
lebih tinggi. Total biaya rata-rata per hektar dan per kilogram output per musim tanam usahatani padi semiorganik lebih tinggi dibandingkan usahatani padi anorganik, biaya tertinggi untuk kedua usahatani yaitu bagi hasil. Pendapatan ratarata dan R/C ratio yang dihasilkan menyimpulkan bahwa usahatani padi semi organik akan menghasilkan nilai yang lebih besar dibandingkan usahatani padi anorganik, maka usahatani padi semi organik lebih menguntungkan untuk dijalankan. Hasil uji nilai tengah dengan SPSS 16 pada pendapatan usahatani padi semiorganik dan anorganik menyatakan bahwa pendapatan kedua usahatani berbeda nyata secara statistik. Analisis regresi logistik mengenai faktor-faktor yang mendorong petani untuk mengurangi pemakaian pupuk kimia diperoleh hasil bahwa yang secara nyata mempengaruhi keputusan adalah informasi pada taraf nyata lima persen. Sedangkan, variabel yang tidak signifikan yaitu pendidikan, luas lahan, umur, pendapatan, dan biaya pupuk. Penelitian ini memiliki persamaan dan juga perbedaan dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Mantau (2009), Septiyorini (2009), Astriana (2011), dan Mastuti (2011) adalah metode pengolahan data menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) untuk melihat keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah pada suatu usahatani. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Gultom (2011) adalah metode pengolahan menggunakan analisis pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, dengan bantuan software Microsoft Excel dan Minitab versi 14 for windows. Perbedaan dengan penelitian Sari (2011) adalah menggunakan metode pengolahan analisis kelayakan usahatani, analisis pendapatan, dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani 29
dengan bantuan sofwate Microsoft Excel, SPSS 16, dan Minitab Release 14. Penjelasan lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Persamaan dan Perbedaan antara Penelitian “Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy, Kec. Cigombong, Kab. Bogor” dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian Sebelumnya Mantau (2009)
Septiyorini (2009)
Astriana (2011)
Mastuti (2011)
Gultom (2011)
Sari (2011)
Persamaan Metode pengolahan data menggunakan PAM, melihat dampak kebijakan pemerintah, komoditas yang diteliti yaitu padi. Metode pengolahan data menggunakan PAM, dan melihat dampak kebijakan pemerintah, komoditas yang diteliti yaitu beras. Metode pengolahan data menggunakan PAM, dan melihat dampak kebijakan pemerintah Metode pengolahan data menggunakan PAM, dan melihat dampak kebijakan pemerintah Komoditas yang diteliti, pemilihan lokasi penelitian
Komoditas yang diteliti, pemilihan lokasi penelitian
Perbedaan Pemilihan lokasi penelitian
Pemilihan lokasi penelitian
Komoditas yang diteliti, pemilihan lokasi penelitian
Komoditas yang diteliti, pemilihan lokasi penelitian
Metode yang digunakan, yaitu analisis pendapatan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi produksi suatu usahatani, dengan bantuan software Minitab 14 Metode yang digunakan yaitu analisis kelayakan usahatani, analisis pendapatan, dan faktor-faktor yang mempengaruhi, dengan bantuan software SPSS 16 dan Minitab 14
30
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis berisi tentang teori-teori dan konsep yang
berkaitan dengan penelitian analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi semiorganik. Kerangka teoritis terdiri dari konsep daya saing, keunggulan komparatif dan kompetitif, Policy Analysis Matrix, dan analisis sensitivitas. 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara lainnya. Perdagangan internasional berlangsung atas dasar saling percaya dan saling menguntungkan, mulai dari barter hingga transaksi jual beli antara para pedagang dari negara lainnya. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan suatu negara melakukan perdagangan internasional. Pertama, yakni adanya keragamaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh suatu negara. Hal ini berhubungan dengan faktor-faktor secara alamiah dimiliki oleh suatu negara tertentu. Kedua, yakni adanya keragaman sumberdaya modal yang dimiliki oleh suatu negara. Hal ini berhubungan dengan input suatu produksi. Ketiga, yakni adanya keragaman tenaga kerja yang dimiliki oleh suatu negara. Hal ini terkait dengan kemampuan (skill) yang dimiliki tenaga kerja disuatu negara. Keempat, yakni perbedaan teknologi yang dimiliki oleh suatu negara (Halwani, 2002). Daya saing adalah konsep yang menyatakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah, sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar 31
internasional, komoditi tersebut diproduksi dan dipasarkan oleh produsen dengan perolehan laba yang mencukupi, sehingga hal ini dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak, 1992). Menurut Kuraisin dalam Dewanata (2011), menyebutkan bahwa pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan suatu komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. 3.1.2. Keunggulan Komparatif Konsep keunggulan komparatif pertama kali diperkenalkan oleh David Ricardo pada awal abad ke 19. Ricardo mengungkapkan hukum keunggulan komparatif, yaitu bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif dalam sesuatu dan memperoleh manfaat dengan memperdagangkannya untuk ditukar dengan barang yang lain. Kelemahan pada teori keunggulan komparatif yaitu keunggulan komparatif hanya didasarkan pada perbedaan produktivitas setiap tenaga kerja saja, padahal masih banyak faktor yang mempengaruhi seperti teknologi, modal, tanah, dan sumberdaya lainnya (Lindert dan Kindleberger, 1995). Pada tahun 1936, hukum keunggulan komparatif disempurnakan dengan teori biaya imbangan (Opportunity Cost Theory) yang dikemukakan oleh Haberler. Menurut teori biaya imbangan, biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama, artinya negara 32
memiliki biaya imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditi kedua (Salvatore, 1997). Teori keunggulan komparatif yang lebih modern dikemukakan oleh Hecksler dan Ohlin yang diberi nama dengan teori Hecksler-Ohlin. Teori tersebut menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia di negara itu dalam jumlah dan berharga relatif murah, serta mengimpor komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang di negara itu relatif langka dan mahal (Salvatore, 1997) Menurut Soekartawi et. al (1985) ada beberapa faktor yang dapat mengubah keunggulan komparatif, yang penting diantaranya adalah: 1. Pengembangan pola usahatani baru atau perbaikan teknologi. 2. Perubahan biaya produksi dan harga relatif berbagai komoditi usahatani. 3. Perubahan biaya angkutan seperti yang terjadi bila jalan diperbaiki atau rusak. 4. Perbaikan kualitas lahan karena drainase, irigasi, dan sebagainya. 5. Pengembangan produk substitusi yang lebih murah. Keunggulan komparatif akan menjadi ukuran daya saing, apabila perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi. Seperti yang telah disebutkan, bahwa keunggulan komparatif akan menjadi tolak ukur daya saing komoditas tertentu dari segi efisiensi. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dapat dikatakan komoditas tersebut telah mencapai efisiensi secara ekonomi. Oleh karena itu keunggulan komparatif terkait dengan kelayakan secara ekonomi. Artinya kelayakan ekonomi menilai aktivitas ekonomi bagi masyarakat 33
secara general atau menyeluruh, tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas tersebut (Dewanata, 2011). 3.1.3. Keunggulan Kompetitif Keunggulan komparatif disebutkan akan menjadi ukuran daya saing suatu komoditas dimana jika diasumsikan perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi sama sekali, namun tidak ada yang menemukan kondisi perekonomian yang tidak mengalami gangguan atau distorsi, contohnya Indonesia sebagai negara berkembang. Oleh karena itu, dalam perkembangannya konsep yang sesuai dengan untuk mengukur kelayakan finansial menggunakan konsep keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif dapat mengukur manfaat yang diterima oleh pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi (Dewanata, 2011). Michael E. Porter dalam bukunya yang terkenal, The Competitive Advantage of Nation, 1990 mengemukakan tentang tidak adanya korelasi langsung antara dua faktor produksi (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia) yang dimiliki oleh suatu negara, yang dimanfaatkan menjadi keunggulan daya saing dalam perdagangan internasional. Hasil akhir Porter menyebutkan bahwa peran pemerintah sangat mendukung dalam peningkatan daya saing selain faktor produksi yang tersedia (Halwani, 2002). Porter lalu mengungkapkan ada empat atribut yang menentukan dalam suatu negara apabila ingin sukses dalam perdagangan internasional. Keempat atribut tersebut adalah (Halwani, 2002) : 1. Keadaan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil atau prasarana.
34
2. Keadaan permintaan dan tuntutan mutu di dalam negeri untuk hasil industri tertentu. 3. Eksistensi
industri
terkait
dan
pendukung
yang
kompetitif
secara
internasional. 4. Strategi perusahaan itu sendiri, dan struktur serta sistem persaingan antar perusahaan. Selain itu menurut Porter, salah satu esensi dari keunggulan kompetitif adalah bagaimana menciptakan produk atau layanan serta seluruh proses yang menyertainya sedemikian sehingga sulit ditiru oleh pesaing. Untuk itu diperlukan dua jenis strategi, yakni diferensiasi dan produksi biaya rendah (low cost production). 3.1.4. Policy Analysis Matrix (PAM) Metode Policy Analysis Matrix merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditi yang dapat dipengaruhi terdiri dari tingkat usahatani, distribusi dari usahatani ke pengolah, pengolahan, dan pemasaran secara keseluruhan dan sistematis. Isu-isu yang sering dibahas dalam PAM adalah (1) apakah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada; (2) dampak investasi publik dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, serta terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani; (3) dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian. Tiga tujuan utama dari metode PAM adalah (1) menghitung tingkat keuntungan privat – sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar 35
atau harga aktual; (2) menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani – dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity costs); (3) menghitung transfer effects, sebagai dampak dari sebuah kebijakan yang dilakukan (Pearson, et. al 2005). Menurut Indriyati (2007), ketika ingin menganalis menggunakan metode PAM terdapat beberapa asumsi-asumsi yang digunakan, anatara lain : 1. Perhitungan berdasarkan harga privat yaitu harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan. 2. Perhitungan berdasarkan harga sosial atau harga bayangan (shadow price), yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan. Pada komoditas yang dapat diperdagangkan (tradable), harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional. 3. Output bersifat tradable dan input dapat dipisahkan ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (nontradable). 4. Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan. 3.1.5. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil dari suatu kegiatan ekonomi apabila terjadi perubahan-perubahan faktor-faktor dalam perhitungan biaya atau benefit (Gittinger, 1986). Menurut Kadariah, et. al (1978) dalam Mastuti (2011), analisis sensitivitas dilakukan dengan: 1. Mengubah besarnya variabel-variabel penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa peka hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut. 36
2. Menentukan dengan berapa suatu variabel harus berubah sampai ke hasil perhitungan yang membuat proyek tidak diterima. Menurut Kadariah (1976) dalam Rohman (2008), analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan analisis sensitivitas adalah : 1. Analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu. 2. Analisis sensitivitas hanya mencatatkan apa yang terjadi jika variabel berubahubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek. 3.1.6. Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah diberlakukan terhadap input dan output yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara harga input dan output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam keadaan perdagangan bebas (harga sosial). Terdapat dua bentuk kebijakan pemerintah yang bisa ditetapkan pada suatu komoditas, yaitu kebijakan subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi dibedakan menjadi dua, yaitu subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tariff dan kuota (Astriana, 2011). Monke dan Pearson (1989) menjelaskan tentang kebijakan harga (price policies) dibagi menjadi tiga tipe kriteria, yaitu tipe instrumen (subsidi atau kebijakan perdagangan), penerimaan atau keuntungan yang akan diperoleh
37
(produsen atau konsumen), dan tipe komoditi (impor atau ekspor). Hal tersebut bisa digambarkan pada Tabel 6. Tabel 6. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Harga Komoditi Instrumen Kebijakan Subsidi: a) Tidak mengubah harga pasar dalam negeri b) Mengubah harga pasar dalam negeri.
Dampak Pada Produsen Subsidi pada produsen: a) Pada barang-barang substitusi impor (S+PI; SPI) b) Pada barang-barang orientasi ekspor (S+PE; SPE) Hambatan pada barang-barang impor (TPI)
Kebijakan perdagangan (mengubah harga pasar dalam negeri) Sumber : Monke dan Pearson, 1989
Dampak Pada Konsumen Subsidi pada konsumen a) Pada barang-barang substitusi impor (S+CI ; SCI) b) Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE ; S-CE) Hambatan pada barang-barang ekspor (TCE)
Keterangan : S+ : Subsidi S: Pajak PE : Produsen barang orientasi ekspor PI : Produsen barang substitusi impor CE : Konsumen barang orientasi ekspor CI : Konsumen barang substitusi impor TCE : Hambatan barang ekspor TPI : Hambatan barang impor
1) Tipe Instrumen Di dalam kriteria ini terdapat perbedaan antara kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan. Menurut Salvatore (1997), subsidi adalah pembayaran dari atau untuk pemerintah. Kebijakan subsidi terdiri dari dua kebijakan, yaitu kebijakan subsidi positif dan subsidi negatif. Kebijakan subsidi positif adalah subsidi yang dibayarkan oleh pemerintah, sedangkan kebijakan subsidi negatif adalah pembayaran kepada pemerintah. Tujuan dari kebijakan subsidi adalah untuk melindungi konsumen dan produsen dengan menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga luar negeri. Menurut Monke dan Pearson (1989) kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor atau ekspor komoditi. Kebijakan ini bisa berbentuk pajak (tariff) atau pembatasan jumlah komoditi yang diperdagangkan 38
(kuota). Tujuan diterapkan kebijakan ini adalah untuk mengurangi jumlah komoditi impor yang diperdagangkan dan menciptakan perbedaan harga di dalam dan luar negeri sehingga dapat mempertahankan daya saing komoditi di dalam negeri. Kebijakan ini umumnya berfungsi untuk melindungi produsen domestik. Monke dan Pearson (1989) menjelaskan perbedaan antara kebijakan perdagangan dengan kebijakan subsidi yang dibagi ke dalam beberapa aspek, yaitu: a) Implikasi terhadap anggaran pemerintah Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah, sedangkan kebijakan subsidi akan berpengaruh pada anggaran pemerintah. Subsidi negatif akan menambah anggaran pemerintah berupa pajak, sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran. b) Tipe alternatif kebijakan Terdapat delapan tipe subsidi bagi produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor dan barang substitusi impor, yaitu: 1. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) 2. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) 3. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) 4. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) 5. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) 6. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) 7. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) 8. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE)
39
Berbeda dengan kebijakan subsidi, pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe, yaitu hambatan perdagangan pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE). Menurut Monke dan Pearson (1989), aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan. c) Tingkat kemampuan penerapan Kebijakan subsidi bisa diterapkan pada komoditi asing (tradable) dan komoditi domestik (nontradable), sedangkan kebijakan perdagangan hanya bisa diberlakukan pada komoditi tradable. 2) Kelompok Penerimaan Klasifikasi kelompok penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen. Suatu kebijakan subsidi dan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen, dan anggaran pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer ketika produsen mendapatkan keuntungan dan konsumen mengalami kerugiam, atau konsumen mengalami keuntungan dan produsen mengalami kerugian. 3) Tipe Komoditi Pada kebijakan perdagangan terdapat komoditi yang akan diekspor dan komoditi yang diimpor. Apabila pemerintah tidak memberlakukan kebijakankebijakan dalam komoditi ekspor-impor, maka harga domestik akan sama dengan harga internasional. Harga FOB (harga di pelabuhan) digunakan untuk barang
40
yang akan diekspor, sedangkan harga CIF (harga di pelabuhan ekspor) berlaku untuk barang impor. Kebijakan pemerintah dapat dikenakan pada komoditi pertanian baik input ataupun output yang tentu saja dapat mempengaruhi kesejahteraan produsen (petani) maupun konsumen. Umumnya kebijakan ini diberlakukan pada harga input dan harga output. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Memasuki abad ke-21, gaya hidup sehat dengan slogan ”Back to Nature” telah menjadi trend baru masyarakat dunia. Orang semakin menyadari bahwa penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida kimia ternyata berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Hal ini mengakibatkan
banyak permintaan
akan produk-produk pertanian
yang
mengarah kepada ”Back to Nature” atau dengan kata lain produk organik. Salah satu bentuknya adalah beras organik. Departemen Pertanian mempunyai program pengembangan pertanian organik yaitu Go Organic 2010. Misi program ini adalah “meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kelestarian alam lingkungan alam Indonesia, dengan mendorong berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan”. Salah satu tujuan program ini adalah untuk menghasilkan produkproduk organik asal Indonesia yang bisa diterima di pasar domestik bahkan internasional (untuk diekspor). Upaya pengembangan usahatani beras semiorganik di Gapoktan Silih Asih Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor masih mengalami beberapa kendala, yaitu masalah distribusi dan pemasaran, jumlah panen padi semiorganik yang 41
dihasilkan masih berfluktuatif, harga jual padi semiorganik yang masih rendah pada musim tertentu. Hal tersebut disebabkan karena kualitas padi yang dihasilkan masih rendah. Sarana produksi (saprodi) mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi, seperti kenaikan harga pupuk anorganik di kondisi lapang. Hal-hal tersebut dapat menghambat pengembangan usahatani padi semiorganik dan pada akhirnya akan mempengaruhi daya saing usahatani padi semiorganik. Oleh karena itu dibutuhkan analisis mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi semiorganik. Policy Analysis Matrix atau PAM digunakan sebagai alat untuk menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah. Alat analisis PAM akan menganalisis keuntungan privat dan sosial, analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) dan analisis dampak kebijakan yang mempengaruhi sistem komoditas. Metode PAM hanya bisa menganalisis pada kondisi existing saja. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis sensitivitas untuk mengetahui dampak
apabila
terjadi
perubahan
keadaan
atau
kebijakan
yang
dapat mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif pada usahatani beras
SAE.
Kerangka
pemikiran
operasional
dapat
dijelaskan
pada
gambar 1.
42
Program Pemerintah (Go Organic 2010) : beras organik Indonesia mempunyai daya saing.
Perubahan preferensi masyarakat terhadap produk organik
Meningkatkannya permintaan terhadap produk organik (beras organik)
Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy
1. Masalah distribusi dan pemasaran 2. Jumlah panen padi semiorganik masih berfluktuatif 3. Harga jual padi semiorganik masih rendah 4. Sarana produksi (saprodi) mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi. PAM (Policy 5. Kenaikan Harga Analysis Pupuk anorganik Matrix)
Dampak Kebijakan
Keunggulan Komparatif
Keunggulan Kompetitif
1. Transfer Output
1. Keuntungan Ekonomi
1. Keuntungan Finansial
2. Transfer Inpur
2. Biaya Sumberdaya Domestik (DRC)
2. Rasio Biaya Privat (PCR)
3. Transfer Faktor 4. Transfer Bersih 5. Koefisien Proteksi Analisis Sensitivitas 6. Koefisien Keuntungan 7. Rasio subsidi Produsen. Daya Saing Usahatani Padi Semiorganik
Alternatif Kebijakan
Gambar 1. Alur Kerangka Pemikiran
43
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Studi kasus penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena para petani Gapoktan Silih Asih sudah menjalankan sistem pertanian secara semiorganik yang sudah cukup lama, yaitu kurang lebih selama 10 tahun, mulai dari tahun 2002. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2012 hingga April 2013 yang meliputi survey ke lokasi penelitian, penyusunan rencana kegiatan, pengumpulan dan pengolahan data, dan penyusunan skripsi. 4.2. Jenis dan Sumber Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara dengan pihak yang terlibat langsung dalam usahatani padi semiorganik. Data sekunder merupakan data tambahan untuk mendukung penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari beberapa lembaga yang ada di tingkat nasional maupun daerah seperti Badan Pusat Statistik, Kementrian Pertanian, World Bank, penelitian terdahulu, serta informasi lainnya yang diperoleh dari buku-buku literatur, dan media elektronik. Penentuan jumlah sampel diperoleh dengan cara memilih sebanyak 78 orang petani di Desa Ciburuy atau sebesar 76,47 persen dari jumlah populasi petani sebanyak 102 orang. Selanjutnya berdasarkan hasil penyebaran kuisioner diperoleh responden yang terdiri dari 43 orang petani penggarap lahan, 20 orang petani penyewa lahan, dan 15 orang petani pemilik lahan. Data yang dimasukkan kedalam tabel PAM merupakan modus (central tendency), bukan parameter yang 44
diestimasi melalui model ekonometrika dengan jumlah contoh yang valid secara spesifik. Hal ini merupakan keuntungan dilihat dari alokasi waktu peneliti dalam mengumpulkan data di lapang. Peneliti pun diharapkan dapat mengumpulkan informasi yang lebih banyak baik dari segi aspek maupun kedalaman, dibandingkan dengan besarnya jumlah petani yang diwawancara (Pearson et. al, 2005) 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode analisis data meliputi metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan mengolah data yang diperoleh, sedangkan metode kualitatif berupa penyajian data dengan cara menginterpretasikan dan mendeskripsikan data kuantitatif. Data kemudian diolah dengan program Microsoft Excel 2007 dan tabel input output tahun 2005 untuk mengalokasikan biaya dan komponen tradable dan nontradable. Selanjutnya matriks PAM disusun dan dilakukan perhitungan untuk mendapatkan hasil tertentu sebagai indikator pengaruh kebijakan pemerintah terhadap input dan output. Menurut Monke dan Pearson (1989), terdapat empat tahapan yang dilakukan dalam penyusunan PAM ini. Keempat tahapan tersebut yakni : 1. Penentuan input output fisik secara lengkap dari aktivitas ekonomi yang dianalisis. 2. Pemisahan seluruh biaya ke dalam komponen domestik dan asing. 3. Penentuan harga privat dan penafsiran harga bayangan input-output. 4. Tabulasi dan analisis berbagai indikator yang dihasilkan tabel PAM.
45
4.3.1. Menentukan Input dan Output Pada usahatani padi semiorganik, komponen input merupakan semua input yang digunakan dalam proses produksi sampai menghasilkan output yang siap dijual. Input-input tersebut antara lain: benih, lahan, tenaga kerja, pupuk anorganik (Urea,TSP, NPK Phonska, dan KCL), pupuk organik (pupuk kompos jerami, dan pupuk kandang), pestisida nabati (bahan-bahan yang terbuat dari alam), dan peralatan pertanian (cangkul, parang, arit, sorong, dan garok). Ouput yang dihasilkan berupa padi semiorganik. 4.3.2. Alokasi Komponen Biaya Domestik dan Asing Terdapat dua metode pendekatan dalam pengalokasian biaya ke dalam komponen domestik dan asing. Dua metode tersebut adalah metode pendekatan total (Total Approach) dan metode pendekatan langsung (Direct Approach). Pada metode pendekatan total mengasumsikan semua biaya input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing, dan penambahan input tradable dapat dipenuhi dari produksi domestik jika input tersebut memiliki kemungkinan untuk diproduksi di dalam negeri. Pendekatan ini lebih tepat digunakan apabila produsen lokal dilindungi sehingga tambahan input didatangkan dari produsen lokal atau domestik (Monke dan Pearson, 1989). Pada metode pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan baik impor maupun produksi dalam negeri dinilai sebagai komponen biaya asing dan dapat diperdagangkan apabila tambahan permintaan input tradable tersebut dapat dipenuhi dari perdagangan internasional. Input nontradable yang berasal dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen biaya domestik dan input asing yang dipergunakan dalam proses produksi 46
dihitung sebagai komponen biaya asing (Monke dan Pearson, 1989). Pada penelitian ini digunakan pendekatan total untuk mengalokasikan biaya komponen domestik (nontradable) dan asing (tradable). Pendekatan total lebih sesuai digunakan dalam analisis dampak kebijakan untuk memperkirakan biaya ekonomi dan sosial dari struktur proteksi yang dilakukan pemerintah. 1. Alokasi Biaya Produksi Biaya produksi merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu komoditi atau produk baik itu secara tunai maupun diperhitungkan. Biaya tersebut digunakan untuk membeli sejumlah input. Penentuan alokasi biaya produksi ke dalam komponen asing (tradable) dan domestik (nontradable) didasarkan atas jenis input dan penilaian biaya input tradable dan nontradable dalam total biaya input. Pada usahatani padi semiorganik, input tradable seperti pupuk urea, TSP, NPK Phonska, dan KCL digolongkan ke dalam komponen biaya domestik dan asing, sedangkan input-input nontradable seperti benih, lahan, tenaga kerja, peralatan, dan biaya lainnya digolongkan ke dalam komponen biaya domestik. Tenaga kerja pertanian dianggap homogen, karena semua dianggap sebagai tenaga kerja tidak terampil. Semua alokasi biaya produksi terlampir pada Lampiran 1. 2. Alokasi Biaya Tata Niaga Biaya tataniaga merupakan biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atas kegunaan suatu barang, yakni kegunaan tempat, bentuk, dan waktu termasuk di dalamnya penanganan dan pengangkutan. Biaya tataniaga dihitung dari seluruh biaya tataniaga dari daerah produsen hingga ke konsumen. Biaya tataniaga terdiri dari biaya transportasi dan penanganan. 47
4.3.3. Penentuan Harga Bayangan Output dan Input Penggunaan harga pasar dalam analisis ekonomi seringkali tidak menggambarkan opportunity cost-nya. Oleh karena itu, ketika melakukan penelitian analisis ekonomi setiap input dan output harus disesuaikan terlebih dahulu dengan tingkat harga sosial. Harga sosial atau sering disebut dengan harga bayangan adalah harga yang terjadi dalam suatu perekonomian apabila pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna dan dalam kondisi keseimbangan, namun dalam kenyataanya sulit untuk menemukan kondisi pasar dalam kondisi pasar persaingan sempurna (Gittinger, 1986). Adapun alasan penggunaan harga bayangan dalam menganalisis ekonomi adalah : 1. Harga yang berlaku di masayarakat tidak mencerminkan harga yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan suatu aktivitas. 2. Harga pasar yang berlaku tidak mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan jika seandainya terdapat sejumlah pilihan sumberdaya yang digunakan dalam aktivitas, namun tidak digunakan pada aktivitas lain yang masih memungkinkan bagi masyarakat. Menurut Pearson et. al (2005), harga sosial atau harga efisiensi untuk input maupun output tradable adalah harga internasional untuk barang yang sejenis (comparable) yang merupakan ukuran social opportunity cost terbaik bagi barang-barang tersebut. Untuk sebuah importable (barang yang diimpor), harga barang impor tersebut menunjukkan opportunity cost untuk menghasilkan tambahan satu unit produk untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Sedangkan untuk exportable (barang yang diekspor), harga ekspor barang tersebut 48
menunjukkan opportunity cost satu unit tambahan produksi produksi domestik untuk diekspor, bukan untuk konsumsi dalam negeri. Harga dunia bisa dicari dari pusat statistik negara tetangga, kelompok industri, atau lembaga-lembaga internasional (the International Monetary Fund, the World Bank, the Asian Development Bank, atau lembaga-lembaga dibawah PBB). 4.3.3.1. Harga Bayangan Output Menurut Pearson et al. (2005), harga bayangan output tradable yang digunakan adalah harga yang berlaku pada perbatasan negara (border price), baik ketika barang tersebut tiba dari luar negeri (impor), maupun saat produk akan dikirim ke luar negeri (ekspor). Harga bayangan untuk produk yang akan diekspor disebut harga FOB (free on board), yaitu harga pelabuhan yang dikonversikan dengan nilai tukar rupiah lalu dikurangi biaya transportasi dan tataniaga. Harga bayangan untuk output yang diimpor adalah CIF (cost of insurance freight) yang ditambah biaya tataniaga. Pada penelitian ini menggunakan harga CIF beras organik yang berasal dari China. Penggunaan beras organik yang berasal dari China dikarenakan banyak beras organik yang beredar di dalam negeri berasal dari negara tersebut. Penentuan harga CIF dapat dihitung dari harga FOB beras organik di negara asal ditambah dengan biaya asuransi dan pengapalan (Insurance and Freight). Berdasarkan informasi harga yang diperoleh dari Dalian Xinfeng International Industry & Trade Co. Ltd, diketahui bahwa harga FOB beras organik di pasar international China sebesar 800 U$
Dollar per ton9. Biaya asuransi dan
pengapalan (Insurance and Freight) beras organik dari China ke Indonesia 9
http://www.alibaba.com/product-gs/379720167/organic_parboiled_rice_steamed_rice.html (diakses pada tanggal 25 Juni 2012)
49
ditentukan dari besarnya pajak yang harus dikeluarkan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal Pajak, yakni 10 persen dari harga FOB untuk komoditas yang berasal dari Asia non-ASEAN10, adalah sebesar 80 U$ Dollar per ton. Sehingga harga CIF beras organik di Indonesia adalah sebesar 880 U$ Dollar per ton. Nilai tersebut kemudian dikonversikan dengan nilai tukar bayangan (SER) Rp 8.540,62 per U$ Dollar untuk tahun 2011. Hasil tersebut kemudian dikurangi dengan biaya transportasi, nilai susut perjalan, faktor konversi dari GKP ke beras, dan biaya lainnya. Sehingga didapat harga paritas impor di tingkat petani untuk beras organik sebesar Rp 3.544,03 per kilogram. Untuk melihat perhitungan harga bayangan output dapat dilihat pada Lampiran 2. 4.3.3.2. Harga Bayangan Input Harga bayangan input ditentukan berdasarkan input tradable dan nontradable. Input tradable dalam penelitian ini merupakan komoditas impor yaitu pupuk urea dan pupuk NPK (Phonska). Harga FOB digunakan untuk menentukan harga bayangan input yang diekspor, sedangkan harga CIF untuk input
yang
diimpor.
Input
nontradable
diestimasi
dengan
cara
mendekomposisikannya, yaitu membagi biaya produksi barang atau jasa nontradable kedalam biaya input tradable dan biaya faktor domestik (tenaga kerja, modal, dan lahan). 1. Harga Bayangan Pupuk Anorganik Pupuk anorganik yang digunakan dalam usahatani padi semiorganik di lokasi penelitian terdiri dari beberapa jenis pupuk, diantaranya adalah pupuk urea, 10
http://www.duniacyber.com/freebies/planning/contoh-perhitungan-bea-masuk-dan-pajakdalam-rangka-impor-dan-impor-sementara/ (diakses pada tanggal 25 Juni 2012)
50
TSP, NPK Phonska, dan KCL. Penentuan harga bayangan pupuk anorganik didasarkan dengan pendekatan harga internasional. Hal ini dikarenakan masingmasing pupuk tersebut mengandung subsidi dari pemerintah, sedangkan besarnya subsidi tidak diketahui. Perhitungan harga bayangan pupuk terlampir pada Lampiran 3. A. Pupuk Urea Perhitungan
harga
bayangan
pupuk
urea
pada
penelitian
ini
menggunakan harga internasional. Pupuk urea merupakan pupuk yang mendapat subsidi dari pemerintah, dengan bentuk subsidi berdasarkan harga gas, dimana besarnya subsidi adalah harga gas yang sesuai dengan kontrak dikurangi harga gas yang menjadi beban produsen pupuk, kemudian dikalikan dengan volume pemanfaatan gas11. Terdapat kesulitan dalam mencari informasi mengenai besaran subsidi yang diberikan menyebabkan penentuan harga bayangan pupuk urea berdasarkan harga FOB urea di Black Sea pada tahun 2011, yakni sebesar 421 US Dollar per ton12. Nilai yang didapat kemudian ditambahkan dengan biaya pengapalan dan asuransi sebesar 15% dari harga FOB, sehingga didapatkan nilai CIF Indonesia sebesar 484,15 US Dollar. Selanjutnya nilai ini dikalikan dengan nilai tukar bayangan (SER) pada tahun 2011 sebesar Rp 8.540,62 per US Dollar, lalu dikurangi dengan biaya transportasi dan handling dari pelabuhan hingga ke desa. Sehingga berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan harga bayangan pupuk urea di tingkat petani sebesar Rp 3.743,44 per kilogram.
11
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 356/KMK.06/2003. Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Subsidi Pupuk. http://www.sjdih.depkeu.go.id/fulltext/2003/356~KMK.06~2003Kep.HTM (Diakses tanggal 25 juli 2012) 12 World Bank, Commoditiy Markets Review (2012) hal 4. http://econ.worldbank.org (diakses pada tanggal 25 Juni 2012)
51
B. Pupuk TSP Berdasarkan keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tahun 2003 mengenai perhitungan dan pembayaran subsidi pupuk, besaran subsidi pupuk non urea dihitung berdasarkan harga pembelian pemerintah dikurangi harga eceran tertinggi dikalikan volume penyaluran pupuk, namun sulitnya mengenai informasi besaran subsidi harga tersebut sehingga penentuan harga bayangan pupuk TSP dalam penelitian ini berdasarkan harga FOB TSP pada tahun 2011 di Tunisia sebesar 538,03 US Dollar per ton13. Nilai yang didapat kemudian ditambahkan dengan biaya pengapalan dan asuransi sebesar 15% dari harga FOB, sehingga didapatkan nilai CIF Indonesia sebesar 618,73 US Dollar. Nilai tersebut dikalikan dengan nilai tukar bayangan (SER) tahun 2011 sebesar Rp 8.540,62 per US Dollar, lalu dikurangi dengan biaya transportasi dan handling dari pelabuhan hingga ke desa. Sehingga berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan harga bayangan pupuk urea di tingkat petani sebesar Rp 4.923,88 per kilogram. C. Pupuk KCL Sejak tahun 2003 pemerintah menerapkan subsidi untuk pupuk non urea seperti KCL, namun informasi mengenai besaran subsidi harga tersebut sulit untuk didapatkan sehingga penentuan harga bayangan untuk pupuk KCL berdasarkan harga FOB Potassium chloride pada tahun 2011 di Vancouver, yakni sebesar 435,3 US Dollar per ton14. Nilai tersebut kemudian ditambahkan dengan biaya pengapalan dan asuransi sehingga didapatkan harga CIF Indonesia sebesar 500,595 US Dollar per ton. Selanjutnya nilai tersebut dikalikan dengan nilai tukar bayangan (SER) pada tahun 2011, yakni sebesar Rp 8.540,62 per US Dollar. 13 14
World Bank, Commoditiy Markets Review (2012) hal 4. World Bank, Commoditiy Markets Review (2012) hal 4.
52
Kemudian dikurangi dengan biaya transportasi dan handling dari pelabuhan hingga ke desa. Sehingga berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan harga bayangan pupuk KCL di tingkat petani sebesar Rp 3.925,84 per kilogram D. Pupuk NPK Phonska Penentuan harga bayangan pupuk NPK Phonska didasarkan pada harga FOB compound fertilizer NPK di China, yakni sebesar 350 US Dollar per ton15. Nilai tersebut kemudian ditambahkan dengan biaya pengapalan dan asuransi sehingga didapatkan harga CIF Indonesia sebesar 385 US Dollar per ton. Selanjutnya nilai tersebut dikalikan dengan nilai tukar bayangan (SER) pada tahun 2011 sebesar Rp 8.540,62 per US Dollar, kemudian dikurangi dengan biaya transportasi dan handling dari pelabuhan hingga ke desa. Sehingga berdasarkan perhitungan tersebut didapatkan harga bayangan pupuk KCL di tingkat petani sebesar Rp 2.811,34 per kilogram. 2. Harga Bayangan Pupuk Organik Pupuk organik yang biasa digunakan dalam usahatani padi di lokasi penelitian adalah pupuk kompos jerami dan pupuk kandang. Harga bayangan pupuk organik ditentukan berdasarkan harga pasar dengan pertimbangan bahwa tidak adanya intervensi pemerintah terhadap pupuk tersebut secara langsung. Harga bayangan pupuk organik di lokasi penelitian sama dengan harga rata-rata aktualnya. Petani bagi hasil, penyewa, dan pemilik lahan mendapatkan harga rata-
15
Planter Chemical Fertilizer Industries Co. Ltd . Compound Fertilizer NPK 15-15-15
http://www.alibaba.com/productgs/338909242/compound_fertilizer_NPK_15_15_15.html?s=p (diakses pada tanggal 25 Juni 2012)
53
rata pupuk kompos sebesar Rp 154,56 ; Rp 97,07 ; Rp 101,83 per kilogram. Semua karakteristik petani padi semiorganik mendapatkan harga yang sama untuk pupuk kandang, yaitu sebesar Rp 1.000 per kilogram 3. Harga Bayangan Pestisida Nabati Penentuan harga bayangan pestisida nabati dalam penelitian ini didasarkan pada harga rata-rata yang ada di pasar tempat penelitian. Hal ini didasarkan pada perdagangan pestisida nabati yang telah diserahkan ke pasar atau tidak adanya intervensi pemerintah dalam hal ini subsidi untuk pestisida telah dicabut. Di lain pihak banyak dari petani responden menggunakan pestisida dari bahan-bahan yang diperoleh dari alam seperti dedaunan, dan kotoran ternak. Harga pestisida nabati untuk petani bagi hasil, penyewa, dan pemilik lahan sebesar Rp 26.000 ; Rp 12.500 ; Rp 32.500 per liter. 4. Harga Bayangan Peralatan Pertanian Peralatan yang digunakan oleh petani dalam bertani padi semiorganik di lokasi penelitian terdiri dari cangkul, parang, arit, sorong, dan garok. Harga bayangan untuk peralatan didasarkan pada harga pasar. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengatur secara langsung, sehingga distorsi pasar yang terjadi amat kecil atau pasar mendekati persaingan sempurna. Harga dihitung berdasarkan per musim tanam (MT). Harga bayangan cangkul untuk petani bagi hasil, penyewa, dan pemilik lahan sebesar Rp 5.434 ; Rp 4.944 ; Rp 4.609 per buah. Harga bayangan parang untuk petani bagi hasil, penyewa, dan pemilik lahan sebesar Rp 4.037,04 ; Rp 4.458 ; Rp 4.281,25 per buah. Harga bayangan arit untuk petani bagi hasil, penyewa, dan pemilik lahan sebesar Rp 4.280,37 ; Rp 4.638 ; Rp 4.156,25 per buah. Harga bayangan sorong 54
dan garok untuk setiap karakteristik petani padi semiorganik mendapatkan harga yang sama, yaitu Rp 6.000 per buah. 5. Harga Bayangan Benih Perhitungan harga bayangan benih pada penelitian ini mengacu pada hasil penelitian Mantau (2009), yaitu harga bayangan benih berupa harga bayangannya sebagai output. Namun karena benih memiliki aspek quality control, maka harga bayangan relatif lebih besar dibanding harga bayangan output yaitu : HBbenih =
x HB output
dimana; HB = Harga Bayangan ; HA = Harga Aktual. Sehingga pada penelitian ini harga bayangan benih untuk petani bagi hasil, penyewa, dan pemilik lahan sebesar Rp 8.742,32 ; Rp 8.797,67 ; Rp 8.252,64 per kilogram 4.3.3.3. Harga Bayangan Faktor Domestik Setiap faktor domestik memiliki cara yang berbeda-beda dalam menentukan harga bayangannya. Hal ini dikarenakan kondisi setiap faktor dometik di lokasi penelitian berbeda. 1. Harga Bayangan Tenaga Kerja Harga tenaga kerja diklasifikasikan menjadi tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Penelitian ini menghitung upah tenaga kerja finansial sama dengan upah tenaga kerja bayangan, dikarenakan seluruh tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja tidak terampil dan para peneliti berpendapat tidak ada divergensi di pasar tenaga kerja pertanian tidak terampil di pedesaan. Tingkat upah ditentukan sama dengan upah tenaga kerja luar keluarga (Pearson et. al, 2005). Upah tenaga kerja pertanian dihitung berdasarkan satuan hari kerja pria 55
(HKP), dimana dalam rata-rata satu HKP adalah lima jam dan seharga Rp 26.283,33 per HKP. 2. Lahan Lahan merupakan faktor produksi utama yang termasuk ke dalam input faktor domestik. Menurut Gittinger (1986), untuk menentukan harga bayangan lahan adalah dengan memakai nilai sewa lahan yang diperhitungkan setiap musimnya, sedangkan menurut Monke dan Pearson (1989), menentukan harga bayangan lahan berdasarkan pendapatan dari tanah untuk tanaman alternatif terbaik. Perhitungan harga bayangan pada petani pemilik lahan menggunakan pendekatan Gittinger (1986) yaitu dengan memakai harga sewa lahan yang diperhitungkan setiap musim di tempat penelitian. Harga sewa lahan sebesar Rp 1.893.384,74 per hektar per musim tanam. Perhitungan harga bayangan pada petani penggarap dan penyewa lahan menggunakan pendekatan Monke dan Pearson (1989), yaitu tanaman alternatif terbaik. Alternatif tanaman terbaik di lokasi penelitian adalah usahatani padi anorganik. Dengan mengacu pada penelitian Sari (2011), keuntungan dari usahatani padi anorganik sebesar Rp 2.038.025,08 per hektar per musim tanam. 4.3.3.4. Harga Bayangan Nilai Tukar Uang Rumus penentuan harga sosial nilai tukar uang digunakan rumus menurut Squire dan Van Der Tak (1975) dalam Gittinger (1986), yaitu:
Keterangan: SERt = Shadow Exchange Rate tahun ke-t (nilai tukar bayangan, Rp/US$) OERt = Official Exchange Rate tahun ke-t (nilai tukar resmi, Rp/US$) SCFt = Standard Convertion Factor tahun ke-t (Faktor Konversi Standar) 56
Nilai SCF ditentukan berdasarkan formulasi sebagai berikut (Rosegrant, 1987 dalam Gittinger, 1986):
Keterangan: SCFt = Faktor Konversi Standar tahun ke-t Mt = Nilai Impor tahun ke-t (Rp) Tmt = Pajak Impor tahun ke-t (Rp) Xt = Nilai Ekspor tahun ke-t (Rp) Txt = Pajak Ekspor tahun ke-t (Rp) Nilai
ekspor
Indonesia
untuk
tahun
2011
(Xt)
sebesar
Rp
1.473.392.692.140,00. Nilai impor Indonesia untuk tahun 2011 (Mt) sebesar Rp 1.267.712.621.792.520,00. Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (Txt) untuk tahun 2011 sebesar Rp 28.270.000.000.000,00. Penerimaan pemerintah dari pajak impor (Tmt) sebesar Rp 24.680.000.000.000,0016. Nilai tukar resmi rata-rata mata uang rupiah terhadap U$ Dollar pada tahun 2011 sebesar Rp 8.708,85. Berdasarkan data tersebut dan perhitungan menurut Van Der Tak (1975) dalam Gittinger (1986), dapat diketahui nilai tukar bayangan mata uang rupiah terhadap U$ Dollar (SER) sebesar Rp 8.540,62. 4.4.
Policy Analysis Matrix (PAM) Penelitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). PAM terdiri
dari matriks yang disusun berdasarkan hasil analisis finansial (privat) dan analisis ekonomi (sosial). Baris pertama mengestimasi keuntungan privat, yaitu perhitungan penerimaan dan biaya berdasarkan harga yang berlaku, yang 16
Bea Cukai Yakin Bisa Setor Rp 129,35 Trilliun ke Kas Negara.
[1] Detikfinance. (http://finance.detik.com/read/2011/12/27/081005/1800030/4/bea-cukaiyakin bisa-setor-rp-129,35-triliun-ke-kas-negara (diaskes pada 4 Februari 2012)
57
mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Baris kedua mengestimasi keuntungan sosial, yaitu perhitungan penerimaan dan biaya dengan harga sosial (harga yang akan menghasilkan alokasi terbaik sumberdaya dan dengan sendirinya menghasilkan pendapatan tertinggi). Pada baris ketiga menggambarkan divergensi (kegagalan pasar) yang merupakan selisih antara baris pertama dengan baris kedua. Tabel matriks PAM dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 7. Matriks Analisis Kebijakan Penerimaan Output A Harga Privat E Harga Sosial I Efek Divergensi Sumber : Monke dan Pearson, 1989
Biaya Input Tradable Non Tradable B C F G J K
Uraian
Keterangan: Keuntungan Privat :D=A-B-C Keuntungan Sosial :H=E-F-G Transfer Output :I =A-E Transfer Input :J =B-F Transfer Faktor :K =C-G Transfer Bersih :L =D-H Private Cost Ratio (PCR) : C / ( A - B ) Domestic Cost Ratio (DRC) : G / ( E - F )
Keuntungan D H L
Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A / E Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B / F Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A-B) / ( E - F ) Koefisien Keuntungan (PC) =D/H Rasio Subsidi untuk Produsen (SRP) =L/E
Dari matriks analisis kebijakan dapat dilakukan beberapa analisis, yaitu: 1. Analisis Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif dapat dilihat dari keuntungan usahatani padi semiorganik pada harga sosial. keunggulan komparatif dianalisis berdasarkan keuntungan sosial dan rasio biaya sumberdaya domestik. a) Keuntungan Sosial atau Social Profitability Keuntungan sosial (KS) merupakan indikator daya saing (keunggulan komparatif) pada kondisi tidak ada efek divergensi. Keuntungan sosial dirumukan sebagai berikut: KS (H) = E – F – G 58
Keterangan : E = Penerimaan Sosial F = Biaya input tradable sosial G = Biaya input nontradable sosial Jika keuntungan sosial lebih besar dari nol dan nilainya makin besar, maka sistem komoditi padi semiorganik tersebut makin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Sebaliknya, jika keuntungan sosial lebih kecil dari nol, maka sistem komoditi tidak mampu berjalan dengan baik tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. b) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik / Domestic Ratio Cost (DRC) DRC adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga bayangan. Nilai ini digunakan sebagai ukuran efisiensi secara ekonomi dan menjadi satu indikator keunggulan komparatif. Suatu kegiatan ekonomi juga diharapkan memiliki nilai DRC yang kurang dari satu agar terjadi efisiensi secara ekonomi (menunjukkan keunggulan komparatif). Apabila nilai DRC yang lebih dari satu, menunjukkan semakin besar penggunaan sumberdaya atau terjadi pemborosan sumberdaya domestik. DRC dapat diperoleh dari rumus: DRC =
2. Analisis Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif dapat dilihat dari keuntungan usahatani padi semiorganik pada harga privat. Keunggulan kompetitif dianalisis berdasarkan keuntungan privat dan rasio biaya privat. a) Keuntungan Privat atau Private Profitability
59
Keuntungan privat (KP) merupakan indikator daya saing dari sistem komoditi berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Jika nilai KP lebih besar dari nol, berarti sistem memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika nilai KP kurang dari nol, berarti sistem komoditas tidak
mendapatkan
keuntungan.
Keuntungan
privat
didapat
dengan
rumus berikut: KP (D) = A – B – C
Keterangan : A = Penerimaan Privat B = Biaya Input tradable privat C = Biaya Input nontradable privat b) Rasio Biaya Privat atau Private Cost Ratio (PCR) PCR adalah rasio biaya domestik terhadap nilai tambah dalam harga privat. Nilai PCR mencerminkan kemampuan sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga privat. Nilai ini juga digunakan sebagai ukuran efisiensi secara finansial dan menjadi satu indikator keunggulan kompetitif. Nilai PCR diusahakan kurang dari satu karena untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu satuan diharapkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu. Semakin kecil nilai PCR maka semakin besar tingkat keunggulan kompetitif yang dimiliki. PCR dapat diperoleh dari rumus : PCR =
3. Dampak Kebijakan Pemerintah Dampak kebijakan pemerintah terdiri dari kebijakan input, kebijakan output, dan kebijakan input-output. Berikut penjelasan dampak kebijakan pemerintah, yaitu: 60
a. Kebijakan Input Kebijakan input adalah kemampuan pemerintah mempengaruhi input suatu kegiatan produksi. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input terdiri dari transfer input, nominal protection coefficient in input, dan transfer faktor. 1) Transfer Input Transfer input (TI) adalah selisih antara biaya input tradable pada harga privat dengan biaya input tradable pada harga sosial. Nilai TI menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai TI positif (TI lebih besar dari nol) menunjukkan harga sosial input asing lebih rendah. Akibatnya produsen harus membayar input lebih mahal. Sebaliknya, jika TI bernilai negatif (TI kurang dari nol) hal ini menunjukkan adanya subsidi pemerintah terhadap input asing, sehingga petani tidak membayar penuh korbanan sosial (social opportunity) yang seharusnya dibayarkan. Transfer input dirumuskan sebagai berikut: Keterangan:
TI = B – F
B = Biaya input tradable privat F = Biaya input tradable sosial 2) Nominal Protection Coefficient in Input (NPCI) NPCI merupakan rasio untuk mengukur besarnya transfer input tradable. NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu (NPCI > 1) berarti terdapat kebijakan proteksi terhadap produsen input, sehingga biaya input domestik lebih mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia, seolah-olah sistem dibebani pajak oleh kebijakan yang ada. Sebaliknya jika nilai NPCI lebih kecil dari satu (NPCI < 1) berarti terdapat 61
subsidi terhadap input tersebut yang menyebabkan biaya input domestik lebih rendah daripada biaya input pada tingkat harga dunia. NPCI dirumuskan sebagai berikut: NPCI =
3) Transfer Faktor Transfer faktor menunjukkan besarnya subsidi terhadap input nontradable. Jika nilai transfer faktor positif (TF lebih besar dari nol) menunjukkan bahwa terjadi subsidi negatif pada input nontradable. Jika nilai transfer faktor negatif (TF lebih kecil dari nol), berarti terdapat subsidi positif pada input nontradable. Transfer faktor dirumuskan sebagai berikut: TF = C – G
Keterangan: C = Biaya input nontradable privat G = Biaya input nontradable sosial. b. Kebijakan Output Kebijakan output adalah kemampuan pemerintah mempengaruhi output suatu kegiatan produksi. Kebijakan output terdiri dari transfer output dan nominal protection coefficient on output. 1) Transfer output (TO) TO merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat (finansial) dengan penerimaan yang dihitung atas harga sosial (bayangan). Analisis TO dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kebijakan pemerintah mampu memberikan intensif kepada pelaku ekonomi. Nilai TO positif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pada output menyebabkan harga privat output lebih besar dibandingkan harga bayangan output, yang menunjukkan 62
besarnya intensif masyarakat atau konsumen terhadap produsen, dimana konsumen membayar lebih tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan. Jika nilai TO negatif menunjukkan bahwa dengan adanya distorsi kebijakan pemerintah, akan menyebabkan harga privat output menjadi lebih rendah dibandingkan harga bayangan output. Nilai TO negatif juga menunjukkan adanya kebijakan pemerintah pada harga output berupa subsidi negatif. Rumus dari TO sebagai berikut: Keterangan: A = Penerimaan Privat E = Penerimaan Sosial 2) Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) NPCO adalah rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikator dari tingkat proteksi pemerintah terhadap output. Jika nilai NPCO lebih dari satu (NPCO>1) berarti telah terjadi penambahaan penerimaan akibat adanya kebijakan yang mempengaruhi harga output (efek divergensi), begitu pula sebaliknya, NPCO dirumuskan sebagai berikut: NPCO =
c. Kebijakan Input-Output Kebijakan input output adalah kemampuan pemerintah mempengaruhi input-output suatu kegiatan produksi. Kebijakan input-output terdiri dari koefisien proteksi efektif, transfer bersih, koefisien keuntungan nilai rasio subsidi bagi produesen.
63
1) Koefisien Proteksi Efektif / Effective Protection Coefficient (EPC) Koefisien proteksi efektif (EPC) merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi komoditi dalam negeri. Nilai EPC menggambarkan seberapa besar kebijakan pemerintah melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Apabila nilai EPC lebih besar dari satu, berarti pemerintah melindungi produsen secara efektif dengan menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan diatas harga efisiennya. Begitu pun sebaliknya. EPC dirumuskan sebagai berikut: EPC =
2) Transfer Bersih atau Net Transfer (TB) Transfer bersih (TB) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. TB menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani, apakah merugikan atau menguntungkan petani. Nilai TB yang positif menunjukkan kebijakan insentif membuat surplus produsen bertambah, sedangkan nilai TB yang negatif mengakibatkan surplus produsen berkurang. Rumus TB :
TB = D – H
3) Koefisien Keuntungan atau Profitability Coeficient (PC) Koefisien keuuntungan (PC) adalah perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan besih sosial. Nilai PC menunjukkan pengaruh keseluruhan dari kebijakan yang menyebabkan perbedaan antara keuntungan privat dan sosial. Jika nilai PC lebih besar dari nol, 64
maka yang terjadi adalah kebijakan pemerintah membuat keuntungan yang diterima oleh produsen lebih kecil bila dibandingkan tidak ada kebijakan, dan sebaliknya apabila PC bernilai negatif. Koefisisien keuntungan dirumuskan: PC =
4) Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen / Subsidy Ratio to Producer (SRP) Menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan karena adanya kebijakan pemerintah. SRP yang bernilai negatif (SRP lebih kecil dari nol) berarti kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari biaya sosial untuk berproduksi. SRP dirumuskan:
SRP =
4.5. Analisis Sensitivitas Setelah dilakukan analisis PAM maka perlu dilakukan analisis sensitivitas yang bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi bila terjadi perubahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Suatu analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu indikator atau mengkombinasikan indikator-indikator dan menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada hasil analisis semula. Indikator analisis sensitivitas berupa kenaikan harga pupuk anorganik, tingkat produksi output, dan harga penjualan output padi semiorganik. Indikator tersebut dianggap sangat besar pengaruhnya terhadap tingkat penerimaan dan pendapatan petani yang dikaitkan dengan keunggulan komparatif dan kompetitif pada usahatani padi semiorganik ini. Pendekatan analisis sensitivitas dilakukan 65
dengan cara membuat nilai PCR mendekati nilai satu. Nilai PCR dijadikan dasar dalam analisis sensitivitas dikarenakan nilai PCR menggunakan harga aktual kondisi lapang atau harga privat. Hasil analisis sensitivitas akan menunjukkan seberapa besar respon usahatani padi semiorganik terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif akibat adanya perubahan indikator analisis sensitvitas. Berikut analisis sensitivitas yang dilakukan pada penelitian ini: 1. Analisis sensitivitas keunggulan komparatif dan kompetitif dengan asumsi jika terjadi penurunan jumlah output, dengan faktor lainnya dianggap tetap (ceteris paribus). Hal tersebut berdasarkan hasil wawancara langsung kepada petani, bahwa penurunan jumlah output disebabkan apabila terjadi serangan hama atau gangguan cuaca pada usahatani padi semiorganik ini. Selain itu peneliti ingin melihat sampai sejauh mana penurunan jumlah output mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif atau sampai sejauh mana perubahan penurunan jumlah output hingga mendekati nilai PCR sama dengan satu. 2. Analisis sensitivitas keunggulan komparatif dan kompetitif dengan asumsi jika terjadi kenaikan harga pupuk anorganik pada setiap kategori petani padi semiorganik. Perubahan pada harga pupuk urea berdasarkan ketetapan peraturan menteri pertanian no 87/permentan/SR.130/2011 17 yaitu sebesar 12,5 persen, sedangkan untuk peningkatan harga pupuk lainnya berdasarkan wawancara petani dan kondisi lapang. 3. Analisis sensitivitas keunggulan komparatif dan kompetitif dengan asumsi jika terjadi penurunan harga jual output, dengan asumsi faktor lainnya dianggap tetap (ceteris paribus). Hal tersebut berdasarkan data yang dikumpulkan di 17
http://www.bisnis.com/articles/kenaikan-harga-pupuk-urea-tak-bebankan-petani (diakses pada tanggal 1 Sepetember 2012)
66
tingkat petani, dan melihat sampai sejauh mana penurunan harga jual output mendekati dan mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif atau sampai sejauh mana perubahan penurunan harga jual output hingga mendekati nilai PCR sama dengan satu. 4. Analisis sensitivitas gabungan yaitu dengan menggabungkan kondisi pada saat terjadi penurunan jumlah output, diikuti dengan kenaikan harga pupuk anorganik, serta adanya penurunan harga jual output. Hal tersebut perlu dilakukan untuk melihat kepekaan usahatani padi semiorganik terhadap keunggulan
komparatif
dan
kompetitif
pada
kondisi
yang
tidak
menguntungkan bagi petani.
67
V. GAMBARAN UMUM 5.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Bogor Secara geografis Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan ibukota Cibinong. Kabupaten Bogor terletak antara 6,19o – 6,47o Lintang Selatan dan 106,1o – 107,103o Bujur Timur. Kabupaten Bogor memiliki luas wilayah sebesar ± 2.237,09 Km2 dan merupakan salah satu wilayah administratif terluas (ke-6) di Propinsi Jawa Barat. Batas wilayah Kabupaten Bogor dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Di sebelah Utara berbatasan dengan Kota Depok 2. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Sukabumi 3. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak – Provinsi Banten 4. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lebak – Provinsi Banten Berdasarkan jumlah penduduk menurut hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010 berjumlah 4.763.209 orang yaitu terdiri dari 2.446.251 penduduk lakilaki dan 2.316.958 penduduk perempuan. Pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor meningkat sebanyak 3 persen dari tahun sebelumnya. Kepadatan penduduk Kabupaten Bogor sekitar 1.589 jiwa/Km2. Ketinggian tempat di Kabupaten Bogor berkisar dari 15 mdpl pada dataran di bagian utara hingga 2.500 mdpl pada puncak-puncak gunung di bagian selatan dengan monografi wilayah utara hingga selatan berturut-turut meliputi: (1). Dataran rendah (15-100 mdpl), sekitar 29,28 persen dari luas wilayah, (2). Dataran bergelombang (100-150 mdpl), sekitar 46,62 persen dari luas wilayah, (3). Pegunungan (500-1.000 mdpl), sekitar 19,53 persen dari luas wilayah, (4). Pegunungan tinggi (1000-1200 mdpl), sekitar 8,43 persen dari luas wilayah. 68
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di Kabupaten Bogor termasuk tipe A (sangat basah) untuk bagian selatan sedangkan bagian barat termasuk tipe B (basah). Suhu udara berkisar antara 20 0 – 300 C, sementara suhu rata-rata tahunan sekitar 250 C. Curah hujan tahunan berkisar 2.500 – 5.000 mm / tahun, kecuali sebagian kecil di bagian utara yang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta dengan Curah Hujan yang kurang dari 2.500 mm. Secara umum wilayah Kabupaten Bogor mempunyai kemiringan relatif ke arah utara. Sungai-sungai mengalir dari daerah pegunungan, pegunungan di bagian selatan ke arah utara yang meliputi 6 Daerah Aliran Sungai yaitu DAS Cidurian, Cimanceuri, Cisadane, Ciliwung, Bekasi dan Citarum (khususnya DAS Cipamingkis dan Cibeet). Dengan demikian wilayah Kabupaten Bogor merupakan wilayah hulu bagi wilayah-wilayah di sebelah utara (Tangerang, Depok, DKI Jakarta dan Bekasi). Sungai-sungai pada masing-masing DAS tersebut mempunyai fungsi yang sangat strategis yaitu sebagai sumber air irigasi pertanian, perikanan, rumah tangga dan industri serta drainase utama wilayah. Selain itu, terdapat situ-situ yang berfungsi sebagai reservoar dalam peresapan air dan dapat juga dimanfaatkan usaha perikanan, penampungan air dan rekreasi. 5.2. Kondisi Wilayah Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong Desa Ciburuy merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Cigombong. Secara geografis Desa Ciburuy terletak pada ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, dimana desa ini berbatasan dengan beberapa desa yang juga termasuk dalam Kecamatan Cigombong. Batas wilayah Desa Ciburuy sebagai berikut: 69
1. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Ciadeg 2. Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cigombong 3. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Cisalada 4. Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Srogol Jarak desa dengan ibukota kabupaten atau kota adalah 50 Km, lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten dengan kendaraan bermotor dapat ditempuh dengan waktu 2 jam. Lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten dengan berjalan kaki atau kendaraan non bermotor dapat ditempuh dengan waktu 24 jam. Jarak dengan ibukota provinsi adalah 165 Km. Lama jarak tempuh ke ibukota provinsi dengan kendaraan bermotor dapat ditempuh dengan waktu 12 jam. Lama jarak tempuh ke ibu kota provinsi dengan berjalan kaki atau kendaraan non bermotor dengan waktu 3x24 jam. Data pada bulan November tahun 2011 menunjukkan jumlah penduduk di Desa Ciburuy sebanyak 11.993 orang yang terdiri dari 2.458 kepala keluarga. Dari total jumlah peduduk tersebut diketahui sebanyak 6.129 orang berjenis kelamin laki-laki, dan sisanya sebanyak 5.864 orang berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar mata pencaharian penduduk yaitu berprofesi sebagai petani, yaitu sebanyak 1.416 orang (52,7 persen). Selanjutnya sebagai wirausahawan sebanyak 306 orang (11,39 persen), sebagai pegawai negeri sipil sebanyak 24 orang (0,9 persen), sebagai karyawan swasta sebanyak 614 orang (22,85 persen), sebagai tukang ojek sebanyak 259 orang (9,64 persen), sebagai pengemudi sebanyak 30 orang (1,12 persen), sebagai dokter sebanyak dua orang (0,07 persen), sebagai bidan sebanyak dua orang (0,07 persen), dan sisanya sebagai paraji atau dukun sebanyak 34 orang (1,26 persen). 70
Tabel 8. Penggolongan Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Desa Ciburuy, Tahun 2011 Jenis Pekerjaan Petani Wirausahawan Pegawai Negeri Sipil Karyawan Swasta Tukang Ojek Pengemudi Dokter Bidan Paraji/dukun Total Sumber: Desa Ciburuy (2011)
Jumlah (orang) 1.416 306 24 614 259 30 2 2 34 2.687
Persentase (%) 52,70 11,39 0,90 22,85 9,64 1,12 0,07 0,07 1,26 100
Sebagian besar penduduk Desa Ciburuy yang berprofesi di bidang pertanian merupakan pemilik lahan, yaitu berjumlah 920 orang (64,97 persen), sedangkan sisanya merupakan petani penggarap sebanyak 350 orang (24,72 persen) dan buruh tani sebanyak 146 orang (10,31 persen). Pemilik lahan di Desa Ciburuy biasanya mempekerjakan orang lain untuk mengolah tanah lahan pertaniannya. Petani pemilik lahan yang luas biasanya dibantu oleh buruh tani dalam mengelola lahannya. Petani penggarap di Desa Ciburuy membagi hasil panennya dengan pemilik lahan sekitar 50:50 atau 60:40. Hal tersebut diartikan jika petani penggarap tersebut memperoleh panen 100 kuintal, maka yang akan didapatkan petani penggarap tersebut 60 kilogram dan pemilik lahan memperoleh 40 kilogram. Begitu juga sebaliknya dengan pembagian input seperti benih atau pun pupuk. Tabel 9. Penggolongan Petani Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Desa Ciburuy Tahun 2011 Status Kepemilikan Lahan Pemilik Petani Penggarap Buruh Tani Total Sumber: Desa Ciburuy (2011)
Jumlah (orang) 920 350 146 1.416
Persentase (%) 64,97 24,72 10,31 100
Curah hujan di Desa Ciburuy pada tahun 2011 tercatat sebesar 23,1 milimeter per tahun dengan suhu rata-rata 30 derajat celcius. Desa Ciburuy 71
memiliki luas wilayah sebesar 160 hektar. Dari luas lahan sejumlah tersebut, 53 hektar diantaranya lahan sawah. Lahan sawah tersebut terdiri dari dua hektar sawah irigasi teknis, 30 hektar sebagai sawah irigasi sederhana, dan 21 hektar sawah tadah hujan. Hampir sebagian lahan sawah milik petani mengandalkan irigasi desa. Irigasi tersebut dikelola oleh salah seorang petani yang dipercaya dapat mengatur aliran air irigasi secara adil. Setiap petani yang mendapatkan air irigasi dikenakan distribusi yang jumlahnya tidak ditentukan dan dibayarkan ketika panen tiba. Hasil distribusi tersebut digunakan untuk perawatan saluran irigasi dan jasa petani yang mengatur aliran air irigasi tersebut. 5.3. Karakteristik Responden Penelitian ini dilakukan di Desa Ciburuy, pemilihan dikarenakan pada desa tersebut telah mengusahakan padi semiorganik selama kurang lebih 10 tahun lamanya. Karakteristik responden yang dianggap penting dalam penelitian ini meliputi usia, tingkat pendidikan, pengalaman bertani organik, luas lahan, sumber modal, status kepemilkan sawah, status usahatani, dan varietas yang digunakan. Pemilihan karakteristik tersebut dianggap penting karena akan mempengaruhi pelaksanaan usahatani padi semiorganik terutama dalam melakukan teknik budidaya yang nantinya akan berpengaruh pada produksi yang dihasilkan petani tersebut. 5.3.1. Usia Usia petani responden di Desa Ciburuy dibagi menjadi lima kelompok usia. Yaitu kurang dari 40 tahun, 40 sampai dengan 50 tahun, 51 sampai dengan 60 tahun, 61 sampai dengan 70 tahun, dan lebih dari 70 tahun. Usia petani responden di Desa Ciburuy mayoritas diantara 51 sampai 60 tahun, sebanyak 23 72
orang atau 38 persen. Umur yang paling tua dalam petani responden yaitu 90 tahun, sedangkan usia yang paling muda yaitu 28 tahun. Rata-rata umur responden 55,21 tahun. Tabel 10. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Aspek Usia Usia a) < 40 Tahun b) 40 – 50 Tahun c) 51 – 60 Tahun d) 61 – 70 Tahun e) > 70 Tahun Sumber: Data Primer (2012)
Jumlah Petani 3 27 26 16 6
Persentase (%) 3,8 34,6 33,4 20,5 7,7
Secara umum kondisi usia petani responden di Desa Ciburuy sudah tidak pada masa usia produktif. Hal ini berakibat mayoritas petani responden mempekerjakan buruh tani lainnya, sehingga akan mengakibatkan biaya tenaga kerja yang tinggi. Disisi lain, tingginya tingkat usia petani responden di Desa Ciburuy menunjukkan tingkat pengalaman yang tinggi juga, sehingga proses usahatani padi semiorganik dilakukan oleh petani yang sudah kompeten. 5.3.2. Tingkat Pendidikan Petani responden di Desa Ciburuy mayoritas sudah lulus Sekolah Dasar (SD) sebanyak 45 orang atau 57,7 persen. Petani yang tidak lulus SD sebanyak 15 orang atau 19,2 persen. Diantara petani responden terdapat dua orang petani yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Petani yang lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) berjumlah 12 orang atau 15,4 persen. Petani yang lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak enam orang atau 7,7 persen. Tabel 11. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan a) Tidak Lulus SD b) Lulus SD c) Lulus SMP d) Lulus SMA Sumber: Data Primer (2012)
Jumlah Petani 15 45 12 6
Persentase (%) 19,2 57,7 15,4 7,7
73
Tingkat pendidikan petani responden berpengaruh terhadap tingkat penyerapan ilmu dan teknologi baru, khususnya dalam pengelolaan padi semiorganik. Semakin lama tingkat pendidikan petani, maka semakin mudah petani dalam memahami dan mengerti pengelolaan padi semiorganik. 5.3.3. Pengalaman Bertani Dengan Sistem Semiorganik Pengalaman petani dalam menjalankan sistem padi semiorganik akan mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam budidaya padi semiorganik. Pada Tabel 12 menjelaskan bahwa mayoritas petani sudah berpengalaman dalam usahatani padi semiorganik selama enam sampai dengan sembilan tahun, sebanyak 53 orang atau 68 persen. Tabel 12. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Pengalaman Bertani Dengan Sistem Semiorganik Pengalaman Bertani a) 2 – 5 Tahun b) 6 – 9 Tahun c) > 9 Tahun Sumber: Data Primer (2012)
Jumlah Petani 21 53 4
Persentase (%) 27 68 5
Hal ini mengindikasikan bahwa sistem usahatani padi semiorganik sudah cukup lama dilakukan oleh para petani di Desa Ciburuy. Semakin lama pengalaman petani dalam usahatani padi semiorganik, maka pengetahuan petani dalam memahami usahatani padi semiorganik semakin tinggi. 5.3.4. Luas Lahan Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui luas areal rata-rata usahatani padi semiorganik ini secara keseluruhan adalah seluas 0,46 hektar. Mayoritas petani responden memiliki luasan areal usahatani padi semiorganik seluas 0,2 sampai dengan 0,4 hektar sebanyak 31 orang atau 52 persen. Luas lahan yang paling sempit yang diusahakan oleh responden yaitu 0,075 hektar, sedangkan luas lahan yang paling besar yang diusahakan oleh responden yaitu empat hektar. 74
Tabel 13. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Luas Lahan a) < 0.2 Ha b) 0.2 – 0.4 Ha c) 0.5 – 1 Ha d) > 1 Ha Sumber: Data Primer (2012)
Jumlah Petani 7 41 28 2
Persentase (%) 9 52,6 35,9 2,5
Hampir sebagian besar petani responden memiliki luas lahan yang sempit atau bisa dikatakan sebagai petani gurem. Hal tersebut dicirikan dengan kepemilikan luas lahan yang kurang dari 0,5 hektar. Hasil panen petani gurem biasanya dikonsumsi pribadi petani tersebut. 5.3.5. Sumber Modal Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa mayoritas petani responden mendapatkan modal dari koperasi Lisung Kiwari sebanyak 44 orang atau 56,4 persen. Kemudian sebanyak 33 orang atau 42,3 persen dari modal sendiri. Lalu sebanyak satu orang atau 1,3 persen mendapatkan modal dari pemilik lahan. Tabel 14. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Sumber Modal Sumber Modal a) Koperasi b) Pemilik c) Sendiri Sumber: Data Primer (2012)
Jumlah Petani 44 1 33
Persentase (%) 56,4 1,3 42,3
Desa Ciburuy memiliki sebuah koperasi yang bernama Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari. Mayoritas petani yang kesulitan modal meminjam dari koperasi ini. Salah satu syaratnya adalah menjadi anggota koperasi dan Gapoktan Silih Asih. Petani yang bermodalkan sendiri biasanya memiliki pekerjaan sampingan selain bertani, misal sebagai pedagang kebutuhan pokok sehari-hari. Untuk petani yang bermodal dari pemilik lahan, petani tersebut tergolong kedalam petani penggarap, dimana hal tersebut menjadi kesepakatan bersama.
75
5.3.6. Status Kepemilikan Lahan Berdasarkan Tabel 15 dapat diketahui bahwa mayoritas petani responden sebanyak 43 orang atau 55,2 persen adalah petani penggarap lahan. Petani pemilik sebanyak 15 orang atau 19,2 persen dan petani penyewa lahan sebanyak 20 orang atau 25,6 persen. Tabel 15. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Status Kepemilikan Lahan a) Pemilik b) Sewa c) Bagi Hasil Sumber: Data Primer (2012)
Jumlah Petani 15 20 43
Persentase (%) 19,2 25,6 55,2
Sistem bagi hasil yang diterapkan di Desa Ciburuy ada dua jenis, yaitu 50:50 dan 60:40. Sistem bagi hasil 50:50 maksudnya adalah pemilik dan penggarap mendapatkan masing-masing 50 persen dari hasil panen dan biaya input ditanggung oleh pemilik sebesar 50 persen dan penggarap menanggung biaya input sebesar 50 persen. Begitu juga dengan sistem bagi hasil 60:40. Untuk sistem petani sewa lahan, harga sewa lahan relatif berbeda-beda. Hal tersebut bisa disebabkan oleh tingkat kesuburan tanah yang berbeda, kontur tanah, dan akses jalan. Biasanya petani menyewa dalam jangka waktu tahunan. 5.3.7. Status Usahatani Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa mayoritas petani responden menjadikan usahatani padi semiorganik sebagai penghasilan utama, yaitu sebanyak 43 orang atau 55,2 persen. Sebanyak 35 orang atau 44,8 persen petani responden menjadikan usahatani padi semiorganik sebagai pekerjaan sampingan. Tabel 16. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Status Usahatani Status Usahatani a) Utama b) Sampingan Sumber: Data Primer (2012)
Jumlah Petani 43 35
Persentase (%) 55,2 44,8
76
Banyak petani responden yang menggantungkan kehidupannya dari bertani, khususnya bertani padi semiorganik. Hal tersebut terlihat dari petani responden yang menjadi bertani padi semiorganik sebagai penghasilan utama. Petani responden yang menjadikan usahatani padi semiorganik sebagai utama atau pun sampingan memiliki pekerjaan lain, misalnya memelihara domba, pedagang asongan, buruh bangunan, dan lain-lain. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari petani. 5.3.8. Varietas Benih yang Digunakan Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa varietas yang banyak digunakan oleh petani di lokasi penelitian adalah Inpari (Inhibrida Padi Irigasi), sebanyak 33 orang petani atau sekitar 42,3 persen. Inpari yang digunakan adalah Inpari 4, Inpari 9, Inpari 10, dan Inpari 13. Tabel 17. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Varietas yang Digunakan Varietas Benih yang Digunakan a) Ciherang b) Inpari c) IR 64 d) Pandan Wangi e) Lainnya Sumber: Data Primer (2012)
Jumlah Petani 18 33 14 10 3
Persentase (%) 23,1 42,3 18 12,8 3,8
Penggunaan varietas benih yang berbeda-beda akan mempengaruhi hasil panen, dikarenakan suatu lahan sawah tertentu hanya akan cocok dengan varietas benih tertentu saja. Sehingga penting diperhatikan penggunaan varietas yang tepat oleh petani untuk lahan tertentu di lokasi penelitian.
77
VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI PADI SEMIORGANIK BERDASARKAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN 6.1. Policy Analysis Matrix Pada Usahatani Padi Semiorganik Pada penelitian ini perhitungan daya saing padi semiorganik dibedakan berdasarkan status pengusaan lahan, yaitu petani penggarap, penyewa, dan pemilik lahan. Hal tersebut diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM). Matriks ini tersusun dari komponen penerimaan, input tradable, input nontradable, dan keuntungan yang dipisahkan dalam dua analisis, yaitu ekonomi dan finansial. Hasil perhitungan menggunakan PAM untuk usahatani padi semiorganik di Kecamatan Cigombong, Desa Ciburuy dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Policy Analysis Matrix Untuk Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy Tahun 2012 (Rp/Ha) Uraian
Penerimaan
A. Petani penggarap Privat 9.346.715,00 Sosial 11.830.359,42 Divergensi - 2.483.644,42 B. Petani penyewa Privat 17.015.540,35 Sosial 21.233.636,35 Divergensi - 4.218.096.01 C. Petani Pemilik Privat 16.084.295,24 Sosial 20.213.890,01 Divergensi - 4.129.594,77 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Biaya Input Tradable Faktor Domestik
Keuntungan
132.270,93 212.093,13 - 79.822,20
7.608.541,24 9.881.610,45 - 2.273.069,20
1.605.902,82 1.736.655,84 - 130.753,02
261.157,66 382.494,84 - 121.337,18
10.583.970,29 11.090.394,54 - 506.424,24
6.170.412,39 9.760.746,97 - 3.590.334,58
185.272,20 321.119,21 - 135.847,01
9.787.282,74 12.099.112,33 - 2.311.829,60
6.111.740,30 7.793.658,46 - 1.681.918,16
6.1.1. Analisis Keuntungan Finansial dan Ekonomi Berdasarkan perhitungan PAM pada Tabel 18 dapat diketahui bahwa petani dari setiap klasifikasi penguasaan lahan menguntungkan secara ekonomi maupun finansial. Hal tersebut dikarenakan nilai keuntungan yang dihasilkan bernilai
positif. Petani dari setiap klasifikasi penguasaan lahan mempunyai 78
keuntungan yang berbeda-beda baik itu dari sisi finansial maupun ekonomi. Dari sisi finansial dan ekonomi, hal tersebut dapat disebabkan adanya perbedaan jumlah dan harga output serta input yang didapatkan oleh setiap karakteristik petani. Besarnya keuntungan sosial yang didapatkan oleh setiap karakteristik petani dikarenakan penerimaan sosial yang lebih tinggi daripada biaya inputnya. Selain itu disebabkan harga sosial beras semiorganik yang menjadi acuan dalam penelitian ini bernilai cukup tinggi. Keuntungan privat dan sosial yang paling besar didapatkan oleh petani penyewa. Berdasarkan Tabel 18 dapat dilakukan perhitungan-perhitungan untuk menghitung daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy. Indikator daya saing dapat dilihat dari keunggulan kompetitif dan komparatif, sedangkan dampak kebijakan pemerintah dibedakan menjadi kebijakan input, kebijakan output, dan kebijakan input-output. 6.2. Indikator PAM Usahatani Padi Semiorganik Berdasarkan Klasifikasi Penguasaan Lahan 6.2.1. Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif suatu komoditas ditentukan oleh nilai keuntungan privat (KP) dan nilai Rasio Biaya Privat (PCR). Harga yang digunakan dalam analisis ini adalah harga pasar (harga aktual) yang terjadi di tingkat petani. Selain itu harga pasar sudah dipengaruhi oleh intervensi pemerintah. Pada Tabel 19 dapat dilihat nilai keuntungan privat (KP) dan Rasio Biaya Privat (PCR) usahatani padi semiorganik. Tabel 19. Nilai KP dan PCR Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam Indikator Penggarap KP 1.605.902,82 PCR 0,826 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Penyewa 6.170.412,39 0,632
Pemilik 6.111.740,30 0,616
79
Berdasarkan Tabel 19, nilai keuntungan privat (KP) untuk petani penggarap sebesar Rp 1.605.902,82 per hektar. Petani penyewa sebesar Rp 6.170.412,39 per hektar sedangkan untuk petani pemilik Rp 6.111.740,3 per hektar. Nilai keuntungan privat ketiga karaktersitik petani lebih besar dari nol atau bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa pengusahaan padi semiorganik pada setiap karakteristik petani layak secara finansial dan menguntungkan. Perbedaan nilai keuntungan privat (KP) pada setiap karakteristik dikarenakan pada petani penggarap output yang dihasilkan harus dibagi dengan pemilik lahan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, sedangkan pada petani penyewa dan pemilik lahan, jumlah output dan harga output yang didapatkan oleh petani berbeda-beda. Nilai keuntungan privat terbesar terdapat pada petani penyewa karena output yang dihasilkan lebih besar daripada karakteristik petani lainnya. Keunggulan kompetitif juga dapat dilihat dari nilai PCR, dimana nilai ini menggambarkan efisiensi finansial dari suatu sistem usahatani. PCR adalah rasio antara biaya input domestik dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dengan input tradable pada tingkat harga aktual. Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa nilai PCR petani penggarap sebesar 0,826. Petani penyewa sebesar 0,632 dan petani pemilik sebesar 0,616. Nilai PCR dari setiap karakteristik petani yang kurang dari satu mengindikasikan usahatani padi semiorganik sudah efisien dan usahatani padi dengan sistem semiorganik dapat membayar biaya sumberdaya domestik (nontradable) pada harga privat. Hal ini berarti usahatani padi semiorganik yang dijalankan oleh setiap petani penggarap, penyewa, dan pemilik memiliki keunggulan kompetitif.
80
Semakin kecil nilai PCR suatu komoditas maka akan semakin besar keunggulan kompetitif yang dimilikinya. Nilai PCR dari setiap karakteristik petani berbeda-beda. Nilai PCR pada petani pemilik lebih kecil dibandingkan nilai PCR pada petani penyewa dan penggarap. Nilai PCR petani pemilik sebesar 0,616 memiliki arti bahwa untuk meningkatkan nilai output padi semiorganik (setelah dikurangi biaya input tradable privat) sebesar 100 persen, usahatani tersebut membutuhkan biaya faktor domestik sebesar 61,6 persen. Hal tersebut sama halnya dengan petani penggarap dan penyewa untuk meningkatkan nilai output padi semiorganik (setelah dikurangi biaya input tradable privat) sebesar 100 persen, usahatani tersebut membutuhkan biaya faktor domestik sebesar 82,6 persen dan 63,2 persen. Perbedaan nilai PCR antara tiap karakteristik petani padi semiorganik dapat disebabkan karena beberapa hal, seperti perbedaan antara harga dan jumlah output yang diterima dan didapatkan oleh setiap petani. Seperti pada petani penggarap harga rata-rata penjualan padi semiorganik sebesar Rp 2.800 per kilogram, dan output yang didapatkan petani penggarap hanya sebesar 3.338,11 kilogram per hektar. Jumlah panen yang cukup kecil disebabkan hasil output yang dihasilkan petani penggarap harus dibagi dengan pemilik lahan sesuai dengan perjanjian. Untuk petani penyewa harga yang diterima sebesar Rp 2.840 per kilogram dan output yang dihasilkan sebesar 5.991,29 kilogram per hektar, sedangkan untuk petani pemilik harga yang diterima sebesar Rp 2.820 per kilogram dan output yang dihasilkan sebesar 5.703,65 kilogram per hektar. Perbedaan harga yang diterima oleh setiap karakteristik petani semiorganik disebabkan kualitas padi dari hasil panen yang dihasilkan. 81
Jika nilai PCR usahatani padi semiorganik pada penelitian ini dibandingkan dengan nilai PCR pada usahatani padi konvensional pada penelitian Erviani (2011), menunjukkan bahwa ketiga karakteristik usahatani padi semiorganik memiliki keunggulan kompetitif yang lebih besar. Hal tersebut disebabkan hasil penelitian Erviani (2011) menunjukkan nilai PCR sebesar 0,84. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan ketiga karakteristik petani yang mengusahakan padi semiorganik. Sehingga secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa usahatani padi semiorganik lebih efisien secara finansial dibandingkan dengan usahatani padi konvensional. 6.2.2. Keunggulan Komparatif Keunggulan komparatif usahatani padi semiorganik ditentukan oleh nilai Keuntungan Sosial (KS) dan nilai Rasio Sumberdaya Domestik (DRC). Keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing suatu komoditas dengan asumsi perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi sama sekali (intervensi kebijakan dari pemerintah). Nilai Keuntungan Sosial (KS) dan Rasio Sumberdaya Domestik (DRC) dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai KS dan DRC Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam Indikator Penggarap KS 1.736.655,84 DRC 0,851 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Penyewa 9.760.746,97 0,532
Pemilik 7.793.658,46 0,608
Berdasarkan Tabel 20 dapat dilihat bahwa ketiga karakteristik petani padi semiorganik memiliki nilai keuntungan sosial yang positif atau lebih besar dari nol. Hal ini terlihat dari nilai keuntungan sosial petani penggarap sebesar Rp 1.736.655,84 per hektar, kemudian petani penyewa dan pemilik lahan sebesar Rp 9.760.746,97 dan Rp 7.793.658,46 per hektar. Keuntungan sosial yang positif 82
mengindikasikan bahwa pengusahaan padi semiorganik yang dilakukan oleh setiap karakterisktik petani dapat menghasilkan keuntungan dengan kondisi tanpa campur tangan kebijakan dari pemerintah. Nilai KS yang berbeda disebabkan oleh penerimaan sosial yang berbeda. Harga bayangan output setiap karakteristik petani tidak berpengaruh karena harga bayangan yang didapatkan sama yaitu sebesar Rp 3.544,03 per kilogram. Walaupun total produksi sosial dari setiap karakteristik petani padi semiorganik terlihat besar, hal tersebut tidak mempengaruhi keuntungan sosialnya karena dapat ditutupi oleh jumlah penerimaan sosialnya. Berdasarkan hasil analisis, Keuntungan Sosial (KS) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai Keuntungan Privat (KP). Hal tersebut dapat disebabkan penerimaan sosial yang lebih besar karena harga sosial beras organik yang menjadi acuan pada penelitian ini cukup tinggi. Selain nilai KS, keunggulan komparatif suatu komoditas juga dapat dilihat dari nilai Rasio Sumberdaya Domestik (DRC). Nilai DRC menggambarkan efisiensi ekonomi atau efisiensi dalam penggunaan sumberdaya ketika tidak adanya distorsi kebijakan dari pemerintah. Berdasarkan Tabel 20 dapat diketahui nilai DRC untuk petani penggarap sebesar 0,851. Petani penyewa sebesar 0,532 sedangkan untuk petani pemilik sebesar 0,608. Nilai DRC setiap karakteristik petani yang kurang dari satu menunjukkan bahwa usahatani padi semiorganik yang dilakukan oleh setiap karakteristik petani, efisien dan mempunyai keunggulan komparatif serta mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Pemenuhan kebutuhan domestik akan padi yang dihasilkan menggunakan sistem semiorganik lebih baik diproduksi di dalam negeri daripada mengimpor 83
dari negara lain. Nilai DRC petani penggarap padi semiorganik sebesar 0,851 menjelaskan bahwa untuk meningkatkan nilai output padi semiorganik (setelah dikurangi biaya input tradable sosial) sebesar 100 persen, diperlukan biaya korbanan sumberdaya domestik sebesar 85,1 persen. Untuk petani penyewa nilai DRC sebesar 0,532 menjelaskan bahwa untuk meningkatkan nilai output padi semiorganik (setelah dikurangi biaya input tradable sosial) sebesar 100 persen, diperlukan biaya korbanan sumberdaya domestik sebesar 53,2 persen. Untuk petani pemilik nilai DRC sebesar 0,608 menjelaskan bahwa untuk meningkatkan nilai output padi semiorganik (setelah dikurangi biaya input tradable sosial) sebesar 100 persen, diperlukan biaya korbanan sumberdaya domestik sebesar 60,8 persen. Semakin kecil nilai DRC, maka usahatani akan semakin efisien dalam penggunaan sumberdaya dan dapat dikatakan efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif. Nilai DRC petani penyewa lebih kecil dibandingkan dengan petani penggarap dan pemilik lahan. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik petani pada usahatani padi semiorganik yang mempunyai efisiensi ekonomi lebih baik adalah petani penyewa, dikarenakan penggunaan faktor domestik yang lebih efisien dibandingkan dengan karakteristik petani lainnya. Nilai DRC pada petani penyewa dan pemilik yang lebih rendah dari nilai PCR-nya dapat menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah yang ada belum mampu meningkatkan efisiensi dalam memproduksi padi semiorganik. Hal tersebut tidak sama pada petani penggarap, bahwa nilai PCR petani penggarap lebih kecil dibandingkan dengan nilai DRC-nya.
84
Jika nilai DRC usahatani padi semiorganik pada penelitian ini dibandingkan dengan nilai DRC pada usahatani padi konvensional pada penelitian Erviani (2011), menunjukkan hanya petani penyewa dan pemilik yang memiliki keunggulan komparatif yang lebih besar. Hal tersebut disebabkan hasil penelitian Erviani (2011) menunjukkan nilai DRC sebesar 0,76. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan usahatani padi semiorganik yang dijalankan oleh petani penyewa dan pemilik yang memiliki nilai DRC sebesar 0,532 dan 0,608, artinya bahwa usahatani padi semiorganik yang dijalankan petani penyewa dan pemilik lebih efisien secara ekonomi dibandingkan dengan usahatani padi konvensional. 6.3. Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usahatani Padi Semiorganik 6.3.1. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Kebijakan pemerintah dalam aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif maupun negatif bagi para pelaku ekonomi. Hal tersebut terkait dengan petani mengusahakan usahatani padi semiorganik ini. Kebijakan pemerintah dapat berupa subsidi dan pajak. Indikator dampak kebijakan terhadap output dapat dilihat menggunakan nilai transfer output (TO) dan Koefisien Proteksi Nominal pada Output (NPCO). Terdapat nilai dari masing-masing indikator dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Nilai TO dan NPCO Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam Indikator Penggarap TO - 2.483.644,42 NPCO 0,790 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Penyewa - 4.218.096,01 0,801
Pemilik - 4.129.594,77 0,796
Berdasarkan Tabel 21 dapat diketahui nilai TO petani padi semiorganik bernilai negatif pada setiap karakteristik. Petani penggarap bernilai negatif Rp 2.483.644,42 per hektar. Petani penyewa bernilai negatif Rp 4.218.096,01 per 85
hektar, sedangkan untuk petani pemilik bernilai negatif Rp 4.129.594,77 per hektar. Ketiga nilai TO yang negatif menunjukkan bahwa harga privat output padi semiorganik lebih rendah dibandingkan dengan harga sosialnya. Hal ini berarti tidak adanya kebijakan pemerintah mengenai proteksi khusus terhadap padi yang dihasilkan menggunakan sistem organik. Kondisi tersebut menimbulkan terjadinya transfer intensif dari produsen ke konsumen, dimana masyarakat atau konsumen membeli harga yang lebih murah dari harga yang seharusnya dibayarkan dan produsen menerima harga yang lebih kecil dari harga yang seharusnya diterima. Kerugian terbesar diterima oleh petani penyewa. Pengalihan surplus dari produsen kepada konsumen mencapai Rp 4.218.096,01 per hektar. Hal tersebut terjadi karena harga privat memiliki selisih sebesar Rp 704,03 lebih rendah dari harga sosialnya dan jumlah output yang besar. Selisih tersebut mengakibatkan penerimaan petani penyewa pada usahatani padi semiorganik berkurang sebesar Rp 704,03 per kilogram. Berdasarkan Tabel 21, nilai NPCO dari ketiga karakteristik petani padi semiorganik bernilai kurang dari satu. Petani penggarap bernilai 0,790. Petani penyewa dan pemilik lahan bernilai 0,801 dan 0,796. Nilai tersebut didapatkan dari rasio penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Nilai NPCO yang kurang dari satu diakibatkan penerimaan pada harga privat lebih kecil daripada ketika penerimaan tanpa proteksi (harga sosial). Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak (atau belum) adanya kebijakan khusus mengenai padi semiorganik atau khususnya padi yang dihasilkan dengan sistem organik yang dibuat oleh pemerintah. 86
Pada lokasi penelitian tidak terdapat kebijakan output yang diberlakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah mengenai padi semiorganik. Hal ini dikarenakan menanam padi dengan menggunakan sistem padi organik belum banyak dilakukan. Hal tersebut dikarenakan petani harus mengambil resiko produksi menurun diawal-awal tahun pemanenan ketika peralihan dari konvensional menuju organik. Rendahnya harga padi semiorganik di lokasi penelitian dikarenakan kualitas padi semiorganik yang dihasilkan masih kurang bagus. Terlepas itu perbedaan harga privat dengan harga sosial adalah kendala padi pure organic, sehingga beras yang dihasilkan oleh penggilingan padi semiorganik tidak dapat menjual harga yang lebih tinggi kepada konsumen. 6.3.2. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Kebijakan pemerintah tidak hanya berlaku untuk harga output namun berlaku pula untuk harga input. Bentuk kebijakan pemerintah terhadap input seperti subsidi dan pajak diterapkan dengan harapan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam negeri. Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk melihat intervensi pemerintah dalam input produksi adalah nilai Transfer Input (TI), Koesfisien Proteksi Nominal pada Input (NPCI), dan Transfer Faktor (TF). Nilai-nilai TI, NPCI, dan TF dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Nilai TI, NPCI, dan TF Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam Indikator Penggarap TI - 79.822,20 NPCI 0,624 TF - 2.273.069,20 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Penyewa - 121.337,18 0,683 - 506.424,24
Pemilik - 135.847,01 0,577 - 2.311.829,60
Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui nilai TI dari setiap karakteristik petani padi semiorganik bernilai negatif. Petani penggarap nilai TI sebesar negatif 87
Rp 79.822,20 per hektar. Petani penyewa nilai TI sebesar negatif Rp 121.337,18 per hektar, sedangkan untuk petani pemilik nilai TI sebesar negatif Rp 135.847,01 per hektar. Nilai TI merupakan selisih antara biaya input tradable pada harga privat dengan biaya input tradable pada harga sosial. Nilai TI ketiga karakteristik petani padi semiorganik bernilai negatif menunjukkan bahwa terdapat kebijakan subsidi terhadap input produksi tradable, yaitu terhadap pupuk anorganik (pupuk urea, TSP, NPK Phonska, dan KCL) dalam pengusahaan padi semiorganik di lokasi penelitian. Hal tersebut sangat menguntungkan bagi ketiga karakteristik petani padi semiorganik karena terdapat kebijakan yang menguntungkan seperti subsidi atas biaya input tradable sehingga menyebabkan petani membayar input yang lebih rendah dari harga sebenarnya. Berdasarkan Tabel 22 dapat diketahui nilai TI ketiga karakteristik petani padi semiorganik, ternyata petani pemilik lahan relatif lebih besar menerima subsidi dibandingkan dengan petani penggarap dan penyewa lahan. Besarnya nilai subsidi petani pemilik sebesar Rp 135.847,01 per hektar. Petani penyewa sebesar Rp 121.337,18 per hektar sedangkan petani penggarap sebesar Rp 79.822,20 per hektar. Besarnya nilai subsidi yang didapatkan oleh petani pemilik dan penyewa lahan disebabkan penggunaan jumlah input ditanggung oleh petani itu sendiri. Hal tersebut berbeda dengan petani penggarap, karena jumlah input yang digunakan petani penggarap dibantu oleh pemilik lahan sesuai dengan perjanjian terlebih dahulu. Indikator lain yang mendukung adanya subsidi pemerintah adalah Koefisien Proteksi Output Input Nominal (NPCI). NPCI merupakan rasio antara biaya input tradable berdasarkan harga privat dengan harga sosial. Nilai NPCI 88
menunjukkan seberapa besar insentif yang diberikan pemerintah terhadap input ptoduksi tradable. Berdasarkan Tabel 22, nilai NPCI dari ketiga karakateristik petani padi semiorganik bernilai kurang dari satu. Petani penggarap bernilai 0,624. Petani penyewa bernilai 0,683, sedangkan untuk petani pemilik lahan bernilai 0,577. Hal ini menunjukkan terdapat kebijakan subsidi terhadap input petani yang menyebabkan harga finansial input lebih rendah dibandingkan dengan harga bayangannya (harga sosialnya). Selain menggunakan input tradable, para petani padi semiorganik juga menggunakan input nontradable (faktor domestik). Contoh faktor domestik yang digunakan petani pada usahatani padisemiorganik adalah benih, tenaga kerja, pupuk organik, peralatan pertanian, lahan, dan input domestik lainnya. Transfer Faktor (TF) merupakan selisih antara biaya input nontradable pada harga privat dengan harga sosialnya. Berdasarkan Tabel 22, dapat diketahui bahwa nilai TF setiap karakteristik petani padi semiorganik bernilai negatif. Petani penggarap memiliki nilai TF sebesar negatif Rp 2.273.069,2 per hektar. Petani penyewa dan pemilik lahan nilai TF sebesar negatif Rp 506.424,24 dan negatif Rp 2.311.829,6 per hektar. Ketiga nilai TF yang bernilai negatif menunjukkan harga input nontradable pada harga privat lebih kecil dibandingkan dengan input nontradable pada harga sosial. Nilai TF yang bernilai negatif disebabkan adanya komponen faktor domestik yaitu harga bayangan lahan dan harga bayangan benih lebih besar dibandingkan dengan harga privatnya. Harga bayangan lahan pada petani pemilik menggunakan harga rata-rata sewa lahan pada lokasi penelitian, yaitu Rp 1.893.384,74 per hektar per musim tanam. Petani penggarap dan penyewa 89
lahan harga bayangan lahan didekati dengan social opportunity cost lahan tersebut, dengan mengacu terhadap penelitian Sari (2011), yaitu sebesar Rp 2.038.025,08 per hektar. 6.3.3. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input-Output Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dilihat berdasarkan indikator-indikator seperti nilai Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (TB), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Hasil perhitungan indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output usahatani padi semiorganik dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Nilai EPC, TB, PC, dan SRP Usahatani Padi Semiorganik Per Hektar Per Musim Tanam Indikator Penggarap EPC 0,793 TB - 130.753,02 PC 0,9247 SRP - 0,011 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Penyewa 0,804 - 3.590.334,58 0,6322 - 0,169
Pemilik 0,799 - 1.681.918,16 0,7842 - 0,083
Koefisien Proteksi Efektif (EPC) merupakan rasio antara nilai tambah pada harga privat dengan nilai tambah harga sosial. EPC merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi suatu komoditas di dalam negeri. Nilai ini menggambarkan bagaimana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat proses produksi domestik. Nilai EPC untuk petani penggarap sebesar 0,793. Petani penyewa dan pemilik lahan memiliki nilai EPC sebesar 0,804 dan 0,799. Nilai EPC untuk ketiga karakteristik petani padi semiorganik yang kurang dari satu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output tidak berjalan secara efektif. Pada kebijakan output, pemerintah belum menetapkan kebijakan secara khusus tentang padi yang dihasilkan menggunakan sistem organik, sehingga harga privat padi semiorganik 90
masih jauh dibawah harga sosialnya. Untuk kebijakan terhadap input, khususnya input tradable pemerintah sudah menetapkan subsidi terhadap pupuk anorganik. Subsidi tersebut tidak terlalu dirasakan oleh petani dikarenakan pada lokasi penelitian harga pupuk anorganik masih diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk tersebut. Transfer Bersih (TB) adalah selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Nilai TB menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan petani, apakah merugikan atau menguntungkan petani sebagai produsen. Beradasarkan Tabel 23, nilai TB ketiga karakteristik petani bernilai negatif menunjukkan bahwa surplus produsen berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan pemerintah terhadap input dan tidak adanya kebijakan pemerintah terhadap output yang berlaku menyebabkan hilangnya
keuntungan petani penggarap sebesar
Rp 130.753,02 per hektar per musim tanam. Untuk petani penyewa hilangnya keuntungan sebesar Rp 3.590.334,58 per hektar per musim tanam, sedangkan untuk petani pemilik hilangnya keuntungan sebesar Rp 1.681.918,16 per hektar per musim tanam. Koefisien Keuntungan (PC) merupakan indikator dampak adanya kebijakan pemerintah terhadap keuntungan yang diterima petani . PC merupakan rasio antara keuntungan bersih privat dengan keuntungan bersih sosial. Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa PC petani penggarap sebesar 0,9247. Untuk petani penyewa dan pemilik sebesar 0,6322 dan 0,7842. Nilai PC dari ketiga karakteristik petani padi semiorganik menunjukkan keuntungan privat yang diterima petani padi semiorganik lebih kecil dibandingkan keuntungan sosialnya. 91
Untuk petani penggarap lahan nilai keuntungan privatnya lebih kecil daripada keuntungan sosialnya sebesar 92,47 persen. Hal tersebut juga dirasakan oleh petani penyewa dan pemilik lahan dimana keuntungan privatnya lebih kecil sebesar 63,22 persen dan 78,42 persen daripada keuntungan sosialnya. Indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap input output selanjutnya adalah Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP). Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui bahwa nilai SRP yang diperoleh ketiga karakteristik petani padi semiorganik adalah negatif, yakni untuk petani penggarap lahan sebesar -0,011 lalu untuk petani penyewa dan pemilik lahan sebesar -0,169 dan -0,083. Nilai SRP ini berarti bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini menyebabkan petani penggarap mengeluarkan biaya produksi lebih besar 1,1 persen dari biaya opportunity cost. Begitu juga dengan petani penyewa dan pemilik yang mengeluarkan biaya produksi lebih besar 16,9 persen dan 8,3 persen dari biaya opportunity cost. Secara keseluruhan kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini belum menguntungkan bagi pengembangan usahatani padi semiorganik. Hal tersebut karena adanya kebijakan subsidi input, yaitu subsidi pupuk anorganik, tidak disertai dengan kebijakan output, dimana belum adanya proteksi atau sejenisnya untuk mengurangi beras semiorganik impor dan kebijakan harga jual padi semiorganik di lokasi penelitian.
92
VII. DAMPAK PERUBAHAN VARIABEL PENERIMAAN DAN BIAYA TERHADAP KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI PADI SEMIORGANIK Perubahan-perubahan yang terjadi dalam pengusahaan padi semiorganik dan kebijakan pemerintah sedikit banyak akan berpengaruh terhadap usahatani tersebut. Keterbatasan Policy Analysis Matrix (PAM) yaitu analisis yang dilakukan bersifat statis (hanya berlaku pada musim bersangkutan). Untuk menutupi keterbatasan tersebut maka dilakukanlah analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui daya saing ketiga karaktersitik petani padi semiorganik apabila terjadi perubahan-perubahan pada variabel biaya maupun variabel penerimaan. Hasil analisis terdapat pada Lampiran 4, 5, dan 6. 7.1. Dampak Adanya Penurunan Jumlah Output di Desa Ciburuy Analisis sensitivitas adanya dampak penurunan jumlah output (hasil panen) diasumsikan usahatani padi semiorganik terkena hama dan atau adanya faktor cuaca yang mengakibatkan hasil panen menurun. Hasil perhitungan sensitivitas menunjukkan bahwa respon petani penggarap lahan, petani penyewa lahan, dan petani pemilik lahan terhadap penurunan jumlah output masing-masing sebesar 17 persen, 35 persen, dan 37 persen. Nilai tersebut didapatkan dari hasil perhitungan nilai PCR yang mendekati nilai satu. Besarnya perubahan KS, DRC, KP, dan PCR dapat dilihat pada tabel 24. Tabel 24. Besarnya Perubahan KS, DRC, KP, dan PCR Akibat Adanya Penurunan Jumlah Output (Rp/Ha) Indikator Keuntungan Sosial (KS) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) Keuntungan Privat (KP) Rasio Biaya Privat (PCR) Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Penggarap - 2.011.161,1 0,18 - 1.588.941,55 0,17
Penyewa -7.431.772,72 0,29 - 5.955.439,12 0,35
Pemilik -7.479.139,3 0,37 - 5.951.189,24 0,37
93
Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat bahwa apabila terjadi penurunan jumlah output pada setiap indikator dan karakteristik petani padi semiorganik, Keuntungan Sosial (KS) dan keunggulan komparatif (DRC) dari ketiga kerakteristik petani menunjukkan pengurangan dan peningkatan nilai. Besarnya perubahan pada petani penggarap, nilai KS menurun sebesar Rp 2.011.161,1 per hektar dan nilai DRC meningkat sebesar 0,18 dari nilai sebelumnya. Akibat adanya penurunan jumlah output, petani penggarap mendapatkan kerugian sebesar Rp 274.505,26 per hektar, dan untuk nilai DRC meningkat menjadi 1,029. Hal tersebut mengakibatkan petani penggarap menjadi tidak efisien secara ekonomi dalam menjalankan usahatani padi semiorganik ketika terjadi penurunan jumlah output sebesar 17 persen. Nilai Keuntungan Privat (KP) dan keunggulan kompetitif (PCR) pada petani penggarap menunjukkan pengurangan dan peningkatan. Besarnya perubahan
nilai
KP
pada
petani
penggarap
yaitu
menurun
sebesar
Rp 1.588.941,55 per hektar dan nilai PCR meningkat sebesar 0,17 dari nilai sebelumnya. Akibat adanya penurunan jumlah output, petani penggarap mendapatkan keuntungan hanya sebesar Rp 16.961,27 per hektar, dan untuk nilai PCR meningkat menjadi 0,998, sehingga ketika terjadi penurunan jumlah output sebesar 17 persen, petani penggarap masih memiliki keuntungan secara finansial dan usahatani yang dijalankan masih tergolong efisien. Besarnya perubahan pada petani penyewa, nilai KS menurun sebesar Rp 7.431.772,72 per hektar dan nilai DRC meningkat sebesar 0,29 dari nilai sebelumnya. Akibat adanya penurunan jumlah output, petani penyewa mendapatkan keuntungan sebesar Rp 2.328.974,25 per hektar, dan untuk nilai 94
DRC menjadi 0,826, sehingga ketika terjadi penurunan jumlah output sebesar 35 persen, petani penyewa masih memiliki keuntungan sosial dan usahatani yang dijalankan masih efisien secara ekonomi. Nilai Keuntungan Privat (KP) dan keunggulan kompetitif (PCR) pada petani penyewa lahan menunjukkan pengurangan dan peningkatan dari nilai sebelumnya. Besarnya perubahan nilai KP pada petani penyewa yaitu menurun sebesar Rp 5.955.439,12 per hektar dan nilai PCR meningkat sebesar 0,35 dari nilai sebelumnya. Akibat adanya penurunan jumlah output sebesar 35 persen, petani penyewa mendapatkan keuntungan sebesar Rp 214.973,27 per hektar dan untuk nilai PCR meningkat menjadi 0,980, sehingga ketika terjadi penurunan jumlah output sebesar 35 persen, petani penyewa masih memiliki keuntungan privat dan usahatani yang dijalankan masih efisien secara finansial. Besarnya perubahan pada petani pemilik lahan, nilai KS menurun sebesar Rp 7.479.139,3 per hektar dan nilai DRC meningkat sebesar 0,37 dari nilai sebelumnya.
Akibat
adanya
penurunan
jumlah output,
petani
pemilik
mendapatkan keuntungan hanya sebesar Rp 314.519,16 per hektar dan nilai DRC menjadi 0,975, sehingga ketika terjadi penurunan jumlah output sebesar 37 persen, petani pemilik lahan masih memiliki keuntungan sosial dan usahatani yang dijalankan masih efisien secara ekonomi. Nilai Keuntungan Privat (KP) dan keunggulan kompetitif (PCR) pada petani pemilik lahan menunjukkan pengurangan dan peningkatan dari nilai sebelumnya. Besarnya perubahan nilai KP pada petani pemilik lahan yaitu menurun sebesar Rp 5.951.189,24 per hektar dan nilai PCR meningkat sebesar 0,37 dari nilai sebelumnya. Akibat adanya penurunan jumlah output, petani pemilik mendapatkan keuntungan hanya sebesar 95
Rp 160.551,06 per hektar, dan untuk nilai PCR meningkat menjadi 0,984, sehingga ketika terjadi penurunan jumlah output sebesar 37 persen, petani pemilik lahan masih memiliki keuntungan privat dan usahatani yang dijalankan masih efisien secara finansial. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas penurunan jumlah output, menunjukkan hasil yang beragam dari ketiga karakteristik petani padi semiorganik. Hasil tersebut dapat dilihat bahwa setiap petani menunjukkan kepekaan yang berbeda dari jumlah persentase penurunan jumlah output. Untuk petani penggarap hanya sebesar 17 persen, menunjukkan kepekaan yang paling tinggi, sedangkan kepekaan yang paling rendah berada pada petani pemilik lahan, ketika penurunan jumlah output sebesar 37 persen. 7.2. Dampak Adanya Kenaikan Harga Pupuk Anorganik di Desa Ciburuy Analisis sensitivitas adanya dampak kenaikan harga pupuk anorganik yang disebabkan kebijakan pemerintah serta harga ketika pada kondisi aktual yang diterima oleh petani responden, dengan asumsi faktor lain dianggap ceteris paribus. Peningkatan perubahan harga pada pupuk urea yaitu sebesar 12,5 persen dan untuk harga pupuk anorganik lainnya (TSP, NPK, KCL) sebesar 90 persen. Besarnya perubahan KS, DRC, KP, dan PCR dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Besarnya Perubahan KS, DRC, KP, dan PCR Akibat Adanya Kenaikan Harga Pupuk Anorganik (Rp/Ha) Indikator Keuntungan Sosial (KS) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) Keuntungan Privat (KP) Rasio Biaya Privat (PCR) Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Penggarap -278.834,82 0,03
Penyewa -561.588,14 0,03
Pemilik -366.797,63 0,02
Berdasarkan Tabel 25, dapat dilihat bahwa dampak kenaikan harga pupuk tidak terdapat besarnya perubahan pada kondisi sosial. Hal tersebut disebabkan 96
harga sosial pupuk mengacu pada harga pupuk di pasar internasional, sehingga tidak termasuk kedalam analisis sensitivitas kenaikan harga pupuk pada kondisi aktual. Pada Tabel 25 dapat dilihat bahwa besarnya perubahan Keuntungan Privat (KP) dan keunggulan kompetitif (PCR) pada ketiga karaktersitik petani padi semiorganik bernilai negatif dan positif. Besarnya perubahan pada petani penggarap, nilai KP menurun sebesar Rp 278.834,82 per hektar dan besarnya perubahan pada PCR meningkat sebesar 0,03 dari nilai sebelumnya. Akibat ketika adanya kenaikan harga pupuk pada kondisi
aktual,
petani
penggarap
memiliki
keuntungan
privat
sebesar
Rp 1.327.068 per hektar dan nilai PCR menjadi 0,855, sehingga ketika terjadi kenaikan harga pupuk anorganik sesuai dengan asumsi analisis sensitivitas diatas, petani penggarap masih memiliki keuntungan privat dan usahatani yang dijalankan masih efisien secara finansial. Besarnya perubahan pada petani penyewa, nilai KP menurun sebesar Rp 561.588,14 per hektar dan besarnya perubahan pada PCR meningkat sebesar 0,03 dari nilai sebelumnya. Akibat ketika adanya kenaikan harga pupuk anorganik pada kondisi aktual petani penyewa memiliki keuntungan privat sebesar Rp 5.608.824,25 per hektar dan nilai PCR menjadi 0,662, sehingga ketika terjadi kenaikan harga pupuk sesuai dengan asumsi analisis sensitivitas diatas, petani penyewa masih memiliki keuntungan privat dan usahatani yang dijalankan masih efisien secara finansial. Besarnya perubahan pada petani pemilik lahan, nilai KP menurun sebesar Rp 366.797,63 per hektar dan besarnya perubahan pada PCR meningkat sebesar 0,02 dari nilai sebelumnya. Akibat ketika adanya kenaikan harga pupuk pada 97
kondisi aktual petani pemilik masih memiliki keuntungan privat sebesar Rp 5.744.942,67 per hektar dan untuk nilai PCR menjadi 0,636, sehingga ketika terjadi kenaikan harga pupuk sesuai dengan asumsi analisis sensitivitas diatas, petani pemilik masih memiliki keuntungan privat dan usahatani yang dijalankan masih efisien secara finansial. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas dampak adanya pengaruh kenaikan harga pupuk terhadap keuntungan privat dan keunggulan kompetitif pada petani padi semiorganik menunjukkan hasil yang tidak terlalu sensitif. Hal tersebut disebabkan ketika kenaikan harga pupuk anorganik non urea diasumsikan meningkat sampai 90 persen, tidak menunjukkan perubahan yang terlalu besar jika dilihat dari selang perubahan PCR hanya sekitar 0,02 sampai dengan 0,03. Untuk mencegah terjadinya kenaikan harga pupuk anorganik di tingkat petani diperlukan bantuan pemerintah seperti subsidi pupuk yang telah dilakukan, namun pada kondisi lapang masih ditemukannya harga pupuk yang lebih tinggi dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditentukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, perlu adanya alternatif kebijakan untuk mengatasinya seperti pengalihan subsidi dari subsidi gas untuk proses produksi pupuk menjadi subsidi distribusi atau transportasi ke petani yang dapat menekan biaya transportasi (Mantau, 2009). 7.3. Dampak Adanya Penurunan Harga Jual Output Padi Semiorganik Analisis sensitivitas adanya dampak penurunan harga jual output. Hal tersebut dilakukan karena pada kondisi aktual harga jual padi semiorganik sering mengalami fluktuasi harga. Fluktuasi tersebut bisa disebabkan karena kualitas padi yang dihasilkan petani dan adanya musim panen raya yang menyebabkan padi semiorganik hasil petani responden harus bersaing dengan daerah lain. Hasil 98
perhitungan sensitivitas menunjukkan bahwa respon petani penggarap lahan, petani penyewa lahan, dan petani pemilik lahan terhadap penurunan jumlah output masing-masing sebesar 17 persen, 35,5 persen, dan 37,5 persen. Nilai tersebut didapatkan dari hasil perhitungan nilai PCR yang mendekati nilai satu. Besarnya perubahan KS, DRC, KP, dan PCR dapat dilihat pada tabel 26. Tabel 26. Besarnya Perubahan KS, DRC, KP, dan PCR Akibat Adanya Penurunan Harga Jual Output Padi Semiorganik (Rp/Ha) Indikator Keuntungan Sosial (KS) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) Keuntungan Privat (KP) Rasio Biaya Privat (PCR) Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Penggarap - 1.588.941,55 0,17
Penyewa - 6.040.516,82 0,36
Pemilik - 6.031.610,71 0,38
Berdasarkan Tabel 26 dapat dilihat bahwa besarnya nilai perubahan tidak terjadi pada kondisi sosial. Hal tersebut dikarenakan pada kondisi sosial harga yang digunakan mengacu kepada harga beras di pasar internasional, sedangkan pada analisis sensitivitas ini menggunakan perubahan harga aktual yang terjadi di lokasi penelitian. Pada tabel dapat dilihat bahwa besarnya perubahan Keuntungan Privat (KP) dan keunggulan kompetitif (PCR) pada ketiga karaktersitik petani padi semiorganik bernilai negatif dan positif. Besarnya perubahan pada petani penggarap, nilai KP menurun sebesar Rp 1.588.941,55 per hektar dan besarnya perubahan pada PCR meningkat sebesar 0,17 dari nilai sebelum adanya analisis sensitivitas. Akibatnya ketika terjadi penurunan harga jual output petani penggarap memperoleh keuntungan sebesar Rp 16.961,27 per hektar dan nilai PCR menjadi 0,998, sehingga ketika terjadi kondisi penurunan harga jual output sebesar 17 persen, petani penggarap masih memiliki keuntungan privat dan usahatani yang dijalankan masih efisien secara finansial. 99
Besarnya perubahan pada petani penyewa, nilai KP menurun sebesar Rp 6.040.516,82 per hektar dan besarnya perubahan pada PCR meningkat sebesar 0,36 dari nilai sebelum adanya analisis sensitivitas. Akibatnya ketika terjadi penurunan harga jual output petani penyewa memperoleh keuntungan privat sebesar Rp 129.895,57 per hektar dan nilai PCR menjadi 0,988, sehingga ketika terjadi kondisi penurunan harga jual sebesar 35,5 persen, petani penyewa masih memiliki keuntungan privat dan usahatani yang dijalankan masih efisien secara finansial. Besarnya perubahan pada petani pemilik, nilai KP menurun sebesar Rp 6.031.610,71 per hektar dan besarnya perubahan pada PCR meningkat sebesar 0,38 dari nilai sebelum adanya analisis sensitivitas. Akibatnya ketika terjadi penurunan harga jual output petani pemilik memperoleh keuntungan privat sebesar Rp 80.129,58 per hektar dan untuk nilai PCR menjadi 0,992, sehingga ketika terjadi kondisi penurunan harga jual, petani pemilik masih memiliki keuntungan privat dan usahatani yang dijalankan masih efisien secara finansial. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas ketika terjadi penurunan harga jual output. Menunjukkan hasil yang beragam dari ketiga karakteristik petani padi semiorganik. Hasil tersebut dapat dilihat bahwa setiap petani menunjukkan kepekaan yang berbeda-beda dari jumlah persentase penurunan harga jual output. Petani penggarap hanya sebesar 17 persen, menunjukkan kepekaan yang paling tinggi, sedangkan kepekaan yang paling rendah berada pada petani pemilik, ketika penurunan harga jual output sebesar 37,5 persen. Untuk mencegah terjadinya penurunan harga jual di tingkat petani padi semiorganik, diperlukan upaya dari pelaku usahatani (petani) dan pemerintah 100
setempat. Upaya yang harus dilakukan oleh petani adalah dengan menjaga kualitas
padi
yang
dihasilkan.
Hal
tersebut
dapat
dilakukan
dengan
memperhatikan komposisi input dengan seimbang serta memperhatikan musim tertentu penanaman padi. Untuk pemerintah setempat dapat melakukan upaya pembelian harga yang tinggi untuk hasil padi yang dibuat dengan sistem semiorganik, dengan cara membuat kelembagaan pertanian di tingkat desa. 7.4. Dampak Adanya Analisis Sensitivitas Gabungan Analisis sensitivitas yang terakhir adalah analisis sensitivitas gabungan. Analisis sensitivitas ini merupakan gabungan dari ketiga asumsi analisis sensitivitas sebelumnya. Analisis sensitivitas gabungan dilakukan jika terjadi kondisi yang buruk terjadi pada usahatani padi semiorganik. Kondisi buruk yang terjadi seperti adanya penurunan jumlah output karena hama dan cuaca, kenaikan pupuk yang dilakukan oleh pemerintah dan mekanisme pasar, dan penurunan harga jual output karena musim panen raya. Besarnya perubahan KS, DRC, KP, dan PCR dapat dilihat pada tabel 27. Tabel 27. Besarnya Perubahan KS, DRC, KP, dan PCR Akibat Adanya Analisis Sensitivitas Gabungan (Rp/Ha) Indikator Keuntungan Sosial (KS) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) Keuntungan Privat (KP) Rasio Biaya Privat (PCR) Sumber : Data Primer, diolah (2012)
Penggarap - 2.011.161,1 0,18 - 3.186.597,86 0,43
Penyewa - 7.431.772,72 0,29 - 10.443.363,19 1,01
Pemilik - 7.479.139,3 0,37 - 10.117.901,62 1,05
Berdasarkan Tabel 27 dapat dilihat bahwa Keuntungan Sosial (KS), keunggulan komparatif (DRC), Keuntungan Privat (KP), dan keunggulan kompetitif (PCR) dari ketiga karakteristik petani menunjukkan pengurangan dan peningkatan nilai. Besarnya perubahan pada petani penggarap, nilai KS menurun sebesar Rp 2.011.161,1 per hektar dan nilai DRC meningkat sebesar 0,18 dari 101
nilai sebelumnya. Akibatnya ketika terjadi kondisi yang buruk petani penggarap mengalami kerugian sebesar Rp 274.505,26 per hektar pada kondisi sosial. Untuk nilai DRC meningkat menjadi 1,029 sehingga petani penggarap sudah tidak efisien secara ekonomi dalam menjalankan usahatani padi semiorganik ketika kondisi buruk terjadi. Besarnya perubahan pada petani penggarap, nilai KP menurun sebesar Rp 3.186.597,86 per hektar dan untuk perubahan nilai PCR meningkat sebesar 0,43 dari nilai sebelumnya. Akibatnya ketika terjadi kondisi yang buruk petani penggarap mengalami kerugian sebesar Rp 1.580.695,04 per hektar pada kondisi aktual. Untuk nilai PCR meningkat menjadi 1,254 sehingga petani penggarap sudah tidak efisien secara finansial dalam menjalankan usahatani padi semiorganik ketika kondisi buruk terjadi. Besarnya perubahan pada petani penyewa, nilai KS menurun sebesar Rp 7.431.772,72 per hektar dan untuk perubahan nilai DRC meningkat sebesar 0,29 dari nilai sebelumnya. Akibatnya ketika terjadi kondisi yang buruk petani penyewa mendapatkan keuntungan sebesar Rp 2.328.974,25 per hektar pada kondisi sosial dan nilai DRC meningkat menjadi 0,826 sehingga usahatani yang dilakukan petani penyewa masih efisien secara sosial dan dapat melakukan kegiatan usahatani padi semiorganik ketika kondisi buruk terjadi. Besarnya perubahan pada keuntungan privat (KP) menurun sebesar Rp 10.443.363,19 per hektar dan untuk perubahan nilai PCR meningkat sebesar 1,01 dari nilai sebelumnya. Akibatnya ketika terjadi kondisi yang buruk, petani penyewa mendapatkan kerugian secara privat sebesar Rp 4.272.950,8 per hektar dan nilai PCR meningkat menjadi 1,637 sehingga ketika terjadi kondisi yang buruk, 102
usahatani yang dilakukan petani penyewa sudah tidak efisien secara finansial dan kegiatan usahatani padi semiorganik yang dilakukan sudah tidak menguntungkan. Besarnya perubahan pada petani pemilik, nilai KS menurun sebesar Rp 7.479.139,3 per hektar dan untuk perubahan nilai DRC meningkat sebesar 0,37 dari nilai sebelumnya. Akibatnya ketika terjadi kondisi yang buruk petani pemilik mendapatkan keuntungan sebesar Rp 314.519,16 per hektar pada kondisi sosial dan nilai DRC meningkat menjadi 0,975 sehingga usahatani yang dilakukan petani pemilik masih efisien secara sosial dan kegiatan usahatani padi semiorganik masih dapat dilakukan ketika kondisi buruk terjadi. Besarnya perubahan pada keuntungan privat (KP) menurun sebesar Rp 10.117.901,62 per hektar dan untuk perubahan nilai PCR meningkat sebesar 1,05 dari nilai sebelumnya. Akibatnya ketika terjadi kondisi yang buruk, petani pemilik mendapatkan kerugian secara finansial sebesar Rp 4.006.161,32 per hektar dan nilai PCR meningkat menjadi 1,663 sehingga ketika terjadi kondisi buruk, usahatani yang dilakukan petani pemilik sudah tidak efisien secara finansial dan kegiatan usahatani padi semiorganik pada kondisi aktual mengalami kerugian. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas gabungan dapat disimpulkan ketika kondisi buruk terjadi, petani yang tidak memiliki keuntungan secara ekonomi dan keunggulan komparatif hanya petani penggarap. Untuk petani lainnya memiliki keuntungan sosial dan keunggulan komparatif. Selain itu untuk keuntungan secara finansial dan keunggulan kompetitif, semua karakteristik petani responden mengalami kerugian pada kondisi privat dan tidak mempunyai indikator keunggulan kompetitif ketika menjalankan usahatani padi semiorganik.
103
VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan Berdasarkan
pembahasan
terhadap
hasil
penelitian,
maka
dapat
disimpulkan sebagai berikut: 1. Usahatani padi semiorganik yang dilakukan oleh ketiga karakteristik petani di Desa Ciburuy menguntungkan secara ekonomi dan finansial. Hal tersebut dapat dilihat dari keuntungan privat dan sosial yang positif. Usahatani yang dijalankan oleh ketiga karakteristik petani padi semiorganik memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Hal tersebut dapat dilihat dari indikator DRC dan PCR yang lebih kecil dari satu. Petani penggarap lahan memiliki nilai 0,851 dan 0,826. Petani penyewa lahan memiliki nilai 0,532 dan 0,632. Petani pemilik lahan memiliki nilai 0,608 dan 0,616. Petani yang memiliki keunggulan komparatif yang lebih besar diperoleh petani penyewa lahan dengan nilai DRC sebesar 0,532, sedangkan petani yang memiliki keunggulan kompetitif lebih besar diperoleh petani pemilik lahan dengan nilai PCR sebesar 0,616. 2. Berdasarkan analisis sensitivitas yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang beragam dari ketiga karakteristik petani. Hasil tersebut dapat dilihat dari setiap petani yang menunjukkan kepekaan yang berbeda-beda dari tiap indikator analisis sensitivitas. Indikator yang paling sensitif terjadi pada penurunan harga jual output dan penurunan jumlah output. Untuk penurunan harga jual output dan penurunan jumlah output, petani yang paling sensitif terjadi pada petani penggarap ketika terjadi penurunan sebesar 17 persen, sedangkan untuk petani yang kurang sensitif terjadi pada petani pemilik lahan ketika penurunan 104
sebesar 37,5 persen dan 37 persen. Indikator yang tidak terlalu sensitif terjadi ketika adanya kenaikan harga pupuk anorganik. Hal tersebut disebabkan penggunaan pupuk anorganik tidak terlalu besar pada sistem pertanian semiorganik. Nilai DRC dan PCR yang menjadi indikator keunggulan komparatif dan kompetitif pada ketiga karakteristik petani menunjukkan peningkatan dari nilai sebelum adanya analisis sensitivitas. Hal tersebut terlihat dari nilai DRC dan PCR yang mendekati nilai satu, sehingga terjadi inefisiensi pada kondisi sosial maupun privat. 8.2. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti memiliki beberapa saran yang dapat diajukan untuk meningkatkan pengembangan usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy yaitu: 1. Guna meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani padi di Desa Ciburuy sebaiknya petani menerapkan sistem usahatani semiorganik, karena padi semiorganik yang dihasilkan memiliki keuntungan yang positif serta memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif. 2. Guna meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani padi semiorganik di Desa Ciburuy, sebaiknya petani meningkatkan produksi padi semiorganik.
Hal
tersebut
dikarenakan
peningkatan
produksi
akan
berpengaruh terhadap meningkatnya keuntungan privat dan sosial, yang mengakibatkan nilai PCR dan DRC semakin mendekati nol. 3. Guna meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk organik, pemerintah diharapkan dapat membantu petani dalam masalah proses sertifikasi dikarenakan biaya untuk sertifikasi terbilang mahal, khususnya 105
petani kecil dan bersifat menggarap lahan orang lain. Selain itu pemerintah daerah dapat membantu secara langsung seperti perbaikan sistem irigasi yang mulai rusak, pendampingan melalui penyuluh pertanian, serta memasarkan beras semiorganik yang dihasilkan.
106
DAFTAR PUSTAKA Astriana F. 2011. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Jambu Biji (Studi Kasus: Kecamatan Tanah Sereal, Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk Indonesia Menurut Provinsi Tahun 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2010. Produksi (Ton) Padi di Jawa Barat Tahun 2004-2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator Utama SosialEkonomi Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Biocert.2006.http://www.biocert.or.id/files/edition_e5243b6e478c711f62e0d5a66 4805f55ba0b3e6f.pdf diakses pada tanggal 10 April 2013. Damardjati D S. 2005. “Kebijakan Operasional Pemerintah Dalam Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. Dalam: Proseding Menghantarkan Indonesia Menjadi Produsen Organik Terkemuka. Daryanto A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor. Data Monografi Desa Ciburuy. 2011. Desa Ciburuy Berdasarkan Angka. Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Dewanata O P. 2011. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Jeruk Siam di Kabupaten Garut. Skripsi. Departemenn Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dewi J K. 2011. Strategi Pengembangan Unit Usaha Beras SAE (Sehat Aman Enak) Gapoktan Silih Asih Desa Ciburuy Kecamatan Cigombong Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemenn Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Djojosumarto P. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Djuarnani N. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agro Media Pustaka. Jakarta. Ekha I. 1988. Dilema Pestisida Tragedi Revolusi Hijau. Kanisius. Yogyakarta. Erviani A E. 2011. Dampak Konversi Lahan Sawah terhadap Keunggulan Kompetitif Usahatani Beras di Kabupaten Karawang (Studi Kasus: Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur). Skripsi. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. FEM IPB, Bogor. 107
Gittinger J. Price. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. UI-Press. Jakarta. Gultom L. 2011. Analisis Pendapatan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Usahatani Padi Sehat (Studi Kasus: Gapoktan Silih Asih di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Bogor). Skripsi. Departemenn Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Halwani H. 2002. Ekonomi Internasional dan Liberalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Depok. Indriyati S. 2007. Analisis Daya Saing Buah Nenas Model Tumpang Sari Dengan Karet, Kasus Desa Sungai Medang, Kecamatan Cambai, Prabu Mulih dan di Desa Payaraman, Kecamatan Tanjung Batu Provinsi Sumatera Selatan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kardinan A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Depok Las I, Subagyono K, Setiyanto A P. 2006. Isu dan Pengelolaan Lingkungan dalam Revitalisasi Pertanian. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. vol. 25. no. 3. Lindert P, Kindleberger C. 1995. Ekonomi Internasional. Erlangga. Jakarta. Mantau Z. 2009. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi Sulawesi Utara. Tesis Magister Sains. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mastuti I D. 2011. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usaha Pembenihan Ikan Patin Siam (Studi Kasus: Perusahaan Deddy Fish Farm). Skripsi. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Monke E. A, Pearson S. R. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. New York Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Muhamad. 2008. Metodologi Penelitian Ekonomi Islam: Pendekatan Kuantitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Pearson S, Gotsch C, Bahri S. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix Pada Pertanian Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 108
Riyanto R. 2005. “Pertanian Organik Menuju Ketahanan dan Keamanan Pangan Masa Depan”. Dalam: Proseding Menghantarkan Indonesia Menjadi Produsen Organik Terkemuka. Rohman R E. 2008. Analisis Daya Saing Beras Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru (Oryza sativa) kasus Desa Bunikasih Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Ke-5. Prentice Hall. Erlangga. Jakarta Saragih S E. 2008. Pertanian Organik Solusi Hidup Harmoni dan Berkelanjutan. Penebar Swadaya. Depok Sari I N. 2011. Analisis Ekonomi Usahatani Padi Semiorganik dan Anorganik Pada Petani Penggarap. Skripsi. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Septiyorini N. 2009. Analisis Daya Saing Beras Pandan Wangi di Kabupaten Cianjur (Kasus Desa Bunikasih, Bunisari, dan Tegallega Kecamatan Warungkondang Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemenn Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siahaan L. 2009. Strategi Pengembangan Padi Organik Kelompok Tani Sisandi, Desa Baruara, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Simanjuntak S B. 1992. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sinaga B M. 2011. Pendekatan Kuantitatif dalam Peneleitian Perdagangan: Konsep, Model, dan Metode. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sinaga I M. 2010. Analisis Sikap, Persepsi Konsumen dan Rentang Harga Pada Beras Organik SAE (Sehat Aman Enak) Pada Gapoktan Silih Asih Desa Ciburuy Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siregar H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Edisi Ke-1. Sastra Hudaya. Jakarta 109
Soekartawi, Dillon J L, Hardaker J B, Soeharjo A. 1985. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Perkembangan Petani Kecil. UI-Press. Jakarta. Sulaeman A. 2007. Prospek Pasar dan Kiat Pemasaran Produk Pangan Organik. disampaikan pada Simposium ‘Produk Pertanian Organik di Indonesia dari Produsen Hingga Pemasaran’. ISSAAS Indonesia, Bogor 4 Desember 2007. Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta. Sutanto R. 2002. Pertanian Organik. Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta. Winangun Y W. 2005. Membangun Karakter Petani Organik Sukses Dalam Era Globalisasi. Kanisius (Anggota IKAPI). Yogyakarta. Yuliarti N. 2009. 1001 Cara Menghasilkan Pupuk Organik. Lily Publisher. Yogyakarta.
110
LAMPIRAN
111
Lampiran 1. Alokasi Komponen Biaya Input-Output Usahatani Padi Semiorganik dalam Komponen Domestik dan Asing (persen) Finansial Ekonomi Uraian Domestik Asing Pajak Domestik Asing A. Penerimaan Output Output Padi * 98,9 0 1,1 100 0 B. Pengeluaran Input 1. Pupuk Anorganik** - Urea 71 28,8 0,2 71 29 - TSP 71 28,8 0,2 71 29 - NPK 71 28,8 0,2 71 29 - KCL 71 28,8 0,2 71 29 2. Benih 100 0 0 100 0 3. Pupuk Organik - Kompos / Jerami 100 0 0 100 0 - Pupuk Kandang 100 0 0 100 0 4. Pestisida Nabati 100 0 0 100 0 5. Pajak (PBB)* 98,5 0 1,5 100 0 6. Sewa Lahan* 98 0 2 100 0 7. Traktor* 98,3 0 1,7 100 0 8. Kerbau 100 0 0 100 0 9. Biaya lainnya 100 0 0 100 0 10. Peralatan Pertanian* 96,8 0 3,2 100 0 11. Tenaga Kerja* 98,3 0 1,7 100 0 Sumber : Tabel Input-Output (2005) * Tabel Input Output (BPS) dalam Erviani (2011) ** Tabel Input Output (BPS) dalam Rohman (2008)
112
Lampiran 2. Perhitungan Harga Bayangan Output Usahatani Padi Semiorganik No Keterangan Rice of China 1 Organic Parboiled Rice, China (US$/Ton) 800 2 Freight and Insurance (US$/Ton) 80 3 Harga CIF Indonesia (US$/Ton) 880 4 Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) 8.540,62 5 Harga CIF dalam mata uang domestik (Rp/Ton) 7.515.746,415 6 Harga CIF (Rp/Kg) 7.515,75 7 Handling, penyimpanan, dan susut 5% 8 Transportasi (Rp/Kg) 100 9 Pemasaran (Rp/Kg) 12 10 Nilai sebelum proses (Rp/Kg) 8.003,53 11 Faktor konversi, Gabah Kering Panen (GKP) ke Beras 46,03% 12 Harga paritas impor di pedagang besar (Rp/Kg) 3.684,03 13 Distribusi ke tingkat petani (Rp/Kg) 140 14 Harga paritas impor di tingkat petani (Rp/kg) 3.544,03 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
113
Lampiran 3. Perhitungan Harga Bayangan Pupuk Anorganik Pada Usahatani Padi Semiorganik No Keterangan Urea TSP 1 2 3 4 5 6 7
FOB (US$/Ton) Freight and Insurance (US$/Ton) Harga CIF Indonesia (US$/Ton) Nilai Tukar Bayangan (Rp/US$) Harga CIF dalam mata uang domestik (Rp/Ton) Harga CIF (Rp/Kg) Transportasi dan Handling Eksportir (Rp/Kg) a. Pelabuhan - Provinsi (Rp/Kg) b. Penanganan (Bongkar Muat) (Rp/Kg) 8 Harga Paritas Impor tingkat Pedagang Besar (Rp/Kg) 9 Biaya distribusi ke Tingkat Petani (Rp/Kg) a. Provinsi - Kabupaten (Rp/Kg) b. Kabupaten - Desa (Rp/Kg) c. Penyalur/KUD (Rp/Kg) d. Pengecer/KUD (Rp/Kg) 10 Harga Paritas Impor tingkat Petani (Rp/Kg) Sumber : Data Primer, diolah (2012)
NPK
KCL
421 63,15 484,15 8.540,62 4.134.941,6 4.134,94
538,03 80,7045 618,7345 8540,62 5.284.376,8 5.284,38
350 35 385 8.540,62 3.288.139,1 3.288,14
435,3 65,295 500,595 8.540,62 4.275.392,1 4.275,39
70 19 4.045,94
70 19 5.195,38
70 19 3.199,14
70 19 4.186,39
81,25 81,25 80 60 3.743,44
65,75 65,75 100 40 4.923,88
116,4 131,4 100 40 2.811,34
60,275 60,275 80 60 3.925,84
114 114
Lampiran 4. Indikator Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah dan Variabel Lainnya Pada Petani Penggarap Lahan Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy Penurunan Analisis Penurunan Kenaikan Harga No Indikator Nilai Awal Harga Jual Sensitivitas Jumlah Output Pupuk Output Gabungan 1 Keuntungan Sosial (SP) (Rp/Ha) 1.736.655,84 - 274.505,26 1.736.655,84 1.736.655,84 - 274.505,26 2 Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,851 1,029 0,851 0,851 1,029 3 Keuntungan Privat (PP) (Rp/Ha) 1.605.902,82 16.961,27 1.327.068 16.961,27 - 1.580.695,04 4 Rasio Biaya Privat (PCR) 0,826 0,998 0,855 0,998 1,254 5 Transfer Input (TI) - 79.822,20 - 79.822,2 482,23 - 79.822,2 482,23 Nominal Protection Coefficient on 6 0,624 0,624 1,002 0,624 1,002 Input (NPCI) 7 Transfer Faktor (TF) (Rp/Ha) - 2.273.069,20 - 2.273.069,2 - 2.074.538,81 - 2.273.069,2 - 2.074.538,81 8 Transfer Output (TO) (Rp/Ha) - 2.483.644,42 - 2.061.424,87 - 2.483.644,42 - 4.072.585,97 - 3.380.246,36 Nominal Protection Coefficient on 9 0,790 0,790 0,790 0,656 0,656 Output (NPCO) Effective Protectection Coefficient 10 0,793 0,794 0,786 0,656 0,648 (EPC) 11 Transfer Bersih (NT) - 130.753,02 291.466,54 - 409.587,84 - 1.719.694,57 - 1.306.189,77 12 Koefisien Keuntungan (PC) 0,9247 - 0,0618 0,7642 0,0098 5,7583 Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen 13 - 0,011 0,030 - 0,035 - 0,145 - 0,133 (SRP) Sumber : Data Primer, diolah (2012)
115 115
Lampiran 5. Indikator Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah dan Variabel Lainnya Pada Petani Penyewa Lahan Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy Penurunan Analisis Penurunan Kenaikan Harga No Indikator Nilai Awal Harga Jual Sensitivitas Jumlah Output Pupuk Output Gabungan 1 Keuntungan Sosial (SP) (Rp/Ha) 9.760.746,97 2.328.974,25 9.760.746,97 9.760.746,97 2.328.974,25 2 Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0,532 0,826 0,532 0,532 0,826 3 Keuntungan Privat (PP) (Rp/Ha) 6.170.412,39 214.973,27 5.608.824,25 129.895,57 - 4.272.950,8 4 Rasio Biaya Privat (PCR) 0,632 0,980 0,662 0,988 1,637 5 Transfer Input (TI) - 121.337,18 - 121.337,18 40.400,2 - 121.337,18 40.400,2 Nominal Protection Coefficient on 6 0,683 0,683 1,106 0,683 1,106 Input (NPCI) 7 Transfer Faktor (TF) (Rp/Ha) - 506.424,24 - 506.424,24 - 106.573,49 - 506.424,24 - 106.573,49 8 Transfer Output (TO) (Rp/Ha) - 4.218.096,01 - 2.741.762,4 - 4.218.096,01 - 10.258.612,83 - 6.668.098,34 Nominal Protection Coefficient on 9 0,801 0,801 0,801 0,517 0,517 Output (NPCO) Effective Protectection Coefficient 10 0,804 0,805 0,796 0,514 0,500 (EPC) 11 Transfer Bersih (NT) - 3.590.334,58 - 2.114.000,98 - 4.151.922,72 - 9.630.851,41 - 6.601.925,05 12 Koefisien Keuntungan (PC) 0,6322 0,0923 0,5746 0,0133 - 1,8347 Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen 13 - 0,169 - 0,153 - 0,196 - 0,454 - 0,478 (SRP) Sumber : Data Primer, diolah (2012)
116 116
Lampiran 6. Indikator Dampak Perubahan Kebijakan Pemerintah dan Variabel Lainnya Pada Petani Pemilik Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy No
Indikator
1
Keuntungan Sosial (SP) (Rp/Ha) Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) Keuntungan Privat (PP) (Rp/Ha) Rasio Biaya Privat (PCR) Transfer Input (TI) Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI) Transfer Faktor (TF) (Rp/Ha) Transfer Output (TO) (Rp/Ha) Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO) Effective Protectection Coefficient (EPC) Transfer Bersih (NT) Koefisien Keuntungan (PC) Nilai Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nilai Awal
Penurunan Jumlah Output
Kenaikan Harga Pupuk
Penurunan Harga Jual Output
7.793.658,46
314.519,16
7.793.658,46
7.793.658,46
Analisis Sensitivitas Gabungan 314.519,16
0,608
0,975
0,608
0,608
0,975
6.111.740,30 0,616 - 135.847,01
160.551,06 0,984 - 135.847,01
5.744.942,67 0,636 - 30.209,29
80.129,58 0,992 - 135.847,01
- 4.006.161,32 1,663 - 30.209,29
0,577
0,577
0,906
0,577
0,906
- 2.311.829,60 - 4.129.594,77
- 2.311.829,6 - 2.601.644,71
- 2.050.669,68 - 4.129.594,77
- 2.311.829,6 - 10.161.205,48
- 2.050.669,68 - 6.401.559,46
0,796
0,796
0,796
0,497
0,497
0,799
0,801
0,794
0,496
0,487
- 1.681.918,16 0,7842
- 153.968,1 0,5105
- 2.048.715,8 0,7371
- 7.713.528,88 0,0103
- 4.320.680,48 - 12,7374
- 0,083
- 0,012
- 1,01
- 0,382
- 0,339
Sumber : Data Primer, diolah (2012)
117 117
Lampiran 7. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Pada Petani Penggarap Usahatani Padi semiorganik di Desa Ciburuy Finansial Ekonomi No Uraian Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total A Penerimaan Output 9.243.901,13 - 102.813,86 9.346.715 11.830.359,42 - 11.830.359,42 1 Output Padi B Input Produksi 1 Pupuk Urea 123.230,2 49.986,33 347,13 173.563,66 221.113,78 90.314,08 311.427,86 TSP 90.230,13 36.600,39 254,17 127.084,69 178.307,17 72.829,69 251.136,86 NPK 70.024,26 28.404,21 197,25 98.625,72 64.094,58 26.179,48 90.274,06 KCL 42.600 17.280 120 60.000 55.746,96 22.769,88 78.516,84 161.012,17 161.012,17 203.796,94 203.796,94 2 Benih 3 Pupuk Organik Pupuk 962.901,12 962.901,12 962.901,12 962.901,12 Kompos/Jerami Pupuk Kandang 699.180,48 699.180,48 699.180,48 699.180,48 4 Obat-obatan Pestisida Nabati 46.626,67 46.626,67 46.626,67 46.626,67 5 Biaya Lainnya Biaya Pengairan 34.338,24 34.338,24 34.338,24 34.338,24 Biaya Pinjaman 35.985,19 35.985,19 35.985,19 35.985,19 Pajak (PBB) Biaya sewa lahan 2.038.025,08 - 2.038.025,08 786.890,89 Biaya Traktor 773.513,75 13.377,15 786.890,89 786.890,89 118
118
Biaya Kerbau 503.221,38 Biaya Panen 947.092,38 Biaya Peralatan 1. Cangkul 7.706,97 2. Parang 4.689,42 3. Arit 5.179,25 4. Sorong 5.808 5. Garok 5.808 Tenaga Kerja Pengolahan Lahan 1.185.563,3 Persemaian 243.849,62 Penanaman 648.355,35 Penyiangan 1 427.448,86 Penyiangan 2 227.315,82 Pemupukan 194.605,81 Penyemprotan 94.733,89 7.541.020,28 Total Pengeluaran Sumber : Data Primer, diolah (2012)
0 0
0 0
503.221,38 947.092,38
503.221,38 947.092,38
0 0
503.221,38 947.092,38
0 0 0 0 0
254,78 155,02 171,21 192 192
7.961,75 4.844,44 5.350,47 6.000 6.000
7.961,75 4.844,44 5.350,47 6.000 6.000
0 0 0 0 0
7.961,75 4.844,44 5.350,47 6.000 6.000
0 0 0 0 0 0 0 132.270,93
20.503,13 4.217,13 11.212,66 7.392,3 3.931,2 3.365,51 1.638,33 67.520,97
1.206.066,43 248.066,75 659.568,01 434.841,16 231.247,02 197.971,33 96.372,22 7.740.812,18
1.206.066,43 248.066,75 659.568,01 434.841,16 231.247,02 197.971,33 96.372,22 9.881.610,45
0 1.206.066,43 0 248.066,75 0 659.568,01 0 434.841,16 0 231.247,02 0 197.971,33 0 96.372,22 212.093,13 10.093.703,58
119 119
Lampiran 8. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Pada Petani Penyewa Usahatani Padisemiorganik di Desa Ciburuy Finansial Ekonomi No Uraian Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total A Penerimaan Output 1 Output Padi 16.828.369,40 0 187.170,94 17.015.540,35 21.233.636,35 0 21.233.636,35 B Input Produksi 1 Pupuk Urea 233.181,92 94.586,47 656,85 328.425,23 435.305,90 177.801 613.106,91 TSP 127.395,05 51.675,74 358,86 179.429,65 231.752,79 94.659,59 326.412,38 NPK 222.562,29 90.278,79 626,94 313.468,01 187.709,42 76.670,04 264.379,46 KCL 60.686,92 24.616,67 170,95 85.474,54 81.684,78 33.364,21 115.048,98 2 Benih 286.291,80 0 0 286.291,80 357.262,59 0 357.262,59 3 Pupuk Organik Pupuk Kompos/Jerami 872.407,02 0 0 872.407,02 872.407,02 0 872.407,02 Pupuk Kandang 907.693,82 0 0 907.693,82 907.693,82 0 907.693,82 4 Obat-obatan Pestisida Nabati 85.416,67 0 0 85.416,67 85.416,67 0 85.416,67 5 Biaya Lainnya Biaya Pengairan 30.789,47 0 30.789,47 30.789,47 0 30.789,47 Biaya Pinjaman 73.076,92 0 73.076,92 73.076,92 0 73.076,92 Pajak (PBB) 0 0 Biaya sewa lahan 1.855.517,05 0 37.867,69 1.893.384,74 2.038.025,08 0 2.038.025,08 687.716,45 Biaya Traktor 676.025,27 0 11.691,18 687.716,45 687.716,45 0 120 120
Biaya Kerbau 483.829,90 0 483.829,90 483.829,90 0 483.829,90 Biaya Panen 1.722.523,89 0 - 1.722.523,89 1.722.523,89 0 1.722.523,89 Biaya Peralatan 1. Cangkul 9.093,82 0 300,62 9.394,44 9.394,44 0 9.394,44 2. Parang 6.132,79 0 202,74 6.335,53 6.335,53 0 6.335,53 3. Arit 7.798,20 0 257,79 8.055,99 8.055,99 0 8.055,99 4. Sorong 5.808 0 192 6.000 6.000 0 6.000 5. Garok 5.808 0 192 6.000 6.000 0 6.000 Tenaga Kerja Pengolahan Lahan 1.080.335,49 0 18.683,32 1.099.018,81 1.099.018,81 0 1.099.018,81 Persemaian 198.103,73 0 3.426,01 201.529,73 201.529,73 201.529,73 Penanaman 599.980,45 0 10.376,06 610.356,51 610.356,51 610.356,51 Penyiangan 1 361.536,61 0 6.252,41 367.789,02 367.789,02 367.789,02 Penyiangan 2 226.180,31 0 3.911,56 230.091,87 230.091,87 230.091,87 Pemupukan 206.872,49 0 3.577,65 210.450,14 210.450,14 210.450,14 Penyemprotan 137.794,76 0 2.383,02 140.177,78 140.177,78 140.177,78 10.482.842,64 261.157,66 101.127,66 10.845.127,96 11.090.394,54 382.494,84 11.472.889,38 Total Pengeluaran Sumber : Data Primer, diolah (2012)
121 121
Lampiran 9. Rincian Penerimaan, Biaya Finansial dan Ekonomi dalam Komponen Domestik dan Asing Pada Petani Pemilik Usahatani Padisemiorganik di Desa Ciburuy Finansial Ekonomi No Uraian Domestik Asing Pajak Total Domestik Asing Total A Penerimaan Output 1 Output Padi 15.907.367,99 0 176.927,25 16.084.295,24 20.213.890,01 0 20.213.890,01 B Input Produksi 1 Pupuk Urea 194.382,43 78.848,09 547,56 273.778,07 352.776 144.091,60 496.867,60 TSP 144.045,77 58.429,83 405,76 202.881,37 282.762,91 115.494,71 398.257,62 NPK KCL 118.319,25 47.994,29 333,29 166.646,83 150.649,52 61.532,90 212.182,42 2 Benih 351.671,06 0 0 351.671,06 441.961,55 0 441.961,55 3 Pupuk Organik Pupuk Kompos/Jerami 871.173,81 0 0 871.173,81 871.173,81 0 871.173,81 Pupuk Kandang 1.361.428,57 0 0 1.361.428,57 1.361.428,57 0 1.361.428,57 4 Obat-obatan Pestisida Nabati 204.285,71 0 0 204.285,71 204.285,71 0 204.285,71 5 Biaya Lainnya Biaya Pengairan 42.100 0 42.100 42.100 0 42.100 Biaya Pinjaman 55.000 0 55.000 55.000 0 55.000 Pajak (PBB) 342.522,02 0 5.216,07 347.738,10 347.738,10 0 347.738,10 Biaya sewa lahan 0 - 1.893.384,74 0 1.893.384,74 666.071,43 Biaya Traktor 654.748,21 0 11.323,21 666.071,43 666.071,43 0 122 122
Biaya Kerbau 565.625 0 Biaya Panen 1.692.083,07 0 Biaya Peralatan 1. Cangkul 8.922,43 0 2. Parang 6.694,56 0 3. Arit 5.880,13 0 4. Sorong 5.808 0 5. Garok 5.808 0 Tenaga Kerja Pengolahan Lahan 1.259.386,65 0 Persemaian 217.723,92 0 Penanaman 539.731,88 0 Penyiangan 1 387.366,05 0 Penyiangan 2 294.609,67 0 Pemupukan 234.374,12 0 Penyemprotan 151.328,17 0 9.715.018,50 185.272,20 Total Pengeluaran Sumber : Data Primer, diolah (2012)
-
565.625 1.692.083,07
565.625 1.692.083,07
0 0
565.625 1.692.083,07
294,96 221,31 194,38 192 192
9.217,39 6.915,87 6.074,52 6.000 6.000
9.217,39 6.915,87 6.074,52 6.000 6.000
0 0 0 0 0
9.217,39 6.915,87 6.074,52 6.000 6.000
21.779,83 3.765,32 9.334,12 6.699,11 5.094,98 4.053,27 2.617,07 72.264.24
1.281.166,48 1.281.166,48 0 1.281.166,48 221.489,23 221.489,23 0 221.489,23 549.066,01 549.066,01 0 549.066,01 394.065,16 394.065,16 0 394.065,16 299.704,65 299.704,65 0 299.704,65 238.427,38 238.427,38 0 238.427,38 153.945,24 153.945,24 0 153.945,24 9.972.554,94 12.099.112,33 321.119,21 12.420.231,55
123
123
Lampiran 10. Rata-rata Penggunaan Input Petani Penggarap Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy Per Hektar Per Musim Tanam Nilai No Uraian Jumlah Satuan Harga (Rp) (Rp/Ha) 1 Benih 23,31 Kg 6.906,98 161.012,17 2 Pupuk Anorganik Urea 83,19 Kg 2.086,28 173.563,66 TSP 51 Kg 2.491,67 127.084,69 NPK 32,11 Kg 3.071,43 98.625,72 KCL 20 Kg 3.000 60.000 3 Pupuk Organik Pupuk 6.229,63 Kg 154,57 962.901,12 Kompos/Jerami Pupuk Kandang 699,18 Kg 1.000 699.180,48 4 Pestisida Nabati 1,79 Liter 26.000 46.626,67 5 Biaya Lainnya Pengairan 1 MT 34.338,24 34.338,24 Pinjaman 1 MT 35.985,19 35.985,19 Pajak (PBB) MT Sewa Lahan MT Traktor 5,25 hari 150.000 786.890,89 Kerbau 7,10 hari 70.909,09 503.221,38 Panen 3.338,11 Kg 283,72 947.092,38 6 Peralatan Pertanian Cangkul 1,47 Unit 5.434,21 7.961,75 Parang 1,20 Unit 4.037,04 4.844,44 Arit 1,25 Unit 4.280,37 5.350,47 Sorong 1 Unit 6.000 6.000 Gorok 1 Unit 6.000 6.000 7 Tenaga Kerja* Pengolahan Lahan 45,89 HOK 26.283,33 1.206.066,43 Persemaian 9,44 HOK 26.283,33 248.066,75 Penanaman 25,09 HOK 26.283,33 659.568,01 Penyiangan 1 16,54 HOK 26.283,33 434.841,16 Penyiangan 2 8,80 HOK 26.283,33 231.247,02 Pemupukan 7,53 HOK 26.283,33 197.971,33 Penyemprotan 3,67 HOK 26.283,33 96.372,22 Sumber : Data Primer, diolah (2012) *) 1 HOK
= 6 jam
1 HOK wanita
= 0,752695 HOK pria
124
Lampiran 11. Harga Privat dan Sosial Input-Output Petani Penggarap Pada Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy Input Satuan Privat Sosial Input Tradable Urea Rp/Kg 2.086,28 3.743,44 TSP Rp/Kg 2.491,67 4.923,88 NPK Rp/Kg 3.071,43 2.811,34 KCL Rp/Kg 3.000 3.925,84 Faktor Domestik Benih Rp/Kg 6.906,98 8.742,32 Pupuk Organik Pupuk Kompos/Jerami Rp/Kg 154,57 154,57 Pupuk Kandang Rp/Kg 1.000 1.000 Obat-obatan Pestisida Nabati Rp/ Liter 26.000 26.000 Biaya Lainnya Pengairan Rp/MT 34.338,24 34.338,24 Pinjaman Rp/MT 35.985,19 35.985,19 Pajak (PBB) Rp/MT Sewa Lahan Rp/MT - 2.038.025,08 Sewa Traktor Rp/hari 150.000 150.000 Sewa Kerbau Rp/hari 70.909,09 70.909,09 Panen Rp/Kg 283,72 283,72 Biaya Peralatan 1. Cangkul Rp/Unit 5.434,21 5.434,21 2. Parang Rp/Unit 4.037,04 4.037,04 3. Arit Rp/Unit 4.280,37 4,280.37 4. Sorong Rp/Unit 6.000 6.000 5. Garok Rp/Unit 6.000 6.000 Tenaga Kerja Pria Rp/HOK 26.283,33 26.283,33 Wanita Rp/HOK 19.783,33 19.783,33 Output Padi Semi-organik Rp/Kg 2.800 3.544,03 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
125
Lampiran 12. Rata-rata Penggunaan Input Petani Penyewa Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy Per Hektar Per Musim Tanam No Uraian Jumlah Satuan Harga (Rp) Nilai (Rp/Ha) 1 Benih 40,61 Kg 7.050 286.291,80 2 Pupuk Anorganik Urea 16,78 Kg 2.005,26 328.425,23 TSP 66,29 Kg 2.706,67 179.429,65 NPK 94,04 Kg 3.333,33 313.468,01 KCL 29 Kg 2.916,67 85.474,54 3 Pupuk Organik Pupuk Kompos/Jerami 8.987,08 Kg 97,07 872.407,02 Pupuk Kandang 907,69 Kg 1.000 907.693,82 4 Pestisida Nabati 6,83 Liter 12.500 85.416,67 5 Biaya Lainnya Pengairan 1 MT 30.789,47 30.789,47 Pinjaman 1 MT 73.076,92 73.076,92 Pajak (PBB) MT Sewa Lahan 1 MT 1.893.384.74 1.893.384,74 Traktor 4,58 hari 150.000 687.716,45 Kerbau 6,62 hari 73.125 483.829,90 Panen 5.991,39 Kg 287,50 1.722.523,89 6 Peralatan Pertanian Cangkul 1,90 Unit 4.944,44 9.394,44 Parang 1,42 Unit 4.458,33 6.335,53 Arit 1,74 Unit 4.638,30 8.055,99 Sorong 1 Unit 6.000 6.000 Gorok 1 Unit 6.000 6.000 7 Tenaga Kerja* Pengolahan Lahan 41,81 HOK 26.283,33 1,099,018.81 Persemaian 7,67 HOK 26.283,33 201,529.73 Penanaman 23,22 HOK 26.283,33 610,356.51 Penyiangan 1 13,99 HOK 26.283,33 367,789.02 Penyiangan 2 8,75 HOK 26.283,33 230,091.87 Pemupukan 8,01 HOK 26.283,33 210,450.14 Penyemprotan 5,33 HOK 26.283,33 140,177.78 Sumber : Data Primer, diolah (2012) *) 1 HOK
= 6 jam
1 HOK wanita
= 0,752695 HOK pria
126
Lampiran 13. Harga Privat dan Sosial Input-Output Petani Penyewa Pada Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy Input Satuan Privat Sosial Input Tradable Urea Rp/Kg 2.005,26 3.743,44 TSP Rp/Kg 2.706,67 4.923,88 NPK Rp/Kg 3.333,33 2.811,34 KCL Rp/Kg 2.916,67 3.925,84 Faktor Domestik Benih Rp/Kg 7.050 8.797,67 Pupuk Organik Pupuk Kompos/Jerami Rp/Kg 97,07 97,07 Pupuk Kandang Rp/Kg 1.000 1.000 Obat-obatan Pestisida Nabati Rp/ Liter 12.500 12.500 Biaya Lainnya Pengairan Rp/MT 30.789,47 30.789,47 Pinnjaman Rp/MT 73.076,92 73.076,92 Pajak (PBB) Rp/MT Sewa Lahan Rp/MT 1.893.384,74 2.038.025,08 Sewa Traktor Rp/hari 150.000 150.000 Sewa Kerbau Rp/hari 73.125 73.125 Panen Rp/Kg 287,50 287,50 Biaya Peralatan 1. Cangkul Rp/Unit 4.944,44 4.944,44 2. Parang Rp/Unit 4.458,33 4.458,33 3. Arit Rp/Unit 4.638,30 4.638,30 4. Sorong Rp/Unit 6.000 6.000 5. Garok Rp/Unit 6.000 6.000 Tenaga Kerja Pria Rp/HOK 26.283,33 26.283,33 Wanita Rp/HOK 19.783,33 19.783,33 Output Padi Semiorganik Rp/Kg 2.840 3.544,03 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
127
Lampiran 14. Rata-rata Penggunaan Input Petani Pemilik Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy Per Hektar Per Musim Tanam No Uraian Jumlah Satuan Harga (Rp) Nilai (Rp/Ha) 1 Benih 53,55 Kg 6.566,67 351.671,06 2 Pupuk Anorganik Urea 132,73 Kg 2.062,67 273.778,07 TSP 80,88 Kg 2.508,33 202.881,37 NPK Kg KCL 54 Kg 3.083,33 166.646,83 3 Pupuk Organik Pupuk Kompos/Jerami 8.555,48 Kg 101,83 871.173,81 Pupuk Kandang 1.361,43 Kg 1.000 1.361.428,57 4 Pestisida Nabati 6,29 Liter 32.500 204.285,71 5 Biaya Lainnya Pengairan 1 MT 42.100 42.100 Pinjaman 1 MT 55.000 55.000 Pajak (PBB) 1 MT 347.738,10 347.738,10 Sewa Lahan 1 MT Traktor 4,44 hari 150.000 666.071,43 Kerbau 7,54 hari 75.000 565.625 Panen 5.703,65 Kg 296,67 1.692.083,07 6 Peralatan Pertanian Cangkul 2 Unit 4.608,70 9.217,39 Parang 1,62 Unit 4.281,25 6.915,87 Arit 1,46 Unit 4.156,25 6.074,52 Sorong 1 Unit 6.000 6.000 Gorok 1 Unit 6.000 6.000 7 Tenaga Kerja* Pengolahan Lahan 48,74 HOK 26.283,33 1.281.166,48 Persemaian 8,43 HOK 26.283,33 221.489,23 Penanaman 20,89 HOK 26.283,33 549.066,01 Penyiangan 1 14,99 HOK 26.283,33 394.065,16 Penyiangan 2 11,40 HOK 26.283,33 299.704,65 Pemupukan 9,07 HOK 26.283,33 238.427,38 Penyemprotan 5,86 HOK 26.283,33 153.945,24 Sumber : Data Primer, diolah (2012) *) 1 HOK
= 6 jam
1 HOK wanita
= 0,752695 HOK pria
128
Lampiran 15. Harga Privat dan Sosial Input-Output Petani Pemilik Pada Usahatani Padi Semiorganik di Desa Ciburuy Input Satuan Privat Sosial Input Tradable Urea Rp/Kg 2.062,67 3.743,44 TSP Rp/Kg 2.508,33 4.923,88 NPK Rp/Kg KCL Rp/Kg 3.083,33 3.925,84 Faktor Domestik Benih Rp/Kg 6.566,67 8.252,64 Pupuk Organik Pupuk Kompos/Jerami Rp/Kg 101,83 101,83 Pupuk Kandang Rp/Kg 1.000 1.000 Obat-obatan Pestisida Nabati Rp/ Liter 32.500 32.500 Biaya Lainnya Pengairan Rp/MT 42.100 42.100 Pinnjaman Rp/MT 55.000 55.000 Pajak (PBB) Rp/MT 347.738,10 347.738,10 Sewa Lahan Rp/MT - 1.893.384,74 Sewa Traktor Rp/hari 150.000 150.000 Sewa Kerbau Rp/hari 75.000 75.000 Panen Rp/Kg 296,67 296,67 Biaya Peralatan 1. Cangkul Rp/Unit 4.608,70 4.608,70 2. Parang Rp/Unit 4.281,25 4.281,25 3. Arit Rp/Unit 4.156,25 4.156,25 4. Sorong Rp/Unit 6.000 6.000 5. Garok Rp/Unit 6.000 6.000 Tenaga Kerja Pria Rp/HOK 26.283,33 26.283,33 Wanita Rp/HOK 19.783,33 19.783,33 Output Padi Semiorganik Rp/Kg 2.820 3.544,03 Sumber : Data Primer, diolah (2012)
129
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bogor 20 Maret 1990, anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Abdul Latief dan Ibu Chairiyah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Sukamaju I pada tahun 2002, pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2005 di Pondok Pesantren SMP Islam Terpadu AL-GHIFARI Sukabumi, dan pendidikan lanjut menengah atas di SMA Islam Terpadu Nurul Fikri Depok diselesaikan pada tahun 2008. Penulis diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN pada tahun 2008. Penulis menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) selama tiga tahun dari tahun 2009-2012.
Penulis juga
mendapatkan kesempatan mendapatkan beasiswa ERP (Early Recruitment Program) BNI 46 dari tahun 2011-2013. Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif dalam kegiatan kampus. Penulis pernah mengikuti karya tulis ilmiah PKM-K yang berjudul Inovasi Baru Minuman Baesuk Dengan Menggunakan Rempah-Rempah Warisan Nenek Moyang Indonesia pada tahun 2010. Penulis aktif di BEM FEM IPB kabinet ORASI dan SINERGI. Menjabat sebagai kepala departemen pendidikan pada tahun 2009-2010 dan hubungan eksternal pada tahun 2010-2011. Selain itu penulis juga aktif di BP Himpro REESA pada tahun 2011 sebagai anggota. Penulis juga aktif di beberapa kepanitian kampus, salah satunya di Masa Perkenalan Departemen (MPD) ESL 46 Envirangers tahun 2010 sebagai ketua panitia.
130